Drs. Bahroni, M.Pd. SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI...

141
KUASAILAH DUNIA DENGAN BAHASA: Memahami Pokok-Pokok Ilmu Bahasa Drs. Bahroni, M.Pd. SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA i

Transcript of Drs. Bahroni, M.Pd. SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI...

KUASAILAH DUNIA DENGAN BAHASA:Memahami Pokok-Pokok Ilmu Bahasa

Drs. Bahroni, M.Pd.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERISALATIGA

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan sembah-sujud hanya

bagi Allah, Tuhan semesta alam. Allahlah yang telah menciptakan bahasa

sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah: 31: Dan Dia

mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian

mengemukakan kepada para Malaikat lalu berfirman: ”Sebutkanlah kepada-

Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa Allah telah mengajarkan pada Nabi

Adam semua nama atau bahasa yang fungsinya utamanya adalah untuk

berkomunikasi agar kehidupan manusia menjadi lebih mudah.

Allah juga berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya

ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna

kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-

tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Ar-

Rum:22).

Dalam rangka mensyukuri salah satu nikmat Allah yang berupa bahasa

tersebut, penulis berikhtiar dan ikut berperan dalam pengembangan khazanah

keilmuan bahasa dengan menyajikan buku ini ke hadapan pembaca yang

dirahmati Allah. Buku yang berjudul KUASAILAH DUNIA DENGAN

BAHASA: Memahami Pokok-Pokok Ilmu Bahasa ini berisi paparan tentang

semiotik (kajian tanda), semantik (kajian makna), morfologi (kajian bentuk),

sintaksis (kajian tata kalimat), stilistik (kajian gaya bahasa), dan pragmatik

(kajian penggunaan bahasa).

Semiotik adalah studi kegiatan kegiatan manusia yang mendasar yaitu

menciptakan makna. Atau, studi tentang tetanda (tanda-tanda) yang bermakna.

Tetanda adalah segala corak atau tipe unsur—verbal , nonverbal, natural,

artifisial—yang membawa makna. Dengan kata lain, semiotik adalah studi

tentang berbagai struktur tanda dan aneka proses tanda.

ii

Semantik yang berasal dari bahasa Yunani itu, mengandung makna to

signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung

pengertian “studi tentang makna”.

Morfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji bentuk bahasa

serta pengaruh perubahan bentuk bahasa pada fungsi dan arti kata. Sasaran

pengkajian dalam morfologi ialah kata dan morfem.

Sintaksis (syntax) menyelidiki semua hubungan antarkata dan

antarkelompok kata (antarfrasa) dalam satuan dasar sintaksis, yaitu kalimat.

Morfologi mengkaji hubungan-hubungan gramatikal dalam kata itu sendiri,

sedangkan sintaksis mengkaji hubungan gramatikal di luar batas kata, yaitu

dalam satuan yang disebut kalimat.

Stilistik (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style)

adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan

cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara

maksimal.

Pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan

penafsirannya. Kekhususan bidang ini adalah penafsiran atas tanda atau

bahasa. Kekhususan bidang ini tidak sama dengan kekhususan bidang sintaksis

dan semantik sebagai bagian semiotik lain. Pada bidang sintaksis kajian

dikhususkan pada relasi formal tanda, sedangkan kajian pada bidang semantik

pada relasi antara tanda dan objek yang diacunya

Penulis berharap, mudah-mudahan buku sederhana ini dapat diterima

oleh pembaca sebagai salah satu acuan untuk memahami pokok-pokok ilmu

bahasa, yang selanjutnya dapat menjadi pemicu dan pemacu motivasi pembaca

untuk mendalami teori-teori bahasa yang sangat banyak dan beragam.

Mudah-mudahan dengan penguasaan ilmu bahasa yang lebih baik, kita

juga lebih mudah dalam memahami dan mendalami ilmu-ilmu lain yang

tentunya sangat bermanfaat bagi kehidupan kita. Dengan menguasai bahasa,

insya Allah pintu-pintu berbagai ilmu akan lebih terbuka. Dengan penguasaan

berbagai ilmu, insya Allah hidup kita akan lebih bermakna.

iii

Selanjutnya, pada halaman ini izinkan kami menyampaikan pesan-

kasih-sayang kami teruntuk tiga buah hati kami:

1. Muhammad Satria Aji, ”Teladani Nabi Muhammad saw dan teruslah

belajar agar Aji menjadi manusia ksatria yang aji (migunani dan

bermartabat).”

2. Muhammad Tegar Izzulhaq, ”Teladani Nabi Muhammad saw dan teruslah

belajar agar Tegar menjadi manusia yang senantiasa tegar membela

kebenaran di Jalan Allah.”

3. Salma Cahaya Semesta, ”Teladani Nabi Muhammad saw dan istri-istri

Beliau, agar Salma menjadi muslimah-shalihah yang dapat membawa

keselamatan, kesejahteraan, serta pencerahan di semesta raya dengan

bimbingan cahaya-Nya.”

Kami sangat menyadari bahwa tidak ada satu pun karya manusia yang

sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif guna

memperbaiki buku sederhana ini sangat penulis harapkan.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

penulisan buku sederhana ini, kami sampaikan jazakumullahu khoiron

katsiron. Dan, kepada Allah jualah kita bertawakal dan berserah diri. Semoga

Allah meridhoi setiap usaha dan ikhtiar kita. Amin.

Salatiga, Maret 2013

Penulis

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR _________________________________________ii

DAFTAR ISI ________________________________________________ v

BAB I : SEMIOTIK

A. Pengertian Semiotik ____________________________ 1

B. Jenis-jenis Tanda ______________________________ 2

C. Nilai-nilai dalam Ikon Verbal ____________________ 4

1. Bahasa, Tanda, dan Semiotik __________________ 5

2. Ikon Verbal Sebagai Tanda Utama _____________ 10

3. Tanda Verbal, Pembicara, Terwicara,

dan Mitra Wicara ___________________________ 10

4. Tanda Verbal: Idenfifikasi Berdasarkan

Tujuan Pemakaiannya _______________________ 12

BAB II : SEMANTIK

A. Pengertian Semantik __________________________ 29

B. Sejarah Semantik _____________________________ 31

C. Manfaat Semantik ____________________________ 33

D. Makna, Informasi , dan Maksud _________________ 34

E. Aspek Makna ________________________________ 38

1. Pengertian _________________________________ 38

2. Perasaan __________________________________ 39

3. Nada _____________________________________ 39

4. Tujuan ____________________________________ 40

F. Relasi Makna ________________________________ 41

1. Sinonim ___________________________________ 41

2. Antonim ___________________________________ 44

3. Homonim, Homofon, dan Homograf _____________ 47

4. Hiponim dan Hipernim ________________________50

5. Idiom dan Ungkapan __________________________51

v

BAB III : MORFOLOGI DAN SINTAKSIS

A. Morfologi ____________________________________53

1. Morfem ___________________________________ 56

2. Kata ______________________________________ 66

3. Frasa ______________________________________ 68

B. Sintaksis _____________________________________ 69

1. Pengertian Kalimat __________________________ 69

2. Unsur Kalimat ______________________________ 70

3. Pola Kalimat Dasar __________________________ 77

4. Kalimat Efektif ______________________________78

BAB IV : STILISTIK

A. Definisi dan Permasalahan Umum Silistik ___________ 83

B. Sumber Objek Penelitian Stilistik __________________ 86

C. Ruang Lingkup Penelitian Stilistik _________________ 91

D. Karya Sastra sebagai Sasaran Kajian Stilistik ________ 94

E. Pendekatan Studi Stilistik ________________________ 97

F. Jenis Gaya Bahasa ______________________________ 99

G. Pemanfaatan Gaya Bahasa _______________________110

BAB V : PRAGMATIK

A. Pengertian Pragmatik __________________________115

B. Ruang Lingkup Pragmatik ______________________117

C. Deiksis _____________________________________ 119

D. Praanggapan _________________________________121

E. Implikatur ___________________________________122

F. Tindak Tutur _________________________________ 123

G. Konteks dan Situasi Tutur _______________________ 126

DAFTAR PUSTAKA _________________________________________ 131

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

1. Sinopsis Buku

2. Biodata Penulis

3. File Pas Foto Penulis

vi

BAB I

SEMIOTIK

A. Pengertian Semiotik

Mengawali pembahasan tentang pengertian semiotik, Larsen (2009:1) menulis

satu kalimat cukup panjang yang penuh makna. Kalimat itu berbunyi, “Sebagai

manusia, kita bisa menentukan untuk tidak makan atau tidak minum, tidak

berkomunikasi, atau bahkan mungkin untuk tidak hidup; tetapi, di sepanjang hidup

kita, kita tidak dapat memilih untuk tidak menyampaikan makna ke dunia sekeliling

kita.” Artinya, dalam menjalani kehidupan ini sebenarnya kita diberi kebebasan oleh

Allah untuk berbuat apa pun.

Namun demikian, kita harus ingat bahwa kita tidak dapat bebas atau

melepaskan diri dari pemaknaan orang lain terhadap apa yang telah kita perbuat.

Dalam perspektif Islam, semua perbuatan kita, baik atau buruk, tidak hanya dimaknai

oleh orang lain, tetapi juga senantiasa dicatat oleh Malaikat Pencatat Amal dan

sekecil apa pun perbuatan kita itu, pasti berdampak pada yang berbuat, baik di dunia

ini maupun di akhirat kelak.

Menurut Larsen dalam Baryadi (2007:46), semiotik berasal dari bahasa Yunani

semeion yang berarti tanda. Semiotik berarti ilmu yang mempelajari tentang tanda,

baik struktur maupun proses tanda. Istilah lain dari semiotik adalah semiologi. Kedua

istilah tersebut tidak mengandung perbedaan konseptual. Perbedaannya terutama

terletak pada wilayah pemakaiannya, yaitu semiotik yang pada mulanya digunakan

oleh Charles Sanders Peirce lebih lazim dipakai di dunia Anglo-Sakson, sedangkan

semiologi yang pada awalnya digunakan oleh Ferdinand de Saussure lebih lazim di

Eropa Koninental. Agaknya perbedaan penggunaan dua istilah tersebut juga

dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dua tokoh tersebut. Peirce (1834 – 1914,

berkebangsaan Amerika Serikat, berbahasa Inggris) yang lebih suka menggunakan

istilah semiotik merupakan seorang ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure

(1857 – 1913, berkebangsaan Swiss, berbahasa Prancis) yang lebih suka

7

menggunakan istilah semiologi merupakan seorang peneliti/ilmuwan bahasa (linguis),

pelopor linguitik modern.

Dalam pengertian yang luas, semiotik adalah studi kegiatan kegiatan manusia

yang mendasar yaitu menciptakan makna. Atau, studi tentang tetanda (tanda-tanda)

yang bermakna. Tetanda adalah segala corak atau tipe unsur—verbal , nonverbal,

natural, artifisial—yang membawa makna. Dengan kata lain, semiotik adalah studi

tentang berbagai struktur tanda dan aneka proses tanda. Ada dua jenis pendapat

mengenai hakikat tanda. Pendapat pertama dikenal sebagai pendapat formal.

Pendapat ini ditokohi oleh Saussure. Pengertian tanda bertitik tolak dari pengertian

tanda bahasa, kemudian hal itu diterapkan untuk tanda yang lain. Pendapat ini, sesuai

dengan namanya, lebih mementingkan ciri-ciri formal tanda. Oleh karena itu,

pendapat ini disebut aliran strukturalisme. Pendapat kedua berasal dari aliran

pragmatis. Pelopor aliran ini adalah Peirce, yang berpendapat bahwa hakikat tanda itu

tidak hanya terletak pada struktur internalnya, tetapi juga penggunaannya (Larsen,

1994:3824).

Sebagai disiplin khusus, semiotik terus dikembangkan sehingga menjadi studi

tentang tetanda yang berfungsi di dunia kegiatan manusia. Dalam hal ini, semiotik

mengkaji tiga masalah mendasar. Pertama, bagaimana dunia yang mengelilingi kita

itu disusun melalui tetanda sebagai lingkungan yang manusiawi karena persepsi dan

pengertian kita terhadapnya itu. Kedua, bagaimana dunia ini di-kode-kan atau di-

sandi-kan dan di-dekode-kan atau di-sandi-kan kembali. Dengan demikian, menjadi

sebuah ”ranah kultural khusus” yang terdiri atas jejaring tetanda. Ketiga, bagaimana

kita ”berkomunikasi” dan ”bertindak” melalui tetanda agar ranah ini menjadi dunia

kultural yang diikutsertakan secara kolektif (Larsen, 2009:2).

B. Jenis-jenis Tanda

Dilihat dari sifat hubungannya, kadang tanda itu mirip dengan yang ditandai,

maka tanda yang semacam ini disebut ikon (icon), hubungannya bersifat ikonik

(iconic), misalnya patung, foto, peta, denah, karikatur, dan sebagainya. Jika antara

tanda dengan yang ditandai ada kedekatan eksistensi, maka tanda semacam ini

disebut indeks (index), hubungannya bersifat indeksikal (indexical), misalnya asap

8

sebagai tanda ada api; panah sebagai tanda arah kiblat; mak tekluk sebagai tanda

mengantuk, dan sebagainya. Selanjutnya, jika antara tanda dengan yang ditandai

merupakan kesepakatan/konvensional maka disebut simbol (symbol), hubungannya

bersifat simbolik (symbolic), misalnya jilbab sebagai tanda kemuslimahan seseorang;

blankon sebagai tanda orang Jawa; dan sebagainya.

Dengan kata lain, konsep ikon memiliki pasangan ganda, yaitu “indeks” dan

“simbol”. Konsep yang triadik itu dimunculkan oleh Pierce untuk mengidentifikasi

sifat dominan hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya.

Hubungan antara tanda dan yang ditandai dapat menampakkan kemiripan; artinya

tanda mirip dengan objek yang ditandai. Oleh karena itu, tanda yang dimaksud

“bertindak” mewakili dengan modus kemiripan terhadap objek objek yang ditandai

itu. Tanda yang demikian itu disebut ikon dan tentu saja bersifat ikonik.

Hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya dapat pula

menampakkan diri “karena ada kedekatan eksistensi”. Artinya, keberadaan tanda itu

“sinambung” dengan yang ditandai, meskipun menurut kesadaran pemakainya

keduanya berbeda. Oleh karena itu, tanda yang dimaksud menjadi pengacu bagi si

objek yang ditandai. Tanda yang demikian itu disebut indeks dan tentu saja bersifat

indeksikal.

Akhirnya, hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya

dapat pula tidak mirip dan tidak mengacu sebagaimana dimaksudkan pada tanda ikon

dan indeks. Tanda yang dimaksud berstatus tanda bagi objek yang ditandai semata-

mata karena pemakai sengaja men-status-kan apa yang menjadi tanda itu sebagai

tanda tanpa memperhitungkan kadar kemiripannya atau tanpa mempertimbangkan

kadar kedekatan eksistensinya. Pada dirinya, yang distatuskan sebagai tanda itu tidak

memiliki potensi mirip atau “sinambung” dengan objek teracunya. Sesuatu itu

berstatus sebagai tanda semata-mata karena dikaidahkan atau ditentukan serta saling

disetujui antar pemakainya. Jadi, merupakan konvensi dan konsesus yang status “ke-

wakil-an” dan pengacunya diperoleh karena ditentukan bersama secara arbitrer.

Tanda yang demikian itu disebut simbol dan tentu saja bersifat simbolik.

Patut dicatat, meskipun tanda itu ada tiga macam, akan tetapi terasumsikan

tidak ada tanda yang sepenuhnya bersifat ikonik, sepenuhnya bersifat indeksikal,

9

sepenuhnya bersifat simbolik. Di dalam satu sifat terkandung pula salah satu atau

kedua sifat yang lain.

Dari ketiga jenis tanda tersebut, ikon merupakan tanda yang utama karena

berkaitan dengan proses mewujudkan fungsi tanda. Dengan ikon, fungsi tanda dapat

diwujudkan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, uraian tentang tanda semiotik

berikut ini akan difokuskan pada ikon.

Kata ikon berasal dari bahasa Latin, yaitu icon yang berarti ’arca, patung, atau

gambar’. Kata ikon selanjutnya dipakai oleh Peirce sebagai istilah dalam semiotik,

yaitu untuk menyebut jenis tanda --sebagaimana telah disebut di atas--yang

penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan objek yang diacunya. Atau, tanda

yang bentuk fisiknya memilki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya

(Sudaryanto dalam Baryadi, 2007:1).

Frasa ”kaitan yang erat” dalam definisi di atas, berart ”mirip” atau

”mencerminkan”, dan frasa ”apa yang diacunya” berarti realitas, isi tuturan, isi

wacana, atau situasi. Oleh karena itu, pengertian ikon dalam linguistik dapat

diformulasikan dengan lebih jelas, yaitu satuan bahasa yang bentuknya mirip dengan

realitas yang diacunya atau satuan bahasa yang bentuknya mencerminkan realitas

yang diacunya.

Dalam dunia pendidikan terutama yang terkait dengan ilmu bahasa, kajian yang

terpenting mengenai ikon adalah mengenai ikon verbal atau bahasa yang ikonik.

Oleh karena itu, bahasan berikut ini lebih ditujukan pada berbagai hal yang terkait

dengan ikon verbal tersebut.

C. Nilai-nilai dalam Ikon Verbal

Menurut Sudaryanto (2008:31), nilai adalah kekuatan, setidak-tidaknya dalam

perspektif kelestarian dan pelestarian identitas. Sebagai kekuatan, nilai

menghasilkan, mengakibatkan, dan mendampakkan pula kekuatan. Ungkapan-

ungkapan “ada nilai x-nya”, “memiliki nilai plus”, “mengembangkan nilai-nilai”,

“mengorbankan nilai x”—nilai apa pun—terkait dengan fakta nilai semacam itu.

Apabila pokok bahasan yang dipaparkan adalah mengenai nilai ikon, hal itu

berarti bahwa yang dibicarakan adalah kekuatan yang dimiliki oleh ikon. Dalam hal

ini, khususnya ikon verbal, ikon yang bersifat kebahasaan, yang tidak lain juga

10

bahasa itu sendiri. Adapun macam nilai yang dimaksud meliputi antara lain nilai

kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

Ikon merupakan istilah dalam disiplin semiotik. Dalam kajian semiotik,

pemaparan tentang bahasa dan tanda menjadi hal yang sangat penting. Hal ini

dimaksudkan agar posisi dan peran ikon tampak jelas.

1. Bahasa, Tanda, dan Semiotik

Dalam wacana linguistik, bahasa merupakan sistem simbol bunyi bermakna

dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan

konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia

untuk melahirkan pikiran dan perasaan (Wibowo, 2001:3).

Bahasa merupakan sesuatu yang maujud atau entitas yang berwujud kata,

frasa, kalimat, alinea, wacana, atau satuan lingual lain yang lebih kecil, mula-mula

ialah dengan cara diucapkan. Dengan demikian, bahasa dikenal karena

terdengar(kan). Adapun fungsi, peran, tugas, atau manfaatnya ialah untuk meng-anu-

kan apa pun, segala hal, yang memang dapat di-anu-kan. Meng-anu-kan yang

dimaksud adalah kinerja manusia pencipta, pemilik, dan pemakai bahasa. Meng-anu-

kan itu identitasnya bermacam-macam. Secara acak, berikut merupakan sebagian

kecil dari kinerja meng-anu-kan yang dimaksud: mendakwahkan, menyantuni,

mendoakan, menamakan, menetapkan, mengatakan, menyatakan, memerinci,

mengulas, merumuskan, menawar, menggertak, membantah, menyepakati,

mengakses, menjanjikan, menyarankan, mengivestigasi, meminta, menceritakan,

menjelaskan, mempersoalkan; mengumpat, mengakui, membual; dan masih banyak

lagi lainnya.

Sebagaimana bentuk kinerja, yang bila dicatat secara saksama ada bermacam-

macam itu, satu sama lain saling menghubungkan secara spektral dan prismatik.

Dikatakan sebagai hubungan “spektral” jika yang melaksanakan kinerja itu berbagai

jenis satu lingual (linguistic unit), yang rinciannya ialah (1) menyebut: dengan kata;

(2) menentukan: dengan frasa; (3) menguraikan: dengan kalimat; (4) menerangkan

atau menjelaskan: dengan alinea; dan (5) menceritakan: dengan wacana. Dikatakan

“prismatik”, jika yang melaksanakan kinerja itu satu jenis satuan lingual yang sama

dengan wujud yang berbeda, misalnya: (1) mengajak, membujuk, merayu; (2)

11

memungkiri, mengingkari, berkelit; (3) mengiyakan, menyetujui, menyepakati,

menerima; (4) menguraikan, mempaparkan, membeberkan. Kinerja yang spektral

dan prismatik yang bermacam-macam itu dapat disebut “tindakan membahasakan”.

Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa bahasa itu berfungsi

membahasakan apa pun yang memang dapat dibahasakan. Dengan tujuan untuk:

mengomunikasikan apa pun yang yang memang dapat dikomunikaskan; menarasikan

apa pun yang memang dapat dinarasikan; mendeskripsikan apa pun yang memang

adapat dideskripsikan; memaparkan apa pun yang memang dapat dipaparkan; dan

seterusnya.

Dalam kaitannya dengan fungsi atau kegunaannya, bahasa yang adanya

dengan diucapkan itu, keadannya sama dengan entitas lain, sama-sama memiliki

kegunaannya masing-masing. Entitas yang dimaksud antara lain lukisan, patung,

klakson, kentongan, bendera, bagian tubuh tertentu yang digerakkan, pakaian,

rambu-rambu, dan yang lain, yang pada umumnya ditangkap oleh indera pendengar

atau penglihat.

Lukisan yang adanya dengan kuas bercat yang disapukan pada kanvas (dan

sejenisnya), berguna untuk melukiskan apa pun yang dapat dilukiskan.Patung yang

adanya dengan dipahat berguna untuk mematungkan apa pun yang dapat

dipatungkan (orang, binatang, benda-benda tertentu lainnya). Klakson yang

dibunyikan dengan dipencet atau ditiup berguna untuk menyatakan dengan klakson

apa-apa yang dapat di-klakson-kan (dinyatakan dengan bunyi klakson: peringatan,

panggilan, dan sebagainya). Kentongan yang dibunyikan dengan dipukul berguna

untuk menyatakan apa pun yang dapat dinyatakan dengan bunyi kentongan

(pencurian, kebakaran, undangan rapat, dan sebagainya). Bendera yang adanya

dengan dipasang di tempat tertentu atau dikibarkan berguna untuk menyatakan

dengan bendera apa pun yang dapat di-bendera-kan (kematian, penyerahan diri

identitas kelompok yang sedang melakukan tindakan yang penuh arti, dan

sebagainya). Kepala yang dianggukkan berguna untuk menyatakan apa pun yang

dapat diwujudkan dengan anggukan (persetujuan, kecocokan, dan sebagainya).

Tangan yang dapat digerakkan berguna untuk menyatakan apa pun yang dapat

diwujudkan dengan gerakan tangan (selamat tinggal, selamat jalan, pujian, ejekan,

12

ancaman, dan sebagainya). Pakaian yang dikenakan di badan berguna untuk

menyatakan apa pun (wanita, mahasiswa, muslimah, dan sebagainya) yang dapat

dinyatakan dengan kain yang dipakai. Rambu-rambu yang dipasang di pinggir jalan

berguna untuk menyatakan larangan atau anjuran yang layak diperhatikan oleh

pengguna jalan raya.

Dengan pengamatam saksama akan berbagai gejala yang ada, dapatlah

dikatakan bahwa entitas yang memiliki kegunaannya masing-masing yang khas itu

sangat banyak jumlahnya. “Apa pun” ternyata memiliki kegunaannya masing-

masing, apakah yang disebut “apa pun” itu sebagai suatu keutuhan atau sebagai

sesuatu yang yang terdiri atas bagian-bagian; dan bagian-bagian itulah yang

menampakkan kegunaan khasnya. Dalam hal ini, kegunaan itu apa, sesungguhnya

manusialah yang menentukan melalui penafsiran. Kumandang suara adzan

ditentukan manusia sebagai pertanda bahwa waktu salat tertentu telah tiba. Lampu

lalu lintas berwarna merah sebagai perintah bahwa pengendara harus berhenti. Langit

mendung sebagai pemberitahuan akan turun hujan. Sungai yang biasanya mengalir

tenang dengan air jernih mendadak banjir dengan air keruh, ditentukan oleh menusia

sebagai petunjuk bahwa di hulu telah terjadi hujan lebat. Kokok ayam di pagi buta

ditentukan oleh manusia sebagai isyarat bahwa fajar akan segera menyingsing.

Adapun penentuan dimaksud dilakukan dan diputuskan atas dasar

keberulangan yang keadaannya sama atau kondisi khas yang sengaja dibuat oleh

seseorang atau sekelompok orang terhadap maujud tertentu. Contoh-contoh yang

telah dikemukakan tersebut bertumpu pada keberulangan. Akan tetapi, bila bendera

hitam di tempat A, bendera putih di tempat B, dan bendera kuning di tempat C

sebagai penunjuk akan adanya hal yang sama, yaitu kematian, hal itu merupakan

kondisi khas (warna yang dipilih) yang disebut oleh manusia.

Hal yang sama terjadi manakala dalam suasana Idul Fitri, bahwa orang

sengaja membuat tulisan latin “Selamat Idul Fitri” dan kata-kata lain yang berkaitan,

dengan cara diarab-arabkan bentuknya. Demikian pula dalam suasana Imlek orang

sengaja membuat tulisan latin “Gong Si Fa Cai” dan kata-kata lain yang berkaitan

dengan cara memandarin-mandarinkan bentuknya. Sementara itu, di teve dan di

toko-toko tertentu pun, yang penyiar atau pelayannya kemungkinan bukan

13

muslim(ah) sengaja berpenampilan Islami lewat pakaiannya di kala suasana Idul

Fitri dan yang kemungkinan bukan Tionghoa sengaja berpenampilan kemandarinan

di kala suasana Imlek.

Bahasa yang membahasakan apa pun yang memang dapat dibahasakan,

patung yang dapat mematungkan apa pun yang memang dapat dipatungkan, bendera

yang membenderakan apa pun yang dapat dibenderakan, serta maujud-maujud lain

yang memang dapat mamaujudkan apa pun yang dapat dimaujudkan tersetujui

bersama untuk disebut dengan satu istilah yang mempersatukan, yaitu tanda.

Dengan demikian, apa pun—objek apa saja—yang dapat dihubungkan dengan tanda

itu dapat disebut yang ditandai, tertanda, atau tinanda. Memungut dari bahasa

Yunani, kata tanda disebut semeîonn (de Saussure dalam Sudaryanto, 2008:33).

Berkaitan dengan itu, ilmu yang dikembangkan dengan objek khusus

“semeîonn” disebut semiotik (semiotics) atau semiologi (semiology). Dengan

demikian, pengkajian tentang bahasa—yang dikenal sebagai linguistik (ilmu bahasa)

—dapat dimasukkan sebagai salah satu jenis semiotik dengan objek khusus tanda

yang berwujud bahasa.

Ada hal yang khas mengenai bahasa beserta ilmu tentang bahasa. Jika

dikaitkan dengan tanda-tanda yang lain, bahasa mampu menggantikan fungsi setiap

tanda yang bukan bahasa. Artinya, apa yang dapat dikerjakan oleh tanda yang lain

dapat dikerjakan pula oleh bahasa, tetapi tidak berlaku sebaliknya (van Zoest,

1992:2). Ada hal-hal yang khas yang tidak mampu digantikan oleh tanda yang lain

kecuali oleh bahasa. Contohnya, “mengangguk” tanda setuju dapat diganti dengan

tanda bahasa, yaitu kata sepakat, cocok, setuju, ya, okey. . Sebaliknya, “menggeleng”

tanda tidak setuju dapat diganti dengan tanda bahasa, yaitu kata tidak setuju, tidak,

jangan, dan sebagainya. Nyala lampu merah tanda berhenti dapat diganti dengan

tanda bahasa, yaitu kata berhenti atau stop. Bendera terpancang di pinggir pertigaan

atau perempatan jalan tanda ada kematian atau ada orang yang meninggal dunia.

Dalam tradisi Jawa, jika ada hiasan dari daun kelapa muda (janur mlengkung) yang

juga terpancang di pinggir pertigaan atau perempatan jalan merupakan tanda

penunjuk arah lokasi resepsi pernikahan.

14

Akan tetapi, tanda bahasa berupa kata yang antara lain berfungsi

menamakan, kalimat yang antara lain berfungsi berjanji atau menyatakan, wacana

yang antara lain berfungsi untuk diskusi atau mendiskusikan, tidak dapat diganti

dengan tanda lain yang bukan berupa bahasa. Oleh karena itu, bahasa sebagai tanda

memiliki tempat yang khas jika dibandingkan dengan tanda-tanda yang berwujud

lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan tanda yang memiliki fungsi yang sangat

penting dalam kehidupan manusia karena memiliki kelebihan-kelebihan dibanding

tanda-tanda yang lain. Singkatnya, semua tanda dapat dibahasakan, sedangkan semua

bahasa belum tentu dapat diganti dengan tanda.

Oleh karena ilmu yang mengkaji bahasa, yaitu linguistik, telah begitu jauh

perjalanannya dengan hasil kajian berupa konsep-konsep teoretis dan metodologis,

maka dia termanfaatkan ketika dilakukan pengkajian terhadap tanda-tanda lain di

luar bahasa, dalam kerangka semiotik. Istilah-istilah yang khas dalam linguistik,

yaitu gramatika; sintaksis dan semantik; denotatif dan konotatif; signifier dan

signified; ketika semiotik berbicara tentang hubungan antartanda dan hubungan

antara tanda dengan objek yang ditandai, dengan segala akibat ikutannya, kegiatan

linguistik dijadikan model kegiatan semiotik, misalnya tentang arsitektur dan

sinematografi. Uraian yang lebih teoretis diterapkan dalam analisis semiotik tentang

karya sastra, perdebatan politik, iklan, kendaraan, pakaian, film, dan sebagainya.

Berdasarkan kekhasan bahasa dan ilmu bahasa sebagaimana diuraikan di atas,

menjadikan orang dapat bertumpu pada keduanya ketika berbicara tentang tanda

dalam kerangka semiotik. Dalam semangat memberi sumbangan inspiratif bagi

pengkajian tanda dalam kerangka semiotik itu pulalah uraian tentang nilai-nilai

dalam ikon verbal ini penting untuk disampaikan kepada para pemerhati studi

semiotik.

Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian berikut bertumpu dan mengenai nilai

yang khusus dimiliki bahasa. Dalam hal ini, konsep nilai mengingatkan pada konsep

“valuer” atau “valensi” yang diperkenalkan oleh Saussure dalam Kridalaksana

(1988:17-21), “…sifat pertama valensi atau nilai yaitu menyangkut substitusi atau

penggantian suatu benda untuk benda lain yang sifatnya berlainan, uang adalah

contoh yang jelas…”. “…valensi dapat ditukar dengan segala sesuatu yang sifatnya

15

berlainan yang dianggap bernilai sama (misalnya, uang dengan roti) dan dapat

dibatasi melalui hal-hal yang serupa (misalnya, Dollar Amerika dibandingkan

dengan Poundsterling Inggris)”.

2. Ikon Verbal sebagai Tanda Utama

Mengacu pada pendapat Pierce, (van Zoest, 1992:19) menyatakan bahwa

tanda ikonlah yang paling utama. Dalam hal ini, ia menjelaskan sebagai berikut.

“…Rumah, peristiwa, struktur, gerakan tangan, teriakan, kesepian,semuanya mungkin merupakan tanda atau menjadi tanda, dengansyarat mengacu pada sesuatu yang lain. Namun hal itu hanyamungkin apabila sesuatu hubungan dapat terjadi antara yang hadir(tanda) dan yang tak hadir (acuannya). Hubungan itu harusmerupakan hubungan kemiripan karena tanda dan yang mungkinmenjadi acuannya itu mempunyai sesuatu yang sama. Bila tanda danacuannya tidak ada kemiripan dalam bentuk apa pun, tak dapatterjadi hubungan yang representatif…..” (van Zoest, 1992:10)

Misalnya, jika pun kata kursi (bahasa Indonesia) yang sama dengan chair

(bahasa Inggris), nampak tidak ada kemiripan dengan objek teracunya, sebenarnya

tetap ada kemiripan, yaitu sama-sama sebagai satu keutuhan. Penegasan ini

mengimplikasikan tanda yang berstatus simbol, tidak sepenuhnya arbitrer dan

konvensional. Lebih-lebih kalau kesempatan melacak asal keberadaanya serta

penjelasan tentang pemakaian metaforisnya dapat dilakukan. Contohnya, kata

memetik dan mencakup masing-masing dalam ungkapan memetik hasil dan

mencakup beberapa hal, yang nampak tidak ikonik, jika ditelusuri sebenarnya

memiliki identitas ikon.

3. Tanda Verbal, Pembicara, Anu Terwicara, dan Mitra Wicara

Menurut Sudaryanto (1992:45), tanda verbal adalah tanda yang berupa

bahasa biasa, bahasa keseharian yang dipakai oleh manusia-manusia normal dalam

interaksi yang wajar. Tanda verbal semacam itu hanya mungkin ada manakala

melibatkan tiga faktor utama, yaitu:

a. Pembicara, sebagaimana disarankan dari sebutannya, adalah diri yang

melakukan aktivitas berbahasa, berbicara atau bertutur.

b. Mitra wicara adalah diri yang mendengarkan bicaranya atau pelaku dengar.

16

c.Anu terwicara adalah apapun, segala sesuatu, yang menjadi isi wicara atau yang

diomongkan oleh pembicara. Jika bahasa dapat disebut tanda verbal, maka anu

tewicara dapat disebut objek yang ditandai.

Satu hal yang patut disadari bahwa ketiga faktor utama itu adanya secara

serempak, yang satu mengandaikan adanya yang lain ketika fenomen bahasa atau

tanda verbal hadir dan digunakan. Demikian bahasa terhayati secara empiris,

padanya telah ada pembicara, mitra wicara, dan anu terwicara sekaligus. Ketiganya

ada sebagai tritunggal; dan adanya itu demi adanya realitas bahasa atau tanda verbal

itu.

Dalam kaitannya dengan keberadaan realitas bahasa atau tanda verbal itu,

tritunggal yang dimaksud memiliki fungsi utamanya masing-masing, yaitu:

a. Pembicara memiliki fungsi utama sebagai pelahir bahasa. Dengan “pelahir

bahasa” dimaksudkan bahwa bahasa benar-benar hadir sebagai realitas di dunia

realitas karena ada subjek yang menghadirkannya dengan cara menggunakannya

secara konkret.

b. Mitra wicara memiliki fungsi utama sebagai penjamin keberlangsungan adanya

bahasa atau adanya kemalaran bahasa. Dengan “penjamin keberlangsungan

adanya” dimaksudkan bahwa bahasa yang lahir itu tidak mungkin dapat

berkembangan atau dikembangkan oleh pembicara sebagai wacana jika tidak ada

mitra wicara yang dipercaya oleh pembicara yang bersangkutan sebagai mitra

wicara yang baik dan belum tahu apa yang akan diungkapkan oleh pembicara.

c. Anu terwicara memiliki fungsi utama sebagai pembentuk lekuk-liku sosok

bahasa. Dengan “pembentuk lekuk-liku sosok bahasa” dimaksudkan bahwa

bahasa yang diketahui tunduk pada prinsip linear dan bersifat linear pula itu

hanya dapat memiliki aneka macam bentuk konkret karena keberanekaragaman

anu terwicaranya atau objek yang ditandai atau acuannya.

Berdasarkan uraian tersebut, nampak pula sifat pokok pembicara, mitra

wicara, anu terwicara. Sifat pokok pembicara adalah sebagai pelahir bahasa yang

tahu dan sangat sadar akan apa yang diperkatakan; sifat pokok mitra wicara dalam

persepsi pembicara adalah sebagai penjamin keberlangsungan adanya bahasa dan

sebagai penjamin diterimanya sepenuh-penuhnya apa saja yang diperkatakan oleh

17

oleh pembicara berkat keserbatidaktahuannya akan apa yang diperkatakan itu. Dan

khusus sifat pokok anu terwicara adalah sifat yang senantiasa menentukan kenakaan

lekuk-liku sosok bahasa, baik aspek bentuknya maupun aspek maknanya

(Sudaryanto, 1995:41).

4. Tanda Verbal: Identifikasi Berdasarkan Tujuan Pemakaiannya

Dalam pekembangannya, tanda verbal yang disebut “bahasa” itu dipakai

dengan tujuan dan dalam kaitan yang berbeda-beda dengan yang ditandai (atau yang

ditandakan).

Pertama, dipakai semata-mata untuk mengacu realitas anu terwicara untuk

mitra wicara di kehidupan komunikasi keseharian. Tanda yang demikian itu

dikatakan bersifat lingual-referensial.

Kedua, dipakai untuk mengungkapkan pengalaman menggetarkan yang

dihayati oleh pembicara. Dalam hal ini, pengungkapan itu diupayakan terasa apik,

indah, cantik, menyentuh hati. Maka, dalam kaitan dengan upaya yang demikian itu,

kreativitas pembicaranya dikembangkan dan dipertaruhkan. Tanda yang demikian itu

dikatakan bersifat estetik-literer. Di situ ada kesadaran penuh dan tentu saja

kesengajaan menciptakan bentuk-bentuk tanda baru berdasarkan tanda-tanda yang

sudah ada yang dipakai di keseharian biasa.

Ketiga, dipakai untuk maksud menghormati dan atau menghargai mitra

wicara atau orang lain yang telibat, baik sebagai yang dituju maupun sebagai bagian

yang dibicarakan. Di situ ada upaya pengandalian diri untuk membuat senamg,

berkenan di hati, atau tidak melukai perasaan mitra wicara. Tanda yang demikian itu

dikatakan bersifat etik pragmatik. Dalam hal ini, upaya itu ditampakkan dengan

menggunakan satuan lingual yang khas, yang dari segi makna referensial sama

dengan satuan lingual yang umum digunakan di saat pertimbangan pengandalian diri

yang dimaksud tidak disertakan. Kekhasan yang dimaksud dapat diwujudkan dengan

mengganti dan dapat juga mengubah bentuk satuan lingual yang umum itu.

Keempat, dipakai untuk meledek, menggoda, dalam kemasan pelucuan

dengan cara melesetkan bunyi atau bentuk fonetis kata-kata. Tanda yang demikian

itu dikatakan bersifat konyol humorik.

18

Kelima, dipakai untuk memroses pemikiran dan perenungan filosofis. Dalam

hal ini, upaya itu ditampakkan dengan cara mengupas unsur atau bagian atau

panggalan satuan lingual sedemikian sehingga penggalan itu menjelma majadi sosok

satuan lingual baru yang memiliki makna dan acuannya sendiri. Tanda yang

demikian itu dikatakan bersifat kontemplatif-filosofis.

Keenam, dipakai untuk mengacu gambar foto, sebagai komentar singkat.

Dalam hal ini, gambar foto itu bernilai berita. Sementara itu, komentar yang

bersangkutan lalu bersifat tertulis—bukan lisan—yang dalam bidang persuratkabaran

disebut caption atau kapsi. Tandan yang demikian itu dikatakan bersifat kapsionik-

jurnalistik.

Dengan demikian, dikenal adanya enam macam tanda verbal, yaitu: (1)

lingual-referensial, (2) estetik-literer, (3) etik-pragmatik, (4) konyol-humorik, (5)

kontemplatif-filosofis, dan (6) kapsionik-jurnalistik.

Perkembangan yang dikemukakan di atas, dimungkinkan berlanjut, terutama

berkat adanya bentuk tulis dari tanda verbal itu. Dengan demikian, ada pekembangan

yang ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan seterusnya.

Perkembangan yang ketujuh, adanya tanda yang bersifat grafemik-kaligrafis,

yakni bentuk tulis satuan lingual yang dipakai untuk mengungkapkan keindahan

yang dinyatakan dalam wujud gambar realitas tertentu (orang, binatang, tumbuh-

tumbuhan, benda, dan yang lain). Dengan demikian, tulisan itu dibuat sedemikian

sehingga menjadi tiruan gambar objek lukisan, yang disebut “kaligrafi”. Kekhasan

yang menonjol, walaupun yang dikenai kreatifitas atau yang dikreasi itu bentuk tulis

satuan lingual, akan tetapi makna dari bentuk itu tidak terlupakan, tetap terpadu

dengan bentuk yang bersangkutan.

Adapun perkembangan yang kedelapan, satuan lingual dalam bentuk tulis

sama. Akan tetapi, bentuk yang sudah tertentu menggunakan huruf tertentu, diubah

sedemikian seolah-olah menjadi huruf alfabetik lain. Misalnya, huruf alfabetik Latin,

yang pembacaannya sudah barang tentu tunduk pada kaidah pembacaan satuan

lingual tulis berhuruf Latin. Tanda yang demikian itu dikatakan bersifat grafemik-

metaortografis. Jika yang Latin itu nampak seolah-olah huruf Arab, itu disebut

dengan tambahan –oid di belakang yang seolah-olah huruf tertentu itu. Maka, lalu

19

disebut grafemik-metaortografis araboid. Jika seolah-olah huruf China (padahal

huruf Latin, entah Latin, entah yang lain), itu disebut grafemik metaortografis

chinoid; begitu seterusnya (hanacarakaoid, kanjioid).

Tenyata, yang berbentuk lisan pun perkembangannya dapat semodel dengan

yang berbentu tulis. Bentuk lingualnya berbentuk lingual bahasa tetentu (L-1),

dengan ditandai maknanya yang khas pada bahasa itu. Akan tetapi, bentuk lingual

yang bersangkutan diucapkan seolah-olah bentuk lingual bahasa lain (L-2). Kalimat

bahasa Jawa “Isaku iki” (“mampuku ini”), terdengar seolah-olah kalimat bahasa

Jepang. Dengan sedikit rekayasa, kalimat gado-gado Jawa-Indonesia Tak kasih

murah ‘saya beri harga murah’ menjadi Takasimura seakan-akan kalimat bahasa

Jepang. Tanda yang demikian itu dikatakan bersifat auditorik-metafonatif.

Dengan demikian, setidak-tidaknya ada sembilan macam tanda verbal

berdasarkan tujuan keberadaannya, yaitu (1) lingual-referensial; (2) estetik-literer;

(3) etik pragmatik;(4) konyol humorik;(5) kontemplatif-filosofis;(6) kapsionik-

jurnalistik; (7) grafemik-kaligrafis; (8) grafemik-metaortografis;dan (9) auditorik-

metafonatif.

Dimungkinkan bahwa sebuah tanda verbal memiliki sifat majemuk.

Kombinasi dari dua atau lebih dari kesembilan sifat yang ada. Dalam kaitan dengan

tanda jenis ikon (yang bersifat ikonik), tanda itu dapat dibedakan atas sembilan

macam pula sehingga ada (1) ikon lingual referensial, (2) ikon estetik literer, (3) ikon

etik pragmatik, dan seterusnya. Berikut ini adalah contoh-contoh beserta

penjelasannya terkait dengan jenis-jenis ikon tersebut.

(1) Ikon Verbal Subjenis Lingual-Referensial

Kata tokek dalam bahasa Indonesia dan tekek dalam bahasa Jawa adalah

contoh ikon verbal subjenis lingual-referensial. Kata itu ketika diucapkan bunyinya

mirip dengan bunyi binatang yang menjadi objek acuannya. Kata-kata penyebut

nama banyak yang termasuk jenis itu. Gong, kentongan, kutilang, betet, perenjak,

bom, beberapa contohnya. Di samping itu, kata seperti buka (bahasa Indonesia) atau

bukak (bahasa Jawa) dan tutup pun termasuk subjenis lingual-referensial pula.

Dalam hal ini ke-ikon-annya nampak dari kemiripan bentuk mulut ketika kata itu

diucapkan dengan objek acuannya; mengucap kata buka atau bukak, mulut harus

20

dibuka dengan menjauhkan bibir bawah dengan bibir atas; mengucapkan kata tutup,

mulut harus ditutup dengan menempelkan bibir bawah pada bibir kita atas. Contoh

lain yaitu kata ini dan itu. Ketika mengucapkan kata ini bentuk bibir kita ukurannya

lebih pendek dibanding ketika mengucapkan kata itu. Bentuk bibir yang ukurannya

lebih pendek ketika mengucapkan kata ini tersebut adalah ikonik (mirip) dengan

jarak yang ditunjuk dengan kata ini. Oleh karena kata ini merupakan kata penunjuk

yang jaraknya lebih dekat dibanding dengan kata penunjuk itu (untuk jarak yang

agak jauh). Demikian pula ungkapan seperti adikku memeluk kucingnya dan jatuh

terduduk merupakan ikon lingual-referensial pula karena urutan kemunculan unsur

yang berupa satuan lingual mencerminkan urutan kemunculan unsur satuan visual

kejadian teracunya ketika diucapkan.

(2) Ikon Verbal Subjenis Estetik-Literer

Contoh-contoh ikon verbal subjenis estetik-literer adalah sebagai barikut.

Contoh pertama, puisi karya Sutardji Choulzum Bachri berjudul “Tragedi Winka dan

Sihka”

Tragedi Winka & Sihka

kawin

kawin

kawin

kawin

ka

win

ka

win

ka

winka

winka

winka

winka

21

sih

ka

sih

ka

sih

ka

sih

ka

ku

Status ikon puisi berjudul “Tragedi Winka dan Sihka” ini terletak pada teknik

penulisan grafisnya, yaitu dengan cara memecah dan menyatukan unsur lingual puisi

itu untuk mencerminkan perpecahan dan kesatuan yang terjadi pada apa yang

diacunya yaitu kawin dan kasih. Pengurutan yang berbentuk zig-zag mencerminkan

perjalanan kasih dalam ikatan pekawinan yang tidak mulus dan tidak lurus.

Selanjutnya, nama Winka dan Sihka dalam judul puisi tersebut adalah

kebalikan dari kata kawin dan kasih. Dengan teknik penulisan grafis seperti ini

penyair tampaknya menyarankan bahwa dalam aliran waktu kawin dan kasih dapat

mengalami tragedi menjadi winka dan sihka. Artinya, pada hakikatnya setiap orang

yang kawin (menikah) bertujuan untuk meraih kebahagiaan (kawin-kasih). Akan

tetapi, perkawinan yang bermasalah justru mendatangkan kesengsaraan (winka-

sihka). Dengan kata lain, kata kawin-kasih itu ikonik dengan kebahagiaan, sedangkan

kata winka-sihka itu ikonik dengan kesengsaraan.

Contoh kedua ialah puisi Jawa kuno karya Mpu Prapanca berikut.

Sama lan pu Winadaprih Ia ingin sama dengan empu Winadaprih dana wipulan masa yang bercita-cita mengumpulkantama sansara ring gatya banyak uang dan mas.tyaga ring rasa san mata akhirnya hidupnya sengsara;

tetapi ia tetap tenang.

Yaca sang Winadanungsi Sang Winada mengejar jasa;sinung dana wisang caya tidak ragu-ragu hartanya diberikanyan aweh magawe tibra (kepada orang lain)

22

brati wega maweh naya ketika ia pergi bermona-brata,yang segera memberikan kepadanyapimpinan hidup.

Matarung tuhu wanyaprang Sungguh perwira ia dalam yuda;prangnya wahu turung tama yudanya belum selesaimasa linggara cunya prih Ia ingin mencapai nirwana;prihnya cura gal ing sama tujuannya menjadi pahlawan besar

dalam ketenangan tapa.

Puisi Jawa kuno ini merupakan pupuh yang termuat dalam karya agung

Nagarakertagama. Pupuh itu merupakan pupuh 97 yang terdiri atas tiga pada atau

bait. Dikutipkan sesuai dengan transliterasi Slamet Muljono yang sekaligus dengan

terjemahannya pula (Sudaryanto, 1994:140). Ada dua hal yang menarik. Pertama,

setiap pada yang terdiri atas empat larik (baris) itu tiap lariknya terdiri atas delapan

suku kata atau warna aksara. Larik pertama dan kedua saling berbalikan suku

katanya; demikian juga larik ketiga dan keempat. Jadi polanya sebagai berikut.

1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1

Padahal setiap larik memiliki arti sendiri pula. Hal yang menarik kedua, isi

cerita dari puisi Jawa kuno itu mengisahkan perjalanan hidup seorang pertapa: yang

semula meskipun sebagai rohaniwan tetapi masih sangat memikirkan keduniawian.

Akhirnya, hidupnya sengsara. Namun ia masih beruntung, kemudian ia sadar dan

bertaubat sehingga kesengsaraan yang dialami akibat godaan keduniawian itu,

berubah menjadi kebahagiaan yang berwujud ketentraman.

Lalu, dimana letak keikonan puisi tersebut? Keikonannya terletak pada

kemiripan antara perubahan jalan hidup si pertapa dengan pembalikan unsur larik

puisi.

Selanjutnya, perhatikan dan renungkan keikonan dalam ”Keseimbangan

Perkataan dan Bilangan dalam Al-Quran” berikut ini.

Misalnya, dunia kebalikannya adalah akhirat. Nah ternyata, di dalam Al-

Qur'an jumlah kata dunia dan kata akhirat sama persis, yaitu 115. Contoh lainnya

adalah sebagai berikut. Al-malaikat (malaikat) 88 kata, al-syayathin (setan) juga 88

kata. Al-hayat (kehidupan) 145 kata, al-maut (kematian) juga 145 kata. Al-rajul

23

(pria) 24 kata, l-mar'ah (wanita) juga 24 kataAl-syahr (bulan) 12 kata, sama dengan

jumlah bulan dalam satu tahun. Al-yaum (hari) 365 kata, sama dengan jumlah hari

dalam satu tahun. Al-bahr (lautan) 32 kata, sedangkan al-barr (daratan) ada 13 kata.

Jika jumlah kata yang mengandung maksud "lautan" dan "daratan", digabungkan

adalah 32 + 13 = 45. Maka, perbandingan luas lautan dan daratan adalah sebagai

berikut. Luas lautan = 32/45 x 100% = 71, 11111111%. Luas daratan =13/45 x 100%

= 28, 88888888%. Jadi, luas lautan itu lebih dari 2/3 luas bumi, sedangkan luas

daratan itu kurang dari 1/3 luas bumi.

Perhatikan dan renungkan pula keikonan ”Nilai Molekul Air (H2O) di dalam

Al Quran” berikut ini.

Molekul air terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Komposisi

kimianya dikenal sebagai H2O. Berat massa molekul air dapat dihitung sebagai

berikut.

Diketahui:

Berat massa atom hidrogen = 1. Berat massa atom oksigen = 16. Maka jumlah

berat massa molekul air (H2O) = (2 x 1) + (1 x 16) = 18. Nilai 18 ini ternyata dapat

dihubungkan dengan ayat yang terdapat di dalam Al-Quran, yaitu surah Al-

Mu’minuun ayat 18 pada Juz ke-18 yang terjemahan ayatnya:

“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami

jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar

berkuasa menghilangkannya.”

Kalau surah Al-Mu’minuun berada pada urutan ke-23, maka perhitungan

perkalian menjadi 23 x 18 x 18 = 7452, selanjutnya angka 7452 diuraikan menjadi 7,

4, 5, 2 dan kemudian dijumlahkan 7 + 4 + 5 + 2 = 18. Hasil penjumlahan

memunculkan kembali angka 18. Sangat sesuai dengan bunyi ayat di atas, tentang

air yang turun dari langit dan ternyata juga angka 18 sebagai nilai berat molekul air.

Sungguh, Allah Subhanahu Wata’ala Maha Besar dan Maha Benar.

Nilai 18 dapat dilihat pada contoh ayat-ayat Al-Quran seperti tertera di

bawah ini:

(a) Air yang dapat menyuburkan tumbuhan dan menghasilkan aneka jenis buah-

buahan.

24

Surah Fathiir (35) ayat 27 ; urutan juz ke- 22. Hasil perkaliannya : 35 x 27 x 22

= 20790, diuraikan menjadi 2, 0, 7, 9,0 , kemudian dijumlahkan 2 + 0 + 7 + 9 +

0 = 18

(b) Sungai yang mengalir dan pemisah antar dua laut.

Surah An Naml (27) ayat 61 ; urutan juz ke- 20. Hasil perkaliannya : 27 x 61 x 20

= 32940, diuraikan menjadi 3, 2, 9, 4,0 , kemudian dijumlahkan 3 + 2 + 9 + 4 + 0

= 18

(c) Laut menenggelamkan Fir’aun bersama pasukannya.

Surah Yunus (10) ayat 90 ; urutan juz ke- 11. Hasil perkaliannya : 10 x 90 x 11 =

9900, diuraikan menjadi 9, 9, 0, 0,0 , kemudian dijumlahkan 9 + 9 = 18.

(d) Kerusakan lingkungan di laut dan di darat (global warming)

Surah Ar-Ruum (30) ayat 41 ; urutan juz ke- 21. Hasil perkaliannya : 30 x 41 x

21 = 25830, diuraikan menjadi 2, 5, 8, 3, 0 , kemudian dijumlahkan 2 + 5 + 8 +

3 + 0 = 18 (http://en-gb.facebook.com, diunduh pada 23 Januari 2013).

(3) Ikon Verbal Subjenis Etik-Pragmatik

Contoh dapat dilihat pada kata-kata bentuk krama bahasa Jawa yang

keberadaannya sebagai perubahan bunyi dari bentuk ngokonya. Misalnya: jambet

yang berasal dari jambu ’jambu’, ijem yang berasal dari ijo ‘hijau’, ewah yang

berasal dari owah ‘berubah’, dan pantun yang berasal dari pari ‘padi’.

Dalam masyarakat Jawa ada pandangan, kuranglah sopan jika saat bertemu

muka, apalagi dengan orang yang dihormati, mulut terngangakan (membuka) dan

suara yang terucapkan keras atau melengking. Untuk menunjukkan kesopanan, layak

jika pembukaan atau pemuncungan mulut itu dihindari dan suara yang diucapkan

lebih lirih. Dalam kaitannya dalam pandangan kesopanan semacam itulah kata-kata

ngoko yang bila diucapkan mengharuskan mulut terbuka dan atau bibir muncung dan

atau suara relatif keras, harus diubah, sehingga memenuhi kriteria kesopanan itu.

Dengan demikian, wujud kata-kata krama yang dikenai proses perubahan itu, jika

diucapkan, mencerminkan kesopanan yang dimaksud; dan jadilah kata-kata krama

semacan itu menjadi tanda ikon dengan jenisnya etik-pragmatik.

(4) Ikon Verbal Subjenis Konyol-Humorik

Contohnya adalah rantai plesetan sebagai berikut.

25

AYAM. Ayam going to school.

School liwet. Liwet ngendi?

Ngendi Borobudur, budursangkar.

Sangkar bambu. Bambu masak.

Koran masak kini. Kini S. Bono.

Bonocoroko. Roko kretek.

Kretek ogleng.. (teruskan sendiri).

Contoh di atas dapat diidentifikasikan sebagai rantai plesetan karena adanya

pengubahan kata yang diucapkan berganti-ganti oleh orang yang berlainan. Yang

terlibat dalam hal ini dapat dua orang secara bergantian atau lebih. Kualifikasi

plesetan dimunculkan atas pertimbangan bahwa bentuk kata yang diubah itu tidak

ada hubungan makna (sama sekali) dengan hasil usahanya. Dalam pada itu,

tujuannya pun cenderung untuk lucu-lucuan, konyol pereda ketegangan, dan

pencairan hubungan agar lebih segar.

Kata ayam diatas adalah kata Indonesia. Kata ayam berikutnya diidentikkan

dengan kata I am ‘saya sedang..’ dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, dilanjutkan

dengan going to school. Akan tetapi, school Inggris kemudian diubah menjadi kata

Jawa yang bunyinya hampir sama, yaitu sekul ‘nasi’; sehingga meskipun ucapannya

tetap sama dengan school Inggris (oleh karena itu ditulis school) tetapi dimaksudkan

sebagai sekul Jawa. Sementara itu kata liwet mirip bunyinya dengan liwat ‘lewat’

sehingga dengan kalimat liwet ngendi? Maksudnya sama dengan liwat ngendi?

‘Lewat mana?’ Demikian seterusnya: ngendi ‘mana’ diplesetkan untuk mengacu

candi; budur pada Borobudur diplesetkan untuk mengacu bujur; sangkar pada

bujursangkar diplesetkan untuk mengacu sanggar (sanggar bambu nama sebuah

lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan di Yogyakarta); bambu pada sanggar

bambu diplesetkan untuk mengacu bumbu; masak pada bumbu masak diplesetkan

untuk mengacu masa; kini pada koran masa kini diplesetkan untuk mengacu Rini;

dan Bono pada Rini S. Bono diplesetkan untuk mengacu Hono; serta akhirnya, roko

pada honocoroko diplesetkan untuk mengacu rokok.

26

Pemiripan bunyi bersifat pemelesetan antara bentuk yang dipelesetkan

dengan pelesetannya itulah yang menempakkan gejala ikonisasi. Dalam hal ini

bentuk pelesetannya berstatus sebagai ikon terhadap bentuk yang dipelesetkan.

(5) Ikon Verbal Subjenis Kontemplatif Filosofis

Contoh pertama jenis ikon ini dapat dilihat pada aksara Jawa.

Aksara Jawa

Aksara Jawa merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai

harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang

patut untuk dilestarikan. Aksara tersebut tidak hanya digunakan di Jawa, tetapi juga

digunakan di daerah Sunda dan Bali meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam

penulisannya.

Makna aksara Jawa dapat diperhatikan sebagai berikut.

Ha-na-ca-ra-ka berarti ada "utusan" yakni utusan hidup berupa nafas yang

berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Maksudnya, ada yang

mempercayakan, ada yang dipercaya, dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga

unsur itu adalah Allah, manusia, dan kewajiban manusia (sebagai makhluk/ciptaan).

Da-ta-sa-wa-la berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan saatnya

dipanggil/meninggal dunia "tidak boleh sawala" (tidak boleh mengelak/harus patuh).

Manusia dengan segala atributnya harus bersedia melaksanakan, menerima, dan

menjalankan kehendak Allah. Dengan kata lain, harus menjalankan semua perintah

dan meninggalkan semua larangan-Nya (bertaqwa), atau harus mendengakan/

memperhatikan dengan seksama semua aturan Allah dan menaati-Nya (sami’na wa

atho’na).

27

Pa-dha-ja-ya-nya berarti menyatunya Zat Pemberi Hidup (Khaliq) dengan

yang diberi hidup (makhluq). Maksdunya, padha berarti sama atau sesuai, jumbuh,

cocok, tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan

keutamaan. Jaya itu menang, unggul, sungguh-sungguh, dan bukan menang-

menangan, sekedar menang atau menang tidak sportif.

Ma-ga-ba-tha-nga berarti menerima dengan ikhlas segala yang diperintahkan dan

yang dilarang oleh Allah Yang Mahakuasa. Maksudnya, manusia harus pasrah,

sumarah pada garis takdir, meskipun manusia diberi hak untuk berikhtiar, berusaha

untuk menanggulanginya.

Adapun makna setiap huruf Jawa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Ha: Hana hurip wening suci (adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha

Suci). Na: Nur candra, gaib candra, warsitaning candara (pengharapan manusia

hanya selalu ke cahaya Ilahi). Ca: Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi (arah dan

tujuan pada Yang Mahatunggal). Ra:Rasaingsun handulusih (rasa cinta sejati muncul

dari cinta kasih nurani). Ka:Karsaningsun memayuhayuning bawana (hasrat

diarahkan untuk kesajeteraan alam).

Da:Dumadining dzat kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya).

Ta:Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa (mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam

memandang hidup). Sa: Sifat ingsun handulu sifatullah (membentuk kasih sayang

seperti kasih sayang Allah). Wa: Wujud hana tan kena kinira (ilmu manusia hanya

terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas). La:Lir handaya paseban jati

(mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi).

Pa:Papan kang tanpa kiblat (hakikat Allah yang ada di segala arah). Dha:

Dhuwur wekasane endek wiwitane (untuk bisa di atas tentu dimulai dari dasar). Ja:

Jumbuhing kawula lan Gusti (selalu berusaha menyatu memahami kehendak-Nya).

Ya:Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi (yakin atas titah/kodrat Ilahi).

Nya:Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki (memahami kodrat kehidupan).

Ma: Madep mantep manembah mring Ilahi (yakin/mantap dalam menyembah

Allah). Ga: Guru sejati sing muruki (belajar pada guru nurani). Ba: Bayu sejati kang

andalani (menyelaraskan diri pada gerak alam). Tha: Thukul saka niat (sesuatu harus

28

dimulai dan tumbuh dari niatan). Nga: Ngracut busananing manungso (melepaskan

egoisme pribadi manusia).

Contoh kedua adalah tembang ”Ilir-ilir” berikut ini.

Ilir- ilir

Ilir-ilir, ilir-ilir, tandure (hu) wus sumilir. Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi.

Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira.Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir.Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore.Mumpung gedhe rembulane, mumpun jembar kalangane.Ya suraka, surak hiya.

Makna dari tembang tersebut dapat dijelaskan per baris (larik) sebagaiberikut.

Ilir-ilir, ilir-ilir, tandure (hu) wus sumilir. Bangunlah, bangunlah, tanamannya

telah bersemi. Kanjeng Sunan Kalijaga mengingatkan agar orang-orang Islam segera

bangun dan bergerak karena saatnya telah tiba, bagaikan tanaman yang telah siap

dipanen. Begitu pula rakyat Jawa yang telah siap menerima ajaran Islam dari para

wali.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Bagaikan warna hijau yang

menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru. Hijau adalah warna kejayaan Islam,

dan agama Islam di sini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapa

pun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya.

Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi. Anak gembala, anak

gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu. Yang disebut anak gembala di sini

adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan

simbol dari lima rukun Islam dan salat lima waktu. Jadi, para pemimpin diperintahkan

oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan

ajaran Islam secara benar, yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan salat lima

waktu.

Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira. Biarpun licin, tetaplah

memanjatnya, untuk mencuci kain dodotmu. Dodot adalah sejenis kain kebesaran

29

orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan

buah belimbing pada zaman dahulu, karena kandungan asamnya, sering digunakan

sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya awet.

Dengan kalimat ini, Sunan Kalijaga memerintahkan orang Islam untuk tetap

berusaha menjalankan lima rukun Islam dan salat lima waktu walaupun banyak

rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu diperlukan untuk menjaga kehidupan

beragama mereka. Oleh karena menurut orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi

jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.

Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir. Kain dodotmu, kain

dodotmu, telah rusak dan robek. Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan

banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka, sehingga kehidupan beragama

mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.

Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore. Jahitlah, tisiklah untuk

menghadap (gustimu) nanti sore. Seba artinya menghadap orang yang berkuasa

(raja/gusti). Dalam tradisi Jawa ada istilah paseban yaitu tempat menghadap raja. Di

sini Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan

beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran Islam secara

benar untuk bekal menghadap Allah.

Mumpung gedhe rembulane, mumpun jembar kalangane. Selagi rembulan

masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang Selagi masih banyak waktu,

selagi masih lapang kesempatan, perbaikilah kehidupanmu.

Ya suraka, surak hiya. Ya bersoraklah. Ya berkatalah, kata ya, patuh, taat,

sendiko dhawuh. Agar saatnya nanti ketika datang panggilan dari Allah, Anda semua

bergembira dan berbahagia (khusnul khotimah) karena sukses menjaga kehidupan

beragama dengan baik.

Demikianlah petuah dari Sunan Kalijaga lima abad yang lalu, yang sampai

saat ini pun masih tetap terasa relevansinya. Semoga petuah dari salah seorang

waliyullah kenamaan ini membuat kita semakin bersemangat dalam hidup di jalan

Allah.

Selanjutnya, contoh yang ketiga. Dalam Bahasa Jawa ada kata pitu, yaitu kata

penunjuk bilangan tujuh. Kata pitu bila diucapkan dekat bunyinya dengan kata

30

pitulung atau pitulungan ‘pertolongan’, pituwas ‘hasil’, pitutur ‘nasihat’ atau pituduh

‘petunjuk. Karena kedekatan atau kemiripnnya itu, manakala dalam saat yang

penting dan sakral, manusia Jawa mengharapkan atau memohon sesuatu agar dapat

terkabul, mereka menggunakan sesuatu yang jumlahnya pitu ‘tujuh’. Ketika ada

upacara mitoni, ‘yaitu upacara genap tujuh bulan usia kandungan’, permohonan

keselamatan terhadap bayi dalam kandungan beserta ibunya dikatakan proses dengan

memandikan ibu hamil dengan mengganti kain yang dipakai sebanyak tujuh kali.

Demikian pula dalam upacara siraman, satu hari menjelang upacara pernikahan,

calon pengantin putri perlu dimandikan dengan diguyur ai yang diambilkan dari

tujuh buah sumur sumber air yang berlainan.

Kecuali memanfaatkan nama bilangan pitu, masyarakat Jawa memanfaatkan

pula nama benda-benda tertentu, yang karena namanya itu, benda yang bersangkutan

disediakan, dijadikan syarat terpenuhinya upacara yang dilakukan. Dalam upacara

perkawinan tersediakannya daun keluwih, tebu, dan cengkir (kelapa muda yang

berair tetapi belum berdaging) karena bunyi masing-masing nama benda itu jika

diucapkan mirip dengan luwih ‘lebih’, antebing kalbu ‘mantap atau teguhnya hati’

serta kecengkir pikir ‘mantap dan memusatkan pikiran’, yang keemuanya diharapkan

agar dimiliki oleh pengantin dalam mengarungi hidup berkeluarga.

Benda-benda lain yang dilibatkan dalam upacara sakral tertentu masih banyak

lagi, yang biasanya berupa tumbuh-tumbuhan atau benda budaya tertentu. Daun

perdu tertentu yang bernama godhong apa-apa, atau rumput yang bernama alang-

alang, misalnya, disertakan sebagai uba-rampe, ‘unsur persyaratan upacara’ karena

nama itu jika diucapkan dekat dengan aja ana alangan apa-apa ‘jangan hendaknya

ada aral melintang sesuatu pun’. Busana Jawa yang biasa dipakai dalam upacara adat

Jawa, nama-nama bagiannya pun mengandung pengertian filosofis tertentu: iket

penutup kepala mengenakannya harus kencang, harapannya hendaklah manusia

mempunyai pikiran yang prinsipal, tidak mudah terombang-ambing; udheng

‘penutup kepala seperti topi bila disebutkan bunyinya mirip dengan mudheng

‘mengerti betul’. Harapannya, manusia (yang memakainya) mempunyai pemikiran

yang kukuh bila mengerti dan memahami tujuan hidupnya (Lihat Minggu Pagi No.

31

50 th 60 minggu II April tahun 2008: “Pakaian adat Kejawen Menurut Simbol

Kehidupan”).

(6) Ikon Verbal Subjenis Grafemik-Kaligrafis

Contoh ikon ini tampak pada gambar berikut.

Gambar di atas ialah seorang muslim yang sedang bersimpuh menjalankan

ibadah salat. Posisi penggambar mestinya di sebelah utara sehingga yang nampak

menghadap ke kanan itu, sebenarnya menghadadap ke kiblat barat. Bila dicermati

secara saksama, pembentuk gambar itu ialah tulisan ayat suci, kalimat syahadat yang

berarti ”Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad itu

utusan Allah” Gambar yang terbentuk dengan bahan dan cara semacam itu dikenal

dengan sebutan “kaligrafi” dan merupakan karya seni. Kata-kata atau kalimat

pembentuk pada umumnya kata-kata atau kalimat pembentuk yang mengandung

nilai kebaikan. Sementara itu gambar yang dihasilkannya pun diupayakan selaras

dengan isi kalimat yang bersangkutan. Maka, tepatlah jika serangkaian tulisan Arab

syahadat yang khas Islami itu digunakan untuk membentuk gambar seorang muslim,

dan dia pun sedang melakukan ibadah salat pula. Dalam hal semacam ini, status

ikonnya mengenai kata-kata atau kalimat itu yang membentuk sedemikian sehingga

mirip dengan pihak yang memiliki dan menghayatinya.

Di lingkungan masyarakat Jawa yang memiliki dan menggunakan huruf Jawa

tekenal adanya unen-unen atau ungkapan aja dumeh yang berarti ‘mentang-

mentang’. Ungkapan itu mengingatkan orang untuk tidak menghina pihak lain

32

karena pihak lain itu tampak kekurangan. Siapa tahu yang nampak kurang itu ada

kelebihan karena pengetahuan seseorang tehadap orang lain sangat terbatas.

Biasanya, kata-kata aja dumeh itu diabadikan dalam bentuk tokoh wayang yang

bernama Semar. Mengapa? Karena Semar yang kesehariannya dalam cerita wayang

sebagai budak atau abdi (bersama ketiga anaknya Gareng, Petruk, Bagong)

sebenarnya dewa yang mempunyai kelebihan luar biasa; bahkan kepalanya para

dewa pun, yaitu Bethara Guru, kalah sakti jika dibandingkan dengan Semar. Maka

dengan dibentuk sebagai gambar Semar, ungkapan aja dumeh menjadi sangat

bermakna. Maka dalam hal semacam itu pun ungkapa aja dumeh manjadi tanda ikon

bagi tujuan agar orang berendak hati ketika dikaligrafikan dalam bentuk gambar

wayang Semar.

(7) Ikon Verbal Subjenis Auditoris-Metafonatif

Contoh ikon ini ialah kata yang dipakai untuk menamakan sebuah rumah

makan di Yogya Utara Isakuiki. Kata-kata tersebut jika diucapkan terdengar seperti

bahasa Jepang (ingat kata Isuzu dan Suzuki merek mobil dan motor Jepang). Padahal

kalau dicermati, sesungguhnya itu merupakan kata-kata bahasa Jawa isaku ‘yang aku

bisa’ dan iki ‘ini’. Demikian pula kata takasimura sebagai nama sebuah warung

bahan bangunan (diantaranya keramik lantai), bila diucapkan terdengar seperti kata

bahasa Jepang (ingat kata nama Nakamura, Tanaka, dan sebagainya). Padahal kalau

dicermati, sesungguhnya itu merupakan kata campuran gabungan bahasa Jawa

Indonesia, yaitu tak kasih ‘saya beri’ dan murah ‘murah’. Dengan adanya bentuk

baru semacam itu, kata semula distatusikonkan. Jadilah tanda ikon yang terdengar

semacam itu.

Dalam kaitannya dengan proses pengikonan berjenis ini, dimungkinkan ada

kata sakukurata yang berarti ‘aku nggak punya uang’ (terbukti dari tidak adanya

uang sedikitpun di dalam saku saya, sehingga saku saya tidak nampak manonjol).

Kadang-kadang dimungkinkan pula gabungan kata Jawa atau Indonesia dicina-

cinakan, sehingga kalau diucapkan terdengar sekilas kata-kata Cina. Ketika penulis

masih di sekolah menengah dulu, sering mendengar kata fiktif untuk olok-olok Lem

Ban Pit dan Bon Ceng An yang sesungguhnya berarti ‘lem ban sepeda’ dan

‘boncengan’.

33

(8) Ikon Verbal Pantulan-dominoid

Contoh-contoh ikon jenis ini adalah sebagai berikut.

a. Lobak lopis; pista raja; jaka bagus; gusti kula; lombok abang; bangku

dhuwur; wura-wuri; rina wengi; ngilo kaca; dan seterusnya.

b. E, dhayohe teka; e, gelarna klasa. E, klasane bedhah; e, tambalen jadah. E,

jadahe mambu; e, pakakna asu. E, asune mati; e, kelekna kali. E, kaline

banjir; e, kelekna pinggir; dan seterusnya.

Bagian akhir „wacana“ sebelumnyan diulang menjadi bagian awal „wacana“

berikutnya. Dalam hal ini, bagian peng-ulang-nya merupakan ikon yang diulang.

(9) Ikon Verbal Subjenis Olokan Parodi

Nampak pada peniruan (impersonalisasi) oleh peniru (impersonalitor)

terhadap pengucapan tokoh, etnis, atau orang tertentu. Peniruan itu bersifat olok-olok

dan sindiran terhadap pengucapan atau penuturan serta tingkah laku yang dikerjakan

atau dilakukan oleh seseorang yang ditirukan. Contoh, Butet Kertarajasa menirukan

suara tokoh tertentu. Dalam hal ini, ucapan tiruan itu merupakan ikon bagi ucapan

yang ditirukan.

(10) Ikon Verbal Subjenis Hadiran Interpretasi Apresiatif

Contoh-contoh jenis ikon ini adalah sebagai berikut.

a. Nampak pada dialog tokoh fiktif yang diucapkan oleh seseorang, misalnya

dalang, pelaku Pak Raden, pelaku Si Susan (Ria Enes), pembaca cerpen yang

berdialog, pemain drama, teater, aktor/aktris, dan sebagainya.

b. Nampak pula pada ”direct speech” yang diucapkan oleh seseorang. Misalnya

bisa dari ”direct speech”nya tokoh konkret. Dalam jenis ini, yang berstatus

ikon adalah ucapan seseorang yang menirukan itu, dan yang diikonkan adalah

dialognya tokoh fiktif atau ”speech”-nya tokoh konkret tertentu.

34

BAB II

SEMANTIK

A. Pengertian Semantik

Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics,

dari bahasa Yunani sema (kata benda, nomina) yang berarti “tanda”. Atau, dari kata

kerja/verba semaino = “menandai”. Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa

untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna (Djajasudarma,

1993:1).

Hal yang sama dikemukakan oleh Chaer (1990:2), bahwa kata semantik dalam

bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda)

yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti

“menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud tanda atau lambang di sini adalah

tanda linguistik yang dalam bahasa Prancis disebut signe linguistique, seperti yang

dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu terdiri dari (1) komponen

yang mengartikan yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen

yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.

Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam

bidang linguistik yang membahas hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-

hal yang ditandainya. Dengan kata lain, semantik adalah bidang kajian dalam

linguistik yang membahas makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata

semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah

satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.

Senada dengan Chaer, Palmer dalam Aminuddin (2001:15) mengemukakan

bahwa semantik semula berasal dari bahasa Yunani itu, mengandung makna to signify

atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi

tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka

semantik merupakan dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen

makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi

umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka

komponen makna menduduki tingkat paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu

sesuai dengan kenyataan bahwa (1) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi

abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (2) lambang-lambang

merupakan seperangkat sistem yang memiliki tatanan dan hunbungan tertentu, dan

(3) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan

adanya makana tertentu.

Mempertegas pendapat di atas, Verhaar (1985:124) menyatakan bahwa

semantik (semantics) adalah “teori makna” atau “teori arti”, kata sifatnya ialah

semantis (semantic).

Untuk lebih mudah memahami pengertian semantik, berikut ini dipaparkan

beberapa kaidah umum semantik:

1. Hubungan antara kata/leksem dengan rujukan/acuannya bersifat arbitrer. Artinya,

tidak ada hubungan wajib di antara keduanya.

2. Secara sinkronik makna sebuah kata tidak berubah, secara diakronik ada

kemungkinan berubah. Maksudnya, dalam jangka waktu terbatas makna sebuah

kata tidak akan berubah, tetapi dalam jangka waktu yang relatif tidak terbatas ada

kemungkinan bisa berubah. Namun, tidak berarti setiap kata akan berubah

maknanya.

3. Bentuk-bentuk yang berbeda, berbeda pula maknanya. Artinya, kalau ada dua

buah kata/leksem yang bentuknya berbeda, pasti maknanya akan berbeda

meskipun perbedaannya hanya sedikit. Oleh karena itu, dua buah kata yang

disebut bersinonim pasti kesamaan maknanya tidak persis, tidak seratus persen

sama. Misalnya, kata benar dan betul, yang diubah menjdi kebenaran dan

kebetulan. Dalam kalimat Mari kita berjuang untuk menegakkan kebenaran, kata

kebenaran tidak dapat diganti dengan kebetulan. Ini membuktikan bahwa

meskipun kata benar dan betul bersinonim tetapi tidak sama pesis, tetap ada

perbedaannya.

4. Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri yang berbeda dengan sistem

semantik bahasa lain karena sistem semantik itu berkaitan erat dengan sistem

budaya masyarakat pemakai bahasa itu, sedangkan sistem budaya yang

melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama. Oleh karena itu, ada kata-kata

tertentu dalam bahasa tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa

36

lain secara tepat. Contoh, dalam bahasa Jawa ada kata-kata nyunggi, mbopong,

ngindhit, mikul, nyangking, nyengkiwing, nggendhong. Tentu kata-kata tersebut

akan sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab atau bahasa lain dengan

tepat.

5. Makna setiap kata dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup

dan sikap masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, makna kata babi pada

kelompok masyarakat Indonesia yang masyarakat beragama Islam tidak sama

dengan kelompok masyarakat yang bukan beragama Islam. Bagi orang yang

beragama Islam, begitu mendengar atau membaca kata babi, maka makna yang

terpikir atau sejumlah konsep yang terbayang di benaknya adalah kata najis,

haram, jijik, jorok, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan orang nonmuslim,

begitu mendengar atau membaca kata babi, maka yang terbayang kata-kata lezat,

bergizi, sedap, maknyus, dan sebagainya.

6. Luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik

dengan luasnya bentuk tersebut. Bandingkan bentuk dan makna dari kata-kata

berikut:

a. kereta (bentuknya sangat sempit, maka maknanya sangat luas/sangat umum).

b. kereta api (bentuknya lebih luas dari kereta, maka maknanya lebih sempit/lebih

khusus dari kereta).

c. kereta api ekspres (bentuknya lebih luas dari kereta api, maka maknanya lebih

sempit/lebih khusus dari kereta api).

d. kereta api ekspres malam (bentuknya lebih luas dari kereta api ekpres, maka

maknanya lebih sempit/lebih khusus dari kereta api ekpres).

B. Sejarah Semantik

Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384 – 322 SM,

adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” melalui batasan

pengertian kata yang menurutnya adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”.

Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat

dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna

yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ullman dalam Aminuddin,

2001:15). Bahkan Plato (429 – 347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa

37

bunyi-bunyi bahasa itu secara tersirat (implisit) mengandung makna-makna tertentu.

Hanya saja memang, pada masa itu antara etimologi, studi makna, maupun makna

kata, belum jelas.

Pada tahun 1825, C. Chr. Reisig (Jerman), mengemukakan konsep baru tentang

grammar yang menurutnya meliputi tiga unsur utama, yakni (1) semasiologi, ilmu

tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, dan (3) etimologi, studi tentang

asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini,

istilah semantik itu sendiri belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah

dilaksanakan. Oleh karena itulah, masa tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa

pertama pertumbuhan semantik (underground period).

Masa kedua pertumbuhan semantik ditandai hadirnya artikel “Les Lois

Intellectuelles du Langage” karya seorang berkebangsaan Prancis, Michel Breal

(1883). Pada masa itu, meskipun Breal dengan jelas telah menyebutkan semantik

sebagai bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya Reisig, masih menyebut

semantik sebagai ilmu yang murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada

masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri,

misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan

perubahan makna dengan logika, psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya. Karya

klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 itu adalah Essai de

Semantique.

Masa pertumbuhan ketiga studi tentang makna ditandai pemunculan karya

filolog Swedia, Gustaf Stern, yang berjudul Meaning and Change of Meaning, with

Special Reference to the English Language (1931). Pada masa itu, Stern sudah

melakukan kajian makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni

bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern tersebut, di

Jenewa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat

menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de

Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.

Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi

dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Konsep itu adalah (1) linguistik

pada dasaranya merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa

38

itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan

pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif, sedangkan studi tentang

sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan kesejarahan yang

menggunakan pendekatan diakroni; (2) bahas merupakan suatu gestalt atau suatu

totalitas yang didukung oleh barbagai elemen, yang elemen satu dengan lain

mengalami saling kebergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya.

Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham linguistik struktural.

Selanjutnya, tokoh yang sungguh-sungguh mengadaptasikan pendapat Saussure

tersebut dalam bidang semantik adalah Trier’s (seorang profesor berkebangsaan

Jerman) dengan karyanya yang berjudul Teori Medan Makna. Dengan

diadaptasikannya teori Saussure dalam bidang semantik, maka dalam perkembangan

berikutnya kajian semantik memiliki ciri (1) meskipun semantik masih membahas

masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat historis sudah ditinggalkan

karena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif, dan (2) struktur dalam kosakata

mendapat perahtian kajian sehingga dalam kongres para linguis di Oslo (1951)

maupun di Cambidge (1962), masalah “semantik struktural” merupakan salah satu

masalah yang hangat didiskusikan (Ullman dalam Aminuddin, 2001:17).

C. Manfaat Semantik

Manfaat apa yang dapat diperoleh dari kajian semantik sangat tergantung dari

bidang apa yang digeluti dalam tugas sehari-hari. Bagi orang yang berkecimpung

dalam penelitian bahasa seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra, pengetahuan

semantik akan banyak memberi bekal teotitis kepadanya untuk menganalisis bahasa

yang sedang dipelajarinya.

Bagi wartawan, reporter, atau mereka yang berkecimpung dalam dunia media

massa, pengetahuan tentang semantik akan memudahkannya dalam memilih dan

menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan berita kepada

masyarakat. Tanpa pengetahuan tentang konsep-konsep denotasi, konotasi, sinonimi,

antonimi, homonimi, polisemi, dan nuansa-nuansa tentu akan sulit bagi mereka untuk

mampu menyampaikan berita secara tepat, benar, dan menarik.

Bagi guru atau calon guru bahasa, pengetahuan tentang semantik akan

memberi manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritisnya, teori-teori sematik akan

39

membantunya dengan lebih baik “rimba belantara rahasia” bahasa yang diajarkannya

itu. Sementara itu, manfaat praktisnya adalah berupa kemudahan baginya dalam

mengajarkan bahasa itu kepada peserta didiknya. Seorang guru bahasa, selain harus

memiliki pengetahuan yang luas mengenai segala aspek bahasa, ia juga harus

memiliki pengetahuan teori semantik secara memadai. Jika tidak menguasai

pengetahuan ini, ia tidak akan dapat dengan tepat menjelaskan persamaan dan

perbedaan semantis antara dua buah bentuk kata, serta bagaimana menggunakan

kedua bentuk kata yang mirip itu dengan tepat.

Lalu, bagi orang awam, apakah manfaat pengetahuan tentang semantik

baginya? Memang, bagi orang awam, pengetahuan yang luas dan mendalam tentang

semantik tidaklah diperlukan. Akan tetapi pemakaian dasar-dasar semantik tentunya

masih diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelilingnya yang penuh dengan

informasi dan lalu lintas kebahasaan. Semua informasi yang ada di sekelilingnya yang

harus mereka serap dan pahami berlangsung melalui bahasa (dunia lingual). Semua

manusia dalam hidup bermasyarakat tidak mungkin mereka dapat hidup dengan baik

tanpa memahami dunia sekelilingnya yang berlangsung melalui bahasa dalam

berkomunikasi (Chaer, 1990:11-12).

D. Makna, Informasi, dan Maksud

Sesungguhnya persoalan makna memang sangat kompleks. Walaupun mkana

merupakan persoalan bahasa, namun keterkaitan dan keterikatannya dengan segala

aspek kehidupan manusia sangat erat. Padaha aspek-aspek kehidupan manusia itu

sendiri sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada manusia yang

mampu mendeskripsikannya secara tuntas.

Sebagai media komunikasi dan alat interaksi sosial, peranan bahasa sangat

besar. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa.

Bahasa muncul dan diperlukan dalam segala kegiatan seperti pendidikan,

perdagangan, keagamaan, politik, dan sebagainya. Bahasa telah memudahkan dan

memperlancar semua kegiatan manusia. Kita tidak dapt membayangkan bagaimana

keadaan masyarakat manusia ini jika tidak ada bahasa. Di samping sunyi dan sepi,

juga interaksi sosial akan mengalami hambatan yang sangat serius.

40

Bahasa memang sangat besar peranannya dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Namun, dalam praktik berbahasa kita juga sering mendengar orang mengatakan,

“Apa arti kalimat ini?” Atau, “Apa maksud pertanyaan itu?” Atau juga keluhan orang

banyak yang menyatakan, “Katakan saja itu uang hutang dari luar negeri! Tidak usah

ditutup-tutupi dan dikatakan sebagai bantuan dari luar negeri!”

Perkataan atau keluhan seperti itu menunjukkan bahwa sebagai alat komunikasi,

penyamapai ide, gagasan, konsep, dan sebagainya, bahasa masih mempunyai

persoalan dan hambatan. Persoalan dan hambatan kebahasaan ini memang ada

kemungkinan bersumber dari bahasa itu sendiri, seperti adanya lambang-lambang

yang dapat melambangkan dua konsep atau lebih. Atau sebaliknya, ada dua lambang

atau lebih yang melambangkan konsep-konsep yang samar-samar dan abstrak. Akan

tetapi, agaknya persoalan dan hambatan tersebut lebih banyak terjadi sebagai akibat

dari kemampuan berbahasa dan bernalar para penuturnya yang relatif kurang,

sehingga seringkali mereka tidak bisa membedakan apa yang disebut makna,

irformasi, dan maksud.

Masih cukup banyak orang yang mencampuradukkan konsep tentang makna,

informasi, dan maksud. Ketiganya dianggap asama saja sebagai makna, sehingga

kalimat seperti Salma membaca Al-Quran dikatakan sama maknanya dengan kalimat

Al-Quran dibaca Salma. Begitu pula dianggap sama maksudnya dengan Al-Quran

dibaca oleh Salma.

Anggapan tersebut tentunya kurang tepat sebab kalimat Salma membaca Al-

Quran mengandung makna aktif, sedangkan kalimat Al-Quran dibaca Salma

mengandung makna pasif. Begitu pula kalimat Al-Quran dibaca Salma tidak sama

maknanya dengan kalimat Al-Quran dibaca oleh Salma sebab makna kalimat pertama

tidak mengandung penonjolan pelaku, sedangkan kalimat kedua mengandung

penonjolan pelaku, yang ditandai dengan penggunnaan preposisi oleh.

Verhaar dalam Chaer (1990:29-36) menjelaskan perbedaan pengertian makna,

informasi, dan maksud sebagai berikut.

1. Pengertian Makna

Ferdinand de Saussure mengemukakan bahwa setiap tanda linguistik terdiri

dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (signified) dan (2) yang mengartikan

41

(signifier). Yang diartikan sebenarnya adalah konsep atau makna dari sesuatu tanda

bunyi, sedangkan yang mengartikan adalah bunyi-bunyi itu yang terbentuk dari

fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik

terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-

bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada sesuatu referen yang

merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).

Misalnya tanda linguistik yang dieja <meja>. Tanda ini terdiri dari unsur

makna atau yang diartikan ‘meja’ (table, maktab) dan unsur bunyi atau yang

mengartikan dalam wujud runtutan fonem [m, e, j, a]. Lalu tanda <meja> ini, yang

dalam hal ini terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya mengacu kepada suatu

referen yang berada di luar bahasa, yaitu meja (benda/barang yang merupakan salah

satu perabot rumah tangga). Kalau kata <meja> adalah sebagai hal yang menandai

(tanda-linguistik), maka sebuah <meja> sebagai perabot ini adalah hal yang ditandai.

2. Pengertian Informasi

Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa makna adalah unsur dari sebuah

kata atau lebih tepatnya sebagai gejala-dalam-ujaran. Oleh karena itu, ada prinsip

umum dalam semantik yang menyatakan bahwa jika bentuk kata berbeda, maka

maknanya pun berbeda, meskipun perbedaannya itu hanya sedikit. Jadi, kata ayah dan

bapak karena bentuknya berbeda maka berbeda pula maknanya. Begitu pula kalimat

Salma membaca Al-Quran dan kalimat Al-Quran dibaca Salma, maknanya juga

berbeda.

Namun, masih banyak juga orang yang menganggap bahwa kata ayah dan

bapak maknanya sama saja. Hal ini terjadi karena orang-orang tersebut mengacaukan

pengertian tentang makna dengan pengertian tentang informasi. Makna, sebagaimana

telah disinggung di atas, adalah gejala-dalam-ujaran, sedangkan informasi adalah

gejala-luar-ujaran. Kata ayah dan bapak memang memberi informasi yang sama,

yaitu ‘orang tua laki-laki’, tetapi maknanya tetap tidak persis sama karena bentuknya

berbeda. Dalam kalimat Ayah saya dermawan, kata ayah dapat diganti dengan kata

bapak sehingga menjadi Bapak saya dermawan. Akan tetapi dalam frasa Bapak

Rektor yang terhormat, tidak dapat diganti menjadi Ayah Rektor yang terhormat.

42

3. Pengertian Maksud

Di atas telah dibicarakan perbedaan antara makna dengan informasi. Makna

adalah gejala-dalam-ujaran, sedangkan informasi adalah gejala-luar-ujaran. Selain

informasi, masih ada lagi gejala-luar-ujaran yang lain, yaitu maksud. Informasi dan

maksud sama-sama merupakan gejala-luar-ujaran. Bedanya, kalau informasi itu

merupakan gejala-luar-ujaran dilihat dari objeknya atau yang dibicarakan, sedangkan

maksud dilihat dari si pengujar/orang yang berbicara/subjeknya. Dalam hal ini, orang

yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa kata, frasa, atau kalimat,

tetapi yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu. Misalnya,

seorang guru di depan murid-muridnya berkata, “Anak-anak, papan tulisnya kotor

sekali ya?” Meskipun guru tersebut bertanya, tetapi yang dimaksudkannya tentu saja

menyuruh agar muridnya membersihkan papan tulis.

Untuk memperjelas perbedaan antara makna, informasi, dan maksud, perlu

diperhatikan diagram berikut ini.

ISTILAH SEGI

(dalam keseluruhan peristiwa

pengujaran

JENIS SEMANTIK

makna segi lingual atau dalam ujaran semantik kalimat

semantik gramatikal

semantik leksikalinformasi segi objektif (yakni segi yang

dibicarakan)

(luar semantik;

ekstralingual)maksud segi subjektif (yakni di pihak

pemakai bahasa)

semantik maksud

Jadi, makna menyangkut segi lingual atau dalam-ujaran, sehingga padanya

ada persoalan semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik kalimat.

Informasi menyangkut segi objek yang dibicarakan, sehingga tidak menyangkut

persoalan semantik karena sifatnya berada di luar bahasa (ekstralingual). Adapun

maksud yang menyangkut pihak pengujar masih memiliki persoalan semantik, asal

saja lambang-lambang yang digunakan masih berbentuk bahasa.

E. Aspek Makna

43

Aspek makna menurut Palmer dalam Djajasudarma (1993:2) dapat

dipertimbangkan dari fungsi dan dibedakan atas (1) pengertian (sense), (2) perasaan

(feeling), (3) nada (tone), dan (4) tujuan (intension). Keempat aspek makna tersebut

dapat dipertimbangkan melalui kata bahasa Indonesia sebagai contoh pemahaman

makna tersebut. Makna pengertian dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-

hari yang melibatkan apa yang disebut tema. Makna perasaan, nada, dan tujuan

dapat pula kita pertimbangkan melalui data bahasa Indonesia maupun daerah.

1. Pengertian (Sense)

Aspek makna pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara/penulis dan

kawan bicara berbahasa sama. Makna pengertian disebut juga tema, yang melibatkan

ide atau pesan yang dimaksud. Di dalam pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari

kita mendengar kawan bicara menggunakan kata-kata yang mengandung ide atau

pesan yang dimaksud. Dalam hal ini menyangkut tema pembicaraan sehari-hari,

misalnya tentang ibadah haji:

(1) Mereka sedang thawaf

(2) Mereka sedang sa’i

(3) Mereka sedang wukuf

Dalam komunikasi tersebut tentu ada unsur pendengar (ragam lisan) dan pembaca

(ragam tulis), yang mempunyai pengertian yang sama terhadap satuan-satuan mereka,

sedang, thawaf, sa’i, dan wukuf. Informasi atau apa yang kita ceritakan tersebut

memiliki persoalan inti yang biasa disebut tema. Coba pikirkan informasi berikut

memiliki tema apa?

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkandalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepadatali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akannikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karenanikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepijurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. DemikianlahAllah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."(Q.S. Ali Imran: 102-103).

44

Kita memahami tema dalam informasi karena apa yang kita katakan atau apa

yang kita dengar memiliki pengertian dan tema. Kita mengerti tema karena kita

paham akan kata-kata yang melambangkan tema tersebut.

2. Perasaan (Feeling)

Aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi

pembicaraan. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan dengan perasaan,

misalnya gembira, bangga, bahagia, kagum, sedih, cemas, risau, galau, resah,

gelisah, dan sebagainya. Pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek makna

perasaan tersebut menggunakan kata-kata yang sesuai situasinya. Misalnya, tidak

akan muncul ekspresi (1) turut berbahagia, (2) ikut bergembira, (3) nderek bingah

pada situasi berduka, sebab ekspresi tersebut selalu muncul pada situasi kesuksesan

dan kesenangan, contohnya bila ada yang menikah, diwisuda, naik pangkat dan

sebagainya. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sesuai dengan perasaan. Kata-

kata yang sesuai dengan makna perasaan ini muncul dari pengalaman.

Setiap sajak biasanya mengungkapkan aspek makna perasaan penyair. Coba

renungkan dan hayati sajak berikut ini!

Putih, Putih, Putih

Meratap bagai bayiTerkapar bagai si tua rentaDi padang MahsyarDi padang penantianDi depan pintu gerbang janji keabadianSaksikan beribu-ribu jibabHai! Bermilyar-milyar jilbab!Samudera putihLautan cinta kasihGelombang sejarahPengembaraan amat panjangDi padang Mahsyar………………. .(Emha Ainun Nadjib)

3. Nada (Tone)

Aspek makna nada adalah ”an attitude to his listener” (sikap pembicara

terhadap kawan bicara”) atau sikap penyair atau penulis terhadap pembaca. Aspek

makna nada ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan

45

keadaan kawan bicara dan pembicara sendiri. Apakah pembicara telah mengenal

pendengar, apakah pembicara berjenis kelamin sama dengan pendengar. Atau, apakah

latar belakang sosial-ekonomi pembicara sama dengan pendengar, apakah pembicara

berasal dari daerah yang sama dengan pendengar. Hubungan pembicara-pendengar

(kawan bicara) akan menentukan sikap yang akan tercermin dalam kata-kata yang

akan digunakan.

Aspek makna nada ini berhubungan pula dengan dengan aspek makna

perasaan. Bila kita jengkel maka sikap kita akan berlainan perasaan bergembira

terhadap awan bicara. Bila kita jengkel akan memilih aspek makna nada dengan

meninggi. Lain halnya dengan aspek makna yang digunakan bila kita memerlukan

sesuatu, maka akan mengiba-iba dengan nada merata atau merendah. Bandingkanlah

aspek makna nada berikut.

(1) Manusia itu tidak akan ketinggalan zaman, tetapi meninggalkan zaman.

(2) Adakah temanmu yang telah meninggalkan zaman?

(3) Detik-detik itu pasti datang, bersiaplah!

(4) Pasti!

4. Tujuan (Intension)

Aspek makna tujuan ini adalah ”his aim, concious or unconcious, the effect

he is endeavouring to promote” (tujuan atau maksud, baik disadari maupun tidak,

akibat usaha dari peningkatan). Apa yang diungkapkan dalam aspek makna tujuan

memiliki tujuan tertentu, misalnya dengan mengatakan, ”Pengkhianat kau!”

tujuannya agar kawan bicara mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan

tersebut.

Aspek makna tujuan ini melibatkan pernyataan yang bersifat (1) deklaratif, (2)

persuasif, (3) imperatif, (4) naratif, (5) politis, dan (6) pedagogis. Contoh dari keenam

aspek makna tujuan tersebut dapat ditemukan dalam penyuluhan pemerintah dalam

bidang kesehatan sebagai berikut.

”Pemeliharaan kesehatan dapat menunjang program pemerintah dalam

meningkatkan taraf hidup bangsa (deklaratif). Dengan pola makan empat sehat lima

sempurna di setiap kampung akan menjamin kesehatan masyarakat (persuasif).

Halaman-halaman rumah di tiap-tiap tempat harap ditanami dengan apotek hidup

46

(imperatif). Manusia insya Allah bisa hidup lebih lama dengan memelihara

kesehatan dengan memperhatikan anjuran pemerintah dalam meningkatkan taraf

hidup sehat (naratif). Rakyat sehat negara kuat (politis), mendidik hidup sehat

supaya negara kuat (pedagogis)”.

F. Relasi Makna

Relasi atau hubungan kemaknaan dalam kajian semantik dapat berupa (1)

sinonimi, (2) antonimi, (3) homonimi, (4) homofon, (5) homograf, (6) polisemi, (7)

hiponimi, dan (8) hipernimi. Penjelasan dari jenis-jenis relasi makna tersebut adalah

sebagai berikut.

1. Sinonim

Sinonim digunakan untuk menyatakan sameness of meaning ”kesamaan arti”

(Djajasudarma, 1993:36). Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani

kuno, yaitu syn yang berarti ”dengan” dan onoma yang berati ”nama”. Maka secara

harfiah, kata sinonim berarti ”nama lain untuk benda atau hal yang sama”. Secara

semantik, Verhaar dalam Chaer (1990:85) mendefinisika sinonim sebagai ungkapan

(kata, frasa, kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan

lain, misalnya (1) buruk dan jelek; (2) bunga, kembang, dan puspa; (3) mati,

meninggal, wafat, gugur, mampus, tewas, dan mangkat; (4) besar, agung, raya,

akbar,dan kolosal. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat

dua arah. Jadi, kalau kata buruk bersinonim dengan kata jelek, maka kata jelek juga

bersinonim dengan kata buruk.

Pada definisi di atas dikatakan bahwa sinonim merupakan relasi antara dua

satuan bahasa yang ”maknyanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua satuan bahasa

yang bersinonim itu kesamaannya tidak seratus persen. Dengan kata lain,

kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam kosa kata

bahasa Indonesia. Ketiadaan sinonim mutlak itu disebabkan oleh (a) faktor waktu, (2)

faktor tempat/daerah, (3) faktor sosial, (4) faktor bidang kegiatan, dan (5) faktor

nuansa makna, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata

komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang

47

hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais; sedangkan kata komandan

hanya cocok untuk situasi masa kini (modern).

b. Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah

bersinonim. Akan tetapi kata saya dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia,

sedangkan kata beta hanya cocok digunakan di wilayah Indonesia timur

(Maluku).

c. Faktor sosial. Misalnya kata saya bersinonim dengan kata aku.

Juga, kata dia bersinonim dengan kata beliau. Akan tetapi kata aku dan dia hanya

cocok digunakan untuk teman sebaya dan kurang cocok digunakan untuk orang

yang lebih tua atau orang yang lebih tinggi status sosialnya.

d. Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata mistik, tasawuf, dan

kebatinan adalah tiga kata yang bersinonim. Namun, kata mistik (mistisisme)

dapat digunakan secara umum, kata tasawuf lebih cocok digunakan dalam wacana

mistisisme dengan perspektif Islam, dan kata kebatinan lebih cocok digunakan

dalam wacana mistisisme non-Islam (kejawen).

e. Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik,

melotot, mengamati, mengintai, mengamati, mengintip, dan meninjau adalah

bersinonim. Namun, kata melihat bisa digunakan secara umum, sedangkan yang

lain hanya cocok digunakan dalam situasi dan kondisi khusus. Contoh lain, kata

bekas bersinonim dengan kata mantan. Namun, kata bekas dapat digunakan

secara umum seperti bekas guru, bekas suami, bekas camat, bekas stasiun, dan

bekas garasi. Sedangkan kata mantan cocok untuk mantan guru, mantan suami,

mantan camat, tetapi tidak cocok untuk mantan stasiun dan mantan garasi. Juga,

kata bekas dapat digunakan dalam frasa besi bekas, kertas bekas, mobil bekas;

sedangkan kata mantan tidak dapat digunakan dalam frasa besi mantan, kertas

mantan, dan sebagianya.

Sebagian penyusun buku pelajaran bahasa Indonesia menyatakan bahwa

sinonimi adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini

tentu kurang tepat karena selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun

bukan hanya kata dengan kata, melainkan juga banyak terjadi antara satuan-satuan

bahasa lainnya. Dengan kata lain, jenis-jenis sinonimi adalah sebagai berikut ini:

48

a. Sinonim antara (bebas) dengan morfem (terikat). Misalnya, sinonim antara dia

dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat:

(1) Hanya kepada Dia kita menyembah dan memohon pertolongan.

Hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan.

(2) Buku Indahnya Salat Tahajjud itu adalah karya saya.

Buku Indahnya Salat Tahajjud itu adalah karyaku.

(3) Atas bantuan dia, saya sampaikan jazakallah.

Atas bantuannya, kusampaikan jazakallah.

b. Sinonim antara kata dengan kata. Misalnya, antara perempuan dengan wanita,

antara senang dengan gembira, antara sedih dengan susah, antara baik dengan

bagus, antara buruk dengan jelek, dan sebagainya.

c. Sinonim antara kata dengan frasa atau sebaliknya. Misalnya, antara hamil dengan

berbadan dua, antara meninggal dengan tutup usia, antara pencuri dengan tamu

tak diundang, antara anak dengan buah hati, antara suami/istri dengan belahan

jiwa, antara harus dengan tidak boleh tidak, antara siswa dengan peserta didik,

antara koran dengan surat kabar, dan sebagainya.

d. Sinonim antara frasa dengan frasa. Misalnya, antara baju hangat dengan baju

dingin, antara tutup usia dengan berpulang ke rahmatullah, dan sebagainya.

e. Sinonim antar kalimat dengan kalimat. Misalnya, antara Bilal mengumandangkan

adzan dengan Adzan dikumandangkan Bilal, antara Mahasiswa mematuhi

peraturan kampus dengan Peraturan kampus dipatuhi mahasiswa, dan

sebagainya.

Selanjutnya, terkait dengan sinonim, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yaitu:

a. Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki sinonim. Misalnya, kata

beras, salju, batu, dan kuning.

b. Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak bersinonim pada

bentuk jadian. Misalnya, kata benar bersinonim dengan kata betul, tetapi kata

kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan.

49

c. Ada kata-kata yang tidak bersinonim pada bentuk dasar tetapi bersinonim pada

bentuk jadian. Misalnya, kata jemur tidak bersinonim dengan kering, tetapi kata

menjemur bersinonim dengan kata mengeringkan.

d. Ada kata-kata yang dalam arti ”sebenarnya” tidak memiliki sinonim, tetapi dalam

arti ”kiasan” justru memilki sinonim. Misalnya, kata hitam dalam makna

”sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti ”kiasan” ada sinonimnya,

yaitu gelap, jahat, buruk, dan mesum.

2. Antonim (Oposisi)

Kata antonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu anti yang artinya

”melawan” dan onoma yang artinya ”nama”. Secara harfiah, antonim berarti ”nama

lain untuk benda lain pula”. Secara semantik, Verhaar dalam Chaer (1990:91)

mendefinisikan antonim sebagai ungakapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula

dalam bentuk frasa atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna

ungkapan lain. Misalnya kata siang adalah berantonim dengan malam; kata atas

berantonim dengan kata bawah; dan kata bodoh berantonim dengan kata pandai.

Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah.

Dengan demikian, kalau kata siang berantonim dengan kata malam, maka kata

malam juga berantonim dengan kata siang; dan kalau kata atas berantonim dengan

kata bawah, maka kata bawah pun berantonim dengan kata atas.

Dalam buku-buku pealajaran bahasa Indonesia, antonim biasanya disebut

lawan kata. Sebagian pakar bahasa tidak setuju dengan istilah ini karena pada

hakikatnya yang berlawanan bukan kata-kata itu, melainkan makna kata-kata itu.

Oleh karena itu, mereka yang tidak setuju dengan istilah lawan kata lalu

menggunakan istilah lawan makna. Namun, benarkah dua buah kata yang berantonim

maknanya benar-benar berlawanan? Benarkah hidup lawan mati, putih lawan hitam,

tinggi lawan rendah , siang lawan malam, dan terang lawan gelap? Sesuatu yang

hidup memang belum atau tidak mati, dan sesatu yang mati memang sudah tidak

hidup. Jadi, memang berlawanan. Namun, apakah juga yang putih berarti tidak

hitam? Belum tentu. Menurut ilmu fisika, putih adalah warna campuran dari segala

warna, sedangkan hitam memang tidak ada warna sama sekali. Kemudian, apakah

50

juga yang jauh berarti tidak dekat? Belum tentu juga. Agaknya, jauh atau dekat

bersifat relatif. Patokannya tidak tentu atau dapat bergeser.

Berdasarkan paparan tersebut, dapat dinyatakan bahwa antonim ada yang bersifat

mutlak dan ada yang bersifat tidak mutlak. Oleh karena itu, banyak pula pakar yang

menyebut antonim sebagai oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka dapat

meliputi konsep dari yang betul-betul berlawanan hingga yang hanya bersifat kontras

saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat diklasifikasikan menjadi oposisi mutlak,

oposisi kutub, oposisi relasional/hubungan, oposisi hierarkial, dan oposisi majemuk.

a. Oposisi Mutlak

Dalam oposisi mutlak terdapat pertentangan makna secara mutlak, misalnya

antara kata diam dan gerak, antara kata hidup dan mati terdapat batas yang mutlak,

sebab sesuatu yang diam tentu tidak bergerak dan sesuatu yang bergerak tentu tidak

diam. Begitu pula, sesuatu yang hidup tentu tidak mati dan sesuatu yang mati tentu

tidak hidup. Kedua proses ini tidak dapat berlangsung bersamaan, teatpi secara

bergantian.

b. Oposisi Kutub

Dalam oposisi kutub ini pertentangan maknanya tidak bersifat mutlak, tetapi

bersifat gradasi, yaitu adanya tingkat-tingkat makna. Misalnya, kata panas dan

dingin, kata kaya dan miskin, kata besar dan kecil, serta kata tinggi dan rendah. Kata-

kata yang termasuk dalam kategori oposisi kutub ini bersifat relatif, karena sulit

ditentukan batasnya secara mutlak. Batasnya dapat bergeser-geser, tidak tetap pada

satu titik. Jika dijelaskan dengan diagram adalah sebagai berikut.

kutub A

panas

--------------------------------- batas

dingin

kutub B

51

Dari diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa makin ke atas makin panas dan

makin ke bawah makin dingin, makin ke atas makin kaya dan makin ke bawah makin

miskin, makin ke atas makin besar dan makin ke bawah makin kecil, serta makin ke

atas makin tinggi dan makin ke bawah makin rendah. Dengan kata lain, dari kata

tinggi dan rendah itu, dapat ditampilkan sejumlah kata yang bertingkat-tingkat:

sangat tinggi, tinggi, agak tinggi, agak rendah, rendah, sangat rendah.

Terkait dengan oposisi kutub yang pertentangan maknanya bersifat relatif

itulah agaknya yang menyebabkan ajakan atau himbauan pemerintah kepada rakyat

untuk hidup sederhana menjadi sulit terwujud, karena batas antara sederhana dengan

tidak sederhana sangat relatif. Seorang presiden yang menghabiskan anggaran ratusan

juta Rupiah untuk membiayai resepsi pernikahan anaknya mungkin masih dikatakan

resepsi sederhana. Berbeda halnya jika hal tersebut yang melakukan seorang buruh

pabrik, tentu akan dikatakan resepsi yang sangat mewah.

Pada umumnya yang termasuk jenis oposisi kutub ini adalah kata-kata dari

kelas adjektiva, misalnya panjang-pendek, jauh-dekat, luas-sempi, pandai-bodoh,

berani-takut, rajin-malas, senang-sedih, sehat-sakit, cepat-lambat, kuat-lemah,

patuh-ingkar, dan sebagainya.

c. Oposisi Relasional/Hubungan

Dalam oposisi relasional ini, makna kata-katanya bersifat saling melengkapi,

adanya kata-kata tertentu menyebabkan adanya kata-kata yang menjadi oposisinya,

tidak adanya kata-kata tertentu menyebabkan tidak adanya kata-kata yang menjadi

oposisinya. Misalnya, kata suami beroposisi secara realsional terhadap kata istri.

Seseorang dapat disebut sebagai suami jika dia memiliki istri. Sebaliknya, hanya

seseorang yang memiliki suami yang dapat disebut sebagai istri. Contoh lain,

menjual dan membeli. Seseorang dapat menjual sesuatu jika ada yang membeli, dan

sebaliknya.

Contoh lain kata-kata yang beroposisi secara relasional adalah guru-murid,

orangtua-anak, buruh-majikan, memberi-menerima, atas-bawah, utara-selatan, dan

sebagainya.

d. Oposisi Hierarkial

52

Makna kata-kata yang berisi hierarkial ini menyatakan suatu deret, jenjang,

atau tingkatan. Oleh karena itu, sejumlah kata yang beroposisi hierarkial ini adalah

kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama jenjang

kepangkatan, dan sebagainya. Misalnya, kata milimeter, sentimeter, decimeter, dan

seterusnya adalah kata-kata yang beroposisi secara hierarkial. Demikian pula, kata-

kata yang berada pada deret miligram hingga ton.

e. Oposisi Majemuk

Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang maknanya dapat

dikelompokkan dalam oposisi majemuk, karena satu kata memiliki oposisi banyak

kata. Misalnya kata berdiri dapat beroposisi dengan duduk, tiarap, terlentang,

berjongkok, berbaring, dan sebagainya.

Perlu diketahui bahwa tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki

antonim atau oposisi, misalnya manusia, mobil, buku, tas, jari, rumah, dan

sebagainya.

3. Homonim, Homofon, dan Homograf

Perbedaan antara homonim, homofon, dan homograf dapat dilihat pada tabel

berikut.

Relasi Tulisan Bunyi Makna ContohHomonim sama sama beda bisa, tanggal,

tinggal, baku,

bandar, pacar, buku,

orang tuaHomofon beda sama beda bank & bang,

sanksi & sangsiHomograf sama beda beda tahu, teras,

apel, seret

Uraian lebih lanjut mengenai homonim, homofon, dan homograf adalah

sebagai berikut.

a. Homonim

53

Kata homonim berasal dari bahasa Yunani kuno homo yang artinya ”sama”,

dan onoma yang artinya ”nama”. Secara harfiah homonim dapat diartikan sebagai

”nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar dalam Chaer

(1990:97) mendefinisakan homonim sebagai ungkapan (berupa kata, frasa, atau

kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa, atau

kalimat) tetapi maknanya berbeda. Atau, secara ringkas dapat dikatakan bahwa

homonim adalah kata/frasa/kalimat yang ditulis dan dilafalkan sama dengan yang lain

tetapi maknanya berbeda. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut.

1) Orang yang terkena bisa ular, bisa mati. Pada kalimat tersebut, kata bisa

yang pertama bermakna ”racun” sedangkan yang kedua bermakna ”dapat”.

2) Anak yang baru berusia tujuh tahun itu sudah bisa menghafal Al-Quran

30 juz. Kata bisa pada kalimat tersebut bermakna ”dapat/sanggup/mampu”.

3) Jika pada tanggal satu giginya tanggal satu, pada tanggal dua giginya

tanggal dua, pada tanggal tiga giginya tanggal tiga, dan seterusnya. Maka,

pada tanggal berapakah giginya tanggal semua? Pada kalimat tersebut, kata

tanggal yang pertama, ketiga, kelima, dan ketujuh bermakna ”angka-angka

dalam kalender”, sedangkan kata tanggal yang kedua, keempat, keenam, dan

kedelapan bermakna ”lepas/copot/rontok”.

4) Sejak dilanda kemarau panjang, penduduk yang tinggal di desa itu

tinggal sedikit. Pada kalimat tersebut, kata tinggal yang pertama bermakna

”bermukim/berdomisili/bertempat”, sedangkan kata tinggal yang kedua

bermakna ”tersisa”.

5) Untuk menjamin baku mutu, karya ilmiah seharusnya ditulis dengan

bahasa baku. Dalam peristiwa penangkapan perampok itu terjadi baku

tembak antara polisi dengan perampok. Kata baku pada kalimat pertama

bermakna ”standar”, sedangkan kata baku pada kalimat kedua bermakna

”saling”.

6) Bandar judi itu ditangkap oleh polisi di bandar udara Ahmad Yani

Semarang ketika akan melarikan diri ke luar negeri. Pada kalimat tersebut,

kata bandar yang pertama bermakna ”bos/gembong/pemegang uang”,

sedangkan kata bandar yang kedua bermakna ”pelabuhan”.

54

7) Hasan bertanya, ”Mad, apakah pacarku yang menghiasi kuku-kukunya

dengan pacar kelihatan cantik?” ”San, jangan suka pacaran karena pacaran

itu diharamkan dalam agama Islam karena sangat rawan godaan setan,”

jawab Ahmad. Pada kalimat pertama tersebut, kata pacar yang pertama

bermakna ”kekasih”, sedangkan kata pacar yang kedua bermakna ”inai” yang

biasanya dipakai untuk menghiasi kuku.

8) Agar menjadi sarjana yang berkualitas, mahasiswa harus banyak

membaca buku. Pada sebatang bambu itu terdapat delapan buku. Kata buku

pada kalimat pertama bermakna ”kitab”, sedangakan kata buku dalam kalimat

kedua bermakna ”ruas”.

9) Orang tuaku selalu berpesan agar aku senantiasa menghomati orang tua

dan menyayangi teman-temanku. Pada kalimat tersebut, kata orang tua dapat

bermakna ”ayah-ibu” atau ”orang yang sudah tua usianya” atau ”orang yang

dituakan” karena jabatannya atau karena keilmuannya.

b. Homofon

Homofon adalah kata yang bunyinya sama dengan kata yang lain tetapi tulisan

dan maknanya berbeda. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut.

1) Bang Thoyib menabung uang di Bank Century. Kata bang yang

merupakan penyingkatan dari kata abang bermakna kakak, sedangkan bank

merupakan lembaga keuangan.

2) Kita boleh sangsi terhadap keberhasilan pemberantasan korupsi di

Indonesia karena pemberian sanksi terhadap koruptor yang tertangkap masih

terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Dalam kalimat tersebut,

kata sangsi bermakna “ragu”, sedangkan kata sanksi bermakna “hukuman”.

c. Homograf

Homograf adalah kata yang tulisannya sama dengan kata yang lain tetapi

bunyi dan maknanya berbeda. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut.

1) Saya sudah tahu bahwa tahu itu dibuat dari kedelai. Dalam kalimat

tersebut, kata tahu yang pertama yang dilafalkan [tau] bermakna

”mengerti/mengetahui/memahami”, sedangkan kata tahu yang kedua yang

dilafakan [tahu] bermakna ”jenis makanan” .

55

2) Pejabat teras di Kementerian Agama itu sedang duduk-duduk teras

rumahnya sambil membaca majalah Hidayatullah. Pada kalimat tersebut, kata

teras pertama yang huruf e-nya dilafalkan sebagaimana bunyi huruf e pada

sejumlah kata (lepas, tenggelam, tengah, cepat, sepat, sedap, sempat, sekejap,

sementara) bermakna ”inti”, sedangakan kata teras kedua yang huruf e-nya

dilafalkan sebagaimana bunyi hufuf e pada sejumlah kata (sate, sore, hore,

bule, tewas, sepak, sewa, cabe, becak, pare) bermakna ”beranda” atau

”bangunan rumah terbuka yang biasanya terletak di depan, tetapi juga ada

yang terletak di samping atau di belakang yang masih menyatu dengan

bangunan induk rumah”.

3) Setelah mengikuti apel pagi, para prajurit itu duduk di bawah pohon apel.

Pada kalimat tersebut, kata apel pertama yang huruf e-nya dilafalkan

sebagaimana bunyi e pada sejumlah kata (tempel, bel, embel-embel, ketel)

bermakna ”upacara/briefing”, sedangkan kata apel kedua yang huruf e-nya

dilafalkan sebagaimana bunyi hruf e pada sejumlah kata (seketika, bertemu,

setempat, sedekah) bermakna ”jenis buah”.

4) Mobil-mobilan itu terus diseret oleh Adikku, meskipun rodanya seret. Pada

kalimat tersebut, kata seret pertama yang huruf e-nya dilafalkan sebagaimana

bunyi huruf e pada sejumlah kata (bredel, tes, toples, mepet) bermakna

”ditarik menyusuri tanah”, sedangkan kata seret kedua yang huruf e-nya

dilafalkan sebagaimana bunyi huruf e pada sejumlah kata ( menemani, tegas,

tergesa-gesa, sebentar) bermakna ”tidak lancar”.

4. Hiponim dan Hipernim

Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu hypo yang berarti ”di

bawah” dan onoma yang berarti ”nama”. Dengan demikian, secara harfiah kata

hiponim berarti ”nama yang termsuk di bawah nama lain”. Secara semantik, Verhaar

dalam Chaer (1990:102) menyatakan bahwa hiponim ialah kata yang maknanya

dianggap merupakan bagian dari makna kata lain. Misalnya kata mawar adalah

hiponim terhadap kata bunga, sebab makna kata mawar berada atau termasuk dalam

makna kata bunga. Contoh lainnya, kata kutilang adalah hiponim terhadap kata

56

burung, kata lele adalah hiponim terhadap ikan, kata Jibril adalah hiponim terhadap

kata malaikat, dan kata bumi adalah hiponim terhadap planet.

Adapun kata hipernim berasal dari kata hyper (di atas) dan onoma (nama).

Jadi, hipernim adalah kata yang maknanya dianggap meliputi atau mencakup makna

kata lain. Misalnya kata kendaraan adalah hipernim terhadap truk, bus, mobil, motor,

sepeda, becak, bemo, dan sebagainya.

5. Polisemi

Menurut Chaer (1990:104), polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa

(terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Misalnya, kata

kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas;

(2) bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal

yang penting, misalnya kepala kereta api (lokomotif); (3) bagian dari sesuatu yang

berpentuk bulat seperti kepala, misalnya kepala paku, kepala jarum; (4) pemimpin

atau ketua, misalnya kepala sekolah, kepala kantor, kepala keluarga; (5) jiwa atau

orang, seperti yang terdapat dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan

Rp100.000,00; dan (6) akal, pikiran, kecerdasan, seperti yang terdapat dalam kalimat

Wajahnya cantik tetapi kepalanya kosong.

Sekilas antara polisemi dengan homonim nampak sama, tetapi pada

hakikatnya berbeda. Perbedaannya yang jelas ialah bahwa homonim bukanlah sebuah

kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja

karena homonim itu bukan satu kata, maka maka maknanya pasti berbeda. Oleh

karena itu, dalam kamus bentuk-bentuk yang homonim didaftar sebagai entri-entri

yang berbeda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki

makna yang lebih dari satu. Kemudian, karena polismi adalah satu kata maka dalam

kamus didaftar sebagai sebuah entri. Perbedaan lainnya, makna-makna pada bentuk-

bentuk homonim tidak ada kaitan/hubungannya sama sekali. Misalnya, kata bisa

(racun) sama sekali tidak ada kaitannya dengan kata bisa (dapat, mampu, sanggup).

Sedangkan makna-makna pada bentuk-bentuk polisemi masih ada hubungannya

karena memang dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut.

G. Idiom dan Ungkapan

57

Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan makna

komponen-komponennya (Kridalaksana 1989:107). Secara leksikologis idiom

adalah (l) konstruksi dalam unsur-unsur yang saling rnemilih, masing-masing

anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain; (2)

konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-

anggotanya; (3) bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, kelompok

atau suku (Depdikbud 1993:366).

Sementara itu, Arifin dan Tasai (1985:122) berpendapat bahwa idiom

adalah kata-kata gabungan yang kedua unsurnya itu telah bersatu sedemikian rupa

sehingga salah satu unsurnya tidak dapat dilepaskan dalam melakukan kegiatan

berbahasa.

Tidak jauh berebda dengan pendapat tersebut, Chaer (1990:76)

menyatakan bahwa idiom adalah satua-satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa,

maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat "diramalkan" dari makna

leksikologis unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut.

Selanjutnya Chaer (1990:77) membedakan idiom atas idiom penuh dan

idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara

keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, misalnya

membanting tulang dan meja hijau, sedangkan pada idiom sebagian masih ada

unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang

berarti daftar yang bersisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap

bersalah. Dengan kata lain, idiom sebagian (semi-idiom) adalah konstruksi yang

salah satu komponennya mengandung makna khas yang ada dalam konstruksi

itu saja.

Adapun yang dimaksud dengan ungkapan adalah (l) apa-pa yang

diungkapkan: ungkapan kedua saksi itu benar adanya; (2) kelompok kata atau

gabungan kata yang mneyatakan makna khusus (makna-makna unsurnya sering

menjadi kabur); (3) gerak mata atau tangan, perubahan air muka yang

menyatakan perasaan hati (Depdikbud: 1993:1105). Ungkapn sebagai masalah

ekspresi dalam penuturan akan bertambah dan berkurang sesuai dengan

perkembangan budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut dan kreativitas

58

penutur bahasa tersebut dalam menggunakan bahasanya, namun tidak sedikit

ungkapan yang telah menetap dan digunakn orang terus menerus hingga

sekarang. Misalnya, panjang tangan, tebal muka, ringan kaki, ke belakang, dan

sebagainya.

Berdasarkan urain di atas, idiom dan ungkapan itu seharusnya

mencakup objek pembicaraan yang relatif sama, hanya sudut pandangnya

saja yang berbeda. Idiom dilihat dari segi makna, yaitu "menyimpangnya"

makna idiom ini dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur

pembentuknya. Sementara itu, ungkapan dilihat dari segi ekspresi kebahasaan,

yaitu usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya

dalam bentuk-bentuk satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan

paling mengena (Chaer: 1990 :78). Meskipun antara idiom dan ungkapan

meiliki perbedan nuansa makna, hal yang berkaitan dengan idiom dapat

dimasukkan dalam pengertian ungkapan (Pateda 2001 : 230). Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa idiom dan ungkapan itu sebenarnya memiliki

pengertian yang tidak berbeda.

59

BAB III

MORFOLOGI DAN SINTAKSIS

A. Morfologi

Menurut Verhaar (1985:52), morfologi (morphology) atau tatabentuk adalah

bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal.

Frasa ”secara gramatikal” dalam definisi ini mutlak, karena setiap kata juga dapat

dibagi atas segmen yang terkecil yang disebut fonem, tetapi fonem-fonem itu tidak

harus berupa morfem. Contohnya, kata hormat terdiri atas enam fonem, tetapi kata

tersebut terdiri atas satu morfem saja. Namun demikian, satu morfem dapat juga

hanya terdiri atas satu fonem. Misalnya, -s dalam kata books atau -e dalam kata Jawa

omahe ’rumahnya’.

Terkait dengan kajian morfologi, Cahyono (1995:141) menyatakan behwa

sebuah cara yang cenderung lebih baik untuk melihat bentuk-bentuk dalam bahasa

yang berbeda (misalnya bahasa Indonesia dan Inggris) ialah dengan menggunakan

konsepsi unsur-unsur dalam pesan, dan bukan ‘kata-kata’. Jenis penjabaran itu

merupakan sebuah contoh pengkajian bentuk-bentuk dalam bahasa yang secara

umum dikenal dengan morfologi. Dengan demikian, morfologi dapat diartikan

sebagai ilmu yang mengkaji bentuk bahasa serta pengaruh perubahan bentuk bahasa

pada fungsi dan arti kata. Sasaran pengkajian dalam morfologi ialah kata dan morfem.

Pada mulanya istilah itu digunakan dalam disiplin ilmu biologi, tetapi sejak

pertengahan abad-19 istilah itu juga digunakan untuk mengacu ke jenis penelitian

yang menganalisis satuan-satuan dasar yang digunakan dalam suatu bahasa.

Morfologi menganalisis bagian-bagian kata. Misalnya, dalam bahasa

Indonesia kata berjibab terdiri atas morfem ber- dan morfem jilbab. Dalam bahasa

Inggris misalnya, kata unpredictable terdiri atas morfem un-, predict, dan -able.

Morfem itu disebut satuan gramatikal yang terkecil dalam sistematika bahasa.

Memang ada satuan bahasa yang lebih kecil lagi, yaitu fonem (misalnya, kata

berjilbab terdiri atas sembilan fonem), tetapi fonem bukan merupakan satuan

gramatikal. Selengkapnya, urutan satuan bahasa dimulai dari yang paling kecil hingga

yang paling luas adalah fonem, morfem, kata, frasa, kalimat, alinea/paragraf, dan

wacana/karangan. Urutan tersebut jika dapat lebih dijelaskan dengan diagram

sebagai berikut.

(diagram satuan bentuk bahasa)

Uraian berikut akan menjelaskan satuan-satuan bentuk bahasa tersebut.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa fonem bukan merupakan satuan

gramatikal maka ia bukan bagian dari kajian morfologi (fonem bagian dari kajian

fonologi). Oleh karena itu, dalam tulisan ini fonem tidak dibahas. Selain fonem,

satuan lain yang tidak dibahas adalah alinea dan wacana. Ketiga satuan bahasa

tersebu memerlukan uraian dan contoh-contoh yang cukup memadai, maka perlu

dibahas tersendiri.

1. Morfem

Dari analisis bahasa, kita dapat menemukan bahwa ‘bentuk-bentuk kata’

dalam suatu bahasa dapat mengandung sejumlah unsur. Kita mengetahui bahwa

bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia seperti suratan, tersurat, dan disurati pastilah

mengandung lebih dari satu unsur, yaitu surat, dan sejumlah unsur yang lain seperti

-an, ter-, di-, dan -i. Semua unsur itu disebut morfem.

Morfem dapat didefinisikan sebagai ‘satuan bahasa terkecil yang maknanya

secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil’

alinea/paragraf

kalimat

frasa

kata

morfem

fonem

wacana/karangan

62

(Kridalaksana, 1984:128). Misalnya, kata suratan, tersurat, dan disurati membentuk

deretan morfologis. Yang dimaksud deretan morfologis ialah suatu deretan atau daftar

memuat kata-kata yang berhubungan dalam bentuk dan artinya (Ramlan, 1985:30).

Deretan morfologis berguna untuk menentukan morfem-morfem.

Menurut Ramlan (1985), morfem dapat ditentukan berdasarkan enam prinsip.

Pertama, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis dan arti (leksikal) atau

makna (gramatikal) yang sama merupakan satu morfem, misalnya, satuan dengar

dalam didengar, mendengar, pendengaran. Dengan demikian, tulis merupakan

morfem.

Kedua, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis berbeda merupakan

satu morfem apabila satuan-satuan itu mempunyai arti atau makna yang sama, dan

perbedaan struktur fonologisnya dapat dijelaskan secara fonologis. Misalnya, mem-,

men-, dan meng- dalam kata membangun, mendaki, menggali memiliki arti yang

sama dan struktur fonologisnya dapat dijelaskan secara fonologis. Yaitu, satuan-

satuan itu muncul karena mengikuti konsonan /b/, /d/, dan /g/.

Ketiga, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis berbeda, sekalipun

perbedaannya tidak dapat dijelaskan secara fonologis, masih dapat dianggap sebagai

satu morfem apabila mempunyai arti atau makna yang sama dan mempunyai

distribusi komplementer (dapat diterapkan secara silih berganti). Misalnya, bel- dalam

kata belajar merupakan satu morfem dengan satuan ber- dalam berlayar atau be-

dalam bekerja, sebab mempunyai makna yang sama dan dapat diterapkan secara silih

berganti.

Keempat, apabila dalam deretan struktur suatu satuan berparalel dengan suatu

kekosongan, kekosongan itu merupakan morfem. Misalnya, dalam kalimat Hasan

makan kurma, kata makan dipakai tanpa menggunakan me-. Morfem yang tidak ada

dalam struktur itu disebut morfem zero. (Sebagai catatan, di samping morfem zero

juga terdapat morfem kosong. Morfem kosong ialah morfem yang terdapat dalam

struktur, tetapi tidak ikut memberikan makna dalam makna kalimat, contohnya there

bahasa Inggris dalam kalimat There is a cat under the tree).

Kelima, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis yang sama

mungkin merupakan satu morfem, mungkin pula merupakan morfem yang berbeda.

63

Dikatakan morfem yang sama jika maknanya berhubungan walaupun letaknya dalam

kalimat tidak sama, misalnya kata duduk dalam kalimat Salma sedang duduk dan

Duduk orang itu sangat sopan. Dikatakan morfem berbeda apabila artinya berbeda,

misalnya kata bisa berarti ‘racun’ dan bisa berarti ‘dapat’ atau kata mulut dalam

kalimat Mulut gua itu ditumbuhi semak-semak dan Mulut orang itu lebar.

Keenam, setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem. Contohnya,

di samping kata berpegang yang memiliki satuan ber- dan pegang terdapat kata

pegangan yang memiliki satuan pegang dan -an. Oleh karena itu, ber-, pegang, dan

-an merupakan morfem yang berbeda.

a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat

Morfem dapat dibagi menjadi dua yaitu morfem bebas dan morfem terikat.

Menurut Finoza (2001:70), morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri

sendiri dari segi makna tanpa harus dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua

kata dasar tergolong morfem bebas, misalnya, syahadat, salat, puasa, zakat, haji,

saksi, doa, tahan, suci, dan sengaja. Adapun morfem terikat ialah morfem yang tidak

dapat berdiri sendiri dari segi makna. Makna morfem terikat baru jelas setelah

morfem itu dihubungkan dengan morfem lain. Semua imbuhan/afiks (awalan/prefiks,

sisipan/infiks, akhiran/sufiks, dan kombinasi antara awalan dan akhiran/konfiks)

tergolong morfem terikat, misalnya me-, di-, ber-, ter-, -in-, -em-, -el-, -an, -kan, -i,

ke-an, ber-an, di-i, me-kan, di-kan, dan sebagainya. Selain itu, unsur-unsur kecil

seperti partikel –ku, -nya, -lah, -kah, -tah dan bentuk-bentuk lain yang tidak dapat

berdiri sendiri juga tergolong morfem terikat.

Morfem bebas pada umumnya dipandang sebagai kelompok kata yang dapat

berdiri sendiri. Apabila morfem bebas itu digunakan bersama dengan morfem terikat,

bentuk kata dasar yang dilibatkan itu disebut bentuk asal (Ramlan, 1985:44) atau

pangkal (stem) (Kridalaksana, 1984: 138). Bagian kata yang tinggal bila semua afiks

telah disingkirkan itu disebut akar (Samsuri, 1988:19). Apabila sebuah satuan menjadi

dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar, satuan itu disebut bentuk dasar (Ramlan,

1985:45) atau dasar (base) (Kridalaksana, 1984:35). Misalnya, kata bergandengan

memiliki bentuk dasar gandengan dan memiliki pangkal gandeng. Morfem dan

64

fungsi gramatikal untuk kata gandengan dan bandingkanlah dapat dilihat sebagai

berikut :

bergandengan bandingkanlahber- gandeng -an banding -kan -lah

prefiks pangkal sufiks pangkal sufiks sufiksterikat bebas terikat bebas terikat terikat

Pendeskripsian semacam itu merupakan penyempurnaan fakta-fakta

morfologis dalam bahasa Indonesia. Ada sejumlah kata bahasa Indonesia mempunyai

unsur yang tampaknya menyerupai pangkal, tetapi pada kenyataannya merupakan

morfem bebas. Dalam kata-kata seperti selokan, pasukan, permen, perkara, perkakas,

dan gulai (yang bermakna makanan), kita dapat teringat adanya morfem terikat -kan,

per-, dan -i, tetapi dalam kata-kata tersebut unsur-unsur selo, pasu, men, kara, kakas,

dan gula jelas bukanlah morfem bebas. Semua kata tersebut merupakan pangkal.

Selanjutnya, morfem bebas mempunyai dua kategori. Kategori pertama

disebut morfem leksikal, dipandang sebagai kata-kata yang mengandung ‘isi’ pesan

yang disampaikan. Contoh morfem lesikal itu ialah : meja, Mekah, anak, rumah,

harimau, sabar, syukur, panjang, merah, dengar, pandang, makan, kemarin, Arafah.

Kelompok morfem bebas yang lain disebut dengan morfem gramatikal. Kelompok ini

terdiri dari kata tugas seperti preposisi, konjungsi, interjeksi, artikel, dan partikel.

Contoh morfem gramatikal ialah di, dan, serta, tetapi, ah, hai, si, sang, sebab, pada,

lah, kah, pun, dan sebagainya.

Afiks yang termasuk dalam kategori morfem terikat itu dapat dibagi menjadi

dua tipe, yakni morfem derivasional dan infleksional. Morfem derivasional berfungsi

mengalihkan kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata yang berbeda. Dengan

demikian, penambahan morfem derivasional pe- mengubah verba kerja menjadi

nomina pekerja. Penambahan morfem derivasional dalam bahasa Inggris, misalnya, -

ness mengubah adjektiva good menjadi nomina goodness. Di samping itu, apabila

muncul satu morfem derivasional dalam morfem infleksional untuk membentuk suatu

kata, morfem derivasional didahulukan (Parera, 1988:25). Misalnya dalam bahasa

Inggris terdapat kata nation. Nomina itu dapat berubah menjadi adjektiva karena

penambahan sufiks -al yang mengubahnya menjadi national. Adjektiva itu dapat

65

diubah menjadi nomina lagi dengan menambahkan sufiks -ist. Kedua sufiks itu

merupakan morfem derivasional. Pengubahan nationalist menjadi bentuk pluralis

nationalists memerlukan penambahan morfem infleksional -s. Contoh lainnya,

nomina nature menjadi adjektiva natural, kemudian menjadi nomina lagi naturalist,

dan naturalists.

Morfem terikat yang kedua mengandung apa yang disebut morfem

infleksional. Morfem infleksional itu tidak digunakan untuk menghasilkan kata-kata

baru, tetapi berfungsi sebagai pernyataan kategori gramatika dan hubungan sintaksis.

Morfem infleksional tidak dapat diulang dalam satu kata infleksional, dan pada

umumnya morfem itu menyatakan hubungan sintaksis dan kategori gramatika terjadi

di bagian akhir dalam struktur kata infleksional. Dalam bahasa Inggris, contoh-contoh

morfem infleksional dapat dilihat dalam penggunaan -ed untuk mengacu ke kata

lampau, misalnya pray menjadi bentuk kata lampau prayed, dan penggunaan -s untuk

membuat bentuk singularis menjadi bentuk pluralis, seperti kata book menjadi books.

Dengan berbekal pengetahuan tentang tipe-tipe morfem di atas, kita dapat

mengambil kalimat bahasa Indonesia dan mendaftar unsur-unsur yang ada ke dalam

suatu uraian morfologis. Misalnya, kalimat Indonesia Sastrawan sastrawati

Indonesia mengikuti seminar linguistik di Leiden mengandung unsur-unsur:

sastra leksikal

-wan derivasional

sastra leksikal

-wati infleksional

Indonesia leksikal

meng- derivasional

ikut leksikal

-i derivasional

seminar leksikal

linguistik leksikal

di gramatikal

Leiden leksikal

66

Bagan berikut dapat digunakan sebagai alat untuk mengingat jenis-jenis morfem yang

diuraikan di atas:

Penguraian bentuk-bentuk turunan bahasa Indonesia ke dalam morfem

derivasional dan morfem infleksional tidak selalu dapat dilakukan. Dalam penjelasan

tentang morfem derivasional di atas, misalnya, dinyatakan bahwa morfem

derivasional berfungsi mengalihkan kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata yang

berbeda. Hal itu hendaklah dipandang sebagai pengungkapan salah satu ciri morfem

derivasional (Parera, 1988:25) secara umum, tetapi tidak dapat dijadikan generalisasi

untuk bentuk-bentuk turunan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, kata menulis,

menulisi, dan menuliskan memiliki leksem (satuan terkecil dari leksikon) tulis.

Bagaimana halnya dengan kata mencangkul, mencangkuli, dan mencangkulkan?

Leksemnya ialah cangkul. Dalam perbandingan itu kedua pangkal itu tidak memiliki

kelas yang sama. Leksem tulis merupakan verba, sedangkan cangkul adalah nomina

Oleh karena itulah, kecermatan dalam penelaahan contoh bentuk-bentuk bahasa

Indonesia menjadi penting.

b. Morf dan Alomorf

Perhatikanlah kata-kata seperti melakukan, membacakan, mendahulukan, dan

menghabiskan. Apabila kata-kata tersebut diuraikan menjadi morfem-morfem, kita

akan mendapatkan morfem bebas laku, baca, dahulu, habis dan morfem terikat me-

kan, mem-kan, men-kan, dan meng-kan. Walaupun bentuk-bentuk konfiks itu

mempunyai bangun fonemis yang berbeda, bentu-bentuk itu mempunyai fungsi,

sebaran sintaksis, dan makna yang sama.

Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, sebuah

morfem tidak selalu terbatas pada satu bangun fonemis saja. Sebuah morfem dapat

pula diwakili oleh bangun fonemis yang lain. Kedua, dari kenyataan semacam itu

perlu diciptakan suatu istilah untuk membedakan bangun fonemis yang berbeda dari

morfem yang sama. Ketiga, dari varian-varian morfem itu perlu ditentukan salah satu

morfem

bebas

terikatderivasional

infleksional

gramatikal

leksikal

67

bangun fonemis tertentu untuk morfem yang sama sebagai dasar perwakilan varian-

varian bentuk.

Salah satu cara untuk menyikapi perbedaan morfem-morfem semacam itu

ialah dengan mengusulkan variasi aturan realisasi morfologis. Untuk melakukan hal

itu, kita membuat suatu analogi dengan proses analisis fonologi. Apabila kita

menganggap fon (yang berarti ‘bunyi’) sebagai realisasi fonetik nyata dari fonem, kita

dapat menyatakan morf (yang berarti ‘bentuk’) sebagai bentuk nyata yang digunakan

untuk merealisasikan morfem. Demikian pula, apabila kita menyatakan bahwa

terdapat alofon dari satu fonem tertentu, kita juga dapat mengenali adanya alomorf

dari satu morfem tertentu. Alomorf ialah perwakilan dari sebuah morfem tertentu

berdasarkan lingkungan. Alo- atau allo- ialah awalan yang mempunyai makna

‘varian’. Dengan demikian, alofon ialah varian fonem dan alomorf ialah varian

bentuk. Alomorf itu terjadi apabila sebuah morfem kadang-kadang diwakili oleh satu

bangun fonemis tertentu sesuai dengan lingkungannya, dan kadang-kadang diwakili

oleh bangun fonemis yang lain.

Berdasarkan contoh di atas dapat ditunjukkan bahwa bentuk me-kan, mem-

kan, men-kan, dan meng-kan mempunyai bengun fonemis yang berbeda dari morfem

yang sama. Lingkungan yang dimaksud ialah lingkungan fonemis/fonetiknya. Bangun

fonem me-kan, terjadi karena morf itu bergandengan dengan satu morfem yang

berbunyi awal /l/ (laku). Sedangkan bangun fonemis mem-kan, men-kan, dan meng-

kan muncul secara berturut-turut, karena diletakkan dengan morfem-morfem yang

berbunyi awal /b/(baca), /d/(dahulu), dan /g/(habis).

Bentu-bentuk itu merupakan alomorf dan dapat silih berganti sesuai dengan

lingkungannya. Walaupun bentuk-bentuk itu mempunyai bangun fonemis yang

berbeda, fungsi, sebaran sintaksis, dan makna bentuk-bentuk itu sama. Proses

perubahan bentuk yang disyaratkan oleh jenis fonem atau morfem yang digabungkan

dinamakan proses morfofonemik. Dalam contoh itu, perubahan me- menjadi mem-,

men-, dan meng- adalah proses morfofonemik. Fonem akhir tiap-tiap alomorf dalam

proses morfofonemik itu disebut morfofonem.

68

c. Proses Morfologis

Perhatikanlah kata bertangan, tangan-tangan, dan tangan besi. Ketiga kata

itu memiliki bentuk tangan. Tangan dalam kata pertama mengalami pemberian

imbuhan berupa prefiks ber-. Tangan dalam kata kedua mengalami pengulangan

bentuk dasar sehingga menghasilkan kata ulang. Tangan dalam kata ketiga

digabungkan dengan bentuk dasar besi sehingga membentuk kata tangan besi. Proses

pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem

lain yang merupakan bentuk dasar itu disebut proses morfologis. Dalam bahasa

Indonesia terdapat tiga proses morfologis. Proses yang pertama disebut

afiksasi/pengafiksan/pembubuhan afiks; proses kedua disebut reduplikasi atau

pengulangan; dan proses yang ketiga disebut pemajemukan atau penggabungan.

Afiksasi ialah pembubuhan imbuhan pada suatu satuan, baik satuan itu berupa

bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata. Afiksasi terjadi

apabila sebuah morfem terikat dibubuhkan pada suatu morfem terikat. Berdasarkan

kedudukan morfem terikat dengan morfem bebas itu, pembubuhan dapat dibedakan

menjadi empat, yaitu pembubuhan depan, pembubuhan tengah, pembubuhan akhir,

dan pembubuhan terbelah (Parera, 1988:18). Dalam bahasa Indonesia, pembubuhan

depan dilakukan dengan pemberian prefiks, misalnya per-, di-, ke-, me-, dan

sebagainya. Pembubuhan tengah dilakukan dengan pemberian infiks, yaitu -er, -em,

-el, dan -m-. pembubuhan akhir dapat dilakukan dengan sufiks -kan, -i, -an, dan

sebagainya. Pembubuhan terbelah dilakukan dengan pemberian konfiks, misalnya

ke-an, per-an, ber-an, dan sebagainya

Reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun

sebagian, baik disertai variasi fonem maupun tidak. Setiap kata ulang memiliki

satuan yang diulang, yaitu dasar. Misalnya, dasar mobil-mobilan dan kehormatan-

kehormatan ialah mobil dan kehormatan. Penentuan dasar kata ulang dapat

ditentukan dengan dua cara. Pertama, pengulangan mengubah atau tidak mengubah

kelas kata. Pengulangan yang mengubah kelas kata itu, misalnya kata ulang

berjalan-jalan (verba), kuda-kudaan (nomina), kekuning-kuningan (adjektiva)

mempunyai dasar berjalan (verba), kuda (nomina), kunig (adjektiva). Pengulangan

yang tidak mengubah kelas kata itu, misalnya kata ulang sejujur-jujurnya dan

69

sebaik-baiknya (adverbia) memiliki dasar jujur dan baik (adjektiva). Kedua, dasar

pengulangan selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa.

Contohnya, kata ulang berhimpit-himpitan dan mempermalu-malukan memiliki dasar

berhimpitan dan mempermalukan, bukan berhimpit dan mempermalu.

Berdasarkan cara mengulang bentuk dasarnya, pengulangan dapat

digolongkan menjadi empat, yaitu (1) pengulangan keseluruhan atau disebut juga

pengulangan simetris; (2) pengulangan sebagian; (3) pengulangan dengan

pengafiksan; dan (4) pengulangan dengan perubahan morfem. Pengulangan

keseluruhan ialah pengulangan seluruh bentuk dasar tanpa perubahan fonem dan

tidak dengan pengafiksan. Contoh pengulangan keseluruhan ialah pohon-pohon,

sekali-sekali, dan keberlangsungan-keberlangsungan. Pengulangan sebagian ialah

pengulangan sebagaian bentuk dasarnya. Contoh pengulangan sebagian ialah

pertama-tama, tetanda, dan membakar-bakar. Pengulangan dengan pengafiksan

ialah pengulangan yang terjadi bersama-sama dengan proses pengimbuhan dan

bersama-sama mendukung satu fungsi. Misalnya pengulangan dengan pengafiksan

ialah gunung-gunungan, kolam-kolaman, dan sebenar-benarnya. Pengulangan

dengan perubahan fonem ialah pengulangan yang disertai perubahan dalam vokal

atau konsonannya. Contoh pengulangan yang melibatkan perubahan vokal antara lain

mondar-mandir, gerak-gerik, morat-marit, corat-coret, serba-serbi, dan warna-

warni. Contoh pengulangan yang melibatkan perubahan konsonan antara lain lauk-

pauk, carut-marut, ramah-tamah, dan hiruk-pikuk.

Dalam bahasa Indonesia dapat diperoleh gabungan dua kata yang

menimbulkan kata baru. Kata yang terjadi dari gabungan dua kata dan menimbulkan

kata baru itu disebut kata majemuk. Kata mejemuk itu dihasilkan melalui proses

yang disebut pemajemukan. Kata majemuk memiliki ciri-ciri berikut. Pertama,

salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata, misalnya kamar mandi, rumah

sakit, pasukan tempur, kuda balap, dan lain-lain. Kedua, unsur-unsurnya tidak

mungkin dipisahkan atau diubah strukturnya. Misalnya, kata kolam renang tidak

dapat dipisahkan menjadi kolam itu renang. Contoh yang lain, kata anak buah dapat

dipakai dalam kalimat Ia menjadi anak buah bupati, tetapi tidak dapat dipakai dalam

kalimat Ia menjadi anak dan buah bupati. Ada kalanya kata majemuk memiliki

70

unsur morfem unik, yaitu morfem yang hanya mampu bergabung dengan satu satuan

tertentu. Contohnya, simpang siur, tunggang langgang, porak poranda, kacau balau

dan sunyi senyap. Kata siur, langgang, poranda, balau, dan senyap, itu hanya dapat

berpadu dengan simpang, tunggang, porak, kacau, dan sunyi (Ramlan, 1985:74).

Dengan mengambil contoh bahasa lain, proses morfologis tidak hanya

mencakup pengafiksan, reduplikasi, dan pemajemukan. Akan tetapi proses situ masih

dapat ditambah lagi dengan perubahan intern, suplesi, dan modifikasi kosong

(Samsuri, 1987 : 192-194). Contoh-contoh berikut didasarkan pada bahasa Inggris.

Dalam bahasa Inggris terdapat proses morfologis yang menyebabkan

perubahan bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri. Perubahan

bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri disebut perubahan intern.

Contoh perubahan intern itu dapat diamati pada perubahan dari bentuk singularis

menjadi bentuk pluralis kata-kata tertentu dan perubahan kala kini menjadi kala

lampau kata-kata tertentu. Sebagai contoh, perhatikan perubahan bentuk singularis

menjadi pluralis dan bentuk kala kini menjadi kala lampau berikut ini.

Singularis Pluralis

foot /fut/ ‘kaki’ feet /fi:t/

mouse /maus/ ‘tikus’ mice /mais/

Kala kini Kala lampau

take /teik/ ‘mengambil’ took /tuk/

sing /siŋ/ ‘menyanyi’ sang /sæŋ/

Dalam contoh itu terdapat perubahan bentuk morfem dalam morfem itu

sendiri. Proses morfologi itu dapat diterangkan sebagai berikut :

{fut} + {jamak} /fi:t/

{maus} + {jamak} /mais/

{teik} + {kala lampau} /tuk/

{siŋ} + {kala lampau} /sæŋ/

Suplisi ialah proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk yang sama

sekali baru. Dalam bahasa Inggris, bentuk kala kini go dan am dapat menjadi bentuk

yang sama sekali baru dalam kala lampau.

71

Kala kini Kala lampau

go /gou/ ‘pergi’ went /went/

am /æm/ ‘(adalah)’ was /wəz/

Proses morfologis itu dapat diterangkan sebagai berikut.

{gou} + {kala lampau} /went/

{æm} + {kala lampau} /wəz/

Modifikasi kosong ialah proses morfologis yang tidak menimbulkan

perubahan pada bentuknya, tetapi konsepnya saja yang brubah. Dalam bahasa

Inggris, bentuk pluralis kata sheep, deer memiliki bentuk yang sama dengan bentuk

singularisnya. Demikian pula, bentuk kala lampau kata-kata put, cut sama dengan

bentuk kala kini kata-kata itu. Perhatikan contoh berikut ini.

Singularis Pluralis

sheep / i:p/ʃ ‘domba’ sheep / i:p/ʃ

deer /di:r/ ‘kijang’ deer /di:r/

Kala kini Kala lampau

put /put/ ‘menaruh’ put /put/

cut /kat/ ‘memotong’ cut /kat/

Dalam contoh itu tidak terdapat perubahan bentuk morfem. Proses morfologis

itu dapat diterangkan sebagai berikut:

{ i:p}ʃ + {jamak} / i:p/ʃ

{di:r} + {jamak} /di:r/

{put} + {kala lampau} /put/

{kat} + {kala lampau} /kat/

2. Kata

Finoza (2001:71) menyatakan bahwa kata adalah bentuk terkecil dari kalimat

yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti. Kata sebagai bentuk terkecil memakai

tolok ukur kalimat karena gabungan kata dapat membentuk kalimat. Pakar lain

menyatakan bahwa kata mempunyai pengertian satuan terkecil yang dapat diujarkan

72

sebagai bentuk yang bebas (Kridalaksana, 1984:89). Kata merupakan dua macam

satuan, yaitu satuan fonologis dan satuan gramatikal. Sebagai satuan fonologis, kata

terdiri dari satu suku kata atau lebih dan suku kata itu terdiri dari satu fonem atau

lebih. Sebagai contoh, kata membaca terdiri dari tiga suku kata, yaitu mem, ba, dan

ca. Suku kata mem terdiri atas tiga fonem, ba terdiri atasa dua fonem, dan ca terdiri

atas dua fonem. Dengan demikian, kata membaca terdiri atas tujuh fonem. Sebagai

satuan gramatikal, kata terdiri atas satu morfem atau lebih. Kata membaca terdiri atas

morfem mem- dan baca.

Dari segi bentuknya, kata dapat dibedakan atas dua macam, yaitu kata

bermorfem tunggal dan kata yang bermorfem lebih dari satu. Kata yang bermorfem

tunggal disebut pula kata dasar, yaitu kata yang tidak berafiks (tidak berimbuhan).

Kata dasar pada umumnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi kata turunan,

yaitu kata yang berafiks. Tabel berikut memperjelas perubahan kata dasar menjadi

kata turunan.

Kata Dasar Kata Turunansyahadat bersyahadat, mensyahadati, disyahadatisalat menyalati, menyalatkan, disalati, disalatkan puasa berpuasa, memuasai, memuasakan, dipuasai, dipuasakanzakat berzakat, menzakati, menzakatkan, dizakati, dizakatkanhaji berhaji, menghajikan, dihajikannikah menikah, menikahi, menikahkan, dinikahi, dinikahkan,

pernikahan

Perubahan kata dasar menjadi kata turunan, selain mengakibatkan perubahan

bentuk, juga peribahan makna. Selanjutnya, perubahan makna menyebabkan

perubahan jenis atau kelas kata. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia

(1998), pengelompokan kelas kata bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

a. Kata Kerja (Verba), misalnya tulis, pergi, bicara, lihat, baca, makan,

cubit, potong, sambung, salur, tendang, dan sebagainya

b. Kata Sifat (Adjektiva), misalnya baik, indah, mahal pandai, senang, luas,

malu, sabar, dan sebagianya.

c. Kata Keterangan (Adverbia), misalnya sekarang, di sana, demi sahabat,

segera, tanpa, dengan gunting, bagaikan karang, dan sebagainya.

d. Rumpun Kata Benda, yang meliputi:

73

1) Kata Nama (Nomina), misalnya masjid, Ka’bah, sajadah, mimbar,

pikiran, dan sebaginya.

2) Kata Ganti (Pronomina), misalnya saya, kami, kita, dia, mereka,

apa, siapa, kapan, Bu, Pak, Prof, dan sebagainya.

3) Kata Bilangan (Numeralia), misalnya setengah, satu, sepuluh,

seratus, seribu, dan sebagainya.

e. Rumpun Kata Tugas, yang meliputi:

1) Kata Depan (Preposisi), misalnya di, pada, bagi, oleh, sejak, dan

sebagainya.

2) Kata Sambung (Konjungtor), misalnya dan, kalau, atau, tetapi,

melainkan, ketika, sehingga, agar, meskipun, dan sebagainya.

3) Kata Seru (Interjeksi), misalnya ayo, aduh, ih, sial, he, wah dan

sebagainya.

4) Kata Sandang (Artikel), misalnya si, sang, dan para.

3. Frasa

Frasa adalah kelompok kata yang tidak mengandung predikat. Pengetian

kelompok kata bukanlah asal menyandingkan dua kata atau lebih yang tidak memiliki

hubungan samasekali; atau kalaupun ada, hubungan itu sangat jauh sehingga tidak

membentuk kesatuan makna. Kelompok kata hujan komputer karpet meja siuman

bukanlah frasa karena tidak memiliki kesatuan makna.

Ciri-ciri frasa itu ada tiga, yaitu (1) konstruksinya tidak memiliki predikat

(nonpredikatif), (2) proses pemaknaannya berbeda dengan idiom, dan (3) susunan

katanya berpola tetap (Finoza, 2001:84).

Setiap frasa tidak boleh mengandung predikat. Predikat adalah kata yang

menerangkan perbuatan/tindakan atau sifat dari pelaku/subjek. Contohnya, bahasa

Indonesia (frasa), belajar bahasa Indonesia (bukan frasa melainkan klausa). Makna

frasa tidak sama dengan idiom walaupu keduanya berupa gabungan kata. Rumus

idiom adalah A + B = C, sedangkan rumus frasa adalah A + B = AB. Misalnya,

gulung tikar adalah idiom karena berarti ’bangkrut’, sedangkan siap tempur adalah

frasa karena artinya ’siap untuk bertempur”. Susunan kata dalam frasa berpola tetap,

tegar (fixed), tidak tergoyahkan, dan tidak boleh dibalik. Jika posisinya berpindah,

74

kelompok kata itu berpindah secara utuh. Misalnya, Hari ini akan ada jumpa pers.

Jika posisinya berpindah menjadi Jumpa pers akan diadakan hari ini.

Berikut disajikan contoh-contoh jenis frasa dengan tujuan utama agar dapat

dimanfaatkan sebagai pengisi fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, dan

keterangan dalam penyusunan kalimat.

a. Frasa verbal, misalnya asyik berdzikir, sudah membaik, harus menulis, sedang

berpikir.

b. Frasa adjektival, misalnya kedap suara, terang benderang, sangat serius, lebih

dari memuaskan.

c. Frasa adverbial, misalnya pada masa Orde Baru, di bawah meja, laksana intan

berlian, karena sayang.

d. Frasa nominal, misalnya anak cucu, wajib pajak, pedagang eceran, kesimpulan

yang signifikan.

e. Frasa preposisional, misalnya sampai dengan, oleh karena, ke dalam, dari depan.

B. Sintaksis

Menurut Verhaar (1985:70) sintaksis berasal dari Yunani sun yang berarti

’dengan’ dan tattein yang artinya ’menempatkan’. Istilah tersebut secara etimologis

berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.

Bidang sintaksis (syntax) menyelidiki semua hubungan antarkata dan antarkelompok

kata (antarfrasa) dalam satuan dasar sintaksis, yaitu kalimat. Sebagaimana telah

dibahas di atas bahwa morfologi mengkaji hubungan-hubungan gramatikal dalam kata

itu sendiri, sedangkan sintaksis mengkaji hubungan gramatikal di luar batas kata, yaitu

dalam satuan yang disebut kalimat. Mengacu pada penjelasan Verhaar tersebut, uraian

tentang sintaksis dalam tulisan ini lebih difokuskan bahasan tentang kalimat, sebagai

berikut.

1. Pengertian Kalimat

Menurut Finoza (2001:115), hal yang menyebabkan kalimat menjadi bidang

kajian bahasa yang penting tidak lain karena melalui kalimatlah seseorang dapat

menyampaikan maksudnya dengan jelas. Satuan bahasa yang sudah dikenal sebelum

sampai pada tataran kalimat adalah kata (misalnya tidak) dan frasa atau kelompok

kata (misalnya tidak tahu). Kedua bentuk itu, kata dan frasa, tidak dapat

75

mengungkapkan suatu maksud dengan jelas, kecuali jika keduanya sedang berperan

sebagai kalimat. Untuk dapat berkalimat dengan baik, perlu kita pahami terlebih

dahulu struktur dasar suatu kalimat.

Kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal subjek (S)

dan predikat (P) dan intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan

makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis adalah berupa tanda baca titik (.),

tanda tanya (?), atau tanda seru (!). Penetapan struktur minimal S dan P dalam hal ini

menunjukkan bahwa kalimat bukanlah semata-mata gabungan atau rangkaian kata

yang tidak mempunyai kesatuan bentuk. Lengkap dengan makna menunujukkan

sebuah kalimat harus mengandung pokok pikiran yang lengkap sebagai pengungkap

maksud penuturnya.

2. Unsur Kalimat

Unsur kalimat adalah fungsi sintaksis yang di dalam buku-buku tata bahasa

Indonesia lama lazim disebut jabatan kata dalam kalimat, yaitu subjek (S), predikat

(P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). Kalimat bahasa Indonesia baku

sekurang-kurangnya terdiri atas dua unsur, yakni subjek dan predikat. Fungsi unsur

yang lain (objek, pelengkap, dan keterangan) dalam suatu kalimat dapat wajib hadir,

tidak wajib hadir, atau wajib tidak hadir.

a. Predikat

Predikat (P) adalah bagian kalimat yang memberi tahu melakukan (tindakan) apa

atau dalam kedaan bagaimana subjek (pelaku). Selain menyatakan tindakan atau

perbuatan subjek (S), sesuatu yang dinyatakan oleh P dapat pula mengenai sifat,

situasi, status, ciri atau jati diri S. Predikat dapat berupa kata atau frasa, sebagian besar

berkelas verba atau adjektiva, tetapi dapat juga nomina atau frasa nominal. Perhatikan

contoh berikut ini.

Contoh:

(1) Salma sedang tidur siang.

(2) Putrinya cantik jelita.

(3) Kota Jakarta dalam keadaan aman.

(4) Kucingku belang tiga.

76

(5) Aji mahasiswa baru.

Kata-kata yang dicetak miring dalam kalimat (1) — (5) adalah P. Kelompok kata

sedang tidur pada kalimat (1) memberitahukan melakukan apa Salma; cantik jelita pada

kalimat (2) memberitahukan bagaimana putrinya; dalam kedaan aman pada kalimat (3)

memberitahukan situasi Kota Jakarta; belang tiga pada kalimat (4) memberitahukan ciri

kucingku; dan mahasiswa baru pada kalimat (5) memberitahukan status Aji.

Inilah contoh “kalimat” yang tidak memiliki P karena tidak ada bagian kalimat

yang menginformasikan perbuatan, sifat, keadaan, ciri, atau status S.

(6) Adik saya yang gendut lagi lucu itu.

(7) Rumah kami yang terletak di Jln. Gatot Subroto.

(8) Bogor yang terkenal sebagai kota hujan.

Walaupun contoh (6), (7), (8) ditulis persis seperti lazimnya kalimat normal, yaitu

diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, namun di dalamnya tidak

ada satu kata pun yang berfungsi sebagai P. Tidak ada jawaban atas pertanyaan

melakukan apa adik yang gendut, lagi lucu (pelaku) pada contoh (6); tidak ada jawaban

atas pertanyaan kenapa atau ada apa dengan rumah di Jalan Gatot Subroto dan Bogor

yang terkenal sebagai kota hujan itu pada (7) dan (8). Karena tidak ada informasi tentang

tindakan, sifat, atau hal lain yang dituntut oleh P, maka contoh (6), (7), (8) tidak

mengandung P. Karena belum mempunyai P, rangkaian kata-kata yang cukup panjang

pada (6), (7), (8) itu belum merupakan kalimat, melainkan baru merupakan frasa.

b. Subjek

Subjek (S) adalah bagian kalimat yang menunujukkan pelaku, sosok (benda),

sesuatu hal, atau masalah yang menjadi pangkal/pokok pembicaraan. Subjek biasanya

diisi oleh jenis kata/frasa benda (nominal), klausa, atau frasa verbal. Untuk lebih jelasnya

perhatikan contoh berikut.

(9) Meja direktur besar.

(10) Ayahku sedang menulis.

(11) Yang berbaju batik dosen saya.

(12) Berjalan kaki menyehatkan badan.

77

(13) Membangun jalan layang sangat mahal.

Kata-kata yang dicetak miring pada kalimat (9) - (13) adalah S. Contoh S

yang diisi oleh kata dan frasa benda terdapat pada kalimat (9) dan (10); contoh S yang

diisi oleh klausa terdapat pada kalimat (11); dan contoh S yang diisi oleh frasa verbal

terdapat pada kalimat (12) dan (13).

Dalam bahasa Indonesia, setiap kata, frasa, klausa pembentuk S selalu

merujuk pada benda (konkret atau abstrak). Pada contoh di atas, kendatipun jenis kata

yang mengisi S pada kalimat (11), (12) dan (13) bukan kata benda, namun hakikat

fisiknya tetap merujuk pada benda. Bila kita menunjuk pelaku dalam kalimat (11) dan

(12), yang berbaju batik dan berjalan kaki tentulah orang (benda). Demikian juga

membangun jalan layang yang merupakan S pada kalimat (13) secara implisit juga

merujuk pada ‘hasil membangun’ yang tidak lain adalah benda juga. Di samping itu,

kalau di selami lebih dalam, sebenarnya ada nomina yang lesap pada awal kalimat (11)

- (13), yaitu orang pada awal kalimat (11) dan kegiatan pada awal kalimat (12) dan

(13).

Selain ciri di atas, S dapat juga dikenali dengan cara bertanya memakai kata

tanya siapa (yang)… atau apa (yang)… kepada P. Kalau ada jawaban yang logis atas

pertanyaan yang diajukan, itulah S. Jika ternyata jawabannya tidak ada atau tidak logis

berarti kalimat itu tidak mempunyai S. Inilah contoh “kalimat” yang tidak mempunyai

S karena tidak ada/tidak jelas pelaku atau bendanya.

(14) Bagi siswa sekolah dilarang masuk.

(15) Di sini melayani resep obat generik.

(16) Memandikan adik di pagi hari.

Contoh (14) - (16) belum memenuhi syarat sebagai kalimat karena tidak

mempunyai S. Kalau ditanya kepada P siapa yang dilarang masuk pada contoh (14);

siapa yang melayani resep pada contoh (15); dan siapa yang memandikan adik pada

contoh (16), tidak ada jawabnya. Kalau ada pun, jawaban itu terasa tidak logis.

78

c. Objek

Objek (O) adalah bagian kalimat yang melengkapai P. Objek pada umumnya

diisi oleh nomina, frasa nominal, atau klausa. Letak O selalu di belakang P yang

berupa verba transitif, yaitu verba yang menuntut wajib hadirnya O seperti contoh di

bawah ini.

(17) a. Aisyah membakar …

b. Adi menendang …

c. Polisi itu menangkap …

Verba transitif membakar, menendang, dan menangkap pada contoh (17) adalah P

yang menuntut untuk dilengkapi. Unsur yang akan melengkapi P bagi ketiga kalimat

itulah yang dinamakan objek.

Jika P diisi oleh verba intransitif, O tidak diperlukan. Karena itulah sifat O

dalam kalimat dikatakan tidak wajib hadir. Verba intransitif mandi, tidur, pulang yang

menjadi P dalam contoh (18) tidak menunutut untuk dilengkapi.

(18) a. Kakak mandi.

b. Ibu tidur.

c. Ayah pulang.

Objek yang umumnya terdapat dalam kalimat aktif dapat berubah menjadi S

jika kalimatnya dipasifkan. Perhatikan contoh kalimat berikut yang letak O-nya di

belakang kalimat dan ubahan posisinya bila kalimatnya dipasifkan.

(19) a. Kakak menidurkan adik [O].

b. Adik [S] ditidurkan oleh kakak.

(20) a. Orang itu menolong paman saya [O].

b. Paman saya [S] ditolong oleh orang itu.

(21) a. Rani menjewer telinga Rina [O].

79

b. Telinga Rina [S] dijewer oleh Rani.

(22) a. Ayah menjual mobil bekas [O].

b. Mobil bekas [S] dijual oleh ayah.

d. Pelengkap

Pelengkap (Pel) atau komplemen adalah bagian kalimat yang melengkapi P.

Letak Pel umumnya di belakang P yang berupa verba. Posisi seperti itu juga ditempati

oleh O, dan jenis kata yang mengisi Pel dan O juga sama, yaitu dapat berupa nomina,

frasa nominal atau klausa. Namun, antara Pel dan O terdapat perbedaan. Perhatikan

contoh di bawah ini.

(23) Mahasiswa // membacakan // Al-Quran.

S P O

(24) Sebagian sekolah // berlandaskan // Al-Quran.

S P Pel

Kedua kalimat aktif (23) dan (24) yang Pel dan O-nya sama-sama diisi oleh

nomina Al-Quran, jika hendak dipasifkan, ternyata yang bisa hanya kalimat (23) yang

menempatkan Al-Quran sebagai O. Ubahan kalimat (23) menjadi kalimat pasif adalah

(23a).

(23a) Al-Quran [S]// dibacakan oleh // mahasiswa [O].

Posisi Al-Quran sebagai Pel pada kalimat (24) tidak bisa dipindah ke depan

menjadi S dalam kalimat pasif. Contoh (24a) adalah kalimat yang tidak gramatikal.

(24a) Al-Quran // dilandasi oleh // sebagian sekolah.

Hal lain yang membedakan Pel dan O adalah jenis pengisinya. Selain diisi oleh

nomina dan frasa nominal, Pel dapat pula diisi oleh frasa adjektival dan frasa

preposisional. Di samping itu, letak Pel tidak selalu persis di belakang P. Kalau dalam

kalimatnya terdapat O, letak Pel adalah di belakang O sehingga urutan penulisan

bagian kalimat menjadi S-P-O-Pel. Berikuat adalah beberapa contoh pelengkap dalam

kalimat.

80

(25) Emha membacakan pengagumnya puisi kontemporer.

(26) Nadia memasakkan Intan nasi goreng.

(27) Wanita itu mengambilkan suaminya teh hangat.

(28) Aminah mengirimi ayahnya majalah Hidayatullah.

(29) Tegar membelikan adiknya boneka baru.

Pelengkap pada kalimat (25) - (29), baik yang berada di belakang P (25,26)

maupun yang berada di belakang O (27,28,29), semua tidak bisa berpindah posisi

ke depan menjadi S jika kalimat dipasifkan.

e. Keterangan

Keterangan (Ket) adalah bagian kalimat yang menerangkan berbagai hal

tentang bagian kalimat yang lainnya. Unsur Ket dapat berfungsi menerangkan S, P, O,

dan Pel. Posisinya bersifat manasuka, dapat di awal, di tengah, atau di akhir kalimat.

Pengisi Ket adalah frasa nominal, frasa preposisional, adverbia, atau klausa.

Berdasarkan maknanya, terdapat bermacam-macam Ket dalam kalimat. Para

ahli (Hasan Alwi dkk, 1998:366) membagi keterangan atas sembilan macam, yaitu

seperti yang tertera pada bagan di bawah ini.

Jenis KeteranganPreposisi/

PenghubungContoh

1. Tempat di

ke

dari

(di) dalam

pada

di kamar, di kota

ke Medan, ke rumahnya

dari Manado, dari sawah

(di) dalam rumah, dalam lemari

Pada saya, pada permukaan 2. Waktu -

pada

dalam

se-

sebelum

sesudah

selama

sepanjang

sekarang, kemarin

pada pukul 5, pada hari ini

dalam minggu ini, dalam dua hari ini

setiba di rumah, sepulang dari kantor

sebelum pukul 12, sebelum pergi

sesudah pukul 10, sesudah makan

selama dua minggu, selama bekerja

sepanjang tahun, sepanjang hari3. Alat dengan dengan gunting, dengan mobil

81

4. Tujuan supaya

untuk

bagi

demi

supaya/agar kamu pintar

untuk kemerdekaan

bagi masa depanmu

demi kekasihmu5. Cara secara

dengan cara

dengan jalan

secara hati-hati

dengan cara damai

dengan jalan berunding6. Penyerta dengan

bersama

beserta

dengan adiknya

bersama orang tuanya

beserta saudaranya7. Similatif seperti

bagaimana

laksana

seperti angin

bagaikan seorang dewi

laksana bintang dilangit8. Penyababan karena

sebab

karena perempuan itu

setelah kerobohannya9. Kesalingan - satu sama lain

Dalam contoh berikut ini, bagian yang dicetak miring adalah Ket.

(30) Sekretaris itu mengambilkan atasannya air minum dari kulkas. (ket.

tempat)

(31) Harun sekarang sedang belajar. (ket. waktu)

(32) Syukron memotong roti dengan pisau. (ket. alat)

(33) Guru yang baik itu rela berkorban demi muridnya. (ket. tujuan)

(34) Kepala Desa menyelidiki masalah itu dengan hati-hati. (ket. cara)

(35) Sulaiman pergi dengan teman-teman sekantornya. (ket. penyerta)

(36) Mahasiswa hukum itu berdebat bagaikan pengacara. (ket. similatif)

(37) Karena korupsi, bupati itu dipenjara. (ket. penyebaban)

(38) Para penerjun payung itu berpegangan satu sama lain. (ket. kesalingan)

3. Pola Kalimat Dasar

Kalimat dasar bukanlah nama jenis kalimat, melainkan acuan atau patron

untuk membuat berbagai tipe kalimat. Kalimat dasar terdiri atas beberapa struktur

82

kalimat yang dibentuk dengan lima unsur kalimat, yaitu S, P, O, Pel, Ket. Sejalan

dengan batasan bahwa struktur kalimat minimal S-P, sedangkan O, Pel, Ket

merupakan tambahan yang berfungsi melengkapi dan memperjelas arti kalimat, maka

kalimat yang paling sederhana adalah yang bertipe S-P, dan yang paling kompleks

adalah yang bertipe S-P-O-Pel-Ket.

Berdasarkan fungsi dan peran gramatikalnya ada tujuh tipe kalimat yang

dapat dijadikan model pola dasar kalimat bahasa Indonesia. Ketujuh kalimat yang

dimaksud adalah seperti tergambar dalam bagan dibawah ini.

Fungsi

TipeSubjek Predikat Objek Pelengkap Keterangan

1.S-P Mahasiswa

itu

sedang

belajar

- - -

2.S-P-O Kakaknya menjual perhiasan - -

3.S-P-Pel Al-Quran merupakan pedoman kita

4.S-P-Ket Mereka tinggal - - di Madinah

5.S-P-O-Pel Karim mengirimi Karina bunga -

6.S-P-O-Ket Bang Thayib menyimpan uang - di bank

7.S-P-O-Pel-Ket Nia mengirimi temannya sajadah kemarin

Dalam bagan di atas tampak kolom S-P terisi penuh karena wajib, sedangkan

O, Pel, Ket tidak penuh karena tidak wajib. Di situ juga terlihat perlu ada atau

tidaknya O, Pel, Ket bergantung pada P. Dengan adanya pola dasar kalimat dasar ini,

semua kalimat bahasa Indonesia, apapun jenisnya dan bagaimanapun panjangnya

harus dapat dipadatkan sehingga unsur-unsur intinya dapat dimasukkan ke dalam

enam tipe di atas.

Ketujuh tipe kalimat dasar dalam bagan di atas itu pada dasarnya adalah

kalimat tunggal, yaitu kalimat yang hanya memiliki satu unsur S, P, O, Pel, dan Ket.

Setiap kalimat tunggal dapat diperluas menjadi kalimat yang lebih panjang dengan

83

menambahkan kata, frasa, dan klausa pada unsur-unsurnya sehingga membentuk

kalimat majemuk atau kalimat luas. Kalimat luas itulah yang banyak dipakai dalam

penulisan karangan.

4. Kalimat Efektif

Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan

penutur/penulisnya secara tepat sehingga dapat dipahami oleh pendengar/pembaca

secara tepat pula. Efektif dalam hal ini adalah ukuran kalimat yang memiliki

kemampuan menimbulkan gagasan atau pikiran pada pendengar/penulis. Dengan kata

lain, kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mewakili pikiran penulis atau

pembicara secara tepat sehingga pendengar/pembaca dapat memahami pikiran tersebut

dengan mudah, jelas, dan lengkap seperti apa yang dimaksud oleh penulis atau

pembicaranya.

Untuk dapat mencapai keefektifan tersebut di atas, sebuah kalimat efektif

harus memenuhi paling tidak enam sarat berikut, yaitu adanya (1) kesatuan gagasan,

(2) kepaduan unsur, (3) keparalelan bentuk, (4) ketepatan makna, (5) kehematan kata,

dan (6) kelogisan bahasa.

a. Kesatuan Gagasan

Yang dimaksud dengan kesatuan gagasan adalah terdapatnya satu ide pokok

dalam sebuah kalimat. Dengan satu ide pokok itu kalimat boleh panjang atau pendek,

menggabungkan lebih dari satu kesatuan, bahkan dapat mempertentangkan satu sama

lainnya, asalkan ide atau gagasan kalimatnya tunggal. Penutur tidak boleh

menggabungkan dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan sama sekali ke dalam

sebuah kalimat.

Contoh kalimat yang tidak jelas kesatuan gagasannya:

(86) Pembangunan gedung sekolah baru pihak yayasan dibantu oleh bank yang

memberi kredit. (tedapat subjek ganda dalam kalimat tunggal).

(87) Dalam pembangunan sangat berkaitan dengan stabilitas politik. (salah

memakai kata depan dalam sehingga gagasan kalimat menjadi kacau).

84

(88) Berdasarkan agenda sekretaris manajer personalia akan memberi

pengarahan kepada pegawai baru. (tidak jelas siapa yang memberi

pengarahan).

Contoh kalimat yang jelas kesatuan gagasannya:

(86a) Pihak yayasan dibantu oleh bank yang memberi kredit untuk membangun

gedung sekolah baru.

(87a) Pembangunan sangat berkaitan dengan stabilitas politik.

(88a) Berdasarkan agenda, sekretaris manajer personalia akan memberi

pengarahan kepada pegawai baru.

(88b) Berdasarkan agenda sekretaris, manajer personalia akan memberi

pengarahan kepada pegawai baru.

b. Kepaduan Unsur (Koherensi)

Yang dimaksud dengan koherensi adalah hubungan yang padu antara unsur-unsur

pembentuk kalimat. Unsur kalimat adalah kata, frasa, intonasi/tanda baca, serta struktur

(hubungan S-P-O dan unsur lainnya).

Contoh kalimat yang unsurnya tidak koheren:

(89) Kepada setiap pengendara mobil di Kota Jakarta harus memiliki surat izin

mengemudi. (tidak mempunyai subjek/subjeknya tidak jelas)

(90) Saya punya rumah baru saja diperbaiki. (struktur tidak benar/rancu)

(91) Tentang kelangkaan pupuk mendapat keterangan para petani. (unsur S-P-

O tidak berkaitan erat)

(92) Yang saya sudah sarankan kepada mereka adalah merevisi anggaran

daripada proyek itu. (salah dalam pemakaiaan kata dan frasa)

Contoh kalimat yang unsurnya koheren:

(89a) Setiap pengendara mobil di kota Jakarta harus memiliki surat izin

mengemudi.

(90a) Rumah saya baru saja diperbaiki.

(91a) Para petani mendapat keterangan tentang kelangkaan pupuk.

(92a) Yang sudah saya sarankan kepada mereka adalah merevisi anggaran

proyek itu.

c. Keparalelan Bentuk

85

Yang dimaksud dengan keparalelan atau kesejajaran bentuk adalah terdapat unsur-

unsur yang sama derajatnya, sama pola atau susunan kata dan frasa yang dipakai di dalam

kalimat. Umpamanya dalam sebuah perincian, unsur pertama menggunakan verba, unsur

kedua dan seterusnya juga verba. Jika bentuk pertama menggunakan nomina, bentuk

berikutnya juga harus nomina.

Contoh kesejajaran atau paralelisme yang salah:

(93) Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, membuat katalog, dan

buku-buku diberi label.

(94) Kakakmu menjadi dosen atau sebagai pengusaha?

(95) Demikianlah agar ibu maklum, dan atas perhatiannya saya ucapkan terima

kasih.

(96) Dalam surat itu diputuskan tiga hal pokok, yaitu peningkatan mutu produk,

memperbanyak waktu penyiaran iklan, dan pemasaran yang lebih gencar.

Contoh kesejajaran atau paralelisme yang benar:

(93a) Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, pembuatan katalog,

dan pelabelan buku.

(94a) Kakakmu sebagai dosen atau sebagai pengusaha?

(95a) Demikianlah agar Ibu maklum, dan atas perhatian Ibu, saya ucapkan

terima kasih.

(96a) Dalam surat itu diputuskan tiga hal pokok, yaitu meningkatkan mutu

produk, meninggikan frekuensi iklan, dan lebih menggencarkan

pemasaran.

d. Ketegasan Makna

Yang dimaksud dengan ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan khusus

menonjolkan bagian kalimat sehingga berpengaruh terhadap makna kalimat secara

keseluruhan. Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk memberi perlakuan khusus pada

kalimat, yaitu

1) meletakkan kata yang ditonjolkan itu di awal kalimat;

2) melakukan pengulangan kata (repetisi);

3) melakukan pertentangan kata terhadap ide yang ditonjolkan;

4) mempergunakan partikel penekan (penegas);

86

Contoh penekanan dengan menempatkan kata yang ditonjolkan pada awal

kalimat:

(97) Pada bulan Desember kita ujian akhir semester.

(bukan akhir November)

(98) Kita akan ujian akhir semester pada bulan Desember.

(bukan mereka)

(99) Ujian akhir semester kita tempuh pada bulan Desember.

(bukan ujian tengah semester)

Contoh penekanan dengan pengulangan kata:

(100) Saya senang melihat panorama alam yang indah; saya senang melihat

lukisan yang indah; dan saya juga senang melihat hasil seni ukir yang

indah.

(101) Saudara-saudara, kita tidak suka dibohongi; kita tidak suka ditipu; kita

tidak suka dibodohi.

Contoh penekanan dengan mempertentangkan ide:

(102) Penduduk desa itu tidak menghendaki bantuan yang bersifat sementara,

tetapi bantuan yang bersifat permanen.

Contoh penekanan dengan menggunakan partikel penegas:

(103) Hendak pulang pun hari sudah gelap dan hujan pula.

(104) Andalah yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah itu.

e. Kehematan Kata

Yang dimaksud dengan kehematan ialah menghindari pemakaian kata, frasa, atau

unsur lain yang tidak perlu. Hemat tidak berarti harus menghilangkan kata-kata yang dapat

memperjelas arti kalimat. Hemat di sini berarti tidak memakai kata-kata mubazir, tidak ada

pengulangan subjek, tidak menjamakkan kata yang memang sudah berbentuk jamak. Dengan

hemat kata-kata, diharapkan kalimat akan menjadi padat berisi.

Contoh kalimat yang tidak hemat kata:

(105) Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri bahwa mahasiswa itu

belajar seharian dari pagi sampai petang.

(106) Dalam pertemuan yang mana hadir di sana Wakil Gubernur DKI

dilakukan suatu perundingan yang membicarakan perparkiran.

87

(107) Manajer itu dengan segera mengubah rencananya setelah dia bertemu

dengan direkturnya.

(108) Agar supaya Anda dapat memperoleh nilai ujian yang memuaskan, Anda

harus belajar dengan sebaik-baiknya.

Contoh kalimat yang hemat kata:

(105) Saya melihat sendiri mahasiswa itu belajar seharian.

(106) Dalam pertemuan yang dihadiri Wakil Gubernur DKI dilakukan

perundingan tentang perparkiran.

(107) Manajer itu dengan segera mengubah rencana setelah bertemu

direkturnya.

(108) Agar Anda memperoleh nilai ujian yang memuaskan, belajarlah baik-

baik.

f. Kelogisan Bahasa

Yang dimaksud dengan kelogisan ialah ide kalimat itu dapat diterima oleh akal sehat.

Logis dalam hal ini juga menuntut adanya pola pikiran sistematis (runtut/teratur dalam

penghitungan angka dan penomoran). Sebuah kalimat yang sudah benar strukturnya, sudah

benar pula pemakaian unsur-unsur yang lain (tanda baca, kata, frasa), dapat menjadi salah

karena maknanya tidak masuk akal atau lemah dari segi logika.

Contoh kalimat yang lemah dari segi logika berbahasa:

(109) Karena lama tinggal di asrama putra, anaknya semua laki-laki.

(apa hubungan tinggal di asrama putra dengan mempunyai anak

lelaki?)

(110) Uang yang bertumpuk itu terdiri atas pecahan ratusan, puluhan, sepuluh

ribuan, lima puluh ribuan, dua puluh ribuan.

(tidak runtut dalam merinci sehingga lemah dari segi logika)

(111) Kepada Ibu Bupati, waktu dan tempat kami persilakan.

(waktu dan tempat tidak perlu dipersilakan)

(112) Dengan mengucapkan syukur kepada Allah, selesailah makalah ini tepat

pada waktunya.

(berarti “modal” untuk menyelesaikan makalah cukuplah ucapan syukur

kepada Tuhan)

88

BAB IV

STILISTIK

A. Definisi dan Permasalahan Umum Stilistik.

Stilistik (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style)

adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan

cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara

maksimal. Dalam hubungannya dengan kedua istilah di atas perlu disebutkan

istilah lain yang agaknya kurang memperoleh perhatian meskipun sesungguhnya

dalam proses analisis memegang peranan besar, yaitu majas. Majas

diterjemahkan dari kata trope (Yunani), figure of speech (Inggris), yang artinya

persamaan atau kiasan. Jenis majas sangat banyak, seperti: simile, metafora,

personifikasi, depersonifikasi, antitesis, pleonasme, tautologi, dan sebagainya.

Istilah lain yang mungkin muncul dalam kaitannya dengan gaya bahasa,

di antaranya: seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa,

gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki pengertian yang

hampir sama, bahasa dalam kaitannya dengan ciri-ciri keindahan sehingga identik

dengan gaya bahasa itu scndiri. Kualitas bahasa lebih banyak berkaitan dengan

nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk ilmu pengetahuan. Ragam

bahasa adalah jenis, genre, dikategorikan menurut medium (lisan dan tulisan),

topik yang dibicarakan (ilmiah dan ilmiah populer), pembicara (halus dan kasar),

semangat (regional dan nasional). Dalam pengertian sempit, gejala bahasa

menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran) dalam sebuah kata, misalnya

sinestesis. Dalam pengertian luas, gajala bahasa menyangkut berbagai bentuk

perubahan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Gejala bahasa yang paling khas

dengan demikian adalah gaya bahasa itu sendiri, termasuk majas. Rasa bahasa

adalah perasaan yang timbul setelah menggunakan, mendengarkan suatu ragam

bahasa tertentu. Bahasa tidak semata-mata mewakili makna harfiah, makna

denotatif, tctapi juga sebagai akibat konteks sosial.

Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu, bukan semata-

mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya adalah cara

ekspresi. Meskipun demikian, pada umumnya gaya dianggap sebagai sebuah

istilah khusus, semata-mata dibicarakan dan dengan demikian dimanfaatkan

dalam bidang tertentu, bidang akademis, yaitu bahasa dan sastra. Dengan

pcrtimbangan bahwa gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa secara

khusus, maka sastralah, dalam hubungan ini karya sastranya yang dianggap

sebagai sumber data utamanya. Perkembangan terakhir dalam sastra juga

mcnunjukkan bahwa gaya hanya dibatasi dalam kaitannya dengan analisis puisi.

Alasannya, di antara genre-genre karya sastra, puisilah yang dianggap memiliki

penggunaan bahasa paling khas.

Pada dasarnya gaya ada dan digunakan dalam kehidupan praktis sehari-

hari. Hampir setiap tingkah laku dan perbuatan, sejak bangun pagi hingga tidur

di malam hari, disadari atau tidak, dilakukan dengan mcnggunakan cara tertentu.

Demikian juga semua hasil aktivitas manusia, yang disebut kebudayaan,

diwujudkan melalui cara tertentu, sesuai dengan minat, selera, dan kemauan

penciptanya. Dengan singkat, tidak ada satu kegiatan pun dilakukan oleh

manusia tanpa memanfaatkan cara tertentu, tanpa disertai dengan pesan

penciptanya. Pada gilirannya cara, gaya adalah tindakan dan pesan itu sendiri.

Dcngan singkat stilistika bcrkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara

umum, meliputi seluruh aspck kehidupan manusia. Stilistika dalam karya sastra

merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan

adanya intensitas penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman

stilistika paling banyak dilakukan.

Gaya melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citra baru, gaya

membangkitkan berbagai dimensi yang stagnasi. Bangun di pagi hari yang

dilakukan secara monoton dan membosankan, diubah dengan cara berbeda

sedemikian rupa dapat membangkitkan kegairahan sehingga jadwal kerja menjadi

lebih teratur. Tugas-tugas rutin menjelang berangkat ke tempat bekerja, apabila

dilakukan dengan cara yang sama, tentu tidak akan memberikan kepuasan

terhadap diri sendiri. Tidak terhitung banyaknya cara-cara baru yang dapat

dilakukan dalam rangka mengantisipasi proses monoton, perasaan jenuh,

90

antipati terhadap situasi, dan berbagai bentuk kebosanan dalam kehidupan

manusia.

Meskipun demikian, gaya tidak harus dilakukan di luar batas kebiasaan

sehingga melanggar norma, gaya tidak boleh berlebihan. Gaya juga melibatkan

orang lain, komunitas lain, gaya bukan semata-mata untuk kepuasan diri sendiri.

Gaya yang berlebihan, meskipun membcrikan kepuasan bagi diri sendiri, tetapi

jelas mengganggu orang lain sebab selera orang tidak sama. Norma, etika, adat

istiadat, dan kebiasaan lain berfungsi untuk membatasi gaya sebab pada

umumnya semestaan tertentu, komunitas tertentu dibatasi oleh norma tertentu

yang dianggap sebagai kebiasaan setempat yang dengan sendirinya memiliki

norma dan aturan yang relatif berbeda. Mengenakan pakaian, cara berjalan,

makan, minum, dan berkata, adalah contoh-contoh yang paling jelas dalam

kaitannya dengan kebiasaan tertentu yang harus dipatuhi.

Dalam Kamus Besar Bahasa lndonesia (KBBI) gaya memiliki sejumlah

ciri, yaitu: (1) kekuatan, kesanggupan, gaya dalam pengertian denotatif, misalnya

gaya pegas, gaya lentur, gaya tarik bumi; (2) sikap, gerakan, seperti dalam

tingkah laku, misalnya gaya tarik, gaya hidup, (3) irama, lagu, seperti dalam

musik, misalnya gaya musik Barat, (4) cara melakukan, seperti dalam olah raga,

gaya renang, gaya dada, (5) ragam, cara, seperti dalam karangan, seperti gaya

bahasa populer, gaya klasik, (6) ragam, cara, seperti dalam bangunan, seperti

bangunan gaya Eropa, (7) cara yang khas, seperti pemakaian bahasa dalam karya

sastra.

Murry (1956:8) membedakan tiga pengertian mengenai gaya bahasa,

yaitu: (3) gaya bahasa sebagai kekhasan personal, (2) gaya bahasa sebagai

teknik eksposisi (penjelasan), dan (3) gaya bahasa sebagai usaha pencapaian

kualitas karya. Terlepas dari minat para peneliti ataupun masyarakat terhadap

keberadaannya di satu pihak, melihat sejarah perkembangannya yang sangat

panjang di pihak lain, gaya bahasa telah didefinisikan secara beragam dan

berbeda-beda. Beberapa definisi gaya bahasa yang perlu dipertimbangkan (Ratna,

2007:236): (1) ilmu tentang gaya bahasa; (2) ilmu interdisipliner antara linguistik

dengan sastra; (3) ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam

91

penelitian gaya bahasa; (4) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam

karya sastra; dan (5) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya

sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya sekaligus latar

belakang sosialnya.

Kelima definisi di atas dapat dibedakan menjadi dua kelompok,

kelompok pertama dari nomor satu hingga empat menganggap gaya bahasa

merupakan sesuatu yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Kelompok

kedua, yaitu nomor lima menganggap bahwa hakikat gaya bahasa terkandung

dalam totalitas karya sekaligus dalam kaitannya dengan masyarakat, seperti

genre dan periode. Dengan kata lain, kelompok pertama berada dalam

kerangka pemahaman struktutralisme, karya sastra lepas dari latar bclakang

sosial yang menasilkannya, sedangkan pendapat kedua berada dalam kerangka

pemahaman sesudah strukturalisme. Dalam hubungan ini definisi terakhirlah

yang dianggap relevan sebab gaya terutama dikaitkan dengan aspek keindahan

dengan tidak melupakan peranan latar belakang sosial sebagai produksi karya.

Definisi sangat diperlukan dalam kaitannya dengan pemahaman suatu

objek tertentu. Setelah mengemukakan pendapat beberapa ahli, Sukada (1987:87)

mendefinisikan gaya bahasa dalam sejumlah butir pernyataan: (1) gaya bahasa

adalah bahasa itu sendiri, (2) yang dipilih berdasarkan struktur tertentu, (3)

digunakan dengan cara yang wajar, (4) tetapi tetap memiliki ciri personal, (5)

sehingga tetap memiliki ciri-ciri personal, (6) sebab lahir dari diri pribadi

penulisnya, diungkapkan dengan kejujuran, (7) disusun secara sengaja agar

menimbulkan efek tertentu dalam diri pembaca, (8) isinya adalah persatuan antara

keindahan dan kebenaran.

B. Sumber Objek Penelitian Stilistik

Sumber objek penelitian berfungsi untuk menunjukkan di mana, dalam

bentuk apa, dan kapan suatu objek dapat diidentifikasi, sehingga objek dapat

diangkat ke dalam bentuk data. Berbeda dengan objek penelitian ilmu kealaman

yang dapat dideteksi secara nyata, secara terindra, objek ilmu humaniora,

khususnya sastra lebih banyak bersifat abstrak, hanya dapat dilihat secara

paradigmatis intuitif. Ketajaman intuisilah yang memegang peranan penting,

92

seberapa jauh suatu komunikasi antara subjek dan objek dapat dibentuk

sehingga data dapat direalisasikan dan dengan demikian dapat dianalisis secara

benar. Dengan mempertimbangkan definisi gaya bahasa sebagai pemakaian

bahasa secara khas di satu pihak, stilistika sebagai ilmu pengetahuan

mengenai gaya bahasa di pihak lain, maka sumber penelitiannya adalah semua

jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Jadi,

meliputi baik karya sastra dan karya seni pada umumnya, maupun bahasa

sehari-hari. Darbyshire (1971: 11) menunjukkan dua cara untuk mengidentifikasi

gaya bahasa, yaitu: (1) secara teoretis, dilakukan dengan sengaja menemukan

ciri-ciri pemakaian bahasa yang khas yang pada umumnya dilakukan dalam

kaitannya dengan penelitian ilmiah, misalnya, pada saat menganalisis sebuah

karya sastra, (2) secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap

pemakaian bahasa sehari-hari, misalnya, melalui pemakaian berbagai

perumpamaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan sebab baik cara pertama maupun

kedua dapat digunakan sebagai penelitian ilmiah atau sebaliknya semata-mata

sebagai pengamatan sepintas. Meskipun demikian, dikaitkan dengan

relevansinya, sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan

sengaja, bahkan sebagai bahasa yang artifisial, maka stilistika pada

umumnya dibatasi pada karya sastra. Lebih khusus lagi adalah karya sastra

jenis puisi.

Dominasi penggunaan bahasa khas dalam karya sastra diakibatkan oleh

beberapa hal: (1) karya sastra mementingkan unsur keindahan; (2) dalam

menyampaikan pesan karya sastra menggunakan cara-cara tak langsung,

seperti: refleksi, proyeksi, manifestasi, dan representasi; dan (3) karya sastra

adalah curahan emosi, bukan intelektual.

Aspek keindahan, pesan tak langsung, dan hakikat emosional

mengarahkan bahasa sastra pada bentuk penyajian terselubung, terbungkus,

bahkan dengan sengaja disembunyikan. Ada kesan bahwa untuk menemukan

pesan yang dimaksudkan, maka proses pemahamannya justru harus

diperpanjang, misalnya, dengan menciptakan jalan belok. Jadi, bahasa karya

sastra berbeda dengan karya ilmiah yang justru menghindarkan unsur estetis,

93

berbagai fungsi mediasi, dan emosionalitas. Bahasa ilmiah harus secara

langsung diarahkan ke objek sasaran. Karya sastra juga berbeda dengan

bahasa sehari-hari yang bersifat praktis dan cepat dimengerti.

Penggunaan bahasa khas bukan dalam pengertian bahwa bahasa sastra

berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa karya ilmiah tidak ada

perbedaan prinsip seperti kosakata dan leksikal antara bahasa sehari-hari dan

bahasa ilmiah dengan bahasa yang digunakan oleh Amir Hamzah, Chairil

Anwar, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, dan seterusnya. Ciri khas

dan perbedaan diperoleh melalui proses pemilihan dan penyusunan kembali.

Analog dengan kehidupan sehari-hari, gaya sebagai salah satu cara hidup di

antara berbagai cara yang lain, gaya bahasa adalah masalah cara pemakaian

yang khas, bukan bahasa khas yang berbeda dengan bahasa dalam kamus.

Dengan kalimat lain, kekhasan yang dimaksudkan adalah kekhasan dalam proses

seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan kata-kata. Pernyataan seperti ini

perlu digarisbawahi sebab sampai saat ini masih ada pendapat yang mengatakan

bahwa bahasa karya sastra benar-benar berbeda dengan bahasa sehari-hari.

Apabila perbedaan seperti ini memang ada, maka pada dasarnya tidak ada

stilistika dan dengan sendirinya tidak ada karya sastra sebab pengarang tidak

perlu bersusah payah berimajinasi menciptakan hal-hal baru. Pilihan-pilihan

itulah yang justru memegang peranan sebab dalam proses tersebutlah terkandung

kualitas proses kreatif, kemampuan imajinasi, dan energi kata-kata. Pilihan,

kombinasi, adaptasi, asimilasi, dan inovasi memungkinkan terjadinya hasil

ciptaan baru yang tidak pernah berakhir.

Kekuatan karya seni adalah kekuatan dalam menciptakan kombinasi

baru, bukan objek baru. Oleh karena itulah, gaya bahasa disebutkan sebagai

'penyimpangan' dari bentuk-bcntuk bahasa normatif. Dalam proses analisis

Darbyshire (1971:43-44) menunjukkan tiga cara dalam mengidentifikasi gaya

bahasa. Pertama, mempertimbangkan 'tata bahasa' stilistika yang memampukan

peneliti untuk memahami berbagai bentuk norma tata bahasa sekaligus

penyimpangannya. Cara pertama ini pada dasarnya merupakan bidang linguistik.

Kedua, gaya bahasa sebagai aparatus kontekstual, pemakaian bahasa dengan

94

memper-timbangkan hubungannya dengan masyarakat, misalnya, gaya bahasa

sebagai manifestasi periodisasi. Ketiga, melalui kedua tata bahasa di ataslah

peneliti dapat menentukan mana karya sastra yang baik, kurang baik, atau

sebaliknya sama sekali tidak bermutu.

Seperti disinggung di atas, di antara genre sastra puisilah yang

dianggap sebagai objek utama stilistika. Alasannya, di antaranya oleh karena

puisilah yang menggunakan bahasa secara khas. Puisi memiliki medium yang

terbatas sehingga dalam keterbatasannya sebagai totalitas puisi yang terdiri

atas beberapa baris harus mampu menyampaikan pesan sama dengan sebuah

cerpen, bahkan sebuah novel yang terdiri atas ratusan bahkan ribuan

halaman. Di sinilah diperlukan bahasa yang padat dan pekat, dengan

sendirinya atas dasar kombinasi yang diperoleh melalui daya apresiasi yang

tinggi. Dengan adanya keter-batasan medium tetapi pesan yang disampaikan

dapat dilakukan seluas-luasnya, di samping kata-kata dan kalimat yang tertulis

secara eksplisit, maka setiap tanda dalam puisi merupakan sumber analisis.

Tipografi, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca, dan sebagainya, dapat

dijadikan objek analisis.

Objek utama analisis stilistika adalah teks atau wacana. Objek analisis

bukan bahasa melainkan bahasa yang digunakan, bahasa dalam proses

penafsiran. Pada saat sebuah kalimat diucapkan, sebagai parole, pada saat

itulah terjadi komunikasi antara objek dengan pembaca. Pada saat itu juga

terjadi proses penafsiran. Penafsiran itulah hasil dari analisis teks yang dapat

dituangkan ke dalam karya tulis. tulisan tersebut kemudian meniadi bahasa yang

siap untuk diinterpretasikan kembali, baik oleh pembaca yang berbeda maupun

oleh pembaca yang sama pada saat yang berbeda. Karya sastra dalam bentuk

bahasa sebagai naskah itu pun dapat digunakan dalam kaitannya dengan

analisis gaya bahasa. Tetapi hasilnya hanya terbatas sebagai pemerian

bahasa, gaya sebagai objek ilmu bahasa. Pemerian inilah yang disebut sebagai

analisis stilistika tradisional, misalnya, deskripsi sebagai semata-mata terbatas

dalam bentuk inversi, litotes, hiperbola, dan sebagainya, tanpa menjelas-

kannya lebih jauh mengapa gaya bahasa tersebut digunakan. Padahal dalam

95

penjelasan terakhirlah, dalam menjawab pertanyaan 'mengapa' suatu gaya

bahasa tertentu digunakan pada kata-kata, kalimat, dan karya sastra tertentu

terletak sumber objek penelitiannya.

Menurut Fowler (1987:237) sebagai kualitas ekspresi semua teks pada

dasarnya menampilkan gaya bahasa. Puisi, prosa, dan drama, genre utama dalam

sastra modern, demikian juga padanannya dalam sastra lama, seperti geguritan

dan gancaran, adalah sumber-sumber utama gaya bahasa. Meskipun jenis

karya sastra terikat dianggap sebagai genre terpenting dalam kaitannya dengan

objek stilistika, tetapi jenis yang lain, karya sastra yang tidak terikat juga

mengandung aspek-aspek penelitian gaya bahasa. Perbedaannya, dalam jenis

kedua ini pembicaraan lebih banyak berkaitan dengan gaya bahasa secara

umum, sebagai jenis penelitian makro. Gaya bahasa novel-novel tahun 1920-

an, misalnya, dibicarakan dalam kaitannya dengan periode Balai Pustaka, baik

sebagai pengaruh para pengarang Minangkabau maupun sensor pemerintah

kolonial. Novel, dengan kualitasnya masing-masing, termasuk ciri-ciri

stilistikanya adalah totalitas fiksional yang berfungsi untuk mengungkap

pandangan dunia kelompok tertentu. Oleh karena itulah, objek penelitiannya

sebaiknya diarahkan bukan pada semata-mata analisis stilistika, lebih-lebih

stilistika struktur mikro. Oleh karena itu pula, menurut Goldman (1981:141)

jenis puisi kurang tepat dianalisis dari segi strukturalisme genetik.

Oleh karena gaya digunakan juga dalam karya seni yang lain,

seperti: seni lukis, seni suara, seni patung, seni tari, dan sebagainya, maka

objeknya dapat juga digali dalam aktivitas kreatif tersebut. Bahkan gaya

bahasa juga ada dalam kehidupan sehari-hari, baik lisan maupun tulisan.

Setiap penampilan, sikap berbicara adalah gaya itu sendiri. Perbedaan orang

dicirikan oleh gaya tertentu. Tidak ada kehidupan tanpa gaya. Gayalah yang

memberikan isi kehidupan ini. Pakaian, makanan, bahkan seluruh kehidupan itu

sendiri adalah gaya. Meskipun demikian, seperti di atas gaya bahasa jelas

berkaitan dengan penggunaan bahasa, khususnya dalam karya sastra, lebih

khusus lagi dalam puisi. Dengan luasnya sumber dan ruang lingkup

96

pemakaian gaya (bahasa), Noth (1990: 343) memasukkan stilistika sebagai

pansemiotika.

C. Ruang Lingkup Penelitian Stilistik

Ruang lingkup penelitian stilistika sangat luas (Hough, 1972:37-39),

dianggap sebagai tugas yang tidak mungkin untuk dilakukan, lebih-lebih

apabila dikaitkan dengan pengertian gaya bahasa secara luas, yaitu: bahasa itu

sendiri, karya sastra, karya seni, dan bahasa sehari-hari, termasuk ilmu

pengetahuan. Ruang lingkup bertambah luas dengan adanya perkembangan

paralel di berbagai negara, sehingga terjadi tumpang tindih di antaranya. Untuk

membatasinya ruang lingkup dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) ruang

lingkup dalam kaitannya dengan objek stilistika itu sendiri, dan (2) ruang

lingkup dalam kaitannya dengan objek yang mungkin dilakukan dalam suatu

aktivitas penelitian. Banyak kritikus melakukan penelitian melalui biografi,

sejarah sastra, periode tertentu, ideologi masyarakat tertentu, dan sebagainya.

Pada umumnya penelitian yang paling sering dilakukan berkaitan dengan

gaya bahasa karya sastra tertentu dari pengarang tertentu.

Dengan melihat luasnya objek penelitian, maka untuk membatasinya

perlu dipertimbangkan pembagian wilayah-wilayah kajian, baik dalam kaitannya

dengan eksistensi karya sastra itu sendiri maupun pengarang sebagai pencipta.

Dikaitkan dengan objeknya, maka ruang yang paling sempit adalah karya sastra

secara otonom, seperti sebuah puisi, cerpen, novel, drama, dan sebagainya.

Satu bait puisi yang terdiri atas beberapa baris dapat dianalisis dari segi gaya

bahasa, sebagai analisis stilistika. Nilai analisis sama dengan sebuah novel

yang terdiri atas seribu halaman, tergantung dari kualitas pemahamannya.

Jangkauan yang lebih luas dilakukan terhadap pengarangnya dengan

melibatkan keseluruhan karyanya. Pengarang menulis banyak jenis karya,

seperti: Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan sebagainya,

maka dari masing-masing pcngarang dapat dianalisis jenis-jenis tertentu,

bagaimana perkembangan gaya bahasa novel-novel Alisjahbana, kemudian

khusus bahasa puisinya, demikian juga dramanya. Perkembangan bahasa

seperti ini tidak menutup kemungkinan juga melibatkan bahasa karya ilmiah

97

seperti sering dilakukan terhadap esai-esainya. Penelitian yang lebih luas

adalah gaya bahasa pengarang dalam kaitannya dengan angkatan tertentu, bahkan

juga perkembangan sastra sepanjang sejarahnya, seperti pengaruh Chairil

Anwar terhadap sastra Indonesia secara keseluruhan.

Ruang lingkup paling jelas adalah deskripsi gaya sebagaimana sudah

sangat sering dilakukan, yang pada umumnya disebut sebagai analisis majas.

Berbagai jenis gaya dideskripsikan sekaligus dengan contoh-contohnya,

seperti inversi, hiperbola, litotes, dan sebagainya. Pada umumnva jenis

penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) pembicaraan gaya

bahasa secara khusus, (1) gaya bahasa dalam kaitannya dengan sebuah karya,

sehingga gaya merupakan bab atau subbab tertentu. Pada umumnya baik cara

pertama maupun kedua berhenti sebagai semata-mata deskripsi. Jelas

pembicaraan ini tidak cukup dan dengan sendirinya perlu dikembangkan dengan

menjelaskan pada masing-masing bagian mengapa gaya tersebut digunakan.

Seperti di atas, stilistika semata-mata deskripsi terbatas sebagai stilistika

linguistik. Stilistika sastra harus memberikan arti terhadap karya. Oleh karena

itulah, deskripsi yang sudah ada harus dikembangkan. ke struktur sosiokultural

sehingga gaya berfungsi untuk memberikan makna, bukan semata-mata

ornamen.

Gaya bahasa adalah ekspresi linguistis, baik di dalam puisi maupun

prosa (cerpen, novel, dan drama). Menurut Abrams (1981:190-193; Noth,

1990:344) secara teoretis penelitian dibedakan menjadi dua macam, yaitu

penelitian tradisional dan modern. Penelitian tradisional masih dipengaruhi

oleh dikotomi isi dan bentuk, apa dan bagaimana cara melukiskan suatu objek.

Isi meliputi informasi, pesan, dan makna proposisional (saranan), sedangkan

bentuk adalah (gaya) bahasa itu sendiri. Stilistika modern menganalisis ciri-

ciri formal, di antaranya: (1) fonologi, seperti: pola-pola bunyi ujaran, sajak,

dan irama, (2) sintaktis, seperti: tipe-tipe struktur kalimat, (3) leksikal meliputi

kata-kata abstrak dan konkret, frekuensi relatif kata benda, kata kerja, dan kata

sifat, dan (4) retorika yaitu ciri penggunaan bahasa kiasan (figuratif) dan

98

perumpamaan. Masalah pokok yang timbul bagaimana peneliti dapat

membedakan sekaligus mengarahkan analisis pada kompetensi sastra.

Dengan singkat analisis stilistika hendaknya melibatkan kualitas

linguistis, estetis, dan respons emosional pembaca. Secara deskriptif pragmatis

stilistika merupakan wilayah bahasa tetapi secara analitis estetis stilistika adalah

wilayah sastra. Dalam bidang linguistik stilistika dibatasi oleh norma-norma

ketatabahasaan, oleh puitika bahasa, sebaliknya dalam sastra dibatasi oleh

ciri-ciri kesastraan, oleh puitika sastra. Meskipun demikian, pada umumnya

stilistika dianggap scbagai bagian integral analisis lingustik. Pembagian

wacana menjadi empat jenis kajian, yatu: (1) kajian dari segi eksistensi

(verbal dan nonverbal), (2) mcdia komunikasi (lisan dan tulisan), (3)

pemakaian (monolog, dialog, polilog), dan (4) kajian dari segi pemaparan

(naratif, deskriptif, prosedural, ekspositoris) jelas menunjukkan dominasi

analisis linguistik.

Kajian stilistika sastra hanya terkandung dalam subpemaparan secara

naratif. Dalam teori kontemporer analisis stilistika ditempatkan di antara

bahasa dan sastra untuk selanjutnya memberikan posisi yang lebih dominan

terhadap analisis karya sastra. Secara praktis, khususnya dalam karya sastra,

ruang lingkup stilistika adalah deskripsi penggunaan bahasa secara khas. Di

satu pihak, Wellek dan Warren (1989: 225-226) mcnyarankan dua cara untuk

memahaminya, yaitu: (1) analisis sistematis bahasa karya itu sendiri, sekaligus

interpretasinya dalam kaitannya dengan makna secara keseluruhan, (2) analisis

mengenai ciri-ciri pembeda berbagai sistem dengan intensitas pada unsur-

unsur keindahan. Makna totalitas dan estetis menyarankan pada stilistika sastra,

bukan bahasa. Shipley (1962:397-398) membedakan tujuh jenis gaya bahasa,

sebagai berikut: (1) Gaya bahasa berdasarkan pengarang, seperti: gaya

Shakespearean, Dantean, Homeric, dan gaya Miltonic; (2) Gaya bahasa

berdasarkan waktu, hari, dekade, abad, peristiwa sejarah atau sastra, seperti:

gaya pra-Shakespeare, gaya abad keemasan sastra Latin; (3) Gaya bahasa

berdasarkan medium bahasa, seperti: gaya bahasa Jerman, gaya bahasa

Perancis; (4) Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti: gaya bahasa resmi, ilmu

99

pengetahuan, filsafat, komis, tragis, dan gaya didaktis; (5) Gaya bahasa

berdasarkan lokasi atau geografi, seperti: gaya bahasa urban profesional, gaya

New England; (6) Gaya bahasa berdasarkan audiens, seperti: gaya bahasa umum,

istana, kekeluargaan, populer, dan gaya mahasiswa; dan (7) Gaya bahasa

berdasarkan tujuan atau suasana hati, seperti: gaya bahasa sentimental,

sarkastis, diplomatis, dan gaya informasional.

D. Karya Sastra sebagai Sasaran Kajian Stilistik

Menurut Aminuddin (1995:44), karya sastra sebagai sasaran kajian

stilistika antara lain terwujud sebagai print-out ataupun tulisan. Print-out

tersebut, dapat berupa kata-kata. Tanda baca, gambar, serta bentuk tanda lain

yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata. Secara potensial print-out itu dapat

membuahkan (1) gambaran objek atau peristiwa, (2) gagasan, dan (3) ideologi.

Oleh sebab itu print-out tersebut merupakan wujud pelambangan sekaligus

artefak kebudayaan yang mengandung sesuatu yang lain di luar wujud

konkretnya sendiri. Dalam semiotika atau studi tcntang sistem lambang dan

proses pemaknaannya, wujud pelambangan itu disebut signal atau tanda. Dari

sudut pandang linguistik, wujud konkret pelambangan itu lazimnya hanya

dibatasi pada tataran kata, kalimat, dan wacana.

Tanda yang digunakan dalam penulisan karya sastra, antara yang

satu dengan yang lain membentuk hubungan secara sistematis. Oleh sebab

itu, istilah signal dapat pula dinyatakan sebagai sistem tanda. Dalam

kesadaran batin penafsirnya, sistem tanda tersebut secara asosiatif dapat (1)

menampilkan gambaran objek dalam berbagai cirinya, (2) memiliki hubungan

dengan tanda lain yang tidak dinyatakan secara langsung, (3) mengemban

makna tertentu sesuai dengan konvensi masyarakat pemakainya, dan (4)

mengemban pesan atau pengertian secara tersirat yang dapat ditelusuri lewat

pemahaman gambaran makna dalam sistem tandanya dan penggalian nilai

dalam konteks sosial budaya.

Berorientasi pada wawasan Peirce, tanda yang dapat menampilkan

gambaran objek tertentu disebut ikon. Hubungan antara tanda yang satu

dengan tanda yang lain yang tidak tampil secara eksplisit disebut indeks.

100

Tanda yang maknarya tersimpan pula dalam kesadaran batin masyarakat

pemakainya sesuai dengan konvensi yang dipahami bersama disebut simbol.

Sementara nilai dalam sistem tanda yang secara tersirat mengandung

wawasan yang hidup dalam suatu masyarakat, baik secara individual maupun

kelompok disebut ideologi. Keberadaan tanda sebagai ikon, indeks, simbol,

beserta nilai ideologis yang dikandungnya sifatnya abstrak. Apa yang secara

konkret dapat diamati hanyalah printout. Dengan demikian pengkaji sendirilah

yang harus menampilkan ciri ikonitas, indeksikal, simbolis, dan nilai

ideologisnya.

Berdasarkan (1) karakteristik sitem tandanya, (2) gambaran objek, (3)

hubungan makana, dan (4) cara penulisannya, karya sastra dapat dibeda-kan

menjadi dua jenis, yaitu puisi dan prosa fiksi. Perbedaan karakteristik tersebut

lebih lanjut juga mengakibatkan perbedaan dalam prosedur pemaknaan,

penentuan unsur-unsur pembentuk, penafsiran ciri, dan penggambaran satuan

hubungan sistemisnya. Sejalan dengan kenyataan bahwa (1) penciptaan karya

sastra terkait dengan kreasi individual pcngarangnya, (2) sebagai kreasi seni

penciptaan karya sastra juga memperhatikan adanya kebaharuan, dan (3)

perkembangan kehidupan sosial budaya juga ikut menentukan perkembangan

kehidupan karya sastra, setiap karya sastra dapat dicurigai memiliki ciri yang

tidak sepenuhnya sama.

Meskipun demikian, boleh saja muncul penafsiran bahwa kreasi sastra

yang memberi kesan bersifat khas dan baru tersebut merupakan transformasi

atau pengubahan dan pengembangan dari sistem dan kaidah inti yang telah

ada. Penjelasan tentang sistem dan kaidah inti tersebut lazimnya menjadi

bidang garapan teori sastra. Apabila pemahaman tentang sistemdan kaidah

inti dapat melandasi pemahaman kemungkinan adanya pengubahan dan

pengembangan, pada tingkat peranan yang berbeda-beda, pemahaman teori

sastra memiliki peranan penting dalam kajian sastra. Dalam pengembangan

lanjut, hasil kajian sastra itu pun idealnya secata kritis juga dapat memberikan

rmasukan bagi pemantapan dan pengembangan sejumlahbentuk kegiatan

menyangkut kesusastraan.

101

Secara permukaan terdapatnya kekhasan dan kebaharuan itu antaralain

ditandai oleh cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda. Puisi Sutardji

Calzoum Bachri misalnya dianggap berbeda dengan puisi Indonesia

sebelumnya karena ditinjau dari penggunaan sistem tandanya pada saat muncul

pertama kali dianggap aneh. Hal demikian juga berlaku pada beberara cerpen

dari Danarto. Sementara pada Iwan Simatupang meskipunmasih secara ketat

menggunakan wahana kebahasaan sebagai sarana ekspresi, keanehannya bila

dibandingkan dengan prosa fiksi yang ada juga dapat ditemukan. Keanehan

tersebut selain ditunjukkan lewat cara menghubungkan untaian kata-kata dan

kalimat yang seakan-akan menyalahi alur berpikir secara logis juga

ditunjukkan oleh kekayaan sistem tanda yang digunakan dala membuahkan

berbagai nuansa gagasan.

Sesuai dengan pengertian stilistika sebagai studi tentang cara

pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang

ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya

sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem

tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda, untuk

memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila

dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasannya,

pengkaji perlu juga memahami (1) garnbaran objek atau peristiwa, (2)

gagasan, (3) satuan isi, dan (4) ideologi yang terkandung dalam karya

sastranya.

Penentuan seperti di atas dilandasi pemikiran bahwa apa yang

dinyatakan sebagai ’cara penyampaian gagasan' keberadaannya tidak dapat

dilepaskan dari cara yang ditempuh pengarang dalam (1) menggambarkan

objek atau peristiwa secara imajinatif, (2) mengaktualisasikan isi melalui

penggambaran objek dan peristiwa, dan (3) memekatkan nilai-nilai ideologis

tertentu melalui kreasi dalam penggunaan sistem tanda. Sebab itu sudah

sewajarnya apabila dalam melakukan studi stilistika dalam konteks kajian

sastra pengkaji dituntut memiliki pemahaman secara makro, dalam arti yang

diketahui pengkaji bukan hanya hal yang bersangkutan dengan masalah

102

kebahasaan ataupun wujud konkret penggunaan sistem tandanya melainkan

juga pada unsur-unsur lain yang membentuk karya sastra secara keseluruhan.

Studi stilistika yang dilandasi pemahaman butir-butir seperti di atas

diharapkan dapat memperkaya pemberian makna pada deskripsi stilistis yang

dibuahkan. Kekayaan dalam pemberian makna tersebut antara lain ditunjukkan

oleh kemampuan deskripsi stilistis itu untuk diperankan sebagai pembuka jalan

dalam upaya memahami unsur-unsur pembentuk karya sastra yang lain yang

tidak secara khusus menjadi pusat kajian studi stilistika. Dengan demikian hasil

studi yang dilakukan tidak memberi kesan hanya berkisar di permukaan dan

terbatas hanya pada pembicaraan masalah bentuk. Sementara manfaatnya bila

dihubungkan dengan upaya memahami karya sastra secara keseluruhan

maupun pemanfaatannya sebagai bahan penafsira makna dalam karya sastra

tidak tersentuh.

E. Pendekatan Studi Stilistik

Bertolak dari pembicaraan di atas dapat diperoleh gambaran bahwa

karya sastra merupakan bentuk sistem tanda yang secara potensial dapat

menghadirkan gambaran objek peristiwa maupun ideologi tertentu.

Pemahaman butir-butir tersebut merupakan dasar pemahaman ciri unsur-unsur

serta hubungan antar unsur pembentuk karya sastra secara keseluruhan. Pada

konteks yang lebih luas, dari pemahaman butir-butir tersebut pengkaji secara

eksplisit dapat mempelajari bidang permasalahan menyangkut psikologi sastra,

sosiologi sastra, maupun stilistika sastra.

Guna memahami fakta yang ada dalam ketiadaan, pengkaji perlu

memiliki seperangkat pengetahuan yang secara konkret dapat digunakan

sebagai dasar (1) pembentukan sistematika konsep, (2) penggamparan peta

permasalahan, (3) pengembangan pola pemaknaan, dan (4) penentuan prosedur

kegiatannya. Seperangkat pengalaman dan pengbetahuan yang digunakan

sebagai dasar pemecah teka-teki oleh Kuhn discbut paradigma. Isi paradigma

itu pada dasarnya merupakan pemekatan hasil olahan pandekatan, teori,

metode, teknik, maupun penggambaran nilai praksis yang disusun pengkaji

sesuai dengan masalah atau teka-teki yang harus dipecahkan.

103

Sesuai dengan terdapatnya kemungkinan kekhasan, kebaharuan karya

sastra yang dijadikan bahan kajian serta kekhususan masalah yang harus

dipecahkan, selama kajian itu bukan pengurangan, boleh jadi memang tidak

ada paradigma yang siap pakai. Dengan kata lain, pengkajilah yang secara

kreatif harus menyusunnya sendiri. Untuk itu, diperlukan ketekunan pengkaji

dalam melakukan studi pustaka mengapresiasi karya sastra yang akan dikaji,

menyusun model teoretik sesuai dengan artikulasi permasalahan yang harus

dijawab, serta mempelajari pola pemaknaan dan prosedur kerja yang dianggap

tepat. Pada tahap awalnya, kegiatan tersebut bersifat eksploratif dan

spekulatif. Tetapi pada titik tertentu pengkaji harus yakin bahwa eksemplar

pengetahuan yang akan digunakan sebagai jalan pemecah teka-teki secara rasional

kerangkanya telah berhasil dibentuk.

Pada tahap awal, eksemplar pengetahuan tersebut diisi oleh

seperangkat wawasan menyangkut karya sastra yang akan dijadikan sasaran

kajian. Seperangkat wawasan yang (1) memberikan bentuk gambaran

keberadaan sasaran kajian, (2) landasan dalam menyusun model teoretik atau

wawasan teoretis yang direkonstruksi pengkaji sesuai dengan karakteristik

permasalahan yang akan digarap, dan (3) landasan dalam pengembangan

prosedur kajian yang akan dilaksanakan disebut pendekatan. Sesuai dcngan

kompleksitas unsur yang dapat dihubungkan dengan keberadaan karya sastra,

perbedaan sudut pandang, dan fokus permasalahannya, ada berbagai bentuk

pendekatan yang dapat dikembangkan pengkaji. Ditinjau dari keperluan studi

stilistika dalam konteks kajian sastra pendekatan itu seyogyanya mampu (1)

memberikan gambaran keberadaan karya sastra secara relatif utuh, (2)

memandu pengkaji dalam menentukan peta dan titik permasalahan yang

digeluti, dan (3) memberikan gambaran tahap kegiatan yang harus ditempuh.

Pemilihan pendekatan lazimnya dipandu oleh asumsi yang berperanan dalam

membentuk satuan konsepsi menyangkut konstruksi gejala yang akan digarap.

Asumsi yang disusun sebagai dasar pemilihan pendekatan itu misalnya: (1)

Karya sastra adalah gejala sistem tanda yurg secara potensial mengandung

gambaran objek, gagasan, pesan, dan nilai ideologis; (2) Karya sastra adalah

104

gejala komunikasi puitik yang secara imajinatif dapat mengandaikan adanya

penutur, tanda yang dapat ditransformasikan kedalam kode kebahasaan dan

penanggap; (3) Dalam kesadaran batin penanggap karya sastra dapat

menggambar-kan unsur-unsur yang ada dalam tingkatan dan hubungan

tertentu secara sistemis; (4) Unsur-unsur dalam karya sastra secara konkret

terwujud dalam bentuk penggunaan sistem tanda sesuai dengan cara yang

ditempuh pengarang dalam menyampaikan gagasannya; dan (5) Cara yang

digunakan pengarang dalam memaparkan gagasanya dapat ditentukan

berdasarkan deskripsi ciri pemaparan sistem tandanya.

F. Jenis Gaya Bahasa

Gaya bahasa dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Oleh

karena itu, sulit diperoleh kesepakatan mengenai suatu pembagian gaya

bahasa yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh berbagai pihak.

Pendapat-pendapat tentang gaya bahasa menurut Keraf (1994:115), sekurang-

kurangnya dapat dibedakan dari segi bahasa dan segi nonbahasa.

Dilihat dari segi bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan,

menurut Keraf (1994:116-129), gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik

tolak unsur bahasa yang digunakan, yaitu: (l) gaya bahasa berdasarkan pilihan

kata, (2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, (3)

gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan (4) gaya bahasa berdasarkan

langsung tidaknya makna.

Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata atau unsur leksikal, menurut

Nurgiyantoro (1998:290), yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-

kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Pemilihan kata-kata tertentu

tersebut tentulah melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk

memperoleh efek tertentu, efek ketepatan (estetis). Masalah ketepatan itu

sendiri secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna,

yaitu apakah unsur leksikal yang digunakan itu mampu mendukung tujuan

estetis karya yang bersangkutan, mampu mengkomunikasikan makna, pesan,

dan mampu mengungkapkan gagasan seperti yang dimaksudkan pengarang.

105

Penggunaan unsur leksikal tertentu sesungguhnya sangat menentukan

dalam penyampaian makna suatu karya sastra. Kata, rangkaian kata, dan

pasangan kata yang diplilih secara cermat dapat menimbulkan efek yang

dikehendaki pengarang pada diri pembaca, menonjolkan bagian tertentu suatu

karya, atau pun menghilangkan monotoni. Oleh karena itu, sangatlah penting

untuk diketahui kata dan ungkapan mana yang sebaiknya digunakan dalam

konteks tertentu agar pesan yang ingin disampaikan atau kesan yang ingin

ditimbulkan terwujud. Untuk memperoleh efek tertentu itu, pengarang dapat

rnenggunakan bentuk bahasa plesetan dan ungkapan-ungkapan khusus atau

idiom.

Gejala bentuk bahasa yang diplesetkan menarik untuk diperbincangkan

terutama jika dilihat dari segi makna atau pesan yang disampaikan,

sebagaimana diuraikan oleh Heryanto (dalam Pateda 2001:152-157) berikut

ini.

Plesetan dapat digambarkan sebagai kegiatan berbahasa yang

mengutamakan atau memanfaatkan secara maksimal pembentukan berbagai

pernyataan dan aneka makna yang dimungkinkan oleh sifat sewenang-

wenang pada kaitan pertanda -makna - realitas empirik.

Bentuk plesetan pada awalnya menggunakan bentuk dan kalimat-

kalimat yang wajar. Namun, setelah pendengar terbuai oleh kata-kata yang

direntetkan, tiba-tiba pembicara menyelipkan, mengubah, membuat lanjutan,

bahkan membuat pendengar tertawa dengan jalan menggunakan bentuk-bentuk

yang diplesetkan. Pendengar tertawa, kadang-kadang juga tersinggung, bahkan

merasa dihina dengan adanya bentuk yang diplesetkan karena ia memahami

maknanva.

Selanjutnya, Heryanto membagi bentuk yang diplesetkan atas tiga jenis.

Pertama, jenis plesetan untuk berplesetan itu sendiri. Pada jenis yang terjadi

adalah kenikmatan bermain-main bahasa di dalam bahasa itu sendiri tanpa

mempedulikan kaitannya dengan dunia di luar bahasa, misalnya air love you,

love you sebelum berkembang, Umar Kayam .... Kayam goreng, ayam goreng

to school dan sebagainya.

106

Dari jenis plesetan yang pertama tersebut dapat dibedakan lagi

menjadi dua subkategori, yaitu (l) plesetan yang menuntut kemahiran,

mengundang tawa penonton dengan mendistorsi kata sehingga terbentuklah

kata-kata lain yang sebenarnya tidak memiliki kaitan atau malahan tidak

bermakna, tetapi kedengarannya lucu, contohnya kata kepala diplesetkan

menjadi kelapa, tolong menjadi lontong, airport menjadi airpot, partisipasi

menjadi partisisapi, menyelidiki menjadi menyelikidi, dan sebagainya, (2)

Plesetan yang merupakan sejumlah grafiti yang tncndistorsikan istilah pribumi

mejadi sedikit kebarat-baratan tanpa sepenuhnya melenyapkan unsur pribumi

itu. Misalnya: perex diplesetkan menjadi perek (perempuan eksperimen),

wheduz menjadi wedus (kambing), warung takasimura meniadi tak kasih

murah, dan sebagainya.

Jenis plesetan kedua adalah plesetan alternatif, yaitu plesetan yang

menyajikan sebuah penalaran atau acuan alternatif terhadap yang sudah atau

sedang lazim dalam masyarakat. Pada plesetan jenis kedua ini terladi

penjegalan terhadap sesuatu yang sudah lazim. Misalnya, semboyan yang

berbunyi: Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, diplesetkan menjadi

bersatu kita teguh, bercerai kawin lagi. Pepatah: Tong kosong berbunyi

nyaring, dipelsetkan menjadi tong kosong berbunyi glondang. Sambil

menyelam minum air diplesetkan menjadi sambil menyelam minum kopi, dan

sebagainya.

Plesetan jenis ketiga adalah plesetan oposisi karena ia memberikan

nalar dan acuan yang secara konfrontatif bertabrakan atau menjungkirbalikkan

sesuatu yang sudah lazim dalam masyarakat. Plesetan jenis ini bukan sekedar

menggantikan satu tanda/makna dengan tanda/makna lain, namun cenderung

mengadakan perlawanan secara fiontal dengan cara menjungkirbalikkan

tanda/makna yang telah lazim. Kebanyakan yang meniadi sasaran plesetan

jenis ini adalah singkatan, misalnya: CBSA : Cara Belajar Siswa Aktif -

karena pada implementasinya sistem ini kurang didukung dengan kebijakan

dan fasilitas pendukung yang memadai sehingga kurang berhasil - maka

diplesetkan menjadi Cah Bodho Saya Akeh ( Jawa) yang artinya anak bodoh

107

semakin banyak; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana diplesetkan

menjadi Kasih Uang Habis Perkara, sebagai kritik terhadap berbagai

penyelewengan dalam dunia pendidikan dan hukum; RSS: Rumah Sangat

Sederhana. Diplesetkan menjadi Rumah Sangat Sengsara atau Rumah Sulit

Slonjor, karena sempitnya sehingga untuk slonjor (meluruskan kaki) saja

sulit.

Di samping singkatan-singkatan, sasaran plesetan oposisi juga

mengarah pada pepatah, misalnya: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang

kemudian, diplesetkan menjadi bersakit-sakit dahulu, bersakit-sakit seterusnya;

sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit diplesetkan menjadi sedikit demi

sedikit, lama-lama menjadi habis dan sebagainya.

Oleh karena ada prinsip mendasar pada hakikat bahasa, yakni hubungan

antara tanda, makna, acuan itu bersifat arbriter, maka dilihat dari segi

maknanya, jenis plesetan pertama sebagaimana telah diuraikan di atas, tidak

berniat menyampaikan pesan atau komentar apa pun tentang realitas dunia di

luar bahasa, maknanya lepas dari acuan. Sementara itu, plesetan jenis kedua

cenderung menggugat peninggalan makna yang lazim tanpa berusaha

meniadakan yang terlanjur lazim. Adapun plesetan jenis ketiga, menunjukkan

sikap sebagian orang yang tidak hanya terbuai pada kenikmatan bermain-main

dengan penanda, atau memberikan kemajemukan nilai alternatif pada acuan

realitas, tetapi berupaya mengukuhkan suatu nilai tanding terhadap segala

sesuatu yang sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat.

Plesetan merupakan gejala yang relatif baru dalam penggunaan

bahasa Indonesia. Plesetan berhubungan dengan perkembangan pemakai

bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya.

Senada dengan uraian di atas, gaya bahasa berdasarkan pilihan kata

atau unsur leksikal adalah berkaitan dengan persoalan kata mana yang

paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat

tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam

masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan

kesesuaian pilihan kata dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.

108

Pembahasan tentang gaya bahasa berdasarkan pilihan kata ini antara lain

berkaitan dengan persoalan bahasa resmi, bahasa tak resmi, dan bahasa

percakapan sehingga terdapat gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi,

dan gaya bahasa percakapan.

Gaya bahasa resmi adalah gaya bahasa dalam bentuknya yang

lengkap, yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya

bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang yang diharapkan

mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Sebagai contoh, amanat

kepresidenan, berita negara, tajuk rencana, dan artikel-artikeal ilmiah,

semuanya diantarkan dengan gaya bahasa resmi.

Gaya bahasa tak resmi biasanya dipergunakan dalam kesempatan

kesempatan yang tidak atau kurang formal. Menurut sifatnya, gaya bahasa

tak resmi ini dapat juga memperlihatkan suatu jangka variasi, mulai dari

bentuk informal yang paling tinggi (yang sudah bercampur dan mendekati

gaya resmi) hingga bahasa tak resmi yang sudah bertumpang tindih dengan

gaya bahasa percakapan.

Selanjutnya, gaya bahasa percakapan merupakan gaya bahasa yang

dipakai untuk bercakap-cakap yang pilihan kata-katanya diambil dari kata-

kata populer dan kata-kata percakapan. Gaya bahasa percakapan ini biasanya

tidak terlalu memperhatikan segi-segi sintaksis dan segi-segi morfologis.

Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang

dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat pada sebuah wacana.

Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti dari

suara pembaca, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan. Nada itu

pertama-tama timbul dari sugesti yang dipancarkan oleh rangkaian kata-kata,

sedangkan rangkaian kata-kata itu tunduk pada kaidah-kaidah sintaksis yang

berlaku. Oleh karena itu, nada, pitihan kata, dan struktur kalimat sebenarnya

berjalan sejajar dan saling mempengaruhi.

Dengan berlandaskan pada struktur sebuah kalimat, gaya bahasa juga

dapat diciptakan. Berdasarkan struktur kalimatnya, gaya bahasa dapat

109

dibedakan menjadi lima macam, yaitu gaya bahasa klimaks, antiklimaks,

paralelisme, antitesis, dan repetisi.

Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik.

Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan

pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-

gagasan sebelumnya. Dengan kata lain, gaya bahasa klimaks adalah suatu

cara mengemukakan sesuatu, ide atau keadaan dengan mengurutkan dari

tingkat yang lebih rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Misalnya,

"Jangankan seorang, dua orang, kalau perlu seluruh kclas dapat datang ke

rumahku" (Suharianto 1982:79).

Gaya bahasa antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur

mengendur. Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang

gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan

yang kurang penting. Gaya bahasa antiklimaks sering kurang efektif karena

gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca

atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian kalimat

selanjutnya. Senada dengan hal itu, Suharianto (1982:77) mengemukakan

bahwa gaya bahasa antiklimaks merupakan suatu pernyataan yang disusun

secara berurutan dari yang paling tinggi, makin menurun dan makin

menurun dan makin menurun sampai kepada yang paling rendah. Misalnya,

"Jangankan seribu, seratus pun aku tak mau membayarnya" (Suharianto

1982'.77).

Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran

dalam pernakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama

dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut bisa pula berupa

anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama.

Misalnya, "Baik orang berpangkat maupun oran melarat, harus dihukum kalau

memang bersalah" (Suharianto 1982:81). Paralelisme merupakan sebuah

bentuk yang baik untuk menonjolkan kata atau frasa yang sama fungsinya.

Hanya saja penggunaannya sebaiknya tidak terlalu sering agar kalimat-kalimat

tidak terkesan kaku.

110

Sementara itu, antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung ide-ide

yang bertentangan, dengan memanfaatkan kata-kata atau kelompok kata yang

berlawanan. Misalnya, "Tua muda, besar kecil, kaya miskin, mempunyai

tanggung jawab yang sama di hadapan Tuhan" (Suharianto 1982:77). Gaya

bahasa ini timbul dari kalimat yang berimbang serta mempergunakan pula

unsur-unsur paralelisme.

Adapun gaya bahasa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata,

kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan

dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi, sebagaimana halnya dengan

paralelisme dan antitesis, timbul dari kalimat yang berimbang, misalnya

"Hidup ini memang sendiri , di perut ibu yang sendiri, dalam kuburan yang

sendiri, nanti menanggung dosa dan pahala juga sendiri" (MBL:17). Keraf

(1994:127-128) membagi repetisi menjadi delapan jcnis, yaitu (1) epizeuksis,

(2) tautotes, (3) anafora, (4) epistrofa, (5) simploke, (6) mesodiplosis, (7)

epanalepsis, dan (8) anadiplosis.

Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang

dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Misalnya, Kita harus

berusaha, berusaha, sekali lagi berusaha untuk menggapai cita-cita. Tautotes

adalah repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi.

Misalnya, Dia mencintai aku, aku mencintai dia, dia dan aku saling merindu.

Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap

baris atau kalimat berikutnya. Misalnya, Kejujuran adalah tidak hanya

sekedar kata. Kejujuran adalah kata yang sant dengan makna. Kejujuran

harus diwujudkan dalam realita, meskipun pahit akibatnya. Epistrofa adalah

repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau

kalimat berurutan. Misalnya, Harta yang kaumiliki, jabatan yang kaududuki

adalah ujian. Kesenangan yang kaurasakan, kesedihan yang kau keluhkan

adalah ujian. Simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris

atau kalimat berturut-turut. Misalnya, Dia bilang aku adalah orang yang tak

tahu diri. Aku bilang biarin. Dia bilang aku adalah orang yang sok suci. Aku

bilang biarin. Dia bilang aku adalah orang fundamentalis. Aku bilang biarin.

111

Mesodiplosis adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat

berurutan. Misalnya. Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon. Para

pembesar jangan mencui bensin. Para gadis jangan mencuri perawannya

sendir. Epanalepsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris,

klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Misalnya, Kita curahkan

perasaan, pikiran, dan tenaga kita. Kami rela berkorban jiwa dan raga

karena agama kami. Bangkitlah, wahai pemudaku, bangkitlah. Anadiplsis

adalah pengulangan kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat

menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Misalnya,

dalam syair ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna: Mudah-mudahan

ada Kau!

Selanjutnya, pengertian gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya

makna adalah apakah acuan yang digunakan masih mempertahankan makna

denotatifnya atau telah menyimpang. Jika acuan yang digunakan itu masih

mempertahankan makna dasar, bahasa itu masih bersifat lugas. Akan tetapi

jika telah ada perubahan makna, baik berupa makna kiasan maupun yang

telah menyimpang jauh dari makna denotatifhya, acuan itu dianggap telah

merniliki gaya bahasa yang sering disebut sebagai trope atau figure of

speech, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif

dari bahasa yang lazim, baik dalam ejaan, pembentukan kata, konstruksi

(frasa, klausa, kalimat), maupun dalam penerapan sebuah istilah dcngan

tujuan untuk memperoleh kejelasan, penekanan, atau efek yang lain. Termasuk

dalam bahasan trope atau figure of speech adalah gaya bahasa majas (Keraf,

1994:129).

Majas, menurut Nurgiyantoro (1998:296-297) merupakan teknik

pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjukan pada makna harfiah

kata-kata yang mendukungnya, tetapi pada makna yang ditambahkan atau

makna yang tersirat. Dengan kata lain, pemajasan merupakan gaya yang

mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.

Keraf (1994:138) mengemukakan bahwa gaya bahasa kiasan (majas)

dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu

112

dengan sesuatu yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang

menunjukan kesamaan antara dua hal tersebut.

Bentuk pengungkapan yang menggunakan majas jumlahnya relatif

banyak, namun hanya beberapa saja yang kemunculannya dalam sebuah

karya sastra relatif tinggi (Nurgiyantoro, 1998:298). Jenis majas yang

kemunculannya relatif tinggi dalam karya sastra antara lain metafora, simile,

dan personifikasi.

Metafora merupakan gaya perbandingan yang bersifat tidak langsung

dan implisit. Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang

kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan yang

eksplisit (Nurgiyangtoro 1998 . 299). Simile merupakan majas yang menyaran

pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit, dengan

mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitannya,

misalnya mirip, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, dan seperti. Dalam

penuturan majas ini, sesuatu yang disebut pertama dinyatakan mempunyai

persamaan sifat dengan sesuatu yang disebut belakangan (Nurgiyantoro,

1998:298). Adapun personifikasi adalah majas yang memberi sifat-sifat benda

mati dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia sehingga dapat bersikap

dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Berbeda halnya dengan

simile dan metafora yang dapat membandingkan dua hal yang menyangkut

apa saja sepanjang dimungkinkan, pembanding dalam personifikasi haruslah

manusia atau sifat-sifat mausia (Nurgiyantoro I 998 :299).

Menurut Jabrohim (2001:60-62), penggunaan bentuk bahasa yang

menyimpang sebagaimana penggunaan majas dalam karya sastra merupakan

hal yang biasa. Dia mengkategorikan bahasa yang menyimpang itu menjadi

delapan kelompok, sebagai berikut.

Pertama, penyimpangan leksikal, yaitu jika bentuk bahasa tersebut

mengalami penyimpangan makna secara leksikal yang ditandai oleh adanya

proses morfologi yang belum umum atau masih problematik, kata bentukan

baru, dan kata yang tanpa makna, seperti keder ngloyor, dan leluka.

113

Kedua, penyimpangan semantis, yaitu bentuk atau struktur yang tidak

menunjuk pada makna denotatif, melainkan makna kiasan. Penyimpangan

semantis terjadi dalam hubungan struktur kalimat, yaitu jika terdapat

penggabungan kata yang secara akal tidak dapat diterima. Akan tetapi hal

tersebut dapat ditemukan maknanya berdasar kriteria lain, yaitu makna yang

bersifat tambahan. Contoh kata mata bagi orang Arab tentu berlainan

maknanya dengan orang Indonesia. Mata dalam bahasa Arab berarti kapan,

sedangkan dalam bahasa Indonesia dapat berarti indera pengihatan.

Ketiga, penyimpangan fonologis, yaitu suatu bentuk tidak rnemiliki

makna konvensional sebagaimana kata pada umumnya. Bentuk tersebut oleh

sastrawan dipandang sebagai kata, namun bentuk itu tidak dijumpai dalam

kamus, misalnya ditinda, melayah, menggigir.

Keempat, penyimpangan morfologis, yaitu bentuk yang tidak umum

pemakaiannya. Ketidakumuman itu karena pembentukannya menyalahi aturan

atau masih problematis. Termasuk dalarn penyimpangan ini adalah kata-kata

yang berupa bentukan baru dan penghilangan afiks. Misalnya, mangkal, nangis,

nungsep, ngungun.

Kelima, penyimpangan sintaksis, yaitu struktur yang tidak umum

pemakaiannya dalam berbahasa secara normatif formal. Ketidakumuman itu

sering menimbulkan ketaksaan struktur dan makna. Contohnya, pengarang

tidak menggunakan huruf kapital pada awal kalimat dan tanda titik pada

akhir kalimat.

Keenam, penyimpangan register. Penyimpangan ini erat kaitannya

dengan penyimpangan dialek, namun yang dipersoalkan adalah situasi

pemakaiannya, atau bagaimana dan kapan suatu bentuk bahasa dipergunakan

dalam tindak berbahasa.

Ketujuh, penyimpangan historis, yaitu berkaitan dengan pemakaian

kata-kata archais seperti jenawi, dewangga, bahana dalam karya sastra

modern.

Kedelapan, penyimpangan grafologis, yaitu mempermasalahkan

penulisan bentuk dan struktur linguistik, baik menyangkut penulisan huruf,

114

kata, kelompok kata, maupun kalimat. Suatu bentuk dipandang sebagai

penyimpangan grafologis jika bentuk atau strukur itu penulisannya tidak

sesuai dengan ketentuan atau kaidah yang berlaku.

Selanjutnya dilihat dari segi nonbahasa, menurut Keraf (1994:ll5-ll6),

gaya bahasa dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, berdasarkan pengarang,

yaitu gaya bahasa yang disebut sesuai dengan nama pengarang. Artinya,

gaya bahasa tersebut dikenal berdasarkan ciri pengenal yang digunakan oleh

pengarang tertentu, sehingga ada gaya bahasa W.S. Rendra, Chairil Anwar,

Tauflk Ismail, Emha, dan sebagainya.

Kedua, berdasarkan masa, yaitu gaya bahasa yang dikenal karena

ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu,

sehingga ada gaya bahasa klasik dan gaya bahasa modern.

Ketiga, berdasarkan medium, yaitu bahasa sebagai alat komunikasi.

Oleh karena struktur dan latar sosial pemakainya berbeda, setiap bahasa juga

memiliki corak yang berbeda-beda, sehingga ada gaya bahasa Indonesia,

Inggris, Arab, Jerman, dan sebagairrya

Keempat, berdasarkan subjek, yaitu gaya bahasa yang dipengaruhi

oleh subjek yang menjadi pokok karangan, sehingga ada gaya bahasa filsafat,

hukum, teknik, sastra, pendidikan, dan sebagainya.

Kelima, berdasarkan tempat, yaitu gaya bahasa yang mendapat nama

dari lokasi geografis, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan

atau ekspresi bahasanya. Oleh karena itu, ada gaya bahasa Jakarta,

Yogyakarta, Medan, Ambon, dan sebagainya.

Keenam, berdasarkan pembaca. Seperti halnya subjek, keadaan

pembaca juga mempengaruhi gaya bahasa yang dipergunakan seorang

pengarang, sehingga ada gaya bahasa populer yang cocok untuk rakyat

banyak, ada gaya bahasa intim (familiar) yang cocok untuk lingkungan

keluarga, dan sebagainya.

Ketujuh, berdasarkan tujuan, yaitu gaya bahasa yang memperoleh

namanya dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang yang ingin

115

mencurahkan gejolak emotifnya. Oleh karena itu, ada gaya bahasa

sentimental, sarkastik, diplomatik, humor, dan sebagainya.

G. Pemanfaatan Gaya Bahasa

Gaya bahasa, menurut Aminuddin (1995:v), merupakan suatu cara

yang dipergunakan pengarang dalan mengungkapkan buah pikiran sesuai

dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra,

efek tersebut berkaitan dengan usaha pemerkayaan makna, penggambaran

objek dan peristiwa secara imajinatif, maupaun pemberian efek emotif tertentu

bagi pembacanya. Wahana yang dipergunakan untuk mengungkapkan buah

pikiran dengan berbagai efek yang diinginkan tersebut bukan hanya mengacu

pada lambang kebahasaan melainkan juga pada berbagai macam bentuk

sistem tanda yang secara potensial dapat dipergunakan untuk

menggambarkan gagasan dengan berbagai kemungkinan efek estetis yang

ditimbulkannya.

Meskipun ditinjau dari wujud konkretnya wahana yang digunakan

tersebut tidak selalu berupa lambang kebahasaan, pada saat mengkreasikannya

penutur selalu mengolahnya melalui kode kebahasaan. Dalam memaknainya,

pembaca pun selalu mentransformasikan kembali sistem tanda tersebut ke

dalam lambang kebahasaan. Hal yang demikian ini terjadi karena pewujudan

sistem tanda dalam berbagai variasinya tersebut merupakan pengejawantahan

dari kode kebahasaan (Aminuddin 1995:v).

Style yang merupakan pusat perhatian stilistika, menurut Sudjiman

(1993:13) pada hakikatnya merupakan suatu cara yang digunakan seorang

pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan

bahasa sebagai sarana. Dengan demikian, style dapat diterjemahkan sebagai

gaya bahasa. Gaya bahasa terdapat dalam berbagai ragam bahasa, baik

ragam lisan, ragam tulis, ragam sastra, maupun ragam nonsastra, karena

gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh

orang tertentu dan untuk maksud tertentu. Namun demikian, secara

tradisional gaya bahasa selalu dikaitkan dengan teks sastra (tertulis).

116

Menurut Sudjiman (1993:14), gaya bahasa antara lain mencakup diksi,

struktur kalimat, majas dan citraan, dan pola rima. Ketika membaca sebuah

karya sastra, seseorang dapat menentukan ragamnya dengan melihat gaya

bahasa teks yang bersangkutan karena penggunaan gaya bahasa yang khas.

Demikian pula, gaya bahasa sebuah karya dapat mengungkapkan periode,

angkatan, tradisi, atau aliran sastranya. Untuk menentukan gaya bahasa yang

khas dari seorang pengarang, eseorang semestinya membaca dan menelaah

penggunaan bahasa dari semua karyanya. Sementara itu, untuk memastikan

apa yang disebut gaya bahasa suatu ragam sastra tertentu, seseorang

semestinya membaca dan mengkaji penggunaan bahasa dalam semua karya

dari ragam tersebut. Oleh karena itu, bidang kajian stilistika biasanya

dibatasi pada teks tertentu saja.

Lebih lanjut Sudjiman (1993:14) mengatakan bahwa pengkajian

stilistika adalah meneliti gaya sebuah teks sastra secara rinci dan sistematis

dengan memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa,

mengamati antarhubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistik

yang membedakan pengarang, karya, tradisi, atau periode tertentu dari

pengarang, karya, tradisi, atau periode lainnya. Ciri ini bisa bersifat fonologis

(pola bunyi bahasa, matra, rima), sintaksis (struktur kalimat), leksikal (diksi,

frekuensi penggunaan kelas kata tertentu), atau retoris (majas, citraan).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, konsep tertua tentang gaya

bahasa menyamakannya dengan bungkus suatu gagasan (dress of thought).

Konsep tersebut membedakan karya sastra atas isi gagasan (content/matter )

yaitu pesan yang ingin disampaikan, dan bungkusnya (expression/manner),

yaitu berhubungan dengan cara penyajiannya kepada pembaca. Berdasarkan

konsep itu ada kecenderungan memusatkan perhatian pada cara penyajian ide

atau gagasan. Dengan bahasa yang beragam majas dan berbunga-bunga,

pengarang berupaya menarik perhatian pembaca kepada bentuk estetiknya,

baru kemudian pada pesan-pesan yang ingin disampaikan. Sebuah ide yang

sebetulnya wajar-wajar saja menjadi tampak lebih megah karena dikemas

dengan bungkus yang penuh dengan hiasan yang kadang berlebihan. Namun

117

demikian, bukan berarti hiasan stilistik lalu dapat ditiadakan begitu saja,

karena pemanfaatan sarana stilistik sering membawa tambahan makna

(Sudjiman 1993:15). Pengulangan struktur dengan metafora yang berasal dari

berbagai bidang kehidupan dapat menegaskan sifat umum suatu gagasan.

Contohnya, "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah."

"Orang mati meninggalkan nama, harimau mati meninggalkan belangnya."

Konsep yang lain mengenai gaya bahasa menyatakan bahwa

sesungguhnya gaya bahasa adalah masalah pilihan saja. Relevan dengan

pendapat ini, Teeuw (1983:19) mengemukakan bahwa ada dua prinsip

universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra, yaitu prinsip

ekuivalensi (kesepadanan) dan prinsip deviasi (penyimpangan). Kalau seorang

pengarang memilih menggunakan prinsip ekuivalensi, maka efek yang ingin

diperolehnya ditimbulkan oleh kesepadanan antara unsur atau sarana bahasa

yang digunakannya dengan hasil yang biasanya ditimbulkan oleh unsur atau

sarana bahasa itu. Sebaliknya, jika seorang pengarang menggunakan prinsip

deviasi, berarti ia memilih untuk menyimpang, tidak mematuhi, atau bahkan

melanggar kaidah bahasa yang konvensional.

Pada dasarnya sikap masyarakat dan pengarang terhadap konvensi

bahasa dan konvensi sastra adalah berubah-ubah sesuai dengan

perkembangan zaman. Di satu sisi, ada kelompok pengarang atau sastrawan

yang patuh pada aturan bahasa yang sedang berlaku dalam masyarakat

zamannya, dan mereka berhasil mewujudkan ide-ide artistik mereka dalam

sistem konvensi yang berlaku. Akan tetapi, di sisi lain, ada juga kelompok

pengarang atau sastrawan yang merasa tidak bebas atau terkekang sehingga

berusaha membebaskan diri dari aturan atau konvensi yang ada. Agaknya

kecenderungan semacam ini semakin menguat di kalangan para pengarang,

khususnya sastrawan sehingga berkembang konsep gaya sebagai

penyimpangan di samping konsep gaya sebagai pilihan (Sudjiman 1993:17).

Dengan penyimpangan, pengarang berusaha menarik perhatian

pembaca. Pernyataan-pernyataan bahasa dibuat tidak biasa, tidak dikenal,

tidak familiar (defamiliarisasi), sehingga pembaca akan tersentak. Karena

118

sifatnya inkonvesional, sehingga tampak menonjol dan terasa sebagai sesuatu

hal yang baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw (1983:4) bahwa konsep

penyimpan gan adarah sebagai penonjolan, pembaharuan, dan upaya menarik

perhatian. Tentu saja pembaharuan dengan menyimpang dari kaidah bahasa

harus dilakukan secara terus-menerus agar tidak juga menjadi sesuatu yang

konvensional.

Suatu penyimpangan dari norma bahasa tidak berdiri sendiri dan

tidak teryadi secara acak dalam suatu karya, tetapi berpola dengan gejala

bahasa yang lain dan membentuk suatu keterpaduan yang utuh. Oleh karena

itu, suatu penyimpangan tidak dapat dipahami secara terpisab-pisah, hanya

dalam kaitannya dengan sistem bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian,

suatu penyimpangan hendaknya dilihat dalam konteks tempat munculnya.

Terkait dengan hal ini perlu diingat juga bahwa objek penelaahan stilistika

bukannya gejala per gejala, melainkan bepolanya gejala-gejala itu dalam

suatu karya sebagai satu kesatuan yang integral dan utuh.

Konsep gaya bahasa sebagai penyimpangan, bagaimanapun, akan

senantiasa merujuk ke pandangan yang lebih luas, yaitu bahwa gaya bahasa

adalah pilihan, termasuk pilihan untuk menggunakan atau tidak menggunakan

struktur yang menyimpang. Relevan untuk dibicarakan di sini adalah apa

yang disebut licentia poetica. Menurut Sudjiman (1990:47), yang dimaksud

licentia poetica ialah kebebasan seorang pengarang untuk menyimpang dari

kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek

yang dikehendakinya. Jenis dan tingkat kebebasan yang diperbolehkan

bervariasi menurut konvensi zaman. Adapun pembenaran menggunakan

kebebasan itu tergantung pada keberhasilan efek yang ditimbulkannya.

Kebebasan memilih harus diartikan sebagai tindakan yang dilakukan

dengan sadar, walaupun sering juga didahului oleh semacam intuisi, dengan

mempertimbangkan akibat atau hasilnya. Dengan demikian, kebebasan

memilih bukanlah tindakan yang semau-maunya atau semena-mena. Dalam

memilih cara penyampaiannya itu, menurut Sudjiman (1993:19-20), seorang

119

pengarang perlu memperhitungkan tujuan atau efek yang ingin dicapai, dengan

cara sebagai berikut.

Pertama, mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional.

Dengan memilih cara ini pengarang menempuh cara yang paling aman sebab

ide-idenya bisa dimengerti oleh pembacanya tanpa kesulitan bahasa dan

penyampaian pesan dapat berjalan dengan lancar serta lebih komunikatif.

Namun demikian, dilihat dari sisi pengarang, keterikatannya pada kaidah dan

konvensi bahasa sering dirasakan sebagai belenggu yang mengekang sebuah

kreatifitas. Pengarang yang cukup enerjik biasanya tidak mau terbelenggu

dalam pengekspresian perasaan dan ide-idenya, ia selalu menginginkan

ekspresi yang unik dan baru.

Kedua, memanfaatkan potensi dan kemampuan bahasa secara inovatif.

Dalam hal ini pengarang memainkan sarana bahasa secara inovatif, Artinya,

ia dapat memanfaatkan berbagai kemungkinan yang tersedia, memanipulasi

kaidah yang umum berlaku tetapi masih dalam batas-batas konvensi. Dengan

demikian, meskipun ia mengikuti prinsip kesepadanan, tetapi mengikutinya

secara inovatif.

Ketiga, menyimpang dari konvensi yang berlaku. Kebebasan, atau

lebih tepatnya, kewenangan untuk menyimpang dari konvesi ini merupakan

suatu kelonggaran bagi pengarang atau sastrawan. Dalam hal ini ia bukannya

asal melanggar atau menyimpang karena ingin menyimpang saja (waton

suloyo), melainkan menyimpang atau melanggar untuk mencapai tujuan atau

efek tertentu, misalnya untuk menarik perhatian pembaca.

Hal yang perlu diingat oleh pengarang atau sastrawan adalah bahwa

karya sastra bagaimanapun merupakan sarana penyampai pesan atau media

komunikasi. Pengarang atau sastrawan menyampaikan pesannya kepada

pembaca atau pendengar tentu saja dengan harapan agar pesannya itu dapat

ditangkap seperti yang ia maksudkan. Oleh karena itu, penyimpangan yang

dilakukan oleh pengarang sebaiknya masih harus dapat dipahami oleh

pembaca atau pendengarnya. Hal yang demikian ini hanya dimungkinkan jika

120

pengarang dan pembaca atau pendengarnya terikat pada konvensi bahasa dan

konvensi budaya yang sama.

121

BAB V

PRAGMATIK

A. Pengertian Pragmatik

Dalam pembahasan tentang sintaksis, sebuah kata dalam sebuah kalimat

ditafsirkan maknanya menurut hubungan formal kalimat itu. Namun dalam kehidupan

sehari-hari, makna kata tidak saja tergantung pada kedudukannya dalam kalimat,

tetapi juga tergantung pada penutur yang menyampaikan kata itu. Makna yang

dikehendaki oleh penutur itu dikaji dalam pragmatik. Dengan kata lain, pragmatik

ialah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna yang dikehendaki oleh penutur

(Cahyono, 1995:213).

Kajian pragmatik telah dikembangkan oleh sejumlah pakar, seperti Austin

(1962) dan Searle (1969) dengan menelusuri hakikat tindak tutur (speech act) dan

Grice (1975) tentang prinsip kerja sama (cooperative principles) dan implikatur

percakapan (conversational implicature). Leech (1983) menyatakan bahwa pragmatik

adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Tampak bahwa

batasan itu mengeksplisitkan makna, yang kemudian dalam pragmatik itu disebut

maksud. Keberadaan maksud itu sangat bergantung pada situasi atau konteks tuturan.

Tanda bahasa bermaksud A atau B ditentukan oleh konteks tuturan.

Selanjutnya, Leech menyatakan bahwa pragmatik itu kajian komunikasi

linguistis menurut prinsip-prinsip pecakapan. Salah satu prinsip percakapan itu, yaitu

prinsip kerja sama, dikemukakan oleh Grice (1975). Relevansi pengaitan kajian

pragmatik dengan prinsip percakapan ini berupa kenyataan bahwa maksud ekspresi

penutur dapat dihambat oleh prinsip ini. Pelanggaran prinsip percakapan

menyebabkan terjadinya perbedaan antara apa yang dikatakan penutur dan apa yang

dimaksudkannya. Tidak berbeda jauh dari Leech, Parker (1986) berpendapat bahwa

pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi.

Jika dibandingkan dengan pendapat ahli terdahulu, pendapat ini tidak bertentangan

karena memang pragmatik membahas penggunaan bahasa.

Agak berbeda dengan pendapat para pakar terdahulu, Fasold dalam Rustono

(1999:3) menyatakan bahwa pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan konteks

untuk menarik inferensi tentang makna. Yang dimaksud dengan inferensi di sini

adalah simpulan yang ditarik dari suatu tuturan. Hal itu terjadi karena tidak tertutup

kemungkinan, bahkan banyak sekali, hasil inferensi atau tuturan berbeda dari apa

yang secara eksplisit dinyatakan.

Adapun Mey dalam Rustono (1999:4) menyatakan bahwa pragmatik adalah

ilmu yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penutur. Ia juga memberikan

tambahan penjelasan bahwa pragmatik mempelajari bahasa sebagaimana digunakan

dalam realitas kehidupan manusia untuk berbagai macam tujuan sesuai dengan

keterbatasan dan kemampuannya. Jelaslah bahwa pragmatik tidak dapat melepaskan

diri dari masalah penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bahasa

dan pemakainya menjadi ciri utama telaah pragmatik.

Dalam penjelasannya sepanjang 53 halaman Gunarwan (1994) dalam Rustono

(1999:2) menemukan paling sedikit delapan rumusan tentang pragmatik seperti

berikut ini.

(1) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan di antara tanda (lambang) dan

penafsirannya.

(2) Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa.

(3) Pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsi dalam arti bahwa kajian ini

mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistis dengan mengacu pada

pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistis.

(4) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan-hubungan antara bahasa dan

konteks.

(5) Pragmatik berkaitan dengan topik mengenai aspek-aspek makna ujaran yang tidak

dapat dijelaskan dengan mengacu langsung pada persyaratan kebenaran (truth

condition) dan kalimat yang diujarkan.

(6) Pragmatik adalah kajian tentang hubungan-hubungan antara bahasa dan konteks

yang merupakan dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.

(7) Pragmatik adalah kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa untuk

menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut (diujarkan).

(8) Pragmatik adalah kajian tentang deiksis (paling tidak sebagian), implikatur,

praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana.

124

Mengacu pada delapan batasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa banyak

aspek yang terkait dengan pragmatik, antara lain: relasi tanda dan penafsirannya,

penggunaan bahasa, fungsi bahasa, konteks, penutur, kepatutan, dan topik-topik

pragmatik. Hanya saja, penggunaan istilah kalimat di dalam salah satu batasan

tersebut agaknya kurang tepat, karena yang dibicarakan dalam pragmatik itu

bukanlah kalimat, melainkan tuturan sebagai hasil tindak tutur.

Dari berbagai definisi itu, Gunarwan dalam Rustono (1999:4) merumuskan

bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan (timbal balik)

fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran. Dengan

kata lain, pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan timbal balik

antara fungsi dan bentuk tuturan. Dalam batasan yang sederhana itu, secara implisit

tercakup penggunaan bahasa, komunikasi, konteks, dan penafsiran.

B. Ruang Lingkup Pragmatik

Menurut Purwo (1990:10), sebelum pragmatik mulai berkembang dalam

dasawarsa 1970-an, kegiatan analisis dalam linguistik didominasi oleh kajian tentang

kalimat dalam lingkup sintaksis. Pakar sintaksis yang cukup berpengaruh pada masa

itu adalah Noam Chomsky. Sementara itu, sebagian linguis lain mulai menarik

semantik ke dalam teori linguistik. Upaya itu dilandasi pemikiran bahwa sintaksis

tidak dapat dipisahkan dari pemakaian bahasa. Artinya, analisis kalimat tidak dapat

dilakukan tanpa memperhitungkan bagaimana kalimat itu digunakan dalam

konteksnya. Di samping itu, dengan lahirnya pemikiran Austin dan Searle tentang

teori tindak tutur (speech act), analisis bahasa berubah dari analisis bentuk-bentuk

bahasa ke analisis fungsi-fungsi bahasa dan pemakaiannya dalam komunikasi.

Selanjutnya Purwo (1990:214) menyatakan bahwa istilah pragmatik itu sendiri

lahir dari filsuf Charles Morris yang mengolah kembali pemikiran para filsuf

pendahulunya mengenai ilmu tanda dan lambang yang disebut semiotik. Oleh Morris,

semiotik dibagi menjadi tiga cabang, yaitu semantik, sintaksis, dan pragmatik. Senada

dengan pendapat tersebut, Rustono (1999:1), menyatakan bahwa pragmatik

merupakan cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan penafsirannya.

Dengan kata lain, pragmatik merupakan bagian ilmu tanda atau semiotik. Kekhasan

bidang ini adalah penafsiran atas tanda atau bahasa. Kekhasan bidang ini tidak sama

125

dengan kekhasan bidang sintaksis dan semantik sebagai bagian semiotik lain. Pada

bidang sintaksis kajian dikhususkan pada relasi formal tanda, sedangkan kajian pada

bidang semantik pada relasi antara tanda dan objek yang diacunya.

Menurut Leech (1983:5-7), perbedaan antara pragmatik dan semantik

berkenaan dengan tiga hal pokok, yaitu:

1. Pragmatik mempelajari maksud tuturan, yaitu untuk apa tuturan itu diekspresi,

sedangkan semantik membahas makna (makna kata dan makna kalimat).

2. Pragmatik berupaya mencari jawaban atas pertanyaan apakah yang dimaksudkan

dengan X, sedangkan semantik berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan

apakah makna X.

3. Pragmatik memperhatikan “makna” dalam kaitannya dengan siapa berbicara

kepada siapa, bagaimana, kapan, di mana, dalam situasi apa; sedangkan semantik

memberikan perhatian pada makna dengan tidak mengacu kepada siapa yang

mengekspresi kalimat itu dan kepada fungsi komunikatif kalimat itu. Gunarwan

(1994:40) menyatakan bahwa perbedaan ketiga itu berimplikasi bahwa makna

dalam semantik ditentukan oleh koteks (co-text), sedangkan “makna” dalam

pragmatik ditentukan oleh konteks.

Selanjutnya, terkait dengan perbedaan dan hubungan antara pragmatik dan

semantik, ada tiga pendapat, yaitu (1) pragmatik dan semantik itu berbeda tetapi

saling melengkapi atau bersifat komplementerisme, (2) semantisme, dan (3)

pragmatisme. Di dalam semantisme dominasi ada pada semantik, sedangkan dalam

pragmatisme dominasi itu ada pada pragmatik. Ketiga pendapat itu dapat

digambarkan dengan diagram berikut.

Berbeda dari pragmatik dan semantik, sintaksis mempelajari relasi formal

antartanda dalam suatu bangun kalimat. Satuan sintaksis itu meliputi frasa, klausa,

semantisisme

semantisisme komplementerisme pragmatisme

semantik

pragmatik

semantik

pragmatik (pragmatik)

semantik

126

dan kalimat. Perbedaan pragmatik, semantik, dan sintaksis dapat pula dilakukan atas

dasar satuan analisisnya. Satuan analisis pragmatik adalah tuturan sebagai hasil tindak

tutur. Makna merupakan satuan analisis semantik. Adapun, satuan analisis sintaksis

adalah kalimat.

Levinson (1983:9) mengemukakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang

deiksis, praanggapan, implikatur, tindak tutur, dan aspek-aspek tutur wacana. Berikut

adalah paparan dari aspek-aspek dalam kajian pragmatik tersebut.

C. Deiksis

Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang

hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan

(Alwi, 1998:42). Menurut Nababan (1987:40), deiksis ada lima macam yaitu deiksis

orang, tempat, waktu, wacana, dan sosial.

Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa.

Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok

yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kami, dan kita.

2. Orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau

lebih yang bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, dan saudara.

3. Orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada oarng yang bukan pembicara atau

pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.

Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam

peristiwa tutur, misalnya:

(1) Sebaiknya kamu menunggu sambil duduk-duduk di sini.

(2) Di sini menerima santri untuk menghafal Al-Quran.

(3) Di sini sudah membudaya wanita berjilbab.

Frasa di sini pada kalimat (1) mengacu pada tempat duduk bisa berupa kursi,

sofa, balai-balai, atau lainnya. Pada kalimat (2) acuannya lebih luas, yakni suatu

lembaga pendidikan atau pesantren. Pada kalimat (3) acuannya lebih luas lagi, yakni

wilayah desa, atau kecamatan, atau wilayah yang lebih luas lagi.

Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang

dimaksudkan penutur dalam peristiwa tutur, misalnya:

127

(1) Kita harus salat berjamaah sekarang.

(2) Sekarang sedang musim kemarau.

(3) Sekarang tindak pidana korupsi terjadi hampir di semua lembaga negara,

baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Pada kalimat (1) sekarang merujuk ke jam atau bahkan menit. Pada kalimat

(2) cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu atau bulan lalu, bulan ini,

dan beberapa bulan mendatang. Pada kalimat (3) cakupannya lebih luas lagi, mungkin

berbulan-bulan dan bahkan bisa bertahun-tahun.

Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang

telah diberikan atau sedang dikembangkan. Deiksis wacana meliputi anafora dan

katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan

sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah

penunjukan kepada sesuatu yang disebut kemudian (Cahyono, 1995:218).

Sementara itu, Alwi (1998:43) menyatakan bahwa anafora adalah peranti

dalam bahasa untuk membuat rujuk silang dengan hal atau kata yang telah dinyatakan

sebelumnya. Peranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia, mereka, nomina

tertentu, konjungsi, keterangan waktu, alat, dan cara. Contohnya sebagai berikut.

(1) Pak Ahmad belum menunaikan ibadah haji, padahal dia orang yang kaya

raya.

(2) Pada tahun 1998 dimulai Era Reformasi di Indonesia. Waktu itu terjadi

unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan para mahasiswa. Mereka

menuntut agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Pada contoh (1) kata dia beranafora dengan Pak Ahmad. Pada contoh (2) frasa

waktu itu dan tahun 1998 pada kalimat sebelumnya mempunyai hubungan anaforis.

Demikian pula, kata mereka dan frasa para mahasiswa.

Kebalikan dari anafora adalah katafora, yakni rujuk silang terhadap anteseden

yang ada di belakangnya, misalnya:

(1) Setelah dia masuk Islam, Maria merasa hidupnya lebih tenteram.

(2) Setelah mereka dinyatakan lulus ujian nasional, para siswa melakukan

sujud syukur bersama.

128

Salah satu interpretasi dari kalimat tersebut ialah bahwa dia merujuk pada

Maria meskipun ada kemungkinan interpretasi lain. Demikian pula, mereka merujuk

ke para siswa. Gejala pemakaian pronomina seperti dia yang merujuk pada anteseden

Maria, atau mereka yang merujuk ke para siswa yang berada di sebelah kanannya

inilah yang disebut katafora.

Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan

kemasyarakatan yang memengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu

dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam masyarakat Jawa, pada umumnya

digunakan etiket bahasa, yaitu pemilihan tingkatan bahasa yang menurut kedudukan

sosial pembicara, pendengar, atau orang yang dibicarakan. Misalnya, verba yang

sepadan dengan tidur dapat dinyatakan dengan turu, tilem, sare, yang berentangan

dari tingkatan kesopanan berbahasa dari paling rendah hingga paling tinggi

(Cahyono, 1995:219).

D. Praanggapan

Ketika seorang penutur menggunakan deiksis seperti di sini, dalam situasi

biasa, dia mengasumsikan bahwa si pendengar mengetahui lokasi yang dimaksudkan.

Secara lebih umum, penutur selalu merancang pesan-pesan linguistiknya berdasarkan

asumsi-asumsi tentang sesuatu yang sudah diketahui oleh pendengar. Tentu saja

asumsi itu dapat salah, tetapi asumsi-asumsi itu mandasari banyak hal dari yang kita

katakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari.

Menurut Cahyono (1995:219), apa yang diasumsikan penutur seperti hal yang

benar atau hal yang diketahui pendengar dapat disebut sebagai praanggapan

(presupposition). Stalnaker (1978:321) menyatakan bahwa praanggapan adalah apa

yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Senada

dengan Stalnaker, Palmer (1989:51) menyatakan bahwa praanggapan berupa andaian

penutur bahwa mitra tutur (kawan bicara) dapat mengenal secara pasti orang atau

benda yang yang diperbincangkan.

Tuturan (1) dan (2) berikut mempraanggapkan tuturan lain.

(1) Aji membaca majalah Hidayatullah.

(2) Menantu kepala desa itu sangat giat berdakwah.

129

Tuturan yang dipraanggapkan oleh tuturan (1) dan (2) tersebut masing-masing adalah

tuturan (3) dan (4) berikut ini.

(1) (Ada majalah Hidayatullah.)

(2) Kepala desa itu mempunyai menantu.)

Dengan kata lain, tuturan (3) dan (4) masing-masing merupakan praanggapan dari

tuturan (1) dan (2).

E. Implikatur

Levinson (1983:97) menyatakan bahwan implikatur (implicature) yang

disebut juga implikatur percakapan (konvensasional implicature) merupakan konsep

yang cukup penting dalam kajian pragmatik karena empat hal berikut.

1. Konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak

terjangkau oleh teori linguistik.

2. Konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang

dikatakan secara lahiriah. Misalnya, pertanyaan tentang waktu dapat dijawab

tidak dengan menyebutkan waktunya secara langsung tetapi dengan penyebutan

peristiwa yang biasa terjadi pada waktu tertentu. Perhatikan contoh berikut

(a) Sekarang jam berapa?

(b) Saya sudah salat Maghrib.

Tampaknya kedua kalimat tersebut tidak berkaitan secara konvensional. Namun

pembicara (b) sudah mnegetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah

cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara (a), karena ia sudah mengetahui

bahwa waktu salat Maghrib hambir habis.

3. Konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik,

contohnya:

(a) Mungkin Umar berjodoh dengan Delisa.

(b) Mungkin Umar berjodoh dengan Delisa dan mungkin pula Umar tidak

berjodoh dengan Delisa.

Berdasarkan kajian implikatur, kalimat (a) telah mengandung pengertian

sebagaimana yang terkandung dalam kalimat (b). Selain strurturnya, isi dalam

kalimat (b) itu dapat dinyatakan secara lebih sederhana.

130

4. Konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat.

Misalnya, ujaran dia rajin yang berarti kebalikannya. Cara kerja metafora dan

peribahasa dapat dijelaskan oleh konsep implikatur.

Grice (1975:43) mengemukakan bahwa implikatur adalah implikasi pragmatis

yang terdapat dalam percakapan yang tim bul sebagai akibat terjadinya pelanggaran

prinsip percakapan. Sejalan dengan batasan tentang implikasi pragmatis, implikatur

itu adalah proposisi atau pernyataan implikatif, yakni apa yang mungkin diartikan,

disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya

dikatakan oleh penutur dalam suatu percakapan. Relatif sama dengan pendapat Grice

tersebut, Mey (1994:99) menyatakan bahwa implikatur itu merupakan sesuatu yang

tersirat dalam suatu percakapan, yakni sesuatu yang dibiarakan implisit dalam

penggunaan bahasa secara aktual.

Selanjutnya, terkait dengan kajian implikatur, Gunarwan (1994:52)

mengemukakan tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni (1) implikatur bukanlah

merupakan bagian tuturan, (2) implikatur bukanlah akibat logis tuturan, dan (3) ada

kemungkinan sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan itu bergantung

pada konteksnya.

F. Tindak Tutur

1. Pengertian Tindak Tutur

Tindak tutur (speech act) merupakan entitas yang sangat penting dalam kajian

pragmatik. Pentingnya tindak tutur dalam kajian pragmatik itu tampak dalam

perannya bagi analisis topik pragmatik lain, seperti praanggapan, perikutan,

implikatur percakapan, dan sebagainya. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan

analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik yang sebenarnya.

Alasan ditampilkannya istilah tindak tutur adalah bahwa ketika mengucapkan

ekspresi, pembicara tidak hanya mengatakan sesuatu dengan mengucapkan ekspresi

itu, tetapi juga ’menindakkan’ (melakukan) sesuatu. Dengan kata lain, mengujarkan

sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan, di sampingkan memang

mengucapkan tuturan itu (Rustono, 1999:32).

131

2. Jenis-jenis Tindak Tutur

a. Konstatif dan Performatif

Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya

dapat diuji--benar atau salah--dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.

Misalnya tuturan, ”Masjid Raya Darul ’Amal ada di sebelah barat lapangan Kota

Salatiga.” Tuturan tersebut dapat diterima atau ditolak berdasarkan pengetahuan yang

dimiliki. Jika diterima, berarti tuturan tersebut benar, dan sebaliknya.

Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk

melakukan sesuatu. Atau, tuturan yang merupakan tindakan melakukan sesuatu

dengan memmbuat tuturan itu. Berkaitan dengan tuturan performatif, tidak dapat

dikatakan bahwa tuturan itu benar atau salah. Misalnya (1) ”Apa pun resikonya, saya

bertekad menjadi pendakwah agama Islam”; (2) ”Saya akan rajin Tahajjud”; dan (3) ”

Saya namai masjid ini Darut Tauhid.”

b. Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

Lokusi atau tindak lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk

menyatakan sesuatu. Dalam lokusi tidak dipermasalahkan maksud atau fungsi tuturan

itu. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan lokusi adalah apakah makna tuturan

yang diucapkan itu. Tuturan, ”Lantai kotor” yang mengacu kepada makna lantai

’bagian bawah dalam rumah’ dapat berupa tanah atau keramik dan kotor ’tidak

bersih’, tanpa dimaksudkan untuk menyuruh orang lain untuk membersihkannya.

Ilokusi atau tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu. Berbeda dari

lokusi, tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau

daya tuturan. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan tindak ilokusi adalah

”Untuk apakah tuturan itu dilakukan?” dan bukan ”Apakah makna tuturan yang

diucapkan itu?” Tuturan, ”Lantai kotor” yang dimaksudkan untuk menyuruh agar

lantai dibersihkan merupakan tuturan ilokusi. Alasannya adalah tuturan itu

mengandung suatu maksud, yaitu meminta agar lantai dibersihkan.

Perlokusi adalah efek atau pengaruh yang dihasilkan dengan mengujarkan

sesuatu. Efek tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja maupun tidak

sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengruhi mitra

tutur inilah yang merupakan perlokusi. Tuturan, ”Tidak lama lagi harga ayam akan

132

turun.” yang disampaikan kepada peternak ayam yang masih memiliki stok ayam

yang banyak merupakan tindak perlokusi. Oleh karena tuturan tersebut

mempengaruhi para petani itu, yaitu mereka menjadi ketakutan jika stok ayamnya

tidak segera dijual.

c. Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklarasi

Searle (1969) mengategorisasikan tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu

representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Tindak tutur

representatif/asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran

atas apa yang diujarkannya. Termasuk dalam jenis tindak tutur ini adalah tuturan-

tuturan memberikan, menyatakan, menunjukkan, menyebutkan melaporkan mengakui,

dan sebagainya.

Tindak tutur direktif/impisiotif adalah tindak tutur yang dimaksudkan

penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu.

Termasuk dalam jenis tindak utur ini adalah tuturan-tuturan memerintah, memaksa,

menagih, mengajak, menantang, dan sebagainya.

Tindak tutur ekspresif/evaluatif adalah tindak tutur yang dimaksudkan

penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan

dalam tuturan itu. Tuturan-tuturan menyalahkan, memuji, mengkritik, mengeluh,

mengucapkan terima kasih adalah termasuk dalam jenis tuturan ini.

Tindak tutur komisif adalah adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya

untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam tuturannya. Termasuk dalam tuturan

ini adalah mengancam, berjanji, bersumpah, menawarkan, menyatakan kesanggupan,

dan sebagainya.

Tindak tutur deklarasi/isbati adalah tindak tutur yang dimaksudkan

penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.

Memaafkan, mengabulkan, memutuskan, membatalkan, mengampuni, dan sebagainya

adalah termasuk jenis tuturan deklarasi.

d. Vernakuler dan Seremonial

Berdasarkan kelayakan pelakunya, Fraser (1974) membedakan dua jenis

tindak tutur, yakni vernakuler dan seremonial. Tindak tutur vernakuler adalah tindak

tutur yang dapat dilakukan oleh semua anggota masyarakat tutur, misalnya meminta,

133

memuji, dan mengucapkan terima kasih. Sementara itu, tindak tutur seremonial

adalah tindak tutur yang dilakukan seorang yang berkelayaan untuk hal yang

dituturkannya, misalnya memutuskan perkara, membuka sidang, berkhutbah,

menikahkan, dan sebagainya.

G. Konteks dan Situasi Tutur

1. Konteks

Gagasan tentang konteks sangat penting bagi kajian pragmatik. Ditinjau dari

sifatnya, konteks merupakan konsep yang luas yang melibatkan unsur fisik,

linguistik, epistemis, dan sosial (Cummings, 2010:37). Ada dua jenis konteks yang

perlu dipahami, yaitu konteks linguistik (ko-teks) dan konteks fisik.

Ko-teks suatu kata merupakan sekelompok kata-kata lain yang digunakan

dalam frasa atau kalimat yang sama.. Ko-teks memiliki pengaruh kuat pada

penafsiran makna kata yang kita ucapkan. Misalnya, kata tanggal sebagai homonim

dalam kalimat, ”Pada tanggal lima giginya tanggal lima.” Kata tanggal yang pertama

yang didahului kata pada tentu tidak tepat jika dimaknai ’lepas’. Demikian pula, kata

tanggal yang kedua yang didahului kata giginya tentu tidak benar kalau dimaknai

’kalender’.

Selanjutnya, tentang konteks fisik. Apabila Anda melihat pertandingan

olahraga tinju dan reporter mengatakan, ”Saudara-saudara, kini lihatlah pertarungan

sengit antara kedua petinju yang sedang baku hantam.” Tentu, makna kata baku yang

diucapkan reporter tersebut bermakna ’saling’, bukan ’standard’. Pengucapan kata

baku dapat ditafsirkan menurut konteks pengucapannya. Dengan demikian,

pemahaman kita tentang sesuatu yang dibaca atau didengar terkait erat dengan waktu

dan tempat kita menemui pernyataan-pernyataan linguistik.

Konteks, menurut Cahyono (1995:215), juga berhubungan dengan situasi tutur

(speech situation). Misalnya, dalam situasi melayat di rumah orang meninggal,

pembicaraan orang yang ada di tempat itu pasti berbeda dengan pembicaraan orang-

orang yang ada di tempat resepsi pernikahan atau pesta. Berbagai bentuk percakapan

dapat berlangsung secara bersama-sama pada pesta yang sama, masing-masing

disebabkan oleh adanya satu peristiwa tutur (speech event) atau lebih. Yang dimaksud

134

peristiwa tutur ialah satuan struktur linguistik terbesar yang ditentukan oleh norma

dan kaidah tertentu.

Adapun unsur-unsur konteks itu ialah pembicara, pendengar, pesan,

latar/situasi, saluran, dan kode (Stubbs, 1984:46). Pembicara dan pendengar adalah

peserta dalam peristiwa tutur. Dalam hubungannya dengan peserta percakapan itu,

faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa tutur antara lain jumlah peserta,

penggunaan sapaan, status, dan peranan sosial. Sementara itu, pesan atau topik

memiliki dua komponen, yaitu bentuk pesan dan isi pesan. Bentuk pesan (message

form) ialah cara bagaimana kita mengungkapkan sesuatu. Bentuk tersebut bermacam-

macam tergantung pada situasi. Isi pesan (message content) ialah apa yang kita

katakan. Selanjutnya, latar (setting) atau situasi tidak hanya berkaitan dengan tempat

dan waktu saja, tetapi juga menyangkut konsep abstrak yang disebut adegan. Lalu,

tentang saluran (channel) dapat diuraikan sebagai berikut. Pengucapan ujaran pada

umumnya disertai dengan tingkah laku nonverbal yang disebut para bahasa (para

language), yang mencakup gerak anggota tubuh, modulasi suara, raut muka,

sentuhan, dan jarak. Adapun kode mengacu ke bahasa yang digunakan oleh

pembicara untuk menyampaikan pesan, yang dapat berupa bahasa baku, dialek,

jargon, dan ragam bahasa tertentu.

Secara lebih terurai, pembicaraan mengenai konteks dapat dipaparkan sebagai

berikut. Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud.

Sarana itu meliputi dua macam, yaitu ko-teks (co-tex) dan konteks (contex). Yang

pertama berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud dan yang

kedua berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian.

Konteks terdiri atas unsur-unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu,

tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat

sebagai unsur konteks antara lain dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan,

pengumuman. Kode menyangkut ragam bahasa yang digunakan, apakah ragam

bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah, atau bahasa daerah. Sementara

itu, unsur konteks yang berupa sarana adalah wahana komunikasi yang dapat

berwujud pembicaraan bersemuka atau melalui telepon, surat, dan televisi (Alwi,

1998:421).

135

Dalam peristiwa tutur ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan

peristiwa itu. Menurut Hymes (1968) dalam Rustono (1999:20), faktor-faktor itu

berjumlah delapan, yakni : (1) setting atau scene yaitu tempat dan suasana peristiwa

tutur; (2) participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain; (3) end atau tujuan;

(4) act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur; (5) key, yaitu

nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam mengekspresi tuturan dan cara

mengekspresinya; (6) instrument, yaitu alat atau sarana untuk mengekspresi tuturan,

apakah secara lisan, tulis, melalui telepon atau bersemuka; (7) norm atau norma, yaitu

aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur; dan (8) genre, yaitu

sejenis kehiatan seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Konfigurasi

fonem awal nama kedelapan faktor itu membentuk kata speaking.

Menurut Lubis (1993:85), mengetahui penutur di dalam suatu peristiwa tutur

memudahkan interpretasi maksud tuturan. Makna tuturan, “Rapatkan barisan!” tidak

jelas tanpa diketahui penuturnya. Jika tuturan itu diekspresi oleh para pemimpin

organisasi atau pemimpin ummat, maksud tuturan itu adalah untuk meningkatkan

soliditas organisasi/ummat. Akan tetapi, jika penuturnya komandan barisan atau

imam jamaah salat tentu maksudnya adalah untuk merapatkan dan merapikan barisan

pasukan atau shaf orang-orang yang akan menunaikan salat secara berjamaah.

Mitra tutur juga merupakan aspek yang penting di dalam penelusuran maksud

suatu tuturan dalam peristiwa tutur. Pengetahuan tentang mitra tutur dapat

memperjelas maksud tuturan. Perbedaan mitra tutur menyebabkan perbedaan tafsiran

maksud tuturan. Ekspresi jauh dan berat memiliki tafsiran yang berbeda secara

bertahap menurut usia manusia. Maksud jauh bagi mitra tutur dengan usia anak-anak

tidak sama dengan maksud tuturan ibu bagi mitra tutur dewasa. Bejalan satu

kilometer jauh bagi anak-anak. Hal itu tidak berlaku bagi mitra tutur dewasa. Bagi

mitra tutur ini berjalan lima belas kilometer baru jauh. Hal yang sama terjadi pada

tafsiran tuturan berat. Berat bagi mitra tutur anak-anak jauh berbeda dari berat bagi

mitra tutur dewasa (Rustono, 1999:21-22)

Topik tuturan, yaitu pokok persoalan yang dibicarakan dalam suatu peristiwa

tutur, merupakan ciri konteks yang penting pula. Topik tuturan menjadi sarana

pemetaan maksud tuturan. Tuturan, “Apakah artikel itu?” memiliki makna yang

136

berbeda-beda sesuai dengan lingkup topik tuturannya. Dalam lingkup topik morfologi

(cabang ilmu bahasa yang membahas bentuk-bentuk kata), tuturan itu berkenaan

dengan kata sandang misalnya si dan sang. Sementara itu, dalam lingkup topik

karangan, tuturan itu bermakna sejenis makalah atau paper.

Waktu dan tempat bertutur yang berfungsi sebagai latar peristiwa tutur

merupakan ciri konteks yang lain. Dengan mengetahui latar, maksud sebuah tuturan

dapat mudah dipahami. Latar yang tidak jelas menjadikan penafsiran maksud tuturan

menjadi sulit. Selain soal waktu dan tempat bertutur, latar juga berkenaan dengan

hubungan penutur dan mitra tutur, gerak-gerik tubuh penutur, serta roman muka

penutur.

Ciri konteks yang selanjutnya adalah saluran atau media. Yang dimaksud

dengan saluran atau media adalah wahana pengungkapan ekspresi. Atas dasar

caranya, pengungkapan ekspresi itu dapat secara lisan dapat pula secara tulis. Di

dalam beberapa hal maksud tuturan lisan lebih mudah ditangkap daripada tuturan

tulis. Hal itu terjadi karena tuturan lisan dapat disertai peranti komunikasi lain seperti

sasmita dan ekspresi roman muka. Dengan menggunakan tanda baca yang tepat,

pengungkapan maksud ekspresi tulis dapat dilakukan dengan jelas.

Kode merupakan ciri konteks berikutnya. Dalam pembicaraan ini kode berarti

jenis bahasa. Peristiwa tutur yang memakai saluran atau media lisan dapat memilih

salah satu dialek bahasa yang digunakan. Ketepatan pilihan dialek dapat memperjelas

maksud tuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di antara orang-orang Boyolali di suatu

tempat tentu terasa tepat dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Boyolali. Hal yang

sebaliknya terjadi jika dialek yang dipilih dialek Tegal.

Ciri konteks yang selanjutnya adalah amanat atau pesan. Amanat atau pesan

adalah sesuatu yang hendak disampaikan. Pengungkapan amanat hendaknya

diupayakan sedemikian rupa sehingga mitra tutur atau pihak lain dapat mudah

menangkapnya. Kondisi mitra tutur menjadi acuan dalam upaya memperoleh

ketepatan penyampaian pesan. Jika mitra tutur itu bersifat umum, bentuk amanat yang

disampaikannya pun hendaknya umum. Sebaliknya, jika mitra tuturnya khusus

bentuk pesan yang diungkapkan hendaknya bersifat khusus.

137

Peristiwa atau kejadian menjadi ciri konteks yang terakhir. Peristiwa tutur itu

bermacam-macam, bergantung pada tujuannya. Setiap peristiwa tutur itu memiliki

cara penuturan tertentu. Peristiwa tutur memberikan nasihat tentang pemanfaatan

sampah plastik, ekspresinya berbeda dari peristiwa tutur wawancara tentang cara

membina remaja. Penuturan khatib di depan jamaah salat Jumat tidak sama dengan

penuturan penceramah dalam resepsi pernikahan.

2. Situasi Tutur

Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan

dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur

merupakan sebabnya. Dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Tuturan

orang bermimpi saja ada situasi tuturnya. Hanya saja situasi tutur orang bermimpi itu

ada dalam kepala orang yang bermimpi. Orang-orang disekitarnya tidak dapat

menangkapnya.

Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud

tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang

mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengkalkulasi situasi tutur

merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai. Pertanyaan

apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis ataukah fenomena semantis

dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur itu. Komponen-

komponen situasi tutur menjadi kriteria penting dalam menentukan maksud suatu

tuturan.

Situasi tutur itu mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan mitra tutur,

tujuan, konteks, tindak tutur sebagai suatu tindakan, dan tuturan sebagai produk

tindak verbal. Kelima komponen itu menyusun suatu situasi tutur di dalam peristiwa

tutur atau speech event. Dalam praktik, mungkin saja komponen situasi tutur itu

bertambah. Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur itu antara lain

waktu dan tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki

maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan

(Rustono, 1999:29).

138

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Aminuddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya

Sastra.Semarang: IKIP Press.

_________. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

_________. 2001. Semantik (Pengantar Studi Tentang Makna). Bandung: Sinar Baru

Algesindo.

Arifin. Zaenal dan Amron Tasai. 1985. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta:

Antarkota.

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi (ed. Dr. Wening Udasmoro). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Baryadi, I. Praptomo. 2007. Teori Ikon Bahasa: Salah Satu Pintu Masuk ke Dunia

Semiotika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga

Universty Press.

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Cummings, Louise. 2010. Pragmatik Klinis Kajian tentang Penggunaan dan Gangguan

Bahasa Secara Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Darbyshire, A.E. 1971. A Grammar of Style. London: Andre Deutsch.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Depdikbud.

De Saussure, Ferdinand. 1998. Pengantar Linguistik Umum (terjemahan: Rahayu S.

Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Finoza, Lamuddin. 2001. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan

Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia.

Fraser, Bruce. 1974. “An Analysis of Vernaculer Performative Verb” Mimio. Indiana

University Linguistics Club.

139

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung:

Eresco.

Ennis, Robert E. (ed.). 1985. Semiotics, An Introductory Anthology. Bloomington:

Indiana University Press.

Flower, Roger. 1987. A Dictionary of Modern Critical Terms. London and New York:

Roudledge & Kegan Paul.

Grice, H. Paul. 1975. “Logic and Conversation” dalam Cole, Peter dan J. Morgan (ed.)

Pragmatics: A. Reader. New York: Oxford University Press.

Hough, Graham. 1972. Style and Stylistics. London and Henley: Roudledge & Kegan

Paul.

Jabrohirn dkk. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Junus, Umar. 1989. Stilistik Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Kementerian Pendidikan Malaysia.

Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Krampen, Martin; Klaus Ochler; Roland Poshner; Thomas A. Sebcok; Thore von

Uexkull. 1987. Classics of Semiotics. New York & London: Plenum Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.

Jakarta:Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1988. “Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913) Bapak

Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme”, dalam de Saussure,

Pengantar Linguistik Umum (terjemahan: Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Larsen, S.E. 1994. “Semiotics” dalam R.E.Asher dan I.M.Y. Simpson (eds.). The

Encyclopedia of Language and Linguistics. Oxford: Pergamon Press.

_________. 2009. Semiotics (Terj. Sudaryanto). Klaten: Program Pascasarjana

Universitas Widya Dharma.

Leech, Geoffrey N. dan Michael H. Short. 1981. Style in Fiction, A Linguistic

Introduction to English Fictional Prose. London: Longman.

Levinson, S.C. 1983. The Grammar of Discourse. New York & London: Plenum Press.

Mey, Jacob L. 1994. Pragmatics: An Indrotuction. Oxford UK & Cambridge USA:

Blackwell.

140

Murry, J. Middleton. 1956. The Problem of Style. London: Oxford University Press.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud.

Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indiana Polis: Indiana

University Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 1993. "Stile dan Stilistika" dalam Diksi. No. I Th. l.

Yogyakarta: Gadjah Mada University press.

_________.1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Palmer, F.R. 1989. Semantik. Terj. Semantics (1981). Second Edition. Cambridge

University Press oleh Abdullah Hassan. Kualalumpur: University Sains

Malaysia.

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Pong Masak, Tanete. 1992. “Semiotika dalam Sinematografis: “Teori Film” Christian

Metz”, disampaikan dalam Seminar Semiotika, Jakarta 21-22 Desember 1992.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis

Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Propp, Wladimir J. 1968. The Morphology of the Folk Tale. Austin: University of Texas

Press.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta:

Kanisius.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rimmon-Kenan, Shlomith. 1983. Narrative Fiction: Contemporary Poetics. London and

New York: Methuen.

Searle, J.R. 1969. Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press.

Stalnaker, R.C. 1978. “Assertion” dalam Cole (Ed.) Syntax and Semantics 9: Pragmatics.

New York: Academic Press.

Stubbs, Michael. 1984. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural

Language. Oxford: Basil Blackwell Publisher.

Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.

141

Sudaryanto. 1985. Linguistik, Esai tentang Bahasa dan Pengantar ke dalam Ilmu

Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

________ 1992. Metode Linguistik, Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

_______. 1994. Pemanfaatan Potensi Bahasa, Kumpulan Karangan Sekitar dan Tentang

Satuan Lingual Bahasa Jawa yang Berdaya Sentuh Inderawi. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

_______. 1995. Linguistik, Identitasnya, Cara Penanganan Objeknya, dan Hasil

Kajiannya. Yogyakarta: Yayasan Ekalawya bekerjasama dengan Duta Wacana

University Press.

_______ (ed.). 1991. Tatabahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press.

_______ 2008. “Serba Nilai Aneka Ikon Verbal dalam Bahasa Indonesia dan Jawa”

dalam Widyaparwa Vol. 36, No. 2.

Sudrajat, Iwan. 1992. “Perkambangan Semiotik dalam Arsitektur, Sebuah Tinjauan

Kritis”, disampaikan dalam Seminar Semiotik, Jakarta 21-22 Desember 1992.

Sukada, Budi A. 1992. “Utak-Utik Semiotik Tektonik”, disampaikan dalam Seminar

Semiotika, Jakarta 21-22 Desember 1992.

Sudjiman, Panuti, 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

_________. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Verhaar, J.M.W. 1985. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjahmada University

Press.

Van Zoest, Aart. 1991. “Interpretasi dan Semiotik”, dalam Serba-Serbi Semiotik,

penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (ed). Hlm. 1-5. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, Wahyu. 2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

142

143