DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

download DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

of 21

Transcript of DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    1/21

    1

    DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS

    PENDAHULUAN

    Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini

    mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas.

    Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman

    ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang

    terkontaminasi.Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun

    secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung

    kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difterisering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan,

    memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan

    serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum

    mendapat imunisasi.1,2

    Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah suatu keadaan darurat yang

    harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala obstruksi jalan nafas yang

    tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di

    suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan apabila tidak mendapat

    terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis karena hipoksia.3

    Pada 1400 kasus difteri di Kalifornia, fokus infeksi primer sekitar 94% adalah

    tonsil atau faring, sedangkan hidung dan laring merupakan dua tempat berikutnya

    yang angka kejadiannya lebih jarang daripada tonsil dan faring. Penyumbatan

    mekanik karena difteri laring atau difteri Bullneck dan miokarditis menyebabkan

    kematian paling besar. Angka kematian kasus difteri saluran nafas hampir 10%.4

    Mengingat pentingnya penyakit difteri dibidang THT-KL, pada makalah ini

    akan dibahas mengenai difteri pada saluran pernafasan atas dengan tujuan agar

    mendapat pemahaman yang lebih mendalam tentang difteri yang menyerang saluran

    pernafasan atas.

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    2/21

    2

    1. SALURAN NAFAS ATAS

    Hidung adalah tempat dimulainya proses pernafasan. Di hidung terdapat

    rambut halus dan selaput lendir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk

    agar udara menjadi bersih. Saluran nafas atas terdiri dari hidung, faring, dan laring.3

    Gambar 1. Saluran nafas atas dan bawah3

    1.1 HidungHidung terdiri atas kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi jaringan

    ikat dan kulit. Hidung terbagi atas kavum nasi kiri dan kanan oleh septum nasi.

    Rongga hidung terbuka di anterior pada nares dan di posterior pada koana. Luas

    permukaannya diperbesar oleh tiga tonjolan dari dinding lateral yang disebut konka

    superior, media, dan inferior.5

    Kulit yang menutup hidung dilapisi rambut sangat

    halus dengan kelenjar sebasea. Bagian dalam hidung dilapisi 4 jenis epitel. Epitel

    berlapis pipih pada kulit berlanjut ke dalam melalui nares ke dalam vestibulum,

    dimana sejumlah rambut kaku dan besar menonjol ke saluran udara. Sel rambut ini

    berfungsi menahan partikel debu yang besar dalam udara yang masuk ke dalam

    rongga hidung. Beberapa millimeter ke dalam vestibulum, epitel berlapis pipih

    berubah menjadi kolumnar atau kuboid tanpa silia yang kemudian berlanjut menjadi

    http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Illu_conducting_passages.svg
  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    3/21

    3

    epitel bertingkat kolumnar bersilia. Sebagian besar rongga hidung dilapisi epitel

    kolumnar bersilia, sel Goblet, dan sel basofil kecil pada dasar epitel, yang dianggap

    sebagai sel induk. Pada manusia, jumlah sel Goblet berangsur bertambah dari anterior

    ke posterior. Epitel rongga hidung selain mensekresi mukus juga mensekresi sedikit

    cairan yang membentuk lapisan diantara bantalan mukus dan permukaan epitel. Di

    bawah epitel terdapat lamina propria tebal yang mengandung kelenjar submukosa, sel

    mukosa dan serosa. Di dalam lamina propria juga terdapat sel plasma, sel mast, dan

    kelompok jaringan limfoid.6

    Gambar 2. Epitel respiratorikberupa epitel bertingkat silindris bersilia

    dengan sel Goblet6

    1.2 Faring

    Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berbatasan dengan

    palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa / pipih.6

    1.3 Laring

    Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada

    lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai

    katup untuk mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada

    fungsi fonasi.7

    Epiglotis merupakan juluran dari tepi laring, meluas ke faring dan

    memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutup

    oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laring ditutup oleh epitel respirasi

    http://sectiocadaveris.files.wordpress.com/2010/06/epitel-respirasi.jpg
  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    4/21

    4

    bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa

    dan serosa.6

    Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam

    lumen laring yaitu pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika

    ventrikularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan

    bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis pipih, ligamentum

    vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot vokalis akan

    membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda.6

    2. CORYNEBACTERIUM DIFTERI

    Corynebacterium difteri adalah kuman batang gada gram positif, (basil

    aerob) dengan ukuran 1 hingga 8 m dan lebar 0,3 hingga 0,8 m, tidak bergerak,

    pleomorfik dan tidak berkapsul. Kuman ini tidak membentuk spora, tahan dalam

    keadaan beku dan kering, dan mati pada pemanasan 60C.8

    Gambar 3. Corynebacterium difteri susunan sel karakteristik huruf Cina9

    Kuman difteri pada pewarnaan bisa terlihat dalam susunan palisade bentuk L,

    V, atau membentuk formasi mirip huruf Cina (gambar 3). Kuman tidak bersifat

    selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu yaitu

    sistin telurit agar darah. Media sistin telurit agar darah akan menghambat

    pertumbuhan organisme lain dan bila media direduksi oleh Corynebacterium difteri

    akan membuat koloni menjadi abu - abu hitam (gambar 4).8,9

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    5/21

    5

    Gambar 4. Corynebacterium difteri koloni pada agar darah9

    Pada media Loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah

    dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka Corynebacterium difteri akan

    membentuk granul berwarna metakromatik. Sedangkan pada pewarnaan metilen blue

    koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium difteri

    dapat hidup bersama dengan kuman difteroid yang mempunyai morfologi serupa,

    sehingga untuk membedakan diperlukan pemeriksaan khusus dengan fermentasi

    glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. Secara umum dikenal 3 tipe utama

    Corynebacterium difteri yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis. Ketiga subspesies

    sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan

    metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi tiga strain dikaitkan dengan

    kemampuan relatif untuk memproduksi toksin difteri baik kualitas maupun jumlah,

    dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu pertumbuhan

    60 menit, strain intermedius memiliki waktu pertumbuhan sekitar 100 menit, dan

    mitis memiliki waktu pertumbuhan sekitar 180 menit. Dipandang dari sudut

    antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan

    mempunyai banyak tipe serologis. Hal ini bisa menerangkan mengapa pada seorang

    pasien bisa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium difteri.

    8,9

    Ciri khas Corynebacterium difteri adalah kemampuannya memproduksi

    eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan

    berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, dan mempunyai 2

    fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksiterminal).

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    6/21

    6

    Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi

    oleh adanya bakteriofag. Toksin hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium difteri

    yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen. Toksin ini dapat

    diperlihatkan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut yaitu uji kematian

    atau dengan teknik imunopresipitin agar atau disebut juga uji Elek yaitu suatu uji

    reaksi polimerase.4,8

    2.1 FAKTOR RESIKO DIFTERI

    Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan

    kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :

    1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT

    secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT

    dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari

    pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.

    2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang

    menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.

    3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi

    yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yangberdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.

    4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi

    rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.

    5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya

    cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.4,8

    2.2 PATOGENESIS

    Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita

    maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada masa

    inkubasi, dan kontak dengan cariermelalui pernafasan atau droplet infection.Selain

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    7/21

    7

    itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang

    terkontaminasi.1,4

    Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal melakukan invasif,

    secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membran

    mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan eksotoksin paten yang

    tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limfatik.2,4

    Kuman masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada

    permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang

    selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin

    ini mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B

    (carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida (gambar 5). Fragmen B

    diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel

    pejamu yang sensitif. Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya fragmen A dapat

    melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan

    efek toksik pada sel.10

    Gambar 5. Toksin dan reseptor difteri10

    Reseptor toksin difteri pada membran sel terkumpul dalam suatu coated

    pitdan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini

    memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel, dan selanjutnya endosom yangmengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin

    untuk melalui membran endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh

    manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.8,10

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    8/21

    8

    Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino

    yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A

    dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini ditambah asam amino lain untuk

    membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses

    translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +

    dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan

    enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.8

    Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B

    dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim

    translokase melalui proses :

    NAD+

    + EF2

    (aktif) ---toksin

    ---> ADP-ribosil-EF2

    (inaktif) + H2

    + Nicotinamide

    ADP-ribosil-EF2 yang inaktif .2

    Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk

    rangkaian polipeptida yang diperlukan, yang akan mengakibatkan sel mati. Nekrosis

    tampak jelas di daerah kolonisasi kuman yang terjadi sebagai respon terjadi inflamasi

    lokal dan bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang

    mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin

    lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuknya membran yang melekat erat

    berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain

    fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila

    dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan

    terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.2,8

    Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua

    fenomena yang berbeda, yaitu :

    1. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan proliferasi

    bakteri.

    2. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena terjadi

    hambatan sintesa protein dalam sel.4,8

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    9/21

    9

    Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun virulensi

    kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat bakteri berkembang

    biak, toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan kematian dan kerusakan

    jaringan. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan, yang

    berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit

    dan sel epitel yang rusak bercampur, kemudian terbentuklah membran putih keabu-

    abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah

    membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan

    eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau

    abu-abu, dan ini sering disebut dengan simple tonsilar exudate.Kerusakan jaringan

    mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah sekitar membran, dan apabila difteri

    menyerang daerah laring, maka akan menyebabkan obstruksi jalan nafas pada

    tracheo-bronchial atau laringeal.8,10

    Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan syaraf. Pada

    miokardium, toksin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitokondria,

    ditandai dengan fatty degeneration, udem, dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi

    kerusakan jaringan miokardium, dilanjutkan peradangan setempat yang kemudian

    diikuti penumpukan leukosit pada perivaskular. Kerusakan oleh toksin pada myelin

    sheatsaraf perifer dapat terjadi pada saraf sensorik dan saraf motorik.2,4

    Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi

    sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya timbul dalam 10 14

    hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 7 minggu. Kelainan

    patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada berbagai

    macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak udim, kongesti, infiltrasi sel

    mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi

    regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan

    degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai hipoglikemia,

    kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.4,8

    Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    10/21

    10

    1. Infeksi ringan bilapseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengangejala hanya nyeri menelan.

    2. Infeksi sedang bilapseudomembran telah menyerang sampai faring danmenimbulkan bengkak pada laring.

    3. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejalakomplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.

    4

    2.3 MANIFESTASI KLINIS DIFTERI

    Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan

    bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor

    primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan

    kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain

    termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang

    sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit sistemik,

    tergantung pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang melebihi

    38,9C.2,8

    2.3.1 Difteri hidung

    Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek

    ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada awalnya serous,

    kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekret

    bisa hanya berasal dari satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa

    menjadi mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir

    bagian atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior

    tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang mengaburkan

    adanya membran putih pada septum nasi (gambar 6).8,11

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    11/21

    11

    Gambar 6. Difteri hidung kanan.11

    Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul

    tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan waktu yang lebih lama.

    Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekret akan berlangsung beberapa hari

    sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi

    secara cepat dengan pemberian antibiotika.8,11

    2.3.2 Difteri tonsil faring

    Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri

    tenggorokan, demam sampai 38,5 C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau,anoreksia, dan malaise. Dalam 1 2 hari kemudian timbul membran yang melekat,

    berwarna putihkelabu menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula danpalatum

    molle atau ke bawah ke laring dan trakea (gambar 7).2, 12,13

    Gambar 7. Difteri tonsil, faring2

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    12/21

    12

    Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis

    servikalis dan submandibular bila terjadi bersamaan dengan udim ringan jaringan

    lunak leher yang luas, akan menimbulkan bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung

    dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi

    kegagalan pernafasan atau sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle baik

    unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Penurunan

    kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus

    sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau

    neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7 10 hari dan biasanya

    terjadi penyembuhan sempurna.13

    2.3.3 Difteri laring

    Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring (gambar 8), jarang

    sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe

    infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara parau, dan batuk

    kering.2,14

    Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,

    supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila terjadi pelepasan membran yang

    menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran

    dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai

    perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala

    obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam tinggi, lemah, sianosis,

    pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena

    bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.15,16

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    13/21

    13

    Gambar 8. Difteri laring2

    2.4 DIAGNOSIS DIFTERI

    Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin

    sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan

    berdasarkan gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Adanya membran di

    tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit

    lain juga dapat ditemui adanya membran. Membran pada difteri berbeda dengan

    membran penyakit lain, yaitu warna membran pada difteri lebih gelap, lebih keabu-

    abuan disertai lebih banyak fibrin yang melekat dengan mukosa dibawahnya, dan

    apabila diangkat terjadi perdarahan.8

    Untuk pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan :

    Pengambilan preparat langsung dari membran dan bahan di bawah membran Kultur dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah 4,8

    Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien difteri dapat

    diketahui dngan melakukan pemeriksaan electrocardiogram (ECG)

    Tes Schick (imunitas) : Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status

    imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapatdibaca beberapa hari, tetapi tes ini berguna untuk menentukan kerentanan penderita,

    diagnosis serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan.4,8

    Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan

    dibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    14/21

    14

    secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti dengan isolasi C.Diphtheriae

    dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara

    in-vivo dan in-vitro dengan tes Elek.2,4

    2.5 KOMPLIKASI

    Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah

    toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.4, 8

    Komplikasi difteri terdiri dari :

    1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus yang akan

    memperberat gejala Difteri

    2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas

    3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin4

    Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut

    menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf

    menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan.

    Komplikasi berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah obstruksi

    jalan nafas.2, 4

    2.6 PROGNOSIS

    Prognosis penyakit difteri dipengaruhi beberapa hal, yaitu tergantung pada:

    1. Usia penderita

    Makin rendah usia penderita makin jelek prognosis. Kematian paling sering

    ditemukan pada anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik

    oleh membran difteri.

    2. Waktu pemberian antitoksin, yaitu semakin cepat pemberian antitoksin

    prognosis semakin baik.

    3. Tipe klinis difteri

    Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe

    nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    15/21

    15

    4. Keadaan umum penderita, yaitu prognosis baik pada penderita dengan gizi

    baik.4,8

    Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis

    buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit

    yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau

    pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia

    megakariositik atau miokarditis yang disertai kelainan atrioventrikuler

    menggambarkan prognosis yang lebih buruk.2,8

    2.7 PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAAN DIFTERI

    Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang

    belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

    minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati

    infeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada

    toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi toksin

    yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.4,8

    2.7.1 Pengobatan umum

    Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok

    negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.

    Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet

    yang adekuat, makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein dan

    kalori. Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan

    pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada

    difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan

    menggunakan nebulizer.2,4

    2.7.2 Pengobatan Khusus

    a. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)

    Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian

    antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    16/21

    16

    dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai

    30%.2,8

    Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit 2

    Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

    Difteria Hidung 20.000 Intramuscular

    Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /Intravena

    Difteria Faring 40.000 Intramuscular /Intravena

    Difteria Laring 40.000 Intramuscular /Intravena

    Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena

    Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena

    Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

    Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih

    dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga

    harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan

    penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan.

    Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan

    dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata

    yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala

    hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS

    diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas

    negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan

    secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat

    badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 1.

    Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%

    dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan

    selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu

    dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).2,4,8

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    17/21

    17

    b. Antibiotik

    Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk

    membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan

    organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen

    invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering

    ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan

    secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit

    lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.4

    Dosis :

    Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau

    bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

    Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama

    14 hari.

    Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv dibagi dalam 4

    dosis.

    Amoksisilin.

    Rifampisin.

    Klindamisin.

    Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang-

    kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak

    24 jam sesudah selesai terapi.4,8

    c. Kortikosteroid

    Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri.

    Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala

    obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila

    terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah

    miokarditis ternyata tidak terbukti.

    Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14

    hari.4,8

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    18/21

    18

    2.7.3 Pengobatan Penyulit

    Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.

    Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien

    mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif

    merupakan indikasi tindakan trakeotomi.17

    Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak boleh ada

    aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan

    pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan

    dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan

    jalan nafas harus selalu dijaga.4,17

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    19/21

    19

    RINGKASAN

    Corynebacterium difteri adalah kuman batang gada gram positif, pada

    pewarnaan bisa terlihat formasi mirip huruf Cina. Isolasi kuman dipermudah dengan

    media tertentu yaitu sistin telurit agar darah dan Loeffler.

    Corynebacterium difteri bisa menimbulkan infeksi pada faring, laring dan

    hidung. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik

    terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat

    infeksi. Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang

    menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,

    bersin atau berbicara. Menurut berat ringan infeksi Difteri dibagi menjadi tiga, yaitu

    ringan bilapseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya

    nyeri menelan, sedang bilapseudomembran telah menyerang sampai faring dan

    menimbulkan bengkak pada laring, dan berat bila terjadi obstruksi nafas berat yang

    disertai gejala komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.

    Terapi infeksi Difteri terbagi menjadi pengobatan umum, khusus yang

    dijelaskan dengan cara pemberian ADS, antibiotika, dan kortikosteroid, serta

    pengobatan penyulit.

  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    20/21

    20

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases

    and epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house publishers ;

    2009.p. 97 - 105

    2. Sing A, Heesemann J. Imported diphtheria Germany, 2005. Available from :

    http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol 11no02/05.html. Accessed June 20, 2011

    3. Joedgreat. Parts of the respiratory system and their function, 2007. Available

    from : http://scienceray.com/biology/parts-of-the-respiratory-system-and-their-

    functions/. Accessed July 10, 2011

    4. Long SS. Diphteria. In : Behrman, Kleigman, eds. Nelson Textbook of

    Pediatrics. 15th

    ed. Philadelphia : WB Saunders company ; 1996.p. 955 - 59

    5. Hill MG. Nasal cavity, 2005. Available from : http://www.answer.com/topic/

    nasal-cavity/l. Accessed July 11, 2011

    6. Kuehnel. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. 4th ed

    Stuttgart Thieme, 2003. Available from : www.4shared.com/.../03501-Kuehnel

    Color Atlas.html. Accessed July 27, 2011

    7. Chevrier G. Physiologie organs Pharynx et larynx, 2002. Available from :

    http://bio.mosw.com/gcartable/pharinx_et_larynx.htm.Accessed July 15, 2011

    8. Deterding RR. Essentials of diagnosis and typical features Diphtheria. In : Hay

    WW, Leswin MJ, Sondheimer JM, eds. Current diagnosis and therapy in

    pediatric. 18th

    ed. United State of America : Library of congress press ; 2007.p.

    11768

    9. Todar K. Online textbook of bacteriology, 2011. Available from : http://www.

    textbook of bacteriology.net/featured_microbe.jpg. Accessed July 13, 2011

    http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol%2011no02/05.htmlhttp://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol%2011no02/05.htmlhttp://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pernapasan_atas.%20Accessed%20July%2010http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pernapasan_atas.%20Accessed%20July%2010http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pernapasan_atas.%20Accessed%20July%2010http://www.answer.com/topic/%20nasal-cavity/lhttp://www.answer.com/topic/%20nasal-cavity/lhttp://www.answer.com/topic/%20nasal-cavity/lhttp://www.4shared.com/.../03501-Kuehnel%20Color%20Atlas.htmlhttp://www.4shared.com/.../03501-Kuehnel%20Color%20Atlas.htmlhttp://www.4shared.com/.../03501-Kuehnel%20Color%20Atlas.htmlhttp://bio.mosw.com/gcartable/pharinx_et_larynx.htm.%20Accessed%20July%2015,%202011http://bio.mosw.com/gcartable/pharinx_et_larynx.htm.%20Accessed%20July%2015,%202011http://bio.mosw.com/gcartable/pharinx_et_larynx.htm.%20Accessed%20July%2015,%202011http://bio.mosw.com/gcartable/pharinx_et_larynx.htm.%20Accessed%20July%2015,%202011http://bio.mosw.com/gcartable/pharinx_et_larynx.htm.%20Accessed%20July%2015,%202011http://www.4shared.com/.../03501-Kuehnel%20Color%20Atlas.htmlhttp://www.4shared.com/.../03501-Kuehnel%20Color%20Atlas.htmlhttp://www.answer.com/topic/%20nasal-cavity/lhttp://www.answer.com/topic/%20nasal-cavity/lhttp://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pernapasan_atas.%20Accessed%20July%2010http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pernapasan_atas.%20Accessed%20July%2010http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pernapasan_atas.%20Accessed%20July%2010http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol%2011no02/05.html
  • 7/28/2019 DIFTERI SALURAN NAFAS ATAS.pdf

    21/21

    21

    10. Mizushima H, Iwamoto R. Analysis of the molecules and receptors involved in

    bacterial infection, 2000. Available from :http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/

    eng/ project/pro09.html. Accessed July 28, 2011

    11. Nankervis G. Diphtheria, 2008. Available from : http://aapredbook.

    aappublications.org/week/iotw111008.dtl . Accessed August 05, 2011

    12. Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM. Management of adenotonsillar disease. In :

    Lalwani AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology head and

    neck surgery. USA : McGraw-Hill Companies Inc; 2004.p. 355 - 7

    13. Thompson LD. Pharyngitis. In : Bailey BJ, Calhoun KH, eds. Head and neck

    surgery otolaryngology. 3rd

    ed. Vol I. Philadelphia : Lippincott company ;

    2011.p. 5436

    14. Banovetz JD. Gangguan laring. Dalam : Adams GL, Boies LR, Hilger PA ed.

    Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC ( Alih bahasa : Wijaya C );

    1994.p. 37885

    15. Lee KJ. The larynx. In : Lee KJ, ed.Essential otolaryngology Head and neck

    surgery. 9th

    ed.USA : McGraw-Hill Companies Inc ; 2008.p. 55270

    16. Koufman JA, Belafsky PC. Infectious and inflammatory disease of the larynx. In

    : Snow JB, Ballanger JJ, eds. Otorhynolaryngology head and neck surgery. 17th

    ed. Shelton Connecticut : BC. Decker Inc ; 2009.p. 118596

    17. Dowel, Maloney. Arch Otolaryngol AMA. Diphtheria, 2000. Available from :

    http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/ 61/1/29. Accessed July 16, 2011

    http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/eng/%20project/pro09.html.%20Accessed%20July%2028http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/eng/%20project/pro09.html.%20Accessed%20July%2028http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/eng/%20project/pro09.html.%20Accessed%20July%2028http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/eng/%20project/pro09.html.%20Accessed%20July%2028http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/%2061/1/29.%20Accessed%20July%2016http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/%2061/1/29.%20Accessed%20July%2016http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/%2061/1/29.%20Accessed%20July%2016http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/eng/%20project/pro09.html.%20Accessed%20July%2028http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/eng/%20project/pro09.html.%20Accessed%20July%2028