ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974...
Transcript of ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974...
ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974
(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: Muhammad Imron
21112001
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017
i
ii
ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974
(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Muhammad Imron 21112001
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017
iii
Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si Dosen IAIN Salatiga PENGESAHAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
KepadaYth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka
naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Muhammad Imron
NIM : 211-12-001
Judul : ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA
TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan
Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam
sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 14 Februari 2017
Pembimbing,
Heni Satar Nurhaida SH., M.Si NIP.197011271999032001
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Lingkar Selatan Km. 2 Pulutan Salatiga Telp. (0298) 6031364 Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail:[email protected]
iv
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
Oleh: MUHAMMAD IMRON
NIM 211-12-001
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 27 Februari 20176dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).
Dewan Sidang Munaqosyah:
Ketua Penguji : Mahfud
Sekretaris Penguji : Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si
Penguji I : Sukron Ma’mun
Penguji II : Lutfiana Zah
Salatiga, 14 Februari 2017 Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga, Dra. Siti Zumrotun, M.Ag NIP. 19670115 199803 2 002
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYRI’AH Jl. Lingkar Selatan Km. 2 Pulutan Salatiga Telp. (0298) 6031364
Website:www.iainsalatiga.ac.id Email:[email protected]
i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Muhammad Imron
NIM : 211-12-001
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syariah
Judul : ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974
(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapatdalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga,14 Februari 2017
Yang menyatakan,
Muhammad Imron
NIM: 211-12-001
ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Tidak perlu menjadi yang terbaik,
cukup dengan melakukan yang terbaik…
PERSEMBAHAN
Untuk orang tua tercintaku
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Robbi yang Maha Rahman dan Maha Rahim yang telah menciptakan
manusia dengan sebaik-baiknya bentuk. Dengan petunjuk dan tuntunan-Nya, penulis
mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Agung Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jaman kebodohan menuju zaman
yang terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan, sehingga dapat
menjadikan kita bekal hidup kita baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis menyadari bahwa
tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi merupakan tugas yang berat.
Akhirnya dengan berbekal kekuatan, kemauan dan bantuan semua pihak, maka
penyusunan skripsi dengan judul: “ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI
PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama
Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)” ini bisa terselesaikan.
Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terima kasih yang tiada
taranya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Siti ZumrotunM.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.H.I.,M.Si.,selaku Kajur Hukum Keluarga Islam.
4. Ibu Heni Satar Nurhaida SH., M.Si.,selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
5. Ketua Pengadilan Agama Salatiga
iv
6. Bapak Ibu Dosen Syariah IAIN Salatiga.
7. Orang tua tercinta dan semua saudara-saudaraku.
8. Bapak/IbuPengurus maupun Pengasuh Panti Asuhan Daar Al Yatama
Tengaran
9. KAMMI Komisariat Salatiga.
10. Dan kepada semua teman-temanku yang sangat membantuku dalam
penyelesaian skripsi ini, khususnya Muhammad Husain.
Atas segala hal tersebut, penulis tidak mampu membalas apapun selain hanya
memanjatkan doa, semoga Allah SWT mencatat sebagai amal sholeh yang akan
mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya, untuk
itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna
kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat,
khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang membutuhkannya.
Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.
Salatiga, 14 Februari 2017
Penulis
v
ABSTRAK
Imron, Muhammad. 2016. Isbat Nikah Terhadap Nikah Siri Pasca Tahun 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL). Skripsi. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Fakultas Syariah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida SH,.M.Si., Kata Kunci: Penetapan Isbat Nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 oleh Pengadilan Agama Salatiga Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam mengabulkan isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Mengapa permohonan isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?; (2) Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan isbat nikah pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak. Sedangkan jenis penelitian ini adalah Penelitian Kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Temuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 dikabulkan dan bagaimanakah dasar pertimbangan hukumnya. Berdasarkan penelitian, alasan utama dikabulkannya isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 adalah karena para Pemohon sudah dikaruniai seorang anak, dan perkawinan yang para pemohon lakukan sudah sesuai dengan agama Islam. Dasar hukum pertimbangan Majelis Hakim adalah dengan berijtihad, melakukan diskresi hukum.
vi
DAFTAR ISI
JUDUL ...................................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO ............................................................................................ ii
JUDUL ...................................................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................................................. vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. viii
ABSTRAK ................................................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7
E. Penegasan Istilah ............................................................................ 7
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8
G. Metode Penelitian ........................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 17
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan ...................................................................................... 19
a. Pengertian Pernikahan .............................................................. 19
b. Hukum Pernikahan ................................................................... 20
c. Rukun dan Syarat Sahnya Pernikahan ...................................... 22
B. Pernikahan Siri ............................................................................... 26
a. Pengertian Nikah Siri ............................................................... 26
b. Hukum Pernikahan Siri ............................................................ 27
vii
c. Pendapat Para Ahli tentang Nikah Siri ..................................... 33
d. Hal-hal yang Melatarbelakangi Terjadinya PernikahanSiri ..... 35
e. Dampak Praktik Pernikahan Siri .............................................. 36
f. Pengesahan Pernikahan Siri ..................................................... 37
C. Isbat Nikah ..................................................................................... 40
a. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah ............................... 40
b. Hal-hal yang Boleh Diajukannya Permohonan Isbat Nikah .... 44
c. Pihak-pihak yang Bisa Mengajukan Isbat Nikah ..................... 45
d. Prosedur Isbat Nikah ................................................................ 45
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga .................................................. 50
a. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga ......................................... 50
b. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga ........ 56
c. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga ............................... 57
d. Struktur Pengadilan Agama Salatiga ........................................ 58
e. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga ................................ 58
B. Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL .............................................................. 60
a. Duduk Perkara Pada Permohonan Penetapan Isbat Nikah Siri
Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL 60
b. Penyelesaian Permohonan Penetapan Isbat Nikah Siri
Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ........................................................ 62
c. Dasar Pertimbangan Hukum Penetapan Isbat Nikah Siri
Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL 67
viii
BAB IV ANALISIS PENETAPAN ISBAT NIKAH SIRI PENGADILAN
AGAMA SALATIGA NOMOR 0076/Pd.P/2014/PA.SAL
A. Dikabulkannya Permohonan Isbat Nikah Siri Oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Salatiga pada Permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL .............................................................. 72
a. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Permohonan
Isbat Nikah ............................................................................... 72
b. Analisis Dikabulkannnya Permohonan Isbat Nikah Siri Oleh
Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga pada Permohonan
Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ............................................ 73
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim terhadap
Penetapan Isbat Nikah SiriPengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL .............................................................. 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 85
B. Saran ............................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah salah satu sunatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan,
sebagaimana firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49 yang artinya:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah” (Sabiq, 1980:7).
Perkawinan mempunyai tujuan seperti dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 pada pasal 1 yang disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir, 2007:13).
Setiap calon pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan
hendaknya memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan itu
sendiri.Seperti rukun dan syarat sahnya perkawinan. Di Indonesia, suatu
perkawinan wajib hukumnya untuk dicatatkan sebagaimana bunyi pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974: “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
1
Dalam hal pencatatan perkawinan ini juga diatur dalam pasal 5
Kompilasi Hukum Islam. Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Selanjutnya, di pasal 6 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan lebih lanjut
yaitu:
(1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.
(2) Perkawinan yang dilangsungkan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Meskipun telah dipaparkan secara jelas dalam undang-undang, namun
pada praktiknya pernikahan yang tidak dicatatkan masih banyak terjadi.
Pernikahan yang tidak dicatatkan ini disebut dengan nikah siri.Ada banyak
faktor yang menyebabkan nikah siri tumbuh subur di kalangan masyarakat
Indonesia.Akan tetapi, nikah siri tetap dianggap illegal dan tidak berkekuatan
hukum, karena tidak ada bukti otentik berupa akta nikah, sehingga tidak
mendapat perlindungan hukum dari negara.
2
Untuk memberikan legitimasi nikah siri atau perkawinan yang tidak
dicatatkan kadang ditempuh dengan permohonan isbat nikah ke Pengadilan
Agama.Isbat nikah yang sering disebut dengan pengesahan nikah adalah
kewenangan Pengadilan Agama yang merupakan perkara voluntair.Perkara
voluntair adalah perkara permohonan yang hanya terdiri dari pemohon
saja.Oleh karena itu, perkara voluntair tidak disebut sebagai perkara karena
tidak ada pihak lawan atau tidak ada objek hukum yang disengketakan.
Dalam pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama yang telah dirubahdengan Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi
absolutePengadilan Agama diantaranya adalah isbat nikah, yaitu pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Landasan yuridis isbat nikah terdapat dalam pasal 49 ayat (2) Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006.Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa
kompetensi absolute Pengadilan Agama tentang isbat nikah adalah
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bukan
perkawinan yang sesudahnya.
Dalam praktik, permohonan isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan
Agama sekarang ini pada umumnya sekitar 95% adalah perkawinan yang
dilangsungkan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Yang menjadi pertanyaan, dapatkah Pengadilan Agama
3
mengisbatkan perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Dalam Pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
dapat dipahami bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak
dicatatkan/nikah siri) yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk diisbatkan
hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena ketentuan tersebut, tidak memberi
sinyal kebolehan Pengadilan Agama untuk mengisbatkan perkawinan yang
dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, meskipun
perkawinan itu telah dilakukan menurut ketentuan hukum Islam(terpenuhi
rukun dan syaratnya) tapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah,
maka perkawinan itu tidak boleh diisbatkan oleh Pengadilan Agama.
Pengabulan permohonan isbat nikah oleh Pengadilan Agama terhadap
perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). DalamPasal 7
ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan:
(1) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(2) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
4
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
N0. 1 Tahun 1974; dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dari pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam di atas, telah jelas
disebutkan batasan-batasan dibolehkannya melakukan isbat nikah. Akan
tetapi, di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2014 lalu telah mengabulkan
isbat nikah terhadap nikah siri dari sepasang suami isteri yang telah
melangsungkan perkawinannya pasca tahun 1974. Hal ini berarti bahwa
Pengadilan Agama Salatiga melegitimasi dan mengakui perkawinan yang
melanggar hukum. Di samping itu, secara sosiologis pengkabulan isbat nikah
terhadap perkawinan yang yang dilakukan setelah berlakunya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 akan menumbuhsuburkan praktik nikah siri di
masyarakat, karena pada akhirnya perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah
siri) itu dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama.
Hal inilah yang menurut penulis menarik untuk diteliti, karena
penetapan Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga pada perkara No.
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL tentang pengkabulan isbat nikah tersebut tidak
sesuai dengan apa yang telah diatur dan ditentukan dalam pasal 7 ayat (3)
Kompilasi Hukum Islam.
5
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis akan mencoba meneliti
lebih dalam melalui penulisan skripsi yang berjudul ISBAT NIKAH
TERHADAPNIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974(Studi Analisis
Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa permohonan isbat nikahterhadap nikah siri pasca tahun 1974
pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan
isbat nikah pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan-alasan dikabulkannya isbat nikah terhadap nikah
siri pasca tahun 1974 pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam
mengabulkan isbat nikah permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
6
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari dan mendalami
ilmu hukum, khususnya tentang permohonan isbat nikah di Pengadilan
Agama.
b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum, serta
berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang hukum
perkawinan, terutama terkait dengan masalah isbat nikah masa kini
dan masa yang akan datang.
2. Secara praktis:
Penelitian ini bermafaat untuk mendapatkan gelar sarjana bagi penulis.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam penelitian ini,
maka perlu penulis kemukakan pengertian istilah-istilah yang ada dalam judul
skripsi ini, yakni sebagai berikut:
1. Isbat Nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami isteri
yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan
pengakuan dari Negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh
keduanya beserta anak-anak yang lahir selama pernikahan, sehingga
pernikahannya tersebut berkekuatan hukum.
7
2. Nikah Siri adalahpernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang
ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di
instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
3. Pasca tahun 1974 adalah sesudah tahun 1974.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang isbat nikah ini berpotensi mempunyai kesamaan
dengan penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya. Maka dari itu,
penulis akan memaparkan gambaran umum tentang penelitian-penelitian isbat
nikah yang sebelumnya. Adapun tujuan dari pemaparan tersebut adalah untuk
menghindari penelitian ulang yang sama persis, sehingga penelitian kali ini
benar-benar beda dari penelitian yang pernah dilakukan orang lain.
Adapun penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya tentang
isbat nikah adalah sebagai berikut:
1. Skripsi karya Asa Maulida Sulhah, Jurusan Syariah Program Studi Ahwal
Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga 2012 yang berjudul “Pelaksanaan Isbat
Nikah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga)”.
Dalam penelitian tersebut terdapat tiga rumusan masalah, yaitu:
1) Faktor apa yang mendorong masyarakat Salatiga untuk melaksanakan
isbat nikah?
8
2) Bagaimana pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama Salatiga?
3) Apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan isbat nikah tersebut?
Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1) Faktor pendorong masyarakat Salatiga untuk mengajukan isbat nikah
adalah karena akta nikah hilang.
2) Untuk mengajukan permohonan isbat nikah, pemohon harus mendaftar
ke PA setempat dengan membawa surat permohonan isbat nikah.
Setelah itu membayar panjar biaya perkara, dan menunggu panggilan
sidang. Tata cara persidangannya pun sama dengan persidangan
lainnya, yaitu pembacaan permohonan, keterangan pemohon,
pembuktian, kesimpulandan penetapan.
3) Dasar pertimbangan Hakim dalam menetapkan isbat nikah adalah UU
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan BAB II KHI tentang
Dasar-dasar Perkawinan. Selain itu, Majelis Hakim juga melihat fakta-
fakta hukum yang timbul dari keterangan pemohon, surat bukti dan
keterangan saksi.
2. Skripsi yang berjudul “Isbat Nikah dalam Rangka Poligami (Studi Putusan
Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)”.
Dalam skripsi karya Achmad Kurniawan, Jurusan Syariah Program Studi
Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga 2014 tersebut terdapat dua
rumusan masalah, yaitu:
9
1) Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam
rangka poligami?
2) Apakah dasar hukum hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam
rangka poligami?
Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1) Dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dikarenakan
seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan
tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap
perkawinan tersebut. Isbat nikah pemohon hanya untuk kepentingan
pencatatan dan masa depan anak, dan hakim melihat pada aspek
“Dar’ul mafaasidi muqoddamun ‘ala jalbil mashalihi”.
2) Dasar hukum Majelis Hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam
rangka poligami adalah Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974,
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya. Meskipun perkawinan
tersebut tidak dilakukan dihadapan PPN, namun perkawinan tersebut
tetap dianggap sah dan kemudian bisa diisbatkan.
3. Skripsi yang berjudul “Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili
Isbat Nikah pada Perkawinan yang Dilaksanakan Pasca Berlakunya UU
Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama
Mungkid Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)” karya Widodo, Jurusan
10
Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Salatiga 2015, yang mana
dalam penelitian tersebut terdapat dua rumusan masalah, yaitu:
1) Apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Mungkid mengabulkan permohonan isbat nikah perkara Nomor:
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd?
2) Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili isbat
nikah menurut Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan Kompilasi
Hukum Islam?
Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1) Dasar hukum yang dijadikan landasan Majelis Hakim adalah Pasal 7
ayat 3 huruf (e) KHI, diperkuat dengan pengakuan para pihak. Alasan
lain yang dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam mengabulkan
permohonan para pemohon adalah pertimbangan maslahah bagi
masyarakat.
2) Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan isbat
nikah diatur dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 UU No. 3
Tahun 2006. Tidak ada pertentangan antara ketentuan menurut Pasal
49 huruf (a) angka 22 UU No. 3 Tahun 2006 dengan Pasal 7 ayat (3)
KHI. Penggunaan KHI sebagai dasar hukum oleh Hakim adalah
sebagai pengisi kekosongan hukum yang mengatur isbat nikah pada
perkawinan pasca UU Perkawinan. Dikarenakan UU No. 3 Tahun
11
2006 hanya mengatur tentang isbat nikah pada perkawinan sebelum
berlakunya UU Perkawinan, serta tidak ada pasal dalam UU tersebut
yang melarang Pengadilan Agama mengesahkan perkawinan yang
dilakukan setelah UU Perkawinan.
Dari beberapa skripsi yang telah penulis paparkan di atas, terdapat
perbedaan dengan skripsi yang akan penulis kerjakan. Adapun perbedaan
tersebut terletak pada rumusan masalah, yaitu:
1) Mengapa permohonan terhadap nikah siri pasca tahun 1974 pada
permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?
2) Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam
mengabulkan isbat nikah pada permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan banyak data guna
mendukung penulisan skripsi ini. Adapun metode yang dipakai meliputi:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Moleong,
2008:6).
12
Penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan
data dengan bahan atau materi salinan penetapan isbat nikah Pengadilan
Agama Salatiga. Selanjutnya dilakukan penelitian lapangan untuk
menggali lebih dalam alasan-alasan hakim mengabulkan permohonan isbat
nikah terhadap nikah siri yang dilaksanakan pasca tahun 1974 serta
bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan isbat
nikah tersebut.
Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan
yuridis normatif, dimana penelitian ini sering disebut dengan penelitian
doktriner, dimana data yang digunakan adalah sumber data
sekunder.Prosesnya bertolak dari premis-premis yang berupa norma-
norma hukum positif yang diketahui dan berakhir pada penemuan asas-
asas hukum yang menjadi pangkal tolak pencarian asas adalah norma-
norma hukum positif (Ali, 2010:25).Atau singkatnya,metode pendekatan
yuridis normatif adalah pendekatan yang meneliti data sekunder di
bidanghukumyang ada sebagai data kepustakaan.
2. Kehadiran Peneliti
Dalampenelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus
menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah alat
perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen ini
hanya sebagai pendukung.Oleh karena itu, kehadiran penulis di lapangan
13
mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk mencari
dokumen salinan penetapan isbat nikah yang akan dijadikan bahan analisis
serta untuk melakukan wawancara dengan hakim guna menggali
keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui statusnya
sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di lakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang
beralamat di Jalan Lingkar Selatan, Dukuh Jagalan RT 14 RW 05
Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Lokasi tersebut
dijadikan lokasi penelitian karena di lokasi tersebut terdapat objek
penelitian yang akan dikaji dan disesuaikan dengan judul yang penulis
pilih.
4. Sumber Data
a. Informan
Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moloeng, 2000:90).Dalam
penelitian ini yang menjadi informan adalah Majelis Hakim
Pengadilan Agama Salatiga yang menetapkan permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
b. Dokumen
Dokumen adalah data yang mencakup surat-surat resmi, buku-
buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan dan sejenisnya
14
(Moloeng, 2000:113). Dokumen dalam penelitian ini meliputi salinan
penetapan isbat nikah Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL, buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian ini, artikel ilmiah dan arsip-arsip yang mendukung.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto, 1998:145). Dalam hal ini penulis melakukan wawancara
kepada narasumber yang sangat berkaitan dalam penulisan skripsi
ini.Narasumber tersebut yaitu Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang
menetapkan permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
b. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
Dalam hal ini penulis mengambil dokumentasi berupa data tentang
dikabulkannya isbat nikah oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama
Salatiga, yang ada pada penetapan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
c. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-
bahan tertulis (Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku, surat kabar,
15
makalah, undang-undang dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan buku-buku tentang hukum perkawinan di Indonesia
maupun fiqh munakahat sebagai rujukan.Penulis juga menggunakan
hasil penelitian terdahulu yang berkaitan sebagai rujukan tambahan
dan pembanding.
6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis
dengan mengggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan hasil
penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum tentang
perkawinan, pernikahan siri, isbat nikah, kemudian mengemukakan
kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian terhadap penetapan
Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.p/2014/PA.SAL.Hasil
penelitian kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, data mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga untuk
mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik pemeriksaan
keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian (Lexy j. Moleong, 2009: 330). Untuk
melakukan triangulasi yaitu keterangan informan dicek dengan informan
16
lainnya, kemudian keterangan informan dicek dengan observasi dan
dokumentasi.
8. Tahap-tahap Penelitian
Penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama
Salatiga untuk mencari data awal mengenai kasus isbat nikah terhadap
nikah siri. Kemudian penulis melakukan pengembangan desain dari data
awal tadi dan selanjutnya melakukan penelitian yang sebenarnya, hingga
sampailah pada penulisan laporan hasil penelitian tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan untuk mempermudah
pemahaman skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka,
Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam hal ini penulis akan memaparkan kajian pustaka yang
menjelaskan tentang konsep pernikahan, pernikahan siri, dan isbat
nikah.
17
BAB III HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan gambaran umum Pengadilan
Agama Salatiga, salinan penetapan isbat nikahNomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dan faktor-faktor yang melatarbelakangi
dikabulkannya permohonan isbat nikah tersebut.
BAB VI PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikananalisis hukum terhadap
penetapan Majelis Hakim pada permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014.PA.SAL.
BAB V PENUTUP
Bab ini terdiri dari Kesimpulan dan saran.
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Kata nikah atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa
Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (az-zawaj). Nikah artinya
suatu akad yang menghalakan pergaulan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban
antara keduanya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan atau pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.
Adapun menurut syara`, nikah adalah akad serah terima antara laki-
laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah serta
masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8). Sebagaimana disebutkan di
dalam UU No. 1 Tahun 1974 bab 1 pasal (1) bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad
yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang
19
sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal
dari pernikahan adalah boleh atau mubah.
Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan
sunnah Rosul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hokum asal
pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa melangsungkan akad pernikahan diperintah oleh agama dan
dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu maka pergaulan laki-laki
dengan perempuan menjadi mubah (Syarifudin, 2007:43).
2. Hukum Pernikahan
Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr.
Abdul Wahhab Sayyed Hawwas (Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir),
hukum pernikahan dibagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut:
a. Fardhu
Hukum nikah fardhu, pada kondisi seseorang yang mampu biaya
wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri
bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan
istri yakni pergaulan dengan baik. Demikian juga, ia yakin bahwa
jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedangkan
puasa yang dianjurkan Nabi tidak akan mampu menghindarkan
dari perbuatan tersebut.
20
b. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki
kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam
pergaulan yang baik dengan istri yang dinikahinya, dan ia
mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinaan apabila tidak
menikah. Keadaan seseorang seperti di atas wajib untuk menikah,
tetapi tidak sama dengan kewajiban pada fardu nikah di atas.
Karena dalam fardhu dalilnya pasti atau yakin (qath`i) sebab-
sebabnya pun juga pasti.Sedangkan dalam wajib nikah, dalil dan
sebab-sebabnya adalah atas dugaan kuat (zhanni), maka produk
hukumnya pun tidak qath`i tapi zhanni. Dalam wajib nikah hanya
ada unggulan dugaan kuat dan dalilnya wajib bersifat syubhat atau
samar. Jadi, kewajiban nikah pada bagian ini adalah khawatir
melakukan zina jika tidak menikah, tetapi tidak sampai ke tingkat
yakin.
c. Haram
Hukum nikah adalah haram bagi mereka yang tidak memiliki
kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika
menikah.
d. Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran.
Seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak
21
dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi
penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin.
e. Fardu, Mandub, dan Mubah
Seseorang dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak
khawatir dirinya melakukan maksiat zina sekalipun membujang
lama dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri. Para
ulama dalam hal ini berbeda pendapat tentang hukumnya.
Menurut kaum Zhahiriyah hukum nikahnya dalah fardhu.
Sedangkan menurut Ulama Asy-Syafi`iyah hukumnya adalah
mubah. Sementara itu, jumhur ulama menganggap bahwa hukum
nikahnya adalah sunnah muakkadah.
3. Rukun dan Syarat Sahnya Pernikahan
a. Menurut Islam
Menurut syariat agama Islam, setiap perbuatan hukum harus
memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok
dalam setiap perbuatan hukum, sedangkan syarat ialah unsur
pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.
Adapun rukun dan syarat nikah dalam Islam adalah sebagai
berikut:
1) Calon suami, syaratnya:
a) Beragama Islam;
b) Jelas bahwa ia adalah laki-laki;
22
c) Atas keinginan dan pilihan sendiri (tidak terkena paksaan);
d) Tidak beristri empat;
e) Tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon istri;
f) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon
istrinya;
g) Mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya;
h) Tidak sedang berihram haji atau umrah.
2) Calon istri, syaratnya:
a) Beragama Islam;
b) Jelas bahwa ia seorang perempuan;
c) Telah mendapat izin dari walinya;
d) Tidak bersuami;
e) Tidak sedang dalam masa iddah;
f) Tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suami;
g) Jika ia seorang janda, maka harus atas kemauan sendiri, bukan
karena dipaksa siapa pun;
h) Jelas ada orangnya;
i) Tidak sedang ihram haji maupun umrah.
3) Wali, syaratnya:
a) Laki-laki;
b) Beragama Islam;
c) Sudah baligh (dewasa);
23
d) Berakal;
e) Merdeka (bukan budak);
f) Adil;
g) Tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah.
4) Dua orang saksi, syaratnya:
a) Dua orang laki-laki;
b) Beragama Islam;
c) Baligh/dewasa;
d) Berakal;
e) Merdeka;
f) Adil;
g) Melihat dan mendengar;
h) Memahami bahasa yang digunakan dalam akad;
i) Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah;
j) Hadir dalam ijab Kabul.
5) Ijab dan Kabul, syaratnya:
a) Menggunakan kata yang bermakna menikah atau mengawinkan
baik bahasa Arab ataupun padanan kata itu dalam bahasa
Indonesia atau bahasa daerah sang pengantin;
b) Lafal ijab kabul diucapkan pelaku akad nikah;
c) Antara ijab dan kabul harus bersambung, tidak boleh diselingi
perkataan atau perbuatan lain;
24
d) Pelaksanaan ijab dan kabul harus berada pada satu tempat,
tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun dan tidak
dibatasi dengan waktu tertentu.
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Rukun dan syarat sahnya pernikahan menurut Kompilasi
Hukum Islam secara keseluruhan sama dengan yang terdapat dalam
agama Islam, karena berasal dari rujukan yang sama pula, yaitu Al-
Qur`an dan Hadits. Adapun rukun dan syarat pernikahan dalam
Kompilasi Hukum Islam dituangkan dalam Bab IV pasal 14 sampai
dengan pasal 38.
Selain itu, dalam pasal 4 Kompilasi Hukum Islam juga
disebutkan tentang syarat sahnya pernikahan, yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan”.
c. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara
tegastentang rukun dan syarat sahnya pernikahan. Akan tetapi dalam
pasal 2 telah dijelaskan bahwa:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya.
25
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
B. Pernikahan Siri
1. Pengertian Nikah Siri
Kata “siri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab “sirrun”,
yang berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, secara rahasia,
secara sembunyi-senbunyi atau misterius. Jadi, nikah siri berarti nikah
secara rahasia (secret marriag), pernikahan yang dirahasiakan dari orang
banyak.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan nikah siri atau
nikah bawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan
syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan
resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Menurut DR. H. A. Gani Abdullah, SH., Hakim Agung dalam
Mimbar Hukum Nomor 23 Tahun 1995 mengatakan, untuk mengetahui
apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur siri atau tidak, dapat
dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai perkawinan legal.
Apabila salah satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan itu dapat
diidentifikasikan sebagai pernikahan siri. Tiga indikator itu adalah:
Pertama, subjek hukum akad nikah, terdiri dari calon suami, calon isteri,
26
dan wali nikah yaitu orang yang berhak menjadi wali, dan dua orang
saksi; Kedua, kepastian hukum dari perkawinan tersebut, yaitu ikut
hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat n ikah dilangsungkan; Ketiga,
walimatul ursy, yaitu kondisi yang sengaja diciptakan untuik menunjukkan
kepada masyarakat luas bahwa diantara kedua calon suami isteri tadi telah
resmi menjadi suami isteri.
Dari ketiga indikator tersebut, suatu perkawinan dapat
diklasifikasi sebagai kawin atau nikah siri jika unsur kedua dan ketiga
tidak terpenuhi, yaitu pernikahan tidak dipublikasikan kepada masyarakat
dan tidak dicatatkan pada Pegawai pencatat Nikah.
2. Hukum Pernikahan Siri
a. Menurut Hukum Positif
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun
1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan
diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan
yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
27
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan
terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat (1) ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu
perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul
telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah
melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan
tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan
kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam
hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan,
tentang pencatatan perkawinan .Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk
memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan
tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI “Perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”).
Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan
28
dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta
Perkawinan.
b. Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk
menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul
‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai
berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah
muakkadah). Nabi saw bersabda :
ثـنا أومل ولو بشاة حد
Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga
pengertian:
Pengertian Pertama: Nikah Siri adalah pernikahan yang
dilakukan secara sembunyi - sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah
pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al
Umm 5/ 23:
أخربنا مالك عن أيب الزبـري قال أتى عمر بنكاح مل يشهد عليه إال رجل وامرأة فقال هذا نكاح
السر وال أجيزه ولو كنت تـقدمت فيه لرمجت
29
Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam ( pelakunya ).
Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra :
أن النيب صلى اهللا عليه وسلم �ى عن نكاح السر
Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri. (HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama. Adapaun rawi-rawi lainnya semuanya tsiqat (terpercaya). Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya
tidak sah.
Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri
oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh
mengumumkannya kepada khayalak ramai.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa nikah seperti ini
hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya
adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’I, Imam Ahmad. Dalilnya adalah hadist Aisyah ra,
bahwa Rasulullah saw bersabda:
ال نكاح إال بويل وشاهدي عدل
30
Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. (HR Daruqutni dan al Baihaqi).
Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (al-Muhalla: 9/465)
Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah
dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi
diumumkan kepada khayalak ramai.Selain itu, mereka juga
mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah (akad
timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada syarat untuk
diumumkan, sebagaimana akad jual beli.
Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan
tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga
tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.Adapun
perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist
menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa nikah seperti ini
hukumnya tidak sah.Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan
sebagian dari ulama madzhab Hanabilah. Bahkan ulama Malikiyah
mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau
membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib
ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah
melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan
sanksi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua
31
mempelai tersebut. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan
oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda :
فصل بین الحالل والحرام الدف والصوت
Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara.(HR an Nasai dan al Hakim dan beliau menshohihkannya serta dihasankan yang lain) Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda :
ف أعلنوا النكاح، واجعلوه في المساجد، واضربوا علیھ بالد
Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya.( HR Tirmidzi, Ibnu Majah )
Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan
dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab
qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA ..
Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga
ini?Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam katagori ini,
hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena
syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.Sedangkan
menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada
32
RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan
sanksi hukum.
c. Menurut Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa
tentang nikah di bawah tangan atau nikah siri dengan dua ketentuan
hukum (Amin, 2011:534), yakni:
(1) Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi
syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif
(madharrah);
(2) Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang,
sebagai langkah preventif untuk menolak hal-hal yang
bersifat madharrah.
3. Pendapat Para Ahli tentang Nikah Siri:
a. Menurut Husein Muhamad, seorang komisioner komnas perempuan
menyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara siri
merupakan pernikahan terlarang karena pernikahn tersebut dapat
merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru melindungi
perempuan bukan malah merugikannya.
b. Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar muslim kontemporer
terkemuka di Islam berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama
ada ijab kabul dan saksi.
c. Dadang Hawari berpendapat bahwa nikah siri adalah haram.
33
d. KH. Tochri Tohir menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak
pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara.
Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu upaya
untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan
Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan
nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri
semacam itu, tetap sah secara agama, namun perkawinannya menjadi
tidak berkah.
e. Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam Indonesia,
mantan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama yang juga
mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta, menyatakan bahwa
ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi
lebih dari itu nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak
menurutnya ada tiga aspek yang mendasari perkawinan, yaitu: agama,
hukum dan sosial, nikah yang disyariatkan Islam mengandung ketiga
aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka pincang.
f. Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan
nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikah yang
tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum
agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah
tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan
34
setiap muslim untuk taat pada ulul amri selama tidak bertentangan
dengan hukum Allah (Shihab, 1998:204).
4. Hal-hal yang Melatarbelakangi Terjadinya Pernikahan Siri
a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat
Masih banyak diantara masyarakat kita yang belum memahami
sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun
dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari
mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya
sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau
pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi;
belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat
dari pencatatan perkawinan tersebut.
b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap
ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan.
c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974
merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan.Ketentuan ayat (1) dan
(2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif,
bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum
dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar
bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka.
35
Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal
tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang
melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan
dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.
d. Ketatnya izin poligami
Ketatnya izin untuk melakukan poligami dapat memicu
seorang laki-laki untuk melangsungkan pernikahan siri, terutama bagi
pegawai negeri dan anggota militer.Hal ini karena pernikahan siri lebih
sederhana dan mudah dilakukan.
5. Dampak Praktik Pernikahan Siri
a. Bagi Wanita/Isteri:
Dalam hal ini, wanita paling banyak mendapatkan kerugian,
yaitu tidak diakuinya sebagai isteri yang sah, tidak berhak atas nafkah
dari suami, tidak berhak mendapatkan harta warisan jika suami
meninggal, tidak berhak atas harta gono-gini bila terjadi perceraian,
karena secara hukum positif pernikahan tersebut dianggap tidak
pernah terjadi.
b. Bagi Anak:
Tidak sahnya pernikahan siri menurut hukum negara memiliki
dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yaitu
status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak
sah.Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata
36
dengan ibu dan keluarga ibu.Artinya, si anak tidak mempunyai
hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU
Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya
dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama
ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar
nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat
mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan
hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu
waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak
kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak
atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari
ayahnya.
c. Bagi Suami:
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan
bagi diri laki-laki atau suami yang menikah siri dengan seorang
perempuan.Yang terjadi justru menguntungkan pihak suami, karena
suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang
di siri dianggap tidak sah dimata hukum.Selain itu suami bisa berkelit
dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah, baik kepada
istri maupun kepada anak-anaknya.Suami juga tidak dipusingkan
dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.
37
6. Pengesahan Pernikahan Siri:
a. Mencatatkan perkawinan dengan isbat nikah
Esensinya adalah pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi
tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum.
Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7 yaitu :
1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
(a) Dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya akta nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang- Undang No. 1 Tahun 1974; dan
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974.
38
4) Yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami
atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.
b. Melakukan pernikahan ulang
Pernikahan yang dilakukan layaknya pernikahan secara agama,
yang tujuannya untuk melengkapi pernikahan pertama (siri).Namun
pernikahan ini harus disertai dengan pencatatan pernikahan oleh
pejabat yang berwenang (KUA).
Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status
bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam
perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena
perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang
dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya,
dalam akta kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap
sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah
perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam
perkawinan.
Adapun cara yang dapat ditempuh jika dalam perkawinan siri
tersebut telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan
anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya,
39
pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun,
berdasarkan Pasal 43 Undang undang No. 1 Tahun 1974 yang pada
intinya menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak
mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk
mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat
melakukan pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur
dalam Pasal 284 KUH Perdata.
C. Isbat Nikah
1. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah
Menurut bahasa, isbat nikah terdiri dari dua kata yaitu kata “isbat”
yang merupakan masdar atau asal kata dari “atsbata” yang memiliki arti
“menetapkan”, dan kata “ nikah” yang berasal dari kata “nakaha” yang
memiliki arti “saling menikah”, dengan demikian kata “isbat nikah”
memiliki arti yaitu “penetapan pernikahan”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah
penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Isbat nikah adalah
pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat
agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang
berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan).
40
Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan
kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan.Dalam aspek ini
sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang
perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa dengan
perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-
undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUPerkawinan dan
penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu
perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan
para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUPerkawinan.
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan
pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak
41
suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu
sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan
mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah
perkawinan.
Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut
dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang
berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan
bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama
tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-
Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti
perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah
tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata tersebut, adanya suatu perkawinan
hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang
dicatat dalam register.Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah
merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan lain,
perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor
Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah
merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta
42
perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada
perkawinan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-
satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu
walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang
menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah
yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang
perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4
Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa “perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2
ayat (1) UU No. 1 Tahun1974 tentang perkawinan. Pasal 5 KHI
merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatan perkawinan tersebut
pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No.
32 Tahun 1954.
Selanjutnya Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi
ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah; (2)
perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan Hukum.
43
Pasal 7 menyebutkan bahwa: (1) perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah;
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama; (3) itsbat nikah yang
dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keraguan tentang sah
atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) Adanya perkawinan yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan; (e)
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974; (4) yang berhak
mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak
mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Sedangan dari hukum syar’i sendiri secara eksplisit memang tidak
satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan keharusan
adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi seperti sekarang
ini, pencatatan perkawinan menjadi sebuah keharusan bagi seseorang, hal
ini disebabkan karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan jika
tidak dilakukan pencatatan. Islam menggariskan bahwa setiap
kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana
ungkapan sebuah kaedah fikih yang berbunyi: “Kemudharatan harus
dihilangkan”.
44
2. Hal-hal yang Boleh Diajukannya Permohonan Isbat Nikah
Hal-hal yang bisa diajukannya isbat telah diatur dalam pasal 7 ayat
(3) Kompilasi Hukun Islam, yang berbunyi:
“Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang N0. 1 Tahun 1974; dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”.
3. Pihak-pihak yang Bisa Mengajukan Isbat Nikah
Seseorang yang berhak mengajukan isbat nikah, telah dijelaskan
dalam pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “Yang
berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-
anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu”.
4. Prosedur Isbat Nikah
Prosedur dalam permohonan pengesahan nikah/Itsbat nikah
samahalnya dengan prosedur-prosedur pengajuan perkara perdata yang
45
lain,yaitu sebagaimana di jelaskan didalam buku Peradilan Agama di
Indonesia. Adapunpemaparannya secara jelas tentang tata cara berperkara
di Pengadilan Agama yaitu:
a. Datang dan mendaftar ke Kantor Pengadilan Agama
(1) Mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal
penggugat/pemohon. Untuk menyatakan bahwa dirinya ingin
mengajukan gugatan atau permohonan. Gugatan atau permohonan
dapat diajukan dalam bentuk surat atau secara lisan, atau juga dapat
dengan menggunakan kuasa yang telah ditunjuk kepada ketua
Pengadilan Agama dengan membawa surat bukti identitas
diri(KTP);
(2) Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat permohonan dapat
dibuat sendiri (seperti terlampir) atau dapat meminta bantuan
kepada Pos Bakum (Pos Bantuan Hukum) yang ada pada
pengadilan setempat secara cuma-Cuma;
(3) Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah sebanyak 5
rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir yang
telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan
kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi untuk dokumen pribadi
penggugat/pemohon;
(4) Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat
keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat;
46
(5) Penggugat wajib membayar uang muka atau biaya ongkos
berperkara (pasal 121 ayat (4) HIR);
(6) Panitera pendaftaran perkara menyampaikan gugatan/permohonan
kepada bagian berperkara sehingga gugatan secara resmi dapat
diterima dan didaftarkan dalam buku register;
(7) Setelah didaftarkan, gugatan/permohonan diteruskan kepada Ketua
Pengadilan Agama dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal
perkara dan ditentukan hari sidangnya;
(8) Ketua Pengadilan Agama menentukan majelis Hakim yang akan
mengadili dan menentukan hari sidang.
b. Menghadiri Persidangan
(1) Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang
tertera dalam surat panggilan;
(2) Hakim ketua atau anggota majelis Hakim (yang akan memeriksa
perkara)memeriksa kelengkapan surat gugatan;
(3) Panitera memanggil penggugat/pemohon dan tergugat dengan
membawa surat panggilan sidang secarat patut;
(4) Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam Berita Acara
Persidangan(BAP);
(5) Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti Surat Panggilan
Persidangan, fotokopi formulir permohonan yang telah diisi.
Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para
47
Pihak, misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam
kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan
isi permohonan;
(6) Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada
Pemohon/Termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan
waktu sidang berikutnya. Bagi Pemohon/Termohon yang tidak
hadir dalam sidang,untuk persidangan berikutnya akan dilakukan
pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat;
(7) Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan para pihak
harus mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan
permintaan hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta
pemohon/penggugat untuk menghadirkan saksi-saksi yaitu orang
yang mengetahui pernikahan tersebut, diantaranya wali nikah dan
saksi nikah, atau orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahan
para pihak tersebut.
c. Putusan/Penetapan Pengadilan
(1) Jika permohonan dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkan
putusan/ penetapan itsbat nikah;
(2) Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam
jangkawaktu setelah 14 hari dari sidang terakhir;
48
(3) Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke
kantorPengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat
Kuasa;
(4) Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, bisa
meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan dengan
menunjukkan bukti salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut.
49
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga
1. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga
a. Masa Sebelum Penjajah
Pengadilan Agama Salatiga dalam bentuk yang kita kenal
sekarang ini embrionya sudah ada sejak Agama Islam masuk ke
Indonesia.Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan
perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga
dan Kabupaten Semarang.
Masyarakat Islam di Salatiga dan di daerah Kabupaten
Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa, mereka
menyelesaikan perkaranya melalui Qodli (Hakim) yang diangkat oleh
Sultan atau Raja, yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari Waliyul
Amri yakni Penguasa tertinggi. Qodli (Hakim) yang diangkat oleh
Sultan adalah alim ulama' yang ahli di bidang Agama Islam.
b. Masa Penjajahan Belanda Sampai dengan Jepang
Ketika penjajah Belanda masuk Pulau Jawa khususnya di
Salatiga, dijumpainya masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan
menjalankan syari'at Islam, demikian pula dalam bidang Peradilan
umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkaranya menyerahkan
50
keputusannya kepada para hakim sehingga sulit bagi Belanda
menghilangkan atau menghapuskan kenyataan ini.
Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda
menghapus pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah mendarah
daging di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Salatiga, maka
kemudian pemerintah Kolonial belanda menerbitan pasal 134 ayat 2 IS
( Indische Staatsregaling ) sebagai landasan formil untuk mengawasi
kehidupan masyarakat Islam di bidang Peradian yaitu berdirinya Raad
Agama, disampingi itu pemerintah kolonial Belanda menginstruksikan
kepada para Bupati yang termuat dalam Staatblad tahun1820 No. 22
yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di
kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama.
Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun
1940, kantor yang ditempatinya masih menggunakan serambi Masjid
Kauman salatiga dengan Ketua dan Hakim Anggotanya diambil dari
Alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu 4 orang
yaitu K. Salim sebagai Ketua, K. Abdul Mukti sebagai Hakim Anggota
dan Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara serta seorang
pesuruh.
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota
Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan.Adapun
Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris, perkara
51
gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada waktu penjajahan
Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad Agama Salatiga
masih belum ada perubahan yang berarti yaitu pada tahun 1942 sampai
dengan 1945 karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan Jepang
dihadapkan dengan berbagai pertempuran dan Ketua beserta stafnya
juga masih sama.
c. Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945,
Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa.Kemudian
pada tahun 1949 Ketua dijabat olehK. Irsyamyang dibantu 7 pegawai.
Kantor yang ditempati masih menggunakan serambi Masjid Al-Atiq
Kauman Salatiga dan bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama
Kecamatan Salatiga yang sama-sama mengunakan serambi Masjid
sebagai kantor. Kemudian kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah
dari serambi Masjid Al-Atiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No. 72
Salatiga sampai tanggal 30 April 2009 dan setelah sekian lama kantor
Pengadilan Agama Salatiga pindah ke gedung baru pada tanggal 1 Mei
2009 di Jl. Lingkar Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga.
Kemudian kantor lama digunakan sebagai arsip-arsip dan rumah dinas.
Kemudian pada tahun 1953 Ketua dijabat oleh K. Moh Muslih, pada
tahun 1963 Ketua dijabat oleh KH.Musyafa'.Pada tahun 1967 Ketua
dijabat oleh K. Sa'dullah, semua adalah alumnus Pondok Pesantren.
52
d. Masa Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Sejak kehadiran dan berlakunya Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 pada tanggal 17 Desmber 1970 kedudukan dan posisi
Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan
Agama Salatiga, namun umat Islam Indonesia masih harus berjuang
karena belum mempunyai Undang-undang yang mengatur tentang
keluarga muslim. Melalu proses kehadirannya pada akhir tahun 1973
membawa suhu politik naik. Para ulama dan umat Islam di Salatiga
juga berjuang ikut berpartisipasi, akan terwujudnya Undang-undang
perkawinan, maka akhirnya terbitlah Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974.
Setelah secara efektif Undang-undang Perkawinan berlaku
yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975.Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap
seperti dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya
semakin mantap karena banyak perkara yang harus ditangani oleh
Pengadilan Agama.
Di Pengadilan Agama Salatiga banyak perkara masuk yang
menjadi kewenangannya. Volume perkara yang naik yaitu perkara
Cerai Talak disamping Cerai Gugat dan juga banyak masuk perkara
Isbat Nikah ( Pengesahan Nikah ), karena di Pengadilan Agama
53
Salatiga yang wilayahnya sangat luas yaitu meliputi Daerah Kota
Salatiga dan Kabupaten Semarang.
Maka melalui SK Menteri Agama Nomor 95 tahun 1982
tanggal 2 Oktober 1982 Jo.KMA Nomor 76 Tahun 1983 tanggal 10
Nopember 1982 berdirilah Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran.
Adapun penyerahan wilayah yaitu dilaksanakan pada tanggal 27 April
1984 dari Ketua Pengadilan Agama Salatiga Drs. A.M.
SamsudinAnwar kepada Ketua Pengadilan Agama Ambarawa yaitu
sebagian wilayah Kabupaten Semarang dan wilayah hukum
Pengadilan Agama Salatiga yang ada sekarang tinggal 13 Kecamatan
yaitu :
Yang masuk wilayah Kota Salatiga ada 4 Kecamatan:
1. Kecamatan Sidorejo
2. Kecamatan Sidomukti
3. Kecamatan Argomulyo
4. Kecamatan Tingkir
Yang masuk wilayah Kabupaten Semarang ada 9 Kecamatan:
1. Kecamatan Bringin
2. Kecamatan Bancak
3. Kecamatan Tuntang
4. Kecamatan Getasan
5. Kecamatan tengaran
54
6. Kecamatan Susukan
7. Kecamatan Suruh
8. Kecamatan Pabelan
9. Kecamatan kaliwungu
e. Masa Berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
posisi Pengadilan Agama Salatiga semakin kuat, Pengadilan Agama
berwenang menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui
Pengadilan Negeri, selain itu hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Negeri.Untuk melaksanakan tugas pemanggilan dan pemberitahuan,
sudah ada petugas Jurusita.
Untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Pengadilan
Agama ini, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan bimbingan dan
pembinaan dari Departemen Agama RI dan secara teknis Yustisial
mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI dan Pengadilan
Tinggi Agama.
Struktur organisasi Pengadilan Agama juga disesuaikan dengan
Peradilan Umum dan Peradilan lainnya, sehingga status kedudukannya
menjadi sederajat dengan Peradilan lain yang ada di Indonesia, dari
segi fisik dan jumlah personil Pengadilan Agama Salatiga masih
ketinggalan dari Peradilan Umum, hal ini disebabkan karena dana
55
yang tersedia untuk sarana fisik kurang memadai, namun kwalitas
sumber daya manusia Pegawai Pengadilan Agama Salatiga sama dan
sejajar dengan Peradilan Umum bahkan melebihi, karena tenaga yang
direkrut harus malalui seleksi yang ketat dan memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan.
Sejak Pengadilan Agama mendapatkan pembinaan dari
Mahkamah Agung RI mulai diadakan pemisahan jabatan antara
Kepaniteraan dan Kesekretariatan begitu juga rangkap jabatan antara
Jurusita dan Panitera Pengganti, bagi para Hakim juga diberi tugas
Pengawasan bidang-bidang.Upaya pembenahan di Pengadilan Agama
Salatiga selalu ditingkatkan.
Pengadilan Agama Salatiga sampai tahun 2004 belum
memenuhi standar gedung Pengadilan, yang ada sekarang adalah
bangunan rumah kuno peninggalan zaman Belanda, selain itu balai
sidang dan ruang-ruang lainnya sangat sempit.
Demikianlah keadaan sejarah Pengadilan Agama Salatiga
sampai saat ini sehingga untuk menyesuaikan dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagai Court of Law perlu pembenahan lebih
lanjut.
2. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga
a. Staatsblaad tahun 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura.
56
b. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 tahun
1983 Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan
wilayah Hukum Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Propinsi dan
Pengadilan Agama serta Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah.
3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga
a. Visi
Mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu
pelakukekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan
berwibawa.
b. Misi
(1) Mewujudkan rasa keadilan masayarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati
nurani;
(2) Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan Independen, bebas dari
campur tangan pihak lain;
(3) Meningkatkan pelayanan di bidang peradian kepada masyarakat
sehingga tercapai peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan;
(4) Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia aparat peradilan
sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional
dan proposional;
(5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan
bermartabat dalam melaksanakan tugas.
57
4. Struktur Pengadilan Agama Salatiga
5. Kewenangan Pengadilan Agama salatiga
a. Kompetensi Relatif
Kompetensi Relatif adalah kekuasaan atau dasar wilayah
hukum dan dapat diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaanya dengan kekuasaan
Pengadilan yang mana dan jenis sama tingkatannya. Kekusaan relatif
58
ini diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989. Sehingga, Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum
tertentu atau mempunyai “yuridiksi relatif” tertentu dalam hal ini
meliputi Kotamadya, atau satu Kabupaten, atau dalam keadaan tertentu
sebagai pengecualian.
Adapun kewenangan relatif Pengadilan Agama Salatiga adalah
meliputi Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang yang terdiri dari
tiga belas Kecamatan yang terdiri dari dua ratus tujuh puluh sembilan
Desa serta meliputi wilayah Kota Salatiga dengan empat Kecamatan.
Adapun empat kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah
Kota Salatiga adalah Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Sidomukti,
Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Tingkir. Sedangkan sembilan
kecamatan wilayah Kabupaten Semarang yang masuk dalam
kewenangan relatif Pengadilan Agama Salatiga adalah Kecamatan
Bringin, Kecamatan Bancak, Kecamatan Tuntang, Kecamatan
Getasan,Kecamatan Tengaran, Kecamatan Susukan, KecamatanSuruh,
Kecamatan Pabelan, dan Kecamatan Kaliwungu.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi (kewenangan) absolut adalah weewenang suatu
peradilan yang sifatnya mutlak dan dapat diartikan kekuasan
Pengadilan yang sehubungan dengan jenis perkara atau jenis
59
Pengadilan atau tingkat Pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis
perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya.
Tugas pokok dari Pengdilan Agama sesuai dengan ketentuan
Pasal 2 jo. Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama
Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
B. Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
1. Duduk Perkara Pada Permohonan Penetapan Isbat Nikah Siri
Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
Perkara yang diteliti oleh penulis adalah mengenai permohonan isbat
nikah siri dimana pernikahan yang bersangkutan dilakukan setelah
berlakunya UU Perkawnian. Permohonan isbat nikah siri tersebut diajukan
oleh Badrudin bin Munaji (selanjutnya disebut Pemohon I) dan Wagiyem
binti Jumadi (selanjutnya disebut Pemohon II). Permohonan didaftarkan
ke Kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 27 Oktober
2014, dengan nomor permohonan 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan pernikahan pada
tanggal 26 Oktober 2009 di Tetep RT 04 RW 03 Kelurahan Randuacir
Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga. Adapun yang bertindak sebagai
60
wali nikah adalah ayah kandung Pemohon II yang bernama Jumadi,
dengan mahar berupa uang Rp.50.000,- dibayar tunai. Sedangkan yang
menjadi penghulu adalah Bp. Kyai dengan dua orang saksi yang bernama
Kamto bin Mitro Sutari dan Wasimin bin Kusrin.
Pada waktu menikah Pemohon I berstatus duda (cerai) dalam usia
54 tahun sementara Pemohon II berstatus janda (cerai mati) dalam usia 36
tahun. Pernikahan Pemohon I dan Pemohon II tidak tercatat di KUA
Kecamatan Argomulyo.Setelah akad nikah hingga permohonan ini
diajukan, Pemohon I dan Pemohon II tidak/belum pernah mendapatkan
atau mengurus akta nikah tersenut.
Dari pernikahan antara Pemohon I dan pemohon II telah dikaruniai
seorang anak yang bernama Ana Fitriani umur 4 tahun (lahir pada tanggal
13 September 2010).Para Pemohon mengajukan permohonan isbat nikah
dikarenakan sangat membutuhkan bukti pernikahan (kepastian hukum)
dan untuk mengurus akta kelahiran anak para Pemohon.
Antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan mahram
maupun susuan dan sejak melangsungkan pernikahan sampai permohonan
diajukan tidak pernah bercerai maupun pindah agama.
Untuk kepastian hukum dan tertib administrasi kependudukan
sebagaimana dimaksud pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No.
3 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan maka para Pemohon
akan melaporkan penetapan Pengadilan atas perkara tersebut kepada KUA
61
Kecamatan Argomulyo untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk
itu dan para Pemohon sanggup untuk membayar biaya perkara tersebut.
2. Penyelesaian Permohonan Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan
Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
Berdasarkan duduk perkara tersebut di atas, Pemohon I dan
Pemohon II agar ketua Pengadilan Agama Salatiga berkenan memeriksa
dan mengadili perkara tersebut dan menjatuhkan penetapan yang amarnya
berbunyi sebagai berikut:
Primair:
a. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
b. Menyatakan sah perkawinan antara Pemohon I
(Badrudin bin Munaji) dan Pemohon II (Wagiyem binti
Jumadi) yang dilangsungkan pada tanggal 26 Oktober
2009 di Tetep RT 04 RW 03 Kel. Randuacir Kec.
Argomulyo Kota Salatiga;
c. Memerintahkan kepada para Pemohon untuk
melaporkan penetapan ini kepada KUA Kecamatan
Argomulyo untuk dicatat dalam daftar yang disediakan
untuk itu;
d. Membebankan biaya perkara sesuai hukum.
62
Subsidair:
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon
penetapan lain yang seadil-adilnya.
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon I dan Pemohon II
hadir di persidangan.Hakim telah menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan permohonan Pemohon I dan Pemohon II namun Pemohon tetap
pada pendiriannya.Dan telah dilaksanakan pengumuman untuk isbat nikah
tanggal 25 Nopember 2014.Kemudian dibacakan permohonan Pemohon I
dan Pemohon II yang isinya tetap dipertahankan dan Pemohon I dan
Pemohon II tetap pada pemohonannya.
Untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon I dan
Pemohon II menyerahkan bukti tertulis berupa:
a. Fotocopi Akta Cerai Pemohon I Nomor: 467/AC/2012/PA.Sal
tertanggal 12 Juni 2012 yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama
Salatiga, yang bermaterai cukup dilegalisasi dan dicocokkan
dengan aslinya (bukti P1);
b. Fotocopi surat kematian suami Pemohon II (Joko Susilo) Nomor:
472.12/106/303.06 tanggal 24 Nopember 2014 yang bermaterai
cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan aslinya (bukti P2);
c. Asli surat keterangan suami isteri atas nama Pemohon I dan
Pemohon II Nomor: 472.21/209/303.06 tanggal 28 Oktober 2014
dari Lurah Randuacir Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga, yang
63
bermaterai cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan aslinya
(bukti P3);
d. Fotocopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon I Nomor:
3322051207600001 tanggal 30 Desember 2008 yang bermaterai
cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan aslinya (bukti P4);
e. Fotocopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon II Nomor:
3373036402780001 tanggal 31 Maret 2012, yang bermaterai cukup
dilegalisasi dan dicocokkan dengan aslinya (bukti P5);
f. Fotocopi Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga Badrudin
Nomor: 3322050504495 yang dikeluarkan oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga tanggal 20 Juni
2006, yang bermaterai cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan
aslinya (bukti P6);
g. Fotocopi Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga Wagiyem
Nomor: 3373033101084668 yang dikeluarkan oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga tanggal 20 Mei
2012, yang bermaterai cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan
aslinya (bukti P7).
Selain bukti tertulis, para Pemohon juga menghadirkan saksi-saksi
ke persidangan. Adapun saksi-saksi tersebut adalah:
(1) Wasimin bin Kusrin, yang menerangkan di bawah sumpah sebagai
berikut:
64
- Bahwa saksi adalah tetangga Pemohon II;
- Bahwa Pemohon I dan pemohon II adalah suami isteri yang
menikah pada tanggal 26 Oktober 2009 di Kelurahan
Randuacir Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga;
- Bahwa yang menjadi saksi nikah adalah Kamto bin Sutari dan
Wasimin bin Kasrun;
- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II belum mempunyai akta
nikah karena tidak dicatatkan di register Kantor Urusan Agama
Argomulyo Kota Salatiga;
- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II sudah ke KUA tetapi oleh
Kepala KUA diperintahkan untuk mendaftarkan pengesahan
nikah karena tidak tercatat dalam buku register;
- Bahwa setahu saksi, Pemohon I dan Pemohon II menikah pada
tanggal 26 Oktober 2009 di Kelurahan Randuacir Kecamatan
Argomulyo Kota Salatiga dengan wali nikah ayah kandung
Pemohon II bernama Jumadi yang diwakili Bapak Kyai dengan
mas kawin berupa uang Rp. 50.000;- (lima puluh ribu rupiah);
- Bahwa saat pernikahan tersebut saksi juga menghadirinya dan
juga banyak yang datang;
- Bahwa selama menikah antara Pemohon I dan Pemohon II
belum pernah bercerai;
- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan muhrim.
65
(2) Kamto bin Sutari, yang menerangkan di bawah sumpah sebagai
berikut:
- Bahwa saksi adalah tetangga Pemohon II;
- Bahwa Pemohon I dan pemohon II adalah suami isteri yang
menikah pada tanggal 26 Oktober 2009 di Kelurahan
Randuacir Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga;
- Bahwa yang menjadi saksi nikah adalah Kamto bin Sutari dan
Wasimin bin Kasrun;
- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II belum mempunyai akta
nikah karena tidak dicatatkan di register Kantor Urusan
Agama Argomulyo Kota Salatiga;
- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II sudah ke KUA tetapi oleh
Kepala KUA diperintahkan untuk mendaftarkan pengesahan
nikah karena tidak tercatat dalam buku register;
- Bahwa setahu saksi, Pemohon I dan Pemohon II menikah pada
tanggal 26 Oktober 2009 di Kelurahan Randuacir Kecamatan
Argomulyo Kota Salatiga dengan wali nikah ayah kandung
Pemohon II bernama Jumadi yang diwakili Bapak Kyai
dengan mas kawin berupa uang Rp. 50.000;- (lima puluh ribu
rupiah);
- Bahwa saat pernikahan tersebut saksi juga menghadirinya dan
juga banyak yang datang;
66
- Bahwa selama menikah antara Pemohon I dan Pemohon II
belum pernah bercerai;
- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan
muhrim.
Kemudian setelah diperdengarkan keterangan para saksi,
Pemohon I dan Pemohon II membenarkan keterangan saksi
tersebut dan tidak mengajukan sesuatu apapun lagi dan tetap pada
permohonannya.
3. Dasar Pertimbangan Hukum Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan
Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
Dalam mengadili permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL,
bahwa Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang
menyidangkan permohonan tersebut telah menggunakan beberapa
ketentuan atau peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia yang
berfungsi untuk memperkuat alasan-alasan tersebut.
Setelah melihat bukti-bukti yang diajukan dan mendengarkan
keterangan-keterangan dari para saksi yang dihadirkan, Majelis Hakim
menemukan beberapa fakta, yaitu:
a. Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan pernikahan pada
tanggal 26 Oktober 2009 di Tetep RT 04 RW 03 Kelurahan Randuacir
Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga, dengan wali nikah ayah kandung
Pemohon II bernama Jumadi dengan mahar berupa uang Rp.50.000,-
67
dibayar tunai, dan yang menjadi munakin (yang menikahka/penghulu)
adalah Bp. Kyai dengan saksi bernama Kamto bin Mitro Sutari dan
Wasimin bin Kasrun;
b. Pernikahan Pemohon I dan Pemohon II tidak tercatat pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga;
c. Sewaktu akan menikah Pemohon I berstatus duda (cerai) dan Pemohon
II berstatus janda (mati);
d. Setelah akad nikah hingga permohonan tersebut diajukan, Pemohon I
dan Pemohon II tidak/belum pernah mendapatkan atau mengurus akta
nikah;
e. Dari perkawinan Pemohon I dan Pemohon II telah dikaruniai seorang
anak perempuan;
f. Antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan mahram
maupun susuan dan sejak melangsungkan perkawinan sampai saat
permohonan diajukan tidak pernah bercerai maupun pindah agama
(Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam).
Dalil yang dijadikan oleh Majelis Hakim adalah pendapat ahli yang
termuat dalam kitab lanatuth Tholibin II halaman 253-254 yang berbunyi:
وىف الدعوى با لنكاح على امرءة ذكر صحته وشروطه من حنو وىل وشاهدين عدول
Dalam permohonan tentang isbat nikah terhadap seorang wanita maka harus dapat disebutkan rukun dan syarat nikah yaitu adanya wali (yang melakukan aqad) dan dua saksi yang adil.
68
Menurut Bapak Rusdi (Hakim Pengadilan Agama Salatiga) yang
penulis wawancarai, alasan utama yang dijadikan pertimbangan Majelis
Hakim dalam mengabulkan permohonan isbat nikah terhadap nikah siri
pasca berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah
perkawinan yang Pemohon I dan Pemohon II lakukan adalah sah menurut
agama dan kepercayaannya. Artinya, rukun dan syaratnya sudah terpenuhi,
hanya saja belum/tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Alasan
yang tidak kalah penting adalah para Pemohon sudah dikaruniai seorang
anak. Apabila permohonan isbat nikah tersebut ditolak, maka nasab si anak
akan terputus dengan sang ayah.
Majelis Hakim memandang bahwa dengan mengabulkan isbat nikah
tersebut akan membawa manfaat bagi si anak, karena dengan disahkannya
perkawinan tersebut berarti hak-hak dari anak yang dilahirkan dari
perkawinan para Pemohon akan terlindungi dan terjamin. Selain itu,
pengkabulan isbat nikah tersebut juga bertujuan untuk menyelamatkan
psikologis anak.
Lebih lanjut Bapak Rusdi menjelaskan bahwa Majelis Hakim
menerapkan asas kontra legem, yaitu melakukan diskresi hukum
(menyimpangi aturan yang ada/menemukan hukum yang baru) dengan
menitikberatkan asas manfaat dan keadilan.Hal ini dilakukan karena tugas
dan fungsi Hakim adalah sebagai corong undang-undang yang mempunyai
fungsi untuk membuat undang-undang baru jika tidak ada undang-
69
undangnya, atau meskipun undang-undang itu sebenarnya ada tetapi tidak
cocok dengan kasus yang dihadapi.
Bapak Rusdi yang juga merupakan Hakim Anggota pada permohonan
isbat nikah yang penulis teliti menjelaskan bahwa Majelis Hakim juga
menggunakan metode ijtihad. Sebagaimana ada suatu hadits dari Muad bin
Jabal yang ditanya oleh Rosulullah SAW tentang apabila tidak menemukan
suatu hukum di dalam al-Qur`an dan al-Hadits akan mengambil hukum
darimana. Dan ternyata Muad bin Jabal melakukan ijtihad.Hal inilah yang
melatarbelakangi Majelis Hakim berijtihad dengan mengabulkan
permohonan isbat nikah terhadap nikah siri pasca berlakunya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut.
Bapak Rusdi menambahkan, bahwa tidak ada pertentangan antara
undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam dengan ijtihad yang
Majelis Hakim lakukan.Hal ini karena Majelis Hakim menafsirkan bahwa
pasal 7 ayat (3) poin e dalam KHI adalah sebagai payung hukum untuk
melindungi perkawinan yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974.Sehingga, Majelis Hakim berpendapat bahwa
permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk mengajukan isbat nikah
adalah beralasan dan berdasarkan hukum, oleh karena itu, permohonannya
patutlah dikabulkan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan,
Majelis Hakim menyimpulkan fakta di persidangan bahwa Pemohon I dan
70
Pemohon II dapat membuktikan dalil permohonannya, sehingga patut
untuk dikabulkan. Setelah melakukan musyawarah, Majelis Hakim
metetapkan:
a. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
b. Menyatakan sah antara Pemohon I (Badrudin bin Munaji) dengan
Pemohon II (Wagiyem binti Jumadi) yang dilangsungkan pada
tanggal 26 Oktober 2009 di Tetep RT 04 RW 03 Kelurahan
Randuacir Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga;
c. Membebankan para Pemohon untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp. 301.000,- (tiga ratus satu ribu rupiah).
Penetapan dijatuhkan oleh Majelis Pengadilan Agama Salatiga pada
hari Selasa tanggal 09 Desember 2014 M, bertepatan dengan tanggal 16
Syafar 1436 H, dalam rapat permusyawaratan majelis oleh Drs. Muhdi
Kholil, SH. MA, MM, yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama
Salatiga sebagai Ketua Majelis, Drs. Moch. Rusdi dan Drs. M. Muslih
masing-masing sebagai Hakim Anggota, serta diucapkan oleh Ketua
Majelis dalam sidang terbuka untuk umum yang dihadiri oleh para Hakim
Anggota dan dibantu oleh Drs. Imron Mastuti, SH, sebagai Panitera
Pengganti dengan dihadiri oleh Pemohon I dan Pemohon II.
71
BAB IV
ANALISIS PENETAPAN ISBAT NIKAH SIRI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA NOMOR 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
A. Dikabulkannya Permohonan Isbat Nikah Siri Oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Salatiga pada Permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
1. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Permohonan Isbat
Nikah
a. Permohonan Dikabulkan
Suatu permohonan dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim
dengan pertimbangan sebagai berikut:
(1) Berdasarkan fakta-fakta persidangan, Majelis Hakim akan melihat
apakah tata cara pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;
(2) Permohonan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 4 dan 7 ayat (3)
Kompilasi Hukum Islam;
(3) Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan dari keterangan
pemohon, surat bukti, dan keterangan saksi-saksi yang berkaitan.
72
b. Permohonan Tidak Diterima
(1) Surat bukti tidak terbukti;
(2) Alasan permohonan isbat nikah seperti dalam Pasal 7 ayat (3)
Kompilasi Hukum Islam tidak terpenuhi.
c. Permohonan Dicabut Oleh Pemohon
(1) Pemohon memohon kepada Majelis Hakim untuk dapat mencabut
permohonannya;
(2) Permohonan pencabutan tersebut dilakukan oleh pemohon
sebelum pemeriksaan pokok perkara.
2. Analisis Dikabulkannya Permohonan Isbat Nikah Siri Oleh Majelis
Hakim Pengadilan Agama Salatiga pada Permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
a. Berdasarkan fakta-fakta persidangan, Majelis Hakim akan melihat
apakah tata cara pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Berdasarkan fakta persidangan, Majelis Hakim menemukan
bahwa tata cara pernikahan yang dilakukan antara Pemohon I dan
Pemohon II sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Yaitu pernikahan yang disaksikan oleh dua orang saksi yang
bernama Kamto bin Mitro Sutari dan Wasimin bin Kusrin. Sedangkan
yang menjadi wali nikah adalah ayah kandung Pemohon II yang
73
bernama Jumadi dengan mahar uang tunai Rp.50.000,- dibayar tunai
dan yang menjadi munakin adalah Bp. Kyai.Pernikahan tersebut
dilangsungkan pada tanggal 26 Oktober 2009 di Tetep RT 04 Rw 03
Kelurahan Randuacir Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga.
b. Permohonan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 4 dan 7 ayat (3) Kompilasi
Hukum Islam.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
telah dijelaskan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya.Menurut penulis,
pernikahan yang dilakukan oleh para Pemohon sudah sah, karena
dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing, yaitu Islam.
Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
1) Dalam rangka penyelesaian perceraian;
2) Hilangnya akta nikah;
3) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974; dan
74
5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Isbat Nikah yang diajukan oleh Para Pemohon adalah bertujuan
untuk mendapatkan akta nikah untuk mengurus pembuatan akta
kelahiran anak.Dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam di atas
tidak menyebutkan alasan yang dilakukan oleh Para Pemohon untuk
mengajukan permohonan Isbat Nikah.Bahkan, kalau kita lihat Pasal 7
ayat (3) angka 4 di atas sudah sangat jelas bahwa permohonan isbat
nikah dibolehkan bagi mereka yang menikah sebelum tahun 1974,
sedangkan Para Pemohon menikah pada tahun 2009.
Akan tetapi, Majelis Hakim yang penulis wawancarai
menjelaskan bahwa Pasal 7 ayat (3) KHI angka 5 di atas adalah
sebagai payung hukum untuk melindungi bagi mereka yang menikah
pasca tahun 1974. Sehingga Majelis Hakim beranggapan bahwa
permohonan isbat nikah siri yang diajukan Pemohon I dan Pemohon II
sudah sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam,
sehingga permohonan isbat nikah siri yang Para Pemohon ajukan patut
untuk dikabulkan.
c. Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan dari keterangan pemohon,
surat bukti, dan keterangan saksi-saksi yang berkaitan.
75
Di dalam persidangan, Majelis Hakim menemukan fakta-fakta
berupa keterangan para pemohon, surat bukti, dan keterangan para
saksi yang saling berkaitan.
Adapun surat bukti tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Fotocopi Akta Cerai Pemohon I Nomor: 467/AC/2012/PA.Sal
tertanggal 12 Juni 2012 yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama
Salatiga, yang bermaterai cukup dilegalisasi dan dicocokkan
dengan aslinya (bukti P1);
(2) Fotocopi surat kematian suami Pemohon II (Joko Susilo) Nomor:
472.12/106/303.06 tanggal 24 Nopember 2014 yang bermaterai
cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan aslinya (bukti P2);
(3) Asli surat keterangan suami isteri atas nama Pemohon I dan
Pemohon II Nomor: 472.21/209/303.06 tanggal 28 Oktober 2014
dari Lurah Randuacir Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga, yang
bermaterai cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan aslinya
(bukti P3);
(4) Fotocopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon I Nomor:
3322051207600001 tanggal 30 Desember 2008 yang bermaterai
cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan aslinya (bukti P4);
(5) Fotocopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon II Nomor:
3373036402780001 tanggal 31 Maret 2012, yang bermaterai cukup
dilegalisasi dan dicocokkan dengan aslinya (bukti P5);
76
(6) Fotocopi Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga Badrudin
Nomor: 3322050504495 yang dikeluarkan oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga tanggal 20 Juni
2006, yang bermaterai cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan
aslinya (bukti P6);
(7) Fotocopi Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga Wagiyem
Nomor: 3373033101084668 yang dikeluarkan oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga tanggal 20 Mei
2012, yang bermaterai cukup dilegalisasi dan dicocokkan dengan
aslinya (bukti P7).
Sedangkan keterangan saksi-saksi yang berkaitan dengan
keterangan Para Pemohon adalah sebagai berikut:
(1) Bahwa saksi adalah tetangga Pemohon II;
(2) Bahwa Pemohon I dan pemohon II adalah suami isteri yang
menikah pada tanggal 26 Oktober 2009 di Kelurahan Randuacir
Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga;
(3) Bahwa yang menjadi saksi nikah adalah Kamto bin Sutari dan
Wasimin bin Kasrun;
(4) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II belum mempunyai akta nikah
karena tidak dicatatkan di register Kantor Urusan Agama
Argomulyo Kota Salatiga;
77
(5) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II sudah ke KUA tetapi oleh
Kepala KUA diperintahkan untuk mendaftarkan pengesahan nikah
karena tidak tercatat dalam buku register;
(6) Bahwa setahu saksi, Pemohon I dan Pemohon II menikah pada
tanggal 26 Oktober 2009 di Kelurahan Randuacir Kecamatan
Argomulyo Kota Salatiga dengan wali nikah ayah kandung
Pemohon II bernama Jumadi yang diwakili Bapak Kyai dengan
mas kawin berupa uang Rp. 50.000;- (lima puluh ribu rupiah);
(7) Bahwa saat pernikahan tersebut saksi juga menghadirinya dan
juga banyak yang datang;
(8) Bahwa selama menikah antara Pemohon I dan Pemohon II belum
pernah bercerai;
(9) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan muhrim.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Majelis Hakim
berpendapat bahwa permohonan isbat nikah siri yang diajukan oleh
Pemohon I dan Pemohon II patut untuk dikabulkan.
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim terhadap
Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
Dalam menetapkan permohonan isbat nikah terhadap nikah siri pasca
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 seperti halnya pada penetapan
Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL yang penulis teliti, Majelis Hakim wajib
78
mempertimbangkan keterangan para Pemohon berikut dalil-dalilnya, serta
semua alat bukti dan keterangan para saksi yang diajukan. Dari sini, Majelis
Hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya permohonan
isbat nikah yang diajukan di persidangan.
Setelah membaca dan mempelajari berkas perkara, Majelis Hakim
mendengarkan keterangan para pemohon dan para saksi, serta mempelajari
alat-alat bukti lainnya yang diajukan di muka persidangan. Berikutnya
Majelis Hakim berkesimpulan:
a. Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan pernikahan pada
tanggal 26 Oktober 2009 di Tetep RT 04 RW 03 Kelurahan Randuacir
Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga, dengan wali nikah ayah
kandung Pemohon II bernama Jumadi dengan mahar berupa uang
Rp.50.000,- dibayar tunai, dan yang menjadi munakin (yang
menikahka/penghulu) adalah Bp. Kyai dengan saksi bernama Kamto
bin Mitro Sutari dan Wasimin bin Kasrun;
b. Pernikahan Pemohon I dan Pemohon II tidak tercatat pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga;
c. Sewaktu akan menikah Pemohon I berstatus duda (cerai) dan Pemohon
II berstatus janda (mati);
d. Setelah akad nikah hingga permohonan tersebut diajukan, Pemohon I
dan Pemohon II tidak/belum pernah mendapatkan atau mengurus akta
nikah;
79
e. Dari perkawinan Pemohon I dan Pemohon II telah dikaruniai seorang
anak perempuan;
f. Antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan mahram
maupun susuan dan sejak melangsungkan perkawinan sampai saat
permohonan diajukan tidak pernah bercerai maupun pindah agama
(Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam).
Berdasarkan kesimpulan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa
fakta di persidangan Pemohon I dan Pemohon II dapat membuktikan dalil
permohonannya, untuk selanjutnya patut untuk dikabulkan.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim mengetengahkan
pendapat ahli yang diambil sebagai pendapat sendiri yang termuat dalam
kitab lanatuth Tholibin II halaman 253-254 yang berbunyi:
وىف الدعوى با لنكاح على امرءة ذكر صحته وشروطه من حنو وىل وشاهدين عدول
Dalam permohonan tentang isbat nikah terhadap seorang wanita maka harus dapat disebutkan rukun dan syarat nikah yaitu adanya wali (yang melakukan aqad) dan dua saksi yang adil.
Menurut penulis, Majelis Hakim dalam menetapkan permohonan isbat
nikah terhadap nikah siri pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tidak lah tanpa dasar yang jelas. Pada permohonan isbat nikah yang penulis
teliti, Majelis Hakim mengambil metode ijtihad.Dan itu dapat dibenarkan
karena Undang-Undang yang ada tidak sesuai atau tidak ada Undang-Undang
80
yang secara tegas dan jelas melarang untuk mengisbatkan nikah pasca
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum
Islam Pasal 7 ayat (3) huruf d menjelaskan bahwa isbat nikah hanya
diperuntukkan bagi orang-orang yang melangsungkan perkawinan sebelum
tahun 1974. Namun, Majelis Hakim menafsirkan Pasal 7 ayat (3) huruf e
Kompilasi Hukum Islam sebagai payung hukum untuk melindungi
perkawinan yang dilakukan setelah tahun 1974.
Majelis Hakim dalam mengabulkan isbat nikah terhadap nikah siri
pada kasus yang penulis teliti menerapkan asas kontra legem yaitu dengan
melakukan diskresi hukum (menyimpangi aturan yang ada/menemukan
hukum baru) yang menitikberatkan pada asas manfaat dan keadilan. Hal ini
karena Majelis Hakim wajib mengadili, memeriksa, dan memutuskan suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga tidak ada alasan bagi Hakim
untuk tidak menerima atau menolak suatu perkara dengan alasan tidak jelas
hukumnya atau belum ada hukumnya.
Setiap undang-undang bersifat statis dan dapat mengikuti
perkembangan masyarakat, sehingga menimbulkan ruang kosong, yang perlu
diisi.Tugas mengisi kekosongan itulah yang dibebankan kepada hakim dengan
melakukan penemuan hukum (Abidin, 1989:33).
Pada penetapan isbat nikah terhadap nikah siri Nomor
0076/Pdt.p/2014/PA.SAL, alasan utama yang menjadi dasar Majelis Hakim
81
mengabulkannya adalah perkawinan yang para Pemohon lakukan sudah sah
menurut agama Islam.Akan tetapi, tidak sampai di situ saja.Alasan kedua,
yaitu dikarenakan para Pemohon telah dikaruniai seorang anak perempuan
yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Penulis menganggap bahwa penetapan isbat nikah tersebut sangat tepat.
Seandainya permohonan isbat nikah tersebut ditolak atau para Pemohon
disuruh untuk melakukan pernikahan ulang, akan berdampak pada status anak.
Anak akan terputus nasabnya dengan ayah. Konsekuensi hukumnya, ayahnya
tidak dapat menjadi wali nikah apabila anak tersebut akan menikah karena si
anak hanya dinisbahkan kepada ibunya dan/atau keluarga ibunya, sehingga
secara yuridis si anak hanya akan menjadi ahli waris dan mewarisi harta
peninggalan ibunya apabila ibunya telah meninggal dunia, sedangkan kepada
ayahnya sulit untuk menjadi ahli waris dan mewarisi harta ayahnya karena
secara yuridis tidak ada bukti otentik bahwa ia anak ayahnya.
Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) menyebutkan
aturan hukum perlindungan anak dalam Pasal 41, 42, 45, 47, 48, dan 49,
antara lain berupa status hubungan hukum, pendidikan dan perawatan,
pemeliharaan dan tindakan hukum, dan pemeliharaan hak dan harta bendanya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perlindungan anak disebutkan dalam
Pasal-pasal 98, 99, 104, 105, dan 106.Dan upaya mempertegas dalam
memberikan perlindungan anak, negara telah melakukannya secara hukum
melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
82
Sehubungan dengan keharusan memberikan perlindungan kepada
anak, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan, “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang
tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak”. Di antara organ dan/atau komponen yang berkewajiban
dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak
sebagaimana tersebut di atas, adalah negara dan pemerintah. Kewajiban
negara dan pemerintah dalam penyelenggaraan perlindungan anak, Pasal 21
Undang-Undang Nomor 123 Tahun 2002 dinyatakan, “Negara dan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi
setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran, dan kondisi
fisik dan/atau mental”.
Itsbat nikah oleh Pengadilan Agama oleh para pemohon digunakan
sebagai alas hukum untuk mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan, dan Kantor Urusan Agama
Kecamatan akan mengeluarkan Buku Kutipan Akta Nikah sebagai bukti
otentik bahwa suatu perkawinan telah tercatat, untuk selanjutnya Buku
Kutipan Akta Nikah itu akan digunakan oleh yang bersangkutan untuk
mengurus Akta Kelahiran Anak pada Kantor Catatan Sipil yang
mewilayahinya dengan dilampiri penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan
Agama.
83
Pengadilan Agama dengan itsbat nikah mempunyai andil dan
kontribusi yang sangat besar dan penting dalam upaya memberikan rasa
keadilan dan kepastian serta perlindungan hukum bagi masyarakat. Mereka
yang selama ini tidak memiliki Kartu Keluarga karena tidak mempunyai Buku
Nikah, setelah adanya penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama mereka
akan mudah mengurus Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak-anak mereka
sehingga sudah tidak kesulitan untuk masuk sekolah. Bahkan, calon jamaah
haji yang tidak mempunyai Buku Nikah sangat terbantu dengan itsbat nikah
oleh Pengadilan Agama untuk mengurus paspor.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Alasan Dikabulkannya Permohonan Isbat Nikah Siri Pasca Tahun 1974
Pada Permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
Permohonan isbat nikah siri pada permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama
Salatiga dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Berdasarkan fakta-fakta persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Agama
Salatiga melihat bahwa tata cara pernikahan yang dilakukan oleh para
pemohon sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan;
b. Majelis Hakim menganggap bahwa permohonan telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal
4 dan 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam;
c. Majelis Hakim menemukan fakta hukum dari keterangan pemohon, surat
bukti, dan keterangan saksi-saksi yang berkaitan.
85
2. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam Mengabulkan
Permohonan Isbat Nikah Siri Pasca Tahun 1974 Pada Permohonan
Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim mengetengahkan
pendapat ahli yang diambil sebagai pendapat sendiri yang termuat dalam
kitab Ianatuth Tholibin II halaman 253-254 yang berbunyi:
وىف الدعوى با لنكاح على امرءة ذكر صحته وشروطه من حنو وىل وشاهدين عدول
Dalam permohonan tentang isbat nikah terhadap seorang wanita maka harus dapat disebutkan rukun dan syarat nikah yaitu adanya wali (yang melakukan aqad) dan dua saksi yang adil.
Majelis Hakim berijtihad dengan menerapkan asas kontra legem, yaitu
melakukan diskresi hukum (menyimpangi aturan yang ada/menemukan
hukum yang baru) dengan menitikberatkan asas manfaat dan keadilan. Hal
ini dilakukan karena tugas dan fungsi Hakim adalah sebagai corong
undang-undang yang mempunyai fungsi untuk membuat undang-undang
baru jika tidak ada undang-undangnya, atau meskipun undang-undang itu
sebenarnya ada tetapi tidak cocok dengan kasus yang dihadapi..
Majelis Hakim menganggap bahwa tidak ada pertentangan antara
undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam dengan ijtihad yang
Majelis Hakim lakukan. Hal ini karena Majelis Hakim menafsirkan bahwa
pasal 7 ayat (3) poin e dalam KHI adalah sebagai payung hukum untuk
86
melindungi perkawinan yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974. Sehingga, Majelis Hakim berpendapat bahwa
permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk mengajukan isbat nikah
adalah beralasan dan berdasarkan hukum, oleh karena itu, permohonannya
patutlah dikabulkan.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan untuk Pengadilan Agama
Salatiga adalah sebagai berikut:
1. Agar lebih meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya
pencatatan nikah.
2. Agar lebih meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang prosedur
pengajuan isbat nikah.
3. Agar lebih berhati-hati dalam memeriksa maupun menetapkan isbat nikah,
untuk mencegah tindakan masyarakat yang berupaya melakukan tindakan
penyelewengan hukum.
87
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2010. Metodologi penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Amin, Ma’ruf. dkk. 2011. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta: Erlangga.
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rajawali.
Basyir, Azhar, Ahmad. 2007. Hukum Perkawinan Islam. Jogjakarta: UII Press.
Departemen Agama. 1998: Kompilasi Hukum Islam. Jakarta.
Depdiknas.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Kurniawan, Achmad. 2014. Isbat Nikah dalam Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030?Pdt.G/2012/PA.Amb). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga.
M. Amirin, Tatang. 2006. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers.
MGMP Fiqih Provinsi Jateng dan DIY. 2010. Al Falaah. Surakarta: Pratama.
Moloeng, Lexy, J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosda Karya.
Munawir, Ahmad Warson. 1996. Al-Munawir (Kamus Arab-Indonesia). Jakarta.
Sabiq, Sayyid. 1981. Fiqih Sunnah Jilid 7. Bandung: Al-Ma’arif.
Shihab, Quraish. 1998. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Perbagai Persoalan Umat .Jakarta: Mizan.
Sulhah, Asa Maulida. 2010. Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2009-2011. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga.
88
Syarifudin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Pers. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Widodo. 2015. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Isbat Nikah pada Perkawinan yang Dilaksanakan Pasca Berlakunya UU Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Mungkid Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2014/02/isbat-nikah.html
https://fandyisrawan.wordpress.com/2014/02/26/makalah-nikah-siri/
http://kemenagmaros.info/index.php?page=detail_artikel&id_artikel=3
http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/more-about-joomla/biaya-saldo/63-
profil.html#alamat
http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/227/hukum-nikah-siri-dalam-islam/
89