Isu Bebas Nilai

21
TEORI AKUNTANSI: DARI NORMATIF KE POSITIF, ISU BEBAS NILAI, HINGGA MITOS DAN WACANA REDEFINISI AKUNTANSI Akhmad Riduwan STESIA Surabaya Abstract The shift of accounting theory from “normative” to positive’’ label doesn’t directly ascertain the freedom of accounting theory from interest and value. This becomes evident because positive accounting theory doesn’t have independent frame of thought except when it begins the empirical research based on normative account- ing theory. As a result, positive accounting theory engages within the preserva- tion of accounting myths previously built through normative accounting theory. These accounting myths include underlying assumption or postulation cover- ing economic entity, going concern (continuity), and monetary units. As a myth, accounting postulations represent social and collective expectations developed through accounting theory to serve certain interest. Also, these accounting postu- lations don’t remain as rational truth because this myth seems necessary merely to force the human (accountant or other agent) to accept and to understand the accounting taken-for-granted. The myths become a very dominant foundation to construct accounting theory, normative or positive. In both theories, accounting can be defined in such that accounting activity only (a) measures, records and reports the financial character- ized quantitative economic transaction, (b) produces financial statement as a type of managerial accountability to capital owner (investors and creditors), and (c) provides the useful information for economic decision-making. Accounting plays social role and thus, it remains important to redefine conventional accounting’s practice and discourse. In this redefinition, one can expect that accounting may not only concern with monetary number, capital owner interest, and accounting information for economic decision, but also ascertain wider entity accountability. Keywords: Accounting Theory, Normative Accounting Theory, Positive Accounting Theory, Redefinition Accounting Pendahuluan Persoalan “Nilai” Dalam Teori Akuntansi Kemunculan teori akuntansi positif merupakan respons dari berbagai kritik terhadap teori akuntansi normatif. Jensen (1976) menyatakan bahwa “teori” dalam akuntansi tidak lebih dari sebuah proposisi normatif. Teks-teks teori akuntansi ham- pir seluruhnya diarahkan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan tentang “apa yang seharusnya diiakukan oieh akuntan. .Bahkan, Jensen (1976) menganggap riset akuntansi pun tidak ilmiah, karena fokus riset akuntansi terlampau normatif dan definisional. Watts (1977) juga menyatakan hal yang sama, bahwa literatur akuntansi keuangan tradisional “tidak ilmiah” karena literatur akuntansi tersebut terfokus pada “preskripsi” (norma) dan memberikan perhatian yang sangat kecil dalam pengemban- gan teori, bahkan literatur akuntansi tradisional tersebut tidak mampu menjelaskan mengapa laporan keuangan memiliki bentuk seperti yang sekarang ini. 16

description

Teori Akuntansi Positif Isu bebas nilai

Transcript of Isu Bebas Nilai

Page 1: Isu Bebas Nilai

TEORI AKUNTANSI: DARI NORMATIF KE POSITIF, ISU BEBAS NILAI, HINGGA MITOS DAN WACANA REDEFINISI AKUNTANSI

Akhmad RiduwanSTESIA Surabaya

Abstract

The shift o f accounting theory from “normative” to “positive’’ label doesn’t directly ascertain the freedom o f accounting theory from interest and value. This becomes evident because positive accounting theory doesn’t have independent frame of thought except when it begins the empirical research based on normative account­ing theory. As a result, positive accounting theory engages within the preserva­tion o f accounting myths previously built through normative accounting theory. These accounting myths include underlying assumption or postulation cover­ing economic entity, going concern (continuity), and monetary units. As a myth, accounting postulations represent social and collective expectations developed through accounting theory to serve certain interest. Also, these accounting postu­lations don’t remain as rational truth because this myth seems necessary merely to force the human (accountant or other agent) to accept and to understand the accounting taken-for-granted.The myths become a very dominant foundation to construct accounting theory, normative or positive. In both theories, accounting can be defined in such that accounting activity only (a) measures, records and reports the financial character­ized quantitative economic transaction, (b) produces financial statement as a type o f managerial accountability to capital owner (investors and creditors), and (c) provides the useful information fo r economic decision-making. Accounting plays social role and thus, it remains important to redefine conventional accounting’s practice and discourse. In this redefinition, one can expect that accounting may not only concern with monetary number, capital owner interest, and accounting information for economic decision, but also ascertain wider entity accountability.

Keywords: Accounting Theory, Normative Accounting Theory, Positive Accounting Theory, Redefinition Accounting

Pendahuluan

Persoalan “Nilai” Dalam Teori AkuntansiKemunculan teori akuntansi positif merupakan respons dari berbagai kritik

terhadap teori akuntansi normatif. Jensen (1976) menyatakan bahwa “teori” dalam akuntansi tidak lebih dari sebuah proposisi normatif. Teks-teks teori akuntansi ham­pir seluruhnya diarahkan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan tentang “apa yang seharusnya diiakukan oieh akuntan. .Bahkan, Jensen (1976) menganggap riset akuntansi pun tidak ilmiah, karena fokus riset akuntansi terlampau normatif dan definisional. Watts (1977) juga menyatakan hal yang sama, bahwa literatur akuntansi keuangan tradisional “tidak ilmiah” karena literatur akuntansi tersebut terfokus pada “preskripsi” (norma) dan memberikan perhatian yang sangat kecil dalam pengemban­gan teori, bahkan literatur akuntansi tradisional tersebut tidak mampu menjelaskan mengapa laporan keuangan memiliki bentuk seperti yang sekarang ini.

16

Page 2: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

Sasaran teori akuntansi normatif hanyalah menghasilkan penjelasan mengapa perlakuan akun-tansi tertentu lebih baik atau lebih efektif dibandingkan dengan per­lakuan akuntansi lainnya, karena “tujuan akuntansi tertentu” harus dicapai (Suward- jono, 2005:27). Sebagai contoh, teori akuntansi normatif berusaha untuk menjawab apakah historical cost accounting lebih baik dari current cost accounting untuk men­capai tujuan akuntansi. Untuk menjawab masalah tersebut, teori akuntansi normatif mendasarkan penjelasannya atas dasar “tujuan yang telah disepakati untuk dicapai” . Tujuan yang telah disepakati ini jelas penuh dengan muatan nilai (values), karena penentuan kesesuaian dengan tujuan merupakan proses subyektif yang melibatkan kemampuan menimbang (art) antara manfaat dan risiko, atau keuntungan dan keru­gian. Hasil akhir dari teori akuntansi normatif adalah suatu pernyataan atau proposal yang menganjurkan tindakan tertentu (prescriptive). Sebagai contoh, teori akuntansi akan menghasilkan pernyataan bahwa “aktiva tetap harus dinilai dan dicantumkan dalam neraca atas dasar biaya historis” . Jika teori akuntansi normatif ini digunakan sebagai dasar dalam penyusunan standar akuntansi, maka standar akuntansi terse­but juga akan bersifat normatif, penuh dengan “keharusan” atau “kewajiban”. Stan­dar akuntansi normatif menjadi tidak peduli tentang apa yang senyatanya terjadi jika standar akuntansi tersebut diterapkan.

Karena teori akuntansi normatif penuh dengan muatan nilai (value), maka stan­dar akuntansi yang dihasilkannya pun juga akan penuh dengan muatan nilai (value). Oleh karena itu, Watts dan Zimmerman (1978) berpendapat bahwa teori akuntansi positif sebagai dasar penetapan standar akuntansi adalah sesuatu yang penting, un­tuk memastikan bahwa preskripsi (norma) yang diberikan oleh teori normatif me­mang benar atau layak untuk diterapkan dalam dunia nyata. Berkaitan dengan hal ini, Zimmerman (1980) menyatakan bahwa riset akuntansi positif diperlukan dalam upaya untuk mengembangkan teori yang dapat menjelaskan fenomena akuntansi yang diamati. Sejak saat itulah, melalui buku karya mereka, Watts dan Zimmer­man (1986) memperkenalkan metodologi positif yang mewarnai penelitian-penelitian akuntansi hingga saat ini. Dengan pendekatan positif seperti ini, diharapkan teori akuntansi menjadi steril dari nilai (value), karena teori akuntansi positif diasumsikan akan mengajukan pernyataan-pernyataan (proposisi) yang netral atau bebas dari per­timbangan-pertimbangan subyektif. Berbeda dengan teori akuntansi normatif, teori akuntansi positif tidak bertujuan untuk menilai apakah standar akuntansi tertentu lebih baik atau lebih bermanfaat dibandingkan dengan standar akuntansi yang lain.

Benarkah teori akuntansi positif bebas nilai?Blaugh (1992) menyatakan bahwa teori normatif berkepentingan terhadap nilai

(realm of values), sedangkan teori positif berkepentingan terhadap fakta (realm of fact). Selanjutnya, Blaugh memi-sahkan kedua teori tersebut berdasarkan kata-kata kunci pembeda yang dapat diringkas sebagai berikut:

Sebagaimana dikatakan oleh Jensen (1976), bahwa “teori” dalam akuntansi, ti­dak lebih dari proposisi-proposisi. Berdasarkan pembedaan kedua bentuk teori yang dikemukakan oleh Blaugh (1992) di atas, jelas bahwa teori akuntansi normatif akan berbentuk proposisi-proposisi yang dihasilkan melalui penalaran-penalaran logis. Hal ini juga dinyatakan secara tegas oleh Hendriksen (1982: 57) yang mendefinisi­kan teori akuntansi sebagai suatu penalaran logis dalam bentuk norma (seperangkat prinsip) yang luas, yang (1) memberikan rerangka acuan umum untuk melakukan penilaian terhadap praktik akuntansi yang sedang berjalan, dan (2) memberi arah pengembangan prosedur dan praktik akuntansi yang baru.

17

Page 3: Isu Bebas Nilai

TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

Bagi pihak yang melakukan penalaran, proposisi-proposisi tersebut dianggap logis karena sesuai dengan tujuan (dalam hal ini tujuan akuntansi) yang telah dis­epakati untuk dicapai. Karena tujuan akuntansi yang telah disepakati tersebut di­tentukan secara subyektif, maka penalaran yang dilakukan pun bersifat subyektif, sehingga proposisi-proposisi dalam teori akuntansi normatif mengandung berbagai kepentingan yang terakomodasi selama proses penalaran. Dengan demikian, teori akuntansi normatif sesungguhnya sarat dengan kepentingan atau sarat dengan nilai (value).

Untuk mengeliminasi berbagai kepentingan atau nilai (value) yang terkandung dalam teori akuntansi normatif, Watts dan Zimmerman (1986) mengembangkan teori akuntansi dengan menggunakan pendekatan yang berakar pada positivism. Pendeka­tan yang dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pentingnya penelitian empiris untuk menjustifikasi berbagai metoda atau praktik akuntansi yang sekarang berlaku. Melalui pendekatan positivism, penelitian- penelitian empiris akuntansi diarahkan untuk mempelajari dampak atau pengaruh penerapan standar akuntansi tertentu dalam dunia nyata. Selanjutnya, hasil-hasil penelitian empiris akuntansi tersebut akan dituangkan dalam bentuk berbagai per­nyataan atau proposisi, dan proposisi-propisisi inilah yang kemudian disebut dengan teori akuntansi positif. Dengan demikian, “teori akuntansi” dengan label “positif’ ti­dak lebih dari proposisi-proposisi yang dibangun berdasarkan hasil penelitian em­piris, bukannya proposisi yang dibangun dari hasil penalaran logis seperti dalam “teori akuntansi” berlabel “normatif’ .

Teori akuntansi positif mengemukakan proposisi-proposisi yang tidak lain adalah deskripsi tentang praktik-praktik akuntansi dalam dunia nyata - misalnya: (1) karakteristik entitas yang memilih untuk menerapkan metoda akuntansi tertentu; dan (2) dampak penerapan standar akuntansi terhadap perilaku manusia atau en­titas lain yang berkepentingan terhadap informasi akuntansi. Berbeda dengan teori akuntansi normatif, teori akuntansi positif mengemukakan proposisi-proposisi yang tidak bertujuan untuk menilai apakah standar akuntansi tertentu lebih baik atau lebih bermanfaat dibandingkan dengan standar akuntansi yang lain. Karena dasar penyusunan proposisinya adalah fakta (bukan value) yang diperoleh secara obyektif (bukan subyektif), dan dasar pengujian validitas proposisinya adalah Science (bukan art) [lihat Blaugh, 1992], maka teori akuntansi positif dipandang sebagai teori akun­tansi yang bebas nilai (value free). Tetapi, apakah anggapan bahwa teori akuntansi positif bebas dari nilai (value free) itu benar? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dijelaskan melalui evaluasi atau analisis berikut.

Pertama, teori akuntansi positif terdiri dari proposisi-proposisi yang dibangun dari hasil riset empiris yang sebagian besar (kalau tidak dapat dikatakan seluruhnya) menggunakan pendekatan positivistik. Riset empiris akuntansi dengan pendekatan positivistik selalu berangkat dengan berpijak pada standar akuntansi yang telah ada, karena tujuan utama riset akuntansi ini adalah berusaha untuk menyelidiki dam­pak dari penerapan standar akuntansi tersebut dalam dunia nyata. Sementara itu, standar akuntansi yang ada dan diberlakukan sekarang ini merupakan hasil per­ekayasaan (engineering) dari teori akuntansi normatif. Dengan berpijak pada standar akuntansi yang sudah ada, jelas bahwa riset akuntansi positivistik dilakukan dengan menggunakan mindset teori akuntansi normatif. Karena teori akuntansi normatif di- yakini tidak bebas nilai, maka teori akuntansi positif yang dibangun dari hasil riset akuntansi positivistik tersebut dengan sendirinya menjadi tidak mungkin bebas dari nilai.

18

Page 4: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

Kedua, akuntansi keuangan yang dikenal luas sekarang ini dikembangkan atas dasar premis bahwa investor dan kreditor adalah pihak yang dituju oleh informasi akuntansi (Suwardjono, 2005:29). Teori akuntansi normatif mengemukakan propo­sisi bahwa informasi akuntansi tersebut merupakan masukan dalam pengambilan keputusan investor dan kreditor, yang disampaikan melalui media laporan keuangan. Efek komunikasi informasi akuntansi yang ingin dicapai adalah agar pihak yang ditu­ju (investor dan kreditor) bersedia menanamkan sumberdaya (dana) dalam kegiatan ekonomik yang dibutuhkan oleh masyarakat melalui perusahaan. Karena perilaku investor dan kreditor menjadi sasaran untuk dipengaruhi, maka proposisi dalam teori akuntansi normatif juga menyatakan bahwa pesan (message) tentang perusahaan yang harus disampaikan melalui informasi akuntansi adalah profitabilitas, likuiditas, dan solvabilitas. Proposisi-proposisi teori akuntansi normatif yang secara nyata tidak bebas nilai tersebut (karena berpihak pada kepentingan stakeholder tertentu dan jenis informasi tertentu pula), selanjutnya digunakan sebagai dasar operasional ri- set akuntansi positif. Akibatnya, seluruh riset akuntansi positif berkutat pada obyek stakeholder tertentu (manajemen, investor dan kreditor) dan memusatkan perhatian pada bidang observasi tertentu (profitabilitas, likuiditas dan solvabilitas). Oleh karena itu, proposisi-proposisi yang dihasilkan dari riset akuntansi yang kemudian digu­nakan untuk membentuk teori akuntansi positif menjadi tidak bebas dari nilai, sama halnya dengan proposisi-proposisi dalam teori akuntansi normatif.

Ketiga, riset akuntansi dengan pendekatan positivistik dilakukan oleh subyek (peneliti) dengan cara mengambil jarak dengan obyek (yang diteliti), berdasarkan ar- gumentasi agar obyek dapat dipandang secara obyektif. Untuk menjamin obyektivitas hasil riset, maka dimensi-dimensi yang mewakili obyek harus dapat diukur atau di- kuantifikasi oleh subyek. Hardiman (2003a:47) menyatakan bahwa suatu obyek di- anggap obyektif kalau pemikiran lebih dari satu subyek adalah sama dalam meman­dang sebuah obyek. Berdasarkan penjelasan Hardiman ini, dalam konteks akuntansi, dapat dikatakan bahwa hasil-hasil riset akuntansi adalah obyektif jika para peneliti mengukur variabel-variabel akuntansi yang diobservasi dengan metoda pengukuran yang sama. Padahal, dalam kenyataannya, terhadap variabel akuntansi yang sama, para peneliti seringkali menggunakan indikator atau proksi (proxy) yang berbeda; bahkan untuk indikator (proksi) yang sama, para peneliti menerapkan metoda pengu­kuran yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan indikator (proksi) varia­bel penelitian dan metoda pengukurannya merupakan proses subyektif, didasarkan pada pertimbangan dan kepentingan tertentu, dan karenanya, proses riset akuntansi itu sendiri tidak dapat dikatakan bebas nilai. Demikian pula, proses pengambilan sampel, pemilihan alat analisis, atau lainnya. Karena proses risetnya sudah tidak bebas nilai, maka hasil riset yang kemudian menjadi proposisi-proposisi dalam teori akuntansi positif juga tidak akan bebas dari nilai.

Keempat, substansi pengembangan teori akuntansi positif adalah untuk meng­hasilkan proposisi yang berisi penjelasan tentang “fenomena” atas aplikasi teori akuntansi normatif. Sebagai con-toh, teori akuntansi normatif menyatakan bahwa “akuntansi harus dilakukan dengan basis akrual” . Sementara itu, teori akuntansi positif mengemukakan proposisi (sebagai hasil riset empiris) bahwa “respon inves­tor terhadap informasi arus kas adalah lebih besar dibandingkan informasi laba” . Proposisi dari teori akuntansi positif tersebut sesungguhnya mengandung kepent­ingan, yaitu secara tidak langsung ingin memberikan “penilaian” bahwa informasi laba akrual tidak lebih baik maknanya bagi investor dibandingkan dengan informasi arus kas. Selan-jutnya, “penilaian” yang diberikan oleh teori akuntansi positif memi­

19

Page 5: Isu Bebas Nilai

TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

liki kepentingan (walaupun tersembunyi) untuk “mendukung” atau “menolak” teori akuntansi normatif. Dalam konteks ini pun, sudah jelas bahwa teori akuntansi positif tidak bebas dari nilai.

Kelima, teori akuntansi positif sangat diharapkan oleh Watts dan Zimmerman (1978) dapat digunakan sebagai dasar penetapan standar akuntansi, terutama untuk memastikan bahwa nor-ma yang diberikan oleh teori akuntansi normatif memang benar atau layak untuk diterapkan dalam dunia nyata. Walaupun proposisi teori akuntansi positif bersifat deskriptif (bukan pres-kriptif atau normatif), tetapi kalau proposisi tersebut akhirnya digunakan untuk mendukung standar akuntansi, maka dengan sendirinya sifat proposisi tersebut berubah dari deskriptif menjadi normatif. Karena proposisi-proposisi normatif selalu mengandung kepentingan atau memiliki tujuan tertentu, maka proposisi teori akuntansi positif menjadi tidak bebas dari nilai.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa “teori positif’ [termasuk teori akuntansi positif] yang diklaim bebas nilai oleh Blaugh (1992) tidaklah benar. Kenyataannya, ti­dak ada ilmu penge-tahuan (sosial), teori (sosial), atau apapun namanya, yang bebas nilai, karena ilmu pengetahuan dan teori (sosial) tersebut juga tidak obyektif. Teori akuntansi yang obyektif dan bebas nilai hanya bisa dicapai jika teori akuntansi terse­but terpisah dari praxis, padahal memisahkan teori akuntansi dari praxis merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Klaim bahwa teori akuntansi positif adalah obyektif dan bebas nilai (value free) tidak lebih dari sebuah ideologi untuk me­nutupi kenyataan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardiman (2003b:156-157) bahwa:

“Obyektivisme segera memisahkan teori dari praxis, pengetahuan dari kehidu­pan, ilmu pengetahuan dari etika, karena pengetahuan menjadi barang obyek­tif yang netral. Fakta itu berada ‘di sana’, merupakan barang asing di hadapan subyek yang sebetulnya turut membentuknya. Penyingkiran subyek pengeta­huan menyembunyikan peranan subyek dalam menentukan obyeknya, yakni: fakta itu. Jika ‘fakta’ itu masyarakat, masyarakat yang digambarkan berada ‘di sana’, barang obyektif yang tidak lagi dikenali asal-usulnya. Padahal gambaran kenyataan sosial itu juga dilakukan oleh subyek. Ilmu-ilmu budaya yang jatuh pada obyektivisme tak lebih dari ideologi untuk menutupi kenyataan sesung­guhnya atau membiarkan status quo dengan alasan obyektivitas”

Teori akuntansi positif yang dibangun dari hasil riset empiris dengan pendeka­tan positivism, di-anggap obyektif dan bebas nilai semata-mata berdasarkan propo- sisi-proposisinya yang logis sesuai dengan fakta. Sementara itu, proses penelitiannya sendiri luput dari refleksi peneliti. Padahal justru dalam proses penelitian itu tampak adanya kaitan antara pengetahuan yang diperoleh dengan tindakan-tindakan. Karena proses penelitian luput dari refleksi peneliti, maka teori akuntansi positif sebagai ha­sil dari suatu proses menjadi terpisah dari asal-usulnya. Jadi, dalam konteks sumber teori, makin jelas bahwa teori akuntansi positif yang obyektif dan bebas nilai adalah nonsense. Hal ini konsisten dengan pendapat Hardiman (2003b:159) bahwa:

“ ...kenyataan bukanlah ‘fakta’ akhir seperti dimengerti oleh positivisme. Ke­nyataan adalah sesuatu yang independen terhadap pikiran aktual kita masing- masing. Jadi, kenyataan tidak sama dengan apa yang sedang kita pikirkan. Di lain pihak, jawaban yang final - yaitu ‘yang nyata’ - tetap juga ditentukan oleh pikiran aktual kita. Pikiran aktual kita berusaha memahami kenyataan yang

20

Page 6: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

independen itu dengan melenyapkan kesangsian demi kesangsian yang mun­cul dalam proses penelitian...”

“Jurgen Habermas (lihat Hardiman 2003b:214) menyatakan bahwa “ ...dalam kekuatan refieksi diri, pengetahuan dan kepentingan adalah satu” .

Mitos Dalam Akuntansi

Mitos (berasal dari kata Yunani mutos, yang berarti cerita) biasanya dipakai untuk merujuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebena­ran historis (Sunardi, 2004:88), dan tidak memiliki kebenaran rasional (Jamil, 2005: 181). Mitos juga berarti angan-angan sosial dan cita-cita kolektif (Jamil 2005:181) yang berusaha untuk menggerakkan manusia agar melakukan tindakan tertentu. Cerita semacam itu (mitos) dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkun­gan dan dirinya (Sunardi, 2004:88). Sebagai suatu angan-angan sosial dan cita-cita kolektif, mitos dapat dikatakan sebagai suatu media untuk melayani tujuan tertentu (Stiglitz, 2006:283).

Dalam akuntansi, mitos-mitos tersebut adalah berupa asumsi-asumsi dasar atau postulat-postulat yang digunakan dalam membangun struktur teori akuntansi. Postulat akuntansi (accounting postulâtes) merupakan aksioma - yaitu penyataan yang tidak perlu pembuktian; berterima umum berdasarkan kesesuaiannya dengan tujuan pelaporan keuangan; dan menggambarkan lingkungan (ekonomi, politik, so­siologi dan hukum) di mana akuntansi beroperasi (Belkaoui, 2000). Postulat-postulat tersebut adalah economic entity, going concern, dan monetary units. (Belkaoui, 2004; dan Wolk et al., 1992).

Asumsi-asumsi dasar atau postulâtes tersebut dapat dikatakan sebagai mitos, karena asumsi atau postulâtes tersebut pada hakikatnya merupakan angan-angan atau cita-cita kolektif para teoritisi akuntansi agar manusia bersedia menerima “ke­benaran” akuntansi seperti apa adanya. Padahal, asumsi dasar atau postulâtes itu sendiri sesungguhnya tidak memiliki kebenaran historis maupun kebenaran rasion­al. Secara arbriter, postulate dalam akuntansi didefinisikan sebagai pernyataan yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya, karena memang pernyataan itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Postulate dalam akuntansi juga dikarakteristikkan seb­agai pernyataan yang berterima umum sesuai dengan tujuan laporan keuangan. Hal ini tidak memiliki kebenaran rasional, karena penalaran logisnya sudah dibalik, yaitu “tujuan” menentukan postulate, bukannya postulate menentukan tujuan.

Dalam hal dan situasi apa pun, suatu “asumsi dasar” merupakan pilihan-pili­han subyektif manusia yang bertujuan agar semua tindakan yang dilakukan mem­peroleh pembenaran. Sebagai contoh, dalam riset akuntansi berbasis pasar modal dengan pendekatan positivism, peneliti selalu berangkat dengan asumsi dasar bahwa “pasar modal adalah efisien” dan “investor adalah sophisticated yang selalu bertin- dak secara rasional” . Asumsi yang demikian itu merupakan mitos, karena asumsi itu dibangun untuk melayani tujuan atau kepentingan tertentu, tanpa mempedu- likan kebenaran historisnya. Walaupun demikian, asumsi tersebut selalu dijadikan pijakan oleh para positivist dalam melakukan penelitian, agar simpulan penelitian yang mereka hasilkan dapat diterima dan memperoleh justifikasi, baik dari orang lain maupun dirinya sendiri.

Berkaitan dengan uraian di atas, tampaknya penting untuk merenungkan per­nyataan Etzioni (1992:1) berikut:

21

Page 7: Isu Bebas Nilai

TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

“...ilmuwan sosial maupun intelektual menggunakan rangkaian asumsi yang luas cakupannya untuk mengorganisasi upaya mereka memahami dunia kita, tujuan yang kita kejar, cara kita memilih sarana untuk memajukan tujuan kita, dan cara kita berhubungan satu sama lain dalam melakukannya, apakah sebagai individu atau bersama-sama. Ketika asumsi-asumsi ini diguna-kan untuk merumuskan teori-teori dan kebijakan-kebijakan yang jangkauan etis dan empiris-nya terbatas, studi tentang dunia kita menderita, demikian pula upaya-upaya untuk menangani penyakitnya...”

Walaupun asumsi-asumsi merupakan pilihan subyektif manusia, asumsi- asumsi tersebut seharusnya dapat dibuktikan kebenarannya secara obyektif sesuai dengan konteks asumsi tersebut dibuat. Dalam teori gravitasi Newton misalnya, ber­laku proposisi bahwa “setiap benda yang dilempar ke atas pasti akan jatuh ke bumi” . Proposisi ini berlaku di bawah asumsi bahwa pelemparan benda tersebut dilakukan pada ruang yang tidak hampa udara. Situasi yang diasumsikan oleh Newton terse­but dapat dibuktikan keberadaannya, yaitu “ruang yang tidak hampa udara” dan “ruang yang hampa udara”. Kedua situasi tersebut memang ada dalam dunia nyata, sehingga asumsi yang dikemukakan oleh Newton tidak sekedar mitos atau cerita fiktif, dan teori Newton yang dibangun di atas pijakan asumsi itu dapat dibuktikan kebenarannya.

Demikian pula asumsi-asumsi dasar atau postulate dalam akuntansi, seha­rusnya dapat dibuktikan kebenarannya dalam dunia nyata, sehingga tidak sekedar berbentuk proposisi-proposisi arbitrer yang digunakan sebagai alat untuk memper­mudah pencapaian tujuan akuntansi. Selama asumsi atau postulate tersebut didefi­nisikan sebagai pernyataan yang tidak perlu pembuktian, maka asumsi atau postu­late tersebut hanyalah menjadi himpunan mitos.

Mitos Tentang Economic Entity

Economic entity postulate (postulat entitas ekonomik) menyatakan bahwa se­tiap perusahaan merupakan unit ekonomik yang terpisah dari pemiliknya maupun dari entitas lain (Wolk et al., 1992). Entity postulate merumuskan bidang perhatian akuntansi dan bertujuan untuk membatasi jumlah obyek, peristiwa ekonomi dan atribut peristiwa yang harus dimasukkan dalam laporan keuangan. Dengan entity postulate, perusahaan dimetaforakan sebagai individu yang hidup terpisah dengan individu lainnya. Berdasarkan postulat ini, akuntan harus dapat membedakan an­tara transaksi perusahaan dan transaksi pemilik; serta akuntan harus melaporkan transaksi perusahan, bukannya melaporkan transaksi pemilik.

Asumsi atau postulat economic entity tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah mitos - yang didefinisikan oleh Sunardi (2004:88) sebagai cerita fiktif yang tidak memiliki kebenaran historis. Dikatakan tidak memiliki kebenaran historis, karena asumsi tersebut bersifat serampangan (arbitrer) yaitu memisahkan keberadaan pe­rusahaan (sebagai individu) dari konteks entitas lainnya, khususnya masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sebagai akibatnya, asumsi atau postulat economic entity yang digunakan dalam akuntansi selama ini menghasilkan prosedur akuntansi yang menggambarkan kekayaan bersih (net assets) perusahaan sebagai kekayaan bersih pemilik (pemegang saham). Kekayaan bersih pemegang saham tersebut tergambar sebagai selisih antara aktiva (assets) dan kewajiban (liabilities) perusahaan. Sebagai sebuah mitos, dalam konteks ini jelas bahwa postulat economic entity dikonstruksi

22

Page 8: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

untuk melayani kepentingan tertentu, yaitu kepentingan pemegang saham. Hal ini konsisten dengan pernyataan Stiglitz (2006:283), bahwa mitos merupakan media un­tuk melayani tujuan tertentu.

Atas dasar mitos economic entity, kinerja perusahaan semata-mata didefinisi­kan sebagai perubahan kekayaan bersih (ekuitas) pemegang saham, sedangkan berb­agai aktivitas yang menyebabkan perubahan kekayaan bersih tersebut berada di luar perhatian akuntansi. Peningkatan kekayaan dan kesejahteraan pemegang saham menjadi tolok ukur prestasi manajer dalam mengelola perusahaan (sehingga ia layak untuk diberi imbalan), meskipun upaya manajer untuk meningkatkan kesejahteraan pemegang saham tersebut menimbulkan externality yang besar pada lingkungan dan masyarakat.

Karena lingkungan dan masyarakat dianggap bukan bagian dari perusahaan, maka externality yang terjadi pada lingkungan dan masyarakat tidak perlu dicatat dan dilaporkan oleh akuntansi. Hal ini dibenarkan oleh mitos economic entity yang sejak awai menyisipkan pesan bahwa akuntan harus mampu membedakan antara transaksi perusahaan dan yang bukan transaksi perusahaan. Tetapi pesan terse­but dilanggar, karena dalam kenyataannya, setiap perubahan kesejahteraan peme­gang saham (yang dianggap terpisah dari perusahaan) selalu dicatat dan dilaporkan oleh akuntansi. Alasannya, perubahan kesejahteraan pemegang saham tersebut ter­jadi mengikuti transaksi-transaksi perusahaan. Fakta semacam ini, secara implisit, merupakan suatu bentuk pengakuan bahwa sesungguhnya perusahaan tidak per­nah terpisah dengan pemegang saham, karena transaksi perusahaan pada hakikat- nya adalah transaksi pemegang saham (pemilik perusahaan) yang pelaksanaannya diwakilkan kepada manajer. Dengan demikian, semakin nyata bahwa asumsi atau postulat economic entity tidak lebih dari sebuah mitos - sebuah cerita fiktif yang ti­dak memiliki kebenaran historis, dan tidak pula memiliki kebenaran rasional. Mitos economic entity akhirnya digunakan sebagai dasar untuk melegitimasi penghindaran tanggungjawab akuntansi secara sosial, dan mendorong akuntansi konvensional den­gan konsep “status quo”-nya untuk lebih mengedepankan optimalisasi kesejahteraan pemegang saham dan perlindungan terhadap kepentingan kreditor - yang semuanya merupakan pihak-pihak pemilik modal.

Ketika postulat economic entity digunakan untuk menjustifikasi bahwa lapo­ran keuangan merupakan media pertanggungjawaban manajemen atas sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, maka dengan sendirinya penyusunan dan penyajian laporan keuangan lebih diarahkan untuk kepentingan pemegang saham dan kreditor, dengan mengabaikan kepentingan stakeholder yang lain. Berkaitan dengan hal ini, Raar (2004) menyatakan bahwa:

“...perusahaan adalah bagian dari komunitas (masyarakat). Perusahaan meru­pakan sebuah institusi pembuat keputusan yang berpengaruh bagi lingkungan­nya. Dalam hal ini, perusahaan dapat dikatakan lebih berperan daripada para pemegang saham. [Oleh karena itu) manajer sebagai pengelola perusahaan, bertanggungjawab atas kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi peran peru­sahaan dalam masyarakat. Kebijakan yang diambil, di samping harus dapat mengatasi masalah-masalah keuangan, juga harus mampu mengatasi masalah sumber daya alam, lingkungan dan masyarakat yang diperlukan untuk men­dukung strategi dan tujuan perusahaan. Hasil dari keputusan itu pada akh­irnya juga akan berhubungan dengan kepentingan para pemegang saham....”

23

Page 9: Isu Bebas Nilai

TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

Pernyataan Raar (2004) tersebut pada hakikatnya mengingatkan bahwa postu­lat accounting entity selama ini telah menyebabkan perusahaan menjadi teralienasi dari lingkungan dan masyarakatnya. Oleh karena itu perusahaan [manajemen] se­harusnya bertanggungjawab atas akuntabilitas kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan dan masyarakat, bukannya terbatas pada kebijakan yang berkai­tan dengan pemuasan kepentingan pemegang saham dan kreditor.

Mitos economic entity memang telah mendorong perusahaan untuk mengabai­kan accountability dan responsibility atas nilai lingkungan, dan memisahkannya dari aktivitas ekonomik (bisnis) yang dijalankan. Hal ini terjadi karena mitos economic entity memetaforakan perusahaan sebagai makhluk ekonomi (homo-economicus) yang selalu dianggap bertindak untuk memaksimumkan utilitasnya. Dengan prinsip utilitarian, perusahaan (sebagai homo-economicus) memilih sarana “terbaik” untuk mencapai tujuan pribadinya.

Melihat adanya keterpisahan antara perusahaan dengan entitas lainnya, Chris­tie (2004) menyatakan bahwa teori stakeholder sebenarnya merupakan manifestasi dari teori tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate responsibility) yang lebih luas, dan corporate responsibility inilah yang selanjutnya menjadi pijakan keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability). Christie (2004) mendefinisikan corporate sus­tainability sebagai “pengembangan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan seka­rang tanpa melemahkan kemampuan pemenuhan kebutuhan di masa depan”.

Ada dua model teoritis yang menjelaskan hubungan corporate sustainability dan tanggungjawab sosial perusahaan. Pertama, Wempe dan Kaptein (2002) [lihat Christie, 2004] memandang corporate sustainability sebagai tujuan, sedangkan tang­gungjawab sosial perusahaan sebagai langkah intermediasi (jembatan) untuk men­capai tujuan (corporate sustainability) tersebut. Corporate sustainability dapat di­evaluasi melalui laporan triple-bottom-line - yang mempertimbangkan aspek laba, manusia (masyarakat), dan lingkungan.

Kedua, Linnanen dan Panapanaan (2002) [lihat Christie, 2004] memandang tanggungjawab sosial perusahaan sebagai serangkaian corporate sustainability. Dalam model ini, tanggungjawab perusahaan mencakup aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Corporate sustainability berhubungan dengan “penciptaan nilai, manaje­men lingkungan, sistem produksi ramah lingkungan, dan manajemen human capital” sedangkan tanggungjawab sosial perusahaan berkaitan dengan transparansi, dialog stakeholder dan sustainability report.

Mitos Tentang Going Concern

Going concern postulate (postulat keberlanjutan usaha) disebut juga sebagai continuity postulate (postulat kontinyuitas). Postulat ini menyatakan bahwa entitas akuntansi (perusahaan) akan terus beroperasi untuk menjalankan aktivitasnya se­lama periode waktu yang tidak terbatas, dan tidak diharapkan untuk dilikuidasi. Ber­dasarkan postulat ini, laporan keuangan perusahaan harus disusun secara periodik untuk menggambarkan posisi keuangan perusahaan yang sifatnya sementara, dan hanya merupakan bagian dari seri laporan yang berkelanjutan.

Postulat going concern membenarkan penggunaan historical cost untuk pe­nilaian aktiva, membenarkan adanya depresiasi dan amortisasi, serta memberikan justifikasi pada periodisasi akuntansi dan penggunaan basis akrual (accruals) dalam akuntansi.

24

Page 10: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

Postulat going concern digunakan sebagai dasar pertimbangan pada saat pe­nyusunan laporan keuangan atau pada saat akuntansi menghadapi berbagai pilihan dalam proses penyusunan standar akuntansi karena kenyataan bahwa kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang sifatnya tidak pasti. Dalam menghadapi ketidakpastian kelangsungan usaha, akuntansi menganut konsep ini atas dasar logi- ka bahwa harapan secara umum atau secara normal, pendi-riaan perusahaan adalah untuk berlangsung terus, dikembangkan, dan bukan untuk dibubarkan sewaktu- waktu. Suwardjono (2005:223) menjustifikasi validitas asumsi going concern ini ber- dasar-kan observasinya bahwa sangat banyak perusahaan yang hidup cukup lama.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa suatu asumsi tidak hanya diban­gun atas dasar penalaran logis, tetapi harus dapat dibuktikan secara empiris. Kare­na, jika asumsi itu tidak dapat dibuktikan, asumsi-asumsi tersebut tidak lebih dari sebuah mitos, sebuah cerita fiktif yang jauh dari kebenaran. Jika asumsi yang tidak benar dijadikan sebagai dasar untuk melakukan tindakan, maka tindakan itu sendiri menjadi tidak benar. Asumsi going concern bagi suatu entitas (perusahaan) adalah asumsi yang sulit untuk dibuktikan kebenarannya, kecuali hanya melalui penalaran seperti yang dinyatakan oleh Suwardjono tersebut di atas. Karena asumsi going con­cern perusahaan tidak dapat diuji dan dibuktikan kebenarannya, maka asumsi ini pun menjadi sebuah mitos, dan setiap mitos selalu membawa kepentingan tertentu (Stiglitz, 2006:283). Kepentingan di balik mitos going concern ini sudah sangat jelas, yaitu untuk memperoleh pembenaran tentang pentingnya periodisasi akuntansi, karena tanpa periodisasi, fungsi akuntansi (terutama pencatatan dan pelaporan) tidak akan berjalan. Dengan mitos going concern, perilaku maksimalisasi laba se­tiap waktu bagi perusahaan merupakan suatu keharusan, karena tanpa maksimal­isasi laba tersebut, perusahaan tidak akan mampu mempertahankan kelangsunganhidupnya. . . .

Salah satu konsep yang dilegitimasi oleh mitos going concern adalah periodisasi akuntansi. Periodisasi akuntansi ini memiliki konsekuensi. Horison waktu yang di­penggal-penggal, cenderung turut memutus keterkaitan antara peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi sepanjang horison waktu tersebut. Akibatnya, gambaran tentang kinerja perusahaan menjadi menyesatkan. Sebagai contoh, laba besar dalam suatu perioda merupakan indikator keberhasilan manajemen dalam perioda terse­but, padahal laba yang besar itu diperoleh dari hasil penjualan yang didukung oleh kampanye (promosi) produk secara besar-besaran pada perioda-perioda sebelumnya. Contoh lain, kerugian yang besar dalam suatu perioda, mungkin diakibatkan oleh peristiwa perioda-perioda sebelumnya, misalnya pada perioda sekarang banyak ter­jadi retur penjualan besar-besaran akibat banyaknya produk rusak atau cacat yang dihasilkan dalam perioda-perioda sebelumnya. Kesalahan dalam evaluasi kinerja pe­riodik seperti dicontohkan di atas merupakan sebuah ketidakadilan dalam akuntansi. Namun demikian, Hendriksen dan Breda (2000:157) mendukung konsep periodisasi akuntansi ini dengan menyatakan bahwa:

“ ...pentingnya konsep ini berdasar pada kenyataan bahwa laba relatif mudah diukur sepanjang seluruh masa hidup suatu proyek.... sangat sulit untuk me­nentukan laba sebelum akhir proyek. Pertimbangkan, dengan cara ilustrasi, bajak laut yang berlayar dari London ke Dunia Baru. Ketika kapal kembali, total laba untuk perjalanan itu adalah nilai kas dari penjualan barang ram­pasan dikurangi jumlah yang diinvestasikan mula-mula dikurangi penyusutan kapal. Tetapi, berapakah pendapatan yang diperoleh bajak laut itu jika tanggai

25

Page 11: Isu Bebas Nilai

TEAM, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

31 Desember, yaitu akhir tahun keuangan, kebetulan jatuh pada waktu kapal masih di tengah laut Atlantik?”

Mitos going concern juga digunakan untuk melegitimasi konsep biaya perolehan (cost) dalam akuntansi. Walaupun horison waktu yang tidak pasti telah dipenggal- penggal sehingga menjadi penggalan waktu yang terukur, biaya perolehan (cost) masih digunakan sebagai pengukur nilai sumberdaya yang dimiliki perusahaan, sehingga potensi sumberdaya yang dimiliki perusahaan pada suatu titik waktu tidak mere­fleksikan potensi yang sebenarnya pada saat itu. Padahal, sesuai dengan konsepsi semula, periodisasi dimaksudkan agar akuntansi dapat melaporkan perkembangan potensi perusahaan secara periodik tanpa menunggu perusahaan itu dilikuidasi (karena memang dimitoskan bahwa perusahaan tidak akan dilikuidasi). Ternyata, yang dimaksudkan dengan “perkembangan potensi perusahaan” adalah “sisa potensi yang masih dimiliki perusahaan” dari perioda ke perioda. Ini adalah bentuk ketidak­adilan lain yang dijustifikasi oleh mitos going concern.

Konsep lain yang dihasilkan oleh mitos going concern - terutama diturunkan dari konsep periodisasi akuntansi - adalah konsep akrual (accruals). Konsep akrual dalam akuntansi menyatakan bahwa pendapatan dan beban diakui pada saat ter­jadinya, tanpa mempersoalkan apakah telah terjadi arus kas masuk atau arus kas ke­luar. Konsep akrual didasari oleh perlunya ketepatan penandingan (matching) antara pendapatan dan beban untuk menilai kinerja perusahaan. Matching antara pendapa­tan dan beban dianggap tepat jika didasarkan atas waktu timbulnya pendapatan dan beban tersebut, dan sebaliknya, dianggap tidak tepat jika didasarkan atas arus kas yang terjadi. Namun demikian, konsep akrual justru menimbulkan banyak konsekue­nsi. Sebagai contoh, transaksi penjualan kredit telah diakui sebagai pendapatan pada beberapa perioda sebelumnya, sehingga telah menjadi bagian kinerja yang dievaluasi pada perioda tersebut. Tetapi, karena proses penjualan kredit tersebut tidak selektif, maka piutang yang timbul atas penjualan tersebut menjadi tidak tertagih dan harus dihapuskan dalam perioda sekarang, sehingga kinerja sekarang dilaporkan buruk. Hal sebaliknya juga dapat terjadi akibat konsep akrual ini.

Dengan adanya berbagai konsekuensi atas mitos going concern tersebut, Hen- driksen dan Breda (2000:156) secara bijak mengingatkan bahwa:

“Postulat going concern sebaiknya tidak ditafsirkan sebagai asumsi status quo, atau pembenaran untuk biaya historis, atau bahkan konsep manfaat dalam penilaian aktiva, akan tetapi, ini adalah asumsi yang relevan, yang mengarah pada penyajian informasi mengenai sumberdaya dan komitmen dan kegiatan operasional, seperti penjualan barang dan jasa selama beberapa tahun.... Go­ing concern mengasumsikan beberapa hubungan antara masa lalu dan masa datang, meskipun tidak harus masa datang merupakan pengulangan masa lalu”

Mitos Tentang Monetary Units

Asumsi atau postulate ketiga yang menunjukkan prinsip akuntansi berterima umum adalah asumsi unit moneter (monetary units), yang menyatakan bahwa uang adalah denominator umum dalam aktivitas ekonomi dan dianggap sebagai dasar yang tepat untuk pengukuran dan analisis dalam akuntansi. Postulat monetary units disebut juga unit of measure postulate. Postulat ini menyatakan bahwa akuntansi

26

Page 12: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

adalah proses pengukuran dan proses pengkomunikasian aktivitas perusahaan yang diukur dalam unit moneter (satuan uang). Postulat monetary units juga menyatakan bahwa satuan uang yang digunakan sebagai unit pengukur adalah stabil sepanjang waktu atau perubahannya tidak signifikan.

Di bawah lindungan postulat monetary unit, akuntansi hanya menggunakan ni- lai uang sebagai satu-satunya unit pengukuran, karena nilai uang dianggap sebagai unit pengukur yang paling obyektif, sehingga nilai unit pengukur lainnya dimarjinal- kan. Postulat ini dapat dipandang sebagai mitos, karena argumentasi bahwa nilai uang merupakan unit pengukur yang obyektif dan andai tidak memiliki kebenaran historis. Jika unit moneter dimaksudkan untuk mengukur kekayaan, nilai uang bu­kanlah satu-satunya alat pengukur yang obyektif dan andai, karena masih banyak unit pengukur lain yang lebih obyektif dan lebih andai dibandingkan unit uang. Seb­agai contoh, jumlah kekayaan dapat diungkapkan dalam bentuk pernyataan 3 buah mobil” , “2 buah rumah”, “ 100 kilogram beras” , “20 gram emas” , “300 meter persegi tanah” dan sebagainya, tanpa harus menyatakan nilai uangnya. Pernyataan jumlah kekayaan berdasarkan unit pengukur seperti kilogram, gram, buah atau meter terse­but sesungguhnya lebih obyektif dan andai dibandingkan dengan unit uang, karena kebenaran pengukurannya dapat diamati secara fisik.

Dengan mitos monetary unit, suatu peristiwa yang tidak dapat diukur dalam ni­lai uang tidak akan pernah diakui dalam sistem akuntansi dan tidak akan pernah dil­aporkan dalam laporan keuangan. Menurut Neu (2002), moneterisasi suatu peristiwa hanyalah bersifat instrumental, dan segala sesuatu yang berifat instrumental akan menimbulkan konsekuensi tertentu (Christie, 2004). Sebagai contoh, data tentang jumlah karyawan yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja tidak akan diproses dalam sistem akuntansi, dan tidak akan dilaporkan dalam laporan keuangan, karena peristiwa meninggalnya karyawan tersebut tidak dapat diukur dengan nilai uang. Na­mun demikian, sistem akuntansi justru akan mencatat dan melaporkan penurunan profitabilitas perusahaan akibat kecelakaan kerja dan meninggalnya karyawan terse­but, yaitu melalui pengakuan penurunan produksi dan penjualan, timbulnya biaya rehabilitasi fasilitas pabrik, biaya perawatan medis, biaya santunan untuk keluarga korban, dan sebagainya. Dalam konteks ini, mitos monetary unit telah mengalienasi akuntan (dan akuntansi) dari citra dan fitrahnya, serta menempatkan mereka pada lingkungan yang materialistik, di mana semua peristiwa harus diukur dan dinilaidengan uang. .

Salah satu konsekuensi atas keberadaan akuntan (dan akuntansi) dalam ling­kungan yang materialistik adalah, bahwa kekayaan (aktiva) perusahaan ditafsirkan dan didefinisikan dalam bingkai materi. Akuntansi mendefinisikan aktiva sebagai sumberdaya yang dikuasai oleh perusahaan akibat dari peristiwa masa lalu, dan dari situlah manfaat ekonomi di masa depan akan diperoleh perusahaan (IAI, 1994: paragraf 49a). Akibat dari definisi tersebut, pengeluaran uang perusahaan untuk ak- tivitas-aktivitas filantropi (philantrophic) dicatat dan dilaporkan sebagai beban (ex­penses), yang dengan sendirinya diakui sebagai penurunan laba atau penurunan profitabilitas. Pengakuan aktivitas filantropi sebagai beban didasarkan pada pemiki­ran materialistik, bahwa aktivitas tersebut tidak memberikan “manfaat ekonomik” bagi perusahaan di masa depan. Seandainya label “ekonomik” tersebut tidak melekat pada setiap kata “manfaat” di setiap definisi-definisi yang dikonstruksi pada akun­tansi, maka niscaya pengeluaran uang perusahaan untuk kegiatan filantropi tersebut akan dicatat dan dilaporkan sebagai investasi, karena diyakini bahwa aktivitas filan­tropi itu akan memberikan “manfaat” (tanpa label ekonomik ) di masa depan.

27

Page 13: Isu Bebas Nilai

TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

Karena kinerja perusahaan dievaluasi dalam bingkai materi, maka aktivitas perusahaan menjadi terfokus pada upaya maksimalisasi laba, dan akuntansi pun digunakan sebagai alat untuk mengelola besaran laba yang menjadi sasaran evalu- asi tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Simon (1959) [lihat Etzioni, 1992:123] me­nyatakan:

“...kita harus mengharapkan bahwa tujuan-tujuan perusahaan itu bukan memaksimumkan laba, melainkan mencapai tingkat tertentu laba, memper­tahankan bagian tertentu pasar, atau tingkat tertentu penjualan. [Dengan demikian], perusahaan-perusahaan akan berusaha untuk “memuaskan”, bu­kan “memaksimumkan”.

Istilah tingkat “tertentu”, bagian “tertentu” dan sebagainya seperti tersebut di atas memang memberikan penafsiran yang sangat terbuka, tetapi yang dimaksud dengan istilah “tertentu” di sini adalah adanya batasan yang mendorong perusahaan untuk mengendalikan (kalau tidak da-pat dikatakan mengakhiri) aktivitas pencarian­nya, jika apa yang dicari telah cukup memberikan kepuasan.

Konsep materialistik yang tertanam dalam akuntansi sebagai akibat dari mitos monetary unit, juga menimbulkan prasangka bahwa setiap pemakai informasi akun­tansi memiliki pola pikir yang sama dengan manajemen (perusahaan), yaitu pola pikir materialistik yang selalu mendasarkan keputusan-keputusannya pada pertimbangan nilai uang. Hal ini tercermin pada pernyataan bahwa:

“Keputusan ekonomi yang diambil pemakai laporan keuangan memerlukan evaluasi atas kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas (dan setarakas), dan waktu serta kepastian dari hal tersebut....... Para pemakai dapatmengevaluasi kemampuan perusahaan dalam meng-hasilkan kas (dan setara kas) dengan lebih baik kalau mereka mendapatkan informasi yang difokuskan pada posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan perusahaan”.(IAI, 1994: paragraf 15).

Salah satu cara yang mungkin dilakukan untuk mengatasi masalah mitos monetary unit dalam akuntansi ini adalah menghindari penggunaan unit uang seb­agai pengukur semua peristiwa (Christie, 2004), atau setidak-tidaknya penggunaan secara eksklusif ukuran non-moneter untuk untuk peristiwa-peristiwa yang tidak dapat dinyatakan dalam unit uang. Dalam konteks ini, pemikiran atas penggunaan ukuran kinerja non-moneter sudah mulai bermunculan. Friedman dan Miles (2001) menjelaskan berbagai faktor yang mendasari munculnya pemikiran tersebut. Per­tama, angka-angka moneter dipandang sebagai “indikator keterlambatan” dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, dengan berfokus pada ukuran non-mon- eter, kebutuhan akan tindakan korektif dapat ditemukan secara lebih cepat. Kedua, penggunaan ukuran non-moneter dalam akuntansi juga memberikan sarana untuk mengetahui kinerja non-materi dari suatu entitas. Misalnya, bagaimana suatu enti­tas memenuhi tanggungjawab sosial, mengelola lingkungan, mengedepankan etika sosial, dan lainnya

28

Page 14: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

Definisi dan Tujuan Akuntansi Konvensional sebagai Sumber Mitos

Berbagai literatur akuntansi keuangan memberikan definisi akuntansi dalam berbagai cara, tetapi definisi-definisi tersebut secara substansial tidak berbeda an­tara satu dengan yang lain. Berbagai definisi akuntansi dalam literatur-literatur akuntansi keuangan tersebut, hingga saat ini selalu bertitik-tolak dari definisi yang diberikan oleh American Institute of Certified Public Accountants - AICPA (1953 dan 1970), Grady (1965) dan American Accounting Association (1966).

“Akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan dan peringkasan transak- si dan kejadian yang bersifat keuangan dengan cara yang berdaya guna dan dalam bentuk satuan uang, serta penginterpretasian hasil proses tersebut” (AICPA, 1953: paragraf 9. Cetak miring oleh penulis)”

“Akuntansi adalah aktivitas jasa. Fungsinya adalah menyediakan informasi kuantitatif, terutama yang bersifat keuangan, tentang entitas ekonomik yang diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengambilan keputusan-kepu- tusan ekonomik, dalam membuat pilihan di antara alternatif tindakan yang ada” (AICPA, 1970: paragraf 40. Cetak miring oleh penulis).”

“Akuntansi adalah seperangkat pengetahuan dan fungsi yang berhubungan dengan pengumpulan, pencatatan, pengklasifikasian, pengolahan, pering­kasan, penganalisisan, penginterpretasian dan penyajian secara sistematik in­formasi yang dapat dipercaya dan berdaya guna tentang transaksi dan kejadian yang bersifat keuangan yang diperlukan sebagai dasar penyusunan laporan yang harus disampaikan untuk memenuhi pertanggungjawaban kepengurusan keuangan dan lainnya” (Grady, 1965:2. Cetak miring oleh penulis).”

“Akuntansi adalah proses pengidentifikasian, pengukuran dan pengkomunika- sian informasi ekonomik untuk memungkinkan pembuatan pertimbangan dan keputusan berinformasi oleh pengguna informasi” (AAA, 1966.1. Cetak miring oleh penulis)”

Definisi-definisi tentang akuntansi tersebut mencakup beberapa aspek yang se­lama ini (dianggap) penting. Pertama, akuntansi berkaitan dengan pencatatan tran­saksi atau kejadian yang dapat dikuantifikasikan dan diukur dalam nilai uang. Oleh karena itu, akuntansi (dianggap) tidak berurusan dengan transaksi atau kejadian non-kuantitatif, lebih-lebih kejadian yang tidak dapat diukur dalam nilai uang. Ked­ua, produk akuntansi adalah laporan keuangan sebagai sarana pertanggungjawaban kepengurusan keuangan. Oleh karena itu, pertanggung-jawaban suatu kepenguru­san yang tidak bersifat keuangan (dianggap) berada di luar wilayah tugas akuntansi. Ketiga, informasi akuntansi diharapkan bermanfaat sebagai dasar pengambilan keputusan-keputusan ekonomik. Oleh karena itu, akuntansi (dianggap) tidak berke­pentingan dengan penyajian informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputu­san-keputusan non ekonomik.

Berdasarkan aspek-aspek yang terkandung dalam definisi itulah lahir mitos dalam akuntansi seperti diuraikan di atas; dan berdasarkan mitos-mitos itu pula, teori akuntansi kemudian dikonstruksi dan diverifikasi, seperti dinyatakan oleh Belkaoui (2004:ix) bahwa:

29

Page 15: Isu Bebas Nilai

TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

“Pengkonstruksian dan verifikasi teori akuntansi mencakup (1) pendefinisian serta penetapan tujuan akuntansi dan laporan keuangan, serta (2) penggamba­ran elemen-elemen laporan keuangan termasuk atribut elemen-elemen terse­but, dan satuan ukuran yang tepat untuk digunakan”

Definisi akuntansi, tujuan akuntansi, dan tujuan laporan keuangan yang telah “disetujui bersama” (dalam tanda petik) seperti tersebut di atas, menjadi landasan penting dalam merumuskan postulat dan konsep-konsep teoritis akuntansi. Postu­lat-postulat akuntansi yang dimaksud adalah economic entity, going concern, mon­etary unit, dan accounting period; sedangkan konsep teoritis yang dimaksud adalah propietary theory, entity theori, fund theory, dan residual theory. Konsep teoritis akuntansi yang “disepakati” untuk digunakan hingga saat ini adalah entity theory yang memandang perusahaan sebagai entitas yang terpisah dan berbeda dari pihak penyedia modal, yaitu pemilik dan kreditor. Menurut teori ini, pusat kepentingan akuntansi adalah pada perusahaan sebagai entitas bisnis. Artinya, perusahaan di- anggap memiliki aset yang diperoleh dari pemilik dan kreditor, sehingga perusahaan harus mengelola aset tersebut dan mempertanggungjawabkannya kembali kepada pemilik dan kreditor.

Realitas Ekonomi Dan Kepentingan Pemodal

Dengan berfokus pada pencatatan transaksi atau kejadian yang dapat dikuan­tifikasikan dan diukur dalam nilai uang, akuntansi akhirnya menjadi sebuah aktivi- tas yang hanya bertujuan untuk menggambarkan realitas ekonomi perusahaan yang direfleksikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan ini menyajikan informasi tentang kinerja perusahaan selama perioda tertentu, dan berakhir dengan penyajian informasi tentang jumlah kekayaan neto (ekuitas) yang tersedia untuk didistribusi­kan kepada pemilik modal (pemegang saham). Dengan demikian, seluruh pengguna informasi akuntansi (laporan keuangan) pada hakikatnya akan diarahkan perhatian­nya pada kekayaan pemilik modal (pemegang saham).

Jika laporan keuangan dikatakan bermanfaat bagi kreditor, pemerintah, kary­awan, pelanggan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat (lihat IAI, 1994), maka manfaat yang sebenarnya mereka dapatkan adalah diperolehnya informasi tentang bagaimana posisi dan perkembangan kekayaan neto pemilik modal tersebut. Dengan mengetahui posisi dan perkembangan kekayaan neto pemilik modal, pemasok dan kreditor akan memutuskan apakah pemberian pinjaman layak diberikan atau tidak, pemerintah akan memutuskan untuk mengambil kebijakan ekonomi mikro dan mak­ro tertentu, karyawan akan menilai kemampuan pemilik modal untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dan seterusnya. Dalam konteks ini, jelas bahwa akuntansi merupakan alat bagi para pemilik modal untuk menyajikan informasi tentang kekay­aan mereka dari waktu ke waktu. Akuntansi telah berpihak pada kepentingan pemilik modal, serta jaringan kerja dan relasi-relasinya. Sehubungan dengan hal ini, Triyu- wono (2000: xiii-xiv) menyebutkan bahwa:

“Jaringan kerja dan relasi-relasi yang dibentuk kapitalisme......mewarnai ben-tuk akuntansi yang disebut-sebut sebagai instrumen penting dalam dunia bis­nis. Akuntansi dalam lingkungan terse-but menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas atau terseret dalam kapitalisme”

30

Page 16: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

Keberpihakan akuntansi pada kepentingan pemilik modal (kapitalis), secara im- plisit menunjukkan bahwa akuntansi berasumsi bahwa faktor utama yang mempen­garuhi keberlangsungan hidup perusahaan adalah modal yang diinvestasikan oleh pemilik. Oleh karena itu, kekayaan neto (ekuitas) perusahaan yang dilaporkan oleh akuntansi merupakan ekuitas pemilik (pemodal). Asumsi seperti ini sesungguhnya merupakan asumsi yang tidak beralasan, karena asumsi ini mereduksi fakta bahwa keberlangsungan hidup perusahaan sebenarnya juga sangat dipengaruhi oleh ling­kungan di mana perusahaan tersebut beroperasi. Lingkungan yang baik akan men­jamin perusahaan untuk dapat beroperasi dengan baik. Kondisi lingkungan yang menguntungkan (sehingga perusahaan berada dalam letak yang strategis, misalnya) merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan perusahaan di masa depan. Suatu perusahaan dapat melakukan efisiensi karena lingkungannya, atau perusa­haan mampu memperoleh laba di atas laba normal juga karena lingkungan yang mendukungnya. Dalam akuntansi, semua kelebihan atau keunggulan yang dimiliki perusahaan pada umumnya dibukukan sebagai goodwill.

Namun demikian, sejauh ini akuntansi hampir tidak pernah mempertimbang­kan mengapa perusahaan memiliki goodwill, atau mengevaluasi faktor-faktor penting yang menyebabkan timbulnya goodwill bagi perusahaan. Oleh karena itu, goodwill yang timbul selalu dibukukan sebagai penyesuaian ekuitas pemilik, sehingga secara implisit akuntansi memberikan gambaran bahwa semua kelebihan atau keunggulan yang dimiliki oleh perusahaan (yang disebut goodwill) tersebut seolah-olah merupak­an investasi pemilik modal. Karena goodwill digambarkan sebagai investasi pemi­lik modal, maka selanjutnya akuntansi menyajikan informasi bahwa kekayaan neto (ekuitas) perusahaan merupakan hak pemilik modal.

Dalam kenyataannya, goodwill seperti yang dimaksud di atas dapat disebab­kan karena dukungan lingkungan yang menguntungkan, misalnya letak perusahaan yang aman, strategis, atau tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan secara mema­dahi. Jika fakta seperti ini yang terjadi, maka sebagian kekayaan bersih (ekuitas) pe­rusahaan seharusnya dilaporkan sebagai “hak dari lingkungannya” yang secara peri­odik harus didistribusikan untuk mempertahankan kondisi lingkungan perusahaan, seperti saat ini. Dengan demikian, kekayaan neto perusahaan tidak hanya menjadi hak pemilik modal, tetapi juga menjadi hak lingkungan, karena atas kondisi lingkun­gan itulah ekuitas perusahaan mengalami perkembangan. Sampai pada pemikiran ini, akuntansi seharusnya mampu untuk membedakan antara “ekuitas pemilik” dan “ekuitas lingkungan” .

Di samping itu, keberlangsungan hidup perusahaan juga tergantung pada diterima atau tidaknya keberadaan perusahaan oleh masyarakat di sekitarnya. Tanpa dukungan masyarakat sekitarnya, perusahaan tentu tidak akan dapat berlangsung hidup meskipun tersedia modal dari para pemilik. Stabilitas kehidupan masyarakat di sekitar tempat perusahaan beroperasi akan membuka dan memberikan peluang yang sangat besar bagi perusahaan untuk berkembang di masa depan. Kehidupan masyarakat yang stabil tentu akan mendukung stabilitas operasi perusahaan, dalam arti bahwa perusahaan dapat beroperasi tanpa gejolak. Dari stabilitas operasi inilah perusahaan akan memperoleh manfaat berupa efisiensi operasi. Kekayaan neto pe­rusahaan dengan sendirinya akan meningkat akibat adanya efisiensi tersebut. Oleh karena itu, sebagian kekayaan neto perusahaan seharusnya didistribusikan kem- bali kepada masyarakat untuk mempertahankan kondisi masyarakat seperti saat ini. Sampai pada pemikiran ini, akuntansi seharusnya mampu membedakan antara “ekuitas pemilik” , “ekuitas lingkungan” dan “ekuitas sosial” .

31

Page 17: Isu Bebas Nilai

TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

Pembedaan ketiga kelompok ekuitas tersebut diperlukan agar akuntansi tidak hanya sekedar menjadi alat bagi para pemilik modal untuk mengukur dan melipat­gandakan kekayaan mereka, tetapi peran akuntansi lebih berkembang sebagai pen­gukur dan pelipat ganda kesejahteraan lingkungan dan sosial.

Redefinisi Akuntansi: Sebuah Wacana

Terpusatnya perhatian akuntansi pada transaksi-transaksi ekonomik yang bersifat kuantitatif dan terukur dalam satuan moneter, serta keberpihakan akun­tansi pada kepentingan pemilik modal (kapitalis) pada hakikatnya adalah berawal dari “definisi” akuntansi yang telah dibuat sedemikian rupa dan disepakati bersama oleh para teoritisi akuntansi. Seperti telah disebutkan di muka, definisi akuntansi se­cara konvensional memaksa akuntan untuk memahami akuntansi sebagai: (a) proses pencatatan dan pelaporan transaksi kuantitatif yang bersifat keuangan; (b) proses yang menghasilkan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban manajemen pe- rasa-haan kepada pemilik modal (dan kreditor, bila ada); serta (c) proses yang menye­diakan infor-masi bagi pengambilan keputusan-keputusan ekonomik.

Atas dasar definisi akuntansi yang konvensional tersebut, maka: (a) akuntansi tidak dirancang (bahkan tidak diharuskan) untuk bersinggungan dengan pencatatan dan pelaporan transaksi-transaksi yang tidak terukur dalam satuan moneter, (b) proses akuntansi tidak dirancang untuk menghasilkan laporan non-keuangan, kecu­ali penjelasan tambahan atas informasi keuangan yang utama; dan (c) proses akun­tansi tidak menyediakan informasi bagi keperluan pengambilan keputusan non-eko-

Definisi akuntansi konvensional memberikan dasar justifikasi bahwa laporan keuangan merupakan media pertanggungjawaban manajemen atas sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, sehingga penyusunan dan penyajian laporan keuangan lebih diarahkan untuk kepentingan pemegang saham dan kreditor, dengan meng­abaikan kepentingan stakeholder yang lain.

Karena sesungguhnya akuntansi memiliki peran yang sangat besar secara sos­ial maka redefinisi terhadap akuntansi konvensional tampaknya m e m a n g perlu un­tuk dilakukan. Dengan melakukan redefinisi tersebut, akuntansi diharapkan tidak hanya terfokus pada angka-angka moneter, tidak hanya terfokus kepada kepentingan pemilik modal (pemegang saham), dan informasi akuntansi tidak hanya tersedia bagi keputusan-keputusan ekonomik. Dengan redefinisi, akuntansi membantu mencip- takan akuntabilitas entitas yang lebih luas. Akuntansi berpotensi sebagai pra e yang lebih luas dengan mengkaitkan konsepsi-konsepsi yang lebih berarti Untuk mencapai tujuan tersebut, definisi akuntansi yang mungkin sesuai adalah dengan memodifikasi definisi akuntansi dari Grady (1965:2), sehingga definisi akuntansi

menjadi:

“ ......... seperangkat pengetahuan dan fungsi yang berhubungan dengan pen­gumpulan, pencatatan, pengklasifikasian, pengolahan, peringkasan, penga- nalisisan, penginterpretasian dan penyajian secara sistematik informasi yang dapat dipercaya dan berdaya guna tentang transaksi dan kejadian - baik yang bersifat keuangan maupun non-keuangan - yang diperlukan sebagai dasar pe­nyusunan laporan yang harus disampaikan untuk memenuhi peitanggung- jawaban kepengurusan keuangan, tanggungjawab terhadap lingkungan, dan tanggungjawab sosial” .

32

Page 18: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

Berdasarkan definisi akuntansi yang dimodifikasi tersebut, maka: (a) akuntansi dirancang tidak hanya untuk mencatat dan melaporkan transaksi-transaksi yang terukur dalam satuan moneter, tetapi juga transaksi atau kejadian non-kuantitatif dan non-moneter; (b) proses akuntansi dirancang tidak hanya untuk menghasilkan laporan keuangan, tetapi juga menghasilkan laporan non-keuangan; dan (c) proses akuntansi tidak menyediakan informasi bagi keperluan pengambilan keputusan non- ekonomik.

Akuntansi Pertanggungjawaban Lingkungan Dan Sosial

Akuntansi alternatif yang mempertimbangkan masalah lingkungan (environ­mental accounting) merupakan akuntansi yang mencakup komunikasi tentang in­formasi yang berkaitan dengan dampak aktivitas suatu entitas terhadap terhadap lingkungan di sekitarnya. Sedangkan akuntansi yang mempertimbangkan masalah sosial (social accounting) merupakan akuntansi yang mencakup komunikasi tentang informasi yang berkaitan dengan dampak aktivitas suatu entitas terhadap terhadap kehidupan sosial (Boyce, 2000). Dalam kedua bidang akuntansi tersebut, informasi yang dihasilkan dapat mencakup informasi tentang dampak keuangan maupun non keuangan.

Dengan definisi akuntansi alternatif tersebut, akuntansi harus dirancang un­tuk membantu memfasilitasi proses pengambilan keputusan melalui integrasi antara faktor sosial dan lingkungan. Boyce (2000) mengidentifikasi masalah yang mungkin inheren dengan masalah akuntansi lingkungan, misalnya kewajiban dan tanggung- jawab perusahaan terhadap lingkungan, analisis biaya yang menyangkut masalah dampak energi yang digunakan, investasi instrumen pengolahan limbah, serta biaya serta manfaat yang diperoleh dari adanya program pengembangan lingkungan.

Dalam akuntansi keuangan konvensional, masalah yang berkaitan dengan dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan hanya diukur dalam nilai eko- nomi (berbentuk nilai moneter) yang dilaporkan sebagai kerugian luar biasa (extraor­dinary loss) bagi perusahaan, sedangkan “nilai” yang tidak dapat diukur secara fi­nansial atas kerusakan lingkungan dan dampak ikutannya tidak pernah dilaporkan, karena proses akuntansi hanya dirancang untuk menyediakan informasi tentang jumlah finansial saja. Biaya-biaya yang timbul untuk mengatasi masalah lingkungan tadi, oleh akuntansi diperlakukan dan dilaporkan semata-mata sebagai penurunan likuiditas perusahaan dan berkurangnya ekuitas pemegang saham, dengan meng­abaikan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boyce (2000) bahwa akuntansi keuangan konvensional yang berkaitan dengan masalah lingkungan hanyalah sebuah proses teknis, yang dikonstruksikan untuk mendukung vested interest tertentu.

Alternatif yang mungkin dilakukan untuk masalah akuntansi yang berkaitan dengan masalah lingkungan dan sosial adalah menyediakan data yang lebih kualita­tif. Misalnya, sehubungan dengan perluasan akuntansi konvensional, Boyce (2000) menyarankan agar para akuntan terlibat dalam perkembangan akuntansi dan sistem informasi baru yang mengekspresikan investasi dan kewajiban ekologis. Keadaan yang demikian itulah yang potensial untuk bentuk akuntansi sosial dan lingkungan. Bentuk akuntansi yang demikian akan menampilkan image yang berupa interaksi antara organisasi dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Hal itu juga mencakup perhitungan-perhitungan akuntansi atas kejadian-kejadian lain di luar transaksi ekonomik.

33

Page 19: Isu Bebas Nilai

TEMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

Pengembangan akuntansi lingkungan dan sosial (environmental dan social accounting) akan melibatkan sebuah rekonseptualisasi yang jauh berbeda dengan aturan-aturannya yang konvensional. Seperti yang dikemukakan oleh Christie et al (2004) adalah mungkin untuk membangun sebuah account alternatif yang berasa dari informasi yang tersedia serta menggunakan account yang sama untuk dijadikan bahan penguji terhadap pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan publik. Dan juga menampilkan transparansi yang sangat jelas dalam pembelajaran publik. Christie et al (2004) juga mendemonstrasikan kemungkinan penguasaan terhadap konstru si social account berdasarkan informasi yang tersedia dalam sebagai bapan dalam se­buah laporan tahunan. Sependapat dengan Christie et al. (2004), Colin (2004) juga menyarankan penggunaan akuntansi sosial oleh organisasi-organisasi yang berop­erasi berdasarkan prinsip-prinsip non komersial dari moral.

Laporan Triple Bottom Line

Christie et al. (2004) menyatakan sebagai yang tidak etis bila akuntansi hanya menfokuskan kepentingan pemilik saham dan mengabaikan lmplikasi lingkungan. Teori stakeholder seharusnya menjadi sebuah manifestasi dari teori tanggungjawab sosial perusahaan yang lebih luas. Pendukung dari tanggungjawab sosial perusahaan berkeyakinan bahwa sebuah bisnis perlu menjalankan aktivitas yang sesuai deng^n nilai dan tujuan masyarakat konvensional yang menekankan akuntansi non-mdivi - ualistik dan non-material. Meskipun pandangan manajerial memunculkan akuntansi yang mendukung status-quo dengan memenangkan stakeholder (mungkin Praktek akuntansi seperti laporan triple-bottom-line dapat digunakan), laporan triple-bot­tom-line adalah sebuah proposal akuntansi alternatif yang merespon panggilan un­tuk tanggungjawab sosial perusahaan. Colin (2004) berpendapat bahwa stakeholder menghendaki agar entitas bisnis memberikan informasi selain data kinerja keuangan. Bisa dikatakan bahwa penggunaan laporan triple-bottom-lme adalah sebuah respon terhadap kebutuhan atas laporan sosial perusahaan. Colm (2004) mendefinisikan laporan sosial perusahaan sebagai:

“Proses memberitahukan efek sosial dan lingkungan dari tindakan ekonomi organisasi pada kelompok kepentingan tertentu dalam masyarakat dan kepada masyarakat secara menyeluruh. Dalam kondisi tersebut, mi melibatkan per­luasan akuntabilitas organisasi (khususnya perusahaan, sampai di luar peran tradisional yang memberikan laporan keuangan kepada pemilik modal). Per­luasan tersebut bisa didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan mempunyai tanggungjawab yang lebih luas daripada sekedar membuat laporan kekayaan shareholder-nya”.

Christie et al. (2004) mengungkapkan bahwa Elkington dan sebuah tim Inggris yang disebut Sustainability Ltd. menggunakan pendekatan triple bottom line untuk memberikan saran kepada perusahaan tentang bagaimana mempertahankan sus­tainability dengan menggabungkan kemakmuran ekonomi, kesetaraan sosial, dan perlindungan lingkungan ke dalam tujuan operasional perusahaan. Christie et ai. (2004) juga menunjukkan bahwa Survey Internasional Laporan Sustainabihtas eru- sahaan 2002 dari KPMG menyatakan bahwa 45 % dan Perusahaan Fortune Global Top 250 telah menyusun dan menyajikan laporan lingkungan dan sosial. Semuanya berawal dari respon terhadap pemikiran-pemikiran kritis terhadap peran akuntansi.

34

Page 20: Isu Bebas Nilai

Riduwan, Teori Akuntansi

Respon terhadap pemikiran-pemikiran tersebut tentu didasari oleh keinginan untuk menghadapi tudingan bahwa informasi akuntansi konvensional hanya bermanfaat bagi pemilik modal (investor dan kreditor) dan kurang bermanfaat bagi stakeholder lainnya.

Daftar Pustaka

American Accounting Association (AAA). 1966. A Statement of Basic Accounting Theory.Evanston III: United States of America.

American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). 1953. Accounting Terminology Bulletin. Review and Resum. New York.

American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). 1970. Accounting Principle Board Statement No.4 “Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Fi­nansial Statements of Business Enterprises”. New York: AICPA.

Belkaoui, A.R. 2004. Accounting Theory. 5th Edition. London: Thomson Learning.Blaugh, M. 1992. The Methodology of Economics or How Economics Explain. Cambridge:

Cambridge University Press.Boyce, G. 2000. Public Discourse and Decision Making Exploring Possibilities For Fi-nan-

cial, Social and Envionmental Accounting. Accounting, Auditing and Accountability Journal 13 (1): 27-64

Christie, N., B. Dyck, J. Morrill, dan R. Stewart. 2004. Escaping The Materialistic-Indi- vidualis-tic Iron Cage: A Weberian Agenda For Alternative Radical Accounting. The Fourth Asia Pacific Interdiciplinary Research in Accounting (Apira) Conferrence, Singapore: 4-6 July.

Colin, D. 2004. Social Accounting of Traidcradft PLC: An Ethnographic Study of A Struggle For The Meaning of Fair Trade. The Fourth Asia Pacific Interdiciplinary Research in Accounting (Apira) 2004 Conference, Singapore

Grady, Paul. 1965. ARS No.7: Inventory of Generally Accepted Accounting Principles for Business Enterprises. New York: AICPA.

Etzioni, A. 1992. Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Terjemahan dalam Bahasa Indo-nesia (Tjun Surjaman). Cetakan Pertama. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Friedman, A.L. dan S. Miles. 2001. Socially Responsible Investment and Corporate Sosial Environmental Reporting inthe UK: An Exploratory Study. The British Accounting review 33 (4): 523-548.

Hardiman, F.B. 2003a. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, F.B. 2003b. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.

Hendriksen, E.S. 1982. Accounting Theory. Fourth Edition. Homewood Illinois: Richard D. Irwin, Inc.

Hendriksen, E.S. dan M.F. Van Breda. 2000. Teori Akuntansi. Terjemahan dalam Bahasa ln-donesia (Herman Wibowo). Edisi Kelima. Buku Satu. Batam Centre: Interak- sara.

Ikatan Akuntan Indonesia. 1994. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan. Jakarta.

Jamil, M.M. 2005. Membongkar Mitos Menegakkan Nalar: Pergulatan Islam Liberal versus Islam Literal. Cetakan I. Semarang: Pustaka pelajar.

Jensen, M.C. 1976. Reflection on the State of Accounting Research and the Regulation of Accounting. Graduate School of Business, Stanford University: 11-19.

Page 21: Isu Bebas Nilai

TBMA, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007

Neu, D. 2000. Accounting and Accountability Relations: Colonization, Genocide and Cana­’ da’s First Nation. Accounting, Auditing and Accountability Journal. 268-288.

Raar J 2004. Environmental and Social Responsibility: A Normative Financial Reporting ’ Concepts. The Fourth Asia Pacific Interdiciplinary Research in Accounting (Apira)

Conference, Singapore: 4-6 July. .Stiglitz J.E. 2006. Dekade Keserakahan: Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Duma.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia (Aan Suhaem). Cetakan Pertama. Tangerang.

Marjin Kiri.Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Buku Bai . Suwardj’ono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi Ketiga. Yo­

gyakarta: BPFE.Triyuwono, Iwan. 2000. Organisas! dan Akuntansi Syari’ah. Yogyakarta: LKiS.Watts, R.L. 1977. Corporate Finansial Statements: A Product of the market and Political

Processes. Australian Jurnal of Management (April): 53-75.Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman. 1978. Towards a. Positive Theory of the Determination of

’ Accounting Standards. The Accounting Review (January): 112-134.Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. Englewood Cliffs, New

Jersey: Prentice-Hall., Inc.Watts, R.L. dan J.L. Zimmerman. 1990. Positive Accounting Theory: Ten Years Perspective.

The Accounting Review (65) January: 131-156.Wolk H.E., J.K. Francis, dan M.G. Tearney.1992. Accounting Theory - Conceptual and In­

stitutional Approach. Homewood Illinois: Richard D. Irwin Inc.Zimmerman, J.L. 1980. Positive Research in Accounting. Graduate School of Business,

University of Winconsin: 107-128.

36