DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ...pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/Opinio...

108
i Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 19 Januari April 2016 DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA 2016

Transcript of DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ...pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/Opinio...

i

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINIO JURIS

Volume 19 Januari – April 2016

DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN

INTERNASIONAL

KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA

2016

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINIO JURIS

Volume 19 Januari — April 2016

Diterbitkan oleh

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional

Kementerian Luar Negeri

Sejak Oktober 2009

Penanggung Jawab

Ferry Adamhar, SH, LL.M

Dr. iur. Damos Dumoli Agusman

Redaktur Pelaksana

M. Ichsan

Redaktur

Sudarsono, S.H., MM; Zainul Idris Yunus, S.E.; Mandala Sukarto Purba, S.H.;

Fajar Yusuf, S.H., LL.M;

Editor

Nenda Inasa Fadhilah, S.H., LL.M.; Ronald Eberhard, SH, LLM; Aloysius Selwas

Taborat, SH, LLM; Anditya Hutama Putra, SH; Ahmad Almauddy Amri, S.H.,

LL.M., M.Sc, Ph.D.; Maria Ayu Prabha Ardhanastri, S.H.; Dyan Radin Swastika,

S.H.

Disain Grafis

Asep Hermawan S.H; Andre Bramantya, S.H.; Citra Yudha Nur Fatihah S.H.;

Muhammad Abdul Hayyil Al Ayyubi, S.H. M.Par.

Sekretariat

Maisaroh, S.Sos; Tasunah; Eddy Aswandi, S.Ip.; Karsim, S.E.

Alamat Redaksi:

Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional

Kementerian Luar Negeri

Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat

Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected]

Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website

http://pustakahpi.kemlu.go.id/

Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan

analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi

Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

v

DAFTAR ISI

Daftar Isi ..................................................................................................... v

Pengantar Redaksi ...................................................................................... vi

ASEAN Economic Community Impact for Indonesia

Ariawan Gunadi ......................................................................................... 44

Tinjauan Konstruktivisme Politik-Hukum Internasional dalam

Pertimbangan Indonesia pada Pembentukan ASEAN Political-

Security Communitty

Najamuddin Khairur Rijal ......................................................................... 51

Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus Lingkungan

Internasional dan Badan Pembersih Sampah Antariksa (Space

Debris)

Sofian Ardi ................................................................................................... 8

Perlindungan Hukum Merek Tidak Terdaftar Di Indonesia

Rika Ratna Permata dan Muthia Khairunnisa…..…………………………..15

Resensi Buku

The Oxford Handbook of The History of International Law

Eka An Aqimuddin………………………………………………116

GLOSSARY .............................................................................................. 108

TENTANG PENULIS………………………………………………………….111

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

vi

PENGANTAR REDAKSI

Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi diseminasi informasi

terkait isu-isu hukum dan perjanjian internasional, Direktorat Jenderal

Hukum dan Perjanjian Internasional telah menerbitkan Jurnal Hukum

dan Perjanjian Internasional yang diberi nama “Jurnal Opinio Juris”.

Dalam Jurnal Opinio Juris edisi 19, redaksi memutuskan untuk

meningkatkan keragaman artikel dalam Jurnal Opinio Juris Volume

19. Lima penulis mengangkat berbagai aspek, seperti Tinjauan

Konstruktivisme Politik-Hukum Internasional dalam Pertimbangan

Indonesia pada Pembentukan ASEAN Political-Security Community

oleh Najamuddin Khairur Rijal, Urgensi Dibentuknya Badan

Peradilan Khusus Lingkungan Internasional dan Badan Pembersih

Sampah Antariksa (Space Debris) oleh Sofian Ardi, ASEAN

Economic Community Impact for Indonesia oleh Ariawan Gunadi,

Perlindungan Hukum Merek Tidak Terdaftar di Indonesia oleh Rika

Ratna Permata dan Muthia Khairunnisa. Kolom resensi diisi oleh Eka

An Aqimuddin atas buku berjudul The Oxford Handbook of The

History of International Law.

Dalam kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak

mengucapkan terima kasih kepada para anggota redaksi terdahulu

yang telah mendapat penugasan baru di beberapa Perwakilan RI atas

dedikasinya dalam memajukan Opinio Juris. Redaksi juga mengajak

para pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan

masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa

mendatang melalui email [email protected].

Untuk memudahkan para pembaca setia Opinio Juris, Redaksi

telah memuat Opinio Juris yang pernah terbit terdahulu pada

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

vii

Perpustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu yang dapat di akses

melalui http://pustakahpi.kemlu.go.id/. Pada kesempatan ini, Redaksi

Opinio Juris secara terus menerus mengajak para pembaca untuk turut

menyumbangkan tulisan, memberikan saran dan masukannya demi

peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang.

Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap semoga jurnal ini

dapat bermanfaat serta menjadi sarana dalam menyebarluaskan

informasi dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan

perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan

luar negeri.

Terima kasih dan selamat membaca.

Redaksi Opinio Juris

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

8

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY IMPACT

FOR INDONESIA

Dr. Ariawan Gunadi, SH., M.H.

Abstrak

Memasuki masa Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yaitu dengan

adanya satu pasar tunggal ASEAN dimana pergerakan barang dan jasa

semakin bebas di kawasan ASEAN. Hal ini dapat mengakibatkan semakin

ketatnya persaingan antar individu antar negara. Sehingga masyarakat

Indonesia pun harus dipersiapkan menghadapi persaingan ini. Hal-hal

yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas persaingan

masyarakatnya, yaitu dengan dibuatnya pelatihan-pelatihan kerja yang

memadai dengan peraturan perundang-undangan yang mendukung,

memfasilitasi tempat pelatihan kerja, memberikan tenaga pelatihan yang

berkualitas, membangun kerjasama pelatihan antar negara dan harus ada

koordinasi antara kementerian dan lembaga-lembaga yang ada. Menjaga

kesejahteraan masyarakatnya memang menjadi tanggung jawab

pemerintah, namun bukan hanya pemerintah tapi masyarakat itu sendiri

harus ikut berpartisipasi. Perlu adanya penyuluhan-penyuluhan mengenai

pentingnya daya saing menghadapi MEA ini, dan masyarakat disadarkan

bahwa mereka harus mempersiapkan diri agar tidak kalah bersaing dengan

tenaga kerja asing dari negara lain. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut

harus dengan meningkatkan upaya komprehensif ekstensifikasi dan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

9

intensifikasi Balai Latihan Kerja. Gerakan kewirausahaan nasional juga

perlu ditingkatkan gaungnya dan diikuti dengan program intensif

khususnya bagi gerakan kewirausahaan di sektor pendidikan (Perguruan

Tinggi-Akademisi), Usaha Kecil Menengah (UKM) dan kelompok industri

lainnya untuk memperbaiki standar, kualitas, dan desain produk, serta

kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan produk.

Keywords: ASEAN Economic Community, AEC, Human Resource,

Indonesia, ASEAN, Small and Medium Enterprises, Challenges of

Globalization

A. Introduction

ASEAN Economic Community (AEC) is an agenda of international

economic integration of the member countries of ASEAN (Indonesia,

Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, the Philippines, Thailand, Laos,

Myanmar and Vietnam), which aims to reduce obstacles to the Southeast

Asian regional trade in goods and services as well as foreign investment.

AEC 2015 will form a regional economic integration by reducing trade

transaction costs; improve trade and business facilities, as well as improving

the competitiveness of Micro, Small and Medium Enterprises. This will

create a free market in Southeast Asia, which would also boost

competitiveness among its members.

Future implementation of the AEC in 2016 remains a big question for

ASEAN widely and Indonesia are narrow, but it is inevitable globalization

continue to ask countries to open up to one another the depletion boundaries

between countries unstoppable due to technological advances and the needs

of an increasingly globalized international community then inevitably ready

or not all elements of the nation must be prepared. Because if Indonesia

itself less competitive than other member states in 2015, the AEC will

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

10

actually bring harm to Indonesia. For example, unemployment will increase

because Indonesian laborers will have to compete with other laborers from

other countries which are more. On the other hand, most Indonesian laborers

aren’t equipped with the proper skills nor certification to be recognized at

regional level. Therefore Indonesia must be ready and able to compete with

other countries members, to establish the readiness of course, requires a

variety of business to be done.

B. The Existence of Indonesia in the ASEAN Economic Community

2015

1. Asean Economic Community 2015

ASEAN has a vision to transform the region of Southeast Asia into a

stable, prosperous and competitive region supported by a balanced

economic development, poverty reduction and socio-economic disparities

between Member States.1 Areas of cooperation AEC include human

resource development and capacity building, recognition professional

qualifications, consulting more closely at the macro-economic policy and

financial measures trade financing, improvement of infrastructure and

communications connectivity, the development of electronic transactions

through e-ASEAN, integrating industry in throughout the region to promote

regional resources, and increasing involvement of the private sector to build

the AEC.2

In order to support the establishment of AEC member countries have

agreed to establish the ASEAN Free Trade Area (AFTA), which begins with

1Asean Vision 2020, http://www.asean.org/1814.htm 2Hadi Soesastro dan Clara Joewono, The Insklusif Regionalist, (Jakarta : Centre For

Strategic And International Studies Indonesia, 2007) hal.139

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

11

a commitment to lowering tariff in goods between zero to five percent. To

achieve the commitment of ASEAN Single Market in 2015, the situation

would be improved by efforts to eliminate tariff (up to zero percent).3 The

one and only ASEAN Market is not only refers to the concept of ASEAN

as a single market, but also as a single production base will require

liberalization of capital and skilled labor.4

After a wave of economic crisis hit most parts of East and Southeast

Asia in the late 1990s, there was appearing calculations and analysis to be

more responsive to the possible negative impact of economic liberalization.

The incident has been reinforcing the legitimacy of alternative economic

actors are more stable and "resilient" that had been have not be calculated

theoretically within the paradigm of international relations, namely the SME

sector. Trends in the development of SMEs in ASEAN, as well as the

ASEAN economic integration cannot be separated from the influence of

China Factor which was later adopted also by South Korea.5

Attempts to create competitiveness through competition law and policy,

has been formed through the ASEAN Secretariat has resulted in a number

of actions. Over time, the ASEAN Expert Group on Competition (AEGC)

has handled structural ASEAN duties and has initiated the implementation

of competition law across the region, namely Indonesia and Thailand

(1999), Singapore and Vietnam (2004) and Malaysia (2012), while five

other countries still in drafting stage.

3Ariawan Gunadi dan SerianWijatno, Perdagangan Bebas dalam Perspektif Hukum

Perdagangan Internasional, (Jakarta : PT. Grasindo, 2014) hal.39 4Zainuddin Djafar, Moon Young Ju dan Anissa Farha Mariana, Peran Strategis

Indonesia dalam Pembentukan ASEAN dan Dinamikanya, Kajian Kebijakan Polugri RI,

UKM Regional, Implikasi Liberalisasi Perdagangan, Realitas Piagam ASEAN dan Esensi

Kompetisi Regional, (Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press), 2012), hal. 132 5Denis Hew, Roadmap to an Asean Economic Community (Singapore: Institute of

Southeast Asian Studies, 2005) hal. 42

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

12

2. Labor Market Competition

In the case of Indonesia entering the ASEAN Economic Community

(AEC), some of the earliest issue includes labor competition and its

relevance to the philosophical concept of AEC. It was an agenda of

economic integration of ASEAN countries which aims to eliminate,

minimize barriers in economic activity across the region, for example trade

in goods, services and investment. The creation of AEC single market

allows the country to sell goods and services easily to other countries across

Southeast Asia so the competition will be intense. Trade and services will

be unified and integrated in a common market. This means that businesses

in Indonesia, especially for professionals who wish to expand their

operations in ASEAN or opening branches in other ASEAN countries must

understand the intricate employment law and permits to set up the

employment service.

Based on data from the Population Division of the United Nations (UN)

number population in ASEAN countries reached 633.1 million in 2015 with

Indonesia's population reached 237,641,326 inhabitants by the year 2010

alone so that Indonesia is the country with the largest population in the

ASEAN region.6 It can be an opportunity and a challenge for Indonesia in

facing the ASEAN single market in 2015, the Government of Indonesia is

required to produce a variety of regulations and policies appropriate for the

purpose of ASEAN and National Objectives can be achieved in tandem.

AEC 2015 could be a blessing for Indonesia but at the same to be disastrous.

AEC could be disastrous if the national services and products unable to

compete. With free trade, we were able to increase exports but we must also

6Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Indikator Sosial Budaya 2003, 2006, 2009

dan 2012, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,

www.bps.go.id/tab_sub/view.php/tabel

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

13

be aware of the risks of competition (competition risk) that came up with

the number of imported goods will flow in large quantities to Indonesia,

which will threaten the local industry to compete with the products of our

foreign much higher quality. This in turn will increase the trade deficit for

Indonesia. As one of the founding members of ASEAN Indonesian, the

government should make efforts to improve the performance of government

agencies and non-government that already exist in the face of economic

integration through the AEC.7

Sector Small and Medium Enterprises (SMEs) has already received

attention in efforts to improve the economic competitiveness of Indonesia

since the beginning of the 1998 financial crisis. History demonstrated that

global financial crisis hardly impacted the Indonesian SME sector compared

to banking or infrastructure sector which heavily depended upon foreign

loans. It is why that SMEs deserves get a larger portion for development and

more opportunities to compete in regional and international level in

particular. AEC in 2016 will broadly impact the nations that relied on

traditional market while revolutionizing commerce on trade and services. It

is only fair that the Indonesian government rethink harder about integrating

its national economy into Southeast Asia international standards or even

offering it as alternative for young generation with short term training. As

such, we can refer to the successful European economic model through the

European Union.8 Hopefully by doing so, Indonesia can successfully

7Dodi Mantra, Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah

Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi Asean 2015, (Bekasi : Mantra Press, 2011) hal. 97 8GeorgetaIlie New Trends in European Companies’ Business Models, Romanian

Statistical Review nr. 12 / 2013

http://www.revistadestatis-tica.ro/wpcontent/uploads/2014/04/RRS_12_2013_A2_ en.pdf

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

14

achieve the goals of AEC while enhancing national defense and protect the

national interest.9

3. ASEAN Economic Community Goal

ASEAN leaders have now embarked the Southeast Asian association to

the next step of economic development, which will also ultimately bring the

Southeast Asian peoples closer. They have engaged since 2007 towards the

integration of ASEAN into an ASEAN Economic Community based on 4

economic pillars:10

a) Single Market and Production Base: the region as a whole shall become

a single market, while the and production base to produce and

commercialize goods and services anywhere in ASEAN.

b) Competitive Economic Region: the region must emphasize on the

competitiveness of its production and capacity for export, as well as the

free competition inside of its frontiers.

c) Equitable Economic Development: to receive the benefits of the AEC,

the people and businesses of ASEAN must be engaged into the

integration process of the AEC.

d) ASEAN’s integration into the globalized economy: ASEAN must not be

isolated but an integrated part of the global economy.

Through the implementation of these 4 pillars for economic integration,

stability, competitiveness and dynamism, ASEAN is bound to realize the

9C.P.F.Luhulima, Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015, (Jakarta : Pustaka Pelajar

bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik (P2P) Lipi, 2010) hal. 40 10Asean Economic Community Blueprint, www.asean.org

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

15

principles of an Economic Community, inspired by the model of the

European Union.

After the entry into force of the AEC, trade and services will converge

and integrate into a common market. This means that businesses in

Indonesia, especially businesses who wish to expand their business in

ASEAN or dealing with businesses in other ASEAN countries must

understand the applicable business law in force in member countries,

including competition law.

4. The role of the Government of Indonesia Facing AEC

1. Indonesia Welfare State

Indonesia is a legal state characterized by the welfare state as in

paragraph 4th preamble of Indonesian National Constitution of 1945 (“NRI

1945”) states as follows: "The Government of the State of Indonesia was

formed to protect the entire Indonesian nation and the entire homeland of

Indonesia and to promote the general welfare, educate life of the nation, and

participate in implementing world order based on freedom, lasting peace

and social justice ". Paragraph 4 of the preamble NRI 1945 above imply

that, by adopting the task of the state in organizing the general welfare, the

establishment of various regulations in the Republic of Indonesia became

very important; the role of the state in charge of social welfare in the field

of legal, social, political, economic, cultural, environment, defense, security

and social justice organized through the establishment of state regulations.

In a welfare state, the government's job is not only limited to execute the

laws made by the legislature. As a matter of fact, the government is

burdened with the obligation to hold a public interest or social welfare

efforts, which includes implementing the authority tointervene in public life,

within the limits permitted by law. As such, the intervention could be

implemented by increasing the capacity of the people to participate in the

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

16

legal, social, political, economic, culture, the environment, defense and

security as well as social justice.

There are two reasons to maintain and develop the welfare state concept

in AEC as an international trade fever: 1) most country still intervenes in

the welfare affairs, but while still maintaining a democratic system in their

varieties. Welfare state demonstrates the involvement of the state in various

aspects of community life since people have long surrendered their rights in

return for protection. As result government tends to develop bureaucracy

and complex government affairs due to the enormous amount of citizens.

Ultimately the involvement of the people in the government will be

increasingly difficult (even to oversee the functioning leader or choose their

representatives who will sit in parliament on central or regional level). 11 2)

Government affairs in modern countries seems inevitably expanding at a

great speed.

Modern state government has entered so much of the life of society,

ranging from constitutional rights, nuclear issues, defense and security,

welfare and even personal information privacy. Free trade may bring a

promise of prosperity and wealth, but also risks the breach of implicit

exploitation or national security breach as the cost of liberal flow of

information. Even major countries such as China and Australia have been

actively filtering information in order to maintaining positive image for

economic purposes.12

11 Charles P. Kindleberger, Government and International Trade, Essays in International

Finance No. 129, July 1978, https://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E129.pdf 12 Ioana Bianca Berna, The China-ASEAN Free Trade Area. Transferring the Halfhearted

Evidence, Knowledge Horizons-Economics. Vol 5:1, pp 48-55,

http://www.orizonturi.ucdc.ro/arhiva/2013_KHE_PDF_Vol_5_SI_1/KHE_Vol_5_SIss_1

_48to55.pdf

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

17

2. Role of Government

In the new mass society, the role of government - which is a set of

institutions that hold a monopoly on the use of the organized forces of affairs

at home and abroad - forced changes. State as an organized political society

requires a certain degree of stability in the social system to maintain balance.

To achieve this, it is not only necessary to adjust demands and supply, which

is being promoted by various groups in the governance of social and

economic order, but also required the creation of a focused on the conditions

of social welfare demanded by the new doctrine of equality. Thus the

government as a tool of the state, is increasingly forced to accept

responsibility for the creation and distribution of positive wealth. In this

way, nearly all government in the world, has become a big organization,

both in its scope, as well as in the number of employees required to develop

its responsibilities, however, along with the growing number of civil

servants, also means increasing numbers of people (these employees) which

can be a victim of the regime's suppression through arbitrary manners.13

In connection with the purpose of the state of Indonesia, as stated in the

preamble of NRI 1945, experts said that the purpose of the State as it reflects

the type of state welfare laws. Welfare State theory laws is a mix between

the concept of the Rule of law and the welfare state into a more condensed

form of state law.14 State law is the State as the law is the basic rule and the

holding power in all its forms is done under the rule of law. While the

concept of the welfare state considers the state or the government does not

merely as guard security or public order, instead if advocates that the

executive, legislative and judicative bearers of authority bears the

13Miriam Budiarjo, Masalah Kenegaraan, (Jakarta :Gramedia, 1982), hal. 77-79 14Philipus. M. Hadjon,Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-Hak Asasi

Manusia, (Jakarta : Media Pratama, 1996) hal. 72

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

18

responsibility of realizing social justice, general welfare and the welfare of

the people.15

3. Challenges of Globalization

Indonesia's readiness to face the challenges of globalization should be

reinforced with internal reinforcement, the quality of human resources that

have global competitiveness must be improved. The government's role in

preparing it is essential, especially in the face of ASEAN single market in

2015, as an agreement to ensure sustainable development is beneficial. For

generations present and future and put the well-being and the livelihood and

welfare of the people as the center of the ASEAN community building

process. The regional cooperation provides an opportunity for Indonesia.

However, these opportunities can be exploited if Indonesia is able to meet

various requirements, including the ability of the state to prepare for the

ASEAN single market competition. If Indonesia is not prepared for the

single market, then it is very possible that the state will become a marketing

target of other ASEAN countries. The ability to compete will deteriorate

and opportunities for domestic businesses to compete regional level will be

very hard since small and medium-sized businesses often does not have

adequate requirement to start up. Baier and Bergstrand stated that human

resources is a long term strategy to defeat free trade competition. His

statement asserts that leaders will have the ultimate responsibility to

15Paul Spicker, Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths, (Cataylst Trust,

2002) hal. 37

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

19

determine the company's human resources as competitive advantage amid

rapid technological sophistication.16

Labor is among the sensitive sector being proposed in AEC, it is small

wonder that industrial owners need to improve their skills or their

competitive advantage in order to adjust and compete in the professional

community. Increased skills (skills upgrading) is a joint responsibility for

the government, professional institution and business. It is predicted that the

enactment of AEC 2015 will create free flow, whether implicitly or in

droves, of skilled labor between countries. Therefore, the concept of

services liberalization through reduction or barriers, should focus on the

movement of individual service providers, especially foreign workers who

provide specific expertise and comes to consumer countries. Boediono

commented “on the existence of foreign worker who are attracted by

numberous job opportunities that required specified advanced skills, with

flexibility on employment relationship in Indonesia"17 Based on the

understanding, despite the abundant laborers in Indonesia, most of them are

unskilled or at least being used as nominee figures in companies that are

actually run by foreigners in management level or owner. In many case, a

skilled workforce will provide a boon to consumer services as countries

have already agreed upon standards for various priority areas. Our current

national legislation has yet to accomodate the applicability of the foreign

16 Scott L. Baier and Jeffrey H. Bergstand, “Do free trade agreements actually increase

members' international trade?” Journal of International Economics Volume 71, Issue 1, 8

March 2007, Pages 72–95 17 Aprilian Hermawan, 20 Tahun Lagi Indonesia Kebanjiran Pekerja Asing, Kabar 24.com,

http://kabar24.bisnis.com/read/20101220/79/15749/20-tahun-lagi-indonesia-kebanjiran-

pekerja-asing, 20 Desember 2010.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

20

worker must comply with the provisions of legislation in force in

Indonesia.18

4. Efforts in Improving the Quality of Human Resources

With the acceleration of the qualified human resources, AEC member

states require various steps to dominate the regional economy in ASEAN

region especially in economic trade. Knowledge, development, and

localization of resources is a sound step in optimizing the competitiveness

of Indonesia. Emerging economic societies, higher education and

professional is in dire need of the knowledge of the AEC application among

Indonesia. The simple nature of economic trade is Indonesia should be

developed in order to cope with the electronic advances, especially the

government. Even so, there are several issues to be settled for AEC state

members:

a) Policy should be disseminated about AEC, for all levels of society;

b) Each district or city government shall enforce socialization at the district

and village level;

c) University should pursue a curriculum that is suited to AEC standards

to generate qualified graduates;

d) The government should pursue efforts to disseminate information

regarding applicable knowledge of AEC;

e) The government should create policies that enforce AEC for all related

stakeholders and apply sanction for offenders.

18Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta :Visimedia,

2010), hal. 4

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

21

Facilities supporting human resources needs to be put forward to

facilitate the government's desire to achieve the goal in the AEC competition

and so did the desire of its own for the advancement of human resources in

Indonesia. The facilities for the acceleration of human resource quality

comprises of:

a) The Government will facilitate a job training and other skills training

such as (research, technological development, innovation, etc).

b) Provide faculty or qualified trainers.

c) Establish a training cooperation with other countries, and provide

facilities to add science scholarships abroad.

d) Facilitate physical such as providing funds for the survival of human

resources quality improvement.

Facing AEC, Indonesians should keep in mind to conform to Article 28C

paragraph (1) Constitution NRI 1945 stating that "everyone has the right to

develop themselves through the fulfillment of basic needs, is entitled to

education and to benefit from science and technology, arts and culture, in

order to improve the quality of life and for the welfare of mankind." For that

reason, every Indonesians should be provided with the right to develop

themselves, to get an education in order to improve the quality of life and

well-being. This is in line with the objectives of AEC which was to empower

local employment, raise business efficiency and reserve domestic rights to

upgrade the skills or the quality of life to prosper. So it can compete with

skilled labor that goes into Indonesia without having to be a spectator or the

injured party in their own country. On the other hand, Labor Law have

mandated vocational training to the work force. It simply aimed to direct,

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

22

provide, improve, and develop job competence in order to improve the

capability, productivity, and prosperity.19

Job training carried out with regard to labor market needs and the

business world should be declared mandatory both inside and outside the

employment relationship. Workers has the right to obtain a proof of work

competence after following vocational training organized by vocational

training institutions at government, private, cooperation between higher

education entity-industry or even internal training in the workplace. The

recognition of work competence certification may also be followed

withpractical tuition for experienced practitioners or consultants. Job

competence is set out by a national body of certifications. From a regulatory

perspective, article 18 of the Labor Law stipulated the provision of job

competence certification as well as the formation of National Profession

Association. Furthermore, the provisions of Article 20 paragraph (1) and (2)

of Labor Law mandates the development of a national vocational training

system which is the hallmark of implementation of vocational training in all

areas and/ or sectors to support the improvement of job training in order to

manpower development. In addition, provisions concerning the form,

mechanism and institutional system of national job training are

supplemented by Government Regulation No. 31 Year 2006 on the National

Vocational Training System. Overall, the Labor Law mandates the

establishment national professional certification in order to provide

competency certification for workers. Job competence certification is the

process of awarding the certificates of competence are carried out

systematically and objectively through competency test referring to the

standards of competence Indonesian national and/or international.

19Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : PT.

Citra Aditya Bakti, 2009) hal. 27

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

23

The Ministry of Manpower and Transmigration Ministry which is in

charge of representing the government in creating a productive, competitive

and prosperous labor and community. Vocational Training is a program

under the auspices of Agency for Research, Development and Information

Sector Employment Issues, specifically under the Ministry of Manpower

and Transmigration. The program is directly related to the development of

human resources (HR), but the program has yet to receive any important

role in the development of national labor due to many obstacles.

The various solutions to overcome the obstacles in the provision of

training and job skills in Indonesia, as follows:

a) The Ministry of Education and Culture should work hand in hand with

the Ministry of Manpower and Transmigration in order to prevent the

frequent duplication of training;

b) Ministries/agencies and private agencies should conduct substantial

training with substance along with industries to generate real values for

graduates;

c) The Ministry of Manpower and Transmigration should create laws that

regulate clearly about the training, at least at government level

regulation as guidelines for;

d) Training Center Unit Technical Center of the Ministry of Manpower and

Transmigration, which concerns vocational, equipment and materials,

instructors, and the proportion of the budget plays a vocal point for the

implementation of the regional potential job skills training;

e) Job skills training program should be harmonized with productivity

improvement programs to create not only qualified human resource, but

also skillful worker that is attentive to the developing market.;

f) The development of productivity in the service requires a relatively large

area to be followed by an increase in service capacity (institutions,

instructors, methodology);

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

24

The company and the workforce should focus at job skills training for

workers as part of an investment and a necessity.

D. Indonesia's Readiness for AEC2015

1. Public Awareness

Despite the dominant role in improving the quality, it does not mean the

entire responsibility lies with the government. On the contrary, the

awareness from the impact of AEC will be felt directly by the community,

and may generate a separate independent responsibility to participate in

building the national economy. Labor issues will undoubtly become an

important issue since Indonesia enjoys one of the highest growing rate but

inadequate skills or specifications. A research by Amiti et. al. even

identified that only 10% of the workers have high school education and this

phenomenon actually inhibits country aiming to become a production base

since the cost became higher due to training employees or importing

trainers.

The flow of capital and investment from outside has limited dredge

crops and educated workforce into a spectator in his own country. For that,

it would be wise to consider Indonesian agricultural sector as Indonesia’s

main commodity in the AEC by way of strengthening the inter-regional

connectivity to be a part in the ASEAN level, and then at the global level.

In addition, every region should develop its unique and comparative

advantage, technological innovation and preparation of supporting

infrastructure in order to improve competitiveness, harmonization of

procedures, regulations, and standards that lead to improved quality and

food safety (referring to the AEC Blueprint), and socializing AEC down to

the grass-root level of society. Other issues to be addressed would be

intellectual property rights in ASEAN level, since the level of legal certainty

has never reached a convincing level. For example, Inter IKEA System B.V

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

25

lost a dispute with IKEA owned by PT Ratania Khatulistiwa and Ferrari

from Italia vs Ferrari Indonesia owned by PT. Bali Nirwana Garment. Both

cases lost due to the first to file principle as accorded in Article 61 paragraph

(2) (a), Law No. 15 Year 2001 on Trademark, whereas registered trademarks

which have been left dormant by its owner maybe delisted from the General

List of Trademark. Indonesia has yet to adopt a universal famous brand

standard in its intellectual property rights law, so legal standards deserved

more attention to create better advantage in regional level.

Indonesia is a country with the largest population in the ASEAN region.

It is also a heterogeneous country with various types of tribes, languages

and customs that spread from Sabang to Merauke. The state has a developed

good economic strength and highest growth in the world (4.5%) after the

People's Republic of China (PRC) and India. Such potency shall be a

necessary capital to prepare the people of Indonesia towards AEC 2015.

2. Strategic Recommendations for Indonesia

Strategic recommendations to prepare Indonesia faced AEC 2015 in an

effort to improve the quality of human resources needs support from various

stakeholders through a comprehensive effort expansion and intensification

Training Center to cover the still low labor competitiveness, the Institute for

Standardization Profession in Indonesia, which reached 78 needs to be

optimized through the adoption of international standards (ASEAN) applies.

Entrepreneurship movement national also necessary to increase noise and is

followed by an intensive program, especially for the movement of

entrepreneurship in the education sector (Universities-Academics), Small

and Medium Enterprises (SMEs) and industry groups to improve standards,

quality, and product design, as well as creativity and innovation in

developing the product.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

26

Ministry of Commerce in an effort to respond to the challenges of

globalization narrowly been preparing themselves for the effort to achieve

consumer protection and secure the domestic market by establishing the

Directorate General of Standardization and Consumer Protection through

the Minister of Trade No. 31 year 2010 has been enhanced with the

regulations of the Minister of Trade No. 57 Year 2012 on the Organization

and Administration of the Ministry of Trade with the mission of improving

the competitiveness of exports, increasing supervision and consumer

protection, and acts as the manager of policy and implementation of

development programs at once on trade security in the country.

Broadly speaking, the chances of Indonesia to meet AEC include

obtaining a potential market share of the world, as a Country of investment

opportunities as exporting countries, the liberalization of trade in ASEAN,

the demographic bonus is great, service sector which is open, and capital

flows more smoothly and continuously. While the challenges to be faced,

among others, the rate of increase in exports and imports more competitive,

increase in the rate of inflation, the negative impact of capital flows more

broadly, their similarities export products featured so as to be more creative

to find and manage superior products and the economic development level

is still diverse.

E. Conclusion

AEC 2015 is a program for ASEAN countries to improve economic

quality. AEC 2015 could be a blessing for Indonesia but at the same to be

disastrous. AEC could be disastrous if our agricultural products unable to

compete. State Government of Indonesia that protect the entire Indonesian

nation and the entire homeland of Indonesia and to promote the general

welfare, educating the nation, and participate in implementing world order

based on freedom, lasting peace and social justice. Paragraph 4 of the

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

27

preamble NRI 1945 above imply that, by adopting the task of the state in

organizing the general welfare, the establishment of various regulations in

the Republic of Indonesia is very important, the role of the state in charge

of social welfare in various fields as well as social justice organized through

the establishment of rules State. So that Indonesian workers are also

included in the government's responsibility to pay attention to well-being

that in this case the readiness to face competition from foreign labor.

Indonesia's readiness to face the challenges of globalization should be

prepared with internal reinforcement; the quality of human resources that

have global competitiveness must be improved. The government's role in

preparing it are essential especially in the face of ASEAN single market in

2015, as an agreement to ensure sustainable development is beneficial.

Indonesia is a country with the largest population in the ASEAN region.

A strategic recommendation to prepare to face AEC 2015 Indonesia needs

support from various stakeholders through a comprehensive effort

expansion and intensification Training Center. Profession Standards

Institution in Indonesia needs to be optimized through the adoption of

international standards (ASEAN) applies. Entrepreneurship movement

National also necessary to increase noise and is followed by an intensive

program, especially for the movement of entrepreneurship in the education

sector (Universities-Academics), Small and Medium Enterprises (SMEs)

and industry groups to improve standards, quality, and product design, as

well as creativity and innovation in developing the product.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

28

BIBLIOGRAPHY

Amiti Mary and, Donal R. Davis Trade, Firms, and Wages: Theory and

Evidence, Review of Economic Studies, Volume 79, Issue 1 Pp. 1-36

Anonymous. Ferrari menggugat Ferrari.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol 22297/ ferrari-

menggugat-ferrari, 15 Juni 2009.

Arifin, Sjamsul,et.all., Kerjasama Perdagangan Internasional : Peluang

dan Tantangan bagi Indonesia, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007

Asean Economic Community Blueprint, www.asean.org

Asean Vision 2020, http://www.asean.org/1814.htm

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Indikator Sosial Budaya 2003,

2006, 2009 dan 2012, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,

www.bps.go.id/tab_sub/view.php/tabel

Baier, Scott L. and Jeffrey H. Bergstand, Do Free Trade Agreements

Actually Increase Members' International Trade? Journal of International

Economics Volume 71, Issue 1, 8 March 2007.

Ioana Bianca Berna, The China-ASEAN Free Trade Area. Transferring the

Halfhearted Evidence, Knowledge Horizons-Economics. Vol 5:1, pp 48-55,

http://www.orizonturi. ucdc.ro/arhiva/ 2013 _KHE_PDF_Vol_5_SI_1/

KHE_Vol_5_SIss_1_48to55.pdf

Bhagwati, J., The World Trading System at Risk, Hertfordshire : Harvester

Wheatsheaf, 1991

Brotosusilo, Agus, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional

:Studi tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

29

Dalam Negeri melalui Undang-Undang Anti Dumping dan Safeguard,

Disertasi Universitas Indonesia, 2006

Djafar, Zainuddin,et.all,Peran Strategis Indonesia dalam Pembentukan

ASEAN dan Dinamikanya, Kajian Kebijakan Polugri RI, UKM

Regional, ImplikasiLiberalisasiPerdagangan, RealitasPiagam ASEAN

danEsensiKompetisi Regional, Jakarta : Universitas Indonesia (UI

Press), 2012

Gunadi, Ariawan danSerian Wijatno, Perdagangan Bebas dalam

Perspektif Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta : PT. Grasindo,

2014

Hew, Denis, Roadmap to an Asean Economic Community, Singapore :

Institute of Southeast Asian Studies, 2005

Hadjon, Philipus. M., Kedaulatan Rakyat, Negara HukumdanHak-

HakAsasiManusia, Jakarta : Media Pratama, 1996

Khakim, Abdul, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung

: PT. Citra Aditya Bakti, 2009

Kindleberger, Charles P., Government and International Trade, Essays in

International Finance No. 129, July 1978,

https://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E129.pdf

Luhulima, C.P.F., Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015, Jakarta: Pustaka

Pelajar bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, 2010

Mantra, Dodi, et.all., Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat

Ekonomi Asean 2015, Bekasi : Mantra Press, 2011

Messi, Nawir, Kompetisi menuju pasar bebas Asean, Jakarta :Kompetisi

Edisi 42, 2013

Pitoyo, Whimbo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta

:Visimedia, 2010

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

30

Soesastro, Hadidan Clara Joewono, The Insklusif Regionalist, Jakarta :

Centre For Strategic And International Studies Indonesia, 2007

Spicker, Paul, Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths,

Cataylst Trust, 2002

Valenta, Elisa IKEA kehilangan merek dagang di Indonesia, CNN

Indonesia http://www.cnn indonesia.com /ekonomi/ 20160207165056-

92 -109451/ikea-kehilangan-merek-dagang-di-indonesia/, 7 Februari

2016

Aprilian Hermawan, 20 Tahun Lagi Indonesia Kebanjiran Pekerja Asing,

Kabar 24.com, http://kabar24.bisnis.com/read/20101220/79/15749/20-

tahun-lagi-indonesia-kebanjiran-pekerja-asing, 20 Desember 2010.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

31

TINJAUAN KONSTRUKTIVISME POLITIK-HUKUM

INTERNASIONAL DALAM PERTIMBANGAN INDONESIA PADA

PEMBENTUKAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY

Najamuddin Khairur Rijal, S.IP., M.Hub.Int.

Abstract

ASEAN Political-Security Community (APSC) is one of the three pillars

of ASEAN Community. It is a proposal suggested from Indonesia in ASEAN

Summit Conference 2003 in Bali. APSC is an ASEAN’s states cooperation

efforts to create common security, regional peace and stability. This study

analyze about what is Indonesia’s consideration to suggest formation of

APSC. That proposal not only because Indonesia has strategic national

interest or because Indonesia want revert to be center of ASEAN, but

according to constructivism of international political-law, Indonesia also

has idiographic, purposive, ethical and instrumental consideration.

Keywords: ASEAN; ASEAN Political-Security Community; Indonesia;

constructivism; politic; international law

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

32

Pendahuluan

ASEAN Political-Security Community (APSC) merupakan salah satu

dari tiga pilar ASEAN Community, selain ASEAN Economic Community

(AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). APSC merupakan

upaya kerja sama negara-negara ASEAN dalam mewujudkan keamanan

bersama, perdamaian dan lingkungan yang stabil untuk memajukan ASEAN

sebagai organisasi regional. Jika pembentukan pilar AEC diusulkan oleh

Singapura dan Thailand sebagai dua negara ASEAN yang perekonomiannya

tergolong cukup maju, maka APSC merupakan konsep yang diajukan oleh

Indonesia.20

Dalam pandangan Indonesia, ancaman terorisme dan implikasinya

terhadap ASEAN merupakan salah satu alasan yang mendorong mengapa

ASEAN perlu mengembangkan APSC, yang bertujuan untuk meningkatkan

kerja sama politik dan keamanan antar negara anggota ASEAN.21 Sekalipun

perlu ditegaskan, bahwa APSC bukan hanya memberikan perhatian

terhadap terorisme sebagai ancaman bersama, melainkan kerangka APSC

mencakup seluruh aspek politik-keamanan yang menjadi tantangan kerja

sama regional ASEAN, termasuk masalah demokrasi dan Hak Asasi

Manusia (HAM).

Selain itu, konsep komunitas politik-keamanan yang dicanangkan

Indonesia juga mengetengahkan pengembangan suatu lingkungan yang adil,

20 Konsep APSC yang diajukan Indonesia banyak diilhami oleh tulisan Rizal Sukma

berjudul “ The Future of ASEAN: Towards a Security Community”. Paper dipresentasikan

dalam seminar ASEAN Cooperation: Challenges and Prospects in the Current

International Situation. New York, 3 Juni 2003. Lihat dalam CPF. Luhulima, et al.,

Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar

bekerjasama dengan P2P LIPI, 2008), hal. 90. 21 Bambang Cipto, Hubungan Internasional Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika,

Realitas dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 81.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

33

demokratis dan serasi (harmonious) serta penegakan hak-hak dan kewajiban

asasi manusia. Dengan mengetengahkan demokrasi dan HAM, Indonesia

memperluas keamanan komprehensif dari regime security (keamanan

negara dan pemerintahan) ke human security (keamanan manusia/warga

negara).22 Artinya, Indonesia ingin mendorong kerja sama politik-keamanan

tidak hanya berfokus pada upaya membangun hubungan damai antar negara

tetapi juga mencegah terjadinya kekerasan di dalam negeri.23 Hal itu

menunjukkan bahwa Indonesia ingin menciptakan APSC yang tidak saja

state oriented tetapi juga people oriented. Mengingat ASEAN acapkali

dikritik sebagai organisasi regional yang hanya memberi ruang bagi

pemerintah (state oriented) tanpa keterlibatan warga negara Asia Tenggara.

Pertanyaan yang menarik kemudian adalah apa yang menjadi

pertimbangan Indonesia mengusulkan pembentukan APSC sebagai salah

satu pilar ASEAN Community? Jawaban pertanyaan tersebut tentu bukanlah

sekadar memberikan argumen bahwa Indonesia memiliki kepentingan

strategis (national interest) dalam APSC ataupun karena Indonesia

berupaya kembali mengetengahkan dirinya sebagai center of ASEAN.

Namun lebih jauh dari itu, ada faktor-faktor dan pertimbangan yang

mendorong Indonesia menekankan pentingnya pembentukan APSC sebagai

kerangka kerja sama ASEAN guna menjadi organisasi regional yang kokoh

dan stabil. Tulisan ini selanjutnya berusaha menjawab pertanyaan di atas

dengan mendasarkan analisis pada pandangan perspektif konstruktivis

dalam politik-hukum internasional untuk menganalisis alasan atau

pertimbangan Indonesia mengusulkan pembentukan ASPC.

22 CPF. Luhulima, Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar

bekerjasama dengan P2P LIPI, 2011), hal. 316. 23 CPF. Luhulima, et al., op.cit.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

34

Perspektif Konstruktivisme dalam Politik Hukum Internasional

Dalam studi politik-hukum internasional, terdapat tiga pendekatan

untuk melihat hubungan antara politik internasional dan hukum

internasional.24 Pertama adalah pendekatan realisme yang melihat politik

sebagai perjuangan untuk mencapai kekuasaan materiil di antara negara

berdaulat. Kedua, pendekatan liberal institusional yang diasosiasikan

sebagai kelompok rasionalis memaknai politik sebagai ladang permainan

strategis (strategic game) para aktor sebagai instrumen untuk

memaksimalkan keuntungan atau kepentingannya. Hukum internasional,

dalam pandangan ini, dipandang sebagai seperangkat aturan untuk

menyelesaikan masalah kerja sama dalam sebuah tatanan dunia yang anarki.

Ketiga, pendekatan konstruktivis yang menekankan bahwa politik

merupakan bentuk tindakan yang terbentuk secara sosial, hukum sebagai

pusat struktur normatif yang menentukan suatu tindakan aktor yang

terlegitimasi dan dapat dibenarkan.

Lebih lanjut, dalam pandangan konstruktivis, tindakan negara tidak

sepenuhnya hanya didasarkan pada motif-motif politik, ekonomi, dan

militer ataupun didasarkan pada maksimalisasi keuntungan di bawah

tatanan dunia yang anarki dengan pertimbangan untung rugi, melainkan

juga bagaimana aspek normatif, ideasional, dan identitas menjadi penting

dalam membentuk tindakan dan perilaku negara.25 Untuk itu, pandangan

24 Christian Reus-Smit, The Politics of International Law (United Kingdom: Cambridge

University Press, 2004), hal 15. 25 Dalam Deni Meutia dan Yoga Suharman, Pembentukan Piagam ASEAN: Tinjauan

Konstruktivisme Politik Hukum Internasional, Makalah, hal. 5-6. Dipresentasikan dalam

Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di HI

UMM pada 8-10 Oktober 2012.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

35

konstruktivis menawarkan tiga preposisi penting dalam kajian politik-

hukum internasional, sebagaimana dijelaskan Christian Reus-Smit.26

Pertama, dalam membentuk tindakan dan perilaku negara serta aktor

lainnya, struktur normatif dan ideasional dipandang sama pentingnya

dengan struktur material. Menurutnya, tindakan atau respons suatu negara

tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan material, tetapi juga faktor

kepercayaan intersubjektif yang membentuk identitas aktor dan

kepentingannya.27 Kedua, untuk memahami perilaku negara dan aktor

lainnya, perlu memahami bagaimana kondisi identitas sosial mengonstruksi

kepentingan dan tindakan mereka. Ketiga, konstruktivis menekankan

pentingnya kekuatan konstitutif dari struktur normatif dan ideasional yang

muncul ketika terjadi praktek diskursus antara agen sosial yang saling

berpengetahuan sehingga mereka sama-sama sadar akan perlunya

perubahan-perubahan transformatif.28

Lebih lanjut, dalam konteks konstruktivisme politik-hukum

internasional, Reus-Smit mengajukan empat alasan atau faktor penentu

tindakan aktor dan proses terbentuknya institusi modern politik-hukum

internasional, yaitu idiographic, purposive, ethical dan instrumental.29

Pertama, pertimbangan idiographic, yakni ketika aktor menghadapi

pertanyaan ‘who am I?’ atau ‘who are we?’ atau mengenai identitas yang

dimiliki. Kedua, pertimbangan purposive, berhubungan dengan pertanyaan

26 Christian Reus-Smit, op.cit., hal 21-22. 27 Alexander Wendt, “Constructing International Politics,” 1995, International Security,

hal. 73; AlexanderWendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge

University Press, 1999) hal. 92-138; dan AlexanderWendt and Raymond Duvall,

“Institutions and International Order,” dalam Ernst-Otto Czempiel and James N. Rosenau

(eds.), Global Changes and Theoretical Challenges: Approaches to World Politics for the

1990s (Lexington: Lexington Books, 1989), hal. 60. Dikutip dalam ibid, hal. 22. 28 Alexander Wendt, “The Agent Structure Problem in International Relations Theory,”

1987, International Organization, dalam ibid. 29 Ibid, hal. 25

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

36

‘what do I want?’ atau ‘what do we want?’. Aspek ini berhubungan dengan

proses pembentukan kepentingan atau preferensi serta tujuan yang

diharapkan.

Ketiga, pertimbangan ethical, berhubungan dengan pertanyaan ‘how

should I act?’ atau ‘how should we act?’ yaitu berkaitan dengan norma dan

standar moral yang menuntun perilaku negara serta apa yang harus

dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Keempat, pertimbangan instrumental

yang berkaitan dengan pertanyaan ‘how do I get what I want?’ atau ‘how do

we get what we want?’ yakni bagaimana negara bisa mendapatkan apa yang

ingin mereka capai. Elemen ini berkorelasi dengan metode atau instrumen

apa yang digunakan. Keempat elemen tersebut selanjutnya akan digunakan

untuk menjelaskan perilaku atau pertimbangan Indonesia dalam

mengusulkan kerangka APSC sebagai satu pilar dalam ASEAN

Community.

Sejarah Perkembangan APSC

Tujuan utama ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi ASEAN

di Bangkok ialah membentuk suatu wilayah politik dan keamanan bersama

dan dalam usaha itu mendamaikan persengketaan antar negara-negara di

Asia Tenggara.30 Persengketaan yang melibatkan negara-negara Asia

Tenggara pada waktu itu seperti sengketa perbatasan dan teritorial, konflik

etnis dan permusuhan yang memunculkan gerakan separatis,

pemberontakan komunis, prasangka agama serta ketakutan negara kecil

terhadap negara besar. Untuk itu, negara-negara Asia Tenggara berupaya

30 Berdasarkan Pasal 1 ASEAN Charter, terdapat 15 tujuan dari ASEAN yang menyangkut

aspek politik, keamanan, ekonomi ataupun sosial-budaya. Baca ASEAN Secretariat,

ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), hal. 3-5.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

37

untuk mengelola persengketaan tersebut menuju pembentukan suatu tatanan

regional Asia Tenggara atas dasar sistem ekonomi dan sosial masing-

masing dan status quo teritorial.31

Jadi sesungguhnya, sejak awal dibentuknya, ASEAN sudah merupakan

komunitas keamanan (security community) karena semangat awal

didirikannya adalah guna menyelesaikan berbagai problem keamanan yang

lebih banyak menyangkut hubungan bilateral. Apalagi butir penting awal

pembentukan ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Bangkok

ditujukan untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia

Tenggara.

Dalam perkembangannya, tahun 1971 ASEAN kemudian

melembagakan ASEAN sebagai suatu community of security interest

melalui Deklarasi Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) untuk

memperluas wilayah keamanan atau pembentukan wilayah penyangga

keamanan Asia Tenggara. Menurut Luhulima, deklarasi ZOPFAN sejatinya

adalah ekspresi dari ketidaksetujuan ASEAN untuk membolehkan negara-

negara besar, seperti China, Jepang, Uni Soviet dan Amerika Serikat

melibatkan diri secara tidak terbatas di wilayah Asia Tenggara.32

Dengan demikian, perhatian ASEAN terhadap masalah dan isu-isu

keamanan adalah merupakan perhatian utama. Sejak awal berdirinya

ASEAN, diperlukan suatu tatanan keamanan yang memungkinkan untuk

melangsungkan kerja sama di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta

bidang lainnya. Untuk itu, dalam rangka mendukung dan mewujudkan

berbagai tujuan dan cita-cita ASEAN, negara-negara ASEAN kemudian

menyadari pentingnya kerangka legal formal dalam kerja sama keamanan.

31 CPF. Luhulima, op.cit., hal. 303. 32 Ibid, hal. 304.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

38

Maka lahirlah ide pembentukan komunitas keamanan ASEAN melalui

APSC.

Pembentukan APSC merupakan suatu upaya untuk mewujudkan Asia

Tenggara yang damai dan stabil. Ide pembentukan APSC pertama kali

muncul pada Konferensi Tingkat Tinggi (KKT) ke-9 di Bali tahun 2003. Ide

APSC tersebut merupakan salah satu dari tiga pilar ASEAN Community.

Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) selanjutnya menandai

awal terbentuknya ASEAN Community yang berusaha diwujudkan pada

2020, kemudian dipercepat menjadi akhir tahun 2015.

Lebih lanjut, meskipun sebagai komunitas yang berarti negara-negara

ASEAN digiring dalam common identity, namun norma-norma kerja sama

APSC tetap berpegang teguh pada prinsip kedaulatan nasional, non-

intervensi, integritas teritorial, identitas nasional, prinsip non-kekerasan

dalam penyelesaian konflik, penolakan senjata nuklir dan senjata pemusnah

massal, serta menghindari perlombaan senjata (arms race) di kawasan Asia

Tenggara.33 Selain itu, komunitas keamanan juga harus tetap mencegah

terjadinya persengketaan antar sesama negara ASEAN dan antara negara

ASEAN dengan negara non-ASEAN, mencegah eskalasi konflik hingga

berujung pada konflik terbuka dan berupaya mencari langkah penyelesaian.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku ASEAN Selayang Pandang, bahwa

APSC bersifat terbuka, berdasarkan pendekatan keamanan komprehensif

dan tidak ditujukan untuk membentuk suatu pakta pertahanan atau aliansi

militer maupun kebijakan luar negeri bersama (common foreign policy).

APSC juga mengacu kepada berbagai instrumen politik ASEAN yang telah

ada seperti ZOPFAN, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama Negara-Negara

ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) dan

33 Ibid, hal. 324.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

39

Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Treaty on Southeast Asia

Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ), selain menaati Piagam PBB dan

prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya.34

Elemen Konstruktivisme Indonesia dalam Pembentukan APSC

APSC merupakan konsep yang diajukan oleh Indonesia dalam Bali

Concord II yang menandai terbentuknya ASEAN Community. Dalam

pandangan konstruktivisme, terdapat empat faktor atau pertimbangan yang

mendasari perilaku Indonesia terkait usulan pembentukan APSC.

Bagaimana keempat faktor tersebut menjelaskan perilaku Indonesia dalam

kerangka konstruktivisme?

1. Faktor Idiography

Identitas Indonesia sebagai salah satu negara pendiri ASEAN selain

Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand menempatkan Indonesia

sebagai salah satu negara yang memiliki peran penting dalam

perkembangan ASEAN. Terlebih, Indonesia pernah menjadi episentrum

ASEAN sehingga adanya APSC diharapkan mampu kembali

mengetengahkan posisi Indonesia yang perlu diperhitungkan dalam

kerangka kerja sama ASEAN.

Selain karena alasan di atas, kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia

merupakan negara kepulauan dan negara terbesar di Asia Tenggara. Dengan

jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia serta keragaman etnis dan

budaya, Indonesia membutuhkan suatu situasi yang aman dan stabil untuk

memelihara keutuhan wilayah dan masyarakatnya. Situasi stabil tersebut

34 Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, ASEAN Selayang Pandang. Edisi ke-19 (Jakarta:

Sekretariat ASEAN, 2010), hal. 31-32.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

40

hanya dapat dicapai melalui kerja sama keamanan yang komprehensif.

Agenda keamanan dibutuhkan Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan

negara kesatuan yang multikultur tersebut.

Beberapa alasan lain mengapa Indonesia mengambil prakarsa

mengusulkan konsep APSC dikemukakan oleh Rizal Sukma.35 Pertama,

sejak reformasi 1998 yang membawa Indonesia menjadi negara demokrasi,

agenda demokrasi dan HAM menjadi isu utama dalam kehidupan berbangsa

yang ikut memengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga, sebagai

negara demokrasi yang mensyaratkan adanya penghargaan terhadap HAM,

Indonesia memandang perlunya ASEAN menyusun instrumen tersebut

guna lebih peduli pada komunitas masyarakat ASEAN (people oriented),

setelah selama ini lebih bersifat state oriented.

Kedua, pengalaman Indonesia dalam menghadapi kekerasan di Timor

Timur pada 1999 dan ketidakberdayaan ASEAN mengambil peran utama,

mendorong Australia lebih mendominasi dengan menempatkan pasukan

keamanan internasional. Hal ini sesungguhnya menjadi pelajaran bagi

ASEAN untuk lebih berperan dalam memelihara perdamaian regional tanpa

melibatkan negara di luar kawasan Asia Tenggara.

Ketiga, Indonesia berpendapat bahwa setelah ASEAN Free Trade Area

(AFTA) mulai diimplementasikan serta disetujuinya usul Singapura tentang

ASEAN Economic Community, kerja sama ASEAN lebih banyak didominasi

oleh isu ekonomi. Sementara kerja sama di bidang politik-keamanan kurang

mendapat perhatian. Padahal keamanan merupakan prasyarat utama

terwujudnya regionalisme Asia Tenggara yang kondusif. Untuk itu, konsep

APSC diajukan Indonesia sebagai payung kerja sama keamanan ASEAN

menuju terwujudnya Komunitas ASEAN. Menurut Severino, harus diakui

35 Dalam CPF. Luhulima, et al., op.cit., hal. 90-92.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

41

pula bahwa selama ini Indonesia lebih menaruh perhatian terhadap masalah

politik-keamanan dalam ASEAN daripada masalah ekonomi. Hal itu karena

Indonesia menyadari merasa kalah bersaing di bidang ekonomi

dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura dan

Malaysia.36

2. Faktor Purposive

Elemen purposive mengapa Indonesia berada di garda depan dalam

memajukan konsep APSC adalah menyangkut mengenai what do Indonesia

want? Indonesia mendorong kerja sama keamanan melalui APSC adalah

dalam upaya membangun hubungan damai antar negara anggota. Dengan

situasi damai selanjutnya memungkinkan setiap negara anggota dapat

mengembangkan kerja sama bilateral maupun multilateral serta

meneguhkan kohesivitas ASEAN.

Sasaran kerja sama keamanan dalam upaya menciptakan situasi damai

itu diarahkan pada upaya menangkal persengketaan di antara sesama negara

anggota maupun negara anggota dengan non-anggota, mencegah eskalasi

persengketaan itu menjadi konflik. Jika seandainya konflik tidak

terhindarkan, kerangka kerja sama APSC akan membatasi ruang lingkup

konflik tersebut sekecil mungkin dan perlu segara mengambil langkah-

langkah untuk mengatasinya. Pencegahan itu dilakukan dengan

pembangunan kepercayaan, diplomasi preventif, dan kerja sama dalam

masalah keamanan konvensional dan non-konvensional.37

36 Lihat Rodolfo C. Severino, Southeast Asian in Search of an ASEAN Community. Insights

from the Former ASEAN Secretary General (Singapura: ISEAS, 2006), khususnya Bab 7.

Dalam ibid, hal. 92. 37 Ibid, hal. 39.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

42

Lebih jauh dari itu, APSC diharapkan tidak hanya mengedepankan

hubungan damai antar negara tetapi juga hubungan damai di dalam negeri

masing-masing negara anggota. Untuk itu, demokrasi dan perlindungan

terhadap HAM dipandang Indonesia perlu dimajukan guna mencegah

terjadinya kekerasan di dalam negeri. Dengan mengetengahkan demokrasi

dan HAM, Indonesia memperluas konsep keamanan dari keamanan

pemerintahan (regime security) ke keamanan manusia (human security).

3. Faktor Ethical

Elemen ethical menjadi landasan norma moral yang menjadi

pertimbangan Indonesia dalam mengusulkan APSC. Transformasi ke

human security yang ditekankan dalam APSC melalui demokrasi dan HAM

sesungguhnya merupakan bagian integral dalam mengamankan kehidupan

bangsa-bangsa ASEAN. Menurut Hassan Wirajuda, nilai-nilai demokrasi

dan HAM perlu dibina karena nilai-nilai tersebut akan sangat mengurangi

sumber-sumber konflik baik antar negara maupun intra negara.38

Pengamanan hidup manusia (human security) dalam payung demokrasi dan

HAM akan sekaligus mengamankan kehidupan bangsa-bangsa ASEAN

karena keamanan manusia mencakup seluruh spektrum keamanan yang

sangat luas.

Lebih lanjut, kerangka komunitas keamanan yang diusulkan Indonesia

sesungguhnya tidaklah beranjak dari apa yang dipraktikkan selama ini oleh

ASEAN melalui prinsip ASEAN Way. Prinsip-prinsip tidak tertulis dalam

ASEAN Way itu adalah menentang kekerasan dan mengutamakan solusi

damai (pembuatan keputusan melalui konsensus), otonomi regional, prinsip

38 Dalam Lokakarya IV ASEAN Regional Mechanism on Human Rights di Jakarta pada 17

Juni 2008. Dalam CPF. Luhulima, op.cit., hal. 206.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

43

tidak mencampuri urusan negara lain (non-intervensi), menolak

pembentukan aliansi militer dan menekankan kerja sama bilateral

(penyelesaian konflik secara damai).39

Selain itu, APSC tetap berpegang pada norma-norma yang telah

disepakati bersama. Antara lain upaya confidence building measure (CBM),

preventive diplomacy dan conflict resolution. Serta, traktat-traktat yang

telah diterima bersama seperti Treaty of Amity and Cooperation (TAC),

Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dan traktat Southeast

Asian Nuclear Weapons Free Zone (SEANWFZ).

4. Faktor Instrumental

Elemen terakhir pendekatan konstruktivis dalam politik-hukum

internasional adalah pertanyaan mengenai bagaimana mencapai apa yang

diinginkan. Dalam konteks ini, bagaimana mencapai harapan yang

Indonesia usulkan melalui pembentukan APSC. Draf yang diusulkan

Indonesia dalam APSC sesungguhnya lebih banyak mengandung ide

orisinal yang cukup radikal.40

Instrumen yang ditawarkan adalah perlunya pendefinisian prinsip non-

intervensi secara lebih fleksibel. Hal itu dimaksudkan agar negara anggota

lebih terbuka terhadap saran dan keterlibatan para anggota lainnya apabila

ada masalah yang bersifat lintas batas atau menimbulkan krisis

kemanusiaan. Selain itu, Indonesia mengusulkan perlunya mendirikan

39 Lebih lanjut baca Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast

Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order (Landon: Routledge, 2001), hal. 45. Baca

dalam Bambang Cipto, op.cit., hal. 23. 40 Dalam CPF. Luhulima, et al., op.cit., hal. 96.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

44

mekanisme regional perlindungan HAM agar ASEAN memajukan

demokrasi dan HAM.

Ide lainnya adalah perlunya pembentukan pasukan perdamaian regional

sehingga ASEAN memiliki kemampuan untuk memainkan peran aktif

dalam pemeliharaan perdamaian dan post-conflict peace building. Indonesia

juga menambahkan perlunya suatu tata aturan pemeliharaan perdamaian

regional atau regional peace keeping arrangement serta pembentukan

lembaga-lembaga pendukung bagi upaya penyelesaian konflik.41 Selain itu,

Indonesia juga mengusulkan diadakannya kerja sama maritim tingkat

regional dan peningkatan kerja sama di bidang pertahanan serta ASEAN

Extradition Treaty.42

Namun kemudian, beberapa usul Indonesia yang diajukan di KTT Bali

tahun 2003 itu mendapat penentangan dari beberapa negara anggota

ASEAN karena dinilai melangkah terlalu jauh. Mengenai ide pembentukan

pasukan perdamaian dipandang terlalu premature. Kerangka APSC yang

akhirnya disetujui juga tidak secara eksplisit berbicara tentang komitmen

memajukan demokrasi dan HAM, sehingga tampak bahwa ASEAN tidak

mengalami pergeseran kerja sama politik-keamanan menjadi people

oriented.

Akan tetapi, dalam Vientiane Action Programme (VAP) pada 2004 yang

merumuskan rencana aksi APSC, sebagian usul awal Indonesia yang semula

ditolak berhasil dimasukkan kembali. VAP berhasil menyelipkan beberapa

butir tentang demokrasi dan HAM secara lebih terbuka. Serta adanya

kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ASEAN dalam bidang

41 Ibid. Lihat juga CPF. Luhulima, op.cit., hal. 205. 42 Semua ide-ide yang dikemukakan di atas tertuang dalam makalah Rizal Sukma. Lihat

juga Mely Caballerro-Anthony, Regional Security in Southeast Asia (Singapura: ISEAS,

2005), hal. 270-272. Baca CPF. Luhulima, et al., op.cit.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

45

pertahanan dan keamanan maritim serta rencana untuk melibatkan ASEAN

dalam post-conflict peace building.43

Penutup

Secara teoritik, pendekatan konstruktivisme memberikan sudut pandang

alternatif dalam melihat realitas hubungan internasional dan politik-hukum

internasional. Pendekatan ini memandang bahwa usul pembentukan APSC

oleh Indonesia bukanlah semata-mata didasari oleh kepentingan material

dan pertimbangan untung rugi melainkan dapat dianalisis berdasarkan

elemen identitas, normatif-ideasional dan moral.

Dalam konteks pembentukan APSC, konstruktivisme memandang

bahwa terdapat empat elemen yang memberikan kerangka guna

menganalisis perilaku Indonesia sebagai peletak dasar ide pembentukan

APSC. Pertimbangan Indonesia didorong oleh elemen idiography

(identitas) bahwa Indonesia membutuhkan situasi yang aman dan stabil

guna memelihara keutuhan wilayah dan masyarakat yang multikultur.

Selain itu, karena sejak memasuki alam demokrasi pascareformasi 1998

Indonesia menyadari pentingnya pembangunan nilai-nilai demokrasi dan

penegakan HAM sebagai upaya mewujudkan perdamaian yang tidak hanya

berbasis negara tetapi juga masyarakat (people oriented).

Elemen identitas tersebut didukung oleh tujuan untuk mengembangkan

kerja sama bilateral maupun multilateral serta meneguhkan kohesivitas

ASEAN dengan adanya situasi yang aman dan stabil. Selain itu, dengan

adanya komunitas keamanan, berbagai persengketaan antar negara anggota

ASEAN dan dengan negara non-ASEAN dapat diselesaikan. Sebab, salah

43 Ibid, hal. 104-105. Untuk lebih lengkap mengenai kerangka kerjasama APSC yang telah

disepakati baca ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security Community Blueprint

(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009).

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

46

satu tantangan utama ASEAN sejak awal berdirinya adalah adanya

sengketa-sengketa baik teritorial maupun sosial-budaya yang menghambat

kerja sama ASEAN.

Dalam upaya mewujudkan hal di atas, elemen ethical memberikan

kerangka moral berdasarkan prinsip ASEAN Way yang selama ini dipelihara

seperti prinsip non-intervensi, pembuatan keputusan melalui konsensus,

otonomi regional dan kedaulatan nasional serta penyelesaian konflik secara

damai tanpa kekerasan. Adapun elemen instrumental sebagai elemen

terakhir untuk melihat perilaku Indonesia, menyediakan cara untuk

mencapai tujuan yang diharapkan berdasarkan elemen moral yang ada.

Pembentukan APSC diwujudkan dengan terbukanya perhatian pada

masalah demokrasi dan HAM untuk menciptakan keamanan regional dan

domestik. Serta adanya kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama

ASEAN dalam bidang pertahanan dan keamanan maritim serta rencana

untuk melibatkan ASEAN dalam post-conflict peace building. Terakhir,

dalam upaya mewujudkan komunitas keamanan melalui APSC dan ASEAN

Community secara umum, negara anggota dan masyarakat ASEAN perlu

membangun we feeling (rasa kekitaan) yang terwujud melalui one identity,

one vision dan sense of community.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

47

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN Secretariat. ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008)

ASEAN Secretariat. ASEAN Political-Security Community Blueprint

(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009)

Cipto, Bambang. Hubungan Internasional Asia Tenggara: Teropong

terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007)

Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang. Edisi

ke-19 (Jakarta: Sekretariat ASEAN, 2010)

Luhulima, CPF., et al. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas

ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P

LIPI, 2008)

Luhulima, CPF. Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015 (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P LIPI, 2011)

Meutia, Deni dan Yoga Suharman. Pembentukan Piagam ASEAN: Tinjauan

Konstruktivisme Politik Hukum Internasional. Makalah

dipresentasikan dalam Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu

Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di HI UMM pada 8-10

Oktober 2012.

Reus-Smit, Christian. The Politics of International Law (United Kingdom:

Cambridge University Press, 2004)

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

48

URGENSI DIBENTUKNYA BADAN PERADILAN KHUSUS

LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN BADAN PEMBERSIH

SAMPAH ANTARIKSA (SPACE DEBRIS)

Sofian Ardi

Abstract44

Drastic changes in some elements of the environment caused by

human activities, organizations, public and private businesses, as well as

countries, has recently become a big concern of mankind and nations,

among others, global warming as a serious threat. Additionally,

international environmental law is a very broad subject that affects many

areas, such as labor, trade, energy, sovereignty, international fisheries law,

health, international treaty law, and human rights. While courts that exist

today is less able to handle effective international environmental problems

that occur. Therefore, a new special international judicial bodies are

needed, namely the International Environmental Court (IEC) and it is also

expected to have a jurisdiction that is not owned by a national court to

address the international environment damage. In addition, the problem of

space debris as results from the human activities in aerospace become a

44 Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Dipatiukur Nomor 35 Bandung,

[email protected]

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

49

serious concern in international environmental issue too. The absence of a

special body to handle space debris is an urgency in international legal

framework besides the need to set up an International Environmental Court.

Keywords: International Environmental, International Environmental

Court, Space Debris

A. LATAR BELAKANG

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup

bersama dengan benda tak-hidup lainnya.45 Adalah suatu kenyataan bahwa

setiap bagian lingkungan hidup, menjadi bagian wilayah suatu negara atau

berada di bawah l ingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan. Setiap bagian

lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan (a wholeness) yang tidak

dapat dipisah-pisahkan dari satu sama lain, membentuk satu kesatuan

tempat hidup yang disebut lingkungan hidup.

Perubahan drastis beberapa unsur lingkungan hidup yang diakibatkan

oleh kegiatan manusia, organisasi bisnis, serta negara-negara, belakangan

ini menjadi perhatian besar umat manusia, serta menimbulkan reaksi keras

kelompok tertentu, terutama ekolog. Hakikat hukum lingkungan

internasional adalah meningkatkan kualitas ekosistem dari derajat rendah ke

derajat yang lebih tinggi. Hukum internasional memerlukan pendekatan

yang representatif, yang mampu mengkaji masalah-masalah yang timbul

akibat kegiatan internasional yang beraspek lingkungan, baik lingkungan

hidup dalam porsi sebagai bagian wilayah suatu negara maupun sebagai

bagian satu kesatuan ekosistem bumi yang utuh, yang tersusun dalam

45 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1991, hlm.48

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

50

struktur sistem komponen yang saling terkait dan mempengaruhi.46

Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan

dunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup,

mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang

perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.47

Masyarakat internasional menyadari bahwa langkah-langkah segera

perlu diambil untuk melindungi planet bumi dengan mengingat keadaan

bumi sekarang ini. Pemanasan global sebagai salah satu ancaman paling

serius terhadap lingkungan saat ini dan mempengaruhi baik tanaman dan

hewan dengan penipisan ozon yang terus berlanjut. Keanekaragaman hayati

terus menurun karena banyak spesies tanaman dan hewan terancam punah

oleh eksploitasi dan kegiatan industrial manusia. Asam hujan, deforestasi,

polusi sumber daya air menimbulkan ancaman yang serius. Bahkan, bumi

sudah dianggap sebagai satu tubuh yang saling berhubungan di bawah

tekanan, dalam kondisi yang lemah, dan dengan kemampuan terbatas untuk

mempertahankan kerusakan yang terjadi.48

Selain itu, luar angkasa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan pula

dengan lingkungan hidup yang juga merupakan sumber daya yang sangat

berguna; dengan meluncurkan Hobble, satelit dan lain sebagainya kita bisa

menggunakan televisi, GPS, mobile phone, ramalan cuaca, observasi, dan

lain sebagainya, karena itu kita perlu melestarikannya.49 Berkembangnya

ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa, dan dengan hasil di satu

46 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional¸Reflika,

Bandung, hlm. 5. 47 J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 1999, hlm.3. 48 Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court : Its Broad Jurisdiction as a Possible

Fatal Flaw”, Hofstra Law Review, Vol 32, 2003, hlm 737 49 Sampah Benda di Luar Angkasa Sulit Di Atasi, diakses dari

http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716, pada tanggal 07 Juni 2015 pukul

20:30 WIB.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

51

pihak maupun meningkatkan kesejahteraan manusia akan tetapi di lain

pihak juga menjadi alat pemusnah dan di tambah lagi dengan dampak-

dampaknya terhadap lingkungan hidup, telah menyadarkan manusia bahwa

hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi itu memerlukan perangkat

hukum. Perangkat hukum ini diharapkan dapat mengatur agar segala hasil

ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan tanpa merugikan manusia dan juga

lingkungan di mana dia hidup.50

Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum sebagai

keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam

masyarakat, juga meliputi lembaga dan proses untuk mewujudkan asas dan

kaidah tersebut dalam kenyataan. Kemudian, hakikat dan karakter

lingkungan hidup demikian itu membutuhkan sistem hukum yang mampu

menyerap sifat khas lingkungan hidup ke dalam pendekatan dan materinya

yang berfungsi melindungi dan meningkatkan kualitas fungsi dari setiap

komponen ekosistem. Dengan mengkaitkan pengertian hukum menurut

Mochtar Kusumaatmadja, sistem hukum yang dimaksud salah satunya

adalah lembaga peradilan di bidang hukum lingkungan yang berfungsi

untuk mewujudkan keseluruhan asas dan kaidah lingkungan hidup itu

sendiri.

Mengingat keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan sebelumnya

hanyalah merupakan awal dari daftar panjang masalah lingkungan global

yang membutuhkan solusi. Untuk melindungi dan melestarikan lingkungan

dunia, kerjasama internasional tidak diragukan lagi sangat dibutuhkan.

Sejumlah ahli menyatakan bahwa pengadilan internasional untuk

lingkungan perlu dibuat karena pengadilan internasional yang ada tidak

cukup siap untuk berurusan dengan kerugian lingkungan yang besar seperti

sekarang ini dan yang perlu menjadi perhatian pula ialah terkait perlunya

50H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003, hlm xxi

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

52

suatu badan khusus yang menangani sampah ruang angkasa (space debris)

sebagaimana disebutkan diatas.

B. PEMBAHASAN

1. Badan Peradilan yang Menangani Masalah Lingkungan

Internasional Saat Ini

Hukum Lingkungan Intenasional, disamping berkembang sebagai

cabang hukum yang berdiri sendiri, juga berkembang melalui cabang-

cabang hukum internasional khusus, seperti space law, law of the sea,

sebagai konsekuensi dari keberadaan bagian-bagian tertentu dari

lingkungan hidup sebagai bagian ruang lingkungan yang masuk kedalam

skup objek pengaturan cabang-cabang hukum tersebut.51 Dalam hukum laut

internasional, termasuk mengenai persoalan terhadap kewajiban negara

untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, UNCLOS 1982

mengatur prosedur penyelesaian sengketa yang bersifat formal dan

mengikat, salah satunya yaitu melalui ICJ (International Court of Justice).52

Yurisdiksi Mahkamah dapat dilaksanakan melalui salah satunya

berdasarkan statuta, bahwa yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa

yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan

dalam Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau

konvensi-konvensi internasional yang berlaku.53 Yurisdiksi dari ICJ ini

dapat dikatakan sangat luas, sehingga segala persoalan lingkungan hidup,

karena belum memiliki badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, dapat

diserahkan untuk diselesaikan oleh ICJ.

51 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm.16 52 Lihat Pasal 287 UNCLOS 1982 53 Lihat Pasal 36 ayat (1) Statuta ICJ

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

53

Dalam proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Internasional

bersifat pasif artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan

bila ada pihak-pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional.

Dengan kata lain, Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif

terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara

terdapat 2 tugas Mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat

kewenangan memberi nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara

yang wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan

oleh negara-negara (contensious case). Sebenarnya, hanya negara sebagai

pihak yang boleh mengajukan perkara kepada Mahkamah Internasiona

sehingga perseorangan, badan hukum, serta organisasi internasional tidak

dapat menjadi pihak untuk berperkara ke Mahkamah internasional. Namun

demikian berdasarkan Advisory Opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah

Internasional secara tegas menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa

merupakan pribadi hukum yang dapat mengajukan klaim internasional atau

gugatan terhadap negara. Advisory Opinion ini telah membuka kesempatan

kepada PBB untuk menjadi pihak dalam perkara kontradiktor (contentious

case).

Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional

bukanlah merupakan kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif.

Artinya negara dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat

melalui berbagai cara lain seperti saluran diplomatik, mediasi, arbitrasi, dan

cara-cara lain yang dilakukan secara damai. Dengan demikian penyelesaian

perkara yang diajukan ke Mahkamah Internasional bersifat pilihan dan atas

dasar sukarela bagi pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan

Pasal 33 (1) Piagam PBB. Meskipun Mahkamah Internasional merupakan

organ utama PBB dan anggota PBB otomatis dapat berperkara melalui

Mahkamah Internasional, namun dalam kenyataannya bukanlah merupakan

kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada badan peradilan ini.

Perkembangan hukum internasional khususnya mengenai pengajuan

kasus-kasus ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

54

dalam lima tahun terakhir ini telah menghadapi babak baru. Paling tidak

perhatian terhadap kasus-kasus yang menyangkut persoalan lingkungan

hidup khususnya sumberdaya alam telah menjadi agenda penting, walaupun

dalam kasus-kasus terdahulu hanya merupakan bagian dari kasus mengenai

sengketa perbatasan. Hal ini dapat diketahui bahwa Mahkamah

International telah menerima dua kasus penting yang berkaitan dengan

masalah lingkungan hidup khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya

alam yaitu Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v.

Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia).

Mengingat kedua kasus ini memiliki karakteristik tersendiri maka dengan

pertimbangan Pasal 26 Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk The

Chamber of Environmental Dispute pada tanggal 19 Juli 1993. Namun

pembentukan kamar sengketa ini hanya berlaku bagi kewenangan untuk

memeriksa perkara kontradiktor sehingga tidak berlaku dalam persidangan

advisory opinion.

Sebenarnya kasus lingkungan hidup dalam arti luas pernah ditangani

oleh Mahkamah Internasional Permanen (PICJ) seperti dalam Diversion of

the Waters of the River Meuse dan Territorial Jurisdiction of the

International Commission of the River Oder Case 1929. Demikian juga

dengan Mahkamah yang telah beberapa kali menangani sengketa yang

bersinggungan dengan masalah lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam

Chorfu Channel Case (UK v. Albania) 1949, Nuclear Test Cases, Gulf of

Maine Case (USA v. Canada) 1984, Fisheries Jurisdiction Case, dan

beberapa kasus mengenai landas kontinen dan perbatasan.

Sengketa lingkungan internasional yang diselesaikan oleh lembaga

internasional di atas adalah sifatnya damai, tetapi belum ada proses

pengadilan internasional tentang kerusakan lingkungan oleh perang seperti

kehancuran lingkungan di Nagasaki dan Hiroshima dalam Perang Dunia II

(1945), Perang Vietnam (1967-1975) yang menimbulkan kebutaan

penduduk dan rusaknya alam karena Amerika Serikat menggunakan gas

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

55

Agent Orange. Selain itu pula, Perang Iran-Irak (1980-1988), Perang Teluk

I (1990-1991) yang menghancurkan ladang-ladang sumur minyak, serangan

militer Israel ke Lebanon (2006) yang mengakibatkan pencemaran Laut

Merah (Red Sea), dan agresi militer AS ke Irak sejak tanggal 20 Maret 2003

(Perang Teluk II) yang menimbulkan banyak korban warga sipil dan

kehancuran terhadap lingkungan hidup di Irak.54

2. Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus mengenai

Lingkungan Internasional

Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkembang dengan

pesat nampaknya Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk

menyesuaikan perkembangan zaman. Hal ini dapat terlihat dengan adanya

perkembangan demokratisasi khususnya tuntutan negara-negara baru sejak

berakhirnya Perang Dunia II. Selain itu partisipasi masyarakat global

melalui berbagai kegiatan internasional semakin nyata dengan makin

berperannya Non-Governmental Organization (NGO), indigenous people,

asosiasi-asosiasi dan berbagai kelompok kepentingan yang menuntut

adanya hak-hak yang sama. Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang

nyata dimana batas-batas negara semakin menipis dan semakin

berkembanganya organisasi-organisasi yang memiliki karakter

internasional yang kuat. Karena itu sebagian ahli menuntut adanya lembaga

peradilan internasional yang mampu menangani berbagai persoalan global

yang tidak terbatas pada kepentingan negara saja.

Pada bulan Agustus 2002, United Nations Environment Programme

(UNEP) menjadi tuan rumah selama tiga hari dari World Summit on

Sustainable Development di Johannesburg bersama hakim-hakim dunia

54 Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Unpad Press, Bandung, 2011, hlm.46

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

56

terkemuka. Disana disimpulkan bahwa keadaan rapuh lingkungan global

saat ini memerlukan pengadilan, sebagai ‘primary guardian of the rule of

law’ untuk berani dan tanpa rasa takut menegakkan hukum lingkungan

nasional dan internasional. Kejahatan lingkungan seperti perdagangan ilegal

kayu, perdagangan spesies yang terancam punah, dan penanganan limbah

berbahaya telah didiskusikan. Saran yaitu mulai dari pelatihan program

untuk hakim domestik dan internasional dalam ilmu lingkungan dan

kebijakan untuk pembentukan pengadilan internasional untuk lingkungan

yang baru, telah didiskusikan pula sebagai solusi untuk masalah koordinasi

dan penegakkan yang sulit terhadap dari lebih dari lima ratus perjanjian oleh

badan peradilan yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibuatnya

peradilan yang kuat untuk menerapkan hukum lingkungan adalah suatu

kebutuhan saat ini.55

Beberapa pendapat ahli menyatakan sebagai berikut, yaitu seperti: “…

supporters will need to show that existing international and national

judicial for are inadequate for resolution of international environmental

disputes”.56 Selain itu terdapat pula pendapat ahli lain, yaitu:

“… As evidence mounts that the planet is increasingly experiencing serious

environmental consequences caused by a history of human activity, a call

has been made to introduce a new international judicial body to the existing

international courts and tribunals: an International Environtmental Court

(IEC)… Advocates of the new court cite uncertain environmental

jurisdiction in existing courts and tribunal to address in the environmental

expertise of judges in the existing courts.”57

55 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.729 56 Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International Environmental Court”, George

Washington Journal International Law and Economy, Vol 32, hlm 333 57 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm 727

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

57

Dari kedua pendapat ahli tersebut menyatakan bahwa terbukti saat ini

menunjukkan bahwa bumi ini semakin serius ancaman bahaya oleh kegiatan

manusia dan pengadilan nasional maupun internasional yang ada sudah

tidak memadai lagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan

internasional sehingga dibutuhkan badan peradilan internasional tersendiri

yang baru, yaitu Mahkamah Lingkungan Internasional (International

Environmental Court atau IEC). Selain itu, memang diperlukannya pula

pembentukan suatu peradilan internasional khusus untuk memproses

sengketa lingkungan karena marak dari adanya pelanggaran atau kejahatan

terhadap lingkungan hidup, mengingat mahkamah atau pengadilan

internasional yang dapat menangani kasus-kasus lingkungan tersebut dinilai

sudah tidak memadai lagi.

Dalam beberapa tahun terakhir, keberhasilan terbatas dalam

menegakkan aturan hukum lingkungan internasional terhadap negara-

negara yang melanggar telah menyebabkan panggilan untuk pembentukan

pengadilan lingkungan internasional atau International Environmental

Court (IEC) yang mampu mengeluarkan keputusan yang mengikat dan

dapat dilaksanakan terhadap negara-negara tersebut. Para ahli pendukung

dari pembentukan pengadilan baru ini, yang diperkirakan akan dibentuk

oleh perjanjian internasional yang dibuat antara negara-negara, perlu untuk

meyakinkan pemerintah negara-negara pada dua poin penting.58 Pertama,

ahli pendukung perlu menunjukkan bahwa forum peradilan internasional

dan nasional yang ada tidak memadai untuk penyelesaian sengketa

lingkungan hidup internasional. Kedua, harus menunjukkan bahwa jika

aspek forum peradilan yang ada tidak memadai, sehingga tidak dapat

diperbaiki untuk dapat memuaskan sesuai harapan, sementara pada saat

58 Sean D. Murphy, Loc.Cit.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

58

yang sama penciptaan pengadilan baru dibutuhkan untuk menghindari

kekurangan tersebut.

Para ahli pendukung pengadilan baru ini percaya beberapa isu saat ini

dalam hukum lingkungan internasional akan diselesaikan dengan

menciptakan International Environmental Court (IEC). Isu ini termasuk: (1)

kekurangan keahlian, kesadaran, dan sumber daya lingkungan; (2) masalah

efisiensi; (3) tidak adanya preseden yang jelas dalam hukum lingkungan

internasional; (4) masalah dengan aksesibilitas untuk beberapa entitas di

pengadilan saat ini; dan (5) kurangnya penegakan hukum dan yurisdiksi.59

Sejumlah ahli menyatakan bahwa dibentuknya pengadilan baru karena

terdapatnya ketidakpastian yurisdiksi lingkungan di pengadilan yang ada

saat ini untuk mengatasi kerusakan serius lingkungan internasional, dan

kekurangan dalam keahlian hakim di pengadilan dalam bidang lingkungan

internasional. Hukum lingkungan internasional adalah subjek yang sangat

luas yang mempengaruhi banyak bidang, seperti tenaga kerja, perdagangan,

energi, kedaulatan, hukum perikanan internasional, kesehatan, hukum

perjanjian internasional, dan hak asasi manusia. Sementara pengadilan yang

ada tidak menangani secara efektif dengan masalah lingkungan

internasional seperti diatas. Masalah pada pengadilan yang ada sekarang ini

yaitu60 termasuk kurangnya sumber daya, kesulitan untuk

mentransformasikan perjanjian internasional menjadi hukum nasional, dan

kurangnya kesadaran. Masalah ini terutama terjadi pada negara-negara

berkembang. Selain itu tekanan lingkungan global, menunjukkan bahwa

pengenalan IEC sebagai badan hukum internasional dibenarkan dan

memang diperlukan. Segala kesulitan yang mengganggu pada pengadilan

59 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.739 60 Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should There Be One?”, Touro Journal

International Law, Vol 31, 1992, hlm.52

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

59

internasional sekarang ini dapat diselesaikan atau minimum dapat diperbaiki

dengan menciptakan badan peradilan internasional yang baru.

Diluar perspektif lingkungan dalam hukum internasional, Indonesia saat

ini pun belum memiliki lembaga peradilan yang secara khusus menangani

perkara-perkara sengketa lingkungan. Dilihat dari permasalahan

sengketanya, isu-isu lingkungan merupakan permasalahan yang rumit

penanganannya. Hal itu bisa dilihat dari proses pembuktian maupun

kepentingan yang ada di balik konflik lingkungan. Apalagi, jika sengketa

tersebut melibatkan entitas privat atau perusahaan di dalamnya. Sistem

peradilan lingkungan yang akan dibangun harus memperhatikan hal-hal

yang spesifik mengenai persoalan tersebut. Selama ini, perkara yang

menyangkut soal lingkungan lebih sering masuk dalam ranah proses perdata

dan administrasi di pengadilan. Kendati demikian, dalam konteks peradilan,

masyarakat dapat mengujinya dalam sebuah wadah peradilan khusus

lingkungan, mengingat jumlah kasus mengenai isu-isu lingkungan yang

signifikan jumlahnya. Pengadilan lingkungan bisa menjadi bagian dari

usaha pemerintah dalam rangka menyediakan akses terhadap keadilan,

termasuk di dalamnya keadilan lingkungan bagi masyarakat. Dengan

dibentuknya pengadilan lingkungan diharapkan menjadi satu pemacu dalam

rangka menciptakan ruang untuk memperbaharui kebijakan lingkungan

hidup di Indonesia.

3. Urgensi Dibentuknya Badan Khusus Pembersih Sampah Antariksa

(Space Debris)

Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas

wilayahnya. Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada

sebuah dalil Hukum Romawi yang berbunyi “cujus est solum, ejus est usque

ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

60

demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah

tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.61

Menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra

yaitu darat, laut, dan udara. Wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah

daratan, dan wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

negara di darat dan dilaut. Hal ini tercermin dalam Pasal I Paris Convention

for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919 yang mengakui

kedaulatan negara penuh di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut

teritorialnya. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas

jaraknya secara vertikal (usque ad coelum) yang kemudian dibatasi dengan

adanya pengaturan tentang ruang angkasa.62

Dewasa ini frekuensi peluncuran-peluncuran satelit semakin meningkat

dimana negara-negara bersaing keras meluncurkan satelit-satelit ke

angkasa. Amerika Serikat dengan NASA-nya telah menciptakan pesawat

ulang-alik yang dapat membawa beberapa satelit sekaligus ke angkasa,

menempatkan di orbitnya, serta kembali ke bumi. Pesawat ulang-alik ini

dapat digunakan kembali untuk program peluncuran satelit berikutnya.

Soviet pun tidak kalah aktifnya dalam proyek ruang angkasanya. Proyek

Soyuz, Sputnik serta Cosmos-nya bukan hal yang asing lagi. Indonesia

dengan bantuan Amerika Serikat, telah meluncurkan satelit komunikasi

pertamanya, PALAPA A-1, pada tahun 1970an. Ini menandakan pula bahwa

Indonesia sejak tahun itu telah turut serta dalam era pemanfaatan ruang

angkasa.63

61 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung,

2011, hlm.137 62Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003,

hlm 194 63 Huala Adolf., Op.Cit., hlm.143

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

61

Bukan hanya di bumi saja manusia membuat sampah dalam jumlah yang

besar, di luar angkasa manusia juga mengotorinya dengan sampah dengan

melihat tingginya frekuensi kegiatan keruangangkasaan manusia pada saat

ini. Berbagai benda yang diluncurkan manusia ke luar angkasa menjadi

benda tak berguna. Sampah antariksa adalah benda buatan yang mengitari

bumi selain satelit yang berfungsi. Sampah ini bisa berupa bekas roket

(rocket bodies), serpihan (debris) dan lain-lain. Jika dirata-ratakan, satu

sampah antariksa jatuh setiap hari sejak awal peluncuran satelit tahun 1957.

Kebanyakan sampah ini berupa pecahan roket atau satelit yang habis

terbakar di atmosfer. Hanya sepertiga dari 20 ribuan sampah yang jatuh

berukuran cukup besar sehingga mampu bertahan sampai ke permukaan

bumi. Benda-benda tersebut umumnya jatuh di daerah tak berpenduduk

sehingga tidak membahayakan.64

Kasus-kasus tabrakan antarsatelit di ruang angkasa atau satelit yang

sudah menjadi sampah dan dampak buruknya ke bumi harus menjadi

perhatian masyarakat internasional sebagai langkah antisipasi mekanisme

penyelesaian sengketa lingkungan internasional karena kegiatan itu

mengandung risiko tinggi bagi lingkungan dan manusia di bumi. Masalah

sampah antariksa bukan saja mengkhawatirkan bagi keselamatan wahana

antariksa, tetapi juga kemungkinannya untuk jatuh ke permukaan bumi.

Semakin rendah posisi orbit satelit atau sampah antariksa, semakin cepat

akan jatuh ke permukaan bumi.

Contoh kasus jatuhnya sampah ruang angkasa ke permukaan bumi yaitu

jatuhnya sampah ruang angkasa (space debris) Cosmos 954 milik Uni

Soviet pada tahun 1979 yang menyadarkan masyarakat internasional untuk

diatur lebih lanjut dalam hukum internasional karena peristiwa itu dapat

menimpa siapa saja di dunia yang merugikan negara lain baik berupa

64 Sampah Antariksa, diakses dari http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampah-

antariksa-64, pada tanggal 08 Juni 2015 pukul 17:38 WIB.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

62

terjadinya kerusakan lingkungan hidup maupun korban manusia. Cosmos

954 jatuh di wilayah Nortwest Territories Provinces of Alberta dan

Saskatchewan Kanada yang menimbulkan kerugian bagi Kanada karena

adanya sampah radioaktif berbahaya yang merusak lingkungan dan harta

benda masyarakat di sekitar jatuhnya space debris tersebut.65 Pecahan

Cosmos 954 itu berbobot sekitar 65 Kg dan mengandung sekitar 3.500

partikel radioaktif. Tingkat radiasi partikel tersebut sangat bervariasi dari

ribuan sampai jutaan dari satu rontgen/jam. Beberapa diantaranya memiliki

sifat sangat mematikan. Satu pecahan berukuran tidak terlalu besar, 25 mm

x 15 mm x 10 mm, memiliki radiasi sampai 500 rontgen/jam dimana cukup

untuk membunuh manusia dalam beberapa jam sejak mengalami kontak

pertama.Ddata tersebut hanyalah data tentang dampak langsung (acut

impacts) dari jatuhnya Cosmos 954, dan Kanada belum memperhitungkan

dampak tidak langsungnya (cronic impacts).66

Atas permasalahan tersebut perlu adanya implementasi yang nyata dari

prinsip pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang

angkasa termasuk oleh benda-benda ruang angkasa agar kelestarian

lingkungan tetap terjaga (sebagaimana diatur dalam Pasal IX Space Treaty).

Berbeda dengan bumi yang memiliki petugas kebersihan dan bagian daur

ulang sampah, sayangnya diluar angkasa tidak ada regu pembersih, sampah

dibiarkan mengorbit terus menerus di luar angkasa.

Walaupun telah terdapat hukum internasional yang mengatur mengenai

pertanggungjawaban atas kerusakan yang diakibatkan oleh space objects

yaitu Convention on International Liability for Damage Caused by Space

Objects 1972, namun tetap diperlukan adanya upaya pencegahan atas

kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh benda-benda ruang angkasa atau

65 Idris, Op.Cit., hlm. 130-131. 66 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm. 51.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

63

wahana antariksa. Akibat semakin bertambahnya populasi sampah antariksa

menyebabkan sulit ditemukannya lokasi jatuhnya sampah tersebut sehingga

perlu adanya upaya pencegahan dengan suatu mekanisme yang dilakukan

oleh manusia untuk membersihkan sampah antariksa tersebut. Negara

peluncur wahana antariksa harus melakukan pemantauan wahananya

tersebut, karena hanya negara peluncur yang mengetahui masa orbit dari

setiap space objects yang diluncurkannya. Negara peluncur harus terus-

menerus memantau keberadaan sampah antariksa dan memetakannya.

Upaya tersebut selanjutnya dapat dilakukan dengan mengirimkan misi yaitu

dengan membentuk Badan Pembersih Sampah Antariksa untuk

mengumpulkan sampah antariksa dan menghancurkannya menjadi serpihan

kecil sehingga mengurangi kebahayaannya. Terlebih penting yaitu adanya

kerja sama di antara negara-negara dalam mengurangi dampak lingkungan

akibat jatuhnya sampah antariksa yaitu dengan alih teknologi dan kontribusi

biaya dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang demi

terjaganya kelestarian lingkungan hidup di Bumi ini.

C. Penutup

Beberapa kasus lingkungan hidup khususnya yang dikategorikan

sebagai common heritage of mankind diharapkan akan lebih menjadi

perhatian Mahkamah Internasional di masa mendatang. Hanya saja usulan

reformasi di dalam tubuh Mahkamah Internasional seperti pemberian

kesempatan kepada Non-Governmental Organization (NGO) yang

mewakili lingkungan hidup untuk memiliki locus standi hingga kini belum

dapat diterima. Hal ini dikarenakan masih kuatnya doktrin yang menyatakan

bahwa hanya negara sajalah yang dapat berperkara dalam Mahkamah

Internasional. Karena itu ada beberapa kasus yang menyangkut persoalan

sumberdaya alam diselesaikan oleh badan-badan di luar Mahkamah

Internasional seperti GATT/WTO, Mahkamah Eropa (European Court of

Justice), World Bank dll.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

64

Pengadilan nasional dan internasional yang ada tidak memadai lagi

untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan internasional karena

bukti menunjukkan bahwa bumi ini makin seriusnya ancaman bahaya oleh

aktivitas manusia, sehingga diperlukan badan peradilan internasional baru,

yaitu Pengadilan Lingkungan Internasional (International Environmental

Court/IEC) dan pengadilan khusus itu diharapkan mempunyai yurisdiksi

yang tidak dimiliki oleh pengadilan nasional terhadap kerusakan lingkungan

internasional.

Manfaat lain dari dibentuknya sebuah IEC akan memberikan kepada

masyarakat internasional meliputi: aksesibilitas terhadap berbagai aktor;

pembentukan badan hukum lingkungan internasional yang konsisten;

keputusan yang lebih cepat dalam menangani masalah dan perselisihan;

biaya yang lebih rendah dari perkara sengketa lingkungan internasional; dan

penegakan perjanjian yang lebih baik dalam bidang lingkungan. Pengadilan

ini dapat lebih memungkinkan penggugat untuk membawa gugatannya

kepada entitas non-negara yang saat ini dilarang menjadi pihak dalam

hukum Internasional. Begitupun dengan dibentuknya badan khusus yang

menangani sampah ruang angkasa (space debris) menjadi suatu kebutuhan

mengingat dampak dari kegiatan keruangangkasaan manusia yang

meningkat menjadi perhatian serius bagi lingkungan maupun kehidupan

manusia di bumi. Dengan dibentuknya badan peradilan khusus lingkungan

internasional dan badan khusus menangani sampah ruang angkasa (space

debris) ini tentunya memperkuat kerangka hukum internasional di bidang

lingkungan sehingga upaya-upaya yang gencar digalakkan saat ini untuk

menjaga lingkungan hidup oleh banyak negara menjadi lebih kuat dan

melengkapi.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

65

DAFTAR PUSTAKA

Buku

- Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional,

Bandung:Keni Media, 2011

- Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional

Perspektif Bisnis Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, 2003

- Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Bandung:

Unpad Press, 2011

- J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta

, 1999

- Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, Pengantar Hukum

Internasional, Bandung: Alumni, 2003

- Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,

Jakarta: Djambatan, 1991

- Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara,

Fikahati Aneska, Jakarta, 2003

Artikel Ilmiah

- Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should

There Be One?”, Touro Journal International Law, Vol 31, 1992

- Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International

Environmental Court”, George Washington Journal International

Law and Economy, Vol 32, 2000

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

66

- Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court :

Its Broad Jurisdiction as a Possible Fatal Flaw”, Hofstra Law

Review, Vol 32, 2003

Website:

- http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampah-

antariksa-64

- http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

67

PERLINDUNGAN HUKUM MEREK TIDAK TERDAFTAR

DI INDONESIA

Dr. Rika Ratna Permata, S.H., M.H. dan Muthia Khairunnisa S.H.

Abstract

A trademark performs as a sign that is capable of distinguishing the

goods or services of another, as a guarantee for qualification and it should

have a unique name. However, the trademark needs to be protected from

the other parties to use their mark without permission. Indonesia applies the

constitutive system, which is protect the first person to register their mark.

It means the law gives the protection only for the first person who register

their mark. Based on that they get an exclusive right and show that they are

the real mark owner. Sometimes the owner of the mark, such as UMKM

which is not registering their mark, because they do not know about the

registration and has a minimum capital. This situation also protects the bad

faith registration and gives the wrong protection. The trademark protection

mechanism in America does not use the registration system. America uses

the protection based on the use as a practical, which is should fullfilled the

requirements, like it should be used in commerce or intend to be used in

commerce. Indonesia should adopt the American protection system, which

is giving double protection, either by registration or by using that trademark

in practical. This is to minimize the disputes rising between the owner of the

mark with the other parties using the mark without permission.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

68

Keywords:

Well-known mark, unregistered mark, protection

PENDAHULUAN

Merek mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai badge of origin, a

piece of personal property, dan sebagai cultural resource. Merek sebagai

badge of origin, merupakan hak penting dalam perdagangan dan

memperlihatkan hubungan erat antara barang, jasa dan orang yang

mempunyai merek tersebut dengan asal barang, sedangkan personal

property, mempunyai arti bahwa merek merupakan aset bagi pemilik merek,

sehingga pemilik merek dapat menjual merek tersebut karena memiliki nilai

ekonomi, sedangkan merek sebagai cultural resource, yaitu merek dapat

dikaitkan dengan budaya suatu negara, misalnya Barbie sebuah produk

boneka yang merepresentasikan budaya Amerika.67

Menurut Abdul Kadir, merek mempunyai fungsi:68

1. Sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang

dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau

badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya.

2. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksi

cukup dengan menyebut mereknya.

3. Sebagai jaminan atas mutu barang.

67 Patricia Loughlan, Intellectual Property:Creative and Marketing Rights, Sydney, 1998,

hlm. 18. 68 Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung

:Citra Aditya, 2001, hlm. 32.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

69

4. Menunjukan asal barang atau jasa yang dihasilkan.

Menurut Cassavera, merek merupakan aset kondisional69, bahwa merek

harus menghasilkan manfaat berupa nilai finansial bagi para pemiliknya dan

merek harus selalu dikaitkan dengan suatu produk atau jasa. Dari hal

tersebut diatas maka produk atau jasa merupakan bentuk nyata dari suatu

merek.

Merek harus mempunyai kriteria tertentu yaitu:70

1. Sign;

2. Which can be represented graphically; and

3. Which is capable to distinguishing the goods and service of one

undertaking from those of undertakings.

Jadi merek harus mempunyai suatu tanda yang merepresentasikan secara

jelas seperti keadaan sebenarnya dan dapat membedakan bahwa barangnya

adalah berbeda dengan benda atau jasa lainnya.

Schachter mengemukakan bahwa Merek sebagai salah satu dari HKI

merupkaan tanda pembeda harus mempunyai single rational basis adalah

untuk menjaga keunikan sebuah merek, maka merek harus dilindungi

sebagai species of property. Ini mempunyai maksud bahwa pemilik merek

harus dilindungi ketika mereknya digunakan oleh pihak lain.

Hak yang diberikan pada Merek71, yaitu hak eksklusif guna mencegah

pihak ketiga tanpa izinnya untuk mempergunakan merek yang sama atau

69 Cassavera, Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta:Graha Ilmu, Cetakan

Pertama, 2009, hlm. 7. 70 Lionel Bently, Bred Sherman, Intellectual Property Law, New York: Oxford University

Press, 2001, hlm. 760. 71 Achmed Zen Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung:Alumni, Cetakan

ke III, hlm. 73.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

70

mirip dalam kegiatan perdagangan dan dalam hal demikian “a likelihood of

confusion shall be presumed”.

Fungsi merek menurut The Chicago School, adalah bahwa:72

“Trade mark serve two efficiency enhancing functions: first,

trademarks lessen consumer search cost by making product and

producers easier to identify in the market place, and second trademarks

encourage producers to invest in quality by ensuring that they, and not

their competitors, reap the reputation realted rewards of that

investment”.

Fungsi merek di atas akan menimbulkan perlindungan hukum terhadap

merek yang bersifat territorial. Perlindungan hukum terhadap pemilik merek

Indonesia merupakan suatu kewajiban apabila merek tersebut didaftarkan

dan ini merupakan perlindungan yang bersifat preventif. Prinsip ini dikenal

dalam hukum merek Indonesia sebagai sistem pendaftaran konstitutif, yaitu

bahwa pendaftaran memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek yang

sah dan dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila terjadi peniruan merek

miliknya oleh pihak lain tanpa izin.

Pendaftaran merek tersebut dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-

Undang Merek (UUM). Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa pendaftaran harus

diajukan oleh pemohon yang beritikad baik juga pendaftaran merek tidak

diperbolehkan mengandung hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan

umum dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa

yang dimohonkan pendaftrannya.

72 Barton Bee, “The Semiotic Analysis of Trade Mark Law”, UNCLA Law Review, 2004,

hlm. 623.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

71

Dengan sistem pendaftaran merek konstitutif maka yang dilindungi

adalah pendaftaran pertama, tetapi pada kenyataannya pemilik merek tidak

mendaftarkan mereknya karena ketidaktahuan dan minimnya mereka akan

sistem pendaftaran yang menjadikan syarat mutlak bagi timbulnya hak,

sehingga pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya sering

dirugikan dan dipergunakan oleh pihak lain tanpa izin tetapi dia

mendaftarkan mereknya.

Kasus yang akan dibahas adalah pemilik merek Sinar Laut dengan

merek Sinar Laut Abadi dimana pemilik merek tidak mendaftarkan

mereknya sehingga didaftarkan oleh pihak lain dengan suatu itikad buruk.

Perbandingan yang akan diteliti adalah pengaturan pendaftaran merek di

Amerika Serikat dimana perlindungan merek diatur dalam Lanham Act,

yang mengartikan bahwa merek termasuk setiap kata, nama, simbol dan

kombinasi ketiganya yang dipergunakan oleh setiap orang, dimana orang

tersebut mempunai kehendak dan dipergunakan dalam perdagangan dan

didaftarkan agar mendapat perlindungan juga untuk membedakan bahwa

produk barang dan jasanya adalah berbeda dengan produk barang dan jasa

orang lain.

Merek di Amerika mempunyai fungsi sebagai sesuatu yang

mengindikasikan keaslian (indication of origin), sehingga merek

mempunyai fungsi sebagai jaminan terhadap barang dan jasa sehingga

konsumen yakin akan barang yang dibeli, juga dengan melalui iklan merek

merupakan suatu upaya barang yang dibeli, juga dengan melalui iklan

merek merupakan suatu upaya untuk membentuk dan mempertahankan

permintaan pasar, sehingga pemilik merek harus melindungi investasinya

dari tindakan yang dilakukan pihak ketiga tanpa izin.

Hak merek diperoleh dibawah hukum Amerika dengan melalui

penggunaan. Pendaftaran di Amerika tidak diwajibkan untuk memperoleh

hak merek. Pendaftaran hanya memperoleh keuntungan prosedural

termasuk hak yang diperoleh, yaitu hak eksklusif bagi pemilik merek untuk

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

72

menggunakan merek diluar Amerika sebagai suatu yang tercantum dalam

pendaftaran. Aplikasi pendaftaran merek dapat diisi berdasarkan asas itikad

baik untuk menggunakan merek, dan tidak ada pemilik merek di Amerika

yang memperoleh pendaftaran tanpa pemakaian merek didalam

perdagangan antar negara yang berkaitan dengan barang dan jasa.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk

meneliti beberapa permasalahan yang timbul, di antaranya:

1. Bagaimana sistem pendaftaran yang dianut di Amerika Serikat?

2. Sistem pendafataran yang bagaimana yang dapat diterapkan bagi

pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya di Indonesia?

Dari penelitian ini diharapkan memperoleh kegunaan praktis, yaitu

untuk dapat memberikan masukan aspek hukum dan manfaat bagi

masyarakat luas, praktisi, juga aparat penegak hukum untuk mendapat

kepastian hukum dalam kasus-kasus yang timbul khususnya kasus merek

yang tidak terdaftar, dan mendorong terciptanya perlindungan hukum bagi

pemilik merek yang tidak terdaftar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perlindungan Merek di Amerika Serikat

Merek sebagai salah satu wujud dari kekayaan intelektual memiliki

peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan

jasa dalam kegiatan perdagangan barang dan investasi. Merek dengan brand

image-nya dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau

daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas

produk atau jasa dalam suasana perdagangan bebas. Oleh karena itu, merek

merupakan aset individu maupun perusahaan yang dapat menghasilkan

keuntungan besar, tentunya bila didayagunakan dengan memperhatikan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

73

aspek bisnis dan proses manejemen yang baik. Demikian pentingnya

peranan merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum yakni

sebagai objek yang terhadapnya terkait hak-hak perorangan atau badan

hukum73

Perlindungan hukum menurut Bently and Sherman adalah ;74

a. Pendapat mengenai justifikasi kreatifitas masih menjadi perdebatan

dalam dunia HKI, namun sebuah pendapat yang penting memandang

perlindungan merek sebagai imbalan kreatifitas atas invensi. Dengan

demikian, hukum merek mendorong produksi akan produksi

produk-produk bermutu dan secara berlanjut menekan mereka yang

berharap dapat menjual barang-barang bermutu rendah dengan cara

memanfaatkan kelemahan konsumen untuk menilai mutu barang

secara cepat. Usaha untuk membenarkan perlindungan merek

dengan argumentasi kreatifitas adalah suatu hal yang lemah,

sebagian karena pada saat hubungan antara barang dengan merek

dipicu dan dikembangkan oleh pedagang, namun peran yang sama

besarnya justru diciptakan oleh konsumen dan masyarakat.

b. Informasi ini merupakan justifikasi utama perlindungan merek,

karena merek digunakan dalam kepentingan umum sehingga

meningkatkan pasokan informasi kepada konsumen dan dengan

demikian meningkatkan efisiensi pasar merek merupakan cara

singkat komunikasi informasi kepada pembeli dilakukan dalam

rangka membuat pilihan belanja. Dengan melindungi merek, lewat

pencegahan pemalsuan oleh pihak lain, maka akan menekan biaya

belanja dan pembuatan keputusan. Belanja dan pilihan dapat

73Cita Citrawinda, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia, makalah disampaikan pada

seminar KI Dan Penegakan Hukumnya, yang diselenggarakan di Jakarta, 19 September

2001. 74http//:wordpress.com /tag/hak merek-Indonesian trademark-law-hki/

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

74

dilakukan secara lebih singkat, karena seorang konsumen akan yakin

merek yang dilihatnya memang berasal dari produsen yang

diperkirakannya. Peran iklan dalam dunia industri yang makin

dominan menjadikan perlindungan merek menjadi semakin penting.

c. Etis argumentasi utama perlindungan merek didasarkan pada

gagasan fairness atau keadilan (justice). Secara khusus prinsipnya

adalah seseorang tidak boleh menuai lebih dari yang ditanamnya.

Secara lebih khusus, bahwa dengan mengambil merek milik orang

lain, seseorang telah mengambil keuntungan dari nama baik

(goodwill) yang dihasilkan oleh pemilik merek yang asli. Kaitannya

ke lingkup yang lebih luas dari kegiatan perdagangan adalah

perlindungan dari persaingan curang dan pengayaan diri yang tidak

adil.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa merek mempunyai nilai ekonomis

sehingga diharuskan diberikan perlindungan agar tidak dimanfaatkan oleh

pihak lain tanpa izin dari pemilik merek.

Menurut Sunaryati Hartono, dengan adanya teori insentif yang

merupakan hasil dari teori reward maka akan merangsang para pihak untuk

mencipatakan karya-karya intelektual baru, lebih bervariasi sehingga akan

menghasilkan keuntungan.75

Pengertian merek menurut UUM Amerika Serikat adalah:

“A Trademark is a word, phrase, symbol, design, color, smell, sound,

or combination thereof that identifies and distinguishes the goods and

services of one party from those others.”

75Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung, Binacipta,

1982, hlm

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

75

(Merek adalah kata-kata, simbol, desain, wangi, suara atau kombinasi

dari kesemuanya yang dapat mengidentifikasi atau membedakan dengan

barang dan jasa lainnya).

Secara esensial bahwa merek mempunyai fungsi sebagai identifikasi

sumber bagi pihak konsumen yang menunjukan kualitas dan asal dari

barang dan jasa. Merek juga mempresentasikan itikad baik dari perusahaan

dan pihak konsumen juga menyadari dengan merek akan mengurangi biaya

pencarian dan sebagai kualitas dari suatu produk. Merek juga melindungi

bagi pihak konsumen agar tidak terjadi kekeliruan.

Sedangkan yang dimaksud dengan merek jasa adalah sama dengan

merek, kecuali merek itu mengidentifikasikan dan membedakan sumber

jasa daripada barang, sehingga istilah trade mark dan Mark menunjukan

kepada merek dan merek jasa.

Dibawah Hukum Common Law Amerika76, pemilik merek mempunyai

atau timbul hak merek dalam perdagangan tanpa pendaftaran yaitu

melainkan berdasarkan maksud dan penggunaannya dalam praktik. Menurut

definisi dari Bitlaw, the term common law marks indicate that the trademark

rights that are developed through use are not governed by statute. Instead,

common law trademark rights have been developed under judicially created

scheme of rights governed by state law.

Jadi, pendaftaran tidak menimbulkan enforceable rights, keuntungan

yang diperoleh dari hukum federal adalah perluasan hak diluar area

penggunaan, yaitu dalam pencarian insentif dari pendaftaran federal. Hal ini

sama dengan pengaturan TRIPs bahwa perlindungan hak merek tidak perlu

didaftarkan. Beberapa contoh yang dapat dianggap telah memperoleh

secondary meaning yaitu kasus Manchester Airport PLC v ClubClub

76Stuart Graham, Galen Hancock,Alan Marco, Amanda Fila Myers, The UPSTO

Trademark Case files Dataset: Description, Lessons and Insight, January 2013.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

76

Limited, Wembley National Stadium Limited v Bob Thomson. Dari kasus

tersebut telah digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa

sehingga dianggap telah memiliki secondary meaning.

Jadi, merek tidak perlu didaftarkan tetapi pemilik merek harus

membuktikan bahwa nama tersebut harus mempunyai secondary meaning

yang menjadi unsur pembeda, dan bukan hanya sebagai nama yang

memiliki fungsi penggambaran (descriptive).

Perlindungan merek di peroleh dengan penggunaan merek dalam

perdagangan barang dan jasa, selain itu juga merek dapat didaftarkan.

Ada 2 macam pendaftaran:

a. Pendaftaran merek Federal (A Federal Trade Mark Registration)

adalah pendaftaran yang diperuntukkan untuk merek yang

dipergunakan antar negara bagian atau perdagangan internasional.

Proses untuk pendaftaran merek federal adalah lebih banyak waktu

consuming dan lebih teliti daripada state registration. Juga

perlindungan yang diperoleh dari pendaftaran secara federal lebih

besar dari pada state registration. Setiap pemilik merek lebih

dianjurkan untuk mendaftar secara federal.

b. Pendaftaran merek negara bagian (State trademark Registration)

Bagaimanapun pendaftaran merek dalam pendaftaran Federal,

mempuyai beberapa keuntungan antara lain :77

a. A legal presumption of your ownership of the mark and your

exclusive right to use the mark nationwide on or in connection with

the goods/services listed in the registration (where as state

77 Protecting Your Trademark, Enhancing Your Right through Fedaral Registration, Basic

Facts about Trademarks, United States Paten and trade mark offices.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

77

registration only provides rights within the boders of that State, and

common law rights exist only for the spscific area where the mark is

used).

b. Public notice of your claim of ownership of the mark.

c. Listing in the USPTOs online database.

d. The ability to record the US registration with the US customs and

border Protection Service to prevent importation of infringing

foreign goods.

e. The right to use the federal registration symbol “R”.

f. The ability to bring an action concerning mark in federal court, and

g. The use of the US registration as a basis to obtain registration in

foreign countries.

Di Amerika Serikat mempunyai 50 negara bagian yang masing-masing

beroperasi secara paralel dengan atau lebih akurat dengan sistem

pendaftaran federal.

Menurut Hukum Common Law Amerika bahwa pemilik merek

mempunyai hak eksklusif untuk memberikan perlindungan dari pihak ketiga

yang tidak berhak untuk menggunakan merek yang sama atau hampir sama

dengan barang atau jasa yang akan menimbulkan kebingungan bagi

konsumen sebagai sumber asal. Hukum merek common law berasal dari

Pengadilan Inggris dalam Standforths case,78 dimana pengadilan Inggris

menemukan pedagang yang menjual inferior pakaian dengan merek milik

suatu pedagang yang akan bertanggung jawab terhadap kerusakan reputasi

merek tersebut, sejak itu pelanggaran dianggap sebagai perbuatan unfair

competition, maka tidak diperlukan lagi pendaftaran. Maka pendaftaran

78 Staurt Graham, Galen Hancock, alan Marco, Amanda Fila Myers, op cit, hlm 6.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

78

yang dilakukan oleh pihak terakhir akan bertanggung jawab terhadap merek

yang pertama jika menimbulkan kesalahpahaman dari penggunaan merek

yang sama atau hampir sama.

Sistem pendaftaran merek di Amerika dilakukan secara paralel dengan

sistem common law sejak abad 18. UU Merek Federal 1870 mengatur

tentang pendaftaran federal yang pertama. Supreme Court membatalkan UU

tahun 1879 unuk diterapkan kepada perdagangan antar negara sehingga

Kongres merespon dengan mengeluarkan UU merek tahun 1881 yang

mengatur perdagangan antar negara dan perdagangan dengan negara asing.

Kemudian terjadi perubahan pada tahun 1905. Lanham Act Tahun 1946

menetapkan sistem pendaftaran Merek US Federal yang modern untuk

memberikan perlindungan penggunaan merek dalam perdagangan dan

didaftarkan di UPSTO.

United States Patent and Trademark Office (UPSTO)79 merupakan

agency dalam Departemen Perdagangan yang mengeluarkan paten terhadap

inventor dan bisnis terhadap penemuannya dan pendaftaran merek bagi

produk dan identifikasi kekayaan intelektual. UPSTO memberikan prosedur

secara hukum untuk membantu pendaftaran dan untuk pertama kali

melakukan pendaftaran bagi merek jasa, merek sertifikasi dan merek

kolektif.

Lanham Act menentukan dua sistem pendaftaran yaitu 80:

a. Pendaftaran Prinsipal (Principal Register), merupakan pendaftaran

yang diperuntukan untuk semua hak yang diatur oleh Lanham Act.

79 United states Patent and Trade Mark office, En.m. Wikipedia.org/wiki/ United

states_Patn-and –Trademark-of. 80 ibid

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

79

b. Pendaftaran Tambahan (Supplemental Register), merupakan

pendaftaran bagi yang tidak dapat didaftarkan kepada principal.

Pengadilan menyatakan bahwa pendaftaran tidak menimbulkan hak

Merek, tetapi hanya menyatakan bahwa hak itu dapat diperoleh melalui

suatu penggunaan. Untuk melakukan pendaftaran setiap pemohon harus

mempunyai legal basis untuk setiap pencatatan atau filing. Basis utama

yaitu berdasarkan “use in commerce “dan “intent to use in commerce”.

Penggunaan sebagai dasar hukum bahwa setiap pemilik harus menyerahkan

suatu deklarasi atau pernyataan yang menyatakan tanggal dicatatkan (filing

date), merek juga dipergunakan dalam perdagangan bahwa kongres dapat

memberikan pengaturan perdagangan antara negara bagian dan

perdagangan dengan negara lain.

Pengertian use in commerce tercantum dalam Pasal 45 Lanham Act81

yaitu penggunaan merek secara itikad baik dalam perdagangan dan secara

spesifik, “A mark shall be deemed to be use in commerce.”

1. On goods when ,

a. It is placed in any manner on the goods or their containers or

the displays associated therewith or on the tags or labels affixed

thereto, or if the nature of the goods makes such placement

impracticable, then on documents associated with the goods or

their sale, and;

b. The goods are sold or transported in commerce, and;

2. On services when it is used or displayed in the sale or advertising of

sevices and the services are rendered in commerce, or the the

services are rendered in more than one state or in the United States

81 Mark P. Mc Kenna, Trademark Use and The Problem of Source, Mc Kenna Doc, 25-2-

2009, hlm 792

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

80

and foreign country and the person rendering the services is

engaged in commerce in connection with the services.

Dasar suatu kehendak untuk menggunakan atau intent to use, pemohon

diharuskan membuat suatu file yang menyatakan pernyataan berisi suatu

keiginan melaksanakan suatu merek dengan asas itikad baik.

Aplikasi dengan dasar suatu penggunaan merek dengan itikad baik tidak

dapat didaftarkan sampai: a. Merek itu benar-benar dipergunakan dalam

perdagangan, b. Pernyataan yang jelas yang akan mempengaruhi suatu

permohonan, c. Spesifikasi yang diajukan untuk permohonan aplikasi.82

Pemohon juga diharuskan untuk mempergunakan aplikasi utama (prior

application) atau pendaftaran di wilayah yurisdiksi asing sebagai dasar

filing aplikasi Amerika. Dalam hal ini diperlukan suatu file pernyataan

bahwa adanya kehendak untuk menggunakan merek dalam perdagangan di

Amerika. Aplikasi harus didaftarkan dengan tidak mempergunakan actual

use didalam perdagangan Amerika.

Perlindungan bagi merek tidak terdaftar di Amerika, Lanham Act

mengaturnya dalam Pasal 43(a), yaitu dapat dilakukan oleh negara federal

dengan mengambil tindakan berupa83:

a. Civil Action,

1. Any person who, on or in connection with any goods or services, or

any container for goods, uses in commerce any word, term name,

82 Pemohon mempunyia waktu 6 bulan untuk memperoleh filing pernyataan

penggunaan(statement of use) dan akan memperoleh pemberitahuan untuk penggunaan

selama 36 bulan( Notice of Allowance) 83 Lee Ann. W. Lockridge, Abolishing State Trademark Registrations, Cardozo Arts &

Entertainment volume 29:597 Tahun 2011, hlm 16.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

81

symbol, or device, or any combination thereof, or any false

designation of origin, which,

a. Is likely to cause confusion, or to cause mistake, or to deceive

affilation, connection, or association of such person, or as to the

origin, sponsorship, or approval of his or her goods, services, or

commercial activities by another person shall be liable in acivil

action by any person who believes that he or she is or likely to

be damaged by such act.

Supreme Court menyatakan bahwa sudah umum untuk memberikan

perlindungan terhadap yang tidak terdaftar.

Jadi, Amerika Serikat adalah negara yang menerapkan perlindungan

hukum merek tidak berdasarkan pendaftaran yang sesuai dengan TRIPs

yang juga tidak mensyaratkan pendaftaran, hal ini didasarkan bahwa pada

suatu kesadaran bahwa perlindungan diberikan berdasarkan pada maksud

dan praktik penggunaan. Dengan tidak mewajibkan pendaftaran maka

merek yang digunakan dapat diberikan perlindungan hukum.

2. Perlindungan Merek Tidak Terdaftar di Indonesia

Merek adalah tanda yang berupa gambar/nama, kata, huruf-huruf,

angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang

memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau

jasa. Dari pengertian tersebut maka ada beberapa unsur yang harus dipenuhi

untuk merek, yaitu:

a. Merupakan suatu tanda,

b. Mempunyai daya pembeda,

c. Digunakan dalam perdagangan, dan

d. Digunakan pada barang atau jasa yang sejenis.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

82

Merek harus mempunyai daya pembeda dan sebuah merek yang tidak

memiliki daya pembeda secara spesifik (misalnya sebuah merek yang hanya

atau semata-mata menggambarkan produknya/merely descriptive) dapat

didaftarkan sebagai merek jika merek tersebut digunakan dalam jangka

waktu yang lama sehingga dianggap memiliki daya pembeda.

Merek merupakan suatu simbol yang menjelaskan 6 tingkatan, yaitu84:

a. Atribut produk, merek memberikan ingatan pada atribut-atribut

tertentu suatu produk, misalnya jika mendengar merek Guess maka

akan teringat pada jam.

b. Manfaat, atribut-atribut produk yang dapat diingat melaui merek

harus dapat diterjemahkan dalam bentuk manfaat baik secara

fungsional dan manfaat secara emosional, misalnya atribut kekuatan

kemasan produk menterjemahkan manfaat secara emosional yang

berhubungan dengan harga diri dan status.

c. Nilai, merek mencerminkan nilai yang dimiliki oleh produsen

sebuah produk, misalnya merek Sony mencerminkan produsen

elektronik yang mempunayi teknologi yang canggih dan moderen.

d. Budaya, merek mempresentasikan suatu budaya tertentu, misalnya

Mercedes mempersentasikan budaya Jerman yang teratur, efisien

dan berkualitas tinggi.

e. Kepribadian, merek dapat diproyeksikan pada suatu kepribadian

tertentu, misalnya Isuzu Panther yang diasosiakan dengan

kepribadian binatang panther yang kuat dan tahan lama.

84 Dina Tropika, Sengketa Merek Makanan Ager-ager Swallow Globe Brand –bola Dunia,

hlm 5.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

83

Akibat pemakaian sebuah merek yang terus menerus, para pelanggan

dapat membedakan merek itu dengan merek lain meskipun merek tersebut

tidak memiliki daya pembeda pada awal pemakaiannya. Jadi merek-merek

tersebut dapat didaftarkan.85

Teori hukum yang dapat memberikan perlindungan merek86 adalah teori

hukum berdasarkan fungsi kepentingan yang diutarakan oleh Jhering bahwa

suatu hukum bukanlah murni dari jiwa bangsa dimana yang sesuai dengan

jiwa bangsa hukum tersebut tumbuh dan berkembang jadi hukum yang ideal

apabila sesuai dengan jiwa bangsa dan mengandung unsur-unsur yang

sesuai dengan jiwa bangsa. Selain itu, teori keadilan John Rals, yang berakar

dari kritiknya terhadap Average Utilitianirisme milik John Stuart yang

berpendapat bahwa kita boleh diminta berkorban demi kepentingan umum,

tetapi tidak dapat dibenarkan apabila pengorbanan tersebut pertama-

pertama diminta dari orang-orang yang kurang beruntung dalam

masyarakat.

Mengenai jenis-jenis merek sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2

dan angka 3 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang merek, ada dua,

yaitu merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah merek yang

dipergunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau

beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan

dengan barang-barang sejenisnya lainnya. Sedangkan merek jasa adalah

merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau

beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan

dengan jasa-jasa lainnya.

85 Eddy Damian,Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni,2002, hlm 135. 86 Sri Sayekti, Tinjauan Yuridis Perlindungan Merek yang belum terdaftar di Indonesia,

Majalah Ilmiah Pawiyatan, Edisi Khusus, Vol :XXII, no 2, juli 20015, hlm 46.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

84

Indonesia menganut sistem pendaftaran merek dengan sistim konstitutif,

pendaftaran merupakan suatu keharusan agar dapat memperoleh hak merek,

tanpa pendaftaran negara tidak akan memberikan hak atas merek kepada

pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek, seseorang tidak

akan diberikan perlindungan.

Menurut UUM Indonesia, hal-hal yang tidak dapat didaftarkan sebagai

merek adalah:

a. Merek yang permohonannya diajukan atas dasar itikad tidak baik

(Pasal 4).

b. Merek yang bertentangan dengan moral, perundang-undangan dan

ketertiban umum (Pasal 5(a)).

c. Merek yang tidak memiliki daya pembeda (Pasal 5(b)).

d. Tanda-tanda yang telah menjadi milik umum (Pasal 5(c)).

Contohnya: tengkorak dan tulang belulang sebagai tanda bahaya.

e. Merek yang semata-mata menyampaikan keterangan yang

berhubungan dengan barang atau jasa (Pasal 5 (d)), misalnya batu

bata bahan bangunan untuk menggambarkan perusahaan konstruksi

yang khusus beroperasi dalam bidang bangunan dengan batu bata.

Standar untuk memenuhi kriteria pelanggaran merek adalah:

a. The strength of the mark;

b. The proximity of the goods;

c. The similarity of the marks;

d. Evidence of actual confusion;

e. Marketing channels used;

f. The type of goods and the degree of care likely to be excercised by

the purchaser;

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

85

g. Defendants intent in selecting the mark;

h. Likelihood of expansion of the product lines;

Pendaftaran menurut UU Merek memberikan hak eksklusif kepada

perusahaan pemilik merek guna mencegah pihak-pihak lain untuk

memasarkan produk-produk yang identik atau mirip dengan merek yang

dimilik oleh perusahaan bersangkutan dengan menggunakan merek yang

sama atau merek yang dapat membingungkan konsumen. Menurut Sudargo,

bahwa wajib pendaftaran lebih memberikan kepastian hukum. Sistem ini

diambil dari Konvensi Stockholm 1967, yang diratifikasi oleh Indonesia

pada 20 Desember 1979. Tujuan penggunaan sistem ini adalah untuk

memperkecil timbulnya perselisihan atas merek antara pemakai merek yang

tidak terdaftar dan pemilik merek yang sudah terdaftar.

Pendaftaran sejak Undang-Undang No 19 Tahun 1992 adalah sistem

konstitutif. Sistem ini memberikan perlindungan hanya pada pendaftar

pertama yang beritikad baik. Hal ini juga diatur dalam Pasal 4 UU No 15

Tahun 2001 yang menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar oleh

pemohon yang beritikad tidak baik. Permohonan Pendaftaran Merek yang

harus dipenuhi oleh pemilik merek yaitu, merek yang akan didaftarkan

harus memberikan contoh disertai dengan warna yang akan dipakai dalam

merek disertai penjelasan mengenai kelas barang dan atau jasa yang

dimohonkan pendaftarannya. Sistem pendaftaran deklaratif, adalah suatu

sistem dimana yang memperoleh perlindungan hukum adalah pemakai

pertama dari merek yang bersangkutan. Sistem ini dianut dalam UU No 21

tahun 1961. Dengan perkataan lain, bukan pendaftaran yang menciptakan

suatu hak atas merek, tetapi sebaliknya pemakaian pertamalah di Indonesia

yang menciptakan atau menimbulkan hak itu.

Sistem pendaftaran deklaratif pada UU No 21 Tahun 1961. Pada Pasal

2 ayat (1), menyebutkan:

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

86

“Hak khusus untuk memakai suatu merek guna membedakan barang-

barang hasil perusahaan atau barang-barang perniagaan seseorang atau

suatu badan dari barang-barang orang lain atau badan lain kepada

barang siapa yang untuk pertama kali memakai merek itu untuk

keperluan tersebut diatas di Indonesia.”

Menurut Yahya Harahap, penegakan hukum berdasarkan Pasal 2 diatas

mengandung konsepsi dualisme, satu segi ditegakkan doktrin pendaftaran

pertama atau first to file principle, siapa pendaftar pertama dianggap

mempunyai hak yang lebih unggul dan lebih utama dari pemilik merek

lainnya, sesuai dengan asas prior in filing, tetapi berbarengan dengan itu

ditegakkan doktrin pemakai pertama atau first to use system, apabila dapat

membuktikan bahwa dia pemakai pertama yang sesungguhnya dianggap

pemilik paling unggul haknya jika seseorang dapat membuktikan

kedudukan yang utama pada asas prior user has a better right atau pemakai

pertama mempunyai hak yang lebih baik dari pendaftar pertama87.

Lingkup perlindungan hukum yang diberikan kepada pemilik merek,

meliputi:88

a. Melindungi penggunaan hak eksklusif merek, meliputi:

1) Mempergunakan tanda merek sebagai logo, label atau gambar dalam

surat menyurat, pada barang atau jasa, pada kemasan (packaging)

dalam advertensi atau promosi.

87 ASMA, perbedaan sistim pendaftaran deklarati dan sistim konstitutif 88 Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara uum dan Hukum Merek Di Indonesia

berdasarkan undang-Undang Nomor 19 tahun 1992, PT Citra Aditaya bakti,

Bandung,1996, hlm 182

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

87

2) Menikmati secara eksklusif manifestasi yang lahir dari merek,

meliputi goodwill atau well-known, reputasi tinggi, sumber asal,

sentuhan kulturan dan sentuhan keakraban.

b. Melindungi hak eksklusif mempergunakan merek sebagai alat eksploitasi

memperoleh keuntungan dalam perdagangan, meliputi:

1) memasarkan barang atau jasa dalam perdagangan nasional, regional,

dan global; dan,

2) menyimpan barang yang dilindungi hak merek, asal tidak

bertentangan dengan ketentuan monopoli dan spekulasi untuk

menaikkan harga.

Contoh pembatalan merek yang terjadi sengketa yaitu sengketa antar

keluarga terkait 51 merek yang mengandung nama Sinar Laut sampai pada

tahap putusan akhir .89

1. Gugatan dilayangkan oleh Idahyati Kusni dan anaknya Minardi

Aminnudin Kunardi, serta perusahaan merek Sinar Laut Abadi

dan PT Sinar Laut

Indahyati menggunakan nama Sinar Laut untuk nama toko yang

begerak di bidang perdagangan alat-alat teknik. Dalam

perkembangannya anak Indahyati menggunakan nama Sinar Laut

sebagai nama perusahaan. Anak kembarnya, Wartono Fachrudin

Kunardi dan Minardi Aminudin Kunardi mendirikan Sinar Laut

Sejahtea. Minardi juga membuat toko bernama Sinar Laut Perkakas,

sementara, Wartono bersama YuswadI Kunardi dan Karta Wiryadi

Munardi membentuk Sinar Laut Abadi. Pasca perpecahan Wartono

mendaftarkan Merek Sinar Laut, Sinar Lautan, Sinar Laut Abadi,

89 M.hukumonline.com/berita/baca/14bf0421..diaksestgl 21 November 2015 jam 14.00

WIB lihat juga nasinal.kontan.co.id, kakak beradik berebut merek Sinar laut

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

88

Sinar Lautan Abadi, Sinar Laut Perkakas dan Sinar lautan Perkasa.

Merek tersebut terdaftar di 51 kelas barang. Idahyati dan Minardi

serta perusahaan mereka, PT Sinar Laut Abadi dan PT Sinar Laut,

menggugat Wartono dan PT Sinar Laut Mandiri (tergugat 1 dan

tergugat 2) ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Gugatan yang

dilayangkan untuk membatalkan merek-merek tersebut yang

didaftarkan pada 30 April 2010.

2. Para Penggugat mendudukkan perusahaan Wartono, yaitu

Sinar Laut Mandiri sebagai Tergugat. Wartono digugat karena

memakai nama Sinar Laut yang diklaim Indahyati sebagai

sebagai miliknya sejak tahun 1976

Kuasa hukum dari Tergugat beranggapan bahwa Penggugat tak

berhak menggugat karena Penggugat bukan pemilik merek terdaftar

atas merek Sinar Laut, Sinar Lautan, Sinar Laut Abadi, Sinar Lautan

Abadi, dan Sinar Lautan Perkakas, sekalipun Penggugat merupakan

pemilik PT Sinar Laut dan PT Sinar Laut Abadi, namun itu adalah

nama badan hukum yang belum terdaftar sebagai merek. Saat ini

badan hukum baru akan didaftarkan di Direktorat Merek.

3. Penggugat sempat mengajukan masalah ini ke Mahkamah

Konstitusi, tetapi kandas.

4. Hakim menolak gugatan dari Indahyati, menyatakan ditolak

dan pendaftaran yang dilakukan oleh Indahyati sudah sesuai

dengan ketentuan dan dilakukan dengan itikad baik. Selain itu

majelis berpendapat dengan keterangan ahli Tommy Suryo,

bahwa suatu perusahaan tidak otomatis mendapatkan merek

sesuai dengan nama perusahaan tersebut menurut majelis,

nama perusahaan dan merek adalah dua hal yang harus

dibedakan.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

89

5. Yang berhak mendapatkan perlindungan adalah merek

terdaftar seperti halnya merek tergugat. Mengingat UU Merek

menganut stelsel konstitutif, apabila suatu perusahaan ingin

mendapatkan merek sesuai dengan namanya, maka perusahaan

tersebut harus melakukan pendaftaran. Selain itu, menurut

Kuasa hukum tergugat, untuk menentukan ada tidaknya itikad

baik suatu merek yang dijadikan pembanding harus merek

terkenal, sementara, nama badan hukum penggugat bukan

merek terkenal.

6. Penggugat tidak berhasil membuktikan bahwa mereka

memiliki merek Sinar Laut yang telah terdaftar di Direktorat

Merek Dirjen HKI. Karena itu, merek yang dimiliki tergugat

tidak termasuk merek yang pendaftarannya harus ditolak

seperti dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3 UUM.

Pasal 6 ayat 3 berisi:

Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek

tersebut:

a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama

badan hukum yang dimilki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis

dari yang berhak.

b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,

lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional

maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak

berwenang.

c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi

yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas

persetujuan tertulis dari pihak yang resmi.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

90

7. Penggugat mengajukan kasasi atas kuasa hukum Ari Kanthy Sutomo

menyatakan pihaknya mengajukan kasasi ini karena hakim tidak melihat

itikad tidak baik dari Tergugat.

8. Tergugat telah mendaftarkan 51 merek dalam kelas barang 6, 7, 8 dan

35. Dengan modal sertifikat merek, Tergugat melayangkan somasi

kepada para penggugat terkait nama Sinar Laut untuk nama toko

mereka. Padahal toko Sinar Laut milik Indahyati sudah berdiri sejak

tahun 1976.

9. Menurut Ari, Penggugat tidak mempermasalahkan pendaftaran milik

Tergugat apabila mereka tetap bisa menggunakan Sinar Laut sebagai

nama toko. Namun kenyataannya memasang PT Sinar Laut saja

dipermasalahkan oleh Wartono.

10. Dalam perkara sebelumnya pihaknya telah menang dalam menghadapi

tergugat yang sama. Ini dapat dilihat dalam Putusan No 59/Merek/2008

jo Putusan MA No 140 K/Pddt.Sus/2009 jo 081 PK/Pd.Sus/2009 itu juga

Wartono beritikad tidak baik dalam mendaftarakan merek Sinar Laut

Perkakas, pembatalan diajukan Minardi dikabulkan hingga tahap

kasasi. Dengan merek Sinar Laut Abadi milik Tergugat, dengan

demikian, selaku pemilik merek berhak memonopoli penggunaan

merek.

11. Putusan No 18 /Merek/2010/ PNH.JKT.PST telah dinyatakan merek

Sinar Laut Abadi dan Sinar Laut Perkakas memiliki persamaan pada

pokoknya.

12. Ari berpendapat bahwa stelsel konstitutif, seharusnya tidak berlaku

mutlak. Apabila ada itikad tidak baik, maka pendaftaran merek bisa saja

dibatalkan. Pihak pengugat belum mendaftarkan merek Sinar Laut.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

91

13. Jadi permasalahannya apakah nama PT Sinar Laut Abadi yang tidak

digunakan sebagai merek dan tidak terdaftar dalam daftar umum Merek

dapat membatalkan merek Sinar Laut Abadi yang telah terdaftar.

14. Hasil berdasarkan Pasal 68 UUM yang berisi memberi kesempatan

kepada pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan pembatalan

merek.

15. Putusan No 18/Merek/2010/PN.JKT>PST telah dinyatakan merek Sinar

Laut.

Kesimpulannya adalah pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan

pembatalan merek dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 4 yang berisi

merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh

pemohon yang beritikad tidak baik.

Pasal 5 yang berisi merek tidak dapat terdaftar apabila merek tersebut

mengandung salah satu unsur dibawah ini:

a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.

b. Tidak memilik daya pembeda.

c. Telah menjadi milik umum, atau

d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang

dimohonkan pendaftarannya.

Serta Pasal 6 yang berisi permohonan harus ditolak oleh Direktorat

Jenderal apabila merek tersebut:

a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

merek pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang

dan/jasa yang sejenis.

b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

merek pihak lain untuk barang dan jasa sejenis.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

92

c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

indikasi georafis yang sudah dikenal.

Dari kasus diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya perusahaan

mendaftarkan nama mereknya karena merek sangat penting bagi pencitraan

dan strategi pemasaran perusahaan, pemberian kontribusi terhadap citra, dan

reputasi terhadap produk dari sebuah perusahaan di mata konsumen. Citra

dan reputasi perusahaan untuk menciptakan kepercayaan merupakan dasar

dari untuk mendapatkan pembeli yang setia dan meningkatkan nama baik

perusahaan90.

Jadi, Indonesia memberikan perlindungan hukum semua berdasarkan

pendaftaran dengan tujuan mencapai kepastian hukum. Dari hal tersebut

kepastian hukum baru tercapai setelah melalui masa pendaftaran dan masa

daluwarsa gugatan pembatalan yang memakan waktu lama dan biaya yang

biaya besar, sehingga hal ini justu menjadi penghambat iklim usaha di

Indonesia bagi masyarakat Indonesia sendiri yang notabene belum memiliki

pengetahuan tentang hukum dan kesadaran hukum yang baik91.

Jadi, dari uraian di atas maka merek seolah-olah dibagi merek terdaftar

dan merek tidak terdaftar karena dalam UUM yang diberikan perlindungan

hanya pada merek yang terdaftar sedangkan merek yang tidak terdaftar,

padahal penggunaan merek tanpa ijin oleh pihak ketiga menimbulkan

kerugian karena dia tidak mendaftarkan mereknya. Hal ini kita lihat

sebagian besar para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah terkadang

karena ketidaktahuan perlunya perlindungan tidak dipahami dan

90 World Intellectual Property Right for business Series, Membuat sebuah Merek.

Pengantar Merek Untuk usaha kecil dan Menengah hlm 4. 91 Sri Sayekti, Op. Cit hlm 50

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

93

kekurangan modal sehingga penggunaan merek yang telah lama dipakai

tetapi dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa ijin.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perlindungan hukum merek di Amerika tidak diberikan berdasarkan

pendaftaran tetapi melaui penggunaan yang didasarkan bahwa

penggunaan dalam praktik itu harus sesuai dengan persyaratan

bahwa merek tersebut harus use in commerce atau intend to use in

commerce.

2. Perlindungan merek yang berlaku di Indonesia hanya diberikan

hanya setelah pendaftaran, sehingga perlindungan hanya bersifat

perlindungan semu karena kepastian hukum hanya tercapai setelah

pendaftaran, juga pendaftar yang tidak baik pun dilindungi juga

dalam praktik memberikan perlindungan berdasarkan penggunaan

merek yang pertama.

Saran

Sistem perlindungan merek sebaiknya mengadopsi perlindungan merek

di Amerika, yaitu memberikan perlindungan berdasarkan dua sistem, yaitu

melalui perlindungan merek berdasarkan penggunaan juga pendaftaran.

Juga sebaiknya Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual melakukan

pemeriksaan yang lebih teliti terhadap setiap permohonan merek agar tidak

terjadi sengketa merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau

pada keseluruhan.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

94

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. M. Ramli, HAKI Hak Kekayaan Atas Kepemilikan Intelektual Teori

Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Bandung: Mandar Madju,

2000

Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan

Intelektual, Bandung: Citra Aditya, 2001

Achmed Zen Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung:

Alumni, Cetakan ke III

Cassavera, Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu,

Cetakan Pertama, 2009

Eddy Damian, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, 2002

Jeremy Waldon, A Companion to Philoshopy of Law and Legal Theory,

United Kingdom: Wiley Blackwell Publishers Ltd, Second Edition,

2001

Kamil Idris, Intellectual Property: A Power Tool for Economic Growth,

WIPO

Lionel Bently, Bred Sherman, Intellectual Property Law, New York:

Oxford University Press, 2001

Patricia Loughlan, Intellectual Property: Creative and Marketing Rights,

Sydney, 1998

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi Pertama,

Jakarta: Granit, 2004

Soerjono Soekanto dan Sri Mammudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta,

PT Raja Grafindo Persada, 2005

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

95

Sudjana, Penerapan Itikad Baik Dalam Pendaftaran dan Penggunaan Merek

dihubungkan dengan pada Pokoknya atau Keseluruhan dengan

Merek Terkenal, dalam buku: Kompilasi Bisnis, Keni Media, 2012

Sunaryati, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung, Binacipta

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas

Indonesia, 1986

Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di

Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, PT

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Barton Bee, “The Semiotic Analysis of Trade Mark Law”, UNCLA Law

Review

Cita Citrawinda, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia, makalah

disampaikan pada Seminar KI dan Penegakan Hukumnya, Jakarta,

19 September 2001

Lee Ann. W. Lockridge, Abolishing State Trademark Registrations,

Cardozo Arts & Entertainment volume 29:597 Tahun 2011

Dina Tropika, Sengketa Merek Makanan Agar-Agar Swallow Globe Brand

Bola Dunia

Sri Sayekti, Tinjauan Yuridis Perlindungan Merek yang belum terdaftar di

Indonesia, Majalah Ilmiah Pawiyatan, Edisi Khusus, Vol: XXII, No

2, Juli 2015

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

96

BOOK REVIEW

Judul : The Oxford Handbook of The History of International Law

Editor : Bardo Fassbender and Anne Peters

Penerbit : Oxford Handbooks

Bahasa : Inggris

Jumlah halaman : 1272 halaman

Tahun penerbitan : 2012

Pembuat resensi : Eka An Aqimuddin

Sebagian besar buku teks hukum internasional

menjelaskan bahwa sejarah ide, konsep dan

norma yang tumbuh dan berkembang dalam

hukum internasional hingga saat ini bermula di

Barat (Eropa). Tidak hanya itu, aktor maupun

tokoh yang turut mengembangkan hukum

internasional juga diceritakan berasal dari

wilayah yang sama. Hal inilah yang

menimbulkan kritik dari sarjana hukum

internasional, khususnya yang berasal dari non-Eropa, bahwa sejarah

hukum internasional sangat Eropasentris. Oleh karena itu, butuh wacana

atau referensi pembanding untuk menyeimbangkan hegemoni Eropa

terhadap sejarah hukum internasional.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

97

Buku editan karya Bardo Fassbender dan Anne Peters ini muncul

dengan salah satu tujuan untuk mengatasi Eropasentrisme dalam catatan

sejarah hukum internasional. Menurut editor, sejarah hukum internasional

salah dan tidak lengkap. Karena hal itu seperti pengabaian, perusakan,

kekerasan, dan arogansi Barat terhadap budaya hukum non-Barat. (hlm.1)

Pendapat para editor tersebut ingin menegaskan bahwa sistem hukum non-

Barat sebenarnya telah mengatur hubungan internasional. Dalam tulisan F.

Sahli and A. El Ouazzani yang berjudul Africa North of the Sahara and

Arab Countries (hlm.405) menunjukkan bahwa salah satu sumbangan

hukum Islam terhadap hukum internasional adalah perlindungan terhadap

agama minoritas dan perlakuan terhadap tawanan perang. Hal inilah yang

dimaksud editor bahwa penulisan sejarah hukum internasional hanya

berasal dari Barat adalah sesuatu yang salah dan tidak lengkap. Dengan

demikian kompilasi tulisan dalam buku The Oxford Handbook of The

History of International Law ini menjadi penting untuk mengingatkan

bahwa penulisan sejarah hukum internasional tidak selalu kisah dari para

penjajah maupun pemenang. Namun juga beragam cerita pengalaman

hubungan luar negeri yang dilakukan komunitas otonom sepanjang sejarah

kehidupan manusia.

Pemilihan pendekatan “global history” ketimbang “universal history”

oleh editor dalam penulisan buku ini bukanlah tanpa alasan. Penulisan

sejarah hukum internasional dengan pendekatan global lebih melihat kepada

transfer, jaringan, hubungan dan kerja sama antar aktor dan wilayah

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

98

sehingga akan didapat potret hukum internasional yang lebih majemuk.

Selain itu, melalui pendekatan global, negara-bangsa bukanlah satu-satunya

objek dari penulisan sejarah. Pergerakan/perubahan dari para beragam aktor

itulah yang menjadi fokus penulisan (hlm.5-6)

Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka editor membagi buku ini

menjadi 6 bagian. Bagian pertama buku ini membahas para pelaku (actor)

dalam hukum internasional. Oleh karena negara tidak menjadi satu-satunya

objek penulisan, maka selain negara, dalam bagian ini dibahas juga peran

organisasi internasional, pengadilan internasional dan masyarakat

internasional. Bagian selanjutnya diberi judul “Themes”. Isi tulisan dalam

bagian ini membahas konsep, ide dan norma yang berkembang dalam

hukum internasional seperti wilayah dan perbatasan, hukum perang dan

damai, hukum perdagangan internasional hingga pengaruh agama terhadap

hukum internasional.

Bagian ketiga dari buku ini membahas sejarah dan perkembangan

hukum internasional dari beragam wilayah. Judul bagian ketiga adalah

“Region”. Terdapat empat sub-bagian yang menceritakan sudut pandang

kewilayahan terhadap sejarah perkembangan hukum internasional yang

terdiri dari; Afrika dan Arab, Asia, Amerika dan Karibia serta Eropa.

Sedangkan satu sub-bagian lagi membahas tentang pergumulan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

99

(encounters) antara hukum internasional dari perspektif non-Eropa dengan

Eropa.

Bagian keempat buku menggunakan judul “Interaction or Imposition”.

Ragam tulisan dalam bagian ini menjelaskan bagaimana hukum

internasional mengatur tentang hubungan internasional. Tidak hanya itu,

beberapa tulisan juga menceritakan bagaimana pengenaan hukum

internasional terhadap suatu peradaban dengan cara-cara kekerasan seperti

kolonialisme, penundukan hingga melalui pembagian antara masyarakat

beradab dengan tidak. Tentu saja dalam proses tersebut, Eropa (Barat) selalu

digambarkan sebagai protagonis atau pihak yang selalu unggul.

Bagian kelima membahas tentang metodologi dan teori dalam

membahas sejarah hukum internasional. Garis besar tulisan dalam bagian

ini menjelaskan tentang historiografi (periodisasi) hukum internasional itu

sendiri. Seperti apa yang ditulis oleh Oliver Diggelmann dalam The

Periodization of the History of International Law, penetapan periodisasi

dalam penulisan sejarah hukum internasional bukanlah tanpa masalah.

Meskipun dengan adanya periodisasi dalam penulisan sejarah hukum

internasional menjadi terbayangkan (imaginable), namun pemilihan

tersebut tidak merujuk kepada peristiwa aslinya. (hlm.739).

Salah satu periodisasi sejarah hukum internasional melihat bagaimana

penerimaan teori hukum klasik (ancient) dalam perkembangan hukum

internasional saat ini. Pada tulisan lain, isu yang diangkat adalah tentang

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

100

hukum internasional yang sangat Eropasentris atau sejarah pembagian

wilayah (regions) atau sub-wilayah (sub-regions) dalam hukum

internasional.

Bagian terakhir atau keenam dari buku ini membahas tokoh-tokoh yang

dianggap memiliki peran penting dalam pengembangan hukum

internasional. Meskipun diulas secara singkat namun jumlah tokoh yang

dibahas cukup banyak yaitu 22 orang. Pengambilan tokoh-tokoh tersebut

mengikuti periodisasi tahun yakni dimulai dari tokoh yang berasal dari Abad

VIII (749-850 M) hingga tokoh yang berasal dari Abad XX.

Apabila membaca buku ini secara utuh, upaya editor untuk keluar sama

sekali dari jebakan Eropasentrisme penulisan sejarah hukum internasional

sulit dihindari. Beberapa bagian maupun tulisan dalam buku ini masih

menunjukkan bias tersebut meskipun dengan beberapa catatan kritis

didalamnya.

Dengan jumlah halaman 1.272 lembar, kontributor dalam buku ini

terdiri dari 63 sarjana lintas disiplin yang berasal dari lima wilayah geografis

dengan jumlah tulisan sebanyak 65 buah. Ironi muncul perihal kontributor

dalam buku ini, dimana 39 dari 63 sarjana yang menulis dalam buku ini

berasal dari Eropa. Asia diwakili oleh 7 orang, Afrika 3 orang, Amerika 13

orang serta Australia 1 orang. Lebih dari setengah kontributor merupakan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

101

penulis dari Eropa. Tentu saja komposisi tersebut tidak bisa digeneralisasi

bahwa penulis Eropa akan cenderung membela Eropasentrisme, akan tetapi

fakta tersebut memberikan pembuktian bahwa narasi hukum internasional

memang sangat bias Eropa. Namun, dari awal editor telah menyadari

kekurangan tersebut dikarenakan sumber penulisan sejarah hukum

internasional di luar Eropa sangat jarang sehingga rujukan untuk

melengkapi tujuan penulisan buku ini, yakni keluar dari bias

Eropasentrisme, sangat terbatas. (hlm.2)

Dalam beberapa tulisan sarjana yang berasal dari Eropa memang terlihat

adanya kritisisme terhadap ide, konsep maupun norma hukum internasional

yang berkembang dari Eropa. Misalnya dalam tulisan Andrew Fitzmaurice

yang berjudul Discovery, Conquest, and Occupation of Territory, beliau

berhasil menunjukan tahapan pembenaran Eropa untuk melakukan

pendudukan terhadap wilayah yang berhasil ditemukan. Sedangkan kritik

dari sarjana non-Eropa dapat dibaca dalam tulisan Liliana Obregón

Tarazona yang berjudul The Civilized and the Uncivilized. Beliau kembali

menegaskan bagaimana Eropa membuat stratifikasi antara masyarakat

beradab/tidak beradab sehingga menjadi dasar pembenar bagi Eropa untuk

melakukan peradaban kepada masyarakat non-Eropa yang tidak beradab.

Tarazona mencontohkan bagaimana bangsa Spanyol menyebut bangsa

Indian sebagai masyarakat barbar. Dengan membuat label tersebut, bangsa

Spanyol seperti memiliki tugas untuk mengubah bangsa Indian menjadi

seperti bangsa Spanyol yang beradab. Dengan demikian, klasifikasi beradab

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

102

dan tidak beradab merupakan justifikasi imperialisme dan kolonialisme

yang dilakukan oleh Eropa sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-19 ke luar

wilayah Eropa.

Tentu saja peran dan sumbangan peradaban non-Eropa yang mengatur

relasi antarnegara sudah dikenal. Namun, menurut editor terjadi kesulitan

persoalan translasi konsep. Maksudnya, bisa jadi istilah atau norma yang

dikembangkan oleh masyarakat Eropa secara konseptual juga telah dikenal

oleh masyarakat non-Eropa akan tetapi dengan penekanan yang berbeda.

Contohnya adalah konsep Futuhat (penundukan) yang telah dikenal dalam

hukum Islam. Apakah Futuhat dapat disamakan dengan semangat

kolonialisme yang dilakukan masyarakat Eropa terhadap masyarakat yang

mereka temui dengan alasan untuk melakukan peradaban? (hlm.8) Atau

dalam konteks Indonesia, misalnya, apakah benar konsep wewengkon dan

ulayat serupa dengan konsep yurisdiksi teritorial dalam hukum internasional

(S.Wignjodipoero) atau dapatkah Prinsip Rukun diterjemahkan serupa

dengan prinsip mekanisme penyelesaian sengketa secara damai dalam

hukum internasional (H. Adolf). Di sinilah saya kira dibutuhkan sumber-

sumber penulisan hukum internasional selain Eropa seperti yang dikeluhkan

oleh editor buku ini.

Ironi lain dalam buku ini juga terlihat dalam bagian pembahasan tokoh.

Hanya 2 dari 22 tokoh yang dibahas berasal dari luar Eropa. Pertama yaitu

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

103

Muhammad Al-Shaybani dari Irak yang dianggap sebagai bapak hukum

internasional Islam. Tokoh kedua yaitu Henry Wheaton, seorang hakim

yang juga pernah menjabat sebagai perwakilan diplomatik Amerika Serikat

di Denmark. Dengan hanya menceritakan 2 dari 22 tokoh di luar Eropa tentu

saja menimbulkan pertanyaan apakah tujuan buku ini untuk keluar dari bias

Eropasentrisme dalam penulisan sejarah hukum internasional dapat

terwujud?

Seperti yang telah dibahas di atas, tentu saja kita tidak dapat

mengeneralisasi bahwa semua penulis Eropa secara otomatis memiliki

pandangan Eropasentrisme. Pertanyaan yang sama sebenarnya juga dapat

diajukan, apakah penulis non-Eropa dapat dianggap akan membawa suara-

suara non-Eropa. Namun, setidaknya dalam pembahasan para tokoh

tersebut, editor telah memasukkan dua tokoh asal non-Eropa yang dianggap

memiliki pengaruh terhadap perkembangan internasional. Adanya

perwakilan tokoh dari luar Eropa setidaknya menegaskan bahwa ide, konsep

dan norma hukum internasional juga sudah dikenal dan dipraktikkan oleh

komunitas di luar Eropa meskipun dengan spirit dan kebutuhan yang

berbeda.

Buku ini secara umum sangat layak untuk dibaca sekaligus dikaji.

Dibaca sebagai sebuah asupan yang sangat bernas serta dikaji oleh karena

pembahasan sejarah hukum internasional di negeri ini masih sangat jarang.

Saya kira, apresiasi tinggi patut diberikan kepada dua editor buku ini yang

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

104

telah bekerja keras mengurai “benang kusut” dalam penulisan sejarah

hukum internasional. Meskipun belum sepenuhnya berhasil untuk

menghindar dari bias Eropasentrisme, setidaknya terbitnya buku ini

membuka cakrawala kita dalam mendalami hukum internasional. Namun,

perlu diingat pesan dari Mochtar Kusumaatmadja bahwa dalam membaca

buku sejarah hukum internasional kita tidak harus menerima segalanya

tanpa pandangan kritis sebab tiap penulis memiliki preferensi pribadi,

pengaruh keagamaan dan politis. Pembacaan kritis tersebut kembali

ditegaskan oleh Martti Koskenniemi dalam tulisannya di buku ini, A History

of International Law Histories, bahwa apa yang kita pelajari sebagai sejarah

hukum internasional tergantung pada apa yang terlintas pertama kali di

pikiran kita tentang hukum internasional.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

105

GLOSSARY

Dyan Radin Swastika, S.H.

Single market: Jenis pasar yang mayoritas hambatan tarif dan non-tarifnya

telah ditiadakan, memiliki keseragaman peraturan hukum atas barang dan

jasa sekaligus kebebasan bergerak atas faktor produksi (modal dan buruh).

Vocational training: Pendidikan keterampilan

Common identity: identitas bersama yang dibagi antara individual,

komunitas maupun negara yang hendak dicapai dengan meminimalisasi bias

persepsi antar objek

Confidence building measure: langkah-langkah yang diambil untuk

mengurangi permusuhan dan kurangnya kepercayaan antar pihak dalam

situasi kritis

Preventive diplomacy: langkah yang diambil untuk mencegah sebuah

sengketa berkembang menjadi konflik terbuka dan membatasi dampak dari

konflik terkait

Conflict resolution: metode dan proses yang dilibatkan dalam memfasilitasi

proses perdamaian dalam konflik

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

106

Law is reason, free from passion.

Aristotle “

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

107

TENTANG PENULIS

Dr. Ariawan Gunadi, S.H. M.H.

Beliau lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia di tahun 2012 di bidang

ilmu hukum dagang internasional. Penulis saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas

Hukum Universitas Tarumanegara.

Najamuddin Khairur Rijal, S.Ip., M.Hub.Int.

Beliau adalah dosen pada Program Studi Hubungan Internasional FISIP

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang telah menyelesaikan program

S2 Magister Hubungan Internasional di Departemen Hubungan Internasional

Universitas Airlangga Surabaya. Saat ini penulis bekerja sebagai peneliti pada

Malang-ASEAN Youth Community (Maycomm) UMM.

Sofian Ardi

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Internasional di Universitas

Padjajaran, Bandung. Aktif sebagai anggota ALSA serta LRD FH Unpad.

Eka An Aqimuddin, S.H., M.H.

Penulis adalah lulusan S2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unpad. Saat ini beliau

bekerja sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.

Dr. Rika Ratna Permata, S.H., M.H.

Beliau saat ini bekerja sebagai pengajar di Program Pascasarjana Universitas

Padjajaran.

Muthia Khairunnisa, S.H.

Penulis lulus dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tahun 2016 dengan

gelar Cum Laude. Pengalaman organisasi yang dimiliki antara lain adalah ALSA

FH Unpad dan Red Cross.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016

108

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINIO JURIS

Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian

internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki

dimensi hukum dan perjanjian internasional.

Ketentuan Penulisan:

1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi, catatan kaki, dan

daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Times New Roman ukuran

11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10;

2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris;

3. Setiap naskah harus disertai abstraksi maksimal 1 halaman A4. Untuk tulisan dalam

bahasa Indonesia, abstraksi dibuat dalam bahasa Inggris dan untuk tulisan dalam

bahasa Inggris, abstraksi dibuat dalam bahasa Indonesia. Jumlah kata abstraksi sekitar

100 kata.

4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote);

5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang dikirimkan

ke penerbit lain;

6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak mengubah

maksud dan isi tulisan;

7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan rekomendasi kepada

penulis tentang tulisan yang dikirim;

8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat penulis

(curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat,

dan nomor telepon yang bisa dihubungi;

9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi

finansial;

10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi.

11. Keputusan untuk menerbitkan atau menolak penerbitan suatu naskah berada pada

redaksi dengan tidak dapat diganggu gugat.

Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional

Kementerian Luar Negeri

Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat

Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044

Email: [email protected]

http://pustakahpi.kemlu.go.id/