Discussion paper Ayu for PRINT-final · damai, bencana tsunami, rehabilitasi paska konflik, serta...

14
Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang Seri Makalah Diskusi 2

Transcript of Discussion paper Ayu for PRINT-final · damai, bencana tsunami, rehabilitasi paska konflik, serta...

Meningkatkan Partisipasi

Perempuan Dalam Politik

di Aceh: Tantangan dan Peluang

Seri Makalah Diskusi 2

UNIFEM adalah dana perempuan pada PBB

(Perserikatan Bangsa-Bangsa). UNIFEM

menyediakan bantuan keuangan dan tehnis bagi

strategi-strategi dan program-program inovatif

yang mendukung hak asasi, partisipasi politik dan

ketahanan ekonomi perempuan. Didalam

melakukan kegiatannya, UNIFEM berkerjasama

dengan organisasi-organisasi dibawah PBB dan

organisasi non pemerintah (NGO) dan jariangan-

jaringan yang mendukung kesetaraan gender.

UNIFEM menghubungkan isu dan kepentingan

perempuan kedalam agenda nasional, regional

dan global dengan mengembangkan kerjasama

dan menyediakan keahlian tehnis dalam strategi-

strategi untuk pengarusutamaan gender dan

pemberdayaan perempuan.

UNIFEM dengan bangga mempersembahkan

serial makalah mengenai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Aceh. Aceh

merupakan suatu masyarakat yang hidup dengan, stabilitas sejarah yang penuh perubahan,

pergolakan yang bertahun – tahun , perjanjian damai, bencana tsunami, rehabilitasi paska

konflik, serta rekonstruksi dan pemulihan. Perempuan telah menjadi tulang punggung

masyarakat Aceh didalam masa damai dan konflik, serta selama bencana dan rekonstruksi.

Serial makalah ini memetakan kesetaraan gender

dan pemberdayaan perempuan didalam bidang sosial ekonomi dan politik di Aceh baik pada saat

ini maupun pada waktu yang lalu. Makalah-makalah ini akan menyediakan wawasan dan

informasi yang kaya serta analisa yang dapat digunakan oleh para praktisi di semua sektor

untuk memaknai kembali dan merekonstruksi

Aceh yang sedang memulai wacana perumusan dan pelaksanaan sebuah Kerangka Kerja

Pemulihan Aceh (Aceh Recovery Fremework) yang sensitif, responsif dan berkesetaraan

gender.

Dr. Jean D’Cunha Program Direktur Regional

Kantor UNIFEM untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara

Pandangan-pandangan yang diungkapkan

didalam makalah ini adalah dari penulis sendiri

dan tidak harus mewakili pandangan UNIFEM,

PBB dan organisasi-organisasi terkait lainnya.

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan

Partisipasi Perempuan Dalam Politik di

Aceh: Tantangan dan Peluang

Copyright © UNIFEM 2008

United Nations Development Fund for Women

East and Southeast Asia Regional Office

UN Building 5th Floor

Rajdamnern Nok Ave.

Bangkok 10200 Thailand

www.unifem-eseasia.org

Ditulis oleh Sri Lestari Wahyuningroem

Sri Lestari Wahyuningroem

adalah seorang pengajar dan

peneliti di lingkungan

Departemen Ilmu Politik

Universitas Indonesia dengan

spesialisasi pemikiran politik

kontemporer, metodologi

ilmu politik, dan politik

identitas. Setelah menamatkan studi pasca

sarjana Ilmu Politiknya di Budapest, Hongaria, ia

banyak memfokuskan karya akademis dan

aktivisnya dalam bidang gender, perempuan dan

damai, juga perempuan dan politik. Selain

melakukan berbagai kegiatan akademis seperti

penelitian dan penulisan mandiri, ia juga

membantu beberapa organisasi lokal dan

internasional, termasuk UNIFEM, sebagai

konsultan maupun peneliti.

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 1

Pendahuluan

erempuan, berdasarkan jumlah, mencakup separuh dari keseluruhan jumlah anggota masyarakat di segala

tempat di dunia. Apakah ini tidak berarti bahwa perempuan seharusnya merupakan separuh solusi dari semua persoalan yang muncul di masyarakat tersebut? Untuk konteks Aceh yang tengah membangun perdamaian dan bertransisi, ini sama artinya dengan mempertanyakan dimana peran, kesempatan, dan keterlibatan perempuan dalam proses-proses yang dijalankan saat ini. Rehabilitasi dan rekonstruksi, reintegrasi dan desentralisasi ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan peminggiran perempuan secara sosial politik dan ekonomi. Indikasinya dapat ditemukan dengan meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan baik di wilayah domestik maupun publik, tingginya tingkat kemiskinan perempuan, menurunnya kesehatan ibu dan anak, ketidakadilan distribusi bantuan, serta minimnya perlindungan hukum bagi perempuan1, yang kesemuanya berdampak pada kesejahteraan dan keberlangsungan masyarakat. Ini berarti bahwa transisi dan transformasi yang terjadi di Aceh saat ini masih belum memberi perhatian yang memadai untuk persoalan-persoalan di atas, dan bahkan masih belum dilihat sebagai bagian dari persoalan pembangunan, perdamaian, dan demokrasi.

Di banyak negara-negara yang

terimbas konflik ataupun yang sedang bertransisi politik, keterlibatan perempuan membawa pengaruh positif yang signifikan

1Gender Working Group (GWG) Aceh mencatat dalam

kondisi dan situasi perempuan Aceh tahun 2006. Laporan

ini menyebutkan sejumlah fakta dan indikator

ketertinggalan perempuan dalam rehabilitasi dan

rekontruksi, reintegrasi, penerapan dan pemaknaan

hukum, momentum dan partisipasi politik, dan kekerasan

terhadap perempuan. Lihat Gender Working Group,

Evaluasi Situasi Perempuan Tahun 2006 di Aceh, 2007

dalam hal output atau hasil dari transisi tersebut.2 Partisipasi perempuan menjadi penting untuk memastikan bahwa perempuan sebagai kelompok yang dominan dalam masyarakat tidak ditinggalkan dan dirugikan dalam pembangunan perdamaian dan transisi yang tengah berlangsung. Sayangnya, dalam proses perdamaian di Aceh, assessment yang pernah dilakukan Conflict Management Initiative (CMI)3 UNIFEM, dan Center for Community Development and Education (CCDE) menemukan minimnya keterlibatan perempuan.4 Keterlibatan perempuan dalam perundingan–perundingan tersebut tidak dinilai sebagai representasi dari perempuan sebagai kelompok melainkan hanya sebagai individu. Kondisi kurangnya keterlibatan perempuan juga tampak pada implementasi kesepakatan perdamaian.5 Hal ini sebenarnya juga sangat terkait dengan tidak adanya peluang bagi perempuan untuk terlibat maupun dilibatkan. Baru pada pasca penanda tanganan damai, peluang bagi perempuan ada dan memungkinkan perempuan terlibat intensif dalam penyusunan dan legalisasi qanun-qanun yang dimandatkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), termasuk terlibat dalam penyusunan UUPA itu sendiri.

2Securing the Peace, Guiding the International

Community towards Women’s Effective Participation

throughout Peace Processes, UNIFEM October 2005 3 CMI atau Conflict Management Initiative adalah salah

satu organisasi nirlaba yang berbasis di Finlandia. Di

bawah kepemimpinan Martii Ahtisaarii, mantan Presiden

Finlandia, organisasi ini aktif melakukan upaya-upaya

rekonsiliasi dan resolusi konflik di berbagai negara di

dunia. 4Aceh Peace Process, the Involvement of Women, CMI,

UNIFEM, and CCDE, August 2006. Beberapa perempuan

dan kelompok perempuan yang diwawancarai menyatakan

hanya perempuan dari kalangan aktivis dan akademisi saja

yang dilibatkan dalam proses perdamaian. Umumnya

masyarakat luas berpikir bahwa partisipasi dalam diskusi-

diskusi dan pembuatan keputusan atas masalah

kemasyarakatan dan politik bukan menjadi urusan

perempuan. Ini juga dilihat sebagai salah satu faktor GAM

juga kesulitan melibatkan perempuan. 5Ibid

P

Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 2

Demokrasi Damai, Damai yang Demokratis: Menemukan Konteks Partisipasi Perempuan dalam Politik Aceh

Dalam konteks apakah sebetulnya partisipasi perempuan bisa ditempatkan dalam transisi di Aceh?

Ketika sebuah konflik dalam suatu

wilayah teritori politik berakhir, maka hal utama yang harus ditempatkan untuk memastikan damai terbangun sekaligus menjadi upaya pencegahan konflik (conflict prevention) adalah mendukung upaya-upaya demokratisasi dan penguatan kapasitas (capacity building) bagi institusi demokrasi. Demokrasi adalah satu-satunya model pemerintahan yang memberikan ruang bagi keadilan, partisipasi, legitimasi popular, dan kesetaraan. Institusi dan proses-proses demokrasi merepresentasikan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, dan ini membantu pengaturan akan banyaknya kepentingan yang saling berkompetisi dengan cara kompromi-kompromi politik, yang berarti juga membantu miminimalisir potensi kemunculan perbedaan dan pembedaan yang berakhir dengan konflik dan kekerasan. Pemilihan umum (Pemilu) dalam hal ini adalah komponen penting dalam demokrasi, yakni sebagai pintu masuk yang mengantarkan pada transisi demokrasi. Dalam transisi demikian, berbagai tantangan bisa saja muncul seperti keberadaan kelompok kepentingan tertentu, peran pemerintah pusat, ataupun tidak berfungsinya proses politik, yang bisa memunculkan konflik baru apabila tidak diselesaikan sebaik mungkin.6 Demokrasi membutuhkan damai supaya bisa dicapai, sebaliknya, damai hanya dapat bertahan apabila demokrasi hadir dan menjadi rujukan utama dari transisi. Untuk kondisi Aceh saat ini, inilah dua sisi mata uang yang saling bergantung satu sama lain: demokrasi damai, dan damai yang demokratis.

6Bengt Save-Soderbergh dan Izumi Nakamitsu, “Electoral

Assistance and Democratization”, dalam Fen Osler

Hampson dan David Malone (eds), From Reaction to

Conflict Prevention, Opportunities for the U) System,

Colorado: Lyone Rienner Publisher, 2002, halaman 357-

358.

Disinilah kiranya partisipasi perempuan menemukan konteksnya: yakni ketika demokrasi menjadi jaminan bagi terbukanya ruang bagi penglibatan perempuan di berbagai proses dan institusi demokrasi. Partisipasi perempuan dalam politik dibutuhkan agar kepentingan dan perspektif perempuan bisa diartikulasikan. Dalam hal ini, perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan di berbagai institusi tidak hanya bertindak sebagai kurir yang menyampaikan pesan, akan tetapi mereka sendirilah yang menjadi pesan tersebut. Ini sekaligus juga menghindari upaya sistematis yang meminggirkan peranan perempuan. Sejarah Aceh sebagiannya adalah sejarah partisipasi perempuan dalam politik, yang ditunjukkan dengan peran sentral sejumlah tokoh perempuan dalam politik formal di wilayah ini. Jauh sebelum berdirinya Kerjaan Aceh Darussalam, kepemimpinan kerajaan di aceh pernah dipegang oleh perempuan, yakni Puteri Lindung Bulan yang memerintah Kerajaan Benua/Teuming (1333-1398) dan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu yang memimpin Kerajaan Islam Samudra/Pase (1400-1428).7 Pada era berikutnya, yakni masa Kerajaan Aceh Darussalam, perempuan diberi peran cukup besar dalam angkatan perang kerajaan.8 Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Darussalam dipimpin oleh beberapa ratu selama 59 tahun, yakni : Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (memerintah tahun 1641-1675), Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin (memerintah tahun 16775-1678), Sulthanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (memerintah

7Lihat A. Hasj my, 59 Tahu n Aceh Merdeka dibawah

Pemerintahan Ratu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal.

24-25. 8Dapat disebutkan disini pembentukan pasukan inong

balee pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah (1589-1604)

yang terdiri dari janda-janda prajurit yang mati dalam

pertempuran. Pasukan ini dipimpin oleh Laksamana

Malahayati, yang juga menonjoi dalam menyusun strategi-

strategi perang. Selain inong balee, ada juga Resimen

Wanita Pengawal Istana (Si Pai Inong) yang dibentuk

pada masa Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604-1607)

dan dipimpin oleh Laksamana Leurah Ganti dan

Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen. Dalam riwayat

Kerajaan Aceh Darussalam, keduanya termsuk yang

membebaskan Iskandar Muda dari talianan Sultan Alaidin

Riayat Syah V. Lihat Teuku H. Ainal Mardhiah Aly,

"Pergerakan Wanita Aceh Masa Lampau sampai Masa

Kini", dalam Ismail Suny (ed.), Bunga Rampai tentang

Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hal. 285-

287.

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 3

tahun 1678-1688), dan terakhir adalah Sulthanah Sri Ratu Kamalat Syah (memerintah tahun 1688-1699). Ratu-ratu ini selain mempunyai kemampuan memimpin dan memerintah juga berhasil memberikan perlindungan hukum pada perempuan.9 Pada masa perlawanan terhadap imperialisme Belanda, tercatat pula keterlibatan pemimpin-pemimpin perempuan seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, dan sebagainya. Keberadaan perempuan-perempuan ini tentu saja harus juga dipahami dalam konteks di masa mereka masing-masing, termasuk sistem dan proses politik seperti apa yang waktu itu berlaku sehingga memungkinkan perempuan berpartisipasi aktif sekaligus juga proses politik seperti apa yang kemudian memutar balikkan posisi sentral perempuan ke titik terendah sehingga, untuk konteks hari ini, perempuan butuh dilibatkan kembali dalam ruang politik di Aceh.

Berbeda dengan pengalaman di masa lalu,

saat ini perempuan nyaris tidak terlibat dalam perubahan politik yang terjadi di Aceh. Di tingkat legislatif, perempuan hanya menempati rata-rata 3% keanggotaan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat kabupaten.10 Untuk tingkatan eksekutif propinsi, saat ini tercatat hanya ada satu perempuan yang menduduki posisi kepeimpinan setingkat kepala dinas. Sementara itu di tingkatan yudikatif, persentase keterwakilan perempuan rata-rata adalah 11.99%.11

Meski demikian, transisi yang terjadi di

Aceh hampir tiga tahun belakangan ini ternyata berpengaruh positif terhadap partisipasi perempuan dalam politik. Hal ini

9Misalnya saja pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin,

ada dua kebijakan yang diambil untuk menaikkan tingkat

kehidupan perempuan. Yang pertama adalah

pemberlakuan undang-undang tentang kedudukan

perempuan dalam rumah tangga dimana setiap orang tua

harus memberikan rumah dan harta bagi anak

perempuannya yang akan menikah. Tujuannya adalah agar

anak perempuannya kelak berhak atas properti rumah dan

harta sehingga suaminya tidak dapat memperlakukannya

dengan buruk. Kebijakan yang kedua adalah pembaharuan

dalam parlemen (atau disebut Majelis Mahkamah Rakyat)

dengan menempatkan 22 orang perempuan dari 73 orang

anggota atau sebanyak 30% dari total anggota Majelis.

Selain itu, di dalam majelis dibentuk sebuah Badan

Pekerja yang beranggotakan sembilan orang terdiri dari

tujuh laki-laki dan dua orang perempuan. 10

Data diolah dari Biro PP NAD, 2006 11

Ibid

terlihat dari munculnya pencalonan kandidat perempuan dalam Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2006 yang lalu, dimana perempuan tidak hanya ikut memilih tetapi juga mencalonkan diri untuk dipilih. Dari 258 calon bupati/walikota dan wakilnya, hanya ada satu perempuan yang terpilih, yakni sebagai wakil walikota. Sementara untuk tingkat gubernur/wakil, 2 perempuan dari total 9 pasang calon pasangan Gubernur/wakil dinyatakan tidak lolos seleksi.12 Meskipun partisipasi ini masih kecil dari sisi jumlah, namun ini dapat menjadi inidikasi positif meningkatnya kesempatan dan keinginan bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam transisi yang berjalan di Aceh saat ini.

Untuk memastikan partisipasi perempuan

dalam politik dalam transisi politik ke depan, kita perlu lebih detil lagi mencermati berbagai hal yang menjadi kekuatan maupun potensi pelemahan bagi partisipasi perempuan dalam politik di Aceh. Dua hal ini bisa kita identifikasikan dalam bentuk peluang dan tantangan yang muncul baik secara formal, struktural, dan kultural.

Peluang bagi Peningkatan Keterwakilan Perempuan Dalam Politik 1. Formal.

a. Desentralisasi dan Perundang-undangan. Bulan Agustus 2001 pemerintah pusat

Republik Indonesia memberikan otonomi khusus bagi Aceh melalui Undang-undang No 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang berisikan 34 pasal ini secara formal memberikan kewenangan khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan lokal dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia.13

12

Lihat Laporan GWG, 2006 13

Salah satu poin penting yang diatur dalam Undang-

undang ini adalah tentang hak Pemilih. Berbeda dengan

UU di tingkat nasional yang menempatkan pemilih

sebagai pemilih pasif, UU No. 18 tahun 2001 ini justru

menempatkan pemilih di Aceh sebagai pemilih aktif

karena menjamin hak memilih kepala daerah, mengawasi

proses pemilihan kepala daerah, mengajukan penarikan

kembali (recall) anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD), mengajukan pemberhentian sebelum

habis masa jabatan kepala daerah, mengajukan usulan

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 4

Otonomi ini dijamin lagi dengan disahkannya UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau yang dikenal dengan UUPA.14 UUPA ini lebih progresif karena menjamin kesetaraan gender di dalamnya, bahkan secara eksplisit menjamin perlindungan dan kesetaraan perempuan. Progres ini tidak lepas dari peran komponen kelompok perempuan di Aceh yang sudah terlibat intensif sejak awal perancangan UU tersebut. Secara spesifik, isu perempuan disebutkan dalam pasal-pasal tentang tugas gubernur dan walikota/bupati, pendirian dan kepengurusan partai lokal, keterwakilan perempuan dalam Majelis Perwakilan Ulama (MPU), ekonomi Aceh, pendidikan, serta kewajiban semua komponen di Aceh untuk melindungi hak perempuan dan melakukan pemberdayaan perempuan. Lebih dari itu, keterlibatan perempuan secara aktif dalam proses-proses reformasi hukum mendorong pemerintah dan komponen masyarakat lainnya untuk mengarusutamakan keadilan gender dalam setiap pembuatan qanun yang dimandatkan dalam UUPA, baik dari segi proses maupun substansi dari qanun itu sendiri.

Di tingkat nasional, partisipasi

perempuan dalam politik dijamin sepenuhnya dalam Revisi Undang-Undang Politik. Dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik tersebut, pembentukan dan kepengurusan partai politik di tingkat pusat harus menyertakan 30% untuk keterwakilan perempuan (pasal 2 tentang pembentukan partai politik), serta ketentuan untuk memperhatikan minimal 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota (pasal 20). Ketentuan ini sangat penting mengingat mulai maraknya pembentukan partai politik lokal di

kebijaksanaan pemerintahan daerah, mengajukan usulan

penyempurnaan dan perubahan qanun Aceh, dan

mengawasi penggunaan anggaran. Ini berarti bahwa

desain politik yang lebih partisipatoris di Aceh telah

dibangun 14

UUPA memandatkan pembentukan perundang-undangan

sejenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan

pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Aceh.

Perundang-undangan inilah yang dimaksud dengan qanun.

Adapun penyusunan qanun ini diatur oleh qanun No 3

tahun 2007 tentang tatacara pembentukan qanun yang

disahkan tahun lalu. Qanun ini juga meneguhkan desain

politik yang partisipatoris karena menjamin keterlibatan

luas masyarakat dalam berbagai tahapan pembentukan

qanun-qanun di Aceh.

Aceh saat ini. Disamping itu, Revisi UU Pemilu, yakni UU No. 10 tahun 2008 juga cukup progresif mengatur minimal keterwakilan perempuan dalam pencalonan (pasal 56 dan 58), yakni minimal 30% dari daftar dan minimal satu dari tiga nama bakal calon harus perempuan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga memiliki kewajiban untuk melakukan verifikasi terhadap syarat keterwakilan perempuan tersebut (pasal 60) dan mengumumkannya di media (pasal 69).

UUPA sendiri juga memandatkan

partai politik untuk memperhatikan kuota minimal 30% untuk perempuan dalam kepengurusan dan pencalonan sebagaimana disebutkan dalam pasal 75. Sehingga ini menjadi landasan hukum bagi perempuan untuk meningkatkan peran sertanya dalam transisi politik di Aceh.

b. Komitmen terhadap CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Indonesia merupakan salah satu

negara yang paling awal meratifikasi CEDAW, yakni tahun 1984, tidak lama setelah konvensi ini disahkan. Ratifikasi CEDAW ditetapkan dalam UU No 7 tahun 1984. Lebih maju lagi, tahun 2000 Indonesia meratifikasi hasil Konvensi Beijing (1995) dan menjadikannya sebagai landasan dalam Instruksi Presiden No.9/2000 tentang pengarusutamaan gender dan UU Pemilu No.12/2003 pasal 65 (1) mengenai kuota minimal 30% perempuan dalam daftar calon legislative (caleg).

2. Struktural

a. Peran Pemerintah Pemerintah beserta seluruh aparatnya,

baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kecamatan, memiliki peran penting dalam mengimplementasikan perundang-undangan tersebut. Sejauh ini, pemerintah sudah mengenali kebutuhan perempuan dengan mengakomodir bentuk affirmative action yakni melalui pembentukan Badan Pemberdayaan Perempuan di tingkat propinsi. Badan ini menjadi fungsi strategis karena akan banyak sekali terlibat dalam program dan kebijakan pemerintah daerah terutama yang terkait dengan perempuan. Meskipun badan ini

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 5

tidak terdapat di tingkat kabupaten, namun biro dan sub bagian pemberdayaan perempuan masih dipertahankan di beberapa kabupaten, Dengan ketersediaan dana yang sangat kecil, biro dan bagian ini tetap strategis untuk mendorong partisipasi perempuan dalam politik di tingkatan kabupaten. Tentu saja, perlu ada upaya yang lebih untuk memberdayakan badan ini sehingga memiliki kemampuan untuk mengemban fungsi strategisnya.

b. Peran organisasi berbasis komunitas dan organisasi masyarakat sipil. Dampak yang paling signifikan dari

tsunami adalah berkembang dan menguatnya aktivitas dan kelembagaan yang berbasis komunitas. Inilah yang mendorong pada upaya pemberdayaan masyarakat, termasuk perempuan, lewat cara-cara pendidikan ketrampilan, program livelihood, sosialisasi, kegiatan keagamaan, trauma healing, dan sebagainya. Organisasi berbasis komunitas (community based organizations) memainkan peranan penting terutama karena lumpuhnya fungsi organisasi tradisional dan pemerintahan di tingkat komunitas seperti gampong dan mukim.

Disamping itu, lemahnya fungsi-fungsi

sosial dan politik setelah tsunami terjadi, merupakan salah satu faktor menentukan yang memberikan struktur kesempatan politik bagi penguatan gerakan sosial di Aceh. Ini ditandai dengan munculnya banyak organisasi non pemerintah (NGO) di Aceh, selain dari keberadaan NGO nasional dan internasional. Organisasi-organisasi melakukan mobilisasi sumber daya, terutama finansial, untuk melakukan aktivitas-aktivitas pemberdayaan masyarakat termasuk perempuan, baik di tingkatan akar rumput maupun elit pengambil keputusan. Tidak heran jika kemudian, karena perannya yang begitu sentral dalam masyarakat, peran organisasi ini mampu menggantikan peran institusi-institusi formal seperti institusi negara, agama, bahkan kekeluargaan atau paguyuban. Profesi sebagai aktivis ataupun staf NGO pun sekarang menyaingi kepopuleran profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil yang selama ini menjadi pilihan utama masyarakat, karena profesi NGO ini menjanjikan pendapatan yang lebih besar dan menciptakan gaya hidup tersendiri.

Ditambah lagi dengan damai yang diraih tidak lama setelah tsunami, maka kondisi demikian memungkinkan perempuan untuk mendapatkan pemahaman baru tentang hak-haknya, serta mengaktualisasikan dirinya di luar sistem formal yang selama ini sangat sulit untuk bisa diakses oleh perempuan, terutama perempuan di akar rumput. Kesempatan untuk perempuan berperan dalam perubahan sosial politik di masyarakat memunculkan potensi kepemimpinan dan penguatan organisasi perempuan. Tidak heran jika kemudian di era pasca tsunami ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah Aceh, muncul figur-figur pemimpin gampong atau keuchik perempuan. Terhitung hingga tulisan ini dibuat, ada enam orang perempuan yang menjadi keuchik di Aceh. Ini adalah perubahan struktural yang sangat signifikan, mengingat secara sosio kultural fungsi keuchik selama ini hanya diperuntukkan bagi laki-laki.

Kehadiran banyak lembaga asing juga

merupakan peluang tersendiri. Tidak dapat dipungkiri, kehadiran lembaga ini, termasuk PBB, menjadi penting dalam memberikan sumber daya yang dibutuhkan bagi masyarakat dan organisasi-organisasi lokal. Melanggengkan damai dengan mekanisme demokrasi adalah suatu hal yang menjadi kebutuhan bukan saja masyarakat Aceh tapi juga komunitas internasional yang direpresentasikan organisasi-organisasi ini.

c. Pembentukan Partai Lokal.

Sebagai bagian dari kesepakatan (MoU) Helsinki, serta implementasi dari UU No 18 tahun 2001, maka partai politik lokal dimungkinkan untuk dibentuk dan diakomodir dalam sistem politik di Aceh. Hingga saat ini, ada 13 partai politik lokal yang sudah dibentuk dan beberapa diantaranya sudah melewati tahap pendaftaran resmi. Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bahwa partai-partai politik lokal ini mempunya kewajiban untuk memperhatikan minimal 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai sebagaimana yang diatur dalam pasal 75 UUPA. Sementara itu, di tingkat nasional, revisi terhadap Undang-undang Partai Politik sudah sangat progresif dengan mensyaratkan kewajiban setiap partai politik di Indonesia untuk menerapkan kuota minimal 30% untuk keterwakilan perempuan baik dalam

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 6

kepengurusan maupun dalam pencalonan kandidat Pemilu.

Pembentukan partai-partai lokal

sebagai dampak dari munculnya struktur kesempatan politik yang ada juga merupakan suatu peluang bagi partisipasi perempuan dalam politik. Partai-partai politik lokal memiliki isu dan tujuan yang lebih kontekstual dan relevan dengan kepentingan dan pengalaman masyarakat di Aceh, termasuk perempuan. Disamping itu, berkembangnya isu-isu dan gerakan perempuan, selain bahwa perempuan merupakan voters (pemberi suara) dalam jumlah yang sangat besar, menjadi pertimbangan sendiri bagi partai-partai lokal ini untuk meraih dukungan dengan cara mengakomodir massa dan isu perempuan. Ini misalnya sudah dilakukan oleh Partai Rakyat Aceh (PRA) dan Partai Aliansi Rakyat Aceh (PARA). PARA bahkan secara spesifik menyebutkan partainya sebagi partai peduli perempuan. 3. Kultural

Untuk konteks Aceh belakangan ini, persoalan identitas kultural ”Aceh” menjadi isu kolektif yang muncul dalam masyarakat. Peran sejarah menjadi sentral ketika dihadapkan pada keinginan untuk memahami dan mengukuhkan identitas kultural ini. Sebagaimana yang diakui oleh Junus Melalatoa,

”Untuk memahami ”Aceh” (komunitas Naggroe Aceh Darussalam) pada hari-hari ini tampaknya harus menoleh pada jejak-jejak sejarah masa lalu.”15

Sejarah dipercaya memiliki fungsi membangkitkan kesadaran suatu entitas masyarakat, sekaligus juga mendorong harapan bagi masa depan masyarakat tersebut. Sejarah mengangkat ingatan tentang kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di masa lampau serta harapan dan aspirasi di masa depan. Untuk masyarakat Aceh yang didera bencana masif, baik itu bencana manusia (konflik politik) dan bencana alam (tsunami), sejarah menjadi kata kunci bagi kepastian akan identitas dan nilai ke-Acehan sekaligus harapan bagi kejayaan di masa depan sabagaimana

15

Junus Melalatoa, “Memahami Aceh, Sebuah Perspektif

Budaya”, dalam Kusumo, Sardono W, Aceh Kembali ke

Masa Depan, (Jakarta: IKJ Press), 2005, halaman 2

diingat di masa lalu. Dengan demikian, menurut Teuku Ibrahim Alfian, memori kolektif tentang sukses di masa lampau perlu disosialisasikan kepada masyarakat Aceh.16 Aceh memiliki kisah-kisah sukses di masa lampau dengan banyaknya kepemimpinan dan partisipasi perempuan dalam politik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Keberanian, heroisme, kebijaksanaan, kepemimpinan, adalah gambaran peran dan kepemimpinan perempuan. Relevansinya untuk masa kini adalah bahwa perempuan mampu berpartisipasi dalam politik di dunia publik, dan bahwa peran dan kepemimpinan mereka menciptakan kejayaan dan didukung sepenuhnya oleh rakyat Aceh. Inilah bagian penting dari memori kolektif yang harus disosialisasikan kepada masyarakat Aceh kontemporer. Dengan kata lain, secara kultural, “Aceh” dan “ke-Acehan” di masa kini sangat ditentukan oleh bagaimana partisipasi perempuan dan political will semua pihak terutama pemerintah dan tokoh adat/agama memberi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam konteks transisi demokrasi damai yang berlangsung saat ini.

Tantangan bagi Peningkatan Keterwakilan Perempuan 1. Formal

a. Sistem Pemilu dalam Undang-Undang Politik.

Meskipun beberapa klausul dalam UU Pemilu yang baru disahkan memberikan ruang bagi affirmative action untuk perempuan, tetapi ketentuan ini mendapat rintangan dari adanya berbagai ketentuan lain terkait dengan sistem Pemilu yang jauh lebih rumit dari Pemilu-Pemilu sebelumnya yang pernah dilaksanakan di Indonesia. Rintangan ini terdapat dalam pasal-pasal yang mengatur tentang penentuan calon terpilih, dan perhitungan perolehan kursi untuk legislatif nasional (DPR). Agar perempuan dapat terpilih menjadi anggota DPR, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:

16

Teuku H. Ibrahim Alfian, “Refleksi tentang Gempa

Tsunami: Kegemilangan dalam Sejarah Aceh”, dalam

Kusumo, Ibid, halaman 83.

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 7

i. memastikan partai politik yang ia representasikan dapat melampaui suara Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di daerah pemilihan (dapil). Dan caleg perempuan tersebut bisa melampaui 30% BPP di dapil sehingga lolos pada perhitungan tahap pertama.

ii. Sisa suara partainya bisa

melampaui 50% BPP di dapil sehingga partainya bisa lolos pada perhitungan suara tahap 2. Caleg perempuan tersebut suaranya juga harus melampaui 30% BPP

iii. Karena aturan di atas tersebut,

pasal tentang zipper system menjadi tidak relevan karena walaupun perempuan berada di nomor urut 1, tapi tidak bisa melampaui 30% BPP di dapil sementara di dapil tersebut banyak caleg lain yang bisa melampaui 30% BPP maka ia tetap tidak bisa terpilih.

b. Platform dan mekanisme formal di

dalam Partai Politik.

Meskipun perangkat hukum seperti Undang-undang dan qanun sudah sangat progresif dalam menentukan kewajiban memberlakukan angka kuota untuk perempuan, tapi aturan ini tidak mengatur sanksi bagi partai politik yang tidak melakukan hal tersebut. Ini berarti, implementasi pasal-pasal tersebut sangat bergantung kepada setiap partai politik yang ikut Pemilu. Salah satu tantangan terbesar untuk meningkatkan partisipai politik perempuan adalah kondisi intenal partai politik yang masih sangat diskriminatif terhadap perempuan. Partai politik merupakan kunci utama yang menentukan partisipasi poltik perempuan. Penerimaan dan resistensi mereka terhadap kesetaraan gender dalam pencalonan dan kepengurusan menjadi sangat penting. Dalam hal kepengurusan, perempuan akan menghadapi pilihan yang sulit karena keikutsertaannya di partai akan menuntut komitmen waktu dan tenaga yang besar pada saat yang sama ia harus menjalankan peran gendernya sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keluarga dan membesarkan anak.

Disamping itu, institusi partainya sendiri sangat maskulin, beroperasi dengan merujuk pada aktivitas laki-laki. Termasuk disini adalah rapat-rapat yang dilakukan malam hari karena siang harinya pengurus partai laki-laki pada umumnya bekerja, serta cara-cara kekerasan dalam penyelesaian masalah. Unsur male-chauvinist juga menentukan kerelaan anggota laki-laki di partai politik untuk merekrut dan bermitra dengan perempuan dalam kerja-kerja di partainya. Dalam hal pencalonan wakil rakyat, secara normatif, kebanyakan partai politik mengklaim telah menerapkan perlakuan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam pencalonan. Survey yang dilakukan Inter-Parliamentary Union (IPU) tahun 1995 di 188 negara anggotanya menemukan bahwa secara umum tidak ada hambatan legal formal bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam Pemilu.17 Jika perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama, bagaimana menjelaskan sedikitnya perempuan yang pada akhirnya dinominasikan sebagai kandidat dalam Pemilu? Jawabannya terletak pada proses rekrutmen politik yang melibatkan peran partai politik. Proses ini terdiri dari tiga tahapan, yakni tahap dari individu calon (elligibles) kepada bakal calon (aspirants), lalu tahapan dari bakal calon kepada kandidat, dan terakhir dari kandidat kepada wakil rakyat.18 Di tahapan yang pertama, pertimbangan individual perempuan tentang motivasi dan sumber daya yang ia miliki untuk maju dalam pencalonan menjadi penting. Partai politik cenderung memiliki kepentingan untuk menjaring orang-orang dengan kriteria tertentu, seperti latar belakang pendidikan dan status sosial yang memadai, dan sebagainya. Di Indonesia, hal lain yang berperan penting di tahapan ini adalah faktor primordialisme yang kental, sehingga hubungan kekerabatan atau solidaritas etnis atau agama tertentu juga akan menentukan pencalonan seseorang. Partai

17

Richard Matland dan Kathleen Montgomery,

“Recruiting Women to National Legislatures: A General

Framework with Applications to Post Communist

Democracies”, dalam Richard Matland dan Kathleen

Montgomery (eds), Women’s Access to Political Power in

Post Communist Europe, Oxford University Press, 2003 18

Matland dan Montgomerry (eds), Ibid; Pippa Norris,

“Legislative Recruitment” dalam Leduc, Niemi, dan

Norris (eds), Comparing Democracies: Elections and

Voting in Global Perspective, (London: Sage), 1996.

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 8

politik umumnya akan mempertimbangkan ‘perempuan yang berkualitas’ dalam tahapan ini. Berkualitas seringkali menjadi istilah formal untuk menunjukkan kriteria yang sama antara laki-laki dan perempuan, tapi pada kenyataannya istilah itu justru diskriminatif. Banyak perempuan tidak memiliki akses ke sekolah tinggi, atau pengalaman berorganisasi sebagai pemimpin, karena selama ini ada peran sosial yang harus ia lakoni yang tidak memungkinkannya untuk meraih hal-hal tersebut. Untuk konteks Aceh, tentu saja akan sulit untuk mengaplikasikan kualifikasi yang tinggi bagi perempuan mengingat kondisi sosial politik di Aceh selama ini tidak memberikan kesempatan luas bagi perempuan untuk mengakses pendidikan, ekonomi dan keorganisasian. Di tahapan kedua, peran pengambil keputusan dalam partai politik akan sangat menentukan. Merekalah yang harus memutuskan siapa saja yang akan dijadikan kandidat. Untuk Indonesia, termasuk Aceh, yang lebih menentukan penilaian ini adalah pertimbangan subyektif mereka, dan bukan kalkulasi rasional berdasarkan preferensi pemilih dan konstituen atau platform partai. Bahkan, umumnya seseorng dapat diloloskan sebagai calon apabila mereka bisa menyetor sejumlah uang bagi partai (dan individu dalam partai). Jumlah uang akan menentukan posisi atau urutan pencalonannya. Selain uang, pertimbangan primordialisme dan nepotisme juga sangat dominan, terutama jika individu pengambil keputusan di partai tersebut memiliki kepentingan dan agenda politik tertentu dalam partainya (persaingan politik dan sebagainya). Jelas sekali bahwa pertimbangan non rasional lebih berperan dalam tahapan ini. Di tahapan yang terakhir, pertimbangan di luar individu calon dan individu partai politik akan menentukan terpilih atau tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat. Persepsi pemilih tentang calonnya, popularisme calon dan partai politik, serta program dan image partai politik membentuk preferensi bagi pemilih. Biasanya, bias gender akibat kuatnya nilai patriarkis yang membatasi perempuan untuk menjadi politisi akan juga berpengaruh pada preferensi pemilih. Tahapan ini dapat digambarkan dalam skema berikut:

Mengingat pentingnya peran partai dalam tahapan demikian, maka seyogianya partai politik dapat mengakomodir hal ini paling tidak dalam kebijakan formalnya. Sayangnya, tidak semua partai politik memiliki atau mencantumkan isu gender dan perempuan dalam Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) nya.19 Sementara itu, sifat partai politik yang sangat sentralistik dengan menekankan pada besarnya peran Dewan Pengurus Pusat (DPP) menyulitkan partai politik nasional di Aceh untuk dapat mengakomodir atau mengadopsi kebijakan khusus yang dapat meningkatkan partisipasi politik perempuan di tingkat lokal. Hal ini sebetulnya dapat diminimalisir apabila di dalam partai politik tumbuh gerakan perempuan yang kuat, baik yang muncul di dalam partai politik sendiri maupun dengan membentuk kaukus dengan aktivis perempuan dari partai politik lain. Organisasi dan aktivis-aktivis tersebut tidak hanya menjalankan fungsi advokasi dan edukasi, melainkan juga menjadi alat kontrol internal partai politik dalam kaitannya dengan komitmen partai memberdayakan perempuan. Koordinasi dan konsolidasi yang baik dari semua aktivis atau

19

Dari tujuh partai politik nasional yang mendapat kursi di

DPR RI, yakni Golkar, Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat

Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan

Partai Demokrat, hanya PKB yang secara tegas dan

eksplisit mencantumkan affirmative action untuk

perempuan, yakni kuota 30% dalam kepengurusan, adanya

perwakilan publik perempuan dalam ketentuan Peserta

Muktamar dan Musyawarah di organisasi PKB. Lihat di

website PKB www.kebangkitanbangsa.org

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 9

organisasi perempuan dalam partai politik akan mampu menguatkan kemampuan lobi dan posisi tawar mereka dalam menekan konsistensi partai terhadap peningkatan keterwakilan perempuan. Di Aceh, Kaukus Politik Perempuan sudah terbentuk sejak tahun 2002, tetapi belum bisa maksimal dalam melakukan fungsinya, Dalam kaitannya dengan Pemilu, aktivis-aktivis perempuan terutama di daerah juga dapat membuat database berisi daftar individu-individu potensial yang dapat dicalonkan dalam Pemilu mendatang.

c. Program dan Paradigma Pemerintah tentang Pemberdayaan Perempuan.

Selain partai politik, tantangan juga dapat muncul dari organ pemerintahan yang ada. Sebagaimana yang juga berlangsung di Aceh, berbagai kajian yang dilakukan di negara-negara Asia Tenggara menemukan bahwa pemerintah memperlakukan isu-isu perempuan secara eksklusif hanya persoalan kesejahteraan dan bukan kesetaraan politik.20 Kesejahteraan sering hanya dimaknai sebagai penanggulangan kemiskinan, kesehatan ibu dan anak, dan perlindungan perempuan. Tidak jarang juga ini merujuk pada peran perempuan dalam keluarga sejahtera serta keluarga berencana. Organ-organ pemerintahan yang dibentuk untuk menangani persoalan perempuan, seperti Biro Pemberdayaan Perempuan ataupun Badan Pemberdayaan Perempuan, umumnya hanya dimandatkan untuk mengurusi soal-soal ini. Pembentukan Badan Pemberdayaan Perempuan di tingkat propinsi NAD menjadi relevan untuk dibicarakan di sini dalam kaitannya dengan kebutuhan partisipasi perempuan dalam politik. 2. Struktural

a. Kemiskinan dan Ketertinggalan Ekonomi.

Faktor struktural yang paling menghambat partisipasi perempuan dalam politik adalah struktur kemiskinan dan ketertinggalan ekonomi. Biro Pusat Statistik (BPS) Aceh pada tahun 2005 menyebutkan bahwa perempuan bekerja di Aceh hanya 36.7% dari keseluruhan penduduk, dimana

20

Lihat laporan dan studi dari negara-negara Asia

Tenggara dalam Beate Martin dkk (eds), Southeast Asian

Women in Politics and Decision-Making, Ten Years After

Beijing: Gaining Ground?, (Manila: Friedrich Ebert

Stiftung), 2005

77% diantaranya merupakan pekerja tidak dibayar.21 Sementara itu, data dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) menyebutkan hanya ada 36% pekerja perempuan yang aktif di perkotaan dan 45% pekerja aktif perempuan di pedesaan.22 Ini berarti, perempuan harus bergantung secara ekonomi pada suami atau anggota keluarga lainnya untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Implikasinya, perempuan hanya bisa berperan dalam pengasuhan anak dan pelayanan keluarga di lingkup domestik, dan secara terstruktur akan menjauhkannya dari berbagai akses informasi, pendidikan, dan akses sosial lainnya, serta kehilangan peran dalam komunitas dan masyarakatnya. Sementara itu, bagi perempuan yang bekerja untuk menafkahi keluarga dan menjalankan peran gandanya, maka hampir tidak mungkin baginya untuk mengalokasikan waktu dan tenaga untuk terlibat dalam politik di ruang publik. Kesempatan berpartisipasi politik pada saat yang sama akan merenggut kesempatannya mendapatkan uang yang cukup untuk membiayai keluarganya. Situasi demikian sangat tampak di tingkatan akar rumput. Bagi perempuan-perempuan ini, tidak penting berpartisipasi dalam politik dan menjadi representasi perempuan karena sistem dan partai politik terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Ditambah lagi dengan pengalaman traumatik selama konflik yang menahun, pesimisme ini semakin bertambah mengingat politik merupakan basis utama konflik. Gerakan perempuan perlu, dengan demikian, meminimalkan gap atau kesenjangan antara tujuan dan aksi yang dilakukan di tingkatan pengambil keputusan/elit politik dan di tingkatan grassroot.

b. Peran Media Massa. Media massa juga menjadi tantangan tersendiri yang berpotensi menghambat partisipasi perempuan dalam politik. Media massa memiliki pengaruh dominan dalam membuat opini publik dan merekam kebenaran. Potensinya untuk merekonstruksi nilai-nilai kultural dalam masyrakat yang seringkali mendiskriminasikan perempuan seringkali tertutup oleh kepentingan ekonomi

21

Sensus Penduduk Aceh Nias (SPAN), Biro Pusat

Statistik, 2005 22

Koran AcehKita, 8-14 Januari 2007.

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 10

dan kapital yang menjadikan cerita tentang perempuan sebagai obyek komersialisasi semata. Tidak hanya perempuan menjadi obyek komersial, tetapi juga pada akhirnya ini memapankan stereotip dan opresi terhadap perempuan dalam masyarakat. Berita-berita khalwat atau pelecehan seksual misalnya, tidak dibahas dengan melihat keberpihakan terhadap situasi perempuan melainkan justru dikonstruksi seolah-olah perempuan adalah yang bertanggung jawab pada moralitas orang Aceh.

c. Arah Gerakan Perempuan. Tantangan yang lain muncul dari gerakan perempuan sendiri yang disatu sisi bisa menguatkan perannya dalam transisi di Aceh, tetapi di lain pihak juga cenderung terjebak pada cara-cara mobilisasi sumber daya tanpa mengindahkan persoalan substantif dari gerakan itu sendiri. Sebagai sebuah mobilisasi, gerakan mengandalkan sepenuhnya pada dua hal: peran aktor atau institusi (McCarthy dan Zald, 1987), dan/atau struktur kesempatan politik (Tarrow, 1983 dan 1994). Tsunami dan perdamaian memberikan struktur kesempatan politik pada gerakan untuk memobilisasi sumber daya yang bisa saja berupa pendanaan, jaringan, kekuasaan, posisi sosial, dan lain-lain. Acapkali pada akhirnya gerakan demikian berujung pada bentuk ketergantungan terhadap sumber daya dari luar dirinya, terutama dalam hal pendanaan atau funding. Fokus yang ketat pada kerja-kerja pragmatis sektoral menyebabkan seringnya data dan analisis terhadap situasi perempuan dilupakan sehingga bentuk kerja-kerja praktis seringkali didasarkan pada asumsi dan hipotesis, dan tidak merefleksikan situasi yang terjadi di dalam masyarakatnya sendiri atau di dalam kelompok yang ia wakili..Tidak hanya itu, aspek koordinasi dan konsolidasi gerakan pun pada akhirnya terlupakan, atau dianggap tidak penting. Lebih parah lagi, tidak jarang kerja-kerja praktis dilakukan untuk kepentingan keberlanjutan dari organisasi atau individu itu sendiri, dan bukannya untuk kelompok yang ia wakili. 3. Kultural Faktor kultural menjadi tantangan terbesar karena sifatnya yang tidak terinstitusi, tidak kasat mata, dan berbentuk nilai dan kepercayaan yang menjadi rujukan bagi umumnya masyarakat Aceh. Dalam konteks

saat ini, peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Aceh merupakan konstruksi sosial yang terbangun atas dasar pemahaman masyarakat atas nilai-nilai kultural dan interpretasi agama Islam. Keduanya, nilai-kultural dan interpretasi Islam, sarat dengan muatan patriarkis dimana laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan. Dalam hal ini, perempuan dibatasi fungsinya hanya sebagai pembawa keturunan sehingga perannya dibatasi pada fungsi-fungsi dalam ranah domestik seperti mengurus rumah tangga, membesarkan anak, dan sebagainya. Sentralitas peran perempuan dalam keluarga dan rumah tangga terlihat dalam nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat.23 Sosialisasi peran perempuan demikian sudah dimulai sejak kecil sehingga ranah publik merupakan sesuatu yang dibatasi untuk perempuan. Tidak heran jika kemudian perempuan secara struktural terjebak pada kondisi pemiskinan dan marjinalisasi. Kurangnya akses pendidikan, informasi, kesempatan ekonomi, menjadi pembatas-pembatas perempuan untuk bisa mengaktualisasikan dirinya dan berperan dalam masyarakat. Sistem politik dalam konteks demokrasi berlangsung di ranah publik, sehingga partisipasi perempuan dalam politik akan dianggap menyalahi peran kodrati perempuan. Ketika perempuan tetap memilih aktif dalam politik, maka ia akan menjalankan beban multi, tidak saja beban domestik, tetapi juga privat (ekonomi) dan publik (politik).

23

Dalam konsepsi rumah tradisional, misainya, rumah

diperuntukkan bagi perempuan, dari mulai

kepemilikannya, hingga kepada pembagian ruangan yang

hampir seluruhnya digunakan bagi aktivitas perempuan

dalam rumah tangga. Dua dari tiga bagian ruangan dalam

rumah tradisional Aceh (rumoh Aceh) berfungsi sebagai

tempat aktivitas isteri, yakni rumah tunggal yang terdiri

dari ruang tidur prumoh (isteri, pemilik rumah),

seurambat (tempat penyimpanan padi, yang disimpan di

rumah tunggal karena padi diartikan sama dengan

perempuan bagi masyarkat Aceh); dan serambi belakang

yang terdiri dari ruang tamu perempuan dan kamar anak-

anak perempuan, ruang makan ibu, dan dapur. Lihat

misalnya M. Yahya Mansur, "Sistem Kekerabatan

(Kinship) Masyarakat Aceh Utara dan Aceh Besal", dalam

M.Yahya Mansur (et.al), Sistem Kekerabatan dan Pola

Pewarisan (Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita, 1988).

Meskipun perempuan menjadi "tuan" dalam rumahnya,

tetapi pada prakteknya tidak demikian. Laki-laki tetap

memegang kekuasaan tertinggi untuk menentukan

berbagai keputusan karena laki-lakilah yang keluar rumah

dan mencari uang. Perempuan kehilangan posisi tawarnya

karena ia dianggap tidak ambil bagian dalam proses

produksi.

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 11

Faktor Internal Analisis di atas melihat tantangan dan peluang bagi partisipasi perempuan dalam politik sebagai faktor eksternal, atau faktor yang berasal dari luar diri atau individu perempuan yang berkontribusi terhadap partisipasi perempuan dalam politik. Selain faktor eksternal ada juga faktor internal yang merupakan sebuah pemahaman subyektif dan kondisi obyektif yang dimiliki perempuan akibat kontruksi kultural, kondisi struktural, dan peran institusi formal yang ada. Yang termasuk di dalam faktor internal ini adalah:

I. pandangan bahwa politik itu ‘kotor’ dan ‘keras’, suatu impresi yang muncul akibat praktek-praktek politik maskulin yang diinstitusionalisasikan, misalnya kekerasan sebagai penyelesaian masalah politik. Impresi ini mengakibatkan perempuan enggan untuk ikut berpartisipasi dalam politik.

II. Keterbatasan informasi dan pemahaman tentang isu-isu sosial politik serta sistem politik dikarenakan keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan dan informasi

III. Perasaan rendah diri, atau kurangnya percaya diri dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan pikiran, ide serta kepentingannya

IV. Ketidakmampuan perempuan untuk menjalani peran ganda, terutama karena stereotyping yang berkembang dalam masayarakat

V. Keterbatasan sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk mendukung partisipasinya dalam politik

VI. “Politisi perempuan maskulin”, yakni perempuan yang tidak merasa merepresentasikan kepentingan kelompok perempuan. Anggapan demikian bisa muncul karena sistem dan struktur politik maskulin seringkali menuntut perempuan menjadi aseksual, atau tidak berjenis kelamin. Stereotip gender membakukan anggapan bahwa politik adalah wilayah yang keras, yang hanya bisa dijalani oleh laki-laki dengan rasionalitas. Perempuan dianggap sebagai mahluk yang tidak rasional, labil dan hanya mengandalkan perasaan. Ini adalah sifat dan karakter

yang tidak bisa diterapkan dalam politik. Rawya Shawa, seorang anggota parlemen perempuan di Palestina pernah mengungkapkan,

“Women don’t have the right to cry; it’s only the privilege of men. A male MP, even a minister, can cry. It’s normal. It’s not being emotional, it’s being intelligent. But women don’t have the right to be weak, to cry, to show our emotions – because we live in a time when to be in politics, we have to behave more like a man." (perempuan tidak punya hak untuk menangis, hanya laki-laki yang boleh. Seorang anggota parlemen laki-laki, bahkan seorang menteri sekalipun, boleh menangis. Ini normal. Ini bukan emosional, tetapi pintar. Tetapi perempuan tidak punya hak untuk kelihatan lemah, menangis, menunjukkan emosinya—karena ketika kita masuk ke dunia politik, kita harus bersikap seperti laki-laki).24

Kesimpulan

Damai tidak mungkin dapat berlangsung jika perempuan ditinggalkan dalam pengambilan keputusan. Partisipasi perempuan mutlak dibutuhkan, dan partisipasi ini harus ditempatkan dalam konteks transisi politik menuju demokrasi sebagaimana yang saat ini berlangsung di Aceh. Partisipasi perempuan dalam politik sendiri sudah menjadi bagian dari identitas “ke-Acehan”, terutama di masa lalu. Di masa kini, partisipasi perempuan dalam politik dimungkinkan dengan terbukanya ruang-ruang kesempatan politik serta perubahan struktural di masyarakat. Hal ini ditambah lagi dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan CEDAW, dan menjadi catatan penting yang diberikan Komite CEDAW dalam Concluding Comments merespon laporan Pemerintah Indonesia tahun lalu.25 Meskipun ada sejumlah hal yang berpotensi menghambat keterlibatan perempuan dalam politik, namun hal-hal ini semestinya

24

Dikutip dari Azza Karam dkk (eds), Women in

Parliament: Beyond )umbers”, (Sweden: IDEA), 2005 25

Lihat Concluding Comments dari CEDAW Committee

terhadap laporan CEDAW oleh Pemerintah RI tahun

2007, terutama paragraf 26 dan 27.

Seri Makalah Diskusi 2: Meningkatkan Partisipasi Perempuan Dalam Politik di Aceh: Tantangan dan Peluang 12

diperlakukan sebagai motivasi untuk bersama-sama mendorong peningkatan partisipasi perempuan dalam politik. Makalah ini menguraikan sejumlah peluang dan tantangan bagi partisipasi perempuan dalam politik di Aceh, dengan berharap bahwa hal-hal ini dapat direfleksikan sehingga dapat merumuskan bersama bentuk strategi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik di masa mendatang.

Tentu saja ini adalah upaya awal yang

berkontribusi dalam meluaskan diskursus atas perlunya partisipasi perempuan dalam politik dalam transisi demokrasi damai di Aceh. Awalan menjadi penting ketika kita memimpikan sebuah akhir yang bahagia bagi seluruh masyarakat Aceh.�