gurita

91
  KARAKTERISTIK HABITAT BANTENG (B o s j a va ni cus  d’Alton 1832) DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR FIONA HANBERIA INNAYAH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

description

gurita

Transcript of gurita

MERU BETIRI, JAWA TIMUR
FAKULTAS KEHUTANAN
MERU BETIRI, JAWA TIMUR
 Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan I nstitut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
FAKULTAS KEHUTANAN
FIONA HANBERIA INNAYAH. E34062067. Karakteristik Habitat Banteng
(Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.
Dibimbing oleh ABDUL HARIS MUSTARI dan LIN NURIAH GINOGA
Banteng ( Bos javanicus  d’Alton 1832) merupakan salah satu mamalia
 besar di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Data IUCN 2008  Red List of
Threatened Animals  menyatakan bahwa banteng termasuk dalam kategori
 Endangered species  (terancam punah). Banteng juga termasuk dalam satwa
dilindungi menurut PP RI No. 7 Tahun 1999. Permasalahan banteng di TNMB
yaitu masuknya banteng ke dalam areal perkebunan milik swasta yaitu PT.
Perkebunan Bandealit dan PT. Perkebunan Sukamade Baru. Oleh karena itu,
diperlukan kajian mengenai karakteristik habitat banteng untuk mengetahui
ketersediaan pakan, air, dan cover sebagai dasar upaya pelestarian banteng.
Penelitian ini dilakukan di tiga Seksi Wilayah Pengelolaan TNMB yaitu
SPTN W I Sarongan, SPTN W II Ambulu, dan SPTN W III Kalibaru. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2010. Pengukuran struktur dan komposisi
vegetasi dilakukan dengan analisis vegetasi metode garis berpetak. Pengamatan
terhadap jenis-jenis pakan banteng dilakukan melalui pengamatan bekas
renggutan, studi literatur, dan wawancara. Pengukuran produktivitas, palatabilitas,
dan daya dukung dilakukan dengan membuat plot sampel 1x1 m². Pengamatan
karakteristik cover  dilakukan dengan cara mengidentifikasi jenis-jenis cover  yang
digunakan banteng. Data karakteristik sumber air diperoleh dengan cara
inventarisasi sumber air yang terdapat di tiap lokasi pengamatan.
Banteng bersifat intermediet  yaitu antara  grazer  dan browser.  Jenis-jenis
tumbuhan pakan banteng yang ditemukan di lokasi penelitian sebanyak 25 jenis
yang sebagian besar diperoleh dari perkebunan. Produktivitas pakan banteng
untuk Blok Banyuputih yaitu 463,92 kg/ha/hari dapat menampung 16 ekor
 banteng. Pakan yang memiliki palatabilitas tertinggi pada Blok Banyuputih dan
Blok Sikapal yaitu jenis paitan ( Paspalum conjugatum). Sebagian besar cover
yang digunakan banteng berupa tajuk pohon dan rumpun bambu yang berfungsi
sebagai pelindung dari sinar matahari. Sumber air minum sebagian besar berupa
aliran sungai menuju muara. Sumber air yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu
Sungai Sumbersari, Sungai Cawang, Sungai Kali Sanen dan Sungai Banyuputih.
Habitat yang paling diminati banteng di TNMB yaitu Blok Banyuputih dengan
terdapatnya areal perkebunan dan hutan hujan tropis dataran rendah yang
menyediakan pakan, air dan cover. Kurang optimalnya fungsi habitat banteng di
TNMB mengakibatkan perpindahan banteng ke areal perkebunan dan memicu
terjadinya perburuan liar oleh masyarakat. Untuk menanggulangi hal tersebut
diperlukan pengelolaan habitat banteng secara intensif agar banteng tidak
memasuki areal perkebunan.
 
 
FIONA HANBERIA INNAYAH. E34062067. Habitat Characteristics of
Banteng (Bos javanicus d'Alton 1832) in Meru Betiri National Park, East
Java. Under supervision of ABDUL HARIS MUSTARI and LIN NURIAH
GINOGA
Banteng ( Bos javanicus  d'Alton 1832) is one of the large mammals in
Meru Betiri National Park (MBNP). IUCN 2008 Data Red List of Threatened
Animals listed banteng as endangered species. Banteng is a protected species
according to The Government Regulation of Republic of Indonesia No. 7 / 1999.
The main problem of banteng in Meru Betiri National Park was invasion banteng
to the private plantation area of PT. Perkebunan Bandealit and PT. Perkebunan
Sukamade Baru. Therefore, study of banteng habitat characteristics was needed to
determine food, water, and cover availability as basis for banteng conservation
effort.
This research was held in three National Park Management Sections
(SPTN), including SPTN W I Sarongan, SPTN W II Ambulu, and SPTN W III
Kalibaru. This research was held in July-August 2010. Structure and composition
of vegetation studied using line transect method of vegetation analysis. The
observation of banteng’s food plants was done through by observation of
 browsing signs. Measuring of productivity, palatability, and carrying capacity was
done by making of plot sampling 1x1 m². Cover characteristics observation was
done by identifying of cover types which used by banteng. The data of water
sources characteristic was obtained by water resources inventory in each location.
Banteng included to the intermediate group between grazer and browser
ungulata. The types of banteng’s feed in study sites contained of 25 species,
mostly obtained from the plantation area. Productivity of banteng’s feed in
Banyuputih Block is 463,92 kg/ha/day for 16 banteng. The highest palatability of
 banteng’s feed at Banyuputih Block and Sikapal Block is paitan ( Paspalum
conjugatum). Most of cover used by banteng was tree canopy and bamboo which
has the function as a protection from the sun. Most of water sources for drink are
the river flow to the estuary. The water sources in location are Sumbersari River,
Cawang River, Sanen Kali River and Banyuputih River. The preferable habitat of
 banteng was Banyuputih Block which contains plantation area and low land rain
forest that provide feed, water and cover. Habitat function in TNMB is less than
optimal caused by banteng moved to the plantation areal and it rendered wild
hunting by local people. To overcome the problem, it is required intensive habitat
management for banteng in order to prevent banteng enter the plantation area.
Key words: habitat characteristic, banteng, feed, cover  
 
 
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Habitat
Banteng ( Bos javanicus  d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri adalah
 benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan
 belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tunggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Fiona Hanberia Innayah
1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
 Nama : Fiona Hanberia Innayah
Fakultas : Kehutanan
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc .F Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si. 
 NIP 196510151991031003 NIP: 196511161992032001
Fakultas Kehutanan
 NIP 195809151984031003
Tanggal Pengesahan :
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Judul yang
dipilih pada skripsi ini yaitu “Karakteristik Habitat Banteng ( Bos Javanicus 
d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Abdul Haris
Mustari, M.Sc.F dan Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si. selaku pembimbing
 pertama dan kedua dalam skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyususnan skripsi ini.
Dengan segala kekurangan, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Penulis mencoba untuk
menyususn skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan dan pengembangan
 penelitian selanjutnya.
dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 8 Januari
1989. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara
 pasangan Bernadi Susanto dan Hanum Rakhmi. Mempunyai
seorang adik bernama Dzikrina Qori. Pendidikan formal yang
ditempuh yaitu Taman Kanak-kanak Tunas Harapan Bangsa
Jatinegara, Jakarta Timur dilanjutkan dengan Sekolah Dasar
 Negeri Perwira I Bekasi Utara pada tahun 1993-2000. Kemudian penulis
melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Bekasi pada Tahun 2000-2003
dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bekasi pada tahun 2003-2006. Pada tahun
2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007 program mayor minor
 penulis mendapatkan mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan,IPB.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa
IPB Tahun 2006-2007, Bela diri pencak silat Merpati Putih tahun 2006-2010,
Anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(HIMAKOVA). Pada tahun 2007 penulis menjabat sebagai anggota Kelompok
Pemerhati Ekowisata (KPE) dan Fotografi Konservasi (FOKA).
Kegiatan lapang yang pernah diikuti penulis adalah RAFFLESIA di Cagar
Alam Gunung Simpang, SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) di Taman
 Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kalimantan Barat. Praktek Pengenalan
Ekosisitem Hutan (PPEH) di Cilacap-Baturaden, Praktek Pengelolaan Hutan
(PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Pada tahun 2010 penulis
melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan penulis melakukan penelitian
di Taman Nasional Meru Betiri dengan judul Karakteristik Habitat Banteng ( Bos
 Javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri selama kurang lebih dua
 bulan dan dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F dan Ibu Ir.
Lin Nuriah Ginoga, M.Si.
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya serta
shalawat serta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
memberikan kekuatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa terlaksananya penelitian hingga penyusunan skripsi ini tidak
terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam bentuk moril maupun materil, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1.  Orang tua tercinta Bapak Bernadi Susanto (papa), Hanum Rakhmi (mama),
Dzikrina Qori (adik) serta anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang dan
dukungannya
2.  Dosen pembimbing Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F dan Ibu Ir. Lin
 Nuriah Ginoga, M.Si. yang telah memberikan arahan, bimbingan serta saran
selama penelitian hingga penulisan skripsi ini. 
3.  Dosen penguji Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc., Bapak Prof. Dr.
Ir. Hardjianto, MS. Dan Ir. Iwan Hilwan, MS
4.  Dosen beserta staf KPAP atas bimbingan serta pelayanan selama penulis
mendapat ilmu di Departemen Konservasi Sumbersaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, IPB
5.  Dosen, seluruh staf, dan teman-teman Fakultas Kehutanan dari MNH, THH,
dan SVK,
6.  Taman Nasional Meru Betiri yang telah memberikan izin melakukan
 penelitian di kawasan Taman Nasional
7.  Seluruh staf Taman Nasional Meru Betiri baik yang di kantor maupun di
lapangan yang memberi bantuan demi kelancaran penelitian ini. Bapak
Wiwied Widodo, Bapak Seno, Ibu Nisa, Ibu Sulis, Mas Nugroho, Bapak
Djoel.
8.  Seluruh keluarga besarku KSHE 43 Cendrawasih terima kasih atas segala
dukungan dan kasih sayang serta bantuan yang tak terhingga sampai akhir
 penulisan skripsi ini
9.  Teman seperjuangan penelitian Kemas Robby Wirawan serta keluarga baruku
dari TNMB Arief, Ryan, Syarifah, Sasmanu, Febri, Dimas. Agri, Faisal,
Sandy, Rahmi, Nanda, Wafi, Adi, Yudi atas bantuannya dan dukungannya
selama di lapang.
11. Keluarga besar HIMAKOVA
12. Semua pihak yang telah membantu di lapangan mas Fendi, mas Ketut, mas
Andri, mas Eko, mas Parno, mas Jumadi, Bapak Slamet, Bapak Warno, Bapak
Budi, Bapak Hasyim, Bapak Dedi, Bapak Luki, Bapak Sam dll.
13. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu
Bogor, Maret 2011
Fiona Hanberia Innayah
2.3 Perilaku ....................................................................................... 5
2.5 Reproduksi .................................................................................. 6
2.6 Habitat ......................................................................................... 7
2.7 Pakan ........................................................................................... 8
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 13
3.3 Jenis Data ................................................................................... 13
3.5 Analisis Data ............................................................................... 17
4.1 Potensi Fisik Kawasan ................................................................ 20
4.2 Potensi Biotik Kawasan .............................................................. 23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi ............................................... 26
5.2 Karakteristik Habitat ................................................................... 38
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 58
3. Lokasi penelitian ........................................................................................ 12
5. Data primer penelitian ................................................................................ 14
6. Hasil analisis vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah .......................... 26
7. Jenis-jenis vegetasi yang berfungsi cover  dan pakan di hutan hujan
tropis dataran rendah .................................................................................. 28
8. Hasil analisis vegetais kebun ..................................................................... 30
9. Jenis-jenis vegetasi yang berfungsi sebagai cover  dan pakan di habitat
 perkebunan ................................................................................................. 31
10. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Savana Sumbersari ................ 33
11. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Savana Pringtali .................... 34
12. Indeks keanekaragaman jenis tiap tingkat pertumbuhan ........................... 37
13. Jenis-jenis pakan yang dijumpai di TNMB ................................................ 38
14. Hasil produksi hijauan di Blok Banyuputih ............................................... 41
15. Hasil produksi hijauan di Blok Sikapal ...................................................... 42
16. Hasil pengamatan palatabilitas pakan banteng Blok Banyuputih .............. 45
17. Hasil pengamatan palatabilitas pakan banteng Blok Sikapal ..................... 45
18. Hasil pengamatan bentuk dan fungsi cover  ............................................... 46
 
 
DAFTAR GAMBAR
 No. Halaman
1. Kondisi fisik (a) Banteng jantan, (b) Banteng betina dan anak ................ 4
2. Peta penyebaran banteng di Jawa dan Kalimantan .................................... 6
3. Peta lokasi penelitian ................................................................................. 12
4. Metode analisisi vegetasi garis berpetak .................................................... 15
5. Habitat hutan hujan tropis dataran rendah ................................................. 29
6. Habitat perkebunan .................................................................................... 31
10. Persentase keberadaan potensi pakan banteng ........................................... 40
11. Plot pengamatan produktivitas Blok Banyuputih ...................................... 42
12. Plot pengamatan produktivitas Blok Sikapal ............................................. 43
13. Bentuk-bentuk cover  banteng di TNMB, (a) Blok Sikapal; (b) Blok
Banyuputih; (c) Blok Balsa dan Kedungwatu; (d) Savana Pringtali; (e)
Savana Sumbersari; (f) Blok 90an Coklat dan Karet (f) ........................... 49
14. Sumber-sumber air sungai di TNMB, (a) Sungai Sikapal; (b) Sungai
Sumbersari; (c) Sungai Banyuputih; (d) Sungai Cawang; (e) Parit
kebun; (f) Muara Sukamade ..................................................................... 52
 
 
1. Hasil perhitungan analisis vegetasi savana ................................................. 62
2. Hasil perhitungan analisis vegetasi perkebunan ......................................... 63
3. Hasil perhitungan analisis vegetasi hutan hujan tropis datarn rendah ........ 67
4. Profil pohon hutan Blok Banyuputih .......................................................... 71
5. Profil pohon hutan Blok Sikapal ................................................................. 72
6. Denah lokasi habitat banteng, Resort Sukamade ........................................ 73
7. Denah lokasi habitat banteng, Resort Bandealit ......................................... 74
 
Banteng merupakan salah satu mamalia besar yang penyebarannya
terdapat di Burma, Thailand, Indo China, dan Indonesia. Banteng dapat dijumpai
di beberapa daerah di Indonesia, antara lain: Pulau Jawa, Kalimantan, dan Bali
(Lekagul dan McNeely 1977). Di Pulau Jawa, banteng ( Bos javanicus) tersebar
di Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional
Alas Purwo, dan Taman Nasional Baluran yang menjadi pertahanan terakhir
hewan asli Asia Tenggara ini. Berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species
(2008), banteng termasuk dalam kategori endangered (terancam punah) namun
tidak termasuk dalam daftar CITES. Sedangkan di Indonesia, pemerintah
memasukan banteng dalam Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang
 pengawetan tumbuhan dan satwa sebagai salah satu satwa yang dilindungi
keberadaannya.
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan kawasan pelestarian
alam yang memiliki potensi satwa mamalia besar yang dilindungi yaitu banteng.
Lokasi habitat banteng di TNMB tersebar pada tiga lokasi, yaitu SPTN W I
Sarongan, SPTN W II Ambulu, dan SPTN W III Kalibaru. Berdasarkan
 pengamatan Tim Taman Nasional Meru Betiri di SPTN II Ambulu populasi
 banteng di Taman Nasional Meru Betiri mengalami peningkatan yakni pada tahun
2002 sebanyak 93 ekor/100 ha dan tahun 2009 menjadi sekitar 102 ekor/100 ha.
Keberadaan suatu populasi sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya.
Habitat adalah suatu ekosistem sehingga untuk menjamin kelestarian habitat,
kelangsungan hubungan di dalam sistem tersebut harus dipertahankan. Interaksi
antara satwa dengan habitatnya (pakan, air, dan cover ) merupakan salah satu
 bentuk interaksi yang berperan dalam keseimbangan ekosistem. Pakan, air, dan
cover  merupakan faktor pembatas dalam kehidupan satwa. Oleh karena itu ketiga
komponen tersebut harus tersedia dalam jumlah yang cukup bagi kebutuhan
satwa. Pakan harus selalu ada bagi satwa jika tidak tersedia dalam jumlah cukup,
 
2
 pakannya. Hal ini diduga terjadi pada populasi banteng di TNMB yang merambah
areal perkebunan masyarakat di dalam kawasan taman nasional (PKLP TNMB
2010). Masuknya banteng ke perkebunan milik warga dapat mengancam
kehidupan banteng dengan adanya perburuan liar, karena dianggap sebagai
 perusak perkebunan. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai karakteristik
habitat banteng yang meliputi pakan, air, dan cover   sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi permasalahan yang terdapat dalam habitat banteng.
1.2 Tujuan
Taman Nasional Meru Betiri yang meliputi:
1.  Ketersediaan pakan (potensi pakan, keanekaragaman jenis, produktivitas,
 palatabilitas, dan daya dukung).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terbaru
mengenai keadaan habitat banteng di Taman Nasional Meru Betiri sehingga dapat
dijadikan masukan dalam pengambilan kebijakan sebagai usaha pelestarian
 banteng, selain itu juga dapat memberikan rekomendasi dalam usaha manajemen
habitat banteng di TNMB.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Taksonomi
Banteng ( Bos javanicus) memiliki nama lain sapi alas (Jawa), klebo dan
temadu (Kalimantan). Menurut Lekagul dan McNeely (1977) serta Alikodra
(1983), secara taksonomi banteng dapat diklasifikasikan dalam kelas Mamalia dan
masuk dalam famili Bovidae dan sub famili Bovinae, memiliki genus  Bos dan
spesies  Bos javanicus  d’Alton 1832. Subspecies di Jawa dan Bali yaitu  B.
 javanicus javanicus, di Kalimantan  B. javanicus lowi, dan di Asian mainland  B.
 javanicus birmanicus. Hooijer (1956), menyatakan beberapa nama lain dari  Bos
 javanicus  d’Alton yaitu  Bos leucoprymnus  Quoi and Gairmand 1830,  Bos
 sondaicus Muller 1940, Bos banteng  Temminck 1836, dan Bos bantinger  Schlegel
and Muller 1845 (Alikodra 1983).
2.2  Morfologi dan Fisiologi
Banteng memiliki bentuk tubuh yang tegap, besar, dan kuat dengan bagian
 bahu depan yang lebih tinggi dibandingkan bagian belakang tubuhnya. Ciri khas
yang dimiliki banteng adalah pada bagian pantat terdapat belanga putih, bagian
kaki dari lutut ke bawah seolah-olah memakai kaos kaki berwarna putih, serta
 pada bagian atas dan bawah bibir berwarna putih. Banteng jantan memiliki warna
tubuh yang hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warnanya serta memiliki
sepasang tanduk berwarna hitam, mengkilap, runcing dan melengkung simetris ke
dalam (Gambar 1). Pada bagian dada banteng jantan terdapat gelambir yang
dimulai dari pangkal depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah
kerongkongan. Sedangkan banteng betina memiliki warna tubuh cokelat kemerah-
merahan, semakin tua umurnya semakin cokelat tua dan gelap warnanya serta
memiliki tanduk yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan banteng jantan
(Gambar 1a). Warna kulit anak banteng (Gambar 1b), baik yang jantan maupun
 betina lebih terang dari pada warna kulit banteng betina dewasa, tetapi pada
 banteng jantan muda (anak) warna kulitnya lebih gelap sejak berumur antara 12– 
18 bulan (Alikodra 1983).
(a)  (b)
Gambar 1 Kondisi fisik (a) banteng jantan; (b) banteng betina dan anak.
Menurut Hoorgerwerf (1970) serta Lekagul & McNeely (1977) umur
maksimum banteng berkisar diantara 10–25 tahun. Banteng jantan yang berumur
8–10 tahun mempunyai tinggi bahu 170 cm, sedangkan banteng betina
mempunyai tinggi bahu 150 cm dan berat banteng dapat mencapai 900 kg
(Hoorgerwerf 1970). Secara umum terdapat perbedaan ciri fisik dari masing-
masing kelas umur banteng (Tabel 1 dan 2). Hal ini terlihat dari panjang tanduk,
warna tubuh, dan alat kelamin.
Tabel 1 Ciri fisik berdasarkan kelas umur banteng jantan
Kelas umur Umur
Bayi 0-6 1-6 Warna tubuh coklat terang sampai cokat kecerahan
Muda 7-14 7-15 Mulai diketahui jenis kelamin dari perubahan warna
Dewasa 15-30 16-24 Tanduk mulai memutar ke depan, warna tubuh hitam dan adanya tonjolan penis pada tubuh
Sumber: Santosa (1985) dan Alikodra (1983)
Tabel 2 Ciri fisik berdasarkan kelas umur banteng betina
Kelas umur Umur
tanduk (cm)
Keterangan lain
Bayi 0-6 1-4 Komposisi umur anak banteng tidak dibedakan  jenis kelaminnya
Muda 7-14 5-10 Mulai diketahui jenis kelaminnya dari  perubahan warna
Dewasa 15-30 10-16 Warna tubuh coklat tua dan adanya putting susu serta vagina pada tubuh
Sumber: Santosa (1985) dan Alikodra (1983)
 
Slijper (1984) dalam  Alikodra (1983) menyatakan bahwa kerabat dekat
 banteng yaitu gaur ( Bos gaurus) dan kerbau air ( Bubalus bubalis) yang sudah
dikenal sejak zaman Alluvium. Banteng merupakan spesies ketiga yang termasuk
dalam genus  Bos di Asia Tenggara, dua spesies lainnya yaitu gaur atau seladang
( Bos gaurus) dan kouprey ( Bos sauveli) (Lekagul & McNeely 1977; Medway
1977). Selain itu, terdapat spesies banteng yang telah mengalami domestikasi
yaitu sapi bali ( Bos sondaicus) (Anonim 1979 dalam Alikodra 1983).
2.3  Perilaku
Banteng termasuk jenis satwaliar yang hidup berkelompok, sehingga
 bergerak dalam kelompok yang terdiri dari individu jantan, betina, dan anak-
anaknya yang dipimpin oleh banteng betina dewasa yang lebih tua.
Pengelompokkan yang dilakukan merupakan strategi dasar untuk
mempertahankan kelestarian hidupnya dan pemanfaatan pakan yang optimal,
 perkawinan, mengasuh dan membesarkan anaknya, serta mempertahankan diri
dari pemangsa (Alikodra 1983). Banteng yang sudah tua dan mendekati waktu
kematian akan memisahkan diri dan menjadi banteng soliter sehingga rawan
untuk menjadi mangsa satwa predator (Hoorgerwerf 1970).
2.4  Populasi dan Penyebaran
Indonesia (Lekagul & McNeely 1977). Banteng juga pernah ditemukan di
Semenanjung Malaysia (Medway 1977). Alikodra (1979) menemukan juga jejak-
 jejak banteng di Suaka Margasatwa Bali Barat. Banteng merupakan satwaliar
yang menyukai daerah hutan yang terbuka dan bervegetasi rumput, oleh karena itu
diduga bahwa pola penyebaran banteng di pulau Jawa dan Kalimantan mengikuti
 pola penyebaran hutan yang terbuka. Penyebaran banteng meliputi wilayah yang
cukup luas yaitu dari daerah pantai pada ketinggian 0 meter dari permukaan laut
sampai dengan daerah pegunungan dengan ketinggian 2.132 m dpl (Hoogerwerf
1970). Sebelum tahun 1940, banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah
di Pulau Jawa, tetapi sejak tahun 1983 banteng hanya dapat diketemukan dalam
suaka margasatwa dan cagar alam yang ada di Pulau Jawa. Menurut Alikodra
 
alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Baluran, Taman
 Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri. Di Kalimantan banteng
hidup di sepanjang Sungai Mahakam dan di Kalimantan Barat bagian tengah
(Lekagul & McNeely 1977), sedangkan di Bali banteng berada di Taman Nasional
Bali Barat (Gambar 2).
Gambar 2 Peta penyebaran banteng di Jawa dan Kalimantan.
Hoorgerwerf (1970), menduga bahwa sekitar tahun 1940 populasi banteng
di Jawa tidak lebih dari 2.000 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan
 perlindungan dan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut
menurun terus menerus dari tahun ke tahun, hingga tahun 1978 populasi banteng
yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1.500 ekor. Berdasarkan
 pengamatan Tim Taman Nasional Meru Betiri (2002 dan 2009) di SPTN II
Ambulu populasi banteng di Taman Nasional Meru Betiri mengalami peningkatan
yakni pada tahun 2002 sebanyak 93 ekor/100 ha dan tahun 2009 menjadi sekitar
102 ekor/100 ha.
tergantung dari lokasinya. Menurut Lekagul & Mcneely (1977), musim kawin
 
7
 banteng di Thailand adalah dalam bulan Mei dan Juni. Sedangkan Hoogerwerf
(1970) menyatakan bahwa musim kawin banteng di Taman Nasional Ujung Kulon
adalah bulan Juli, September dan Oktober, kadang-kadang juga dalam bulan
 November dan Desember. Musim kawin di TNMB diduga antara bulan Juli
sampai Oktober. Perkawinan biasanya dilakukan pada malam hari. Lamanya
kebuntingan adalah 9,5–10 bulan. Jumlah anak setiap induk 1-2 ekor tetapi
umumnya satu ekor. Anakan dilahirkan dalam waktu satu menit, 40 menit
kemudian anakan sudah bisa berdiri, 60 menit kemudian menyusu pada induknya.
Selanjutnya anakan akan disapih dalam umur 10 bulan. Banteng termasuk
monoestroes atau mempunyai satu musim kawin dalam satu tahun. Umur termuda
 banteng betina untuk mulai berkembang biak adalah 3 tahun, sedangkan banteng
 jantan lebih dari 3 tahun. Banteng dapat mencapai umur 21-25 tahun, sehingga
seekor banteng betina sepanjang hidupnya dapat menghasilkan anak sebanyak 21
kali (Hoogerwerf 1970).
Menurut Alikodra (1990) habitat merupakan suatu tempat yang dapat
memenuhi kebutuhan satwa yang digunakan untuk tempat mencari makan,
minum, berlindung, bermain, dan berkembang biak. Alikodra (1983) menyatakan
 bahwa lingkungan hidup banteng yang paling ideal, terdiri atas komposisi hutan
alam yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari segala
macam gangguan, baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Padang
 penggembalaan digunakan sebagai tempat mencari makan, istirahat, mengasuh,
dan membesarkan anaknya, serta melakukan hubungan sosial lainnya. Banteng
membutuhkan sumber air tawar sebagai tempat minum, sedangkan hutan pantai
atau payau digunakan sebagai daerah penyangga yang melindungi banteng dari
 pemburu. Daerah pantai digunakan sebagai tempat mencari garam yang
dibutuhkan banteng untuk membantu pencernaan. Secara garis besar habitat
memiliki tiga komponen utama, tempat yang menyediakan pakan, sumber air, dan
cover  atau ruang untuk tempat berlindung, mengasuh anak, dan berkembang biak.
Lekagul & McNeely (1977) menyatakan bahwa banteng menyukai habitat
 
8
semak dan daun (browser ). Menurut Alikodra dan Palete (1980), banteng sangat
menyukai fungsi dan komponen lingkungan hidup yang meliputi:
1.  Hutan alam primer dipergunakan banteng sebagai tempat berlindung dari
serangan musuh/predator, tempat istirahat, tempat tidur dan tempat
 berkembang biak.
2.  Padang rumput/savana, sebaiknya terletak pada daerah yang berbukit sampai
datar serta dibatasi oleh hutan alam primer ke arah darat dan hutan
 pantai/payau ke arah laut.
3.  Sumber air, yang berdekatan dengan padang rumput.
4.  Hutan pantai atau hutan payau sebagai “buffer zone”, yaitu sebagai
 pencegahan intrusi garam ke arah darat dan tempat berlindung atau
 beristirahat.
5.  Air laut, sangat penting untuk keperluan hidup guna mencukupi kebutuhan
mineral bagi satwa banteng, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa
herbivora besar.
2.7 Pakan
Banteng memiliki perilaku yang dominan berupa kegiatan merumput.
Alikodra (1983) menyatakan bahwa pada waktu siang hari banteng lebih memilih
 padang terbuka dan biasanya mereka terdiri dari beberapa kawanan banteng yang
 berkisar antara 10-12 ekor terdiri dari banteng jantan dewasa, induk dan anak-
anaknya. Banteng merumput sambil berjalan berlawanan dengan arah mata angin
dan selalu bersikap waspada serta selalu memperhatikan keadaan sekitarnya.
Hoogerwerf (1970) menyatakan banteng akan mulai merumput jika cuaca cukup
cerah, kelompok banteng tersebut akan memilih hari yang agak berawan
dibandingkan hari yang amat terik. Alikodra (1983), menyatakan bahwa jenis
rerumputan yang dimakan oleh banteng diantaranya: jampang piit (Cytococum
 patens), rumput geganjuran ( Paspalum commersonii), rumput bambu ( Panicum
montanum), rumput memerakan (Themeda arquens), ki pait ( Axonopus
compresus) dan alang-alang ( Imperata cylindrical ).
Banteng biasanya beristirahat setelah mencari makan pada pagi hari
menjelang siang hari. Pada saat matahari bersinar terik, biasanya banteng akan
 
9
lebih sering berada di padang penggembalaan dan kadang pula banteng terlihat
 beristirahat di tepi pantai (Lekagul & McNeely 1977).
2.7.1  Produktivitas padang rumput
Padang rumput adalah salah satu komponen habitat yang berfungsi sebagai
tempat makan, istirahat, bermain, dan berkembang biak banteng. Luas padang
rumput, produktivitas, kualitas, dan palatabilitas pakan yang tinggi akan
mempengaruhi jumlah banteng yang menempatinya. Produktivitas merupakan
hasil yang dipungut atau dipanen per satuan bobot, luas, dan waktu. Sedangkan
 biomas merupakan hasil yang dipungut atau dipanen per satuan luas dan bobot.
McIlory (1977) menyatakan bahwa produktivitas padang rumput tergantung dari
 beberapa faktor yaitu:
1.   Persistensi  (daya tahan) kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang
secara vegetatif
spesies-spesies lain yang hidup bersama.
3.  Kemampuan untuk tumbuh kembali setelah mengalami kerusakan
4.  Sifat tanah kering dan tahan kering
5.  Penyebaran produksi musiman
6.  Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau
dapat berkembang biak secara vegetatif
7.  Kesuburan tanah
8.  Iklim terutama besarnya curah hujan dan distribusi hujan
Tidak semua bagian rumput dimakan oleh satwa, tetapi ada sebagian yang
ditinggalkannya untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya. Bagian rumput yang
dimakan oleh satwa disebut proper use (Susetyo 1980).
2.7.2  Palatabilitas pakan
Ivins (1952) dalam Mcllroy (1977) mendefinisikann palatabilitas sebagai
hasil keseluruhan dari faktor-faktor yang menentukan apakah dan sampai di mana
sesuatu makanan menarik bagi satwa. Menurut Mcllroy (1977), faktor-faktor yang
mempengaruhi palatabilitas adalah fase pertumbuhan dan kondisi hijauan,
 
kesempatan memilih hijauan lain, tata laksana terhadap hijauan, pemupukan, dan
sifat-sifat satwa.
Palatabilitas dapat diuji dengan sistem prasmanan, yaitu dengan cara
menyediakan petak-petak tanah yang ditanami dengan sejumlah hijauan yang
 berbeda. Satwa diberi kebebasan merumput menurut seleranya di petak-petak
tersebut, dan waktu yang dihabiskan di tiap-tiap petak atau jumlah hijauan yang
direnggut memberikan indeks palatabilitas relatif dari tiap jenis hijauan yang
 bersangkutan (Mcllroy 1977).
2.7.3  Daya dukung
kebutuhan hidup satwa seperti reproduksi, pertumbuhan, pemeliharaan, dan
 pergerakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya dukung adalah iklim, tanah,
topografi dan tingkat pengelolaan (Ontario 1980 dalam Siswanto 1982). Besarnya
daya dukung suatu areal dapat dicari melalui pengukuran salah satu faktor habitat,
diantaranya melalui pendekatan terhadap pakan (Syarief 1974). Alikodra (1979)
menyatakan faktor yang perlu diketahui dari daya dukung areal adalah kebutuhan
makan bagi satwa dan produksi rumput makanan satwa.
2.8  Status Konservasi
akan banteng sangat diperlukan, terutama dari perburuan yang dilakukan oleh
 pemburu liar serta terdesaknya habitat banteng oleh pemukiman manusia.
Kegiatan pelestarian dilakukan dengan penetapan peraturan dalam berdasarkan
IUCN Red List of Threatened Species (2008) masuk dalam kategori endangered
yang merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang
menghadapi resiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan
datang. Status endangered   ini diberikan pada banteng karena penurunan
 populasinya mencapai 80% terutama di Indochina. Berdasarkan adanya
 pengamatan langsung telah terjadi penurunan banteng sebesar 50%, hal ini
diakibatkan oleh tingginya perdagangan illegal terhadap tanduk banteng. Hal
serupa diproyeksikan sebagian besar karena perdagangan hewan-hewan tak
 
terkendali di Asia Tenggara dan perburuan untuk perdagangan tanduk, serta
hilangnya habitat dan degradasi di Jawa. Pemerintah Indonesia memasukan
 banteng dalam Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 sebagai salah satu
satwa yang dilindungi keberadaannya.
Penelitian dilakukan di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) di
Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi tepatnya di enam lokasi
keberadaan Banteng (Tabel 3). Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.
Waktu penelitian dilaksanakan selama lima minggu yaitu bulan Juli-Agustus
2010.
Tabel 3 Lokasi penelitian
SPTN W I Sarongan
Blok Balsa Perkebunan Blok Kedungwatu Perkebunan Blok Banyuputih Perkebunan
Hutan hujan tropis dataran rendah
Savana Pringtali Padang rumput buatan
SPTN W III Kalibaru (Resort Malangsari)
 
Objek pengamatan adalah satwa banteng dan habitatnya. Bahan yang
digunakan adalah vegetasi tumbuhan bawah. Peralatan yang digunakan dalam
 penelitian ini antara lain: GPS, kalkulator, kamera, kompas, meteran, pita ukur,
tali rafia, tali tambang, golok, sabit, dan beberapa peralatan lainnya (Tabel 4).
Tabel 4 Alat yang digunakan dalam penelitian
No Nama Alat Kegunaan
1 Global Positioning System (GPS) Menentukan titik awal jalur pengamatan dan
Mengetahui posisi keberadaan cover   dan air
ditemukan
3 Kamera Mengambil gambar kondisi habitat dan satwa
4 Kompas Mengetahui arah tajuk
5 Meteran Mengukur panjang jalur dalam analisis vegetasi
6 Pita ukur Mengukur keliling pohon
7 Tali raffia Membuat batas-batas plot
8 Tali Tambang Membuat jalur analisis vegetasi
9 Golok/sabit Memotong rumput
11 Thermometer Mengukur suhu
13 Pengukur waktu Mengetahui waktu dimulai dan diakhiri
 pengamatan dan mengetahui lamanya waktu
 pengukuran suhu dan debit air
14  Field guide tumbuhan  Mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan
15 Tally sheet Membantu dalam pengambilan data di lapangan
16 Alat tulis Membantu dalam pencatatan data di lapangan
17 Timbangan rumput Menimbang berat rumput dari padang
 penggembalaan
Data primer yang dikumpulkan berupa struktur dan analisis vegetasi dan
karakteristik habitat banteng yang diperoleh dengan pengukuran dan pengamatan
langsung di lapangan (Tabel 5)
 
Lokasi Pengamatan Pengukuran Wawancara
√  Semua lokasi
√  √  Semua
c.  Daya dukung
Semua
Lokasi
a. Tipe cover   √  √  b.  Fungsi cover   √  c.  Tipe habitat √  d.  Ketinggian (mdpl) √  √  e.  Substrat dominan √ 
3.  Ketersediaan Air
Semua
Lokasi
a. Sumber air √  b.  Lebar (m) √  √  c.  Kedalaman (m) √  d.  Ketersediaan √  √  e.  Intensitas
Penggunaan oleh satwa
3.3.2  Data sekunder
lokasi keberadaan banteng, data populasi, dan perilaku yang diperoleh dari
wawancara dan studi pustaka.
3.4  Metode Pengumpulan Data
Untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi dari suatu habitat
dilakukan dengan cara analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan
membuat petak contoh secara  purposive sampling, yaitu terkonsentrasi pada
 
yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak-petak
contoh di sepanjang jalur pengamatan. Tahapan kegiatan analisisi vegetasi
meliputi:
1.  Pembuatan titik-titik sampling sepanjang 100 m memotong kontur dengan
menggunakan metode garis berpetak (Gambar 4).
2.  Pembagian vegetasi hutan ke dalam tipe semai, pancang, tiang, dan pohon.
a.  Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan dengan tinggi
kurang dari 1,5 m diamati pada petak berukuran 2x2 meter²
 b.  Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter
kurang dari 10 cm, diamati pada petak berukuran 5x5 meter²
c.  Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm.
diamati pada petak berukuran 10 x 10 meter²
d.  Pohon : Pohon dewasa berdiameter 20 cm atau lebih, diamati pada
 petak berukuran 20 x 20 meter ²
Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah
 jenis pohon, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, dan tinggi total.
Sedangkan data yang diambil pada tingkat pertumbuhan pancang dan semai
meliputi jenis tumbuhan dan jumlah individu setiap jenis. (Soerianegara dan
Indrawan 2002).
 Keterangan : (a) = 20 m x 20 m (c) = 5 m x 5 m
(b) = 10 m x 10 m (d) = 2 m x 2 m
Gambar 4 Metode analisis vegetasi garis berpetak.
Pengamatan/pengukuran pada padang penggembalaan dilakukan dengan
menganalisis vegetasi tumbuhan bawah, dengan metode petak sampling. Petak
contoh diletakan tersebar dengan ukuran setiap petak contoh adalah 1x1 m².




Identifikasi jenis-jenis pakan dilakukan dengan pengamatan langsung
terhadap bekas renggutan pada tumbuhan yang dimakan dan dilakukan di plot
analisis vegetasi. Selain itu dilakukan pengumpulan informasi jenis pakan
dari pemandu dan masyarakat yang pernah melakukan perjumpaan langsung.
Selanjutnya dilakukan cek silang dari berbagai buku/literatur dari taman
nasional.
Analisis potensi pada habitat padang penggembalaan meliputi
 biomasa, produktivitas, dan daya dukung. Petak 1m x1m dibuat secara acak
dengan menentukan petak awal pada bagian yang paling sering dijadikan
tempat makan banteng. Data yang diperoleh dari setiap petak contoh adalah:
(1) nama dan jumlah serta (2) biomasa dan produktivitas jenis pakan banteng.
Biomasa diukur dengan cara memotong tumbuhan pakan pada setiap petak
contoh setinggi 3-4 cm di atas permukaan tanah lalu ditimbang beratnya.
Sedangkan produktivitas diukur setelah bekas potongan tersebut berumur 30
hari lalu dipotong dan ditimbang beratnya. Petak contoh tersebut dipagari
agar tidak dimakan oleh satwa, sehingga dapat mengurangi bias dalam
 perolehan data produktivitas. Daya dukung lingkungan diperoleh dari
 perhitungan besarnya produktivitas dan  proper use terhadap konsumsi pakan
 banteng per hari.
tidak dipagari, yang telah dibuat pada saat pengamatan produktivitas. Seluruh
 jenis tumbuhan yang ada di dalam petak contoh dicatat nama dan jumlah plot
ditemukan. Kemudian setelah 30 hari dilakukan pengamatan hasil renggutan
terhadap jenis-jenis yang dimakan oleh banteng. Selanjutnya dilakukan cek
silang dari berbagai literatur tentang jenis-jenis rumput yang disukai dan
dimakan oleh banteng di padang penggembalaan.
 
Data karakteristik cover  diperoleh melalui pengamatan langsung pada plot
analisis vegetasi yang diperkuat dengan adanya jejak kaki dan feses dari banteng.
Selain itu dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar hutan dan petugas
sebagai informasi tambahan. Selanjutnya dilakukan cek silang dari data sekunder
 berupa dokumen taman nasional. Cover  dibedakan menurut fungsi dan bentuknya
yaitu berupa tipe cover , fungsi cover , tipe habitat keberadaan cover , ketinggian,
dan substrat dominan.
c.  Ketersediaan Air
Data ketersediaan air yang diambil berupa parameter fisik yaitu lebar dan
kedalaman sungai, lokasi sumber air, ketersediaan sumber air, intensitas
 penggunaannya oleh banteng, dan habitat keberadaan sumber air. Pada air sungai
yang mengalir dilakukan penghitungan debit air. Debit air dihitung dengan
menggunakan bola pingpong yang dialirkan mengikuti arus air sepanjang 2 meter
kemudian dihitung waktunya. Pengulangan perhitungan dilakukan sebanyak tiga
kali yaitu di tepi kiri, di tengah, dan di tepi kanan.
3.5  Analisis Data
Data vegetasi hutan yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan dihitung
nilai-nilai: indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman spesies. Untuk
mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, maka pada masing-masing petak
ukur dilakukan analisis kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk setiap jenis
tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 2002). Perhitungan dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
spesiessuatuindividuJumlah = 
spesiessuatuKerapatan ×=  
spesiessuatuditemukan petakJumlah =  
spesiessuatuFrekuensi   ×=  
spesiessuatudasar bidangLuas  =  
spesiessuatuDominansi  =  
Tingkat semai dan pancang : INP = KR + FR
Tingkat pohon/ tiang : INP = KR + FR + DR
Total Indeks Nilai Penting (INP) untuk setiap tingkat pohon, tiang, pancang,
semai, dan tumbuhan bawah, dihitung untuk setiap tipe ekosistem. Nilai INP
setiap tipe ekosistem menggambarkan kondisi vegetasi. Untuk menghitung
keanekaragaman spesies digunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (H’)
dengan persamaan sebagai berikut :
H’ = - ∑ [ Pi. ln. Pi]
Untuk mengetahui produksi hijauan seluruh areal dipergunakan rumus
Susetyo (1980).
L = Luas seluruh areal (ha)
 p = Produksi hijauan pada areal contoh (kg)
 N 
Untuk mengetahui daya dukung padang penggembalaan digunakan rumus
Susetyo (1980) sebagai berikut:
 p.u = Guna nyata (0.65) untuk daerah yang datar sampai bergelombang
(kemiringan 0º-5º)
3.5.4 Palatabilitas
 berikut:
y
x = jumlah petak contoh dimana sesuatu jenis dimakan banteng
y = jumlah seluruh petak contoh dimana jenis tersebut ditemui
3.5.5 Debit Air
 berikut:
V = Kecepatan Arus (m/dtk)
dua wilayah Kabupaten Provinsi Jawa Timur. Bagian barat termasuk Kabupaten
Jember dengan luas 37.626 ha dan bagian timur termasuk Kabupaten Banyuwangi
dengan luas 20.374 ha. Kawasan TNMB secara geografis terletak antara
113º58'48’’ - 113º58'30’’ BT dan 8º20'48’’ - 8º33'48’’ LS.. Batas-batas wilayah
kawasan Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan TNMB (2009) meliputi:
a.  Sebelah utara, berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Treblasala dan
Perum Perhutani RPH Curahtakir.
Kabupaten Banyuwangi dan kawasan PTPN XII Sumberjambe.
c.  Sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia
d.  Sebelah barat, berbatasan dengan Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, Desa
Sanenrejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember, kawasan PTPN XII
Kalisanen PTPN XII Kota Blater dan Perum Perhutani RPH Sabrang.
4.1.2 Topografi
yang berbatasan dengan kawasan pantai (bagian selatan). Kawasan ini berada
 pada ketinggian antara 900-1.223 m dpl. Kondisi kelerangan tanah sangat
 beragam, mulai dari keadan datar, landai hingga memiliki kelerangan dengan
tingkat yang curam. Kawasan Meru Betiri didominasi dengan bukit-bukit yang
relatif tersebar secara merata.
Gunung yang terdapat di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II
di Ambulu antara lain: G. Rika (535 m dpl), G. Guci (329 m dpl), G. Alit (534 m
dpl), G. Gamping (538 m dpl), G. Sanen ( 437 m dpl), G. Butak (609 m dpl), G.
Mandilis (844 m dpl), dan G. Meru (344 m dpl). Sedangkan gunung yang terdapat
 
21
m dpl) yang merupakan gunung tertinggi, G. Gendong (840 m dpl), G. Sukamade
(806 m dpl), G. Sumberpacet (706 m dpl), G. Permisan (568 m dpl), G.
Sumberdadung (520 m dpl), dan G. Rajegwesi (160 m dpl). SPTN W III masih
menjadi bagian wilayah SPTN W I dan SPTN W II, baru pada tahun 2008
dipisahkan menjadi wilayah tersendiri.
sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Sedangkan pantai datar
yang berpasir hanya sebagian kecil, dari timur ke barat adalah Pantai Rajegwesi,
Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. Sungai-
sungai yang berada di kawasan TNMB antara lain Sungai Sukamade, Sungai
Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang mengalir dan bermuara di
Pantai Selatan Jawa (TNMB 2009).
4.1.3 Geologi dan Tanah
Secara umum jenis tanah di kawasan TNMB merupakan asosiasi dari jenis
aluvial, regosol dan latosol. Tanah alluvial umumnya terdapat di daerah lembah
dan tempat rendah sampai pantai, sedangkan regosol dan latosol umumnya
terdapat di lereng dan punggung gunung. Menurut Suganda et al. (1992) dalam 
Tim PKLP TNMB (2010) geologi kawasan TNMB terdiri atas:
a.  Aluvium meliputi kerakal, kerikil, pasir dan lumpur.
 b.  Formasi Sukamade meliputi batu gunung terumbu bersisipan batu lanau dan
 batu berpasir.
c.  Formasi Puger meliputi batu gunung terumbu bersisipan breksi batu gunung
dan batu gamping hutan.
d.  Formasi batu ampar meliputi perselingan batu pasir dan batu lempung
 bersisipan tuf, breksi, dan konglomerat.
e.  Anggota batu gamping formasi Meru Betiri meliputi batu gamping, batu
gamping tufan, dan napal.
f.  Formasi Meru Betiri meliputi perselingan breksi gunung api, lava dan tuf,
terpropilitan
g.  Formasi Mandiku meliputi breksi gunung api dan tuf, breksi berkomponen
andesit dan basal bersisipan tuf.
h.  Batuan terobosan meliputi granodiorit, diorit, dan dasit.
 
anggota batu gamping Formasi Meru Betiri berasal dari batuan endapan
 permukaan, dan batuan sedimen. Formasi Meru Betiri dan Formasi Mandiku
 berasal dari batuan gunung api. Sedangkan batuan terobosan berasal dari batuan
terobosan. Aluvium terbentuk pada zaman Holosen Kuartier, Formasi Batu Ampar
terbentuk pada Zaman Oligosen, Formasi Mandiku, dan Formasi Puger terbentuk
 pada Zaman Akhir Miosen Tersier, Batuan terobosan terbentuk pada Zaman
Tengah Miosen Tersier sedangkan Formasi Meru Betiri, Formasi Sukamade,
anggota batu gamping Formasi Meru Betiri terbentuk pada Zaman Awal Miosen
Tersier.
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim kawasan
taman nasional bagian utara dan tengah termasuk iklim B dan C, dengan curah
hujan rata-rata berkisar antara 2.544 – 3.478 mm per tahun dengan rata-rata bulan
kering selama empat sampai lima bulan dan bulan basah selama tujuh sampai
sampai delapan bulan. Sedangkan kawasan TNMB bagian barat mempunyai tipe
iklim C dengan curah hujan rata-rata 2.300 mm per tahun, dan kawasan sebelah
timur mempunyai curah hujan rata-rata 1.300 mm per tahun sehingga kondisinya
lebih kering.
Bertiupnya angin barat laut pada bulan November sampai dengan Maret
menyebabkan hujan, sedangkan pada akhir bulan April sampai dengan Oktober
terjadi musim kemarau. Pada bulan Juni hingga Agustus curah hujan cukup besar
sehingga menyebabkan banjir di beberapa daerah. Curah hujan di kawasan ini
 bervariasi antara 1.252 – 2.818 mm per tahun dengan bulan basah antara bulan
 November–Maret, dan kering antara April–Oktober. Di daerah bekas Perkebunan
Bandealit (sebelah barat) rata-rata curah hujan antara 1.438–2.818 mm dengan
curah hujan tertinggi pada bulan Desember–Maret. Sebaliknya di daerah bekas
 perkebunan Sukamade (sebelah tengah) rata-rata curah hujan tahunan antara
1.307–1.856 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari–Maret (TNMB
2009).
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri mempunyai flora sebanyak 518
 jenis, terdiri atas 15 jenis yang dilindungi dan 503 jenis yang tidak dilindungi.
Taman Nasional Meru Betiri memiliki formasi vegetasi yang lengkap dan juga
 beberapa jenis flora langka antara lain bunga rafflesia ( Rafflesia zollingeriana),
 juga terdapat  Balanophora fungosa yaitu tumbuhan parasit yang hidup pada jenis
 pohon  Ficus spp. Selain itu, terdapat pula jenis flora yang digunakan sebagai
 bahan baku obat/jamu tradisional sebanyak 239 jenis. Berikut ini merupakan jenis
flora yang diprioritaskan untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat adalah
cabe Jawa ( Piper retrofractum), kemukus ( Piper cubeba), kedawung ( Parkia
roxburghii), kluwek/pakem ( Pangium edule), kemiri ( Aleurites moluccana), pule
 pandak ( Rauwolfia serpentina), kemaitan ( Lunasia amara), anyang-anyang
( Elaeocarpus grandiflora), sintok (Cinnamomum sintok ), dan kemuning ( Murray
 paniculata).
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis yang
mempunyai 5 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan pantai, vegetasi hutan mangrove,
vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte dan vegetasi hutan hujan dataran
rendah. Kondisi setiap tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri
 berdasarkan TNMB (2009) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.  Tipe Vegetasi Hutan Pantai
Formasi vegetasi hutan pantai terdiri dari dua tipe utama yaitu formasi ubi
 pantai ( Ipomoea pescaprae) dan formasi  Barringtonia (25-50 m). Formasi
 pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari
 jenis herba, sebagian tumbuh menjalar. Jenis yang paling banyak adalah ubi pantai
( Ipomoea pescaprae) dan rumput lari (Spinifex squarosus). Formasi baringtonia
terdiri dari keben ( Barringtonia asiatica), nyamplung (Calophyllum inophyllum),
waru ( Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia catappa), pandan ( Pandanus
tectorius) dan lain-lain. Tipe vegetasi ini tersebar di sepanjang garis pantai selatan
 
yang bertopografi datar, misalnya di Teluk Permisan, Teluk Meru, Teluk
Bandealit, dan Teluk Rajegwesi.
Vegetasi ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang
merupakan muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade
merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di garis pasang surut. Jenis-jenis yang
mendominasi adalah bakau-bakauan ( Rhizophora sp), api-api ( Avicennia sp), dan
tancang ( Bruguiera sp). Di muara Sungai Sukamade terdapat nipah ( Nypa
 fruticans) yang baik formasinya.
Jenis vegetasi yang banyak dijumpai diantaranya mangga hutan
( Mangifera sp), sawo kecik ( Manilkara kauki), ingas/rengas (Gluta renghas),
 pulai ( Alstonia scholaris), kepuh (Sterculia foetida), dan  Barringtonia spicata.
Vegetasi ini dapat dijumpai di belakang hutan payau Sukamade.
d. Tipe Vegetasi Hutan Rheophyt
Tipe vegetasi ini terdapat pada daerah-daerah yang dibanjiri oleh aliran
sungai dan jenis vegetasi yang tumbuh diduga dipengaruhi oleh derasnya arus
sungai, seperti lembah Sungai Sukamade, Sungai Sanen, dan Sungai Bandealit.
Jenis yang tumbuh antara lain glagah (Saccharum spontaneum), rumput gajah
( Penisetum curcurium), dan beberapa jenis herba berumur pendek serta rumput-
rumputan.
Tipe vegetasi ini merupakan hutan campuran antara hutan hujan dataran
rendah dengan hutan hujan tropis pegunungan. Sebagian besar kawasan hutan
Taman Nasional Meru Betiri merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika dataran
rendah. Pada tipe vegetasi ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti anggrek dan
 paku-pakuan serta liana. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya jenis
walangan ( Pterospermum diversifolium), winong (Tetrameles nudiflora), gondang
( Ficus variegata), budengan ( Diospyros cauliflora), pancal kidang ( Aglaia
variegata), rau ( Dracontomelon mangiferum), glintungan ( Bischofia javanica),
ledoyo ( Dysoxylum amoroides), randu agung (Gossampinus heptaphylla),
nyampuh ( Litsea sp), bayur ( Pterospermum javanicum), bungur ( Lagerstroemia
 
( Lansium domesticum), bendo ( Artocarpus elasticus), suren (Toona sureni), dan
durian ( Durio zibethinus). Terdapat pula vegetasi bambu seperti: bambu bubat
( Bambusa sp), bambu wuluh (Schizastychyum blumei), dan bambu lamper
(Schizastychyum branchyladium). Di dalam kawasan juga terdapat beberapa jenis
rotan, diantaranya: rotan manis ( Daemonorops melanocaetes), rotan slatung ( P.
longistigma) dan rotan warak ( P. elongata).
4.2.2 Fauna
Fauna yang telah teridentifikasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri
hingga saat ini sebanyak 217 jenis, terdiri dari 92 jenis yang dilindungi dan 115
 jenis yang tidak dilindungi, meliputi 25 jenis mamalia (18 diantaranya dilindungi),
8 reptilia (6 jenis diantaranya dilindungi), dan 184 jenis burung (68 jenis
diantaranya dilindungi). Keragaman jenis fauna tersebut dapat dibagi menjadi
 beberapa kelas antara lain aves, mamalia, herpetofauna (amphibi dan reptilia), dan
fauna perairan. Kelompok besar yang berada dalam kawasan taman nasional
adalah jenis aves, mamalia (herbivora, primata dan karnivora besar) serta reptilia
 besar (penyu laut, biawak dan ular phyton). Fauna yang terdapat di kawasan
TNMB diantaranya adalah banteng ( Bos javanicus), monyet ekor panjang
( Macaca fascicularis), macan tutul ( Panthera pardus melas), ajag (Cuon alpinus
 javanicus), kucing hutan ( Prionailurus bengalensis javanensis), rusa (Cervus
timorensis), bajing terbang ekor merah ( Iomys horsfieldii), merak ( Pavo muticus),
 penyu belimbing ( Dermochelys coriacea), penyu sisik ( Eretmochelys imbricata),
 penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu ridel/lekang ( Lepidochelys olivacea)
(TNMB 2009).
5.1.1 Hutan hujan tropis dataran rendah
Hutan hujan tropis dataran rendah merupakan salah satu habitat yang
 penting bagi banteng di kawasan TNMB. Tipe vegetasi ini mendominasi sebagian
 besar kawasan TNMB. Pada lokasi ini dilakukan analisis vegetasi untuk berbagai
tingkat pertumbuhan. Lokasi yang menjadi pengukuran vegetasi merupakan hutan
hujan tropis primer dan sekunder. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh 38
 jenis tumbuhan dengan 24 famili (Tabel 6).
Tabel 6 Hasil analisis vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah
Area Tingkat Nama
lokal Nama ilmiah
Babadotan  Ageratum conyzoides  77,98 50 - 127,98
Kariya  Mikania micrantha 13,76 30 - 43,76 Lagetan Spilanthes acmelia  8,25 20 - 28,25
Semai Bambu Schizoschyum blumea  94,11 57,14 - 151,25
Jenti Sesbania sesban 2,35 28,57 - 30,92 Jerukan  Polyalthia rumphii  3,52 14,28 - 17,80
Pancang Bambu Schizoschyum blumea  90,90 40 - 130,90 Jerukan  Polyalthia rumphii  4,95 20 - 24,95
Kopi Coffea robusta  2,06 20 - 22,06
Tiang Kopi Coffea robusta  33,33 25 26,71 85,04
Jerukan  Polyalthia rumphii  26,66 25 28,89 80,56 Jenti Sesbania sesban 20 25 20,47 65,47
Pohon Walangan  Pterospermum
28,57 13,33 18,50 60,41
Kelapa Cocos nucifera  14,28 20 20,79 55,08 Timo  Kleinhovia hospital 14,28 13,33 14,80 42,42
Blok Sikapal
Tumb. Bawah
Kirinyuh Chromolaena odorata
3,47 15,38 - 18,86
Semai Lengkian  Leea aequata  26,92 22,22 - 49,14 Luwingan  Ficus hispida  26,92 22,22 - 49,14 Gondang legi
 Ficus variegate  23,07 11,11 - 34,18
Pancang Luwingan  Ficus hispida  25 25 - 50
 
Pada hutan hujan tropis dataran rendah Blok Banyuputih diperoleh 14
 jenis tumbuhan dengan 12 famili. Blok Banyuputih memiliki tanah kering dengan
topografi yang relatif datar sampai dengan bergelombang. Suhu rata-rata pada
 blok ini yaitu 29°C dengan kelembaban 65% dan berada pada ketinggian ± 20 m
dpl. Jenis tanaman kopi (Coffea robusta) dan jenti (Sesbania sesban) merupakan
tanaman perkebunan, karena letak hutan hujan tropis dataran rendah di pinggir
 perkebunan maka plot diambil dari areal perkebunan untuk mengambil data
daerah cover  banteng. Rumpun bambu mendominasi di perbatasan antara hutan
dan perkebunan sehingga digunakan banteng untuk berlindung. Lebatnya rumpun
 bambu membuat banteng sulit ditemukan ketika masuk ke dalam hutan.
Sumber air diperoleh dari Sungai Banyuputih dan untuk kebutuhan
mengasin banteng dapat mengunakan Pantai Bandealit karena lokasi perkebunan
hanya berjarak ± 1 km dari pantai. Pada hutan hujan tropis dataran rendah Blok
Sikapal diperoleh 25 jenis tumbuhan dengan 20 famili (Lampiran 5). Pada blok ini
terdapat ruang-ruang terbuka yang kecil dan ditumbuhi dengan tumbuhan bawah
 pakan banteng. Kondisi tanah sebagian besar basah dan memiliki topografi
 bergelombang.
Suhu rata-rata pada blok ini yaitu 26°C berada pada ketinggian 600 m dpl
dengan kelembaban 69%. Pada jalur menuju plot analisis vegetasi dan plot
 produktivitas Blok Sikapal ditemukan rumpun bambu yang letaknya dekat dengan
sungai dan berada di tepi hutan hujan tropis dataran rendah, serta berbatasan
dengan areal perkebunan. Rumpun bambu tersebut dijadikan koridor lintasan bagi
 banteng, hal ini dibuktikan dengan adanya jejak-jejak baru dan jejak-jejak lama.
Hutan hujan tropis dataran rendah Blok Sikapal masih alami dilihat dari
vegetasinya yang rapat, lokasinya yang sulit dijangkau, tidak adanya aktivitas
Area Tingkat Nama lokal Nama ilmiah KR
(%)
(%)
Tiang Luwingan  Ficus hispida  26,66 28,57 11,01 66,25 Kemunduh  Baccauera recemosa  26,66 14,28 22,85 63,80 Gondang legi
 Ficus variegata 20 14,28 28,40 62,69
Pohon Apak  Ficus benjamina 12 15,78 55,73 83,52 Pakem  Pangium edule 20 10,52 6,72 37,25
Bendo  Artocarpus elasticus 16 10,52 6,72 33,25
 
28
manusia, dan masuknya kawasan Blok Sikapal dalam zona inti TNMB. Pada
Tabel 7 disajikan vegetasi yang berfungsi cover  dan pakan bagi banteng di hutan
hujan tropis dataran rendah.
Tabel 7 Jenis-jenis vegetasi yang berfungsi cover  dan pakan di hutan hujan tropis
dataran rendah.
Kondisi tumbuhan hutan hujan tropis dataran rendah di TNMB masih baik,
hal ini dapat dilihat dari penutupan vegetasi yang rapat dan diameter pohon yang
 besar serta topografi yang relatif datar sampai dengan bergelombang dan tidak
terganggu aktivitas manusia. Medway (1977) menyatakan bahwa banteng sangat
menyukai habitat yang berhutan sekunder dan banyak tempat terbuka tetapi tidak
terganggu oleh manusia. Kawasan TNMB sebagian besar merupakan hutan hujan
tropis dataran rendah, hampir 70% luasan TNMB merupakan hutan hujan tropis
dataran rendah baik primer maupun sekunder. Hasil pengamatan jenis vegetasi di
habitat banteng diperoleh 38 jenis vegetasi dengan 24 famili. Pada kawasan
Taman Nasional Alas Purwo diperoleh 40 jenis (Delfiandi 2006) dan pada Taman
 Nasional Ujung Kulon diperoleh 27 jenis (Destriana 2006) pada lokasi habitat
 banteng hutan hujan tropis dataran rendah.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi, banteng banyak mendapat pakan dari
tumbuhan bawah yang terdapat di sela-sela tegakan dan merupakan tempat
lintasan banteng. Banteng memanfaatkan vegetasi yang rapat dan tutupan tajuk
Areal
Blok
Banyuputih
wuluh Schizoschyum blumea
Lagetan Spilanthes acmelia Jenti Sesbania sesban Bambu wuluh Schizoschyum blumea Kopi Coffea robusta
Jenti Sesbania sesban
Kirinyuh Chromolaena
 
29
yang lebat di dalam hutan untuk berlindung dari berbagai macam gangguan dan
 juga sebagai tempat istirahat (Gambar 5). Banteng memilih rumpun bambu
sebagai tempat berteduh selain tajuk pohon dan terdapat hamparan pakan yang
dijadikan sebagai bahan makanan tambahan, karena banteng ketika beristirahat
 juga sambil memamah biak (Alikodra 1983). Jika banteng bertemu dengan
manusia maka akan berlari masuk hutan dengan tegakan bambu yang rapat
sehingga sangat sulit untuk menemukannya. Banteng memilih hutan hujan tropis
dataran rendah sebagai lokasi berlindung karena jarang terdapat aktivitas manusia.
Alikodra (1983) mengemukakan hutan hujan tropis dataran rendah dijadikan
sebagai tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan dijadikan sebagai
tempat berlindung dari kondisi cuaca yang tidak menentu. Pada kawasan Taman
 Nasional Alas Purwo bambu mendominasi 40% dari luasan hutan hujan tropis
dataran rendah (Delfiandi 2006). Pada kawasan TNMB bambu mendominasi di
daerah tepi antara areal perkebunan dan hutan hujan tropis dataran rendah.
Gambar 5 Habitat hutan hujan tropis dataran rendah.
5.1.2 Perkebunan
Di kawasan TNMB terdapat areal perkebunan milik swasta yang menjadi
habitat banteng. Perkebunan tersebut masih berproduksi secara rutin meskipun
sudah banyak yang rusak. Terdapat empat blok perkebunan yang diamati, yaitu:
Blok 90-an Coklat, Blok 90-an Karet, Blok Balsa, dan Blok Kedungwatu. Pada
habitat perkebunan ditemukan sebanyak 16 jenis tumbuhan dari 12 famili (Tabel
8)
30
Tabel 8 Hasil analisis vegetasi di areal perkebunan untuk jenis dominan
Areal Tingkat Nama
lokal Nama ilmiah
Semai Coklat Theobrroma cacao  100 100 - 200
Pancang Coklat Theobrroma cacao  100 100 100 300 Tiang Coklat Theobrroma cacao  89,47 60 97,23 246,70 Pohon
Kelapa Cocos nucifera  50 50 57,89 157,89
Blok 90-an Karet
Semai - - - - - -
Pancang Karet  Hevea brasiliensis 100 100 - 200 Tiang Karet  Hevea brasiliensis  100 100 100 300
Pohon - -
Balsa Ochroma lagopus 100 100 100 300
Blok
Kedungwatu
Semai - - - - - - Pancang Waru  Hibiscus tiliaceus 78,57 75 - 153,57
Tiang - - - - - -
Pohon Waru  Hibiscus tiliaceus  50 50 50,44 150,44
Pada Blok 90-an Coklat dan Karet, tumbuhan bawah tumbuh di lantai-
lantai hutan karet sehingga banteng mudah mendapat pakan. Topografinya relatif
datar dengan kondisi tanah basah sampai kering (Gambar 6). Terdapat parit-parit
air di dalam areal perkebunan sebagai tempat minum banteng serta muara
Sukamade sebagai lokasi untuk mengasin. Blok ini memiliki suhu 28°C dan
kelembaban yaitu 85% serta berada pada ketinggian ± 10 m dpl. Lokasi
 perkebunan Blok Balsa dan Kedungwatu dekat dengan sumber air yaitu Sungai
Cawang sehingga banteng menggunakan areal perkebunan sebagai lintasan,
tempat mencari makan, dan berteduh. Kondisi tanah yang kering, dengan
topografi yang bergelombang dan memiliki suhu 27% dan kelembaban 70%, serta
 berada pada ketinggian ±20 m dpl. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan,
terdapat empat jenis tumbuhan yang berfungsi sebagai cover dan delapan jenis
yang berfungsi sebagai tumbuhan pakan (Tabel 9).
 
31
Tabel 9 Jenis-jenis vegetasi yang berfungsi sebagai cover  dan pakan di habitat
 perkebunan
kawasan TNMB, karena selain tersedianya pakan banteng yang berlimpah juga
tersedia air dan tempat istirahat di sekitarnya. Menurut Alikodra (2002) satwaliar
 juga banyak yang menggunakan tanaman perkebunan sebagai habitatnya,
sehingga untuk beberapa hal sering menjadi hama tanaman. Beberapa satwa yang
sering menggunakan habitat perkebunan antara lain, gajah, rusa, babi hutan,
 banteng dan kera ekor panjang. Aktivitas banteng di TNMB lebih banyak ditemui
di areal perkebunan (Wirawan 2011). Pada perkebunan sangat banyak dijumpai
 banteng baik secara langsung maupun tidak langsung.
Gambar 6 Habitat perkebunan.
Blok 90an Coklat
Sintru Clitoria ternatea
Blok 90an Karet
Blok Balsa Rambusa  Passiflora foetida  Balsa Ochroma lagopus 
Babadotan  Ageratum conyzoides  Sintru Clitoria ternatea  Kirinyuh Chromolaena odorata
Blok Kedungwatu
Krayutan  Mikania micrantha  Kirinyuh Chromolaena odorata
Waru  Hibiscus tiliaceus L. Gondang legi  Ficus variegata Bl.
 
tumbuhan bawah dapat tumbuh dengan subur karena adanya perawatan, seperti
 pemupukan. Meskipun banyak lokasi perkebunan yang telah rusak, lokasi yang
masih produktif tetap dirawat. Menurut Setiawati (1986) kondisi rumput yang
tumbuh di bawah tegakan kelapa milik perkebunan jauh lebih baik dibanding
rumput yang tumbuh di padang penggembalaan. Keadaan ini menguntungkan bagi
 banteng sehingga selalu tersedia pakan yang segar meskipun tiap blok perkebunan
dijaga oleh manusia. Banteng dapat mencari kesempatan untuk mendapatkan
makanan di areal perkebunan. Ketika melihat manusia banteng akan pergi ke
hutan di sekitarnya dan kembali ketika keadaan telah aman (Alikodra 1983).
Habitat perkebunan disukai banteng karena topografinya yang sebagian besar
datar sehingga memudahkan banteng untuk mengetahui kemungkinan adanya
gangguan (Alikodra 2010).
menimbulkan permasalahan bagi pihak perkebunan. Masuknya banteng ke dalam
areal perkebunan yang baru ditanami mengakibatkan tanaman perkebunan milik
warga menjadi rusak. Oleh karena itu, pihak perkebunan melakukan pengamanan
terhadap banteng melalui patroli yang dilakukan oleh pekerja perkebunan untuk
menghalau banteng agar tidak masuk ke areal perkebunan. Penghalauan hanya
dilakukan pada lokasi perkebunan yang sedang ditanami tanaman pertanian
karena rentan akan injakan dan potensi dimakan oleh banteng. Tingkat kerawanan
 populasi banteng pada perkebunan dipengaruhi oleh kegiatan manusia saat
mengambil hasil perkebunan dan mencari kayu atau bambu. Tingkat perburuan
terhadap banteng juga sudah sangat jarang (Tim TNMB 2009). Keberadaan satwa
 pemangsa ( predator ) tidak ditemukan di habitat tersebut karena keberadaannnya
yang telah punah yaitu harimau jawa ( Panthera tigris sondaica).
5.1.3 Padang Rumput
tersebut antara lain Savana Sumbersari dan Savana Pringtali yang merupakan
 padang penggembalaan ( feeding ground ) buatan bagi banteng. Kondisi kedua
savana sudah tidak terawat dan tidak nyaman bagi banteng untuk hidup di
 
( Lantana camara) dan bambu jajang (Giganthochloa apus).  Feeding ground  
 buatan tersebut sudah sangat jarang digunakan oleh banteng. Hal ini dibuktikan
dengan sulitnya ditemukan jejak keberadaan bateng tersebut. Berdasarkan analisis
vegetasi yang dilakukan di Savana Sumbersari, ditemukan 12 jenis tumbuhan
yang didominasi oleh famili Verbenaceae dan Poaceae (Tabel 10).
Tabel 10 Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Savana Sumbersari
No Nama lokal Nama Ilmiah Famili KR
(%)
(%)
1 Telekan  Lantana camara Verbenaceae 30,48 15,15 45,64 2 Plumpung  Panicum respens Poaceae 28,22 15,15 43,37 3 Sintru Clitoria ternatea Leguminosae 10,84 15,15 25,99 4 Kerayutan  Mikania micrantha Asteraceae 8,83 12,12 20,95 5 Paitan  Paspalum
conjugatum Poaceae 6,82 9,09 15,91
6 Rumput gambir - - 5,62 9,09 14,71
7 Lagetan Spilanthes acmelia Asteraceae 3,21 6,06 9,27 8 Rumput kawat Cynodon dactylon Poaceae 2,00 6,06 8,06 9 Kacang2an  Desmodium
 puchellum Fabaceae 1,20 3,03 4,23
10 Rumput teki Cyperus rotundus Cyperaceae 1,20 3,03 4,23 11 Kemukus  Piper cubeba Piperaceae 0,80 3,03 3,83 12 Putri malu  Mimosa pudica Fabaceae 0,80 3,03 3,83
Hasil pengukuran vegetasi ditemukan 12 jenis tumbuhan pada Savana
Sumbersari. Jenis tumbuhan yang mendominasi dilihat dari INP terbesar yaitu
telean ( Lantana camara) dan plumpung ( Panicum respens) yang merupakan jenis
yang tidak disukai banteng. Jenis-jenis tumbuhan seperti sintru (Clitoria ternatea),
krayutan ( Mikania micrantha), dan paitan (Paspalum conjugatum)  yang
merupakan pakan banteng juga terdapat pada savana dengan jumlah banyak
terlihat dari INP tumbuhan tersebut. Walaupun jenis tersebut terdapat pada
savana, namun keberadaan telean ( Lantana camara)  dan plumpung ( Panicum
respens) lebih dominan sehingga menutupi keberadaan jenis pakan lain.
Savana Sumbersari memiliki luas 10 ha sebagian besar tertutup dengan
 bambu jajang yaitu jenis vegetasi awal yang terdapat di Savana Sumbersari,
karena perawatan yang kurang sehingga savana yang tadinya terbuka, kembali ke
kondisi awalnya yang dipenuhi oleh rumpun bambu. Savana Sumbersari berada
 jauh dari lokasi aktivitas manusia dan dekat dengan aliran sungai yang mengalir
 
 pengelolaan habitat dengan mengetahui luasan efektif dari savana tersebut
kemudian dilakukan pembersihan dan pembuatan bak untuk mengasin bagi
 banteng. Savana ini memiliki suhu 33°C dengan kelembaban 61% dan berada
 pada ketinggian ± 20 m dpl. Kondisi Savana Sumbersari dapat dilihat pada
Gambar 7.
Pada pengukuran vegetasi ditemukan 9 jenis tumbuhan di Savana
Pringtali. Pada INP terbesar diperoleh telean ( Lantana camara)  yang
mendominasi dan merupakan jenis yang tidak disukai banteng. Jenis lain yang
merupakan pakan banteng dan memiliki INP yang besar yaitu paitan ( Paspalum
conjugatum), sintru ( Mikania micrantha), kirinyuh (Chromolaena odorata), dan
kawatan (Cynodon dactylon). Jenis-jenis pakan banteng tersebut terinvasi oleh
telean sehingga banteng sulit menemukan makanannya. Hasil analisis vegetasi
dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Savana Pringtali
No Nama lokal Nama Ilmiah Famili KR
(%)
1 Telean  Lantana camara Verbenaceae 32,40 14,89 47,29
2 Paitan  Paspalum conjugatum  Poaceae 25,75 14,89 40,64 3 Sintru Clitoria ternatea Leguminoceae 15,91 14,89 30,80 4 Kerinyu Chromolaena odorata Asteraceae 6,48 14,89 21,37 5 Kawatan Cynodon dactylon Poaceae 8,44 12,76 21,21 6 Krayutan/kariya  Mikania micrantha  Asteraceae 2,55 10,63 13,19 7 Sidagori Sida glabra Malvaceae 1,96 8,51 10,47
8 Babadotan  Ageratum conyzoides Compositae 2,16 4,25 6,41 9 Pulutan Urena lobata Malvaceae 0,78 4,25 5,04
Savana Pringtali merupakan salah satu habitat banteng buatan, namun
 
camara)  sehingga jenis-jenis pakan yang disukai oleh banteng tertutup oleh
adanya telean. Savana ini memiliki bak untuk mengasin bagi banteng, namun
untuk kebutuhan mengasin, banteng biasanya mengunjungi pantai karena jarak
antara savana dengan pantai ± 1 km. Terdapat sungai yang hanya mengalir pada
musim hujan. Lokasi savana ini kurang strategis yaitu berada diantara areal
 perkebunan yang menjadi lintasan banteng ketika turun dari hutan hujan tropis
dataran rendah sehingga banteng lebih memilih berada di areal perkebunan
sekitarnya. Jenis pohon yang terdapat pada savana yaitu timo ( Kleinhovia
hospita), apak ( Ficus benjamina), gintongan ( Bischofia javanica), bungur
( Lagerstroemia speciosa), dan gondang (Ficus variegata). Pada tahun 2010
dilakukan pembinaan habitat Savana Pringtali dengan membersihkan tanaman
 pengganggu yaitu  Lantana camara sampai ke akarnya sehingga jenis-jenis pakan
 banteng dapat tumbuh. Dari hasil pengamatan tumbuhan yang tumbuh selama 30
hari di Savana Pringtali diperoleh jenis-jenis pakan yang disukai banteng. Suhu di
Savana Pringtali sebesar 30°C dengan kelembaban 72% dan berada pada
ketinggian ± 15 m dpl. Kondisi habitat Savana Printali dapat dilihat pada Gambar
8.
Padang rumput seharusnya menjadi habitat yang ideal bagi banteng,
namun dengan kondisi yang terinvasi telean ( Lantana camara)  dan tertutup
rumpun bambu tidak memungkinkan untuk banteng tinggal di padang rumput
tersebut. Menurut Alikodra (1990) habitat merupakan tempat yang dapat
memenuhi kebutuhan satwaliar baik untuk mencari makan, minum, berlindung,
 bermain, berkembangbiak,  shelter dan  cover.  Namun, pada keanyataannya dua
 
 padang rumput ini kurang memenuhi kriteria tersebut. Pada habitat Savana
Sumbersari tidak terdapat ruang yang luas untuk banteng leluasa dalam mencari
makan karena invasi dari telean ( Lantana camara) dan  plumpung ( Panicum
respens). Lokasi yang jauh dari tempat mengasin dan kembalinya savana menjadi
rumpun bambu mengakibatkan tak ada tempat bermain bagi banteng, sedangkan
 pada Savana Pringtali tidak terdapat sumber air sepanjang tahun terdekat dan
invasi telean ( Lantana camara) yang mulai menutupi pakan banteng.
Padang rumput di TNMB tidak lagi diminati karena banteng lebih memilih
areal perkebunan sebagai habitatnya. Hal ini dikarenakan selain menyediakan
 pakan, perkebunan memiliki sumber air yang merupakan faktor penting bagi
kelangsungan hidup banteng. Selain itu, lokasinya yang dekat dengan hutan hujan
tropis dataran rendah sehingga memudahkan untuk bersembunyi atau beristirahat.
Perbaikan padang rumput diperlukan untuk mengembalikan banteng ke savana
agar mengurangi intensitas aktifitasnya di dalam areal perkebunan. Upaya
 pembinaan habitat perlu dilakukan diantaranya, pembuatan sumber air seperti
 springkel   yang di butuhkan untuk savana yang tidak memiliki sumber air
sepanjang tahun, pemberantasan tanaman pengganggu, pemulihan spesies pakan
 banteng, pembuatan bak mengasin, pemantauan secara rutin dan evaluasi. Pada
dasarnya padang rumput di TNMB cukup berpotensi karena letaknya yang berada
dekat dengan hutan hujan tropis dataran rendah, sehingga memberikan rasa aman
 bagi banteng. Selain itu terdapat  shelter   yang berfungsi sebagai peneduh yaitu
 pohon walangan ( Pterospermum diversifolium), bungur ( Lagerstroemia speciosa) 
dan bambu, serta memiliki lokasi untuk mengasin. Padang rumput yang ideal
yaitu yang memiliki luasan 10-20 ha, tersebar pada beberapa lokasi, komposisinya
terdiri dari hutan alam, padang rumput, sumber air, hutan pantai/mangrove, dan
air laut (Alikodra 2010). Permasalahannya yaitu perawatan terhadap savana yang
kurang efektif sehingga savana tidak terawat dan penyediaan air lokasi yang sulit
air.
 
Wiener adalah sebanyak delapan lokasi (Tabel 12).
Tabel 12 Indeks keanekaragaman jenis tiap tingkat pertumbuhan
Lokasi
Blok Banyuputih 0,89 0,71 1,09 1,52 2,09
Blok Sikapal 1,21 1,82 1,88 1,74 2,24
Blok 90-an Coklat 0,63 0 0 0,47 0,33 Blok 90-an Karet 1,51 - 0 0 -
Blok Balsa 1,45 - 0 - 0 Blok Kedungwatu 1,26 - 0,54 - 0,69 Savana Sumbersari 2,15 - - - - Savana Pringtali 1,98 - - - -
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa untuk tingkat pohon
keanekaragaman tertinggi terdapat pada tipe habitat hutan hujan tropis dataran
rendah yaitu Blok Sikapal. Keanekaragaman pada hutan hujan tropis dataran
rendah terlihat dari tersedianya tiap tingkat pertumbuhan antara lain pohon, tiang
dan pancang yang mendominasi dari habitat lainnya. Vegetasi hutan hujan tropis
 primer dan sekunder dengan berbagai tingkat pertumbuhan ini menunjukan
tingkat regenerasi tumbuhan yang lebih baik dibanding tipe habitat lainnya.
Menurut Endarwin (2006) dalam  Destriana (2008) hutan hujan tropis dataran
rendah memiliki komposisi dan keanekaragaman baik tumbuhan maupun
satwaliar yang cukup tinggi dibandingkan formasi hutan lainnya.
Areal perkebunan memiliki jenis-jenis tanaman yang homogen yang
ditunjukan dengan nilai 0, sehingga hanya terdapat jenis-jenis tingkat
 pertumbuhan tertentu. Pada Blok 90-an Coklat dan Karet didominasi oleh
tumbuhan bawah, pada Blok Balsa dan Kedungwatu juga didominasi oleh
tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah mendominasi tipe vegetasi perkebunan,
sehingga perkebunan menyediakan jenis-jenis tumbuhan pakan bagi banteng.
Pada savana yang sebagian besar adalah tumbuhan bawah memiliki indeks
keanekaragaman yang tinggi untuk tingkat tumbuhan bawah, namun jenis-jenis
yang disukai banteng telah terinvasi sehingga banteng kesulitan memilih
makanannya. Banteng makan pada tingkat tumbuhan bawah, semai dan beberapa
 pancang. Karena banteng tidak hanya grazer  (pemakan rumput) tapi juga browser
yang memakan pucuk-pucuk daun muda. Keanekaragaman vegetasi yang
 
keberadaan banteng dalam kelangsungan hidupnya.
Keanekaragaman jenis berdasarkan Indeks Shannon-Wienner di TNMB
termasuk dalam kategori sedang (2-3) yaitu untuk hutan hujan tropis dataran
rendah Blok Banyuputih dan Sikapal serta Savana Sumbersari, sedangkan
keanekaragaman jenis pada areal perkebunan termasuk jenis rendah (<2). Hutan
hujan tropis memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi karena keadaannya
yang masih alami dan merupakan penutupan lahan terbesar di kawasan TNMB.
5.2 Karakteristik Habitat
5.2.1 Ketersediaan Pakan
5.2.1.1 Jenis pakan
kawasan TNMB banteng lebih bersifat browser  (pemakan semak dan tunas-tunas
muda). Berdasarkan hasil pengamatan adanya renggutan di tiap tipe vegetasi,
studi literatur, dan keterangan petugas, ditemukan 25 jenis pakan banteng yang
 berasal dari 3 tipe habitat yaitu savana, perkebunan, dan hutan. Jenis-jenis pakan
 banteng yang ditemukan disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Jenis-jenis pakan yang dijumpai di TNMB
No Nama local Famili Nama ilmiah Tempat tumbuh
1 Kerayutan Asteraceae  Mikania micrantha Perkebunan, savana 2 Bambu jajang Poaceae  Panicum respens Savana 3 Kacang-kacangan Fabaceae  Desmodium puchellum Savana
4 Lagetan Asteraceae Spilanthes acmelia Perkebunan, savana, hutan
5 Paitan Poaceae  Paspalum conjugatum Perkebunan, hutan 6 Rumput kawat Poaceae Cynodon dactylon Perkebunan, savana 7 Coklat Sterculiaceae Theobrroma cacao Perkebunan 8 Kirinyuh Asteraceae Chromolaena odorata Perkebunan, hutan,
savana
9 Babadotan Compositae  Ageratum conyzoides Perkebunan, hutan 10 Bambu wuluh Poaceae Schizoschyum blumea Hutan, savana,
 perkebunan 11 Mat-mat Annonaceae  Polyalthia rumphii Hutan 12 Ketangi/bungur Lythraceae  Lagerstroemia
 speciosa Hutan, savana
14 Jenti Fabaceae Sesbania sesban Perkebunan 15 Rambusa Passifloraceae  Passiflora foetida Perkebunan 16 Waru Malvaceae  Hibiscus tiliaceus Perkebunan 17 Kinura/sembung
sukmo Compositae Gynura procumbent Perkebunan, hutan
18 Rampelasan Lauraceae  Litsea amara Hutan
 
Hasil perolehan pakan banteng menunjukan ketersediaan pakan banteng
sebagian besar berasal dari areal perkebunan, hal ini dapat dilihat dari
keanekaragaman jenis pakan yang lebih beragam di areal perkebunan dari adanya
analisisi vegetasi. Jenis-jenis pakan tersebut sebagian besar berasal dari tingkat
tumbuhan bawah, semai, dan pancang karena banteng lebih mudah
mendapatkannya. Setiawati (1986) menyatakan bahwa banteng bergerak ke
tempat yang kondisi rumputnya masih baik. Areal perkebunan memiliki kondisi
tumbuhan bawah yang subur dan beragam, karena adanya perawatan yang
dilakukan perkebunan pada tanaman-tanaman perkebunan sehingga jenis-jenis
tumbuhan lain juga dapat tumbuh subur dan selalu segar karena adanya perawatan
tersebut. Paitan merupakan salah satu jenis pakan banteng yang disukai. Hal ini
dapat diketahui dari adanya bekas renggutan pada tumbuhan tersebut (Gambar 9).
Gambar 9 Hasil renggutan banteng.
Sebagian besar pakan banteng diperoleh dari areal perkebunan yaitu 28%,
kemudian dari hutan 20% dan dari savana 8%. Beberapa jenis pakan banteng
ditemukan dari hutan dan perkebunan, perkebunan dan savana, serta ketiganya.
Persentase terbesar merupakan gabungan dari ketiga lokasi perolehan pakan
 banteng yang masih didominasi oleh areal perkebunan yaitu dengan angka 12%.
Persentase perolehan pakan banteng disajikan pada Gambar 10.
No Nama local Famili Nama ilmiah Tempat tumbuh
19 Puka/takokak Solanaceae Solanum torfum Hutan 20 Lameta Poaceae  Leersia hexandra Hutan
21 Rumput teki Cyperaceae Cyperus rotundus Perkebunan 22 Sintru Fabaceae Clitoria ternatea Perkebunan 23 Kopi Rubiaceae Coffea robusta Perkebunan 24 Luwingan Moraceae  Ficus hispida Hutan 25 Gondang Moraceae  Ficus variegata Hutan, savana
Tabel 13 lanjutan.
40
Menurut Muntasib et al. (2000) jenis pakan banteng di Taman Nasional
Ujung Kulon ada 87 jenis sedangkan menurut Delfiandi (2006) jenis pakan
 banteng yang ditemukan selama penelitian di Taman Nasional Alas Purwo ada 15
 jenis. Dari perbandingan jenis pakan tersebut TNMB memiliki jenis-jenis pakan
 banteng tergolong menengah yaitu 25 jenis. Meskipun demikian banteng tetap
dapat bertahan hidup di TNMB dengan jenis-jenis pakan yang tersedia
Gambar 10 Persentase keberadaan potensi pakan banteng.
5.2.1.2 Produktivitas pakan
Pengamatan produktivitas di TNMB dilakukan di dua blok yaitu Blok
Banyuputih dan Blok Sikapal. Produktivitas digunakan untuk mengetahui jumlah
 produksi pakan banteng di lokasi pengamatan. Produktivitas di TNMB tidak
dilakukan di padang penggembalaan karena statusnya saat ini sudah jarang
digunakan banteng. Oleh karena itu, produktivitas dilakukan di lokasi yang
dijadikan aktivitas makan banteng secara rutin. Lokasi-lokasi tersebut berada pada
areal perkebunan yang terdapat ruang terbuka dan di hutan hujan tropis dataran
rendah yang juga memiliki ruang terbuka sebagai lokasi makan banteng.
Blok Banyuputih merupakan lokasi perkebunan kopi (Coffea robusta) dan
 juga kelapa (Cocos nucifera), memiliki ruang-ruang yang luas untuk tumbuhnya
rumput dan tumbuhan bawah karena tanaman kopi yang masih muda setelah
regenerasi perkebunan. Terdapat areal-areal yang terbuka sebagai tempat makan
 banteng, selain itu tanaman kopi juga menjadi salah satu pakan kesukaan banteng.
Pada Blok Banyuputih yang memiliki luas 14,65 ha dibuat 5 plot produktivitas
8 %
12 %
12 %
12 %
41
dan 5 plot palatabilitas sebesar 1x1 m². Biomasa rumput dan tumbuhan bawah
dari sampel plot produktivitas pada pemotongan tahap awal di Blok Banyuputih
yaitu 705 gram/m², setelah itu dilakukan pemotongan setelah 30 hari diperoleh
1.145 gram/m² lebih tinggi dari biomasa awal. Hasil tersebut dihitung dalam berat
 basah hijaun pakan banteng (Tabel 14).
Tabel 14 Hasil produksi hijauan di Blok Banyuputih
Jenis Tumbuhan  Berat Awal (gr) Berat 30 hari (gr)
Cyperus rotundus 440 670  Paspalum conjugatum 65 55 Cynodon dactylon 115 260  Ageratum conyzoides 85 160
Jumlah 705 1.145
= 13.917,5 kg/ha
Hasil perhitungan produktivita