HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL dan GANGGUAN...

25
Tinjauan Pustaka HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN GANGGUAN JIWA LELY SETYAWATI KURNIAWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

Transcript of HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL dan GANGGUAN...

  • Tinjauan Pustaka

    HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL

    DAN GANGGUAN JIWA

    LELY SETYAWATI KURNIAWAN

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2016

  • 1

    Daftar Isi

    Daftar Isi ii

    Bab I Pendahuluan 1

    Bab II Kecerdasan Emosional 4

    2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional 4

    2.2. Hal-hal yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional 5

    Bab III Gangguan Jiwa 7

    3.1. Pengertian Gangguan Jiwa 7

    3.2. Penyebab Gangguan Jiwa 8

    3.3. Berbagai Jenis Gangguan Jiwa 10

    Bab IV Hubungan Gangguan Jiwa dan Kecerdasan Emosional 14

    Bab V Kesimpulan 22

    Daftar Pustaka 23

  • 2

    Bab I

    Pendahuluan

    Kecerdasan intelektual atau yang biasa dikenal dengan IQ (Intelligence

    Quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang

    mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan,

    memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa,

    dan belajar. Kecerdasan intelektual erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang

    dimiliki oleh individu.

    Kecerdasan intelektual seseorang juga sering dihubungkan dengan

    kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan. Jika seseorang memiliki

    kecerdasan atau intelektual yang tinggi maka ia juga akan dianggap memiliki

    peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi. Nyatanya, banyak kasus dimana

    seseorang yang memiliki kecerdasan yang lebih tinggi tidaklah lebih sukses daripada

    orang yang memiliki kecerdasan intelektual yang lebih rendah. Dengan demikian

    disimpulkan bahwa IQ tidak menjamin keberhasilan dan kebahagiaan kehidupan

    seseorang.

    Intelligence Quotient merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan

    manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari

    Perancis pada awal abad ke-20. IQ dianggap takkan berubah sampai seseorang

    dewasa, baik dikembangkan ataupun mengalami penurunan, kecuali bila terdapat

    kemunduran fungsi otak seperti proses penuaan, penyakit dan kecelakaan.

    Sedangkan manusia terus dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-

    perubahan yang ia alami dalam setiap masa di kehidupannya.

  • 3

    Sebuah teori kecerdasan lainnya, yaitu kecerdasan emosi (Emotional

    Quotient), yang ditemukan oleh seorang profesor dari Universitas Harvad, Daniel

    Goleman, menunjukkan bahwa ternyata kemampuan seseorang dalam mengelola

    emosinya dapat mendukung kemampuan mereka dalam melakukan adaptasi dan

    menuntunnya meraih kesuksesan. Kecerdasan ini dapat terus dikembangkan seumur

    hidup melalui pembelajaran dan pengalaman, menggunakan 4 kemampuan utama

    yaitu: pengamatan, penggunaan, pemahaman, dan managemen emosi.

    Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient) didefinisikan sebagai

    sekumpulan kemampuan dalam mengkonsepkan sesuatu, penilaian, ekspresi,

    managemen emosi, serta pemanfaatan emosi. Konsep umum dari kecerdasan emosi

    awalnya ditemukan oleh Thorndike (1920) menggunakan ide Social Intelligence and

    Gardner’s dalam teori intelegensi ganda (contohnya intelegensi intrapersonal dan

    interpersonal). Pembahasan tentang Kecerdasan Emosional (KE) telah banyak

    dibahas dalam berbagai literatur. Pada tahun 1990, Salovey dan Mayer melakukan

    penelitian yang berfokus pada kemampuan emosional. Sampai saat ini masih

    terdapat kontroversi metode yang paling tepat untuk mengukur Kecerdasan Emosi

    (Masoumeh, et al. 2014).

    Daniel Goleman menyebutkan bahwa, kecerdasan emosional menyangkut

    banyak aspek penting, yaitu: empati (memahami orang lain secara mendalam),

    kemampuan untuk mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan

    amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, memecahkan masalah antar

    pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat kepada orang

    lain. Seluruh aspek tersebut mendukung keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan

    diri terhadap kehidupan, mencapai kebahagiaan, serta memiliki jiwa yang sehat atau

    dengan kata lain tidak terganggu.

  • 4

    Sampai hari ini istilah ‘gangguan jiwa’ ini masih menjadi stigma yang besar

    di masyarakat. Berbagai jenis gangguan jiwa serta penggolongannya dapat dilihat

    dari DSM-V dan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-3

    (PPDGJ – III) yang merupakan terjemahan dari ICD-X. Gangguan jiwa yang terjadi

    pada seseorang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Selain faktor biologis dan

    genetik, gangguan jiwa juga erat kaitannya dengan stresor yang dialaminya (berasal

    dari lingkungan) dan respon psikologis seseorang dalam menghadapi stresor

    tersebut.

    Kemampuan seseorang dalam memunculkan respon psikologis tersebut tentu

    akan dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengelola emosi dalam dirinya. Untuk

    melihat keterkaitan antara KE dengan gangguan jiwa yang dialami oleh seseorang,

    maka tulisan ini akan membahasnya lebih lanjut. Sampai sejauh mana KE

    berpengaruh terhadap gangguan jiwa tersebut, dapatkah dideteksi lebih awal

    sehingga tidak membawa dampak buruk dalam kehidupan seseorang. Apakah

    gangguan jiwa akan menurunkan KE atau sebaliknya KE rendah mempermudah

    gangguan jiwa?

  • 5

    Bab II

    Kecerdasan Emosional

    2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional

    Menurut Goleman kecerdasan emosional (Emotional Quotient) adalah

    sekumpulan kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan

    diri, daya tahan dalam menghadapi suatu masalah, kemampuan mengendalikan

    impuls, memotivasi diri, mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan

    membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2000).

    Peran kecerdasan emosional dalam pencapaian prestasi lebih besar dari peran

    IQ yang hanya berpengaruh sekitar dua puluh persen saja. Meskipun demikian IQ

    yang tinggi memudahkan seseeorang untuk belajar dan memahami berbagai ilmu. IQ

    normal berkisar 90 - 110, di atas itu digolongkan sebagai superior dan genius.

    PPDGJ-III khusus membahas gangguan kecerdasan yang memiliki IQ kurang dari

    70 atau yang disebut sebagai Retardasi Mental, dikelompokkan sebagai Retardasi

    Mental ringan, sedang, berat dan sangat berat (Goleman, 2000; PPDGJ-III).

    Kecerdasan emosional (KE) memegang peranan yang penting dalam banyak

    aspek kehidupan. Kecerdasan emosional juga memiliki efek pada kualitas hubungan

    antara manusia. Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih mudah

    sukses karena mereka lebih mengetahui cara untuk mengenali emosi, mengaturnya,

    dan mengintegrasikan pada kehidupan. Hal ini akan menimbulkan empati,

    pengontrolan diri, kewaspadaan diri, manajemen stres, optimisme, dan hubungan

    interpersonal yang baik. KE juga berkaitan dengan produktivitas seseorang dalam

    bekerja, bekerjasama dalam tim dan menjadi pemimpin yang baik, serta memiliki

    hubungan yang baik dengan teman, keluarga dan pasangan (Masoumeh, et al. 2014).

  • 6

    Goleman juga mengatakan bahwa orang yang mampu mengenali gejolak

    emosinya akan lebih jernih melihat kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan

    diri, dengan demikian dia akan lebih terarah mengambil langkah-langkah untuk

    memecahkan masalah yang sedang dihadapi (Goleman, 2000). Oleh karena itu EQ

    mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya (intra personal), seperti

    self awamess (percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self regulation

    (mengatur diri), dan terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy,

    kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang

    dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik.

    2.2. Hal - hal yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

    Menurut Goleman terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan

    emosional, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan

    faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak

    emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks,

    sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional.

    Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan

    mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat

    secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau

    sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya

    media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa

    satelit.

    Goleman (2000), juga menyatakan bahwa kecerdasan emosi dapat

    dipengaruhi oleh proses pembelajaran individu terhadap lingkungannya, yaitu:

  • 7

    a. Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam

    mempelajari emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua

    adalah subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang

    pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kehidupan emosi

    yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian

    hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung jawab,

    kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan

    anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam

    menghadapi permasalahan.

    b. Lingkungan non keluarga. Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan

    lingkungan penduduk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan

    perkembangan fisik dan mental anak. Pengembangan kecerdasan emosi dapat

    ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan diantaranya adalah

    pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan yang

    lainnya.

  • 8

    Bab III

    Gangguan Jiwa

    3. 1. Pengertian Gangguan Jiwa

    Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh

    seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya

    tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri. Gangguan jiwa adalah

    gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective),

    tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).

    Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada

    fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang

    menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan

    peran sosial. Secara lebih rinci, gangguan jiwa bisa dimaknai sebagai suatu kondisi

    medis dimana terdapat gejala atau terjadinya gangguan patofisiologis yang

    menganggu kehidupan sosial, akademis dan pekerjaan.

    Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan

    masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh

    dari seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah,

    serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease

    penyakit jiwa di Tanah Air masih cukup besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar

    (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional

    yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6%

    untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan, prevalensi

    gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau

    sekitar 400.000 orang.

  • 9

    3.2. Penyebab Gangguan Jiwa

    Sampai hari ini para ahli meyakini bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh

    berbagai macam faktor, mulai dari faktor genetik, biologi, berbagai stressor

    psikologis dan permasalahan lingkungan sosial masyarakat. Upaya untuk mengenali

    dan menganalisa faktor penyebab merupakan suatu langkah penting dalam

    psikoterapi. Hal ini akan menentukan pemilihan prosedur terapi yang akan diambil

    dalam penanganan gangguan jiwa.

    Faktor genetik juga ikut berpengaruh dalam terjadinya gangguan jiwa,

    meskipun faktor genetik ini hanya menyumbang sekitar 10 - 20%. Hal ini terbukti

    pada anak yang memiliki orang tua dan atau sanak keluarga dengan gangguan jiwa.

    Selain itu, studi anak kembar baik monozygote maupun dizygote juga dapat

    membuktikan peranan faktor genetik terjadinya gangguan jiwa. Beberapa gangguan

    jiwa seperti Skizofrenia dan Bipolar dapat terjadi dapat terjadi pada kedua anak

    kembar meskipun mereka tinggal terpisah (Saddock, 2007).

    Studi tentang infant-psychiatry juga mengungkap hasil ternyata janin yang

    ada di dalam kandungan sudah dapat mengalami berbagai permasalahan jiwa, yang

    seringkali dimulai dari gangguan perkembangan otak. Hal ini tentu saja dapat

    menimbulkan gangguan jiwa kelak di kemudian hari.

    Selain faktor genetik, gangguan jiwa dapat disebabkan oleh beberapa

    masalah dalam kehidupan atau lingkungan sehari – hari, atau yang disebut sebagai

    stresor psikososial. Seperti misalnya permasalahan ekonomi, tekanan mental, sosial

    dan budaya dalam suatu masyarakat tertentu.

    Aksi bullying yang dialami sejak masa kanak-kanak sampai mereka yang telah

    dewasa ternyata merupakan faktor risiko terjadinya gangguan jiwa. Kritikan, kata-

    kata kasar dan caci-maki yang diucapkan oleh orang-orang dekat di sekeliling

  • 10

    korban akan membuat konsep dirinya terganggu, harga diri dan egonya terluka,

    sehingga membuatnya sulit bergaul dan semakin sulit lagi diterima oleh

    lingkungannya. Tanpa terduga mereka bisa saja melakukan tindakan kriminal yang

    ekstrim terhadap seseorang yang sering membully dirinya.

    Berbagai penyakit kronis yang diderita seseorang juga dapat menjadi faktor

    risiko terjadinya gangguan kejiwaan. Misalnya mereka yang menderita stroke,

    diabetes, gangguan ginjal, jantung, kanker dan sebagainya, selain berbagai jenis

    narkotika dan napza yang akhir-akhir ini merenggut banyak korban.

    Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) – III

    terdapat diagnosis Gangguan Mental dan Perilaku akibat penggunaan zat (F10),

    yang dirinci satu persatu jenis zatnya. Seringkali gangguan jiwa tersebut tidak

    hilang, dan justru menjadi gangguan yang permanen meskipun penggunaan zat nya

    telah dihentikan. Hal ini memunculkan pertanyaan benarkah zat tersebut yang

    menyebabkan gangguan jiwa, ataukah sebenarnya sudah ada gangguan jiwa dalam

    diri seseorang sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mencari dan

    mengkonsumsi berbagai macam zat berbahaya tersebut (PPDGJ-III, 2004).

    Teori pendukung untuk menerangkan hubungan antara zat dan gangguan

    jiwa diungkapkan oleh beberapa penelitian dekade terakhir, misalnya tentang

    Biochemical Factors, yang mengungkap Dopamine Hypothesis, Serotonin,

    Norepinephrine, Acetylcholine, GABA, nicotine dan berbagai neurotranmiter

    lainnya. Formulasi hipotesis dopamine menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan

    oleh aktivitas dopamin yang terlalu tinggi. Observasi yang dilakukan adalah tentang

    efikasi dan potensi dari banyak obat anti-psikotik yang ternyata berhubungan dengan

    reseptor antagonis dopamine (DRAs) yang bekerja sebagai antagonis reseptor

  • 11

    Dopamin tipe 2 (D2). Selain itu terbukti bahwa cocain dan amphetamine memiliki

    efek mirip psikotik (psychotomimetic) (Sadock, 2007).

    3.3. Berbagai Jenis Gangguan Jiwa

    Gangguan jiwa bervariasi dari mulai gangguan ringan sampai yang berat,

    mulai dari gangguan kepribadian, gangguan cemas, berbagai gangguan neurosis,

    depresi dan psikosis akut sampai yang paling kronis Skizofrenia. Gangguan

    kepribadian borderline didefinisikan sebagai pola pervasif dari ketidakstabilan

    emosi, suasana hati dan hubungan interpersonal, dengan komorbiditas antara

    gangguan kepribadian tipe ini dan gangguan depresi.

    Bentuk gangguan yang cukup sering terjadi tetapi dipandang remeh oleh

    masyarakat adalah gangguan cemas. Gangguan ini sering dianggap identik sebagai

    sebuah kelemahan diri seseorang, serta kurangnya rasa percaya diri. Gangguan

    cemas dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dan variasi gejala, seperti insomnia,

    fobia, cemas perpisahan, cemas menyeluruh, panik dan somatisasi. Istilah

    ‘psikosomatis’ yang cukup sering diucapkan oleh banyak orang, merupakan sebuah

    keadaan dimana seseorang menderita berbagai macam keluhan sakit pada tubuhnya,

    sementara pemeriksaan oleh dokter menunjukkan tak satupun organ tubuhnya

    terganggu.

    Goleman menulis dalam bukunya bahwa kecemasan akan melumpuhkan

    nalar seseorang. Dalam pekerjaan yang rumit, banyak menuntut pikiran, dan penuh

    tekanan, bila seseorang menderita kecemasan kronis yang parah, hampir dapat

    diramalkan bahwa pada akhirnya dia akan gagal, baik dalam pendidikan atau dalam

    pekerjaannya di lapangan. Orang yang cemas lebih mudah gagal sekalipun memiliki

  • 12

    skor tinggi dalam tes-tes kecerdasan, sebagaimana ditemukan dalam sebuah studi

    terhadap 1790 peserta pengendali lalu-lintas udara (Goleman, 2000).

    Penelitian pada remaja di Iran yang dilakukan oleh Masoumeh

    menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi dan agresi secara signifikan berhubungan

    negatif. Itu berarti remaja dengan faktor agresi yang tinggi akan menunjukkan

    kecerdasan emosi yang kurang. Variable agresi dan kecerdasan emosi juga memiliki

    hubungan negatif yang signifikan, hal ini menyatakan bahwa apabila kecerdasan

    emosional menurun, maka agresi akan meningkat. Dengan demikian terbukti bahwa

    terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara agresi dan kecerdasan

    emosi (Masoumeh, et al. 2014).

    Sebaliknya orang dengan KE yang rendah ternyata memiliki moral yang

    buruk pula. Remaja dengan agresi umumnya mengalami gangguan seperti depresi

    (Roland, 2002), cemas (Salmon, 1998), menyendiri (Crick dan Ladd, 1993) dan

    keinginan untuk bunuh diri (Roland, 2002). Penelitian dari Liau tahun 2003 dan

    Parker dkk tahun 2008 mengindikasikan masalah kepribadian pada remaja

    berhubungan dengan kecerdasan emosi yang rendah (Harris dan Ogbonna, 2002).

    PPDGJ-III secara khusus membahas gangguan kecerdasan sebagai salah satu

    gangguan jiwa, yaitu apabila mereka memiliki IQ kurang dari 70 atau yang disebut

    sebagai Retardasi Mental. IQ normal berkisar 90 - 110, di atas itu digolongkan

    sebagai superior dan genius. Retardasi Mental dikelompokkan sebagai Retardasi

    Mental ringan jika IQ 50-69, Retardasi Mental sedang dengan IQ 40-49, , Retardasi

    Mental berat dengan IQ 30-39 dan , Retardasi Mental sangat berat dimana IQ kurang

    dari 30.

    Gangguan depresi didapati sekitar 10% dari populasi masyarakat, dengan

    dominasi terbanyak pada wanita, jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan

  • 13

    pria. Gangguan ini dimasukkan dalam kelompok gangguan mood. Selain depresi,

    masyarakat juga mulai mengenal gangguan Bipolar, dimana pasien secara

    berfluktuatif memiliki mood yang berubah-ubah antara manik dan depresi.

    Masyarakat awam sering menyebutnya sebagai kepribadian ganda. Survei terakhir

    yang dilakukan untuk mendata gangguan jiwa non-psikotik di seluruh wilayah

    Indonesia dapat dilihat pada Riskesdas 2013, dimana gangguan jiwa non-psikotik

    terbanyak terdapat di wilayah Jawa Barat.

    Skizofrenia memiliki ciri khas gangguan pada proses berpikir seseorang.

    Penderita Skizofrenia memiliki bentuk pikir yang non realistis, dengan arus pikir

    yang terganggu dari mulai membisu, perlambatan sampai yang sangat cepat

    (logorrhea) serta isi pikir yang penuh dengan ide-ide aneh sampai pada taraf waham.

    Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit

    yang luas, serta sejumlah akibat yang signifikan. Pada umumnya ditandai dengan

    penyimpangan yang fundamental dan karakterisitik dari pikiran, persepsi, afek yang

    tidak wajar, dengan kemampuan intelektual yang tetap terpelihara, meskipun bisa

    saja terjadi hendaya kognitif di kemudian hari.

    Gangguan Kepribadian merupakan gangguan jiwa tersendiri yang disoroti

    oleh para ahli. Saat seseorang hanya memiliki kecenderungan atau trait tertentu,

    mereka akan dikelompokkan ke dalam suatu ciri kepribadian, tetapi jika ciri-ciri

    yang mereka miliki tersebut mulai menimbulkan berbagai ketidak-nyamanan atau

    gangguan terhadap diri sendiri dan orang lain, maka mereka dikelompokkan sebagai

    orang dengan gangguan kepribadian. Salah satu ciri kepribadian yang sering

    menimbulkan masalah di masyarakat adalah gangguan kepribadian disosial (= Anti

    Sosial = Psikopatik). Mereka dengan gangguan disosial akan memperlihatkan

    beberapa simptoms seperti: bersikap tidak peduli dengan perasaan orang lain,

  • 14

    memiliki sikap yang sangat tidak bertanggung-jawab, tidak peduli dengan norma,

    peraturan dan kewajiban sosial, tidak mampu memelihara suatu hubungan baik,

    toleransi terhadap frustasi dan ambang kemarahan sangat rendah, sehingga mudah

    menjadi agresif dan melakukan tindak kekerasan; cenderung menyalahkan orang

    lain atau menawarkan rasionalisasi yang dianggap masuk akal.

    Gangguan kepribadian borderline (GKB), atau sering disebut sebagai

    Gangguan kepribadian didefinisikan sebagai pola pervasif dari ketidakstabilan

    emosi, suasana hati dan hubungan interpersonal. GKB ini sering memiliki

    komorbiditas dengan gangguan depresi. Pada Gangguan Kepribadian Ambang tipe

    Impulsif seseorang memiliki pola hubungan inter-personal yang tidak stabil ataupun

    berlebihan, terdapat perilaku yang impulsif (langsung bertindak tanpa

    mempedulikan konsekuensinya), memiliki mood atau suasana perasaan yang tidak

    stabil dan sulit untuk mengendalikan diri termasuk mengontrol kemarahan

    (Jahangard, et al. 2012).

  • 15

    Bab IV

    Hubungan Gangguan Jiwa dan Kecerdasan Emosional

    Hubungan antara gangguan jiwa dan kecerdasan emosional seseorang saat ini

    mulai banyak diteliti. Penelitian Fazel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa

    Gangguan Bipolar erat kaitannya dengan tindak kekerasan. Dari 314 pasien dengan

    Gangguan Bipolar 8,4% dari mereka melakukan tindak kejahatan, jauh lebih tinggi

    dibandingkan dengan 1312 orang kontrol sebagai pembanding, hanya 3,5% saja

    yang menjadi pelaku kejahatan. Systematic-review pada 8 studi sebelumnya dengan

    heterogenitas yang tinggi antar penelitian tersebut memperlihatkan odds ratio

    anatara 2 sampai 9 kali lebih besar (Fazel et al, 2010).

    Pada gangguan kepribadian narsisistik terungkap bahwa konsekuensi dari

    narsisisme ternyata cukup banyak, seperti perilaku agresi, self enhancement, distorsi

    kognitif, terganggunya hubungan interpersonal dan berbagai perilaku internalisasi

    ataupun eksternalisasi yang maladaptive (Miller et al, 2010). Sebuah kunci

    kompetensi untuk keberhasilan pengelolaan hubungan interpersonal adalah

    kecerdasan emosional (KE). Mengingat rendahnya KE pada pasien yang menderita

    Gangguan kepribadian borderline (GKB), peneliti Jahangard berupaya untuk melatih

    kecerdasan emosional pada pasien dengan GKB dan gangguan depresi. Tujuannya

    untuk menyelidiki efek KE dan depresi (Jahangard, et al. 2012).

    Sebanyak 30 pasien rawat inap dengan GKB dan GD (53% perempuan; usia

    rata-rata 24,20 tahun) turut ambil bagian dalam studi ini. Pasien ditentukan secara

    acak baik untuk kelompok pengobatan ataupun kelompok kontrol. Pre- dan post-

    testing yang dilakukan 4 minggu kemudian, melibatkan penilaian ahli tentang

    gangguan depresi dan kecerdasan emosional yang dilaporkan oleh pasien sendiri.

  • 16

    Kelompok perlakuan mendapatkan 12 sesi pelatihan yang termasuk dalam

    komponen kecerdasan emosional. Dibandingkan dengan kelompok kontrol, KE

    meningkat signifikan pada kelompok perlakuan dari waktu ke waktu. Gejala depresi

    menurun signifikan dari waktu ke waktu pada kedua kelompok, meskipun

    peningkatan lebih besar dalam kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol.

    Untuk pasien rawat inap yang menderita GKB dan GD, melatih KE secara

    teratur dapat berhasil dilaksanakan dan mengarah ke perbaikan baik dalam KE dan

    depresi. Hasil penelitian menunjukkan adanya efek tambahan dari pelatihan KE

    tidak hanya pada perbaikan KE namun juga menurunkan GD (Jahangard, et al.

    2012).

    Untuk menjelaskan etiologi GKB, banyak penelitian telah menekankan

    adanya peran yang berbahaya dan merugikan seperti penganiayaan traumatis saat

    masa kanak-kanak (baik itu secara emosional, fisik, dan seksual), penelantaran,

    pemisahan dan kehilangan (Sadock, 2007; Fitzmaurice et al., 2011).

    Prognosis untuk pengobatan biasanya tidak menentu karena ketidakstabilan

    pasien yang sifatnya kronis dan masalah yang sudah berlangsung lama. Pengobatan

    biasanya mempertimbangkan untuk menggunakan terapi biologis dan psikologis,

    dimana berbagai perawatan psikoterapi dan psikososial tampaknya lebih bermanfaat

    daripada pilihan farmakologis (Fitzmaurice et al., 2011). Secara umum, intervensi

    psikoterapi fokus pada mengubah emosi, pikiran dan perilaku pasien, dan terdapat

    banyak bukti bahwa psikoterapi yang diterapkan secara intensif dapat menyebabkan

    perilaku yang baik dan perubahan neurobiologis (Grawe, 2004; Schiepek, 2010).

    Secara spesifik, untuk pasien yang menderita GKB, tujuan utama psikoterapi adalah

    untuk memperkuat harga diri pasien (Jacob, 2010), termasuk sikap dan interaksi

    sosial pasien.

  • 17

    Faktor kunci untuk kesehatan fisik dan psikologis terlihat dari pengalaman

    interaksi sosial yang baik disertai dengan persepsi yang memadai, regulasi dan

    ekspresi emosi seseorang (Salovey, 2005), yang juga disebut sebagai kecerdasan

    emosional (KE). Salovey mendefinisikan KE sebagai kemampuan seseorang untuk

    mengidentifikasi, mengenali, memahami dan mengatur emosi dan menggunakannya

    dalam kehidupan. Lebih spesifik lagi, Salovey menjelaskan KE sebagai jenis

    kecerdasan yang meliputi persepsi yang dimiliki seseorang dan emosi orang lain,

    perbedaan antara mereka dan menggunakan informasi ini untuk membimbing

    pikiran dan perilaku (Salovey, 2005).

    Kecerdasan emosional dapat diukur, fleksibel, mudah beradaptasi dan sangat

    rentan terhadap adanya peningkatan, dan dapat mempengaruhi gangguan mental

    lainnya (Salovey, 2005; Schutte, 2001; Schutte, 2002; Trull, 1997). Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa KE berkorelasi positif baik dengan kepuasan hidup maupun

    dengan memiliki berbagai macam hubungan sosial, sementara itu KE berkorelasi

    negatif dengan tekanan psikologis dan depresi (Zarean et al., 2007).

    Yang paling penting, penelitian telah menunjukkan bahwa pertama, KE

    adalah keterampilan yang dapat dipelajari, dan kedua, bahwa pelatihan komponen

    KE dapat meningkatkan kesehatan mental (Schutte, 2007; Jain & Sinha, 2005).

    Misalnya, Ciarrochi et al. menekankan peran kecerdasan emosional dalam

    penyesuaian psikologis dalam beberapa bentuk salah satunya KE dapat

    mengimunisasi seseorang dari stres dan menyebabkan penyesuaian yang lebih baik;

    misalnya, kemampuan untuk mengendalikan emosi berkorelasi positif dengan

    kecenderungan untuk mempertahankan suasana hati yang positif dan menghindari

    depresi (Ciarrochi, 2001). Selain itu, Hallahan dan Moos telah melaporkan korelasi

    yang baik antara KE, fleksibilitas mental dan berkurangnya gejala depresi (Hallahan

  • 18

    & Moos, 1991). Selain itu, Zarean et al. menemukan korelasi positif dan signifikan

    antara KE dan kesehatan umum dan juga gaya seseorang dalam memecahkan suatu

    masalah (Zarean et al., 2007).

    Untuk pasien yang menderita GKB, Kaplan telah mengklaim bahwa

    psikoterapi yang intensif dan pelatihan keterampilan menyeluruh dalam KE dapat

    secara baik mempengaruhi hasil. Hal tersebut merupakan terapi yang efektif dari

    perilaku impulsif dan melukai diri sendiri (Sadock, 2007). Dalam nada yang sama,

    Bar-on mencatat bahwa pasien dengan GKB mengalami kesulitan mengatasi emosi

    seperti kecemasan dan kemarahan, dan cenderung memperlihatkan perilaku bunuh

    diri dan impulsive (Bar-on, 2000). Selain itu, ada bukti yang menganggap bahwa

    orang yang menderita GKB menunjukkan kesulitan dalam memahami keadaan

    mental diri sendiri dan orang lain yang disebut juga sebagai kesulitan dalam

    mentalization (Fonagy & Bateman, 2006). Djzobek et al. menunjukkan bahwa

    pasien yang menderita GKB menunjukkan defisit baik dalam menyimpulkan

    keadaan mental orang lain dan menyelaraskan emosinya dengan orang lain. Selain

    itu, pasien dengan GKB tampaknya memiliki kemampuan yang kurang dalam

    mengkoordinasikan emosi positif dan negatif dan cenderung memiliki reaksi yang

    lebih parah terhadap emosi negatif, dibandingkan dengan kontrol yang sehat

    (Djzobek et al., 2001; Petrides et al., 2004). Selain itu, jika dibandingkan dengan

    kontrol yang sehat, pasien dengan GKB memiliki kesulitan baik dalam mengartikan

    dan menterjemahkan emosi mereka dan menyesuaikan keadaan emosional mereka

    untuk konteks psikososial saat ini (Beblo et al., 2010; Bohus et al., 2004). Dyck et

    al. menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol sehat, pasien yang menderita

    GKB memiliki kesulitan dalam mendiskriminasi ekspresi emosi negatif dan netral

    secara cepat dan langsung. Namun, sebaliknya, Fertuck et al. menunjukkan bahwa

  • 19

    dibandingkan dengan kontrol yang sehat, pasien yang menderita GKB menunjukkan

    peningkatan skor dalam mendeteksi emosi dalam ekspresi wajah (Fertuck et al.,

    2009). Di samping itu, Preissler et al., menunjukkan bahwa pasien menderita GKB,

    dalam mendeteksi emosi dalam ekspresi wajah (gambar), memiliki skor setinggi

    yang orang normal lakukan, sedangkan, pada pasien GKB kinerjanya menurun

    sebagai fungsi kompleksitas konteks (film) dan saat yang bersamaan dapat

    menimbulkan gangguan kejiwaan lebih lanjut dan riwayat trauma seksual (Preissler

    et al., 2010). Terakhir, Domes et al. mengemukakan, dibandingkan dengan kontrol

    yang sehat, pada pasien yang menderita GKB, peningkatan ketegangan emosional

    dapat mengganggu proses kognitif seseorang dalam mengenali emosi wajah, yang

    mungkin menyebabkan pola bias tertentu dalam pengenalan emosi yang berubah

    (Domes et al., 2009).

    Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pasien yang menderita GKB

    memiliki kesulitan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Di sisi lain,

    ada juga bukti bahwa kecerdasan emosi dan kompetensi sosial adalah keterampilan

    yang dapat dipelajari dengan bantuan intervensi psikoterapi kognitif-perilaku.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memastikan efektivitas dari pelatihan dalam

    komponen-komponen KE seperti kemampuan interpersonal, kemampuan

    memecahkan masalah, gaya mengatasi stres untuk pasien rawat inap dengan

    gangguan kepribadian borderline (GKB) dan gangguan depresi (GD), dibandingkan

    dengan pasien rawat inap yang tidak menerima intervensi psikoterapi. Kami percaya

    bahwa pasien yang menderita GKB dan GD bisa membaik secara signifikan setelah

    diberikan pengobatan dalam waktu yang singkat.

    Sebanyak 37 pasien rawat inap di Farshchian Psychiatric Center of Hamadan

    (Iran) diberikan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan antara April

  • 20

    2008 dan September 2009. Dari jumlah tersebut, semua memenuhi kriteria inklusi

    seperti yang diuraikan di bawah, dan semua setuju untuk berpartisipasi di penelitian,

    tujuh orang (18.9%) dikeluarkan tanpa penjelasan lebih lanjut. Oleh karena itu, total

    30 pasien rawat inap yang menderita baik GKB dan GD ikut ambil bagian dalam

    studi ini.

    Tiga puluh pasien rawat inap secara acak dipilih untuk masuk ke grup

    perlakuan atau grup kontrol. Tabel I menampilkan data demografi daripada sampel.

    Pengobatan terdiri dari 12 sesi yang mengajarkan kecerdasan emosional dalam

    sebuah grup selama empat minggu berturut-turut, dengan setidaknya tiga sesi per

    minggu, masing-masing berlangsung minimal 45 menit. Pada awal dan akhir dari 4

    minggu pelatihan, kecerdasan emosional dan gejala depresi dinilai dengan

    menggunakan alat yang diuraikan di bawah ini.

    Sarana penilaian yang dipakai adalah Hamilton Depression Rating Scale

    (HDRS) dan Emotional Quotient Inventory (EQ-I). Hamilton Depression Rating

    Scale adalah skala untuk menilai pasien dengan gangguan depresi. Skala ini terdiri

    dari 21 item, dan jawaban yang diberikan dengan menggunakan 3 – 5 point skala

    Likert. Semakin tinggi skor, semakin tinggi gejala depresi, dengan kategori : jika

    skor ≤7 mencerminkan tidak ada gangguan depresi, skor 8-14 mencerminkan

    gangguan depresi moderat, dan skor ≥ 15 mencerminkan gangguan depresi berat.

    Penilaian kecerdasan emosional menggunakan Emotional Quotient Inventory

    (EQ-I) dimana terdiri dari 133 pernyataan. Responden diminta untuk menunjukkan

    sejauh mana pernyataan tersebut menggambarkan diri mereka. Jawaban yang

    diberikan menggunakan skala 5-point dengan poin 1 = tidak benar/tidak

    menggambarkan diri mereka dan point 5 = menggambarkan diri mereka; semakin

    tinggi skor, semakin tinggi kecerdasan emosional secara keseluruhan (termasuk

  • 21

    dimensi kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kemampuan adaptasi,

    manajemen stres, dan suasana hati; Cronbach’s alpha untuk skala keseluruhan =

    0.91).

    Intervensi Psikoterapi diberikan kepada kelompok perlakuan. Intervensi

    psikoterapi ini diharapkan mampu meningkatkan kecerdasan emosional. Isi daripada

    edukasi yang diberikan didasarkan pada beberapa komponen seperti kesadaran

    emosional diri, meningkatkan keterampilan komunikasi dan keterampilan

    interpersonal, kemampuan untuk mengatasi kesulitan, keterampilan dan kemampuan

    memecahkan masalah.

    Tabel 2. Hasil kecerdasan emosional (KE) dan gangguan depresi (GD) dari waktu ke

    waktu pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

    Secara keseluruhan skor untuk kecerdasan emosional meningkat dari waktu

    ke waktu pada kedua grup. Tidak ada perbedaan hasil yang signifikan antara

    kelompok perlakuan dan kontrol, namun jika dilihat dari hasil time by group

    interaction mencerminkan adanya peningkatan yang lebih besar dalam kecerdasan

  • 22

    emosional pada grup perlakuan dari waktu ke waktu dibandingkan pada kelompok

    control.

    Gejala depresi secara signifikan menurun dari waktu ke waktu. Tidak ada

    perbedaan hasil yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kontrol, namun jika

    dilihat dari hasil time by group interaction menunjukkan berkurangnya gejala

    depresi yang lebih banyak pada grup perlakuan dibandingkan pada kelompok

    kontrol (Gambar 2).

    Gambar 1. Skor peningkatan kecerdasan emosional yang signifikan dari waktu ke

    waktu pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

    Gambar 2. Gejala depresi yang menurun dari waktu ke waktu pada kelompok

    perlakuan dan kelompok kontrol.

  • 23

    Bab V

    Kesimpulan

    Penemuan yang penting dari penelitian ini adalah pelatihan kecerdasan

    emosional dapat memperbaiki kecerdasan emosional dan gejala depresi pada pasien

    rawat inap dengan gangguan kepribadian borderline dan depresi setelah selama 4

    minggu diberikan intervensi psikoterapi yang sifatnya intensif dibandingkan pasien

    rawat inap yang tidak diberikan intervensi psikoterapi. Selain itu, intervensi

    psikoterapi intensif menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap gejala

    depresi, mengindikasikan bahwa intervensi yang awalnya ditargetkan pada

    kecerdasan emosional juga memiliki efek bermanfaat pada gejala depresi.

    Pelatihan kecerdasan emosional dapat memperbaiki kecerdasan emosional

    dan gejala depresi pada pasien rawat inap dengan gangguan kepribadian borderline

    dan depresi setelah selama 4 minggu diberikan intervensi psikoterapi yang intens

    dibandingkan pasien rawat inap yang tidak diberikan intervensi psikoterapi. Selain

    itu, intervensi psikoterapi intensif menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap

    gejala depresi, mengindikasikan bahwa intervensi yang awalnya ditargetkan pada

    kecerdasan emosional juga memiliki efek bermanfaat pada gejala depresi.

  • 24

    DAFTAR PUSTAKA

    Aminian, L., Madadi, S., Amini, Z. 2015. Study The Relationship Between

    the Dimentions of Emotional Quotient with Mental Health of Students.

    Indian Journal of Fundamental & Applied Life Science, Vol 5: 801-805.

    Eslami, A. A., Hasanzadeh A., and Jamshidi, F. 2014. The relationship between

    emotional intelligence health and marital satisfaction: A comparative study. J

    Educ Health Promot, 3: 24.

    Fazel, S., Lichtenstein, P., Granu, M., Guy M., Goodwin, and Lȃngstrȍm, N. 2010.

    Bipolar Disorder and Violent Crime, New Evidence From Population – Based

    Longitudinal Studies and Systematic Review. Arch Gen Psychiatry, 67(9):

    931-938.

    Goleman, Daniel, 1999. The Inner Rudder. Working with Emotional Intelligencce,

    Bantam Book, New York.

    Goleman, Daniel, 2000. Emotional Intelligence, PT. Gramedia, Jakarta.

    Jahangard L., Haghighi, M., Bajoghli, H. 2012. Training emotional intelligence

    improves both emotional intelligence and depressive symptoms in inpatients

    with borderline personality disorder and depression. International Journal of

    Psychiatry in Clinical Practice, 16: 197–204.

    Kartono, K. 2011. Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

    Masoumeh, H., Mansor, M. B., Yaacob, S. N. 2014. Emotional inteligence and aggression

    among adolescents in Teheran, Iran. In Life Science Journal, 11(5): 506-511.

    Miller J, Thomas A., Widiger, and Campbell, W. K. 2010. Narcissistic Personality

    Disorder and The DSM – V. Journal of Abnormal Psychology, Vol. 119. No.

    4, 640-649.

    Pirkhaefi A., Mohammadzadeh A., Najafi M., Jangju M. 2015. Predicting of

    borderline personality according to components of emotional

    intelligence. Journal of Fundamentals of Mental Health, Jan-Feb, 17(1): 7-12.

    Sadock, B. J., Sadock, V. A., 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:

    Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams &

    Wilkins.

    Lestari, S., 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik

    dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Hasanzadeh%20A%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Jamshidi%20F%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3977397/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3977397/