Hadits dan tasyri'

17
HADITS DAN TASYRI' Oleh Jeje Zaenudin Muqaddimah Al-Qur'an berulang kali memerintahkan kaum mukmin agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan ketaatan kepada Allah tidak akan terlaksana dengan benar tanpa mengikuti petunjuk dari Hadits Nabi saw. Oleh sebab itu yang menyatakan beriman dan taat kepada Nabi sudah pasti dia akan beriman dan taat kepada Allah, tetapi orang yang menyatakan beriman dan taat kepada Allah belum tentu beriman dan taat kepada Nabi. Inilah di antara kadungan makna firman Allah, "barangsiapa yang taat kepada Rasul berarti ia telah taat kepada Allah" (An Nisâ [4] : 80) Atas dasar itu, kaum muslimin mengimani kewajiban mentaati Rasul Allah sebagai salah satu pondasi dasar dalam ber-Islam secara benar. Mentaati Rasul wajib sepanjang zaman, tidak hanya sewaktu beliau hidup dan tidak hanya bagi mereka yang hidup bergaul langsung dengan Rasulullah. Karena mengimani dan mentaati Rasul hakikatnya mengikuti ajarannya dan menteladani seluruh perbuatan serta ucapannya (3:31). Dengan demikian, bagi mereka yang hidup tidak berjumpa atau hidup sepeninggal Nabi, mentaati Nabi berarti mentaati semua ajaran dan berita yang datang dari Nabi yang diriwayatkan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Semua yang diriwayatkan dari Nabi, baik itu perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat-sifat beliau, itulah yang kemudian dalam tradisi ilmu Islam dinamakan dengan Hadits, atau Sunnah atau Khabar. Oleh karena itu, kaum muslimin mengimani kewajiban mengamalkan Hadits yang sahih sebagaimana kewajiban mengamalkan ayat Al-Qur'an. Batasan Tasyri' Pada paper ini penulis tidak akan mengulas tentang pengertian Hadits mengingat pembahasan seputar batasan atau definisi hadits sudah berulang-ulang dalam beberapa paper yang sudah disampaikan oleh teman-teman. Maka penulis menggunakan istilah Hadits, Sunnah dan Khabar dalam pengertian yang sama, yaitu segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan beliau. Namun penulis memandang perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu pengertian atau batasan dari tasyri' sebelum dikaji kaitan dan kedudukan Hadits dalam tasyri'.

Transcript of Hadits dan tasyri'

Page 1: Hadits dan tasyri'

HADITS DAN TASYRI'Oleh Jeje Zaenudin

Muqaddimah

Al-Qur'an berulang kali memerintahkan kaum mukmin agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan ketaatan kepada Allah tidak akan terlaksana dengan benar tanpa mengikuti petunjuk dari Hadits Nabi saw. Oleh sebab itu yang menyatakan beriman dan taat kepada Nabi sudah pasti dia akan beriman dan taat kepada Allah, tetapi orang yang menyatakan beriman dan taat kepada Allah belum tentu beriman dan taat kepada Nabi. Inilah di antara kadungan makna firman Allah, "barangsiapa yang taat kepada Rasul berarti ia telah taat kepada Allah" (An Nisâ [4] : 80)

Atas dasar itu, kaum muslimin mengimani kewajiban mentaati Rasul Allah sebagai salah satu pondasi dasar dalam ber-Islam secara benar. Mentaati Rasul wajib sepanjang zaman, tidak hanya sewaktu beliau hidup dan tidak hanya bagi mereka yang hidup bergaul langsung dengan Rasulullah. Karena mengimani dan mentaati Rasul hakikatnya mengikuti ajarannya dan menteladani seluruh perbuatan serta ucapannya (3:31). Dengan demikian, bagi mereka yang hidup tidak berjumpa atau hidup sepeninggal Nabi, mentaati Nabi berarti mentaati semua ajaran dan berita yang datang dari Nabi yang diriwayatkan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Semua yang diriwayatkan dari Nabi, baik itu perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat-sifat beliau, itulah yang kemudian dalam tradisi ilmu Islam dinamakan dengan Hadits, atau Sunnah atau Khabar. Oleh karena itu, kaum muslimin mengimani kewajiban mengamalkan Hadits yang sahih sebagaimana kewajiban mengamalkan ayat Al-Qur'an.

Batasan Tasyri'

Pada paper ini penulis tidak akan mengulas tentang pengertian Hadits mengingat pembahasan seputar batasan atau definisi hadits sudah berulang-ulang dalam beberapa paper yang sudah disampaikan oleh teman-teman. Maka penulis menggunakan istilah Hadits, Sunnah dan Khabar dalam pengertian yang sama, yaitu segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan beliau. Namun penulis memandang perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu pengertian atau batasan dari tasyri' sebelum dikaji kaitan dan kedudukan Hadits dalam tasyri'.

Tasyri' secara bahasa diambil dari kata dasar syir'ah atau syarî'ah yang arti asalnya adalah masyra'atul mâ-a ya'ni mauridul mâ-a = sumber air atau mata air.[1] Karena adanya sumber atau mata air itulah orang berdatangan ke tempat tersebut secara rutin dan bergantian sehingga membentuk jalan. Kemudian istilah syariat bergeser dari arti "sumber air" menjadi "jalan menuju sumber air" tersebut. Penggunaan kata "jalan" dalam bahasa Arab dapat berarti jalan dalam makna asli (hakiki) yang bersifat fisik materil yang dapat dicapai indra manusia seperti jalan yang biasa ditempuh musafir di tanah atau dipadang pasir, dan jalan dalam pengertian secara metaforis (majazi) yang bersifat abstrak, seperti suatu ajaran atau tuntunan petunjuk kehidupan. Maka agama disebut "syir'ah" dan "syari'ah" karena ia ajaran atau tuntunan laksana jalan yang harus ditempuh manusia menuju kebenaran, menuju Tuhan dan menuju kebahagiaan hidupnya. Sebagaimana jalan yang ditempuh untuk menuju mata air. Jalan agama itu tiada lain adalah ajaran dan hukum yang terkandung didalamnya. Jalan agama Islam terbentuk dari dua sumber yaitu Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah (Al Hadits yang sahih). Maka apa yang digariskan keduanya melahirkan syariat. Proses pembentukan jalan disebut tasyri'. Maka istilah tasyri' dalam konteks ini bermakna "proses dan cara pembentukan syari'at".

Page 2: Hadits dan tasyri'

Syari'at Islam mencakup hukum-hukum I'tiqâdiyat, Akhâq, dan A'mal. I'tiqadiyat adalah syariat Islam yang terkait dengan amalan hati tentang apa yang harus diimani dan diingkari seorang mukmin. Akhlaq adalah syariat tentang kemuliaan budi pekerti dan kesucian jiwa. A'mal adalah syariat Islam yang mengatur tentang perbuatan jasadiyah manusia. A'mal manusia itu terbagi pada dua katagori; ibadah dan mu'amalah. Ibadah dalam pengertian khusus yaitu upacara ritual menyembah Allah semisal shalat, shaum, haji, dzikir, dan do'a. muamalah adalah ibadah dalam pengertian luas mencakup interaksi manusia dengan sesamanya. Hukum syariat dalam muamalah mencakup beberapa aspek:

Hukum al-Ahwâlusyahshiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur muamalah manusia dalam lingkup rumahtangga dan keluarganya seperti perkawinan, perceraian, hak dan kewajiban suami-istri, dan pengasuhan anak.Hukum al Madaniyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur muamalah manusia dengan sesamanya yang berkaitan dengan perikatan dan transaksi-transaksi jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, dan perjanjian-perjanjian kerjasama.Hukum al Jinâiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur sanksi fisik atas pelanggaran dan kejahatan terhadap jiwa, harta, dan kehormatan manusia. Seperti hukuman pembunuhan, pencurian, peminum khamar, pezina dan penuduh zinaHukum al Murâfaat. Yaitu hukum syariat yang mengatur tatacara peradilan, pengajuan gugatan, penyelidikan, penetapan dan pelaksanaan vonis hukuman.Hukum al Dusturiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur tentang kekuasaan, pemimpin, rakyat, dan hak-hak warga negara.Hukum al Duwaliyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur tentang interaksi antar bangsa, hukum perang dan damai.Hukum al Iqtishadiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur pengelolaan dan pengembangan harta kekayaan individu, negara dan masyarakat.[2]

Semua hukum syariat tersebut di atas bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits. Artinya bahwa cakupan hukum yang terkandung dalam al-Hadits sama dengan apa yang terkandung dalam al-Qur'an. berkaitan dengan bagaimana kedudukan al-Qur'an dalam hukum Islam serta bagaimana metode pensyariatan hukum al-Qur'an telah banyak dibahas dalam ilmu tafsir dan ushul fikih. Maka pada paper ini akan dikemukakan tentang kaitan Hadits dengan Tasyri'.

Hadits dalam Tasyri'

a. Kehujahan Hadits

Sebagaimana telah disinggung sepintas pada muqadimah bahwa dapat dipastikan seluruh kaum muslimin mengimani wajibnya mentaati Rasulullah. Manifestasi dari mentaati Rasulullah adalah mentaati ajarannya yang disampaikan kepada kita lewat jalur periwayatan yang benar. Kewajiban mentaati Rasulullah itu berdasar tiga sumber dalil utama kaum muslimin. Yaitu Al-Qur'an, Al-Hadits, dan Ijma'. Ayat-ayat Al-Qur'an yang dijadikan dalil tentang wajibnya mengikuti Sunah Rasulullah di antaranya:

Wahai orang-orang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan pemimpin di antara kalian. Jika kalian berselisih faham dalam sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dna Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik akibatnya. (An Nisaa : 59)

Page 3: Hadits dan tasyri'

Maka demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sehingga meminta keputusan hukum kepadamu tentang apa-apa yang mereka perselisihkan di antara mereka kemudian mereka tidak merasa keberatan atas apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk setunduk-tunduknya (An Nisa : 65)

Barangsiapa yang taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang berpaling maka tidaklah Kami mengutusmu sebagai penjaga mereka (An Nisa : 80)

Dan apa-apa yang didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarang Rasul kepadamu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Mahakeras adzab-Nya (Al Hasyr: 7)

Tiada lain perkataan seorang mukmin apabila diseru kepada Allah dan rasul-Nya untuk ditetapkan hukum di antara mereka hanyalah mengatakan, "kami mendengar dan kami taat". Mereka itulah orang-orang beruntung (An Nur : 51)

Subsatansi pada ayat-ayat di atas secara berurutan menyatakan dengan kalimat eksplisit bahwa 1) pengembalian segala perselisihan pendapat hanyalah kepada Allah dan Rasul-Nya dengan tambahan anak kalimat "jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat", 2) ketundukan kepada keputusan Rasulullah dalam segala perkara yang diperselisihkan di antara orang beriman merupakan bukti keimanan yang sebenarnya sedang orang yang merasa berkeberatan dengan keputusan Rasul dianggap sebagai orang yang tidak sungguh-sungguh beriman, 3) mentaati Rasululah sebagai perwujudan ketaatan pada Allah karena seseorang tidak akan dapat taat secara benar kepada Allah tanpa melalui ketaatan kepada Rasul-Nya, 4) bahwa sikap mukmin yang benar manakala diseru oleh Allah dan Rasul-Nya untuk ditetapkan suatu keputusan hukum di antara mereka mereka menyatakan kesiapannya untuk mendengar dan taat meskipun tidak sejalan dengan kepentingan hawanafsu mereka sendiri

Kehujahan Hadits sebagai sumber hukum syariat datang dari Hadits itu sendiri. Pada beberapa Hadits diriwayatkan bahwa beliau bersabda,

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah berkhutbah dihadapan manusia pada haji wada', "Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya niscaya tidak akan tersesat selamanya; yaitu Kitab Allah dan Sunnah nabi-Nya".

Dari Al Miqdam bin Ma'diyakrib al Kindy, Rasulullah bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al Kitab dan yang semisal dengannya! Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al Kitab dan yang semisal dengannya! Ingatlah, hampir datang masa ada seseorang yang dengan perut kenyang bersandar di sofanya seraya berkata; 'Cukuplah bagi kalian al Qur'an. Apa yang kalian dapatkan padanya sesuatu yang halal maka halalkanlah dan apa yang kalian dapatkan padanya sesuatu yang haram maka haramkanlah!…"

Dua Hadits di atas mewakili sejumlah Hadits yang semakna dengannya. Inti kandungan dari Hadits-Hadits di atas menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak terlepas dari Al-Hadits dan bahwa Al-Hadits itu bagian dari wahyu yang diberikan Allah kepada Nabi saw. dengan cara yang berbeda. Sebagaimana disebutkan dalam surat An Najm, "tidaklah dia (Muhammad) berkata dari hawanafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan" (Surat An Najm: 3-4)

Kahujahan Sunnah atau Hadits dari ijma' dapat diketahui dari kesepakatan para shahabat Nabi saw. untuk menjadikan hadits sebagai rujukan dalam menetapkan segala perkara. Sebagaimana diuraikan oleh Khudary Bek, bahwa para shahabat nabi sepeninggal beliau, apabila menetapkan suatu keputusan atas suatu perkara yang muncul mereka mengacu kepada ayat Al-Qura'an, jika mereka

Page 4: Hadits dan tasyri'

tidak mendapatinya langsung dari Al-Qur'an mereka merujuk kepada sunah nabi, jika mereka tidak mendapatinya pada Sunah Nabi mereka bermusyawarah mencari keputusan.[3] Sikap demikian itu dilakukan oleh semua pemimpin atau para Khalifah sepeninggal Rasulullah. Dengan demikian telah terjadi ijma' di kalangan para shahabat bahwa sunah adalah sumber hukum syariat di samping Al-Qur'an.

b. Dilalah Hadits terhadap Al-Qur'an.

Al-Qur'an diturunkan sebagai pedoman hidup, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman[4]. Untuk mengaplikasikan Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup, Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai contoh ideal, panutan dan suri tauladan bagi orang-orang yang beriman dan mengharap keselamatan dunia dan akhirat.[5] Banyak hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an hanya dapat diketahui dan difahami pengertiannya secara detail dan penerapannya secara tepat hanya ketika telah dipraktekan oleh nabi Muhammad saw. Karena keumuman ayat-ayat Al-Qur'an berisi pokok-pokok ajaran Islam yang membutuhkan penjabaran serta rincian dari nabi Muhamm saw. Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an itu sendiri,

Dan Kami turunkan kepadamu adz Dzikru (Al-Qur'an) agar kamu menjelaskan kepada manusia apa-apa yang yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berfikir.

Merujuk kepada ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa tugas Rasul terhadap Al-Qur'an adalah menjelaskan kandungan maknanya dan mengaplikasikannya di tengah kehidupan manusia setelah membacakan dan menyampaikannya kepada mereka

Penjelasan Nabi terhadap Al-Quran disebut sebagai bayan. Bayan nabi tehadap Al-Qur'an terkadang dengan perbuatan, terkadang juga dengan penjabaran lisan atau terkadang dengan persetujuan beliau terhadap perbuatan para sahabatnya. Semua perbuatan, perkataan dan persetujuan nabi diistilahkan dengan sunah atau hadits. Karena itu kedudukan sunah atau hadits terhadap Al-Qur'an pada intinya adalah penjelasan atau bayan. Secara substansial, kandungan hadits terhadap Al-Qur'an terkadang merupakan interpretasi atas ayat-ayat yang belum jelas, atau sebagai penegasan dan penguatan terhadap apa yang sudah jelas dalam Al-Qur'an, dan terkadang sebagai tambahan hukum terhadap apa yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an.

Imam Syafi'i mengklasifikasikan Hadits atau Sunah Nabi dalam kaitannya dengan Al-Qur'an kepada tiga katagori. Pertama, Sunah yang berisi penegasan dan penguatan atas hukum-hukum yang sudah jelas dalam Al-Qur'an. Kedua, Sunah yang berisi penjelasan atau rincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum atau mujmal. Ketiga, Sunah yang berisi hukum yang berdiri sendiri tanpa ada rujukannya dalam Al-Qur'an baik yang secara eksplisit maupun implisit. Dua yang disebut pertama, kata Imam Syafi'i adalah kaidah yang disepakati oleh semua ulama Islam. Sedang satu yang disebut terakhir diperselisihkan oleh para ulama.[6]

Perselisihan pandangan para ulama tentang sunah yang mempunyai kedudukan hukum berdiri sendiri (hukman mustaqilan) bukan perselisihan mengenai keberadaannya, tetapi mengenai kepatutan disebut sebagai hukum yang berdiri sendiri. Sebagian ulama berpendapat bahwa bukanlah suatu yang mustahil kalau nabi membuat hukum tersendiri yang tidak ada dasarnya dalam ayat Al-Qur'an, karena beliau sebagai pribadi pilihan Allah yang diberi hak istimewa untuk menetapkan hukum atas dasar ijtihad beliau dan mendapat izin Allah. Karena Allah perintahkan kaum mukmin untuk mentaati beliau secara mutlaq dalam urusan agama. Umpamanya pengharaman nabi atas

Page 5: Hadits dan tasyri'

sesuatu yang tidak diharamkan Al-Qur'an seperti pengharaman memadu bibi dengan keponakannya, pengharaman makan daging keledai jinak, dan sebagainya. Sebagian ulama berpendapat bahwa apapun yang diputuskan dan ditetapkan nabi baik dengan perkataan, perbuatan ataupun persetujuan beliau, pasti merujuk kepada hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an baik yang bersifat eksplisit maupun implisit, sebab tidak mungkin nabi menetapkan suatu hukum yang melampaui kewenangannya sebagai penyampai, pembaca dan penjelas Al-Qur'an. Jadi semua yang diajarkan dan ditetapkan nabi dapat dipastikan merupakan interpretasinya terhadap Al-Qur'an.

Penjelasan Imam Asy Syafi'i di atas jika diuraikan lebih rinci, maka materi Hadits dalam kaitannya dengan ayat-ayat Al-Qur'an dapat dikatagorisasikan menjadi lima macam penjelasan atau bayan,[7] yaitu:

a. Bayan Tafshil, Hadits yang kandungannya menjelaskan ayat-ayat yang masih global dan ringkas

b. Bayan Takhshish, Hadits yang kandungannya membatasi ayat-ayat yang umum

c. Bayan Ta'yin, Hadits yang menegaskan maksud dari dua atau beberapa perkara yang dimaksud oleh ayat Al-Qur'an

d. Bayan Tasyri', Hadits yang menetapkan suatu hukum pada perkara yang didiamkan oleh Al-Qur'an

e. Bayan Nasakh, Hadits yang menentukan ayat-ayat tertentu telah di nasakh oleh ayat yang lain yang nempaknya seolah-oleh bertentangan

Para ulama yang lain dari kalangan Ahlus Sunnah sejalan dengan pandangan Imam Asy Syafi'i di atas walaupun ada perbedaan-perbedaan redaksional dan peristilahan dalam memposisikan kandungan Hadist terhadap Al-Qur'anul karim. Tetapi esensinya sepakat bahwa Hadits atau Sunah adalah sumber hukum syariat di samping Al-Qur'an dan bahwa Hadits berfungsi sebagai bayan terhadap Al-Qur'an yang sekaligus dapat menetapkan hukum yang berdiri sendiri.[8]

c. Rutbah Hadits dalam Tasyri'

Selain masalah kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam, para ulama juga membahas seputar tingkatan atau rutbah Hadits dalam syariat. Apakah tingkat dan posisi Hadits sama dengan Al-Qur'an dalam memberikan landasan hukum ataukah berbeda. Dengan kata lain, apakah posisi Hadits dengan Al-Qur'an itu bersifat sejajar-setara (posisi horizontal) ataukan bertingkat-bertangga (posisi vertikal). Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas tentang kehujahan dan kedudukan Hadits, dapat dikatakan bahwa ditinjau dari segi kewajiban taat kepada Rasulullah sama dengan kewajiban taat kepada Allah maka konsekwensi hukum yang ditetapkan Hadits secara global sama dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur'an. Artinya hukum yang ditetapkan oleh Hadits secara materil hakikatnya adalah perincian dari yang ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena itu dari segi kewajiban melaksanakannya sama saja dengan kewajiban melaksanakan Al-Qur'an. Hanya saja ada beberapa aspek dari sudut formilnya, yaitu aspek prosedur dan metodologi periwayatan Hadits yang bersifat spesifik yang menyebabkan bobot kehujahan dan status Hadits tidak mungkin dapat disamakan atau disejajarkan dengan Al-Qur'an:

Dari sudut kepastian datangnya (qath'iyatul wurud), seluruh ayat Al-Qur'an bersifat pasti, qath'i, karena Al-Qur'an diriwayatkan secara mutawâtir, periwayatan kolektif dari satu generasi ke

Page 6: Hadits dan tasyri'

generasi berikutnya dengan jumlah periwayat yang tidak memungkinkan secara akal dan adat terjadi kedustaan atau kekeliruan. Sementara Hadits sangat sedikit yang diriwayatkan dengan cara mutawâtir dan keumumannya periwayatan bersifat individual yang disebut dengan riwayat âhad. Karena itu Hadits ditinjau dari segi datang dan keberadaannya bersifat dhanny, masih menyimpan adanya kemungkinan kekhilafan.Sebagai konsekwensi dari dhanniyatul wurud pada hadits-hadits ahad, maka terjadi kemungkinan kesalahan dalam periwayatan hadits, baik disengaja ataupun disebabkan faktor human error. Karena itu para ulama Hadits mengklasifikasikan Hadits kepada tingkatan Shahih, Hasan, dan Dhaif. Hanya Hadits yang berderajat Shahih dan Hasan yang boleh dijadikan sandaran hukumDalam pengklasifikasian Hadits menjadi Shahih, Hasan, dan Dhaif, tidak seluruh Hadits yang dikatagorikan Shahih disepakati kesahihannya oleh semua ulama Hadits, demikian juga tidak setiap yang dikatagorikan Dhaif disepakati oleh semua ulama tentang kedhaifannya. Maka suatu yang tidak bisa dihindari bahwa ada sebagian Hadits yang ditolak oleh sebagian kalangan ulama karena dinilai lemah, dan diterima oleh sebagian ulama yang lain karena dinilai Shahih. Kelompok yang menolak suatu Hadits karena dinilainya lemah tidak dapat dihukumkan sebagai orang yang mengingkari ketaatan pada Rasul sehingga divonis sebagai orang murtad. Sebab yang ia tolak bukan materi Haditsnya sebagi perkataan atau perbuatan Rasulullah yang wajib diikuti, akan tetapi prosedur dan metode penyampaian hadits tersebut yang tidak meyakinkan sehingga diragukan kebenarannya dari Rasulullah.Pada kenyataannya kewajiban mentaati Hadits ditetapkan oleh Al-Qur'an. Maka Al-Qur'an adalah pokok atau pangkal dari hukum, sedang Hadits adalah cabang yang ditetapkan oleh Al-Qur'an. Sebagaimana ijma' ditetapkan oleh perintah Al-Qur'an dan Hadits. Maka suatu yang tidak rasional jika yang pokok disamakan kedudukannya dengan yang cabang.Tingkatan kehujahan Hadits sebagai dasar hukum kedua setelah Al-Qur'an juga diisyaratkan dalam Al-Qur'an dan Hadits itu sendiri. Kemudian dipraktekan oleh ijma' shahabat. Al-Qur'an mengatakan, "Ta'atlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul agar kamu dirahmati" (Ali Imran [3] : 132). Pada ayat ini diperintahkan taat pertama-tama kepada Allah kemudian kepada Rasul-Nya. Dalam Hadits Nabi dikatakan kepada Muadz, "Bagaimana kamu memutuskan perkara jika dihadapkan keopada suatu urusan?". Muadz menjawab, "Aku akan memutuskan dengan Kitabullah!".Rasulullah bertanya lagi, "Jika kamu tidak menemukan pada Kitabullah?". Muadz menjawab, "Aku akan memutuskan dengan Sunnah Rasul-Nya!". Rasulullah bersabda lagi, "Bagaimana jika kamu tidak menemukan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah?". Muadz menjawab, "Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan tidak melampaui batas!". (Hadits Riwayat Abu Dawud). Demikian juga pesan Umar kepada Qadhi Syuraeh, "Perhatikanlah apa yang telah jelas kepadamu dari Kitabullah, janganlah bertanya lagi darinya kepada siapapun. Dan jika tidak jelas kepadamu pada Kitabullah maka ikutillah Sunnah Rasulullah saw…."[9]

d. Para Pengingkar Kehujahan Hadits.

Meskipun kehujahan Hadits sebagai dasar tasyri' yang kedua telah disepakati atau telah menjadi ijma' generasi abad pertama Islam, tetapi pada abad kedua (generasi tâbi'in dan atba' tâbi'in) mulai muncul kelompok yang menyimpang dari arus utama kaum muslimin, yaitu mereka yang menolak Hadits sebagai hujah syariat. Keberadaan kelompok pengingkar kehujahan Hadits yang paling awal diimformasikan oleh Imam Asy Syafi'i dalam kitabnya yang monumental, yaitu kitab Al-Umm.[10] Di kitabnya itu Imam Syafi'i memaparkan pemahaman kelompok penolak Sunnah dan bantahan-bantahan beliau dengan gaya dialogis. Akan tetapi Imam syafi'i tidak meyebutkan secara eksplisit kelompok mana yang menentang kehujahan Hadits tersebut.

Menurut Imam As Suyuthy, cikal bakal kelompok penentang Hadits ini muncul dari kaum Zindik dan kaum ekstrim Rafidhah yang memang benci dan memusuhi agama Islam dengan berpura-pura memeluk Islam.[11] Sementara itu Syekh Khudhary Bek, sebagaimana dikutip oleh Musthafa As

Page 7: Hadits dan tasyri'

Syibâ'i, menduga bahwa kelompok ini adalah sebagian sekte dari mutakallimin yang beraliran muktazilah. Karena Imam Syafi'i mengisyaratkan bahwa kelompok yang berdebat dengan Syafi'i ini berasalah dari Bashrah ketika beliau tinggal di Irak. Sebagaimana diketahui bahwa Bashrah adalah pusat dari munculnya aliran kalam dan muktazilah.[12]

Pada masa modern, gerakan Ingkar Sunah mendapat amunisi dari karya-karya orentalis yang berpandangan buruk terhadap Hadits. Seperti Ignace Goldziher dan H.A.R.Gibb. Sehingga Gerakan ingkar Sunnah mempunyai keberanian untuk berunjuk gigi. Pada awal abad ke 20 di Mesir terbit artikel yang dimuat pada majalah "AL Manar" nomer terbitan 7 dan12, dimana pengarangnya, Taufiq Shidqy, dengan berterus terang menolak hadits sebagai dalil syariat dan ia memuat artikel tersebut dengan judul, "Al-Islâm Quwa al Qur'an Wahdah" yang berarti bahwa Islam itu hanyalah Al-Qur'an saja.[13] Pengaruh Ingkar Sunnah sampai juga ke Indonesia. Tahun tujuh puluhan sampai delapan puluhan adalah masa puncak ramainya gerakan Ingkar Sunnah di Indonesia. Tokoh-tokoh utama dari gerakan ini adalah Muhammad Irham Sutarto, Abdurahman dan Teguh Essa.[14]

Secara garisbesarnya para pengingkar Hadits ini ada dua katagori. Pertama, mereka yang menentang Hadits sebagai hujah secara keseluruhan dan berpendapat sumber hukum syariat Islam itu semata-mata hanyalah Al-Qur'an. Kedua, mereka yang menentang kehujahan sebagian Hadits saja, tidak secara keseluruhan. Yaitu menolak Hadits yang diriwayatkan secara ahad dan menerima Hadits yang diriwayatkan secara mutawatir. Para penentang Hadits ahad inipun ada dua kelompok. Yaitu mereka yang menolak Hadits ahad dijadikan hujah dalam urusan ushuludin atau masalah aqidah, dan mereka yang menolak Hadits ahad untuk hujah aqidah maupun urusan ibadah yang bersifat cabang.

Seacara garis besar, argumentasi para pengingkar Hadits adalah sebagi berikut:

Mereka berargumen bahwa Al-Qur'an telah sempurna dan mencakup semua ajaran Islam, maka tidak perlu lagi kepada yang lainnya termasuk Hadits. Mereka membawakan ayat Al-Qur'an pada Surat Al Maidah: 3, Al An 'am : 38, dan Al Hijr : 9.Mereka mengatakan bahwa Hadits adalah perkataan-perkataan palsu yang disandarkan kepada Nabi untuk kepentingan segelintir orang terutama penguasa yang tujunnya untuk melanggengkan kekuasaan politik mereka. Karena sesudah Nabi Muhammad saw. wafat umat Islam terpecah menjadi beberapa sekte dan aliran politik.Bahwa para periwayat Hadits itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya. Bahkan para shahabat sendiri banyak yang berbuat jahat dan dosa sehingga hilang sifat keadilan mereka.Penulisan Hadits baru terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz yang memerintah tahun 99-101 H. Sebelum itu Hadits hanya dongeng dari mulut kemulut. Bahkan diriwayatkab bahwa Nabi Muhammad justru melarang para shahabatnya menulis Hadits Karena itu orisinalitas Hadits tidak dapat dipertanggungjawabkan.Kandungan dan isi Hadits itu sendiri banyak yang bertentangan dan bertolak belakang antara yang satu dengan yang lainnya. Sementara kitab-kitab Hadits ditulis dengan sistematika yang kacau sehingga tidak dapat dijadikan pegangan.[15]Para ulama pembela Hadits seperti Imam Asy-Syafi'i dan para ulama Hadits setelah beliau, kemudian As Suyuthi, As-Siba'i, Abdul Ghani Abdul Khaliq, dan lain-lainnya dari para ulama di Timur dan Barat, zaman dahulu sampai sekarang, telah mematahkan argumen para pengingkar Sunah tersebut dengan tepat dan telak.[16]

Dalam membantah argumen pertama, para ulama menjawab bahwa kesempurnaan Islam telah final (Al Maidah [5]; 3), demikian juga penegasan bahwa Al-Kitab adalah penjelas segala sesuatu dan tidak ada sesuatupun yang tertinggal dalam Al-Kitab, (Al-An'am [6] : 38) tidak berarti meniadakan Hadits dan mencukupkan dengan Al-Qur'an saja, karena banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum dan mujmal yang membutuhkan pengkhususan dan perincian dari Hadits. Seperti tatacara

Page 8: Hadits dan tasyri'

shalat, rincian zakat, haji, hukum-hukum dan lain sebagainya. Jadi kesempurnaan Al-Qur'an adalah kesempurnaan dari segi cakupannya yang komprehensif dan tuntasnya pewahyuan. Lagi pula, pengertian Al-Kitab pada ayat-ayat di atas tidak menegaskan maksudnya Al-Qur'an melainkan mengandung pengertian adalah kitab Lauh al Mahfudh. Lebih dari itu, Al-Qur'an sendiri berulangkali dengan tegas memerintahkan mentaati Rasulullah dan menugaskan Rasulullah agar menjelaskan kandungan Al-Qur'an sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat di muka, yaitu An Nisâ : 59, 65, dan 80, An Nahl : 44, An Nur : 51, dan sebagainya.

Kedua, tuduhan bahwa semua Hadits adalah palsu merupakan tuduhan yang gegabah dan bodoh. Karena para ulama Hadits telah menyeleksi Hadits dengan metode penyeleksian yang ketat sehingga hadits telah diklasifikasikan kepada Hadits Sahih, Hasan, dan Dhaif. Benar banyak Hadits yang palsu dan para ulama Hadits telah mengumpulkannya dalam kumpulan Hadits palsu yang haram untuk diamalkan.

Ketiga, tuduhan mereka bahwa para periwayat hadits tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bahwa shahabat banyak yang berbuat dosa dan kemungkaran adlah tuduhan tidak berdasar. Bahwa sebagian shahabat tertimpa fitnah perpecahan adalah benar, tetapi kita harus menilai secara adil dan proporsional. Bahwa fitnah itu menyangkut masalah ijtihad politik, sementara masalah akidah dan ibadah tidaklah terganggu dengan adanya perselisihan itu kecuali setelah munculnya kaum Khawarij dan Syi'ah lalu muncullah pemalsuan Hadits. Sementara tidak ada seorangpun dikalangan shahabat yang terbukti membuat hadits dusta, disamping suatu hal yang mustahil karena mereka saling mengawasi antara yang satu dengan yang lain sehingga jika ada berita yang asing dari seorang sahabat tidak mungkin akan dibiarkan oleh sahabat yang lain. Justru fakta sejarah yang nyata yang tidak dapat diingkari bahwa para shahabat telah sepakat menjadi Hadits sebagai landasan dalil agama, bukan hanya hadits yang dikatagorikan mutawatir melain semua hadits yang diterima secara shahih meskipun dari satu jalan periwayatan, sampai-sampai dalam memahami masalah perselisihan di antara mereka sendiri.

Keempat, tuduhan bahwa Hadits baru ditulis satu abad sepeninggal Nabi dan bahwa Nabi sendiri yang melarang menulis Hadits, adalah tuduhan bodoh dan tidak teliti. Sebab banyak banyak bukti fakta dan data yang menunjukkan bahwa penulisan Hadits sudah dilakukan oleh sebagian dari Shahabat dna Tabi'in. Sebagai contoh adalah catatan Hadits Abdullah bin Amr bin Al Ash yang dicatat langsung dari lisan Nabi Muhammad saw., yang kemudian tercatat dalam kitab Musnad Ahmad yang terkenal dengan sebutan Shahifah Abdullah bin Amar bin Ash. Demikian pula larangan menulis Hadits yang dikeluarkan Nabi kepada para shahabat terbatas pada masa awal Islam di Madinah karena untuk mengkonsentrasikan penulisan Al-Qur'an dan kekhawatiran terjadinya penulisan yang tercampur antara Al-Qur'an dna Hadits. Setelah itu rasulullah menginzinkan bahkan memerintahkan menuliskan Hadits kepada shahabat-shahabat tertentu seperti Abdullah binn Amr dan Abu Syah.

Kelima, tuduhan bahwa banyak Hadits yang maknanya bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya dan bahwa sistematika penulisan Hadits sangat kacau juga tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak kehujahan Hadits. Tidak dipungkiri adanya Hadits-Hadits yang bertentangan satu dengan yang lain dan ini telah menjadi bahan penyelidikan para ulama secara serius sehingga melahirkan disiplin tersendiri di lapangan Ilmu Hadits yaitu adanya ilmu Mukhtaliful Hadits dan ilmu Nasikh wal mansukh.[17]

Dalam penelitian para ulama Hadits, Hadits-Hadits yang bertentangan itu ada beberapa kemungkinan. Adakalanya satu Hadits dhaif bertentangan dengan hadits Shahih, maka jelaslah Hadits dhaif itu yang salah dan harus ditolak. Adakalanya kedua-duanya shahih akan tetapi salah satu dari Hadits tersebut telah dihapus oleh yang lainnya. Karena Hadits yang dihapus itu mengandung hukum temporal yang kemudian diganti oleh hukum yang abadi. Adakalanya kedua-

Page 9: Hadits dan tasyri'

duanya memang shahih dan dianggap bertentangan hanya lahiriyahnya saja, padahal setelah diselidiki tidak bertentangan tetapi justru saling melengkapi aspek-aspek yang berbeda.[18]

Dengan demikian seluruh argumen kaum penetang Sunnah telah terbantahkan oleh para ulama sehingga faham mereka tidak dapat dijadikan pegangan oleh seorang muslim. Bahkan Imam Asy Suyuthi dengan keras mengatakan,

Ketehuilah, semoga anda sekalian dirahmati Allah, sesungguhnya orang yang mengingkari kedudukan hadits --yang berupa perkataan ataupun perbuatan dengan persyaratan yang sudah diketahui dalam ushul-- sebagai hujjah (dalil agama) maka ia telah kufur dan keluar dari lingkungan Islam serta dikumpulkan bersama Yahudi dan Nashara atau bersama kelompok yang dikehendaki Allah dari kalangan sekte-sekte kaum kafir.[19]

Penutup

Uraian di atas dengan segala keterbatasannya telah mencoba meneguhkan argumen Kehujahan Hadits sekaligus kedudukannya dalam pembentukan Syariat Islam yang selama ini memang telah diyakini dan dipedomani oleh umat Islam. Adanya pemikiran dan pendapat-pendapat yang kritis terhadap posisi Hadits dalam Tasyri' sekeras dan sepahit apapun dari pihak-pihak tertentu, baik kawan maupun lawan Islam, tidak seluruhnya berdampak buruk bagi Islam dan umatnya. Sisi positif yang sangat terasa adalah semakin teguhnya posisi Hadits dalam Tasyri' karena dengan badai kritik itulah pondasi dan bangunan argumen kehujahan Hadits semakin teruji bersamaan dengan rontoknya semua fitnah dan tuduhan keji terhadapnya. Wallahu A'lam bish shawab.

Referensi

Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazaly, Al Musthasfa, tahqiq Hamzah bin Zuhaer Al hafidz, (Jidah: Dar el Nasyr, tt)

Abdul Wahhab Khalaf, Khulashah Târikh Tasyri' al Islâmy,(Kuwait: Dar el Qalam, tt) ----------- Ilmu Ushul Al Fiqh, (Kairo: Maktabah Da'wah Al Islamiyah, 1959)Abdullah bin Muslim bin Qutaibah , Ta'wil Mukhtaliful Hadits, (Beirut: Dar el Jail, 1972)

Abdul Ghani Abdul Kahliq, Hujjiyatus Sunnah, (Virginia: IIIT, 1406 H)

Abdurahman bin Abu Bakar As Suyuthy, Miftahul Jannah fi ihtijâj bis sunnah, (Madinah: Al Jami'ah al Islamiyah, 1399 H), hal. 6-7

Al Futuhy, Syarh Kaukab al Munîr, (Riyad: Maktabah Al Abaykan, 1993)

Asy Syafi'i, Al-Umm, (CD.Maktabah Syamilah) Juz VII, hal. 460-471

Daud Rasyid, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan Konspirasi, (Jakarta: Usamah Press, 2003), hal.158

Ibnul Qayyim al Jauziyah, I'lamul Muwaqqi'in, (Beirut: Dar el Fikr, tt)

Page 10: Hadits dan tasyri'

Izzuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam, Al Imâm fî bayâni adillatil ahkâm (Maktabah Syamilah)

Juhaya S Praja, Ringkasan Sejarah Filsafat Hukum Islam, (Bandung: UNISBA, 2009)

Manna'ul Qathan, Târikh Tasyri' al Islâmy, (Riyadh: Maktabah Al ma'arif, 1996)

Muhammad bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Dar el Kutub al Ilmiyah, tt.)

Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul Arab, (Beirut: Dar al Shadir, tt), vol. VII, hal 175

.Musthafa as Siba'i, As Sunnah wa makânatuha inda al Tasyri', (Damascus: Dar el Warraq, 2000)

Wahbah Az Zuhaily, Ushûl al fiqhi al Islâmi, (Damascus: Dâr el Fikr, 1986)

[1]Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul Arab, (Beirut: Dar al Shadir, tt), vol. VII, hal 175

[2] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, (Kairo: Maktabah Da'wah Al Islamiyah, 1959), hal.32-33

[3]Abdul Wahhab Khalaf, Khulashah Târîkh al Tasyri' alIslâmy, (Kuwait: Dar AlQalam, tt), hal. 40-42

[4] Perhatikan bunyi surat An Nahl [16] ayat 89 dan Al Isrâ [17] ayat 9

[5] Makna Surat Al Ahzâb [33] ayat 21

[6] Perhatikan Muhammad bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Dar el Kutub al Ilmiyah, tt.) hal, 91

[7] Perhatikan, Endang Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Riwayat Dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), cet. ke-5, hal.100

[8] Perhatikan pandangan kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah dalam masalah kedudukan Hadits atas Al-Qur'an ini pada Endang Soetari, ibid, hal. 99-101

[9]Apa yang dikemukakan oleh penulis diatas disarikan dan ditambahkan dari uraian TM.Hasbi As Siddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hal.171-175, sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari, ibid, hal. 87-92

[10] Perhatikan Imam Asy Syafi'i, Al-Umm, (CD.Maktabah Syamilah) Juz VII, hal. 460-471. Pada Al-Ummnya ini Imam Syafi'i membuat fasal khusus, Kitab Jimâul ilmi, yang menerangkan kelompok penentang kehujahan Hadits dan bantahan beliau dengan argumen-argumen yang kuat.

[11]? Abdurahman bin Abu Bakar As Suyuthy, Miftahul Jannah fi ihtijâj bis sunnah, (Madinah: Al Jami'ah al Islamiyah, 1399 H), hal. 6-7

Page 11: Hadits dan tasyri'

[12] Musthafa As Syibâ'i, As Sunnah Wa Makânatuha fil Tasyri', (Kairo: Dar el Warraq, 2000), hal. 171

[13] Ibid, hal. 178

[14] Daud Rasyid, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan Konspirasi, (Jakarta: Usamah Press, 2003), hal.158

[15] Apa yang dikemukakan penulis adalah ikhtisar dan modifikasi dari argumen-argumen para Pengingkar Sunnah seperti yang terdapat pada As Siba'i, op.cit., As Suyuthy, op.cit., Daud Rasyid, op.cit., dan Soetari, op.cit.

[16] Bantahan para ulama dalam melawan tuduhan para pengingkar Hadits disarikan oleh penulis dari berbagai kitab terutama dari Abdul Ghani Abdul Kahliq, Hujjiyatus Sunnah, (Virginia: IIIT, 1406 H), hal. 383-474, dan Mustafa As Siba'i, op.cit.

[17] Pelopor dari kedua disiplin Ilmu ini tiada lain adalah Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H), kemudian dalam bidang Mukhtaliful Hadits dilanjutkan oleh Ibnu Qutaibah (w. 267 H), At Thahawi (w. 371 H), dan Ibnul Jauzi (w. 597 H). Sedang dibidang Ilmu Nasikh Mansukh dilanjutkan oleh Ahmad bin Ishaq al Dinari (w. 318 H), Muhammad bin Bahar al As Bahani (w. 322 H), Ahmad bin Muhammad An Nahhas (w. 338 H), dan Muhammad bin Musa al Hazimi (w. 584 H). Perhatikan Endang Soetari, op.cit, hal. 213-214

[18] Untuk mengetahui bagaimana metode ulama menganalisis dan mengkompromikan Hadits-Hadits yang dianggap bertentangan, sebagai contoh dapat dibaca karya Imam Abdullah bin Muslim bin Qutaibah , Ta'wil Mukhtaliful Hadits, (Beirut: Dar el Jail, 1972)

[19]As Suyuthi, op.cit, hal. 5