Jurnal Dr Taufiq Sp OG

6
Penatalaksanaan Trichomonas vaginalis pada wanita dengan suspek hipersensivitas terhadap Metronidazole LATAR BELAKANG DAN TUJUAN Trichomonas vaginalis merupakan suatu penyakit menular seksual non virus yang paling sering terjadi di Amerika serikat, dengan perkiraan sekitar 7 juta infeksi baru yang terjadi tiap tahun, T vaginalis menyebar melalui manusia ke manusia melalui hubungan seksual. Infeksi T vaginalis mengalami perubahan dari asimptomatik ( 50% infeksi pada wanita) sampai menimbulkan infeksi vaginitis akut. T vaginalis memiliki hubungan dengan infeksi virus imunodefisiensi dan masalah proses persalinan seperti ruptur nya membran dini (KPSW), kelahiran preterm, dan berat lahir rendah. Rekomendasi terapi pada infeksi trichomonas adalah 2 gram oral dosis tunggal baik metronidazole atau tinidazole. Efek samping dari pemakain metronidazole termasuk reaksi akut hipersensivitas seperti kemerahan, utrikaria, demam, angiodema, dan syok anafilaktik. Karena metronidazole dan tinidazole memiliki struktur kimia yang sama, individu yang memiliki alergi terhadap metronidazole juga memiliki respon yang sama pada pemakaian tinidazole. Hanya terdapat sedikit data hipersensivitas metronidazole terhadap wanita dengan infeksi T vaginalis yang ada saat ini. Laporan dari frekuensi dan tingat keparahan dari reaksi hipersensifitas tersebut kebanyakan bersifat anekdok. Oleh sebab itu, dengan banyak aspek dari infeksi trichomonas, hanya ada beberapa alternatif untuk standar terapi rekomendasi pada wanita dengan reaksi hipersensivitas terhadap nitromidazole yang telah dipublikasikan. Salah satunya adalah desensitasi, dimana hal tersebut dilakukan melalui pemberian secara intravena atau oral, bagaimana pun juga efikasi dari hal tersebut terbatas pada sedikit laporan kasus yang telah dilakukan. Divisi STD prevention dan divisi penyakit parasit pada Center for Disease Control and Prevention (CDC) merupakan sumber konsultasi untuk penatalaksaan pada wanita dengan suspek hipersensivitas terhadap metronidazole, Sebuah sistem pengamatan dilakukan sejak September 2003 untuk memantau penatalaksaan klinis dan untuk mengetahui hasil dari beberapa macam regimen terapi yang telah digunakan. Tujuan dari

Transcript of Jurnal Dr Taufiq Sp OG

Page 1: Jurnal Dr Taufiq Sp OG

Penatalaksanaan Trichomonas vaginalis pada wanita dengan suspek hipersensivitas terhadap Metronidazole

LATAR BELAKANG DAN TUJUAN

Trichomonas vaginalis merupakan suatu penyakit menular seksual non virus yang paling sering terjadi di Amerika serikat, dengan perkiraan sekitar 7 juta infeksi baru yang terjadi tiap tahun, T vaginalis menyebar melalui manusia ke manusia melalui hubungan seksual. Infeksi T vaginalis mengalami perubahan dari asimptomatik ( 50% infeksi pada wanita) sampai menimbulkan infeksi vaginitis akut. T vaginalis memiliki hubungan dengan infeksi virus imunodefisiensi dan masalah proses persalinan seperti ruptur nya membran dini (KPSW), kelahiran preterm, dan berat lahir rendah. Rekomendasi terapi pada infeksi trichomonas adalah 2 gram oral dosis tunggal baik metronidazole atau tinidazole. Efek samping dari pemakain metronidazole termasuk reaksi akut hipersensivitas seperti kemerahan, utrikaria, demam, angiodema, dan syok anafilaktik. Karena metronidazole dan tinidazole memiliki struktur kimia yang sama, individu yang memiliki alergi terhadap metronidazole juga memiliki respon yang sama pada pemakaian tinidazole.

Hanya terdapat sedikit data hipersensivitas metronidazole terhadap wanita dengan infeksi T vaginalis yang ada saat ini. Laporan dari frekuensi dan tingat keparahan dari reaksi hipersensifitas tersebut kebanyakan bersifat anekdok. Oleh sebab itu, dengan banyak aspek dari infeksi trichomonas, hanya ada beberapa alternatif untuk standar terapi rekomendasi pada wanita dengan reaksi hipersensivitas terhadap nitromidazole yang telah dipublikasikan. Salah satunya adalah desensitasi, dimana hal tersebut dilakukan melalui pemberian secara intravena atau oral, bagaimana pun juga efikasi dari hal tersebut terbatas pada sedikit laporan kasus yang telah dilakukan.

Divisi STD prevention dan divisi penyakit parasit pada Center for Disease Control and Prevention (CDC) merupakan sumber konsultasi untuk penatalaksaan pada wanita dengan suspek hipersensivitas terhadap metronidazole, Sebuah sistem pengamatan dilakukan sejak September 2003 untuk memantau penatalaksaan klinis dan untuk mengetahui hasil dari beberapa macam regimen terapi yang telah digunakan. Tujuan dari analisis kami adalah untuk mengivestigasi keefektivitas dari protokol desensitasi metronidazole sama baiknya dengan pemberian nitroimidazole terhadap penatalaksanaan infeksi trichomonas pada wanita dengan suspek hipersensivitas metronidazole.

BAHAN DAN METODE

Dimulai sejak September tahun 2003, semua pelayanan kesehatan yang menghubungi divisi STD prevention atau divisi penyakit parasit yang mencari konsultasi untuk pilihan penatalaksanaan pasien dengan suspek hipersensivitas terhadap Metronidazole, diminta untuk memberikan informasi pasien seperti umur, status paritas, reaksi hipersensivitas, terapi yang menyebabkan reasksi tersebut, dan apakah reaksi tersebut telah diobservasi oleh pelayanan kesehatan itu. Beberapa macam pilihan terapi, termasuk desentasi metronidazole dan intravaginal furazolidone, telah didiskusikan, informasi tersebut dikirim kepada pelayanan kesehatan yang mengirim konsultasi ke divisi ini. Kemudian pelayanan kesehatan tersebut menentukan plihan terapi walaupun kami

Page 2: Jurnal Dr Taufiq Sp OG

sangat merekomendasikan 1 dari protokol desensitasi . Pengunaan dari terapi alternatif yang dipilih oleh pelayanan kesehatan tersebut tidak dilakukan standarisasi terhapad dosis dan durasi penggunaannya.

Mulai Januari 2005, informasi tambahan diminta untuk mengikuti perjalanan terapi, seperti : regimen terapi (oral atau IV desentasi metronidazole atau obat yang lain), apakah timbul efek samping selama terapi, dan dokumentasi dari agen mikrobiologik dan manefestasi klinik kearah penyembuhan.

Hasil dari terapi ditentukan berdasarkan manefestasi klinik ke arah penyembuhan dan hasil tes mikrobiologik . Dinyatakan sembuh apabila menefestasi klinik yang dijumpai pada pasien dan hasil tes negatif pada pemeriksaan kultur mikrobiologik Trichomonas. Hasil negatif pemeriksaan wet mount , sebagai tambahan untuk melengkapi tanda dan gejala, yang mengindikasi suspek mikrobiologik tersebut sembuh. Jika tidak ditemukan hasil tes tersebut yang mengarah kesembuhan , hasil dari terapi dinilai berdasarkan respon klinis yang ditemukan pada pelayanan kesehatan. Pasien dinyatakan sembuh apabila perbaikan tanda dan gejala dari infeksi trichomonas

Page 3: Jurnal Dr Taufiq Sp OG

FLOW CHART PASIEN YANG DILAKUKAN FOLLOW UP PADA PELAYANAN KESEHATAN

Page 4: Jurnal Dr Taufiq Sp OG

HASIL

Kami menganalisa data dari tanggal 1 September 2003 sampai tanggal 30 September 2006, 127 layanan kesehatan yang berkonsultasi dalam penangganan pasien dengan infeksi trichomonas dan suspek hipersensivitas metronidazole. Pasien yang didapat dilihat dari berbagai macam pelayanan kesehatan, manefestasi klinis dan berbagai macam wilayah geografis. 50 persen dari konsultasi yang dilakukan merupakan pasien dengan reaksi hipersensivitas . 59 dari 127 pelayanan kesehatan (47%) memberikan informasi perjalanan penyakit pasien tersebut.

Rata- rata umur dari 127 jumlah pasien dengan hipersensivitas adalah 36 tahun ( antara 18-73 tahun), dan rata-rata berat badan 171 pound (antara 95-302 pound). Dengan 13 pasien sedang dalam masa kehamilan (10%) selama konsultasi dilakukan.

Reaksi hipersensivitas (n=82) yang diamati pada 64 pasien dari 127 jumlah pasien, didapatkan 39 reaksi utrikaria (48%), 13 reaksi pruritus (16%), 7 reaksi edema pada wajah (9%) dan 8 reaksi lainnya.

Sesuai dengan keterangan diatas, 59 pasien yang memiliki data perjalanan penyakit, 41 pasien ditatalaksana setelah dilakukannya konsultasi dan 18 pasien yang tidak dilakukan tatalaksana. 15 dari 41 pasien (37%) ditatalaksana desentisasi metronodazole menggunakan oral (n=8) dan IV (n=7). Ke-15 pasien tersebut semuanya dinyatakan sembuh (3 mikrobiologik, 9 suspek mikrobiologik, 3 suspek klinis) dengan minimal sampai tidak ada nya efek samping yang ditimbulkan.

Dari 41 pasien yang mendapatkan terapi setelah dilakukan konsultasi, 26 pasien (64%) tidak dilakukan penatalaksaan desentisasi metronidazole. 17 dari 26 pasien (65%) mendapatkan terapi intravaginal dengan penatalaksaan alternatif yang lain. Terapi alternatif tersebut adalah pembersihan menggunakan Betadine (n=6), intravaginal paromomycin (n=5), intravaginal clotrimazole (n= 3), intravaginal furazolidone (n=2), dan intravaginal acetarsol (n=1)

Pengecualian untuk furazolidone, terapi alternatif ini tidak dilakukan strandarisasi pada dosis maupun durasi pengguanaan dan digunakan sesuai dengan kebijakan masing-masing pelayanan kesehatan. Data hasil terapi yang dilakukan terdapat 12 dari 17 jumlah pasien. tingkat kesembuhan secara mikrobiologik dan dari gejala klinis terdapat 3 dari 4 pasien yang mendapatkan terapi betadine, 1 dari 3 pasien yang menggunakan intravaginal clotrimazole dan 1 dari 4 pasien yang menggunakan intravaginal paromomycin, 1 pasien yang terinfeksi trichomonas yang mendapatkan terapi menggunakan paromomycin mengalami ulserasi pada vagina. Pada penatalaksanaan menggunakan furazolidone tidak ada pasien yang menunjukan respon terhadap terapi tersebut. Selanjutnya, 1 dari pasien menunjukan kesembuhan klinis dari infeksi trichomonas yang menggunakan terapi betadine.

PENJELASAN

Desensitasi metronidazole secara oral dan Intravena memiliki keefektivitasan 100% (15 dari 15 pasien) pada penatalaksaan infeksi trichomonas pada pasien dengan hipersensivitas metronidazole. Desesentisasi nitroimidazole yang berhubungan dengan efek samping minor yang terjadi pada 2 pasien, tetapi tersebut dapat diatasi dengan mengguanakan antihistamin dan steroid.

Page 5: Jurnal Dr Taufiq Sp OG

Banyak dari pelayanan kesehatan memilih untuk tidak mengguanakan penatalaksaaan menggunakan regimen desentisasi. Alasan pelayanan kesehatan tidak menggunakan penatalaksaan dikarenakan termasuk biaya penggunaan desensitasi secara IV, kurangnya fasilitas untuk memonitor desesentisasi dan ketidakmampuan mendapatkan persetujuan dari dokter ahli untuk menjalankan prosedur tersebut. Keefektifan dari terapi ini didapatkan hanya 5 dari 12 wanita yang mendapatkan terapi alternatif intravaginal, pada semua pasien yang dicurigai terinfenksi dinyatakan sembuh. 3 dari 4 pasien yang mendapatkan terapi betadine juga dinyatakan sembuh. Bagaimana pun, Tidak ada dosis standar atau durasi pemberian betadine secara topikal yang telah digunakan. Penelitian sebelumnya telah mendokumentasikan beberapa keefektifisan dari betadine atau povidone-iodine. Betadine efektif terhadap T vaginalis pada in vitro.

Evaluasi yang kami lakukan, pemberikan paromomycin intravaginal efektif untuk mengerikdikasi infeksi T vaginalis pada