II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jarak pagar (Jatropha ...eprints.umm.ac.id/51679/3/bab 2.pdf ·...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jarak pagar (Jatropha ...eprints.umm.ac.id/51679/3/bab 2.pdf ·...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas L.)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Jarak Pagar
Jarak pagar (Jatropha curcas L.) diklasifikasikan dengan sistematika
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malpighiales
Familia : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Spesies : Jatropha curcas L. (Hambali et al, 2006).
2.1.2 Deskripsi Tanaman Jarak Pagar
Tumbuhan ini dikenal dengan berbagai nama di Indonesia: jarak kosta, jarak
budeg (Sunda); jarak gundul, jarak pager (Jawa); kalekhe paghar (Madura); jarak
pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara); kuman nema
(Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi); ai
huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku).
Habitus tanaman jarak pagar ini secara umum adalah berupa perdu atau
pohon kecil, dengan tinggi antara 1 – 7 m, berdaun tunggal, bersudut 3 atau 5,
tulang daun menjari dengan 5 – 7 tulang utama, daun berwarna hijau, panjang
tangkai daun antara 4 – 15 cm. Bunga jantan dan betina tersusun dalam rangkaian
berbentuk cawan. Buah berbentuk bulat, diameter 2 - 4 cm berwarna hijau jika
masih muda, kemudian hijau kekuningan, kuning, kuning kehitaman, dan hitam.
Buah umumnya terbagi dalam 3 ruang yang masing-masing terisi oleh satu biji.
Biji berbentuk lonjong, berwarna hitam jika sudah masak. Dalam
pertumbuhannya, tanaman ini mempunyai waktu berbunga dan berbuah yang
berbeda-beda. Satu tandan biasanya terdapat sekitar 10-20 buah yang memiliki
tingkat kemasakan berbeda, yaitu hijau, hijau kekuningan, kuning, kuning
kehitaman, dan hitam.
5
Tanaman jarak pagar yang diperbanyak dengan biji mempunyai akar
tunggang, sedangkan yang diperbanyak dengan stek hanya akar cabang dan akar
serabut. Batang dan cabangnya berkayu, bergetah dan terdapat buku atau
tempat/bekas daun melekat. Jarak antar bekas daun berkisar antara 1,5 cm sampai
5 cm (Mahmud, 2006). Pada daun yang sedang berkembang, terdapat sebongkah
sel meristem pada ketiak daun, antara daun dan batang. Bongkah ini merupakan
bagian rudiment kuncup ketiak, dan jika bagian ini berkembang penuh, maka akan
terjadi susunan yang sama dengan kuncup ujung (tunas). Perkembangan kuncup
ketiak ini akan mengalami dorman pada awal perkembangannya, atau mungkin
akan menjadi pucuk cabang (Loveless, 1991).
Gambar 1. Jarak Pagar. (dokumentasi pribadi)
2.1.3 Jenis-jenis Hama Tanaman Jarak Pagar
Menurut Hambali et al. (2006) serangga hama yang menyerang pada
tanaman jarak adalah ulat tanah Agrotis ipsilon Hufnagel. (Lepidoptera:
Noctuidae), Locusta migratoria Linnaeus. (Orthoptera: Acrididae), Spodoptera
litura Fabricius. (Lepidoptera: Noctuidae), Achaea janata Linnaeus. (Lepidoptera:
Ceometridae), Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadelidae), dan Nezara viridula
Linnaeus. (Hemiptera: Pentatomidae).
a. Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufnagel.)
Agrotis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan serangga hama yang
terkenal dapat menyerang banyak genus tanaman (polifag). Larva serangga hidup
di dalam tanah. Larva pada siang hari bersembunyi di dalam tanah dan pada
malam hari serangga ini merusak tanaman terutama pada tanaman di pembibitan
dan pada tanaman muda. Telur berwarna putih dan berbentuk bulat. Imago
biasanya bertelur pada tanaman atau bagian tanaman yang dekat dengan tanah.
6
Larva biasanya hidup berkelompok, tetapi imago hidup soliter. Imago dapat
menghasilkan telur yang mencapai 1800 telur/serangga. Serangga ini dilaporkan
dapat menyerang tanaman perkebunan teh dan tembakau. Tanaman budidaya lain
yang dapat diserang oleh hama ini adalah bawang merah, kacang tanah, dan jeruk
di pembibitan (Kalshoven 1981). Pada tanaman jarak pagar, hama ini menyerang
pada pembibitan dan tanaman muda yang baru muncul di permukaan tanah.
Gejala pada tanaman terlihat adanya batang terpotong di dekat permukaan tanah
atau tanaman menjadi layu. Pengendalian hama ini dapat dilakukan melalui cara
mekanis yaitu dengan mengumpulkan larva serangga pada sekitar tanaman,
penggunaan umpan beracun dengan pestisida atau dengan pemakaian insektisida
yang bersifat sistemik (Hambali et al. 2006)
Gambar 2. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon) (Carrilo, 2013)
b. Belalang (Locusta migratoria Linnaeus.)
Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae) merupakan serangga hama yang
tersebar di Asia Tenggara (Kalshoven 1981). Serangga ini dapat bertahan hidup
dengan mendapat makanan dari tumbuhan monokotil terutama rumput-rumputan,
termasuk tanaman budidaya seperti padi, jagung, tebu, palem-paleman, pisang dan
bambu. Serangga ini dilaporkan dapat menyerang tanaman sereh, tebu, nanas, dan
sisal. Menurut Hambali et al (2006) L. Migratoria dapat menyerang tanaman
jarak pagar. Serangga ini biasanya menyerang tanaman pada fase pembibitan, fase
vegetatif, fase pembungaan dan fase pembuahan (CAB International 2003).
Bagian tanaman yang dapat diserang adalah daun, batang, bagian-bagian bunga,
dan buah. Telur serangga ini biasanya terdapat di dalam tanah. Pada satu
kumpulan telur dapat mencapai 12-42 telur/satu lubang (Kalshoven 1981) secara
total imago dapat menghasilkan 200-270 butir telur. Serangga ini menyerang
tanaman secara sporadis. Pengendalian hama ini dengan menggunakan insektisida
7
berbahan aktif sipermetrin, tiodikarb, MIPC, fipfronil, dan betasiflutrin (Hambali
et al 2006).
Gambar 3. Belalang (Locusta migratoria) (Sugiarto, 2018)
c. Ulat grayak (S. litura F.)
Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan salah satu hama
daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai,
kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. Spodoptera litura
menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif yaitu memakan daun tanaman
yang muda sehingga tinggal tulang daun saja (Laoh et al. 2003).
Hama ini menyerang tanaman jarak pagar dengan cara memakan daun.
Gejala serangan berat hama ini mengakibatkan tanaman menjadi gundul. Larva
dapat menyerang tanaman muda maupun tanaman dewasa. Imago meletakkan
telur selama 2-6 hari dan dapat menghasilkan 2000-3000 telur/individu serangga.
Telur S. Litura biasanya berkelompok dan dapat mencapai 350 telur/kelompok.
Pengendalian serangan hama ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan
kelompok telur dan larva instar awal lalu dimusnahkan, apabila serangan berat
dikendalikan dengan mengaplikasikan insektisida berbahan aktif bakteri Bacillus
thuringiensis atau patogen virus Spodoptera litura-NPV (S1-NPV) (Hambali et al.
2006)
Gambar 4. Ulat Grayak (Spodoptera litura). Photo M. Vd Straten NPPO, The
Netherlands
8
d. Ulat Jengkal (Achaea janata Linnaeus.)
Achaea janata (Lepidoptera: Geometridae) merupakan salah satu serangga
hama yang dapat menyerang pada tanaman jarak pagar. Penyebaran serangga ini
meliputi Asia, Afrika, dan Australia. Hama ini biasanya ditemukan pada gulma
Euporbia hirta dan menyerang tanaman Ricinus communis (Jarak Kepyar) dan
tanaman famili Euphorbiaceae. Tanaman inang lain yang dapat diserang oleh
hama ini adalah kakao, curcubita, dan Albizia (Kalshoven 1981). Telur biasanya
diletakkan secara menyebar pada semua bagian tanaman baik diletakkan satu
persatu atau berkelompok. Telur memerlukan waktu 3-4 hari untuk menetas. Satu
imago A. Janata dapat menghasilkan 600-700 telur (CAB International 2003).
Pengendalian serangga ini dapat dilakukan dengan cara mengambil larva serangga
dan memusnahkannya, membersihkan daun-daun pada sekitar tanaman membuat
jarak tanam yang lebih lebar. Pengendalian dengan kimiawi dapat dilakukan
dengan aplikasi insektisida botani yang mengandung ekstrak mimba dan
insektisida sintetik berbahan aktif alfametrin (Hambali et al 2006).
Gambar 5. Ulat Jengkal (Achaea janata) (Leong, 2010)
e. Wereng daun (Empoasca sp.)
Empoasca sp. (hemiptera: Cicadelidae) merupakan hama utama pada
tanaman kapas di Indonesia. Menurut Kalshoven (1981) serangga ini dapat
menyerang tanaman leguminosae dan Ricinus communis. Imago berwarna hijau
kekuning-kuningan dengan titik-titik hitam kecoklatan pada bagian sayap. Telur
baisanya diletakkan di dalam mesofil pada tanaman muda. Nimfa dan imago
menghisap cairan daun sehingga daun berubah warna menjadi merah dan coklat
(Hambali et al. 2006). Serangga ini merusak tanaman karena mengeluarkan toksin
pada saat serangga ini makan. Daun tanaman menjadi menggulung atau
9
mengeriting. Serangga ini berpotensi merusak tanaman jarak di pembibitan. Selain
tanaman budidaya, hama ini mempunyai inang alternatif pada tanaman gulma
seperti Hibiscus sp. Dan Ochroma. Pengendalian serangga ini dengan
mengaplikasikan insektisida sistemik dan pada pembibitan dapat diaplikasikan
insektisida dengan bahan aktif imidaklorpid, betasiflutrin, atau karbosulfan
(Hambali et al. 2006).
Gambar 6. Wereng Daun (Empoasca sp.). Sumber: https://en.wikipedia.org
/wiki/Empoasca
f. Kepik Hijau (Nezara viridula Linnaeus.)
Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae) merupakan hama yang
menyerang pada tanah pertanian di seluruh dunia. Serangga ini termasuk serangga
polifag dan makan pada banyak tanaman budidaya, tetapi serangga ini lebih
memilih makan pada gulma (Kalshoven 1981). Di Indonesia serangga ini
dilaporkan dapat menyerang tanaman padi, jagung, tembakau, kentang, lombok.
Kapas dan tanamn leguminosae. Serangga ini merusak tanaman karena toksin
yang dikeluarkan serangga ini dapat menimbulkan kelayuan, kematian daun, dan
pucuk tanaman (Hambali et al. 2006). Telur serangga ini biasanya diletakkan pada
batang secara berkelompok. Pada tiap kelompok telur dapat mencapai 10-90 telur.
Serangga betina dapat bertelur mencapai 1100 butir. Pengendalian serangga ini
dapat dilakukan dengan cara pengumpulan telur dan serangga kemudian
dimusnahkan atau dengan aplikasi insektisida dengan bahan aktif klorfluazuron,
diflubenzuron, alfametrin, lamda sihalotrin, dan fosalon (Hambali et al. 2006).
10
Gambar 7. Kepik Hijau (Nezara viridula) (Carrilo, 2013)
2.2 Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura)
2.2.1 Klasifikasi Ulat Grayak
Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus : Spodoptera
2.2.2 Siklus Hidup Ulat Grayak
Gambar 8. Daur Hidup Ulat Grayak (Arifin, 2011)
11
a. Telur
Umur telur mulai dari peletakkan oleh imago sampai menetas menjadi larva
sekitar 3-4 hari. Serangga dewasa meletakkan telur dalam bentuk kluster yang
mengandung sekitar 350 butir dan ditutupi bulu-bulu yang halus (Gambar 9.a).
Total telur yang diletakkan oleh satu ekor serangga betina dalam satu siklus hidup
sekitar 2000-3000 telur (Kalshoven, 1981). Sedangkan menurut Schreiner (2000),
telur ulat grayak diletakkan secara berkelompok yang jumlahnya sekitar 200-300
di bawah daun dan ditutupi dengan bulu-bulu coklat dari tubuh betinanya.
Selanjutnya dikatakan bahwa total telur yang diletakkan oleh satu ekor serangga
betina dalam satu siklus hidup sekitar 2.000 butir.
Gambar 9. Telur ulat grayak ket: (a) telur yang berkelompok ditutupi bulu-bulu
dari imago betina (b) telur yang siap menetas (c) larva yang baru
menetas (Fattah, 2016)
Telur yang hampir menetas, warnanya berubah menjadi coklat dan
membesar seperti telur ikan (Gambar 9.b). Telur menetas menjadi larva 3-5 hari
(Kalshoven, 1981). Sedangkan Ahmad et al. (2013) telur menetas setelah 3 hari
diletakkan oleh betina serangga dewasa. Menurut Kranz et al.(1978), telur
diletakkan secara berkelompok 50-300 butir di bawah permukaan daun dan
menetas 3-4 hari. Satu serangga dewasa dapat menghasilkan telur 1.500-2.500
butir.
b. Larva S. Litura
Umur larva mulai dari instar-1 sampai instar-6 sekitar 12-15 hari. Larva
yang baru menetas makanannya dari daun yang ditempati telur dalam bentuk
berkelompok, kemudian menyebar dengan menggunakan benang yang keluar dari
mulutnya dan pindah dari tanaman ke tanaman lain.
(a) (b) (c)
12
Gambar 10. Larva S. litura instar 1-5 ket: (a), Larva S. litura instar 1 (b), Larva S.
litura instar 2 (c), Larva S. litura instar 3 (d), dan Larva S. litura
instar 4 dan (e) Larva S. Litura instar 5. Photo M. Vd Straten ©
NPPO, The Netherlands
Larva S. litura mempunyai warna yang berbeda-beda. Larva yang baru
menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan
larva instar terakhir terdapat kalung (bulan sabut) warna hitam gelap pada segmen
abdomen ke empat dan sepuluh. Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning.
Stadium larva terdiri 5 instar yang berlangsung selama 20-46 hari.
Larva instar I yang ditandai dengan tubuh larva yang berwarna kuning
dengan terdapat bulu-bulu halus, kepala berwarna hitam dengan lebar 0,2-0,3 mm,
lama instar 1 adalah 3 hari. Dilanjutkan dengan larva instar II yang ditandai
dengan tubuh berwarna hijau dengan panjang 3,75-10 mm, bulu-bulu halusnya
tidak terlihat lagi dan pada ruas abdomen pertama terdapat garis hitam meningkat
pada bagian dorsal terdapat empat buah titik yang berbaris dua-dua, instar II ini
berlangsung selama 3 hari. Larva instar III memiliki panjang tubuh 8-15 mm
dengan lebar kepala 0,5-0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat
garis berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh, instar III ini berlangsung
selama 4 hari. Mulai instar IV warna bervariasi yaitu hitam, hijau, keputihan,
hijau kekuningan atau hijau keunguan, panjang tubuh 13-20 mm, instar IV
berlangsung selama 4 hari (Utami et al., 2010)
(a) (b) (c)
(d) (e)
13
c. Pupa
Larva instar terakhir masuk ke dalam tanah, kemudian akan menjadi larva
yang tidak aktif (Pra pupa). Pupa berada dalam tanah dengan ke dalaman 0-3 cm
(Zheng et al., 2011) dan warna coklat kemerahan yang beratnya berkisar 0,341 g
per pupa (Javar et al., 2013). Menurut Marwoto dan Suharsono (2008), bahwa
stadium pupa berkisar 8 -11 hari.
Gambar 11. (a) Pra-pupa dan (b) pupa S. Litura (Fattah, 2016)
d. Imago
Stadium imago berkisar 5-6 hari. Pupa yang ada dalam tanah akan berubah
ke fase berikutnya menjadi serangga kupu-kupu (Imago). Siklus hidup S. litura
mulai dari telur sampai imago sekitar 30-60 hari (Marwoto dan Suharsono, 2008).
Sedangkan Javar et al. (2013), siklus hidup S. litura sekitar 29-35 hari.
2.2.3 Deskripsi Hama Ulat Grayak
Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan serangga yang hidup
kosmopolitan. Serangga ini banyak ditemukan di Asia, Pasifik, dan Australia. Di
Indonesia, serangga ini merupakan hama utama pada tanaman tembakau,
disamping itu hama ini hidup sebagai polifag pada beberapa tanaman., seperti
kacang tanah, kentang, lombok, bawang merah, jarak kepyar (Ricinus communis)
dan kubis. Serangga ini juga banyak ditemukan pada gulma Passiflora foetida,
Ageratum, Cleome, Clibadium, dan Trema (Kalshoven, 1981).
2.2.4 Gejala Serangan Ulat Grayak
Hama ini menyerang tanaman jarak pagar dengan cara memakan daun.
Gejala serangan berat hama ini mengakibatkan tanaman menjadi gundul. Larva
dapat menyerang tanaman muda maupun tanaman dewasa. Imago meletakkan
telur selama 2-6 hari dan dapat menghasilkan 2000-3000 telur/individu serangga.
(a) (b)
14
Telur S. Litura biasanya berkelompok dan dapat mencapai 350 telur/kelompok
(Hambali et al 2006)
Menurut Golani dkk (2007), kerusakan yang ditimbulkan oleh ulat ini
biasanya menyerang daun dan menyebabkan kerusakan yang berbeda jenis dan
levelnya, sebagian aktif pada malam hari, sebagian besar ulat bersifat polifagus
dan umumnya ulat ini bersifat sporadis dan musiman dan sebagian lain menyerang
dalam jangka waktu yang lama.
2.2.5 Cara Pengendalian Hama Ulat Grayak
Berbagai upayan ditempuh untuk mengendalikan S. Litura antara lain
dengan menggunakan varietas tahan, pergiliran tanaman, penanaman serempak
serta penggunaan pestisida (Cahyono, 2002). Pengendalian serangga hama ini
dapat dilakukan dengan mengumpulkan kelompok telur dan larva instar awal lalu
dimusnahkan, apabila serangan berat dikendalikan dengan mengaplikasikan
insektisida berbahan aktif bakteri Bacillus thuringiensis atau patogen virus
Spodoptera litura-NPV (S1-NPV) (Hambali et al 2006)
Untuk mengendalikan hama tersebut umumnya digunakan insektisida
kimiawi. Penggunaan insektisida kimiawi secara luas dan terus menerus memang
dapat menekan kerusakan akibat serangan hama, selain itu timbul masalah
pencemaran lingkungan, residu kimia, dan timbulnya resistensi serangga yang
memungkinkan terjadinya resurgensi (Untung, 1996).
Penggunaan pestisida sintetik dapat menekan populasi hama S. litura dan
intensitas kerusakan yang ditimbulkan berkembang luas dan dianggap paling
cepat dan ampuh tetapi berdampak negatif bagi lingkungan. Dengan demikian
penggunaan tanaman aromatik atau tanaman yang mengandung metabolik
sekunder dapat dipakai untuk mengendalikan hama tersebut. Penggunaan tanaman
penghasil pestisida nabati sebenarnya tidak selalu diekstraksi dan diolah menjadi
cairan atau serbuk yang diaplikasikan pada tanaman. Beberapa jenis tanaman yang
dikenal memiliki metabolik sekunder pengendali hama dapat ditanam bersamaan
dengan tanaman utama dengan tujuan melindungi tanaman utama dari serangan
hama (Novizan, 2002).
15
2.3 Jamur Entomopatogen
Jamur entomopatogen merupakan salah satu kelompok jamur yang dapat
digunakan sebagai agen hayati. Penelitian yang dilakukan terdapat lebih dari 750
spesies jamur penyebab penyakit pada serangga. Spesies jamur yang dapat
dipertimbangkan menjadi insektisida biologis sebagai produk komersial adalah
Beauveria bassiana, Metharhizium. anisopliae, Verticillium lecanii, dan Hirsutella
thompsonii. Jamur tersebut bersifat patogenik terhadap berbagai jenis serangga
dengan kisaran inang yang luas (Trizelia, 2008).
Tanah merupakan salah satu tempat untuk melihat keberadaan jamur
entomopatogen di alam. Menurut Sapieha Waszkiewicz et al (2005),
keberadaan cendawan entomopatogen di dalam tanah tergantung pada habitat.
Selanjutnya Sosa Gomez et al (2001) mengemukakan bahwa keanekaragaman
cendawan entomopatogen dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu kandungan air tanah, kandungan bahan organik, dan temperatur.
Jamur entomopatogen lebih mudah didapatkan pada daerah rizosfer.
Carlile et al. (2001) mengemukakan bahwa populasi mikroorganisme di
rizosfer biasanya lebih banyak dan beragam dibandingkan pada tanah
bukan rizosfer. Salah satu dari faktor-faktor terpenting yang
bertanggung jawab atas terjadinya efek rizosfer adalah variasi yang besar
dalam hal senyawa organik yang tersedia di daerah perakaran berupa getah
yang dikeluarkan oleh akar, baik secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi kualitas dan kuantititas mikroorganisme di daerah
perakaran. Ciri dan jumlah senyawa yang dikeluarkan tergantung pada
spesies tanaman, umur, dan kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman (Rao
1994).
2.3.1 Jenis-jenis Jamur Entomopatogen
Ada beberapa jenis spesies jamur yang layak dapat dipertimbangkan
menjadi insektisida biologis sebagai produk komersial. Diantaranya adalah
Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae, verticillium, dan Hirsutella
thompsonii. (Mahr, 2003).
16
a. Beauveria bassiana, menghasilkan racun (toksin) yang dapat
mengakibatkan paralis secara agresif pada larva dan imago serangga. Bebrapa
jenis racun yang telah berhasil diisolasi dari B. bassiana antara lain beauvericine,
beauverolide, isorolide dan zat warna serta asam oksalat (Mahr, 2003). Wahyudi
(2002) yang menyatakan bahwa toksin yang dihasilkan B. bassiana diantaranya
beauverizin yang dapat menghancurkan lapisan lemak dan meningkatkan
permeabilitas sel yang dapat menghancurkan ion spesifik sehingga dapat
menyebabkan terjadinya transport ion yang abnormal kemudian merusak fungsi
sel atau organel sel larva. Menurut Bari (2006) menyatakan bahwa ciri-ciri yang
paling mencolok pada serangga yang terinfeksi jamur B. bassiana adalah adanya
miselia berwarna putih. Pertumbuhan jamur terjadi di dalam tubuh serangga dan
serangga mati mengeras seperti mumi. Miselia jamur yang berwarna putih mulai
menembus kutikula keluar dari tubuh serangga pada bagian yang paling mudah
terserang yaitu pada bagian ruas-ruas tubuh dan alat mulut dan akhirnya menutupi
tubuh serangga.
Gambar 12. Jamur Beauveria bassiana ket: (a) secara makroskopis
(Vivekanandhan et all. 2018) (b) secara mikroskopis (Nuraida,
2009)
a. Metarhizium sp., juga dikenal sebagai cendawan muskardin hijau, telah
lama diketahui karena potensi pengontrolan biologis mereka terhadap artropoda.
Spesies Metarhizium yang paling banyak diteliti ialah M. Anisopliae (Shelton,
2009). Jamur M. anisopliae memiliki spektrum yang sangat luas dan dapat
menginfeksi lebih dari 100 spesies dari beberapa ordo serangga seperti
Scapteriscus sp, semut api, Salenopsis invicta, larva kumbang seperti Oryctes
rhinoceros, Phylophaga sp dan Cetina nitida (Prayogo, 2005). Menurut Simbolon
(a) (b)
17
(2010) awal pertumbuhan, koloni jamur M. Anisopliae berwarna putih, kemudian
berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur koloni.
Gambar 13. Jamur Metharizium sp. Ket: (a) secara makroskopis dan (b) secara
mikroskopis (Soewarno et al. 2013)
b. Penicillium sp. tidak hanya mempunyai suatu struktur konidiogenus khusus
dan unik, tetapi juga mempunyai suatu keragaman karakter fisiologis yang
berdampak signifikan baik yang merusak atau menguntungkan bagi makhluk
hidup. Aktivitas enzimatik yang kuat dari spesies Penicillium membantu
mendegradasi sisa-sisa tumbuhan, hewan dan residu-residu organik, dan mendaur
ulang sumberdaya-sumberdaya alami. Beberapa enzim yang diproduksi cendawan
ini seperti β-glucanase, dekstranase, pektinase dan protease. Sekitar 50 spesies
Penicillium memproduksi mikotoksin. Beberapa mikotoksin seperti asam
penicillic dan asam cyclopiazonic merupakan senyawa-senyawa tremorgenic
toksik, sementara yang lain seperti patulin merupakan toksin pada kelinci, tikus,
unggas dan hewan lainnya. Asam-asam penicillic dan patulin juga merupakan
karsinogen pada hean-hewan uji di laboratorium (Chang 2007).
Gambar 14. Jamur Penicillium sp ket: (a) secara makroskopis (Purwantisari,
2009) dan (b) secara mikroskopis (Soewarno et all. 2013)
(a) (b)
(a) (b)
18
c. Fusarium sp. biasanya ditemukan di tanah, tumbuhan hidup atau mati, biji-
bijian dan hewan. Sejumlah besar Fusarium sp. merupakan entomopatogenik,
beberapa diantaranya sebagai patogen lemah dan fakultatif terutama pada ordo
Lepidopera dan Coleoptera (Teetor-Barsch dan Roberts 1983). Beberapa spesies
Fusarium memproduksi asam fusaric untuk menghambat enzim-enzim defensif
dari serangga. Metabolit-metabolit cendawan siklik yang dapat berperan sebagai
chelator dan ionophore dari beberapa spesies Fusarium berpotensi menyerang
artropoda (Abdul-Wahid dan Elbanna 2012).
Gambar 15. Jamur Fusarium sp ket: (a) secara makroskopis (All rights reserved ©
2013) dan (b) secara mikroskopis (Nuraida, 2009)
d. Spesies-spesies Aspergillus tersebar luas di seluruh dunia. Meskipun
demikian, cendawan ini sering lebih banyak di wilayah-wilayah lebih panas. Di
zone sejuk mereka terdapat lebih sering dari pada di wilayah-wilayah lebih panas.
Cendawan ini dapat ditemukan di tanah, tumbuhan dan residu hewan; beberapa
diantaranya merupakan patogen pada manusia dan hewan (Chang 2007).
Alexopoulos dan Mims (1979) mendeskripsikan Aspergillus sebagai berikut :
konidiofor-konidiofor panjang, berdiri, dan ujung-ujung konidiofor nampak
seperti pentolan yang disebut vesicle, dan vesicle ini terbungkus oleh rantai-rantai
konidia.
(a) (b)
19
Gambar 16. Jamur Aspergillus sp ket: (a) secara makroskopis (Ward J, 2018) dan
(b) secara mikroskopis (Soewarno et all. 2013)
2.3.2 Kegunaan Jamur Entomopatogen
Penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan
resistensi, resurjensi, dan musnahnya musuh alami. Kelebihan pemanfaatan jamur
entomopatogen sebagai pengendali hayati populasi serangga hama adalah
memiliki spektrum yang luas dan berpotensial untuk mengendalikan berbagai
ordo serangan, mempunyai kapasitas produksi yang tinggi, siklus hidup
relatif pendek dan mampu membentuk spora yang tahan terhadap pengaruh
lingkungan (Prayogo et al., 2005)
Pengendalian hayati yang merupakan komponen utama pengendalian hama
terpadu (PHT) menjadi salah satu alternatif pengendaian hama yang baik dan
ramah lingkungan, seperti dengan menggunakan B. thuringiensis. Bacillus
thuringiensis merupakan 90-95% dari bioinsektisida yang dikomersialkan untuk
dipakai oleh petani diberbagai Negara (Bahagiawati, 2002).
Ada beberapa jenis spesies jamur yang layak dapat dipertimbangkan
menjadi insektisida biologis sebagai produk komersial. Diantaranya adalah
Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae, verticillium, dan Hirsutella
thompsonii. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa Beauveria bassiana
menghasilkan racun (toksin) yang dapat mengakibatkan paralis secara agresif
pada larva dan imago serangga. Bebrapa jenis racun yang telah berhasil diisolasi
dari B. bassiana antara lain beauvericine, beauverolide, isorolide dan zat warna
serta asam oksalat (Mahr, 2003).
(a) (b)