analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan beras mentik ...
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras (Gabah)repository.ub.ac.id/150024/3/II_TINJAUAN_PUSTAKA.pdf · Beras...
Transcript of II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras (Gabah)repository.ub.ac.id/150024/3/II_TINJAUAN_PUSTAKA.pdf · Beras...
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beras (Gabah)
Beras berasal dari tanaman padi. Padi adalah salah satu tanaman
penting dalam kehidupan manusia. Padi yang menguning dan siap untuk
dipanen akan menghasilkan gabah. Gabah tersusun dari 15-30% kulit luar
(sekam), 4-5% kulit ari, 12-14% katul, 65-67% endosperm dan 2-3% lembaga.
Secara umum biji-bijian serealia terdiri dari tiga bagian besar yaitu kulit biji, butir
biji (endosperm) dan lembaga (embrio). Kulit biji padi disebut sekam, sedangkan
butir biji dan embrio dinamakan butir beras (Muchtadi, 1992). Pada Gambar 1
berikut ini ditunjukkan bagian penyusun struktur gabah.
Sumber : wikipedia.org
Gambar 2.1 Struktur Biji Gabah
Menurut Haryadi (2008), sekam terdiri dari dua bentuk daun yaituu sekam
kelopak, sekam mahkota (palea, lemma steril, rokila, dan bulu). Sekam tersusun
terutama dari jaringan serat-serat selulosa dan mengandung banyak silika.
Antosianin merupakan pigmen merah yang terkandung pada perikarp dan
tegmen (lapisan kulit) beras, atau dijumpai pula pada setiap bagian gabah
(Chang and Bardenas, 1965).
Sebagaimana bulir serealia lain, bagian terbesar besar didominasi oleh
pati (sekitar 80-85%). Beras juga mengandung protein, vitamin (terutama pada
bagian aleuron), mineral, dan air. Pati pada beras tersusun atas amilosa (struktur
tidak bercabang) dan amilopektin (struktur bercabang). Perbandingan komposisi
kedua golongan pati tersebut akan berpengaruh pada sifat fisik beras seperti
warna dan tekstur (sifat lengket). Beras memiliki kandungan amilosa yang cukup
tinggi yaitu kisaran 20%. Hal tersebutlah yang menjadikan beras tidak terlalu
lengket dan dapat terpisah antar bulirnya ketika telah menjadi nasi. Berbeda
dengan ketan yang tinggi amilopektin, teksturnya akan sangat lengket dan sukar
berpencar satu sama lain.
2.1.1 Beras Giling (Milled Rice)
Beras giling (Milled Rice) adalah proses pengelupasan lapisan kulit ari
sehingga didapat biji beras yang putih bersih. Biji beras yang putih bersih ini
sebagian besar terdiri dari pati. Proses penyosohan beras pecah kulit
menghasilkan beras giling, dedak dan bekatul. Sebagian protein, lemak, vitamin,
dan mineral akan terbawa dedak, sehingga kadar komponen-komponen tersebut
dalam beras giling menurun (Anonimous, 2008).
Beras giling berwarna putih agak transparan karena hanya memiliki
sedikit aleuron dan kandungan amilosa umumnya sekitar 20%. Beras ini
mendominasi pasar beras. Beras putih diperoleh dari hasil penggilingan karena
telah terbebas dari bagian dedaknya yang berwarna coklat. Bagian dedak padi
sekitar 5-7% dari berat beras pecah kulit. Makin tinggi derajat penyosohan
dilakukan makin putih warna beras giling yang dihasilkan, namun makin miskin
zat-zat gizi (Anonimous, 2008)
2.1.2 Beras Pecah Kulit (Brown Rice)
Beras yang dihilangkan sekamnya disebut beras pecah kulit (BPK) namun
tidak dipoles menjadi beras putih. Beras pecah kulit dan beras putih memiliki
kandungan kalori, karbohidrat, protein, dan lemak yang hampir sama. Yang
membedakan dari keduanya adalah lapisan aleuron beras akan hilang pada saat
pemolesan beras giling. Bersamaan dengan hilangnya lapisan terluar beras,
beberapa vitamin B1, B3, dan zat besi juga ikut hilang. Beras pecah kulit (Brown
Rice) hanya membuang lapisan terluar (gabah), sehingga kandungan zat gizi
yang kayak pada kulit ari-nya (kulit terluar beras) masih utuh. Namun, lapisan
dedak atau aleuron yang tinggi akan menurunkan daya simpan beras (Tarigan
dan Kusbiantoro, 2011).
2.1.3 Beras Pratanak (Parboiled Rice)
Beras adalah butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (sekamnya) yang
menjadi dedak kasar (Sediotama, 1989). Sementara beras pratanak adalah
beras yang dihasilkan dari gabah yang telah mengalami penanakan parsial
(Widowati et al., 2009). Tujuan dari pratanak adalah untuk menghindari
kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen
yang dihasilkan. Kelebihan lain dari proses pratanak menurut Hasbullah (2011)
berarti juga melakukan proses sterilisasi gabah setelah dipanen, yang
mungkin mengandung kotoran dan telur serangga yang adai di dalamnya.
Proses pratanak akan melekatkan komponen nutrisi yang terdapat pada
lapisan aleuron atau lapisan bekatul maupun sekam, oleh karena itu komponen
nutrisi yang biasanya terbuang saat proses penggilingan masih dapat
dipertahankan sehingga nilai gizinya meningkat (Garibaldi, 1974). Melekatnya
komponen aleuron inilah yang menyebabkan beras pratanak berwarna coklat.
Gambar 2.2 Beras Pratanak
Beras pratanak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes
melitus, usia 40 tahun ke atas, atau bagi mereka yang ingin melakukan diet agar
terhindar dari kelebihan berat badan (obesitas). Indeks glikemik yang rendah
dapat mengendalikan kadar glukosa darah, sedangkan serat pangan yang tinggi
akan memperlambat laju pengosongan lambung (Widowati et al., 2009).
Sebelumnya, proses pratanak dilakukan untuk mendapatkan kondisi
gabah yang lebih mudah dikupas sekamnya. Sedangkan perubahan sifat lainnya
pada hasil akhir seperti kandungan nutrisi dan rendemen beras belum begitu
diperhatikan. Setelah penggilingan secara mekanis dikembangkan, maka proses
pratanak ini mulai berkembang pesat dalam aspek ekonomi, nutrisi dan
efisiensinya dalam memodifikasi hasil akhir beras (Tjiptadi dan Nasution 1985).
Studi pratanak dimulai ketika adanya isu-isu dari dunia kesehatan, bahwa
orang yang mengkonsumsi nasi dari beras pratanak terhindar dari penyakit beri-
beri. Penyakit tersebut disebabkan oleh kekurangan vitamin B1 atau thiamine
(Tjiptadi dan Nasution 1985). Selain itu, para penderita diabetes melitus (DM)
sering kali menahan diri untuk tidak mengkonsumsi nasi karena beras dianggap
mempunyai kandungan IG yang tinggi. Namun dengan adanya beras pratanak
ini penderita DM dapat mengkonsumsi nasi sebab beras pratanak juga disinyalir
memiliki nilai indeks glikemik (IG) yang rendah.
Kandungan gizi beras pratanak mencapai 80% mirip dengan beras tanpa
sosoh (brown rice). Menurut Widowati et al.,( 2008) keunggulan dari proses
pratanak pada beras adalah sebagai berikut :
Sumber : wikipedia.org
1. Meningkatnya mutu giling
Proses pratanak dapat meningkatkan rendemen giling sebanyak 2-7%. Hal
ini disebabkan oleh proses pratanak yang menggunakan panas
mengakibatkan mengerasnya aleuron dan menempel pada beras sehinggan
bekatul dan nutrisi yang terbuang lebih sedikit jika dibandingkan beras giling
biasa.
2. Peningkatan nilai gizi
Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi
dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrisi lainnya dalam
endosperma. Beras pratanak memiliki kandungan vitamin B dan mineral
(terutama Na, K, Ca, Mg) yang lebih tinggi dibandingkan beras giling biasa.
3. Sifat fungsional
Sifat fungsional beras terutama dapat dilihat dari kandungan serat pangan,
daya cerna pati, dan indeks glikemiknya. Proses pratanak dapat
meningkatkan kandungan serat pangan total antara 50–80%, sedangkan
daya cerna pati in vitromenurun 35–50% dan indeks glikemik menurun 16-
32%.
Salah satu keunggulan lain dari beras pratanak adalah adanya Pati
Resisten (Resistant Starch). Pati Resisten (RS) adalah pati yang tidak dapat
dicerna oleh sistem pencernaan (Englyst et.al,1982). Pati resisten memiliki sifat
seperti halnya serat makanan, sebagian serat bersifat tidak larut dan sebagian
lagi merupakan serat yang larut (Asp 1983).
Beberapa jenis pati resisten diklasifikasikan berdasarkan modifikasi pati
yang dilakukan. Jenis-jenis RS adalah RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1
merupakan pati secara fisik dapat diperoleh secara langsung, seperti pada biji-
bijian atau leguminosa dan biji yang tidak diproses. RS2 secara alami didapatkan
pada granula seperti kentang yang belum dimasak dan tepung pisang yang
mengandung amilosa tinggi. RS3 terbentuk karena proses pengolahan kemudian
dilanjutkan proses pendinginan seperti pada emping jagung, kentang rbus
didinginkan dan retrogradasi amilosa. Sementara RS4 dihasilkan dari hasil
modifikasi kimia pati (Englyst et.al,1982).
Pada beras pratanak, pati resisten yang ada merupakan golang RS3
dikarenakan selain amilosa yang tinggi pada varietas beras IR64, pada beras ini
juga dilakukan proses pengolahan yang dilanjutkan dengan proses pendinginan.
Pati pada beras pratanak akan tergelatinisasi selama proses pemanasan,
kemudian mengalami retrogradasi pada saat pendinginan. Ketika proses
gelatinisasi berlangsung, molekul alpha-amilosa akan keluar dari granula pati
dan berdifusi kedalam cairan yang berada disekitar pati (Hermansson, A.M. dan
Svegmark K, 1996). Ketika pati terhidrasi penuh maka viskositas pati akan
berada pada tingkat maksimum. Beras pratanak akan berwarna bening atau
tembus cahaya ketika seluruh patinya tergelatinisasi sempurna (Eliasson, 1986).
Proses pendinginan akan mengakibatkan pati teretrogradasi dimana
molekul amilosa akan kembali bergabung dengan satu sama lain dan
membentuk striktur padat. Hal tersebutlah yang meningkatkan peningkatan pati
resisten tipe RS3 dan dapat bertindak sebagai prebiotik yang dapat
menguntungkan kesehatan usus pada manusia (Helbig et.al, 2008)
Walaupun beras pratanak memiliki kandungan gizi lebih baik
dibandingkan dengan beras giling biasa, beras pratanak juga memiliki
kelemahan diantaranya penampakan fisik yang kurang disukai. Selain itu, beras
pratanak memiliki kekurangan yakni rasanya yang kurang enak dan tekstur nasi
yang keras sehingga diperlukan pemanfaatan agar beras pratanak tetap diterima
konsumen (Araullo, 1976).
2.2 Beras varietas IR 64
Pada penelitian ini digunakan beras varietas IR 64 dimana beras ini
memiliki kadar amilosa sedang yakni 24,59 (Widowati et al., 2009). Beras giling
dari varietas beramilosa rendah cenderung memiliki IG tinggi, dan sebaliknya
beras dari varietas beramilosa tinggi pada umumnya mempunyai IG rendah.
Namun, mayoritas masyarakat indonesia lebih menyukai nasi yang pulen
(amilosa rendah).
Mayoritas masyarakat Indonesia menyukai nasi yang pulen (beras
beramilosa rendah). Nasi pulen dengan IG tinggi tidak dianjurkan dalam
manajemen diet bagi diabetesi karena bersifat hiperglikemik. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut diperlukan teknologi pengolahan beras yang dapat
menghasilkan beras pulen ber-IG rendah. Menurut Foster-Powell et al., (2002),
beras pratanak (pratanak rice) mempunyai IG yang lebih rendah
dibandingkan dengan beras giling biasa. Kandungan kimia dari beras IR 64
dapat dilihat pada Tabe 2.1
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Beras IR 64
No Kandungan Satuan Jumlah
1 Kadar air % 11,66
2 Kadar abu % 0,69
3 Kadar lemak % 0,58
4 Kadar protein % 10,85
5 Amilosa % 24,59
6 Karbohidrat % 88,81
7 Serat larut % 2,18
8 Serat tidak larut % 4,64
Sumber : Widowati et.al 2008
2.3 Biskuit
Biskuit adalah kue manis kecil-kecil, berukuran tipis dan berkadar air
relatif rendah. Menurut Standar Industri Indonesia (SII) biskuit adalah sejenis
makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan
lain melalui proses pemanasan dan pencetakan (Astuty, 1991 dalam Susanto,
1997).
Biskuit merupakan jenis produk dengan ciri spesifik yang dipanggang
dalam bentuk potongan kecil dan mempunyai tekstur atau konsistensi yang
kering, renyah atau struktur pori yang lebih rapat. Karakteristik yang penting dari
biskuit adalah mempunyai umur simpan yang lebih lama daripada produk
panggang lain seperti cake atau roti.
Biskuit dibuat dalam bermacam-macam jenis, terutama dibedakan atas
keseimbangan yang ada antara bahan utama tepung, gula, lemak dan telur.
Kemudian juga bahan tambahan seperti coklat, buah-buahan dan rempah yang
memiliki pengaruh terhadap cita rasa (Desrosier, 1988).
Menurut Wallington (1993), sifat masing-masing biskuit ditentukan oleh
jenis tepung yang digunakan, proporsi gula dan lemak, kondisi dari bahan-bahan
tersebut pada saat ditambahkan dalam campuran (misal ukuran kristal), metode
pencampuran (batch, kontinyu, kriming, pencampuran satu tahap), penanganan
adonan dan metode pemanggangan.
Kualitas biskuit selain ditentukan oleh nilai gizinya juga ditentukan dari
warna, aroma, cita rasa dan kerenyahannya. Kenyerahan merupakan
karakteristik mutu yang sangat penting untuk diterimanya produk kering.
Kerenyahan salah satunya ditentukan oleh kandungan protein dalam bentuk
gluten tepung yang digunakan (Matz, 1992).
Tabel 2.2. Syarat Mutu Biskuit
Kandungan Jumlah
Kalori (kkal) Min 400
Air (%) 5
Karbohidrat (%) Min 70
Protein (%) 9
Lemak (%) 9,5
Serat Kasar (%) Maks 0.5
Abu (%) Maks 1.5
Bau, warna, dan rasa Normal, Tidak Tengik
Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1994)
Biskuit memiliki kadar air yag rendah dengan tingkat kekerasan,
kerapuhan, dan kerenyahan yang bervariasi. Perbedaan kadar air yang terdapat
pada biskuit akan memberikan pengaruh terhadap tekstur biskuit. Tekstur pada
biskuit dikatakan rapuh bila dapat dipatahkan dengan mudah tanpa didahului
adanya perubahan bentuk saat diberikan tekanan (Faridi, 1994).
Mutu biskuit ditentukan oleh nilai gizi, rasa, warna, dan kerenyahan.
Kerenyahan memegang faktor dominan yang dipengaruhi oleh mikrostruktur,
disperse lemak yang merata sehingga dapat meratakan komponen-komponen
dari adonan serta kadar gluten yang digunakan (Matz, 1992).
Menurut Robinson (1993), kerenyahan merupakan salah satu karakteristik
yang penting pada produk makanan ringan. Konsumen akan menolak produk
makanan ringan yang tidak renyah. Tingkat kerenyahan produk makanan ringan
ditentukan oleh kandungan air pada produk tersebut, dalam hal ini air akan
mempengaruhi pembentukan tekstur dari produk dengan cara melapisi dan
melembutkan matrik antara pati dan protein yang terbentuk sehingga produk
tidak keras.
2.4 Bahan-Bahan Pembuatan Biskuit
2.4.1 Tapioka
Tapioka terbuat dari ubi kayu segar (Manihot esculenta CRANTZ) setelah
melalui cara pengolahan yang meliputi pengupasan, penghancuran, ekstraksi,
penyaringan dan pengeringan. Tapioka adalah granula-granula pati yang
terdapat didalam sel murni ketela pohon yang telah dipisahkan dari komponen-
komponen lain. Tapioka mengandung 85-87% pati dengan sifat mudah
mengambang dalam air panas. Penggunaannya dalam industri pangan cukup
luas, baik sebagai sumber karbohidrat maupun sumber pengental (Winarno,
1992).
Menurut Pomeranz (1980) pati digunakan pada makanan untuk 6 tujuan,
yaitu: sebagai bahan pengental, untuk menahan air atau kelembapan, sebagai
bahan pengikat, sebagai bahan pembentuk pasta, sebagai bahan penyelubung
atau lapisan, dan untuk menstabilkan koloid. Komposisi tepung tapioka terdapat
pada Tabel 2.
Tabel 2.3 Kandungan Unsur Gizi Pada Pati Tapioka / 100 g Bahan
Kandungan Unsur Gizi Kadar
Energi (kal) 362,00
Protein (g) 0,50
Lemak (g) 0,30
Karbohidrat (g) 86,90
Air (g) 12,00
Sumber: Suprapti (2009)
Pemanfaatan tapioka dalam pembuatan biskuit didasarkan atas
kemampuan daya kembangnya yang tinggi dibandingkan dengan tepung lainnya.
Tapioka mengandung amilosa 17% dan amilopektin 83% (Williams, 1997). Kadar
amilosa dan amilopektin yang cukup tinggi menyebabkan proses penyerapan air
selama pemasakan juga semakin tinggi. Berdasarkan besar kecilnya air yang
diserap dalam granula pati akan menentukan daya kembang saat pemasakan.
Semakin tinggi air yang terikat dalam granula pati, semakin besar pula daya
kembang yang dihasilkan (Jones and Amos, 1983).
Spesifikasi tapioka menurut Considene (1982) meliputi warna putih
berkilau, bebas pengotor, mengandung mikroba rendah, menghasilkan pasta
yang bening setelah dimasak, membentuk gel yang tidak terasa dan viskositas
tinggi. Menurut Tjokrodikoesoemo (1986), tapioka memiliki sifat-sifat yang mirip
dengan golongan ketan (waxy rice).
Menurut Tjokroadikoesomo (1986), ada beberapa hal yang sangat disukai
oleh para ahli pengolahan pangan mengenai tepung tapioka, yaitu:
Pada suhu normal pasta dari amilopektin tidak mudah menggumpal dan
menjadi keras
Pada suhu yang lebih rendah pasta tidak mudah menjadi kental dan menjadi
pecah (retak) dibandingkan dengan tepung biasa.
Memiliki daya pemekat yang tinggi karena kemampuannya untuk mudah
pekat maka pemakaian pati dapat dihemat.
Suhu gelatinisasi lebih rendah, sehingga menghemat pemakaian energi.
Pemakaian tepung tapioka dalam industri cukup luas, baik sebagai
sumber karbohidrat maupun sebagai penstabil, hal tersebut didasarkan atas
kemampuan daya kembangnya yang tinggi dibanding jenis tepung lainya (Jones
and Amos, 1983). Persyaratan mutu tepung tapioka menurut SNI dapat dilihat di
Tabel 3.
Tabel 2.4. Persyaratan Mutu Tepung Tapioka Menurut SNI 01-3451-1994
No Jenis Uji Persyaratan
Mutu I Mutu II Mutu III
1.
2.
3.
4.
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Serat dan benda asing (%)
Kekentalan
15
0,60
0,60
3 – 4
15
0,60
0,60
2,5 – 3
15
0,60
0,60
< 2,5
Sumber : SNI (1994)
2.4.2 Kuning Telur
Telur mengandung beberapa protein dan menghasilkan karakter
fungsional pada cookies dan crackers. Seperti kandungan globulin pada telur,
menghasilkan aerasi yang cukup bagus. Juga ovomucin sebagai foaming agen.
Lemak pada kuning telur terdiri dari fosfolipid yang berfungsi sebagai agen
pengemulsi dan pengaerasi. Kuning telur juga terdiri dari dua lipoprotein yang
dibutuhkan untuk memperbaiki kenampakan (Faridi, 1994). Kuning telur terdiri
dari 30% dari berat telur dengan kandungan lemak 33% dari keseluruhan kuning
telur dan terdiri dari 41% trigliserida, 18,5% fosfolipids dan 3,5% kolesterol (Idris,
1992). Kandungan zat gizi telur per 100 gram dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 2.5. Kandungan Zat Gizi Telur per 100 g Bahan yang Dapat Dimakan
Jenis Zat Kuning Telur Putih Telur Telur
Bahan yang dapat dimakan 100,0 100,0 90,0
Energi (kal) 355,0 46,0 158,0
Energi (KJ) 1501,0 197,0 667,0
Air (g) 49,4 87,8 74,0
Protein (g) 16,3 10,8 12,8
Lemak (g) 31,9 0 11,5
Karbohidrat (g) 0,7 0,8 0,7
Mineral (g) 1,7 0,6 1,0
Kalsium (mg) 147,0 6,0 54,0
Fosfor (mg) 586,0 17,0 180,0
Besi (mg) 7,2 0,2 2,7
Vitamin A (retinol) (mcg) 600,0 0 270,0
Vitamin B (tiamin) (mcg) 0,27 0,01 0,10
Vitamin C (asam askorbat) (mg) 0 0 0
sumber : Nio (1992)
Penambahan kuning telur dalam pembuatan biskuit berfungsi untuk
memperbesar volume, memperbaiki tekstur, menambah protein yang dapat
memperbaiki kualitas pada biskuit (Sultan, 1992). Menurut Hui (1992), telur
berfungsi sebagai pembentuk struktur, pengembang, pengemulsi dan pelumas.
Putih telur merupakan pembentuk struktur dan berfungsi sebagai pengembang
sedangkan kuning telur lebih efektif sebagai pengemulsi dan pelumas. Bennion
(1980) menambahkan bahwa putih telur membuat adonan menjadi lebih kompak
bila ditambahkan secukupnya, sedangkan penggunaan kuning telur akan
menghasilkan biskuit yang lebih empuk daripada memakai seluruh telur. Hal ini
disebabkan lesitin pada kuning telur mempunyai daya pengemulsi. Adanya zat
pengemulsi ini, penambahan telur dapat memperbaiki struktur, memperbesar
volume serta menambah kandungan protein.
Kuning telur mempunyai fungsi khusus yaitu sebagai koagulan,
pembentuk buih, pengemulsi dan sebagai nutrisi serta pemberi warna dan rasa
pada produk pangan. Kuning telur sebagai pengemulsi akan menurunkan
tegangan permukaan dan bahan aktif permukaan pada kuning telur akan
membentuk lapisan tipis (misel) yang mengelilingi partikel lemak dan partikel-
partikel tersebut bersatu kembali. Komponen-komponen pengemulsi kuning telur
adalah lesitin, kolesterol, dan protein (Stadellmen and Cotteril, 1977). Sedangkan
Winarno (1995) menyatakan bahwa kuning telur merupakan pengemulsi yang
lebih baik daripada putih telur karena kandungan lesitin pada kuning telur
terdapat dalam bentuk kompleks sebagai lesitin protein. Lesitin memiliki bagian
yang mengandung polar dalam air, karena itu lesitin dapat digunakan sebagai
emulsifier.
Lesitin memiliki struktur yang hamper sama dengan struktur lemak tetapi
mengandung fosfat dan memiliki gugus polar dan non polar (Winarno, 1980).
Gugus polar pada ester fosfatnya bersifat hidrofilik cenderung larut dalam air,
gugus non polar dalam ester asam-asam lemaknya atau bersifat lipofilik
cenderung larut dalam lemak. Kedua gugus pada lesitin ini akan menyebabkan
terbentuknya lapisan baru antara lemak (minyak) dan air sehingga tegangan
permukaan kedua cairan menurun (Bennion, 1980).
Menurut Paul dan Palmer (1972), kuning telur sebagai emulsifier alami
dengan disperse fase lemak merupakan bahan pengemulsi yang efisien.
Lesitoprotein dan lipoprotein yang mengandung lemak-fosfor-lesitin, merupakan
bahan yang mempengaruhi daya pengemulsi dari kuning telur. Kuning telur
sebagai emulsifier akan membentuk 3 bagian utama yaitu
a. bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang biasanya terdiri
dari lemak,
b. media pendispersi
c. emulsifier yang berfungsi menjaga agar butiran minyak tetap trdispersi
didalam air (Winarno, 1995).
2.4.3 Gula
Gula merupakan senyawa organik yang penting sebagai bahan makanan,
karena gula didalam tubuh sebagai sumber kalori. Disamping sebagai bahan
makanan gula digunakan pula sebagai bahan pengawet makanan, bahan baku
alkohol dan pencampur obat-obatan. Gula merupakan senyawa kimia termasuk
karbohidrat yang memiliki rasa manis dan larut dalam air. Gula dalam pembuatan
biskuit memiliki pengaruh yang sangat nyata pada pembentukan tekstur dan
kenampakan produk akhir serta rasa. Gula juga berfungsi mengendalikan tingkat
pengembangan produk selama proses pemanggangan (baking) (Hui, 1992)
Gula yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah gula halus agar
mudah larut dan hancur dalam adonan. Gula harus benar-benar kering dan tidak
menggumpal. Gula yang tidak kering akan mempengaruhi adonan karena
adonan akan menggumpal, sedangkan adonan yang menggumpal tidak bisa
bercampur rata dengan bahan lainnya sehingga rasanya tidak merata dan
kemungkinan besar hasil pembakaran tidak merata. Pemakaian kadar gula yang
tinggi apabila tidak diimbangi dengan kadar lemak yang dengan komposisi tepat
akan menghasilkan biskuit keras (Aliem, 1995).
2.4.4 Margarin
Margarin merupakan komponen yang penting dalam pembuatan biskuit.
Tidak seperti tepung dan telur yang bersifat membentuk dan memperkuat
struktur, margarin berfungsi sebagai shortening atau pengempuk. Ketika adonan
dipanggang dalam oven, shortening akan meleleh dan melepaskan CO2 yang
telah berkontribusi dengan baking powder. Shortening yang meleleh kemudian
tersimpan disekeliling dinding sel struktur untuk berkontribusi dalam
pengempukan dan tekstur berminyak. Struktur sel dan volume kue dipengaruhi
oleh jumlah dan ukuran gelembung udara dan tetesan air yang terjebak dalam
shortening. Margarin merupakan pengganti mentega dengan rupa, bau,
konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hamper sama. Margarin merupakan emulsi
air dalam minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak.
Lemak yang digunakan dapat berasal dari lemak hewani atau nabati (Winarno,
1997).
Lemak dalam margarin pada pembuatan biskuit berfungsi memperbaiki
tekstur, cita rasa serta keremahan biskuit (Desrosier, 1977). Di dalam pembuatan
biskuit, lemak tidak terlarut, tapi terabsorbsi pada permukaan partikel dan
permukaan gluten. Pada permukaan tersebut lemak membentuk lapisan film
yang membungkus dan memisahkan partikel gluten, sehingga membuat tekstur
biskuit menjadi renyah (Bennion, 1980).
2.4.5 Garam
Garam yang umum dipakai dalam susunan makanan sehari-hari atau
dalam pengolahan makanan ringan adalah garam dapur dengan nama kimia
Natrium Klorida (NaCl) (Winarno, 2004). Fungsi garam atau natrium klorida pada
bahan pangan secara umum adalah sebagai pembentuk rasa asin dan penguat
rasa disamping menekan respon rasa manis, asam, dan pahit. Larutan garam
pada konsentrasi rendah dapat memberikan sensasi manis. Hal ini kemungkinan
karena susunan molekul air yang mengelilingi ion natrium memicu respon manis
pada sel reseptor. Ukuran dan bentuk garam juga berpengaruh pada flavor.
Semakin cepat garam larut semakin cepat pula flavour asin dapat terdeteksi
(Wellington, 1993).
Garam ditambahkan dengan kadar 1-2,5% dari berat tepung dan pada
umumnya lebih mendekati 1% daripada 2,5%. Beberapa tujuan penambahan
garam dalam pembuatan produk biskuit antara lain memberikan cita rasa produk,
memperkuat cita rasa bahan dan menghilangkan cita rasa hambar atau cita rasa
yang kurang dari bahan lain (Wellington, 1993).
2.4.6 Maizena
Maizena terbuat dari jagung yang telah mengalami tahap-tahap proses
pembersihan, perendaman dalam air 50ºC selama 30-36 jam, pemisahan
lembaga, pengembangan, penggilingan halus, penyaringan, sentrifugasi,
pencucian, dan pengeringan pati. Maizena mempunyai granula-granula yang
berbentuk polygon dan bulat. Diameter maizena berkisar antara 5025 mikron
(Winarno, 1980).
Maizena merupakan sumber kabohidrat yang biasa digunakan sebagai
bahan pembuat roti, kue kering, biskuit, makanan bayi, dan lain-lain. Tepung ini
jarang digunakan sebagai bahan utama pembuatan cake, namun seringkali
menjadi bahan pelengkap untuk mendapatkan tekstur sempurna. Dalam
pembuatan biskuit, maizena biasanya dipakai sebagai bahan pembantu untuk
merenyahkan biskuit. Sedangkan untuk pembuatan cake, maizena berfungsi
untuk membantu melembutkan cake. Pati jagung juga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku untuk produksi High Fructose Corn Syrup (sirup jagung)
(Rambitan, 1988). Kandungan gizi maizena dapat dilihat pada tabel 2.5.
Tabel 2.6. Kandungan Zat Gizi Tepung Maizena per 100gr
Komposisi Kadar
Protein (%) 0.3
Lemak (%) 0
Karbohidrat (%) 85
Kalsium (%) 0.02
Fosfor (%) 0.03
Zat besi (%) 0.002
Sumber : Hapsari (2008)
2.5 Proses Pembuatan Biskuit
Umumnya pembuatan biskuit dimulai dengan pembentukan krim dari
gula, lemak dan telur. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan food
processor berkecepatan tinggi sampai mengambang. Setelah mengembang
ditambahkan secara perlahan-lahan bahan-bahan lain, dan tepung sehingga
terbentuk adonan biskuit. Selama pembentukan adonan, waktu pencampuran
harus diperhatikan untuk mendapatkan adonan yang homogen dan dengan
pengembangan gluten yang diinginkan. Pengadukan yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan gluten sehingga biskuit retak saat dipanggang. Namun
sebaliknya, jika pengadukan kurang lama maka adonan akan sedikit menyerap
air sehingga membuat adonan kurang elastis dan mudah patah (Sunaryo, 1985).
Ada dua metode dasar pencampuran biskuit, yaitu metode krim (creaming
method) dan metode all in. Pada metode krim bahan-bahan tidak dicampur
secara langsung melainkan dicampur secara bertahap. Urutan pencampuran,
yaitu lemak, telur, dan gula, kemudian ditambah pewarna dan essens,
dimasukkan susu, diikuti penambahan bahan kimia aerasi berikut garam.
Sedangkan metode all in, semua bahan dicampur secara langsung bersama
tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang.
Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar
agar semua bahan tercampur merata (homogen). Pengadonan merupakan faktor
yang sangat penting (kritis) dalam pembuatan biskuit. Pengadonan akan
menentukan tekstur biskuit yang dihasilkan. Mutu adonan antara lain dipengaruhi
oleh jumlah air yang ditambahkan, lama pengadukan dan temperatur
pengadukan. Jika jumlah air yang ditambhakan terlalu banyak, maka adonan
akan menjadi basah dan lengket, sehingga menyulitkan dalam proses
selanjutnya. Lama pengadukan biasanya 15-25 menit. Jika waktunya kurang dari
15 menit atau lebih dari 15 menit, kondisi adonan akan menjadi rapuh, keras dan
kering. Suhu yang baik selama pengadukan antara 25-40ºC (Manley, 1998). Alat
yang digunakan dalam pengadukan (pengadonan) sangat bervariasi.
Alat pengaduk (mixers) sangat berperan terhadap sifat reologi dari
adonan dan biskuit yang dihasilkan. Alat pengaduk yang dapat digunakan antara
lain Vertical spindle mixers, High speed mixers, Weigh mixers, Continuous
mixers, Small batch mixers dan lain-lain. Spesifikasi masing-masing alat
disesuaikan dengan jenis biskuit yang dibuat (Manley, 1998). Adonan kemudian
digiling menjadi lembaran (tebal ± 0,3 cm), dicetak sesuai keinginan dan disusun
pada loyang, kemudian dipanggang dalam oven. Penggilingan (pelempengan)
dan pencetakan adonan sebaiknya dilakukan segera mungkin setelah adonan
terbentuk. Penggilingan dilakukan berulang agar dihasilkan adonan yang halus
dan kompak (Sunaryo, 1985).
Menurut Sultan (1992), ukuran biskuit yang telah dicetak haruslah sama,
agar ketika dioven biskuit matang secara merata dan tidak hangus. Untuk
mencegah lengketnya biskuit pada loyang, biasanya pada Loyang dioleskan
sedikit lemak atau dilapisi dengan kertas roti. Tahap pemanggangan merupakan
proses yang kritis dalam produksi biskuit. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi pemanggangan, diantaranya adalah tipe oven, metode
pemanasan dan tipe-tipe bahan yang digunakan. Kondisi pemanggangan yang
benar akan menghasilkan biskuit dengan penampakan dan tekstur yang
diinginkan serta kandungan airnya minimal 1%.
Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada selang antara 2,5 menit
sampai 30 menit tergantung suhu, jenis oven dan jenis biskuitnya. Makin sedikit
kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih
tinggi (177-204ºC). Pemanggangan biskuit dapat juga dilakukan pada suhu
220ºC dalam waktu sekitar 12-15 menit (Sultan, 1992). Biskuit yang dihasilkan
segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat
memadatnya gula dan lemak (Sunaryo, 1985).
Selama pemanggangan berlangsung terjadi perubahan-perubahan,
seperti pengurangan densitas produk biskuit karena pengembangan tekstur
berpori (perubahan tekstur), pengurangan kadar air menjadi 1-4% dan
perubahan warna permukaan biskuit. Perubahan yang terjadi pada awal
pemanggangan adalah peningkatan volume biskuit yang disebabkan oleh
gelatinisasi akibat air terbatas, pengembangan komplek pati-protein-air
membentuk struktur biskuit, terlepasnya CO2 dari dalam ke permukaan dan
menguapnya air, maka struktur biskuit menjadi keras. Selama pemanggangan
juga terjadi proses gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati terjadi ketika pemanggangan
antara suhu 52-99ºC. Sedangkan denaturasi dan koagulasi protein terjadi pada
suhu diatas 70ºC dan gas CO2 terlepas jika suhu mencapai 65ºC. Lemak mencair
pada suhu kurang dari 50ºC dan kemudian akan segera membentuk komplek
dengan bahan lainnya, serta selama pemanggangan terjadi distribusi (dispersi)
lemak ke seluruh struktur biskuit. Peningkatan suhu dan uap air pada biskuit
selama pemanggangan menyebabkan gelembung udara pecah meninggalkan
bekas pori-pori. Keadaan ini diikuti oleh menguapnya uap air, struktur komplek
pati-protein menjadi keras, sehingga struktur biskuit menjadi keras dan berpori.
Meningkatnya suhu menyebabkan perpindahan uap air dari adonan keluar
melalui proses kapiler dan disfusi. Setelah proses pemanggangan selesai
dilakukan, maka proses selanjutnya adalah pendinginan. Pendinginan ini
bertujuan untuk menurunkan suhu biskuit dengan cepat. Selain itu, pendinginann
dilakukan agar segera terjadi pengerasan biskuit karena sesaat setelah
pemanggangan biskuit, lemak dan gula masih berbentuk cair sehingga tekstur
biskuit agak lunak dan elastis. Jika sudah dingin lemak dan gula kembali menjadi
padat dan tekstur mengeras (Manley, 1998).
2.6 Glukosa Darah
Glukosa darah merupakan hasil akhir pencernaan pati, sukrosa, maltosa,
dan laktosa pada hewan dan manusia. Pada keadaan setelah penyerapan
makanan, kadar glukosa darah manusia dan mamalia berkisar 4,5-5,5 mmol/L.
Kadar glukosa tersebut naik menjadi 6,5-7,2 mmol/L setelah mengkonsumsi
makanan yang mengandung karbohidrat. Saat puasa kadar glukosa akan turun
menjadi 3,3-3,9mmol/L. Penurunan mendadak kadar glukosa darah akan
menyebabkan konvulsi, seperti terlihat pada overdosis insulin, karena
pengaturan otak langsung pada pasokan glukosa. Pada kadar yang lebih rendah
akan ditoleransi asal dilakukan adaptasi yang progresif (Stryer, 2000 dalam
Yuriska, 2009).
Glukosa dalam darah umumnya disebut dengan kadar glukosa dalam
darah (KGD). Konsentrasi glukosa darah yang normal berkisar pada nilai 100
mg/dl. KGD sering digunakan sebagai parameter keberhasilan metabolisme
didalam tubuh dengan konsentrasi glukosa di darah tubuh dapat mengalami
keadaan yang disebut hipoglikemia yakni kondisi penurunan kadar glukosa
darah. Kelebihan insulin akan menyebabkan kenaikan konsentrasi glukosa darah
(Sari, 2007).
Langerhans dari pankreas akan memproduksi hormon glukagon, insulin
dan somatostatin. Hormon glukagon disekresikan sebagai respon terhadap
hipoglikemi dan mengaktifkan glikogenolisis dengan mengaktifkan enzim
fosforilase serta glikogenesis dari asam amino dan laktat. Untuk
mempertahankan KGD, didalam tubuh dapat berlangsung beberapa proses yakni
pencernaan dan absorpsi makanan mengandung karbohidrat, proses
glukonogenesis, dan glikogenolisis di hepar dan parenkim ginjal (Sari, 2007).
2.7 Indeks Glikemik
Seiring dengan berkembangnya jenis dan kejadian penyakit degeneratif
maka segala upaya telah dilakukan untuk mencegah dan menanggulanginya.
Pada dua dekade terakhir ini telah berkembang pemahaman baru mengenai
peranan karbohidrat bagi kesehatan. Hasil-hasil Penelitian menunjukkan bahwa
kecepatan pencernaan karbohidrat di dalam saluran pencernaan, tidak sama
untuk setiap jenis pangan. Dalam kaitannya dengan efek faali makanan dengan
peningkatan kadar glukosa darah dan respon insulin, maka dikembangkan
konsep IG (Truswell,1992;Jenkins et al.,2002).
Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar glukosa
darah dan insulin bermanfaat sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis
pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga
kesehatan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Diet yang ketat sering kali dilakukan
oleh diabetesi untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetesi sering
menahan diri untuk tidak mengonsumsi nasi karena beras dianggap sebagai
pangan yang bersifat hiperglikemik.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa makanan IG tinggi
menyebabkan sekresi insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikkan
kadar glukosa darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan
peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukkan lemak pada jaringan
adiposa dalam tubuh. Kadar glukosa darah normal berkisar antara 55-140 mg/dl,
dan untuk penyediaan energi bagi susunan syaraf pusat diperlukan kadar
glukosa darah minimal 40-60 mg/dl. Nilai IG dapat dihitung setelah mengetahui
luas kurva sampel (pangan uji) dan glukosa (pangan acuan).
Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa IG pangan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: cara pengolahan, daya osmotik pangan,
kadar serat, amilosa, protein, lemak dan keberadaan zat antigizi. Sebagian besar
ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan dengan
amilopektin (Miller et al., 1992; Foster-Powell et al. 2002; Behall dan Hallfrisch,
2002), karena amilosa merupakan polimer dari gula sederhana dengan rantai
lurus, tidak bercabang. Rantai yang lurus ini menyusun ikatan amilosa yang solid
sehingga tidak mudah tergelatinasi. Oleh karena itu amilosa lebih sulit dicerna
dibandingkan dengan amilopektin yang merupakan polimer gula sederhana,
bercabang dan mempunyai struktur terbuka. Berdasarkan karakteristik tersebut
maka pangan yang mengandung amilosa tinggi cenderung memiliki aktivitas
hipoglikemik lebih tinggi dibandingkan dengan pangan yang mengandung
amilopektin tinggi (Miller et al., 1992; Foster-Powell et al., 2002; Behall dan
Hallfrisch, 2002).
Jenkins et al., (2002) menyebutkan bahwa konsep IG sebenarnya
merupakan pengembangan dari hipotesis serat pangan, yang menyatakan
bahwa konsumsi serat pangan akan menurunkan laju masukan nutrien dari usus.
Serat pangan memegang peranan penting dalam memelihara kesehatan
individu. Oleh karena itu, serat pangan merupakan salah satu komponen pangan
fungsional yang dewasa ini mendapat perhatian masyarakat luas. Serat pangan
mempengaruhi asimilasi glukosa dan mereduksi kolesterol darah. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa serat tanaman tertentu menghambat penyerapan
karbohidrat dan menghasilkan postprandial glikemik yang rendah. Penambahan
serat pangan yang berasal dari serealia, kacang-kacangan dan sayuran sangat
bermanfaat bagi penderita diabetes. Berdasarkan penghambatan penyerapan
karbohidrat tersebut, pangan yang memiliki nilai IG rendah juga membantu dalam
mengendalikan kelebihan berat badan (Ludwig, 2000)
Beras memiliki kisaran IG sangat luas, dari IG rendah (<55) sampai IG
tinggi (>70). Bahkan beras Yasmin dari Thailand yang dimasak dengan rice
cooker mempunyai IG >100, atau lebih tinggi daripada glukosa. Faktor lain yang
berpengaruh yaitu rasio amilosa dan amilopektin, gula dan daya osmotik,
kandungan serat pangan, pati resisten, lemak, protein, dan zat anti gizi
(Widyowati, 2007).
2.8 Pengujian Secara In Vivo
Pengujian in vivo merupakan pengujian biologis yang menggunakan
hewan coba untuk membantu penelitian yang tidak bisa dilakukan secara
langsung dilakukan dalam tubuh manusia dengan asumsi semua jaringan, sel,
dan enzim dalam tubuh hewan coba memiliki kesamaan dengan manusia. Tikus
putih (Ratties norvegicus) merupakan hewan yang paling sering digunakan. Zat
gizi yang diperlukan oleh tikus untuk tumbuh sama dengan manusia yaitu
karbohidrat, lemak atau minyak, protein, vitamin dan mineral (Kusumawati,
2004).
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk tujuan suatu
penelitian. Hewan ersebut meliputi hewan yang khusus dipelihara di laboratorium
(hewan laboratorium) hingga hewan ternak (Kusumawati, 2004). Triaksono
(2003) menyebutkan hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan
hewan coba antara lain:
1. Kesehatan hewan (bebas dari penyakit) sehingga tidak mengacaukan
hasil penelitian
2. Pemilihan hewan coba yang dipakai dalam suatu penelitian harus
disesuaikan dengan tujuan penelitian.
3. Kebutuhan terhadap bahan makanan hewan coba sangat bervariasi hal
ini tergantung pada perbedaan anatomi, fisiologi, serta behavior.
Kusumawati (2004) menjelaskan bahwa pada dasarnya hampir semua
hewan dapat digunakan untuk penelitian. Pemilihan hewan coba terklarifikasi
menjadi 5 kelompok yakni rodensia dan kelinci, karnivora, primata, unggulata,
dan unggas. Penelitian ini menggunakan tikus jantan putih galur wistar strain
Rattus norvegicus. Pemilihan ini berdasarkan struktur anatomi tikus lebih
sederhana, tidak memiliki kelenjar empedu, tidak pernah muntah, dan pada umur
dua bulan telah mencapai berat 200-300 gram. Tikus lebih mudah dipegang,
namun kurang photophobic jika dibandingkan dengan mencit (Farris, 1971 dalam
Kusumawati, 2004). Ukuran tikus yang lebih besar dari mencit membuat tikus
lebih disukai untuk berbagai penelitian. Lambung tikus terdiri dari dua bagian,
yaitu non-granular dan granular small intestine yang terdiri dari duodeman,
jejunum, dan ileum. Adapun data biologis tikus dan gambaran hematologi tikus
secara lengkap terdapat pada tabel 2.7
Tabel 2.7. Data Biologis tikus dan Gambaran Hematologi Tikus
Kuantitatif
Berat badan : Jantan (g) 300-400
Betina (g) 250-300
Lama hidup (tahun) 2,5-3
Temperatur tubuh (°C) 37,5
Kebutuhan air (ml/100 g BB) 8,0-11
Kebutuhan makanan (g/100 g BB) 5
Pubertas (hari) 50-60
Lama kebuntingan (hari) 21-23
Mata membuka (hari) 10-Des
Tekanan Darah : Sistole (mmHg) 84-184
Diastole (mmHg) 58-184
Frekuensi Jantung (per menit) 330-480
Frekuensi Respirasi (per menit) 66-114
tidal volume (ml) 0,6-1,25
Rincian
Sumber : Fox, 1984 dalam Kusumawati, 2004
Ukuran panjang dan lebar tikus sebaiknya lebih panjang tubuh hewan
termasuk ekornya. Agar tidak berdesakan, pengisian kandang hendaknya tidak
lebih dari 20 ekor hewan coba berukuran kecil. Suasana didalam kandang
diharapkan juga sesuai lingkungan alam dan sesuai dengan karakter binatang.
Ukuran luas kandang minimal pada tikus adalah 500 cm3 untuk setiap hewan
untuk kandang individual dan 200 cm3 untuk setiap hewan untuk kandang
kelompok (Kusumawati, 2004).
2.9 Meal Tolerant Test
Meal Tolerant Test (MTT) dapat disebut juga glucose tolerance test (GTT)
merupakan suatu metode untuk membuktikan dan menegakkan diagnosa bila
terjadi gejala yang tidak spesifik (Palardy et al., 1989 dalam Alvina, 2009). Pada
penelitian ini MTT digunakan untuk melihat pola penyerapan karbohidrat dalam
bentuk glukosa darah dalam tubuh tikus pada produk biskuit.
Pemeriksaan glukosa darah postprandial adalah pemeriksaan yang
dilakukan 2 jam setelah makan. Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan
biasanya lebih tinggi daripada kadar glukosa puasa dalam kondisi normal. Kadar
glukosa postprandial yang lebih rendah juga terkadang dijumpai walaupun tanpa
kendala. Hiperglikemia postprandial merupakan hipoglikemia yang terjadi 2-5 jam
setelah mengkonsumsi makanan, dapat terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan akibat peningkatan kadar glukosa setelah makan (Palardy et al., 1989
dan Widmann, 1989 dalam Alvina, 2009). Hipoglikemia postprandial merupakan
salah satu petunjuk gejala dini adanya diabetes melitus tipe II dan menunjukkan
gangguan fungsi pankreas yang tidak seimbang. Pemeriksaan untuk
hipoglikemia postprandial jika penyebabnya permulaan diabetes adalah
pemeriksaan glukosa plasma, dimana glukosa meningkat selama 2 jam pertama
lalu glukosa plasma rendah pada jam ketiga sampai jam keempat (Alvina, 2009).