F Pendekatan Dan Metodologi

93
F PENDEKATAN DAN METODOLOGI Metodologi pelaksanaan pekerjaan yang disajikan dalam bab ini merupakan garis besar rangkaian langkah kerja yang akan dilaksanakan oleh Konsultan untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Tiap tahap pekerjaan akan diberikan penjelasan secara garis besar. Seperti yang telah digariskan dalam Kerangka Acuan Kerja Pekerjaan “Manual Teknis Perencanaan Pantai”, perlu dirumuskan suatu metodologi sebagai langkah-langkah atau tahapan pelaksanaan pekerjaan. Penyusunan metodologi yang baik dengan mengkoordinasikan seluruh pekerjaan dan personil yang terlibat akan menentukan kesuksesan pekerjaan. Dalam Pekerjaan ini terdapat kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Pekerjaan persiapan yang meliputi beberapa kegiatan awal. b. Pengumpulan data sekunder dengan studi mengenai pengamanan pantai. c. Survey investigasi lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat maupun instansi terkait, mengenai kondisi dan karakteristik Sungai Balantieng. d. Penyusunan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai. e. Kegiatan Workshop dan Lokakarya f. Pelaporan dan diskusi. Seluruh kegiatan dalam pekerjaan ini akan dilaksanakan selama 6 bulan, dengan melibatkan dukungan dari tim Konsultan yang akan mendukung kegiatan pengumpulan dan analisis data. Agar dapat memenuhi tenggat waktu yang tersedia dengan tetap menjaga kualitas hasil pekerjaan maka kegiatan-kegiatan di atas oleh Konsultan dijabarkan dalam tahapan-tahapan USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-1

Transcript of F Pendekatan Dan Metodologi

Page 1: F Pendekatan Dan Metodologi

FPENDEKATAN DAN

METODOLOGI

Metodologi pelaksanaan pekerjaan yang disajikan dalam bab ini merupakan garis besar rangkaian langkah kerja yang akan dilaksanakan oleh Konsultan untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Tiap tahap pekerjaan akan diberikan penjelasan secara garis besar.

Seperti yang telah digariskan dalam Kerangka Acuan Kerja Pekerjaan “Manual Teknis Perencanaan Pantai”, perlu dirumuskan suatu metodologi sebagai langkah-langkah atau tahapan pelaksanaan pekerjaan. Penyusunan metodologi yang baik dengan mengkoordinasikan seluruh pekerjaan dan personil yang terlibat akan menentukan kesuksesan pekerjaan. Dalam Pekerjaan ini terdapat kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Pekerjaan persiapan yang meliputi beberapa kegiatan awal.

b. Pengumpulan data sekunder dengan studi mengenai pengamanan pantai.

c. Survey investigasi lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat maupun instansi terkait, mengenai kondisi dan karakteristik Sungai Balantieng.

d. Penyusunan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai.

e. Kegiatan Workshop dan Lokakarya

f. Pelaporan dan diskusi.

Seluruh kegiatan dalam pekerjaan ini akan dilaksanakan selama 6 bulan, dengan melibatkan dukungan dari tim Konsultan yang akan mendukung kegiatan pengumpulan dan analisis data. Agar dapat memenuhi tenggat waktu yang tersedia dengan tetap menjaga kualitas hasil pekerjaan maka kegiatan-kegiatan di atas oleh Konsultan dijabarkan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan pekerjaan seperti yang dijelaskan dalam sub bab-sub bab berikut ini.

F.1PEKERJAAN PERSIAPAN

Persiapan yang baik dan matang akan sangat menunjang pelaksanaan pekerjaan selanjutnya. Yang termasuk dalam kegiatan persiapan adalah:

a. Penyelesaian administrasi

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-1

Page 2: F Pendekatan Dan Metodologi

Administrasi yang harus dilengkapi antara lain adalah kontrak dan surat-surat untuk keperluan legalitas kegiatan pengumpulan data. Pelaksanaan pngurusan administrasi dimaksudkan untuk mempermudah kelancaran pekerjaan, terutama yang berkaitan dengan pengumpulan data. Pengurusan administrasi yang dilakukan terdiri dari:

Dokumen kontrak, Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), Surat Pengantar yang diterbutkan oleh pihak pemberi pekerjaan.

Surat pengantar dari pihak Konsultan untuk pelaksanaan pekerjaan survey lapangan.

Surat pengantar dari pihak Konsultan, guna mendapatkan data-data yang berhubungan dengan pekerjaan ini pada instansi yang terkait.

b. Koordinasi dengan instansi terkait

Sebelum memulai kegiatan pekerjaan di lapangan, Konsultan melakukan koordinasi dengan instansi pemberi tugas untuk menyamakan persepsi tentang maksud, tujuan, dan sasaran pekerjaan.

c. Penyusunan rencana dan jadwal kerja

Rencana kerja dengan tahapan dan penjadwalan yang jelas akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pekerjaan, terutama untuk pekerjaan yang sangat singkat waktu pelaksanaannya seperti pekerjaan ini.

d. Penyusunan Rencana Mutu Kontrak (RMK)

Kegiatan penyusunan RMK ini dilakukan sebagai langkah awal tahapan dalam pelaksanaan pekerjaan. Uraian dan isi RMK ini memuat kriteria pelaksanaan, metodologi pekerjaan, tahapan pelaksanaan, sistem koreksi, organisasi pelaksanaan dan jadwal inspeksi pekerjaan yang akan disepakati antara Konsultan dan direksi pekerjaan.

e. Identifikasi data

Identifikasi data bertujuan untuk mengetahui secara pasti jenis data yang diperlukan, data apa yang tersedia, data apa yang belum tersedia dan dimana memperolehnya. Dengan demikian pengumpulan data dapat lebih terfokus.

f. Mobilisasi sumberdaya

Mobilisasi ini meliputi kegiatan-kegiatan di bawah ini.

Mobilisasi personil, melalui rapat-rapat dan koordinasi.

Mempersiapkan dana operasi.

Mobilisasi peralatan, meliputi peralatan survey, transportasi dan lain-lain.

g. Persiapan Pekerjaan Kantor

Pekerjaan kantor adalah pekerjaan yang menyangkut pengolahan data, analisis data sekunder, dan pengurusan administrasi. Persiapan yang akan dilakukan untuk menangani pelaksanaan pekerjaan kantor disajikan di bawah ini.

Mengaktifkan seluruh personil yang terlibat dalam pekerjaan yaitu tenaga ahli dan tenaga penunjang pelaksanaan proyek.

Membuat jadwal penugasan personil, meliputi tugas masing-masing personil dilengkapi dengan jadwal pelaksanaannya.

Melakukan studi literatur mengenai materi-materi yang akan digunakan dalam perencanaan.

F.2PENGUMPULAN DATA SEKUNDER

Pengumpulan data adalah pekerjaan teknik pertama yang dilakukan oleh Konsultan setelah diselesaikannya pekerjaan persiapan. Yang dimaksud dengan pengumpulan

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-2

Page 3: F Pendekatan Dan Metodologi

data sekunder dalam pekerjaan ini adalah pengumpulan data dari berbagai instansi baik di Departemen Pekerjaan Umum pusat maupun di tempat lain.

Dalam hal data-data yang dibutuhkan berada di instansi lain di luar Pihak Pemilik Pekerjaan, surat pengantar dari Pemilik Pekerjaan sangat dibutuhkan untuk membantu memperlancar perolehan data yang dicari tersebut. Data sekunder yang perlu untuk dikumpulkan oleh Konsultan antara lain:

Kegiatan pengumpulan data sekunder memiliki 2 (dua) pokok pelaksanaan kegiatan, yaitu:

a. Kegiatan pengumpulan laporan hasil studi dan SID mengenai pengamanan pantai pada daerah dimana kasus-kasus permasalahan pengamanan pantai dianggap menonjol, seperti di daerah-daerah: Bali, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Barat.

b. Kegiatan pengamatan langsung di lapangan, untuk mendata dan menginvestigasi hasil-hasil pelaksanaan dari studi/SID yang sudah dilaksanakan, sekaligus untuk mendapatkan umpan balik dari pendekatan penanganan yang dilakukan.

Kegiatan pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan metodologi sebagai berikut:

a. Pengumpulan informasi mengenai kegiatan studi dan SID pengamanan pantai dari instansi-instansi pusat maupun propinsi.

b. Pengumpulan dokumen laporan hasil studi dan SID dari instansi-instansi pusat maupun propinsi.

c. Pendataan lokasi-lokasi yang telah memiliki pengamanan pantai.

d. Melakukan kunjungan studi dan investigasi di lokasi-lokasi pantai yang telah diamankan tersebut, untuk mengetahui hasil pengamanan yang telah dilakukan, baik dari narasumber pihak pemerintah daerah maupun masyarakat di sekitar lokasi pengamanan pantai.

Peralatan-peralatan yang akan digunakan pada pelaksanaan kegiatan pengumpulan data sekunder ini diantaranya:

a. Peralatan dokumentasi dan fotografi untuk merekam kondisi lapangan (video recorder/handycam dan kamera).

b. Peralatan pendataan dan pencatatan (kuisioner).

c. Peralatan pengumpulan data digital (file komputer, file peta ACAD, dan lain-lain) menggunakan mobile data storage.

d. Peralatan-peralatan pendukung lain yang diperlukan.

Daerah-daerah yang dipandang telah banyak melakukan pekerjaan studi dan SID serta konstruksi-konstruksi pengamanan pantai ditampilkan pada Gambar F.1 di bawah ini.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-3

Page 4: F Pendekatan Dan Metodologi

095

O O

100 O

105 O

110 O

115

120O O

125

S15O

S10O

5O

S

O13

0

O

0 N

5 NO

NO

10

800 200 400km

U

Gambar F.1 Contoh daerah-daerah tinjauan studi (propinsi yang diarsir).

F.3PENYUSUNAN MANUAL SURVEY LAPANGAN

F.3.1 Manual Survey Topografi Pantai

Survey topografi bertujuan untuk mendapatkan gambaran bentuk permukaan tanah yang berupa situasi dan ketinggian serta posisi kenampakan yang ada di areal lokasi pekerjaan beserta areal sekitarnya. Hasilnya kemudian akan dipetakan dengan skala dan interval kontur tertentu, yang akan digunakan dalam kegiatan-kegiatan analisa lebih lanjut di dalam perencanaan pantai.

Kerangka tahapan survey topografi yang akan diuraikan oleh Konsultan ke dalam sebuah manual dapat dilihat pada Gambar F.2.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-4

Page 5: F Pendekatan Dan Metodologi

START PEKERJAANSURVEY TOPOGRAFI

PERSIAPAN PERALATAN

Theodolite T.2 Theololite T.0 Meteran

Waterpass Rambu Ukur Formulir

ORIENTASI DAERAH PENGUKURAN

PEMASANGAN PATOK Bench Mark (BM) Control Point (CP) Patok Kayu

PENGUKURAN SITUASI TOPOGRAFI

KERANGKA VERTIKALKERANGKA HORIZONTAL PENGUKURAN SITUASIDETAIL

PENGOLAHAN DATA TOPOGRAFI

PENGGAMBARAN SITUASI DETAIL

PERHITUNGAN KETELITIAN DAN KOREKSI

PENGGAMBARAN FINAL

Gambar F.2 Bagan alir pelaksanaan kegiatan survey topografi.

Garis-garis besar Item-item kegiatan survey topografi tersebut akan dijelaskan oleh Konsutan sebagai berikut:

A. Persiapan Peralatan Survey

Peralatan yang dipergunakan dalam survey topografi antara lain meliputi:

i. Wild T-2 Theodolit

ii. Wild T-0 Theodolit

iii. Wild Nak.1 Waterpass

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-5

Page 6: F Pendekatan Dan Metodologi

iv. Rambu ukur

v. Meteran

vi. Formulir pencatatan

vii. Kalkulator

B. Orientasi Daerah Pengukuran

Orientasi lapangan merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum dilakukannya kegiatan survei lapangan. Kegiatan bertujuan:

Meninjau areal yang akan diukur.

Menentukan titik awal pengukuran (titik referensi), batas pengukuran dan lokasi BM.

Titik referensi untuk awal pengukuran adalah titik-titik yang sudah diketahui koordinatnya dan tingginya seperti Titik Triangulasi atau Titik Dopler atau titik-titik yang telah dipasang pada studi terdahulu sebagai acuan titik awal dari pengukuran, atau titik lainnya yang telah disetujui oleh Direksi.

C. Pembuatan dan Pemasangan Bench Mark dan Control Point

Secara umum kegiatan ini meliputi pekerjaan :

Pemasangan patok BM (Bench Mark) yang ada pada setiap rencana bangunan (setiap bangunan utama yang direncanakan akan mempunyai BM).

Mengukur kembali semua ketinggian patok BM yang dibuat (x,y,z) dan mengukur kembali BM eksisting.

Membuat daftar (register) BM lama dan baru serta membuat peta lokasi posisi ketinggiannya (x,y,z) serta sket peta lokasinya.

Contoh ketetapan Pemasangan Bench Mark (BM) dan patok kayu, adalah sebagai berikut :

Ukuran BM besar adalah 20 x 20 x 100 cm dan ditimbun tanah, dengan tinggi patok yang muncul di atas permukaan adalah 20 cm.

Ukuran BM kecil tanda azimuth, adalah 10 x 10 x 100 cm.

BM besar dipasang pada setiap titik simpul utama pada jalur poligon utama dan cabang, atau setiap luas areal ± 500 ha.

BM dipasang sebelum pelaksanaan pengukuran detail, dan ditempatkan pada lokasi yang aman, tanah dasar yang kokoh dan stabil, serta mudah dicari.

Setiap Bench Mark (BM) dan patok diberi nomor yang teratur, dibuat deskripsinya, yang dilengkapi dengan foto berwarna serta sketsa lokasi.

Patok CP dibuat dari kayu dengan ukuran 5 x 7 x 60 cm, dan ditanam 30 cm kedalam tanah.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-6

Page 7: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.3 Contoh standar konstruksi BM dan CP.

D. Pengamatan Azimut Astronomis

Untuk mengetahui arah/azimut awal dilakukan dengan pengamatan matahari yang dilakukan dengan menggunakan alat ukur Theodolite T2.

Tujuan dari pengamatan azimut ini adalah:

Sebagai koreksi azimuth guna menghilangkan kesalahan akumulatif pada sudut-sudut terukur dalam jaringan poligon.

Untuk menentukan azimuth/arah titik-titik kontrol/poligon yang tidak terlihat satu dengan yang lainnya.

Penentuan sumbu X dan Y untuk koordinat bidang datar pada pekerjaan pengukuran yang bersifat lokal/koordinat lokal.

Metode yang dilaksanakan pada pengamatan azimut astronomi ini adalah sebagai berikut:

1. Tempat pengamatan, titik awal (BM1).

2. Arahkan teropong ke matahari dalam kedudukan biasa.

3. Tempatkan tepi kiri bayangan matahari pada benang silang vertikal dengan memutar sekrup penggerak hulu horisontal dan vertikal. Dengan memutar diafragma maka diperoleh bayangan matahari yang jelas pada kertas tadah.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-7

40

2015

6520

100

Beton 1:2:3

Pasir dipadatkan

Pen kuningan

Tulangan tiang Ø10

Sengkang Ø5-15

Pelat marmer 12 x 12

20

1020

10

Ø6 cm

Pipa pralon PVC Ø6 cm

Nomor titik

Dicor beton

Dicor beton

7525

Benchmark Control Point

Page 8: F Pendekatan Dan Metodologi

4. Geser tepi atas bayangan matahari hingga menyentuh benang silang horisontal dengan cara memutar sekrup penggerak vertikal pada kedudukan I dan III (Gambar F.4).

5. Catat waktu pengamatan sampai satuan detik bersamaan dengan langkah No.1, 2 dan 3 selesai.

6. Catat sudut horisontal dan vertikal.

7. Putar balik teropong menjadi kedudukan luar biasa. Dengan cara yang sama ulangi langkah No. 1 – 5 untuk kedudukan II dan IV.

8. Arahkan teropong ke arah target dan baca sudut horisontal dalam keadaan biasa dan luar biasa sehingga diperoleh asimut sisi target dan alat.

9. Dari hasil pengamatan No. 1-7 dapat dihitung asimut geografis.

10. Dengan melihat metode pengamatan azimuth astronomis (T) adalah :

T = M + atau

T = M + ( T - M )

di mana:

T = Azimuth ke target.

M = Azimuth pusat matahari.

(T) = Bacaan jurusan mendatar ke target.

(M) = Bacaan jurusan mendatar ke matahari.

= Sudut mendatar antara jurusan ke matahari dengan jurusan ke target.

Dari hasil pengamatan diperoleh sejumlah harga asimut hasil hitungan. Asimut yang dipakai adalah hasil rata-rata dari asimut hasil hitungan.

Untuk kontrol hasil pengamatan asimut, maka hitungan salah satu penutup (standard error) dengan rumus:

= , di mana = salah penutup; V = residu

Gambar F.4 Posisi bayangan matahari pada kertas tadah.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-8

Kedudukan I Kedudukan II Kedudukan III Kedudukan IV

Page 9: F Pendekatan Dan Metodologi

MatahariUtara(Geografi)

P2(target)

P1

M

T

M

T

Gambar F.5 Pengukuran azimuth astronomis.

E. Penentuan Kerangka Dasar Horizontal

Tujuan pengukuran horisontal untuk mengetahui posisi setiap titik Bench Mark yang terpasang, dan memperoleh data kerangka horisontal sepanjang jalur yang dilalui.

Pengukuran Poligon Utama

Cara pengukuran poligon utama adalah sebagai berikut:

1. Poligon utama meliputi daerah yang dipetakan dan merupakan kring terbuka yang diikatkan pada titik referensi (reference point) yang telah ada di lapangan.

2. Jika poligon utama terlalu besar, dibagi dalam beberapa kring tertutup.

3. Poligon utama dibagi atas seksi-seksi dengan panjang maksimum tiap seksi 2,5 km.

4. Semua Bench Mark baik yang ada maupun baru harus dilalui poligon.

5. Pengukuran sudut poligon utama maksimum 10N, dimana N adalah banyaknya titik poligon utama.

6. Sudut vertikal dibaca dalam 1 (satu) seri dengan ketelitian sudut 2” (dua bacaan sudut).

7. Jarak diukur dengan pita ukur baja dan dikontrol dengan jarak optis dilakukan pulang pergi masing-masing 2 kali bacaan.

8. Alat ukur sudut yang digunakan adalah Theodolit T2 Wild dan pengukuran sudut dilakukan dengan titik nol yang berada (0, 45, 90 detik).

Pengukuran Sudut Jurusan

Sudut jurusan sisi-sisi poligon yaitu besarnya bacaan lingkaran horisontal alat ukur sudut pada waktu pembacaan ke suatu titik. Besarnya sudut jurusan ditentukan berdasarkan hasil pengukuran sudut mendatar di masing-masing titik poligon. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar F.6.

Berdasarkan Gambar F.6, besarnya sudut :

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-9

Page 10: F Pendekatan Dan Metodologi

ACAB

di mana:

= sudut mendatar.

AC = bacaan skala horisontal ke target kiri.

AB = bacaan skala horisontal ke target kanan.

Pembacaan sudut jurusan dilakukan dalam posisi teropong biasa dan luar biasa. Spesifikasi teknis pengukuran poligon adalah sebagai berikut:

A

B

C

AB

AC

Gambar F.6 Pengukuran sudut jurusan.

Pengukuran Poligon Cabang

Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

Poligon cabang harus dimulai dan diakhiri pada poligon utama.

Sisi-sisi poligon sama panjang.

Semua Bench Mark yang ada maupun yang baru dilalui poligon.

Pembacaan sudut jurusan poligon dilakukan dalam posisi teropong biasa (B) dan luar biasa (LB) dengan spesifikasi teknis sebagai berikut:

Jarak antara titik-titik poligon adalah 100 m.

Alat ukur sudut yang digunakan Theodolite T2 Wild.

Alat ukur jarak yang digunakan pita ukur 50 meter.

Jumlah seri pengukuran sudut 4 seri (B1, B2, LB1, LB2).

Karena pengukuran poligon dilakukan tertutup (loop) maka hasil ukuran sudut dan jarak harus memenuhi syarat geometris sebagai berikut:

Jumlah sudut (L) (n+2) x 180o (rumus sudut luar)

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-10

Page 11: F Pendekatan Dan Metodologi

Jumlah X (X) 0

Jumlah Y (Y) 0

Selisih sudut antara dua pembacaan 5” (lima detik).

Ketelitian jarak linier (KI) ditentukan dengan rumus berikut.

di mana: fx = jumlah X dan fy = jumlahY

Perhitungan terhadap data pengukuran kerangka dasar horisontal dilakukan dalam bentuk spreadsheet sehingga koreksi perhitungan dapat dilakukan dengan tepat dan merata. Hasil perhitungan tersebut diplot dalam bentuk gambar grafik poligon pengukuran.

F. Penentuan Kerangka Dasar Vertikal

Kerangka dasar vertikal diperoleh dengan melakukan pengukuran sipat datar pada titik-titik jalur poligon. Jalur pengukuran dilakukan terbuka , yaitu pengukuran dimulai dan diakhiri pada titik yang berbeda. Seluruh ketinggian di traverse net (titik-titik kerangka pengukuran) telah diikatkan terhadap BM.

Perhitungan tinggi menggunakan metoda beda tinggi (sifat datar) yaitu dilakukan dengan menghitung beda tinggi per seksi.

Ukuran waterpass dilakukan pergi pulang dalam setiap seksi dan benang dibaca lengkap (BA - BT - BB). Pengukuran pergi pulang dilakukan dalam satu hari, untuk menghindari kesalahan akibat refleksi

Pengukuran dilakukan dalam bentuk loop (kring tertutup) yang dibagi beberapa seksi.

Dalam ukuran pergi pulang didapat:

Beda tinggi pergi = H1

Beda tinggi pulang = H2

Jadi beda tinggi pada ukuran pergi pulang didapat:

Jarak pergi, didapat dari jumlah jarak belakang ditambah jarak muka, demikian pula jarak pulang. Salah penutup yang diizinkan : 10D (jarak rata-rata dalam km)

Pengolahan data hasil pengukuran lapangan terhadap kerangka dasar vertikal menggunakan spreadsheet sebagaimana kerangka horisontalnya. Hasil pengolahan tersebut mendapatkan data ketinggian relatif pada titik-titik patok terhadap Bench Mark acuan.

G. Pengukuran Situasi Detil

Pengukuran rinci/situasi dilaksanakan memakai metoda tachymetri dengan cara mengukur besar sudut dari polygon (titik pengamatan situasi) kearah titik rinci yang diperlukan terhadap arah titik polygon terdekat lainnya, dan juga mengukur jarak optis dari titik pengamatan situasi. Pada metoda tachymetri ini didapatkan hasil ukuran jarak dan beda tinggi antara stasiun alat dan target yang diamati.

Untuk menentukan tinggi titik B dari titik A yang telah diketahui koordinat (X, Y, Z), digunakan rumus sebagai berikut:

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-11

Page 12: F Pendekatan Dan Metodologi

Untuk menghitung jarak datar adalah tachymetri dengan rumus:

Dd = DO.Cos2

Dd = 100(Ba-Bb)Cos2

di mana:

TA = Titik tinggi A yang telah diketahui

TB = Titik tinggi B yang akan ditentukan

H = Beda tinggi antara titik A dan B

BA = Bacaan benang atas

BB = Bacaan benang bawah

BT = Bacaan benang tengah

TA = Tinggi alat

Do = Jarak optis

= sudut vertikal

Mengingat banyaknya titik-titik detail yang diukur, serta terbatasnya kemampuan jarak yang dapat diukur dengan alat tersebut, maka diperlukan titik-titik bantu yang membentuk jaringan poligon kompas terikat sempurna. Sebagai konsekuensinya pada jalur poligon kompas akan terjadi perbedaan arah orientasi utara magnetis dengan arah orientasi utara peta sehingga sebelum dilakukan hitungan, data azimuth magnetis diberi koreksi Boussole supaya menjadi azimuth geografis.

Hubungan matematik koreksi boussole (C) adalah :

C = g - m

di mana: g = Azimuth Geografis

m = Azimuth Magnetis

Pada pelaksanaannya kerapatan titik detail sangat tergantung pada skala peta yang dibuat, selain itu untuk keadaan tanah yang mempunyai perbedaan tinggi yang ekstrim dilakukan pengukuran lebih rapat. Hasil dari pengukuran berupa data ray dari masing-masing ruas dalam jalur poligon yang menyajikan ketinggian titik-titik tanah yang dipilih dan posisi bangunan yang dianggap penting.

Hasil perhitungan koordinat titik dalam tiap ray lalu diikatkan pada masing-masing patoknya sehingga didapatkan posisinya terhadap bidang referensi. Secara jelas titik-titik ini dapat dilihat pada gambar topografi yang memiliki skala rinci.

F.3.2 Manual Survey Batimetri

Survei batimetri atau pemeruman (sounding) dimaksudkan untuk mengetahui kondisi rupa bumi dasar perairan. Survei dilakukan dengan alat echosounder yang dilengkapi dengan GPS, sehingga survei dapat dilakukan dengan mudah walau lokasi yang disurvei meliputi cukup jauh dari garis pantai. Hasil dari survei batimetri ini diolah dan digabung dengan hasil survei topografi sehingga diperoleh peta darat-laut kawasan yang dikaji.

Metoda pelaksanaan survei batimetri ini digambarkan dalam uraian berikut ini.

1. Penentuan Jalur Sounding

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-12

Page 13: F Pendekatan Dan Metodologi

Jalur sounding adalah jalur perjalanan kapal yang melakukan sounding dari titik awal sampai ke titik akhir dari kawasan survei. Jarak antar jalur sounding tergantung pada resolusi ketelitian yang diinginkan.

Titik awal dan akhir untuk tiap jalur sounding dicatat dan kemudian di-input ke dalam alat pengukur yang dilengkapi dengan fasilitas GPS, untuk dijadikan acuan lintasan perahu sepanjang jalur sounding. Contoh jalur sounding pada suatu kawasan pengukuran dapat dilihat pada Gambar F.7.

Gambar F.7 Pergerakan perahu dalam menyusuri jalur sounding.

2. Peralatan Survei

Peralatan survei yang diperlukan pada pengukuran batimetri adalah:

i. Echo Sounder GPSMap dan perlengkapannya. Alat ini mempunyai fasilitas GPS (Global Positioning System) yang akan memberikan posisi alat pada kerangka horisontal dengan bantuan satelit. Dengan fasilitas ini, kontrol posisi dalam kerangka horisontal dari suatu titik tetap di darat tidak lagi diperlukan. Selain fasilitas GPS, alat ini mempunyai kemampuan untuk mengukur kedalaman perairan dengan menggunakan gelombang suara yang dipantulkan ke dasar perairan. Gambar alat ini disajikan pada Gambar F.8, sedangkan penempatan alat ini dan perlengkapannya pada perahu dapat dilihat pada Gambar F.9.

ii. Notebook. Satu unit portable computer diperlukan untuk menyimpan data yang di-download dari alat GPSMap.

iii. Perahu. Perahu digunakan untuk membawa surveyor dan alat-alat pengukuran menyusuri jalur-jalur sounding yang telah ditentukan. Dalam operasinya, perahu tersebut harus memiliki beberapa kriteria, antara lain:

Perahu harus cukup luas dan nyaman untuk para surveyor dalam melakukan kegiatan pengukuran dan downloading data dari alat ke komputer, dan lebih baik tertutup dan bebas dari getaran mesin.

Perahu harus stabil dan mudah bermanuver pada kecepatan rendah.

Kapasitas bahan bakar harus sesuai dengan panjang jalur sounding.

Papan duga. Papan duga digunakan pada kegiatan pengamatan fluktuasi muka air di laut.

Peralatan keselamatan. Peralatan keselamatan yang diperlukan selama kegiatan survei dilakukan antara lain life jacket.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-13

JALUR SOUNDING

DARAT

LAUT

Page 14: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.8 Reader alat GPSMap yang digunakan dalam survei batimetri.

ANTENA

SATELIT

READER

DASAR LAUT

TRANDUSER TRANDUSER

ANTENA

TAMPAK BELAKANGTAMPAK SAMPING

Permukaan Air Laut

Gambar F.9 Penempatan GPSMap (tranduser, antena, reader) di perahu.

F.3.3 Manual Survey Pengamatan Gelombang

Survei biasanya dilaksanakan selama 30 hari bersama dengan pelaksanaan survei pasang surut. Pengamatan gelombang ini dilaksanakan kala terang tanah dengan mengamati fluktuasi muka air melalui sebuah peilskal. Gelombang yang diamati merupakan gelombang yang sudah berada di pantai, di posisi pemasangan peilskal. Pengamatan dilakukan setiap satu jam sekali dengan cara mencatat fluktuasi muka air akibat gelombang (puncak dan lembah) serta mencatat periode gelombang yang bersangkutan (waktu yang diperlukan dari satu puncak gelombang ke puncak

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-14

Page 15: F Pendekatan Dan Metodologi

gelombang berikutnya) dengan menggunakan stopwatch. Setiap jam, pencatatan dilakukan sebanyak 3 kali, lalu ketiga angka hasil pencatatan ini dirata-rata.

F.3.4 Manual Survey Hidrometri

Cakupan survey hidrometri yang akan djelaskan oleh Konsultan dalam Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai, antara lain:

1. Survey pengamatan pasang surut.

2. Survey pengukuran kecepatan arus.

3. Survey pengambilan contoh sedimen.

Pejelasan umum tentang pelaksanaan survey tersebut diuraikan Konsultan berikut ini.

A. Pengamatan Pasang Surut

Hasil pengamatan pada papan peilschaal dicatat pada formulir pencatatan elevasi air pasang surut yang telah disediakan. Kemudian diikatkan (levelling) ke patok pengukuran topografi terdekat pada salah satu patok seperti Gambar F.10, untuk mengetahui elevasi nol peilschaal dengan menggunakan Zeiss Ni-2 Waterpass. Sehingga pengukuran topografi, Batimetri, dan pasang surut mempunyai datum (bidang referensi) yang sama.

Elevasi Nol Peilschaal = T.P + BT.1 – BT.2

di mana: T.P = Tinggi titik patok terdekat dengan peilschaal

BT.1 = Bacaan benang tengah di patok

BT.1 = Bacaan benang tengah di peilschaal

Patok

BT. 1BT. 2

Peilschaal

Gambar F.10 Pengikatan (levelling) peilschaal.

B. Pengukuran Kecepatan Arus

Tujuan pengukuran arus adalah untuk mendapatkan besaran kecepatan dan arah arus yang akan berguna dalam penentuan sifat dinamika perairan lokal. Metoda pelaksanaan pengukuran ini dijelaskan sebagai berikut:

i. Pengukuran arus dilakukan pada beberapa lokasi dimana arus mempunyai pengaruh penting. Penempatan titik pengamatan ini disesuaikan dengan kondisi oseanografi lokal dan ditentukan dari hasil studi pengamatan/survey pendahuluan (reconnaissance survey). Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran distribusi kecepatan, dalam hal ini pengukuran dilakukan di

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-15

Page 16: F Pendekatan Dan Metodologi

beberapa kedalaman dalam satu penampang. Berdasarkan teori yang ada, kecepatan arus rata-rata pada suatu penampang yang besar adalah:

V = 0.25 ( v0.2d + 2v0.6d + v0.8d)

di mana: v0.2d = arus pada kedalaman 0.2d

d = kedalaman lokasi pengamatan arus.

ii. Pengamatan kecepatan arus beserta arahnya dilakukan pada kedalaman 0.2d, 0.6d, 0.8d seperti yang ditampilkan pada Gambar F.11.

Di samping mengetahui besar arus, arah arus juga diamati.

Gambar F.11 Arus diukur pada tiga kedalaman laut.

C. Pengambilan Contoh Sedimen

Pekerjaan ini mencakup pengambilan contoh sedimen suspensi dan dasar. Peralatan pengambilan contoh air (sedimen suspensi) menggunakan satu unit botol yang dilengkapi dengan katup-katup pemberat. Botol yang digunakan, dimasukkan pada kedalaman yang dikehendaki di titik pengambilan sampel air. Sampel air yang didapat, disimpan dalam botol plastik untuk di tes di laboratorium.

Dalam pengambilan sampel air, terdapat dua metoda pengambilan yaitu grab sample dan composite sample. Grab sample adalah pengambilan sampel dilakukan dengan sekali ambil pada kedalaman tertentu. Sementara composite sample adalah pengambilan sampel pada kedalaman air yang berbeda dan kemudian digabung menjadi satu sampel. Metoda yang dipilih untuk diterapkan dalam pekerjaan ini adalah composite sample.

Pengambilan contoh sedimen layang dilakukan pada kedalaman yang sama dengan arus seperti yang ditampilkan pada Gambar F.12.

Sementara pengambilan sampel sedimen dasar menggunakan satu unit grabber yang diturunkan dengan kondisi “mulut” terbuka dengan mengulur tali hingga membentur tanah dasar laut/sungai. Saat tali ditarik kembali, secara otomatis mulut grabber akan menggaruk material di bawahnya hingga tertutup. Dengan demikian grabber yang telah memuat material dasar dapat ditarik ke atas. Sampel material dasar tersebut dimasukkan ke dalam wadah plastik yang diberi tanda untuk dites di laboratorium.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-16

perahu

dasar sungai/saluran

handset

currentmeter

0,2d; 0,6d; dan 0,8d

muka air sungai/saluran

pemberat

d

Dasar laut

Muka air laut

Page 17: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.12 Arus diukur pada tiga kedalaman laut.

F.3.5 Manual Survey Mekanika Tanah

Survey ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat fisik tanah yang akan dipakai pada rencana tanggul saluran, bangunan-bangunan air, pondasi jembatan, serta bangunan pelengkap lainnya yang diperlukan.

Standar yang digunakan dalam prosedur pengerjaan boring beserta peralatannya meliputi:

ASTM D-420-87; ”Standard Guide for Investigating and Sampling Soil and Rock”.

ASTM D-1452-80; ”Standard Practice for Soil Investigation and Sampling by Auger Borings”.

ASTM D-2488-84; ”Standard Practice for Description and Identification of Soil”.

ASTM D-1586-84; ”Standard Method for Penetration Test and Split Barrel Sampling of Soil”.

ASTM D-1587-83; ”Standard Practice for Thin Walled Tube Sampling of Soil”.

Dari hasil survey ini diharapkan akan didapat parameter-parameter:

Daya dukung tanah, yang diperlukan dalam disain pondasi dan tanggul saluran.

Kestabilan lereng, diperlukan dalam perhitungan tanggul saluran.

Penurunan tanah (settlement), dalam perhitungan tanggul dan bangunan.

Permeabilitas tanah dalam perhitungan bangunan, rembesan, dan sebagainya.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-17

Page 18: F Pendekatan Dan Metodologi

Selain yang tersebut di atas, setelah dianalisis di laboratorium hasil survey dapat memberikan saran atau usulan terhadap metode yang digunakan dalam disain rencana.

Tahapan kegiatan survey mekanika tanah yang akan diuraikan Konsultan dalam Manual Perencanaan Teknis Perencanaan Pantai dsajikan pada Gambar F.13 sebagai berikut:

START PEKERJAANSURVEY MEKANIKA TANAH

PERSIAPAN

Personil Pelaksana Peralatan dan Bahan Survey Peta Distribusi Titik Penyelidikan

MOBILISASI

Personil Pelaksana Peralatan dan Bahan Survey

BORINGSONDIR TEST PIT

LABORATORIUM MEKANIKA TANAH

DATA PARAMETER TANAH

Karakteristik Tanah Rekomendasi Daya Dukung Rekomendasi Sebagai Bahan

Bangunan

ORIENTASI

Penentuan titik penyelidikan Pengikatan titik penyelidikan

terhadap BM

PENGAMBILAN SAMPELTANAH

Gambar F.13 Bagan alir survey mekanika tanah.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-18

Page 19: F Pendekatan Dan Metodologi

1. Pengeboran (Soil Boring)

Penyelidikan tanah melalui boring juga memberikan beberapa hal penting antara lain:

Letak lapisan tanah keras.

Perkiraan jenis lapisan tanah.

Perkiraan ketebalan tiap jenis lapisan tanah.

Pengambilan contoh tanah untuk di uji laboratorium yang selanjutnya dapat diperoleh parameter-parameter tanah yang diperlukan sehubungan dengan kegiatan perencanaan.

Gambar F.14 Peralatan pengambilan sampel: Thin Wall Tube Sampler.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-19

Page 20: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.15 Contoh kegiatan pengeboran (boring).

2. Tes Sondir (Penetration Test)

Alat yang digunakan adalah penetrometer dengan pembacaan tekanan dilakukan setiap kedalaman 20 cm.

Beberapa hal penting yang dapat diperoleh dari penyelidikan tanah melalui sondir, antara lain:

Perkiraan kedalaman tanah keras sesuai dengan spesifikasi pekerjaan.

Perkiraan ketebalan tiap jenis tanah.

Dengan dapat diperkirakannya ketebalan lapisan tanah, maka dapat diperkirakan penurunan yang mungkin terjadi akibat pembebanan.

Gambar F.16 Peralatan sondir : Dutch Penetration Test.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-20

Page 21: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.17 Contoh kegiatan tes sondir (penetration test).

3. Test Pit

Tujuan pegujian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tanah yang akan digunakan sebagai timbunan. Lokasi titik pengamatan ditentukan atas persetujuan Direksi pekerjaan. Ukuran lubang uji (Test Pit) adalah (1.25 x 1.25) m2 pada kedalaman maksimum 5 m. Pada keadaan muka air tanah dangkal, Test Pit dilakukan dengan pemboran sampai kedalaman 5 meter. Pada setiap lubang uji diambil contoh tanah terganggu (disturbed soil sample) di setiap perubahan lapisan seberat 20 kg untuk diuji sifat-sifat pemadatannya (compaction test) di Laboratorium.

Gambar F.11 Contoh kegiatan penyelidikan tanah dengan membuat lubang uji

(test pit).

4. Pengambilan Contoh Tanah

Untuk penelitian di laboratorium, pengambilan contoh tanah ini sangat penting guna mengetahui sifat dan jenis tanahnya, sehingga pengambilan contoh tanah ini

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-21

Page 22: F Pendekatan Dan Metodologi

dilakukan. Pengambilan contoh tanah dilakukan untuk 2 macam kondisi yakni kondisi tanah asli (undisturbed sample) dan kondisi tanah terganggu (disturbed sample) yang dapat diperoleh dari pembuatan sumur uji.

F.3.6 Manual Survey Tanah untuk Kesesuaian Mangrove

Survei kesesuaian mangrove bertujuan untuk mendapakan informasi tentang jenis mangrove yang sesuai di lokasi pekerjaan. Sampel tanah vegetasi mangrove kemudian diolah di laboratorium untuk mendapatkan parameter kesuburan tanah berupa kadar nutrisi yang terdapat pada tanah.

Hasil uji laboratorium tersebut akan disesuaikan dengan jenis mangrove yang sudah ada di lapangan. Berdasarkan kadar kesuburan tanah yang diketahui, dapat ditentukan apakah tanah di lokasi pekerjaan sesuai untuk perkembangbiakan jenis vegetasi mangrove. Akan diteliti pula jenis mangrove yang akan dikembangbiakan lebih lanjut di lokasi perkerjaan.

Gambar F.12 Contoh kegiatan pengambilan tanah vegetasi mangrove.

F.3.7 Penyusunan Manual Survey Lingkungan

Pengumpulan data perlu dilakukan, baik untuk mendapatkan data primer maupun sekunder. Data dikumpulkan melalui kegiatan:

Wawancara dengan nara sumber penduduk setempat di lokasi pekerjaan.

Review beberapa laporan/buku dan literatur yang relevan dengan permasalahan studi.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-22

Page 23: F Pendekatan Dan Metodologi

Pengukuran kualitas lingkungan dan analisisnya didasarkan pada parameter-parameter yang ditetapkan dengan metode dan teknik atau prosedur yang secara ilmiah berlaku untuk masing-masing komponen lingkungan.

Metodologi studi lingkungan pada pekerjaan ini merupakan acuan dalam mengkaji aspek lingkungan mulai dari pengamatan dan pengukuran lapangan, hingga mengevaluasi dampak yang mungkin timbul terhadap komponen lingkungan akibat kegiatan baru yang berlangsung.

Perkiraan timbulnya dampak dari suatu kegiatan sangat dipengaruhi oleh faktor waktu dan pengaruh kegiatan terhadap komponen lingkungan. Berdasarkan perkiraan tersebut, maka dapat dikembangkan suatu studi yang menelaah hal-hal sebagai berikut:

Sejauh mana pengaruh dampak kegiatan proyek terhadap komponen lingkungan.

Langkah-langkah apa yang diperlukan lebih lanjut dalam upaya mengelola lingkungan.

Langkah-langkah apa yang diperlukan lebih lanjut dalam upaya pemantauan lingkungan.

F.4PENYUSUNAN MANUAL PENGOLAHAN DATA

F.4.1 Manual Analisa Topografi

Data hasil pengukuran survei topografi direalisasikan dalam bentuk gambar/peta teknis. Penggambaran akhir dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Direksi, setelah pekerjaan lapangan disetujui oleh Direksi pekerjaan, terutama berkaitan dengan perhitungan-perhitungan data ukur dan hasil asistensi peta draft situasi hasil lapangan.

A. Perhitungan

Pekerjaan perhitungan sementara diselesaikan di lapangan sehingga kesalahan dapat segera diulang untuk diperbaiki, selain itu setiap perhitungan disertai dengan sketsa penggambaran. Sketsa penggambaran mencantumkan hal-hal yang diperlukan, di antaranya:

Salah satu penutup sudut poligon dan jumlah titik.

Salah linier poligon dan harga toleransi.

Salah penutup sifat datar dan harga toleransi.

Jumlah jarak.

Stasiun pengamatan matahari.

Ketentuan perhitungan meliputi:

Perhitungan poligon dapat menggunakan metode Bowditch, Deil atau kuadrat terkecil.

Perhitungan dilakukan dalam proyeksi yang sudah ada sesuai dengan data referensi pada awal pengukuran.

B. Ketelitian Penggambaran

Penggambaran dilakukan dengan ketelitian sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh Direksi.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-23

Page 24: F Pendekatan Dan Metodologi

F.4.2 Manual Analisa Batimetri

A. Koreksi Terhadap Kedalaman

Data yang tercatat pada alat GPSMap adalah jarak antara transducer alat ke dasar perairan. Transducer tersebut diletakkan di bagian belakang kapal, di bawah permukaan air yang terpengaruh oleh pasang surut. Oleh sebab itu diperlukan suatu koreksi kedalaman terhadap jarak transducer ke permukaan air dan koreksi kedalaman terhadap pasang surut, dengan persamaan:

di mana

EMA = Elevasi muka air diukur dari nol papan duga.

Z = Kedalaman air hasil sounding (jarak dasar perairan ke transducer)

A = Jarak transducer ke muka air

B. Pengikatan Terhadap Elevasi Referensi

Hasil dari koreksi pertama (koreksi terhadap jarak transducer ke muka air dan terhadap pasang surut) menghasilkan elevasi dasar perairan terhadap nol papan duga. Elevasi ini kemudian diikatkan kepada elevasi LLWL yang dihitung pada pengolahan data pasang surut.

Pengikatan terhadap LLWL dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut ini:

Ket: EDLWS= Elevasi dasar perairan relatif terhadap LLWL

ED = Elevasi dasar perairan relatif terhadap nol papan duga

ELWS = Elevasi LWS relatif terhadap nol papan duga

Dengan demikian LLWL berada pada elevasi + 0.00 m.

F.4.3 Manual Analisa Hidrometri

A. Pasang Surut

Selanjutnya dilakukan pengolahan data pasang surut. Perhitungan konstanta pasang surut dilakukan dengan menggunakan metode Least Square.

Dengan konstanta pasang surut yang ada pada hasil peramalan sebelumnya dilakukan penentuan jenis pasang surut menurut rumus berikut:

Di mana jenis pasut untuk nilai NF:

0....0,25 = semi diurnal

0,25....1,5 = mixed type (semi diurnal dominant)

1,5....3,0 = mixed type (diurnal dominant)

>3,0 = diurnal

Selanjutnya dilakukan peramalan pasang surut untuk hari yang dipilih bersamaan dengan masa pengukuran yang dilakukan. Hasil peramalan tersebut dibandingkan dengan pembacaan elevasi di lapangan untuk melihat kesesuaiannya. Dengan konstanta yang didapatkan dilakukan pula peramalan pasang surut untuk masa 20

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-24

Page 25: F Pendekatan Dan Metodologi

tahun sejak tanggal pengamatan. Hasil peramalan ini dibaca untuk menentukan elevasi-Elevasi Acuan pasang surut yang menjadi ciri daerah tersebut sebagaimana disajikan pada contoh Tabel F.1.

Dari elevasi acuan pasang surut yang ada maka ditetapkan nilai LLWL sebagai elevasi nol acuan. Disamping itu dari peramalan untuk masa 20 tahun ke depan akan didapatkan nilai probabilitas dari masing-masing Elevasi Acuan di atas.

Tabel F.1 Elevasi Acuan Pasang Surut

No Jenis Elevasi Acuan

1 HHWL, Highest High Water Level

2 MHWS, Mean High Water Spring

3 MHWL, Mean High Water Level

4 MSL, Mean Sea Level

5 MLWL, Mean Low Water Level

6 MLWS, Mean Low Water Spring

7 LLWL, Lowest Low Water Level

B. Arus

Pengolahan data arus dilakukan untuk mengetahui besar arus rata di lokasi titik survey berdasarkan persamaan yang telah disajikan pada halaman di atas.

C. Sedimen

Pengolahan data sedimen di laboratorium dilakukan untuk memperoleh gradasi butiran sedimen. Data ini selanjutnya digunakan sebagai data masukan dan kalibrasi dalam simulasi transpor sedimen.

F.4.4 Manual Tes Laboratorioum Mekanika Tanah

Penyelidikan tanah di laboratorium dimaksudkan untuk mendapatkan nilai parameter fisik dan mekanis dari contoh tanah asli yang didapat dari hasil pengeboran. Pengujian di laboratorium ini mengikuti prosedur serta standard ASTM.

Untuk mendapatkan hubungan antara berat isi, kadar air, angka pori dan berat jenis dalam sistem tiga fase, yaitu udara, air dan butiran padat dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

A. Pengujian Sifat Fisik Tanah

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-25

Page 26: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.13 Komposisi partikel tanah pada sistem tiga fase.

di mana:

V = volume total (cm3)

Va = volume udara (cm3)

Vw = volume air (cm3)

Vs = volume tanah (cm3)

Wa = berat udara ( 0)

Ww = berat isi (gr)

Ws = berat tanah (gr)

W = jumlah berat (gr)

Dari Gambar F.13 dapat diperoleh rumus-rumus hubungan antara berat-volume partikel tanah yang digunakan untuk analisisseperti pada Tabel F.2 berikut ini.

Tabel F.2 Hubungan Volume-Berat Partikel Tanah

Karakteristik Simbol Satuan Rumus

a. Kadar air W %

b. Angka pori E

c. Porositas N

Tabel F.2 Hubungan Volume-Berat Partikel Tanah (lanjutan)

Karakteristik Simbol Satuan Rumus

d. Derajat kejenuhan Sr %

e. Berat isi tanah asli gr/cm3

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-26

Page 27: F Pendekatan Dan Metodologi

f. Berat isi tanah kering d gr/cm3

g. Berat isi tanah jenuh sat gr/cm3

h. Kepadatan relatif Dr

fi Spesific Grafity Gs

Untuk perhitungan, dapat digunakan beberapa nilai parameter hubungan berat-volume seperti yang tercantum pada Tabel F.3 dan Tabel F.4 berikut ini.

Tabel F.3 Nilai (n, e, w, ) dari Beberapa Jenis Tanah

Jenis TanahPorositas

Angka Pori

Kadar Air(%)

Berat Isi(t/m3)

(n) (e) (w) d sat

Pasir seragam, uraiPasir seragam, padatPasir kering, campur, uraiPasir kering, campur, adatLempung organik agak lunakLempung lunak sangat organikLempung kapuran, lunak

0,460,340,400,300,660,750,84

0,850,510,670,431,903,005,20

3219251670

110194

1,441,751,591,860,930,690,43

1,892,081,992,161,571,431,28

Tabel F.4 Nilai Berat Spesifik (Gs) dari Tanah Asli yang Dapat Mewakili

Jenis Tanah Gs Jenis Tanah GsPasir KwarsaLanauLempung

2.64 – 2.662.67 – 2.732.70 – 2.90

Tanah KapurTanah LoessTanah Organis

2.60 – 2.752.65 – 2.731.30 – 1.90

Tabel F.5 menunjukkan kegunaan dan cara memperoleh parameter sifat fisik tanah yang diperlukan dan Tabel F.6 adalah jenis pengujian yang digunakan untuk memperoleh parameter-parameter sifat fisik tanah.

Tabel F.5 Parameter Sifat Fisik Tanah Untuk Analisis

Karakteristik Simbol Satuan Diperoleh Dari Digunakan Untuk

1. VOLUME – BERAT

Kadar Air w % PengujianKlasifikasi dan hubungan volume-berat

Berat Isi Gr/cm3Pengujian atau dari hubungan volume-berat

Klasifikasi dan perhitungan tekanan

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-27

Page 28: F Pendekatan Dan Metodologi

Porositas - Perhitungan dari hubungan volume-berat

Volume relatif partikel tanah pada jumlah volume contohAngka Pori E -

Berat Jenis Gs - Pengujian Perhitungan volume2. BATAS KEKENTALAN (ATTERBERG’S LIMIT)

Batas Cair LL - Pengujian Klasifikasi dan koreksi alat

Batas Plastis PL - Pengujian Klasifikasi

Indeks Plastis IP - LL dan PL Klasifikasi dan koreksi sifat

Batas Susut SL - Pengujian Klasifikasi dan perhitungan pemuaianIndeks Susut SI - PL dan SL

3. GRADASI

Diameter efektif

D10 Mm Kurva ukuran butir

KlasifikasiEstimasi permeabilitas dan berat isiRencana saringan

Persen butiranD30

D60Kurva ukuran butir

Koefisien keseragaman Cu -

Koefisien kurva Cc -

Ukuran fraksi lempung

-Kurva ukuran butir,% lolos< 0.002 mm

Klasifikasi

Tabel F.6 Jenis Pengujian dan Rumus yang Digunakan Untuk Sifat Fisik Tanah

Jenis Pengujian AnalisisPengujian

1. Kadar air

Ww = berat air (gr)

= berat tanah basah + cawan – berat tanah kering + cawan (gr)

Ws = berat tanah kering (gr)

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-28

Page 29: F Pendekatan Dan Metodologi

= berat tanah kering + cawan – berat cawan (gr)

2. Berat Isi

WS = berat tanah (gr)

= berat tanah + cetakan - berat cetakan (gr)

V = volume cetakan (cm3)

3. Berat Spesifik

W0 = berat tanah kering (gr)

= berat picnometer + tanah - berat picnometer (gr)

Wa = berat picnometer + air (gr)

Wb = berat picnometer + tanah + air (gr)

4. Batas Cair Hitung kadar air.

Hitung jumlah pukulan (N), 2 kali di bawah dan 2 kali di atas 25 kali putaran.

Plot pada kertas grafik jumlah pukulan (skala log) dan kadar air (skala linier).

Standar kadar air pada 25 kali putaran merupakan batas cair.

5. Batas Plastis Contoh tanah yang telah diberi air dibuat gelintir di atas lempeng kaca dengan menggunakan tangan.

Hitung kadar air untuk percobaan minimum 3 kali.

Rata-rata kadar air adalah batas plastis.

6. Batas Susut

= kadar air (%)

V = isi tanah basah (cm3)

V0 = isi tanah kering (cm3)

W0 = berat tanah kering (gr)

7. AnalisisAyakan Hitung berat tanah yang tertahan pada setiap ayakan dan dijumlahkan.

Hiung persentase tanah yang tertahan dan dijumlahkan.

Hitung persentase yang lolos pada setiap ayakan.

Plot pada kertas grafik

B. Pengujian Sifat Mekanis Tanah (Engineering Properties)

Pengujian sifat mekanis tanah atau sifat keteknikan, diperlukan untuk mengetahui sifat tanah jika menerima beban luar. Tabel F.7 menunjukkan jenis-jenis parameter sifat mekanis tanah yang diperlukan untuk analisisdan desain. Pengujian untuk memperoleh besaran parameter sifat mekanis, yang diperlukan untuk analisisdan desain, seperti Tabel F.8 yang meliputi:

Pengujian konsolidasi.

Pengujian kekuatan geser tanah, yang meliputi uji triaxial dan uji kuat tekan bebas.

Tabel F.7 Parameter Sifat Mekanis Untuk Analisis

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-29

Page 30: F Pendekatan Dan Metodologi

Karakteristik Simbol Satuan Diperoleh Dari Digunakan Untuk

1. KONSOLIDASI

a. Koefisien kompresibilitas av cm2/kg

Perhitungan kurva hubungan

e dan p

Perhitungan batas penurunan atau muai

(sweel) pada analisisKonsolidasi

b. Koefisien perubahan volume Mv cm2/kg

c. Indeks kompresi Cc - Grafik semi log, kurva hubungan

e dan pd. Indeks muai Cs -

e. Koefisien kompresibilitas sekunder

C -Grafik semi log, kurva hubungan

waktu dan derajat

Konsolidasif. Koefisien konsolidasi cv mm2/detPerhitungan waktu

penurunan

g. Tekanan/beban konsolidasi P kg/cm2 Grafik semi log,

kurva e dan pAnalisiskonsolidasi

2. KEKUATAN GESER

a. Sudut geser dalam derajat Lingkaran mohr untuk tegangan

normal totalAnalisisstabilitas

lereng, daya dukung tanah

b. Kohesi C kg/cm2

c. Sudut geser dalam efektif 1 derajat Lingkaran mohr

untuk tegangan normal efektifd. Kohesi efektif C1 kg/cm2

e. Kuat tekan bebas qu kg/cm2

Pengujianf. Kuat geser S kg/cm2

Tabel F.8 Jenis Pengujian dan Rumus yang Digunakan Untuk Sifat Mekanis

Jenis PengujianAnalisisPerhitung

anA. KONSOLIDASI

a. Hitung berat tanah basah, berat isi dan kadar air benda uji sebelum dan sesudah percobaan serta hitung berat tanah kering.

b. Perhitungan tinggi efektif benda uji.

c. Hitung besar penurunan total (H) yang terjadi pada setiap pembebanan.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-30

Page 31: F Pendekatan Dan Metodologi

d. Hitung angka pori mula-mula.

e. Hitung perubahan angka pori.

f. Hitung angka pori setiap pembebanan. e = e0 - e

g. Gambar kurva angka pori terhadap tekanan (skala log).

h. Hitung derajat kejenuhan.

i. Hitung koefisien konsolidasi.

j. Hitung koefisien kompresi.

k. Hitung koefisien memuai.

l. Hitung koefisien kompresibilitas.

m. Koefisien perubahan volume.

n. Koefisien kompresibilitas sekunder.

B. KEKUATAN GESER

1. Kuat Tekan Bebas

a. Hitung regangan aksial.

∆L = perubahan panjang benda uji (cm)

L0 = panjang benda uji mula-mula (cm)

b. Hitung tegangan normal.

P = beban aksial (kg)A = luas penampang

benda uji (cm2)c. Gambarkan kurva terhadap .d. Hitung maksimum.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-31

Page 32: F Pendekatan Dan Metodologi

Tabel F.8 Jenis Pengujian dan Rumus yang Digunakan Untuk Sifat Mekanis (Lanjutan)

Jenis Pengujian AnalisisPerhitungan

2. Triaxial

a. Hitung perubahan panjang. ∆L = a – ba = kalibrasi x jumlah

putaranb = pembacaan cicin

pengukur akhir – pembacaan cincin pengukur awal

b. Hitung regangan.

∆LC =perubahan panjang contoh tanah (cm)

L1 = L0 – ∆LC (cm)c. Hitung tegangan deviator. P = ∆d = ∆1 – ∆3

P = P/Ad. Hitung perbandingan tegangan

utama mayor dan minor.

P = tekanan ruang e. Hitung sudut geser dalam.

F.4.5 Manual Tes Tanah untuk Kesesuaian Mangrove

Untuk mengetahui ada atau tidaknya kemungkinan untuk melakukan pembiakan mangrove di lokasi pekerjaan, maka sampel tanah diuji di laboratorium untuk memperoleh informasi kesuburan tanah.

Dari hasil analisis kesuburan tanah akan diperoleh informasi ekosistem dataran yang dikaji (pantai) yang mencakup kondisi tanah keasaman (pH). Akan diperoleh pula informasi kandungan organik tanah dengan tingkat kematangan bahan organik.

Untuk pembiakan mangrove, maka harus dilakukan species-site matching. Faktor-faktor lingkungan yang yang sangat penting diperhatikan dalam species-site matching adalah pola pasang surut, salinitas, tekstur tanah, dan kecepatan angin. Sebagai arahan, faktor-faktor lingkungan yang diperlukan untuk merehabilitasi komunitas tumbuhan mangrove dapat dilihat pada Tabel F.2 berikut ini.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-32

Page 33: F Pendekatan Dan Metodologi

Tabel F.9 Faktor-Faktor Lingkungan Yang Sesuai Bagi Beberapa Jenis Pohon Mangrove

Salinitas‰ Ombak dan Angin Kandungan Pasir Lumpur

1 R. mucronata 10 - 30 ST MD ST2 R. stylosa 11 - 30 MD ST ST3 R. apiculata 12 - 30 MD MD ST4 B. parviflora 13 - 30 SV MD ST5 B. Sexangula 14 - 30 SV MD ST6 B. gymnorrhyza 15 - 30 SV SV MD7 S. alba 16 - 30 MD ST ST8 S. caseolaris 17 - 30 MD MD MD9 X. granatum 18 - 30 SV MD MD10 H. littoralis 19 - 30 VS MD MD11 L. littorea 20 - 30 VS ST MD12 C. manghas 0 - 10 VS MD MD13 Nypa fruticans 0 - 10 VS SV ST14 Avicenniaspp. 10 - 30 MD ST ST

Tergenang musiman20 hr / bln

9 hr / bln9 hr / bln

Beberapa kali / tahunTergenang musiman

10 - 19 hr / bln10 - 19 hr / bln

20 hr / bln20 hr / bln

20 hr / bln20 hr / bln20 hr / bln

10 - 19 hr / bln

Toleransi terhadap Frekuensi Penggenangan

No Jenis

Keterangan: ST = Suitable (sesuai), MD = Moderate (sedang/cukup sesuai), SV = Severe (tidak sesuai), VS = Very Severe (sangat tidak sesuai)

Anakan/propagul sebaiknya dimasukkan dalam karung goni atau kantung plastik transparan yang telah diberi lobang-lobang sirkulasi udara. Karung atau kantung plastik tersebut diangkut secara hati-hati agar propagul tidak lecet atau patah.

Di storage, karung/kantung berisi propagul dapat ditempatkan di ruang ber AC atau ditaruh di suatu kanal yang dipengaruhi pasang surut yang dibatasi dengan net (kain kassa). Dengan metode penyimpanan ini, propagul dapat disimpan selama sekitar 4 bulan.

Dalam penyimpanan ini yang harus diperhatikan adalah:

1. Memelihara kadar air propagul sekitar 60 – 90 %.

2. Memelihara suhu ruangan agar stabil sekitar 15 – 40 oC.

3. Memberikan intensitas cahaya yang lemah terhadap propagul.

4. Penyiraman harus dilakukan secara teratur (minimal sekali setiap hari).

Lama penyemaian dan ciri bibit siap tanam dari beberapa jenis pohon mangrove adalah seperti tertera pada Tabel F.10.

Tabel F.10 Lama Penyemaian dan Ciri Bibit Siap Tanam dari Beberapa Jenis

Pohon Mangrove

Dinaungi Naungan Dibuka1 R. mucronata 3 - 4 1 Jumlah daun > 2 pasang, tinggi bibit > 55 cm2 R. apiculata 3 - 4 1 Jumlah daun > 2 pasang, tinggi bibit > 30 cm3 B. gymnorrhyza 2 - 3 1 Jumlah daun > 2 pasang, tinggi bibit > 35 cm4 S. alba 2 3 - 4 Jumlah daun > 2 pasang, tinggi bibit > 15 cm5 Avicenniaspp. 2 1 - 2 Jumlah daun > 2 pasang, tinggi bibit > 30 cm6 C. manghas 3 - 4 3 - 4 Jumlah daun > 2 pasang, tinggi bibit > 20 cm7 X. granatum 2 1 - 2 Jumlah daun > 2 pasang, tinggi bibit > 20 cm

No Jenis Ciri Bibit Siap TanamLama Penyemaian (bulan)

Sumber: Kitamura et al, 1997

F.4.6 Manual Analisa Lingkungan

Aspek-aspek lingkungan yang diperoleh dari kajian lingkungan, antara lain:

1. Aspek Fisik Kimia

Penyinaran Matahari

Temperatur Udara

Kelembapan

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-33

Page 34: F Pendekatan Dan Metodologi

Kecepatan Angin

Curah Hujan

2. Aspek Biologi (jenis dan aneka ragam vegetasi dan satwa di lokasi kajian)

3. Data Tanah dan Lahan

Kependudukan

Penggunaan Tanah

F.5PERENCANAAN TEKNIS BANGUNAN PENGAMAN PANTAI

F.5.1 Analisis Transpor Sedimen

Analisis transpor sedimen dilakukan untuk mengetahui pola pergerakan sedimen sehingga dapat ditentukan pola perubahan garis pantai dan dasar perairan, berikut perkiraan dimensi waktu dari perubahan yang terjadi. Dalam analisis transpor sedimen, perlu dilakukan beberapa kajian yang terdiri dari:

Analisis Hidrologi DAS: dilakukan untuk mengetahui besar debit dari daratan yang masuk ke perairan/pantai melalui sungai.

Analisis Hidrodinamika dan Sedimentasi Sungai: untuk mengetahui pola pergerakan sedimen yang berasal dari sungai, yang masuk ke perairan pantai.

Analisis Proses Pantai: untuk mengetahui pergerakan sedimen di pantai yang berpengaruh pada perubahan garis pantai.

Analisis Pembentukan Gelombang: untuk memperoleh kondisi gelombang di laut dalam yang akan menuju ke arah pantai.

Analisis Transformasi Gelombang: untuk mengetahui arah pergerakan gelombang dari laut dalam ke arah pantai, sesuai dengan kondisi dasar perairan.

Analisis Pasang Surut: untuk mengetahui pola pergerakan sedimen di pantai akibat gaya pasang surut.

Analisis Penggerusan Lahan: untuk memperoleh besaran atau jumlah material dari lahan yang akan masuk ke sungai dan terbawa ke perairan pantai.

Ketujuh analisis yang terkait dengan masalah transpor sedimen di pantai, disajikan dalam bentuk bagan alir pada Gambar F.14.

F.5.2 Hidrologi DAS

Analisis hidrologi sebuah daerah pengaliran sungai (DAS) diperlukan untuk mendapatkan besar debit aliran rata-rata sungai yang di studi, yang dilakukan dengan metode Mock (Sudirman 1999). Berdasarkan besar debit tersebut, maka Konsultan dapat melaksanakan sebuah simulasi angkutan sedimen dasar maupun suspensi yang merujuk pada data besaran sedimen dan debit aliran sungai yang dimaksud.

Metode-metode dalam analisis hidrologi yang lazim digunakan di dalam praktek civil engineering saat ini telah terbukti mampu memberikan hasil analisis yang dapat dipercaya. Seiring dengan perkembangan teknologi serta pengetahuan atas bahasa pemrograman komputer, maka seorang civil engineer saat ini dapat mensimulasikan analisis di atas melalui fasilitas software khusus.

Dalam melaksanakan analisis komponen hidrologi DAS ini, sebagai alternatif selain metode Mock (Sudirman 1999), Konsultan akan mendayagunakan sebuah software yang dikembangkan oleh United States Army Corps of Engineers (USACE) Hydraulic Engineering Centre (HEC), yaitu HEC-Pack. USACE-HEC telah berpengalaman dalam rancangbangun software sejak awal pertumbuhan perhitungan engineering secara elektronik.

HEC-Pack yang digunakan oleh Konsultan adalah versi for Windows (Gambar F.15) yang terdiri dari beberapa modul sebagai berikut:

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-34

Page 35: F Pendekatan Dan Metodologi

A. Graphical HEC-1

HEC-1 dapat melaksanakan perhitungan hidrologi yang mencakup presipitasi, runoff hingga flood routing. Prosedur penggunaanya adalah sebagai berikut:

Modul ini menggunakan metode numerik HEC-1 yang standar untuk analisis hidrograph banjir, dengan Windows interface untuk memudahkan pengaturan data dan built-in fasilitas grafis untuk tampilan data

Mampu membangun jaringan hidrologi secara grafis dengan fasilitas interface Windows “drag and drop”, yaitu menarik dan meletakkan icon-icon tertentu yang mewakili sebuah fungsi tertentu, misalnya icon bangunan pembagi.

Editing data yang akan diinput ke dalam simulasi dapat dilakukan cukup dengan meng-“double click” icon yang akan diedit datanya.

Pemodelan curah hujan dan limpasan dapat dilaksanakan sebagai berikut:

Data curah hujan yang dapat digunakan serupa dengan data hasil pengamatan dari Biro Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Data input yang dibutuhkan adalah distribusi curah hujan, daerah pengaliran sungai, data infiltrasi, dan metode routing.

Konversi hasil perhitungan curah hujan menjadi limpasan dapat dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi dari kelima loss method yang tersedia, yaitu SCS Curve Number, HEC Exponential, Initial and Uniform, Green and Ampt, serta Holtan.

Hidrograf limpasan hujan dapat dimunculkan dengan memilih model hidrograf yang dikehendaki, diantaranya adalah SCS, Clark dan Snyder.

Hasil dari pemodelan modul ini mencakup tampilan hidrograf pada titik manapun di dalam jaringan yang disimulasi, dalam bentuk tabel atau grafik, serta kemampuan untuk mengekspor hasil simulasi ke program Windows lainnya.

B. HEC-HMS

Modul ini serupa dengan HEC-1 dalam kemampuannya menyediakan fasilitas penghitungan untuk simulasi fenomena badai (storm). Pemakaian kedua modul ini akan memberikan hasil yang komprehensif dalam analisis hidrograf sebuah daerah pengaliran sungai.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-35

Page 36: F Pendekatan Dan Metodologi

MO

CK

1Hi d

rolo

gi D

PS

7Hi d

rolo

gi D

PS

E MP I

RIS

S MS

Sedi

men

tasi

Su n

gai

2Hi d

rod i

nam

ika

dan

Pred

iksi

Pa s

ang

Suru

t

6G

ENES

IS3

Din

a -Tid

e

Pros

es P

anta

i

Tran

sfor

mas

i Gel

omba

ng

REF

/DIF

U. of

Del

a wa r

e5

Din

a -H

indc

a st

Pem

bent

ukan

Gel

o mba

ng

4Pe

raira n

Dal

am

Bre

a ke r

Lin

e

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-36

Gam

bar

F.14

A

nalis

is y

an

g p

erl

u d

ilaku

kan d

ala

m k

ajia

n t

ransp

or

sed

imen

di p

an

tai.

Page 37: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.15 Tampilan HEC-Pack for Windows.

C. HEC-RAS

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-37

Page 38: F Pendekatan Dan Metodologi

HEC-RAS mempunyai kemampuan untuk melaksanakan berbagai analisis dan perhitungan profil sungai, termasuk evaluasi jalur banjir untuk pengendalian banjir. Prosedur simulasi program ini adalah sebagai berikut:

Tentukan lay out sungai yang akan disimulasi secara grafis.

Edit data potongan melintang pada setiap titik yang dikehendaki.

Masukkan data-data bangunan air, dan ilustrasi tiga dimensi dari bangunan yang dimaksud dapat ditampilkan dalam program ini.

Kemampuan program ini dalam menghitung aspek hidrolis dari suatu aliran mencakup:

Menghitung profil permukaan air berdasarkan jenis aliran steady flow maupun gradually varied flow untuk suatu jaringan saluran terbuka atau sungai.

Meramalkan kehilangan energi berdasarkan rumus gesekan koefisien Manning, serta kehilangan akibat ekspansi dan kontraksi lebar saluran.

Evaluasi jalur banjir untuk pengendalian banjir.

Menentukan perubahan pada profil muka air akibat adanya struktur bangunan air seperti jembatan dan pintu air.

Menangani perubahan dalam aliran yang tiba-tiba, seperti lompatan hidrolis dan penyempitan aliran akibat jembatan.

D. HEC-GIS

Modul ini menutup paket program HEC-Pack dengan memadukan HEC-RAS dengan program ArcInfo GIS. HEC-GIS adalah paket Arc Macro Language (AML) yang ditulis khusus untuk bekerja dengan data geospatial dari pemodelan sungai.

F.5.3 Hidrodinamika dan Sedimentasi Sungai

Fenomena hidrodinamika sungai mencakup pola aliran sungai pada seluruh elevasi pasang surut serta untuk debit aliran yang dapat terjadi di sungai tersebut. Analisis tahap ini menggunakan data aliran sungai hasil analisis pada hidrologi DAS sebagai kondisi batas satu, serta untuk kondisi batas lainnya menggunakan hasil simulasi pasang surut yang akan dibahas pada bagian lain. Hasil dari simulasi hidrodinamika sungai adalah kecepatan arus yang terjadi pada badan sungai yang kemudian akan dibandingkan kebenarannya dengan hasil survey arus.

Setelah kondisi hidrodinamika berdasarkan kedua kondisi batas di atas telah didapat, maka dengan ‘menyuntikkan’ muatan sedimen kedalam persamaan numerik, simulasi angkutan sedimen di sungai yang ditinjau dapat dilaksanakan. Konsentrasi angkutan sedimen yang terdispersi di seluruh badan sungai secara horizontal dapat ditampilkan secara grafis.

Dalam melaksanakan analisis ini, Konsultan akan menggunakan program yang mempunyai beberapa modul simulasi numerik yang mencakup simulasi hidrodinamika dan angkutan sedimen suspensi. Yaitu Surface-Water Modelling System Ver 8.0 (SMS 8.0) dari Boss International Co. Berikut ini Konsultan akan membahas program simulasi yang dimaksud.

A. Model SMS 8.1

Simulasi hidrodinamika sebuah muara sungai di dalam studi perairan pantai sangat erat berkaitan dengan proses pantai. Aspek-aspek dominan yang akan ditinjau berkaitan dengan hal tersebut di atas, di antaranya adalah arus pada perairan tersebut dan pergerakan sedimen suspensi. Kedua aspek tersebut disimulasikan dengan bantuan program Surface-Water Modelling System 8.1 (SMS 8.1) dari Boss International Co. yang mempunyai beberapa modul simulasi numerik. Berikut ini Konsultan akan membahas simulasi hidrodinamika perairan dan angkutan sedimen suspensi yang dimaksud.

i. Simulasi Hidrodinamika Perairan

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-38

Page 39: F Pendekatan Dan Metodologi

Tujuan simulasi ini adalah untuk mendapatkan kecepatan dan arah arus yang akan berguna dalam penentuan sifat dinamika perairan lokal. Pemodelan arus yang digunakan adalah model numerik RMA2. RMA2 adalah sebuah modul dari SMS berupa model numerik elemen hingga (finite element) yang diintegralkan dalam arah vertikal (kedalaman perairan dapat dianggap konstan relatif terhadap dimensi horisontalnya), sehingga dapat dianggap sebagai masalah dua dimensi (2-D). RMA2 mampu menghitung perubahan elevasi permukaran perairan dan komponen kecepatan arus horisontal untuk aliran permukaan bebas sub-kritis dalam medan aliran 2-D.

Pada dasarnya RMA2 menyelesaikan masalah aliran turbulen persamaan Reynolds yang diturunkan dari persamaan Navier-Stokes. Pengaruh kekasaran diperhitungkan dengan koefisien Manning atau Chezy, sementara karakteristik turbulensi diperhitungkan dengan memasukkan koefisien kekentalan turbulen (eddy viscosity). Baik masalah aliran langgeng maupun aliran tak langgeng dapat diselesaikan dengan baik.

Kelebihan-kelebihan lain dari RMA2:

RMA2 khusus dirancang untuk mensimulasi perubahan elevasi dan distribusi kecepatan aliran pada sungai, muara sungai, estuari, atau bahkan perairan teluk yang terbuka ke laut lepas.

Mampu mensimulasi bermacam-macam jenis material perairan seperti pasir, lumpur, rawa-rawa (swamp), dan bantaran rawa (marsh).

Mampu mensimulasi berbagai kondisi fisik perairan seperti kering, basah, atau terendam sesuai dengan kekasaran dasar/tebing perairan.

Memperhitungkan turbulensi fluida sesuai dengan sifat-sifat pengalirannya.

Memperhitungkan pengaruh perputaran bumi dan tegangan geser akibat angin.

Beberapa macam kondisi batas berikut dapat dimodelkan:

- Elevasi permukaan air (langgeng maupun tak langgeng).- Debit atau kecepatan aliran (langgeng maupun tak langgeng).- Kecepatan dan arah angin.- Fluktuasi debit terhadap elevasi.

Sebagai persamaan pengatur, RMA2 menggunakan persamaan konservasi massa dan momentum yang diintegrasikan terhadap kedalaman.

Persamaan konservasi massa dan momentum tersebut diselesaikan dengan metode elemen hingga dengan Metode Sisa Berbobot (Weighted Residuals) Galerkin.

i. Simulasi Angkutan Sedimen Suspensi

Analisis sedimentasi ini dimaksudkan untuk memperkirakan distribusi konsentrasi sedimen yang bergerak di suatu kawasan kajian. Sedimen yang masuk ke dalam daerah sekitar pelabuhan perikanan ini biasanya ditranspor dalam bentuk suspensi sehingga sebuah model numerik yang mampu mensimulasi angkutan sedimen layang dalam sebuah kawasan kajian tertentu. Model numerik yang akan digunakan oleh Konsultan adalah SED2D yang merupakan salah satu modul dalam paket program SMS seperti yang digunakan dalam simulasi hidrodinamika arus perairan.

SED2D adalah model numerik 2-dimensi, yang dirata-ratakan dalam arah vertikal (kedalaman), untuk mensimulasi proses transpor sedimen dalam saluran terbuka, seperti muara sungai, dan perairan teluk. SED2D dapat memodelkan dengan cukup akurat material sedimen yang berupa pasir maupun lempung pada kondisi aliran langgeng dan tak langgeng, asalkan kecepatan dan arah aliran dapat dianggap seragam pada seluruh kedalaman.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-39

Page 40: F Pendekatan Dan Metodologi

Asumsi yang dipakai dalam pemodelan SED2D:

Proses sedimentasi dikelompokkan kedalam proses penggerusan, proses permulaan gerak butiran, proses pengangkutan, dan proses pengendapan.

Aliran air dianggap memiliki potensi untuk menggerus, menggerakkan, dan mengangkut sedimen apakah partikel sedimen ada atau tidak.

Sedimen di atas dasar perairan dianggap akan tetap diam selama gaya aliran masih lebih kecil dari tegangan geser kritis saat butir sedimen mulai bergerak.

Perubahan elevasi dasar perairan hanya akan terjadi jika ada selisih antara laju erosi dan laju pengendapan.

Karakteristik fisik sedimen kohesif (lempung) dasar perairan akan berubah sesuai dengan waktu dan pembebanan di atasnya.

Sebagian besar mekanisme transpor sedimen dianggap berlangsung dalam bentuk suspensi (suspended load), termasuk bagian yang ditranspor sebagai muatan dasar.

Proses fisik yang akan dimodelkan dalam SED2D meliputi:

Konsentrasi sedimen layang

Tegangan geser dasar

Sumber/asal sedimen

Model dasar perairan

Konsentrasi sedimen dasar dimodelkan melalui persamaan konveksi-difusi sebagai berikut:

Di mana:

C = konsentrasi sedimen

Dx = koefisien diffusi turbulen dalam arah-x

Dy = koefisien diffusi turbulen dalam arah-y

1 = koefisien konsentrasi sedimen

2 = - 1Ceq

Ceq = konsentrasi seimbang

Tegangan geser dasar dihitung sebagai dimana u = kecepatan

geser.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-40

Page 41: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.16 Contoh tampilan kawasan yang disimulasi berikut syarat batasnya.

Kecepatan geser dihitung dengan 2 pendekatan, yaitu:

1. Persamaan Jonsson untuk tegangan geser permukaan akibat arus dan gelombang

2. Persamaan Bijker untuk tegangan geser total akibat arus dan gelombang

di mana:

fw = koefisien tegangan geser gelombang

uom = kecepatan orbit maksimum gelombang

fc = koefisien tegangan geser arus

Gambar F.17 dan Gambar F.18 memberikan contoh simulasi angkutan sedimen suspensi dengan SED2D, dimana gradasi warna pada badan sungai menandakan perbedaan konsentrasi sedimen suspensi.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-41

Page 42: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.17 Contoh tampilan masukan data sedimen.

Gambar F.18 Contoh tampilan hasil simulasi transpor sedimen.

F.5.4 Proses Pantai

Permasalahan dalam perencanaan lingkungan pantai adalah menentukan pola pergerakan sedimen atau pola perubahan garis pantai yang telah terjadi maupun yang akan terjadi pada kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui pola yang terjadi maka

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-42

Page 43: F Pendekatan Dan Metodologi

perencanaan pembangunan lingkungan pantai tersebut dapat berhasil dengan optimal. Sesuai dengan yang dimandatkan di dalam Kerangka Acuan Pekerjaan, Konsultan akan melaksanakan analisis angkutan sedimen untuk mendapatkan parameter-parameter berikut ini:

A. Laju angkutan sedimen dasar, baik yang diakibatkan oleh arus saja atau kombinasi arus dan gelombang.

B. Laju pengendapan sedimen melayang.

C. Perencanaan sistem penanggulanan sedimentasi secara parsial maupun terpadu.

Berdasarkan Shore Protection Manual, 1984 (SPM 1984), angkutan materi sedimen sejajar pantai disebut longshore transport. Penamaan longshore transport ini sama artinya dengan littoral transport atau pergerakan littoral drift, yaitu sedimen yang bergerak pada zone littoral. Zone littoral di dalam terminologi pantai adalah daerah perairan dari garis pantai hingga tepat sebelum daerah gelombang pecah. Gambar F.19 menggambarkan pembagian zone pantai di atas.

Berikut ini Konsultan akan menyampaikan metodologi analisis yang akan diterapkan dalam mencapai hasil yang dimandatkan di atas melalui sebuah program simulasi, yaitu GENESIS (Generalized Model for Simulating Shoreline Change) dari US Army Corps of Engineers (ASCE).

A. GENESIS

Longshore transport rate (Q), atau tingkat angkutan sedimen sejajar pantai, lazim mempunyai satuan meter kubik per tahun (dalam SI). Karena pergerakannya sejajar pantai, maka ada dua kemungkinan arah pergerakan, yaitu ke arah kanan dan kiri relatif terhadap seorang pengamat yang berdiri di pantai menghadap ke laut. Pergerakan dari kanan ke kiri diberi notasi Q lt, dan pergerakan dari kiri ke kanan Qrt, sehingga didapat tingkat angkutan sedimen ‘kotor’ (gross) Qg = Qlt + Qrt , dan tingkat angkutan ‘bersih’ (net) Qn = Qlt - Qrt . Nilai Qg digunakan untuk meramalkan tingkat pendangkalan pada suatu alur perairan yang terbuka, Qn untuk desain alur yang dilindungi dan perkiraan erosi pantai, dan Qlt serta Qrt untuk desain penumpukan sedimen di ‘belakang’ sebuah struktur pantai yang menahan pergerakan sedimen.

Untuk perencanaan ini, metode yang digunakan untuk perkiraan longshore transport rate adalah dengan metode numerik. Metode numerik yang digunakan pada adalah Program GENESIS (Generalized Model for Simulating Shoreline Change) dari US Army Corps of Engineers (ASCE).

Data masukan yang dibutuhkan pada GENESIS adalah sebagai berikut:

i. Data posisi awal garis pantai berupa koordinat (x,y). Fixed boundaries dari garis pantai yang akan ditinjau adalah posisi dimana perubahan garis pantai tersebut dapat dianggap tidak signifikan terhadap hasil simulasi, atau pada sebuah struktur yang rigid (misalnya karang). Batasan ini diperlukan karena di dalam simulasi, perubahan garis pantai pada kedua titik batas tersebut di atas besarnya dianggap nol.

ii. Time series data gelombang lepas pantai atau gelombang laut dalam, tinggi gelombang, perioda dan arah rambat gelombang terhadap garis normal pantai untuk selang waktu tertentu. Untuk pantai dengan kontur batimetri yang sejajar pantai maka data gelombang ini akan dihitung pergerakan akibat refraksi dan difraksi secara internal di dalam GENESIS sendiri.

iii. Grid simulasi yang melingkupi garis pantai serta perairan dimana gelombang akan merambat. Jumlah grid pada arah sumbu x untuk program ini terbatas hingga 80 buah.

iv. Struktur bangunan pantai eksisting atau yang direncanakan dan data struktur-struktur laut lainnya yang berada pada perairan yang ditinjau.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-43

Page 44: F Pendekatan Dan Metodologi

v. Data-data lain seperti ukuran butiran (D50), parameter kalibrasi, posisi seawall, beach fill yang diakibatkan oleh masuknya sedimen dari sungai, dan parameter-parameter lain.

Program GENESIS ini, dengan data-data masukan di atas dapat memberikan perkiraan nilai longshore transport rate serta perubahan garis pantai akibat angkutan sedimen tersebut tanpa maupun dengan adanya struktur jetty atau breakwater pada pantai untuk jangka waktu tertentu.

Simulasi yang dilakukan pada sebuah kawasan kajian mencakup:

i. Laju angkutan sedimen total (jumlah angkutan sedimen akibat longshore transport ke arah kiri maupun kanan relatif terhadap posisi lokasi pekerjaan).

ii. Perubahan garis pantai kumulatif dalam kurun waktu 10 tahun.

iii. Kondisi awal garis pantai pada kawasan kajian (eksisting) dan perubahan posisi garis pantai dalam kurun waktu 10 tahun.

Gambar F.20 hingga Gambar F.21 memberikan contoh grafik-grafik hasil simulasi GENESIS atas ketiga cakupan analisis di atas.

Gambar F.19 Pembagian zone pantai berdasarkan Shore Protection manual, 1984.

Program GENESIS menerapkan “one-line simulation”, dimana batas antara laut dan darat di pantai digambarkan sebagai suatu bidang yang tegak (tembok). Pengembangan atas program GENESIS ini adalah program “n-line simulation” yang mensimulasikan kondisi pantai secara lebih realistis, dimana kontur pantai dapat disimulasikan dengan mendekati kondisi batimetri yang ada. Pada saat ini, program “n-line” ini sedang dalam tahap pengembangan oleh Konsultan. Sebagai alternatif, jika memungkinkan program “n-line” ini akan digunakan oleh Konsultan untuk melakukan simulasi perubahan garis pantai.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-44

Coast

Offshore

Coastal area

Beach or shore

Backshore

Inshore or shoreface

Nearshore zone

surf zoneberms

Beach scarpcrest of berm

Ordinary low water level

Plunge point

Bottom

Breaker

Defined area of nearshore currents

Extends through breakers zone

high water level

Foreshore

Bluff Escarpment

Page 45: F Pendekatan Dan Metodologi

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-45

Gam

bar

F.20

C

on

toh

hasi

l si

mula

si p

eru

bah

an

gari

s p

an

tai se

tela

h jan

gka

wakt

u t

ert

en

tu (

n t

ah

un).

-20

-15

-10-5051015202530

010

2030

4050

6070

80

Gri

d S

imu

lasi

(1 g

rid =

100

m)

Perubahan Garis Pantai (m)

Tah

un k

e-1

Tah

un k

e-3

Tah

un k

e-5

Tah

un k

e-10

Page 46: F Pendekatan Dan Metodologi

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-46

Gam

bar

F.21

C

on

toh

tam

pila

n y

ang

lain

dari

hasi

l si

mu

lasi

peru

bah

an

gari

s p

an

tai.

100

200

300

400

500

600

700

010

2030

4050

6070

80

Gri

d S

imu

lasi

(1 g

rid =

100

m)

Posisi Garis Pantai (m)

Posi

si G

aris

Pan

tai A

wal

Tah

un k

e-1

Tah

un k

e-3

Tah

un k

e-5

Tah

un k

e-10

Pan

tai K

ei B

esar

Page 47: F Pendekatan Dan Metodologi

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-47

Gam

bar

F.22

C

on

toh

tam

pila

n s

imu

lasi

yan

g b

eru

pa laju

tra

nsp

or

sed

imen

di p

an

tai.

Kum

ula

tif D

ebit

Sedim

en G

ross

Eksi

stin

g (

Qg E

ksi

stin

g)

0

10.0

00

20.0

00

30.0

00

40.0

00

50.0

00

60.0

00

010

2030

4050

6070

80

Gri

d S

imu

lasi

(1 g

rid =

100

m)

Kumulatif Debit Sedimen Gross(meter kubik / n tahun)

Tah

un

ke-1

Tah

un

ke-3

Tah

un

ke-5

Tah

un

ke-1

0

Page 48: F Pendekatan Dan Metodologi

F.5.5 Pembentukan Gelombang

Analisis hidrologi sebuah daerah pengaliran sungai (DAS) diperlukan untuk mendapatkan besar debit aliran rata-rata sungai yang di studi, yang dilakukan dengan:

A. Pasca-kiraan Gelombang (Dina-Hindcast)

Angin mengakibatkan gelombang laut, oleh karena itu data angin dapat digunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang di lokasi kajian. Data angin diperlukan sebagai data masukan dalam peramalan gelombang sehingga diperoleh tinggi gelombang rencana. Data angin yang diperlukan adalah data angin setiap jam berikut informasi mengenai arahnya.

Arah angin dinyatakan dalam bentuk delapan penjuru arah angin (Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat dan Barat Laut). Kecepatan angin disajikan dalam bentuk satuan knot, dimana:

1 knot = 1 mil laut/jam

1 mil laut = 6080 kaki (feet) = 1853,18 meter

1 knot = 0.515 meter/detik

Angka-angka statistik tersebut dapat disajikan secara visual dalam bentuk Windrose seperti yang ditunjukkan pada Gambar F.23.

Analisis pola distribusi angin rencana pada kawasan kajian dilakukan pula dengan menggunakan berbagai distribusi yaitu distribusi Log Normal, Pearson, Log Pearson dan Gumbel. Selanjutnya akan diperoleh distribusi yang paling cocok untuk diterapkan pada pola angin yang terjadi di kawasan kajian. dengan kecepatan angin maksimum pada lokasi pekerjaan.

Untuk mendapatkan gelombang rencana, Konsultan akan melakukan pasca-kiraan gelombang berdasarkan data angin jangka panjang dengan program Dina-Hindcast yang dikembangkan oleh Konsultan sendiri. Metode yang dierapkan mengikuti Metode yang diberikan dalam Shore Protection Manual (Coastal Engineering Research Center, US Army Corp of Engineer) edisi 1984 yang merupakan acuan standar bagi praktisi pekerjaan-pekerjaan pengembangan, perlindungan, dan pelestarian pantai.

Data angin jangka panjang, minimum 10 tahun, memberikan data statistik yang lebih meyakinkan untuk metode hindasting ini. Diagram proses hindasting ditampilkan pada Gambar F.24.

Untuk melakukan peramalan gelombang di suatu perairan diperlukan masukan berupa data angin dan peta batimetri. Interaksi antara angin dan permukaan air menyebabkan timbulnya gelombang (gelombang akibat angin atau wind induced wave). Peta perairan lokasi dan sekitarnya diperlukan untuk menentukan besarnya “fetch” atau kawasan pembentukan gelombang. Fetch adalah daerah pembentukan gelombang yang diasumsikan memiliki kecepatan dan arah angin yang relatif konstan. Adanya kenyataan bahwa angin bertiup dalam arah yang bervariasi atau sembarang, maka panjang fetch diukur dari titik pengamatan dengan interval 50.

Panjang fetch dihitung untuk 8 arah mata angin dan ditentukan berdasarkan rumus berikut:

dimana:

Lfi = panjang fetch ke-i

i = sudut pengukuran fetch ke-i

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-48

Page 49: F Pendekatan Dan Metodologi

i = jumlah pengukuran fetch

Jumlah pengukuran “i” untuk tiap arah mata angin tersebut meliputi pengukuran-pengukuran dalam wilayah pengaruh fetch (22,50 searah jarum jam dan 22,50 berlawanan arah jarum jam). Contoh peta fetch pada sebuah kawasan perairan ditampilkan pada Gambar F.25.

Pembentukan gelombang di laut dalam dianalisis dengan formula-formula empiris yang diturunkan dari model parametrik berdasarkan spektrum gelombang JONSWAP (Shore Protection Manual, 1984). Prosedur peramalan tersebut berlaku baik untuk kondisi fetch terbatas (fetch limited condition) maupun kondisi durasi terbatas (duration limited condition) sebagai berikut:

dalam persamaan tersebut, adalah faktor tekanan angin, dimana Ua dan U10 dalam m/detik. Hubungan antara Tp dan Ts diberikan sebagai Ts = 0.95 Tp.

Persamaan tersebut di atas hanya berlaku hingga kondisi gelombang telah terbentuk penuh (fully developed sea condition), sehingga tinggi dan perioda gelombang yang dihitung harus dibatasi dengan persamaan empiris berikut:

dimana:

Hmo = tinggi gelombang signifikan menurut energi spektral

Tp = perioda puncak gelombang

Distribusi arah dan tinggi gelombang hasil peramalan gelombang disajikan dalam bentuk waverose seperti pada Gambar F.26.

B. Tinggi Gelombang Rencana

Tinggi gelombang rencana yang diperlukan sebagai data input dalam analisis gelombang selanjutnya diperoleh dengan cara sebagai berikut:

i. Dari hasil pasca-kiraan gelombang, diambil tinggi gelombang yang terbesar dengan periodanya untuk tiap arah yang mendatangkan gelombang, tiap tahun.

ii. Dari tabel tersebut untuk tiap tahun diambil gelombang terbesar, tidak peduli arahnya. Hasil inventarisasi gelombang terbesar selama 18 tahun ini disajikan dalam bentuk tabel dengan informasi mengenai arah gelombang sudah hilang dalam analisis selanjutnya.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-49

Page 50: F Pendekatan Dan Metodologi

iii. Dilakukan analisis harga ekstrim berdasarkan data gelombang terbesar tahunan yang telah tersusun dari langkah sebelumnya. Dengan cara analisis harga ekstrim yang didasarkan pada tinggi gelombang ini, maka informasi mengenai perioda gelombang hilang dalam langkah selanjutnya.

iv. Analisis frekuensi gelombang rencana dengan metode yang digunakan terdiri dari beberapa distribusi yaitu Log Normal, Log Pearson III, Pearson III dan Gumbell. Analisis frekuensi adalah kejadian yang diharapkan terjadi, rata-rata sekali setiap N tahun atau dengan perkataan lain tahun berulangnya N tahun. Kejadian pada suatu kurun waktu tertentu tidak berarti akan terjadi sekali setiap 10 tahun akan tetapi terdapat suatu kemungkinan dalam 1000 tahun akan terjadi 100 kali kejadian 10 tahunan.

v. Pemilihan distribusi yang sesuai dari beberapa distribusi tersebut untuk memberikan nilai gelombang rencana.

Berikut ini adalah penjelasan untuk masing-masing distribusi frekuensi yang digunakan pada tahap (4) diatas.

Distribusi Log Normal

Suatu nilai acak X memiliki fungsi distribusi Log Normal apabila nilai dari fungsi probabilitas denstitasnya seperti persamaan dibawah ini (Ochi 1992).

Distribusi Log Normal memiliki 2 parameter statistik yaitu dan . Nilai dari parameter dan adalah suatu nilai logaritmik dari variabel acak X yang terdistribusi sebagai rata-rata dan varian Persamaan dari nilai rata-rata dan varian dari distribusi Log Normal adalah sebagai berikut:

Distribusi Pearson Tipe III

Distribusi Pearson Tipe III adalah suatu distribusi gamma (memiliki 3 parameter gamma) yang diturunkan dari suatu fungsi gamma. Persamaan tersebut diberikan di bawah ini (Ochi 1992):

dimana nilai dari () adalah suatu fungsi gamma dengan , dan merupakan parameters yang diberikan oleh persamaan berikut ini:

Distribusi Log Pearson Tipe III

Distribusi Log Pearson III merupakan modifikasi dari distribusi Pearson Tipe III dengan mengubah y = log (x) sehingga mengurangi nilai kemencengan (skewness). Persamaan distribusi Log Pearson adalah sebagai berikut (Ochi 1992).

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-50

Page 51: F Pendekatan Dan Metodologi

dimana:

Distribusi Gumbel

Distribusi Gumbel berasal dari Distribusi Nilai Asimtot Ekstrim Tipe I dan merupakan fungsi distribusi kumulatif sebagai berikut (Ochi 1992).

atau dalam fungsi probabilitas densitas dinyatakan sebagai berikut:

dimana:

s = standar deviasi

= rata-rata

Keempat distribusi yang telah dijelaskan di atas diterapkan ke dalam nilai tinggi gelombang maksimum seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai dari gelombang maksimum hasil prediksi berdasarkan masing-masing distribusi diplot berdasarkan nilai gelombang hasil pengamatan. Data pengamatan diplot berdasarkan nilai probabilitas Weibull yang terlampaui. Persamaan probabilitas Weibull adalah sebagai berikut:

dimana:

= probabilitas dari suatu nilai X yang berada di bawah suatu nilai di bawah xm.

m = ranking dari xm

n = jumlah total data dari nilai maksimum

Fungsi distribusi yang paling sesuai dapat dipilih berdasarkan: (1) pengamatan visual, dan (2) nilai error (= perbedaan antara data dan perhitungan). Definisi dari “rata-rata error” adalah sebagai berikut:

Error rata-rata =

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-51

Page 52: F Pendekatan Dan Metodologi

dimana :

XDistribustion = tinggi gelombang hasil perhitungan

XData = tinggi gelombang hasil peramalan

N = jumlah data

Perbandingan dari berbagai distribusi diperlihatkan dalam sebuah contoh grafik pada Gambar F.27. Dengan melihat grafik tersebut tidak terlihat secara jelas perbedaan nilai dari fungsi distribusi yang memperbandingkan antara data hasil pengamatan gelombang dengan peramalan gelombang. Selanjutnya dengan menggunakan metoda error terkecil akan ditemukan nilai dari sebuah distribusi selanjutnya yang akan digunakan dalam analisis pada Pekerjaan ini.

Setelah mendapatkan tinggi gelombang rencana untuk periode ulang tertentu tersebut kemudian dianalisis periode gelombang yang sesuai melalui sebuah grafik hubungan antara tinggi gelombang dengan periode gelombang seperti yang diperlihatkan pada Gambar F.28.

F.5.6 Transformasi Gelombang (Ref/Dif)

Gelombang pada kawasan pantai (coastal area) berasal dari laut lepas pantai. Penyebaran gelombang dipengaruhi oleh kontur dasar perairan dimana pergerakan gelombang ditransformasikan menurut variasi topografi dasar perairan tersebut. Ada beberapa tipe transformasi gelombang, diantaranya: pendangkalan (shoaling), pecah (breaking), refraksi (refraction), difraksi (difraction) dan lain-lain. Untuk keperluan perencanaan ini lebih ditekankan pada analisis refraksi/difraksi saja.

Refraksi adalah peristiwa berubahnya arah perambatan dan tinggi gelombang akibat perubahan kedalaman dasar laut. Ilustrasi secara sederhana dapat dilihat pada Gambar F.28. Gelombang akan merambat lebih cepat pada perairan yang dalam dari pada perairan yang dangkal. Hal ini menyebabkan puncak gelombang membelok dan menyesuaikan diri dengan kontur dasar laut.

Parameter-parameter yang penting pada analisis refraksi gelombang adalah:

Ks : koefisien pendangkalan

Kr : koefisien refraksi

Di mana:

Cg : kecepatan ‘grup’ gelombang

(subscript “o” menyatakan ‘laut dalam’)

Sementara, tinggi gelombang yang terjadi pada perairan dangkal (H) dapat dihitung sebagai berikut:

H = Ho.Ks.Kr

Difraksi adalah peristiwa transmisi energi gelombang dalam arah kesamping (lateral) dari arah perambatan gelombang. Peristiwa ini terjadi apabila terdapat bangunan laut yang menghalangi perambatan gelombang seperti yang diilustrasi pada Gambar F.29. Pada bagian yang terlindung oleh bangunan laut, tetap terbentuk gelombang akibat transmisi lateral tadi. Fenomena difraksi tidak terbatas pada perairan dangkal saja karena difraksi terjadi dimana terdapat bangunan laut yang menghalangi perambatan gelombang.

Analisis fenomena refraksi/difraksi yang akan digunakan dalam Pekerjaan ini dilaksanakan dengan mensimulasikan proses refraksi-difraksi di kawasan perairan

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-52

Page 53: F Pendekatan Dan Metodologi

proyek. Model numerik yang akan digunakan adalah REF/DIF yang disusun oleh Center for Applied Coastal Research, University of Delaware, USA.

Untuk eksekusi model refraksi/difraksi gelombang dibutuhkan masukan data sebagai berikut:

A. Batimetri Perairan

Analisis refraksi/difraksi memerlukan kawasan perairan yang agak luas. yang dapat diperoleh dari Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL (DISHIDROSAL). Batas laut paling luar dari perairan diambil suatu anggapan bahwa gelombang yang ada atau terbentuk berupa gelombang sempurna yang belum mengalami refraksi/difraksi. Sedang pada kawasan di sebelah dalam (dekat pantai) dilakukan simulasi yang lebih teliti dengan peta batimetri berskala lebih kecil.

B. Tinggi Gelombang

Tinggi gelombang yang digunakan sebagai data masukan model numerik ini adalah tinggi gelombang yang diperoleh dari hasil pasca-kiraan gelombang berdasarkan data angin jangka panjang.

C. Arah Datangnya Gelombang

Arah datangnya pergerakan gelombang yang ditinjau dalam simulasi ini adalah arah-arah yang menghadap ke laut bebas atau relatif bebas.

D. Perioda Gelombang

Dalam proses perhitungan tinggi gelombang rencana, informasi mengenai perioda (dan arah) gelombang telah “hilang” karena besaran yang menjadi obyek perhitungan adalah tinggi gelombang.

Hasil dari simulasi refraksi/difraksi di atas diperlihatkan dalam sebuah contoh pada Gambar F.30.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-53

Page 54: F Pendekatan Dan Metodologi

Distribusi Kecepatan dan Arah Angin Rata-rata Harian1989-2002

Lokasi: Pattimura-Ambon

J enis tongkat menunjukkan kecepatan angin dalam knot.

Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

U

S

B T

TGBD

TLBL

0%

10%

20%

30%

40%

Tidak Berangin = 17.18% Tidak Tercatat = 12.07%

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-54

Gambar F.23 Contoh windrose.

Page 55: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.24 Diagram alir proses peramalan gelombang berdasarkan data angin.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-55

No(Fully

Developed)

Start

4

32

210 x 15.78.68

AA U

gF

U

gtYes(Non FullyDeveloped)

t 8.68

32

2

g

U

U

gFt A

A

c

g

U

U

gtF A

A

223

min 8.68

No(Duration Limited)

0016.0

21

2

2

0

A

Am

U

gF

g

UH

31

22857.0

A

Ap

U

gF

g

UT

Yes(Fetch Limited)

2433.02

0 g

UH Am

g

UT Ap 134.8

Finish Finish

minFF

HS = significant wave height

TP = peak wave period

F = effective fetch length

UA = wind stress factor (modified wind speed)

t = wind duration

Page 56: F Pendekatan Dan Metodologi

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-56

Gam

bar

F.25

Con

toh

pen

en

tuan d

aera

h p

em

ben

tuka

n g

elo

mb

an

g u

ntu

k ke

perl

uan

hin

dca

stin

g.

Page 57: F Pendekatan Dan Metodologi

Distribusi Tinggi dan Arah Gelombang di Lepas Pantai Tepa (P.Babar)

Diramal Berdasarkan Data Angin Rata-rata Harian di Ambon

Total 1989-2002

J enis tongkat menunjukkan tinggi gelombang dalam meter.

Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

U

S

B T

TGBD

TLBL

0%

10%

20%

30%

40%

Calm = 75.39% Tidak Tercatat = 12.07%

Gambar F.26 Contoh waverose.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-57

Page 58: F Pendekatan Dan Metodologi

Gam

bar

F.27

C

on

toh

gra

fik

“peri

od

e u

lan

g”

dari

berb

ag

ai je

nis

dis

trib

usi

.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-58

0,3

0,5

0,8

1,0

1,3

1,5

00,

10,

20,

30,

40,

50,

60,

70,

80,

9

Pro

ba

bil

ita

s W

eib

ull

Tinggi Gelombang (m)

Dat

a T

ingg

i Gel

omba

ng

Dis

trib

usi L

og N

orm

al

Dis

trib

usi P

ears

on

Dis

trib

usi L

og P

ears

on

Dis

trib

usi G

umbe

l

Page 59: F Pendekatan Dan Metodologi

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-59

Gam

bar

F.28

C

on

toh

gra

fik

hu

bu

ng

an

an

tara

tin

gg

i d

an

peri

od

e g

elo

mb

an

g.

Page 60: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.29 Perambatan arah gelombang akibat refraksi.

Gambar F.30 Perambatan arah gelombang akibat diraksi.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-60

Page 61: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.31 Contoh hasil simulasi refraksi/difraksi.

F.5.7 Prediksi Pasang Surut (Dina-Tide)

Data pengukuran elevasi pasang surut dapat diproses untuk mendapatkan konstituen pasang surut untuk daerah perarian yang ditinjau. Konstituen pasang surut ini merepresentasikan komponen-komponen harmonik, yaitu fluktuasi sinusoidal dari elevasi muka air dengan amplitudo dan fase yang berbeda.

F.5.8 Sedimentasi Lahan (Penelitian Lapangan)

Salah satu fenomena hidrologi yang berhubungan secara langsung dengan proses sedimentasi di sungai-sungai adalah penggerusan lahan akibat runoff (aliran limpasan hujan yang tidak diserap oleh tanah). Konsultan akan menganalisis data perubahan elevasi muka tanah yang kemudian dikonversikan menjadi kondisi batas pemodelan transpor sedimen. Metodologi analisis akan menerapkan metode empiris yang dikembangkan oleh Suyono Sosrodharsono (Bendungan Tipe Urugan, Pradnja Paramitha). Tabel F.4 dan F.5 memberikan parameter-parameter untuk memperoleh angka satuan sedimentasi di daerah pengaliran sungai.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-61

Page 62: F Pendekatan Dan Metodologi

Tabel F.11 Angka Satuan Sedimentasi di Daerah Pengaliran Sungai (m3/tahun/km2)

Luas DAS (km2) 2 5 10 20 30 50 100

Topografi Geografi

Stadium Permulaan

Pembentukan

Zone A100 ~

300300 ~ 800

800 ~

1200

Zone B100 ~

200200 ~ 500

500 ~

1000

Zone C100 ~

150150 ~ 400

400 ~

800

Stadium Akhir

Pembentukan

Zone A 100 ~ 200 200 ~ 500500 ~

1000

Zone B 100 ~ 150 150 ~ 400400 ~

1000

Zone C 50 ~ 100 100 ~ 350300 ~

500

Stadium Pertengahan

Zone B < 50 50 ~ 100 100 ~ 350300 ~

500

Zone C < 50 50 ~ 100 100 ~ 200

Data yang stabil

Zone B < 50 50 ~ 100 100 ~ 200

Zone C < 50 50 ~ 100100 ~

200

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-62

Page 63: F Pendekatan Dan Metodologi

Tabel F.12 Karakteristik Topografi Daerah Pengaliran Sungai

Karakteristik Topografi

Peningkatan Gejala Erosi dalam Alur

Sungai

Kemiringan Dasar Sungai

Perbedaan Elevasi dan Permukaan

Laut

Lain-lain

Stadium Permulaan Pembentukan

Intensitas erosi terbesar dengan proses penggerusan tebing sungai.

1/100 ~ 1/500 > 500 mKemiringan tebing sungai sekitar 300.

Stadium Akhir Pembentukan

Intensitas erosi besar dengan proses penggerusan dasar sungai.

1/500 ~ 1/700 400 m

Stadium Pertengahan

Intensitas erosi kecil, kecuali dalam keadaan banjir.

1/800 300 m

Dataran Stabil

Intensitas erosi kecil, walau dalam keadaan banjir.

1/1000 100 m

F.5.9 Perhitungan Runup

Pada waktu gelombang menghantam suatu bangunan, gelombang tersebut akan naik (runup) pada permukaan bangunan (Gambar F.23). Elevasi (tinggi) bangunan yang direncanakan tergantung pada runup dan limpasan yang diijinkan. Runup tergantung pada bentuk dan kekasaran bangunan, kedalaman air pada kaki bangunan, kemiringan dasar laut di depan bangunan, dan karakteristik gelombang. Karena banyaknya variabel yang berpengaruh, maka besarnya runup sangat sulit ditentukan secara analitis. Gambar F.32 menunjukkan runup gelombang yang terjadi karena gelombang membentur bangunan dengan permukaan miring.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-63

Page 64: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.32 Ilustrasi runup gelombang.

Berbagai penelitian tentang runup gelombang telah dilakukan di laboratorium. Hasil penelitian tersebut berupa grafik-grafik yang dapat digunakan untuk menentukan tinggi runup seperti dicontohkan pada Gambar di bawah. Grafik-grafik tersebut merupakan fungsi dari runup relatif (R/Ho’) terhadap kemiringan struktur (cot θ) dan Ho’/gT2 ,dengan variabel R merupakan ketinggian (vertikal) runup terukur dari Still Water Level (SWL) dan Ho’ merupakan tinggi muka air di laut dalam (lihat grafik SPM Figure 7-8 s.d. Figure 7-20). Nilai ketinggian runup yang diprediksi dengan menggunakan grafik-grafik tersebut kemungkinan akan lebih kecil dari yang didapatkan dari pemodelan fisik di laboratorium akibat kekurangsempurnaan pengaruh kekasaran struktur yang dibuat dalam skala model tertentu. Faktor koreksi nilai runup yang diperoleh dari pembacaan grafik pada grafik SPM Figure 7-8 dapat diperoleh dengan menggunakan grafik SPM Figure 7-13.

Untuk perhitungan runup pada permukaan struktur yang impermeabel dan ber-quarry, vertikal, bertingat-tingkat (bertangga), dan berbentuk kurva dapat digunakan grafik pada SPM Figure 7-14 s.d. Figure 7-18 (diteliti oleh Saville 1955). Untuk perhitungan runup pada permukaan struktur impermeabel yang diberi tambahan riprap sebagai penyokong quarry dapat digunakan grafik pada SPM Figure 7-19 dengan kondisi kemiringan riprap 1:2.

Perbandingan grafik untuk perhitungan runup pada permukaan struktur rubble yang permeabel dengan permukaan struktur yang rata ditunjukkan pada SPM Figure 7-20.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-64

Page 65: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.33 Grafik perhitungan runup untuk permukaan yang rata, impermeabel dengan

Ds/Ho =0 (slope 1:10).

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-65

Page 66: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.34 Grafik perhitungan runup untuk permukaan yang rata, impermeabel dengan

Ds/Ho =0,45 (slope 1:10).

Untuk keperluan desain, Battjes (1974), Ahrens (1977), dan Stoa (1978) memperkenalkan penggunaan faktor koreksi kekasaran dan porositas (r) yang merupakan perbandingan antara runup relatif pada permukaan tidak rata impermeabel (Rrough) terhadap runup relatif pada permukaan rata impermeabel (Rsmooth).

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-66

Page 67: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.35 Grafik perhitungan runup untuk permukaan yang rata, impermeabel dengan

Ds/Ho =0,8 (slope 1:10).

Tabel F.6 menunjukkan rentang nilai faktor koreksi kekasaran dan porositas (r) untuk berbagai karakteristik permukaan.

Untuk permukaan material struktur yang memiliki lebih dari satu nilai kekasaran r, dapat digunakan persamaan di bawah. Namun, persamaan ini tidak memperhitungkan lokasi kekasaran dan porositas pada struktur, sehingga dirasakan masih banyak kekurangan.

dengan: total panjang permukaan yang memiliki kekasaran

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-67

Page 68: F Pendekatan Dan Metodologi

Tabel F.13 Variasi Nilai Kekasaran (r) Untuk Berbagai Karakteristik Permukaan

Karakteristik Permukaan Placement r

Smooth, impermeable ----------- 1.00

Concrete Blocks Fitted 0.90

Basalt Blocks Fitted 0.85 - 0.90

Gobi Blocks Fitted 0.85 - 0.90

Grass ----------- 0.85 - 0.90

One layer in quarrystone

(impermeable foundation)Random 0.80

Quarrystone ----------- 0.75 - 0.80

Rounded quarrystone Random 0.60 - 0.65

Three layer of quarrystone

(impermeable foundation)Random 0.60 - 0.65

Quarrystone Random 0.50 - 0.55

Concrete armor units (~ 50% void ratio) Random 0.45 - 0.50

F.5.10 Kriteria Desain Bangunan Pengaman Pantai

Pengamanan pantai dengan menggunakan bangunan pelindung pantai, memerlukan desain yang tepat dan efektif agar diperoleh kegunaannya secara optimal. Parameter-parameter penting dalam desain dan perencanaan suatu bangunan pengaman pantai seperti tinggi gelombang rencana, keadaan topografis batimetri perairan, fungsi dan tujuan pengamanan, dan lain-lain digunakan untuk desain detail, sehingga pemahaman dan aplikasi yang tepat akan sangat mendukung untuk tercapainya desain yang optimal, baik secara teknis maupun ekonomis.

F.5.11 Kriteria Desain Revetment

Pengamanan pantai menggunakan bangunan tembok pantai (revetment), menggunakan kriteria-kriteria desain sebagai berikut:

a. Fungsi dan Kegunaan

Fungsi revetment adalah melindungi daerah darat di posisi garis pantai dari hantaman gelombang, sekaligus melindungi terjadinya erosi dan kelongsoran baik akibat beban arus maupun beban tanah itu sendiri. Fungsi tambahan yang dapat diaplikasikan adalah penggunaan revetment sebagai struktur tepi laut yang dapat didesain bertangga atau dapat ditambahkan fasilitas penambatan kapal.

b. Lokasi dan Penempatan

Lokasi dan penempatan revetment biasanya diletakkan pada posisi garis pantai, dan umumnya digunakan untuk perlindungan pantai dengan kemiringan kontur yang curam. Penempatan revetment dilakukan pada lokasi garis pantai yang benar-benar terancam kelongsoran, yang bila terjadi kelongsoran akan membahayakan hajat hidup masyarakat setempat.

c. Panjang Revetment

Penempatan revetment di suatu lokasi, hanya untuk melindungi lokasi pantai di belakangnya, dan tidak dapat melindungi lokasi yang tidak ada revetmentnya. Oleh karena itu hendaknya desain revetment benar-benar dipertimbangkan untuk sepanjang apa, dari prioritas lokasi pantai yang ingin dilindungi.

d. Tinggi Revetment

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-68

Page 69: F Pendekatan Dan Metodologi

Ketinggian revetment harus didesain agar tidak ada ketinggian air laut, baik gelombang maupun pasang surut yang dapat melewatinya. Ketinggian ini penting, karena apabila terjadi percikan gelombang atau muka air masuk ke belakang revetment dan terjadi penyerapan, akan dapat mempercepat terjadinya erosi pada dasar revetment.

e. Bentuk Revetment

Bentuk desain revetment, biasanya disesuaikan dengan kontur garis pantai yang bersangkutan. Revetment cukup fleksibel untuk dapat dibangun dan dimodifikasi menjadi bentuk-bentuk: miring biasa (sloping), melengkung ke depan (convex-curved), melengkung ke belakang (concave-curved) atau bertangga (stepped).

f. Kedalaman Pondasi Revetment

Pondasi revetment harus didesain pada kedalaman dimana penyerapan air ke belakang revetment sudah sangat kecil atau kedalaman dimana tidak terjadi penyerapan. Penentuan kedalaman ini dilakukan dari pertimbangan karakteristik tanah dan beban-beban yang akan menyebabkan terjadinya setlement (penurunan), sehingga dapat didesain ketinggian revetment yang sesuai.

g. Keterbatasan Revetment

Penggunaan revetment, hanya terbatas pada kondisi pantai dengan kemiringan yang curam. Untuk pantai landai, revetment tidak cocok karena tidak adanya resistensi tanah yang ikut menahan hantaman gelombang, dan kemungkinan akan terjadinya erosi pada dasar revetment akan lebih besar.

F.5.12 Kriteria Desain Groin

Pengamanan pantai menggunakan bangunan groin, menggunakan kriteria-kriteria desain sebagai berikut:

a. Fungsi dan Kegunaan

Fungsi groin adalah melindungi pantai dari erosi akibat arus sejajar pantai (longshore current) yang biasanya membawa sedimen sejajar pantai (longshore sediment). Fungsi insidental dari penggunaan groin adalah adanya penambahan lahan di satu sisi dan pengurangan lahan di sisi yang lain, sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan jangka panjang seperti pembuatan pantai pariwisata di sisi yang terakresi, dan areal tambat kapal di sisi yang tererosi, dengan penambahan struktur revetment.

b. Lokasi dan Penempatan

Lokasi dan penempatan groin diutamakan dengan pangkal groin diletakkan pada posisi gundukan yang ada di pantai (natural berm) atau dapat pula pada garis pantai, memanjang hingga ke kedalaman gelombang pecah (sepanjang breaking zone). Penempatan groin dilakukan hanya untuk perlindungan bagian pantai yang tererosi akibat arus sejajar pantai, dengan konsekuensi adanya penggerusan di sisi pantai yang lain. Pertimbangan penting akan lokasi groin adalah arah gelombang datang dari laut dalam, dimana gelombang yang menabrak groin diupayakan searah tegak lurus pantai, sehingga tidak terjadi efek samping akibat arah gelombang dan perambatan arus, seperti terbentuknya rip current atau pusaran air (Gambar F.27).

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-69

Page 70: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.36 Efek rip current dan pusaran air di antara groin.

c. Panjang Groin

Keuntungan dari struktur groin, adalah dapat melindungi daerah pantai yang panjang dengan biaya yang lebih ekonomis, tanpa harus mengganggu kenyamanan seperti pembangunan breakwater atau revetment di lokasi pantai pariwisata. Kriteria panjang groin dapat disesuaikan untuk jenis perlindungan dan efek pada pantai yang diinginkan, yang umumnya didesain untuk 3 (tiga) kategori panjang sebagai berikut:

1. Panjang Groin = ¼ panjang breaking zone, untuk kondisi pantai yang belum parah atau baru mulai terjadi erosi.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-70

Page 71: F Pendekatan Dan Metodologi

2. Panjang Groin = ½ panjang breaking zone, untuk kondisi pantai dengan kerusakan menengah.

3. Panjang Groin = panjang breaking zone, untuk kondisi pantai yang telah parah tererosi dan bertujuan untuk mengembalikan lahan pantai yang tererosi.

Kriteria panjang ini diadakan, karena semakin panjang groin yang didesain akan memerlukan biaya produksi yang lebih mahal dan memperluas juga daerah yang akan dikorbankan untuk tererosi, sehingga memerlukan pertimbangan lebih lanjut.

d. Tinggi Groin

Ketinggian groin difungsikan agar dapat menghalangi transpor sedimen yang dibawa arus sejajar pantai, sehingga tidak perlu didesain setinggi tinggi gelombang rencana. Tinggi groin biasanya didesain mengikuti elevasi pasang surut MHWL (Mean High Water Level), atau untuk lebih amannya dapat didesain setinggi HWS (High Water Spring).

e. Bentuk Groin

Bentuk desain groin, biasanya digunakan bentuk trapesium seperti desain jetty atau breakwater, namun dapat juga digunakan sheetpile dari bahan baja atau kayu, yang umumnya disesuaikan dengan ketersediaan material yang akan digunakan di lokasi tersebut (pertimbangan borrow area).

f. Kedalaman Ujung Groin

Kedalaman ujung groin adalah posisi kedalaman yang didesain dari panjang groin yang ditentukan.

g. Jumlah Groin

Pertimbangan dalam penentuan jumlah groin (bila menggunakan lebih dari 1 groin) adalah pertimbangan jarak antar groin yang ditentukan dari luas daerah penumpukan sedimen yang diinginkan, yang sama dengan luas daerah yang akan tererosi. Jarak antar groin yang umum digunakan adalah sama dengan 2 – 3 kali panjang groin.

F.5.13 Kriteria Desain Jetty

Pengamanan menggunakan bangunan jetty, menggunakan kriteria-kriteria desain sebagai yang hampir sama dengan groin, kecuali pada parameter-parameter berikut ini:

a. Fungsi dan Kegunaan

Fungsi jetty adalah melindungi daerah muara sungai dari pendangkalan, akibat pertemuan arus sungai dengan arus sejajar pantai. Fungsi insidental yang dapat digunakan adalah penggunaan jetty sebagai tepi dermaga, untuk pelabuhan yang dibangun dekat daerah hilir.

b. Lokasi dan Penempatan

Lokasi dan penempatan jetty khusus hanya pada daerah muara sungai dengan pertimbangan penempatan yang sama dengan groin, karena fungsinya sama.

c. Jumlah Jetty

Jetty biasanya dibuat 2 buah, di posisi bibir sungai, namun dapat pula hanya dibuat 1 buah, yaitu di sisi datang arus sejajar pantai.

F.5.14 Kriteria Desain Breakwater

Breakwater adalah struktur pengaman pantai yang diletakkan di lepas pantai untuk menahan gempuran gelombang. Beberapa aspek pekerjaan yang harus diperhatikan dalam perencanaan sebuah sistem breakwater adalah:

a. Layout Breakwater

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-71

Page 72: F Pendekatan Dan Metodologi

Orientasi dari breakwater terhadap gelombang dan area yang akan diproteksi sangatlah menentukan keberhasilan fungsi dari breakwater, dan sejauh mana sistem breakwater akan berpengaruh terhadap lingkungan sekitar.

b. Pengaruh Breakwater Terhadap Topografi Sekitar.

Profil alami daerah pantai merupakan keseimbangan alami dari aksi gelombang laut, supply sedimentasi, dan bentuk topografi pantai (berupa proses berulang yang temporer, dan proses permanen jangka panjang). Pembangunan breakwater akan merubah keseimbangan tersebut, yang bisa berpengaruh kepada daerah yang diproteksi breakwater dan daerah sekitarnya. Sebagai contoh, pembangunan breakwater yang sejajar dengan garis pantai dapat menyebabkan terbentuknya tombolo pada garis pantai, berupa daerah yang maju dan daerah yang tererosi, Pembangunan breakwater yang melintang dari garis pantai dapat menyetop transport sedimen arah garis pantai, sehingga daerah yang semestinya mendapat suplai sediment akan tererosi secara parah, dan terjadi endapan sedimentasi yang terkonsentrasi pada suatu area.

c. Harmonisasi Dengan Lingkungan Sekitar

Orientasi dari breakwater terhadap gelombang dan area yang akan diproteksi sangatlah menentukan keberhasilan fungsi dari breakwater, dan sejauh mana sistem breakwater akan berpengaruh terhadap lingkungan sekitar.Harmonisasi dengan lingkungan sekitar. Ketenangan air yang dihasilkan oleh breakwater di sisi lain juga mengurangi sirkulasi air di daerah yang dinaunginya. Pada banyak kasus, terjadi penurunan kualitas air yang signifikan, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup di perairan tersebut. Pada sisi landscaping, bahkan pembangunan breakwater tertentu dapat merusak keindahan dan keterpaduan antara komponen lingkungan.

d. Kondisi Desain

Orientasi dari breakwater terhadap gelombang dan area yang akan diproteksi sangatlah menentukan keberhasilan fungsi dari breakwater, dan sejauh mana sistem breakwater akan berpengaruh terhadap lingkungan sekitar.Harmonisasi dengan lingkungan sekitar. Ketenangan air yang dihasilkan oleh breakwater di sisi lain juga mengurangi sirkulasi air di daerah yang dinaunginya. Pada banyak kasus, terjadi penurunan kualitas air yang signifikan, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup di perairan tersebut. Pada sisi landscaping, bahkan pembangunan breakwater tertentu dapat merusak keindahan dan keterpaduan antara komponen lingkungan.

e. Parameter Perhitungan

Parameter yang diperlukan dalam perhitungan desain breakwater diantaranya:

Arah angin. Angin merupakan salah satu unsur pembentuk gelombang, sehingga data perilaku angin dapat menggambarkan perilaku gelombang secara umum.

Level pasang surut. Keadaan pasang surut termasuk menentukan tinggi dari BW, pola sirkulasi air pada daerah sekitar breakwater dll.

Gelombang laut. Gelombang laut, arahnya menentukan layout gelombang. Gelombang sendiri memberikan gaya pada breakwater.

Kedalaman dan Jarak Breakwater dari garis pantai. Kedalaman perairan menentukan jenis breakwater yang efektif dan ekonomis untuk dibangun, dan jarak breakwater dari garis pantai hendaknya cukup jauh agar pengaruh gelombang di posisi garis pantai menjadi semakin kecil.

Kondisi Geoteknis. Parameter ini akan menentukan daya dukung tanah terhadap breakwater yang pada akhirnya akan mempengaruhi kestabilan breakwater.

Pemilihan jenis struktur breakwater dapat dilakukan setelah mempelajari karakteristik dari jenis-jenis breakwater dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-72

Page 73: F Pendekatan Dan Metodologi

1) Layout dari Breakwater

2) Kondisi Lingkungan

3) Kondisi Pelayanan

4) Kondisi/Kesiapan Konstruksi

5) Aspek Ekonomi

6) Waktu Konstruksi

7) Tingkat Kepentingan Breakwater

8) Ketersediaan Material Konstruksi

9) Pemeliharaan

Secara umum proses desain penampang breakwater adalah sebagai berikut:

1) Persiapan data-data kondisi desain.

2) Penentuan penampang breakwater:

Penentuan elevasi vertikal breakwater.

Penentuan dimensi horizontal breakwater (dimensi awal).

3) Analisa stabilitas terhadap gaya-gaya eksternal yang bekerja (dimensi akhir):

Stabilitas suprastruktur & komponen pendukung.

Stabilitas pondasi.

4) Desain komponen pelindung:

Foot Protection.

Deformed Concrete Blocks/Armouring Stone.

F.5.15 Kriteria Pembebanan

Secara umum, suatu bangunan yang diletakkan di lepas pantai (offshore structure) akan mengalami pembebanan dari faktor-faktor berikut:

a. Gaya Gelombang

b. Gaya Akibat Arus

c. Gaya Angin

d. Gaya Struktur Terhadap Daya Dukung Tanah (Analisis Kestabilan)

e. Gaya Insidental (Gaya Gempa, Tsunami, dll)

Pengaruh gaya gelombang dan arus dinyatakan dalam Teori Morisson, sedangkan pengaruh angin pada struktur bangunan pengaman pantai dapat ditiadakan karena kecil sekali.

Untuk desain groin, jetty dan breakwater, analisis pembebanan telah ditransformasikan ke dalam analisis penentuan berat dan dimensi lapisan pelindung (armor), sehingga apabila struktur bangunan pengaman pantai di desain dengan tepat dan dengan dimensi lapisan pelindung yang cukup, akan dapat menahan beban-beban yang bekerja.

F.5.16 Kriteria Pemilihan Material

Pemilihan material yang akan digunakan dalam desain suatu bangunan pengaman pantai, terutama ditentukan oleh ketersediaan material di borrow areanya. Material-material yang umum digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan pengaman pantai adalah:

a. Tanah pasir (bahan baku pembuatan beton dan bahan pengisian geobag).

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-73

Page 74: F Pendekatan Dan Metodologi

b. Batu kerikil kecil dengan diameter 0.01 meter sampai 0.1 meter (bahan lapisan inti dan bahan pengisian geobag).

c. Batu armor (diameter minimal 0.25 meter, sebagai bahan lapisan pelindung utama).

d. Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam proses konstruksi, seperti kayu, dll.

Selanjutnya penggunaan material yang dipilih sebagai lapisan pelindung (armor) untuk desain groin, jetty, atau breakwater ini dinyatakan dalam nilai-nilai Koefisien Stabilitas Bahan (KD), Koefisien Lapisan (Layer Coeficient / K), dan nilai Porositas Bahan, yang digunakan dalam perhitungan berat armor, jenis armor, dan dimensi struktur.

F.5.17 Perhitungan Berat Armor, Jenis Armor, dan Dimensi Struktur

Perhitungan berat armor digunakan untuk menentukan berat armor minimal yang harus digunakan pada lapisan pelindung struktur pengaman pantai, dimana analisis ini memperhitungkan nilai kekuatan bahan terhadap hantaman gelombang.

F.5.18 Perhitungan Berat Armor

Untuk breakwater maupun groin dengan pelapis terbuat dari tumpukan batu alam atau armor buatan, berat satu unit pelapis utama (primary cover layer) dihitung memakai persamaan berikut ini:

di mana:

W = berat satu unit batuan pelapis (armor), ton.

Wr = berat satuan armor (ton/m3).

Ww = berat satuan air laut (ton/m3).

H = tinggi gelombang rencana.

h = kedalaman air.

Kd = koefisien stabilitas (Tabel 7-8, SPM Volume II, 1984), dapat dilihat pada Tabel F.7).

Sr = Wr/Ww.

= kemiringan dinding breakwater.

F.5.19 Tebal Lapisan Pelindung

Tebal lapisan pelindung (r), dapat dihitung memakai persamaan:

dimana :

r = tebal lapisan pelindung, meter.

n = jumlah lapisan armor.

k = koefisien lapisan batuan (Tabel 7-13, SPM Volume II, 1984), atau dapat dilihat pada Tabel F.8.

F.5.20 Lebar Mercu (Crest Width)

Lebar mercu (crest width), dapat dihitung dengan persamaan:

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-74

Page 75: F Pendekatan Dan Metodologi

dimana :

n = jumlah lapisan batuan pada mercu.

Wr = berat satuan armor (ton/m3).

Ww = berat satuan air laut (ton/m3).

k = koefisien lapisan batuan (Tabel 7-13, SPM Volume II, 1984).

Tabel F.14 Koefisien Layer dan Porositas Berbagai Jenis Unit Armor

Quarrystone (Smooth) 2 Random 1.02 38Quarrystone (Rough) 2 Random 1.00 37Quarrystone (Rough) >3 Random 1.00 40Quarrystone (Parallepiped) 2 Special -------- 27Cube (Modified) 2 Random 1.10 47Tetrapod 2 Random 1.04 50Quadripod 2 Random 0.95 49Hexipod 2 Random 1.15 47Tribar 2 Random 1.02 54Dolos 2 Random 0.94 56Toskane 2 Random 1.03 52Tribar 1 Uniform 1.13 47Quarrystone Graded Random --------- 37

SPM 1984. VOLUME II, CHAPTER 7/III, PAGE 7- 234

Armor Unit Placement Layer Coefficient kA Porosity (P)%

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-75

Page 76: F Pendekatan Dan Metodologi

Tabel F.15 Nilai Koefisien Stabilitas Untuk Jenis Armor Dan Kondisi Gelombang

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-76

Slope

2 Random 1.2 2.4 1.1 1.9 1.5 to 3.0>3 Random 1.6 3.2 1.4 2.3 5

1 Random 4 4 2.9 4 2.3 5

1.9 3.2 1.51.6 2.8 2.01.3 2.3 3.0

>3 Random 2.2 4.5 2.1 4.2 5

2 Special 5.8 7.0 5.3 6.4 5

2 Special 7.0 -20.0 8.5 -24.0 ---- -----

5.0 6.0 1.52 Random 7.0 8.0 4.5 5.5 2.0

3.5 4.0 3.08.3 9.0 1.57.8 8.5 2.06.0 6.5 3.0

2 Random 15.8 8 31.8 8 8.0 16.0 2.0 9

7.0 14.0 3.02 Random 6.5 7.5 ----- 5.0 5

2 Random 8.0 9.5 5.0 7.0 5

2 Random 11.0 22.0 5

1 Unifarm 12.0 15.0 7.5 9.5 5

Random 2.2 2.5 ---- ---- ----

1.

2.3.4.5.

6.7.

8.

9.

No- Damage Criteria and Minor Overtopping

Armor Units n3 Placement

Structure Trunk Structure Head

KD2 KD

Breaking Wave

Nonbreaking Wave

Breaking Wave

Nonbreaking Wave

Cot

Quarrystone Smooth rouded Smooth rouded Rough angular

4.02 Random 2.0

Rough Angular Rough Angular Parallepiped 7

Rough angular

TetrapodandQuadripod

10.0

Dolos

Modified cube

Tribar 2 Random 9.0

Hexapod Toskane Tribar Quarrystone (KRR)

Until more information is available on the variation of KD value with slope, the use of KD should be limited to slopes ranging from 1 on 1.5 to 1 on 3 some armor units tested on a structure head indicated a KD -

Graded angular

CAUTION: Those K D values shown in italics are unsupported by test results and are only provided for preliminary design purposes

Applicable to slopes ranging from 1 on 1.5 to 1 on 5

Refers to no - damage criteria (<5 percent displacement, rocking, etc); if no rocking (<2 percent) isdesired, reduce KD 50 percent (Zwamborn and Van Niekern, 1982).

Stability of dolosse on slopes steeper than 1 and 2 should be substantianed by site-specific model test.

slope dependence

Special placement with long axis of stone placed perpendicular to structure face.Parallelepiped - shaped stone: long slab - like stone dimension about 3 times the shortest dimension (Mrkle and Davidson, 1979).

n is the number of units comprising the thickness of the armor layer The use of singel layer of quarrystone armor units is not recommended for structure subject to breaking waves and only under special conditions for structure subject to nonbreaking waved. When it is used, the stone should be

Page 77: F Pendekatan Dan Metodologi

F.5.21 Menghitung Jumlah Armor

Perhitungan jumlah Armor yang dibutuhkan dengan persamaan (7-122) SPM Volume II:

dimana:

Nr = jumlah unit armor pada suatu area

A = luas area

k = layer coefficient

n = jumlah layer

P = Porositas

Luas area (A) dalam persamaan diatas dihitung sebagai berikut:

dimana besaran y1, x3, dan y2 sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Gambar F.37 di bawah ini.

Gambar F.37 Penampang Breakwater.

F.6PERHITUNGAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB)

Dalam perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) suatu kegiatan konstruksi terutama yang melibatkan alat-alat berat perlu diperhatikan terlebih dahulu hal-hal, sebagai berikut:

1. Volume pekerjaan.

2. Harga satuan upah, bahan, dan alat.

3. Metode pelaksanaan konstruksi.

4. Kapasitas operasi alat-alat berat.

Langkah pertama dalam membuat estimasi kapasitas alat adalah menghitung secara teoritis. Hasil perhitungan tersebut kemudian dibandingkan dengan pengalaman yang nyata dari pekerjaan-pekerjaan yang telah pernah dilakukan dari pekerjaan-pekerjaan sejenis.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-77

1 2

x1 x2

y1 y2Sisi laut Sisi darat

x3

Page 78: F Pendekatan Dan Metodologi

Atas dasar perbandingan itu, terutama pada efisiensi kerjanya, kita dapat menentukan harga besaran estimasi kapasitas alat yang paling sesuai untuk proyek yang bersangkutan, sehingga estimasi biaya proyek tidak terlalu besar.

Maka dari itu pertama-tama perlu diketahui perhitungan teoritis serta perlu kemampuan memperkirakan efisiensi kerja yang sesuai untuk jobsite yang bersangkutan. Dari hal-hal tersebut kita akan mampu memperkirakan dengan tepat penyelesaian suatu volume pekerjaan yang akan dikerjakan dengan alat-alat yang ditentukan.

F.6.1 Menghitung Produktivitas Alat Berat

Biasanya kapasitas operasi dari suatu mesin konstruksi dinyatakan dalam m3/jam. Produksi didasarkan pada pelaksanaan volume yang dikerjakan per siklus waktu dari jumlah siklus dalam suatu jam (sebagai contoh). Secara umum produktivitas kerja alat berat dirumuskan sebagai berikut:

Q = q x N x E

di mana:

Q = produksi per jam dari alat (m3/jam)

q = produksi dalam satu siklus kemampuan alat.

N = jumlah siklus dalam satu jam.

E = Efisiensi kerja

Dalam merencakan suatu proyek, produktivitas per jam dari suatu alat yang diperlukan adalah produktivitas standar dari alat tersebut dalam kondisi ideal dikalikan dengan suatu faktor. Faktor tersebut dinamakan efisiensi kerja.

Efisiensi kerja bergantung pada baak faktor seperti: topografi, keahlian operator, pemilihan standar pemeliharaan, dan sebagainya yang menyangkut operasi alat.

Dalam kenyataan memang sulit untuk menentukan besarnya efisiensi kerja, tetapi dengan dasar pengalaman-pengalaman dapat ditentukan efisiensi kerja yang mendekati kenyataan. Beberapa tipe alat-alat berat yang serig digunakan dalam kegiatan konstruksi secara umum akan diuraikansebagai berikut:

a. Buldozer

Alat berat yang berfungsi mendorong atau menarik objek/material.

Gambar F.38 Ilustrasi kegiatan dozing oleh bulldozer.

b. Excavator

Fungsi dari excavator adalah memindahkan material (tanah/agregat) dan biasanya material tersebut ditranspor menggunakan alat berat hauler.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-78

Page 79: F Pendekatan Dan Metodologi

Gambar F.39 Ilustrasi kegiatan excavating oleh excavator.

Gambar F.40 Jenis-jenis excavator.

Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas ekscavator:

Tipe dan karaktiristik tanah/material

Depth of cut

Angle of swing

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-79

Backhoe

Draglines

Shovel

Trechers

Clamshell

Page 80: F Pendekatan Dan Metodologi

Tipe dan jenis bucket

Lenght of boom (panjang lengan)

Efisiensi dan kondisi peralatan

Efisiensi dan kondisi kerja

Secara umum produktivitas excavator dapat dirumuskan sebagai berikut:

P = corrected bucket capacity / cycle time

di mana:

P = Produktivitas

Corrected bucket capacity = volume/berat material bucket x correction factor

Correction factor = bucket fill factor, %optimum depth of cut, working condition

Cycle time = load-raise, swing, dump, swing back, lower

Contoh cycle time untuk excavator yang dikeluarkan perusahaan supplier peralatan konstruksi Caterpilar disajikan pada Tabel F.16

Tabel F.16 Contoh Cycle Times Untuk Backhoes

Contoh faktor koreksi untuk excavator yang dikeluarkan perusahaan supplier peralatan konstruksi Caterpilar disajikan pada Tabel F.17 dan Tabel F.18.

Tabel F.17 Fill Factor Untuk Bucket

Tabel F.18 Faktor Height of Cut dan Angle of Swing

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-80

Page 81: F Pendekatan Dan Metodologi

c. Hauler

Fungsi alat berat hauler adalah mengangkut material (on/off road) dalam jarak yang cukup jauh.

Gambar F.41 Ilustrasi kegiatan hauling oleh haulers.

Gambar F.42 Jenis-jenis haulers.

Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas ekscavator:

Tipe dan karaktiristik tanah/material

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-81

Flat Bed Truck

Articulated Truck

Dump Truck

Page 82: F Pendekatan Dan Metodologi

Kapasitas muat

Kecepatan angkut (empty vs. loaded)

Efisiensi dan kondisi peralatan

Efisiensi dan kondisi kerja

Secara umum produktivitas excavator dapat dirumuskan sebagai berikut:

P = payload / cycle time

di mana:

P = Produktivitas

payload = muatan

cycle time = waktu muat + waktu angkut + waktu membuang + waktu kembali

Ilustrasi siklus haulers disajikan pada Gambar F.43.

Gambar F.44 Siklus kegiatan haulers.

USULAN TEKNIS Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai F-82