Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013
-
Upload
early-ridho-kismawadi -
Category
Economy & Finance
-
view
4.551 -
download
6
description
Transcript of Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013
97
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………… v
Konsepsi Pegadaian Syariah (Suatu Analisis Tentang Marhun/Barang yang digadai)
Syamsuar Basyariah…………………………………………………………………… 98
Peran Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kecamatan Johan Pahlawan dalam
Persetifikatan tanah Wakaf di Kabupaten Aceh Barat
Dedi Karmalis………………………………………………………………………….. 122
Peningkatan Sektor Perekonomian Masyarakat Melalui Pemberdayaan Tanah Wakaf
Darmawansyah………………………………………………………………………… 136
Hukum Kewarisan Beda Agama Menurut Pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi
Ita Rahma Putri………………………………………………………………………… 148
Hukum Pemanfaatan Organ Babi (Studi Komparatif terhadap Pemikiran Yusuf
Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub)
Asra Febriani................................................................................................................. 182
Praktek Mudharabah dalam usaha produksi batu bata (Studi Kasus di Desa Ujung Fatihah
Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya)
Rosmaidar………………..…………………………………………………………….. 208
Konsep Keadilan Ekonomi menurut Nurcholish Madjid
Maulidar………………………………………………………………………………... 225
Potensi Zakat dan Kemiskinan di Indonesia
Early Ridho Kismawadi……………………………………………………………….. 245
98
KONSEPSI PEGADAIAN SYARI’AH
(Suatu Analisis Tentang Marhun/Barang yang digadai)
Syamsuar Basyariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh
Abstract
This paper aims to investigate the views of the Islamic law and the lien position of the
pawned goods (marhun). There are differences of opinion among the Fuqaha see marhun
guarantee if lost in the hands of the murtahin not negligent in guarding it. there are three
opinions. First, that is responsible for marhun murtahin in full, as there marhun disappeared
on or hidden murtahin such as jewelry or clothing, or pawning goods are not supernatural at
murtahin or may not be hidden like a house, animals, and rice before harvest. Secondly, that
is not borne by murtahin marhun fully, both the goods lost or not lost on murtahin. So do not
fall on each receives something of the debt, and as if the goods are destroyed (lost) on the
owner, not by breaking the boundaries of one of them. The opinion according to school
Shafi'ites, Hanabilah, David Dhaheri. It was narrated from Ali kw, 'Atha', Auza'i, Tsur and
Ibn Abi Mandzur. Third, that the guarantee on murtahin, when it lost pawn goods, if the
goods while the lien is not lost, it is not covered by murtahin, and not lost the debt. Marhun
as if it is lost when it is on the owner, not by breaking the boundaries of murtahin, it is in line
with the school Malikiyah.
Kata kunci: Pegadaian Syariah dan Marhun
امللخص
لقد الشريعة اإلسالمية وجمال الرىن من األشياء املرىون. مذاىب عن هتدف ىذه املقالة إىل تفتيش. وىناك ثالثة آراء مما وحقيقة إنو مسؤولية عليو املرهتن أضاعو لون املرىون اعن ضم الفقهاء اختلف
املرىون كحليوميكن أن خيفى متاما، على املرىون املرهتنيضمن تتعلق هبذا األمر، منها: األول، أن قبل احلصد. ، واألرزيوان، املنزل، واحلعلى سبيل املثل أو أن يرىن املرهتن األشياء اجللية ولباسال يؤدي أن إذن، أو ال. املرىون أكان فقد اءأن ال يكلف املرهتن املرىون على اإلطالق، سو ، والثاين
فهذا .من بينهم وإن أفسد املرهتن املرىون أو يفقدىا فال يبطل العقد .من املقبولإىل إبطال الدين الرأي اعتمادا على الشافعية واهلنابلة ودافد صاىري. وقد رواه اإلمام علي كرام اهلل وجو، عطاء،
99
املرهتنوإن ال يفقد حني فقد املرىون. املرهتنأوزاعي، ثور وابن أيب منظور. والثالث، أن يضمن . وىذا الرأي عند املالكية.ال يكلف عليو املرهتن على الديناملرىون ف
100
A. Pendahuluan
Pasca Reformasi tahun 2007 yang lalu, bangsa Indonesia belum mampu keluar dari
multi krisis. Salah satu bentuk krisis yang paling dirasakan oleh masyarakat kalangan bawah
(miskin/tidak mampu) adalah krisis ekonomi dan keuangan. Menurut Badan Statistik
Nasional (BSN), Angka kemiskinan di Indonesia saat ini mencapai 34,96 juta orang (15,42%)
dan Provinsi Aceh sendiri berada pada peringkat ketujuh dari 33 Provinsi dengan tingkat
kemiskinan mencapai 20,98%.1
Kondisi perekonomian yang tidak kondusif di Provinsi Aceh saat ini dipengaruhi
oleh faktor konflik yang berkepanjangan dan bencana Tsunami Tahun 2004 yang lalu juga
ikut memporak-porandakan perekonomian di Provinsi Ujung Barat Sumatera. Sehingga
kemiskinan dan pengangguran tidak dapat terhindarkan lagi. Walaupun paska Tsunami
berbagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat telah digulirkan dari berbagai lembaga-
lembaga donatur baik itu dari pemerintah maupun dari NGO lokal dan International. 2
Dari bantuan lembaga-lembaga donatur tersebut ada sebagian masyarakat yang
dapat bangkit dari ketepurukan ekonomi, dan tidak sedikit pula masyarakat yang tidak
mampu atau gagal untuk bangkit dan menata perekonomiannya. Sehingga Kondisi
perekonomian yang tidak stabil mengakibatkan sebagian masyarakat hidup dibawah garis
kemiskinan. Sehingga bermacam bentuk problematika timbul dan dihadapi serta dirasakan
oleh masyarakat, dengan begitu sulitnya perekonomian yang dihadapi masyarakat saat ini,
dimana untuk memenuhi kebutuhan hidup memerlukan dana yang cukup besar.
Berbagai macam terobosan dan cara telah di upayakan oleh pemerintah dan pihak
swasta dalam usaha peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, namun sampai saat ini
sebagian besar masyarakat tetap saja masih dalam kemelaratan dan kemiskinan.3 Salah satu
cara yang sering di pergunakan dan dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah dengan cara
mencari pinjaman pada pihak-pihak tertentu untuk memenuhi hajat hidup.4
Pinjam-meminjam dapat dilakukan oleh siapa pun, baik itu melalui lembaga formal
maupun melalui lembaga non formal, lembaga formal tersebut bisa berupa Bank Negara,
Bank swasta ataupun melalui jasa pegadaian. Kenyataan saat ini masyarakat cenderung lebih
1Admin, 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia, http://alihapsah.com, diakses 22 Desember 2010.
2Ishak Akmadsyah, Jurnal: Media Syariah, Efektifitas Pengelolaan Pogram Pemberdayaan Ekonomi
Kecil Pasca Tsunami, Vol x. No.20, (Banda Aceh: Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry. 2008), h. 145. 3Media On-Line, Faktor-Faktor Kemiskinan, http://google.co.id, akses 20 Oktober 2011.
4Ishak Akmadsyah, Jurnal: Media Syariah, Efektifitas ……………, h. 146.
101
meminjam dana kepada rentenir (lembaga peminjaman non formal) selain cepat dan mudah
juga tanpa memerlukan pensyaratan yang sulit dan rumit.
Pemanfaatan lembaga keuangan formal melalui bank dan perum pegadaian dewasa
ini marak dilakukan oleh masyarakat yang tingkat ekonominya tergolong lemah. Bermacam
alasan dan sebab masyarakat melakukan transaksi pinjam-meminjam, namun secara umum
mereka melakukan pinjaman karena faktor ingin memperbaiki perekonomian keluarga.5 Saat
ini, tidak kurang 1.200 orang melakukan transaksi pinjam-meminjam di perum Pegadaian
Syariah Kabupaten Aceh Barat.6 Dengan demikian dapat diestimasi bahwa di 23
Kabupaten/kota dikali 1.200 orang berarti 27.600 orang yang melakukan transaksi pinjam-
meminjam. Jumlah ini diambil jumlah minimal.
Kalau satu provinsi 27.600 orang dikali 33 provinsi di seluruh indonesia, berarti
910.800 orang yang melakukan transaksi pinjam meminjam melalui perum pegadaian
syari‟ah. Ini perkiraan minimal, tentu saja kalau perkiraan maksimal lebih dari itu.
diperkirakan di seluruh provinsi dalam wilayah Republik Indonesia, praktik pinjam
meminjam pada perum pegadaian syariah rata-rata antara 50% sampai 70%, transaksi ini
dilakukan oleh masyarakat Islam.
Berkaitan dengan transaksi pinjam meminjam tersebut, tentu saja tidak dapat
dihindari apa yang disebut dengan barang yang digadai (marhun). Kalau secara individual
dengan kalkulasi nominal, bahwa hampir satu juta umat islam setiap tahunnya melakukan
praktik pinjam meminjam pada perum pegadaian syari‟ah, maka sejumlah itu juga atau
bahkan lebih marhun yang dijadikan sebagai jaminan bagi peminjam. Persoalannya adalah
apakah barang jaminan itu (marhun) bisa diperjual belikan atau berganti bentuk „ain nya atau
dapat diganti dengan harga ketika rahin ingin mengambilnya kembali/menebus? Ini yang
menjadi persoalan sehingga menimbulkan masalah yaitu apakah rahin setuju jika barang yang
digadaikan (marhun) bertukar bentuk? Dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan
masalahnya yaitu bagaimana pandangan hukum Islam tentang gadai dan bagaimana pula
kedudukan barang yang digadai (marhun)? Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pandangan hukum islam tentang gadai dan kedudukan barang yang digadai
(marhun).
5Media On-Line, Faktor-Faktor Kemiskinan, http://google.co.id, akses 20 Oktober 2011.
6Data Sementara Penulis Pada Perum Pegadaian Syariah Meulaboh, Oktober 2011.
102
B. Gadai (Rahn) Menurut Hukum Islam
1. Pengertian gadai
Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al-
habsu. Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal dan jaminan.7 Rahn adalah
menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimannya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang
atau gadai.8 Sayyid Sabiq, mendefinisikan gadai sebagai penetapan suatu barang yang
dimiliki nilai dalam pandangan syariat sebagai jaminan atas utang, yang mana utang tersebut
atau sebagian darinya dapat dibayar dengan barang yang di gadaikan.9 Lebih lanjut Abdullah
bin Muhammad Ath-Thayyar dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah menyatakan bahwa ar-
rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang agar hutang itu dilunasi
(dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya.10
Menurut
Rizal Anggabrata Pegadaian adalah sebuah lembaga yang memberikan pinjaman atas dasar
atau jaminan barang yang dititipkan oleh nasabah.11
Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, pegadaian berarti pinjam-
meminjam uang dengan jaminan barang, atau barang yang diserahkan sebagai tanggungan
atas sejumlah pinjaman uang.12
Pengertian gadai dalam hukum positif adalah:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas
utangnya, dan yang member wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan
piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan
pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai
pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan
setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan”.13
7Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, Cet. 2, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 251.
8Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, implementasi dan Institusionalisasi,
cet.1, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), h.88-89 9Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Cet. 1, (Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2009), h. 242. 10
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, Terj. Mifthaul Khairi,
Cet. 1, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), h. 226. 11
Rizal Anggabrata, Uang dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Multazam Mulia Utama, 2011), h. 75. 12
Emzul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap . . . , h. 299. 13
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150
103
Berdasarkan pengertian tersebut, gadai dapat berarti sesuatu yang mengikat,
ketetapan atau juga penahanan. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an
dalam surat Al-Muddatstsir ayat 38:
Artinya: Setiap orang tertahan oleh apa yang di lakukannya (Q.S: 74: 38)
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, ar-rahn (gadai) dapat diartikan
sebagai harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Dengan kata lain, gadai adalah menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu. Dalam Islam, ar-rahn
merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa.
Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari
kekuasaan si pemiutang. Si pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan
kepadanya selama hutang belum lunas, tapi dia tidak berhak mempergunakan benda itu.
Selanjutnya ia berhak menjual benda gadai itu, jika si berhutang tak mau membayar
hutangnya.14
Jika hasil gadai itu lebih besar dari hutang yang harus dibayar, maka kelebihan
itu harus dikembalikan kepada si pegadai. Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran,
maka si pemiutang tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi itu. Penjualan
gadai harus di lakukan di depan umum dan sebelum penjualan di lakukan biasanya hal itu
harus diberitahukan lebih dahulu kepada sipegadai.
Sesuatu yang diberikan sebagai jaminan atau untuk mendapatkan kepercayaan dari
orang yang memberi utang. Dan ketika barang diserahkan kepada orang yang memberi
hutang, maka barang itu menjadi tanggungannya. Dan jika orang yang berutang tidak dapat
membayar hutangnya, maka barang yang digadaikan menjadi miliknya. Sebagai analoginya,
jika ada seorang yang berutang kepada orang lain dan sebagai jaminannya dia menyerahkan
kepada orang yang akan memberinya hutang sebuah rumah atau seekor binatang yang terikat,
sampai ia melunasi utangnya, maka itulah yang di sebut dengan pegadaian dalam syariat.
2. Dasar Hukum gadai
Sebagaimana halnya dengan jual beli, Para ulama fiqh mengemukakan bahwa
akad/perjanjian gadai itu dibenarkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah dalam Al-
Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 283:
14
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , h. 125.
104
ا للز ى اؤ تمن أ و إن كنتم على سفر و لم تجدوا كا تبا فر ىن مقبو ضة فإ ن أ من بعضكم بعضا فليؤ د منتو و ليتق هلل ر بو و ال تكتموا الشهد ة و من يكتمها فإ نو ء ا ثم قلبو و ا هلل بما تعملون عليم
Artinya: Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyaikan persaksian. Dan barang siapa
yang menyembunyikannya, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya,
dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. 02: 283).
Menurut Nasroen Haroen dalam Fiqh Muamalah, Ayat tersebut bermakna bahwa:
Allah SWT memerintahkan orang yang melakukan suatu transaksi dengan orang lain, sedang
bersama dia tidak ada juru tulis, maka hendaklah dia memberikan suatu barang sebagai
jaminan (gadai) kepada orang yang memberikan utang kepadanya supaya merasa tenang
dalam melepaskan uangnya tersebut. Selanjutnya hendaklah peminjam menjaga uang atau
barang-barang utangan itu agar tidak hilang atau di hamburkan tanpa manfaat.15
Sekalipun ayat di atas menunjukkan akad rahn (gadai) tersebut dalam perjalanan,
namun tidak berarti di luar perjalanan tidak boleh melakukan akad Rahn (gadai). Para ulama
semuanya sependapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya boleh (mubah).16
Hal tersebut
sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam buku Hukum-
hukum Fiqh Islam, menyebutkan bahwa menggadai barang boleh hukumnya, baik di dalam
hadlar (kampung) maupun di dalam keadaan safar (perjalanan).17
Namun ada yang berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya di perbolehkan
dalam keadaan berpergian saja. Namu Jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai baik
itu dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah di lakukan oleh Rasulullah
di Madinah, seperti yang di sebutkan dalam hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah r.a:
عن عا إشة ر ضي ا هلل عنها أ ن ر سو ل ا هلل صلى ا هلل عليو و سلم ا شتر ى من يهو د ى طعا ما إلى أ جل و ر ىنو د ر عا لو من حد يد )رواه امسلم(
Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah r.a, bahwa sanya Rasulullas Saw pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi yang pembayarannya akan di lunasi sampai batas
15
Nasroen Haroen, Fiqh . . . , h. 252. 16
Nasroen Haroen, Fiqh. . . , h. 254. 17
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Figh Islam, Cet. 2, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001), h. 365.
105
waktu tertentu, dan Rasulullah Saw menggadaikan baju besi kepada orang Yahudi
tersebut (sebagai anggunan), (H.R Muslim).18
Berdasarkan hadits tersebut di atas, proses transaksi pegadaian dapat di lakukan
dengan siapa saja, baik sesama muslim maupun dengan non muslim sekalipun. Apabila
dalam perjanjian gadai terjadi perselisihan maka Rasullullah menjelaskan:
صلى ا هلل عليو و سلم قضى : أ ن ا ليمين على ا لمد عى أ ن ا لنبي عن إ بن عبا س ر ضي ا هلل عنهما : عليلو. )رواه البخري(
Artinya: Diriwayatkan dari ibn A‟bbas r.a, bahwa Nabi Saw telah memberi keputusan :
orang yang tergugat/terdakwa harus bersumpah. (H.R Bukhari).19
Landasan hukum berikutnya adalah Ijma‟ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian
gadai. Tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di
tangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb adalah merupakan ijtihad yang dilakukan
para fukaha. Unsur-unsur rahn adalah orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahin,
orang yang menerima barang gadai disebut murtahin, dan barang yang digadaikan disebut
marhun dan hutang yang disebut marhun bih.
3. Rukun dan Syarat Gadai
Suatu perjanjian atau ikrar gadai itu baru sah, apabila disertai dengan rukun dan syarat
gadai. Adapun rukun gadai (ar-rahn) adalah:
a. Shigat (ijab kabul), Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang
penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak;
b. Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin), Lafaz dapat saja dilakukan secara
tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya
perjanjian gadai di antara para pihak;
c. Harta yang dijadikan anggunan (al-marhun), Barang yang digadaikan harus ada pada
saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang
gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai;
d. Utang (al-marhun bih), Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah
dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.20
Mohammad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan rukun dan syarat sahnya
perjanjian gadai adalah sebagai berikut;21
pertama, Ijab qabul (sighot). Hal ini dapat
18
Al-Hafizh „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin Al-Mundziri, Mukhtshar Shahih Muslim,
Terj. Acmad Zaidun, Cet. 1, (Saudi Arabia: Daar Ibn Khuzaimah, 1994), h. 530. 19
Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtashar Shahih Al-Bukhari, Cet. 1,
(Saudi Arabia: Daar As-Salam, 1996), h. 526. 20
Nasroen Haroen, Fiqh. . . , h. 254.
106
dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja di dalamnya terkandung
maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Kedua, orang yang bertransaksi (Aqid).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi
gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal, dan atas keinginan
sendiri.
Ketiga, adanya barang yang digadaikan (Marhun). Syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah; dapat diserah
terimakan, bermanfaat, milik rahin (orang yang menggadaikan), jelas, tidak bersatu dengan
harta lain, dikuasai oleh rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Keempat,
Marhun bih (utang). Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat
dijadikan alas gadai adalah; berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan, utang harus lazim
pada waktu akad, dan utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4. Al Marhun (Barang yang digadai)
Marhun ialah barang yang digadaikan. Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam buku
Minhajul muslim menyatakan bahwa barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak
boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena
penjualan tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak tersebut haram, namun
untuk dijadikan marhun hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak memuat unsur gharar
bagi murtahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur gharar karena piutang murtahin tetap ada
kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.22
Syarat al-marhun (anggunan) meliputi; Barang anggunan tidak boleh di jual, Barang
jaminan itu bernilai, Barang jaminan itu jelas dan tertentu, Anggunan itu milik sah orang
yang berutang, Barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain, Barang jaminan itu
merupakan harta yang utuh, dan Barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun
manfaatnaya.23
Mengenai barang (marhun) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam
Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa semua barang yang boleh dijual-belikan menurut
21
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi,
cet.I, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 20060, h. 91-92. 22
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi,
cet.I, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 20060, h. 92. 23
Nasroen Haroen, Fiqh. . . , h. 254.
107
syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.24
Aspek lainnya yang perlu mendapat
perhatian dalam kaitan dengan perjanjian gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan
kewajiban masing-masing pihak dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak
normal. Situasi dan kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force
mayor seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah
menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam batas nilai
jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan yang nilainya
cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah
menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang akan dipinjamkannya.
Sedangkan kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati
bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan
hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang yang
diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima pembayaran
hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang, sedang kewajibannya
adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang rahin secara utuh tanpa cacat.
Di atas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara
barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya dalah
menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya
pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang
menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh.
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang,
maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil
penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan
kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau
barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi hutang almarhum pemilik
barang.25
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai sesuai
syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau
24
Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, terj Abdul Malik Idris, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), h. 143. 25
Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, Kifayatul…., h. 144.
108
perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut Muhammad Akram Khan
adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat
adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan dengan dukungan
gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam
mempunyai dua pilihan, yaitu dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi
pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian
mudharabah.26
Di dalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu
jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam
menanggung biaya yang secara nyata terjadi seperti biaya penyimpanan, dan dibayarkan
dalam bentuk uang (bukan persentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat
apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.
C. Pegadaian Syariah
Rahn yang dikemukakan oleh ulama klasik tersebut hanya bersifat pribadi. Artinya
utang piutang hanya terjadi antara seorang pribadi yang membutuhkan dan seorang yang
memiliki kelebihan harta, di zaman sekarang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antara pribadi dan lembaga
keuangan.27
Di Indonesia, terbitnya PP No.10 tahun 1990 menjadi tonggak awal kebangkitan
pegadaian. Pasal 3 PP tersebut Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi
wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Misi yang diemban
oleh pegadaian untuk mencegah praktek riba hingga terbitnya PP No.103 tahun 2000 sebagai
landasan kegiatan usaha perum pegadaian.28 Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta
dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah Cabang Dewi Sartika pada tahun 2003. Menyusul
kemudian pendirian Unit Layanan Gadai Syariah di Surabaya, Makasar, Semarang,
Surakarta, dan Yogyakarta. Masih pada tahun 2003, 4 (empat) Kantor Cabang Pegadaian di
Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.29
26
Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-
hadits Pilihan tentang Ekonomi), (Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, 1996), h. 179-184. 27
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,h.103 28
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan …….., h. 278. 29
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,h. 116-117
109
Pada dasarnya layanan pegadaian syariah sama dengan sistem pinjaman dengan
anggunan atau jaminan pada Bank. Hal yang membedakan adalah jenis objek yang dapat di
gadaikan. Pada Bank barang-barang yang dapat di gadaikan adalah yang memiliki nilai yang
besar, karena pinjaman yang di berikan juga besar. Sedangkan di pegadaian, untuk
mendapatkan pinjaman, para nasabah dapat menggadaikan barang-barang yang memiliki nilai
kecil.
Dalam menjalankan usaha gadai syariah, pegadaian syariah berpedoman pada fatwa
dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Fatwa DSN yang terkait langsung dengan jasa layanan
pegadaian syariah adalah Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan Fatwa
DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas.30
Tujuan utama usaha pegadaian adalah mengatasi agar masyarakat yang sedang
membutuhkan uang tidak jatuh kepada tukang ijon atau rentenir dengan bunga yang sangat
tinggi. Perusahaan pegadaian menyediakan pinjaman uang dengan jaminan barang-barang
berharga.31
Meminjam uang ke perum pegadaian bukan saja karena prosedurnya yang mudah
dan cepat tapi karena biaya yag dibebankan lebih ringan jika di bandingkan dengan para
pelepas uang atau tukang rentenir. Keuntungan pegadaian adalah pihak pegadai tidak
mempermasalahkan untuk apa uang tersebut digunakan dan hal ini tentu bertolak belakang
dengan pihak perbankan yang harus dibuat serinci mungkin tentang penggunaan uangnya.
Adapun manfaat pegadaian bagi nasabah adalah tersedianya dana dengan prosedur
yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan
pembiayaan atau kredit perbankan. Di samping itu, nasabah juga mendapat manfaat
penaksiran nilai barang bergerak secara profesional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang
bergerak yang aman dan dapat dipercaya.32
Lebih jauh, fungsi pegadaian syariah adalah sebagai wahana tolong menolong yang
telah disyariatkan oleh agama Islam, yaitu orang yang sedang dalam keadaan membutuhkan
dana dapat terbantu dengan adanya perjanjian gadai. Hal tersebut sebagaimana yang di
ungkapkan oleh Nina M. Armando, bahwa gadai merupakan sarana tolong menolong bagi
umat Islam tanpa imbalan jasa.33
30
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,h.117-118 31
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan………, h. 281. 32
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan,….,.h. 283 33
Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2005), h. 33.
110
Tentang pentingnya tolong menolong sebagaimana yang telah di syaraitkan termaktub
dalam Al-Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 2:
… و تعا و نوا على الرب والتقوى وال تعا ونوا على اإلء مث والعدون واتقوا اهلل ان اهلل شد يد العقا ب
Artinya: “ ... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertaqwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al-Maidah:2).
Lebih lanjut, akad penggadaian adalah Akad yang dilakukan untuk mendapatkan
kepastian dan jaminan utang, tujuannya bukan untuk menumbuhkan harta atau mencari
keuntungan.34
Berdasarkan kutipan tersebut, orang yang memberi hutang tidak diperbolehkan
mengambil manfaat dari barang yang di gadaikan.
Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah sebagai
berikut:
a. Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai. Syaratnya harus
terdapat jaminan berupa barang bergerak seperti emas, elektronik, dan lain-lain.
Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian, bergantung pada nilai dan
jumlah barang yang digadaikan.
b. Penaksiran nilai barang. Jasa ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi
tentang taksiran barang yang berupa emas, perak, dan berlian. Biaya yang dikenakan
adalah ongkos penaksiran barang.
c. Penitipan barang (Ijarah). Barang yang dapat dititipkan, antara lain sertifikat motor,
tanah, ijazah. Pegadaian akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya.
d. Gold counter. Merupakan fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan
sebagai bukti kualitas dan keasliannya.35
Perum Pegadaian memudahkan prosedur pengajuan pembiayaan. Calon nasabah atau
debitur hanya perlu membawa agunan (marhun) berupa perhiasan emas dan barang berharga
lainnya ke outlet Pegadaian. Proses pinjaman hanya butuh 15 menit. Pinjaman (Marhun Bih)
mulai dari 50 ribu rupiah sampai 200 juta rupiah atau lebih. Jangka waktu pinjaman
maksimal 4 bulan atau 120 hari dan dapat diperpanjang dengan cara membayar Ijaroh saja
atau mengangsur sebagian uang pinjaman. Pelunasan dapat dilakukan sewaktu-waktu. Tanpa
perlu buka rekening. dengan perhitungan sewa modal selama masa pinjaman. Nasabah
menerima pinjaman dalam bentuk tunai. Persyaratan Pembiayaan Rahn pada Pegadaian
Syariah seperti: Fotocopy KTP atau identitas resmi lainnya, Menyerahkan barang jaminan,
34
Sayyid Sabiq, Fikih . . ., h. 244. 35
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan,….,.h. 291
111
Untuk kendaraan bermotor membawa BPKB dan STNK Asli, dan Nasabah menandatangani
Surat Bukti Rahn (SBR).36
Pegadaian syariah memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadai.
Biaya tersebut dihitung berdasarkan nilai marhun. Tarif yang dikenakan untuk menyimpan
marhun jenis emas Rp.90; marhun Barang elektronik Rp.95; dan marhun Motor Rp.100.
Biaya jasa penyimpanan marhun dihitung per 10 hari, dirumuskan dengan:37
Sebagai contoh, biaya penyimpanan marhun emas 1 mayam dengan nilai Rp.1,5 juta
adalah Rp.13.500 per sepuluh hari. Dengan menggunakan rumus diatas diperoleh, 1,5 juta
nilai marhun emas dibagi Rp.10.000 dikali tarif marhun emas Rp.90.
D. Jaminan Barang yang digadai (Dhaman Al Marhun)
1. Pendapat fuqaha
Para fuqaha sepakat bahwa murtahin (orang yang menerima gadai) harus menjamin
(bertanggung jawab) terhadap marhun (barang yang digadai). Bila binasa marhun dengan
sebab melanggar aturan oleh murtahin atau kelalaian dalam memeliharanya, maka
penggantiannya dibayar dengan yang serupa, jika ada marhun yang serupa. Dan dibayar
dengan harga jika dapat dihargakan sampai berapapun harganya, meskipun ada yang serupa
dengan marhun. Jika terdapat harga marhun itu sama dengan hutang, maka gugurlah
hutangnya, jika hutangnya itu lebih banyak, maka murtahin membayar yang selebihnya
kepada rahin (pemilik barang gadai). Jika harga marhun kurang dari jumlah hutangnya, maka
murtahin mengembalikan sisa hutang rahin (madin). Kemudian para fuqaha berbeda
pendapat dalam hal jaminan marhun bila hilang di tangan murtahin tanpa melanggar batas
dan tanpa lalai dalam menjaganya. Dalam hal ini terbagi tiga pendapat:
36
http://www.pegadaian.co.id/pegadaian-rahn.php 37
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,119-120
Nilai Marhun
------------------- X Tarif berdasarkan jenis marhun
Rp.10.000,-
112
Pendapat pertama, bahwa murtahin bertanggung jawab atas marhun secara mutlak,
sama ada marhun itu hilang pada murtahin atau disembunyikannya seperti perhiasan atau
pakaian, ataupun barang gadai tersebut tidak ghaib pada murtahin atau tidak mungkin
disembunyikan seperti rumah, hewan, dan padi sebelum dipanen. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa murtahin harus menjaga marhun sebagaimana menjaga barang miliknya
sendiri, yakni seperti barang titipan. Begitu pula keluarganya diharuskan ikut menjaganya.
Jika rusak atas kelalaian murtahin, ia harus bertanggung-jawab untuk memperbaiki atau
menggantinya.38
Mazhab Abu Hanifah dan kebanyakan dari sahabat r.a., Hasan Basri,
Syuraikh, al-Sya‟bi, Ishak bin Rahawaih, Ibrahim an-Nakha‟i, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Abi
Laila, di mana mereka berbeda terhadap pertanggung jawaban, apakah ditanggung sedikit
dari harga hutang, atau dengan harga seluruhnya ataupun sekadar hutangnya saja?. Hukum
tidak mau membayar hutang adalah dosa besar. Hutang itu adalah dosa yang tidak mungkin
dimaafkan sebagaimana sabda Rasulullah kepada seorang yang bertanya: ”Ya Rasulullah!
Bagaimana pendapat Anda jika terbunuh di dalam peperangan fi sabilillah, sedangkan aku
sabar, ikhlas dan tidak mundur. Apakah Allah akan mengampuni dosa-dosa saya? Nabi
menjawab: Ya!, kecuali hutangmu, Jibril menyampaikan demikian padaku” (HR Imam
Ahmad bin Hambal). Dosa menyia-nyiakan hutang besar sekali walau jumlahnya amat kecil
sekalipun, bahkan syahid fi sabilillah pun tidak dapat menghapuskannya.39
Pendapat kedua, bahwa marhun tidak ditanggung oleh murtahin secara mutlak, baik
barang itu hilang atau tidak hilang pada murtahin. Maka tidak gugur pada saling menerima
sesuatu dari pada hutang dan seolah-olah barang tersebut binasa (hilang) pada pemiliknya,
bukan dengan melanggar batas dari salah satunya. pendapat tersebut menurut mazhab
Syafi‟iyah, Hanabilah, Daud Dhahiri. Diriwayatkan dari Ali k.w, „Atha‟, Auza‟i, Abi Tsur
dan Ibnu Mandzur.
Pendapat ketiga, bahwa jaminannya atas murtahin, bila terdapat barang gadai itu hilang,
adapun bila barang gadai itu tidak hilang, maka tidak ditanggung oleh murtahin, dan tidak
gugurlah hutangnya. Seolah-olah marhun itu hilang ketika berada pada pemiliknya, bukan
dengan melanggar batas dari murtahin, hal tersebut sesuai dengan mazhab Malikiyah.
Sebagian fuqaha, yaitu Imam Syafi‟i, Ahmad, Abu Tsaur, dan kebanyakan ahli hadis
berpendapat bahwa barang gadai adalah barang titipan (amanat), dan merupakan barang dari
38
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, cet. 10, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 171, M. Nur Rianto Al
Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis, cet.1, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 290. 39
Muslim Ibrahim, Konsultasi Agama Islam, cet. 1, (Banda Aceh: Aceh Media Grafika, 1994), h.202
113
orang yang menggadaikan.40
Jumhur ulama berpendapat bahwa marhun adalah amanat maka
murtahin tidak bertanggung-jawab atas kerusakannya jika bukan disebabkan oleh
kesalahannya dan hutang tidak dapat dianggap lunas.41
Dalil-dalil yang digunakan: Pendapat pertama mengambil dalil: bahwa jaminan marhun
atas murtahin secara mutlak sama ada barang gadai tersebut hilang atau tidak hilang. Hal
tersebut berdasarkan Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas.
Adapun dalil Sunnah: Pertama: sebagaimana riwayat Ath-Thawi dalam Syarh Ma‟ani
Al Atsar serta Al Baihaqi:42 Artinya: Bahwa seseorang menerima gadai seekor kuda dari orang lain,kemudian ia
mengeluarkan nafkahnya,kemudian Rasuullahl SAW bersabda kepada peneima
gadai, ‟hak kamu telah hilang‟.
Wajah dilalah dari hadits ini: adalah perkataan “zahaba haqquka” itu diberitahukan dari
Rasul Saw., bahwa hilang hak murtahin dengan binasanya marhun. Hal tersebut
kemungkinan terdapat tiga pengertian: Pertama: al-wastiqah (kepercayaan, kejujuran).
Kedua: al-muthalabah bi al-badal (menuntut ganti rugi). Ketiga: al-dain (hutang).
Terhadap yang pertama: Perkataan: “zahaba haqquka” itu memberitahukan hilangnya
kepercayaan (watsiqah) al-marhun, dan hilangnya itu telah diketahui dengan panca indra
(dengan nyata), tidak baik memberitahukan begitu, maka tidak shah menginginkan hak
(imbalannya).
Adapun terhadap pendapat kedua: Perkataan “zahaba haqquka”, memberitahukan
tentang hilangnya tuntutan dan gugur ganti rugi. Menuntut ganti rugi tidak wajib sebelum
hilang marhun, maka tidak shah memberitahukan tuntutan ganti rugi dengan hilangnya
marhun, karena sesuatu itu tidak dikatakan hilang melainkan sebelum diusahakan
mendapatkan dan menetapkannya.
Maka tertentulah pendapat yang ketiga: yaitu al-dain (hutang). Perkataan “zahaba
haqquka” itu memberitahukan hilang dan gugurnya hutang dari rahin dengan sebab binasa
barang yang digadai. Dikuatkan bahwa pengertian yang benar yaitu hutang, dikembalikan
dan dimakrifahkan dengan disandarkan sebelum disebut dalam hadits yang umum, maka
yang demikian itu menunjukkan kebenaran yang satu, yang pertama dimaksudkan adalah
hutang, hal ini merupakan satu keyakinan. Hak pada kata-kata “zahaba haqquka”,
40
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan,….., h. 289. 41
Rachmat Syafe‟i, Fiqih…., h.175 42
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2, terj.Abu usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), h.548
114
maksudnya adalah hutang dan hilangnya hutang sebagai bandingan marhun yang hilang, itu
menunjukkan bahwa murtahin bertanggung jawab (menjamin) terhadap marhun bila hilang di
tangan murtahin. Dalil tersebut ditolak: Tidak shah berhujjah dengan dalil tersebut, karena
ulama al-Jarh wa al-Ta‟dil menganggap lemah. Berkata Ibnu Rusyd bahwa hadits itu
mursal, seluruh mereka dari Atha‟ bin Abu Rabah secara marfu‟.43
Dalil al-Sunnah yang kedua: apa yang diriwayatkan oleh „Al-Qamah bin Murst‟ad, dari
Maharib bin Dinar, bahwa Nabi Saw., bersabda:
Artinya: Barang gadaian itu pada murtahin, bila hilang barang gadaian, maka diganti
dengan harganya.
Wajah dilalah dari hadits ini: bahwa Rasulullah Saw., memberitahukan bahwa barang
gadaian itu apabila hilang, maka hilang pula hutangnya karena hilangnya itu binasa. Maka
pengertian hilang barang gadaian adalah barang gadaian pada murtahin menjadi hutang, maka
tidak dikembalikan oleh murtahin kepada rahin hutangnya, pengertian ini dimaksudkan
bahwa jaminannya atas murtahin.
Dalil tersebut ditolak dengan hadits berikut: “la yuslihu lil ihtijaj” (tidak baik berhujjah
dengan dalil tersebut) yang telah diriwayatkan oleh Al-Daraquthni dari tiga jalan, tidak
terlepas satu jalan pun dari padanya perawi yang dusta, dha‟if atau maudhu‟.
Adapun dalil Ijma‟: diriwayatkan dari sahabat dan tabi‟in, bahwa barang gadai itu
ditanggung murtahin, para ulama berbeda dalam hal cara menanggungnya, namun tidak ada
satupun yang menentang tentang membayarnya. Maka dikatakan bahwa barang gadaian itu
amanah di tangan murtahin adalah menentang ijmak. Ditolak dalil tersebut dengan ijmak:
didakwakan ijmak itu tak ada bukti, maka tidak shah, karena dinukilkan dari sebahagian
sahabat dan sebahagian tabi‟in berbeda dengan apa yang didakwakan oleh ijmak. Maka shah
nukilan dari Ali k.w bahwa Barang gadaian itu amanah di tangan murtahin, diriwayatkan dari
Ali bahwa ia berkata: barang gadaian harus dikembalikan sisanya sekalipun tertimpa cacat
menurut satu pendapat.44
Ini menunjukkan bahwa Ali k.w. tidak berpendapat menolak
sisanya, melainkan hilang perbuatan melanggar hukum oleh murtahin. Adapun bila tertinpa
cacat, maka dipandang bebas bagi murtahin membayarnya. Pengertian ini adalah bahwa
marhun tidak ditanggung oleh murtahin apabila hilang di tangan murtahin, bukan karena
pelanggaran hukum dari murtahin terhadap marhun, dan bukan pula karena kelalaian
memeliharanya.
43
Ibnu Rusyd, Bidayatul………., h.548 44
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2……………..,h. 546
115
Shah menurut „Atha‟ dan Zuhri (keduanya dari golongan tabi‟in), perkataan bahwa
marhun itu amanah di tangan murtahin, menurut „Atha‟ barang gadaian itu wastiqah
(kepercayaan), jika binasa, maka tidak atas murtahin gharmun (kerugiannya tidak ditanggung
murtahin), rahin wajib membayar hutang semuanya yang diambil pada murtahin.45
Menurut
az-Zuhri, pada barang gadai yang hilang: bukan hilang hak, melainkan hilang dari pemilikan
barang gadai, pemilik barang gadai (rahin) berhak mengambil hasilnya, pemilik barang gadai
(rahin) juga berhak menanggung kerugiaannya. Para ulama berbeda pendapat, bahwa
pendapat menurut ijmak di atas tidak shah.
Adapun dalil qiyas: mereka berkata: hutang itu seperti diyat jinayah hamba, semua hak
sekali-kali tidaklah digantungkan dengan benda, maka sebagaimana diyat jinayah hamba,
maka gugurlah dengan hilangnya hamba, begitu juga hutang itu gugur dengan hilangnya
marhun. Dalil qiyas ini ditolak: sebagai pemisah, jika diyat jinayah hamba itu imbalan yang
dikaitkan pada satu tempat, yaitu memerdekakan hamba al-janiy, adapun hutang, maka hak
(balasannya) bagi murtahin, dikaitkan pada zimmah rahin dan dengan membebaskan marhun,
jika hilang marhun, maka hilang salah satu dari dua tempat, sisanya dikaitkan pada tempat
yang lain, seperti jaminan hutang, jika hilang jaminan, maka tidak gugurlah sisa hutangnya
pada tempat yang lain.
Pendapat kedua mengambil dalil: bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas
marhun, bila binasa di tangan murtahin, bukan dengan melanggar batas dan bukan kelalaian
dalam menjaganya, pendapat kedua ini mengajukan dalil sunnah dan qiyas. Adapun menurut
Sunnah: Hadits yang diriwayatkan Asy-Syafi‟i, ad-Daraquthni, dari Abi Hurairah r.a, dari
Nabi Saw., bersabda:
Artinya: Tidak boleh ditutup/ dihalangi barang yang digadaikan bagi pemiliknya yang
menggadaikannya, keuntungan dan kerugian adalh haknya (penggadai/pemilik
barang).46
Wajah dilalah dari hadits ini: adalah perkataan Rasul Saw., “ al-Rahnu min shahibihi”,
maksudnya adalah jaminannya, dan perkataan Nabi “Lahu ghunmuhu wa „alaihi ghurmuh”,
maksudnnya adalah bagi rahin itu kelebihan terhadap barang gadaiaannya, manfaat dan
kekukarangan serta kebinasaannya juga bagi rahin, maka dua perkataan yang menunjukkan
45
Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid.6, Penerbit: Dar Alamul kutub, h. 522 46
HR. Ibnu Hibban dalam Mawaridu adh-Dham‟an (no. 1123), Baihaqi (6/40), Abdur Razzaq dalam al-
Mushannaf (no. 15033), Daruquthni dalam as-Sunan (3/32 no. 126), al-Marsail li Abi Dawud (no. 187), asy-
Syafi‟I dalam Tartibul Musnad (2/164 no. 568). Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram, “Para
perawi hadist ini terpercaya, kecuali yang lebih kuat tentang hadist ini menurut Abu Dawud bahwa hadist ini
mursal”
116
dilalah yang jelas bahwa tangan murtahin terhadap marhun itu tangan amanah, maka tidak
boleh dijamin apabila hilang di tangan murtahin. Dalil tersebut ditolak: karena haditsnya
mukhtalif pada wasilah, risalah, rafa‟ah, waqafnya, dan hadits ini tidak baik dijadikan hujjah.
Adapun menurut qiyas: Marhun itu seperti akte/cheque, orang yang menanggung dan
saksi, persamaannya adalah memberikan kepercayaan, maka sebagaimana hutang itu kekal
keaadaannya atas si rahin apabila hilang cheque atau mati orang yang menanggung atau
matinya saksi, maka begitulah hutang itu kekal keadaaannya apabila binasa marhun, inilah
pengertian tidak diganti (dijamin).
Maqisnya adalah marhun, maqis „alaihnya adalah shak, kafil dan syahid, sedangkan
persamaannya (illatnya) adalah tawastuq (memberi kepercayaan).
Pendapat ketiga mengambil dalil: Bahwa murtahin menjamin marhun yang dihilangkan
atasnya, dan tidak dijamin bila tidak dihilangkan dengan dua dalil: Dalil pertama: barang
yang hilang itu kebanyakan didakwakan hilang menurut satu segi tidak diketahui padanya
kebenaran mudda‟i (orang yang mendakwakan) karena disembunyikannya, dan karena tidak
diketahui manusia, dan barang yang tidak hilang atas murtahin, tidak begitu, apabila binasa
dan hilangnya dari keadaannya yang dhahir terhadap manusia serta dikenal, karena adanya
tuhmah (dugaan buruk) pada barang yang hilang di tangan murtahin, maka wajib jaminannya
atas murtahin, karena ketiadaan jaminan itu membuka jalan dengan sebab menyia-nyiakan
hak orang lain, atau disembunyikannya barang tersebut karena ingin merusakkannya. Maka
gantungan hukum itu adalah adanya dugaan buruk, sehingga apabila murtahin tetap
mendakwakan kebenaran dari binasanya barang tersebut, maka tidak wajib ganti rugi oleh
murtahin.
Dalil yang kedua: pekerjaan penduduk Madinah r.a di mana mereka mewariskan ganti
rugi pada barang yang hilang di tangan murtahin saja. Dalil penduduk Madinah ini ditolak:
bahwa amal penduduk Madinah hanya akan menjadi hujjah apabila menunjukkan Sunnah
yang diikuti pada zaman Rasul Saw., seperti nukilan mereka terhadap sha‟, mud (takaran),
muzara‟ah (bagi hasil tanaman), dan musaqah, adapun terhadap pekerjaan yang caranya
ijtihad dan istidlal- sebagaimana nyata pada jaminan barang yang digadai- maka tidak ada
hujjah.
Pendapat yang rajih: Pendapat yang rajih adalah pendapat yang ketiga, yaitu kembali ke
mazhab Malikiyah, yang menetapkan bahwa murtahin wajib ganti rugi bila marhun hilang di
117
tangannya,47 dan tidak wajib ganti rugi apabila tidak hilang di tangannya, pendapat yang
menyatakan tidak wajib ganti rugi itu mutlak karena membuka pintu atas mashara‟iyah, di
depan para murtahin, sebab memakan harta manusia secara batil; Pendapat yang menyatakan
ganti rugi itu mutlak pada murtahin adalah tipuan dalam jual beli terhadap para murtahin, dan
terkecohlah dengan harta mereka, karena sesungguhnya keselamatan gadai itu terletak pada
menjaga harta mereka (rahin), jika hilang serta rusak harta mereka tanpa dugaan buruk
barang yang tidak hilang atasnya murtahin, maka yang adil adalah diputuskan dengan
memilahkan antara yang hilang dan tidak hilang, cara seperti itu adalah menghambat semua
jalan menuju kerusakan (saddu al-zara‟i), karena maksud dan tujuan gadai adalah menjaga
harta rahin dan murtahin sehingga tidak memberi mudharat salah seorang dari mereka,
karena itu sangatlah adil jika hutang murtahin dibayar oleh rahin dengan dalil.
Dalam hal marhun hilang di tangan murtahin, dan hilangnya tidak disengaja bahkan
murtahin telah menjaganya dengan baik sekali, penulis berpendapat bahwa jika telah
diusahakan sekuat tenaga untuk mencarinya, ternyata tidak diperoleh, maka murtahin tidak
wajib mengganti. Alasannya adalah sabda Nabi Saw.:
Artinya: “Tidak berhak penggadai memiliki barang yang digadaikan oleh temannya yang
tidak mampu membayar hutangnya. Ia (pemilik barang gadai) berhak mengambil
hasilnya dan ia wajib memikul bebannya atau menanggung kerugiannya. (Hadits
riwayat asy-Syafi‟i dan ahli hadits lainnya dari Mu‟awiyah bin Abdullah bin
Ja‟far).48
Di dalam hadist tersebut disebutkan bahwa kerugian dan keuntungan marhun
dikembalikan kepada rahin. Maka jika hilang tanpa disengaja berarti murtahin tidak wajib
menggantikannya. Kalau ganti rugi dibebankan kepada murtahin, berarti dapat
memberatkannya, sedangkan agama tidak memberatkan para mukallaf melainkan menurut
kemampuannya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah Surat al-Hajj ayat 78:
عليكم يف الدين من حرجوما جعل
Artinya: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Aku dibangkit membawa agama yang mudah lagi lapang
47
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2……………..,h. 546 48
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Mesir: Dar al-Qalam,tt), h. 344, lihat juga Fiqh Sunnah, Vol. III,
(Libanon: Dar al-Fikr, 1981), h. 190
118
Selanjutnya yang dipegang adalah kata-kata murtahin dan diikuti dengan sumpahnya
bahwa ia benar-benar telah menjaga marhun dengan baik sekali, maka murtahin tidak wajib
menggantinya karena sumpah murtahin adalah sehabis-habis pengakuan dengan membawa
nama Allah.
Adapun hutang si rahin terhadap murtahin, wajib dibayar. Hal ini berdasarkan hadits di
atas yang menyatakan bahwa “keuntungan dan kerugian marhun ditanggung oleh rahin”,
berarti memberikan makna bahwa hutang murtahin harus dibayar oleh rahin. Kalau tidak
dibayar bertentangan dengan firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78 tersebut, karena dapat
menyusah dan menyempitkan murtahin dengan sebab tidak dibayarkan hutangnya oleh rahin.
Menurut hukum Islam jika sudah jatuh temponya membayar hutang, maka pemilik
barang gadai wajib melunasinya.49
Penulis berpendapat, bila tidak dibayar hutang murtahin,
maka murtahin wajib melaporkannya kepada hakim, karena murtahin sudah mengakui
dengan sebenarnya dan dikuatkan dengan sumpah bahwa marhun yang ada ditangannya itu
hilang bukan dengan disengaja.
Akan tetapi bila marhun itu hilang dengan adanya unsur kesengajaan, maka penulis
berpendapat bahwa murtahin wajib membayar ganti rugi marhun. Meskipun demikian, hal ini
terserah kepada rahin, apakah diminta ganti rugi atau tidak. Kalau diminta, berarti murtahin
wajib membayarnya, jika tidak, maka tidak wajib membayar.
Menurut Syuraih, al-Hasan dan Asy-Syafi‟i bahwa barang gadaian itu dijamin
bayarannya sebanyak hak (imbalannya). Kalau umpamanya harga barang sedirham sedang
hak sepuluh ribu, maka jika barang itu binasa, gugur semua hak (imbalan). Menurut mazhab
Malik, segala yang dhahir binasa, seperti binatang dan kebun, tidak dijamin (ditanggung)
oleh yang menerima gadai dan diterima pengakuannya tentang kerusakan barang itu dengan
disumpah. Barang yang tersembunyi kebinasaannya, seperti mata uang dan kain, tidak
diterima pengakuannya terkecuali jika dibenarkan oleh yang menggadaikan.50
Dengan tidak memberatkan semua pihak, menurut Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam
bukunya Hikmatut Tasyri‟ wa Falsafatuhu”, “akan terlihatlah bahwa hikmah gadai sangat
besar sekali. Karena orang yang memberikan jaminan hutang itu menjadi faktor dalam
49
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Cet-II, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), h. 120 50
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab, Cet-II, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 369
119
mengatasi kesusahan dari si penggadai, dan kesusahan itu yang mengganggu pikiran dan
hati”.51
2. Dhaman Al Marhun pada Pegadaian Syariah
Pengaturan hukum jaminan pada pegadaian di Indonesia menurut Kitab undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Seorang pemegang gadai (murtahin) memikul
kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a. Bertanggung jawab terhadap hilangnya atau kemunduran harga barang
tanggungan, jika itu disebabkan karena kelalaiannya;
b. Memberitahukan pada orang yang berhutang apabila hendak menjual barang
tanggungannya;
c. Memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualannya, dan setelah
mengambil pelunasan hutangnya harus menyerahkan kelebihannya pada si
berhutang;
d. Mengembalikan barang tanggungan apabila hutang pokok dan biaya untuk
menyelamatkan barang tanggungan telah dibayar lunas.52
Pada Pasal 1157 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan:
“Kreditur bertanggung jawab atas kerugian atau susut nya barang gadai itu,
sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya. Di pihak lain debitur wajib mengganti
kepada kreditur itu biaya yang berguna dan perlu dikeluarkan oleh kreditur itu
untuk penyelamatan barang gadai itu”.
Berdasarkan kewajiban-kewajiban diatas yang dipikul oleh pegadaian syariah selaku
murtahin serta sebagaimana tertera dalam KUH Perdata, dalam lembaga pegadaian syariah
di Indonesia, kehilangan marhun ditanggung oleh pegadaian syariah selama kehilangan
bukan disebabkan karena kelalaian pihak lembaga pegadaian.
E. Kesimpulan
Kondisi perekonomian yang tidak stabil mengakibatkan sebagian masyarakat hidup di
bawah garis kemiskinan. Sehingga bermacam bentuk problematika timbul dan dihadapi serta
dirasakan oleh masyarakat. Salah satu cara yang sering dipergunakan dan dilakukan oleh
sebagian masyarakat adalah dengan cara mencari pinjaman pada pihak-pihak tertentu untuk
memenuhi hajat hidup baik pemanfaatan lembaga keuangan formal melalui bank dan perum
pegadaian. Berkaitan dengan transaksi pinjam meminjam tersebut, tentu saja tidak dapat
dihindari apa yang disebut dengan barang yang digadai (marhun).
51
Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri‟ wa Falsafatuhu, Cet-IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1994),
h. 201 52
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,h. 107-108
120
Fuqaha berbeda pendapat dalam hal jaminan marhun bila hilang di tangan murtahin
yang tidak lalai dalam menjaganya. Dalam hal ini terbagi tiga pendapat. Pertama, bahwa
murtahin bertanggung jawab atas marhun secara mutlak, sama ada marhun itu hilang pada
murtahin atau disembunyikannya seperti perhiasan atau pakaian, ataupun barang gadai
tersebut tidak ghaib pada murtahin atau tidak mungkin disembunyikan seperti rumah, hewan,
dan padi sebelum dipanen. Kedua, bahwa marhun tidak ditanggung oleh murtahin secara
mutlak, baik barang itu hilang atau tidak hilang pada murtahin. Maka tidak gugur pada saling
menerima sesuatu dari pada hutang dan seolah-olah barang tersebut binasa (hilang) pada
pemiliknya, bukan dengan melanggar batas dari salah satunya. pendapat tersebut menurut
mazhab Syafi‟iyah, Hanabilah, Daud Dhahiri. Diriwayatkan dari Ali k.w, „Atha‟, Auza‟i, Abi
Tsur dan Ibnu Mandzur. Ketiga, bahwa jaminannya atas murtahin, bila terdapat barang gadai
itu hilang, adapun bila barang gadai itu tidak hilang, maka tidak ditanggung oleh murtahin,
dan tidak gugurlah hutangnya. Seolah-olah marhun itu hilang ketika berada pada pemiliknya,
bukan dengan melanggar batas dari murtahin, hal tersebut sesuai dengan mazhab Malikiyah.
121
DAFTAR PUSTAKA
Admin, 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia, http://alihapsah.com, diakses 22 Desember
2010.
Akmadsyah, Ishak. Efektifitas Pengelolaan Pogram Pemberdayaan Ekonomi Kecil Pasca
Tsunami, dalam Jurnal Media Syariah. Banda Aceh, Vol x. No.20, 2008
Al Arif, M. Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis. cet,1.
Bandung: Pustaka Setia, 2012Al-Jurjawi, Syaikh Ali Ahmad. Hikmatut Tasyri‟ wa
Falsafatuhu. Cet-IV. Bairut: Dar al-Fikr, 1994
Al-Mundziri, Al-Hafizh „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin. Mukhtshar Shahih
Muslim. Terjemahan oleh. Acmad Zaidun. Cet. 1. Saudi Arabia: Daar Ibn Khuzaimah,
1994
Anggabrata, Rizal. Uang dan Lembaga Keuangan. Cet. 1. Jakarta: Multazam Mulia Utama,
2011
Anshori, Abdul Ghafur. Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan
Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006
Armando, Nina M. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2005
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Hukum-hukum Fiqh Islam. Cet. 2. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001
Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah. Terjemahan oleh.
Mifthaul Khairi. Cet. 1. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009
Az-Zabidi, Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abd Al-Lathif. Mukhtashar Shahih Al-Bukhari.
Cet. 1. Saudi Arabia: Daar As-Salam, 1996
Haroen, Nasroen. Fiqh Muamalah. Cet. 2. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Ibrahim, Muslim. Konsultasi Agama Islam, cet. 1. Banda Aceh: Aceh Media Grafika, 1994.
Khan, Muhammad Akram. Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi: Kumpulan
Hadits-hadits Pilihan tentang Ekonomi. Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, 1996
Media Pendidikan On-Line, Kamus Wikipedia, http://Google.co.id, akses 1 November 2011.
Media On-Line, Faktor-Faktor Kemiskinan, http://google.co.id, akses 20 Oktober 2011.
Rusyd,Ibnu. Bidayatul Mujtahid 2, terj.Abu usamah Fakhtur Rokhman,. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah 4. Terjemahan oleh. Mujahidin Muhyan. Cet. 1. Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2009
___________. Fikih Sunnah 5. Terjemahan oleh. Abdurrahim dan Masrukhin. Cet. 1. Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009
Syafe‟i, Rachmat. Fiqih Muamalah, cet. 10. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Syaltut, Mahmud. Al-Fatawa. Mesir: Dar al-Qalam,tt
Taqiyuddin, Abu Bakar bin Muhammad. Kifayatul Akhyar. Terjemahan oleh. Abdul Malik
Idris. Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Cet-II. Jakarta: Haji Masagung, 1991
122
PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA IKRAR WAKAF
(PPAIW) KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN DALAM
PENSERTIFIKATAN TANAH WAKAF DI
KABUPATEN ACEH BARAT
Dedi Kamarlis
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry
Abstract Endowments, if managed properly it will generate revenue for the country. therefore asset
endowment is a very important and valuable for Muslims because then that endowments can
be managed and utilized to the maximum, endowments must be protected from interference
by the state parties who are not responsible. The problem is how Johan Pahlawan sub-district
PPAIW role in the certification of waqf land in West Aceh district and how the allocation and
utilization of waqf land in Johan Pahlawan sub-district. The purpose of this thesis to
determine how Johan Pahlawan sub-district PPAIW role in the certification of waqf land in
West Aceh district and how the allocation and utilization of waqf land in Johan Pahlawan
sub-district. The method in this research is qualitative research. This research is a field of
research or fieldwork. Therefore, the authors will be reading, observing, interviewing and
analyzing matters related to the issue being studied. The results showed that the role PPAIW
Johan Pahlawan sub-district in the certification of waqf land in West Aceh district is very
large because PPAIW authorities in issuing pledge waqf deed, certify and deliver nadzhir
waqf land registration to BPN and oversee the management of waqf land to be used in
accordance by designation. Waqf land in Johan Pahlawan sub-district is intended for the
benefit of the people of Islam such as mosques, prayer rooms, madrasa, tombs and other
social activities.
Kata Kunci: Roles, PPAIW, Endowments, Certificate.
امللخص
هتدف ىذه املقالة إىل تفتيش عن مذاىب الشريعة اإلسالمية وجمال الرىن من األشياء املرىون. لقد اختلف الفقهاء عن ضمان املرىون لو أضاعو املرهتن وحقيقة إنو مسؤولية عليو. وىناك ثالثة آراء مما
ن خيفى املرىون كحلي تتعلق هبذا األمر، منها: األول، أن يضمن املرهتن على املرىون متاما، وميكن أولباس أو أن يرىن املرهتن األشياء اجللية على سبيل املثل، املنزل، واحليوان، واألرز قبل احلصد. والثاين، أن ال يكلف املرهتن املرىون على اإلطالق، سواء أكان فقد املرىون أو ال. إذن، أن ال يؤدي
ىون أو يفقدىا فال يبطل العقد من بينهم. فهذا إىل إبطال الدين املقبول من . وإن أفسد املرهتن املر الرأي اعتمادا على الشافعية واهلنابلة ودافد صاىري. وقد رواه اإلمام علي كرام اهلل وجو، عطاء،
123
أوزاعي، ثور وابن أيب منظور. والثالث، أن يضمن املرهتن حني فقد املرىون. وإن ال يفقد املرهتن لى الدين. وىذا الرأي عند املالكية.املرىون فال يكلف عليو املرهتن ع
124
A. Pendahuluan
Al-Quran merupakan garis panduan kehidupan yang sempurna yang perlu dipatuhi
oleh semua makhluk Allah SWT di mana manusia sebagai khalifah di muka bumi. Oleh
sebab itu Islam merupakan sebaik-baik jalan hidup dan tidak ada lagi cara hidup lain yang
dapat memenuhi keperluan manusia. Ekonomi adalah salah satu aspek penting dalam
kehidupan manusia. Dalam Islam hal-hal yang berkaitan dengan aspek ekonomi meliputi
banyak hal. Untuk mengembangkan aspek ekonomi, Islam menempuh dua cara. Pertama,
dengan cara bermuamalah dalam perniagaan atau dalam bentuk lainnya. Kedua dengan aspek
sosial. Aspek sosial inilah yang membedakan Islam dengan lainnya. Bentuk-bentuk
pemberdayaan ekonomi dengan model sosial seperti infaq, zakat, shadaqah dan wakaf.
Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas masyarakatnya pemeluk agama islam,
wakaf merupakan salah satu ibadah yang mempunyai dimensi sosial di dalam agama Islam.
Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib
dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana
mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan
demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf tetapi juga karena sikap masyarakat yang kurang peduli
atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk
kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.53
Wakaf adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul yang hukumnya
adalah sunat. Tujuan dan hikmah hukum disunatkan wakaf itu adalah untuk membantu
mengatasi kebutuhan sosial yang ada di setiap masa.54
Dasar dari hukum sunat itu dapat
dilihat dari umumnya firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 92 yang berbunyi:
Artinya :“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Q.S Ali Imran : 92)
Dari ayat tersebut di atas dapat diketahui dan dipahami bahwa tidak akan sampai
seseorang kepada kebaikan atau kebajikan yang sempurna hingga seseorang tersebut
menafkahkan hartanya dijalan Allah. Karena harta yang dinafkah oleh seseorang tersebut
disamping menjadi kemaslahatan bagi ummat, juga bisa menjadi amalan baginya di alam
akhirat nanti.
53
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, h.121 54
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 234.
125
Wakaf yang dilakukan oleh masyarakat belum berperan maksimal dalam
memberdayakan ekonomi umat. Faktor-faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum
berperan maksimal dalam memberdayakan ekonomi umat antara lain : 55
1. Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar,
baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkannya wakaf.
2. Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih memprihatinkan.
Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam dalam pengelolaannya,
bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah pengelolaannya
yang tidak professional.
3. Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup
untuk membangun mesjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Di
Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak
bergerak), padahal dalam fikih harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk
surat berharga dan uang.
4. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nadzir. Nadzir adalah
orang yang diserahi tugas untuk mengurus, mengelola, dan memelihara harta benda
wakaf. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nadzir. Di
berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk
memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nadzir yang professional.
Dalam pelaksanaannya hampir di seluruh Indonesia termasuk Kecamatan Johan
Pahlawan Kabupaten Aceh Barat mempunyai kendala-kendala dalam pengelolaan tanah
wakaf karena banyak tanah wakaf yang belum berfungsi dengan semestinya serta banyak
tanah wakaf yang belum memperoleh sertifikat Tanah Wakaf dari Badan Pertanahan
Nasional karena berbagai faktor sehingga tanah wakaf tersebut tidak dapat dilindungi oleh
negara.
Semua tanah wakaf yang ada di Indonesia termasuk di Kecamatan Johan Pahlawan
harus di buat sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga tanah wakaf tersebut
dapat di lindungi oleh negara sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Namun dalam realita
di lapangan tidak semua tanah wakaf tersebut sudah memperoleh sertifikat yang dikeluarkan
oleh Badan Pertanahan Nasional.
Menurut data yang diperoleh di Kecamatan Johan Pahlawan terdapat 67 lokasi tanah
wakaf, dari 67 Lokasi tersebut yang sudah bersertifikat hanya 21 Lokasi, 17 Lokasi sudah di
daftarkan ke BPN tetapi belum keluar sertifikatnya dan sisanya sebanyak 29 lokasi tanah
wakaf belum didaftarkan ke BPN sehingga jumlah tanah wakaf yang belum bersertifikat di
Kecamatan Johan Pahlawan sebanyak 46 Lokasi.
55
Uswatun Hasanah, 2009, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, www.antaranews.com.
126
Dalam pendaftaran tanah wakaf menurut pasal 32 Undang-undang RI Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf mengatakan bahwa PPAIW atas nama nazhir mendaftarkan harta
benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 ( tujuh ) hari kerja sejak akta
ikrar wakaf ditandatangani56
sehingga pihak yang berwenang (Badan Pertanahan Nasional)
dapat mengeluarkan sertifikat tanah wakaf tersebut. Akan tetapi yang terjadi di lapangan
termasuk di Kecamatan Johan Pahlawan, PPAIW sering terlambat mendaftarkan tanah wakaf
tersebut ke Badan Pertanahan Nasional sehingga akan memperlambat proses pendaftaran
sertifikat tanah wakaf tersebut. Hal ini di sebabkan karena PPAIW mempunyai tugas-tugas
lain yang harus di kerjakan dan PPAIW tidak mempunyai dana khusus untuk proses
pendaftaran tanah wakaf tersebut.
Sertifikat tanah wakaf dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang diusulkan
oleh nazhir atau Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas nama nazhir dengan
membawa sertifikat tanah yang bersangkutan, akta ikrar wakaf, dan surat pengesahan Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat mengenai nazhir yang bersangkutan.57
Dalam proses
persertifikatan ini PPAIW juga harus selalu mengadakan koordinasi dengan Badan
Pertanahan Nasional supaya PPAIW atau Nazhir akan mudah dalam proses pembuatan
sertifikat. Namun, PPAIW Kecamatan Johan Pahlawan kurang melakukan koordinasi dengan
BPN Kabupaten Aceh Barat sehingga proses pensertifikatan tanah wakaf membutuhkan
waktu yang relatif lama.
Tanah wakaf yang belum bersertifikat di Kecamatan Johan Pahlawan disebabkan
karena lambatnya proses persertifikatan diajukan ke Badan Pertanahan Nasional, nazhir tidak
mengerti proses untuk memperoleh sertifikat tanah wakaf, lokasi tanah wakaf hilang karena
tsunami, dan tanah wakaf tidak dilaporkan kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) untuk dibuat Akta Ikrar Wakaf ( AIW) dan selanjutnya dibuat sertifikat di Badan
Pertanahan Nasional.
Dalam proses pendaftaran pencatatan Ikrar Wakaf Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
atas nama nazhir dan atau nazhir berkewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran
pada Kantor Pertanahan Kabupaten setempat dengan menyerahkan surat-surat pemilikan
tanah, Akta Ikrar Wakaf dan Surat Pengesahan nazhir, apabila syarat-syarat tersebut sudah
56
Drs.H.A.Basiq Djalil, S.H.,MA, Peradilan Agama Di Indonesia, Ciputat, Prenada Media Group,
2004. h.319 57
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir
Terlupakan), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, h 142
127
diajukan ke BPN maka BPN akan mengeluarkan sertifikat tanah wakaf sehingga tanah wakaf
tersebut dapat dilindungi oleh negara sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) juga harus mengsosialisasikan kepada
masyarakat tentang tata cara perwakafan sehingga masyarakat akan mengetahui tata cara
perwakafan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik itu
dengan mengadakan pelatihan bagi nazhir atau penyuluhan langsung ke desa-desa dengan
mengadakan kerjasama dengan aparatur desa yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaannya Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf Kecamatan Johan
Pahlawan masih kurang melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang tata cara
perwakafan, dan menyebabkan masyarakat kurang mengetahui tentang tata cara perwakafan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang sehingga ada sebagian
di antara mereka masih melakukan tata cara perwakafan menurut pengetahuan mereka tanpa
membuat sertifikat yang di keluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional setempat.
Oleh sebab itu, penulis sangat tertarik untuk menulis dan meneliti sehingga penelitian
ini penulis berikan judul “Peran Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kecamatan
Johan Pahlawan dalam Pensertifikatan Tanah Wakaf di Kabupaten Aceh Barat”
B. Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Berbicara soal wakaf, tidak hanya menarik karena ia merupakan wilayah kajian
hukum Islam yang orisinil, tetapi juga menarik karena wakaf adalah salah satu diantara
sekian banyak obyek kajian hukum Islam, selain infaq, zakat dan shadaqah, yang berkaitan
erat dengan persoalan ekonomi, hukum dan sosial.
Wakaf berarti menghentikan, secara bahasa “wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf
masdar dari وقف -يقف -وقفا , kata al-waqf semakna dengan al-habs masdar dari يحبس -حبسا-
.”artinya menahan حبس58
Dengan kata lain, “wakaf menurut bahasa barasal dari kata waqf
yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), dan al-man‟u
(mencegah)”.59
Pengertian wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ,
yaitu : “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
58
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz. 3, Beirut: Darul al-Fikr, t.t, h. 515. 59
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 239.
128
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah”.60
Sedangkan menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa
makna wakaf adalah menahan dzat benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzat dan
menyedekahkan manfaatnya, ataupun “menahan suatu harta yang merupakan milik pewakaf,
kemudian menyumbangkan di jalan kebaikan”.61
2. Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum wakaf berasal dari hukum Islam yang tentunya dalam pemanfaatannya
tidak lepas dari misi islam yakni untuk menciptakan kebahagiaan masyarakat (rahmatan lil
alamin).62
Pengertian-pengertian umum ayat Al-Quran maupun hadith yang secara khusus
menceritakan kasus-kasus wakaf di zaman Rasulullah. Dalil yang dijadikan dasar hukum
wakaf dalam Islam adalah seperti yang dikemukakan dalam firman Allah SWT surat Ali
Imran ayat 92:
﴾۲۹ال عمشان : ﴿تنالواالبشحتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شىء فإناهللا به عليم لن
Artinya :“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu
nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah SWT mengetahuinya”. (Ali Imran : 92)
Dalam ayat lain yaitu surat Al-Baqarah ayat 267 Allah SWT berfirman:
يأيها آلرين ءامنوا أنفقوا من ؼيبت ما كغبتم وممآ أخش جنالكم من آألشط ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari
bumi untuk kamu ...”. (Al-Baqarah : 267)
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa “Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-
Nya yang beriman untuk berinfak (shadaqah), yaitu sebagian dari harta kekayaannya yang
baik-baik yang telah dianugerahkan melalui usaha mereka”.63
60
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat ......h 180 61
Muhammad Amin ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, juz IV, Beirut : Dar al-Fikr, 1992, h. 337. 62
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 2005, h. 6. 63
M. Abdul Ghoffar, et., al, Tafsir Ibnu Katsir, Cet. 1, Jilid. 1, Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2004, h.
534.
129
C. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
Pemerintah Republik Indonesia selaku pihak yang berwenang dalam melindungi dan
memberdayakan tanah wakaf telah mengeluarkan berbagai peraturan dan menunjuk pejabat-
pejabat yang mengelola dan untuk melindungi tanah wakaf tersebut.
Di dalam peraturan-peraturan tersebut telah jelas diatur tata cara pensertifikatan tanah
wakaf di Indonesia. Dan di dalam peraturan tersebut pemerintah telah menunjuk dan
mengangkat Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf selaku pihak yang berwenang dalam
mengurus tanah wakaf.
Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 73 Tahun 1978 pada tanggal 9
Agustus 1978 tentang pendelegasian wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama Propinsi atau setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat atau memberhentikan
setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf64
, yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf , selanjutnya
disingkat PPAIW, ialah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama, sesuai
dengan ketentuan pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 197765
. Dan
PPAIW adalah seorang yang bertugas di lembaga pemerintahan yang menangani proses-
proses perwakafan.
Peraturan lain yang mengatur tentang perwakafan yaitu Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf. Undang-undang ini dikeluarkan oleh pemerintah karena praktik
wakaf yang terjadi dalam masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga
dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar
atau beralih fungsi ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum.
Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat (6)
dinyatakan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW,
adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh menteri untuk membuat akta ikrar wakaf”66
2. Fungsi dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat 6 menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat
64
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, h 488 65
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta PT Raja Grafindo Persada 2003 h.546 66
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
130
berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dan wakif
menyerahkan kepada nazhir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud pada pasal (6), diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama.67
Fungsi dan tugas Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf adalah68
:
a. Meneliti kehendak wakif
b. Meneliti dan mengesahkan nazhir atau anggota nazhir yang baru sebagai diatur dalam
pasal 10 ayat (3) dan (4) pada peraturan ini.
c. Meneliti saksi ikrar wakaf.
d. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf.
e. Membuat Akta Ikrar Wakaf.
f. Menyampaikan akta ikrar wakaf dan salinannya sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat
(2) dan (3) peraturan ini selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak dibuatnya.
g. Menyelenggarakan daftar Akta Ikrar Wakaf.
h. Meyampaikan dan memelihara akta dan daftarnya.
i. Mengurus pendaftaran perwakafan seperti tercantum dalam pasal 10 ayat (1) Peraturan
Pemerintah.
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, menyebutkan dalam pasal 28:
“Pembuatan Akta Ikrar Wakaf benda tidak bergerak wajib memenuhi persyaratan dengan
menyerahkan sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun yang bersangkutan
atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.69
Fungsi dan kewenangan PPAIW saat ini menunjukkan adanya kualitas peningkatan
yang cukup baik, pada Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan hak
milik, fungsi dan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf hanya dapat menjadi
PPAIW terhadap tanah wakaf yang bersifat hak milik atau hanya berupa benda tidak
bergerak.
Perkembangan fungsi dan kewenangan PPAIW saat ini berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun
2004 tentang wakaf menyebutkan dalam pasal 37 ayat (1) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala Kantor Urusan
Agama (KUA) dan/atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf, ayat (2) Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) harta benda wakaf bergerak selain uang adalah Kepala
Kantor Urusan Agama (KUA) dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri.
67
Kompilasi Hukum Islam. 68
Peraturan Menteri Agama RI No.1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. 69
Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang Perwakafan
131
Peningkatan kewenangan ini merupakan hasil dari perluasan benda yang dapat
diwakafkan semula benda yang dapat diwakafkan hanya benda tidak bergerak berupa tanah
milik, semenjak Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf berlaku, maka benda
yang dapat diwakafkan terbagi 2 (dua) yaitu benda bergerak berupa uang dan surat berharga
dan benda tidak bergerak berupa tanah.
Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ternyata tak sekedar mengesahkan
Akta Ikrar Wakaf (AIW) atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW) tetapi juga
mengesahkan nadzhir, namun pada perkembangannya sekarang ini PPAIW tidak dapat
langsung mengesahkan nadzhir tetapi pengesahan nadzhir harus melalui Badan Wakaf
Indonesia (BWI).
Dalam proses pensertifikatan tanah wakaf ini Kepala KUA Kecamatan Johan Pahlawan
selaku PPAIW Kecamatan Johan Pahlawan mempunyai peran yang sangat besar, baik dalam
memberikan pengarahan, tata cara pendaftaran maupun membawa berkas tersebut bersama
nadzhir dan wakif ke Badan Pertanahan Nasional Kabupaten untuk mengurus sertifikat tanah
wakaf. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar nadzhir dan wakif tidak mengerti dan
mengetahui tata cara perwakafan yang berlaku saat ini. Mereka kadang-kadang hanya
mewakafkan tanahnya secara tradisional saja, artinya mereka hanya melakukan ikrar wakaf di
depan aparatur gampung saja tanpa mengurus sertifikat tanah wakafnya tersebut.
Untuk menghindari masalah tersebut maka PPAIW harus mengsosialisasikan kepada
masyarakat supaya dalam pelaksanaan perwakafan harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku supaya tanah wakaf tersebut dapat di lindungi oleh negara dan di
gunakan sesuai dengan peruntukkan yang tercantum dalam akta ikrar wakaf tanah tersebut.
Karena wakaf ini merupakan aset yang sangat penting bagi negara yang akan di gunakan
untuk kepentingan bangsa dan negara ini.
Setelah tanah wakaf tersebut mempunyai sertifikat maka dalam pemanfaatannya harus
sesuai dengan peruntukkan yang di tuangkan dalam akta ikrar wakaf oleh wakif kepada
nadzhir di depan PPAIW. Selanjutnya PPAIW harus mengawasi pemanfaatan harta wakaf
tersebut supaya jangan melenceng dari maksud dan tujuan yang di harapkan oleh wakif. Jika
tidak di awasi dengan baik dan benar, maka ada kemungkinan tanah wakaf tersebut di salah
gunakan karena tanah wakaf tersebut mempunyai manfaat yang sangat banyak dan juga tanah
wakaf tersebut mempunyai harga apabila di jual.
132
D. Jenis dan Jumlah Tanah Wakaf di Kecamatan Johan Pahlawan
Masyarakat di Kecamatan Johan Pahlawan umumnya beragama Islam walaupun ada
sebagian kecil yang menganut agama Kristen, Hindu dan Budha. Dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam sehingga memungkinkan melakukan perintah agama yaitu
mewakafkan hartanya untuk keperluan dan kebutuhan umat Islam.
Tanah wakaf yang ada di Kecamatan Johan Pahlawan berjumlah sebanyak 67 Lokasi
dengan luas 283.532,73 m². Tanah wakaf tersebut terdiri dari 21 lokasi yang sudah
mempunyai sertifikat dengan luas 41.399,00 m², 17 lokasi sudah mempunyai Akta Ikrar
Wakaf (AIW) dan sudah didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional tetapi belum keluar
sertifikatnya, 29 lokasi sudah mempunyai Akta Ikrar Wakaf (AIW) tetapi belum didaftarkan
ke Badan Pertanahan Nasional dan belum mempunyai sertifikat sehingga jumlah tanah wakaf
yang belum bersertifikat sebanyal 46 lokasi dengan luas 242.133,73 m².70
Tanah wakaf tersebut tersebar di desa-desa dalam Kecamatan Johan Pahlawan dan
diperuntukkan untuk kepentingan umat Islam baik untuk mesjid, mushalla, kuburan dan lain
sebagainya sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini .
Tabel.
Peruntukan Tanah Wakaf di Kecamatan Johan Pahlawan
No Peruntukkan Lokasi Luas ( M²) Keterangan
1 Mesjid 26 119.898.60
2 Langgar/Mushalla 10 6.598,00
3 Madrasah/Sekolah 5 9.878,50
4 Kuburan/Makam 4 8.642,23
5 Sosial/Lain-lain 22 138.509,40
Sumber : Data KUA.Kec.Johan Pahlawan tahun 2013
Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa sebagian besar wakif di Kecamatan Johan
Pahlawan mewakafkan tanah wakafnya bagi pembangunan mesjid dan kegiatan sosial
lainnya, serta hanya sebagian kecil yang di peruntukkan bagi pembangunan
madrasah/sekolah, kuburan/makam, dan langgar/mushalla. Hal ini disebabkan karena
pemahaman masyarakat tentang banyaknya pahala yang akan Allah berikan kepada mereka
70
Sumber : Data Tanah Wakaf di KUA Kec.Johan Pahlawan
133
dapatkan jika mereka mewakafkan tanah wakafnya untuk tempat ibadah seperti mesjid dan
pahalanya akan mengalir selama mesjid itu masih di pakai untuk kepentingan umat islam.71
E. Kesimpulan
Dari uraian hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : Peran yang
dijalankan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kecamatan Johan Pahlawan
Kabupaten Aceh Barat dalam persertifikatan tanah wakaf di kecamatan johan pahlawan
sangat banyak mulai dari proses penerimaan ikrar wakaf yang disampaikan oleh wakif,
mengecek daan melihat lokasi tanah wakaf, membuat akta ikrar wakaf yang disaksikan oleh
nadzhir sesuai dengan peruntukkannya, mendampingi nadzhir untuk membawa akta ikrar
wakaf ke BPN Kabupaten untuk proses pembuatan sertifikatnya, dan tugas-tugas lainnya
seperti mengsosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya tanah wakaf untuk
keperluan umat Islam, dan menyampaikan tata cara perwakafan perwakafan sesuai dengan
paraturan yang berlaku. PPAIW juga berperan dalam mengawasi pengelolaan tanah wakaf
tersebut supaya jangan di salah gunakan sesuai dengan peruntukannya yang di kehendaki
oleh wakif.
Tanah wakaf yang ada di Kecamatan Johan Pahlawan berjumlah sebanyak 67 Lokasi dengan
luas 283.532,73 m². Tanah wakaf tersebut terdiri dari 21 lokasi yang sudah mempunyai
sertifikat dengan luas 41.399,00 m², 17 lokasi sudah mempunyai Akta Ikrar Wakaf (AIW)
dan sudah didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional tetapi belum keluar sertifikatnya, 29
lokasi sudah mempunyai Akta Ikrar Wakaf (AIW) tetapi belum didaftarkan ke Badan
Pertanahan Nasional dan belum mempunyai sertifikat sehingga jumlah tanah wakaf yang
belum bersertifikat sebanyal 46 lokasi dengan luas 242.133,73 m². Tanah wakaf tersebut
tersebar di desa-desa dalam Kecamatan Johan Pahlawan dan diperuntukkan untuk
kepentingan umat Islam seperti untuk mesjid 38,8% (26 lokasi), mushalla 14,9% (10 lokasi),
madrasah 7,6% (5 lokasi), kuburan 5,9% (4 lokasi) dan sosial lainnya 32,8% (22 lokasi)
71
Hasil wawancara dengan M.Wahab Buchari S.Ag Kasi Penyelenggara Syariah Kantor Kementerian
Agama Kabupaten Aceh Barat hari selasa tanggal 31 Desember 2013.
134
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerraoef, Al-Qur‟an dan Ilmu Hukum : Sebuah Studi Perbandingan, Jakarta : Bulan
Bintang, 1986
Al-Qur‟anul Karim
A.Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, cet 4, Depok :
Mumtaz Publishing, 2007
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, cet 4, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2002
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf,Ijarah, dan Syirkah, Jakarta : Al-Ma‟arif,
1987
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Ali Muhammad Daod, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta : Universitas
Indonesia, 1988
Amir Abyan, Fiqh, Jakarta: Karya Toha Putra, 2003
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Cet.1, Ed.1, Jakarta : Prenada Media 2003.
Anshori, AG, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media 2006
Djunaidi Achmad, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif di Indonesia, Jakarta:
Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggaraan Ibadah Haji 2004.
Departemen Agama, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan
pemerintah Nomor 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
2007
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat ( Filantropi Islam yang
Hampir Terlupakan), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Wakaf, Bandung : Mandar Maju, 2007
Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa,
2005
Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib, Kudus, Menara Kudus, 1982
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Kartika, 1997
Mannan, MA, Sertifikat Wakaf Tunai Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, Depok :
Ciber bekerjasama dengan PKTTI-UI, 2001
M. Abdul Ghoffar, et., al, Tafsir Ibnu Katsir, Cet. 1, Jilid. 1, Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i,
2004
Muhammad al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz III, Libanon : Maktabah Taufiqiyah,tt
Muhammad Amin ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, juz IV, Beirut : Dar al-Fikr, 1992.
Muslim, Shahih Muslim, juz VIII, Mesir: Dar al-Fikr al-Mu‟ashir, t.t
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2009
Sayyid Bakri al-Dimyati, I‟anah al-Talibin, juz. 3, Beirut: Dar al-Fikr, t.t
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz. 3, Beirut: Darul al-Fikr, t.t
135
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan singkat,
Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2001
Sugiyono, Prof.DR, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Bandung : Alfabeta,
2009
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet XII Jakarta : Rineka
Cipta, 2007
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta : Bulan
Bintang, 1984
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Cet. 1, Jakarta: Amzah,
2005
136
PENINGKATAN SEKTOR PEREKONOMIAN
MASYARAKATMELALUI PEMBERDAYAAN
TANAH WAKAF
Darmawansah
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng
Abstract
Endowments is one of the acts that got rewarded continuously and also one of the institutions
or social order of Islam that contain socio-economic value. The purpose of this research is to
find out how the methods of empowerment waqf land and constraints faced in order to
improve the economy. The method used in this research is descriptive method of analysis, by
collecting field data through interviews and analyze existing documentation in the Suak
Pangkat Village, Bubon Subdistict, West Aceh District. Besides that, also reviewed books,
literature, and other written sources relating to waqf land. From the research field known that
the efforts of both the Government and the community to empower village waqf land in the
Suak Pangkat Village has not reached the maximum level. However, the activities and
business in order to manage and provide insight to the public on the ongoing management of
waqf land
Keywords: waqf land, empowerment, socio-economic
137
A. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia,
Al-Quran dan Al-Sunnah adalah dua sumber hukum yang mampu menterjemahkan semua
kebutuhan hidup manusia. Oleh sebab itu, Islam merupakan agama yang sempurna, yang
mengatur kehidupan manusia pada seluruh aspek kehidupan. Ekonomi adalah salah satu
aspek penting dalam kehidupan manusia. Untuk mengembangkan aspek ekonomi, Islam
menempuh duacara, pertama dengan cara bermuamalah dalam perniagaan atau dalam bentuk
lainnya, kedua dengan aspek sosial. Aspek sosial inilah yang membedakan Islam dengan
lainnya. Bentuk-bentuk pemberdayaan ekonomi dengan model sosial seperti infaq, zakat,
shadaqah dan wakaf.
Wakaf adalah salah satu bentuk amal ibadah perbuatan yang dijanjikan mendapatkan
pahala terus menerus dan juga merupakan salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang
mengandung nilai sosial ekonomi.72
Wakaf juga berartitanah negara yang tidak dapat
diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda bergerak atau tidak
bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas, hadiah
atau pemberian yang bersifat suci.73
Fakta sejarah menunjukkan bahwa perwakafan sejalan
dengan penyebaran dakwah Islam dan pendidikan Islam.Wakaf tanah sangat dibutuhkan
sebagai sarana dakwah dan pendidikan Islam seperti kepentingan saranaibadah seperti
mesjid, mushalla, pesantren dan lain sebagainya,juga untuk ibadah ammah yang berhubungan
dengan kepentingan masyarakat (dibidang sosial, ekonomi, hankam dan politik).Wakaf
berasal dari hukum Islam yang tentunya dalam pemanfaatannya tidak lepas dari misi islam
yakni untuk menciptakan kebahagiaan masyarakat (rahmatan lil‟alamin).74
Wakaf tanah juga
bertujuan sebagai pemicu gerak ekonomi masyarakat dan sekaligus menyehatkan tatanan
sosial dengan makin berkurangnya kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mampu
dan kelompok masyarakat yang tidak mampu. Tujuan dan hikmah hukum disunatkan wakaf
itu adalah untuk membantu dan mengatasi kebutuhan sosial yang ada di setiap masa.75
Dewasa ini kondisi umat Islam masih lemah secara ekonomi. Secara kasat mata haI ini
dapat diketahui dari kondisi nyata kaum muslimin di berbagai belahan bumi dan pada
72
Djunaidi Ahmad, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Jendral Bimas dan Penyelengaraan Ibadah Haji, 2003). 73
Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif Keadilan
Sosial di Indonesia (Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). 74
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002). 75
Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, Cet. 1,Ed. 1, (Jakarta: Prenada Media, 2003).
138
akhirnya secara umum dapat disimpulkan bahwa hal tersebut memang benar adanya. Dalam
bidang ekonomi diwujudkan zakat bagi orang kaya, dianjurkan shodaqoh dan wakaf bagi
yang mempunyai kelebihan harta benda, melarang riba dan sebagai gantinya dianjurkan
sistem bagi hasil yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. Sebagai
contoh, hampir sebagian besar negara-negara miskin, adalah negara yang berpenduduk
muslim.
Wakaf memiliki akar keislaman yang kuat, meskipun didalam Al-Qur‟an tidak
menyebutkan secara eksplisit istilah wakaf, tapi memberikan pengajaran tentang pentingnya
menyumbang untuk berbagai tujuan kebaikan.76
Dalam rangka untuk memajukan
kesejahteraan umum dipandang perlu meningkatkan peran wakaf yang tidak hanya betujuan
menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, melainkan juga memiliki kekuatan ekonomi
yang berpotensi untuk memajukan kesejahteraan umum. Wakaf merupakan salah satu
institusi dan pranata sosial islam yang mengandung nilai sosial ekonomi.
Didalam Islam wakaf tersebut termasuk ke dalam kategori ibadah kemasyarakatan yang
hukumnya Sunnah, amalan wakaf merupakan amalan yang besar karena amalan ini tidak
dapat berhenti atau putus pahalanya bila orang tersebut telah meninggal dunia, maka amalan
wakaf akan tetap mengalir pahalanya dan tetap diterima oleh wakif (pemberi wakaf)
walaupun ia telah meninggal. Wakaf merupakan salah satu bentuk amal ibadah perbuatan
yang dijanjikan mendapatkan pahala terus menerus oleh Allah SWT.
B. Wakaf
Wakaf berarti menghentikan, secara bahasa wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf
masdar dari وقفا- يقف - وقف, kata al-waqf semakna dengan al-habs masdar dariيحبظ - حبظ –
artinya menahan. Dengan kata lain, wakaf menurut bahasa barasal dari kata waqf yang حبغا
berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), dan al-man‟u
(mencegah).77
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia wakaf diberi arti sebagai tanah
negara yang tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda
bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian
yang ikhlas, hadiah atau pemberian yang bersifat suci.78
76
Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, (2006). 77
Hendi Suhendi, Fiqh Muammalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002) 78
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.3, Cet. 3, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005)
139
Sedangkan menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa
makna wakaf adalah menahan dzat benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzat dan
menyedekahkan manfaamya, ataupun menahan suatu harta yang merupakan milik pewakaf;
kemudian menyumbangkan di jalan kebaikan.
1. Dasar Hukum Wakaf
Wakaf berasal dari hukum Islam yang tentunya dalam pemanfaatannya tidak lepas dari
misi islam yakni untuk menciptakan kebahagiaan seluruh alam (rahmatan lil alamin)”. Dalil
yang dijadikan dasar hukum wakaf dalam Islam adalah seperti yang dikemukakan dalam Al
Qur‟an:
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu
nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS. 3: 92).
Dalam hal tersebut Al-Qur‟an memberikan petunjuk untuk selalu memelihara
kebersamaan sebagai makhluk sosial dan menempatkan nilai-nilainya kedalam pola
hubungan kemanusiaan dengan tetap saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi,
menyantuni sebagaimana diatur dalam sistem ajarannya seperti halnya perwakafan tanah.
Para ulama menilai bahwa wakaf itu termasuk kategori sedekah jariah yang nilai
pahalanya senantiasa mengalir selagi manfaatnya bisa dipetik.Dalam konteks inilah maka
para fukaha rnengemukakan Hadist Rasulullah SAW yang berbicara tentang keutamaan
sedekah jariah sebagai salah satu sandaran wakaf. Salah satu hadist yang diriwayatkan oleh
Imam Jama‟ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Huairah r.a.:
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda: jika seseorang telah meninggal
dunia, maka terputuslah semua amal dari dirinya kecuali tiga, yaitu shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendoakan kepadanya
(kepada orang tuanya). (Riwayat Imam Jama‟ah).79
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat
Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu, “pihak Pemerintah telah
menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu
Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Untuk melengkapi Undang-undang
tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004”.
79
Muslim, Shahih Muslim, juz 8, Mesir, Dar Al-Fikr Al Muashir,t,t
140
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Desa Suak Pangkat Kecamatan Bubon Kabupaten Aceh Barat merupakan sebuah Desa
yang terletak dengan jarak kurang lebih 32 km dari pusat ibu kota Kabupaten Aceh Barat dan
jarak dari ibu kota Kecamatan sekitar kurang lebih 4 km. Desa ini terdiri dari 3 (tiga) dusun
yaitu Dusun Teumikeut, Dusun Indah, Dusun Kuala. Adapun luas wilayah Desa adalah
kurang lebih 300 Ha, dengan jumlah penduduknya 324 jiwa dengan 79 Kepala Keluarga
(KK).80
Kehidupan masyarakat Desa Suak pangkat mayoritas bermata pencarian sebagai petani,
hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri dan profesi lainnya,
untuk jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel Mata Pencaharian Penduduk Desa Suak pangkat
Mata Pencaharian Jumlah KK Persentase
Petani
Pedagang
PNS
Dll
65
3
3
8
84%
3%
3%
10%
Jumlah 79 100%
Sumber : Potensi Desa Suak Pangkat, 2011
Dari tabel diatas dapat di simpulkan bahwa mayoritas penduduk Desa Suak pangkat
bermata pencaharian sebagai petani, yaitu sebanyak 84% dari jumlah keseluruhan penduduk
Desa Suak pangkat. Sedangkan pedagang hanya 3%, dan 3% sebagai pegawai negeri,
selebihnya adalah pekerja tidak tetap seperti pertukangan, pensiunan dan lain-lain.
1. Jenis dan jumlah Harta Wakaf
Di masa pertumbuhan ekonomi yang cukup memprihatinkan ini sesungguhnya peranan
wakaf disamping instrumen-instrumen lainnya dapat dirasakan manfaatnya untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya di bidang ekonomi, apabila wakaf dikelola
secara baik. Peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi
umat dan cenderung hanya untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah khusus. Ini karena
dipengaruhi oleh keterbatasan pemahaman umat Islam tentang wakaf, baik mengenai harta
yang di wakafkan, peruntukan wakaf maupun nadzir (pengelola wakaf). Pada umumnya umat
Islam indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan
80
Badan Pusat Statistik, Data Desa Suak Pangkat Kecamatan Bubon Aceh Barat, Tahun 2011
141
peribadatan dan hal-hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk masjid, mushalla,
lokasi pemakaman dan sebagainya.
Dari hasil pengumpulan data, diketahui bahwa tanah wakaf di Desa Suak pangkat
terdapat di 5 (lima) lokasi yang tersebar kedalam 3 (tiga) dusun dengan jumlah luas tanahnya
yaitu seluas 1970 M2.
Tabel. Keadaan Tanah Wakaf Di Desa Suak Pangkat
No Pemanfaatan Tanah Letak Luas Tanah Ket.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pemakaman Umum
Pengajian Anak-anak
Mushala
Perkebunan
Masyarakat
Tanah Kosong
Tanah Kosong
Dsn.Kuala
Dsn. Indah
Dsn. Indah
Dsn.
Teumiket
Dsn.Kuala
Dsn.
Teumiket
800 (m2)
100 (m2)
50 (m2)
100 (m2)
120 (m2)
300 (m2)
Tdk bersertifikat
Wakaf
Tdk bersertifikat
Wakaf
Bersertifikat
Wakaf
Tdk bersertifikat
Wakaf
Tdk bersertifikat
Wakaf
Tdk bersertifikat
Wakaf
Sumber : Diolah dari hasil penelitian
Dari table diatas dapat diketahui bahwa mayoritas tanah yang diwakafkan di Desa Suak
pangkat digunakan untuk sarana umum seperti tanah mushala, pemakaman umum dan tempat
pengajian anak-anak. Hanya 1 (satu) lokasi tanah wakaf yang dikelola oleh masyarakat untuk
perkebunan yang terletak di Dusun Teumiket. Selain itu, terdapat tanah wakaf di 2 (dua)
lokasi lainyang terletak di Dusun Kuala dan Dusun Teumiket dalam kondisi kosong dan
sebelumnya tanah kosong tersebut pernah dimanfaatkan untuk perkebunan oleh masyarakat
setempat.
Tanah wakaf di Desa Suak pangkat hanya sebagian kecil yang bersertifikat sebagai
tanah wakaf. Tanah yang diwakafkan tersebut diberikan secara simbolis oleh wakif (pemberi
wakaf) dengan mengikrarkan di depan saksi dan disertai penyerahan sertifikat hak milik
tanah.81
Maka jelaslah bahwa tanah wakaf tersebut tidak memiliki sertifikat sebagai tanah
wakaf, karena bagi masyarakat Desa Suak Pangkat apabila hendak mewakafkan hartanya
81
Hasil wawancara dengan Imam Chik Desa Suak Pangkat
142
maka tidak dibebankan untuk mengurus sertifikat tanah wakaf ataupun hal lainnya, hanya
ikrar yang sah dari wakif dan disertai dengan pemberian sertifikat hak milik tanah kepada
imam mesjid atau Kepala Desa di depan para saksi.
Pendaftaran ataupun sertifikasi tanah wakaf merupakan hal yang sangat penting,
mengingat kedudukan tanah wakaf yang kian melembaga dalam masyarakat Islam Indonesia.
Dengan adanya sertifikasi tanah, maka akan terdapat perlindungan dan jaminan kepastian
hukum dari seluruh tanah wakaf. Oleh sebab itu, berbagai usaha yang seharusnya disadari
sepenuhnya oleh berbagai pihak yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam
perwakafan tanah. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bubon mengatakan
bahwa tanah yang diwakafkan hendaknya di buat sertifikat agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan seperti kesalah pahaman dari ahli waris ataupun hal-hal lain yang berkaitan
dengan tanah Wakaf tersebut.
2. Pengelolaan Tanah Wakaf
Adapun data persentase pengelolaan tanah Wakaf Desa Suak pangkat dapat dilihat dari
tabel dibawah ini :
Tabel: Persentase Pengelolaan Tanah Wakaf Di Desa Suak pangkat Kecamatan Bubon
Kabupaten Aceh Barat
No Jenis Garapan Pengelola Penggarap Hasil
Pengelola Penggarap
1.
2.
3.
Tanaman Cabe
Tanaman Jagung
Tanaman Kacang
3 (Org)
2 (Org)
1 (Org)
1 (Org)
30%
40%
25%
70%
60%
65%
Sumber : Diolah dari hasil penelitian
Dari tabel tersebut diatas, dapat diketahui bahwa dalam pengelolaan tanah wakaf di
Desa Suak Pangkat menggunakan sistem bagi hasil, yang mana bagi hasil tersebut telah
disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak, yaitu pihak pengelola dan penggarap.
Pengelola dalam hal ini ialah Nadzir Wakaf dan penggarap ialah masyarakat. Persentase bagi
hasil juga tergantung dari tanarnan yangakan digarap oleh penggarap,yaitu apabila telah
disetujui persentase bagi hasil, maka tanah wakaf dapat langsung digarap.
Namun demikian, fungsi wakaf secara khusus sebagai pemberdayaan ekonomi
masyarakat masih sangat minim, jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah disosialisasi ke
khalayak umum. Selama ini, distribusi aset Wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah
pada pemberdayaan ekonomi umat dan hanya untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah
mahdlah. Ini dapat dimaklumi karena memang pada umumnya ada keterbatasan umat Islam
143
akan pemahaman wakaf, baik mengenai harta yang diwakafkan, peruntukan (distribusi)
wakaf, maupun Nadzir wakaf.
Pada umumnya umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya
terbatas untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang lazim ditemukan di Indonesia
seperti tercermin dalam pembentukan masjid, mushalla, pemakaman umum dan lain-lain,
sebagaimana telah disebutkan diatas. Peruntukan yang lain yang lebih menjamin
produktifitas dan kesejahteraan umat nampaknya masih belum diterima sebagai bagian
manfaat dari Wakaf sendiri.
Pengelolaan harta wakaf dengan sistem dan manajemen yang amanah dan profesional,
serta dengan bimbingan dan pengawasan dari Pemerintah yang dalam operasionalisasinya
terintegrasi sampai ke tingkat daerah akan memacu gerak ekonomi masyarakat dan sekaligus
menyehatkan tatanan sosial dengan makin berkurangnya kesenjangan antara kelompok
masyarakat yang mampu dan kelompok masyarakat yang tidak mampu.
Adapun di Desa Suak pangkat hingga saat ini peruntukan tanah Wakaf mayoritas
ditujukan untuk kepentingan tempat ibadah seperti mesjid, mushalla dan tempat pengajian
seperti tempat pendidikan Al-qur‟an, selain itu juga digunakan sebagai lokasi tanah
pemakaman umum.Kepala Desa Suak pangkat mengungkapkan bahwa “Tanah Wakaf di
Desa Suak pangkat kebanyakan digunakan untuk sarana ibadah dan pendidikan, juga
digunakan untuk keperluan sosial yaitu tempat pemakaman ataupun lokasi kuburan dan juga
masih ada lokasi tanah wakaf yang belum digunakan (kosong)”.
Secara umum pengelolaan tanah wakaf di Desa Suak pangkat masih bersifat konsumtif,
sebab penggunaan tanah wakaf hanya didasarkan pada wasiat pemberi wakaf (wakif),
sehingga manfaatnya belum dapat tercapaisecara maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Tanah wakaf yang ada selama ini jarang digunakan untuk kepentingan peningkatan ekonomi
umat. Selain itu, keterbatasan pemahaman Nazhir sebagai pengelola wakaf tentang fiqih harta
wakaf dan kebijakan pemerintah tentang harta wakaf sehingga sulit untuk dilakukan
optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf sehingga lebih produktif. Apabila peruntukan tanah
Wakaf hanya sebatas pada hal-hal sarana-sarana masyarakat tanpa diimbangi dengan
pengelolaan secara produktif, maka kesejahteraan sosial masyarakat yang diharapkan
tidakakan dapat dicapai secara optimal.
Wakaf dan maliyah lainnya merupakan potensi ekonomi umat Islam. Wakaf juga
merupakan ibadah kemasyarakatan (ibadah Ijtima‟iyah), artinya manfaatnya dapat dirasakan
144
langsung oleh masyarakat, sehingga apabila harta wakaf ini dapat dikelola dengan baik dan
benar dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan menjadi
sumber permodalan pemberdayaan umat. Wakaf telah menjadi salah satu penunjang
perkembangan masyarakat Islam di seluruh pelosok Indonesia. Jika tanah-tanah wakaf
tersebut dikelola dan dikembangkan secara optimal, maka sangat berpotensi untuk membantu
masyarakat yang kurang mampu.
Manajemen pengelolaan harta wakaf secara profesional merupakan salah satu aspek
penting yang perlu mendapat perhatian pemerintah dalam pengembangan era baru dan
paradigma baru wakaf di Indonesia. Sebaiknya dalam pengembangan paradigma baru wakaf
ini harus lebih menitik-beratkan pada pemanfaatan yang lebih nyata tanpa mengabaikan
pelestarian benda wakaf itu sendiri sehingga pemanfaatan dapat tercapai secara optimal dan
memiliki nilai ekonomis.
3. Kendala dalam Pemberdayaan Tanah Wakaf
Dalam pemanfaatan tanah wakaf sebagai pemberdayaan ekonomi masyarakat Desa
Suak pangkat mengalami beberapa kendala, di antaranya :
a. Pengelolaan tanah wakaf sulit dilakukan disebabkan karena sebagian besar tanah
wakaf kondisinya terletak jauh dari pusat kegiatan ekonomi sehingga nazhir
sebagai pengelola harta wakaf mengalami kesulitan dalam hal pengelolaan.
b. Masih banyak masyarakat yang memliki persepsi keliru tentang boleh-tidaknya
tanah Wakaf diberdayakan secara produktif.
c. Adanya anggapan dari masyarakat bahwa proses pemberdayaan tanah wakaf
terlalu sulit untuk dilakukan.
d. Kemampuan masyarakat dalam mengelola tanah wakaf untuk pemberdayaan
ekonomi masih sangat minim.
e. Masyarakat belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang fiqih harta wakaf
dan kebijakan pemerintah berkaitan harta wakaf.
f. Terbatasnya tenaga dan permodalan untuk pemberdayaan tanah wakaf yang baik
dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.82
4. Upaya Pemberdayaan Tanah Wakaf
Upaya pemberdayaan tanah wakaf di Desa Suak pangkat Kecamatan Bubon Kabupaten
Aceh Barat, bahwa langkah-langkah yang perlu ditempuh diantaranya:
a. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang harta wakaf, hukum Islam
tentang wakaf, potensi ekonomi melalui harta wakaf, kebijakan pemerintah
berkaitan pengelolaan harta wakaf.
82
Hasil wawancara dengan beberapa warga Desa Suak Pangkat.
145
b. Program Pemerintah dalam pengelolaan harta wakaf, biaya sertifikasi tanah
wakaf dan bantuan permodalan sehingga dapat meningkatkan ekonomi
masyarakat secara maksimal.
c. Pengamanan dalam bidang peruntukan dan pengembangannya harus juga
dilakukan. Sehingga antara perlindungan hukum dengan aspek hakikat tanah
Wakaf yang memiliki fungsi sosial menemukan fungsinya.
d. Mendorong secara lebih luas kepada masyarakat. Agar lebih peduli terhadap
pentingnya harta Wakaf di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan Melalui
upaya pemberdayaan tanah Wakaf tersebut diharapkan masyarakat semakin
mengenal pentingnya pelaksanaan Wakaf untuk kepentingan pemberdayaan
ekonomi masyarakat.
Dari beberapa upaya dalam pemberdayaan tanah wakaf diatas, maka langkah-langkah
yang dapat dilakukan pemerintah diantaranya adalah melakukan sosialisasi dalam
penyampaian secara utuh tentang perwakafan kepada masyarakat setempat, menyusun
program peningkatan kualitas SDM Nadzir, mengupayakan dana pemberdayaan tanah wakaf,
melakukan pendataan asset wakaf, data nadzir baik perorangan maupun organisasi serta
pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan terhadap nadzir yang bertanggung-jawab
pada pengelolaan harta wakafnya. Begitupula dengan nadzir sebagai pengelola harta wakaf
memiliki peran dan tugas diantaranya adalah melakukan pengadministrasian harta wakaf,
mengelola dan memberdayakan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya,
mengawasi dan melindungi harta wakaf serta melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada
Badan Wakaf Indonesia. Para nazhir juga harus menyadari tugasnya bukan sekedar menjaga
harta wakaf tetapi lebih dari itu adalah memberdayakannya sehingga memiliki nilai tambah
yang tak terhingga.
Pengelolaan tanah wakaf di Desa Suak Pangkat merupakan salah satu contoh kecil
dalam pengelolaan yang lazim dilakukan pada tanah-tanah wakaf lainnya di Daerah Aceh.
Provinsi Aceh yang memiliki lebih dari 24 ribu lokasi tanah wakaf dengan luas ratusan ribu
hektar yang tersebar disetiap Kabupaten, memiliki potensi yang sama dalam peningkatan
ekonomi masyarakat. Melihat realitas harta wakaf di Aceh yang mayoritasnya berada dalam
kondisi yang tidak produktif, serta tidak bisa memberikan kontribusi optimal untuk
masyarakat, maka sudah saatnya kita membuka lembaran baru pengelolaan wakaf di Aceh.
Pengembangan wakaf di Aceh haruslah dilakukan dengan cara yang profesional dan melalui
proses perencanaan yang matang serta implementasi yang tepat dengan kemampuan
manajerial yang handal layaknya dalam bidang dunia usaha. Pengelolaan dan pengembangan
harta wakaf di Aceh haruslah dapat mengoptimalkan peluang pembiayaan yang ditawarkan
146
oleh berbagai lembaga baik dari dalam maupun luar negeri. Sehingga kita berharap dengan
optimalnya pengelolaan dan pemberdayaan tanah wakaf yang ada di Daerah Aceh dapat
memainkan peranan yang sangat penting dalam berbagai bidang seperti pemberdayaan
ekonomi dan pengentasan kemiskinan serta pendidikan yang pada akhirnya bermuara pada
terwujudnya kesejahteraan ummat.
D. Kesimpulan
Tanah Wakaf yang berada di Desa Suak pangkat Kecamatan Bubon Kabupaten Aceh
Barat masih belum dikelola dengan baik oleh Nazhir Wakaf di Desa tersebut. Hal ini,
disebabkan karena beberapa faktor diantaranya adalah kurangnya pemahaman Nazhir Wakaf
tentang hukum wakaf, baik dalam Fiqh Islam maupun kebijakan pemerintah tentang harta
wakaf. Kendala yang lain yang dihadapi dalam pemberdayaan tanah wakaf di Desa ini adalah
lokasi tanah wakaf yang tidak strategis, kurangnya pemahaman masyarakat tentang boleh-
tidaknya mengelola tanah wakaf agar lebih produktif, kurangnya sosialisasi pemerintah
tentang kebijakan tanah wakaf, kurangnya permodalan dan kemampuan masyarakat dalam
mengelola tanah wakaf. Disebabkan beberapa kendala tersebut, maka pengelolaan tanah
wakaf di Desa Suak pangkat menjadi belum maksimal sehingga tidak berdampak pada
peningkatan perekonomian masyarakat.
147
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, Cet. 1,Ed. 1, Jakarta, Prenada Media, 2003
Badan Pusat Statistik, Data Desa Suak Pangkat Kecamatan Bubon Aceh Barat, Tahun 2011.
Cholik Narbuko, et, al, Metodologi Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara, 1997
Djunaidi Ahmad, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif di Indonesia,
Jakarta,Direktorat Jendral Bimas dan Penyelengaraan Ibadah Haji,2003
Hendi Suhendi, Fiqh Muammalah, Jakarta,Raja Grafindo, 2002
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa,
2002
Muslim, Shahih Muslim, juz 8, Mesir, Dar Al-Fikr Al Muashir,t,t
Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif
Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Universitas Islam Jakarta, 2006
Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif
Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.3, Cet. 3,
Jakarta,Balai Pustaka, 2005
Hasil wawancara dengan Imam Chik Desa Suak Pangkat
Hasil wawancara dengan beberapa warga Desa Suak Pangkat.
148
HUKUM KEWARISAN BEDA AGAMA MENURUT
PEMIKIRAN YUSUF AL -QARADHAWI
Ita Rahma Putri
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh
Abstract
This study examines the inheritance law of different religions according to Yusuf al-
Qaradawi thinking. As for the goal in this discussion is to determine how the law of
inheritance of different religions according to Yusuf al-Qaradawi; to analyze the opinion of
Yusuf al-Qaradawi in understanding texts that said it would not be allowed to inherit each
other between different religions. In the discussion of a scientific work can be used a variety
of methods, while the method used by the writer in the discussion of this thesis is the research
library (library Research). The results of this study indicate that the law governing the
transfer of property ownership rights called inheritance law or fara'idh. And inheritance law
was born because there is a marital relationship (mushaharah) and blood (nasab) between the
heir to the heir. Inheritance relationship between descent was not easy and not simply be
done, either based on a particular culture or religious law. The difference of religion be one
for obstruction of inheritance, the jurist reasoned with the hadith of Al-Bukhari and Muslim
that says "Muslims should not be inherited from the infidels nor are infidels from Muslim",
and "No heir inherits two adherents of different religions". In contrast to the opinion of Yusuf
al-Qaradawi who says that Muslims can inherit infidels but not vice versa, he leans on the
hadith narrated by Muadh bin Jabal that "Muslims can inherit from a kafir but infidel can not
inherit from a Muslim." Because the word kafir can dikontekstualisasi the heathen infidel
dzimmiy not harbiy. And Yusuf al-Qaradawi said Islam does not reject the good way that is
beneficial to the interests of his people, especially with legacy or inheritance that can help to
Oneness of Allah.
149
A Pendahuluan
Sering dikatakan bahwa hukum Islam adalah poros dan inti agama Islam. Secara
tradisional, hukum Islam telah menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika, dan makna
hubungan antara Tuhan dan manusia. Memang benar bahwa hukum islam adalah salah satu
puncak prestasi peradaban Islam, ia merupakan gudang khazanah intelektual yang cerdas,
kompleks, dan sangat kaya.83
Hukum Islam merupakan kumpulan tugas-tugas kewajiban dan ajaran-ajaran yang
diserukan oleh Rasulullah SAW dan disampaikan kepada umatnya, berupa hal-hal yang
diberitakan oleh Allah kepadanya, di dalam kitabNya atau dalil lisan Rasul-Nya, yang berisi
tentang hakikat kehidupan dan alam gaib yang terdiri dari segala hal yang berhubungan
dengan ketuhanan, kenabian atau akhirat, dan segala hal yang diperintahkan Allah Swt,
dilarang-Nya atau yang dibolehkan-Nya bagi hamba-hambaNya dalam urusan agama dan
kehidupan umat manusia baik dengan Tuhan maupun dengan masyarakat.84
Sebagai mahluk bermasyarakat, manusia tidak bisa hidup tanpa ada hukum-apapun
nama atau sebutannya-yang mengatur pergaulan hidup mereka. Masyarakat dan hukum
laksana hubungan erat antara ikan dan air yang berbeda tetapi selalu menyatu. Seorang filosof
Romawi, celcius, lebih kurang 20 abad yang silam menjelaskan: ubi societas ibi ius,
“Maksudnya, dimana ada masyarakat disitu ada hukum”. Senafas dengan itu, ada pula
ungkapan yang menyatakan: there is not state without law, “ Tidak ada Negara bila tak ada
hukum”. Kedua adagium hukum tersebut yang kebenaranya mudah dibuktikan secara teoretik
maupun empirik, menunjukkan signifikansi dari keberadaan hukum ditengah-tengah umat
insani.85
Hukum yang paling awal atau pertama dikenal manusia ialah hukum keluarga,
khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan perkawinan Adam a.s. dengan istrinya
Hawa. Kemudian dengan mengalami perubahan dan perkembangan di sana-sini, hukum
pernikahan dilaksanakan oleh anak-anak nabi Adam dan Hawa secara kontinu dari dulu
hingga sekarang. Usia hukum sama tua dengan usia keluarga/masyarakat manusia itu sendiri
dan memiliki kesinambungan antara hukum yang berlaku sekarang dengan hukum yang
83
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, “dari fikih otoriter ke fikih otoritatif”, (Jakarta: serambi,
2004), h. 1. 84
Yusuf Al-Qaradhawi, Menuju Pemahaman Islam Yang Kaffah, (Jakarta: Insan Cemerlang, 2003), h.
428. 85
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 1-2.
150
berlaku sebelumnya hingga masa-masa lampau. Hukum yang berkembang hingga sekarang
terutama hukum keluarga, pada dasarnya merupakan pelestarian ( tindak lanjut ) dan
pengembangan hukum yang telah diperkenalkan Allah kepada generasi manusia terdahulu.
Itulah sebabnya mengapa hukum keluarga terutama hukum perkawinan merupakan hukum
yang selalu eksis keberadaanya kapan dan dimanapun.86
Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam masyarakat. Sebuah keluarga juga pada
umumnya mampu menghasilkan sejumlah harta kekayaan tertentu terutama melalui kasab
(kerja ekonomi) yang pada umumnya dilakukan oleh orang tua, khususnya suami (ayah), di
samping mungkin juga istri dan bahkan anak yang pada saatnya nanti ketika pemiliknya
meninggal dunia harus ada peralihan kepemilikan terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan
simayit. Hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan harta kekayaan inilah yang
lazim dikenal dengan sebutan hukum kewarisan atau fara‟idh. Hukum kewarisan itu lahir
karena ada tali perkawinan (mushaharah), di samping itu karena warisan dilihat berdasarkan
unsur utama yaitu hubungan darah yang disebut dengan nasab antara pewaris dengan ahli
waris. Hubungan nasab pada setiap kehidupan, merupakan mata rantai kelanjutan generasi
dan keturunan yang satu terhadap generasi yang akan datang. Keinginan memiliki harta bekal
yang memadai adalah selalu dicita-citakan setiap orang dan hiasan hidup manusia karena
generasi yang cukup memiliki perbekalan hidup lebih baik dari yang meminta-minta.87
Sebagaimana disebutkan dalam Al-quran, surat An-nisa‟ ayat 9 yang berbunyi:
.لو اقو ال سديدا وليخش الذين لوتر كو ا من خلفهم ذر ية ضعفا خا فو أعليهم فليتقو ا أ هلل و ليقو
Artinya : “Dan harus takut orang-orang yang seandainya meninggalkan keturunan (anak-
anak) dibelakangnya lemah. Maka bertakwalah kepada Allah dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang benar. (QS. An-nisa‟ : 9)”
Dan ketika Sa‟ad bin Waqash akan menyedekahkan separuh hartanya untuk anak perempuan
namun hal itu ditolak oleh Nabi Saw dengan alasan ditakutkan sedikitnya harta yang
ditinggalkan untuk ahli warisnya.88
Sebagaimana dalam hadits
اناذومال، واليرثين اال ابنة يل واحدة، افأتصدق بثلثي ما يل ؟ عن سعد بن ايب وقاص قال : قلت يارسول اهلل، قال ) ال ( قلت : افأ تصدق بشطره ؟ قال ) ال ( قلت : افأتصدق بثلثو؟ قال ا لثلث ، والثلث كثري، انك ان
تذ رورثتك اغنياءخريمن ان تذرىم عالة يتكففون الناس ) رواه البخري و مسلم (
86
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, …, h. 5. 87
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, …, h.27. 88
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Buluqhul Maram, Terj A. Hasan, (Bandung: Diponegoro, 2006), h. 426.
151
Artinya : ”Dari Sa‟d bin Abi waqqash, ia berkata: saya berkata : ya Rasulullah! Saya
mempunyai harta dan tidak mewarisi saya melainkan seorang anak perempuan
saya. Oleh itu, bolehkah saya bersedekah dengan 2/3 (dua pertiga) harta saya?
Sabdanya: ,,Tidak”. Saya bertanya: bolehkah saya bersedekah dengan 1/2
(separuh)-nya? Sabdanya: ,,Tidak”. Saya bertanya bolehkah saya bersedekah
dengan 1/3 (sepertiga)-nya? Sabdanya: ,,(Boleh) sepertiga, tetapi sepertigapun
banyak, karena sesungguhnya engkau meninggalkan waris-warismu di dalam
keadaan kaya, lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka didalam keadaan
papa, meminta-minta kepada manusia”.
Kepemilikan atau pindahnya hak milik dalam Islam sudah diatur sedemikian rupa
salah satunya yaitu melalui warisan, pindahnya hak milik lewat warisan merupakan bagian
penting. Hubungan kewarisan antar keturunan ternyata tidak mudah dan tidak begitu saja
dapat dilakukan, baik yang berdasarkan kebudayaan tertentu maupun hukum agama. Kasus
yang menimpa saat ini ialah banyaknya orang muslim yang orang tuanya atau kerabatnya
masih kafir, ketika mereka meninggal secara hukum anaknya berhak menerima warisan orang
tua atau kerabatnya, bahkan mayoritas umat umat Islam adalah orang-orang yang lemah
ekonominya. Sementara jumhur ahli fikih berpendapat, bahwa seorang muslim tidak boleh
menerima waris dari orang kafir, begitu pula sebaliknya. Perbedaan agama menjadi sebab
terhalangnya warisan.89
Para ahli fikih beralasan dengan hadits Al-Bukhari dan Muslim yang
menyatakan,
ه البخارى و مسلم (املسلم الكافروالالكافراملسلم ) روا اليرث
Artinya: “Muslim tidak boleh menerima waris dari kafir, tidak pula kafir dari muslim”.90
Serta hadits lain yang menyatakan,
اليتورث اىلو مللتني شتا )رواة امحدد, ابودود, ابن جمو (
Artinya: “tidak waris mewarisi penganut dua agama yang berbeda”, (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Ibn Majah)91
89
Yusuf Al-qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah,”moderasi Islam Antara Aliran Tekstual dan Aliran
Liberal”, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2007), h.301-302. 90
Abdullah bin Abdurrahman Al bassam, Syarah Buluqhul Maram,Thahirin saputra, jild 5 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), h. 193 91
Syaikh Faishal Bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Nailul Authar, Jild 3, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006),
h. 367.
152
Hadits-hadits inilah yang menjadi keyakinan jumhur al-ulama, mayoritas ulama, bahkan
sudah diberlakukan pada masa khulafa al-Rasyidin dan menjadi argumen para imam yang
empat sebagai sekarang. Walaupun demikian, para sahabat diantaranya Umar dari khulafa al-
Rasyidin, dalam kasus-kasus tertentu berbeda dengan kebanyakan waktu itu, yaitu muslim
menerima waris dari keluarganya yang kafir, walaupun masih diperselisihkan.92
Hukum Islam sebenarnya tidaklah kaku dan diterapkan sedemikian kakunya pada
masa-masa awal Islam sebagaimana diterapkan pada masa-masa terkemudian. Hukum-
hukum yang berbeda dan bahkan bertolak belakang mengenai banyak persoalan dapat
ditolerir atas landasan argument. Hal ini kelihatan nyata dari perbedaan pendapat para
sahabat setelah Rasulullah wafat dari praktek para ahli hukum terdahulu.93
Untuk melukiskan hal itu, dapat diberikan satu contoh.
Pada peristiwa Bani Qurayzah, Rasulullah mengirimkan sejumlah sahabatnya ke
daerah musuh dan memerintahkan mereka untuk melakukan shalat ashar apabila mereka
sampai pada tempat yang dituju.Tetapi ternyata bahwa shalat sudah masuk waktunya ketika
mereka masih dalam perjalanan. Karena itu sejumlah sahabat melaksanakan shalat dalam
perjalanan dan berargumentasi bahwa tentu bukan maksud Rasulullah untuk menangguhkan
shalat, sedangkan yang lain melaksanakan shalat setibanya ditempat tujuan ketika hari telah
menjelang malam, karena memahami perintah Rasulullah secara harfiah. Ketika hal itu
dilaporkan pada Rasulullah, beliau diam saja para sahabat menganggap hal ini sebagai satu
persetujuan diam-diam terhadap tindakan kedua kelompok itu. Seandainya tindakan salah
satu kelompok dipandang salah, tentu Rasulullah akan menunjukkan dan meluruskannya.
Contoh di atas memperlihatkan bahwa Rasulullah dalam menggariskan hukum pada
dasarnya mempertimbangkan nilai dan semangat tindakan dan bukan bentuk tindakan itu
sendiri. Apa yang nampaknya penting dalam kasus ini adalah kepatuhan kepada perintah
Allah . dapat dicatat bahwa kedua kelompok tersebut di atas sama-sama memperlihatkan
kesetiaan mereka kepada Allah.
Satu kelompok mematuhi perintah Rasulullah secara harfiah dan mendirikan shalat ashar
menjelang malam, sedangkan yang lainnya mematuhi perintah beliau dalam ruhnya. Penting
dicatat bahwa sebuah perintah tidaklah dimasudkan untuk dilaksanakan secara an sich, apa
yang penting adalah tujuan dan semangat untuk melaksanakan kesetiaan kepada Allah dan
92
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 706. 93
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. (Bandung: Pustaka, 2001), h. 12.
153
Rasul-Nya. Itu juga mengandung arti bahwa orang dapat berbeda dalam menampilkan bentuk
kepatuhan atas dasar penafsiran.94
Para ahli hukum Islam telah menjadi sumber legitimasi tekstual. Legitimasi mereka
didasarkan pada kemampuan membaca, memahami, dan menafsirkan kehendak Tuhan yang
terungkap di dalam teks yang dipandang sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Kehendak
Tuhan ini terekah dan mungkin tersembunyi di dalam teks dan para ahli hukum itu bertugas
menemukan dan mengkajinya. Para ahli hukum itu memang telah melembagakan kekuasaan
yang didasarkan pada karisma ke dalam sebuah asosiasi hukum dan struktur yang sangat
formal dan hierarkis.95
Pada umumnya masalah waris merupakan masalah yang sangat detail diterangkan
oleh Al-quran, bahkan pembagian harta warisannyapun diuraikan secara qath‟i dilalah.
Hampir tidak ada yang zhanni dilalahnya dalam membahas masalah kewarisan.96
Dan juga
hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja didunia ini.
Sungguhpun demikian, corak suatu Negara islam dan kehidupan masyarakat di Negara atau
daerah memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu adalah pengaruh
terbatas yang tidak dapat melampaui garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam
tersebut. Namun pengaruh tersebut dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad
atau pendapat ahli-ahli hukum Islam itu sendiri.97
Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam
pemikiran hukum islam. Di satu sisi Al-quran tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris
untuk non-muslim, ulama telah menyebutkan bahwa penghalang kewarisan ada tiga, yang
pertama karena pembunuhan, kedua perbedaan agama, ketiga karena perbudakan. Imam asy-
syafi‟i berpendapat bahwa muslim tidak dapat mewarisi harta non-muslim dan sebaliknya.
Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid.
عن أسامو بن زيد قال : قال النىب ص م اليرث املسلم الكافر وال الكافراملسلم )رواه البخارى و مسلم(
Artinya : “Dari usamah bin zaid ia berkata, sabda Nabi SAW, muslim tidak mewarisi kafir,
dan kafir tidak mewarisi muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim)
94
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup …, h. 13. 95
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan …, h. 28. 96
Beri Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 338. 97
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 1.
154
Berbeda dengan pendapat Yusuf Al-Qaradhawi yang menyatakan bahwa muslim
dapat mewarisi harta non-muslim, tetapi non-muslim tidak dapat mewarisi harta muslim.98
B. Biografi Yusuf Al Qaradhawi
Dikalangan pemikir Islam, Yusuf Al-Qaradhawi dikenal sebagai ulama dan
pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaannya itu tidak lain
karena ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam . Lantaran
itu ia diterima kalangan Barat sebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah,
santun, dan moderat. Kapasitasnya itu pulalah yang membuat Al-Qaradhawi sering
menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama-agama di Eropa maupun di
Amerika, sebagai wakil dari kelompok Islam.99
Kapasitas keilmuan Al-Qaradhawi sesunggungnya tidak lepas dari latar belakang
keluarga dan pendidikan yang ditempuhnya. Ia dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana
dengan nama lengkap Yusuf bin „Abdullah bin „Ali bin Yusuf, yang kemudian popular
dengan sebutan Yusuf Al-Qaradhawi, disebuah desa terpencil pedalaman Mesir, Shaft At-
Turab terletak antara kota Thanta (ibu kota propinsi Al-Gharbiyyah) dan kota Al-Mahallah
Al-Kubra yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling terkenal di provinsi Al-
Gharbiyah, tepatnya pada 9 september 1926.100
Ayahnya, „Abdullah, adalah anak dari
pedagang sukses Haji „Ali Al-Qaradhawi. Mengutip cerita pamannya, Al-Qaradhawi
menuturkan bahwa nenek moyang dari pihak ayahnya ini dahulu berasal dari sebuah daerah
yang bernama Al-Qaradhah dan namanya dihubungkan dengan nama daerah tersebut,
sehingga ia dikenal dengan panggilan Al-Qaradhawi (huruf ra dibaca dengan baris diatas)
dan bukan Al-Qardhawi (dengan dimatikan huruf ra), seperti yang biasa diucapkan oleh
orang-orang Syam.101
Sejak kecil, Qaradhawi sudah dikenal sebagai anak yang pandai dan kritis. Pada
usia 10 tahun, ia sudah hafal Al-quran. Ia menyelesaikan pendidikannya di Ma'had Thantha
dan Ma'had Tsanawi. Setelah itu, Qaradhawi terus melanjutkan ke Universitas Al-Azhar,
Fakultas Ushuluddin, dan lulus tahun 1952. namun, gelar doktoralnya baru diperoleh pada
tahun 1973 dengan disertasi berjudul "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan
98
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatawa Mu‟asyirah, (Kairo: Dar-Qalam, 2003), h. 677. 99
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011), h. 35. 100
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Cet. I, Terj. Cecep Taufikurrahman, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2003), h. 9. 101
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 35
155
Kemiskinan." Disertasinya telah disempurnakan dan dibukukan dengan judul Fiqh Zakat.
Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa
modern.102
Faktor yang menyebabkan keterlambatan penyelesaian program doktornya itu
karena sejak tahun 1968 hingga tahun 1970 dia ditahan oleh penguasa militer Mesir atas
tuduhan pro terhadap gerakan ikhwan al-Muslimin dan juga pada waktu itu ketika situasi
Mesir ditimpa krisis politik menghadapi peperangan dengan Israel pada 1973. Ketika krisis
mulai reda, Al-Qaradhawi mengajukan disertasi yang sudah dipersiapkannya untuk diuji.
Setelah bebas dari tahanan, dia hijrah ke Daha Qatar. Ditempat baru ini ia tidak saja
menjalankan tugas sebagai guru dan penceramah, tetapi juga diangkat sebagai imam masjid.
Di kota ini pula Al-Qaradhawi bersama Abdul Muis Abdul Sattar mendirikan Ma‟had al-
Diniy. Madrasah inilah yang merupakan cikal-bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar yang
didirikannya bersama Dr. Ibrahim Kazim.103
Al-Qaradhawi termasuk salah seorang ulama yang dalam sejarah hidupnya telah
meniti banyak karir, baik formal maupun non-formal. Karir atau aktivitasnya yang tergolong
formal, antara lain adalah pernah menjabat sebagai pengawas pada Akademi Para Imam,
sebuah lembaga yang berada dibawah Kementrian Wakaf Mesir. Setelah meninggalkan tugas
ini, dia pindah ke bagian Administrasi Umum untuk masalah-masalah budaya Islam di Al-
Azhar. Ditempat ini dia bertugas mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang
menyangkut teknis pada bidang dakwah. Pada 1961 dia ditugaskan sebagai tenaga bantuan
untuk menjadi kepala sekolah, sebuah sekolah menengah di Qatar. Dengan semangat yang
tinggi dia telah melakukan pengembangan dan peningkatan yang sangat signifikan ditempat
itu seta berhasil meletakkan fondasi yang sangat kukuh dalam bidang pendidikan, karena dia
telah berhasil menggabungkan khazanah lama dan kemodrenan pada saat yang sama.
Sewaktu memimpin sekolah inilah dia mencetuskan suatu ide baru dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan berupa kurikulum dan silabusnya untuk tiap mata pelajaran
di Sekolah Lanjutan Atas sebagai metode baru dalam sistem mengajarkan berbagai disiplin
ilmu, seperti tauhid, tafsir, ilmu bahasa, dan sebagainya. Metode baru yang ditawarkan Al-
Qaradhawi ini banyak diterapkan oleh sekolah-sekolah tingkat sekolah lanjutan atas. Dalam
metode baru itu dikorelasikan materi pelajaran agama secara umum yang relevan.104
102
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 4. 103
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 59-60. 104
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 77.
156
Dengan didirikannya Fakultas Tarbiyah pada pada 1973, yang merupakan cikal-
bakal Universitas Al-Qatar, Al-Qaradhawi dipercaya membuka jurusan Studi Islam dan
sekaligus ia ditunjuk sebagai ketua jurusannya. Kemudian pada 1977 dia mendapat tugas
memimpin pembukaan Fakultas Syariah dan Studi Islam, sekaligus dia menjadi dekan untuk
fakultas yang baru itu. Jabatan ini diembannya hingga akhir tahun ajaran 1989-1990.
Jabatannya sekarang adalah Dewan Pendiri sekaligus Direktur Pusat Riset Sunnah dan Sirah
Nabi (Al-Markaz al-Buhuts Li Al-Sunnah wa al-Sirah al-Nabawiyyah) pada Universitas yang
sama. Pada 1990/1991 dia ditugaskan oleh pemerintah Qatar untuk menjadi dosen tamu di
Al-Jazair. Di negeri tersebut dia bertugas untuk menjadi ketua Majelis Ilmiyah pada semua
universitas dan akademi negeri itu. Pada tahun 1411 H, beliau mendapat penghargaan dari
IBD (Islamic Development Bank) atas jasa-jasanya dalam bidang perbankan. Sedangkan pada
tahun 1413 H dia bersama-sama dengan Sayyiq Sabiq mendapat penghargaan dari King
Faishal Award karena jasa-jasanya dalam bidang keislaman. Di tahun 1996 dia mendapat
penghargaan dari Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia atas jasanya dalam ilmu
pengetahuan. Dan pada tahun 1997 dia mendapat penghargaan dari Sultan Brunai Darus
Salam atas jasa-jasanya dalam bidang fikih.105
Adapun kariernya yang tidak resmi atau non-formal, antara lain adalah
aktivitasnya sebagai juru dakwah. Dia memang menyibukkan diri dalam masalah fiqih dan
fatwa, sastra dan puisi, serta masih banyak lagi yang lain. Namun, apa yang menjadi prioritas
utama dalam hidupnya adalah dakwah, dan inilah yang menjadikan dirinya sebagai manusia
yang berharga didalam hidupnya. Dakwah telah menjadi darah dagingnya dan bagian penting
dalam kesibukannya. Dakwah adalah fokus perhatiannya dan barometer kepeduliannya, fokus
ilmu dan amalnya. Dalam perjalanan dakwahnya, Al-Qaradhawi telah banyak mendapat
rintangan, tantangan dan tekanan keras, dan dipenjara beberapa kali sejak masih berstatus
sebagai siswa di Sekolah Menengah Umum pada masa pemerintahan Raja Faruq tahun 1948.
Dia juga pernah dipenjarakan pada masa-masa revolusi Januari 1954, kemudian bulan
November pada tahun yang sama dia juga dipenjarakan selama dua puluh bulan . peristiwa
serupa juga menimpa dirinya pada tahun 1963.106
Aktivitas dakwah, yang merupakan proyek utama dalam perjuangan Al-
Qaradhawi ini, telah dimulai sejak ia masih remaja, yang ketika itu baru berumur enam belas
tahun, tepatnya saat ia masih duduk di Sekolah Ibtida‟iyyah di Thantha. Jangkauan dakwah
105
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 5. 106
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 78.
157
Al-Qaradhawi dari waktu kewaktu terus bertambah luas, mulai dari desanya sendiri,
lingkungan sekitarnya, kemudian melebar lagi sampai ke berbagai tempat di negaranya
sendiri, hinnga dia telah banyak diundang untuk menyampaikan dakwah atau ceramah-
ceramahnya oleh sejumlah Negara di dunia. Ini karena ia selalu menampakkan Islam secara
ramah, santun, dan moderat, suatu metode yang jarang ditempuh oleh kebanyakan juru
dakwah yang lain.107
Dengan berlatar belakang pendidikan filsafat dan penguasaanya yang mendalam
terhadap Al-Quran dan Hadits, membuat pemahaman fiqih Al-Qaradhawi menjadi dinamis, ia
tidak kaku dalam mempelajari dan menyikapi ilmu-ilmu syariah, yang banyak menyedot
perhatiannya sampai sekarang. Meskipun dalam masalah fiqih ia beraliran Hanafi, ia tidak
terikat dengan pendapat-pendapat dalam mazhab tersebut. Al-Qaradhawi mengatakan
“diantara nikmat Allah yang telah diberikan kepada saya ialah sejak saya dini saya terbebas
dari ikatan mazhab, taqlid, dan fanatik terhadap pendapat seorang alim tertentu, meskipun
pelajaran fiqih saya yang resmi adalah Mazhab Abu Hanifah.”108
1. Karya-karya Yusuf Al-Qaradhawi
Demikian banyak dan beragamnya aktivitas yang digeluti Al-Qaradhawi, namun
dia masih dapat memanfaatkan hari-hari yang dilaluinya untuk menulis makalah seminar dan
artikel diberbagai majalah dan surat kabar serta menulis buku dalam jumlah yang banyak.
Buku-buku karangannya terdiri atas berbagai disiplin ilmu agama, yang dari dulu hingga
sekarang bahkan untuk masa yang akan datang dapat dijadikan referensi dan akan selalu
dikenang sebagai karya intelektualnya yang sangat berharga. Menurut catatan Ishom
Talimah, jumlah bukunya sudah mencapai ratusan dan ia telah menyebutkan judul-judul buku
tersebut dan telah dipilah-pilah sesuai bidang masing-masing.109
a. Bidang fiqih dan ushul fiqih: Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam; Fatawa Mu‟ashirah
(tiga jilid); Taysir al-Fiqh: Fiqh al-Shiyam; Al-Ijtihad fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah;
Min Fiqh al-Dawlah Fi al-Islam; Ziwaj al-Misyar; dan Dll
b. Bidang ekonomi Islam; Fiqh al-Zakah (dua jilid); Musykilat al-Faqr wa Kaifa
„Alajaha al-Islam; Bai‟ al-Murabahah li al-„Amir wa al-Syira; Fawa id al-Bunuk
Hiya al-Riba al-Haram; dan Daur al-Qiyam wa al-Akhaq fi al-„Iqtishad al-Islami
107
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku …, h. 177. 108
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 61. 109
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 35.
158
Dengan melihat sekian banyaknya karya tulis yang menyentuh hampir berbagai
aspek kajian keislaman ini, dapat dipastikan Al-Qaradhawi merupakan sosok ulama yang
sangat produktif dalam menulis buku dan mempunyai keahlian dalam banyak bidang.
Namun begitu, karyanya dalam bidang fiqih dan fatwa agaknya lebih besar pengaruhnya di
dunia Islam dari pada karyanya dalam bidang-bidang yang lain110
.
B. Dasar Hukum Harta Waris beda Agama Menurut Yusuf Al Qaradhawi
Hukum waris di Indonesia secara umum masih menggunakan tiga landasan hukum,
pertama, hukum waris berdasarkan hukum Islam, kedua, hukum waris berdasarkan hukum
adat, dan ketiga menggunakan hukum waris yang berdasarkan hukum barat.111
Pembentukan hukum Islam mesti dikaitkan dengan konteks yang ada, situasi dan
kondisi dimana hukum tersebut dilahirkan yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk
kemaslahatan manusia. Konteks maslahah dizaman modern mesti perumusannya identik
dengan kebebasan, persamaan hak dan derajat.112
Dalam kajian hukum Islam, hukum dibagi
menjadi dua bidang besar, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan aturan yang terkait
dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, haji dan lainnya.
Sedangkan muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, perceraian , perkawinan, pewarisan,
jinayah dan lain-lain.113
Menurut Asgar Ali Engineer, ayat-ayat yang menyinggung soal
ibadah, dapat dipahami dalam hadits shahih dan tidak diperlukan reinterpretasi dan
rethingking dalam memahami ayat-ayat yang terkait. Berbeda dengan ibadah mu‟amalah
yang termasuk didalamnya kewarisan, terlebih dalam konteks pewarisan beda agama Asgar
melihat tidak maslahah dalam situasi kekinian ia menolak penghalang pewarisan akibat
perbedaan agama karena itu terkait dengan ibadah maumalah yang keberadaanya bisa
dikontekstualisasi.114
Pendapat ini senada dengan apa yang difatwakan oleh seorang ulama besar
kontemporer yaitu Yusuf Al-Qaradhawi , beliau mengatakan bahwasanya muslim dapat
110
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 9. 111
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah “Kapita Selekta Hukum Islam”, (Jakarta: PT. Gunung Agung,
1996), h. 195. 112
M. Khalid Mas‟ud, Filsafat Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, (Surabaya: Al-Iklas, 1995), h.
181. 113
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikri Al-Mu‟sir, 1989, II), h.
19-20. 114
Asgar Ali Engineer, Metodologi Memahami Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tt), h.20.
159
mewarisi dari kafir namun kafir tidak dapat mewarisi dari muslim.115
Namun mayoritas
ulama berpendapat bahwa muslim tidak mewarisi dari kafir sebagai mana kafir tidak
mewarisi dari muslim. Mereka menggunakan dalil-dalil, sabda Nabi saw.,
من الكافر واليرث الكافر املؤمنال يرث املؤ
“muslim tidak mewarisi dari kafir dan kafir tidak mewarisi muslim.” (HR Bukhari dan
Muslim dari Usamah bin Zaid)
اليثوارث اىل ملينت شىت
“Tidak saling mewarisi antara dua agama yang berbeda.” ( HR Ahmad dan Abu Daud dari
Abdullah bin Amru)
Pendapat ini merupakan pendapat khulafaur-Rasyidin, para imam empat mazhab
(Safi‟i, Hambali, Maliki, dan Hanafi), pendapat kebanyakan ulama, serta yang banyak diikuti
umat Islam, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qudamah.116
Namun, dalam riwayat dari Umar, Mu‟adz, Mu‟awiyah yang terdapat dalam kitab al-
Mugni disebutkan bahwa mereka membolehkan muslim mewarisi dari kafir, dan kafir tidak
dapat mewarisi dari muslim. Riwayat ini berasal dari Muhammad ibnul Hanafiyah, Ali bin
Husain, Sai‟d ibnul Musayab, Masruq, Abdullah bin Mu‟aqil, asy-Sya‟bi, Yahya bin Ya‟mar
dan Ishaq. Diriwayatkan pula bahwa Yahya bin Ya‟mar mendatangi dua orang yahudi dan
muslim yang sedang bertengkar tentang warisan saudara mereka berdua yang kafir.
Kemudian Yahya bin Ya‟mar memberikan warisan kepada muslim. Dengan dalil bahwa
muslim mendapat warisan dari kafir. Ia mengatakan bahwa Abu Aswad berkata kepadanya,
sesungguhnya Rasulullah berkata,117
اال سالم يزيد وال ينقص
“Islam selalu bertambah dan tidak pernah berkurang.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Al-
Hakim)
Artinya Islam menjadi sebab bertambahnya kebaikan dan tidak menjadi sebab kefakiran dan
kekurangan bagi pemeluknya. Tentang ketinggian dan kemuliaan Islam tanpa harus
ditinggikan, sebuah hadits menyebutkan,
“Islam adalah unggul dan tidak terungguli.” (HR al-Baihaqi dan Daaruquthni)
115
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2002), h. 856-
857. 116
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3 ..., h. 851. 117
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3 ..., h. 851.
160
Juga karena umat Islam diperkenankan menikahi wanita-wanita mereka, sedang
mereka tidak boleh menikahi wanita muslimah. Karena itu pula muslim dapat mewarisi kafir,
sedang kafir tidak dapat mewarisi dari muslim. Yusuf Al-Qaradhawi membenarkan dan
setuju dengan pendapat tersebut, meskipun jumhur ulama tidak menyetujuinya. Ia
mengatakan Islam tidak menolak jalan kebaikan yang bermanfaat bagi kepentingan umatnya.
Apalagi, dengan harta peninggalan atau warisan itu dapat membantu untuk mentauhidkan
Allah untuk taat kepadaNya, dan menolong menegakkan agama-Nya yang benar ini. Bahkan,
sebenarnya harta ditunjukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat
pada-nya.118
Menurut beliau illat dari masalah waris adalah semangat tolong menolong,
bukan perbedaan agama.119
C. Konsep Warisan beda Agama menurut Yusuf Al Qaradhawi
Islam adalah agama yang terdiri dari aqidah dan syari‟ah. Hukum syariah terdiri dari
aturan ubudiyyah dan mu‟amalah. Didalam hukum mu‟amalah diklasifikasikan menjadi
beberapa bagian, diantaranya siyasah, aqdhiyah, jinayah, mu‟amalah, dan ahwal syahsiyah.
Pada lingkup ahwal syahsiyah terdapat aturan hukum tentang munakahat, waris, wasiat, dan
waqaf. Kesemuanya selalu bertujuan untuk tercapainya kemaslahatan. Salah satu aturan di
dalam hukum Islam yang menuntut diberlakunya kemaslahatan adalah mengenai pembagian
waris, yang mana sebagian besar umat Islam meyakini bahwa sistem yang selama ini diatur
di dalam fiqh mawaris mengandung nilai keadilan dan kemaslahatan yang mampu untuk
dipertanggung jawabkan. Sehingga menerapkan hukum waris Islam adalah dianggap akan
dapat membuat tercapainya kemaslahatan dalam kehidupan umat manusia.120
Hukum syariah secara jelas melarang seorang muslim dengan kafir saling mewarisi.
Diantara alasan dari ketidak bolehan tersebut adalah hadits Nabi saw sebagai berikut:
ال يشث المغلم الكافش وال الكفش المغلم
“orang islam tidak dapat mewarisi harta kafir dan kafir pun tidak dapat mewarisi harta
orang islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama sepakat dengan larangan kafir yang mewarisi muslim. Tetapi ketika muslim dilarang
mewarisi kafir, permasalahan yang timbul kemudian. Konsepsi tentang non muslim
118
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3 ..., h. 852. 119
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqasyid Syari‟ah, (Jakarta: Putaka Al-Kautsar, 2007), h.306. 120
Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, (Jakarta: Prenada, 2003), h. 351.
161
umumnya selalu dikaitkan dengan kata kafir. Sedangkan dalam Al-quran banyak ditemukan
kata kafir atau kufr, Al-quran menempatkan kafir sebagai sentral dari segala kejahatan dan
menjadikannya sebagai lawan dari pada kata-kata “iman” yang menjadi sumber dari segala
kebaikan. Karena posisinya yang cukup sentral dalam Al-quran, pemikiran tentang
terminologi kafir sampai sekarang masih terus berkembang, bahkan keberadaannya penting
untuk dikaji secara sistematis dan mendalam guna memperoleh pemahaman yang utuh dan
komprehensif.121
Penafsiran tentang terminologi kafir/kufr dari beberapa intelektual sangat beragam
sekali. Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menafsirkan kafir dengan mengutip surat Al-
Baqarah: 254, beliau mengatakan122
“kafir itu ada yang kafir ingkar kepada Tuhan sama sekali, kafir kepada akhirat.
Tetapi ada lagi kafir dalam pengakuan iman. Dia sembahyang juga, puasa juga tetapi
dia menolak ajakan membelanjakan harta pada jalan Allah. Dia bakhil, saku-saku
dijahitnya, peti uangnya ditutup, diajak kurban pada Allah dia pun malas, bahkan dia
pun takut. Akhirnya agamanya mundur, sabilillah tidak berdiri, umat menjadi bodoh
hakekat agama tidak tegak lagi. Yang selesai menjadi kusut dan yang jernih menjadi
keruh. Siapa yang aniaya jadinya? Ialah si bakhil tadi karena menolak (kufr) pada
ketentuan kebenaran”.
Abdullah Ahmad An-Na‟im seorang sarjana asal Sudan mengatakan secara implisit
bahwa jika ada beberapa ajaran Islam (nash) bertentangan dengan nash lain yang
mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka yang bersifat praktik mesti dinasakh oleh nash
lain yang mengandung nilai kemanusiaan (yang berupa keadilan, persamaan derajat,
kebebasan beragama, tolong menolong dan lainnya).123
Sebab ayat-ayat tersebut merupakan
universal sebagai nash muhkamat yang berarti Qat‟iyyu ad-dalalah.124
Konsepsi kafir ataupun murtad dalam fiqih Islam yang disebutkan sebagai penyebab
terhalangnya hak-hak waris semestinya dicabut karena penghalang atas nama kafir ataupun
murtad jelas diskriminasi terhadap ahli waris yang berbeda agama. Kafir dalam bahasa
mereka tidak seperti terminologi para ulama salaf (klasik) yang terjebak pada terminologi
121
Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.18. 122
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, III, 1983), h.15. 123
Abdullah Ahmed An-Na‟im, Al-Qur‟an, Syari‟ah Dan HAM : Kini Dan Masa Depan, (Islamika No.
2, 1993), h.112 124
Masdar Farid Mas‟udi, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993), h. 21.
162
yang tidak adil. Konsepsi kafir tidaklah semata transedental spekulatif tetapi juga bernuansa
sosial dan reflektif kemanusiaan kontemporer.125
Dalam konsep hukum waris beda agama para ulama salaf dan kontemporer berbeda-
beda pendapat. Para ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang muslim berhak mewarisi
non muslim. Kalau salah seorang diantara anak-anak pewaris ada yang non muslim kemudian
masuk Islam sesudah orang yang diwarisi itu meninggal dan harta peninggalannya sudah
dibagikan kepada pemiliknya maka menurut kesepakatan para Ulama madzhab, orang
tersebut tidak berhak atas waris. Tetapi para ulama klasik dalam konteks tersebut, berbeda
pendapat ketika anak non muslim masuk Islam sesudah orang yang diwarisi tersebut
meninggal akan tetapi hartanya belum dibagikan. Ulama Imamiyah dan Hambali mengatakan
bahwa “orang itu berhak atas waris”. Sedangkan Imam Hanafi, Maliki, dan Syafi‟i
mengatakan berbeda: “orang itu tidak berhak atas waris”.
Tetapi secara umum Imam Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafi‟i bersepakat bahwa :
“orang Islam tidak dapat saling mewarisi dengan non muslim, mereka berpegang pada dzahir.
Tetapi Imamiyah juga mengatakan bahwa; “apabila pewaris muslim itu hanya satu, maka
hanya dialah yang menarima waris. Keislaman seseorang kemudian tidak berpengaruh sama
sekali bagi hak untuk mewarisi.126
Dalam konteks penghalang kewarisan perbedaan agama juga termasuk yang dalam
ajaran Islam dikatagorikan sebagai orang murtad. Murtad secara umum didefinisikan oleh
para ulama sebagai keluarnya seseorang yang semula memeluk agama Islam kemudian
mengingkarinya.
Terkait dengan kewarisan, status orang murtad disamakan dengan orang kafir yang
berarti mempunyai kedudukan yang sama dengan orang kafir asli. Karena orang murtad tidak
dapat menjadi muwarris bagi ahli warisnya yang muslim ataupun sebaliknya. Dasar hukum
dalam hal ini ialah mengambil pada rujukan keumuman hadits yang diriwayatkan oleh
Usamah bin Zaid.
Berbeda halnya dengan Yusuf Al-Qaradhawi, ia mengatakan bagi orang murtad,
orang Islam berhak menerima waris darinya. Adapun bagi dia, jika dia memiliki warga yang
muslim yang mati dan saat itu ia dalam keadaan murtad, maka si murtad tersebut tidak berhak
menerima waris . karena yang demikian itu, berarti dia tidak dalam barisan penolongnya.
125
Masdar Farid Mas‟udi, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam ..., h. 21. 126
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, Terj Masykur A.B, (Jakarta: Lentera, 1996),
h.542.
163
Tetapi jika dia kembali lagi memeluk Islam sebelum warisan dibagikan mengenai hal ini,
orang-orang berbeda pendapat tentangnya; apakah ia mendapat warisan atau tidak.
Menurut madzhab Ahmad, bagi kafir asli dan orang murtad, apabila ia masuk Islam
sebelum warisan dibagikan, maka mereka berhak mendapatkan warisan. Ini adalah pendapat
beberapa sahabat dan tabi‟in. serta hal ini mendukung dasar tadi, yaitu dapat mendorongnya
kepada Islam.127
Dan juga menurut fuqaha, Imam Ali r.a. karramallahu wajhah pernah memberikan
warisan kepada ahli waris yang muslim dari Al Miswar Al „Ajli yang dibunuh karena murtad.
Sebagian fuqaha lagi membatasi kebolehan orang muslim mawarisi peninggalan orang kafir
jika sikafir orang murtad, yakni asalnya beragama Islam kemudian memeluk agama atau
kepercayaan lain dengan meninggalkan Islam. Yang berpendapat membolehkan ialah Abu
Yusuf dan Muhammad (dua murid Imam Abu Hanifah) serta madzhab Imam Al Hadi dari
kelompok Syi‟ah Zaidiyah. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa kekayaan yang
diperoleh sebelum pewaris murtad adalah untuk ahli warisnya yang muslim, sedangkan
kekayaan yang diperoleh setelah pewaris murtad adalah untuk baitul mal.128
Akan hal orang murtad mewarisi (mendapat warisan) kerabatnya yang muslim tidak
ada seorangpun ulama yang memperbolehkannya, karena menurut pandangan Islam ia
dihukumi telah mati dan darahnya sia-sia (dianggap tidak ada). Dengan demikian, jelaslah
bahwa orang murtad yang tetap dalam kemurtadannya tidak dapat mewarisi dari ayahnya,
ibunya, kakeknya, dan kerabat manapun yang muslim menurut ijma‟, karena dia telah murtad
dari Islam tanpa diperselisihkan lagi, dan murtadnya dari Islam menuju kepada komunisme
itu termasuk jenis kekafiran yang paling buruk, karena dia tidak mengimani ketuhanan,
kerasulan, kitab suci, dan akhirat:
يايها الذينامنوا امنوا باهلل ورسولو والكتب الذي نزل على رسولو والكتب الذي انزل من قبل ومن يكفرباهلل وملءكتو وكتبو ورسلو واليوم االخر فقد ضل ضلال بعيدا.
Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”. (QS. An Nisaa‟ : 136)
Semua ketentuan ini berlaku bagi orang komunis (murtad) yang tetap dalam
kekomunisannya.129
Pendapat yang mendukung bahwa seorang muslim menerima waris dari
127
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah …, h. 308. 128
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jild I, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 646. 129
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild. 1 …, h. 646.
164
orang kafir tetapi tidak sebaliknya adalah, bahwa dasar dari waris yaitu adanya semangat
tolong menolong. Sedangkan yang menghalangi dari waris adalah permusuhan.130
Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan dalam melaksanakan prinsip hukum
Islam, terutama berkaitan dengan kewarisan. Menurut Yusuf Al-qaradhawi131
, beliau
mentarjih pendapat yang membolehkan muslim menerima dari non muslim dengan alasan :
a. Islam tidak boleh menghalangi harta yang dapat digunakan untuk membela tauhid,
ketaatan, dan menolong agama Allah.
b. Asal dalam penggunaan harta untuk ketaatan kepada Allah, bukan untuk
kemaksiatan.
c. Peraturan perundang undangan yang berlaku di suatu Negara menetapkan orang
yang paling utama menggunakan harta adalah orang beriman. Bila terhadap
kepemilikan harta waris, kita tidak layak untuk menolaknya dan membiarkan
orang kafir menggunakannya untuk sesuatu yang haram, padahal akan
membahayakan umat Islam.
d. Harta diambil dijalan tawassuth (moderat), yaitu ahli waris mengambil harta
tersebut, sesuai dengan peraturan undang-undang di negara tersebut, tetapi untuk
kemaslahatan umat, dakwah, dan pendidikan Islam, sementara yang bersangkutan
dengan pribadinya mengambil untuk sekedar menutupi kebutuhan pokok
hidupnya dari pada harus meminta-minta (tasawwul) kemana-mana, apalagi
dengan membawa nama muallaf.
Waris beda agama adalah praktek waris yang amat pelik, dizaman modern, terlebih
ketika yang menerima warisan adalah muslim dari orang tua atau kerabat yang masih kafir.
Keterangan yang menapikan kewarisan itu, dengan menggunakan huruf La nafyiyah yang
diartikan tidak, bukan la nahyi, yang berarti larangan. Huruf La nafyiyah ini mengandung arti
“tidak” dan dengan kata tidak ini, tidak dilakukan suatu tindakan hukum.132
Sabda Nabi yang
berkaitan dengan menapikan waris mewarisi antar agama ialah hadits yang diterima dari
Usamah bin Zaid dari Nabi saw.
ال يرث املسلم الكافر وال الكفر املسلم
“orang Islam tidak dapat mewarisi harta kafir dan kafir pun tidak dapat mewarisi harta
orang Islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits lain dari Amr bin Syuib dari kakeknya Abdullah bin Amr dari Nabi saw.,
اليتورث اىلو مللتني شتا )رواة امحدد, ابودود, ابن جمو (
130
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 308. 131
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa kontemporer, jild 3 …, h. 852. 132
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jild. IX, Terj. Anshari Taslim, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.th), h.15.
165
“tidak waris mewarisi penganut dua agama yang berbeda”, (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
Ibn Majah).
Dua hadits inilah yang menjadi standar kewarisan dikalangan umat Islam yang dianut
oleh para ulama, sejak sahabat, ulama salaf dan khalaf. Namun demikian tidak menjadi ijma‟
karena ada beberapa sahabat tidak menyepakatinya didalam hadits itu masih umum dan
memerlukan khas (pengkhususannya) atau mungkin taqyid-nya, bila dianggap mutlaq. Maka
kafir disitu kafir harbi, bukan kafir dzimmi. Umar dari kalangan al-Khulafa al-Rasyidin,
Muadz, Muawiyah, tidak menerapkan praktek hadits yang diriwayatkan di atas, bahkan
sebaliknya dalam kasus tertentu sebagai mana diriwayatkan, “Mereka mengambil waris dari
kafir tetapi tidak sebaliknya, yaitu kafir dari muslim”.133
D. Metode Istinbath Hukum tentang harta warisan beda agama menurut Yusuf Al
Qaradhawi
Ajaran yang paling popular dalam metode istinbath adalah paham begaimana dalam
menentukan suatu hukum dengan landasan-landasan yang benar atau ketentuan-
ketentuannya, landasan hukum yang penting, sesungguhnya tambahan terhadap sunnah,
adalah pendapat dan praktek (atsar dan a‟amal) dari para sahabat. Semenjak masa awal Islam,
kaum muslimin telah memandang keputusan-keputusan hukum dari para sahabat sebagai
metode hukum. Alasannya ialah bahwa para sahabat adalah pengamat-pengamat langsung
dari sunnah Rasul.134
Pendapat-pendapat hukum mereka, meski berbeda-beda disana sini,
tetap membawa ruh sunnah Rasul, ialah sebabnya mengapa para ahli hukum madzhab awal
sering kali berargumen atas dasar keputusan-keputusan hukum para sahabat, praktek dan
pendapat para sahabat merupakan sumber hukum yang demikian penting sehingga sering kali
menyisihkan suatu tradisi dari Rasulullah untuk mendahulukan pendapat dan praktek para
sahabat.
Metode-metode istinbath hukum dalam ilmu ushul fikih, pembahasannya
dikelompokkan bersama-sama dengan Al-Qur‟an dan sunnah yang kemudian dinamakan
dengan Al-Adillat Al-Syar‟iyyat (dalil-dalil syara‟), pengelompokkan ini sebenarnya kurang
tepat, karena terdapat perbedaan antara Al-Qur‟an dan sunnah disatu sisi dengan metode-
metode istinbath hukum itu di lain sisi Al-Qur‟an dan sunnah merupakan sumber hukum,
sedangkan Qiyas, isthsan, istishlah dan lain-lain merupakan cara-cara yang ditempuh oleh
133
Yusuf Al-Qaradhawi, (Mengutip Ibn Qudamah, Al-Muqhni IX), Fatwa-fatwa Kontemporer, jild 3
…, h. 851. 134
Iskandar Usman, Pembaharuan Hukum Islam, cet 1, (Banda Aceh : LKAS, 2011), h. 5.
166
para mujtahid dalam menetapkan atau memutuskan hukum guna mendapatkan hukum yang
sesuai dengan kehendak Al-Qur‟an dan sunnah.135
Mengenai metode instinbath hukum tentang harta waris yang telah dilakukan oleh
para ulama, baik ulama salaf maupun kontemporer selalu memberikan perhatian serius
terhadap pembahasan kewarisan. Intensi mereka terhadap persoalan waris disebabkan Al-
Qur‟an dan Al-Hadits yang menjadi rujukan pertama hukum Islam menerangkan
pengaturannya dengan sangat terperinci dan ketentuan-katentuan yang lugas. Metode yang
digunakan Yusuf Al-Qaradhawi dalam mengistinbathkan hukum tentang harta warisan yaitu:
1. Metode Kemaslahatan
Seiring dengan perkembangan zaman dan situasi kondisi yang terus menerus
berubah, pengaturan kewarisan yang telah diatur cukup tegas itu sedikit banyak mengalami
masalah bahkan benturan-benturan sosial yang tidak dapat dihindarkan. Situasi-situasi dan
perubahan zaman yang berlansung sangat cepat itu, mendorong pemikir Islam kontemporer
untuk kembali melakukan ijtihad dengan menggali nilai-nilai universal dan abadi yang ada
dalam Al-Qur‟an dan Al-hadits.
Salah satu yang menjadi perdebatan pemikir mutaakhir perihal kewarisan adalah hak
waris muslim terhadap ahli warisnya yang non muslim. Kita tahu dalam khazanah fiqh
disebutkan bahwa salah satu penyebab terputusnya hak waris seseorang ialah perbedaan
agama. Perbedaan agama antara muwarris dan ahli waris ialah salah satu syarat terputusnya
hak waris seseorang. Hukum ini, mendapatkan gugatan dari pemikir kontemporer salah
satunya yaitu Yusuf Al-qaradhawi karena diangap bertentangan dengan nilai universal islam,
keadilan dan hak asasi manusia.136
Jumhur ahli fikih berpendapat, bahwa seorang muslim tidak boleh menerima waris
dari kafir, begitupun sebaliknya. Perbedaan agama menjadi sebab terhalangnya warisan. Para
ahli fikih beralasan dengan hadits Al-Bukhari dan Muslim yang menyatakan, “ muslim tidak
boleh menerima waris dari kafir, tidak pula kafir dari muslim.” Serta hadits lain yang
menyatakan , “pemeluk dua agama (berbeda), tidak boleh saling mewarisi”.
Pendapat tersebut diriwayatkan dari Khulafaur rasyidin. Imam empat madzhab dan
seluruh ahli fikih pun berpendapat hal yang serupa. Hal ini sebagai mana yang dikatakan ibnu
Qudamah.
135
Hasbi Ash-Shiddleqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 87. 136
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Ekonosia Ekonomi UII, 1999), h. 7.
167
Diriwayatkan dari ibnu Umar, Muadz, dan Mu‟awiyah, bahwa seorang muslim boleh
menerima waris dari kafir, dan tidak sebaliknya. Hal itu diceritakan oleh Muhammad bin Al-
Hanafiyyah, Ali bin Husain, Sa‟id bin Al-Musayyab, Masruq, Abdullah bin Ma‟qil, Asy-
Sya‟bi, Yahya bin YA‟mar, dan Ishaq.137
Diriwayatkan juga dari Yahya bin Ya‟mar, bahwa pernah dua orang saudara Yahudi
dan muslim bersengketa kepadanya tentang warisan saudaranya mereka yang kafir. Lalu,
muslim tersebut mendapatkan warisan tersebut. Yahya berkata, “Abu Al-Aswad pernah
bercerita kepadaku bahwa Muadz pernah bercerita, Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Islam
itu bertambah, bukan berkurang”.138
Ini berati bahwa Islam harus menjadi sebab kabaikan
bagi pemeluknya, bukan menjadi sebab bagi kekurangan.
Akan tetapi imam Syafi‟i mengatakan hadits yang diriwayatkan oleh muadz tersebut
adalah hadits dhaif, beliau mengatakan Abu al-Aswad seorang yang hafalannya lemah jadi
tidak bisa diterima begitu saja.139
Tetapi Qaradhawi berpendapat hadits dhaif boleh
dijalankan dalam masalah-masalah yang dianggap baik, anjuran, peringatan, dan syarat-syarat
tertentu. Karena hadits yang diriwayatkan oleh muadz sanadnya bersifat dharurat atau
kemaslahatan dharuriyah yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok
manusia yakni terpeliharanya agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.140
Imam asy-Syatibi memberikan tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan
dalil maslahat.
a. Bersifat logis, yakni ketika dilogikakan ia dapat diterima. Ia tidak menerima hal-
hal yang bersifat ta‟abbudi, karena hal-hal yang bersifat ta‟abbudi adalah sesuatu
yang harus diterima.
b. Ada hubungan secara global dengan tujuan syariat, dengan tidak menghilangkan
hukum dari asalnya, serta tidak ada dalil yang menunjukkan secara qath‟i. Akan
tetapi sesuai dengan maslahat yang dimaksud oleh syariat dalam pelaksanaannya,
demikian juga jenis dan hal-hal lainnya tidak bertentangan, meskipun tidak ada
dalil khusus yang menyatakannya.
c. Penggunaan dalil tersebut atas dasar pemeliharaan sesuatu yang mendesak
(dzaruri) atau menghilangkan kesulitan dalam agama.
Adapun dasar penggunaan dalil maslahat untuk menghilangkan kesulitan adalah
dimungkinkan ada hubungan dengan yang mendesak dan mungkin merupakan kebutuhan
137
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 303. 138
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 303. 139
Al-Imam asy-Syafi‟i, Al-Umm ..., h. _. 140
Yusuf Al-Qaradhawi, Taisiru Fiqh Lil Muslimil-Muasyiri Fi Dhau Il-Qur‟an Was Sunnah, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1420 H), h.76.
168
yang maksudnya adalah untuk meringankan dan mempermudah .141
Para analisis ulama Islam
menyatakan bahwa hukum-hukum syariat itu disyariatkan untuk kemaslahatan hamba-Nya di
dunia ataupun di akhirat. Demikian juga apakah maslahat tersebut dharuriyah, hajiyah, atau
tansiniyah. Adapun dalilnya, sebagaimana dikatakan oleh imam Ghazali kemudian juga
imam asy-Ayatibi, adalah penelitian syariah dan analisis beberapa dalilnya baik yang
menyeluruh maupun yang persial. Hal itu tidak hanya terbatas pada satu nash atau realitas
khusus, syariat secara keseluruhan mengandung kisi-kisi tersebut. Imam asy-Syatibi
mengkhususkan satu bagian dalam kitabnya Al-muwafaqat untuk bab maqashid.
Imam asy-Syatibi mengatakan dalam kitabnya tersebut kaidah yang penting, yaitu
bahwa asal ibadah dalam konteks taklif adalah penyerahan dan pengikatan tanpa harus
mengkaji makna-maknanya (apa maksudnya) dan asal „adah „kebiasaan, muamalah„ adalah
pengkajian terhadap makna-makna. Kesimpulannya adalah bahwa tujuan syariat itu untuk
mencapai kebaikan, maslahat bagi manusia, dan menghindari bahaya dan kerusakan
mereka.142
Maka dari itu waris beda agama dapat dilakukan tetapi hanya sebatas muslim
mewarisi kafir namun tidak sebaliknya, karena menngandung kemaslahatan yang begitu
besar bagi manusia terutama muslim. Penerima warisan yang terhijab dalam kasus perbedaan
agama ternyata ada pemaknaan lain, hadits tersebut dimaknai tidak sebagaimana lahiriyahnya
ketika diterangi atau malah diyakini ada bahaya tersembunyi dan dengan menolak waris itu
akan keluar dari al-maslahah al-ammah.
Disini, bisa juga disebutkan hadits, “Islam itu tinggi, dan tidak bisa rendah”. Selain
itu muslim bisa menikahi wanita-wanita mereka dan mereka tidak bisa menikahi wanita-
wanita muslim. Demikian pun dalam warisan. Kita bisa menerima waarisan mereka, tetapi
mereka tidak.
Meskipun tidak sama dengan jumhur, tetapi Al-Qaradhawi menguatkan pendapat
tersebut. Beliau berpendapat, bahwa Islam tidak menjadi batu penghalang bagi kebaikan dan
kemaslahatan seorang muslim yang mengesakan Allah, taat kepada-Nya, dan menolong
agama-Nya dengan kebaikan.143
Sebagaimana telah diketahui, bahwa waris dibangun atas dasar semangat tolong-
menolong yang nyata, bukan karena keimanan hati dan ikatan batin. Secara zhahir, orang-
orang munafik adalah menolong umat islam, meskipun hakikatnya mereka adalah musuh
141
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, tt), h. 77. 142
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern ..., h. 80. 143
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 304.
169
yang paling berbahaya. Tatapi, mereka tetap mendapatkan warisan. Dengan demikian, waris
dibangun berdasarkan perkara zhahir, bukan hati.
Kebanyakan dari mereka melarang masuk Islam karena takut jika kerabatnya yang
memiliki harta banyak meninggal, mereka tidak akan mendapatkan warisan sedikitpun.
Beliau pernah mendengar dari mereka mengatakan hal tersebut.144
Oleh karena itu, jika
diketahui bahwa Islam tidak menggugurkan warisannya, maka upaya mereka untuk
menghalang-halangi saudaranya dari masuk Islam semakin melemah, dan keinginan mereka
sendiri untuk masuk Islam menjadi makin kuat. Hal ini saja sebenarnya telah cukup untuk
menjadi pengkhususan (at-takhshish) dalam masalah ini. Hal ini mempunyai kemaslahatan
yang diakui oleh syariat dalam banyak ajarannya. Kemaslahatan bisa jadi lebih besar dari
pada kemaslahatan menikahi perempuan mereka. Dan hal ini tidak menyalahi hal-hal pokok.
Ahli dzimmah selalu menolong mereka, orang-orang Islam berperang untuk mereka dan
menebus tawanan mereka. Waris ada, karena adanya semangat tolong menolong. Dengan
demikian, umat Islam menerima waris dari mereka. Namun, mereka tidak menolong umat
Islam, dengan demikian mereka tidak berhak menerima waris. Dasar waris bukanlah ikatan
hati. Jika hal ini dijadikan alasan, sunnah telah menjelaskan bahwa mereka menerima dan
memberi waris.
Menurut Ibnu Taimiyah,145
yang mendukung pendapat bahwa muslim menerima
waris dari kafir dzimmi tetapi tidak sebaliknya adalah, bahwa dasar dari waris yaitu adanya
semangat tolong menolong. Sedangkan yang menghalangi dari waris adalah permusuhan.
Untuk itu, banyak ahli fikih berpendapat, bahwa kafir dzimmi tidak menerima waris dari
kafir harbi. Dalam ayat tentang diyat, Allah swt. berfirman,
فان كانن من قوم عد ولكم وىو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة
Artinya: “Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia mukmin, maka
(hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (QS. An-
Nisaa‟: 92)
Jika yang terbunuh muslim, diyatnya adalah untuk keluarganya. Jika yang terbunuh
orang yang membuat perjanjian damai, diatnya untuk keluarganya. Jika yang terbunuh adalah
musuh umat Islam, dia tidak mendapaatkan diyat. Karena, keluarganya adalah musuh umat
Islam, bukan orang yang membuat perjanjian damai, dengan demikian umat Islam tidak akan
144
Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 307. 145
Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 308.
170
membayar diyat kepadanya. Jika mereka adalah orang yang membuat perjanjian, umat Islam
pasti akan membayar diyat kepadanya. Dengan demikian, orang–orang seperti itu tidak akan
menerima warisan dari umat Islam, karena diantara merka tidak ada ikatan iman dan
keagamaan.
Orang–orang yang berpendapat tidak mendapatkan warisan berkata; kufur
menghalangi waris. Orang yang membebaskan hamba sahaya, jika ia kafir maka ia tidak akan
menerima waris, ia seperti pembunuhan. Sedangkan orang yang berpendapat menerima waris
berkata; orang yang membunuh tidak dapat menerima waris ( dari orang yang dibunuh )
adalah sebagai pelajaran/hukuman karena dia telah melanggar janji.
Inilah yang menjadi Illat dalam warisan yaitu pemberian pertolongan. Sedangkan
adanya perbedaan agama, tidak memungkinkan untuk menjadi illat dalam masalah ini.146
Maka permasalahan ini dapat masuk dalam kategori tiga kebaikan syariat berikut ini,
yaitu orang (kafir atau murtad) yang masuk Islam sebelum harta warisan dibagikan, maka ia
berhak mendapat warisan, orang memerdekakan hamba sahaya ia berhak menerima warisan
dari bekas hamba sahayanya tersebut karena alasan perwalian, dan muslim berhak menerima
warisan dari saudaranya yang kafir dzimmi.
Permasalahan di atas termasuk polemik yang terjadi antara para sahabat dan tabi‟in.
Namun untuk dua masalah yang terakhir, tidak diketahui bahwa para sahabat berpolemik
tentangnya. Yang dinukil dari pendapat mereka adalah, mendapatkan warisan.
Ibnu Taimiyah menyatakan, masalah warisan dalam kaitannya dengan hal ini adalah
sesuai dengan dasar-dasar syariat yang ada. Dimana umat Islam memiliki hak atas ahli
dzimmah karena kewajiban-kewajiban yang dilakukan untuk melindungi darah mereka,
membela diri mereka, menjaga nyawa dan harta mereka, dan membebaskan tawanan mereka.
Umat Islam telah memberikan manfaat, menolong, dan memperjuangkan mereka. Dengan
demikian, umat Islam lebih berhak mewarisi dari mereka dari pada kafir.147
Sedangkan, orang-orang yang berpendapat tidak menerima waris, berkata; waris itu
berdasarkan kesetiaan (wala‟) sedangkan kesetiaan antara muslim dan kafir telah terputus.
Namun, orang-orang menjawab, bahwa waris tidak berdasarkan kesetiaan hati (batin) yang
akan mengakibatkan ganjaran di akhirat. Karena hal tersebut telah jelas antara umat Islam
dan musuh mereka yang paling besar, yaitu orang munafik, yang disebut dalam Al-Qur‟an,
146
Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 309. 147
Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 310.
171
ىم العد وفا حذ رىم
Artinya: “mereka itulah musuh musuh yang sebenarnya maka waspadailah terhadap
mereka”. (QS. Al-Munafiqun : 4)
Namun, dalam sejarah mereka tetap mewarisi dan diwarisi. Karena memang loyalitas
hati tidak menjadi syarat dalam warisan. Tetapi, dengan rangkaian kerja sama atau tolong-
menolong. Muslim menolong ahli dzimmah, dengan demikian mereka menerima waris dari
mereka. Sedangkan ahli dzimmah tidak menolong umat Islam, dengan demikian mereka tidak
menerima waris dari muslim.
Bisa juga dilihat dari sisi bahwa waris termasuk kedalam bab wasiat seorang ayah
yang meninggal kepada anaknya. Wasiat dari kafir kepada muslim, atau dari muslim kepada
kafir yang bukan harbi adalah jelas-jelas boleh. Mereka berpendapat, bahwa manusia boleh
mewasiatkan seluruh hartanya, meskipun kepada anjingnya. Dengan demikian, kepada
anaknya adalah lebih utama.148
Jika kita mengambil pendapat jumhur yang tidak membolehkan seorang muslim
menerima waris dari non muslim, maka Yusuf Al-qaradhawi mengatakan “kita harus berkata
kepada muslim yang ditinggal mati oleh ayahnya ini dengan, „Ambillah peninggalan harta
ayahmu yang diberikan oleh hukum. Lalu manfaatkanlah olehmu yang sesuai dengan
kebutuhanmu dan keluargamu. Kemudian berikanlah sisanya untuk amal kebaikan yang
dibutuhkan oleh umat Islam sebagai mana yang ditulis didalam surat. Juga jangan kamu
berikan harta ini pada pemerintahan (di negaramu yang non Islam), karena malah harta itu
sering digunakan untuk kepentingan lembaga-lembaga misionaris dan yang lainnya.
Ketentuan ini hampir sama dengan fatwa Yusuf Al-qaradhawi tentang harta yang
diperoleh dari barang haram, seperti bunga bank dan yang lainnya. Al-qaradhawi dan
lembaga-lembaga fiqih telah berfatwa, melarang meninggalkan bunga (yang menjadi
haknya) di bank dengan sistem riba, apalagi di negara-negara Barat. Harta tersebut harus
diambil dan dimanfaatkan. Ia harus diberikan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat Islam
karena harta tersebut kalau tidak diambil, ia justru akan dimanfaatkan untuk kepentingan
mereka. Dan ini lebih berbahaya.149
Kemaslahatan adalah dalil agama yang qath‟iy, bersandar pada pendapat Najamuddin
at-Tufi yang berpendapat bahwa ketika teks bertentangan dengan kemaslahatan, maka teks
148
Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 311. 149
Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 311.
172
dan kemaslahatan harus didamaikan, baik dengan cara mengkhususkan teks dengan
kemaslahatan, atau mendahulukan kemaslahatan dengan cara memberikan penjelasan.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa tidak boleh dikatakan agama lebih mengetahui
kemaslahatan, dalam konteks muamalah kemaslahatan tersebut harus tetap diambil dari dalil
agama (teks). Karena menjaga kemaslahatan adalah termasuk dalil agama, maka menjaga
kemaslahatan adalah yang paling kuat dan yang palig khusus. Dengan demikian, ketika
mengambil kemaslahatan, ia harus didahulukan. Dan ini tidak terjadi dalam ibadah yang tidak
bisa diketahui kemaslahatannya. Menurut at-Tufi, jika kita melihat dalil syari‟at yang ambigu
untuk menjelaskannya, kita harus tahu bahwa syari‟at telah menyerahkan kepada kita untuk
memperhatikannya.150
Seperti halnya yang dituliskan oleh Ibn Khaldun; Dalam hal riwayat, jika seseorang
hanya percaya pada [metode] transmisi tanpa menilai [riwayat-riwayat itu] berdasarkan
prinsip-prinsip tindakan manusia, asas-asas politik, sifat dasar peradaban, dan kondisi-kondisi
pergaulan sosial, serta tanpa membandingkan sumber-sumber lama dengan sumber-sumber
kontemporer, masa kini dengan masa lalu, niscaya orang tersebut akan terjerumus kedalam
kekeliruan dan kesalahan-kesalahan, serta bisa melenceng dari jalur kebenaran. Para
sejarawan, penafsir [Al-qur‟an], dan perawi-perawi terkenal sering kali terjerumus dalam
kekeliruan karena menerima begitu saja [autentisitas] riwayat dan peristiwa-perisriwa itu. Ini
karena hanya bersandar pada transmisi, apakah itu bernilai atau tidak. Mereka tidak [dengan
teliti] memeriksa [riwayat-riwayat itu] dari sudut [pokok-pokok] prinsip-prinsip [analisis
historis] atau membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain, atau mengujinya menurut
standar-standar kearifan, atau menyelidiki sifat dasar manusia. Disamping itu mereka tidak
menetapkan autentisitas riwayat-riwayat itu berdasarkan standar-standar penalaran dan
pemahaman. Akibatnya, mereka melenceng dari kebenaran dan tersesat di belantara
kekeliruan dan khayalan.151
Adapun pendapat yang relevan dengan maqasyid syari‟ah, tidak lepas dari batasan
kemaslahatan yang ditetapkan oleh al-Ghazali yang mengatakan bahwa suatu kemaslahatan
haruslah berada pada level dharurat, komprehensif, dan qath‟iy. Batasan-batasan di atas,
apabila dikaitkan dengan permasalahan seorang muslim yang mewarisi kafir, maka
tampaknya pendapat yang membolehkan inilah yang lebih relevan denngan maqasyid
syari‟ah. Yakni yang berkaitan dengan hifdz al-din (memelihara agama) hifdz al-nafs
150
Najmuddin at-Tufi, At-Ta”Yin Fi Syarh Al-Arba”In, (Bairut: Muassasahar-Riyan, t.th), h. 246. 151
Khaled M. Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan” ..., h. 51
173
(memelihara jiwa), hifdz al-nasab (memelihara keturunan), hifdz al-aql (memelihara akal),
dan hifdz al-mal (memelihara harta).152
Berdasarkan kemaslahatan yang dipaparkan al-Ghazali, bahwa kemaslahatan haruslah
bersifat dharurat, dapat dikatakan disini bahwa membolehkan seorang anak muslim mewarisi
orang tuanya yang kafir adalah termasuk hifdz al-din (memelihara agama) pada level
dharuriyat. Hai ini dikarenakan bahwa ketika seorang anak yang muslim dilarang mewarisi
orang tuanya yang kafir, maka dikhawatirkan akan goyah imannya karena masalah harta.
Seorang muslim tidak akan goyah imannya karena mewarisi orang tuanya yang kafir, tetapi
bisa saja goyah imannya karena tidak dapat mewarisi harta tersebut. Seperti yang ada ada
dalam ungkapan “terkadang kefakiran menyebabkan orang menjadi kufur”.
2. Metode Dalalah Lafadz
Metode dalalah lafadz153
yaitu metode dalalah ad-dilalah yang disebutkan dalam
penetapan hukum adalah untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungan yang dapat
dipahami berdasarkan pemahanan dari segi bahasa154
. Dan petunjuk atau isyarat yang
menunjukkan makna atau konotasi tertentu pada lafadz yang bisa difahami dari petunjuk atau
isyarat lafadz, dapat ditangkap melalui dua aspek, manthuq (tekstual dan harfiah), dan
mafhum (kontekstual dan maknawiyah).155
Seperti dalam hadits “muslim tidak boleh menerima waris dari kafir, tidak pula kafir
dari muslim”, bisa ditakwil dengan takwilan para ahli fikih madzhab Hanafi terhadap hadits
“seorang Muslim tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh kafir”, yaitu, yang dimaksud
“kafir” dalam hadits tersebut adalah kafir harbi. Dengan demikian, seorang muslim tidak
boleh menerima warisan dari kafir harbi, yaitu orang yang memerangi umat islam karena hal
itu memutuskan hubungan antara keduanya.156
Jadi kafir merupakan lafadz musytarak157
yang dapat dipahami sesuai dengan kondisi keadaan kafirnya. Disamping itu adanya dilalah
152
Yusuf Al-Qaradhawi, Taisiru Fiqh Lil Muslimil-Muasyiri Fi Dhau Il-Qur‟an Was Sunnah ..., h.76. 153
Dalalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu atas
sesuatu. Lafal adalah ucapan yang teraktualisasi dalam bahasa tulis. Lafal ini termasuk kedalam lafal musykil
yaitu lafal yang tersembunyi madlulnya karena berbilangan maknanya, disebabkan lafal itu lafal musytarak, atau
mempunyai makna majas. Totok Sumantoro, Samsul Munir Aman, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,
2009), h. 37 dan 171. 154
Totok Sumantoro, Samsul Munir Aman, Kamus Ilmu Ushul Fikih …, h. 40. 155
Hafida Abdurrahman, Ushul Fiqh “Membangun Paradigma Berfikir Tasyri‟i”, (Bogor: Al Azhar
Pres, 2003), h. 273. 156
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 304. 157
Musytarak adalah lafad yang diucapkan untuk dua makna atau lebih. Dan dia menunjukkan kapada
makna-maknanya atas dasar badal/berganti-ganti. Kamus Ilmu Ushul Fikih ..., h. 236.
174
al-iqtidha‟158
yang harus dihadapkan yaitu “harbi”/diperangi, dan lafadz kafir tersebut bisa
dilihat dari aspek konotasi maknanya.
Ibnul Qayyim pernah medapatkan permasalahan ini warisan muslim dari kafir dalam
karyanya “Ahkam Ahl Adz-Dzimmah.” Dia menjelaskan permasalahan dan menguatkan
pendapat ini. Dinukil juga dari Syaikhnya, Ibnu Taimiyah, bahwa dia pun berpendapat yang
sama.
Dia menulis, “Adapun warisan seorang muslim dari kafir, orang-orang dahulu
berbeda pendapat. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa seorang muslim tidak boleh
menerima warisan dari kafir. Ini adalah pendapat imam empat dan para pengikutnya. Namun,
diantara mereka ada yang berkata bahwa muslim bisa menerima waris dari kafir, dan tidak
sebaliknya.
Pendapat ini pula yang dipilih imam Ibnu Taimiyah. Diantaranya mereka menyatakan,
kita mewarisi dari mereka (orang-orang kafir) dan mereka tidak, sebagai mana kita (boleh)
menikahi wanita-wanita mereka dan mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita kita. Alasan
yang melarang menerima warisan adalah hadits muttafaq „alaih,
ال يرث املسلم الكافر وال الكفر املسلم
“orang islam tidak dapat mewarisi harta kafir dan kafir pun tidak dapat mewarisi harta
orang islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut mereka inilah dalil yang melarang seorang muslim mewarisi dari orang
munafik, orang zindik (ateis) dan orang murtad. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan,
“sesuai dengan sunnah mutawatir, Nabi memperlakukan orang-orang zindik munafik seperti
perlakuan kepada umat Islam. Mereka menerima waris dan memberikan warisan. Ketika
Abdullah bin Ubay dan orang-orang yang disebut kemunafikannya oleh Al-Qur‟an, dan Nabi
melarang menziarahi dan memohon ampun untuk mereka. Tetapi orang Islam menerima
warisan dari mereka.159
Sebagaimana anaknya Abdullah bin Ubay pun menerima warisan darinya. Namun,
Nabi tidak mengambil sedikitpun harta peniggalan orang munafik dan tidak menjadikannya
158 Dilalah al-iqtidha yaitu kata yang maknanya tersembunyi. Artinya, tidak diucapkan namun termasuk
makna yang tidak bisa dipisahkan dari makna lafadz (baik karena tuntutan dari kebenaran penyampaiannya, atau
kesahihan terjadinya apa yang dilafadzkan. atau penunjukan lafal kepada sesuatu yang tidak disebutkan yang
kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu. Abu Zahra secara saderhana mendefinisikan sebagai
penunjukan lafal kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tanpa memunculkannya. „Atha Bin Khalil,
Ushul Fiqih, Ter. Yasin As-Siba‟i, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), h. 222. Dan juga, Kamus Ilmu Ushul
Fikih ..., h. 43. 159
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 305.
175
sebagai rampasan perang (fai), tetapi memberikan kapada ahli warisnya. Ini adalah hal yang
telah diketahui dengan yakin.
Adapun ahli dzimmah, orang yang berpendapat dengan pendapat Muadz, Muawiyah,
dan yang lainnya berpendapat, bahwa sabda Nabi “muslim tidak boleh menerima waris dari
kafir,” adalah untuk kafir harbi (kafir yang memerangi umat Islam), bukan munafik, orang
murtad, dan dzimmi. Lafazh kafir meskipun kadang bermakna seluruh orang kafir tetapi
terkadang mengandung makna bagian atau macam-macam kafir160
. Seperti firman Allah swt.
ان اهلل جامع املنفقني والكفرين يف جهنم مجيعا
Artinya: “sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang
kafir di dalam neraka Jahanam.” (QS. An-Nisaa‟: 140)
Dalam ayat tersebut, lafazh munafik tidak masuk kedalam lafazh orang kafir.
Demikian juga dengan orang murtad, para ahli fikih tidak memasukkannya ke dalam lafazh
orang kafir. Untuk itu mereka berkata. “jika kafir masuk Islam, ia tidak berkewajiban
mengqadha shalat-shalat yang ditinggalkan sebelumnya, namun, jika orang murtad masuk
lagi kepada Islam maka mengenai hal ini ada dua pendapat (ada yang mengharuskan
mengqadha, dan ada yang tidak)”.
Ada beberapa ulama yang berpendapat, bahwa hadits Nabi saw., “Seorang muslim
tidak dibunuh, karena membunuh kafir”, yang dimaksud adalah kafir harbi bukan dzimmi.
Tidak diragukan lagi, mengartikan hadits “muslim tidak boleh menerima waris dari kafir,”
kepada makna kafir harbi adalah lebih utama dan lebih dekat. Karena, umat Islam yang
mendapatkan warisan dari mereka bisa mengajak para ahli dzimmah yang lain untuk
memeluk agama islam.
Hadits yang melarang muslim mewarisi kafir tersebut, jika dianalisis dengan
pendekatan kedalalatan lafadz, maka pesan hukum (ibarah nash) yang dapat diambil adalah
bahwa larangan muslim mewarisi kafir adalah tidak mutlak, karena kata kafir adalah ,,amm,
dan teks yang memiliki sifat ,,amm, membutuhkan takhshis.sedangkan salah satu hal yang
dapat mentakhshis teks tersebut adalah kemaslahatan.161
Jadi, ketika kemaslahatan muncul
karena kebolehan muslim untuk mewarisi kafir, maka teks yang melarang kewarisan tersebut
hendaknya ditangguhkan keberlakuannya.
Jika diteliti, pendapat ulama yang melarang muslim mewarisi kafir tampak literal,
artinya tidak mengaitkan teks dengan maksud yang ingin dicapai oleh teks tersebut, yaitu
160
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 306. 161
Najmuddin at-Tufi, At-Ta”Yin Fi Syarh Al-Arba”In …, h. 251
176
kemaslahatan. Pendapat tersebut juga cenderung melupakan bahwa kedua hadits yang
melarang muslim dan kafir saling mewarisi adalah hadits ahad yang berstatus dzanniy, baik
tsubut maupun dalalahnya. Disebut dzanniy tsubut karena hadits tersebut adalah hadits ahad,
karena jumlah perawinya dari tingkatan pertama hingga ketiga hanya terdiri dari satu orang
perawi, atau tidak sebanyak perawi hadits mutawatir. Dikatakan dzanniy dalalah karena
lafazh kafir dapat diartikan lebih dari satu makna, karena kata kafir dari sudut pandang
keterkaitannya dengan hukun Islam (Syari‟ah) dapat bermakna harbiy dan dzimmiy,
sementara dari sudut pandang aqidah, kafir dapat dibedakan menjadi kafir ahl al-kitab, kafir
musyrik, dan kafir atheis (tidak percaya kepada Tuhan atau tidak beragama). Namun ulama
golongan ini membiarkan kata kafir tetap menjadi lafadz ,,amm atau mujmal, tanpa adanya
usaha untuk menjadikan kata tersebut khash atau mufassar. Padahal ulama telah sepakat
bahwa hadits dzanniy memiliki ketentuan hukum yang tidak qath‟iy.162
Islam mendefinisikan dirinya dengan merujuk kepada sebuah kitab, dengan demikian
mendefinisikan diri dengan merujuk pada suatu teks. Seperti halnya umat kristiani dan
yahudi, dalam diskursus-diskursus keislaman, kaum muslimin juga digambarkan sebagi
Ahlulkitab. Karena itu, kerangka rujukan yang paling mendasar dalam Islam adalah teks.
Teks itu dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan reliabilitas yang jelas. Karena itu
peradaban Islam ditandai dengan produksi literer yang bersifat masih terutama di bidang
syari‟ah. Ada banyak faktor yang turut mendukung proses produksi ini. Tetapi sudah pasti
bahwa teks memainkan peranan yang sangat penting dalam penyusunan kerangka dasar
referensi keagamaan dan otoritas hukum dalam Islam.163
Penafsiran teks-teks keagamaan sudah terjadi dikalangan para sahabat, sebagaimana
diriwayatkan tentang perintah Nabi saw agar para sahabat tidak shalat ashar kecuali di Bani
Qurayzah. Sebagian sahabat mempercepat perjalanannya, sehingga sampai ke Bani Qurayzah
lebih awal dan masih ada waktu untuk shalat ashar, sementara yang lainnya mengartikan
secara kontekstual, sehingga shalat setibanya ditempat tujuan ketika hari telah menjelang
malam. Maka pendekatan pemahaman suatu teks sejak zaman Nabi sudah dilakukan seperti
apa yang disebut tekstual dan ta‟wil (kontekstual), maka tidak heran bila dikalangan sahabat
terdahulu seperti Umar sudah mempraktekkan makna kontekstual, terutama dalam bidang
muamalah kususnya pada bagian waris beda agama.164
162
Najmuddin at-Tufi, At-Ta”Yin Fi Syarh Al-Arba”In …, h. 251. 163
Khaled M. Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), h.54. 164
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup ..., h. 13.
177
Berdasarkan pengamatan dasar hukum waris (ayat-ayat tentang waris), maka yang
harus digaris bawahi adalah bahwa kewarisan disebabkan nasab dan kekerabatan. Dan satu
hal yang menjadi catatan dalam kewarisan beda agama, yaitu bahwa ayat-ayat tersebut tidak
menjelaskan secara eksplisit bahwa antara pewaris (mayit) dan yang mewarisi (keluarga atau
kerabat) adalah sama-sama muslim. Tidak terdapat dalam kata ayat-ayat tersebut yang
mengindikasikan bahwa pewaris adalah atau harus seorang muslim.
Metode yang digunakan Yusuf Al-qaradhawi bersifat tradisionalis, karena dalam
membahas masalah-masalah keagamaan ia selalu merujuk dan mempertimbangkan pendapat
dengan pendapat lainnya untuk melihat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang
sesuai atau paling mendekati petunjuk Al-Qur‟an dan hadits Nabi saw. Namun, ia juga
mengambil pendapat-pendapat ulama-ulama kontemporer apa bila ternyata dari hasil
penelitiannya kurang memuaskan dan pendapat tersebut juga sesuai dengan petunjuk Al-
Qur‟an dan hadits.
Ali Hasan Al-Nadwi, seorang ulama kontemporer asal india, menggambarkan Al-
Qaradhawi sebagai sosok ulama yang menggabungkan antara pengetahuan klasik yang sesuai
dengan semangat zaman (al-qadim al-shalih) dan pengetahuan modern yang bermanfaat (al-
jadid al-nafi), sebuah metode yang sangat baik untuk zaman sekarang, metode yang dalam
praktiknya dapat memberikan kepuasan kepada dua kelompok umat, yang membatasi dirinya
dengan pengetahuan agama tradisional disatu pihak, dan yang menyukai pengetahuan agama
modern dipihak lain. Lebih lanjut, Al-Nadwi menjelaskan bahwa kelompok yang berpaham
tradisional sangat berseberangan dengan kelompok yang berpaham modern. Dalam kondisi
demikian Al-Qaradhawi datang dengan metode yang mengumpulkan kedua pemahaman
tersebut.165
Adapun ungkapan Yusuf Al-Qaradhawi yang mengatakan bahwa;Islam yang kami
serukan adalah Islam masa awal, yakni Islam yang berdasarkan Al-Qur‟an dan sunnah, Islam
yang membuka kemudahan dan bukan yang memberatkan, Islam yang memberikan kabar
gembira dan bukan yang membuat orang lari. Islam yang kami dengungkan adalah Islam
yang mengedepankan kelembutan, yang saling mengenal dan bukan saling mengingkari,
Islam yang toleran dan tidak fanatik, yang substantif dan bukan formalistik, yang
mengedepankan kerja keras dan bukan perdebatan tanpa ujung, yang kontributif dan bukan
sloganistik, yang mengedepankan ijtihad, dan bukan taklid. Islam yang kami serukan adalah
165
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 109.
178
Islam yang menyeru kepada tajdid dan anti kejumudan, yang kokoh dan tidak goyah, yang
moderat dan tidak ekstrim.166
Apa yang dikatakan Al-Nadwi tersebut menggambarkan bahwa
Al-Qaradhawi adalah seorang ulama dan penulis yang berpegang teguh pada metode
penggabungan antara warisan ulama salaf yang layak dipelihara dan pengetahuan zaman
modern yang bermanfaat, dengan barometer Al-Qur‟an dan sunnah Nabi saw. dan dalam
menyatakan pendapatnya selalu menempuh pendekatan moderat.
E. Kesimpulan
Pemahanan Yusuf Al-Qaradhawi Dalam memahami nash atau hadits yang
mengatakan tidak boleh saling mewarisi antara agama yang berbeda yaitu beliau melihat
bahwa hadits yang melarang muslim mewarisi kafir tersebut masih terlihat umum dan
memerlukan khas (pengkhusussannya) atau munngkin taqyid-nya, bila dianggap mutlak.
Menurut beliau kafir yang terdapat dalam hadits tersebut adalah kafir harbi dan bukan kafir
dzimmi, yang jika dianalisis dengan pendekatan kedalalatan lafadz maka pesan hukum
(ibarah nash) yang dapat diambil adalah bahwa larangan muslim mewarisi kafir adalah tidak
mutlak. Karena kata kafir adalah „amm dan teks yang memiliki sifat „amm membutuhkan
takhshis. Sedangkan salah satu hal yang dapat mentakhsis teks tersebut adalah kemaslahatan.
Jadi ketika kemaslahatan muncul karena kebolehan muslim untuk mewarisi kafir maka teks
yang melarang kewarisan tersebut hendaknya ditangguhkan keberlakuannya, dan juga
kalimat kafir merupakan lafadz musytarak yang dapat dipahami sesuai dengan kondisi
keadaan kafirnya.
Apabila kondisi/keadaan kafir tersebut sebagai kafir harbiy maka waris mewarisi
antara agama yang berbeda tidak dibenarkan. Adapun ketika qaradhawi atau para ulama
membolehkan tetapi mereka membatasi kebolehan tersebut, hanya kebolehan muslim
mewarisi kafir dzimmiy. Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat bahwasanya muslim boleh
mewarisi harta dari kafir, tetapi tidak sebaliknya. Karena pendapat tersebut memiliki
relevansi dengan maqasyid syari‟ah, Yakni yang berkaitan dengan hifdz al-din (memelihara
agama) hifdz al-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-nasab (memelihara keturunan), hifdz al-aql
(memelihara akal), dan hifdz al-mal (memelihara harta). Metode yang digunakan dalam
menginstinbath hukum waris beda agama menurut Yusuf Al-Qaradhawi adalah metode
kemaslahatan dan metode kedalalatan lafadz.
166
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi ..., h. 27.
179
DARTAR PUSTAKA
Abou El Fadl, Khaled M., Atas Nama Tuhan, “dari fikih otoriter ke fikih otoritatif”, Jakarta:
serambi, 2004.
Abou El Fadl, Khaled M., Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-
Wenang dalam Wacana Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Abubakar Al Husaini, Al-Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Jild 2, Terj. Achmad Zaidun,
A. Ma‟ruf Asrori, Surabaya: Bina Ilmu, 1997.
Abubakar, Al-Yasa‟, Rekontruksi Fikih Kewarisan”Reposisi Hak-Hak Perempuan”, Banda
Acah: LKAS, 2012.
Abdul Aziz Alu Mubarak, Syaikh Faishal Bin, Nailul Authar, Jild 3, Jakarta: Pustaka Azzam,
2006.
Abdurrahman, Hafida, Ushul Fiqh “Membangun Paradigma Berfikir Tasyri‟i”, Bogor: Al
Azhar Pres, 2003.
Ahmed An-Na‟im, Abdullah, Al-Qur‟an, Syari‟ah Dan HAM : Kini Dan Masa Depan,
Islamika No. 2, 1993
Ahmad Saebani, Beri, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Al bassam, bin Abdurrahman, Abdullah, Syarah Buluqhul Maram, , jild 5, Terj. Thahirin
saputra, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Ali Engineer, Asgar, Metodologi Memahami Al-Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tt.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Buluqhul Maram, Terj A. Hasan, Bandung: Diponegoro, 2006.
Al-Qaradhawi, Yusuf, Fatawa Mu‟asyirah, Kairo: Dar-Qalam, 2003.
__________________, Fiqih Maqashid Syariah,”moderasi Islam Antara Aliran Tekstual dan
Aliran Liberal”, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2007.
_________________, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jild I, Jakarta: Gema Insani Pres, 1995.
_________________, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3, Jakarta: Gema Insani Pres, 2002.
_________________, Menuju Pemahaman Islam Yang Kaffah, Jakarta: Insan Cemerlang,
2003.
_________________, Taisiru Fiqh Lil Muslimil-Muasyiri Fi Dhau Il-Qur‟an Was Sunnah,
Kairo: Maktabah Wahbah, 1420 H.
_________________, Perjalanan Hidupku, Cet. I, Terj. Cecep Taufikurrahman, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003.
__________________ , Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insane Press,
tt.
Ash-Shiddleqy, Hasbi, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Asy-Syafi‟i, Al-Imam, Al-Umm, Jild. V, Terj. Ismail Yakub, Kuala Lumpur: Victory
Agencie, t.th.
at-Tufi, Najmuddin, At-Ta”Yin Fi Syarh Al-Arba”In, Bairut: Muassasahar-Riyan, tt.
Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Ekonosia Ekonomi UII, 1999.
180
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Bairut: Dar Al-Fikri Al-Mu‟sir, 1989.
Bisri, Hasan, Model Penelitian Fiqih, Jakarta: Prenada, 2005.
Bisri, Elbi Hasan, Hukum Mawaris Dalam Prespektif Islam, Cet. 1, Banda Aceh: Ar-Raniry
Press IAIN Ar-Raniry Darussalam, 2007.
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kurf Dalam Al-Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka, 2001.
Hamka, Buya, Tafsir Al-Azhar, Jakarta : Pustaka Panjimas, III, 1983.
Jakfar, M., Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011.
Khalil, „Atha Bin, Ushul Fiqih, Ter. Yasin As-Siba‟i, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.
Mas‟udi, Masdar Farid, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993.
Mas‟ud, M. Khalid, Filsafat Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, Surabaya: Al-Iklas, 1995.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, Terj. Masykur A.B, Jakarta: Lentera,
1996.
Mulia, Muji dan Kurdi, Muliadi, Problematika Fikih Modern, Banda Aceh: Yayasan PeNA,
2005.
Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007)
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Jild. VII, Terj. Anshari Taslim, Jakarta: Pustaka Azzam, t.th.
______________, Al-Mughni, Jild. IX, Terj. Anshari Taslim, Jakarta: Pustaka Azzam, tt.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: Percetakan Offset, 1981.
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Rofiq, Ahmad, Pembahasan Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Gema Media, 2001.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Saleh, Hasan, HE., Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer, Edisi 1, Jakarta: Rajawali
Pres, 2008.
Sufyan, Muhammad Suhaili, Fiqh Mawaris Praktis, Bandung: Citapustaka Media Perintis
2012.
Sumantoro, Totok, Samsul Munir Aman, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2009.
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Syai‟I, Imam, Ar-Risalah, Terj. Misbah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Talimah, Ishom, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1982.
181
Universitas Al-Azhar Mesir, Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, Terj. H. Addys
Aldizar, Lc., H. Fathurrahman, Lc., Jakarta: Senayan Abadi Publishing, tt.
Usman, Iskandar, Pembaharuan Hukum Islam, cet 1, Banda Aceh : LKAS, 2011.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah “Kapita Selekta Hukum Islam”, Jakarta: PT. Gunung
Agung, 1996.
182
HUKUM PEMANFAATAN ORGAN BABI
(Studi Komparatif Terhadap Pemikiran
Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yakub)
Asra Febriani
Sekolah Tinggi Agama islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh
Abstract
Prohibition of eating pork has become the consensus of the jurists fit the word of God in Sura
al-Baqarah verse 173, Al-An'am verse 145, an-Nahl verse 115 and al-Maidah verse 3 The
method I use is the comparative analysis. Writers gather and analyze data and then compare
them. This type of research is the research library. Therefore, the data collection for this
study, the authors will be reading, studying and researching the literature related to the issue
being studied. The results showed that, according to Yusuf al-Qaradhawy thinking, pig
organs may be used in the treatment, because the verses of the Koran only forbids eating
meat alone. Al-Qaradawi also allow utilizing pig organs for purposes other than consumption,
because the harness is not meant to consume. While Ali Mustafa Yaqub forbid all uses of pig
organs, both for consumption and treatment. The cause of disagreement between Yusuf Al-
Qaradawi and Ali Mustafa Yaqub in pig organ utilization problem lies in the difference in the
arguments of both the Al-Quran, Sunnah and fiqh rules that cause differences in the law
regarding the use of pig organs. In this study, the authors are more likely to Yusuf al-
Qaradawi opinion regarding the permissibility of the use of pig organs for treatment, because
there are no special restrictions on the prohibition of pig for treatment.
183
A. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang memiliki karakteristik tersendiri, bukan hanya sekedar
agama yang mengatur seperangkat doktrin ritual, tetapi ia merupakan suatu pandangan
holistis dan sistematis. Sebagai way of life (petunjuk hidup) umat manusia, ia memiliki
kerangka dasar yang terdiri atas aqidah, akhlak dan syari‟ah.167
Ketiga komponen tersebut
tidak dapat dipisahkan, digunakan untuk mengatur kehidupan manusia agar selamat dunia
akhirat. Sebagai pedoman hidup muslim yang bertakwa, Islam tidak hanya mengatur credo
(kepercayaan) dan etika, tetapi juga mengandung hukum.168
Allah SWT telah menganugerahkan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi
untuk dimanfaatkan oleh manusia. Segala yang ada di daratan dan di lautan diberikan kepada
manusia untuk dipergunakan semaksimal mungkin. Allah menciptakan binatang-binatang dan
tetumbuhan sebagai supply makanan bagi manusia sekaligus menjadi kenderaan atau
membantu manusia bekerja. Di antara binatang-binatang tersebut ada yang halal dikonsumsi
dan ada pula yang haram. Salah satu binatang yang diharamkan adalah babi, sebagaimana
firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 3:
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah…” (QS al-Maidah: 3)
Keharaman memakan daging babi telah jelas disebutkan dalam Al-Qur‟ān. Allah
menyebutkan pengharaman daging babi sebanyak empat kali yaitu dalam Surat al-Baqarah
ayat 173, al-An‟am ayat 145, an-Nahl ayat 115 dan al-Maidah ayat 3.169
Ketiga ayat pertama,
Allah menyebutnya dengat adat al-hashr (pembatasan). Semua redaksi ayat dalam Al-Qur‟ān
menggunakan kata lahm al-khinzir (daging babi). Namun berdasarkan redaksi ayat tersebut
muncul permasalahan tentang ukuran keharaman babi, apakah yang diharamkan hanya
dagingnya saja atau seluruh organnya.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik meneliti mengenai
hukum pemanfaatan organ babi menurut Yusuf Al-Qaradhawy dan Ali Mustafa Yaqub.
167
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya,
Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983, hlm. 14-26. 168
Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, NAD: Nadiya Foundation, Cet I, Mei 2004,
hlm. 72 169
Surat al-Baqarah ayat 173 dan al-Maidah ayat 3 adalah ayat-ayat Madaniyah, sedangkan al-An‟am
ayat 145 dan an-Nahl ayat 115 adalah ayat-ayat Makkiyah.
184
B. Analisis Pendapat Yusuf Al Qaradhawi dan Ali Mustafa Yakub
1. Hukum Memanfaatkan Organ Babi dan Dalilnya menurut Yusuf Al-Qaradhawy
Metode yang ditempuh Yusuf Al-Qaradhawi dalam berijtihad didasarkan pada
beberapa kaidah. Kaidah utama dan paling penting adalah meniadakan fanatisme dan
menghapus taqlid.170
Pertama: Bebas dari fanatisme kemazhaban. Yusuf Al-Qaradhawi tidak
mengikat diri pada pendapat imam mazhab, tetapi ia tidak menyalahi metode yang dirintis
oleh para fuqaha terdahulu. Ia menghindari taqlid yang bisa menyebabkan kejumudan
pemikiran umat Islam, dan untuk menghindari fanatisme mazhab dan taqlid bagi seorang
mufti, ia menetapkan beberapa hal yang harus diperhatikan:171
a. Seorang mufti tidak hanya berpegang pada satu pendapat mengenai masalah tertentu
tanpa dalil yang kuat untuk menyanggah pendapat orang lain yang mempunyai dalil
lebih kuat. Ia tidak boleh mempertahankan pendapatnya dengan alasan pendapat
tersebut telah menjadi mazhab seorang fuqaha tanpa mengemukakan dalil-dalil-dalil
yang lebih kuat.
b. Seorang mufti harus mampu mentarjih (meneliti dengan cermat dan menyeleksi)
pendapat-pendapat yang berbeda dengan memperbandingan semua dalil yang
dikemukakan dan mengungkapkan dasar-dasar yang menjadi sumber hukum baik
dari dalil naqli (nash-nash Al-Quran dan hadith) maupun dalil-dalil „aqli
(pemikiran). Dari semua dalil yang dikumpulkan, ia dapat memilih pendapat yang
paling sesuai dengan nash-nash syari‟at, paling dekat maksudnya dan paling besar
kemaslahatannya bagi umat Islam, sebab itulah tujuan pensyariatan yang diturunkan
oleh Allah. Untuk mampu melakukan hal tersebut seorang mufti harus menguasai
cabang-cabang ilmu seperti bahasa Arab dan seluruh cabangnya, memahami maksud
dan tujuan umum yang terkandung dalam syari‟at, menguasai tafsir dan hadith serta
melakukan studi perbandingan.
c. Seorang mufti harus dapat melakukan ijtihad juz‟i (parsial) yaitu ijtihad mengenai
masalah tertentu, meskipun para fuqaha terdahulu tidak pernah menetapkan
ketentuan hukumnya. Ia harus mampu mengemukakan pendapat mengenai kepastian
hukumnya dengan memasukkan masalah tersebut kedalam keumuman makna suatu
nash yang tetap atau dengan cara mengqiyaskannya dengan masalah yang serupa
170
Asra Febriani, Skripsi: Undian Berhadiah Melalui Short Message Service, Banda Aceh: Fakultas
Syari‟ah IAIN Ar-Raniry, 2007, h. 28 171
Febriani, Undian…, h. 29
185
yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash atau dimasukkan ke dalam rangka
kebajikan atau kemaslahatan umum, atau ke dalam pengertian yang dikehendaki
oleh syara‟. Para ulama sepakat bahwa ijtihad dapat dilakukan terhadap masalah
yang belum ada kepastian hukumnya dalam nash-nash Al-Qur‟ān dan Sunnah.
Kedua, dalam menetapkan ketentuan hukum atas suatu masalah Yusuf Al-Qaradhawi
menetapkan bahwa seorang mufti tidak boleh memberatkan umat Islam karena syari‟at
ditegakkan atas dasar kemudahan dan meniadakan kesukaran dari kehidupan manusia.172
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-
Maidah: 6)
Dan dalam Surat Al-Baqarah ayat 185:
Artinya:”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Serta dalam Surat Al-Hajj ayat 78:
Artinya: “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan.”(QS. Al-Hajj: 78).
Selain itu beratnya cobaan hidup bagi umat Islam seperti gelombang pemurtadan dan
ghazwul fikri (perang pemikiran) yang dilancarkan musuh-musuh Islam menurut Al-
Qaradhawi hendaknya menjadi pertimbangan bagi mufti untuk berusaha mempermudah
dalam beragama agar umat Islam dapat berpegang teguh pada ajaran agama dan tetap berada
di jalan lurus yakni agama Islam.
Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan cara yang ditempuh oleh para sahabat Nabi SAW
dan generasi didikan mereka ialah mempermudah ajaran agama bagi umatnya. Kemudian
pada zaman berikutnya mulai terasa keketatan yang merasuki pemikiran para ulama sedikit
demi sedikit dan akhirnya menjadi ciri bagi generasi sesudahnya.
Mempermudah bukan berarti menyalahi ketentuan Al-Qur‟ān dan Sunnah untuk
menarik pengertian, makna dan hukum-hukum yang memudahkan orang. Tetapi kemudahan
yang ditunjukkan oleh Al-Qaradhawi ialah kemudahan yang tidak bertentangan dengan dalil-
172
Febriani, Undian…, h. 30
186
dalil nash yang jelas, dan tidak pula bertentangan dengan kaidah hukum syara‟ yang sudah
pasti, melainkan kemudahan yang sejalan dengan nash, kaidah dan jiwa syari‟at Islam.
Lebih lanjut Al-Qaradhawi mengatakan jika ada dua pendapat yang berbeda, yang
pertama lebih ketat dan berhati-hati, sedangkan yang kedua lebih longgar atau mudah maka
beliau memilih yang lebih mudah sejauh yang lebih mudah itu tidak mengakibatkan dosa.
Adapun yang lebih ketat itu bisa diambil oleh si pemberi fatwa untuk dirinya sendiri atau
difatwakan untuk orang-orang yang ingin memperdalam penghayatan terhadap agama asal
keketatan tersebut tidak membuat mereka cenderung berlebih-lebihan dalam beragama. 173
Ketiga, dalam menjelaskan suatu permasalahan hukum, Al-Qaradhawi memberi
rambu-rambu bagi seorang mufti agar berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami,
menghindari penggunaan istilah sulit, menggunakan bahasa yang sopan, cermat dan tepat.174
Ia mengemukakan dalil yaitu firman Allah SWT:
Artinya:”Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim:
4)
Bahasa yang dimaksud Al-Qaradhawi bukan sekedar ucapan, akan tetapi berhubungan
dengan cara berpikir orang yang diajak bicara. Mengajak orang untuk berpikir harus
bersandar pada logika, jangan sampai membangkitkan emosi dengan kalimat-kalimat yang
berlebih-lebihan dalam berfatwa. Mukjizat Islam yang terbesar adalah Kitabullah Al-Qur‟ān
Al-Karim yang merupakan mukjizat yang paling rasional. Meskipun di dalam Al-Quran
terdapat tantangan- tantangan kepada kaum kafir dan musyrik, namun Allah tidak menantang
mereka dengan hal-hal khawariq (hal-hal diluar logika). Penggunaan bahasa yang sederhana
lebih mudah menjangkau pemikiran orang awam sehingga tujuan yang hendak disampaikan
tercapai.175
Dalam mengetengahkan suatu hukum Yusuf Al-Qaradhawi selalu menjelaskan
hikmah dan sebab musababnya dalam kaitannya dengan falsafah umum agama Islam. Alasan
Al-Qaradhawi antara lain sebagai berikut:176
Penjelasan hikmah dan sebab musabab merupakan anjuran Al-Qur‟ān dan Sunnah agar
manusia tidak keliru memahami makna yang terkandung di dalamnya.
173
Febriani, Undian…, h. 31 174
Febriani, Undian…, h. 32 175
Febriani, Undian…, h. 33 176
Febriani, Undian…, h. 34
187
Penjelasan hikmah dan sebab musabab dapat menghapus keraguan manusia dalam
menjalankan syari‟at Allah dan dapat memperkuat keimanan mereka.
Allah tidak memerintahkan dan tidak pula melarang tanpa hikmah. Hal tersebut
merupakan kepastian yang tidak bisa diragukan lagi. Akan tetapi manusia dengan segala
keterbatasan akalnya tidak selalu dapat memahami hikmah-hikmah yang dikehendaki Allah.
Hal tersebut merupakan ujian dalam kewajiban-kewajiban yang dipikulkan (pembebanan
taklif) kepada hamba-hamba-Nya, bahkan hal tersebut merupakan keistimewaan manusia.
Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur
yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami
jadikan Dia mendengar dan melihat.”(QS. Al-Insan: 2)
Keempat, dalam menjelaskan suatu permasalahan hukum, Al-Qaradhawi menghindari
hal-hal yang tidak bermanfaat seperti takabur dalam berilmu, debat kusir dan membahas
persoalan yang tidak bisa dipahami serta bermaksud menghancurkan persaudaraan umat
Islam. Kelima, Yusuf Al-Qaradhawi mengambil jalan tengah antara kesukaran dan
kemudahan dalam menjalankan hukum dengan tetap berpegang pada Al-Qur‟ān dan Sunnah.
Keenam, dalam mengeluarkan fatwa Al-Qaradhawi menetapkan agar mufti selalu
memberi penjelasan yang disertai dalil-dalil, hikmah dan sebab musabab. Di samping itu ia
menganjurkan studi perbandingan sikap dan pemikiran Islam tentang persoalan yang dihadapi
dengan sikap dan pemikiran agama lain. Sementara untuk masalah yang belum ada ketentuan
hukumnya, maka menurutnya seorang mufti harus mengambil qiyas untuk menyelesaikan
masalah tersebut.177
Al-Qaradhawi menegaskan bahwa seorang mufti harus mampu menunjukkan
alternatif mengenai fatwa yang mengharamkan sesuatu bagi orang yang membutuhkan
padahal ia menganggapnya halal dengan sesuatu yang diyakini kehalalannya, jika ia benar-
benar ingin menutup jalan yang membawa kepada keharaman. Misalnya seseorang
menjatuhkan salah satu di antara beberapa pilihan dengan jalan mengundi, maka seorang
mufti bisa menunjukinya dengan pilihan yang lebih baik yaitu melakukan shalat istikharah
(meminta petunjuk pada Allah).
177
Febriani, Undian…, h. 35
188
Lebih lanjut Al-Qaradhawi menegaskan agar seorang mufti mampu menghubungkan
hukum yang ditanyakan kepadanya dengan hukum-hukum Islam lainnya sehingga tampak
keadilan, kebenaran dan ketepatannya. Menetapkan suatu hukum terpisah dari hukum yang
lain sering tidak memberikan gambaran jelas tentang keadilan Islam dan kebaikan syariatnya.
Misalnya dalam fiqh mawarits anak perempuan menerima setengah bagian dari bagian anak
laki-laki. Jika hanya ketetapan hukum itu saja yang diambil maka akan menimbulkan dugaan
bahwa hukum Islam sangat merugikan pihak perempuan. Akan tetapi jika dilihat dari segi
beban keluarga secara keseluruhan serta nafkah yang ditanggung oleh laki-laki tampak bahwa
tanggung jawab laki-laki jauh lebih besar dari pada perempuan. Hal ini menjelaskan prinsip
keadilan dalam penetapan hukum. Keadilan tidak selalu berarti kesamaan, akan tetapi juga
berarti keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Terkadang seorang mufti tidak perlu menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya
karena menurut Al-Qaradhawi pertanyaan tersebut tidak penting dan tidak bermanfaat yang
jika ditanyakan akan membawa kemudharatan bagi umat Islam. Seperti menanyakan
keberadaan Al-Qur‟ān, apakah ia makhluk atau bukan, karena pertanyaan tersebut telah
pernah terjadi di masa lampau yang menyebabkan terbunuhnya ulama-ulama seperti Imam
Ahmad bin Hanbal radhiyallahu „anhu. Atau pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa
memecahkan persaudaraan umat Islam, juga pertanyaan yang jika dijawab akan
menyusahkan umat Islam itu sendiri. Dan sungguh Allah tidak ingin menyusahkan hamba-
hamba-Nya.178
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, keharaman babi hanyalah pada batas konsumsi saja,179
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, al-An‟am ayat
145 dan an-Nahl ayat 115.180
Sedangkan memanfaatkan organnya untuk pengobatan bukan
berarti memakannya, misalnya melakukan transplantasi organ babi ke tubuh manusia. Jika
memang hal tersebut dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa seseorang, maka hal ini
diperbolehkan oleh syara‟.181
Sesuai kaidah:
182وما أبيح للعشوسة يقذس بقذسها
178
Febriani, Undian…, h. 36 179
Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 539 180
Telah tercantum pada halaman 35-38 tesis ini. 181
Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 538 182
Yahya, Dasar…, h. 486
189
Artinya: “Segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar
kedaruratannya.”
Selain itu pemanfaatan organ yang najis tersebut harus melalui ketetapan-ketetapan
dokter muslim yang terpercaya.183
Argumentasi lain yang digunakan oleh Yusuf Al-
Qaradhawi adalah bahwa Nabi SAW memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai yaitu
kulitnya padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi
dalam Al-Qur‟ān. Al-Qaradhawi mengqiyaskan pemanfaatan bangkai kepada pemanfaatan
organ babi, keduanya diperbolehkan oleh syara‟ asalkan bukan untuk dikonsumsi.184
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah SAW pernah melewati bangkai seekor
kambing, lalu para sahabat berkata, “Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak
Maimunah.” Lalu beliau bersabda:
أن الشعول هللا صلى هللا عليه وعلم وجذ شاة ميتة أعؽيتها موالة لميمونة من الصذقة، فقال
الشعول هللا صلى هللا عليه وعلم : هال انتفعتم بجلذها. فقالوا: إنها ميتة . فقال إنما حشم أكلها
))سواه البخاسي و مغلم
Artinya :“Bahwa Rasulullah SAW melihat bangkai kambing hasil sedekah yang dibawa oleh
maulah (seorang budak perempuan yang dimerdekakan) Maimunah. Rasulullah
SAW bertanya, “kenapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya? Itu adalah bangkai,”
jawab mereka. Maka beliaupun bersabda, “sesungguhnya yang diharamkan itu
hanya mengkonsumsinya.”(HR Bukhari dan Muslim)185
.
Timbul pertanyaan bagaimana hukum memasukkan binatang najis seperti babi ke
dalam tubuh seorang muslim. Dalam hal ini Al-Qaradhawi menjelaskan bahwa yang dilarang
syara‟ adalah mengenakan benda najis di bagian luar tubuh, adapun yang di dalam tubuh
manusia tidak ada dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia justru
merupakan tempat benda-benda najis seperti darah, kencing, tinja dan semua kotoran,
sedangkan manusia tetap bisa melakukan shalat, membaca Al-Qur‟ān, melakukan thawaf di
Baitullah meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya
sedikitpun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada di dalam
tubuh.186
183
Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 538 184
Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 539 185
Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz I, Kairo: Dar Al-Hadith, t.t, h.157 186
Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 539
190
Menurut analisis penulis, pendapat Al-Qaradhawi sangat layak dijadikan pegangan
(mu‟tamad), karena kebutuhan obat-obatan yang sangat tinggi dan mayoritas obat-obatan
terbuat dari organ babi. Dalam sebuah program televisi On The Spot ditayangkan tentang
peran organ babi dalam teknologi transplantasi, ternyata organ babi yang ditransplantasikan
ke tubuh manusia jauh lebih baik kualitasnya daripada transplantasi organ manusia ke
manusia. Seringkali terjadi kegagalan transplantasi organ manusia ke manusia yang
disebabkan oleh kelainan hormon dan berbagai faktor lainnya. Akan tetapi ketika yang
digunakan adalah organ babi, secara menakjubkan tubuh pasien langsung beradaptasi dan
berfungsi dengan baik. Berdasarkan penemuan ini, peneliti-peneliti dari Barat
mengembangkan teknologi persilangan babi dan ubur-ubur yang menghasilkan babi rekayasa
genetika, jika dilihat dalam kegelapan dengan menggunakan sinar X, organ babi bagian
dalam menjadi transparan, sehingga memudahkan para peneliti menyeleksi organ mana yang
baik kualitasnya untuk keperluan transplantasi dan mana yang tidak baik.187
Penulis memiliki
sebuah hipotesa bahwa boleh jadi yang dimaksud dalam hadith yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim tentang turunnya Nabi Isa yang akan membunuh babi-babi (tercantum pada halaman
48), bukanlah Nabi Isa yang betul-betul turun untuk membunuh babi-babi, akan tetapi lebih
kepada sebuah penemuan teknologi dunia medis yang mengoptimalkan fungsi babi sebagai
penolong jiwa manusia agar sembuh dari penyakit yang diderita, sebab di antara mukjizat-
mukjizat Nabi Isa „alaihissalam adalah menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang
mati.
Selain untuk keperluan transplantasi, penggunaan vaksin meningnitis bagi jama‟ah
haji, vaksin imunisasi bagi anak-anak, kapsul insulin bagi penderita diabetes dan sebagainya
yang menggunakan unsur organ babi, tidak perlu kita khawatirkan masalah halal dan
haramnya, sebab kita bisa merujuk ke pendapat Yusuf Al-Qaradhawi. Yang perlu
dikhawatirkan adalah virus-virus seperti campak, polio, cacar dan sebagainya, bisa saja
menyerang tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Dunia kedokteran Indonesia mengklaim
bahwa vaksinasi 90% bisa mencegah serangan virus-virus tersebut, seperti yang terjadi di
Nusa Tenggara Timur, puluhan balita meninggal dunia akibat virus cacar yang mematikan
dan mereka tidak pernah divaksinasi.188
187
TransTV, On The Spot, ditayangkan pada tanggal 12 Juni 2013, dapat diakses di
http://www.youtube.com 188
RCTI, Seputar Indonesia, ditayangkan pada tanggal 19 September 2013, dapat diakses pada situs
http://www.rcti.tv
191
Penemuan ilmiah yang menakjubkan tentang babi di abad modern ini semakin
memberi pemahaman kepada kita bahwa apa yang diciptakan Allah SWT tidak ada yang sia-
sia. Sesuai firman-Nya:
Artinya: ”(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. al-Maidah: 191)
Pemilihan redaksi “diharamkan bagi kalian (memakan) daging babi” dalam empat
ayat yang telah penulis sebutkan pada pembahasan sebelumnya merupakan rahasia Allah
sejak 14 abad silam. Babi bukan komoditi makanan, sebab seluruh komponen tubuhnya
mengandung banyak bakteri mematikan yang membawa mudharat bagi manusia. Ia adalah
binatang menjijikkan tetapi justru menjadi penyelamat hidup manusia, karena organ tubuhnya
bisa diubah menjadi komposisi obat-obatan dan media transplantasi, sebab hanya babi
binatang yang struktur genetika tubuhnya paling mirip dengan manusia. Agak sulit dipahami
bagaimana mungkin binatang yang penuh parasit dan penyakit ini bisa digunakan dalam
industri medis, tetapi demikianlah kekuasaan Allah yang tiada terbatas dan mampu merubah
apapun di dunia ini. Hal ini tidak akan dapat diketahui jika manusia tidak mengkaji apa
sesungguhnya makna tersirat di balik pengharaman daging babi.
Penulis tidak menemukan dalil khusus yang digunakan para ulama salaf tentang
kebolehan berobat dengan babi secara sharih (jelas ungkapannya). Menurut asumsi penulis,
salah satu faktornya pada masa salaf belum ditemukan rahasia ilmiah mengenai babi.
Keajaiban zoology tentang babi merupakan penemuan mutakhir abad ini. Dalil-dalil yang
digunakan oleh para ulama yang membolehkan adalah qiyas terhadap kebolehan berobat
dengan benda-benda najis secara general saja tanpa menyebutkan kata „babi‟ secara khusus.
2. Hukum Memanfaatkan Organ Babi dan Dalilnya Menurut Ali Mustafa Yaqub
Metode ijtihad Ali Mustafa Yaqub pada umumnya sama seperti ulama-ulama lain. Ali
Mustafa Yaqub melandaskan ijtihadnya pada dalil-dalil sebagai berikut:189
a. Al-Qur‟ān, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril yang disampaikan secara mutawatir, menjadi ibadah
jika membacanya, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-
Nas.
189
http://www.mui.or.id, diakses tanggal 27 Februari 2014.
192
b. Sunnah, Pada umumnya orang menganggap sebutan sunnah dengan hadith
bermakna sama, yakni sama-sama perbuatan, perkataan dan ketetapan Nabi
SAW. Padahal sebenarnya terdapat sedikit perbedaan antara keduanya. Hadith
ialah seluruh perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW baik
yang mengandung hukum maupun tidak mengandung hukum. Sedangkan
sunnah dibatasi pada hadith-hadith yang bisa menjadi landasan hukum.
c. Ijma‟, kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa setelah Rasulullah wafat
atas sesuatu hukum syara‟ dalam kasus tertentu.
d. Qiya, mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak ada dalil nash dengan
hukum kasus lain yang terdapat dalil nash karena ada persamaan „illat
hukumnya. Rukun qiyas ada empat yaitu: Ashal, yaitu sesuatu yang
mempunyai dalil hukum yang menjadi tempat mengqiyaskan atau di sebut al-
maqis „alaih atau al-musyabbah bih. Ashal harus berupa dalil nash yaitu Al-
Qur‟ān, sunnah dan ijma‟. Disamping itu ashal juga harus mengandung „illat
hukum. Furu‟ atau cabang, yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya
yaitu yang mengqiyaskan disebut juga al-maqis atau al- musyabbah. Hukum
ashal yaitu hukum syara‟ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan
menjadi hukum pada cabang. „Illat ialah suatu sifat yang nyata dan tertentu
yang berkaitan dengan ada atau tidak adanya hukum.
Disamping dalil-dalil tersebut diatas, Ali Mustafa Yaqub juga mengambil pendapat
imam mazhab mengenai hukum Islam dan pendapat para ulama lain yang diperoleh melalui
penelitian terhadap penafsiran Al-Qur‟ān. Pembahasan masalah yang memerlukan
penyelesaian yang merujuk kepada dalil-dalil tersebut diatas adalah metode yang menentukan
penafsiran mana yang lebih kuat (rajih) dan bermanfaat bagi umat Islam. Ketika suatu
permasalahan hukum tidak dapat diselesaikan dengan memakai prosedur diatas maka langkah
yang diambil Ali Mustafa Yaqub adalah melakukan ijtihad.190
Allah SWT menyebutkan pengharaman babi di dalam Al-Qur‟ān sebanyak empat
kali, dalam surat al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, al-An‟am ayat 145 dan an-Nahl ayat
115.191
Tiga ayat tersebut yakni surat al-Baqarah ayat 173, al-An‟am ayat 145 dan an-Nahl
190
http://www.mui.or.id, diakses tanggal 28 Februari 2014. 191
Telah tercantum pada h. 35-38 tesis ini.
193
ayat 115 disebutkan dengan adat al-hashr (pembatasan).192
Allah menyebutkan semua
redaksi dari ke empat ayat di atas dengan menggunakan kata lahm al-khinzir (daging babi).
Menanggapi ayat-ayat ini para ulama berbeda pendapat dalam dua hal. Pertama, tentang
tujuan pembatasan (al-qashr) yang tercantum dalam tiga ayat di atas. Kedua, mengenai
ukuran (batas) yang diharamkan dari babi.193
Adapun yang berkaitan dengan pembatasan, sebagian ulama berpendapat bahwa
makna firman Allah:
Artinya:“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)bangkai…”
Bahwa innama merupakan kata yang digunakan untuk membatasi sesuatu yang
mengandung pengertian peniadaan (an-nafy) dan penetapan (al-itsbat). Kata innama pada
ayat di atas menetapkan pembatasan makna yang tercantum dalam redaksi ayat dan
meniadakan makna yang tidak tercantum di dalamnya. Dalam ayat ini, kata innama tersebut
berfungsi untuk membatasi hal yang diharamkan.194
Ayat tersebut mengiringi ayat tentang
kehalalan pangan, yaitu firman Allah SWT:
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-
Nya kamu menyembah.”(QS. Al-Baqarah: 172)
Ayat ini menunjukkan kehalalan yang bersifat umum untuk semua makanan yang
baik. Kemudian ayat ini diikuti dengan ayat tentang hal-hal yang diharamkan, dengan
menggunakan redaksi innama yang berfungsi membatasi. Maka hal ini mencakup dua hal.
Ayat ini termasuk kelompok Madaniyyah (turun setelah hijrah), sehingga tidak ada hal-hal
yang diharamkan keluar dari ayat ini.195
Ayat ini juga dikuatkan dengan ayat lainnya yang
menurut sebuah riwayat turunnya di Arafah, yaitu ayat:
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…(QS al-An‟am:
145)
192
Maksudnya pembatasan keadaan atau pengecualian ketika dalam keadaan terpaksa maka
diperbolehkan mengkonsumsi daging babi. 193
Yaqub, Kriteria…, h.174. 194
Yaqub, Kriteria…, h.175. 195
Yaqub, Kriteria…, h.176.
194
Karenanya penjelasannya menjadi sempurna dari awal sampai akhir.196
Imam Al-
Syāfi‟Ī dan ulama lainnya berpendapat pembatasan dalam ayat ini tidak bermaksud demikian.
Imam Al-Syāfi‟Ī meluruskan kekeliruan diatas dengan argumentasi bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan orang-orang kafir yang menyatakan pembangkangan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka mengharamkan segala yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan
segala yang diharamkan-Nya. Kemudian turunlah ayat ini dengan pembatasan yang bersifat
formalitas sebagai kecaman atas mereka dari Allah dan Rasul-Nya, bukan dimaksudkan
untuk makna pembatasan yang sebenarnya. 197
Imam As-Subki mengutip pernyataan Imam Al-Syāfi‟Ī yang maksudnya adalah bahwa
orang-orang kafir ketika mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan
apa yang telah diharamkan-Nya, mereka melakukannya sebagai bentuk perlawanan dan
pembangkangan. Kemudian ayat ini turun untuk membantah mereka. Seolah-olah Allah
mengatakan,
198ال حالل إال ما حشمتموه وال حشام إال ما أحللتموه
Artinya: “Tidak ada sesuatu yang halal kecuali apa yang telah kalian haramkan, tidak ada
sesuatu yang haram kecuali apa yang telah kalian halalkan.”
Seakan-akan Allah berfirman
199ال حشام إال ما أحللتموه من الميتة والذم ولحم الخنضيش وما أهل لغيش هللا به
Artinya: “Tidak ada yang haram kecuali apa yang telah kalian halalkan berupa bangkai,
darah, daging babi dan (hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.”
Hal ini bukan berarti selain yang disebutkan itu adalah halal. Karena tujuan dari
ungkapan tersebut adalah untuk menetapkan pengharaman bukan menetapkan penghalalan.
Imam al-Haramain200
berkata pendapat ini sangat bagus. Seandainya Imam Al-Syāfi‟Ī tidak
196
Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, I, Beirut: Dar al-Fikr,
1994, h. 202-203. 197
Muhammad Abd al-„Azhim al-Zurqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-Quran, I, Beirut: Dar al-Fikr,
1992, h. 105. 198
Yaqub, Kriteria…, h.176 199
Yaqub, Kriteria…, h.177
200
Imam Al-Haramain adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwaini, Abu
al-Ma‟ali, Rukn al-Din, yang diberi gelar dengan Imam al-Haramain. Seorang yang alim dari mazhab Al-
Syāfi‟Ī. lahir di Juwain (pinggir kota Naysabur) pada tahun 419 H. Menuntut ilmu di Baghdad, kemudian
menuju Makkah dan tinggal selama empat tahun. Beliau melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Madinah untuk
memberikan fatwa sekaligus mempelajari metode-metode mazhab secara keseluruhan. Kemudian kembali ke
Naisabur. Pada perkembangan selanjutnya, menteri Nidzam al-Muluk membangun perguruan Madrasah An-
Nizhamiyah di kota tersebut untuk beliau. Majelis-majelis pengajiannya selalu dihadiri oleh ulama-ulama besar
kota tersebut. Al-Juwaini mempunyai banyak karya ilmiah diantaranya Al-Waraqat dalam Ushul Fiqh, Nihayat
195
mencetuskan terobosan tersebut. Tentu kita tidak diperkenankan berbeda pendapat dengan
Imam Malik tentang pembatasan hal-hal yang diharamkan pada ayat di atas.201
Menurut Ali Mustafa Yaqub, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Imam Al-
Syāfi‟Ī dan beberapa ulama lain bahwa hal-hal yang diharamkan itu tidak hanya terbatas pada
empat macam sebagaimana disebutkan oleh ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun
untuk membantah persepsi kaum jahiliyah dalam menghalalkan dan mengharamkan
sesuatu.202
Maka makna dari firman Allah SWT dalam surat al-An‟am ayat 145 adalah
203قل ال أجذ فيما أوحي إلي محشما مما كنتم تغتحلون إال هزا
Artinya: “Katakanlah aku tidak memperoleh dalam wahyu yang diturunkan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan dari apa-apa yang kalian anggap halal kecuali ini.”
Yaitu sesuatu yang mereka haramkan sebelumnya, hukumnya sekarang menjadi
haram. Maka mana qashr (pembatasan) pada ayat-ayat diatas tidak menunjukkan pengertian
yang sebenarnya.204
Seperti firman Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat 29:
Artinya: “Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS Al-Kahfi: 29)
Kalimat perintah dalam ayat ini bukanlah dalam arti perintah yang sebenarnya
sebagaimana disalah pahami oleh kelompok pemikir liberal yang berpendapat bahwa Allah
SWT memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk beriman atau kafir. Akan tetapi kalimat
perintah dalam ayat ini adalah untuk menakut-nakuti dan mengancam dengan sangat keras.205
Mengenai pembahasan tentang ukuran keharaman babi terjadi perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Imam Al-Qurthubi mengatakan Allah mengkhususkan penyebutan
daging babi untuk menunjukkan pengharaman babi itu sendiri, baik yang disembelih atau
tidak, hal itu mencakup lemak dan bagian-bagian tubuh lainnya seperti tulang-tulang rawan
dan lain sebagainya. Ibnu Katsir berpendapat pengharaman daging babi yang disebutkan
dalam Al-Qur‟ān juga diqiyaskan kepada organ lainnya.206
Menurut Imam Mahmud al-Alusi, daging babi disebut secara khusus padahal organ
lain juga diharamkan. Berbeda dengan kelompok Aẓ-Ẓahiry yang menghalalkannya karena
al-Mathlab fi Dirasat al-Mazhab dalam masalah fiqh Al-Syāfi‟Ī. Ia meninggal dunia pada tahun 478 H di
Naisabur. (Al-Zirikli, Al-A‟lam, Jilid IV, Kairo: Dar Al-Hadith, 1996, h. 160). 201
Yaqub, Kriteria…, h.177 202
Yaqub, Kriteria…, h.178 203
Yaqub, Kriteria…, h.179 204
Yaqub, Kriteria…, h.180 205
Katsir, Tafsir…, III, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004, h. 105 206
Imam Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h. 209
196
daging merupakan bagian hewan yang paling banyak dimakan oleh manusia sedangkan
bagian-bagian lainnya sebagai pelengkap yang mengikuti dagingnya saja.207
Apabila permasalahannya demikian maka menurut Ali Mustafa Yaqub terdapat dua
pendapat mengenai hukum mengkonsumsi babi. Pertama, pendapat jumhur ulama bahwa
semua organ babi hukumnya haram. Kedua, pendapat mazhab Aẓ-Ẓahiry yang mengatakan
bahwa organ babi yang diharamkan hanya dagingnya saja.
Dalam kitab Al-Muhalla karya Imam Ibnu Hazm,208
sebuah kitab yang kini menjadi
kitab rujukan utama mazhab Aẓ-Ẓahiry dijelaskan bahwa tidak dihalalkan memakan apapun
yang berasal dari babi meliputi daging, lemak, kulit, urat, tulang rawan, usus, otak, kepala,
kaki, air susu dan bulunya, baik jantan, betina, besar maupun kecil. Tidak dihalalkan juga
mengambil manfaat dari rambut, kulit dan sebagainya.209
Menurut Imam Al-Alusi, Mazhab Aẓ-Ẓahiry menghalalkan semua organ babi kecuali
dagingnya. Tetapi dalam kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazm yang juga bermazhab hahiry
justru mengatakan hal yang sebaliknya yakni mengharamkan seluruh organ babi. Menurut Ali
Mustafa Yaqub, pendapat Ibnu Hazm lebih mu‟tamad (layak dijadikan pegangan) dalam
mazhab Aẓ-Ẓahiry, sedangkan apa yang disampaikan oleh Imam Al-Alusi kemungkinan
hanya merupakan pendapat sebagian ulama dari kalangan Mazhab Aẓ-Ẓahiry. Dalam
bukunya Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut Al-Quran dan
Hadith, Ali Mustafa Yaqub mencantumkan pernyataan Al-Alusi yang dikemukakan dalam
tafsirnya, meskipun kedudukannya dalam mazhab Ẓhahiry adalah syadz (menyimpang),
karena pendapat yang tercantum dalam kitab Al-Alusi ini terkadang dijadikan pegangan oleh
sebagian orang untuk membolehkan mengonsumsi babi selain dagingnya, misalnya kulit,
darah dan organ-organ lain.
Mengenai hukum bulu babi, Imam Al-Qurthubi berpendapat bahwa tidak ada
perbedaan bahwa secara umum babi itu diharamkan kecuali bulunya. Karena menjahit
dengan menggunakan bulu babi hukumnya mubah. Diriwayatkan ada seseorang yang datang
untuk bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hukum menjahit dengan menggunakan
207
Katsir , Tafsir…, I, h. 255 208
Ibnu Hazm adalah al-Imam al-„Allamah al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟ad bin
Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Khalaf al-Farisi al-Ashl al-Yazidi al-Umawi, orang yang dimerdekakan oleh al-
Umawi al-Qurthubi Aẓ-Ẓahiry. Pada awalnya ia bermazhab Syāfi‟Ī kemudian ia beralih ke mazhab Aẓ-Ẓahiry.
Ibnu Hazm adalah seorang yang menguasai berbagai disiplin ilmu, wara‟, zuhud, cerdas dan warga Andalusia
yang memiliki cakrawala keilmuwan yang luas. Karya tulisnya antara lain Al-Muhalla (yang ditulis berdasarkan
mazhab dan ijtihadnya), Syarh al-Muhalla, al-Milal wa al-Nihal, al-Ishal fi Fiqh al-Hadith dan sebagainya. Ia
wafat pada tahun 457 H. (Imam As-Suyuthi, Thabaqat al-Huffazh, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h. 88). 209
Imam Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, Juz VI, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah t.t, h. 58
197
bulu babi. Rasulullah SAW menjawab tidak apa-apa. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Khawaiz
Mindad.210
Ia mengatakan bahwa menjahit dengan bulu babi itu sudah ada pada masa
Rasulullah SAW dan tampaknya hal itu masih ada setelah beliau wafat. Kami tidak
mengetahui adanya penolakan dari Rasulullah SAW dan tidak ada satupun ulama yang
mengingkarinya. Apa yang diperbolehkan Rasulullah SAW merupakan permulaan sumber
syariat dari beliau.
Pernyataan Imam Al-Qurthubi bahwasanya tidak ada perbedaan tentang babi itu
diharamkan kecuali bulunya, karena menjahit dengan menggunakan bulu babi dibolehkan
menurut Ali Mustafa Yaqub perlu ditinjau kembali. Hal itu karena Imam Ibnu Hazm
berpendapat bahwa bulu babi juga haram. Begitu pula jumhur ulama seperti Ibnu Sirin,211
al-
Hakam, Hammad, Ishaq dan Al-Syāfi‟Ī berpendapat bahwa hukum memanfaatkan bulu babi
keharamannya seperti memanfaatkan kulitnya, karena hal tersebut berarti menggunakan
materi yang najis yang tidak lepas dari terkena najis.212
Sementara Imam Abu Hanifah dan
Dawud menyatakan bahwa tulang, tanduk dan bagian luar lainnya tidak dihukumi najis
sehingga tidak diharamkan. Abu Hanifah mengecualikan bulu babi sebagai yang diharamkan.
Beliau memberi rukhsah (keringanan) bagi tukang tenun untuk menggunakan bulu babi.
Selain Abu Hanifah, ulama lain yang sepakat dengannya adalah al-Hasan Imam Malik, al-
Auza‟i dan Imam Ahmad.213
Ali Mustafa Yaqub sepakat dengan ulama yang membolehkan memanfaatkan bulu
babi atas dasar rukhsah. Karena faktor keperluan (hajat) tersebut merupakan pengecualian
dari objek pembahasan. Karenanya memanfaatkan bulu babi atas dasar rukhsah dikategorikan
sebagai darurat. Lebih-lebih hal itu dilakukan karena adanya keperluan. Dan terkadang
kondisi perlu itu memiliki kedudukan yang sama dengan keadaan darurat. Dalam kondisi
210
Ibnu Khawaiz Mindad adalah Muhammad bin Ahmad bin Abdullah. Ia belajar kepada al-Abhari. Ia
menulis buku yang besar tentang perbedaan pendapat, buku tentang ushul fiqh dan buku-buku tentang hukum-
hukum Al-Quran. Ia juga memiliki riwayat-riwayat yang syadz dari Imam Malik disamping memiliki Ikhtiyarat
(pendapat-pendapat pilihan). (Ibnu Farhun, Al-Dibaj al-Mudzahhab fi Ma‟rifah A‟yan Ulama al-Mazhab I,
Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h. 142). 211
Nama lengkap Ibnu Sirin adalah Muhammad bin Sirin al-Bashri, al-Anshari dengan wala‟ bergelar
Abu Bakar. Ia adalah seorang imam yang mumpuni dalam ilmu agama di Basrah. Ia lahir di Basrah pada tahun
33 H, tumbuh dewasa sebagai penjual pakaian, telinganya tuli, ia belajar fiqh dan meriwayatkan hadith. Ia
terkenal zuhud dan mampu mentakwil mimpi. Anas bin Malik mengangkatnya sebagai sekretaris di Persia.
Ayahnya adalah maula (budak yang dimerdekakan) Anas. Ia dikenal sebagai penulis kitab Ta‟bir al-Ru‟ya Ibnu
al-Nadim menuturkannya bahwa Ibnu Sirin menggubah kitab Muntakhab al-Kalam fi Tafsir al-Ahlam. Ia wafat
di Basrah pada tahun 110 H. (Al-Zirikli, Al-A‟lam…, h. 154) 212
Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni I, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, h. 109 213
Yaqub, Kriteria…, h. 181
198
darurat dan memerlukan, memakan babi pun diperbolehkan apalagi hanya memanfaatkan
bulunya.
Adapun argumentasi Imam Al-Qurthubi bahwa Rasulullah SAW membiarkan
sebagian sahabat beliau menenun dengan menggunakan bulu babi, setelah diteliti oleh Ali
Mustafa Yaqub ke beberapa kitab hadith ternyata beliau tidak menemukannya. Maka Ali
Mustafa Yaqub berasumsi bahwa penetapan kebolehan menggunakan bulu babi hanya atas
dasar rukhsah saja, bukan „azimah (ketetapan dalam keadaan normal).214
C. Sebab-sebab perbedaan pendapat antara Ysuf Al Qaradhawi dan Ali Mustafa
Yakub
Islam sangat menghargai perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Islam tidak pernah menghambat sesuatu hal yang berbau kecanggihan science demi kemajuan
umat Islam itu sendiri. Ia hanya mengarahkan agar perkembangan IPTEK tersebut tetap
berada dalam koridor syar‟i. Inilah salah satu keistimewaan agama Islam yang bersumber Al-
Qur‟ān Al-Karim yang bersifat universal sehingga ia tetap relevan sesuai dengan
perkembangan zaman dan mampu menjawab tantangan-tantangan akibat perkembangan masa
tersebut.
Begitu pula dengan pemanfaatan organ babi di dunia medis baik sebagai obat-obatan
maupun keperluan transplantasi yang merupakan kasus kontemporer, Islam tetap mempunyai
rambu-rambu khusus untuk menghindari terjadinya penyimpangan hukum demi kebaikan
umat Islam. Karena permasalahan ini belum pernah terjadi sebelumnya maka dibutuhkan
ijtihad ulama untuk mengambil istinbath hukum sebagai tindakan preventif untuk mengatasi
persoalan hukum tersebut.
Ijtihad merupakan suatu usaha sungguh-sungguh seorang mujtahid dengan
mempergunakan seluruh potensi yang ada pada dirinya. Namun dalam berijtihad, seringkali
terjadi perselisihan pendapat antara satu ulama dengan ulama lainnya. Penyebab ikhtilaf itu
dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam
Al-Qur‟ān maupun sunnah, seperti lafadz musytarak, makna haqiqy (sebenarnya)
maupun majazy (kiasan).
b. Karena berbeda dalam memahami hadith dari segi periwayatannya. Ada hadith yang
sampai periwayatannya kepada sebagian ulama, namun tidak sampai kepada ulama
lain, atau berbeda jalur periwayatan sanadnya, sehingga berbeda menilai kualitas
suatu hadith. Ada yang menilai sahih, hasan ataupun dha‟if.
214
Yaqub, Kriteria…, h. 182
199
c. Berbeda dalam memahami kaidah-kaidah ushul, misalnya ada ulama yang
berpendapat bahwa lafadz „amm yang sudah ditakhsis itu bisa dijadikan hujjah.
Demikian pula yang menganggap bahwa segala yang mafhum dapat dijadikan hujjah
dan ada yang menganggap bahwa segala yang mafhum tidak bisa dijadikan hujjah.
d. Berbeda dalam menanggapi ta‟arudl (pertentangan dua dalil) dan tarjih (menguatkan
satu dalil atas dalil yang lain). Seperti dalam memahami nasakh dan mansukh,
pentakwilan dan sebagainya.
e. Berbeda pendapat dalam memahami dan menetapkan dalil yang bersifat ijtihady.
Ulama sepakat bahwa Al-Qur‟ān dan Sunnah yang sahih adalah sumber hukum, tetapi
mereka berbeda pendapat dalam dalil-dalil seperti istihsan, istishab, al-maslahat al-
mursalah, qaul as-sahaby dan lain-lain yang digunakan dalam ijtihad. Sering juga
terjadi perbedaan penerapan terhadap dalil-dalil yang disepakati sehingga
menyebabkan perbedaan istinbath hukum. Misalnya penggunaan qiyas, para ulama
sepakat bahwa qiyas adalah sumber hukum yang tidak ada perselisihan tentang
penggunaannya. Namun dalam penetapan „illat hukumnya sering terjadi perbedaan.
Karena adanya perbedaan dalam menentukan „illat maka berbeda pula kesimpulan
hukumnya.
f. Perbedaan lingkungan tempat tinggal si mujtahid, seperti dalam Qaul Qadim dan
Qaul Jadid Imam Syafi‟i.215
Penyebab perbedaan pendapat antara Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub
dalam masalah pemanfaatan organ babi ini terletak pada perbedaan dalam memahami dalil-
dalil baik dari Al-Qur‟ān, sunnah maupun kaedah fiqh. Adapun dalil-dalil yang menjadi
landasan hukum mengenai pemanfaatan organ babi ini adalah firman Allah SWT dalam surat
al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, al-An‟am ayat 145 dan an-Nahl ayat 115 (telah
tercantum pada halaman 35-38 tesis ini).
Berdasarkan keempat ayat tersebut, menurut Yusuf Al-Qaradhawi, keharaman babi
hanyalah pada batas konsumsi saja. Sedangkan memanfaatkan organnya untuk pengobatan
bukan berarti memakannya, misalnya melakukan transplantasi organ babi ke tubuh manusia.
Jika memang hal tersebut di butuhkan untuk menyelamatkan jiwa seseorang, maka hal ini di
perbolehkan oleh syara‟. Sesuai kaidah:
وما أبيح للعشوسة يقذس بقذسها
Artinya: “Segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar
kedaruratannya.”
Selain itu pemanfaatan organ yang najis tersebut harus melalui ketetapan-ketetapan
dokter muslim yang terpercaya. Argumentasi lain yang digunakan oleh Yusuf Al-Qaradhawi
adalah bahwa Nabi SAW memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai yaitu kulitnya
215
Febriani, Undian…, h. 51
200
padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-
Qur‟ān. Al-Qaradhawi mengqiyaskan pemanfaatan bangkai kepada pemanfaatan organ babi,
keduanya diperbolehkan oleh syara‟ asalkan bukan untuk dikonsumsi, seperti hadith yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang pemanfaatan kulit bangkai (telah
tercantum pada halaman 4 tesis ini).
Timbul pertanyaan bagaimana hukum memasukkan binatang najis seperti babi ke
dalam tubuh seorang muslim. Dalam hal ini Al-Qaradhawi menjelaskan bahwa yang dilarang
syara‟ adalah mengenakan benda najis di bagian luar tubuh, adapun yang di dalam tubuh
manusia tidak ada dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia justru
merupakan tempat benda-benda najis seperti darah, kencing, tinja dan semua kotoran,
sedangkan manusia tetap bisa melakukan shalat, membaca Al-Qur‟ān, melakukan tawaf di
Baitullah meskipun benda-benda najis itu ada didalam perutnya dan tidak membatalkannya
sedikitpun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada di dalam
tubuh.
Al-Qaradhawi membolehkan pemanfaatan organ babi untuk pengobatan karena beliau
berargumen bahwa yang diharamkan hanya konsumsi daging saja. Dalam hal ini pendapat
Al-Qaradhawi mirip dengan pendapat Imam Daud Aẓ-Ẓahiry dan sebagian kalangan mazhab
zahiriyyah.
Sementara Ali Mustafa Yaqub mengharamkan semua jenis pemanfaatan organ babi
baik untuk konsumsi maupun pengobatan. Ia juga mengqiyaskan keharaman daging babi
kepada organ tubuh lainnya misalnya kulit, bulu, tulang dan sebagainya. Ali Mustafa Yaqub
mencantumkan pernyataan Al-Alusi yang beliau kemukakan dalam tafsirnya, meskipun
kedudukannya dalam mazhab Ẓahiry adalah syadz (menyimpang), karena pendapat yang
tercantum dalam kitab Al-Alusi ini terkadang dijadikan pegangan oleh sebagian orang untuk
membolehkan mengonsumsi babi selain dagingnya, misalnya kulit, darah dan organ-organ
lain.
Mengenai hukum bulu babi, Imam Al-Qurthubi berpendapat bahwa tidak ada
perbedaan bahwa secara umum babi itu diharamkan kecuali bulunya. Karena menjahit
dengan menggunakan bulu babi hukumnya mubah. Diriwayatkan ada seseorang yang datang
untuk bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hukum menjahit dengan menggunakan
bulu babi. Rasulullah SAW menjawab tidak apa-apa. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Khawaiz
Mindad. Ia mengatakan bahwa menjahit dengan bulu babi itu sudah ada pada masa
201
Rasulullah SAW dan tampaknya hal itu masih ada setelah beliau wafat. Kami tidak
mengetahui adanya penolakan dari Rasulullah SAW dan tidak ada satupun ulama yang
mengingkarinya. Apa yang diperbolehkan Rasulullah SAW merupakan permulaan sumber
syariat dari beliau.
Pernyataan Imam Al-Qurthubi bahwasanya tidak ada perbedaan tentang babi itu
diharamkan kecuali bulunya, karena menjahit dengan menggunakan bulu babi dibolehkan
menurut Ali Mustafa Yaqub perlu ditinjau kembali. Hal itu karena Imam Ibnu Hazm
berpendapat bahwa bulu babi juga haram. Begitu pula jumhur ulama seperti Ibnu Sirin, al-
Hakam, Hammad, Ishaq dan Al-Syāfi‟Ī berpendapat bahwa hukum memanfaatkan bulu babi
keharamannya seperti memanfaatkan kulitnya, karena hal tersebut berarti menggunakan
materi yang najis yang tidak lepas dari terkena najis.216
Sementara Imam Abu Hanifah dan
Dawud menyatakan bahwa tulang, tanduk dan bagian luar lainnya tidak di hukumi najis
sehingga tidak diharamkan. Abu Hanifah mengecualikan bulu babi sebagai yang diharamkan.
Beliau memberi rukhsah bagi tukang tenun untuk menggunakan bulu babi. Selain Abu
Hanifah, ulama lain yang sepakat dengannya adalah al-Hasan Imam Malik, al-Auza‟i dan
Imam Ahmad.217
Ali Mustafa Yaqub sepakat dengan ulama yang membolehkan memanfaatkan bulu
babi atas dasar rukhsah. Karena faktor keperluan tersebut merupakan pengecualian dari objek
pembahasan. Karenanya memanfaatkan bulu babi atas dasar rukhsah dikategorikan sebagai
darurat. Lebih-lebih hal itu dilakukan karena adanya keperluan. Dan terkadang kondisi perlu
itu memiliki kedudukan yang sama dengan keadaan darurat. Dalam kondisi darurat dan
memerlukan, memakan babi pun diperbolehkan apalagi hanya memanfaatkan bulunya.
Adapun argumentasi Imam Al-Qurthubi bahwa Rasulullah SAW membiarkan
sebagian sahabat beliau menenun dengan menggunakan bulu babi, setelah diteliti oleh Ali
Mustafa Yaqub ke beberapa kitab hadith ternyata beliau tidak menemukannya. Maka Ali
Mustafa Yaqub berasumsi bahwa penetapan kebolehan menggunakan bulu babi hanya atas
dasar rukhsah saja, bukan „azimah (ketetapan dalam keadaan normal).
Berdasarkan pembahasan tersebut diatas terdapat persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan pendapat antara Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub. Ittifaq
dan ikhtilaf diantara mereka disebabkan oleh pemahaman terhadap dalil sesuai kemampuan
akal mereka masing-masing. Namun ijtihad mereka sangat berguna dalam memecahkan
216
Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (terj. Anshari Taslim), Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 109 217
Yaqub, Kriteria…, h. 181
202
masalah hukum pemanfaatan organ babi ini terlepas dari kelebihan dan kekurangan dalam
ijtihad tersebut karena baik Yusuf Al-Qaradhawi maupun Ali Mustafa Yaqub adalah manusia
biasa yang mempunyai pemikiran terbatas. Mereka hanya mengambil istinbath hukum
berdasarkan dalil-dalil nash.
Persamaan pendapat mereka adalah mereka sama-sama mengharamkan
mengkonsumsi daging babi seperti yang disebutkan dalam empat ayat Al-Quran diatas
(halaman 35-37 tesis ini). Mereka juga sama-sama mengharamkan konsumsi babi selain
dagingnya seperti lemak babi, kulit babi, tulang, kuping dan lain-lain karena semua itu
mengikuti keharaman babi yang secara „ainnya adalah binatang najis. Persamaan pendapat
mereka berdua yang lain adalah kebolehan mengkonsumsi atau memanfaatkan organ babi
ketika dalam keadaan rukhsah atau dalam keadaan sangat darurat yang tidak mempunyai
solusi atau alternatif lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 173.
Adapun perbedaan pendapat keduanya ialah pada pemanfaatan organ babi selain
konsumsi, Yusuf Al-Qaradhawi membolehkan memanfaatkan organnya untuk pengobatan,
misalnya melakukan transplantasi organ babi ke tubuh manusia. Jika memang hal tersebut di
butuhkan untuk menyelamatkan jiwa seseorang, maka hal ini di perbolehkan oleh syara‟,
dengan syarat pemanfaatan organ yang najis tersebut harus melalui ketetapan-ketetapan
dokter muslim yang terpercaya. Argumentasi lain yang digunakan oleh Yusuf Al-Qaradhawi
adalah bahwa Nabi SAW memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai yaitu kulitnya
padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-
Qur‟ān. Al-Qaradhawi mengqiyaskan pemanfaatan bangkai kepada pemanfaatan organ babi,
keduanya diperbolehkan oleh syara‟ asalkan bukan untuk dikonsumsi. Sedangkan Ali
Mustafa Yaqub mengharamkan segala jenis pemanfaatan organ babi meskipun untuk
pengobatan.
Umat Islam adalah umat yang memiliki identitas dan kepribadian tersendiri. Karena
Allah telah menjadikan umat muslim sebagai khalifah di muka bumi bukan sebagai pengikut
kaum kafir. Oleh karena itu sebagai muslim kita tidak sepantasnya mengikuti tradisi dan gaya
hidup yang mereka tawarkan. Hal tersebut tidak dibenarkan karena terdapat hal-hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai, konsep dan hukum syari‟at yang telah Allah tunjukkan
kepada kita. Umat Islam mempunyai manhaj tersendiri yang menjadi pedoman bagi umat
Islam yaitu Al-Qur‟ān dan Sunnah. Kedua pedoman tersebut merupakan pusaka agung yang
ditinggalkan Rasulullah SAW agar umat Islam tidak tersesat. Al-Qur‟ān yang bersifat
203
universal dan selalu relevan dengan perkembangan zaman mustahil tidak bisa menjawab
persoalan-persoalan kontemporer seperti pemanfaatan organ babi yang berasal dari dunia
Barat. Permasalahan utama yang memicu kelemahan umat Islam adalah sikap muslim yang
apatis dan tidak mau berpikir untuk memecahkan permasalahan yang melanda umat Islam
sehingga umat Islam mudah terpengaruh oleh budaya Barat. Sebagai muslim kita dituntut
agar selalu kritis menghadapi persoalan-persoalan yang belum pernah terjadi pada masa
sebelumnya dengan tetap berpegang pada dalil-dalil nash agar tidak terjadi kekeliruan.
Kesimpulan
Penyebab perbedaan pendapat antara Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub dalam
masalah pemanfaatan organ babi ini terletak pada perbedaan dalam memahami dalil-dalil
nash baik dari Al-Quran, sunnah maupun kaedah fiqh. Al-Qaradhawi membolehkan
pemanfaatan organ babi untuk pengobatan dengan argumen yang diharamkan hanya
konsumsi daging saja, jika memang hal tersebut dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa
seseorang, maka hal ini diperbolehkan oleh syara‟, dengan syarat pemanfaatan organ yang
najis tersebut harus melalui ketetapan-ketetapan dokter muslim yang terpercaya. Sedangkan
Ali Mustafa Yaqub mengharamkan segala jenis pemanfaatan organ babi meskipun untuk
pengobatan.
Dalil-dalil yang digunakan Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub pada dasarnya
adalah sama yaitu surat al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, al-An‟am ayat 145 dan an-
Nahl ayat 115. Permasalahan yang muncul adalah perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat
tersebut. Al-Qaradhawi memahami kata lahm al-khinzir hanya pengharaman sebatas
konsumsi saja, bukan pada pemanfaatan dalam hal lain seperti pemanfaatan di dunia medis
dan sebagainya. Dalam hal ini pemahaman Al-Qaradhawi lebih luas dan moderat mengingat
babi cukup berperan menyembuhkan ribuan pasien yang menderita diabetes, sebagai
komposisi vaksinasi, dan sebagainya. Sementara Ali Mustafa Yaqub memahami keempat
ayat tersebut adalah pengharaman secara mutlak sebab adat al-qashr (pembatasan) pada
lafadh lahm al-khinzir adalah untuk menetapkan pengharaman bukan menetapkan
penghalalan dan berlaku untuk semua jenis pemanfaatan dan konsumsi.
Dalil lainnya adalah perbedaan pemahaman antara Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa
Yaqub mengenai hadith Nabi Muhammad SAW tentang pemanfaatan kulit bangkai. Al-
Qaradhawi berpendapat bahwa Nabi SAW memperbolehkan memanfaatkan kulit bangkai,
204
beliau memandang sama hukumnya antara bangkai kambing dan babi jika dimanfaatkan pada
keperluan selain konsumsi sebab keduanya sama-sama benda najis. Dalam hadith tersebut
hanya disebutkan kata bangkai saja sehingga menimbulkan makna intepretatif, yakni semua
bangkai bukan hanya bangkai kambing. Al-Qaradhawi mengqiyaskan pemanfaatan bangkai
kambing kepada pemanfaatan organ babi, keduanya diperbolehkan oleh syara‟ asalkan bukan
untuk dikonsumsi. Ali Mustafa Yaqub menolak qiyas yang dilakukan Yusuf Al-Qaradhawi
sebab qiyas tersebut tidak tepat, sebab kambing adalah binatang halal semasa hidupnya
sedangkan babi adalah binatang najis baik masih hidup maupun sudah mati.
205
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim.
Abu Daud, Imam, Sunan Abu Daud, Jilid 3, Beirut: Dar al-Fikr, 2007.
Al-Baghdadi, Abdurrahman, Babi Halal Babi Haram, Jakarta: Gema Insani Press, 1989.
Alie, Imam Masykoer, Bunga Rampai Jaminan Produk Halal di Negara Anggota Mabims,
Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2003.
Al-Jamal, Abdul Basith & Daliya Shiddiq Al-Jamal, Ensiklopedi Ilmiah dalam Al-Quran dan
Sunnah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Al-Khalafi, Abdul „Azhim bin Badawi, Al-Wajiz, (terj. Ma‟ruf Abdul Jalil), Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2006.
Al-Qaradhawy, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
-------------------, Fatawa Mu‟ashirah, Juz 2, Kuwait: Dar al-Qalam, 2005.
Al-Qurthubi, Imam Muhammad bin Ahmad, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, I, Beirut: Dar al-
Fikr, 1994.
Al-Zirikli, Al-A‟lam, IV, Kairo: Dar Al-Hadits, 1996.
Al-Zurqani, Muhammad Abd al-„Azhim, Manahil al-Irfan fi „Ulum al-Quran, I, Beirut: Dar
al-Fikr, 1992.
An-Nawawi, al-Majmu‟ Syarh al-Muhazzab, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
As-Suyuthi, Imam, Thabaqat al-Huffazh, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Asy-Syarbashi, Ahmad, Yas‟alunaka Fi Ad-Din Wa Al-Hayah, (terj. Ahmad Subandi,
Jakarta: Lentera Basritatama, 1997.
Asy-Syaukani, Muhammad, Nailul Authar, Jilid IX, (terj. Adib Bishri Mustafa), Semarang:
Asy-Syifa, 1994.
Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, Jilid 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Dahlan, Abdul Azis …(et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve,
1996.
Dallas, S.E, Animal Biology and Care, USA: Blackwell Publishing, 2006
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Dewan Syari‟ah Pusat PK Sejahtera, Fatwa-Fatwa Dewan Syari‟ah Partai Keadilan
Sejahtera, Bandung: Harakatuna Publishing, 2006.
Farhun, Ibnu, Al-Dibaj al-Mudzahhab fi Ma‟rifah A‟yan Ulama al-Mazhab, I, Beirut: Dar al-
Fikr, 1994.
206
Febriani, Asra, Skripsi, Undian Berhadiah Melalui Short Message Service, Banda Aceh:
Fakultas Syari‟ah IAIN Ar-Raniry, 2007.
Grolier International, Ensiklopedi Alam, Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2004.
Hasan Bisri, Cik, Model Penelitian Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Kencana, 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 9, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001.
Hendrix, Charles M, Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians, St. Louis: Elsevier,
2012.
http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.com/2012/01/pemikiran-hadits-prof-dr-h-ali-
mustafa.html, forum ilmiah UIN SUSKA RIAU diakses tgl 11 November 2013.
http://www.referensimakalah.com/2012/07/biografi-ali-mustafa-yaqub.html, diakses tanggal
11 November 2013.
http://www.sqidoo.com, di akses tanggal 12 Oktober 2013.
Ibn Ahmad Ath-Thariqi, Abdullah Ibn Muhammad, Fikih Darurat, (terj. Abdul Rosyad
Shiddiq), Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafizh, Fathul Baari, (terj. Amiruddin), Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.
Ibnu Hazm, Imam, Al-Muhalla bi al-Atsar, Juz VI, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah t.t.
Ibnu Qudamah, Imam, Al-Mughni, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
-------------------, Al-Mughni, (terj. Anshari Taslim), Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Ibnu Rusyd, Al-Faqih Abi Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, Bidayat al-
Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Kairo: Maktabat al-Kuliyyah al-Azhariyyah, t.t.
Idris Asy-Syafi‟i, Muhammad, Al-Umm, Jilid 2, Kuala Lumpur: Victory Agencie, t.t.
Imam Ali Khameinei, Ayatollah Al-Uzma, Fatwa-Fatwa: Soal-Jawab Seputar Fikih Praktis
Ahlubait, Iran: Dar Al-Huda, 2003.
Jakfar, Tarmizi M, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iyyah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, Yokyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011.
Kamal bin as-Sayid Salim, Abu Malik, Shahih Fiqh Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004.
Mahali, A. Mujab, Asbabun Nuzul, Studi Pendalaman Al-Quran, Jakarta: Rajawali, 1989.
Majelis Tertinggi Urusan-Urusan Keislaman Mesir, Muntakhobu Minassunnah, (terj.
Mahyuddin Syaf), Bandung: Angkasa, t.t.
207
Muhammad, Abu Abdullah, bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran
jilid 6, Beirut: Dar al-Fikri, 2008.
MUI, LP POM, Babi dan Turunannya, LP POM MUI, Jakarta: t.t.
Musa, Kamil, Ensiklopedi Halal Haram dalam Makanan dan Minuman, Surakarta: Ziyad
Visi Media, 2006.
Muslim, Imam, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikri, 2004.
----------, Juz I, Kairo: Dar Al-Hadits, t.t.
Quraish Shihab, Muhammad, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Cet. 8, Bandung: Mizan, 1998.
Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur‟an, Beirut: Dar Asy-Syuruq, 1992.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (terj. Nor Hasanuddin), Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Saifuddin Anshari, Endang, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan
Umatnya, Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983.
Soeharsono, Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia, Yokyakarta: Kanisius,
2002.
Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, NAD: Nadiya Foundation, Cet I, Mei
2004.
Thalbah, Hisyam …(et al.), Ensiklopedia Mukjizat Al-Quran dan Hadith, Jakarta: Sapta
Sentosa, 2008.
Turmudzi, Imam, Sunan Turmudzi, Jilid 4, Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Umar Chand, Muhammad, Halal Haram, The Prohibited and The Permitted Foods and
Drinks, Kuala Lumpur: A.S Noordeen, 2001.
Wensinck, A. J,[et. Al], Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fadh al-Hadits an-Nabawi, Juz 5,
Leiden: E.J. Brill, 1965.
Yahya, Mukhtar, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: Al-Ma‟arif, 1986, h.486.
Yaqub, Ali Mustafa, Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-
Quran Dan Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
208
PRAKTEK MUDHARABAH DALAM USAHA PRODUKSI BATU BATA
(Studi Kasus di Desa Ujung Fatihah Kecamatan
Kuala Kabupaten Nagan Raya)
Rosmaidar
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh
Abstract
Today, the practice of mudaraba is not only practiced in banking, but in the midst of the
community are also there, one of which is in the business of production of bricks in the
village of Ujung Fatihah Kuala sub-district of Nagan Raya district. By that, the authors are
interested in examining the practice of this partnership because there are elements of
mudaraba. The purpose of this study is to see the correspondence between the results of
cooperation in this business run by Muharabah system in Islam and the benefits felt by the
public by practicing Mudaraba system. This research method is to use analysis of the
description. The data collection techniques performed in two ways: first, Research Library
(Library Research), by studying books, books, and various other sources with respect to this
research. Second, Field Research (Field Research), with observation and interview
techniques. The population in this study were all members of the community who run
businesses Fatihah ends production of bricks, and from the authors took a sample population
of 20 people, of whom 15 business managers and five other people are the owners of capital.
The results showed that, cooperation is almost entirely executed in accordance with the
concept of Mudharabah in Islam, except in the case of profit sharing. With the existence of
such practices can improve the local economy and businesses can develop faster than
working alone or who do not cooperate Mudharabah.
209
A. Pendahuluan
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal umat muslim sejak zaman nabi, bahkan
telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad
berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah.218
Dalam
praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang
dagangannya untuk dijual oleh Nabi Muhammad ke luar negeri. Dalam kasus itu, Khadijah
berperan sebagai pemilik modal (shahibul maal), Sedangkan Nabi Muhammad berperan
sebagai pelaksana usaha (mudharib).219
Bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal
dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak ke dua, yakni si pelaksana
usaha dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah atau singkatnya
akad mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja
dari pihak lain.220
Sebagai suatu bentuk kontrak kerja, mudharabah merupakan akad bagi hasil ketika
pemilik dana/modal (pemodal), biasanya disebut sahibul mal, menyediakan modal (100%)
kepada pengusaha sebagai pengelola, biasanya disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas
produktivitas dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi menurut
kesepakatan sebelumnya.221
Dewasa ini, praktek mudharabah sangat populer diperhatikan Islam, bahkan
mudharabah banyak dipraktekkan di berbagai lembaga keuangan, salah satu contohnya
adalah di lembaga perbankan. Dengan adanya praktek tersebut pihak bank bisa membantu
masyarakat dalam mengembangkan usahanya. Tentunya pihak bank sendiri juga
mendapatkan keuntungan dari pihak tersebut. Akan tetapi di masyarakat sendiri yang tanpa
lembaga apapun juga sering mempraktekkan mudharabah dalam berbagai usahanya.
Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat yang memproduksi batu bata di Desa
Ujung Fatihah Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya. Pada awal-awal pendirian usaha
produksi bau bata ini tidak begitu dikenal di masyarakat dan belum banyak permintaan batu
bata dalam pembangunan gedung-gedung, kantor-kantor, rumah-rumah dan sebagainya.
218
Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh Data Keuangan, Edisi Ketiga, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006), h. 204. 219
Adiwarman Karim, Bank Islam …, h. 205. 220
Adiwarman Karim, Bank Islam …, h. 205. 221
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari‟ah, Edisi Ke Tiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007), h. 60
210
Tetapi seiring dengan perkembangan waktu batu bata mulai laris di pasaran karena dengan
adanya permintaan batu bata untuk pembangunan gedung-gedung, kantor-kantor, rumah-
rumah dan lain sebagainya. Apalagi setelah terjadinya tsunami yang melanda Aceh pada
tahun 2004, sangat banyak prasarana yang hancur dan prasarana tersebut harus dibangun
kembali. Dengan adanya pembangunan tersebut tentunya membutuhkan banyak batu bata
sebagai salah satu bahan pokoknya dan hal ini menyebabkan banyak permintaan batu bata.
Karena kehadiran batu bata di Desa Ujung Fatihah menjadi sebuah harapan, maka mereka
membeli batu bata ke Desa Ujung Fatihah.
Dengan begitu banyaknya permintaan batu bata secara otomatis harganyapun
semakin melambung tinggi sehingga banyak keuntungan yang didapatkan oleh para
pengusaha produksi batu bata ini. Melihat begitu banyak keuntungan yang didapatkan oleh
pengusaha produksi batu bata sehingga banyak pengusaha-pengusaha lain yang tertarik untuk
terjun dalam usaha ini.
Tentu saja, pengusaha-pengusaha ini tidak mampu menjalankan sendiri usaha tersebut
jika tanpa adanya yang memproduksi batu bata. Di sisi lain, masyarakat yang sudah mulai
mengenal usaha produksi batu bata ini dan mereka datang berbondong-bondong dari berbagai
daerah untuk mencari pekerjaan di usaha produksi batu bata sekalipun mereka tidak
mempunyai modal sedikitpun. Oleh karena itu, pengusaha batu bata ini memberikan modal
kepada masyarakat yang mau memproduksi batu bata. Mereka melakukan suatu kontrak kerja
sama yakni menggunakan akad bagi hasil .222
Pada awalnya masyarakat yang datang dari berbagi daerah untuk memproduksi batu
bata ini tidak mempunyai modal dan tidak membawa apa-apa dari tempat asalnya. Namun
setelah mereka bekerja di bidang usaha produksi batu bata di Desa Ujung Fatifah ternyata
mendapatkan keuntungan bahkan mereka bisa mendirikan usahanya sendiri tanpa harus
bekerja lagi pada orang lain.223
Dari kerja sama yang dijalankan dalam usaha tersebut terdapat elemen-elemen
mudharabah. Lalu apakah benar dalam usaha tersebut mereka menggunakan akad
mudharabah? Jika memang benar, apakah akad mudharabah yang mereka jalankan sesuai
dengan Syariat Islam atau tidak? Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengkaji perusahaan
batu bata di Desa Ujung Fatihah dan mengambil judul praktek mudharabah dalam usaha
produksi batu bata.
222
Hasil wawancara dengan Bapak Sulaiman (pengusaha batu bata), Selasa 20 September 2011. 223
Hasil wawancara dengan Ibu Mardiani (pengusaha batu bata), Selasa 20 September 2011.
211
B. Konsep Pembiayaan Mudarabah
1. Pengertian Mudharabah dan Dasar Hukumnya
Sejak zaman Nabi Muhammad, kaum muslimin sudah mengenal akad kerjasama
mudharabah224
, bahkan sebelum turunnya Islam bangsa Arab telah mempraktekkannya. Kala
itu profesi Nabi adalah sebagai pedagang225
. Ia melakukan akad dengan Khadijah. Dalam
praktik antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah Radhiallahu „Anha berperan sebagai
pemilik modal (rabbul mal), yang mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh
nabi ke luar negeri. Sedangkan nabi berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib) yang
menjual barang dagangan Khadijah226
.
Tidak hanya ketika belum datangnya Islam mudharabah dipraktekkan, akan tetapi
setelah datangnya Islam pun mudharabah juga dipraktekkan. Seperti halnya Umar bin Khatab
mengelola harta anak yatim dengan cara mudharabah, dimana Umar Radhiallahu „Anhu
menyerahkan harta anak yatim kepada orang yang akan mengelolanya agar harta itu dikelola
secara mudharabah227
.
Mudharabah mengandung arti secara bahasa yaitu qiradh diambil dari kata al-qardhu
yang berarti al-qath‟u (potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk
diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan
memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradhah
yang berarti musawwah (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang
sama terhadap laba228
.
Mudharabah juga diambil dari kata adh-dharbu fil ardhi yang artinya safar (berjalan
di atas bumi) untuk melakukan perdagangan229
. Kata adh-Dharbu fil Ardhi terdapat pada
firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Mudzammil ayat 20, yaitu :
.......... وأخشون يعشبون فى األسض يبتغون من فعل هللا ............
224
Mudarabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah
istilah yang digunakan di Irak, sedangkan qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. 225
Kala itu nabi berusia kira-kira 20-25 tahun, dan belum menjadi nabi. 226
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi Ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008), h. 204. 227
Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, Fiqh Ekonomi Umar bin Khatab, (Jakarta: Khalifah, 2006), h. 96. 228
Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah, Cetakan 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 223. 229
Abdul Azhim bin badawi Al-khalafi, Al-wajiiz Fii Fiqhis Sunnah Wal Kitabil „Aziz: Kitab Al-
Buyuu‟-Khatimah, Edisi Terjemahan, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006) h. 42.
212
Artinya : “……dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah……..”. (QS. Al-Muzammil : 20)
Sedangkan pengertian mudharabah secara istilah adalah230
:
“Pemilik modal menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal
tersebut, dan laba dibagi di antara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati”.
Dari pengertian sederhana tersebut dapat dipahami bahwa kerjasama ini adalah antara
modal di satu pihak dan tenaga di pihak lain. Pekerja dalam hal ini bukan orang upahan tetapi
adalah mitra kerja karena yang ini bukan jumlah tertentu dan pasti sebagimana yang berlaku
dalam upah-mengupah, tetapi bagi hasil dari apa yang diperoleh dalam usaha231
.
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal sebagai
pihak pertama, dan mudharib sebagi pihak kedua. Kemudian, shahibul maal yang
menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan yang menjadi pengelola usaha adalah
mudharib. Apabila mendapatkan keuntungan dalam usaha mudharabah, maka keuntungan
usaha tersebut akan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila mendapatkan kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu disebabkan
oleh kecurangan atau kalalaian pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut232
. Mudharabah merupakan salah satu prinsip investasi yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut233
:
a. Dianggotai pemilik modal (sahibul maal) sebagai partner pertama dan pelaksana
usaha (mudharib). Keaktifan shahibul maal bersifat pasif dalam operasional usaha
ketika mudharib cukup berperan aktif.
b. Rabbul maal yang menanggung seluruh biaya yang dibutuhkan dalam operasional
usaha, mulai dari biaya pengadaan objek, biaya operasional, biaya buruh, biaya
sewa, termasuk biaya tak terduga. Di sisi lain mudharib selain harus aktif, mereka
juga dituntut untuk amanah dan jujur.
c. dalam bentuk rasio bagi hasil, baik laba maupun rugi akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati bersama tanpa paksaan (dengan keridhaan).
d. Apabila dalam usaha tersebut mendapat keuntungan, maka seluruh biaya
operasional akan dipotong terlebih dahulu, kemudian laba bersih akan dibagi
menurut kesepakatan rasio bagi hasil.
e. Apabila usaha tersebut tidak mendapatkan keuntungan, tetapi mengalami kerugian
dan kerugian itu bersifat wajar (bukan karena tipuan), maka oleh shahibul maal
yang menanggung kerugian dalam bentuk dana, sedangkan mudharib tidak
230
Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah...., h. 224 231
Amir Syarifuddin, Gari-Garis Besar Fiqh, Edisi Pertama, (Bogor: Kencana, 2003), h. 245. 232
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah : dari Teori ke Praktik, Cetakan 1 (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), h. 99. 233
Israk Ahmadsyah, Pengantar Ekonomi Islam, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 42.
213
menanggung kerugian dalam bentuk dana, melainkan hanya ikut menangggung
kerugian dalam bentuk keletihan karena energi. Namun jika mudharib lalai dalam
mengelola usaha, kemudian usaha tersebut mendapatkan kerugian, maka mudharib
yang harus menanggung seluruh kerugian tersebut.
Islam membolehkan akad mudharabah, karena bertujuan untuk saling membantu
antara pemilik modal dengan seorang pekerja dalam memutarkan uang agar uang tersebut
tidak tersimpan begitu saja dan tanpa hasil apa-apa. Banyak di antara pemilik modal
mempunyai uang yang banyak, namun ia tidak pakar dalam mengelola dan
memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di berbagai bidang, baik
dibidang perdagangan atau hal lain yang tidak mempunyai modal untuk berdagang atau yang
lainnya234
.
Ulama fiqh sepakat bahwa Islam membolehkan akad mudharabah.235
Ulama fiqh
mengemukakan alasan tentang kebolehan berbentuk kerja sama ini adalah berdasarkan dalil
yang terdapat pada al-Quran, as-Sunnah, Ijma‟, dan juga dalil dari Qiyas, yakni sebagai
berikut : Dalil Al-Qur‟an tentang mudharabah
Ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkenaan dengan mudharabah, antara lain :
.......... وأخشون يعشبون فى األسض يبتغون من فعل هللا .............
Artinya : “……Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah……..”. (QS. Al-Muzammil : 20)
Secara eksplisit dalam al-Qur‟an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum
mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah
diambil sebanyak lima puluh delapan kali, namun ayat-ayat Qur‟an tersebut memiliki kaitan
dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan”
atau “perjalanan untuk tujuan dagang”. Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena
bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang
(mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa
kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus . Dasar hukum yang
biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman
Allah dalam Surah al-Muzzammil ini.
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu Telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
234
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2007), h. 176. 235
Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah...., h. 224.
214
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. Al-Baqarah : 198)
Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang
secara bekerja sama mencari rezeki yang dibolehkan Allah di atas bumi236
. Di ayat lain juga
terdapat hal yang sama, yaitu dalam al-Quran surat Al-Jum‟ah : 10, yakni :
Artinya : “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah…………”.(QS. Al-Jumu‟ah : 10)
Di dalam Quran surat al-Jum‟ah ayat 10 ini diterangkan bahwa ketika telah
mengerjakan suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah maka manusia diperintahkan
untuk mencari karunia Allah dimuka bumi ini. Artinya tidak ada dosa bagi manusia dalam
mencari karunia Allah dengan melakukan usaha selama tidak bertentangan dengan syariah.
Misalnya, tidak bekerja sama dalam menjual barang-barang haram ataupun terdapat riba dan
benda-benda najis karena hal itu akan membuat pekerjaan ataupun kerja sama yang
dijjalankan akan menjadi haram pula, seperti yang terdapat pada firman Allah dalam Al-
Quran surat Al-Maidah : 90.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.
Adapun dalil dari as-sunnah tentang kebolehan mudharabah adalah bahwa Abu
Hurairah ra mengatakan bahwa Nabi Saw pernah bersabda237
:
« أن هللا يقـول أنا ثالـث الششيكـين مالم يخن أحذهـما صاحبـه فإرا خانه خش جت من بينهما
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman : Aku adalah pihak ketiga (yang akan
melindungi) Dua orang yang melakukan perseroan selama salah seorang diantara
mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila salah seorang diantara mereka
telah mengkhianati temannya maka Aku keluar dari keduanya”. (HR. Abu Daud)
Di dalam hadits di atas, dapat dipahami bahwasanya Allah SWT senantiasa
melindungi orang-orang yang bekerjasama dalam melakukan mudharabah selama di antara
mereka tidak ada yang mengkhianati salah satunya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah ridha
236
Narsun Haroen, Fiqih Muamalah....., h. 176 237
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Cetakan 1, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 78.
215
terhadap aktifitas mudharabah, jika Allah SWT ridha terhadap mudharabah, ini berarti
mudharabah dibolehkan oleh Allah SWT.
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda238
:
رواه ﴿ للبيع.وخلػ البش بالشعيش للبيت وال ثالث فيهـن البشكة : البيع إلى أجل والمفا وظة
﴾ابن ماجه
“Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah dari Allah, yaitu menjual dengan kredit,
mudharabah, hasil keringatnya sendiri”. (HR. Ibnu Majah)
Namun di dalam hadits ini, Rasulullah Saw tidak hanya sekedar mengatakan
mudharabah diridhai oleh Allah SWT. Namun lebih dari itu, bahwa usaha mudharabah ini
ternyata mendapatkan berkah dari Allah SWT. Jika dilihat dari segi aktifitas usaha
mudharabah, maka wajar usaha ini mendapatkan berkah dari Allah SWT. Pasalnya, dengan
adanya usaha ini manusia senantiasa bisa saling menolong, yakni si pemilik modal bisa
membantu orang-orang yang tidak mempunyai modal untuk melaksanakan suatu usaha.
Begitu juga sebaliknya, pemilik modal juga ikut terbantu dengan hal itu karena bisa
mendapatkan keuntungan dari modal yang diberikan kepada orang lain (pengelola usaha).
Ath-Thabari dalam Al-Khabir, juga menuturkan Riwayat dari Ibnu Abbas yang
mengatakan239
:
اشتشغ على صاحبه أن ال يغلك به بحشا العباط بن عبذالمؽلب إرا دفع ماال معاسبة كان »
وال ينضل به واديا وال يغتشي به رات كبذ سغبه فإن فعل فهو ظامن فشفع ششغه إلى سعول
« هللا صلى هللا عليه و علم فأجاصه
“Abbas bin Abdul Muthallib ra., jika menyerahkan harta untuk mengadakan perseroan
dengan sistem mudharabah, biasanya mengajukan syarat agar pengelolanya tidak membawa
harta tersebut melewati laut, tidak menyelusuri lembah atau tidak dipergunakan untuk
membeli barang yang berupa benda cair. Apabila memmenuhi syarat tersebut, maka
transaksi tersebut akan diadakan. Berita itu sampai pada Rasulullah dan Rasul pun
membolehkannya”. (HR. Ath-Thabrani)
238
Narsun Haroen, Fiqh Muamalah......., h. 177 239
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam......, h. 79.
216
Di dalam hadits ini, terdapat suatu peristiwa di mana Abbas bin Abdul Muthallib ra
menjalankan sistem mudharabah tersebut dengan menggunakan syarat-syarat tertentu yang
diajukan ketika menyerahkan modalnya kepada pengelola dan ketika berita itu sampai kepada
Rasulullah SAW., maka Rasul pun membolehkan seperti yang telah dijalankan oleh Abbas
bin Abdul Muthallib ra. tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan akad
mudharabah boleh menggunakan syarat-syarat tertentu selama tidak bertentangan dengan
Islam dan keduanya ridha dalam hal tersebut.
a. Ijma‟
Adapun dalil dari ijma‟ yang membolehkan transaksi mudharabah adalah para
sahabat ra. telah menyepakati kebolehan perseroan mudharabah tersebut hukumnya mubah.
Ibnu Syibah pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya :
“bahwa Umar bin Khathab pernah memberikan harta anak yatim untuk dikelola dengan cara
mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia mendapatkannya
(bagian). Kemudian bagian tersebut dibagikan oleh Fadhal. Begitu juga dengan Utsman bin
Affan juga pernah memberikan harta kepada seseorang dengan sistem mudharabah.
Semuanya tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat yang lain, sementara tidak ada seorang
pun dari mereka yang mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma‟ mereka
tentang kebolehan perseroan mudharabah ini.240
Ini artinya, ketika Umar ra. membolehkan harta anak yatim dikelola secara
mudharabah dan ketika para sahabat ra. yang lain menyaksikan perbuatan Umar ra. tidak ada
di antara mereka yang mengingkari atau menolaknya. Tentunya, hal ini menunjukkan bahwa
mudharabah merupakan suatu usaha yang telah disepakati oleh para sahabat ra. (ijma‟
sahabat). Jika ijma‟ sahabat menunjukkan bahwa mudharabah hukumnya mubah, maka
tentunya mudharabah boleh dijalankan.
Mudharabah diqiyaskan kepada Al-Musyaqah241
. Selain di antara manusia ada yang
miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak
memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antaralian untuk
240
Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Bairut: Darul
Ummah, 1990), h. 162. 241
Musyaqah adalah seorang yang menyerahkan pepohonan (kebun)-nya kepada orang lain agar
menyiraminya serta melakukan kerja apapun yang dibutuhkan untuk merawatnya dengan mendapatkan
kompensasi berupa bagi hasil dari hasil panen. (lihat. Sayyid sabiq, fiqih sunnah, hal 310)
217
memenuhi kebutuhan ke dua golonagan d iatas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan mereka242
.
2. Syarat-Syarat dan Rukun Mudharabah
Syarat adalah sifat yang menyempurnakan apa yang dipersyaratkan dalam perkara
yang dituntut oleh yang dipersyaratkan itu, atau yang dituntun oleh hukum dalam hal yang
dipersyaratkan itu243
.
Adapun syarat-ayarat yang terkait dengan mudharabah adalah:
a. Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap
bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil244
, karena pada satu posisi
orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah
sebabnya, syarat-syarat bagi seorang wakil juga berlaku bagi pemilik modal
dalam akad mudharabah245
. Ada juga syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
shahibul maal dan mudharib, yakni :Shahibul Maal Aqil Baligh Tidak ikut
campur pengelolaan usaha. Mudharib Aqil Balighdfan Menggunakan dana sesuai
perjanjian dengan shahibul maal.
b. Kemudian terkait dengan modal, modal haruslah (a) modal berbentuk uang, (b)
jumlah modal diketahui, (c) tunai dan (d) diserahkan sepenuhmya kepada
pengelola modal246
.
c. Adapun terkait dengan pembagian keuntungan haruslah pembagian keuntungan
antara mudharib dengan pemilik midal diketahui berdasarkan porsi, misalnya
setengah, sepertiga dan seperempat247
. Laba dibagi sesuai dengan nisbah yang
disepakati dan tidak dalam jumlah yang pasti. Nisbah bagi hasil disetujui dengan
kontrak. Perbandingan bagi hasil dapat dalam persen atau pembagian. Kerugian
finansial menjadi beban pemilik dana. Kerugian akibat salah urus atau kelalaian
mudharib menjadi beban mudharib.
d. Bila terkait dengan akad, maka mudharabah diadakan tanpa ikatan. Pemilik
modal tidak boleh membatasi mudharib untuk berniaga di negeri tertentu,
memperjual belikan barang tertentu, pada waktu tertentu, dengan orang tertentu
atau sejenisnya karena pembatasan ini acap kali menghilangkan kesempatan
untuk memperoleh apa yang dituju oleh akad, yaitu keuntungan. Oleh karena itu,
pembatasan itu tidak boleh disyaratkan, apabila tidak maka akad tidak sah. Ini
adalah pendapat Imam Syafi‟i. Sementara, Abu Hanifah dan ahmad tidak
mensyaratkan hal ini. Menurut keduanya, sebgaimana mudharabah boleh
diadakan dengan ikatan248
.
e. Adapun terkait dengan jenis usaha, Islam tidak pernah membatasi usaha
mudharabah terpaku pada jenis usaha tertentu saja. Selama usaha itu tidak
242
Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah...., h. 226. 243
Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islam, Cetakan 1, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 30. 244
Disyaratkan bagi wakil adalah orang yang berakal, bukan orang gila, bukan orang idiot, atau anak
kecil karena hal itu tidak sah menjadi wakil. 245
Narsun Haroen, Fiqih Muamalah......, h. 178. 246
Narsun Haroen, Fiqih Muamalah......, h. 178. 247
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, Cetakan I, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2009), h. 169. 248
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4....., h. 170
218
bertentangan dengan syariah dan tidak dibenarkan masuk kepada mudharabah
lain tanpa seijin shahibul maal, maka usaha itu boleh-boleh saja.
Itulah beberpa syarat di atas yang harus dipenuhi oleh shahibul mall dan mudharib
dalam menjalankan mudharabah. Jika ada syarat-syarat yang diajukan oleh shahibul mall
ataupun yang disepakati oleh mudharib dengan shahibul mall yang menyalahi syari‟at, maka
tidak boleh dipenuhi. Karena syarat yang menyalahi syari‟at akan menyebabkan
keberlangsungan akad tersebut juga haram, karena keterikatannya dengan keharaman. Karena
itu keberlangsungan akad itu harus dihentikan, karena akadnya bathil249
.
3. Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama hanafiyah
berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafaz yang menunjukkan
ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaradhah, mu‟amalah atau kata-kata
yang serupa dengannya250
.
Menurut jumhur ulama, rukun mudharabah ada tiga251
, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu pemilik modal dan pengelola (mudharib).
b. Ma‟qud „alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan.
c. Sighat, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan ulama Syafi‟iyah lebih merincikan lagi rukun tersebut yakni menjadikan
rukun mudharabah ada lima252
, yaitu:Modal,Tenaga (pekerjaan),Nisbah keuntungan, Sighat
(ijab dan qabul), dan „Aqadain (pemilik modal dan pengelola).
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad
mudharabah adalah Ijab dan Qabul saja, sedangkan sisa rukun-rukun yang disebutkan
Jumhur Ulama itu, sebagai syarat akad mudharabah.
4. Jenis-Jenis Mudharabah
Jika dilihat dari transaksi atau akad yang dilakukan, mudharabah dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu Mudharabah Muthlaqah, dan Mudharabah Muqayyadah. Yang
dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal
dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi usaha,
249
Syaiqh Ziyad Ghazal, Buku Pintar Bisnis Syar‟i, Cetakan I, (Bogor: Al-Azhar Press, 2011), h. 46. 250
Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah.... h. 226. 251
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu‟amalah, Cetakan I, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 371. 252
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 479.
219
waktu, dan daerah bisnis ata disebut juga Unrestricted Investment Account. Misalnya :
shahibul maal memberikan modalnya kepada mudharib agar modal itu dapat di jadikan
sebagai modal usaha yang akan mendatangkan keuntungan darinya. Kemudian penggunaan
modal tersebut terserah si mudharib, apakah modal untuk usaha A atau B atau lainnya karena
shahibul maal tidak pernah membatasinya.
Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikannya, yaitu yang ditentukan
batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha atau Restricted Investment Account . Misalnya,
ketika shahibul maal memberikan modal kepada mudharib, shahibul maal membatasi jenis
usaha yang harus dijalankan oleh mudharib. Seperti dengan modal ini, tidak boleh
dipergunakan untuk usaha butik atau harus dipergunakan untuk usaha rental dan lain
sebagainya.
5. Pendapat Para Ulama Tentang Mudharabah
Menurut pandangan ulama ahli fiqih (fuqaha) Mudharabah adalah akad antara kedua
belah pihak untuk salah seorangnya mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk
diperdagangkan dan laba dibagi sesuai dengan kesepakatan.253
Ulama madzhab Syafi‟i mendefenisikan Mudharabah adalah sebagai berikut254
:
“Mudharabah adalah akad ( transaksi ) antara dua orang atau lebih, diantara yang satu
menyerahkan harta atau modal kepada pihak kedua untuk dijalankan usaha, dan masing-
masing mendapatkan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu”.
Sedangkan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad
perwalian, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk
diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak)255
.
Menurut M. Syafi‟i Antonio, mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak di
mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain
(mudharib) menjadi pengelola, di mana keuntungan usaha dibagi dalam bentuk prosentase
(nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, apabila kerugian itu diakibatkan oleh
kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut256
253
Al-Jarzani, Fiqih Madzahibu Al-Arba‟ah, Juz 3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 34. 254
Al-Jarzani, Fiqih Madzahibu Al-Arba‟ah....., h. 44 255
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 136. 256
M. Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 99.
220
Menurut Sayid Sabiq, Mudharabah berasal dari kata al-dharb fil ardhi‟ yakni usaha
dalam perniagaan.257
Menurutnya mudharabah dibolehkan dalam Islam, sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Rasul SAW. Yakni Rasul melakukan akad mudharabah dengan
Khadijah, saat itu Khadijah berperan sebagai pemilik modal sedangkan Rasul sebagai
mudharib.258
Meskipun mudharabah dibolehkan, namun mudharabah harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut259
:
a. Bahwa modal itu harus berbentuk uang tunai, jika berbentuk barang, perhiasan, emas
perak atau sebagainya maka hukumnya tidak sah, hal ini sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Mundir, seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang
lain untuk suatu Mudharabah. Namun jika modal itu berupa barang yang akan
diperdagangkan harus dihitung dalam nilai uang.
b. Bahwa ia diketahui dengan jelas maksudnya agar dapat dibedakan modal yang
diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak dengan
kesepakatan pada waktu akad.
c. Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha investor harus jelas nisbahnya
(prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan penduduk khaibar
dengan mengambil separo dari keuntungannya. Ibnu Mundir berkata, semua yang
ilmunya kami pelihara sepakat untuk membatalkan mudharabah. Apabila salah satu
pihak atau keduanya, menjadikan beberapa dirham tertentu untuk dirinya”. Motif dari
perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang ber-
mudharabah. Jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan presentase, karena bisa
jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
d. Menurut Maliki dan Syafi‟i, Mudharabah itu bersifat mutlak, artinya pemilik modal
atau investor tidak membatasi apa dan dimana, kapan dan dengan siapa harus
bermuamalah, namun Hambali dan Hanafi membolehkan Mudharabah baik dengan
mutlaq maupun muqoyyad baik dengan persyaratan tertentu maupun bebas. Dalam
Mudharabah muqoyyad, pengusaha tidak boleh menyimpang dari persyaratan yang
telah ditetapkan. Jika pengusaha tetap menyimpang, maka ia harus menjamin dan
menggantinya.
C. Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam Usaha Produksi Batu Bata
Ketika penulis melakukan observasi dan juga mewawancarai masyarakat yang
memproduksi batu bata ini, baik pengelola maupun pemilik modal, maka kendala-kendala
yang dihadapi dalam produksi batu bata adalah sebagai berikut :
1. Curah hujan yang tinggi
Ketika curah hujan yang tinggi yang menyebabkan banjir, maka hal ini
mengakibatkan terjadinya beberapa kendala dalam proses produksi batu bata. Diantaranya:
257
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, cetakan 1, (Jakarta Selaatan: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 216. 258
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.........,h. 216. 259
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.........,h. 216.
221
a. Mendapatkan kendala dalam hal proses pengambilan tanah. Tanah tidak dapat
diambil ketika terjadinya banjir karena tanah tergenang air sehingga proses
pengambilannya terhambat dan bila tanah tidak bisa diambil tentunya akan
berdampak pada proses produksi selanjutnya260
.
b. Kendala selanjutnya adalah dalam proses penggilingan tanah. Proses selanjutnya
setelah pengambilan tanah adalah menggiling tanah tersebut agar licin yang
kemudian akan dicetak menjadi batau bata. Namun, ketika terjadinya banjir maka
akan berdampak pula pada proses p;enggilingan tanah. Tanah tidak bisa di giling
apabila kelebihan air karena hal itu dapat menyebabkan hasil dari penggilingan
tanah tersebut menjadi cair dan tidak dapat di cetak menjadi batu bata.261
c. Dalam proses produksi juga membutuhkan pasir yang kering untuk membalut
tanah agar tidak lengket pada cetakannya. Apabila terjadinya curah hujan, maka
pasir akan basah dan pasir yang basah tidak bisa digunakan untuk mencetak bata.
Tentunya hal ini juga menjadi kendala dalam proses produksi batu bata.262
d. Kendala yang lain adalah dalam proses pengeringan batu bata yang sudah di cetak
agar dapat di bakar. Apabila curah hujan yang tinggi otomatis akan
mengakibatkan pergantian cuaca dan ketika cuaca dingin, maka batu bata sangat
lama keringnya. Apabila batu bata belum kering, hal ini tidak akan bisa di
bakar.263
e. Kemudian, curah hujan yang tinggi juga akan berdampak pada proses akhir dalam
produksi batu bata, yakni proses pembakaran batu bata. proses pembakaran batu
bata tidak bisa dilakukan apabila terjadinya curah hujan karena akan
mengakibatkan kayu untuk membakar batu bata itu menjadi basah. Apabila hal itu
terjadi, tentunya akan mengakibatkan kefatalan dalam produksi batu bata karena
akan mengakibatkan kerugian, baik bagi pemilik modal maupun pengelola
usaha.264
f. Selanjutnya, apabila terjadinya curah hujan yang tinggi juga akan mengakibatkan
jalanan akan becek dan apabila jalan becek tentunya mobil tidak bisa mengangkut
hasil panen. Ketika hasil panen tidak bisa diangkut maka akan memperlambat
dalam proses penjualan batu bata dan juga akan mengakibatkan kendala ketika
produksi selanjutnya.265
2. Modal
Apabila dalam hal modal, kendala-kendala yang akan di hadapi adalah ketika pemilik
modal terlambat dalam memberikan modal kepada pengelola. Hal ini juga tidak lepas dari
kendala yang telah penulis sebutkan di atas, yakni dikarenakan curah hujan yang tinggi.
260
Hasil wawancara penulis dengan Ibu Saniah (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 29 desember
2011. 261
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Angkasah (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 26
Desember 2011. 262
Hasil wawancara penulis dengan Ibu Nurma (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 29 desember
2011. 263
Hasil wawancara penulis dengan Ibu Cut Tri (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 26 desember
2011. 264
Hasil wawancara penulis dengan Ibu Feni (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 26 desember
2011. 265
Hasil wawancara penulis dengan Ibu Nini (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 26 desember
2011.
222
Misalnya, pemilik modal terlambat memberikan kayu untuk proses pembakaran batu bata
dikarenakan pemilik modal susah dalam mendapatkan kayu yang kering atau tidak ada yang
menjual kayu karena hujan sehingga tidak ada yang bisa mencari kayu ke hutan.266
D. Manfaat Praktik Mudharabah dalam Meningkatkan Taraf Ekonomi Masyarakat
Dengan adanya kerjasama bagi hasil antara pemilik modal dengan pengelola atau di
dalam Islam sering disebut mudharabah yang dipraktekkan dalam usaha produksi batu bata
ini sekalipun belum sepenuhnya sesuai dengan sistem mudharabah di dalam Islam, bahwa
sangat banyak manfaatnya bagi masyarakat, seperti :
“Dengan adanya praktek mudharabah, maka Sahibul Maal atau pemilik modal dapat
membantu dan memberikan peluang pekerjaan kepada masyarakat yang membutuhkan
pekerjaan, sementara mereka tidak ada modal. Dengan praktek mudharabah, masyarakat juga
bisa terbantu dalam hal mendapatkan pekerjaan dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Begitu juga sebaliknya, Shahibul Maal juga lebih mudah dalam hal pengontrolan,
pengendalian dan pengembangan usahanya karena telah ada yang mengelola usahanya jadi
mereka tidak lagi sulit dalam mencari pekerja”.267
Wawancara di atas menunjukkan bahwa mudharabah memberikan dampak yang
positif bagi masyarakat dalam hal mendapatkan pekerjaan dalam usaha produksi batu bata.
Sekalipun mereka tidak mempunyai modal tetapi mereka juga bisa tetap bekerja dan bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Tidak hanya itu, masyarakat yang memproduksi batu bata juga sangat terbantu dengan
adanya akad mudharabah ini, selain mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga
bisa menabung uang untuk membuat rumah, menyekolahkan anak dan lain sebagainya.268
Di samping itu, praktek mudharabah juga memberikan dampak yang positif bagi
kedua belah pihak karena dengan berjalannya akad tersebut mereka jadi sering bertemu,
sehingga bisa saling memberikan pendapat untuk dapat mengembangkan usahanya dan juga
266
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Amir Ali (pengusaha usaha batu bata) pada tanggal 29
Desember 2011 267
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Said Fakhrurrazi (pengusaha usaha batu bata) pada tanggal
29 Desember 2011. 268
Hasil wawancara penulis dengan ibu Samani (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 29 Desember
2011.
223
dapat mengokohkan silaturrahmi di antara mereka, juga bisa saling membantu satu sama
lainnya.269
Dengan adanya praktek mudharabah dalam usaha produksi batu bata dapat
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran pada masyarakat. Akan kita dapati di tengah
masyarakat, dari tahun ke tahun pembangunan pun semakin meningkat.270
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dengan praktek mudharabah dalam
usaha produksi batu bata, maka masyarakat dapat terbantu dan pemilik modal juga dapat
mengebangkan usahanya. Jadi, kedua belah pihak sangat terbantu dan dapat meningkatkan
taraf ekonomi masyarakat.
E. Kesimpulan
Penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh penulis di lapangan yang menyangkut tentang praktik Mudharabah dalam usaha
produksi batu bata di Desa Ujung Fatihah Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya, yaitu :
Konsep sistem kerjasama yang dijalankan dalam produksi batu bata di Desa Ujung Fatihah
Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya hampir sempurna dengan konsep Mudharabah
dalam Islam, hanya saja pada pembagian hasilnya tidak dipotong modal karena sipengelola
ikut bekerja langsung dalam ussaha tersebut. Kegiatan yang dijalankan dalam konsep
Mudharabah ini adalah seorang pemilik modal memberikan modalnya kepada seseorang
untuk dikelola, kemudian hasil yang didapatkan akan dibagi berdasarkan kesepakatan yang
telah disepakati bersama.
Mudharabah yang dijalankan dalam produksi batu bata ini tidak begitu familiar dalam
masyarakat, namun tanpa sadar masyarakat mempraktikkannya sekalipun mereka tidak
mengetahui bahwa itu adalah Mudharabah, karena masyarakat terbiasa menyebutnya sebagai
Mawah (kerjasama bagi hasil) dalam batu bata. Sistem Mudharabah yang dipraktikkan dalam
usaha produksi batu bata dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan dapat
mengembangkan usaha batu bata semakin cepat. Hal ini dapat dilihat dari segi minat dan
pendapatan serta tanggapan masyarakat yang telah membuktikan sistem tersebut.
269
Hasil wawancara penulis dengan bapak Ramli Sarong (kechiek desa Ujung Fatihah) pada tanggal 10
Desember 2011. 270
Hasil wawancara penulis dengan bapak Marzuki (sektaris desa Ujung Fatihah) pada tanggal 11
Desember 2011.
224
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh Data Keuangan, Edisi ke Tiga, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2006.
Agus Ahyari, Menejemen Produksi, Perencanaan Sistem Produksi, Edisi 4, BPFE,
Yogyakarta, 1996.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu‟amalah Cetakan I, Jakarta : Amzah, 2010.
Al-Jarzani, Fiqih Madzahibu Al-Arba‟ah, Beirut : Dar al-Fikr, 1980.
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Edisi Pertama, Bogor : Kencana, 2003.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari‟ah, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ke Tiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Eko Budiarto, Biosatatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta : EGC,
2001.
Israk Ahmadsyah, Pengantar Ekonomi Islam, Banda Aceh : Ar-Raniry Press, 2004.
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005.
M. Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press.
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah : dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Jakarta :
Gema Insani Press, 2001.
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007.
Rusdin Pohan, Metodelogi Penelitian Pendidikan, Yogyakarta : Lanarka, 2007.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, Jakarta Pusat : Pena Pundi Aksara.
Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES, 1989.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta,
2006.
Syaiqh Ziyad Ghazal, Buku Pintar Bisnis Syar‟i Cetakan I, Bogor : Al-Azhar Press, 2011.
Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Bairut :
Darul Ummah,1990.
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Cetakan 1, Bogor : Al-Azhar Press, 2009.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, Jakarta : Gema Insani, 2011.
Winarmo Surachmad, Pengantar Ilmiah Dasar Teknik, Bandung, Tarsito, 1982.
Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islam, Cetakan 1, Bogor : Al-Azhar Press, 2009.
225
KONSEP KEADILAN EKONOMI
MENURUT NURCHOLISH MADJID
Maulidar
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) teungku Dirundeng Meulaboh
Abstract
The research concludes that Nurcholish Madjid uses his opinion that the conception of justice
is part of the teachings of Islam (Tawheed). And tyranny is an unforgivable sin because it is
the biggest crime against itself. Behavior of economic justice in the opinion of civilized
society Nurcholish Madjid that will not be realized if the law is not enforced fairly, and
starting from a genuine sincerity personal commitment to justice and his soul reminiscent
trust and acts of kindness. Aspects of Islamic economics has advantages by making man the
focus of attention, as the caliph of God in which man is obliged to prosper and not allowed to
explore the natural resources arbitrarily. The principles of economic justice according to
Nurcholish madjid among others the principle of Tawheed, Tabadul Manafiq, Ta'awun, al-
Birwa at-Taqwa and principles Musawah. The principle of Tawheed is the fundamental
principle of ideology is first and foremost for the management of social and political life.
Nurcholish Madjid concluded that differences in basic beliefs is always a cause of unrest in
the country.
226
A. Pendahuluan
Di dalam ajaran Islam keberadaan manusia merupakan makhluk Allah SWT yang
diciptakan dalam bentuk yang terbaik dan sempurna sebagai khalifah untuk memberdayakan
potensi alam semesta ini. Dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan serta
keseimbangan alam ini. Salah satu kontribusi umat Islam dalam menegakkan hukum Allah
SWT adalah memberdayakan prinsip-prinsip ekonomi yang terkandung dalam fiqih
mu‟amalah. Berkaitan dengan ini H. Adiwarman Azhar Karim mengemukakan:”Sejalan
dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada
Al-Qur‟an dan hadits Nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakekatnya
merupakan respon para cendikiawan muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada
waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia dengan Islam itu
sendiri.271
Berkenaan dengan memberdayakan prinsip-prinsip ekonomi dalam menegakkan
hukum Allah SWT menjadi suatu kewajiban bagi setiap masyarakat muslim untuk
menjadikan Al-Qur‟an sebagai dalil dan sumber hukum yang universal.
Di dalam Al-Qur‟an surat Al-baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S Al-Baqarah : 275)
Pengertian ayat diatas jelas bahwa Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan praktek riba pada setiap individu muslim. Kegiatan jual beli merupakan
praktek transaksi dalam lapangan perekonomian dalam Negara Republik Indonesia ini telah
diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33, yaitu:
Pasal 33 mengenai demokrasi ekonomi, yang berbunyi:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.272
Penerapan ketentuan yang telah digariskan oleg Allah SWT dan UUD 1945 pada
prinsipnya untuk mengatur agar system perekonomian termasuk perbankan tidak terjebak
pada praktek ribawi dan diskriminatif. Karena praktek ribawi itu suatu bentuk pelanggaran
271
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet. III (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2006), h. 10. 272
Rachinadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Cet.I (Jakarta : Djambatan. 2000), h. 5
227
yang jelas terhadap ketentuan Allah SWT. Dalam kaitan ini Fatimah Muhammad
mengemukakan:
Dalam bidang ekonomi, salah satu hal yang sangat penting sekaligus pembeda antara
sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Konversional adalah menyangkut
sistem perbankan, khususnya mengenai suku bunga. Dalam sistem perbankan
konversional suku bunga merupakan variabel penting, tetapi perekonomian Islam
menganggap suku bunga merupakan suatu bentuk riba.273
Salah satu faktor pemberantakan dan timbulnya krisis ekonomi dan moneter di
Indonesia disebabkan praktek ribawi yang diterapkan di Negara ini, sehingga mendatangkan
kemudharatan atau teraniayanya bahkan menyengsarakan pihak lain. akibatnya penataan
sistem perekonomian, terutama dipusat ibu kota Negara mengalami berbagai krisis multi
dimensi.
Sebagai contoh dapat dilihat apa yang terjadi dinegara Republik Indonesia pada tahun
1999, hutang luar negeri berjumlah 451 110 milyar dengan bunga rata-rata pertahun 7 %. Ini
berarti Negara harus membayar bunga saja sekitar 451 7 milyar atau Rp. 57.7 triliyun atau
sekitar ¼ APBN 1999. Dalam hal ini bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terzalimi atau
teraniaya karena sistem riba atau bunga bank.274
Contoh lain yang lebih tragis lagi sebagaimana yang dialami oleh Bank Nasional
sekitar tahun 1998. Biaya rekapitulasi perbankan akibat negative spread karena tingkat suku
bunga sangat tinggi yang mengakibatkan bank-bank kekurangan dana mencapai triliyun
pemerintah harus menyuntik dana dalam jumlah yang sangat besar sekali.275
Kenyataan yang dialami Negara Indonesia dan masyarakat, memberikan suatu
motivasi para pakar dan dan cendekiawan muslim untuk bangkit dan mengkaji tentang
perkembangan dunia perekonomian yang melanda bangsa ini. Dari sejumlah pakar dan
cendekiawan muslim yang terpanggil untuk merubah kondisi ini adalah Nurcholish Madjid.
Salah satu respon cendikiawan muslim dalam pemikiran ekonomi yang digagaskan
oleh Nurcholish Madjid adalah Prinsip keadilan menurut Nurcholish Madjid selama puluhan
tahun mengalami kesulitan disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nipotisme meraja lela. Beliau
menulis:Menyikapi harta hasil KKN. Misalnya, bila mengalami kesulitan. Banyak sekali
273
Fatimah Muhammad, Jurnal Semesteraan Media Syariah, Vol IV, Nomor 7, (Banda Aceh : Fak
Syariah, 2002) h. 12 274
Fatimah, Jurnal…. h 13 275
Fatimah. Jurnal… h 13
228
harta yang dihasilkan dari KKN, namun tertutup oleh lapisan legal devise yang sulit sekali
ditembus maka yang paling utama diperlukan adalah kesadaran keadilan pada pribadi
masing-masing kemudian yang bersifat personal.276
Aspek kesadaran keadilan personal yang setara pada kutipan merupakan perwujudan
dari perintah Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 8:
Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-
Maidah: 8)
Pada ayat lain dalam surat An-Nahlu ayat 90:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat ihsan (Q.S. An-
Nahl: 90).
Proses mewujudkan suatu keadilan dalam kehidupan umat Islam sangat ditentukan
oleh prilaku setiap individu dalam lapangan ekonomi yang dianut oleh masyarakat dalam
suatu Negara sangat ditentukan oleh ideologi dan budaya masyarakatnya. Fenomena ini tidak
dapat dipungkiri bahwa sistem ekonomi kapitalis masih berkuasa dalam kehidupan
masyarakat dan terus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini menurut Arief
Budima bahwa: “sistem kapitalis dan sosiolis dari perekonomian telah menyebabkan
kekacauan dalam berfikir maupun kegagalan bagi dunia ketiga.277
Praktek dari sitem ekonomi kapitalis dan sosialis yang telah berabad-abad dianut
dunia Islam telah membangkit kesadaran, dan mencari solusi dari berbagai krisis moneter
dalam skala global. Dampak krisis tersebut telah menambah kewilayah Negara dan penduduk
muslim yang menanggung akibatnya.
Berangkat dari realitas tersebut para pemikiran dan pakar muslim melakukan suatu
pembaharuan dengan pemikiran dan konsep-konsep yang digali dari hukum Islam (fiqih).
Salah seorang pakar muslim yang penulis tampilkan dalam karya ilmiah skripsi yakni
Nurcholish Madjid yang telah melakukan pembaharuan di Indonesia. Hal ini ditegaskan
Nurcholish Madjid yang penulis kutip dalam disertasi Syamsuar yaitu: Konsepsi keadilan
merupakan bagian inti dari ajaran Islam, memang agak sulit diragukan sebab menurut
Nurcholish Madjid, cita-cita itu dirasakan sekali denyut nadinya secara kuat dalam surah-
surah atau ayat-ayat Al-Qur‟an yang semuanya termasuk hal-hal yang diturunkan kepada
Rasullah mengenai masyarakat makkah misalnya, kata Nurcholish Madjid ialah
politeismenya dan kedhaliman (ketidakadilan) sistem ekonominya. Politeisme baginya,
276
Asrori S. Karni, Dalam disertasi Syamsuar Basyariah, Konsep Pembangunan Good Governance
Nurcholish Madjid, (Banda Aceh; IAIN Ar-Raniry, 2010), h. 237. 277
Dawan Rahardjo, dkk. Persfektif Sitem Ekonomi Islam, Cet. I, (Jakarta: Pusaka Pelajar, 2006), h. 12.
229
merupakan “dosa yang tidak terampuni”, karena itu merupakan kejahatan terbesar manusia
kepada dirinya sendiri.278
Berpijak pada landasan pemikiran Nurcholish Madjid tersebut, penulis merasa tertarik
untuk terus mendalami sehingga melahirkan suatu khazanah dan cakrawala yang terutama
perilaku berkeadilan dalam aspek perekonomian umat Islam di Indonesia lebih lanjut
Nurcholish madjid mengemukakan:Masyarakat berperadaban tidak akan terwujud jika hukum
tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat
berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengingatkan jiwanya
kepada wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan
beriman, percaya dan mempercayai dan menaruh kepercayaan tuhan dalam suatu keimanan
etis, artinya beriman bahwa tuhan menghendaki kebaikan dan menuntuti tindakan kebaikan
mausia kepada sesamanya.279
Dengan demikian dapat penulis kemukakan bahwa konsep keadilan ekonomi yang
penulis uraikan dalam skripsi ini berlandaskan fakta realitas lapangan dewasa ini, dan
mengkaji konsep keadilan yang dikali oleh Nurcholish Madjid, terutama kearah mengkeritisi
kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kaum lemah (dhu‟afah) termasuk pola
pengamanan dan pengelolaan kekayaan Negara, lembaga keuangan dan unit-unit usaha
produktif lain. Jadi, penulis mengangkat permasalahan ini dalam bentuk penulisan karya
ilmiah skripsi dengan judul: Konsep Keadilan Ekonomi Menurut Nurcholish Madjid.
B. Ekonomi
Pada dasarnya pembahasan tentang pengertian ekonomi berkaitan erat dengan
aktifitas manusia dan perilakunya dalam lapangan perdagangan, usaha dan produksi serta
prinsip-prinsip yang di anut sesuai dengan hukum dan budaya masyarakat. Menurut M.
Quraish shihab menjelaskan:
Bahwa masalah-masalah pokok ekonomi menurut para pakar mencakup antara
lain:Jenis dan jasa yang di produksi serta sistemnya;Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa
tersebut);Eksistensi penggunaan faktor-faktor produksi;Inflasi, relasi, dan depresi;Dan lain-
lain.280
278
Syamsuar, Disertasi…h. 239. 279
Nurcholish Madjid. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Cet. I, (Jakarta: Para Madina, 1999), h.
172. 280
M.Quraish shihab, Wawasan Al-Quran Cet. XI, (Bandung : Mizan, 2000),h. 402
230
Dari kutipan diatas, tampanya pengertian ekonomi itu harus dipahami dalam aspek
ilmu ekonomi dan hukum ekonomi yang dianut oleh suatu Negara dan tradisi masyarakat.
Sejak dengan ini ahmad M. Saifuddin menegaskan yaitu : “ekonomi memang merupakan
aktivitas yang boleh dikatakan sama tuanya dengan keberadaan manusia di bumi ini”.281
Pemahaman lebih lanjut tentang penengertian ekonomi ini mencakup tinjauan dari
aspek ilmu ekonomi dan hukum ekonomi. Menurut K.H Didin hafifuddin menjelaskan
bahwa: Ilmu ekonomi adalah suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang per orang
dan kekompak-kekompak masyarakat menentukan pilihan. Manusia memiliki keinginan
tersebut, tersedia sumber daya yang dapat digunakan. Untuk memuaskan bermacam ragam
keinginan tersebut mempunyai berbagai kegunaan alternatif.282
Studi ilmiah mengenai ekonomi ini memang mengalir sesuai dengan peradaban dan
perkembangan hidup manusia. Hal ini sejalan dengan penjelasan Ahmad M. Syaifuddin
bahwa, “ekonomi memang merupakan aktivitas yang boleh dikatakan sama tuanya dengan
keberadaan manusia dibumi ini, akan tetapi ilmu ekonomi baru dikenal manusia ketika tahap
perkembangan tertentu telah tercapai dalam kehidupan manusia”.283
Lebih lanjut jika di telusuri sejarah didapati bahwa ilmu ekonomi sesungguhnya telah
tersebar dan tercecer di mana-mana sesuai dengan penyebaran tentang hidup manusia.
Namun demikian, “tidak semua tempat dapat menjadi tempat yang konduktif bagi tumbuhnya
bayi-bayi ilmu ekonomi atau ilmu ekonomi embriotik yang dimunculkan oleh al-farabi (w.
950 M), Tusi (w. 1274 M) dan ibnu khaldum (w. 1375 M)”.284
Sementara itu penulis mendukung pernyataan diiatas, sebab tempat yang kondusif
bagi perkembangan ilmu ekonomi sangat terkait dengan lingkungan uang yang saat ini
tumbuh menyebar di dunia adalah masyarakat barat pada abad pertengahan. Sebagai suatu
landasan pemikiran tersebut didukung dan telah dinyatakan Ahmad M. Syaifuddin
mengemukakan : Didalam masyarakat barat (Eropa), khususnya Inggris, Prancis, Jerman dan
sekitarnya. Benih-benih pengetahuan ekonomi memperoleh tempat yang subur untuk
berkembang untuk serangkaian proses pemikiran, pengamatan dan penulisan buku-buku
ilmiah dari para pemikir-pemikir dunia adalah serang pemikir besar Adam Smith. Ia adalah
281
Ahmad M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, Cet. I, (Jakarta :
Rajawali,1987) 282
K.H. didin Hafifuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Cet. I, (Jakarta : Gema Insani, 2002), h.
66 283
Ahmad M. Syafuddin, Ekonomi dan… h 12 284
Syeh Nawab Haidar Nagui, Etika dan Ilmu Ekonomi, (Bandung : Mizan, 1985). h. 293
231
salah seorang yang diajukan dan telah membidani kelahiran ilmu ekonomi tersebut adalah
sangat monumental pada tahun 1776.285
Berdasarkan rintisan perjalanan sejarah tersebut, membawa kenyataan bahwa teori
Adam Smith, yakni : “mekanisme pasar menjadi bahwa analisis bagi terbentuknya suatu ilmu
yang semakin utuh. Pandangan, pikiran, analisis dan teori yang tertuang dalamm buku
tersebut membidani lahirnya sistem ekonomi yang kapitalis liberal itu”.286
Lebih lanjut, apa yang ditulis Smith, sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan
dan sekaligus ramalan tentang kehidupan ekonomi pada zamannya. Namun, meskipun telah
begitu banyak mengalami perubahan dan kenyataannya teori liberal yang melahirkan sistem
ekonomi kapitalis, dan kapitalisme ini telah mulai berjangkit sejak revolusi industri.
Dalam kaitan ini, L. Stoddad membeberkan bahwa: “pangkal sebab penaklukan
ekonomi ini ialah penaklukan dengan berhasilnya perjalanan Columbus De Gama, sehingga
memberikan bangsa Eropa berkuasa strategis dilaut samudra dan sekaligus kekuasaan politik
atas seluruh dunia”.287
1. Teori Keadilan Ekonomi dalam Islam
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa : Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil”
yang terambil dari bahasa Arab “Adl”. Kamus Bahasa Arab menginformasikan bahwa kata
ini pada mulanya berarti “Sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat inmaterial. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan : (1) tidak
berat sebelah / tidak memihak. (2) berpihak pada kebedaran. dan (3) sepantasnya / tidak
sewenang-wenang.288
Didalam Al-Quran terdapat beberapa pemahaman tentang keadilan ini, dan dapat
penulis cantumkan beberapa firman Allah SWT berikut. Firman Allah SWT dalam surat Al-
Maidah ayat 8
Artinya : “berlaku adillah, karena adil itu dekat kepada taqwa.
Firman Allah SWT Surat An-Nisa‟ ayat 135
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa
285
Ahmad M. Syaifuddin, Ekonomi dan…. h. 12 286
Mouflish Hasbullah (ed) Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Pustaka
Cidersindo, 2000), h.112 287
L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Terjemahan : Muljadi Djojomartono, (Jakarta : T. Penerbit, 1996)
h.225 288
M. Quraish Shihab, Wawasan..... h, 111
232
dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala
apa yang kamu kerjakan (Q.S. An Nisa, : 135)
Firman Allah SWT surat Mumtahanah ayat 8 :
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-
orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. (Q.S.
Mumtahannah: 8)
Dari beberapa penjelasan firman Allah SWT diatas dapat dipahami bahwa berlaku
adil itu adalah perintah dari Allah SWT yang dituangkan dalam Al-Quran untuk menjadi
pedoman dan panduan setiap muslim dalam melakukan hubungan atau interaksi sesama
manusia. Menurut NurCholish Madjid berkaitan dengan keadilan ini mengemukakan : Fase
terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan Al-Quran itu adalah sifatnya sebagai
perintah agama, bukan sekedar acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya
merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam
amal perbuatan, seseorang muslim dihari perhitungan (yaumulhisab) kelak.289
Jadi dapat dipahami bahwa aspek keadilan yang tertuang dalam Al-quran berkaitan
langsung dengan upaya penigkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga
masyarakat, terutama para kaum dhu‟afa atau ekonomi lemah. Untuk menemukan konsep seri
keadilan ekonomi dalam Islam ini ada baiknya penulis menjelas tentang karakteristiknya
dalam pembahasan ini. Abdullah Abdul Husain at-tarigi dalam ekonomi Islam290
,
mengemukakan: Ekonomi Islam memiliki kelebihan dengan menjadikan manusia sebagai
fokus perhatian. Manusia di posisikan sebagai penganti Allah di bumi untuk
memakmurkannya dan tidak hanya mengeksplorasikan kekayaan dan memanfaatkannya saja.
Ekonomi ini ditujukan untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan manusia. Hal ini berbeda
dengan ekonomi kapitalis dan sosialis dimana fokus perhatian adalah kekayaan. Islam telah
mewajibkan Negara untuk memberikan jaminan pada semua anggota masyarakat yang berupa
kebutuhan pokok bagi seluruh warga Negara Islam.
Kutipan diatas relevan dengan firman Allah SWT dalam Al-qur‟an surat Thaha ayat
118-119 :
289
Nurcholish Madjid, dkk, Islam Universal, (Jakarta : Pustaka pelajar, 2008), h. 335 290
Abdullah Abdul Husain at-tarigi, Ekonomi Islam Prinsip, Dasar dan Tujuan, cet. I, (Yogyakarta :
magistrainsania Press, 2004), h. 18
233
Artinya: Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang,
dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa
panas matahari di dalamnya".(Q.S. Thaha: 118-119)
Penerapan aspek keadilan ekonomi Islam tersebut mempunyai jaminan sosial dan
hak-hak masyarakat. Lebih lanjut Abdullah menjelaskan: Jaminan dalam islam dipusatkan
atas dua azas pokok, yaitu asuransi umum dan hak masyarakat dalam sumber-sumber umum
Negara. Azas pertama tidak menuntut lebih dari adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hidup
dan kebutuhan individu. Sedangkan azas kedua menuntut adanya pemenuhan lebih luas yang
mencerminkan kesetaraan dalam hidup. Islam merekatkan jaminan ini dengan semangat
persaudaraan antara kaum muslim (ukhuwah islamiyah) untuk menunjukkan bahwa hak itu
bukan semata-mata bagian hirakhis yang hanya untuk saling mengisi melainkan merupakan
bentuk konkret ukhuwah islamiyah dimana satu sama lain saling menjamin.291
Dengan uraian diatas jelas bahwa teori keadilan ekonomi dalam islam bukan hanya
mengejar kekayaan material semata. Akan tetapi keadilan ekonomi itu merupakan bersumber
dari Al-qur‟an yang memberikan jaminan kepada pemeluk Islam serta mempererat ukhuwah
islamiyah antara sesama umat islam.
2. Perkembangan Ekonomi Islam
Pada dasarnya aktivitas antar manusia, termasuk aktivitas ekonomi dapat
dikatagorikan dalam masalah mu‟malah. Dan secara umum nilai-nilai islam dalam aspek
perekonomian menurut M. Quraish Shihab Tauhid meliputi: “empat prinsip pokok yaitu
tauhid, kesinambungan, kehendak bebas dan tanggung jawab”.292
Dalam aspek ekonomi keempat aspek pokok tersebut mesti mewarnai aktivitas
muslim sehingga nilai-nilai ajaran dapat di kembangkan dalam ekonomi islam. Pembahasan
keempat prinsip pokok tersebut dapat penulis utarakan dalam pokok pembahasan ini.
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa
harta benda yang berada pada genggaman tangannya adalah milik Allah, sebagaimana firman
Allah surat An-Nur ayat 33:
Artinya: Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkannya) harta yang diberikan-Nya
kepada kamu. (QS. An-Nur:33)
291
Abdullah abdul, Ekonomi…. h. 19 292
M. Quraish Shihab, Wawasan…. h, 409
234
Dalam pandangan islam, harta kekayaan adalah milik Allah SWT, Hasil produksi
dapat menghasilkan uang atau kekayaan, tidak lain rekayasa manusia dari bahan mentah
disiapkan Tuhan.293
Prinsip keseimbangan mengantarkan kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan
pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau kelompok. Dalam hal ini Allah SWT
menolak tagas seperti dalam surat A-Hasyr ayat 7:
Artinya: “supaya harta itu tidak beredar pada orang-orang kaya saja diantara kamu… (QS.
Al-Hasy :7)
Dari pengertian di atas, ternyata agama melarang penimbunan dan pemborosan,
penyulupan dan pengambilan keuntungan yang berlebihan yang tidak semestinya. Berbagai
praktek tersebut telah mengoyahkan sendi-sendi lapangan perekonomian di Indonesia.
Terkait dengan perkembangan perekonomian islam memperkokoh berdasarkan
prinsip-prinsip yang penulis kemukakan di atas. Sebab sistem perekonomian Islam
berdasarkan landasan Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi SAW.
Pemikiran tentang ekonomi Islam tentu saja bersifat final, melainkan terus
berkembang. Di berbagai lembaga, dewasa ini telah mengkaji dan meneliti perkembangan
ekonomi Islam. M. Syarifuddin dalam ekonomi Islam menyatakan: Perkembangan yang ada
menunjukkan bahwa sistem ekonomi islam sebagai konsep berapapun banyaknya varian
pemikiran yang terdapat didalamnya, memang ada wujudnya, dan hingga kini terus
dikembangkan. Menurut saya dibalik sistem perekonomian islam itu berdiri berbagai
kepentingan ekonomi dunia usaha. Ada kepentingan Negara OPCE yang ingin memanfaatkan
keputusan yang dapat ditimbulkan dari gerakkan sistem ekonomi Islam dalam usaha menuju
Negara industri.294
Oleh demikian dapat dijabarkan bahwa perkembangan ekonomi Islam sekedar turun-
temurun. Akan tetapi sistem ekonomi Islam adalah suatu transformasi nilai-nilai Islam yang
membentuk kelembagaan dalam masyarakat.
Memang diakui pula bahwa kurangnya perhatian umat Islam ini sehingga masih
dihantui oleh sistem kapitalis yang cenderung kepada materialistis. Akibatnya semua diukur
dengan kebendaan belaka dalam persaingan yang tidak sehat dan saling berbenturan.
Didin hafifuddin mengatakan: secara jujur harus diakui bahwa aplikasi ajaran islam
dalam kegiatan ekonomi masih memerlukan usaha lain dan kerja keras serta sungguh-
293
M. Quraish Shihab, Wawasan… h, 410. 294
M. Syarifuddin, Prinsip Ekonomi…. h, 84-85
235
sungguh. Misalnya dalam pemilihan lembaga ekonomi islam seperti Bank yang terbebas dari
riba.295
Kontribusi umat Islam sangat besar terhadap keberlangsungan dan perkembangan
pemikiran ekonomi pada perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya, dan peradaban
dunia pada umumnya. Dan peran penting ini relah dilupakan oleh para ilmuan barat. Dalam
kaitan ini Adi Warwan mengemukakan: Buku-buku teks ekonomi barat hampir tidak pernah
menyebutkan peranan kaum muslim ini. Menurut Capra, meskipun sebagian kesalahan
terletak ditangan umat Islam karena tidak mengartisifikualifikan secara memadai kontribusi
peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.296
Meskipun telah memberi kontribusi yang besar kaum muslim tidak lupa mengakui
utang mereka kepada para ilmiah ilmuan Yunani, Persia, India, dan Cina. Hal ini sekaligus
mengidentifikasi para cendikiawan muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia
luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.297
Maka dengan ajaran Islam tentang perbedayaan akal pikiran dengan tetap berpegang
teguh pada Al-Qura‟an dan hadits Nabi Muhammad SAW, konsep dan teori ekonomi dalam
Islam pada hakekatnya merupakan respon para cendikiawan muslim terhadap berbagai
tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Hal ini berarti bahwa pemikiran ekonomi
Islam seusia Islam itu sendiri.
M. Nejatullah Siddiq mengemukakan: Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang
berlangsung pada zaman Rasulullah SAW dan khulafurasyidin merupakan Comtias Empirise
yang dijadikan pijakan bagi para cendikiawan muslim dalam melahirkan teori-teori
ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan
kebutuhan, keadilan, efesiensi, pertumbuhan dan kebebasan yang tidak lain merupakan objek
utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.298
Lebih lanjut terkait dengan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia merupakan
suatu sistem yang dilaksanakan oleh umat Islam terbesar ini. M. Dawan Rahardjo,
mengatakan bahwa: “Sistem ekonomi Islam adalah suatu konsep yang dikembangkan
berdasarkan ajarann Islam”299
295
Didin Hafifuddin, Dakwah Akhtual, Cet I, (Jakarta : Benua Insani Press. 1994), h. 234 296
M. umer Chapra, The Future Of Ekonomie: An Islamic Perspektive, (Jakarta: Shari‟ah Ekonomies
and Banking Instintut, 2001), h. 9. 297
Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet. III, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 9. 298
M. Nejatullah Raharjo, Dalam Azwar, Sejarah Pemikiran…, h. 10. 299
M. Dawan Rahardjo, Membangun Ekonomi Islam , Cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h.1.
236
Pada sisi lain, penerapan ekonomi Islam di Indonesia tidak terlepas dari sistem
ekonomi konvensional. Terkait dengan ini Nurdin Bahri mengemukakan:
Secara umum, para pemikiran ekonomi barat memandang hak milik muthlak pada
hakekatnya berada pada diri manusia. Baik sebagai individu maupun sebagai abdi Negara
(pemerintah). Tetapi terdapat perbedaan spesifik mengenai status kepemilikan menurut
mazhab tertentu, seperti:
a. Kapitalisme, hak milik menurut alirin ini melekat pada individu (pribadi). Tujuan
berekonomi adalah untuk memperoleh yang sebanyaknya sebagai laba pribadi.
Dalam hal ini, ekonomi tentu saja terlepas dari ikatan-ikatan moral dan keagamaan
karena landasan filsafatnya adalah interialisme.
b. Sosialisme, hakekat ak milik dalam aliran ini terletak pada pemerintah (Negara)
atas dasar kepentingan dan pelayanan social.
c. Komunisme, tidak mengenal hak milik bersama yang ada pada masyarakat tanpa
khas pada prinsipnya dari setiap orang menurut kemampuannya kepada orang
menurut kebutuhannya.300
Dalam pada itu, sistem ekonommi tidak terlepas dari “sistem ekonomi dan lembaga
keuangan yang memang sangat dibutuhkan masyarakat”.301
Memang diakui bahwa perkembangan ekonomi Islam di Indonesia sangat terkait erat
dengan pelayanan Bank Konvensional yang menganut sistem Ribawi (bunga). Untuk itu umat
Islam memerlukan usaha kerja keras untuk mewujudkan alternative yang bebas dari bunga.
Terkait dengan ini M. Yusuf Qadawi mengumukakan: Bank syariah sebagai alternative juga
sebenarnya sangat iklusif dan terbuka untuk semua agama dan golongan, sebagaimana hasil
penelitian mengumpulkan bahwa kesan umumnya yang ditangkap oleh masyarakat tentang
bank syariah adalah bahwa bank syariah identik dengan bank sistem bagi hasil.302
Meskipun demikian, memang adanya anggapan itu sebenarnya bukan sepenuh,
kesalahan masyarakat yang cendrung menganut prinsip gratisisme (mencoba barang baru
sesuai selera hati dengan serba gratis) dan bahkan kadang memandang bank syariah lebih
sebagai “lembaga social”.303
Akan tetapi upaya untuk menumbuh kembangkan sistem ekonomi Islam di Indonesia
terus mendapat perhatian baik dari praktisi muslim yang semakin gencar dalam hal
mendirikan lembaga pendidikan tinggi.
300
Nurdin Bakri, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Media Syariah, (Jurnal: Fak. Syariah, 2002), h. 27. 301
M. Yusuf Qardawi, Bunga Bank, …, h. 4. 302
M. Yusuf Qadawi, Bunga Bank,…, h. 5. 303
M. Yusuf Qadawi, Bunga Bank,…, h. 13.
237
C. Analisis tentang Konsep Keadilan Ekonomi Menurut Nurcholis Madjid
1. Biografi Nurcholish Madjid
Nurchalish madjid atau biasa disapa dengan Caknur tidak asing lagi dikalangan publik
Indonesia dan luar negeri. Budi Handrianto mengemukakan : Nurholish Madjid atau biasa di
sapa dengan nama cak nur, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kiyai terpandang di
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, Pada tanggal 17 Maret 1939. Ayahnya, KH. Abdul
Madjid dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai
pesantren termasuk Gontor, Ponorogo menempuh studi kesajanaan IAIN Jakarta (1961-
1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat
(1978-1984) dengan disertasi tentang Filsafat dan Khalam Ibnu Thaimiyah.304
Ditulis dalam buku “Islam Liberal”, Nurcholis madjid merupakan tokoh Islam liberal
atau liberalisasi Islam paling terkemuka di Indonesia. Doktor dari Chicago University ini
mempelopori gerakan sekularisasi di Indonesia sejak tahun 1970. Dalam acara halal bi Halal
di Jakarta pada tanggal 3 januari 1970 yang dihadiri para aktivis penerus Masyumi yaitu
HMI, PII, GPI dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), Nurcholish Madjid
menyampaikan makalah yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran dan Masalah
Integrasi Umat.”
Makalah tersebut sempat menggegerkan aktivis Islam saat Itu. Karena disitu ia
mengajak kearah sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam. Nurcholish Madjid juga
memperkenalkan ide sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan sekularisme.
“Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisasi dan mengubah kaum
muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang
sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhroikannya. Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan kembali
kebenaran suatu nilai dihadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis,
menjadi sifat kaum muslimin.” Selain itu ia juga memperkenalkan konsep Islam Yes, Partai
Islam No.
Nurcholish Madjid menyelesaikan kuliah S1-nya di fakultas Adab dengan skripsi
berjudul Al-Qur‟an Arabiyyun Lughatan Wa Alamiyyun Ma‟nan (Al-qur‟an secara bahasa
adalah bahasa arab, secara makna adalah Universal). Tahun 1969 Nurcholish Madjid
mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Amerika Serikat selama lima pecan. Beberapa
304
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta : tt ), h. 63
238
pengamat termasuk Ahmad Wahid mengatakan bahwa kunjungan Nurcholish Madjid ke
Amerika ini merupakan pengalaman penting. Bahkan, banyak kritisi yang menyatakan bahwa
kunjungan Nurcholish Madjid ke Amerika ini adalah perubahan 180 derajat, Nurcholish
Madjid yang tadinya anti Amerika/ Barat berubah menjadi Pro-Amerika/ Barat. Bahkan
secara pribadi, Nurcholish Madjid mula-mula mengakui bahwa pengalaman tersebut telah
meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan tidak terduga.305
Kesan yang mendalam terhadap Amerika inilah tampaknya yang membuatnya sulit
menolak ketika Fazlur Rahman dan Leonard Binder –keduanya Guru Besar Chicago
University- menewarinya proyek penelitian di Amereka pada tahun 1976. Proyek penelitian
yang sebagian berbentuk seminar dan lokakarya itu didanai oleh Fordation, sebuah yayasan
Amerika yang sampai kini masih bekerja sama dengan kegiatan-kegiatan Jaringan Islam
liberal dan Yayasan Paramadina yang dulu pernah dipimpin Nurcholish Madjid.
Setelah penelitian di Chicago, kemudian Nurcholish Madjid ditawari melanjutkan
studi Pasca Sarjana di Universitas Chicago (1978) dan sekaligus mengambil doctor disana.
Tahun 1984, ia lulus ujian doktornya dengan disertasi berjudul Ibn taymiya on Kalam and
Falsafa : A Problem of Reason and revelation in Islam ( Ibnu Taimiyyah dalam Ilmu Kalam
dan Filsafat : Masalah Akal dan wahyu dalam Islam).
Pria kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 ini makin kontroversi ketika ia
menyampaikan pidato keagamaannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 21
oktober 1992. Pidato yang makalahnya puluhan halaman itu berjudul “beberapa renungan
tentang kehidupan keagamaan di Indonesia.” Isi pidato Nurcholish Madjid itu memang penuh
sindiran dan kecaman yang keras kepada bangkitnya fundamentalis dengan narkotika.
Bahkan menurut Nurcholish Madjid, fundamentalis lebih berbahaya dari narkotika. Cuplikan
pidato yang menghebohkan itu adalah sebagai berikut :306
“karena itu bagaimana pun, kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam
keadaan tidak berdaya. Sebagai suatu yang hanya berhubungan ketenangan semu atau
palliative, kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Namun,
narkotika menmpilkan bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran penuh
(„teler‟), baik secara perorangan maupun kelompok sehingga tidak akan menghasilkan suatu
„gerakan‟ social dengan suatu bentuk kedisiplinan keanggotaan para pengguna narkotika –
bukan keanggotaan sindikat para penjualnya. Adapun kultul dan fundamentalisme dengan
305
Lihat Nurcholish Madjid, Riwayat Hidup…h. 40. 306
Budi Handrianto, 50 Tokoh…, h. 68.
239
sendirinya melahirkan gerakan dengan disiplin yang tinggi. Maka, penyakit yang terakhir ini
adalah jauh lebih berbahaya dari pada yang pertama… Sebagaimana mereka memandang
narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman bagi kelangsungan daya tahan bangsa, mereka
juga berkeyakinan bahwa kultul dan fundasimentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak
kurang gawatnya.”
Pidato di TIM pada tahun 1992 itu menuai kritik dari berbagai kalangan. Sebab,
istilah „fundamentalisme‟ tersebut tanpa disertai defenisi yang jelas dan pada akhirnya hanya
berujung kepada proses „stigmatisasi‟ terhadap sebagian kalangan muslim yang berjuang
menegakkan syariat islam maupun melawan hegemoni imperialis Barat.307
Adapun yang berupa karya tulis, dan artikel-artikel dalam bahasa arab, Ingris dan
bahasa Indonesia, antara lain: Al-qur‟an, „Arabiyyun Lughat-an wa „Alamiy-un Ma‟na (1968)
merupakan karya sarjananya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan dari segi makna
bersifat universal, karya tersebut belum diterbitkan. “The Issue of Modernization Among
Moslem in Indonesia: From a Participant‟s View”, dalam gloria Davis (ed)., What Is Modern
Indonesian Culture? (Athem Ohio: University of Ohio Southeast Asia Studies, (1979),
“Pesantren dan Tasawuf”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan,
(1983), Islam Indonesia Menatap Masa depan,(1989), dalam K.H.Abdurahman Wahid, et.,
al Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (1991), dan lain-lain.308
2. Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Keadilan Ekonomi
Sebagai salah seorang pembaharu di tanah air, Nurcholish Madjid mempunyai dasar
filosofis yang dianggap kontroversial. Mulyadi Kartanegara mengutip Nucholish Madjid
mengemukakan : Pertama-tama, dasar filosofis pemikiran Nurcholish Madjid adalah
relativisme. Menurut pandangan ini kebenaran penafsiran keagamaan adalah relative terhadap
perkembangan ruang dan waktu. Karena itu diperlukan usaha reintepretasi ajaran agama
menurut kedisinian dan kekinian. Tentu saja pandangan seperti ini akan secara langsung
bertabrakan dengan pandangan orang-orang yang menganut pandangan paham
tradisionalisme yang cenderung berusaha mempertahankan nilai-nilai yang beku.309
307
Budi Handrianto, 50 Tokoh…, h. 69 308
Syamsuar Basyariah, Integrasi Agama dan Negara Paradigma Pilitik Nurcholish Madjid Era Orde
Baru Tahun 1966-1998, Cet II (Yogyakkarta : Kaukaba, 2012), h. 11 309
Nurcholish Madjid, Jejak pendidikan dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Cet. II (Jakarta :
Pustaka Palajar, 2003), h. 231-232
240
Pengertian kedisinian dan kekinian yang ditawarkan Nurcholish Madjid sebagai
berikut : Dasar filosofis pemikiran Nurcholish Madjid yang lain, adalah yang saya sebut
realisme. Bagi penganut paham ini pembaharuan harus didasarkan pertama pada masalah
realitas, kenyataan yang ada (dassein) dan baru kemudian pada ajaran Normatif (dassallen).
Menurut pemikiran ini ajaran-ajaran yang normatif dan idealis harus disesuaikan
penafsirannya.310
3. Analisis konsep Ekonomi Menurut Nurcholish Madjid Keadilan
Ekonomi Islam memiliki kelebihan dan menjadikan manusia sebagai focus perhatian,
manusia diposisikan sebagai pengganti Allah SWT di bumi ini untuk memakmurkannya dan
tidak hanya mengeksploitasi kekayaan dan memanfaatkannya saja. Ekonomi ini ditunjukan
untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan manusia.
Konsepsi keadilan merupakan bagian inti dari ajaran islam, sebagaimana mengutip
Nurcholish Madjid dalam Syamsuar Basyariah mengatakan bahwa : Konsep keadilan
merupakan bagian inti dari ajaran islam, memang agaknya sulit diragukan. Sebab cita-cita
tersebut dirasakan sekali denyut nadinya secara kuat dalam surat–surat dan ayat – ayat al-
qur‟an yang memuatnya termasuk hal-hal yang diturunkan kepada rasulullah SAW mengenai
masyarakat mekkah ialah politeisme “merupakan dosa yang tak terampun” kerana itu
merupakan kejahatan besar kepada dirinya sendiri.311
Karena itu Nurcholish Madjid menguatkan bahwa “tingkah laku ekonomi yang
menghalangi wujudnya keadilan”312
dan sosial dikutuk dengan al-qur‟an dengan keras.
Bahkan kata Nurcholish Madjid tidak ada kutukan kitab suci yang lebih keras dari
pada kutukan kepada para pelaku ekonomi yang tidak adil.313
Jadi ketidakadilan mencuat karena korupsi, kolusi dan nepotisme selama puluhan
tahun di Indonesia, manurut Nurcholish Madjid “mengalami kesulitan kalau tidak dimulai
dari memunculkan kesadaran keadilan”.314
Untuk itu, menanamkan kesadaran keadilan merupakan perintah Allah SWT di dalam
menanggulangi multi krisis di negeri ini. Dan langkah penegakan keadilan ekonomi diyakni
310
Nurcholish Madjid, Jejak… h. 233 311
Syamsuar, Integrasi… h. 128 312
Nurcholish, Islam Kemoderenan… h. 102 313
Konsep Keadilan ini, dalam Hukum Fiqh Menurut Alas an Nurcholish Madjid, Dijabarkan Menjadi
Ketentuan Ketentuan Halal dan Haram dalam Perolehan Ekonomi, ini berarti Bahwa Tidak Ada Penindasan
Manusia dengan Manusia. 314
Asrori S. Karni (Ed), Pesan-pesan… h. 47
241
suatu upaya jihad dalam memberantas kedhaliman dimuka bumi, dan Allah SWT sudah
menjamin bahwa kebutuhan manusia telah ditentukan. Sehingga menegakkan keadilan
membawa manusia kepada ketaqwaan, Firman allah SWT QS. Al-maidah ayat 8 :
Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah.
Dalam hal ini sangat jelas bahwa menurut Nurcholish Madjid, sesungguhnya
penegakan keadilan dalam perekonomian merupakan wujud dari perintah Allah SWT dan
mengandung nilai ketauhidan dalam rangka menegakkan amal makruf dan nahi mungkar
dalam kehidupan masyarakat muslim ditanah air. Sebab, menurut Nurcholish madjid
melanjutkan: Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan yang maha esa
dengan tindakan kebaikan kepada sesame manusia, masyarakat madani tegak berdiri diatas
landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum.
Menegakkan hukum adalah amanat tuhan yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada
yang berhak. Dan Nabi SAW telah memberi tauladan pada kita. Secara amat setia beliau
laksanakan perintah Allah SWT itu. Apabila Al-qur‟an itu juga menegaskan bahwa tugas suci
semua nabi ialah menegakkan keadilan diantara manusia.315
Dengan demikian jelas bahwa keadilan ekonomi menurut Nurcholish Madjid adalah
suatu keniscayaan dalam upaya penegakan hukum Allah SWT dimuka bumi ini. Dan sumber
ekonomi Islam (tauhid) dan amar ma‟ruf nahi mungkar yang menjadi kewajiban semua
menuju masyarakat yang madani sebagaimana yang telah dilaksanakan Rasulullah SAW di
madina dahulu.
Dalam konteks ini Nurcholish Madjid mengemukakan: Berpangkal dari pandangan
hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekkuensi tindakan kebaikan kepada sesame
manusia masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain
bersendikan keteguhan berpegangan pada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat tuhan
yang maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak. Dan Nabi SAW
telah memberi tauladan kepada kita secara amat setia beliau laksanakan perintah Allah SWT.
Apalagi Al-qur‟an menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan
diantara manusia.316
Jadi jelas bahwa penegakan keadilan dalam suatu Negara merupakan perintah dari
Allah SWT. Dan tegaknya keadilan itu, “tanpa memandang buku dan siapa yang akan terkena
315
Nurcholish Madjid, Cita-cita… h. 171 316
Nurcholish Madjid, Cita-Cita… h. 121.
242
akibatnya, keadilan harus ditegakkan”.317
Meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua
atau sanak keluarga, bahkan kepada yang sangat membenci kitapun harus tetap berlaku adil.
Penegakkan keadilan dalam sektor ekonomi di jiwai oleh rasa ketauhidan kepada
Allah SWT, terkait dengan hal ini Nurdin Bakri menjelaskan bahwa: Kesuksesan pengusaha
(produser) menurut Islam terletak pada sejauh mana pengaruh hasil usaha dapat merangsang
kegiatan pengabdiannya kepada Allah SWT dan kebaktiannya sesama manusia. Kebebasan
berbuat dan berfikir menurut Islam masih terbatasi oleh ruang lingkup tuntunan syariat
slam.318
Kutipan di atas sangat relevansi dengan Firman Allah SWT Surat An-Nisa‟ ayat 29
yang berbunyi sebagai berikut
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An- nisa‟: 29).
Oleh demikian jika dipahami lebih lanjut terhadap pendapat Nurcholish Madjid
tentang penegakkan keadilan ini, dapat dilihat pendapat beliau: Masyarakat berperadaban
tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dari ketulusan
komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang
dengan tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan.319
Apabila dicerna pendapat Nurcholish Madjid itu, terlihat bahwa unsur terpenting
dalam menegakkan keadilan ekonomi dalam sikap dan pribadi-pribadi muslim yang dilandasi
oleh keimanan ketika melaksanakan kegiatan perekonomian. Sebab timbulnya praktek
korupsi, penipuan dan berbagai pelaksanaanya perlakuan yang berlaku dalam hal ini dalam
dunia ekonomi dan keuangan dikarenakan pribadi dan jiwanya yang gersang dari nilai-nilai
ketuhanan dan keimanan kepada Allah SWT.
Terkaitnya dengan hak ini Asrori dalam syamsuar Basyariah menulis; Menyikapi
harta hasil KKN, misalnya kita mengalami kesulitan. Banyak sekali harta yang dari hasil
KKN, namun tertutup oleh lapisan legal Devise yang sulit kali di tembus. Maka yang paling
utama di perlukan ialah kesadaran keadilan pada pribadi masing-masing. Kemudian
317
Nurcholish Madjid, Cita-Cita… h. 121. 318
Nurdin, Media…, h. 28. 319
Nurcholish Madjid, Cita-Cita…, h.172-173.
243
kesadaran keadilan yang bersifat personil ini harus diletakkan dalam kerangka sosial dan
struktural.320
Oleh sebab itu, menurut Nurcholish Madjid, “tingkah laku ekonomi yang
menghalangi terwujudnya keadilan”.321
Bahkan Nurcholish Madjid mengatakan bahwa
dikutuk Al-qur‟an dengan keras. Bahkan, tambahnya tidak ada kutukan kitab suci yang lebih
keras dari pada kutukan kepada para pelaku ekonomi yang tidak adil.
Dalam memperkuat argumennya, Nurcholish Madjid Al-qur‟an surat An-nisa ayat 58:
Artinya; Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat. (Q.S. An- Nisa‟ : 58)
Dan juga Al-qur‟an surat An-nisa ayat 135:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa
dan kaum kerabatmu. jika ia. Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala
apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa‟ : 135)
Jadi, memahami pendapat Nurcholish Madjid tersebut bahwa ketinggian nilai
kepribadian seseorang itu sangat ditentukan oleh ketulusan jiwa kepada Allah SWT.
Sebagaimana Nurcholish menulis: Ketulusan ikatan jiwa juga memerlukan sikap yang
yakin pada adanya tujuan yang lebih tinggi dari pada penggalaman hidup sehari-hari didunia
ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia
pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan pribadi, kehidupan setelah mati, dalam
pengalaman bahagia dan sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa pada keadilan
mengharuskan orang memandang hidup jauh ke depan, tidak menjadi tawanan keadaan
diwaktu sekarang dan di tempat ini (dunia).322
D. Kesimpulan
Ekonomi islam sebagai bagian dari kegiatan mu‟amalah yang dilakukan oleh
masyarat dengan berdasarkan Undang-undang, peraturan dan perintah Allah SWT dalam Al-
qur‟an, konsep keadilan ekonomi menurut Nurcholish Madjid bersendikan pada ketauhidan
320
Syamsuar, Konsep pembangunan… h. 237 321
Syamsuar, Konsep pengembangan… h.239 322
Nurcholish, Cita-cita… h.173
244
dan aplikasi dari perintah Allah SWT yang wajib ditagakkan dalam berbagai lapangan
perekonomian
Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam konsep ekonomi Nurcholish Madjid
antara lain prinsip Tauhid, Tabadul manafiq, Ta‟awum, al-Birwa at-Taqwa dan prinsip
musawah. Dari kelima prinsip tersebut prinsip Tauhid lah yang menjadi prinsip dasar dari
ideologi yang pertama bagi pengelolaan kehidupan sosial dan politik yang dihadapi dalam
upaya penegakan keadilan di Indonesia diantara lain pengaruh sistem ekonomi kapitalis,
sosialis dan komunis yang menguasai berbagai sektor keuangan dan perbankan Indonesia.
\
245
POTENSI ZAKAT
DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Early Ridho Kismawadi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Zawiyah Cot Kala Langsa
Email: [email protected]/
Abstract
As a country with a majority Muslim population in the world, Indonesia has the potential for
very large charity, this potential can be used to alleviate poverty in Indonesia, in this study
will be described on the potential and the role of charity in the alleviation of poverty in
Indonesia. This research is a qualitative Most of the literature in this study are the books and
research journals and internet research. The data in this study was obtained from the Central
Bureau of Statistics, and the National Team for Accelerating Poverty Reduction (TNP2K)
were used to assess and review the literature that has relevance to poverty reduction in
Indonesia.
Keywords: Potential, Role of Zakat, Poverty, Indonesia
246
A. Pendahuluan
Kemiskinan merupakan isu yang selalu menarik untuk dibahas, terutama bagaimana
cara untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan ini. Permasalahan kemiskinan sudah
lama menjadi permasalahan Negara-negara, bahkan negara-negara maju tidak luput dari
permasalahan kemiskinan. Permasalahan kemiskinan merupakan masalah bangsa yang
mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik
terpadu dan menyeluruh.
Penanganan masalah kemiskinan memerlukan penanganan secara komperhensif oleh
karena itu dalam penanganan kemiskinan diperlukan sinergi antara negara, masyarakat dan
Agama. Dalam menghadapi kemiskinan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh
pemerintah maupun elemen masyarakat untuk mengurangi bahkan untuk menekan masalah
kemiskinan seminimal mungkin di Indonesia, Langkah konkrit yang dilakukan pemerintah,
dalam program penanggulangan kemiskinan pemerintah membagi program penanggulangan
kemiskinan kedalam tiga Klaster, Jenis Program Klaster satu terdapat 4 program yaitu
JAMKESMAS (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Program Keluarga Harapan, Raskin (Beras
untuk Keluarga Miskin, dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Program Klaster dua, PNPM
Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri). Dan jenis program klaster
tiga adalah KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah
setidaknya telah mampu mengurangi kemiskinan Indonesia dari 12,49 % pada tahun 2011,
menjadi 11,66 % pada September tahun 2012, hal ini berarti pada tahun 2012 kemiskinan
Indonesia berkisar diangka 11,66 % dari jumlah penduduk Indonesia atau 28.594.000
penduduk Indonesia masih berada dalam katagori miskin, hal lain yang perlu dicermati
adalah besarnya jumlah masyarakat yang hampir miskin, yang berarti bahwa jumlah
masyarakat miskin Indonesia dapat bertambah jika terjadi gejolak terhadap pendapatan
mereka. Berikut ini gambaran tentang kemiskinan di Indonesia sampai dengan September
2012.
247
Tabel 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, September 2012
Propinsi Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin (%)
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
Aceh 165,40 711,10 876,60 12,47 20,97
18,58
Sumatera Utara 669,40 709,10 1 378,40 10,28 10,53
10,41
Sumatera Barat 124,30 273,60 397,90 6,45 8,99 8,00
Riau 156,40 324,90 481,30 6,68 8,94 8,05
Jambi 105,30 164,70 270,10 10,53 7,29 8,28
Sumatera Selatan 367,60 674,40 1 042,00 13,29 13,58
13,48
Bengkulu 92,70 217,80 310,50 16,89 17,80
17,51
Lampung 237,90 981,10 1 219,00 11,88 16,96
15,65
Bangka Belitung 24,00 46,20 70,20 3,73 6,96 5,37
Kepulauan Riau 106,60 24,60 131,20 6,77 7,08 6,83
DKI Jakarta 366,80 - 366,80 3,70 0,00 3,70
Jawa Barat 2 560,00 1 861,50 4 421,50 8,71 12,13 9,89
Jawa Tengah 1 946,50 2 916,90 4 863,40 13,11 16,55
14,98
DI Yogyakarta 306,50 255,60 562,10 13,10 21,29
15,88
Jawa Timur 1 606,00 3 354,60 4 960,50 8,90 16,88
13,08
Banten 333,50 314,80 648,30 4,41 8,31 5,71
Bali 93,20 67,70 161,00 3,81 4,17 3,95
Nusa Tenggara Barat 415,40 412,90 828,30 21,65 15,41
18,02
Nusa Tenggara Timur 117,40 882,90 1 000,30 12,21 22,41
20,41
Kalimantan Barat 74,20 281,50 355,70 5,49 9,04 7,96
Kalimantan Tengah 32,30 109,60 141,90 4,21 7,19 6,19
Kalimantan selatan 56,50 132,70 189,20 3,56 6,07 5,01
Kalimantan Timur 91,50 154,60 246,10 3,82 10,56 6,38
Sulawesi Utara 66,80 110,70 177,50 6,36 8,69 7,64
Sulawesi Tengah 60,20 349,40 409,60 9,02 16,85
14,94
Sulawesi Selatan 133,60 672,30 805,90 4,44 12,93 9,82
Sulawesi Tenggara 29,60 274,70 304,30 4,62 16,24
13,06
Gorontalo 17,80 169,90 187,70 4,80 23,63
17,22
Sulawesi Barat 29,10 131,50 160,60 10,03 13,92
13,01
Maluku 51,10 287,80 338,90 8,39 28,12
20,76
Maluku Utara 8,70 79,60 88,30 2,92 9,98 8,06
Papua Barat 13,30 210,00 223,20 5,36 36,33
27,04
Papua 48,10 928,30 976,40 5,81 39,39
30,66
Indonesia 10 507,80 18 086,90 28 594,60 8,60 14,70
11,66
Sumber: Diolah dari Susenas Maret 2012, Badan Pusat Statistik
248
Terlihat dari tabel diatas persentase dan jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan
relatif jumlahnya lebih banyak dibandingkan daerah perkotaan, kebijakan pemerintah untuk
percepatan pengentasan kemiskinanpun tidak memiliki dampak yang signifikan, sebagai
contoh pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh berjumlah 1.083.000 jiwa
dan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh berkurang menjadi 711.000
jiwa. Contoh lainnya pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin Indonesia berjumlah
37.168.000 atau 16,58 % dari jumlah penduduk Indonesia, dan pada tahun 2012 jumlah
penduduk miskin di Indonesia berkurang menjadi 28.594.000 atau 11,66 % dari jumlah
peduduk Indonesia. Secara jumlah selama lima tahun, pemerintah dapat mengurangi jumlah
kemiskinan sebesar 8.574.000 jiwa atau kemiskinan di Indonesia pada September 2012
berkurang 4.92% dibandingkan tahun 2007. Hal ini berarti dalam satu tahun program
pemerintah dalam pengentasan kemiskinan hanya mengurangi jumlah kemsikinan kurang
dari 1% dati tahun ke tahun. Hal lain yang harus terus menjadi perhatian adalah target
pemerintah dalam pengurangan kemiskinan dikhawatirkan tidak akan tercapai dikarenakan
ketidak pastian ekonomi global yang berakibat pada penurunan daya beli.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop memperkirakan target
pengurangan angka kemiskinan pada 2014 sebesar 8-10 persen tidak akan tercapai karena
adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi (ANTARA News.com), hal ini berarti pemerintah
diperkirakan akan gagal dalam target pengurangan kemiskinan yang berarti sampai dengan
tahun 2014 penduduk miskin Indonesia masih dalam kisaran 20 juta jiwa.
Diperlukan suatu solusi yang dapat membantu program pemerintah dalam rangka
percepatan penengentasan kemiskinan di Indonesia, Islam menawarkan solusi zakat sebagai
suatu solusi untuk membantu program pemerintah dalam pengurangan atau bahkan
pengentasan kemiskinan di Indonesia. Islam sangat konsen terhadap golongan yang dalam
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya mengalami permasalahan, golongan yang tidak mampu
dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya haruslah mendapat perhatian, agar dapat terus
mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Dalam islam dikenal adanya mekanisme zakat,
dimana pihak yang memilki kemampuan dalam ekonomi harus memberikan bantuan untuk
pihak yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Untuk menyelesaikan kemiskinan dan membiayai operasionalnya dibutuhkan dana
yang tidak sedikit, sumber pendapatan yang biasanya digunakan oleh negara adalah iuran
wajib warga negara yaitu pajak, semakin tinggi iuran wajib yang dikenakan terhadap
249
warganya menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran. Indonesia dengan
mayoritas penduduknya muslim memiliki sumber pendapatan lain selain pajak yang belum
dimaksimalkan, sumber pendapatan tersebut adalah zakat, zakat dipungut dari golongan
orang-orang dengan kemampuan ekonomi mampu (muzakki) dan di distribusikan kepada
golongan orang-orang dengan kemampuan ekonomi tidak mampu dalam mencukupi
kebutuhan dasar hidupnya (mustahiq).
Rendahnya kesadaran umat islam dalam menunaikan kewajiban zakatnya bukanlah
tanpa alasan, alasan yang paling logis adalah kurangnya kesadaran dalam melaksanakan
rukun islam yang keempat ini, potensi zakat yang dimiliki oleh masyarakat indonesia
tergolong tinggi hal yang menjadi gambaran adalah panjangnya daftar tunggu haji, haji yang
merupakan rukun islam yang kelima itu, alasan lain yang mungkin menjadi sebab rendahnya
kesadaran umat islam dalam menunaikan kewajiban zakatnya adalah masih kurangnya
kesadaran masyarakat muslim di Indonesia menyalurkan zakat mereka melalui lembaga dan
badan zakat, namun cendrung menyalurkannya secara individual. Sehingga potensi zakat
yang besar kurang menjadi maksimal karena kurangnya koordinasi dalam pengumpulan dan
penyaluran zakat.
Secara formal zakat diatur oleh undang-undang no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat, dalam undang-undang tersebut pasal 5 disebutkan pengelolaan zakat bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan
agama, meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, dan meningkatkan hasil guna dan daya guna
zakat. Hal yang selama ini kurang maksimal dalam pengentasan kemiskinan adalah masih
belum optimalnya pemanfaatan, peranan pranata keagamaan dalam mendukung upaya
pemerintah dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Penelitian ini mencoba untuk melihat potensi zakat dan peranan lembaga dan badan
zakat di Indonesia dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini
diharapkan berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia dengan melibatkan
lembaga dan badan zakat Indonesia secara bersama-sama dengan pemerintah dalam upaya
untuk pengentasan kemiskinan.
B. Kemiskinan
Sebelum membahas tentang kemiskinan lebih lanjut, terlebih dahulu harus dipahami
terlebih dahulu definisi kemiskinan, hal ini penting karena ukuran kemiskinan disuatu
250
wilayah belum tentu diwilayah lain dianggap miskin untuk itulah perlu terlebih dahulu
memahami definisi kemiskinan.
Alquran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran
kemiskinan. Yang pasti Alquran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai
fakir atau miskin yang harus dibantu (M. Quraish Shihab, 2007). Namun demikian untuk
lebih memfokuskan penangulangan kemiskinan diperlukan batasan yang tergolong katagori
miskin untuk itulah menyamakan pemahaman tentang definisi kemiskinan diperlukan.
Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang
memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk
keluar dari kerentanan (Ade Cahyat dkk, 2007), Kemiskinan adalah suatu integrated concept
yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless),
3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan
(dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup
dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan
rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan
tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan
menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri
(Chambers dalam Nasikun, 2001).
Marianti dan Munawar (2006) berpendapat bahwa kemiskinan merupakan fenomena
multi dimensi, didefenisikan dan diukur dalam banyak cara. Dalam banyak kasus, kemiskinan
telah diukur dengan terminologi kesejahteraan ekonomi, seperti pendapatan dan konsumsi.
Seseorang dikatakan miskin bila ia berada di bawah tingkat kesejahteraan minimum tertentu
yang telah disepakati.
Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kondisi kehidupan dengan standar kehidupan
yang sangat rendah. Bila kita mempunyai ukuran tentang standar kehidupan penduduk, kita
dapat menentukan ukuran dimana dapat dikatakan bahwa pada tingkatan mana seseorang
mempunyai standar kehidupan yang rendah. Kami menamakan hal ini, garis kemiskinan dan
semua penduduk yang standar kehidupannya berada di bawah garis kemiskinan ini adalah
“penduduk yang kehidupannya dalam keadaan miskin”. Ini adalah cara konvensional dalam
mengukur kemiskinan. Argumentasi yang digunakan adalah apa ukuran atau ukuran-
251
ukuranan dari standar kehidupan yang dapat dipakai dan bagaimana menentukan tingkat yang
bisa dianggap terlalu rendah, (Peter McDonald, dkk, 2010)
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan (2100
kilokalori perkapita perhari).
1. Gambaran Umum Kemiskinan di Indonesia.
Untuk memberikan gambaran umum tentang kemiskinan di indonesia digunakan peta
kemiskinan yang diperoleh dari Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan, yang
selanjutnya dijelaskan mengenai tingkat kemiskinan, jumlah penduduk miskin dan garis
kemiskinan sehingga memberikan gambaran tentang kemiskinan di seluruh provinsi di
Indonesia.
Peta Tingkat Kemiskinan Indonesia Tahun 2009
252
Peta Tingkat Kemiskinan Indonesia Tahun 2010
Peta Tingkat Kemiskinan Indonesia Tahun 2011
Pada peta kemiskinan Indonesia tahun 2009, terlihat sebagian besar provinsi (16
provinsi) berada pada tingkat kemiskinan diatas 15 persen (peta warna merah), provinsi
papua, papua barat, dan maluku berada pada 3 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi
dengan masing-masing 37,5 persen atau jumlah penduduk miskin 760,3 ribu jiwa untuk
253
provinsi papua, 35,7 persen atau 258,8 ribu jiwa untuk provinsi papua barat dan 28,2 persen
atau 380 ribu jiwa untuk provinsi maluku . Kemudian (peta warna hijau) atau kemiskinan 5-
10 persen (12 provinsi) mendominasi peta kemiskinan yang berarti urutan kedua terbanyak
provinsi pada tingkatan kemiskinan 5-10 persen dan hanya ada sebagian kecil (4 provinsi)
yang berada pada tingkat kemiskinan 10-15 persen (peta warna kuning) yaitu provinsi
Maluku Utara, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, dan pada tahun 2009 tidak
hanya provinsi DKI Jakarta dengan tingkat kemiskinan dibawah 5 persen.
Pada peta kemiskinan Indonesia tahun 2010, terlihat sebagian besar provinsi (15
provinsi) berada pada tingkat kemiskinan diatas 15 persen (peta warna merah) atau berkurang
satu provinsi dibanding tahun 2009 yaitu provinsi sulawesi barat yang pada tahun 2010
berada pada tingkat kemiskinan 10-15 persen, dan provinsi papua, papua barat, dan maluku
masih berada pada 3 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Kemudian (peta warna
hijau) atau kemiskinan 5-10 persen (12 provinsi) mendominasi peta kemiskinan di urutan
kedua dan Provinsi maluku Utara menggantikan sulawesi utara berada pada tingkat
kemiskinan ini dan hanya ada sebagian kecil (4 provinsi) yang berada pada tingkat
kemiskinan 10-15 persen (peta warna kuning) yaitu provinsi sulawesi barat, Sumatera Utara,
Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, dan pada tahun 2009 tidak hanya provinsi DKI Jakarta
dengan tingkat kemiskinan dibawah 5 persen namun juga provinsi Bali.
Berbeda dengan dua tahun sebelumnya peta tingkat kemiskinan Indonesia yang
didominasi oleh warna merah, namun pada tahun 2011 tingkat kemiskinan lebih besar 15
persen(warna merah) dan tingkat kemiskinan 5-10 persen (warna hijau) berimbang dalam
jumlah provinsi yaitu 12 provinsi, dan terdapat 7 provinsi yang berada pada tingkat
kemiskinan 10-15 persen yaitu provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Utara,
Sulawesi Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan masih sama seperti
tahun 2010 hanya ada 2 provinsi dengan tingkat kemiskinan dibawah 5 persen yaitu DKI
Jakarta dengan tingkat kemiskinan 3,8 persen atau dengan jumlah penduduk miskin 363,4
ribu jiwa dan Provinsi Bali 4,2 persen dengan jumlah penduduk miskin 166,2 ribu jiwa.
Selama kurun waktu 2009 sampai dengan tahun 2011 terjadi penurunan persentase
dan jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 (maret) penduduk miskin berada pada tingkat
14,15 atau jumlah penduduk miskin sebanyak 32,53 juta jiwa, dan pada tahun 2010 (maret)
tingkat penduduk miskin ada pada 13,33 persen turun dari tahun sebelumnya dan jumlah
penduduk miskin pada tahun 2010 berjumlah 31,02 persen, hal yang serupa juga terjadi pada
254
tahun 2011 persentase jumlah penduduk miskin turun dari sebelumnya dan menjadi 12,49
persen dengan jumlah penduduk miskin 30,02 juta jiwa(Sumber: Diolah dari survei sosial
ekonomi Nasional). Walaupun secara berkelanjutan jumlah penduduk miskin terus
mengalami pengurangan namun sampai dengan tahun 2011 jumlah penduduk miskin
Indonesia masih dalam jumlah yang sangat besar yaitu sekitar 30,02 juta jiwa masyarakat
Indonesia masih berada pada tingkat kemiskinan.
C. Zakat dan Penangulangan Kemiskinan
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), zakat memiliki arti al-barakatu (keberkahan), al-namaa
(pertumbuhan dan perkembangan, ath-thaharatu (kesucian) dan ash-shalahu (keberesan)
(Majma Lughah al-Arabiyyah, 1972) Sedangkan secara istilah (terminology) meskipun para
ulama mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda namun pada prinsipnya sama, yaitu
hak orang lain yang terdapat pada harta yang harus dikeluarkan dengan persyaratan tertentu
dan merupakan kewajiban yang merupakan salah satu dari rukun islam, Shadaqah berasal
dari kata صذق (benar), orang yang bershadaqah adalah orang yang benar imannya
ذقة بشهان }الحذيث{ hal ini mempunyai makna bahwa orang-orang yang telah dikenakan الص
kewajiban zakat dan tidak menunaikan kewajiban tersebut maka keislamannya nya
dipertanyakan, hal ini disebabkan dia tidak memenuhi salah satu rukun islam, sama halnya
dengan shalat jika tidak dilengkapi rukun dan syaratnya maka shalatnya tidak sah. terdapat
beberapa ayat yang menyatakan zakat yaitu:
Artinya: Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
(Q.S Ar Ruum, ayat 39)
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (Q.S At Taubah, ayat 103)
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S At Taubah, ayat 60).
255
Zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda, dan zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
Oleh sebab itu zakat memiliki urgensi yang penting diataranya(Didin Hafidhuddin):
a. Sebagai perwujudan dari keimanan kepada Allah SWT dan keyakinan akan kebenaran
ajaran-Nya. (QS. 9:5, QS. 9:11)
b. Perwujudan syukur nikmat, terutama nikmat benda. (QS. 93:11, QS. 14:7)
c. Meminimalisir sifat kikir, materialistik, egoistik dan hanya mementingkan diri sendiri.
Sifat bakhil adalah sifat yang tercela yang akan menjauhkan manusia dari rahmat
Allah SWT. (QS. 4:37).
d. Membersihkan, mensucikan dan membuat ketenangan jiwa Muzakki (orang yang
berzakat). Perhatikan Q.S. 70 : 19-25
e. Harta yang dikeluarkan zakat dan infaq/ shadaqahnya akan berkembang dan
memberikan keberkahan kepada pemiliknya. Pintu rizki akan selalu dibuka oleh Allah
SWT. (Q.S. 2 : 261, Q.S. 30 : 39, Q.S. 35 : 29-30).
f. Zakat, Infaq/Shadaqah merupakan perwujudan kecintaan dan kasih sayang kepada
sesama ummat manusia. Kecintaan Muzakki akan menghilangkan rasa dengki dan iri
hati dari kalangan Mustahik.
g. Zakat, Infaq/Shadaqah, merupakan salah satu sumber dana pembangunan sarana dan
prasarana yang harus dimiliki ummat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan,
institusi ekonomi, dan sebagainya (Q.S. 9 : 71).
h. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat bukanlah membersihkan
harta yang kotor, melainkan membersihkan harta yang didapat dengan cara yang
bersih dan benar, dari harta orang lain (Q.S. 51 : 19).
i. Dari sisi pembangunan kesejahteraan ummat, zakat merupakan salah satu instrumen
pemerataan pendapatan, dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan
membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic with
equity (Q.S. 59 : 7).
j. Ajaran zakat, infaq/shadaqah sesungguhnya mendorong kaum muslimin untuk
memiliki etos kerja dan usaha yang tinggi, sehingga memiliki harta kekayaan yang
disamping dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya juga bisa memberi
kepada orang yang berhak menerimanya.
Menurut Yusuf Qaradawi, penganguran atau kemiskinan sitidak-tidaknya dapat
membahayakan kepada empat aspek yaitu, membahayakan pada aspek ekonomi, kesehatan,
jiwa sosial dan keluarga. penganguran dan kemiskinan dapat membahayakan etika
masyarakat dan dapat memicu tindakan kriminal. Oleh karena itu, Yusuf Qaradawi
menegaskan, cara paling efektif untuk menanggulangi kemiskinan dan penganguran tersebut
adalah dengan pemberdayaan zakat (Zainuddin, 2008)
256
Menurut Mustafa Edwin Nasution (Mustafa Edwin Nasution, 2005) Zakat muncul menjadi
alternatif instrumen untuk pengentasan kemiskinan yang efektif, yang memiliki banyak
keunggulan dibandingkan instrumen fiskal konvensional yang kini telah ada.yaitu:
a. Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (QS. At-
Taubah: 60) dimana zakat hanya diperuntukkan bagi delapan golongan saja (ashnaf)
yaitu: Orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mu‟allaf, budak, orang-orang yang
berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepakat bahwa selain
delapan golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak-pun yang
berhak mengganti atau merubah ketentuan tersebut. Karakteristik ini membuat zakat
secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun instrumen fiskal konvensional yang
memiliki karakteristik unik untuk mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang
sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran (self-targeted).
b. Kedua, zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap dan tidak pernah berubah-ubah
karena diatur oleh syariat. Sebagai contoh, zakat yang diterapkan pada zakat
perdagangan, tarifnya hanya 2,5 %. Ketentuan tarif ini tidak boleh diganti ataupun
dirubah oleh siapapun. Karena itu penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif
investasi dan akan menciptakan transparansi kebijakan publik serta memberikan
kepastian usaha.
c. Ketiga, Zakat memiliki tarif yang berbeda untuk tiap jenis harta yang berbeda, dan
memberikan keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi yang
lebih tinggi. Misalnya, Zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan
irigasi tarifnya 5 % sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tarifnya 10 %.
Sehingga zakat bersifat market-friendly karena tidak akan mengganggu iklim usaha.
d. Keempat, Zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas
perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan
emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang
diambil dari perut bumi. Fiqh kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga
diambil dari pendapatan yang dihasilkan dari asset atau keahlian pekerja. Dengan
demikian, potensi zakat sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi
pembiayaan program-program kemiskinan.
e. Kelima, zakat adalah merupakan pajak spiritual yang wajib dibayar oleh seorang
muslim dalam kondisi apapun, karena itu penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini
akan menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan dalam jangka
waktu yang cukup panjang.
Zakat sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana
yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi
dan terlebih lagi bagi peningkatan kualitas sumberdaa manusia. untuk memasyarakatkan etika
bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapat dengan cara yang
batil (Al-Hadits). dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat adalah merupakan salah
satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat dikelola dengan baik, dimungkinkan
membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, atau yang dikenal
dengan konsep economic growth equity (AM Saefuddin, 1986)
257
Zakat adalah merupakan instrument fiskal Islami yang sangat luar biasa, sebagai
Negara yang memiliki jumlah penduduk islam terbesar di dunia Indonesia memiliki potensi
zakat yang sanagat besar. Potensi zakat ini apabila digarap dengan baik, akan menjadi sumber
pendanaan yang sangat besar, sehingga dapat menjadi kekuatan pendorong pemberdayaan
ekonomi umat dan pemerataan pendapatan. Pemberdayaan masyarakat dengan zakat dapat
memiliki berbagai efek yang baik bagi perekonomian, namun demikian potensi itu belumlah
tergali dengan baik yang disebabkan berbagai faktor, terutama kesadaran dalam menunaikan
zakat yang hanya dipandang sebagai sebuah ibadah, hal ini perlu terus dilakukan pemahaman
dan sosialisasi bahwa zakat merupakan istrumen fiskal yang dapat memberikan efek untuk
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, disisi lain belum terintergrasinya lembaga zakat
menjadikan sasaran dalam penyaluran zakat kurang efektif sehingga tujuan untuk
mensejahterakan masyarakan dengan zakat masih jauh panggang dari api, untuk itu
diperlukan peranan pemerintah dalam membuat sebuah regulasi sehingga menjadikan
penyaluran zakat dapat menjadi efektif dan dapat mencapai tujuan mensejahterakan rakyat,
atau paling tidak dapat mengurangi jumlah angka kemiskinan di Indonesia.
D. Potensi Zakat Indonesia
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah
dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan
hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan
melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif
dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (Kholilah, 2011).
Belum optimalnya pengumpulan zakat di Indonesia harus terus mendapat perhatian
serius dari semua pihak, hal ini penting karena potensi zakat Indonesia sangat besar, dan
dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Hasil penelitian Center of The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta bersama The Ford Foundation, perkiraan dana ZIS sekitar Rp 19,3
triliun per tahun, sedangkan menurut Eri Sudewo potensi zakat ansich di Indonesia sebsesar
dalam kisaran 1,08 – 32,4 triliun per tahun dengan asumsi terdapat 18 juta muslim kaya dari
80 juta muslim yang menunaikan zakat per bulan dengan kisaran 50 -150 ribu rupiah (Nurul
Huda dkk, 2012).
Kepala Baznas Didin Hafidhuddin mengatakan, zakat berperan besar dalam
pengentasan kemiskinan. Menurutnya, pengentasan kemiskinan tanpa program Zakat akan
258
membutuhkan waktu yang lebih lama, ketimbang menerapkan zakat. "Pengentasan
kemiskinan tanpa zakat akan membutuhkan waktu tujuh tahun, sementara dengan
menggunakan zakat akan membutuhkan waktu 5,5 tahun (http://economy.okezone.com)
Hasil riset mutakhir yang dilakukan BAZNAS, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan
Islamic Development Bank (IDB), menemukan bahwa potensi zakat Indonesia mencapai Rp
217,3 Triliun.Hasil riset mutakhir yang dilakukan BAZNAS, Institut Pertanian Bogor (IPB)
dan Islamic Development Bank (IDB), menemukan bahwa potensi zakat Indonesia mencapai
Rp 217,3 Triliun.(Suaramerdeka.com)
Lembaga Riset Zakat (IMZ/Indonesia Magnificence of Zakat) menyebut realisasi
zakat di Indonesia masih jauh dari potensi yang dimiliki sehingga belum mampu menjadi
instrumen mengatasi persoalan kemiskinan. Direktur Utama IMZ Nana Minarti di Palu,
mengatakan, proyeksi penghimpunan dana ZISWAF (zakat, infaq, sedekah dan fakaf) pada
tahun 2010 oleh semua Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) berkisar antara Rp1,025 triliun
hingga Rp 1,395 triliun. Sementara potensi zakat menurut PIRAC (Public Interest Research
and Advocacy Center) sekitar Rp9 triliun per tahun, Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut Rp19 triliun per tahun, dan Forum Zakat
memperkirakan Rp17,5 triliun per tahun. Menurut Nana Minarti, realisasi yang masih rendah
disebabkan pembayar zakat masih karitatif, yakni berorientasi jangka pendek dan disalurkan
langsung tanpa melalui lembaga. Selain itu, masih rendahnya efisiensi dan efektivitas
pendayagunaan dana zakat lembaga zakat kurang berinovasi dalam pendayagunaan. Faktor
lain, lemahnya kerangka aturan dan institusional zakat yang menyebabkan kepercayaan
masyarakat terhadap OPZ rendah. "Kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia bidang
zakat masih lemah sehingga perlu pengelolaan zakat secara kolektif dan professional berbasis
tata kelola yang baik," urainya. (ANTARA News)
Untuk mengetahui besar potensi zakat digunakan metode perkiraan potensi zakat yang
digunakan berdasarkan asumsi dimana kadar zakat minimal 2,5% dari masing-masing sektor
ekonomi daerah (PDRB) (Amalia dan Kasyful Mahalli, 2012). Hal yang membedakan dalam
penelitian ini adalah potensi zakat dihitung dengan kadar minimal 2,5 % dari masing-masing
Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, yang
diperoleh dari: berbagai sector yaitu:Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan
PerikananPertambangan dan PenggalianIndustri PengolahanListrik, Gas & Air
259
BersihKonstruksiPerdagangan, Hotel & RestoranPengangkutan dan KomunikasiKeuangan,
Real Estate & Jasa PerusahaanJasa-jasa.
Pada tahun 2009 potensi zakat terbesar terdapat pada lapangan usaha Industri
Pengolahan sebesar Rp. 14,2 5 triliun, potensi zakat terbesar urutan kedua terdapat pada
lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 9,21 triliun, dan lapangan usaha
pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan pada urutan ketiga potensi zakat terbesar
ketiga dengan potensi zakat sebesar Rp. 7,39 triliun
Pada tahun 2010 potensi zakat terbesar terdapat pada lapangan usaha Industri
Pengolahan sebesar Rp. 14,47 triliun naik 676 milyar dari tahun sebelumnya, potensi zakat
terbesar urutan kedua terdapat pada lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran sebesar
Rp. 10,01 triliun atau naik sebesar 800 milyar dari tahun sebelumnya, dan lapangan usaha
pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan pada urutan ketiga potensi zakat terbesar
ketiga dengan potensi zakat sebesar Rp. 7,61 triliun, naik 222 milyar dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 2011 potensi zakat terbesar terdapat pada lapangan usaha Industri
Pengolahan sebesar Rp. 15,84 triliun naik 916 milyar dari tahun 2010, potensi zakat terbesar
urutan kedua terdapat pada lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 10,92
triliun naik 918 milyar dari tahun 2010, dan lapangan usaha pertanian, peternakan, kehutanan
dan perikanan pada urutan ketiga dengan potensi zakat sebesar Rp. 7,87 triliun, atau naik
sebesar 256 milyar dibandingkan tahun 2010.
Lapangan usaha Industri pengolahan memiliki potensi zakat terbesar selama tiga tahun
berturut-turut potensi zakat terbesar dari lapangan usaha ini disumbang oleh industry bukan
migas dengan potensi Rp. 13,30 trilyun dengan dua jenis industry yang menjadi ujung tombak
yaitu industry peralatan, mesin, dan industry makanan, minuman, dan tembakau dengan potensi
masing-masing sebesar Rp. 4,30 trilyun dan Rp. 3,89 trilyun pada tahun 2009 dan terus
meningkat hingga pada tahun 2011potensi zakat dari industry non migas sebesar Rp. 14,67
trilyun, dengan masing-masing dua jenis industry ujung tombak naik mencapai Rp. 5,07 trilyun
dan Rp. 4,36 trilyun.
Potensi Zakat Berdasarkan Lapangan Usaha Produk Domestik Bruto Atas
Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2004-2012
Lapangan Usaha 2009
Potensi
Zakat 2010
Potensi
Zakat 2011*
Potensi
Zakat
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan
dan Perikanan
295.883,80 7.397 304.777,10 7.619 315.036,80 7.876
a. Tanaman Bahan Makanan 149.057,80 3.726 151.500,70 3.788 154.153,90 3.854
b. Tanaman Perkebunan 45.558,40 1.139 47.150,60 1.179 49.260,40 1.232
260
c. Peternakan 36.648,90 916 38.214,40 955 40.040,30 1.001
d. Kehutanan 16.843,60 421 17.249,60 431 17.395,50 435
e. Perikanan 47.775,10 1.194 50.661,80 1.267 54.186,70 1.355
2. Pertambangan dan Penggalian 180.200,50 4.505 187.152,50 4.679 189.761,40 4.744
a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 95.230,00 2.381 96.146,00 2.404 95.155,20 2.379
b. Pertambangan Bukan Migas 63.820,10 1.596 68.481,50 1.712 70.405,90 1.760
c. Penggalian 21.150,40 529 22.525,00 563 24.200,30 605
3. Industri Pengolahan 570.102,50 14.253 597.134,90 14.478 633.781,90 15.845
a.Industri Migas 46.934,90 1.173 47.199,30 1.180
46.757,80 1.169
1). Pengilangan Minyak Bumi 21.083,60 527 21.346,50 534 21.459,70 536
2). Gas Alam Cair (LNG) 25.851,30 646 25.852,80 646 25.298,10 632
b. Industri Bukan Migas 523.167,60 13.304 549.935,60 13.748 587.024,10 14.675
1). Industri Makanan, Minuman dan
Tembakau
155.620,20 3.891 159.947,20 3.999 174.566,70 4.364
2). Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan
Alas Kaki
51.299,90 1.282 52.206,20 1.305 56.131,10 1.403
3). Industri Kayu dan Produk Lainnya 20.055,00 501 19.359,70 484 19.427,40 4.856
4). Industri Produk Kertas dan Percetakan 27.092,40 677 27.544,70 689 27.930,30 698
5). Industri Produk Ppuk, Kimia dan
Karet
69.514,20 1.738 72.782,00 1.821 75.657,50 1.891
6). Industri Produk Semen dan
Penggalian Bukan Logam
15.908,90 398 16.255,60 406 17.424,10 436
7). Industri Logam Dasar Besi dan Baja 7.702,00 193 7.885,60 197 8.915,20 223
8). Industri Peralatan, Mesin dan
PerlengkapanTransportasi
172.085,10 4.302 189.947,90 4.748 202.892,00 5.072
9). Produk Industri Pengolahan Lainnya 3.889,90 97 4.006,70 100 4.079,80 102
4. Listrik, Gas & Air Bersih 17.136,80 428 18.050,20 451 18.921,00 473
a. Listrik 10.483,10 252 11.050,80 276 11.959,60 299
b. Gas 4.496,60 112 4.718,00 118 4.583,90 114
c. Air Bersih 2.157,10 54 2.281,40 57 2.377,50 59
5. Konstruksi 140.267,80 3.507 150.022,40 3.751 159.993,40 3.999
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 368.463,00 9.212 400.474,90 10.012 437.199,70 10.929
a. Perdagangan Besar dan Eceran 302.028,40 7.550 331.312,90 8.283 364.321,80 9.108
b. Hotel 15.200,80 380 16.230,90 406 17.745,70 443
c. Restoran 51.233,80 1.281 52.931,10 1.323 55.132,20 1.378
7. Pengangkutan dan Komunikasi 192.198,80 4.805 217.980,40 5.450 241.298,00 6.032
a. Pengangkutan 79.571,50 1.989 85.293,40 2.132 91.841,80 2.296
1). Angkutan Rel 792,20 20 832,00 21 798,80 20
2). Angkutan Jalan Raya 34.226,50 856 35.974,40 899 38.339,30 958
3). Angkutan Laut 8.855,60 221 8.864,60 222 9.157,20 229
4). Angkutan Sungai, Danau &
Penyeberangan 2.760,70 69 2.964,20 74 3.083,50 77
5). Angkutan Udara 14.564,30 364 17.330,40 433 19.817,80 495
6). Jasa Penunjang Angkutan 18.372,20 459 19.327,80 483 20.645,20 516
261
b. Komunikasi 112.627,30 2.816 132.687,00 3.317 149.456,20 3.736
8. Keuangan, Real Estate & Jasa
Perusahaan 209.163,00 5.229 221.024,20 5.526 236.146,60 5.904
a. Bank 86.057,50 2.151 90.167,80 2.254 96.393,10 2.410
b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 18.147,60 453,7 19.333,50 483 20.745,10 519
c. Jasa Penunjang Keuangan 1.424,60 35,7 1.508,50 38 1.627,20 41
d. Real Estat 63.957,60 1.599 67.497,10 1.687 71.760,20 1.794
e. Jasa Perusahaan 39.575,70 989 42.517,30 1.063 45/621,00 1.141
9. Jasa-jasa 205.434,20 5.136 217.842,20 5.446 232.537,70 5.813
a. Pemerintahan Umum 88.683,20 2.217 92.802,60 2.320 97.799,10 2.445
1). Administrasi Pemerintahan dan
Pertahanan 55.845,80 1.396 58.395,70 1.460 61.506,50 1.538
2). Jasa Pemerintahan Lainnya 32.837,40 821 34.406,90 860 3.292,60 82
b. Swasta 116.751,00 2.919 125.039,60 3.126 134.738,60 3.368
1). Jasa Sosial Kemasyarakatan 29.688,70 742 31.591,10 790 33.685,60 842
2). Jasa Hiburan dan Rekreasi 9.000,10 225 9.671,60 242 10.461,70 262
3). Jasa Perorangan dan Rumah tangga 78.062,20 1952 83.776,90 2.094 90.591,30 2.265
Produk Domestik Bruto 2.178.850,40 54.471 2.314.458,80 57.861 2.464.676,50 61.617
Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 2.036.685,50 50.917 2.171.113,50 54.278 2.322.763,50 58.070
Catatan:
* Angka Sementara
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik
262
DAFTAR PUSTAKA
Cahyat, A dkk.2007. Mengkaji Kemiskinan Dan Kesejahteraan Rumah Tangga Sebuah
Panduan Dengan Contoh Dari Kutai Barat, Bogor: CIFOR, Bogor Indonesia.
Nasikun. 2001. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan.
Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Jarnasy, Owin. 2001. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta:
Belantika,
Nurul Huda dkk, 2012, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Jakarta:
Kencana.
Peter McDonald, dkk, 2010. Indikator kemiskinan pada penduduk muda di JATABEK, The
2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey Policy Background No. 4.
M. Quraish Shihab, 2007. Wawasan Alquran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Jakarta: Mizan Publishing.
Amalia dan Kasyful Mahalli, Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 1, No.1, Desember 2012
Yusuf Qaradawi, Al-Zakah Dauruha Fi Ilaj Al-Musykilat Al-iqtisadyah Wa Syurur najaiha.
Kairo: Dar Al-Syuruq, 2006
Zainudin, Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan (Studi Tentang Manajemen Pelaksanaan
UU Zakat No 38 1999, Jurnal MD vol 1 No 1 Juli-Desember 2008.
Mardhiyah Hayati, Peran Pemerintah Dan Ulama Dalam Pengelolaan Zakat Dalam Rangka
Usaha Penanggulangan Kemiskinan Dan Peningkatan Pendidikan Di Indonesia
Mustafa Edwin Nasution, Zakat sebagai instrument pengentasan kemiskinan di era otonomi
daerah, Proceedings of International seminar on Islamic Economics as a Solution,
Medan: IAEI, 2005
263