Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

168

description

Jurnal Ilmiah

Transcript of Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

Page 1: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013
Page 2: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

97

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………… v

Konsepsi Pegadaian Syariah (Suatu Analisis Tentang Marhun/Barang yang digadai)

Syamsuar Basyariah…………………………………………………………………… 98

Peran Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kecamatan Johan Pahlawan dalam

Persetifikatan tanah Wakaf di Kabupaten Aceh Barat

Dedi Karmalis………………………………………………………………………….. 122

Peningkatan Sektor Perekonomian Masyarakat Melalui Pemberdayaan Tanah Wakaf

Darmawansyah………………………………………………………………………… 136

Hukum Kewarisan Beda Agama Menurut Pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi

Ita Rahma Putri………………………………………………………………………… 148

Hukum Pemanfaatan Organ Babi (Studi Komparatif terhadap Pemikiran Yusuf

Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub)

Asra Febriani................................................................................................................. 182

Praktek Mudharabah dalam usaha produksi batu bata (Studi Kasus di Desa Ujung Fatihah

Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya)

Rosmaidar………………..…………………………………………………………….. 208

Konsep Keadilan Ekonomi menurut Nurcholish Madjid

Maulidar………………………………………………………………………………... 225

Potensi Zakat dan Kemiskinan di Indonesia

Early Ridho Kismawadi……………………………………………………………….. 245

Page 3: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

98

KONSEPSI PEGADAIAN SYARI’AH

(Suatu Analisis Tentang Marhun/Barang yang digadai)

Syamsuar Basyariah

Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Dirundeng Meulaboh

[email protected]

Abstract

This paper aims to investigate the views of the Islamic law and the lien position of the

pawned goods (marhun). There are differences of opinion among the Fuqaha see marhun

guarantee if lost in the hands of the murtahin not negligent in guarding it. there are three

opinions. First, that is responsible for marhun murtahin in full, as there marhun disappeared

on or hidden murtahin such as jewelry or clothing, or pawning goods are not supernatural at

murtahin or may not be hidden like a house, animals, and rice before harvest. Secondly, that

is not borne by murtahin marhun fully, both the goods lost or not lost on murtahin. So do not

fall on each receives something of the debt, and as if the goods are destroyed (lost) on the

owner, not by breaking the boundaries of one of them. The opinion according to school

Shafi'ites, Hanabilah, David Dhaheri. It was narrated from Ali kw, 'Atha', Auza'i, Tsur and

Ibn Abi Mandzur. Third, that the guarantee on murtahin, when it lost pawn goods, if the

goods while the lien is not lost, it is not covered by murtahin, and not lost the debt. Marhun

as if it is lost when it is on the owner, not by breaking the boundaries of murtahin, it is in line

with the school Malikiyah.

Kata kunci: Pegadaian Syariah dan Marhun

امللخص

لقد الشريعة اإلسالمية وجمال الرىن من األشياء املرىون. مذاىب عن هتدف ىذه املقالة إىل تفتيش. وىناك ثالثة آراء مما وحقيقة إنو مسؤولية عليو املرهتن أضاعو لون املرىون اعن ضم الفقهاء اختلف

املرىون كحليوميكن أن خيفى متاما، على املرىون املرهتنيضمن تتعلق هبذا األمر، منها: األول، أن قبل احلصد. ، واألرزيوان، املنزل، واحلعلى سبيل املثل أو أن يرىن املرهتن األشياء اجللية ولباسال يؤدي أن إذن، أو ال. املرىون أكان فقد اءأن ال يكلف املرهتن املرىون على اإلطالق، سو ، والثاين

فهذا .من بينهم وإن أفسد املرهتن املرىون أو يفقدىا فال يبطل العقد .من املقبولإىل إبطال الدين الرأي اعتمادا على الشافعية واهلنابلة ودافد صاىري. وقد رواه اإلمام علي كرام اهلل وجو، عطاء،

Page 4: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

99

املرهتنوإن ال يفقد حني فقد املرىون. املرهتنأوزاعي، ثور وابن أيب منظور. والثالث، أن يضمن . وىذا الرأي عند املالكية.ال يكلف عليو املرهتن على الديناملرىون ف

Page 5: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

100

A. Pendahuluan

Pasca Reformasi tahun 2007 yang lalu, bangsa Indonesia belum mampu keluar dari

multi krisis. Salah satu bentuk krisis yang paling dirasakan oleh masyarakat kalangan bawah

(miskin/tidak mampu) adalah krisis ekonomi dan keuangan. Menurut Badan Statistik

Nasional (BSN), Angka kemiskinan di Indonesia saat ini mencapai 34,96 juta orang (15,42%)

dan Provinsi Aceh sendiri berada pada peringkat ketujuh dari 33 Provinsi dengan tingkat

kemiskinan mencapai 20,98%.1

Kondisi perekonomian yang tidak kondusif di Provinsi Aceh saat ini dipengaruhi

oleh faktor konflik yang berkepanjangan dan bencana Tsunami Tahun 2004 yang lalu juga

ikut memporak-porandakan perekonomian di Provinsi Ujung Barat Sumatera. Sehingga

kemiskinan dan pengangguran tidak dapat terhindarkan lagi. Walaupun paska Tsunami

berbagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat telah digulirkan dari berbagai lembaga-

lembaga donatur baik itu dari pemerintah maupun dari NGO lokal dan International. 2

Dari bantuan lembaga-lembaga donatur tersebut ada sebagian masyarakat yang

dapat bangkit dari ketepurukan ekonomi, dan tidak sedikit pula masyarakat yang tidak

mampu atau gagal untuk bangkit dan menata perekonomiannya. Sehingga Kondisi

perekonomian yang tidak stabil mengakibatkan sebagian masyarakat hidup dibawah garis

kemiskinan. Sehingga bermacam bentuk problematika timbul dan dihadapi serta dirasakan

oleh masyarakat, dengan begitu sulitnya perekonomian yang dihadapi masyarakat saat ini,

dimana untuk memenuhi kebutuhan hidup memerlukan dana yang cukup besar.

Berbagai macam terobosan dan cara telah di upayakan oleh pemerintah dan pihak

swasta dalam usaha peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, namun sampai saat ini

sebagian besar masyarakat tetap saja masih dalam kemelaratan dan kemiskinan.3 Salah satu

cara yang sering di pergunakan dan dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah dengan cara

mencari pinjaman pada pihak-pihak tertentu untuk memenuhi hajat hidup.4

Pinjam-meminjam dapat dilakukan oleh siapa pun, baik itu melalui lembaga formal

maupun melalui lembaga non formal, lembaga formal tersebut bisa berupa Bank Negara,

Bank swasta ataupun melalui jasa pegadaian. Kenyataan saat ini masyarakat cenderung lebih

1Admin, 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia, http://alihapsah.com, diakses 22 Desember 2010.

2Ishak Akmadsyah, Jurnal: Media Syariah, Efektifitas Pengelolaan Pogram Pemberdayaan Ekonomi

Kecil Pasca Tsunami, Vol x. No.20, (Banda Aceh: Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry. 2008), h. 145. 3Media On-Line, Faktor-Faktor Kemiskinan, http://google.co.id, akses 20 Oktober 2011.

4Ishak Akmadsyah, Jurnal: Media Syariah, Efektifitas ……………, h. 146.

Page 6: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

101

meminjam dana kepada rentenir (lembaga peminjaman non formal) selain cepat dan mudah

juga tanpa memerlukan pensyaratan yang sulit dan rumit.

Pemanfaatan lembaga keuangan formal melalui bank dan perum pegadaian dewasa

ini marak dilakukan oleh masyarakat yang tingkat ekonominya tergolong lemah. Bermacam

alasan dan sebab masyarakat melakukan transaksi pinjam-meminjam, namun secara umum

mereka melakukan pinjaman karena faktor ingin memperbaiki perekonomian keluarga.5 Saat

ini, tidak kurang 1.200 orang melakukan transaksi pinjam-meminjam di perum Pegadaian

Syariah Kabupaten Aceh Barat.6 Dengan demikian dapat diestimasi bahwa di 23

Kabupaten/kota dikali 1.200 orang berarti 27.600 orang yang melakukan transaksi pinjam-

meminjam. Jumlah ini diambil jumlah minimal.

Kalau satu provinsi 27.600 orang dikali 33 provinsi di seluruh indonesia, berarti

910.800 orang yang melakukan transaksi pinjam meminjam melalui perum pegadaian

syari‟ah. Ini perkiraan minimal, tentu saja kalau perkiraan maksimal lebih dari itu.

diperkirakan di seluruh provinsi dalam wilayah Republik Indonesia, praktik pinjam

meminjam pada perum pegadaian syariah rata-rata antara 50% sampai 70%, transaksi ini

dilakukan oleh masyarakat Islam.

Berkaitan dengan transaksi pinjam meminjam tersebut, tentu saja tidak dapat

dihindari apa yang disebut dengan barang yang digadai (marhun). Kalau secara individual

dengan kalkulasi nominal, bahwa hampir satu juta umat islam setiap tahunnya melakukan

praktik pinjam meminjam pada perum pegadaian syari‟ah, maka sejumlah itu juga atau

bahkan lebih marhun yang dijadikan sebagai jaminan bagi peminjam. Persoalannya adalah

apakah barang jaminan itu (marhun) bisa diperjual belikan atau berganti bentuk „ain nya atau

dapat diganti dengan harga ketika rahin ingin mengambilnya kembali/menebus? Ini yang

menjadi persoalan sehingga menimbulkan masalah yaitu apakah rahin setuju jika barang yang

digadaikan (marhun) bertukar bentuk? Dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan

masalahnya yaitu bagaimana pandangan hukum Islam tentang gadai dan bagaimana pula

kedudukan barang yang digadai (marhun)? Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana pandangan hukum islam tentang gadai dan kedudukan barang yang digadai

(marhun).

5Media On-Line, Faktor-Faktor Kemiskinan, http://google.co.id, akses 20 Oktober 2011.

6Data Sementara Penulis Pada Perum Pegadaian Syariah Meulaboh, Oktober 2011.

Page 7: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

102

B. Gadai (Rahn) Menurut Hukum Islam

1. Pengertian gadai

Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al-

habsu. Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal dan jaminan.7 Rahn adalah

menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang

diterimannya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang

atau gadai.8 Sayyid Sabiq, mendefinisikan gadai sebagai penetapan suatu barang yang

dimiliki nilai dalam pandangan syariat sebagai jaminan atas utang, yang mana utang tersebut

atau sebagian darinya dapat dibayar dengan barang yang di gadaikan.9 Lebih lanjut Abdullah

bin Muhammad Ath-Thayyar dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah menyatakan bahwa ar-

rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang agar hutang itu dilunasi

(dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya.10

Menurut

Rizal Anggabrata Pegadaian adalah sebuah lembaga yang memberikan pinjaman atas dasar

atau jaminan barang yang dititipkan oleh nasabah.11

Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, pegadaian berarti pinjam-

meminjam uang dengan jaminan barang, atau barang yang diserahkan sebagai tanggungan

atas sejumlah pinjaman uang.12

Pengertian gadai dalam hukum positif adalah:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang

diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas

utangnya, dan yang member wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan

piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan

pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai

pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan

setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan”.13

7Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, Cet. 2, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 251.

8Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, implementasi dan Institusionalisasi,

cet.1, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), h.88-89 9Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Cet. 1, (Jakarta: Cakrawala

Publishing, 2009), h. 242. 10

Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, Terj. Mifthaul Khairi,

Cet. 1, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), h. 226. 11

Rizal Anggabrata, Uang dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Multazam Mulia Utama, 2011), h. 75. 12

Emzul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap . . . , h. 299. 13

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150

Page 8: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

103

Berdasarkan pengertian tersebut, gadai dapat berarti sesuatu yang mengikat,

ketetapan atau juga penahanan. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an

dalam surat Al-Muddatstsir ayat 38:

Artinya: Setiap orang tertahan oleh apa yang di lakukannya (Q.S: 74: 38)

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, ar-rahn (gadai) dapat diartikan

sebagai harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.

Dengan kata lain, gadai adalah menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak

(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu. Dalam Islam, ar-rahn

merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa.

Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari

kekuasaan si pemiutang. Si pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan

kepadanya selama hutang belum lunas, tapi dia tidak berhak mempergunakan benda itu.

Selanjutnya ia berhak menjual benda gadai itu, jika si berhutang tak mau membayar

hutangnya.14

Jika hasil gadai itu lebih besar dari hutang yang harus dibayar, maka kelebihan

itu harus dikembalikan kepada si pegadai. Tetapi jika hasil itu tidak mencukupi pembayaran,

maka si pemiutang tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi itu. Penjualan

gadai harus di lakukan di depan umum dan sebelum penjualan di lakukan biasanya hal itu

harus diberitahukan lebih dahulu kepada sipegadai.

Sesuatu yang diberikan sebagai jaminan atau untuk mendapatkan kepercayaan dari

orang yang memberi utang. Dan ketika barang diserahkan kepada orang yang memberi

hutang, maka barang itu menjadi tanggungannya. Dan jika orang yang berutang tidak dapat

membayar hutangnya, maka barang yang digadaikan menjadi miliknya. Sebagai analoginya,

jika ada seorang yang berutang kepada orang lain dan sebagai jaminannya dia menyerahkan

kepada orang yang akan memberinya hutang sebuah rumah atau seekor binatang yang terikat,

sampai ia melunasi utangnya, maka itulah yang di sebut dengan pegadaian dalam syariat.

2. Dasar Hukum gadai

Sebagaimana halnya dengan jual beli, Para ulama fiqh mengemukakan bahwa

akad/perjanjian gadai itu dibenarkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah dalam Al-

Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 283:

14

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , h. 125.

Page 9: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

104

ا للز ى اؤ تمن أ و إن كنتم على سفر و لم تجدوا كا تبا فر ىن مقبو ضة فإ ن أ من بعضكم بعضا فليؤ د منتو و ليتق هلل ر بو و ال تكتموا الشهد ة و من يكتمها فإ نو ء ا ثم قلبو و ا هلل بما تعملون عليم

Artinya: Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang

kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan

yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu

mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan

amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan

janganlah kamu (para saksi) menyembunyaikan persaksian. Dan barang siapa

yang menyembunyikannya, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya,

dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. 02: 283).

Menurut Nasroen Haroen dalam Fiqh Muamalah, Ayat tersebut bermakna bahwa:

Allah SWT memerintahkan orang yang melakukan suatu transaksi dengan orang lain, sedang

bersama dia tidak ada juru tulis, maka hendaklah dia memberikan suatu barang sebagai

jaminan (gadai) kepada orang yang memberikan utang kepadanya supaya merasa tenang

dalam melepaskan uangnya tersebut. Selanjutnya hendaklah peminjam menjaga uang atau

barang-barang utangan itu agar tidak hilang atau di hamburkan tanpa manfaat.15

Sekalipun ayat di atas menunjukkan akad rahn (gadai) tersebut dalam perjalanan,

namun tidak berarti di luar perjalanan tidak boleh melakukan akad Rahn (gadai). Para ulama

semuanya sependapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya boleh (mubah).16

Hal tersebut

sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam buku Hukum-

hukum Fiqh Islam, menyebutkan bahwa menggadai barang boleh hukumnya, baik di dalam

hadlar (kampung) maupun di dalam keadaan safar (perjalanan).17

Namun ada yang berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya di perbolehkan

dalam keadaan berpergian saja. Namu Jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai baik

itu dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah di lakukan oleh Rasulullah

di Madinah, seperti yang di sebutkan dalam hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah r.a:

عن عا إشة ر ضي ا هلل عنها أ ن ر سو ل ا هلل صلى ا هلل عليو و سلم ا شتر ى من يهو د ى طعا ما إلى أ جل و ر ىنو د ر عا لو من حد يد )رواه امسلم(

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah r.a, bahwa sanya Rasulullas Saw pernah membeli

makanan dari seorang Yahudi yang pembayarannya akan di lunasi sampai batas

15

Nasroen Haroen, Fiqh . . . , h. 252. 16

Nasroen Haroen, Fiqh. . . , h. 254. 17

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Figh Islam, Cet. 2, (Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 2001), h. 365.

Page 10: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

105

waktu tertentu, dan Rasulullah Saw menggadaikan baju besi kepada orang Yahudi

tersebut (sebagai anggunan), (H.R Muslim).18

Berdasarkan hadits tersebut di atas, proses transaksi pegadaian dapat di lakukan

dengan siapa saja, baik sesama muslim maupun dengan non muslim sekalipun. Apabila

dalam perjanjian gadai terjadi perselisihan maka Rasullullah menjelaskan:

صلى ا هلل عليو و سلم قضى : أ ن ا ليمين على ا لمد عى أ ن ا لنبي عن إ بن عبا س ر ضي ا هلل عنهما : عليلو. )رواه البخري(

Artinya: Diriwayatkan dari ibn A‟bbas r.a, bahwa Nabi Saw telah memberi keputusan :

orang yang tergugat/terdakwa harus bersumpah. (H.R Bukhari).19

Landasan hukum berikutnya adalah Ijma‟ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian

gadai. Tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di

tangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb adalah merupakan ijtihad yang dilakukan

para fukaha. Unsur-unsur rahn adalah orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahin,

orang yang menerima barang gadai disebut murtahin, dan barang yang digadaikan disebut

marhun dan hutang yang disebut marhun bih.

3. Rukun dan Syarat Gadai

Suatu perjanjian atau ikrar gadai itu baru sah, apabila disertai dengan rukun dan syarat

gadai. Adapun rukun gadai (ar-rahn) adalah:

a. Shigat (ijab kabul), Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang

penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak;

b. Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin), Lafaz dapat saja dilakukan secara

tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya

perjanjian gadai di antara para pihak;

c. Harta yang dijadikan anggunan (al-marhun), Barang yang digadaikan harus ada pada

saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang

gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai;

d. Utang (al-marhun bih), Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah

dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.20

Mohammad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan rukun dan syarat sahnya

perjanjian gadai adalah sebagai berikut;21

pertama, Ijab qabul (sighot). Hal ini dapat

18

Al-Hafizh „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin Al-Mundziri, Mukhtshar Shahih Muslim,

Terj. Acmad Zaidun, Cet. 1, (Saudi Arabia: Daar Ibn Khuzaimah, 1994), h. 530. 19

Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtashar Shahih Al-Bukhari, Cet. 1,

(Saudi Arabia: Daar As-Salam, 1996), h. 526. 20

Nasroen Haroen, Fiqh. . . , h. 254.

Page 11: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

106

dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja di dalamnya terkandung

maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Kedua, orang yang bertransaksi (Aqid).

Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi

gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal, dan atas keinginan

sendiri.

Ketiga, adanya barang yang digadaikan (Marhun). Syarat-syarat yang harus dipenuhi

untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah; dapat diserah

terimakan, bermanfaat, milik rahin (orang yang menggadaikan), jelas, tidak bersatu dengan

harta lain, dikuasai oleh rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Keempat,

Marhun bih (utang). Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat

dijadikan alas gadai adalah; berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan, utang harus lazim

pada waktu akad, dan utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

4. Al Marhun (Barang yang digadai)

Marhun ialah barang yang digadaikan. Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam buku

Minhajul muslim menyatakan bahwa barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak

boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena

penjualan tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak tersebut haram, namun

untuk dijadikan marhun hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak memuat unsur gharar

bagi murtahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur gharar karena piutang murtahin tetap ada

kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.22

Syarat al-marhun (anggunan) meliputi; Barang anggunan tidak boleh di jual, Barang

jaminan itu bernilai, Barang jaminan itu jelas dan tertentu, Anggunan itu milik sah orang

yang berutang, Barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain, Barang jaminan itu

merupakan harta yang utuh, dan Barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun

manfaatnaya.23

Mengenai barang (marhun) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam

Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa semua barang yang boleh dijual-belikan menurut

21

Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi,

cet.I, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 20060, h. 91-92. 22

Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi,

cet.I, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 20060, h. 92. 23

Nasroen Haroen, Fiqh. . . , h. 254.

Page 12: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

107

syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.24

Aspek lainnya yang perlu mendapat

perhatian dalam kaitan dengan perjanjian gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan

kewajiban masing-masing pihak dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak

normal. Situasi dan kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force

mayor seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.

Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah

menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam batas nilai

jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan yang nilainya

cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah

menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang akan dipinjamkannya.

Sedangkan kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati

bersama.

Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan

hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang yang

diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima pembayaran

hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang, sedang kewajibannya

adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang rahin secara utuh tanpa cacat.

Di atas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara

barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya dalah

menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya

pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang

menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh.

Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang,

maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil

penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan

kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau

barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi hutang almarhum pemilik

barang.25

Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai sesuai

syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau

24

Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, terj Abdul Malik Idris, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1990), h. 143. 25

Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, Kifayatul…., h. 144.

Page 13: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

108

perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut Muhammad Akram Khan

adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat

adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan dengan dukungan

gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam

mempunyai dua pilihan, yaitu dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi

pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian

mudharabah.26

Di dalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu

jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam

menanggung biaya yang secara nyata terjadi seperti biaya penyimpanan, dan dibayarkan

dalam bentuk uang (bukan persentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat

apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.

C. Pegadaian Syariah

Rahn yang dikemukakan oleh ulama klasik tersebut hanya bersifat pribadi. Artinya

utang piutang hanya terjadi antara seorang pribadi yang membutuhkan dan seorang yang

memiliki kelebihan harta, di zaman sekarang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan

ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antara pribadi dan lembaga

keuangan.27

Di Indonesia, terbitnya PP No.10 tahun 1990 menjadi tonggak awal kebangkitan

pegadaian. Pasal 3 PP tersebut Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi

wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Misi yang diemban

oleh pegadaian untuk mencegah praktek riba hingga terbitnya PP No.103 tahun 2000 sebagai

landasan kegiatan usaha perum pegadaian.28 Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta

dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah Cabang Dewi Sartika pada tahun 2003. Menyusul

kemudian pendirian Unit Layanan Gadai Syariah di Surabaya, Makasar, Semarang,

Surakarta, dan Yogyakarta. Masih pada tahun 2003, 4 (empat) Kantor Cabang Pegadaian di

Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.29

26

Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-

hadits Pilihan tentang Ekonomi), (Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, 1996), h. 179-184. 27

Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,h.103 28

M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan …….., h. 278. 29

Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,h. 116-117

Page 14: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

109

Pada dasarnya layanan pegadaian syariah sama dengan sistem pinjaman dengan

anggunan atau jaminan pada Bank. Hal yang membedakan adalah jenis objek yang dapat di

gadaikan. Pada Bank barang-barang yang dapat di gadaikan adalah yang memiliki nilai yang

besar, karena pinjaman yang di berikan juga besar. Sedangkan di pegadaian, untuk

mendapatkan pinjaman, para nasabah dapat menggadaikan barang-barang yang memiliki nilai

kecil.

Dalam menjalankan usaha gadai syariah, pegadaian syariah berpedoman pada fatwa

dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Fatwa DSN yang terkait langsung dengan jasa layanan

pegadaian syariah adalah Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan Fatwa

DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas.30

Tujuan utama usaha pegadaian adalah mengatasi agar masyarakat yang sedang

membutuhkan uang tidak jatuh kepada tukang ijon atau rentenir dengan bunga yang sangat

tinggi. Perusahaan pegadaian menyediakan pinjaman uang dengan jaminan barang-barang

berharga.31

Meminjam uang ke perum pegadaian bukan saja karena prosedurnya yang mudah

dan cepat tapi karena biaya yag dibebankan lebih ringan jika di bandingkan dengan para

pelepas uang atau tukang rentenir. Keuntungan pegadaian adalah pihak pegadai tidak

mempermasalahkan untuk apa uang tersebut digunakan dan hal ini tentu bertolak belakang

dengan pihak perbankan yang harus dibuat serinci mungkin tentang penggunaan uangnya.

Adapun manfaat pegadaian bagi nasabah adalah tersedianya dana dengan prosedur

yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan

pembiayaan atau kredit perbankan. Di samping itu, nasabah juga mendapat manfaat

penaksiran nilai barang bergerak secara profesional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang

bergerak yang aman dan dapat dipercaya.32

Lebih jauh, fungsi pegadaian syariah adalah sebagai wahana tolong menolong yang

telah disyariatkan oleh agama Islam, yaitu orang yang sedang dalam keadaan membutuhkan

dana dapat terbantu dengan adanya perjanjian gadai. Hal tersebut sebagaimana yang di

ungkapkan oleh Nina M. Armando, bahwa gadai merupakan sarana tolong menolong bagi

umat Islam tanpa imbalan jasa.33

30

Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,h.117-118 31

M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan………, h. 281. 32

M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan,….,.h. 283 33

Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2005), h. 33.

Page 15: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

110

Tentang pentingnya tolong menolong sebagaimana yang telah di syaraitkan termaktub

dalam Al-Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 2:

… و تعا و نوا على الرب والتقوى وال تعا ونوا على اإلء مث والعدون واتقوا اهلل ان اهلل شد يد العقا ب

Artinya: “ ... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan

janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertaqwalah

kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al-Maidah:2).

Lebih lanjut, akad penggadaian adalah Akad yang dilakukan untuk mendapatkan

kepastian dan jaminan utang, tujuannya bukan untuk menumbuhkan harta atau mencari

keuntungan.34

Berdasarkan kutipan tersebut, orang yang memberi hutang tidak diperbolehkan

mengambil manfaat dari barang yang di gadaikan.

Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah sebagai

berikut:

a. Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai. Syaratnya harus

terdapat jaminan berupa barang bergerak seperti emas, elektronik, dan lain-lain.

Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian, bergantung pada nilai dan

jumlah barang yang digadaikan.

b. Penaksiran nilai barang. Jasa ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi

tentang taksiran barang yang berupa emas, perak, dan berlian. Biaya yang dikenakan

adalah ongkos penaksiran barang.

c. Penitipan barang (Ijarah). Barang yang dapat dititipkan, antara lain sertifikat motor,

tanah, ijazah. Pegadaian akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya.

d. Gold counter. Merupakan fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan

sebagai bukti kualitas dan keasliannya.35

Perum Pegadaian memudahkan prosedur pengajuan pembiayaan. Calon nasabah atau

debitur hanya perlu membawa agunan (marhun) berupa perhiasan emas dan barang berharga

lainnya ke outlet Pegadaian. Proses pinjaman hanya butuh 15 menit. Pinjaman (Marhun Bih)

mulai dari 50 ribu rupiah sampai 200 juta rupiah atau lebih. Jangka waktu pinjaman

maksimal 4 bulan atau 120 hari dan dapat diperpanjang dengan cara membayar Ijaroh saja

atau mengangsur sebagian uang pinjaman. Pelunasan dapat dilakukan sewaktu-waktu. Tanpa

perlu buka rekening. dengan perhitungan sewa modal selama masa pinjaman. Nasabah

menerima pinjaman dalam bentuk tunai. Persyaratan Pembiayaan Rahn pada Pegadaian

Syariah seperti: Fotocopy KTP atau identitas resmi lainnya, Menyerahkan barang jaminan,

34

Sayyid Sabiq, Fikih . . ., h. 244. 35

M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan,….,.h. 291

Page 16: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

111

Untuk kendaraan bermotor membawa BPKB dan STNK Asli, dan Nasabah menandatangani

Surat Bukti Rahn (SBR).36

Pegadaian syariah memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadai.

Biaya tersebut dihitung berdasarkan nilai marhun. Tarif yang dikenakan untuk menyimpan

marhun jenis emas Rp.90; marhun Barang elektronik Rp.95; dan marhun Motor Rp.100.

Biaya jasa penyimpanan marhun dihitung per 10 hari, dirumuskan dengan:37

Sebagai contoh, biaya penyimpanan marhun emas 1 mayam dengan nilai Rp.1,5 juta

adalah Rp.13.500 per sepuluh hari. Dengan menggunakan rumus diatas diperoleh, 1,5 juta

nilai marhun emas dibagi Rp.10.000 dikali tarif marhun emas Rp.90.

D. Jaminan Barang yang digadai (Dhaman Al Marhun)

1. Pendapat fuqaha

Para fuqaha sepakat bahwa murtahin (orang yang menerima gadai) harus menjamin

(bertanggung jawab) terhadap marhun (barang yang digadai). Bila binasa marhun dengan

sebab melanggar aturan oleh murtahin atau kelalaian dalam memeliharanya, maka

penggantiannya dibayar dengan yang serupa, jika ada marhun yang serupa. Dan dibayar

dengan harga jika dapat dihargakan sampai berapapun harganya, meskipun ada yang serupa

dengan marhun. Jika terdapat harga marhun itu sama dengan hutang, maka gugurlah

hutangnya, jika hutangnya itu lebih banyak, maka murtahin membayar yang selebihnya

kepada rahin (pemilik barang gadai). Jika harga marhun kurang dari jumlah hutangnya, maka

murtahin mengembalikan sisa hutang rahin (madin). Kemudian para fuqaha berbeda

pendapat dalam hal jaminan marhun bila hilang di tangan murtahin tanpa melanggar batas

dan tanpa lalai dalam menjaganya. Dalam hal ini terbagi tiga pendapat:

36

http://www.pegadaian.co.id/pegadaian-rahn.php 37

Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,119-120

Nilai Marhun

------------------- X Tarif berdasarkan jenis marhun

Rp.10.000,-

Page 17: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

112

Pendapat pertama, bahwa murtahin bertanggung jawab atas marhun secara mutlak,

sama ada marhun itu hilang pada murtahin atau disembunyikannya seperti perhiasan atau

pakaian, ataupun barang gadai tersebut tidak ghaib pada murtahin atau tidak mungkin

disembunyikan seperti rumah, hewan, dan padi sebelum dipanen. Ulama Hanafiyah

berpendapat bahwa murtahin harus menjaga marhun sebagaimana menjaga barang miliknya

sendiri, yakni seperti barang titipan. Begitu pula keluarganya diharuskan ikut menjaganya.

Jika rusak atas kelalaian murtahin, ia harus bertanggung-jawab untuk memperbaiki atau

menggantinya.38

Mazhab Abu Hanifah dan kebanyakan dari sahabat r.a., Hasan Basri,

Syuraikh, al-Sya‟bi, Ishak bin Rahawaih, Ibrahim an-Nakha‟i, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Abi

Laila, di mana mereka berbeda terhadap pertanggung jawaban, apakah ditanggung sedikit

dari harga hutang, atau dengan harga seluruhnya ataupun sekadar hutangnya saja?. Hukum

tidak mau membayar hutang adalah dosa besar. Hutang itu adalah dosa yang tidak mungkin

dimaafkan sebagaimana sabda Rasulullah kepada seorang yang bertanya: ”Ya Rasulullah!

Bagaimana pendapat Anda jika terbunuh di dalam peperangan fi sabilillah, sedangkan aku

sabar, ikhlas dan tidak mundur. Apakah Allah akan mengampuni dosa-dosa saya? Nabi

menjawab: Ya!, kecuali hutangmu, Jibril menyampaikan demikian padaku” (HR Imam

Ahmad bin Hambal). Dosa menyia-nyiakan hutang besar sekali walau jumlahnya amat kecil

sekalipun, bahkan syahid fi sabilillah pun tidak dapat menghapuskannya.39

Pendapat kedua, bahwa marhun tidak ditanggung oleh murtahin secara mutlak, baik

barang itu hilang atau tidak hilang pada murtahin. Maka tidak gugur pada saling menerima

sesuatu dari pada hutang dan seolah-olah barang tersebut binasa (hilang) pada pemiliknya,

bukan dengan melanggar batas dari salah satunya. pendapat tersebut menurut mazhab

Syafi‟iyah, Hanabilah, Daud Dhahiri. Diriwayatkan dari Ali k.w, „Atha‟, Auza‟i, Abi Tsur

dan Ibnu Mandzur.

Pendapat ketiga, bahwa jaminannya atas murtahin, bila terdapat barang gadai itu hilang,

adapun bila barang gadai itu tidak hilang, maka tidak ditanggung oleh murtahin, dan tidak

gugurlah hutangnya. Seolah-olah marhun itu hilang ketika berada pada pemiliknya, bukan

dengan melanggar batas dari murtahin, hal tersebut sesuai dengan mazhab Malikiyah.

Sebagian fuqaha, yaitu Imam Syafi‟i, Ahmad, Abu Tsaur, dan kebanyakan ahli hadis

berpendapat bahwa barang gadai adalah barang titipan (amanat), dan merupakan barang dari

38

Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, cet. 10, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 171, M. Nur Rianto Al

Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis, cet.1, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 290. 39

Muslim Ibrahim, Konsultasi Agama Islam, cet. 1, (Banda Aceh: Aceh Media Grafika, 1994), h.202

Page 18: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

113

orang yang menggadaikan.40

Jumhur ulama berpendapat bahwa marhun adalah amanat maka

murtahin tidak bertanggung-jawab atas kerusakannya jika bukan disebabkan oleh

kesalahannya dan hutang tidak dapat dianggap lunas.41

Dalil-dalil yang digunakan: Pendapat pertama mengambil dalil: bahwa jaminan marhun

atas murtahin secara mutlak sama ada barang gadai tersebut hilang atau tidak hilang. Hal

tersebut berdasarkan Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas.

Adapun dalil Sunnah: Pertama: sebagaimana riwayat Ath-Thawi dalam Syarh Ma‟ani

Al Atsar serta Al Baihaqi:42 Artinya: Bahwa seseorang menerima gadai seekor kuda dari orang lain,kemudian ia

mengeluarkan nafkahnya,kemudian Rasuullahl SAW bersabda kepada peneima

gadai, ‟hak kamu telah hilang‟.

Wajah dilalah dari hadits ini: adalah perkataan “zahaba haqquka” itu diberitahukan dari

Rasul Saw., bahwa hilang hak murtahin dengan binasanya marhun. Hal tersebut

kemungkinan terdapat tiga pengertian: Pertama: al-wastiqah (kepercayaan, kejujuran).

Kedua: al-muthalabah bi al-badal (menuntut ganti rugi). Ketiga: al-dain (hutang).

Terhadap yang pertama: Perkataan: “zahaba haqquka” itu memberitahukan hilangnya

kepercayaan (watsiqah) al-marhun, dan hilangnya itu telah diketahui dengan panca indra

(dengan nyata), tidak baik memberitahukan begitu, maka tidak shah menginginkan hak

(imbalannya).

Adapun terhadap pendapat kedua: Perkataan “zahaba haqquka”, memberitahukan

tentang hilangnya tuntutan dan gugur ganti rugi. Menuntut ganti rugi tidak wajib sebelum

hilang marhun, maka tidak shah memberitahukan tuntutan ganti rugi dengan hilangnya

marhun, karena sesuatu itu tidak dikatakan hilang melainkan sebelum diusahakan

mendapatkan dan menetapkannya.

Maka tertentulah pendapat yang ketiga: yaitu al-dain (hutang). Perkataan “zahaba

haqquka” itu memberitahukan hilang dan gugurnya hutang dari rahin dengan sebab binasa

barang yang digadai. Dikuatkan bahwa pengertian yang benar yaitu hutang, dikembalikan

dan dimakrifahkan dengan disandarkan sebelum disebut dalam hadits yang umum, maka

yang demikian itu menunjukkan kebenaran yang satu, yang pertama dimaksudkan adalah

hutang, hal ini merupakan satu keyakinan. Hak pada kata-kata “zahaba haqquka”,

40

M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan,….., h. 289. 41

Rachmat Syafe‟i, Fiqih…., h.175 42

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2, terj.Abu usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam,

2007), h.548

Page 19: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

114

maksudnya adalah hutang dan hilangnya hutang sebagai bandingan marhun yang hilang, itu

menunjukkan bahwa murtahin bertanggung jawab (menjamin) terhadap marhun bila hilang di

tangan murtahin. Dalil tersebut ditolak: Tidak shah berhujjah dengan dalil tersebut, karena

ulama al-Jarh wa al-Ta‟dil menganggap lemah. Berkata Ibnu Rusyd bahwa hadits itu

mursal, seluruh mereka dari Atha‟ bin Abu Rabah secara marfu‟.43

Dalil al-Sunnah yang kedua: apa yang diriwayatkan oleh „Al-Qamah bin Murst‟ad, dari

Maharib bin Dinar, bahwa Nabi Saw., bersabda:

Artinya: Barang gadaian itu pada murtahin, bila hilang barang gadaian, maka diganti

dengan harganya.

Wajah dilalah dari hadits ini: bahwa Rasulullah Saw., memberitahukan bahwa barang

gadaian itu apabila hilang, maka hilang pula hutangnya karena hilangnya itu binasa. Maka

pengertian hilang barang gadaian adalah barang gadaian pada murtahin menjadi hutang, maka

tidak dikembalikan oleh murtahin kepada rahin hutangnya, pengertian ini dimaksudkan

bahwa jaminannya atas murtahin.

Dalil tersebut ditolak dengan hadits berikut: “la yuslihu lil ihtijaj” (tidak baik berhujjah

dengan dalil tersebut) yang telah diriwayatkan oleh Al-Daraquthni dari tiga jalan, tidak

terlepas satu jalan pun dari padanya perawi yang dusta, dha‟if atau maudhu‟.

Adapun dalil Ijma‟: diriwayatkan dari sahabat dan tabi‟in, bahwa barang gadai itu

ditanggung murtahin, para ulama berbeda dalam hal cara menanggungnya, namun tidak ada

satupun yang menentang tentang membayarnya. Maka dikatakan bahwa barang gadaian itu

amanah di tangan murtahin adalah menentang ijmak. Ditolak dalil tersebut dengan ijmak:

didakwakan ijmak itu tak ada bukti, maka tidak shah, karena dinukilkan dari sebahagian

sahabat dan sebahagian tabi‟in berbeda dengan apa yang didakwakan oleh ijmak. Maka shah

nukilan dari Ali k.w bahwa Barang gadaian itu amanah di tangan murtahin, diriwayatkan dari

Ali bahwa ia berkata: barang gadaian harus dikembalikan sisanya sekalipun tertimpa cacat

menurut satu pendapat.44

Ini menunjukkan bahwa Ali k.w. tidak berpendapat menolak

sisanya, melainkan hilang perbuatan melanggar hukum oleh murtahin. Adapun bila tertinpa

cacat, maka dipandang bebas bagi murtahin membayarnya. Pengertian ini adalah bahwa

marhun tidak ditanggung oleh murtahin apabila hilang di tangan murtahin, bukan karena

pelanggaran hukum dari murtahin terhadap marhun, dan bukan pula karena kelalaian

memeliharanya.

43

Ibnu Rusyd, Bidayatul………., h.548 44

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2……………..,h. 546

Page 20: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

115

Shah menurut „Atha‟ dan Zuhri (keduanya dari golongan tabi‟in), perkataan bahwa

marhun itu amanah di tangan murtahin, menurut „Atha‟ barang gadaian itu wastiqah

(kepercayaan), jika binasa, maka tidak atas murtahin gharmun (kerugiannya tidak ditanggung

murtahin), rahin wajib membayar hutang semuanya yang diambil pada murtahin.45

Menurut

az-Zuhri, pada barang gadai yang hilang: bukan hilang hak, melainkan hilang dari pemilikan

barang gadai, pemilik barang gadai (rahin) berhak mengambil hasilnya, pemilik barang gadai

(rahin) juga berhak menanggung kerugiaannya. Para ulama berbeda pendapat, bahwa

pendapat menurut ijmak di atas tidak shah.

Adapun dalil qiyas: mereka berkata: hutang itu seperti diyat jinayah hamba, semua hak

sekali-kali tidaklah digantungkan dengan benda, maka sebagaimana diyat jinayah hamba,

maka gugurlah dengan hilangnya hamba, begitu juga hutang itu gugur dengan hilangnya

marhun. Dalil qiyas ini ditolak: sebagai pemisah, jika diyat jinayah hamba itu imbalan yang

dikaitkan pada satu tempat, yaitu memerdekakan hamba al-janiy, adapun hutang, maka hak

(balasannya) bagi murtahin, dikaitkan pada zimmah rahin dan dengan membebaskan marhun,

jika hilang marhun, maka hilang salah satu dari dua tempat, sisanya dikaitkan pada tempat

yang lain, seperti jaminan hutang, jika hilang jaminan, maka tidak gugurlah sisa hutangnya

pada tempat yang lain.

Pendapat kedua mengambil dalil: bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas

marhun, bila binasa di tangan murtahin, bukan dengan melanggar batas dan bukan kelalaian

dalam menjaganya, pendapat kedua ini mengajukan dalil sunnah dan qiyas. Adapun menurut

Sunnah: Hadits yang diriwayatkan Asy-Syafi‟i, ad-Daraquthni, dari Abi Hurairah r.a, dari

Nabi Saw., bersabda:

Artinya: Tidak boleh ditutup/ dihalangi barang yang digadaikan bagi pemiliknya yang

menggadaikannya, keuntungan dan kerugian adalh haknya (penggadai/pemilik

barang).46

Wajah dilalah dari hadits ini: adalah perkataan Rasul Saw., “ al-Rahnu min shahibihi”,

maksudnya adalah jaminannya, dan perkataan Nabi “Lahu ghunmuhu wa „alaihi ghurmuh”,

maksudnnya adalah bagi rahin itu kelebihan terhadap barang gadaiaannya, manfaat dan

kekukarangan serta kebinasaannya juga bagi rahin, maka dua perkataan yang menunjukkan

45

Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid.6, Penerbit: Dar Alamul kutub, h. 522 46

HR. Ibnu Hibban dalam Mawaridu adh-Dham‟an (no. 1123), Baihaqi (6/40), Abdur Razzaq dalam al-

Mushannaf (no. 15033), Daruquthni dalam as-Sunan (3/32 no. 126), al-Marsail li Abi Dawud (no. 187), asy-

Syafi‟I dalam Tartibul Musnad (2/164 no. 568). Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram, “Para

perawi hadist ini terpercaya, kecuali yang lebih kuat tentang hadist ini menurut Abu Dawud bahwa hadist ini

mursal”

Page 21: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

116

dilalah yang jelas bahwa tangan murtahin terhadap marhun itu tangan amanah, maka tidak

boleh dijamin apabila hilang di tangan murtahin. Dalil tersebut ditolak: karena haditsnya

mukhtalif pada wasilah, risalah, rafa‟ah, waqafnya, dan hadits ini tidak baik dijadikan hujjah.

Adapun menurut qiyas: Marhun itu seperti akte/cheque, orang yang menanggung dan

saksi, persamaannya adalah memberikan kepercayaan, maka sebagaimana hutang itu kekal

keaadaannya atas si rahin apabila hilang cheque atau mati orang yang menanggung atau

matinya saksi, maka begitulah hutang itu kekal keadaaannya apabila binasa marhun, inilah

pengertian tidak diganti (dijamin).

Maqisnya adalah marhun, maqis „alaihnya adalah shak, kafil dan syahid, sedangkan

persamaannya (illatnya) adalah tawastuq (memberi kepercayaan).

Pendapat ketiga mengambil dalil: Bahwa murtahin menjamin marhun yang dihilangkan

atasnya, dan tidak dijamin bila tidak dihilangkan dengan dua dalil: Dalil pertama: barang

yang hilang itu kebanyakan didakwakan hilang menurut satu segi tidak diketahui padanya

kebenaran mudda‟i (orang yang mendakwakan) karena disembunyikannya, dan karena tidak

diketahui manusia, dan barang yang tidak hilang atas murtahin, tidak begitu, apabila binasa

dan hilangnya dari keadaannya yang dhahir terhadap manusia serta dikenal, karena adanya

tuhmah (dugaan buruk) pada barang yang hilang di tangan murtahin, maka wajib jaminannya

atas murtahin, karena ketiadaan jaminan itu membuka jalan dengan sebab menyia-nyiakan

hak orang lain, atau disembunyikannya barang tersebut karena ingin merusakkannya. Maka

gantungan hukum itu adalah adanya dugaan buruk, sehingga apabila murtahin tetap

mendakwakan kebenaran dari binasanya barang tersebut, maka tidak wajib ganti rugi oleh

murtahin.

Dalil yang kedua: pekerjaan penduduk Madinah r.a di mana mereka mewariskan ganti

rugi pada barang yang hilang di tangan murtahin saja. Dalil penduduk Madinah ini ditolak:

bahwa amal penduduk Madinah hanya akan menjadi hujjah apabila menunjukkan Sunnah

yang diikuti pada zaman Rasul Saw., seperti nukilan mereka terhadap sha‟, mud (takaran),

muzara‟ah (bagi hasil tanaman), dan musaqah, adapun terhadap pekerjaan yang caranya

ijtihad dan istidlal- sebagaimana nyata pada jaminan barang yang digadai- maka tidak ada

hujjah.

Pendapat yang rajih: Pendapat yang rajih adalah pendapat yang ketiga, yaitu kembali ke

mazhab Malikiyah, yang menetapkan bahwa murtahin wajib ganti rugi bila marhun hilang di

Page 22: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

117

tangannya,47 dan tidak wajib ganti rugi apabila tidak hilang di tangannya, pendapat yang

menyatakan tidak wajib ganti rugi itu mutlak karena membuka pintu atas mashara‟iyah, di

depan para murtahin, sebab memakan harta manusia secara batil; Pendapat yang menyatakan

ganti rugi itu mutlak pada murtahin adalah tipuan dalam jual beli terhadap para murtahin, dan

terkecohlah dengan harta mereka, karena sesungguhnya keselamatan gadai itu terletak pada

menjaga harta mereka (rahin), jika hilang serta rusak harta mereka tanpa dugaan buruk

barang yang tidak hilang atasnya murtahin, maka yang adil adalah diputuskan dengan

memilahkan antara yang hilang dan tidak hilang, cara seperti itu adalah menghambat semua

jalan menuju kerusakan (saddu al-zara‟i), karena maksud dan tujuan gadai adalah menjaga

harta rahin dan murtahin sehingga tidak memberi mudharat salah seorang dari mereka,

karena itu sangatlah adil jika hutang murtahin dibayar oleh rahin dengan dalil.

Dalam hal marhun hilang di tangan murtahin, dan hilangnya tidak disengaja bahkan

murtahin telah menjaganya dengan baik sekali, penulis berpendapat bahwa jika telah

diusahakan sekuat tenaga untuk mencarinya, ternyata tidak diperoleh, maka murtahin tidak

wajib mengganti. Alasannya adalah sabda Nabi Saw.:

Artinya: “Tidak berhak penggadai memiliki barang yang digadaikan oleh temannya yang

tidak mampu membayar hutangnya. Ia (pemilik barang gadai) berhak mengambil

hasilnya dan ia wajib memikul bebannya atau menanggung kerugiannya. (Hadits

riwayat asy-Syafi‟i dan ahli hadits lainnya dari Mu‟awiyah bin Abdullah bin

Ja‟far).48

Di dalam hadist tersebut disebutkan bahwa kerugian dan keuntungan marhun

dikembalikan kepada rahin. Maka jika hilang tanpa disengaja berarti murtahin tidak wajib

menggantikannya. Kalau ganti rugi dibebankan kepada murtahin, berarti dapat

memberatkannya, sedangkan agama tidak memberatkan para mukallaf melainkan menurut

kemampuannya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah Surat al-Hajj ayat 78:

عليكم يف الدين من حرجوما جعل

Artinya: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”

Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: Aku dibangkit membawa agama yang mudah lagi lapang

47

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2……………..,h. 546 48

Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Mesir: Dar al-Qalam,tt), h. 344, lihat juga Fiqh Sunnah, Vol. III,

(Libanon: Dar al-Fikr, 1981), h. 190

Page 23: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

118

Selanjutnya yang dipegang adalah kata-kata murtahin dan diikuti dengan sumpahnya

bahwa ia benar-benar telah menjaga marhun dengan baik sekali, maka murtahin tidak wajib

menggantinya karena sumpah murtahin adalah sehabis-habis pengakuan dengan membawa

nama Allah.

Adapun hutang si rahin terhadap murtahin, wajib dibayar. Hal ini berdasarkan hadits di

atas yang menyatakan bahwa “keuntungan dan kerugian marhun ditanggung oleh rahin”,

berarti memberikan makna bahwa hutang murtahin harus dibayar oleh rahin. Kalau tidak

dibayar bertentangan dengan firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78 tersebut, karena dapat

menyusah dan menyempitkan murtahin dengan sebab tidak dibayarkan hutangnya oleh rahin.

Menurut hukum Islam jika sudah jatuh temponya membayar hutang, maka pemilik

barang gadai wajib melunasinya.49

Penulis berpendapat, bila tidak dibayar hutang murtahin,

maka murtahin wajib melaporkannya kepada hakim, karena murtahin sudah mengakui

dengan sebenarnya dan dikuatkan dengan sumpah bahwa marhun yang ada ditangannya itu

hilang bukan dengan disengaja.

Akan tetapi bila marhun itu hilang dengan adanya unsur kesengajaan, maka penulis

berpendapat bahwa murtahin wajib membayar ganti rugi marhun. Meskipun demikian, hal ini

terserah kepada rahin, apakah diminta ganti rugi atau tidak. Kalau diminta, berarti murtahin

wajib membayarnya, jika tidak, maka tidak wajib membayar.

Menurut Syuraih, al-Hasan dan Asy-Syafi‟i bahwa barang gadaian itu dijamin

bayarannya sebanyak hak (imbalannya). Kalau umpamanya harga barang sedirham sedang

hak sepuluh ribu, maka jika barang itu binasa, gugur semua hak (imbalan). Menurut mazhab

Malik, segala yang dhahir binasa, seperti binatang dan kebun, tidak dijamin (ditanggung)

oleh yang menerima gadai dan diterima pengakuannya tentang kerusakan barang itu dengan

disumpah. Barang yang tersembunyi kebinasaannya, seperti mata uang dan kain, tidak

diterima pengakuannya terkecuali jika dibenarkan oleh yang menggadaikan.50

Dengan tidak memberatkan semua pihak, menurut Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam

bukunya Hikmatut Tasyri‟ wa Falsafatuhu”, “akan terlihatlah bahwa hikmah gadai sangat

besar sekali. Karena orang yang memberikan jaminan hutang itu menjadi faktor dalam

49

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Cet-II, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), h. 120 50

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab, Cet-II, (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 369

Page 24: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

119

mengatasi kesusahan dari si penggadai, dan kesusahan itu yang mengganggu pikiran dan

hati”.51

2. Dhaman Al Marhun pada Pegadaian Syariah

Pengaturan hukum jaminan pada pegadaian di Indonesia menurut Kitab undang

Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Seorang pemegang gadai (murtahin) memikul

kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

a. Bertanggung jawab terhadap hilangnya atau kemunduran harga barang

tanggungan, jika itu disebabkan karena kelalaiannya;

b. Memberitahukan pada orang yang berhutang apabila hendak menjual barang

tanggungannya;

c. Memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualannya, dan setelah

mengambil pelunasan hutangnya harus menyerahkan kelebihannya pada si

berhutang;

d. Mengembalikan barang tanggungan apabila hutang pokok dan biaya untuk

menyelamatkan barang tanggungan telah dibayar lunas.52

Pada Pasal 1157 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan:

“Kreditur bertanggung jawab atas kerugian atau susut nya barang gadai itu,

sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya. Di pihak lain debitur wajib mengganti

kepada kreditur itu biaya yang berguna dan perlu dikeluarkan oleh kreditur itu

untuk penyelamatan barang gadai itu”.

Berdasarkan kewajiban-kewajiban diatas yang dipikul oleh pegadaian syariah selaku

murtahin serta sebagaimana tertera dalam KUH Perdata, dalam lembaga pegadaian syariah

di Indonesia, kehilangan marhun ditanggung oleh pegadaian syariah selama kehilangan

bukan disebabkan karena kelalaian pihak lembaga pegadaian.

E. Kesimpulan

Kondisi perekonomian yang tidak stabil mengakibatkan sebagian masyarakat hidup di

bawah garis kemiskinan. Sehingga bermacam bentuk problematika timbul dan dihadapi serta

dirasakan oleh masyarakat. Salah satu cara yang sering dipergunakan dan dilakukan oleh

sebagian masyarakat adalah dengan cara mencari pinjaman pada pihak-pihak tertentu untuk

memenuhi hajat hidup baik pemanfaatan lembaga keuangan formal melalui bank dan perum

pegadaian. Berkaitan dengan transaksi pinjam meminjam tersebut, tentu saja tidak dapat

dihindari apa yang disebut dengan barang yang digadai (marhun).

51

Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri‟ wa Falsafatuhu, Cet-IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1994),

h. 201 52

Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah………,h. 107-108

Page 25: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

120

Fuqaha berbeda pendapat dalam hal jaminan marhun bila hilang di tangan murtahin

yang tidak lalai dalam menjaganya. Dalam hal ini terbagi tiga pendapat. Pertama, bahwa

murtahin bertanggung jawab atas marhun secara mutlak, sama ada marhun itu hilang pada

murtahin atau disembunyikannya seperti perhiasan atau pakaian, ataupun barang gadai

tersebut tidak ghaib pada murtahin atau tidak mungkin disembunyikan seperti rumah, hewan,

dan padi sebelum dipanen. Kedua, bahwa marhun tidak ditanggung oleh murtahin secara

mutlak, baik barang itu hilang atau tidak hilang pada murtahin. Maka tidak gugur pada saling

menerima sesuatu dari pada hutang dan seolah-olah barang tersebut binasa (hilang) pada

pemiliknya, bukan dengan melanggar batas dari salah satunya. pendapat tersebut menurut

mazhab Syafi‟iyah, Hanabilah, Daud Dhahiri. Diriwayatkan dari Ali k.w, „Atha‟, Auza‟i, Abi

Tsur dan Ibnu Mandzur. Ketiga, bahwa jaminannya atas murtahin, bila terdapat barang gadai

itu hilang, adapun bila barang gadai itu tidak hilang, maka tidak ditanggung oleh murtahin,

dan tidak gugurlah hutangnya. Seolah-olah marhun itu hilang ketika berada pada pemiliknya,

bukan dengan melanggar batas dari murtahin, hal tersebut sesuai dengan mazhab Malikiyah.

Page 26: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

121

DAFTAR PUSTAKA

Admin, 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia, http://alihapsah.com, diakses 22 Desember

2010.

Akmadsyah, Ishak. Efektifitas Pengelolaan Pogram Pemberdayaan Ekonomi Kecil Pasca

Tsunami, dalam Jurnal Media Syariah. Banda Aceh, Vol x. No.20, 2008

Al Arif, M. Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis. cet,1.

Bandung: Pustaka Setia, 2012Al-Jurjawi, Syaikh Ali Ahmad. Hikmatut Tasyri‟ wa

Falsafatuhu. Cet-IV. Bairut: Dar al-Fikr, 1994

Al-Mundziri, Al-Hafizh „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin. Mukhtshar Shahih

Muslim. Terjemahan oleh. Acmad Zaidun. Cet. 1. Saudi Arabia: Daar Ibn Khuzaimah,

1994

Anggabrata, Rizal. Uang dan Lembaga Keuangan. Cet. 1. Jakarta: Multazam Mulia Utama,

2011

Anshori, Abdul Ghafur. Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan

Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006

Armando, Nina M. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2005

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Hukum-hukum Fiqh Islam. Cet. 2. Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 2001

Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah. Terjemahan oleh.

Mifthaul Khairi. Cet. 1. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009

Az-Zabidi, Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abd Al-Lathif. Mukhtashar Shahih Al-Bukhari.

Cet. 1. Saudi Arabia: Daar As-Salam, 1996

Haroen, Nasroen. Fiqh Muamalah. Cet. 2. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007

Ibrahim, Muslim. Konsultasi Agama Islam, cet. 1. Banda Aceh: Aceh Media Grafika, 1994.

Khan, Muhammad Akram. Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi: Kumpulan

Hadits-hadits Pilihan tentang Ekonomi. Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, 1996

Media Pendidikan On-Line, Kamus Wikipedia, http://Google.co.id, akses 1 November 2011.

Media On-Line, Faktor-Faktor Kemiskinan, http://google.co.id, akses 20 Oktober 2011.

Rusyd,Ibnu. Bidayatul Mujtahid 2, terj.Abu usamah Fakhtur Rokhman,. Jakarta: Pustaka

Azzam, 2007

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah 4. Terjemahan oleh. Mujahidin Muhyan. Cet. 1. Jakarta: Pena

Pundi Aksara, 2009

___________. Fikih Sunnah 5. Terjemahan oleh. Abdurrahim dan Masrukhin. Cet. 1. Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2009

Syafe‟i, Rachmat. Fiqih Muamalah, cet. 10. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Syaltut, Mahmud. Al-Fatawa. Mesir: Dar al-Qalam,tt

Taqiyuddin, Abu Bakar bin Muhammad. Kifayatul Akhyar. Terjemahan oleh. Abdul Malik

Idris. Jakarta: Rineka Cipta, 1990

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Cet-II. Jakarta: Haji Masagung, 1991

Page 27: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

122

PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA IKRAR WAKAF

(PPAIW) KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN DALAM

PENSERTIFIKATAN TANAH WAKAF DI

KABUPATEN ACEH BARAT

Dedi Kamarlis

Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry

Abstract Endowments, if managed properly it will generate revenue for the country. therefore asset

endowment is a very important and valuable for Muslims because then that endowments can

be managed and utilized to the maximum, endowments must be protected from interference

by the state parties who are not responsible. The problem is how Johan Pahlawan sub-district

PPAIW role in the certification of waqf land in West Aceh district and how the allocation and

utilization of waqf land in Johan Pahlawan sub-district. The purpose of this thesis to

determine how Johan Pahlawan sub-district PPAIW role in the certification of waqf land in

West Aceh district and how the allocation and utilization of waqf land in Johan Pahlawan

sub-district. The method in this research is qualitative research. This research is a field of

research or fieldwork. Therefore, the authors will be reading, observing, interviewing and

analyzing matters related to the issue being studied. The results showed that the role PPAIW

Johan Pahlawan sub-district in the certification of waqf land in West Aceh district is very

large because PPAIW authorities in issuing pledge waqf deed, certify and deliver nadzhir

waqf land registration to BPN and oversee the management of waqf land to be used in

accordance by designation. Waqf land in Johan Pahlawan sub-district is intended for the

benefit of the people of Islam such as mosques, prayer rooms, madrasa, tombs and other

social activities.

Kata Kunci: Roles, PPAIW, Endowments, Certificate.

امللخص

هتدف ىذه املقالة إىل تفتيش عن مذاىب الشريعة اإلسالمية وجمال الرىن من األشياء املرىون. لقد اختلف الفقهاء عن ضمان املرىون لو أضاعو املرهتن وحقيقة إنو مسؤولية عليو. وىناك ثالثة آراء مما

ن خيفى املرىون كحلي تتعلق هبذا األمر، منها: األول، أن يضمن املرهتن على املرىون متاما، وميكن أولباس أو أن يرىن املرهتن األشياء اجللية على سبيل املثل، املنزل، واحليوان، واألرز قبل احلصد. والثاين، أن ال يكلف املرهتن املرىون على اإلطالق، سواء أكان فقد املرىون أو ال. إذن، أن ال يؤدي

ىون أو يفقدىا فال يبطل العقد من بينهم. فهذا إىل إبطال الدين املقبول من . وإن أفسد املرهتن املر الرأي اعتمادا على الشافعية واهلنابلة ودافد صاىري. وقد رواه اإلمام علي كرام اهلل وجو، عطاء،

Page 28: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

123

أوزاعي، ثور وابن أيب منظور. والثالث، أن يضمن املرهتن حني فقد املرىون. وإن ال يفقد املرهتن لى الدين. وىذا الرأي عند املالكية.املرىون فال يكلف عليو املرهتن ع

Page 29: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

124

A. Pendahuluan

Al-Quran merupakan garis panduan kehidupan yang sempurna yang perlu dipatuhi

oleh semua makhluk Allah SWT di mana manusia sebagai khalifah di muka bumi. Oleh

sebab itu Islam merupakan sebaik-baik jalan hidup dan tidak ada lagi cara hidup lain yang

dapat memenuhi keperluan manusia. Ekonomi adalah salah satu aspek penting dalam

kehidupan manusia. Dalam Islam hal-hal yang berkaitan dengan aspek ekonomi meliputi

banyak hal. Untuk mengembangkan aspek ekonomi, Islam menempuh dua cara. Pertama,

dengan cara bermuamalah dalam perniagaan atau dalam bentuk lainnya. Kedua dengan aspek

sosial. Aspek sosial inilah yang membedakan Islam dengan lainnya. Bentuk-bentuk

pemberdayaan ekonomi dengan model sosial seperti infaq, zakat, shadaqah dan wakaf.

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas masyarakatnya pemeluk agama islam,

wakaf merupakan salah satu ibadah yang mempunyai dimensi sosial di dalam agama Islam.

Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib

dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana

mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan

demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf tetapi juga karena sikap masyarakat yang kurang peduli

atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk

kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.53

Wakaf adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul yang hukumnya

adalah sunat. Tujuan dan hikmah hukum disunatkan wakaf itu adalah untuk membantu

mengatasi kebutuhan sosial yang ada di setiap masa.54

Dasar dari hukum sunat itu dapat

dilihat dari umumnya firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 92 yang berbunyi:

Artinya :“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu

menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan

maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Q.S Ali Imran : 92)

Dari ayat tersebut di atas dapat diketahui dan dipahami bahwa tidak akan sampai

seseorang kepada kebaikan atau kebajikan yang sempurna hingga seseorang tersebut

menafkahkan hartanya dijalan Allah. Karena harta yang dinafkah oleh seseorang tersebut

disamping menjadi kemaslahatan bagi ummat, juga bisa menjadi amalan baginya di alam

akhirat nanti.

53

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, h.121 54

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 234.

Page 30: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

125

Wakaf yang dilakukan oleh masyarakat belum berperan maksimal dalam

memberdayakan ekonomi umat. Faktor-faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum

berperan maksimal dalam memberdayakan ekonomi umat antara lain : 55

1. Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar,

baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkannya wakaf.

2. Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih memprihatinkan.

Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam dalam pengelolaannya,

bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah pengelolaannya

yang tidak professional.

3. Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup

untuk membangun mesjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Di

Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak

bergerak), padahal dalam fikih harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk

surat berharga dan uang.

4. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nadzir. Nadzir adalah

orang yang diserahi tugas untuk mengurus, mengelola, dan memelihara harta benda

wakaf. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nadzir. Di

berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk

memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nadzir yang professional.

Dalam pelaksanaannya hampir di seluruh Indonesia termasuk Kecamatan Johan

Pahlawan Kabupaten Aceh Barat mempunyai kendala-kendala dalam pengelolaan tanah

wakaf karena banyak tanah wakaf yang belum berfungsi dengan semestinya serta banyak

tanah wakaf yang belum memperoleh sertifikat Tanah Wakaf dari Badan Pertanahan

Nasional karena berbagai faktor sehingga tanah wakaf tersebut tidak dapat dilindungi oleh

negara.

Semua tanah wakaf yang ada di Indonesia termasuk di Kecamatan Johan Pahlawan

harus di buat sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga tanah wakaf tersebut

dapat di lindungi oleh negara sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Namun dalam realita

di lapangan tidak semua tanah wakaf tersebut sudah memperoleh sertifikat yang dikeluarkan

oleh Badan Pertanahan Nasional.

Menurut data yang diperoleh di Kecamatan Johan Pahlawan terdapat 67 lokasi tanah

wakaf, dari 67 Lokasi tersebut yang sudah bersertifikat hanya 21 Lokasi, 17 Lokasi sudah di

daftarkan ke BPN tetapi belum keluar sertifikatnya dan sisanya sebanyak 29 lokasi tanah

wakaf belum didaftarkan ke BPN sehingga jumlah tanah wakaf yang belum bersertifikat di

Kecamatan Johan Pahlawan sebanyak 46 Lokasi.

55

Uswatun Hasanah, 2009, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, www.antaranews.com.

Page 31: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

126

Dalam pendaftaran tanah wakaf menurut pasal 32 Undang-undang RI Nomor 41

Tahun 2004 tentang wakaf mengatakan bahwa PPAIW atas nama nazhir mendaftarkan harta

benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 ( tujuh ) hari kerja sejak akta

ikrar wakaf ditandatangani56

sehingga pihak yang berwenang (Badan Pertanahan Nasional)

dapat mengeluarkan sertifikat tanah wakaf tersebut. Akan tetapi yang terjadi di lapangan

termasuk di Kecamatan Johan Pahlawan, PPAIW sering terlambat mendaftarkan tanah wakaf

tersebut ke Badan Pertanahan Nasional sehingga akan memperlambat proses pendaftaran

sertifikat tanah wakaf tersebut. Hal ini di sebabkan karena PPAIW mempunyai tugas-tugas

lain yang harus di kerjakan dan PPAIW tidak mempunyai dana khusus untuk proses

pendaftaran tanah wakaf tersebut.

Sertifikat tanah wakaf dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang diusulkan

oleh nazhir atau Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas nama nazhir dengan

membawa sertifikat tanah yang bersangkutan, akta ikrar wakaf, dan surat pengesahan Kantor

Urusan Agama Kecamatan setempat mengenai nazhir yang bersangkutan.57

Dalam proses

persertifikatan ini PPAIW juga harus selalu mengadakan koordinasi dengan Badan

Pertanahan Nasional supaya PPAIW atau Nazhir akan mudah dalam proses pembuatan

sertifikat. Namun, PPAIW Kecamatan Johan Pahlawan kurang melakukan koordinasi dengan

BPN Kabupaten Aceh Barat sehingga proses pensertifikatan tanah wakaf membutuhkan

waktu yang relatif lama.

Tanah wakaf yang belum bersertifikat di Kecamatan Johan Pahlawan disebabkan

karena lambatnya proses persertifikatan diajukan ke Badan Pertanahan Nasional, nazhir tidak

mengerti proses untuk memperoleh sertifikat tanah wakaf, lokasi tanah wakaf hilang karena

tsunami, dan tanah wakaf tidak dilaporkan kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

(PPAIW) untuk dibuat Akta Ikrar Wakaf ( AIW) dan selanjutnya dibuat sertifikat di Badan

Pertanahan Nasional.

Dalam proses pendaftaran pencatatan Ikrar Wakaf Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

atas nama nazhir dan atau nazhir berkewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran

pada Kantor Pertanahan Kabupaten setempat dengan menyerahkan surat-surat pemilikan

tanah, Akta Ikrar Wakaf dan Surat Pengesahan nazhir, apabila syarat-syarat tersebut sudah

56

Drs.H.A.Basiq Djalil, S.H.,MA, Peradilan Agama Di Indonesia, Ciputat, Prenada Media Group,

2004. h.319 57

Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir

Terlupakan), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, h 142

Page 32: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

127

diajukan ke BPN maka BPN akan mengeluarkan sertifikat tanah wakaf sehingga tanah wakaf

tersebut dapat dilindungi oleh negara sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) juga harus mengsosialisasikan kepada

masyarakat tentang tata cara perwakafan sehingga masyarakat akan mengetahui tata cara

perwakafan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik itu

dengan mengadakan pelatihan bagi nazhir atau penyuluhan langsung ke desa-desa dengan

mengadakan kerjasama dengan aparatur desa yang bersangkutan.

Dalam pelaksanaannya Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf Kecamatan Johan

Pahlawan masih kurang melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang tata cara

perwakafan, dan menyebabkan masyarakat kurang mengetahui tentang tata cara perwakafan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang sehingga ada sebagian

di antara mereka masih melakukan tata cara perwakafan menurut pengetahuan mereka tanpa

membuat sertifikat yang di keluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional setempat.

Oleh sebab itu, penulis sangat tertarik untuk menulis dan meneliti sehingga penelitian

ini penulis berikan judul “Peran Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kecamatan

Johan Pahlawan dalam Pensertifikatan Tanah Wakaf di Kabupaten Aceh Barat”

B. Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Berbicara soal wakaf, tidak hanya menarik karena ia merupakan wilayah kajian

hukum Islam yang orisinil, tetapi juga menarik karena wakaf adalah salah satu diantara

sekian banyak obyek kajian hukum Islam, selain infaq, zakat dan shadaqah, yang berkaitan

erat dengan persoalan ekonomi, hukum dan sosial.

Wakaf berarti menghentikan, secara bahasa “wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf

masdar dari وقف -يقف -وقفا , kata al-waqf semakna dengan al-habs masdar dari يحبس -حبسا-

.”artinya menahan حبس58

Dengan kata lain, “wakaf menurut bahasa barasal dari kata waqf

yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), dan al-man‟u

(mencegah)”.59

Pengertian wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ,

yaitu : “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu

58

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz. 3, Beirut: Darul al-Fikr, t.t, h. 515. 59

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 239.

Page 33: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

128

tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum

menurut syariah”.60

Sedangkan menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa

makna wakaf adalah menahan dzat benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzat dan

menyedekahkan manfaatnya, ataupun “menahan suatu harta yang merupakan milik pewakaf,

kemudian menyumbangkan di jalan kebaikan”.61

2. Dasar Hukum Wakaf

Dasar hukum wakaf berasal dari hukum Islam yang tentunya dalam pemanfaatannya

tidak lepas dari misi islam yakni untuk menciptakan kebahagiaan masyarakat (rahmatan lil

alamin).62

Pengertian-pengertian umum ayat Al-Quran maupun hadith yang secara khusus

menceritakan kasus-kasus wakaf di zaman Rasulullah. Dalil yang dijadikan dasar hukum

wakaf dalam Islam adalah seperti yang dikemukakan dalam firman Allah SWT surat Ali

Imran ayat 92:

﴾۲۹ال عمشان : ﴿تنالواالبشحتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شىء فإناهللا به عليم لن

Artinya :“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu

menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu

nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah SWT mengetahuinya”. (Ali Imran : 92)

Dalam ayat lain yaitu surat Al-Baqarah ayat 267 Allah SWT berfirman:

يأيها آلرين ءامنوا أنفقوا من ؼيبت ما كغبتم وممآ أخش جنالكم من آألشط ...

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT) sebagian dari

hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari

bumi untuk kamu ...”. (Al-Baqarah : 267)

Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa “Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-

Nya yang beriman untuk berinfak (shadaqah), yaitu sebagian dari harta kekayaannya yang

baik-baik yang telah dianugerahkan melalui usaha mereka”.63

60

Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat ......h 180 61

Muhammad Amin ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, juz IV, Beirut : Dar al-Fikr, 1992, h. 337. 62

Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 2005, h. 6. 63

M. Abdul Ghoffar, et., al, Tafsir Ibnu Katsir, Cet. 1, Jilid. 1, Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2004, h.

534.

Page 34: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

129

C. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

Pemerintah Republik Indonesia selaku pihak yang berwenang dalam melindungi dan

memberdayakan tanah wakaf telah mengeluarkan berbagai peraturan dan menunjuk pejabat-

pejabat yang mengelola dan untuk melindungi tanah wakaf tersebut.

Di dalam peraturan-peraturan tersebut telah jelas diatur tata cara pensertifikatan tanah

wakaf di Indonesia. Dan di dalam peraturan tersebut pemerintah telah menunjuk dan

mengangkat Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf selaku pihak yang berwenang dalam

mengurus tanah wakaf.

Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 73 Tahun 1978 pada tanggal 9

Agustus 1978 tentang pendelegasian wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen

Agama Propinsi atau setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat atau memberhentikan

setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta

Ikrar Wakaf64

, yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf , selanjutnya

disingkat PPAIW, ialah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama, sesuai

dengan ketentuan pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 197765

. Dan

PPAIW adalah seorang yang bertugas di lembaga pemerintahan yang menangani proses-

proses perwakafan.

Peraturan lain yang mengatur tentang perwakafan yaitu Undang-undang Nomor 41

Tahun 2004 tentang wakaf. Undang-undang ini dikeluarkan oleh pemerintah karena praktik

wakaf yang terjadi dalam masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga

dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar

atau beralih fungsi ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum.

Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat (6)

dinyatakan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW,

adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh menteri untuk membuat akta ikrar wakaf”66

2. Fungsi dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat 6 menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar

Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat

64

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, h 488 65

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta PT Raja Grafindo Persada 2003 h.546 66

Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Page 35: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

130

berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dan wakif

menyerahkan kepada nazhir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud pada pasal (6), diangkat dan

diberhentikan oleh Menteri Agama.67

Fungsi dan tugas Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf adalah68

:

a. Meneliti kehendak wakif

b. Meneliti dan mengesahkan nazhir atau anggota nazhir yang baru sebagai diatur dalam

pasal 10 ayat (3) dan (4) pada peraturan ini.

c. Meneliti saksi ikrar wakaf.

d. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf.

e. Membuat Akta Ikrar Wakaf.

f. Menyampaikan akta ikrar wakaf dan salinannya sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat

(2) dan (3) peraturan ini selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak dibuatnya.

g. Menyelenggarakan daftar Akta Ikrar Wakaf.

h. Meyampaikan dan memelihara akta dan daftarnya.

i. Mengurus pendaftaran perwakafan seperti tercantum dalam pasal 10 ayat (1) Peraturan

Pemerintah.

Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, menyebutkan dalam pasal 28:

“Pembuatan Akta Ikrar Wakaf benda tidak bergerak wajib memenuhi persyaratan dengan

menyerahkan sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun yang bersangkutan

atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.69

Fungsi dan kewenangan PPAIW saat ini menunjukkan adanya kualitas peningkatan

yang cukup baik, pada Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan hak

milik, fungsi dan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf hanya dapat menjadi

PPAIW terhadap tanah wakaf yang bersifat hak milik atau hanya berupa benda tidak

bergerak.

Perkembangan fungsi dan kewenangan PPAIW saat ini berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun

2004 tentang wakaf menyebutkan dalam pasal 37 ayat (1) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

(PPAIW) harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala Kantor Urusan

Agama (KUA) dan/atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf, ayat (2) Pejabat

Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) harta benda wakaf bergerak selain uang adalah Kepala

Kantor Urusan Agama (KUA) dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri.

67

Kompilasi Hukum Islam. 68

Peraturan Menteri Agama RI No.1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. 69

Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang Perwakafan

Page 36: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

131

Peningkatan kewenangan ini merupakan hasil dari perluasan benda yang dapat

diwakafkan semula benda yang dapat diwakafkan hanya benda tidak bergerak berupa tanah

milik, semenjak Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf berlaku, maka benda

yang dapat diwakafkan terbagi 2 (dua) yaitu benda bergerak berupa uang dan surat berharga

dan benda tidak bergerak berupa tanah.

Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ternyata tak sekedar mengesahkan

Akta Ikrar Wakaf (AIW) atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW) tetapi juga

mengesahkan nadzhir, namun pada perkembangannya sekarang ini PPAIW tidak dapat

langsung mengesahkan nadzhir tetapi pengesahan nadzhir harus melalui Badan Wakaf

Indonesia (BWI).

Dalam proses pensertifikatan tanah wakaf ini Kepala KUA Kecamatan Johan Pahlawan

selaku PPAIW Kecamatan Johan Pahlawan mempunyai peran yang sangat besar, baik dalam

memberikan pengarahan, tata cara pendaftaran maupun membawa berkas tersebut bersama

nadzhir dan wakif ke Badan Pertanahan Nasional Kabupaten untuk mengurus sertifikat tanah

wakaf. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar nadzhir dan wakif tidak mengerti dan

mengetahui tata cara perwakafan yang berlaku saat ini. Mereka kadang-kadang hanya

mewakafkan tanahnya secara tradisional saja, artinya mereka hanya melakukan ikrar wakaf di

depan aparatur gampung saja tanpa mengurus sertifikat tanah wakafnya tersebut.

Untuk menghindari masalah tersebut maka PPAIW harus mengsosialisasikan kepada

masyarakat supaya dalam pelaksanaan perwakafan harus sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku supaya tanah wakaf tersebut dapat di lindungi oleh negara dan di

gunakan sesuai dengan peruntukkan yang tercantum dalam akta ikrar wakaf tanah tersebut.

Karena wakaf ini merupakan aset yang sangat penting bagi negara yang akan di gunakan

untuk kepentingan bangsa dan negara ini.

Setelah tanah wakaf tersebut mempunyai sertifikat maka dalam pemanfaatannya harus

sesuai dengan peruntukkan yang di tuangkan dalam akta ikrar wakaf oleh wakif kepada

nadzhir di depan PPAIW. Selanjutnya PPAIW harus mengawasi pemanfaatan harta wakaf

tersebut supaya jangan melenceng dari maksud dan tujuan yang di harapkan oleh wakif. Jika

tidak di awasi dengan baik dan benar, maka ada kemungkinan tanah wakaf tersebut di salah

gunakan karena tanah wakaf tersebut mempunyai manfaat yang sangat banyak dan juga tanah

wakaf tersebut mempunyai harga apabila di jual.

Page 37: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

132

D. Jenis dan Jumlah Tanah Wakaf di Kecamatan Johan Pahlawan

Masyarakat di Kecamatan Johan Pahlawan umumnya beragama Islam walaupun ada

sebagian kecil yang menganut agama Kristen, Hindu dan Budha. Dengan mayoritas

penduduknya beragama Islam sehingga memungkinkan melakukan perintah agama yaitu

mewakafkan hartanya untuk keperluan dan kebutuhan umat Islam.

Tanah wakaf yang ada di Kecamatan Johan Pahlawan berjumlah sebanyak 67 Lokasi

dengan luas 283.532,73 m². Tanah wakaf tersebut terdiri dari 21 lokasi yang sudah

mempunyai sertifikat dengan luas 41.399,00 m², 17 lokasi sudah mempunyai Akta Ikrar

Wakaf (AIW) dan sudah didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional tetapi belum keluar

sertifikatnya, 29 lokasi sudah mempunyai Akta Ikrar Wakaf (AIW) tetapi belum didaftarkan

ke Badan Pertanahan Nasional dan belum mempunyai sertifikat sehingga jumlah tanah wakaf

yang belum bersertifikat sebanyal 46 lokasi dengan luas 242.133,73 m².70

Tanah wakaf tersebut tersebar di desa-desa dalam Kecamatan Johan Pahlawan dan

diperuntukkan untuk kepentingan umat Islam baik untuk mesjid, mushalla, kuburan dan lain

sebagainya sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini .

Tabel.

Peruntukan Tanah Wakaf di Kecamatan Johan Pahlawan

No Peruntukkan Lokasi Luas ( M²) Keterangan

1 Mesjid 26 119.898.60

2 Langgar/Mushalla 10 6.598,00

3 Madrasah/Sekolah 5 9.878,50

4 Kuburan/Makam 4 8.642,23

5 Sosial/Lain-lain 22 138.509,40

Sumber : Data KUA.Kec.Johan Pahlawan tahun 2013

Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa sebagian besar wakif di Kecamatan Johan

Pahlawan mewakafkan tanah wakafnya bagi pembangunan mesjid dan kegiatan sosial

lainnya, serta hanya sebagian kecil yang di peruntukkan bagi pembangunan

madrasah/sekolah, kuburan/makam, dan langgar/mushalla. Hal ini disebabkan karena

pemahaman masyarakat tentang banyaknya pahala yang akan Allah berikan kepada mereka

70

Sumber : Data Tanah Wakaf di KUA Kec.Johan Pahlawan

Page 38: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

133

dapatkan jika mereka mewakafkan tanah wakafnya untuk tempat ibadah seperti mesjid dan

pahalanya akan mengalir selama mesjid itu masih di pakai untuk kepentingan umat islam.71

E. Kesimpulan

Dari uraian hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : Peran yang

dijalankan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kecamatan Johan Pahlawan

Kabupaten Aceh Barat dalam persertifikatan tanah wakaf di kecamatan johan pahlawan

sangat banyak mulai dari proses penerimaan ikrar wakaf yang disampaikan oleh wakif,

mengecek daan melihat lokasi tanah wakaf, membuat akta ikrar wakaf yang disaksikan oleh

nadzhir sesuai dengan peruntukkannya, mendampingi nadzhir untuk membawa akta ikrar

wakaf ke BPN Kabupaten untuk proses pembuatan sertifikatnya, dan tugas-tugas lainnya

seperti mengsosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya tanah wakaf untuk

keperluan umat Islam, dan menyampaikan tata cara perwakafan perwakafan sesuai dengan

paraturan yang berlaku. PPAIW juga berperan dalam mengawasi pengelolaan tanah wakaf

tersebut supaya jangan di salah gunakan sesuai dengan peruntukannya yang di kehendaki

oleh wakif.

Tanah wakaf yang ada di Kecamatan Johan Pahlawan berjumlah sebanyak 67 Lokasi dengan

luas 283.532,73 m². Tanah wakaf tersebut terdiri dari 21 lokasi yang sudah mempunyai

sertifikat dengan luas 41.399,00 m², 17 lokasi sudah mempunyai Akta Ikrar Wakaf (AIW)

dan sudah didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional tetapi belum keluar sertifikatnya, 29

lokasi sudah mempunyai Akta Ikrar Wakaf (AIW) tetapi belum didaftarkan ke Badan

Pertanahan Nasional dan belum mempunyai sertifikat sehingga jumlah tanah wakaf yang

belum bersertifikat sebanyal 46 lokasi dengan luas 242.133,73 m². Tanah wakaf tersebut

tersebar di desa-desa dalam Kecamatan Johan Pahlawan dan diperuntukkan untuk

kepentingan umat Islam seperti untuk mesjid 38,8% (26 lokasi), mushalla 14,9% (10 lokasi),

madrasah 7,6% (5 lokasi), kuburan 5,9% (4 lokasi) dan sosial lainnya 32,8% (22 lokasi)

71

Hasil wawancara dengan M.Wahab Buchari S.Ag Kasi Penyelenggara Syariah Kantor Kementerian

Agama Kabupaten Aceh Barat hari selasa tanggal 31 Desember 2013.

Page 39: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

134

DAFTAR PUSTAKA

Abdoerraoef, Al-Qur‟an dan Ilmu Hukum : Sebuah Studi Perbandingan, Jakarta : Bulan

Bintang, 1986

Al-Qur‟anul Karim

A.Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006

Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, cet 4, Depok :

Mumtaz Publishing, 2007

Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, cet 4, Jakarta :

Raja Grafindo Persada, 2002

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf,Ijarah, dan Syirkah, Jakarta : Al-Ma‟arif,

1987

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003

Ali Muhammad Daod, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta : Universitas

Indonesia, 1988

Amir Abyan, Fiqh, Jakarta: Karya Toha Putra, 2003

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Cet.1, Ed.1, Jakarta : Prenada Media 2003.

Anshori, AG, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media 2006

Djunaidi Achmad, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif di Indonesia, Jakarta:

Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggaraan Ibadah Haji 2004.

Departemen Agama, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan

pemerintah Nomor 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

2007

Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat ( Filantropi Islam yang

Hampir Terlupakan), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Wakaf, Bandung : Mandar Maju, 2007

Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa,

2005

Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib, Kudus, Menara Kudus, 1982

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Kartika, 1997

Mannan, MA, Sertifikat Wakaf Tunai Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, Depok :

Ciber bekerjasama dengan PKTTI-UI, 2001

M. Abdul Ghoffar, et., al, Tafsir Ibnu Katsir, Cet. 1, Jilid. 1, Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i,

2004

Muhammad al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz III, Libanon : Maktabah Taufiqiyah,tt

Muhammad Amin ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, juz IV, Beirut : Dar al-Fikr, 1992.

Muslim, Shahih Muslim, juz VIII, Mesir: Dar al-Fikr al-Mu‟ashir, t.t

Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2009

Sayyid Bakri al-Dimyati, I‟anah al-Talibin, juz. 3, Beirut: Dar al-Fikr, t.t

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz. 3, Beirut: Darul al-Fikr, t.t

Page 40: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

135

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan singkat,

Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2001

Sugiyono, Prof.DR, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Bandung : Alfabeta,

2009

Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet XII Jakarta : Rineka

Cipta, 2007

Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta : Bulan

Bintang, 1984

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Cet. 1, Jakarta: Amzah,

2005

Page 41: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

136

PENINGKATAN SEKTOR PEREKONOMIAN

MASYARAKATMELALUI PEMBERDAYAAN

TANAH WAKAF

Darmawansah

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng

Abstract

Endowments is one of the acts that got rewarded continuously and also one of the institutions

or social order of Islam that contain socio-economic value. The purpose of this research is to

find out how the methods of empowerment waqf land and constraints faced in order to

improve the economy. The method used in this research is descriptive method of analysis, by

collecting field data through interviews and analyze existing documentation in the Suak

Pangkat Village, Bubon Subdistict, West Aceh District. Besides that, also reviewed books,

literature, and other written sources relating to waqf land. From the research field known that

the efforts of both the Government and the community to empower village waqf land in the

Suak Pangkat Village has not reached the maximum level. However, the activities and

business in order to manage and provide insight to the public on the ongoing management of

waqf land

Keywords: waqf land, empowerment, socio-economic

Page 42: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

137

A. Pendahuluan

Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia,

Al-Quran dan Al-Sunnah adalah dua sumber hukum yang mampu menterjemahkan semua

kebutuhan hidup manusia. Oleh sebab itu, Islam merupakan agama yang sempurna, yang

mengatur kehidupan manusia pada seluruh aspek kehidupan. Ekonomi adalah salah satu

aspek penting dalam kehidupan manusia. Untuk mengembangkan aspek ekonomi, Islam

menempuh duacara, pertama dengan cara bermuamalah dalam perniagaan atau dalam bentuk

lainnya, kedua dengan aspek sosial. Aspek sosial inilah yang membedakan Islam dengan

lainnya. Bentuk-bentuk pemberdayaan ekonomi dengan model sosial seperti infaq, zakat,

shadaqah dan wakaf.

Wakaf adalah salah satu bentuk amal ibadah perbuatan yang dijanjikan mendapatkan

pahala terus menerus dan juga merupakan salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang

mengandung nilai sosial ekonomi.72

Wakaf juga berartitanah negara yang tidak dapat

diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda bergerak atau tidak

bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas, hadiah

atau pemberian yang bersifat suci.73

Fakta sejarah menunjukkan bahwa perwakafan sejalan

dengan penyebaran dakwah Islam dan pendidikan Islam.Wakaf tanah sangat dibutuhkan

sebagai sarana dakwah dan pendidikan Islam seperti kepentingan saranaibadah seperti

mesjid, mushalla, pesantren dan lain sebagainya,juga untuk ibadah ammah yang berhubungan

dengan kepentingan masyarakat (dibidang sosial, ekonomi, hankam dan politik).Wakaf

berasal dari hukum Islam yang tentunya dalam pemanfaatannya tidak lepas dari misi islam

yakni untuk menciptakan kebahagiaan masyarakat (rahmatan lil‟alamin).74

Wakaf tanah juga

bertujuan sebagai pemicu gerak ekonomi masyarakat dan sekaligus menyehatkan tatanan

sosial dengan makin berkurangnya kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mampu

dan kelompok masyarakat yang tidak mampu. Tujuan dan hikmah hukum disunatkan wakaf

itu adalah untuk membantu dan mengatasi kebutuhan sosial yang ada di setiap masa.75

Dewasa ini kondisi umat Islam masih lemah secara ekonomi. Secara kasat mata haI ini

dapat diketahui dari kondisi nyata kaum muslimin di berbagai belahan bumi dan pada

72

Djunaidi Ahmad, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif di Indonesia, (Jakarta: Direktorat

Jendral Bimas dan Penyelengaraan Ibadah Haji, 2003). 73

Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif Keadilan

Sosial di Indonesia (Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). 74

Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002). 75

Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, Cet. 1,Ed. 1, (Jakarta: Prenada Media, 2003).

Page 43: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

138

akhirnya secara umum dapat disimpulkan bahwa hal tersebut memang benar adanya. Dalam

bidang ekonomi diwujudkan zakat bagi orang kaya, dianjurkan shodaqoh dan wakaf bagi

yang mempunyai kelebihan harta benda, melarang riba dan sebagai gantinya dianjurkan

sistem bagi hasil yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. Sebagai

contoh, hampir sebagian besar negara-negara miskin, adalah negara yang berpenduduk

muslim.

Wakaf memiliki akar keislaman yang kuat, meskipun didalam Al-Qur‟an tidak

menyebutkan secara eksplisit istilah wakaf, tapi memberikan pengajaran tentang pentingnya

menyumbang untuk berbagai tujuan kebaikan.76

Dalam rangka untuk memajukan

kesejahteraan umum dipandang perlu meningkatkan peran wakaf yang tidak hanya betujuan

menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, melainkan juga memiliki kekuatan ekonomi

yang berpotensi untuk memajukan kesejahteraan umum. Wakaf merupakan salah satu

institusi dan pranata sosial islam yang mengandung nilai sosial ekonomi.

Didalam Islam wakaf tersebut termasuk ke dalam kategori ibadah kemasyarakatan yang

hukumnya Sunnah, amalan wakaf merupakan amalan yang besar karena amalan ini tidak

dapat berhenti atau putus pahalanya bila orang tersebut telah meninggal dunia, maka amalan

wakaf akan tetap mengalir pahalanya dan tetap diterima oleh wakif (pemberi wakaf)

walaupun ia telah meninggal. Wakaf merupakan salah satu bentuk amal ibadah perbuatan

yang dijanjikan mendapatkan pahala terus menerus oleh Allah SWT.

B. Wakaf

Wakaf berarti menghentikan, secara bahasa wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf

masdar dari وقفا- يقف - وقف, kata al-waqf semakna dengan al-habs masdar dariيحبظ - حبظ –

artinya menahan. Dengan kata lain, wakaf menurut bahasa barasal dari kata waqf yang حبغا

berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), dan al-man‟u

(mencegah).77

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia wakaf diberi arti sebagai tanah

negara yang tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda

bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian

yang ikhlas, hadiah atau pemberian yang bersifat suci.78

76

Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, (2006). 77

Hendi Suhendi, Fiqh Muammalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002) 78

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.3, Cet. 3, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005)

Page 44: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

139

Sedangkan menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa

makna wakaf adalah menahan dzat benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzat dan

menyedekahkan manfaamya, ataupun menahan suatu harta yang merupakan milik pewakaf;

kemudian menyumbangkan di jalan kebaikan.

1. Dasar Hukum Wakaf

Wakaf berasal dari hukum Islam yang tentunya dalam pemanfaatannya tidak lepas dari

misi islam yakni untuk menciptakan kebahagiaan seluruh alam (rahmatan lil alamin)”. Dalil

yang dijadikan dasar hukum wakaf dalam Islam adalah seperti yang dikemukakan dalam Al

Qur‟an:

Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu

menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu

nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS. 3: 92).

Dalam hal tersebut Al-Qur‟an memberikan petunjuk untuk selalu memelihara

kebersamaan sebagai makhluk sosial dan menempatkan nilai-nilainya kedalam pola

hubungan kemanusiaan dengan tetap saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi,

menyantuni sebagaimana diatur dalam sistem ajarannya seperti halnya perwakafan tanah.

Para ulama menilai bahwa wakaf itu termasuk kategori sedekah jariah yang nilai

pahalanya senantiasa mengalir selagi manfaatnya bisa dipetik.Dalam konteks inilah maka

para fukaha rnengemukakan Hadist Rasulullah SAW yang berbicara tentang keutamaan

sedekah jariah sebagai salah satu sandaran wakaf. Salah satu hadist yang diriwayatkan oleh

Imam Jama‟ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Huairah r.a.:

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda: jika seseorang telah meninggal

dunia, maka terputuslah semua amal dari dirinya kecuali tiga, yaitu shadaqah

jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendoakan kepadanya

(kepada orang tuanya). (Riwayat Imam Jama‟ah).79

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat

Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu, “pihak Pemerintah telah

menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu

Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Untuk melengkapi Undang-undang

tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006

tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004”.

79

Muslim, Shahih Muslim, juz 8, Mesir, Dar Al-Fikr Al Muashir,t,t

Page 45: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

140

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Desa Suak Pangkat Kecamatan Bubon Kabupaten Aceh Barat merupakan sebuah Desa

yang terletak dengan jarak kurang lebih 32 km dari pusat ibu kota Kabupaten Aceh Barat dan

jarak dari ibu kota Kecamatan sekitar kurang lebih 4 km. Desa ini terdiri dari 3 (tiga) dusun

yaitu Dusun Teumikeut, Dusun Indah, Dusun Kuala. Adapun luas wilayah Desa adalah

kurang lebih 300 Ha, dengan jumlah penduduknya 324 jiwa dengan 79 Kepala Keluarga

(KK).80

Kehidupan masyarakat Desa Suak pangkat mayoritas bermata pencarian sebagai petani,

hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri dan profesi lainnya,

untuk jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel Mata Pencaharian Penduduk Desa Suak pangkat

Mata Pencaharian Jumlah KK Persentase

Petani

Pedagang

PNS

Dll

65

3

3

8

84%

3%

3%

10%

Jumlah 79 100%

Sumber : Potensi Desa Suak Pangkat, 2011

Dari tabel diatas dapat di simpulkan bahwa mayoritas penduduk Desa Suak pangkat

bermata pencaharian sebagai petani, yaitu sebanyak 84% dari jumlah keseluruhan penduduk

Desa Suak pangkat. Sedangkan pedagang hanya 3%, dan 3% sebagai pegawai negeri,

selebihnya adalah pekerja tidak tetap seperti pertukangan, pensiunan dan lain-lain.

1. Jenis dan jumlah Harta Wakaf

Di masa pertumbuhan ekonomi yang cukup memprihatinkan ini sesungguhnya peranan

wakaf disamping instrumen-instrumen lainnya dapat dirasakan manfaatnya untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya di bidang ekonomi, apabila wakaf dikelola

secara baik. Peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi

umat dan cenderung hanya untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah khusus. Ini karena

dipengaruhi oleh keterbatasan pemahaman umat Islam tentang wakaf, baik mengenai harta

yang di wakafkan, peruntukan wakaf maupun nadzir (pengelola wakaf). Pada umumnya umat

Islam indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan

80

Badan Pusat Statistik, Data Desa Suak Pangkat Kecamatan Bubon Aceh Barat, Tahun 2011

Page 46: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

141

peribadatan dan hal-hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk masjid, mushalla,

lokasi pemakaman dan sebagainya.

Dari hasil pengumpulan data, diketahui bahwa tanah wakaf di Desa Suak pangkat

terdapat di 5 (lima) lokasi yang tersebar kedalam 3 (tiga) dusun dengan jumlah luas tanahnya

yaitu seluas 1970 M2.

Tabel. Keadaan Tanah Wakaf Di Desa Suak Pangkat

No Pemanfaatan Tanah Letak Luas Tanah Ket.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Pemakaman Umum

Pengajian Anak-anak

Mushala

Perkebunan

Masyarakat

Tanah Kosong

Tanah Kosong

Dsn.Kuala

Dsn. Indah

Dsn. Indah

Dsn.

Teumiket

Dsn.Kuala

Dsn.

Teumiket

800 (m2)

100 (m2)

50 (m2)

100 (m2)

120 (m2)

300 (m2)

Tdk bersertifikat

Wakaf

Tdk bersertifikat

Wakaf

Bersertifikat

Wakaf

Tdk bersertifikat

Wakaf

Tdk bersertifikat

Wakaf

Tdk bersertifikat

Wakaf

Sumber : Diolah dari hasil penelitian

Dari table diatas dapat diketahui bahwa mayoritas tanah yang diwakafkan di Desa Suak

pangkat digunakan untuk sarana umum seperti tanah mushala, pemakaman umum dan tempat

pengajian anak-anak. Hanya 1 (satu) lokasi tanah wakaf yang dikelola oleh masyarakat untuk

perkebunan yang terletak di Dusun Teumiket. Selain itu, terdapat tanah wakaf di 2 (dua)

lokasi lainyang terletak di Dusun Kuala dan Dusun Teumiket dalam kondisi kosong dan

sebelumnya tanah kosong tersebut pernah dimanfaatkan untuk perkebunan oleh masyarakat

setempat.

Tanah wakaf di Desa Suak pangkat hanya sebagian kecil yang bersertifikat sebagai

tanah wakaf. Tanah yang diwakafkan tersebut diberikan secara simbolis oleh wakif (pemberi

wakaf) dengan mengikrarkan di depan saksi dan disertai penyerahan sertifikat hak milik

tanah.81

Maka jelaslah bahwa tanah wakaf tersebut tidak memiliki sertifikat sebagai tanah

wakaf, karena bagi masyarakat Desa Suak Pangkat apabila hendak mewakafkan hartanya

81

Hasil wawancara dengan Imam Chik Desa Suak Pangkat

Page 47: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

142

maka tidak dibebankan untuk mengurus sertifikat tanah wakaf ataupun hal lainnya, hanya

ikrar yang sah dari wakif dan disertai dengan pemberian sertifikat hak milik tanah kepada

imam mesjid atau Kepala Desa di depan para saksi.

Pendaftaran ataupun sertifikasi tanah wakaf merupakan hal yang sangat penting,

mengingat kedudukan tanah wakaf yang kian melembaga dalam masyarakat Islam Indonesia.

Dengan adanya sertifikasi tanah, maka akan terdapat perlindungan dan jaminan kepastian

hukum dari seluruh tanah wakaf. Oleh sebab itu, berbagai usaha yang seharusnya disadari

sepenuhnya oleh berbagai pihak yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam

perwakafan tanah. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bubon mengatakan

bahwa tanah yang diwakafkan hendaknya di buat sertifikat agar tidak terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan seperti kesalah pahaman dari ahli waris ataupun hal-hal lain yang berkaitan

dengan tanah Wakaf tersebut.

2. Pengelolaan Tanah Wakaf

Adapun data persentase pengelolaan tanah Wakaf Desa Suak pangkat dapat dilihat dari

tabel dibawah ini :

Tabel: Persentase Pengelolaan Tanah Wakaf Di Desa Suak pangkat Kecamatan Bubon

Kabupaten Aceh Barat

No Jenis Garapan Pengelola Penggarap Hasil

Pengelola Penggarap

1.

2.

3.

Tanaman Cabe

Tanaman Jagung

Tanaman Kacang

3 (Org)

2 (Org)

1 (Org)

1 (Org)

30%

40%

25%

70%

60%

65%

Sumber : Diolah dari hasil penelitian

Dari tabel tersebut diatas, dapat diketahui bahwa dalam pengelolaan tanah wakaf di

Desa Suak Pangkat menggunakan sistem bagi hasil, yang mana bagi hasil tersebut telah

disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak, yaitu pihak pengelola dan penggarap.

Pengelola dalam hal ini ialah Nadzir Wakaf dan penggarap ialah masyarakat. Persentase bagi

hasil juga tergantung dari tanarnan yangakan digarap oleh penggarap,yaitu apabila telah

disetujui persentase bagi hasil, maka tanah wakaf dapat langsung digarap.

Namun demikian, fungsi wakaf secara khusus sebagai pemberdayaan ekonomi

masyarakat masih sangat minim, jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah disosialisasi ke

khalayak umum. Selama ini, distribusi aset Wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah

pada pemberdayaan ekonomi umat dan hanya untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah

mahdlah. Ini dapat dimaklumi karena memang pada umumnya ada keterbatasan umat Islam

Page 48: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

143

akan pemahaman wakaf, baik mengenai harta yang diwakafkan, peruntukan (distribusi)

wakaf, maupun Nadzir wakaf.

Pada umumnya umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya

terbatas untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang lazim ditemukan di Indonesia

seperti tercermin dalam pembentukan masjid, mushalla, pemakaman umum dan lain-lain,

sebagaimana telah disebutkan diatas. Peruntukan yang lain yang lebih menjamin

produktifitas dan kesejahteraan umat nampaknya masih belum diterima sebagai bagian

manfaat dari Wakaf sendiri.

Pengelolaan harta wakaf dengan sistem dan manajemen yang amanah dan profesional,

serta dengan bimbingan dan pengawasan dari Pemerintah yang dalam operasionalisasinya

terintegrasi sampai ke tingkat daerah akan memacu gerak ekonomi masyarakat dan sekaligus

menyehatkan tatanan sosial dengan makin berkurangnya kesenjangan antara kelompok

masyarakat yang mampu dan kelompok masyarakat yang tidak mampu.

Adapun di Desa Suak pangkat hingga saat ini peruntukan tanah Wakaf mayoritas

ditujukan untuk kepentingan tempat ibadah seperti mesjid, mushalla dan tempat pengajian

seperti tempat pendidikan Al-qur‟an, selain itu juga digunakan sebagai lokasi tanah

pemakaman umum.Kepala Desa Suak pangkat mengungkapkan bahwa “Tanah Wakaf di

Desa Suak pangkat kebanyakan digunakan untuk sarana ibadah dan pendidikan, juga

digunakan untuk keperluan sosial yaitu tempat pemakaman ataupun lokasi kuburan dan juga

masih ada lokasi tanah wakaf yang belum digunakan (kosong)”.

Secara umum pengelolaan tanah wakaf di Desa Suak pangkat masih bersifat konsumtif,

sebab penggunaan tanah wakaf hanya didasarkan pada wasiat pemberi wakaf (wakif),

sehingga manfaatnya belum dapat tercapaisecara maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.

Tanah wakaf yang ada selama ini jarang digunakan untuk kepentingan peningkatan ekonomi

umat. Selain itu, keterbatasan pemahaman Nazhir sebagai pengelola wakaf tentang fiqih harta

wakaf dan kebijakan pemerintah tentang harta wakaf sehingga sulit untuk dilakukan

optimalisasi pemanfaatan tanah wakaf sehingga lebih produktif. Apabila peruntukan tanah

Wakaf hanya sebatas pada hal-hal sarana-sarana masyarakat tanpa diimbangi dengan

pengelolaan secara produktif, maka kesejahteraan sosial masyarakat yang diharapkan

tidakakan dapat dicapai secara optimal.

Wakaf dan maliyah lainnya merupakan potensi ekonomi umat Islam. Wakaf juga

merupakan ibadah kemasyarakatan (ibadah Ijtima‟iyah), artinya manfaatnya dapat dirasakan

Page 49: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

144

langsung oleh masyarakat, sehingga apabila harta wakaf ini dapat dikelola dengan baik dan

benar dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan menjadi

sumber permodalan pemberdayaan umat. Wakaf telah menjadi salah satu penunjang

perkembangan masyarakat Islam di seluruh pelosok Indonesia. Jika tanah-tanah wakaf

tersebut dikelola dan dikembangkan secara optimal, maka sangat berpotensi untuk membantu

masyarakat yang kurang mampu.

Manajemen pengelolaan harta wakaf secara profesional merupakan salah satu aspek

penting yang perlu mendapat perhatian pemerintah dalam pengembangan era baru dan

paradigma baru wakaf di Indonesia. Sebaiknya dalam pengembangan paradigma baru wakaf

ini harus lebih menitik-beratkan pada pemanfaatan yang lebih nyata tanpa mengabaikan

pelestarian benda wakaf itu sendiri sehingga pemanfaatan dapat tercapai secara optimal dan

memiliki nilai ekonomis.

3. Kendala dalam Pemberdayaan Tanah Wakaf

Dalam pemanfaatan tanah wakaf sebagai pemberdayaan ekonomi masyarakat Desa

Suak pangkat mengalami beberapa kendala, di antaranya :

a. Pengelolaan tanah wakaf sulit dilakukan disebabkan karena sebagian besar tanah

wakaf kondisinya terletak jauh dari pusat kegiatan ekonomi sehingga nazhir

sebagai pengelola harta wakaf mengalami kesulitan dalam hal pengelolaan.

b. Masih banyak masyarakat yang memliki persepsi keliru tentang boleh-tidaknya

tanah Wakaf diberdayakan secara produktif.

c. Adanya anggapan dari masyarakat bahwa proses pemberdayaan tanah wakaf

terlalu sulit untuk dilakukan.

d. Kemampuan masyarakat dalam mengelola tanah wakaf untuk pemberdayaan

ekonomi masih sangat minim.

e. Masyarakat belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang fiqih harta wakaf

dan kebijakan pemerintah berkaitan harta wakaf.

f. Terbatasnya tenaga dan permodalan untuk pemberdayaan tanah wakaf yang baik

dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.82

4. Upaya Pemberdayaan Tanah Wakaf

Upaya pemberdayaan tanah wakaf di Desa Suak pangkat Kecamatan Bubon Kabupaten

Aceh Barat, bahwa langkah-langkah yang perlu ditempuh diantaranya:

a. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang harta wakaf, hukum Islam

tentang wakaf, potensi ekonomi melalui harta wakaf, kebijakan pemerintah

berkaitan pengelolaan harta wakaf.

82

Hasil wawancara dengan beberapa warga Desa Suak Pangkat.

Page 50: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

145

b. Program Pemerintah dalam pengelolaan harta wakaf, biaya sertifikasi tanah

wakaf dan bantuan permodalan sehingga dapat meningkatkan ekonomi

masyarakat secara maksimal.

c. Pengamanan dalam bidang peruntukan dan pengembangannya harus juga

dilakukan. Sehingga antara perlindungan hukum dengan aspek hakikat tanah

Wakaf yang memiliki fungsi sosial menemukan fungsinya.

d. Mendorong secara lebih luas kepada masyarakat. Agar lebih peduli terhadap

pentingnya harta Wakaf di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan Melalui

upaya pemberdayaan tanah Wakaf tersebut diharapkan masyarakat semakin

mengenal pentingnya pelaksanaan Wakaf untuk kepentingan pemberdayaan

ekonomi masyarakat.

Dari beberapa upaya dalam pemberdayaan tanah wakaf diatas, maka langkah-langkah

yang dapat dilakukan pemerintah diantaranya adalah melakukan sosialisasi dalam

penyampaian secara utuh tentang perwakafan kepada masyarakat setempat, menyusun

program peningkatan kualitas SDM Nadzir, mengupayakan dana pemberdayaan tanah wakaf,

melakukan pendataan asset wakaf, data nadzir baik perorangan maupun organisasi serta

pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan terhadap nadzir yang bertanggung-jawab

pada pengelolaan harta wakafnya. Begitupula dengan nadzir sebagai pengelola harta wakaf

memiliki peran dan tugas diantaranya adalah melakukan pengadministrasian harta wakaf,

mengelola dan memberdayakan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya,

mengawasi dan melindungi harta wakaf serta melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada

Badan Wakaf Indonesia. Para nazhir juga harus menyadari tugasnya bukan sekedar menjaga

harta wakaf tetapi lebih dari itu adalah memberdayakannya sehingga memiliki nilai tambah

yang tak terhingga.

Pengelolaan tanah wakaf di Desa Suak Pangkat merupakan salah satu contoh kecil

dalam pengelolaan yang lazim dilakukan pada tanah-tanah wakaf lainnya di Daerah Aceh.

Provinsi Aceh yang memiliki lebih dari 24 ribu lokasi tanah wakaf dengan luas ratusan ribu

hektar yang tersebar disetiap Kabupaten, memiliki potensi yang sama dalam peningkatan

ekonomi masyarakat. Melihat realitas harta wakaf di Aceh yang mayoritasnya berada dalam

kondisi yang tidak produktif, serta tidak bisa memberikan kontribusi optimal untuk

masyarakat, maka sudah saatnya kita membuka lembaran baru pengelolaan wakaf di Aceh.

Pengembangan wakaf di Aceh haruslah dilakukan dengan cara yang profesional dan melalui

proses perencanaan yang matang serta implementasi yang tepat dengan kemampuan

manajerial yang handal layaknya dalam bidang dunia usaha. Pengelolaan dan pengembangan

harta wakaf di Aceh haruslah dapat mengoptimalkan peluang pembiayaan yang ditawarkan

Page 51: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

146

oleh berbagai lembaga baik dari dalam maupun luar negeri. Sehingga kita berharap dengan

optimalnya pengelolaan dan pemberdayaan tanah wakaf yang ada di Daerah Aceh dapat

memainkan peranan yang sangat penting dalam berbagai bidang seperti pemberdayaan

ekonomi dan pengentasan kemiskinan serta pendidikan yang pada akhirnya bermuara pada

terwujudnya kesejahteraan ummat.

D. Kesimpulan

Tanah Wakaf yang berada di Desa Suak pangkat Kecamatan Bubon Kabupaten Aceh

Barat masih belum dikelola dengan baik oleh Nazhir Wakaf di Desa tersebut. Hal ini,

disebabkan karena beberapa faktor diantaranya adalah kurangnya pemahaman Nazhir Wakaf

tentang hukum wakaf, baik dalam Fiqh Islam maupun kebijakan pemerintah tentang harta

wakaf. Kendala yang lain yang dihadapi dalam pemberdayaan tanah wakaf di Desa ini adalah

lokasi tanah wakaf yang tidak strategis, kurangnya pemahaman masyarakat tentang boleh-

tidaknya mengelola tanah wakaf agar lebih produktif, kurangnya sosialisasi pemerintah

tentang kebijakan tanah wakaf, kurangnya permodalan dan kemampuan masyarakat dalam

mengelola tanah wakaf. Disebabkan beberapa kendala tersebut, maka pengelolaan tanah

wakaf di Desa Suak pangkat menjadi belum maksimal sehingga tidak berdampak pada

peningkatan perekonomian masyarakat.

Page 52: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

147

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, Cet. 1,Ed. 1, Jakarta, Prenada Media, 2003

Badan Pusat Statistik, Data Desa Suak Pangkat Kecamatan Bubon Aceh Barat, Tahun 2011.

Cholik Narbuko, et, al, Metodologi Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara, 1997

Djunaidi Ahmad, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif di Indonesia,

Jakarta,Direktorat Jendral Bimas dan Penyelengaraan Ibadah Haji,2003

Hendi Suhendi, Fiqh Muammalah, Jakarta,Raja Grafindo, 2002

Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa,

2002

Muslim, Shahih Muslim, juz 8, Mesir, Dar Al-Fikr Al Muashir,t,t

Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif

Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Universitas Islam Jakarta, 2006

Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif

Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.3, Cet. 3,

Jakarta,Balai Pustaka, 2005

Hasil wawancara dengan Imam Chik Desa Suak Pangkat

Hasil wawancara dengan beberapa warga Desa Suak Pangkat.

Page 53: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

148

HUKUM KEWARISAN BEDA AGAMA MENURUT

PEMIKIRAN YUSUF AL -QARADHAWI

Ita Rahma Putri

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh

Abstract

This study examines the inheritance law of different religions according to Yusuf al-

Qaradawi thinking. As for the goal in this discussion is to determine how the law of

inheritance of different religions according to Yusuf al-Qaradawi; to analyze the opinion of

Yusuf al-Qaradawi in understanding texts that said it would not be allowed to inherit each

other between different religions. In the discussion of a scientific work can be used a variety

of methods, while the method used by the writer in the discussion of this thesis is the research

library (library Research). The results of this study indicate that the law governing the

transfer of property ownership rights called inheritance law or fara'idh. And inheritance law

was born because there is a marital relationship (mushaharah) and blood (nasab) between the

heir to the heir. Inheritance relationship between descent was not easy and not simply be

done, either based on a particular culture or religious law. The difference of religion be one

for obstruction of inheritance, the jurist reasoned with the hadith of Al-Bukhari and Muslim

that says "Muslims should not be inherited from the infidels nor are infidels from Muslim",

and "No heir inherits two adherents of different religions". In contrast to the opinion of Yusuf

al-Qaradawi who says that Muslims can inherit infidels but not vice versa, he leans on the

hadith narrated by Muadh bin Jabal that "Muslims can inherit from a kafir but infidel can not

inherit from a Muslim." Because the word kafir can dikontekstualisasi the heathen infidel

dzimmiy not harbiy. And Yusuf al-Qaradawi said Islam does not reject the good way that is

beneficial to the interests of his people, especially with legacy or inheritance that can help to

Oneness of Allah.

Page 54: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

149

A Pendahuluan

Sering dikatakan bahwa hukum Islam adalah poros dan inti agama Islam. Secara

tradisional, hukum Islam telah menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika, dan makna

hubungan antara Tuhan dan manusia. Memang benar bahwa hukum islam adalah salah satu

puncak prestasi peradaban Islam, ia merupakan gudang khazanah intelektual yang cerdas,

kompleks, dan sangat kaya.83

Hukum Islam merupakan kumpulan tugas-tugas kewajiban dan ajaran-ajaran yang

diserukan oleh Rasulullah SAW dan disampaikan kepada umatnya, berupa hal-hal yang

diberitakan oleh Allah kepadanya, di dalam kitabNya atau dalil lisan Rasul-Nya, yang berisi

tentang hakikat kehidupan dan alam gaib yang terdiri dari segala hal yang berhubungan

dengan ketuhanan, kenabian atau akhirat, dan segala hal yang diperintahkan Allah Swt,

dilarang-Nya atau yang dibolehkan-Nya bagi hamba-hambaNya dalam urusan agama dan

kehidupan umat manusia baik dengan Tuhan maupun dengan masyarakat.84

Sebagai mahluk bermasyarakat, manusia tidak bisa hidup tanpa ada hukum-apapun

nama atau sebutannya-yang mengatur pergaulan hidup mereka. Masyarakat dan hukum

laksana hubungan erat antara ikan dan air yang berbeda tetapi selalu menyatu. Seorang filosof

Romawi, celcius, lebih kurang 20 abad yang silam menjelaskan: ubi societas ibi ius,

“Maksudnya, dimana ada masyarakat disitu ada hukum”. Senafas dengan itu, ada pula

ungkapan yang menyatakan: there is not state without law, “ Tidak ada Negara bila tak ada

hukum”. Kedua adagium hukum tersebut yang kebenaranya mudah dibuktikan secara teoretik

maupun empirik, menunjukkan signifikansi dari keberadaan hukum ditengah-tengah umat

insani.85

Hukum yang paling awal atau pertama dikenal manusia ialah hukum keluarga,

khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan perkawinan Adam a.s. dengan istrinya

Hawa. Kemudian dengan mengalami perubahan dan perkembangan di sana-sini, hukum

pernikahan dilaksanakan oleh anak-anak nabi Adam dan Hawa secara kontinu dari dulu

hingga sekarang. Usia hukum sama tua dengan usia keluarga/masyarakat manusia itu sendiri

dan memiliki kesinambungan antara hukum yang berlaku sekarang dengan hukum yang

83

Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, “dari fikih otoriter ke fikih otoritatif”, (Jakarta: serambi,

2004), h. 1. 84

Yusuf Al-Qaradhawi, Menuju Pemahaman Islam Yang Kaffah, (Jakarta: Insan Cemerlang, 2003), h.

428. 85

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2004), h. 1-2.

Page 55: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

150

berlaku sebelumnya hingga masa-masa lampau. Hukum yang berkembang hingga sekarang

terutama hukum keluarga, pada dasarnya merupakan pelestarian ( tindak lanjut ) dan

pengembangan hukum yang telah diperkenalkan Allah kepada generasi manusia terdahulu.

Itulah sebabnya mengapa hukum keluarga terutama hukum perkawinan merupakan hukum

yang selalu eksis keberadaanya kapan dan dimanapun.86

Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam masyarakat. Sebuah keluarga juga pada

umumnya mampu menghasilkan sejumlah harta kekayaan tertentu terutama melalui kasab

(kerja ekonomi) yang pada umumnya dilakukan oleh orang tua, khususnya suami (ayah), di

samping mungkin juga istri dan bahkan anak yang pada saatnya nanti ketika pemiliknya

meninggal dunia harus ada peralihan kepemilikan terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan

simayit. Hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan harta kekayaan inilah yang

lazim dikenal dengan sebutan hukum kewarisan atau fara‟idh. Hukum kewarisan itu lahir

karena ada tali perkawinan (mushaharah), di samping itu karena warisan dilihat berdasarkan

unsur utama yaitu hubungan darah yang disebut dengan nasab antara pewaris dengan ahli

waris. Hubungan nasab pada setiap kehidupan, merupakan mata rantai kelanjutan generasi

dan keturunan yang satu terhadap generasi yang akan datang. Keinginan memiliki harta bekal

yang memadai adalah selalu dicita-citakan setiap orang dan hiasan hidup manusia karena

generasi yang cukup memiliki perbekalan hidup lebih baik dari yang meminta-minta.87

Sebagaimana disebutkan dalam Al-quran, surat An-nisa‟ ayat 9 yang berbunyi:

.لو اقو ال سديدا وليخش الذين لوتر كو ا من خلفهم ذر ية ضعفا خا فو أعليهم فليتقو ا أ هلل و ليقو

Artinya : “Dan harus takut orang-orang yang seandainya meninggalkan keturunan (anak-

anak) dibelakangnya lemah. Maka bertakwalah kepada Allah dan katakanlah

kepada mereka perkataan yang benar. (QS. An-nisa‟ : 9)”

Dan ketika Sa‟ad bin Waqash akan menyedekahkan separuh hartanya untuk anak perempuan

namun hal itu ditolak oleh Nabi Saw dengan alasan ditakutkan sedikitnya harta yang

ditinggalkan untuk ahli warisnya.88

Sebagaimana dalam hadits

اناذومال، واليرثين اال ابنة يل واحدة، افأتصدق بثلثي ما يل ؟ عن سعد بن ايب وقاص قال : قلت يارسول اهلل، قال ) ال ( قلت : افأ تصدق بشطره ؟ قال ) ال ( قلت : افأتصدق بثلثو؟ قال ا لثلث ، والثلث كثري، انك ان

تذ رورثتك اغنياءخريمن ان تذرىم عالة يتكففون الناس ) رواه البخري و مسلم (

86

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, …, h. 5. 87

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, …, h.27. 88

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Buluqhul Maram, Terj A. Hasan, (Bandung: Diponegoro, 2006), h. 426.

Page 56: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

151

Artinya : ”Dari Sa‟d bin Abi waqqash, ia berkata: saya berkata : ya Rasulullah! Saya

mempunyai harta dan tidak mewarisi saya melainkan seorang anak perempuan

saya. Oleh itu, bolehkah saya bersedekah dengan 2/3 (dua pertiga) harta saya?

Sabdanya: ,,Tidak”. Saya bertanya: bolehkah saya bersedekah dengan 1/2

(separuh)-nya? Sabdanya: ,,Tidak”. Saya bertanya bolehkah saya bersedekah

dengan 1/3 (sepertiga)-nya? Sabdanya: ,,(Boleh) sepertiga, tetapi sepertigapun

banyak, karena sesungguhnya engkau meninggalkan waris-warismu di dalam

keadaan kaya, lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka didalam keadaan

papa, meminta-minta kepada manusia”.

Kepemilikan atau pindahnya hak milik dalam Islam sudah diatur sedemikian rupa

salah satunya yaitu melalui warisan, pindahnya hak milik lewat warisan merupakan bagian

penting. Hubungan kewarisan antar keturunan ternyata tidak mudah dan tidak begitu saja

dapat dilakukan, baik yang berdasarkan kebudayaan tertentu maupun hukum agama. Kasus

yang menimpa saat ini ialah banyaknya orang muslim yang orang tuanya atau kerabatnya

masih kafir, ketika mereka meninggal secara hukum anaknya berhak menerima warisan orang

tua atau kerabatnya, bahkan mayoritas umat umat Islam adalah orang-orang yang lemah

ekonominya. Sementara jumhur ahli fikih berpendapat, bahwa seorang muslim tidak boleh

menerima waris dari orang kafir, begitu pula sebaliknya. Perbedaan agama menjadi sebab

terhalangnya warisan.89

Para ahli fikih beralasan dengan hadits Al-Bukhari dan Muslim yang

menyatakan,

ه البخارى و مسلم (املسلم الكافروالالكافراملسلم ) روا اليرث

Artinya: “Muslim tidak boleh menerima waris dari kafir, tidak pula kafir dari muslim”.90

Serta hadits lain yang menyatakan,

اليتورث اىلو مللتني شتا )رواة امحدد, ابودود, ابن جمو (

Artinya: “tidak waris mewarisi penganut dua agama yang berbeda”, (HR. Ahmad, Abu

Dawud, dan Ibn Majah)91

89

Yusuf Al-qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah,”moderasi Islam Antara Aliran Tekstual dan Aliran

Liberal”, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2007), h.301-302. 90

Abdullah bin Abdurrahman Al bassam, Syarah Buluqhul Maram,Thahirin saputra, jild 5 (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2006), h. 193 91

Syaikh Faishal Bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Nailul Authar, Jild 3, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006),

h. 367.

Page 57: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

152

Hadits-hadits inilah yang menjadi keyakinan jumhur al-ulama, mayoritas ulama, bahkan

sudah diberlakukan pada masa khulafa al-Rasyidin dan menjadi argumen para imam yang

empat sebagai sekarang. Walaupun demikian, para sahabat diantaranya Umar dari khulafa al-

Rasyidin, dalam kasus-kasus tertentu berbeda dengan kebanyakan waktu itu, yaitu muslim

menerima waris dari keluarganya yang kafir, walaupun masih diperselisihkan.92

Hukum Islam sebenarnya tidaklah kaku dan diterapkan sedemikian kakunya pada

masa-masa awal Islam sebagaimana diterapkan pada masa-masa terkemudian. Hukum-

hukum yang berbeda dan bahkan bertolak belakang mengenai banyak persoalan dapat

ditolerir atas landasan argument. Hal ini kelihatan nyata dari perbedaan pendapat para

sahabat setelah Rasulullah wafat dari praktek para ahli hukum terdahulu.93

Untuk melukiskan hal itu, dapat diberikan satu contoh.

Pada peristiwa Bani Qurayzah, Rasulullah mengirimkan sejumlah sahabatnya ke

daerah musuh dan memerintahkan mereka untuk melakukan shalat ashar apabila mereka

sampai pada tempat yang dituju.Tetapi ternyata bahwa shalat sudah masuk waktunya ketika

mereka masih dalam perjalanan. Karena itu sejumlah sahabat melaksanakan shalat dalam

perjalanan dan berargumentasi bahwa tentu bukan maksud Rasulullah untuk menangguhkan

shalat, sedangkan yang lain melaksanakan shalat setibanya ditempat tujuan ketika hari telah

menjelang malam, karena memahami perintah Rasulullah secara harfiah. Ketika hal itu

dilaporkan pada Rasulullah, beliau diam saja para sahabat menganggap hal ini sebagai satu

persetujuan diam-diam terhadap tindakan kedua kelompok itu. Seandainya tindakan salah

satu kelompok dipandang salah, tentu Rasulullah akan menunjukkan dan meluruskannya.

Contoh di atas memperlihatkan bahwa Rasulullah dalam menggariskan hukum pada

dasarnya mempertimbangkan nilai dan semangat tindakan dan bukan bentuk tindakan itu

sendiri. Apa yang nampaknya penting dalam kasus ini adalah kepatuhan kepada perintah

Allah . dapat dicatat bahwa kedua kelompok tersebut di atas sama-sama memperlihatkan

kesetiaan mereka kepada Allah.

Satu kelompok mematuhi perintah Rasulullah secara harfiah dan mendirikan shalat ashar

menjelang malam, sedangkan yang lainnya mematuhi perintah beliau dalam ruhnya. Penting

dicatat bahwa sebuah perintah tidaklah dimasudkan untuk dilaksanakan secara an sich, apa

yang penting adalah tujuan dan semangat untuk melaksanakan kesetiaan kepada Allah dan

92

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 706. 93

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. (Bandung: Pustaka, 2001), h. 12.

Page 58: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

153

Rasul-Nya. Itu juga mengandung arti bahwa orang dapat berbeda dalam menampilkan bentuk

kepatuhan atas dasar penafsiran.94

Para ahli hukum Islam telah menjadi sumber legitimasi tekstual. Legitimasi mereka

didasarkan pada kemampuan membaca, memahami, dan menafsirkan kehendak Tuhan yang

terungkap di dalam teks yang dipandang sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Kehendak

Tuhan ini terekah dan mungkin tersembunyi di dalam teks dan para ahli hukum itu bertugas

menemukan dan mengkajinya. Para ahli hukum itu memang telah melembagakan kekuasaan

yang didasarkan pada karisma ke dalam sebuah asosiasi hukum dan struktur yang sangat

formal dan hierarkis.95

Pada umumnya masalah waris merupakan masalah yang sangat detail diterangkan

oleh Al-quran, bahkan pembagian harta warisannyapun diuraikan secara qath‟i dilalah.

Hampir tidak ada yang zhanni dilalahnya dalam membahas masalah kewarisan.96

Dan juga

hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja didunia ini.

Sungguhpun demikian, corak suatu Negara islam dan kehidupan masyarakat di Negara atau

daerah memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu adalah pengaruh

terbatas yang tidak dapat melampaui garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam

tersebut. Namun pengaruh tersebut dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad

atau pendapat ahli-ahli hukum Islam itu sendiri.97

Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam

pemikiran hukum islam. Di satu sisi Al-quran tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris

untuk non-muslim, ulama telah menyebutkan bahwa penghalang kewarisan ada tiga, yang

pertama karena pembunuhan, kedua perbedaan agama, ketiga karena perbudakan. Imam asy-

syafi‟i berpendapat bahwa muslim tidak dapat mewarisi harta non-muslim dan sebaliknya.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid.

عن أسامو بن زيد قال : قال النىب ص م اليرث املسلم الكافر وال الكافراملسلم )رواه البخارى و مسلم(

Artinya : “Dari usamah bin zaid ia berkata, sabda Nabi SAW, muslim tidak mewarisi kafir,

dan kafir tidak mewarisi muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim)

94

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup …, h. 13. 95

Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan …, h. 28. 96

Beri Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 338. 97

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 1.

Page 59: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

154

Berbeda dengan pendapat Yusuf Al-Qaradhawi yang menyatakan bahwa muslim

dapat mewarisi harta non-muslim, tetapi non-muslim tidak dapat mewarisi harta muslim.98

B. Biografi Yusuf Al Qaradhawi

Dikalangan pemikir Islam, Yusuf Al-Qaradhawi dikenal sebagai ulama dan

pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaannya itu tidak lain

karena ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam . Lantaran

itu ia diterima kalangan Barat sebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah,

santun, dan moderat. Kapasitasnya itu pulalah yang membuat Al-Qaradhawi sering

menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama-agama di Eropa maupun di

Amerika, sebagai wakil dari kelompok Islam.99

Kapasitas keilmuan Al-Qaradhawi sesunggungnya tidak lepas dari latar belakang

keluarga dan pendidikan yang ditempuhnya. Ia dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana

dengan nama lengkap Yusuf bin „Abdullah bin „Ali bin Yusuf, yang kemudian popular

dengan sebutan Yusuf Al-Qaradhawi, disebuah desa terpencil pedalaman Mesir, Shaft At-

Turab terletak antara kota Thanta (ibu kota propinsi Al-Gharbiyyah) dan kota Al-Mahallah

Al-Kubra yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling terkenal di provinsi Al-

Gharbiyah, tepatnya pada 9 september 1926.100

Ayahnya, „Abdullah, adalah anak dari

pedagang sukses Haji „Ali Al-Qaradhawi. Mengutip cerita pamannya, Al-Qaradhawi

menuturkan bahwa nenek moyang dari pihak ayahnya ini dahulu berasal dari sebuah daerah

yang bernama Al-Qaradhah dan namanya dihubungkan dengan nama daerah tersebut,

sehingga ia dikenal dengan panggilan Al-Qaradhawi (huruf ra dibaca dengan baris diatas)

dan bukan Al-Qardhawi (dengan dimatikan huruf ra), seperti yang biasa diucapkan oleh

orang-orang Syam.101

Sejak kecil, Qaradhawi sudah dikenal sebagai anak yang pandai dan kritis. Pada

usia 10 tahun, ia sudah hafal Al-quran. Ia menyelesaikan pendidikannya di Ma'had Thantha

dan Ma'had Tsanawi. Setelah itu, Qaradhawi terus melanjutkan ke Universitas Al-Azhar,

Fakultas Ushuluddin, dan lulus tahun 1952. namun, gelar doktoralnya baru diperoleh pada

tahun 1973 dengan disertasi berjudul "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan

98

Yusuf Al-Qaradhawi, Fatawa Mu‟asyirah, (Kairo: Dar-Qalam, 2003), h. 677. 99

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, (Jogjakarta: Ar-

Ruzz Media, 2011), h. 35. 100

Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Cet. I, Terj. Cecep Taufikurrahman, (Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2003), h. 9. 101

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 35

Page 60: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

155

Kemiskinan." Disertasinya telah disempurnakan dan dibukukan dengan judul Fiqh Zakat.

Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa

modern.102

Faktor yang menyebabkan keterlambatan penyelesaian program doktornya itu

karena sejak tahun 1968 hingga tahun 1970 dia ditahan oleh penguasa militer Mesir atas

tuduhan pro terhadap gerakan ikhwan al-Muslimin dan juga pada waktu itu ketika situasi

Mesir ditimpa krisis politik menghadapi peperangan dengan Israel pada 1973. Ketika krisis

mulai reda, Al-Qaradhawi mengajukan disertasi yang sudah dipersiapkannya untuk diuji.

Setelah bebas dari tahanan, dia hijrah ke Daha Qatar. Ditempat baru ini ia tidak saja

menjalankan tugas sebagai guru dan penceramah, tetapi juga diangkat sebagai imam masjid.

Di kota ini pula Al-Qaradhawi bersama Abdul Muis Abdul Sattar mendirikan Ma‟had al-

Diniy. Madrasah inilah yang merupakan cikal-bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar yang

didirikannya bersama Dr. Ibrahim Kazim.103

Al-Qaradhawi termasuk salah seorang ulama yang dalam sejarah hidupnya telah

meniti banyak karir, baik formal maupun non-formal. Karir atau aktivitasnya yang tergolong

formal, antara lain adalah pernah menjabat sebagai pengawas pada Akademi Para Imam,

sebuah lembaga yang berada dibawah Kementrian Wakaf Mesir. Setelah meninggalkan tugas

ini, dia pindah ke bagian Administrasi Umum untuk masalah-masalah budaya Islam di Al-

Azhar. Ditempat ini dia bertugas mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang

menyangkut teknis pada bidang dakwah. Pada 1961 dia ditugaskan sebagai tenaga bantuan

untuk menjadi kepala sekolah, sebuah sekolah menengah di Qatar. Dengan semangat yang

tinggi dia telah melakukan pengembangan dan peningkatan yang sangat signifikan ditempat

itu seta berhasil meletakkan fondasi yang sangat kukuh dalam bidang pendidikan, karena dia

telah berhasil menggabungkan khazanah lama dan kemodrenan pada saat yang sama.

Sewaktu memimpin sekolah inilah dia mencetuskan suatu ide baru dalam upaya

meningkatkan mutu pendidikan berupa kurikulum dan silabusnya untuk tiap mata pelajaran

di Sekolah Lanjutan Atas sebagai metode baru dalam sistem mengajarkan berbagai disiplin

ilmu, seperti tauhid, tafsir, ilmu bahasa, dan sebagainya. Metode baru yang ditawarkan Al-

Qaradhawi ini banyak diterapkan oleh sekolah-sekolah tingkat sekolah lanjutan atas. Dalam

metode baru itu dikorelasikan materi pelajaran agama secara umum yang relevan.104

102

Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 4. 103

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 59-60. 104

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 77.

Page 61: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

156

Dengan didirikannya Fakultas Tarbiyah pada pada 1973, yang merupakan cikal-

bakal Universitas Al-Qatar, Al-Qaradhawi dipercaya membuka jurusan Studi Islam dan

sekaligus ia ditunjuk sebagai ketua jurusannya. Kemudian pada 1977 dia mendapat tugas

memimpin pembukaan Fakultas Syariah dan Studi Islam, sekaligus dia menjadi dekan untuk

fakultas yang baru itu. Jabatan ini diembannya hingga akhir tahun ajaran 1989-1990.

Jabatannya sekarang adalah Dewan Pendiri sekaligus Direktur Pusat Riset Sunnah dan Sirah

Nabi (Al-Markaz al-Buhuts Li Al-Sunnah wa al-Sirah al-Nabawiyyah) pada Universitas yang

sama. Pada 1990/1991 dia ditugaskan oleh pemerintah Qatar untuk menjadi dosen tamu di

Al-Jazair. Di negeri tersebut dia bertugas untuk menjadi ketua Majelis Ilmiyah pada semua

universitas dan akademi negeri itu. Pada tahun 1411 H, beliau mendapat penghargaan dari

IBD (Islamic Development Bank) atas jasa-jasanya dalam bidang perbankan. Sedangkan pada

tahun 1413 H dia bersama-sama dengan Sayyiq Sabiq mendapat penghargaan dari King

Faishal Award karena jasa-jasanya dalam bidang keislaman. Di tahun 1996 dia mendapat

penghargaan dari Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia atas jasanya dalam ilmu

pengetahuan. Dan pada tahun 1997 dia mendapat penghargaan dari Sultan Brunai Darus

Salam atas jasa-jasanya dalam bidang fikih.105

Adapun kariernya yang tidak resmi atau non-formal, antara lain adalah

aktivitasnya sebagai juru dakwah. Dia memang menyibukkan diri dalam masalah fiqih dan

fatwa, sastra dan puisi, serta masih banyak lagi yang lain. Namun, apa yang menjadi prioritas

utama dalam hidupnya adalah dakwah, dan inilah yang menjadikan dirinya sebagai manusia

yang berharga didalam hidupnya. Dakwah telah menjadi darah dagingnya dan bagian penting

dalam kesibukannya. Dakwah adalah fokus perhatiannya dan barometer kepeduliannya, fokus

ilmu dan amalnya. Dalam perjalanan dakwahnya, Al-Qaradhawi telah banyak mendapat

rintangan, tantangan dan tekanan keras, dan dipenjara beberapa kali sejak masih berstatus

sebagai siswa di Sekolah Menengah Umum pada masa pemerintahan Raja Faruq tahun 1948.

Dia juga pernah dipenjarakan pada masa-masa revolusi Januari 1954, kemudian bulan

November pada tahun yang sama dia juga dipenjarakan selama dua puluh bulan . peristiwa

serupa juga menimpa dirinya pada tahun 1963.106

Aktivitas dakwah, yang merupakan proyek utama dalam perjuangan Al-

Qaradhawi ini, telah dimulai sejak ia masih remaja, yang ketika itu baru berumur enam belas

tahun, tepatnya saat ia masih duduk di Sekolah Ibtida‟iyyah di Thantha. Jangkauan dakwah

105

Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 5. 106

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 78.

Page 62: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

157

Al-Qaradhawi dari waktu kewaktu terus bertambah luas, mulai dari desanya sendiri,

lingkungan sekitarnya, kemudian melebar lagi sampai ke berbagai tempat di negaranya

sendiri, hinnga dia telah banyak diundang untuk menyampaikan dakwah atau ceramah-

ceramahnya oleh sejumlah Negara di dunia. Ini karena ia selalu menampakkan Islam secara

ramah, santun, dan moderat, suatu metode yang jarang ditempuh oleh kebanyakan juru

dakwah yang lain.107

Dengan berlatar belakang pendidikan filsafat dan penguasaanya yang mendalam

terhadap Al-Quran dan Hadits, membuat pemahaman fiqih Al-Qaradhawi menjadi dinamis, ia

tidak kaku dalam mempelajari dan menyikapi ilmu-ilmu syariah, yang banyak menyedot

perhatiannya sampai sekarang. Meskipun dalam masalah fiqih ia beraliran Hanafi, ia tidak

terikat dengan pendapat-pendapat dalam mazhab tersebut. Al-Qaradhawi mengatakan

“diantara nikmat Allah yang telah diberikan kepada saya ialah sejak saya dini saya terbebas

dari ikatan mazhab, taqlid, dan fanatik terhadap pendapat seorang alim tertentu, meskipun

pelajaran fiqih saya yang resmi adalah Mazhab Abu Hanifah.”108

1. Karya-karya Yusuf Al-Qaradhawi

Demikian banyak dan beragamnya aktivitas yang digeluti Al-Qaradhawi, namun

dia masih dapat memanfaatkan hari-hari yang dilaluinya untuk menulis makalah seminar dan

artikel diberbagai majalah dan surat kabar serta menulis buku dalam jumlah yang banyak.

Buku-buku karangannya terdiri atas berbagai disiplin ilmu agama, yang dari dulu hingga

sekarang bahkan untuk masa yang akan datang dapat dijadikan referensi dan akan selalu

dikenang sebagai karya intelektualnya yang sangat berharga. Menurut catatan Ishom

Talimah, jumlah bukunya sudah mencapai ratusan dan ia telah menyebutkan judul-judul buku

tersebut dan telah dipilah-pilah sesuai bidang masing-masing.109

a. Bidang fiqih dan ushul fiqih: Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam; Fatawa Mu‟ashirah

(tiga jilid); Taysir al-Fiqh: Fiqh al-Shiyam; Al-Ijtihad fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah;

Min Fiqh al-Dawlah Fi al-Islam; Ziwaj al-Misyar; dan Dll

b. Bidang ekonomi Islam; Fiqh al-Zakah (dua jilid); Musykilat al-Faqr wa Kaifa

„Alajaha al-Islam; Bai‟ al-Murabahah li al-„Amir wa al-Syira; Fawa id al-Bunuk

Hiya al-Riba al-Haram; dan Daur al-Qiyam wa al-Akhaq fi al-„Iqtishad al-Islami

107

Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku …, h. 177. 108

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 61. 109

Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 35.

Page 63: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

158

Dengan melihat sekian banyaknya karya tulis yang menyentuh hampir berbagai

aspek kajian keislaman ini, dapat dipastikan Al-Qaradhawi merupakan sosok ulama yang

sangat produktif dalam menulis buku dan mempunyai keahlian dalam banyak bidang.

Namun begitu, karyanya dalam bidang fiqih dan fatwa agaknya lebih besar pengaruhnya di

dunia Islam dari pada karyanya dalam bidang-bidang yang lain110

.

B. Dasar Hukum Harta Waris beda Agama Menurut Yusuf Al Qaradhawi

Hukum waris di Indonesia secara umum masih menggunakan tiga landasan hukum,

pertama, hukum waris berdasarkan hukum Islam, kedua, hukum waris berdasarkan hukum

adat, dan ketiga menggunakan hukum waris yang berdasarkan hukum barat.111

Pembentukan hukum Islam mesti dikaitkan dengan konteks yang ada, situasi dan

kondisi dimana hukum tersebut dilahirkan yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk

kemaslahatan manusia. Konteks maslahah dizaman modern mesti perumusannya identik

dengan kebebasan, persamaan hak dan derajat.112

Dalam kajian hukum Islam, hukum dibagi

menjadi dua bidang besar, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan aturan yang terkait

dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, haji dan lainnya.

Sedangkan muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, perceraian , perkawinan, pewarisan,

jinayah dan lain-lain.113

Menurut Asgar Ali Engineer, ayat-ayat yang menyinggung soal

ibadah, dapat dipahami dalam hadits shahih dan tidak diperlukan reinterpretasi dan

rethingking dalam memahami ayat-ayat yang terkait. Berbeda dengan ibadah mu‟amalah

yang termasuk didalamnya kewarisan, terlebih dalam konteks pewarisan beda agama Asgar

melihat tidak maslahah dalam situasi kekinian ia menolak penghalang pewarisan akibat

perbedaan agama karena itu terkait dengan ibadah maumalah yang keberadaanya bisa

dikontekstualisasi.114

Pendapat ini senada dengan apa yang difatwakan oleh seorang ulama besar

kontemporer yaitu Yusuf Al-Qaradhawi , beliau mengatakan bahwasanya muslim dapat

110

Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 9. 111

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah “Kapita Selekta Hukum Islam”, (Jakarta: PT. Gunung Agung,

1996), h. 195. 112

M. Khalid Mas‟ud, Filsafat Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, (Surabaya: Al-Iklas, 1995), h.

181. 113

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikri Al-Mu‟sir, 1989, II), h.

19-20. 114

Asgar Ali Engineer, Metodologi Memahami Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tt), h.20.

Page 64: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

159

mewarisi dari kafir namun kafir tidak dapat mewarisi dari muslim.115

Namun mayoritas

ulama berpendapat bahwa muslim tidak mewarisi dari kafir sebagai mana kafir tidak

mewarisi dari muslim. Mereka menggunakan dalil-dalil, sabda Nabi saw.,

من الكافر واليرث الكافر املؤمنال يرث املؤ

“muslim tidak mewarisi dari kafir dan kafir tidak mewarisi muslim.” (HR Bukhari dan

Muslim dari Usamah bin Zaid)

اليثوارث اىل ملينت شىت

“Tidak saling mewarisi antara dua agama yang berbeda.” ( HR Ahmad dan Abu Daud dari

Abdullah bin Amru)

Pendapat ini merupakan pendapat khulafaur-Rasyidin, para imam empat mazhab

(Safi‟i, Hambali, Maliki, dan Hanafi), pendapat kebanyakan ulama, serta yang banyak diikuti

umat Islam, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qudamah.116

Namun, dalam riwayat dari Umar, Mu‟adz, Mu‟awiyah yang terdapat dalam kitab al-

Mugni disebutkan bahwa mereka membolehkan muslim mewarisi dari kafir, dan kafir tidak

dapat mewarisi dari muslim. Riwayat ini berasal dari Muhammad ibnul Hanafiyah, Ali bin

Husain, Sai‟d ibnul Musayab, Masruq, Abdullah bin Mu‟aqil, asy-Sya‟bi, Yahya bin Ya‟mar

dan Ishaq. Diriwayatkan pula bahwa Yahya bin Ya‟mar mendatangi dua orang yahudi dan

muslim yang sedang bertengkar tentang warisan saudara mereka berdua yang kafir.

Kemudian Yahya bin Ya‟mar memberikan warisan kepada muslim. Dengan dalil bahwa

muslim mendapat warisan dari kafir. Ia mengatakan bahwa Abu Aswad berkata kepadanya,

sesungguhnya Rasulullah berkata,117

اال سالم يزيد وال ينقص

“Islam selalu bertambah dan tidak pernah berkurang.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Al-

Hakim)

Artinya Islam menjadi sebab bertambahnya kebaikan dan tidak menjadi sebab kefakiran dan

kekurangan bagi pemeluknya. Tentang ketinggian dan kemuliaan Islam tanpa harus

ditinggikan, sebuah hadits menyebutkan,

“Islam adalah unggul dan tidak terungguli.” (HR al-Baihaqi dan Daaruquthni)

115

Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2002), h. 856-

857. 116

Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3 ..., h. 851. 117

Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3 ..., h. 851.

Page 65: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

160

Juga karena umat Islam diperkenankan menikahi wanita-wanita mereka, sedang

mereka tidak boleh menikahi wanita muslimah. Karena itu pula muslim dapat mewarisi kafir,

sedang kafir tidak dapat mewarisi dari muslim. Yusuf Al-Qaradhawi membenarkan dan

setuju dengan pendapat tersebut, meskipun jumhur ulama tidak menyetujuinya. Ia

mengatakan Islam tidak menolak jalan kebaikan yang bermanfaat bagi kepentingan umatnya.

Apalagi, dengan harta peninggalan atau warisan itu dapat membantu untuk mentauhidkan

Allah untuk taat kepadaNya, dan menolong menegakkan agama-Nya yang benar ini. Bahkan,

sebenarnya harta ditunjukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat

pada-nya.118

Menurut beliau illat dari masalah waris adalah semangat tolong menolong,

bukan perbedaan agama.119

C. Konsep Warisan beda Agama menurut Yusuf Al Qaradhawi

Islam adalah agama yang terdiri dari aqidah dan syari‟ah. Hukum syariah terdiri dari

aturan ubudiyyah dan mu‟amalah. Didalam hukum mu‟amalah diklasifikasikan menjadi

beberapa bagian, diantaranya siyasah, aqdhiyah, jinayah, mu‟amalah, dan ahwal syahsiyah.

Pada lingkup ahwal syahsiyah terdapat aturan hukum tentang munakahat, waris, wasiat, dan

waqaf. Kesemuanya selalu bertujuan untuk tercapainya kemaslahatan. Salah satu aturan di

dalam hukum Islam yang menuntut diberlakunya kemaslahatan adalah mengenai pembagian

waris, yang mana sebagian besar umat Islam meyakini bahwa sistem yang selama ini diatur

di dalam fiqh mawaris mengandung nilai keadilan dan kemaslahatan yang mampu untuk

dipertanggung jawabkan. Sehingga menerapkan hukum waris Islam adalah dianggap akan

dapat membuat tercapainya kemaslahatan dalam kehidupan umat manusia.120

Hukum syariah secara jelas melarang seorang muslim dengan kafir saling mewarisi.

Diantara alasan dari ketidak bolehan tersebut adalah hadits Nabi saw sebagai berikut:

ال يشث المغلم الكافش وال الكفش المغلم

“orang islam tidak dapat mewarisi harta kafir dan kafir pun tidak dapat mewarisi harta

orang islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama sepakat dengan larangan kafir yang mewarisi muslim. Tetapi ketika muslim dilarang

mewarisi kafir, permasalahan yang timbul kemudian. Konsepsi tentang non muslim

118

Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3 ..., h. 852. 119

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqasyid Syari‟ah, (Jakarta: Putaka Al-Kautsar, 2007), h.306. 120

Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, (Jakarta: Prenada, 2003), h. 351.

Page 66: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

161

umumnya selalu dikaitkan dengan kata kafir. Sedangkan dalam Al-quran banyak ditemukan

kata kafir atau kufr, Al-quran menempatkan kafir sebagai sentral dari segala kejahatan dan

menjadikannya sebagai lawan dari pada kata-kata “iman” yang menjadi sumber dari segala

kebaikan. Karena posisinya yang cukup sentral dalam Al-quran, pemikiran tentang

terminologi kafir sampai sekarang masih terus berkembang, bahkan keberadaannya penting

untuk dikaji secara sistematis dan mendalam guna memperoleh pemahaman yang utuh dan

komprehensif.121

Penafsiran tentang terminologi kafir/kufr dari beberapa intelektual sangat beragam

sekali. Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menafsirkan kafir dengan mengutip surat Al-

Baqarah: 254, beliau mengatakan122

“kafir itu ada yang kafir ingkar kepada Tuhan sama sekali, kafir kepada akhirat.

Tetapi ada lagi kafir dalam pengakuan iman. Dia sembahyang juga, puasa juga tetapi

dia menolak ajakan membelanjakan harta pada jalan Allah. Dia bakhil, saku-saku

dijahitnya, peti uangnya ditutup, diajak kurban pada Allah dia pun malas, bahkan dia

pun takut. Akhirnya agamanya mundur, sabilillah tidak berdiri, umat menjadi bodoh

hakekat agama tidak tegak lagi. Yang selesai menjadi kusut dan yang jernih menjadi

keruh. Siapa yang aniaya jadinya? Ialah si bakhil tadi karena menolak (kufr) pada

ketentuan kebenaran”.

Abdullah Ahmad An-Na‟im seorang sarjana asal Sudan mengatakan secara implisit

bahwa jika ada beberapa ajaran Islam (nash) bertentangan dengan nash lain yang

mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka yang bersifat praktik mesti dinasakh oleh nash

lain yang mengandung nilai kemanusiaan (yang berupa keadilan, persamaan derajat,

kebebasan beragama, tolong menolong dan lainnya).123

Sebab ayat-ayat tersebut merupakan

universal sebagai nash muhkamat yang berarti Qat‟iyyu ad-dalalah.124

Konsepsi kafir ataupun murtad dalam fiqih Islam yang disebutkan sebagai penyebab

terhalangnya hak-hak waris semestinya dicabut karena penghalang atas nama kafir ataupun

murtad jelas diskriminasi terhadap ahli waris yang berbeda agama. Kafir dalam bahasa

mereka tidak seperti terminologi para ulama salaf (klasik) yang terjebak pada terminologi

121

Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.18. 122

Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, III, 1983), h.15. 123

Abdullah Ahmed An-Na‟im, Al-Qur‟an, Syari‟ah Dan HAM : Kini Dan Masa Depan, (Islamika No.

2, 1993), h.112 124

Masdar Farid Mas‟udi, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1993), h. 21.

Page 67: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

162

yang tidak adil. Konsepsi kafir tidaklah semata transedental spekulatif tetapi juga bernuansa

sosial dan reflektif kemanusiaan kontemporer.125

Dalam konsep hukum waris beda agama para ulama salaf dan kontemporer berbeda-

beda pendapat. Para ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang muslim berhak mewarisi

non muslim. Kalau salah seorang diantara anak-anak pewaris ada yang non muslim kemudian

masuk Islam sesudah orang yang diwarisi itu meninggal dan harta peninggalannya sudah

dibagikan kepada pemiliknya maka menurut kesepakatan para Ulama madzhab, orang

tersebut tidak berhak atas waris. Tetapi para ulama klasik dalam konteks tersebut, berbeda

pendapat ketika anak non muslim masuk Islam sesudah orang yang diwarisi tersebut

meninggal akan tetapi hartanya belum dibagikan. Ulama Imamiyah dan Hambali mengatakan

bahwa “orang itu berhak atas waris”. Sedangkan Imam Hanafi, Maliki, dan Syafi‟i

mengatakan berbeda: “orang itu tidak berhak atas waris”.

Tetapi secara umum Imam Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafi‟i bersepakat bahwa :

“orang Islam tidak dapat saling mewarisi dengan non muslim, mereka berpegang pada dzahir.

Tetapi Imamiyah juga mengatakan bahwa; “apabila pewaris muslim itu hanya satu, maka

hanya dialah yang menarima waris. Keislaman seseorang kemudian tidak berpengaruh sama

sekali bagi hak untuk mewarisi.126

Dalam konteks penghalang kewarisan perbedaan agama juga termasuk yang dalam

ajaran Islam dikatagorikan sebagai orang murtad. Murtad secara umum didefinisikan oleh

para ulama sebagai keluarnya seseorang yang semula memeluk agama Islam kemudian

mengingkarinya.

Terkait dengan kewarisan, status orang murtad disamakan dengan orang kafir yang

berarti mempunyai kedudukan yang sama dengan orang kafir asli. Karena orang murtad tidak

dapat menjadi muwarris bagi ahli warisnya yang muslim ataupun sebaliknya. Dasar hukum

dalam hal ini ialah mengambil pada rujukan keumuman hadits yang diriwayatkan oleh

Usamah bin Zaid.

Berbeda halnya dengan Yusuf Al-Qaradhawi, ia mengatakan bagi orang murtad,

orang Islam berhak menerima waris darinya. Adapun bagi dia, jika dia memiliki warga yang

muslim yang mati dan saat itu ia dalam keadaan murtad, maka si murtad tersebut tidak berhak

menerima waris . karena yang demikian itu, berarti dia tidak dalam barisan penolongnya.

125

Masdar Farid Mas‟udi, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam ..., h. 21. 126

Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, Terj Masykur A.B, (Jakarta: Lentera, 1996),

h.542.

Page 68: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

163

Tetapi jika dia kembali lagi memeluk Islam sebelum warisan dibagikan mengenai hal ini,

orang-orang berbeda pendapat tentangnya; apakah ia mendapat warisan atau tidak.

Menurut madzhab Ahmad, bagi kafir asli dan orang murtad, apabila ia masuk Islam

sebelum warisan dibagikan, maka mereka berhak mendapatkan warisan. Ini adalah pendapat

beberapa sahabat dan tabi‟in. serta hal ini mendukung dasar tadi, yaitu dapat mendorongnya

kepada Islam.127

Dan juga menurut fuqaha, Imam Ali r.a. karramallahu wajhah pernah memberikan

warisan kepada ahli waris yang muslim dari Al Miswar Al „Ajli yang dibunuh karena murtad.

Sebagian fuqaha lagi membatasi kebolehan orang muslim mawarisi peninggalan orang kafir

jika sikafir orang murtad, yakni asalnya beragama Islam kemudian memeluk agama atau

kepercayaan lain dengan meninggalkan Islam. Yang berpendapat membolehkan ialah Abu

Yusuf dan Muhammad (dua murid Imam Abu Hanifah) serta madzhab Imam Al Hadi dari

kelompok Syi‟ah Zaidiyah. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa kekayaan yang

diperoleh sebelum pewaris murtad adalah untuk ahli warisnya yang muslim, sedangkan

kekayaan yang diperoleh setelah pewaris murtad adalah untuk baitul mal.128

Akan hal orang murtad mewarisi (mendapat warisan) kerabatnya yang muslim tidak

ada seorangpun ulama yang memperbolehkannya, karena menurut pandangan Islam ia

dihukumi telah mati dan darahnya sia-sia (dianggap tidak ada). Dengan demikian, jelaslah

bahwa orang murtad yang tetap dalam kemurtadannya tidak dapat mewarisi dari ayahnya,

ibunya, kakeknya, dan kerabat manapun yang muslim menurut ijma‟, karena dia telah murtad

dari Islam tanpa diperselisihkan lagi, dan murtadnya dari Islam menuju kepada komunisme

itu termasuk jenis kekafiran yang paling buruk, karena dia tidak mengimani ketuhanan,

kerasulan, kitab suci, dan akhirat:

يايها الذينامنوا امنوا باهلل ورسولو والكتب الذي نزل على رسولو والكتب الذي انزل من قبل ومن يكفرباهلل وملءكتو وكتبو ورسلو واليوم االخر فقد ضل ضلال بعيدا.

Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya

dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah

turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-

Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya

orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”. (QS. An Nisaa‟ : 136)

Semua ketentuan ini berlaku bagi orang komunis (murtad) yang tetap dalam

kekomunisannya.129

Pendapat yang mendukung bahwa seorang muslim menerima waris dari

127

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah …, h. 308. 128

Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jild I, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 646. 129

Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild. 1 …, h. 646.

Page 69: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

164

orang kafir tetapi tidak sebaliknya adalah, bahwa dasar dari waris yaitu adanya semangat

tolong menolong. Sedangkan yang menghalangi dari waris adalah permusuhan.130

Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan dalam melaksanakan prinsip hukum

Islam, terutama berkaitan dengan kewarisan. Menurut Yusuf Al-qaradhawi131

, beliau

mentarjih pendapat yang membolehkan muslim menerima dari non muslim dengan alasan :

a. Islam tidak boleh menghalangi harta yang dapat digunakan untuk membela tauhid,

ketaatan, dan menolong agama Allah.

b. Asal dalam penggunaan harta untuk ketaatan kepada Allah, bukan untuk

kemaksiatan.

c. Peraturan perundang undangan yang berlaku di suatu Negara menetapkan orang

yang paling utama menggunakan harta adalah orang beriman. Bila terhadap

kepemilikan harta waris, kita tidak layak untuk menolaknya dan membiarkan

orang kafir menggunakannya untuk sesuatu yang haram, padahal akan

membahayakan umat Islam.

d. Harta diambil dijalan tawassuth (moderat), yaitu ahli waris mengambil harta

tersebut, sesuai dengan peraturan undang-undang di negara tersebut, tetapi untuk

kemaslahatan umat, dakwah, dan pendidikan Islam, sementara yang bersangkutan

dengan pribadinya mengambil untuk sekedar menutupi kebutuhan pokok

hidupnya dari pada harus meminta-minta (tasawwul) kemana-mana, apalagi

dengan membawa nama muallaf.

Waris beda agama adalah praktek waris yang amat pelik, dizaman modern, terlebih

ketika yang menerima warisan adalah muslim dari orang tua atau kerabat yang masih kafir.

Keterangan yang menapikan kewarisan itu, dengan menggunakan huruf La nafyiyah yang

diartikan tidak, bukan la nahyi, yang berarti larangan. Huruf La nafyiyah ini mengandung arti

“tidak” dan dengan kata tidak ini, tidak dilakukan suatu tindakan hukum.132

Sabda Nabi yang

berkaitan dengan menapikan waris mewarisi antar agama ialah hadits yang diterima dari

Usamah bin Zaid dari Nabi saw.

ال يرث املسلم الكافر وال الكفر املسلم

“orang Islam tidak dapat mewarisi harta kafir dan kafir pun tidak dapat mewarisi harta

orang Islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits lain dari Amr bin Syuib dari kakeknya Abdullah bin Amr dari Nabi saw.,

اليتورث اىلو مللتني شتا )رواة امحدد, ابودود, ابن جمو (

130

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 308. 131

Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa kontemporer, jild 3 …, h. 852. 132

Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jild. IX, Terj. Anshari Taslim, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.th), h.15.

Page 70: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

165

“tidak waris mewarisi penganut dua agama yang berbeda”, (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan

Ibn Majah).

Dua hadits inilah yang menjadi standar kewarisan dikalangan umat Islam yang dianut

oleh para ulama, sejak sahabat, ulama salaf dan khalaf. Namun demikian tidak menjadi ijma‟

karena ada beberapa sahabat tidak menyepakatinya didalam hadits itu masih umum dan

memerlukan khas (pengkhususannya) atau mungkin taqyid-nya, bila dianggap mutlaq. Maka

kafir disitu kafir harbi, bukan kafir dzimmi. Umar dari kalangan al-Khulafa al-Rasyidin,

Muadz, Muawiyah, tidak menerapkan praktek hadits yang diriwayatkan di atas, bahkan

sebaliknya dalam kasus tertentu sebagai mana diriwayatkan, “Mereka mengambil waris dari

kafir tetapi tidak sebaliknya, yaitu kafir dari muslim”.133

D. Metode Istinbath Hukum tentang harta warisan beda agama menurut Yusuf Al

Qaradhawi

Ajaran yang paling popular dalam metode istinbath adalah paham begaimana dalam

menentukan suatu hukum dengan landasan-landasan yang benar atau ketentuan-

ketentuannya, landasan hukum yang penting, sesungguhnya tambahan terhadap sunnah,

adalah pendapat dan praktek (atsar dan a‟amal) dari para sahabat. Semenjak masa awal Islam,

kaum muslimin telah memandang keputusan-keputusan hukum dari para sahabat sebagai

metode hukum. Alasannya ialah bahwa para sahabat adalah pengamat-pengamat langsung

dari sunnah Rasul.134

Pendapat-pendapat hukum mereka, meski berbeda-beda disana sini,

tetap membawa ruh sunnah Rasul, ialah sebabnya mengapa para ahli hukum madzhab awal

sering kali berargumen atas dasar keputusan-keputusan hukum para sahabat, praktek dan

pendapat para sahabat merupakan sumber hukum yang demikian penting sehingga sering kali

menyisihkan suatu tradisi dari Rasulullah untuk mendahulukan pendapat dan praktek para

sahabat.

Metode-metode istinbath hukum dalam ilmu ushul fikih, pembahasannya

dikelompokkan bersama-sama dengan Al-Qur‟an dan sunnah yang kemudian dinamakan

dengan Al-Adillat Al-Syar‟iyyat (dalil-dalil syara‟), pengelompokkan ini sebenarnya kurang

tepat, karena terdapat perbedaan antara Al-Qur‟an dan sunnah disatu sisi dengan metode-

metode istinbath hukum itu di lain sisi Al-Qur‟an dan sunnah merupakan sumber hukum,

sedangkan Qiyas, isthsan, istishlah dan lain-lain merupakan cara-cara yang ditempuh oleh

133

Yusuf Al-Qaradhawi, (Mengutip Ibn Qudamah, Al-Muqhni IX), Fatwa-fatwa Kontemporer, jild 3

…, h. 851. 134

Iskandar Usman, Pembaharuan Hukum Islam, cet 1, (Banda Aceh : LKAS, 2011), h. 5.

Page 71: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

166

para mujtahid dalam menetapkan atau memutuskan hukum guna mendapatkan hukum yang

sesuai dengan kehendak Al-Qur‟an dan sunnah.135

Mengenai metode instinbath hukum tentang harta waris yang telah dilakukan oleh

para ulama, baik ulama salaf maupun kontemporer selalu memberikan perhatian serius

terhadap pembahasan kewarisan. Intensi mereka terhadap persoalan waris disebabkan Al-

Qur‟an dan Al-Hadits yang menjadi rujukan pertama hukum Islam menerangkan

pengaturannya dengan sangat terperinci dan ketentuan-katentuan yang lugas. Metode yang

digunakan Yusuf Al-Qaradhawi dalam mengistinbathkan hukum tentang harta warisan yaitu:

1. Metode Kemaslahatan

Seiring dengan perkembangan zaman dan situasi kondisi yang terus menerus

berubah, pengaturan kewarisan yang telah diatur cukup tegas itu sedikit banyak mengalami

masalah bahkan benturan-benturan sosial yang tidak dapat dihindarkan. Situasi-situasi dan

perubahan zaman yang berlansung sangat cepat itu, mendorong pemikir Islam kontemporer

untuk kembali melakukan ijtihad dengan menggali nilai-nilai universal dan abadi yang ada

dalam Al-Qur‟an dan Al-hadits.

Salah satu yang menjadi perdebatan pemikir mutaakhir perihal kewarisan adalah hak

waris muslim terhadap ahli warisnya yang non muslim. Kita tahu dalam khazanah fiqh

disebutkan bahwa salah satu penyebab terputusnya hak waris seseorang ialah perbedaan

agama. Perbedaan agama antara muwarris dan ahli waris ialah salah satu syarat terputusnya

hak waris seseorang. Hukum ini, mendapatkan gugatan dari pemikir kontemporer salah

satunya yaitu Yusuf Al-qaradhawi karena diangap bertentangan dengan nilai universal islam,

keadilan dan hak asasi manusia.136

Jumhur ahli fikih berpendapat, bahwa seorang muslim tidak boleh menerima waris

dari kafir, begitupun sebaliknya. Perbedaan agama menjadi sebab terhalangnya warisan. Para

ahli fikih beralasan dengan hadits Al-Bukhari dan Muslim yang menyatakan, “ muslim tidak

boleh menerima waris dari kafir, tidak pula kafir dari muslim.” Serta hadits lain yang

menyatakan , “pemeluk dua agama (berbeda), tidak boleh saling mewarisi”.

Pendapat tersebut diriwayatkan dari Khulafaur rasyidin. Imam empat madzhab dan

seluruh ahli fikih pun berpendapat hal yang serupa. Hal ini sebagai mana yang dikatakan ibnu

Qudamah.

135

Hasbi Ash-Shiddleqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 87. 136

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Ekonosia Ekonomi UII, 1999), h. 7.

Page 72: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

167

Diriwayatkan dari ibnu Umar, Muadz, dan Mu‟awiyah, bahwa seorang muslim boleh

menerima waris dari kafir, dan tidak sebaliknya. Hal itu diceritakan oleh Muhammad bin Al-

Hanafiyyah, Ali bin Husain, Sa‟id bin Al-Musayyab, Masruq, Abdullah bin Ma‟qil, Asy-

Sya‟bi, Yahya bin YA‟mar, dan Ishaq.137

Diriwayatkan juga dari Yahya bin Ya‟mar, bahwa pernah dua orang saudara Yahudi

dan muslim bersengketa kepadanya tentang warisan saudaranya mereka yang kafir. Lalu,

muslim tersebut mendapatkan warisan tersebut. Yahya berkata, “Abu Al-Aswad pernah

bercerita kepadaku bahwa Muadz pernah bercerita, Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Islam

itu bertambah, bukan berkurang”.138

Ini berati bahwa Islam harus menjadi sebab kabaikan

bagi pemeluknya, bukan menjadi sebab bagi kekurangan.

Akan tetapi imam Syafi‟i mengatakan hadits yang diriwayatkan oleh muadz tersebut

adalah hadits dhaif, beliau mengatakan Abu al-Aswad seorang yang hafalannya lemah jadi

tidak bisa diterima begitu saja.139

Tetapi Qaradhawi berpendapat hadits dhaif boleh

dijalankan dalam masalah-masalah yang dianggap baik, anjuran, peringatan, dan syarat-syarat

tertentu. Karena hadits yang diriwayatkan oleh muadz sanadnya bersifat dharurat atau

kemaslahatan dharuriyah yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok

manusia yakni terpeliharanya agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.140

Imam asy-Syatibi memberikan tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan

dalil maslahat.

a. Bersifat logis, yakni ketika dilogikakan ia dapat diterima. Ia tidak menerima hal-

hal yang bersifat ta‟abbudi, karena hal-hal yang bersifat ta‟abbudi adalah sesuatu

yang harus diterima.

b. Ada hubungan secara global dengan tujuan syariat, dengan tidak menghilangkan

hukum dari asalnya, serta tidak ada dalil yang menunjukkan secara qath‟i. Akan

tetapi sesuai dengan maslahat yang dimaksud oleh syariat dalam pelaksanaannya,

demikian juga jenis dan hal-hal lainnya tidak bertentangan, meskipun tidak ada

dalil khusus yang menyatakannya.

c. Penggunaan dalil tersebut atas dasar pemeliharaan sesuatu yang mendesak

(dzaruri) atau menghilangkan kesulitan dalam agama.

Adapun dasar penggunaan dalil maslahat untuk menghilangkan kesulitan adalah

dimungkinkan ada hubungan dengan yang mendesak dan mungkin merupakan kebutuhan

137

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 303. 138

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 303. 139

Al-Imam asy-Syafi‟i, Al-Umm ..., h. _. 140

Yusuf Al-Qaradhawi, Taisiru Fiqh Lil Muslimil-Muasyiri Fi Dhau Il-Qur‟an Was Sunnah, (Kairo:

Maktabah Wahbah, 1420 H), h.76.

Page 73: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

168

yang maksudnya adalah untuk meringankan dan mempermudah .141

Para analisis ulama Islam

menyatakan bahwa hukum-hukum syariat itu disyariatkan untuk kemaslahatan hamba-Nya di

dunia ataupun di akhirat. Demikian juga apakah maslahat tersebut dharuriyah, hajiyah, atau

tansiniyah. Adapun dalilnya, sebagaimana dikatakan oleh imam Ghazali kemudian juga

imam asy-Ayatibi, adalah penelitian syariah dan analisis beberapa dalilnya baik yang

menyeluruh maupun yang persial. Hal itu tidak hanya terbatas pada satu nash atau realitas

khusus, syariat secara keseluruhan mengandung kisi-kisi tersebut. Imam asy-Syatibi

mengkhususkan satu bagian dalam kitabnya Al-muwafaqat untuk bab maqashid.

Imam asy-Syatibi mengatakan dalam kitabnya tersebut kaidah yang penting, yaitu

bahwa asal ibadah dalam konteks taklif adalah penyerahan dan pengikatan tanpa harus

mengkaji makna-maknanya (apa maksudnya) dan asal „adah „kebiasaan, muamalah„ adalah

pengkajian terhadap makna-makna. Kesimpulannya adalah bahwa tujuan syariat itu untuk

mencapai kebaikan, maslahat bagi manusia, dan menghindari bahaya dan kerusakan

mereka.142

Maka dari itu waris beda agama dapat dilakukan tetapi hanya sebatas muslim

mewarisi kafir namun tidak sebaliknya, karena menngandung kemaslahatan yang begitu

besar bagi manusia terutama muslim. Penerima warisan yang terhijab dalam kasus perbedaan

agama ternyata ada pemaknaan lain, hadits tersebut dimaknai tidak sebagaimana lahiriyahnya

ketika diterangi atau malah diyakini ada bahaya tersembunyi dan dengan menolak waris itu

akan keluar dari al-maslahah al-ammah.

Disini, bisa juga disebutkan hadits, “Islam itu tinggi, dan tidak bisa rendah”. Selain

itu muslim bisa menikahi wanita-wanita mereka dan mereka tidak bisa menikahi wanita-

wanita muslim. Demikian pun dalam warisan. Kita bisa menerima waarisan mereka, tetapi

mereka tidak.

Meskipun tidak sama dengan jumhur, tetapi Al-Qaradhawi menguatkan pendapat

tersebut. Beliau berpendapat, bahwa Islam tidak menjadi batu penghalang bagi kebaikan dan

kemaslahatan seorang muslim yang mengesakan Allah, taat kepada-Nya, dan menolong

agama-Nya dengan kebaikan.143

Sebagaimana telah diketahui, bahwa waris dibangun atas dasar semangat tolong-

menolong yang nyata, bukan karena keimanan hati dan ikatan batin. Secara zhahir, orang-

orang munafik adalah menolong umat islam, meskipun hakikatnya mereka adalah musuh

141

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, tt), h. 77. 142

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern ..., h. 80. 143

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 304.

Page 74: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

169

yang paling berbahaya. Tatapi, mereka tetap mendapatkan warisan. Dengan demikian, waris

dibangun berdasarkan perkara zhahir, bukan hati.

Kebanyakan dari mereka melarang masuk Islam karena takut jika kerabatnya yang

memiliki harta banyak meninggal, mereka tidak akan mendapatkan warisan sedikitpun.

Beliau pernah mendengar dari mereka mengatakan hal tersebut.144

Oleh karena itu, jika

diketahui bahwa Islam tidak menggugurkan warisannya, maka upaya mereka untuk

menghalang-halangi saudaranya dari masuk Islam semakin melemah, dan keinginan mereka

sendiri untuk masuk Islam menjadi makin kuat. Hal ini saja sebenarnya telah cukup untuk

menjadi pengkhususan (at-takhshish) dalam masalah ini. Hal ini mempunyai kemaslahatan

yang diakui oleh syariat dalam banyak ajarannya. Kemaslahatan bisa jadi lebih besar dari

pada kemaslahatan menikahi perempuan mereka. Dan hal ini tidak menyalahi hal-hal pokok.

Ahli dzimmah selalu menolong mereka, orang-orang Islam berperang untuk mereka dan

menebus tawanan mereka. Waris ada, karena adanya semangat tolong menolong. Dengan

demikian, umat Islam menerima waris dari mereka. Namun, mereka tidak menolong umat

Islam, dengan demikian mereka tidak berhak menerima waris. Dasar waris bukanlah ikatan

hati. Jika hal ini dijadikan alasan, sunnah telah menjelaskan bahwa mereka menerima dan

memberi waris.

Menurut Ibnu Taimiyah,145

yang mendukung pendapat bahwa muslim menerima

waris dari kafir dzimmi tetapi tidak sebaliknya adalah, bahwa dasar dari waris yaitu adanya

semangat tolong menolong. Sedangkan yang menghalangi dari waris adalah permusuhan.

Untuk itu, banyak ahli fikih berpendapat, bahwa kafir dzimmi tidak menerima waris dari

kafir harbi. Dalam ayat tentang diyat, Allah swt. berfirman,

فان كانن من قوم عد ولكم وىو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة

Artinya: “Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia mukmin, maka

(hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (QS. An-

Nisaa‟: 92)

Jika yang terbunuh muslim, diyatnya adalah untuk keluarganya. Jika yang terbunuh

orang yang membuat perjanjian damai, diatnya untuk keluarganya. Jika yang terbunuh adalah

musuh umat Islam, dia tidak mendapaatkan diyat. Karena, keluarganya adalah musuh umat

Islam, bukan orang yang membuat perjanjian damai, dengan demikian umat Islam tidak akan

144

Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 307. 145

Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 308.

Page 75: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

170

membayar diyat kepadanya. Jika mereka adalah orang yang membuat perjanjian, umat Islam

pasti akan membayar diyat kepadanya. Dengan demikian, orang–orang seperti itu tidak akan

menerima warisan dari umat Islam, karena diantara merka tidak ada ikatan iman dan

keagamaan.

Orang–orang yang berpendapat tidak mendapatkan warisan berkata; kufur

menghalangi waris. Orang yang membebaskan hamba sahaya, jika ia kafir maka ia tidak akan

menerima waris, ia seperti pembunuhan. Sedangkan orang yang berpendapat menerima waris

berkata; orang yang membunuh tidak dapat menerima waris ( dari orang yang dibunuh )

adalah sebagai pelajaran/hukuman karena dia telah melanggar janji.

Inilah yang menjadi Illat dalam warisan yaitu pemberian pertolongan. Sedangkan

adanya perbedaan agama, tidak memungkinkan untuk menjadi illat dalam masalah ini.146

Maka permasalahan ini dapat masuk dalam kategori tiga kebaikan syariat berikut ini,

yaitu orang (kafir atau murtad) yang masuk Islam sebelum harta warisan dibagikan, maka ia

berhak mendapat warisan, orang memerdekakan hamba sahaya ia berhak menerima warisan

dari bekas hamba sahayanya tersebut karena alasan perwalian, dan muslim berhak menerima

warisan dari saudaranya yang kafir dzimmi.

Permasalahan di atas termasuk polemik yang terjadi antara para sahabat dan tabi‟in.

Namun untuk dua masalah yang terakhir, tidak diketahui bahwa para sahabat berpolemik

tentangnya. Yang dinukil dari pendapat mereka adalah, mendapatkan warisan.

Ibnu Taimiyah menyatakan, masalah warisan dalam kaitannya dengan hal ini adalah

sesuai dengan dasar-dasar syariat yang ada. Dimana umat Islam memiliki hak atas ahli

dzimmah karena kewajiban-kewajiban yang dilakukan untuk melindungi darah mereka,

membela diri mereka, menjaga nyawa dan harta mereka, dan membebaskan tawanan mereka.

Umat Islam telah memberikan manfaat, menolong, dan memperjuangkan mereka. Dengan

demikian, umat Islam lebih berhak mewarisi dari mereka dari pada kafir.147

Sedangkan, orang-orang yang berpendapat tidak menerima waris, berkata; waris itu

berdasarkan kesetiaan (wala‟) sedangkan kesetiaan antara muslim dan kafir telah terputus.

Namun, orang-orang menjawab, bahwa waris tidak berdasarkan kesetiaan hati (batin) yang

akan mengakibatkan ganjaran di akhirat. Karena hal tersebut telah jelas antara umat Islam

dan musuh mereka yang paling besar, yaitu orang munafik, yang disebut dalam Al-Qur‟an,

146

Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 309. 147

Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 310.

Page 76: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

171

ىم العد وفا حذ رىم

Artinya: “mereka itulah musuh musuh yang sebenarnya maka waspadailah terhadap

mereka”. (QS. Al-Munafiqun : 4)

Namun, dalam sejarah mereka tetap mewarisi dan diwarisi. Karena memang loyalitas

hati tidak menjadi syarat dalam warisan. Tetapi, dengan rangkaian kerja sama atau tolong-

menolong. Muslim menolong ahli dzimmah, dengan demikian mereka menerima waris dari

mereka. Sedangkan ahli dzimmah tidak menolong umat Islam, dengan demikian mereka tidak

menerima waris dari muslim.

Bisa juga dilihat dari sisi bahwa waris termasuk kedalam bab wasiat seorang ayah

yang meninggal kepada anaknya. Wasiat dari kafir kepada muslim, atau dari muslim kepada

kafir yang bukan harbi adalah jelas-jelas boleh. Mereka berpendapat, bahwa manusia boleh

mewasiatkan seluruh hartanya, meskipun kepada anjingnya. Dengan demikian, kepada

anaknya adalah lebih utama.148

Jika kita mengambil pendapat jumhur yang tidak membolehkan seorang muslim

menerima waris dari non muslim, maka Yusuf Al-qaradhawi mengatakan “kita harus berkata

kepada muslim yang ditinggal mati oleh ayahnya ini dengan, „Ambillah peninggalan harta

ayahmu yang diberikan oleh hukum. Lalu manfaatkanlah olehmu yang sesuai dengan

kebutuhanmu dan keluargamu. Kemudian berikanlah sisanya untuk amal kebaikan yang

dibutuhkan oleh umat Islam sebagai mana yang ditulis didalam surat. Juga jangan kamu

berikan harta ini pada pemerintahan (di negaramu yang non Islam), karena malah harta itu

sering digunakan untuk kepentingan lembaga-lembaga misionaris dan yang lainnya.

Ketentuan ini hampir sama dengan fatwa Yusuf Al-qaradhawi tentang harta yang

diperoleh dari barang haram, seperti bunga bank dan yang lainnya. Al-qaradhawi dan

lembaga-lembaga fiqih telah berfatwa, melarang meninggalkan bunga (yang menjadi

haknya) di bank dengan sistem riba, apalagi di negara-negara Barat. Harta tersebut harus

diambil dan dimanfaatkan. Ia harus diberikan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat Islam

karena harta tersebut kalau tidak diambil, ia justru akan dimanfaatkan untuk kepentingan

mereka. Dan ini lebih berbahaya.149

Kemaslahatan adalah dalil agama yang qath‟iy, bersandar pada pendapat Najamuddin

at-Tufi yang berpendapat bahwa ketika teks bertentangan dengan kemaslahatan, maka teks

148

Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 311. 149

Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 311.

Page 77: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

172

dan kemaslahatan harus didamaikan, baik dengan cara mengkhususkan teks dengan

kemaslahatan, atau mendahulukan kemaslahatan dengan cara memberikan penjelasan.

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa tidak boleh dikatakan agama lebih mengetahui

kemaslahatan, dalam konteks muamalah kemaslahatan tersebut harus tetap diambil dari dalil

agama (teks). Karena menjaga kemaslahatan adalah termasuk dalil agama, maka menjaga

kemaslahatan adalah yang paling kuat dan yang palig khusus. Dengan demikian, ketika

mengambil kemaslahatan, ia harus didahulukan. Dan ini tidak terjadi dalam ibadah yang tidak

bisa diketahui kemaslahatannya. Menurut at-Tufi, jika kita melihat dalil syari‟at yang ambigu

untuk menjelaskannya, kita harus tahu bahwa syari‟at telah menyerahkan kepada kita untuk

memperhatikannya.150

Seperti halnya yang dituliskan oleh Ibn Khaldun; Dalam hal riwayat, jika seseorang

hanya percaya pada [metode] transmisi tanpa menilai [riwayat-riwayat itu] berdasarkan

prinsip-prinsip tindakan manusia, asas-asas politik, sifat dasar peradaban, dan kondisi-kondisi

pergaulan sosial, serta tanpa membandingkan sumber-sumber lama dengan sumber-sumber

kontemporer, masa kini dengan masa lalu, niscaya orang tersebut akan terjerumus kedalam

kekeliruan dan kesalahan-kesalahan, serta bisa melenceng dari jalur kebenaran. Para

sejarawan, penafsir [Al-qur‟an], dan perawi-perawi terkenal sering kali terjerumus dalam

kekeliruan karena menerima begitu saja [autentisitas] riwayat dan peristiwa-perisriwa itu. Ini

karena hanya bersandar pada transmisi, apakah itu bernilai atau tidak. Mereka tidak [dengan

teliti] memeriksa [riwayat-riwayat itu] dari sudut [pokok-pokok] prinsip-prinsip [analisis

historis] atau membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain, atau mengujinya menurut

standar-standar kearifan, atau menyelidiki sifat dasar manusia. Disamping itu mereka tidak

menetapkan autentisitas riwayat-riwayat itu berdasarkan standar-standar penalaran dan

pemahaman. Akibatnya, mereka melenceng dari kebenaran dan tersesat di belantara

kekeliruan dan khayalan.151

Adapun pendapat yang relevan dengan maqasyid syari‟ah, tidak lepas dari batasan

kemaslahatan yang ditetapkan oleh al-Ghazali yang mengatakan bahwa suatu kemaslahatan

haruslah berada pada level dharurat, komprehensif, dan qath‟iy. Batasan-batasan di atas,

apabila dikaitkan dengan permasalahan seorang muslim yang mewarisi kafir, maka

tampaknya pendapat yang membolehkan inilah yang lebih relevan denngan maqasyid

syari‟ah. Yakni yang berkaitan dengan hifdz al-din (memelihara agama) hifdz al-nafs

150

Najmuddin at-Tufi, At-Ta”Yin Fi Syarh Al-Arba”In, (Bairut: Muassasahar-Riyan, t.th), h. 246. 151

Khaled M. Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan” ..., h. 51

Page 78: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

173

(memelihara jiwa), hifdz al-nasab (memelihara keturunan), hifdz al-aql (memelihara akal),

dan hifdz al-mal (memelihara harta).152

Berdasarkan kemaslahatan yang dipaparkan al-Ghazali, bahwa kemaslahatan haruslah

bersifat dharurat, dapat dikatakan disini bahwa membolehkan seorang anak muslim mewarisi

orang tuanya yang kafir adalah termasuk hifdz al-din (memelihara agama) pada level

dharuriyat. Hai ini dikarenakan bahwa ketika seorang anak yang muslim dilarang mewarisi

orang tuanya yang kafir, maka dikhawatirkan akan goyah imannya karena masalah harta.

Seorang muslim tidak akan goyah imannya karena mewarisi orang tuanya yang kafir, tetapi

bisa saja goyah imannya karena tidak dapat mewarisi harta tersebut. Seperti yang ada ada

dalam ungkapan “terkadang kefakiran menyebabkan orang menjadi kufur”.

2. Metode Dalalah Lafadz

Metode dalalah lafadz153

yaitu metode dalalah ad-dilalah yang disebutkan dalam

penetapan hukum adalah untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungan yang dapat

dipahami berdasarkan pemahanan dari segi bahasa154

. Dan petunjuk atau isyarat yang

menunjukkan makna atau konotasi tertentu pada lafadz yang bisa difahami dari petunjuk atau

isyarat lafadz, dapat ditangkap melalui dua aspek, manthuq (tekstual dan harfiah), dan

mafhum (kontekstual dan maknawiyah).155

Seperti dalam hadits “muslim tidak boleh menerima waris dari kafir, tidak pula kafir

dari muslim”, bisa ditakwil dengan takwilan para ahli fikih madzhab Hanafi terhadap hadits

“seorang Muslim tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh kafir”, yaitu, yang dimaksud

“kafir” dalam hadits tersebut adalah kafir harbi. Dengan demikian, seorang muslim tidak

boleh menerima warisan dari kafir harbi, yaitu orang yang memerangi umat islam karena hal

itu memutuskan hubungan antara keduanya.156

Jadi kafir merupakan lafadz musytarak157

yang dapat dipahami sesuai dengan kondisi keadaan kafirnya. Disamping itu adanya dilalah

152

Yusuf Al-Qaradhawi, Taisiru Fiqh Lil Muslimil-Muasyiri Fi Dhau Il-Qur‟an Was Sunnah ..., h.76. 153

Dalalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu atas

sesuatu. Lafal adalah ucapan yang teraktualisasi dalam bahasa tulis. Lafal ini termasuk kedalam lafal musykil

yaitu lafal yang tersembunyi madlulnya karena berbilangan maknanya, disebabkan lafal itu lafal musytarak, atau

mempunyai makna majas. Totok Sumantoro, Samsul Munir Aman, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,

2009), h. 37 dan 171. 154

Totok Sumantoro, Samsul Munir Aman, Kamus Ilmu Ushul Fikih …, h. 40. 155

Hafida Abdurrahman, Ushul Fiqh “Membangun Paradigma Berfikir Tasyri‟i”, (Bogor: Al Azhar

Pres, 2003), h. 273. 156

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 304. 157

Musytarak adalah lafad yang diucapkan untuk dua makna atau lebih. Dan dia menunjukkan kapada

makna-maknanya atas dasar badal/berganti-ganti. Kamus Ilmu Ushul Fikih ..., h. 236.

Page 79: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

174

al-iqtidha‟158

yang harus dihadapkan yaitu “harbi”/diperangi, dan lafadz kafir tersebut bisa

dilihat dari aspek konotasi maknanya.

Ibnul Qayyim pernah medapatkan permasalahan ini warisan muslim dari kafir dalam

karyanya “Ahkam Ahl Adz-Dzimmah.” Dia menjelaskan permasalahan dan menguatkan

pendapat ini. Dinukil juga dari Syaikhnya, Ibnu Taimiyah, bahwa dia pun berpendapat yang

sama.

Dia menulis, “Adapun warisan seorang muslim dari kafir, orang-orang dahulu

berbeda pendapat. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa seorang muslim tidak boleh

menerima warisan dari kafir. Ini adalah pendapat imam empat dan para pengikutnya. Namun,

diantara mereka ada yang berkata bahwa muslim bisa menerima waris dari kafir, dan tidak

sebaliknya.

Pendapat ini pula yang dipilih imam Ibnu Taimiyah. Diantaranya mereka menyatakan,

kita mewarisi dari mereka (orang-orang kafir) dan mereka tidak, sebagai mana kita (boleh)

menikahi wanita-wanita mereka dan mereka tidak bisa menikahi wanita-wanita kita. Alasan

yang melarang menerima warisan adalah hadits muttafaq „alaih,

ال يرث املسلم الكافر وال الكفر املسلم

“orang islam tidak dapat mewarisi harta kafir dan kafir pun tidak dapat mewarisi harta

orang islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut mereka inilah dalil yang melarang seorang muslim mewarisi dari orang

munafik, orang zindik (ateis) dan orang murtad. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan,

“sesuai dengan sunnah mutawatir, Nabi memperlakukan orang-orang zindik munafik seperti

perlakuan kepada umat Islam. Mereka menerima waris dan memberikan warisan. Ketika

Abdullah bin Ubay dan orang-orang yang disebut kemunafikannya oleh Al-Qur‟an, dan Nabi

melarang menziarahi dan memohon ampun untuk mereka. Tetapi orang Islam menerima

warisan dari mereka.159

Sebagaimana anaknya Abdullah bin Ubay pun menerima warisan darinya. Namun,

Nabi tidak mengambil sedikitpun harta peniggalan orang munafik dan tidak menjadikannya

158 Dilalah al-iqtidha yaitu kata yang maknanya tersembunyi. Artinya, tidak diucapkan namun termasuk

makna yang tidak bisa dipisahkan dari makna lafadz (baik karena tuntutan dari kebenaran penyampaiannya, atau

kesahihan terjadinya apa yang dilafadzkan. atau penunjukan lafal kepada sesuatu yang tidak disebutkan yang

kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu. Abu Zahra secara saderhana mendefinisikan sebagai

penunjukan lafal kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tanpa memunculkannya. „Atha Bin Khalil,

Ushul Fiqih, Ter. Yasin As-Siba‟i, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), h. 222. Dan juga, Kamus Ilmu Ushul

Fikih ..., h. 43. 159

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 305.

Page 80: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

175

sebagai rampasan perang (fai), tetapi memberikan kapada ahli warisnya. Ini adalah hal yang

telah diketahui dengan yakin.

Adapun ahli dzimmah, orang yang berpendapat dengan pendapat Muadz, Muawiyah,

dan yang lainnya berpendapat, bahwa sabda Nabi “muslim tidak boleh menerima waris dari

kafir,” adalah untuk kafir harbi (kafir yang memerangi umat Islam), bukan munafik, orang

murtad, dan dzimmi. Lafazh kafir meskipun kadang bermakna seluruh orang kafir tetapi

terkadang mengandung makna bagian atau macam-macam kafir160

. Seperti firman Allah swt.

ان اهلل جامع املنفقني والكفرين يف جهنم مجيعا

Artinya: “sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang

kafir di dalam neraka Jahanam.” (QS. An-Nisaa‟: 140)

Dalam ayat tersebut, lafazh munafik tidak masuk kedalam lafazh orang kafir.

Demikian juga dengan orang murtad, para ahli fikih tidak memasukkannya ke dalam lafazh

orang kafir. Untuk itu mereka berkata. “jika kafir masuk Islam, ia tidak berkewajiban

mengqadha shalat-shalat yang ditinggalkan sebelumnya, namun, jika orang murtad masuk

lagi kepada Islam maka mengenai hal ini ada dua pendapat (ada yang mengharuskan

mengqadha, dan ada yang tidak)”.

Ada beberapa ulama yang berpendapat, bahwa hadits Nabi saw., “Seorang muslim

tidak dibunuh, karena membunuh kafir”, yang dimaksud adalah kafir harbi bukan dzimmi.

Tidak diragukan lagi, mengartikan hadits “muslim tidak boleh menerima waris dari kafir,”

kepada makna kafir harbi adalah lebih utama dan lebih dekat. Karena, umat Islam yang

mendapatkan warisan dari mereka bisa mengajak para ahli dzimmah yang lain untuk

memeluk agama islam.

Hadits yang melarang muslim mewarisi kafir tersebut, jika dianalisis dengan

pendekatan kedalalatan lafadz, maka pesan hukum (ibarah nash) yang dapat diambil adalah

bahwa larangan muslim mewarisi kafir adalah tidak mutlak, karena kata kafir adalah ,,amm,

dan teks yang memiliki sifat ,,amm, membutuhkan takhshis.sedangkan salah satu hal yang

dapat mentakhshis teks tersebut adalah kemaslahatan.161

Jadi, ketika kemaslahatan muncul

karena kebolehan muslim untuk mewarisi kafir, maka teks yang melarang kewarisan tersebut

hendaknya ditangguhkan keberlakuannya.

Jika diteliti, pendapat ulama yang melarang muslim mewarisi kafir tampak literal,

artinya tidak mengaitkan teks dengan maksud yang ingin dicapai oleh teks tersebut, yaitu

160

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah ..., h. 306. 161

Najmuddin at-Tufi, At-Ta”Yin Fi Syarh Al-Arba”In …, h. 251

Page 81: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

176

kemaslahatan. Pendapat tersebut juga cenderung melupakan bahwa kedua hadits yang

melarang muslim dan kafir saling mewarisi adalah hadits ahad yang berstatus dzanniy, baik

tsubut maupun dalalahnya. Disebut dzanniy tsubut karena hadits tersebut adalah hadits ahad,

karena jumlah perawinya dari tingkatan pertama hingga ketiga hanya terdiri dari satu orang

perawi, atau tidak sebanyak perawi hadits mutawatir. Dikatakan dzanniy dalalah karena

lafazh kafir dapat diartikan lebih dari satu makna, karena kata kafir dari sudut pandang

keterkaitannya dengan hukun Islam (Syari‟ah) dapat bermakna harbiy dan dzimmiy,

sementara dari sudut pandang aqidah, kafir dapat dibedakan menjadi kafir ahl al-kitab, kafir

musyrik, dan kafir atheis (tidak percaya kepada Tuhan atau tidak beragama). Namun ulama

golongan ini membiarkan kata kafir tetap menjadi lafadz ,,amm atau mujmal, tanpa adanya

usaha untuk menjadikan kata tersebut khash atau mufassar. Padahal ulama telah sepakat

bahwa hadits dzanniy memiliki ketentuan hukum yang tidak qath‟iy.162

Islam mendefinisikan dirinya dengan merujuk kepada sebuah kitab, dengan demikian

mendefinisikan diri dengan merujuk pada suatu teks. Seperti halnya umat kristiani dan

yahudi, dalam diskursus-diskursus keislaman, kaum muslimin juga digambarkan sebagi

Ahlulkitab. Karena itu, kerangka rujukan yang paling mendasar dalam Islam adalah teks.

Teks itu dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan reliabilitas yang jelas. Karena itu

peradaban Islam ditandai dengan produksi literer yang bersifat masih terutama di bidang

syari‟ah. Ada banyak faktor yang turut mendukung proses produksi ini. Tetapi sudah pasti

bahwa teks memainkan peranan yang sangat penting dalam penyusunan kerangka dasar

referensi keagamaan dan otoritas hukum dalam Islam.163

Penafsiran teks-teks keagamaan sudah terjadi dikalangan para sahabat, sebagaimana

diriwayatkan tentang perintah Nabi saw agar para sahabat tidak shalat ashar kecuali di Bani

Qurayzah. Sebagian sahabat mempercepat perjalanannya, sehingga sampai ke Bani Qurayzah

lebih awal dan masih ada waktu untuk shalat ashar, sementara yang lainnya mengartikan

secara kontekstual, sehingga shalat setibanya ditempat tujuan ketika hari telah menjelang

malam. Maka pendekatan pemahaman suatu teks sejak zaman Nabi sudah dilakukan seperti

apa yang disebut tekstual dan ta‟wil (kontekstual), maka tidak heran bila dikalangan sahabat

terdahulu seperti Umar sudah mempraktekkan makna kontekstual, terutama dalam bidang

muamalah kususnya pada bagian waris beda agama.164

162

Najmuddin at-Tufi, At-Ta”Yin Fi Syarh Al-Arba”In …, h. 251. 163

Khaled M. Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), h.54. 164

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup ..., h. 13.

Page 82: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

177

Berdasarkan pengamatan dasar hukum waris (ayat-ayat tentang waris), maka yang

harus digaris bawahi adalah bahwa kewarisan disebabkan nasab dan kekerabatan. Dan satu

hal yang menjadi catatan dalam kewarisan beda agama, yaitu bahwa ayat-ayat tersebut tidak

menjelaskan secara eksplisit bahwa antara pewaris (mayit) dan yang mewarisi (keluarga atau

kerabat) adalah sama-sama muslim. Tidak terdapat dalam kata ayat-ayat tersebut yang

mengindikasikan bahwa pewaris adalah atau harus seorang muslim.

Metode yang digunakan Yusuf Al-qaradhawi bersifat tradisionalis, karena dalam

membahas masalah-masalah keagamaan ia selalu merujuk dan mempertimbangkan pendapat

dengan pendapat lainnya untuk melihat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang

sesuai atau paling mendekati petunjuk Al-Qur‟an dan hadits Nabi saw. Namun, ia juga

mengambil pendapat-pendapat ulama-ulama kontemporer apa bila ternyata dari hasil

penelitiannya kurang memuaskan dan pendapat tersebut juga sesuai dengan petunjuk Al-

Qur‟an dan hadits.

Ali Hasan Al-Nadwi, seorang ulama kontemporer asal india, menggambarkan Al-

Qaradhawi sebagai sosok ulama yang menggabungkan antara pengetahuan klasik yang sesuai

dengan semangat zaman (al-qadim al-shalih) dan pengetahuan modern yang bermanfaat (al-

jadid al-nafi), sebuah metode yang sangat baik untuk zaman sekarang, metode yang dalam

praktiknya dapat memberikan kepuasan kepada dua kelompok umat, yang membatasi dirinya

dengan pengetahuan agama tradisional disatu pihak, dan yang menyukai pengetahuan agama

modern dipihak lain. Lebih lanjut, Al-Nadwi menjelaskan bahwa kelompok yang berpaham

tradisional sangat berseberangan dengan kelompok yang berpaham modern. Dalam kondisi

demikian Al-Qaradhawi datang dengan metode yang mengumpulkan kedua pemahaman

tersebut.165

Adapun ungkapan Yusuf Al-Qaradhawi yang mengatakan bahwa;Islam yang kami

serukan adalah Islam masa awal, yakni Islam yang berdasarkan Al-Qur‟an dan sunnah, Islam

yang membuka kemudahan dan bukan yang memberatkan, Islam yang memberikan kabar

gembira dan bukan yang membuat orang lari. Islam yang kami dengungkan adalah Islam

yang mengedepankan kelembutan, yang saling mengenal dan bukan saling mengingkari,

Islam yang toleran dan tidak fanatik, yang substantif dan bukan formalistik, yang

mengedepankan kerja keras dan bukan perdebatan tanpa ujung, yang kontributif dan bukan

sloganistik, yang mengedepankan ijtihad, dan bukan taklid. Islam yang kami serukan adalah

165

Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi …, h. 109.

Page 83: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

178

Islam yang menyeru kepada tajdid dan anti kejumudan, yang kokoh dan tidak goyah, yang

moderat dan tidak ekstrim.166

Apa yang dikatakan Al-Nadwi tersebut menggambarkan bahwa

Al-Qaradhawi adalah seorang ulama dan penulis yang berpegang teguh pada metode

penggabungan antara warisan ulama salaf yang layak dipelihara dan pengetahuan zaman

modern yang bermanfaat, dengan barometer Al-Qur‟an dan sunnah Nabi saw. dan dalam

menyatakan pendapatnya selalu menempuh pendekatan moderat.

E. Kesimpulan

Pemahanan Yusuf Al-Qaradhawi Dalam memahami nash atau hadits yang

mengatakan tidak boleh saling mewarisi antara agama yang berbeda yaitu beliau melihat

bahwa hadits yang melarang muslim mewarisi kafir tersebut masih terlihat umum dan

memerlukan khas (pengkhusussannya) atau munngkin taqyid-nya, bila dianggap mutlak.

Menurut beliau kafir yang terdapat dalam hadits tersebut adalah kafir harbi dan bukan kafir

dzimmi, yang jika dianalisis dengan pendekatan kedalalatan lafadz maka pesan hukum

(ibarah nash) yang dapat diambil adalah bahwa larangan muslim mewarisi kafir adalah tidak

mutlak. Karena kata kafir adalah „amm dan teks yang memiliki sifat „amm membutuhkan

takhshis. Sedangkan salah satu hal yang dapat mentakhsis teks tersebut adalah kemaslahatan.

Jadi ketika kemaslahatan muncul karena kebolehan muslim untuk mewarisi kafir maka teks

yang melarang kewarisan tersebut hendaknya ditangguhkan keberlakuannya, dan juga

kalimat kafir merupakan lafadz musytarak yang dapat dipahami sesuai dengan kondisi

keadaan kafirnya.

Apabila kondisi/keadaan kafir tersebut sebagai kafir harbiy maka waris mewarisi

antara agama yang berbeda tidak dibenarkan. Adapun ketika qaradhawi atau para ulama

membolehkan tetapi mereka membatasi kebolehan tersebut, hanya kebolehan muslim

mewarisi kafir dzimmiy. Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat bahwasanya muslim boleh

mewarisi harta dari kafir, tetapi tidak sebaliknya. Karena pendapat tersebut memiliki

relevansi dengan maqasyid syari‟ah, Yakni yang berkaitan dengan hifdz al-din (memelihara

agama) hifdz al-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-nasab (memelihara keturunan), hifdz al-aql

(memelihara akal), dan hifdz al-mal (memelihara harta). Metode yang digunakan dalam

menginstinbath hukum waris beda agama menurut Yusuf Al-Qaradhawi adalah metode

kemaslahatan dan metode kedalalatan lafadz.

166

Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi ..., h. 27.

Page 84: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

179

DARTAR PUSTAKA

Abou El Fadl, Khaled M., Atas Nama Tuhan, “dari fikih otoriter ke fikih otoritatif”, Jakarta:

serambi, 2004.

Abou El Fadl, Khaled M., Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-

Wenang dalam Wacana Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003.

Abubakar Al Husaini, Al-Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Jild 2, Terj. Achmad Zaidun,

A. Ma‟ruf Asrori, Surabaya: Bina Ilmu, 1997.

Abubakar, Al-Yasa‟, Rekontruksi Fikih Kewarisan”Reposisi Hak-Hak Perempuan”, Banda

Acah: LKAS, 2012.

Abdul Aziz Alu Mubarak, Syaikh Faishal Bin, Nailul Authar, Jild 3, Jakarta: Pustaka Azzam,

2006.

Abdurrahman, Hafida, Ushul Fiqh “Membangun Paradigma Berfikir Tasyri‟i”, Bogor: Al

Azhar Pres, 2003.

Ahmed An-Na‟im, Abdullah, Al-Qur‟an, Syari‟ah Dan HAM : Kini Dan Masa Depan,

Islamika No. 2, 1993

Ahmad Saebani, Beri, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Al bassam, bin Abdurrahman, Abdullah, Syarah Buluqhul Maram, , jild 5, Terj. Thahirin

saputra, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Ali Engineer, Asgar, Metodologi Memahami Al-Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tt.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Buluqhul Maram, Terj A. Hasan, Bandung: Diponegoro, 2006.

Al-Qaradhawi, Yusuf, Fatawa Mu‟asyirah, Kairo: Dar-Qalam, 2003.

__________________, Fiqih Maqashid Syariah,”moderasi Islam Antara Aliran Tekstual dan

Aliran Liberal”, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2007.

_________________, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jild I, Jakarta: Gema Insani Pres, 1995.

_________________, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jild 3, Jakarta: Gema Insani Pres, 2002.

_________________, Menuju Pemahaman Islam Yang Kaffah, Jakarta: Insan Cemerlang,

2003.

_________________, Taisiru Fiqh Lil Muslimil-Muasyiri Fi Dhau Il-Qur‟an Was Sunnah,

Kairo: Maktabah Wahbah, 1420 H.

_________________, Perjalanan Hidupku, Cet. I, Terj. Cecep Taufikurrahman, Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar, 2003.

__________________ , Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insane Press,

tt.

Ash-Shiddleqy, Hasbi, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Asy-Syafi‟i, Al-Imam, Al-Umm, Jild. V, Terj. Ismail Yakub, Kuala Lumpur: Victory

Agencie, t.th.

at-Tufi, Najmuddin, At-Ta”Yin Fi Syarh Al-Arba”In, Bairut: Muassasahar-Riyan, tt.

Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Ekonosia Ekonomi UII, 1999.

Page 85: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

180

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Bairut: Dar Al-Fikri Al-Mu‟sir, 1989.

Bisri, Hasan, Model Penelitian Fiqih, Jakarta: Prenada, 2005.

Bisri, Elbi Hasan, Hukum Mawaris Dalam Prespektif Islam, Cet. 1, Banda Aceh: Ar-Raniry

Press IAIN Ar-Raniry Darussalam, 2007.

Cawidu, Harifuddin, Konsep Kurf Dalam Al-Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka, 2001.

Hamka, Buya, Tafsir Al-Azhar, Jakarta : Pustaka Panjimas, III, 1983.

Jakfar, M., Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, Jogjakarta: Ar-

Ruzz Media, 2011.

Khalil, „Atha Bin, Ushul Fiqih, Ter. Yasin As-Siba‟i, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.

Mas‟udi, Masdar Farid, Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1993.

Mas‟ud, M. Khalid, Filsafat Hukum Islam Dan Perubahan Sosial, Surabaya: Al-Iklas, 1995.

Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, Terj. Masykur A.B, Jakarta: Lentera,

1996.

Mulia, Muji dan Kurdi, Muliadi, Problematika Fikih Modern, Banda Aceh: Yayasan PeNA,

2005.

Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2007)

Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Jild. VII, Terj. Anshari Taslim, Jakarta: Pustaka Azzam, t.th.

______________, Al-Mughni, Jild. IX, Terj. Anshari Taslim, Jakarta: Pustaka Azzam, tt.

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: Percetakan Offset, 1981.

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.

Rofiq, Ahmad, Pembahasan Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Gema Media, 2001.

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Saleh, Hasan, HE., Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer, Edisi 1, Jakarta: Rajawali

Pres, 2008.

Sufyan, Muhammad Suhaili, Fiqh Mawaris Praktis, Bandung: Citapustaka Media Perintis

2012.

Sumantoro, Totok, Samsul Munir Aman, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2009.

Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004.

Syai‟I, Imam, Ar-Risalah, Terj. Misbah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Talimah, Ishom, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.

Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1982.

Page 86: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

181

Universitas Al-Azhar Mesir, Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, Terj. H. Addys

Aldizar, Lc., H. Fathurrahman, Lc., Jakarta: Senayan Abadi Publishing, tt.

Usman, Iskandar, Pembaharuan Hukum Islam, cet 1, Banda Aceh : LKAS, 2011.

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah “Kapita Selekta Hukum Islam”, Jakarta: PT. Gunung

Agung, 1996.

Page 87: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

182

HUKUM PEMANFAATAN ORGAN BABI

(Studi Komparatif Terhadap Pemikiran

Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yakub)

Asra Febriani

Sekolah Tinggi Agama islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh

Abstract

Prohibition of eating pork has become the consensus of the jurists fit the word of God in Sura

al-Baqarah verse 173, Al-An'am verse 145, an-Nahl verse 115 and al-Maidah verse 3 The

method I use is the comparative analysis. Writers gather and analyze data and then compare

them. This type of research is the research library. Therefore, the data collection for this

study, the authors will be reading, studying and researching the literature related to the issue

being studied. The results showed that, according to Yusuf al-Qaradhawy thinking, pig

organs may be used in the treatment, because the verses of the Koran only forbids eating

meat alone. Al-Qaradawi also allow utilizing pig organs for purposes other than consumption,

because the harness is not meant to consume. While Ali Mustafa Yaqub forbid all uses of pig

organs, both for consumption and treatment. The cause of disagreement between Yusuf Al-

Qaradawi and Ali Mustafa Yaqub in pig organ utilization problem lies in the difference in the

arguments of both the Al-Quran, Sunnah and fiqh rules that cause differences in the law

regarding the use of pig organs. In this study, the authors are more likely to Yusuf al-

Qaradawi opinion regarding the permissibility of the use of pig organs for treatment, because

there are no special restrictions on the prohibition of pig for treatment.

Page 88: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

183

A. Pendahuluan

Islam merupakan agama yang memiliki karakteristik tersendiri, bukan hanya sekedar

agama yang mengatur seperangkat doktrin ritual, tetapi ia merupakan suatu pandangan

holistis dan sistematis. Sebagai way of life (petunjuk hidup) umat manusia, ia memiliki

kerangka dasar yang terdiri atas aqidah, akhlak dan syari‟ah.167

Ketiga komponen tersebut

tidak dapat dipisahkan, digunakan untuk mengatur kehidupan manusia agar selamat dunia

akhirat. Sebagai pedoman hidup muslim yang bertakwa, Islam tidak hanya mengatur credo

(kepercayaan) dan etika, tetapi juga mengandung hukum.168

Allah SWT telah menganugerahkan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi

untuk dimanfaatkan oleh manusia. Segala yang ada di daratan dan di lautan diberikan kepada

manusia untuk dipergunakan semaksimal mungkin. Allah menciptakan binatang-binatang dan

tetumbuhan sebagai supply makanan bagi manusia sekaligus menjadi kenderaan atau

membantu manusia bekerja. Di antara binatang-binatang tersebut ada yang halal dikonsumsi

dan ada pula yang haram. Salah satu binatang yang diharamkan adalah babi, sebagaimana

firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 3:

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)

yang disembelih atas nama selain Allah…” (QS al-Maidah: 3)

Keharaman memakan daging babi telah jelas disebutkan dalam Al-Qur‟ān. Allah

menyebutkan pengharaman daging babi sebanyak empat kali yaitu dalam Surat al-Baqarah

ayat 173, al-An‟am ayat 145, an-Nahl ayat 115 dan al-Maidah ayat 3.169

Ketiga ayat pertama,

Allah menyebutnya dengat adat al-hashr (pembatasan). Semua redaksi ayat dalam Al-Qur‟ān

menggunakan kata lahm al-khinzir (daging babi). Namun berdasarkan redaksi ayat tersebut

muncul permasalahan tentang ukuran keharaman babi, apakah yang diharamkan hanya

dagingnya saja atau seluruh organnya.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik meneliti mengenai

hukum pemanfaatan organ babi menurut Yusuf Al-Qaradhawy dan Ali Mustafa Yaqub.

167

Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya,

Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983, hlm. 14-26. 168

Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, NAD: Nadiya Foundation, Cet I, Mei 2004,

hlm. 72 169

Surat al-Baqarah ayat 173 dan al-Maidah ayat 3 adalah ayat-ayat Madaniyah, sedangkan al-An‟am

ayat 145 dan an-Nahl ayat 115 adalah ayat-ayat Makkiyah.

Page 89: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

184

B. Analisis Pendapat Yusuf Al Qaradhawi dan Ali Mustafa Yakub

1. Hukum Memanfaatkan Organ Babi dan Dalilnya menurut Yusuf Al-Qaradhawy

Metode yang ditempuh Yusuf Al-Qaradhawi dalam berijtihad didasarkan pada

beberapa kaidah. Kaidah utama dan paling penting adalah meniadakan fanatisme dan

menghapus taqlid.170

Pertama: Bebas dari fanatisme kemazhaban. Yusuf Al-Qaradhawi tidak

mengikat diri pada pendapat imam mazhab, tetapi ia tidak menyalahi metode yang dirintis

oleh para fuqaha terdahulu. Ia menghindari taqlid yang bisa menyebabkan kejumudan

pemikiran umat Islam, dan untuk menghindari fanatisme mazhab dan taqlid bagi seorang

mufti, ia menetapkan beberapa hal yang harus diperhatikan:171

a. Seorang mufti tidak hanya berpegang pada satu pendapat mengenai masalah tertentu

tanpa dalil yang kuat untuk menyanggah pendapat orang lain yang mempunyai dalil

lebih kuat. Ia tidak boleh mempertahankan pendapatnya dengan alasan pendapat

tersebut telah menjadi mazhab seorang fuqaha tanpa mengemukakan dalil-dalil-dalil

yang lebih kuat.

b. Seorang mufti harus mampu mentarjih (meneliti dengan cermat dan menyeleksi)

pendapat-pendapat yang berbeda dengan memperbandingan semua dalil yang

dikemukakan dan mengungkapkan dasar-dasar yang menjadi sumber hukum baik

dari dalil naqli (nash-nash Al-Quran dan hadith) maupun dalil-dalil „aqli

(pemikiran). Dari semua dalil yang dikumpulkan, ia dapat memilih pendapat yang

paling sesuai dengan nash-nash syari‟at, paling dekat maksudnya dan paling besar

kemaslahatannya bagi umat Islam, sebab itulah tujuan pensyariatan yang diturunkan

oleh Allah. Untuk mampu melakukan hal tersebut seorang mufti harus menguasai

cabang-cabang ilmu seperti bahasa Arab dan seluruh cabangnya, memahami maksud

dan tujuan umum yang terkandung dalam syari‟at, menguasai tafsir dan hadith serta

melakukan studi perbandingan.

c. Seorang mufti harus dapat melakukan ijtihad juz‟i (parsial) yaitu ijtihad mengenai

masalah tertentu, meskipun para fuqaha terdahulu tidak pernah menetapkan

ketentuan hukumnya. Ia harus mampu mengemukakan pendapat mengenai kepastian

hukumnya dengan memasukkan masalah tersebut kedalam keumuman makna suatu

nash yang tetap atau dengan cara mengqiyaskannya dengan masalah yang serupa

170

Asra Febriani, Skripsi: Undian Berhadiah Melalui Short Message Service, Banda Aceh: Fakultas

Syari‟ah IAIN Ar-Raniry, 2007, h. 28 171

Febriani, Undian…, h. 29

Page 90: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

185

yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash atau dimasukkan ke dalam rangka

kebajikan atau kemaslahatan umum, atau ke dalam pengertian yang dikehendaki

oleh syara‟. Para ulama sepakat bahwa ijtihad dapat dilakukan terhadap masalah

yang belum ada kepastian hukumnya dalam nash-nash Al-Qur‟ān dan Sunnah.

Kedua, dalam menetapkan ketentuan hukum atas suatu masalah Yusuf Al-Qaradhawi

menetapkan bahwa seorang mufti tidak boleh memberatkan umat Islam karena syari‟at

ditegakkan atas dasar kemudahan dan meniadakan kesukaran dari kehidupan manusia.172

Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya:“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu

dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-

Maidah: 6)

Dan dalam Surat Al-Baqarah ayat 185:

Artinya:”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran

bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Serta dalam Surat Al-Hajj ayat 78:

Artinya: “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu

dalam agama suatu kesempitan.”(QS. Al-Hajj: 78).

Selain itu beratnya cobaan hidup bagi umat Islam seperti gelombang pemurtadan dan

ghazwul fikri (perang pemikiran) yang dilancarkan musuh-musuh Islam menurut Al-

Qaradhawi hendaknya menjadi pertimbangan bagi mufti untuk berusaha mempermudah

dalam beragama agar umat Islam dapat berpegang teguh pada ajaran agama dan tetap berada

di jalan lurus yakni agama Islam.

Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan cara yang ditempuh oleh para sahabat Nabi SAW

dan generasi didikan mereka ialah mempermudah ajaran agama bagi umatnya. Kemudian

pada zaman berikutnya mulai terasa keketatan yang merasuki pemikiran para ulama sedikit

demi sedikit dan akhirnya menjadi ciri bagi generasi sesudahnya.

Mempermudah bukan berarti menyalahi ketentuan Al-Qur‟ān dan Sunnah untuk

menarik pengertian, makna dan hukum-hukum yang memudahkan orang. Tetapi kemudahan

yang ditunjukkan oleh Al-Qaradhawi ialah kemudahan yang tidak bertentangan dengan dalil-

172

Febriani, Undian…, h. 30

Page 91: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

186

dalil nash yang jelas, dan tidak pula bertentangan dengan kaidah hukum syara‟ yang sudah

pasti, melainkan kemudahan yang sejalan dengan nash, kaidah dan jiwa syari‟at Islam.

Lebih lanjut Al-Qaradhawi mengatakan jika ada dua pendapat yang berbeda, yang

pertama lebih ketat dan berhati-hati, sedangkan yang kedua lebih longgar atau mudah maka

beliau memilih yang lebih mudah sejauh yang lebih mudah itu tidak mengakibatkan dosa.

Adapun yang lebih ketat itu bisa diambil oleh si pemberi fatwa untuk dirinya sendiri atau

difatwakan untuk orang-orang yang ingin memperdalam penghayatan terhadap agama asal

keketatan tersebut tidak membuat mereka cenderung berlebih-lebihan dalam beragama. 173

Ketiga, dalam menjelaskan suatu permasalahan hukum, Al-Qaradhawi memberi

rambu-rambu bagi seorang mufti agar berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami,

menghindari penggunaan istilah sulit, menggunakan bahasa yang sopan, cermat dan tepat.174

Ia mengemukakan dalil yaitu firman Allah SWT:

Artinya:”Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,

supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim:

4)

Bahasa yang dimaksud Al-Qaradhawi bukan sekedar ucapan, akan tetapi berhubungan

dengan cara berpikir orang yang diajak bicara. Mengajak orang untuk berpikir harus

bersandar pada logika, jangan sampai membangkitkan emosi dengan kalimat-kalimat yang

berlebih-lebihan dalam berfatwa. Mukjizat Islam yang terbesar adalah Kitabullah Al-Qur‟ān

Al-Karim yang merupakan mukjizat yang paling rasional. Meskipun di dalam Al-Quran

terdapat tantangan- tantangan kepada kaum kafir dan musyrik, namun Allah tidak menantang

mereka dengan hal-hal khawariq (hal-hal diluar logika). Penggunaan bahasa yang sederhana

lebih mudah menjangkau pemikiran orang awam sehingga tujuan yang hendak disampaikan

tercapai.175

Dalam mengetengahkan suatu hukum Yusuf Al-Qaradhawi selalu menjelaskan

hikmah dan sebab musababnya dalam kaitannya dengan falsafah umum agama Islam. Alasan

Al-Qaradhawi antara lain sebagai berikut:176

Penjelasan hikmah dan sebab musabab merupakan anjuran Al-Qur‟ān dan Sunnah agar

manusia tidak keliru memahami makna yang terkandung di dalamnya.

173

Febriani, Undian…, h. 31 174

Febriani, Undian…, h. 32 175

Febriani, Undian…, h. 33 176

Febriani, Undian…, h. 34

Page 92: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

187

Penjelasan hikmah dan sebab musabab dapat menghapus keraguan manusia dalam

menjalankan syari‟at Allah dan dapat memperkuat keimanan mereka.

Allah tidak memerintahkan dan tidak pula melarang tanpa hikmah. Hal tersebut

merupakan kepastian yang tidak bisa diragukan lagi. Akan tetapi manusia dengan segala

keterbatasan akalnya tidak selalu dapat memahami hikmah-hikmah yang dikehendaki Allah.

Hal tersebut merupakan ujian dalam kewajiban-kewajiban yang dipikulkan (pembebanan

taklif) kepada hamba-hamba-Nya, bahkan hal tersebut merupakan keistimewaan manusia.

Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya:”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur

yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami

jadikan Dia mendengar dan melihat.”(QS. Al-Insan: 2)

Keempat, dalam menjelaskan suatu permasalahan hukum, Al-Qaradhawi menghindari

hal-hal yang tidak bermanfaat seperti takabur dalam berilmu, debat kusir dan membahas

persoalan yang tidak bisa dipahami serta bermaksud menghancurkan persaudaraan umat

Islam. Kelima, Yusuf Al-Qaradhawi mengambil jalan tengah antara kesukaran dan

kemudahan dalam menjalankan hukum dengan tetap berpegang pada Al-Qur‟ān dan Sunnah.

Keenam, dalam mengeluarkan fatwa Al-Qaradhawi menetapkan agar mufti selalu

memberi penjelasan yang disertai dalil-dalil, hikmah dan sebab musabab. Di samping itu ia

menganjurkan studi perbandingan sikap dan pemikiran Islam tentang persoalan yang dihadapi

dengan sikap dan pemikiran agama lain. Sementara untuk masalah yang belum ada ketentuan

hukumnya, maka menurutnya seorang mufti harus mengambil qiyas untuk menyelesaikan

masalah tersebut.177

Al-Qaradhawi menegaskan bahwa seorang mufti harus mampu menunjukkan

alternatif mengenai fatwa yang mengharamkan sesuatu bagi orang yang membutuhkan

padahal ia menganggapnya halal dengan sesuatu yang diyakini kehalalannya, jika ia benar-

benar ingin menutup jalan yang membawa kepada keharaman. Misalnya seseorang

menjatuhkan salah satu di antara beberapa pilihan dengan jalan mengundi, maka seorang

mufti bisa menunjukinya dengan pilihan yang lebih baik yaitu melakukan shalat istikharah

(meminta petunjuk pada Allah).

177

Febriani, Undian…, h. 35

Page 93: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

188

Lebih lanjut Al-Qaradhawi menegaskan agar seorang mufti mampu menghubungkan

hukum yang ditanyakan kepadanya dengan hukum-hukum Islam lainnya sehingga tampak

keadilan, kebenaran dan ketepatannya. Menetapkan suatu hukum terpisah dari hukum yang

lain sering tidak memberikan gambaran jelas tentang keadilan Islam dan kebaikan syariatnya.

Misalnya dalam fiqh mawarits anak perempuan menerima setengah bagian dari bagian anak

laki-laki. Jika hanya ketetapan hukum itu saja yang diambil maka akan menimbulkan dugaan

bahwa hukum Islam sangat merugikan pihak perempuan. Akan tetapi jika dilihat dari segi

beban keluarga secara keseluruhan serta nafkah yang ditanggung oleh laki-laki tampak bahwa

tanggung jawab laki-laki jauh lebih besar dari pada perempuan. Hal ini menjelaskan prinsip

keadilan dalam penetapan hukum. Keadilan tidak selalu berarti kesamaan, akan tetapi juga

berarti keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Terkadang seorang mufti tidak perlu menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya

karena menurut Al-Qaradhawi pertanyaan tersebut tidak penting dan tidak bermanfaat yang

jika ditanyakan akan membawa kemudharatan bagi umat Islam. Seperti menanyakan

keberadaan Al-Qur‟ān, apakah ia makhluk atau bukan, karena pertanyaan tersebut telah

pernah terjadi di masa lampau yang menyebabkan terbunuhnya ulama-ulama seperti Imam

Ahmad bin Hanbal radhiyallahu „anhu. Atau pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa

memecahkan persaudaraan umat Islam, juga pertanyaan yang jika dijawab akan

menyusahkan umat Islam itu sendiri. Dan sungguh Allah tidak ingin menyusahkan hamba-

hamba-Nya.178

Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, keharaman babi hanyalah pada batas konsumsi saja,179

sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, al-An‟am ayat

145 dan an-Nahl ayat 115.180

Sedangkan memanfaatkan organnya untuk pengobatan bukan

berarti memakannya, misalnya melakukan transplantasi organ babi ke tubuh manusia. Jika

memang hal tersebut dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa seseorang, maka hal ini

diperbolehkan oleh syara‟.181

Sesuai kaidah:

182وما أبيح للعشوسة يقذس بقذسها

178

Febriani, Undian…, h. 36 179

Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 539 180

Telah tercantum pada halaman 35-38 tesis ini. 181

Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 538 182

Yahya, Dasar…, h. 486

Page 94: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

189

Artinya: “Segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar

kedaruratannya.”

Selain itu pemanfaatan organ yang najis tersebut harus melalui ketetapan-ketetapan

dokter muslim yang terpercaya.183

Argumentasi lain yang digunakan oleh Yusuf Al-

Qaradhawi adalah bahwa Nabi SAW memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai yaitu

kulitnya padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi

dalam Al-Qur‟ān. Al-Qaradhawi mengqiyaskan pemanfaatan bangkai kepada pemanfaatan

organ babi, keduanya diperbolehkan oleh syara‟ asalkan bukan untuk dikonsumsi.184

Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah SAW pernah melewati bangkai seekor

kambing, lalu para sahabat berkata, “Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak

Maimunah.” Lalu beliau bersabda:

أن الشعول هللا صلى هللا عليه وعلم وجذ شاة ميتة أعؽيتها موالة لميمونة من الصذقة، فقال

الشعول هللا صلى هللا عليه وعلم : هال انتفعتم بجلذها. فقالوا: إنها ميتة . فقال إنما حشم أكلها

))سواه البخاسي و مغلم

Artinya :“Bahwa Rasulullah SAW melihat bangkai kambing hasil sedekah yang dibawa oleh

maulah (seorang budak perempuan yang dimerdekakan) Maimunah. Rasulullah

SAW bertanya, “kenapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya? Itu adalah bangkai,”

jawab mereka. Maka beliaupun bersabda, “sesungguhnya yang diharamkan itu

hanya mengkonsumsinya.”(HR Bukhari dan Muslim)185

.

Timbul pertanyaan bagaimana hukum memasukkan binatang najis seperti babi ke

dalam tubuh seorang muslim. Dalam hal ini Al-Qaradhawi menjelaskan bahwa yang dilarang

syara‟ adalah mengenakan benda najis di bagian luar tubuh, adapun yang di dalam tubuh

manusia tidak ada dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia justru

merupakan tempat benda-benda najis seperti darah, kencing, tinja dan semua kotoran,

sedangkan manusia tetap bisa melakukan shalat, membaca Al-Qur‟ān, melakukan thawaf di

Baitullah meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya

sedikitpun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada di dalam

tubuh.186

183

Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 538 184

Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 539 185

Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz I, Kairo: Dar Al-Hadith, t.t, h.157 186

Al-Qaradhawy, Fatawa…, h. 539

Page 95: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

190

Menurut analisis penulis, pendapat Al-Qaradhawi sangat layak dijadikan pegangan

(mu‟tamad), karena kebutuhan obat-obatan yang sangat tinggi dan mayoritas obat-obatan

terbuat dari organ babi. Dalam sebuah program televisi On The Spot ditayangkan tentang

peran organ babi dalam teknologi transplantasi, ternyata organ babi yang ditransplantasikan

ke tubuh manusia jauh lebih baik kualitasnya daripada transplantasi organ manusia ke

manusia. Seringkali terjadi kegagalan transplantasi organ manusia ke manusia yang

disebabkan oleh kelainan hormon dan berbagai faktor lainnya. Akan tetapi ketika yang

digunakan adalah organ babi, secara menakjubkan tubuh pasien langsung beradaptasi dan

berfungsi dengan baik. Berdasarkan penemuan ini, peneliti-peneliti dari Barat

mengembangkan teknologi persilangan babi dan ubur-ubur yang menghasilkan babi rekayasa

genetika, jika dilihat dalam kegelapan dengan menggunakan sinar X, organ babi bagian

dalam menjadi transparan, sehingga memudahkan para peneliti menyeleksi organ mana yang

baik kualitasnya untuk keperluan transplantasi dan mana yang tidak baik.187

Penulis memiliki

sebuah hipotesa bahwa boleh jadi yang dimaksud dalam hadith yang diriwayatkan oleh Imam

Muslim tentang turunnya Nabi Isa yang akan membunuh babi-babi (tercantum pada halaman

48), bukanlah Nabi Isa yang betul-betul turun untuk membunuh babi-babi, akan tetapi lebih

kepada sebuah penemuan teknologi dunia medis yang mengoptimalkan fungsi babi sebagai

penolong jiwa manusia agar sembuh dari penyakit yang diderita, sebab di antara mukjizat-

mukjizat Nabi Isa „alaihissalam adalah menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang

mati.

Selain untuk keperluan transplantasi, penggunaan vaksin meningnitis bagi jama‟ah

haji, vaksin imunisasi bagi anak-anak, kapsul insulin bagi penderita diabetes dan sebagainya

yang menggunakan unsur organ babi, tidak perlu kita khawatirkan masalah halal dan

haramnya, sebab kita bisa merujuk ke pendapat Yusuf Al-Qaradhawi. Yang perlu

dikhawatirkan adalah virus-virus seperti campak, polio, cacar dan sebagainya, bisa saja

menyerang tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Dunia kedokteran Indonesia mengklaim

bahwa vaksinasi 90% bisa mencegah serangan virus-virus tersebut, seperti yang terjadi di

Nusa Tenggara Timur, puluhan balita meninggal dunia akibat virus cacar yang mematikan

dan mereka tidak pernah divaksinasi.188

187

TransTV, On The Spot, ditayangkan pada tanggal 12 Juni 2013, dapat diakses di

http://www.youtube.com 188

RCTI, Seputar Indonesia, ditayangkan pada tanggal 19 September 2013, dapat diakses pada situs

http://www.rcti.tv

Page 96: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

191

Penemuan ilmiah yang menakjubkan tentang babi di abad modern ini semakin

memberi pemahaman kepada kita bahwa apa yang diciptakan Allah SWT tidak ada yang sia-

sia. Sesuai firman-Nya:

Artinya: ”(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam

keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi

(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,

maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. al-Maidah: 191)

Pemilihan redaksi “diharamkan bagi kalian (memakan) daging babi” dalam empat

ayat yang telah penulis sebutkan pada pembahasan sebelumnya merupakan rahasia Allah

sejak 14 abad silam. Babi bukan komoditi makanan, sebab seluruh komponen tubuhnya

mengandung banyak bakteri mematikan yang membawa mudharat bagi manusia. Ia adalah

binatang menjijikkan tetapi justru menjadi penyelamat hidup manusia, karena organ tubuhnya

bisa diubah menjadi komposisi obat-obatan dan media transplantasi, sebab hanya babi

binatang yang struktur genetika tubuhnya paling mirip dengan manusia. Agak sulit dipahami

bagaimana mungkin binatang yang penuh parasit dan penyakit ini bisa digunakan dalam

industri medis, tetapi demikianlah kekuasaan Allah yang tiada terbatas dan mampu merubah

apapun di dunia ini. Hal ini tidak akan dapat diketahui jika manusia tidak mengkaji apa

sesungguhnya makna tersirat di balik pengharaman daging babi.

Penulis tidak menemukan dalil khusus yang digunakan para ulama salaf tentang

kebolehan berobat dengan babi secara sharih (jelas ungkapannya). Menurut asumsi penulis,

salah satu faktornya pada masa salaf belum ditemukan rahasia ilmiah mengenai babi.

Keajaiban zoology tentang babi merupakan penemuan mutakhir abad ini. Dalil-dalil yang

digunakan oleh para ulama yang membolehkan adalah qiyas terhadap kebolehan berobat

dengan benda-benda najis secara general saja tanpa menyebutkan kata „babi‟ secara khusus.

2. Hukum Memanfaatkan Organ Babi dan Dalilnya Menurut Ali Mustafa Yaqub

Metode ijtihad Ali Mustafa Yaqub pada umumnya sama seperti ulama-ulama lain. Ali

Mustafa Yaqub melandaskan ijtihadnya pada dalil-dalil sebagai berikut:189

a. Al-Qur‟ān, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW

melalui malaikat Jibril yang disampaikan secara mutawatir, menjadi ibadah

jika membacanya, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-

Nas.

189

http://www.mui.or.id, diakses tanggal 27 Februari 2014.

Page 97: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

192

b. Sunnah, Pada umumnya orang menganggap sebutan sunnah dengan hadith

bermakna sama, yakni sama-sama perbuatan, perkataan dan ketetapan Nabi

SAW. Padahal sebenarnya terdapat sedikit perbedaan antara keduanya. Hadith

ialah seluruh perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW baik

yang mengandung hukum maupun tidak mengandung hukum. Sedangkan

sunnah dibatasi pada hadith-hadith yang bisa menjadi landasan hukum.

c. Ijma‟, kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa setelah Rasulullah wafat

atas sesuatu hukum syara‟ dalam kasus tertentu.

d. Qiya, mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak ada dalil nash dengan

hukum kasus lain yang terdapat dalil nash karena ada persamaan „illat

hukumnya. Rukun qiyas ada empat yaitu: Ashal, yaitu sesuatu yang

mempunyai dalil hukum yang menjadi tempat mengqiyaskan atau di sebut al-

maqis „alaih atau al-musyabbah bih. Ashal harus berupa dalil nash yaitu Al-

Qur‟ān, sunnah dan ijma‟. Disamping itu ashal juga harus mengandung „illat

hukum. Furu‟ atau cabang, yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya

yaitu yang mengqiyaskan disebut juga al-maqis atau al- musyabbah. Hukum

ashal yaitu hukum syara‟ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan

menjadi hukum pada cabang. „Illat ialah suatu sifat yang nyata dan tertentu

yang berkaitan dengan ada atau tidak adanya hukum.

Disamping dalil-dalil tersebut diatas, Ali Mustafa Yaqub juga mengambil pendapat

imam mazhab mengenai hukum Islam dan pendapat para ulama lain yang diperoleh melalui

penelitian terhadap penafsiran Al-Qur‟ān. Pembahasan masalah yang memerlukan

penyelesaian yang merujuk kepada dalil-dalil tersebut diatas adalah metode yang menentukan

penafsiran mana yang lebih kuat (rajih) dan bermanfaat bagi umat Islam. Ketika suatu

permasalahan hukum tidak dapat diselesaikan dengan memakai prosedur diatas maka langkah

yang diambil Ali Mustafa Yaqub adalah melakukan ijtihad.190

Allah SWT menyebutkan pengharaman babi di dalam Al-Qur‟ān sebanyak empat

kali, dalam surat al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, al-An‟am ayat 145 dan an-Nahl ayat

115.191

Tiga ayat tersebut yakni surat al-Baqarah ayat 173, al-An‟am ayat 145 dan an-Nahl

190

http://www.mui.or.id, diakses tanggal 28 Februari 2014. 191

Telah tercantum pada h. 35-38 tesis ini.

Page 98: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

193

ayat 115 disebutkan dengan adat al-hashr (pembatasan).192

Allah menyebutkan semua

redaksi dari ke empat ayat di atas dengan menggunakan kata lahm al-khinzir (daging babi).

Menanggapi ayat-ayat ini para ulama berbeda pendapat dalam dua hal. Pertama, tentang

tujuan pembatasan (al-qashr) yang tercantum dalam tiga ayat di atas. Kedua, mengenai

ukuran (batas) yang diharamkan dari babi.193

Adapun yang berkaitan dengan pembatasan, sebagian ulama berpendapat bahwa

makna firman Allah:

Artinya:“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)bangkai…”

Bahwa innama merupakan kata yang digunakan untuk membatasi sesuatu yang

mengandung pengertian peniadaan (an-nafy) dan penetapan (al-itsbat). Kata innama pada

ayat di atas menetapkan pembatasan makna yang tercantum dalam redaksi ayat dan

meniadakan makna yang tidak tercantum di dalamnya. Dalam ayat ini, kata innama tersebut

berfungsi untuk membatasi hal yang diharamkan.194

Ayat tersebut mengiringi ayat tentang

kehalalan pangan, yaitu firman Allah SWT:

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang

Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-

Nya kamu menyembah.”(QS. Al-Baqarah: 172)

Ayat ini menunjukkan kehalalan yang bersifat umum untuk semua makanan yang

baik. Kemudian ayat ini diikuti dengan ayat tentang hal-hal yang diharamkan, dengan

menggunakan redaksi innama yang berfungsi membatasi. Maka hal ini mencakup dua hal.

Ayat ini termasuk kelompok Madaniyyah (turun setelah hijrah), sehingga tidak ada hal-hal

yang diharamkan keluar dari ayat ini.195

Ayat ini juga dikuatkan dengan ayat lainnya yang

menurut sebuah riwayat turunnya di Arafah, yaitu ayat:

Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku,

sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…(QS al-An‟am:

145)

192

Maksudnya pembatasan keadaan atau pengecualian ketika dalam keadaan terpaksa maka

diperbolehkan mengkonsumsi daging babi. 193

Yaqub, Kriteria…, h.174. 194

Yaqub, Kriteria…, h.175. 195

Yaqub, Kriteria…, h.176.

Page 99: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

194

Karenanya penjelasannya menjadi sempurna dari awal sampai akhir.196

Imam Al-

Syāfi‟Ī dan ulama lainnya berpendapat pembatasan dalam ayat ini tidak bermaksud demikian.

Imam Al-Syāfi‟Ī meluruskan kekeliruan diatas dengan argumentasi bahwa ayat ini turun

berkenaan dengan orang-orang kafir yang menyatakan pembangkangan kepada Allah dan

Rasul-Nya. Mereka mengharamkan segala yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan

segala yang diharamkan-Nya. Kemudian turunlah ayat ini dengan pembatasan yang bersifat

formalitas sebagai kecaman atas mereka dari Allah dan Rasul-Nya, bukan dimaksudkan

untuk makna pembatasan yang sebenarnya. 197

Imam As-Subki mengutip pernyataan Imam Al-Syāfi‟Ī yang maksudnya adalah bahwa

orang-orang kafir ketika mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan

apa yang telah diharamkan-Nya, mereka melakukannya sebagai bentuk perlawanan dan

pembangkangan. Kemudian ayat ini turun untuk membantah mereka. Seolah-olah Allah

mengatakan,

198ال حالل إال ما حشمتموه وال حشام إال ما أحللتموه

Artinya: “Tidak ada sesuatu yang halal kecuali apa yang telah kalian haramkan, tidak ada

sesuatu yang haram kecuali apa yang telah kalian halalkan.”

Seakan-akan Allah berfirman

199ال حشام إال ما أحللتموه من الميتة والذم ولحم الخنضيش وما أهل لغيش هللا به

Artinya: “Tidak ada yang haram kecuali apa yang telah kalian halalkan berupa bangkai,

darah, daging babi dan (hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.”

Hal ini bukan berarti selain yang disebutkan itu adalah halal. Karena tujuan dari

ungkapan tersebut adalah untuk menetapkan pengharaman bukan menetapkan penghalalan.

Imam al-Haramain200

berkata pendapat ini sangat bagus. Seandainya Imam Al-Syāfi‟Ī tidak

196

Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, I, Beirut: Dar al-Fikr,

1994, h. 202-203. 197

Muhammad Abd al-„Azhim al-Zurqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-Quran, I, Beirut: Dar al-Fikr,

1992, h. 105. 198

Yaqub, Kriteria…, h.176 199

Yaqub, Kriteria…, h.177

200

Imam Al-Haramain adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwaini, Abu

al-Ma‟ali, Rukn al-Din, yang diberi gelar dengan Imam al-Haramain. Seorang yang alim dari mazhab Al-

Syāfi‟Ī. lahir di Juwain (pinggir kota Naysabur) pada tahun 419 H. Menuntut ilmu di Baghdad, kemudian

menuju Makkah dan tinggal selama empat tahun. Beliau melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Madinah untuk

memberikan fatwa sekaligus mempelajari metode-metode mazhab secara keseluruhan. Kemudian kembali ke

Naisabur. Pada perkembangan selanjutnya, menteri Nidzam al-Muluk membangun perguruan Madrasah An-

Nizhamiyah di kota tersebut untuk beliau. Majelis-majelis pengajiannya selalu dihadiri oleh ulama-ulama besar

kota tersebut. Al-Juwaini mempunyai banyak karya ilmiah diantaranya Al-Waraqat dalam Ushul Fiqh, Nihayat

Page 100: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

195

mencetuskan terobosan tersebut. Tentu kita tidak diperkenankan berbeda pendapat dengan

Imam Malik tentang pembatasan hal-hal yang diharamkan pada ayat di atas.201

Menurut Ali Mustafa Yaqub, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Imam Al-

Syāfi‟Ī dan beberapa ulama lain bahwa hal-hal yang diharamkan itu tidak hanya terbatas pada

empat macam sebagaimana disebutkan oleh ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun

untuk membantah persepsi kaum jahiliyah dalam menghalalkan dan mengharamkan

sesuatu.202

Maka makna dari firman Allah SWT dalam surat al-An‟am ayat 145 adalah

203قل ال أجذ فيما أوحي إلي محشما مما كنتم تغتحلون إال هزا

Artinya: “Katakanlah aku tidak memperoleh dalam wahyu yang diturunkan kepadaku,

sesuatu yang diharamkan dari apa-apa yang kalian anggap halal kecuali ini.”

Yaitu sesuatu yang mereka haramkan sebelumnya, hukumnya sekarang menjadi

haram. Maka mana qashr (pembatasan) pada ayat-ayat diatas tidak menunjukkan pengertian

yang sebenarnya.204

Seperti firman Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat 29:

Artinya: “Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa

yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS Al-Kahfi: 29)

Kalimat perintah dalam ayat ini bukanlah dalam arti perintah yang sebenarnya

sebagaimana disalah pahami oleh kelompok pemikir liberal yang berpendapat bahwa Allah

SWT memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk beriman atau kafir. Akan tetapi kalimat

perintah dalam ayat ini adalah untuk menakut-nakuti dan mengancam dengan sangat keras.205

Mengenai pembahasan tentang ukuran keharaman babi terjadi perbedaan pendapat di

kalangan para ulama. Imam Al-Qurthubi mengatakan Allah mengkhususkan penyebutan

daging babi untuk menunjukkan pengharaman babi itu sendiri, baik yang disembelih atau

tidak, hal itu mencakup lemak dan bagian-bagian tubuh lainnya seperti tulang-tulang rawan

dan lain sebagainya. Ibnu Katsir berpendapat pengharaman daging babi yang disebutkan

dalam Al-Qur‟ān juga diqiyaskan kepada organ lainnya.206

Menurut Imam Mahmud al-Alusi, daging babi disebut secara khusus padahal organ

lain juga diharamkan. Berbeda dengan kelompok Aẓ-Ẓahiry yang menghalalkannya karena

al-Mathlab fi Dirasat al-Mazhab dalam masalah fiqh Al-Syāfi‟Ī. Ia meninggal dunia pada tahun 478 H di

Naisabur. (Al-Zirikli, Al-A‟lam, Jilid IV, Kairo: Dar Al-Hadith, 1996, h. 160). 201

Yaqub, Kriteria…, h.177 202

Yaqub, Kriteria…, h.178 203

Yaqub, Kriteria…, h.179 204

Yaqub, Kriteria…, h.180 205

Katsir, Tafsir…, III, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004, h. 105 206

Imam Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h. 209

Page 101: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

196

daging merupakan bagian hewan yang paling banyak dimakan oleh manusia sedangkan

bagian-bagian lainnya sebagai pelengkap yang mengikuti dagingnya saja.207

Apabila permasalahannya demikian maka menurut Ali Mustafa Yaqub terdapat dua

pendapat mengenai hukum mengkonsumsi babi. Pertama, pendapat jumhur ulama bahwa

semua organ babi hukumnya haram. Kedua, pendapat mazhab Aẓ-Ẓahiry yang mengatakan

bahwa organ babi yang diharamkan hanya dagingnya saja.

Dalam kitab Al-Muhalla karya Imam Ibnu Hazm,208

sebuah kitab yang kini menjadi

kitab rujukan utama mazhab Aẓ-Ẓahiry dijelaskan bahwa tidak dihalalkan memakan apapun

yang berasal dari babi meliputi daging, lemak, kulit, urat, tulang rawan, usus, otak, kepala,

kaki, air susu dan bulunya, baik jantan, betina, besar maupun kecil. Tidak dihalalkan juga

mengambil manfaat dari rambut, kulit dan sebagainya.209

Menurut Imam Al-Alusi, Mazhab Aẓ-Ẓahiry menghalalkan semua organ babi kecuali

dagingnya. Tetapi dalam kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazm yang juga bermazhab hahiry

justru mengatakan hal yang sebaliknya yakni mengharamkan seluruh organ babi. Menurut Ali

Mustafa Yaqub, pendapat Ibnu Hazm lebih mu‟tamad (layak dijadikan pegangan) dalam

mazhab Aẓ-Ẓahiry, sedangkan apa yang disampaikan oleh Imam Al-Alusi kemungkinan

hanya merupakan pendapat sebagian ulama dari kalangan Mazhab Aẓ-Ẓahiry. Dalam

bukunya Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut Al-Quran dan

Hadith, Ali Mustafa Yaqub mencantumkan pernyataan Al-Alusi yang dikemukakan dalam

tafsirnya, meskipun kedudukannya dalam mazhab Ẓhahiry adalah syadz (menyimpang),

karena pendapat yang tercantum dalam kitab Al-Alusi ini terkadang dijadikan pegangan oleh

sebagian orang untuk membolehkan mengonsumsi babi selain dagingnya, misalnya kulit,

darah dan organ-organ lain.

Mengenai hukum bulu babi, Imam Al-Qurthubi berpendapat bahwa tidak ada

perbedaan bahwa secara umum babi itu diharamkan kecuali bulunya. Karena menjahit

dengan menggunakan bulu babi hukumnya mubah. Diriwayatkan ada seseorang yang datang

untuk bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hukum menjahit dengan menggunakan

207

Katsir , Tafsir…, I, h. 255 208

Ibnu Hazm adalah al-Imam al-„Allamah al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟ad bin

Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Khalaf al-Farisi al-Ashl al-Yazidi al-Umawi, orang yang dimerdekakan oleh al-

Umawi al-Qurthubi Aẓ-Ẓahiry. Pada awalnya ia bermazhab Syāfi‟Ī kemudian ia beralih ke mazhab Aẓ-Ẓahiry.

Ibnu Hazm adalah seorang yang menguasai berbagai disiplin ilmu, wara‟, zuhud, cerdas dan warga Andalusia

yang memiliki cakrawala keilmuwan yang luas. Karya tulisnya antara lain Al-Muhalla (yang ditulis berdasarkan

mazhab dan ijtihadnya), Syarh al-Muhalla, al-Milal wa al-Nihal, al-Ishal fi Fiqh al-Hadith dan sebagainya. Ia

wafat pada tahun 457 H. (Imam As-Suyuthi, Thabaqat al-Huffazh, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h. 88). 209

Imam Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, Juz VI, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah t.t, h. 58

Page 102: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

197

bulu babi. Rasulullah SAW menjawab tidak apa-apa. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Khawaiz

Mindad.210

Ia mengatakan bahwa menjahit dengan bulu babi itu sudah ada pada masa

Rasulullah SAW dan tampaknya hal itu masih ada setelah beliau wafat. Kami tidak

mengetahui adanya penolakan dari Rasulullah SAW dan tidak ada satupun ulama yang

mengingkarinya. Apa yang diperbolehkan Rasulullah SAW merupakan permulaan sumber

syariat dari beliau.

Pernyataan Imam Al-Qurthubi bahwasanya tidak ada perbedaan tentang babi itu

diharamkan kecuali bulunya, karena menjahit dengan menggunakan bulu babi dibolehkan

menurut Ali Mustafa Yaqub perlu ditinjau kembali. Hal itu karena Imam Ibnu Hazm

berpendapat bahwa bulu babi juga haram. Begitu pula jumhur ulama seperti Ibnu Sirin,211

al-

Hakam, Hammad, Ishaq dan Al-Syāfi‟Ī berpendapat bahwa hukum memanfaatkan bulu babi

keharamannya seperti memanfaatkan kulitnya, karena hal tersebut berarti menggunakan

materi yang najis yang tidak lepas dari terkena najis.212

Sementara Imam Abu Hanifah dan

Dawud menyatakan bahwa tulang, tanduk dan bagian luar lainnya tidak dihukumi najis

sehingga tidak diharamkan. Abu Hanifah mengecualikan bulu babi sebagai yang diharamkan.

Beliau memberi rukhsah (keringanan) bagi tukang tenun untuk menggunakan bulu babi.

Selain Abu Hanifah, ulama lain yang sepakat dengannya adalah al-Hasan Imam Malik, al-

Auza‟i dan Imam Ahmad.213

Ali Mustafa Yaqub sepakat dengan ulama yang membolehkan memanfaatkan bulu

babi atas dasar rukhsah. Karena faktor keperluan (hajat) tersebut merupakan pengecualian

dari objek pembahasan. Karenanya memanfaatkan bulu babi atas dasar rukhsah dikategorikan

sebagai darurat. Lebih-lebih hal itu dilakukan karena adanya keperluan. Dan terkadang

kondisi perlu itu memiliki kedudukan yang sama dengan keadaan darurat. Dalam kondisi

210

Ibnu Khawaiz Mindad adalah Muhammad bin Ahmad bin Abdullah. Ia belajar kepada al-Abhari. Ia

menulis buku yang besar tentang perbedaan pendapat, buku tentang ushul fiqh dan buku-buku tentang hukum-

hukum Al-Quran. Ia juga memiliki riwayat-riwayat yang syadz dari Imam Malik disamping memiliki Ikhtiyarat

(pendapat-pendapat pilihan). (Ibnu Farhun, Al-Dibaj al-Mudzahhab fi Ma‟rifah A‟yan Ulama al-Mazhab I,

Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h. 142). 211

Nama lengkap Ibnu Sirin adalah Muhammad bin Sirin al-Bashri, al-Anshari dengan wala‟ bergelar

Abu Bakar. Ia adalah seorang imam yang mumpuni dalam ilmu agama di Basrah. Ia lahir di Basrah pada tahun

33 H, tumbuh dewasa sebagai penjual pakaian, telinganya tuli, ia belajar fiqh dan meriwayatkan hadith. Ia

terkenal zuhud dan mampu mentakwil mimpi. Anas bin Malik mengangkatnya sebagai sekretaris di Persia.

Ayahnya adalah maula (budak yang dimerdekakan) Anas. Ia dikenal sebagai penulis kitab Ta‟bir al-Ru‟ya Ibnu

al-Nadim menuturkannya bahwa Ibnu Sirin menggubah kitab Muntakhab al-Kalam fi Tafsir al-Ahlam. Ia wafat

di Basrah pada tahun 110 H. (Al-Zirikli, Al-A‟lam…, h. 154) 212

Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni I, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, h. 109 213

Yaqub, Kriteria…, h. 181

Page 103: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

198

darurat dan memerlukan, memakan babi pun diperbolehkan apalagi hanya memanfaatkan

bulunya.

Adapun argumentasi Imam Al-Qurthubi bahwa Rasulullah SAW membiarkan

sebagian sahabat beliau menenun dengan menggunakan bulu babi, setelah diteliti oleh Ali

Mustafa Yaqub ke beberapa kitab hadith ternyata beliau tidak menemukannya. Maka Ali

Mustafa Yaqub berasumsi bahwa penetapan kebolehan menggunakan bulu babi hanya atas

dasar rukhsah saja, bukan „azimah (ketetapan dalam keadaan normal).214

C. Sebab-sebab perbedaan pendapat antara Ysuf Al Qaradhawi dan Ali Mustafa

Yakub

Islam sangat menghargai perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Islam tidak pernah menghambat sesuatu hal yang berbau kecanggihan science demi kemajuan

umat Islam itu sendiri. Ia hanya mengarahkan agar perkembangan IPTEK tersebut tetap

berada dalam koridor syar‟i. Inilah salah satu keistimewaan agama Islam yang bersumber Al-

Qur‟ān Al-Karim yang bersifat universal sehingga ia tetap relevan sesuai dengan

perkembangan zaman dan mampu menjawab tantangan-tantangan akibat perkembangan masa

tersebut.

Begitu pula dengan pemanfaatan organ babi di dunia medis baik sebagai obat-obatan

maupun keperluan transplantasi yang merupakan kasus kontemporer, Islam tetap mempunyai

rambu-rambu khusus untuk menghindari terjadinya penyimpangan hukum demi kebaikan

umat Islam. Karena permasalahan ini belum pernah terjadi sebelumnya maka dibutuhkan

ijtihad ulama untuk mengambil istinbath hukum sebagai tindakan preventif untuk mengatasi

persoalan hukum tersebut.

Ijtihad merupakan suatu usaha sungguh-sungguh seorang mujtahid dengan

mempergunakan seluruh potensi yang ada pada dirinya. Namun dalam berijtihad, seringkali

terjadi perselisihan pendapat antara satu ulama dengan ulama lainnya. Penyebab ikhtilaf itu

dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam

Al-Qur‟ān maupun sunnah, seperti lafadz musytarak, makna haqiqy (sebenarnya)

maupun majazy (kiasan).

b. Karena berbeda dalam memahami hadith dari segi periwayatannya. Ada hadith yang

sampai periwayatannya kepada sebagian ulama, namun tidak sampai kepada ulama

lain, atau berbeda jalur periwayatan sanadnya, sehingga berbeda menilai kualitas

suatu hadith. Ada yang menilai sahih, hasan ataupun dha‟if.

214

Yaqub, Kriteria…, h. 182

Page 104: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

199

c. Berbeda dalam memahami kaidah-kaidah ushul, misalnya ada ulama yang

berpendapat bahwa lafadz „amm yang sudah ditakhsis itu bisa dijadikan hujjah.

Demikian pula yang menganggap bahwa segala yang mafhum dapat dijadikan hujjah

dan ada yang menganggap bahwa segala yang mafhum tidak bisa dijadikan hujjah.

d. Berbeda dalam menanggapi ta‟arudl (pertentangan dua dalil) dan tarjih (menguatkan

satu dalil atas dalil yang lain). Seperti dalam memahami nasakh dan mansukh,

pentakwilan dan sebagainya.

e. Berbeda pendapat dalam memahami dan menetapkan dalil yang bersifat ijtihady.

Ulama sepakat bahwa Al-Qur‟ān dan Sunnah yang sahih adalah sumber hukum, tetapi

mereka berbeda pendapat dalam dalil-dalil seperti istihsan, istishab, al-maslahat al-

mursalah, qaul as-sahaby dan lain-lain yang digunakan dalam ijtihad. Sering juga

terjadi perbedaan penerapan terhadap dalil-dalil yang disepakati sehingga

menyebabkan perbedaan istinbath hukum. Misalnya penggunaan qiyas, para ulama

sepakat bahwa qiyas adalah sumber hukum yang tidak ada perselisihan tentang

penggunaannya. Namun dalam penetapan „illat hukumnya sering terjadi perbedaan.

Karena adanya perbedaan dalam menentukan „illat maka berbeda pula kesimpulan

hukumnya.

f. Perbedaan lingkungan tempat tinggal si mujtahid, seperti dalam Qaul Qadim dan

Qaul Jadid Imam Syafi‟i.215

Penyebab perbedaan pendapat antara Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub

dalam masalah pemanfaatan organ babi ini terletak pada perbedaan dalam memahami dalil-

dalil baik dari Al-Qur‟ān, sunnah maupun kaedah fiqh. Adapun dalil-dalil yang menjadi

landasan hukum mengenai pemanfaatan organ babi ini adalah firman Allah SWT dalam surat

al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, al-An‟am ayat 145 dan an-Nahl ayat 115 (telah

tercantum pada halaman 35-38 tesis ini).

Berdasarkan keempat ayat tersebut, menurut Yusuf Al-Qaradhawi, keharaman babi

hanyalah pada batas konsumsi saja. Sedangkan memanfaatkan organnya untuk pengobatan

bukan berarti memakannya, misalnya melakukan transplantasi organ babi ke tubuh manusia.

Jika memang hal tersebut di butuhkan untuk menyelamatkan jiwa seseorang, maka hal ini di

perbolehkan oleh syara‟. Sesuai kaidah:

وما أبيح للعشوسة يقذس بقذسها

Artinya: “Segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar

kedaruratannya.”

Selain itu pemanfaatan organ yang najis tersebut harus melalui ketetapan-ketetapan

dokter muslim yang terpercaya. Argumentasi lain yang digunakan oleh Yusuf Al-Qaradhawi

adalah bahwa Nabi SAW memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai yaitu kulitnya

215

Febriani, Undian…, h. 51

Page 105: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

200

padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-

Qur‟ān. Al-Qaradhawi mengqiyaskan pemanfaatan bangkai kepada pemanfaatan organ babi,

keduanya diperbolehkan oleh syara‟ asalkan bukan untuk dikonsumsi, seperti hadith yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang pemanfaatan kulit bangkai (telah

tercantum pada halaman 4 tesis ini).

Timbul pertanyaan bagaimana hukum memasukkan binatang najis seperti babi ke

dalam tubuh seorang muslim. Dalam hal ini Al-Qaradhawi menjelaskan bahwa yang dilarang

syara‟ adalah mengenakan benda najis di bagian luar tubuh, adapun yang di dalam tubuh

manusia tidak ada dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia justru

merupakan tempat benda-benda najis seperti darah, kencing, tinja dan semua kotoran,

sedangkan manusia tetap bisa melakukan shalat, membaca Al-Qur‟ān, melakukan tawaf di

Baitullah meskipun benda-benda najis itu ada didalam perutnya dan tidak membatalkannya

sedikitpun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada di dalam

tubuh.

Al-Qaradhawi membolehkan pemanfaatan organ babi untuk pengobatan karena beliau

berargumen bahwa yang diharamkan hanya konsumsi daging saja. Dalam hal ini pendapat

Al-Qaradhawi mirip dengan pendapat Imam Daud Aẓ-Ẓahiry dan sebagian kalangan mazhab

zahiriyyah.

Sementara Ali Mustafa Yaqub mengharamkan semua jenis pemanfaatan organ babi

baik untuk konsumsi maupun pengobatan. Ia juga mengqiyaskan keharaman daging babi

kepada organ tubuh lainnya misalnya kulit, bulu, tulang dan sebagainya. Ali Mustafa Yaqub

mencantumkan pernyataan Al-Alusi yang beliau kemukakan dalam tafsirnya, meskipun

kedudukannya dalam mazhab Ẓahiry adalah syadz (menyimpang), karena pendapat yang

tercantum dalam kitab Al-Alusi ini terkadang dijadikan pegangan oleh sebagian orang untuk

membolehkan mengonsumsi babi selain dagingnya, misalnya kulit, darah dan organ-organ

lain.

Mengenai hukum bulu babi, Imam Al-Qurthubi berpendapat bahwa tidak ada

perbedaan bahwa secara umum babi itu diharamkan kecuali bulunya. Karena menjahit

dengan menggunakan bulu babi hukumnya mubah. Diriwayatkan ada seseorang yang datang

untuk bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hukum menjahit dengan menggunakan

bulu babi. Rasulullah SAW menjawab tidak apa-apa. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Khawaiz

Mindad. Ia mengatakan bahwa menjahit dengan bulu babi itu sudah ada pada masa

Page 106: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

201

Rasulullah SAW dan tampaknya hal itu masih ada setelah beliau wafat. Kami tidak

mengetahui adanya penolakan dari Rasulullah SAW dan tidak ada satupun ulama yang

mengingkarinya. Apa yang diperbolehkan Rasulullah SAW merupakan permulaan sumber

syariat dari beliau.

Pernyataan Imam Al-Qurthubi bahwasanya tidak ada perbedaan tentang babi itu

diharamkan kecuali bulunya, karena menjahit dengan menggunakan bulu babi dibolehkan

menurut Ali Mustafa Yaqub perlu ditinjau kembali. Hal itu karena Imam Ibnu Hazm

berpendapat bahwa bulu babi juga haram. Begitu pula jumhur ulama seperti Ibnu Sirin, al-

Hakam, Hammad, Ishaq dan Al-Syāfi‟Ī berpendapat bahwa hukum memanfaatkan bulu babi

keharamannya seperti memanfaatkan kulitnya, karena hal tersebut berarti menggunakan

materi yang najis yang tidak lepas dari terkena najis.216

Sementara Imam Abu Hanifah dan

Dawud menyatakan bahwa tulang, tanduk dan bagian luar lainnya tidak di hukumi najis

sehingga tidak diharamkan. Abu Hanifah mengecualikan bulu babi sebagai yang diharamkan.

Beliau memberi rukhsah bagi tukang tenun untuk menggunakan bulu babi. Selain Abu

Hanifah, ulama lain yang sepakat dengannya adalah al-Hasan Imam Malik, al-Auza‟i dan

Imam Ahmad.217

Ali Mustafa Yaqub sepakat dengan ulama yang membolehkan memanfaatkan bulu

babi atas dasar rukhsah. Karena faktor keperluan tersebut merupakan pengecualian dari objek

pembahasan. Karenanya memanfaatkan bulu babi atas dasar rukhsah dikategorikan sebagai

darurat. Lebih-lebih hal itu dilakukan karena adanya keperluan. Dan terkadang kondisi perlu

itu memiliki kedudukan yang sama dengan keadaan darurat. Dalam kondisi darurat dan

memerlukan, memakan babi pun diperbolehkan apalagi hanya memanfaatkan bulunya.

Adapun argumentasi Imam Al-Qurthubi bahwa Rasulullah SAW membiarkan

sebagian sahabat beliau menenun dengan menggunakan bulu babi, setelah diteliti oleh Ali

Mustafa Yaqub ke beberapa kitab hadith ternyata beliau tidak menemukannya. Maka Ali

Mustafa Yaqub berasumsi bahwa penetapan kebolehan menggunakan bulu babi hanya atas

dasar rukhsah saja, bukan „azimah (ketetapan dalam keadaan normal).

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas terdapat persamaan-persamaan dan

perbedaan-perbedaan pendapat antara Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub. Ittifaq

dan ikhtilaf diantara mereka disebabkan oleh pemahaman terhadap dalil sesuai kemampuan

akal mereka masing-masing. Namun ijtihad mereka sangat berguna dalam memecahkan

216

Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (terj. Anshari Taslim), Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 109 217

Yaqub, Kriteria…, h. 181

Page 107: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

202

masalah hukum pemanfaatan organ babi ini terlepas dari kelebihan dan kekurangan dalam

ijtihad tersebut karena baik Yusuf Al-Qaradhawi maupun Ali Mustafa Yaqub adalah manusia

biasa yang mempunyai pemikiran terbatas. Mereka hanya mengambil istinbath hukum

berdasarkan dalil-dalil nash.

Persamaan pendapat mereka adalah mereka sama-sama mengharamkan

mengkonsumsi daging babi seperti yang disebutkan dalam empat ayat Al-Quran diatas

(halaman 35-37 tesis ini). Mereka juga sama-sama mengharamkan konsumsi babi selain

dagingnya seperti lemak babi, kulit babi, tulang, kuping dan lain-lain karena semua itu

mengikuti keharaman babi yang secara „ainnya adalah binatang najis. Persamaan pendapat

mereka berdua yang lain adalah kebolehan mengkonsumsi atau memanfaatkan organ babi

ketika dalam keadaan rukhsah atau dalam keadaan sangat darurat yang tidak mempunyai

solusi atau alternatif lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 173.

Adapun perbedaan pendapat keduanya ialah pada pemanfaatan organ babi selain

konsumsi, Yusuf Al-Qaradhawi membolehkan memanfaatkan organnya untuk pengobatan,

misalnya melakukan transplantasi organ babi ke tubuh manusia. Jika memang hal tersebut di

butuhkan untuk menyelamatkan jiwa seseorang, maka hal ini di perbolehkan oleh syara‟,

dengan syarat pemanfaatan organ yang najis tersebut harus melalui ketetapan-ketetapan

dokter muslim yang terpercaya. Argumentasi lain yang digunakan oleh Yusuf Al-Qaradhawi

adalah bahwa Nabi SAW memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai yaitu kulitnya

padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-

Qur‟ān. Al-Qaradhawi mengqiyaskan pemanfaatan bangkai kepada pemanfaatan organ babi,

keduanya diperbolehkan oleh syara‟ asalkan bukan untuk dikonsumsi. Sedangkan Ali

Mustafa Yaqub mengharamkan segala jenis pemanfaatan organ babi meskipun untuk

pengobatan.

Umat Islam adalah umat yang memiliki identitas dan kepribadian tersendiri. Karena

Allah telah menjadikan umat muslim sebagai khalifah di muka bumi bukan sebagai pengikut

kaum kafir. Oleh karena itu sebagai muslim kita tidak sepantasnya mengikuti tradisi dan gaya

hidup yang mereka tawarkan. Hal tersebut tidak dibenarkan karena terdapat hal-hal yang

bertentangan dengan nilai-nilai, konsep dan hukum syari‟at yang telah Allah tunjukkan

kepada kita. Umat Islam mempunyai manhaj tersendiri yang menjadi pedoman bagi umat

Islam yaitu Al-Qur‟ān dan Sunnah. Kedua pedoman tersebut merupakan pusaka agung yang

ditinggalkan Rasulullah SAW agar umat Islam tidak tersesat. Al-Qur‟ān yang bersifat

Page 108: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

203

universal dan selalu relevan dengan perkembangan zaman mustahil tidak bisa menjawab

persoalan-persoalan kontemporer seperti pemanfaatan organ babi yang berasal dari dunia

Barat. Permasalahan utama yang memicu kelemahan umat Islam adalah sikap muslim yang

apatis dan tidak mau berpikir untuk memecahkan permasalahan yang melanda umat Islam

sehingga umat Islam mudah terpengaruh oleh budaya Barat. Sebagai muslim kita dituntut

agar selalu kritis menghadapi persoalan-persoalan yang belum pernah terjadi pada masa

sebelumnya dengan tetap berpegang pada dalil-dalil nash agar tidak terjadi kekeliruan.

Kesimpulan

Penyebab perbedaan pendapat antara Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub dalam

masalah pemanfaatan organ babi ini terletak pada perbedaan dalam memahami dalil-dalil

nash baik dari Al-Quran, sunnah maupun kaedah fiqh. Al-Qaradhawi membolehkan

pemanfaatan organ babi untuk pengobatan dengan argumen yang diharamkan hanya

konsumsi daging saja, jika memang hal tersebut dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa

seseorang, maka hal ini diperbolehkan oleh syara‟, dengan syarat pemanfaatan organ yang

najis tersebut harus melalui ketetapan-ketetapan dokter muslim yang terpercaya. Sedangkan

Ali Mustafa Yaqub mengharamkan segala jenis pemanfaatan organ babi meskipun untuk

pengobatan.

Dalil-dalil yang digunakan Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa Yaqub pada dasarnya

adalah sama yaitu surat al-Baqarah ayat 173, al-Maidah ayat 3, al-An‟am ayat 145 dan an-

Nahl ayat 115. Permasalahan yang muncul adalah perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat

tersebut. Al-Qaradhawi memahami kata lahm al-khinzir hanya pengharaman sebatas

konsumsi saja, bukan pada pemanfaatan dalam hal lain seperti pemanfaatan di dunia medis

dan sebagainya. Dalam hal ini pemahaman Al-Qaradhawi lebih luas dan moderat mengingat

babi cukup berperan menyembuhkan ribuan pasien yang menderita diabetes, sebagai

komposisi vaksinasi, dan sebagainya. Sementara Ali Mustafa Yaqub memahami keempat

ayat tersebut adalah pengharaman secara mutlak sebab adat al-qashr (pembatasan) pada

lafadh lahm al-khinzir adalah untuk menetapkan pengharaman bukan menetapkan

penghalalan dan berlaku untuk semua jenis pemanfaatan dan konsumsi.

Dalil lainnya adalah perbedaan pemahaman antara Yusuf Al-Qaradhawi dan Ali Mustafa

Yaqub mengenai hadith Nabi Muhammad SAW tentang pemanfaatan kulit bangkai. Al-

Qaradhawi berpendapat bahwa Nabi SAW memperbolehkan memanfaatkan kulit bangkai,

Page 109: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

204

beliau memandang sama hukumnya antara bangkai kambing dan babi jika dimanfaatkan pada

keperluan selain konsumsi sebab keduanya sama-sama benda najis. Dalam hadith tersebut

hanya disebutkan kata bangkai saja sehingga menimbulkan makna intepretatif, yakni semua

bangkai bukan hanya bangkai kambing. Al-Qaradhawi mengqiyaskan pemanfaatan bangkai

kambing kepada pemanfaatan organ babi, keduanya diperbolehkan oleh syara‟ asalkan bukan

untuk dikonsumsi. Ali Mustafa Yaqub menolak qiyas yang dilakukan Yusuf Al-Qaradhawi

sebab qiyas tersebut tidak tepat, sebab kambing adalah binatang halal semasa hidupnya

sedangkan babi adalah binatang najis baik masih hidup maupun sudah mati.

Page 110: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

205

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim.

Abu Daud, Imam, Sunan Abu Daud, Jilid 3, Beirut: Dar al-Fikr, 2007.

Al-Baghdadi, Abdurrahman, Babi Halal Babi Haram, Jakarta: Gema Insani Press, 1989.

Alie, Imam Masykoer, Bunga Rampai Jaminan Produk Halal di Negara Anggota Mabims,

Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2003.

Al-Jamal, Abdul Basith & Daliya Shiddiq Al-Jamal, Ensiklopedi Ilmiah dalam Al-Quran dan

Sunnah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Al-Khalafi, Abdul „Azhim bin Badawi, Al-Wajiz, (terj. Ma‟ruf Abdul Jalil), Jakarta: Pustaka

As-Sunnah, 2006.

Al-Qaradhawy, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

-------------------, Fatawa Mu‟ashirah, Juz 2, Kuwait: Dar al-Qalam, 2005.

Al-Qurthubi, Imam Muhammad bin Ahmad, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, I, Beirut: Dar al-

Fikr, 1994.

Al-Zirikli, Al-A‟lam, IV, Kairo: Dar Al-Hadits, 1996.

Al-Zurqani, Muhammad Abd al-„Azhim, Manahil al-Irfan fi „Ulum al-Quran, I, Beirut: Dar

al-Fikr, 1992.

An-Nawawi, al-Majmu‟ Syarh al-Muhazzab, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1996.

As-Suyuthi, Imam, Thabaqat al-Huffazh, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Asy-Syarbashi, Ahmad, Yas‟alunaka Fi Ad-Din Wa Al-Hayah, (terj. Ahmad Subandi,

Jakarta: Lentera Basritatama, 1997.

Asy-Syaukani, Muhammad, Nailul Authar, Jilid IX, (terj. Adib Bishri Mustafa), Semarang:

Asy-Syifa, 1994.

Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, Jilid 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Dahlan, Abdul Azis …(et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve,

1996.

Dallas, S.E, Animal Biology and Care, USA: Blackwell Publishing, 2006

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Dewan Syari‟ah Pusat PK Sejahtera, Fatwa-Fatwa Dewan Syari‟ah Partai Keadilan

Sejahtera, Bandung: Harakatuna Publishing, 2006.

Farhun, Ibnu, Al-Dibaj al-Mudzahhab fi Ma‟rifah A‟yan Ulama al-Mazhab, I, Beirut: Dar al-

Fikr, 1994.

Page 111: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

206

Febriani, Asra, Skripsi, Undian Berhadiah Melalui Short Message Service, Banda Aceh:

Fakultas Syari‟ah IAIN Ar-Raniry, 2007.

Grolier International, Ensiklopedi Alam, Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2004.

Hasan Bisri, Cik, Model Penelitian Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Kencana, 2003.

Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 9, Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2001.

Hendrix, Charles M, Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians, St. Louis: Elsevier,

2012.

http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.com/2012/01/pemikiran-hadits-prof-dr-h-ali-

mustafa.html, forum ilmiah UIN SUSKA RIAU diakses tgl 11 November 2013.

http://www.referensimakalah.com/2012/07/biografi-ali-mustafa-yaqub.html, diakses tanggal

11 November 2013.

http://www.sqidoo.com, di akses tanggal 12 Oktober 2013.

Ibn Ahmad Ath-Thariqi, Abdullah Ibn Muhammad, Fikih Darurat, (terj. Abdul Rosyad

Shiddiq), Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.

Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafizh, Fathul Baari, (terj. Amiruddin), Jakarta:

Pustaka Azzam, 2007.

Ibnu Hazm, Imam, Al-Muhalla bi al-Atsar, Juz VI, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah t.t.

Ibnu Qudamah, Imam, Al-Mughni, I, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

-------------------, Al-Mughni, (terj. Anshari Taslim), Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Ibnu Rusyd, Al-Faqih Abi Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, Bidayat al-

Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Kairo: Maktabat al-Kuliyyah al-Azhariyyah, t.t.

Idris Asy-Syafi‟i, Muhammad, Al-Umm, Jilid 2, Kuala Lumpur: Victory Agencie, t.t.

Imam Ali Khameinei, Ayatollah Al-Uzma, Fatwa-Fatwa: Soal-Jawab Seputar Fikih Praktis

Ahlubait, Iran: Dar Al-Huda, 2003.

Jakfar, Tarmizi M, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iyyah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, Yokyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2011.

Kamal bin as-Sayid Salim, Abu Malik, Shahih Fiqh Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004.

Mahali, A. Mujab, Asbabun Nuzul, Studi Pendalaman Al-Quran, Jakarta: Rajawali, 1989.

Majelis Tertinggi Urusan-Urusan Keislaman Mesir, Muntakhobu Minassunnah, (terj.

Mahyuddin Syaf), Bandung: Angkasa, t.t.

Page 112: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

207

Muhammad, Abu Abdullah, bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran

jilid 6, Beirut: Dar al-Fikri, 2008.

MUI, LP POM, Babi dan Turunannya, LP POM MUI, Jakarta: t.t.

Musa, Kamil, Ensiklopedi Halal Haram dalam Makanan dan Minuman, Surakarta: Ziyad

Visi Media, 2006.

Muslim, Imam, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikri, 2004.

----------, Juz I, Kairo: Dar Al-Hadits, t.t.

Quraish Shihab, Muhammad, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan

Umat, Cet. 8, Bandung: Mizan, 1998.

Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur‟an, Beirut: Dar Asy-Syuruq, 1992.

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (terj. Nor Hasanuddin), Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Saifuddin Anshari, Endang, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan

Umatnya, Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983.

Soeharsono, Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia, Yokyakarta: Kanisius,

2002.

Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, NAD: Nadiya Foundation, Cet I, Mei

2004.

Thalbah, Hisyam …(et al.), Ensiklopedia Mukjizat Al-Quran dan Hadith, Jakarta: Sapta

Sentosa, 2008.

Turmudzi, Imam, Sunan Turmudzi, Jilid 4, Beirut: Dar al-Fikr, 2005.

Umar Chand, Muhammad, Halal Haram, The Prohibited and The Permitted Foods and

Drinks, Kuala Lumpur: A.S Noordeen, 2001.

Wensinck, A. J,[et. Al], Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fadh al-Hadits an-Nabawi, Juz 5,

Leiden: E.J. Brill, 1965.

Yahya, Mukhtar, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: Al-Ma‟arif, 1986, h.486.

Yaqub, Ali Mustafa, Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-

Quran Dan Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

Page 113: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

208

PRAKTEK MUDHARABAH DALAM USAHA PRODUKSI BATU BATA

(Studi Kasus di Desa Ujung Fatihah Kecamatan

Kuala Kabupaten Nagan Raya)

Rosmaidar

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh

Abstract

Today, the practice of mudaraba is not only practiced in banking, but in the midst of the

community are also there, one of which is in the business of production of bricks in the

village of Ujung Fatihah Kuala sub-district of Nagan Raya district. By that, the authors are

interested in examining the practice of this partnership because there are elements of

mudaraba. The purpose of this study is to see the correspondence between the results of

cooperation in this business run by Muharabah system in Islam and the benefits felt by the

public by practicing Mudaraba system. This research method is to use analysis of the

description. The data collection techniques performed in two ways: first, Research Library

(Library Research), by studying books, books, and various other sources with respect to this

research. Second, Field Research (Field Research), with observation and interview

techniques. The population in this study were all members of the community who run

businesses Fatihah ends production of bricks, and from the authors took a sample population

of 20 people, of whom 15 business managers and five other people are the owners of capital.

The results showed that, cooperation is almost entirely executed in accordance with the

concept of Mudharabah in Islam, except in the case of profit sharing. With the existence of

such practices can improve the local economy and businesses can develop faster than

working alone or who do not cooperate Mudharabah.

Page 114: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

209

A. Pendahuluan

Mudharabah adalah akad yang telah dikenal umat muslim sejak zaman nabi, bahkan

telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad

berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah.218

Dalam

praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang

dagangannya untuk dijual oleh Nabi Muhammad ke luar negeri. Dalam kasus itu, Khadijah

berperan sebagai pemilik modal (shahibul maal), Sedangkan Nabi Muhammad berperan

sebagai pelaksana usaha (mudharib).219

Bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal

dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak ke dua, yakni si pelaksana

usaha dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah atau singkatnya

akad mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja

dari pihak lain.220

Sebagai suatu bentuk kontrak kerja, mudharabah merupakan akad bagi hasil ketika

pemilik dana/modal (pemodal), biasanya disebut sahibul mal, menyediakan modal (100%)

kepada pengusaha sebagai pengelola, biasanya disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas

produktivitas dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi menurut

kesepakatan sebelumnya.221

Dewasa ini, praktek mudharabah sangat populer diperhatikan Islam, bahkan

mudharabah banyak dipraktekkan di berbagai lembaga keuangan, salah satu contohnya

adalah di lembaga perbankan. Dengan adanya praktek tersebut pihak bank bisa membantu

masyarakat dalam mengembangkan usahanya. Tentunya pihak bank sendiri juga

mendapatkan keuntungan dari pihak tersebut. Akan tetapi di masyarakat sendiri yang tanpa

lembaga apapun juga sering mempraktekkan mudharabah dalam berbagai usahanya.

Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat yang memproduksi batu bata di Desa

Ujung Fatihah Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya. Pada awal-awal pendirian usaha

produksi bau bata ini tidak begitu dikenal di masyarakat dan belum banyak permintaan batu

bata dalam pembangunan gedung-gedung, kantor-kantor, rumah-rumah dan sebagainya.

218

Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh Data Keuangan, Edisi Ketiga, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2006), h. 204. 219

Adiwarman Karim, Bank Islam …, h. 205. 220

Adiwarman Karim, Bank Islam …, h. 205. 221

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari‟ah, Edisi Ke Tiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2007), h. 60

Page 115: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

210

Tetapi seiring dengan perkembangan waktu batu bata mulai laris di pasaran karena dengan

adanya permintaan batu bata untuk pembangunan gedung-gedung, kantor-kantor, rumah-

rumah dan lain sebagainya. Apalagi setelah terjadinya tsunami yang melanda Aceh pada

tahun 2004, sangat banyak prasarana yang hancur dan prasarana tersebut harus dibangun

kembali. Dengan adanya pembangunan tersebut tentunya membutuhkan banyak batu bata

sebagai salah satu bahan pokoknya dan hal ini menyebabkan banyak permintaan batu bata.

Karena kehadiran batu bata di Desa Ujung Fatihah menjadi sebuah harapan, maka mereka

membeli batu bata ke Desa Ujung Fatihah.

Dengan begitu banyaknya permintaan batu bata secara otomatis harganyapun

semakin melambung tinggi sehingga banyak keuntungan yang didapatkan oleh para

pengusaha produksi batu bata ini. Melihat begitu banyak keuntungan yang didapatkan oleh

pengusaha produksi batu bata sehingga banyak pengusaha-pengusaha lain yang tertarik untuk

terjun dalam usaha ini.

Tentu saja, pengusaha-pengusaha ini tidak mampu menjalankan sendiri usaha tersebut

jika tanpa adanya yang memproduksi batu bata. Di sisi lain, masyarakat yang sudah mulai

mengenal usaha produksi batu bata ini dan mereka datang berbondong-bondong dari berbagai

daerah untuk mencari pekerjaan di usaha produksi batu bata sekalipun mereka tidak

mempunyai modal sedikitpun. Oleh karena itu, pengusaha batu bata ini memberikan modal

kepada masyarakat yang mau memproduksi batu bata. Mereka melakukan suatu kontrak kerja

sama yakni menggunakan akad bagi hasil .222

Pada awalnya masyarakat yang datang dari berbagi daerah untuk memproduksi batu

bata ini tidak mempunyai modal dan tidak membawa apa-apa dari tempat asalnya. Namun

setelah mereka bekerja di bidang usaha produksi batu bata di Desa Ujung Fatifah ternyata

mendapatkan keuntungan bahkan mereka bisa mendirikan usahanya sendiri tanpa harus

bekerja lagi pada orang lain.223

Dari kerja sama yang dijalankan dalam usaha tersebut terdapat elemen-elemen

mudharabah. Lalu apakah benar dalam usaha tersebut mereka menggunakan akad

mudharabah? Jika memang benar, apakah akad mudharabah yang mereka jalankan sesuai

dengan Syariat Islam atau tidak? Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengkaji perusahaan

batu bata di Desa Ujung Fatihah dan mengambil judul praktek mudharabah dalam usaha

produksi batu bata.

222

Hasil wawancara dengan Bapak Sulaiman (pengusaha batu bata), Selasa 20 September 2011. 223

Hasil wawancara dengan Ibu Mardiani (pengusaha batu bata), Selasa 20 September 2011.

Page 116: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

211

B. Konsep Pembiayaan Mudarabah

1. Pengertian Mudharabah dan Dasar Hukumnya

Sejak zaman Nabi Muhammad, kaum muslimin sudah mengenal akad kerjasama

mudharabah224

, bahkan sebelum turunnya Islam bangsa Arab telah mempraktekkannya. Kala

itu profesi Nabi adalah sebagai pedagang225

. Ia melakukan akad dengan Khadijah. Dalam

praktik antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah Radhiallahu „Anha berperan sebagai

pemilik modal (rabbul mal), yang mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh

nabi ke luar negeri. Sedangkan nabi berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib) yang

menjual barang dagangan Khadijah226

.

Tidak hanya ketika belum datangnya Islam mudharabah dipraktekkan, akan tetapi

setelah datangnya Islam pun mudharabah juga dipraktekkan. Seperti halnya Umar bin Khatab

mengelola harta anak yatim dengan cara mudharabah, dimana Umar Radhiallahu „Anhu

menyerahkan harta anak yatim kepada orang yang akan mengelolanya agar harta itu dikelola

secara mudharabah227

.

Mudharabah mengandung arti secara bahasa yaitu qiradh diambil dari kata al-qardhu

yang berarti al-qath‟u (potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk

diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan

memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradhah

yang berarti musawwah (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang

sama terhadap laba228

.

Mudharabah juga diambil dari kata adh-dharbu fil ardhi yang artinya safar (berjalan

di atas bumi) untuk melakukan perdagangan229

. Kata adh-Dharbu fil Ardhi terdapat pada

firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Mudzammil ayat 20, yaitu :

.......... وأخشون يعشبون فى األسض يبتغون من فعل هللا ............

224

Mudarabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah

istilah yang digunakan di Irak, sedangkan qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. 225

Kala itu nabi berusia kira-kira 20-25 tahun, dan belum menjadi nabi. 226

Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi Ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2008), h. 204. 227

Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, Fiqh Ekonomi Umar bin Khatab, (Jakarta: Khalifah, 2006), h. 96. 228

Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah, Cetakan 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 223. 229

Abdul Azhim bin badawi Al-khalafi, Al-wajiiz Fii Fiqhis Sunnah Wal Kitabil „Aziz: Kitab Al-

Buyuu‟-Khatimah, Edisi Terjemahan, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006) h. 42.

Page 117: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

212

Artinya : “……dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia

Allah……..”. (QS. Al-Muzammil : 20)

Sedangkan pengertian mudharabah secara istilah adalah230

:

“Pemilik modal menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal

tersebut, dan laba dibagi di antara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati”.

Dari pengertian sederhana tersebut dapat dipahami bahwa kerjasama ini adalah antara

modal di satu pihak dan tenaga di pihak lain. Pekerja dalam hal ini bukan orang upahan tetapi

adalah mitra kerja karena yang ini bukan jumlah tertentu dan pasti sebagimana yang berlaku

dalam upah-mengupah, tetapi bagi hasil dari apa yang diperoleh dalam usaha231

.

Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal sebagai

pihak pertama, dan mudharib sebagi pihak kedua. Kemudian, shahibul maal yang

menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan yang menjadi pengelola usaha adalah

mudharib. Apabila mendapatkan keuntungan dalam usaha mudharabah, maka keuntungan

usaha tersebut akan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan

apabila mendapatkan kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik modal

selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu disebabkan

oleh kecurangan atau kalalaian pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas

kerugian tersebut232

. Mudharabah merupakan salah satu prinsip investasi yang mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut233

:

a. Dianggotai pemilik modal (sahibul maal) sebagai partner pertama dan pelaksana

usaha (mudharib). Keaktifan shahibul maal bersifat pasif dalam operasional usaha

ketika mudharib cukup berperan aktif.

b. Rabbul maal yang menanggung seluruh biaya yang dibutuhkan dalam operasional

usaha, mulai dari biaya pengadaan objek, biaya operasional, biaya buruh, biaya

sewa, termasuk biaya tak terduga. Di sisi lain mudharib selain harus aktif, mereka

juga dituntut untuk amanah dan jujur.

c. dalam bentuk rasio bagi hasil, baik laba maupun rugi akan dibagi sesuai dengan

kesepakatan yang telah disepakati bersama tanpa paksaan (dengan keridhaan).

d. Apabila dalam usaha tersebut mendapat keuntungan, maka seluruh biaya

operasional akan dipotong terlebih dahulu, kemudian laba bersih akan dibagi

menurut kesepakatan rasio bagi hasil.

e. Apabila usaha tersebut tidak mendapatkan keuntungan, tetapi mengalami kerugian

dan kerugian itu bersifat wajar (bukan karena tipuan), maka oleh shahibul maal

yang menanggung kerugian dalam bentuk dana, sedangkan mudharib tidak

230

Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah...., h. 224 231

Amir Syarifuddin, Gari-Garis Besar Fiqh, Edisi Pertama, (Bogor: Kencana, 2003), h. 245. 232

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah : dari Teori ke Praktik, Cetakan 1 (Jakarta: Gema

Insani Press, 2001), h. 99. 233

Israk Ahmadsyah, Pengantar Ekonomi Islam, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 42.

Page 118: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

213

menanggung kerugian dalam bentuk dana, melainkan hanya ikut menangggung

kerugian dalam bentuk keletihan karena energi. Namun jika mudharib lalai dalam

mengelola usaha, kemudian usaha tersebut mendapatkan kerugian, maka mudharib

yang harus menanggung seluruh kerugian tersebut.

Islam membolehkan akad mudharabah, karena bertujuan untuk saling membantu

antara pemilik modal dengan seorang pekerja dalam memutarkan uang agar uang tersebut

tidak tersimpan begitu saja dan tanpa hasil apa-apa. Banyak di antara pemilik modal

mempunyai uang yang banyak, namun ia tidak pakar dalam mengelola dan

memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di berbagai bidang, baik

dibidang perdagangan atau hal lain yang tidak mempunyai modal untuk berdagang atau yang

lainnya234

.

Ulama fiqh sepakat bahwa Islam membolehkan akad mudharabah.235

Ulama fiqh

mengemukakan alasan tentang kebolehan berbentuk kerja sama ini adalah berdasarkan dalil

yang terdapat pada al-Quran, as-Sunnah, Ijma‟, dan juga dalil dari Qiyas, yakni sebagai

berikut : Dalil Al-Qur‟an tentang mudharabah

Ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkenaan dengan mudharabah, antara lain :

.......... وأخشون يعشبون فى األسض يبتغون من فعل هللا .............

Artinya : “……Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia

Allah……..”. (QS. Al-Muzammil : 20)

Secara eksplisit dalam al-Qur‟an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum

mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah

diambil sebanyak lima puluh delapan kali, namun ayat-ayat Qur‟an tersebut memiliki kaitan

dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan”

atau “perjalanan untuk tujuan dagang”. Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena

bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang

(mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa

kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus . Dasar hukum yang

biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman

Allah dalam Surah al-Muzzammil ini.

Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari

Tuhanmu. Maka apabila kamu Telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada

Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah

234

Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2007), h. 176. 235

Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah...., h. 224.

Page 119: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

214

sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum

itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. Al-Baqarah : 198)

Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang

secara bekerja sama mencari rezeki yang dibolehkan Allah di atas bumi236

. Di ayat lain juga

terdapat hal yang sama, yaitu dalam al-Quran surat Al-Jum‟ah : 10, yakni :

Artinya : “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan

carilah karunia Allah…………”.(QS. Al-Jumu‟ah : 10)

Di dalam Quran surat al-Jum‟ah ayat 10 ini diterangkan bahwa ketika telah

mengerjakan suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah maka manusia diperintahkan

untuk mencari karunia Allah dimuka bumi ini. Artinya tidak ada dosa bagi manusia dalam

mencari karunia Allah dengan melakukan usaha selama tidak bertentangan dengan syariah.

Misalnya, tidak bekerja sama dalam menjual barang-barang haram ataupun terdapat riba dan

benda-benda najis karena hal itu akan membuat pekerjaan ataupun kerja sama yang

dijjalankan akan menjadi haram pula, seperti yang terdapat pada firman Allah dalam Al-

Quran surat Al-Maidah : 90.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,

(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat

keberuntungan.

Adapun dalil dari as-sunnah tentang kebolehan mudharabah adalah bahwa Abu

Hurairah ra mengatakan bahwa Nabi Saw pernah bersabda237

:

« أن هللا يقـول أنا ثالـث الششيكـين مالم يخن أحذهـما صاحبـه فإرا خانه خش جت من بينهما

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman : Aku adalah pihak ketiga (yang akan

melindungi) Dua orang yang melakukan perseroan selama salah seorang diantara

mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila salah seorang diantara mereka

telah mengkhianati temannya maka Aku keluar dari keduanya”. (HR. Abu Daud)

Di dalam hadits di atas, dapat dipahami bahwasanya Allah SWT senantiasa

melindungi orang-orang yang bekerjasama dalam melakukan mudharabah selama di antara

mereka tidak ada yang mengkhianati salah satunya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah ridha

236

Narsun Haroen, Fiqih Muamalah....., h. 176 237

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Cetakan 1, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 78.

Page 120: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

215

terhadap aktifitas mudharabah, jika Allah SWT ridha terhadap mudharabah, ini berarti

mudharabah dibolehkan oleh Allah SWT.

Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda238

:

رواه ﴿ للبيع.وخلػ البش بالشعيش للبيت وال ثالث فيهـن البشكة : البيع إلى أجل والمفا وظة

﴾ابن ماجه

“Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah dari Allah, yaitu menjual dengan kredit,

mudharabah, hasil keringatnya sendiri”. (HR. Ibnu Majah)

Namun di dalam hadits ini, Rasulullah Saw tidak hanya sekedar mengatakan

mudharabah diridhai oleh Allah SWT. Namun lebih dari itu, bahwa usaha mudharabah ini

ternyata mendapatkan berkah dari Allah SWT. Jika dilihat dari segi aktifitas usaha

mudharabah, maka wajar usaha ini mendapatkan berkah dari Allah SWT. Pasalnya, dengan

adanya usaha ini manusia senantiasa bisa saling menolong, yakni si pemilik modal bisa

membantu orang-orang yang tidak mempunyai modal untuk melaksanakan suatu usaha.

Begitu juga sebaliknya, pemilik modal juga ikut terbantu dengan hal itu karena bisa

mendapatkan keuntungan dari modal yang diberikan kepada orang lain (pengelola usaha).

Ath-Thabari dalam Al-Khabir, juga menuturkan Riwayat dari Ibnu Abbas yang

mengatakan239

:

اشتشغ على صاحبه أن ال يغلك به بحشا العباط بن عبذالمؽلب إرا دفع ماال معاسبة كان »

وال ينضل به واديا وال يغتشي به رات كبذ سغبه فإن فعل فهو ظامن فشفع ششغه إلى سعول

« هللا صلى هللا عليه و علم فأجاصه

“Abbas bin Abdul Muthallib ra., jika menyerahkan harta untuk mengadakan perseroan

dengan sistem mudharabah, biasanya mengajukan syarat agar pengelolanya tidak membawa

harta tersebut melewati laut, tidak menyelusuri lembah atau tidak dipergunakan untuk

membeli barang yang berupa benda cair. Apabila memmenuhi syarat tersebut, maka

transaksi tersebut akan diadakan. Berita itu sampai pada Rasulullah dan Rasul pun

membolehkannya”. (HR. Ath-Thabrani)

238

Narsun Haroen, Fiqh Muamalah......., h. 177 239

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam......, h. 79.

Page 121: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

216

Di dalam hadits ini, terdapat suatu peristiwa di mana Abbas bin Abdul Muthallib ra

menjalankan sistem mudharabah tersebut dengan menggunakan syarat-syarat tertentu yang

diajukan ketika menyerahkan modalnya kepada pengelola dan ketika berita itu sampai kepada

Rasulullah SAW., maka Rasul pun membolehkan seperti yang telah dijalankan oleh Abbas

bin Abdul Muthallib ra. tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan akad

mudharabah boleh menggunakan syarat-syarat tertentu selama tidak bertentangan dengan

Islam dan keduanya ridha dalam hal tersebut.

a. Ijma‟

Adapun dalil dari ijma‟ yang membolehkan transaksi mudharabah adalah para

sahabat ra. telah menyepakati kebolehan perseroan mudharabah tersebut hukumnya mubah.

Ibnu Syibah pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya :

“bahwa Umar bin Khathab pernah memberikan harta anak yatim untuk dikelola dengan cara

mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia mendapatkannya

(bagian). Kemudian bagian tersebut dibagikan oleh Fadhal. Begitu juga dengan Utsman bin

Affan juga pernah memberikan harta kepada seseorang dengan sistem mudharabah.

Semuanya tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat yang lain, sementara tidak ada seorang

pun dari mereka yang mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma‟ mereka

tentang kebolehan perseroan mudharabah ini.240

Ini artinya, ketika Umar ra. membolehkan harta anak yatim dikelola secara

mudharabah dan ketika para sahabat ra. yang lain menyaksikan perbuatan Umar ra. tidak ada

di antara mereka yang mengingkari atau menolaknya. Tentunya, hal ini menunjukkan bahwa

mudharabah merupakan suatu usaha yang telah disepakati oleh para sahabat ra. (ijma‟

sahabat). Jika ijma‟ sahabat menunjukkan bahwa mudharabah hukumnya mubah, maka

tentunya mudharabah boleh dijalankan.

Mudharabah diqiyaskan kepada Al-Musyaqah241

. Selain di antara manusia ada yang

miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat

mengusahakan hartanya di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak

memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antaralian untuk

240

Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Bairut: Darul

Ummah, 1990), h. 162. 241

Musyaqah adalah seorang yang menyerahkan pepohonan (kebun)-nya kepada orang lain agar

menyiraminya serta melakukan kerja apapun yang dibutuhkan untuk merawatnya dengan mendapatkan

kompensasi berupa bagi hasil dari hasil panen. (lihat. Sayyid sabiq, fiqih sunnah, hal 310)

Page 122: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

217

memenuhi kebutuhan ke dua golonagan d iatas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam

rangka memenuhi kebutuhan mereka242

.

2. Syarat-Syarat dan Rukun Mudharabah

Syarat adalah sifat yang menyempurnakan apa yang dipersyaratkan dalam perkara

yang dituntut oleh yang dipersyaratkan itu, atau yang dituntun oleh hukum dalam hal yang

dipersyaratkan itu243

.

Adapun syarat-ayarat yang terkait dengan mudharabah adalah:

a. Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap

bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil244

, karena pada satu posisi

orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah

sebabnya, syarat-syarat bagi seorang wakil juga berlaku bagi pemilik modal

dalam akad mudharabah245

. Ada juga syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh

shahibul maal dan mudharib, yakni :Shahibul Maal Aqil Baligh Tidak ikut

campur pengelolaan usaha. Mudharib Aqil Balighdfan Menggunakan dana sesuai

perjanjian dengan shahibul maal.

b. Kemudian terkait dengan modal, modal haruslah (a) modal berbentuk uang, (b)

jumlah modal diketahui, (c) tunai dan (d) diserahkan sepenuhmya kepada

pengelola modal246

.

c. Adapun terkait dengan pembagian keuntungan haruslah pembagian keuntungan

antara mudharib dengan pemilik midal diketahui berdasarkan porsi, misalnya

setengah, sepertiga dan seperempat247

. Laba dibagi sesuai dengan nisbah yang

disepakati dan tidak dalam jumlah yang pasti. Nisbah bagi hasil disetujui dengan

kontrak. Perbandingan bagi hasil dapat dalam persen atau pembagian. Kerugian

finansial menjadi beban pemilik dana. Kerugian akibat salah urus atau kelalaian

mudharib menjadi beban mudharib.

d. Bila terkait dengan akad, maka mudharabah diadakan tanpa ikatan. Pemilik

modal tidak boleh membatasi mudharib untuk berniaga di negeri tertentu,

memperjual belikan barang tertentu, pada waktu tertentu, dengan orang tertentu

atau sejenisnya karena pembatasan ini acap kali menghilangkan kesempatan

untuk memperoleh apa yang dituju oleh akad, yaitu keuntungan. Oleh karena itu,

pembatasan itu tidak boleh disyaratkan, apabila tidak maka akad tidak sah. Ini

adalah pendapat Imam Syafi‟i. Sementara, Abu Hanifah dan ahmad tidak

mensyaratkan hal ini. Menurut keduanya, sebgaimana mudharabah boleh

diadakan dengan ikatan248

.

e. Adapun terkait dengan jenis usaha, Islam tidak pernah membatasi usaha

mudharabah terpaku pada jenis usaha tertentu saja. Selama usaha itu tidak

242

Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah...., h. 226. 243

Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islam, Cetakan 1, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 30. 244

Disyaratkan bagi wakil adalah orang yang berakal, bukan orang gila, bukan orang idiot, atau anak

kecil karena hal itu tidak sah menjadi wakil. 245

Narsun Haroen, Fiqih Muamalah......, h. 178. 246

Narsun Haroen, Fiqih Muamalah......, h. 178. 247

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, Cetakan I, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2009), h. 169. 248

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4....., h. 170

Page 123: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

218

bertentangan dengan syariah dan tidak dibenarkan masuk kepada mudharabah

lain tanpa seijin shahibul maal, maka usaha itu boleh-boleh saja.

Itulah beberpa syarat di atas yang harus dipenuhi oleh shahibul mall dan mudharib

dalam menjalankan mudharabah. Jika ada syarat-syarat yang diajukan oleh shahibul mall

ataupun yang disepakati oleh mudharib dengan shahibul mall yang menyalahi syari‟at, maka

tidak boleh dipenuhi. Karena syarat yang menyalahi syari‟at akan menyebabkan

keberlangsungan akad tersebut juga haram, karena keterikatannya dengan keharaman. Karena

itu keberlangsungan akad itu harus dihentikan, karena akadnya bathil249

.

3. Rukun Mudharabah

Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama hanafiyah

berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafaz yang menunjukkan

ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaradhah, mu‟amalah atau kata-kata

yang serupa dengannya250

.

Menurut jumhur ulama, rukun mudharabah ada tiga251

, yaitu:

a. Pelaku akad, yaitu pemilik modal dan pengelola (mudharib).

b. Ma‟qud „alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan.

c. Sighat, yaitu ijab dan qabul.

Sedangkan ulama Syafi‟iyah lebih merincikan lagi rukun tersebut yakni menjadikan

rukun mudharabah ada lima252

, yaitu:Modal,Tenaga (pekerjaan),Nisbah keuntungan, Sighat

(ijab dan qabul), dan „Aqadain (pemilik modal dan pengelola).

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad

mudharabah adalah Ijab dan Qabul saja, sedangkan sisa rukun-rukun yang disebutkan

Jumhur Ulama itu, sebagai syarat akad mudharabah.

4. Jenis-Jenis Mudharabah

Jika dilihat dari transaksi atau akad yang dilakukan, mudharabah dapat dibagi

menjadi dua jenis yaitu Mudharabah Muthlaqah, dan Mudharabah Muqayyadah. Yang

dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal

dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi usaha,

249

Syaiqh Ziyad Ghazal, Buku Pintar Bisnis Syar‟i, Cetakan I, (Bogor: Al-Azhar Press, 2011), h. 46. 250

Rachmad Syafi‟i, Fiqh Mu‟amalah.... h. 226. 251

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu‟amalah, Cetakan I, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 371. 252

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 479.

Page 124: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

219

waktu, dan daerah bisnis ata disebut juga Unrestricted Investment Account. Misalnya :

shahibul maal memberikan modalnya kepada mudharib agar modal itu dapat di jadikan

sebagai modal usaha yang akan mendatangkan keuntungan darinya. Kemudian penggunaan

modal tersebut terserah si mudharib, apakah modal untuk usaha A atau B atau lainnya karena

shahibul maal tidak pernah membatasinya.

Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikannya, yaitu yang ditentukan

batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha atau Restricted Investment Account . Misalnya,

ketika shahibul maal memberikan modal kepada mudharib, shahibul maal membatasi jenis

usaha yang harus dijalankan oleh mudharib. Seperti dengan modal ini, tidak boleh

dipergunakan untuk usaha butik atau harus dipergunakan untuk usaha rental dan lain

sebagainya.

5. Pendapat Para Ulama Tentang Mudharabah

Menurut pandangan ulama ahli fiqih (fuqaha) Mudharabah adalah akad antara kedua

belah pihak untuk salah seorangnya mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk

diperdagangkan dan laba dibagi sesuai dengan kesepakatan.253

Ulama madzhab Syafi‟i mendefenisikan Mudharabah adalah sebagai berikut254

:

“Mudharabah adalah akad ( transaksi ) antara dua orang atau lebih, diantara yang satu

menyerahkan harta atau modal kepada pihak kedua untuk dijalankan usaha, dan masing-

masing mendapatkan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu”.

Sedangkan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad

perwalian, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk

diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak)255

.

Menurut M. Syafi‟i Antonio, mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak di

mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain

(mudharib) menjadi pengelola, di mana keuntungan usaha dibagi dalam bentuk prosentase

(nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama

kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, apabila kerugian itu diakibatkan oleh

kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut256

253

Al-Jarzani, Fiqih Madzahibu Al-Arba‟ah, Juz 3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 34. 254

Al-Jarzani, Fiqih Madzahibu Al-Arba‟ah....., h. 44 255

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 136. 256

M. Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 99.

Page 125: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

220

Menurut Sayid Sabiq, Mudharabah berasal dari kata al-dharb fil ardhi‟ yakni usaha

dalam perniagaan.257

Menurutnya mudharabah dibolehkan dalam Islam, sebagaimana yang

pernah dilakukan oleh Rasul SAW. Yakni Rasul melakukan akad mudharabah dengan

Khadijah, saat itu Khadijah berperan sebagai pemilik modal sedangkan Rasul sebagai

mudharib.258

Meskipun mudharabah dibolehkan, namun mudharabah harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut259

:

a. Bahwa modal itu harus berbentuk uang tunai, jika berbentuk barang, perhiasan, emas

perak atau sebagainya maka hukumnya tidak sah, hal ini sebagaimana yang dikatakan

oleh Ibnu Mundir, seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang

lain untuk suatu Mudharabah. Namun jika modal itu berupa barang yang akan

diperdagangkan harus dihitung dalam nilai uang.

b. Bahwa ia diketahui dengan jelas maksudnya agar dapat dibedakan modal yang

diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak dengan

kesepakatan pada waktu akad.

c. Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha investor harus jelas nisbahnya

(prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan penduduk khaibar

dengan mengambil separo dari keuntungannya. Ibnu Mundir berkata, semua yang

ilmunya kami pelihara sepakat untuk membatalkan mudharabah. Apabila salah satu

pihak atau keduanya, menjadikan beberapa dirham tertentu untuk dirinya”. Motif dari

perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang ber-

mudharabah. Jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan presentase, karena bisa

jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.

d. Menurut Maliki dan Syafi‟i, Mudharabah itu bersifat mutlak, artinya pemilik modal

atau investor tidak membatasi apa dan dimana, kapan dan dengan siapa harus

bermuamalah, namun Hambali dan Hanafi membolehkan Mudharabah baik dengan

mutlaq maupun muqoyyad baik dengan persyaratan tertentu maupun bebas. Dalam

Mudharabah muqoyyad, pengusaha tidak boleh menyimpang dari persyaratan yang

telah ditetapkan. Jika pengusaha tetap menyimpang, maka ia harus menjamin dan

menggantinya.

C. Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam Usaha Produksi Batu Bata

Ketika penulis melakukan observasi dan juga mewawancarai masyarakat yang

memproduksi batu bata ini, baik pengelola maupun pemilik modal, maka kendala-kendala

yang dihadapi dalam produksi batu bata adalah sebagai berikut :

1. Curah hujan yang tinggi

Ketika curah hujan yang tinggi yang menyebabkan banjir, maka hal ini

mengakibatkan terjadinya beberapa kendala dalam proses produksi batu bata. Diantaranya:

257

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, cetakan 1, (Jakarta Selaatan: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 216. 258

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.........,h. 216. 259

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.........,h. 216.

Page 126: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

221

a. Mendapatkan kendala dalam hal proses pengambilan tanah. Tanah tidak dapat

diambil ketika terjadinya banjir karena tanah tergenang air sehingga proses

pengambilannya terhambat dan bila tanah tidak bisa diambil tentunya akan

berdampak pada proses produksi selanjutnya260

.

b. Kendala selanjutnya adalah dalam proses penggilingan tanah. Proses selanjutnya

setelah pengambilan tanah adalah menggiling tanah tersebut agar licin yang

kemudian akan dicetak menjadi batau bata. Namun, ketika terjadinya banjir maka

akan berdampak pula pada proses p;enggilingan tanah. Tanah tidak bisa di giling

apabila kelebihan air karena hal itu dapat menyebabkan hasil dari penggilingan

tanah tersebut menjadi cair dan tidak dapat di cetak menjadi batu bata.261

c. Dalam proses produksi juga membutuhkan pasir yang kering untuk membalut

tanah agar tidak lengket pada cetakannya. Apabila terjadinya curah hujan, maka

pasir akan basah dan pasir yang basah tidak bisa digunakan untuk mencetak bata.

Tentunya hal ini juga menjadi kendala dalam proses produksi batu bata.262

d. Kendala yang lain adalah dalam proses pengeringan batu bata yang sudah di cetak

agar dapat di bakar. Apabila curah hujan yang tinggi otomatis akan

mengakibatkan pergantian cuaca dan ketika cuaca dingin, maka batu bata sangat

lama keringnya. Apabila batu bata belum kering, hal ini tidak akan bisa di

bakar.263

e. Kemudian, curah hujan yang tinggi juga akan berdampak pada proses akhir dalam

produksi batu bata, yakni proses pembakaran batu bata. proses pembakaran batu

bata tidak bisa dilakukan apabila terjadinya curah hujan karena akan

mengakibatkan kayu untuk membakar batu bata itu menjadi basah. Apabila hal itu

terjadi, tentunya akan mengakibatkan kefatalan dalam produksi batu bata karena

akan mengakibatkan kerugian, baik bagi pemilik modal maupun pengelola

usaha.264

f. Selanjutnya, apabila terjadinya curah hujan yang tinggi juga akan mengakibatkan

jalanan akan becek dan apabila jalan becek tentunya mobil tidak bisa mengangkut

hasil panen. Ketika hasil panen tidak bisa diangkut maka akan memperlambat

dalam proses penjualan batu bata dan juga akan mengakibatkan kendala ketika

produksi selanjutnya.265

2. Modal

Apabila dalam hal modal, kendala-kendala yang akan di hadapi adalah ketika pemilik

modal terlambat dalam memberikan modal kepada pengelola. Hal ini juga tidak lepas dari

kendala yang telah penulis sebutkan di atas, yakni dikarenakan curah hujan yang tinggi.

260

Hasil wawancara penulis dengan Ibu Saniah (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 29 desember

2011. 261

Hasil wawancara penulis dengan Bapak Angkasah (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 26

Desember 2011. 262

Hasil wawancara penulis dengan Ibu Nurma (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 29 desember

2011. 263

Hasil wawancara penulis dengan Ibu Cut Tri (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 26 desember

2011. 264

Hasil wawancara penulis dengan Ibu Feni (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 26 desember

2011. 265

Hasil wawancara penulis dengan Ibu Nini (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 26 desember

2011.

Page 127: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

222

Misalnya, pemilik modal terlambat memberikan kayu untuk proses pembakaran batu bata

dikarenakan pemilik modal susah dalam mendapatkan kayu yang kering atau tidak ada yang

menjual kayu karena hujan sehingga tidak ada yang bisa mencari kayu ke hutan.266

D. Manfaat Praktik Mudharabah dalam Meningkatkan Taraf Ekonomi Masyarakat

Dengan adanya kerjasama bagi hasil antara pemilik modal dengan pengelola atau di

dalam Islam sering disebut mudharabah yang dipraktekkan dalam usaha produksi batu bata

ini sekalipun belum sepenuhnya sesuai dengan sistem mudharabah di dalam Islam, bahwa

sangat banyak manfaatnya bagi masyarakat, seperti :

“Dengan adanya praktek mudharabah, maka Sahibul Maal atau pemilik modal dapat

membantu dan memberikan peluang pekerjaan kepada masyarakat yang membutuhkan

pekerjaan, sementara mereka tidak ada modal. Dengan praktek mudharabah, masyarakat juga

bisa terbantu dalam hal mendapatkan pekerjaan dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Begitu juga sebaliknya, Shahibul Maal juga lebih mudah dalam hal pengontrolan,

pengendalian dan pengembangan usahanya karena telah ada yang mengelola usahanya jadi

mereka tidak lagi sulit dalam mencari pekerja”.267

Wawancara di atas menunjukkan bahwa mudharabah memberikan dampak yang

positif bagi masyarakat dalam hal mendapatkan pekerjaan dalam usaha produksi batu bata.

Sekalipun mereka tidak mempunyai modal tetapi mereka juga bisa tetap bekerja dan bisa

memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Tidak hanya itu, masyarakat yang memproduksi batu bata juga sangat terbantu dengan

adanya akad mudharabah ini, selain mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga

bisa menabung uang untuk membuat rumah, menyekolahkan anak dan lain sebagainya.268

Di samping itu, praktek mudharabah juga memberikan dampak yang positif bagi

kedua belah pihak karena dengan berjalannya akad tersebut mereka jadi sering bertemu,

sehingga bisa saling memberikan pendapat untuk dapat mengembangkan usahanya dan juga

266

Hasil wawancara penulis dengan Bapak Amir Ali (pengusaha usaha batu bata) pada tanggal 29

Desember 2011 267

Hasil wawancara penulis dengan Bapak Said Fakhrurrazi (pengusaha usaha batu bata) pada tanggal

29 Desember 2011. 268

Hasil wawancara penulis dengan ibu Samani (pengelola usaha batu bata) pada tanggal 29 Desember

2011.

Page 128: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

223

dapat mengokohkan silaturrahmi di antara mereka, juga bisa saling membantu satu sama

lainnya.269

Dengan adanya praktek mudharabah dalam usaha produksi batu bata dapat

memberikan kesejahteraan dan kemakmuran pada masyarakat. Akan kita dapati di tengah

masyarakat, dari tahun ke tahun pembangunan pun semakin meningkat.270

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dengan praktek mudharabah dalam

usaha produksi batu bata, maka masyarakat dapat terbantu dan pemilik modal juga dapat

mengebangkan usahanya. Jadi, kedua belah pihak sangat terbantu dan dapat meningkatkan

taraf ekonomi masyarakat.

E. Kesimpulan

Penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan

oleh penulis di lapangan yang menyangkut tentang praktik Mudharabah dalam usaha

produksi batu bata di Desa Ujung Fatihah Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya, yaitu :

Konsep sistem kerjasama yang dijalankan dalam produksi batu bata di Desa Ujung Fatihah

Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya hampir sempurna dengan konsep Mudharabah

dalam Islam, hanya saja pada pembagian hasilnya tidak dipotong modal karena sipengelola

ikut bekerja langsung dalam ussaha tersebut. Kegiatan yang dijalankan dalam konsep

Mudharabah ini adalah seorang pemilik modal memberikan modalnya kepada seseorang

untuk dikelola, kemudian hasil yang didapatkan akan dibagi berdasarkan kesepakatan yang

telah disepakati bersama.

Mudharabah yang dijalankan dalam produksi batu bata ini tidak begitu familiar dalam

masyarakat, namun tanpa sadar masyarakat mempraktikkannya sekalipun mereka tidak

mengetahui bahwa itu adalah Mudharabah, karena masyarakat terbiasa menyebutnya sebagai

Mawah (kerjasama bagi hasil) dalam batu bata. Sistem Mudharabah yang dipraktikkan dalam

usaha produksi batu bata dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan dapat

mengembangkan usaha batu bata semakin cepat. Hal ini dapat dilihat dari segi minat dan

pendapatan serta tanggapan masyarakat yang telah membuktikan sistem tersebut.

269

Hasil wawancara penulis dengan bapak Ramli Sarong (kechiek desa Ujung Fatihah) pada tanggal 10

Desember 2011. 270

Hasil wawancara penulis dengan bapak Marzuki (sektaris desa Ujung Fatihah) pada tanggal 11

Desember 2011.

Page 129: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

224

DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh Data Keuangan, Edisi ke Tiga, Jakarta :

Raja Grafindo Persada, 2006.

Agus Ahyari, Menejemen Produksi, Perencanaan Sistem Produksi, Edisi 4, BPFE,

Yogyakarta, 1996.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu‟amalah Cetakan I, Jakarta : Amzah, 2010.

Al-Jarzani, Fiqih Madzahibu Al-Arba‟ah, Beirut : Dar al-Fikr, 1980.

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Edisi Pertama, Bogor : Kencana, 2003.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari‟ah, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ke Tiga,

Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Eko Budiarto, Biosatatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta : EGC,

2001.

Israk Ahmadsyah, Pengantar Ekonomi Islam, Banda Aceh : Ar-Raniry Press, 2004.

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005.

M. Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press.

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah : dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Jakarta :

Gema Insani Press, 2001.

Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007.

Rusdin Pohan, Metodelogi Penelitian Pendidikan, Yogyakarta : Lanarka, 2007.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, Jakarta Pusat : Pena Pundi Aksara.

Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES, 1989.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta,

2006.

Syaiqh Ziyad Ghazal, Buku Pintar Bisnis Syar‟i Cetakan I, Bogor : Al-Azhar Press, 2011.

Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Bairut :

Darul Ummah,1990.

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Cetakan 1, Bogor : Al-Azhar Press, 2009.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, Jakarta : Gema Insani, 2011.

Winarmo Surachmad, Pengantar Ilmiah Dasar Teknik, Bandung, Tarsito, 1982.

Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islam, Cetakan 1, Bogor : Al-Azhar Press, 2009.

Page 130: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

225

KONSEP KEADILAN EKONOMI

MENURUT NURCHOLISH MADJID

Maulidar

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) teungku Dirundeng Meulaboh

Abstract

The research concludes that Nurcholish Madjid uses his opinion that the conception of justice

is part of the teachings of Islam (Tawheed). And tyranny is an unforgivable sin because it is

the biggest crime against itself. Behavior of economic justice in the opinion of civilized

society Nurcholish Madjid that will not be realized if the law is not enforced fairly, and

starting from a genuine sincerity personal commitment to justice and his soul reminiscent

trust and acts of kindness. Aspects of Islamic economics has advantages by making man the

focus of attention, as the caliph of God in which man is obliged to prosper and not allowed to

explore the natural resources arbitrarily. The principles of economic justice according to

Nurcholish madjid among others the principle of Tawheed, Tabadul Manafiq, Ta'awun, al-

Birwa at-Taqwa and principles Musawah. The principle of Tawheed is the fundamental

principle of ideology is first and foremost for the management of social and political life.

Nurcholish Madjid concluded that differences in basic beliefs is always a cause of unrest in

the country.

Page 131: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

226

A. Pendahuluan

Di dalam ajaran Islam keberadaan manusia merupakan makhluk Allah SWT yang

diciptakan dalam bentuk yang terbaik dan sempurna sebagai khalifah untuk memberdayakan

potensi alam semesta ini. Dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan serta

keseimbangan alam ini. Salah satu kontribusi umat Islam dalam menegakkan hukum Allah

SWT adalah memberdayakan prinsip-prinsip ekonomi yang terkandung dalam fiqih

mu‟amalah. Berkaitan dengan ini H. Adiwarman Azhar Karim mengemukakan:”Sejalan

dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada

Al-Qur‟an dan hadits Nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakekatnya

merupakan respon para cendikiawan muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada

waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia dengan Islam itu

sendiri.271

Berkenaan dengan memberdayakan prinsip-prinsip ekonomi dalam menegakkan

hukum Allah SWT menjadi suatu kewajiban bagi setiap masyarakat muslim untuk

menjadikan Al-Qur‟an sebagai dalil dan sumber hukum yang universal.

Di dalam Al-Qur‟an surat Al-baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman:

Artinya: Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S Al-Baqarah : 275)

Pengertian ayat diatas jelas bahwa Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan praktek riba pada setiap individu muslim. Kegiatan jual beli merupakan

praktek transaksi dalam lapangan perekonomian dalam Negara Republik Indonesia ini telah

diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33, yaitu:

Pasal 33 mengenai demokrasi ekonomi, yang berbunyi:

a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan

b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh Negara

c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.272

Penerapan ketentuan yang telah digariskan oleg Allah SWT dan UUD 1945 pada

prinsipnya untuk mengatur agar system perekonomian termasuk perbankan tidak terjebak

pada praktek ribawi dan diskriminatif. Karena praktek ribawi itu suatu bentuk pelanggaran

271

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet. III (Jakarta: Raja Grapindo

Persada, 2006), h. 10. 272

Rachinadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Cet.I (Jakarta : Djambatan. 2000), h. 5

Page 132: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

227

yang jelas terhadap ketentuan Allah SWT. Dalam kaitan ini Fatimah Muhammad

mengemukakan:

Dalam bidang ekonomi, salah satu hal yang sangat penting sekaligus pembeda antara

sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Konversional adalah menyangkut

sistem perbankan, khususnya mengenai suku bunga. Dalam sistem perbankan

konversional suku bunga merupakan variabel penting, tetapi perekonomian Islam

menganggap suku bunga merupakan suatu bentuk riba.273

Salah satu faktor pemberantakan dan timbulnya krisis ekonomi dan moneter di

Indonesia disebabkan praktek ribawi yang diterapkan di Negara ini, sehingga mendatangkan

kemudharatan atau teraniayanya bahkan menyengsarakan pihak lain. akibatnya penataan

sistem perekonomian, terutama dipusat ibu kota Negara mengalami berbagai krisis multi

dimensi.

Sebagai contoh dapat dilihat apa yang terjadi dinegara Republik Indonesia pada tahun

1999, hutang luar negeri berjumlah 451 110 milyar dengan bunga rata-rata pertahun 7 %. Ini

berarti Negara harus membayar bunga saja sekitar 451 7 milyar atau Rp. 57.7 triliyun atau

sekitar ¼ APBN 1999. Dalam hal ini bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terzalimi atau

teraniaya karena sistem riba atau bunga bank.274

Contoh lain yang lebih tragis lagi sebagaimana yang dialami oleh Bank Nasional

sekitar tahun 1998. Biaya rekapitulasi perbankan akibat negative spread karena tingkat suku

bunga sangat tinggi yang mengakibatkan bank-bank kekurangan dana mencapai triliyun

pemerintah harus menyuntik dana dalam jumlah yang sangat besar sekali.275

Kenyataan yang dialami Negara Indonesia dan masyarakat, memberikan suatu

motivasi para pakar dan dan cendekiawan muslim untuk bangkit dan mengkaji tentang

perkembangan dunia perekonomian yang melanda bangsa ini. Dari sejumlah pakar dan

cendekiawan muslim yang terpanggil untuk merubah kondisi ini adalah Nurcholish Madjid.

Salah satu respon cendikiawan muslim dalam pemikiran ekonomi yang digagaskan

oleh Nurcholish Madjid adalah Prinsip keadilan menurut Nurcholish Madjid selama puluhan

tahun mengalami kesulitan disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nipotisme meraja lela. Beliau

menulis:Menyikapi harta hasil KKN. Misalnya, bila mengalami kesulitan. Banyak sekali

273

Fatimah Muhammad, Jurnal Semesteraan Media Syariah, Vol IV, Nomor 7, (Banda Aceh : Fak

Syariah, 2002) h. 12 274

Fatimah, Jurnal…. h 13 275

Fatimah. Jurnal… h 13

Page 133: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

228

harta yang dihasilkan dari KKN, namun tertutup oleh lapisan legal devise yang sulit sekali

ditembus maka yang paling utama diperlukan adalah kesadaran keadilan pada pribadi

masing-masing kemudian yang bersifat personal.276

Aspek kesadaran keadilan personal yang setara pada kutipan merupakan perwujudan

dari perintah Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 8:

Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada

Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-

Maidah: 8)

Pada ayat lain dalam surat An-Nahlu ayat 90:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat ihsan (Q.S. An-

Nahl: 90).

Proses mewujudkan suatu keadilan dalam kehidupan umat Islam sangat ditentukan

oleh prilaku setiap individu dalam lapangan ekonomi yang dianut oleh masyarakat dalam

suatu Negara sangat ditentukan oleh ideologi dan budaya masyarakatnya. Fenomena ini tidak

dapat dipungkiri bahwa sistem ekonomi kapitalis masih berkuasa dalam kehidupan

masyarakat dan terus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini menurut Arief

Budima bahwa: “sistem kapitalis dan sosiolis dari perekonomian telah menyebabkan

kekacauan dalam berfikir maupun kegagalan bagi dunia ketiga.277

Praktek dari sitem ekonomi kapitalis dan sosialis yang telah berabad-abad dianut

dunia Islam telah membangkit kesadaran, dan mencari solusi dari berbagai krisis moneter

dalam skala global. Dampak krisis tersebut telah menambah kewilayah Negara dan penduduk

muslim yang menanggung akibatnya.

Berangkat dari realitas tersebut para pemikiran dan pakar muslim melakukan suatu

pembaharuan dengan pemikiran dan konsep-konsep yang digali dari hukum Islam (fiqih).

Salah seorang pakar muslim yang penulis tampilkan dalam karya ilmiah skripsi yakni

Nurcholish Madjid yang telah melakukan pembaharuan di Indonesia. Hal ini ditegaskan

Nurcholish Madjid yang penulis kutip dalam disertasi Syamsuar yaitu: Konsepsi keadilan

merupakan bagian inti dari ajaran Islam, memang agak sulit diragukan sebab menurut

Nurcholish Madjid, cita-cita itu dirasakan sekali denyut nadinya secara kuat dalam surah-

surah atau ayat-ayat Al-Qur‟an yang semuanya termasuk hal-hal yang diturunkan kepada

Rasullah mengenai masyarakat makkah misalnya, kata Nurcholish Madjid ialah

politeismenya dan kedhaliman (ketidakadilan) sistem ekonominya. Politeisme baginya,

276

Asrori S. Karni, Dalam disertasi Syamsuar Basyariah, Konsep Pembangunan Good Governance

Nurcholish Madjid, (Banda Aceh; IAIN Ar-Raniry, 2010), h. 237. 277

Dawan Rahardjo, dkk. Persfektif Sitem Ekonomi Islam, Cet. I, (Jakarta: Pusaka Pelajar, 2006), h. 12.

Page 134: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

229

merupakan “dosa yang tidak terampuni”, karena itu merupakan kejahatan terbesar manusia

kepada dirinya sendiri.278

Berpijak pada landasan pemikiran Nurcholish Madjid tersebut, penulis merasa tertarik

untuk terus mendalami sehingga melahirkan suatu khazanah dan cakrawala yang terutama

perilaku berkeadilan dalam aspek perekonomian umat Islam di Indonesia lebih lanjut

Nurcholish madjid mengemukakan:Masyarakat berperadaban tidak akan terwujud jika hukum

tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat

berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengingatkan jiwanya

kepada wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan

beriman, percaya dan mempercayai dan menaruh kepercayaan tuhan dalam suatu keimanan

etis, artinya beriman bahwa tuhan menghendaki kebaikan dan menuntuti tindakan kebaikan

mausia kepada sesamanya.279

Dengan demikian dapat penulis kemukakan bahwa konsep keadilan ekonomi yang

penulis uraikan dalam skripsi ini berlandaskan fakta realitas lapangan dewasa ini, dan

mengkaji konsep keadilan yang dikali oleh Nurcholish Madjid, terutama kearah mengkeritisi

kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kaum lemah (dhu‟afah) termasuk pola

pengamanan dan pengelolaan kekayaan Negara, lembaga keuangan dan unit-unit usaha

produktif lain. Jadi, penulis mengangkat permasalahan ini dalam bentuk penulisan karya

ilmiah skripsi dengan judul: Konsep Keadilan Ekonomi Menurut Nurcholish Madjid.

B. Ekonomi

Pada dasarnya pembahasan tentang pengertian ekonomi berkaitan erat dengan

aktifitas manusia dan perilakunya dalam lapangan perdagangan, usaha dan produksi serta

prinsip-prinsip yang di anut sesuai dengan hukum dan budaya masyarakat. Menurut M.

Quraish shihab menjelaskan:

Bahwa masalah-masalah pokok ekonomi menurut para pakar mencakup antara

lain:Jenis dan jasa yang di produksi serta sistemnya;Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa

tersebut);Eksistensi penggunaan faktor-faktor produksi;Inflasi, relasi, dan depresi;Dan lain-

lain.280

278

Syamsuar, Disertasi…h. 239. 279

Nurcholish Madjid. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Cet. I, (Jakarta: Para Madina, 1999), h.

172. 280

M.Quraish shihab, Wawasan Al-Quran Cet. XI, (Bandung : Mizan, 2000),h. 402

Page 135: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

230

Dari kutipan diatas, tampanya pengertian ekonomi itu harus dipahami dalam aspek

ilmu ekonomi dan hukum ekonomi yang dianut oleh suatu Negara dan tradisi masyarakat.

Sejak dengan ini ahmad M. Saifuddin menegaskan yaitu : “ekonomi memang merupakan

aktivitas yang boleh dikatakan sama tuanya dengan keberadaan manusia di bumi ini”.281

Pemahaman lebih lanjut tentang penengertian ekonomi ini mencakup tinjauan dari

aspek ilmu ekonomi dan hukum ekonomi. Menurut K.H Didin hafifuddin menjelaskan

bahwa: Ilmu ekonomi adalah suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang per orang

dan kekompak-kekompak masyarakat menentukan pilihan. Manusia memiliki keinginan

tersebut, tersedia sumber daya yang dapat digunakan. Untuk memuaskan bermacam ragam

keinginan tersebut mempunyai berbagai kegunaan alternatif.282

Studi ilmiah mengenai ekonomi ini memang mengalir sesuai dengan peradaban dan

perkembangan hidup manusia. Hal ini sejalan dengan penjelasan Ahmad M. Syaifuddin

bahwa, “ekonomi memang merupakan aktivitas yang boleh dikatakan sama tuanya dengan

keberadaan manusia dibumi ini, akan tetapi ilmu ekonomi baru dikenal manusia ketika tahap

perkembangan tertentu telah tercapai dalam kehidupan manusia”.283

Lebih lanjut jika di telusuri sejarah didapati bahwa ilmu ekonomi sesungguhnya telah

tersebar dan tercecer di mana-mana sesuai dengan penyebaran tentang hidup manusia.

Namun demikian, “tidak semua tempat dapat menjadi tempat yang konduktif bagi tumbuhnya

bayi-bayi ilmu ekonomi atau ilmu ekonomi embriotik yang dimunculkan oleh al-farabi (w.

950 M), Tusi (w. 1274 M) dan ibnu khaldum (w. 1375 M)”.284

Sementara itu penulis mendukung pernyataan diiatas, sebab tempat yang kondusif

bagi perkembangan ilmu ekonomi sangat terkait dengan lingkungan uang yang saat ini

tumbuh menyebar di dunia adalah masyarakat barat pada abad pertengahan. Sebagai suatu

landasan pemikiran tersebut didukung dan telah dinyatakan Ahmad M. Syaifuddin

mengemukakan : Didalam masyarakat barat (Eropa), khususnya Inggris, Prancis, Jerman dan

sekitarnya. Benih-benih pengetahuan ekonomi memperoleh tempat yang subur untuk

berkembang untuk serangkaian proses pemikiran, pengamatan dan penulisan buku-buku

ilmiah dari para pemikir-pemikir dunia adalah serang pemikir besar Adam Smith. Ia adalah

281

Ahmad M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, Cet. I, (Jakarta :

Rajawali,1987) 282

K.H. didin Hafifuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Cet. I, (Jakarta : Gema Insani, 2002), h.

66 283

Ahmad M. Syafuddin, Ekonomi dan… h 12 284

Syeh Nawab Haidar Nagui, Etika dan Ilmu Ekonomi, (Bandung : Mizan, 1985). h. 293

Page 136: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

231

salah seorang yang diajukan dan telah membidani kelahiran ilmu ekonomi tersebut adalah

sangat monumental pada tahun 1776.285

Berdasarkan rintisan perjalanan sejarah tersebut, membawa kenyataan bahwa teori

Adam Smith, yakni : “mekanisme pasar menjadi bahwa analisis bagi terbentuknya suatu ilmu

yang semakin utuh. Pandangan, pikiran, analisis dan teori yang tertuang dalamm buku

tersebut membidani lahirnya sistem ekonomi yang kapitalis liberal itu”.286

Lebih lanjut, apa yang ditulis Smith, sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan

dan sekaligus ramalan tentang kehidupan ekonomi pada zamannya. Namun, meskipun telah

begitu banyak mengalami perubahan dan kenyataannya teori liberal yang melahirkan sistem

ekonomi kapitalis, dan kapitalisme ini telah mulai berjangkit sejak revolusi industri.

Dalam kaitan ini, L. Stoddad membeberkan bahwa: “pangkal sebab penaklukan

ekonomi ini ialah penaklukan dengan berhasilnya perjalanan Columbus De Gama, sehingga

memberikan bangsa Eropa berkuasa strategis dilaut samudra dan sekaligus kekuasaan politik

atas seluruh dunia”.287

1. Teori Keadilan Ekonomi dalam Islam

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa : Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil”

yang terambil dari bahasa Arab “Adl”. Kamus Bahasa Arab menginformasikan bahwa kata

ini pada mulanya berarti “Sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang

bersifat inmaterial. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan : (1) tidak

berat sebelah / tidak memihak. (2) berpihak pada kebedaran. dan (3) sepantasnya / tidak

sewenang-wenang.288

Didalam Al-Quran terdapat beberapa pemahaman tentang keadilan ini, dan dapat

penulis cantumkan beberapa firman Allah SWT berikut. Firman Allah SWT dalam surat Al-

Maidah ayat 8

Artinya : “berlaku adillah, karena adil itu dekat kepada taqwa.

Firman Allah SWT Surat An-Nisa‟ ayat 135

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak

keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa

285

Ahmad M. Syaifuddin, Ekonomi dan…. h. 12 286

Mouflish Hasbullah (ed) Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Pustaka

Cidersindo, 2000), h.112 287

L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Terjemahan : Muljadi Djojomartono, (Jakarta : T. Penerbit, 1996)

h.225 288

M. Quraish Shihab, Wawasan..... h, 111

Page 137: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

232

dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu

kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin

menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau

enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala

apa yang kamu kerjakan (Q.S. An Nisa, : 135)

Firman Allah SWT surat Mumtahanah ayat 8 :

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-

orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari

negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. (Q.S.

Mumtahannah: 8)

Dari beberapa penjelasan firman Allah SWT diatas dapat dipahami bahwa berlaku

adil itu adalah perintah dari Allah SWT yang dituangkan dalam Al-Quran untuk menjadi

pedoman dan panduan setiap muslim dalam melakukan hubungan atau interaksi sesama

manusia. Menurut NurCholish Madjid berkaitan dengan keadilan ini mengemukakan : Fase

terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan Al-Quran itu adalah sifatnya sebagai

perintah agama, bukan sekedar acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya

merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam

amal perbuatan, seseorang muslim dihari perhitungan (yaumulhisab) kelak.289

Jadi dapat dipahami bahwa aspek keadilan yang tertuang dalam Al-quran berkaitan

langsung dengan upaya penigkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga

masyarakat, terutama para kaum dhu‟afa atau ekonomi lemah. Untuk menemukan konsep seri

keadilan ekonomi dalam Islam ini ada baiknya penulis menjelas tentang karakteristiknya

dalam pembahasan ini. Abdullah Abdul Husain at-tarigi dalam ekonomi Islam290

,

mengemukakan: Ekonomi Islam memiliki kelebihan dengan menjadikan manusia sebagai

fokus perhatian. Manusia di posisikan sebagai penganti Allah di bumi untuk

memakmurkannya dan tidak hanya mengeksplorasikan kekayaan dan memanfaatkannya saja.

Ekonomi ini ditujukan untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan manusia. Hal ini berbeda

dengan ekonomi kapitalis dan sosialis dimana fokus perhatian adalah kekayaan. Islam telah

mewajibkan Negara untuk memberikan jaminan pada semua anggota masyarakat yang berupa

kebutuhan pokok bagi seluruh warga Negara Islam.

Kutipan diatas relevan dengan firman Allah SWT dalam Al-qur‟an surat Thaha ayat

118-119 :

289

Nurcholish Madjid, dkk, Islam Universal, (Jakarta : Pustaka pelajar, 2008), h. 335 290

Abdullah Abdul Husain at-tarigi, Ekonomi Islam Prinsip, Dasar dan Tujuan, cet. I, (Yogyakarta :

magistrainsania Press, 2004), h. 18

Page 138: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

233

Artinya: Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang,

dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa

panas matahari di dalamnya".(Q.S. Thaha: 118-119)

Penerapan aspek keadilan ekonomi Islam tersebut mempunyai jaminan sosial dan

hak-hak masyarakat. Lebih lanjut Abdullah menjelaskan: Jaminan dalam islam dipusatkan

atas dua azas pokok, yaitu asuransi umum dan hak masyarakat dalam sumber-sumber umum

Negara. Azas pertama tidak menuntut lebih dari adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hidup

dan kebutuhan individu. Sedangkan azas kedua menuntut adanya pemenuhan lebih luas yang

mencerminkan kesetaraan dalam hidup. Islam merekatkan jaminan ini dengan semangat

persaudaraan antara kaum muslim (ukhuwah islamiyah) untuk menunjukkan bahwa hak itu

bukan semata-mata bagian hirakhis yang hanya untuk saling mengisi melainkan merupakan

bentuk konkret ukhuwah islamiyah dimana satu sama lain saling menjamin.291

Dengan uraian diatas jelas bahwa teori keadilan ekonomi dalam islam bukan hanya

mengejar kekayaan material semata. Akan tetapi keadilan ekonomi itu merupakan bersumber

dari Al-qur‟an yang memberikan jaminan kepada pemeluk Islam serta mempererat ukhuwah

islamiyah antara sesama umat islam.

2. Perkembangan Ekonomi Islam

Pada dasarnya aktivitas antar manusia, termasuk aktivitas ekonomi dapat

dikatagorikan dalam masalah mu‟malah. Dan secara umum nilai-nilai islam dalam aspek

perekonomian menurut M. Quraish Shihab Tauhid meliputi: “empat prinsip pokok yaitu

tauhid, kesinambungan, kehendak bebas dan tanggung jawab”.292

Dalam aspek ekonomi keempat aspek pokok tersebut mesti mewarnai aktivitas

muslim sehingga nilai-nilai ajaran dapat di kembangkan dalam ekonomi islam. Pembahasan

keempat prinsip pokok tersebut dapat penulis utarakan dalam pokok pembahasan ini.

Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa

harta benda yang berada pada genggaman tangannya adalah milik Allah, sebagaimana firman

Allah surat An-Nur ayat 33:

Artinya: Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkannya) harta yang diberikan-Nya

kepada kamu. (QS. An-Nur:33)

291

Abdullah abdul, Ekonomi…. h. 19 292

M. Quraish Shihab, Wawasan…. h, 409

Page 139: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

234

Dalam pandangan islam, harta kekayaan adalah milik Allah SWT, Hasil produksi

dapat menghasilkan uang atau kekayaan, tidak lain rekayasa manusia dari bahan mentah

disiapkan Tuhan.293

Prinsip keseimbangan mengantarkan kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan

pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau kelompok. Dalam hal ini Allah SWT

menolak tagas seperti dalam surat A-Hasyr ayat 7:

Artinya: “supaya harta itu tidak beredar pada orang-orang kaya saja diantara kamu… (QS.

Al-Hasy :7)

Dari pengertian di atas, ternyata agama melarang penimbunan dan pemborosan,

penyulupan dan pengambilan keuntungan yang berlebihan yang tidak semestinya. Berbagai

praktek tersebut telah mengoyahkan sendi-sendi lapangan perekonomian di Indonesia.

Terkait dengan perkembangan perekonomian islam memperkokoh berdasarkan

prinsip-prinsip yang penulis kemukakan di atas. Sebab sistem perekonomian Islam

berdasarkan landasan Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi SAW.

Pemikiran tentang ekonomi Islam tentu saja bersifat final, melainkan terus

berkembang. Di berbagai lembaga, dewasa ini telah mengkaji dan meneliti perkembangan

ekonomi Islam. M. Syarifuddin dalam ekonomi Islam menyatakan: Perkembangan yang ada

menunjukkan bahwa sistem ekonomi islam sebagai konsep berapapun banyaknya varian

pemikiran yang terdapat didalamnya, memang ada wujudnya, dan hingga kini terus

dikembangkan. Menurut saya dibalik sistem perekonomian islam itu berdiri berbagai

kepentingan ekonomi dunia usaha. Ada kepentingan Negara OPCE yang ingin memanfaatkan

keputusan yang dapat ditimbulkan dari gerakkan sistem ekonomi Islam dalam usaha menuju

Negara industri.294

Oleh demikian dapat dijabarkan bahwa perkembangan ekonomi Islam sekedar turun-

temurun. Akan tetapi sistem ekonomi Islam adalah suatu transformasi nilai-nilai Islam yang

membentuk kelembagaan dalam masyarakat.

Memang diakui pula bahwa kurangnya perhatian umat Islam ini sehingga masih

dihantui oleh sistem kapitalis yang cenderung kepada materialistis. Akibatnya semua diukur

dengan kebendaan belaka dalam persaingan yang tidak sehat dan saling berbenturan.

Didin hafifuddin mengatakan: secara jujur harus diakui bahwa aplikasi ajaran islam

dalam kegiatan ekonomi masih memerlukan usaha lain dan kerja keras serta sungguh-

293

M. Quraish Shihab, Wawasan… h, 410. 294

M. Syarifuddin, Prinsip Ekonomi…. h, 84-85

Page 140: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

235

sungguh. Misalnya dalam pemilihan lembaga ekonomi islam seperti Bank yang terbebas dari

riba.295

Kontribusi umat Islam sangat besar terhadap keberlangsungan dan perkembangan

pemikiran ekonomi pada perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya, dan peradaban

dunia pada umumnya. Dan peran penting ini relah dilupakan oleh para ilmuan barat. Dalam

kaitan ini Adi Warwan mengemukakan: Buku-buku teks ekonomi barat hampir tidak pernah

menyebutkan peranan kaum muslim ini. Menurut Capra, meskipun sebagian kesalahan

terletak ditangan umat Islam karena tidak mengartisifikualifikan secara memadai kontribusi

peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.296

Meskipun telah memberi kontribusi yang besar kaum muslim tidak lupa mengakui

utang mereka kepada para ilmiah ilmuan Yunani, Persia, India, dan Cina. Hal ini sekaligus

mengidentifikasi para cendikiawan muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia

luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.297

Maka dengan ajaran Islam tentang perbedayaan akal pikiran dengan tetap berpegang

teguh pada Al-Qura‟an dan hadits Nabi Muhammad SAW, konsep dan teori ekonomi dalam

Islam pada hakekatnya merupakan respon para cendikiawan muslim terhadap berbagai

tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Hal ini berarti bahwa pemikiran ekonomi

Islam seusia Islam itu sendiri.

M. Nejatullah Siddiq mengemukakan: Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang

berlangsung pada zaman Rasulullah SAW dan khulafurasyidin merupakan Comtias Empirise

yang dijadikan pijakan bagi para cendikiawan muslim dalam melahirkan teori-teori

ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan

kebutuhan, keadilan, efesiensi, pertumbuhan dan kebebasan yang tidak lain merupakan objek

utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.298

Lebih lanjut terkait dengan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia merupakan

suatu sistem yang dilaksanakan oleh umat Islam terbesar ini. M. Dawan Rahardjo,

mengatakan bahwa: “Sistem ekonomi Islam adalah suatu konsep yang dikembangkan

berdasarkan ajarann Islam”299

295

Didin Hafifuddin, Dakwah Akhtual, Cet I, (Jakarta : Benua Insani Press. 1994), h. 234 296

M. umer Chapra, The Future Of Ekonomie: An Islamic Perspektive, (Jakarta: Shari‟ah Ekonomies

and Banking Instintut, 2001), h. 9. 297

Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet. III, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 9. 298

M. Nejatullah Raharjo, Dalam Azwar, Sejarah Pemikiran…, h. 10. 299

M. Dawan Rahardjo, Membangun Ekonomi Islam , Cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h.1.

Page 141: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

236

Pada sisi lain, penerapan ekonomi Islam di Indonesia tidak terlepas dari sistem

ekonomi konvensional. Terkait dengan ini Nurdin Bahri mengemukakan:

Secara umum, para pemikiran ekonomi barat memandang hak milik muthlak pada

hakekatnya berada pada diri manusia. Baik sebagai individu maupun sebagai abdi Negara

(pemerintah). Tetapi terdapat perbedaan spesifik mengenai status kepemilikan menurut

mazhab tertentu, seperti:

a. Kapitalisme, hak milik menurut alirin ini melekat pada individu (pribadi). Tujuan

berekonomi adalah untuk memperoleh yang sebanyaknya sebagai laba pribadi.

Dalam hal ini, ekonomi tentu saja terlepas dari ikatan-ikatan moral dan keagamaan

karena landasan filsafatnya adalah interialisme.

b. Sosialisme, hakekat ak milik dalam aliran ini terletak pada pemerintah (Negara)

atas dasar kepentingan dan pelayanan social.

c. Komunisme, tidak mengenal hak milik bersama yang ada pada masyarakat tanpa

khas pada prinsipnya dari setiap orang menurut kemampuannya kepada orang

menurut kebutuhannya.300

Dalam pada itu, sistem ekonommi tidak terlepas dari “sistem ekonomi dan lembaga

keuangan yang memang sangat dibutuhkan masyarakat”.301

Memang diakui bahwa perkembangan ekonomi Islam di Indonesia sangat terkait erat

dengan pelayanan Bank Konvensional yang menganut sistem Ribawi (bunga). Untuk itu umat

Islam memerlukan usaha kerja keras untuk mewujudkan alternative yang bebas dari bunga.

Terkait dengan ini M. Yusuf Qadawi mengumukakan: Bank syariah sebagai alternative juga

sebenarnya sangat iklusif dan terbuka untuk semua agama dan golongan, sebagaimana hasil

penelitian mengumpulkan bahwa kesan umumnya yang ditangkap oleh masyarakat tentang

bank syariah adalah bahwa bank syariah identik dengan bank sistem bagi hasil.302

Meskipun demikian, memang adanya anggapan itu sebenarnya bukan sepenuh,

kesalahan masyarakat yang cendrung menganut prinsip gratisisme (mencoba barang baru

sesuai selera hati dengan serba gratis) dan bahkan kadang memandang bank syariah lebih

sebagai “lembaga social”.303

Akan tetapi upaya untuk menumbuh kembangkan sistem ekonomi Islam di Indonesia

terus mendapat perhatian baik dari praktisi muslim yang semakin gencar dalam hal

mendirikan lembaga pendidikan tinggi.

300

Nurdin Bakri, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Media Syariah, (Jurnal: Fak. Syariah, 2002), h. 27. 301

M. Yusuf Qardawi, Bunga Bank, …, h. 4. 302

M. Yusuf Qadawi, Bunga Bank,…, h. 5. 303

M. Yusuf Qadawi, Bunga Bank,…, h. 13.

Page 142: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

237

C. Analisis tentang Konsep Keadilan Ekonomi Menurut Nurcholis Madjid

1. Biografi Nurcholish Madjid

Nurchalish madjid atau biasa disapa dengan Caknur tidak asing lagi dikalangan publik

Indonesia dan luar negeri. Budi Handrianto mengemukakan : Nurholish Madjid atau biasa di

sapa dengan nama cak nur, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kiyai terpandang di

Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, Pada tanggal 17 Maret 1939. Ayahnya, KH. Abdul

Madjid dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai

pesantren termasuk Gontor, Ponorogo menempuh studi kesajanaan IAIN Jakarta (1961-

1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat

(1978-1984) dengan disertasi tentang Filsafat dan Khalam Ibnu Thaimiyah.304

Ditulis dalam buku “Islam Liberal”, Nurcholis madjid merupakan tokoh Islam liberal

atau liberalisasi Islam paling terkemuka di Indonesia. Doktor dari Chicago University ini

mempelopori gerakan sekularisasi di Indonesia sejak tahun 1970. Dalam acara halal bi Halal

di Jakarta pada tanggal 3 januari 1970 yang dihadiri para aktivis penerus Masyumi yaitu

HMI, PII, GPI dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), Nurcholish Madjid

menyampaikan makalah yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran dan Masalah

Integrasi Umat.”

Makalah tersebut sempat menggegerkan aktivis Islam saat Itu. Karena disitu ia

mengajak kearah sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam. Nurcholish Madjid juga

memperkenalkan ide sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan sekularisme.

“Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisasi dan mengubah kaum

muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang

sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk

mengukhroikannya. Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan kembali

kebenaran suatu nilai dihadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis,

menjadi sifat kaum muslimin.” Selain itu ia juga memperkenalkan konsep Islam Yes, Partai

Islam No.

Nurcholish Madjid menyelesaikan kuliah S1-nya di fakultas Adab dengan skripsi

berjudul Al-Qur‟an Arabiyyun Lughatan Wa Alamiyyun Ma‟nan (Al-qur‟an secara bahasa

adalah bahasa arab, secara makna adalah Universal). Tahun 1969 Nurcholish Madjid

mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Amerika Serikat selama lima pecan. Beberapa

304

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta : tt ), h. 63

Page 143: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

238

pengamat termasuk Ahmad Wahid mengatakan bahwa kunjungan Nurcholish Madjid ke

Amerika ini merupakan pengalaman penting. Bahkan, banyak kritisi yang menyatakan bahwa

kunjungan Nurcholish Madjid ke Amerika ini adalah perubahan 180 derajat, Nurcholish

Madjid yang tadinya anti Amerika/ Barat berubah menjadi Pro-Amerika/ Barat. Bahkan

secara pribadi, Nurcholish Madjid mula-mula mengakui bahwa pengalaman tersebut telah

meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan tidak terduga.305

Kesan yang mendalam terhadap Amerika inilah tampaknya yang membuatnya sulit

menolak ketika Fazlur Rahman dan Leonard Binder –keduanya Guru Besar Chicago

University- menewarinya proyek penelitian di Amereka pada tahun 1976. Proyek penelitian

yang sebagian berbentuk seminar dan lokakarya itu didanai oleh Fordation, sebuah yayasan

Amerika yang sampai kini masih bekerja sama dengan kegiatan-kegiatan Jaringan Islam

liberal dan Yayasan Paramadina yang dulu pernah dipimpin Nurcholish Madjid.

Setelah penelitian di Chicago, kemudian Nurcholish Madjid ditawari melanjutkan

studi Pasca Sarjana di Universitas Chicago (1978) dan sekaligus mengambil doctor disana.

Tahun 1984, ia lulus ujian doktornya dengan disertasi berjudul Ibn taymiya on Kalam and

Falsafa : A Problem of Reason and revelation in Islam ( Ibnu Taimiyyah dalam Ilmu Kalam

dan Filsafat : Masalah Akal dan wahyu dalam Islam).

Pria kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 ini makin kontroversi ketika ia

menyampaikan pidato keagamaannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 21

oktober 1992. Pidato yang makalahnya puluhan halaman itu berjudul “beberapa renungan

tentang kehidupan keagamaan di Indonesia.” Isi pidato Nurcholish Madjid itu memang penuh

sindiran dan kecaman yang keras kepada bangkitnya fundamentalis dengan narkotika.

Bahkan menurut Nurcholish Madjid, fundamentalis lebih berbahaya dari narkotika. Cuplikan

pidato yang menghebohkan itu adalah sebagai berikut :306

“karena itu bagaimana pun, kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam

keadaan tidak berdaya. Sebagai suatu yang hanya berhubungan ketenangan semu atau

palliative, kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Namun,

narkotika menmpilkan bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran penuh

(„teler‟), baik secara perorangan maupun kelompok sehingga tidak akan menghasilkan suatu

„gerakan‟ social dengan suatu bentuk kedisiplinan keanggotaan para pengguna narkotika –

bukan keanggotaan sindikat para penjualnya. Adapun kultul dan fundamentalisme dengan

305

Lihat Nurcholish Madjid, Riwayat Hidup…h. 40. 306

Budi Handrianto, 50 Tokoh…, h. 68.

Page 144: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

239

sendirinya melahirkan gerakan dengan disiplin yang tinggi. Maka, penyakit yang terakhir ini

adalah jauh lebih berbahaya dari pada yang pertama… Sebagaimana mereka memandang

narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman bagi kelangsungan daya tahan bangsa, mereka

juga berkeyakinan bahwa kultul dan fundasimentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak

kurang gawatnya.”

Pidato di TIM pada tahun 1992 itu menuai kritik dari berbagai kalangan. Sebab,

istilah „fundamentalisme‟ tersebut tanpa disertai defenisi yang jelas dan pada akhirnya hanya

berujung kepada proses „stigmatisasi‟ terhadap sebagian kalangan muslim yang berjuang

menegakkan syariat islam maupun melawan hegemoni imperialis Barat.307

Adapun yang berupa karya tulis, dan artikel-artikel dalam bahasa arab, Ingris dan

bahasa Indonesia, antara lain: Al-qur‟an, „Arabiyyun Lughat-an wa „Alamiy-un Ma‟na (1968)

merupakan karya sarjananya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan dari segi makna

bersifat universal, karya tersebut belum diterbitkan. “The Issue of Modernization Among

Moslem in Indonesia: From a Participant‟s View”, dalam gloria Davis (ed)., What Is Modern

Indonesian Culture? (Athem Ohio: University of Ohio Southeast Asia Studies, (1979),

“Pesantren dan Tasawuf”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan,

(1983), Islam Indonesia Menatap Masa depan,(1989), dalam K.H.Abdurahman Wahid, et.,

al Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (1991), dan lain-lain.308

2. Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Keadilan Ekonomi

Sebagai salah seorang pembaharu di tanah air, Nurcholish Madjid mempunyai dasar

filosofis yang dianggap kontroversial. Mulyadi Kartanegara mengutip Nucholish Madjid

mengemukakan : Pertama-tama, dasar filosofis pemikiran Nurcholish Madjid adalah

relativisme. Menurut pandangan ini kebenaran penafsiran keagamaan adalah relative terhadap

perkembangan ruang dan waktu. Karena itu diperlukan usaha reintepretasi ajaran agama

menurut kedisinian dan kekinian. Tentu saja pandangan seperti ini akan secara langsung

bertabrakan dengan pandangan orang-orang yang menganut pandangan paham

tradisionalisme yang cenderung berusaha mempertahankan nilai-nilai yang beku.309

307

Budi Handrianto, 50 Tokoh…, h. 69 308

Syamsuar Basyariah, Integrasi Agama dan Negara Paradigma Pilitik Nurcholish Madjid Era Orde

Baru Tahun 1966-1998, Cet II (Yogyakkarta : Kaukaba, 2012), h. 11 309

Nurcholish Madjid, Jejak pendidikan dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Cet. II (Jakarta :

Pustaka Palajar, 2003), h. 231-232

Page 145: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

240

Pengertian kedisinian dan kekinian yang ditawarkan Nurcholish Madjid sebagai

berikut : Dasar filosofis pemikiran Nurcholish Madjid yang lain, adalah yang saya sebut

realisme. Bagi penganut paham ini pembaharuan harus didasarkan pertama pada masalah

realitas, kenyataan yang ada (dassein) dan baru kemudian pada ajaran Normatif (dassallen).

Menurut pemikiran ini ajaran-ajaran yang normatif dan idealis harus disesuaikan

penafsirannya.310

3. Analisis konsep Ekonomi Menurut Nurcholish Madjid Keadilan

Ekonomi Islam memiliki kelebihan dan menjadikan manusia sebagai focus perhatian,

manusia diposisikan sebagai pengganti Allah SWT di bumi ini untuk memakmurkannya dan

tidak hanya mengeksploitasi kekayaan dan memanfaatkannya saja. Ekonomi ini ditunjukan

untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan manusia.

Konsepsi keadilan merupakan bagian inti dari ajaran islam, sebagaimana mengutip

Nurcholish Madjid dalam Syamsuar Basyariah mengatakan bahwa : Konsep keadilan

merupakan bagian inti dari ajaran islam, memang agaknya sulit diragukan. Sebab cita-cita

tersebut dirasakan sekali denyut nadinya secara kuat dalam surat–surat dan ayat – ayat al-

qur‟an yang memuatnya termasuk hal-hal yang diturunkan kepada rasulullah SAW mengenai

masyarakat mekkah ialah politeisme “merupakan dosa yang tak terampun” kerana itu

merupakan kejahatan besar kepada dirinya sendiri.311

Karena itu Nurcholish Madjid menguatkan bahwa “tingkah laku ekonomi yang

menghalangi wujudnya keadilan”312

dan sosial dikutuk dengan al-qur‟an dengan keras.

Bahkan kata Nurcholish Madjid tidak ada kutukan kitab suci yang lebih keras dari

pada kutukan kepada para pelaku ekonomi yang tidak adil.313

Jadi ketidakadilan mencuat karena korupsi, kolusi dan nepotisme selama puluhan

tahun di Indonesia, manurut Nurcholish Madjid “mengalami kesulitan kalau tidak dimulai

dari memunculkan kesadaran keadilan”.314

Untuk itu, menanamkan kesadaran keadilan merupakan perintah Allah SWT di dalam

menanggulangi multi krisis di negeri ini. Dan langkah penegakan keadilan ekonomi diyakni

310

Nurcholish Madjid, Jejak… h. 233 311

Syamsuar, Integrasi… h. 128 312

Nurcholish, Islam Kemoderenan… h. 102 313

Konsep Keadilan ini, dalam Hukum Fiqh Menurut Alas an Nurcholish Madjid, Dijabarkan Menjadi

Ketentuan Ketentuan Halal dan Haram dalam Perolehan Ekonomi, ini berarti Bahwa Tidak Ada Penindasan

Manusia dengan Manusia. 314

Asrori S. Karni (Ed), Pesan-pesan… h. 47

Page 146: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

241

suatu upaya jihad dalam memberantas kedhaliman dimuka bumi, dan Allah SWT sudah

menjamin bahwa kebutuhan manusia telah ditentukan. Sehingga menegakkan keadilan

membawa manusia kepada ketaqwaan, Firman allah SWT QS. Al-maidah ayat 8 :

Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada

Allah.

Dalam hal ini sangat jelas bahwa menurut Nurcholish Madjid, sesungguhnya

penegakan keadilan dalam perekonomian merupakan wujud dari perintah Allah SWT dan

mengandung nilai ketauhidan dalam rangka menegakkan amal makruf dan nahi mungkar

dalam kehidupan masyarakat muslim ditanah air. Sebab, menurut Nurcholish madjid

melanjutkan: Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan yang maha esa

dengan tindakan kebaikan kepada sesame manusia, masyarakat madani tegak berdiri diatas

landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum.

Menegakkan hukum adalah amanat tuhan yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada

yang berhak. Dan Nabi SAW telah memberi tauladan pada kita. Secara amat setia beliau

laksanakan perintah Allah SWT itu. Apabila Al-qur‟an itu juga menegaskan bahwa tugas suci

semua nabi ialah menegakkan keadilan diantara manusia.315

Dengan demikian jelas bahwa keadilan ekonomi menurut Nurcholish Madjid adalah

suatu keniscayaan dalam upaya penegakan hukum Allah SWT dimuka bumi ini. Dan sumber

ekonomi Islam (tauhid) dan amar ma‟ruf nahi mungkar yang menjadi kewajiban semua

menuju masyarakat yang madani sebagaimana yang telah dilaksanakan Rasulullah SAW di

madina dahulu.

Dalam konteks ini Nurcholish Madjid mengemukakan: Berpangkal dari pandangan

hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekkuensi tindakan kebaikan kepada sesame

manusia masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain

bersendikan keteguhan berpegangan pada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat tuhan

yang maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak. Dan Nabi SAW

telah memberi tauladan kepada kita secara amat setia beliau laksanakan perintah Allah SWT.

Apalagi Al-qur‟an menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan

diantara manusia.316

Jadi jelas bahwa penegakan keadilan dalam suatu Negara merupakan perintah dari

Allah SWT. Dan tegaknya keadilan itu, “tanpa memandang buku dan siapa yang akan terkena

315

Nurcholish Madjid, Cita-cita… h. 171 316

Nurcholish Madjid, Cita-Cita… h. 121.

Page 147: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

242

akibatnya, keadilan harus ditegakkan”.317

Meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua

atau sanak keluarga, bahkan kepada yang sangat membenci kitapun harus tetap berlaku adil.

Penegakkan keadilan dalam sektor ekonomi di jiwai oleh rasa ketauhidan kepada

Allah SWT, terkait dengan hal ini Nurdin Bakri menjelaskan bahwa: Kesuksesan pengusaha

(produser) menurut Islam terletak pada sejauh mana pengaruh hasil usaha dapat merangsang

kegiatan pengabdiannya kepada Allah SWT dan kebaktiannya sesama manusia. Kebebasan

berbuat dan berfikir menurut Islam masih terbatasi oleh ruang lingkup tuntunan syariat

slam.318

Kutipan di atas sangat relevansi dengan Firman Allah SWT Surat An-Nisa‟ ayat 29

yang berbunyi sebagai berikut

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan

suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.

Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An- nisa‟: 29).

Oleh demikian jika dipahami lebih lanjut terhadap pendapat Nurcholish Madjid

tentang penegakkan keadilan ini, dapat dilihat pendapat beliau: Masyarakat berperadaban

tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dari ketulusan

komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang

dengan tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan.319

Apabila dicerna pendapat Nurcholish Madjid itu, terlihat bahwa unsur terpenting

dalam menegakkan keadilan ekonomi dalam sikap dan pribadi-pribadi muslim yang dilandasi

oleh keimanan ketika melaksanakan kegiatan perekonomian. Sebab timbulnya praktek

korupsi, penipuan dan berbagai pelaksanaanya perlakuan yang berlaku dalam hal ini dalam

dunia ekonomi dan keuangan dikarenakan pribadi dan jiwanya yang gersang dari nilai-nilai

ketuhanan dan keimanan kepada Allah SWT.

Terkaitnya dengan hak ini Asrori dalam syamsuar Basyariah menulis; Menyikapi

harta hasil KKN, misalnya kita mengalami kesulitan. Banyak sekali harta yang dari hasil

KKN, namun tertutup oleh lapisan legal Devise yang sulit kali di tembus. Maka yang paling

utama di perlukan ialah kesadaran keadilan pada pribadi masing-masing. Kemudian

317

Nurcholish Madjid, Cita-Cita… h. 121. 318

Nurdin, Media…, h. 28. 319

Nurcholish Madjid, Cita-Cita…, h.172-173.

Page 148: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

243

kesadaran keadilan yang bersifat personil ini harus diletakkan dalam kerangka sosial dan

struktural.320

Oleh sebab itu, menurut Nurcholish Madjid, “tingkah laku ekonomi yang

menghalangi terwujudnya keadilan”.321

Bahkan Nurcholish Madjid mengatakan bahwa

dikutuk Al-qur‟an dengan keras. Bahkan, tambahnya tidak ada kutukan kitab suci yang lebih

keras dari pada kutukan kepada para pelaku ekonomi yang tidak adil.

Dalam memperkuat argumennya, Nurcholish Madjid Al-qur‟an surat An-nisa ayat 58:

Artinya; Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia

supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi

Maha melihat. (Q.S. An- Nisa‟ : 58)

Dan juga Al-qur‟an surat An-nisa ayat 135:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak

keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa

dan kaum kerabatmu. jika ia. Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu

kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin

menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau

enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala

apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa‟ : 135)

Jadi, memahami pendapat Nurcholish Madjid tersebut bahwa ketinggian nilai

kepribadian seseorang itu sangat ditentukan oleh ketulusan jiwa kepada Allah SWT.

Sebagaimana Nurcholish menulis: Ketulusan ikatan jiwa juga memerlukan sikap yang

yakin pada adanya tujuan yang lebih tinggi dari pada penggalaman hidup sehari-hari didunia

ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia

pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan pribadi, kehidupan setelah mati, dalam

pengalaman bahagia dan sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa pada keadilan

mengharuskan orang memandang hidup jauh ke depan, tidak menjadi tawanan keadaan

diwaktu sekarang dan di tempat ini (dunia).322

D. Kesimpulan

Ekonomi islam sebagai bagian dari kegiatan mu‟amalah yang dilakukan oleh

masyarat dengan berdasarkan Undang-undang, peraturan dan perintah Allah SWT dalam Al-

qur‟an, konsep keadilan ekonomi menurut Nurcholish Madjid bersendikan pada ketauhidan

320

Syamsuar, Konsep pembangunan… h. 237 321

Syamsuar, Konsep pengembangan… h.239 322

Nurcholish, Cita-cita… h.173

Page 149: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

244

dan aplikasi dari perintah Allah SWT yang wajib ditagakkan dalam berbagai lapangan

perekonomian

Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam konsep ekonomi Nurcholish Madjid

antara lain prinsip Tauhid, Tabadul manafiq, Ta‟awum, al-Birwa at-Taqwa dan prinsip

musawah. Dari kelima prinsip tersebut prinsip Tauhid lah yang menjadi prinsip dasar dari

ideologi yang pertama bagi pengelolaan kehidupan sosial dan politik yang dihadapi dalam

upaya penegakan keadilan di Indonesia diantara lain pengaruh sistem ekonomi kapitalis,

sosialis dan komunis yang menguasai berbagai sektor keuangan dan perbankan Indonesia.

\

Page 150: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

245

POTENSI ZAKAT

DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Early Ridho Kismawadi

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Zawiyah Cot Kala Langsa

Email: [email protected]/

Abstract

As a country with a majority Muslim population in the world, Indonesia has the potential for

very large charity, this potential can be used to alleviate poverty in Indonesia, in this study

will be described on the potential and the role of charity in the alleviation of poverty in

Indonesia. This research is a qualitative Most of the literature in this study are the books and

research journals and internet research. The data in this study was obtained from the Central

Bureau of Statistics, and the National Team for Accelerating Poverty Reduction (TNP2K)

were used to assess and review the literature that has relevance to poverty reduction in

Indonesia.

Keywords: Potential, Role of Zakat, Poverty, Indonesia

Page 151: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

246

A. Pendahuluan

Kemiskinan merupakan isu yang selalu menarik untuk dibahas, terutama bagaimana

cara untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan ini. Permasalahan kemiskinan sudah

lama menjadi permasalahan Negara-negara, bahkan negara-negara maju tidak luput dari

permasalahan kemiskinan. Permasalahan kemiskinan merupakan masalah bangsa yang

mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik

terpadu dan menyeluruh.

Penanganan masalah kemiskinan memerlukan penanganan secara komperhensif oleh

karena itu dalam penanganan kemiskinan diperlukan sinergi antara negara, masyarakat dan

Agama. Dalam menghadapi kemiskinan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh

pemerintah maupun elemen masyarakat untuk mengurangi bahkan untuk menekan masalah

kemiskinan seminimal mungkin di Indonesia, Langkah konkrit yang dilakukan pemerintah,

dalam program penanggulangan kemiskinan pemerintah membagi program penanggulangan

kemiskinan kedalam tiga Klaster, Jenis Program Klaster satu terdapat 4 program yaitu

JAMKESMAS (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Program Keluarga Harapan, Raskin (Beras

untuk Keluarga Miskin, dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Program Klaster dua, PNPM

Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri). Dan jenis program klaster

tiga adalah KUR (Kredit Usaha Rakyat).

Program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah

setidaknya telah mampu mengurangi kemiskinan Indonesia dari 12,49 % pada tahun 2011,

menjadi 11,66 % pada September tahun 2012, hal ini berarti pada tahun 2012 kemiskinan

Indonesia berkisar diangka 11,66 % dari jumlah penduduk Indonesia atau 28.594.000

penduduk Indonesia masih berada dalam katagori miskin, hal lain yang perlu dicermati

adalah besarnya jumlah masyarakat yang hampir miskin, yang berarti bahwa jumlah

masyarakat miskin Indonesia dapat bertambah jika terjadi gejolak terhadap pendapatan

mereka. Berikut ini gambaran tentang kemiskinan di Indonesia sampai dengan September

2012.

Page 152: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

247

Tabel 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, September 2012

Propinsi Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin (%)

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

Aceh 165,40 711,10 876,60 12,47 20,97

18,58

Sumatera Utara 669,40 709,10 1 378,40 10,28 10,53

10,41

Sumatera Barat 124,30 273,60 397,90 6,45 8,99 8,00

Riau 156,40 324,90 481,30 6,68 8,94 8,05

Jambi 105,30 164,70 270,10 10,53 7,29 8,28

Sumatera Selatan 367,60 674,40 1 042,00 13,29 13,58

13,48

Bengkulu 92,70 217,80 310,50 16,89 17,80

17,51

Lampung 237,90 981,10 1 219,00 11,88 16,96

15,65

Bangka Belitung 24,00 46,20 70,20 3,73 6,96 5,37

Kepulauan Riau 106,60 24,60 131,20 6,77 7,08 6,83

DKI Jakarta 366,80 - 366,80 3,70 0,00 3,70

Jawa Barat 2 560,00 1 861,50 4 421,50 8,71 12,13 9,89

Jawa Tengah 1 946,50 2 916,90 4 863,40 13,11 16,55

14,98

DI Yogyakarta 306,50 255,60 562,10 13,10 21,29

15,88

Jawa Timur 1 606,00 3 354,60 4 960,50 8,90 16,88

13,08

Banten 333,50 314,80 648,30 4,41 8,31 5,71

Bali 93,20 67,70 161,00 3,81 4,17 3,95

Nusa Tenggara Barat 415,40 412,90 828,30 21,65 15,41

18,02

Nusa Tenggara Timur 117,40 882,90 1 000,30 12,21 22,41

20,41

Kalimantan Barat 74,20 281,50 355,70 5,49 9,04 7,96

Kalimantan Tengah 32,30 109,60 141,90 4,21 7,19 6,19

Kalimantan selatan 56,50 132,70 189,20 3,56 6,07 5,01

Kalimantan Timur 91,50 154,60 246,10 3,82 10,56 6,38

Sulawesi Utara 66,80 110,70 177,50 6,36 8,69 7,64

Sulawesi Tengah 60,20 349,40 409,60 9,02 16,85

14,94

Sulawesi Selatan 133,60 672,30 805,90 4,44 12,93 9,82

Sulawesi Tenggara 29,60 274,70 304,30 4,62 16,24

13,06

Gorontalo 17,80 169,90 187,70 4,80 23,63

17,22

Sulawesi Barat 29,10 131,50 160,60 10,03 13,92

13,01

Maluku 51,10 287,80 338,90 8,39 28,12

20,76

Maluku Utara 8,70 79,60 88,30 2,92 9,98 8,06

Papua Barat 13,30 210,00 223,20 5,36 36,33

27,04

Papua 48,10 928,30 976,40 5,81 39,39

30,66

Indonesia 10 507,80 18 086,90 28 594,60 8,60 14,70

11,66

Sumber: Diolah dari Susenas Maret 2012, Badan Pusat Statistik

Page 153: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

248

Terlihat dari tabel diatas persentase dan jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan

relatif jumlahnya lebih banyak dibandingkan daerah perkotaan, kebijakan pemerintah untuk

percepatan pengentasan kemiskinanpun tidak memiliki dampak yang signifikan, sebagai

contoh pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh berjumlah 1.083.000 jiwa

dan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh berkurang menjadi 711.000

jiwa. Contoh lainnya pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin Indonesia berjumlah

37.168.000 atau 16,58 % dari jumlah penduduk Indonesia, dan pada tahun 2012 jumlah

penduduk miskin di Indonesia berkurang menjadi 28.594.000 atau 11,66 % dari jumlah

peduduk Indonesia. Secara jumlah selama lima tahun, pemerintah dapat mengurangi jumlah

kemiskinan sebesar 8.574.000 jiwa atau kemiskinan di Indonesia pada September 2012

berkurang 4.92% dibandingkan tahun 2007. Hal ini berarti dalam satu tahun program

pemerintah dalam pengentasan kemiskinan hanya mengurangi jumlah kemsikinan kurang

dari 1% dati tahun ke tahun. Hal lain yang harus terus menjadi perhatian adalah target

pemerintah dalam pengurangan kemiskinan dikhawatirkan tidak akan tercapai dikarenakan

ketidak pastian ekonomi global yang berakibat pada penurunan daya beli.

Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop memperkirakan target

pengurangan angka kemiskinan pada 2014 sebesar 8-10 persen tidak akan tercapai karena

adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi (ANTARA News.com), hal ini berarti pemerintah

diperkirakan akan gagal dalam target pengurangan kemiskinan yang berarti sampai dengan

tahun 2014 penduduk miskin Indonesia masih dalam kisaran 20 juta jiwa.

Diperlukan suatu solusi yang dapat membantu program pemerintah dalam rangka

percepatan penengentasan kemiskinan di Indonesia, Islam menawarkan solusi zakat sebagai

suatu solusi untuk membantu program pemerintah dalam pengurangan atau bahkan

pengentasan kemiskinan di Indonesia. Islam sangat konsen terhadap golongan yang dalam

memenuhi kebutuhan dasar hidupnya mengalami permasalahan, golongan yang tidak mampu

dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya haruslah mendapat perhatian, agar dapat terus

mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Dalam islam dikenal adanya mekanisme zakat,

dimana pihak yang memilki kemampuan dalam ekonomi harus memberikan bantuan untuk

pihak yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Untuk menyelesaikan kemiskinan dan membiayai operasionalnya dibutuhkan dana

yang tidak sedikit, sumber pendapatan yang biasanya digunakan oleh negara adalah iuran

wajib warga negara yaitu pajak, semakin tinggi iuran wajib yang dikenakan terhadap

Page 154: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

249

warganya menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran. Indonesia dengan

mayoritas penduduknya muslim memiliki sumber pendapatan lain selain pajak yang belum

dimaksimalkan, sumber pendapatan tersebut adalah zakat, zakat dipungut dari golongan

orang-orang dengan kemampuan ekonomi mampu (muzakki) dan di distribusikan kepada

golongan orang-orang dengan kemampuan ekonomi tidak mampu dalam mencukupi

kebutuhan dasar hidupnya (mustahiq).

Rendahnya kesadaran umat islam dalam menunaikan kewajiban zakatnya bukanlah

tanpa alasan, alasan yang paling logis adalah kurangnya kesadaran dalam melaksanakan

rukun islam yang keempat ini, potensi zakat yang dimiliki oleh masyarakat indonesia

tergolong tinggi hal yang menjadi gambaran adalah panjangnya daftar tunggu haji, haji yang

merupakan rukun islam yang kelima itu, alasan lain yang mungkin menjadi sebab rendahnya

kesadaran umat islam dalam menunaikan kewajiban zakatnya adalah masih kurangnya

kesadaran masyarakat muslim di Indonesia menyalurkan zakat mereka melalui lembaga dan

badan zakat, namun cendrung menyalurkannya secara individual. Sehingga potensi zakat

yang besar kurang menjadi maksimal karena kurangnya koordinasi dalam pengumpulan dan

penyaluran zakat.

Secara formal zakat diatur oleh undang-undang no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan

zakat, dalam undang-undang tersebut pasal 5 disebutkan pengelolaan zakat bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan

agama, meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan

kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, dan meningkatkan hasil guna dan daya guna

zakat. Hal yang selama ini kurang maksimal dalam pengentasan kemiskinan adalah masih

belum optimalnya pemanfaatan, peranan pranata keagamaan dalam mendukung upaya

pemerintah dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Penelitian ini mencoba untuk melihat potensi zakat dan peranan lembaga dan badan

zakat di Indonesia dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini

diharapkan berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia dengan melibatkan

lembaga dan badan zakat Indonesia secara bersama-sama dengan pemerintah dalam upaya

untuk pengentasan kemiskinan.

B. Kemiskinan

Sebelum membahas tentang kemiskinan lebih lanjut, terlebih dahulu harus dipahami

terlebih dahulu definisi kemiskinan, hal ini penting karena ukuran kemiskinan disuatu

Page 155: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

250

wilayah belum tentu diwilayah lain dianggap miskin untuk itulah perlu terlebih dahulu

memahami definisi kemiskinan.

Alquran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran

kemiskinan. Yang pasti Alquran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai

fakir atau miskin yang harus dibantu (M. Quraish Shihab, 2007). Namun demikian untuk

lebih memfokuskan penangulangan kemiskinan diperlukan batasan yang tergolong katagori

miskin untuk itulah menyamakan pemahaman tentang definisi kemiskinan diperlukan.

Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami

kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang

memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk

keluar dari kerentanan (Ade Cahyat dkk, 2007), Kemiskinan adalah suatu integrated concept

yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless),

3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan

(dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup

dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan

rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan

tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan

menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri

(Chambers dalam Nasikun, 2001).

Marianti dan Munawar (2006) berpendapat bahwa kemiskinan merupakan fenomena

multi dimensi, didefenisikan dan diukur dalam banyak cara. Dalam banyak kasus, kemiskinan

telah diukur dengan terminologi kesejahteraan ekonomi, seperti pendapatan dan konsumsi.

Seseorang dikatakan miskin bila ia berada di bawah tingkat kesejahteraan minimum tertentu

yang telah disepakati.

Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kondisi kehidupan dengan standar kehidupan

yang sangat rendah. Bila kita mempunyai ukuran tentang standar kehidupan penduduk, kita

dapat menentukan ukuran dimana dapat dikatakan bahwa pada tingkatan mana seseorang

mempunyai standar kehidupan yang rendah. Kami menamakan hal ini, garis kemiskinan dan

semua penduduk yang standar kehidupannya berada di bawah garis kemiskinan ini adalah

“penduduk yang kehidupannya dalam keadaan miskin”. Ini adalah cara konvensional dalam

mengukur kemiskinan. Argumentasi yang digunakan adalah apa ukuran atau ukuran-

Page 156: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

251

ukuranan dari standar kehidupan yang dapat dipakai dan bagaimana menentukan tingkat yang

bisa dianggap terlalu rendah, (Peter McDonald, dkk, 2010)

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi

kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang

sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan

bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk

yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan (2100

kilokalori perkapita perhari).

1. Gambaran Umum Kemiskinan di Indonesia.

Untuk memberikan gambaran umum tentang kemiskinan di indonesia digunakan peta

kemiskinan yang diperoleh dari Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan, yang

selanjutnya dijelaskan mengenai tingkat kemiskinan, jumlah penduduk miskin dan garis

kemiskinan sehingga memberikan gambaran tentang kemiskinan di seluruh provinsi di

Indonesia.

Peta Tingkat Kemiskinan Indonesia Tahun 2009

Page 157: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

252

Peta Tingkat Kemiskinan Indonesia Tahun 2010

Peta Tingkat Kemiskinan Indonesia Tahun 2011

Pada peta kemiskinan Indonesia tahun 2009, terlihat sebagian besar provinsi (16

provinsi) berada pada tingkat kemiskinan diatas 15 persen (peta warna merah), provinsi

papua, papua barat, dan maluku berada pada 3 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi

dengan masing-masing 37,5 persen atau jumlah penduduk miskin 760,3 ribu jiwa untuk

Page 158: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

253

provinsi papua, 35,7 persen atau 258,8 ribu jiwa untuk provinsi papua barat dan 28,2 persen

atau 380 ribu jiwa untuk provinsi maluku . Kemudian (peta warna hijau) atau kemiskinan 5-

10 persen (12 provinsi) mendominasi peta kemiskinan yang berarti urutan kedua terbanyak

provinsi pada tingkatan kemiskinan 5-10 persen dan hanya ada sebagian kecil (4 provinsi)

yang berada pada tingkat kemiskinan 10-15 persen (peta warna kuning) yaitu provinsi

Maluku Utara, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, dan pada tahun 2009 tidak

hanya provinsi DKI Jakarta dengan tingkat kemiskinan dibawah 5 persen.

Pada peta kemiskinan Indonesia tahun 2010, terlihat sebagian besar provinsi (15

provinsi) berada pada tingkat kemiskinan diatas 15 persen (peta warna merah) atau berkurang

satu provinsi dibanding tahun 2009 yaitu provinsi sulawesi barat yang pada tahun 2010

berada pada tingkat kemiskinan 10-15 persen, dan provinsi papua, papua barat, dan maluku

masih berada pada 3 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Kemudian (peta warna

hijau) atau kemiskinan 5-10 persen (12 provinsi) mendominasi peta kemiskinan di urutan

kedua dan Provinsi maluku Utara menggantikan sulawesi utara berada pada tingkat

kemiskinan ini dan hanya ada sebagian kecil (4 provinsi) yang berada pada tingkat

kemiskinan 10-15 persen (peta warna kuning) yaitu provinsi sulawesi barat, Sumatera Utara,

Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, dan pada tahun 2009 tidak hanya provinsi DKI Jakarta

dengan tingkat kemiskinan dibawah 5 persen namun juga provinsi Bali.

Berbeda dengan dua tahun sebelumnya peta tingkat kemiskinan Indonesia yang

didominasi oleh warna merah, namun pada tahun 2011 tingkat kemiskinan lebih besar 15

persen(warna merah) dan tingkat kemiskinan 5-10 persen (warna hijau) berimbang dalam

jumlah provinsi yaitu 12 provinsi, dan terdapat 7 provinsi yang berada pada tingkat

kemiskinan 10-15 persen yaitu provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Utara,

Sulawesi Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan masih sama seperti

tahun 2010 hanya ada 2 provinsi dengan tingkat kemiskinan dibawah 5 persen yaitu DKI

Jakarta dengan tingkat kemiskinan 3,8 persen atau dengan jumlah penduduk miskin 363,4

ribu jiwa dan Provinsi Bali 4,2 persen dengan jumlah penduduk miskin 166,2 ribu jiwa.

Selama kurun waktu 2009 sampai dengan tahun 2011 terjadi penurunan persentase

dan jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 (maret) penduduk miskin berada pada tingkat

14,15 atau jumlah penduduk miskin sebanyak 32,53 juta jiwa, dan pada tahun 2010 (maret)

tingkat penduduk miskin ada pada 13,33 persen turun dari tahun sebelumnya dan jumlah

penduduk miskin pada tahun 2010 berjumlah 31,02 persen, hal yang serupa juga terjadi pada

Page 159: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

254

tahun 2011 persentase jumlah penduduk miskin turun dari sebelumnya dan menjadi 12,49

persen dengan jumlah penduduk miskin 30,02 juta jiwa(Sumber: Diolah dari survei sosial

ekonomi Nasional). Walaupun secara berkelanjutan jumlah penduduk miskin terus

mengalami pengurangan namun sampai dengan tahun 2011 jumlah penduduk miskin

Indonesia masih dalam jumlah yang sangat besar yaitu sekitar 30,02 juta jiwa masyarakat

Indonesia masih berada pada tingkat kemiskinan.

C. Zakat dan Penangulangan Kemiskinan

Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), zakat memiliki arti al-barakatu (keberkahan), al-namaa

(pertumbuhan dan perkembangan, ath-thaharatu (kesucian) dan ash-shalahu (keberesan)

(Majma Lughah al-Arabiyyah, 1972) Sedangkan secara istilah (terminology) meskipun para

ulama mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda namun pada prinsipnya sama, yaitu

hak orang lain yang terdapat pada harta yang harus dikeluarkan dengan persyaratan tertentu

dan merupakan kewajiban yang merupakan salah satu dari rukun islam, Shadaqah berasal

dari kata صذق (benar), orang yang bershadaqah adalah orang yang benar imannya

ذقة بشهان }الحذيث{ hal ini mempunyai makna bahwa orang-orang yang telah dikenakan الص

kewajiban zakat dan tidak menunaikan kewajiban tersebut maka keislamannya nya

dipertanyakan, hal ini disebabkan dia tidak memenuhi salah satu rukun islam, sama halnya

dengan shalat jika tidak dilengkapi rukun dan syaratnya maka shalatnya tidak sah. terdapat

beberapa ayat yang menyatakan zakat yaitu:

Artinya: Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta

manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu

berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka

(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

(Q.S Ar Ruum, ayat 39)

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan

dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu

(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha

mengetahui. (Q.S At Taubah, ayat 103)

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang

miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk

(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk

mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan

Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S At Taubah, ayat 60).

Page 160: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

255

Zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta

benda, dan zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan

memperkembangkan harta benda mereka.

Oleh sebab itu zakat memiliki urgensi yang penting diataranya(Didin Hafidhuddin):

a. Sebagai perwujudan dari keimanan kepada Allah SWT dan keyakinan akan kebenaran

ajaran-Nya. (QS. 9:5, QS. 9:11)

b. Perwujudan syukur nikmat, terutama nikmat benda. (QS. 93:11, QS. 14:7)

c. Meminimalisir sifat kikir, materialistik, egoistik dan hanya mementingkan diri sendiri.

Sifat bakhil adalah sifat yang tercela yang akan menjauhkan manusia dari rahmat

Allah SWT. (QS. 4:37).

d. Membersihkan, mensucikan dan membuat ketenangan jiwa Muzakki (orang yang

berzakat). Perhatikan Q.S. 70 : 19-25

e. Harta yang dikeluarkan zakat dan infaq/ shadaqahnya akan berkembang dan

memberikan keberkahan kepada pemiliknya. Pintu rizki akan selalu dibuka oleh Allah

SWT. (Q.S. 2 : 261, Q.S. 30 : 39, Q.S. 35 : 29-30).

f. Zakat, Infaq/Shadaqah merupakan perwujudan kecintaan dan kasih sayang kepada

sesama ummat manusia. Kecintaan Muzakki akan menghilangkan rasa dengki dan iri

hati dari kalangan Mustahik.

g. Zakat, Infaq/Shadaqah, merupakan salah satu sumber dana pembangunan sarana dan

prasarana yang harus dimiliki ummat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan,

institusi ekonomi, dan sebagainya (Q.S. 9 : 71).

h. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat bukanlah membersihkan

harta yang kotor, melainkan membersihkan harta yang didapat dengan cara yang

bersih dan benar, dari harta orang lain (Q.S. 51 : 19).

i. Dari sisi pembangunan kesejahteraan ummat, zakat merupakan salah satu instrumen

pemerataan pendapatan, dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan

membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic with

equity (Q.S. 59 : 7).

j. Ajaran zakat, infaq/shadaqah sesungguhnya mendorong kaum muslimin untuk

memiliki etos kerja dan usaha yang tinggi, sehingga memiliki harta kekayaan yang

disamping dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya juga bisa memberi

kepada orang yang berhak menerimanya.

Menurut Yusuf Qaradawi, penganguran atau kemiskinan sitidak-tidaknya dapat

membahayakan kepada empat aspek yaitu, membahayakan pada aspek ekonomi, kesehatan,

jiwa sosial dan keluarga. penganguran dan kemiskinan dapat membahayakan etika

masyarakat dan dapat memicu tindakan kriminal. Oleh karena itu, Yusuf Qaradawi

menegaskan, cara paling efektif untuk menanggulangi kemiskinan dan penganguran tersebut

adalah dengan pemberdayaan zakat (Zainuddin, 2008)

Page 161: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

256

Menurut Mustafa Edwin Nasution (Mustafa Edwin Nasution, 2005) Zakat muncul menjadi

alternatif instrumen untuk pengentasan kemiskinan yang efektif, yang memiliki banyak

keunggulan dibandingkan instrumen fiskal konvensional yang kini telah ada.yaitu:

a. Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (QS. At-

Taubah: 60) dimana zakat hanya diperuntukkan bagi delapan golongan saja (ashnaf)

yaitu: Orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mu‟allaf, budak, orang-orang yang

berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepakat bahwa selain

delapan golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak-pun yang

berhak mengganti atau merubah ketentuan tersebut. Karakteristik ini membuat zakat

secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun instrumen fiskal konvensional yang

memiliki karakteristik unik untuk mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang

sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran (self-targeted).

b. Kedua, zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap dan tidak pernah berubah-ubah

karena diatur oleh syariat. Sebagai contoh, zakat yang diterapkan pada zakat

perdagangan, tarifnya hanya 2,5 %. Ketentuan tarif ini tidak boleh diganti ataupun

dirubah oleh siapapun. Karena itu penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif

investasi dan akan menciptakan transparansi kebijakan publik serta memberikan

kepastian usaha.

c. Ketiga, Zakat memiliki tarif yang berbeda untuk tiap jenis harta yang berbeda, dan

memberikan keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi yang

lebih tinggi. Misalnya, Zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan

irigasi tarifnya 5 % sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tarifnya 10 %.

Sehingga zakat bersifat market-friendly karena tidak akan mengganggu iklim usaha.

d. Keempat, Zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas

perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan

emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang

diambil dari perut bumi. Fiqh kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga

diambil dari pendapatan yang dihasilkan dari asset atau keahlian pekerja. Dengan

demikian, potensi zakat sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi

pembiayaan program-program kemiskinan.

e. Kelima, zakat adalah merupakan pajak spiritual yang wajib dibayar oleh seorang

muslim dalam kondisi apapun, karena itu penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini

akan menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan dalam jangka

waktu yang cukup panjang.

Zakat sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana

yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi

dan terlebih lagi bagi peningkatan kualitas sumberdaa manusia. untuk memasyarakatkan etika

bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapat dengan cara yang

batil (Al-Hadits). dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat adalah merupakan salah

satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat dikelola dengan baik, dimungkinkan

membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, atau yang dikenal

dengan konsep economic growth equity (AM Saefuddin, 1986)

Page 162: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

257

Zakat adalah merupakan instrument fiskal Islami yang sangat luar biasa, sebagai

Negara yang memiliki jumlah penduduk islam terbesar di dunia Indonesia memiliki potensi

zakat yang sanagat besar. Potensi zakat ini apabila digarap dengan baik, akan menjadi sumber

pendanaan yang sangat besar, sehingga dapat menjadi kekuatan pendorong pemberdayaan

ekonomi umat dan pemerataan pendapatan. Pemberdayaan masyarakat dengan zakat dapat

memiliki berbagai efek yang baik bagi perekonomian, namun demikian potensi itu belumlah

tergali dengan baik yang disebabkan berbagai faktor, terutama kesadaran dalam menunaikan

zakat yang hanya dipandang sebagai sebuah ibadah, hal ini perlu terus dilakukan pemahaman

dan sosialisasi bahwa zakat merupakan istrumen fiskal yang dapat memberikan efek untuk

memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, disisi lain belum terintergrasinya lembaga zakat

menjadikan sasaran dalam penyaluran zakat kurang efektif sehingga tujuan untuk

mensejahterakan masyarakan dengan zakat masih jauh panggang dari api, untuk itu

diperlukan peranan pemerintah dalam membuat sebuah regulasi sehingga menjadikan

penyaluran zakat dapat menjadi efektif dan dapat mencapai tujuan mensejahterakan rakyat,

atau paling tidak dapat mengurangi jumlah angka kemiskinan di Indonesia.

D. Potensi Zakat Indonesia

Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah

dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan

hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan

melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif

dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (Kholilah, 2011).

Belum optimalnya pengumpulan zakat di Indonesia harus terus mendapat perhatian

serius dari semua pihak, hal ini penting karena potensi zakat Indonesia sangat besar, dan

dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Hasil penelitian Center of The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta bersama The Ford Foundation, perkiraan dana ZIS sekitar Rp 19,3

triliun per tahun, sedangkan menurut Eri Sudewo potensi zakat ansich di Indonesia sebsesar

dalam kisaran 1,08 – 32,4 triliun per tahun dengan asumsi terdapat 18 juta muslim kaya dari

80 juta muslim yang menunaikan zakat per bulan dengan kisaran 50 -150 ribu rupiah (Nurul

Huda dkk, 2012).

Kepala Baznas Didin Hafidhuddin mengatakan, zakat berperan besar dalam

pengentasan kemiskinan. Menurutnya, pengentasan kemiskinan tanpa program Zakat akan

Page 163: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

258

membutuhkan waktu yang lebih lama, ketimbang menerapkan zakat. "Pengentasan

kemiskinan tanpa zakat akan membutuhkan waktu tujuh tahun, sementara dengan

menggunakan zakat akan membutuhkan waktu 5,5 tahun (http://economy.okezone.com)

Hasil riset mutakhir yang dilakukan BAZNAS, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan

Islamic Development Bank (IDB), menemukan bahwa potensi zakat Indonesia mencapai Rp

217,3 Triliun.Hasil riset mutakhir yang dilakukan BAZNAS, Institut Pertanian Bogor (IPB)

dan Islamic Development Bank (IDB), menemukan bahwa potensi zakat Indonesia mencapai

Rp 217,3 Triliun.(Suaramerdeka.com)

Lembaga Riset Zakat (IMZ/Indonesia Magnificence of Zakat) menyebut realisasi

zakat di Indonesia masih jauh dari potensi yang dimiliki sehingga belum mampu menjadi

instrumen mengatasi persoalan kemiskinan. Direktur Utama IMZ Nana Minarti di Palu,

mengatakan, proyeksi penghimpunan dana ZISWAF (zakat, infaq, sedekah dan fakaf) pada

tahun 2010 oleh semua Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) berkisar antara Rp1,025 triliun

hingga Rp 1,395 triliun. Sementara potensi zakat menurut PIRAC (Public Interest Research

and Advocacy Center) sekitar Rp9 triliun per tahun, Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut Rp19 triliun per tahun, dan Forum Zakat

memperkirakan Rp17,5 triliun per tahun. Menurut Nana Minarti, realisasi yang masih rendah

disebabkan pembayar zakat masih karitatif, yakni berorientasi jangka pendek dan disalurkan

langsung tanpa melalui lembaga. Selain itu, masih rendahnya efisiensi dan efektivitas

pendayagunaan dana zakat lembaga zakat kurang berinovasi dalam pendayagunaan. Faktor

lain, lemahnya kerangka aturan dan institusional zakat yang menyebabkan kepercayaan

masyarakat terhadap OPZ rendah. "Kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia bidang

zakat masih lemah sehingga perlu pengelolaan zakat secara kolektif dan professional berbasis

tata kelola yang baik," urainya. (ANTARA News)

Untuk mengetahui besar potensi zakat digunakan metode perkiraan potensi zakat yang

digunakan berdasarkan asumsi dimana kadar zakat minimal 2,5% dari masing-masing sektor

ekonomi daerah (PDRB) (Amalia dan Kasyful Mahalli, 2012). Hal yang membedakan dalam

penelitian ini adalah potensi zakat dihitung dengan kadar minimal 2,5 % dari masing-masing

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, yang

diperoleh dari: berbagai sector yaitu:Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan

PerikananPertambangan dan PenggalianIndustri PengolahanListrik, Gas & Air

Page 164: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

259

BersihKonstruksiPerdagangan, Hotel & RestoranPengangkutan dan KomunikasiKeuangan,

Real Estate & Jasa PerusahaanJasa-jasa.

Pada tahun 2009 potensi zakat terbesar terdapat pada lapangan usaha Industri

Pengolahan sebesar Rp. 14,2 5 triliun, potensi zakat terbesar urutan kedua terdapat pada

lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 9,21 triliun, dan lapangan usaha

pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan pada urutan ketiga potensi zakat terbesar

ketiga dengan potensi zakat sebesar Rp. 7,39 triliun

Pada tahun 2010 potensi zakat terbesar terdapat pada lapangan usaha Industri

Pengolahan sebesar Rp. 14,47 triliun naik 676 milyar dari tahun sebelumnya, potensi zakat

terbesar urutan kedua terdapat pada lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran sebesar

Rp. 10,01 triliun atau naik sebesar 800 milyar dari tahun sebelumnya, dan lapangan usaha

pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan pada urutan ketiga potensi zakat terbesar

ketiga dengan potensi zakat sebesar Rp. 7,61 triliun, naik 222 milyar dari tahun sebelumnya.

Pada tahun 2011 potensi zakat terbesar terdapat pada lapangan usaha Industri

Pengolahan sebesar Rp. 15,84 triliun naik 916 milyar dari tahun 2010, potensi zakat terbesar

urutan kedua terdapat pada lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 10,92

triliun naik 918 milyar dari tahun 2010, dan lapangan usaha pertanian, peternakan, kehutanan

dan perikanan pada urutan ketiga dengan potensi zakat sebesar Rp. 7,87 triliun, atau naik

sebesar 256 milyar dibandingkan tahun 2010.

Lapangan usaha Industri pengolahan memiliki potensi zakat terbesar selama tiga tahun

berturut-turut potensi zakat terbesar dari lapangan usaha ini disumbang oleh industry bukan

migas dengan potensi Rp. 13,30 trilyun dengan dua jenis industry yang menjadi ujung tombak

yaitu industry peralatan, mesin, dan industry makanan, minuman, dan tembakau dengan potensi

masing-masing sebesar Rp. 4,30 trilyun dan Rp. 3,89 trilyun pada tahun 2009 dan terus

meningkat hingga pada tahun 2011potensi zakat dari industry non migas sebesar Rp. 14,67

trilyun, dengan masing-masing dua jenis industry ujung tombak naik mencapai Rp. 5,07 trilyun

dan Rp. 4,36 trilyun.

Potensi Zakat Berdasarkan Lapangan Usaha Produk Domestik Bruto Atas

Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2004-2012

Lapangan Usaha 2009

Potensi

Zakat 2010

Potensi

Zakat 2011*

Potensi

Zakat

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan

dan Perikanan

295.883,80 7.397 304.777,10 7.619 315.036,80 7.876

a. Tanaman Bahan Makanan 149.057,80 3.726 151.500,70 3.788 154.153,90 3.854

b. Tanaman Perkebunan 45.558,40 1.139 47.150,60 1.179 49.260,40 1.232

Page 165: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

260

c. Peternakan 36.648,90 916 38.214,40 955 40.040,30 1.001

d. Kehutanan 16.843,60 421 17.249,60 431 17.395,50 435

e. Perikanan 47.775,10 1.194 50.661,80 1.267 54.186,70 1.355

2. Pertambangan dan Penggalian 180.200,50 4.505 187.152,50 4.679 189.761,40 4.744

a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 95.230,00 2.381 96.146,00 2.404 95.155,20 2.379

b. Pertambangan Bukan Migas 63.820,10 1.596 68.481,50 1.712 70.405,90 1.760

c. Penggalian 21.150,40 529 22.525,00 563 24.200,30 605

3. Industri Pengolahan 570.102,50 14.253 597.134,90 14.478 633.781,90 15.845

a.Industri Migas 46.934,90 1.173 47.199,30 1.180

46.757,80 1.169

1). Pengilangan Minyak Bumi 21.083,60 527 21.346,50 534 21.459,70 536

2). Gas Alam Cair (LNG) 25.851,30 646 25.852,80 646 25.298,10 632

b. Industri Bukan Migas 523.167,60 13.304 549.935,60 13.748 587.024,10 14.675

1). Industri Makanan, Minuman dan

Tembakau

155.620,20 3.891 159.947,20 3.999 174.566,70 4.364

2). Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan

Alas Kaki

51.299,90 1.282 52.206,20 1.305 56.131,10 1.403

3). Industri Kayu dan Produk Lainnya 20.055,00 501 19.359,70 484 19.427,40 4.856

4). Industri Produk Kertas dan Percetakan 27.092,40 677 27.544,70 689 27.930,30 698

5). Industri Produk Ppuk, Kimia dan

Karet

69.514,20 1.738 72.782,00 1.821 75.657,50 1.891

6). Industri Produk Semen dan

Penggalian Bukan Logam

15.908,90 398 16.255,60 406 17.424,10 436

7). Industri Logam Dasar Besi dan Baja 7.702,00 193 7.885,60 197 8.915,20 223

8). Industri Peralatan, Mesin dan

PerlengkapanTransportasi

172.085,10 4.302 189.947,90 4.748 202.892,00 5.072

9). Produk Industri Pengolahan Lainnya 3.889,90 97 4.006,70 100 4.079,80 102

4. Listrik, Gas & Air Bersih 17.136,80 428 18.050,20 451 18.921,00 473

a. Listrik 10.483,10 252 11.050,80 276 11.959,60 299

b. Gas 4.496,60 112 4.718,00 118 4.583,90 114

c. Air Bersih 2.157,10 54 2.281,40 57 2.377,50 59

5. Konstruksi 140.267,80 3.507 150.022,40 3.751 159.993,40 3.999

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 368.463,00 9.212 400.474,90 10.012 437.199,70 10.929

a. Perdagangan Besar dan Eceran 302.028,40 7.550 331.312,90 8.283 364.321,80 9.108

b. Hotel 15.200,80 380 16.230,90 406 17.745,70 443

c. Restoran 51.233,80 1.281 52.931,10 1.323 55.132,20 1.378

7. Pengangkutan dan Komunikasi 192.198,80 4.805 217.980,40 5.450 241.298,00 6.032

a. Pengangkutan 79.571,50 1.989 85.293,40 2.132 91.841,80 2.296

1). Angkutan Rel 792,20 20 832,00 21 798,80 20

2). Angkutan Jalan Raya 34.226,50 856 35.974,40 899 38.339,30 958

3). Angkutan Laut 8.855,60 221 8.864,60 222 9.157,20 229

4). Angkutan Sungai, Danau &

Penyeberangan 2.760,70 69 2.964,20 74 3.083,50 77

5). Angkutan Udara 14.564,30 364 17.330,40 433 19.817,80 495

6). Jasa Penunjang Angkutan 18.372,20 459 19.327,80 483 20.645,20 516

Page 166: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

261

b. Komunikasi 112.627,30 2.816 132.687,00 3.317 149.456,20 3.736

8. Keuangan, Real Estate & Jasa

Perusahaan 209.163,00 5.229 221.024,20 5.526 236.146,60 5.904

a. Bank 86.057,50 2.151 90.167,80 2.254 96.393,10 2.410

b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 18.147,60 453,7 19.333,50 483 20.745,10 519

c. Jasa Penunjang Keuangan 1.424,60 35,7 1.508,50 38 1.627,20 41

d. Real Estat 63.957,60 1.599 67.497,10 1.687 71.760,20 1.794

e. Jasa Perusahaan 39.575,70 989 42.517,30 1.063 45/621,00 1.141

9. Jasa-jasa 205.434,20 5.136 217.842,20 5.446 232.537,70 5.813

a. Pemerintahan Umum 88.683,20 2.217 92.802,60 2.320 97.799,10 2.445

1). Administrasi Pemerintahan dan

Pertahanan 55.845,80 1.396 58.395,70 1.460 61.506,50 1.538

2). Jasa Pemerintahan Lainnya 32.837,40 821 34.406,90 860 3.292,60 82

b. Swasta 116.751,00 2.919 125.039,60 3.126 134.738,60 3.368

1). Jasa Sosial Kemasyarakatan 29.688,70 742 31.591,10 790 33.685,60 842

2). Jasa Hiburan dan Rekreasi 9.000,10 225 9.671,60 242 10.461,70 262

3). Jasa Perorangan dan Rumah tangga 78.062,20 1952 83.776,90 2.094 90.591,30 2.265

Produk Domestik Bruto 2.178.850,40 54.471 2.314.458,80 57.861 2.464.676,50 61.617

Produk Domestik Bruto Tanpa Migas 2.036.685,50 50.917 2.171.113,50 54.278 2.322.763,50 58.070

Catatan:

* Angka Sementara

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik

Page 167: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

262

DAFTAR PUSTAKA

Cahyat, A dkk.2007. Mengkaji Kemiskinan Dan Kesejahteraan Rumah Tangga Sebuah

Panduan Dengan Contoh Dari Kutai Barat, Bogor: CIFOR, Bogor Indonesia.

Nasikun. 2001. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan.

Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Jarnasy, Owin. 2001. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta:

Belantika,

Nurul Huda dkk, 2012, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Jakarta:

Kencana.

Peter McDonald, dkk, 2010. Indikator kemiskinan pada penduduk muda di JATABEK, The

2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey Policy Background No. 4.

M. Quraish Shihab, 2007. Wawasan Alquran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.

Jakarta: Mizan Publishing.

Amalia dan Kasyful Mahalli, Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 1, No.1, Desember 2012

Yusuf Qaradawi, Al-Zakah Dauruha Fi Ilaj Al-Musykilat Al-iqtisadyah Wa Syurur najaiha.

Kairo: Dar Al-Syuruq, 2006

Zainudin, Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan (Studi Tentang Manajemen Pelaksanaan

UU Zakat No 38 1999, Jurnal MD vol 1 No 1 Juli-Desember 2008.

Mardhiyah Hayati, Peran Pemerintah Dan Ulama Dalam Pengelolaan Zakat Dalam Rangka

Usaha Penanggulangan Kemiskinan Dan Peningkatan Pendidikan Di Indonesia

Mustafa Edwin Nasution, Zakat sebagai instrument pengentasan kemiskinan di era otonomi

daerah, Proceedings of International seminar on Islamic Economics as a Solution,

Medan: IAEI, 2005

Page 168: Jurnal At Tasyri volume iv, no 2, agustus 2012 - januari 2013

263