Fiber Face 3

47
Indonesian International Fiber Art Exhibition 2011 Fiber Face 3 Taman Budaya Yogyakarta 12 - 25 February 2011

Transcript of Fiber Face 3

Page 1: Fiber Face 3

Indonesian International Fiber Art Exhibition 2011

Fiber Face 3

Taman Budaya Yogyakarta12 - 25 February 2011

Page 2: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

2

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

3

Mukadimah / Preface

Fiber Face direncanakan sebagai serangkaian pameran yang secara khusus menyoroti seni

serat Indonesia. Pameran-pameran ini bermaksud untuk memberi ruang bagi apresiasi seni serat kontemporer, namun di dalam Fiber Face sengaja disertakan pula sorotan yang memfokus kepada seni serat tradisional, dengan tujuan sebagai bentuk penghormatan kepada warisan budaya. Ini dilakukan dengan harapan bahwa sorotan ini bisa menjadi sebentuk sosialisasi dalam masyarakat terhadap nilai warisan budaya.

Seni serat Indonesia mewarisi budaya estetis yang kaya, majemuk serta sudah hidup sejak ribuan tahun silam dan hingga kini masih terus hidup di penjuru alam pedesaan negeri ini. Namun sayangnya, aktivitas kreatif ini sering tidak dianggap sebagai Kesenian (dengan “K” besar), sehingga tradisi seni serat lokal, secara turun temurun sering tersimpan di balik khasanah budaya agraris. Sementara itu perkembangan senirupa kontemporer yang pesat justru lebih terfokus pada wacana-wacana dari luar Indonesia.

Hal ini mengakibatkan kesenjangan hubungan antara senirupa kontemporer dengan kearifian lokal, akar budaya setempat. Apa yang berpotensi terjalin dinamis, menjadi timpang. Semestinya kedua dunia ini hidup berdampingan di mana masing-masing secara dinamis dapat saling memperkaya,

yang integral bisa menyorot kepentingan ketrampilan/kerajinan tangan dalam kancah kesenian masakini. Explorasi dimensi proses semacam ini akan menawarkan sumber inspirasi yang kaya dengan visi artistik, sampai pada endapan kearifan lokal, yang tentu akan memperkaya perkembangan seni kontemporer Indonesia lebih lanjut. Seni serat tradisional memiliki multidimensi dalam hal teknik, fungsi, symbol dan proses. Dengan mempertunjukkan aspek seni serat domestik Indonesia pada komunitas yang luas, kita sekaligus menempatkannya sebagai bagian penting dalam perbendaharaan seni serat dunia. Hal seperti ini tentu juga akan merangsang penciptaan seni serat mutakhir untuk mau memalingkan muka kembali pada akar budayanya, dan kekhasan seni serat Indonesia sendiri sebagai sumber inspirasi dan pertumbuhan.

***

Sebagai bagian dari pameran berkala Fiber Face, yang diadakan sekali dalam dua tahun, Fiber Face 3 memilih tema “Transformasi”, guna mempertajam penjelajahan tema Fiber Face 2 sebelumnya, yakni “Evolusi”. Tema “Evolusi” kala itu dipilih dengan maksud membebaskan pemahaman media serat dari paradigma seni post-moderen dan menyoroti seni serat dalam kontek budaya yang lebih integral. Selain itu, tema “Evolusi” juga ditujukan untuk

Fiber Face 3Transformation Fiber Face is a series of exhibitions

that focus specifically on Indonesian fiber arts. Although

these exhibitions heighten appreciation of contemporary fiber arts, Fiber Face focuses as well on traditional fiber arts as a way of honoring our cultural heritage. It is hoped that this attention will socialize the irreplaceable value of cultural heritage in the society.

Indonesian fiber arts represent a rich, pluralistic cultural aesthetic that has existed for thousands of years and continues to exist to this day throughout the country. It is, however, a pity that these creative activities often are not considered to be Art (with a capital “A”), so local fiber art traditions are handed down through generations and often stored in the repository of agrarian culture. Meanwhile, rapid developments in contemporary art are more focused on discourses from outside Indonesia.

This causes a gap in the relationship between contemporary art and local wisdom, the roots of local culture, diminishing what could be a dynamic bond. These two worlds could exist side-by-side enriching each other, sharing and exchanging knowledge and experiences. To build and nurture a two-way interactive relationship requires continuous dialogue and collaborations regarding multiple aspects of art, beginning with the materials, techniques, and functions in the culture through the creative processes.

saling membagi dan tukar ilmu. Untuk membangun hubungan interaksi dua arah seperti itu, diperlukan dialog dan kolaborasi yang dapat berlangsung mulai tingkat pengetahuan bahan, tehnik penanganan, fungsi dalam budaya hingga proses kreatif.

Fiber Face dimulai tahun 2007 dengan sebuah pameran kecil Fiber Face Yogya, di galeri Babaran Segaragunung, dengan menggelar karya 10 seniman serat Yogyakarta. Fiber Face diharapkan bisa mengawali satu rangkaian pameran untuk menampilkan seni serat di Indonesia. Berikutnya adalah Fiber Face “Cross Cultural Collaborations of Indonesia” (2008), yaitu pameran keliling yang menampilkan karya kolaborasi Agus Ismoyo dan Nia Fliam dengan berbagai komunitas adat di berbagai negara. Pameran dan karya kolaborasi sudah dilakukan Agus Ismoyo dan Nia Fliam selama bertahun-tahun di Sanggar mereka, studio Brahma Tirta Sari. Pameran selanjutnya, Fiber Face 2 ‘Evolusi’, digelar di Taman Budaya, sebuah galeri publik utama di Yogya pada tahun 2009. Pameran ini menampilkan karya 43 seniman serat dari berbagai wilayah Indonesia, Amerika Serikat, Jerman, Mali Afrika, dan Australia.

Sejak awal, pameran Fiber Face bertujuan menciptakan kemungkinan terjalinnya hubungan interaktif dengan seni serat tradisional. Dengan meletakkan seni serat lokal pada konteks

Fiber Face began in 2007 with a small exhibition, Fiber Face Yogya, at the Babaran Segaragunung Gallery, that featured the works of 10 fiber artists from Yogyakarta. This was the first in a series of exhibitions that present fiber arts in Indonesia. The next event, Cross-Cultural Collaborations of Indonesia (2008) was a traveling exhibition that featured collaborative works by Agus Ismoyo and Nia Fliam with various traditional communities in several countries. These two artists have worked on creative collaborations and exhibitions for years in their studio, Brahma Tirta Sari. The next exhibition, Fiber Face 2: Evolution, was presented at Taman Budaya, a major public art gallery in Yogyakarta in 2009. This exhibition featured the works of 43 fiber artists from many regions in Indonesia, the United States, Germany, Mali (Africa), and Australia.

Since its inception, Fiber Face has focused on creating opportunities for continued interactive relationships between contemporary arts with traditional fiber arts. Placing local fiber arts in an integral position in this art discourse draws attention to the importance of craftsmanship in the art world at the present time. Exploration into the dimensions of processes such as this offers a rich source of inspiration for artistic vision and local wisdom, which certainly could enrich the future development of contemporary Indonesian art. Traditional fiber arts are multidimensional in techniques, functions, symbolism, and processes. By presenting

Rumah Budaya Babaran Segaragunung

Copyright © 2011 by Rumah Budaya Babaran Segaragunung

Published by Rumah Budaya Babaran SegaragunungDs. Tegal Cerme No. 7 KD V RT. 08 RW. 14, Banguntapan, Yogyakarta, Indonesia, 55197

This catalogue was published in conjunction with the exhibition Fiber Face 3 at Taman Budaya Yogyakarta, 12 - 25 February 2011

Curator Joanna Barrkman, Pang WarmanMaradita Sutantio, Abdul Syukur

Spotlight Curator Sandra Niessen

Catalogue DesignPang Warman, DS Priyadi, Abdul Jamil

English Translation Joan Suyenaga, Andrea Lucman, Tjandra Kerton

Indonesian TranslationLandung Simatupang, Wiwik Sushartami

All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or tranmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, without the prior written permission of the publisher.

Chairman of Committee Agus Ismoyo

Organizing Committee Agus Ismoyo, Nia Fliam, Pang Warman

Coordinator of Exhibition DS Priyadi

Treasurer Jarot Pracahyadi

Seminar Kharisma Creatifani, Rifzika, Herlina Tojo

Workshops & Children’s Creative Day Desmond Sekarbatu

Fashion Ninik Darmawan

Management of Artworks Sutopo

Publication Djajantoro

Technical Display M Basori

Food & Refreshments Ani Widyawati, Waljinah

ISBN 978-979-17043-1-1

Page 3: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

4

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

5

membebaskan pemahaman media serat dari definisi seni pasca-modern, yang menyekat fenomena media serat senirupa Barat pada tahun 70-an, sebagai sempalan ‘revolusi’ dari bentuk seni sebelumnya. Segala representasi media serat sebelum periode itu, tak layak disebut ‘seni serat’; alias ‘seni kriya’ atau ‘seni tradisional’. Tema Fiber Face 2 mencairkan kaidah itu, dengan memajang sejajar karya tekstil tradisional dengan karya kontemporer akademis, dalam bingkai evolusi yang berkesinambungan. Selanjutnya Fiber Face 3, kali ini hendak menukik pada momentum “transformasi” era globalisasi, di mana seni serat menghadapi arus pasang interaksi multi-kultural antar bangsa yang luarbiasa kencang, dan tak terelakkan.

60 seniman, memamerkan karyanya setelah melalui tahap seleksi, dengan perbandingan: 21 orang perupa luar negeri dari Australia, Germany, Austria, Belgium, the United States dan Jepang, 39 orang perupa kontemporer Indonesia dan Penenun “ulos” dari tradisi seni serat lokal Sumatera.

Lewat presentasi ragam karya dan variasi teknik mereka, ditambah deskripsi dalam display yang informatif, wawancara, serta rangkaian dokumentasi lokakarya masalah teknik, Fiber Face 3 menampilkan gambaran aktual “transformasi” seni serat dalam kaitan dengan materi dan teknologi saat ini.

Menarik pula dilihat, betapa mereka mengolah dampak teknis, fungsi, proses kreatif, faktor ekonomi dan batas-batas paradigmatik antara ‘seni’ dan ‘kriya’ yang kian muskil. Betapa mereka survive, baik dari basis tradisi rural maupun kontemporer urban, menghadapi

these aspects of domestic Indonesian fiber arts to a broader community, we are also positioning them as important components of the treasury of world fiber arts. It is hoped this will encourage contemporary fiber arts to incorporate their cultural roots and the unique characteristics of Indonesian fiber arts as sources of inspiration and growth.

***

As part of the ongoing Fiber Face exhibitions, Fiber Face 3’s theme, Transformation, delves further into the explorative theme of Fiber Face 2: Evolution. The Evolution theme was chosen to question the understanding of the media of fiber within the paradigm of post-modern art, and to feature fiber arts in a more integrated cultural context. Fiber Face 2: Evolution displayed traditional textile pieces next to academic contemporary works in a framework of continuous evolution. In continuation of this process, Fiber Face 3 intends to present the momentum of transformation in the era of globalization, where fiber arts face the incredibly intense unquestionable currents of multicultural interaction between nations.

60 artists who have been selected to participate in the exhibition include 21 foreign artists from Australia, Germany, Austria, Belguim, the United States, Japan and 39 contemporary Indonesian artists and ulos weavers from Sumatera.

Fiber Face 3 will offer a picture of the transformation of fiber arts in relation to materials and technology in the current times through presentations of the artworks and techniques, complete with descriptions in informative displays, interviews, and a series of documentaries of workshops on technical problems.

It is also interesting to see how the artists work with the technical effects, functions, creative processes, economic factors, and the now critical paradigmatic distinctions between “art” and “craft”. How they survive, whether by rural traditions or contemporary urban practices, facing the challenges of transformation that are occasionally dilemmatic, caught between temptations of current global trends and the charming aura of ancient local relics, undergoing a change of creative climates that is the result — again — of the massive, intense and complex struggle of the variety of cultures.

***

In Germany there is a dense oak tree forest. What is truly amazing is that, upon excavation, we find that the dense forest is in actuality branches of the mother tree that for centuries has been covered by earth. The original forest is actually under the current forest. Reminiscent of such a forest, the walls of Prambanan temple (9th century AD) are decorated with niches filled with the carvings of the Kalpataru, Tree of Life, which stands upright with branches and leaves reaching to the sky, while the roots penetrate the layers of earth, searching for the source of water (knowledge that takes the form of traditions of cultural heritage). The deeper the roots of this Tree of Culture penetrate the earth, the higher the branches and leaves reach up to the sky, greeting the sunlight. We place ourselves in this Tree of Life as part of continuous growth within the community. We are free to grow because of everything that has grown before us, and whatever grows after us, grows together with us. This chain is the amazing cultural DNA of our world.

Babaran Segaragunung Culture House

Yogyakarta, 1 February 2011

Daftar Isi / Table of Content

tantangan “transformasi” yang kadang dilematis, antara godaan trend global masa kini dan pukauan aura lokal peninggalan kuno, di bawah perobahan iklim penciptaan akibat –lagi-lagi–pergumulan keaneka-ragaman budaya yang begitu masif, intensif dan kompleks.

***

Di Jerman sungguh-sungguh ada hutan pohon oak yang sangat lebat. Yang sangat bikin kaget, setelah di gali ternyata hutan lebat itu adalah gagang-gagang dari pohon-pohon induk yang selama berabad-abad sudah tertutup tanah. Hutan aslinya ada di bawah hutan yang dinikmati di masakini. Analog dengan hutan ini, dinding Candi Prambanan (abad 9 AD) diperindah dengan relung-relung yang berisi relief ”Kalpataru” atau pohon hayati, yaitu lambang budaya yang berdiri tegak dengan batang, ranting dan daun terus tumbuh menggapai langgit yang luas. Sementara akar-akar turun menembus lapisan-lapisan bumi mencari sumber air (ilmu) yang berwujud tradisi warisan budaya leluhur. Semakin dalam akar pohon budaya ini menghunjam bumi maka semakin tinggi pula batang pohon akan tumbuh dan daun-daun semakin leluasa menggapai langit menyambut sinar matahari. Kita meletakkan diri dalam pohon hayati ini sebagai sesuatu pertumbuhan bersama-sama. Kita pun bebas untuk tumbuh karena segala yang telah tumbuh dan yang akan tumbuh dalam kebersamaan Rantai ini, adalah DNA budaya bumi kita yang sangat dashyat.

Rumah Budaya Babaran Segaragunung

Yogyakarta, 1 Februari 2011

Mukadimah / Preface

Fiber Face, Transformation Rumah Budaya Babaran Segaragunung

Kuratorial / CuratorialFiber FaceJoanna Barrkman

Sebuah Catatan / A Note

Masyarakat Pelupa / A Forgetful SocietyMaradita Sutantio

Premiere

Rangsa ni Tonun MJA Nashir

Karya / Artworks

Spotlight

Tegangan di lungsin Batak /Tension in the Batak warpSandra Niessen

Ucapan Terima Kasih /Acknowledgement

2

6

12

16

17

80

92

Page 4: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

6

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

7

Kuratorial / Curatorial

The contemporary world of textile arts is explored in Fiber Face 3, both within Indonesia and beyond.

Fiber Face 3 investigates the dynamics of contemporary fibre art and seeks to contextualise today’s fibre art practice within a larger framework of Asian and global textile heritage. The theme ‘transformation’ underpins Fiber Face 3 as contemporary fibre arts demonstrate processes of change, dynamism and invention in our fast-changing world. The curatorial structure of Fiber Face 3 invites viewers to engage with the artworks from a range of perspectives.

An obvious starting point from which to consider fibre art is the transformative process used in combining materials and techniques. What constitutes fibre, in itself, can be a challenging concept. Conventional wisdom suggests that fibre is vegetal or organic tissue. Be it bamboo, rattan, leaf, filament, hair or cord it is common that a process of splitting, spinning or rolling is required to consolidate and strengthen a natural fibrous material into a pliable fibre. These fibres are then transformed into a two or three dimensional artwork by the application of a construction technique. So what can be said of a sculpture woven from metal strips1, a kebaya made from pressed, printed and stitched aluminium foil2, cotton pulp ‘lacework’3 and plastic, magnetic audio cassette tape woven into a garment4? Whilst these materials do not conform to conventional notions of fibre, the use of plaiting, weaving and stitching construction techniques have required these non-fibrous materials to perform fibrous functions such as pliability, interweaving, and continuity. Hence,

1 See Itsnataini Rahmadillah’s Here.2 See Kahfiati Kahdar’s Treasure I.3 See Winsome Jobling’s Dirty laundry which was made using hand-made Abacá paper (Musa textilis L.) a species of banana native to the Philippines, and grown widely in Kalimantan and Sumatra. The lace was made by pouring fine cotton pulp consisting of lint.4 See Andita Purnama’s Singing in the smoky room.

Pameran Fiber Face 3 ini mengeksplorasi jagad masa kini seni tekstil, di Indonesia maupun

luar Indonesia. Fiber Face 3 menelisik dinamika seni serat kontemporer dan berusaha meletakkan praktik seni serat hari ini dalam bingkai pusaka tekstil Asia dan dunia seluasnya. Tema ‘transformasi’ menjadi landasan Fiber Face 3 ini, selagi seni serat memperlihatkan proses perubahan, dinamika, dan invensi di dunia kita yang berubah dengan kecepatan tinggi. Struktur kuratorial Fiber Face 3 mengajak pengunjung pameran menjalin kontak yang penuh makna, dan dari berbagai perspektif, dengan karya seni yang digelar.

Titik tolak yang mudah dan jelas dalam meninjau seni serat adalah proses transformatif dalam memadukan berbagai bahan dan teknik. Apa sebenarnya ‘serat’ itu sendiri, dapat menjadi konsep yang menantang. Wawasan konvensional mengatakan, serat ialah jaringan nabati atau organik. Bambu, rotan, daun, filamen, rambut maupun tali jalin (cord) sama-sama membutuhkan proses pembelahan, pemintalan atau penggulungan untuk mengokohkan dan memperkuat suatu bahan alami tertentu agar dapat sungguh-sungguh menjadi serat yang lentur. Serat-serat ini kemudian ditransformasikan menjadi karya seni dwimatra atau trimatra lewat penerapan teknik pembuatan atau konstruksi tertentu. Jadi, bagaimana halnya dengan patung yang dianyam dari bilah-bilah logam tipis1, kebaya yang terbuat dari lembar aluminium (aluminium foil)2, dan ‘utas’3 bubur sutera dan pita magnetik kaset audio yang

1 Lihat karya Itsnataini Di Sini.2 Lihat karya Kahfiati Kahdar Treasure I.3 Lihat karya Winsome Jobling Dirty Laundry yang terbuat dari kertas Abacá (Musa textilis L.) buatan tangan. Abacá adalah suatu spesies pisang yang merupakan tumbuhan asli Filipina, dan tumbuh liar di Kalimantan dan Sumatra. Renda itu dibuat dengan menuangkan ‘bubur’ (pulp) katun halus yang berasal dari limbah proses pembuatan kain (lint).

Fiber Face 3Joanna Barrkman

justru mengilustrasikan transformasi berkelanjutan dalam teknik batik tulis Jawa sejak perjumpaan awalnya dengan seniman-seniman Belanda pada 1882. Sejak itu, batik sangat mengemuka dalam gerakan European Art Nouveau dan Art Deco, yaitu antara 1892 – 1930 (Wronska-Friend, 2000; h. 109). Karya-karya lukis batik yang canggih dari para seniman Eropa yang digelar dalam Fiber Face 3 ini mengilustrasikan evolusi yang terus berlangsung dalam lukis batik pada dekade-dekade mutakhir dengan terciptanya karya-karya yang sangat naturalistik berdampingan dengan karya-karya artikulatif, impresionistis maupun abstrak.7

Karya-karya lain yang dipamerkan dalam Fiber Face 3 ini mendokumentasikan betapa teknik dapat mentransformasikan asosiasi kultural. Slamet Riyadi dan Farida secara efektif telah menggunakan teknik sulam tangan Eropa, mungkin Belanda, untuk menggambarkan wajah-wajah Pawayangan Jawa dalam karya mereka Simbolisme face. Karya tenun Nicky Schonkala yang bertajuk weavolution, mencakup penggunaan struktur tenun dekoratif Eropa untuk menyajikan pemandangan alam Australia tengah dengan tumbuhan polong, Spinifex dan padang-padang rumputnya. weavolution juga menggunakan referensi strip-weaving Afrika, suatu teknik yang mengemuka pada kain yang ditenun dan dijahit secara tradisional oleh kaum pria Kente.8

Pelbagai karya yang ditampilkan dalam Fiber Face 3 ini mengeksplorasi

7 Lihat karya Fritz Donart Old yard in Austria sebagai contoh batik naturalistik yang sangat cermat dan rinci. Juga karya Joachim Blank, Gate. Teknik Blank menggunakan benda-benda yang dia juluki ‘alat-alat dari alam’ sebagai titik tolak desain permukaan yang berlapis dan meliputi pelapisan dengan kain transparan yang setiap lapisnya ditangani dengan perlakuan tesendiri. Karya Blank ini menggunakan teknik rintang dalam pewarnaan batik pada lembar-lembar katun dan organza sutera. 8 Karya Schonkala menampilkan lukisan tangan pada benang-benang bujur sutera.

ditenun atau dianyam menjadi pakaian?4 Meskipun bahan-bahan tersebut tidak sesuai dengan pengertian konvensional tentang serat, teknik pembuatan dengan menjalin, menenun, menganyam dan merajut menghendaki bahan-bahan non-serat ini menjalankan fungsi-fungsi ke-serat-an seperti kelenturan, kesaling-jalinan, dan kontinuitas. Demikianlah, di sini teknik menjadi agen transformasi bahan, sehingga tampaklah bahwa ‘seni serat’ di zaman modern ditentukan dan dihasilkan oleh kepiawaian teknis dan kecemerlangan daya cipta imajinatif seniman dalam menafsir ulang perjumpaan interaktif antara bahan dan teknik pembuatan.

Karya-karya yang digelar dalam Fiber Face 3 ini juga mewakili keragaman teknik pembuatan dan desain permukaan yang digunakan akhir-akhir ini, yang mencakup sulam tangan dan mesin, aplikasi, sulam-kait-renda, tenun dengan alat, penggandengan, tenun dengan hiasan tambahan pada benang pakan maupun teknik-teknik pewarnaan celup rintang seperti shibori, ikat dan batik. Yang mengejutkan, untuk pameran yang dipergelarkan di Jawa bagian tengah ini, hanya ada tiga karya Indonesia yang menampilkan batik tulis dan batik cap.5 Selain pola padat motif batik Jawa tradisional, kedua karya itu menggunakan pula teknik aplikasi jahit tangan (hand-stitched reverse appliqué) dan teknik batik tulis.

Karya-karya para seniman Eropa yang disajikan dalam Fiber Face 3 6 inilah yang

4 Lihat karya Andita Purnama Singing in the Smoky Room.5 Lihat karya Agus Ismoyo dan Nia Fliam Arum Dalu (Fragrant Night), Dadang Christanto Batik yang Terbakar dan karya Bambang Trilaksana Imajinasi Liar.

6 Seniman-seniman Eropa yang ditampilkan dalam Fiber Face 3 dan berkarya dengan medium lukis batik meliputi Brigette Willach dan Joachim Blank dari Jerman, Rita Trefois dari Flanders, dan Fritz Donart dari Austria.

technique becomes a transforming agent of material, suggesting that ‘fibre art’ in the modern age is constrained largely by an artist’s imaginative ingenuity and technical virtuosity to reinterpret the interface between material and construction technique.

The works exhibited in Fiber Face 3 also represent the diversity of construction techniques and surface design in current use including hand and machine embroidery, appliqué, crochet, loom weaving, twinning, supplementary weft weave as well as resist dye techniques such as shibori, ikat and batik. Surprisingly, for an exhibition mounted in central Java, there are only three Indonesian artworks that feature batik tulis and batik cap.5 Additional to the dense patterning of traditional Javanese batik motifs on these two works, techniques of hand-stitched reverse appliqué and batik-painting have been employed.

It is the artworks of European artists presented in Fiber Face 36 that illustrate the ongoing transformation that the Javanese batik tulis technique has undergone, since its early encounters by Dutch artists in 1882. Following this time batik became prominently featured in the European Art Nouveau and Art Deco movements, between 1892 – 1930 (Wronska-Friend, 2000; p. 109). These sophisticated hand-painted batik works, created by European artists and displayed in Fiber Face 3, illustrate the ongoing evolution of batik-painting in recent decades with accomplished, highly naturalistic works being created alongside eloquent, impressionistic and

5 See Agus Ismoyo and Nia Fliam’s Fragrant Night, Dadang Christanto’s Batik Has Been Burnt and Bambang Trilaksana’s Imajinasi liar (Wild Imagination).6 The European artists featured in Fiber Face 3 working in the medium of batik-painting include Brigette Willach and Joachim Blank are German, Rita Trefois is Flemish and Fritz Donart is Austrian.

Page 5: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

8

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

9

abstracted works.7

Other works exhibited in Fiber Face 3 document the manner in which technique can transform cultural association. Slamet Riyadi and Farida have effectively applied a European, presumably Dutch, decorative hand-embroidery stitching technique to depict classic Javanese Pawayangan faces in Simbolisme face. Nicky Schonkala’s loom woven weavolution, incorporates European decorative weaving structures to represent a central Australian landscape and its seed pods, Spinifex and grasses. weavolution also references African strip-weaving, a technique featured on cloth traditionally woven and sewn by Kente men.8

Various works featured in Fiber Face 3 explore the use of fibre as a means of interrogating and transforming notions of personal and social identity. IPO Synthetic uses the highly intimate fibre of human hair in Pre and Post Labyrinth to juxtapose the inter-relationship between our personal well–being and the wider society in which we live.

Works that playfully, yet pointedly, comment on social mores include Eko Nugroho’s The witness 4, and Lampu Kuning’s installation Chaotical bottom. Nugroho’s motif of ‘saksi mata’ – eyes that witness – symbolise his generation’s experience of observing local and global political, social and technological change following the New Order (1965-1998), whilst continuing to see little tangible advancement in the day-to-day lives within the communities

7 See Fritz Donart’s Old yard in Austria as an example of exacting, naturalistic batik. Also see Joachim Blank’s Gate. Blank’s technique uses objects that he refers to as ‘tools from nature’ as a starting point for his multi-layered surface designs which include layering transparent fabric, each layer of which has been differently treated. Blank’s work features batik resist on lengths of cotton and silk organza. 8 Schonkala’s work features a hand-painted silk warp.

penggunaan serat sebagai sarana untuk mempertanyakan dan mentransformasikan identitas personal dan sosial. IPO Synthetic menggunakan serat yang sangat intim yaitu rambut manusia dalam Pre and Post Labyrinth untuk menjejer-kontraskan antarhubungan kesejahteraan personal kita dan masyarakat luas tempat kita hidup.

Karya-karya yang secara main-main, namun tajam, mengomentari budi pekerti sosial mencakup The witness 4 oleh Eko Nugroho, dan instalasi oleh Lampu Kuning yang bertajuk Chaotical bottom. Motif Eko ‘saksi mata’ – mata yang menyaksikan – melambangkan pengalaman generasinya melihat dan mengamati perubahan politik, sosial dan teknologi lokal maupun global setelah Orde Baru (1965-1998), sementara mereka saksikan baru ada sejumput kemajuan nyata dalam kehidupan sehari-hari di komunitas mereka masing-masing. Eko Nugroho berkata bahwa saban hari dia melangkah keluar dari rumahnya dan tidak melihat perubahan apapun. Kehidupan terasa sangat berat bagi kebanyakan orang di Indonesia (komunikasi pribadi dengan Eko Nugroho, 2007). Instalasi karya Lampu Kuning, dengan memapar ‘keterkatung-katungan’ dan karya yang sedang dalam pengerjaan, menyiratkan bahwa mempertunjukkan segi tersembunyi dari suatu situasi kadang-kadang baik juga (meski tampak agak acak-acakan!), daripada mencoba menepati konvensi-konvensi sosial dan versi realitas yang diidealisasikan.

Perspektif lain yang dieksplorasi dalam Fiber Face 3 adalah kemampuan serat untuk sekaligus berpijak pada dan menginfiltrasi berbagai genre. Memang bermanfaat dan mencerahkan menatap seni serat kontemporer melalui prisma ‘kategori dan label’ dalam menyatakan daya adaptasi dan relevansi seni serat. Namun tinjauan demikian tidak dimaksud

untuk mempertegar kategori-kategori tersebut melainkan untuk menerang-jelaskan kehadiran dan transendensi ‘serat sebagai seni’ di dunia konseptual, dekoratif dan seni murni, maupun dalam ranah kriya dan busana. Dari perspektif etno-kultural, serat dan kain juga dapat dikategorisasikan sebagai saluran atau wadah energi, potensi atau ‘keliyanan’, yang merujuk keterkaitan serat dengan busana ritual, perlindungan, kuasa dan status sosial. Kain juga dapat menjadi benda biografis yang memuat kenangan dan pengalaman mendalam. Karya Aprina Murwanti In Memoriam Loved secara eksplisit mengeksplorasi peran kain lurik Jawa sebagai penanda kultural dan catatan pengingat tentang transisi personal senimannya menjadi ibu.

Situs lain yang semakin diisi oleh seni serat kontemporer adalah sebagai wahana pertukaran antarbudaya. Karya-karya dari Adrienne Kneebone, Noreen Ashley, Patsy Forbes, Rita Cameron, Sarah Bidngal Ashley dan Lucy Cameron, para anggota Pandanus Project, meneguhkan fakta bahwa menenun, menyulam dan memproses dapat menjadi kegiatan yang bisa sama kolaboratifnya atau soliternya, dan mengandung suatu metodologi universal yang menembus bahasa dan perbedaan budaya.9 Pandanus Project memperluas parameter pembuatan keranjang dan aneka barang, yang dianyam oleh perempuan suku asli Australia dari daun pandan (Pandanus spiralis L.), dengan mengeksplorasi bentuk-bentuk anyaman baru melalui kolaborasi lintas budaya. Atau, kemungkinan lainnya, para penenun Australia yang bukan pribumi, memetik hikmah dari mempelajari cara suku pribumi menenun dan mewarna yang semakin banyak mereka gunakan untuk memperkaya praktik seni dan kriya

9 The Pandanus Project merupakan prakarsa pengembangan tenun kontemporer oleh Djilpin Arts, Beswick, Australia.

kontemporer mereka.10

Upaya-upaya kreatif semacam itu, yang menghasilkan bentuk-bentuk kontemporer dan visi konseptual lewat pemanfaatan teknik-teknik tradisional, makin menegaskan bahwa tidaklah relevan mendefinisikan produksi serat sebagai tradisional atau kontemporer. Maka sudah tepat jika Fiber Face 3 ini mengetengahkan sekumpulan tekstil Batak (ulos) kontemporer. ‘Sorotan khusus’ ini menekankan antarhubungan praktik serat adat dengan praktik seni serat kontemporer.

Potensi untuk mengkaji pengetahuan dan ketrampilan yang masih berada di genggaman para empu tenun, empu warna, dan empu pintal amat sangat melimpah di Indonesia. Mengapakah para mahasiswa dan seniman serat di kota-kota besar langka mencari dan merunut jejak untuk menemukan warisan pengetahuan, ketrampilan dan teknik ini untuk dijadikan pangkal tolak menuju tataran teknik dan estetika baru?

Ditampilkannya ulos Batak dalam pameran Fiber Face 3 yang diperluas ini mengacu pada suatu sumber daya anggun yang dapat mengilhami praktik seni posmodern. Sejak lama dunia telah berpaling dan menatap Indonesia sebagai tempat semayam pusaka tekstil yang paling luar biasa di dunia. Sebelum pengetahuan yang masih

10 Lihatlah pula Truth, lives and packing tape oleh Fiona Gavino dalam Fiber Face 3. Praktik seni Gavino diilhami oleh ketrampilan yang diajarkan padanya oleh Anne Gondjalk, seorang petenun Australia Pribumi dari Elcho Island, Australia. Gavino semula menenun dengan bahan Pandanus spiralis L. yang juga dia olah dan warnai berdasarkan metode tenun dan pembuatan keranjang Pribumi. Dalam Truth, lives and packing tape ini Gavino juga menggunakan sumber pusaka Maroi yang diwarisinya dan menggunakan teknik tenun rami. Praktik seni pembuatan kertas yang awal dari Winsome Jobling diilhami oleh pembelajarannya dalam pembuatan keranjang dari perempuan-perempuan pribumi di Belyuen di mana serat pintal (string) merupakan titik awal pembuatan kertas. Pengetahuan kaum Pribumi tentang tumbuhan ini juga ikut mengilhami pembuatan kertas Jobling

that they live. Nurgroho states he can walk outside his front door everyday and nothing has changed. Life is very hard for most people in Indonesia (pers comm. Nugroho, 2007). Lampu Kuning’s installation, through exposing ‘loose ends’ and work-in-progress, suggests that to display the hidden side of a situation is sometimes desirable, (even if it’s a bit messy!), in preference to attempting to maintain social conventions and an idealised version of reality.

Another perspective that is explored in Fiber Face 3 is the ability of fibre art to straddle and infiltrate a multiplicity of genres. It can be instructive to view contemporary fibre art through the prism of ‘category and label’ in asserting the adaptability and relevance of fibre art. This lens is not intended to reinforce these categories, but rather aims to elucidate the presence and transcendence of ‘fibre as art’ in the worlds of conceptual, decorative and fine art, as well as in the realms of craft and costume. From an ethno-cultural perspective fibre and cloth can also be categorised as a conduit or container of energy, potency or ‘otherness’, alluding to its association with ritual attire, protection, power and social status. Cloth also can serve a purpose as a biographical object invested with memory and lived experience. Aprina Murwanti’s work In memorium loved explicitly explores the role of Javanese lurik cloth as a cultural marker and aide memoir of her personal transition into motherhood.

Another site that contemporary fibre art increasingly occupies is as a vehicle of exchange between cultures. Artworks by Adrienne Kneebone, Noreen Ashley, Patsy Forbes, Rita Cameron, Sarah Bidngal Ashley and Lucy Cameron, members of the Pandanus Project, reinforce the fact that weaving, stitching and making processes can be equally collaborative or solitary pursuits, and contain a universal methodology that

transcends language and cultural difference.9 The Pandanus Project extends the parameters of traditional utilitarian basketry and objects, woven by Indigenous Australian women using pandanus leaves (Pandanus spiralis L.), by exploring new woven forms through cross-cultural collaboration. Such exchanges encourage Indigenous Australian weavers to increasingly apply their technical weaving virtuosity to new, inventive forms and subject matter. Alternatively, non-Indigenous Australian weavers benefit from learning traditional, Indigenous weaving and dyeing methods which they increasingly use to inform their contemporary art and making practices.10

Such creative endeavours that result in contemporary forms and conceptual vision being achieved through the employment of traditional techniques reinforce the irrelevance of attempting to define fibre production as either traditional or contemporary. It is therefore appropriate that Fiber Face 3 features a collection of contemporary Batak textiles. This ‘spotlight’ emphasises the inter-relationship between customary fibre practices and contemporary fibre art practices.

The potential for investigating the knowledge and skills that remain in the hands of master weavers, dyers

9 The Pandanus Project is a contemporary weaving development initiative of Djilpin Arts, Beswick, Australia.10 Also see Truth, lives and packing tape by Fiona Gavino in Fiber Face 3. Gavino’s art practice is informed by skills taught to her by Anne Gondjalk, an Indigenous Australian weaver from Elcho Island, Australia. Gavino formerly wove with Pandanus spiralis L. which she also prepared and dyed based on Indigenous basketry and weaving methods. In Truth, lives and packing tape Gavino has also drawn from her Maroi heritage and uses a flax weaving technique. Winsome Jobling’s initial papermaking art practice was informed by learning basket making from Indigenous women in Belyuen where string fibres became a starting point for making paper. Indigenous plant knowledge also informs Jobling’s papermaking.

Page 6: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

10

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

11

tinggal di kalangan mereka yang banyak bermukim di lingkungan pedesaan dan jauh terpencil ini raib seluruhnya, maukah para seniman serat Indonesia yang baru muncul mencari titik-titik kolaborasi dan pertukaran demi revitalisasi gerakan seni serat di Indonesia dan luar Indonesia?

Proses demikian juga mengakomodasi pertautan mesra kembali dengan lingkungan, yang merupakan kebutuhan kritis di seluruh dunia. Ketersandaran kita pada lingkungan, dan persinggungan interaktif antara seni serat dan lingkungan alami merupakan butir esensial dalam Fiber Face 3 ini. Karya Tofan A Widianto Save the earth menyajikan imbauan penting dan mendesak untuk menghormati lingkungan kita, sedangkan karya-karya lain mengacu pada kecenderungan konsumeris kita dengan mendaur ulang bahan-bahan buangan dan bekas pakai.11 Banyak di antara karya yang dipajang dalam pameran Fiber Face 3 ini menampilkan serat-serat alami; sedangkan akar, daun, kulit kayu dan biji telah diubah menjadi warna dan rona.12 Bumi tempat kita semua hidup ini mengilhamkan bentuk dan isi; peralihan musim, datangnya hujan, kerontangnya

11 Karya Anto Sukanto Reformasi setengah jilid mengetengahkan bahan berupa limbah spanduk politik yang didaur ulang; instalasi site-specific karya Anna Reynold menggunakan kain dan barang-barang buangan; Truth, lives and packing tape karya Fiona Gavino mendaur ulang pita perekat yang digunakan dalam pembungkusan; Esti Siti Amanah Gandana dalam karyanya Journey Across Sahara Desert menggunakan kembali benang-benang buangan industri, sedangkan Andita Purnamasari mendaur ulang pita kaset audio dalam karyanya Singing in the smoky room.12 Lihatlah karya Dian Widiawati, Earth; karya Ardita Ayulestari The missing Alaqua; karya Eka Arifianti Puspita Lets fold and fold banana; Trial period dari Rani Ariefanti; A twilight sight dari Nurlina Khairun-nisa, dan karya Sabila Nurul Afifi Tropicana exotica.

gurun dan dahsyatnya letusan,13 suatu fenomen mutakhir yang berdampak atas kehidupan beribu orang di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selagi menatap dan menikmati Fiber Face 3, baik kiranya kita merenungkan seni serat kontemporer sebagai bagian dari suatu kontinum historis. Di sinilah, pada karya-karya seni yang dipamerkan ini, utas-utas hubungan kekal antara seniman dan prosesnya, persinggungan dan saling pengaruh antara bahan dan teknik, serta interaksi antara seniman dan lingkungan sosial serta fisikalnya, terlihat dan terasa.

Joanna Barrkman

10 Januari 2011

Curator, Southeast Asian Art and Material Culture, Museum and Art Gallery of the Northern Territory

ACUANWronska-Friend, M. 2000. ‘Parang Rusak design in European art’ dalam Building on batik, Hitchcock M. dan Nuryanti W (penyunting), Ashgate, Aldershot.

Wawancara Eko Nugroho dengan penulis, 19 November, 2007, Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta.

13 Karya-karya yang terkait dengan fenomen lingkungan misalnya adalah Dead leaves and the dirty ground oleh Rara Pradnya; I love a sunburnt country oleh Lillian Smith; Journey across the Sahara Desert oleh Esti Siti Amanah Gandana; karya Alie Gopal Eruption dan Philomena Hali Earth eruptions.

and spinners is extraordinarily rich in Indonesia. Why is it uncommon for urban students and fibre artists to seek out the vestiges of this knowledge, skill and technique as a springboard into new technical and aesthetic terrain? This display of Batak textiles within the broader Fiber Face 3 exhibition points to a resource that is poised to inform a post-modern art practice. The world has long looked to Indonesia as a site of the world’s most exceptional textile heritage. Before this knowledge that is retained by those who often reside in remote and rural settings completely disappears, will emerging Indonesian fibre artists find points of collaboration and exchange to revitalise fibre art movements within Indonesia and beyond?

Such a process also lends itself to a re-engagement with the environment, which is critically required globally. The reliance on our environment and the interface between fibre art and the natural environment is inherent in Fiber Face 3. Tofan A Widianto’s work Save the earth is an urgent plea to respect our environment, whilst other artworks point out our consumerist tendencies by recycling discarded and pre-used materials.11 Many of the works displayed in Fiber Face 3 feature natural fibres; whilst roots, leaves, bark and seeds have been transformed into colour and

11 Anto Sukanto’s work Reformation half a volume features recycled political banners (spaduk), Anna Reynold’s site specific installation uses discarded fabric and objects; Fiona Gavino’s Truth, lives and packing tape recycles used packing tape; Esti Siti Amanah Gandana’s Journey across Sahara Desert reuses discarded industrial threads and Andita Purnamasari recycles discarded audio cassette tape in her work Singing in the smoky room.

hue.12 Alternatively, the land upon which we all live inspires form and content; the transitions of the seasons, the arrival of the rain, the dryness of the desert and the power of eruption13; a recent phenomenon touching the lives of thousands of people in the region of Daerah Istimewa Yogyakarta.

As you view Fiber Face 3 please consider contemporary fibre art as part of a historical continuum. It is here, in the exhibited artworks that strands of an abiding relationship between the artist and their process, the interface between material and the technique, and the interaction between the artist and their social and physical environment can be seen and felt.

Joanna Barrkman

10 January 2011

Curator, Southeast Asian Art and Material Culture, Museum and Art Gallery of the Northern Territory

REFERENCES

Wronska-Friend, M. 2000. ‘Parang Rusak design in European art’ in Building on batik, Hitchcock M. and Nuryanti W (eds.), Ashgate, Aldershot.

Interview with Eko Nugroho and the author, 19 November, 2007, Cemeti Art House, Yogyakarta.

12 See Dian Widiawati’s Earth, Ardita Ayulestari’s The missing Alaqua, Eka Arifianti Puspita’s Lets fold and fold banana, Rani Ariefanti’s Trial period, Nurlina Khairunnisa’s A twilight sight and Sabila Nurul Afifi’s Tropicana exotica.

13 Some examples of artworks related to environmental phenomenon include Rara Pradnya’s Dead leaves and the dirty ground, Lillian Smith’s I love a sunburnt country, Esti Siti Amanah Gandana’s Journey across the Sahara Desert, Alie Gopal’s Eruption and Philomena Hali’s Earth eruptions.

Onggo Onggo : M.D. Budi (Penceng), Inus, Teguh (TG), Ramond, Bagus Smartono, Benny Carcass (participants of outdoor installation)

Kelompok Kriya Sastra : Bagus Prabowo, Virissa Septavy Syamshadiya, Bagus Dwi Danto (participants of outdoor installation)

Page 7: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

12

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

13

Maradita Sutantio

Bagi sebagian orang yang tinggal di daerah perkotaan metropolis dan urban, hal-hal yang bersifat

budaya dan tradisi mungkin cenderung terlewat begitu saja. Padahal Indonesia merupakan tempat di mana semua hal ‘dirayakan’ dengan sarat makna dan nilai-nilai kearifan. ‘Perayaan-perayaan’ tersebut memunculkan kebutuhan akan benda-benda untuk mendukung proses ritualnya, maka diciptakanlah benda-benda fungsional, salah satunya karya tekstil1. Tentunya untuk sesuatu yang sarat makna, alat pendukungnya tidak akan sembarangan dan dapat dipastikan berkualitas baik.

Dianugrahi kondisi alam yang subur, tanah kita menyediakan berbagai material dengan mudah dan baik untuk mendukung terciptanya karya-karya yang berkualitas. Terlihat ketika kulit kayu dapat diolah menjadi lembaran kain yang eksotis, bunga kapuk dapat dipintal menjadi helaian benang yang kuat, pewarna-pewarna alam tersedia dengan warna-warna kuat yang sangat beragam. Kekayaan alam dan kebutuhan akan benda (karya) berkualitas baik seperti inilah yang menjadikan masyarakatnya terampil dan memiliki kepekaan seni tekstil yang tinggi.

Seiring dengan perkembangan jaman, terjadilah proses-proses pertukaran informasi, pergeseran makna, pengaruh kolonialisme, perkembangan seni rupa (barat), dan perdagangan, sehingga menjadikan karya-karya tersebut beralih fungsi menjadi ‘benda’ yang diperdagangkan. Sebutlah diantaranya kain batik, tenun, ulos, dan lurik yang lebih sering disebut sebagai benda kriya/kerajinan. Proses pelipatgandaan karya-karya ini telah memunculkan pandangan-

1 Indonesia Indah. Kain-kain Tenun dan Non Tenun Indonesia, Jakarta Yayasan Harapan Kita, BP3 TMII, 1995.

aplikatif dan fungsional. Kecenderungan seperti itu merupakan ‘warisan’ sisa-sisa sikap hidup pada masa tradisional yang belum beranjak. Menjaga nilai-nilai tradisi merupakan hal positif, namun bila dilakukan terus menerus tanpa adanya pengembangan dan pemahaman baru, apalagi tidak ada gairah dalam mengerjakannya, hanya akan menghasilkan karya yang kurang bermakna. Karya-karya seperti itu dipastikan menjadi karya yang berjalan di tempat, ‘Being’.

Ketika seniman berhasil bertransformasi, kecenderungan berkarya pun menjadi melebar dan mencair ke wujud-wujud karya seni kontemporer, maka muncullah karya-karya seni serat kontemporer yang melampaui jenis karya sebelumnya, ‘Beyond’.

Pada Fiber Face3, Beyond factors-nya terwujud dari seniman-seniman yang mengapresiasi dan mengadaptasi ulang budaya lokal Indonesia hingga karyanya bertransformasi maksimal, salah satunya yang dilakukan oleh Nia-Ismoyo dalam karya batiknya. Selain itu, ada pula yang mencomot dan ‘mengawinkan’ beberapa tanda budaya guna menghasilkan bentuk karya hibrida kebudayaan, seperti karya Transporter & Transformer oleh Tiarma Siarit. Aprina Murwanti dengan karyanya In Memorium Love menghadirkan ‘kekuatan yang lain’ dalam kain tradisional, lebih dari sekedar perwujudan kain semata, dan berhasil mempresentasikannya secara atraktif. Karya BOOM !!! (And I’m Keep On Asking You) oleh Aulia Yeru yang mengangkat teknik konvensional tekstil namun dengan pendekatan modern yang serba paradoksal sukses menggelitik penikmat karyanya.

Sebaliknya, ada pula karya-karya yang dihasilkan dengan mengadaptasi

Masyarakat Pelupa

A Forgetful SocietyFor those of us who are city

dwellers, spending our lives in communities in the metropolis

and urban areas, matters of culture and tradition may very well pass by without us being any the wiser. Ironically, Indonesia is the place where milestones in life are ‘celebrated’ with deep meaning and significance. These ‘celebrations’ have come to require certain items to support their ritualistic processes, and thus functional objects were created, one of which were textiles.1 For these deeply significant rites, naturally only the best quality supporting items or objects were used.

Blessed with a fertile natural environment, our soil easily supplies a wealth of materials that can be utilized to create high quality works. This can be seen when tree bark is processed to become an exotic –looking piece of cloth, kapok flowers can be turned into strong threads, and natural dyes are alive with a variety of strong colors. Nature’s riches and the need for high quality works such as this has in turn brought forth talented people with a high degree of skill and sensitivity in the textile arts.

With the inevitable march of time and changes in each passing era, changes in information exchange processes, shifts in meaning, colonial influences, the development of fine art (Western), and commerce came about as well, resulting in these works of art for celebratory purposes becoming ‘objects’ to be bought and sold. Just to mention a few such as batik, tenun (woven cloth), ulos, and lurik (striped woven cloth), they are more often referred to as crafts or handicrafts. Much debate and a skeptical view overlaid with contradictions has come about on whether these works are ‘art’ or ‘craft.’

1 Indonesia Indah. Woven and non-woven cloths of Indonesia, Jakarta, Yayasan Harapan Kita, BP3 TMII, 1995.

Being forgetful of the historical values present in our own people and nation, we are often influenced by Western art teachings that have penetrated into our lives, beginning from the structure of society to the educational system. Craftmanship, which focuses on the creative process and the meticulous and careful attention to detail which makes up the process of making fiber art has actually had a negative effect and fiber art has been labeled a craft object.2

Before becoming directly engaged with those figures and artists whose mission is to vocalize and promote culture and tradition, the writer assumed that matters involving culture and tradition were separately removed from contemporary issues and matters. The writer’s assumption that these people were rejecting all things ‘new’ turned out to be wrong. Essentially what they have been fighting for was a spirit to live in harmony, in balance, while always undergoing a transformation, while the traditions and cultures of the artist would act as a backdrop to his ongoing creative process, as traditional art is believed to be the basis on which the artist contemplates his cultural identity and his creative process, and these two cannot be separated. In this way, a philosophical approach regarding culture has found its niche.3

Being and Beyond

The fiber art form, thus based on matters related to traditions and culture, is apt to be applied and functional in nature. This tendency is a ‘legacy’ of traditional ways of thinking and behaving which have not yet shifted. Preserving traditional values is all well and good, however, without progress and development and new

2 This was based on a discussion the writer had with Nia Fliam by a series of emails and text messages as well as informal meetings in Bandung-Yogyakarta, 2010.3 Syaiful Arif. Refilosofi Kebudayaan: Pergeseran Pascastruktural, Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

pandangan skeptis dan penuh kontradiksi dalam memperdebatkannya sebagai bentuk karya ‘seni’ atau ‘kerajinan’.

Lupa memandang nilai-nilai historis yang ada di dalam bangsa sendiri, kita sering terpengaruh oleh ajaran-ajaran seni rupa barat yang terlanjur merasuk dalam kehidupan kita, mulai dari sistem kemasyarakatan hingga sistem pendidikan. Craftmanship yang menekankan proses kreatif dan pengolahan karya secara teliti dan penuh perhatian sebagai karya seni serat malah mendapat efek buruk dan dicap sebagai benda kerajinan.2

Sebelum berinteraksi langsung dengan para tokoh dan seniman-seniman yang terus memperjuangkan suara kebudayaan dan tradisi, penulis menganggap bahwa hal-hal yang bersifat budaya dan tradisi merupakan hal terpisah dari sesuatu hal yang kontemporer. Anggapan penulis bahwa para tokoh ini menolak ‘kebaruan’ ternyata salah. Esensi yang diperjuangkan sekarang adalah semangat untuk hidup selaras, seraya terus bertransformasi, dengan tradisi dan budaya asal seniman sebagai penopang/dasar berkarya selanjutnya, karena karya tradisi dipercaya sebagai dasar refleksi diri akan identitas budaya yang tidak bisa dipisahkan. Dalam ruang seni seperti inilah pendekatan filosofis atas kebudayaan menemukan ruangnya.3

Being and Beyond

Berangkat dari hal-hal yang berhubungan dengan tradisi dan budaya, wujud karya seni serat cenderung bersifat

2 Hasil diskusi penulis dengan Nia Fliam melalui serangkaian email dan sms serta pertemuan-pertemuan informal di Bandung-Jogyakarta, 2010.

3 Syaiful Arif. Refilosofi Kebudayaan: Pergeseran Pascastruktural, Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

Sebuah Catatan / A Note

Page 8: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

14

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

15

teknik tradisional dari suatu budaya, kemudian teknik tersebut dihadirkan kembali dengan wujud yang sama sekali baru dan tidak disangka-sangka. Seniman-seniman yang tergabung dalam The “Pandanus Project”4 melakukan pendekatan dengan teknik anyam tradisional Aborigin guna menghasilkan bentuk karya kontemporer. Teknik shibori/tie-dye, dimanfaatkan oleh Yasuko Iyanaga yang juga merupakan asal teknik tersebut. Menariknya, teknik ini digunakan pula oleh Philomena Hali yang berasal dari Australia. Para seniman batik Eropa dan Amerika juga berhasil menghasilkan visual baru dalam menerapkan teknik batik dari Indonesia sebagai medium yang mewakilinya untuk berkarya5, sehingga karya dengan teknik batik sontak tampil mengejutkan mata dengan visual-visual geometris, naturalis, ataupun gaya abstrak.

Karya-karya seni serat kontemporer dalam ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta pada Fiber Face 3 ini menunjukkan gairah dan hasrat para senimannya yang berhasil keluar dari kebiasaan umumnya namun tetap mencerminkan nilai-nilai budaya.

Namun pertanyaannya, akan sejauh mana pergerakannya? Apakah seni serat akan berhenti sampai sini? Atau hanya akan bergerak ajek dalam dunia seni?

Tertantang?

Seorang seniman berkarya seni serat ketika ia memilih untuk menggunakan serat sebagai medium untuk karyanya. Pemaknaan yang sederhana, meski pada

4 The Pandanus Project, proyek pertukaran dan kolaborasi seni antara seniman serat Adrienne Kneebone dengan komunitas Beswick. 5 Lihat karya-karya batik dari : Viktor Sarjono, Brigitte Willach, Fritz Donart, Rita Trefois, Joachim Blank, Katalin Ehling, Marilyn Salomon, Dadang Christanto.

prakteknya akan timbul dilema ketika pemaknaan dan batasan ‘seni serat’ menjadi kabur bagi setiap seniman dan karyanya.

Secara tradisional, istilah ‘seni’ merujuk pada segala jenis keahlian (skill), namun konsep tersebut sudah ditinggalkan. Seni tidak lagi dianggap sekedar kecakapan tangan saja, namun lebih merupakan hasil buah pemikiran yang mendalam dari manusia.

Kemunculan istilah seni serat, ditujukan untuk mendeskripsikan objek-objek dekoratif dengan medium serat—yang lebih dari sekedar benda fungsional praktis. Dapat disimpulkan, bahwa karya seni serat adalah karya seni yang menggunakan medium serat untuk menyampaikan pesan, makna, emosi seniman, dan bukan sekedar pertimbangan estetis serta fungsional suatu material saja.

Tantangannya muncul ketika pembacaan karya berhenti pada penjelasan pemilihan dan pengolahan medium saja. Apakah masyarakat akan dibuat berhenti pada kekaguman olahan ‘akrobatik’ suatu medium semata? Atau justru seniman berhasil bertransformasi, menjadikan karyanya sebuah pembacaan lanjutan?

Maradita Sutantio

Bandung, Januari 2011

Seniman muda yang ikut pelatihan kurasi Fiber Face 3

understandings, and especially if there is no passion in creating the work, the result will be a less meaningful piece of art. These works can be said to be static, ‘Being.’

When artists are successful in a transformation, their creative process expands and dissolves into the forms of contemporary artworks, and here we have contemporary fiber art that has gone beyond previous types of artwork, ‘Beyond.’

In Fiber Face3, the Beyond factors are indicated in those artists who appreciate and re-adapt Indonesian local culture, ultimately creating works which have been transformed to the maximum, such as what has been done by Nia Ismoyo in their batik works. There are also those who pick out and “marry” a number of cultural symbols in order to create a cultural hybrid of a work, such as the work Transporter &Transformer by Tiarma Sirait. The work of Aprina Murwanti, In Memorium Love, presents ‘another power’ in traditional cloth, showing more than just plain cloth, and Aprina has been able to present it attractively. Aulia Yeru, with her work BOOM!!! (And I’m Keep On Asking You) uses a conventional textile technique but with a modern yet paradoxical approach, one that tickles the senses of the viewer.

Using a different approach, there are works that have been created by adapting traditional techniques of a certain culture, then these techniques are presented in a totally new and unpredictable format. Artists who are members of The “Pandanus Project”4 took an approach by using traditional Aboriginal plaiting techniques in order to create a contemporary artwork. The technique of shibori/tie-dye was used

4 The Pandanus Project, an art exchange and collaborative project between fiber artists Adrienne Kneebone and the Beswick community.

by Yasuko Iyanaga, who also was the creator of this particular technique. Interestingly enough, this technique was also used by Philomena Hali who was from Australia. Batik artists of Europe and America also succeeded in creating new visuals in implementing the batik technique from Indonesia which they then used to create5 new and astonishing works of amazing visuals of geometric, naturalistic or abstract shapes and designs.

The works of contemporary fiber art in Fiber Face 3 at the exhibition hall in Taman Budaya Yogyakarta show the passion and desire of their artists who have been able to ‘step out of the box’ but which still reflect their cultural values.

However, the question remains, how far will this movement go? Will fiber art’s development stop right here? Or just move at a steady pace in the art world?

Challenges ahead?

An artist creates fiber art when he chooses to use fiber as his creative medium. A simple meaning indeed, although a dilemma looks to be in the offing when the meaning and the limits of ‘fiber art’ become blurred for each artist and his work.

Traditionally speaking, the term ‘art’ is in reference to all kinds of skills, but this concept is no longer adhered to. Art is no longer considered just handiwork of considerable skill, but is a physical embodiment of the inner thoughts and feelings of a human being.

The introduction of the term fiber art is meant to describe decorative objects using fiber as their medium – much more than just a practical functional object.

5 See the batik works by : Viktor Sarjono, Brigitte Willach,Fritz Donart, Rita Trefois, Joachim Blank, Katalin Ehling, Marilyn Salomon, Dadang Christanto.

In conclusion, it can be said that fiber art is an art form that uses fiber as its medium to convey a message, meaning, the emotions of the artist, and not just an aesthetic consideration as well as the functionality of a certain material.

A challenge presents itself the moment that a review and reading of the artwork stops at an explanation of the selection and process of only the medium. Will society and art lovers only admire the ‘acrobatic’ process of how the medium was used? Or will the artist be able to undergo a transformation, and let his work become the focus of a further reading and discussion?

Maradita Sutantio

Bandung, January 2011

A junior artist, participating in Fiber Face 3 curatorial training

Artefak: Ria Riptanti, J.T Gultom, M. Umar Dafit Ependi(participants of outdoor installation)

Page 9: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

16

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

17

Karya / Artworks

Rangsa ni Tonun

Sebuah rangkaian dari beberapa performance yang diramu menjadi satu kesatuan, berpijak dari tema ulos; kain tenun tradisional Batak. Pada opening event ini akan ditampilkan suguhan film dokumenter berjudul Rangsa ni Tonun (sutradara MJA Nashir, produser Sandra Niessen, illustrasi musik Suarasama) yang mengisahkan tentang teknik tenun ulos Batak dari kapas menjadi benang, sampai menjadi kain yang indah. Dokumenter ini dibalut dengan bahasa visual artistik yang menyiratkan hubungan ulos dengan alam mythology dan kosmologi Batak. Diangkat dari tradisi sastra kuno Batak, Rangsa Ni Tonun yang pernah hidup dalam masyarakat Batak pada ratusan tahun yang silam dan dituliskan kembali (ditintakan) oleh Guru Sinangga ni Aji pada akhir abad 19. Dan akhirnya dibuka kembali oleh Sandra Niessen, seorang antropolog Belanda-Kanada yang telah melakukan penelitian ulos secara intens di Tano Batak selama 30 tahun. Naskah kuno ini digelutinya sejak awal riset di tahun 1979.

Film diperankan oleh seorang maestro penenun ulos, Tihar Sitorus (Ompu Okta Boru) yang dalam opening event Fiber Face 3 ini akan mendapat penganugerahan Fiber Face Life Achievement Award dan akan memeragakan secara langsung kepiawaian dan kedalamannya menenun di atas panggung dengan iringan sulim andung dari musikus tradisi Marsius Sitohang dan gondang Batak. Pemeran utama lainnya dalam film ini adalah Sardi Tambun (Ompu Okta Doli) yang berperan membawakan rangsa, untaian kata-kata puitik. Selain bermain di film, Ompu Okta Doli juga akan tampil membawakan rangsa secara live di atas panggung. Selain Ompu Okta Boru dan Ompu Okta Doli, film ini diperankan oleh beberapa penenun dari berbagai daerah di Tano Batak.

Opening event Fiber Face 3 ini dimeriahkan pula oleh beberapa musisi tradisi Batak yang berada di Yogyakarta yang mendukung berlangsungnya acara ini. Ditutup dengan manortor bersama dalam lautan ulos sebagai tanda takzim dan syukur kepada Sang Penenun Alam Semesta.

Mauliate - Horas,

MJA Nashir

Rangsa ni Tonun

Fiber Face 3 will be opened by a series of performances focused on ulos, the traditional woven cloth of the Batak of North Sumatra. The documentary film, Rangsa ni Tonun (MJA Nashir, director; Sandra Niessen, producer; Suarasama, music illustration), which will be shown at the exhibition’s opening, tells the story of ulos weaving techniques—from cotton bud to thread to beautiful cloth. This documentary is encased in artistic visual language that describes the relationship between ulos cloth and Batak mythology and cosmology. The story was preserved in an ancient Batak manuscript, Rangsa ni Tonun, which was rewritten by Guru Sinangga ni Aji at the end of the 19th century. Sandra Niessen, a Dutch-Canadian anthropologist who has conducted intense research in Tano Batak for 30 years began studying this ancient manuscript at the beginning of her research in 1979.

The role of Rim is played by master ulos weaver, Tihar Sitorus (Ompu Okta Boru), who will receive the Fiber Face Life Achievement Award at the opening of the Fiber Face 3 exhibition. She will demonstrate her expertise and depth of knowledge of weaving at the opening, to the musical accompaniment of the sulim andung from the Marsius Sitohang musical tradition and the gondang Batak. The other main role in the film was Sardi Tambun (Ompu Okta Doli), who recited poetic stanzas of the Rangsa. Ompu Okta Doli will recite selections from the Rangsa on stage. The film also features several weavers from areas throughout Tano Batak.

The opening of Fiber Face 3 will be celebrated by several traditional Batak musicians in Yogyakarta. The evening will be closed with manortor dance in a sea of ulos, as a sign of respect and gratitude to the Great Weaver of the Universe.

Mauliate - Horas,

MJA Nashir

Premiere

Page 10: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

18

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

19

The diversity of construction techniques and surface design currently in use in contemporary fibre practice is evident in Fiber Face 3.

Techniques include hand and machine embroidery, appliqué, reverse appliqué, crochet, loom-weaving, twinning, supplementary weft weave as well as resist-dye techniques such as shibori, ikat and batik. The artworks also incorporate an array of materials; painted silk yarns, discarded commercial off-cut threads, recycled cassette tape and hand-made cotton lint pulp paper lace, as well as conventional lengths of silk and cotton cloth.

Whilst material such as recycled cassette tape does not conform to conventional notions of fibre, the process of weaving this non-fibrous material recasts it as a type of fibre. Hence, technique becomes a transforming agent of material, suggesting that ‘fibre art’ is constrained largely by an artist’s imaginative ingenuity and technical virtuosity to reinterpret the interface between material and construction technique.

The batik works in Fiber Face 3 illustrate the versatility of this technique and how artistic ingenuity shapes its application. Examples of batik tulis and batik cap, which feature ancient Javanese motifs, are further enhanced by complimentary techniques such as reverse appliqué and freehand batik-painting. Another variation of the resist-dye technique features layering lengths of silk organza, which have been stencilled using hot wax. Amongst Javanese, European and American artists batik techniques continue to evolve and be applied in the creation of artworks in classic, naturalistic, graphic and abstract styles.

The resist dye technique, shibori, illustrates the dynamic relationship between the material and the technique. The interplay of fabric and method transform flat fabric into a three dimensional form, imbued with movement and depth, complimented by colour. Traditional methods of weaving and embroidery are also apparent in Fiber Face 3. Strip loom weaving and hand embroidered artworks assert that the intricacy of construction is a distinguishing feature of textiles and fibre art, where material and technique are together transformed to create texture and overall image or field of pattern.

Keragaman teknik pembuatan dan desain permukaan yang dewasa ini digunakan dalam praktik seni serat kontemporer tampak jelas dalam Fiber Face 3 ini.

Teknik meliputi sulam tangan dan mesin, aplikasi, aplikasi-balik, renda, tenun, penggandengan, tenun dengan hiasan tambahan pada benang pakan, maupun teknik-teknik pewarnaan celup-rintang seperti shibori, ikat and batik. Karya-karya seni ini juga merangkum berbagai jenis bahan; benang-pintal sutera, benang buangan limbah produk komersial, pita kaset daur ulang, dan utas kertas buatan tangan dari bahan bubur (pulp) katun, selain bahan konvensional berupa helai kain sutera dan katun.

Bahan seperti pita kaset daur ulang memang tidak sejalan dengan pengertian konvensional tentang serat. Namun proses penenunan dan/atau penganyaman bahan non-serat itu menuntutnya menjalankan fungsi ke-serat-an seperti kelenturan, kesaling-jalinan, dan kontinuitas. Maka bahan itu mendapat peran atau dapukan baru sebagai sejenis serat. Di sini teknik menjadi agen transformasi bahan, sehingga tampak bahwa batasan ‘seni serat’ terutama ditentukan oleh kepiawaian teknis dan kecemerlangan daya cipta imajinatif seniman dalam menafsir ulang perjumpaan interaktif antara bahan dan teknik pembuatan.

Karya-karya batik dalam Fiber Face 3 mengilustrasikan keserbagunaan teknik ini dan betapa kecerdikan artistik menentukan perkembangan penerapannya. Contoh-contoh batik tulis dan batik cap, yang menampilkan motif-motif Jawa yang sangat tua, ditunjang lebih lanjut dengan teknik-teknik pelengkap seperti aplikasi balik (reverse appliqué) dan lukis batik freehand. Variasi lain dari teknik celup-rintang ini menampilkan pelapisan dengan lembar kain organza sutera, yang telah dicetak stensil menggunakan lilin panas. Di kalangan seniman Jawa, Eropa dan Amerika teknik-teknik batik terus berkembang dan digunakan dalam penciptaan karya bergaya klasik, naturalistik, grafis dan abstrak.

Teknik pewarnaan celup-rintang, shibori, mengilustrasikan hubungan dinamis antara bahan dan teknik. Saling pengaruh antara kain dan metode mengubah kain yang datar menjadi bentuk trimatra, yang punya gerak dan kedalaman, dilengkapi warna. Cara-cara tradisional dalam menenun dan menyulam pun tampak jelas dalam Fiber Face 3. Karya seni tenun dan sulam tangan menegaskan bahwa kerumitan konstruksi merupakan ciri penting yang menandai tekstil dan seni serat, di mana bahan dan teknik bersama-sama ditransformasikan untuk menciptakan tekstur dan citra keseluruhan atau bidang pola.

Cluster A

Transformasi Bahan Serat Lewat Teknik

Transformation of Fibre Materials Through Technique

Page 11: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

20

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

21

Liarnya imagi pada bentuk & warna dapat diarahkan menjadi nuansa yang tak terduga. Dan dimensi yang sempurna pada sehelai kain berproses batik, itu karena panas dinginnya malam batik. Apapun bentuk kebutuhan dan keperluannya sungguh mempesona.

The wildness of images in shape and color can be diverted by unexpected nuances. Perfect dimensions on a piece of batik cloth are formed by the heat and cooling of the batik wax process. Whatever the shape of the needs and necessities is truly enchanting.

Karya terakhir saya menekankan pada fleksibilitas material buangan dan daur ulang, menjejaki bagaimana barang-barang tersebut dapat dibaurkan untuk menciptakan karya yang dekoratif dan fungsional. Inspirasi dan titik awal utama dari karya saya datang dari alam. Dengan bereksperimen melalui manipulasi dan konstruksi yang menggunakan benang dan serat buangan untuk menerjemahkan tekstur, bentuk dan warna-warna musim yang selalu berubah, proyek ini menghasilkan karya yang bisa menyeberangi batasan antara seni dan kriya.

My latest work centres on the versatility of recyclable and discarded materials, investigating how they can be incorporated to create decorative and functional pieces of work. The main inspiration and starting point for my work comes from nature. By experimenting with manipulation and construction using wasted yarns and fibres to interpret texture, form and the ever changing colours of the seasons, producing pieces of products which can cross the boundary between art and craft.

A1WILD IMAGINATION, 2010, batik on cotton, 145 cm x 265 cm

Bambang Trilaksana, Pekalongan

A2JOURNEY ACROSS THE SAHARA DESERT, 2010, recycled thread, crochet, 160 cm x 90 cm

Esti Siti Amanah Gandana, Bandung

Bambang Trilaksana Esti Siti Amanah Gandana

Page 12: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

22

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

23

Karya yang kami ikutkan dalam seleksi pameran Fiber Face 3 mengangkat berbagai karakter wayang. Berbagai karakter tokoh-tokoh tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi manusia saat ini, ada yang jahat, baik hati, penjilat, tukang adu domba dan sebagainya. Tokoh Semar saya tampilkan menjadi pusat dari semua karakter wajah yang ada, untuk memberi nasehat kepada semua tokoh yang sudah kebablasan perilakunya.

This work selected for the Fiber Face 3 exhibition features various wayang characters. These characters are not very different from the humans today—there are those who are evil, good, ass-kissers, provokateurs, etc. The figure of Semar is placed in the center as he gives advice to all of the characters whose have gone too far in their actions.

Proyek ini memfokuskan pada istilah ‘materiality’ (materialitas) dan ‘materialness’ (kematerialan) yang menggunakan dan bekerja dengan material yang rapuh, tembus cahaya dan transparan (??) dan membantu mengeksplorasi arti penting dari kerapuhan, ketembus-cahayaan dan transparansi. Materialitas dari karya-karya ini bisa menyampaikan ide yang melekat dalam tiap karya, menciptakan tampilan yang lebih bermakna bagi penontonnya. Konsepnya—narasi—terbangun dan berkembang di sekitar dan melalui materialitas obyek yang diciptakan.

This project concentrates on the terms ‘materiality’ and ‘materialness’ that engage and work with the materials and help explore the key ideas of fragility, translucence and transparency. The materiality of the works can communicate the ideas inherent in each work, creating a more meaningful image for the viewer. The concept—narrative—builds and evolves around and through the materiality of the objects created.

A3SYMBOLISME FACE, 2010, cotton, nylon thread, crochet, 90 cm x 90 cm

Slamet Riyadi / Farida, Yogyakarta

A4TRANSLUCENCE, 2010, cotton, paper, laser cut, tracing, 30 cm x 30 cm

Charissa Delima, Bandung

Slamet Riyadi / Farida Charissa Delima

Page 13: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

24

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

25

Kecintaan akan tradisi dan kebudayaan Indonesia saya ungkapkan dengan menggabungkan keahlian saya yang tidak jauh dengan dunia fashion dan tekstil dengan kepompong sutera criculla. Saya ingin menampilkan kebisaan saya dalam menghasilkan karya yang berhubungan dengan dunia fashion, dengan membuat karya yang terinspirasi oleh bentuk aksesoris fashion berupa kalung. Namun bentuknya saya transformasikan ke dalam bentuk yang tidak sewajarnya.

My love of Indonesian traditions and culture are expressed in the combination of my experience in the world of fashion and textiles with silkworm cocoons. I wish to present pieces inspired by fashion accessories, specifically necklaces, that are transformed into unlikely shapes.

I play with macrame and shirts in a contemplative process in which the shape of the macrame ties remind me of chains of cells in the human body. This is pleasing, as if peeking into and reconstructing whatever is in the human body, where the concept of transformation is revealed in the circumstances of this cell and in the transference from the mother cell to the new cells. I illustrate this idea with the disturbing cell that humans presently fear, i.e., the cancer cell (CA); as a reflection that a state of peacefulness can be interrupted at any time.

Saya kembali bermain dengan makrame dan kaus, dalam proses cukup kontemplatif di mana bentuk ikatan makrame tersebut mengingatkan saya pada bentuk jalinan sel pada tubuh manusia. Ini menyenangkan, seolah mengintip dan merekonstruksi apa yang ada di dalam tubuh, di mana konsep transformasi terdapat pada hal ihwal sel ini, yaitu dengan adanya perpindahan sel baru ke sel inang. Ini saya gambarkan dengan sel pengganggu yang cukup ditakuti umat manusia saat ini yaitu sel kanker (CA), sebagai bentuk mawas diri akan ketentraman yang (sewaktu-waktu) dapat terganggu.

A5(F)ATIENCE 0410.2, 2010, silk cocoon, appliqué, 35 cm x 20 cm x 6 cm

Pananingtyas Prabantari, Bandung

A6DISCELLMINATION, 2010, cotton t-shirt material, twined thread, 120 cm x 95 cm x 20 cm

Tyar Ratuannisa, Bandung

Pananingtyas Prabantari Tyar Ratuannisa

Page 14: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

26

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

27

Manusia adalah mahkluk yang berbadan, hal ini sudah jelas bagi semua orang. Badannya bersatu dengan realitas sekitarnya, yang menyebabkan ia bisa berjalan, bertindak dan sebagainya. Adanya cacat dalam badannya akan mengurangi kesadarannya dan jika cacat itu merusak seluruh keinderaannya, maka manusia itu tidak bisa mengerti dunia. Berkat tubuh atau badannya manusia menjalankan dirinya, menjalankan hidupnya dan mengerti dunianya. Saya mengambil ide dasar figur/wajah dan bentuk tubuh manusia yang dipadukan dengan teknik sulam tapis di atas kain kanvas dan benang katun sebagai bahan utamanya.

Human have bodies. This is clear for everyone. Their bodies are one with the reality around them, so that they can walk, act, etc. The presence of a physical disability will descrease their awareness and if that disability destroys all of their senses, then that human being will not be able to understand this world. Due to the blessings of the human body, humans can move, live their lives and understand their world. I conceive the basic face and form of the human body and express it using a filter embroidery technique on canvas with cotton thread as the primary materials.

Dalam karya saya Singing in the Smokey Room (bernyanyi di ruang berasap), saya menggunakan pita kaset sebagai refleksi dari perjalanan waktu. Karya ini merekam perjalanan kehidupan manusia lewat musik dan menjadi penghubung ke ingatan-ingatan yang lain. Saya tertarik melihat sejarah suatu hubungan dari apa yang orang lakukan dengan musik dan hubungan-hubungan yang mereka miliki dalam kehidupan mereka sendiri, sejak masa kanak-kanak, remaja, berpacaran dan menikah. Selama masa bahagia atau mungkin frustrasi. Sebagai individu, kita punya lagu kita sendiri. Saya menganggap pita kaset ini sebagai pita hubungan, tanggapan transformatif dari perasaan yang tersembunyi dan refleksi atas sejarah yang terdahulu.

In my work Singing in the Smokey Room, I use tape as a reflection of the passage of time. In this work, I am excited to record the journey of human life through music. Connections to other memories. I am interested in the history of the relationship of what people are doing with music and the connections they have in their own lives, as during childhood, adolescence, courtship, and marriage. During happiness or perhaps during frustrations. As individuals, we have our own songs. I refer to the tape as a ribbon connection, transformative responses of hidden feelings and reflections upon previous history.

A7SMILE, 2010, synthethic thread,cotton canvas, tapis/applied,100 cm x 100 cm

Ahmad Khanafi, Jepara

A8SINGING IN THE SMOKEY ROOM, 2010, recording tape, crochet, 200 cm x 175 cm x variable

Andita Purnama, Yogyakarta

Ahmad Khanafi Andita Purnama

Page 15: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

28

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

29

Lukisanku timbul dari obsesisetiap saat dalam menjalanikehidupan yang panjang.Kesadaran melalui perenungansetiap saat yang bersentuhanlangsung dengan alam, lingkungan sosialmerupakan proses yang aku jalaniuntuk terus memahami kehidupandalam berkesenian.

My painting emerges out of an obsessionevery moment in livingmy extended life.Awareness through reflectionevery moment that touchesdirectly upon nature, societyrepresents a process that i undertakecontinuously to understand lifein art.

Karakter corak batik Giriloyo telah mengalami pergerakan selama lebih dari seabad perjalanan batik Jawa desa ini. Beberapa corak warisan awal masih hidup, namun banyak corak baru yang bangkit dengan komposisi yang tak hentinya bergulir—corak yang didasarkan pada kumpulan batik warisan layaknya karya dalam pameran ini yang merupakan pengembangan corak leluhur Sekar Jagad. (Bu Hartinah adalah kepala kelompok batik Bimasakti di desa Giriloyo, Imogiri).

The character of Giriloyo batik motifs has transformed over the more than century-old production of traditional Javanese batiks of the village. Some of the motifs of the early generations are still produced but many new motifs have evolved in ever-changing new compositions based on an ancient batik repertoire, like the piece in this exhibition which is a development of the ancient motif Sekar Jagad. (Bu Hartinah is the head of the batik group Bimasakti in the village of Giriloyo, Imogiri).

A9COUNTRY AIR II, 2010, batik on cotton, 90 cm x 75 cm

Viktor Sarjono, Yogyakarta

A10SEKAR JAGAD, 2009, batik on cotton, 250 cm x 105 cm

Ibu Hartinah, Yogyakarta

Viktor Sarjono Ibu Hartinah

Page 16: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

30

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

31

My realistic motifs are transformed associatively, the impression becomes the expression of light and color. The abstract batik paintings are a result of not only my thoughts but also my feelings and experiences which surround me. My artistic transmission with abstract and realistic painting contents creates an interaction between composition and color. It seems that there is basically no limit to design contemporary creative BATIK.

Motif realistis saya ditransformasikan secara asosiatif, impresinya menjadi ekspresi cahaya dan warna. Karya lukis batik saya adalah hasil dari bukan saja pikiran melainkan juga perasaan serta pengalaman di seputar saya. Transmisi artistik saya dengan muatan lukisan abstrak dan realistik menciptakan interaksi antara komposisi dan warna. Tampaknya, mendesain BATIK kreatif kontemporer itu pada dasarnya tak berbatas.

Meski secara umum karya saya abstrak, di situ ada komponen yang langsung diambil dari realitas hal-hal alami. Bahkan alat kerja saya pun datang dari alam: kulit kayu, kayu tersapu dan terbasuh air laut atau papan cuci, yang mudah ditemukan di pantai. Semuanya inilah “kreator” desain saya yang punya banyak permukaan. “Alat dari alam” ini bahkan saya gunakan sebagai pencarian esensi proses batik eksperimental saya. Interaksi lapisan-lapisan yang masing-masing diberi perlakuan berbeda menjadi karya saya yang sesungguhnya.

I always like to stress the point that although my works in general are abstract. Certain components of my Batik paintings are directly taken from reality of things existing in nature. Even my tools are taken from nature: pieces of barks, wooden blocks washed by the sea or washing boards, which easily can be found at the beach. All of this are “creators” of my many-sided surface designs. This “tools from nature” even are used as a search for the essence of my experimental Batik process. The interaction of differently treated layers of transparent fabric then constitutes the actual art work.

A11SCOTTSDALE, 2009, batik on cotton, 53 cm x 45 cm

Brigitte Willach, Germany

A12THE GATE, 2010

cotton & silk organza, stencil batik on cotton, 140 cm x 120 cm Joachim Blank, Germany

Joachim BlankBrigitte Willach

Page 17: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

32

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

33

Dengan motif-motif naturalistik saya selalu mencoba menemukan kemungkinan ruang 3-dimensi dalam teknik batik. Karya tinta seniman-seniman Jepang-Cina mereka, atau cukil kayu, menjadi ancar-ancar tujuan karya-karya kesenian saya. Bentuk-bentuk air, bumi dan langit berawan merupakan ekspresi dari detail-detail di alam yang diamati cermat-cermat. Hampir semua citra ini muncul selagi dalam perjalanan. Pelilinan spontan bukanlah metode kesukaan saya. Saya lebih suka merencana karya saya secara cermat dengan sketsa pensil dan fotografi. Warna meliputi dari putih hingga kelam, seperti menebar berbagai citra yang tanpa kembali atau gagal. Ini membawa menyusuri lingkaran bianglala, kembali ke visi dasar saya, yang tak pernah tepenuhi, tetapi saya coba.

With my naturalistic motives I always try to find new possible 3-dimensional space within the batik technique. Japan-Chinese artists with ink, or wood-cuts has been my art goals. Shapes of water, earth and clouded skies are expressions of carefully watched details within nature. The images appear mostly while travelling. Spontaneous waxing is not the method I favour, I rather plan my work carefully with pencil sketches and photography. Colours range from white to dark, like casting images with no return or failures. That leads across the rainbow circle, back to my basic vision, never fullfillable, but I try.

Latar belakang ilmiah dan pendidikan kesenian mendorong konflik antara ketrampilan teknis dan kreativitas bebas. Kira-kira di tengah, antara teknik dan inspirasi, terbentang bidang tegangan untuk tumbuh berbiaknya karya seni.

Latihan dan praktik abadi merupakan sebuah gagasan filosofis penting di balik cara Rita melukis. Ini adalah pencarian kekal akan kemungkinan teknis yang lain dan yang lain lagi dalam menggarap kain, cairan pewarna, dan lilin dalam proses penciptaan. Ketransparanan adalah efek visual yang dihasilkan dari pencarian Rita dalam batik. Warna-warna yang ‘muskil’ pun dipadukan: garis merah berubah hijau tanpa fase transisi sama sekali.

Backgrounds of scientific and artistic education encourage the conflict between technical skill and free creativity. Somewhere in the middle between technique and inspiration, a field of tension exists where art work prospers.

Eternal exercise is an important philosophic idea behind Rita's way of painting. It is an eternal search for more technical possibilities in handling fabric, dyes and wax during the creation process. Transparency is a visual effect as a result of Rita's research in Batik. 'Impossible' colors are combined: a red line can change into green without any transitional phase.

A13OLD YARD IN AUSTRIA, 2007, batik on cotton, 55 cm x 40 cm

Fritz Donart, Austria

A14MID SUMMER NIGHT, 2010, batik painting, 75 cm x 59 cm

Rita Trefois, Belgium

Rita TrefoisFritz Donart

Page 18: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

34

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

35

Konferensi batik pertama di Ghent tahun 1999 benar-benar mengubah pandangan saya mengenai batik. Melihat karya dari seluruh dunia membuka mata dan imajinasi saya. Pada awal Millenium baru, ternyata saya menengok lebih ke dalam dan mulai mengerjakan karya abstrak. Pada waktu itulah saya berkenalan dengan kain Primissima yang luar biasa dari Indonesia, dan saya juga berganti menggunakan zat-zat pewarna Deka. Jentera masih terus berputar dan saya tidak pernah kekurangan inspirasi dari luar maupun dalam.

The first batik conference in Ghent in 1999 really changed my view of batik. Seeing works from all over the world opened my eyes and imagination. At the start of the new Millenium, I found myself turning more inward and started abstract pieces. It was at this time I discovered the wonderful Primissima fabric from Indonesia and also switched to Deka dyes. The wheels keep turning and I never lack for inspiration both from without and within.

Karya saya ini menggunakan struktur tenun Eropa tradisional yang dimanipulasi untuk merepresentasikan ciri-ciri menonjol lanskap fisik tempat saya tinggal. Struktur aslinya, rujukan pada pusaka budaya saya sendiri, sering menjadi titik tolak pelajaran pengantar tenun di Australia. Di sini pola Eropa sudah diadaptasi untuk memotret polong, spinifex, rumputan kemilau dan perdu-perduan asli Australia Tengah. Karya ini juga mengacu pada tenun Afrika, sebuah teknik tertentu yang saya kagumi sejak lama. Dalam tradisi, kain Kente ditenun dan dijahit oleh pria. Teknik ini saya pilih untuk memperlihatkan tantangan dan perubahan tradisi tersebut dengan melaksanakan peran pria dalam menenun.

This piece uses traditional European weave structures that have been manipulated to represent features of the physical landscape where I live. The original structures, a reference to my own cultural heritage, are often the starting point for introductory weave lessons in Australia. Here the traditional European patterns have been adapted to portray the seed pods, spinifex, shimmering grasses and native shrubs of Central Australia. The work also references African strip weaving, a technique I have long admired. Kente cloth is traditionally woven and sewn by men. I have chosen to use this technique to demonstrate a challenge and change to the tradition by performing the man’s weaving role.

A15TEA TIME, 2010, batik on cotton, 50.8 cm x 50.8 cm

Katalin Ehling, U.S.A

A16WEAVOLUTION, 2011, silk hand-woven strip-weave with painted warp, 160 cm x 85 cm

Nicky Schonkala, Australia

Nicky SchonkalaKatalin Ehling

Page 19: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

36

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

37

Praktik seni rupa saya memadukan teknik pembuatan keranjang yang halus dengan etos pribumi yang diajarkan kepada saya oleh keluarga angkat saya, Yolngu, dari Tanah Arnhem timur laut untuk menggunakan apa pun yang terdekat. Dalam truth, lives and packing tape, saya menggunakan pita rekat daur ulang dan teknik kepang Maori yang disebut whiti untuk mencipta patung yang bertumpu pada kemungkinan-kemungkinan baru yang dibukakan oleh suatu pendekatan inovatif dalam praktik seni serat. Ini bentuk ‘penciptaan seni’ rendah karbon yang membutuhkan perhatian dan perayaan bagi yang kuno dan tradisional.

My arts practice combines well-refined traditional basketry techniques with the indigenous ethos I was taught by my adopted Yolngu family from north east Arnhem Land of using what first comes to hand. In truth, lives and packing tape, I have used recycled packing strapping and the Maori technique of whiti (plaiting) to create a sculpture that draws on the possibilities of an emerging innovative approach to the evolution of contemporary fiber arts practice. It is a low carbon indulgent form of ‘art making’ that simultaneously calls for the attention and celebration of the ancient and traditional.

Pembuatan kertas menenggelamkan saya dalam ranah yang perabaan, mencari tumbuhan berserat, pigmen dan zat pewarna. Mengerahkan dan memadukan semua indera mendatangkan keakraban dan pemahaman tentang lingkungan sekitar.

Saya suka sekali dengan proses ini dari awal sampai akhir: riset, hubungan dengan tanah daerah tertentu di masa silam dan kini, pengaruh musim, panen dan perawatan tumbuhan berserat. Tiap tumbuhan menghasilkan kertas dengan kualitas tertentu, yang sifat dan cirinya berlainan, tetapi dapat dipadukan untuk mencapai hasil tertentu. Kertas selalu merupakan ungkapan yang jelas, nyata, dan teraba dari lingkungan saya.

Papermaking immerses me in a tactile realm, sourcing fibre plants, pigments and dyes. Incorporating all the senses brings an intimacy and understanding of the surrounding environment.

I love the process from beginning to end: the research, the connections to the land past and present, the influence of the seasons, the harvesting and nurturing of the fibre plants. Each plant produces a certain quality of paper with different properties that can be blended to achieve a specific result. Paper is always a tangible expression of my environment.

A17TRUTH, LIVES, PACKING TAPE, 2010, recycled packing strapping, plaiting technique, 45 cm x 32 cm x 27 cm

Fiona Gavino, Australia

A18DIRTY LAUNDRY, 2010, multiple dip, watermark, 54 cm x 32 cm

Winsome Jobling, Australia

Winsome JoblingFiona Gavino

Page 20: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

38

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

39

Cluster B

Personal, social, cultural and political identities are explored and conveyed through the fibre artworks presented in this section of Fiber Face 3.

Reflections of personal identity are revealed through fibre artworks that invite us into intensely intimate spaces – be it the phyical strands of hair on a scalp or the invocation of a prayer seeking divine assistance in a time of crisis. Gender identity also serves as site of exploration through contemporary fibre art. The kebaya, the acrhitypal feminine form of Javanese attire, created from printed metallic foil, is recast. Although its feminine form remains, the kebaya is now associated with armour and metallic qualities of masculine endurance and strength, suggesting a blur between conventional gender roles enforced by cultural norms and social expectation.

Other aspects of individual identity are examined by artists in relation to cultural identity in Fiber Face 3. The need to assert affilitaion with cultural heritage seems most accute when living as a minority or as a descendant of a family, clan or race who has suffered the indignity of disregard, discrimmination, racism or genocide. Piognant explorations of cultural identity and history evoke aspects of the human condition; our vulnerability, our inhumanity towards one another and ultimately our sameness.

The inter-play between cultures; colonies and the colonised, the past and the present is playfully explored through garment and surafce design wherby garment becomes a marker of cultural transformation and transportation across time and place. The assertion of motif as a cultural marker of connection and identity is storngly evident through the presecne of Javanese batik motifs on several of the artworks presented in Fiber Face 3.

Fibre art also increasingly is employed by artists as a subversive vehicle for investigating social and political issues, concerns and identity. Whilst the materiality of cloth, fibre and textile is classically of feminine association, the ability for fibre art to ‘pack a punch’ and enter arenas of political discourse can equally surprise us.Amusing, comic machine-embroidered imagery suggests an innocence and playfulness which is underpinned by an ascerbic statement of social indifference and injustice. Batik cloth that gently flays in the air, is a field of dangerous, destructive dancing flames.

Identites, in all their diversity, are uncovered, forged, asserted and examined through the vehicle of fiber art, suggesting that in our increasingly hommogenised and gloablised world, we continue to be defined by our personal, cultural, social and poltitical identities.

Seni serat yang dipersembahkan dalam klaster Fiber Face 3 ini mengeksplorasi dan menyampaikan makna identitas pribadi, sosial, budaya dan politik.

Renungan akan identitas pribadi diungkapkan melalui karya seni serat yang mengundang kita untuk masuk ke dalam ruang wilayah yang sangat intim—dalam rupa helaian rambut pada sebuah kulit kepala atau sebuah permohonan doa yang merindukan uluran tangan yang Kuasa di tengah kemelut. Identitas gender juga tidak lepas menjadi ruang eksplorasi seni serat. Kebaya—sebagai bentuk nilai feminin busana Jawa—ditempatkan ulang melalui bahan dasar logam bercorak. Meski bentuk feminin ini masih dipertahankan, kebaya tersebut kini turut membawa sifat baju besi dan logam nilai-nilai maskulin sebuah ketabahan dan kekuatan. Hal ini mengajukan kaburnya sebuah batasan antara peran gender tradisional yang diperkuat oleh norma-norma budaya dan standar sosial.

Sisi lain daripada identitas perorangan dalam kaitannya dengan identitas budaya juga menjadi ruang eksplorasi para seniman dalam Fiber Face 3. Kebutuhan untuk menegaskan ikatan dengan warisan budaya nampak paling kuat saat seseorang menjalani peran sebagai golongan minoritas atau sebagai sebuah turunan dari keluarga, klan atau ras yang telah mengalami penderitaan penghinaan dalam bentuk ketidak-acuhan, diskriminasi, rasisme atau genosida. Eksplorasi yang menyentuh hati atas identitas budaya dan sejarah menggugah sisi-sisi unik kemanusiaan; kerentanan kita, ketidakmanusiawian kita antara satu dengan lain serta pada akhirnya: kesetaraan dan kesamaan kita.

Ikatan pengaruh antar budaya—wilayah jajahan dan yang terjajah, masa lampau dan masa kini—menjadi ranah eksplorasi nakal perencanaan tekstil dan permukaan di mana tekstil menjadi penanda perubahan dan perpindahan budaya melampaui batas waktu dan tempat. Penegasan corak sebagai penanda budaya atas hubungan dan identitas sangatlah kuat terlihat dalam kehadiran corak batik Jawa pada beberapa seni karya yang dipamerkan dalam Fiber Face 3.

Peran seni serat sebagai wacana alternatif oleh para seniman dalam menyelidiki pokok permasalahan sosial dan politik, keprihatinan dan identitas juga semakin meningkat. Walau sifat materi kain, serat dan tekstil secara tradisional bersifat feminin, kesanggupan seni serat untuk memberikan ’tendangan’ dan untuk memasuki ranah politik juga dapat memberikan sebuah kejutan bagi kita. Rupa visual sulam-mesin yang menggelitik dan lucu memaparkan suatu kepolosan dan kenakalan yang digarisbawahi oleh sebuah pernyataan tajam akan ketidakpedulian dan ketidakadilan sosial. Kain batik yang dengan lembut melambai di udara mengambil bentuk ruang lidah api yang berbahaya dan merusak.

Identitas—dalam segala keragamannya—disingkapkan, dibentuk, ditegaskan dan diselidiki melalui wacana seni serat, mengusung suatu gagasan bahwa dalam dunia yang semakin berjalan menuju homogenisasi dan globalisasi, kita terus menerus ditempatkan berdasarkan identitas pribadi, budaya, sosial dan politik kita.

Transformasi identitas pribadi, sosial, budaya dan politik

Transforming personal, social, cultural and political identity

Page 21: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

40

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

41

Berkesenian merupakan hobby—bermain-main dengan seni dan akhirnya menemukan sesuatu yang baru merupakan sebuah kesenangan dan sekaligus tantangan. Sumber inspirasi bisa dari diri sendiri, sosial atau kultur lingkungan sekitar atau mengembangkan kesenian yang sudah ada. Karya ini merupakan daur ulang barang bekas seperti, spanduk bekas dan plastik kresek dengan teknik tenun atbm (alat tenun bukan mesin), sedangkan teknik stencil merupakan seni yang banyak digemari oleh anak muda saat ini (mural, grafiti, street art).

Art is a hobby—playing with art and discovering something new is both a pleasure and a challenge. The source of inspiration can come from within, from the social or cultural environment, or a desire to develop an existing art tradition. This work uses recycled materials, such as old banners and plastic bags, which are woven (on a non-mechanical loom). The stencil technique is an art that is popular amongst young people today (seen in murals, grafitti, and street art).

Pada awalnya Lampu Kuning berpikir tentang situasi kontemporer. Anti Peta adalah satu kata kunci yang tercatat cukup besar gradiennya dari beberapa diskusi dalam Lampu Kuning. Karya Chaotical bottom adalah analogi mengenai kecenderungan atmosfir.

Initially, Lampu Kuning focused on the contemporary situation. Anti-Peta is a key word that has popped up in several Lampu Kuning discussions. The work, Chaotic Bottom, is an analogy of atmospheric tendencies.

B1REFORMATION HALF A VOLUME, 2010, recycled street banner, plastic bag, thread, paint, hand-woven, stencil, 250 cm x 35 cm

Anto Sukanto, Ciamis

B2CHAOTICAL BOTTOM, 2010, bamboo fiber, woven metal, variable

Kelompok Lampu Kuning, Yogyakarta

Kelompok Lampu KuningAnto Sukanto

Page 22: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

42

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

43

Transformasi adalah perpindahan/perubahan suatu informasi dalam segala bentuk. Kain/tekstil telah mengalami transformasi dan akan selalu mengalami transformasi baik dalam proses pembuatan, trend, dan fungsi. Treasure adalah judul karya yang diperoleh dari warna perak, emas, tembaga yang merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, sedangkan cutting pola kebaya merupakan busana tradisional Indonesia.

Transformation refers to the transference/change of information in all forms. All cloth/textiles have undergone, and will always undergo, transformation—through the production processes, trends, and functions. Treasure is the name of this piece that uses silver, gold, and copper, which is one of the rich natural resources of our country. The kebaya is traditional Indonesian blouse for women.

Karya ini menceritakan tentang masa lalu, jarak dan posisi. Saya mengibaratkan bentuk setengah dari jantung ini adalah bagian dari masa lalu saya, dan setengahnya lagi masih ada pada diri saya. Saya mengandaikan rivet sebagai suatu tempat. Angka-angka di antaranya menjadi media yang menghubungkan antara satu tempat ke tempat lainnya. Tempat atau posisi menjadi penting di dalam karya ini. Karena keberadaan dibentuk oleh tempat dan posisi-posisi yang hadir dan berjarak. Plat besi digabungkan dengan rivet menentukan tempat dan posisi yang ada dan berjarak.

This work tells of the past, distance and position. Half of this heart is part of my past and the other half is part of my present. The rivets mark places. The numerals connect the places to each other. Place and position are important in this work because presence is formed by place, position and distances between them. The iron plate is connected by the rivets determining the existing places and positions.

B3TREASURE I, 2010, foil, stitched, kebaya, 157 cm x 131 cm x 100 cm

Kahfiati Khadar, Bandung

B4HERE, 2010, folded, forged metal, 157 cm x 131 cm x 100 cm

Itsnataini Rahmadillah, Bandung

Itsnataini RahmadillahKahfiati Khadar

Page 23: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

44

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

45

Setelah adanya pertumbuhan industri yang pesat, ekonomi, teknologi dan informasi yang mencengangkan, terjadilah perubahan di segala bidang, termasuk juga bidang seni, yang memiliki fungsi di masyarakat sebagai penyeimbang dan menjadi media interaksi baik antar personal maupun komunitas. Karya saya yang berjudul Pre and Post Labyrinth ini berusaha menggambarkan proses kebudayaan dan kesenian yang mengalami turun naik terkait dengan situasi di luarnya, baik itu situasi ekonomi, sosial, budaya dan politik yang mempengaruhinya.

Following the astonishingly rapid growth of industry, economy, technology and information, there have been changes in all aspects of life, including art, that fulfills a role in the society as a means of attaining and maintaining balance, and as a media for interation between individuals and with the community. My work, Pre and Post Labyrinth, illustrates the processes of culture and art that have experienced fluctuations as influenced by economic, social, cultural, or political situations.

Ketika seorang manusia lahir, maka sebuah sejarah baru terbentuk. Bagaimanakah jejak manusia-manusia ini akan saling terkait, antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Semoga sejarah baru yang terbentuk, akan menjadikan dunia lebih baik dan penuh kasih.

When humans are born, a new history is formulated. How will these human journeys be connected between the past, the present and the future. Hopefully the new stories formed will bring a better and more loving world.

B5POST AND PRE LABYRINTH, 2010, synthetic hair, crochet,150 cm x 150 cm

Ipo Synthetic, Yogyakarta

B6FIRST HISTORY, 2011, recycled cloth, rope, thread, approx, 180 cm x 100 cm

Caroline Rika Winata, Yogyakarta

Caroline Rika WinataIpo Synthetic

Page 24: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

46

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

47

Berkesenian seperti juga kita butuh vitamin dalam sehari-hari, sebagai medium untuk membakar kehidupan. Serat, sebagai media berkesenian mempunyai peluang tersendiri, sebagai bahan tunggangan gagasan-gagasan saya. Transformasi dalam bergagasan lebih penting dalam memicu berkesenian, berkarya dan hidup.

Creating art, like daily vitamins, as a basic necessity for living our lives. Fiber, as an art media offers many opportunities for the expression of my ideas. Transformation as a concept is important in stimulating art, work and life.

Ide karya kami berangkat dari memori yang merupakan sebuah catatan personal manusia. Bagi kami memori bagaikan lembaran-lembaran kain yang tersusun berlayer-layer. Setiap lembarnya bagai rekaman gambar peristiwa—di dalamnya terdapat teks, simbol, garis, warna—yang saling mengisi hingga menciptakan dimensi baru yang selalu hidup dan memberikan ruang bagi pemiliknya. Memori seperti bayangan yang tercipta untuk mengikuti langkah mengayun dan mengetahui keberadaan Terang dalam hidup.

The idea for this work arose out of a memory of a personal note. A memory is like pieces of cloth that are arranged in layers. Each sheet is a recording of an event—imbued with text, symbols, lines, colors—that complement each other to create a new dimension that lives and provides perspective for the holder of the memory. Memory is like a shadow that is created to follow the our steps and to know the existence of Light in life.

B7HEY YOU, 2010, cloth, thread, embroidery, painting, 200 cm x 130 cm

John Martono, Bandung

B8SHADOW, 2010, embroidery and cutting on organdy, variable dimensions

3rd Droom: Rifqi Sukma & Dita Gambiro, Yogyakarta & Bandung

3rd Droom: Rifqi Sukma & Dita GambiroJohn Martono

Page 25: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

48

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

49

Karya serial perjalanan saya tentang para saksi mata di mana ketertarikan saya tentang fenomena situasi saat ini yang bisa dibilang sangat cepat berubah baik secara isu ataupun situasi. Generasi kita adalah generasi yang kaya akan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah periode peralihan jaman orde baru menuju masa demokrasi yang ternyata melampaui batas-batas demokrasi itu sendiri. Kita tetap buta akan sesama, buta akan solodaritas, buta akan berbagi, buta akan kehidupan, buta akan politik dan memang ternyata kita saksimata yang melihat "kebutaan" bangsa kita sendiri.

The work, series, depicts my journey concerning witnesses and my interest in the present phenenomena of rapid change in issues and situations. Our generation is overwhelmed in events that occurred after the change from the New Order to an era of democracy that has, it appears, overshot the boundaries of democracy. We are still blind to each other, blind to solidarity, blind to sharing, blind to life, blind to politics; it seems that we are witnesses who see our own nation’s ‘blindness’.

Dibutuhkan kejelian dalam mengolah tradisi kita, bukan melestarikan saja, tapi juga menghidupkannya dalam konteks hari ini agar bermakna dalam cakrawala seni global. Pada karya berjudul Transporter & Transformer ini saya menggunakan kain batik yang diolah sedemikian rupa, sehingga menjadi pakaian yang biasa kita lihat dalam pesta-pesta topeng ala orang barat. Sekilas memang tampak seperti pakaian orang Eropa tapi ternyata bukan. Saya hanya mengambil polanya saja, karena saya rasa menjadi tugas seorang perupa seperti saya untuk mengolahnya menjadi karya kontemporer yang diapresiasi dan diminati publik lintas benua.

Careful attention is needed in the treatment of our traditions; not just preserve them, but imbue them with life in the context of the present day so that they will have meaning in the current global art horizon. In the work, Transporter & Transformer, I use batik cloth that has been made into a clothes we usually would see at a Western masked ball. At a glance, it looks like European clothing, but it is not. I just adopt the basic pattern because I feel that it is my duty as an artist to transform it into a contemporary piece that can be appreciated by the public across continents.

B9THE WITNESS #4, 2007, cloth, thread, machine embroidery, 270 cm x 166 cm

Eko Nugroho, Yogyakarta

B10TRANSPORTER AND TRANSFORMER, 2009, batik, stitched, 116 cm x 80 cm

Tiarma Dame Ruth Sirait (Poleng Studio), Bandung

Tiarma Dame Ruth Sirait (Poleng Studio)Eko Nugroho

Photographer: Yuli Metasari, Model: Ramandhika & Asep

Page 26: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

50

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

51

Saya dibesarkan di desa kecil dekat kota Tegal, sebagai anak dari keluarga pedagang batik kecil-kecilan. Pada sekitar tahun 60’an ketika terjadi peristiwa rasial, toko batik/rumah keluarga kami dibakar massa. Dalam karya saya ini, saya “menandai” peristiwa tersebut, mengingat ibu saya yang melihat reruntuhan bangunan rumah dan mengais-ngais serpihan batik miliknya.

I was raised in a small village near the city of Tegal, as a child from a family of small merchants. During the 60’s when there was racial rioting, the house and shop of our family were burned down by the masses. In this art work I ‘mark this event, remembering my mother when she was looking at our destroyed house and crying and crying while looking at the remaining bits of her batiks.

Saya mencoba mengangkat tema perubahan alam yang disimbolkan dengan rumput-rumput, juga perubahan atas perilaku, pola pikir, gaya hidup, dan lain sebagainya yang saya simbolkan dengan topi yang didisplay terbalik, namun ada satu topi yang posisinya tidak terbalik. Judul karya ini Terbalik Baik Baik Terbalik sebagai sebuah transformasi atas kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri walaupun kadang kita tidak menyadarinya dan lalai.

I have addressed the theme of changes in nature as symbolized in grasses. I symbolize the changes in behaviour, patterns of thought, lifestyles, and other aspects with hats that are positioned backwards, however there is one hat that is not positioned backwards. The title of this work is Backwards is Good Good is Backwards, representing a transformation of reality that we cannot terminate, even though sometimes we are not aware of it and are careless.

B11BATIK HAS BEEN BURNT, 2010, acrylic on batik, 210 cm x 100 cm

Dadang Christanto, Tegal

B12REVERSED GOOD-GOOD REVERSED, crochet, 2 m x 1 m x variable

Yuni Bening, Yogyakarta

Yuni BeningDadang Christanto

Page 27: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

52

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

53

Tasbih memutari pembelajaran daimoku dalam diri bersama lilin, berangan-angan di kebun lumbini dengan pohon sala berbunga indah, dihadapkan alam semesta dan kembali aku menemukan diriku: aku cuma seorang Vita.

The tasbih encircles the inner daimoku lesson with candles, contemplating in the lumbini garden with beautifully flowering trees, facing the universe and returning to find myself. I am just Vita.

Karya yang saya ciptakan untuk Pameran Fiber Face ini adalah mengenai transformasi. Judunya Courageous Warrior dan ini tentang manusia yang terpilih untuk menjadi shaman. Dia bersiap memulai perjalanan ‘Pencarian Visi’ dan membawa Parfleche – semacam ‘koper’ berhias, mokasin yang dibuat untuk perjalanan ini dan semacam pita tenunan yang akan dibebatkan di kepala untuk membantu membawa keranjang yang berat. Benda-benda sakral akan ditaruh dalam Parfleche untuk meditasi dan berdoa selama perjalanan pencarian itu. Berpuasa dan menyendiri di hutan belantara akan membantunya memperoleh wawasan lebih mendalam dan kearifan yang lebih tinggi, dan ini menciptakan ruang bagi transformasi sempurna menjadi seorang shaman.

The piece that I have created for the Fiber Face Exhibition is about Transformation. It is entitled Courageous Warrior and is about a man who has been chosen to become a Shamman. He is about to embark on a "Vision Quest" and is taking a Parfleche (decorated baggage), moccasins that were made for this journey and a tumpline (woven strip) which will wrap around the forehead to aid in carrying a heavy basket. Sacred objects will be place in the Parfleche for meditation and prayer during this vision quest. Fasting and being out in the wilderness will aid in his acquiring deeper insights and higher wisdom, thus creating space for complete transformation in becoming a Shamman.

B13ME AND THE GODS, 2010, thread of cotton, wool, & rayon, 3 m x 2.3 m

Vita Rajut, Yogyakarta

B14COURAGEOUS WARRIOR, 2010, batik on silk, variable

Marilyn Salomon, U.S.A.

Marilyn SalomonVita Rajut

Page 28: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

54

Halaman-halaman manga (komik Jepang) berbiak dan bertimbun dalam ruang. Lapis-lapis berwarna, batik, dibubuhkan pada halaman-halamannya hingga tercipta pola seolah buku komik itu sudah termakan serangga. Menembus pola compang-camping itu serpih-serpih kata dan citra masih tampak. Seolah itu semua berayun di angin sepoi selagi kenangan-kenangan kita mengembara antara yang pasti dan yang bimbang.

Pages of manga (Japanese comic) multiply and pile up in the space. Colored layers of batic applied to the pages create a pattern as if the manga had been eaten by insects. Through the moth-eaten pattern fragmentary words and images remain visible. It is as if they sway in a gentle breeze just as our memories wander between the certain and the uncertain.

B15JAPANESE COMIC BOOK [NEW YEAR SPECIAL NUMBER], 2011, Japanese comic book overprinted with batik, 500 cm x variable

Rei Saito, Japan

Rei Saito

Page 29: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

56

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

57

Cluster C

Isu mengenai lingkungan hidup, senantiasa muncul dalam arena seni kontemporer. Sebagai topik yang hangat dan universal, niscaya hadir pula dalam pameran Fiber Face 3,

yang bertema Transformasi.

Dari ujung rambut hingga alas kaki kita, dari sebatang sapu sampai perangkat telekomunikasi satelit ruang angkasa, bahan dasar serat—organik ataupun sintetis—tampak berserak di mana-mana. Pada dasarnya, seni serat identik dengan seni lingkungan dalam pengertian penciptaannya berdasar bahan yang sehari-hari tersedia di sekeliling kita.

Serat alami bahkan merupakan temuan teknologi material purba, tatkala manusia mulai mengelola potensi alam sekitarnya. Seutas tali, hingga kini belum berubah bentuk atau fungsinya semenjak masa alfabet belum ditemukan. Dan di ruang pameran sekarang, kita menengok tali bukan lagi sebatas alat untuk mengikat. Melainkan simbol yang mampu mentrasformasikan makna.

Dampak letusan Merapi terhadap kawasan seputar JawaTengah, langsung tergambar secara kongkrit, tipikal, liris sekaligus miris, melalui pilihan bahan bersahaja namun jitu: kain karung dan temali goni. Penanganan warna kain Shibori yang begitu subtil, membenamkan kita ke alam dasar laut atau lapis-lapis lantai bumi yang hampir muskil terbayangkan. Dan juga, kita bisa menangkap persepsi gugusan gua dari instalasi kain merah yang dapat membawa kita bahkan sampai ke relung-relung pre-natal—tempat yang paling damai di dunia yang kian tak menentu.

Menjelang akhir abad lalu, tatkala krisis ekosistem bumi mendadak merebut perhatian dunia, serat mendapat momentum sebagai alternatif baru dalam media seni rupa. Sifat, tekstur, warna, proses, struktur dan permukaannya yang riil, mengatasi kefasihan bahasa artifisial kita dalam mengungkap problema kita dengan ruang. Serat tiba-tiba berperan sebagai abjad-abjad primodial yang membahasakan kembali hubungan kita dengan alam.

Transformasi Lingkungan

Transformation of the Environment

Issues concerning the environment are constantly addressed in the arena of contemporary arts. As a vital and universal topic, it is an essential presence in Fiber Face 3 with its

theme, Transformation.

From ends of hair strands to the soles of our feet, from a broom to a telecommunication satellite, the basic materials for fiber, organic or synthetic, are strewn around us everywhere. At its roots, fiber art is part of environmental art in the understanding that it is created from the daily materials available around us.

Natural fibers represent ancient forms of technological invention, when humanity began to manage the natural resources in the surrounding environment. A length of rope has not changed in form or function since pre-literate times. However, in this exhibition, we now see rope no longer restricted to its use as a means of tying things together. Symbols can transform meaning.

The effects of Mt. Merapi’s eruption in Central Java are encaptured in a concrete, topical, lyrical, though almost apprehensive way through simple materials of hessian cloth and gunnysack rope. The coloring of the shibori cloth is so subtle it carries us to the bottom of the sea or into the layers of the earth that are almost imperceptible. The viewer can envision a series of caves in the installation of red cloth that takes us into womb-like chambers; the most peaceful place on an unstable earth.

At the end of last century, when the crisis of the earth’s ecosystem erupted to capture the world’s attention, fiber arts gained momentum as a new alternative in art media. The natural textures, colors, processes, structures, and authentic surfaces prevail over the fluency of language in conveying their presence in physical space. Fiber art suddenly has a role as a primordial alphabet in the discourse of our relationship with nature.

Page 30: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

58

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

59

Indrani Ashe & Arum Sekar Prameshwari

C1INNER SPACE, 2010, Cotton & toile, tie dye, hand sewing, variable

Indrani Ashe & Arum Sekar Prameshwari, Bandung

Innerspace adalah sebuah labirin simetris berukuran 4 x 3 meter persegi dengan pusat yang berbentuk seperti rahim yang mengubah ruangan menjadi tempat berlindung dengan warna yang hangat dan tekstur yang lembut. Ini menggambarkan pusat spiritual di mana kita menarik diri untuk mencari kejernihan atau perasaan bahwa kita harus berbagi dengan sesama untuk merasakan kedamaian. Penonton bisa merasakan hubungan yang intim dengan warna dan tekstur dari medianya di sepanjang jalur-jalur sempit. Di tengah-tengahnya adalah tempat untuk bersantai atau berbincang-bincang dengan intim dan pribadi.

Innerspace itself is a 4 x 3 meter symmetrical labyrinth with a womblike center that transforms the space into a sanctuary of warm color and soft textures. It illustrates the spiritual center we withdraw to in search of clarity or the heart that we must share with others to feel peace. Viewers have an intimate relationship with the color and texture of the media in the narrow paths. The center is a place to relax or have an intimate and private conversation.

Pemanasan global hanyalah awal dari petaka yang akan terjadi di bumi. Sejumlah permasalahan lain akibat dari pemasanan global akan muncul dan membahayakan kehidupan umat manusia. Penggundulan hutan yang tidak mengikuti kaidah, menjadikan erosi dan kepunahan satwa menjadi momok serius bagi kelestarian lingkungan.

Global warming is only the beginning of a calamity that will befall the earth. A number of other problems that are results of global warming will arise and endanger the lives of humanity. Unregulated deforestation causes erosion and the extinction of animals resulting in a serious nightmare for environmental preservation.

Innerspace itself is a 4 x 3 meter symmetrical labyrinth with a womblike center that transforms the space into a sanctuary of warm color and soft textures. It illustrates the spiritual center we withdraw to in search of clarity or the heart that we must share with others to feel peace. Viewers have an intimate relationship with the color and texture of the media in the narrow paths. The center is a place to relax or have an intimate and private conversation.

C2SAVE THE EARTH, 2010, cloth, dacron, stitched, 225 cm x 175 cm x 150 cm

Tofan A Widianto, Yogyakarta

Tofan A Widianto

Page 31: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

60

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

61

Karya para mahasiswa ini memiliki beberapa kesamaan sehingga dikumpulkan dalam satu kelompok.

Serat alam yang masih mentah mereka olah potensinya sedemikian rupa hingga menghasilkan warna dan visual yang sangat berbeda dari wujud asalnya. Mereka mempertimbangakan berbagai aspek dalam mewujudkan sebuah karya yang estetis tanpa melupakan karakter medium karya mereka. Apa yang dihasilkan bersifat dasar dan dengan teknik yang sederhana, namun berhasil mengolah esensi penting dalam dunia serat, yaitu wujud serat alam itu sendiri.

The works of these art students have a number of similarities and for that reason they have been put into one group.

Natural fibers have a potential that has still been barely touched. The resulting colors and visual impressions are extremely different from their original form. These students have taken into account a number of aspects in creating a work that has an aesthetic quality without forgetting the character of the medium of their work. The resulting pieces have used a simple technique, however, they have succeeded in processing something important in the fiber world, which is the form of natural fibers themselves.

Dian Widiawati Group of Student Artists

Melalui eksplorasi material-material alam yang terbarukan, dan ramah lingkungan (serat alam dan pewarna alam yang dapat dibudidayakan, dan tidak menghasilkan limbah beracun), mengingatkan betapa bumi yang kaya potensi ini akan rusak bila tidak kita jaga kelestariannya. Perubahan ke kondisi lingkungan yang lebih baik tidak akan terwujud hanya dengan ucapan, melainkan dengan sikap dan langkah nyata, dari hal-hal yang terkecil dapat kita lakukan maka tranformasi ke arah yang lebih baik akan mungkin tercipta.

Through exploration with renewed natural and environment-friendly materials (natural fibers that can be cultivated and and dyes that do not produce poisonous waste), we remember how the earth, rich in potential, will be destroyed if we do not guard its preservation. Changes to improve conditions for the environment will not be realized only through words. It will take changes in attitudes and actions, from the smallest and simplest deeds. In this way, it is more likely that a transformation to a better direction will be realized.

C5LETS FOLD AND FOLD BANANAS, 2010, weaving, tapestry,

macramé, 200 cm x 90 cm Eka Arifianti Puspita, Bandung

C3EARTH, 2010, natural fibers, kenaf fiber, banana stems, hand spun cotton, 150 cm x 60 cm

Dian Widiawati, Bandung

C4THE MISSING ALAQUA, 2010, kenaf fiber, wool yarn, leather waste, woods,

natural mahogany dye, 200 cm x 100 cmArdita Ayu Lestari, Bandung

Page 32: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

62

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

63

Group of Student Artists

C7A TWILIGHT SIGHT, 2010, abaca fiber, eceng gondok fiber, secang natural dye,

weaving & knotting, 200 cm x 175 cmNurlina Khairunnisa, Bandung

C8EXOTICA, 2010, saeh fiber, lantung bark cloth, jute,

wire, basket weaving, 185 cm x 75 cm Sabila Nurul Afifi, Bandung

C9ABSTRACT ATTRACTION OF EAST NUSA TENGGARA, 2010, wool,

indigo and secang natural dyes, 200 cm x 100 cmSantika Syaravina, Bandung

C6TRIAL PERIOD, 2010, Woven in mix media fiber bark of mulberry, cotton & wool yarn, silk waste,

soga tingi natural dye, 200 cm x 70 cmRani Ariefanti, Bandung

Group of Student Artists

Page 33: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

64

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

65

Alie Gopal

Mencoba mengurangi ke dalam pesan. Berbicara kembali pada hari esok dan yang telah lampau. Hari kemarin dan lalu. Yang tanpa sadar sudah dicermati oleh diri sendiri sebagai ungkapan visual untuk mengingatkan "(warning)". Tempo atau tegangan dalam beraktivitas yang dianggap berguna untuk bisa menela'ah dan menikmati apa yang diungkapkan atau dikerjakan.

Trying to reduce into the message. Speaking again to the future and the past. Yesterday and before. The unconscious has already been examined as a visual ‘warning’. Tempo or tension is considered useful for contemplating and enjoying the expression.

Karya ini saya beri judul Dead Leaves and The Dirty Ground terbuat dari serat alam dan diwarna dengan pewarna alam. Dibuat tanpa mesin dan diolah dengan tangan sendiri. Lewat karya ini saya ingin mengangkat ‘transformasi’ yang kini terjadi di bumi yang kita tinggali ini.

I named this piece, Dead Leaves and the Dirty Ground. It is made from natural fibers and dyes, without the use of machines and purely by hand. Through this work, I want to address the ‘transformation’ that is occurring on this earth.

Rara Pradnya Nindita

C10DEAD LEAVES AND THE DIRTY GROUND, 2010, jute with natural dyes, crochet, 175 cm x 80 cm

Rara Pradnya Nindita, Bandung

C11ERUPTION, 2010, gunnysack, thread, embroidery, 230 cm x 170 cm

Alie Gopal, Yogyakarta

Page 34: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

66

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

67

Like the burning smell of hot wax I have been overwhelmed by the rich fabric traditions and culture that I have experienced while in residency at Brahma Tirta Sari Studios, Yogjakarta. The time honoured processes, techniques and production have been intriguing and inspiring. The contemporary world in which I live allows me to discover these processes from the past and emerge them into my own creative practice. Destruction of environment, modern day excesses juxtaposed with the return to more natural or simple way of living often underpin the way and thoughts in which I create.

Bagaikan lilin panas yang menebar aroma, saya leleh tak berdaya dalam pesona kekayaan tradisi kain dan budaya. Itu saya alami waktu tinggal di Studio Brahma Tirta Sari Yogyakarta dalam program residensi. Proses, teknik dan produksi yang telah sekian panjang sejarahnya begitu menarik keingintahuan dan mengilham. Dunia kontemporer memungkinkan saya mengetahui proses-proses itu, yang dapat saya munculkan dalam kerja kreatif saya sendiri. Perusakan lingkungan, ekses zaman modern yang didamping-kontraskan dengan kepulangan pada cara hidup alami atau sederhana sering menjadi landasan cara dan pemikiran saya dalam mencipta.

Bekerja sebagai seniman di Northern Territory adalah sumber inspirasi yang ajaib dan tanpa putus, dengan luapan energi dan lanskap dramatisnya beserta perubahan iklim dan warna-warna begitu kuat di setiap sisi. Ini semua sudah jadi bagian yang demikian integral dari keberadaan dan ketrampilan komunikasi sehingga ternyata tercermin dalam karya saya, secara hampir sama wajarnya dengan bernafas.

Menjelajahi berbagai teknik, di wilayah Desain Permukaan, untuk mengungkapkan pengaruh-pengaruh itu, menjadikan saya larut sepenuhnya, dan membantu saya makin dekat dengan Northern Territory dan makin mencintainya.

Working as an artist in the Northern Territory provides a wondrous and constant inspiration source, with the vibrancy of the dramatic scenery and climate changes and the intense colours on every side. These has become such an integral part of being and communication skills that I find they are reflected in my work, almost as naturally as breathing.

Exploring different techniques, within the Surface Design area, to express these influences keep me fully occupied and serves to increase my affinity with the Territory and my love for it.

C12GENERIC METROPOLIS, 2011, batik, digital print, cardboard media installation dimensions variable

Anna Reynolds, Australia

Anna Reynolds

C13I LOVE A SUNBURNT COUNTRY, 2010, batik wax resist, hand painted dyes, block printing, ‘thermo fax’ screen printing, hand drawn gold and copper paints and foil, 200 cm x 112 cm

Lillian Smith, Australia

Lillian Smith

Page 35: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

68

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

69

C14EARTH ERUPTIONS, 2010, silk organza net, shibori resist, manipulation technique, 110 cm x 25 cm x 6 cm

Philomena Hali, Australia

Dalam praktik kesenian saya, saya banyak menggarap kain dengan jahit-menjahit, dan digabungkan dengan teknik pewarnaan celu-rintang Shibori, untuk memberi tekstur dan mengubah permukaan kain. Prosesnya acapkali bersifat padat-karya dan repetitif, tetapi hasilnya sangat menggembirakan dan memberikan dimensi baru pada suatu bidang datar. Dalam Earth Eruptions empat meter organza sutera tenunan renggang dicelup warna dengan menggunakan perintang Kumo Shibori, kancing, tutup botol yang dibundel dengan tali untuk ‘mentransformasikan’ kain itu ke tampang akhirnya.

My practice involves a great deal of fabric manipulation by stitching, and in conjunction with Shibori resist techniques, in order to texuturise and modify the surface of cloth. The process is often labour intensive and repetitive, but the end results are very exciting and bring a new dimension to a flat surface. In Earth Eruptions four metres of silk organza net were resisted by using Kumo Shibori, buttons, bottle tops and binding with string, to ‘transform’ the cloth to its final look.”

Dulu saya sering pergi ke pulau-pulau tropis sebagai sumber inspirasi bagi karya seni maupun kehidupan saya. Akhirnya, warna-warni dan berbagai bentuk Ibunda Alam membantu merangsang dan memancing tanggapan dari kita. Tak bisa lain, saya hanya berharap bahwa saya akan mampu terus memiliki alam itu dalam hidup saya, dan menjadi bagian dari sekian banyak makhluk hidup di wajah Bumi ini.

I used travel often to tropical islands as a source of inspiration for both my art and my life. Finally, colors and shapes of Mother Nature serve to stimulate and evoke responses from us. I cannot help but hope that I will be able to continue to have that nature in my life and to be a part of the multitude of living things on the face of this Earth.

Philomena Hali

C15GIFT FROM THE SEA – AIR I.II, 2007, silk, wire/shibori, 70 cm x 70 cm x 40 cm

Yasuko Iyanaga, Japan

Yasuko Iyanaga

Page 36: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

70

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

71

Cluster D

Seni Serat – Menembus Kategorisasi

Fibre Art – Transcending Categorisation

Bagian Fiber Face 3 yang ini menggambarkan bagaimana seni serat dapat dimasukkan dalam berbagai pengelompokan konvensi ‘seni’. Lepas dari apakah

itu dalam bentuk seni konseptual, seni dekoratif atau seni kolaboratif, karya seni serat yang dipamerkan ini memaparkan ragam yang kaya akan ekspresi, tema, gagasan dan bahan dasar. Melalui penggambaran keragaman gagasan dan proses yang digunakan dalam menciptakan seni kontemporer, karya-karya seni ini melukiskan betapa seni serat melampaui batasan klasifikasi.

Beberapa karya yang ada di klaster ini mengingatkan kita pada istilah seni konseptual—di mana perencanaan dan keputusan dalam menentukan gagasan menjadi pilar utama karya. Teknik dan estetika selanjutnya menjadi perangkat yang digunakan untuk mendukung perencanaan dan gagasan yang dimaksudkan. Di sini kita bisa melihat bahwa seni serat juga mampu mengartikulasikan gagasan-gagasan yang kritis dan kontekstual.

Karya lain yang disajikan merupakan hasil kolaborasi antara seniman dari kultur dan pengalaman hidup yang berbeda. Karya-karya ini memiliki daya tarik tersendiri oleh sebab spirit teknik tradisional dan topik gagasan mendapatkan sentuhan yang lebih inovatif. Di dalam lingkungan tertentu, seni tradisi, adat istiadat dipandang sebelah mata. Meski demikian melewati experimentasi teknik dengan teknik-teknik baru dan perspektif yang segar, karya kolaborasi semacam itu berhasil menyerap dan mentransformasikan nilai-nilai tradisi yang kuno, teknik yang kreatif, dan pengetahuan lingkungan menjadi bentuk yang unik yang patut diapresiasi serta memiliki tempat di dunia seni.

Keragaman karya-karya yang ada menandakan bahwa seni serat merupakan sebuah ladang kaya atas praktik seni kontemporer yang mengakomodir berbagai bakat kreatif serta pendekatan-pendekatan konsep dan teknis.

This section of Fiber Face 3 illustrates how fiber art can be located within the diverse conventional categories of ‘art’. Be it conceptual art, decorative art or collaborative

art these fibre artworks display rich variation in expression, theme, concept and materials. Reflecting the multiplicity of ideas and processes used in creating contemporary art this group of artworks illustrates the transcendence of fibre art beyond category.

Several works in this section of the exhibition remind us of the term ‘conceptual art’ in which the designs and decisions of ideas become the primary pillar of the artwork. The techniques and aesthetic used in the artwork become tools that support the design and concept. Thus, we can see that fiber art is capable of articulating critical and contextual ideas.

Other works presented in Fiber Face 3 are the results of collaborations between artists of different cultures and life-experiences. These works have a fascination of their own because the spirit of traditional technique and subject matter has been touched by innovative ideas and subject matter. In some circles, traditional, customary art is viewed disparagingly. However, through experimentation with new techniques and fresh perspectives, these collaboratively produced artworks succeed in transforming and conveying ancient cultural values, creative techniques and environmental knowledge into unique forms deserving of appreciation and a place in the world of art.

The diversity of these works on display indicate that fiber arts is a rich field of contemporary art practice that accommodates diverse creative expertise, conceptual and technical approaches.

Page 37: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

72

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

73

In Memoriam Love menempatkan kenangan-kenangan indah tentang sinkretisme di masa lalu yang terbawa oleh mitoni, di mana semua agama dapat melakukan ritual ini dengan memasukkan doa-doanya masing-masing. Hal ini sangat kontras dengan begitu banyak kericuhan berbau agamis di Indonesia yang terjadi saat ini. Kearifan leluhur dalam pluralisme dan semangat mereka untuk selalu belajar mencintai sesama melalui budaya, mungkin suatu saat akan benar-benar hilang, seperti halnya upacara mitoni, yang makin jarang dilakukan.

In Memoriam Love brings out beautiful memories about the syncretism of the past as embodied in the mitoni ceremony, which can be conducted by followers of all religions. This harmony contrasts sharply with the religious discord that has erupted in Indonesia recently. Local wisdom of pluralism and past enthusiasm to strive to love each other will perhaps one time be lost, as with the mitoni ceremony that is increasingly rarely conducted.

Image of No Dream – Backpacks adalah bagian dari sebuah proyek yang dikerjakan bersama dengan Yudi Ahmad Tajudin dari the Fifth Season, sebuah residensi seniman yang ada di salah satu klinik psikiatrik di Belanda. Selama masa kerjasama ini kami ‘menangkap’ bayangan dari para penghuni klinik dan mengumpulkan interpretasi mereka tentang arti bayangan. “Bayangan adalah temanmu atau penjagamu, seseorang yang menemanimu ketika kamu diijinkan untuk jalan-jalan keluar. Bayanganmu adalah beban yang harus kamu tanggung. Bayangan adalah diri kedua/ganda-mu. Bayanganmu adalah bagian dari dirimu yang bisa ditepiskan.”

Image of No Dream – Backpacks is part of a project developed together with Yudi Ahmad Tajudin of the Fifth Season, an artist-in-residence at a psychiatric clinic in the Netherlands. During this working period we ‘captured’ the shadows of the inhabitants of the clinic and collected their interpretations of the meanings of shadows. “A Shadow is your companion or guard, somebody who joins you when you are allowed to walk outside. You bear your shadow as a burden. The shadow is your second / multiple self. Your shadow is the part of you that can be put aside.”

D1IN MEMORIAM LOVE, 2010, hand-woven lurik, wood, paint, 200 cm x 59 cm

Aprina Murwanti,Semarang

Aprina Murwanti

D2IMAGE OF A NO DREAM, 2010, cloth, cardboard, 200 cm x 60 cm x 30 cm

Mella Jaarsma, Yogyakarta

Mella Jaarsma

Page 38: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

74

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

75

Motif Kawung dipadankan dengan siluet batang pohon, irisan daun hingga kupu-kupu untuk kemudian diproporsikan secara apik yang pada akhirnya diharapkan dapat merepresentasikan keharmonisan dan keindahan alam Indonesia. Saya coba leburkan elemen serat alam ABACA dengan segala muatan tradisionalnya ke dalam setiap proses pengolahannya dengan kawat sebagai elemen pendukung tanpa menenggelamkan material utama. Pemilihan warna pastel diharapkan dapat mewakili ke-modern-an karya, yang saya coba lepaskan dari patokan warna-warna yang biasa dipergunakan pada sebuah karya serat alam, yakni warna-warna tradisional.

The Kawung motif has been compared to the silouette of a tree trunk, slices of leaves and butterflies, and finally said to be representative of the harmony and beauty of Indonesian nature. I attempt to merge the natural fiber elements with all of its traditional aspects in the treatment process with wires as a supporting element without overshadowing the primary material. The choice of pastel colors represents the modern aspect of the work, which I try to liberate from the pattern of usual colors that are traditionally used in natural fiber art.

Dalam karya ini, saya mengungkapkan perubahan atau transformasi orientasi saya dan generasi yang tumbuh bersama saya, atau dapat disebut sebagai generasi pasca-reformasi dalam merespon kondisi lingkungan sekitar. Saya kemudian memulai untuk berproses karya dengan mewawancarai pedagang pasar di daerah Balubur, Bandung. Kemudian, saya memutuskan untuk merekam pola pikir tersebut dalam karya saya. Akhirnya saya menggunakan “pixelate”, sebagai representasi bentukan olah digital yang “genre” dan saya terapkan pada potret pedagang. Setelah proses ini selesai, saya kemudian melakukan quilting untuk menonjolkan setiap modul “pixelate” dari potret tersebut.

In this work I express the change or transformation in my own orientation and that of my generation, the post-reformasi generation, in responding to the environment. I started the process by interviewing village merchants in the Balubur region in Bandung. Then, I recorded these thoughts and, using pixels as a representational form of the digital genre and I pixelated the portraits of the traders. Finally, I quilted it to emphasize the pixelate modules of the portraits.

D3BUTTERFLY, 2010, abaca fiber, wire, pressing technique, 180 cm x 90 cm x 0,5 cm

Ayu Aulia, Purwakarta

Ayu Aulia

D4BOOM!!! (And I Keep On Asking You), 2010, digital printing on cotton, quilting, 200 cm x 100 cm

Aulia Ibrahim Yeru, Bandung

Aulia Ibrahim Yeru

Page 39: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

76

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

77

Karya ini mengeksplorasi simbol kuno lingga yoni—keseimbangan di antara kekuatan laki-laki dan perempuan—melalui kesatuan nilai estetika pamor keris (ukiran mata pisau keris) sebagai tafsir lingga dan kain batik sebagai yoni. Keris dan batik dalam ranah ritual Jawa merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Karya ini menyampaikan pamor keris secara imaj dan sarung batik bercorak kawung dan parang selaku rupa bentuk. Unsur keris bermanifestasi dalam bentuk serat yang mencerminkan tekstur pamor keris, sedangkan sarung batik membentuk suatu ruang menyerupai rahim di mana tiga tahap kehidupan wanita—perawan, ibu, dan nenek—ditafsirkan dalam bentuk boneka.

This artwork explores the ancient symbol of the lingga yoni or the balance between male and female energies by utilizing the unity of the aesthetic values of the keris' pamor (decorative texture of the blade of the sacred Javanese dagger) as lingga and batik motifs as yoni. Batik and keris within Javanese ritual are two aspects that cannot be separated. The artwork references the keris as imagery and the sarong with batik motifs of kawung and parang as form. In this installation the keris is manifested in fiber form depicting the texture of the keris' pamor. The batiked sarong's inner portion contains a womb like space where the three stages of the female life, virgin, mother and crone are symbolized.

PANDANUS PROJECT, Australia

The Pandanus Project showcases fibre works resulting from a six month artistic exchange between weavers from the Beswick community and fibre artist Adrienne Kneebone. The artists worked with Adrienne to develop new work, ideas and techniques and easily adapted to contemporary fibre art forms, fusing traditional knowledge with their new skills. This project will be used as a platform for future projects and to raise awareness of fibre as a sustainable medium in contemporary art.

The Pandanus Project menyajikan karya-karya serat yang dihasilkan dari sebuah pertukaran seni selama enam bulan antara penenun dari komunitas Beswick dan seniman serat Adrienne Kneebone. Para seniman bekerja dengan Adrienne untuk mengembangkan kerja baru, ide-ide dan teknik yang mudah disesuaikan dengan bentuk seni serat kontemporer serta menggabungkan pengetahuan tradisional dengan keterampilan baru mereka. Proyek ini akan digunakan sebagai platform untuk proyek-proyek ke depan dan meningkatkan kesadaran serat sebagai sebuah media seni kontemporer yang berkelanjutan.

D6TOWN + KANTRIMedium : Pandanus , Bush ColourAdrienne Kneebone

D7MINI MUKUYMedium : PandanusNoreena Ashley D8

JELLY FISHMedium : PandanusPatsy Forbes

D5FRAGRANT NIGHT, 2011, silk organdy, cotton, batik, reverse appliqué, stitching, 3, 5 m x 1, 3 m & reverse appliqué 2, 6 m x 85 cm

Agus Ismoyo & Nia Fliam, Yogyakarta

Agus Ismoyo & Nia Fliam Pandanus Project

Page 40: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

78

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

79

Ruh yang sembunyi dalam rimba mengimbau kita semua agar bersama-sama melindungi Bumi, planet kecil dalam semesta mahaluas. Dibuat dengan bahan kertas tradisional Jepang yang disebut washi. Washi dan bambu yang dibelah tipis-tipis adalah bahan pembuat lampion yang disebut chouchin. Pembuatannya dengan struktur yang mirip akordion, sehingga lampion bisa dikempeskan menjadi lipatan pipih yang mudah dibawa.

Di Jepang saya membuat rancangan set dan dekor untuk acara televisi dan teater, menggunakan bahan tekstil. Bergantung pada penerangan panggung, banyak suasana yang dapat dibikin, dari yang ceria sampai yang sedih, dengan memainkan tingkat kebeningan dan tekstur yang dapat dilihat.

This piece is an expression of the spirit that hides in the forest. This spirit calls upon us all to work hand-in-hand to protect this Earth, which is just a tiny planet in this vast universe. Now, I used traditional Japanese paper called "washi" to make this. In Japan, there are lanterns called "chouchin", which are made of washi and finely split bamboo. The way they are constructed is called a "bellows structure", which is like an accordion. They can be collapsed and folded flat, so that they become portable. Though my piece appears rather large, it is actually light and can be folded quite small.

In Japan, I do production design work for TV and theater sets, where I use textile materials. Depending on how the stage is lit, whether from front or behind, numerous moods can be set, ranging from joyous to sad, by playing with the translucency and the textures that can be seen.

D10MUKUYSMedium : PandanusSarah Bidingal Ashley

D9CHEEKY YAM Medium : Pandanus, Papar Bark , Acrylic PaintRita Cameron

D11Lucy Cameron

Pandanus Project

D12THE SPIRIT THAT HIDES IN THE FOREST, 2009, 500 cm x 300 cm x 300 cm

Rieko Yashiro, Japan

Rieko Yashiro

Page 41: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

80

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

81

Spotlight

Seturut mitos, tenun Batak bermuasal di dunia atas dengan seorang dewi, Si

Boru Deak Parujar. Sejak itulah manusia telah menenun hingga sekarang. Tak pelak, usaha-usaha mereka yang paling awal masih relatif sederhana. Kemudian mereka mengembangkan tradisi ini dengan menambahkan lapisan lain pada lapisan yang semula sederhana sehingga desain menjadi rumit. Jika khasanah cerita dan pengetahuan rakyat Batak mewartakan penenun pertama, pameran ini adalah penghormatan kepada kemampuan kreatif dan teknis para keturunan sang dewi di muka bumi!

Tegangan di lungsin BatakTension in the Batak warp

Sandra Niessen

Gbr. 1 Peta wilayah tenun Batak (adaptasi dari buku Sandra Niessen, Legacy in cloth, Batak textiles of Indonesia, 2009)

Gbr. 2 Alat tenun BatakLungsin merentang antara badan petenun dan kayu penopang lungsin. Alat tenun Batak tidak menggunakan ‘sisir’. Maka benang lungsin diatur begitu rapat, padat, sehingga pakan (benang membujur) nyaris seluruhnya tak terlihat. Map of the Batak weaving

regions (adapted from Sandra Niessen, Legacy in cloth, Batak textiles of Indonesia, 2009)

Fig. 2 Batak backstrap loom. The warp stretches between the weaver’s body and the warp beam. The Batak loom has no comb. Consequently, the warp yarns are so densely arranged that the weft is almost completely hidden from view.

Photo : MJA Nashir, Lembah Silindung, 2010)

Menenun, demikian kata legenda, bermula di seputaran Pusuk Buhit, atau Gunung Pusar, gunung tertinggi di tepian Danau Toba. Seperti benang pintalan sang dewi, kegiatan menenun ini terentang antara dunia ini dan ranah para dewa. Dari desa-desa asali di kaki gunung itu, pengetahuan tentang bagaimana menangani lungsin dan pakan dengan canggih telah menyebar ke semua wilayah di sekitar danau – bukti ketrampilan teknis luar biasa dan daya invensi tinggi para petenun ini. Di tiap wilayah, tekstil-tekstil ini memperoleh watak lokal tersendiri (Gbr. 1: Peta wilayah tenun Batak).

Gbr. 3 Alat Tenun ATBMDengan alat tenun ATBM yang semi mekanis seperti yang digunakan Pertenunan Trias Tambun di Kaban Jahe milik Ir. Sahat Tambunan ini, kerja menenun berlangsung jauh lebih cepat daripada dengan alat tenung yang lebih tradisional, dan membuat pola pada pakan pun lebih mudah dilakukan. Banyak petenun Batak berpindah ke jenis alat tenun ini.

Photo : MJA Nashir, Kaban Jahe

Fig. 3 Upright LoomOn semi-mechanical upright looms (ATBM or alat tenun bukan mesin) such as this one in Ir. Sahat Tambun’s Pertenunan Trias Tambun in Kaban Jahe, weaving proceeds much more quickly than on a backstrap loom and it is easier to produce patterning in the weft. Many Batak weavers are shifting to this kind of loom.

Myths relate that Batak weaving originated in the upperworld with a

goddess, Si Boru Deak Parujar. Mortals have been weaving ever since. Their earliest attempts were no doubt relatively simple. Since then, they have built the tradition by adding layer upon ingenious layer of complexity to their designs. If Batak lore heralds the first weaver, this exhibition is a salute to the creative and technical capacities of her earthly descendants!

Weaving, so the legends go, began in the vicinity of Pusuk Buhit, or Navel Mountain, the highest

Present-day Batak Weaving Regions

Page 42: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

82

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

83

‘Menumbuhkan’ suatu tradisi berarti beradaptasi terus-menerus dengan keadaan lingkungan yang baru. Benang-benang lungsin pada alat tenun Batak merentang antara badan petenun dan kayu penyangga lungsin (Gbr. 2). Petenun mengelola tegangan lungsin itu dengan menggerakkan badan maju-mundur, persis sebagaimana ia harus mengelola tegangan antara pusaka budaya yang diwarisinya dan pengaruh dari luar. Setiap tekstil yang ditenunnya memperlihatkan keseimbangan yang tercapai antara desain dan teknik. Sepanjang berabad-abad hingga sekarang, para petenun dari generasi ke generasi telah menerjemahkan inspirasi dari luar – gagasan, desain, teknik – menjadi tekstil Batak yang khas, ulos.

Tegangan inilah bagian terpenting dari tradisi tekstil Batak. Dalam hal ini, kata ‘tradisi’ dan ‘transisi’ sebenarnya kurang memadai karena membersitkan gambaran keliru tentang suatu dunia yang tercabik antara bagian inti yang stabil dan lembam di satu pihak, dan, di pihak lain, penyimpangan dari yang inti itu. Tekstil Batak sendiri menguakkan realitas yang berbeda, yang lebih hidup namun subtil: suatu saling pengaruh, yang selalu bertransformasi, antara yang sudah dikenal dan yang merangsang keingintahuan. Khasanah Batak merupakan akomodasi kumulatif tindakan-tindakan kreatif dan eksperimental, yang himpunannya tumbuh makin kuat, makin lengkap, makinkaya, dan makin khas Batak dari pencapaian satu ke pencapaian berikut. Ini bagaikan pertumbuhan selembar kain ketika setiap benang

Gbr. 4 SibolangSibolang yang diwarnai indigo ini mungkin adalah salah satu tipe tekstil tertua dalam tenun Batak. Dahulu kain ini dikenakan sebatas pinggul oleh laki-laki maupun perempuan sebagai pakaian sehari-hari. Pada kesempatan ritual, kain ini dikenakan sebagai tutup kepala pasangan yang berkabung dan untuk menutup jenasah. Ada berbagai pola ikat untuk jenis kain ini. Ikat yang disajikan di sini lain dari yang lain dan langka.

Photo : Irene de Groot, Amsterdam

Fig. 4 SibolangThe indigo-dyed sibolang probably are among the oldest textile types woven by the Batak. They were once worn wrapped around the hips by both men and women on a daily basis. On ritual occasions, they covered the head of the mourning spouse and covered the corpse of the dead. There is a great variety of ikat patterning in this kind of cloth. The ikat displayed here is unusual and rare. Variety in the traditional repertory inhered in this kind of fine detail.

Gbr. 5 JobitSaah satu contoh paling halus untuk keindahan yang tenang dan dalam dari khasanah Batak tradisional, dan pola ikat Batak yang paling rumit. Pola ikat dalam tekstil Batak hanya terdapat pada benang lungsi.

Fig. 5 JobitOne of the finest examples of both the quiet, subtle beauty of the traditional Batak repertory and the most elaborate of Batak ikat patterning. Ikat patterning in Batak textiles is found only in the warp.

Gbr. 4a Detail pola ikat meander yang tidak lazim pada tekstil sibolang.

Fig. 4a Detail of an unusual meander ikat pattern in the sibolang textile.

Photo : Irene de Groot, Amsterdam

Gbr. 6 Ragidup na marhondaRagidup adalah kain ritual terpenting di sisi selatan Danau Toba. Kata ‘honda’ menunjukkan bahwa kain ini bergaris-garis di bagian tengah. Bidang-bidang ujung yang putih di kain ini dihasilkan dengan sebuah teknik rumit yang disebut perluasan lungsin. Mula-mula panel tengan ditenun kemudian setiap benang lungsin dengan susah-payah diperpanjang dengan benang lungsin putih. Jika diamati dengan cermat, tampak persambungannya. Pola lungsin-tambahan yang menandai perbatasan antara panel pinggir dan tengah memperlihatkan jenis-jenis motif yang sama dengan yang dipahatkan dan dilu kiskan pada dinding rumah tradisional Batak.

Fig. 6 Ragidup na marhondaRagidup are the most important ritual cloth south of Lake Toba. The word ‘honda’ identifies the cloth as having stripes in the middle. The white end fields in the centre panel of the cloth are the of a complicated technique called warp extension. First the centre panel is woven and then each warp yarn is laboriously extended with a white warp yarn. Close inspection shows the join between the two. The supplementary-warp patterning marking the boundary between the side and centre panels displays the same kinds of motifs as are carved and painted on the walls of Batak traditional houses.

Photo : Irene de Groot, Amsterdam

mountain at the edge of Lake Toba. Like the spun yarn of the goddess, it stretches between this world and the realm of the gods. From the original villages at the foot of the mountain, the knowledge of manipulating warp and weft spread to all of the regions around the lake -- a testimony to the technical prowess and the inventiveness of the weavers. In each region, the textiles were given their own local character (Fig. 1: Map of Batak weaving regions)

“Growing” a tradition means continually adapting to new circumstances. The warp in the Batak loom stretches between the weaver’s body and the warp beam (Fig 2). She manages the tension on it by moving her body back and forth, just as she must manage the tension between her own cultural heritage and external influences. Each textile that she weaves displays the design and technical balance that she has struck. Throughout the centuries, generation upon generation of weavers have translated external inspiration -- ideas, designs, techniques -- into distinctive Batak textiles.

This tension is the very core of the Batak textile tradition. The words ’tradition’ and ‘transition’ do it no justice, offering a false image of a world torn between an inert, stable core and departure from that core. Batak textiles themselves reveal a different, more animated yet subtle reality: a progressive interplay, ever-transforming, between that which is known and that which is intriguing. The Batak repertory

Page 43: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

85

pakan berturutan disisipkan hati-hati menyusup-susup benang lungsin.

Orang Batak, yang selalu terpesona oleh kebaruan, terbujuk oleh tekstil dan barang-barang impor lain dari tempat-tempat jauh seperti Asia Selatan dan Asia Timur, sehingga ambil bagian dalam perniagaan kuno di sepanjang pesisir timur dan barat Sumatra. Para petenun tak henti menjawab tantangan untuk membuat varian-varian yang ‘dibatakkan’ dari tekstil-tekstil luar negeri yang menarik minat mereka dan mendesak pasar internal mereka. Sirara na marsimata Batak [Gbr. 11], semua tekstil yang memperlihatkan ikat chevron (contoh: Gbr. 13 dan 14), bahkan barangkali tekstil ritual yang paling ditinggikan yaitu ragidup (Gbr. 6) dan pinunsaan (Gbr. 8) dan terutama ulos yang sekarang paling modis dengan tambahan pakan metalik berkilap (Gbr. 12 dan 14), semuanya membuktikan betapa petenun Batak melayani tantangan ini. Bolehlah kita anggap bahwa yang menginspirasi para petenun ini bukan hanya desain yang inovatif melainkan juga kekaguman pada budaya tempat asal kebaruan itu.

Jika sejarah ulos Batak dipengaruhi oleh dua rute pelayaran paling aktif menuju ke dunia-dunia eksotis nun di luar, ia dipupuk dan dibesarkan di kawasan bergunung-gunung terjal di antara kedua jalur itu. Setelah menempuh perjalanan turun gunung ke pesisir, para pedagang dan pekerja itu dapat membawa pulang gagasan yang menggairahkan dan tekstil mereka ke lingkungan budaya sendiri yang mereka akrabi. Inilah kancah pergulatan tempat

is the cumulative accommodation of creative, experimental acts, the corpus becoming stronger, fuller, richer, more distinctively Batak with each accomplishment, like the growth of a cloth as each successive weft is threaded carefully through the warp.

Ever fascinated with novelty, the Batak were seduced into participation in the ancient trade along Sumatra’s East and West coasts by the textiles and other goods imported from as far away as South and East Asia. Weavers continually rose to the challenge of making ‘Batakized’ variants of foreign textiles that attracted their interest and cornered their internal markets. The Batak sirara na marsimata [Fig 11], all of the textiles displaying chevron ikat (e.g. Figs 13 and 14), probably even the most highly-esteemed ritual textiles, ragidup (Fig 6) and pinunsaan (Fig 8) and especially the currently fashionable textiles with flashy metallic supplementary weft (Figs 12 and 14), are all demonstrations of how Batak weavers met this challenge. We may assume that it was not just innovative design that inspired the weavers, but also admiration for the culture whence the novelty originated.

If Batak textile history was influenced by the two active shipping routes leading to exotic worlds beyond, it was nurtured in the rough mountainous terrain in between. After venturing down to the coasts, the traders and the labourers could return with their inspiring ideas and textiles to the familiarity of their own culture. This was the crucible where the experiments took place. New techniques and designs were tried

Gbr. 7 BulangBulang dikenakan sebagai kain kepala oleh perempuan Batak Simalungun. Pernah menjadi tanda utama identitas Simalungun, kini bulang hanya dikenakan dalam upacara. Sekarang hanya tertinggal beberapa petenun bulang. Bidang-bidang putih di ujunh-ujung kain ini didapat dengan mengganti benang lungsin merah yang asli. Setelah bagian merah yang di tengah itu selesai ditenun, setiap benang lungsin diberi pasangan satu benang lungsin. Beberapa kali benang pakan dijalinkan untuk menghubungkan benang lungsin baru yang putih itu dengan jalinan tekstil yan asli. Kemudian lungsin yang lama dipotong dan dibuang, dan penenunan berlanjut pada benang lungsin putih.

Photo: Pamela Cross, Canterbury

Fig. 7 BulangBulang are worn as headcloths by Simalungun Batak women. Once a primary marker of Simalungun identity, they are now only worn on ceremonial occasions. Only a few bulang weavers are left. The white end fields in this cloth result from substituting the original red warp. After the centre red section is woven, each warp is paired with a white warp yarn. A few throws of weft are thrown to connect the new white warp to the original textile web. Then the old warp is cut away and the weaving continues on the white warp.

Gbr. 8 Pinunsaan jogiaRagam-ragam ulos yang disebut pinunsaan adalah kain ritual terpenting bagi masyarakat Batak di selatan dan tenggara Dana Toba. Bidang-bidang ujung yang putih di panel tengah itu ditenun secara terpisah lalu dijahitkan di situ.

(Photo : Lotus Studio, Edmonton)

Fig. 8 Pinunsaan bintang maraturThe range of textiles called pinunsaan are the most important ritual cloths for the Batak south and southeast of Lake Toba. The white end fields in the centre panel of the cloth were woven separately and stitched onto the centre field.

Gbr. 9 TumtumanSeluruh lungsin pada kain ini putih. Untuk memberikan kontras antara bidang tengah dan bidang-bidang pinggir (ujung), petenun memilih mempergelap bidang tengah dengan menggunakan benang pakan warna gelap dalam teknik yang mirip dengan twill (tenunan dengan pola bergaris, kipar). Ini menjamin bahwa pakan tetap kelihatan meskipun ketika kain ini dalam posisi tampak lungsin.

Photo : Lotus Studio, Edmonton

Fig. 9 TumtumanThe entire warp of this textile is white. To develop a contrast between the centre and end fields, the weaver has chosen to darken the centre field uses a dark weft in a technique that resembles a twill. This ensures that the weft is visible even though the textile is warp-faced.

Page 44: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

86

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

87

berbagai eksperimen berlangsung. Aneka teknik dan desain baru diujicobakan di alat pemintal benang, belanga pencelupan warna, dan alat tenun; eksperimen-eksperimen itu berhasil atau gagal, menjadi populer atau dicampakkan. Perubahan revolusioner kadang terjadi, seperti ketika pengantih (alat pintal) beralih dari gelondong atau kelos ke roda pemintal, atau ketika desain dan teknik ragidup / pinunsaan diasimilasikan dan menggantikan sibolang, yang sederhana dan berwarna biru samar (Gbr. 4), sebagai tekstil yang mengungkapkan alam pikiran Batak secara paling kuat dan mendalam.

Alat tenun Batak

out on the yarn-making equipment, the dyepots and the loom; they succeeded or they failed; they caught on or were discarded. Revolutionary changes sometimes occurred, such as when spinners shifted from the drop spindle to the spinning wheel, or when the design and techniques of the ragidup / pinunsaan were assimilated and these textiles replaced the simple and sober blue sibolang (Fig 4) as the most profound textile expressions of the Batak thought world.

The Batak loom lends itself to the development of patterning in the warp because it has no comb. The warp yarns are then so dense that the weft yarns are

Gbr. 10 SimparDalam kain ini teknik ikat digunakan untuk menjaga bidang-bidang pinggir tetap putih sementara bagian-bagian lain dari benang lungsin berwarna. Dahulu teknik ini kadang juga digunakan dalam pembuatan ulos pinunsaan, tetapi sekarang kelihatannya tidak lagi. Ulos ini sekurangnya berusia satu abad.

Photo : Irene de Groot, Amsterdam

Fig. 10 SimparIn this textile the ikat technique is deployed to keep the end fields white while the rest of the warp yarns are coloured. This technique was also occasionally used in the past in the pinunsaan textile, but it does not appear to be performed any longer. The textile is at least a century old.

Gbr. 10a Detail ujung kain simpar yang menggunakan pewarnaan celup-rintang.

Fig. 10a Detail of the resist-dyed end of the simpar.

Gbr. 11 Sirara na marsimataSebelum Perang Dunia II, para perempuan muda Lembah Silindung memamerkan ketrampilan mereka dangan menenun ulos bermanik-manik. Kain-kain ini cantik tetapi tanpa makna adat dan dengan demikian cocok untuk perempuan yang belum kawin. Kain yang ini memperlihatkan pola bunga mawar. Yang memperkenalkan pola demikian adalah para istri misionaris dan pejabat kolonial Belanda dalam bentuk sulaman rajut. Para petenun Batak mengadaptasi pola ini untuk tenun, dan sampai sekarang masih menggunakan ingatan ini ketika menenun pola-pola pakan yang rumit. Kain ini mewakili tahap awal dalam peralihan dari pementingan penggarapan pola pada lungsin ke penggarapan pola pada pakan.

Fhoto : Irene de Groot, Amsterdam

Fig. 11 Sirara na marsimataPrior to WWII, young women in the Silindung Valley showed off their skills by weaving beaded textiles. The cloths were pretty but had no significance in adat and were thus appropriate for unmarried girls. This textile shows the rose pattern. It was introduced to the Batak area by the wives of missionaries and Dutch colonialists in the form of cross-stitch embroidery. Batak weavers adapted the patterns to weaving and today still make use of this memory device when weaving complex weft patterns. This textile represents an earlier stage in the shift from an emphasis on warp patterning to an emphasis on weft patterning.

mencenderungkan pengembangan pola pada lungsin, karena alat itu tidak menggunakan ‘sisir’. Maka benang-benang lungsin ditata begitu rapat sehingga benang-benang pakan boleh dikata tidak kelihatan. Sedangkan kebanyakan tekstil impor yang mempesona, yang tersedia melalui perniagaan di pantai itu, dibuat dengan alat tenun yang menekankan pembuatan pola pada pakan. Dengan alat tenun untuk yang disebut belakangan ini, petenun mudah mengubah warna selembar kain hanya dengan mengganti warna benang pakan. Untuk membuat

practically invisible. However, most of the compelling textiles available through trade on the coasts were woven on looms that emphasized patterning in the weft. On the latter loom, it is easy for the weaver to change the colour in a length of cloth simply by changing the colour of the weft. To make versions of trade cloths with white end fields, Batak weavers were cleverly inventive: they extended (Fig 6) or substituted (Fig 7) the original warp with white warp yarns, resist-dyed the warp yarns so that the ends of the textile remained white (Fig 10), sewed on a separately-woven

Gbr. 11a Detail pola mawar.Fig 11a Detail of the rose pattern.

Gbr. 11b DMC™ Pola sulam rajut mawar (1994).Jenis pola sulaman yang diadaptasi untuk digunakan para petenun Batak.

Fig. 11b DMC™ Cross stitch pattern of the rose (1994).Embroidery pattern of the kind adapted for use by Batak weavers.

Page 45: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

88

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

89

berbagai versi dari kain-kain yang diperniagakan itu, dengan bidang-bidang putih di ujung-ujungnya, para petenun Batak berbuat cerdik dan inventif: mereka memanjangkan (Gbr. 6) atau mengganti (Gbr. 7) lungsin yang asli dengan benang lungsin putih, menggunakan celup-rintang begitu rupa sehingga ujung-ujung lain tetap putih (Gbr. 8), atau mereka menggunakan lungsin yang putih seluruhnya dan rapat-rapat mengisi bagian tengahnya dengan pola tambahan berwarna gelap sehingga kontras dengan bidang-bidang ujung (Gbr. 9). Cukuplah satu gebrakan tunggal ini untuk melihat betapa fleksibilitas, keteguhan, dan kreativitas teknis para petenun Batak. Alih-alih terhenti karena kendala yang berupa keterbatasan alat, mereka gunakan alat yang mereka punya itu dengan cara-cara inovatif. Ini sekadar satu contoh dari kepiawaian yang sudah berabad-abad lestari di kalangan para petenun Batak.

Dalam zaman modern, tekstil yang menekankan pemolaan pada pakan

white warp (Fig 8), or they used an entirely white warp and densely filled the middle section of it with dark-coloured supplementary patterning so that it would contrast with the end fields (Fig 9). In this single challenge, one discerns the flexibility, determination and technical genius of the weavers. Rather than being stymied by the limitations of their equipment, they used it in innovative ways. This is but one example of the centuries of prowess of Batak weavers.

In the modern age, textiles that emphasize patterning in the weft have taken centre stage. For a century, the Batak have imported sumptuous silk cloth embellished with metallic supplementary yarn to wear at their weddings. Wearing such cloth in urban settings, they can take a proud place in the competitive Indonesian fashion world. Now Batak weavers have become so skilled at emulating such textiles made by their southern Sumatran neighbours

Gbr. 12 Selendang Bunga RosPetenun piawai yang membuat kain ini mampu ‘membaca’ pola pakan tambahan dalam tekstil-tekstil mewah yang diimpor dari kawasan-kawasan selatan di Sumatra seperti Palembang, untuk membuat varian-varian Bataknya. Di sini pola mawar itu telah dibuat. Kain ini sebuah contoh mode mutakhir yang mementingkan pakan tambahan.

Photo : Irene de Groot, Amsterdam

Fig. 12 Selendang Bunga RosThe skilled weaver of this cloth is able to “read” supplementary weft patterns in the popular sumptuous textiles imported from the southern regions of Sumatra, such as Palembang, in order to make Batak variants. Her she has made the rose pattern. Her cloth is an example of current fashion which emphasizes supplementary-weft.

Gbr. 12a Detail pola mawar yang dikerjakan pada benang pakan tambahan.

Fig 12a Detail of rose patterning executed in supplementary weft.

Gbr. 13 Padang RusakPara petenun menjadi begitu trampil membuat tekstil yang diilhami oleh varian-varian sutera Aceh ini, sehingga kedua tekstil sulit dibedakan. Kain ini ditenun sekitar seabad yang silam dengan bahan benang katun yang sangat halus. Pola ikat chevron menyebar ke semua kawasan sekitar Danau Toba dan dimasukkan sebagai unsur dari banyak jenis tekstil.

Foto oleh Irene de Groot, Amsterdam.

Fig. 13 Padang RusakBatak weavers became so skilled at making this textile inspired by Acehnese silk variants, that it is difficult to distinguish the two. This textile was woven about a century ago using very fine cotton yarn. The chevron ikat pattern spread to all of the regions around Lake Toba and has been incorporated in many textile types.

Gbr. 13a Detail ikat chevron dan pita komersial yang digunakan sebagai pengganti pinggir berpilin.

Fig. 13a Detail of the chevron ikat and the commercial ribbon that has been used as a substitute for twined edging

Page 46: Fiber Face 3

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

90

Fiber Face 3 TRANSFORMATION

91

memungut ‘pedang sakti tenun’ lagi, barangkali sebagai seniman tekstil. Pasar mesti ditemukan dan diciptakan untuk menopang karya terbaik para petenun. Tradisi ulos Batak merupakan pusaka budaya dunia, maka dunia harus dibangunkan agar menyadari kebutuhan untuk merawat dan menumbuhkembangkannya. Tantangan yang dihadapi sama jelasnya dengan keindahan tradisi ini. Pameran ini menyajikan keduanya.

menduduki tempat utama. Satu abad lamanya Batak mengimpor kain sutera indah mewah berhiaskan tambahan benang metalik yang mereka kenakan pada pesta-pesta perkawinan. Dengan mengenakan kain seperti itu di lingkungan urban, mereka mampu meraih tempat bergengsi dalam dunia mode Indonesia yang kompetitif. Kini para petenun Batak sudah begitu trampil meniru dan menandingi tekstil-tekstil semacam itu bikinan para tetangga mereka di Sumatra Selatan, sehingga produk petenun Batak sering tidak lagi segera tampak khas Batak (Gbr. 12 dan 14). Revolusi yang sekarang berlangsung demikian dahsyat, sampai-sampai alat tenun backstrap Batak yang tradisional sedang digantikan oleh ATBM yang tegak (Gbr. 3). Kecenderungan ini bergandengan dengan telah terbukanya Tano Batak. Sekarang Tano Batak disilang-lintas jalan raya dan dihubungkan oleh televisi, komputer dan telepon genggam; pesawat udara masuk-keluar dengan frekuensi makin tinggi. Remaja dan orang muda semakin sedikit saja memperoleh pelajaran tentang pengetahuan Batak, dan mereka bermigrasi ke kota-kota besar. Mundur dari jaringan pasar global untuk ‘membatakkan’ pengaruh-pengaruh tekstil baru merupakan opsi yang semakin melemah karena pasar Batak kini didominasi kekuatan-kekuatan luar. Imbalan yang minim bagi kerja keras telah memaksa banyak orang berhenti menjadi petenun.

Ketrampilan para petenun Batak membuat tekstil songket yang indah mewah bukanlah prestasi sepele dan harus pula disanjung puji sebagai sumbangan penting bagi perkembangan seni tenun

remediation will be analyzed. In North Sumatra, Batak weavers who are mourning the decline of their art have also initiated such discussions. They know that a first requirement is for the Batak populace and particularly the youth to recognize the richness of their own heritage so that they may be filled with pride and inspired to pick up the weaving sword once again, perhaps as textile artists. Markets must be found and created to support the best work of the weavers. The Batak textile tradition is a world cultural heritage and the world must be awakened to the need to nurture it. The challenge is as plain as the beauty of the tradition. This exhibition presents both.

Batak, tetapi dengan nada rendah dapatlah dikatakan bahwa tekstil-tekstil seperti itu sekaligus mengungkapkan realitas bahwa tak banyak tersisa ruang bagi yang vernakular di dunia yang terglobalisasikan ini. Keberhasilan para petenun Batak beradaptasi ini terukir dengan ironi getir: digerakkan oleh kekuatan-kekuatan pasar, mereka sendiri justru sedang menggerus dan mengikis hal-hal yang khas dan istimewa dalam tradisi mereka. Petenun Batak sekarang ini membuat desain yang lebih sempit lingkup keragamannya dan mengerahkan teknik yang tidak sebanyak yang mereka peragakan satu abad silam. Titik kulminasi tradisi ini sudah dilewati dan bahkan kelangsungan hidupnya

that their products often no longer look distinctively Batak (Figs 12 and 14). This current revolution is so powerful that traditional Batak backstrap looms are being replaced by upright looms (Fig 3). The trend is paired with the opening up of Tano Batak. It is now criss-crossed by roads and linked by televisions, computers and mobile telephones; airplanes fly in and out with increasing frequency. The youth are taught less and less about traditional Batak knowledge and they migrate to the cities. Retreating from global market networks to ‘Batakize’ new textile influences is a diminishing option because the Batak market is now dominated by external forces. Poor compensation for their hard labour have forced many to stop weaving.

The skill of Batak weavers in making sumptuous songket textiles is no small achievement and it must also be lauded as an important contribution to the development of the Batak weaving arts, but in a smaller voice, these same textiles also express the reality that there is little room left for the vernacular in this globalized world. The adaptive success of the weavers is inscribed with a painful irony: propelled by market forces, they themselves are eroding what is distinctive in their own tradition. Batak weavers today make a smaller range of designs and deploy fewer techniques than they did a century ago. The zenith of the tradition is past and even its survival is now in jeopardy.

The initiators of Fiber Face 3 recognize that a textile tragedy is unfolding in our own time. During this event, the threads of dissolution and the threads of

Semua tekstil ini dari koleksi Sandra • Niessen, kecuali bulang (Gbr. 7) yang adalah dari koleksi Pamela A. Cross.

All textiles are from the collection of • Sandra Niessen, except the bulang (fig 7) which is from the collection of Pamela A. Cross.

terancam.

Para pemrakarsa Fibre Face 3 menyadari betapa suatu tragedi tekstil sedang berkecamuk di tengah-tengah kita, saat ini juga. Dalam peristiwa dan kegiatan ini, serat-serat keruntuhan dan serat-serat perbaikan akan dianalisa. Di Sumatra Utara sendiri, para petenun Batak yang berdukacita dengan kemunduran kesenian mereka telah pula memprakarsai pembahasan demikian. Mereka tahu bahwa syarat pertama ialah bahwa warga Batak dan terutama orang mudanya menyadari kekayaan pusaka mereka sendiri sehingga bersikap bangga dan terinspirasi untuk

Gbr. 14 Setelan Ulu TorusPola pakan tambahan mendominasi perangkat sarung-selendang ini. Pola ikat chevron sulit dilihat dan dikenali di sini.

Fig. 14 Setelan Ulu Torus Supplementary-weft patterning dominates in this sarong-slendang set. The chevron ikat pattern is barely discernible.

Photo: Irene de Groot, Amsterdam

Page 47: Fiber Face 3

Ucapan Terima Kasih Acknowledgement

Museum & Galleries of the Northern TerritoryIndonesian Heritage SocietyDian AnggraeniJoanna BarrkmanSandra NiessenLarashati Suliantoro SulaimanApip SyukurPatuan SimatupangJeannie ParkJoan SuyanagaSuarasamaNinik DarmawanBrahma Tirta Sari StudioJames BennettBrigette WillachMaria FriendJim SupangkatJohn MartonoMella JaarsmaChristina CoccoFajar ElectronicSriwijaya AirlinesAnggie MinarniAXISRobyn BarkerPamela CrossColleen FloodIrene de Groot Jan HofstedeHelmy de KorverOmpu Lambok, br. HutagalungInggriani LiemLoan OeiRestuala Namora PakpahanNai Sinda br. Siregar, Ny. PakpahanTetty SihombingMarsitta br. Sihombing, Ny. SiregarResmin br. SiregarOmpu Okta, Tihar br. Sitorus, Ny. TambunHemat Pardede boru PasaribuJogja TV, Pro 1 RRI, IVAA

Australian Artist’s Support from:Australia CouncilArt NTRegional Arts FundDjilpin ArtsThe Fred Hollows AssociationAll of the volunteers

Babaran Segaragunung Culture House is a non-profit arts organization based in Yogyakarta, Indonesia whose main purpose is to explore cultural traditions of the world in order to enrich contemporary understanding of our heritage. Babaran Segaragunung Culture House facilitates artistic collaborations and exchanges, publications, exhibitions, workshops, and cultural tours, as well as offers training, research, and arts documentation. Serving artists, artisans, and cultural enthusiasts in Indonesia and abroad, BSG aims to enhance the creativity and sustainability of all Indonesian arts.