ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI DALAM …/Istilah... · istilah linguistik antropologi, di...
Transcript of ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI DALAM …/Istilah... · istilah linguistik antropologi, di...
i
ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI
DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL
DI PENDAPA ISI SURAKARTA
TANGGAL 10 JANUARI 2010 (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
KALIH PRIHATIN
C0104014
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI
DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL
DI PENDAPA ISI SURAKARTA
TANGGAL 10 JANUARI 2010 (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Disusun oleh
KALIH PRIHATIN
C0104014
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Dra. Sri Mulyati, M.Hum
NIP 195610211981032001
Pembimbing II
Drs. Sri Supiyarno, MA.
NIP 195605061981031001
Mengetahui
Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum
NIP 196001011987031004
iii
ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI
DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL
DI PENDAPA ISI SURAKARTA
TANGGAL 10 JANUARI 2010 (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Disusun oleh
KALIH PRIHATIN
C0104014
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal 3 Agustus 2010
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Dyah Padmaningsih, H. hum
NIP 195710231986012001
Sekretaris Drs. Y. Suwanto, M.Hum
NIP 196110121987031002
Penguji I Dra. Sri Mulyati, M.Hum
NIP 195610211981032001
Penguji II Drs. Sri Supiyarno, MA
NIP 195605061981031001
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A.
NIP 195303141985061001
iv
PERNYATAAN
Nama : Kalih Prihatin
NIM : C0104014
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Istilah-Istilah
Ruwatan dan Sesaji dalam Upacara Ruwatan Massal di Pendapa ISI Surakarta
Tanggal 10 Januari 2010 (Kajian Etnolinguistik) adalah betul-betul karya
sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan
karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang
diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 3 Agustus 2010
Yang membuat pernyataan
Kalih Prihatin
v
MOTTO
Tak punya apa-apa tapi banyak cinta
(penulis)
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada :
Rabbku, Allah s.w.t. yang tak pernah berhenti mencurahkan rizki-Nya kepadaku
Nabiku, Muhammad s.a.w. yang menjadi suri tauladan bagiku
Simbok dan Bapak tercinta yang tak pernah berhenti memotivasi
dan menyayangiku
Kakak dan kakak iparku tercinta
Semua yang telah mendukung penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah s.w.t. atas
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir dan sebagai salah satu syarat
untuk mendapat gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam proses penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis
sadari bahwa banyak hambatan atau kesulitan yang dihadapi baik yang bersifat
teoretik atau praktis. Dengan bekal keyakinan yang kuat dan usaha yang tulus
serta adanya dukungan dari berbagai pihak, segala hambatan dan kesulitan dapat
diatasi. Oleh karena itu, dengan kesadaran dan kerendahan hati yang tulus,
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
1. Drs. Sudarno, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang
telah memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.
2. Drs. Imam Sutarjo, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberi ijin kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi. Terima kasih Bapak sudah bersedia
menjadi informan saya.
3. Dra. Sri Mulyati, M.Hum, serta selaku pembimbing pertama yang telah
membantu proses penyelesaian skripsi. Terima kasih Ibu sudah bersedia
meluangkan waktunya, mencurahkan perhatian, memberikan nasihat,
dan membimbing penulisan skripsi ini sampai selesai.
viii
4. Drs. Sri Supiyarno, M.A, selaku pembimbing kedua, terima kasih atas
masukan dan bimbingannya.
5. Drs. Supardjo, M.Hum, selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis selama studi di Jurusan Sastra Daerah, dengan
penuh perhatian dan kebijaksanaannya.
6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah, terima kasih atas
kesabarannya dalam menyampaikan ilmunya dari semester awal sampai
penulisan skripsi selesai.
7. Simbok dan bapak, terima kasih atas doa dan motivasi kalian, maafkan
selama ini saya belum bisa membahagiakan kalian.
8. Mas Trisno, Anindita, Mbak Rus, kalian yang terbaik, terimakasih atas
kebersamaan yang kita lalui.
9. Kawan-kawan angkatan 2004, kenangan indah bersama kalian takkan
pernah terlupakan.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
semua bantuannya dalam penyelesaian skripsi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, masih jauh dari
sempurna, masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu. Oleh karena itu,
penulis berharap, kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi penyusun
secara pribadi atau pada pembaca pada umumnya.
Surakarta, 3 Agustus 2010
Kalih Prihatin
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. . i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................. . ii
HALAMAN PENGESAHAN . .............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................... iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................... . vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN. .............................................. xiii
ABSTRAK ............................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
a. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
b. Pembatasan Masalah ...................................................... 9
c. Rumusan Masalah .......................................................... 10
d. Tujuan Penelitian ........................................................... 10
e. Manfaat Penelitian ......................................................... 11
1. Manfaat Teoretis ....................................................... 11
2. Manfaat Praktis ........................................................ 11
f. Sistematika Penulisan .................................................... 11
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................. 13
A. Ruwatan. ......................................................................... . 13
1. Upacara Ruwatan. ...................................................... 13
2. sesaji. ......................................................................... 18
x
B. Bentuk ............................................................................ 19
1. Monomorfemis ........................................................ 19
2. Polimorfemis ........................................................... 20
1. Pengimbuhan/Afiksasi. ........................................ 20
2. Reduplikasi. ......................................................... 20
3. Kata Majemuk. .................................................... 21
3. Frasa ......................................................................... 21
C. Makna ............................................................................ 22
D. Etno Linguistik. ............................................................... 23
E. Kajian Linguistik untuk Etnologi. ................................... 24
1. Bahasa dan Pandangan Hidup. ................................. 24
2. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan. ............... 25
3. Bahasa dan Perubahab dalam Masyarakat. ............... 25
F. Masyarakat Bahasa ......................................................... 26
G. Kerangka Pikir ................................................................. 27
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................... 28
A. Jenis Penelitian ................................. ............................. 28
B. Lokasi Penelitian ........................................................... 29
C. Data ................................................................................. 29
D. Sumber Data. .................................................................. 30
E. Alat Penelitian ...................................................................... 30
F. Metode Pengumpulan Data ........................................... 31
G. Metode Analisis Data .................................................... 32
1. Metode Distribusional ............................................. 32
xi
2. Metode Padan .......................................................... 33
H. Metode Penyajian Hasil Analisis Data .......................... 34
BAB IV ANALISIS DATA .................................................................. 35
A. Bentuk Istilah.. ................................................................... . 35
1. Monomorfemis ......................................................... 35
2. Polimorfemis. ............................................................ 37
a. Pengimbuhan/afiksasi.. ....................................... 37
b. Reduplikasi ......................................................... 41
c. Kata Majemuk.. .................................................. 42
3. Frasa.......................................................................... 49
B. Makna Leksikal. ............................................................. 74
C. Makna Kultural. .............................................................. 91
BAB V PENUTUP .............................................................................. 104
A. Simpulan ........................................................................ 104
B. Saran .............................................................................. 105
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 106
LAMPIRAN .......................................................................................... 109
xii
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN
A. Daftar Tanda
[...] : pengapit ejaan fonetis
‟...‟ : gloss sebagai pengapit terjemahan
”...” : tanda petik menandakan kutipan langsung
+ : ditambah
/ : atau
: tanda sebagai penunjuk jadian
Tanda ε : dibaca seperti pada kata sajen [sajEn] „sesaji‟
Tanda ә : dibaca seperti pada kata sega [s|gO] „nasi‟
Tanda ŋ : dibaca seperti pada kata kacang [kacaG] „kacang‟
Tanda O : dibaca seperti pada kata woh-wohan[wO-wOan]‟buah-buahan‟
Tanda ? : dibaca seperti pada kata lombok [lOmbO?] ‟cabai‟
Tanda T : dibaca seperti pada kata bathara [baTOrO] „dewa‟
Tanda D : dibaca seperti pada kata gedhang [g|DaG] ‟pisang‟
Tanda U : dibaca seperti pada kata rambut [rambUt] „rambut‟
Tanda I : dibaca seperti pada kata putih [putIh] „Putih‟.
xiii
B. Daftar Singkatan
Adj. : Adjektiva
BUL : Bagi Unsur Langsung
dkk. : dan kawan-kawan
dll. : dan lain-lain
dst. : dan seterusnya
hlm. : halaman
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
N : Nomina
R : Reduplikasi
s.a.w. : Salallahu „alaihi wasallam
s.w.t. : Subhanallahu Wa‟taala
V : Verba
ABSTRAK
Kalih Prihatin. C0104014. 2010. Istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam
upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari2010
xiv
(Kajian Etnolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini menguraikan tentang: (1) bentuk istilah ruwatan dan
sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari
2010, (2) makna leksikal dari istilah-istilah istilah ruwatan dan sesaji dalam
upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, (3)
makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan
massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
penggambaran secara alamiah yang tidak menggunakan data statistik atau angka,
karena data yang dikumpulkan berupa fakta kebahasaan. Lokasi penelitian di
Pendapa ISI SUrakarta. Data penelitian berupa data lisan, dan data tulis. Sumber
data lisan berasal dari informan yang mengetahui upacara ruwatan, sedangkan
buku-buku, yang berkaitan dengan sesaji, budaya, dan linguistik, hanya sebagai
sarana untuk melengkapi teori dalam penelitian ini, sumber data tulis berasal
dari buku referensi atau pustaka. Metode pengumpulan data meliputi observasi
lapangan, teknik wawancara yang mendalam, teknik rekam, teknik catat, dan
teknik pustaka. Metode analisis yang digunakan adalah metode distribusional
yang digunakan untuk menganalisis bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam
upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010
dengan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), dan metode padan yang digunakan
untuk menganalisis makna istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara
ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. Metode
penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif dan metode
informal.
Hasil analisis data yang peneliti temukan yaitu keseluruhan rangkaian
upacara ruwatan yaitu prosesi ruwatan, wayangan, beserta sesaji yang
digunakan. Istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di
Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 memiliki tiga bentuk kebahasaan
yaitu istilah yang termasuk monomorfemis terdapat 4 istilah, istilah yang
termasuk polimorfemis yang terdiri dari afiksasi terdapat 5 istilah, kata majemuk
terdapat 9 istilah dan reduplikasi terdapat 3 istilah dan istilah yang berupa frasa
terdapat 24 istilah. Keseluruhan istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara
ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 adalah 45
istilah. Analisis makna istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan
massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010menghasilkan makna
leksikal dan makna kultural. Makna leksikal mengacu kepada wujud konkret
istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI
Surakarta tanggal 10 Januari 2010, sedangkan makna kultural yang di temukan
dalam penelitian ini menggambarkan kehidupan manusia tentang baik dan buruk
dirinya tergantung dari perbuatan yang telah dilakukan.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang
dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1993: 21). Bahasa
berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan
inventarisasi ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1984: 38). Bahasa merupakan
sarana untuk menangkap, mengomunikasikan, mediskusikan, mengubah, dan
mewariskan sesuatu kepada generasi baru. Dengan bahasa menusia dapat
menelusuri kembali hal-hal di masa lalu dan perkembangan masa depan. Dengan
bahasa kita dapat mendiskusikan hal-hal yang belum pernah kita lihat,
mengomunikasikan ide-ide yang abstrak. Tetapi bahasa bukan sekedar sarana
berkomunikasi atau sarana mengekspresikan sesuatu. Dengan bahasa manusia
menciptakan dunianya yang khas manusiawi (kebudayaan). Dalan kehidupan
masyarakat bahasa sendiri penting artinya yaitu untuk mengembangkan ilmu.
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa itu adalah sitem lambang yang
berwujud bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan, maka yang
dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu
pikiran yang ingin disampaikan. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu
pada sesuatu konsep, ide, atau pikiran maka dapat dikatakan bahasa itu
mempunyai makna.
xvi
I Dewa Putu Wijana (2008: 13), bentuk kebahasaan memiliki hubungan
dengan konsep dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense), dan konsep
ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada diluar bahasa yang
disebut referen (referent). Makna yang berkenaan dengan kata disebut makna
leksikal, yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat disebut makna
gramatikal, dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna pragmatik atau
makna kontekstual (Abdul Chaer, 2007: 44-45). Dalam penelitian ini
memfokuskan pada kata yang mempunyai konsep atau pengertian secara jelas
yang terdapat didalam kamus bau sastra Jawa (Purwadarminta 1939)
Setiap kegiatan yang bersifat ilmiah tentu mempunyai objek, begitu juga
dengan linguistik yang mengambil bahasa sebagai objeknya (Abdul Chaer,
2007: 301). Bahasa adalah alat pengembang kebudayaan, dan kebudayaan
adalah endapan kegiatan dari karya manusia. Penyebutan bahwa setiap daerah
memiliki ciri khas berdasarkan penutur dan budaya setempat disebut dengan
istilah linguistik antropologi, di samping etnolinguistik (Harimurti Kridalaksana,
1982: 42). Etnolinguistik sendiri ilmu yang mempelajari tentang masalah
terbentuknya kebudayaan yang berkaitan dengan bahasa. Istilah etnolinguistik
berasal dari kata etnologi dan linguistik. Etnologi berarti ilmu yang mempelajari
tentang suku-suku tertentu dan linguistik berarti ilmu yang mengkaji seluk
beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa, yang lahir
karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para
ahli etnologi, sekarang dikenal dengan sebutan antropologi budaya (Sudaryanto,
1996: 9). Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 52), etnolinguistik adalah
xvii
cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat
pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan.
Bahasa dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa tidak akan lepas
dari lingkungan alam sekitar, karena hubungan dengan alam sudah terjalin sejak
manusia hadir di muka bumi, maka secara ilmiah bahasa yang keluar pada saat
itu pasti akan terpengaruh dengan alam sekitar. Pemanfaatan potensi alam dapat
dipengaruhi oleh unsur alam di dalam segala aspek kehidupan, termasuk di
dalamnya pemberian nama pada suatu hal tentu tidak lepas dari pengaruh
lingkungan sekitar. Bahasa tulis sebenarnya merupakan rekaman bahasa lisan
sebagai usaha manusia untuk menyimpan bahasanya, atau untuk dapat
disampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang
berbeda (Abdul Chaer, 2007: 83).
Orang Jawa sendiri sangat fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan
segala perubahan yang ada di sekitarnya. Dari perubahan yang terjadi di
lingkungan sekitar, orang Jawa lebih tertarik bukan karena variasinya, tetapi
tentang praktisnya. Terutama di sini yang berhubungan dengan pelaksanaan
upacara ruwatan. Sebenarnya budaya Jawa tetap terjaga, yang mulai tergeser
adalah nilai tradisi yang ada di dalamnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang
mengutamakan pendidikan, mengembangkan pariwisata, dan menjunjung tinggi
kebudayaan, sebab itu budaya bangsa warisan leluhur haruslah kita lestarikan.
Upacara ruwatan diselenggarakan dalam suasana khidmat dan sakral. Namun
sesungguhnya yang disakralkan itu bukan benda-benda perlengkapan upacara
ataupun tindakan simbolik para pelakunya, melainkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya (Karkono Kamajaya,1992: 3).
xviii
Adanya tradisi-tradisi baik lisan maupun tertulis yang terdapat di daerah-
daerah seluruh nusantara, suatu kenyataan bahwa sampai saat ini masih banyak
dilestarikan oeh kelompok pendukungnya. Setiap kelompok etnis baik kelompok
besar atau kecil, pastilah mempunyai jalinan kekerabatan yang sangat kuat.
Persekutuan dari individu-individu itu akan membentuk suatu kekuatan yang
luar biasa. Bersama itu munculah aturan-aturan atau tradisi-tradisi dalam
masyarakat yang selanjutnya diwariskan beruntun turun-temurun dari generasi
ke generasi. Namun dari msing-masing kelompok tidak semua dapat menerima
produk-produk yang dihasilkan oleh generasi pendahulunya. Tata kehidupan
masyarakat pada masa tertentu akan selalu diwariskan, akan tetapi suatu warisan
budaya tidak dengan sendirinya selalu diterima dengan senang oleh si pewaris.
Masyarakat Jawa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang ada
di Indonesia yang memiliki kekayaan budaya tradisional yang khas. Salah satu
kekhasan budaya trdisional masyarakat Jawa tersebut adalah digunakanya unsur-
unsur simbolik atau simbol-simbol atau juga disebut lambang-lambang. Salah
satu budaya tradisional yang berbentuk upacara yang penuh lambang-lambang
atau simbol-simbol tersebut adalah upacara ruwatan. Bagi masyarakat Jawa,
ruwatan merupakan upaya manusia untuk mencegah atau membebaskan manusia
dari ancaman gaib yang dianggap membahayakan hidup manusia.
Upacara ruwatan, dahulu merupakan suatu upacara yang tergolong sakral
karena berasaskan agama dan kepercayaan, menjadi pudar dan peranan dalam
perkembangan kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat yang
membangun dan yang modern semakin hilang. Sampai-sampai di lingkungan
masyarakat pedesaan, upacara ruwatan menjadi amat langka yang disebabkan
xix
karena pengaruh faktor-faktor tertentu. Dan jika masyarakat kota (yang asalnya
dari desa) semakin membengkak dan tidak ada yang merasa tergugah untuk
melestarikan aspek-aspek tertentu dan aset-aset yang khas dalam dalam
kehidupan budaya rakyat, upacara ruwatan sebagai tradisi Jawa mungkin akan
tinggal kenangan saja.
Seperti kata Sukerta [suk|rta], sukerta adalah kotor, noda. Orang
sukerta adalah orang yang kotor. Dalam keyakinan orang Jawa orang sukerta
adalah orang yang menjadi jatah makanan bathara kala.
Murwa kala [mUrwO kOlO] adalah kesatuan dari dua kata, yaitu
„murwa” yang berarti menguasai dan „kala’ berarti bencana, mala petaka.
Dengan demikian jika di satukan akan menemukan arti dari kata tersebut yaitu
bencana yang dikuasai, atau juga menguasai mala petaka. Perkataan murwakala
mengandung ajaran, hendaknya orang dapat menguasai waktunya sendiri dan
tidak membuang-buang waktu untuk perbuatan yang tak ada manfaatnya bagi
diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas mengatur waktu dengan sebaik-
baiknya niscaya akan besar sekali manfaatnya bagi keselamatan dan
kesejahteraan (Karkono Kama Jaya: 1992, 46)
Fenomena kebahasaan seperti di atas seringkali muncul dalam waktu-
waktu tertentu, karena istilah tersebut merupakan istilah yang sering muncul
dalam ruwatan. Istilah dalam ruwatan perlu dikaji dengan alasan, 1) ruwatan
merupakan nasihat yang adi luhung yang hidup di masyarakat, nasihatnya sering
dimunculkan dalam cerita wayang yang di pertunjukkan, 2) ruwatan merupakan
simbol yang perlu dikaji maksud dan atau pesan yang tersirat, 3) ruwatan masih
hidup dalam masyarakat sebagai salah satu budaya yang dimiliki masyarakat
xx
Jawa, 4) peneliti ingin mengetahui fungsi istilah ruwatan dalam kehidupan
sehari-hari. Berdasarkan alasan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti ruwatan
yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa yang hidup dalam masyarakat .
Setiap masyarakat, suku bangsa, bangsa memiliki budaya yang berfungsi
untuk mengatur, mengarahkan, dan bahkan menjadi pedoman tingkah laku dan
perbuatan manusia sebagai pendukung budaya itu. Dengan fungsinya yang
demikian itu budaya mempunyai kekuatan normatif sebagai pengendali sosial.
Dalam masyarakat sederhana fungsi budaya sebagai pengendali sosial itu
diwujudkan melalui simbol-simbol tertentu. Simbol-simbol atau lambang-
lambang itu bagi masyarakat pendukungnya difungsikan sebagai salah satu
pengetahuan yang berarti. Simbol atau lambang dapat diwujudkan dalam bentuk
patung, ungkapan, upacara-upacara, selamatan, lagu-lagu, gerak dalam tari dan
pertunjukan seni yang lain. Dilihat dari sudut pedoman, estetika dan sistem
simbol memberi pedoman terhadap berbagai pola perilaku manusia yang
berkaitan dengan keindahan, yang pada dasarnya mencakup kegiatan berkreasi
dan berapresiasi (Nooryan Bahari, 2008: 47).
Alasan penelitian mengenai ruwatan ini adalah dalam rangka
melestarikan kebudayaan dan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi
berikutnya. Pewarisan kebudayaan harus ada keseimbangan dengan cara
menyusun dan penataan kembali secara sistematis, kronologis dan tepat unsur-
unsur kebudayaan menurut kedudukan yang sebenarnya. Upacara ruwatan
merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan mengandung
nilai budaya tinggi. Warisan yang asli dari nenek moyang kita ini perlu dijaga
dan dilestarikan agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak. Untuk
xxi
melestarikan kebudayaan terutama upacara ruwatan perlu adanya orang yang
tertarik dan berminat untuk mengadakan riset dan survei tentang upacara
tersebut.
Selain itu karena zaman sekarang perkembangan teknologi semakin pesat
dan mendesak unsur-unsur tradisional akibatnya akan menimbulkan pergeseran
nilai-nilai arti dan fungsi dari suatu tradisi yang telah berkembang lama, bahkan
yang lebih ekstrim lagi, akan dapat menghilangkan tradisi-tradisi lama yang
berkembang di suatu lokal. Cepat atau lambat akan menimbulkan suatu dampak
pemiskinan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam unsur-unsur ruwatan
dan segala aspeknya yang bersifat tradisional. Dengan kemajuan dan
perkembangan teknologi yang semakin maju dari tahun ke tahun umumnya
masyarakat sekarang kurang memperoleh pesan-pesan nilai budaya yang
terkandung dalam pola-pola tradisional atau bahkan mereka sudah melupakan
dan menganggap tidak perlu karena sudah kuno, akibatnya akan jadi
kesenjangan kontinyuitas budaya.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas itulah yang mendorong untuk
segera dilakukan langkah-langkah inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan
daerah yang sudah tampak gejala-gejala menipis ataupun menghilang. nilai asli
dari tradisi dan pandangan-pandanganya perlu diangkat kembali. Kalau orang
Jawa sendiri tidak menemukan pandangan asli dari kebudayaanya
memungkinkan muncul paham atau interpretasi dangkal, karena kehilangan
penghayatan terhadap budayanya sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa
upacara ruwatan merupakan khazanah budaya Jawa, dan penelitian kebahasaan
tentang istilah dalam upacara ruwatan belum pernah dilakukan.
xxii
Fenomena kebudayaan yang berhubungan dengan kebahasaan itulah
yang akan di bahas, karena terlihat adanya keunikan-keunikan yang dapat
dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ilmu etnolinguistik,
dengan judul istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di
Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kajian etnolinguistik yang
sehubungan dengan istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI
Surakarta tanggal 10 Januari 2010 diantaranya sebagai berikut:
1. Istilah Alat-alat Rumah Tangga dan Perkembanganya di Kota Surakarta
(Suatu Pendekatan Etnolinguistik), oleh Yohanes Suwanto, dkk (1990).
Mengkaji tentang berbagai istilah alat-alat rumah tangga, baik yang
bersifat tradisional maupun modern, perkembangan ala-alat rumah
tangga dari tradisional menjadi modern berdasarkan kesamaan fungsi dan
latar belakang budaya yang mempengaruhi pergeseran penggunaan
istilah alat-alat rumah tangga.
2. Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Upacara nyadranan di Makam Sewu
Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, (Kajian
Etnolinguistik), oleh Iswati (2005). Mengkaji tentang berbagai istilah
unsur-unsur sesaji dalam upacara nyadranan di makam sewu Desa
Wijirejo, Kecamatan pandak, Kabupaten Bantul. Tentang makna
leksikal, kultural, dan fungsi upacara nyadran bagi masyarakat.
3. Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang,
Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen, (Suatu Pendekatan
Etnolinguistik), oleh Hidha Watari (2008). Mengkaji tentang berbagai
xxiii
istilah unsur-unsur sesaji dalam tradisi bersih desa di Desa Gondang,
Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen. Tentang makna leksikal,
kultural, dan fungsi tradisi bersih desa bagi masyarakat.
4. Istilah – Istilah Sesaji dalam Selamatan Upacara Perkawinan dan
Perkembanganya di Desa Pulung, Kecamatan Pulung, Kabupaten
Ponorogo. (Suatu Kajian Etnolinguistik), oleh Biesatyo Resthi (2009).
Mngkaji tentang bentuk stilah, makna leksikal dan kultural istilah sesaji
dalam selamatan upacara perkawinan dan perkembangannya di Desa
Pulung, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo.
Dari penelitian terdahulu menandakan bahwa penelitian mengenai
istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI
Surakarta tanggal 10 Januari 2010 (kajian etnolinguistik), belum pernah
dilakukan
B. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi masalah agar tidak meluas, maka dijelaskan batasan-
batasan objek yang akan dikaji. Supaya dalam penelitian nantinya dapat lebih
mudah dalam membantu peneliti. Masalah-masalah yang akan diteliti adalah
istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI
Surakarta tanggal 10 Januari 2010, yang meliputi bentuk istilah dalam upacara
ruwatan, makna leksikal dan makna kultural dari bentuk istilah itu.
xxiv
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan pembatasan
masalah di atas, maka dalam penelitian awal ini dapat disebutkan tiga masalah
sebagai berikut;
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara
ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010?
2. Bagaimanakah makna leksikal dari istilah-istilah istilah ruwatan dan
sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10
Januari 2010 ?
3. Bagaimanakah makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji
dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10
Januari 2010 ?
D. Tujuan penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini mempunyai
tujuan sebagai berikut;
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara
ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.
2. Mendeskripsikan makna leksikal dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji
dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10
Januari 2010.
3. Mendeskripsikan makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji
dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10
Januari 2010.
xxv
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
teori linguistik, khususnya etnolinguistik.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian awal ini secara praktis dapat memberikan informasi
mengenai bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di
pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, makna leksikal dan makna
kultural dari bentuk istilah tersebut, dan mengetahui fungsi ruwatan untuk
menambah wacana bagi masyarakat terutama pemuda, budayawan, seniman,
pendidikan, anak-anak, orang tua. Dan dapat digunakan sebagai referensi moral,
etika, dan religius terkait dengan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam
upacara ruwatan.
F. Sistematika Peulisan
Bab I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab II memuat kajian pustaka dan kerangka pikir. Kajian pustaka berisi
tentang konsep-konsep yang mendasari penelitian ini. Konsep-konsep tersebut
diambil dari beberapa buku referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan kerangka pikir berisi suatu bagan alur pemikiran dalam penelitian ini.
xxvi
Bab III memuat metode penelitian. Metode penelitian berisi tentang
penjelasan dari jenis penelitian, data, sumber data, metode pengumpulan data,
dan metode analisis data.
Bab IV memuat hasil analisis dan pembahasan. Analisis data dilakukan
dengan metode distribusional dan metode padan.
Bab V memuat penutup yang berisi simpulan dan saran.
xxvii
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori di sini dimaksudkan sebagai dasar atau landasan yang
sifatnya teori eksplisit yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan
dikaji di dalam penelitian. Konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan
penelitian ini antara lain sebagai berikut.
A. Ruwatan
1. Upacara Ruwatan
Upacara ruwatan telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad
dengan mengalami proses perubahan sampai pada bentuknya yang sekarang ini.
Ketahanan dan kelestarianya menunjukkan bahwa warisan budaya leluhur itu
memiliki fungsi yang dianggap penting bagi masyarakat pendukungnya. Apabila
tidak, tradisi tersebut pasti sudah punah karena tidak ada lagi yang
mendukungnya.
Kata ruwatan berasal dari kata ruwat artinya: bebas, lepas.(Karkono
Kamajaya, 1992: 10). Kata mangruwat atau ngruwat artinya: membebaskan,
melepaskan. Dalam tradisi lama atau kuna yang diruwat adalah makhluk yang
hidup mulia atau bahagia, tetapi kemudian berubah menjadi hina dan sengsara.
Maka mereka yang hidup sengsara atau hina itu harus diruwat, artinya harus
dibebaskan atau dilepaskan dari hidup sengsara. Menurut Purwadi (2006: 117),
ruwatan berasal dari kata ruwat yang artinya memelihara atau menjaga. Ruwatan
adalah salah satu tindakan manusia dengan bantuan dalang untuk memperoleh
keselamatan hidup jauh dari segala malapetaka.
xxviii
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976: 855) menyebutkan ruwat berarti:
1. Pulih kembali sebagai keadaan semula (tentang jadi-jadian, orang
kena teluh dan sebagainya)
2. Terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa (bagi orang
yang menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk seperti anak
tunggal dan sebagainya)
Istilah ruwatan pengertian pada masa sekarang adalah pertujukan wayang
kulit purwa dengan mengambil lakon Murwakala, yaitu lakon menceritakan
kelahiran kala serta pepancen atau catu makan Bathara Kala. (Walujo, 1990: 1).
Ada juga lakon cerita yang lain misalnya: Baratayuda, Sudamala, dan
Kunjarakarna. Ruwatan berpusat pada cita-cita akan kesempurnaan hidup dan
harmoni, menyangkut perjalanan hidup manusia sejak terjadinya dumadi sampai
kembalinya. Membangun generasi berarti mewaspadai keturunan sejak sebelum
terjadinya, agar tidak salah jadi, salah tumbuh, dan salah tindak. Keprihatinan
yang mendalam itu terwujud dalam berbagai tradisi ruwat, yang berkambang
lintas waktu, daerah, budaya dan agama (Kuntara Wiryamartana, 1990: 2).
Upacara ruwatan telah tumbuh dan berkembang dengan pergelaran
wayangnya seiring dengan pesan dan amanat yang mengandung nilai-nilai luhur
yang disampaikan secara simbolik dan metaforik serta dalam bentuk penyajian
yang serba estetis. Pesan dan amanat itu merupakan hasil penghayatan para
leluhur dalam hidup bermasyarakat dan hubungannya dengan alam yang
menjadi lingkungannnya. Dan hasil penghayatan itu telah terkaji sepanjang
masa. Sehingga dapat dijadikan acuan bagi generasi berikutnya untuk mengatur
xxix
hidupnya dalam tata pergaulan masyarakat dan lingkungannya agar dapat merasa
tenteram, aman, selamat dan sejahtera.
Penyampaian pesan secara simbolik dalam upacara ruwatan itu bertujuan
agar nilai-nilai yang diungkapkan dapat terjaga kelestarianya. Apabila pesan itu
disampaikan secara lugas (wantah), niscaya penerimaanya tidak berbeda dengan
informasi biasa dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, sesudah pesan itu diterima
oleh pendengarnya, maka selesailah fungsi pesan itu, dan tidak lagi mengesan
dihatinya. Penyampaian pesan secara simbolik melalui penyelenggaraan upacara
dengan segala perlengkapan, selamatan dan pergelaran wayang, seringkali sukar
ditangkap secara rasional dan dalam hal ini kepekaan rasa sangat diperlukan
untuk dapat memahami makna simbolik itu. Secara rasional kiranya dapat
diuraikan bahwa ruwatan bertujuan untuk mensucikan jiwa anak sukerta dengan
dibekali berbagai ajaran etik dan moral yang terungkap dalam upacara, dalam
gelaran wayang, dalam makna simbolik setiap perlengkapan yang di gunakan.
Mulai saat itu diharapkan anak yang telah disucikan melalui upacara ruwatan
selalu berhati-hati dalam menjalani hidup sesuai dengan ajaran yang
deterimanya selama upacara berlangsung. Kepatuhan kepada ajaran itu adalah
yang menjamin keselamatan hidup selanjutnya. Oleh karena itu semakin
pentinglah arti kajian terhadap makna-makna simbolik yang terkandung dalam
upacara ruwatan agar dapat terwujud ajaran yang konkrit dan mudah diterima
secara rasional oleh masyarakat. Dengan demikian adanya kesan bahwa ruwatan
menjurus kepada hal-hal yang musrik atau pun tahayul dapat dicegah, dan
upacara ruwatan sebagai adat tradisional tetap dapat dilestarikan dan tetap
relevan dengan kehidupan masa kini dan masa depan.
xxx
Upacara ruwatan diselenggarakan dalam suasana khidmat dan sakral.
Namun yang disakralkan itu sesungguhnya bukan benda-benda perlengkapan
upacara atau juga tindakan simbolik para pelakunya, melainkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. yang disakralkan, tujuannya ialah dengan menjunjung
tinggi nili-nilai yang dianggap sakral itu kita selalu bersikap dan berbuat secara
hati-hati dan penuh tanggung jawab, baik dalam pengendalian diri maupun
dalam menjalin hubungan dengan alam.
Pada kesakralan nilai-nilai juga tercermin hubungan kasih sayang orang
tua dengan anaknya yang diruwat. Orang tua tidak hanya memandang anaknya
semata-mata sebagai produk biologis, tetapi sebagai amanat (titipan) Tuhan yang
harus dijaga pertumbuhannya serta dididik agar memiliki sifat-sifat dan
kepribadian yang luhur. Mengasuh anak bagi orang tua adalah tugas yang harus
dilaksanakan dan salah satu bentuknya adalah menyelenggarakan upacara
ruwatan demi keselamatan dan kesejahteraan sang anak selanjutnya. Sebaliknya
dari pihak anak pun, tidak dibenarkan memandang orang tuanya semata-mata
sebagai penyebab kelahirannya secara biologis tetapi sebagai utusan Tuhan yang
bertugas membimbing hidupnya dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu,
anak wajib patuh terhadap amanat dan nasehat orang tua seperti tercermin dalam
penyelenggaraan upacara ruwatan.
Dalam budaya Jawa ditunjukkan adanya dua macam hubungan yaitu
hubungan yang vertikal dan hubungan yang horisontal. Hubungan horisontal
diartikan sebagai hubungan masyarakat. Hubungan vertikal ini manusia
melakukannya melalui upacara dan selamatan. Upacara dan selamatan ini
xxxi
merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha
Pencipta.
Dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10
Januari 2010 cerita wayang yang dipertunjukkan berjudul sudamala yang
mengisahkan Bathari Uma (bidadari cantik) yang terkena kutukan Hyang
Manikmaya karena berbuat salah atau tidak terpuji. Yang akhirnya berubah
menjadi raksasa yang bernama Bathari Durga, dan bertempat tinggal dihutan
kemudian menjadi istri dari Bathara Kala (anaknya sendiri). Hal ini
menggambarkan hukum yang rusak atau dilanggar, hilangnya hukum sebab
akibat. Setelah ketemu dan diruwat oleh Raden Sadewa (salah satu dari
pandhawa lima) yang sedang dimasuki oleh Bathara Guru dengan disaksikan
oleh Semar (Hyang Ismaya) maka Dewi Uma menjadi cantik seperti semula dan
kembali ke kahyangan. Dalam pertunjukan wayang tersebut ceritanya
menggambarkan tindakan dosa atau kesalahan manusia yang menyebabkan
rohani menjadi kotor dan rusak digambarkan sebagai raksasa. Maka harus
bertaubat dan dibersihkan dengan cara diruwat agar rohaninya menjadi baik dan
suci kembali.
Upacara ruwatan yang dilaksanakan di Pendapa ISI tanggal 10 Januari
2010, merupakan ruwatan sukerta. Tradisi meruwat anak sukerta dalam keluarga
Jawa pada hakekatnya berdasarkan kenyataan. Bahwa sampai begitu jauh
seorang anak dalam keluarga Jawa selalu mengalami kesialan. Dengan kata lain,
sudah kodratnya bernasib seperti itu. Inilah pokok yang dianut dalam tradisi
ruwatan, menghilangkan prasangka-prasangka buruk dalam pikiran. Dengan
xxxii
melakukan upacara ruwatan, memohon kepada Tuhan agar dihindarkan dari
kesialan-kesialan yang selalu menimpa.
2. Sesaji
Sesaji atau sering di sebut dengan sajen, mengandung maksud yang sama
nilainya dengan korban sebagai penjelmaan penghargaan atau pengagungan
kepada para leluhur, para penjaga tempat kediaman, desa, dan Negara beserta
permohonan akan perlindungan Nya sehingga memperoleh keselamata dan
kesejahteraan (Karkono Kamajaya, 1992: 48).
Sesajen berarti sajian (makanan, bunga, dan sebagainya) yang disajikan
untuk makhluk halus (Poerwadarminta, 1976: 929). Sesajen memiliki nilai
sakral di sebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Acara sakral ini
dilakukan untuk mencari berkah di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat
atau di berikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Banyak orang Jawa berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa
bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga
diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji
kemudian pada suatu saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan
sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan).
Sesaji yang ditujukan kepada yang mbaureksa (penjaga yang tidak kasat
mata, yang gaib) sesungguhnya mencerminkan kesadaran menusia kepada
lingkungan hidupnya. Dengan suasana kesakralan itu dimaksudkan agar manusia
tidak gegabah merusak alam yang menjadi lingkunganya, sebab akibatnya akan
berbalik sebagai malapetaka yang meninpa manusia yang melakukannya, bahkan
seluruh masyarakat akan ikut juga menanggung musibah, jadi yang disakralkan
xxxiii
bukan sesajinya, tetapi nilai kesadaran terhadap lingkungan itulah yang perlu
dicamkan demi kesejahteraan hidup manusia.
Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dam perasaan
pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan (Suwardi Endraswara, 2006:
247). Upaya pendekatan diri melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi
budaya yang bersifat abstrak. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang
digunakan sebagai sarana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal gaib, hal ini
dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak
mengganggu. Dengan pemberian makanan secara simbolis kepada roh halus,
diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia.
B. Bentuk
1. Monomorfemis
Menuruy Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan
menyusun sebuah kata, kata dalam hal ini satuan gramatikal bebas yang terkecil.
Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri
sendiri, mempunyai makna dan berkategori jelas. Sedangkan kata bermorfem
lebih dari satu disebut kata polimorfemis
Sedangkan menurt Harimurti Kridalaksana (1993: 148), monomorfemis
(monomorphemic) terjadi dari satu morfem, morfem (morphemic) merupakan
satuanbahasa terkecil yang maknanya secara relative stabil dan yang tidak dibagi
atas bagian yang lebih kecil misalnya. Penggolongan kata menjadi bentuk
monomorfemis dan polimorfemis adalah penggolongan berdasarkan jumlah
morfem yang menyusun kata.
xxxiv
Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar dalam istilah-
istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI
Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat merupakan morfem bebas dengan
pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa
dilekati imbuhan. Dengan kata lain istilah tersebut belum mengalami proses
morfologis atau belum mendapat tambahan apapun, belum diulang, belum
digabungkan atau dimajemukkan.
2. Polimorfemis
Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang
berupa rangkaian morfem. Proses morfologis sendiri meliputi:
a. Pengimbuhan / afiksasi (penambahan afiks)
Ada empat macam afiks dalam bahasa Jawa, yang dibedakan satu sama
lain atas letak dan tempatnya dipandang dari bentuk dasar yang dibersenyawai,
yaitu prefiks infiks,, sufiks, dan konfiks (Sudaryanto, 1992: 19). Penambahan
afiks dapat dilakukan di depan, di tengan, di belakang, di depan dan di belakang
morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks,
afiks yang berada di tengah disebut sisipan atau infiks, dan afiks yang berada di
belakang disebut sufiks, sedangkan afiks yang berada di depan dan di belakang
di sebut konfiks. Afiks selalu berupa morfem terikat, sedangkan morfem dasar
dapat berupa morfem bebas.
b. Reduplikasi
Kata ulang atau reduplikasi ialah kata yang diucapkan dua kali, sebagian
atau seluruhnya (Aryo Bimo Setiyanto, 2007: 81).
xxxv
c. Kata Majmuk
Kata majemuk yaitu gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus
sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang
khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan, pola khusus tersebut
membedakanya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk
(Harimurti Kridalaksana, 2001: 99). Kata majemuk dibentuk dengan satuan
lingual yang berpotensi menjadi kata leksikal (Sudaryanto, 1992: 62).
3. Frasa
Frasa yaitu satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas subjek dan predikat atau satuan lingual yang scara
potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-
ciri klausa (Henry Guntur Tarigan, 1985: 93). Djoko Kentjono (1982: 57)
mengatakan frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari
dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk
klausa. Jadi sebuah frasa harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Relasi unsur-unsurnya relatif longgar.
2. Menpunyai unit sintaksis yang lebih rendah.
3. Kontruksi yang unsurnya dimungkinkan disisipi bentuk lain.
4. Intonasinya mengikuti kalimat.
Jadi yang disebut frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang
sifatnya non-predikatif dan tidak mempunyai batas fungsi. Maksudnya gabungan
kata hanya mempunyai satu fungsi (S.P.O.K) dalam kalimat.
xxxvi
C. Makna
Pengertian sense „makna‟ dibedakan dari meaning „arti‟ di dalam
semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu
sendiri (terutama kata-kata). Makna dapat dianalisis melalui struktur dalam
pemahaman tatanan bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis). Makna dapat diteliti
melalui fungsi, dalam pemahaman fungsi hubungan antar unsur. Dalam
penelitian ini pembahasan meliputi makna leksikal, dan makna kultural dari
istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI
Surakarta tanggal 10 Januari 2010.
Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 133) makna leksikal yaitu
makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain.
Makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaan atau
konteksnya. Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh
masyarakat dalam hubunganya dengan budaya tertentu. Makna kultural muncul
dalam masyarakat karena adanya simbol-simbol yang melambangkan keinginan
masyarakat untuk mendapatkan kelancaran dan keselamatan dalam menjalani
hidup.
Dalam masyarakat Jawa makna kultural dijadikan sebagai acuan dalam
bersikap dan bertingkah laku, serta menjadi nilai bagaimana seorang individu
berperilaku dalam kelompoknya. Dalam memahami sebuah budaya tentu harus
menafsirkan tanda dari budaya tersebut. Akan tetapi tanda tidak mempunyai
konsep.tentu dalam hal ini simbol akan menjadi petunjuk untuk menghasilkan
makna melalui interpretasi. Simbol akan menjadi bermakna apabila isi kode
diuraikan menurut konvensi dan aturan budaya yang ada secara sadar ataupun
xxxvii
tidak sadar. Simbol dapat bermakana apabila penutur mampu menjelaskan
sebuah tanda dengan menghubungkan beberapa aspek yang relevan. Makna
kultural merupakan suatu makna yang berkaitan erat dengan masalah budaya.
Makna kultural muncul dalam masyarakat untuk mendapatkan kelancaran dan
keselamatan dalam menjalani sebuah kehidupan bermasyarakat.
D. Etnolinguistik
Kelahiran etnolinguistik sangat erat hubungannya dengan hipotesis
„Sapir-Whorf‟, yang disebut pula dengan relativisme bahasa (language
relativisme) menurut pemikiran Boas (Sampson dalam Edi Subroto, 2003: 6).
Hipotesis tersebut menyatakan bahasa manusia membentuk dan mempengaruhi
presepsi manusia akan realitas lingkungan atau bahasa manusia mempengaruhi
lingkungan dalam memproses atau membuat kategori-katagori realitas di
sekitarnya (Sampson, dalam Edi Subroto, 2003: 6). Berdasarkan hipotesis
tersebut dapat diketahui bahwa kategori-kategori yang merupakan sistem bahasa
masyarakat tertentu akan mempengaruhi manusia dalam mempresepsikan dan
mengkatagorikan realitas alam sekitar.
Di samping hipotesis Sapir-Whorf terdapat pandangan lain bahwa bahasa
itu menunjukkan bangsa, maksud budaya dan kekayaan budaya suatu kelompok
etnik tertentu tersusun di dalam bahasanya khususnya leksikon, misalnya
masyarakat Indonesia yang tergolong agraris memiliki leksikal yang berkaitan
dengan padi, beras, nasi, nenir dan lain sebagainya. Etnolinguistik atau linguistik
antropologi ialah nama bagi telaah hubugan antara bahasa, masyarakat dan
kebudayaan. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai konteks dari hipotesis Sapir-
xxxviii
Whorf, maupun dalam konteks bahasa cermin bangsa, misalnya bagaimana
aspek-aspek budaya, nilai budaya suatu kelompok etnik tertentu dicerminkan
dalam bahasa, sebagai contoh rasa dan nilai rasa bagi masyarkat Jawa amat
penting dalam interaksi sosial sehari- hari, dan bagaiman rasa dan nilai rasa di
manifestasikan dalam leksikon (dalam bahasa Jawa terdapat leksikon ngoko,
krama, dan krama inggil ).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etnolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang kaitannya dengan
masyarakat dan budaya yang mempunyai perbedaan atau ciri pembeda yang
berupa leksikon antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
E. Kajian Linguistik Untuk Etnologi
1. Bahasa dan Pandangan Hidup
Bahasa dan pandangan hidup suatu masyarakat dapat tercermin dari
bahasa yang mereka gunakan. Dalam bahasa Jawa yakni ngoko, krama dan
karma inggil. Bahasa Jawa ngoko merupakan bahasa Jawa yang dianggap paling
kasar oleh orang Jawa sekaligus juga paling informal. Sedangkan bahasa Jawa
karma inggil dipandang sebagai bahasa Jawa yang paling halus sekaligus juga
paling formal. Bahasa Jawa karma dianggap berada ditengah-tengah, yakni agak
halus dan agak formal. . Penelitian istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam
upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat
digunakan untuk mengetahui cerminan pandangan hidup pemakainya.
2. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan
xxxix
Selain tentang pandangan hidup, kajian tentang bahasa dan maknanya
akan memungkinkan kita mengetahui cara memandang kenyataan yang ada
dikalangan pendukung bahasa yang kita teliti. Artinya kita dapat mengetahui
dimensi-dimensi kenyataan mana yang mereka anggap penting dan relevan
dalam kehidupan mereka, dan dari sini kita dapat mengetahui tempat unsur
kenyataan tertentu dalam kehidupan mereka.
3. Bahasa dan Perubahan dalam Masyarakat
Salah satu bidang penting dalam studi bahasa asalah semantik atau studi
mengenai makna dalam sebuah bahasa. Para ahli bahasa seringkali mampu
menyusun suatu kamus yang berisi kumpulan kata-kata bahasa asing, nasional,
maupun lokal dengan lengkap, karena suatu kata seringkali memiliki banyak
makna yang berbeda-beda, yang ditentukan oleh konteks dimana kata tersebut
muncul. Konteks bahasa ini, yang terkait erat dengan konteks sosial budaya
masyarakat pemilik bahasa tersebut, sangat beraneka ragam. Dan seorang ahli
bahasa tidak selalu mampu menggali dimensi semantik dari satu kata, karena ini
memerlukan penelitian lapangan dengan waktu yang cukup lama. Dalam
konteks ini para ahli dapat memberi sumbangan pada linguistik.
Seorang ahli etnologi terutama yang mempelajari barbagai simbol dan
maknanya dalam suatu masyarakat, biasanya akan sangat memperhatikan
beraneka ragam makna dari berbagai kata yang dianggap penting oleh warga
masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya upacara ruwatan yang
didalamnya terdapat berbagai macam istilah. Istilah-istilah tersebut merupakan
simbol-simbol yang memiliki makna. Misalnya, bocah sukerta yang merupakan
simbol bahwa manusia dalam pandangan Jawa ada yang tergolong kotor.
xl
Dengan mengikuti upacara ruwatan memiliki pengharapan agar manusia yang
dianggap kotor tersebut dapat kembali menjadi bersih, dalam artian rohaninya.
Dan setelah mengikuti upacara ruwatan orang tersebut dapat lebih berhati-hati
dalam menjalani hidupnya dikemudian hari.
F. Masyarakat Bahasa
Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpun orang yang
hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu)
(Poerwadarminta, 1976: 636). Sedangkan menurut koentjaraningrat (1990: 146-
147), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinyu, dan yang terkait oleh rasa
identitas bersama. Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa
atau menggap diri mereka memakai bahasa yang sama Halliday (Djoko
Kentjono. 1982: 116). Harimurti Kridalaksana (2001: 134) menyebutkan
masyarakat bahasa yaitu kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama
atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu. Masyarakat bahasa disini ialah
suatu masyarakat yang didasarkan kepada penggunaan bahasa tertentu. Jadi yang
menjadi ukuran untuk kita menunjuk kepada masyarakat itu adalah bahasa apa
yang digunakan oleh anggota masyarakat dalam kehidupan mereka untuk saling
bekomunikasi satu sama lain, baik secara langsung atau tidak langsung.
Suatu masyarakat bahasa merasa bahwa bahasa yang dipakai dalam
masyarakat itu sebagai alat komunikasi yang memadai. Para anggota masyarakat
tidak merasa kekurangan akan bahasa yang mereka perlukan dalam
kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Melalui bahasa masyarakat memberi
xli
istilah dalam upacara ruwatan, yang masih dilestarikan turun temurun oleh
masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa masih begitu kental dengan kebiasaan-
kebiasaan mengadakan ritual yang diajarkan oleh nenek moyangnya, termasuk
dalam hal ini adalah upacara ruwatan, yang dianggap mempunyai makna-makna
simbolis.
G. Kerangka Pikir
g
Istilah-Istilah Ruwatan dan Sesaji
dalam Upacara Ruwatan Massal
di Pendapa ISI Surakarta
tanggalJanuari 2010
Makna Kultural Bentuk
Monomorfemis Polimorfemis
Makna Leksikal
Upacara Ruwatan
Massal di Pendapa ISI
Surakarta
xlii
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu perwujudan yang berguna untuk menarik
kesimpulan yang benar. Metode penelitian merupakan perangkat yang tidak
dapat ditinggalkan, suatu metode sebagai alat untuk mengambil kesimpulan,
menjelaskan, dan menganalisis masalah yang juga merupakan alat untuk
mencegah masalah. Metode Penelitian ini membahas mengenai proses penelitian
yaitu: (1) Jenis Penelitian, (2) Lokasi Penelitian, (3) Data, (4) Sumber Data,
(5)Alat Penelitian, (6) Metode Pengumpulan Data, (7) Metode Analisis Data, (8)
Metode penyajian hasil penelitian.
1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah berupa deskriptif kualitatif. Maksudnya
penelitian yang berupaya untuk mendeskripsikan data kebahasaan. Penelitian
deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga
dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan (Saifuddin Azwar, 2007: 6).
Penelitian deskriptif menunjukkan tanda-tanda bahwa unsur ruang (spasial)
memegang peranan utama. Dalam penelitian deskriptif penulis akan menuliskan
aspek-aspek yang berbeda dari suatu inti tulisan dalam susunan yang teratur
menurut ruang, bukan waktu. Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih
menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif, serta pada analisis
terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan
menggunakan logika ilmiah.
xliii
Jadi penelitian deskriptif kualitatif disini, data-data yang dikumpulkan
berupa kata-kata dalam kalimat atau gambar-gambar yang memiliki arti lebih
dari sekedar angka-angka atau jumlah. Hasil penelitian berupa catatan-catatan
yang menggambarkan arti sebenarnya. Hasil analisis yang dicapai diusahakan
sedekat mungkin sesuai dengan data yang diperoleh dilapangan.
2.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada didaerah lingkup sekitar ISI Surakarta.
Karena ISI masuk dalam wilayah karesidenan Surakarta, dan Surakarta
merupakan pusat budaya tradisional Jawa, dan sampai sekarang budayanya
masih dipertahankan, terutama masyarakat tuturnya masih menggunakan bahasa
Jawa sebagai alat komunikasi. Meski terjadi berbagai variasi-variasi, namun itu
dipandang merupakan penyesuaian budaya dan kreatifitas masyarakatnya dalam
mengembangkan budaya tradisional Jawa. Dan itu merupakan tambahan bagi
kekayaan budaya Jawa sendiri. Dipilihnya lingkup sekitar ISI Surakarta sebagai
lokasi penelitian dikarenakan ISI Surakarta merupakan tempat diadakannya
upacara ruwatan massal tanggal 10 Januari 2010, dan pengaruh budaya Jawa
sangat besar. Selain itu masih banyak masyarakat Kota Surakarta yang percaya
bahwa ruwatan dapat membawa perubahan kearah positif dalam kehidupan.
Proses upacara ruwatan dilaksanakan di Pendapa ISI Surakarta.
3. Data
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993; 3). Dikatakan juga, data
ialah kenyataan-kenyataan murni yang belum ditafsirkan, diubah, atau
xliv
dimanipulasi, tetapi telah tersusun dalam bentuk tertentu (Komaruddin, 2002:
43). Data yang digunakan berupa istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di
Pendapa ISI Surakarta tangga 10 Januari 2010. Data dalam penelitian ini berupa
data lisan dan data tulis. Data lisan digunakan sebagai data primer atau data
utama yang akan diteliti. Data lisan diperoleh dari informan yang berupa tuturan.
Data lisan ini adalah hasil wawancara dengan informan. Data tulis merupakan
data sekunder, digunakan sebagai data pembanding, yang diambil dari sumber
tertulis yang berupa referensi pustaka.
4. Sumber Data
Sumber data adalah si penghasil atau si pencipta bahasa yang sekaligus
tentu saja si penghasil atau si pencipta data yang dimaksud, bisanya disebut
dengan nama sumber (Sudaryanto, 1993; 35). Sumber data dalam penelitian ini
adalah berasal dari informan yaitu peserta ruwatan, dalang, panitia
penyelenggara ruwatan, dan masyarakat sekitar ISI Surakarta. Sumber data
tertulis penunjang penelitian ini antara lain ruwatan murwakala suatu pedoman
karangan Karkono Kamajaya (1992), sejarah dan perkembangan cerita
murwakala dan ruwatan dari sumber-sumber sastra Jawa karangan Wawan
Susetyo (1999).
5. Alat Penelitian
Alat penelitian yaitu alat yang berguna untuk memperlancar peneliti
seperti alat tulis, buku catatan, tape recorder, komputer, dan alat-alat lainya
dalam menyelesaikan penelitian ini.
xlv
6. Metode Pengumpulan Data
Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 136) metode merupakan cara
mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan suatu fenomena
kebahasaan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
simak. Metode simak atau penyimakan yaitu metode pengumpulan data dengan
menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133).
Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap, sedangkan teknik
lanjutan yang dipakai adalah teknik rekam, teknik kerjasama dengan informan
atau wawancara, teknik catat, dan teknik pustaka.
Dalam metode pengumpulan data digunakan teknik dasar yang berupa
teknik sadap yaitu menyadap menggunakan bahasa dari objek penelitian.
Caranya dengan segenap kemampuan dan pikiran menyadap pemakai bahasa di
masyarakat. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan data dari informan secara
spontan dan wajar. Serta menggunakan teknik lanjutan yang berupa:
1) Tenik rekam yaitu merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat
spontan.
2) Teknik kerjasama dengan informan atau wawancara. Informan
yang diwawancarai adalah penutur asli yang berkemampuan memberi
informasi kebahasaan kepada peneliti yaitu memberi informasai
kebahasaan yang dikehendaki oleh peneliti dan peneliti yang
merencanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai dengan tujuan
penelitian.
3) Teknik catat yaitu memperoleh data dengan mencatat data.
Dengan mencatat data kebahasaan yang relevan dilakukan dengan
xlvi
transkripsi tertentu menurut kepentingan dan dicatat secara lengkap
dengan konteksnya, tanggal, dan settingnya (situasi yang
melatarbelakangi data). Penulis menggunakan teknik ini untuk mencatat
istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta
tanggal 10 Januari 2010 yang penting demi kemudahan pengumpulan
data.
7. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan dua metode yaitu,
metode distribusional dan metode padan, berikut ini adalah penguraiannya.
1) Metode distribusional atau agih.
Metode agih alat penentunya bagian dari bahasa yang bersangkutan itu
sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode agih digunakan untuk menganalisis
bentuk istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta
tangga 10 Januari 2010.
Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung. Teknik
bagi unsur langsung yaitu analisis data dengan membagi satuan lingual datanya
menjadi beberapa bagian atau unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan
dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang
dimaksud. Datanya secara spontan, bahwa setiap apa yang dijadikan sebagai
unsur oleh jeda selalulah menjadi bagian yag mutlak fungsional, bermakna
signifikan bagi satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Adapun
penerapan metode distribisional atau agih adalah sebagai berikut:
xlvii
Wayang purwa [wayaG pUrwO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu
wayang dan purwa. Sehingga wayang purwa terdiri dari unsur wayang + purwa.
Bentuk wayang yang berkategori nomina digabungkan dengan purwa yang
berkategori ajektif menjadi wayang purwa yang berkategori frasa nominal.
Wayang purwa termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata wayang
yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah purwa yang
berkategori ajektif.
Arti kata wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau
kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan
drama traddisional, dan purwa adalah ‟wayang kulit yang membawakan cerita-
cerita zaman purba, dan setelah digabungkan menjadi wayang purwa yang
artinya boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat
dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional,
dan cerita yang dibawakan memuat kisah zaman purba.
Dalam upacara ruwatan wayang purwa adalah cerita wayang yang diambil untuk
menampilkan cerita murwakala.
2) Metode padan
Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi
bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan
yaitu analisis data dengan alat penentunya diluar bahasa yang merupakan
konteks situasi dari penggunaan bahasa di masyarakat. Alat penentu berupa
referen, bahasa lain, identitas, mitra tutur, yang berhubungan dengan penelitian
xlviii
ini. Metode ini dipakai untuk menganalisis makna leksikal dengan mengetahui
bentuk tuturan tersebut secara wajar. Dalam penelitian ini, metode padan juga
digunakan untuk menganalisis makna kultural serta menjelaskan fungsi analisis.
Data dalam penelitian ini bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan
mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa
didalam istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta
tanggal 10 Januari 2010.
Adapun penerapan metode distribusional dan metode padan adalah
sebagai berikut.
Dhalang Kandha Buwana
Dhalang kandha buwana adalah kesatuan dari tiga kata yaitu ‘Dhalang’
berarti orang yang memainkan wayang, ‘Kandha’ berarti berbicara atau
bercerita, dan „Buwana‟ berarti dunia. Jika kita satukan menjadi orang yang
memainkan wayang yang isi ceritanya tentang dunia. Dalang kandha buwana
berarti dalang yang menyebar tutur (ajaran) tentang dunia.
8. Metode Penyajian Hasil Penelitian
Metode penyajian hasil penelitian ada dua, yaitu metode penyajian
formal dan metode penyajian informal (Sudaryanto, 1993: 144). Metode
penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan
terminologi yang teknis sifatnya. Sedangkan penyajian formal adalah perumusan
dengan tanda dan lambang-lambang.
xlix
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk Istilah
Beberapa istilah yang berhubungan dengan upacara ruwatan massal di
Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat dikelompokkan menjadi
tiga bentuk. Yaitu istilah yang masuk kategori bentuk monomorfemis, bentuk
polimorfemis, dan bentuk frase.
1. Monomorfemis
Monomorfemis merupakan kata yang belum mendapatkan imbuhan,
sehingga monomorfemis adalah kata dasar. Adapun istilah-istilah yang
berhubungan dengan upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta
tanggal 10 Januari 2010 yang termasuk monomorfemis sebagai berikut:
Gambar 1
Kirab
l
a. Kirab [kirab]
Kirab merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari
satu morfem.
Kirab adalah berjalan teratur seperti barisan.
Kirab termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan Kirab dilaksanakan untuk mengarak para
peserta ruwatan menuju tempat upacara.
Gambar 2
Jlupak
b. Jlupak [jlupa?]
Jlupak merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari
satu morfem.
Jlupak adalah jenis lampu tradisional yang terbuat dari cobek, biasa
diberi minyak kelapa dan sumbu.
Jlupak termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan jlupak digunakan sebagai alat penerangan.
li
c. Mantra [mOntrO]
Mantra merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari
satu morfem.
Mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya
gaib.
Mantra termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan mantra digunakan sebagai pengusir kekuatan
jahat.
d. Sukerta [suk|rta]
Sukerta merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari
satu morfem.
Kategori bentuk ini adalah nomina.
Sukerta adalah kotor, noda, gangguan.
Sukerta termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan sukerta sebutan untuk orang-orang yang
mempunyai ciri atau cacad cela yang dibawa oleh kelahirannya, dan
menurut kepercayaan turun-temurun, mereka itu menjadi jatah
makanan bathata kala.
2. Polimorfemis
Bentuk polimorfemis meliputi (1) Afiksasi, (2) Kata Majemuk, dan
(3) Reduplikasi. Adapun kata-kata yang termasuk dalam polimorfemis
adalah sebagai berikut:
lii
1) Afiksasi
a. Ruwatan [ruwatan]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari
dua morfem, yaitu morfem bebas ruwat dan morfem terikat
sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur ruwat + –an.
Ruwatan termasuk istilah ruwatan.
Makna kata ruwat adalah lepas dari kutukan dewa dan tenung,
atau situasi tertentu. Sedangkan ruwatan adalah selamatan bagi
orang-orang yang mendapat kutukan dari dewa atau supaya
terlepas dari tenung atau dalam situasi khusus.
b. Sajen [sajEn]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari
dua morfem, yaitu morfem bebas saji dan morfem terikat sufik
–an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur saji + –an.
Makna kata saji adalah hidangan berupa makanan, minuman,
atau bunga untuk para leluhur atau roh halus. Sedangkan sajen
adalah perlengkapan upacara berupa makanan, bunga, dan
sebagainya yang dipersembahkan kepada kekuatan-kekuatan
gaib.
Sajen termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan sajen digunakan sebagai syarat upacara
yang berupa hidangan yang disuguhkan kepada roh halus agar
tidak mengganggu jalannya upacara.
liii
Gambar 3
Siraman
c. Siraman [siraman]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari
dua morfem, yaitu morfem bebas siram dan morfem terikat
sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur siram + –an.
Makna kata siram adalah mandi. Sedangkan siraman adalah
upacara pemandian.
Siraman termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan siraman dilaksanakan sebagai ritual
pembersihan kotoran yang melekat pada diri para sukerta, yaitu
dengan cara memecikkan air ketubuh para peserta ruwatan.
d. Larungan [laruGan]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari
dua morfem, yaitu morfem bebas larung dan morfem terikat
sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur larung + –an.
liv
Makna kata larung adalah hanyut terbawa air. Sedangkan
larungan adalah membuang atau menghanyutkan sesuatu dilaut
(air yang mengalir).
larungan termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan larungan laksanakan untuk
menghanyutkan pakaian yang digunakan para sukerta saat
mengikuti jalannua upacara, tujuannya adalah sebagai simbol
menghanyutkan kotoran yang melekat pada diri sukerta.
Gambar 4
Carahan
e. Carahan [carahan]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari
dua morfem, yaitu morfem bebas carah dan morfem terikat
sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur carah + –an.
Carahan termasuk istilah sesaji.
Makna kata carah (crah) adalah retak. Sedangkan carahan
adalah benda-benda yang terbuat dari tanah atau yang lain yang
mudah retak.
lv
2) Reduplikasi
a. Memala [m|mOlO]
Memala merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari
proses reduplikasi kata mala yang di ulang suku kata depannya.
Makna kata mala adalah kotor, dosa, bencana, kecelakaan,
setelah diulang suku kata depannya menjadi memala yang
berarti bencana, celaka.
Memala termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan memala digunakan untuk menyebut
kotoran atau dosa yang disandang para sukerta, baik yang
dibawa dari lahir maupun yang di dapat karena melakukan
suatu tindakan yang salah.
b. Pepancen [p|pancEn]
Pepancen merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari
proses reduplikasi kata pancen yang di ulang suku kata
depannya. Pancen terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas
panci dan morfem terikat sufik –an. Sehingga pancen terdiri
dari unsur panci + –an. Dan pepancen terdiri dari unsur R +
(panci + –an).
Makna kata panci adalah barang yang sudah di pastikan,
memang, setelah diulang suku kata depannya dan di ikuti sufik
–an menjadi pepancen yang berarti segala sesuatu yang sudah
di pastikan.
Pepancen termasuk istilah ruwatan.
lvi
Dalam upacara ruwatan pepancen adalah jatah makanan bathara
kala, yaitu orang-orang yang termasuk dalam kategori anak
sukerta.
c. Woh-wohan [wO-wOan]
Woh-wohan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari
proses reduplikasi kata woh dan di ikuti sufik –an menjadi woh-
wohan. Wohan terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas
woh dan morfem terikat sufik –an. Sehingga wohan terdiri dari
unsur woh + –an. Dan woh-wohan terdiri dari unsur R + woh +
–an.
Makna kata woh adalah buah yang masih kecil, setelah diulang
dan diberi sufik –an menjadi woh-wohan yang berarti beraneka
macam buah.
Woh-wohan termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan woh-wohan adalah salah satu jenis
sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
beraneka macam buah.
3) Kata Majemuk
a. Murwakala [mUrwOkOlO]
Murwakala merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari
dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu kata dasar
murwa dan kala. sehingga murwakala terdiri dari dua unsur
yaitu murwa + kala.
lvii
Murwakala termasuk istilah ruwatan.
Makna kata murwa adalah menguasai, dan kala adalah bencana
atau mala petaka, dan setelah digabungkan menjadi bentuk
murwakala yang artinya menguasai bencana atau mala petaka.
Gambar 5
Ingkung golong
b. Ingkung golong [iGkUG gOlOG]
Ingkung golong merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri
dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu kata dasar
ingkung dan golong. sehingga ingkung golong terdiri dari dua
unsur yaitu ingkung + golong.
Makna kata ingkung adalah ayam yang dimasak tanpa
dipotong-potong, hanya diambil bulu dan isi perutnya, dan
golong adalah menyatu, menjadi satu, dan setelah digabungkan
menjadi bentuk ingkung golong yang artinya ayam yang
dimasak tanpa dipotong-potong, hanya diambil bulu dan isi
perutnya dan di sampingnya diletakkan nasi yang di buat bulat
ukuran dua genggam tangan orang dewasa.
lviii
Ingkung golomg termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan ingkung golong adalah salah satu jenis
sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
ingkung ayam yang diskelilingnya diletakkan nasi yang dibuat
bulat.
Gambar 6
Gecok bakal
c. Gecok bakal [g|cO? bakal]
Gecok bakal merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari
dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu kata dasar
gecok dan bakal. sehingga gecok bakal terdiri dari dua unsur
yaitu gecok + bakal.
Makna kata gecok adalah sajen berupa binatang, dan bakal
adalah permulaan, dan setelah digabungkan menjadi bentuk
gecok bakal yang artinya sajen berupa bibit binatang.
Gecok bakal termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan gecok bakal adalah salah satu jenis
sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
lix
tulur ayam mentah dan kembang setaman yang ditaburkan
disampingnya.
Gambar 7
Gecok urip
d. Gecok urip [g|cO? urIp]
Gecok urip merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari
dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu kata dasar
gecok dan urip. sehingga gecok urip terdiri dari dua unsur yaitu
gecok + urip.
Makna kata gecok adalah sajen berupa binatang, dan urip
adalah hidup, dan setelah digabungkan menjadi bentuk gecok
urip yang artinya sajen berupa binatang yang masih hidup.
Gecok urip termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan gecok urip adalah salah satu jenis sajen
yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
sepasang ikan lele yang masih hidup.
lx
e. Kedhana kedhini [k|DOnO k|Dini]
Kedhana kedhini merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri
dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu bentuk
kedhana dan kedhini. Bentuk kedhana terdiri dari dua morfem,
yaitu morfem bebas dhana dan morfem terikat prefik ke–.
Sehingga kedhana terdiri dari unsur ke– + dhana. Bentuk
kedhini terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas dhini dan
morfem terikat prefik ke–. Jadi kedhini terdiri dari unsur ke– +
dhini. Sehingga kedhana kedhini terdiri dari dua unsur yaitu
kedhana + kedhini.
Makna kata kedhana adalah kesana, dan kedhini adalah kesini,
dan setelah digabungkan menjadi bentuk kedhana kedhini yang
artinya kesana sini, dan disini yang disebut kedhana kedhini
setelah mengalami proses pemajemukan adalah dua bersaudara
kakak beradik laki-laki dan perempuan.
Kedhana kedhini termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan kedhana kedhini adalah salah satu
kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala,
yaitu dua bersaudara kakak beradik laki-laki dan perempuan.
f. Ontang anting [OntaG antIG]
Ontang anting merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri
dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu bentuk
ontang dan anting. sehingga ontang anting terdiri dari dua
unsur yaitu ontang + anting.
lxi
Makna kata ontang adalah ontang, dan anting adalah panting,
dan setelah digabungkan menjadi bentuk ontang anting yang
artinya pontang panting, dan disini yang disebut ontang anting
setelah mengalami proses pemajemukan adalah Anak tunggal
(tak bersaudara).
Ontang-anting termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan ontang anting adalah salah satu
kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala,
yaitu Anak tunggal (tak bersaudara).
g. Sendhang kapit pancuran [s|nDaG kapIt pancuran]
Sendhang kapit pancuran merupakan bentuk polimorfemis
yang terdiri dari tiga kata dan terjadi proses pemajemukan,
yaitu sendhang, kapit dan pancuran. Bentuk kapit terdiri dari
dua morfem, yaitu morfem bebas apit dan morfem terikat prefik
ka– Jadi kapit terdiri dari unsur prefik ka– + apit. Dan bentuk
pancuran terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas mancur
dan morfem terikat prefik pa– dan sufik –an. Jadi pancuran
terdiri dari unsur prefik pa– + mancur + sufik –an. Sehingga
sendang kapit pancuran terdiri dari unsur sendang + kapit +
pancuran.
Makna kata sendang adalah sendhang, kapit adalah terjepit dan
pancuran adalah gerojogan, dan setelah digabungkan menjadi
sendang kapit pancuran yang artinya sendang yang mengapit
gerojogan dan disini yang disebut sendhang kapit pancuran
lxii
setelah mengalami proses pemajemukan adalah sebutan untuk
tiga bersaudara, satu wanita dua laki-laki dan yang wanita lahir
ditengah.
Sendhang kapit pancuran termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan sendang kapit pancuran adalah salah
satu kategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala,
yaitu tiga bersaudara, satu wanita dua laki-laki dan yang wanita
lahir ditengah.
h. Pancuran kapit sendhang [pancuran kapIt s|nDaG]
Pancuran kapit sendang merupakan bentuk polimorfemis yang
terdiri dari tiga kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu
sendang, kapit dan pancuran. Bentuk pancuran terdiri dari dua
morfem, yaitu morfem bebas mancur dan morfem terikat prefik
pa– dan sufik –an. Jadi pancuran terdiri dari unsur prefik pa– +
mancur + sufik –an. Dan bentuk kapit terdiri dari dua morfem,
yaitu morfem bebas apit dan morfem terikat prefik ka–. Jadi
kapit terdiri dari unsur sufik ka– + apit. Sehingga pancuran
kapit sendang terdiri dari unsur pancuran + kapit + sendang.
Makna kata pancuran adalah gerojogan, kapit adalah terjepit
dan sendhang adalah sendang, dan setelah digabungkan
menjadi pancuran kapit sendang yang artinya gerojogan yang
mengapit sendang dan di sini yang disebut pancuran kapit
sendhang setelah mengalami proses pemajemukan adalah
lxiii
sebutan untuk tiga bersaudara, satu laki-laki dua wanita dan
yang laki-laki lahir ditengah.
Pancuran kapit sendhang termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan pancuran kapit sendang adalah salah
satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala,
yaitu tiga bersaudara, satu laki-laki dua wanita dan yang laki-
laki lahir ditengah
i. Dhalang Kandha Buwana [DalaG kanDa buwana]
Dhalang kandha buwana merupakan bentuk polimorfemis yang
terdiri dari tiga kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu
dhalang, kandha dan buwana.
Dhalang kandha buwana adalah kesatuan dari tiga kata yaitu
dhalang adalah orang yang memainkan wayang, kandha adalah
berbicara atau bercerita, dan buwana adalah dunia. Jika kita
satukan menjadi orang yang memainkan wayang yang isi
ceritanya tentang dunia. Dalang kandha buwana setelah
mengalami proses pemajemukan berarti dalang yang menyebar
tutur (ajaran) tentang dunia.
Dhalang kandha buwana termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan dalang kandha buwana adalah dhalang
yang bertugas meruwat para sukerta.
lxiv
3. Frasa
Frasa yaitu satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas subjek dan predikat atau satuan linguistik yang
secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang mempunyai
ciri-ciri klausa. Adapun kata-kata yang berupa frasa adalah sebagai
berukut:
a. Mori putih [mOri putIh]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu mori dan putih. Sehingga mori putih terdiri dari unsur
mori + putih.
Bentuk mori yang berkategori nomina digabungkan dengan putih
yang berkategori ajektif menjadi mori putih yang berkategori frasa
nominal. Mori putih termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata mori yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah putih yang berkategori ajektif.
Makna kata mori adalah kain, dan putih adalah warna putih, dan
setelah digabungkan menjadi mori putih yang artinya kain yang
berwarna putih.
Mori putih termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan mori putih digunakan sebagai penutup tubuh
para peserta ruwatan.
lxv
Gambar 8
Kambil gadhing
b. Kambil gadhing [kambIl gaDiG]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu kambil dan gadhing. Sehingga kambil gadhing terdiri
dari unsur kambi+ gadhing.
Bentuk kambil yang berkategori kambil gadhing digabungkan dengan
gadhing yang berkategori ajektif menjadi kambil gadhing yang
berkategori frasa nominal. Kambil gadhing termasuk dalam frasa
nominal karena intinya yaitu kata kambil yang termasuk dalam
kategori nomina, sedangkan atributnya adalah gadhing yang
berkategori ajektif.
Makna kata kambil adalah kelapa, dan gadhing adalah warna kuning
cerah, dan setelah digabungkan menjadi kambil gadhing yang artinya
kelapa yang berwarna kuning cerah.
Kambil gadhing termasuk istilah sesaji.
lxvi
Dalam upacara ruwatan kambil gadhing digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
kelapa yang kulitnya berwarna kuning.
Gambar 9
Wayang purwa
c. Wayang purwa [wayaG pUrwO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu wayang dan purwa. Sehingga wayang purwa terdiri
dari unsur wayang + purwa.
Bentuk wayang yang berkategori nomina digabungkan dengan purwa
yang berkategori ajektif menjadi wayang purwa yang berkategori
frasa nominal. Wayang purwa termasuk dalam frasa nominal karena
intinya yaitu kata wayang yang termasuk dalam kategori nomina,
sedangkan atributnya adalah purwa yang berkategori ajektif.
Makna kata wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari
pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan
tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan purwa adalah
‟wayang kulit yang membawakan cerita-cerita zaman purba, dan
lxvii
setelah digabungkan menjadi wayang purwa yang artinya boneka
tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat
dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama
traddisional, dan cerita yang dibawakan memuat kisah zaman purba.
Wayang purwa termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan wayang purwa adalah cerita wayang yang
diambil untuk menampilkan cerita murwakala.
Gambar 10
Jajan pasar
d. Jajan pasar [jajan pasar]
Bentuk ini merupakan frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung
yaitu jajan dan pasar. Sehingga jajan pasar terdiri dari unsur jajan +
pasar.
Bentuk jajan yang berkategori verbal digabungkan dengan pasar
yang berkategori nomina menjadi jajan pasar yang berkategori frasa
verbal. Jajan pasar termasuk dalam frasa verbal karena intinya yaitu
kata jajan yang termasuk dalam kategori verba, sedangkan atributnya
adalah pasar yang berkategori nomina.
lxviii
Makna kata jajan adalah membeli makanan, dan pasar tempat orang
berdagang, dan setelah digabungkan menjadi jajan pasar yang
artinya membeli di tempat orang berdagang.
Jajan pasar termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan jajan pasar digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
beraneka macam jajanan yang berasal dari pasar.
e. Pala kependhem [pOlO k|p|nD|m]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu pala dan kependhem. Bentuk kependhem terdiri dari
dua morfem, yaitu morfem bebas pendhem dan morfem terikat prefik
ke– Jadi kependhem terdiri dari unsur prefik ke– + pendhem.
Sehingga pala kependhem terdiri dari unsur pala + kependhem.
Bentuk pala yang berkategori nomina digabungkan dengan
kependhem yang berkategori verba menjadi pala kependhem yang
berkategori frasa nominal. Pala kependhem termasuk dalam frasa
nominal karena intinya yaitu kata pala yang termasuk dalam kategori
nomina, sedangkan atributnya adalah kependhem yang berkategori
verba.
Makna kata pala adalah buah, dan kependhem adalah terkubur di
dalam tanah, dan setelah digabungkan menjadi pala kependhem yang
artinya buah atau umbi yang dihasilkan tanaman yang terdapat di
dalam tanah.
Pala kependhem termasuk istilah sesaji.
lxix
Dalam upacara ruwatan pala kependhem digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa buah atau umbi yang dihasilkan tanaman yang terdapat di
dalam tanah.
Gambar 11
Pala kesimpar
f. Pala kesimpar [pOlO k|simpar]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu pala dan kesimpar. Bentuk kesimpar terdiri dari dua
morfem, yaitu morfem bebas simpar dan morfem terikat prefik ke–
Jadi kesimpar terdiri dari unsur prefik ke– + simpar. Sehingga pala
kesimpar terdiri dari unsur pala + kesimpar.
Bentuk pala yang berkategori nomina digabungkan dengan kesimpar
yang berkategori verba menjadi pala kesimpar yang berkategori frasa
nominal. Pala kesimpar termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata pala yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah kesimpar yang berkategori verba.
lxx
Makna kata pala adalah buah, dan kesimpar adalah berserakan di
permukaan tanah, dan setelah digabungkan menjadi pala kesimpar
yang artinya buah yang di hasilkan tanaman yang buahnya
berserakan di atas tanah.
Pala kesimpar termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan pala kesimpar digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
buah yang di hasilkan tanaman yang buahnya berserakan di atas
tanah.
g. Pala gumantung [pOlO gumantUG]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu pala dan gumantung. Bentuk gumantung terdiri dari
dua morfem, yaitu morfem bebas gantung dan morfem terikat infik
√–um–. Jadi gumantung terdiri dari unsur gantung + infik √–um–.
Sehingga pala gumantung terdiri dari unsur pala + gumantung.
Bentuk pala yang berkategori nomina digabungkan dengan
gumantung yang berkategori verba menjadi pala gumantung yang
berkategori frasa nominal. Pala gumantung termasuk dalam frasa
nominal karena intinya yaitu kata pala yang termasuk dalam kategori
nomina, sedangkan atributnya adalah gumantung yang berkategori
verba.
Makna kata pala adalah buah, dan gumantung adalah bergantungan
diatas pohon, dan setelah digabungkan menjadi pala gumantung yang
lxxi
artinya buah yang di hasilkan tanaman yang menggantung atau
menempel di dahan pohon, terdapat di atas tanah.
Pala gumantung termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan pala gumantung digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa buah yang di hasilkan tanaman yang menggantung atau
menempel di dahan pohon, terdapat di atas tanah.
Gambar 12
Cikal klapa
h. Cikal klapa [cikal klOpO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu cikal dan klapa. Sehingga cikal klapa terdiri dari
unsur cikal + klapa.
Bentuk cikal yang berkategori nomina digabungkan dengan klapa
yang berkategori nomina menjadi cikal klapa yang berkategori frasa
nominal. Cikal klapa termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata cikal yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah klapa yang berkategori nomina.
lxxii
Makna kata cikal adalah tunas yang baru tumbuh, dan klapa adalah
kelapa, dan setelah digabungkan menjadi cikal klapa yang artinya
tunas kelapa yang baru tumbuh.
Cikal klapa termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan cikal klapa digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
tunas kelapa yang baru tumbuh.
Gambar 13
Gedhang ayu
i. Gedhang ayu [g|DaG ayu]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu gedhang dan ayu. Sehingga gedhang ayu terdiri dari
unsur gedhang + ayu.
Bentuk gedhang yang berkategori nomina digabungkan dengan ayu
yang berkategori ajektif menjadi gedhang ayu yang berkategori frasa
nominal. Gedhang ayu termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata gedhang yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah ayu yang berkategori ajektif.
lxxiii
Makna kata gedhang adalah pisang, dan ayu adalah cantik dan
setelah digabungkan menjadi gedhang ayu yang artinya pisang yang
cantik‟.
Gedhang ayu termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan gedhang ayu digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
pisang yang cantik.
Gambar 14
Jenang sengkala
j. Jenang sengkala [j|naG s|GkOlO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu jenang dan sengkala. Sehingga jenang sengkala
terdiri dari unsur jenang + sengkala.
Bentuk jenang yang berkategori nomina digabungkan dengan
sengkala yang berkategori ajektif menjadi jenang sengkala yang
berkategori frasa nominal. Jenang sengkala termasuk dalam frasa
nominal karena intinya yaitu kata jenang yang termasuk dalam
lxxiv
kategori nomina, sedangkan atributnya adalah sengkala yang
berkategori ajektif.
Makna kata jenang adalah bubur, dan sengkala adalah celaka,
halangan, dan setelah digabungkan menjadi jenang sengkala yang
artinya bubur yang dibuat untuk menghindari celaka.
Jenang sengkala termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan jenang sengkala digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa bubur yang dibuat untuk menghindari celaka.
Gambar 15
Tumpeng megana
k. Tumpeng megana [tump|G m|gOnO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu tumpeng dan megana. Sehingga tumpeng megana
terdiri dari unsur tumpeng + megana.
Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan
megana yang berkategori nomina menjadi tumpeng megana yang
berkategori frasa nominal. Tumpeng megana termasuk dalam frasa
lxxv
nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam
kategori nomina, sedangkan atributnya adalah megana yang
berkategori nomina,.
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan
megana adalah mega, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng
megana yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian
atas dibuat rata, disamping tumpeng diletakkan gudhangan
melingkar.
Tumpeng megana termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan tumpeng megana digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas dibuat rata,
disamping tumpeng diletakkan gudhangan melingkar.
Gambar 16
Tumpeng sembur
lxxvi
l. Tumpeng sembur [tump|G s|mbUr]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu tumpeng dan sembur. Sehingga tumpeng sembur
terdiri dari unsur tumpeng + sembur.
Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan
sembur yang berkategori verba menjadi tumpeng sembur yang
berkategori frasa nominal. Tumpeng sembur termasuk dalam frasa
nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam
kategori nomina, sedangkan atributnya adalah sembur yang
berkategori verba,.
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan
sembur adalah sembur, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng
sembur yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan
bagiantubuh tunmpeng diberi warna kuning.
Tumpeng sembur termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan tumpeng sembur digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagiantubuh tunmpeng
diberi warna kuning.
lxxvii
Gambar 17
Tumpeng tutul
m. Tumpeng tutul [tump|G tutUl]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu tumpeng dan tutul. Sehingga tumpeng tutul terdiri dari
unsur tumpeng + tutul.
Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan tutul
yang berkategori verba menjadi tumpeng tutul yang berkategori frasa
nominal. Tumpeng tutul termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah tutul yang berkategori verba,.
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan
tutul adalah totol atau blentong, dan setelah digabungkan menjadi
tumpeng tutul yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan
bagian tubuh tunmpeng diberi warna totol-totol kuning.
Tumpeng tutul termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan tumpeng sembur digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
lxxviii
berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tunmpeng
diberi warna totol-totol kuning.
Gambar 18
Tumpeng lugas
n. Tumpeng lugas [tump|G lugas]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu tumpeng dan lugas. Sehingga tumpeng lugas terdiri
dari unsur tumpeng + lugas.
Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan lugas
yang berkategori verba menjadi tumpeng lugas yang berkategori
frasa nominal. Tumpeng lugas termasuk dalam frasa nominal karena
intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina,
sedangkan atributnya adalah lugas yang berkategori verba,.
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan
lugas adalah lugu, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng lugas
yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa hiasan (polos).
Tumpeng lugas termasuk istilah sesaji.
lxxix
Dalam upacara ruwatan tumpeng lugas digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa hiasan (polos).
Gambar19
Tumpeng kendhit
o. Tumpeng kendhit [tump|G k|nDIt]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu tumpeng dan kendhit. Sehingga tumpeng kendhit
terdiri dari unsur tumpeng + kendhit.
Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan
kendhit yang berkategori verba menjadi tumpeng kendhit yang
berkategori frasa nominal. Tumpeng kendhit termasuk dalam frasa
nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam
kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kendhit yang
berkategori verba,.
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan
kendhit adalah tali, sabuk yang mengelilingi perut, awan yang
mengelilingi gunung, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng
lxxx
kendhit yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut di bagian
pangkal ditaburi warna.
Tumpeng kendhit termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan tumpeng kendhitdigunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
nasi putih yang dibentuk kerucut di bagian pangkal ditaburi warna.
Gambar 20
Potong rambut
p. Potong rambut [pOtOG rambUt]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu potong dan rambut. Sehingga potong rambut terdiri
dari unsur potong + rambut.
Bentuk potong yang berkategori verba digabungkan dengan rambut
yang berkategori nomina menjadi potong rambut yang berkategori
frasa verbal. Potong rambut termasuk dalam frasa verbal karena
intinya yaitu kata potong yang termasuk dalam kategori verba,
sedangkan atributnya adalah rambut yang berkategori nomina.
lxxxi
Makna kata potong adalah pangkas, dan rambut adalah rambut, dan
setelah digabungkan menjadi potong rambut yang artinya
memangkas rambut.
Potong rambut termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan potong rambut adalah upacara memangkas
rambut para peserta ruwatan yang dilakukan oleh dalang kandha
bhuwana sebagai simbol bahwa kotoran yang melekat pada diri para
sukerta telah diambil.
Gambar 21
Sega asahan
q. Sega asahan [s|gO asahan]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu sega dan asahan. Bentuk asahan terdiri dari dua
morfem, yaitu morfem bebas asah dan morfem terikat sufik –an Jadi
asahan terdiri dari unsur asah + –an. Sehingga sega asahan terdiri
dari unsur sega + asahan.
Bentuk sega yang berkategori nomina digabungkan dengan asahan
yang berkategori verba menjadi sega asahan yang berkategori frasa
lxxxii
nominal. Sega asahan termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata sega yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah asahan yang berkategori verba,.
Makna kata sega adalah nasi, dan sahan adalah asahan, dan setelah
digabungkan menjadi sega asahan yang artinya nasi asahan.
Sega asahan termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan sega asahan digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
nasi asahan.
r. Suda mala [sudO mOlO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu suda dan mala. Sehingga suda mala terdiri dari unsur
suda + mala.
Bentuk suda yang berkategori verba digabungkan dengan mala yang
berkategori ajektif menjadi suda mala yang berkategori frasa verbal.
Suda mala termasuk dalam frasa verbal karena intinya yaitu kata
suda yang termasuk dalam kategori verba, sedangkan atributnya
adalah mala yang berkategori ajektif.
Makna kata suda adalah kurang, dan mala adalah bencana atau mala
petaka, dan setelah digabungkan menjadi suda mala yang artinya
mengurangi bencana atau mala petaka.
Suda mala termasuk istilah ruwaan.
lxxxiii
Dalam upacara ruwatan suda mala adalah lakon yang diambil dalam
cerita wayang yang dipergelarkan dalam upacara ruwatan massal di
Pendapa ISI Surakarta Tanggal 10 Januari 2010.
s. Satria wirang [satriO wiraG]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu satria dan wirang. Sehingga satria wirang terdiri dari
unsur satria + wirang.
Bentuk satria yang berkategori nomina digabungkan dengan wirang
yang berkategori ajektif menjadi satria wirang yang berkategori frasa
nominal. Satria wirang termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata satria yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah wirang yang berkategori ajektif.
Makna kata satria adalah laki-laki jantan, seorang prajurit yang
luhur, dan wirang adalah susah, dan setelah digabungkan menjadi
satria wirang yang artinya seorang laki-laki yang selalu mengalami
kesusahan.
Satria wirang termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan satria wirang adalah salah satu kaategori
orang yang termasuk jatah makanan bathara kala.
t. Bathara kala [baTOrO kOlO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu bathara dan kala. Sehingga bathara kala terdiri dari
unsur bathara + kala.
lxxxiv
Bentuk bathara yang berkategori nomina digabungkan dengan kala
yang berkategori ajektif menjadi bathara kala yang berkategori frasa
nominal. Bathara kala termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata bathara yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah kala yang berkategori ajektif.
Makna kata bathara adalah dewa, dan kala adalah bencana atau
bahaya, dan setelah digabungkan menjadi bathara kala yang artinya
dewa yang membawa bahaya.
Bathara kala termasuk istilah ruwatan.
Dalam upacara ruwatan bathara kala adalah sebutan untuk dewa
yang membawa malapetaka bagi orang-orang yang temasuk dalam
golongan orang sukerta.
Gambar 22
Jenang kacang warna
u. Jenang kacang warna [j|naG kacaG warnO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu jenang dan kacang warna, kacang warna terdiri dari
lxxxv
dua unsur langsung yaitu kacang dan warna. Sehingga jenang
kacang warna terdiri dari unsur jenang + kacang + warna.
Bentuk jenang yang berkategori nomina digabungkan dengan kacang
yang berkategori nomina dan warna yang berkategori ajektif menjadi
jenang kacang warna yang berkategori frasa nominal. Jenang kacang
warna termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata
jenang yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya
adalah kacang yang berkategori nomina dan warna yang berkategori
ajektif.
Makna kata jenang adalah bubur, kacang adalah bubur dan warna
adalah warna, dan setelah digabungkan menjadi jenang kacang
warna yang artinya bubur yang terbuat dari kacang yang beraneka
ragam warna.
Jenang kacang warna termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan jenang kacang warna digunakan sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa bubur yang terbuat dari kacang yang beraneka ragam
warna.
lxxxvi
Gambar 23
Tumpeng rajeg dom
v. Tumpeng rajeg dom [tump|G raj|g dOm]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu tumpeng dan rajeg dom, rajeg dom terdiri dari dua
unsur langsung yaitu rajeg dan dom. Sehingga tumpeng rajeg dom
terdiri dari unsur tumpeng + rajeg + dom.
Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan rajeg
yang berkategori verba dan dom yang berkategori nomina menjadi
tumpeng rajeg dom yang berkategori frasa nominal. Tumpeng rajeg
dom termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata tumpeng
yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah
rajeg yang berkategori verba dan dom yang berkategori nomina.
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, rajeg
adalah dipagari atau ditancapi, dan dom adalah jarum, setelah
digabungkan menjadi Tumpeng rajeg dom yang artinya nasi putih
yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng ditancapi cabai.
Tumpeng rajeg dom termasuk istilah sesaji.
lxxxvii
Dalam upacara ruwatan Tumpeng pucuk endog digunakan sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh
tumpeng ditancapi cabai.
Gambar 24
Tumpeng pucuk lombok
w. Tumpeng pucuk lombok [tump|G pucU? lOmbO?]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu tumpeng dan pucuk lombok, pucuk lombok terdiri dari
dua unsur langsung yaitu pucuk dan lombok. Sehingga tumpeng
pucuk lombok terdiri dari unsur tumpeng + pucuk + lombok.
Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan
pucuk yang berkategori ajektif dan lombok yang berkategori nomina
menjadi tumpeng pucuk lombok yang berkategori frasa nominal.
Tumpeng pucuk lombok termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah pucuk yang berkategori Ajektif dan lombok yang
berkategori nomina.
lxxxviii
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, pucuk
adalah ujung atas dan lombok adalah cabai, dan setelah digabungkan
menjadi tumpeng pucuk lombok yang artinya nasi putih yang
dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi cabai.
Tumpeng pucuk lombok termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan tumpeng pucuk lombok digunakan sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas
tumpeng ditancapi cabai.
Gambar 25
Tumpeng pucuk endhog
x. Tumpeng pucuk endhog [tump|G pucU? |nDOg]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur
langsung yaitu tumpeng dan pucuk endhog, pucuk endhog terdiri dari
dua unsur langsung yaitu pucuk dan endhog. Sehingga tumpeng
pucuk endhog terdiri dari unsur tumpeng + pucuk + endhog.
Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan
pucuk yang berkategori ajektif dan endog yang berkategori nomina
lxxxix
menjadi tumpeng pucuk endhog yang berkategori frasa nominal.
Tumpeng pucuk endhog termasuk dalam frasa nominal karena intinya
yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan
atributnya adalah pucuk yang berkategori ajektif dan endog yang
berkategori nomina.
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, pucuk
adalah ujung atas dan endhog adalah telur, dan setelah digabungkan
menjadi Tumpeng pucuk endhog yang artinya nasi putih yang
dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng diletakkan telur.
Tumpeng pucuk endhog termasuk istilah sesaji.
Dalam upacara ruwatan tumpeng pucuk endhog digunakan sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas
tumpeng diletakkan telur.
B. Makna Leksikal
1. Kirab [kirab]
Makna kata kirab dalam Purwadarminta (1939: 389) adalah berjalan
teratur seperti barisan. Para peserta upacara ruwatan dibariskan dan
diarak secara bersama-sama menuju tempat upacara.
Dalam upacara ruwatan kirab dilaksanakan untuk mengarak para
peserta ruwatan menuju tempat upacara.
xc
2. Jlupak [jlupa?]
Makna kata jlupa dalam Purwadarminta (1939: 120) adalah sama
artinya dengan clupa yaitu jenis lampu tradisional terbuat dari cobek
yang berukuran kecil, biasa diberi minyak kelapa dan sumbu.
Dalam uupacara ruwatan jlupak digunakan sebagai alat penerangan.
3. Sukerta [suk|rtO]
Makna kata sukerta dalam Purwadarminta (1939: 742) adalah sama
artinya dengan suker yaitu kotor, noda. Orang sukerta adalah orang
yang kotor. Dalam keyakinan orang Jawa orang sukerta adalah orang
yang menjadi jatah makanan bathara kala.
Dalam upacara ruwatan sukerta adalah sebutan untuk orang-orang
yang mempunyai ciri atau cacad cela yang dibawa oleh kelahirannya.
4. Mantra [mOntrO]
Makna kata mantra dalam Purwadarminta (1939: 491) adalah
perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib.
Dalam upacara ruwatan mantra digunakan sebagai pengusir kekuatan
jahat yang di ucapkan oleh dhalang kandha buwana.
5. Ruwatan [ruwatan]
Makna kata mruwat dalam Purwadarminta (1939: 855) adalah lepas
dari kutukan dewa, lepas dari tenung. Sedangkan ruwatan adalah
selamatan bagi orang-orang yang mendapat kutukan dari dewa atau
supaya terlepas dari tenung atau dalam situasi khusus.
xci
6. Sajen [sajEn]
Makna kata saji dalam Purwadarminta (1939: 929) adalah hidangan
berupa makanan, minuman, atau bunga untuk para leluhur atau roh
halus. Sedangkan sajen adalah perlengkapan upacara berupa
makanan, bunga, dan sebagainya yang dipersembahkan kepada
kekuatan-kekuatan gaib.
Dalam upacara ruwatan sajen digunakan sebagai syarat upacara yang
berupa hidangan yang disuguhkan kepada roh halus agar tidak
mengganggu jalannya upacara.
7. Siraman [siraman]
Makna kata siram dalam Purwadarminta (1939: 727) adalah mandi.
Sedangkan siraman adalah upacara pemandian.
Dalam upacara ruwatan siraman dilaksanakan sebagai ritual
pembersihan kotoran yang melekat pada diri para sukerta, yaitu
dengan cara memecikkan air ketubuh para peserta ruwatan.
8. Larungan [laruGan]
Makna kata larung dalam Purwadarminta (1939: 252) adalah
terapung dibawa banjir. Sedangkan larungan adalah menghanyutkan
sesuatu kedalam air yang mengalir.
Dalam upacara ruwatan larungan laksanakan untuk menghanyutkan
pakaian yang digunakan para sukerta saat mengikuti jalannua
upacara, tujuannya adalah sebagai simbol menghanyutkan kotoran
yang melekat pada diri sukerta.
xcii
9. Carahan [carahan]
Makna kata carah (crah) dalam Purwadarminta (1939: 125) adalah
retak. Sedangkan carahan adalah benda-benda yang terbuat dari
tanah atau yang lain yang mudah retak.
Dalam upacara ruwatan carahan adalah salah satu jenis sajen yang
disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa benda-benda
yang terbuat dari tanah atau yang lain yang mudah retak.
10. Murwa kala [mUrwO kOlO]
Murwakala adalah kesatuan dari dua kata, yaitu murwa dalam
Purwadarminta (1939: 528) berarti menguasai dan kala dalam
Purwadarminta (1939: 331) berarti bencana, mala petaka. Dengan
demikian secara harafiah murwakala yaitu bencana yang dikuasai,
atau juga menguasai mala petaka. Dalam upacara ruwatan murwakala
yaitu wayang yang dipertunjukkan untuk menolak bencana yang akan
datang (terhadap orang sukerta).
11. Ingkung golong [iGkUG gOlOG]
Ingkung golong adalah kesatuan dari dua kata, yaitu ingkung dalam
Purwadarminta (1939: 284) adalah ayam yang dimasak tanpa
dipotong-potong atau utuh, hanya diambil bulu dan isi perutnya, kaki
dan perutnya di ikat (tlikung) dan golong dalam Purwadarminta
(1939: 252) adalah sudah menjadi satu, bulatan besar. Dengan
demikian secara harafiah ingkung golong adalah ayam yang dimasak
tanpa dipotong-potong atau utuh, hanya diambil bulu dan isi
xciii
perutnya, kaki dan perutnya di ikat (tlikung) dan di sampingnya
diletakkan nasi yang di buat bulat.
Dalam upacara ruwatan ingkung golong adalah salah satu jenis sajen
yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa ingkung
ayam yang disampingnya diletakkan nasi yang dibuat bulat.
12. Gecok bakal [g|cO? bakal]
Gecok bakal adalah kesatuan dari dua kata, yaitu gecok dalam
Purwadarminta (1939: 221) adalah segala sesuatu yang berasal dari
daging, dan bakal dalam Purwadarminta (1939: 40) adalah segala
sesuatu yang berupa bahan atau calon. Dengan demikian secara
harafiah gecok bakal adalah segala sesuatu yang berupa calon atau
bibit dari binatang. Dalam upacara ruwatan gecok bakal adalah sajen
berupa bibit binatang yang diwujudkan dalam bentuk telur ayam
yang masih mentah.
13. Gecok urip [g|cO? urIp]
Gecok urip adalah kesatuan dari dua kata, yaitu gecok dalam
Purwadarminta (1939: 221) adalah segala sesuatu yang berasal dari
daging, dan urip dalam Purwadarminta (1939: 828) adalah hidup,
segala sesuatu yang bisa tumbuh dan bergerak. Dengan demikian
secara harafiah gecok urip adalah segala sesuatu yang berupa
binatang yang masih hidup. Dalam upacara ruwatan gecok urip
adalah sajen berupa binatang yang masih hidup yang diwujudkan
berupa ikan lele.
xciv
14. Kedhana kedhini [k|DOnO k|Dini]
Kedhana kedhini dalam Purwadarminta (1939: 49) adalah sebutan
dua bersaudara kakak beradik laki-laki dan perempuan.
Dalam upacara ruwatan kedhana kedhini adalah salah satu kaategori
orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu dua
bersaudara kakak beradik laki-laki dan perempuan.
15. Ontang anting [OntaG antIG]
Ontang anting dalam Purwadarminta (1939: 555) adalah sebutan
untuk anak tunggal (tak bersaudara).
Dalam upacara ruwatan ontang anting adalah salah satu kaategori
orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu anak tunggal
(tak bersaudara).
16. Sendang kapit pancuran [s|ndaG kapIt pancuran]
Sendang kapit pancuran dalam Purwadarminta (1939: 714) adalah
sebutan untuk tiga bersaudara, satu wanita dua laki-laki dan yang
wanita lahir ditengah.
Dalam upacara ruwatan sendang kapit pancuran adalah salah satu
kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu tiga
bersaudara, satu wanita dua laki-laki dan yang wanita lahir ditengah.
17. Pancuran kapit sendang [pancuran kapIt s|ndaG]
Pancuran kapit sendang dalam Purwadarminta (1939: 568) adalah
sebutan untuk tiga bersaudara, satu laki-laki dua wanita dan yang
laki-laki lahir ditengah.
xcv
Dalam upacara ruwatan pancuran kapit sendang adalah salah satu
kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu tiga
bersaudara, satu laki-laki dua wanita dan yang laki-laki lahir
ditengah.
18. Dhalang Kandha Buwana [DalaG kOnDO buwOnO]
Dhalang dalam Purwadarminta (1939: 206) adalah orang yang
memainkan wayang, kandha dalam Purwadarminta (1939: 47) adalah
berbicara atau bercerita, dan buwana dalam Purwadarminta (1939:
52) adalah dunia atau jagad. Dengan demikian secara harafiah
dhalang kandha buwana adalah orang yang memainkan wayang
yang isi ceritanya tentang dunia atau dalang yang menyebar tutur
(ajaran) tentang dunia.
Dalam upacara ruwatan dalang kandha buwana adalah dhalang yang
bertugas meruwat para sukerta.
19. Memala [m|mOlO]
Arti kata mala dalam Purwadarminta (1939: 485) adalah kotor, dosa,
bencana, kecelakaan, sedangkan memala adalah sebuah kootan, dosa
atau bencana yang menimpa seorang sukerta.
Dalam upacara ruwatan memala digunakan untuk menyebut kotoran
atau dosa yang disandang para sukerta, baik yang dibawa dari lahir
maupun yang di dapat karena melakukan suatu tindakan yang salah.
xcvi
20. Pepancen [p|pancEn]
Arti kata panci dalam Purwadarminta (1939: 568) adalah barang
yang sudah di pastikan, memang, sedangkan pepancen berarti segala
sesuatu yang sudah di pastikan.
Dalam upacara ruwatan pepancen adalah jatah makanan bathara kala,
yaitu orang-orang yang termasuk dalam kategori anak sukerta.
21. Woh-wohan [wO-wOan]
Arti kata woh dalam Purwadarminta (1939: 845) adalah buah yang
masih kecil, sedangkan woh-wohan berarti beraneka macam buah.
Dalam upacara ruwatan woh-wohan adalah salah satu jenis sajen
yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa beraneka
macam buah.
22. Mori putih [mOri putIh]
Mori putih adalah kesatuan dari dua kata, yaitu mori dalam
Purwadarminta (1939: 521) adalah kain dan putih dalam
Purwadarminta (1939: 828) adalah jenis warna seperti kapas. Dengan
demikian secara harafiah mori putih adalah kain yang berwarna putih
polos. Dalam upacara ruwatan mori putih adalah kain yang harus
dikenakan oleh para sukerta saat mengikuti upacara ruwatan.
23. Kambil gadhing [kambIl gaDiG]
Kambil gadhing adalah kesatuan dari dua kata, yaitu kambil dalam
Purwadarminta (1939: 334) adalah kelapa dan gadhing dalam
Purwadarminta (1939: 828) adalah warna kuning cerah. Dengan
demikian secara harafiah kambil gadhing adalah kelapa yang
xcvii
berwarna kuning cerah. Dalam upacara ruwatan kambil gadhing
digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat
upacara ruwatan yang berupa kelapa yang kulitnya berwarna kuning.
24. Wayang purwa [wayaG pUrwO]
Wayang Purwa adalah kesatuan dari dua kata, yaitu wayang dalam
Purwadarminta (1939: 844) adalah boneka tiruan orang yang terbuat
dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk
memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan purwa
dalam Purwadarminta (1939: 645) adalah wayang kulit yang
membawakan cerita-cerita zaman purba. Dengan demikian secara
harafiah wayang purwa adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari
pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan
tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan cerita yang
dibawakan memuat kisah zaman purba. Dalam upacara ruwatan
wayang purwa adalah cerita wayang yang diambil untuk
menampilkan cerita murwakala.
25. Jajan pasar [jajan pasar]
Jajan pasar adalah kesatuan dari dua kata, yaitu jajan dalam
Purwadarminta (1939: 293) adalah membeli makanan, dan pasar
dalam Purwadarminta (1939: 577) adalah tempat orang berdagang
atau jual beli barang, Dengan demikian secara harafiah jajan pasar
artinya membeli makanan di tempat orang berdagang atau tempat jual
beli barang. Dalam upacara ruwatan jajan pasar digunakan sebagai
xcviii
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa beraneka macam jajanan yang berasal dari pasar.
26. Pala kependhem [POlO k|p|nD|m]
Pala kependhem adalah kesatuan dari dua kata, yaitu pala dalam
Purwadarminta (1939: 564) adalah buah, dan kependhem dalam
Purwadarminta (1939: 589) adalah berada di dalam tanah. Dengan
demikian secara harafiah pala kependhem artinya buah atau umbi
yang dihasilkan tanaman yang terdapat di dalam tanah. Dalam
upacara ruwatan pala kependhem digunakan sebagai salah satu jenis
sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah
atau umbi yang dihasilkan tanaman yang terdapat di dalam tanah.
27. Pala kesimpar [pOlO k|simpar]
Pala kesimpar adalah kesatuan dari dua kata, yaitu pala dalam
Purwadarminta (1939: 564) adalah buah, dan kesimpar dalam
Purwadarminta (1939: 689) adalah berada di permukaan tanah.
Dengan demikian secara harafiah pala kesimpar artinya buah yang
dihasilkan tanaman yang terdapat di permukaan tanah. Dalam
upacara ruwatan pala kesimpar digunakan sebagai salah satu jenis
sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah
yang di hasilkan tanaman yang buahnya berserakan di permukaan
tanah.
28. Pala gumantung [pOlO gumantUG]
Pala gumantung adalah kesatuan dari dua kata, yaitu pala dalam
Purwadarminta (1939: 564) adalah buah, dan gumantung dalam
xcix
Purwadarminta (1939: 209) adalah bergantungan diatas pohon.
Dengan demikian secara harafiah pala gumantung artinya buah yang
di hasilkan tanaman yang menggantung atau menempel di dahan
pohon, terdapat di atas tanah. Dalam upacara ruwatan pala
gumantung digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan
untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah yang di hasilkan
tanaman yang buahnya berserakan di permukaan tanah.
29. Cikal klapa [cikal klOpO]
Cikal klapa adalah kesatuan dari dua kata, yaitu cikal dalam
Purwadarminta (1939: 112) adalah pohon kelapa yang masih kecil,
dan klapa dalam Purwadarminta (1939: 393) adalah kelapa. Dengan
demikian secara harafiah cikal klapa artinya tunas pohon kelapa yang
baru tumbuh. Dalam upacara ruwatan cikal klapa digunakan sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa tunas kelapa yang masih kecil.
30. Gedhang ayu [g|DaG ayu]
Gedhang ayu adalah kesatuan dari dua kata, yaitu gedhang dalam
Purwadarminta (1939: 221) adalah pisang, dan ayu dalam
Purwadarminta (1939: 35) adalah cantik. Dengan demikian secara
harafiah Gedhang ayu artinya pisang yang dihias dengan kertas
warna emas agar terlihat cantik. Dalam upacara ruwatan gedhang ayu
digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat
upacara ruwatan yang berupa pisang yang ujungnya dihiasi kertas
warna emas.
c
31. Jenang sengkala [j|naG s|GkOlO]
Jenang sengkala adalah kesatuan dari dua kata, yaitu jenang dalam
Purwadarminta (1939: 309) adalah bubur, dan sengkala dalam
Purwadarminta (1939: 331) adalah celaka, halangan, rintangan.
Dengan demikian secara harafiah jenang sengkala artinya bubur
yang dibuat untuk menolak rintangan. Dalam upacara ruwatan
jenang sengkala digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang
disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa bubur yang
ditujukan untuk menolak atau menghilangkan segala gangguan yang
datang kepada para sukerta.
32. Jenang kacang warna [j|naG kacaG warnO]
Jenang kacang warna adalah kesatuan dari tiga kata, yaitu jenang
dalam Purwadarminta (1939: 309) adalah bubur, kacang dalam
Purwadarminta (1939: 327) adalah kacang dan warna dalam
Purwadarminta (1939: 841) adalah jenis warna. Dengan demikian
secara harafiah jenang kacang warna artinya bubur yang di masak
dari bahan dasar kacang yang terdiri dari bermacam-macam warna.
Dalam upacara ruwatan jenang kacang warna digunakan sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa bubur yang terbuat dari bahan dasar kacang.
33. Tumpeng megana [tump|G m|gOnO]
Tumpeng megana adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng
dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk
seperti kerucut, dan megana dalam Purwadarminta (1939: 497)
ci
adalah mega atau awan. Dengan demikian secara harafiah tumpeng
megana artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas
dibuat rata yang didalamnya berisi daging ayam, di sekelilingnya di
letakkan gudhangan.
Dalam upacara ruwatan tumpeng megana digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan disamping tumpeng
diletakkan gudangan.
34. Tumpeng sembur [tump|G s|mbUr]
Tumpeng sembur adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng
dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk
seperti kerucut, dan sembur dalam Purwadarminta (1939: 712) adalah
semprot. Dengan demikian secara harafiah tumpeng sembur artinya
nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng di beri
taburan warna.
Dalam upacara ruwatan tumpeng sembur digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng
diberi taburan warna.
35. Tumpeng pucuk lombok [tump|G pucU? lOmbO?]
Tumpeng pucuk lombok adalah kesatuan dari tiga kata, yaitu
tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di
bentuk seperti kerucut, pucuk dalam Purwadarminta (1939: 637)
adalah ujung, dan lombok adalah cabai. Dengan demikian secara
cii
harafiah tumpeng pucuk lombok artinya nasi putih yang dibentuk
kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi cabai.
Dalam upacara ruwatan tumpeng pucuk lombok digunakan sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian atas
tumpeng ditancapi cabai.
36. Tumpeng pucuk endhog [tump|G pucU? |nDOg]
Tumpeng pucuk endhog adalah kesatuan dari tiga kata, yaitu
tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di
bentuk seperti kerucut, pucuk dalam Purwadarminta (1939: 637)
adalah ujung, dan endhog dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah
telur. Dengan demikian secara harafiah Tumpeng pucuk endhog
artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng
ditancapi telur.
Dalam upacara ruwatan Tumpeng pucuk endhog digunakan sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan
yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian atas
tumpeng ditancapi telur.
37. Tumpeng tutul [tump|G tutUl]
Tumpeng tutul adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng dalam
Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti
kerucut, dan tutul dalam Purwadarminta (1939: 806) adalah totol atau
blentong. Dengan demikian secara harafiah tumpeng tutul artinya
ciii
nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tunmpeng diberi
warna totol-totol kuning.
Dalam upacara ruwatan tumpeng tutul digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian tubuh tunmpeng diberi
warna totol-totol kuning.
38. Tumpeng rajeg dom [tump|G raj|g dOm]
Tumpeng pucuk lombok adalah kesatuan dari tiga kata, yaitu
tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di
bentuk seperti kerucut, rajeg dalam Purwadarminta (1939: 653)
adalah pagar atau tancap, dan dom dalam Purwadarminta (1939: 166)
adalah jarum. Dengan demikian secara harafiah tumpeng rajeg dom
artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh
tumpeng ditancapi cabai.
Dalam upacara ruwatan tumpeng rajeg dom digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng
ditancapi cabai.
39. Tumpeng lugas [tump|G lugas]
Tumpeng lugas adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng dalam
Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti
kerucut, dan lugas dalam Purwadarminta (1939: 475) adalah tanpa
rerenggan. Dengan demikian secara harafiah tumpeng lugas artinya
adalah nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa hiasan.
civ
Dalam upacara ruwatan tumpeng lugas digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
nasi putih yang dubentuk kerucut tanpa hiasan.
40. Tumpeng kendhit [tump|G k|nDIt]
Tumpeng kendhit adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng dalam
Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti
kerucut, dan kendhit dalam Purwadarminta (1939: 352) adalah
terletak di ujung pangkal atau bawah. Dengan demikian secara
harafiah tumpeng kendhit artinya adalah nasi putih yang dibentuk
kerucut di bagian pangkal ditaburi warna.
Dalam upacara ruwatan tumpeng kendhit digunakan sebagai salah
satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan di bagian pangkal di
taburi warna.
41. Potong rambut [pOtOG rambUt]
Potong rambut adalah kesatuan dari dua kata, yaitu potong dalam
Purwadarminta (1939: 622) adalah memangkas, dan rambut dalam
Purwadarminta (1939: 654) adalah bulu yang tumbuh di kepala.
Dengan demikian secara harafiah potong rambut artinya adalah
memangkas rambut.
Dalam upacara ruwatan potong rambut adalah salah satu jenis ritual
memangkas rambut peserta ruwatan sebagai tanda bahwa kotoran
yang ada pada diri para sukerta telah dipotong dan dihilangkan.
cv
42. Sega asahan [s|gO asahan]
Sega asahan adalah kesatuan dari dua kata, yaitu sega dalam bahasa
Indonesia adalah nasi, dan asahan dalam Purwadarminta (1939: 28)
adalah asah atau isah-isah supaya bersih. Dengan demikian secara
harafiah sega asahan artinya adalah nasi putih yang dibuat untuk
membersihkan kotoran.
Dalam upacara ruwatan sega asahan digunakan sebagai salah satu
jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
nasi putih yang dibuat untuk membersihkan kotoran.
43. Suda mala [sudO mOlO]
Suda mala adalah kesatuan dari dua kata, yaitu suda dalam
Purwadarminta (1939: 741) adalah kurang, dan mala dalam
Purwadarminta (1939: 485) adalah celaka, kotoran, bencana. Dengan
demikian secara harafiah suda mala artinya adalah mengurangi
bencana atau mara bahaya.
Dalam upacara ruwatan suda mala lakon yang diambil dalam cerita
wayang yang dipergelarkan dalam upacara ruwatan massal di
Pendapa ISI Surakarta Tanggal 10 Januari 2010 yang digunakan
sebagai sarana mengurangi bencana para sukerta.
44. Bathara kala [baTOrO kOlO]
Bathara kala adalah kesatuan dari dua kata, yaitu bathara dalam
Purwadarminta (1939: 49) adalah sebutan dewa, dan kala dalam
Purwadarminta (1939: 331) adalah bahaya, celaka, bencana. Dengan
cvi
demikian secara harafiah bathara kala artinya adalah dewa yang
membawa bahaya.
Dalam upacara ruwatan bathara kala adalah sebutan untuk dewa
yang membawa malapetaka bagi orang-orang yang temasuk dalam
golongan orang sukerta.
45. Satria wirang [satriO wiraG]
Satria wirang adalah kesatuan dari dua kata, yaitu satria dalam
Purwadarminta (1939: 696) adalah orang yang berbudi baik, dan
wirang dalam Purwadarminta (1939: 852) adalah malu jika ketahuan
orang banyak. Dengan demikian secara harafiah satria wirang
artinya adalah seorang laki-laki yang selalu mengalami kesusahan.
Dalam upacara ruwatan satria wirang adalah salah satu kaategori
orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu seorang laki-
laki yang selalu mengalami kesusahan.
C. Makna Kultural Istilah-Istilah Ruwatan dan Sesaji dalam Upacara
Ruwatan Massal di Pendapa ISI Surakarta Tanggal 10 Januari 2010.
1. Kirab [kirab]
Kirab adalah berjalan teratur seperti barisan. Makna kultural kirab
yaitu membangkitkan kekhidmatan dari upacara ruwatan tersebut,
mengkondisikan suasana agar lebih nampak kesakralannya. Kirab
melambangkan keberanian dan kemantapan para sukerta untuk
diruwat. Kirab ini adalah langkah awal para sukerta menuju
cvii
pembersihan diri. Dalam prosesi kirab para peserta ruwatan diarak
oleh petugas yang membawa manggar, yaitu bunga kelapa,
maksudnya hidup seharusnya dianggar-anggar, atau dipertimbangkan
masak-masak Suwardi Endraswara, 2006: 263).
2. Sukerta [suk|rtO]
Sukerta adalah sama artinya dengan suker yaitu kotor, noda. Orang
sukerta adalah orang yang kotor. Dalam keyakinan orang Jawa orang
sukerta adalah orang yang menjadi jatah makanan bathara kala.
sukerta melambangkan kotoran atau noda yang disandang oleh
golongan wong sukerta. Kotoran itu ada yang dibawa sejak lahir atau
karena telah melakukan sesuatu yang dilarang sehingga tergolong
wong sukerta. Sebuah kotoran yang disandang wong sukerta hanya
dapat dihilangkan ketika wong sukerta tadi telah diruwan, dan setelah
diruwat diharapkan orang tadi tidak melakukan hal-hal yang dilarang
lagi, sehingga setelah diruwat berubah menjadi lebih baik. Wong
sukerta yang berada dalam bahaya magis merupakan orang yang
perlu menjalani ritual inisiasi yang diwujudkan dalam pertunjukan
wayang.
3. Mantra [mantra]
Mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya
gaib. Mantra digunakan sebagai pengusir kekuatan jahat yang di
ucapkan oleh dhalang kandha buwana. Mantra yang diucapkan adalah
jenis mantra pangruwatan yaitu mantra yang khusus dibacakan untuk
mengusir segala bentuk kesialan pada waktu diadakan upacara
cviii
ruwatan. Mantra menyimbolkan titah atau sabda Tuhan. Setelah
dibacakan mantra oleh dalang kandha buwana diharapkan para
sukerta setelah mengikuti upacara ruwatan dapat hidup layaknya
orang lain, yaitu tanpa selalu memikul dosa atau kotoran. Bukan
pertunjukan wayang yang membuat kala pergi dan membuat wong
sukerta selamat, melainkan pembacaan mantranya.
4. Ruwatan [ruwatan]
Ruwatan merupakan sistem religius yang bertujuan mencari
hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus
yang mendiami alam gaib. Sistem upacara religius ini melaksanakan
dan melambangkan, menyimbolkan, konsep-konsep yang terkandung
dalam sistem kepercayaan. Seluruh upacara itu terdiri dari kombinasi
dari berbagai unsur upacara, seperti misalnya berdoa, bersaji,
berkorban, menyanyi, berprosesi, dan sebagainya. Acara-acara dan
tata urut dari pada unsur-unsur tersebut adalah sudah tentu buatan
manusia dahulu kala, dan merupakan ciptaan akal manusia apalagi
peralatan dan upacara. Semua adalah bagian dari kebudayaan.
Meskipun demikian upacara agama belum lengkap kalau tidak
dihinggapi dan dijiwai emosi keaganaan. Di sinilah masik komponen
pergana ialah cahaya Tuhan yang membuat upacara itu suatu aktivitas
yang keramat ruwatan merupakan usaha membersihkan anak yang
dianggap kotor. Ruwatan adalah simbol membersihkan atau
menghilangkan segala noda, kotoran, mara bahaya atau masalah
yang akan menimpa.
cix
5. Siraman [siraman]
Siraman adalah upacara pemandian. Dalam upacara siraman ini
dimaksudkan segala kotoran yang melekat pada diri sang sukerta
dapat bersih. Setelah upacara siraman selesai para sukerta di
ibaratkan kembali menjadi suci, bersih lahir maupun batinnya. Secara
fisik upacara siraman ini adalah membersihkan jasmaninya, secara
meta fisik upacara siraman adalah membersihkan rohani para sukerta,
dengan dipercikkan air keseluruh tubuh oleh dalang kandha buwana
agar kesialan-kesialan yang menempel hilang terbasuh oleh air. Air
yang digunakan dalam upacara siraman berasal dari tujuh sumber
mata air, yang melambangkan jumlah hari dalam satu minggu. Untuk
yang lahir disalah satu hari yang sial dalam satu minggu, diharapkan
dengan disiram dengan air yang berasal dari tujuh sumber mendapat
berkah dari hari yang lain yang lebih baik.
6. Sajen [sajEn]
Sajen adalah perlengkapan upacara berupa makanan, bunga, dan
sebagainya yang dipersembahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib.
Sajen digunakan sebagai syarat upacara yang berupa hidangan yang
disuguhkan kepada roh halus agar tidak mengganggu jalannya
upacara. Sajen disiapkan sebagai simbol rasa homat kita pada
kekuatan diluar kemampuan manusia. Sajen disiapkan sebagai
ungkapan bahwa kita selalu ingat kepada Tuhan dan merupakan rasa
syukur atas segala karunianya yang berlimpah yang diberikan kepada
manusia.
cx
7. Murwakala [mUrwO kOlO]
Murwa (murba) adalah awal dan kala adalah waktu, juga diartikan
bencana. Murwakala menyimbolkan bahwa orang hidup di dunia ada
yang sudah ditakdirkan membawa bencana dalam dirinya, dan untuk
menghilangkan kesialan itu maka orang harus di ruwat. Sehingga
orang hidup harus dapat menguasai gangguan, kejahatan atau nafsu
yang ada dalam dirinya. Murwakala mengandung ajaran, hendaknya
orang dapat menguasai waktunya sendiridan tidak membuang-buang
waktu untuk perbuatan yang tidak ada manfaatnya bagi diri sendiri,
keluarga maupun masyarakat luas mengatur waktu dengan sebaik-
baiknya niscaya akan besar sekali manfaatnya bagi keselamatan dan
kesejahteraan (Karkono Kama Jaya: 1992, 46)
8. Ingkung golong [iGkUG gOlOG]
Ingkung golong adalah ayam yang dimasak tanpa dipotong-potong,
hanya diambil bulu dan isi perutnya dan di sampingnya diletakkan
nasi yang di buat bulat ukuran dua genggam tangan orang dewasa.
Ingkung menyimbolkan bersemedi atau beribadah (manekung), untuk
pasrah kepada tuhan orang harus tekun dalam beribadah kepada
tuhan. Golong menyimbolkan bahwa tekad sudah bulat, totalitas,
tidak ragu, mantap. Ingkung golong menyimbolkan bahwa semua
peserta sudah mantap, pasrah kepada Tuhan untuk diruwat agar sial
pada diri sukerta dapat dihilangkan atau dibuang. Ingkung golong
juga melambangkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah memberi perlindungan, menjaga keselamatan, dan
cxi
ketentraman kepada para sukerta sehingga mampu membulatkan atau
menyatukan semua pengharapan, juga bersatunya cipta, rasa, karsa.
Ingkung melambangkan cita-cita manusia agar bisa tercapai itu
dilakukan melalui bersemedi.
9. Gecok bakal [g|cO? bakal]
Gecok bakal adalah sajen berupa bibit binatang yang diwujudkan
dalam bentuk telur ayam yang masih mentah. Makna kultural gecok
bakal adalah sutu kemantapan bahwa setelah melaksanakan upacara
ruwatan sukerta dapat segera mendapatkan keturunan, sajen gecok
bakal melambangkan harapan wiji dadi. Gecok bakal juga sebagai
sesaji yang dibuat sebagai rangkaian prasarana ruwatan yang
disediakan kepada bethara kala karena sering memakan bocah
ontang-anting „anak tunggal‟ karena itu bathara wisnu menyuruh
untuk makan gecok bakal dan tidak mengganggu manusia. Selain itu
gecok bakal digunakan sebagai tolak sengkolo „menolak kesialan‟.
10. Mori putih [mOri putIh]
Mori putih putih adalah kain yang berwarna putih polos. Mori putih
melambangkan bahwa upacara ruwatan didasarkan atas maksud dan
tekad yang suci sesuai warna pakaian pembalut para peserta ruwatan
yang berwarna putih yang berarti kesucian. Suci bahwa setelah
diruwat dalang kandha buwana rohnya menjadi suci kembali
(muthmainah). Jika rohnya sudah suci maka kelak dapat masuk surga.
cxii
11. Jajan pasar [jajan pasar]
Jajan pasar adalah sajen yang berupa makanan yang dibeli dari pasar.
Jajan pasar berwarna-warni macamnya, ditujukan sebagai
penghormatan kepada bathara kala yang menguasai semua sengkala
„musibah‟. Agar tidak mengganggu jalanya upacara dan selalu
memberikan kemakmuran bagi seluruh peseta ruwatan
Jajan pasar merupakan lambang sesrawungan (hubungan). Jajan
pasar adalah lambang kemakmuran. Hal ini diasosiasikan bahwa
pasar adalah tempat bermacam-macam barang, dan tempat
berkumpulnya masyarakat untuk mengadakan kegiatan juala beli atau
tukar menukar barang dan hasi bumi. Dengan kita membeli sesuatu
yang dijual orang lain berarti kita telah menolong sesama.
12. Pala kependhem [pOlO k|p|nD|m]
Pala kependhem adalah buah atau umbi yang dihasilkan tanaman
yang terdapat di dalam tanah. Pala kependhem menggambarkan hasil
yang akan diperoleh dari perbuatan manusia dewasa. Pala dalam
bahasa Jawa kuna berarti hasil. Setiap perbuatan atau karma manusia
tentu nantinya akan membuahkan hasil. Jika karmanya baik, ia akan
menuai hasil yang baik pula, demikian juga apabila karmanya buruk,
akan menuai hasil yang buruk pula. Sajen yang diwujudkan dalam
bentuk pala kependhem adalah ungkapan rasa syukur kita kepada
tuhan karena sudah memberikan hasil bumi yang melimpah. Sajen ini
diwujudkan dalam bentuk buah-buahan atau hasil bumi seperti ketela
pohon, ubi rambat, bengkuang, dan lain-lain (Tim Rumah Budaya
Tembi, 2008: 31).
cxiii
13. Pala kesimpar [pOlO k|simpar]
Pala kesimpar adalah buah yang di hasilkan tanaman yang terdapat di
atas tanah. Pala kesimpar memiliki makna yang sama dengan sajen
pala kependhem. Menggambarkan hasil yang akan diperoleh dari
perbuatan manusia dewasa. Pala dalam bahasa Jawa kuna berarti
hasil. Setiap perbuatan atau karma manusia tentu nantinya akan
membuahkan hasil. Jika karmanya baik, ia akan menuai hasil yang
baik pula, demikian juga apabila karmanya buruk, akan menuai hasil
yang buruk pula. Sajen yang diwujudkan dalam bentuk pala kesimpar
adalah ungkapan rasa syukur kita kepada tuhan karena sudah
memberikan hasil bumi yang melimpah. Sajen ini diwujudkan dalam
bentuk buah-buahan atau hasil bumi seperti semangka, melon,
mentimun dan lain-lain (Tim Rumah Budaya Tembi, 2008: 33).
14. Pala gumantung [pOlO gumantUG]
Pala gumantung adalah buah yang di hasilkan tanaman yang
menggantung atau menempel di dahan pohon, terdapat di atas tanah.
Pala gumantung memiliki makna yang sama dengan sajen pala
kependhem dan pala kesimpar, Menggambarkan hasil yang akan
diperoleh dari perbuatan manusia dewasa. Pala dalam bahasa Jawa
kuna berarti hasil. Setiap perbuatan atau karma manusia tentu
nantinya akan membuahkan hasil. Jika karmanya baik, ia akan
menuai hasil yang baik pula, demikian juga apabila karmanya buruk,
akan menuai hasil yang buruk pula. Sajen yang diwujudkan dalam
bentuk pala gumantung adalah ungkapan rasa syukur kita kepada
cxiv
Tuhan karena sudah memberikan hasil bumi yang melimpah. Sajen
ini diwujudkan dalam bentuk buah-buahan atau hasil bumi seperti
nanas, apel, sawo dan lain-lain (Tim Rumah Budaya Tembi, 2008:
35).
15. Tumpeng sembur [tump|G s|mbUr]
Tumpeng sembur adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian
tubuh tumpeng diberi warna kuning. Tumpeng merupakan gambaran
kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan
hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Dan semburan-
semburan yang terdapat pada tubuh tumpeng sembur melambangkan
hambatan atau rintangan yang harus dilalui manusia untuk menuju
kepuncak yaitu berupa godaan yang berupa keinginan manusia
sendiri. Pucuk tumpeng merupakan lambang puncak keinginan
manusia, yakni untuk mencapai kemuliaan sejati. Titik puncak juga
meruupakan gambaran kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental
(Suwardi Endraswara, 2006: 252).
16. Tumpeng megana [tump|G m|gOnO]
Tumpeng megana artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan
bagian atas dibuat rata yang didalamnya berisi daging ayam, di
sekelilingnya di letakkan gudhangan. Tumpeng merupakan gambaran
kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan
hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Megana
menggambarkan lindungan Tuhan dan kesejahteraan. Gudhangan
cxv
yang mengelikingi tumpeng melambangkan harapan supaya hasil
bumi yang berupa tumbuh-tumbuhan selalu berlimpah.
17. Tumpeng pucuk lombok [tump|G pucU?
lOmbO?]
Tumpeng pucuk lombok adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan
bagian atas tumpeng ditancapi cabai merah. Tumpeng merupakan
gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip
melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan tuhan.
Cabai merah adalah lambang penolak bala. Tumpeng pucuk lombok
ini diperuntukkan menolak segala petaka yang akan datang selama
upacara ruwatan dilaksanakan. Selama manusia dekat dengan Tuhan
maka akan selalu terlindungi. Cabai merah melambangkan dalam
hidup yang pada akhirnya akan muncul keberanian dan tekad untuk
manunggal dengan Tuhan (Suwardi Endraswara, 2006:254).
18. Tumpeng tutul [tump|G titUl]
Tumpeng tutul artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian
tubuh tunmpeng diberi warna totol-totol kuning. Tumpeng
merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat
lancip melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan
Tuhan. Tutul yang terdapat pada tumpeng ini mengisyaratkan bahwa
setiap manusia memiliki warnanya sendiri untuk dibawa kepada
Tuhan. Setiap manusia memiliki tanggung jawab yang harus
dipertanggung jawabkan sesuai perbuatannya masing-masing. Warna
cxvi
itu yang membedakan manusia di hadapan Tuhan, yaitu yang berupa
amal perbuatannya masing-masing.
19. Tumpeng rajeg dom [tump|G raj|g dOm]
Tumpeng rajeg dom artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut
dan bagian tubuh tumpeng ditancapi cabai. Tumpeng merupakan
gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip
melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan.
Rajeg melambangkan bentang pertahanan. Jika kita beriman kepada
Tuhan harus didasari rasa iman dan keyakinan yang kuat yang kuat,
dom yang digunakan untuk membuat pagar berupa cabai merah yang
melambangkan keberanian, tekad yang kuat. Jika sebuah iman sudah
didasari atas tekad dan keyakinan yang kuat, pasti kita akan
menemukan ketentraman dunia akherat.
20. Tumpeng lugas [tump|G lugas]
Tumpeng lugas artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa
hiasan. Tumpeng merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan.
Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan vertikal antara
manusia dengan Tuhan. Lugas merupakan gambaran polos, tanpa ada
unsur manipulasi, orang hidup didunia itu hendaknya apa
adanya.tidak perlu dibuat-buat. Dengan pola hidup yang lurus kita
tidak akan takut dengan apapun. Dan diharapkan didalam hidup,
manusia tidak akan mengalami gangguan apapun.
21. Tumpeng kendhit [tump|G k|nDIt]
cxvii
Tumpeng kendhit artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut di
bagian pangkal ditaburi warna. Tumpeng merupakan gambaran
kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan
hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Kendhit
menggambarkan sebuah lilitan, ikatan yang kuat. Manusia didalam
menjalani hidup harus sudah memiliki keyakinan yang dijadikan
pedoman hidup. Itu menggambarkan keyakinan dalam mengambil
langkah. Setiap tindakan yang sudah di dasari dengan keyakina
niscaya akan menemukan ketenangan hidup.
22. Tumpeng pucuk endhog [tump|G pucU?
|nDOg]
Tumpeng pucuk endhog adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan
bagian atas tumpeng diletakkan telur. Tumpeng merupakan gambaran
kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan
hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Telur sendiri
merupakan lambang wiji dadi (benih) terjadinya manusia. Untuk
mendapatkan keturunan selain berusaha manusia harus memohon
kepada Tuhan agar diberi keturunan yang baik. Telur adalah ibarat
manusia, yaitu kulit telur melambangkan jasmani atau raga sebagai
pelindung goncangan dari luar, kuning telur melambangkan rohani,
dan putih telur melambangkan rasio atau akal pikir manusia.
23. Dhalang Kandha Buwana [DalaG kOnDO buwOnO]
Dhalang berarti orang yang memainkan wayang, Kandha berarti
berbicara atau bercerita, dan Buwana berarti dunia. Jika kita satukan
cxviii
menjadi orang yang memainkan wayang yang isi ceritanya tentang
dunia. Dalang kandha buwana berarti dalang yang menyebar tutur
(ajaran) tentang dunia.
Dalang Kandha Buwana diibaratkan sebagi dokter atau tabib spesialis
yang khusus mengobati manusia kotor. Dalam hal ini kotor dalm arti
jiwa atau rohaninya. Didalam upacara ruwatan dhalang kandha
buwana bertindak atau berperan sebagai dewa atau Tuhan. Dhalang
kandha buwanalah yang paling berperan dalam upacara ruwatan.
Dalam upacara ruwatan dhalang kandha buwana mengajarkan tentang
bagaimana kita semestinya hidup didunia.
Dalang kandha buwana merupakan dalang yang menyebar tuturan
(ajaran) tentang dunia atau hakikat kehidupan (Hersapandi, 2005:
126). Dalang kandha buwana cenderung ditempatkan sebagai figur
yang mempunyai kekuatan magis berupa kemampuan yang diyakini
dapat membebaskan para sukerta.
24. Sega asahan [s|gO asahan]
Sega asahan adalah nasi yang dimasak dan dibari warna kuning. sega
asahan yaitu simbol dari semua harapan yang telah selesai atau telah
terlaksana tidak ada hal-hal yang kurang dan diharapkan semua
masyarakat selalu mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa
dengan kehidupan yang tentram. Sega asahan dalam upacara ruwatan
dibuat sabagai simbol para peserta ruwatan agar selalu berada dalam
lindunganya. Bahwa setelah diruwat kepanpun dan dimanapun,
peserta ruwatan selalu berada dalam lindungannya.
cxix
25. Bathara kala [baTOrO kOlO]
Perkataan batara kala terdiri dari dua buah kata. Batara adalah
sebutan untuk dewa, dan kala berarti waktu, ketika, saat. Jadi kalau
kita gabungkan kita akan mendapatkan arti batara kala yaitu Dewa
waktu atau penguasa waktu.
Makna kultural tokoh batara kala dalam dunia pewayangan
melaterbelakangi hadirnya mitos wong sukerta orang yang kotor,
orang yang akan menjadi mangsa batara kala.
Tokoh batara kala adalah simbol pembawa malapetaka bagi orang
yang mempunyai ciri-ciri tertentu atau melakukan tindakan-tindakan
tertentu yang telah ditetapkan dan diizinkan oleh Batara Guru, raja
segala Dewa, untuk menjadi mangsa batara kala. Untuk
menghindarkan diri dari mangsa batara kala orang yang memiliki ciri
atau melakukan tindakan tertentu itu harus diruwat atau
dilepaskan/dibebaskan dari incaran batara kala. Bathara kala
merupakan simbol penguasa waktu, simbol watak jahat, dan simbol
iblis atau setan. Menurut mereka yang percaya, orang-orang yang
tergolong di dalam criteria “menjadi mangsa batara kala” dapat
menghindarkan diri dari malapetaka (tidak menjadi makanan katara
kala) tersebut, jika ia mempergelarkan wayang ruwatan dengan cerita
murwakala.
cxx
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian tentang istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara
ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Dalam penelitian istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan
massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 terdapat
bentuk monomorfemis, polimorfemis dan frasa. Bentuk
monomorfemis berupa kata dasar yang berjumlah 4 istilah, yaitu
kirab, jlupak, mantra, dan sukerta. Bentuk polimorfemis berupa
afiksasi yang berjumlah 5 istilah, yaitu ruwatan, sajen,
siraman,larungan, dan carahan, kata majemuk yang berjumlah 9
istilah, yaitu murwakala, ingkung golong, gecok bakal, gecok urip,
kedhana-kedhini, ontang-anting, sendang kapit pancurn, dan
pancuran kapit sendang, reduplikasi terdapat 3 istilah, yaitu memala,
pepancen, woh-wohan, dan frasa terdapat 24 istilah, di antaranya
mori putih, kambil gadhing, wayang purwa, jajan pasar, pala
kependhem, pala kesimpar, pala gumantung, cikal klapa, gedhang
ayu, jenang sengkala, jenang kacang warna, tumpe bathara kala ng
megana, tumpeng sembur, tumpeng pucuk lombok, tumpeng pucuk
endog, tumpeng tutul, tumpeng rajeg dom, tumpeng lugas, tumpeng
cxxi
kendhit, potong rambut, sega asahan, suda mala, satria wirang,
bathara kala.
2. Makna yang terdapat dalam istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara
ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010
adalah makna leksikal yaitu makna dasar dari istilah tersebut, makna
leksikal terdapat dalam bentuk monomorfemis, dan makna kultural
yaitu makna yang dimiliki oleh masyarakat yang berhubungan
dengan kebudayaan dalam hal ini adalah upacara ruwatan, makna
kultural muncul pada masyarakat dengan adanya simbol-simbol yang
melambangkan keinginan masyarakat untuk mendapatkan
keselamatan dan kelancaran dalam menjalankan hidup.
B. Saran
Penelitian istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan
massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 mencakup analisis
bentuk dan makna dengan pendekatan ernolinguistik oleh karena itu penelitian
selanjutnya dapat mengkaji bentuk dan makna secara struktural, pragmatis,
atau sosio linguistik.
cxxii
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2007. Kamus Idiom Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
__________. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Anton M Moeliono. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi KeDua.
Jakarta: Balai Pustaka.
Aryo Bimo Setiyanto. 2007. Parama Sastra Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panji
Pustaka Yogyakarta.
Biesatyo Resthi. 2009. Istilah-Istilah Sesaji dalam Selamatan Upacara
Perkawinan dan Perkembanganya di Desa Pulung, Kecamatan Pulung,
Kabupaten Ponorogo, Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Darmanto Jatman. 1993. Sekitar Masalah Kebudayaan. Bandung: Alumni.
Djoko Kentjono. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Edi Subroto. 2003. Laporan Penelitian : Kajian Etnolinguistik terhadap
Paribasan, Bebasan, Saloka, Pepindhan dan Sanepa. Surakarta : Sebelas
Maret University Press.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Pustaka Utama.
Henry Guntur Tarigan. 1985. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.
Hersapandi, dkk. 2005. Suran Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni.
Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Hidho Watari. 2008. Istilah Unsur-Unsur Sesaji dalam Tradisi Bersih Desa
Gondang, Kabupaten Sragen, Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan
Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
I Dewa Putu Wijana. 2008. Semantik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Imam Sutarjo. 2006. Serpihan Mutiara Pertunjukan Wayang. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Iswati. 2005. Istilah Unsur-Unsur Sesaji dalam Upacara Nyadranan di Makam
Sewu, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Skripsi.
cxxiii
Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Mulyoto, dkk. 1984. “Laporan Penelitian Unsur-unsur Simbolis Dalam
Upacara Ruwatan”, Laporan Penelitian. Surakarta: Fakultas Sastra dan
Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
_____________. 1995. Makna Filosofis Unsur-unsur Simbolis DAlam
Upacara Tradisional Ruwatan pada Masyarakat Jawa di Surakarta,
Laporan Penelitian. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Nooryan Bahari. 2008. ”Kritik Seni”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
J. W. M. Verhaar. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
John Lyons. 1995. Pengantar Teori Linguistik Production to Theorical
Linguistik. Jakatra: Gramedia Pustaka Utama.
Karkono. K. Partokusumo. 1992. Ruwatan Murwakala Suatu Pedoman.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Komaruddin, dkk. 2002. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi
Aksara.
Purwadi. 2004. Kamus Jawa Indonesia Populer. Yogyakarta: Media Abadi.
_______. 2006. sesorah Basa Jawi. Yogyakarta: Panji Pustaka.
R. H. Robins. 1995. Sijerah Singkat Linguistik Edisi Ketiga. Bandung: ITB
Bandung.
Saifuddin Azwar. 2007.Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soedarsono. 1986. Kesenian Bahasa dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat
Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudaryanto. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
_________. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta:
Duta Wacana University Press.
Sutrisno Sastro Utomo. 2007. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
cxxiv
Suwardi Endraswara. 2006. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi.
________________. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan.
Sleman: Pustaka Widyatama.
W. J. S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
William.J.Samarin. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.
Yohanes Suwanto, dkk. 1999. Istilah Alat-alat Rumah Tangga dan
Perkembangannya di Kodya Surakarta, Makalah. Surakarta: Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.