DIGILIB UM JEMBER - Selamat Datang di Perpustakaan Digital ...
GLOBALISASI UNTUK NASIONALISME:Menakar Peluang Kakao sebagai Komoditas Jember melalui Koperasi
-
Upload
khairunnisa-musari -
Category
Documents
-
view
84 -
download
1
description
Transcript of GLOBALISASI UNTUK NASIONALISME:Menakar Peluang Kakao sebagai Komoditas Jember melalui Koperasi
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 1
GLOBALISASI UNTUK NASIONALISME:
Menakar Peluang Kakao sebagai Komoditas Jember melalui Koperasi1
Oleh: Khairunnisa Musari2
“...dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (QS. An-
Naba’ [78]: 14-16). “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali-Imran [3]: 190-191).
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al-Jumu’ah
[62]: 10).
DAFTAR ISI Globalisasi dan Pasar Bebas...............................................................................................1
Globalisasi dalam Perspektif Islam......................................................................................2 Situasi Ekonomi Dunia.......................................................................................................3
Situasi Ekonomi Nasional...................................................................................................4
Menakar Peluang Komoditas Kakao....................................................................................5
A. Indonesia................................................................................................................5
B. Kabupaten Jember..................................................................................................7
Koperasi sebagai Motor Kesejahteraan Bersama..................................................................8 Penutup.............................................................................................. ..............................10
GLOBALISASI DAN PASAR BEBAS Globalisasi adalah sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-bebas dapat
menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Dalam Republik Pasar Bebas (2006),
Susan George mengatakan bahwa globalisasi saat ini merupakan buah pemikiran dari
kaum neoliberal. Kaum neoliberal melahirkan ide-ide globalisasi yang kemudian
diwujudkan dengan hal-hal seperti liberalisasi dan privatisasi. Pemikiran-pemikiran ini lahir dari kebijakan Inggris-Amerika Serikat (AS) pada masa pemerintahan Margareth
Thatcher-Ronald Reagen pada 1980-an. Pemikiran ini dicetuskan oleh Milton Friedman,
penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagen, dan Frederick High, penasihat ekonomi
Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Thatcher. Friedman adalah murid Friederich von
Hayek dari Universitas Chicago yang merupakan embrio neoliberalisme. Paham
neoliberalisme nyatanya banyak mengalami kegagalan. Liberalisme dengan senjata pamungkasnya free-market dan free-trade telah melahirkan banyak ketimpangan struktur
ekonomi pada lapisan masyarakat dunia.
Lebih jauh, paham neoliberalisme sesungguhnya merupakan anak dari paham
neoklasikal yang diusung oleh Adam Smith. Dalam paham neoklasikal, pasar dinyatakan sebagai mekanisme permintaan dan penawaran yang diasumsikan mampu melakukan self-
1 Disampaikan dalam Cocoa Morning yang diselenggarakan Dinas Koperasi & Usaha Mikro Kecil Menengah
(Dinkop & UMKM) Kabupaten Jember di FE Universitas Jember pada 17 Juli 2012.
2 Peneliti Tamkin Institute, Jember.
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 2
regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand. Namun, pasar sejatinya juga
mengandung market failures yang tidak cukup mampu melayani kepentingan masyarakat.
Di Indonesia, pengajaran ilmu ekonomi saat ini masih sangat tergantung dengan pemikiran neoklasikal. Pemikiran ini bertitik tolak dari paham self-interest, yaitu
maksimisasi gain dan minimisasi sacrifice sesuai perilaku homo-economicus. Pemikiran
neoklasikal menyandarkan diri pada paham kompetitivisme yang sangat kuat sehingga membentuk pola pikir self-fulfilling presumption secara berkepanjangan. Hasilnya,
sebagaimana yang kita lihat saat ini, paham kompetitivisme mendorong semangat bertarung, sehingga menimbulkan “restless society” ataupun “stressful society”.
Secara teoretis, keberadaan perdagangan bebas akan menciptakan efisiensi. Industri
akan berlomba-lomba untuk beroperasi seefisien mungkin agar dapat bersaing di pasar global. Akibatnya, keseimbangan (equilibrium) akan tercapai ketika semua pihak
memproduksi barang atau jasa seefisien mungkin. Dalam situasi ini, efisiensi berpeluang
mematikan industri yang kalah bersaing. Sebagai ilustrasi, petani di negara maju yang memiliki lahan luas dan alat modern untuk pengolahan, tentu akan menghasilkan output
berbeda dengan petani di negara berkembang yang lahannya terbatas dan pengolahannya
pun masih tradisional. Di negara maju, produk pertanian dapat dinikmati dengan harga
murah daripada di negara berkembang, bahkan lebih murah dibandingkan dengan harga
produk lokal. Berangkat dari titik tolak ini, maka dapat kita lihat bahwa perdagangan dengan
konsep efisiensi merupakan deskripsi riil dari fungsi ekonomi kapitalis yang membawa
fakta bahwa pemilik modal yang besar akan lebih efisien dibanding pemilik modal yang
kecil. Inilah hukum rimba, di mana yang besar akan memakan yang kecil dan yang efisien
akan mematikan yang tidak efisien.
GLOBALISASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM Dalam ekonomi Islam, globalisasi yang berwujud pasar bebas sesungguhnya sudah
sejak lama terjadi. Sejarah membuktikan bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari proses itulah kita bisa
menyaksikan bagaimana Islam menyebar ke berbagai belahan dunia.
Jika kita membaca kisah Rasulullah SAW, perdagangan merupakan pekerjaan yang
digeluti Rasulullah sejak kecil. Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian Beliau oleh
seorang Pendeta juga terjadi kala Rasulullah sedang melakukan perjalanan berdagang. Dari sini, kita bisa melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi
bahkan sebelum Rasulullah diangkat menjadi Nabi. Setelah Rasulullah diangkat menjadi
Nabi, barulah nilai-nilai etik-religius dari Islam masuk ke dalam ranah perdagangan dan
bidang lainnya.
Dalam konteks kekinian, praktek globalisasi dan pasar-bebas di masa lampau
berbeda dengan praktek globalisasi dan pasar-bebas saat ini. Globalisasi dan pasar-bebas di masa lampau tercipta karena mekanisme alamiah penawaran dan permintaan.
Sedangkan paradigma globalisasi dan pasar-bebas sebagaimana yang kita pahami saat ini
adalah buah dari pemikiran kaum Neoklasikal untuk melegitimasi berbagai
kepentingannya. Paham globalisasi dan pasar-bebas dalam konteks kekinian
sesungguhnya dicipta sebagai pembenaran terhadap kebijakan politik dan ekonomi dari paham mereka yang kerap tidak berkeadilan.
Dalam perspektif Islam, sebagaimana termuat dalam QS. Al-Jumu‟ah [62]: 10,
melakukan perdagangan global adalah perintah. Allah memerintahkan agar umat Islam
bertebaran di muka bumi untuk melakukan perdagangan atau kegiatan bisnis setelah
shalat ditunaikan. Ke mana tujuan bertebaran itu? Allah SWT tidak membatasinya
sekedar di kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau Indonesia saja. Pesan ayat tersebut menyuratkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk go global atau fi al-ard.
Untuk apa kita bertebaran ke tempat-tempat tersebut? Allah menjawab bukan untuk
perjalanan belaka, tetapi untuk mencari rezeki.
Dalam ekonomi Islam, Rasulullah mengajarkan agar segala perilaku ekonomi dalam
memenuhi kesejahteraan haruslah untuk kebahagiaan di dunia dan akherat. Titik tolak ini
tentu akan membawa proses dan dampak di depan yang berbeda. Itu pula sebabnya,
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 3
kesejahteraan dalam Islam dimaknai sebagai “well-being” dan bukan “welfare”. Untuk
menciptakan “well-being”, keadilan merupakan keniscayaan yang harusnya sudah inheren
dalam segala perilaku ekonomi yang Islami.
Oleh karena itu, globalisasi sejatinya bukan dimaknai dengan terbukanya pasar
tanpa batas sehingga seluruh komoditi ekonomi bebas dimasuki asing. Globalisasi
seharusnya dipahami sebagai kebebasan untuk melakukan pertukaran kepentingan ekonomi yang saling menguntungkan. Jika terdapat praktek transaksi ekonomi yang
merugikan, salah satu pihak seyogyanya diberi kebebasan untuk melindungi kepentingan
domestiknya.
Untuk bisa melindungi kepentingan domestik, pembangunan ekonomi Indonesia
hendaknya melakukan pemihakan. Pembangunan perekonomian rakyat mempunyai peran sebagai sebuah strategi pembangunan. Membangun fundamental ekonomi dalam negeri
adalah sebuah keharusan. Hanya dengan demikian, perekonomian Indonesia lebih mampu
mandiri, tidak rapuh, dan tidak tergantung pada perekonomian luar negeri.
SITUASI EKONOMI DUNIA Krisis keuangan dunia secara maraton terus bermunculan sejak 2008. Kasus
subprime mortgage, bangkrutnya bank-bank investasi besar, krisis utang, bailout,
kegaduhan di pasar finansial, terus saja saling mengekor. AS dan Eropa yang menjadi
barometer perekonomian dan keuangan dunia kini terus menjadi bulan-bulanannya.
Krisis Eropa yang membuat gejolak pasar keuangan pun tak terasa telah berlangsung hingga 3 tahun. Satu persatu negara-negara di kawasan tersebut mengalami kejatuhan.
Dalam pertemuan G8 beberapa waktu lalu, krisis Eropa menjadi salah satu agenda utama
pembahasan. Tak banyak gagasan baru yang muncul dalam pertemuan G8. Sebagian
besar sudah kerap kali terlontar dan dilakukan. Belakangan, konsensus yang berkembang
kembali memasuki ranah bahasan pertumbuhan perekonomian dan penciptaan lapangan pekerjaan. Reformasi fiskal dan struktural kembali diwacanakan.
Tak pelak lagi, negara-negara Eropa saat ini tengah berjuang mati-matian untuk
melepaskan diri dari krisis. Langkah penghematan dengan memotong sejumlah pos
pengeluaran dan berupaya keras memacu pertumbuhan merupakan taktik umum yang
dilakukan oleh masing-masing negara. Tak semua mengakui bahwa ekonomi mereka saat
ini menjadi lebih miskin daripada sebelumnya. Satu persatu negara-negara di Eropa mengalami penurunan peringkat dan diumumkan mulai memasuki resesi. Tingginya
tingkat utang dan kondisi fiskal yang mengkhawatirkan di sejumlah negara Eropa menjadi
mata rantai yang saling memberi imbas. Italia, Spanyol, Cyprus, Slovenia, Belgia menjadi
negara yang peringkatnya diturunkan oleh Fitch akibat guncangan finasial di negara
tersebut. Yang paling mencekam dan terus menjadi pemberitaan adalah Yunani. Setelah memperoleh bailout untuk surat utang jatuh tempo pada 20 Maret lalu, kekhawatiran kini
menyeruak atas semakin memburuknya gejolak politik Yunani serta keputusan Fitch
Ratings yang kembali memangkas satu tingkat peringkat kredit Yunani.
Ada realitas tersendiri yang kita lihat dari krisis Eropa yang menjadi perdebatan
dalam pertemuan G8. Realitas itu sesungguhnya juga terjadi di AS. Yaitu, tentang gaya
hidup dan konsumerisme yang tidak mencerminkan keadaan keuangan mereka yang
sebenarnya. Skala prioritas dan alokasi belanja anggaran masyarakat tidak lagi berdasarkan kebutuhan.
Seperti halnya Eropa, AS pun sesungguhnya mengalami krisis utang. Tahun 2011,
pemerintah AS menghabiskan belanja USD 3,7 triliun dolar, sementara pemasukannya
hanya USD 2,4 triliun. Belanja bunga utang mencapai lebih dari USD 454 miliar. Pada
tahun yang sama, AS memecahkan rekor memiliki utang 100 % dari Produk Domestik
Bruto (PDB). Selama pemerintahan Obama, AS telah mengakumulasi utang lebih banyak daripada masa pemerintahan presiden-presiden sebelumnya.
SITUASI EKONOMI NASIONAL Dampak krisis Eropa terhadap perekonomian Indonesia mulai terasa. Hal ini
tercermin salah satunya dari anjloknya harga komoditas ekspor Indonesia. Untuk pertama
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 4
kalinya sejak tahun 2010, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD
641 juta. Nilai ekspor Indonesia pada April 2012 hanya USD 15,981 miliar, tetapi impor
mencapai USD 16,621 miliar. Pada periode Januari-April 2012, nilai ekspor nonmigas
Indonesia ke Uni Eropa hanya USD 6,06 miliar atau menurun 9% dibandingkan dengan
nilai ekspor periode Januari-April 2011. Selama ini, Uni Eropa dikenal sebagai tujuan ekspor komoditas pertanian Indonesia, khususnya minyak kelapa sawit, kopi, kakao, lada,
karet, ikan, udang, dan sebagainya.
Semula, berdasarkan pengalaman, persepsi awam memproyeksikan krisis ekonomi global akan memberikan windfall profit bagi komoditas ekspor dan pertanian Indonesia.
Hal ini tampaknya keliru. Dampak krisis ekonomi Eropa saat ini benar-benar memukul
petani Indonesia karena struktur pasar komoditas ekspor di tingkat domestik yang masih amat tidak sehat. Petani, pekebun, dan nelayan sangat bergantung secara ekonomi-sosial-
psikologis pada tengkulak yang terkadang beroperasi melampaui batas kewajaran.
Komoditas ekspor pertanian Indonesia menghadapi asimetri pasar dan asimetri informasi
yang sangat tidak berimbang.
Kenaikan harga komoditas di tingkat global amat lambat untuk tertransmisi ke
tingkat petani, sementara penurunan harga di tingkat global nyaris seketika harus ditanggung petani. Situasi ini kian pelik dengan adanya fenomena perubahan iklim, bahan
bakar nabati, dan spekulasi investasi pada bursa komoditas pertanian di tingkat global
yang memperburuk dampak krisis pada ekonomi pangan di beberapa negara berkembang.
Menurut Arifin (2012), Indonesia di tahun 2008 masih mampu meredam dampak
krisis pangan di dalam negeri karena produksi pangan cukup baik sehingga harga-harga pangan tidak bergerak terlalu liar. Akan tetapi, saat ini, pemerintah tampak tidak siap
untuk mengantisipasi dan melakukan langkah-langkah kebijakan untuk meredam atau
mengurangi dampak buruk krisis Eropa terhadap komoditas ekspor dan ekonomi
pertanian umumnya. Sekian macam respons kebijakan telah diberikan oleh pemerintah
negara-negara tetangga sesama ASEAN untuk memperkuat posisi tawar petani mereka
dalam menghadapi fenomena global, sementara di Indonesia, respons kebijakan pemerintah tampak amat lambat dan seakan tidak berdaya.
Di awal perdagangan tahun 2012, perdagangan komoditas kakao pun cenderung
berfluktuasi. Sepanjang tahun 2011, komoditi ini mengalami tren yang negatif akibat krisis finansial yang terjadi di Eropa. Di tahun 2012, kondisi rebound yang signifikan belum
mendatangkan tren positif dalam jangka pendek. Harga kakao sempat mengalami kenaikan
akibat adanya ekspektasi terhadap peluang pemulihan ekonomi Eropa. Eropa merupakan kawasan dimana permintaan kakao terbesar di dunia sampai dengan saat ini. Ditengah
memburuknya permintaan di kawasan tersebut, justru produksi di beberapa negara
produsen seperti Pantai Gading dan Ghana mengalami kenaikan. Sehingga menimbulkan
surplus persediaan kakao global.
Di dalam negeri, salah satu persoalan perdagangan kakao yang masih menguak adalah pemberlakukan bea keluar (BK) ekspor kakao sejak April 2010. Di Sulsel, sebanyak
72 eksportir dari 80 eksportir kakao merugi dan menutup usahanya. Para eksportir ini
kalah bersaing dengan industri di dalam negeri. Akibatnya, ekspor kakao menurun drastis
sampai 50%. Jumlah kakao pada 2010 yang diekspor mencapai 117.000 ton mengalami
penurunan pada 2011 menjadi 57.217 ton. Persoalan BK kakao menguak lantaran BK
yang harus dibayar eksportir bergerak mengikuti harga kakao dunia antara 5% hingga 15%. Pergerakan penetapan BK tersebut makin tidak menentu dengan digunakannya
pembayaran menggunakan USD. Akibat dari aturan tersebut, Sulsel sebagai penghasil biji
kakao terbesar di Indonesia paling menderita. Apalagi untuk melakukan ekspor, masih
harus menggunakan pelabuhan di Surabaya yang menambah keluarnya biaya lebih besar
lagi. Dampak langsungnya bagi petani adalah turunnya harga kakao dan daya beli para eksportir. Dari lima industri pengolahan kakao di Sulsel, volume produksi yang dihasilkan
kini tertinggal dari produksi yang ada di pulau Jawa. Mengacu data Badan Pusat Statistik
(BPS) Sulsel, penurunan ekspor kakao Sulsel per April 2012 merupakan ekspor paling
rendah selama ini. Dari USD 9,18 juta pada Maret 2012, ekspor kakao Sulsel melorot
35,40% menjadi USD 5,93 juta di akhir April.
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 5
MENAKAR PELUANG KOMODITAS KAKAO Kekhawatiran masih buruknya penyelesaian krisis ekonomi global, terutama krisis
Eropa, telah menyeret harga komoditas. Kelesuan ekonomi global saat ini sudah mempengaruhi komposisi permintaan-penawaran komoditas strategis seluruh dunia.
Permintaan akan komoditas ke depan diprediksi turun sehingga harga ikut bergerak turun.
Permintaan komoditas pangan, termasuk kakao, diperkirakan akan melambat sehingga
harga terpukul melemah.
Harga kakao dunia mempunyai keterkaitan yang sangat kuat dengan harga kakao domestik karena pedagang kakao di sentra-sentra utama produksi kakao Indonesia
menggunakan harga bursa New York sebagai acuan dalam menetapkan harga kakao di
tingkat petani. Gambar 1 menunjukkan harga rata-rata bulanan dari International Cocoa
Organization (ICCO). Meski mengalami fluktuasi, namun secara keseluruhan selama
periode 2005 hingga 2009 menunjukkan harga kakao dunia mengalami tren peningkatan.
Gambar 2 menunjukkan jumlah produksi dan penggilingan kakao di seluruh dunia.
Di Indonesia, perkebunan kakao mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun
1980-an. Balitbang Pertanian (2005) mencatat areal perkebunan kakao Indonesia seluas 914.051 ha, dimana sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0%
perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang
diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama
Gambar 2. WORLD COCOA BEAN PRODUCTION, GRINDINGS,
AND SURPLUS/DEFICIT
Gambar 1. ICCO MONTHLY AVERAGES OF DAILY PRICES Sumber: ICCO
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 6
adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Disamping itu juga
diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Keberhasilan perluasan areal tersebut telah memberikan hasil nyata bagi
peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia
berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d‟Ivoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh
Ghana pada tahun 2003. Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan
oleh makin mengganasnya serangan hama PBK. Di samping itu, perkakaoan Indonesia
dihadapkan pada beberapa permasalahan antara lain: mutu produk yang masih rendah
dan masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu
tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.
A. Indonesia Indonesia merupakan negara penghasil kakao ketiga di dunia dengan produksi yang
terus tumbuh 3,5% tiap tahunnya. Data dari Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian
(FAO) menyebutkan, Indonesia memproduksi 574 ribu ton kakao di tahun 2010.
Menyumbang sekitar 16% dari produksi kakao secara global. Namun demikian, jumlah ini
masih kalah dari Pantai Gading dan Ghana. Negara pertama disebut meraih produksi sekitar 1,6 juta ton produksi kakao di tahun 2010. Menjadikan mereka penghasil utama
kakao di dunia dengan 44% suplai global berasal dari negara Afrika Barat itu. Sedangkan
Ghana, meski dikekang masalah penyakit yang menyebar, tetap menduduki peringkat
kedua dalam produksi kakao di dunia.
Tabel 1.1 menunjukkan produksi biji kakao Indonesia menempati peringkat ketiga di
seluruh dunia dan peringkat pertama untuk kawasan Asia & Oceania. Indonesia berambisi mengalahkan Pantai Gading dan Ghana sebagai produsen terbesar dunia pada 2014.
Sebagai mesin pendukung, pemerintah mengembangkan sentra agroindustri komoditas
kakao di beberapa daerah penghasil di Indonesia. DI Yogyakarta menjadi wilayah sentra
agroindustri komoditas kakao pertama di tanah air. Daerah percobaan ini diharapkan
mampu meningkatkan pengembangan perkebunan kakao secara nasional. Untuk mengejar Ghana, Indonesia masih memiliki peluang besar. Namun, untuk mengejar Pantai Gading
yang volume produksinya 2x lipat lebih dari Indonesia, sepertinya masih membutuhkan
waktu lebih dari 2 tahun.
Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia,
apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan
agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki lahan
potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao yaitu lebih dari 6,2 juta ha
Tabel 1. PRODUKSI BIJI KAKAO (Ratus Ton)
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 7
terutama di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Tangah, Maluku dan Sulawesi
Tenggara. Disamping itu kebun yang telah di bangun masih berpeluang untuk
ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas rata-rata saat ini kurang dari 50%
potensinya. Di sisi lain situasi perkakaoan dunia beberapa tahun terakhir sering
mengalami defisit, sehingga harga kakao dunia stabil pada tingkat yang tinggi. Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik untuk segera dimanfaatkan. Upaya peningkatan
produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia
masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap.
Menurut Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) RI,
Indonesia memasok biji kakao dunia sebesar 13,6%. Saat ini, produksi kakao Indonesia
sudah mencapai 809 ribu ton sehingga memiliki peluang untuk menjadi produsen utama dunia. Kendati demikian, pengembangan perkebunan kakao nasional belum mencapai
tingkat optimal. Beberapa kendala yang dihadapi adalah penurunan produktivitas
tanaman kakao akibat kurang perawatan dan serangan hama, serta rendahnya mutu biji
kakao yang belum sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan.
Di Yogya, pemerintah menggandeng Fakultas Tekonologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk pembelajaran teknologi pertanian yang terkait pengolahan
kakao. Desa-desa penghasil kakao diberikan input teknologi pengolahan kakao untuk
meningkatkan kualitas biji kakao fermentasi. Rendahnya mutu biji kakao disebabkan
penanganan pascapanen yang belum selesai dan sebagian besar biji kakao yang dihasilkan
belum terfermentasi.
Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai produsen utama biji kakao dunia, pemerintah mencanangkan program Gerakan Peningkatan Mutu dan Produksi Kakao
Nasional (Gernas Kakao) yang digulirkan selama 2009-2011. Dalam Gernas ini, pemerintah
melakukan tiga kegiatan, yakni: rehabilitasi, peremajaan, dan intensifikasi. Jika berhasil,
produksi kakao diperkirakan akan mencapai 1,6 juta – 2 juta ton pada 2014. Pada 2009,
produksi kakao nasional mencapai 803 ribu ton, 550 ribu di antaranya diekspor. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan pada 2010, kinerja ekspor kakao
menunjukkan tren peningkatan. Perdagangan kakao periode Januari-Maret 2010
mengalami surplus USD 5,57 miliar. Total ekspor kakao pada Januari-Maret 2010
mencapai USD 35,54 miliar atau meningkat 54,31 % dibanding periode yang sama 2009
yang nilainya USD 23,03 miliar. Selama periode 2004-2009, negara tujuan ekspor kakao
Indonesia antara lain Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Brasil, dan Prancis. Hingga tahun 2011, pemerintah menetapkan sasaran perbaikan kebun kakao rakyat
seluas 450 ribu ha yang terdiri dari: intensifikasi lahan sekitar 145 ribu Ha maupun
pemberian penyuluhan serta pupuk gratis kepada petani, rehabilitasi tanaman kakao
seluas 235 ribu Ha, dan peremajaan lahan seluas 70 ribu Ha.
B. Kabupaten Jember Kabupaten Jember termasuk daerah dataran rendah tropis pada letak lintang:
200°LU - 200°LS dengan ketinggian 200-300 meter diatas permukaan laut dengan jenis tanah regosol. Menurut Afriliana (2009), karakteristik lahan tersebut sesuai untuk
dijadikan lahan pengembangan tanaman kakao. Jember memiliki luas lahan kakao seluas 4.641 hektar dengan varietas kakao yang ditanam sebagian besar adalah varietas forastero.
Dari tanaman kakao forastero tersebut akan dapat dihasilkan produk biji kakao yang
bermutu tinggi (specialty product). Kajian Afriliana (2009) menjelaskan, dalam perdagangan produk specialty product
lebih memfokuskan pada bentuk produk setengah jadi yaitu cocoa beans dan produk
olahan bitter cocoa. Hal ini dipengaruhi oleh permintaan pasar Internasional yang lebih
menginginkan produk kakao dalam bentuk setengah jadi. Dengan produk cocoa beans
tersebut mereka dapat menjadikannya produk olahan sesuai kebutuhan dan selera mereka. Keunggulan produk cocoa beans yang akan dikembangkan dibanding produk
ekspor kakao Indonesia selama ini adalah dalam hal mutu dan ciri khas (flavour serta
kandungan senyawa antioksidannya). Langkah ini juga sebagai langkah awal untuk
menjawab permasalahan mutu kakao Indonesia yang selama ini masih dianggap rendah.
Selain itu sisa dari biji kakao yang tidak diekspor dapat digunakan sebagai bahan baku
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 8
bitter cocoa. Fokus penjualannya di dalam negeri, karena pihak importir biasanya lebih
memilih membeli dalam bentuk biji. Mengenai strategi penjualan bitter cocoa dapat
dilakukan dengan mengangkat wacana yang sama dengan penjualan biji kakao, yaitu specialty product karena bitter cocoa merupakan ikon produk lokal dari Jember dan juga functional food.
Potensi kakao yang dihasilkan perkebunan di Jember merupakan peluang yang dapat dikembangkan guna menghasilkan produk kakao spesial yang nantinya akan
dikenal oleh konsumen sebagai produk unggulan lokal. Terlebih Jember memiliki sumber
daya manusia yang mumpuni dibidang budidaya dan pengolahan kakao, diantaranya yaitu
keberadaan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka). Puslitkoka tidak
hanya memiliki kemampuan teknologi pengolahan kakao, tetapi juga menguasai teknologi
pengolahan limbah kulit kakao sebagai sumber energi. Dengan menggunakan teknologi biogas dan pengkomposan dengan aerasi pasif, Puslitkoka dapat mengelola limbah padat
hasil kakao.
Di Kabupaten Jember, terdapat sejumlah lokasi yang berpotensi menjadi sentra
penghasil kakao. Gambar 1 menunjukkan area kecamatan di Jember yang berpeluang menjadi lahan pengembangan tanaman kakao, yaitu: Mumbul Sari, Umbul Sari, Keputren,
Kotta Blater, Jenggawah, dan Silo (Afriliana, 2009).
Tidak bisa dipungkiri, potensi kakao di Jember masih belum tergarap secara optimal.
Produksi kakao Jember terus mengalami penurunan. Padahal, Jember sebelumnya
menjadi penopang utama produksi kakao Indonesia yang dikirim ke Amerika dan Eropa.
Tahun 2009, Kabupaten Jember hanya dapat memproduksi 600ribu ton kakao. Jumlah ini berasal dari PTP sebanyak 5ribu ton dan sisanya berasal dari kakao perkebunan rakyat.
KOPERASI SEBAGAI MOTOR KESEJAHTERAAN BERSAMA Arifin (2012) merekomendasikan strategi pengembangan komoditas ekspor pertanian
harus mengacu pada falsafah keberlanjutan dalam jangka panjang. Keberlanjutan meliputi
Gambar 3. LOKASI PENGHASIL KAKAO UTAMA DI KABUPATEN JEMBER
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 9
pelestarian dan konservasi sumber daya alam, sertifikasi, keterlacakan daerah asal, dan
pemberdayaan petani dan koperasi pedesaan. Pemerintah dan dunia usaha harus bahu-
membahu mewujudkan strategi keberlanjutan komoditas ekspor tersebut.
Lebih jauh, koperasi sebagai badan usaha memperoleh tempat terhormat dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 33 menegaskan “…Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan…”. Penjelasannya: “…bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi…”. Penjelasan UUD 1945 tetap
berlaku (tidak hilang) untuk pasal dan ayat yang tidak diamandemen. Kooperativisme tetap
dipelihara. Swasono (2012) menjelaskan, yang dimaksud “perekonomian” tentu bukanlah
hanya koperasi, tetapi seluruh badan usaha ekonomi, baik swasta, BUMN, sektor informal
maupun ekonomi rakyat. “Kebersamaan” dan “asas kekeluargaan” dalam Pasal 33 merupakan pesan kooperativisme. Perekonomian “disusun”, artinya perekonomian tidak
dibiarkan tersusun sendiri sesuai selera atau kehendak pasar, tetapi ditata, didesain (tidak
sekedar diintervensi) demi kemajuan dan kejayaan bangsa serta mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kooperativisme harus pula hidup di usaha swasta
dan BUMN. UKM-UKM harus dibangun dalam wadah koperasi atau dengan keterkaitan kooperatif, bila tidak hanyalah merupakan pembibitan kapitalis-kapitalis kecil. Di sini
tidak seharusnya koperasi bicara “daya saing” yang kapitalistik, tetapi peningkatan
“kemampuan” dan “kapasitas” kerjasama.
Dalam konteks Indonesia, koperasi kerap dipandang sebelah mata. Koperasi kerap
diidentikkan sebagai badan usaha yang dikelola tidak secara profesional, skalanya kecil,
dan kerap merugi. Itu pula sebabnya, lembaga keuangan seperti perbankan enggan berhubungan dengan koperasi. Hal ini tidak lepas dari wacana bahwa perbankan selalu
mengucurkan kreditnya dengan sangat hati-hati, namun sebaliknya, koperasi cenderung
mengabaikan risiko.
Di Kabupaten Jember, meski koperasi setiap tahun mengalami pertumbuhan cukup
pesat, namun kita tidak bisa menutup mata masih banyaknya koperasi yang tidak aktif di lapangan. Sepanjang 2009, ada 581 dari 1.372 koperasi di Kabupaten Jember yang tidak
aktif. Sebagian ada yang karena ditinggalkan oleh pengurusnya, pengurusnya yang tidak
jelas atau malah ada lembaga koperasi yang keberadaannya yang menjadi tidak jelas.
Namun demikian, di tahun 2012 ini, koperasi Indonesia mulai meningkat pamornya.
Selama 2-3 tahun terakhir, koperasi Indonesia tumbuh lebih pesat seiring dengan kian
meningkatnya pendirian koperasi berbasi syari‟ah. Tidak hanya itu, lima koperasi Indonesia di tahun ini juga merambah dunia. Terdapat lima koperasi yang tercatat sebagai
koperasi berskala internasional dan segera didaftarkan sebagai koperasi kelas dunia versi International Co-operative Alliance (ICA), yaitu: Koperasi Kospin Jasa Pekalongan dengan
aset Rp 2,5 triliun, Koperasi Warga Semen Gresik Jawa Timur jumlah Rp 529 miliar,
Koperasi Peternak Susu Bandung Utara dengan aset Rp 233,7 miliar, Koperasi Obor Mas
dengan aset Rp 200,8 miliar dan Induk Koperasi Simpan Pinjam dengan total aset Rp 33,7 miliar.
Meski koperasi di Indonesia mengalami jatuh bangun, banyak pula koperasi yang
dapat menjadi inspirasi dalam mengangkat kesejahteraan anggotanya. Kita bisa melihat
Koperasi Usaha Tani Ternak (KUTT) Suka Makmur di Kabupaten Pasuruan yang
beranggotakan 3.200 peternak sapi perah. Yang menonjol dari koperasi ini adalah pengelolaannya yang profesional sehingga risiko usahanya dapat dikendalikan. Tak
mengherankan bila banyak lembaga keuangan ingin menjalin kerja sama. Dalam
operasinya, koperasi ini mempekerjakan 149 karyawan dan didukung armada 10 truk.
Koperasi ini memfasilitasi para anggotanya dalam pemeriksaan hewan ternak, kawin
suntik, penyediaan bibit dan pakan ternak. Selain itu, koperasi ini juga mampu
melaksanakan tanggung jawab sosialnya dengan memberikan beasiswa bagi putra-putri para anggota yang berprestasi, membangun sarana ibadah, mengadakan khitanan massal
atau perayaan keagamaan dan kegiatan nasional.
Untuk koperasi kakao, 10 koperasi di Aceh memperoleh bantuan modal kerja sebesar
Rp 3 miliar. Modal ini diberikan untuk 4.500 petani kakao yang tergabung dalam satu unit
koperasi sekunder dan sembilan unit koperasi primer yang berada di Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Modal kerja tersebut disalurkan oleh Bank Syariah Mandiri (BSM). Modal
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 10
kerja dipergunakan untuk aktivitas jual beli antara petani kakao, koperasi primer, koperasi
sekunder, lalu ke eksportir. Masa pembiayaan modal kerja adalah 6 bulan. Dalam
pelaksanaannya, sebelum masa 6 bulan berakhir, baik koperasi sekunder dan koperasi
primer dapat mengajukan kembali pembiayaan modal kerja kepada BSM dengan catatan
koperasi memiliki kinerja unit usaha yang transparan, memenuhi tanggung jawab dengan perbankan, dan aktivitas jual beli berjalan dengan baik. Hasil analisis usaha koperasi akan
memperoleh rata-rata margin bersih sebesar 7-9% dari modal yang mereka pakai. Yang
menggembirakan, Koperasi Sekunder Kakao Aceh, Kecamatan Simpang Tiga, Pidie,
berhasil melakukan ekspor perdana untuk hasil biji kakaonya. Biji kakao tersebut diekspor
melalui sebuah perusahaan di Medan, Sumatera Utara. Jumlahnya sekitar 9,5 ton. Biji
kakao tersebut dibeli koperasi primer dari petani binaan Program Kakao Aceh, kemudian dikumpulkan oleh koperasi sekunder sebagai pusat pemasaran. Kegiatan tersebut pada
akhirnya dapat menarik petani di luar program yang ikut menjual kakaonya kepada
koperasi. Kakao sejumlah 9,5 ton tersebut hanya dikumpulkan selama dua minggu lebih.
Setelah dibeli dengan harga kisaran Rp 18.000 per kilogram, biji dibersihkan dan dijemur
selama beberapa hari. Saat dipasarkan, kadar airnya di bawah 8% dengan kotoran 4% sebagai standar permintaan pasar. Juni lalu, pengiriman dalam jumlah yang lebih besar
dilakukan kembali oleh koperasi tersebut. Target akhir adalah koperasi mampu melakukan
ekspor sendiri.
PENUTUP Dari seluruh uraian di atas, maka sebagai penutup, makalah ini ingin menegaskan
bahwa arah kebijakan ekonomi nasional harus ditujukan kepada sektor-sektor yang sarat
dengan kepentingan rakyat, terkait dengan potensi dan kapasitas rakyat, serta sesuai
dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) nasional. Sektor yang menjadi pilihan strategis hendaknya dipilih yang berbasis SDM dan SDA dalam negeri (domestic resource-based), bertitik sentral pada rakyat (people-centered), dan
mengutamakan kepentingan rakyat (putting people first).
Dengan dasar pemihakan tersebut, maka koperasi di negara berkembang harusnya
dihadirkan dalam kerangka membangun kelembagaan yang dapat menjadi mitra
pemerintah dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jika koperasi seluruh dunia dapat bergerak maju dengan penuh optimisme
atas dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka di Indonesia pun seyogyanya
dapat berlaku hal yang demikian.
Ke depan, Kabupaten Jember dapat mengembangkan komoditas kakao jika
bersinergi dengan lembaga riset, perguruan tinggi, pemerintah daerah, petani, koperasi,
dan sejumlah institusi terkait lainnya. Masing-masing memiliki kompetensi di bidangnya untuk memperbesar „kemampuan‟ dan „kapasitas‟ sinergi ini. Koperasi yang menyandang asas kebersamaan merupakan bentuk lain dari ukhuwah untuk saling bekerjasama dan
tolong menolong dalam memperjuangkan kebaikan, yaitu mengentas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kerjasama (cooperation) adalah filosofi dasar dari
bersinergi dan ber-ukhuwah, bukan kompetisi (competition) yang mencetak pelaku usaha
untuk berwatak predator dan greedy. Petani dengan penguatan kelembagaan koperasi
berbasis profit loss sharing yang didukung oleh para stakeholders diyakini akan dapat
membangun potensinya untuk menjadikan kakao sebagai hasil pertanian unggulan,
disamping juga adanya jaminan ketersediaan infrastruktur dan perangkat lainnya. Yang tidak kalah penting, stakeholders harus dapat mengupayakan ketersediaan pasar dan
stabilitas harga. Ketersediaan pasar dan stabilitas harga adalah indikator utama yang akan
menggugah petani untuk tergerak melakukan kegiatan bertani dan bersedia secara sukarela untuk mengalihkan jenis pertanian yang digelutinya. Wallahu a’lam bish showab.
===================================
Lembaga Kajian Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan 11
DAFTAR PUSTAKA
Afriliana, Asmak, 2009. Strategi Pengembangan Bitter Cocoa Sebagai Specialty Product Untuk Peningkatan Perekonomian Daerah Kabupaten Jember. Makalah ini diajukan guna
melengkapi salah satu syarat untuk mengikuti kompetisi mahasiswa berprestasi tahun
2009 di Universitas Jember.
Al-Qur‟anul karim.
Arifin, Bustanul, 2012. Daya Saing Komoditas Ekspor. KOMPAS. 18 Juni.
Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribsinis Kakao. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Departemen
Pertanian & Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.
Forum Kakao Aceh, Peningkatan Ekonomi Kakao Aceh (PEKA) & SwissContact, 2011. Rencana Strategis Pengembangan Forum Kakao Aceh (2011- 2015). Aceh. 2 Oktober.
http://balittri.litbang.deptan.go.id/index.php/komoditas/66-kakao
http://komoditasindonesia.com/2012/06/bea-ekspor-kakao-bikin-eksportir-meradang/
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/2014-indonesia-targetkan-jadi-penghasil-
kakao-terbesar-di-dunia
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?idkat=31&id=55286
http://www.mediacenterkopukm.com/detail-berita.php?bID=7698
http://www.suwarsuwir.com/2009/01/13/jember-langganan-utama-kakao-di-pasar-
dunia.html
http://www.forumkakaoaceh.or.id International Cocoa Organization (ICCO), 2012. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol.
XXXVIII No. 1, Cocoa year 2011/12. 25 February.
Kakao Aceh News. Menimba Ilmu Bertani Kakao. Edisi II Maret 2011.
Musari, Khairunnisa, 2009. Globalisasi untuk Nasionalisme. SURABAYA POST. 24 April.
________________, 2010. Koperasi, Antara Asa dan Realita. RADAR JEMBER. 10 Juli.
________________, 2011. Ketika Wall-Street Menceraikan Etika. REPUBLIKA. 19 Oktober.
Sekretarial Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), 2008. Indonesia Berhasil Menerapkan Teknik Embriogenesis Somatik pada Kakao Skala Komersial. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Vol. 30 No. 1 2008. Hlm. 18-19.
Suryani, Dinie & Zulfebriansyah, 2007. Komoditas Kakao : Potret dan Peluang Pembiayaan.
Economic Review Nomor 210. Desember.
Swasono, Sri-Edi, 2011. Persaingan Versus Kerjasama. Sebuah makalah yang disampaikan
dalam ceramah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 15 Maret.
________________, 2012. Koperasi dan Kooperativisme. SUARA PEMBARUAN. 12 Juli.