Isi Buku Pintar Kusta

79
BUKU PINTAR KUSTA 1

description

g

Transcript of Isi Buku Pintar Kusta

BUKU PINTAR KUSTA

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Buku Pintar Kusta ini dapat terselesaikan.

Buku ini merupakan permulaan dari tindakan pengendalian penyakit kusta. Kami mengharapkan engan adanya modul praktikum ini dapat meningkatkan pemahaman dasar tenaga kesehatan dan warga masyarakat serta sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan dalam melakukan pengenalan, pencegahan, pengobatan, dan pemberantasan penyakit ini secara menyeluruh. Selain itu, buku pedoman ini juga diharapkan dapat membantu memberantas penyakit kusta di daerah Jawa Timur sebagai penyumbang kusta tertinggi di Indonesia, khususnya di Bangkalan sebagai penyumbang kasus kusta ketiga tertinggi di Jawa Timur.

Dengan penuh kesadaran, bahwa Buku Pintar Kusta ini masih perlu disempurnakan lagi, sehingga saran dan kritik untuk penyajian serta isinya sangat diperlukan. Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada seluruh mahasiswa Kepaniteraan Community Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya yang turut berpartisipasi dalam penulisan buku pedoman praktikum ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang berpartisipasi sehingga pelaksanaan praktikum ini dapat berjalan dengan lancar.

Bangkalan, Juli 2013

Kepaniteraan Community Medicine FK Unair

2

DAFTAR ISI

A. Kata Pengantar................................................... 2B. Daftar Isi............................................................. 3C. Pendahuluan................................................... .... 4D. Program Pengendalian Kusta......................... .... 6E. Penemuan Penderita........................................... 9F. Diagnosis dan Klasifikasi.............................. ...10G. Pemeriksaan Klinis........................................ ...15H. Pencegahan dan Tatalaksana Cacat...................24I. Reaksi Kusta......................................................28J. Pengobatan..................................................... ...36K. Pencacatan dan Pelaporan, Supervisi,

Monitoring, dan Evaluasi..................................43L. Dukungan Keluarga...........................................47

Go to the people

live among them

learn from them

love them

start with what they know

build on with what they know

3

Pendahuluan

Penyakit kusta adalah penyakit yang dapat menular dalam waktu yang lama (menahun).

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.

Penyakit kusta menimbulkan masalah kompleks: segi medis, sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.

Penyakit kusta sampai saat ini masih banyak ditakuti masyarakat (stigma) karena kurangnya pengetahuan, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya.

Distribusi penyakit ini dari segi manusia: 1) Etnis Burma dan China lebih banyak 2) Sosial ekonomi rendah 3) Semua umur terutama umur produktif 4) Mengenai baik laki-laki dan perempuan.

Cara penularan: kontak lama dengan pasien. Secara teoritis bila pasien sudah mengkonsumsi obat MDT, tidak akan menular kepada orang lain. Kuman kusta masuk melalui saluran napas bagian atas (banyak ditemukan pada mukosa hidung) dan kontak kulit.

Hanya sedikit sekali orang yang menderita kusta setelah kontak dengan penderita kusta, hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh (secara seluler). Perbandingannya adalah sebagai berikut:

4

dari 100 orang yang kontak, 95 akan sehat, 5 orang terinfeksi. Dari 5 orang terinfeksi, 3 orang akan sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 sisanya akan menjadi sakit (harus dengan obat).

5

Program Pengendalian Kusta

Yang dilakukan:o Pengobatan MDT pada pasien kusta

o Vaksinasi BCG

Tahun 2000. Indonesia telah berhasil mencapai target eliminasi kusta, namun dalam 10 tahun terakhir jumlah penderita tidak berubah lebih baik secara signifikan (statis).

Secara singkat, strategi yang dilakukan pemerintah:

o Meningkatkan penemuan kasus secara

dini di masyarakat.o Pelayanan kusta berkualitas, termasuk

rehabilitasi dan rujukano Penyebarluasan informasi kusta kepada

masyarakato Eliminasi stigma di masyarakat

o Pemberdayaan orang yang pernah

menderita kusta dalam berbagai hal termasuk pengendalian kusta

Sasaran: Pengurangan angka cacat kusta tingkat II sebesar 35% tahun 2015 dibandingkan 2010

Suatu daerah dinyatakan beban rendah kusta bila:o angka penemuan kasus baru ≤ 5/100.000

penduduk atau jumlah total penemuan kasus baru ≤ 30 kasus per tahun selama 3 tahun berturut-turut.

6

o Jumlah cacat kusta tingkat II dalam 5

tahun terakhir sebanyak ≤ 25 kasus.o Proporsi puskesmas yang memiliki tenaga

pengelola program kusta terlatih minimal 75% (termasuk pelatihan 1 hari bagi puskesmas tanpa kasus kusta).

o Cakupan pemeriksaan kontak kasus baru

> 60%. Yang dilakukan oleh puskesmas dengan beban

tinggi:o Penemuan suspek

o Diagnosis

o Penentuan regimen dan mulai pengobatan

o Pemantauan pengobatan

o Pemeriksaan kontak

o Konfirmasi kontak

o Diagnosis dan pengobatan reaksi

o Penentuan dan pengobatan reaksi

o POD dan perawatan diri

o Penyuluhan perorangan (konseling)

o Stok MDT

o Register kohort pasien

o Pelaporan

o Penanggungjawab program

o Perujukan tepat waktu

7

Enam prinsip dasar kesuksesan integrasi yang dianjurkan WHO:

o Tiap sarana pelayanan kesehatan yang ada

kasus kusta, harus tersedia MDT pada hari kerja

o Minimal 1 petugas terlatih di sarana

pelayanan kesehatano Obat MDT memadai

o Materi Komunikasi Informasi Edukasi

(KIE) tersedia untuk pasien dan keluargao Register pengobatan sederhana tersedia

o Petugas kesehatan tahu tempat rujukan

dan bagaimana merujuknya.

8

PENEMUAN PENDERITA

Secara pasif: sukarelao Masalah : tidak tahu tentang kusta, jarak

jauh, tidak tahu ada obat gratis Secara aktif:

o Pemeriksaan kontak: kunjungan ke rumah

pasien yang baru ditemukan (maksimal 3 bulan) dengan membawa kartu pasien, obat MDT, alat pemeriksaan

o Rapid village survey (RVS): penyuluhan

kepada tenaga kesehatan dan mencari suspek.

o Chasey survey: pemeriksaan suspek dan

penyuluhan kepada masyarakato Pemeriksaan anak SD dan sederajat:

penyuluhan kepada murid dan guru serta deteksi dini (UKS)

o Leprosy Elimination Campaign (LEC):

pertemuan lintas sektor oleh bupati dan tenaga kesehatan, pelatihan kepada tenaga kesehatan, dan penyuluhan kepada masyarakat oleh tenaga kesehatan

o Special Action Program for Elimination

Leprosy (SAPEL): Pengawasan kader atau keluarga

9

DIAGNOSIS dan KLASIFIKASI

Tanda-tanda utama (kardinal) penyakit kusta:o Kelainan (lesi) kulit berwarna merah

(eritema) atau putih (hipopigmentasi) yang mati rasa (hipo/anestesi).

o Penebalan saraf tepi dengan gangguan

fungsi saraf (sensoris, motoris, dan otonom).

o Adanya bakteri tahan asam (BTA) dalam

kerokan jaringan kulit. Diagnosis banding:

o Psoriasis

o Vitiligo

o Dermatitis seboroik

o Pityriasis alba

o Pitiriasis versikolor

o Tinea circinata Klasifikasi WHO:

Tanda utama PB MBBercak kusta Jumlah 1-5 Jumlah > 5Penebalan saraf tepi dengan gangguan fungsi

Hanya 1 saraf

Lebih dari 1 saraf

Kerokan jaringan kulit

BTA (-) BTA (+)

10

Tanda tambahan

PB MB

Distribusi Unilateral atau bilateral asimetris

Bilateral simetris

Permukaan bercak

Kering, kasar Halus, mengkilap

Batas bercak Tegas Tidak tegas Mati rasa pada bercak

Jelas Kurang jelas

Deformitas Proses terjadi lebih cepat

Terjadi pada tahap lanjut

Ciri-ciri khas - Madarosis, hidung pelana, wajah singa (facies leonina), ginekomastia pada laki-laki

PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS Persiapan alat:

o Kaca objek baru dan kotak kaca objek

o skalpel (tangkai no 3 dan pisau no 15)

o Lampu spiritus (bunsen)

o Spiritus/alkohol

o Kapas

o Korek api

11

o Pensil kaca

o Penjepit kaca objek

Langkah-langkah:o Cuci tangan dan dan pakai sarung tangan.

o Ambil kaca objek sediaan yang baru,

bersih dan tidak tergores. o Bersihkan lokasi kerokan dengan alkohol

lalu biarkan kering. Pilih lokasi kerokan pada cuping telinga kiri/kanan atau kelainan (lesi) kulit aktif.

o Jepitlah kulit dengan telunjuk dan ibu jari

dengan kuat dan dipertahankan agar darah tidak keluar.

o Buatlah irisan (insisi) pada kulit

sepanjang 5 mm dan dalam 2mm. Putar pisau skalpel 90o dan keroklah bubur jaringan. Tidak boleh ada darah karena dapat mengganggu pembacaan pewarnaan. Lepaslah jepitan pada kulit dan hapus darah dengan kapas alkohol.

o Buatlah apusan kerokan kulit di atas kaca

objek dengan diameter 8 mm.o Hapus kotoran pada mata pisau dengan

kapas alkohol lalu lewatkan di atas api bunsen selama 3-4 detik. Lalu biarkan dingin di suatu tempat.

12

o Tutup luka dan ucapkan terimakasih pada

pasien.o Biarkan kaca objek kering dalam suhu

ruangan dan difiksasi di atas nyala api bunsen 3 kali.

Pewarnaan: (Metode Ziehl-Neelsen)o Tutupi seluruh permukaan kaca objek

dengan larutan carbol fuchsin.o Panaskan kaca objek di atas api spiritus

sampai uap carbol fuchsin keluar namun jangan sampai mendidih.

o Basuh di bawah air mengalir. Keringkan

air hingga kaca objek tidak lagi berwarna.o Tetesi permukaan kaca objek dengan

asam alkohol 3% selama 10 detik.o Tetesi sediaan dengan methylene blue

selama 1 menit. Bilas dengan air dan keringkan lalu siap dibaca di bawah mikroskop.

Bentuk: solid, fragmented, granulated, globus, clumps.

Menghitung lapangan pandang: metode Z, cara zig zag.

Cara menghitung BTA (batang berwarna merah):o BI (Bakteri Indeks): semikuantitatif menurut

skala logaritma Ridley.

Indeks Bakteri

13

0 0 BTA dalam 100 LP, hitung 100 LP

+1 1-10 BTA dalam 100 LP, hitung 100 LP

+2 1-10 BTA dalam 10 LP, hitung 100 LP

+3 1-10 BTA dalam 1 LP, hit 25 LP+4 10-100 BTA dalam 1 LP, hit 25 LP+5 100-1000 BTA dalam 1 LP, hit 25

LP+6 > 1000 BTA atau 5 clumps dalam

1 LP, hit 25 LPo MI (Morfologi Indeks): jumlah BTA utuh

(solid)/ seluruh BTA x 100%. Untuk mengetahui daya penularan, menilai hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

Pemeriksaan penunjang lain: o Histopatologi

o Serologis

o PCR.

Gambar Bakteri Mycobacterium leprae

14

PEMERIKSAAN KLINIS

Anamnesis: kapan timbul bercak/keluhan? Apakah ada keluarga dengan keluhan sama? (riwayat kontak) Lahir dan tinggal dimana? Riwayat pengobatan sebelumnya?

Pemeriksaan kulit Periksa kecacatan (mengecil/atropi, kiting,

pemendekan jari, ulkus/luka tidak sembuh-sembuh). Pemeriksaan saraf tepi

SarafFungsi

Motorik Sensorik OtonomAuricularis magnus

area belakang telinga

Kelenjar keringat, kelenjar minyak, pembuluh darah

Facialis Menutup Kelopak mata

Ulnaris Jari manis dan kelingking

Rasa raba telapak tangan: kelingking dan separuh jari manis

Medianus Ibu jari, telunjuk,

Rasa raba telapak

15

jari tengah tangan: ibu jari, telunjuk, jari tengah, setengah jari manis

Radialis Kekuatan pergelangan tangan

Peroneus communis

Kekuatan pergelangan kaki

Tibialis posterior

Jari kaki Rasa raba telapak kaki

Perabaan saraf tepi: o apa ada penebalan?

o apa saraf kanan/kiri sama besar?

o apa ada nyeri?

Saraf ulnaris:o Tangan kanan pemeriksa memegang lengan

kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan pasien relaks.

o Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan

kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi ulnaris yaitu lekukan di antara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis)

16

o Dengan tekanan ringan gulirkan pada saraf

ulnaris, dan telusuri ke atas dengan halus sambil melihat mimik/reaksi pasien apakah tampak kesakitan atau tidak.

o Lakukan hal yang sama untuk sisi yang

berlawanan Saraf Peroneus communis

o Pasien diminta duduk di suatu tempat dengan

kaki dalam keadaan relaks.o Pemeriksa duduk di depan pasien dengan

tangan kanan memeriksa kaki kiri pasien dan tangan kiri memeriksa kaki kanan

o Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari

tengah pada pertengahan betis bagian luar pasien sambil pelan-pelan meraba ke atas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula). Setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm ke arah belakang.

o Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut

digulirkan bergantian ke kanan dan kiri sambil melihat mimik/reaksi pasien.

Saraf tibialis posterior o Pasien duduk relaks

o Dengan jari telunjuk dan tengah, pemeriksa

meraba saraf tibialis posterior di bagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan menyilang

17

(tangan kiri pemeriksa memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posterior kanan pasien).

o Dengan tekanan ringan saraf tersebut

digulirkan sambil melihat mimik/reaksi dari pasien.

Pemeriksaan saraf tepi:o Pemeriksaan raba dan kekuatan otot

Siapkan pulpen, kertas, dan kursi. Mata: pejamkan mata - lagoptalmos 3

mm Tangan: disangga dengan posisi

telapak tangan ke atas, jelaskan pada pasien sambil memperagakan kepada pasien dengan sentuhan ringan ujung pulpen pada lengan dan satu atau dua titik pada telapak tangannya, pasien diminta menunjuk tampat yang disentuh dengan jari tangan yang lain, pasien diminta menutup mata dan menoleh ke arah berlawanan, minta untuk menunjuk tempat yang disentuh dengan jari tangan lainnya, usahakan titik yang ditunjuk adalah acak, bila salah 2 titik atau lebih maka ada gangguan.

18

o Pemeriksaan saraf ulnaris (kekuatan otot

kelingking) Tangan kiri pemeriksa memegang

ujung jari manis, jari tengah dan telunjuk tangan kanan pasien, dengan telapak tangan pasien menghadap ke atas dan posisi ekstensi (jari kelingking bebas bergerak tidak terhalang tangan pemeriksa)

Minta pasien mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari lain. Bila bisa, minta untuk menahan kelingking pada posisi jauh, lalu pemeriksa mendorong pangkal kelingking.

Bila bisa menahan: kuat. Bila tak bisa menahan: sedang. Bila tidak bisa mendekat atau menjauh: lumpuh.

ATAU: minta pasien menjepit kertas di antara jari manis dan jari kelingking, lalu pemeriksa menarik kertas sambil menilai ada tidaknya tahanan/jepitan terhadap kertas tersebut.

Bila terlepas mudah: lemah. Bila ada tahanan: kuat.

19

o Pemeriksaan saraf medianus (ibu jari):

Tarik jari telunjuk sampai kelingking pasien ke bawah dengan posisi telapak menghadap ke atas sehingga ibu jari pasien ke arah atas menunjuk hidung.

Mintalah untuk mempertahankan posisi tersebut. Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari.

Bila ada gerakan dan tahanan kuat: kuat. Bila ada gerakan dan tahanan lemah: sedang. Bila tidak ada gerakan: lumpuh. Bandingkan tangan kiri dan kanan

o Saraf radialis (kekuatan pergelangan tangan):

Pasien diminta untuk mengepalkan tangan, dan tangan punggung berada di atas. Lalu minta untuk menarik ke atas.

Tangan pemeriksa menarik tangan ke arah pemeriksa dan minta pasien menahannya.

Bila sanggup: kuat. Bila ada gerakan tapi tidak sanggup: sedang. Bila tak ada gerakan: lumpuh.

20

o Sensorik saraf Tibialis posterior

Kaki kanan diletakkan di atas paha kiri dengan telapak kaki menghadap ke ataas.

Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki pasien. Cara pemeriksaan dan penilaian sama seperti pada rasa raba tangan.

o Motorik saraf peroneus communis

Pasien diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap terletak di lantai/ ekstensi maksimal.

Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki pasien ke bawah/lantai.

Bila mampu: kuat. Bila tidak mampu: sedang. Bila tidak ada gerakan: lumpuh.

Gambar Pemeriksaan Saraf Ulnaris

21

Gambar Pemeriksaan Saraf Tibialis Posterior

Gambar Pemeriksaan Otot Fasialis

Pemeriksaan Fungsi Sensoris Saraf Ulnaris dan Medianus

PemeriksaanKekuatan Otot Saraf Ulnaris

22

Pemeriksaan Kekuatan Otot Saraf Medianus

Pemeriksaan Kekuatan Otot Saraf Radialis

Pemeriksaan Kekuatan Otot Saraf Tibialis Posterior dan Peroneus Comunis

PENCEGAHAN dan TATALAKSANA CACAT

23

Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae, seperti anestesi, claw hand dan kulit kering, sedangkan cacat sekunder terjadi akibat adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.

24

Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris, otonom, maupun kombinasi antara ketiganya.

Gambar Proses terjadinya kecacatan

Tabel Kelainan yang timbul akibat gangguan fungsi saraf

25

Tabel Tingkat cacat kusta menurut WHO

Upaya pencegahan cacat, antara lain:1) Penemuan dini pasien sebelum cacat2) Pengobatan pasien dengan MDT-WHO

sampai RFT3) Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan

pemeriksaan fungsi saraf secara rutin4) Penanganan reaksi5) Penyuluhan 6) Perawatan diri7) Penggunaan alat bantu8) Rehabilitasi medis (antara lain operasi

rekonstruksi) Kegiatan pencegahan cacat di rumah dilakukan

sendiri oleh pasien di rumah.

26

Petugas memperagakan tindakan-tindakan yang harus dilakukan dan bantulah pasien supaya dapat melakukannya sendiri.

Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah 3M yaitu :

Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur

Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik

Merawat diri Memperbaiki sistem rujukan Meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan tentang

kriteria rujukan dan bagaimana cara merujuk Memfasilitasi akses kepada penyediaan alat bantu

(protesa, alas kaki khusus, ortesa, dll) Membentuk dan memfasilitasi Kelompok Perawatan

Diri (KPD) Sosialisasi kusta dan kecacatan Melayani konseling Mendukung organisasi orang yang pernah menderita

kusta Mendukung hak penderita

27

REAKSI KUSTA

Salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf adalah reaksi kusta. Itulah sebabnya monitoring fungsi saraf secara rutin sangat penting dalam upaya pencegahan dini cacat kusta.

Bila kerusakan saraf terjadi kurang dari 6 bulan dan diobati dengan cepat dan tepat, tidak akan terjadi kerusakan saraf yang permanen. Pada cacat permanen, yang dapat dilakukan hanya upaya mencegah pertambahan cacat dan rehabilitasi medis.

Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas. Diperkirakan sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting.

Tabel Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2

Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2Pasien dengan bercak multipel dan

Obat MDT, kecuali lampren

Bercak luas pada wajah dan lesi

BI > 4+

Saat puerpurium (karena peningkatan CMI), selama kehamilan trisemester ke-3 (karena penurunan CMI).

Kehamilan awal (karena stres mental), trisemester ke-3, dan puerpurium (karena stress fisik),

28

Paling tinggi 6 bulan pertama setelah melahirkan/masa menyusui

setiap masa kehamilan (karena infeksi penyerta)

Infeksi penyerta: Hepatitis B dan C

Infeksi penyerta: streptokokus, virus

Neuritis atau riwayat nyeri saraf

Stress fisik dan mental

Lain-lain seperti trauma, operasi

1. Reaksi tipe 1 Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang

berada di spektrum border-line (borderline lepromatous, borderline-borderline dan borderline tuberculoid), karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil.

Reaksi tipe ini terutama terjadi selama pengobatan.

Gejala reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan.

Pada kulit umumnya berupa sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat ; artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula/bercak menjadi infiltrat/plakat, lesi plakat makin infiltratif dan lesi lama bertambah luas.

29

Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.

Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri pada saraf (nyeri tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi saraf.

Adanya gejala neuritis akut perlu diperhatikan oleh karena sangat menentukan pada pemberian pengobatan dengan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pengobatan dengan kortikosteroid adalah fakultatif.

Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum, seperti demam dan lain-lain.

2. Reaksi tipe 2 Terjadi pada pasien tipe MB (lepromatous

leprosy dan borderline lepromatous). Gejala klinis pada kulit berupa nodus, eritema,

dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai.

Gejala ini umumnya menghilang dalam beberapa hari atau lebih dan mungkin diikuti dengan pembentukan nodus baru, sedangkan nodus lama menjadi keunguan.

Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau lebih.

Dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.

30

Tabel Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2

No Gejala tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

1 Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB.

Hanya pada kusta tipe MB.

2 Waktu timbulnya

Biasanya segera setelah pengobatan.

Biasanya setelah mendapatkan pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan.

3 Keadaan umum

Umumnya baik, demam ringan (sub-febris) atau tanpa demam.

Ringan sampai berat disertai kelemahan umum umum dan demam tinggi.

4 Peradangan di kulit

Bercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadang-kadang hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul bercak baru.

Timbul nodus kemerahan, lunak dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodus dapat pecah.

31

5 Saraf Sering terjadi, umumnya berupa nyeri saraf dan atau gangguan fungsi saraf. Silent neuritis (+)

Dapat terjadi.

6 Udem pada ekstrimitas

(+) (-)

7 Peradangan pada mata

Anestesi kornea dan lagoftalmos karena keterlibatan N. V dan N. VII.

Iritis, iridosiklitis, glaucoma, katarak dll.

8 Peradangan pada organ lain

Hampir tidak ada. Terjadi pada testis, sendi, ginjal, kelenjar getah bening, dll.

32

Tabel Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan 2

33

Tatalaksana reaksiSebagian besar pasien reaksi dapat ditangani oleh petugas pengelola program kusta di Puskesmas, namun ada kalanya harus dirujuk. Hal tersebut tergantung pada :o Tipe reaksi yang dialami dan berat

ringannya reaksi tersebuto Ada/tidaknya komplikasi atau kontra

indikasi yang dapat mempengaruhi penanganan reaksi

o Obat yang tersedia

o Tingkat kemampuan penanganan yang

tersedia Tatalaksana reaksi ringan

1) Berobat jalan, istirahat di rumah2) Pemberian analgetik/antipiretik, obat

penenang bila perlu3) MDT diberikan terus dengan dosis tetap4) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

Tatalaksana reaksi berat1) Imobilisasi lokal/istirahat di rumah2) Pemberian analgetik/antipiretik, obat

penenang bila perlu3) MDT tetap diberikan dengan dosis tidak

diubah4) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus5) Memberikan obat anti reaksi (Prednison,

Lampren)

34

6) Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit

7) Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednisone dan lampren

35

PENGOBATAN KUSTA MDT (Multi Drug Therapy)

A. Tujuan:1. Memutuskan mata rantai penularan2. Mencegah resistensi obat3. Memperpendek masa pengobatan4. Meningkatkan keteraturan berobat5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah

bertambahnya cacat yang sudah adaDengan matinya kuman maka sumber penularan

dari pasien ke orang lain terputus. Bila pasien kusta tidak minum secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit menetap, bahkan memburuk. Gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf.B. Regimen Pengobatan MDTMulti Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik.Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pasien pausibasiler (PB)DewasaPengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)

2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg) 1 tablet dapson/DDS 100 mg

36

Pengobatan harian: hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhlan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

2. Pasien multibasiler (MB)DewasaPengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)

2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg) 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg) 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28 1 tablet lampren 50 mg 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.

3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

37

4. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg) 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28 1 tablet lampren 50 mg selang sehari 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.

C. Sediaan dan Sifat Obat1. DDS (dapson)

Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg

Bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan kuman kusta)

Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 50 mg/hari (umur 10-15 th)

2. Lampren (juga disebut klofamizin) Sediaan berbentuk kapsul lunak 50 mg dan

100 mg, warna coklat Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah,

dan antiinflamasi Cara pemberian secara oral, diminum sesudah

makan untuk menghindari gangguan gastrointestinal

3. Rifampisin Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg,

450 mg dan 600 mg

38

Bersifat bakterisidal; 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian

Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan, agar penyerapan lebih baik

4. Obat penunjang (vitamin/roboransia)Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, dan B12 dapat diberikan

D. Efek Samping dan PenanganannyaEfek samping obat-obat MDT dan

penanganannya secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut ini:

39

E. Monitoring dan Evaluasi Pengobatan1. Setiap petugas harus memonitor tanggal

pengambilan obat2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling

lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa

diperlukan pemeriksaan laboratorium. 4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor

risiko:a.Cacat tingkat 1 atau 2b. Pernah mengalami reaksic.BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul

atau infiltrat)Dilakukan pengamatan secara semi-aktif

5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium

6. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.

7. DefaultJika seorang pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang bersangkutan dinyatakan default.

40

Tidakan bagi pasien default dapat dilihat pada tabel berikut ini:

8. Relaps/kambuhPasien dinyatakan relaps bila setelah RFT timbul lesi baru pada kulit. Untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan kepada dokter yang

41

memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB, jika pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteri 2+ atau lebih bila dibandingkan saat diagnosis. Pasien tersangka relaps sebaiknya dikonsultasikan/dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis sebelum diobati.

9. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah: RFT, meninggal, pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.

10. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan kesehatan) dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan penyuluhan lengkap mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi, agar secepatnya kembali ke pelayanan kesehatan.

42

PENCATATAN, PELAPORAN, SUPERVISI, MONITORING, dan EVALUASI

Tujuan: o Mendapatkan informasi hasil pelaksanaan

program P2 kustao Mengidentifikasi masalah dan prioritas

untuk intervensio Mengetahui kemajuan program

o Mendapatkan data terbaru

PENCATATAN:o Di Puskesmas/RS: kartu pasien, register

kohort PB dan MB, Formulir pencatatan pencegahan kecacatan, formulir evaluasi pengobatan reaksi berat, data pokok program eliminasi, formulir register stok obat MDT, formulir permintaan MDT-3 dan MDT-4.

o Kabupaten: Register P2 kusta kabupaten,

data pokok program P2 Kusta, formulir register stok obat MDT, formulir permintaan MDT-2 dan MDT-4.

o Propinsi: Rekapitulasi laporan program

P2 kusta kabupaten, data pokok program P2 kusta, formulir register stok obat MDT, formulir permintaan MDT-1 dan MDT-4

43

PELAPORAN:o Dari puskesmas ke kabupaten: copy

register kohort PB dan MB. (setiap tribulan).

o Dari puskesmas ke Dinkes Provinsi:

rekapitulasi register kohort PB dan MB (laporan Tribulan P2 Kusta Kabupaten - lampiran 6).

o Dari kabupaten/kota direkap oleh provinsi

lalu dikirim ke Ditjen P2-PL setiap tribulan: laporan tribulan P2 kusta provinsi.

o Laporan tahunan

SUPERVISI:o Dari kabupaten/kota ke puskesmas atau

unit pelayanan kesehatan: minimal setiap tribulan

o Dari provinsi ke kabupaten/kota: minimal

setiap tribulan.o Dari pusat ke provinsi: minimal setahun

sekali.o Yang dilakukan: buat surat untuk kepala

puskesmas/kabupatensebelum kunjungan, pelajari laporan, bandingan rencana dan target, tentukan prioritas puskesmas, kenali faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja puskesmas, buat daftar prioritas masalah, berikan solusi.

44

MONITORING:o untuk mengetahui apakah program

berjalan sesuai rencana.o Dengana cara: kontak langsung dengan

petugas atau tidak langsung yaitu melalui laporan.

EVALUASI:o Indikator:

CDR (Case Detection Rate) = jumlah kasus baru / jumlah penduduk x 100.000

Grade II Disability Rate (angka cacat tingkat 2) = jumlah kasus baru dengan cacat tingkat 2 / jumlah penduduk x 100.000

RFT (Release from Treatment) tipe MB = jumlah kasus baru MB yang menyelesaikan 12 dosis dalam 12-18 bulan / jumlah kasus MB yang mulai MDT pada tahun kohort x 100%

RFT (Release from Treatment) tipe PB = jumlah kasus baru MB yang menyelesaikan 6 dosis dalam 6-9 bulan / jumlah kasus PB yang mulai MDT pada tahun kohort x 100%

45

Prevalence rate (angka prevalensi) = jumlah kasus terdaftar / jumlah penduduk x 10.000

Proporsi cacat tingkat 2 = jumlah kasus baru dengan cacat tingkat 2 / jumlah kasus baru x 100%

Proporsi kasus anak (0-14 tahun) = jumlah kasus anak (0-14 tahun) yang baru ditemukan / jumlah kasus baru x 100%

Proporsi MB = jumlah kasus MB baru / jumlah kasus baru x 100%

Proporsi perempuan = jumlah kasus perempuan baru/ jumlah kasus baru x 100%

46

DUKUNGAN KELUARGA

Penyakit kusta merupakan penyakit yang dapat menular kepada orang lain, akan tetapi penyakit ini dapat disembuhkan dengan rajin atau patuh dalam minum obat. Penyakit kusta merupakan penyakit yang telah ada sejak lama, sehingga pengetahuan penderita tentang perjalanan serta perkembangan penyakit yang dapat menular apabila kontak lama dengan penderita kusta, penyakit ini dapat disembuhkan apabila rajin berobat dan bukan merupakan penyakit kutukan menjadi lebih baik dan kemudian dari pengetahuan yang sudah ini ini pula membentuk persepsi penderita menjadi baik.

Kecacatan pada penderita kusta tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak, akan tetapi cacat pada penderita kusta dapat dicegah. Upaya-upaya pencegahan kecacatan dapat dilakukan oleh penderita itu sendiri yaitu minum obat secara teratur dan apabila sudah terjadi kecacatan maka penderita dapat melakukan perawatan diri dengan rajin agar cacat tidak bertambah banyak. Berdasarkan hasil penelitian, hampir semua responden tahu bahwa pencegahan cacat dapat dilakukan oleh diri sendiri melalui hidup bersih dan sehat, serta pemeriksaan secara rutin pada anggota tubuh seperti mata, kaki dan tangan setiap hari dan yang paling penting yaitu berobat secara teratur sampai tuntas.

47

Menurut hasil penelitian Mongi, dukungan keluarga yang diberikan kepada penderita meliputi dukungan emosional adalah baik yaitu 76.2%, dukungan instrumental adalah baik yaitu 81% dan dukungan informasi juga sudah baik yaitu 83.3%. Menurut Depkes R.I (1998) keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dan saling ketergantungan. Menurut Friedman (2003) dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan salah satunya adalah fungsi perawatan keluarga yakni memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit. Proses penyembuhan pada penyakit kusta sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan keluarga pada penderita. Dukungan keluarga mempunyai peran penting dalam proses pengobatan, karena keluarga yang bisa memberikan dorongan baik fisik maupun mental untuk penderita.

Menurut Friedman (2003) dukungan keluarga dibagi menjadi dukungan emosional, penghargaan, materi dan informasi. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang diterima oleh penderita kusta sudah sangat baik, yaitu untuk dukungan emosional yakni dukungan dalam bentuk kepedulian dan perhatian dari keluarga kepada anggota keluarga penderita kusta yang selalu

48

mendengarkan keluhan dari penderita, keluarga peduli apabila penderita megalami nyeri, menyiapkan obat untuk penderita serta selalu mengingatkan penderita untuk berobat secara teratur, yaitu sebanyak 76.2

Selain dukungan emosional, dukungan lainnya yang diberikan oleh keluarga adalah dukungan instrumental, dalam hal ini keluarga menyiapkan makanan yang cukup untuk penderita, membantu menyuapkannya apabila penderita tidak mampu untuk makan sendiri, peduli terhadap perawatan tubuh serta keluarga juga selalu ikut serta dalam pemeriksaan rutin penderita di puskesmas. Hasil penelitian untuk dukungan instrumental yang diterima oleh penderita dari keluarga sebanyak 81 % atau 34 responden mendapatkan dukungan yang baik. Hal ini juga didukung oleh penelitan yang dilakukan oleh Hutabarat (2008) di Kabupaten Asahan didapatkan keluarga yang memberikan dukungan kepada penderita untuk tetap berobat sebanyak 73.5% .

Menurut Friedman (2003) dukungan instrumental merupakan dukungan keluarga untuk membantu secara langsung bagi penderita, memberi kenyamanan dan adanya kedekatan dengan penderita. Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan penyebab informasi tentang dunia, jadi dukungan informasi dari keluarga mencakup sebagai pemberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran atau umpan balik

49

(Friedman, 2003). Dukungan informasi yang diberikan oleh keluarga kepada penderita kusta antara lain, keluarga memberikan informasi cara minum obat yang benar dan pentingnya berobat secara teratur serta selalu mengingatkan kepada penderita bahwa penyakit kusta dapat disembuhkan apabila berobat secara teratur.

Berdasarkan hasil penelitian, penderita yang menerima dukungan informasi yang baik dari keluarga sebanyak 83.3%, ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita telah menerima dukungan informasi yang baik dari keluarga. Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mayskur (2009) di Kabupaten Bireun diperoleh bahwa responden yang mendapatkan dukungan informasi yang baik dari keluarga sebanyak 57.4%. Dukungan keluarga yang baik diberikan kepada anggota keluarga yang menderita kusta disebabkan kerena keluarga telah mendapat banyak informasi tentang penyakit kusta dari petugas petugas puskesmas.

50

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI Dirjen P2PL. 2012. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Bakti Husada.

Mongi, Rilauni Angelina. 2012. Gambaran Persepsi Penderita Tentang Penyakit Kusta dan Dukungan Keluarga pada Penderita Kusta di Kota Manado. Available at: fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/Rilauni-Mongi.pdf [Accessed on July 10th 2013]

Listiawan, M. Yulianto, Indropo Agusni, Sunarko Martodihardjo. 2005. Morbus Hansen. Pedoman Diagnosis dan Terapi Edisi III hal.41-45. Surabaya : AUP.

Martiastutik, Dwi, Evy Ervianti, Indropo Agusni, Sunarso Suyoso. 2009. Morbus Hansen. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2 hal.41-54. Surabaya : AUP.

51

CATATAN

52

53