Ibadah umrah

7
Ibadah umrah

description

Ibadah umrah

Transcript of Ibadah umrah

Page 1: Ibadah umrah

Ibadah umrah

Page 2: Ibadah umrah

Ibadah umrah termasuk ibadah yang paling agung dan upaya mendekatkan diri kepada Allah

yang paling afdhal yang dengannya Allah SWT mengangkat derajat hamba-hamba-Nya dan

dengannya pula Allah menghapus kesalahan-kesalahan dari mereka.

Nabi saw. menganjurkannya baik melalui sabda dan perbuatannya. Rasulullah saw bersabda,

”Umrah (yang sekarang) sampai umrah (berikutnya) adalah penghapus dosa-dosa yang terjadi di

antara keduanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:593 no:1773, Muslim II:983 no:1394, Tirmidzi

II:206 no:937, Nasa’i V:125 dan Ibnu Majah II:964 no:2888).

Dalam haditsnya yang lain, beliau bersabda, “Kerjakanlah berturut-turut antara haji dengan umrah,

karena sesungguhnya keduanya dapat menghapus kefakiran dan dosa-dosa, sebagaimana halnya

umpama tukang besi menghilangkan kotoran besi, emas dan kotoran perak.” (Shahih: Shahihul

Jami’us Shaghir no:2899, Tirmidzi II:153 no:807, dan Nasa’I V:115).

Rasulullah saw. pernah berumrah dan para sahabatnya pun pernah berumrah bersamanya ketika

Rasulullah saw. masih hidup dan sepeninggalan mereka berumrah lagi. (lihat Irsyadus Syar’i).

1. Rukun-Rukun Umrah

a. Ihram, yaitu niat hendak melakukan ibadah umrah.

Page 3: Ibadah umrah

Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.” (’Aunul Ma’bud

VI:284 no:2186, Tirmidzi III:100 no:1698, Ibnu Majah II:1413 no:422, Nasa’i no:59).

b. Thawaf dan Sa’i.

Allah SWT menegaskan, “Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang

tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj:29).

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar

Allah ……….” (Al-Baqarah:158).

Rasulullah saw. bersabda, “Bersa'ilah; karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas

kamu melakukan sa’i!” (Teks Arab dan takhrijnya telah dimuat pada pembahasan haji).

c. Mencukur atau Memendekkan rambut:

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa yang tidak membawa binatang

hadyu, maka hendaklah ia berthawaf di sekeliling Baitullah dan (melakukan sa’i) antara Shafa

dan Marwah, dan hendaklah memendekkan rambutnya serta bertahalullah.” (Muttafaqun

’alaih: Fathul Bari III:539 no:1691, Muslim II:901 no:1227, ’Aunul Ma’bud V:237 no:1788, dan

Nasa’i V:151).

2. Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Umrah

Diwajibkan atas orang yang hendak berumrah memulai ihram untuk umrah dari miqat, bila ia

bertempat tinggal di daerah sebelum kawasan miqat. Jika ia berdomisili di daerah sesudah kawasan

miqat, maka ia harus memulai ihramnya dari tempat tinggalnya. Adapun bagi orang yang muqim di

daerah Mekkah, ia wajib keluar ke daerah halal, lalu memulai ihramnya dari sana, karena Nabi saw

pernah memerintahkan Aisyah ra berihram dari Tan’im. (Muttafaqun ‚alaih: Fathul Bari III:606

no:1784, Muslim II:880 no:1212,

Hal.517

‘Aunul Ma’but V:747 no:1979).

3. Waktu Umrah

Seluruh hari sepanjang tahun adalah waktu untuk melaksanakan umrah, hanya saja di bulan

Ramadhan lebih utama daripada bulan-bulan lainnya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw,

“Berumrah di bulan Ramadhan, (pahalanya) menyamai ibadah haji." (Shahih: Shahihul Mami’

no:4097, Tirmidzi II:208 no:943, dan Ibnu Ma’bud II:996 no:2993).

4. Boleh Melaksanakan Umrah Sebelum Menunaikan Ibadah Haji

Page 4: Ibadah umrah

Kesimpulan kebolehan ini didasarkan pada riwayat berikut:

Dari Ikrimah bin Khalid ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar r.a. perihal berumrah sebelum

menunaikan ibadah haji. Maka jawab Ibnu Umar r.a. pernah berumrah sebelum menunaikan ibadah

haji.” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:862, dan Fathul Bari III:598 no:1774).

5. Melaksanakan Umrah Berulang Kali (Lihat Irsyadus Sari)

Nabi saw. melaksanakan ibadah umrah sebanyak empat kali dalam rentan waktu empat tahun,

dalam setiap safar beliau tidak pernah melakukan umrah lebih dari satu kali, dan begitu juga para

sahabatnya ra.. Tidak pernah sampai informasi akurat kepada kami, bahwa ada seorang dari

kalangan mereka pernah melakukan umrah dua kali dalam satu kali safar, baik pada waktu

Rasulullah saw. masih hidup maupun sesudah beliau wafat. Kecuali ketika Aisyah r.a. datang bulan

pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi maka Rasulullah saw memerintah saudara Aisyah

yang bernama Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar Aisyah ke daerah Tan’im agar ia memulai

ihram untuk umrah dari sana, karena ia menyangka bahwa umrah yang dilakukan berbarengan

dengan haji, maka akan batal, sehingga kemudian ia menangis. Maka Rasulullah saw mengizinkan

Aisyah melakukan umrah lagi demi memenangkan jiwanya.

Umrah yang dilaksanakan Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya, karena belum didapati satu dalil

dari seorang sabahat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan

umrah setelah sebelumnya melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im,

sebagaimana yang telah dilakukan Aisyah ra. Andaikata para sahabat mengetahui bahwa perbuatan

Aisyah tersebut disyari’atkan juga buat mereka setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji, niscaya

banyak sekali riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu. Imam Asy-Syaukani rahimahullah

mengatakan, ”Nabi saw. tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah

halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dipraktekkan

banyak orang-orang sekarang. Padahal tak satupun yang sah yang menerangkan ada seorang

sabahat melakukan yang demikian itu.”

Sebagaimana tidak didapati riwayat yang sah yang menerangkan bahwa ada sebagian sahabat yang

melaksanakan umrah berulang kali setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji, maka tidak ada

pula riwayat dari mereka yang menjelaskan bahwa mereka menunaikan ibadah umrah berulang kali

pada seluruh hari di sepanjang tahun. Mereka menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah umrah

secara individu-individu dan ada pula yang secara berkelompok, mereka mengerti bahwa umrah

adalah ziarah untuk melakukan thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shara dan Marwah, mereka

mengetahui juga dengan yakin bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i.

Maka daripada mereka menyibukkan dirinya dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan

amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, maka yang lebih utama

mereka melakukan thawaf di sekeliling Baitullah. Dan, sudah dimaklumi bahwa waktu yang tersita

dari orang yang pergi ke Tan’im untuk memulai ihram untuk umrah yang baru dapat ia manfa’atkan

mengerjakan thawaf dengan ratusan kali keliling Ka’bah.

Thawus rahimahullah menyatakan, ”Orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im,

aku tidak tahu apakah mereka akan diadzab. Karena mereka meninggalkan thawaf di Baitullah dan

Page 5: Ibadah umrah

pergi ke Tan’im yang berjarak empat mil, kemudian kembali lagi ke Mekkah yang kalau digunakan

melakukan thawaf maka mampu melaksanakan thawaf sebanyak dua ratus kali. Jadi jelas sekali,

bahwa thawaf di Baitullah jauh lebih afdhal daripada jalan-jalan yang tidak memiliki dasar pijakan

yang kuat.

Jadi, pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan umrah berulang kali, inilah yang

ditunjukkan oleh sunnah Nabawiyah yang bersifat ’amaliyah dan ditopang oleh fi’il, perbuatan pun

sahabat ra. Padahal Nabi kita ’alihissalam pernah memerintah kita agar mengikuti sunnah Beliau dan

sunnah para khalifahnya sepeninggalan beliau. Yaitu Beliau saw. bersabda, ”Hendaklah kalian

berpegang teguh sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing

sepeninggalku; hendaklah kalian mengigit dengan gigi gerahammu!” (Sunnah Abu Daud II:398

no:4607, Ibnu Majah II:16 no:42 dan 43, Tirmidzi V:43 no:2673, Ahmad VI:26, Takhrij hadits oleh

Penterj).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil

'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.

Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 515 - 520.

1. Syarat Thawaf

Page 6: Ibadah umrah

Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Thawaf di (sekeliling) Baitullah adalah seperti

shalat, melainkan kalian sewaktu thawaf boleh berbicara, maka barangsiapa yang berbicara pada

waktu itu, janganlah berbicara, kecuali yang baik.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:121, Tirmidzi II:217

no:267, Shahih Ibnu Khuzaimah IV:222 no:2739, Shahih Ibnu Hibban 247 no:998, Sunar Darimi I:374

no:1854, Mustadrak Hakim I:459 dan Baihaqi V:85).

Maka, manakala thawaf disamakan dengan shalat dalam beberapa hal, maka ia memiliki sejumlah

persyaratan:

a. Suci dari hadats besar dan kecil

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. ”Allah tidak akan menerima shalat (yang dilaksanakan)

tanpa bersih (sebelumnya).” (Redaksi hadits dan takhrijnya sudah pernah dimuat dalam pembahasan

wudlu).

dan sabda beliau kepada Aisyah r.a. yang datang bulan ketika sedang menunaikan ibadah haji,

”Laksanakanlah apa yang dilaksanakan oleh seorang yang haji, kecuali *satu hal+ janganlah engkau

thawaf di Baitullah sehingga engkau mandi bersih (dari haidh).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari

III:504 no.1650, dan Muslim II:873 no:117 dan 1211).

b. Menutup aurat

Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)

masjid." (Al-A'raaf: 31)

Dan berdasarkan hadits Rasulullah saw, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.

pernah mengutusnya pada waktu memimpin ibadah yang telah diperintahkan Rasulullah saw.

sebelum haji wada’, pada hari Nahar *tanggal 10 Dzhulhijjah, pent.+ bersama sejumlah sahabat untuk

menyampaikan kepada masyarakat luas larangan dari beliau: Setelah tahun ini, tidak boleh (lagi) ada

orang musyrik yang menunaikan ibadah haji dan tidak boleh (pula) melakukan thawaf dengan

telanjang bulat di Baitullah. (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I:477 no:369, Muslim II:982 no:1347,

’Aunul Ma’bud V:421 no:1930, dan Nasa’i V:234).

c. Melakukan thawaf tujuh kali putaran sempurna, karena Nabi saw. melakukannya tujuh kali

putaran, sebagaimana yang ditegaskan Ibnu Umar ra, ”Datang ke Mekkah, lalu thawaf di Baitullah

tujuh kali putaran dan shalat dibelakang maqam Ibrahim dua raka’at, melakukan sa’i antara Shafa

dan Marwah sebanyak tujuh kali; dan sungguh pada diri Rasulullah saw. itu terdapat suri tauladan

yang baik bagi kalian”. Dengan demikian perbuatan, Rasulullah saw. ini sebagai penjelasan bagi

firman Allah Ta’la, ”Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu

(Baitullah)." (Al-Hajj:29).

Jika seseorang yang menunaikan manasik haji sengaja meninggalkan sebagian dari tujuh putaran,

walaupun sedikit, maka tidak cukup baginya, dan ia harus menyempurnakannya. Jika dia ragu-ragu

maka peganglah bilangan yang paling sedikit sehingga dia yakit.

Page 7: Ibadah umrah

d. Memulai thawaf dari Hajar Aswad dan berakhir di situ juga, dengan menempatkan Baitullah

berada di sebelah kiri. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Jabir r.a., ”Tatkala Rasulullah saw. tiba di

Mekkah, beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menjamahnya, kemudian berjalan di sebelah

kanannya, lalu berlia lari-lari kecil tiga kali putaran [pertama, pent.] dan berjalan biasa empat kali

putaran.”

jadi, andaikata seseorang melakukan thawaf, sementara Baitullah berada di sebelah kanannya, maka

tidak sah thawafnya.

e. Hendaknya thawaf dilakukan di luar Baitullah. Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka

melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua (Baitullah)." (Al-Hajj:29).

Firman Allah di atas meliputi seluruh thawaf. Kalau ada orang yang thawaf di Hijr Isma’il, maka

tidak sah thawafnya, karena Nabi saw menegaskan, "Hijr Isma’il termasuk Baitullah." (Shahih:

Irwa-ul Ghalil:1704)

f. Harus berurutan langsung [tidak diselingi oleh pekerjaan lain, pengoreksi], karena Nabi saw.

melakukannya demikian dan Rasulullah saw. bersabda, "Ambillah dariku manasik hajimu."

(Shahih: Irwa-ul Ghalil:1704).

Jika terhenti sejenak untuk berwudlu’, atau untuk shalat fardhu yang telah dikumandangkan

iqamahnya, atau untuk istirahat sejenak, maka tinggal melanjutkan kekurangannya. Namun jika

terputus dalam waktu yang cukup lama, maka hendaklah ia memulai lagi dari awal.

2. Syarat-Syarat Sa’i

Untuk sahnya sa’i ada sejumlah persyaratan:

a. Sa’i dilakukan sesudah melakukan thawaf

b. Harus tujuh kali putaran

c. Dimulai dari bukit Shafa dan diakhir di bukit Marwah.

d. Hendaknya sa’i dilakukan di lokasi sa’i *mas’a+, yaitu jalan yang memanjang antara bukit Shafa

dan Marwah. Begitulah Nabi saw. mengerjakannya. Di samping itu, beliau bersabda, ”Ambillah

dariku manasik hajimu.”

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil

'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.

Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 494 -- 497.