JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS...

139

Transcript of JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS...

KONSEP PENDEKATAN DIRI KEPADA ALLAH DALAMTAREKAT SYADZILIYAH

SkripsiDiajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahUntuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh :AHMAD ROFIQ

NIM. 1112033100050

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAMFAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019 M

i

ABSTRAKDzikir bermakna ‘mengingat’. pada hakikatnya mengingat Allah adalah sumberkesehatan hati dan jiwa. Indikasi pertama untuk melihat penyakit dalam diriseseorang terdapat kikir di dalamnya. Kikir menjadi faktor timbulnya penyakitjiwa atau rohani dan penyakit tersebut bisa disembuhnya dengan dzikir kepadaAllah. Skripsi ini menggunakan metode deskriptif dengan data kualitatif. Makayang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah interpretasi penulis terhadapkegiatan tarekat Syadziliyah dengan fokus penelitian konsep pendekatan dirikepada Allah, di dalamnya terdapat muatan-muatan kegiatan yang penulis patutuntuk diteliti. Lalu apakah dengan dzikirullah seseorang dapat merasakan tenangdan tidak terdapat konflik batin? dan Bagaimana penghayatan dan atau pengaruhdzikir bagi kondisi jiwa, dan makna bagi tujuan hidup para pengamal? Dalampraktiknya, dzikir mempunyai pengaruh yang sangat hebat terhadap kesehatanjiwa dan mental juga bernilai positif sekaligus penting untuk diamalkan. Pengaruhdzikir terhadap jiwa ini bisa diperoleh dengan bacaan-bacaan dzikir seperti tahlil,tasbih, tahmid, takbir, basmalah, hauqalah, hasbalah, membaca Al-Qur’an danasmaul husna. Persoalan yang melatarbelakangi seseorang untuk mengamalkandzikir, salah satunya adalah upaya untuk tidak gelisah dan tidak ada konflik batindalam dirinya.

Kata kunci: Dzikir, Ketenangan Jiwa

i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. Tuhan semesta alam,

Tuhan yang maha pengasih di alam dunia dan Tuhan yang maha penyayang di

alam akhirat kelak. Tuhan yang selalu memberikan karunia dan nikmat kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat dan

salam selalu tercurah kepada Rasulullah Saw., kepada keluarganya,

sahabatsahabatnya, dan kita sebagai ummatnya yang menanti pertolongannya di

akhirat nanti. Amin.

Penulis ucapkan syukur kepada Allah Swt. atas selesainya penulisan dan

penyusunan skripsi yang berjudul “KONSEP PENDEKATAN DIRI KEPADA

ALLAH DALAM TAREKAT SYADZILIYAH” sebagai tugas akhir akademis

pada Jurusan Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah berkat bantuan, bimbingan, dan

dukungan berbagai pihak. Karena itu perkenankanlah penulis untuk

menyampaikan ucapan terimakasih yang mendalam dan khusus kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis, MA dan

Dekan Fakultas Ushuluddin Dr. Yusuf Rahman, MA.

2. Dr. Edwin Syarif, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu

meluangkan waktunya di tengah kesibukan dan aktifitas padatnya untuk

membimbing dan mengarahkan penulis demi perbaikan dan hasil skripsi

yang mendekati sempurna.

3. Dra. Tien Rohmatin, MA, sekalu ketua Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku sekretaris Prodi Aqidah dan

Filsafat Islam.

4. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku dosen penasihat akademik saya yang

selalu berkenan ditemui ketika penulis menemukan kesulitan selama

perkuliahan dan berkenan membimbing dalam penulisan proposal skripsi

penulis.

5. Jajaran Dekanat fakultas Ushuluddin dan khusus kepada seluruh Dosen

Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam yang senantiasa ikhlas memberikan

ii

perkuliahan dan membimbing selama penulis belajar di Jurusan Aqidah

Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada Bapak tercinta dan tersayang (H.ABD.GANI) yang berhasil

menularkan api semangatnya kepada saya dan selalu menjadi alasan untuk

bangkit di setiap rapuh yang menerjang. Dan kepada ibu (HJ.HOIRIYAH)

yang cinta dan kasih sayangnya tak pernah padam dan selalu

mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir. Semoga

Allah ridho atas segala amaliyah mamah, serta tak lupa kepada nenek yang

selalu bertanya dan menanti cucunya mengenakan toga semoga Allah

senantiasa memberikan kesehatan dan umur panjang.

7. Kepada seluruh saudara tercinta, Adinda Syaiful Huda, Fitriati Saadah,

Faiqul Abror, S.Hum, Dan Zayyana Hariva, S.Th.I yang tak berhenti-

berhentinya untuk selalu memberikan semangat dan saran sehingga skripsi

ini selesai.

8. Kawan-kawan AF (Aqidah dan Filsafat) yang selalu memberikan

motivasi-motivasi ceria semasa skripsi ini disusun.

9. Kawan-kawan FKMSB (Forum Komunikasi Mahasiswa Santri

Banyuanyar) jabodetabek yang tak bisa saya sebutkan satu persatu tidak

mengurangi rasa terimakasih yang selalu memotivasi kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman FORMAD (Forum Mahasiswa Madura) jabodetabek yang

selalu memberikan semangat serta nasehat sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

11. Dan kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di

atas lembaran putih ini, namun tidak akan mengurangi rasa terima kasih

saya kepada semua pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan

masih banyak kekurangan, olehkarenanya kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat penulis harapkan. Adapaun segala kekurangan dan

kesalahan pada skripsi ini menjadi penanggungjawab penulis. Harapan

iii

penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang dan

bermanfaat untuk perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 10 Mei 2019

Ahmad Rofiq1112033100050

i

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL....................................................................................LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................iLEMBAR PENGESAHAN..................................................................... iiLEMBAR PERNYATAAN ....................................................................iiiPEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................. ivABSTRAK.... .......................................................................................... vKATA PENGANTAR.............................................................................viDAFTAR ISI .......................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................... 8

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian .................................................. 9

1. Tujuan Penelitian..................................................................... 9

2. Kegunaan Penelitian.. .............................................................. 9

D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 10

E. Kerangka Teori ............................................................................ 13

F. Metode Penelitian ........................................................................ 17

1. Jenis Penelitian........... ............................................................ 18

2. Pendekatan Penelitian.......... ................................................... 18

3. Sumber Data.............. ............................................................. 19

4. Metode Pengumpulan Data... .................................................. 19

5. Metode Analisis Data.. ........................................................... 20

G. Sistematika Pembahasan .............................................................. 21

BAB II GAMBARAN UMUM

HISTORIS DAN PERKEMBANGAN TAREKAT SYADZILIYAH

A. Sejarah dan Tarekat Syadziliyah................................................... 25

1. Sejarah Tarekat Syadziliyah..... .................................................... 25

2. Perkembangan Tarekat Syadziliyah.............. ................................ 27

3. Tarekat Syadziliyah di Indonesia............ ...................................... 32

B. Kondisi Sosio-Kultur dan Keagamaan .......................................... 37

1. Kondisi Kehidupan sosial, Budaya dan Keagamaan.. .................... 37

ii

C. Ajaran dan Amalan Tarekat Syadziliyah....................................... 43

1. Ajaran Tarekat Syadziliyyah ........................................................ 45

2. Amalan Tarekat Syadziliyyah ...................................................... 47

D. Pengertian dan Pengaruh Dzikir Terhadap Jiwa............................ 54

1. Pengertian Jiwa ............................................................................ 54

2. Pengertian Ketenangan Jiwa ......................................................... 55

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketenangan Jiwa .................... 57

4. Kriteria Ketenangan Jiwa.............................................................. 63

5. Pengaruh Dzikir terhadap Ketenangan Jiwa .................................. 65

BAB III DZIKIR DALAM KONSEP QADIRIYAH DAN

NAQSABANDIYAH

A. Qodariyah .................................................................................... 67

1. Sejarah ... ..................................................................................... 67

2. Tokoh... ........................................................................................ 69

3. Ajaran........................................................................................... 73

4. Dzikir... ........................................................................................ 74

B. Naqsabandiyah ............................................................................ 75

1. Sejarah ......................................................................................... 75

2. Tokoh. ......................................................................................... 83

3. Ajaran... ....................................................................................... 85

4. Dzikir. ......................................................................................... 90

BAB IV KONSEP PENDEKTAN DIRI KEPADA ALLAH DALAM

TAREKAT SYADZILIYAH

A. Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah dalam Tarekat Syadziliyah... 95

1. Tasawuf sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah .............. 96

2. Langkah-Langkah Menuju Kehidupan Tasawuf........................... 104

3. Al-ahwal (Kodisi Spiritual) dalam Tasawuf ................................. 106

B. Macam-Macam Hizb........................................................................ 109

1. Pengertian Hizb ....................................................................... 109

2. Hizb-Hizb Tarekat Syadziliyah................................................. 110

iii

3. Pengaruh Hizb Bagi yang Mengamalkannya ............................ 114

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN................................................................................... 119

B. SARAN .. ........................................................................................... 121

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 122

i

PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB LATIN

Skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi” yang terdapat dalam

Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2012/2013.

No Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

1 ا Tidak dilambangkan

2 ب B Be

3 ت T Te

4 ث Ts te dan es

5 ج J Je

6 ح H Ha dan garis bawah

7 خ Kh ka dan ha

8 د D De

9 ذ Dz de dan zet

10 ر R Er

11 ز Z Zet

12 س S Es

13 ش Sy es dan ye

14 ص S es dengan garis di bawah

15 ض D de dengan garis di bawah

16 ط T te dengan garis di bawah

17 ظ Z Zet dengan garis di bawah

18 ع ‘ Koma terbalik di ta hadap kanan

19 غ Gh ge dan ha

20 ف F Ef

21 ق Q Ki

22 ك K Ka

23 ل L El

ii

24 م M Em

25 ن N En

26 و W We

27 ه H ha

28 ء ‘ Apostrof

29 ي Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong Unuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

No Vokal Arab Vokal Latin Keterangan

1 ◌ A Fathah

2 ◌ I Kasrah

3 ◌ U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

No Vokal Arab Vokal Latin Keterangan

1 ى _ ◌ Ai Fathah

2 و _ Au kasrah

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

No Vokal Arab Vokal Latin Keterangan

1 ا Â a dengan topi di atas

2 ئ Î i dengan topi di atas

iii

3 ؤ Û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال

dialihaksarakan menjadi hururf /I/, baik diikuti oleh huruf syamsiyyah, maupun

huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl, al-dîwân bukan aḍ-ḋîwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab yang dilambangkan

dengan sebuah tanda ( ◌), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ال ضرورة tidak

ditulis ad-ḏarûrah, melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 dibawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) lihat contoh 2. Namun jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti

kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat

contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Transliterasi

1 طریقة Ṯarîqah

2 الجمعة االسالمي ة al-jâmi’âh al-Islâmiyyah

3 وحدة الوجود waẖdat al-wujûd

iv

Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab hurf kapital dikenal, dalam alihaksara

ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku

dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk

menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri,

dan lain-lain. Penting diperhtikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî, bukan Abû

Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)

atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD. Judul ini ditulis dengan cetak miring,

maka demikianlah halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab. misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd

al-Samad al-Palimbânî, Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîr

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap makhluk di muka bumi ini adalah ciptaan Allah. Dari semua

makhluq tersebut manusia menduduki derajat yang lebih tinggi karena

manusia dibekali akal oleh penciptanya. Akal inilah yang membedakan

manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Manusia dengan akalnya bisa

merenungkan proses kejadian dirinya, yaitu dari turab (tanah) sebagai materi

pertama pembentukan manusia, atau min sulalah min thin (dari saripati yang

berasal dari tanah) sebagai sejarah awal penciptaan manusia, atau min sulalah

min ma-in mahin (dari saripati yang berasal dari air yang hina) setelah

melalui beberapa proses penurunan, sehingga menuju kesempurnaan jasmani

dan rohani. Dari perenungan tersebut timbul rasa takjub atas kehebetan dan

kebesaran Allah. Pada gilirannya, rasa takjub itu menimbulkan kesadaran

yang mendalam akan keagungan dan kehebatan Allah sebagai maha pencipta,

dan sekaligus manusia itu sendiri akan menyadari betapa kerdil dirinya

dihadapan Allah SWT.1Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Mu’minun

ayat 12-14, yang artinya:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati(berasal) dari tanah.kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yangdisimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).kemudian air mani itu Kamijadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikansegumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang

1Muhaimin, Renungan Keagamaan Dan Dzikir Kontekstual (Jakarta: Rajawali Pers,2014), Hlm.14-15.

2

belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

Maka segala sesuatu yang menyenangkan jasmani adalah sesuatu yang

berasal dari tanah (makanan, minuman, dll.) Sedangkan rohani atau ruh

berasal dari Allah SWT. sesuai dengan QS. Al-Sajadah ayat 9, yang artinya:

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam (tubuh)nyadari rohNya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatandan hati.

Maka kebahagiaan dan ketentraman ruh adalah dengan mendapatkan

sesuatu yang datangnya dari Allah SWT., yaitu syari’at Islam dan bisa

berkomunikasi dengan-Nya.

Sementara saat ini manusia sedang memasuki era globalisasi atau dunia

modern dalam berbagai bidang kehidupan baik dibidang iptek, ekonomi,

budaya, etika maupun moral. Bahkan globalisasi sudah menjadi bagian dari

kehidupan umat manusia sehari-hari, suatu kenyataan yang tidak dapat

dihindarinya. Ekonom peraih Nobel di bidang ekonomi, Joseph Stigilitz,

mendefinisikan globalisasi sebagai “semakin dekatnya integrasi antar negara

dan bangsa dunia”, hal ini akan membuat runtuhnya batas-batas regional

akibat arus modal, jasa, komoditas, pengetahuan dan manusia yang saling

melintas antar perbatasan. Thomas Friedman juga menyatakan dalam

bukunya yang berjudul The World is Flat sebagaimana yang dikutip oleh

Muhaimin bahwa dunia masa kini telah menjadi lahan “bermain” yang

sejajar. Maksud dari dunia yang rata adalah semua pesaing memiliki

kesempatan yang sama. Artinya adalah barang siapa yang tidak mampu

3

menggunakan kesempatan yang ada maka akan tertinggal, bahkan akan

tekena dampak negatif akan ketertinggalannya.

Di samping itu, masyarakat juga sedang menghadapai globalisasi

dibidang budaya, etika dan moral yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi,

terutama dibidang informasi melalui media massa sehingga tidak jarang dapat

menyebabkan kerugian dalam semua aspek kehidupan, terutama masalah

dekadensi moral.2 Acara televisi yang banyak ditemui saat ini kurang

mendidik sehingga mengakibatkan kekerasan atau pertengkaran dikalangan

remaja. Dan juga lembaga penyiaran radio yang kurang memberi argumen

baik terhadap masyarakat, dan bahkan yang paling bisa mempengaruhi adalah

media elektronik seperti telepon genggam dengan kecanggihan yang

ditawarkannya melalui berbagai fitur sehingga dapat melalaikan penggunanya

terhadap kehidupan ruhani.

Uraian tersebut perlu digaris bawahi bahwa manusia harus kembali

kepada Tuhannya melalui agama yang berarti kembali pada pandangan hidup

asasi manusia itu sendiri, karena manusia itu merupakan fitrah insani. Lalu

kemudian apa yang harus diperbuat oleh manusia terhadap dirinya? Dalam

Q.S.at-Tahrim:6, Allah berfirman, yang artinya;

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dariapi neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganyamalaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allahterhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalumengerjakan apa yang diperintahkan.

2Muhaimin, Renungan Keagamaan dan Dzikir Kontekstual, hlm. 3-5

4

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa manusia yang beriman hendaknya

menjaga, memelihara, dan memperbaiki kualitas diri dan keluarganya agar

tidak mengalami hidup kesengsaraan (neraka). Maksud dari menjaga,

memelihara, dan memperbaiki diri ditinjau dari aspek biologis yang berarti

adalah menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan anggota tubuhnya,

namun ditinjau dari aspek psikologis atau ruhani adalah mengembangkan

atau meningkatkan kualitas IQ (Intellegent Quotient), kecerdasan, emosional,

kreativitas, dan kecerdasan spritual.3

Untuk menghadapi era globalisasi di sini tidak cukup dengan

mengembangkan dan meningkatkan kualitas IQ, kecerdasan emosional, dan

kreativitas saja, akan tetapi perlu juga untuk meningkatkan kualitas

kecerdasan spritual yang menjadi penopangnya dalam menjaga kualitas

sebagai seorang hamba. Pendidikan IQ menyangkut peningkatan kualitas otak

agar seseorang menjadi cerdas, pintar, dan lain-lain. Dan pendidikan

kecerdasan emosional menyangkut peningkatan kualitas hati agar menjadi

orang yang berjiwa besar, sabar, rendah hati, menjaga diri, berempati, cinta

kebaikan, mampu mengendalikan diri atau nafsu, dan tidak terburu-buru

mengambil keputusan. Dan pendidikan kreativitas yang menyangkut

peningkatan kualitas tangan agar seseorang dapat menjadi agen of change,

atau mampu membuat inovasi dan menciptakan hal-hal yang baru.

Pendidikan spiritual menyangkut peningkatan kualitas kejujuran, agar

menjadi orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam hal ini

3Muhaimin, Renungan Keagamaan dan Dzikir Kontekstual, hlm. 8-9

5

meningkatkan kecerdasan spritual seseorang dianjurkan untuk berintegrasi

dengan cara mengimplementasikan nilai-nilai spritual seperti ber-dzikir

kepada Allah SWT untuk menjaga dan melindungi sikap mental beragama4.

Surat QS.al-Ra’du: 28 menyebutkan, yang artinya yaitu;

Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram denganmengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hatimenjadi tenteram.

Bahwasanya umat manusia dianjurkan untuk berdzikir kepada-Nya

(Allah) agar mendapatkan ketenangan hati dan juga ketenangan jiwa.

Ketenangan jiwa adalah sumber bagi kebahagiaan. Seorang individu tidak

akan mengalami perasaan yang bahagia ketika jiwanya tidak tenang atau

gelisah. Hakikat perjalanan hidup yang kita jalani, semakin kita melangkah

semakin banyak masalah yang datang dan pergi. Oleh sebab itu maka patutlah

kita sebagai umat muslim melakukan kegiatan-kegiatan dzikir dengan tujuan

supaya mendapatkan ketenangan jiwa dan dapat meningkatkan akhlak dalam

kehidupan sehari hari. Adapun keutamaan dalam berdzikir adalah hati akan

menjadi tentram, pikiran akan jernih dengan begitu segala sesuatu yang

dilakukan akan menjadi baik khususnya dalam berakhlakul karimah dengan

seseorang.

Islam juga mengajarkan untuk berdzikir kepada Allah SWT. Karena

dzikir dapat memberikan kontribusi yang besar dan dapat mengandung tiga

gerakan, yaitu badan (al-riyadiyah), hati (al-qalbiyah), dan jiwa (al-nafsiyah),

melaksanakan dzikir dengan khusuk, ikhlas dan penuh pengharapan ridha

4 Muhaimin, Renungan Keagamaan dan Dzikir Kontekstual, hlm. 9

6

Allah SWT.5 Maka hal tersebut akan membiasakan hati selalu dekat kepada

Allah SWT. Dzikir juga mengandung dimensi dzikrullah yang memiliki

dampak psikologis dalam jiwa seseorang. Karena dengan mengingat Allah

SWT. maka alam kesadaran manusia akan merasakan kehadiran Allah SWT.

Untuk sampai kepada jiwa yang tenang dzikir memiliki peranan penting bagi

kehidupan manusia karena dzikir merupakan suatu kebuTuhan psikis manusia

yang merindukan ketenangan dan kebahagiaan, disamping itu juga dapat

memberikan bimbingan jiwa manusia untuk memotivasi berbuat baik dengan

mencegahnya dari perbuatan dosa, menghidupkan hati sanubari dan

meningkatkan jiwa agar jangan lalai dan lupa, dapat mensucikan jiwa,

mengobati dan mencegah jiwa dari gangguan dan penyakit hati.

Dengan berdzikir kita dapat terbimbing dan memberikan motivasi hidup

agar mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang diharapkan

memiliki kekuatan iman dan taqwa kepada Allah, dzikir dapat mengatasi

problema yang sedang dihadapinya. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan

yang ditawarkan Islam untuk membantu manusia agar dapat menggunakan

potensi ikhtiarnya, untuk menciptakan manusia yang bertaqwa sebagai salah

satu upaya preventif, kuratif dan developmental yang mengotori jiwa manusia

dalam kehidupan, manusia mampu untuk mencapai kebahagiaan hidup di

dunia dan di akhirat.

Dengan demikian maka sangat memungkinkan bagi manusia untuk

bersikap dan berprilaku yang baik agar jiwanya bisa menghadapi berbagai

5Moh Sholeh, Tahajjud Manfaat Praktis Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran Tetapi Relegius,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 27

7

persoalan yang mengitarinya dapat terselesaikan dengan sendirinya. Dan

apabila dzikir dilakukan dengan khusuk maka jiwa merasakan adanya

pengaruh yang manusia belum pernah merasakannya. Dan apabila dzikir yang

dilakukan dengan penuh khidmat akan timbul dalam jiwa seseorang

kedamaian yang diharapkannya demi tercapainya kebahagiaan dan

ketenangan pada dirinya dapat membantu menghilangkan rasa sedih, stress,

frustasi, putus asa, khawatir, dan takut adalah gejala jiwa yang berat. Dzikir

merupakan cara penenangan batin yang dapat mengembalikan kedamaian

pada dirinya,6 sehingga persoalan persoalan tersebut dapat terselesaikan

dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Di abad ketujuh hijriyah dalam dunia Islam muncul sebuah tarekat yang

yang sangat aktif, tarekat tersebut bernama tarekat syadziliyah dimana tarekat

tersebut sangat berkembang di wilayah mesir dan negara-negara dunia islam

belahan timur dan terus menyebar ke berbagai kawasan-kawasan islam

sampai saat ini.7 Dan tarekat syadziliyah tersebut adalah salah satu tarekat

yang sangat diakui kebenarannya (al-mu’tabarah).

Tarekat Syadziliyah dinisbatkan kepada Abu Hasan Al-Syadzili (w. 656

H/ 1258) sebagai pendirinya, Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh

jalur tasawuf yang pada prakteknya tetap memegang teguh syariat, artinya

selalu berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Pelurusan dan penyucian jiwa

(tazkiyahal-nafs) dan pembinaan moral (akhlaq). Dari tarekat Syadziliyah

6Syekh Nawawi Ibn Umar Al-jawi, Nasho-ihul ‘ibad (Nasehat Bagi Sang Hamba),(Surabaya: Gita Media Press, 2008), hlm. 54

7Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi’‘Utsmani (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 238

8

banyak orang yang menilai bahwa tarekat tersebut bersifat modern dan

moderat.8 Tarekat Syadizili mengajarkan kepada pengikutnya untuk tidak

menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan. Sebab dunia adalah tempat

manusia hidup dan berkembang. Namun meski demikian tarekat ini juga

memperingatkan supaya jangan sampai terjerumus dan bergantung kepada

dunia.

Sebab itu penulis sangat tertarik terhadap dzikir tarekat Syadziliyah

karena banyaknya penganut atau pengikut dari tarekat Syadziliyah tersebut.

Maka sebab itu juga penulis beranggapan sangat penting membahas tentang

“Konsep Pendekatan Diri Kepada Allah dalam Tarekat Syadziliyah”,

dikarenakan arus zaman yang semakin modernini, di mana ulama menyatakan

bahwa semakin jauh zaman maka semakin lemah iman manusia dan sekarang

sudah memasuki zaman tersebut.9

B. RUMUSAN MASALAH

Guna menghindari kesalahpahaman dan untuk mencapai kesamaan

persepsi dalam masalah yang hendak penulis bahas pada skripsi ini, maka

penulis merasa perlu untuk memberikan suatu batasan dan rumusan terhadap

masalah yang akan dikaji. Pembahasan tentang dzikir, dalam tulisan ini

pembahasannya akan dibatasi pada lingkup kegiatan tarekat Syadzilih.

Dalam tulisan ini, penulis merumuskan beberapa masalah, yaitu:

1. Apa motivasi mengamalkan dzikir Tarekat Syadziliyah?

8Sri dan Wiwi, Laporan Penelitian Kolektif: Tasawwuf Pasca Ibn Arabi (Jakarta: FakultasUshuluddin UIN, 2006), hlm. 22

9Amir Faishol Fath, Benteng Diri, (Jakarta; fath institute, 2015), hlm.10

9

2. Bagaimana pengaruh dzikir terhadap pengamal dzikir Tarekat

Syadziliyah?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran sebanyak

mungkin tentang kegiatan, latar belakang, serta penghayatan dalam

mengamalkan amalan tarekat syadziliyah tentang dzikir.

Penelitian ini diharapkan memiliki nilai manfaat akademis maupun

praktisnya. Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui urgensi dzikir sebagai media spiritual untuk

ketenangan jiwa menurut tarekat syadziliyah.

b. Untuk mengetahui bentuk atau kegiatan dzikir.

2. Kegunaan Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini mampu memberikan khazanah ilmu

pengetahuan baru, khususnya terkait konsep pendekatan diri

kepada Allah menurut tarekat Syadziliyah.

Secara umum diharapkan penelitan ini dapat menjadi rujukan

penelitian di bidang study agama, khususnya filsafat di

perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang masih sedikit akan

literatur penelitian tentang dzikir.

b. Manfaat Praktis

10

Dari hasil penelitian karya ilmiah ini diharapkan dapat

menambah wacana sekaligus pengetahuan bagi para pembaca,

khususnya bagi peneliti dalam mengkaji dan memahami dzikir

menurut tarekat Syadziliyah sekaligus masukan bagi praktisi

filsafat agama dalam mentranformasi nilai-nilai agama pada

masyarakat melalui dzikir.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjaun pustaka merupakan diskripsi singkat dari penelitian sebelumnya

tentang masalah yang memiliki keterkaitan dengan yang akan diteliti

sekaligus untuk menunjukan letak perbedaan masalah yang akan diteliti. Dari

beberapa literatur, baik buku, skripsi atau jurnal yang mengkaji tentang

masalah dzikir menurut tarekat Syadziliyah tidak begitu banyak ditemukan,

selama penelusuran ada beberapa peneliti terdahulu yang melakukan

pengkajian tentang dzikir menurut tarekat Syadziliyah di antaranya;

Skripsi saudara Imron Rosyadi dengan judul “Tarekat dan Ketenangan

Jiwa: Studi Kualitatif Tentang Kontribusi Dzikir dalam Menenangkan Jiwa

Penganut Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren

Darul Hikmah SAWahan Mojosari Mojokerto” Skripsi ini menguraikan

bentuk dan ajaran tarekat Qodiriyah wan Naqsyabandiyah yang dianut oleh

jamaah di lingkungan Pondok Pesantren Darul Hikmah SAWahan Mojosari

Mojokerto Jawa Timur, di mana dalam skripsi ini saudara Imron Rosyadi

memposisikan dzikir sebagai kontribusi penting bagi jamah penganut tarekat

Qadiriyah wan Naqsyabanduyah, dan tarekat tersebut memberikan

11

ketenangan bagi jiwa pengikutnya. Skripsi ini mengaitkan antara dzikir

dengan ketengan jiwa para jamaahnya.

Skripsi saudara Tarwalis dengan judul “Dampak Dzikir Terhadap

Ketenangan Jiwa (Studi Kasus di Gampong Baet Kecamatan Baitussalam

Kabupaten Aceh Besar)” skripsi menguraikan dampaknya yang terlihat

ketika selesai melakukan dzikir, saudara Tarwalis dalam skripsinya

menyimpulan bahwa ketika melakukan dzikir seeorang dapat menimbulkan

rasa ketenangan di dalam jiwa, menghilangkan stres, meringankan bedan,

lebih tawaduk rendah hati, memperbaiki akhlak, sehingga apabila ada

musibah atau ujian yang datang dari Allah maka akan timbul kesabaran dan

selalu berserah diri kepada Allah SWT. Sedangkan dalam menyelesaikan

kendala-kendala bagi yang tidak khusuk dengan tindakan mengamalkan

dzikir adalah dengan mengkondusifkan keadaan sekitar, berupa kendaran

yang bermesin.

Selanjutnya skripsi saudari E. Ova Siti Sofwatul Ummah dengan judul

“Pengaruh Pengamalan Tarekat Syadziliyah terhadap Kesalehan Spiritual

Santri Pesantren Cidahu Pandeglang Banten”, skripsi ini membahas

mengenai Tarekat Syadziliyah di Kabupaten Pandeglang, yang disebarkan

dan dikembangkan Oleh Abuya Dimyathi, berlokasi di Kampung Cidahu,

Desa Tanagara, Kecamatan Cadasari, Pandeglang Banten adalah salah satu

tarekat terbesar yang berkembang di Kabupaten Pandeglang. Amalan Tarekat

Syadziliyah yang diajarkan oleh Abuya Dimyathi di antaranya meliputi

pengamalan lafadz istighfar, shalawat ummi, kalimah tauhid sebanyak 100

12

kali, do’a, dan wasilah atau rabithah. Wirid tarekat Syadziliyah tersebut

diamalkan setiap ba’da shalat subuh dan magrib. Adapun pengaruh

pengamalan tarekat Syadziliyah terhadap kesalehan spiritual santri pesantren

Cidahu di antaranya adalah memberikan dampak positif terhadap peningkatan

ibadah shalat wajib lima waktu dan sunnah, meningkatkan ketaqwaan kepada

Allah SWT. memberikan ketenangan hati dan memberikan pengaruh agar

senantiasa berserah diri kepada Allah SWT baik dalam keadaan sedang

mendapatkan nikmat yang banyak ataupun nikmat yang sedikit.

Selanjutnya buku 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf yang ditulis oleh KH

A. Aziz Masyhuri. Buku tersebut mengulas tentang kemunculan tarekat yang

terus menerus mengalami perkembangan dan penyebarluasan ke berbagai

negeri, sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya aliran-aliran di dalam

tarekat. Dinamika aliran-aliran tarekat itulah yang diamati oleh penulis

sampai ia kemudian mengumpulkan serpihan historiografi, tradisi, ciri khas,

ajaran sampai keistimewaan di dalam tarekat-tarekat.

Buku Ensiklopedi Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, dalam buku tersebut

terdapat berbagai aspek esoteris maupun eksoteris aliran tarekat yang sudah

masyhur, yakni aliran tarekat: Alawiyah, Ahmadiyah Badawiyah, Aidrusiyah,

Christiyah, Dasuqiyah, Ghazaliyah, Haddadiyah, Idrisiyah, Khalwatiyah,

Malamatiyah, Maulawiyah, Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Haqqaniyah,

Qadiriyah, Qadariyah Wa Naqsyabandiyah, Rifa’iyah, Sammaniyah,

Sanusiyah, Suhrawardiyah, Syadziliyah, Syattariyah, sampai Tijaniyah.

13

Dari kajian pra penelitian di atas yang lebih dulu mengkaji dzikir tarekat

Syadziliyah, ada banyak pembahas dzikir dari sudat pandang spritual dan

bersifat sosial kultural. Di sini masih sedikit yang mengkaji dzikir dari

kacamata geografis atau aliran yang dianut oleh satu kelompok tertentu,

kemudian peneliti menitik beratkan pembahasan pada konsep pendekatan diri

kepada Allah dalam tarekat Syadziliyah. Unsur-unsur yang ada di dalam

dzikir semuanya tidak bisa lepas dari suatu keyakinan masyarakat tentang

munculnya kepercayaan yang gaib (magis), sebagai tradisi Islam. Konteksnya

saat ini, dzikir yang ada di Indonesia sudah mengalami perkembangan atau

pandangan-pandangan tersendiri dalam melantunkan dzikir bersama.

E. KERANGKA TEORI

Dalam melakukan penelitian kerangka teori merupakan pisau analisis

masalah guna menguji fakta-fakta yang diperoleh serta menguraikan

persoalan secara utuh untuk menjawab masalah-masalah yang timbul.10 Teori

ini digunakan untuk menganlisis, memahami dan mengkaji persoalan konsep

pendekatan diri kepada Allah dalam tarekat Syadziliyah.

Seiring dengan fokus penelitian yang diuraikan pada latar belakang

masalah yang dispesifikan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini akan

menggunakan beberapa teori sebagai berikut:

Dzikir ditinjau dari segi bahasa (lughatan) adalah mengingat, sedangkan

dzikir secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian

10Kuncoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarkat, (Jakarta: Gramedia PusakaUtama, 2005), hlm. 68

14

kepada Allah.11 Secara etimologi dzikir berasal dari kata “zakara” berarti

menyebut, mensucikan, menggabungkan, menjaga, mengerti, mempelajari,

memberi dan nasehat. Oleh karena itu dzikir berarti mensucikan dan

mengagungkan, juga dapat diartikan menyebut dan mengucapkan nama Allah

atau menjaga dalam ingatan.12 Dzikir merupakan elemen yang sangat esensial

dalam kehidupan penganut tarekat, bahkan seringkali ketenangan dan

kebahagiaan seseorang sangat ditentukan oleh amalan-amalan dzikirnya

dalam setiap waktu. Dzikir sangat erat kaitannya dengan ilmu tasawuf.

Tasawuf adalah tujuan utama untuk menjadi seorang sufi, dengan begitu sufi

menempuh jalan melalui dzikir untuk mencapai taraf yang lebih tinggi.

Artinya kebersatuan antara dirinya dengan Allah yang menciptakan tarekat

atau dzikir adalah salah satu jalan yang dijalani oleh seseorang.

Mengenai kebersatuan antara dirinya dan Allah Ibn Arabi menyebutkan,

bahwa wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah

hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut

khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan

antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang

menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanyalah pada

bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.

Kebersatuan Tuhan dengan dirinya adalah upaya untuk menenangkan,

keberpasrahan ini bisa dilalui dengan dzikir sebagai medianya. Melihat dari

11 Ismail Nawawi, Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilaku Lahir & Batin DalamPerspektif Tasawuf, (Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2008), hlm. 244

12 Hazri Adlany, et al, al-Qur’an Terjemah Indonesia (Jakarta: Sari Agung, 2002), hlm.470

15

perbedaan antara tarekat dan tasawuf, dari penjelasan di atas maka tasawuf

adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan dzikir adalah

cara dan jalan yang ditempuh dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah.

Ibn Arabi adalah seorang tokoh sufi dan filsafat agama yang produktif

yang berhasil merekonstruksikan pendekatan tasawuf dengan filsafat dalam

mengkaji masalah wujud yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan

yang utuh dalam ajaran wahdatul wujud. Ajaran ini cukup menggemparkan

dunia tasawuf sehingga kepadanya diberikan gelar Syekh al Akbar. Uraian

pemikirannya sistematis, luas dan mendalam tentang tasawuf. Di mana hal

tersebut belum didapati pada sufi sebelum bahkan sesudahnya. Ajaran

wahdatul al wujud dalam tasawuf Ibnu Arabi merupakan suatu ajaran yang

melihat masalah wujud dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia sebagai suatu

kesatuan. Namun berada pada dimensinya masing-masing, dan Tuhan

meliputi segala yang ada. Sehingga yang ada bersifat nisbi; merupakan ada

yang diadakan tidak lain dari yang mengadakannya. Sebab apa yang ada

merupakan penampakan bagi diri-Nya, dan segala yang ada bersumber dari-

Nya serta Dia pulalah yang menjadi esensinya. Namun itu tidak berarti yang

diadakan dan yang terbatas menjadi Yang Tak Terbatas. Tidak berarti alam

semesta dan manusia menjelma menjadi Tuhan dan Tuhan menjadi manusia.

Antara Tuhan, alam semesta dan manusia sekalipun dikatakan berbeda dalam

satu keberadaan atau wahdatu al wujud namun alam semesta dan manusia

nisbi dan terbatas. Keberadaannya bergantung pada Yang Tak Terbatas.

16

Sedang Tuhan yang tidak terbatas ada di luar relasi, bukan yang ada dalam

pengertian dan perasaan.

Tuhan adalah independen atau mandiri dari semua makhluk-Nya. Ada-

Nya bukan dari luar diri-Nya dan bukan pula karena selain diri-Nya. Akan

tetapi ada karena diri-Nya dan oleh diri-Nya sendiri. Ia meliputi semua yang

diciptakan-Nya. Hubungan dengan segala yang diciptakan-Nya. Dia

membutuhkan mereka dalam kaitannya dengan keTuhanan-Nya. Sebab tanpa

makhluk ciptaan-Nya Dia tidak dikenal sebagai Tuhan; yaitu objek pujaan

(ilah) sampai maluh (komplemen logis dari ilah) diketahui. Maka Ibnu Arabi

melihat realitas alam dan manusia tidak lain dari itajalli ilahi sekaligus

sebagai cermin untuk melihat diri-Nya yang Maha Sempurna. Demikian pula

sebagai pengenalan akan keberadaan-Nya. Hal yang demikian ini pulalah

yang menjadi tujuan dari penciptaan-Nya.

Sedangkan di dalam al-Quran menurut M. Quraish Shihab mengenai

dzikir, bahwa kata dzikir dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam al-

quran tidak kurang dari 280 kali.13 Dalam teori Shihab berkesimpulan bahwa

kehidupan manusia betapapun mewahnya tidak akan menyenangkan jika

tidak dibarengi dengan ketenteraman hati, sedang ketenteraman hati baru

didapat dan dirasakan bila mansuia yakin dan percaya bahwa ada sumber

yang tidak terkalahkan yang selalu berdampingan dan memenuhi harapan.

13 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Dzikir dan Doa, cet. Ke-1 (Jakarta:Lentera Hati, 2006), hlm. 11

17

Yang berdzikir merenung dan mengingat Allah. Selalu akan merasa ramai

walau sendirian, kaya walau hampa tangan, dan berani walau tanpa kawan.14

Selanjutnya M. Quraish Shihab mengutip pendapat imam Ghozali, beliau

menyebutkan ada empat puluh manfaat, dua puluh di dunia dan dua puluh di

akhirat. Di antara manfaat yang diraih oleh pendzikir di dunia antara lain

adalah dia akan disebut-sebut atau diingat, dipuji dan dicintai. Allah menjadi

wakilnya dalam menangani urusan dan Allah akan menjadi teman

menghiburnya.15

Ibnul Qoyyim al-Jauziyeh menjelaskan bahwa manfaat dzikir salah

satunya adalah dzikir akan menjaga lidah dari perkataan yang dilarang. Dzikir

dapat memalingkan lidah dari menggunjing, mengadu domba, berbohong,

berkata jorok dan kebatilan. Beliau juga menambahkan bahwa tidak ada

sesuatupun jalan selamat pun kecuali dengan dzikir kepada Allah. Realita dan

prakteknya telah membuktikannya, barang siapa lidahnya telah terbiasa dzikir

kepada Allah, maka ia akan terjaga dari perkataan yang batil dan sia-sia. Dan

barang siapa lidahnya kering dari mengingat Allah, maka akan basah dengan

segala kebatilan, perkataan sia-sia dan kejelekan.16

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan instrument paling penting dalam

melakukan penelitian ilmiah untuk mendapatkan data-data tentang objek yang

14 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Dzikir dan Doa, cet. Ke-1, hlm. 12815 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Dzikir dan Doa, cet. Ke-1, hlm. 13216 Ibnul Qoyyim al-Jauziyeh, Fawaidu al-Adzkar (dzikir cahaya kehidupan), Cet. Ke-1

(Jakarta: Gema Insani Press,2002), hlm. 50

18

diteliti, sekaligus sebagai penunjang untuk memperoleh data-data yang

konkrit sehingga sebuah penelitian dapat dipertanggung jawabkan

keilmiahannya. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kajian pustaka (library research), yaitu

sebuah penelitian yang bersumber pada data-data dokumentasi, informasi

dari berbagai materi dan literatur, baik berupa buku, surat kabar, majalah,

ensiklopedi, catatan, serta karya- karya ilmiah yang berupa makalah atau

artikel-artikel yang relevan dengan obyek penelitian.17

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini mengunakan pendekatan filosofi dengan

memposisikan dzikir sebagai faktor determinan terhadap terbentuknya

ketenangan dan kepasrahan atas sang khalik, yang menjadi pemicu

lahirnya tarekat. Akan tetapi, peran filsafat di sini memposisikan diri

bukan hanya kepada tasawuf ibn Arabi dalam tarekat Syadziliyah yang

dikaji, melainkan memposisikan tasawuf dengan nilai-nilai yang dimiliki

sebagai faktor penting terciptanya tarekat syadziliyah. Pendekatan ini

sangat sesuai dengan penelitian tarekat sebagai aliran tasawuf yang

17 Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2004), hlm. 89. Lihat juga Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan(Bandung: PT Rosda Karya, 2008), hlm, 10

19

memiliki kandungan ketenangan, kepasrahan, dan ketotalitasan kepada

sang khalik sebagai hasil dari tradisi Islam yang tetap dijaga

keberadaanya. Selain itu pendekatan filsafat Islam sesuai untuk melihat

unsur intrinsik agama, yaitu bagaimana tarekat terlibat dalam perubahan

sosio-kultur yang ada saat ini.

3. Sumber Data

Sumber data merupakan data yang diperoleh dari buku yang

terkait dengan konsep pendekatan diri kepada Allah dalam tarekat

Syadziliyah. Berhubung jenis penelitian ini adalah kajian pustaka

(library research), maka sumber data utama (primary research) dalam

penelitian ini adalah karya-karya Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh baik

dalam bentuk buku, kuliah di Internet, atau jurnal khususnya yang

membahas tentang tarekat Syadziliyah. Sementara sumber sekunder

(secodary research) dalam penelitian ini adalah karya-karya orang lain

yang relevan dengan tema penelitian ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data digunakan untuk menemukan arti

penting dalam sebuah fenomena keagamaan dalam bentuk fakta,

realitas kejadian, gejala ataupun masalah dapat tercapai dengan baik.18

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

18J.R. Raco.Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karekteristik dan Keunggulannya,(Jakarta: Grasindo, 2010), hlm 172

20

adalah bersumber pada buku- buku, majalah, artikel, surat kabar, jurnal

serta catatan-catatan lainnya yang terkait dengan masalah yang di bahas

dalam penelitian ini.

5. Metode Analisis Data

Setelah melakukan pengumpulan data tahap selanjutnya adalah

menganalisis dan mengolah data. Hal ini dianggap penting karena data yang

diperoleh melalui buku-buku, majalah, artikel, surat kabar, jurnal serta

catatan-catatan lainnya yang terkait dengan masalah yang di bahas

merupakan data yang belum dikelola bersifat mentah dan belum layak untuk

disajikan. Sehingga perlu adanya pengelolahan data. Pengolahan atau

analisis terhadap data mentah membuat data memiliki makna dan dapat

memecahkan masalah penelitian.19

Metode diskriptif merupakan metode yang sesuai untuk menganalisis

penelitan ini. Metode diskriptif merupakan suatu analisis yang digunakan

untuk memahami fokus kajian yang sangat kompleks dengan melakukan

pemisahan melalui pengumpulan data. Pemisahan data bertujuan untuk

memudahkan peneliti dalam menganalisis data.20 Berikut analisis data yang

akan dilakukan: proses analisis data dimulai dengan menelaah data yang

diperoleh dari berbagai sumber.21 Selanjutnnya menyusun data dalam satuan

kategori data sesuai dengan tipe data kemudian melakukan reduksi data

19 M. Junaidi Ghony dan Fuzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 245

20Moh, Soehada, Metode Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), (Yogyakarta: BidangAkademik, 2008), hlm. 115

21M. Junaidi Ghony dan Fuzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, hlm. 246

21

secara keseluruhan dari data yang telah diperoleh. Setelah itu tahap analisis

dengan menggunakan teori filsafat Islam sebagai pisau analisis dalam

penelitian ini. Dalam penyajiannya penelitian menyajikan dalam bentuk

tulisan dengan menerangkan dengan apa adanya seperti yang diperoleh dari

penelitian dan mencoba disajikan dalam bentuk yang sistematis sehingga

mudah untuk dipahami oleh pembaca.

Agar hasil analisis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah,

maka penulis menggunakan teknik analisa dengan prosedur sebagai berikut:

Pertama, penulis akan membaca dan menelaah secara seksama

karya- karya Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh terkhusus yang berkaitan

dengan gagasan tarekat Syadziliyah yang diusungnya. Kedua, penulis akan

memisahkan bahasan kedalam beberapa bagian dari keseluruhan fokus yang

dikaji. Ketiga, penulis akan melakukan analisis terhadap data tersebut secara

rinci. Keempat, pengajuan dalam bentuk laporan atau hasil yang diperoleh

dari hasil penelitian tersebut secara deskriptif.

G. SITEMATIKA PEMBAHASAN

Sistematika pembahasan dilakukan guna untuk mengarahkan

pembahasan-pembahasan dalam penulisan penelitian ini serta untuk

mempermudah dan memahami pembahasan isi hasil penelitian. Dalam

penyusunan penelitian ini peneliti membagi pembahasan dalam lima bab dan

beberapa sub bab untuk memperoleh gambaran yang sistematis. Adapun

22

sistematika pembahasan dalam bentuk bab dan sub bab adalah sebagai

berikut:

Bab pertama merupakan bab penting yang merupakan akar dari

penelitian yang berisi pendahuluan sebagai pengantar dalam proses penelitian

secara keseluruhan. Adapun sub bab dari penelitian ini terdiri dari latar

belakang masalah yang menguraikan masalah yang akan diteliti. Selanjutnya

rumusan masalah yaitu pertanyaan tentang masalah yang akan dipecahkan

oleh peneliti. Setelah itu diikuti dengan tujuan dan manfaat dari penelitian

yang menguraikan untuk apa dan manfaat apa yang diperoleh. Dilanjutkan

dengan sub bab tinjauan pustaka, yang berisi tentang berbagai tinjauan tulisan

yang memiliki kaitan yang hampir sama yang dilakukan sebelum penelitian,

untuk menjelaskan bahwasanya penelitian ini layak untuk diteliti dan belum

pernah dibahas sebelumnya. Sub bab selanjutnya kerangka teori, berisi

tentang teori yang digunakan untuk menganalisis masalah. Dilanjutkan

dengan metode penelitian, yang berisi langkah-langkah sekaligus pautan

dalam penelitian. Terakhir sub bab sistematika pembahasan, sub bab ini untuk

mempermudah dalam melakukan penelitian.

Bab kedua berisi gambaran umum tentang subjek penelitian. Sub bab

pertama merupakan gambaran umum dari letak geografis, sejarah dzikir

Tarekat Syadziliyah dari pendiri sampai ke Pondok Pesantren el-Istighosah

Bekasi, serta peran dan dzikirnya. Sub bab kedua berisi gambaran kondisi

giografis, kultur dan agama serta apa dan bagaimana Tarekat Syadziliyah

yang komposisinya dzikir sebagai kerja dari tasawuf untuk lebih

23

mendekatkan diri kepada Allah dan berharap mendapapatkan ridho-Nya.

Kemudian sub bab selanjutnya, penulis menyusun ajaran dan amalan tarekat

syadziliyah. Sedangkan yang terakhir pada bab ini adalah dzikir daalm tareka

syadziliyah sebagai media spiritual untuk ketenangan jiwa. Kedua sub bab di

atas merupakan pengantar awal dan identifikasi masalah dalam menuju

pembahasan tentang dzikir.

Bab ketiga, bab ke tiga berisi tentang konsep Qodariah dan naqsabandiah

dalam pendekatan diri kepada Allah, adalah rincian dari tarekat yang

berkembang di Indonesia. Dengan rincian pada sub pertama mengenai

sejarah, tokoh dan ajaran qodariah. Kemudian sub selanjutnya di

naqsabandiah yang menjelaskan mengenai sejarah, tokoh dan ajarannya.

Bab keempat berisi tentang konsep pendekatan diri kepada Allah dalam

Tarekat Syadziliyah. Secara rinci akan menjabarkan sub bab tentang metode

pendekatan diri kepada Allah, dzikir yang berisi tentang unsur-unsur yang

terkandung dalam tarekat Syadziliyah. Sub bab selanjutnya unsur kepasrahan

dan mengamini keagungan Allah dalam dzikir, yang bisa diperinci dengan

dzikir adalah tarekat yang mampu untuk menenangkan jiwa seseorang yang

mengamalkan; tradisi tasawuf yang sudah sejak lama dilestarikan sampai

sekarang; dan unsur-unsur yang membuat seseorang memasrahkan dirinya

kepada Allah. Selanjutnya peneliti mendukung dengan argumen mengenai

dzikir dalam mengkontruksi identitas dirinya dengan Tuhan, kebersatuan dan

ketenangan. Bab ini menjelaskan bagaimana dzikir menjadi salah satu jalan

yang paling mudah dilakukan oleh manusia untuk mengangumi keesaan

24

Allah. Dilanjutkan dengan sub bab nilai moral, dan makna dzikir dalam

tradisi Islam. dan sub bab terakhir dzikir sebagai pemersatu antara dirinya

dengan sang khalik.

Bab kelima merupakan bagian akhir yang berisi tentang kesimpulan dari

rumusan masalah dan saran untuk para peneliti yang akan membahas tentang

masalah yang berkaitan dengan penelitian ini.

25

BAB IISEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT SYADZILIYAH

A. Sejarah dan Kedudukan Tarekat

1. Sejarah Tarekat Syadziliyah

Tarekat Syadziliyah ini didirikan oleh Abu Hasan al Syadzili dan

dipergunakan untuk nama tarekatnya sendiri, yakni menjadi tarekat

Syadziliyah. Nama lengkap Syadzili adalah Ali bin Abdullah bin Abd Al

Jabbar Abu al Hasan al Syadzili, yang silsilah nama keluarganya berasal dari

keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib atau dengan kata lain adalah

keturunan Siti Fatimah anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Ia sendiri

pernah menuliskan garis keturunannya menjadi Ali bin Abdullah bin Abd

Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.1

Beliau lahir di desa Amman, Afrika sekitar tahun 573 Hijriyah, di masa

mudanya ia sempat pergi ke Tunisia untuk belajar di sana dan sempat pergi ke

Mekkah untuk menunaikan haji beberapa kali. Di sana ia bertemu dengan

Syekh Abdul Qadir Al Jilani. Setelah itu ia bertolak ke Iran dan bertemu

dengan Abu Fatah al-Wasithi, seseorang yang pertama kali berteman dengan

as-Syadzili. Syadzili adalah murid dari Abd al Salam Ibn Masyisy. Sejak

kecil ia telah menunjukkan sifat-sifat saleh dan sufi. Ia memakai khirqah yang

dianugerahkan dari dua gurunya yang terbesar, yakni Abu Abdullah bin

1 Moh. Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya dari Abu Hafsh,Siraj al Din, Thaqahat al Auliya”, dalam Sri Mulyati et.al, Mengenal dan Memahai Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 57

26

Harazim dan Abdullah Abdussalam ibn Masjisy. Kedua guru tersebut

penganut dari khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ali Bin Thalib.2

Abu Hasan al-Syadzili merupakan salah seorang sufi yang luar biasa,

seorang tokoh sufi terbesar, yang dipuja dan dipuji di antaranya oleh wali-

wali kebatinan dalam kitab-kitabnya, baik karena kepribadiannya maupun

dalam fikiran dan ajaran-ajaranya. Hampir tak ada kitab tasawuf yang tidak

menyebutkan namanya dan mempergunakan ucapan-ucapan yang penuh

dengan rahasia dan hikmah untuk menguatkan suatu uraian atau

pendiriannya.3

Syadzili ini juga membaca beberapa kitab di antaranya Ihya Ulumuddin-

nya Al Ghazali, Qut al Qulub Abu Thali, dan al Mawafiq wa al Mukhatabah

Muhammad Abd al abbar, kemudian ia tularkan ilmu tersebut kepada

muridnya. Dikatakan jika Syadzili menghafalkan Al-quran dan Hadis serta

pernah mempelajari ilmu-ilmu agama secara otodidak, dikatakan juga bahwa

Syadzili menjadi pejuang pembela tanah airnya, yakni keikutsertaannya

dalam pertempuran Mansyurah membela dari serangan Prancis.

Hingga pada tahun 646 H ia mengalami kebutaan, namun di tengah

keterbatasannya itu ia masih mampu mengajarkan ajarannya itu pada para

muridnya, beberapa di antara muridnya, yakni Izzal Din Abd al Salam ibn al

Hajib dan meninggal pada 656 H atau 1258 M di Humaithra ketika dalam

perjalanan pulang dari ibadah haji. Sebelum meninggal ia memiliki firasat

2Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), Cet.III, (Solo: CV.Ramadani, 1985), hlm. 306

3Aboebakar Atjeh, Tarekat dalam Tasawwuf, Cet.VI, (Kelantan: Pustaka Aman Press,1993), hlm. 40

27

yang mana pada ibadah haji terakhirnya ia memerintahkan kepada

khadamnya untuk membawa bakul kecil yang dibuat dari daun kurma,

kemudian ketika sampai di Hamistra ia mandi dan sholat dua rakaat. Di saat

dalam sujudnya yang terakhir itulah Syadzili meninggal dunia.

Dijelaskan oleh Aboebakar Atjeh bahwa tarekat Syadziliyah ini

merupakan tarekat yang silsilahnya sambung sampai kepada Hasan bin Ali,

melalui Ali bin Abi Thalib dan sampai pada Nabi Muhammad SAW, dapat

dikatakan bahwa tarekat ini merupakan tarekat termudah mengenai ilmu dan

amal, ihwal dan maqam, ilham dan maqal, dapat menghantarkan penganutnya

kepada jazab, mujahadah, hidayah, asrar dan keramat.

Dijelaskan oleh kitab-kitbnya tarekat Syadziliyah bahwa tarekat ini tidak

memberi syarat yang sulit pada syaikh tarekat, hanya saja seorang syaikh

tersebut harus meninggalkan segala maksiat, memelihara ibadah yang

diwajibkan, melakukan ibadah-ibadah sunnah semampunya, dzikir kepada

Allah sebanyak 1000x atau lebih sehari semalam, istighfar 100x, shalawat

kepada Nabi 100x atau lebih sehari semalam, serta dzikir yang lain.4

2. Perkembangan Tarekat Syadziliyah

Victor Danner mengatakan bahwa perkembangan tarekat ini bermula di

kota Tunisia yang pada saat itu ada di bawah pimpinan dinasti Hafsiyah

dengan rajanya Zakariya, lalu disebarkan ke daerah timur yaitu di kota Mesir

di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk dan berkembang di sana. Pada abad 10

4 Aboebakar Atjeh Pengantar Ilmu, hlm. 308

28

H atau 16 M, banyak tokoh Maghribi yang mulai bergabung dengan tarekat

ini seperti, Ali al Sanhaji dan muridnya Abd al Rahman al Majdhub. Ada juga

sejumlah intelek dan ulama terkenal seperti Jalal al Din al Syuyuti.

Setelah meninggalnya al Syadzili, kepemimpinan diambil alih oleh

muridnya Abu Abbas Al Mursi. Kepemimpinan diambil oleh al Mursi karena

merupakan wasiat dari sang guru. Al Mursyi mempunyai nama lengkap

Ahmad ibn Umar bin Ali al Ansari al Mursi, lahir di Murcia, Spanyol pada

616 H atau pada tahun 1219 M dan meninggal pada tahun 686 H atau 1287 M

di Alexandria. Bukan hanya ilmu yang telah diwarisinya dari al Syadzili

namun juga perilaku yang suka menolong tanpa pandang status atau derajat

manusia juga telah melekat pada dirinya.

Sedikit berbeda dengan gurunya yang menerima untuk berhubungan

dengan para pejabat dengan maksud tertentu, namun al Mursi tidak demikian.

Ia menolak keterlibatan dirinya dengan para pejabat tinggi dan menolak

apapun yang ditawarkan kepadanya. Al Mursi mempunyai beberapa murid, di

antaranya adalah seorang penyair dari Berber yang bernama al Busyiri,

syairnya yang terkenal adalah al Burdah (syair jubah). Muridnya yang lain

yaitu Hamziyyah dan syaikh Najm al Din al Isfahani yang berasal dari Persia.

Syaikh Najm al Din al Isfahani ini menetap lama di Makkah untuk

menyebarkan tarekat Syadziliyah kepada para haji. Syaikh Najm al Din al

Isfahani juga mempunyai murid yang bernama al Yafi’i.

Al Yafi’i adalah seorang tokoh tarekat Syadziliyah yang berhasil

mengadakan hubungan antara terakat Syadziliyah dengan tarekat Ni’matullah

29

yang beraliran syi’ah. Murid al Mursi yang lain adalah syaikh Ibn Athaillah al

Sakandari. Ibn Athaillah merupakan guru ketiga pada silsilah tarekat ini. Di

sinilah ajaran-ajaran, pesan, doa dan berbagai aturan dalam tarekat

Syadziliyah untuk yang pertama kalinya ditulis oleh Ibn Athaillah.

Di antara karya-karya Ibn Athaillah adalah sebagai berikut: Kitab Al

Hikam, sebuah rangkuman yang berisi tentang jalan sufi dalam elemennya

yang abadi; Al Tanwir fi Isqath al Tabdir, berisi tentang penjelasan sebuah

kesalahan yang dapat ditemukan dalam sebuah tindakan pilihan bebas yang

egosentris; Lathaif al Minan, berisi tentang biografi dua guru pertama dalam

tarekat Syadziliyah; al Qasd al Mujarrad fi Ma’rifat al Ism al Mufrad, berisi

tentang diskusi metafisikal dan spiritual yang amat baik dan nama-nama

Allah dan nama-nama lain; Miftah al Falah wa Misbah al Arwah, sebuah

kompendium tentang dzikir dalam pengertian luas, dan masih banyak lagi

karya-karya lainnya. Semua karya-karya yang ditulisnya adalah sebuah karya

yang berisi tentang ajaran-ajaran yang diperoleh dari gurunya al Mursi.5

Namun pada hakikatnya seluruh karya yang ditulisnya merupakan ajaran

syaikh al Syadzili.

Dalam tasawuf tidak serta merta hanya menekankan ajaran tasawufnya,

namun juga harus berpegang pada syari’at Islam. Begitupun dalam tarekat

Syadziliyah ini, selain menekankan pada ajaran dan praktik tasawufnya juga

menekankan aqidah dan hukum Islam. Al Syadzili sebagai pendiri tarekat ini

sangat menganjurkan para pengikutnya untuk matang dalam pengetahuan

5 Ardani, “Tarekat Syadziliyah”, dalam Sri Mulyati et.al, Mengenal, hlm. 66-70

30

agamanya. Tasawuf tarekat ini bermazhab sunni, sedangkan dalam hal ilmu

kalam bermazhab Asy’ari yang sudah banyak dipengaruhi oleh imam Al

Ghozali. Meskipun anggota tarekat Syadziliyah menganut dogma Asy’ariyah,

lantas tidak membawa ke-tasawufannya dalam dogma-dogma Asy’ariyah.

Dalam hal fiqh atau hukum Islam tarekat Syaziliyah bermazhab Malikiyah

karena daerah Maghribi banyak dipengaruhi oleh mazhab Malikiyah, juga

pada penyebarannya di Alexandria, Mesir yang juga mayoritas bermazhab

Malikiyah.

Dalam penyebarannya, menurut Annemarie Schimmel, tarekat

Syadziliyah memakai perndekatan secara pragmatis yang bertujuan untuk

kenyamanan duniawi. Seorang sufi tidak harus miskin harta, menjauhi

keramaian, tidak bersosialisasi atau hal keduniawian lainnya, namun

seharusnya dengan dunia tersebut dapat menjadikan kencintaan kepada Allah

SWT, dengan mengamalkan ajaran tarekat ini pada masyarakat di tengah

kesibukannya.6 Ia juga menjelaskan tarekat ini dalam buku Perngantar

Sejarah Sufi dan Tasawuf Aboebakar Atjeh tentang kemudahan ajaran dalam

tarekat Syadziliyah ini, seperti melakukan ibadah sunnah semampunya, dzikir

sebanyak 1000 kali sehari semalam, membaca istighfar dan sholawat Nabi.7

masing-masing dibaca sebanyak 100 kali setelah melaksanakan shalat

maghrib dan subuh. Jika tidak bisa dilakukan sesuai ketentuan maka bisa

diganti pada waktu lain atau bisa dilakukan sambil mengerjakan kegiatan

6 Annemarrie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, (Pustaka Firdaus, Jakarta 2009),hlm. 128

7 Sa’adatul Jannah, Tarekat Syadziliyah dan Hizbnya, (Skripsi UIN Syarif HidayatullahJakarta, 2011), hlm. 36-37

31

lainnya, seperti berjalan atau bekerja. Sehingga dengan kesederhanaanya ini

dapat menarik banyak pengikut dari berbagai kalangan dan berkembang

secara luas hingga sat ini.

Selanjutnya pada abad ke-8 H mulai ada kemunculan cabang-cabang

pada tarekat ini. Banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya cabang-

cabang pada tarekat Syadziliyah, salah satunya adalah tuntutan lingkungan

sosial. Victor Danner mengutarakan beberapa faktor tersebut. Seperti tarekat

Jazuliyyah yang didirikan oleh al Jazuli, ia merupakan seorang imam yang

terkenal dan wali dari Marrakesh. Muncul dengan ajarannya yang

mengedepankan ketaatan yang kuat pada Nabi. Ajaran ini dimunculkan

dengan tujuan membangkitkan kembali rasa spiritual di Marrakesh. Pada saat

itu Marrakesh sangat membutuhkan sosok spiritual yang dapat

membangkitkan semangat spiritual pada diri juga sebagai tauladan mereka.

Menurut Al Jazuli sosok tersebut adalah Nabi SAW. Kemudian cabang

lainnya adalah tarekat Zaruqqiyah didirikan oleh syaikh Ahmad Zarruq.

Tarekat ini lebih menekankan pada syariat sebagai syarat utama yang wajib

ditempuh oleh murid untuk mencapai tingkat makrifat. Ahmad Zarruq

sangatlah berhati-hati dalam menjalankan syari’at.

Selain dua cabang di atas ada beberapa cabang lagi dalam tarekat

Syazdiliyah, seperti Hanafiyyah, Nashiriyah, Isawiyyah, Tihamiyyah,

Darqawiyyah dan lain sebagainya.8 Seperti yang dijelaskan di atas bahwa

berdirinya tarekat-tarekat di atas dilatarbelakangi oleh kondisi lingkungannya

8 Ardani, “Tarekat Syadziliyah”, dalam Sri Mulyati et.al, Mengenal, hlm. 71-72

32

yang pada saat itu mengalami krisis ekonomi dan politik. Karena tujuan

berdirinya tarekat ini adalah untuk memajukan ilmu pengetahuan, peradaban,

dan perekonomian wilayah tersebut, maka tarekat ini sangat mudah diterima

oleh masyarakatnya.

Setelah ajaran ini diteruskan oleh Abu Abbas Al Mursi, kemudian

diteruskan lagi oleh Ibn Atho‘illah al Sakandari, kemudian Ibn Abbas al

Ronda lalu pada abad ke 9 H, dilanjutkan oleh Sayid Abi Abdullah

Muhammad ibn Sulaiman al Jazuli. Mereka dipandang sebagai pemimpin-

pemimpin tarekat Syadziliyah yang sangat berpengaruh dalam penyebarannya

di beberapa wilayah seperti, Tunisia, Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Syiria,

dan Indonesia khususnya di pulau Jawa.9

3. Tarekat Syadziliyah di Indonesia

Dalam beberapa buku sejarah dituliskan sejarah Islam Indonesia pada

abad ke-17 yang menceritakan tentang salah satu Wali Sanga yaitu Sunan

Gunung Jati yang pergi ke Makkah untuk berguru kepada Najmuddin al

Kubra dan selanjutnya berguru kepada Ibn Athaillah al Iskandari al Syadzili

di Madinah dan dibaiat langsung oleh Ibn Athaillah menjadi penganut tarekat

Syadziliyah, Sattariyah, dan Naqsabandiyah.10

9 Ardani, “Tarekat Syadziliyah”, dalam Sri Mulyati et.al, Mengenal, hlm. 72-7610 Dalam buku Sejarah Banten Rante-Rante (SBR) dan Hikayat Hasanuddin, terj bahasa

Melayu yang disusun pada abad ke-17 M atau awal abad 18 M yang berisi sejumlah cerita yangberbeda-beda, salah satunya menceritakan tentang Sunan Gunung Jati yang dikatakan belajarberbagai ilmu di Makkah. Buku ini diterjemahkan oleh Edel: Brandes/Rinkes. Martin VanBruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Isam di Indonesia, (Bandung:Mizan, 1999) cet III, hlm. 223-224

33

Dalam sumber yang lain menyatakan bahwa tarekat Syattariyah dan

Naqsabandiyah telah tersebar selama abad ke-17 melalui Madinah, dan

memungkinkan jika tarekat Syadziliah juga menyebar pada masa yang sama.

Ibn Athaillah pada saat abad ke-13 menjadi orang terkemuka di Mesir bukan

di kota Madinah pada abad ke-16.11 Sedikit rancu jika dikatakan Sunan

Gunung Jati telah bertemu langsung dengan kedua Syaikh tersebut. Karena

dikatakan bahwa kedua Syaikh tersebut telah berbeda abad dengan abad

Sunan Gunung Jati. Di sisi lain telah dikatakan dalam Serat Banten Rante-

Rante, bahwa Kesultanan Cirebon yang dipercaya membawa tariqah

Kubrawiyah dan Syadiliyah ke tanah Jawa pada abad ke 16 dan 17.

Dengan masuknya tarekat Syadziliyah ke Indonesia maka terjadi pula

penyesuaian mazhab yang dianut oleh orang Indonesia dengan tarekat

Syadziyah yang berasal dari Maghribi. Seperti yang kita tahu bahwa tarekat

Syadzilyah awalnya banyak yang bermazhab Malikiyah sebelum masuk ke

Indonesia, namun setelah masuk ke Indonesia tarekat ini menyesuaikan

dengan aspek-aspek yang dianut di Indonesia, yaitu menjadi tarekat

Syadziliyah yang bermazhab Syafi’iyah. Dalam pembahasan tipologi mazhab

fikih penganut tarekat dalam ringkasan desertasi milik Zaenu Zuhdi

dijelaskan bahwa ada beberapa tarekat di Jombang yang umumnya dalam

melaksanakan ibadah yang diperintah langsung oleh Allah masih didominai

oleh mazhab Syafi‟i. Namun dalam kasus-kasus tertentu seorang penganut

tarekat akan lebih mengikuti pendapat mursyidnya sekalipun pendapat

11 Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 224

34

tersebut dapat dikatakan diluar dari mazhab Syafi’i. Juga terdapat beberapa

penganut yang mengikuti mazhab selain dari mazhab Syafi’i seperti tiga

mazhab Sunni lainnya yaitu mazhab Maliki, Hambali dan Hanafi. Seorang

pelaku tarekat yang mengambil beberapa pendapat seperti penjelasan di atas

diistilahkan sebagai elektisme bermazhab.12

Beberapa tarekat Syadziliyah yang berkembang di Pondok Pesantren di

Jawa juga mengalami perkembangan yang cukup pesat, di antara seperti

tarekat Syadziliyah yang berada di Kabupaten Bekasi yang mengalami

perkembangan yang sangat pesat sejak periode KH. Mahfudz Syafi’I hingga

sekarang. Konsep yang mudah dipahami dan sesuai dengan keadaan dan

kebutuhan dapat menjadi ketertarikan tersendiri bagi para pengikutnya.

Kemudian tarekat Syadziliyah yang ada di Pondok Pesantren PETA

Tulungagung dalam perkembagan dan ajarannya mendapat respon yang yang

baik dari masyarakat dan dapat diperkirakan pengikutnya mencapai 50.000

orang. Tarekat Syadziliyah di Pondok Pesantren PETA Tulungagung ini

berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan yang dibawa oleh Syaikh

Abdul Razzaq ibn al Termasi. Setelah itu muncullah beberapa tarekat

Syadziliyah di Jombang. Ada beberapa ajaran tarekat yang harus diamalkan

12 Elektisme bermadzhab penganut tarekat terjadi ketika para mursyid tarekat memberikanfatwa yang berlainan dengan pendapat madhab Syafi’i dan seorang penganut tarekat lebih memilihmengikuti fatwa dari mursyidnya, atau seorang penganut tarekat lebih memilih mengikutipendapat dari tiga madhab. Namun jika seorang mursyid tidak mengeluarkan fatwa maka seorangpenganut tarekat akan tetap berafiliasi pada madhab Syafi’i. Penjelasan dalam Zaenu Zuhdi,“Ibadah Penganut Tarekat (Studi tentang Afiliasi Madzhab Fikih Tarekat Qadiriyah waNaqsabandiyah, Shiddiqiyyah, dan Syadziliyah di Jombang)”, (Disertasi IAIN Sunan Ampel,2013), hlm. 61

35

seperti istighfar, shalawat Nabi, wasilah atau tawassul, rabithah, wirid, hizb

adab murid dan suluk.13

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zaenu Zuhdi tarekat Syadziliyah

yang ada di Jombang memiliki dua kelompok dengan silsilah yang berbeda.

Kelompok pertama berada di desa Tambakberas yang dipimpin oleh KH.

Jamaludin dengan jalur silsilah dari KH. Abdul Jalil Tulungagung (Pondok

Pesantren PETA) yang sampai pada Ahmad Nahrawi al Makki. Kelompok

lainnya berada di desa Bulurejo Kecamatan Diwek yang dipimpin oleh KH.

Muhammad Qoyim dengan jalur silsilah dari KH. Mas’ud Thoha Magelang

yang sampai pada Ahamad Nahrawi al-Makki.

Masyarakat islam memiliki warisan kultur dari ulama sebelumnya yang

dapat digunakan sebagai pegangan, yakni doktrin tasawuf, yang merupakan

aspek kultural yang ikut membidani lahirnya tarekat-tareka pada masa itu.

Dan yang paling utama adalah kepedulian ulama sufi. Kelompok-kelompok

sufi tersebut memberikan pengayoman masyarakat islam yang sedang

mengalami krisis moral yang hebat. Dengan dibukanya ajaran-ajaran tasawuf

kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang

bersifat massal. Dengan begitu masyarakat menyambutnya dengan antusias

dan dengan bersama-sama masyarakat menghadiri majelis-majelis taklim para

sufi, yang lama kelamaan berkembnag menjadi suatu kelompok tersendiri

(esklusif) yang disebut dengan istilah tarekat. Di antara sufi yang

13 Muhammad Juni, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah diKabupaten Bekasi”, (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hlm. 33

36

memberikan pengayoman kepada masyarakat umum untuk mengamalkan

tasawuf kecara praktis (tasawuf amali) adalah Abu Muhammad al Ghazali.14

Tarekat-tarekat yang berkembang di Kabupaten Bekasi antara lain adalah

tarekat Syadziliyah, Qodariah, Naqsabandiyah, Satoriyah, Rifaiyah, Tijaniyah

dan Salmaniyah. Sejak tahun 2005 di Kabupaten Bekasi ada jamiah ahli

thoriqoh Muktabarah Indonesia yang ketua umumnya adalah KH. Maktub

Efendi, maka di Bekasi dijadikan sebagai pusat Jamiah se-Jawa Barat.

Sementara untuk ketua umumnya, khusus daerah di Bekasi adalah KH. Munir

Abbas Bukhori. Peresmian jamiah ahli tarekat Muktabaroh Indonesia pada

tanggal 27 Mei 2005 atau 18 Rabius Tsani 1425 H yang bertempat di masjid

Rahmatullilalamin Ma’had Azzaitun Andramayu Jawa Barat.

Tarekat-tarekat yang berkembang di Bekasi ada dua tarekat yang lebih

dikenal oleh khalayak umum dan lebih unggul dari pada tarekat-tarekat yang

lainnya, yakni tarekat Syadziliyah dan tarekat Qodariah. Adapun tarekat

Syadziliyah yang berkembang di Bekasi yaitu tarekat yang datang dari

daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Tulungagung Jawa Timur yang

dikembangkan oleh KH. Mahfudz Syafi’i dan Watucongol Magelang yang

dikembangkan oleh Kyai Dalhar. Di sini pelopornya Bambang Irawan.

14Abu hamid Muhammad al-Gazali, Ihya Ulum al Din, Jilid III (kairo Mustofa al-Bab al-Halabi, 1333 H), hlm. 16-20

37

B. Kondisi Sosio-Kultur dan Keagamaan

1. Kondisi Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama

Berdasarkan peraturan menteri dalam negeri nomor 13 tahun 2016, maka

kebijakan kabupaten Bekasi lima tahun ke depan dikelompokkan menjadi tiga

kelompok arahan kebijakan, yakni arah kebijakan umum yang berkaitan

dengan peran setiap SKPD dalam melaksanakan program pembangunan, arah

kebijakan umum yang berkaitan dengan urusan pilihan. Dari arah kebijakan

peran semua SKPD, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas supporting

system pelayanan publik yang prima.

Adapun aku wajib, meliputi urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan

umum, perumahan, tata ruang, perencanaan bangunan, urusan perhubungan,

lingkungan hidup, urusan pertanahan, kependudukan dan catatan sipil,

pemberdayaan perempuan, urusan keluarga berencana dan keluarga sejahtera.

Juga urusan sosial, ketatanegaran, urusan operasi usaha kecil dan menegah,

urusan penanaman modal, urusan kebudayaan, pemuda olah raga, kesatuan

bangsa dan politik dalam negeri, urusan pemerintahan umum, urusan

kepegawaian, pemberdayaan masyarakat dan desa, urusan statistik, kearsipan,

komunikasi dan informasi, dan aku pilihan meliputiurusan pertanian,

kehutanan, energi sumber daya dan mineral, urusan pariwisata, kelautan dan

perikanan, urusan perdaganngan dan urusan perindustrian.15

15 Hubungan Masyarakat SETDA Kab. Bekasi: Bekasi Membangun, (Bandung: BPSJawa Barat, Edisi I, 2007), hlm. 52

38

Di samping itu juga, Kabupaten Bekasi mempunyai corak budaya yang

unik, yakni budaya yang berasal dari beberapa daerah. Potensi-potensi inilah

yang harus kita kembangkan baik secara nasional maupun dalam lingkup

kedaerahan. Dengan budaya dan seni, kita bisa menjunjung jati diri sehingga

keberadaan seni dan budaya dapat memberikan sumbangan terhadap

kehidupan bangsa bagi peyegaran rohani dan jasmani. Selayaknya masyarakat

mampu dan menyadari bahwa pembangunan di Kabupaten Bekasi dalam

skala besar belum mampu dibiyai dari dana anggaran pendanaan belanja

daerah, karena memerlukan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu

diharapkan kepada para investor dapat memanfaatkan potensi semua

kebudayaan yang ada di kabupaten Bekasi untuk dikembangkan, sehingga

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Sejalan dengan upaya pengembangan

kesenian di kabupaten Bekasi, juga diharapkan kesenian tradisional yang

dapat dikembangkan dan dilestarikan sebagi salah satu upaya pelestarian seni

budaya yang ada di kabupaten Bekasi.16

Upaya pembentukan Kabupaten Bekasi dimulai ketika rakyat Bekasi

berupaya menentang keberadaan Negara Indonesia Serikat (RIS). Rakyat

Bekasi menuntut berdirinya kembali negara kesatuan RI dan menentang

keberadaan Pasundan.17 Dalam upaya ini para pemimpin rakyat salah satunya

K.H Noer Alie berperan dalam perubahan nama Kabupaten Jatinegara

menjadi Kabupaten Bekasi, dan ada beberapa tokoh lainnya yang berperan

16Kab. Bekasi Pemda, 1973, Mengenal Bekasi, (Bekasi : Pemda Kab. Bekasi, 2007), hlm.102

17Andi Sopandi, Sejarah dan Budaya Kota Bekasi; Sebuah Catatan PerkembanganSejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi, hlm. 89

39

diantaranya R. Supardi, M. Hasibuan, Namin, Aminudin, dan Marzuki

Urmaini, membentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi” pada awal tahun 1950.

Pembentukan ini mulai terjadi pada Tanggal 17 Januari 1950, di mana para

Panitia Amanat Rakyat Bekasi mengadakan Rapat Raksasa di Alun-alun

Bekasi yang dihadiri oleh ribuan rakyat.

Setelah adanya pengajuan untuk pembentukan Kabupaten Bekasi yang

semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.14 Tahun 1950

yang ditetapkan tanggal 8 Agustus 1950 tentang pembentukan kabupaten-

kabupaten di lingkungan propinsi Jawa Barat serta dengan memperhatikan

perarturan pemerintah No.32 Tahun 1950 tentang berlakunya Undang-undang

tersebut, maka Kabupaten Bekasi dibentuk secara resmi realisasi perantiannya

tanggal 15 Agustus 1950 dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri,

sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1948.18 Pengertian dan realisasi

pembangunan pada masa RIS dapat dikatakan tidak berjalan. Hal ini

diakibatkan disamping karena tidak adanya dana untuk membangun, juga

situasi keamanan yang tidak menentu.19

Sejak adanya pemilihan umum tahun 1955 yang diharapkan

mempersatukan seluruh potensi politik masayarakat, ternyata dinilai oleh

Presiden Sukarno sebagai pertentangan antara kepentingan politik rakyat.20

Karena pada masa ini banyak konsepsi yang harus dibentuk pada tanggal 21

18Andi Sopandi, Sejarah dan Budaya Kota Bekasi; Sebuah Catatan PerkembanganSejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi, hlm. 93

19 Pemerintah Daerah Bekasi Tingkat II Bekasi, Sejarah Bekasi Sejak PemerintahanPurnawarman sampai Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Historia Vitae Magistra [Yavitra], 1992),hlm. 85

20 Sukarno, “Marilah Kita Kubur Partai-Partai (1956)”, dalam Herbert Feith & LanceCastles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 62-66

40

Februari 1957. Seperti konsepsi Sukarno yang menyarankan agar dibentuk

Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional. Disusul dengan beberapa

kebijaksanaan, undang-undang, perarturan pemerintahan, serta penetapan

Presiden dan peraturan lain yang merombak sistem pemerintahan demokrasi

liberal menjadi demokrasi terpimpin.

Perkembangan Bekasi mulai terlihat di masa orde baru setelah tahun

1965-an mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini terjadi

terutama ketika masa pemerintahan Bupati H. Abdul Fatah.21 Proses

pembangunan dan berbagai proyek sarana dan prasarana fisik terasa

menonjol, seperti pembangunan irigasi pengairan fisik. Perubahan lainnya

terjadi pada tahun 1976, ketika wilayah administratif Kabupaten Daerah

Tingkat II Bekasi mengalami pemekaran beberapa wilayah Kecamatan dan

Desa.22

Berdasarkan intruksi Presiden No.13 bulan Juli 1976, diadakanlah

pengembangan wilayah JABOTABEK untuk meringankan tekanan penduduk

Jakarta yakni dengan cara membina pola pemukiman perkotaan dan

penyebaran kesempatan kerja. Salah satu dari wilayah pengembangan kota

tersebut adalah Kabupaten Bekasi, mengingat wilayah ini memiliki potensi

21 Rintisan program yang dirancangnya, kini terbukti dengan semakin merebaknyapembangunan yang terjadi di Bekasi. Oleh karena itu, bagi kebanyakan kalangan, ia dikenalsebagai “Bapak pembangunan Bekasi”. Dalam buku Andi Sopandi, Sejarah Dan Budaya KotaBekasi; Sebuah Catatan perkembangan Sejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi, (Bekasi: DinasPemuda, Olahraga, Kebudayaan , dan Kepariwisataan Kota Bekasi, 2009), hlm. 129

22 Pemerintah Daerah Bekasi Tingkat II Bekasi, Sejarah Bekasi Sejak PemerintahanPurnawarman sampai Orde Baru, Op. cit, hlm. 130

41

untuk berkembang.23 Perluasan wilayah kota Jakarta merupakan sebuah

alternatif untuk mengantisipasi pertumbuhan kota Jakarta yang ketika itu

makin pesat, kemudian tercetusnya gagasan bernama JABOTABEK melalui

intruksi Presiden 13 tahun 1976. Pokok-pokok kebijaksnaan di dalam

pengembangan wilayah Jabotabek diantaranya adalah untuk menekan jumlah

penduduk yang terus bertambah serta dapat meratakan penyebarannya yang

tidak hanya terjadi di kota Jakarta melainkan kota-kota penyangga

disekitarnya. Dengan begitu banyak beban kota Jakarta sebagai sebuah kota

induk dari segi pembangunan ekonomi maka Bekasi dijadikan kota yang

terkait dengan terbentuknya JABOTABEK.

Pengembangan Bekasi sebagai daerah penyangga Jakarta sudah

direncanakan jauh sebelumnya, di antaranya dengan penataan kawasan

Bekasi yang diperuntukkan untuk pemukiman dan dijadikan wilayah industri.

Cikarang, Cibitung dan Lemahabang yang sebelumnya dikenal daerah

pertanian dan perkebunan mulai dikembangkan menjadi daerah

pengembangan industri. Pengembangan kawasan industri di wilayah tersebut

semakin marak ketika tahun 1982 mulai dibangunnya jalan tol Cawang-

Cikampek.24 Akibat dari perkembangan yang cukup pesat sejak tahun 80-an,

maka secara tidak langsung berdampak terhadap perkembangan wilayah

administratif dan pola pembangunan daerah Bekasi meliputi faktor-faktor

infrasturuktur dan perubahan sosial masyarakat Bekasi. Bekasi yang

23 Yufridawati, Pembinaan Kota : Studi Kasus Pertumbuhan dan Perkembangan KotaBekasi. Diambil dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-76536.pdf, pada Tanggal 4 Februari2019

24 Pemerintah Daerah Bekasi Tingkat II Bekasi, “Sejarah Bekasi Sejak PemerintahanPurnawarman sampai Orde Baru”, Op. cit, hlm. 130

42

merupakan wilayah sub-urban, dan merupakan kota satelit penopang sebuah

kota besar yaitu Jakarta. Bekasi berkembang bukan hanya menjadi tempat

tinggal kaum urban namun juga berkembang menjadi sebuah kota industri

barang dan jasa. Daerah yang dahulunya menjadi merupakan wilayah agraris

kemudian bertranformasi menjadi yang didominasi oleh kegiatan

perindustrian. Arus modernisasi terus merambat terlihat dari banyaknya pusat

perbelanjaan dan pusat-pusat industri membuat kota Bekasi terus

bertranformasi menjadi sebuah kota yang modern.

Faktor penyebab umum yang mendorong sebuah tempat atau daerah

berkembang menjadi kota yaitu pertama, pusat kegiatan agama. Johnson

berpendapat, agama merupakan kekuasaan penting yang menyebabkan

penyatuan desa-desa dalam kesatuan-kesatuan yang lebih besar. Kedua,

daerah pusat pemerintahan dimana kondisi daerah lebih berkembang pesat di

Indonesia masa orde baru. Ketiga, daerah pusat perdagangan dan industri

seperti di Eropa sesudah revolusi Industri atau secara umum pada abad ke-19

adalah pusat-pusat perdagangan berubah menjadi pusat industri begitu juga

yang terjadi di Bekasi setelah perubahan pembentukan kewedanaan Bekasi

menjadi Kabupaten sudah mulai ada perubahan dalam tatanan daerah.

Keempat, kasus-kasus negara jajahan.25 Peradaban kota menjadi gejala dalam

bentuk-bentuk kebudayaan tertentu, seperti tempat-tempat yang dahulunya

lahan SAWah dan perkebunan kini menjadi tempat yang dibangun sebuah

gedung-gedung tinggi, sehingga terciptalah tatanan baru dalam

25 Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012),hlm. 18-19

43

perkembangan kota. Berkembangnya industrilisasi melalui lapangan kerja di

Bekasi merupakan awal terjadinya perkembangan penduduk yang sangat

tinggi dan mempengaruhi tatanan suatu daerah khususnya Bekasi.

C. Ajaran dan Amalan Tarekat Syadziliyah

Sebagaimana tarekat pada umumnya yang mempunyai beberapa ritual,

tarekat Syadziliyah juga yang memiliki beberapa ritual yang dilakukan seperti

baiat dan fida’. Baiat merupakakan perjanjian seorang murid dengan guru

mursyid untuk menerima dan mengamalkan beberapa ajaran dalam tarekat

tersebut. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa seorang murid telah bersedia

menyerahkan dirinya untuk dibimbing dan dibina oleh mursyidnya dalam

menempuh perjalanan menuju Allah.26

Bentuk baiat yang dilakukan dalam tarekat Syadziliyah memiliki dua

macam, yaitu baiat sirri dan jahri. Baiat sirri merupakan baiat yang

diucapkan dalam hati ditandai dengan amaliyah yang dilakukan oleh murid.

Jika amalan telah telah dilaksanakan oleh murid maka secara otomatis ia

sudah berbaiat. Sedangkan baiat secara jahr dilakukan dengan mengikuti

upacara pembaiatan dan bertemu langsung dengan mursyid.27

Baiat jahr yang dilakukan oleh musryid dan tidak bolek diwakilkan.

Waktu pembaiatan di lakukan pada pengajian selapanan. Dilaksanakan secara

bersamaan dan dipandu langsung oleh mursyid tarekat Syadziliyah. Proses

pembaiatannya, murid harus dalam keadaan suci. Posisi duduk seperti tahiyat

26 Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm.126.27 Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm. 132.

44

akhir dengan telapat tangan yang menghadap ke atas. Pandangan mata fokus

ke tempat sujud. Mursyid menuntun jamaah yang berbaiat untuk

menngucapkan ayat al-Qur’an surat Fath ayat 10, kemudian disambung

dengan bacaan istighfar dan shalawat sebanyak tiga kali yang dipandu oleh

mursyid. Selanjutnya zikir “laa ilaaha illa Allah”.28

Untuk ritual fida’ dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Membaca

surat al-Ikhlas sebanyak 100.000 kali. Bisa dicicil sesuai dengan waktu yang

dimiliki oleh murid. Fida’ merupakan salah satu zikir yang diajarkan dalam

tarekat ini. Merupakan zikir yang dilakukan dengan berjuang (mujahadah)

untuk menyucikan jiwa dengan membaca formula tertentu seperti surat Al-

Ikhlas 100.000 kali. Zikir ini dapat dilakukan sedikit demi sedikit.29 Berasal

dari bahasa Arab fidyah yang berarti tebusan. Dalam pengertian secara umum

memiliki pengertian penebusan diri dari api neraka. Fida’ atau ataqah sebagai

pembebasan diri dari siksa neraka. Di dunia berusaha menebus diri dari

neraka. Cara menebusnya dengan membaca kalimat yang dicintai-Nya.30

Fida’ dalam tarekat Syadziliyah diadakan setiap ahad legi. Dilaksanakan

ba’da ashar dengan membaca surat Al-Ikhlas 1.000 kali. Setiap orang

menebus diri dengan membaca surat al-Ikhlas sebanyak 100.000 kali. Dibaca

sedikit demi sedikit, bisa dilakukan sendiri dan secara berjamaah. Setelah itu

membaca do’a fida’. Jika sudah mencapai 100.000 maka fida’ selanjutnya

dapat ditujukan kepada keluarga yang sudah meninggal.

28Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm. 131.29 Sri Mulyati, Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 179.30 H.M. Madchan Anies, Tahlil dan Kenduri (Tradisi Santri dan Kiai), (Yogyakarta:

Pustaka Pesantren, 2009), hlm.166.

45

1. Ajaran Tarekat Syadziliyyah

Dalam sebuah tarekat pastinya memberikan sebuah ajaran tertentu

kepada muridnya, sehingga dalam sebuah tarekat memiliki ciri masing-

masing. Ajaran pada tarekat ini juga terkenal tidak begitu memberatkan bagi

pengikutnya. Karena ajaran yang diterapkan mudah diterima dan moderat.

Sehingga tidak heran jika para pengikutnya pun terdiri dari berbagai

kalangan, mulai dari ulama, pejabat, cendikiawan, sampai masyarakat awam,

baik dari masyarakat desa sampai masyarakat urban.31

Hal ini seperti yang diajarkan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili, yaitu:32

a. Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan

profesi dunia mereka. Beliau berpendapat bahwa hidup yang layak dan

sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Swt dan mengenal

rahmat-Nya, sedangkan meninggalkan dunia secara berlebihan akan

membawa manusia pada hilangnya rasa syukur dan memanfaatkan dunia

secara berlebihan akan membawa pada kezaliman. Dan sebaiknya manusia

menggunakan nikmat Allah sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk-Nya dan

Rasul-Nya.

b. Tidak mengabaikan syari’at Islam. Hal ini searah dengan ajaran Imam

Ghazali, yaitu ajaran tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-

Sunnah.

31 Martin Van Bruienessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan,1992), 16; Sa‟adatul Jannah, “Tarekat Syadziliyah dan Hizbnya”, (Skripsi--UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 26.

32Sri Mulyati, Mengenal Dan Memahami, hlm.73-74.

46

c. Zuhud bukan berarti menjauhi dunia. Karena pada dasarnya zuhud

berarti mengosongkan hati dari selain Allah Swt. Dunia yang dibenci oleh

kaum sufi adalah ketika manusia dikalahkan dan diperbudak oleh dunia. Di

mana manusia akan bersenang-senang, selalu memenuhi keinginannya,

bahkan hawa nafsu yang tak kenal puas.

d. Tasawuf; yaitu latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan

menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Tasawuf memiliki

empat aspek, yakni berakhlak sesuai dengan akhlak Allah Swt, senantiasa

melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya selalu

bersama dan berkekalan dengan-Nya secara bersungguh-sungguh.33

e. Bahwa seorang salik tidak cukup mendekatkan diri kepada Allah Swt

saja, tetapi harus berbakti kepada masyarakat. Menurut Abu Hasan al-

Syadzili seorang sufi bukanlah orang yang menghindar dari masyarakat,

karena sebenarnya beraktifitas sosial untuk kemaslahatan umat adalah bagian

terpenting dari hasil kontemplasi seorang sufi.34

Imam al-Syadzili menyatakan terdapat lima ajaran pokok yang terdapat

pada tarekat Syadziliyah. Pertama, taqwa kepada Allah Swt. Kedua, itba’

kepada al-Sunnah baik dari segi perkataan maupun perbuatan. Ketiga, tidak

“menoleh” kepada orang lain dalam melaksanakan kebajikan. Keempat, rida

atau rela terhadap karunia yang diberikan Allah, baik limpahan kekayaan

33 Ibrahim M. Abu Rabi, “Pengantar dalam The Mystical Teaching”, dalam Sri Mulyati,MengenalDan Memahami, hlm. 75.

34 Jannah, “Tarekat Syadziliyah”, hlm. 17.

47

yang banyak atapun sedikit. Dan kelima, membrikan segala urusan kepada

Allah, baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang.35

2. Amalan Tarekat Syadziliyyah

Menurut Anniemarie Scimmel, dalam tarekat Syadziliyah, ajaran yang

paling mudah adalah ilmu dan amal, ihwal dan maqam. Tarekat syadziliyah

tidak meletakkan syarat-syarat yang berat bagi pengikutnya, kecuali

beribadah wajib, melakukan ibadah sunnah semampunya, zikir kepada Tuhan

sebanyak mungkin minimal 1000 kali sehari semalam, istighfar dan membaca

sholawat nabi.36 Membaca istighfar dan sholawat dilakukan pada setiap habis

magrib dan shubuh sebanyak 100 kali. Dalam keadaan tertentu, amalan ini

bisa diganti (di qadha). Selaian itu bisa dilakukan sambil melakukian kegiatan

pekerjaan lain, Seperti dalam berjalan dan bekerja. Bagi tarekat ini tidak

terpaku pada jumlah amalan yang di baca. Mereka mempunyai pandangan

bahwa diterima atau tidaknya suatu amalan merupakan rahasia Allah.37

Di sisi lain, menurut K.H Aziz Masyhuri ajaran-ajaran dan amalan dalam

tarekat Syadziliyah adalah sebagai berikut:38

a. Istighfar

Maksud istighfar adalah memohon ampun kepada Allah dari segala

dosa yang telah dilakukan seseorang. Doa ini berisi tentang

permohonan ampun dan taubat.39

35 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami yang dikutipdari Muzaiyana, “Paradigma Sufistik Tarekat Shadhiliyah: Study Kasus di KecamatanSugihwarasKabupaten Bojonegoro”, Jurnal Tasawuf, vol. 1, No. 2, Juli 2012. 182.

36 Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 308.37 Jannah, “Tarekat Syadziliyah”, hlm 27.38 Lutfi Nurul Jannah, ”Motivasi Menjalani Ajaran Tarekat Syadziliyah Pada Remaja di

Pondok PETA Tulungagung”, (Skripsi--IAIN Tulungagung, 2014), hlm. 32-36.

48

b. Shalawat Nabi

Membaca shalawat Nabi Muhammad Saw dimaksudkan untuk

memohon rahmat dan karunia bagi Nabi Saw agar pembacanya juga

mendapatkan balasan limpahan rahmat dari Allah Swt.

c. Zikir

Zikir atinya mengingat kepada Tuhan. Dalam tarekat mengingat

tuhan haruslah dengan bantuan atau perantara, karena hakikatnya kita

tidak akan pernah bisa mengenal Tuhan itu sendiri. Oleh karenanya

zikir memiliki bermacam-macam ucapan yang mengandung nama

Allah atau sifat-Nya atau yang mengingatkan kepada-Nya. Dalam

tarekat, zikir adalah menyebut nama Allah yang pada keyakinan

mereka itu akan melahirkan dua sifat pada manusia, yaitu

penghambaan dan kasih sayang. Seorang yang menghamba kepada

Allah takut pada Allah pasti akan menjalankan segala perintah Allah

serta menjauhi larangan Allah. Dan seorang yang kasih kepada Alalh

maka akan memilih segala sesuatu yang disukai oleh Allah, dan

menjauhi segala sesuatu yang dimurkai oleh Allah.40 Pembacaan zikir

tarekat Syadziliyah menggunakan metode jahr dan sirri pada kalimat

“laa ilaa ha illah Allah”. Ketika membaca “la” suara ditebalkan

seakan-akan yang disuarakan antara lam dan ha’. Lalu ketika

membaca “illah” kalimatnya di sirri-kan namun lidah tetap bergerak

39 Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 284.40 Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 279.

49

mengikuti lafal. Pada kalimat “ha illa Allah” disuarakan kembali

dengan menebalkan bacaannya.41

d. Wasilah dan Rabithah

Yaitu hubungan atau ikatan dengan guru. Seorang murid sebaiknya

berwasilah kepada guru pada waktu memulai ibadah kepada Allah

Swt. Maka dapat diartikan dengan luas bahwa wasilah adalah jalan

yang menyampaikan seorang hamba pada Allah Swt. Dalam tarekat

Naqsabandiyah wasilah diartikan sebagai suatu tabarruk atau

mengambil berkah kepada guru yang dilaksanakan oleh murid

sebelum memulai zikir.42

e. Wirid

Adapun wirid yang dianjurkan adalah penggalan ayat al-Qur’an surat

at-Taubah (9:128-129) dan wirid ayat kursi yang dibaca minimal 11

kali setelah shalat fardlu. Dan wirid-wirid lain, yang antara murid

yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda sesuai dengan

kebijaksanaan mursyid. Dalam tarekat Syadziliyah wirid “la ilaaha

illa Allah” dibaca sebanyak 100 kali. Diamalkan setelah shalat

Maghrib dan Subuh dengan didahului dengan tawassul.43

f. Adab (etika murid)

Adab murid dapat dikategorikan ke dalam empat hal, yaitu adab

murid kepada Allah, adab murid kepada mursyidnya, adab murid

41 Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm. 131.42 Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 103.43 Zuhdi, “Ibadah Penganut”, hlm. 131.

50

kepada dirinya sendiri dan adab murid kepada ikhwan dan sesama

muslim.44

g. Hizib

Hizib yang diajarkan tarekat Syadziliyah jumlahnya cukup banyak,

dan setiap murid tidak menerima hizib yang sama, karena disesuaikan

dengan situasi dan kondisi ruhaniyah murid sendiri dan

kebijaksanaan mursyid.

Adapun hizib-hizib tersebut antara lain hizib al-Asyfa’, hizib al- Aafi,

atau al-autat, hizib al-Bahr, hizib al-Baladiyah, atau al- Birbihatiyah,

hizib al-Barr, hizib an-Nasr, hizib al-Mubarak, hizib as-Salamah,

hizib an-Nur, dan hizib al-Kahfi. Hizib-hizib tersebut tidak boleh

diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapat izin atau ijazah

dari mursyid atau seorang murid yang ditunjuk mursyid untuk

mengijazahkannya.

h. Uzlah dan suluk

Uzlah adalah mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat atau

khalayak ramai, untuk menghindarkan diri dari godaan-godaan yang

dapat mengotori jiwa, seperti menggunjing, mengadu domba,

bertengkar, dan memikirkan keduniaan. Dalam pandangan

Syadziliyah, untuk mengamalkan tarekat seorang murid tidak harus

mengasingkan diri (uzlah) dan meninggalkan kehidupan duniawi (al-

44 Keterangan dari masing-masing adab dapat dilihat di Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm. 85-90.

51

zuhud) secara membabi buta.45 Dalam hal ini tarekat Syadziliyah

memiliki metode tersendiri dalam beruzlah. Memanfaatkan dunia

sebagai sarana untuk mencari akhirat. Caranya dengan berjuang

dijalan Allah melalui program pendidikan. Berjuang mengamalkan,

mengajarka dan menyebarkan al-Qur’an, mengkader sebanyak-

banyaknya orang untuk menjadi gruru Al-Qur’an yang berkualitas.

Berjuang menyebarkan al-Qur’an agar masyarakat faham al-Qur’an

dan dapat mengamalkan ajaran yang ada dalam al-Qur’an. Berkorban

jiwa, raga dan harta untuk menegakkan agama Allah.

Sedangkan menurut Abu Bakar Aceh dapat disederhanakan Ajaran Tarekat

Syadziliyah sebagai berikut:

a. Secara Umum

Secara umum, tidak hanya ajaran Syadziliyah, semua tarekat memiliki

ajaran yang hampir sama, yakni di antaranya adalah:

1) Mempelajari semua ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan

pelaksanaan semua perintah.

2) Mendampingi guru-guru dan teman setarekat untuk melihat

bagaimana cara melakuan suatu ibadah.

3) Meninggalkan segala rukhsah dan ta’wîl untuk menjaga dan

memelihara kesempurnaan amal.

4) Menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisinya dengan wirid

dan do’a guna membentuk pribadi yang khusu’ dan hudur.

45 Keterangan dari masing-masing adab dapat dilihat di Atjeh, Pengantar Ilmu, hlm..135-136.

52

5) Mengekang diri dari hawa nafsu dan agar diri terjaga dari kesalahan.46

b. Secara Khusus

Ajaran dasar tarekat Syadziliyah yang disebut al-usûl alkhamsah

diantaranya adalah:

1) Taqwa kepada Tuhan lahir dan batin.

2) Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan.

3) Mencegah menggantungkan nasib kepada manusia.

4) Rela kepada pemberian Tuhan baik sedikit maupun banyak, dan

5) Berpegang kepada Tuhan dalam waktu susah dan senang.

Menurut Tarekat Syadziliyah ini, implementasi taqwa dilakukan dengan

wara’ dan istiqâmah, pelaksanaan sunnah dengan penelitian amal dan

perbaikan budi pekerti, pelaksanaan penggantungan nasib dengan sabar dan

tawakal, pelaksanaan rela terhadap ketetapan Tuhan dengan hidup sederhana

dan merasa puas dengan apa yang dimiliki, dan yang terakhir adalah

pelaksanaan pengembalian diri dan berpegang kepada Allah dengan ucapan

tahmîd dan syukûr.47

Kelima ajaran (al usûl al khamsah) tersebut juga berdiri di atas lima sendi

yang harus dipegang teguh oleh pengikut Tarekat Syadziliyah serta menjadi

ciri khas dari perilaku keseharian para pengikut Tarekat Syadziliyah, sebagai

berikut:

46Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik, (Jakarta: FA.H.MTawi&Son Bag, 1966), hlm. 50

47 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik, hlm. 53

53

1) Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada

derajat yang tinggi.

2) Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih

penjagaan Allah atas kehormatannya.

3) Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang

memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/Kemuliaan-

Nya.

4) Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampikannya kepada

kebahagiaan hidupnya.

5) Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu

meraih tambahan nikmat yang lebih besar.48

Selain usûl al khamsah, tarekat Syadziliyah ini juga memiliki tahapan di

mana para penempuh jalan sufi melakukan dua metode yaitu: metode khas

dan metode ‘âm. Pengertiannya adalah: tarîqât bagi kalangan khas adalah

jalan yang ditempuh oleh kalangan yang dicintai Allah SWT. (al-muhibbûn),

yang merupakan abdâl (pengganti) para Rasul, sedangkan tariqât bagi

kalangan ‘âm (umum) adalah tarekat yang ditempuh oleh para pecinta Allah

SWT. (al-muhibbîn), yaitu abdal para Nabi.

Pengertian lain dari tariqât khas yaitu tarekat elit yang sulit dicerna akal

biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi yang

belum mampu cukup dengan tariqât ‘âm, yaitu jalan penempuhan melalui

48 A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya:IMTIYAZ, 2014), hlm. 305-306

54

satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada satu tahap

tertentu, yaitu, “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.

D. Pengertian dan Pengaruh Dzikir Terhadap Jiwa

1. Pengertian Jiwa

Secara bahasa jiwa berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, nyawa

atau alat untuk berfikir.49 Sedang dalam bahasa Arab sering disebut dengan

“an nafs”. Imam Ghazali mengatakan bahwa jiwa adalah manusia-manusia

dengan hakikat kejiwaannya. Itulah pribadi dan zat kejiwaannya.50

Sedangkan menurut para filosof pengikut plotinus (para filosof Yunani),

sebagaimana yang dikutip oleh Abbas Mahmud Al Aqqad dalam Manusia

Diungkap Dalam Al Qur’an, bahwa jiwa menurut mereka adalah sinonim

dengan gerak hidup / kekuatan yang membuat anggota-anggota badan

menjadi hidup yakni kekuatan yang berlainan fisik material, dapat tumbuh

beranak, dan berkembangbiak tingkat kemauannya lebih besar dari pada

benda tanpa nyawa dan lebih kecil daripada roh, jiwa tidak dapat dipindah

dari tempat ia berada.

Kemudian dilihat dari kacamata psikologi, menurut Wasty Soemanto,

jiwa adalah kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan

tingkah laku manusia, jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong

tingkah laku. Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku, maka

49 Irwanto, dkk., Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 350 Imam Ghazali, Keajaiban Hati, (terj.) Nur Hicmah, Dari Ajaib Al Qalb, (Jakarta: Tirta

Mas, 1984), hlm. 3

55

berfungsinya jiwa dapat diamati dari tingkah laku yang Nampak.51

Dari sejumlah pemaparan di atas dapat diambil pemahaman bahwa jiwa

adalah merupakan unsur kehidupan, daya rohaniah yang abstrak yang

berfungsi sebagai penggerak manusia dan menjadi simbol kesempurnaan

manusia. Karena manusia yang tidak memiliki jiwa tidak dapat dikatakan

manusia yang sempurna.

Jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong pada tingkah laku

yang tampak. Karena cara-cara kerja jiwa hanya dapat di amati melalui

tingkah laku yang nyata. Adapun pengertian jiwa di sini meliputi seluruh

aspek rohani yang di miliki oleh manusia, antara lain: hati, akal, pikiran

dan perasaan.

2. Pengertian Ketenangan Jiwa

Ketenangan jiwa merupakan istilah psikologi yang terdiri atas dua kata

yaitu jiwa dan ketenangan. Ketenangan itu sendiri berasal dari kata tenang

yang mendapat tambahan ke-an. Tenang berarti diam tidak berubah-ubah

(diam tidak bergerak), tidak gelisah, tidak susah, tidak gugup betapapun

keadaan gawat, tidak ribut, tidak tergesa-gesa.52

Sedangkan jiwa berasal dari kata psycheyang berarti jiwa, nyawa atau

alat berfikir. Sedang dalam bahasa disebut an-Nafs.53 Imam Ghazali, seorang

tasawuf mengatakan bahwa jiwa adalah suatu yang halus dari manusia, yang

51 Wasty Soemanto, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 15.52 Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemahan, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,

2002), hlm. 80-10053 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Bab Ajaibul QolbiTerj. Ismail Yakub. Jilid 4.

(Jakarta: Tirta Mas. 1984), hlm. 3

56

mengetahui dan merasa. Jiwa diibaratkan dengan raja. Ketika raja itu

berlaku adil, maka adillah semua kekuatan yang ada dalam tubuh manusia.54

Dilihat dari kaca mata psikologis, menurut Westy Suewanto jiwa adalah

kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan tingkah laku

manusia. Jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong tingkah laku.

Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku, maka fungsi jiwa dapat

diamati dari tingkah laku yang nampak.55

Jiwa adalah seluruh kehidupan batin manusia yang menjadi unsur

kehidupan, daya rohaniah yang abstrak yang berfungsi sebagai penggerak

manusia dan menjadi simbol kesempurnaan manusia (yang terjadi dari hati,

perasaan, pikiran dan angan-angan). Kata ketenangan jiwa juga dapat

diartikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri, dengan

orang lain, masyarakat dan lingkungan serta dengan lingkungan di mana ia

hidup. Sehingga orang dapat menguasai faktor dalam hidupnya dan

menghindarkan tekanan-tekanan perasaan yang membawa kepada frustasi.56

Jiwa yang tenang (muthmainnah) adalah jiwa yang senantiasa mengajak

kembali kepada fitrah Ilahiyah Tuhannya. Indikasi hadirnya jiwa yang

tenang pada diri seseorang terlihat dari prilaku, sikap dan gerak-geriknya

yang tenang, tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan dan perhitungan yang

matang, tepat dan benar. Ia tidak terburu-buru untuk bersikap apriori dan

berprasangka negatif. Akan tetapi di tengah-tengah sikap itu, secara diam-

diam ia menelusuri hikmah yang terkandung dari setiap peristiwa, kejadian

54 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Bab Ajaibul QolbiTerj. Ismail Yakub. Jilid 4, hlm. 455 Westy Soewanto, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 1556 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet. 9, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 11-12

57

dan eksistensi yang terjadi.57 Jadi ketenangan jiwa atau kesehatan mental

adalah kesehatan jiwa, kesejahteraan jiwa, atau kesehatan mental. Karena

orang yang jiwanya tenang, tenteram berarti orang tersebut mengalami

keseimbangan di dalam fungsi-fungsi jiwanya atau orang yang tidak

mengalami gangguan kejiwaan sedikitpun sehingga dapat berfikir positif,

bijak dalam menyikapi masalah, mampu menyesuaikan diri dengan situasi

yang dihadapi serta mampu merasakan kebahagiaan hidup.

Hal tersebut sesuai dengan pandangan Zakiah Daradjat bahwa kesehatan

mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh- sungguh antara

faktor jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-

problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan

kemampuan dirinya.58

Kartini Kartono mengatakan, bahwa mental hygiene memiliki tema

sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin

manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta

berusaha mendapatkan kebersihan jiwa dalam pengertian tidak terganggu

oleh macam-macam ketegangan, ketakutan serta konflik.24

Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa orang yang sehat

mentalnya atau tenang jiwanya adalah orang yang memiliki keseimbangan

dan keharmonisan di dalam fungsi-fungsi jiwanya, memiliki kepribadian

yang terintegrasi dengan baik, dapat menerima sekaligus menghadapi realita

57 Bakran Adz-Dzaky, HM. Hamdani, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: PT.Fajar Pustaka Baru, 2006), hlm. 458

58Bakran Adz-Dzaky, HM. Hamdani, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: PT.Fajar Pustaka Baru, 2006), hlm. 13

58

yang ada, mampu memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan

diri dan keberanian serta dapat menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan

lingkungannya.

Jadi orang yang tenang jiwanya adalah orang yang fungsi-fungsi jiwanya

dapat berjalan secara harmonis dan serasi sehingga mumunculkan

kepribadian yang terintegrasi dengan baik, sebab kepribadian yang

terintegrasi dengan baik dapat dengan mudah memulihkan macam-macam

ketegangan dan konflik-konflik batin secara spontan dan otomatis, dan

mengatur pemecahannya menurut prioritas dan herarkinya, sehingga dengan

mudah akan mendapat kan keseimbangan batin, dan jiwanya ada dalam

keadaan tenang seimbang.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketenangan Jiwa

Menurut imam Ghazali jiwa yang tenang ialah jiwa yang diwarnai

dengan sifat-sifat yang menyebabkan selamat dan bahagia. Di antaranya

adalah sifat-sifat syukur, sabar, taklut siksa, cinta Tuhan, rela akan hukum

Tuhan, mengharapkan pahala dan memperhitungkan amal perbuatan dirinya

selama hidup, dan lain-lain. Sifat-sifat yang menyebabkan selamat.59

Menurut Zakiah Daradjat dan Kartini Kartono ada beberapa faktor yang

mempengaruhi ketenangan jiwa di mana orang yang ingin mencapai

ketenangan jiwa harus memenuhi beberapa faktor tersebut antara lain:

59 Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, hlm. 123.

59

a. Faktor Agama

Agama adalah kebutuhan jiwa (psikis) manusia, yang akan mengatur dan

mengendalikan sikap, kelakuan dan cara menghadapi tiap-tiap masalah.60

Demikian juga dalam agama ada larngan yang harus dijauhi, karena di

dalam nya terdapat dampak negatif dari kehidupan manusia. Orang yang

beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT secara benar, di dalam hatinya

tidak akan diliputi rasa takut dan gelisah. Ia merasa yakin bahwa keimanan

dan ketaqwaannya itu aklan membawa kelegaan dan ketenangan batinnya.

Pelaksanaan agama (ibadah) dalam kehidupan sehari-hari dapat

membentengi orang dari rasa gelisah dan takut. Diantara dari berbagai

macam ibadah yanbg ada yaitu shalat secara psikologis semakin banyak

shalat dan menggantungkan harapan kepada Allah SWT maka akan

tenteramlah hati, karena dalam shalat itu sendiri mengandung psiko-religius

(kekuatan rohaniah) yang dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa

optimisme sehingga memiliki semangat untuk masa depan. Daripada itu

tujuan utama dari shalat adalah ingin beraudiensi, mendekatkan diri dengan

Allah supaya terciptalah kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.

b. Terpenuhinya kebutuhan manusia

Ketenangan dalam hati dapat dirasakan apabila kebutuhan- kebutuhan

manusia baik yang bersifat fisik maupun psikis terpenuhi. Apabila

kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan mengakibatkan kegelisahan dalam

60Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. cet. IV, (Jakarta: BulanBintang, 1982), hlm. 52

60

jiwa yang akan berdampak pada terganggunya ketenangan hidup.

Menurut Katini Kartono kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi oleh

manusia adalah:

1) Terpenuhinya kebutuhan pokok, hal ini karena setiap manusia pasti

memiliki dorongan-dorongan akan kebutuhan pokok. Dorongan-

dorongan akan kebutuhan pokok tersebut menuntut pemenuhan,

sehingga jiwa mwnjadi tenangdan akan menurunkan ketegangan-

ketegangan jiwa jika kebutuhan tersebut terpenuhi.

2) Tercapainya kepuasan, setiap orang pasti menginginkan kepuasan,

baik yang berupa jasmaniah maupun yang bersifat psikis, seperti

kenyang, aman terlindungi, ingin puas dalam hubungan seksnya,

ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas

di segala bidang.

3) Posisi status sosial, setiap individu selalu berusaha mencari posisi

sosial dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta

kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan

rasa diri aman, berani optimis, percaya diri.61

Menurut Zakiah Daradjat ada enam kebutuhan jiwa di mana jika tidak

terpenuhi akan mengalami ketegangan jiwa. Kebutuhan jiwa tersebut adalah

1) Rasa kasih sayang

61Kartini Kartono dan Jenny Andary, Hygiene Mental, hlm. 29-30

61

Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan jiwa yang penting

bagi manusia oleh karenanya apabila rasa kasih sayang itu tidak

didapatnya dari orang-orang disekelilingnya maka akan berdampak

pada keguncangan jiwanya. Tetapi bagi orang yang percaya kepada

Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang maka kehilangan

kasih sayang dari manusia tidak menjadikan jiwa gersang.

2) Rasa aman

Rasa aman juga kebutuhan jiwa yang tidak kalah pentingnya.

Orang yang terancam, baik jiwanya, hartanya, kedudukannya ia

akan gelisah yang berujung pada stress, apabila ia dekat dengan

Allah SWT tentu rasa aman akan selalu melindungi dirinya.

3) Rasa percaya diri

Rasa harga diri juga merupakan kebutuhan jiwa manusia, yang

jika tidak terpenuhi akan berakibat penderitan. Banyak orang

merasa diremehkan, dilecehkan dan tidak dihargai dalam

masyarakat terutama dalam hal harta, pangkat keturunan, dan lain

sebagainya itu tentu perlu dipenuhi. Namun sebenarnya hakekat itu

terletak pada iman dan amal soleh seseorang.

4) Rasa Bebas

Rasa ingin bebas termasuk kebutuhan jiwa yang pokok pula.

62

Setiap orang ingin mengungkapkan perasaannya dengan cara yang

dirasa menyenangkan bagi dirinya. Namun semua itu tentunya ada

batas dan aturan yang harus diikutinya agar orang lain tidak

terganggu haknya. Kebebasan yang sungguh- sungguh hany

terdapat dalam hubungan kita dengan Allah SWT.

5) Rasa Sukses

Rasa sukses yang merupakan salah satu kebutuhan jiwa.

Kegagalan akan membawa kekecewaan bahkan menghilangkan

kepercayaan seseorang kepada dirinya. Islam mengajarkan agar

orang tidak putus asa. Tidak tercapainya suatu keinginan belum

tentu berarti tidak baik. Bahkan kegagalan itu akan lebih baik kalau

manusia mengetahui sebab serta dapat mengambil hikmah dari

kegagalan itu.

6) Rasa Sukses

Rasa ingin tahu juga termasuk kebutuhan jiwa yang pokok

yang jika terpenuhi akan berdampak pada tingkah laku. Orang akan

merasa sengsara apabila tidak mendapatkan informasi atas ilmu

yang dicarinya. Namun tidak semua ilmu itu dapat diketahuinya

karena keterbatasan yang ada pada dirinya.

Jadi agar seorang bisa mencapai ketenangan jiwa maka harus memenuhi

63

beberapa faktor yaitu: faktor agama, terpenuhinya kebutuhan manusia

(meliputi kebutuhan pokok, kebutuhan kepuasan, kebutuhan social, rasa

kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa

ingin tahu).

4. Kriteria Ketenangan Jiwa

a. Sabar

Secara etmologi, sabar berarti teguh hati tanpa mengeluh di jumpa

bencana. Menurut pengertian Islam, sabar ialah tahan menderita

sesuatu yang tidak disenangi dengan ridha dan ikhlas serta berserah

diri kepada Allah. Sabar itu membentuk jiwa manusia menjadi kuat

dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah).62

Kebahagiaan, keuntungan, keselamatan, hanya dapat dicapai

dengan usaha secara tekun terus menerus dengan penuh kesabaran,

keteguhan hati, sebab sabar adalah azas untuk melakukan segala

usaha, tiang untuk realisasi segala cita-cita.

Sabar bukan berarti menyerah tanpa syarat, tetapi sabar adalah terus

berusaha dengan hati yang tetap, berikhlas, sampai cita-cita dapat

berhasil dan dikala menerima cobaan dari Allah SWT, wajiblah ridha

dan hati yang ikhlas.63

b. Optimis

62Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 22863 Barmawie Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), hlm. 52

64

Sikap optimis dapat digambarkan sebagai cahaya dalam

kegelapan dan memperluas wawasan berfikir. Dengan optimisme,

cinta akan kebaikan tumbuh di dalam diri manusia, dan menumbuhkan

perkembangan baru dalam pandangannya tentang kehidupan.

Tidak ada satu penyebabpun yang mampu mengurangi jumlah

problem dalam kehidupan manusia seperti yang diperankan

optimisme. Ciri-ciri kebahagiaan itu lebih tampak pada wajah- wajah

orang yang optimis tidak saja dalam hal kepuasan tetapi juga seluruh

kehidupan baikdalam situasi positif maupun negatif. Disetiap saat

sinar kebahagiaan menerangi jiwa orang yang optimis.64

c. Merasa Dekat dengan Allah

Orang yang tentram jiwanya akan merasa dekat dengan Allah dan

akan sel;alu merasa pengawasan Allah SWT. dengan demikian akan

hati-hati dalam bertindak dan menentukan langkahnya. Ia akan

berusaha untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan akan

menjauhi segala yang tidak diridhai Allah. “Kesadaran manusia akan

melekat eksistensinya oleh tangan Tuhan akan memekarkan

kepercayaan dan harapan bisa hidup bahagia sejahtera juga memiliki

rasa keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin.65

Adanya perasaan dekat dengan Allah, manusia akan merasa

tentram hidupnya karena ia akan merasa terlindungi dan selalu dijaga

64 Hamzah Ya’kub, Etika Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1996), hlm. 14265 Kartini Kartono, Jenny Andary, Hygiene Mental, hlm. 289

65

oleh Allah sehingga ia merasa aman dan selalu mengontrol segala

perbuatannya. “Tanpa kesadaran akan relasi dengan Tuhan maka akan

menimbulkan ketakutan dan kesedihan dan rasa tidak aman (tidak

terjamin yang kronis serta kegoncangan jiwa”.66

Jadi seorang bisa dikatakan jiwanya tenang jika seorang tersebut

menunjukkan perilaku atau sikap yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Perilaku atau sikap tersebut adalah sabar, optimis dan merasa dekat dengan

Allah.

5. Pengaruh Dzikir terhadap Ketenangan Jiwa

Ketenangan jiwa merupakan kondisi psikologi matang yang dicapai

oleh orang-orang beriman setelah mereka mencapai tingkat keyakinan yang

tinggi. Sementara keyakinan tidak datang dengan sendirinya. Ia harus

dicapai dengan melaksanakan dzikir. Allah berfirman:

Artinya: "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi

tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati

Allah-lah hati menjadi tenteram". (Ar-Ra'ad:28).

Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa dengan mengingat Allah yaitu

dengan berdzikir maka hati seorang akan menjadi tentram. Bagaimana dzikir

dapat membawa pengaruh pada ketenangan jiwa, dalam perspektif psikologi

dapat dijelaskan dengan beberapa teori, antara lain teori hipnosis. Subandi

66Kartini Kartono, Jenny Andary, Hygiene Mental, hlm. 288

66

dalam Bukhori, menyatakan bahwa dalam pandangan teori hipnosis, dzikir

dapat dipandang sebagai bentuk self- hypnosis, karena pada saat dzikir

perhatian seseorang dipusatkan pada objek dzikir, sehingga semakin lama

dia makin tidak merasakan rangsangan yang ada di sekitarnya. Dengan

demikian, dalam kondisi sebagaimana tersebut, seseorang akan memperoleh

ketenangan.67 Prinsip pokok dalam dzikir adalah pemusatan pikiran dan

perasaan pada Allah dengan cara menyebut nama-Nya berulang-ulang,

menyebabkan dzikir akan mempunyai pengalaman berhubungan dengan

Allah.

Secara psikologis, akibat perbuatan mengingat Allah ini dalam alam

kesadaran akan berkembanglah penghayatan akan kehadiran Tuhan Yang

Maha Pemurah dan Maha Pengasih, yang senantiasa mengetahui segala

tindakan yang nyata maupun yang tersembunyi. Ia tidak akan merasa hidup

sendirian di dunia ini, karena ada dzat Yang Maha Mendengar keluh

kesahnya yang mungkin tidak dapat diungkapkan kepada siapapun.68 Jadi

dengan berdzikir seorang akan ingat kepada Allah dan merasa setiap

langkahnya akan selalu ditemani oleh Allah, sehingga jiwanya akan merasa

tenang.

67 Baidu Bukhori, Dzikir, hlm. 2768 Bastaman, Integrasi Psikologi, hlm. 161

67

BAB IIIDZIKIR DALAM KONSEP QADIRIYAH DAN NAQSABANDIYAH

A. Qadiriyah

1. Sejarah

Qadiriyah adalah nama tarekat yang dinisbatkan kepada seorang sufi

besar dan juga pendirinya yaitu Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul

Qodir Jailani Al Baghdadi. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat

di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di

Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang

sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat

ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru

berkembang setelah Muhammad Ghawsh juga mengaku keturunan Abdul

Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi yang diberi gelar (mursyid kedua).

Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669

M.1

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai

derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus

mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat

yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul

Qadir Jaelani sendiri, bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya,

maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya

untuk seterusnya.

1Aqib. Kharisudin, M.Ag. AL-HIKMAH Memahami Teosofi Tarekat Qodiriyah WaNaqsyabandiyah,( Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hal: 49.

68

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan

tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti

Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah, Junaidiyah,

Kamaliyah, Miyan Khei, Qumaishiyah, Hayat al-Mir, semuanya di India. Di

Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah,

Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah,

Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika

terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan

tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul

Qodir Jailani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah

keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen

pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut Syurafa Jilala.2

Dari ketauladanan nabi dan sabahat Ali r.a dalam mendekatkan diri

kepada Allah Swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat

Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk

mendekat dan mendapat ridho dari Allah Swt. Oleh sebab itu dengan tarekat

manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan

terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus

ditinggalkannya.

Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa

Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah

contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jailani dari Sayidina Ali bin

2 https://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Qodiriyah (Diakses Pada 30 Juli Juni 2019, pukul17.50).

69

Abi Thalib r.a, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap

selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan

Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca

salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali.

Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.

Sedangkan di Indonesia tarekat Qadiriyah diperkirakan muncul pada

paruh kedua abad ke-16 dan diperkenalkan oleh Syekh Hamzah Fansuri di

Aceh. Dari Aceh, tarekat Qadiriyah kemudian menyebar ke Banten dan

Jawa Barat. Menurut Abdul Wadud Kasyful Humam, dalam tradisi rakyat

Cirebon, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dipercaya pernah datang ke Jawa dan

meninggal di pulau tersebut. Bahkan orang-orang dapat menunjukkan

makamnya.

Penyebaran di Jawa terjadi di beberapa pesantren, seperti di Pesantren

Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat,

Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren

Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah

murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah,

merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah.

Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke

Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.

Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama

ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh

Annemerie Schimmel dalam bukunya Mystical Dimensions of Islam (236)

70

yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan

untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah

Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani

yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa

terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah

satu daerah yang sering berontak.

Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda,

karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil

penyelidikan Martin van Bruneissen menunjukkan mereka itu pengikut

tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH

Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda

kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya,

Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH.

Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH. Khasan Tafsir dari Krapyak

Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.3

2. TokohSyaikh Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi sebagai pendiri tarekat ini

adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Silsilah

tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah Saw,

kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a,

Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein r.a, Sayidina Al-Imam Ali

Zainal Abidin r.a, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far

3 https://mozaik.inilah.com/read/detail/2192269/tarekat-qodiriyah-di-indonesia (DiaksesPada 30 Juli 2019, pukul 18.05).

71

As Shodiq r.a, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul

Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan

Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi,

Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi,

Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh

Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad

Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi.

Syeikh Abdul Qadir Jailaini mempunyai nama lengkap Muhy al-Din

Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani, lahir di

Naif kota Gilan (wilayah Iraq sekarang) tahun 470 H atau 1077 M, wilayah

yang terletak 150 km timur laut Baghdad dan wafat di Baghdad pada 1166

M. Ibunya seorang perempuan yang shalehah bernama Fathimah binti

Abdullah al-Shama’i al-Husaini keturunan Rasulullah Saw. Ketika

melahirkan Syekh Abd Qadir jilani ibunya berumur 60 tahun. Suatu

kelahiran yang tidak lazim bagi wanita yag seumurnya. Ayahnya

bernama Abu Shalih, jauh sebelum kelahirannya ia bermimpi bertemu

dengan Nabi Muhammad Saw yang diiringi oleh para sahabat, imam

mujahidin, dan wali.

Pada usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Gilan menuju Baghdad pada

tahun 1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah

Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan

saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai

mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany di

72

kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab

pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul

Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang

Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia

Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang

didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap

bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab, diteruskan anaknya

Abdul Salam. Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul

Razaq, sampai hancurnya Bagdad pada tahun 1258 M.

Dari Syeikh Abdul Qadir Jailani Qadariyah berkembang hingga keluar

Bagdad melalui beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran

tasawufnya ke berbagai negeri Islam. Di antaranya ialah: Ali Muhammad al-

Haddad di daerah Yaman, Muhammad Al-Batha ihi di daerah Balbek dan di

Syiria, dan Muhammad ibn Abd Shamad menyebarkan ajarannya di Mesir.

Demikian juga karena kerja keras dan ketulusan putera-puteri Syeikh Abd

Qadir Jailani sendiri untuk melanjutkan tarekat ayahandanya, sehingga pada

abad 12-13 M, tarekat ini telah tersebar ke berbagai daerah Islam, baik di

barat maupun di timur.

Di India disebarkan oleh Muhammad Ghawsh yang juga mengaku

keturunan Abdul Qodir Jaelani, di Turki oleh Ismail Rumi yang diberi gelar

(mursyid kedua), sedangkan di Indonesia disebarkan oleh Syekh Hamzah

Fansuri di Aceh, Syeikh Abdul Karim dari Banten dan KH Ahmad

73

Shohibulwafa Tadjul Arifin dari Tasikmalaya.4

3. AjaranMenurut al-Sya’rani bahwa bentuk dan karakter tarekat Qadariyah

adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir

dan batin. Syaikh Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syekh Abdul

Qadir adalah pemurnian akidah dengan meletakan diri pada sikap beribadah,

sedangkan Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter tarekat qadariyah

adalah tunduk dibawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan

roh serta kesatuan lahir dan batin.

Ajaran spiritual Syekh Abdul Qadir berakar pada konsep tentang dan

pengalamannya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu

mitos teologis maupun abstraksi logis, melainkan sebuah pribadi yang

kehadiran-Nya merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual dan estetis

seorang manusia. Ia selalu merasakan bahwa tuhan senantiasa hadir. Nasihat

Rasulullah dalam hadits, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-

Nya. Dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa ia

melihatmu. Ini merupakan semboyan hidupnya yang diterjemahkan dalam

praktik kehidupan sehari-hari.

Khotbahnya menggambarkan keluasan kesadarannya akan kehadiran

Tuhan yang serba meliput. Ia meyakini bahwa kesadara ini membersihkan

dan memurnikan hati seorang manusia, serta mengakrabkan hati dengan

alam roh. Ajaran Syekh Abdul Qadir selalu menekankan pada pensucian diri

4 https://www.bacaanmadani.com/2018/03/tarikat-qodiriyah-tokoh-tarikat.html (DiaksesPada 30 Juli 2019, pukul 18.12).

74

dari nafsu dunia. Karena itu beliau memberikan beberapa petunjuk untuk

mencapai kesucian diri yang tinggi yaitu taubat, zuhud, tawakal, syukur,

ridha, dan jujur.

4. Dzikir

Diantara praktik spiritual yang diadopsi oleh tarekat Qadariyah adalah

“dzikir”, melantunkan asma Allah berulang-ulang. Didalam praktik dzikir

terdapat beberapa tingkatan dalam penekanannya.

a. Dzikir dengan satu gerakan dilakukan dengan mengulang-ngulang

asama Allah, melalui tarikan nafas yang kuat, diikuti dengan

penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan

sampai nafas kembali normal.

b. Dzikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi

shalat, kemudian melantunkan asma Allah di dada sebelah kanan,

lalu dijantung dengan berulang-ulang, hal ini dianggap efektif

untuk meningkatkan konsentrasi dan menghilangkan rasa gelisah

dan pikiran yang kacau.

c. Dzikir tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang

pembacaan asma Allah dibagian dada sebelah kanan, kemudian

disebelah kiri dan akhirnya dijantung. Kesemuanya dilakukan

dengan intensitas yang lebih tinggi dan pengulangannya yang lebih

sering.

75

d. Dzikir empat dilakukan dengan duduk bersila, dengan

mengucapkan asma Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan,

kemudian disebelah kiri, lalu ditarik kearah jantung, dan terakhir

dibaca di depan dada. Cara terakhir ini dilakukan lebih kuat dan

lebih lama.

Praktik dzikir ini dapat dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara

keras atau perlahan , sambil duduk membentuk sebuah lingkaran setelah

shalat, pada waktu shubuh maupun malam hari. Jika seorang pengikut

sanggup melantunkan asma Allah empat ribu kali setiap harinya, tanpa putus

selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah memiliki kualifikasi

untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.

Setelah melakukan dzikir, tarekat menganjurkan untuk melakukan

pegaturan nafas (pas-i anfas) sedemikian rupa, sehingga dalam proses

menarik dan menghembuskan nafas, asma Allah bersikulasi dalam tubuh

secara otomatis. Kemudian diikuti dengan murokobah. Dan dianjurkan

untuk berkonsentrasi pada sejumlah ayat Al-Quran atau sifat-sifat ilahi

tertentu, hingga sungguh-sungguh terserap pada kontemplasi.5

B. Naqsabandiyah

1. SejarahTarekat Naqsabandiyah merupakan sebuah tarekat yang diambil dari

nama seorang pendiri Tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad

Baha’ al-Din al-Uwais al-Bukhari Naqsyabandi, dilahirkan di sebuah desa

5 https://yanamadyana07.wordpress.com/2013/01/05/tarekat-qadiriyah/ (Diakses Pada 30Juli 2019, Pukul 18:25).

76

Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.

Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syah

yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin

spiritual. Naqsyabandi secara harfiah berarti “pelukis, penyulam, penghias”.

Jika nenek moyang mereka penyulam, nama itu mengacu pada profesi

keluarga, jika tidak hal itu menunjukkan kualitas spiritualnya untuk melukis

nama Allah di atas hati seorang murid.6

Tarekat Naqsabandiyah merupakan salah satu tarekat yang luas

penyebarannya, umumnya di wilayah Asia Tengah, Volga, Kaukasus,

China, Indonesia, India, Turki, Eropa dan Amerika Utara. Tarekat ini

mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasawuf yang mengandung

unsur-unsur pemahaman rohani yang spesifik, seperti tentang rasa

atau dzauq. Di dalam pemahaman yang mengisbatkan Dzat ketuhanan

dan isbat akan sifat ma'nawiyah yang termaktub di dalam roh anak-anak

adam maupun pengakuan di dalam fanabillah maupun berkekalan

dalam baqabillah yang melibatkan zikir-zikir hati (hudurun

kalbu/menhadirkan hati).

Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsabandiyah mulai

menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus

tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang

Mujaddadiyah yang diawali oleh Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i

Tsani (Pembaru Milenium kedua). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir

6 Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996), hal.23

77

sinonimdengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan,wilayah Utsmaniyah,

dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat

Naqsabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam

beribadah, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan

kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik

(meskipun tidak konsisten).

Kata Naqsabandiyah berasal dari Bahasa Arab yaitu Murakab Bina-i

dua kalimah Naqsh dan Band yang berarti suatu ukiran yang terpateri, atau

mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya

yaitu Baha-ud-Din Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan

kata tersebut sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi

menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai Emas". Perlu

dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsabandiyah, Silsilah spiritualnya

kepada Nabi Muhammad Saw adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina

Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan Tarekat-Tarekat lain

silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib

Karramallahu Wajhahu.7

Diantara beberapa tarekat yang berkembang di Indonesia,

Naqsabandiyah adalah tarekat yang paling banyak pengikutnya. Ia tidak saja

tersebar di kalangan penduduk, tetapi juga menjadi bagian penting dalam

kebangitan politik Islam pada abad 19. Tarekat ini memiliki tiga cabang;

Mazhariyah, Khalidiyah dan Qadiriyah. Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah

7 https://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah (Diakses Pada 30 Juli 2019,Pukul 18:30).

78

merupakan perpaduan dua tarekat yang diciptakan oleh seorang sufi

bernama Ahmad Khatib Sambasi dari Kalimantan sekitar pertengahan abad

19.8

AjaranTarekat Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan

oleh Syeikh Yusuf Al-Makassari. Seperti disebutkan dalam bukunya safinah

al-Najah ia telah mendapat ijazah dari Syeikh Naqsabandiyah yaitu

Muhammad ’Abd al Baqi di Yaman dan mempelajari tarekat ini ketika

berada di Madinah dibawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Syeikh

Yusuf berasal dari Kerajaan Gowa Sulawesi. Pada tahun 1644 ia pergi ke

Yaman kemudian diteruskan lagi ke makkah, madinah untuk menuntut ilmu

dan naik haji. Karena kondisi politik saat itu, ia mengrungkan niatnya untuk

pulang ke tanah kelahirannya di Makassar sehingga membawanya menetap

di Jawa Barat Banten hingga ia menikah dengan putri Sultan Banten.

Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat

nama Banten sebagai pusat pendidikan Islam. mIa terkenal sebagai ulama

Indonesia pertama yang menulis tentang tarekat ini.

Syeikh Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan

menulis surah-surah tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting.

Kebanyakan risalah dan surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan

Bugis. Didalam tulisan-tulisannya, Syeikh Yusuf tetap konsisten pada

paham Wahdatul Wujud dan menekankan akan pentingnya meditasi melalui

seorang Syeikh (Tawassul) dan kewajiban sang murid untuk patuh tanpa

8 Martin van Bruinessen. Tarekat Naqsabandiyah. (Bandung: Mizan), hlm. 17.

79

banyak tanya kepada gurunya. Ia mengemukakan bahwa kepatuhan

paripurna kepada syeikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi

demi pencapaian spiritual.

Tarekat Naqsabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di

Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang beajar disana dan

oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan

menyebarkan tarekat ini keseluruh pelosok nusantara.

Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para

tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tareqat

Naqsabandiyah di bebarapa pelosok nusantara diantaranya adalah :

a. Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau,

beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan mempunyai

istana di penyengat dan di Lingga.

b. Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada Tarekat

Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai

dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman

al-Puntani (ulama yang terkenal di Pontianak sebagai penganut

Tasawuf dan penerjemah tak sufi)

c. Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11

hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat

yang paling berpengaruh di Madura dan juga di beberapa tempat lain

yang banyak penduduknya bersal dari madura, seperti surabaya,

Jakarta, dan Kalimantan Barat.

80

d. Di Dataran Tinggi Minangkabau tarekat Naqsabandiyah adlah yang

paling padat. Tokohnya adalah jalaludin dari Cangking, ’Abd al

Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di

Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking,

Singkarak dan Bonjol.

e. Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan

Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu

pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.

f. Perkembangan selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora,

Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri,

dan Blitar.

Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang terwakili di semua

provinsi di Indonesia. Tarekat ini sudah tersebar hampir keseluruh provinsi

yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok,

Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan

Barat, dan daerah-daerah lainnya. Pengikutnya terdiri dari berbagai lapisan

masyarakat dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan

lapisan yang lebih tinggi.

Di Sumatera Utara, lebih tepatnya kompleks pasantren kaum sufi

persulukan Babussalam, atau masyarakat Sumatera Utara lebih sering

menyebutnya Basilam, tarekat Naqsyabandiyah memasuki daerah ini

menjelang pertengahan abad ke-13 H/19 M. Hal ini dikaitkan dengan

81

berdirinya suluk91 di Babussalam, Langkat, Sumatera Utara, atas kerjasama

Sultan Musa, dari Kesultanan Langkat dengan Syaikh Abdul Wahab Rokan

sebagai pemimpin (Syeikh) persulukan tersebut.10

Munculnya tarekat Naqsyabandiyah di Basilam dibawa oleh Syaikh

Abdul Wahab yang berasal dari Rokan, Riau. Untuk mengembangkan ajaran

tarekat Naqsyabandiyah, Syaikh Abdul Wahab memulainya di Rokan

hingga ke sepanjang pesisir pantai Timur Sumatera-Siak, Tembusai di Riau

sampai ke Kerajaan Kota Pinang, Bilah Panai, Asahan, Kualuh, Deli

Serdang hingga ke Basilam di Langkat-. Di Besilam Syaikh Abdul Wahab

membangun desa dan madrasah Babussalam guna pengembangan ajaran

tarekat, walaupun sempat meninggalkan Babussalam karena dituduh

melakukan pemalsuan uang oleh penguasa Belanda pada masa itu, ia

akhirnya kembali lagi ke Babussalam melalui undangan Sultan Langkat.

Kampung Basilam dihuni oleh penduduk yang heterogen, terdiri dari

berbagai macam suku, seperti Melayu, Mandailing dan Jawa. Agar

masyarakat hidup tentram dan damai dibuat suatu peraturan yang disebut

Peraturan-peraturan Babussalam. Berdasarkan silsilah tarekat

9 Secara praktis tarekat ini disebut juga dengan suluk atau persulukan Basilam. Kata sulukberasal dari bahasa Arab (sulûk) artinya menempuh jalan. Orang yang menempuh jalan itu disebutsâlik. Maksudnya ialah orang yang berjalan menuju kedekatan dengan Allah SWT. denganmenjalankan ibadah sepanjang malam. Lihat Abdul al-Razzaq al-Kasyani, Istilâhat al-Sufiyah(Kairo : Dâr al-Ma’ârif, 1984), hlm. 115. Dikalangan tarekat kata suluk mengandung arti latihanyang dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh keadaan dan maqâm dengan jalanmemperbanyak ibadah, intropeksi diri dan berusaha memperbaiki jiwa agar dekat dengan Tuhan.Lihat Syekh al-Kamasykhawani, Jami’ al-Usûl fî al-Awtiyâ’ (Kairo: Dâr al-Kutub al-Arabiah, t.t.),hlm. 22. Lihat juga Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Semarang: Ramadhani, 1992), hlm.121.

10 H.A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam, cet. 8 (Medan: PustakaBabussalam, 1998), hlm. 63-64. Mengenal keberadaan kerajaan Melayu di Langkat dapat dilihatpada T. Luckman Sinar, Kerajaan-Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Medan Dirasat al-Ulya,1988).

82

Naqsyabandiyah ini menduduki urutan ke-17 dari pendiri tarekat tersebut

yakni Baha’ al-Dîn al-Naqsyabandiyah, dan urutan yang ke-34 dari Nabi

Muhammad Saw.

Pokok Ajaran Syaikh Abdul Wahab Rokan adalah keseimbangan

kehidupan dunia dan akhirat. Kegiatan yang dilakukan Syaikh Abdul Wahab

Rokan dan pengikut tarekatnya tidak hanya berzikir dan bersuluk. Syaikh

Abdul Wahab Rokan juga membuka perkebunan karet, jeruk manis dan lada

hitam, mengembangkan peternakan dan perikanan serta mendirikan

percetakan.

Syaikh Abdul Wahab Rokan juga melibatkan diri dalam urusan politik.

Beliau mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam, seperti

HOS Cokroaminoto dan Raden Gunawan, yang mendirikan Syarikat Islam

(SI) pada tahun 1912 kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia

(PSII).11 Pada tahun 1913 ia mengutus dua orang puteranya ke musyawarah

SI di Jawa dan kemudian mendirikan Syarikat Islam cabang Babussalam di

mana Syaikh Abdul Wahab Rokan menjadi salah seorang pengurusnya.

Keraguan sebahagian kalangan terhadap tarekat di satu sisi, dan

keberhasilan tarekat Naqsabandiyah dalam membangun tatanan kehidupan

sosial pengikutnya di sisi yang lain, menawarkan satu bidang pembahasan

yang sangat menarik dan membutuhkan satu eksposisi tersendiri. Kebutuhan

inilah yang akan dijawab tulisan ini, meliputi tokoh tarekat Naqsabandiyah

Sumatera Utara, Syaikh Abdul Wahab Rokan, sejarah perkembangannya,

11 Fuad Said, Syekh Abdul Wahab, hlm. 14.

83

pemikiran, amalan, dan perubahan yang dilakukannya.

2. Tokoh

Ada beberapa tokoh dalam tarekat Naqsabandiyah di dunia. Imam

Tariqah Shah Muhammad Baha'uddin Naqshband al-Uwaisi al-Bukhari

merupakan pendiri Naqsabandiyah. Syeikh Baha'uddin dilahirkan pada

tahun 1318 di desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i

Arifan) di dekat Bukhara, yang juga merupakan tempat di mana ia wafat

pada tahun 1389. Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di

Bukhara, Uzbekistan serta daerah di dekatnya, Transoxiana. Ini dilakukan

untuk menjaga prinsip "melakukan perjalanan di dalam negeri", yang

merupakan salah satu bentuk "laku" seperti yang ditulis oleh Omar Ali-

Shah dalam bukunya "Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi".

Perjalanan jauh yang dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah

haji dua kali.

Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru

dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi

sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba

Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam

jalur ini, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus

(khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal, yang merupakan rantai terakhir

dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan dasar

dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya

selama bertahun-tahun.

84

Pada suatu saat, Baha'uddin mendapat instruksi secara "ruhani" oleh

Abdul Khaliq Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani) untuk

melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah

keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktikkan dzikir

yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai

dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas absen dari kelompok ketika mereka

mengadakan dzikir bersuara.

Di Irak ada Maulana Khalid al-Baghdadi yang merupakan seorang

Ulama Sufi dari suku Kurdi, dengan nama Syekh Diya al-Din Khalid al-

Shahrazuri, pendiri cabang tarekat Sufi Naqsyabandi yang disebut

Khalidiyah setelahnya, yang telah memiliki dampak mendalam tidak hanya

pada tanah asli Kurdi, tetapi juga di banyak wilayah lain di dunia Islam

barat.

Maulana Khalid memperoleh gelar Baghdadi karena beliau seringnya

tinggal sekaligus dakwah di Baghdad, tepatnya berada di kota Karadag

(Qaradagh) di wilayah Shahrizur, sekitar 5 mil dari Sulaymaniyah, ia

dilahirkan pada 1779. Ayahnya adalah seorang penganut tarekat Qadiriyah

Sufi yang dikenal sebagai Pir Mika'il Shesh-angosht, dan ibunya juga

berasal dari keluarga Sufi yang terkenal di Kurdistan.

Tokoh lainnya seperti Syaikhul Masyaikh Khwajah Khwajahgan Pir

Piran Maulana Khwajah Khan Muhammad Sahib Khanqah Sirajiah,

Maulana Ameer Muhammad Akram Awan, Imam Shamil, Jami, Shaykh

Said Afandi al-Chirkawi, Shaikh Ma'aruf Lengging, Shaykh Nazim al-

85

Qubrusi, Abdullah Fa'izi ad-Daghestani Syaikh Al Waasi Achmad

Syaechudin, Shaykh Muhammad Hisham Kabbani, Professor Sibghatullah

Mojaddedi, Haji Soofi Masood Ahmad Siddiqui Lasani Sarkar, Ahmet

Kayhan Dede, Abdullah Isa Neil Dougan, Irina Tweedie, Idries Shah,

Muchsin Al-Hinduan, Omar Ali Shah, Hazrat Mujadid Abdul Wahab

Siddiqi, Shaykh Faiz-ul-Aqtab Siddiqi, Shaykh Naeem Abdul Wali,

Mohammed Amin Kuftaro, Mukhsin Bin Ali Al-Hinduan, Faqir Maulawi

Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi Naqshbandi Mujaddidi, Hazrat Nachrawi An-

Naqsyabandie, Syeikh Raja Ashman Shah an-Naqsyabandi, Sheikh Nursy

Al-Naqsyabandiah, Sheikh Abdul Wahab b. Abdul Manaf ALKholidi, cicit

Sheikh Abdul Wahab Rokan ALKholidi (Mursyid di Jerlun, Kuala

Kangsar), Sheikh Haji Zainuddin bin Haji Alang Ahmad Al-Kholidi, Sheikh

Haji Hashim b. Haji Hassan Al-Kholidi, Mursyid di Pekan Cendawan, Ipoh

dan Sheikh Haji Suhaimi Khalis b. Haji Ishak Al-Kholidi, Mursyid di

Greenwood, Gombak.12

3. AjaranAjaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada

empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran

Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan

yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat

dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan

adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian

12 https://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah (Diakses Pada 30 Juli 2019,Pukul 18:30).

86

atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan

seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan

sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh

antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa

suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan

dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin.

Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang

telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.

Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai’at

dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai’at

dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah

dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara

membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan

memulai dzikir.

Dzikir ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin

dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-

lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah.

Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan

dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan

sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini

disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab

pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya.

Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari

87

Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan

awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh

Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan

masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar

mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf

Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal

dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan

kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).

Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:

a. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi:

sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas,

menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara

keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah,

memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir

kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual

dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).

b. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid

haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang

lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya

tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.

c. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”.

Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk

ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan

88

hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran

lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari

mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan

dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah

(Gumusykhanawi)].

d. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai

pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada

konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber.

Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat

berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini

sebagai menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir

tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di

tengah keramaian orang; yang lain mengartikan sebagai perintah

untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat

sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah

saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah

secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang)

dengan mengacu kepada asas ini.

e. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama

Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula

dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau

dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir

itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis

89

shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam

kesadaran akan Allah yang permanen.

f. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati

supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur),

sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti

sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka

mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan

keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir,

arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang,

untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.

g. Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-

menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar

pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap

akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang

agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip

seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari;

kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”

h. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara

langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan

nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah

Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak

berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan

jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.

90

Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:

1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”.

Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan

waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua

atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan

tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah

berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau

lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta

ampun kepada-Nya.

2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan

hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa

pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam

jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan

membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir

ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan

yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang

secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din

menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama

Allah terukir di atasnya.13

13 http://bumi-ilmu01.blogspot.com/2015/08/tarekat-naqsabandiyah-dan-ajarannya.html(Diakses Pada 30 Juli 2019, Pukul 18:30).

91

4. Dzikir

Amalan pokok paling mendasar bagi penganut Tarekat Naqsyabandiyah

adalah dzikrullah (mengingat Allah). Sebagaimana penelitian yang

dilakukan oleh Mir Valiuddin, bagi para pengamal tarekat naqsyabandiyah

meyakini bahwa waktu luang seseorang itu sangatlah berharga dan bernilai,

serta tidak boleh dibiarkan berlalu sia-sia begitu saja. Waktu luang itu

mestilah digunakan untuk melantunkan zikir kepada Allah SWT. Tarekat

Naqsyabndiyah tidak memerlukan banyak berjaga malam dan lapar, tetapi

hendaklah mengambil jalan tengah dalam segala perkara beserta hari yang

selalu hadir mengingat Allah, baik menyendiri maupun ketika sedang

berkumpul dengan orang banyak.14

Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya,

adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun

menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai

kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali,

Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal

dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ”

dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai

tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan

lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat

lain.

Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.

14 Mir Valiuddin. Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf. (Bandung : Pustaka Hidayah,1996), hlm.20.

92

Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara

sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung

ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan

dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua

kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain

dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang

lebih lama lagi.

Tarekat Naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir yaitu:

a. Dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ”

mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma

Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan

tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata.

b. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri

atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la

ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis)

melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar

terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan

berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa

dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung,

dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat

tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama

Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.

Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang

93

lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang

memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan

memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh.

Tujuh tingkatan zikir ini adalah:

a. Mukasyah. Mula-mula zikir dengan nama Allah dalam hati

sebanyak 5000 kali sehari semalam. Kemudian melaporkan kepada

syeikh untuk di naikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari-

semalam. Zikir 5000 dan 6000 itu dinamakan maqam pertama.

b. Lathifah (jamak latha’if), zikir ini antara 7000 hingga 11.000 kali

sehari-semalam. Terbagi kepada tujuh macam yaitu qalb (hati), ruh

(jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa

(kedalaman paling tersembunyi), dan nafs nathiqah (akal budi),.

Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi

luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai

tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh

tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Ternyata latha’if pun

persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu

letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan

teknik meditasi seluruhnya sama saja.

c. Nafi’ Itsbat, pada tahap ini, atas pertimbangan syeikh, diteruskan

zikirnya dengan kalimat la ilaha illa Allah. Merupakan maqam ke-

tiga

d. Waqaf Qalbi

94

e. Ahadiah

f. Ma’iah

g. Tahlil, Setelah samapat pada maqam terakhir ini maka sang murid

tersebut akan memperolah gelar Khalifah, dengan ijazah dan

berkewajiabn menyebarluaskan ajaran tarekat ini dan boleh.

Mendirikan suluk yang dipimpin oleh mursyid.

95

BAB IVKONSEP PENDEKTAN DIRI KEPADA ALLAH DALAM TAREKAT

SYADZILIYAH

A. Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah dalam Tarekat Syadziliyah

1. Tasawuf sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah

Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari

cara dan jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin

dengan kesederhanaan Tuhan. Secara etimologi kata tasawuf berasal

dari: (1) Ahlussuffah, yakni orang-orang yang ikut pindah bersama

Nabi dari Mekah ke Madinah, (2) Shafi dan shafiyyun yang artinya

suci. Maksudnya, seorang sufi adalah orang yang disucikan, (3) Shuf

(kain wol kasar yang dibuat dari bulu), maksudnya bahwa kaum sufi

sering memakai kain wol kasar sebegai simbol.1

Menurut Al-Kurdi, tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari

hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari

sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji,

cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan

meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah- Nya2

Ada tiga macam akhlak yang harus dilakukan oleh seorang yang

mengikuti jalan tasawuf, yaitu: pertama, akhlak kepada Tuhan,

dengan memenuhi perintah-perintah-Nya tanpa kemunafikan; kedua,

1 Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang , 1995),hlm. 66.

2 Majhudin , Akhlak Tasawuf Jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm.66

96

akhlak kepada manusia, dengan menghormati yang lebih tua dan

berlaku kasih sayang kepada yang lebih muda dan berbuat adil

terhadap sesama, dan dengan tidak mencari balasan dan keadilan dari

segenap orang pada umumnya; dan ketiga, akhlak kepada diri

sendiri, dengan tidak menuruti hawa nafsu dan setan. Ketiga akhlak

seorang sufi menjadi orang yang paling mulia di hadapan Tuhan3

Dari beberapa pendapat para ahli tentang makna tasawuf

sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa tasawuf pada

dasarnya merupakan suatu suatu ilmu yang mempelajari tentang

cara-cara membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati,

mengisinya dengan sifat-sifat terpuji melalui mujahadah dan

riyadhah, sehingga merasakan kedekatan dengan Allah dalam

hatinya dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, dan dapat

melihat Allah dengan matahatinya.

2. Langkah-Langkah Menuju Kehidupan Tasawuf

a. Tazkiyahal-Nafs

Tazkiyah al-nafs itu adalah merupakan suatu upaya untuk

menjadikan hati menjadi bersih dan suci, baik dzatnya, maupun

keyakinannya”.4 Berkaitan dengan tazkiyah al-nafs, Azra5

menjelaskan bahwa kegiatan pokok mengamalkan tasawuf itu

terfokus pada tiga kegiatan sebagai berikut: (1) tazkiyat an-nafs,

3 Al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 90.4 Ibnu Taimiyah., Tazkiyatun Nafs, (Jakarta: DarussunAH Press, 2010), hlm. 1175 Al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. xi.

97

yakni membersihkan diri dari dosa besar dan dosa kecil,

sertmembersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat

tercela; (2) taqarrub ila Allah, yakni memberikan perhatian serius

kepada usaha-usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan

sedekat-dekatnya. Memang Allah itu dekat dengan hamba-hamba-

Nya, bahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher

(QS.50:16). Persoalannya, kedekatan Allah dengan manusia tidak

selalu dapat dirasakan manusia; (3) hudlur al-qalb ma'a Allah, yakni

menfokuskan diri kepada usaha untuk merasakan kehadiran Allah

dan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan merasakan persatuan

denganAllah.

b. Mujahadah dan RiyadahSalah satu hal yang harus ditempuh oleh seorang Sufi sebagai

upaya mendekatkan diri kepada Allah yaitu mujahadah dan

riyadhah. Mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu) adalah

menyapihnya, membawanya keluar dari keinginan-keinginan yang

tercela dan mengharuskannya untuk melaksanakan syari’at Allah,

baik perintah maupun larangan.6 Menurut al-Shadiqi, bahwa

mujahadah itu ialah kemampuan diri untuk menekan dorongan hawa

nafsu yang selalu ingin berbuat hal-hal yang tidak benar, lalu mampu

memaksanya untuk berbuat hal-hal yang baik.7

Selain harus melakukan mujahadah, untuk dapat mendekatkan

6 A. Isa, Hakikat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah 2010), hlm. 727 Majhudin , Akhlak Tasawuf Jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm.200

98

diri kepada Allah yaitu harus melakukan riyadhah. Yang dimaksud

riyadhah menurut ash-Shidiqi ialah latihan kerohanian dalam

melaksanakan hal-hal yang terpuji, baik dengan cara perkataan,

perbuatan maupun dengan cara penyikapan terhadap hal-hal yang

benar, yang dilakukan dengan tiga macam cara menurut tingkatan

kedekatan hamba dengan Tuhannya.8 Tiga macam cara tersebut,

yaitu:

Pertama, riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya

untuk berbuat baik. Kedua, riyadhah orang khowas (sufi, wali), yaitu

upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah ketika

melaksanakan suatu perbuatan baik engan cara berusaha memahami

perbuatan yang dilakukannya, kesaksian Allah dan ma’rifat atau

kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan Ketiga, riyadhah orang

khowasul khowas (nabi, rasul), yaitu berbuat baik untuk

mendapatkan dengan Allah berbeda dengan istilah penyatuan

menurut paham wujudiah. Dari uraian tentang mujahadah dan

riyadhah di atas, dapat dikatakan bahwa mujahadah dan riyadhah

dalam tasawuf itu merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan.

c. Maqomat (Kedudukan Spiritual) dalam TasawufDalam pandangan al-Qusyairi, maqam adalah tahapan adab

(etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepada Allah

dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian

8Majhudin , Akhlak Tasawuf Jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 201

99

dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri

ketika dalam kondisi tersebut, serta latihan-latihan spiritual

(riyadhah) menujukepada-Nya.

Senada dengan al-Qusyairy, al-Hujwiri menunjuk maqam

kepada keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya

kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta

menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya, sejauh berada

dalam kekuatan manusia. Sedangkan menurut al-Ansari

berpandangan bahwa maqam adalah pemenuhan hak-hak Allah. Jika

seorang hamba tidak memenuhi hak-hak yang ada pada perhentian-

perhentian (manazil) itu, maka tidak sah baginya untuk naik ke

maqam (tingkat) yang lebih tinggi. Selanjutnya, Bahri menjelaskan

bahwa kaum sufi berbeda pandangan perihal jumlah maqam yang

ditempuh oleh seseorang. As-Sarraj menyebut tujuh maqam, yaitu

taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridha. Abu Talib

Al-Makki menyebut sembilan maqam, yaitu taubat, sabar, syukur,

roja, khauf, zuhud, tawakkal, ridha, dan mahabbah.9 Maqam adalah

kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang

diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan

melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),

latihan- latihan spiritual (riyadhah), dan mengarahkan segenap jiwa

raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya. Al-

9 I. et.al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm.781.

100

Maqamat tersebut meliputi: taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar,

tawakal, dan ridha .10

Dari beberapa pendapat para sufi tentang maqamat seperti

dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa maqamat itu pada dasarnya

merupakan kedudukan dan sekaligus tahapan-tahapan spiritual yang

harus dilalui oleh seseorang dalam menempuh jalan mendekatkan

diri kepada Allah. Mengenai perbedaan jumlah maqamat yang

dikemukakan oleh para sufi itu tiada lain karena adanya perbedaan

pengalaman ruhani kaum sufi, sehingga sering terjadi pencapaian

atau pengalaman spiritual tertentu, kemudian hal itu dianggap

sebagai maqam oleh sebagian sufi. Dari sekian maqam-maqam atau

tahapan-tahapan spiritual yang harus dilalui oleh seorang yang

berkehendak untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang disepakati

oleh para sufi pada umumnya yaitu sebagai berikut:

1) Taubat

Maqam pertama yang harus dilalui oleh seseorang salik

atau orang yang ingin membersihkan hati dan mendekatkan

diri kepada Allah ialah taubat. Taubat merupakan awal

berangkatnya seorang salik menuju kepada tingkatan

berikutnya. Karena itu, membangun taubat harus dengan kuat.

2) Wara’

10 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 89

101

Wara’ merupakan salah satu maqam atau kedudukan

spiritual yang harus dilalui oleh seseorang yang menempuh

jalan sufi. Wara’ secara bahasa ialah menjauhi dosa, lemah,

lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang

beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan

pemahaman masing-masing. Ibrahim Ibn A’dham mengatakan

bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang

meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.

Asy-Syibli memberikan pengertian yang lebih mendalam,

yakni bahwa wara’ itu ialah menjauhi segala sesuatu selain

Allah.11

3) Zuhud

Suatu istilah yang sering kita dengar dalam ilmu tasawuf

ialah zuhud. Sebelum ilmu tasawuf berkembang, istilah zuhud

sering digunakan untuk orang-orang yang berusaha

membersihkan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan salah satu maqam

yang harus dilalui calon sufi untuk berada sedekat mungkin

dengan Allah.

4) faqir

11 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 92

102

Menurut Al-Ghazali, faqir adalah hilangnya apa-apa yang

dibutuhkan. Artinya, ia benar-benar membutuhkan yang hilang

itu. Jika seseorang kehilangan apa-apa yang tidak ia butuhkan,

maka bukan faqir namanya. Begitu pula jika barang yang

dibutuhkan itu ada dan bisa didapatkan, maka orang yang

membutuhkan itu tidak bisa disebut faqir. Senada dengan al-

Ghazali, Al-Jauziyah juga memandang faqir sebagai orang

yang senantiasa membutuhkan Allah dalam segala keadaan

dan mengakui keunggulan segala apa yang ada di sisi-Nya

dibanding dengan segala yang dimilikinya.12

5) Sabar

Kedudukan spiritual sabar adalah kedudukan spiritual yang

mulia.13 Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengemukakan

pandangan para sufi tentang sabar tersebut. Menurutnya, Al-

Junaid pernah ditanya tentang sabar, kemudian ia menjawab:

“Sabar ialah memikul semua beban berat sampai habis saat-

saat yang tidak diinginkan". Ibrahim Al-Khawwas berkata:

Sebagian besar manusia lari dari memikul beban berat sabar.

Kemudian mereka berlindung diri pada berbagai sarana

(sebab) dan pencarian, bahkan mereka bergantung padanya

seakan-akan sesuatu tersebut yang bisa memberinya.

12 I. et.al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008),hlm.358

13 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 102.

103

6) Tawakal

Menurut Muhammad ibn Ash-Shiddiqi, tawakkal adalah

engkau mencukupkan diri dengan pengetahuan Allah tentang

dirimu, dari ketergantungan hatimu kepada selain-Nya, dan

engkau mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allah.

Menurut Abu Said Al-Kharraz, tawakkal adalah percaya

kepada Allah, bergantung kepada-Nya, dan tenteram terhadap-

Nya dalam menerima segala ketentuan-Nya, serta

menghilangkan kegelisahan dari dalam hati terhadap perkara

duniawi, rizki, dan semua urusan yang penentunya adalah

Allah.14

7) Ridha

Ridha adalah kedudukan spiritual yang mulia. Ridha adalah

pintu Allah yang paling agung dan merupakan surga dunia.

Ridha adalah dapat menjadikan hati seorang hamba merasa

tenang di bawah kebijakan hukum Allah Azza wajalla. Al-

Qannad pernah ditanya tentang ridha, ia menjawab: Ridha

adalah tenangnya hati atas berlakunya takdir. Dzunnun al-

Misri pun pernah ditanya tentang ridha, lalu ia menjawab:

Ridha adalah senangnya hati atas takdir yang berlaku padanya.

14 A. Isa, Hakikat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah 2010), hlm. 261.

104

Ibnu Atha berkata: Ridha adalah melihatnya hati nurani pada

pilihan Allah yang lebih dahulu telah ditetapkan untuk hamba-

Nya, agar ia tahu bahwa Allah memilihkannya yang terbaik

untuknya, sehingga ia ridha dan tidak jengkel dengan-Nya.15

3. Al-ahwal (Kodisi Spiritual) dalam TasawufAhwal adalah keadaan-keadaan spiritual yang menguasai qalbu

dalam menempuh jalan menuju Tuhan. Istilah ahwal dalam tasawuf

digunakan untuk menunjukkan keadaan spiritual.Al-hal merupakan

sebuah kondisi yang melekat dalam qalbu, merupakan efek dari

peningkatan maqomat seseorang. Secara teoritis memang bisa

dipahami, bahwa seorang hamba kapan pun ia mendekat kepada

Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan

mujahadah, maka Allah akan memancarkan cahaya dalam qalbu

hamba tersebut. Yang termasuk kepada al-ahwal menurut Abu Nashr

as-Sarraj16 yaitu muraqabah, qurbah, mahabbah, khauf, roja, syauq,

uns, thuma’ninah, musyahadah, danyaqin.

a. Muraqabah

Yang dimaksud muraqabah bagi seorang hamba yaitu: “Suatu

pengetahuan dan keyakinan bahwa Allah Swt yang ada dalam hati

nuraninya selalu melihat dan Maha Mengetahui”.17 “Muraqabah

yaitu seseorang melihat Allah dengan mata hatinya dan meyakini

15 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 11016 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 88.17 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 112.

105

sedalam-dalamnya bahwa Allah itu ialah Tuhan yang menciptakan

kita”18

b. Qurbah(Kedekatan)

Apa sebenarnya yang dimaksud al-qurbah menurut pandangan

para sufi? Kondisi spiritual qurbah bagi seorang hamba yaitu

menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah subhanahu

wa ta’ala dengannya. Dengan demikian, ia akan melakukan

pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan-ketaatan dan seluruh

perhatiannya selalu terpusatkan di hadapan Allah dengan selalu

mengingat-Nya dalam segala kondisinya, baik secara lahiriah

maupun secara rahasia hati.19

c. Khauf (Rasa Takut)

Khauf yaitu rasa takut kepada Allah swt sebagai akibat dari

kedekatannya dengan Allah. Di antara orang yang sudah mencapai

kondisi spiritual khauf (rasa takut) kepada Allah swt itu ada yang

rasa takutnya menguasai hatinya karena ia melihat kedekatan Allah

dengannya, ada pula di antara mereka yang hatinya dikuasai rasa

cinta (mahabbah). Hal itu terjadi sesuai dengan pembenaran

(tashdiq), hakikat keyakinannya, dan rasa takut (khasyyah) yang

diberikan Allah dalam hati hamba-Nya.

18 Sy.M.J. Jaho, Tegur Sapa Untuk Hati (terj.), (Jakarta: Yayasan Emiliyyatil Abbasiah,2002), hlm. 2219 Abu N. Al-Luma’ As-Sarraj, (Surabaya: Risalah Gusti. 2009), hlm. 116.

106

d. Roja (Rasa Pengharapan)

Rasyidi menjelaskan bahwa roja yaitu suatu sikap mental

optimisme dalam memperoleh karunia Allah yang disediakan bagi

hamba-hamba-Nya yang shaleh. Oleh karena Allah itu Maha

Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, maka bagi hamba yang taat

merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Allah, jiwanya

penuh harapan mendapat ampunan, merasa lapang, penuh gairah,

menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena ia yakin bahwa hal

itu akan terjadi. Dalam pandangan sufi, roja merupakan salah satu

tingkatan yang harus dilalui oleh seorang salik untuk memperoleh

derajat tertinggi di sisi Allah, tetapi tidak semua sikap roja bisa

dikatakan maqam. Baru dikatakan maqam apabila sikap itu telah

mendarah daging dan menyatu dalam jiwa. Kalau sikap itu hanya

sementara saja dan pada suatu saat menghilang, maka yang demikian

itu dikatakan hal.20

e. Syauq

Syauq yaitu suatu kerinduan kepada Allah Swt. Di dalam

tasawuf istilah syauq digunakan untuk mengekspresikan meluapnya

keinginan hati untuk bertemu dengan Kekasih, atau kerinduan yang

mendalam kepada Kekasih, yakni Allah Azza wa Jalla. Salahudin

20 I. et.al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm.994.

107

menjelaskan, bahwa syauq adalah kerinduan untuk melihat Kekasih,

kerinduan untuk dekat dengan Kekasih, kerinduan untuk bersatu

dengan Kekasih, dan kerinduan yang mendalam untuk meningkatkan

kerinduan itu sendiri kepada Kekasih. Lebih lanjut, Salahudin

mengemukakan beberapa pendapat para sufi tentang syauq.

f. Uns

Uns yaitu suatu keadaan spitual seorang sufi yang merasa intim

atau akrab dengan Tuhannya, karena telah merasakan kedekatannya

dengan-Nya. Uns adalah keadaan spiritual ketika qalbu dipenuhi rasa

cinta, keindahan, kelembutan, belas kasih, dan pengampunan Allah.

Bahri mengutip beberapa pendapat para sufi tentang apa yang

dimaksud dengan uns. Menurut Abu Sa’id Al-Kharraz, uns adalah

perbincangan ruh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat

dekat. Dzunnun Al-Misri memandang uns sebagai perasaan lega

yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Menurut

Suhrawardi, uns diperoleh seseorang dengan sebab ketaatan kepada

Tuhan, senantiasa selalu berdzikir kepada-Nya, membaca firman-

Nya, dan melakukan serangkaian kedekatan-kedekatan kepada-Nya.

g. Thuma’ninah

Thuma’ninah adalah salah satu kondisi spiritual sebagai

anugerah Tuhan yang diperoleh oleh seorang sufi yang sedang

108

melakukan pendakian spiritual menuju Tuhan. Thuma’ninah berarti

tenang dan tenteram. Orang yang memperoleh kondisi jiwa ini tidak

lagi dihinggapi rasa was-was dan khawatir. Tidak ada lagi yang

dapat mengganggu perasaan dan pikirannya, karena sudah berhasil

mencapai kesucian jiwa yang paling tinggi. Dia sudah dapat

berkomunikasi dengan Allah swt, karenanya ia merasa sangat senang

dan bahagia.

h. Musyahadah

Rosyidi menjelaskan bahwa musyahadah itu bisa tercapai

dengan melalui mujahadah (kesungguhan) dalam beramal. Hal ini

sejalan dengan apa yang dikatakan Imam Al-Qusyairi bahwa

“Barangsiapa yang menghiasi lahirnya dengan mujahadah, niscaya

Allah memperbaiki “sirr” (rahasia batin) hatinya dengan

“musyahadah”. Maksudnya, merasakan kehadiran Allah dalam rasa

hatinya.21

i. Yaqin

Di dalam tasawuf istilah yaqin mengacu kepada ketetapan hati

kepada Allah berdasar ilmu yang tidak berubah, tidak bisa

dipalingkan, tidak bisa dibolak-balik, dan tidak lenyap ketika ada

goncangan dan keraguan. Keyakinan ini tercermin, misalnya dari diri

21 I. et.al Isma’il, Ensiklopedi Tasawuf Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 907

109

pribadi Imam Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang dikemukakan

oleh Salahudin, bahwa ia pernah menyatakan: “Bahkan jika selubung

antara yang tampak dan tidak tampak diangkat, keyakinanku tak

akan bertambah”. Rasulullah bersabda: “Keyakinan akan membawa

hamba Allah kepada setiap keadaan yang luhur dan setiap tempat

pemberhentian yang menakjubkan”.

B. Macam-Macam Hizb

1. Pengertian Hizb

Hizb berasal dari bahasa Arab, yaitu Hizbun.Artinya partai, kelompok,

golongan, jenis, wirid, bagian, tentara, pasukan atau senjata.Dalam

pembahasan ini arti Hizbun adalah jenis wirid yang bahasa keseharian

disebut hizb.22Hizb adalah suatu do’a yang cukup panjang, dengan lirik dan

bahasa yang indah yang disusun ulama besar.223Hizb adalah kumpulan do’a

khusus yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat Islam khususnya

di pesantren dan tarekat. Hizb ini biasanya merupakan do’a andalan seorang

Syaikh yang biasanya juga diberikan kepada para muridnya secara ijazah

yang jelas (ijâzah sharîh). Do’a ini diyakini oleh kebanyakan masyarakat

Islam atau kaum santri sebagai amalan yang memiliki daya spiritual yang

22 Ki UmarJogja, “Definisi Ilmu Hizib,” artikel diakses pada 30 Juni 2019 darihttp://rasasejati.wordpress.com/kajian-ilmu-ghoib/hizib-ratib

23Hizb yang terkenal adalah hizb yang di susun oleh Abû Hasan al-Syâdzilî, pendiri TarekatSyadziliyahantaralain, hizbal-bahr,hizbal-nashr,hizbal-barr(al-kabir)dan lain-lain. Lihat Abi Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazuli, Dalail al-Khairât ma al-Ahzab, (Surabaya: Nabhan, t.th).

110

sangatbesar.24Hizb adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an dan untaian

kalimat zikir, Asma Allah dan do’a yang disusun untuk diamalkan dengan

membacanya atau diwiridkan (diucapkan berulang-ulang) sebagai salah satu

bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (Taqarrub

Ilallah). Jadi kandungan dari sebuah hizb selain berisi pujian mengagungkan

Asma Allah SWT dan shalawat Nabi juga mengandung doa untuk

memohon pertolongan kepada Allah. Hizb juga mengandung banyak rahasia

(sirr) yang sulit dipahami oleh orang awam, seperti kutipan beberapa ayatal-

Qur‟anyangterkadangisinya seperti tidakterkait dengan lafal rangkaian doa

sebelumnya. Para ahli hizb berpendapat bahwa dalam hal ini yang terkait

adalah asbabunnuzul-nya.25

2. Hizb-Hizb Tarekat Syadziliyah

a. Hizb al-Asyfa’

Hizbal-asyfâ ‟adalah hizb yang khasdari Tarekat

Syadziliyah di Tulungagung. Sebelum seseorang mengikuti

prosesi baiat atau talqin zikir, biasanya ia dianjurkan untuk

membaca hizbal-asyfa‟, untuk membuka hati dan

membersihkannya dari kotoran nafsu. Adapun cara

mengamalkan, apabila disertai puasamaka hizbal-asyfâ‟

dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa dilaksanakan

24 Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa,2008), hlm.1153.

25 Ki UmarJogja, “Definisi Ilmu Hizib,”

111

selama tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari atau empat puluh

hari, sesuai dengan petunjuk Mursyid. Puasa dimulai pada

hari selasa, rabu dan kamis. Apabila tidak disertai puasa,

maka pembacaan hizbal-asyfâ ‟dilaksanakan cukup sekali

dalam sehari semalam.26

b. Hizb al-bahr

Hizb al-bahr ditulis pada saat Syaikh Abu Hasan al-

Syâdzilî dalam perjalanan di Laut Merah dan mendapat

langsung dari Rasulullah. Al-Syadzili membacanya dalam

rangka berdoa agar selamat dalam perjalanan di Laut Merah.

Penerapan dalam mengamalkan hizb al-bahr Tarekat

Syâdziliyah di bekasi, bagi seseorang yang sudah

mendapatkan ijazah hizb al-bahr, dianjurkan agar setelah

mengamalkan wirid Tarekat Syâdziliyah diteruskan dengan

membaca hizb al-bahr. Hal ini sesuai dengan anjuran al-

Syadzili. Tatacara membacanya, setelah membaca al-fatikhah

yang terakhir atau sebelum doa kemudian dilanjutkan

membaca hizb al-bahr dengan diawali membaca al-fatikhah

lillaahi ta’ala, lalu langsung membaca hizb al-bahr. Hizb al-

bahr diakhiri dengan membaca al-fatikhah 7 kali, lalu ditutup

dengan membaca doa.13Hizb al-bahr biasanya dibaca setelah

26Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” hlm.168.

112

shalat Ashar dalam tradisi Tarekat Syadziliyah (demikian

keterangan Ibn Atha’illahal-Iskandari).27

c. Hizb al-Kafi

Cara mengamalkan hizb al-Kafî ini dimulai dengan

membaca al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah Swt., Nabi

Muhammad Saw., Sayidina Abu Bakar al-Shidiq, Sayidina

Umar ibn al-Khaththab, Sayidina Ustman bin affan, Sayidina

ali bin Abi Thalib, Sayidina Hasan dan Husain, Syaikh abd

al-Qadir al- Jailani, Mbah Panjalu, Wali Sembilan di

Indonesia, Sunan Kalijaga, Syaikh Mustaqîm bin Husain,

Syaikh Abdul jalil bin Mustaqim, kedua orang tua dan Nabi

Hidhiras.

Cara mengamalkannya pertama, membaca surat al-

Fatihah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., Nabi

Dawud as., Nabi Sulaiman as., Sayidina Âsif bin Barkhaya,

Sayidina Qalfatriyus, Sayidina Abu Bakar al-Shidiq,

Sayidina Umar ibn al-Khaththâb, Sayidina Ustman bin

Affan, Sayidina Ali bin Abi Thalib, Sayidina Hasan dan

Husain, Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailani, Syaikh Syams al-

Din, Syaikh Imam al-Ghazali, Syaikh Abd al-Salam, Syaikh

Abu Hasan Al-Syadzili, Abu Abbas al-Mursi, Syaikh Abu

27Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili:Kepribadian dan Pemikiran (Jawa Tengah: Al-Anwar, 2002), hlm.137.

113

Abbas bin Ali al-Buni, Mbah Panjalu, Syaikh Mustaqim

bin Husain, Syaikh Abdul al-jalil bin Mustaqim, kedua orang

tua dan Nabi Hidhir as.

d. Hizb al-Nashr

Hizb al-nashr adalah Sebelum membaca hizb al-

nashr ini terlebih dahulu membaca surat al-Fatihah seperti

biasanya dan ditambah kepada Syaikh Abu Abbas al-Mursi,

Syaikh al-Badawî, Arwah al-mujahidin fi sabilillah fi Mishr,

Tsuraya, Iraq, wa sair buldan al-muslimin ammah.28

e. Hizb al-Birhatiyah

Hizb al-birhatiyah adalah hizb yang diijazahkan oleh

Syaikh Abdul Razzaq al-Termasi kepada Syaikh Mustaqim

bin Husain, yang merupakan awal persahabatan dan

hubungan spiritual. Hubungan di antara keduanya sama yaitu

menjadi guru dan murid. Syaikh Abdul Razzaq al-Termasi

memberikan ijazah kepada Syaikh Mustaqim bin Husain

dengan hizb al-Birhatiyah, sedangkan Syaikh Mustaqim bin

Husain memberikan ijazah kepada Syaikh Abdul Razzaqal-

Termasi berupa hizb al-kafi.29

Cara mengamalkan hizb al-Kafi ini dimulai dengan

28 Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” hlm. 178-179

29 Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” hlm. 169.

114

membaca al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah Swt., Nabi

Muhammad Saw., Sayidina Abu Bakar al-Shidiq, Sayidina

Umar ibn al-Khaththab, Sayidina Ustman bin Affan,

Sayidina Ali bin Abi Thalib, Sayidina Hasan dan Husain,

Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, Mbah Panjalu, Wali

Sembilan di Indonesia, Sunan Kalijaga, Syaikh Mustaqim

bin Husain, Syaikh Abdul jalil bin Mustaqim, kedua orang

tua dan Nabi Hidhiras.

f. Hizb al-Barr

Waktu yang tepat dipilih untuk membaca hizb al-

Barr yang dikenal dengan nama hizb al-Kabir ini, dalam

tradisi Tarekat Syadziliyah adalah sehabis shalat subuh.

Pada waktu membacanya hendaklah tidak berbicara kepada

orang lain saat membaca hizb al-Barr kecuali karena

kebutuhan, seperti misalnya ketika kembali Salam.

Dikatakan Abu Hasan al-Syadzili: “Barangsiapa yang

membaca hizb ini, maka dia akan memperoleh segala apa

yang telah kami peroleh dan terhindar dari bahaya yang

Allah hindarkan dari kami”.30

30Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, hlm. 118

115

3. Pengaruh Hizb Bagi yang Mengamalkannya

Istilah hizb sudah dikenal semenjak masa Rasulullah Saw. Pada proses

berikutnya, hizb menjadi bagian dari tradisi sufi. Ordo sufi yang paling

terkenal dengan hizbnya adalah Tarekat Syadziliyah. Tarekat ini terkenal

dengan hizb al- asyfa‟, hizb al-kafî, hizb al-bahr, hizb al-baladiyah, hizb al-

nashr, hizb al-barr.21 Selain itu ada hizb al-saifi yang terkenal dalam Tarekat

Qadiriyah dan Ahmadiyah Idrisiyah. Hizb-hizb ini ada yang berasal dari

ilham, talqin dari Rasulullah Saw, mimpi, adapula yang diijazah dari

Sayyidina Ali r.a.31

Hizb inilah ciri utama Tarekat Syadziliyah yang dapat dirasakan hingga

saat ini. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat makbul dan Syaikh Abu

Hasan al-Syadzili mengakui bahwa dirinya menerima langsung dari lisan

Nabi dalam penglihatan spiritual.32 Dalam ajaran Tarekat Syadziliyah, para

muridnya juga dianjurkan untuk membaca hizb-hizb yang diijazahkan sang

guru. Hizb-hizb itu perlu dibaca, dimaksudkan agar bisa menjadi bekal,

tameng, benteng dan senjata untuk berperang melawan hawa nafsu dan iblis

yang akan selalu merintagi dan mengganggu perjalanan si murid (salik)

dalam menuju kehadirat Allah Swt.33

Seorang yang mengamalkan hizb al-bahr dengan terus-menerus, akan

31 Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran:Studi pada Pondok Peta di Tulungagung,” hlm. 168. Tentu saja masih banyak hizb-hizbAbû Hasan al-Syadzili. Lihat Abi Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazuli, Dalail al-Khairat ma a al-Ahzab, (Surabaya: Nabhan, t.th).

32 Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara”, hlm. 38.33Abd.Halîm Mahmûd, Abû Hasan al-Syâdzilî; al-Shûfi al-Mujâhid al-Arif

biAllâh.PenerjemahAbubakarbasymeleh(Mesir:Dar-alTuratsAl‟Arabi,tt),hlm82.

116

mendapat perlindungan dari segala bala. Bahkan, bila ada orang yang

bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang

sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang

yang akan menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu

malam, ia akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik

rumah menegurnya. Orang-orang yang tidak percaya dengan hal-hal

supranatural, mungkin tidak akan percaya dengan hal itu.

Ada background kisah yang amat menarik tentang asal muasal hizb al-

bahr Syaikh Abu Hasan al-Syadzili. Kisah itu ditulis oleh Haji Khalifah,

pustakawan terkenal asal Konstantinopel (Istanbul Turki). Hizb al-bahr

ditulis Syaikh Abu Hasan al-Syadzili di Laut Merah (Laut Qulzum). Di laut

yang membelah Asia dan Afrika itu Syaikh al-Syadzili pernah berlayar

menumpang perahu. Di tengah laut tidak ada angin bertiup, sehingga perahu

tidak bisa berlayar selama beberapa hari, dan beberapa saat kemudian

Syaikh al-Syadzili melihat Rasulullah. Rasulullah datang membawa kabar

gembira. Lalu, menuntun Syaikh Abu Hasan al-Syadzili melafadzkan doa-

doa. Usai al-Syadzili membaca doa, angin bertiup dan kapal kembali

berlayar. Doa-doa itu kemudian diabadikan oleh al-Syadzili dan diajarkan

kepada murid-murid tarekatnya. Kemudian diberi nama hizbal-bahr.

Disebut hizbal-bahr karena doa-doa ini tersebut mempunyai ikatan.

Seseorang yang membaca atau mengamalkan hizb-hizb tersebut yang

dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan dengan niat yang benar maka

akan berpengaruh spiritual yang besar terhadap hati dan jiwa serta ruhaniyah

117

murid-murid. Pengaruh spiritual itu akan didapatkan oleh siapapun yang

mengamalkan dengan syarat meminta ijazah dari guru yang berwenang. Dari

spiritual guru itulah akan disalurkan pancaran sinar berkah kepada diri

murid. Seorang yang mengamalkan suatu hizb tanpa proses ijazah dari

seorang guru, maka ia tidak akan memperoleh manfaat secara ruhaniah,

bahkan syetanlah yang akan menjadi gurunya dan ia akan tersesat.34

Menurut Tarekat Syadziliyah, daya spiritual hizb itu bukan datang dari

jin, tetapi murni dari Allah. Apabila terjadi kasus seseorang yang

mengamalkan hizb ini, ternyata jin yang turut campur, maka yang perlu

diluruskan adalah niat seseorang mengamalkan hizb tersebut. Amal sebaik

apapun jika niat dalam hatinya jahat maka niat jahatnya itulah yang akan

menjadi kenyataan dan hasilnya hanya akan berhenti pada niatnya itu, yang

biasanya tidak ikhlas karena Allah. Oleh karena itulah, jika seseorang akan

memasuki suatu tarekat, yang paling penting adalah menata dan meluruskan

niat dalam hatinya semata-mata hanya karena Allah.35Seorang guru adalah

orang yang berhak memberikan rekomendasi kepada seorang murid untuk

mengamalkan suatu amalan, sehingga amalan yang dilakukan mempunyai

pengaruh signifikan terhadap kemajuan spiritual murid.

Tujuan hizb adalah untuk diamalkan agar diri seseorang menjadi dekat

dengan Allah. Dalam arti, Allah akan meredai orang yang mengamal hizb

tersebut. Bahwasanya hizb ini tidak boleh dibaca, melainkan setelah

mendapat izin dari orang yang mempunyai keizinan untuk

34Muhammda Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran:Studi pada Pondok Peta di Tulungagun,” hlm. 167.35Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , hlm. 1153.

118

mengijazahkannya kepada orang lain. Hizb ini tidak boleh di baca dengan

tujuan untuk memudharatkan dan menzalimi. Hendaklah hizb ini dibaca

dengan niat untuk membentengi diri, melindungi diri dan memohon

perlindungan semata-mata karena Allah Swt. Dikatakan Abu Hasan al-

Syadzili: “Barangsiapa yang membaca hizb ini, maka dia akan memperoleh

segala apa yang telah kami peroleh dan terhindar dari bahaya yang Allah

hindarkan dari kami”.31 Ini karena hizb adalah kategori doa atau zikir yang

bertujuan memperkuat tauhid pengamal tersebut.

119

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Secara garis besar, skripsi ini melihat konsep pendektan diri kepada Allah

dalam tarekat Syadziliyah, dengan menilik motivasi seseorang untuk

mengamalkan dzikir dan pengaruhnya bagi seseorang.

Pertama, motivasi seseorang mengamalkan mengetahui bawah, dzikir adalah

media untuk berkomunikasi dengan Allah, dengan dzikir seseorang bisa

merasakan ketenangan di dalam jiwa, menghilangkan stres, meringankan badan,

hingga apabila ada musibah atau ujian yang datang dari Allah maka akan timbul

kesabaran dan selalu berserah diri kepada Allah SWT.

Selain di dalam al-Qur’an dan al-Hadits Rasulullah Saw banyak

memerintahkan kita untuk memperbanyak dzikir, dzikir juga mengangkat derajad

seseorang dan mendapat ampunan sekaligus pahala yang besar.

Motivasi yang didapat dari mengamalkan dzikir adalah, paling tidak ada

beberapa motivasi zikrullah yang dapat disebut di antaranya ialah: a).

Memberatkan timbangan hasanat di Yaumul Mizan. Kata Rasulullah ada ucapan

zikir yang ringan diucapkan dan berat timbangan kebaikannya di antaranya ialah:

Subhanallah, walhamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar. b). Sebagai alat

kontrol dan pengendali diri jika sudah berhasil meraih kemenangan dan

kesuksesan. Allah berfirman: “Ketika pertolongan Allah, dan kemenangan sudah

120

datang dan kamu lihat orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama

Allah (Islam) keseluruhannya, maka bertasbihlah memuji Rabbmu dan

beristigfarlah. Sesungguhnya Ia Maha Pengampun”. Ayat itu mengingatkan kita

agar tetap berzikir seandainya kemenangan sudah kita raih karena zikir akan jadi

pengendali agar kita tidak lupa diri, ghurur atau takabbur.

Kedua, pengaruh dzikir terhadap seseorang yang mengamalkan. Dzikir

menpunyai pengaruh yang sangat hebat terhadap kesehatan jiwa dan mental.

Pengaruh dzikir terhadap jiwa ini bisa diperoleh dengan bacaan-bacaan dzikir

seperti tahlil, tasbih, tahmid, takbir, basmalah, hauqalah, hasbalah, membaca Al-

Qur’an dan asmaul husna. Sebagai makhluk berfikir manusia tidak pernah

merasakan puas terhadap kebenaran ilmiah, yaitu kebenaran akal.

Memperbanyak mengingat Allah di dalam qalbu dan menyebut-Nya dengan

lidah yang lazim disebut Dzikir khafi dan dzikir jahr. Dzikir dalam bentuk ini

akan mengantarkan manusia meraih nur dzikir dalam rongga batin sehingga

hatinya akan merasakan nur al-hayat (cahaya kehidupan) yang abadi dan bersifat

ukhrawi; Menghilangkan kekusyukan hati sehingga bekonsentrasi penuh kepada

Allah SWT, serta mencapai ma’rifatullah melalui tahap pembersihan hati dari

sifat-sifat tercela. Dzikir secara keseluruhan tidak hanya dalam bentuk lisan, tetapi

dikenali dengan dzikir hati yang akan muhasabah akal lalu mendorong dzikir

lisan, dan kemudian akhirnya dzikir amal yaitu akhlakul karimah.

Jama’ah yang melakukan proses dzikir begitu bayak dampak dan manfaat

yang mereka rasakan. Mulai dari ketenangan jiwa, perasaan tenang hingga dalam

121

melakukan aktifitas terasa santai. Mengamalkan dzikir berkonsentrasi dalam

melakukan proses dzikir tersebut akan merasakan kenikmatan beribadah. Selain

bernilai ibadah ternyata dzikir juga dapat menyehatkan jasmani dan rohani.

Selain itu juga dampak dari berdzikir ini dapat memperkuat daya ingatan

yang mana seluruh anggota tubuh difungsikan dan fokus terhadap bacaan-bacaan

yang disampaikan hingga urat-urat saraf bergerak dan menyabut nama Allah.

Disamping itu dampak dari berdzikir dapat menimbulkan semangat beribadah,

ringan badan membuat seseorang menjadi tawaduk, rendah hati dan dijauhkan

dari sifat sombong. Maka merugilah orang-orang yang enggan menyebut nama

Allah dalam hatinya sehingga timbullah berbagai permasalahan-permasalahan

yang ia hadapi.

B. SARAN

Saran penulis untuk kelanjutan dari penelitian ini adalah, Tarekat Syadziliyah

baik untuk dikembangkan di perguruan tinggi Islam di Indonesia, sebagai salah

satu bentuk komitmen menjaga spiritualitas mahasiswa di Universitas Islam.

Karena Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang penulis katakan seimbang antara

pencarian dunia dan akhirat.

Saran yang lain adalah, Tarekat Syadziliyah juga bagus untuk di ijazahkan

dalam setiap mata kuliah keislaman atau tasawuf di perguruan tinggi Islam di

Indonesia, agar setelah mempelajari seputar tasawuf dan tarekat, mahasiswa

mendapatkan satu amalan tarekat sebagai hasil dari perkuliahan seputar tasawuf

dan tarekat.

122

DAFTAR PUSTAKABUKU

Abdullah Taufik et.al, “Tarekat”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 2008

Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana,2006

Annemarrie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta2009

Anshori Afif, Dzikir dan Kedamaian Jiwa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003Askat Abu Wardah Bin, Wasiat Dzikir dan Doa Rasulullah SAW, Yogyakarta:

Kreasi Wacana, 2000Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Pers, 1992Atjeh Aboebakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), Cet.III, Solo:

CV. Ramadani, 1985Barsani Noer Iskandar al, Tasawuf Tarekat Dan Para Sufi, Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2001Bastaman Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam, cet. III ,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001Basundoro Purnawan, Pengantar Sejarah Kota, Yogyakarta: Penerbit Ombak,

2012Bruinessen Van Martin, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi

Isam di Indonesia, cet III, Bandung: Mizan, 1999Bungin Burhan, Metode Peneletian Sosial Format-Format Kualitatif dan

Kuantitatif, Surabaya: Airlangga University Press, 2001Chodjim Ahmad, Alfatihah, Membuka Matahari Dengan Surat Pembuka, Jakarta:

PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003Dzaky Bakran Adz-, HM. Hamdani, Konseling dan Psikoterapi Islam, Jogyakarta:

PT. Fajar Pustaka Baru, 2006Faishol Fath Amir Dr., Benteng Diri, Jakarta; Fath Institute, 2015Ghazali Imam, Keajaiban Hati, (terj. Nur Hicmah), Dari Ajaib Al Qalb, Jakarta:

Tirta Mas, 1984Hamid al-Gazali Abu muhammad, Ihya Ulum al Din, Jilid III, Kairo Mustofa al-

Bab al-Halabi, 1333 HHendriansyah Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ulmu Sosial,

Jakarta, PT Gramedia, Salemba, 2010Hubungan Masyarakat SETDA Kab. Bekasi: Bekasi Membangun, Bandung: BPS

Jawa Barat, Edisi I, 2007Ibnul Qoyyim al-Jauziyeh, Fawaidu al-Adzkar: Dzikir Cahaya Kehidupan, Cet.

Ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2002

123

Irwanto, dkk., Psikologi Umum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991Junaidi dan Fuzan, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Ar-Ruzz media,

2012Kuncoronintar, Metode-Metode Penelitian Masyarkat, Jakarta: Gramedia Pusaka

Utama, 2005Maleong Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda

Karya, 1989Masyhuri A. Aziz, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, Surabaya:

IMTIYAZ, 2014Muhaimin H, Renungan Keagamaan dan Dzikir Kontekstual Jakarta: Rajawali

Pers, 2014Mulyana Dedi, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010Mulyati Sri, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia,

Jakarta: Prenada Media, 2005Munir Amin Samsul, Energi Dzikir, Jakarta:Bumiaksara, 2008Najib Ahmad, Manusia Modern, Bandung: Mizan Media Utama, 2002Nawawi Ismail, Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilaku Lahir & Batin Dalam

Perspektif Tasawuf, Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2008Pemerintah Daerah Bekasi Tingkat II Bekasi, Sejarah Bekasi Sejak Pemerintahan

Purnawarman sampai Orde Baru, Jakarta: Yayasan Historia VitaeMagistra (Yavitra), 1992

Raco J.R, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karekteristik dan Keunggulannya,Jakarta: Grasindo, 2010

Setiyawan R. Conny, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Grasindo, 2007Shihab M. Quraish, Wawasan Al-Quran tentang Dzikir dan Doa, cet. Ke-1

Jakarta: Lentera Hati, 2006Sholeh Moh, Tahajjud Manfaat Praktis Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran Tetapi

Relegius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa, Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya, 1999Soehada Moh, Metode Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), Yogyakarta:

Bidang Akademik, 2008Soemanto Wasty, Pengantar Psikologi, Jakarta: Bina Aksara, 1988Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 2002Sopandi Andi, Sejarah Dan Budaya Kota Bekasi; Sebuah Catatan perkembangan

Sejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi, Bekasi: Dinas Pemuda,Olahraga, Kebudayaan , dan Kepariwisataan Kota Bekasi, 2009

Sugiono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixweds Metods), Bandung: Alfabeta,2013

124

Sukarno, “Marilah Kita Kubur Partai-Partai (1956)”, dalam Herbert Feith &Lance Castles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,Jakarta: LP3ES, 1988

Sulistiyo Basuki, Metode Penelitian, Jakarta: Penaku, 2010Syekh Nawawi Ibn Umar Al-jawi, Nasho-ihul ‘ibad: Nasehat Bagi Sang Hamba,

Surabaya: Gita Media Press, 2008.Syukur Amin, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern,

Jogjakarta: Pustaka, 2003Taftazani Abu al Wafa, Sufi dari Zaman ke Zaman. (Terj Ahmad Rofi’ ‘Utsmani),

Bandung: Pustaka, 1997.Umary Barmawie, Materi Akhlak, Solo: Ramadhani, 1995Ya’kub Hamzah, Etika Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1996Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet. XIX, Jakarta: Gunung Agung, 1982JURNALRiyadhi A, Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf: Melacak Peran Tarekat dalam

Perkembangan Dakwah Islamiyah, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6,Nomor 2, Nopember 2014

SKRIPSI DAN DISERTASI

Sa’adatul Jannah, Tarekat Syadziliyah dan Hizbnya, Skripsi UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2011

Zuhdi Zaenu, Ibadah Penganut Tarekat: Studi tentang Afiliasi Madzhab FikihTarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Shiddiqiyyah, danSyadziliyah di Jombang, Disertasi IAIN Sunan Ampel, 2013

Juni Muhammad, Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah diKabupaten Bekasi, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008

Sri dan Wiwi, Laporan Penelitian Kolektif: Tasawwuf Pasca Ibn Arabi, Jakarta:Fakultas Ushuluddin UIN, 2006.

ONLINE:Yufridawati, Pembinaan Kota: Studi Kasus Pertumbuhan dan Perkembangan

Kota Bekasi. Diambil dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-76536.pdf, pada tanggal 4 Februari 2019

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bekasi, diakses pada tanggal 3Februari 2019