Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

60

Transcript of Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Page 1: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Page 2: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

JURNAL

9 772089 290009

ISSN 2089-290X

Page 3: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Page 4: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

iii

Penasihat : Direktur Jenderal P2P Sekretaris Ditjen P2P

Penanggung Jawab : Kepala Bagian Hukormas

Redaktur : Zamora Bardah, SH, MKM drg. Yossy Agustina, MH.Kes Ikron, SKM, MKM drg. Resi Arisandi, MH, MM Ahmad Ariffurohman, SH, MH

Penyunting/Editor : Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D Juni Purnomowati, SH, M.Si Devy Nurdiansyah, AMKL Sanitas L Tobing

Fotografer : Bukhari Iskandar, SKM Hilwati, SKM, M.Kes Sri Sukarsih, Amd

Sekretariat : Dr. Suwito, SKM, M. Kes Mugi Wahidin, SKM, M.Epid Lasmaria Marpaung, SKM Dody Arek Purnomo, SE Sri Sulastriningsih, Amd Rr. Trihastati R H

Penerbit : Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Telp/Fax: (021) 4225451 email: [email protected] website: www.pppl.depkes.go.id facebook: Direktorat Jenderal Pencegahan Pengendalian Penyakit

JURNAL PENCEGAHAN DANPENGENDALIANPENYAKIT

DEWAN REDAKSI

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Page 5: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Page 6: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

v

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dapat diterbitkan demi memenuhi kebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular di Indonesia.

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ini merupakan edisi 6 yang terbit di penghujung tahun 2016. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil penelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin mengetahui perkembangan terbaru tentang program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal ini.

Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat bagi kita semua.

KATA PENGANTAR

Jakarta, Desember 2016Direktur Jenderal P2P

dr. H. Mohamad Subuh, MPPM

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Page 7: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Page 8: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

vii

DAFTAR ISI

Halaman

Determinan Perilaku Kejadian Tuberkulosis di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah,2015 ........................................................................................................................................................................ 1 - 7

Pengaruh Kebiasaan Merokok Terhadap Kadar Karbon Monoksida dalam ParuPengemudi Bus di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, 2016 .......................................................... 8 - 12

Deteksi Dini Kesehatan Jiwa pada Siswa di Tiga Sekolah Menengah Atas danKejuruan di Jakarta Tahun 2015 ................................................................................................................. 13 -18

Pemanfaatan Instalasi Biogas Skala Rumah Tangga di Kelurahan Banjar Sari,Kota Metro, Lampung, 2013-2016 ............................................................................................................. 19 - 25

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Cakupan Deteksi Dini Kanker LeherRahim dan Kanker Payudara di Indonesia, 2015 ................................................................................. 26 - 31

Efikasi Kelambu Berinsektisida Setelah Pencucian Berulang Hingga 20 KaliTerhadap Nyamuk Anopheles aconitus, 2016 ....................................................................................... 32 - 37

Gambaran Kualitas Makanan di Kantin Sekolah Dasar di Jakarta Timur, 2015 ...................... 38 - 42

Program Skrining Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Melitus di Puskesmas,Denpasar, Bali, 2016 ......................................................................................................................................... 43 - 49

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Page 9: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Page 10: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 1

1 | P a g e

Determinan Perilaku Kejadian Tuberkulosis di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, 2015

The Behavioral Determinants of Tuberculosis in Kendal District, Central Java, 2015

Agustina Ayu Wulandari, Anita Dianawati, Nurjazuli, M Sakundarno

Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Abstrak Tuberkulosis paru (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah yang ditandai dengan masih tingginya angka kesakitan dan kematian. Faktor risiko kejadian TB yang sangat penting adalah perilaku penderita TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor perilaku yang berhubungan dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah tahun 2015. Desain penelitian adalah case control dengan jumlah sampel sebanyak 65 kasus dan 65 kontrol. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner dan hasil pemeriksaan BTA. Analisis data yang digunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat. Analisis bivariat menggunakan uji chi square untuk mengetahui faktor perilaku yang berhubungan dengan kejadian TB, sedangkan analisis multivariat menggunakan regresi logistik ganda untuk mengetahui faktor perilaku yang paling dominan terhadap kejadian TB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan (p<0,05) antara kebiasaan membuang dahak sembarang tempat, kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut dan kebiasaan tidak membuka jendela. Berdasarkan hasil analisis multivariat, faktor risiko perilaku yang dominan berhubungan dengan kejadian TB adalah kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut (OR=9,14; 95%CI=2,69-30,99), diikuti kebiasaan membuang dahak sembarang tempat (OR=4,40; 95% CI=1,32-14,66). Oleh karena itu perlu dipertimbangkan adanya tempat khusus untuk mengeluarkan dahak di puskesmas yang lokasinya tidak berdekatan dengan tempat berkumpulnya pasien, mendapat sinar matahari yang cukup, dan sirkulasi udara yang baik. Petugas puskesmas perlu menggunakan alat pelindung diri (masker) agar terhindar dari penularan TB. Selain itu, semua pihak terkait perlu lebih meningkatkan upaya sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), khususnya tentang perilaku buang dahak dan batuk/bersin agar masyarakat membudayakan PHBS dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memperhitungan faktor lain yang berhubungan dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal sebagai variabel confounding. Kata kunci : Determinan perilaku, tuberkulosis, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah Abstract Pulmonary tuberculosis (TB) is still a public health problem in Kendal Distric, Central Java Province, which is characterized by a high rate of morbidity and mortality. Avery important risk factor of the incidence of TB is the behavior of people with TB. This study aimed to determine the behavioral factors associated with the incidence of TB in Kendal Distric, Central Java in 2015. The design was case control study with a sample size of 65 cases and 65 controls. The type of data was primary data obtained from interviews using a questionnaire and the results of smear examination. The applied data analyses were univariate, bivariate and multivariate analyses. The bivariate analysis used chi-square test to determine behavioral factors associated with the incidence of TB, whereas the multivariate analysis used multiple logistic regressions to determine the behavior of the most dominant factor of TB incidence. The results showed that there was significant relationship (p <0.05) between the habit of throwing phlegm just anywhere, the habit of coughing/sneezing without covering their mouths and the habit of not opening the windows. Based on the results of multivariate analysis, the dominant behavioral risk factor associated with the incidence of TB was the habit of coughing/sneezing without covering their mouths (OR = 9.14; 95% CI = 2.69-30.99), followed by the habit of throwing phlegm just anywhere (OR = 4.40; 95% CI = 1.32-14.66). Therefore, it should be considered to provide a special place to remove phlegm in health centers, which is located not near the gathering place for patients, which gets enough sunlight and good air circulation. Public health center officers need to use personal protective equipment (mask) in order to avoid transmission of TB. In addition, all parties involved need to further enhance dissemination efforts ofClean and Healthy Lifestyle Behavior (PHBS), particularly concerning the behavior of hawking phlegm and coughing/sneezing so that people cultivate PHBS in everyday life. In addition, it is necessary to conduct further research by taking into account other factors associated with the incidence of TB in Kendal Distric as confounding variables. Keywords: Behavioral determinant, tuberculosis, Kendal District, Central Java Alamat Korespondensi: Anita Dianawati, Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit tropis infeksi yang menyerang paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

Page 11: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit2

2 | P a g e

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit menular penyebab kematian tertinggi di dunia. Berdasarkan Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014, pada tahun 2013 diperkirakan sebanyak 9 juta kasus TB di dunia dan 1,5 juta diantaranya meninggal karena TB.

Indonesia merupakan negara dengan penderita TB ke-5 terbanyak di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Diperkirakan setiap tahun ada sebanyak 429.730 kasus baru dengan 62.246 kematian, dan insidensi TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011). Penemuan kasus baru TB BTA positif (Case Detection Rate) di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan adanya peningkatan, yaitu dari 55,38% (2010) menjadi 59,52% (2011).. Namun demikian, CDR tahun 2012 dan 2013 sedikit menurun dibandingkan dengan CDR tahun 2011, yaitu 58,45% (2012) dan 58,86% (2013). Berdasarkan Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2014, Kabupaten Kendal menempati urutan ke-12 dalam penemuan kasus TB. Peningkatan CDR di Kabupaten Kendal terjadi tahun 2014 dibandingkan dengan CDR tahun 2013 dan 2012, yaitu 54,64% (2014), 43,98% (2013) dan 49,03% (2012) (Dinkes Kendal, 2015). Angka kematian TB di Kabupaten Kendal tahun 2012-2014 berfluktuasi, yaitu dari 4,6% (2012) , turun menjadi 2,9% (2013), dan naik kembali menjadi 5,3% (2014) (Dinkes Kendal, 2015). Bila ditinjau aspek epidemiologis, timbulnya suatu penyakit (dalam hal ini TB) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu agent, host, dan lingkungan (Hadisaputro et al. 2011). Manusia (host) merupakan sumber penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Terjadinya penularan dimulai pada saat penderita TB paru batuk atau bersin. Penyebaran bakteri dari penderita TB ke udara yaitu dalam bentuk percikan dahak, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Untuk setiap penderita TB BTA (+) berpotensi menularkan kepada 10-15 orang lain per tahun, sehingga kemungkinan setiap orang yang kontak dengan penderita TB akan tertular (Depkes 2008, Padmanesan et al. 2013). Bersin merupakan proses membuang cairan/lendir dari rongga hidung ke udara bebas. Apabila dalam butiran lendir

mengandung kuman TB dan penderita tidak menutup hidung dan mulut pada saat bersin, maka dapat menularkan TB ke orang lain.

Faktor risiko kejadian TB meliputi faktor perilaku, lingkungan, dan pelayanan kesehatan. Adapun faktor perilaku terdiri dari kebiasaan merokok, meludah atau membuang dahak di sembarang tempat, batuk atau bersin tidak menutup mulut, dan kebiasaan tidak membuka jendela (Ahmadi, 2005). Hasil wawancara dengan penderita TB Paru di klinik sanitasi puskesmas tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 473 penderita TB, sebesar 50,95 % adalah perokok, 67,75% meludah atau membuang dahak tidak pada tempat khusus, dan 68,5% tidak menutup mulut pada saat batuk atau bersin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor perilaku dan kejadian TB pada tahun 2015.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan desain case control. Variabel bebas terdiri dari kebiasaan merokok, meludah atau membuang dahak di sembarang tempat, batuk atau bersin tidak menutup mulut, dan kebiasaan tidak membuka jendela, variabel terikat adalah kejadian TB.

Jumlah sampel terdiri dari 65 kasus dan 65 kontrol. Kasus adalah penderita TB dengan BTA (+) yang berobat di puskesmas periode Januari-Februari 2015, sedangkan kontrol adalah pasien yang berobat di puskesmas dengan BTA (-) periode waktu yang sama. Pemeriksaan klinis dilakukan oleh dokter atau petugas puskesmas dan pemeriksaan dahak dilakukan di laboratorium puskesmas.

Kriteria inklusi kasus adalah: 1) Pasien tercatat pada register TB 03 puskesmas dan didiagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan dahak di laboratorium puskesmas sebagai kasus baru TB BTA (+), bersedia diwawancarai ,sebagai responden penelitian, dan berdomisili di wilayah kerja puskesmas. Kriteria eksklusi kasus adalah: 1) Responden sulit ditemui atau meninggal dunia; dan 2) Responden berpindah tempat tinggal ke luar wilayah kerja puskesmas.

Page 12: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 3

3 | P a g e

Analisis data menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Analisis univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi responden menurut karakteristik (jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status gizi, dan status imunisasi BCG), dan menurut kebiasaan (merokok, membuang dahak, batuk/bersin, dan membuka jendela). Analisis bivariat menggunakan chi square untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen sedangkan analisis multivariat menggunakan

HASIL Distribusi frekuensi responden menurut

karakteristik dan kebiasaan responden pada kasus dan kontrol di Kabupaten Kendal tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2

Tabel 1. Distribusi frekuensi responden menurut karakteristik pada kasus dan kontrol di Kabupaten Kendal tahun 2015

No Karakteristik Kategori Kasus Kontrol

n % n %

1. Jenis kelamin Laki-laki 33 50,8 44 67,7 Perempuan 32 49,2 21 32,3

2. Tingkat pendidikan SD 18 27,7 19 29,2 SLTP 24 36,9 25 38,5 SLTA 23 35,4 21 32,3

3. Pekerjaan Petani 16 24,6 13 20,0 Nelayan 4 6,2 11 16,9 Pedagang 14 21,5 12 18,5 PNS 5 7,7 2 3,1 Buruh 11 16,9 11 16,9 Karyawan Swasta 15 23,1 16 24,6

4. Status gizi Tidak normal 41 63,1 36 55,4 Normal 24 36,9 29 44,6

5. Status imunisasi BCG Tidak ada 9 13,8 7 10,8 Ada 56 86,2 58 89,2

regresi logistik ganda untuk mengetahui faktor perilaku yang paling dominan terhadap kejadian TB.

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar

kelompok kasus dan kontrol adalah laki-laki (50,8% dan 67,7%), tingkat pendidikan SLTP (36,9% dan 38,5%), pekerjaan sebagai petani (24,6% dan 20,0%), status gizi tidak normal (63,1% dan 55,4%), diimunisasi BCG (86,2% dan 89,2%).

Tabel 2. Distribusi frekuensi responden menurut kebiasaan responden pada kasus dan kontrol di Kabupaten Kendal tahun 2015

No. Kebiasaan Kategori Kasus Kontrol

N % n %

1. Merokok Ya 24 36,9 16 24,6 Tidak 41 63,1 49 75,4

Page 13: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit4

4 | P a g e

2. Membuang dahak Tempat terbuka 55 84,6 25 38,5 Tempat tertutup 10 15,4 40 61,5

3 Batuk/bersin Tanpa menutup mulut 59 90,8 18 27,7 Menutup mulut 6 9,2 47 72,3

4 Membuka jendela Tidak membuka Membuka

4421

67,7 32,3

31 34

47,752,3

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar

kelompok kasus tidak mempunyai kebiasaan merokok (63,1%), membuang dahak di tempat terbuka (84,6%), batuk/bersin tidak menutup mulut (90,8%), dan tidak membuka jendela (67,7%), sedangkan pada kelompok kontrol, sebagian besar tidak mempunyai kebiasaan merokok (75,4%), membuang dahak di tempat tertutup (61,5%), batuk/bersin menutup mulut (72,3%), dan membuka jendela (52,3%)

Berdasarkan hasil analisis bivariat, hubungan variabel independen dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal tahun 2015 sebagaimana terlihat pada Tabel 3

Berdasarkan Tabel 3, variabel-variabel yang menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal tahun 2015 adalah kebiasaan membuang dahak di sembarang tempat (OR=8,80; 95%CI=3,80-20,36), kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut (OR=25,68; 95%CI=9,44-3,82), dan kebiasaan tidak membuka jendela (OR=2,30; 95%CI=1,13-4,68), sedangkan variabel yang tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0,05) adalah kebiasaan merokok.

Hasil analis multivariat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Hubungan variabel independen dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal tahun 2015

No. Variabel independen Kejadian TB

p OR 95%CI

1. Kebiasaan merokok 0,183 1,79 0,841-3,820 2. Kebiasaan membuang dahak

sembarang tempat <0,001 8,80 3,80-20,36

3. Kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut

<0,001 25,68 9,44-69,81

4. Kebiasaan tidak membuka jendela 0,033 2,30 1,13-4,68

Tabel 4. Hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda untuk mengetahui faktor perilaku yang paling dominan berhubungan dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal tahun 2015

No. Variabel β p OR 95% CI

1.

Kebiasaan membuang dahak sembarang tempat

1,482

0,016

4,40

1,32-14,66

2.

Kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut

2,212 <0,001 9,14 2,69-30,99

Tabel 4 menjelaskan bahwa variabel paling

dominan berhubungan dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal adalah kebiasaan

batuk/besin tanpa menutup mulut (OR=9,14; 95%CI=2,69-30,99), diikuti kebiasaan

Page 14: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 5

5 | P a g e

membuang dahak sembarang tempat (tempat terbuka) (OR=4,40; 95% CI=1,32-14,66).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden pada kelompok kasus dan kontrol adalah laki-laki, tingkat pendidikan SLTP, petani, status gizi tidak normal, dan diimunisasi BCG (Tabel 1).

Status gizi responden ditentukan berdasarkan hasil pehitungan Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu berat badan (dalam kilogram) dibagi tinggi badan kuadrat (dalam meter), sedangkan status imunisasi BCG responden diketahui dengan melihat tanda bekas imunisasi BCG pada pangkal lengan atas. Pada kelompok kasus yang tidak ada bekas imunisasi BCG sebanyak 9 orang (13,8%) dan kelompok kontrol yang tidak ada bekas imunisasi sebanyak 7 orang (10,8%) .

Pada kelompok kasus sebagian besar tidak mempunyai kebiasaan merokok, membuang dahak di tempat terbuka, batuk/bersin tidak menutup mulut, dan tidak membuka jendela, Pada kelompok kontrol, sebagian besar tidak mempunyai kebiasaan merokok, membuang dahak di tempat tertutup, batuk/bersin menutup mulut, dan membuka jendela (Tabel 2).

Variabel-variabel yang menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal tahun 2015 adalah kebiasaan membuang dahak di sembarang tempat, kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut, dan kebiasaan tidak membuka jendela, sedangkan variabel yang tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0,05) adalah kebiasaan merokok (Tabel 3).

Variabel paling dominan berhubungan dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal adalah kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut (OR=9,14; 95%CI=2,69-30,99), diikuti kebiasaan membuang dahak sembarang tempat (tempat terbuka) (OR=4,40; 95% CI=1,32-14,66) (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut mempunyai risiko 9 kali lebih tinggi terhadap kejadian TB dibandingkan dengan kebiasaan batuk/bersin menutup mulut, sedangkan kebiasaan membuang dahak sembarang tempat (tempat terbuka)

mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terhadap kejadian TB dibandingkan dengan kebiasaan membuang dahak di tempat tertutup.

Kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut sangat berisiko terhadap penularan TB. Penularan terjadi dalam ruangan dimana droplet nuklei dapat tinggal di udara dalam jangka waktu yang lama. Droplet nuklei dapat tergantung di udara selama beberapa jam. (Atmosukarto dan Soewati, 2000).

Risiko infeksi sangat tinggi apabila kontak dekat dengan penderita TB. Satu penderita TB dapat menyebarkan bakteri M.tuberculosis kepada 10 orang lain (yang mungkin tinggal dalam satu rumah). Hasil ini sesuai dengan penelitian Helper (2010), bahwa penderita TB yang mempunyai kebiasaan sering tidak menutup mulut saat batuk, dapat menularkan TB pada orang-orang yang sehat di sekitarnya.

Untuk mengetahui potensi penularan TB BTA (+) dilakukan dengan contact tracing pada keluarga kasus TB BTA (+), yaitu dengan mengambil sampel dahak anggota keluarga kontak serumah yang terindikasi batuk berdahak dan berumur ≥15 tahun (suspek). Pada penelitian ini, 65 kasus TB BTA (+),jumlah sampel dahak yang diambil pada keluarganya yaitu sebanyak 44, sedangkan untuk 21 kasus TB BTA (+) lainya tidak ditemukan adanya suspek pada keluarganya, sehingga sampel dahak tidak diambil. Hal ini kemungkinan karena penularan TB ke anggota keluarga belum terjadi, mengingat kasus dalam penelitian ini merupakan kasus baru. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, sebanyak 3 (4,6%) menunjukkan hasil BTA (+).

Risiko penularan TB tergantung pada tingkat paparan percikan dahak dari penderita TB BTA (+), lama paparan, dan kondisi tubuh orang yang terpapar.

Selain itu, membuang dahak pada tempat terbuka berisiko terhadap kejadian TB, karena kuman M. tuberkulosis dapat bertahan di udara selama beberapa jam, kecuali ada sinar matahari, sehingga berpotensi menginfeksi seseorang bila droplet tersebut terhirup dan masuk kedalam saluran pernafasan. (WHO, 1997). Hal ini sesuai dengan pendapat Crofton et al. (2002), bahwa batuk, berbicara dan meludah memproduksi percikan sangat kecil, berisi bakteri TB yang melayang-layang di

Page 15: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit6

6 | P a g e

udara. Bakteri ini dapat terhirup dan menyebabkan penyakit. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, sebanyak 3 (4,6%) menunjukkan hasil BTA (+) membuktikan teori bahwa pasien TB Paru dengan BTA positif memberii kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru BTA negatif. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak makin menular pasien tersebut (Kemenkes, 2011).

KESIMPULAN

1. Faktor-faktor yang menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan kejadian TB di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah tahun 2015 adalah kebiasaan membuang dahak di sembarang tempat, kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut, dan kebiasaan tidak membuka jendela.

2. Variabel paling dominan berhubungan dengan kejadian TB adalah kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut, diikuti kebiasaan membuang dahak sembarang tempat.

3. Ditemukan adanya 3 kasus baru TB BTA (+) pada keluarga penderita, yang menunjukkan potensi penularan oleh penderita TB kepada keluarganya.

SARAN

Perlu pertimbangan Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal/puskesmas) adanya tempat khusus untuk mengeluarkan dahak di puskesmas yang lokasinya tidak berdekatan dengan tempat berkumpulnya pasien, mendapat sinar matahari yang cukup, dan sirkulasi udara yang baik. Petugas puskesmas perlu menggunakan alat pelindung diri (masker) agar terhindar dari penularan TB. Selain itu, semua pihak terkait perlu lebih meningkatkan upaya sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), khususnya tentang perilaku buang dahak dan batuk/bersin agar masyarakat membudayakan PHBS dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memperhitungkan faktor lain yang berhubungan dengan kejadian TB di

Kabupaten Kendal sebagai variabel confounding.

UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penelitian ini, sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, U.F., 2005. Manajemen penyakit

berbasis wilayah Edisi I. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Atmosukarto, Soewati,S., 2000. Pengaruh Lingkungan pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis. Media Litbang Kesehatan, Vol. 9.

Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 2006. Tuberkulosis Klinis Edisi 2, Jakarata :TALC dan PERDHAKI.

Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Jakarta:Dirjen P2MPL.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil Kesehatan Propinsi Jawa Tengah tahun 2014. Semarang: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal. 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Kendal Tahun 2014. Kendal:Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal.2014. Data hasil rekapitulasi konseling penderita TB Paru di Klinik Sanitasi Puskesmas tahun 2013. Kendal: Bidang P2PL.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal. 2015. Laporan TB tahun 2011-2014. Kendal : Seksi P2ML.

Hadisaputro ,S., Nizar, M., Suwandono, A. 2011. Epidemiologi Manajerial Teori Dan Aplikasi, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Helper,S., 2010. Faktor - faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru dan upaya penanggulangan. Jurnal Ekologi Kesehatan,9(4) :1340-1346.

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Dirjen P2PL.

Page 16: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 7

7 | P a g e

Padmanesan, N., James, W., Chandini ,R., Macintyre,D., Mathai, Risk factors for tuberculosis, Hindawi publishing corporation pulmonary madicine, volume 2013 Article ID 828939 diakses dari : http://dx.doi.org/10.1155/2013/828939

WHO.1997. Tuberculosis Handbook Geneva, World Health Organization TB : a Clinical Manual for South East Asia,.Geneva : WHO.

WHO.2014. Global Tuberculosis Report 2014.Geneva : WHO.

Page 17: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit8

8 | P a g e

Pengaruh Kebiasaan Merokok Terhadap Kadar Karbon Monoksida dalam Paru Pengemudi Bus di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, 2016

Effect of Smoking Habit Against Carbon Monoxide Level in the Lung of Bus Driver

in Ketapang Port, Banyuwangi, 2016

Pipin Arisandi, Sholikah, Rahmat Subakti, Rofiud Darojat, Suyoko, Jumali

Kantor Kesehatan Pelabuhan Probolinggo, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI

Abstrak Rokok mengandung tidak kurang dari 4.000 bahan kimia, salah satunya adalah karbon monoksida (CO), yaitu gas beracun yang mempunyai afinitas kuat terhadap hemoglobin, sehingga menyebabkan gangguan fungsi haemoglobin. Satu batang rokok mengandung 3-6% CO, dan dalam darah kadarnya mencapai 5%, sedangkan pada orang yang bukan perokok, kadarnya 1%. Selain gangguan fungsi hemoglobin, karbon monoksida juga berdampak terhadap pembuluh darah. Risiko gangguan hemoglobin dan pembuluh darah meningkat pada pengemudi bus yang mempunyai kebiasaan merokok, dimana selain terpapar asap rokok, juga asap kendaraan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2016 dengan tujuan mengetahui pengaruh kebiasaan merokok terhadap kadar CO dalam paru pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Desain penelitian cross sectional study dengan jumlah sampel sebanyak 83 pengemudi yang diambil secara sistematic random sampling. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran kadar CO dalam paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (66%) pengemudi bus memiliki kadar CO kategori tinggi (>10% CPppm). Berdasarkan hasil uji regresi sederhana, ada hubungan yang signifikan dan berkorelasi positif sangat kuat (p<0,05; r=0,9) antara kebiasaan merokok dengan kadar CO dalam paru. Untuk meningkatan kesehatan paru pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, maka diperlukan adanya kerjasama dengan lintas sektor terkait untuk memantau kembali kadar CO dalam paru dan pemeriksaan fungsi paru pengemudi bus, serta kegiatan sosialisasi secara berkala tentang pengaruh kebiasaan merokok terhadap kesehatan paru. Selain itu, perlu penelitian lebih lanjut dengan memperhitungan faktor lain yang dapat mempengaruhi kadar CO dalam paru pengemudi bus, seperti paparan polusi udara sebagai variabel perancu.

Kata kunci: Kebiasan merokok, karbon monoksida, pengemudi bus, Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi Abstract Cigarettes contain not less than 4,000 chemicals, one of which is carbon monoxide (CO), a poisonous gas that had a strong affinity to hemoglobin, resulting in impaired function of hemoglobin. One cigarette contains 3-6% CO, and blood levels are reached 5%, while in non-smokers, the level is 1%. In addition to impaired function of hemoglobin, carbon monoxide, also affect the blood vessels. The risk of hemoglobin disorders and blood vessels increase in bus driver who have the habit of smoking, which in addition to exposure to cigarette smoke, car exhaust. The study was conducted in July 2016 with the aim of knowing the effect of smoking on CO levels in the lung to the bus whom driver cross the Java-Bali in the port of Ketapang, Banyuwangi. Cross sectional study design with a total sample of 83 drivers were taken by systematic random sampling. The type of data are primary data obtained from interviews using questionnaires and measurements of CO levels in the lungs. The results showed that the majority (66%) the bus driver has high levels of CO category (> 10% COppm). Based on the results of simple regression test, that significant association was very strong and positively correlated (p <0.05; r = 0.9) between smoking and CO levels in the lungs. To improve health to the bus driver across Java and Bali in the port of Ketapang, Banyuwangi, the necessary cooperation with the relevant sectors concerned to monitor the levels of CO in the lung and pulmonary function tests to the bus driver, as well as dissemination activities on a regular basis about the effect of smoking on lung health, In addition, more research needs to take into account other factors that can affect the levels of CO in the lung to the bus driver, such as exposure to air pollution as confounding variables. Keywords : Smoking habit, carbon monoxide, bus driver, Ketapang Port, Banyuwangi

Page 18: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 9

9 | P a g e

Alamat Korespondensi: Pipin Arisandi, KKP Probolinggo, Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, Jl. Tanjung Tembaga Baru Probolinggo, Hp. 082301661666, e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN Berdasarkan The Tobacco Atlas 3rd edition,

2009 persentase penduduk dunia yang mengkonsumsi tembakau adalah sebesar 57% di Asia dan Australia, 14% (Eropa Timur dan pecahan Uni Soviet), 12% (Amerika), 9% (Eropa Barat), dan 8% (Timur Tengah serta Afrika).

Sementara itu, ASEAN merupakan sebuah kawasan penyumbang 10% perokok dunia dan 20% kematian global akibat tembakau. Penduduk negara-negara ASEAN yang mempunyai kebiasaan merokok tersebar di Indonesia (46,16%), Filipina (16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73%), Thailand (7,74%), Malaysia (2,90%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%), dan Brunei (0,04%) (Infodatin, 2015).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), prevalensi perokok di Indonesia (usia ≥10 tahun) merupakan salah satu diantara yang tertinggi di dunia, terdiri dari 46,8% laki-laki dan 3,1% perempuan (WHO, 2011). Dari 62,8 juta perokok, 40% berasal dari kalangan dengan tingkat ekonomi rendah (Reimondos dkk, 2012).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2013, prevelensi perokok pada usia ≥10 tahun di Indonesia meningkat dari 36,3% (2007) menjadi 34,7% (2013).

Rokok mengandung tidak kurang dari 4.000 bahan kimia, salah satunya adalah karbon monoksida (CO), yaitu gas beracun yang mempunyai afinitas kuat terhadap hemoglobin, sehingga menyebabkan gangguan fungsi haemoglobin.

Satu batang rokok mengandung 3-6% CO, dan dalam darah kadarnya mencapai 5%, sedangkan pada orang yang bukan perokok, kadarnya 1%.

Selain gangguan fungsi hemoglobin, karbon monoksida juga berdampak terhadap pembuluh darah. Risiko gangguan hemoglobin dan pembuluh darah meningkat pada pengemudi bus yang mempunyai kebiasaan merokok, dimana selain terpapar asap rokok, juga asap kendaraan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2016 dengan tujuan mengetahui pengaruh kebiasaan merokok terhadap kadar karbon monoksida (CO) dalam paru pengemudi angkutan umum (selanjutnya ditulis pengemudi bus) lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.

Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat dalam program penecegahan dan pengendalian penyakit tidak menular di Indonesia khususnya Provinsi Jawa Timur, terutama dalam kegiatan advokasi dan sosialisasi tentang risiko kebiasaan merokok terhadap kesehatan paru pengemudi bus.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain cross

sectional study. Populasi penelitian adalah seluruh pengemudi bus lintas Jawa-Bali yang ada di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, sedangkan pupulasi sampel adalah sebagian pengemudi bus lintas Jawa-Bali. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Rumus Lemeshow (1997), diperoleh besar sampel minimal sebanyak 64, namun pada penelitian ini jumlah sampel lebih banyak, yaitu 83 pengemudi bus. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematic random sampling.

Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran kadar CO dalam paru pengemudi bus.

Wawancara meliputi karakteristik responden, yaitu umur dan jenis kelamin, kebiasaan merokok, dan jumlah rokok dihisap setiap hari.

Pengukuran kadar karbon monoksida dalam paru pengemudi bus menggunakan alat Smokerlyzer dengan cara meniupkan udara dari mulut sekuat mungkin sampai udara yang dikeluarkan sudah habis. Angka pada layar smokerlyzer akan menunjukkan kadar karbon monoksida dalam paru pengemudi bus. Tampilah warna hijau pada layar smokerlyzer menandakan kadar karbon monoksida dalam paru tergolong rendah (0-6 COppm), warna kuning termasuk sedang (7-10 COppm), dan warna merah termasuk tinggi (lebih dari 10 COppm) (Jarvis, 1986).

Analisis data menggunakan software SPSS versi 17, dengan tahapan: 1) Melakukan uji normalitas, 2) Uji linieritas, dan 3) Uji regresi

Page 19: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit10

10 | P a g e

linier sederhana. Dari hasil uji analisis regresi linier diketahui koefisien korelasi (r) dengan kategori menurut Subana dan Sudrajat, 2001, sedangkan signifikansi hubungan berdasarkan nilai p.

HASIL

Berdasarkan hasil analisis univariat, nilai

minimal, maksimal, rata-rata, dan Standar Deviasi (SD) menurut variabel penelitian, sebagaimana terlihat pada Table 1. berikut ini: Tabel 1. Nilai minimal, maksimal, rata-rata, dan SD menurut variabel penelitian di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016.

Variabel n Min Maks Rata-rata

SD

Umur (tahun)

83 23 67 44,37 10,080 Jumlah

rokok yang dihisap per hari (batang)

83 1 12 5,46 2,935

Kadar karbon monoksida (COppm)

83 3 24 13,46 4,991

Tabel 1 menunjukkan bahwa, semua (100%)

pengemudi bus adalah laki-laki. Rata-rata umur pengemudi bus yang mempunyai kebiasaan merokok adalah 44 tahun, termuda 23 tahun, sedangkan tertua mencapai 67 tahun. Jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari adalah sebanyak 5,46 batang, paling sedikit 1 (satu) batang, sedangkan paling banyak 12 batang. Sementara itu, berdasarkan hasil pengukuran, jumlah rata-rata kadar karbon monoksida dalam paru pengemudi bus adalah sebesar 13,5 Coppm, terendah adalah 3 COppm, dan tertinggi mencapai 24 COppm.

Distribusi frekuensi pengemudi bus menurut kategori hasil smokerlyzer (rendah, sedang, dan tinggi) dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. Distribusi frekuensi pengemudi bus menurut kategori hasil smokerlyzer di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016

Berdasarkan Grafik 1, jumlah pengemudi bus

yang mempunyai kadar karbon monoksida (CO) dalam paru kategori rendah adalah sebanyak 5 pengemudi (6%), sedang 23 (28%), dan tinggi 55 orang (66%).

Hasil uji regresi sederhana pengaruh

kebiasaan merokok terhadap kadar CO dalam paru pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh kebiasaan merokok terhadap kadar karbon monoksida dalam paru pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, 2016

Variabel Unstandar-

dized efficients t Sig. r r2 B SE

Konstanta

5,080 0,503 10,104

0,000

0,903

0,815 Konsumsi rokok 1,535 0,081 18,893 0,000

Tabel 2 menunjukkan bahwa ada hubungan

yang signifikan dan berkorelasi positif sangat kuat (p<0,05; r=0,9) antara kebiasaan merokok dengan kadar CO dalam paru. Model pada penelitian ini adalah y=5,08+1,54x (Tabel 2).

Kadar CO dalam paru

Page 20: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 11

11 | P a g e

PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa

seluruh pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016 berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Imawati (2013), seluruh pengemudi bus non-patas dan angkot Kota Surabaya (100%) adalah laki-laki.

Usia rata-rata pengemudi bus adalah 40 tahun, yaitu usia yang cukup dalam melakukan pekerjaan yang cukup berat sebagai pengemudi bus lintas Jawa-Bali. Temuan ini hampir sama dengan hasil penelitian Karundeng dkk (2014), bahwa rata-rata umur sopir bus trayek Bitung-Menado adalah 42 tahun.

Kebiasaan merokok pada pengemudi bus bervariasi, mulai dari 1 hingga 12 batang per hari. Konsumsi jumlah rokok pada pengemudi bus, dengan rata-rata 5,5 batang. Hasil penelitian Dian, dkk (2012) menunjukkan bahwa jumlah perokok dengan kategori ringan adalah sebanyak 6 orang (21,4%), perokok sedang 10 (35,7%), perokok berat 8 (28,6%), sisanya (4 orang) bukan perokok. Dari hasil ini terlihat bahwa perokok sedang menempati jumlah terbanyak (35,7%).

Sebagian besar (66%) pengemudi bus memiliki kadar CO 13,5 COppm dalam paru atau kategori tinggi (>10% COppm), dan kadar tertinggi mencapai 24 COppm. Berdasarkan hasil uji regresi linier sederhana, ada hubungan yang signifikan dan berkorelasi positif sangat kuat antara kebiasan merokok dengan pengemudi bus dengan kadar CO paru. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Marlina (2010), bahwa ada hubungan yang bermakna antara konsumsi rokok dengan kadar karbon monoksida di paru.

Jumlah harian rokok yang dikonsumsi dapat mempengaruhi kadar CO ekspirasi pada perokok dengan perkiraan 15-34 ppm, bila merokok 20 batang/hari dan meningkat menjadi 25-60 ppm bila 40 batang/hari. Terdapat korelasi yang bermakna antara konsumsi jumlah rokok harian dengan kadar CO udara ekspirasi pada perokok (p=0,009; r=0,283) (Kandrick, 2010).

Begitu juga dengan hasil dari penelitian Rahmania, dkk (2014), bahwa kadar CO udara ekspirasi pada perokok lebih tinggi

dibandingkan yang bukan perokok. Hal ini menunjukkan bahwa asap rokok mempunyai risiko tinggi menambah kadar CO dalam paru. Penelitian lain yang serupa, yaitu adanya pengaruh antara kebiasaan merokok sopir bus terhadap gangguan fungsi paru, dan sopir bus yang biasa merokok mempunyai risiko dapat terjadi gangguan fungsi paru sebesar 6 kali dibanding sopir yang tidak merokok (Irva, 2014)

Pada penelitian ini, diperoleh model yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran atau prediksi nilai kadar CO dalam paru pada pengemudi bus lintas Jawa-Bali yang mempunyai kebiasaan merokok, yaitu y=5,08+1,535x (y=kadar CO paru, dan x=jumlah batang rokok yang dihisap per hari). Berdasar model tersebut, setiap batang rokok yang dihisap oleh pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016, dapat meningkatkan kadar CO dalam paru sebesar 1,535ppm.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar

(66%) pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi tahun 2016 memiliki kadar CO kategori tinggi (>10% CPppm) dalam paru. Ada hubungan yang signifikan dan berkorelasi positif sangat kuat (p<0,05; r=0,9) antara kebiasaan merokok dengan kadar CO dalam paru pengemudi bus.

SARAN

Diperlukan adanya kerjasama dengan lintas

sektor terkait untuk memantau kembali kadar karbon monoksida dalam paru dan mengukur kapasitas faal paru pada pengemudi bus lintas Jawa-Bali di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi., serta sosialiasai secara berkala tentang pengaruh kebiasaan merokok terhadap kesehatan paru.

Penelitian ini sangat terbatas, karena hanya mengetahui konsumsi jumlah rokok pada pengemudi bus lintas Jawa-Bali, namun belum memperhitungkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kadar karbon monoksida dalam paru pengemudi bus, seperti paparan polusi udara sebagai variabel perancu (confounding).

Page 21: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit12

12 | P a g e

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada karyawan/karyawati KKP Kelas II Probolinggo khususnya Wilayah Kerja Pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi atas bantuan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan kegiatan ini, sehingga penelitian dan penulisan artikel ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Ika Marlina, 2010. Hubungan Antara Kebiasaan

Merokok Dengan Kadar CO Paru Pada Perokok di Desa Bulu dan Desa Bandengan Kabupaten Jepara.

Infodatin, 2015. Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia Berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2013.

Imawati, 2013. Pengaruh Sopir Angkutan Umum Terhadap Kualitas Pelayanannya Kepada Masyarakat Pengguna Angkutan Umum, Surabaya

Iriyana Irva, 2014. Pengaruh Paparan Polusi Udara dan Kebiasaan Merokok Terhadap Fungsi Paru Pada Sopir Bus di Terminal Tirtonadi Surakarta, Surakarta

Jarvis M, 1986. Low Cost Carbon Monoxide Monitors in Smoking Assessment

Karundeng Gloria dkk, 2014. Hubungan Antara Umur Dan Keluhan Nyeri Punggung Dengan Perasaan Kelelahan Kerja Pada Sopir Bus Trayek Bitung Manado Di Terminal Tangkoko Kota Bitung. Bitung

Pratama Dian, dkk. 2012. Hubungan Usia, Lama Kerja, dan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru pada Juru parkir di Jalan Pandanaran Semarang, Semarang.

Rahmania, dkk. 2014. Kadar Karbon Monoksida Udara Ekspirasi pada Perokok dan Bukan Perokok serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Jakarta

Reimondos Anna dkk, 2012. Merokok dan Penduduk Dewasa Muda di Indonesia

Subana, Sudrajat, 2001. Dasar-Dasar Pelatihan Ilmiah, Bandung

Page 22: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 13

13 | P a g e

Deteksi Dini Kesehatan Jiwa pada Siswa di Tiga Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan di Jakarta Tahun 2015

Early detection of mental health on students at three high schools and vocational schools in

Jakarta by 2015

Nova Riyanti Yusuf, Marleni Desnita, Surahman

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI

Abstrak Kesehatan jiwa anak dan remaja merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan mereka di sekolah dan masa depan di masyarakat. Sekolah menjadi tempat yang penting dalam melakukan deteksi dini dan intervensi gangguan emosi dan perilaku pada anak dan remaja, karena mereka menghabiskan hampir sebagian besar waktu mereka di sekolah. Tujuan deteksi dini adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan jiwa pada siswa kelas IX dan X di tiga (3) Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Kejuruan (SMK) yang ada di Jakarta, yaitu SMA 70, SMA 6, dan SMK 26. Metode deteksi dini adalah dengan melakukan skrining menggunakan instrumen Strengt and Difficult Questionnaire (SDQ) dan Children’s Depression Inventory (CDI), tes grafis dan wawancara. Jumlah siswa yang diskrining sebanyak 1387 siswa berusia 15-17 tahun, terdiri dari 371 siswa SMA 70, 509 (SMA 6), dan 507 (SMK 26). Hasil deteksi dini antara lain menunjukkan bahwa sebesar 19% siswa mengalami gangguan emotional yang abnormal, 12% borderline (SMA 70), 15% gangguan emotional yang abnormal, 13% borderline (SMA 6), dan 14% peer problem yang abnormal, 20% borderline (SMK 26). Sebagian siswa SMA 70 ada yang merasa tertekan dengan sikap teman sebaya, adanya persaingan ketat dalam kegiatan belajar, dan memiliki persepsi bahwa sekolah mereka adalah sekolah untuk anak-anak yang berprestasi. Selain itu, sebanyak 5 siswa mengalami psikopatologi halusinasi auditorik dan 1 siswa dengan ide kejar (SMK 26). Untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan jiwa pada siswa sedini mungkin, maka perlu dilakukan pengembangan program kesehatan jiwa siswa yang lokal spesifik dan pelatihan kader kesehatan jiwa yang terintegrasi dengan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

Kata kunci: Deteksi dini, kesehatan jiwa, siswa, sekolah menengah atas dan kejuruan, Jakarta Abstract Child and adolescent mental health is one of the determinants of their success in school and in the community's future. The school became a place of importance in conducting early detection and intervention with emotional and behavioral disorders in children and adolescents, because they spend most of their time in school. The purpose of early detection is to know the condition of mental health in students of class IX and X in the three (3) secondary school (HIGH SCHOOL) and Vocational (VOCATIONAL SCHOOL) in Jakarta, namely HIGH SCHOOL 70, SMA 6 and SMK 26. Methods of early detection is to do a screening instrument using Strengt and Difficult Questionnaire (SDQ) and the children's Depression Inventory (CDI), a graphical test and interview. The number of students who diskrining as much as 1387 students aged 15-17 years, consists of 371 students HIGH SCHOOL 70, 509 (SMA 6), and 507 (26 CMS). The results of early detection, among others, shows that 19% of students experiencing abnormal emotional disorder, 12% borderline (SMA 70), 15% abnormal emotional disorders, 13% borderline (SMA 6), and 14% of peer problem abnormal, 20% borderline (26 CMS). Some 70 high school students there that feel depressed with the attitude of peers, there is tough competition in the learning activities, and have the perception that their school is a school for children who are overachievers. In addition, as many as 5 students experienced a hallucination of psychopathology auditorik and 1 student with a Chase (26 CMS). To prevent the occurrence of mental health disorders in students as early as possible, hence the need for mental health program development student specific and training local mental health cadres that integrates with School Health Efforts (UKS). Keywords: Early detection, mental health, school children, senior high school, Jakarta

Alamat Korespondensi : Marleni Desnita, Subdit Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Direktorat P2MKJN, Ditjen P2P, Kemenkes RI. Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta Pusat, Hp. 081222142874, e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Secara fisik dan kejiwaan, banyak perubahan yang dapat terjadi pada masa remaja. Setiap orang terutama anak dan remaja dihadapkan pada penyesuaian pesatnya perkembangan

Page 23: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit14

14 | P a g e

teknologi, informasi dan telekomunikasi yang dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi anak dan remaja yang secara mental masih belum mature. Pada masa kanak-kanak dan remaja berlangsung perkembangan fisik, psikis, dan sosial sesuai tahapan. Saat masa kanak-kanak dan remaja dapat terjadi hambatan/kegagalan dalam proses perkembangan jiwanya.

Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak dan remaja. Faktor biologis, psikologis, seperti peristiwa traumatik (perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari dan terhadap lingkungannya, misalnya kondisi ekonomi) yang dapat membuatnya merasa rendah diri atau menyebabkan masalah kesehatan jiwa lainnya.

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007,

prevelansi remaja yang mengalami masalah psikososial adalah sebesar 8,7%. Di Provinsi Jawa Barat, dari sekitar 11 juta jiwa remaja yang ada, 1 dari 5 remaja memiliki masalah gangguan mental serta emosional, 3-4% diantaranya memiliki gangguan kesehatan mental dan emosional yang serius.

Beberapa contoh perilaku remaja yang tidak

sehat adalah merokok, minum alkohol dan perkelahian pelajar. Tahun 2010, terjadi peningkatan prevelen perokok baru pada usia 15-19 tahun, yaitu sebesar 7% (Riskesdas 2010), begitu juga dengan perilaku minum alkohol yang dapat meningkatkan risiko kecelakaan. Perkelahian pelajar yang menjurus tindak kriminal sudah semakin meluas, seperti tawuran yang sering terjadi di Jakarta, Surabaya dan Medan.. Data Bimmas Polri Metro Jaya menunjukkan bahwa pada tahun 1992 tercatat sebanyak 157 kasus perkelahian pelajar, tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan korban meninggal 10 pelajar, tahun 1995 ada 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota Polri, tahun berikutnya jumlah korban meninggal meningkat menjadi 37 orang. Sedangkan data Bimas Mabes POLRI tahun 1995-1999, tercatat sebanyak 1316 kasus tawuran di Indonesia, antara lain di pulau Jawa (933

kasus) dan di luar pulau Jawa (Sumatera Selatan) 253 kasus.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, menegaskan pentingnya upaya kesehatan jiwa dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam pasal 8 (3), Upaya promotif di lingkungan lembaga pendidikan dilaksanakan dalam bentuk: a. menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa; dan b. keterampilan hidup terkait Kesehatan Jiwa bagi peserta didik sesuai dengan tahap perkembangannya.

METODE

Metode deteksi dini adalah dengan

melakukan skrining menggunakan instrumen Strengt and Difficult Questionnaire (SDQ) dan Children’s Depression Inventory (CDI), tes grafis dan wawancara. Deteksi dini dilakukan di tiga (3) Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Kejuruan (SMK) yang ada di Jakarta, yaitu SMA 70, SMA 6, dan SMK 26 yang berlokasi di Jakarta. Jumlah siswa yang diskrining sebanyak 1387 siswa berusia 15-17 tahun, terdiri dari 371 siswa SMA 70, 509 (SMA 6), dan 507 (SMK 26).

Instrumen Strength and Difficult

Quistionnaire) (SDQ) merupakan instrumen uji kekuatan dan kesulitan bagi anak dan remaja dengan rentang usia 4-18 tahun (Goodman et al, 2000) yang dikembangkan oleh Departemen Psikiatri FKUI-RSCM Jakarta dengan memunculkan 5 komponen, yaitu 1) Conduct problems: masalah yang ditandai dengan agresi dan pelanggaran hak orang lain: 2) Emotional problems: respon emosional terhadap situasi yang menekan; 3) Prosocial behaviour: tindakan menolong yang menguntungkan orang lain; 4) Peer relation: peran teman sebaya sebagai determinan positif atau sebaliknya memberikan tekanan, dan 5) Hyperactive-inattention: pola tidak memperhatikan dan/atau hiperaktivitas disertai perilaku impulsive. Sedangkan instrumen Children’s Depression Inventory (CDI) merupakan sebuah instrumen self-rated yang terdiri dari 27 pertanyaan yang berorientasi gejala pada anak dan remaja

Page 24: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 15

15 | P a g e

berusia 7-17 tahun, cut off >13 menunjukkan potensi depresi yang perlu ditindaklanjuti dengan wawancara diagnostik untuk memastikan depresi.

Peserta didik berumur di atas 11-18 tahun

dapat mengisi sendiri SDQ remaja dengan penjelasan sebelumnya dan didampingi guru terhadap peserta didik yang dianggap bermasalah. Deteksi dini/instrumen ini dapat dilakukan pada awal masuk sekolah dan selanjutnya dilakukan berkala minimal 1 kali dalam 6 bulan.

Selain itu dilakukan wawancara psikososial

dengan menggunakan Mini Kid Screen terhadap siswa dengan hasil screening SDQ yang borderline dan abnormal (10 teratas), yaitu 5 siswa SMA 70 dan 10 siswa SMK 26. Masing-masing wawancara berlangsung antara 42 menit hingga 1 jam.

HASIL

Hasil SDQ di tiga sekolah menengah atas dan

kejuruan di Jakarta sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil SDQ menurut jenis gangguan kesehatan jiwa pada siswa di tiga sekolah menengah atas dan kejuruan di Jakarta, tahun 2015

Berdasarkan Tabel 1, sebanyak 19% siswa mengalami gangguan emotional yang abnormal, 12% borderline (SMA 70), 15 % gangguan emotional yang abnormal, 13% borderline (SMA 6), serta 14% peer problem yang abnormal dan 20% borderline (SMK 26).

Rekapitulasi hasil SDQ di tiga sekolah

menengah atas dan kejuruan di Jakarta dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rekapitulasi data hasil SDQ menurut komponen instrumen pada siswa di tiga sekolah menengah atas dan kejuruan di Jakarta, tahun 2015

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebesar

13% siwa di tiga sekolah menengah atas dan kejuruan di Jakarta mengalami gangguan emotional yang abnormal dan 10% borderline, 8% conduct problem dan 11% borderline, 4% hyperactivity dan 7% borderline, 11% peer problem dan 16% borderline, serta 3% prosocial dan 13% borderline.

Berdasarkan hasil wawancara di SMA 70,

siswa yang bermasalah termasuk pelajar yang cukup berprestasi, merasa tertekan dengan sikap teman sebaya di sekolah (values yaitu tidak masuk tanpa keterangan, tidak datang tepat waktu, kadang-kadang tidak mengerjakan tugas, dan berperilaku tidak menyenangkan terhadap guru), adanya persaingan ketat/kompetisi dalam kegiatan belajar, memiliki tingkat ekonomi menengah keatas, ambisi yang sehat dalam diri siswa-siswi, memiliki persepsi bahwa sekolah ini adalah sekolah untuk anak-anak yang berprestasi. Sedangkan hasil wawancara di SMK 26, diantara 10 pelajar terdapat 5 pelajar dengan psikopatologi halusinasi auditorik

Total

Jml % Jml % Jml % Responden

Emotional Problem 257 69 45 12 69 19 371Conduct Problem 327 88 24 7 20 5 371Hyperactivity 329 89 25 7 17 4 371Peer Problem 294 79 48 13 29 8 371Prosocial 313 84 45 12 13 4 371Emotional Problem 366 72 65 13 78 15 509Conduct Problem 387 76 64 13 58 11 509Hyperactivity 426 84 50 10 33 6 509Peer Problem 380 75 78 15 51 10 509Prosocial 433 85 56 11 20 4 509Emotional Problem 444 88 30 6 33 6 507Conduct Problem 405 80 68 13 34 7 507Hyperactivity 481 95 20 4 6 1 507Peer Problem 332 66 103 20 72 14 507Prosocial 415 82 77 15 15 3 507

1387

SMK 26 Penerbangan

Jakarta

SMA 6 Jakarta

SMA 70 Jakarta

TOTAL

Jenis GangguanBorderlineNormal AbnormalNama

Sekolah

Total

Jml % Jml % Jml % Responden

Emotional Problem 1067 77 140 10 180 13 1387

Conduct Problem 1119 81 156 11 112 8 1387

Hyperactivity 1236 89 95 7 56 4 1387

Peer Problem 1006 73 229 16 152 11 1387

Prosocial 1162 84 178 13 47 3 1387

Total 100% 100% 100%

Normal Borderline Abnormal

Page 25: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit16

16 | P a g e

(perlu dieksplorasi) dan 1 pelajar dengan ide kejar. Selain itu didapatkan banyaknya masalah tekanan dari sekolah lain terhadap mereka, apabila memakai seragam sekolah menjadi sasaran serangan dari pelajar sekolah lain, tingkat ekonomi menengah kebawah, dan siswa berprinsip untuk ingin cepat kerja agar membantu orang tua.

PEMBAHASAN

Sekolah berperan penting dalam tahap-tahap

perkembangan anak dan remaja. Pendidikan di sekolah seharusnya diartikan secara luas tidak hanya pemberian ilmu pengetahuan, tetapi juga pendidikan dalam hal pembentukan kepribadian, watak dan moral. Sebagian besar sekolah hanya mengutamakan pendidikan akademis.

Hasil survei Global School Health Survey

(GSHS) terkait faktor risiko gangguan kesehatan Jjiwa pada siswa SMP dan SMA di Jakarta tahun 2015, menunjukkan bahwa proporsi siswa perempuan yang merasa kesepian lebih tinggi (52.9%) dibandingkan siswa laki-laki (39.9%), begitu juga rasa khawatir, 46.8% pada perempuan dan 37.7% laki-laki, keinginan bunuh diri 6.5% pada perempuan dan 4,5% pada laki-laki. (Gambar 1).

*GSHS : Global School Health Survey

Gambar 1. Proporsi faktor risko gangguan kesehatan jiwa pada siswa SMP dan SMA di Jakarta tahun 2015

Sesuai data Kemendikbud tahun 2014, sebesar 84% siswa SMP mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah, 45% siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau

petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan, 40% siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya, 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah, 22% siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan, dan 50% anak melaporkan megalami perundungan (bullying) di sekolah.

Penyebab kenakalan remaja terdiri dari

faktor internal dan eksternal: 1. Faktor internal

a. Krisis identitas perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi: 1) Terbentuknya perasaan akan kemantapan dalam bertindak di dalam kehidupannya; dan 2) Tercapainya identitas peran kenakan remaja merupakan proses biologis, psikologis dan sosiologis (gagal mencapai masa integrasi kedua).

b. Kontrol diri yang lemah Terseret pada perilaku ‘nakal’, tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya

2. Faktor eksternal

a. Keluarga (perceraian/pertikaian orang-tua, kurang/tidak adanya komunikasi/ perselisihan antar anggota keluarga) bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pola asuh, asih, dan asah (pendidikan) yang salah di keluarga (terlalu memanjakan anak, otoriter, menelantarkan, kurang pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi (wujud/kehadiran) anak, hal ini bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.

b. Teman sebaya (peer group) yang kurang/tidak baik

c. Komunitas/lingkungan/sekolah/tempat tinggal yang kurang baik.

d. Faktor eksternal lainnya Masalah kesehatan anak dan remaja dapat

berupa gangguan perkembangan, masalah emosi dan gangguan perilaku, cemas dan

Page 26: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 17

17 | P a g e

depresi, masalah belajar, kekerasan, bullying, dampak rokok, alkohol dan napza, disabilitas, anak jalanan, dan bunuh diri

Mengatasi kenakalan anak dan remaja,

berarti menata kembali emosi dan perilaku anak dan remaja yang menyimpang, berbagai suasana perasaan karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Memberikan lingkungan yang baik dimulai dari hubungan keluarga yang harmonis sejak dini, disertai pemahaman tentang perkembangan tahapan jiwa anak dan remaja dengan mencegah dan mengendalikan serta meminimalisasi jumlah kasus yang ada.

Gejala emosional yaitu sering mengeluh sakit

pada badan, (seperti sakit kepala, perut, dan lain-lainl), banyak kekhawatiran, sering tidak bahagia dan menangis, gugup atau mudah hilang percaya diri, serta dan mudah takut. Masalah perilaku, yaitu sering marah meledak-meledak, umumnya berperilaku tidak baik, tidak melakukan yang diminta orang dewasa, sering berkelahi, sering berbohong dan curang, serta mencuri. Hiperaktivitas, yaitu gelisah, terlalu aktif, tidak dapat diam lama, terus bergerak dengan resah, mudah teralih, konsenstrasi buyar, tidak berpikir sebelum bertindak, dan tidak mampu menyelesaikan tugas sampai selesai. Masalah teman sebaya, yaitu cenderung menyendiri, lebih senang main sendiri, tidak punya teman baik, tidak disukai anak-anak lain, diganggu/digertak oleh anak lain, bergaul lebih baik dengan orang dewasa dari pada anak-anak. Perilaku prososial, yaitu mampu mempertimbangkan perasaan orang lain, bersedia berbagi dengan anak lain, suka menolong, bersikap baik pada anak yang lebih muda, dan sering menawarkan diri membantu orang lain.

Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan

sebagai akibat dari adanya perubahan sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa, banyak terjadi pada usia kritis

dalam kehidupan manusia, yaitu masa remaja. Fase remaja identik dengan perilaku risk-taking. Dalam American of Child and Adolescent Phychiatry membagi fase remaja menjadi 3 bagian: 1) Early adolescence (11-13 tahun); 2) Middle adolescence (14-18 tahun) yang sangat rentan, karena remaja berpikir secara abstrak, tetapi juga mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence), sehingga mendorong timbulnya perilaku risk taking ; dan 3) Late adolescence (19-24 tahun).

Perkembangan bisa bersifat abnormal,

sehingga bisa muncul perilaku risk–taking pada remaja. Istilah risk-taking, yaitu bentuk problem yang mempunyai konsekuensi berbahaya, tetapi secara bersamaan mengha-silkan outcome yang dipersepsikan positif. Misalnya track racing motor atau perilaku risk-taking yang dapat berdampak buruk bagi dirinya dan orang lain, tetapi pada saat bersamaan membuat adrenaline rush. Perilaku membahayakan kesehatan yang sering terjadi pada fase remaja, yaitu penggunaan tembakau dan alkohol, berkesperimen dengan NAPZA, aktivitas seksual yang tidak aman, pola makan yang buruk, perilaku ingin bunuh diri, dan kenakalan remaja. Hal ini akan berdampak pada morbiditas, fungsi dan kualitas hidup saat dewasa atau kematian prematur.

Berdasarkan rekapitulasi data siswa

menggunakan instrumen SDQ, baik SMA 70, SMA 6, maupun SMK 26 Penerbangan Jakarta masih pada umumnya dalam batas normal. Gejala emosional/emotional problem normal sebesar 77% dan abnormal 13%, sedikit lebih dari borderline/ambang (10%), lain hal nya dengan masalah perilaku/conduct problem dan hiperaktivitas nilai borderline di atas nilai abnormal. Untuk peer problem/masalah teman sebaya tetap masih dalam batas normal (73%) tetapi borderline/ambang (16%) lebih tinggi persentasenya daripada abnormal (11%).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil deteksi dini , dapat

disimpulkan sebagai berikut: 1. Dapat meningkatkan derajat kesehatan

peserta didik sehingga memungkinkan

Page 27: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit18

18 | P a g e

pertumbuhan perkembangan yang harmonis dan optimal dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya

2. Sehingga memliki pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk melksanakan prinsip hidup sehat serta berpartisipasi aktif dalam usaha peningkatan kesehatan di sekolah; lingkungan rumah da di lingkungan masyarakat.

3. Tidak semua yang terjaring screening adalah pelajar yang bermasalah.

4. Ada keterkaitan antara emotional problem – conduct problem – peer pressure.

5. Faktor risiko utama yang menjadi masalah emosional adalah perempuan lebih berisiko.

SARAN 1. Perlu diberikan capacity building kepada

guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) dan Usaha Kesehetan Sekolah (UKS) agar mampu melakukan skrining kondisi kesehatan jiwa pada siswa/i dan memberikan konseling yang efektif

2. Perlu disosialisasikan sistem rujukan di sekolah, sehingga pihak sekolah dapat melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa pada siswa secara berkala dan melakukan rujukan kasus bila diperlukan

3. Perlu dilakukan pengembangan program

kesehatan jiwa siswa yang lokal spesifik dan pelatihan kader kesehatan jiwa yang terintegrasi dengan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Direktur Utama Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, dr. Lina Regina Mangaweang, Sp.KJ selaku Kepala Sub Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Guru pembimbing dan murid-murid dari tiga Sekolah Menengah Atas serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian penilitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta.

Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI. 2014. Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Jiwa di Sekolah Terintegrasi Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Jakarta

Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kemenkes RI. 2007. Meningkatkan Kesehatan Jiwa Remaja (Pedoman Bagi Guru). Jakarta

Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pencegahan Tindakan Bunuh Diri (Pegangan Bagi Petugas Kesehatan). Jakarta

Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 1990. Pedoman Upaya Pelayanan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja. Jakarta

Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesejahteraan Masyarakat, Departemen Kesehatan dan Kesejahtateraan Sosial RI. 2001. Pedoman Kesehatan Jiwa Remaja (Pegangan Bagi Dokter Puskesmas). Jakarta

Erikson, EH. Childhood and Society. Norton, New York. 1950.

Goodman R, Ford T, Simmons H, Gatward R, Meltzer H. Using the strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) to screen for child psychiatric disorders in a community sample. The British Journal of Psychiatry Dec 2000; 177 (6): 534-539.

Volkmar FR. Normal child development in comprehensive. Textbook og Phychiatry 6th edition. Editor: Kaplan H.I., Sadock B; Williams and Walkins, Baltimore. 1995.

Page 28: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 19

19 | P a g e

Pemanfaatan Instalasi Biogas Skala Rumah Tangga di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung,2013-2016

Installation of Biogas Utilization Household Scale in the village of Banjar Sari, Metro, Lampung, 2013-2016

Widodo, Imelda Husdiani, Kodrat Pramudho

Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI

Abstrak Pemanfaatan limbah peternakan (ternak sapi), khususnya di Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Metro Utara, Kota Metro, Lampung, perlu mendapat perhatian karena hingga saat ini belum upaya pemanfaatan kotoran ternak sapi tersebut oleh peternak skala rumah tangga menjadi produk yang bermanfaat, mengurangi potensi pencemaran lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit, dan meningkatkan pendapatan peternak. Apabila pemanfaatan kotoran ternak sapi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien, maka akan mendapatkan keuntungan ganda, yaitu sebagai langkah efektif mengurangi limbah kotoran hewan dan menghasilkan pupuk untuk pertanian. Bahan yang digunakan untuk instalasi biogas adalah terpal dan plastik yang biasa digunakan untuk pengecoran beton yang mudah didapat di setiap daerah.. Keunggulan instalasi biogas berbahan terpal dan plastik dibandingkan bahan lainnya seperti beton dan plat adalah konstruksi lebih sederhana, pemasangan mudah dan cepat (<1 hari), biaya terjangkau (sekitar Rp 1.500.000,-) .Produksi instalasi biogas setara dengan 2,5 liter minyak tanah/hari, yaitu lebih dari cukup untuk keperluan memasak sehari-hari. Selain itu instalasi biogas menghasilkan kompos (pupuk organik) berkualitas yang dapat langsung digunakan pada lahan/usaha budidaya pertanian. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pengelolaan instalasi biogas skala rumah tangga di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung tahun 2013-2016. Penelitian dilakukan dengan pendekatan observasional dan deskriptif, untuk mengamati kondisi pengelolaan instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari tahun 2013-2016 dan kajian literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa instalasi biogas sudah berjalan dengan lancar, semua sistem bekerja sesuai desain, dan sudah dapat dipergunakan untuk keperluan memasak. Untuk pemanfaatan instalasi biogas skala rumah tangga yang lebih luas, antara lain perlu peningkatan sosialisasi, sehingga masyarakat dapat menerapkan di tempat tinggalnya masing-masing. Kata kunci: Instalasi biogas, rumah tangga, Kota Metro, Lampung Abstract ASTE livestock (cattle), especially in Sub Banjarsari, District Metro North, Metro, Lampung, requires attention because until now there has been efforts to use cow manure the cattle farmers household scale into useful products, reducing the potential for environmental pollution which can cause diseases, and increase the income of farmers. If the use of cow manure can be done effectively and efficiently, it will get a double advantage, namely as an effective step to reduce waste and animal dung to produce fertilizer for agriculture. The materials used for biogas installations are tarpaulins and plastic commonly used for concrete casting that is easily obtainable in any area .. The advantages of biogas installations made of tarpaulins and plastic than other materials such as concrete and the plate is more simple construction, easy installation and fast (<1 day), affordable (around Rp 1.500.000, -) .Produksi biogas installations equivalent to 2.5 liters of kerosene / day, which is more than enough for everyday cooking purposes. Besides the installation of biogas to produce compost (organic fertilizer) product that can be directly used on land / agricultural cultivation. The purpose of research is to describe the management of household scale biogas plant in the village of Banjar Sari, Metro, Lampung year 2013-2016. The study was conducted with observational and descriptive approach, to observe the conditions of management of biogas installations in the village of Banjar Sari years 2013-2016 and review of the literature. The results showed that the biogas plant has been running smoothly, all the systems worked as designed, and it can be used for culinary purposes. To use household scale biogas installations broader, inter alia, increase socialization, so that people can implement in their respective homes. Alamat Korespondensi : Imelda Husdiani, BBTKLPP Jakarta, Jl.Balai Rakyat No.2 Cakung Timur Jakarta Timur, Hp. 08170090509 Email : Ihusdiani@ ymail.com

Page 29: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit20

20 | P a g e

PENDAHULUAN

Saat ini usaha peternakan di pedesaan cukup berkembang, baik secara intensif, semi intensif maupun tradisional. Tapi Namun demikian, pemanfaatan kotoran hewan ternak selama ini belum optimal, bahkan kotoran tersebut hanya menimbulkan permasalahan lingkungan. Padahal kotoran hewan ternak dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk menghasilkan energi terbarukan (renewable) dalam bentuk biogas. Permasalahan di pedesaan, terutama bagi peternak adalah belum mampu memanfaatkan limbah kotoran hewan ternak untuk menghasilkan energi alternatif pengganti kayu dan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk keperluan memasak maupun dan penerangan.

Pemanfaatan limbah peternakan (ternak

sapi) khususnya di Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Metro Utara, Kota Metro, Lampung, perlu mendapat perhatian, karena hingga saat ini belum ada upaya pemanfaatan kotoran ternak sapi tersebut oleh peternak skala rumah tangga menjadi produk yang bermanfaat, mengurangi potensi pencemaran lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit, dan meningkatkan pendapatan peternak.

Oleh karena itu BBTKLPP Jakarta bekerja sama dengan Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekes Tanjung Karang serta didukung oleh Pemerintahan Kota Metro, Lampung berkomitmen dalam pemanfaatan kotoran hewan sapi di Kelurahan Banjarsari, Metro Utara untuk instalasi biogas skala rumah

tangga yang dapat menghasilkan energi alternatif untuk kebutuhan rumah tangga.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengelolaan instalasi biogas skala rumah tangga di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung tahun 2013-2016.

METODE

Penelitian dilakukan dengan pendekatan observasional dan deskriptif, untuk mengamati kondisi pengelolaan instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari, Kecamatan Metro Utara, Kota Metro, Lampung tahun 2013-2016. dan kajian literatur.

HASIL

Sebanyak 10 instalasi biogas telah dipasang

pada bulan September 2013 di beberapa tempat di Metro Utara.. Hasil observasi Tim BBTKLPP Jakarta dapat dilihat pada Tabel: 1) Tabel 1. hasil uji coba instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari tahun 2013; dan 2) Rekapitulasi hasil observasi instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari tahun 2014-2016.

Pada table 2 terlihat bahwa selama 3 tahun pemasangan instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari, pada bulan Maret 2014 bulan Maret dan September 2015 terjadi kebocoran pada terpal, sehingga menyebabkan instalsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Setelah dilakukan perbaikan dengan mengganti sekrup yang menyambungkan plastik dengan pipa, dan setelah kering reaktor sudah dapat diisi kembali.

Tabel 1. Hasil uji coba instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari, 2013 No. Tanggal uji

coba Lama gas hidup Kondisi Pengisian

reaktor

1. 01 -10-2013 15 menit Bau menyengat Dilakukan pagi 2. 02-10-2013 15 menit Bau menyengat berkurang Dilakukan pagi3. 03-10-2013 15 menit (memasak air) Bau berkurang Dilakukan pagi4. 04-10-2013 15 menit (memasak air) Bau berkurang Dilakukan pagi5. 05-10-2013 30 menit (memasak harian) Tidak ada Dilakukan pagi6. 30-12-2013 1 jam (memasak harian) Tidak ada Dilakukan pagi

Page 30: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 21

21 | P a g e

Setelah dilakukan uji coba, selama dua (2) bulan instalasi biogas berjalan lancar, semua sistem berjalan sesuai desain dan sudah dapat digunakan untuk memasak.

Kotoran hewan yang masih segar biasa juga disebut sebagai slurry masih belum dapat digunakan sebagai pupuk kompos, namun kohe atau slurry yang sudah terfermentasi di dalam reaktor biogas akan mengalir ke luar,

Tabel 2. Rekapitulasi hasil observasi instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari, 2014-2016 No. Bulan Hasil gas Kondisi gas Tahun

2014 2015 2016 1. Januari 1 jam Tidak berbau OK OK OK 2. Februari 1 jam Tidak berbau OK OK 3. Maret 1 jam Tidak berbau Terjadi kebocoran

terpal, sudah di perbaiki

OK OK

4. April 1 jam Tidak berbau OK OK OK 5. Mei 1 jam Tidak berbau OK OK OK 6. Juni 1 jam Tidak berbau OK OK OK 7. Juli 1 jam Tidak Berbau OK OK 8. Agustus 1 jam Tidak berbau OK OK Terpal plastik

retak dan tidak bisa digunakan

9. September 1 jam Tidak berbau OK Terjadi kebocoran terpal, sudah diperbaiki

Terpal plastic di buat baru,

diinstal ulang dan dapat digunakan

kembali 10 Oktober 1 jam Tidak berbau OK OK OK Nopember 1 jam Tidak berbau OK OK OK Desember 1 jam Tudak berbau OK OK

OK=sistem berjalan baik

PEMBAHASAN

Instalasi pencernaan anaerobik biogas (reaktor) yang dikembangkan oleh BBTKLPP Jakarta adalah bangunan yang dibuat di atas tanah dengan bahan terpal dan plastik sebagai reaktornya, serta peralatan untuk mengurai bahan organik menjadi biogas (Gambar 1). Plastik yang digunakan adalah plastik untuk pengecoran beton yang mudah didapat di setiap daerah. Biogas yang dihasilkan merupakan salah satu pilihan dari sumber bahan bakar konvensional yang ada. Instalasi biogas menggunakan kotoran hewan (kohe) segar yang dicampur dengan air sebagai bahan baku utama untuk mendapatkan biogas. Biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk memasak dalam skala rumah tangga.

menjadi material yang disebut sebagai bio-slurry yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Keberhasilan dan efektivitas sebuah reaktor biogas sangat tergantung pada ketepatan rancangan, lokasi konstruksi yang sesuai dan kualitas kohe itu sendiri.

Setiap unit instalasi biogas membutuhkan beberapa peralatan penunjang, yaitu: a. Peralatan pendukung perakitan

1) Pisau 2) Bor tangan 3) Gergaji besi

b. Peralatan utama

1) Ember 2) Terpal 3) Plastik cor bangunan 4) Selang plastik 5) Pipa PVC/paralon

Page 31: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit22

23 | P a g e

.

Gambar 1. Desain instalasi biogas berbahan terpal dan plastik

6) Lem PVC 7) Kompos gas khusus biogas 8) Pompa hisap (pompa aquarium) 9) Ballvalve ukuran 2 inch

Persiapan perakitan instalasi biogas

sebagaimana terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Persiapan perakitan instalasi

3. Siapkan plastik cor sepanjang 4 m, plastik lebarnya 1 m dilapis 2-4 lapis utuh tanpa membelah.

4. Plastik dimasukkan ke dalam terpal yang sudah dipersiapkan.

Keterangan Gambar 2: a. Menyiapkan wadah pengadukan kohe b. Menyiapkan reaktor fermentasi kohe dan

reaktor penampungan gas 1. Disiapkan terpal dengan lebar 2

m dan panjang 4 m. 2. Terpal dilipat menjadi dua

bagian, dan bagian tepi yang memanjang dijahit sebagai lapisan luar rekator/penahan plastik.

c. Menyiapkan jaringan produk gas ke penampung gas dengan pipa PVC ½ inch dan selang angin

d. Menyiapkan jaringan produk gas ke kompor

Untuk proses perakitan instalasi biogas dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 32: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 23

24 | P a g e

Gambar 3. Proses perakitan instalasi biogas

Setelah instalasi biogas terangkai,

dilakukan proses pengisian sebagai berikut: Kotoran ternak sebelum dimasukkan ke dalam digester harus dilarutkan dulu dengan air dengan perbandingan 2:3 pada sebuah wadah untuk diaduk, tujuannya adalah agar dalam proses memasukkan kotoran tersebut tidak tersumbat oleh kotoran yang masih dalam bentuk padat dan proses fermentasinya akan lebih cepat.

a. Kotoran hewan yang telah dilarutkan dengan air, dimasukan ke dalam digester melalui saluran masuk (slurry), maka dalam digester akan terjadi proses aerobik yang kemudian proses anaerobic karena adanya bakteri pengurai yang bekerja menghasilkan biogas.

b. Biogas akan dihasilkan dalam rentang waktu kurang dari 10 hari. Biogas yang dihasilkan, dari digester akan masuk dan ditampung dalam drum penampung gas yang disalurkan dengan selang. Untuk keamanan, maka dipasang katup pengaman antara digester dan drum penampung, sehingga apabila tekanan biogas yang dihasilkan melebihi batas tekanan gas yang diperbolehkan, maka gas akan dikeluarkan oleh katup pengaman tersebut.

c. Biogas yang dihasilkan sudah dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar menggunakan kompor biogas.

d. Sekali-sekali reaktor biogas digoyangkan supaya terjadi penguraian yang sempurna

dan gas yang terbentuk di bagian bawah naik ke atas, lakukan juga pada setiap pengisian reaktor.

e. Pengisian bahan biogas berikutnya dapat dilakukan setiap hari, yaitu sebanyak ±40 liter setiap pagi dan sore hari. Sisa pengolahan bahan biogas berupa sludge (lumpur) secara otomatis akan keluar dari reaktor melalui saluran keluar (residu), setiap kali dilakukan pengisian bahan biogas. Sisa hasil pengolahan bahan biogas tersebut dapat digunakan langsung sebagai pupuk organik, baik dalam keadaan basah maupun kering.

f. Untuk mengoperasikan kompor biogas cukup dengan menyalakan pompa hisap dan membuka sedikit kran gas yang ada pada kompor.

g. Nyalakan korek api dan sulut tepat diatas tungku kompor.

h. Apabila menginginkan api yang lebih besar, kran gas dapat dibuka lebih besar lagi, demikian pula sebaliknya. Api dapat disetel sesuai dengan kebutuhan. Untuk perawatan instalasi biogas, lakukan

hal-hal sebagai berikut: a. Lakukan pengisian seperti pada langkah

b-e. b. Hindari reaktor dari sinar matahari

langsung. c. Lakukan pengecekan keran/ballvave agar

tidak macet. d. Bersihkan lingkungan reaktor.

Perakitan ember pengaduk dan terpal permentasi

Perakitan tepal penampung gas dan pipa pvc ke kompor biogas

Perakitan kompor biogas

Penggunaan hasil kompor biogas untuk memasak

Page 33: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit24

25 | P a g e

e. Jauhkan dari tempat pembakaran sampah, hati-hati terjadinya ledakan.

f. Lakukan penggantian apabila reaktor terpal sudah lapuk.

Untuk keamanan perlu diperhatikan tata

cara yang benar dalam pengoperasian instalasi biogas, dan beberapa faktor yang mungkin dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti: a. Faktor kimia

Adanya gas-gas seperti metan, asam sulfida, dan amoniak.

b. Faktor fisik Bau menyengat

c. Faktor fisiologis Sikap dan cara kerja.

d. Faktor biologi Kohe mengadung bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit seperti diare dan penyakit kulit.

e. Faktor psikis Apabila kandang sapi tidak di pelihara kebersihannya.

Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan

pada saat bekerja di instalasi biogas adalah sarung tangan, sepatu bot, masker, dan pakaian pelindung/celemek (Gambar 4).

Gambar 4. Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja di instalasi biogas

Instalasi biogas sangat berpotensi mengalami kebocoran dan peledakan. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal sebagai ini: a. Hindarkan reaktor dari gangguan seperti

anak-anak dan ternak yang dapat merusak reaktor dengan cara memagar dan memberi atap supaya air tidak dapat masuk ke dalam reaktor.

b. Jangan merokok atau membakar sampah didekat reaktor.

c. Apabila reaktor tampak mengencang karena adanya gas, tetapi gas tidak mengisi penampung gas, maka luruskan selang mulai dari pengaman gas sampai reaktor, karena uap air yang ada di dalam selang dapat menghambat gas mengalir ke penampung gas. Lakukan hal tersebut secara rutin.

d. Cegah air masuk ke dalam reaktor dengan menutup tempat pengisian pada saat tidak ada pengisian reaktor.

e. Bersihkan kompor dari kotoran saat memasak atau minyak yang menempel.

Setelah dilakukan observasi terhadap

instalasi biogas dari bulan Oktober 2013 sampai Agustus 2016, terdapat adanya kelemahan dan kekurangan pada sistem. Instalsi biogas berbahan terpal dan plastik dapat digunakan selama kurang lebih tiga (3) tahun. Pada masa 3 tahun tersebut, hanya reaktornya saja yang perlu diganti, sedankan peralatan lainnya masih berfungsi dengan baik. Untuk penggantian terpal hanya membutuhkan dana sebesar Rp. 500,000,- Produksi gas setara dengan 2,5 liter minyak tanah/hari, lebih dari cukup untuk keperluan memasak sehari-hari.

Dari aspek ekonomi, instalasi biogas lebih menguntungkan peternak sapi di Metro Utara, karena hanya membutuhkan modal awal Rp. 1.500.000,- dibandingkan bila menggunakan gas LPG yang biasanya membutuhkan 2 tabung gas betkapasitas 5kg per bulan (Rp. 36.000,-) atau selama 3 tahun uang yang dikeluarkan untuk pembelian gas adalah 12 bulan x 3 tahun x Rp. 36.000,- = Rp.1.296.000,-. Namun setelah 3 tahun, peternak hanya mengeluarkan uang Rp. 500.000,- untuk pemeliharaan instalasi biogas, sehingga masyarakat pengguna instalasi biogas dapat menabung sebesar Rp. 796.000,-.

Selain dari aspek ekonomi, keunggulan instalasi biogas berbahan terpal dan plastik adalah:

Page 34: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 25

26 | P a g e

a. Konstruksi lebih sederhana, pemasangan mudah dan cepat (<1 hari).

b. Biaya lebih terjangkau, sekitar Rp 1.500.000,- sudah termasuk pemasangan dan satu unit kompor biogas.

c. Menghasilkan kompos (pupuk organik) yang sangat bagus kualitasnya dan dapat langsung digunakan pada lahan/usaha pertanian.

d. Mengurangi pencemaran badan air yang ada di sekitar rumah penduduk yang berpotensi menimbulkan penyakit, dan mengurangi sumber penyakit karena kohe yang tidak dikelola dengan baik

e. Mengurangi bau kohe yang menyengat. f. Mengubah pandangan masyarakat bahwa

limbah kohe sapi merupakan masalah yang dapat diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat.

KESIMPULAN

Hasil observasi Tim BBTKLPP Jakarta

menunjukkan bahwa biogas yang dihasilkan setelah pemasangan instalasi biogas di Kelurahan Banjar Sari, Kecamatan Metro Utara, Kota Metro, Lampung, sudah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan memasak.

Sebanyak 10 instalasi biogas telah dipasang pada bulan September 2013 di beberapa tempat. Dalam kurun waktu 3 tahun pemasangan, terjadi kebocoran pada terpal, sehingga menyebabkan instalsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Setelah dilakukan perbaikan dengan mengganti sekrup yang menyambungkan plastik dengan pipa, dan setelah kering reaktor sudah dapat digunakan kembali.

SARAN

1. Perlu peningkatan sosialisasi instalasi biogas skala rumah tangga di masyarakat khususnyan peternak, agar peternak lebih banyak yang memanfaatkannya.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang desain instalasi biogas, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah berperan dalam kegiatan pemanfaatan instalasi biogas skala rumah tangga di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung, yaitu masyarakat Kelurahan Banjar Sari, Puskesmas Banjar Sari, dan Dinas Kesehatan Kota Metro, sehinggan kegiatan berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Pembuatan Digester Biogas Skala Rumah

Tangga Menggunakan Kotoran Ternak Sapi, Desember 2013 , lpmunsri.files.wordpress.com

Biogas Digest, Volume I, Biogas Basics,

Information and Advisory Service on Appropriate Technolerogy (ISAT) and GATE in Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ), GmbH

Salah M. Al-Azzam. Biogas a Source of Energy,

Http://jes.org.jo/biogas/pdfs/s/english.pdf

Daugherty E.C, 2001, Biomass Energy

Systems Efficiency:Analyzed through a Life Cycle Assessment, Lund Univesity

Gunnerson, C. G. and D. V. Stuckey (1986)

"Integrated Resource RecoveryAnaerobic Digestion-Principles and Practices for Biogas systems". World Bank Technical Paper No. 49

Karki, A. B. and K. Dixit (1984). Biogas

Fieldbook. Sahayogi Press, Kathmandu, Nepal

Sartono Putro, Penerapan Instalasi

Sederhana Pengolahan KOtoran Sapi Menjadi Energi Biogas di Desa Sugihan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo , WARTA, Vol .10, No. 2, September 2007: 178 - 188

Page 35: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit2626 | P a g e

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Cakupan Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara di Indonesia, 2015

Factors Associated with Cervical and Breast Cancer Screening Coverage

in Indonesia, 2015

Mugi Wahidin Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Direktorat Jenderal Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI Abstrak Program deteksi dini kanker leher rahim dan kanker payudara telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2007 yang kemudian dicanangkan sebagai program nasional pada tanggal 21 April 2008. Deteksi dini kanker leher rahim dilakukan dengan cara Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) atau Pap smear, dilanjutkan dengan krioterapi apabila ditemukan IVA positif, sedangkan untuk deteksi dini kanker payudara dilakukan dengan Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS). Data tahun 2007-2015 menunjukkah bahwa program deteksi dini kanker leher rahim dan payudara telah dilaksanakan di seluruh (34) provinsi, meliputi 3.042 (31%) puskesmas dari seluruh (9.754) puskesmas yang ada di Indonesia, namun demikian cakupan masih rendah (3,34%) dari target tahun 2015 (10%), dan sangat bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi lainnya, yaitu rata-rata 410 orang per puskesmas. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2016 dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015. Desain penelitian cross sectional study, dan jumlah sampel sebanyak 34 provinsi. Jenis data adalah data sekunder yang diperoleh dari Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, dan analisis data dilakukan dengan uji korelasi (Pearson Product Moment). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel independen yang ada hubungan secara signifikan dengan cakupan deteksi dini dan berkorelasi positif sangat kuat hingga sedang adalah jumlah krioterapi (p=0,000; r=0,784), jumlah dokter terlatih (p=0.018; r=0.403), dan jumlah bidan terlatih (p=0.029; r=0.375). Untuk meningkatkan cakupan deteksi dini di Indonesia, antara lain perlu dilakukan peningkatan jumlah krioterapi di kabupaten/kota serta jumlah dokter umum dan bidan terlatih yang aktif melakukan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di puskesmas pelaksana deteksi dini.

Kata kunci: Faktor-faktor yang berhubungan, deteksi dini, kanker leher rahim dan payudara, Indonesia Abstract Program of cervical and breast cancer early detection (screening) in Indonesia has been developed since 2007 and became national program launched by Indonesian First Lady at 21st April 2008. Early detection of cervical cancer cancer using method of Visual Inspection with Acetic Acid (VIA) atau Pap Smear, followed by cryotherapy for VIA positive, meanwhile, early detection of breast cancer using mehod of Clinical Breast Examination (CBE). Data of 2007-2015 shows that the program of cervical and breast cancer early detection is running in (34) provinces at 3,042 primary health centers (31%) out of 9,754 all primary health centers in Indonesia, but the coverage is still low (3.34%) out of target in 2015 (10%) which is variously in each province with average 410 women per primary health cencers. The research was conducted in February 2016 aimed to know factors associated with screening of cervical and breast cancer coverage in Indonesia in 2015. The design of this research is cross sectional study with sample of 34 provinces. Data collected was secondary data from Directorate General of Disease Preventioin and Control, with data analyze using correlation analysis (pearson product moment). Result of the research shows that independent factors which were associated with coverage of cervical and breast cancer early detection and correlated strongly and modertely are number of cryotherapy (p = 0,000 r = 0,784), number of trained general practitioner (p=0.018 r = 0.403), and number of trained midwives (p=0.029 r=0.375). In order to increase coverage of cervical and breast cancer early detection in Indonesia, it needs increase of number of cryotherapy di district/municipality and trained general practitioners dan midwives that actively provide service of early detection of cervical and breast cancer in primary health centers.

Keyword: Factors associated, early detection, cervical and breast cancer, Indonesia

Page 36: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 27

27 | P a g e

Alamat Korespondensi: Mugi Wahidin, Subdit Penyakit Kanker dan Kelainan Darah, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, Hp. 081386671545, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Kanker merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat di Indonesia dengan prevalensi 1,4 per 1000 penduduk (Riset Kesehatan Dasar, 2013), dua jenis kanker diantaranya menempati urutan tertinggi pada perempuan dan penyumbang 41,5% dari seluruh jenis kanker pada perempuan di Indonesia, yaitu kanker leher rahim 12,8%, dan kanker payudara 28,7% (SIRS, 2010). Estimasi insidensi kanker leher rahim di Indonesia adalah 17 per 100.000 perempuan, sedangkan kanker payudara 40 per 100.000 perempuan (Globocan, IARC 2012).

Dalam rangka pencegahan dan pengendalian kanker leher rahim dan payudara di Indonesia, maka sejak tahun 2007 telah dikembangkan program deteksi dini yang kemudian dicanangkan sebagai program nasional oleh Ibu Negara tanggal 21 april 2008. Program tersebut diperkuat dengan dicanangkannya “Program Nasional Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker pada Perempuan Indonesia 2015-2019” tanggal 21 April 2015 juga oleh Ibu Negara (Iriana Jokowi), Program tersebut juga diperkuat dengan dan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim.

Deteksi dini kanker leher rahim dilakukan dengan cara Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan pengobatan krioterapi untuk IVA positif (lesi pra kanker leher rahim positif), sedangkan untuk kanker payudara dilakukan dengan Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) atau Clinical Breast Examination (CBE) (Kemenkes RI, 2010). Target program adalah 50% dari 37.415.483 perempuan berusia 30-50 tahun atau sebanyak 18.707.741 pada tahun 2019(Renstra Kemenkes RI 2015-2019, 2015). Target ideal adalah sebesar 80%

(WHO, 2002). Kegiatan deteksi dini dilaksanakan di puskesmas dengan rujukan ke RS rumah sakit kabupatan/kota dan provinsi.

Sampai dengan tahun 2015, deteksi dini kanker leher rahim dan payudara telah dilaksanakan di seluruh (34) provinsi di Indonesia (100%), meliputi 74% (382/515) kabupaten/kota dan 31% (3.042/9.754) puskesmas, namun demikian, masih rendah, yaitu 1.247.824 perempuan (3,34%) dari target 37.415.483. Cakupan ini bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi lainnya, rata-rata 410 perempuan per puskesmas dalam kurun waktu 9 tahun (2007-2015).

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2016, dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015.

METODE

Desain penelitian cross sectional study, dan jumlah sampel sebanyak 34 provinsi. Jenis data adalah data sekunder yang diperoleh dari Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, dan analisis data dilakukan dengan uji korelasi (Pearson Product Moment). Kekuatan korelasi dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi atau r (-1 sampai dengan 1), nilai negatif berarti hubungan linier negatif, positif berarti hubungan linier positif, dan 0 (tidak ada hubungan). Kriteria korelasi adalah 0,0-0,25 (tidak ada korelasi/lemah), 0,26-0,50 (korelasi sedang), 0,51-0,75 (korelasi kuat), dan 0,76-1 (korelasi sangat kuat). Signifikansi dilihat dari nilai p, apabila <0,05 berarti ada hubungan yang signifikan, sedangkan ≥ 0,05, tidak ada hubungan yang signifikan.

HASIL

Berdasarkan hasil perhitungan, nilai

mean, median, Standal Deviasi (SD), minimum dan maksimum beberapa variabel deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015 sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Page 37: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit2828 | P a g e

Tabel 1. Nilai mean, median, Standal Deviasi (SD), minimum dan maksimum variabel deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015

No. Variabel Mean Median SD Minimum Maksimum

1. Cakupan skrining 3,34 1,56 3,45 0,12 17,44 2. Jumlah kabupaten/kota

pelaksana deteksi dini 11,2 10,0 5,5 5 29

3. Jumlah puskesmas pelaksana deteksi dini

89,5 63,0 78,0 5 330

4. Jumlah bidan terlatih 142,4 80,5 163,2 0 6905. Jumlah dokter terlatih 69,5 45,5 65,5 6 2396. Jumlah kokter spesialis Obsgyn

terlatih 2,8 1,0 10,0 0 59

7. Jumlah krioterapi 12,0 5,5 14,9 0 778. Jumlah Posbindu PTM 279,0 198 396 1 2131

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa nilai

rata-rata (mean) cakupan deteksi dini sebesar 3,34%, 11 kabupaten/kota pelaksana per provinsi, 90 puskesmas per provinsi, 143 bidan per provinsi, 70 dokter umum per provinsi, 3 dokter spesialis Obsgyn per provinsi, 12 krioterapi per

(p=0.029; r=0.375). Sedangkan variabel-variabel yang tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) adalah jumlah puskesmas pelaksana deteksi dini, jumlah dokter spesialis Obsgyn terlatih, jumlah Posbindu PTM, dan jumlah kabupaten/kota pelaksana deteksi dini.

Tabel 2. Faktor-faktor yang berhubungan (berkorelasi) dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015

No. Variabel Nilai p Nilai r Interpretasi

1. Jumlah krioterapi 0,000 0,78 Signifikan, berkorelasi positif sangat kuat2. Jumlah dokter terlatih 0,018 0,40 Signifikan, berkorelasi positif sedang3. Jumlah bidan terlatih 0,029 0,38 Signifikan, berkorelasi positif sedang4. Jumlah puskesmas pelaksana

deteksi dini 0,069 0,32 Tidak signifikan

5. Jumlah dokter obsgin terlatih 0,436 0,14 Tidak signifikan6. Jumlah Posbindu PTM 0,566 0,10 Tidak signifikan7. Jumlah kabupaten/kota pelaksana

deteksi dini 0,618 0,09 Tidak signifikan

provinsi, dan 279 Posbindu PTM per provinsi.

Adapun hasil uji korelasi, hubungan beberapa variabel dengan cakupan deteksi dini di Indonesia tahun 2015 dan kekutan korelasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada Tabel 2. terlihat bahwa variabel independen yang ada hubungan secara signifikan dengan cakupan deteksi dini (p<0,05) dan berkorelasi positif sangat kuat hingga sedang adalah jumlah krioterapi (p=0,000; r=0,784), jumlah dokter terlatih (p=0.018; r=0.403), dan jumlah bidan terlatih

PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, cakupan

deteksi dini kanker leher rahim di di Indonesia masih rendah, yaitu 1.247.824 (3,34%) dari target 37.415.483, dan sangat bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi lainnya (0,12%-17,44%). Cakupan ini lebih rendah dibandingkan dengan target Renstra Kemenkes RI tahun 2015 (10%) dan target ideal WHO (80%) (WHO, 2002).

29 | P a g e

Jumlah rata-rata kabupaten/kota pelaksanan deteksi dini adalah sebanyak 11 kabupaten/kota atau secara nasional sudah mencapai 74%. Angka ini cukup tinggi yang semestinya dapat meningkatkan cakupan deteksi dini. Rata-rata puskesmas pelaksana adalah 90 puskesmas per provinsi atau secara nasional sebanyak 3.042 (30%) puskesmas pelaksana. Angka ini menunjukkan bahwa jumlah puskesmas pelaksana deteksi dini di kabupaten/kota masih rendah.

Jumlah rata-rata bidan terlatih deteksi dini adalah 143 per provinsi atau secara nasional 4.842 bidan, rata-rata 1,6 bidan per puskesmas yang melaksanakan deteksi dini.

Jumlah rata-rata dokter umum terlatih deteksi dini adalah 90 per provinsi atau total 2364, atau rata-rata 0,8 dokter per pukesmas yang melaksanakan deteksi dini. Angka ini masih kurang mengingat setidaknya tersedia 1 dokter per puskesmas.

Jumlah rata-rata dokter spesialis Obsgyn terlatih adalah 2,8 per provinsi, atau total 82 dari 382 kabupaten/kota. Jumlah ini masih sangat sedikit. dibandingkan dengan kebutuhan minimal, yaitu 1 dokter spesialis Obsgyn di 1 kabupaten/kota.

Jumlah rata-rata krioterapi adalah 12 per provinsi, atau 373 unit di 382 kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua kabupaten/kota mempunyai krioterapi. Jumlah krioterapi minimal yang diharapkan adalah 1 krioterapi per kabupaten/kota, idealnya seluruh puskesmas pelaksana deteksi dini mempunyai krioterapi.

Jumlah rata-rata Posbindu PTM adalah 279 per provinsi atau total 9.496 Posbindu PTM di 7.213 desa. Angka ini merupakan 9% dari 79.759 desa/kelurahan di Indonesia.

Secara statistik variabel-variabel yang menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara adalah jumlah krioterapi (korelasi positif sangat kuat), jumlah doker terlatih (korelasi positif sedang), dan jumlah bidan terlatih (korelasi positif sedang). Hal ini menunjukkan bahwa

semakin banyak jumlah terutama krioterapi, dokter terlatih, dan jumlah bidan terlatih, maka semakin tinggi cakupan deteksi dini.

Jumlah krioterapi berkorelasi positif sangat kuat dengan cakupan deteksi dini, hal ini kemungkinan karena dengan adanya krioterapi, petugas deteksi dini di puskesmas lebih percaya diri dan termotivasi untuk melakukan kegiatan deteksi dini. Demikian juga masyarakat, akan lebih tertarik untuk melakukan deteksi dini. Krioterapi adalah suatu cara pengobatan segera untuk IVA positif yang seharusnya tersedia di puskesmas.

Jumlah dokter dan bidan terlatih berkorelasi positif sedang dengan cakupan deteksi dini, hal ini karena dokter dan bidan terlatih tersebutlah yang melaksanakan deteksi dini. Semakin banyak petugas yang melakukan kegiatan deteksi dini tentu cakupan deteksi dini juga semakin tinggi.

Jumlah puskesmas pelaksanan deteksi dini tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cakupan deteksi dini (p>0,05), hal ini kemungkinan karena jumlah puskesmas ini tidak linier dengan keaktifan petugas (dokter dan bidan) dalam melakukan kegiatan deteksi dini.

Jumlah dokter spesialis Obsgyn tidak menunjukkan hubungan tyang signifikan, dengan cakupan deteksi dini (p>0,05), hal ini kemungkinan karena dokter spesialis Obsgin terlatih hanya sebagai supervisor dan pelatih yang tidak selalu mendampingi petugas pelaksana deteksi dini di puskesmas. Dokter spesialis Obsgyn berada di rumah sakit yang memiliki waktu terbatas untuk turun ke puskesmas.

Jumlah Posbindu PTM tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cakupan deteksi dini, hal ini kemungkinan karena Posbindu PTM masih kurang berperan aktif dalam melakukan sosialisasi dan konseling bagi peserta Posbindu PTM untuk melakukan deteksi dini di Puskesmas.

Adapun jumlah kabupaten/kota tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cakupan deteksi ini, kemungkinan karena jumlah rata-rata kabupaten/kota pelaksana deteksi dini sudah 74%, dan di

Page 38: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2929 | P a g e

Jumlah rata-rata kabupaten/kota pelaksanan deteksi dini adalah sebanyak 11 kabupaten/kota atau secara nasional sudah mencapai 74%. Angka ini cukup tinggi yang semestinya dapat meningkatkan cakupan deteksi dini. Rata-rata puskesmas pelaksana adalah 90 puskesmas per provinsi atau secara nasional sebanyak 3.042 (30%) puskesmas pelaksana. Angka ini menunjukkan bahwa jumlah puskesmas pelaksana deteksi dini di kabupaten/kota masih rendah.

Jumlah rata-rata bidan terlatih deteksi dini adalah 143 per provinsi atau secara nasional 4.842 bidan, rata-rata 1,6 bidan per puskesmas yang melaksanakan deteksi dini.

Jumlah rata-rata dokter umum terlatih deteksi dini adalah 90 per provinsi atau total 2364, atau rata-rata 0,8 dokter per pukesmas yang melaksanakan deteksi dini. Angka ini masih kurang mengingat setidaknya tersedia 1 dokter per puskesmas.

Jumlah rata-rata dokter spesialis Obsgyn terlatih adalah 2,8 per provinsi, atau total 82 dari 382 kabupaten/kota. Jumlah ini masih sangat sedikit. dibandingkan dengan kebutuhan minimal, yaitu 1 dokter spesialis Obsgyn di 1 kabupaten/kota.

Jumlah rata-rata krioterapi adalah 12 per provinsi, atau 373 unit di 382 kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua kabupaten/kota mempunyai krioterapi. Jumlah krioterapi minimal yang diharapkan adalah 1 krioterapi per kabupaten/kota, idealnya seluruh puskesmas pelaksana deteksi dini mempunyai krioterapi.

Jumlah rata-rata Posbindu PTM adalah 279 per provinsi atau total 9.496 Posbindu PTM di 7.213 desa. Angka ini merupakan 9% dari 79.759 desa/kelurahan di Indonesia.

Secara statistik variabel-variabel yang menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara adalah jumlah krioterapi (korelasi positif sangat kuat), jumlah doker terlatih (korelasi positif sedang), dan jumlah bidan terlatih (korelasi positif sedang). Hal ini menunjukkan bahwa

semakin banyak jumlah terutama krioterapi, dokter terlatih, dan jumlah bidan terlatih, maka semakin tinggi cakupan deteksi dini.

Jumlah krioterapi berkorelasi positif sangat kuat dengan cakupan deteksi dini, hal ini kemungkinan karena dengan adanya krioterapi, petugas deteksi dini di puskesmas lebih percaya diri dan termotivasi untuk melakukan kegiatan deteksi dini. Demikian juga masyarakat, akan lebih tertarik untuk melakukan deteksi dini. Krioterapi adalah suatu cara pengobatan segera untuk IVA positif yang seharusnya tersedia di puskesmas.

Jumlah dokter dan bidan terlatih berkorelasi positif sedang dengan cakupan deteksi dini, hal ini karena dokter dan bidan terlatih tersebutlah yang melaksanakan deteksi dini. Semakin banyak petugas yang melakukan kegiatan deteksi dini tentu cakupan deteksi dini juga semakin tinggi.

Jumlah puskesmas pelaksanan deteksi dini tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cakupan deteksi dini (p>0,05), hal ini kemungkinan karena jumlah puskesmas ini tidak linier dengan keaktifan petugas (dokter dan bidan) dalam melakukan kegiatan deteksi dini.

Jumlah dokter spesialis Obsgyn tidak menunjukkan hubungan tyang signifikan, dengan cakupan deteksi dini (p>0,05), hal ini kemungkinan karena dokter spesialis Obsgin terlatih hanya sebagai supervisor dan pelatih yang tidak selalu mendampingi petugas pelaksana deteksi dini di puskesmas. Dokter spesialis Obsgyn berada di rumah sakit yang memiliki waktu terbatas untuk turun ke puskesmas.

Jumlah Posbindu PTM tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cakupan deteksi dini, hal ini kemungkinan karena Posbindu PTM masih kurang berperan aktif dalam melakukan sosialisasi dan konseling bagi peserta Posbindu PTM untuk melakukan deteksi dini di Puskesmas.

Adapun jumlah kabupaten/kota tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cakupan deteksi ini, kemungkinan karena jumlah rata-rata kabupaten/kota pelaksana deteksi dini sudah 74%, dan di

Page 39: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit3030 | P a g e

14 provinsi, 100% kabupaten/kota sudah melaksanakan deteksi dini, sehingga antara satu provinsi dengan provinsi lain tidak terlalu variasi dalam hal jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini.

KESIMPULAN

1. Variabel-variabel yang menunjukkan

hubungan yang signifikan (p<0,05) dan berkorelasi positif sangat kuat hingga sedang dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015 adalah jumlah krioterapi (korelasi sangat kuat), jumlah dokter terlatih (korelasi sedang), dan jumlah bidan terlatih (korelasi sedang).

2. Variabel-variabel yang tidak menujukkan hubungan yang signifikan dengan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Indonesia tahun 2015 (p>0,05) adalah jumlah puskesmas pelaksana deteksi dini, jumlah dokter spesialis Obsgyn terlatih jumlah Posbindu PTM, dan jumlah kabupaten/ kota pelaksana deteksi dini.

SARAN

Untuk meningkatkan cakupan deteksi dini kanker leher rahim dan kanker payudara di Indonesia, maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Kementerian Kesehatan RI, dinas

kesehatan provinsi, dan dinas kesehatan kabuapten/kota: a. Meningkatkan jumlah krioterapi di

kabupaten/kota, idealnya setiap puskesmas yang melaksanakan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara mempunyai 1 unit krioterapi

b. Meningkatkan jumlah dokter umum dan bidan terlatih terlatih deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di puskesmas sebagai pelaksana deteksi dini di lapangan

c. Meningkatkan jumlah puskesmas dengan petugas deteksi dini (dokter umum dan bidan) yang aktif melakukan kegiatan deteksi dini

d. Meningkatkan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi program kanker secara berjenjang.

2. Dokter spesialis Obsgyn lebih aktif melakukan supervisi klinis pelaksanaan deteksi dini di puskesmas serta uji kompetensi dokter dan bidan terlatih deteksi dini

3. Petugas pelaksana Posbindu PTM lebih aktif melakukan promosi dan konseling deteksi dini kanker leher rahim dan payudara kepada perempuan berusia 30-50 tahun dan para suami yang mempunyai istri berusia 30-50 tahun

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Ditjen

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan kegiatan deteksi dini kanker laher rahim dan payudara, dokter spesialis Osbgyn yang melakukan supervisi kegiatan deteksi dini, serta dokter umum dan bidan terlatih yang melaksanakan kegiatan deteksi dini di puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan R.I. Pedoman

Nasional Pengendalian Penyakit Kanker. Jakarta, 2006

Departemen Kesehatan R.I. Statistik Morbiditas dan Mortalitas di Rumah Sakit, 2005 - 2010

Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Penemuan dan Penatalaksanaan Penyakit Kanker Tertentu di Komunitas. Jakarta, 2007

International Agency for Research on Cancer (IARC). Globocan, Lyon, 2012

Kementerian Kesehatan R.I. Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim. Jakarta, 2010

Kementerian Kesehatan R.I. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta, 2012

Kementerian Kesehatan R.I. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim

Page 40: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 3131 | P a g e

Kementerian Kesehatan R.I. Keputusan Menteri Kesehatan No HK 022.02/Menkes/52/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019.

Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Rasjidi, Imam. Epidemiologi Kanker pada Wanita. Jakarta: CV Sagung Seto, 2010

WHO, National Cancer Control Programmes Policy and Managerial Guidelines, Geneva, 2002

Page 41: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit3232 | P a g e

Efikasi Kelambu Berinsektisida Setelah Pencucian Berulang Hingga 20 Kali Terhadap Nyamuk Anopheles aconitus, 2016

The Efficacy of Long-Lasting Insecticidal Nets After 20 Repeated Washing Againts Anopheles aconitus Mosquitoes, 2016

Suwito1, Amrul Munif2

1Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Kemenkes RI Abstrak Hingga saat ini malaria masih masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu upaya pencegahan malaria adalah dengan menggunakan kelambu berinsektisida (long lasting insecticidal nets/LLINs). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi (daya bunuh) kelambu berinsektisida dengan bahan aktif deltametrin 55mg/m2 setelah pencucian berulang hingga 20 kali terhadap nyamuk Anopheles aconitus. Penelitian dilakukan di Labotaroium Entomologi Badan Litbangkes, Kemenkes RI, dengan desain penelitian Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sampel nyamuk Anopheles aconitus diperoleh dari Cikampek. Nyamuk dipaparkan pada kelambu setelah pencucian ke-0, ke-5, ke-10, ke-15, dan ke-20, masing-masing selama 10 kali ulangan. Angka kejatuhan dan kematian nyamuk dihitung selama 60 menit dan 24 jam pengamatan setelah pemaparan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelambu berinsektisida dengan bahan aktif deltametrin 55mg/m2 dapat membunuh nyamuk Anopheles aconitus dengan angka kematian >80% hingga sampai dengan pencucian ke 20. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpukan bahwa kelambu berinsektisida dengan bahan aktif deltametrin 55mg/m2 efektif digunakan dalam pengendalian vektor malaria An. aconitus Kata kunci: Efikasi, kelambu berinsektisida, deltametrin 55 mg/m2, Anopheles aconitus Abstract Malaria is still a health problem in Indonesia. Long-lasting insecticide nets (LLIN) is one efforts of the malaria control. The purpose of this study was to determine of the efficacy of long lasting insecticide nets (active ingredient deltamethrin 55 mg/ m2) to Anopheles aconitus. The study was conducted by completely randomized block design. The samples of Anopheles aconitus taken by F1 from Cikampek. Analysis of the knock down and mortalityof mosquitoes are calculated on the observation of 60 minutes and 24 hours after exposure.The results of this study is long lasting insecticide nets to kill mosquito test above 80% up to 20 washes.Suggestions in this research that long lasting insecticide nets is still effectively used in vector control of An. maculatus. Keywords: Efficacy, long-lasting insecticidal nets, deltametrin 55 mg/m2, Anopheles aconitus Alamat Korespondensi: Suwito, Subdit Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit, Direktorat P2PTVZ, Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta Pusat. Hp. 081379729578, e-mail: suwito_enk@ yahoo.co.id

PENDAHULUAN

Malaria masih merupakan salah satu

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pada tahun 2015, jumlah penderita malaria di Indonesia sebanyak

217.025 orang, dan 36,7 juta penduduk berdomisili di wilayah berisiko tertular malaria. Pemerintah telah mencanangkan Indonesia eliminasi malaria tahun 2030. Hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan antara lain dapat terlihat dengan adanya peningkaan jumlah kabupaten/ kota yang eliminasi malaria, yaitu dari 369 kabupaten/ kota tahun 2014 menjadi

Page 42: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 3333 | P a g e

414 kabupaten/ kota tahun 2015 (Direktorat P2PTVZ, 2016).

Penggunaan kelambu berinsektisida (long lasting insecticidal nets/LLINs) merupakan salah satu cara dalam pengendalian vektor malaria. (Kemenkes, 2010) Kelambu berinsektisida yang digunakan harus berkualitas, membunuh ≥80% nyamuk setelah pencucian hingga 20 kali (WHO, 2015). Untuk mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan uji efikasi.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efikasi (daya bunuh) kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 terhadap vektor malaria (An. aconitus) hingga 20 kali pencucian.

METODE

Penelitian dilakukan di Labotaroium

Entomologi Badan Litbangkes, Kemenkes RI pada bulan Juli 2016. Desain penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK).

Bahan dan peralatan yang digunakan adalah kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2, sabun yang biasa digunakan masyarakat, tali plastik, kanton plastik klip (zipper plastic bags), sarung tangan karet, masker, aquades, botol ukuran 1.000 ml, kain kasa dan kapas, paper cup atau gelas kertas, karet gelang, larutan gula, batu baterai, alumunium foil, shaker, timbangan digital, bioassay test kit, termometer Max-Min, sling hygrometer, aspirator penangkap nyamuk, senter, pinset ujung runcing, petridish, gunting, penggaris, alat tulis, timer, stand dan papan akrilik 4 lubang, dan yamuk An. aconitus usia 2-5 hari dengan kondisi sehat kenyang gula. Sampel nyamuk An. aconitus diperoleh dari Cikampek.

Uji efikasi dilakukan dengan metode bioassay (WHO, 2005): 1. Nyamuk dipaparkan pada kelambu

pada pencucian ke-0, ke-5, ke-10, ke-15, dan ke-20 atau sampai persentase kematian nyamuk uji <80%.

2. Pengujian kelambu berinsektisida dengan cara kelambu sampel (ukuran 30 x 30 cm) dipasang pada panel akrilik standar WHO yang mempunyai empat lubang, masing-masing lubang dipasang kerucut uji bioassay. Selanjutnya ke dalam setiap kerucut dimasukkan nyamuk uji lima ekor di paparkan dengan kelambu berinsektisida selama tiga menit.

3. Jumlah nyamuk uji pingsan selama pemaparan dihitung.

4. Selesai pemaparan selama tiga menit, nyamuk (hidup dan pingsan) dipindahkan (menggunakan aspirator atau soft forcep) ke dalam gelas kertas (paper cup) bersih (tidak terkontaminasi dengan insektisida). Selanjutnya nyamuk dipelihara selama 24 jam dengan diberi makan cairan air gula pada kapas basah. Selama pengujian, suhu dan kelembaban nisbi udara diukur dan dicatat.

5. Selama 1 jam pasca pemaparan, dihitung jumlah nyamuk uji pingsan yaitu pada menit ke-5, ke-10, ke-15, ke-30, ke-40, ke-50 dan ke-60.

6. Untuk kelambu kontrol (pembanding) nyamuk uji diperlakukan sama dengan perlakuan, tetapi menggunakan kelambu yang tidak mengandung insektisida.

7. Setelah 24 jam pemeliharaan dihitung jumlah nyamuk uji mati dan ditentukan persentase kematian

8. Pengujian sampel kelambu berinsektisida (LLINs) dilakukan dengan 10 ulangan pada setiap pencucian.

Page 43: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit3434 | P a g e

Cara pencucian sampel kelambu berinsektisida (LLINs), yaitu dengan cara memasukkan sampel kelambu berinsektisida (LLINs) (ukuran 30 x 30 cm) ke dalam botol tutup biru (blue cup bottle) volume 1.000 ml dan botol diisi air sebanyak 500 ml, ditambahkan 2 gr sabun “savon de marsile” atau sabun serbuk/powder (yang biasa digunakan masyarakat untuk mencuci pakaian) hingga sabun terlarut. Botol dengan sampel kelambu digoyang pada shaker selama 10 menit dengan goyangan 155 kali per menit. Sampel kelambu kemudian diambil dan dibilas cuci sebanyak 2 kali dengan air bersih menggunakan cara yang sama dengan pencucian (tanpa sabun). Sampel kelambu kemudian dikeringkan secara mendatar, pada temperature kamar (tidak terpapar cahaya matahari) dan dibungkus alumunium foil, kemudian disimpan pada suhu kamar (sebelum dilakukan uji bioassay) periode berikutnya.

Persentase knock down (kelumpuhan) dihitung hingga pengamatan 60 menit dan persentase (kematian) dihitung hingga pengamatan 24 jam. Kelambu berinsektisida (LLIN) dengan kandungan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 dinyatakan efektif apabila dapat mematikan minimal 80% nyamuk uji hingga pencucian ke 20 kali.

Apabila kematian nyamuk uji <80%, maka kelambu berinsektisida (LLINs) dengan kandungan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 dinyatakan tidak efektif. Apabila angka kematian pada kelompok kontrol (pembanding) sebesar 5-20%, maka persentase kematian pada kelompok perlakuan dikoreksi menurut rumus Abbot. Apabila angka kematian pada kelompok kontrol >20%, maka dilakukukan pengujian ulang. (WHO, 2005)

HASIL

Berdasarkan hasil penelitian, pada pencucian ke nol, kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 efektif mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lima sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 220 (97,78%). Pada pencucian ke lima, efektif mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lima sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 210 (93,33%). Pada pencucian ke 10, mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lima sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 202 (89,78%). Pada pencucian ke 15, efektif mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lima sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 195 (86,67%). Pada pencucian ke 20, efektif mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lim sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 186 (82,67%). (Tabel 1)

Page 44: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 3534 | P a g e

Cara pencucian sampel kelambu berinsektisida (LLINs), yaitu dengan cara memasukkan sampel kelambu berinsektisida (LLINs) (ukuran 30 x 30 cm) ke dalam botol tutup biru (blue cup bottle) volume 1.000 ml dan botol diisi air sebanyak 500 ml, ditambahkan 2 gr sabun “savon de marsile” atau sabun serbuk/powder (yang biasa digunakan masyarakat untuk mencuci pakaian) hingga sabun terlarut. Botol dengan sampel kelambu digoyang pada shaker selama 10 menit dengan goyangan 155 kali per menit. Sampel kelambu kemudian diambil dan dibilas cuci sebanyak 2 kali dengan air bersih menggunakan cara yang sama dengan pencucian (tanpa sabun). Sampel kelambu kemudian dikeringkan secara mendatar, pada temperature kamar (tidak terpapar cahaya matahari) dan dibungkus alumunium foil, kemudian disimpan pada suhu kamar (sebelum dilakukan uji bioassay) periode berikutnya.

Persentase knock down (kelumpuhan) dihitung hingga pengamatan 60 menit dan persentase (kematian) dihitung hingga pengamatan 24 jam. Kelambu berinsektisida (LLIN) dengan kandungan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 dinyatakan efektif apabila dapat mematikan minimal 80% nyamuk uji hingga pencucian ke 20 kali.

Apabila kematian nyamuk uji <80%, maka kelambu berinsektisida (LLINs) dengan kandungan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 dinyatakan tidak efektif. Apabila angka kematian pada kelompok kontrol (pembanding) sebesar 5-20%, maka persentase kematian pada kelompok perlakuan dikoreksi menurut rumus Abbot. Apabila angka kematian pada kelompok kontrol >20%, maka dilakukukan pengujian ulang. (WHO, 2005)

HASIL

Berdasarkan hasil penelitian, pada pencucian ke nol, kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 efektif mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lima sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 220 (97,78%). Pada pencucian ke lima, efektif mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lima sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 210 (93,33%). Pada pencucian ke 10, mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lima sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 202 (89,78%). Pada pencucian ke 15, efektif mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lima sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 195 (86,67%). Pada pencucian ke 20, efektif mematikan vektor malaria An. aconitus, dari lim sampel kelambu dengan 225 nyamuk uji, setelah dipaparkan selama tiga menit kematian nyamuk uji sebanyak 186 (82,67%). (Tabel 1)

35 | P a g e

Tabel 1. Hasil uji efikasi kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 efektif mematikan vektor malaria Anopheles aconitus, pada pencucian ke-0 sampai dengan ke-20

Persentase kematian nyamuk An.

aconitus telah terpapar kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2, pada pencucian ke-0 sampai dengan ke-20 dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

86,67% dan pencucian ke 20 sebesar 82,67%. Namun kematian nyamuk uji tetap di atas batas minimal (80%) (Gambar 1), sehingga kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan

Gambar 1. Persentase kamatian nyamuk Anopheles aconitus setelah terpapar kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 pada pencucian ke-0 sampai dengan ke-20

Gambar 1. menunjukkan bahwa pada pencucian ke nol persen kematian sebesar 97,78%, pencuian ke lima sebesar 93,33%, pencucian ke 10 sebesar 88,78%, pencucian ke 15 sebesar aktif

deltametrin 55 mg/m2 dinyatakan efektif sebagai bahan pengendali vektor malaria An. aconitus (WHO, 2005 dan Depkes RI, 1986).

97,78

93,33

89,78

86,67

82,67

Pencucian ke O Pencucian ke 5 Pencucian ke 10 Pencucian ke 15 Pencucian ke 20

Page 45: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit3636 | P a g e

PEMBAHASAN

Efikasi kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 menunjukkan bahwa masih efektif mematikan vektor malaria An. aconitus. Kematian disebabkan residu insektisida yang ada di kelambu.

Dengan semakin banyaknya pencucian ada trend penurunan persentase kematian nyamuk uji vektor malaria An. aconitus. Pada pencucian ke 0 persen kematian sebesar 97,78%, pencuian ke 5 sebesar 93,33%, pencucian ke 10 sebesar 88,78%, pencucian ke 15 sebesar 86,67% dan pencucian ke 20 sebesar 82,67%. Namun kematian nyamuk uji tetap di atas batas minimal (80%) (Gambar 1), sehingga kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 dapat dinyatakan efektif sebagai bahan pengendali vektor malaria An. aconitus (WHO, 2005 dan Depkes RI, 1986).

Pencucian dapat mengurangi kandungan insektisida dipermukaan benang, namun dengan penjemuran yang baik dapat meneruskan insektisida yang ada di bagian dalam benang ke bagian permukaan benang.

Pencucian dan penjemuran kelambu yang benar harus difahami sebagai upaya mempertahankan efikasi kelambu. Kelambu kotor dan berdebu dapat menutupi residu insektisida yang ada dipermukaan kelambu. Sekalipun pencucian dapat mengurangi residu insektisida yang ada dipermukaan, namun dengan penjemuran yang baik, insektisida yang ada di bagian dalam benang akan keluar ke permukaan benang kembali.

Hasil penelitian ini sejalan dengan program pemerintah dalam pencegahan malaria menggunakan kelambu berinsektisida. Nyamuk vektor malaria

yang ada di permukiman dan akan menghisap darah manusia terkontak dengan kelambu, dan nyamuk mati. Penggunaan kelambu berinsektisida secara massal akan menurunkan populasi vektor secara massal.

Penggunaan insektisida akan berbanding lurus dengan penurunan populasi vektor dan kasus penyakit. Demikian juga penggunaan kelambu berinsektisida selain berdampak pada kematian nyamuk, juga dapat melindungi dari kontak/ gigitan nyamuk.

KESIMPULAN

Kelambu berinsektisida (LLINs)

dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 efektif mematikan vektor malaria nyamuk An. aconitus hingga pencucian ke-20.

SARAN

Kelambu berinsektisida (LLINs) dengan bahan aktif deltametrin 55 mg/m2 dapat digunakan sebagai bahan pengendalian vektor malaria.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis

sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini, terutama pada Tim Laboratorium Entomologi Badan Litbangkes.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 1986. Petunjuk Melakukan Macam-Macam Uji Entomologi yang Diperlukan untuk Menunjang Operasional Program Pemberantasan Penyakit Ditularkan Serangga.

Page 46: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 3737 | P a g e

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 374 Tahun 2010, tentang Pengendalian Vektor.

Subdit Malaria. 2016. Situasi Terkini Perkembangan ProgramPengendalian Malaria di Indonesia Tahun 2015.

WHO. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Long Lasting Insecticidal Mosquito Nets. WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.11

Page 47: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit38

38 | P a g e

Gambaran Kualitas Makanan di Kantin Sekolah Dasar di Jakarta Timur, 2015

Overview of Food Quality at the Primary Schools Canteen in East Jakarta, 2015

Imelda Husdiani, PA. Kodrat Pramudho

Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI

Abstrak Kantin sekolah dasar merupakan salah satu tempat penjualan makanan dan minuman yang sekaligus dapat dipergunakan mulai dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan sampai dengan penyajian makanan, sehingga berpotensi sebagai tempat penyebaran penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman dan faktor risko penyakit tidak menular. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran kualitas makanan di kantin Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 dengan pendekatan observasional dan deskriptif. Jumlah sampel adalah sebanyak 114, terdiri dari 95 sampel makanan dan 19 sampel minuman yang diperoleh dari 12 kantin sekolah dasar di tiga (3) kelurahan di Jakarta Timur, yaitu Kelurahan Cakung Timur, Cipinang Muara, dan Pulo Gebang. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan penjamah makanan kantin sekolah dasar menggunakan kuesioner dan pemeriksaan laboratorium sampel makanan dan minuman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 21,05% (20/95) sampel makanan dari 12 kantin sekolah dasar mengandung bakteri Escherichia coli, 11,5% positif formalin dan 3,23% rhodamin B, dan 1,1% nitrit. . Hasil pemeriksaan parameter kimia adalah 19 sampel air minum, seluruhnya (100%) telah memenuhi persyaratan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/SK /IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, sedangkan untuk parameter adalah bakteriologis, 42,1% sampel minuman positif E. coli. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa makanan dan minuman di sebagian kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015 telah tercemar bakteri E. coli dan ditemukan bahan tambahan makanan yang berbahaya khususnya bagi pelajar sekolah dasar, yaitu formali,dan rhodamin B. Kata kunci:. Kualitas makanan kantin, sanitasi lingkungan, sekolah dasar, Jakarta Timur Abstract Elementary school cafeteria is one of the sale of food and beverages that can also be used ranging from preparation, cleaning, processing up to the presentation of the food, making it potentially as the spread of diseases that are transmitted through food and drink and factor the risks of non-communicable diseases. The purpose of research is to describe the quality of the food in the cafeteria of Elementary School (SD) in East Jakarta. The study was conducted in April 2015 with observational and descriptive approach. The number of samples is as much as 114, consisting of 95 samples of food and beverages obtained 19 samples of 12 elementary school cafeteria in three (3) urban villages in East Jakarta, namely Cakung East Village, Cipinang Muara, and Pulo Gebang. This type of data is a primary data obtained from interviews with elementary school cafeteria food handlers using questionnaires, and laboratory examination of samples of food and beverages. The results showed that at 21.05% (20/95) of food samples from 12 primary school canteen containing the bacteria Escherichia coli, 11.5% were positive for formaldehyde and 3.23% rhodamine B, and 1.1% nitrite. , The results of the examination of chemical parameters are 19 drinking-water samples, all (100%) have met the requirements in accordance with the Regulation of the Minister of Health No. 492 / Menkes / SK / IV / 2010 on Drinking Water Quality Requirements, whereas for the parameter is bacteriological, 42.1% of samples drinks positive E. coli. Based on the results of this study concluded that the food and drinks at most elementary school cafeteria in East Jakarta 2015 have been contaminated with bacteria E. coli and found food additives are dangerous, especially for elementary school students, namely formalin, and rhodamine B. Keywords:. Canteen food quality, environmental sanitation, primary school, East Jakarta Alamat Korespondensi : Imelda Husdiani, BBTKLPP Jakarta, Jl.Balai Rakyat No.2 Cakung Timur Jakarta Timur, Hp. 08170090509/081586700415, Email: ihusdiani@ ymail.com

Page 48: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 39

39 | P a g e

PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya juga diamanatkan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi Pembangunan nasional. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan, termasuk ketidakamanan pangan pada masyarakat Indonesia yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Dalam pasal 48 UU Kesehatan dinyatakan bahwa salah satu dari 18 kegiatan dalam upaya penyelenggaraan kesehatan adalah pengamanan makanan dan minuman. Pangan yang sehat mencakup pangan yang bergizi dan aman dikonsumsi. Oleh karena itu keamanan pangan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemenuhan pangan yang sehat untuk dikonsumsi

Untuk memperoleh pangan yang bergizi dan aman tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana antara lain ruang kantin atau kantin sekolah.

Hasil penelitian tentang sekolah sehat yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani, Depdiknas tahun 2007 pada 640 Sekolah Dasar (SD) di 20 provinsi yang diteliti, sebesar 40% belum memiliki kantin.

Sementara dari yang telah memiliki kantin (60%), 84.3% kantin belum memenuhi syarat kesehatan. Selain itu masih banyak ditemukan pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan mutu kebersihan, kesehatan dan keamanan, sehingga dapat menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap gizi dan kesehatan anak.

Jika kita bicara kesehatan lingkungan sekolah, maka kantin menjadi salah satu ruang lingkup penting higiene dan sanitasi sekolah. Tentu kita juga paham, bahwa aspek sanitasi lain di sekolah akan banyak berbicara masalah lingkungan fisik secara umum, fasilitas sanitasi, aspek konstruksi umum (ventilasi, jarak tempat duduk siswa dan papan tulis, ergonomi, dan lain-lian). Sementara itu, banyak aspek kesehatan lingkungan terkait dengan kantin, seperti aspek perilaku penjamah makanan, peralatan, sanitasi tempat, sanitasi air bersih, dan lain-lain.

Kantin sekolah dasar merupakan salah satu tempat penjualan makanan dan minuman yang sekaligus dapat dipergunakan mulai dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan sampai dengan penyajian makanan, sehingga berpotensi sebagai tempat penyebaran penyakit yang ditulakan melalui makanan dan minuman dan faktor risko penyakit tidak menular.

Untuk upaya menurunkan risiko terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan/keracunan yang diakibatkan oleh makanan dan minuman di kantin sekolah, berpedoman pada Kepmenkes Nomor 1429/ MENKES/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggraan Kesehatan Lingkungan Sekolah. Sedangkan untuk melakukan pengawasan terhadap keamanan makanan, ada beberapa aspek yang mempengaruhi kualitas makanan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 942/Menkes/SK/ VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, yaitu penjamah makanan, peralatan, air, bahan makanan, bahan tambahan makanan, penyajian, dan sarana penjaja.

Untuk sanitasi kantin di sekolah, mengacu pada Keputusan Meteri Kesehatan Republik

Page 49: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit40

40 | P a g e

Indonesia Nomor 1098/Menkes/ SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi rumah Makan dan Restoran. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas makanan jajanan (selanjutnya ditulis kualitas makanan) di kantin Sekolah Dasar di Jakarta Timur, meliputi gambaran kandungan bakteriologis dan kimia makanan dan minuman yang dilaksanakan pada bulan April 2015.

METODE

Metode penelitian menggunakan

pendekatan observasional dan deskriptif. Jumlah sampel adalah sebanyak 114, terdiri dari dari 95 sampel makanan dan 19 minuman yang diperoleh dari 12 kantin sekolah dasar di tiga (3) kelurahan di Jakarta Timur, yaitu Kelurahan Cakung Timur, Cipinang Muara, dan Pulo Gebang. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan penjamah makanan kantin sekolah menggunakan kuesioner dan pemeriksaan laboratorium sampel makanan dan minuman.

Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas BBTKLPP Jakarta yang kompeten dan memenuhi standar pengambilan sampel. Pemeriksaan kimia sampel makanan menggunakan repid test, dan parameter yang diperiksa adalah formalin, boraks, rhodamin B, dan methilen yellow. Untuk pemeriksaan sampel makanan dan minuman secara bakteriologis dilakukan di laboratorium BBTKLPP Jakarta dan parameter yang di periksa adalah E. coli, Salmonellah, dan Basillus cereus.

HASIL

Hasil pemeriksaan bakteriologis sampel

makanan dan minuman dapat dilihat pada Grafik 1, dan hasil pemeriksaan kimia pada Grafik 2, sedangkan hasil minuman (air minum) pada Grafik 3.

Grafik 1. Hasil pemeriksaan bakteriologis sampel makanan kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015

Grafik 1. di atas menunjukan bahwa sebesar

21.05% (20/95) sampel makanan dari 12 kantin sekolah dasar di Jakarta Timur mengandung bakteri Escherichia coli.

Grafik 2. Hasil pemeriksaan kimia sampel makanan kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015

Berdasarkan Grafik 2, sebanyak 11 sampel (11,5%) mengandug formalin, 3 (3,23%) rhodamine B, dan 1 (1,1%) nitrit.

Hasil pemeriksaan parameter kimia dan bakteriologis 19 sampel minuman kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015 sebagaimana terlihat pada Grafik 3.

Page 50: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 41

41 | P a g e

Grafik 3. Hasil pemeriksaan kimia sampel minuman kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015

Pada Grafik 3 terlihat bahwa seluruhnya (100%) sampel minuman telah memenuhi persyaratan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/SK/IV/ 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Namun untuk parameter Bbakteriologis, sebanyak 8 sampel (42,1%) minuman positif E. coli.

Grafik 4. berikut ini merupakan rekapitulasi hasil wawancara terhadap penjamah makanan kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015.

Grafik 4. Rekapitulasi hasil wawancara dengan penjaja makanan kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015

Grafik 4. menujukkkan bahwa 60% bahan

makanan yang digunakan dan penyajian sudah sesuai dengan persyaratan sanitasi kantin sekolah, 69% responden menggunakan peralatan pengolahan makanan sesuai dengan persyaratan sanitasi kantin sekolah, 60% perilaku responden sudah sesuai persyaratan sanitasi kantin

sekolah, 66 % kantin sekolah dasar sudah sesuai dengan persyaratan lingkungan sanitasi sekolah, dan 65% responden yang baru mendapatkan penyuluhan dari petugas Usah Kesehatan Sekolah (UKS) tentang higiene sanitasi pangan.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan adanya pencemaran 21,05% makanan oleh bakteri E. coli (positif E. coli) di kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015. Hal ini kemungkinan karena prilaku penjamah makan dalam mengolah dan menyajikan makan sesaui dengan syarakt kesehatan masih sangat rendah (60%) berdasarkan skor hasil wawancara, yaitu masing-masing 60%.

Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa pembinaan oleh pihak terkait terhadap kantin sekolah dasar di Jakarta Timur masih kurang intensif, hal ini terlihat dari nilai skor penyuluhan yang hanya 65%.

Sementara itu, hanya 66% kondisi lingkungan kantin yang sesuai dengan persyaratan (sesuai ketentuan). Begitu juga dengan minuman, masih ditemukan 42.1% minuman yang tercemar (positif E. coli), kebanyakan ditemukan pada dari es batu.

Untuk parameter kimia makanan dikantin sekolah dasar, SD masih ditemukan formalin, rhodamin B dan dan nitrit, hal ini karena faktor ketidaktahuan terhadap zat berbahaya dalam bahan makanan, sehingga penjamah makanan tidak selektif dalam memilih bahan baku yang dibelinya setiap hari di pasar tradisional.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa makanan dan minuman di sebagian kantin sekolah dasar di Jakarta Timur tahun 2015 telah tercemar bakteri E. coli dan ditemukan bahan tambahan makanan yang berbahaya khususnya bagi pelajar sekolah dasar.

Page 51: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit42

42 | P a g e

SARAN 1. Perlu di lakukan monitoring secara

berkala dan terpadu oleh dinas kesehatan dan BBTKLPP Jakarta dalam penyediaan pangan yang laik sehat dalam rangka meminimalisasi kejadian penyakit akibat pangan dan KLB keracunan pangan.

2. Meningkatkan pengawasan terhadap higiene sanitasi makanan dan kesehatan penjamah makanan secara berkala.

3. Perlu dilakukan penyuluhan bagi pengelolah kantin dan penjamah makanan untuk meningkatkan kualitas makanan di kantin sekolah

4. Perlu sosialisasi peraturan yang terkait dengan kantin, jasa boga dan lingkungan sekolah.

5. Perlu diberikan edukasi kepada guru, murid dan pengelola kantin sekolah tentang cara mendeteksi makanan yang mengadung bahan berbahaya dengan teknologi tepat guna yang sederhana.

6. Perlu adanya upaya oleh pihak terkait agar kantin sekolah dasar khususnya di Jakarta Timur mendapatkan Sertifikat Laik Sehat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

semuan pihak yang telah berperan dalam kegiatan penelitian, khususnya Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, Puskesmas Pulogadung, Puskesmas Jatinegara, Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Cakung Timur, Cipinang Muara, Pulo Gebang dan Rawa Kuning, sehingga kegiatan dapat berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1089/Menkes/SK/VII/2003, Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran, Kementerian Kesehatan, Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010, Persyaratan kualitas air minum, Kementerian Kesehatan, Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor No. 416/Men.Kes/PER/IX/1990 tahun 1990, syarat-syarat dan pengawasan kualitas air bersih, Kementerian Kesehatan, Jakarta

Keputusan Meneteri Kesehatan RI NOMOR 1429/MENKES/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah.

Panduan Keamanan Pangan di Sekolah Dasar Direktorat Bina Gizi Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI tahun 2011.

WHO, 2005, Penyakit Pembawaan Makanan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Page 52: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 43

43 | P a g e

Program Skrining Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Melitus di Puskesmas, Denpasar, Bali, 2016

Tuberculosis Screening Program Among Diabetes Mellitus Patients at Local Health Center,

Denpasar, Bali, 2016

I Ketut Suarjana1, Putu Ayu Swandewi Astuti1, Ketut Hari Mulyawan1, Made Kerta Duana1, Ni Made Dian Kurniasari1, I.B. Gede Ekaputra2, Ni Ketut Arniti3, Novayanti T4, I Wayan Gede Artawan Eka Putra1,5,

Chatarina Umbul Wahyuni5, Ari Probandari5, Bachti Alisjahbana5.

1Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali 2Dinas Kesehatan Kota Denpasar, 3Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 4Subdit TB, Ditjen P2P,

5Kelompok Kerja Riset Operasional TB Kemenkes RI.

Abstrak Di Indonesia, prevalensi tuberkulosis (TB) masih tinggi, namun angka notifikasi kasus atau Case Notification Rate TB (CNR TB) masih sangat rendah. Di Bali, CNR TB adalah 74 per 100.000 penduduk, lebih rendah dibandingakan CNR TB di Indonesia. Di sisi lain, Diabetes Melitus (DM) sebagai salah satu faktor risiko TB, prevalensinya meningkat dari waktu ke waktu. Kolaborasi program TB-DM direkomendasikan oleh WHO dan The Union, dan telah menjadi konsensus nasional di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan program skrining TB pada pasien DM sesuai dengan algoritma konsensus, hasil penerapan, serta faktor penghambat dan pendukung di 11 puskesmas, di Kota Denpasar tahun 2016. Jenis penelitian adalah penelitian eksploratif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Sebanyak 567 sampel untuk data kuantitatif diperoleh secara consecutive sampling, sedangkan untuk kualitatif secara purposive sampling. Pasien diskrining sesuai tahapan algoritma dan semua (567) pasien diwawancarai terkait karakteristik sosiodemografi, pengetahuan, persepsi, informasi dari tenaga kesehatan, dan penerimaan terhadap program skrining. Data kualitatif faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan program diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) dengan pasien dan stakeholder terkait. Hasil penelitian menujukkan bahwa dari semua (567) pasien DM yang diwawancarai gejala klinis, 28.2% mengikuti keseluruhan proses skrining, 21.2% mengikuti sebagian, dan lainnya (50.6%) tidak mengikuti pemeriksaan sama sekali. Dari hasil skrining, ditemukan 2 pasien DM positif TB dengan BTA positif. Faktor utama penghambat program skrining adalah transportasi dan ketersediaan waktu, serta masih rendahnya pengetahuan dan persepsi pasien tentang program skrining, sedangkan faktor utama pendukung adalah adanya jaminan kesehatan dan komitmen tenaga kesehatan. Ada potensi penemuan kasus TB pada pasien DM, oleh karena itu program ini perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Untuk memaksimalkan fisibilitas program, perlu peningkatan pemahaman dan komitmen petugas kesehatan terhadap kolaborasi program TB-DM, Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang intensif pada masyarakat, serta ketersediaan pedoman pelaksanan teknis skrining dan alat diagnostik. Kata kunci: Skrining tuberkulosis, diabetes melitus, puskesmas, Denpasar, Bali Abstract The prevalence of tuberculosis (TB) disease in Indonesia is high but TB Case Notification Rate (CNR) remains low. In Bali, CNR TB was 74 per 100,000 populations, which was lower than that in national average. Meanwhile, Diabetes Mellitus (DM) disease known as risk factor for TB, is also increasing. WHO and The Union have recommended the integration program of TB-DM, and it has become national consensus in Indonesia. This study aimed to comprehend the implementation of screening DM patients for TB using algorithm in consensus, describe the results, explore challenges and supports of its implementation at 11 local health center in Denpasar City in 2016. This was an explorative study with quantitative and qualitative approach. A 567 samples for quantitative data was selected consecutively, meanwhile qualitative samples were derived purposively. Patients were screened following the steps on the algorithm and 567 patients were interviewed for their socio-demographic characteristics, knowledge, perception, information from health providers and their acceptance towards screening program. The qualitative data for challenges and supports were collected using indepth interview and Focus Group Discussion (FGD) with patients and stakeholders. Result showed that of the 567 DM patients who were successfully anamneses by doctor regarding TB symptoms, 28.2% patients were completely participated in screening, 21.2% were partially participate, and 50.6% were not participated at all. In this screening, there were 2 patients with DM were diagnosed for TB with AFB positive. The main challenges were time, transportation, low knowledge and low perception of patients for TB-DM screening program. Main supports were found to be the availability of health insurance and commitment of health workers. There is a potency to find TB case on DM patients through this screening; hence this program should be implemented continuously at local health centers. In order to increase the feasibility of the program, the understanding and commitment of health workers to this TB-DM integration program should be enhanced. In addition, the intensive communication, information and education to community and availability of the technical guideline and comprehensive diagnostic tools are needed.

Keywords: Tuberculosis screening, diabetes mellitus, local health center, Denpasar, Bali

Page 53: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit44

44 | P a g e

Alamat Korespondensi: Ni Ketut Arniti, Dinas Kesehatan Provinsi Bali; Ni Made Dian Kurniasari, PSKM, FK Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Hp. 081238949588, e-mail: [email protected]; Retno B, Subdit TB, Kemenkes RI, Hp. 021-42804154, 081288668597, e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Berdasarkan hasil studi prevalensi TB tahun

2013/2014, prevalensi TB di Indonesia termasuk tinggi, yaitu sebesar 759 per 100,000 penduduk usia ≥15 tahun, namun angka notifikasi kasus atau Case Notification Rate (CNR) masih sangat rendah. Di Bali, CNR TB adalah 74 per 100.000 penduduk, lebih rendah dibandingakan CNR TB di Indonesia. Di sisi lain, Diabetes Melitus (DM) sebagai salah satu faktor risiko TB, prevalensinya meningkat dari waktu ke waktu baik di tingkat nasional maupun di provinsi Bali.

Berdasarkan hasil beberapa penelitian, 13-20% pasien TB di dunia mengalami komorbiditas DM (Jeon C, M and Murray M, 2008). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa DM merupakan salah satu faktor risiko TB (Goldhaber-Fiebert, Jeon, Cohen et.al (2011). Berdasarkan penelitian di RS Hasan Sadikin (2015), Prevalensi DM pada pasien TB sebesar 20,6% (Raspati et al, 2015). Sedangkan pada pasien DM, berdasarkan penelitian ditempat yang sama didapatkan 2,8% pasien DM mengalami TB aktif, 9,3% mempunyai riwayat TB, dan 41,4% positif laten TB (Livia et.al, 2015).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan The Union Against Tuberculosis and Lung Dissease (The Union) telah mengeluarkan “collaborative framework” untuk penanganan dan pengendalian TB-DM. Salah satu rekomendasi dari framework tersebut adalah pelaksanaan skrining TB pada pasien DM, bila prevalensi TB di negara tersebut >100 per 100.000 penduduk (Kementerian Kesehatan, 2015).

Kementerian Kesehatan dan stakeholder terkait telah mengeluarkan konsensus penanganan TB-DM yang di dalamnya mencakup algoritma penapisan dan diagnosis TB pada pasien DM di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), namun sampai saat ini konsensus tersebut belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian

eksploratif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif di 11 puskesmas di Kota Denpasar. Sebanyak 567 sampel untuk data kuantitatif diperoleh secara consecutive sampling, sedangkan untuk kualitatif secara purposive sampling.

Pasien diskrining sesuai tahapan algoritma, dan semua (567) pasien diwawancarai terkait karakteristik sosiodemografi, pengetahuan, persepsi, informasi dari tenaga kesehatan, dan penerimaan terhadap program skrining. Data kualitatif faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan program diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) dengan pasien dan stakeholder terkait.

HASIL Berdasarkan hasil penelitian, berturut-turut

distribusi frekuensi pasien DM yang diskrining TB menurut karakteristik terlihat pada Tabel 1, distribusi frekuensi pasien DM menurut karakteristik sosiodemografi dan partisipasi mengikuti skrining pada Tabel 2, sedangkan penemuan kasus TB pada pasien DM yang diskrining menurut spekrum TB pada Tabel 3.

Tabel 1. Distribusi frekuensi pasien DM yang diskrining TB menurut karakteristik di 11 puskesmas di Kota Denpasar tahun 2016

No. Karakteristik (n=567) n (%)

1. Umur (tahun), median (range) 62 (19-90) 2. Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

272 (48.0) 295 (52.0)

Page 54: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 45

45 | P a g e

2. Pendidikan Tidak sekolah dan tidak tamat SD 79 (13,9) SD 152 (26,8) SMP 65 (11,5) SMA 165 (29,1) PT 106 (18,7)

3. Pekerjaan PNS, TNI/Polri, pensiunan 192 (33,9) Pegawai swasta 23 (4,1) Wiraswasta 79 (13,9) Petani/buruh 36 (6,3) IRT dan lainnya 237 (41,8)

4. Jaminan kesehatan BPJS 403 (71,1) JKBM (Asuransi Pemda Bali) 121 (21,3) Asuransi komersial 2 (0,4) Tidak memiliki jaminan kesehatan (Jamkesmas) 41 (7,2)

5. Jarak ke layanan kesehatan rujukan (km), median (range) (n=561) 5 (1-55)6. Waktu tempuh ke layanan kesehatan rujukan dalam menit, median (range) (n=563) 20 (1-120)7. Lama terdiagnosis DM (bulan), median (range) (n=561) 48 (0-588)8. Menolak mengikuti prosedur skrining TB 147 (26,0)9. Alasan menolak diskrining TB* (n=147) Takut dan malu bila menderita TB 9 (6,1) Tidak ada waktu 49 (33,3) Biaya mahal 11 (7,5) Tidak ada yang mengantar 37 (25,0) Jarak ke tempat pemeriksaan jauh 7 (4,8) Lainnya (tidak merasa sakit, tidak ada keluhan gejala TB) 73 (49,7)

*responden dapat menjawab lebih dari satu Pada Tabel 1 terlihat bahwa sebanyak 272

(48%) pasien DM yang diskring TB di 11 puskesmas di Kota Denpasar tahun 2016 adalah laki-laki dengan median umur 62 tahun, proporsi terbesar (29,1%) berpendidikan SMA, 41,8% Ibu Rumah Tangga dan lainnya. 92,8% memiliki jaminan kesehatan dengan proporsi terbanyak (71,1%) BPJS. Median jarak ke layanan kesehatan rujukan rontgen adalah 5 km dengan median waktu tempuh 20 menit.

Dilihat dari riwayat penyakit DM, median

lama terdiagnosis DM adalah 48 bulan. Sebanyak 147 (26%) pasien DM menolak mengikuti prosedur skrining TB, dengan alasan takut dan malu bila menderita TB (6,1%), tidak ada waktu (33,3%), biaya mahal (7,5%), tidak ada yang mengantar (25%), jarak ke tempat pemeriksaan jauh (4,8%), dan lainnya (tidak merasa sakit, tidak ada keluhan gejala TB) (49,7%).

Tabel 2. Distribusi frekuensi pasien DM menurut karakteristik sosiodemografi dan partisipasi mengikuti proses skrining di 11 puskesmas di Kota Denpasar tahun 2015

No.

Karakteristik sosiodemografi

Partisipasi pasien DM mengikuti skrining TB Mengikuti

keseluruhan (n=160)

n (%)

Mengikutisebagian (n=120)

n (%)

Tidak mengikuti(n=287)

n (%)

1. Umur (tahun), median(range) 63 (40-80) 61 (35-90) 61 (19-83) 2. Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

88 (55,0) 88 (45,0)

58 (48,3) 58 (51,7)

126 (43,9) 126 (56,1)

3. Pendidikan Tidak sekolah dan tidak

tamat SD 19 (11,9) 13 (10,8) 47 (16,4)

SD 30 (18,8) 36 (30,0) 86 (29,9) SMP 13 (8,1) 16 (13,3) 36 (12,5) SMA 56 (35,0) 38 (31,7) 71 (24,7) PT 42 (26,2) 17 (14,2) 47 (16,4)

Page 55: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit46

46 | P a g e

Pada Tabel 2 terlihat bahwa 28.2% pasien

mengikuti skrining keseluruhan, 21.2% mengikuti sebagian, dan lainnya (50.6%) tidak mengikuti sama sekali. Sebagian besar pasien DM yang hanya mengikuti sebagian proses skrining (57,1%) dan tidak mengikuti sama sekali (56,1%) adalah perempuan, atau sebaliknya yang mengikuti keseluruhan proses skrining sebagian besar (55%) adalah laki-laki. Pasien yang mengikuti keseluruhan proses skrining memiliki jarak ke layanan

kesehatan rujukan yang lebih dekat (4 km) dibandingkan dengan pasien yang mengikuti sebagian atau tidak mengikuti pemeriksaan sama sekali, masing-masing 5 dan 6 km

Pada Tabel 3 terlihat bahwa penemuan kasus TB pada pasien DM (spektrum TB) di 11 puskesmas di Kota Denpasar tahun 2016, meliputi Tidak TB (1,94%), terduga TB (51,50%), TB terdiagnosis klinis (4,59%), TB terkonfirmasi bakteriologis (0,35%), dan tidak diketahui (41,62%).

Tabel 3. Penemuan kasus TB pada pasien DM yang diskrining menurut spekrum TB di 11 puskesmas di Kota Denpasar tahun 2016

Spektrum TB* n (%)

a. Tidak TB 11 (1,94) b. Terduga TB 292 (51,50) c. TB terdiagnosis klinis 26 (4,59) d. TB terkonfirmasi bakteriologis 2 (0,35) e. Tidak diketahui 236 (41,62)

Jumlah 567 (100%) *a. tidak TB (tidak ada gejala klinis TB, hasil pemeriksaan rontgen dan BTA negatif); b. Terduga TB (ada gejala klinis TB atau hasil rontgen abnormal suggestive TB); c. TB terdiagnosis klinis (ada gejala klinis TB dan hasil pemeriksaan rontgen abnormal suggestive TB); d. TB terkonfirmasi bakteriologis (ada gejala klinis TB dan BTA positif); dan e. Tidak diketahui (tidak ada gejala TB, dan tidak dilakukan pemeriksaan rontgen dan/atau dahak mikroskopis).

4. Pekerjaan PNS, TNI/Polri, pensiunan 75 (46,9) 45 (37,5) 72 (25,1) Pegawai swasta 3 (1,9) 4 (3,3) 16 (5,6) Wiraswasta 21 (13,1) 13 (10,8) 45 (15,7) Petani/buruh 6 (3,8) 5 (4,2) 25 (8,7) IRT (Ibu Rumah Tangga)

dan lainnya 55 (34,3) 53 (44,2) 129 (44,9)

5. Jaminan kesehatan BPJS 130 (81,3) 93 (77,5) 180 (62,7) JKBM (Asuransi Pemda

Bali) 28 (17,5) 21 (17,5) 72 (25,1)

Asuransi komersial 1 (0,6) 0 (0,0) 1 (0,3)6. Tidak memiliki jaminan

kesehatan 1 (0,6) 6 (5,0) 34 (11,9)

7. Jarak ke layanan kesehatan rujukan (km), median (range)

(n=59)4 (1-55)

(n=119)5 (1-30)

(n=283)6 (1-35)

8. Waktu tempuh ke layanan kesehatan rujukan (menit), median (range)

(n=159)15 (2-120)

(n=120)15 (2-45)

(n=284)20 (1-90)

9. Lama terdiagnosis DM (bulan), median (range)

(n=159)60 (1-337)

(n=118)60 (0-420)

(n=284)48 (0-588)

Page 56: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 47

47 | P a g e

PEMBAHASAN

Algoritma skrining TB-DM yang digunakan pada penelitian ini adalah pengembangan dari algoritma konsensus. Pengembangan didasari atas masukan pada saat pertemuan dengan stakeholder terkait sebelum skrining dilakukan. Pada pasien DM yang memiliki gejala TB klinis batuk produktif, terutama batuk berdahak lebih dari 1 minggu, langsung diperiksa BTA (tidak langsung rontgen), sehingga tidak ada miss opportunity.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan mendukung upaya penerapan skrining TB pada pasien DM. Pasien DM yang dirujuk untuk pemeriksaan rontgen adalah pasien DM yang sudah 3 bulan mengikuti program rujuk balik di FKTP atau puskesmas dan memang sudah dijadwalnya untuk kontrol kembali di rumah sakit, sehingga rasio rujukan tidak terlalu tinggi dan sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.

Pasien DM yang menggunakan BPJS boleh saja dirujuk sebelum 3 bulan apabila ada keluhan/komplikasi yang harus segera dirujuk ke rumah sakit. Kode rujukan rontgen yang diberikan oleh BPJS untuk pasien JKN sesuai ICD X pada INA CBGs adalah Z03.0.1, yaitu observasi terduga TB pada risiko DM dan anak. Jaminan Kesehatan Masyarakat Bali dengan produk jaminan bernama Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) tidak mempermasalahkan pembiayaan rontgen, asalkan telah disetujui oleh Dinas Kesehatan. Untuk pasien JKBM dan umum dirujuk dengan diagnosis DM+ suspect TB, BTA - .

Dari 567 pasien DM yang diskrining TB di 11 puskesmas di Kota Denpasar, 48% adalah laki-laki dengan median umur pasien adalah 62 tahun. Sebagian besar (29.1%) pasien berpendidikan SMA, 41,8% Ibu Rumah Tangga dan lainnya. 92.8% dengan jaminan kesehatan (71.1% BPJS). Jika dilihat dari jarak ke tempat rujukan rontgen adalah 5 km dengan median waktu tempuh 20 menit, dan lama terdiagnosis DM 48 bulan (Tabel 1).

Pelaksaanan skrining TB pada pasien DM dilakukan tanpa paksaan untuk mengetahui implementasi dan hambatan penerapan skrining TB pada pasien DM menggunakan pedoman algoritma yang sudah dikembangkan. Dari 567 pasien yang diwawancara gejala klinis oleh dokter, hanya 28.8% pasien yang mengikuti pemeriksaan skrining TB sesuai dengan algoritma,

yaitu periksa rontgen dan dahak atau hanya salah satu pemeriksaan bila status TB pasien sudah teridentifikasi, 21.2% mengikuti sebagian proses skrining (hanya mengikuti salah satu pemeriksaan rontgen atau BTA), dimana semestinya kedua pemeriksaan tersebut harus dilakukan. Sebagian besar (50.6%) pasien menolak mengikuti pemeriksaan rontgen dan BTA (hanya wawancara gejala klinis oleh dokter).

Jika dilihat dari karakteristik sosiodemografi (Tabel 2), umumnya pasien yang mengikuti sebagian (51,7%) dan tidak mengikuti sama sekali pemeriksaan (56,1%) adalah perempuan. Sedangkan sebaliknya sebagian besar (55%) pasien yang mengikuti keseluruhan proses skrining sebagian adalah laki-laki. Jarak dan waktu tempuh ke pelayanan kesehatan rujukan rontgen berbeda pada ketiga kelompok, dimana pasien yang mengikuti keseluruhan proses skrining relatif memiliki jarak yang lebih dekat dan waktu tempuh yang lebih singkat ke tempat rujukan.

Dari hasil pelaksanaan skrining, ditemukan 2 kasus TB terkonfirmasi bakteriologis. Hasil lainnya kemudian dimasukkan ke dalam beberapa spektrum TB berdasarkan pedoman TB nasional. Spektrum ini dibuat pada keseluruhan sampel (567), baik pada pasien yang mengikuti skrining secara keseluruhan, maupun yang mengikuti sebagian dan tidak mengikuti pemeriksaan BTA dan rontgen dan BTA sama sekali (Tabel 3).

Hambatan dalam pelaksanaan skrining ini adalah masih rendahnya partisipasi pasien mengikuti secara tuntas tahapan skrining untuk mengetahui status TB pada pasien. Penelitian di India juga menunjukkan hasil yang serupa, dimana dari pasien DM yang memiliki gejala TB, 40% menolak mengikuti pemeriksaan BTA (Kumpatla et al. 2013). Penelitian di China menunjukkan hanya 7% pasien yang diskrining melanjutkan pemeriksaan BTA atau rontgen (Lin et al, 2015).

Mengingat prevalensi DM yang tinggi pada populasi terutama penduduk dewasa, maka jika semua pasien DM pada populasi bisa diskrining TB, maka akan berdampak terhadap peningkatan CNR secara bermakna.

Ada beberapa alasan yang mendasari rendahnya partisipasi pasien DM untuk mengikuti pemeriksaan rontgen dan BTA. Bila dilihat dari karakteristiknya, sebagian besar pasien DM yang diskrining TB adalah penduduk usia lanjut, dan

Page 57: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit48

48 | P a g e

sebagian besar yang menolak pemeriksaan adalah perempuan. Kelompok tersebut cenderung sulit mengakses pelayanan kesehatan, karena adanya ketergantungan terhadap keluarga untuk mengantar ke pelayanan kesehatan rujukan dan dalam pengambilan keputusan. Jarak ke tempat pelayanan kesehatan rujukan juga berkontribusi terhadap partisipasi pasien DM mengikuti skrining TB, dimana pasien dengan jarak tempuh yang lebih dekat dan waktu tempuh yang lebih singkat ke pelayanan kesehatan rujukan lebih besar kemungkinannya mengikuti skrining secara tuntas dibandingkan dengan pasien dengan jarak tempuh yang lebih jauh dan waktu tempuh yang lebih lama. Hasil penelitian di Cina (Lin et al, 2015), mengungkapkan hal yang sama, yaitu rendahnya partisipasi bisa disebabkan oleh umur pasien yang sebagian besar di atas 66 tahun. Faktor lainnya berdasarkan hasil penelitian di India adalah karena stigma yang masih tinggi di masyarakat apabila penyandang DM diketahui menderita TB (Kumpatla et al. 2013).

Hasil analisis kualitatif dari persepsi pasien pada penelitian ini, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien setuju bahwa jarak menjadi masalah bagi mereka bila dirujuk untuk pemeriksaan rontgen. Kendala lain diantaranya alur rujukan yang lama, tidak ada yang mengantar dan biaya khususnya bagi pasien yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pasien juga menyatakan tidak bersedia diperiksa karena terkendala waktu, kesibukan dan tidak mengetahui prosedur. Alasan tidak ada waktu dan kesibukan mengindikasikan bahwa skrining TB bukan sesuatu yang penting dan harus ditindaklanjuti sesegera mungkin bagi pasien. Hal ini juga didukung dengan alasan dari sebagian besar pasien yang menolak rontgen, yaitu karena merasa belum perlu, tidak merasa sakit dan tidak ada keluhan atau gejala TB. Alasan tersebut bisa saja muncul karena faktor pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai TB-DM yang sebagian besar masih rendah. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar pasien (76,2% dan 60,5%) memiliki pengetahuan dan persepsi yang rendah. Banyak pasien yang tidak mengetahui bahwa penyandang DM memiliki kemungkinan yang lebih besar menderita TB, dan penyendang DM yang juga menderita TB akan mempengaruhi pengobatan DM. Kendala lainnya yang menjadi perhatian adalah masih banyak pasien (78,7%) yang belum

mendapatkan informasi lengkap dari petugas kesehatan tentang skrining TB pada pasien DM.

Kendala lain dari persepsi stakeholder (dokter puskesmas dan rumah sakit, petugas laboratorium, dinas kesehatan, dan kepala puskesmas) adalah kurangnya pemahaman terhadap program skrining, sehingga Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) menjadi sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Kendala lain adalah kurangnya sarana dan prasarana khususnya pemeriksaan dahak mikroskopis, sehingga pasien harus ‘bolak-balik’ ke rumah sakit, puskesmas, dan puskesmas rujukan mikroskopis, serta meningkatkan risiko pasien tidak mengikuti skrining secara tuntas. Masalah pembiayaan juga menjadi kendala, yaitu adanya perbedaan tarif rontgen yang ditanggung BPJS (lebih rendah) dengan tarif yang ada di rumah sakit, dan mereka yakin permasalahan ini dijumpai di beberapa rumah sakit di Indonesia.

Faktor pendorong utama kesediaan pasien melakukan skrining TB adalah adanya jaminan pembiayaan oleh asuransi, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya. Disamping itu, beberapa responden juga mengapresiasi pelaksanaan skrining TB dengan harapan dapat mengetahui kondisi kesehatan mereka dan kemungkinan terjangkit TB. Stakeholder juga mengatakan bahwa program kolaborasi TB dan DM merupakan langkah yang bagus, karena TB merupakan penyakit oportunistik yang dapat timbul pada penyandang DM karena penurunan daya tahan tubuh. Stakeholder pada prinsipnya juga mendukung program kolaborasi TB-DM, karena program ini merupakan program pemerintah yang harus dilakasanakan seperti program kesehatan lainnya. Pembiayaan juga nantinya mendapat dukungan dari pemerintah melalui JKN dengan universal health coverage.

KESIMPULAN

1. Secara umum algoritma konsensus nasional

bisa diaplikasikan secara optimal apabila dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.

2. Penemuan kasus TB sangat potensial melalui penerapan program skrining pada pasien DM, walaupun ada sebagian pasien DM yang mengundurkan diri selama proses skrining.

3. Faktor utama penghambat program skrining adalah kurangnya pemahaman pasien dan

Page 58: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 49

49 | P a g e

petugas kesehatan terhadap program, kurangnya sarana dan prasarana di puskesmas terutama sarana pemeriksaan dahak mikroskopis, adanya kendala transportasi (jarak) ke rumah sakit rujukan, pembiayaan bagi pasien umum, dan perbedaan tarif rontgen yang cukup besar antara rumah sakit dan BPJS.

4. Faktor utama pendukung program skrining adalah adanya Jaminan Kesehatan Nasional (universal health coverage), BPJS, dan komitmen petugas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dan dinas kesehatan), selain karena urgensi penyakitnya juga karena kolaborasi TB-DM merupkaan salah satu program prioritas pemerintah.

SARAN

Program skrining TB pada pasien DM dengan

menggunakan algoritma dari konsensus nasional perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Untuk memaksimalkan fisibilitas program, perlu peningkatan pemahaman dan komitmen petugas kesehatan terhadap kolaborasi program TB-DM, KIE yang intensif pada masyarakat, dan ketersediaan petunjuk teknis skrining TB pada pasien DM.

Untuk meningkatkan temuan kasus TB pada

pasien DM, maka perlu peningkatan sarana pemeriksaan diagnostik, yaitu GenXpert dan kultur. Untuk solusi pembiayaan jangka panjang, pemerintah provinsi atau kabupaten melalui masing-masing dinas kesehatan dapat mengembangkan program promotif dan preventif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di FKTP berupa pelayanan non-kapitasi, dengan catatan, pemeriksaan rontgen juga dapat dilakukan di FKTP.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu/terlibat dalam penelitian ini, antara lain Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar, kepala/dokter/petugas laboratorium di 11 Puskesmas di Kota Denpasar, Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya dan Rumah Sakit Tingkat II Udayana beserta seluruh dokter spesialis paru, penyakit dalam, endokrin dan rontgen pada rumah sakit rujukan tersebut, BPJS Kesehatan Divisi Regional XI dan BPJS Kesehatan

Kantor Cabang Denpasar, UPT Jaminan Kesehatan Masyarakat Bali dan petugas lapangan TB-DM. Terimakasih juga disampaikan kepada PSKM FK Unud dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali yang telah mendukung terlaksananya program ini, serta stakeholder lain yang tidak disebutkan satu persatu. Selain itu, kami juga menyempaikan ucapan terimakasih kepada Subdit Tuberkulosis, Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan RI atas kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan kepada kami untuk melaksanakan riset operasional ini.

DAFTAR PUSTAKA

Goldhaber-Fiebert JD, Jeon CY, Cohen T, Murray MB; (2011) Diabetes mellitus and tuberculosis in countries with high tuberculosis burdens: individual risks and social determinants; International Journal of Epidemiology 2011;40

Jeon CY, Murray MB, Baker MA (2012); Managing tuberculosis in patients with diabetes mellitus: why we care and what we know; Expert Rev. Anti Infect. Ther.10(8), 863–868 (2012).

Kemenkes (2015) Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.

Kumpatla, S. et al. (2013); Characteristics of patients with diabetes screened for tuberculosis in a tertiary care hospital in South India: Public Health Action 3.Suppl 1 (2013): S23–S28.PMC. Web. 2 Nov. 2016.

Lin Y, Innes Y, Xu L, Li L et al. (2015); Screening of patients with Diabetes Mellitus for Tuberculosis in Community Health Settings in China: Tropical Medicine and International Health.2015;20(8): 1073-1080.

Livia et al, (2015). Tuberculosis infection among diabetes melitus patients in Hasan Sadikin Hospital Bandung, Indonesia; dalam Buku Abstrak Parade Riset Tuberculosis Nasional, TORG, 2015.

Raspati et.al (2015), Characteristics of active pulmonary tuberculosis adult Patients with and without diabetes mellitus comorbidity In Bandung, Indonesia dalam Buku Abstrak Parade Riset Tuberculosis Nasional, TORG, 2015.

Page 59: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016

Jurnal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit50

Page 60: Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016