Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

91
iii JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013 Dewan Redaksi PELINDUNG : Menteri Dalam Negeri PENANGGUNGJAWAB : Dr. H. Muh. Marwan, M.Si KETUA DEWAN REDAKSI : Dr. Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc ANGGOTA : Hasiholan Pasaribu, SE., MPKP Drs. Binar Ginting, MM Edi Sugiharto, SH., M.Si Widodo Sigit Pudjianto, SH., MH Ir. Dadang Sumantri Muchtar REDAKTUR UTAMA : Drs. A. Damenta, Mag.rer.publ REDAKTUR PELAKSANA : Fitriani, STP., MT., M.Sc EDITOR : Ahmad Anshori Wahdy, SE., MBA Emile Boeky, ST., M.Si Nita Sosiawati, ST., MT Muhammad Nur Fajar Asmar, S.STP Dede Sulaeman, S.PdI Azwar, S.S., M.Si MITRA BESTARI : Prof. Dr. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ Achmad Adhitya, M.Sc., Ph.D Dr. Moch. Fachrurrozi, M.Si Dr. Rulli Nasrullah, M.Si TATA LETAK : Deni Irawan, S.IKom ALAMAT REDAKSI : Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp.: 021-7992537 Email: [email protected]

description

Penulis Rusdianto dan di Publikasi Oleh Rusdianto Samawa Tarano Sagarino

Transcript of Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Page 1: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

iii

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Dewan Redaksi PELINDUNG : Menteri Dalam Negeri PENANGGUNGJAWAB : Dr. H. Muh. Marwan, M.Si KETUA DEWAN REDAKSI : Dr. Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc ANGGOTA : Hasiholan Pasaribu, SE., MPKP Drs. Binar Ginting, MM Edi Sugiharto, SH., M.Si Widodo Sigit Pudjianto, SH., MH Ir. Dadang Sumantri Muchtar REDAKTUR UTAMA : Drs. A. Damenta, Mag.rer.publ REDAKTUR PELAKSANA : Fitriani, STP., MT., M.Sc EDITOR : Ahmad Anshori Wahdy, SE., MBA Emile Boeky, ST., M.Si Nita Sosiawati, ST., MT Muhammad Nur Fajar Asmar, S.STP Dede Sulaeman, S.PdI Azwar, S.S., M.Si MITRA BESTARI : Prof. Dr. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ Achmad Adhitya, M.Sc., Ph.D Dr. Moch. Fachrurrozi, M.Si Dr. Rulli Nasrullah, M.Si TATA LETAK : Deni Irawan, S.IKom ALAMAT REDAKSI : Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp.: 021-7992537 Email: [email protected]

Page 2: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

iv

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Page 3: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

v

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Pengantar Redaksi

emekaran daerah di Indonesia (sejak 1999-2010) serupa sel kanker yang membelah diri dengan sangat cepat. Setiap tahunnya rata-rata telah terbentuk 20 daerah otonom baru (DOB) hasil dari pemekaran daerah. Begitu banyaknya DOB yang terbentuk dalam era otonomi daerah selama ini berakibat pada bermunculannya berbagai persoalan yang rumit.

Secara umum, pemekaran wilayah tersebut belum bisa dikatakan berhasil, apalagi mampu menyejahterakan masyarakatnya. Sebaliknya, pemekaran wilayah yang seperti cendawan di musim hujan itu malah

menimbulkan masalah yang tidak lagi sederhana. Misalnya, malasah penggunaan anggaran yang begitu besar dan meningkatnya konflik yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Salah satu bentuk konflik tersebut adalah terjadinya perebutan sumberdaya di perbatasan atau disebut sebagai konflik batas wilayah.

Seperti apa sisik-melik soal DOB tersebut? Djoko Harmantyo, Staf Pengajar dan Kepala Laboratorium Pengembangan Wilayah Departemen Geografi FMIPA-UI, membahas konsep dan teori yang berkaitan dengan hal tersebut. Dalam artikel berjudul, Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur, beliau membahas perkembangan wilayah administrasi di Indonesia sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2012. Selain itu, dibahas pula instrumen pemekaran daerah yang berkaitan dengan potensi terjadinya konflik kewilayahan.

Dalam artikel kedua, Rusdiyanto, Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Muhammadiyah Madiun mengulas strategi percepatan dan pemanfaatan pembangunan tata ruang wilayah berbasis agropolitan. Menurutnya pembangunan tata ruang agropolitan merupakan strategi alternatif dalam memberikan solusi terhadap sumber penghidupan dan kesejahteraan, karena terdapat faktor fungsional dari berbagai sektor pertanian, industri, pariwisata dan agribisnis. Sehingga tata ruang agropolitan merupakan fungsi perencanaan, koordinasi dan evaluasi maupun pengendalian agar pembangunan berorientasi cepat tumbuh dan berkelanjutan. Artikelnya berjudul, Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan.

Artikel ketiga, Aat Ruchiat Nugraha dan Trie Damayanti, keduanya Dosen Jurusan Humas Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran memaparkan masalah pelayanan informasi publik oleh pemerintah daerah dengan pendekatan teori Public Relations. Secara khusus, kajian keduanya mengulas masalah tersebut dalam konteks wilayah Provinsi Jawa

P

Page 4: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

vi

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Barat dan Kota Bandung. Artikelnya berjudul, Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations (Studi Kasus di Pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bandung).

Dalam artikel keempat, Gunawan Tanuwidjaja, Dosen Program Studi Arsitektur Universitas Kristen Petra, Surabaya, mengkaji kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif daerah Bangkalan, Madura. Dalam kajian tersebut beliau mengusulkan beberapa rekomendasi yang terkait dengan revitalisasi rencana tata ruang kabupaten-kabupaten di Madura dan beberapa usualan penting lainnya. Artikelnya berjudul, Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura.

Dalam artikel kelima, Rulli Nasrullah, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Studi dan Informasi (LPSI) Jakarta, membahas penggunaan media baru dalam menunjang pembangunan daerah. Menurutnya, salah satu keuntungan pemanfaatan media baru itu adalah cara kerja yang lebih praktis, menghemat waktu, bahkan mengatasi persoalan tempat. Baginya, penyebaran informasi menggunakan media baru menjadi kekuatan baru, misalnya, dalam menyebarkan informasi terkait potensi daerah sehingga memberikan peluang bagi invetasi daerah untuk bisa ikut andil di suatu daerah secara cepat. Artikelnya berjudul, Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah.[]

Page 5: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

vii

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Daftar Isi

PENGANTAR REDAKSI v

DAFTAR ISI vii

PEMEKARAN DAERAH DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI INDONESIA: KENAPA DOB MESTI LAHIR PREMATUR? Oleh: Djoko Harmantyo

1

STRATEGI PERCEPATAN DAN PEMANFAATAN PEMBANGUNAN TATA RUANG WILAYAH BERBASIS AGROPOLITAN YANG CEPAT TUMBUH DAN BERKELANJUTAN Oleh: Rusdiyanto

13

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK OLEH PEMERINTAH DAERAH DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK: PERSPEKTIF PUBLIC RELATIONS Oleh: Aat Ruchiat Nugraha dan Trie Damayanti

33

REVITALISASI KOTA DAN KABUPATEN YANG LEBIH BERKELANJUTAN: KERANGKA KERJASAMA DAN PERENCANAAN PARTISIPATIF DI BANGKALAN MADURA Oleh: Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

55

PEMANFAATAN MEDIA BARU DALAM PEMBANGUNAN DAERAH Oleh: Rulli Nasrullah

75

Page 6: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

viii

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Page 7: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

1

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

Djoko Harmantyo

[email protected] Staf Pengajar dan Kepala Laboratorium Pengembangan Wilayah

Departemen Geografi FMIPA-UI

ABSTRAK

Terbentuknya 20 DOB secara rata rata per tahun hasil pemekaran daerah sejak 1999-2010 dapat diibaratkan seperti penyakit kanker dimana sel kanker membelah diri begitu cepat. Akibatnya, sulit untuk mengobatinya. Dampaknya, terjadi pemborosan penggunaan anggaran dan konflik antarwilayah yang menimbulkan korban jiwa. Tujuan studi membahas tentang alternatif model untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan dampak pemekaran daerah yang nyaris tak terkendali walaupun sudah diberlakukan moratorium sejak tahun 2010. Dengan menggunakan metode komparatif dan pendekatan analisis spasial diperoleh temuan sementara yang menunjukkan estimasi jumlah DOB tahun 2025 yang ditetapkan pemerintah diperkirakan akan tercapai tahun 2018. Konflik keruangan akan meningkat tajam dan berpotensi timbulnya disintegrasi. Fakta perkembangan wilayah yang berlangsung secara alami dapat dijadikan dasar penyempurnaan instrumen pemekaran daerah sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi dampak yang mungkin terjadi.

Kata Kunci: pemekaran daerah, disintegrasi, daerah otonom.

ABSTRACK

During 1999-2010, there were 20 new autonomous regions (Daerah Otonomi Baru –

DOB) were enacted annnually in average. This fast growing nature is comparable to cancer cells that transcet rapidly and hardly to be cured. Consequently, it brings about budget inefficiency and inter-regions conflicts, which sometime results on victims. This study aims to learn alternative models to reduce or even more to eliminate the impacts of fast growing formation of DOB, which is almost incontrollable even after moratorium on 2010. Comparative model and spatial analysis approach in this study discover some temporary findings which show that the estimation of amount of DOB on 2025, based on government stipulation, will be achieved on 2018. Spatial conflicts will signifcantly increase which leads

Page 8: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

2

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

to disintegration. The facts of natural area development can be used as basic instrument for enhancing the new region autonomy assessment to minimalize those severe possible impacts.

Keyword: the new region autonomy, disintegration, spatial conflicts. Pendahuluan

Tujuan pemekaran daerah pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Wujud dari pemekaran daerah yang diharapkan adalah rakyat di seluruh pelosok nusantara dapat menikmati hasil hasil pembangunan secara merata sehingga persatuan dan kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat terjaga dan proses disintegrasi dapat dihindari. Oleh karena itu proses pelaksanaan pemekaran daerah berdasarkan UU 32 tahun 2004 dan PP 78 tahun 2007 memiliki instrumen yang sangat rinci melalui penilaian faktor obyektif melalui 3 dimensi utama yaitu Geografi, Demografi dan Kesisteman dan 35 indikator. Di samping itu ada faktor subyektif yang harus dijadikan bahan pertimbangan akhir dalam memutuskan pemekaran daerah yaitu dengan melihat sejarah, potensi dan peluang ekonomi serta aspek aspirasi masyarakat dan pemerintah daerah.

Unsur aspirasi masyarakat lokal dan pemerintah daerah inilah yang cenderung lebih kuat pengaruhnya dalam era otonomi dewasa ini. Salah satu alasannya adalah karena secara langsung berkaitan dengan keinginan membangun dan meningkatkan kapasitas demokrasi. Berdasarkan argumentasi ini berbagai masalah yang timbul dianggap sebagai risiko politik yang memang harus diterima dan dianggap sebagai proses pembelajaran. Persoalannya, apakah kerugian materi dan korban jiwa akibat konflik yang selalu timbul dan cenderung meningkat dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran dalam masa transisi? Sampai kapan kita selesai belajarnya? Kiranya argumen tersebut saat ini sudah tidak dapat diterima secara rasional dan oleh karena itu perlu dicarikan solusinya. Pada tahap awal, salah satu cara pemecahannya adalah menemukan faktor kunci dalam proses perkembangan suatu wilayah secara alami dimana instrumen pemekaran daerah dalam UU tidak dilibatkan.

Secara teoretis, berkembangnya suatu wilayah biasanya karena secara faktual memiliki potensi besar dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan. Potensi tersebut dapat dibuktikan antara lain dari adanya kecenderungan semakin bertambah luasnya wilayah terbangun (built-up area). Semakin luas wilayah terbangun dapat diartikan semakin berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakatnya. Hal tersebut dapat diukur dari nilai indeks kerapatan jaringan jalan, luasan wilayah perkantoran dan perdagangan, pola

Page 9: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

3

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

penyebaran wilayah pemukiman, kepadatan penduduk, di mana berbagai parameter tersebut dapat dijadikan ukuran kuantitas dan kualitas mata pencaharian penduduk.

Semakin meningkatnya kegiatan ekonomi mulai dari pusat pusat bisnis (central business district atau CBD) yang cenderung tumbuh dan berkembang baik secara difusif maupun secara lompatan katak (leaf frog), menyebabkan tumbuhnya kota-kota satelit sebagai lokasi pemukiman baru. Oleh karena sebuah pemukiman kota baru atau kota satelit membutuhkan luas tanah yang besar dan di dalam wilayah kota sendiri ketersediaan tanah semakin terbatas dan cenderung sangat mahal, maka lokasi kota-kota baru tersebut akan menyebar di luar wilayah kota asalnya. Proses inilah yang kemudian menyebabkan wilayah administratif tetangganya memperoleh manfaat dengan semakin berkembangnya daerah perbatasannya.

Berkembangnya wilayah administratif yang berbatasan dengan kota-kota besar inilah yang secara alamiah yang memungkinkan menjadi cikal bakal terbentuknya daerah otonom baru dari pemekaran daerah induknya. Proses seperti inilah yang semestinya menjadi acuan dasar dalam melahirkan daerah otonom baru di Indonesia. Sebuah daerah yang sudah layak menjadi daerah otonom karena memiliki potensi ekonomi yang memenuhi syarat bagi kehidupan warganya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. Secara perlahan tapi pasti, tanpa menimbulkan beban keuangan negara, wilayah tersebut akan berkembang sesuai mekanisme pasar. Dapat diberikan sebuah contoh yaitu terbentuknya daerah otonom Kota Tangerang Selatan.

Perkembangan wilayah seperti yang dijelaskan di atas, pada kurun waktu tertentu akan tumbuh menjadi suatu megapolitan area. Gabungan kota-kota dalam suatu megapolitan area memiliki ciri kehidupan yang sangat efisien dan efektif. Interaksi antar kota terjauh dapat ditempuh paling lama dalam satu jam, dalam jarak terjauh sekitar 300 – 600 km. Sebagai contoh, kota megapolitan tersebut adalah Boswash (Boston-Washington), Chipitts (Chicago-Pittsburg) atau Sansan (Santa Barbara - San Diego) di Amerika Serikat (Haggett, 2001). Di Indonesia, fenomena di atas sudah barang tentu memiliki perbedaan karena tingkat kemajuan ekonomi, kondisi sosial politik dan budaya yang tidak sama dengan Amerika Serikat. Dalam skala yang lebih kecil di Indonesia dijumpai area Jabodetabek dengan pusatnya kota Jakarta, Gerbangkertasusila dengan pusatnya kota Surabaya dan Joglosemar dengan pusatnya kota Semarang.

Fenomena Pemekaran Daerah

Di Indonesia, pola perkembangan wilayah mengalami perubahan sejak bergulirnya era reformasi setelah tahun 1998. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi daerah). Kebijakan tersebut tertuang dalam UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004. Dalam rangka implementasi kebijakan tersebut maka dikeluarkan PP No. 129 tahun 2000 tentang persyaratan dan tata cara pembentukan daerah otonom

Page 10: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

4

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

baru, penghapusan dan penggabungan daerah otonom. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diganti dengan PP No. 78 tahun 2007.

Seiring dengan perjalanan implementasi kebijakan otonomi daerah di Indonesia muncul berbagai persoalan yang memerlukan usaha-usaha perbaikan baik dalam substansi peraturan perundangan maupun teknis pelaksanaan di lapangan. Beberapa masalah yang dipandang sangat penting untuk segera diatasi adalah: 1. Dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 1999 telah terbentuk daerah otonom baru

sebanyak 210 buah yang terdiri dari 8 provinsi, 169 kabupaten dan 35 Kota sehinga pada akhir tahun 2012 jumlah total daerah otonom menjadi 529. Dengan perkataan lain terjadi peningkatan 64% dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau secara rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom baru.

2. Banyaknya daerah otonom baru tersebut memiliki implikasi terhadap semakin besarnya dana pembangunan daerah otonom baru yang dialokasikan dari APBN. Pada tahun 2002 dialokasikan DAU sebesar Rp. 1.33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp. 2.6 triliun dan pada tahun 2010 sebesar Rp. 47.9 triliun.

3. Beberapa fakta yang dijumpai antara lain adalah adanya daerah otonom baru ternyata memiliki jumlah penduduk sangat sedikit bahkan ada sebuah daerah otonom kabupaten baru hanya berpenduduk kurang dari 12.000 jiwa. Fakta lain adalah jumlah dan kualitas SDM sebagai personil Pemerintah Daerah sangat minim, kurang tersedianya prasarana dan sarana pemerintahan dan munculnya berbagai konflik masyarakat lokal yang mengiringi proses otonomi daerah antara lain akibat persoalan batas wilayah. Hal-hal di atas adalah sebagian masalah yang timbul sejak digulirkannya kebijakan

otonomi daerah dan pemekaran daerah berdasarkan perangkat UU dan peraturan pelaksanaannya. Perangkat peraturan pelaksanaannya inilah yang kemudian perlu disempurnakan sebagai salah satu alternatif untuk menghindari timbulnya masalah yang sama di masa yang akan datang. Kerangka konsep pemekaran daerah yang berlangsung selama ini tertuang dalam bagan seperti Gambar 1.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap daerah otonom hasil pemekaran daerah selama kurun waktu 10 tahun yang dipandang kurang memuaskan maka dicanangkan kebijakan pemberhentian sementara (moratorium) terhadap pembahasan usulan daerah otonom baru pada tahun 2010. Seiring dengan keputusan moratorium tersebut dilakukan upaya komperhensif untuk menata kembali daerah otonom yang sudah ada dan secara khusus menetapkan strategi untuk menangani usulan daerah otonom baru antara lain dengan menetapkan persyaratan teknis meliputi parameter dan indikator yang harus dipenuhi. Salah satu persyaratan yang harus ada adalah parameter dan indikator dari dimensi geografi, yang dalam tulisan ini menjadi fokus bahasan utama.

Saat ini secara administratif wilayah Indonesia terbagi dalam 34 provinsi, 403 kabupaten dan 93 kota. Berdasarkan luasnya, wilayah provinsi paling kecil adalah provinsi Bali dan DI

Page 11: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

5

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

Yogyakarta, sedangkan yang paling luas adalah provinsi-provinsi di Kalimantan (kecuali Kalimantan Selatan) dan Papua (lihat Gambar 2). Wilayah provinsi yang paling luas inilah, dari segi luas wilayah, memiliki potensi untuk dimekarkan di masa datang.

Gambar 1. Kerangka Konsep Pemekaran Daerah

Pembahasan masalah tentang apa saja parameter dan indikator utama aspek geografi dan

bagaimana bentuk data dan informasinya akan dilakukan dengan pendekatan analisis eksploratif didukung data dari berbagai sumber yang dianggap memenuhi persyaratan ilmiah. Sebagai pengantar disajikan hasil sementara dari seminar yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri bulan September 2011 seperti pada Gambar 3.

Parameter dan indikator geografi seperti dalam Gambar 3 merupakan hasil kajian tim yang disusun oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, yang selanjutnya menjadi bagian dari buku yang berjudul Desain Besar Penataan Daerah Di Indonesia Tahun 2010-2025. Dengan maksud untuk memberikan masukan perbaikan terhadap parameter dan indikator dimensi geografi dalam penataan daerah di Indonesia maka dalam tulisan ini akan dibahas konsep pengembangan wilayah dalam perspektif disiplin ilmu geografi dan penerapannya pada kasus otonomi daerah di Indonesia.

Page 12: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

6

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

Gambar 2. Sebaran Ibu Kota Provinsi di Indonesia Tahun 2013

(Modifikasi dari www.indonesia-tourism.com/map/)

Gambar 3. Parameter dan indikator geografi (Kemendagri, 2010)

Page 13: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

7

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

Gambar 4. Perkembangan Jumlah Provinsi di Indonesia Tahun 1945 s.d. 2012

Pembahasan

Berdasarkan sejarahnya, luas wilayah kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara mengalami perkembangan yang dinamis. Pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, wilayah Indonesia terbagi dalam 8 provinsi yaitu provinsi Sumatra, Kalimantan (Borneo), Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi dan provinsi Bali dan Nusa Tenggara. Sampai dengan tahun 1963 jumlah provinsi berkembang menjadi 25 buah. Pada tahun 1963 Irian Barat menjadi provinsi termuda yang kemudian disusul oleh provinsi Timor Timur pada tahun 1975 menjadikan jumlah provinsi di Indonesia sebanyak 27 buah. Jumlah ini bertahan hingga tahun 1999 di mana pada tahun 2000 jumlah provinsi berubah menjadi 26 buah karena provinsi Timor Timur berubah menjadi negara yang merdeka yaitu

Page 14: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

8

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

Timor Leste. Sejak tahun itu jumlah provinsi berkembang terus hingga saat ini, tahun 2012, menjadi 34 provinsi (lihat Gambar 4).

Pembagian wilayah administratif provinsi pada awal Indonesia merdeka dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5 tersebut wilayah Papua (Irian Barat) baru masuk menjadi bagian integral wilayah kedaulatan Indonesia tahun 1963, sedangkan wilayah Timor Timur sempat menjadi bagian NKRI selama 25 tahun (1975-2000). Berdasarkan peta tersebut tampak bahwa provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur sejak Indonesia merdeka sampai saat ini belum mengalami pemekaran.

Gambar 5. Pembagian Wilayah Administratif Provinsi di Indonesia Tahun 1945

Pemekaran Daerah Periode 1999-2011

Sejak era reformasi tahun 1998, potret pembangunan wilayah di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Ke-wenangan kepala daerah (guber-nur, bupati dan wali kota) dalam mengembangkan wilayah tercermin dari berbagai kebijakan yang tertuang dalam peraturan daerah (perda) sesuai UU Otonomi Daerah. Pelaksanaan kegiatan pembangunan didasarkan pada rencana pembangunan daerah dan rencana pembangunan idealnya disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah sebagai pedoman dalam pengelolaan wilayah disusun berdasarkan keinginan dan harapan rakyat (seluruh stake holder), yang secara sederhana disebut sebagai cerminan “visi” yang ditetapkan pemerintah daerah.

Page 15: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

9

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

Rencana tata ruang wilayah (RTRW) adalah potret kondisi wilayah yang diharapkan di masa depan, sekaligus dapat memberikan gambaran bagaimana tingkat kesejahteraan rak-yat yang ingin dicapai. Dokumen RTRW biasanya dilengkapi dengan deskripsi bagaimana strategi dan cara men-capainya. RTRW disusun dengan berpedoman pada rencana tata ruang nasional, artinya apabila RTRW seluruh kabupaten dan kota dirangkai menjadi satu kesa-tuan maka akan tampak mosaik rencana tata ruang nasional. Wajah wilayah Indonesia masa depan dapat dilihat melalui hasil mosaik tersebut. Persoalannya adalah apakah penggabungan seluruh RTRW kabupaten dan kota yang ada dapat membentuk sebuah mosaik yang utuh? Ternyata, dari beberapa kasus konstruksi mosaik dari beberapa RTRW kabupaten/kota yang bertetangga dijumpai berbagai masalah seperti tidak sinkronnya rencana kawasan di perbatasan antar wilayah, garis perbatasan antar wilayah yang belum jelas, garis batas yang tidak match atau terjadi penyimpangan, dan masalah lainnya (lihat Gambar 6).

Gambar 6. Diagram Potensi Konflik Antardaerah Otonom

Salah satu dokumen RTRW adalah peta dan salah satu peta yang memberikan informasi

acuan pengelolaan wilayah adalah peta zonasi atau peta kawasan. Peta RTRW tersebut disusun dalam skala yang berbeda-beda sesuai kebutuhan informasi yang disajikan. Peta RTRW provinsi menggunakan skala peta 1 : 100.000, untuk kabupaten menggunakan skala

Page 16: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

10

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

1:25.000 dan skala 1:10.000 untuk peta RTRW Kota. Oleh karena peta RTRW sangat penting sebagai acuan pengambilan kebijakan pemerintah daerah dalam mengembangkan wilayahnya maka setiap daerah otonom harus memiliki peta RTRW. Ketiadaan RTRW akan menimbulkan beragam masalah karena seluruh kegiatan pembangunan yang berlangsung tidak mempunyai arahan terhadap tujuan yang akan dicapai.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Daerah Otonom di Indonesia

Tahun 1999 s.d. 2012

(*) Angka ini tidak termasuk provinsi DKI Jakarta dan 6 daerah administratif

Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri menyebutkan, di samping persoalan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang dialokasikan dengan hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah otonom baru serta munculnya konflik horizontal yang cenderung semakin meningkat, ternyata masalah di atas juga disebabkan oleh lemahnya aturan persyaratan dan pentahapan pembentukan daerah otonom baru. Oleh karena itu pemerintah memandang perlu mengeluarkan kebijakan penghentian sementara (moratorium) pemekaran daerah sekaligus berupaya melakukan penyempurnaan aturan pemekaran daerah, salah satu diantaranya menyempurnakan ketentuan persyaratan minimal untuk daerah otonom baru.

Perkembangan Pemekaran Daerah

Telah dikemukakan bahwa sejak tahun 1999 jumlah daerah otonom telah berkembang pesat dari 319 daerah otonom menjadi 530 daerah otonom (provinsi, kabupaten, kota). Secara rinci perubahan tersebut adalah sebagai berikut:

Berdasarkan kecenderungan tersebut di atas, persolannya adalah, berapa banyak lagi daerah otonom baru akan dilahirkan, atau sampai berapa banyak jumlah daerah otonom yang layak membagi wilayah Indonesia di masa datang? Masih adakah alternatif cara yang lain untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat agar memperoleh keadilan dan pemerataan pembangunan, di luar cara pemekaran daerah? Jawaban dari pertanyaan ini ada baiknya dibahas pada kesempatan lain.

Page 17: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

11

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

Salah satu upaya rasional untuk menentukan jumlah maksimal daerah otonom di Indonesia dilakukan melalui kajian dari berbagai disiplin ilmu. Hasil kajian tersebut digunakan sebagai masukan bagi Kemendagri untuk menentukan angka jumlah maksimal provinsi, kabupaten / kota di Indonesia periode 2010-2025. Salah satu hasil analisis dari bidang ilmu geografi menunjukkan bahwa jumlah maksimal provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sampai tahun 2050 masing-masing adalah 48 dan 460 (Harmantyo, 2007).

Tabel 2. Estimasi Jumlah Daerah Otonom di Indonesia

Periode 2010-2025

(*) Diolah berdasarkan estimasi tim Desertada Kemendagri (2010)

Kemendagri sendiri telah melakukan kajian yang menghasilkan angka perkiraan jumlah maksimal daerah otonom di Indonesia seperti dalam tabel di bawah ini.

Apabila hasil estimasi sebanyak 589 daerah otonom pada tahun 2025 dikaitkan dengan fakta jumlah daerah otonom pada tahun 2012 sebanyak 530 buah maka terdapat selisih sebanyak 59 daerah otonom yang dimungkinkan mekar sampai tahun 2025. Artinya secara rata-rata hanya 3-4 DOB dapat dibentuk tiap tahunnya. Nampaknya hal ini tidak realistis karena jika didasarkan angka rata-rata 20 DOB terbentuk tiap tahun maka jumlah 59 DOB diperkirakan akan terbentuk sebelum tahun 2018. Hal tersebut kemungkinan akan terjadi apabila instrumen pemekaran daerah tidak disempurnakan.

Pertimbangan untuk menyempurnakan instrumen pemekaran daerah dapat dilakukan dengan memberikan prioritas kepada daerah-daerah di sekitar kota-kota besar yang memiliki potensi daerah untuk dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri sepanjang memenuhi kriteria dalam PP 78 tahun 2007. Faktor obyektif dalam parameter penataan daerah perlu dijadikan acuan dominan dibanding pertimbangan terhadap faktor subyektif. Desain besar penataan daerah (Desertada) masing-masing provinsi perlu disusun secara cermat untuk menghasilkan nilai estimasi jumlah DOB tahun 2025 yang lebih tepat.

Selanjutnya, kajian terhadap usulan pemekaran daerah kabupaten/kota perlu dilakukan secara cermat dengan memperhatikan hasil penilaian terhadap 3 parameter dan 35 indikator dan argumentasi dari alasan pemekaran daerah yang bersangkutan. Perspektif geo-strategi dan geo-politik perlu digunakan dalam memberikan penilaian terhadap hasil kajian agar tujuan akhir dari pemekaran daerah dalam era otonomi dapat tercapai yaitu semakin kokohnya kedaulatan bangsa dan NKRI.

Page 18: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemekaran Daerah dan Perkembangan Wilayah di Indonesia: Kenapa DOB Mesti Lahir Prematur?

12

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Djoko Harmantyo

Penutup Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam kurun waktu 10 tahun telah terbentuk

hampir 40% daerah otonom baru. Hal ini berarti telah terjadi wilayah wilayah baru yang secara cepat mengalami perkembangan sebagai hasil pembangunan dengan memanfaatkan bantuan pendanaan khusus dari pemerintah pusat. Perkembangan wilayah pada daerah-daerah otonom baru sampai saat ini umumnya masih tergantung bantuan pendanaan dari pemerintah. Jika ditinjau secara teoritis desentralisasi, setelah ada keputusan politik untuk membentuk daerah otonom baru maka pemerintah (pusat) wajib memenuhi kebutuhan dana pembangunan sampai daerah tersebut mampu untuk mandiri. Oleh karena itu sesungguhnya aspek pendanaan tidak dapat dijadikan obyek masalah.

Bertambahnya 205 daerah otonom baru dapat diartikan bahwa selama kurun waktu 10 tahun telah terbangun 205 pusat perkembangan wilayah baru. Hal ini juga dapat diartikan bahwa telah terjadi perluasan wilayah terbangun (built-up area) secara progresif dan merata di berbagai pelosok Indonesia. Sudah barang tentu perkembangan wilayah seperti ini prosesnya berbeda dengan perkembangan wilayah yang terjadi secara alamiah sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini. Perbedaannya adalah bahwa keberlangsungan perkembangan wilayah dalam kerangka otonomi daerah sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dari pemerintah pusat. Persoalannya adalah berapa lama waktu dibutuhkan untuk daerah otonom dapat berkembang secara mandiri? Apakah pemerintah memiliki anggaran yang cukup untuk memenuhi dana yang dibutuhkan untuk kegiatan pembangunan di daerah otonom baru, yang cenderung semakin besar setiap tahun?

Oleh karena itu ke depan, pemerintah perlu lebih cermat dalam memutuskan pembentukan daerah otonom baru dengan mempertimbangkan kelayakan persyaratan dan potensi wilayah antara lain dalam dimensi geografis. Dengan demikian, perkembangan wilayah dari daerah otonom baru yang terbentuk dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri tanpa ada ketergantungan dari bantuan pendanaan dari pemerintah (tidak menimbulkan beban bagi pemerintah).

Daftar Pustaka Anonim. 2005. Undang Undang Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Bakosurtanal. 2010. Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta. Haggett. P. 2001. Geography. A Global Synthesis. Prentice Hall. London. Harmantyo, D. 2007. Kebijakan desentralisasi dan implementasi otonomi daerah di Indonesia .

Jurnal Makara. Vol. 6, 2007. Universitas Indonesia. Depok. Kementerian Dalam Negeri. 2010. Desain Besar Penataan Daerah 2010-2025. Jakarta. Sandy. IM. 1996. Republik Indonesia. Geografi Regional. Jurusan Geografi FMIPA-UI. Jakarta.

Page 19: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

13

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Rung Wilayah Berbasis

Agropolitan Yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

Rusdiyanto

Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Muhammadiyah Madiun

ABSTRAK Pembangunan tata ruang agropolitan merupakan strategi alternatif untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Di dalamnya mencakup pembangunan sektor pertanian, industri, pariwisata, dan agribisnis. Tata ruang agropolitan berorientasi pada akselerasi pertumbuhan kawasan dan pembangunan berkelanjutan. Pengembangan kawasan agropolitan menjadi penting demi memperluas lapangan kerja baru yang bersifat kompetitif dan mengoptimalkan potensi lokal sebagai pendukung dalam proses percepatan dan pemanfaatan kawasan cepat tumbuh dan berkelanjutan. Harapannya dapat memberikan kontribusi nyata demi terpenuhinya kesejahteraan masyarakat. Kata Kunci: agropolitan, cepat tumbuh, berkelanjutan.

ABSTRACT Agropolitan spatial development is an alternative strategy to improve social welfare.

This concept incorporates several sectors such as industry, tourism, agriculture and agribusiness. Agropolitan spatial development seeks to accelerate spatial growth and sustainable development. Developing agropolitan area is an important strategy to create and widen competitive job opportunities. It also an important approaches to employ local potencies in speeding up sustainable spatial development. Hopefully, It will eventually contribute to the fulfillment of social welfare. Keyword: agropolitan, local potencies, sustainable spatial development.

Page 20: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

14

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

Pendahuluan Selaras dengan visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang

No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025, maka visi percepatan dan perluasan pembangunan adalah mewujudkan partisipasi masyarakat melalui sektor kawasan tata ruang agropolitan sebagai sumber penghidupan yang mandiri dan makmur.

Melalui strategi pembangunan nasional, wilayah dan daerah berbasis tata ruang agropolitan,1 tentu akan menempatkan seluruh wilayah Indonesia sebagai tolak ukur kemajuan ekonomi hingga tahun 2025 dengan pendapatan per kapita berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Maka untuk mewujudkan misi pembangunan tersebut diperlukan pertumbuhan sektor riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan tersebut akan diiringi oleh penurunan inflasi dari 6,5 persen pada 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada tahun 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti ini mencerminkan karakteristik bahwa Indonesia salah satu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha yang sangat baik.2

Berdasarkan data di atas bahwa penting untuk menyikapi paradigma dan dinamika issue pembangunan nasional maupun wilayah sehingga menjadi salah satu indikator sistem penilaian dan pengukuran angka partisipasi dalam proses pembangunan yang direncanakan. Karena semakin tinggi tingkat kebutuhan akan pembangunan, maka semakin tinggi pula masyarakat yang concern dalam mengambil bagian untuk investasi maupun kerjasama ekonomi.

Urgensinya pembangunan itu ditandai banyak pihak melakukan penguatan terhadap paradigma percepatan maupun perluasan wilayah yang cepat tumbuh dan berkelanjutan. Konsep pembangunan saat ini secara umum mendapat tantangan besar bagi seluruh daerah yang pada dasarnya menganut sistem penerapan konsep kolaboratifitas pembangunan antara sistem tata ruang dan agropolitan itu sebagai kegiatan utama demi mencapai kualitas hidup generasi dan masyarakat mendatang.

Oleh karena itu, kebijakan pembangunan ke depan harus mampu mendorong peningkatan kualitas kesetaraan dan persamaan (equality) hak masyarakat baik dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga keberlanjutan pembangunan tersebut, sebagaimana visi dan misi rencana pembangunan nasional. Artinya perlu diperhatikan karakteristik berbagai wilayah di Indonesia dalam kerangka mencari keseimbangan

1 Bahan Paparan Menteri Pekerjaan Umum pada Rakernas Badan BKPRN, Manado, 30 November 2011 2 Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, (2011) Sambutan Dalam Buku Modul Masterplan MP3EI Tentang Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, terbitkan di Jakarta. Hal 15

Page 21: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

15

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

penduduk (permukiman) dan kesetaraan sumber daya manusia dalam jangka panjang dan menengah.

Penerapan pembangunan yang telah direncanakan itu harus melalui berbagai macam konsep penerapan yang dipandang sangat produktif untuk digunakan oleh berbagai wilayah, yakni tata ruang agropolitan dengan prinsip cepat tumbuh dan berkelanjutan. Aspek agropolitan ini mempunyai potensi keunggulan dalam membawa angin segar keberhasilan pembangunan wilayah di seluruh Indonesia. Tentu dari banyaknya potensi yang muncul tersebut, maka harus ada pengelolaan secara baik dan benar. Potensi ini merupakan kebutuhan mendasar yang wajib diimplementasikan sehingga adanya keterjaminan infrastruktur usaha masyarakat yang lebih aman dan mandiri.

Namun keunggulan tersebut perlu diperhatikan dan diatur dalam berbagai tahapan pengembangan pembangunan wilayah agrobisnis dan pertanian yang selama ini mengekstraksi hasil alam. Hal ini harus berorientasi pada peningkatan nilai tambah produk, proses produksi dan distribusi hasil secara efektif. Upaya percepatan dan perluasan pembangunan berbasis tata ruang agropolitan sebagai titik awal menuju gerbang pertumbuhan dan pemerataan demi keadilan dan kesejahteraan.

Tantangan percepatan dan perluasan pembangunan itu ada pada penyediaan infrastruktur pendukung kegiatan agropolitan dengan syarat memiliki spektrum mudah terjangkau dan bermanfaat secara luas bagi masyarakat. Selain itu juga, hal-hal yang harus mendapat perhatian utama terlebih dahulu adalah infrastruktur dalam mendorong volume konektivitas antar wilayah dan daerah3 sehingga agenda utama percepatan dan perluasan pembangunan agropolitan itu berproduksi dengan baik.

Penyediaan infrastruktur konektivitas akan menurunkan biaya transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, regulasi (aturan) serta biaya produksi sehingga dapat meningkatkan daya saing dan laju gerak kegiatan agropolitan tersebut. Selain itu juga, kualitas sumber daya manusia ini sangat terkait dengan infrastruktur dasar pembangunan. Jika pada tahun 2010 sebanyak 53 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan, maka BPS memprediksi bahwa pada tahun 2025 penduduk di kawasan perkotaan akan mencapai 65 persen.

Maka oleh karena itu, penataan ruang agropolitan pada pedesaan dan perkotaan merupakan proses penting dari suatu perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian terhadap wilayah yang berpotensi memberikan keuntungan ekonomis. Sementara kalau kita review secara ilmiah bahwa tata ruang menjadi wujud struktur ruang yang dikategorikan secara nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

3 Rusdianto, Merumuskan Model Konektivitas Ekonomi Pembangunan Daerah Dalam Perspektif Social Control, Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Vol XVIII/Edisi 02/2012. Hal. 35

Page 22: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

16

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

(RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW) tersebut dijabarkan ke dalam rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK).

Yang dimaksud dengan struktur ruang adalah jaringan sarana dan prasarana yang mempunyai fungsi pokok dan mengatur kegiatan partisipasi sosial masyarakat. Sementara pola ruang yakni pendistribusian rencana penataan ruang dalam suatu wilayah agar di integrasikan dalam bentuk koordinatif. Sedangkan perencanaan tata ruang merupakan metode pelayanan sektor publik (masyarakat) untuk mengatur penyebaran aktivitas dalam ruang wilayah berskala variatif.

Sehingga tata ruang agropolitan merupakan fungsi perencanaan, koordinasi dan evaluasi maupun pengendalian agar paradigma pembangunan mempunyai orientasi yang jauh bertahan untuk masa depan dan berkelanjutan. Dengan demikian, tugas mendesaknya adalah mengak-selerasikan konsep pembangunan yang diatur melalui peraturan bersama yang disesuaikan dengan peraturan lainya tentang spesifikasi agronya, misalnya pariwisata, pertanian, agrobisnis, ekonomi dan lingkungan atau lahan. Mengapa harus diatur secara spesifik dengan aturan yang berbeda sesuai aspeknya? Karena memang selama ini hanya mengatur dengan satu aturan saja sehingga sangat sulit dalam membentuk kegiatan koordinasi dan percepatan rencana. Tentu cara seperti ini merupakan upaya maksimalisasi pening-katkan harmonisasi pembangunan dan partisipasi masyarakat lebih terbuka.

Sesuai dengan definisi awal perencanaan tata ruang diambil dari European Regional (Spatial Planning Charter), metode ini sebenarnya diadopsi pada tahun 1983 oleh Konferensi Menteri Eropa yang bertanggung jawab atas Regional Planning (CEMAT), yang berbunyi, adalah “Perencanaan tata ruang memberikan ekspresi geografis terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis. Perencanaan tata ruang juga merupakan sebuah ilmu ilmiah, teknik administrasi, dan kebijakan, yang dikembangkan sebagai pendekatan lengkap dan antar-ilmu, yang diarahkan kepada pengembangan regional dan organisasi fisik terhadap sebuah strategi utama.”

Berdasarkan penyerapan permasalahan pembangunan di berbagai wilayah bahwa pembangunan tata ruang agropolitan merupakan strategi alternatif dalam memberikan solusi kongkrit terhadap seluruh sumber – sumber penghidupan untuk kesejahteraan masyarakat. Agropolitan diartikan sebagai stimulus awal hingga berlanjut yang memberikan faktor fungsional dari sektor pertanian, industry, pariwisata dan agribisnis dengan membentuk tata ruang secara sistematis dan khusus.

Berdasarkan Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang bahwa perencanaan tata ruang berkedudukan sangat strategis untuk melandasi tahap-tahap yang perlu dilaksanakan secara cermat.4 Tata ruang merupakan aspek penting dalam pendistribusian rencana kebijakan pembangunan agropolitan di suatu wilayah yang merupakan agenda yang tidak terpisahkan dalam tahapan pengaturan proses pengembangan

4 Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang

Page 23: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

17

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

wilayah di suatu kawasan yang berbasis agropolitan. Hal ini bersifat sektoral yang saling berkaitan langsung antara tahapan kebijakan dan regulasi (aturan) dengan pertimbangan atas seluruh kebutuhan pembiayaan pembangunan dan pengembangan kegiatan agropolitan tersebut.

Disamping itu, tata ruang agropolitan dapat tumbuh berkembang dan berkelanjutan atas jaminan keunggulan fungsi dan peran manajerial sehingga diharapkan mampu melayani maupun mendorong pusat kegiatan agropolitan berbasis pada berbagai aspek, seperti pertanian, industry, dan agrobisnis. Tentu program percepatan dan perluasan (pengembangan) kegiatan agropolitan berhubungan langsung dengan sistem pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Karena memang hal ini merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah agropolitan yang harus mendapat dukungan dari seluruh stakeholders agar tujuan pembangunan itu terintegrasi dengan baik dan diwujudkan.5

Disamping itu, pentingnya pengem-bangan kawasan agropolitan untuk membuka lapangan kerja yang luas, tentu berdasarkan kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) di sebagian besar daerah provinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian, hal ini akan menjadi keuntungan besar dan kompetitif (competitive advantage). Lebih kongkrit lagi, apabila pembangunan tata ruang agropolitan itu mengusahakan potensi lokal sebagai faktor pendukung dalam proses percepatan dan perluasan sektor – sektor cepat tumbuh dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan wilayah provinsi/kabupaten/kota demi mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Tata ruang agropolitan itu diperluas sebagai wadah elaborasi strategi pem-bangunan yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan. Prinsip-prinsip pemanfaatan tata ruang tentu dalam kerangka koordinasi dan sinkronisasi yang mencakup jenis dan besaran (volume) program, lokasi pembangunan, serta pembagian (sharing) pembiayaan sesuai dengan peran maupun tanggungjawab, misalnya pembangunan infrastruktur transfortasi jalan yang perlu dikoordinasikan kepada sektor-sektor wilayah dan kawasan yang menggunakan jalan tersebut, sehingga jaringan transfortasi jalan yang dibangun dapat memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada sekedar menghubungkan dua titik.

Selain masalah koordinasi, timbulnya permasalahan yang berkaitan dengan konsistensi dalam menjadikan rencana tata ruang sebagai acuan pembangunan juga masih banyak kita jumpai diberbagai daerah yang terdapat kesalah-kesalahan dalam penerapannya. Sehingga dalam beberapa kasus dapat kita lihat rencana tata ruang justru dirubah dari rencana matang

5 Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng (2003), Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. Hal. 3

Page 24: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

18

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

sebelumnya ketika terdapat keinginan untuk melaksanakan pengembangan pembangunan kawasan atas inisiatif investor tanpa melihat dan mengkaji peraturan maupun pedoman yang berlaku sebagai landasan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya. Akibatnya minat investasi seringkali dipandang sebagai dasar untuk mengubah (merevisi) rencana tata ruang kemudian menyebabkan investasi yang ada menjadi piranti yang dapat disesuaikan sebagai pembenaran bagi kegiatan investasi lainnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan tata ruang membutuhkan peran masyarakat dan investor sebagai faktor penting untuk mengatasi keterbatasan pembiayaan yang dimiliki pemerintah. Maka oleh karena itu, visi besar penataan ruang dan pembangunan kawasan agropolitan tersebut diwujudkan melalui 3 (tiga) syarat yang menjadi fokus utamanya, yaitu:6 1. Peningkatan nilai tambah pada proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset yang

diakses melalui potensi-potensi SDA, geografis wilayah, dan SDM, dengan penciptaan pusat kegiatan ekonomi maupun agribisnis yang terintegrasi dan sinergis antar kawasan sebagai titik utama pertumbuhan.

2. Mendorong terwujudnya pening-katan efisiensi produksi dan pemasaran yang diintegrasikan dengan pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan pertahanan ekonomi nasional.

3. Mendorong penguatan sistem inovasi teknologi informasi nasional sebagai update hasil produksi maupun konektivitas pasar untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation driven economy.

Pengertian Komponen Beberapa istilah yang lazim digunakan dalam konsepsi percepatan dan perluasan kawasan

agropolitan antara lain sebagai berikut : 1. Kawasan adalah wilayah yang mempunyai fungsi utama lindung atau budidaya. 2. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkelanjutan sesuai dengan sistem

usaha agribisnis yang memiliki kemampuan untuk melayani dan mendorong kegiatan pembangunan pertanian (sektor usaha pertanian dalam artian luas) di wilayah sekitarnya.

3. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah tertentu sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkhi keruangan satuan sistem permukiman dengan sistem agribisnis.

4. Percepatan Kawasan Agropolitan, adalah pembangunan ekonomi berbasis agropolitan, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing,

6 Ibid 2011 Hal 21

Page 25: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

19

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah.

5. Sistem dan Usaha Agribisnis adalah suatu sistem tentang pertanian yang memiliki lima subsistem yang saling terkait dan terintegrasi satu sama lain, adalah sebagai berikut: a. Subsistem Hulu adalah penyediaan agroinput/sarana produksi, mencakup seluruh

kegiatan ekonomi untuk memproduksi dan mendistribusikan sarana produksi yang dibutuhkan dalam proses usaha tani;

b. Subsistem on farm budidaya adalah merupakan kegiatan produksi menggunakan sarana produksi yang disediakan oleh subsektor agribisnis hulu dan teknologi spesifik lokalitas untuk menghasikan komoditas primer yang berdaya saing;

c. Subsistem pengolahan adalah merupakan seluruh kegiatan ekonomi mengolah hasil kegiatan on farm untuk menghasilkan produk olahan jadi;

d. Subsistem pemasaran adalah mencakup distribusi, promosi dan informasi pasar, intelijen pasar, kebijakan perdagangan dan struktur pasar serta memasarkan komoditas primer yang dihasilkan petani;

e. Subsitem jasa pendukung adalah mencakup seluruh kegiatan untuk mengoptimalkan beroperasinya keempat subsistem sebelumnya di atas.

6. Sentra Produksi adalah sub kawasan dimana terletak pusat pelayanan lokal, baik sebagai pelayanan terhadap sub kawasan budidaya maupun pelayanan terhadap Kota Pertanian. Pelayanan yang bisa diberikan oleh kawasan ini adalah pengolahan produksi yang menjadi produk jadi atau setengah jadi, serta sebagai pendukung subsistem agribisnis hulu.

7. Komoditas Unggulan adalah komoditas pertanian (tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, perikanan) yang dibudidayakan oleh mayoritas masyarakat, terjamin ketersediaannya secara terus menerus, masih dalam bentuk primer, atau produk olahan sementara, atau produk olahan akhir, telah diusahakan dalam industri kecil atau menengah atau besar, berdaya saing dan mempunyai pangsa pasar baik lokal, regional maupun internasional dan akan atau menjadi ciri khas daerah kawasan.

8. Master Plan adalah suatu dokumen formal rencana induk pengembangan kawasan termasuk di dalamnya penataan ruang spatialnya, yang dipakai arahan dan pedoman para stakeholder dalam melaksanakan kegiatan pembangunannya.

Strategi Cepat Tumbuh (WCT) dan Berkelanjutan Percepatan dan perluasan pembangunan merupakan unsur penting dari proses cepat

tumbuh karena adanya corak wilayah yang berpotensi ekonomis dan strategis sehingga tidak terjadi stagnan “deterioration”. Walaupun corak pertumbuhan wilayah itu berbeda-beda, namun saling berkaitan dalam interaksi (spatial interaction). Dengan demikian, momen percepatan dan perluasan pembangunan wilayah terlebih dahulu menarik (pull) dan

Page 26: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

20

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

mendorong (push) agar wilayah tersebut dapat dipastikan dalam ruang koordinasi sesuai rencana.7

Pengembangan wilayah tata ruang merupakan upaya mendorong perkembangan wilayah melalui pendekatan komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi dan sosial.8 Dalam perkembangannya di Indonesia, berbagai pendekatan telah diterapkan. Pada dasarnya, perkembangan pendekatan pengembangan wilayah ditujukan untuk mengefisienkan pembangunan berdasarkan evaluasi pelaksanaan pendekatan sebelumnya serta disesuaikan tuntutannya dalam kurun waktu tertentu. Pengembangan wilayah adalah harmonisasi perkembangan wilayah.

Banyak cara dapat diterapkan, mulai dari konsep pengembangan sektoral, basic needs approach sampai penataan ruang (pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan sumber daya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan berkelanjutan). Jadi, penataan ruang merupakan alat untuk mengembangkan wilayah. Oleh karenanya, pemaparan konsepsi penataan ruang berada dalam konteks pengembangan wilayah.9

Pada giliranya, wilayah yang memiliki keunggulan akan cepat tumbuh dan berkelanjutan. Disinilah perlunya strategi untuk menjaga positioning pertumbuhan dan perluasan wilayah cepat tumbuh agar tetap dalam hubungan ruang yang komplementer dengan wilayah lainnya.10 Pada umumnya, agropolitan harus mempunyai dua keunggulan dalam sistem pembangunan cepat tumbuh dan berkelanjutan, yaitu Comparative Advantages (keunggulan alamiah) dan Competitive Advantages (keunggulan buatan).11

Hal ini selalu berbasis ekonomi, agribisnis dan pertanian yang merupakan tumpuan bagi masyarakat untuk mengakses secara terbuka demi keberlangsungan rencana tata ruang maupun agropolitan yang memiliki indikator pertumbuhan yang relatif lebih tinggi bahkan bisa melewati batas persentase pertumbuhan ekonomi dan pertanian secara nasional.

Kalau pertumbuhan ekonomi dan pertanian nasional rata-rata sekitar 5-7 % pertahun, maka WCT diperkirakan bisa tumbuh sekitar 9 % pertahun bersama dengan pertumbuhan ekonomi dan pertanian yang berada di daerah perkotaan yang mencapai sekitar 11 % pertahun.12 Agropolitan dapat menjadi basis wilayah cepat tumbuh dan berkelanjutan serta sebagai pusat-pusat kegiatan ekonomi maupun pertanian yang mempunyai peran penting

7 Bambang Tata Samiadji, (2002), Pertumbuhan Ekonomi Kota-Kota Sebelum dan Pasca Krisis, Publikasi, Jakarta, Hal.4 8 Misra R.P, Regional Development, tahun 1982 9 Ruchyat Deni Dj, (2002), Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah Pendekatan Perencanaan Pengembangan Wilayah di Indonesia - Jurnal Penataan Ruang, Vol. VII. 2-1. Hal. 71 10 Ibid, 2002 ; 5 11 Ibid, 2002 : 2 12 Buku Modul Ekonomi Perkotaan (2006) Metropolitan Di Indonesia : Kenyataan Dan Tantangan Dalam Penataan Ruang, Bunga Rampai, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum

Page 27: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

21

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

bagi masyarakat umumnya. Sumber-sumber regulasi percepatan dan perluasan pembangunan agropolitan yang cepat tumbuh dan berkelanjutan itu, adalah: 1. Pemotongan pajak dari seluruh infrastruktur yang dihitung dari Produk Domestik Bruto

(PDB). 2. Penerimaan fiskal nasional (APBN) yang berasal dari pajak dan PPN 3. Kebijakan fiskal; 4. Manajemen WCT pada tata ruang dan agropolitan 5. Regulasi Undang – Undang dan peraturan lainnya yang menopang fungsi percepatan dan

perluasan. 6. Merekrut dukungan publik sebagai faktor penilaian kegiatan penataan tata ruang

agropolitan yang berbasis cepat tumbuh dan berkelanjutan itu. Proses mendorong percepatan dan perluasan tadi tentu harus mempelajari struktur pajak

dan penerimaan fiskal, sehingga pembangunan wilayah tata ruang agropolitan fokus pada potensi keberhasilan dan tantangan kerumitannya. Tetapi di samping itu, persoalan lainya yang segera diidentifikasi adalah kondisi labilitas dan faktor ketimpangan pada aspek pertumbuhan ekonomi dan agribisnis yang berkelanjutan sehingga tidak menciptakan kontraksi mobilitas masyarakat untuk melakukan perpindahan tempat.

Sementara itu, penerapan percepatan dan perluasan pembangunan wilayah berbasis tata ruang agropolitan pada umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi yang berhubungan dengan alokasi anggaran secara spasial dari kebijakan pembangunan nasional, wilayah dan daerah secara keseluruhan.13 Menurut Sugiharto (2006) bahwa pembangunan wilayah sangat tepat di implementasikan dalam ruang lingkup lebih luas sehingga memicu pertumbuhan pembangunan dengan mengandalkan pengelolaan sumber daya publik (common and public resources), antara lain sektor kehutanan, perikanan, dan pengelolaan wilayah.14

Dengan demikian, pembangunan wilayah tentu saja memiliki kompleksitas permasalahan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam sehingga harus di intensifkan pembinaan lingkungannya. Sesuai tujuan pembangunan secara nasional jangka panjang dan menengah, maka strategi pengelolaan dalam konteks percepatan dan perluasan basis pertumbuhan pembangunan wilayah tata ruang agropolitan yang berkualitas dan bersinambung, adalah sebagai berikut:15 1. Pengembangan dan pembentukan struktur tata ruang wilayah yang harmonis dan

optimal.

13 Astrid Damayanti (2010), Kebijakan Pembangunan Wilayah Berbasis Pengelolaan Das Terpadu Dan Berkelanjutan, Publikasi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hal 1 14 Sugiharto, 2006. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah, Cet. Ke-1. USU Press, Medan. hlm.34. 2 15 Ibid 2010 : 2

Page 28: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

22

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

2. Menjaga dan memantapkan laju pertumbuhan cepat tumbuh dan berkelanjutan pada basis wilayah agropolitan.

3. Mendorong pengembangan ekonomi dan pertanian dengan memanfaatkan pasokan (supply) sumber daya.

4. Mengawal pertumbuhan produksi ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, tanpa pelepasan karbon hasil residu kegiatan ekonomi.

Menurut The International Association of Impact Assessment (2002), bahwa hal-hal penting

yang menyangkut percepatan dan perluasan pembangunan yang cepat tumbuh dan berkelanjutan itu adalah sebagai berikut:16 a. Keputusan dan kebijakan yang berprinsip cepat tumbuh dan keberlanjutan b. Kemampuan mendorong equality sebagai alternatif dari usaha-usaha kegiatan agribisnis

(pertanian) dan perkebunan. Maka oleh karena itu, untuk keterjaminan pelaksanaan rencana dan program

pembangunan tata ruang agropolitan harus melalui proses partisipasi, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan. Hal ini tercermin dalam prinsip-prinsip, yakni17 sesuai kebutuhan (fit-for the purpose), memiliki tujuan objektif (objectives led), keberlanjutan (sustainability driven), komprehensif (comprehensive scope), relevan dengan kebijakan (decision relevant), terpadu (integrated), transparan (transparent), partisipatif (participative), akuntabel (accountable) dan efektif biaya (cost effective).

Aplikasi pembangunan berkelanjutan dilaksanakan sebagai bagian tak terpisahkan dari hierarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya pengelolaan. Maka pendekatan yang tepat adalah sebagai berikut: a. Kondisi lahan dan lingkungan menjadi fokus utama dalam pembangunan agropolitan. b. Struktur dan langkah kebijakan percepatan, perluasan dan pengembangan dari

pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota yang harus ditelaah. c. Kapasitas pelaksanaan pembangunan dalam hitungan volume dan terukur. d. Memilih sektor wilayah dan kawasan yang lebih berkualitas.

16 IAIA, 2002, Strategic Environmental Assessment : Performance Criteria. Special Publication Series No. 1, The International Association of Impact Assessment (www.iaia.org/publications) Simposium Nasional 2010: Menuju Purworejo Dinamis dan Kreatif. hal. 20 17 Sadler and Verheem, 1996, Strategic Environmental Assessment : Status, Challenges, And Future Directions. Report No. 53. Ministry Of Housing, Physical Planning and Environment, The Hague. Hal 10

Page 29: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

23

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

Pengembangan Tata Ruang Agropolitan Sesungguhnya kebijakan pembangunan wilayah berkaitan langsung dengan penyusunan

tata ruang yang mengacu pada Undang-Undang Penataan Ruang sebagai pedoman pelaksanaan setiap provinsi, kabupaten dan kota.18 Penataan ruang wilayah termuat dalam suatu produk rencana yang diharapkan menghasilkan pokok-pokok outputnya, yakni:19 1. Strategi pemanfaatan ruang. 2. Rencana struktur tata ruang. 3. Rencana zona preservasi, zona inti, zona konservasi, dan zona penyangga. 4. Rencana pola pemanfaatan ruang yaitu rencana zona pemanfaatan ruang. 5. Rencana kawasan tertentu dan prioritas. 6. Rencana pembangunan sarana/prasarana (infrastruktur). 7. Rencana investasi.

Pembangunan agropolitan untuk memaksimalkan hasil produsen pertanian sebagai pusat

kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Tujuannya mendorong percepatan dan perluasan wilayah agropolitan secara seimbang. Disisi lain pergeseran fungsi kepemilikan lahan pertanian sudah saatnya diperbaiki. Pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu pendekatan pembangunan berbasis pertanian dalam artian luas (termasuk kegiatan agrowisata, minapolitan dan sebagainya), dengan menempatkan pusat kawasan agropolitan sebagai tempat ketersediaan sumberdaya modal yang tumbuh dan berkembang melalui proses kegiatan yang saling melayani dan mendorong usaha agrobisnis antar wilayah, daerah dan desa-desa serta kawasan perkotaan (hinterland). Sehingga terwujudnya sistem usaha yang mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administrasi pemerintah, tetapi lebih ditentukan oleh economic of scale dan economic of scope. Untuk itu penetapan rencana pembangunan kawasan agropolitan dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang ada di setiap daerah. Pada akhirnya, konsep agropolitan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif konsep pembangunan kawasan yang mampu mendorong perekonomian daerah, baik pada tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi dengan menciptakan sinergitas pembangunan antar wilayah yang lebih berimbang serta mampu mengatasi masalah-masalah pembangunan wilayah perdesaan dan pengelolaan pertanian.20

18 Peraturan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 menetapkan pedoman bidang penataan ruang, meliputi pedoman penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten, Dan Perkotaan. 19 Kartika Listriana (2004) Penentuan Pusat Pusat Pengembangan Di Wilayah Pesisir Pantai Dan Laut, Nitro professional, Hal 4 20 Buku Pedoman Umum (2011), Pengembangan Kawasan Agropolitan Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Provinsi Jawa timur, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Hal. 1

Page 30: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

24

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

Penataan ruang dan pembangunan kawasan agropolitan di antaranya diarahkan untuk memberdayakan masyarakat melalui beberapa upaya, antara lain adalah pengembangan lembaga perekonomian untuk meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi dalam kawasan atau wilayah, termasuk kegiatan pertanian, perikanan, dan perkebunan.

Struktur tata ruang agropolitan berfungsi memberikan kerangka pembangunan wilayah agropolitan yang merupakan wujud struktural pusat-pusat percepatan dan perluasan yang di mulai dari penentuan pusat pengembangan primer, sekunder, tersier maupun lokal. Dalam rencana tata ruang juga harus saling berkait di antara seluruh pusat kegiatan agropolitan yang ditunjukkan berdasarkan zona dan moda jaringan transportasi.

Penentuan pusat pengembangan agropolitan ternyata memerlukan suatu kajian mendalam yang terkait dengan faktor pendukungnya sehingga dapat memenuhi kriteria atau indikator pusat-pusat kegiatan pengembangan di masing-masing wilayah. Perbedaan karakteristik utama yang sangat menonjol antara pusat kegiatan agrobisnis dengan pertanian harus sesuai dengan aturan yang ada, sebagaimana pedoman atau petunjuk dari pembangunan pusat kegiatan sebelumnya. Penentuan faktor pusat agropolitan melalui konsep pelayanan, yaitu pusat pertumbuhan dalam ruang agrobisnis, pertanian, distribusi hasil produksi (lokasi distribusi) dan transformasi kelompok kegiatan ekonomi.21

Lokasi yang ditetapkan sebagai pusat pengembangan merupakan penggerak utama kegiatan bagi kawasan lain di sekitarnya atau pengaruh wilayah yang lebih luas. Karakteristik khusus dari pengembangan agropolitan, ternyata mempengaruhi mekanisme standar yang dapat diterapkan untuk menentukan suatu pusat pengembangan yang lebih baik dan berhasil. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan suatu dasar teknis dalam memutuskan arahan rencana pengembangan dengan mempertimbangkan hasil hitungan secara kuantitatif maupun kualitatif sehingga memberikan ouput (hasil) yang dapat meminimalisasi dampak negatif yang biasanya memunculkan risiko akibat suatu keputusan, misalnya degradasi lingkungan, banjir, dan lainya.

Penentuan pusat-pusat pengembangan bertujuan untuk menyusun suatu kebijakan dalam rangka mengambil keputusan untuk menetapkan suatu lokasi di wilayah pesisir dan laut yang berpotensi dikembangkan dan diharapkan sehingga dapat memberikan ‘trickling down effect’ kepada wilayah sekitarnya. Secara makro, penentuan pusat pengembangan ini dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional serta mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penentuan pusat-pusat pengembangan memiliki beberapa sasaran, yaitu mengidentifikasi faktor-faktor kemajuan, variabel dan indikator yang mempengaruhi penentuan pusat pengembangan; merumuskan formulasi perhitungan analisis penentuan pusat pengembangan; merumuskan kebijakan pengembangan suatu wilayah berdasarkan analisa kuantitatif; menetapkan kriteria pusat pengembangan; menentukan lokasi-lokasi yang

21 Ibid. 2004 hal. 10

Page 31: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

25

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

potensial untuk dikembangkan; dan merumuskan keterkaitan fungsi antar pusat-pusat pengembangan.22

Mengingat rencana tata ruang merupakan satu kesatuan yang saling terkait, baik dari aspek substansi dan operasional.23 Dengan demikian, tata ruang wilayah mengacu pada visi dan misi pembangunan nasional yang kemudian diterjemahkan ke visi misi daerah. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 24 1. RTRW nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah

negara yang meliputi tujuan nasional dan arahan pemanfaatan ruang antarpulau dan antarprovinsi. RTRW nasional yang disusun pada tingkat ketelitian skala 1:1 juta untuk jangka waktu selama 25 tahun.

2. RTRW provinsi merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan runag wilayah provinsi yang berfokus pada keterkaitan antarkawasan/kabupaten/kota. RTRW provinsi disusun pada tingkat ketelitian skala 1:250 ribu untuk jangka waktu 15 tahun.

3. RTRW kabupaten/Kota merupakan rencana tata ruang yang disusun berdasar pada perkiraan kecen-deruangan dan arahan perkembangan untuk pembangunan daerah di masa depan. RTRW kabupaten/kota disusun pada tingkat ketelitian 1:100 ribu untuk kabupaten dan 1:25 ribu untuk daerah perkotaan, untuk jangka waktu 5–10 tahun sesuai dengan perkembangan daerah. Pembangunan dalam bidang apapun pada hakikatnya menghendaki terjadinya

keseimbangan, dan tercermin dalam konsep pemerataan pembangunan. Sementara konflik pemanfaatan ruang di berbagai wilayah sering menjadi issue negatif karena banyaknya sektor dan pihak yang saling memprioritaskan kepentingannya,25 seperti agrobisnis dan pertanian. Oleh karena itu, penataan ruang wilayah berbasis agropolitan itu mutlak dilakukan. Hal ini untuk mengintegrasikan antara kebijakan dan Master Plan wilayah Agropolitan perlu adanya pedoman penyusunan program percepatan dan perluasan pembangunan. Pedoman tersebut adalah sebagai berikut:26 1. Penetapan Pusat Kegiatan dan Fungsi Agropolitan

a. Pusat perdagangan dan trans-portasi pertanian (agricultural trade/transport center).

22 Ibid. Hal 11 23 Peraturan perundang-undangan penyusunan tata ruang yang bersifat nasional, seperti UU No. 25 Tahun 2004 dan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 tersebut, kiranya dapat digunakan pula sebagai dasar dalam melaksanakan pemetaan tata ruang sesuai dengan asas optimal dan lestari. 24 Kerr, John. 2007. Watershed Management: Lessons from Common Property Theory. International Journal of the Commons Vol 1 No. 1 October 2007, pp. 89 - 109 Publisher: Igitur, 25 Kartika Listriana (2004) Penentuan Pusat Pusat Pengembangan Di Wilayah Pesisir Pantai Dan Laut, Nitro professional, Hal 4 26 Douglas, 1986 dalam Jones Hendra M. Sirait, Konsep Pengembangan Kawasan Kota Wahana Hijau, Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Vol. 4. No. 3 Bulan April 2009. Hal 1

Page 32: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

26

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

b. Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services). c. Pasar konsumen produk non-pertanian (non agricultural consumers market). d. Pusat industri pertanian (agro based industry). e. Penyedia pekerjaan non pertanian (non agricultural employment). f. Pusat agropolitan dan hinter-lannya terkait dengan sistem permukiman nasional,

propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten). 2. Penetapan Unit-Unit Pengembangan Agropolitan

a. Pusat produksi pertanian (agricultural production). b. Intensifikasi pertanian (agricultural intensification). c. Pusat pendapatan pedesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non

pertanian (rural income and demand for non agricultural goods and services). d. Produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and

agricultural diversification). 3. Penetapan Sektor Unggulan

a. Merupakan sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.

b. Kegiatan agribisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan lokal).

c. Mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.

4. Dukungan Sistem Infrastruktur. Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung

pengembangan agropolitan di antaranya jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi).

5. Dukungan Sistem Kelembagaan. Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan

bagian dari Pemerintah Daerah dengan fasilitasi Pemerintah Pusat. Pengembangan sistem kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan kawasan agropolitan. Melalui keterkaitan tersebut, pusat agropolitan dan kawasan produksi pertanian berinteraksi satu sama lain secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah (value added) produksi kawasan agropolitan sehingga pembangunan perdesaan dapat dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan. Menurut Yonvitner (2012) bahwa pengembangan dan pembangunan agropolitan

terdapat dua kata kunci, yakni agrobisnis dan permukiman. Karena itu, pertimbangan komoditas dan pusat-pusat permukiman harus menjadi perhatian. Komoditas unggulan dalam percepatan dan perluasan pembangunan agropolitan, seperti tanaman pangan dan

Page 33: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

27

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

perkebunan.27 Wilayah komoditas semacam ini seyogyanya dapat diakses oleh masyarakat umum (open access) dan tidak dikuasai satu pihak tertentu (common property).

Berdasarkan pendapat Yonvitner bahwa percepatan, perluasan dan pengembangan pembangunan agropolitan harus berorientasi pada kekuatan pasar (market driven) dengan upaya usaha budidaya (on farm) meliputi agribisnis hulu (penyediaan sarana pertanian) dan agribisnis hilir (processing dan pemasaran) serta usaha perkebunan sebagai pendukungnya. Tentu harus ada kemudahan dalam pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan agropolitan yakni melalui penyediaan sarana prasarana sebagai pendukung agribisnis yang utuh dan menyeluruh. sehingga mudah untuk mensinergiskan daya kerja komoditi yang bersifat export base bukan row base. Dengan demikian, hendaknya konsep pembangunan tata ruang agropolitan mencakup agrobisnis (pangan dan perkebunan), agroprocessing (telecommunication) dan agroindustri (corporate).28

Pembangunan Wilayah Agropolitan (PWA) pada prinsipnya bukan kegiatan yang bersifat exclusive tetapi lebih bersifat complement terhadap tiga agenda prioritas pembangunan, yaitu: 1. Meningkatkan percepatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan

berkelanjutan, terutama melalui pengembangan agrobisnis dan infrastruktur pertanian. 2. Memperluas lapangan kerja, meningkatkan efektifitas penanggulangan kemiskinan,

memberdayakan ekonomi rakyat, terutama wong cilik dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

3. Memelihara kualitas dan fungsi lingkungan hidup serta meningkatkan perubahan pengelolaan sumber daya alam dan penataan ruang. Pengendalian kegiatan belum tertata dengan baik, oleh karena belum dimilikinya pedoman tentang sistem dan prosedur pelaksanaan PWA.

Pemanfaatan Tata Ruang Lahan Sebagaimana telah disampaikan di atas, rencana tata ruang merupakan dasar bagi

pemanfaatan ruang atau lahan. Rencana tata ruang adalah produk rencana yang berisi pengembangan struktur tata ruang yang hendak dicapai. Struktur ruang dibentuk oleh sistem pusat kegiatan dan jaringan prasarana yang mencakup transportasi (darat, laut, udara), jaringan energi dan kelistrikan, jaringan telekomunikasi, dan jaringan sumber daya air.

Sedangkan pola pemanfaatan ruang adalah gambaran alokasi ruang untuk berbagai jenis pemanfaatan lahan yang direncanakan. Secara lebih rinci, muatan rencana tata ruang dapat disampaikan sebagai berikut:

27 Yonvitner, (2012), Integrasi Model Agropolitan Dan Minapolitan Dalam Agromaritim, Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Vol XVIII/Edisi 02/2012. Hal. 52 28 Jones Hendra M. Sirait, Konsep Pengembangan Kawasan Kota Wahana Hijau, Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Vol. 4. No. 3 Bulan April 2009. Hal 6

Page 34: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

28

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

a. Identifikasi pusat-pusat koleksi dan distribusi yang diarahkan sebagai pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan wilayah. Pusat-pusat tersebut merupakan orientasi berbagai kegiatan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, mendapatkan input produksi, maupun memasarkan produk-produk yang dihasilkan.

b. Arahan pengembangan sistem jaringan prasarana, mencakup sistem transportasi, energi dan kelistrikan, telekomunikasi, dan sumber daya air. Sistem jaringan tersebut direncanakan secara berhirarki sesuai tingkatan perencanaan.

c. Penetapan kawasan lindung budidaya agropolitan (agrobisnis dan pertanian) yang dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai kegiatan masyarakat, baik saat ini maupun di masa yang akan datang dengan memperhatikan pelestarian (konservasi dan preservasi) lingkungan.

d. Kriteria penetapan pengelolaan kawasan budidaya. Dimaksudkan untuk menetapkan lokasi dari berbagai peruntukan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan keselarasan antar kegiatan dan kepentingan pelestarian lingkungan. Sedangkan pola pengelolaan berisi garis besar tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam mengelola kawasan budidaya.

e. Identifikasi kawasan-kawasan strategis dipandang dari sudut pandang ekonomi, lingkungan, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan. Kawasan strategis merupakan kawasan yang dinilai perlu mendapatkan perhatian khusus dalam upaya mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang telah ditetapkan.

f. Identifikasi sektor unggulan yang diprediksi mampu menjadi pendorong utama (prime mover) pengembangan wilayah. Dalam implementasi rencana, perhatian terhadap pengembangan sektor unggulan dapat mendorong tumbuhnya kompetensi wilayah perencanaan yang bersifat unik.

g. Muatan rencana sebagaimana disampaikan di atas merupakan pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan dalam berinvestasi. Sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, pemerintah menggunakan rencana tata ruang sebagai dasar dalam menerbitkan ijin-ijin pemanfaatan ruang seperti ijin lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Izin Pemanfaatan Bangunan (IPB). Sedangkan bagi masyakat, rencana tata ruang merupakan pedoman dalam menetapkan lokasi dan besaran investasi.

h. Rencana tata ruang disusun dengan memperhatikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian penerapan rencana tata ruang secara konsisten akan meminimalkan konflik kepentingan antar pemangku kepentingan. Di samping itu pelaksanaan pembangunan berdasarkan rencana tata ruang akan menciptakan keterpaduan lintas sektor dan lintas wilayah. Rencana tata ruang yang berkualitas merupakan prasyarat dalam penyelenggaraan

penataan ruang lahan. Namun demikian rencana tata ruang tersebut harus dibarengi dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten untuk menjamin agar

Page 35: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

29

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

pemanfaatan ruang lahan dapat tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Terkait pengendalian, terdapat 3 (tiga) perangkat utama yang harus disiapkan yakni: a. Rencana konstruksi lahan atau tata ruang. Fungsi utamanya adalah sebagai dokumen operasionalisasi rencana tata ruang wilayah.

Dengan kedalaman pengaturan yang rinci dan skala peta yang besar, rencananya dapat dijadikan dasar dalam pemberian izin dan mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Penyiapan konstruksi lahan dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip dasar. Pertama, rencana lahan atau tata ruang harus dapat langsung diterapkan, sehingga kedalaman rencana dan skala petanya harus benar-benar memadai. Kedua, rencana tata ruang harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat, untuk itu harus diamanatkan dalam Peraturan Daerah dan secara tegas dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah. Ketiga, rencana tata ruang harus memiliki legitimasi yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan sehingga harus disusun dengan pendekatan partisipatif.

b. Peraturan Zonasi (Zoning Regulation). Peraturan zonasi merupakan dokumen turunan dari rencana tata ruang yang berisi

ketentuan yang harus diterapkan pada setiap zona peruntukan. Dalam peraturan zonasi dimuat hal-hal yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan ruang, termasuk pengaturan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, penyediaan ruang terbuka hijau publik, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi tersebut bersama dengan RDTR menjadi bagian ketentuan perizinan pemanfaatan ruang yang harus dipatuhi oleh pemanfaat ruang.

c. Mekanisme Insentif Pemberian insentif kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong

pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang. Contoh bentuk insentif adalah penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk berkembang di suatu lokasi. Sedangkan disinsentif untuk mengurangi pertumbuhan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana dan sarana. Penetapan perangkat insentif dan disinsentif harus memperhatikan unsur keadilan dalam

penerapannya. Perangkat insentif dan disinsentif yang ditetapkan juga harus sesuai dengan kemampuan pembiayaan pemerintah, sehingga dimungkinkan pemberian insentif tertentu,

Page 36: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

30

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

misalnya izin bangunan lebih tinggi bagi yang bersedia membangun ruang terbuka hijau publik maupun yang membebaskan daerah tertentu untuk resapan air.

Pengendalian pemanfaatan ruang bukan hanya kewajiban pemerintah, tetapi juga merupakan hak dan kewajiban masyarakat. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996. Hal ini dipertegas dalam rumusan naskah RUU Penataan Ruang yang disusun untuk menggantikan UU No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

Beberapa pokok pengaturan terkait peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: a. Menyampaikan laporan kepada pemerintah tentang adanya pelanggaran terhadap rencana

tata ruang. b. Mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang atas pembangunan di wilayahnya

yang bertentangan dengan rencana tata ruang. c. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai

dengan rencana tata ruang. Peran aktif masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang/lahan saat ini dirasakan

sebagai suatu kebutuhan untuk mengefektifkan upaya pencapaian tujuan penataan ruang untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan

Penutup

Undang-Undang No. 17 tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 dengan visi mewujudkan partisipasi masyarakat melalui pembangunan nasional, wilayah dan daerah sebagai tolak ukur kemajuan ekonomi hingga tahun 2025. Pentingya pembangunan ditandai oleh penguatan paradigma percepatan maupun perluasan pembangunan yang cepat tumbuh dan berkelanjutan.

Penerapan pembangunan tata ruang agropolitan memiliki potensi keunggulan dan keberhasilan untuk menjangkau kebutuhan dasar masyarakat. Penyediaan infrastruktur pendukung kegiatan agropolitan yang terjangkau dan bermanfaat menjadi faktor utama untuk mendorong volume konektivitas dan produksi hasil. Tentu diperlukan transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, regulasi (aturan) serta biaya produksi dalam meningkatkan kualitas ekonomi agribisnis maupun pertanian.

Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang menjelaskan tahap-tahap pengembangan kawasan agropolitan melalui beberapa hal adalah peningkatan nilai tambah produksi dan distribusi, mendorong peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran, dan penguatan sistem inovasi produksi dan daya saing.

Proses agropolitan harus harus berlangsung dalam sistem cepat tumbuh dan berkelanjutan dengan berbagai Comparative Advantages (keunggulan alamiah) dan Competitive

Page 37: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

31

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

Advantages (keunggulan buatan) dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan pertanian. Untuk mengatur hal ini perlu ada regulasi yang memadai, adalah pendapatan pajak, kebijakan penerimaan fiskal, manajemen tata ruang agropolitan dan kegiatan penataan tata ruang. Prinsip-prinsip pembangunan agropolitan harus sesuai kebutuhan (fit-for the purpose), objektif (objectives led), keberlanjutan (sustainability driven), komprehensif (comprehensive scope), kebijakan relevan (decision relevant), terpadu (integrated), transparan (transparent), partisipatif (participative), akuntabel (accountable) dan efektif biaya (cost effective).

Penentuan pusat kegiatan pengembangan agropolitan juga sangat utama agar mempermudah pelayanan sehingga yang perlu adalah pusat agrobisnis dan pertanian yang diintegrasikan melalui penetapan pusat kegiatan dan unit-unit produksi agropolitan dengan memperhatikan sektor unggulan tentu didukung oleh infrastruktur dan kelembagaan.

Sedangkan pemanfaatan ruang juga diidentifikasi secara baik dan benar sehingga penentuan lahan dapat diarahkan pada pola pengembangan maupun pengelolaan yang layak sehingga menjadi sektor unggulan yang mampu menjembatani program pembangunan pemerintah. Dengan demikian, penerapan rencana tata ruang secara konsisten akan keterpaduan lintas sektor dan lintas wilayah yang di spesifikasikan melalui Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Peraturan Zonasi (Zoning Regulation), dan pemberian insentif sehingga target dan tujuan pembangunan tercapai.

Daftar Pustaka Bahan Paparan Menteri Pekerjaan Umum pada Rakernas Badan BKPRN, Manado, 30

November 2011 Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, (2011) Sambutan Dalam Buku Modul Masterplan

MP3EI Tentang Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, terbitkan di Jakarta.

Rusdianto, Merumuskan Model Konektivitas Ekonomi Pembangunan Daerah Dalam Perspektif Social Control, Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Vol XVIII/Edisi 02/2012.

Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng (2003), Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam

Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia.

Bambang Tata Samiadji, (2002), Pertumbuhan Ekonomi Kota-Kota Sebelum dan Pasca Krisis, Publikasi, Jakarta

Buku Modul Ekonomi Perkotaan (2006) Metropolitan Di Indonesia : Kenyataan Dan Tantangan Dalam Penataan Ruang, Bunga Rampai, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum

Page 38: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Strategi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Tata Ruang Wilayah Berbasis Agropolitan yang Cepat Tumbuh dan Berkelanjutan

32

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rusdiyanto

Astrid Damayanti (2010), Kebijakan Pembangunan Wilayah Berbasis Pengelolaan Das Terpadu Dan Berkelanjutan, Publikasi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Sugiharto, 2006. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah, Cet. Ke-1. USU Press, Medan

IAIA, 2002, Strategic Environmental Assessment : Performance Criteria. Special Publication Series No. 1, The International Association of Impact Assessment (www.iaia.org/publications) Simposium Nasional 2010: Menuju Purworejo Dinamis dan Kreatif.

Sadler and Verheem, 1996, Strategic Environmental Assessment : Status, Challenges, And Future Directions. Report No. 53. Ministry Of Housing, Physical Planning and Environment, The Hague.

Peraturan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 menetapkan pedoman bidang penataan ruang, meliputi pedoman penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten, Dan Perkotaan.

Kartika Listriana (2004) Penentuan Pusat Pusat Pengembangan Di Wilayah Pesisir Pantai Dan Laut, Nitro professional

Buku Pedoman Umum (2011), Pengembangan Kawasan Agropolitan Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Provinsi Jawa timur, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA).

Peraturan perundang-undangan penyusunan tata ruang yang bersifat nasional, seperti UU No. 25 Tahun 2004 dan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 tersebut, kiranya dapat digunakan pula sebagai dasar dalam melaksanakan pemetaan tata ruang sesuai dengan asas optimal dan lestari.

Kerr, John. 2007. Watershed Management: Lessons from Common Property Theory. International Journal of the Commons Vol 1 No. 1 October 2007, pp. 89 - 109 Publisher: Igitur,

Kartika Listriana (2004) Penentuan Pusat Pusat Pengembangan Di Wilayah Pesisir Pantai Dan Laut, Nitro professional

Douglas, 1986 dalam Jones Hendra M. Sirait, Konsep Pengembangan Kawasan Kota Wahana Hijau, Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Vol. 4. No. 3 Bulan April 2009.

Yonvitner, (2012), Integrasi Model Agropolitan Dan Minapolitan Dalam Agromaritim, Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Vol XVIII/Edisi 02/2012.

Jones Hendra M. Sirait, Konsep Pengembangan Kawasan Kota Wahana Hijau, Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Vol. 4. No. 3 Bulan April 2009.

MP3EI Tentang Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025

Page 39: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

33

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah dalam Implementasi Keterbukaan

Informasi Publik: Perspektif Public Relations Studi Kasus di Pemerintahan Provinsi Jawa Barat

dan Pemerintah Kota Bandung

Aat Ruchiat Nugraha dan Trie Damayanti [email protected] dan [email protected]

Dosen Jurusan Humas Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Kinerja pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik salah satunya diukur dari kemampuannya memberikan informasi seluas-luasnya kepada publik sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Layanan keterbukaan informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah adalah salah satu pendekatan untuk melihat budaya lokal, pola komunikasi yang dekat dengan masyarakat, dan menjadikan informasi tersebut sebagai sarana untuk menunjukan kepada masyarakat bahwa pemerintah sudah menerapkan sistem pemerintah yang bersih dan baik. Dalam perspektif hubungan masyarakat, ini menjadi langkah penting untuk membangun citra baik pemerintah daerah sebagai birokrasi yang terbuka.

Kata Kunci: pelayanan informasi publik, komunikasi, perspektif hubungan masyarakat.

ABSTRACT

The performance of local governments to provide public services can be measured by its capability on providing public information as required by The Law of Public Information Transparency (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik). Service of information transparency held by local governments is an approach to look into local culture, setting a communication patterns of community, and a media for showing a clean and good goverment to public. In society relationship, this step takes an crucial action for image developing for local goverments as open bureacrachy.

Keyword: public services, communication, society relationship

Page 40: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

34

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Pendahuluan Pembangunan pada suatu negara yang dilakukan di setiap kotanya merupakan hal yang

penting bagi kemajuan rakyatnya. Implementasi pembangunan yang baik tentunya diwujudkan dalam pembentukan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan dengan efektif untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Pembangunan yang baik meliputi pembangunan secara fisik dan nonfisik yang di antaranya pembangunan material (sarana & prasarana) dan pembangunan moral, sosial, budaya dan lain sebagainya. Suatu pembangunan dapat dikatakan berhasil apabila segala aspek pelayanan bagi masyarakatnya telah terpenuhi dengan optimal oleh lembaga pemerintahannya. Aspek pelayanan pemerintah ini diharapkan dari hasil pembentukan karakter suatu daerah dalam kerangka pembangunan menuju reformasi birokrasi secara komprehensif. Dengan adanya karakter daerah dalam proses pelayanan di lembaga pemerintahan menuntut akan peran aktif masyarakat di dalamnya sebagai pelaku dan penikmat layanan pemerintahan, sehingga peran pemerintah kedepannya dapat sebagai motor penggerak dalam menuju sistem tatanan pemerintahan yang baik (good governance), efektif dan efisien.

Tuntutan akan penerapan good governance di lembaga pemerintahan diawali pada era reformasi. Era reformasi ini menuntut munculnya demokratisasi dan transparansi di segala bidang kehidupan bermasyarakat. Pemerintah sebagai penanggungjawab penyelenggaraan kenegaraan menyadari bahwa transparansi dan kebebasan memperoleh informasi bukan saja merupakan satu wujud demokratisasi dalam pemenuhan hak asasi manusia, tetapi juga mendorong terciptanya Clean Government dan Good Governance. Kelahiran era reformasi pada 1998 merupakan tonggak sejarah yang menjadi demarkasi berakhirnya era ketertutupan menuju era baru, era keterbukaan. Namun, euforia keterbukaan kemudian memunculkan kekhawatiran baru yang disebut sebagai reformasi kebablasan, tertutup salah, terbukaan pun menjadi bermasalah.

Suatu informasi akan bernilai apabila memiliki makna yang penting bagi perubahan seseorang, produk atau lembaga itu sendiri dalam mengembangkan potensi dirinya agar dapat berdaya saing dengan yang lainnya. Pemerintah yang memiliki otoritas yang banyak dalam hal kebijakan tentunya memiliki segudang informasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai objek dan subjek pembangunan. Keberadaan pemerintah sebagai badan publik, dinas maupun badan/lembaga non kementerian yang ada di suatu daerah kini dituntut untuk selalu terbuka dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Apalagi dengan disahkannya UU No.14 Tahun 2008 yang memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk dapat mengakses berbagai macam informasi yang dimiliki oleh badan publik dan badan non publik sebagai sumber informasi yang bersifat kredibel untuk dikonsumsi secara massal.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik.Birokrasi dan para pejabatnya lebih menempatkan dirinya sebagai

Page 41: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

35

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

penguasa dari pada sebagai pelayan masyarakat. Akibatnya sikap dan perilaku birokrasi dalam penyelegaraan pelayanan publik cenderung mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Berkembangnya budaya paternalistik ikut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elite politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam penyelengaraan pelayanan publik. Elite politik dan birokrasi, dan atau yang dekat dengan mereka, seringkali memperoleh perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan publik sering berbeda tergantung pada kedekatannya dengan elite birokrasi dan politik. Hal seperti ini sering mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang merasa diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik.

Dalam hal lain, pelayanan informasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat untuk mendapatkan suatu informasi masih dapat dikatakan belum optimal yang dilakukan oleh badan pubik/lembaga pemerintah. Hal ini diperkuat oleh masih banyaknya jenis-jenis pengaduan masyarakat mengenai informasi seputar hajat hidup orang banyak, seperti masalah kesehatan, pendidikan, raskin, jalan rusak, kesejahteraan, dan sebagainya yang diadukan melalui ekspose di media massa. Bukti ini menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pemilik dan penguasa kebijakan masih belum menjalankan standar operasional pelayanan informasi yang memuaskan bagi masyarakatnya. Sehingga dampak dari adanya UU No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik maka setiap lembaga publik ataupun lembaga non publik wajib memberikan pelayanan seputar informasi yang sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang dimiliki oleh setiap lembaga tersebut yang mengacu pada peraturan-peraturan lainnya.

A. Perumusan

Dari hasil data dari latar belakang penelitian di atas maka, dapat disebutkan bahwa rumusan penelitian ini adalah bagaimana pelayanan publik dalam memberikan informasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam perpektif public relations?

B. Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk layanan birokrasi dalam memberikan

informasi publik di lingkungan instansi pemerintah daerah. 2) Untuk mengetahui dan menjelaskan pola dan jenis informasi publik di lingkungan

instansi pemerintah daerah. 3) Untuk mengetahui dan menjelaskan model goodgoverment publicrelations dalam pelayanan

publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah daerah.

Page 42: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

36

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

C. Tinjauan Pustaka Definisi Pelayanan Publik

Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggungjawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Pelayanan publik ini dapat dilihat dibidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Dengan demikia pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, dan bisa melebihi harapan publik serta keloyalitasan publik. Selain itu, pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggungjawab.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, maka pengertian pelayanan publik adalah sebagai pemberian jasa yang diberikan oleh suatu organisasi (perusahaan, pemerintah, swasta) kepada publiknya dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat (Wasistiono, 2003:43). Pada akhirnya, definisi pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. (Saleh, 2010:23-24).

Informasi Publik

Berdasarkan UU No.14 Tahun 2008 yang dimaksud dengan informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara danpenyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyeleng-garaan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU KIP ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Informasi yang dibutuhkan oleh publik sekurang-kurangnya mencakup informasi tentang profil badan publik (BP), informasi tentang program/kegiatan yang sedang dijalankan, ringkasan informasi tentang kinerja badan publik, ringkasan laporan keuangan, ringkasan laporan akses informasi publik, informasi tentang peraturan, keputusan, kebijakan badan publik yang mengikat atau berdampak bagi publik, Informasi tentang tata cara memperoleh informasi publik, pengajuan keberatan dan proses penyelesaian sengketa, informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan wewenang/pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat badan publik, informasi tentang pengumuman pengadaan barang dan jasa, dan informasi tentang prosedur peringatan dini.

Page 43: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

37

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Humas di Lembaga Pemerintahan

Hubungan masyarakat merupakan salah satu metode untuk berkomunikasi dengan konstituentnya suatu organisasi, sehingga pada kenyataannya baik disadari atau tidak disadari setiap organisasi mempunyai kegiatan hubungan masyarakat (Sutisna, 2002:327). Lebih lanjut, Seitel (1998) mengatakan bahwa setiap organisasi secara sadar menginginkan atau tidak. Sedangkan Marston (1979) menyatakan bahwa public relations adalah kegiatan komunikasi persuasif yang terencana dan didesain untuk mempengaruhi publiknya secara signifikan.

Dengan demikian, bentuk kegiatan pelayanan Public Relations bisa diukur dalam beberapa dimensi, diantaranya ada empat katagori standar kualitas minimum yang disandang oleh seorang profesionalisme public relations, yaitu dilihat dari sisi: 1. Proses, artinya apakah kegiatan Public Relations sesuai dengan tahapan-tahapan PR seperti

fact finding, planning, communicating & action dan evaluation. 2. Praktek dari apa yang harus dilaksanakan oleh seorang profesional Public Relations yang

sesuai dengan tugas, fungsi dan peran public relations officer. 3. Kinerja PR, sebagai tampilan dari pelayanan yang diberikan oleh seorang public relations

officer di dalam melakukan tugas komunikasi dan manajemennya yang sesuai dengan etika profesi public relations.

4. Keterampilan personal, yaitu kemampuan hard skill dan softskilldari praktisi Public Relations dalam melakukan tugas-tugas ke-PR-an nya. Pada akhirnya, dalam konteks kinerja Humas di Pemerintahan maka, humas akan

memiliki dua sisi interaksi yaitu sisi masyarakat dan pemerintah. Humas di lingkungan instansi pemerintah adalah representasi aktivitas lembaga dan atau individu yang melakukan fungsi manajemen dalam bidang komunikasi dan informasi kepada publik sebagai pemangku kepentingan. Dengan demikian, Humas pemerintah begitu sangat penting untuk selalu mengetahui dan menerima karakteristik yang ada di masyarakat, supaya humas pemerintah dapat tepat dalam memberikan komunikasi dan informasi secara up to date. Sehingga peran humas tidak hanya berfungsi sebagai unit kerja yang sekedar meneruskan informasi dari/ke pimpinan, atau menanggapi berita-berita sinis yang bersifat sensasi dari mass media. Namun perannya perlu dikembangkan agar lebih pro-aktif dan mampu mengemas informasi, berita miring, yang berkembang pada masyarakat, dan meluruskannya sesuai fakta yang benar dan berimbang.

Pelaksanaan Humas di Lembaga Pemerintahan

Humas pemerintah merupakan subsistem dari sistem penerangan secara keseluruhan dan merupakan bagian dari kegiatan komunikasi sosial. Dasar pembentukkan kegiatan Humas adalah adanya anggapan bahwa jika masyarakat diberitahu masalahnya, maka masyarakat

Page 44: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

38

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

akan bersikap wajar dan bijaksana. Karena pada dasarnya masyarakat itu merupakan pihak yang tanggap dan menginginkan kebenaran. Dengan demikian, Humas harus menunjang terwujudnya tujuan lembaga dan mengusahakan agar masyarakat mau menerima dan mengakui pertanggungjawaban yang diberikan oleh lembaga mengenai kinerja dan kegiatan yang telah, sedang dan yang akan dilakukan.

Telah diakui bahwa saat ini kehidupan kemasyarakatan dilingkupi oleh perubahan yang demikian cepat dan ditunjang oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih. Kondisi ini telah memaksa semua komponen termasuk manajemen pemerintahan pusat/propinsi/kota/kabupaten untuk selalu berubah guna mengikuti dan mengimbangi perubahan-perubahan tersebut. Salah satu pembaharuan dalam manajemen pemerintahan yang bisa di lakukan sebagai upaya mengimbangi perkembangan telah diajukan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah pada perubahan strategi dasar (core strategy) yang meliputi atas kejelasan tujuan, kejelasan peran serta kejelasan arah dari perkembangan organisasi kepemerintahan.

Kepentingan akan Humas dalam sistem pemerintahan lebih terlihat dengan penerapan otonomi daerah. Dalam sistem seperti ini pemerintahan merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah yang di dalamnya diwakili oleh pejabat-pejabat, baik yang ditunjuk maupun yang dipilih, dan Humas dipandang sebagai satu alternatif yang akan memberikan jalan efektif untuk mencapai kebersamaan ini. Beberapa hal yang dilakukan oleh Humas di lembaga pemerintahan yaitu: 1. Mengamankan Kebijaksanaan Pemerintah; 2. Memberikan pelayanan, dan menyebarluaskan pesan atau informasi mengenai

kebijaksanaan dan hingga program-program kerja secara nasional keapada masyarakat; 3. Menjadi komunikator dan sekaligus sebagai mediator yang proaktif dalam menjembatani

kepentingan instansi instansi pemerintah di satu pihak dan menampung aspirasi serta memperhatikan keinginan-keinginan publiknya dilain pihak;

4. Berperan serta dalam menciptakan iklim yang kondusif dan dinamis demi mengamankan stabilitas keamanan politik pembangunan nasional, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Yang pada akhirnya, peran humas pemerintah menjadi peran ganda, yaitu keluar berupa

memberi informasi atau pesan-pesan sesuai dengan tujuan dan kebijaksanaan lembaga/instansi kepada masyarakatsebagai khalayak sasaran. Sedangkan kedalam wajib menyerap reaksi, aspirasi atau opini khalayak tersebut yang diserasikan demi kepentingan instansinya atau tujuan bersama. Namun demikian, masih saja terdapat beberapa kesenjangan praktek Humas Pemerintah yang bertumpu pada: 1. Kecenderungan menempatkan Humas dalam perspektif komunikasi satu arah, bukan

komunikasi dua arah;

Page 45: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

39

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

2. Kecenderungan menempatkan Humas dalam peran teksikal (pelaksana,eksekusi), bukan sebagai perancang, pengambil dan pengelola keputusan (peran manejerial);

3. Kecenderungan menempatkan istilah masyarakat “yang luas dan anonim” dibanding istilah publik ’yang memiliki kepentingan dan signifikan”. Sebagai contoh kasus adalah Biro Umum dan Humas di sebuah Departemen di

Indonesia,dibawah Sekjen Departemen terdapat biro, yaitu dibawah atau digabung dengan Biro Perencanaan, Biro Kepegawaian, Biro Keuangan, Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri, serta Biro Umum dan Hubungan Masyarakat.

Pada bagian Humas itu sendiri ternyata telah terbagi-bagi lagi menjadi beberapa subbagian yaitu Bagian Tata Usaha, Bagian Rumah Tangga, Bagian Hubungan Pers dan Publikasi, serta Bagian Hubungan antar Lembaga. Sedangkan masalah dan hambatan dalam pelaksanaan tugas di lembaga pemerintahanyang terjadi secara umum berkisar dari permasalahan koordinasi unit kerja, kemudian kurang memadainya sumber daya manusia, dan anggaran.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang menggambarkan sejumlah variabel yang diteliti tanpa melakukan pengujian jalinan (hubungan) antar variabel yang diteliti.Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskripsi dalam bentuk survey. Metode ini menekankan lebih pada penentuan informasi tentang variabel daripada informasi tentang individu dan bermaksud mengumpulkan data yang relatif terbatas dari sejumlah kasus yang relatif besar. Kajian ini hanya menemukan dan memaparkan serta menjelaskan berbagai data temuan di dinas-dinas yang dijadikan sampel kajian. Data yang terkumpul diolah dan dideskripsikan sesuai tujuan kajian.

Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, kuesioner, dan studi kepustakaan. Sedangkan instrumen (alat) penelitiannya adalah, mengolah hasil pedoman wawancara, hasil kuesioner, mencatat dan mensitir kepustakaan (buku, teks, dokumentasi, file, jurnal, artikel dimedia massa cetak).

Data primer diperoleh dari hasil jawaban responden penelitian dan hasil wawancara mendalam. Selain itu, penelitian ini mengutamakan adanya kelengkapan informasi yang dikumpulkan sehingga memudahkan untuk memahami fenomena sosial yang diamati dengan bersumber pada data dari lembaga pendukung/terkait, dan studi kepustakaan.

E. Hasil dan Pembahasan 1. Layanan Birokrasi Berbasis Budaya Lokal di Lingkungan Instansi

Pemerintah Daerah

Page 46: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

40

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Berlakunya undang-undang tentang otonomi daerah bagaimanapun telah memberi peluang pada pemerintah daerah jika daerah dapat memanfaatkannya. Persoalan yang muncul adalah apakah pemerintah daerah mampu dan siap memanfaatkan peluang tersebut? Untuk menyongsong kesiapan dan kemampuan tersebut diperlukan upaya nyata, jelas, sistematis guna mensukseskan otonomi daerah. Langkah ini dimulai dengan mengisi dengan berbagai kegiatan yang berupaya memberikan kemampuan kepada pemerintah daerah sehingga daerah nantinya mampu menjalankan segala hal yang dipercayakan kepadanya.Upaya semacam ini telah dikenal dengan nama Program Peningkatan Kemampuan bagi Pemerintahan Kabupaten/Kota atau dikenal dengan Capacity Building for Local Government. Adapun alasan ketidak mampuan pemerintah daerah untuk memanfaatkan kepercayaan yang diberikan pemerintah pusat berdasarkan amanat Undang-undang Otonomi Daerah, yaitu kekhawatiran dapat memungkinkan munculnya konflik antara pemerintah lokal dengan sistem pemerintahannya yang dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintah.

Adapun strategi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan sistem layanan pemerintahan yang berbasiskan pada kearifan lokal diantaranya adalah: a. Melakukan persiapan melalui kajian bimbingan teknis maupun pendampingan yang

difasilitasi oleh pemerintahan pusat; b. Memberi kepercayaan melalui dibentuknya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

sebagai representasi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan daerah; c. Memberi petunjuk dan fasilitas melalui kegiatan-kegiatan diseminasi informasi dan

komunikasi secara intens, terbuka dan bertanggungjawab bagi aparatur pemerintahan; d. Kejelasan visi, yaitu mencamtumkan nilai-nilai kearifan lokal dalam menterjemahkan

perencanaan pembangunan bagi daerahnya; e. Kesiapan sumber daya yaitu melalui peningkatan aparatur pemerintahan dengan

diberikan beasiswa pendidikan untuk melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi, seperti program 100 Doktor dari Pemprov Jawa Barat;

f. Tuntutan terhadap kinerja yaitu melalui penerapan pelayanan birokrasi yang tepat, cepat, efektif dan efisien seperti dibentuknya pelayanan satu pintu dalam hal perizinan.

Adanya program otonomi daerah ini menjadi suatu janji bahwa dengan berotonomi maka

demokrasi, partisipasi masyarakat, kreatifitas dan aspirasi masyarakat lebih terjamin dan yang lebih penting lagi yaitu terjadinya peningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah secara signifikan.

Beberapa jenis layanan birokrasi pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang berbasiskan pada budaya lokal yaitu diantaranya motto sabisa-bisa, kudu bisa, pasti bisa yang telah dan sedang disosialisasikan oleh Gubernur Jawa Barat kini telah menjadi bagian budaya layanan birokrasi pemerintah Jawa Barat dalam melayani masyarakatnya dengan baik dan penuh rasa tanggungjawab. Program lainnya yang digalakan oleh

Page 47: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

41

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Pemerintah Provinsi Jawa Barat yaitu program eco-office, sebagai bentuk progam kinerja pemerintah yang ramah lingkungan dalam melakukan pelayanan publik terhadap masyarakat.

Media Sosialisasi Program Eco-Office di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat

Pada pemerintah Kota Bandung jenis layanan birokrasi yang berbasiskan pada budaya lokal diantaranya layanan informasi mengenai kebijakan pemerintah kota Bandung melalui program RW-Net, yaitu suatu program yang berbasiskan teknologi komunikasi dan informasi yang dikelola langsung oleh masyarakat di lingkungan rukun warga dengan tujuan segala aspek informasi dan kebijakan pelayanan di kota Bandung dapat tersampaikan dengan optimal. Selain itu, program layanan lainnya yaitu berupa dibentuknya Komunitas Informasi Masyarakat (KIM) yang dilakukan oleh para kader-kader PKK maupun organisasi kemasyarakatan di setiap kelurahan yang berfungsi sebagai ujung tombak sosialisasi kebijakan pemerintahan kota Bandung secara informal.

Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk menjadi layanan birokrasi berbasiskan budaya lokal tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a. Penetapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting

dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pemangku kepentingan, identifikasi harapan pemangku kepentingan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terseleng-garanya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan secara kualitas menghasilkan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan dengan distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya;

b. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP). Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten;

c. Pengembangan survey kepuasan pemangku kepentingan. Untuk menjaga kepuasan masyarakat sebagai target utama dalam pelayanan pemerintahan, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah

Page 48: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

42

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;

d. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan untuk sistem pemerintahan yang sedang berjalan maupun yang akan datang sehingga sistem pemerintahan itu bukan karena agenda politik tetapi murni sesuai kebutuhan beban kinerja lembaga pemerintahan.

2. Pola dan Jenis Informasi Publik di Lingkungan Intansi Pemerintah Daerah Pemerintah saat ini telah memiliki kapasitas kemampuan untuk mengungkapkan

informasi secara langsung.Kembalinya Departemen Penerangan dengan kemasan baru yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai pemegang regulator tertinggi dalam hal penyampaian informasi kebijakan suatu lembaga pemerintahan telah menghasilkan suatu regulasi mengenai mekanisme penyampaian informasi bagi badan publik. Selain itu, dengan kehadiran puluhan media massa internal pemerintah serta beragam jurnal menunjukkan kemampuan pemerintah menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat cukup melimpah.

Sebelum bola reformasi bergulir, pemerintah memiliki citra sebagai manipulator informasi.Bahkan setelah reformasi,citra ini tidak banyak berubah.Pemerintah seolah dianggap ‘musuh’ yang harus dilawan.Dengan bergulirnya reformasi, pemerintah menransformasikan diri agar menjadi pemerintahan yang bersih, transparan dan benar(good governance).Seiring dengan perubahan menuju tatanan baru demokrasi, reformasi segala bidang termasuk di dalamnya reformasi performa pegawai negeri, sistem kehumasan serta sistem hubungan dengan media massa, maka memberdayakan divisi humas untuk mengubah citra aparat birokrasi dan kelembagaan peme-rintah agar lebih tanggap menyikapi fenomena masya-rakat, sangat penting. Perkembangan teknologi informasi menuntut divisi humas dituntut lebih responsif terhadap berbagai keluhan masyarakat mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.Hampir seluruh instansi pemerintah memiliki kantor humas, yaitu suatu bagian/divisi yang melakukan manajemen hubungan media massa, pembangun citra, komunikator/juru bicara pemerintah, serta penghubung pemerintah dengan berbagai pihak yang berkepentingan.

Dalam kaitannya dengan pola dan jenis informasi yang diterapkan oleh pemerintah daerah mengenai keterbukaan informasi publik, maka pada awalnya yang sering mendapat

Page 49: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

43

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

keluhan dari masyarakat terhadap Badan Publik yaitu lembaga eksekutif, baik Sekretariat Daerah (Setda), Dinas, Badan, sampai Kantor-kantor Pemerintah Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat.Selanjutnya, Badan Publik yang dijadikan sasaran pengaduan oleh publik yaitu lembaga pemerintahan yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik (dasar), seperti sekolah-sekolah (SD, SLTP dan SLTA), Badan/Kantor Perijinan, dan Pertanahan. Yang kemudian, akhir-akhir ini, Badan Publik yang diadukan ke Komisi Informasi daerah bergeser ke Badan Publik Non-Pemerintah.

Gambar 1. Jenis media pengaduan dari publik berdasarakan media komunikasi yang digunakan

(Sumber: Bakominfo Kota Bandung, 2012) Data pada Gambar 1 menunjukkan bahwa selama enam bulan (periode Januari – Juni

2012) sarana jenis pengaduan yang disampaikan masyarakat terhadap pemerintah kota Bandung masih didominasi oleh media massa cetak. Hal ini dikarenakan media massa masih memiliki prestise tersendiri dalam penyelesaian suatu pengaduan ke pemerintahan sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik.

Dalam UU Keterbukaan Informasi Publik, term informasi publik diartikan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola dan/atau dikirim/diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyeleng-garaan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Lebih luasnya, informasi publik dapat dimaknai dalam dua term, pertama, informasi tentang kebijakan pemerintah yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat; karena itu harus diketahui dan dipahami secara akurat oleh masyarakat. Dan kedua, informasi yang

Page 50: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

44

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

bersifat kontingensi atau mendesak atas konteks dan skala tertentu sebagai bentuk penjelasan atas isu yang berkembang di masyarakat. Kebijakan penyediaan dan pelayanan informasi publik dirancang dan didesain untuk mendorong terpenuhinya dua term pengertian informasi publik di atas.

Gambar 2. Jenis Pengaduan Informasi dari Publik melalui media Cetak

(Sumber Bakominfo Kota Bandung, 2012) Dari Gambar 2, dapat dijelaskan bahwa jenis infor-masi mengenai jalan rusak itu sangat

banyak dikeluhkan oleh warga kota Bandung karena infrastruktur jalan merupakan sarana utama warga Ban-dung yang dapat dirasakan akan manfaatnya secara lang-sung, namun warga tidak peduli mengenai status jalan apa yang dikeluhkan tersebut pada UPM Bakominfo Pemkot Bandung. Sesuai dengan arahan dari isi UU KIP tersebut, maka mau tidak mau sebagai badan publik, Bakominfo Pemkot Bandung harus tetap menerima keluhan layanan publik yang dirasakan oleh masyarakat. Padahal menurut Keputusan MENPAN No.63/2004 tentang Jenis Pelayanan yang dilakukan oleh Badan Publik dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu Pertama, pelayanan administratif; yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang diperlukan publik, misalnya status kewarganegaraan, kepemimpinan, penguasaan suatu barang, sertifikat kompetisi. Contoh: KTP, Akta pernikahan, Akta Kelahiran, BPKB, SIM, STNK, IMB dan lain sebagainya.Kedua, pelayanan barang; yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis barang yang dugunakan oleh publik, misalnya penyediaan air bersih, tenaga listrik, jaringan telepon dan sebagainya. Dan yang ketiga, yaitu pelayanan jasa yang berupa pelayanan yang menghasilkan

Page 51: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

45

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

berbagai bentuk jasa yang diperlukan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, Pos, dan sebagainya.

Sehingga apabila mengacu pada aturan tersebut di atas sesungguhnya Bakominfo Pemkot Bandung berada pada posisi sebagai badan pelayanan administratif yaitu hanya menyediakan dan menyampaikan berbagai macam informasi dan perizinan di bidang komunikasi yang ada di wilayah administratif Kota Bandung. Maka, untuk masalah jalan yang rusak ini UPM Bakominfo bertindak sebagai kepanjangtanganan aspirasi masyarakat Kota Bandung untuk ditindaklanjuti oleh Dinas yang berwenang untuk segera direspon atau pihak UPM Bakominfo langsung meminta klarifikasi kepada Dinas terkait yang dikeluhkan oleh masyarakat tersebut.

Lebih spesifik tentang tugas pemeriksaan dan pemutusan sengketa informasi, seperti halnya mengenai pengaduan masyarakat yang merasa kekurangan informasi tentang berbagai program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dapat diteruskan ke Komisi Informasi Daerah (KID).Menanggapi berbagai macam pengaduan masyarakat itu, PPID sebagai bagian fungsional kelembagaan di instansi pemerintahan harus tetap memberikan penjelasan informasi sedetail mungkin kepada masyarakat sehingga mereka memahami informasi yang sebenarnya.

Untuk penyelesaian suatu sengketa informasiyang telah berada di Komisi Informasi Daerah (KID) secara preventif, PPID dan Humas di kelembagaan bisa menghimpun berbagai informasi dan dokumentasi dari setiap dinas dan Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) lainnya untuk disampaikan kembali kepada masyarakat luas. Peran PPID ini sekaligus membantu pemerintah daerah dalam menyosialisasikan berbagai program dan kegiatan kepada masyarakat luas. Peran PPID ini akan sinergis dengan Humas dalam menyebarkanluaskan informasi secara terbuka kepada masyarakat. Karena, tugas PPID ini mengandung fungsi kehumasan juga secara fungsional, manajemen dan intelejen.

Kasus untuk lembaga di tingkat pemerintah provinsi, Diskominfo Jawa Barat telah mempunyai PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) secara de jure (hukum) yang bertugas menampung pengaduan berkaitan dengan informasi publik dari masyarakat karena posisi PPID baru sampai dengan rencana pembuatan Pergub pada tahun 2012 ini. Seharusnya unit-unit pelayanan pengaduan kepada masyarakat ada di dinas yang melayani publik seperti Dispenda, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dinas yang melakukan pelayanan publik memiliki kotak pengaduan dan alamat website dengan harapan masyarakat atau publik bisa menulis pengaduannya dan dimasukan ke dalam kotak yang nantinya akan diinventarisi oleh dinas yang bersangkutan. Tetapi,Dinas Kominfo belum punya pelayanan pengaduan kepada masyarakat. Sebenarnya tanpa adanya unit khusus, seperti Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) yang melayani pengaduan masyarakat sudah cukup ditangani oleh PPID yang ada di tiap tiap OPD Jawa Barat,karena jika dibentuk unit khusus seperti yang melayani pengaduan kepada masyarakat maka nanti tugasnya akan tumpang tindih dengan keberadaan PPID secara de jure dan de facto.

Page 52: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

46

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Dalam praktiknya, tugasnya PPID adalah melayani pengaduan masyarakat dan melayani keterbukaan informasi publik yang berkaitan dengan tugas dan fungsi dari OPD masing-masing. Misal, jika masyarakat ingin mengadukan masalah lingkungan maka dapat ke PPID BLHD, masalah kesehatan maka mengadukan ke Dinas Kesehatan, masalah pedidikan maka mengadukan ke Dinas Pendidikan dan lain sebagainya. Akumulasi pengaduan-pengaduan masyarakat tersebut masih tertampung di dinas-dinas yang terkait dengan permasalahan yang diadukan.Bisa dikatakan unit pelayanan pengaduan masyarakat sudah terbentuk melalui PPID namun secara petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis(Juknis) belum disahkan.

Berkaitan dengan fungsi PPID dalam hal pengaduan masalah dari masyarakat, bidang SKDI Diskominfo provinsi Jawa Barat menemukan fakta dan fenomena menarik akhir-akhir ini, yakni informasi sekalipun akurat, valid dan benar yang diberikan oleh instansi pemerintah jika berbeda dengan informasi yang disajikan oleh pihak non pemerintah, masyarakat cenderung mempercayai informasi yang berasal dari non pemerintah, seperti LSM dan para pengamat/peneliti. Oleh karena itu, Bidang Sistem Komunikasi Diseminasi Informasi (SKDI) memfokuskan kinerja melalui optimalisasi Bakohumas baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai upaya untuk mentralisir isi informasi yang beredar di masyarakat.

Menurut SKDI Diskominfo Provinsi Jawa Barat, ada tiga hal yang menjadi penyebab humas pemerintah belum efektif dalam memberikan informasi. Pertama, akses informasi humas terbatas dan tidak terkoordinasi. Kedua, informasi dari pemerintah belum sinergi dan belum punya agenda setting, serta yang ketiga kuatnya trend subyektif apriori masyarakat terhadap informasi yang disajikan oleh lembaga pemerintah. Data kualitatif pemerintah dikalahkan oleh data kuantitatif media. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah pemerintah bekerja reaktif, bekerja kalau ada tekanan. Oleh karenanya, humas pemerintah perlu meningkatkan kapasitas dan fungsinya dengan memperbanyak jaringan lintas sektoral.

Saat ini Humas Pemerintahan di tingkat Provinsi bergabung dalam wadah Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas) Provinsi Jawa Barat yang disahkan melalui Peraturan Gubernur Nomor 35 Tahun 2011. Bakohumas Provinsi mempunyai tugas melancarkan arus informasi antar OPD dan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, instansi vertikal, BUMN, BUMD dan masyarakat. Diharapkan, humas di kabupaten/kota dapat pula membentuk bakohumas di daerahnya masing-masing.Sehingga apabila diklasifikasikan mengenai jenis tanggungjawab suatu instasi pemerintahan yang berada di daerah meliputi: a. Instansi Horisontal yaitu Instansi Pemerintah yang bersifat bagian dari Pemerintah

Daerah (menginduk pada Kementerian Dalam Negeri) yang secara gugus tugas berada di Pemerintahan Daerah tersebutseperti Sekretariat Daerah (Setda), BUMD, Dinas Pendidikan, dan sebagainya;

Page 53: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

47

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

b. Instansi Vertikal yaitu Instansi Pemerintahan yang merupakan alifiliasi lembaga atau Badan yang tergabung di Pemerintahan Pusat secara kebijakan seperti Kantor Wilayah Kementerian Agama, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, dan lain sebagainya yang berfungsi sebagai kantor perwakilan.

c. Instansi Pemerintahan yang bersifat otonom seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah, KIP Provinsi, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), dan sebagainya

Gambar 3. Model Diseminasi Komunikasi dan Informasi Di Lembaga Pemerintahan/Badan Publik

Page 54: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

48

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

3. Model Goverment Public Relations Dalam Pelayanan Publik di Lingkungan Instansi Pemerintah Daerah Humas dalam lembaga pemerintahan merupakan suatu keharusan fungsional dalam

rangka tugas penyebaran informasi dan kebijakan, program dan kegiatan-kegiatan lembaga pemerintahan dan kepada masyarakat. Terutama di Indonesia lembaga kehumasan sangatlah diperlukan. Humas ini merupakan kelanjutan dari proses penetapan kebijakan pemerintah, pemberi layanan informasi kepada masyarakat, sehingga humas itu memperoleh kepercayaan dari publiknya, yaitu masyarakat dalam arti luas. Maka dari itu sikap dan pelayanan yang baik sangat penting demi terciptanya citra yang baik.

Salah satu aspek yang ada dalam pemerintahan di propinsi adalah Public Relations (Humas), yang dalam praktik mempunyai berbagai nama seperti, Sekretaris Pers, divisi informasi, manajemen komunikasi serta nama-nama lain. Meskipun terjadi perbedaan dalam nama, akan tetapi ada satu yang dapat dirasakan yaitu, Humas merupakan bagian yang esensial dari manajemen dalam pemerintah propinsi guna mencapai tujuan dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Keberadaan dari Humas dan Protokol di Pemerintah Provinsi/Kota ini bertujuan menyampaikan informasi dan komunikasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu mengembangkan dukungan masyarakat terhadap kebijakan pada masyarakat. Sehingga Humas di pemerintah harus melakukan penyesuaian-penyesuaian peran dan fungsinya dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, supaya Humas Pemerintah mampu membangun citra pemerintah yang baik.

Untuk masyarakat sekarang ini peran dan pengaruh Humas dan Protokol sangat terasa. Tidak ada kegiatan yang dilakukan di dalam dan oleh masyarakat yang tidak memerlukan pemberitaan. Karena berita sudah menjadi kebutuhan utama. Berdasarkan hal tersebut pemerintah provinsi Jawa Barat dan pemerintah kota Bandung merupakan salah satu Instansi Pemerintah yang tentunya tidak terlepas dari sorotan masyarakat luas mulai dari kinerja, kebijakan, maupun nama baik Pemerintah Kota sendiri. Komunikasi tidak akan terjadi bila tidak ada masyarakat, dan juga manusia tidak dapat hidup dan berkembangkan dengan sempurna tanpa komunikasi.

Sebagaimana menurut konsep,peranan petugas Humas yang dikembangkan oleh Broom, kemudian dikembangkan oleh Brommdan Smith (Dozier, 1992) maka peran Humas merupakan salah satu kunci penting untuk pemahaman fungsi Humas dan komunikasi organisasi. Ada beberapa fungsi dominan yang harus dilaksanakan seorang Humas sejati antara lain berperan sebagai: a) Technician communication. Kebanyakan praktisi masuk ke bidang ini sebagai teknisi

komunikasi. b) Expert Prescriber communication. Ketika para praktisi mengambil peran sebagai pakar/ahli,

orang lain akan menganggap mereka sebagai otoritas dalam persoalan Humas dan solusinya. Manajemen puncak menyerahkan PR di tangan para ahli dan manajemen

Page 55: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

49

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

biasanya mengambil peran pasif saja. Praktisi yang beroperasi sebagai praktisi pakar bertugas mendefinisikan problem, mengembangkan program, dan bertanggung jawab penuh atas implemetasinya.

c) Communication facilitator. Peran fasilitator komunikasi bagi seorang praktisi adalah sebagai pendengar yang peka dan broker (perantara) komunikasi. Fasilitator komunikasi bertindak sebagai perantara (liason), interpreter, dan mediator antara organisasi dan publiknya. Mereka menjaga komunikasi dua arah dan memfasilitasi percakapan dengan menyingkirkan rintangan dalam hubungan dan menjaga agar saluran komunikasi tetap terbuka. Tujuannya adalah memberi informasi yang dibutuhkan oleh baik itu manajemen maupun publik untuk membuat keputusan demi kepentingan bersama. Praktisi yang berperan sebagai fasilitator komunikasi ini bertindak sebagai sumber informasi dan agen kontak resmi antara organisasi dan publik. Mereka menengahi interaksi, menyusun agenda mendiagnosis dan memperbaiki kondisi-kondisi yang menganggu hubungan komunikasi di antara kedua belah pihak. Fasilitator komunikasi menempati peran di tengah-tengah dan berfungsi sebagai penghubung antara organisasi dan publik.

d) Fasilitator Pemecah Masalah. Ketika praktisi melakukan peran ini, mereka berkolaborasi dengan manajer lain untuk mendefinisikan dan memecahkan masalah. Mereka menjadi bagian dari tim perencanaan strategies. Kolaborasi dan musyawarah dimulai dengan persoalan pertama dan kemudian sampai ke evaluasi program final. Praktisi pemecah masalah membantu manajer lain untuk dan organisasi untuk mengaplikasikan PR dalam proses manajemen bertahap yang juga dipakai untuk memecahkan problem organisasional lainnya. Sedangkan fungsi PPID di Pemkot Bandung dalam lingkup ini yaitu menyiapkan segala

macam informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dan Unit Pelayanan Teknis Pengaduan Masyarakat berkaitan dengan penanganan permasalahan pengaduan seputar layanan publik. Sebagai tindaklanjut dalam mempermudah fungsi PPID di lingkungan pemerintah kota Bandung maka dibentuklah Unit Pengaduan Masyarakat (UPM). Adapun pembentukan UPM di Kota Bandung ini berdasarkan Peraturan Wali Kota No.413/2010 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi UPT pada setiap Lembaga Teknis Daerah dan Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Disisi lain, guna menghasilkan kualitas layanan informasi bagi publik, dibuatlah Standar Operation Prosedur(SOP) Pelayanan Pengaduan Masyarakat pada Badan Komunikasi Dan Informatika Pemerintah Kota Bandung yaitu: 1. Pelaksana UPTD Pelayanan Pengaduan Masyarakat setiap hari memeriksa ada tidaknya

pengaduan masyarakat melalui surat kabar (harian/mingguan), sms, dan email, serta menerima pengaduan melalui telepon dan tatap muka langsung;

Page 56: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

50

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Gambar 4. Bagan Sistem Pelayanan Pengaduan Masyarakat di Tingkat Pemerintah Kota Bandung

2. Khusus untuk pengaduan yang masuk melalui telepon dan tatap muka langsung, data

identitas pengadu (nama, alamat, nomor kontak) serta isi pengaduan dicatat dalam buku tamu pengaduan;

3. Kepala UPTD Pelayanan Pengaduan Masyarakat melakukan analisa serta memproses pengaduan berkomunikasi dengan Kepala Dinas atau Kepala Bidang atau SKPD lain atau Inspektorat Kota Bandung;

4. Kepala UPTD Pelayanan Pengaduan Masyarakat melakukan koordinasi dengan Inspektorat Kota Bandung untuk pengaduan mengenai pelayanan aparat yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku;

5. Koordinasi dengan SKPD lain dilakukan dapat melalui telepon, sms, atau email dan surat pos;

6. Data atau informasi sebagai hasil dari koordinasi kemudian disimpan ke dalam arsip untuk selanjutnya diolah dan dipakai sebagai bahan dalam menyusun jawaban pengaduan;

7. Untuk pengaduan masyarakat yang bersumber dari surat kabar HU Tribun Jabar, Pelaksana UPTD Pelayanan Pengaduan Masyarakat menyimpan file (softcopy) jawaban dalam folder khusus dan diurutkan berdasarkan tanggal dimuatnya pengaduan di media tersebut serta diberi nama sesuai dengan objek pengaduan;

8. Jawaban atas pengaduan (beserta pengaduannya) yang ditampilkan di surat kabar HU Tribun Jabar oleh Pelaksana dikumpulkan dan dilakukan penyimpanan dalam bentuk klipping dan disimpan dalam lemari khusus;

9. Untuk pengaduan masyarakat yang bersumber dari sms dan email, Pelaksana UPTD Pelayanan Pengaduan Masyarakat mengcopy setiap isi pengaduan beserta jawabannya

Page 57: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

51

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

dalam file khusus lalu menyimpan file (softcopy) dalam 1 (satu) folder khusus diurutkan berdasarkan tanggal diterimanya pengaduan;

10. Penyampaian jawaban/tanggapan pengaduan disesuaikan dengan media datangnya pengaduan;

11. Kepala UPTD Pelayanan Pengaduan Masyarakat melakukan monitoring dan evaluasi secara reguler atas pelaksanaan pelayanan pengaduan masyarakat.

Selain dari pembuatan SOP mengenai layanan informasi publik, Badan Komunikasi dan

Informatika Kota Bandung juga membuat alur permohonan informasi yang disampaikan pada setiap SKPD guna menghasilkan kualitas layanan informasi sebaik mungkin bagi warga masyarakat. Selanjutnya, beberapa media penyampaian aspirasi masyarakat yang bisa digunakan dalam rangka mencapai model komunikasi efektif yang dilakukan Bakominfo Pemkot Bandung yaitu: 1. SMS Gateway dengan nomor 0811222468 2. Pelayanan informasi/pengaduan masyarakat secara langsung 3. Media cetak di Tribun Halo Kang Dada, Surat Pembaca di Harian Umum Pikiran

Rakyat, Galamedia, Kompas, dan lain sebagainya. 4. Radio Sonata SE (88.1 FM) 5. Sonata Radio (1224 AM) 6. Hotline telepon No. 022-4234793 7. Website www.bandung.go.id 8. Surat/kotak pos public complain

Adapun rincian sistem pelayanan pengaduan masyarakat di tingkat pemerintah Kota

Bandung terlihat pada Gambar 4. Secara faktual, fungsi pelayanan informasi publik, dalam batas-batas tertentu telah

diperankan oleh media massa, lembaga swadaya masyarakat dan kelompok komunitas. Namun, harus diakui dalam proses komunikasi kebijakan dan program pemerintah yang dilakukan elemen-elemen masyarakat tersebut terdapat kecenderungan sebagai berikut: 1. Dalam banyak kasus media massa, kalangan LSM dan kelompok komunitas tidak

mengomunikasikan kebijakan dan program pemerintah dan negara secara akurat (accurate), lengkap (complete), dan seimbang (cover both side);

2. Keterbatasan ruang (space) atau waktu (duration) media massa membawa konsekuensi “keterpinggiran” konten informasi kebijakan dan program pemerintah dan negara. Secara nyata informasi mengenai hiburan saat ini jauh lebih dominan menghiasi ruang dan waktu media massa ketimbang informasi mengenai kebijakan dan program pemerintah dan negara.

Page 58: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

52

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Pada dasarnya, tantangan terbesar dalam membangun sistem informasi dan komunikasi publik yang berkualitas, adalah mengemas sebuah sistem pengelolaan informasi dan pengemasan informasi yang dibutuhkan publik dan memiliki kualitas, akurat dan menarik. Sebab dengan adanya informasi yang sesuai dengan kebutuhan publik dan dapat diterima maka kepuasan publik akan bisa tercapai. Dengan informasi yang berkualitas maka kredibilitas lembaga pemerintah akan semakin diandalkan di mata publik.

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.

Selain itu untuk menjawab tuntutan masyarakat akan birokrasi yang gesit dan profesional dalam memberikan pelayanan, lembaga pemerintahan telah membangun e-Government. Dalam e-Gov ini seluruh unit/instansi teknis terintegrasi dalam jaringan TIK. Melalui e-Gov ini koordinasi dan komunikasi antar instansi atau pimpinan dengan instansi bisa lebih cepat dan efisien. Pengembangan e-Gov diharapkan dapat memangkas prosedur administrasi birokrasi yang seringkali terkesan lamban dan rumit. Kepala unit bisa memanfaatkan fasilitas chatting untuk berkoordinasi sehingga penanganan pelayanan publik bisa lebih cepat dan efisien, mengurangi administrasi surat-suratan.

Partisipasi elemen masyarakat dalam penyelenggaraan negara, terutama pengawasan anggaran negara, diyakini akan memperkecil peluang bagi aparatur negara atau Badan Publik melakukan penyimpangan. Masyarakat sebagai pemegang penuh atas kedaulatan harus mampu meletakkan posisinya sebagai penyeimbang dan kontrol secara berkelanjutan sekaligus memperkuat fungsi dan keberadaan masyarakat dihadapan negara. Dampaknya, penyelenggaraan negara akan berjalan efektif dan efesien serta berkelanjutan dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Pada umumnya pelayanan publik yang berkualitas diukur melalui efektifitas pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik. Sejalan dengan hal tersebut di atas, saat ini pemerintah Pusat telah menetapkan program pembangunan/pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang populer dengan istilah e-Government. Electoronic Government ini menjadi bagian yang penting dalam proses pembangunan nasional maupun daerah yang tercermin dengan diterbitkannya beberapa keputusan penting di antaranya Inpres No. 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia dan Inpres Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, sehingga dengan e-Government diharapkan akan dapat mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik.

Page 59: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

53

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Pada akhirnya, menurut Kepala Bakominfo Kota Bandung2 adapun ekses dari implementasi UUKIP yaitu hampir 3800 an dalam setahun (2012) kasus mengenai informasi publik sebagian besar tentang pengaduan yang bersifat mengarah pada negatif. Hal ini dapat terjadi karena akibat keterbatasan dalam pelayanan publik dari sisi pemahaman berbangsa dan bernegara antara aparatur dan warga masyarakat yang masih berbeda dalam menanggapi sebuah informasi bagi publik sehingga menimbulkan keriskanan bagi pejabat publik dalam mempertanggungjwabkan kinerjanya dalam bentuk informasi bagi publik.

F. Simpulan dan Saran

Adapun simpulan dari penelitian ini yaitu: 1. Bentuk layanan birokrasi yang berbasiskan budaya lokal dalam memberikan informasi di

lingkungan instansi pemerintah daerah kini telah menjadi acuan baru guna melayani masyarakat secara nilai-nilai hubungan kemanusiaan dapat terjalin dengan baik dan penuh rasa tanggungjawab.

2. Pola dan jenis informasi publik di lingkungan instansi pemerintah daerah kebanyakan masih bersifat ambigu, dan tumpang tindih dalam melayani pemberian informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

3. Model goverment publicrelations dalam pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah daerah sudah menunjukkan pada model ideal yang terdiri atas bagian Humas, bagian PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) serta adanya lembaga pengawas independent yaitu KIP Daerah yang saling mendukung dalam memberikan informasi bagi publiknya. Sedangkan saran dalam penelitian ini yaitu:

1. Sebaiknya bentuk layanan birokrasi yang berbasiskan budaya lokal dapat disosialisaikan sampai ke lembaga pemerintahan terkecil yaitu RT, RW dan Kelurahan.

2. Sebaiknya pemerintah membuat suatu Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pelayanan informasi publik yang tidak membingungkan bagi para pelaksana kebijakan.

3. Model goverment public relations ini sebaiknya lebih diperkuat lagi dalam hal koordinasi di antara pejabat Humas, PPID dan KIP itu sendiri sehingga agar tercapai kepuasan informasi yang diharapkan oleh masyarakat.

Daftar Pustaka Anggoro,M. Linggar.2008.Teori & Profesi Kehumasan Serta Aplikasinya di Indonesia.

Jakarta:PT.Bumi Aksara. Bungin,M. Burhan.2007.Penelitian Kualitatif.Jakarta:Penerbit Kencana Prenada Media

Group.

Page 60: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pelayanan Informasi Publik oleh Pemerintah Daerah Dalam Implementasi Keterbukaan Informasi Publik: Perspektif Public Relations

54

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Aat Ruchiat dan Trie Damayanti

Dwidjowijoto,Rian Nugroho.2004. Kebijakan: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta:PT. Elex Media Komputindo.

Effendy,Onong Uchjana.2006.Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Hariandja, Marihot TE.2002. Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta.Grasindo. Hariyoso H. 2002. Pembaruan Birokrasi dan Kebijakan Publik. Jakarta: Penerbit Peradaban Hasan, Erliana.2005. Komunikasi Pemerintahan.Bandung:Refika Aditama. Heryanto, Gun Gun dan Irwa Zakarsy.2012. Public Relations Politik.Bogor:Ghalia Indonesia. Islamy, Irfan M. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara Mulyana,Deddy.2003.Metode Penelitian Kualitatif.Bandung:Remaja Rosdakarya. Nasution,Zulkarimen.2002.Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya.

Jakarta:Raja Grafindo Persada. Ruslan,Rosady.2008.Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi (Edisi Revisi). Jakarta:

Rajawali Press. Saleh,Muwafik Akh.2010.Public Service Communication:Praktik Komunikasi dalam Pelayanan

Publik. Malang: UMM Press. Saputra,Wahidin dan Rulli Nasrullah. 2011.Public Relations 2.0.Jakarta:Gramata Publishing. Sarundajang.2002.Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Soedarsono,Dewi.(2009).Sistem Manajemen Komunikasi, Teori, Model, dan Aplikasi. Bandung:

Simbiosa Rekatama Media Soemirat,Soleh dan Elvinaro Ardianto.2002.Dasar-Dasar Public Relations.Bandung: Remaja

Rosda Karya. Suwandi dan Basrowi. 2008.Memahami Penelitian Kualitatif.Jakarta:Rineka Cipta. Thoha, Miftah.2003.Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara.Jakarta:Raja Grafindo

Persada Tondowidjojo,John.2004.Dasar dan Arah Pubic Relations.Jakarta:PT.Gramedia Widiasarana

Indonesia. Zauhar,Soesilo.1990.Pengantar Ilmu Administrasi Negara.Malang:Dwi Murni offset Majalah Info Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat. Edisi I Tahun 2012 UU Keterbukaan Informasi Publik www.jabarprov.go.id www.diskominfo.jabarprov.go.id www.bppt.jabarprov.go.id www.bkd.jabarprov.go.id www.kemkominfo.go.id www.kip.go.id http://koswaraero.blogspot.com/2011_05_01_archive.html diakses 22 Desember 2012

Page 61: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

55

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Revitalisasi Kota dan Kabupaten Yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan

Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya [email protected]

Dosen Program Studi Arsitektur Universitas Kristen Petra, Surabaya, dan Peneliti Senior Balai Sosial Ekonomi Lingkungan Jalan dan Jembatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum

ABSTRAK

Pulau Madura memiliki kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terbatas sehingga

tertinggal dari kawasan lainnya di Jawa Timur. Ketertinggalan ini menuntut diterapkannya kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif yang lebih jelas untuk mewujudkan pembangunan pulau Madura yang berkelanjutan, terutama di Kabupaten Bangkalan. Dalam kajian ini ditemukan bahwa Kabupaten Bangkalan, Madura ternyata memiliki karakter sosial, ekonomi, dan lingkungan yang unik, misalnya: pendidikan penduduk Bangkalan yang terbatas, sebagian besar penduduk Bangkalan hidup di bawah garis kemiskinan, konflik sosial yang sangat sering terjadi; dan sumber daya alamnya sangat terbatas. Dalam kajian ini diusulkan beberapa rekomendasi yang terkait dengan revitalisasi rencana tata ruang kabupaten di Madura. Kemudian diusulkan peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pembebasan lahan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan infrastruktur. Selain itu, diusulkan pula peningkatan infrastruktur jalan dan instalasi air baku serta distribusinya di Madura. Strategi ini diusulkan bersamaan dengan kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif.

Kata Kunci: madura, kerjasama partisipatif, pembangunan berkelanjutan.

ABSTRACT

Madura has limited social, economical and environmental resources which make it underdeveloped compared to the rest regions in the East Java. This situation requires the implementation of a more comprehensible participative planning and cooperation in order to enhance sustainable development, particularly in Bangkalan Regency. The study reveals that Bangkalan has a unique social and economic character as well as natural resources;

Page 62: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

56

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

majority of residents with low level of education, most of them are also live in poverty, frequent social conflict, not to mention limited natural resources. The study offers some recommendations to revitalize district spatial planning. It also proposes a mechanism to increase public participation in planning, land acquisition, construction, operation, and maintaining infrastructures. Furthermore, the study also recommends the improvement road infrastructures, water installation and its distribution in Madura. All those strategies should be implemented hand in hand with the effort to strengthen participative approach of development both in planning and cooperation.

Keyword: madura, cooperation, sustainable development. Pendahuluan

Pulau Madura memiliki luas 5.304 km2 dan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terbatas. Hal ini menyebabkan Pulau Madura tertinggal dari kawasan lainnya di Jawa Timur (Moh. Adib, 2009). Hal ini terlihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dan Indeks Prestasi Manusia (IPM) keempat Kabupaten di Pulau Madura yang relatif di bawah kota-kota dan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Timur (Badan Pusat Statistik-BAPENAS-UNDP, 2004).

Ketertinggalan ini mendorong diterapkannya strategi pembangunan Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) oleh pemerintah pusat yang dibangun antara 2003-2009, dengan panjang keseluruhan 5.7 km. Bersamaan dengan itu, pemerintah pusat menyiapkan instrumen-instrumen lainnya seperti usulan Rencana Tata Ruang Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (RTR KKJS) dan usulan rencana tata ruang kabupaten-kabupaten di Madura.

Dalam usulan rencana tata ruang kabupaten-kabupaten tersebut, Kabupaten Bangkalan direncanakan menjadi kawasan industri terpadu (industri, logistik, dan pelabuhan). Diusulkan pula, untuk dibuat daerah-daerah pertanian terpadu (agropolitan) di Kabupaten Sampang, Pamekasan, dan Sumenep yang akan menunjang bahan baku kawasan industri. Sehingga diharapkan terjadi kerjasama antardaerah untuk membangun pulau Madura ini.

Perbedaan juga terdapat pada usulan mengenai kawasan industri. Pemerintah pusat mengusulkan kawasan industri di Bangkalan adalah kawasan industri berbasis pertanian dan kawasan pelabuhan peti kemas Klampis. Di sisi lain, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bangkalan mengusulkan seperti kawasan agropolitan di Bangkalan; Madura Industry and Seaport City (MISI) di Socah; serta Industri Semen di Socah dan Tragah. Pola pengembangan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menurut Badan Pelaksana Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura dan Bappeda Kabupaten Bangkalan. Hal ini menunjukkan usulan pengembangan Bangkalan tidak selaras.

Page 63: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

57

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Selain itu, pemerintah pusat juga mempersiapkan strategi untuk pemberdayaan masyarakat melalui Badan Pelaksana Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPPWS) untuk mengelola Jembatan Suramadu dan Kawasan Kaki-Kaki Jembatan Suramadu.

Tapi ternyata Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) ini belum bisa terwujud secara optimal karena konflik kepentingan antara Badan Pelaksana Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPPWS) dan pemerintah daerah (pemda) Kabupaten Bangkalan.

Karena itu diperlukan kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif yang lebih jelas untuk mewujudkan pembangunan pulau Madura yang berkelanjutan, terutama di Kabupaten Bangkalan. Kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif ini secara ideal harus melibatkan pemerintah (pusat, provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, kelurahan), swasta dan masyarakat. Usulan ini selaras dengan dasar teori pembangunan berkelanjutan.

Gambar 1. Pola Pengembangan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah menurut Badan Pelaksana Pengembangan Wilayah Surabaya - Madura dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

(BAPPEDA) Kabupaten Bangkalan Sebagai sebuah rumusan, kajian ini difokuskan dalam dua masalah penting: apakah ada

faktor-faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mendukung kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif di Bangkalan? Dan bagaimana memanfaatkan faktor-faktor tersebut

Page 64: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

58

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

untuk mewujudkan kerjasama dan perencanaan partisipatif untuk rencana industrialisasi Bangkalan?

Adapun tujuan dari kajian ini adalah untuk beberapa hal. Pertama, memetakan potensi dan kendala sosial, ekonomi, dan lingkungan yang memengaruhi kerjasama dan perencanaan partisipatif. Kedua, menyusun usulan kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif untuk revitalisasi kota dan kabupaten. Ketiga, memberikan saran-saran strategi secara kualitatif untuk pembangunan Madura yang berkelanjutan secara umum.

Kemudian, manfaat dari kajian ini adalah terwujudnya “Pembangunan Berkelanjutan” atau “Sustainable Development” di Pulau Madura, terutama di Kabupaten Bangkalan.

Metode Analisa Strengths Weaknesses Opportunities Threats (SWOT) atau analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (Start, D., et.all., 2004) digunakan dalam analisis faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kemudian data ini diolah lebih lanjut dengan Metode Visual (Sanoff, H., 1991) dan Geographic Information System (GIS) (Tanuwidjaja, G. dan Malone-Lee, 2009) untuk mendapatkan strategi pembangunan berkelanjutan di Bangkalan.

Langkah-langkah penting yang perlu dijelaskan ialah verifikasi berbagai fenomena konflik sosial, ekonomi, dan rencana yang ada di lapangan dilakukan oleh tim Puslibang Sosekling ke Bangkalan dengan metode Visual Research Sanoff (1991).

Juga dilakukan diskusi dengan para ahli dan diskusi stakeholders untuk membahas kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif. Stakeholders yang terlibat di antaranya ialah Balai V Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan, Badan Pelaksana Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPPWS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bangkalan, pada 2010.

Tinjauan Teoritis

Pembangunan Berkelanjutan dijelaskan dalam Laporan “the World Commission on Environment and Development: Our Common Future” pada 1987. Pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987).

Pembangunan berkelanjutan secara ideal harus melingkupi seluruh negara dengan sebuah rencana strategi untuk transformasi ekonomi dan sosial masyarakat. Strategi di atas terutama sangat diperlukan untuk menciptakan kesetaraan akses kepada sumber daya alam dan pemerataan keuntungan dari pemanfaatan tersebut. Sehingga seharusnya masyarakat miskin dan pemenuhan kebutuhannya harus diperhatikan dalam sebuah pembangunan berkelanjutan.

Sayang sekali, kerangka pembangunan berkelanjutan ini sangat berlawanan dengan kondisi negara berkembang seperti Indonesia, khususnya pulau Madura. Todaro, M.P., Smith, S.C., ed. (2003) mengungkapkan berbagai fenomena pembangunan di negara berkembang, seperti:

Page 65: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

59

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

- Rendahnya level kesejahteraan, ditandai dengan pendapatan yang rendah, ketidakmerataan kesejahteraan, kesehatan yang buruk, dan pendidikan yang tidak memadai;

- Produktivitas yang rendah; - Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tingkat ketergantungan yang tinggi; - Ketergantungan pada ekspor produksi pertanian dan produksi primer; - Pasar yang tidak sempurna dan pembatasan informasi; - Dominasi ketergantungan dan kerentanan di dalam hubungan relasi internasional.

Gambar 2. Kerangka Pembangunan Berkelanjutan atau “Sustainable Development.” Sumber: WCED (1987).

Untuk mengatasi permasalahan pembangunan itu, Todaro, M.P., Smith, S.C., ed.

(2003) mengusulkan 3 tujuan dari pembangunan yang perlu diperhatikan. Pertama, untuk meningkatkan ketersediaan dan melebarkan distribusi dari kebutuhan dasar bertahan hidup seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan perlindungan.

Kedua, untuk meningkatkan level kehidupan termasuk pendapatan yang lebih baik, pekerjaan yang lebih banyak, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian terhadap budaya dan nilai-nilai kemanusiaan, yang bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan tapi juga menimbulkan kepercayaan diri secara individu dan nasional.

Page 66: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

60

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Ketiga, untuk memperluas pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi individu-individu dan bangsa-bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan dari orang lain dan negara lain, serta membebaskan dari pengabaian dan kesengsaraan.

Sehingga rencana pembangunan kota dan kabupaten harus memerhatikan tujuan-tujuan tersebut. Sebaliknya, selama ini pembangunan di Indonesia hanya berpusat pada masalah fisik. Karena itu dibutuhkan perubahan paradigma semua pihak yang berkepentingan di kota dan kabupaten tentang pembangunan berkelanjutan.

Teori pembangunan berkelanjutan di kota-kota juga diungkapkan oleh Jane Jacobs (1961). Ia berpendapat bahwa kota-kota adalah organisme hidup dan ekosistem yang berkembang seiring dengan waktu dan interaksinya dengan penduduknya. Elemen-elemen kota, seperti tempat pejalan kaki, taman-taman, permukiman-permukiman, pemerintah dan sektor ekonomi harus berfungsi sinergis.

Jane Jacobs (1961) menyarankan perkembangan kota secara campuran (mixed-use urban development) yang diintegrasikan dari berbagai tipe bangunan dan penggunaan, perumahan atau komersial, baru atau lama. Menurutnya, kota-kota akan bergantung pada keragaman tata guna lahan, juga keragaman penduduk yang menggunakannya (usia, waktu penggunaan) sehingga tercipta kehidupan komunitas. Menurutnya, “organik, spontan, dan tidak rapih” (“organic, spontaneous, and untidy”) akan menyebabkan keberlanjutan dari kota.

Terakhir ia juga menyarankan dilakukannya proses perencanaan berbasis komunitas yang mengutamakan masukan dari bawah (Bottom-Up Community Planning). Menurutnya pengetahuan mengenai masalah lokal akan berdampak baik pada pengembangan masyarakat (community development). Hal ini berdasarkan pengalamannya bahwa kebijakan perencanaan pemerintah seringkali tidak sesuai dengan fungsi permukiman-permukiman dalam kota tersebut (Jane Jacobs, 1961).

Newman dan Kenworthy (2000), dalam Sustainable Urban Form: The Big Picture mengusulkan empat strategi untuk mengubah kota yang berbasis kendaraan, menjadi kota yang berkelanjutan (Sustainable City), yaitu: Revitalisasi bagian dalam kota (Revitalise the inner city); Memfokuskan pembangunan pada jalur kereta api yang telah dibangun (Focus development around the existing rail system); Tidak mendukung penyebaran perkotaan (Discourage further urban sprawl); dan Memperpanjang jaringan perhubungan publik sampai pedesaan (Extend the public transport system and build new urban villages in the suburbs).

Upaya yang disarankan tersebut sudah berhasil diterapkan di Inggris sehingga mengurangi lahan dalam kota yang diabaikan, dan menyebabkan pusat-pusat lokal tersebut menjadi lebih baik, hidup, dan menarik untuk masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut (Williams, 2000).

Untuk kawasan kota dan kabupaten yang berasal dari lahan kosong maka diperlukan juga perencanaan tata ruang komprehensif berbasis ekologis, yaitu perencanaan yang mempertimbangkan kondisi keanekaragaman hayati (kondisi ekologi), kapasitas atau daya dukung lingkungan (kondisi fisik lainnya) serta kondisi sosial-ekonomi yang memengaruhi

Page 67: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

61

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

kawasan. Kemudian di dalam prosesnya perencanaan infrastruktur lainnya seperti tata air, transportasi massal, pengelolaan limbah dan sampah, konservasi energi, dan lain-lain harus diintegrasikan. Serta melibatkan peran serta para pemegang kepentingan (stakeholders) dalam penentuan tata ruang tersebut. (Tanuwidjaja, Widjaya, 2010 dan Tanuwidjaja, Malone-Lee, 2009). Lihat Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Metode Perencanaan Tata Ruang Komprehensif berbasis Ekologis

Gambar 4. Integrasi Perencanaan Tata Ruang Komprehensif berbasis Ekologis

Page 68: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

62

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Merangkum teori tersebut, dapat dipahami bahwa diperlukan sebuah kerangka

pembangunan berkelanjutan di kota atau kabupaten di Indonesia yang memerhatikan kondisi sosial ekonomi lingkungan yang ada. Selain itu partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk menerapkan perencanaan partisipatif dan langkah-langkah pembangunan selanjutnya.

Selain itu dilakukan tinjauan pada Departemen Pekerjaan Umum (1998), Pedoman Penyediaan Sarana dan Prasarana Umum Pekerjaan Umum (PSD-PU) yang dilaksanakan pada 1996-1998 di Kota Bandung, Kelurahan Cibangkong, dan Kelurahan Taman Sari. Dalam studi kasus ini terlihat bahwa pembangunan sarana dan prasarana umum pekerjaan umum yang direncanakan dan dibuat bersama warga masyarakat akan berdampak positif. Dampaknya ialah akan menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab masyarakat untuk memanfaatkan dan memelihara hasil pembangunan.

Departemen Pekerjaan Umum (1998) juga merekomendasikan konsep dasar TRIDAYA yang terdiri dan 3 (tiga) Daya, meliputi pemberdayaan sosial, pendayagunaan prasarana dan sarana, serta pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi masyarakat. Didapati juga azas, prinsip pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan PSD-PU yang menjadi faktor penting yang memengaruhi keberhasilan kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif.

Azas-azas yang penting tersebut antara lain: Pertama, azas demokratis, yang berarti segala pengambilan keputusan didasarkan atas aspirasi bersama dan dilakukan secara musyawarah dan mufakat oleh pelaku pembangunan tanpa adanya tekanan dan paksaan.

Kedua, azas keadilan, yang berarti bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan permukiman yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

Ketiga, azas kooperatif (kerjasama), yang berarti dalam pelibatan antarpelaku, hubungan yang dibangun menerapkan kesetaraan dan saling menguntungkan dan berbagai pelaku pembangunan yang terlibat.

Sementara itu prinsip-prinsip yang penting ialah: pelibatan antarpelaku, yang berarti adanya keterlibatan aktif semua unsur komunitas pemukim, antarkomunitas, maupun antarpelaku dalam setiap tahapan kegiatan; saling belajar, yang berarti dalam menjalankan aktivitas pada setiap tahapan kegiatan, hubungan antarpelaku merupakan proses saling belajar dan memahami dalam rangka saling mengembangkan; transparansi, yang berarti pada setiap kegiatan, disyaratkan adanya keterbukaan informasi tentang maksud dan tujuan, serta besaran kegiatan, secara vertikal maupun horizontal; dan akuntabel, yang berarti semua kegiatan yang dilakukan oleh semua pelaku pembangunan pada setiap tahapan harus dapat dipertanggungjawabkan.

Faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan yang diungkapkan Todaro, M.P., Smith, S.C., ed. (2003) dan Azas dan Prinsip Program PSD-PU (1998) diadopsi sebagai faktor yang memengaruhi keberhasilan kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif.

Page 69: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

63

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Analisis Faktor-faktor Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Terdapat beberapa faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mendukung kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif. Dari analisis yang telah dilakukan ditemui beberapa faktor inti yang mempengaruhi hal tersebut, di antaranya: status pendidikan; status kemiskinan; budaya demokrasi atau pengambilan keputusan; transparansi proses pembangunan dan pihak-pihak; akuntabilitas pihak-pihak; keadilan hukum; budaya kerjasama; konflik sosial; dan ketersediaan sumber daya (sumber daya air, daya dukung tanah, jaringan perhubungan, dan kesuburan tanah).

Kabupaten Bangkalan ternyata memiliki karakter sosial, ekonomi, dan lingkungan yang unik sebagaimana bisa dijelaskan sebagai berikut: 1. Status pendidikan. Penduduk Bangkalan rata-rata memiliki pendidikan yang terbatas; 2. Status kemiskinan. Penduduk Bangkalan cukup banyak yang hidup di bawah garis

kemiskinan; 3. Budaya demokrasi atau pengambilan keputusan yang selama ini sangat bersifat top-down

(kebijakan dari atas ke bawah); 4. Transparansi proses pembangunan dan pihak-pihak yang belum didapatkan informasi; 5. Akuntabilitas pihak-pihak yang belum didapatkan informasi; 6. Keadilan hukum yang belum didapatkan informasi; 7. Budaya kerjasama yang belum didapatkan informasi; 8. Konflik sosial yang terjadi sangat sering (dan menunjukkan faktor 4, 5, 6 tidak optimal

sedangkan faktor 7 sudah meluntur); 9. Ketersediaan sumber daya yang sangat terbatas (sumber daya air sangat terbatas, daya

dukung tanah kurang baik, jaringan perhubungan yang tidak memadai, dan kesuburan tanah sangat terbatas). Faktor-faktor ini dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. Untuk status pendidikan,

mayoritas penduduk Bangkalan memiliki pendidikan yang terbatas. Sebanyak 42% penduduk merupakan siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), sebaliknya hanya 2% penduduk yang merupakan Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ini memperkuat data terbatasnya bahwa pendidikan mayoritas penduduk Bangkalan (BPS, Bangkalan dalam Angka, 2008-2009, diolah Tim Puslitbang Sosekling). Kondisi ini diduga akan menyebabkan sulitnya pelibatan masyarakat karena kesulitan komunikasi. Lihat Tabel 1.

Mengenai status kemiskinan, mayoritas penduduk Bangkalan, hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini disebabkan karena di Bangkalan, subsistemnya menggunakan pertanian tadah hujan (ladang atau tegalan), seperti temuan Moh. Adib (2009). Kemiskinan di sana juga ternyata menyebabkan konflik sosial, tingginya pengangguran, tingginya kriminalitas,

Page 70: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

64

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

tingginya migrasi keluar dari kawasan ini. Selain itu, hal ini juga menyebabkan kesehatan yang buruk dan pendidikan yang tidak memadai. Lihat Tabel 2.

Page 71: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

65

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Tabel 1. Jumlah Siswa SD & SMP dan Siswa SMA & SMK terhadap Total Penduduk Bangkalan tahun 2009

No Nama Kota/ Kabupaten

Total Jumlah

Penduduk

Jumlah Siswa SD &

SMP

% Siswa SD & SMP dari Total

Jumlah Penduduk

Jumlah Siswa SMA & SMK

% Siswa SMA & SMK dari Total Jumlah

Penduduk 1 Kamal 47687 14638 31% 817 1.71% 2 Socah 57783 19537 34% 143 0.25% 3 Bangkalan 72309 24930 34% 6318 8.74% 5 Sepulu 44875 16662 37% 99 0.22% 4 Klampis 52812 19559 37% 110 0.21% 6 Burneh 59111 22562 38% 1320 2.23% 8 Modung 50001 20389 41% 1013 2.03% 7 Arosbaya 42802 17394 41% 1520 3.55% 9 Tragah 27500 11614 42% 433 1.57%

12 Tanjung Bumi 49262 21130 43% 595 1.21% 10 Kwanyar 46249 19660 43% 701 1.52% 13 Labang 36799 15847 43% 704 1.91% 11 Blega 60032 25677 43% 1065 1.77% 14 Geger 65166 28472 44% 179 0.27% 15 Galis 74068 33277 45% 278 0.38% 16 Tanah Merah 60838 28172 46% 155 0.25% 17 Kokop 64823 31450 49% 0 0.00% 18 Konang 44880 27968 62% 394 0.88%

Total 956997 398938 42% 15844 2% Sumber: Badan Pusat Statistik, Bangkalan dalam Angka, 2008-2009, diolah Tim Puslitbang Sosekling)

Tabel 2. Data Kemiskinan per Kecamatan di Bangkalan (Jumlah Kepala Keluarga Miskin)

No Nama Kecamatan Jumlah Kepala Keluarga

(KK) Miskin per Kecamatan

Jumlah KK per Kecamatan

% KK Miskin diban-dingkan dengan KK per Kecamatan

1 Bangkalan 2884 16762 17% 2 Arosbaya 2265 11042 21% 3 Burneh 2942 12298 24% 4 Kamal 3270 10928 30% 5 Socah 5293 13202 40% 6 Tanjung Bumi 7958 13386 59% 7 Tragah 4317 7167 60% 8 Klampis 9064 14894 61% 9 Labang 6323 9963 63%

10 Kwanyar 8652 12742 68% 11 Tanah Merah 10421 14952 70% 12 Galis 12409 17686 70% 13 Sepulu 8373 11205 75% 14 Geger 12905 17136 75% 15 Modung 9106 11655 78% 16 Blega 11830 14594 81% 17 Kokop 10671 11994 89% 18 Konang 9264 10321 90%

Total 137947 231927 59% Sumber: Badan Pusat Statistik, Bangkalan dalam Angka, (2008-2009), diolah Tim Puslitbang Sosekling

Page 72: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

66

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Gambar 5. Peta Distribusi Murid SD & SMP di Bangkalan terhadap Total Penduduk.

Sumber: Badan Pusat Statistik, Bangkalan dalam Angka, 2008-2009, diolah Tim Puslitbang Sosekling

Gambar 6. Peta Distribusi SMA & SMK di Bangkalan terhadap Total Penduduk

Sumber: Badan Pusat Statistik, Bangkalan dalam Angka, 2008-2009, diolah Tim Puslitbang Sosekling

Page 73: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

67

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Konflik sosial di Madura, terutama Bangkalan, terjadi sangat sering. Konflik-konflik sosial yang ditemukan pada Penelitian Puslitbang Sosekling di antaranya ialah: 1. Konflik birokrasi pemerintahan di antaranya tumpang tindihnya kewenangan BPWS dan

pemda Kabupaten Bangkalan. Hal ini mengakibatkan konflik di kawasan kaki-kaki jembatan Suramadu mengenai penataan pedagang kaki lima, pembagian retribusi Tol Suramadu. Selain itu terdapat komunikasi yang kurang baik antara birokrasi dengan masyarakat dan investor yang mengakibatkan sulitnya izin investasi;

2. Konflik tanah, di antaranya terkait penolakan masyarakat terhadap pembebasan lahan dan penggusuran makam leluhur. Selain itu terjadi pemalsuan sertifikat tanah dan spekulasi lahan;

3. Konflik wisata dan asusila terjadi karena ketidakjelasan aturan privatisasi pengelolaan wisata. Hal ini mengakibatkan konflik antara pihak swasta dan masyarakat, serta bermunculannya warung remang-remang yang menyajikan minuman keras;

4. Konflik industri dan pertambangan juga terjadi berupa penolakan dan perusakan fasilitas oleh Masyarakat terhadap pengeboran karena dampak negatif terhadap lingkungan. Selain itu juga terjadi konflik karena penjiplakan motif batik;

5. Konflik perhubungan di antaranya: ketidakjelasan atau perebutan trayek angkutan, penolakan masyarakat terhadap pembangunan terminal bus;

6. Konflik nelayan di antaranya: pertikaian nelayan, penolakan masyarakat terhadap Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Konflik-konflik di atas ternyata bermuara pada budaya demokrasi atau pengambilan

keputusan yang bersifat top-down. Prinsip top-down yang dianut pada pembangunan di Pulau Madura rupanya merupakan warisan dari zaman kolonialisme Belanda. De Joonge (1988) melaporkan, Belanda memberikan wewenang raja-raja Madura untuk memungut pajak dan memerintah secara otonom. Hal ini menyebabkan raja-raja tersebut memungut upeti untuk Belanda dan untuk dirinya sendiri. Selanjutnya praktik ini menyebabkan para petani harus membayar 1/3 atau 1/2 dari hasil panennya sebagai upeti hasil pertanian, pajak, pajak tanah dan kerja paksa. Para petani menjadi enggan memberikan hasil yang maksimal karena pajak ini, ditambah dengan kondisi pertanian yang bersifat subsistem. Selain itu pula dicatat bahwa petani enggan menggunakan sistem pengairan pada tegalan yang ada karena tegalan yang diubah menjadi sawah akan disita oleh raja.

Pola top-down ini juga terjadi pada masa kemerdekaan. Edi Juwono Slamet (1999) melaporkan bahwa seringkali aparat pemerintah Indonesia melakukan pendekatan serupa dan menyebabkan gagalnya program-program pembangunan. Prinsip top-down ini juga terlihat pada konflik kepemilikan lahan di antaranya oleh Perusahaan Negara Garam di Madura (Moh Adib, 2009).

Sementara itu, data-data tentang transparansi dan akuntabilitas pihak-pihak serta keadilan hukum dan budaya kerjasama belum didapat bukti-buktinya. Tetapi terlihat dari

Page 74: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

68

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

sejumlah konflik hal ini transparansi, akuntabilitas dan keadilan hukum tidak optimal. Sementara budaya kerjasama atau kegotong royongan diduga sudah meluntur.

Terakhir faktor keterbatasan sumber daya Kabupaten Bangkalan yang sangat terbatas akan diulas. Mengenai sumber daya air, didapati data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2008/2009 juga menyatakan bahwa curah hujan bulanan rata-rata bervariasi antara 0-276 mm/bulan. Hal ini berarti curah hujan yang ada tidak dapat menunjang kegiatan pertanian terutama antara Juni-September (BPS, Bangkalan dalam Angka, 2008-2009, diolah Tim Puslitbang Sosekling ).

Studi lain dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Studi Neraca Air SWS Madura (1995) memprediksikan bahwa rasio kebutuhan air terhadap ketersediaan air pada musim kemarau di tahun 2020 rata-rata akan mencapai 80%. Artinya pasokan sumber daya air tidak akan memadai. Beberapa Sub-DAS bahkan mengalami defisit parah seperti Bangkalan (428%), Sabuntar (101%), dan Semajid (102%). Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan infrastruktur penyedia air jika Pulau Madura ini ingin dikembangkan sebagai industri atau pertanian.

Mengenai daya dukung tanah untuk pondasi bangunan, ditemukan bahwa terdapat lapisan geologi berupa Formasi Aluvial dan Formasi Madura yang mendominasi Pulau Madura kurang sesuai untuk industri karena lapisan ini memiliki potensi perosokan tanah. Pada Aluvial, perosokan tanah terjadi karena terdiri dari lempung, lanau lempungan, lanau dan pasir. Sedangkan pada Formasi Madura, potensi perosokan tanah bisa terjadi karena fenomena karst terbentuk dari batuan gamping yang juga muda runtuh. Terutama jika dilakukan penarikan air tanah berlebihan dan pembebanan tanah berlebihan (R. Soekardi Poespowardoyo dan Hendri Setiadi, 1985).

Jaringan perhubungan di Pulau Madura belum memadai untuk menunjang kawasan industri dan pertanian terpadu. Berdasarkan survey singkat, ditemukan banyak jalan provinsi dan kabupaten ternyata memiliki Daerah Milik Jalan (Damija) yang terlalu sempit. Akibatnya arus perhubungan darat menjadi lambat dan kecelakaan lalu lintas yang meningkat.

Tentang kesuburan tanah, ditemukan terdapat jenis tanah Latosol, Litosol, NCB Soil dan Regosol di Bangkalan yang kurang sesuai untuk pertanian, peternakan dan usaha kehutanan. Pertama, hal ini disebabkan oleh rendahnya kandungan mineral yang diperlukan oleh pertanian pada jenis tanah tersebut. Kedua, karena proses erosi dan pertanian yang kurang berkelanjutan di masa lalu. Hal ini menyebabkan subsistennya pertanian di Madura dan perlunya rekayasa kesuburan tanah untuk kawasan pertanian (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian).

Dapat disimpulkan bahwa faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan Bangkalan Madura dapat dijelaskan pada tabel-tabel di atas.

Page 75: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

69

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Tabel 3. Hasil Analisa SWOT (Strengths, Weaknesses Opportunities and Threats) untuk Bangkalan Strength (Kekuatan) Weakness (Kelemahan)

Potensi pengembangan kegiatan ekonomi yang telah ada saat ini seperti: Pertanian (terutama jagung dan tembakau), Perikanan, dan Peternakkan (terutama sapi),

Kebudayaan Madura yang positif di antaranya: ketaatan dalam beribadah dan menganut ajaran Islam, hormat, sopan dan solidaritas yang tinggi

Sikap masyarakat yang positif yaitu ulet dan tekun dalam merintis pekerjaan

Peran Perempuan Madura yang semakin penting dalam segi – segi kehidupan

Terdapatnya berbagai potensi kesenian yang unik seperti Kerapan Sapi, Batik Madura, Upacara Bersih Desa Upacara Perkawinan, Pakaian Adat Madura,

Keterbatasan konektivitas jaringan jalan di Madura Keterbatasan Sumber Daya Air Jenis lahan yang relatif kurang subur Kegiatan ekonomi (terutama pertanian) yang masih

subsisten Monopoli di bidang Ekonomi yang terjadi di Madura Tingginya tingkat kemiskinan masyarakat Tingkat pendidikan masyarakat di Madura yang terbatas Praktek pembangunan yang terlalu Top-Down Terjadinya penolakan masyarakat terhadap perubahan Trend perubahan sikap masyarakat yang tidak sesuai

dengan tradisi dan tata nilai budaya masyarakat Madura. Tradisi Carok (yg sebenarnya membela kehormatan)

yang disalah-artikan dan meningkatkan potensi konflik

Opportunity (Kesempatan) Threat (Ancaman)

Meningkatnya mobilitas dari Surabaya-Madura Potensi menjadikan Madura Kawasan Ekonomi Khusus

yang berbasis kepada “Industri dan Pelabuhan untuk Ekspor.”

Potensi pariwisata Madura yang dapat dikembangkan karena berdekatan dengan Bali

Mahalnya biaya operasi dan pemeliharaan Jembatan Suramadu karena ulah “oknum”

Pengembangan Madura, khususnya kawasan Suramadu menjadi tidak teratur dan tidak terkendali

Masukknya tenaga kerja dari daerah lain ke Madura Terjadinya kecemburuan sosial karena perbedaan

kondisi Surabaya dan Madura

Tabel 4. Strategi Pembangunan Berkelanjutan di Madura dengan berbasis Pengelolaan Sumber

Daya Alam berkelanjutan. Threats Strategi S-T

(Menghadapi Ancaman) Strategi W-T (Menghindari Ancaman)

Pengembangan Organisasi Masyarakat untuk membantu keamanan Jembatan Suramadu

Pelibatan Tokoh Ulama dalam melakukan kontrol sosial untuk aspek negatif dari pembangunan

Pembangunan Balai Latihan Kerja

Opportunities Strategi S-O (Eksploitasi Kekuatan)

Strategi W-O (Mencari Kelemahan)

Pengembangan Pertanian yang Berkelanjutan (Sustainable Agriculture)

Pembangunan partisipatif dengan melibatkan Para Ulama dan memperhatikan budaya Madura, nilai – nilai Islami, hormat dan sopan santun.

Revitalisasi Rencana Tata Ruang Kabupaten – Kabupaten di Pulau Madura

Penyediaan Jalan & Sumber Daya Air terutama untuk Industri dan Pertanian dll.

Pengembangan Industri dan Logistik yang Berkelanjutan (Sustainable Industry)

Strengths Weaknesses

Page 76: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

70

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Karena Tugas Pokok Instansi Balai Sosial Ekonomi Lingkungan untuk Pembangunan

Jalan dan Jembatan (Balai Sosekling Jatan), Puslitbang Sosekling Departemen Pekerjaan Umum, maka diusulkan beberapa rekomendasi yang terkait. Pertama, revitalisasi Rencana Tata Ruang Kabupaten-kabupaten di Pulau Madura. Kedua, diusulkan peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pembebasan lahan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur. Terakhir, diusulkan peningkatan infrastruktur jalan dan instalasi air baku dan distribusinya di Pulau Madura terutama untuk kawasan industri terpadu. Tetapi hal ini tidak mungkin diwujudkan tanpa kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif seperti dijelaskan sebagai berikut ini.

Usulan Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif

Dalam kerangka kerjasama untuk revitalisasi kota dan kabupaten ini diusulkan sebuah integrasi pendekatan baru pada kerangka perencanaan nasional sampai lokal yang selama ini dikenal sebagai Musyawarah Rembug Warga untuk pembangunan atau Musrembang.

Tiga langkah usulan yang baru ialah studi sosial ekonomi lingkungan; evaluasi kelayakan dan integrasi rencana pembangunan dalam perencanaan tata ruang serta forum diskusi penyusunan rencana pembangunan dan rencana tata ruang kota/ kabupaten.

Studi sosial, ekonomi, dan lingkungan sangat perlu dilakukan untuk mengumpulkan data-data dan memberikan rekomendasi untuk pengambilan keputusan selanjutnya. Bentuk studi ini telah dilakukan di kabupaten Bangkalan oleh tim ini seperti disampaikan di bagian Analisis faktor-faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mendukung kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif di atas.

Langkah evaluasi kelayakan dan integrasi rencana pembangunan dalam perencanaan tata ruang ini akan dilakukan oleh tim ahli yang membantu pemerintah daerah kota dan kabupaten. Pertama, tim ini akan mengevaluasi seluruh rencana pembangunan nasional, provinsi, kota atau kabupaten dll. yang sudah dirumuskan dahulu. Kemudian tim ini akan melakukan evaluasi apakah perencanaan ini masih bisa dilaksanakan secara layak di lokasi kota atau kabupaten, sesuai rekomendasi Tanuwidjaja dan Malone-Lee (2009).

Jika ditemui layak maka usulan-usulan ini akan dipertimbangkan lagi apakah memenuhi kerangka pembangunan berkelanjutan atau tidak. Selain itu, aspirasi masyarakat dan swasta dari bawah akan dipertimbangkan juga, apakah bisa selaras dengan rencana-rencana tersebut? Akhirnya semua rencana ini akan diintegrasikan sesuai rekomendasi Tanuwidjaja dan Widjaya (2010) dan ditawarkan pada forum diskusi.

Forum diskusi penyusunan rencana pembangunan dan rencana tata ruang kota/ kabupaten akan dihadiri oleh seluruh stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan). Forum ini akan membahas dan menyelaraskan keinginan dari bawah dan perencanaan pembangunan dari atas. Diharapkan agar dalam Forum ini bisa diambil keputusan yang dapat dirumuskan

Page 77: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

71

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

dalam rencana pembangunan yang terintegrasi untuk kota dan kabupaten. Langkah-langkah ini dideskripsikan secara visual pada Gambar 9 berikut.

Gambar 9. Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif untuk Revitalisasi Kota dan Kabupaten

Kerangka ini sudah disosialisasikan dalam diskusi dengan para ahli dan diskusi

stakeholders. Tetapi ternyata kerangka ini belum bisa diterima karena penyebabnya terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan masyarakat. Karena itu diperlukan sosialisasi dan penyempurnaan kerangka ini di masa depan.

Akibatnya sampai saat ini pembangunan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) dan Kabupaten Bangkalan belum terkoordinasi dengan optimal. Diamati juga dampak negatif berupa konflik sosial masih terjadi. Selain itu ditemui bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan Bangkalan tidak ingin dibuka kepada publik oleh pemerintah daerah karena memperburuk citra kabupaten. Tetapi kebijakan yang ada dirasakan belum terintegrasi dan melibatkan masyarakat secara partisipatif.

Page 78: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

72

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Kesimpulan Kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif yang lebih jelas untuk mewujudkan

pembangunan pulau Madura yang berkelanjutan, terutama di Kabupaten Bangkalan. Dan ditemukan bahwa Kabupaten Bangkalan ternyata memiliki karakter sosial, ekonomi, dan lingkungan yang unik.

Karena itu diusulkan beberapa rekomendasi yang terkait dengan revitalisasi rencana tata ruang kabupaten-kabupaten di Pulau Madura. Kemudian diusulkan pula peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pembebasan lahan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan infrastruktur. Terakhir, diusulkan peningkatan infrastruktur jalan dan instalasi air baku dan distribusinya di Pulau Madura terutama untuk kawasan industri terpadu.

Strategi ini diusulkan bersamaan dengan kerangka kerjasama dan perencanaan partisipatif. Sebuah integrasi tiga langkah usulan baru pada kerangka perencanaan nasional sampai lokal. Tiga langkah usulan yang baru ialah Studi Sosial Ekonomi Lingkungan; Evaluasi Kelayakan dan Integrasi Rencana Pembangunan dalam Perencanaan Tata Ruang serta Forum Diskusi Penyusunan Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten.

Kerangka ini sudah disosialisasikan dalam diskusi dengan para ahli dan diskusi stakeholders. Tetapi ternyata kerangka ini belum bisa diterima karena penyebabnya terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan masyarakat. Karena itu diperlukan sosialisasi dan penyempurnaan kerangka ini di masa mendatang.

Daftar Pustaka Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), (1999), Atlas

Sumber Daya Nasional-Peta Tanah Tahun 98/99. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Peta Rupa Bumi

Indonesia (RBI), Jawa Timur dan Madura. Badan Pusat Statistik Jawa Timur, (2012), Jawa Timur dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik, (2009), Bangkalan dalam Angka 2008-2009. Badan Pusat Statistik-BAPENAS-UNDP, Indonesia Human Development Report, 2004. De Joonge, H. (1988), Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi

dan Islam, PT Gramedia, Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum (1998), Pedoman Penyediaan Sarana dan Prasarana Umum

Pekerjaan Umum (PSD-PU), Jakarta. Eddy Juwono Slamet (1999), Madura Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang,

Sebuah Tinjauan Perilaku Ekonomi, disampaikan pada Seminar Nasional Teknik Elektro 1999, tanggal 27 Maret 1999, di Kampus ITS Keputih, Sukolilo, Surabaya.

Jacobs, J., (1961), The Death and Life of Great American Cities, New York: Random House and Vintage Books.

Page 79: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

73

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Jacobs, J., (1969), The Economy of Cities, New York: Random House. Jacobs, J., (1984), Cities and the Wealth of Nations, New York: Random House, 1984. Jacobs, J., (1997), Ideas That Matter: The Worlds of Jane Jacobs, edited by Max Allen, Mohammad Adib (2009), Ethnografi Madura, Pustaka Intelektual Surabaya, Surabaya. Newman, P, dan Kenworthy, J., (2000), Sustainable Urban Form: The Big Picture dalam

Williams K.,Burton E., and Jenks M.(ed.), Achieving Sustainable Urban Form, E & FN Spon, London 2000.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, (1995), Studi Neraca Air SWS Madura.

R. Soekardi Poespowardoyo & Hendri Setiadi, (1985), Peta dan Laporan Hidrogeologi Lembar VIII-Surabaya, Jawa, Skala 1: 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Sanoff, H., (1991), Visual Research Methods in Design, Department of Architecture, School of Design and Environment, North Carolina University, Van Nostrand Reinhold, New York.

Start, D., Hovland. I., (2004), Tools for Policy Impact: Handbook for Researchers, Overseas Development Institute.

Tanuwidjaja, G.,Widjaya, J.M.,(2010), Integrasi Tata Ruang dan Tata Air untuk Mengurangi Banjir di Surabaya, untuk Seminar Nasional Arsitektur (di) Kota: “Hidup dan Berkehidupan di Surabaya”, Universitas Kristen Petra, Surabaya.

Tanuwidjaja, G., Malone-Lee, L.C., (2009), Applying Integrated Ecological Planning and Adaptive Landscape Evaluation Tool for Developing Countries in the Framework of Sustainable Spatial Planning and Development, Study Case Bintan Island, Indonesia, In International Seminar Positioning Planning in Global Crises, Bandung November 2009, Department of Regional and City Planning, School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi Bandung.

Todaro, M.P., Smith, S.C., ed. (2003), Economic Development, 8th Edition, Pearson Education Limited, Essex, England.

WCED, (1987). Our Common Future: Report of the World Commission on Environment and Development, Chapter 2, Towards Sustainable Development, sumber: www.un-documents.net

Williams, K. (2000), Does Intensifying Cities Make them More Sustainable? dalam Williams K.,Burton E., and Jenks M.(ed.), Achieving Sustainable Urban Form, E & FN Spon, London 2000.

Page 80: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Revitalisasi Kota dan Kabupaten yang Lebih Berkelanjutan: Kerangka Kerjasama dan Perencanaan Partisipatif di Bangkalan, Madura

74

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Gunawan Tanuwidjaja dan Joyce Martha Widjaya

Website: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian dalam http://abuzadan.staff.uns.ac.id; http://en.wikipedia.org/wiki/FAO_soil_classification. http://en.wikipedia.org/wiki/Jane_Jacobs http://www.pps.org/articles/jjacobs-2

Page 81: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

75

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

Rulli Nasrullah

[email protected] Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Studi dan Informasi (LPSI) Jakarta

ABSTRAK

Kehadiran media teknologi dan informasi yang semakin baru tentu saja merupakan keuntungan yang bisa membantu dalam pelaksanaan musrenbang. Beragam perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) bisa dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Salah satu keuntungan pemanfaatan media baru itu adalah cara kerja yang lebih praktis, menghemat waktu, bahkan mengatasi persoalan tempat. Juga, penyebaran informasi menggunakan media baru menjadi kekuatan baru, misalnya, dalam menyebarkan informasi terkait potensi daerah sehingga memberikan peluang bagi invetasi daerah untuk lebih maju. Kata Kunci: internet, promosi, musrenbang, potensi daerah.

ABSTRACT

The development of information technology has given advantages for improving the implementation of musrenbang. It provides diverse options, both in hardware and software, which can be used specifically to acertain goals. One of the advantages is that new media technology provides more practical working system, saving time, and even annihilates space-distanciation problem. Furthermore, dissemination of information through new media information technology has became a new power, for example, it disseminates information related to the potency of a specific region and widens investment opportunities for the sake of welfare and development. Keyword: internet, promotion, murenbang, potency of a specific region. Pendahuluan

Perkembangan teknologi dan informasi yang semakin maju belakangan ini telah memberikan tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk penyebaran informasi semata, melainkan juga bisa menyediakan beragam pilihan perangkat. Hal ini menjadi semakin

Page 82: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

76

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

penting, karena munculnya media baru telah mengubah posisi khalayak yang lebih aktif dan interaktif dalam proses komunikasi serta memberikan kemudahan dalam komunikasi tanpa tatap muka tanpa memperhitungkan batas-batas geografis (Nasrullah, 2012). Potensi ini tentunya memberikan keuntungan tersendiri dalam pelaksanaan program-program pembangunan daerah, terutama dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbang).

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 050-187/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dalam Bab VII tentang Peran Musrenbang RPKD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) dalam Proses Perencanaan Partisipatif dijelaskan bahwa peran dan kedudukan Musrenbang RPKD merupakan wahana publik atau public event yang penting untuk membawa para pemangku kepentingan (stakeholders) memahami isu-isu dan pemasalahan pembangunan daerah. Itu artinya, Musrenbang RPKD tidak hanya dilakukan guna mengidentifikasi dan membahas isu-isu dan permasalahan pembangunan semata, tetapi juga memiliki tujuan untuk memfasilitasi pertukaran (sharing) informasi, pengembangan konsensus dan kesepakatan atas penanganan masalah pembangunan daerah.

Tabel 1. Salah satu kriteria syarat keberhasilan musrembang

Sumber: Lampiran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 050-187/Kep/Bangda/2007

Lampiran Kemendagri tersebut juga menjelaskan kesiapan dan keterlibatan pelaku dalam

memanfaatkan media informasi yang digunakan. Bahkan jelas ditegaskan bahwa salah satu keberhasilan pelaksanaan Musrenbang RPKD adalah pentingnya ketersediaaan informasi dan “informasi ini harus disampaikan jauh sebelum waktu pelaksanaan Musrenbang, sehingga

Page 83: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

77

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

memungkinkan stakeholders mempelajari dan menguasai permasalahan yang perlu dibahas”. Selanjutnya ditegaskan pula terkait kesiapan informasi dan instrumen bahwa pelaksanaan Musrenbang sangat dituntut untuk mempertimbangkan tools atau instrumen yang digunakan (lihat Tabel 1). Instrumen itu tidak hanya untuk menginformasikan tetapi juga sebagai media dalam menyerap dan menganalisis aspirasi atau pendapat parapihak yang terlibat.

Ini menegaskan kembali bahwa pentingnya pemanfaatan media demi kelancaran pelaksanaan Musrenbang. Namun, fakta di lapangan seringkali menunjukkan bahwa ketersediaan perangkat atau media komunikasi tidak dipergunakan semaksimal mungkin. Padahal selain media tersebut akan memperlancar komunikasi, pertimbangan pembiayaan yang murah bahkan tanpa perlu alokasi anggaran yang khusus juga menjadi faktor yang tidak bisa dikesampingkan.

Perkembangan Internet di Indonesia

Dari data yang dirilis dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia atau APJJI hingga akhir 2012 menunjukkan bahwa perkembangan pemakain internet setiap tahun semakin meningkat. Ambil contoh, bahwa hingga 2008 saja sudah tercatat sekitar 25 juta pengguna internet di Indonesia dan pada tahun 2012 menjadi sekitar 63 juta pengguna internet. Diperkirakan jumlah pengguna ini akan meningkat jauh menjadi 139 juta pada tahun 2015 (lihat tabel 2). Lebih jauh, data perkembangan pengguna internet di Indonesia yang meningkat ini juga ditampilkan oleh internetworldstats.com yang menyebut bahwa terdapat lonjakan pengguna atau pengakses internet dari 2 juta pada tahun 2000 menjadi 39.600 juta pada tahun 2012. Sedangkan peringkat Indonesia berada di urutan ke-4 dari pengguna terbanyak internet di Asia, urutan pertama ditempati oleh China memiliki 485 juta pengakses internet, India sebanyak 100 juta, kemudian Jepang dengan 99,182 juta.

Tabel 2. Perkembangan Pemakai Internet di Indonesia menurut APJJI

Sumber: www.apjii.or.id

Page 84: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

78

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Data-data di atas menunjukkan bahwa perkembangan teknologi dan informasi terutama internet telah semakin akrab digunakan oleh penduduk di Indonesia. Apalagi perangkat untuk mengakses internet juga semakin murah, perangkat seperti telepon genggam yang bisa mengakses internet banyak dijumpai tidak hanya di kota-kota besar semata. Juga, program pemerintah telah memfasilitasi perangkat mengakses internet hingga ke kecamatan di seluruh Indonesia melalui Penyedia Layanan Internet Kecamatan (PLIK) yang dikelola oleh Kemenkominfo. Meski pada peresmian program ini di Bandung pada 8 Agustus 2011 baru diluncurkan sebanyak 1.907 kendaraan mobile PLIK dan disebar di enam provinsi di Indonesia yaitu Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Jawa Timur, namun diperkirakan pada tahun 2015 nanti semua kecamatan di semua provinsi sudah bisa menikmati fasilitas ini.

Karakteristik Internet sebagai Media Baru Komunikasi

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa internet itu ditempatkan penulis sebagai media komunikasi yang penting. Ini tidak terlepas dari karateristik internet itu sendiri yang berbeda dibandingkan media komunikasi tradisional seperti surat-menyurat, surat kabar, radio, dan televisi. Salah satu karakteristik itu adalah sifat jejaring (network). Jejaring ini tidak hanya diartikan sebagai infrastruktur yang menghubungkan antarkomputer dan perangkat keras lainnya, namun juga menghubungkan antarindividu (lihat Miller, 2005:16; Gane dan Beer, 2008:16). Hubungan atau jejaring itu tidak hanya bertipe koneksi dengan dua individu saja, melainkan juga bisa melibatkan jumlah individu yang bahkan tidak dibatasi. Pada dasarnya karakteristik jejaring ini memiliki beragam tipe jaringan yang dibuatnya, yakni local area network (LAN atau Ethernet) dan a wide area network (WAN) (Comer, 2004:107 dan Shay, 1999:10-12 dalam Gane dan Beer, 2008:17). LAN menandakan bahwa jaringan yang terjadi berada dalam area yang terbatas, menghubungkan antarkomputer yang berada di satu gedung perkantoran atau satu lokasi yang memiliki beberapa gedung perkantoran. Sementara dalam WAN menandakan bahwa jaringan yang terjadi mengoneksikan area yang lebih luas, antartempat, antarnegara, hingga ke secara global; untuk menandai atau mengindentifikasi perangkat yang terhubung, maka masing-masing perangkat memiliki identitas tunggal tersendiri yang disebut dengan protocol.

Joost van Loon (2006) menyatakan bahwa kata jejaring tidak lagi mewakili terminologi dalam teknologi informasi semata, melainkan juga telah melebar pada terminologi di bidang antropologi, sosiologi, budaya, dan ilmu-ilmu sosial lainnya yang terkadang terminologinya semakin berkembang karena adanya proses mobilitas dari masyarakat, komoditas, kapital, tanda-tanda hingga informasi yang berkembang di dunia global. Oleh karena itu, jejaring tidak hanya melibatkan perangkat seperti komputer tetapi juga melibatkan individu atau actor networking (lihat Gane and Beer, 2008:16).

Katrakter yang kedua adalah interaksi. Interaksi atau (interactivity) merupakan konsep yang sering digunakan untuk membedakan antara media baru yang digital dengan media

Page 85: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

79

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

tradisional yang menggunakan analog (Graham, 2004; Lev Manovich, 2001; Spiro Kiousis, 2002). Interactivity bagi Graham merupakan salah satu cara yang berjalan di antara pengguna dan mesin (teknologi). Kehadiran teknologi komunikasi pada dasarnya memberikan kemudahan bagi siapapun yang menggunakan teknologi untuk saling berinteraksi, saling terhubung dalam waktu yang bersamaan; bahkan teknologi telah mewakili kehadiran dan atau keterlibatan fisik dalam berkomunikasi Bagi Graham, teknologi telah memediasi—Graham menyebutnya dengan istilah ‘remediated’—segala aktivitas manusia. Perbedaan wilayah, misalnya, tidak lagi menjadi kendala bagi dua orang untuk melakukan komunikasi secara langsung; kehadiran Skypee, situs perbincangan langsung (live chat) melalui video (video conference) memungkinkan di antara pengguna saling berkomunikasi langsung sekaligus melihat ekspresi wajah mereka melalui webcam atau kamera yang terhubung ke internet (lihat graham 2004:11).

Graham melihat karakter interaksi ini dalam konsep kerja teknologi media baru dalam aktivitas manusia sehari-hari. Pendapat sama juga disampaikan oleh Manovich bahwa konsep interactivity pada media baru sebenarnya telah membawa pengaburan (‘transendence’) terhadap batasan-batasan fisik dan sosial. Selanjutnya Gane dan Beer (2008:97)memberikan empat tipe untuk mendekati kata ‘interactivity’, yakni: 1) sebuah struktur yang dibangun dari perangkat keras maupun perangkat lunak dari berbagai sistem media, 2) human agency, melibatkan manusia, dan adanya desain maupun perangkat sebagai variabel-variabel yang bebas digunakan, 3) konsep untuk menjelaskan tentang komunikasi yang terjadi antara pengguna yang termediasi oleh media baru dan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang selama ini ada dalam proses komunikasi interpersonal, dan 4) bisa diartikan sebagai konsep yang menghapuskan sekat-sekat, sebagai contoh, antara pemerintah dan warga negara.

Karakter yang ketiga adalah perangkat (interface). Teknologi media baru, baik perangkat keras (hardware) seperti komputer maupun perangkat lunak (software) seperti jaringan internet, pada dasarnya beroperasi dengan saling terhubung. Sebagaimana dijelaskan dalam karakteristik jejaring di atas. Bahwa setiap komputer, sebagai misal, merupakan satu entitas tersendiri yang membentuk jaringan di antara komputer-komputer yang lain (Nasrullah, 2012). Namun, pada dasarnya baik komputer maupun internet merupakan media lalulintas informasi yang mewakili manusia sebagi konsumen cum produsen. Sedangkan Steven Johnson (1997) juga menjelaskan bahwa kata ‘interface’ merupakan perangkat lunak yang menghubungkan interaksi antara pengguna (user) dengan komputer.

Dalam media baru, perangkat komputer bisa dikatakan sebagai interfaces. Perangkat seperti tetikus (mouse), papan ketik (keyboard), layar (monitor), perangkat lunak itulah yang menghubungkan manusia dengan jaringan. Di dalam tubuh manusia juga ada interfaces berupa jari yang menekan papan ketik maupun memainkan tetikus atau mata yang memerhatikan gambar di layar. Wacana tentang ‘tubuh’ atau body menurut Bell (2001) perbincangan tentang teori tubuh dalam media baru pada kenyataannya mengulas tubuh

Page 86: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

80

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

dalam pengertian yang bermacam-macam dan dimaknai dengan cara yang beragam pula. Body direpresentasikan dengan atau melalui teks di komputer. Artinya, melalui interfaces perangkat keras maupun perangkat lunak komputerlah body bertransformasi menjadi entitas dalam sebuah jaringan. Misalnya, komunikasi melalui media komputer atau Computer Mediated Communication (CMC) pada dasarnya mentransformasikan body kedalam bits dan bites. Sementara body dalam pengertian tubuh yang dibalut daging dan darah (meat) dalam perspektif cybercultures, maka Bell (2001) menyatakan bahwa term yang digunakan dalam hal ini adalah techno-bodies.

Berbeda dengan media tradisional—seperti buku, majalah, bahkan radio—dalam media baru keberadaan pengguna tidak hanya pasif menerima informasi, melainkan juga aktif dalam memproduksi informasi. Pengguna juga tidak hanya menerima satu informasi sesuai dengan apa yang diproduksi oleh institusi media yang terkadang juga memuat informasi yang tidak sesuai dengan keinginan pengguna, melainkan pengguna bisa memilah informasi apa saja yang diinginkan dan dari sumber yang jumlahnya bisa dikatakan tak terbatas. Juga, menurut Manovich (2001:65), sebagai sebuah interfaces, komputer tidak hanya medium yang menghubungkan manusia maupun mesin dalam jaringan informasi di internet semata, melainkan sudah menjadi budaya yang mengatur bagaimana manusia melakukan koneksi dengan jaringan informasi atau berhubungan dengan beragam data di internet.

Bentuk-bentuk Media Baru

Terkait dengan pemanfaatan media baru dalam melaksanakan Musrenbang, berikut ini penulis akan memaparkan beragam media baru yang bisa dimanfaatkan dan menjadi alternatif pilihan. Terdapat dua kategori dalam pembagian media, yakni kategori media yang terkait dengan internet atau platform dan perangkat media baru itu sendiri. Dalam konteks ini media-media tersebut hanya dideskripsikan secara fungsi perangkat semata, sementara dalam segi konten atau isi bisa diselaraskan dengan maksud dan kepentingan parapihak yang ada di Musrenbang RPKAD itu sendiri.

1. Mail List dan Forums

Fasilitas Mail List atau disebut juga dengan istilah “milis” merupakan produk media baru yang digunakan untuk berkomunikasi (Gillmor, 2004:26). Milis bekerja pada komunitas atau kelompok yang memiliki kesukaan atau minat yang sama atau berasal dari suatu tempat, misalnya Milis Mahasiswa KBM UGM. Setiap anggota dari komunitas tersebut, yang telah memiliki akun surat elektronik atau e-mail, tergabung dalam sebuah grup. Setiap e-mail yang dikirim oleh anggota grup akan secara otomatis disebarkan kepada anggota grup yang lain. Dari segi keanggotaan milis bisa dimasuki oleh siapa saja (open) dan bisa juga hanya dikhususkan bagi anggota tertentu (closed) dimana anggota tergantung dari persetujuan (approve) dari moderator (admin) grup tersebut. Dari segi konten atau isi milis juga bisa dilihat oleh siapa saja atau bisa hanya dilihat oleh anggota grup.

Page 87: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

81

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Pada praktiknya, dalam pelaksanaan Musrenbang para anggota (stakeholders) jika menggunakan media ini menjadi sarana untuk berbagi informasi. Sifatnya yang tertutup memungkinkan informasi-informasi atau data-data yang akan dibincangkan dalam proses perencanaan Musrenbang RPKD menjadi bisa didistribusikan kepada para anggota. Di sisi lain dengan sifatnya yang terbuka dan dengan melibatkan anggota Musrenbang antardaerah, milis atau forum bisa digunakan untuk bertukar informasi baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

2. Weblogs

Istilah blog berasal dari kata weblog, yang pertama kali diperkenalkan oleh Jorn Berger pada tahun 1997. Pada awalnya blog merupakan suatu bentuk situs pribadi yang berisi kumpulan tautan ke situs lain yang dianggap menarik dan diperbaharui setiap harinya, perkembangan selanjutnya blog banyak memuat jurnal, tulisan pribadi, si pemilik dan terdapat kolom komentar yang bisa diisi oleh pengunjung. Defenisi yang tak jauh berbeda ditegaskan oleh Stuart Allan (2006:44) yang menyatakan bahwa blog merupakan situs yang memuat jurnal pribadi sang pemiliknya; “as diaries or journals written by individuals seeking to establish an online presence”.

Weblog ini dalam praktik Musrenbang tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga bisa digunakan untuk mempublikasikan, misalnya, langkah-langkah pelaksanaan dari evaluasi Musrenbang RPKD tersebut. Dengan demikian, informasi itu bisa dicontoh oleh anggota Musrenbang lain di berbagai daerah. Pembuatan laporan kegiatan merupakan salah satu aspek evaluasi kegiatan yang terbilang penting. Dengan adanya publikasi melalui weblog, diharapkan tidak hanya anggota Musrenbang di satu daerah saja yang bisa melihatnya, melainkan juga laporan evaluasi yang bernilai baik bisa dijadikan contoh untuk lokasi-lokasi berbeda.

3. Wiki

Wiki merupakan situs yang mengumpulkan artikel maupun berita sesuai dengan sebuah kata kunci. Mirip dengan kamus, Wiki menghadirkan kepada pengguna pengertian, sejarah, hingga rujukan buku atau tautan tentang satu kata. Dalam praktiknya penjelasan-penjelasan tersebut dikerjakan oleh para pengunjung. Situs Wiki hanya menyediakan perangkat lunak yang bisa dimasuki oleh siapa saja untuk mengisi, mengedit, menyunting, bahkan mengomentari tentang sebuah lema yang dijelaskan (Gilmor, 2004:32). Setiap pengguna yang memberikan kontribusi di dalam Wiki akan bisa melihat bagaimana kronologis atau historis perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lema tersebut. Dengan demikian, pengguna akan mengetahui data terakhir atau terbaru apa yang telah dimasukkan oleh pengguna yang lainnya, apakah data itu bersifat valid atau tidak, bagaimana referensi lain berbicara tentang lema tersebut yang ada di tautan, hingga foto-foto yang ada di sana.

Page 88: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

82

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Gambar 1. Situs Wikipedia

Fasilitas Wiki ini bisa digunakan untuk mempromosikan, misalnya, potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Misalnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri khususnya di Bab VI Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah disebutkan bahwa salah satu tugas pokok Subdirektorat Promosi dan Investasi Daerah adalah melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan dan fasilitasi serta monitoring dan evaluasi promosi dan investasi daerah (pasal 527-530). Bahwa bidang atau subdirektorat ini memfasilitasi pelaksanaan promosi ekonomi dan investasi daerah. Itu artinya, pemanfaatan Wiki sebagai media baru dalam melakukan promosi dan kerjasama informasi yang disediakan oleh Musrenbang di seluruh daerah mampu menghasilkan informasi yang akurat terkait potensi-potensi ekonomi apa saja yang bisa dioleh, dikerjasamakan, dan membuka investasi dari pihak-pihak luar.

4. Peer-to-peer

Peer-to-peer atau P2P merupakan platform komunikasi antarpengguna di internet. Fasilitas ini tidak hanya soal percakapan atau Instant Messaging (IM) seperti Yahoo Mesengger, Google Talk, atau AOL melainkan juga memungkinan pengguna untuk perangkat berbagi file seperti DropBox atau Google Doc.

Menurut Gillmor (2004:37-38) perkembangan P2P ini sangat menguntungkan karena selain karena biaya yang murah, P2P memberikan jalan keluar dari persoalan penyimpanan file dalam sebuah server. Jika selama ini sebuah file disimpan hanya dalam satu tempat

Page 89: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

83

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

dan setiap pengguna dikenakan biaya untuk mengakses atau mengunduh file tersebut, di dalam sistem P2P perangkat lunak ini akan menghubungkan pengguna ke berbagai tempat dari penyimpanan yang bisa didapat secara gratis. Juga, P2P bisa digunakan untuk komunikasi yang melibatkan jumlah anggota banyak atau virtual konferensi. Melalui fasilitas virtual konferensi ini antar anggota Musrenbang bisa saling bertukar ide, berdiskusi, dan membuat laporan atau perencanaan secara bersama-sama dan di waktu yang sama tanpa harus hadir di sebuah ruangan. 5. The RSS

Content-syndication format (RSS) atau sindikasi konten ini bekerja untuk mengambil dan mengumpulkan konten berita atau informasi di internet sesuai dengan keinginan pengguna. Artinya, sebagai contoh, apabila pengguna menginginkan berita dari situs tertentu atau kanal dari situs tersebut, maka RSS akan mendeteksi seluruh kata kunci yang terkait dengan konten dimaksud. Melalui cara kerja tak jauh berbeda dengan mesin pencari (search engine), RSS akan menampilkan satu halaman penuh tautan di halaman khusus. Perbedaan dengan mesin pencari adalah RSS bisa bekerja sesuai dengan keinginan pengguna untuk mengakses situs atau blog mana saja yang menjadi sumber tautan tersebut. Fasilitas ini tentu akan sangat bermanfaat terutama untuk melakukan promosi seperti promosi potensi daerah. Dengan demikian, siapapun pengakses internet akan mendapatkan update atau pembaruan informasi.

6. Social Networking Sites

Kehadiran situs jejaring sosial (social networking site) seperti Facebook memberikan ruang bagi siapapun di dunia maya. Banyak fasilitas situs jejaring sosial yang bisa dimanfaatkan, misalnya “wall atau dinding” di Facebok. Facebook juga menyediakan fasilitas grup; fasilitas yang mengumpulkan pengguna Facebook yang tertarik atau memiliki kesamaan terhadap suatu konten. Cara kerja grup di Facebook sama seperti di dalam milis.

Kesimpulan

Selalu ada persoalan terkait media baru ini, salah satunya adalah kesiapan sumber daya manusia dalam menggunakan perangkat-perangkat baik lunak (software) maupun keras (hardware). Namun, dengan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin hari semakin baru tentu saja kebutuhan kemampuan untuk menggunakan perangkat ini perlu kiranya dipertimbangkan demi kelancaran serta peningkatan kinerja.

Kehadiran media teknologi dan informasi yang semakin baru tentu saja merupakan keuntungan yang bisa membantu dalam pelaksanaan Musrenbang. Keuntungan tersebut setidaknya bisa dideskripsikan melalui beberapa jal, seperti: pertama, perangkat teknologi yang berbiaya murah menyebabkan siapapun bisa memilikinya; kedua, fasilitas yang disediakan di media baru seperti internet memberikan keuntungan dari segi waktu dan

Page 90: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

84

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

lokasi sehingga kendala dua faktor ini bisa diminimalisir; ketiga, penyebaran informasi seperti peta lokasi potensi daerah atau pencapaian dalam pembangunan daerah bisa menjangkau ke seluruh belahan dunia. Tidak ada lagi batasan geografis dan informasi yang ditampilkan di internet bisa diakses kapanpun; kelima, dalam praktiknya perlu diperimbangkan pula bahwa tukar-menukar informasi dalam rangka Musrenbang adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Mengetahui pencapaian dan bagaimana cara mencapai pembangunan di sebuah daerah adalah contoh kasus yang patut dipertimbangkan oleh daerah lain. Media baru memberikan fasilitas secara murah bahkan beberapa cenderung gratis untuk mendukung pertukaran informasi tersebut.

Daftar Pustaka Allan, Stuart, 2008, News Culture, New York: Open University Press. Bell, David, 2001, An Introduction to Cybercultures, London and New York: Routledge. Gane, Nicholas and Beer, David, 2008, New Media: The Key Concepts, Oxford & New York:

Berg. Gillmor, Dan, 2004, We The Media, California: O’Reilly Media, Inc. Graham, P, 2000, “Hypercapitalism: A Political Economy of Informational Idealism”,

dalam New Media & Society, Vol.2, No.2, hal. 131-156. Johnson, S, 1997, Interface Culture: How New Tecnology Transform the Way We Create and

Communicate, New York: HarperCollins. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kementerian Dalam Negeri Manovich, Lev, 2001, The Language of New Media, Cambridge, Massachusetts: The MIT

Press.Miller, Vincent, 2010, New Media, Networking and Phatic Culture, dalam Nayar, Pramond K (.ed), The New Media and Cybercultures Anthology, Oxford: Willey-Blackwell, hal.534-543.

Nasrullah, Rulli, 2012, Komunikasi Antar Budaya di Era Budaya Siber, Jakarta: Kencana. “Seluruh kecamatan berjaringan internet pada 2014” dipublikasikan pada Kamis, 7 Maret

2013 pukul 23:49 WIB di http://www.antaranews.com/berita/362188/seluruh-kecamatan-berjaringan-internet-pada-2014 diakses pada Jumat, 26 April 2013.

Page 91: Jurnal Pembangunan Daerah Dirjend Bangda Kementerian Dalam Negeri Edisi 1 Tahun 2013

Pedoman Penulisan Naskah 1. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 2. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4,

Times New Roman 12 pt, spasi satu setengah, dengan panjang naskah 10 s.d. 15 halaman.

3. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan pada bagian akhir naskah setelah daftar pustaka.

4. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki.

5. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf besar. Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring.

6. Identitas penulis meliputi: Nama lengkap penulis (tanpa gelar). Nama dan alamat lembaga penulis. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai

nomor telepon, handphone, dan fax, serta alamat email. Nomor rekening bank yang masih aktif.

7. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata yang ditulis dalam satu alinea yang mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, maupun kesimpulan.

8. Redaksi berhak menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah maksud.

9. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium sepantasnya. Naskah dikirim kepada redaksi Jurnal Pembangunan Daerah melalui email: [email protected] atau ke alamat redaksi di Bagian Perencanaan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp. (021) 7992537