KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A … · dan terbentuknya pelapisan massa air terhadap...

104
KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Transcript of KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A … · dan terbentuknya pelapisan massa air terhadap...

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES

PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR

KAHARUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Klorofil-A serta Kaitannya dengan Proses Percampuran di Selatan Selat Makassar adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Kaharuddin NRP.C551090031

ii

ABSTRACT

KAHARUDDIN. Study of nutrient fluxes and chlorophyll-a contents and its relation to the process of mixing in Southern Makassar Strait. Under direction of JOHN ISKANDAR PARIWONO and ALAN FRENDY KOROPITAN.

Vertical nutrient flux within nitrate, phospate, and silicate organic particle is the primary organic element that has important role to the productivity rate of water and as indicator of maximum limit of the chlorophyll-a concentrate value. The orientation studies in viewing the rate of vertical nitrate flux due to turbulent activity causing the mixture to control the atmospheric pressure at the surface layers, shear flows and their interaction with the bottom shallow contours of the topography Southern Makassar Strait (Dewakang Sill). Slope and sill contribute to the mass trapping of water and strengthening the activities of internal waves, internal tides, and upwelling/downwelling around the slope and ridge sill, play a role in stimulating the movement of the magnitude of nutrient fluxes vertically. The analysis methods of vertical nutrient fluxs is evaluated by using the param estimation frequency Brunt-Vaisala (N2), current shear Richardson Number (Ri), coefficient diffusion vertical eddy (Kz), show scale flux value that is between layer in the surface layer (eufotic zone). The result of the analysis shows gradien fluctuations in salinity gradients and patterns of stratification, temperature, and density every inchs determine the amount of buoyancy frequency ratio of about 1 x 10-4 - 5.81 x 10-3 s-2, and shear strength of signals at the current depth bin ranged from 1 x 10-3 s-2 - 4 x 10-3 s-2, the magnitude of the Ricardson Number indicates a strong mixing approximately bin at a depth of 68 m - 206 m at 0.20 - 2.58. Based on the estimation of the depth coefficient diffusion vertical eddy (Kz) shows improvement in vertical diffusion layer at a depth pycnocline of the bin (12.79 - 189.79 m) with a range of 1.70 x 10-4 - 6.43 x 10-5 m2 s-1 and coefficient diffusion vertical eddy (Kz) from density (σo) with a range 1.54 x 10-4 - 7.17 x 10-2 m2 s-1). Increased Kz value at bin in vertical depth not contribute strongly to the vertical nitrate flux due to the surface layer of the thermocline layer, that is the energy required to penetrate the strong diffusion layer. Eufotik layer gradient flux of nutrients 2.54 x 10-2 µg-A m-2 s-1. Nutrient fluxs concentrations negatively correlated with chlorophyll-a concentration gradient in depth with the closeness (r) to Si (0.3813), followed by the N (-0.2373) and P (-0.2745). The value of vertical eddy diffusion (Kz) is inversely proportional the buoyancy frequency (N2) and the presence of high concentrations of nutrients contained in the limit of the thermocline. Element of organic silicate (Si) is more influential than other organic elements to simulate the thickness of the concentration of chlorophyll-a.

Keyword: Nutrient flux, Chlorophyll-a, Mixing, South Makassar Strait, Dewakang Sill

iii

RINGKASAN

KAHARUDDIN. Kajian fluks nutrien dan kandungan klorofil-a serta kaitannya dengan proses percampuran di Selatan Selat Makassar. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO dan ALAN FRENDY KOROPITAN.

Dewakang Sill merupakan bagian perairan yang berada di Selatan Selat Makassar, dan merupakan jalur utama transpor aliran Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) bagian timur. Wilayah perairan ini sebagai tempat pertemuan massa air dengan karakteristik yang berbeda, yaitu massa air Samudera Pasifik melewati Selat Makassar dan massa air Laut Jawa. Keberadaan dua massa air tersebut menyebabkan adanya front dan terbentuknya pelapisan massa air terhadap kedalaman, hal ini terlihat dari profil salinitas dan suhu perairan ditambah dengan kecepatan arus yang berbeda pula. Perbedaan densitas terhadap kedalaman perairan menyebabkan stratifikasi lapisan dan percampuran massa air. Proses percampuran massa air oleh aktifitas turbulensi secara vertikal dan horizontal, selain adanya perbedaan gradien densitas juga dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut internal dan gelombang internal di atas topografi dasar (slope dan sill).

Keberadaan Dewakang Sill pada kedalaman antara 600 – 700 m, menjadi penghalang pergerakan dan distribusi massa air menuju Laut Flores dan Laut Banda. Karakteristik shear arus dengan kecepatan yang bervariatif sepanjang kanal yang terbentuk dengan adanya perbedaan densitas/kedalaman menyebabkan terjadinya proses downwelling/upwelling dan osilasi dari gelombang internal yang memicu terjadinya turbulen di sisi slope dan sill. Aktivitas turbulen berperan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya fluks nutrien antar lapisan secara vertikal. Besarnya kontribusi aktivitas fisik yang terjadi di sekitar kontur dasar berfluktuasi oleh shear arus dan kondisi densitas kedalaman berpengaruh terhadap pengangkutan serta perpindahan bahang (energi) dan partikel nutrien ke lapisan permukaan secara vertikal. Laju fluks nutrien (nitrat) secara vertikal sebagai refleksi difusi vertikal sangat menentukan laju kedalaman lapisan produktivitas fitoplankton. Ketebalan konsentrasi klorofil-a dari aktivitas produksi fitoplankton sebagai sinyal mengukur ketersediaan dan perpindahan nutrien dari lapisan dalam ke lapisan termoklin dan lapisan permukaan tercampur. Kondisi ini dapat dijelaskan melalui korelasi variabel nutrien dengan gradien densitas dan shear arus pada interval kedalaman perairan. Sehingga penelitian ini difokuskan untuk melihat dan mengestimasi jumlah energi dan laju fluks nutrien dan korelasinya dengan kandungan klorofil-a sebagai akibat dari kontribusi interaksi topografi terhadap proses percampuran di Selatan Selat Makassar termasuk Dewakang Sill.

Penelitian ini mengunakan data rekaman CTD (Conductivity, Temperature, and Depth), data SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler), dan sampel Rosette Bottle dari pelayaran kapal riset Baruna Jaya IV melalui kegiatan divisi Teknologi Survei dan Kelautan (TEKSURLA) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada tanggal 14 – 25 Agustus 2010. Ekstrak data salinitas, suhu dan densitas kedalaman dari CTD dengan prosedur standar menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing, ekstrak data arah arus, kecepatan dan kedalaman dari SADCP menggunakan perangkat

iv

lunak WinADCP dengan koreksi pasut, dan data nutrien (nitrat, posfat, dan silikat) serta klorofil-a dari tabung rosette pada CTD. Data nutrien dan klorofil-a sebanyak 52 sampel dengan kedalaman standar (5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 500, 700, 1000) pada 5 Stasiun dari Selatan Dewakang Sill menuju Laut Jawa. Proses pengukuran nilai konsentrasi nutrien dan klorofil-a dengan menggunakan spektrofotom (885nm) di laboratorium kimia hara dan laboratorium produktivitas primer, puslit oseanografi, LIPI. Perhitungan data dengan metode frekuensi Brunt Vaisala (N2), estimasi difusi vertikal (Kz) dan perhitungan data arus SADCP dengan menghitung nilai shear dan Richardson Number (Ri), koefisien difusian eddy vertikal (Kz), nilai Kz dengan nilai konsentrasi nutrien (nitrat) digunakan untuk menghitung fluks nutrien vertikal, selanjutnya menghitung nilai korelasi antara konsentrasi nutrien dan konsentrasi klorofil-a terhadap kedalaman.

Stasiun pengamatan di Selatan Selat Makassar dari Dewakang Sill (114 BT - 119 BT) menunjukkan profil kontur dasar yang dangkal sepanjang Laut Jawa, dimana terdapat kanal-kanal dan slope diantara seamount dan sill. Keberadaan topografi dasar ini menjadi indikator pembatas penyebaran massa air dan menyebabkan adanya aktivitas fisik sebagai interaksi disepanjang punggung ambang dan slope. Berdasarkan karakteristik massa air terlihat adanya pola pelapisan salinitas, suhu, dan densitas terhadap kedalaman pada tiga lapisan utama. Profil suhu pada lapisan permukaan tercampur, termoklin, menunjukkan adanya stratifikasi yang relatif stabil terhadap kedalaman dengan gradien 0.02 oC. Lapisan termoklin ditemukan pada kedalaman 114 m - 163 m dengan variasi ketebalan antara 4 m - 21 m pada suhu 20 oC. Pelapisan salinitas menunjukkan pola sangat fluktuatif antara lapisan permukaan, piknoklin dan lapisan dalam. Salinitas tertinggi dan terendah ditemukan pada lapisan permukaan hingga lapisan piknoklin (33.65 - 34.09 psu), akibat adanya intrusi massa air berbeda.

Profil shear arus pada komponen vektor u dan v menunjukkan sinyal- sinyal laju pergerakan arus yang kuat pada interval kedalaman. Komponen arus menunjukkan shear arus kuat mencapai 1.76 x 10-3 s-2 pada Stasiun 1 – 4, dengan kedalaman bin (12.79 - 208.79 m). Kuatnya shear arus diindikasikan adanya penyempitan aliran di atas topografi kontur yang dangkal. Shear arus dengan sinyal yang relatif melemah pada lapisan permukaan dan menguat di lapisan dalam (3.13 x 10-7 - 1.11 x 10-3 s-2) dengan pola pergerakan acak.

Rasio frekuensi apung (N2) yang membentuk pola pelapisan terhadap kedalaman, kondisi lapisan permukaan dengan gradien fluktuasi berbeda. Lapisan piknoklin yang merupakan lapisan pembatas antara lapisan atas dan lapisan dalam dengan ketebalan yang tebal akibat perubahan gradien densitas dengan kisaran cukup tinggi yang menjadi penghalang secara vertikal dari pergerakan fluida. Nilai frekuensi apung pada lapisan piknoklin relatif sama terhadap kedalaman berkisar 3.45 x 10-4 - 9.78 x 10-5 s-2, sedangkan nilai tertinggi di lapisan permukaan dan di lapisan dalam dengan nilai yang sama (1 x 10-4 s-2 dan 5 x 10-3 s-2).

Nilai percampuran dalam kolom perairan berdasarkan besaran dari nilai Richardson Number (Ri) dari komponen shear arus vertikal dan rasio frekuensi apung. Besaran nilai Ri yang kuat mengidikasikan percampuran akan rendah akibat nilai frekuensi yang lemah. Bilangan Ri dominan pada Stasiun 1 sampai 5 antara 1.244 - 2.580.

v

Aktivitas turbulensi yang menyebabkan percampuran dalam kolom perairan berdasarkan estimasi difusi eddy vertikal (Kz), yang menjelaskan besaran rasio koefisien difusian berbanding terbalik dengan besaran nilai Richardson Number. Koefisien difusi dengan kedalaman bin (12.79 m - 208.79 m) dengan variasi nilai difusi yang berfluktuatif sepanjang Stasiun pada lapisan permukaan hingga batas lapisan piknoklin. Nilai difusi vertikal eddy (Kz) meningkat pada lapisan dalam di lapisan piknoklin (208.79 m) sampai permukaan (12.79 m) dengan variasi nilai antara 5 x 10-4 - 9 x 10-4 m2 s-1. Nilai difusi terendah dan sedang ditemukan di bagian timur (Stasiun 1) dan bagian barat (Stasiun 4 dan 5) sampai kedalaman 12.79 - 146.79 m) dengan kirasan antara 1 x 10-4 - 5 x 10-4 m2 s-

1. Aktivitas percampuran turbulen di lapisan piknoklin diindikasikan sebagai pengaruh proses shear arus, pasut internal, dan gelombang internal sepanjang sisi sill dan slope.

Gradien fluks nutrien (nitrat) dengan menggunakan param difusi eddy vertikal (Kz) dengan nilai kedalaman CTD dikalkulasi dengan konsentrasi nutrien pada kedalaman standar. Besaran nilai difusian (Kz) sebagai aktivitas turbulen percampuran berbanding lurus dengan laju penyebaran vertikal konsentrasi nutrien dengan bertambahnya tekanan. Secara berturut - turut nilai fluks ketiga unsur tertinggi mulai dari fluks silikat sebesar 2.62 x 10-3 µg-A m-2 s-1, kemudian nitrat 1.73 x 10-3 µg-A m-2 s-1, selanjutnya silikat 5.89 x 10-4 µg-A m-2 s-1.

Gradien nutrien berfluktuasi terhadap densitas kedalaman, diiringi dengan gradien standar deviasi (0.02 dan 0.04 µg-A m-2 s-1) yang meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kondisi yang sama terlihat pada konsentrasi fosfat (P) dan silikat (Si). Berdasarkan uji korelasi menunjukkan nilai keeratan (r) pada konsetrasi nitrat dan korelasinya terhadap konsentrasi klorofil-a dengan selang kepercayaan 99% secara berturut-turut adalah Si (0.3813), kemudian N (-0.2373) dan P (-0.2745). Dibandingkan sebaran klorofil-a terhadap kedalaman secara melintang dan vertikal, menjelaskan bahwa konsentrasi dengan nilai berkisar antara 0.07 - 1.38 µg m3

Kata Kunci: Fluks Nutrien, Klorofil-a, Mixing, Selatan Selat Makassar, Dewakang Sill

pada batas maksimal kedalaman konsentrasi adalah 350 m. Konsentrasi klorofil-a dibatas atas lapisan termoklin berkorelasi negatif dengan konsentrasi nutrien di kolom lapisan tercampur dan lapisan termoklin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi silikat (Si) selanjutnya faktor unsur nutrien lainnya berperan sesuai nilai keeratannya, dari nitrat (N) kemudian fosfat (P).

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

vii

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES

PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR

KAHARUDDIN

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Agus Saleh Atmadipoera, DESS

ix

Judul Tesis : Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Krolofil-a serta Keterkaitannya dengan Proses Percampuran di Selatan Selat Makassar

Nama : Kaharuddin NIM : C551090031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. John I. Pariwono Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi., M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan

Dr. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

x

PRAKATA

Ucapan syukur dan terima kasih tercurahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT) yang telah memberikan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis sebagai salah satu syarat kelulusan pada program pascasarjana Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian mengenai Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Klorofil-A serta Keterkaitannya dengan Proses Percampuran (Mixing) di Selatan Selat Makassar ini telah dilaksanakan sejak Agustus 2010.

Pengkajian ini mengenai laju fluks nutrien dan korelasinya terhadap konsentrasi klorofil-a yang merefleksikan produktivitas perairan, sebagai akibat dari proses percampuran di perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pelengkap informasi dan rujukan ilmiah tentang peranan antara interaksi dari keberadaan topografi laut (sill dan slope) dengan proses fisik di salah satu jalur Arus Lintas Indonesia (ARLIDO). Hasil penelitian ini juga diharapkan sebagai pembanding sejauh mana kontribusi sumber nutrien lautan di Selatan Selat Makassar, selain dari intrusi zat hara (nutrien) antropogenik dari daratan melalui Laut Jawa dan sepanjang Selat Makassar (Muara Kalimantan dan Sulawesi). Selanjutnya menjelaskan bagaimana pengaruh kontribusi isu perubahan iklim global terhadap ketersediaan nutrien dan pada akhirnya menambah informasi dalam aktivitas penangkapan ikan diwilayah tersebut. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012

Kaharuddin

xi

KATA PENGANTAR

Penulis menyampaikan penghormatan dan ucapan terima kasih kepada

yang mendukung, memotivasi, dan telah menginspirasi dalam pernyusunan tesis

ini :

1. Dr. Ir. John I. Pariwono, selaku pembimbing satu yang telah memberi

kesempatan dan meluangkan waktu, arahan serta pikiran selama penyusunan

tesis.

2. Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi., M.Si., selaku pembimbing dua yang telah

memberi kesempatan, meluangkan waktu, ide dan gagasan, arahan serta

pikiran selama penyusunan tesis.

3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan koreksi penulisan dan

motivasi dalam penyelesaian penulisan tesis.

4. Dr Agus Saleh Atmadipoera, DESS., selaku penguji luar komisi pada ujian

tahap akhir penyelesaian studi selain bersedia membantu secara konsep dan

analisis dalam penyempurnaan hasil penelitian.

5. UPT Baruna Jaya BPPT yang mengijinkan menggunakan data hasil Cruise

Sail Banda dengan Kapal Riset Baruna Jaya pada tanggal 14 - 25 Agustus

2010, terima kasih atas dukungan dan ijin penggunaan data.

6. DIKTI sebagai sponsor Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) 2009, serta

semua pihak yang telah membantu memberikan masukan bagi penyempurnaan

tesis.

7. Maxi Elias Timotius Parengkuan, S.IK, M.Sc., terima kasih telah berbagi

informasi dan telah berbagi data untuk penelitian ini.

8. Rekan-rekan pascasarjana ilmu kelautan 2009, rekan-rekan di laboratorium

data processing, rekan-rekan ITK FPIK IPB mulai dari angkatan 43 sampai

46, terima kasih banyak atas masukan (saran dan kritik).

9. Keluarga besar BARISTAR SQUAD, BARISTAR 2011/2012, Partai Hikmah

dan anak PONDOK MALEA, terima kasih hari-harimu untukku, i love you.

10. Kedua orang tua, keluarga besar, saudara di Marangkayu dan bubuhan putri

Karangmalennu di Sangatta.

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1982 di

Marangkayu sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari

pasangan Hamsah Mahmud dan Wardah. Pendidikan

Sekolah Dasar diselesaikan penulis di SDN 98 Batukaropa

Tahun 1996, melanjutkan sekolah ke SMPN 03

Bontomanai, lulus Tahun 1999. Pendidikan Sekolah

Menengah Atas diselesaikan Tahun 2002 di Madrasah Aliyah Negeri 02 Tanete.

Penulis melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi pada tahun 2002, pada

program studi Ilmu Kelautan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, lulus

pada tahun 2006 dengan gelar strata satu (S1).

Pada tahun 2007 penulis diangkat sebagai asisten staf pengajar di program

studi Ilmu Kelautan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Kutai Timur. Pada

tahun yang bersamaan bekerja pada Yayasan Maritim Borneo (YMB) Kutai

Timur, sebagai sekretaris. Pada tahun 2009, penulis ditugaskan melanjutkan

pendidikan strata 2 (S2) yang didanai oleh Direktoral Jenderal Perguruan Tinggi

(DIKTI) melalui Kordinator Perguruan Tunggi Swasta (KOPERTIS XI) pada

program pascasarjana Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul, Kajian Fluks Nutrien dan

Kandungan Klorofil-a serta Kaitannya dengan Proses Percampuran (Mixing) di

Dewakang Sill, Selatan Selat Makassar, Sulawesi Selatan.

xiii

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN .....................................................................................................iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................xiii

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xv

DAFTAR TABEL ...............................................................................................xv

LAMPIRAN ........................................................................................................xvii

PENDAHULUAN ..............................................................................................1

Latar Belakang ...........................................................................................1

Rumusan Masalah ......................................................................................4

Tujuan ........................................................................................................7

Manfaat Penelitian .....................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................8

Oseanografi Selatan Selat Makassar ..........................................................8

Sill dan Slope Region .................................................................................10

Percampuran (Mixing) ...............................................................................13

Suhu ..................................................................................................16

Salinitas ............................................................................................17

Densitas ............................................................................................18

Fluks Nutrien .............................................................................................19

Klorofil-a dan Produktivitas Perairan ........................................................20

METODE PENELITIAN ....................................................................................24

Lokasi dan Waktu ......................................................................................24

Alat dan Bahan ..........................................................................................25

Metode Pengambilan Data .........................................................................25

Data Fisik Perairan ..........................................................................25

Data Kontur Kedalaman ...................................................................26

Data Nutrien .....................................................................................27

Data Krolofil ....................................................................................28

Analisis Data ..............................................................................................29

Sebaran Menegak dan Melintang Suhu dan Salinitas ................................30

xiv

Percampuran (Mixing) ...............................................................................31

Frekuensi Apung (Bouyancy Frequency) .........................................31

Bilangan Richardson (Ri) .................................................................32

Difusi Eddy Vertikal (Kz) .................................................................32

Fluks Nutrien .............................................................................................34

Hubungan Klorofil-a dan Nitrat .................................................................35

HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................36

Deskripsi Topografi Selatan Selat Makassar .............................................36

Profil Pelapisan Massa Air ........................................................................37

Sebaran Melintang Suhu ..................................................................37

Sebaran Melintang Salinitas .............................................................40

Identifikasi Jenis Massa Air .............................................................44

Arus Melintang Perairan Selatan Selat Makassar ............................46

Proses Percampuran Massa Air .................................................................50

Frekuensi Apung (N2 ).......................................................................50

Shear Arus Vertikal (S2 ) ...................................................................52

Bilangan Richardson (Ri) .................................................................54

Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (Kz) .........................................56

Variasi Turbulensi Fluks Nutrien ..............................................................61

Korelasi Nutrien Terhadap Kandungan Klorofil-a ....................................66

KESIMPULAN ...................................................................................................71

Kesimpulan ................................................................................................71

Saran ..........................................................................................................72

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................73

LAMPIRAN ........................................................................................................78

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Lokasi data CTD ............................................................................................262 Lokasi data SADCP ........................................................................................263 Karakter aliran massa air Selatan Selat Makassar dan sekitarnya berdasarkan

Stasiun pengamatan ......................................................................................454 Nilai rata - rata difusi vertikal eddy (Kz) dengan densitas (σo) .......................585 Rata - rata Kz berdasarkan nilai shear arus vertikal (S2 ) ................................60

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema kerangka pemikiran ..........................................................................62 Skematis utama dari gambar dasar laut (Stewart, 2008). .............................123 Simulasi jalur aliran nitrogen dalam lapisan atas perairan pada ekosistem

(Bahamon, 2003) ..........................................................................................204 Peta lokasi/Stasiun penelitian di perairan Selatan Selat Makassar. .............245 Diagram alur pengolahan data .....................................................................306 Bentuk kontur topografi dasar sepanjang perairan Selatan Selat Makassar

(satelit USGS, etopo 2) ................................................................................367 Profil suhu perairan Dewakang Sill secara melintang berdasarkan data CTD 388 Profil melintang salinitas perairan Dewakang Sill berdasarkan data CTD ..419 Diagram TS Selatan Selat Makassar berdasarkan titik pengamatan (a). Hasil

pembesaran kotak hijau pada Gambar (b) massa air NPSW dan (c) massa air NPIW ...........................................................................................................45

10 Penampang melintang kecepatan arus komponen U (m s-1 ) ........................4711 Penampang melintang kecepatan arus komponen V (m s-1 ) ........................4912 Profil distribusi melintang frekuensi apung (N2 ) berdasarkan data CTD ....5113 Profil vertikal shear arus (S2 ) perairan Selatan Selat Makassar...................5414 Profil distribusi melintang bilangan Richardson perairan Selatan Selat

Makassar ......................................................................................................5515 Profil koefisien difusi vertikal eddy (Kz) dengan densitas (σo) perairan

Selatan Selat Makassar ...............................................................................5816 Profil Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (Kz) berdasarkan nilai shear (S2

)

arus perairan Dewakang Sill ........................................................................6017 Grafik fluks nitrat vertikal (µg-A m2 s-1

) berdasarkan difusi vertikal eddy (Kz)

dari densitas (σo) ..........................................................................................6318 Grafik fluks nitrat vertikal (µg-A m2 s-1) berdasarkan difusi vertikal eddy (Kz)

dari shear arus (S2 ) .......................................................................................6419 a) Profil distribusi melintang kandungan klorofil-a perairan Dewakang Sill b)

rata-rata (solid) dan rata-rata +/- standard deviasi (dashed) profil gradien klorofil dari data Roxcete CTD. ...................................................................66

20 Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan Kz densitas (σo) .............................................................................................68

21 Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan Kz dari shear arus vertikal ............................................................................69

xvii

LAMPIRAN

Halaman

1 Rata-rara ± standar deviasi (dashed) profil gradien nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) dari data Roxette CTD ........................................................................78

2 Grafik vertikal suhu dan salinitas Perairan sepanjang Stasiun pengamatan Selatan Selat Makassar ...................................................................................79

3 Profil vertikal Thorpe displacement (d) berdasarkan nilai densitas (σo) terhadap kedalaman (m) ................................................................................................81

4 Diagram alir pengolahan param fisik dari CTD dengan perangkat lunak ODV 825 Fluks nutrien berdasarkan estimasi difusi vertikal eddy (Kz) dari shear arus (S2

)

........................................................................................................................836 Spesifikasi instrumen alat sampling dan rekaman data ...................................84

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dasar laut Indonesia merupakan bagian dari Laut Mediterania Australasia

yang memiliki rangkaian topografi yang paling rumit, dengan serangkaian

cekungan yang sangat dalam dengan interkoneksi yang sangat terbatas sehingga

masing-masing cekungan dicirikan oleh berbagai air bawah tersendiri. Sirkulasi

dan pembaruan massa air yang terjadi sepanjang musim dengan stabilitas kolom

perairan yang kuat, sehingga perpindahan massa air yang lambat sangat

tergantung dari laju masukan massa air di atas ambang (sill). Keberadaan ambang

menunjukkan adanya perbedaan antara karakter massa air di Samudra Pasifik dan

massa air di pulau-pulau Selatan Indonesia atau utamanya di Samudra Hindia.

Aktivitas arus pasang surut yang terjadi di sepanjang sisi sill dan slope merupakan

fenomena yang sangat kuat, mengakibatkan terjadinya turbulensi (Tomczak dan

Godfrey, 2002). Selain itu adanya pengaruh musiman di wilayah ini yang juga

berperan dalam kontrol sirkulasi dan pembaruan massa air melalui konveksi.

Proses percampuran yang terjadi di laut dalam skala kecil dan besar secara

umum dapat ditelaah dengan mempelajari dinamika dan karakteristik dari

beberapa param oceanografi terkait. Percampuran massa air terjadi akibat adanya

perbedaan densitas yang dapat digambarkan oleh kondisi suhu, salinitas, dan

kedalaman. Secara global suhu dan salinitas lautan mencirikan massa air pada

perairan yang berbeda, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Korelasi

antara suhu dan salinitas di suatu perairan dapat menjadi acuan dalam mengamati

asal-usul, penyebarannya, terbentuknya pelapisan, dan proses percampuran massa

air secara temporal dan spasial.

Menurut Ross (1970) bahwa meningkatnya densitas suatu perairan

merupakan akibat meningkatnya salinitas, tekanan, dan penurunan nilai suhu.

Peranan suhu dan salinitas, membentuk stratifikasi densitas perairan yang disebut

sebagai lapisan piknoklin, menunjukkan peningkatan densitas seiring

bertambahnya kedalaman. Tiap lapisan bentukan dari stratifikasi suhu dan

2

salinitas memiliki ketebalan densitas yang berbeda, oleh Wyrtki (1960)

mengatakan perbedaan ketebalan lapisan densitas perairan dipengaruhi proses

dinamika perairan.

Kondisi lautan yang mengalami ketidakstabilan membawa fluida dalam

proses percampuran dikelompokkan ke dalam dua bagian (Stewart, 2003), yaitu

stabilitas statik sebagai perubahan densitas terhadap kedalaman sedangkan

stabilitas dinamik sebagi shear kecepatan dan double-diffution yang berkaitan

dengan gradien salinitas dan suhu lautan. Pergerakan massa air yang diakibatkan

oleh variasi aliran turbulen dapat membentuk percampuran fluida dengan

fluktuasi yang sangat tinggi. Selanjutnya Stewart (2008) mengatakan bahwa

percampuran massa air sering terjadi di lapisan batas seperti batas Continental

Slope, di atas gunung laut dan mid ocean ridge, front, dan mixed layer di

permukaan.

Percampuran di lapisan internal sepanjang Slope dan Sill, menurut Emery

et al. (2005), bahwa sumber energi yang paling berperan dalam proses

percampuran di lapisan internal adalah aktivitas gelombang internal. Peranan

frekuensi supefluid inertial, kecepatan dan perpindahan isopycnal di laut memiliki

kontribusi terhadap gelombang internal dan turbulensi (Klymak dan Moum,

2007).

Sirkulasi dan pergerakan massa air dari Samudra Pasifik yang melewati

beberapa selat di bagian utara perairan Indonesia menuju ke Samudra Hindia yang

juga melewati beberapa selat utama di bagian selatan perairan Indonesia. Massa

air yang bergerak dari utara dan barat Samudra Pasifik masuk ke perairan

Indonesia dengan kondisi massa air yang hangat, dan sebagai penciri dari massa

Dinamika dari proses percampuran tersebut terbentuk ketika aktivitas

gelombang internal mengalami kondisi pecah (breaking). Selain fenomena

gelombang internal, percampuran internal juga terjadi melalui mekanisme vertikal

shear (tegangan menegak) sebagai pembentuk turbulensi. Faktor pemicu utama

dari vertikal turbulensi oleh Bowden (1960); Hill et al. (1962) dalam Khaira

(2009), adalah efek gesekan dasar laut terhadap arus. Pada kemiringan dasar Slope

dan Sill, proses percampuran tidak didominasi oleh turbulensi melalui gesekan,

tetapi adanya pengaruh restratifikasi gaya apung yang menciptakan kondisi

lingkungan yang sangat beragam.

3

air tropis. Pasokan massa air mengalami pergerakan dari Samudra Pasifik ke

Samudra Hindia terjadi sebagai akibat adanya perbedaan gradien tekanan di kedua

samudra tersebut. Menurut Rochford (1969) dalam Bakti (1998) mengatakan

bahwa perairan tropis memiliki ciri dengan suhu (>27 o

Lane-Serff (2004) menjelaskan bahwa gambaran dari topografi sepanjang

selat di daerah sill dan daerah slope

C), salinitas (<34.5 psu),

dan oksigen terlarut (>4.0 ml/l). Massa air tersebut banyak dipengaruhi oleh

intrusi massa air dari daratan melalui limpasan air tawar (run-off) dan curah hujan

musiman sepanjang tahun. Sebelum mencapai Samudra Hindia massa air tersebut

melewati beberapa selat dengan topografi yang bervariasi.

Aliran massa air yang melewati selat dengan kedalaman yang relatif

dangkal dengan kemiringan slope yang relatif berbeda dan terdapatnya beberapa

zona-zona gunung laut atau yang disebut sebagai sill, yang berkontribusi sebagai

penghalang pergerakan dan memberi respon yang berbeda terhadap dinamika

aliran di perairan tersebut. Keberadaannya mencirikan karakteristik massa air

akibat adanya kolam-kolam yang menampung dan menghambat pergerakan massa

air secara lokal. Proses stratifikasi massa air di daerah ini disebabkan oleh adanya

perbedaan densitas. Adanya perbedaan densitas dapat menciptakan percampuran,

baik secara vertikal atau horisontal yaitu terjadi stratifikasi berdasarkan

kedalaman. Hal ini menurut Ffield (1994) menyebabkan adanya perubahan jumlah

bahang, kadar garam, dan momentum massa air.

Proses pelapisan atau stratifikasi massa air menurut Stewart (2003)

dipengaruh oleh perbedaan suhu, salinitas dan densitas lautan. Stratifikasi vertikal

sangat ditentukan oleh nilai stabilitas vertikal dengan menguji gradien densitasnya

secara vertikal. Hubungan antara densitas massa air dan pergerakan vertikal massa

air, berupa pergerakan vertikal fluida (Pond dan Pickard, 1983). Selanjutnya

menurut Xing dan Davies (2007) dalam perhitungannya mengunakan model

hidrostatik dengan konveksi buatan terjadi percampuran vertikal yang signifikan.

termasuk sisi saluran dan hilir dari sill,

kelengkungan saluran dan pelebaran saluran memberi dampak penting pada

karakteristik aliran dan percampuran massa air. Hal ini akibat adanya aliran massa

air yang mengalir terbatas oleh luasan atau kedalaman selat, sehingga tekanan dari

arus lebih kencang jika dibandingkan dengan laut terbuka. Selanjutnya dikatakan

4

bahwa selain fenomena aliran arus, karaktristik massa air di daerah ini memiliki

densitas yang berbeda, dan fenomena pelapisan massa air oleh topografi.

Fenomena pencampuran massa air secara vertikal mengakibatkan adanya

fluks nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (eufotik). Konsentrasi

nutrien di permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin

dan lapisan bawahnya. Menurut Matsura et al. (1979) dalam Tubalawony (2007)

mengatakan bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan

permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat dengan menuju bagian

bawah dari lapisan permukaan tercampur dan mulai menurun secara drastis pada

lapisan termoklin hingga tidak ada lagi klorofil-a pada lapisan di bawah

termoklin. Selanjutnya menurut Menzel dan Ryther (1960); Eppley dan Peterson

(1979); Bahamon et al. (2003) mengatakan bahwa penyebaran nitrogen ke atas

diatur oleh densitas air dan konsetrasi nitrat berkontribusi dalam mengontrol

distribusi spasial dari fitoplankton.

Analisis perhitungan biomassa fitoplankton suatu perairan dapat dilakukan

melalui pengukuran konsentrasi klorofil-a. Hal ini dikarenakan klorofil-a

merupakan salah satu pigmen penting dalam proses fotosintesis pada fitoplankton.

Dengan demikian sangat penting artinya mengukur nilai konsentrasi klorofil-a dan

sebarannya untuk mengetahui ketersediaan fitoplankton, yang pada akhirnya

dapat melihat tingkat kesuburan suatu perairan di zona sill dan slope. Nilai

klorofil maksimum tidak selalu berada di dekat atau di atas permukaan, tetapi

terkadang berada lebih dalam di bawah daerah eufotik (Parson et al., 1984 dalam

Rumusan Masalah

Bahamon at el., 2003).

Dinamika massa air dan interaksinya dengan kontur dari sill dan slope

yang membentuk proses hidrografi yang kompleks dengan menurunnya daya

apung dan gelombang internal pecah (breaking) berperan dalam proses

percampuran secara vertikal. Adanya pengaruh dari aktivitas percampuran vertikal

dan gradien difusi vertikal dari densitas (pycocline) mengakibatkan terbentuknya

fluks dari nutrien dan laju fluktuasi nutrien mengontrol kandungan klorofil-a.

Pada penelitian ini fokus untuk menelaah proses percampuran (mixing),

5

menganalisa profil vertikal param fisik utama massa air, penyebaran vertikal dari

nitrat (NO3), dan menganalisa kandungan klorofil-a. Untuk menelaah peranan dari

proses percampuran (mixed) dengan mempelajari dinamika pergerakan massa air

yang terjadi di daerah sill dan slope lautan yang dipengaruhi oleh pola salinitas,

suhu, tekanan, dan densitas, sehingga dapat ditentukan bagaimana karakteristik

massa air secara horizontal dan vertikal pada daerah tersebut. Keberadaan dari

kontur topografi yang berbeda diharapkan dapat memberi gambaran bagaimana

proses fisik yang terjadi di dasar, yang mengakibatkan percampuran sebagai

indikasi dalam pendekatan adanya fluks nutrien di lapisan dalam dan lapisan

termoklin, yaitu melalui difusi nutrien secara vertikal. Seberapa besar

pengaruhnya dalam transport nutrien dari lapisan dalam hingga mencapai lapisan

eufotik.

Pendekatan ini untuk menjawab efek antara topografi dan proses-proses

fisik di dalamnya terhadap pola fluks nutrien secara vertikal dan selanjutnya

korelasi antara nilai fluks nutrien dengan kandungan krolofil-a. Nilai fluks

vertikal dengan menganalisa nilai frekuensi apung dan nilai shear arus selanjutnya

digunakan untuk menghitung nilai difusivitas vertikal. Nilai difusivitas vertikal

digunakan dalam menghitung laju fluks nutrien vertikal selanjutnya dikorelasikan

dengan jumlah konsentrasi klrofil-a terhadap kedalaman. Kandungan klorofil-a

selanjutnya digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton dan potensi

organik di suatu perairan serta merupakan salah satu param yang sangat

menentukan produktivitas primer di laut. Jumlah dari kandungan klorofil-a sangat

terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan.

Data pokok dan informasi yang dibutuhkan yang mencakup nilai param

fisik (salinitas, suhu, dan densitas kedalaman) secara horizontal dan vertikal, data

kecepatan arus dan besarnya volume massa air secara melintang, data nutrien

(nitrat, fosfat, dan silikat) berdasarkan kedalaman standar pengambilan sampel,

data klorofil secara horizontal dan vertikal, dan data batimetri daerah selat untuk

melihat kontur dari sill dan slope.

6

Kerangka Pemikiran

Secara singkat kerangka berpikir dalam pendekatan masalah dari proses

penelitian mengenai kajian fluks nutrien dan kosentrasi klorofil-a serta kaitannya

dengan proses percampuran (mixing) di daerah Slope dan Sill, seperti disajikan

pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

Wilayah Slope Wilayah Sill

Karakter Massa Air

Mixing

Flux Nutrien (NO3)

Kandungan Krolofil-a

Produktifitas Primer Sill Dan Slope

Frekuensi Brunt-Vaisala

Difusi Turbulensi

Salinitas Suhu Densitas Arus

7

Tujuan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengkaji profil suhu salinitas perairan, profil kecepatan komponen arus (u

dan v), dan kalkulasi besaran nilai shear arus secara vertikal di daerah sill dan

slope.

b. Mengkaji percampuran massa air sebagai pengaruh interaksi proses fisik

dengan kontur dasar terhadap frekuensi apung (Brunt-Vaisala), dan difusi

vertikal di daerah selat (sill dan slope).

c. Mengkaji variasi sebaran nutrien secara vertikal dan kandungan klorofil-a di

perairan selat (sill dan slope).

d. Menganalisis nilai fluks nutrien vertikal dan keterkaitannya dengan

konsentrasi klorofil-a dengan gradien kedalaman di Selat (sill dan slope).

Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini secara harfiahnya sebagai bagian dari pengabdian

di dunia pendidikan diharapkan memberi manfaat di antaranya sebagai berikut :

a. Memberi pembaruan, pelengkapan dan penambahan informasi yang telah ada

sebelumnya

b. Menjadi informasi bagaimana kondisi dasar perairan Indonesia pada suatu

daerah dan peranannya terhadap dinamika massa air serta keterkaitannya

terhadap produktivitas perairan Indonesia dan laut secara global.

c. Menjabarkan profil stratifikasi lapisan massa air dan peran arus lintang dengan

dinamikanya terhadap topografi Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill di

lautan Indonesia yang menjadi dasar pembelajaran perkembangan perubahan

iklim dunia.

d. Menjelaskan efek percampuran massa air yang terbangkitkan oleh topografi

sill dan slope terhadap konsentrasi nutrien dalam perairan yang menjadi

indikator kesuburan perairan.

8

TINJAUAN PUSTAKA

Oseanografi Selatan Selat Makassar

Secara umum massa air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Samudra

Pasifik bagian utara dan selatan bergerak menuju Samudra Hindia. Perairan Selat

Makasar dan Laut Flores dominan dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara

sedangkan Laut Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air

dari Pasifik Selatan. Massa air yang mengalir melewati perairan Indonesia oleh

(Gordon et al.,1994) melalui dua jalur utama, yaitu:

1. Jalur barat, massa air mengalir melalui Laut Sulawesi dan lapisan dalam

Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan

berakhir di Samudra Hindia sedangkan sebagian besar lagi dibelokan ke arah

timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Samudra

Hindia melalui Selat Ombai dan celah Laut Timor (Timor passenge)

2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku

terus ke Laut Banda. Massa air dari Laut Banda akan mengalir mengikuti dua

rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan

Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan

Pulau Timor melalui Basin Timor dan celah Timor, antara Pulau Rote dan

paparan benua Australia.

Menurut Wyrtki (1961) perairan Timur Indonesia memiliki tipe massa air

yang dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu :

a) North Pacific Subtropical Water (NPSW)

Massa air North Pacific Subtropical Water yang berada di Maluku, Laut

Sulawesi dan melewati Selat Makassar hingga ke Laut Flores. South Pacific

Subtropical Water - SPSW yang melewati Laut Halmahera dan masuk ke Laut

Seram dan menyebar hingga ke Laut Banda dan Arafura. North Pacific

Subtropical Water Samudra Hindia pada musim barat hanya ditemukan di

Laut Sawu dan Laut Timor.

b) North Pacific Intermediate Water (NPIW)

9

Massa air North Pacific Intermediate Water terbawa oleh arus Mindanao

memasuki Laut Sulawesi melewati Selat Makassar hingga ke Laut Flores,

kemudian massa air ini menyebar ke Laut Banda bagian selatan dan masih ada

sisa-sisanya yang terlihat di celah Laut Timur dan celah Laut Arafura.

c) Deep Water

Massa air Deep Water berasal dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia

dengan laju massa air yang lambat karena melewati cekungan Indonesia.

Berdasarkan hasil observasi dan pemodelan menurut Umasangaji (2006)

mengindikasikan bahwa sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik

Utara yang mengalir melalui Selat Makassar (kedalaman sill 650 m). Selanjutnya

kontribusi Arlindio dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air

perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia

melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa

air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat Lifamatola (kedalaman sill 1940

m), Arlindo bergerak ke luar menuju bagian timur Samudera India melalui selat

sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill

350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m).

Berdasarkan musim, Perairan Indonesia yang berlaku dua musim, yaitu

musim timur (Southeast Monsoon - SEM) dan musim barat (Northwest Monsoon -

NWM). Menurut Illahude dan Gordon (2006) menjelaskan selama musim timur

(SEM) dari Agustus - September dengan kondisi perairan dingin pada lapisan

dalam ( ᶿ/S) adalah 34.63 psu dengan suhu 2 oC, sedangkan kondisi air

permukaan hangat di Laut Seram dan Utara Banda ( ᶿ/S) dengan gradien salinitas

0.4 dengan suhu 26 oC dan perairan Makassar adalah 29 oC. Laut Timor memiliki

suhu yang lebih dingin di lapisan dalam meningkat 4 oC (1400 m) yang berasal

dari Samudra Hindia, sedangkan di Laut Maluku dengan suhu 6 oC merupakan

karakteristik air dari Antarctic Intermediate Water melalui lapisan dalam Utara

Pasifik. Pada musim barat (NWM) dengan ciri suhu permukaan rata-rata lebih

hangat pada 3 oC jika dibandingkan dengan musim timur. Kondisi salinitas

perairan berkisar antara 34.1 - 34.5 psu, diman salinitas permukaan Laut Banda

lebih tinggi, sedangkan Selatan Makassar yang lebih rendah (31.1 psu) dan

mencapai 35.1 psu di Laut Timor. Jenis massa air dari NPSW dengan Smax pada

10

musim timur lebih rendah 0.2 yang dilemahkan oleh musim barat. Pada saat

bersamaan dengan Berkurangnya Smax pada aliran Arlindo terlihat percampuran

vertikal yang kuat pada musin barat.

Suplai massa air dari Laut Jawa (Java Sea Water - JSW) terhadap

pengenceran, fluks bahang dan air tawar di South Equatorial Current Samudra

Hindia oleh Atmadipoera et al., (2009) menjelaskan kontribusi massa air JSW

pada lapisan permukaan dengan salinitas yang lebih tawar yang melemahkan

kontribusi massa air NPSW dilapisan termoklin. Massa air JSW digerakkan ke sisi

timur perairan oleh arus muson permukaan dikarenakan percampuran diapycnal

yang kuat. Massa air ini keluar ke Samudra India melalui Selat Lombok, Ombai

dan Timor dengan phase lag antara satu dan lima bulan, sehingga salinitas tawaar

di permukaan dan termoklin di Samudra Hindia bagian timur dimukan di awal

musim timur antara bulan April dan akhir bulan September.

Sill dan Slope Region

Topografi atau bentuk dasar laut dapat dibagi ke dalam batuan utama,

relief-relief menengah, dan mikro relief (Neumonn dan Pearson, 1966). Relief

utama membedakan antara abysal dan daratan tinggi, pegunungan bawah laut,

pegunungan isolat, dan trences laut dalam (Shipek, 1961 dalam Neumonn dan

Pearson, 1966), fitur ini diukur secara horisontal dipuluhan dan ratusan kilom atau

lebih, dan secara vertikal dalam ribuan m. Relief menggambarkan antara fitur

seperti bukit, lembah, saluran, tanggul, selokan, bank, dan jurang yang menjadi

bagian dari relief bantuan. Topografi membagi kedalaman ambang kritis yang

mengatur pertukaran massa air antar-cekungan dalam laut Indonesia yang dapat

diperkirakan dengan membandingkan profil suhu di kedua sisi topografi barrier.

1.

Kedalaman Sill utama antara Laut Utara Pasifik dan laut dalam Indonesia

(Gordon et al. 2003) adalah:

2.

Sangihe Ridge membentang dari Sulawesi Mindanao, yang membatasi

akses air yang mendalam untuk Laut Sulawesi dan Selat Makassar;

3.

Laut Halmahera dengan kedalaman Sill mengendalikan akses air Pasifik

Selatan ke Laut Indonesia ; dan

Lifamatola Passage, yang menghubungkan Laut Maluku ke Laut Seram.

11

Profil dasar laut seperti disajikan pada Gambar 2, secara umum

menggambarkan lantai dasar utama lautan yang termasuk di antaranya berupa

gunung bawah laut, parit, busur pulau, dan cekungan. Berdasarkan ketetapan Biro

Hidrografi Internasional (1953), dan pendefinisian berdasarkan dari Sverdrup,

Johnson, dan Fleming (1942), Shephard (1963), dan Dietrich et al., (1980 ) dalam

Stewart, 2008) menetapkan nama dan penjelasan dari bentuk dasar lautan. 1)

Basin yang merupakan kolam-kolam terdalam dari dasar lautan memiliki bentuk

lebih kurang seperti lingkaran atau oval. 2) Canyons (Ngarai) yang relatif sempit,

alur-alur yang dalam dengan lereng curam, memotong di landasan kontinen dan

lereng, dengan dasar miring terus ke bawah. 3) Continental shelves adalah zona

yang berdekatan dengan benua (atau sekitar pulau) dan membentang dari batas air

terendah dengan kedalaman biasanya sekitar 120 m, dimana ada tanda atau lebih

tepatnya lereng yang curam ke kedalaman yang besar. 3) Continental Slopes

adalah declivities ke arah laut dari tepi ke yang lebih mendalam. 4) Plains yang

datar, landai atau daerah tingkat hampir dari lantai-laut, seperti dataran abisal. 5)

Long Ridges, berupa peningkatan lantai-laut yang sempit dengan sisi yang curam

dan topografi kasar, dan 6) Seamounts yang terisolasi atau relatif terisolasi dengan

ketinggian 1000 m atau n lebih tinggi dari dasar laut dan dengan puncak wilayah

kecil. 7) Sills adalah bagian rendah dari punggung memisahkan cekungan laut dari

satu sama lain atau dari dasar laut yang berdekatan. 8) Trenches adalah parit

panjang, sempit, dan depresi mendalam dari dasar laut, dengan bagian samping

yang relatif curam.

12

Gambar 2. Skematis utama dari gambar dasar laut (Stewart, 2008).

Roberts dan Wood (1979) dalam simulasinya yang memodifikasi topografi

di Ridge Greenland-Skotlandia. Mereka menemukan bahwa perubahan ini

memiliki dampak yang signifikan terhadap lokasi pembentukan massa air,

transportasi massa air yang besar di atas punggung bukit dan transportasi panas ke

lintang tinggi. Kehadiran ambang (sill) mempengaruhi pertukaran antara laut

marjinal dan laut terbuka, dan memiliki dampak pada pembentukan air lebat yang

terjadi di laut marjinal. Walin et al. (2004) menemukan bahwa kedalaman ambang

mengatur volume dan transportasi panas antara dua cekungan, jika ambang lebih

besar transportasi juga besar. Batas aliran kedalaman ambang ke dalam kolom air

dingin dan bahwa ini adalah aliran baroklinik berubah menjadi lereng (slope)

barotropik saat ini sementara mengelilingi cekungan. Secara eksplisit peran

dinamis ambang merupakan kelas marjinal laut konvektif yang terpisah dari

cekungan laut besar seperti fitur topografi (Stewart, 2003).

Keberadaan sill dengan kontur yang dangkal menunjukkan laju eksposur

pergerakan arus yang sangat kuat, berdasarkan hasil analisa kesetimbangan nilai

transportasi beberapa titik arus oleh Gordon et al. (2003) menunjukkan bahwa

arus Dewakang Sill antara 7.3 – 10.7 Sv dengan kedalaman 680 m menyebabkan

pasokan massa air ke laut Flores berkurang. Kedalaman suatu sill sangat efektif

diamati berdasarkan dengan metode termodinamik dengan menggunakan

perbandingan param suhu, salinitas dan konsentrasi oksigen pada kedua sisi pada

punggung sill. Berdasarkan eksperimen numerik pada dua dimensi non hidrostatik

13

pada Dewakang Sill menurut Hatayama (2004) menunjukkan bahwa gelombang

internal dari komponen M2 pasang surut yang dominan di wilayah sill dengan

amplitudo yang cukup besar menciptakan percampuran vertikal yang kuat yang

menyebabkan difusivitas vertikal maksimal mencapai nilai 6 x 10-3 m2 s-1

Percampuran (Mixing)

. Melalui

eksperimen model Arlindo oleh Conkright et al. (1998) dan Gordon et al. (2003)

mengamati proses pertukaran massa air vertikal antara lapisan terbuka permukaan

dan massa air dalam kolom cekungan sill melalui mekanisme percampuran

vertikal dengan melibatkan pengaruh sill, dimana suhu potensial dan densitas

dibuat lebih ringan di lapisan dalam dari intrusi massa air permukaan.

Densitas massa air yang terakumulasi di dalam cekungan dengan lapisan

yang mengalami pendinginan atau penguapan akan bergerak dan mengalir di atas

ambang (sill). Peranan ambang (sill) dalam mengatur pertukaran massa air dalam

suatu perairan menurut Gordon et al. (2003) dapat diperkirakan dengan

membandingkan profil suhu di kedua sisi batas topografi, yang disebut

thermometric depth. Selain suhu juga dapat di perkirakan dengan salinitas atau

oksigen, tetapi secara umum profil dari suhu memiliki jangkauan yang lebih

dinamis dan memberi perkiraan yang terbaik tentang kedalaman.

Massa air laut yang dinamik bergerak dalam aliran turbulen, gerak dari

turbulensi dengan karakteristik yang berbeda dan menyebabkan percampuran

fluida yang besar. Dominansi dari difusi turbulen dalam proses percampuran yang

terjadi di laut dikarenakan adanya gradien suhu, salinitas, nutrien dan gas terlarut.

Menurut Tomzack dan Godfrey (2000) massa air yang dicirikan dengan

karakteristik suhu dan salinitas terjadi oleh proses di permukaan di suatu tempat,

dimana terjadi pergerakan lemah dan percampuran dengan massa air lain pada

saat air tersebut mengalir. Analisis pergerakan massa air akan membantu dalam

mengetahui sirkulasi laut dalam.

Menurut Illahude (1999) pada umumnya penyebaran salinitas dunia di

lapisan di bawah permukaan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu pembentukan

massa air (formation of water mass) dan proses percampuran (mixing) karena

peredaran (circulation) dan turbulensi. Menurut Stewart (2008) bahwa kondisi

14

fluida yang tidak stabil di lautan dapat mengalami percampuran. Terdapat dua

jenis instabilitas di laut, yaitu instabilitas statik dan dinamik. Intabilitas statik

berkaitan dengan perubahan densitas terhadap kedalaman, sedangkan instabilitas

dinamik yang berkaitan dengan kecepatan dan shear arus dari suhu, salinitas dan

densitas dengan gradien fluida bertingkat.

Percampuran vertikal memerlukan energi yang besar dibandingkan

percampuran horizontal. Menurut Stewart (2008) bahwa semakin besar frekuensi

stabilitas maka semakin besar pula energi yang dibutuhkan untuk percampuran

vertikal. Percampuran vertikal sepanjang permukaan dengan densitas konstan

sangat penting karena dapat merubah struktur dari laut dalam akhirnya dapat

mencapai permukaan dari lapisan tengah juga lapisan di bawahnya.

Sumber energi yang paling berperan dalam percampuran internal adalah

gelombang internal (Emery et al., 2005), ditambahkan oleh Stewart (2008)

mengatakan bahwa mekanisme dari percampuran internal adalah vertikal shear

berupa kecepatan yang dapat menghasilkan turbulensi. Mekanisme lain dari

proses percampuran internal adalah gesekan (shear) vertikal, yang diartikan jika

kecepatan berubah menurut kedalaman dalam suatu perairan yang stabil,

berstratifikasi, menyebabkan aliran tidak stabil apabila perubahan kecepatan

berdasarkan kedalaman dan perbedaan kecepatan arus cukup besar.

Hatayama (2004) menjelaskan bahwa percampuran vertikal dengan

menekankan pada sifat massa air Arlindo disebabkan oleh gelombang internal,

yang terjadi adanya interaksi antara gundukan di wilayah ambang (Sill) dengan

pasang surut. Difusifitas vertikal oleh percampuran yang kuat di wilayah ambang

Dewakang dapat mencapai nilai maksimal 6 x 10-3 m2 s-1 dengan salinitas

maksimum dan karakteritik lapisan inti termoklin Arlindo yang lemah. Implikasi

dari gelombang dan massa air yang terjebak di wilayah ambang menginduksi

adanya perpindahan vertikal yang besar sekitar 60 m selama satu priode pasang

surut M2 yang dominan.

Banyak pencampuran di Laut Indonesia diduga terjadi pada situs-situs

yang memiliki intensivitas pencampuran, dimana fluida tercampur mengalir dari

lapisan yang sesuai dengan densitasnya. Beberapa pengukuran dan percobaan

numerik menjelaskan bahwa pencampuran sangat bervariasi di Laut Indonesia

15

dengan peningkatan yang jelas di wilayah sill dan slope (Hatayama 2004).

Aktivitas percampuran yang sangat kuat baik secara vertikal dan horizontal terjadi

di perairan Indonesia menurut Ffield dan Gordon (1992); Ffield (1994) serta

Hautala et al. (1996) menegaskan bahwa massa air dari Arlindo akan melewati

beberapa hambatan topografi perairan berupa ambang (sill) seperti pada beberapa

selat.

Kondisi topografi ini menjadi kontrol terhadap laju difusi turbulensi

vertikal yang bervariasi dan memiliki ketinggian maksimal pada lokasi berbeda.

Kekuatan percampuran yang terjadi dipengaruhi oleh variabilitas bentuk dasar

perairan, kekuatan aliran, stabilitas massa air, interaksi proses fisik pada massa air

berupa turbulensi, gelombang internal, dan pasang-surut internal. Interaksi antara

proses fisik dan topografi dasar perairan di daerah selat menurut Gordon (1994)

dan Ffield (1994) dapat mengakibatkan terjadinya fluks massa air berupa bahang

(energi), partikel garam, nutrien, dan momentum secara vertikal dan horizontal.

Berdasarkan hasil pengamatan Jayne et al., (2004) mengatakan bahwa sebagian

besar pencampuran terjadi breaking dari gelombang internal dan akibat gesekan

(shear) di dasar laut (sepanjang lereng benua, dan di atas dan sekitar seamounts,

dan campuran lapisan di permukaan laut). Sebagian besar pencampuran dalam

lautan didorong oleh arus pasang surut, yang menjadi turbulen ketika mereka

melewati hambatan dasar aliran di laut, termasuk pegunungan tengah laut.

Munk dan Wunsch (1998) menjelaskan bahwa difusi turbulensi

panas/bahang di lintang rendah menyediakan energi potensial yang mengerakkan

siklus meridional dalam skala besar. Peranan percampuran secara global yang di

sebabkan oleh aktivitas gelombang internal, yaitu sebagai pengangkut bahang,

nutrien, gas terlarut, dan control pertukaran dari lapisan dalam ke permukaan.

Percampuran turbelensi dalam lautan secara umum tidak merata/seragam, namun

menurut (Simmons et al., 2004), telah terbukti merata dalam ruang dan waktu,

yang pada gilirannya berdampak pada pola produktivitas biologis dan sirkulasi

lautan.

Mekanisme dari proses pembentukan pelapisan massa air menurut

Laevastu dan Hela (1970) mengatakan bahwa beberapa faktor-faktor yang

mempengaruhi terbentuknya lapisan tercampur (mixing depth) serta di lapisan

16

termoklin dikarenakan adanya pengalihan bahang, percampuran oleh aktivitas

gelombang, percampuran massa air secara horizontal, dan pengaruh gelombang

dalam (internal wave). Peralihan bahang menyebabkan terjadinya proses

pembentukan lapisan termoklin musiman, lapisan termoklin sesaat (transient), dan

berpengaruh pada kedalaman lapisan termoklin. Pergerakan massa air secara

horizontal (adveksi) mengakibatkan hilangnya lapisan sesaat (transient) dan

mempengaruhi ketajaman pada lapisaan termoklin serta kedalaman tercampur

mempengaruhi struktur lapisan termoklin dan gradien salinitas oleh aksi

gelombang.

Proses pelapisan sebaran vertikal densitas kaitannya dengan suhu dan

salinitas serta proses-proses yang berkontribusi terhadap stratifikasi suhu dan

salinitas. Faktor seperti pola sirkulasi massa air, penguapan, curah hujan dan

intrusi aliran sungai oleh Wyrtki (1962) merupakan faktor terbentuknya pelapisan

dan sebaran vertikal salinitas. Menurut Sverdrup et al. (1942) bahwa proses

percampuran secara vertikal (vertical mixing) dan proses pengangkatan massa air

(upwelling) berpengaruh terhadap sebaran vertikal densitas dan kondisi

pelapisannya. Selain itu pelapisan yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi

musiman.

Adanya hubungan antara sebaran densitas secara vertikal dan pengaruhnya

terhadap pergerakan massa air (Pond dan Pickard, 1983) mengatakan bahwa jika

suatu fluida ringan (nilai densitas kecil) berada di atas fluida berat (nilai densitas

besar), maka tidak akan ada kecenderungan massa air bergerak secara vertikal.

Sebaliknya, jika fluida berat berada diatas fluida ringan, maka ada kecenderungan

pergerakan massa air secara vertikal yaitu dengan turunnya massa air yang

digantikan oleh massa air yang ringan di bawahnya.

Sebaran massa air dapat dianalisa berdasarkan tiga komponen utama

(suhu, salinitas, dan densitas). Ketiga komponen ini digunakan untuk menelaah

fenomena yang terjadi dalam perairan, seperti sumber dan pergerakan massa air

serta pola stratifikasinya.

Suhu

Stewart (2008) mengatakan bahwa penyebaran suhu pada permukaan laut

membentuk zona berdasarkan letak lintang. Semakin mendekati garis

17

Khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan meningkat, sebaliknya suhu akan

semakin menurun saat mendekati kutub (lintang tinggi). Secara vertikal suhu di

lautan di bagi menjadi tiga zona (Richard dan Davis, 1991) yaitu :

1.

2.

Lapisan permukaan (homogeneous layer) yang merefleksikan suhu rata-rata

tiap lintang

3.

Lapisan termoklin (thermocline layer)

Lapisan permukaan atau lapisan homogen yang terbentuk karena

pengadukan massa air oleh angin, arus, pasang surut. Pada laut tropis yang

dipengaruhi oleh musim dan letak geografis, pengadukan dapat mencapai

kedalaman 50-100 m dengan suhu 26-30

Lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air tiap

lintang

oC dan gradien tidak lebih dari 0.03 oC/m. Lapisan termoklin menurut Illahude (1999) dibagi menjadi dua lapisan,

yaitu lapisan termoklin atas (main thermokline) dan termoklin bawah (secondary

thermokline). Lapisan termoklin yang terbentuk di perairan tropis menurut Gross

(1990) dapat mencapai ketebalan antara 100 - 250 m dengan gradien suhu

mencapai 0.1 oC/m. Pada lapisan dalam di daerah tropis suhu mencapai 2-4 oC.

Lapisan dalam (deep layer) dapat mencapai kedalaman 2500 m dengan penurunan

suhu yang lambat, dengan gradien suhu 0.05 o

Salinitas

C/100 m (Illahude, 1999).

Beberapa faktor yang mempengaruhi sebaran salinitas permukaan lautan,

yaitu evaporasi, presipitasi, suplai air tawar (run off), dan perubahan arus akibat

pergantian musim. Pada perairan Indonesia menurut Illahude (1999) pada musim

barat isohaline bergerak lebih ke timur dan pada musim timur isohaline bergerak

lebih ke barat. Sebaran salinitas pada lapisan dalam lautan juga bervariasi seperti

halnya dengan salinitas di permukaan. Variasi salinitas lapisan dalam lebih

dipengaruh oleh proses percampuran (mixing) karena peredaran dan pembentukan

massa air (formation of water masses).

Secara vertikal salinitas dalam perairan dibagi ke dalam tiga lapisan, yaitu

lapisan homogen (homogeneous layer), lapisan haloklin (halocline layer), dan

lapisan dalam (deep layer). Lapisan homogen dengan ketebalan berkisar antara

50-100 m atau tergantung dari kuatnya pengadukan. Lapisan haloklin dengan

18

salinitas tinggi sejalan dengan bertambahnya kedalaman, lapisan ini terletak di

bawah lapisan homogen hingga kedalaman antara 600-1000 m. Selanjunya lapisan

dalam berada di lapisan bawah sampai dasar.

Massa air yang didominasi massa air dari Samudra Pasifik yang melewati

tiga pintu utama Arlindo (Laut Sulawesi, Laut Maluku, dan Laut Halmahera)

mengalami pengenceran akibat intrusi air sungai dan tingginya curah hujan

sepanjang tahun. Kondisi ini menyebabkan rata-rata salinitas di perairan tropis

kurang dari 34 psu. Menurut Wyrtki (1961) pada musim timur nilai salinitas

kurang dari 34 psu dan pada musim barat salinitas lebih besar dari 34‰.

Densitas

Densitas (ρ) atau massa per unit volume (Steward, 2008) dalam suatu

perairan densitas dapat ditentukan nilainya dengan menghitung nilai suhu,

salinitas dan tekanan. Bila suhu semakin rendah, maka densitas massa air akan

meningkat. Hal ini terlihat nyata pada lapisan termoklin dimana densitas

meningkat dengan cepat dan dikenal dengan lapisan pegat (discontinuity layer).

Selain itu kenaikan salinitas juga dapat meningkat dengan meningkatkan nilai

densitas massa air walaupun tidak sekuat pengaruh suhu. Pada lapisan pegat

massa air pada lapisan atas tidak dapat bercampur dengan lapisan air di bawahnya

bila gradien σt sama besar (Wyrtki, 1961).

Hubungan antara densitas dengan salinitas dan suhu (0 oC) untuk pertama

yang dikemukakan oleh Knudsen (1901) dalam Neumann dan Pearson (1966).

Nilai σ0 = (ρs.0.0 – 1)x 103 merupakan fungsi dari salinitas yang dinyatakan sebagai

berikut :

σ0 = -0.093 + 0.8149 S – 0.000482 S2 + 0.0000068 S3

Perhitungan densitas dengan ketelitian memiliki ketelitian sampai lima

angka dibelakang titik (.), tetapi karena perubahan nilai densitas hanya dalam dua

digit, maka para ilmuan menggunakan suatu kuantitas yang disebut sebagai sigma

(Σ) yang tergantung pada nilai suhu, salinitas, dan tekanan σ(s,t,p) (Steward, 2003);

σ(s,t,p) = ρ(s,t,p)- 1000 kg/m3

19

ρ(s,t,p) adalah densitas in situ yang merupakan fungsi dari suhu, salinitas, dan

tekanan.

Fungsi empiris untuk menghitung sigma-t (σt) dari nilai sigma-0 (σ0)

berdasarkan perhitungan fungsi D (Forch, 1902) dalam Neumann dan Pearson

(1966). Fungsi D merupakan suatu fungsi yang menyatakan efek suhu dengan σ0

yang berbeda. Perhitungan hubungan suhu terhadap densitas yang dinyatakan

dengan persmaan :

σt = σ0 – D

dimana D = ∆ t (perubahan suhu), sigma-t (σt) merupakan nilai densitas yang

dihitung pada tekanan atmosfer (p=0 dan suhu (t-0) yang dinyatakan dalam

persamaan : σt = (ρ(s,t,0) – 1)x 1000, kebalikan dari nilai densitas in situ adalah

volume spesifik in situ dari nilai densitas pada tekanan (P), suhu (t) dan salinitas

(s) yang dinyatakan dengan persamaan :

α s,t,p =

Fluks Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan

dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan

anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan

dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium,

potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam

konsentrasi sangat kecil, yakni besi, tembaga, dan vanadium (Levinton, 1982).

Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk

pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca

dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-

elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut

mikronutrien atau trace element.

Proses sirkulasi massa air mempunyai peranan penting dalam distribusi

dari suatu perairan ke perairan lainnya. Proses sirkulasi ini dipengaruhi oleh dua

faktor utama, yaitu angin dan distribusi densitas air laut, dimana perbedaan

20

densitas ini sebagai hasil dari variasi suhu dan salinitas (King, 1963). Massa air

yang berasal dari bawah laut relatif dingin, salinitas tinggi dan kaya nutrien.

Menurut Hutabarat (1984) bahwa massa air yang berasal dari bawah kandungan

oksigennya rendah, tetapi kaya nutrien, terutama nitrat dan fosfat yang berguna

untuk proses fotosintesis fitoplankton. Skema aliran nitrogen dalam lapisan

pelagis melalui lima bilik, dimana nitrit (NO2-), Nitrat (NO3

-) dan amonium

(NH4+) diserap oleh komitas fitoplankton (Gambar 3).

Gambar 3. Simulasi jalur aliran nitrogen dalam lapisan atas perairan pada ekosistem

(Bahamon, 2003) Klorofil-a dan Produktivitas Perairan

Laut tropik dicirikan oleh cukup tersedianya cahaya matahari namun

memiliki konsentrasi nutrien yang sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan

produktivitas laut tropik sangat rendah. 60% produktivitas yang ada di laut

terdapat di pantai sedangkan 90% laut terbuka dari laut dunia memiliki laju

produktivitas yang lebih rendah (Valiela, 1984). Selain faktor cahaya, silus

musiman. Sedangkan perairan Indonesia sendiri menurut Nontji (1794) dalam

Monk et al. (1979) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan

Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21

mg/m3 selama Musim Timur.

21

Menurut Tubalawony (2007) bahwa cahaya merupakan salah satu faktor

yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan

permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses

fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia

dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan

klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur

atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan

bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin. Ditambahkan oleh Matsuura et

al. (1979) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana

diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan

permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah

dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan

termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan

termoklin

Fachruddin Syah (2009) mengatakan bahwa klorofil-a digunakan sebagai

indikator dari kelimpahan fitoplankton dan potensi organik di suatu perairan dan

merupakan salah satu param yang sangat menentukan produktivitas primer di laut.

Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi

oseanografi suatu perairan. Menurut Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi

klorofil-a dan laju produktifitas primer meningkat disekitar ekuator secara

vertikal. Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan

terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya

produktivitas perairan. Ketika kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan

melihat sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan

kandungan nutrien.

Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan

kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya

matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut,

sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir,

serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di

perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah

besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di

22

perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara

langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai

konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan

oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air,

dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan

permukaan (Valiela,1984) dalam Tubalawony (2007).

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada

konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan

akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal yang sama

juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989) dalam Tubalawony (2007) bahwa

nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan

konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan

mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500–1500 m.

Suhu memiliki peranan terhadap produktivitas primer lautan baik secara

langsung maupun tidak langsung. Menurut Tomascik et al. (1979) bahwa suhu

secara lansung berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses

fotosintesis. Laju maksimum fotosintesis (Pmax) sejalan dengan meningkatnya

suhu, atinya perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu tinggi. Secara tidak

langsung, suhu juga berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang

menjadi batasan dalam pergerakan organisme fitoplankton secara vertikal. Pada

suhu rendah organisme fitoplankton dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-

pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar, sehingga pemanfaatan

cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel

fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada (Vailela, 1984 dalam

Tubalawony (2007)

Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan

kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke

lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan

dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan

dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa

fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien

terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan

23

secara relatif meningkatkan produksi baru. Tubalawony (2000) berdasarkan data

ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya

percampuran vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang

umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom

perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari

perairan Laut Timor.

Percampuran secara horizontal massa air kuat dipengaruhi oleh angin

muson dan Arlindo. Menurut (Tubalawony, 2007) mengatakan bahwa sistem ini

mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda di

suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik

akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada

saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia

Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup

angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran

massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan.

24

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus, 2010, dengan

menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV. Data dari pelayaran difokuskan pada

perairan Selatan Selat Makassar, dimana perairan ini diketahui terdapat aktivitas

pasang surut internal yang sangat energik, terutama Stasiun yang melintas pada

kanal timur Dewakang Sill. Pengambilan dan pengukuran sampel yang dilakukan

di perairan Selatan Selat Makassar dengan menempatkan lima Stasiun serta

mencakup dua kanal utama yang menjadi jalur Arlindo, salah satunya kanal timur

Dewakang Sill. Tiap Stasiun secara umum akan dilihat profil CTD/SACDP. Rute

jadwal pengukuran dan pengambilan sampel yang melewati perairan tersebut

dapat dilihat pada tampilan Gambar 4, berdasarkan pada data peta peta rupa bumi

(RBI) tahu 2009, dengan data batimetri dari etopo2 berupa reanalisis dan

pengukuran topografi dasar laut.

Gambar 4. Peta lokasi/Stasiun penelitian di perairan Selatan Selat Makassar.

Cross Section (A-B)

Dewakang Sill

Sumber Peta : 1. Rupa Rumi Skala 1:100.000 2. Satelit Etopo2

A

B

A B St 2

25

Alat dan Bahan

Beberapa instrumen alat yang digunakan dalam pengambilan/pengukuran

sampel di lapangan bersama dengan Kapal Riset Baruna Jaya IV serta spesifikasi

alat pada lampiran 6, di antaranya;

a. CTD (Conductivity, Temperature, and Depth) digunakan alat untuk

mengukur param oseanografi berupa suhu, salinitas, densitas, dan

oksigen. Instrumen dengan tipe Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus.

b. SADCP (Shipboard Acustic Doppler Current Profiler) tipe RDI 150 Khz.

Alat mengukur arus perairan (vertikal dan horinzontal). Alat ini sangat

baik digunakan untuk mengukur kecepatan dan arah arus pada perairan

yang sempit dan berada di lintang equator.

c. Bottle Rosette Sampler tipe Models 1015-12 and 1015-24 Rosette®,

digunakan untuk pengambilan sampel air untuk pengukuran konsentrasi

dan distribusi nutrien juga kandungan krolofil-a.

Metode Pengambilan Data

Data Fisik Perairan

Pengukuran data oseanografi dengan menggunakan CTD (Conductivity,

Temperature, and Depth) akan menampilkan data suhu (oC), salinias (psu), sigma-

t (kg/m3

Pengukuran arus secara langsung menggunakan SADCP (Acoustic

Doppler Current Profiler) dengan prinsip kerja berdasarkan perambatan bunyi,

dimana kekuatan alat ini mengirimkan berkas bunyi (tranduser) dengan frekuensi

tinggi dan merekam hamburannya (scattering) oleh partikel material organik

), kedalaman (m), dan tekanan (dbar). Sensor termisor, digiquartz and

conductivity yang terdapat pada CTD secara terus-menerus akan merekam data

setelah diturunkan dan ditarik kembali ke atas. Data hasil pengukuran yang

terekam dalam deck unit berupa sinyal analog kemudian diubah oleh probe CTD

yang dihubungkan langsung dengan komputer dengan kabel data menjadi sinyal

digital. Pembuatan Map rute perjalanan sebelumnya untuk memudahkan dalam

penentuan lokasi pengukuran dan pengambilan sampel. GPS (Global Position

System) dapat menampilkan posisi penelitian dalam bentuk derajat dan waktu,

secara teknis mengirimkan sinyal ke satelit dan dikembalikan ke GPS.

26

terlarut dalam air dan disambungkan ke penerima (receiver). Pola pergerakan

partikel yang sebanding perubahan frekuensi, memberi gambaran kecepatan yang

diamati selanjutnya bunyi tersebut dikalibrasi dengan alat SADCP. Alat ini

menentukan kecepatan arus (mm/det), arah arus (derajat), dan kedalaman (m).

Data direkam dengan perangkat lunak VMP yang dihubungkan dengan kabel ke

deck box, komputer, kompas kapal dan sumber energi/listrik. Alat ini bekerja

secara real time. Kemudian data diolah dengan menggunakan perangkat lunak

microsof excel dan surfer untuk menghitung besarnya volume transport serta

mengetahui arah arus pada kedalaman standar. Perekaman data CTD dan SADCP

pada waktu yang tidak bersamaan karena adanya pergeseran posisi kapal pada

titik Stasiun pengamatan, seperti disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Lokasi data CTD

Stasiun CTD Koordinat Tanggal dan Waktu Tekanan

(db) Kedalaman

CTD 1 06 14.87 S; 119 49.79 T 20/08/2010 11:10:54 1001.2991 1009.341 2 05 49.81 S; 119 08.05 T 20/08/2010 19:50:07 901.0344 908.044 3 05 40.00 S; 118 10.03 T 21/08/2010 08:28:24 521.2315 524.802 4 05 38.30 S; 116 59.77 T 21/08/2010 19:02:47 603.9631 608.222 5 05 39.02 S; 115 55.86 T 22/08/2010 04:24:45 50.2573 50.557

Tabel 2. Lokasi data SADCP

Stasiun SADCP Koordinat Tanggal dan Waktu Bin Size

(m) Jumlah

Bin 1 -6 18.06 S; 119 72.03 T 20/08/2010 08:17:26 4.79 50 2 -5 82.30 S; 119 18.13 T 20/08/2010 18:35:35 4.79 50 3 -5 62.10 S; 118 00.62 T 21/08/2010 10:27:26 4.79 50 4 -5 60.55 S; 116 89.33 T 21/08/2010 20:37:44 4.79 50 5 -5 64.90 S; 115 74.71 T 22/08/2010 06:06:17 4.79 50

Data Kontur Kedalaman

Data tampilan kontur kedalaman berupa peta topografi dapat diakses dari

langsung dari data best satelit USGS pada website (www.globalmapper.com),

dengan perangkat lunak yang disebut Global Mapper berupa data raster (gambar),

vektor, atribut, dan topografi. Peta ini dapat menampilkan kondisi kontur dasar

27

perairan, gunung/bendul dasar lautan (Sill). Bentuk kontur kedalaman dan

kemiringan slope di gunakan untuk mengidentifiksi pengaruhnya terhadap

pergerakan massa air dan pelapisan suhu, proses turbulensi dan percampuran.

Proses-proses ini juga dapat menjabarkan fenomena-fenomena tersebut terutama

kaitanya dengan proses pengangkutan zat hara (nutrien) bersama pergerakan

massa air secara vertikal.

Data Nutrien

Sampel nutrien dengan komponen utama yaitu, nitrat (NO3), fosfat (P),

dan Silikat (S) di peroleh melalui riset pelayaran Balai Teknologi Survei Kelautan

BPPT. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2010 dengan 5 titik Stasiun

pengambilan sampel di tiap kedalaman standar yang telah di tentukan (5, 25, 50,

75, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500, 600, 700 dan 1000). Konsentrasi nitrat

sebagai dasar analisis nutrien berdasarkan metode oleh Eaton et al., (2005), diukur

menggunakan teknik Spektrofotom. Masing-masing komponen dianalisis dengan

metode berbeda seperti dijelaskan pada tahapan penentuan. Alat ini dapat

menganalisis air contoh dalam tabung dengan acuan larutan stadar sebagai

pembanding, kemudian hasilnya direkam dan menampilkan grafik dengan volume

tertentu dengan satuan dinyatakan dalam µg-A l. Analisis data nutrien dikerjakan

di laboratorium kimia oseanografi – LIPI.

Penentuan nitrat dalam air laut dianalisis menggunakan metode reduksi

kadmium, dengan prosedur kerja sebagai berikut :

1. Siapkan kolom reduksi yang dielusi dengan ammonium chloride.

2. Tambahkan 2 ml larutan ammonium chloride pekat ke dalam 100 ml

sampel.

3. Masukkan 5 ml sample ke dalam kolom reduksi. Biarkan mengalir.

4. Masukkan sisa sampel. 40 ml eluen pertama untuk membilas wadah

penampung. Ambil 50 ml eluen berikutnya.

5. Tambahkan 1 ml larutan sulfanilamide ke dalam eluen. Biarkan selama 2

menit kemudian tambahkan 1 ml larutan N-(Napthyl)-Ethylendiamine

dihidrochloride.

28

6. Diamkan selama 10 menit sampai 2 jam. Ukur absorbansinya pada

panjang gelombang 543 nm.

7. Lakukan tahapan 1-6 dengan mengganti sample dengan aquades (sebagai

reagen blanko) dan juga larutan standar II.

Penentuan fosfat dalam air laut di analisis menggunakan metode molibdat,

dengn prosedur kerja sebagai berikut :

1. Masukkan 10 ml pereaksi campuran ke dalam 100 ml sampel.

2. Sesudah 5 menit, ukur absorbansinya pada 885 nm.

3. Koreksi absorbansi dengan reagen blanko. (Penentuan blanko seperti no.

1, hanya sampel diganti aquadest).

4. Lakukan hal yang sama terhadap larutan standar fosfat .

5. Hitung konsentrasi fosfat dalam sample.

Penentuan silikat silikat dalam air laut dianalisis menggunakan metode

molibdosilikat, dengan prosedur sebagai berikut :

1. 25 ml sampel di dalam labu ukur 50 ml bertutup ditambah dengan 10 ml

Larutan molibdate, kocok dan diamkan selama 10 menit.

2. Tambahkan reagen pereduksi sampai volume 50 ml dan kocok.

3. Biarkan 2 – 3 jam.

4. Ukur absorbansi larutan pada panjang gelombang 810 nm.

Koreksi absorbansi dengan reagen blanko. (Penentuan blanko seperti diatas, 1 – 3

hanya sampel diganti aquadest).

Data Krolofil

Data krolofil-a diperoleh melalui Penelitian ini dilakukan pada bulan

Agustus 2010 dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV. Contoh air

untuk penentuan kandungan klorofil-a fitoplankton diambil dengan menggunakan

Rosette Sampler pada kedalaman standar, yaitu pada kedalaman (5, 25, 50, 75,

100, 150, 200, 250, dan 300) pada 5 Stasiun yang tersebar di perairan Selatan

Selat Makassar dan Dewakang Sill (Gambar 4).

Metode untuk pengukuran konsentrasi klorofil-a fitoplankton dilakukan

secara fluorometrik mengikuti cara yang dilakukan Strickland dan Parsons (1968).

Sebanyak 0.2 - 1.0 liter air di saring dengan menggunakan kertas saring Whatman

29

CNM berpori 0.45 µm dan berdiam 25 mm. Untuk mempercepat penyaringan

dibantu dengan pompa vacum dengan kekuatan hisap <30 cmHg. Setelah

penyaringan, filter diekstrak dengan menggunakan larutan aseton 90 % dan

selanjutnya disentrifuge pada putaran 4000 rpm selama kurang lebih 30 menit

untuk memisahkan antara filtrat dengan cairan yang mengandung klorofil.

Kemudian cairan tersebut dibaca fluororecence-nya dengan menggunakan Flurom

Turner Model 450 pada besaran 50 kali. Setelah diberi HCl 0,1 N, sampel tersebut

kemudian dibaca kembali pada besaran yang sama. Konsentrasi klorofil–a

fitoplankton diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

( ) ( )31

1−−−

−=− mmglg

VVxRRxxFaKlorofil

s

eABs µ

ττ

...................... (1)

Fs = faktor kalibrasi fluorom

τ = RB/RA

RB = Reading Before (bacaan pada flurom sebelum penambahan asam)

RA = Reading After (bacaan pada flurom setelah penambahan asam)

Ve = volume ektraksi (penambahan aseton 90 % = liter)

Vs = volume saring (liter)

Analisis Data

Pengolahan data hasil pengukuran langsung dalam penelitian dengan

menggunakan pengukuran SADCP (Shipboard Acustic Doppler Current Profiler)

CTD (Conductivity, Temperature, and Depth) dan Botol Rosette Sampler. Data

yang diperoleh dikonversi ke dalam format ASCII (American Standard Code for

Information Interchage), sehingga pengolahan data dapat dilakukan dengan

program/software, yaitu Microsoft Excel, Surfer 9, MATLAB R2009a, dan Ocean

Data View (ODV). Pengolahan data secara umum di sajikan melalui diagram alir

seperti pada Gambar 5.

30

Gambar 5. Diagram alur pengolahan data

Sebaran Menegak dan Melintang Suhu dan Salinitas

Data terukur yang diolah dalam Software ODV, hasilnya berupa gambaran

profil menegak dan melintang dari suhu, salinitas, sigma-t. Profil sebaran

melintang salinitas, suhu, dan sigma-t yang dapat dijadikan dasar analisa tentang

karakteristik massa air juga menampilkan variasi salinitas dan suhu maksimum

dan minimum. Profil ini juga memberi gambaran terbentuknya pelapisan perairan

yang didasarkan pada suhu dan salinitas, bagaimana kondisi di lapisan homogen,

termoklin, halohalin, dan lapisan dalam.

Nilai sigma-t (σt) air laut diperoleh dengan terlebih dahulu menghitung

nilai sigma-0 (σ0) dengan menggunakan persamaan Knudsen sebagai berikut:

CTD (suhu, salinitas, densitas, kedalaman)

SADCP

Data Vektor (u, v)

Difusivitas Vertikal Eddy (Kz)

Richardson Number (Ri)

ROSSETE (Nutrien dan Klorofil-a)

Shear Vertikal Arus

Flux Nitrat (JNo3)

Klorofil-a

Wilayah Sill/Slope

Brunt-Vaisala (N2)

Koreksi Pasut (Detide)

31

σ0 = -0.093 + 0.8149 S – 0.000482 S2 + 0.0000068 S3

∑=

3

0

3

jj SB

..................................... (2)

Kemudian oleh Fotonoff dan Tabata (1958) persamaan tersebut di atas

dirumuskan dalam notasi Sigma (∑):

σ0 = ........................................................................................... (3)

dimana:

B0 : (-0.0934458324), B1 : (0.814876576925),B2 : (-4.824961403E-4), B3 : (6.767861356E-6), dan S : Salinitas Kemudian nilai Sigma-t dapat dihitung dengan persamaan:

∑∑∑

==

= ++

=2

10

3

00

4

1 )(j

jiij

j

t

ij

t tAAt

taδσ

............................................................ (4)

dimana:

T : Suhu (o A22 C) : -8.164 A10 : 3.6730E-8 A23 : 1.667E-8 A11 : -4.7867E-3 A0 : 67 .26 A12 : 9.8485E-5 a2 : -0.54593391107 A13 : -1.0843E-6 a1 : 4.5316842620 A20 : 0 a3 : -1.9824837971E-3 A21 : 1.8030E-5 a1 : -1.438030609E-7

Percampuran (Mixing)

Frekuensi Apung (Bouyancy Frequency)

Metode perhitungan percampuran massa air secara vertikal dari lapisan

dalam perairan, sebagai analisis awal dengan menghitung nilai frekwensi apung

(Bouyancy frequency) menggunakan persamaan Brunt-Vaisala (Millard et al.

1990) dalam Bahamon (2003).

.............................................................................. (5)

Dimana ; N2 = frekuensi apung (s-2)

32

g = percepatan gaya gravitasi (9.8 m s-2)

ρ = densitas rata-rata selang kedalaman

∆z = beda kedalaman (m)

∆σθ = beda sigma thetha, densitas air laut (σθ = ρ – 1000 kg m-3

Bilangan Richardson (Ri)

)

Nilai dari bilangan Richarson sendiri digunakan untuk melihat bagaimana

kondisi stratifikasi lapisan, dimana apa aliran fluida tersebut lamier atau turbulen.

Nilai bilangan Richarson (Ri) diperoleh dengan frekuensi apung (Bouyancy

frequency) dibagi dengan nilai shear vertikal dari kecepatan arus horizontal

dengan menggunakan persamaan dari gradien bilangan Richardson (Polzin et al.

1996) dalam Thurnherr (2006).

.................................................................................... (6a)

................................................................... (6b) Dimana : Ri = Gradien Richardson number

N = frekuensi apung (Bouyancy Frequency)

S2 = arus vertikal shear

u = kecepatan arus komponen timur-barat (m s-1)

v = kecepatan arus komponen utara-selatan (m s-1

Difusi Eddy Vertikal (Kz)

)

Penghitungan data konsentrasi dan nilai fluks dari nutrien dari kolom

perairan dalam kelapisan atas dengan menggunakan data nutrien (Nitrat). Data

yang disajikan dalam bentuk grafik sebaran menegak, melintang, kemudian

dilakukan analisa mengenai sebaran konsentrasi nutrien dan faktor-faktor

pendukung keberadaanya. Kemudian beberapa titik pengambilan dilakukan

perbandingan konsentrasi nutrien. Dari data tersebut juga diamati distribusi

perlapisan, baik pada lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin maupun

lapisan terdalam di bawah termoklin. Untuk memperkirakan difusi fluks dengan

33

param difusivitas turbulen eddy vertikal menurut Osborn (1980) dalam Bahamon

(2003).

............................................................................. (7a)

= frekuensi apung (Brunt-Vaisala)

= nilai turbulen energi kinetik (TKE) disipasi pada kedalaman tertentu

Г = efesiensi percampuran (0.2)

Penentuan nilai turbulen energi kinetik disipasi digunakan untuk

mengambarkan jumlah energi kinetik yang hilang atau berubah bentuk dalam

lautan. Perhitungan besaran energi kinetik yang mengalami proses disipasi (ᶿᶿ)

berdasarkan skala Ozmidov (1965) dalam Park et al, (2008) sebagai berikut.

....................................................................... (7b)

............................................................................ (7c)

Dimana : Lo = Skala Panjang Ozmidov.

Penentuan nilai skala Ozmidov pada setiap lapisan digunakan skala

Thorpe (Lτ) dengan menggunakan persamaan (Dillon, 1982).

.................................................................................... (8a)

............................................................................ (8b)

Sebelum perhitungan dengan beberapa skala Thorpe ( , skala Ozmidov

dilakukan penentuan nilai Thorpe displacement (d), nilai ini ditentukan dari

penyusunan ulang (reorder) densitas dalam bentuk stabilitas statis sesuai dengan

densitas awal/kedalaman, dimana posisi massa air dengan densitas rendah berada

di atas densitas tinggi sesuai konsep densitas. Persamaaan Thorpe displacement

(Dillon, 1982 dalam Thompson et al., 2007).

.............................................................................. (9)

Dimana za = posisi tekanan awal (db)

zb = posisi tekanan setelah reorder (db)

34

Selanjutnya penentuan batasan nilai pembalikan dari data yang telah

disusun ulang dengan menggunakan metode skala dGK (Galbraith dan Kelley,

1996), berdasarkan metode skala dGK nilai yang kurang (±5 m) akan diabaikan

dan tidak akan diikutkan untuk perhitungan selanjutnya. Interval kedalaman

vertikal (∂z) data CTD dibuat 1 meter untuk mendukung batas pembalikan massa

air berdasarkan metode skala dGK

................................................................................. (10)

Estimasi nilai difusi eddy vertikal (Kz) dengan menggunakan dengan shear

arus, dengan mengunakan persamaan Cisewski et al., (2005) dalam Park et al.,

(2008), terlebih dahulu menentukan nilai energi kinetik disipasi turbulen eddy (ᶿ)

dari shear arus dengan persamaan Osborn (1980)

........................................................ (11)

Dimana υ = kostanta kinematik viskositas (1.3 x 10-6 m2 s-1

)

∂u'/∂z = varian gradien vertikal dari fluktuasi turbulen

Fluks Nutrien

Untuk melihat proses pengangkutan dan distribusi nurtrien dari perairan

dalam ke lapisan temoklin dan lapisan permukaan tercampur dengan melihat

pengaruh param fisik dan proses pencampuran massa air. Fluks vertikal nutrien

karena difusi turbulen nitracline adalah produk dari gradien nutrien dan koefisien

difusi, yang dihitung dengan menggunakan metode dari Law et al. (2003) untuk

melihat profil dan estimasi nutrien fluks (µg-A m2 s-1) pada lapisan pycnocline

sebagai berikut ;

....................................................... (12)

Dimana : ∆ nutz adalah perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman z

(m) berdasarkan kedalaman standar pengukuran nutrien.

35

Estimasi fluks vertikal nutrien dengan nilai difusien eddy vertikal (Kz)

pada persamaan 12, digunakan sebagai estimasi nilai fluks menggunakan

kontribusi nilai shear arus (S2

Hubungan Klorofil-a dan Nitrat

).

Klorofil-a diestimasi sebagai partikel non-fraksi, meskipun klorofil b dan c

adalah direduksi dari persamaan yang digunakan, tetapi nilai-nilai klorofil-a

merupakan variabel utama digunakan dalam penelitian ini, karena ini merupakan

estimasi yang lebih akurat dari biomassa fitoplankton (Jeffrey & Welschmeyer

1979).

Hubungan antara konsentrasi nitrat (NO2+NO3) dengan konsetrasi

klorofil-a terhadap kedalaman terukur dengan menggunakan analisis regresi dan

korelasi. Analisis regresi linier korelasi nutrien (nitrat, fosfat dan silikat) terhadap

konsentrasi klorofil-a per kedalaman perairan dari semua Stasiun pengamatan

dengan selang kepercayaan (r2) = 99%. Perubahan konsentrasi nitrat terhadap

konsentrasi klorofil-a pada gradien kedalaman ditunjukkan pada nilai keeratan (r)

diplotkan dalam bentuk grafik sebaran dari dua konsentrasi tersebut dengan

persamaan :

................................................................................. (10)

Dimana : Y = taksiran / dugaan nilai Y(klorofil-a) untuk nilai X (nitrat)

a = konstanta regresi (Y)

b = koefisien regresi, perubahan Y terhadap X

36

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Topografi Selatan Selat Makassar

Dewakang Sill berada di bagian kanal timur Selatan Selat Makassar

merupakan ambang (sill) yang menjadi pembendung dan jebakan pergerakan

massa air di lapisan dalam sepanjang Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO).

Bentuk kontur dasar sepanjang titik Stasiun pengambilan data yaitu menunjukkan

kontur yang relatif datar dan lebih dangkal di sepanjang Laut Jawa. Penampang

melintang kontur dasar topografi pada Gambar 6 dalam hitungan mil atau sekitar

1.852 km. Profil vertikal salinitas dan suhu ditemui pada Stasiun 4 dengan kanal

yang dangkal (Lampiran 2), kanal ini merupakan jalur Arlindo menuju Selat

Lombok dan Laut Flores. Stasiun 3 berada di punggung gunung dengan slope

yang dangkal dan sempit, sedangkan Stasiun 1 memiliki kedalamaan slope hingga

1.000 m, lebih dalam dari slope di Stasiun 4 dengan kedalaman sekitar 600 m.

Pada Stasiun 2 pada kedalaman 908 m, berada disisi Selatan Dewakang Sill

seperti pada Cross-section Gambar 4. Secara melintang dari Stasiun pengamatan

di Selatan Selat Makassar memotong dua kanal, yaitu kanal pada sisi barat

(Stasiun 4) dan kanal disisi timur (Stasiun 2).

Gambar 6. Bentuk kontur topografi dasar sepanjang perairan Selatan Selat Makassar

(satelit USGS, etopo 2)

Stasiun 2 yang berada di Selatan Dewakang Sill yang melintang pada

kanal timur dengan kedalaman 908 m, memberi kontribusi nyata terhadap

pembatasan penyebaran dan keberadaannya menjadi penciri karakteristik massa

37

air pada kedalaman kolom/palung yang berbeda. Kontur topografi dasar laut

Indonesia sebagai lintasan arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia akan

terjebak dalam kolom cekungan dasar perairan sepanjang aliran. Kondisi arus

menurut Talley dan Sprintall (2005) menjelaskan bahwa arus dari Samudera

Pasifik ke Samudera Hindia melalui laut Indonesia adalah kompleks, dengan

setiap ambang menyediakan lokasi pencampuran untuk membentuk karakteristik

ITF dengan salinitas rendah. Karakteristik massa air Selat Makassar merupakan

jalur transpor utama bagian barat yang membawa 80% massa air dari Samudera

Pasifik, mengalami modifikasi fluks percampuran dan daya apung pasang surut

yang diinduksi interaksi permukaan laut dan tekanan atmosfer yang menciptakan

relatifitas isohalin di lapisan termoklin (Gordon et al. 2008).

Proses pertukaran dan perbaharuan massa air khususnya di wilayah

Dewakang Sill dengan kedalaman sill yang terisolasi sangat ditentukan oleh

tingkat percampuran diapycnal. Pelapisan aliran massa air di wilayah tersebut

sangat ditentukan oleh kontur dari sill dan proses percampuran sebagai akibat dari

proses turbulen oleh shear arus dan proses transpor serta pengaruh aktivitas

gelombang internal. Kondisi Selatan Selat Makassar dibandingkan dengan Laut

Baltik (Bendtsen et al. 2007) menunjukkan intensitas percampuran dipengaruhi

oleh luasnya kanal yang memungkinkan suplai air ke lapisan dalam cukup besar

dan menurut Lozovatsky et al.(2008) menjelaskan bahwa aktivitas pasang surut

yang mendominasi proses turbulensi dan percampuran secara spasial dan temporal

yang menyebabkan adanya adveksi dan konveksi panas dari siklus pasut dan

interaksinya dengan kontur dasar dan berpengaruh pada kecepatan disipasi dan

shear arus. Selanjutnya ditambahkan oleh Gordon et al.,(2003a) dalam

Profil Pelapisan Massa Air

Hendrik et

al.,(2009) mengatakan bahwa Dewakang Sill memiliki karakteristik arus seperti

dengan karakteristik arus dari Selat Makassar sekitar dengan volume teranspor

adalah 10 Sv, terlihat dominan pada lapisan termoklin (150 - 200 m).

Sebaran Melintang Suhu

Profil sebaran melintang suhu perairan Selatan Selat Makassar termasuk

Dewakang Sill berdasarkan kedalaman dari lima Stasiun ditunjukkaan pada

38

Gambar 7. Sebaran suhu secara melintang memiliki karakteristik pelapisan massa

air secara umum sesuai kedalaman, tetapi ada perbedaan ketebalan lapisan di

setiap Stasiun akibat adanya pengaruh pasokan massa air pada titik pengamatan

yang melewati celah sill dan slope yang berbeda. Sesuai dengan profil melintang

suhu menunjukkan adanya perubahan pola pelapisan suhu terhadap kedalaman

secara umum. Pola pelapisan secara vertikal menunjukkan adanya fluktuasi

gradien suhu seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada lapisan dalam di

kedua sisi utara dan selatan sill yang dangkal tidak terbentuk stratifikasi dengan

pemekatan yang tinggi, namun dengan meningkatnya kedalaman menunjukkan

degradasi suhu yang rendah pada kedalaman 700 m - 1000 m.

Gambar 7. Profil suhu perairan Dewakang Sill secara melintang berdasarkan data CTD

Secara umum lapisan yang terbentuk dari profil suhu lautan pada Gambar

7, menunjukkan adanya tiga lapisan utama, yaitu lapisan tercampur permukaan

(mixed surface layer), lapisan termoklin (thermocline layer), dan lapisan dalam

(deep layer). Lapisan tercampur permukaan (mixed surface layer) merupakan

lapisan homogen dengan kisaran nilai bahang yang relatif sama. Lapisan homogen

dari profil melintang suhu sepanjang Stasiun di perairan Selatan Selat Makassar

dengan ketebalan lapisan relatif sedikit berbeda antara Stasiun. Ketebalan lapisan

tercampur permukaan dari Stasiun 1 - 5 ditemukan pada kedalaman pengukuran

CTD, antara 50 m - 130 m dengan nilai kisaran suhu antara 21o - 28 oC dengan

fluktuasi gradien suhu antara 0.01 oC - 0.02 oC, sedangkan pada Stasiun 5 dengan

kedalaman pengukuran CTD sampai kedalaman 2 - 50 m menunjukkan lapisan

39

suhu homogen dengan nilai 28 oC, hal ini disebabkan lokasi Stasiun 5 berada pada

perairan dangkal di Laut Jawa.

Lapisan termoklin merupakan lapisan pembatas antara lapisan

permukaan tercampur dan lapisan dalam, ditandai adanya drastisitas penurunan

suhu terhadap kedalaman. Profil ketebalan lapisan termoklin bervariasi terhadap

kedalaman secara melintang sepanjang antar masing-masing Stasiun pengamatan.

Variasi lapisan termoklin hanya ditemukan di antara Stasiun 1 - 4, pada kisaran

kedalaman antara 114 m - 163 m, dengan variasi ketebalan lapisan mulai dari 4 m

- 21 m, sedangkan Stasiun 5, tidak ditemukan karena interval kedalaman perairan

dangkal. Meskipun ada variasi ketebalan lapisan terbentuk di antara lapisan

tercampur dan lapisan dalam, tetapi interval lapisan sangat tipis ditemukan pada

kisaran 20 oC di masing-masing kedalaman antar Stasiun (1 - 4) dengan ketebalan

umum sekitar 49 m. Stasiun 1, ditemukan lapisan termoklin pada kedalaman 156

m - 163 m dengan ketebalan lapisan sekitar 7 m. Pada Stasiun 2, ditemukan pada

kedalaman 129 m - 132 m dengan ketebalan lapisan 4 m. Pada Stasiun 3,

ditemukan pada kedalaman 114 m - 135 m dengan ketebalan lapisan 21 m,

selanjutnya, Stasiun 4 ditemukan pada kedalaman 131 m - 139 m dengan

ketebalan lapisan 9 m. Variasi suhu tinggi di lapisan termoklin masih terlihat

sampai di lapisan bawah menyerupai kondisi termoklin Selat Makassar, kecepatan

sekitar 50% lebih besar dari lapisan permukaan, dan sekitar dua sampai tiga kali

kecepatan di lapisan termoklin celah Laut Leste (Gordon et al. 2010).

Lapisan dalam (deep layer) merupakan lapisan ketiga dari lapisan

dalam lautan secara umum dengan karakteristik suhu yang relatif homogen dan

mengalami penurunan sangat lambat. Penurunan suhu pada kisaran kedalaman

pengukuran CTD terlihat variasi relatif homogen di kedalaman 200 m hingga

batas terdalam pengukuran sekitar 1000 m. Lapisan termoklin terbawah

merupakan batasan lapisan dalam dengan suhu homogen yang berkisar antara 4 oC - 12.50 oC. Profil lapisan dalam perairan terdapat pada kedalaman Stasiun 1

sampai Stasiun 4, dengan kedalaman lapisan dalam (deep layer) ditemukan pada

Stasiun 1 (1001 m) dan 2 (900 m) yang dapat mewakili karakteristik lapisan

dalam. Pada Stasiun 3 (521 m) dan 4 (604 m) mewakili lapisan dalam yang berada

pada daerah slope, dengan nilai suhu terendah berkisar antara 6.77 oC - 7.55 oC.

40

Variabilitas suhu dan kecepatan degradasi suhu terhadap kedalaman

perairan dengan tiga pola pelapisan utama pada perairan Selatan Selat Makassar,

mengalami stratifikasi dengan gradien fluktuasi yang berbeda terhadap

kedalaman. Kondisi ini relatif rendah dengan pengamatan yang ditemukan oleh

Gordon at el., (2010) di Selat Makassar dengan profil suhu yang membagi lapisan

kedalaman berdasarkan rata-rata besaran gradien suhu vertikal yang lebih spesifik

ke dalam empat bagian (lapisan permukaan tercampur, termoklin, lapisan tengah

dan lapisan dalam). Lapisan permukaan tercampur (0 m - 50m) memiliki rataan

gradien suhu vertikal -0.31 oC/10 m, lapisan termoklin (50 m - 200 m) gradien

suhu lebih besar dari -0,91 oC/10 m, kembali menurun di lapisan tengah (200 m -

500m) hanya -0.23 oC/10 m dan lebih rendah -0,05 o

Sebaran Melintang Salinitas

C/10 m di lapisan dalam (500

m -1200 m).

Profil sebaran melintang salinitas di perairan Dewakang Sill menunjukkan

pola pelapisan massa air terhadap kedalaman. Seperti pada pola pelapisan massa

air berdasarkan suhu terhadap kedalaman maka pada sebaran salinitas terhadap

kedalaman terbentuk pelapisan massa air. Karakteristik pelapisan massa air

dengan parameter salinitas dibagi ke dalam tiga lapisan utama, yaitu lapisan

tercampur permukaan (mixed surface layer), lapisan haloklin (halocline layer),

dan lapisan dalam (deep layer). Profil sebaran melintang salinitas seperti pada

Gambar 8, menunjukkan pola pelapisan akibat adanya perbedaan karakteristik

massa air, kondisi tersebut sebagai indikasi sumber massa air yang masuk dan

sebagai penciri massa air pada perairan tersebut.

Lapisan homogen permukaan yang ditandai dengan bertambahnya

kedalaman perairan yang ditemukan pada lapisan dalam homogen seperti pada

profil melintang salinitas bervariasi dengan kisaran 34.3011 - 37.7230 psu dengan

gradien salinitas 0.001- 0.002 psu/m, pada kedalaman 2 m - 162 m. Penyebaran

massa air dengan nilai salinitas tinggi pada batas bawah lapisan permukaan

tercampur dengan batas atas lapisan termoklin terlihat dari Stasiun 1 sampai

Stasiun 4. Profil sebaran salinitas tertinggi sekitar 34.6755 m - 35.8922 psu pada

Stasiun 1, 2, dan 3 mengalami fluktuasi dengan kisaran ketebalan berbeda dan

mengalami penurunan salinitas pada Stasiun 4.

41

Lapisan tercampur permukaan (mixed surface layer) secara umum

memiliki karakteristik dengan besaran salinitas lebih rendah dibandingkan lapisan

haloklin dan lapisan dalam. Lapisan permukaan perairan Selatan Selat Makassar

menunjukkan adanya dua lapisan massa air yang berbeda. Lapisan permukaan

dengan kisaran salinitas 33.6501 - 34.0445 psu, dengan kondisi yang relatif

homogen sampai dasar (50 m) di Stasiun 5. Salinitas ini merupakan karakteristik

massa air Laut Jawa yang banyak mendapatkan intrusi massa air tawar.

Selanjutnya mengalami pendangkalan pada Stasiun 4 dengan ketebalan lapisan

sekitar 20 m, dengan kisaran salinitas 33.8123 - 34.0921 psu, di lapisan ini

ditemukan adanya lekukan ke dalam antara batas lapisan isohalin atas (34.2053

psu) dengan lapisan isohalin bawah (34.3035 psu). Ketebalan lapisan menipis

ditemukan pada Stasiun 3 dan 2, sekitar 10 m - 15 m, dengan kisaran salinitas

33.8801 - 34.0677 psu. Selanjutnya terlihat kembali penebalan lapisan hingga

kedalaman sekitar 17 m dengan salinitas 33.8921 - 34.0921 psu pada Stasiun 1.

Gambar 8. Profil melintang salinitas perairan Dewakang Sill berdasarkan data CTD

Gradien salinitas relatif berfluktuasi pada lapisan haloklin sepanjang

Stasiun terhadap kedalaman antara 99 m - 201 m, (Stasiun 1 - 4) dengan kisaran

salinitas antara 34.5047 - 34.5802 psu dengan gradien salinitas 0.002 psu. Variasi

salinitas pada lapisan haloklin memiliki ketebalan berbeda pada tiap Stasiun. Pada

Stasiun 1 lapisan haloklin terletak di kedalaman 188 - 231 m dengan kisaran

salinitas 34.5023 - 34.5906 psu, pada Stasiun 2 lapisan haloklin terletak di

kedalaman 169 m - 265 m dengan kisaran salinitas 34.5035 - 34.5195 psu, pada

Stasiun 3 lapisan haloklin terletak di kedalaman 163 m - 205 m dengan kisaran

42

salinitas 34.5015 - 34.5981 psu, sedangkan pada Stasiun 4 lapisan haloklin

terletak di kedalaman 163 m - 195 m dengan kisaran salinitas 34.5052 - 34.5924

psu.

Lapisan dalam (deep layer) relatif homogen terhadap kedalaman dengan

karakteristik relatif sama dengan lapisan haloklin (34.5022 - 34.5890 psu).

Peningkatan salinitas pada lapisan dengan gradien densitas yang rendah (0.01 -

0.03 psu/m) sehingga tidak terlihat fluktuasi lapisan. Laju penurunan densitas

terhadap tekanan yang relatif sedang jika dibanding dengan nilai hasil pemodelan

suhu dan salinitas permukaan di Pasifik-Khatulistiwa oleh Friedrich et al. (2011)

yang menemukan gradien 0.3 - 0.5 psu/m sebagai konsekuensi dari proses

upwelling. Nilai salinitas pada lapisan dalam mengalami perubahan yang sangat

kecil dan menjadi lebih stabil seiring bertambahnya kedalaman. Peningkatan

salinitas sepanjang Stasiun 4 sampai 2 relatif sama, hanya pada Stasiun 1

mengalami peningkatan salintas mencapai 34.5809 psu hingga kedalaman 1001 m

pada kedalaman pengukuran CTD. Kedalaman perairan berperan dalam

menentukan terbentuknya lapisan dalam, selain interaksi dari arus dengan

topografi dasar lautan. Kontur dasar suatu perairan berkontribusi besar terhadap

karakterisasi massa air (salinitas dan suhu kedalaman), di antaranya berkontribusi

menciptakan aktifitas interal wave, upwelling dan downwelling massa air, juga

terjadinya turbulensi.

Profil sebaran menegak suhu dan salinitas perairan Selatan Selat Makassar

menunjukkan profil berbeda terhadap kedalaman. Suhu menegak menunjukkan

grafik dengan nilai maksimum di lapisan permukaan dan mengalami fluktuasi

pada lapisan termoklin, selanjutnya mengalami penurunan secara drastis dan

relatif homogen pada lapisan dalam. Berbeda dengan grafik salinitas menegak,

menunjukkan salinitas rendah di lapisan permukaan dan mengalami fluktuasi

peningkatan di lapisan haloklin, selanjutnya konsentrasi salinitas mengalami

perubahan lambat dan relatif homogen di lapisan dalam.

Pembagian lapisan utama suatu kolom perairan berdasarkan diagram T-S

dapat dilakukan penentuan langsung pada software ODV atau berdasarkan

ketentuan yang tercantum pada tulisan Cisewski et al. (2005) bahwa lapisan

permukaan tercampur berada pada kisaran antara (< 0,1oC) dan (< 0,02 kg m-3),

43

sedangkan lapisan termoklin berada pada kisaran antara (> 0,1oC) dan (> 0,02 kg

m-3

Stratifikasi salinitas vertikal terhadap kedalaman terbentuk seperti grafik

pada suhu, yang terbagi ke dalam tiga lapisan utama (permukaan, haloklin, dan

lapisan dalam). Pola pelapisan menegak salinitas dengan kisaran ketebalan

maksimal dan minimal sesuai kedalaman lapisan utama perairan. Grafik lapisan

permukaan menunjukkan garis menegak dengan variasi relatif homogen, dimana

kondisi ini dapat diwakili Stasiun 5 dengan garis relatif tegak lurus sampai

kedalaman 50 m (salinitas 33.6543 - 34.0445 psu). Kondisi berbeda ditunjukkan

pada Stasiun lain (Stasiun 1 - 4), akibat ada peningkatan secara drastis nilai

salinitas terhadap kedalaman di lapisan permukaan. Variasi salinitas membentuk

dua lapisan dengan ketebalan berbeda pada lapisan permukaan, lapisan atas

permukaan memiliki ketebalan dangkal dibandingkan dengan lapisan dalam

permukaan. Lapisan atas dan bawah permukaan terlihat berhimpit dengan batas

lapisan isohalin atas (34.2565 psu) dan lapisan isohalin bawah (34.3335 psu).

Lapisan termoklin berada di bawah lapisan permukaan yang ditandai dengan garis

miring dengan degradasi salinitas menurun terhadap kedalaman (163 m - 265 m)

dengan kisaran salinitas 34.5024 - 34.5903 psu. Selanjutnya lapisan dalam

). Variasi suhu permukaan tercampur relatif homogen sebagai akibat aktifitas

pengadukan oleh tekanan atmosfer (angin), pasang surut, arus, pemaparan sinar

matahari dan sumber massa air di perairan tersebut. Lapisan tercampur

permukaaan mengalami peningkatan suhu dengan bertambahnya kedalaman

dengan fluktuasi gradien berbeda, seperti ditunjukkan pada Stasiun 1 - 5, dengan

ketebalan lapisan antara 50 m - 130 m. Lapisan termoklin relatif tipis sebagai

pembatas lapisan atas pada Stasiun 1 - 4, tidak terpengruh intensitas pemanasan

matahari ditemukan pada kedalaman 114 m – 163 m, dengan variasi ketebalan

lapisan mulai dari 4 m hingga 21 m dan tidak ditemukan pada Stasiun 5, akibat

perairan yang dangkal. Lapisan dalam menunjukkan variasi suhu mengalami

penurunan sangat lambat sehingga relatif homogen dengan fluktuasi gradien yang

rendah terhadap kedalaman, kondisi ini terlihat di sepanjang Stasiun 1 - 4 dengan

kedalaman pengukuran CTD (160 m - 1001 m). Kondisi ini sebagai karakter

Arlindo melalui jalur utara Selat Makassar dengan massa air lebih hangat,

menyebabkan adanya penipisan lapisan termoklin.

44

kembali tegak lurus dengan variasi peningkatan salinitas sampai kedalaman batas

terukur CTD sangat lambat/konstan, sehingga gradien densitas berkisar antara

0.001 - 0.002 psu/m.

Profil menegak salinitas berbanding terbalik dengan profil menegak suhu

(Lampiran 2), terlihat adanya pergeseran nilai salinitas terhadap kedalaman dan

gradien fluktuasi densitas mengalami peningkatan seiring bertambahnya

kedalaman (tekanan). Suhu secara vertikal mengalami penurunan sejalan dengan

bertambahnya kedalaman, sebagai akibat lemahnya penetrasi matahari terhadap

kedalaman perairan. Salinitas permukaan yang relatif rendah pada Stasiun 5

sampai Stasiun 1 jika dibanding dengan lapisan temoklin diketahui adanya

masukan massa air dari Laut Jawa dengan karakteristik salinitas yang relatif

rendah. Salinitas dan densitas massa air sepanjang Stasiun pengamatan di Selatan

Selat Makassar dan Dewakang Sill lebih tinggi jika dibandingkan dengan kisaran

pada jalur/Selat keluar massa air ke Samudera Hindia di Selatan Jawa.

Kondisi salinitas dan suhu yang sangat tinggi di lapisan termoklin

menyerupai dengan kondisi salinitas dan suhu di Selat Makassar dan lebih tinggi

jika dibandingkan dengan kondisi perairan Selat Ombai, Lombok, Dao, dan Timor

yang lebih rendah, seperti yang didapatkan oleh Atmadipoera et al. (2009) melalui

kajian data menggunakan model KL07 menunjukkan hasil bahwa lapisan

permukaan hingga lapisan termoklin terlihat pengenceran salinitas di beberapa

lokasi akibat adanya curah hujan berlebih dan run-off air tawar di Laut Jawa

sedangkan di Ombai yang cukup salin masih ditemukan lapisan permukaan yang

lebih tawar (salinitas rendah), hal ini disebabkan adanya pengaruh musiman.

Kajian ini menemukan lapisan permukaan di Laut Jawa dan Ombai yang hangat

dengan densitas σᶿ (20 - 22), dengan salinitas tinggi (34.4031 psu) sedangkan di

laut Timor lebih hangat (29 oC). Hal ini yang menyebabkan percampuran

diapycnal yang

Identifikasi Jenis Massa Air

kuat sepanjang muson.

Karakteristik massa air yang melewati perairan Selatan Selat Makassar

dan Dewakang Sill sepanjang Stasiun pengamatan dapat diketahui melalui

diagram TS seperti pada Gambar 9. Pada grafik yang didasarkan pada Stasiun

pengamatan, dapat dilihat adanya tiga jenis massa air dengan kondisi nilai

45

salinitas dan densitas (σo) yang berbeda tetapi relatif rendah dan ditandai dengan

stratifikasi suhu yang tinggi berdasarkan lapisan.

Gambar 9. Diagram TS Selatan Selat Makassar berdasarkan titik pengamatan (a). Hasil pembesaran kotak hijau pada Gambar (b) massa air NPSW dan (c) massa air

NPIW Tabel 3. Karakter aliran massa air Selatan Selat Makassar dan sekitarnya berdasarkan

Stasiun pengamatan

Jenis Massa Air

Karakter Massa Air Tekanan

(db) Temperatur

Potensial (oSalinitas (psu)

C) Densitas (sigma- theta) (kg m-3)

Laut Jawa 1 – 98 25.01 - 28.36 33.317 - 33.913 21.43 - 22.67 NPTW 112 – 204 23.83 - 15.79 34.391 - 34.485 23.50 - 25.50 NPIW 242 – 479 12.40 - 8.77 34.454 - 34.495 26.45 - 27.09

Berdasarkan tabulasi karakteristik setiap massa air dapat dilihat pada

Tabel 1, terlihat karateristik massa air dapat diketahui dengan melihat param

salinitas, suhu, dan densitas (σo). Terdapat tiga jenis massa air yang melintasi

Stasiun pengamatan, diantaranya karakteristik massa air Laut Jawa (Java Sea

Water - JSW), North Pacific Subtropical Water (NPSW), dan North Pacific

46

Intermediate Water (NPIW). Karakteristik massa air ditandai dengan salinitas

(33.3174 - 33.9136 psu) dan densitas (σo) terendah (21.50 kg m-3) serta suhu yang

tinggi mencirikan massa air Laut Jawa dan merupakan karakteristik massa air

pada lapisan tercampur sepanjang Stasiun pengamatan. Karaktristik massa air

dengan densitas σo 24.50 kg m-3 dan salinitas (34.3931 - 34.4865 psu) yang

mencirikan lapisan termoklin ditandai sebagai karakteristik massa air North

Pacific Subtropical Water (NPSW) melalui jalur Arlindo dari Pasifik Utara

melewati Perairan Makassar. Pada Gambar 9b ditemukan profil berbeda (Stasiun

4) jika dibandingkan salinitas Stasiun lainnya pada kisaran salinitas 34.2828 -

34.5921 psu, kondisi tersebut diindikasikan akibat adanya aktivitas dari pasut

internal sepanjang slope. Di lapisan termoklin bawah diindikasikan sebagai

karakteristik massa air North Pasific Intermediate Water (NPIW) ditandai dengan

σo 26.50 kg m-3

dan salinitas (34.4536 - 34.4954 psu). Salinitas massa air NPSW

mengalami penurunan konsentrasi daripada massa air NPIW yang tinggi,

disebabkan oleh proses percampuran vertikal yang kuat pada lapisan dalam

sepanjang jalur Arlindo menyebabkan adanya perubahan karakteristik massa air.

Arus Melintang Perairan Selatan Selat Makassar

Profil melintang kecepatan pergerakan arus dengan menggunakan data

komponen vektor u dan v, seperti pada Gambar 10 dan 11. Profil ini menunjukkan

nilai laju kecepatan arus sepanjang Stasiun (1 - 5) pada koordinat 114o BT - 119o

BT. Secara keseluruhan arus di vektor u (Gambar 10) sesuai kedalaman lapisan

bin (Tabel 1), terlihat sedang antara 2.5 x 10-3 - 5 x 10-3 m s-1. Pada jarak 0 - 250

km menunjukkan pergerakan arus tertinggi pada kedalaman 8 - 12 m dengan

kecepatan arus berada pada kisaran 2.5 x 10-3 - 4 x 10-3 m s-1

Sinyal pergerakan arus melemah pada lintang 114

, selanjutnya

ditemukan pada kedalaman bin antara 16 m - 18 m dengan kekuatan arus sama

pada lapisan bin pemukaan. Profil warna ketebalan lapisan arus lebih tipis

dibandingkan lapisan permukaan, kondisi ini menunjukkan adanya dua lapisan

arus dengan nilai yang sama pada lapisan kedalaman berbeda dengan gradien

yang berbeda. o BT - 115o BT dan 05o

LS - 07o LS dengan kedalaman dangkal (18 m) mendekati antara 1.0 x 10-3 - 2.5 x

47

10-3 m s-1, selanjutnya pada lintang antara 115o BT - 117o BT menunjukkan

peningkatan laju pergerakan arus dengan kedalaman berturut sampai kedalaman

206 m, dengan kisaran arus antara 2.8 x10-3 - 7.5 x 10-3 m s-1. Sinyal kembali

mendekati 1.0 x 10-3 - 2.5 x 10-3 m s-1 dengan kedalaman rata-rata sampai 150 m,

selanjutnya mengalami peningkatan sinyal sampai kedalaman antara 135 m - 150

m, dengan kekuatan arus pada nilai sama (2.8 x10-3 - 7.5 x 10-3 m s-1). Pergerakan

arus pada komponen vektor u dengan nilai mendekati 0.1 x 103 s-1, terlihat

sepanjang lintang (114o BT - 116o BT dan 05o LS - 07o LS ), ditemukan pada

kedalaman antara 17 - 206 m batas lapisan interval bin dan sinyal-sinyal ini masih

ditemukan pada lintang selanjutnya di kedalaman bin 40 - 50 (166 - 206 m).

Kondisi ini menjelaskan perbedaan kekuatan pergerakan arus massa air pada

kanal-kanal atau slope menjadi pembatas pergerakan arus ditiap lapisan

kedalaman perairan. Sinyal-sinyal pergerakan arus yang lemah ini pada lapisan

dalam sejalan dengan suhu yang rendah memiliki kesamaan pada Selatan ambang

Laut Seram dan Maluku seperti yang ditemukan oleh Van Aken et al. (2009),

menunjukkan volume transpor rata-rata adalah 2.5 Sv dengan penurunan suhu 3.2 oC, dimana hasil ini merupakan sisa arus di atas ambang oleh pengaruh pasang

surut diurnal yang intensif di lapisan dalam sill.

Gambar 10. Penampang melintang kecepatan arus komponen U (m s-1)

Variabilitas arus dari komponen u dan v di atas ambang (sill) secara

horizontal pada Stasiun 1 hingga Stasiun 4, menunjukkan aliran yang kuat dan

bervariasi berdasarkan kedalaman bin (8 m) di lapisan permukaan hingga lapisan

dalam. Kondisi ini berbeda dengan kajian oleh Gordon et al., (2010) yang

48

membandingkan data Indronesian throughflow dari International Nusantara

Stratification and Transport

Kuat dan rendahnya pergerakan arus pada komponen u dan v yang

bergerak antara barat-timur dan utara-selatan yang dominan mengalir menuju

Selatan laut Jawa dan laut Flores melewati ambang yang dangkal dari profil

seperti pada Gambar 11, antara slope Dewakang Sill sampai kontur dasar Laut

Jawa. Kondisi aliran permukaan yang dikontrol oleh angin lokal dan terhalang

oleh kontur dasar yang dangkal menurut Gordon dan Susanto (1999) dalam

Potemra et al. (2003) yang menjelaskan pengaruh aktivitas aliran permukaan

(INSTAN) dan Simple Ocean Data Assimilation

(SODA) di Selat Makassar, menemukan adanya variasi profil transportasi dari 7.4

- 12.5 Sv dengan rata-rata 10.4 Sv. Berdasarkan data SODA di lapisan permukaan

yang terlihat aliran yang tinggi, namun di lapisan tengah dan lapisan dalam yang

lebih padat justru melemah hanya sekitar 3.9 Sv dan 4.3 Sv, dan perhitungan data

Arlindo ada perbedaan 0.3 Sv antara lapisan tengah dengan lapisan dalam dan

lebih tinggi 0.9 Sv dari data INSTAN. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan

adanya perbedaan tekanan di lapisan dalam.

Komponen vektor v secara melintang seperti profil pada Gambar 11,

menunjukkan sinyal adanya pergerakan arus dominan berada pada kisaran 0 x 10-3

± 0 x 103 m s-1 (114o BT - 119o BT). Pergerakan arus dominan ke arah barat laut

sangat lemah, sebagai indikasi adanya tekanan dari pergerakan arus massa air laut

Jawa menuju timur laut. Pada lintang antara 114o BT - 117o BT (0 - 24 x 103 m),

menunjukkan sinyal pergerakan arus ± 0 x 10-3 m s-1. Sepanjang lintang tersebut

ditemukan sinyal-sinyal kekuatan pergerakan arus dengan nilai berkisar -1 x 10-3 -

-5 x 10-3 m s-1 sampai kedalaman bin 40 (166 m). Sinyal arus bernilai positif

ditemukan pada kedalaman 166 m - 200 m, mencapai 5.5 - 6 x 10-3 m s-1. Pada

jarak antara 24 x 103 - 30 x 103 m (117o BT - 118o BT) lebih didominasi sinyal

negatif mulai dari permukaan sampai kedalaman bin 40 (166 m) dengan nilai (-1 x

10-4 - 9 x 103 m s-1). Pada jarak antara 301 x 103 - 303 x 103 m (118o BT - 119o

BT) menunjukkan nilai positif sampai kedalaman 202 m dengan nilai arus antara

5 x 10-3 - 9 x 10-3 m s-1, selanjutnya didominasi oleh sinyal - sinyal negatif.

Komponen arus dengan sinyal-sinyal positif menunjukkan pembelokan

pergerakan arus akibat adanya tekanan dari arus komponen vektor u.

49

perairan Selat Makassar, Ombai, dan Timor dengan nilai kisaran arus berada pada

± 0 x 103 s-1 terlihat sampai kedalaman 300 m. Ditambahkan lagi bahwa anomali

transpor aliran permukaan dikontrol angin lokal sehingga terlihat melemah ke

utara tetapi pada lapisan tengah bergerak maksimal ke selatan dan lapisan

terdalam terlihat pergerakan yang lemah kembali ke utara. Adanya pelemahan

aliran permukaan disebabkan oleh ambang yang dangkal yang menghalangi aliran

lapisan bawah ke permukaan menuju selatan dan kuatnya siklus musiman di

lapisan permukaan di Selat Makassar.

Gambar 11. Penampang melintang kecepatan arus komponen V (m s-1)

Profil kecepatan aliran arus Arlindo di Selatan Selat Makassar dan

Dewakang Sill terhadap kedalaman yang relatif rendah dengan kisaran mendekati

0 m s-1, tetapi tetap menunjukkan pergerakan yang signifikan. Penurunan aliran

yang signifikan ke lapisan dalam ditunjukkan pada kedalaman 150 m dan 200 m,

berdasarkan data Aanderaa MAK-2 dan SADCP (Gordon et al. 1999). Dari model

instrumen ini disimpulkan bahwa profil percampuran bervariasi terhadap lapisan

aliran termoklin dari tahun 1996 -1998 adalah 9 - 10 Sv, dengan kontrol musim.

Jika dibandingkan dengan nilai kekuataan aliran dari komponen arus Dewakang

Sill terlihat pda lapisan terdalam bin maksimal 7.5 - 9 Sv, hal ini dikarenakan

profil kedalaman aliran yang dangkal di atas penampang kontur sill/slope yang

relatif dangkal.

Selanjutnya ditambahkan dengan membandingkan perubahan aliran di

Selat Makassar antara NOAA-MAK (2006 - 2009) dengan periode INSTAN

(2004 hingga akhir 2006) oleh Gordon (2010) menyimpulkan bahwa aliran

50

termoklin yang intensif dengan kecepaatan maksimal di kedalaman 75 m di atas

lapisan termoklin bukan pada kedalaman termoklin 140 m dan adanya

peningkatan pengangkutan aliran dari 11,6 Sv menjadi 13,5 Sv pada tahun 2007 -

2008 dengan peningkatan suhu dari 15 °C sampai 18 °C. Laju aliran yang

ditunjukkan oleh komponen arus pada lapisan termoklin dengan kedalaman

interval bin yang variatif terlihat bahwa laju pengangkutan aliran kuat, namun

lebih rendah jika dibandingkan dengan aliran di Selat Makassar.

Proses Percampuran Massa Air

Frekuensi Apung (N2)

Profil distribusi melintang frekuensi apung (N2) perairan Selatan Selat

Makassar pada Gambar 12, menunjukkan adanya fenomena lapisan-lapisan

berbeda dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan permukaan, tengah, dan dalam.

Distribusi frekuensi apung yang terbentuk sepanjang Stasiun memiliki pola

pelapisan dengan kisaran yang berbeda. Kisaran nilai apung sangat tinggi pada

lapisan permukaan dapat dilihat sepanjang Stasiun dengan kedalaman 20 - 50 m,

mencapai 5 x 10-3 s-2. Berbeda di Stasiun 4, menunjukkan adanya pola pelapisan

frekuensi apung permukaan pada kedalaman 0 - 60 m dengan nilai kisaran 1 x 10-4

s-2 dan 5 x 10-3 s-2, memiliki kesamaan pada nilai frekuensi di lapisan dalam.

Kondisi ini menjelaskan bahwa nilai negatif dalam kolom perairan (permukaan

dan lapisan dalam), dimana kolom perairan tidak stabil atau berada dalam kondisi

instabilitas statis.

Fenomena pelapisan oleh frekuensi apung berdasarkan kedalaman

menunjukkan adanya pembentukan pola sebaran dengan nilai frekuensi

maksimum dan minimum pada kedalaman tertentu. Variasi aktivitas frekuensi

apung menjelaskan bagaimana aliran berada dalam kondisi unstabil atau stabil.

Secara vertikal Nilai frekuensi pada lapisan permukaan memiliki perbedaan pola

sebaran sepanjang Stasiun, perbedaan ditemukan pada Stasiun 5 dengan nilai

frekuensi sangat tinggi kemudian pada Stasiun 4 dengan kisaran nilai yang

rendah, kembali meningkat pada Stasiun 1. Secara keseluruhan dari Stasiun 2 dan

3 memiliki kisaran dengan pola sebaran relatif sama terhadap kedalaman dari

permukaan sampai ke lapisan dalam (0 m - 1001.99 m). Nilai frekuensi apung

51

terendah (1 x 10-4 s-2) kembali ditemukan sama pada lapisan terdalam sepanjang

Stasiun 4 hingga Stasiun 1.

Gambar 12. Profil distribusi melintang frekuensi apung (N2) berdasarkan data CTD

Perubahan gradien densitas terhadap kedalaman suatu perairan memberi

pengaruh pada nilai frekuensi apung. Berdasarkan pola pelapisan menjelaskan

bahwa lapisan piknoklin merupakan lapisan dengan karakter densitas yang

mengalami perubahan besar sebagai petunjuk yang menjelaskan lapisan dengan

nilai frekuensi apung tinggi. Keberadaaan lapisan piknoklin dengan ketebalan dan

kedalaman berbeda berperan sebagai penghalang pergerakan massa air secara

vertikal dari lapisan dalam ke permukaan. Perbedaan nilai densitas terhadap

kedalaman sepanjang Stasiun menunjukkan adanya perbedaan nilai frekuensi

yang signifikan. Pada Stasiun 5 memiliki variasi suhu relatif homogen terhadap

kedalaman karena perairan cukup dangkal, terlihat nilai frekuensi apung tinggi

52

(positif) pada kisaran 2.00 x 10-3 - 5.81 x 10-3 s-2, hal ini disebabkan oleh densitas

relatif sama terhadap kedalaman sampai 50 m dan pada Stasiun 1, menunjukkan

lapisan tipis dengan kisaran nilai positif (1.14 x 10-4 s-2) pada kedalaman 37 m -

42 m.

Besaran nilai N2 dengan stabilitas tinggi sampai batas terdalam di bawah

lapisan termoklin dengan kirasan nilai N2 ± 0 s-2 dominan di seluruh bagian

lapisan (tiga lapisan utama), terutama di lapisan bawah cekungan. Pola distribusi

Kz dan N2 dari data CTD berbanding terbalik dan sangat bervariasi dengan nilai Kz

meningkat pada kedalaman dengan stabilitas terendah pada nilai N2. Nilai terbesar

dari Kz di lapisan atas termoklin terlihat kontras dengan nilai terendah pada

lapisan di bawah termoklin seperti Gambar 15, sehingga terlihat difusi turbulen

veertikal meningkat ke arah batas bawah lapisan, mencapai hampir tiga kali nilai

pada termoklin ( 6 x10-4 - 7 x 10-4 m2 s-1

Shear Arus Vertikal (S2)

).

Vertikal shear merupakan salah satu mekanisme terhadap proses

turbulensi yang menghasilkan percampuran internal dalam kolom perairan, hal ini

dapat ditelaah dengan melihat nilai kecepatan shear (tegangan secara vertikal).

Berdasarkan konsep Steward (2008) menjelaskan bahwa apabila kecepatan

berubah terhadap kedalaman pada kondisi perairan stabil dengan aliran yang

terstratifikasi, maka aliran akan mengalami kondisi tidak stabil. Berdasarkan

grafik shear arus (S2) menunjukkan pola yang bervariasi terhadap kedalaman dari

5 Stasiun. Stasiun 2 yang melintasi Dewakang Sill secara melintang di selatan

Selat makassar merupakan perairan dengan topografi berupa slope dan sill yang

relatif dangkal berkontribusi terhadap variasi besaran shear arus vertikal (Gambar

13). Variasi pola shear arus vertikal yang terbentuk dengan variasi kedalaman bin

antara 12.79 m - 208.79 m terlihat fluktuatif yang relatif kuat, dikarenakan batas

kedalaman verktor arus hanya mewakili kedalam pada lapisan tercampur sampai

lapisan termoklin. Kedalaman bin pada Stasiun 5 (12.79 m – 48.79 m)

menunjukkan nilai shear yang paling kuat (6.98 x 10-3 s-2) dengan variasi pola

yang relatif melemah hingga (1.08 x 10-5 s-2) dengan bertambahnya kedalaman

53

dan kembali meningkat dibagian dasar. Kondisi dengan kedalaman yang dangkal

masih dipengaruhi angin yang dominan mengaduk pada lapisan tersebut.

Penguatan shear arus pada lapisan permukaan dari semua Stasiun

menunjukkan nilai yang cukup besar dengan variasi kedalaman yang berbeda.

Berdasarkan interval kedalaman densitas dengan lapisan permukaan tercampur (2

m - 99 m) dan lapisan termoklin (99 m - 209m) untuk batas lapisan dengan

kedalaman bin (12.79 m - 208 m) pada Stasiun 1, terlihat nilai shear kuat pada

kedalaman 86.79 m (1.20 x 10-3 s-2) dan nilai terendah pada kedalaman 38.79 m

(3.13 x 10-6 s-2). Nilai shear rendah ditemukan pada lapisan termoklin dari

kedalaman 98.79 m (3.13 x 10-7 s-2) kemudian mengalami peningkatan secara

fluktuatif hingga kedalaman 170.79 m (3.26 x 10-4 s-2). Pada Stasiun 2 nilai shear

tertinggi pada kedalaman 30.79 m (2.77 x 10-2 s-2) selanjutnya shear arus

menunjukkan variasi yang kecil dari kedalaman 38.79 m - 198.79 m dengan

kisaran shear antara 1.51 x 10-5 s-2 - 1.24 x 10-4 s-2.

Pada Stasiun 3 dan 4 menunjukkan pola shear arus vertikal yang

bervariatif terhadap kedalaman. Lapisan permukaan Stasiun 3 antara kedalaman

14.79 m - 78.79 m dengan nilai tertinggi 1.11 x 10-3 s-2 dan terendah 1.56 x 10-5 s-

2, sedangkan pada kedalaman antara 82.79 m - 162.79 m, ditemukan nilai tertinggi

1.02 x 10-3 s-2 dan nilai terendah 5.56 x 10-6 s-2. Nilai shear pada Stasiun 4 di

lapisan permukaan dua kedalaman dengan nilai tertinggi pada kedalaman 22.79 m

(1.18 x 10-3 s-2) dan 42.79 m (1.76 x 10-3 s-2) sedang nilai terendah pada

kedalaman 74.79 m (9.56 x 10-6 s-2). Lapisan termoklin 74.79 m - 166.79 m

dengan variasi fluktuasi shear terlihat meningkat dengan bertambahnya

kedalaman, dengan nilai tertinggi pada kedalaman 162.79 m (1.10 x 10-3 s-2) dan

terendah pada kedalaman 106.79 m (3.12 x 10-6 s-2). Peningkatan nilai shear di

lapisan termoklin pada Stasiun 4 dan 3 sebagai fungsi dari perubahan kecepatan

komponen arus (u dan v) terhadap kedalaman. Adanya perbedaan perubahan

kecepatan arus dengan kedalaman yang berbeda berkontribusi terhadap

terbentuknya turbulensi akibat adanya percampuran. Selain itu kontribusi dari

perbedaan karakter massa air di titik tersebut berkontribusi terhadap arah dan

kecepatan komponen arus akibat adanya perbedaan gradien densitas.

54

Gambar 13. Profil vertikal shear arus (S2) perairan Selatan Selat Makassar

Bilangan Richardson (Ri)

Profil stratifikasi vertikal sebagai penanda adanya proses percampuran

dalam kolom perairan, yang ditandai dengan adanya perubahan kecepatan

terhadap kedalaman. Nilai rasio dari frekuensi apung (N2) dengan shear vertikal

arus dapat dijelaskan berdasarkan nilai bilangan Richardson (Ri) seperti

ditunjukkan pada Gambar 14. Rasio bilangan Richardson sangat ditentukan oleh

nilai shear arus kedalaman atau dapat dikatakan berbanding terbalik. Kedalaman

bin SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiller) dengan arah arus u

dan v digunakan sebagai kedalaman dari estimasi difusi vertikal eddy (Kz) dengan

menggunakan nilai gradien shear vertikal. Profil Ri sebagai gambaran aliran

secara vertikal berada dalam kondisi berseteratifikasi atau aliran bersifat lamier.

55

Gambar 14. Profil distribusi melintang bilangan Richardson perairan Selatan Selat

Makassar

Bilangan Richardson (Ri) seperti pada Gambar 14, menunjukkan profil

lapisan yang tercampur dengan dominansi warna yang memiliki nilai seperti pada

aturan bilangan Richardson yang dikemukakan oleh Emery et al. (2005) bahwa

jika nilai Ri berada pada kisaran di bawah 0.25 hingga 1, menjelaskan bahwa

kolom perairan mengalami percampuran. Dominan bilangan Ri terlihat dari

lapisan permukaan sepanjang Stasiun (1- 4) pada kedalaman 60 - 206 m, dengan

kisaran nilai 0.32 sampai 1.25. Profil Ri tetinggi secara horizontal terlihat pada

kedalaman 48 m - 54 m pada Stasiun 4 dan 5, dengan kisaran nilai bilangan Ri

antara 5.06 - 36.94. Tingginya nilai bilangan Richardson pada lapisan ini

menjelaskan percampuran di lapisan tersebut sangat lemah.

Besaran nilai Ri dengan batas kesesuaian shear arus secara horizontal dan

vertikal pada kedalaman bin (4.79 m) pada 1 - 50 level atau kedalaman 12.79 m –

208.79 m. Interval kisaran Ri dengan kontrol dari perubahan gradien salinitas dan

suhu berkontribusi stabilitas densitas apabila Ri < 0, yang mendominasi hingga

kedalaman 208 m dengan menggunakan param stabilitas sesuai dengan estimasi

dari Thorpe (2005) dengan rentang Ri (-0,01 < Ri < 100). Jika dibandingkan

dengan hasil pada profil Ri yang memiliki rentang yang tinggi antara -0.01 – 2.58,

hal ini dapat diartikan bahwa ketika shear relatif lebih kecil dari Ri > 1 dan Ri < 4

dikatakan relatif kuat. Berdasarkan nilai ini dapat dikatakan shear arus relatif kuat

dan stabilitas dalam kategori sedang sampai tinggi, hal ini dikarenakan perbedaan

56

gradien densitas sangat berperan dalam proses percampuran meskipun lapisan

termoklin tidak terbentuk lapisan yang seragam.

Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (Kz)

Koefisien difusi eddy vertikal (Kz) secara melintang merupakan asumsi

dari param bilangan Richardson (Ri). Nilai koefisien difusi eddy secara vertikal

mengambarkan aktivitas turbulensi dalam kolom perairan yg menjelaskan proses

percampuran, sehingga kondisi dimana nilai percampuran sejalan dengan

bertambahnya nilai koefisien difusi. Kondisi fluida mengalami turbulensi dengan

melemahnya nilai bilangan Richardson, sehingga nilai tersebut akan berbanding

terbalik dengan nilai koefisien difusi eddy secara vertikal.

Rata - rata Nilai difusivitas vertikal eddy dari 5 Stasiun dengan perataan

50 m, yang didasarkan dengan kedalaman dari Stasiun 5 yang hanya memiliki

kedalamaan hingga 50 m, selanjutnya nilai dari displacement (d). Dari nilai Kz

dominan tinggi ditemukan pada tiap Stasiun (1 - 4) di lapisan dalam, tetapi

fluktuasi dari aktivitas Kz sangat kecil di Stasiun 4, dikarenakan nilai - nilai

displacement yang terbentuk rendah dan tidak memenuhi kriteria dari metode

Galbraith and Kelley (dGK). Tinggi rendahnya nilai Kz sebagai indikasi dari

aktivitas gelombang internal sepanjang Stasiun. Indikasi dari aktivitas pasang

surut internal yang menghasilkan gelombang internal pada waktu pengukuran di

Stasiun tersebut berpengaruh terhadap tahap perhitungan besar kecilnya nilai

difusivitas vertikal eddy pada tiap lapisan kolom perairan melalui kalkulasi nilai

displacement, skala Thorpe, dan energi kinetik disipasi turbulen eddy (ᶿ).

Nilai Kz dengan nilai frekuensi apung dari data densitas (σo) pada Gambar

15, menunjukkan nilai aktivitas difusivitas vertikal eddy pada tiap lapisan yang

sangat variatif terhadap tekanan sepanjang profil melintang pengamatan (Stasiun

1 - 5). Lapisan permukaan dari Stasiun 1 – 4 tidak ditemukan nilai difusivitas

vertikal eddy dengan nilai 0 m2 s-1, dikarenakan kondisi densitas yang statis. Nilai

Kz keseluruhan di lapisan termoklin dari 4 Stasiun, menunjukkan nilai rata - rata

Kz pada lapisan termoklin sebesar 1.40 x 10-2 m2 s-1. Nilai tertinggi ditemukan

pada Stasiun 3 (7.17 x 10-2 m2 s-1) dan terendah pada Stasiun 4 dengan nilai 1.54

x 10-4 m2 s-1, dimana kondisi ini sangat tergantung dari lapisan pycnocline dan

57

halocline yang menyebabkan adanya perbedaan tingkat stabilitas stasis sepanjang

Stasiun.

Aktivitas dengan nilai rata - rata vertikal Kz (Tabel 4) menunjukkan energi

fluks yang tinggi di lapisan termoklin yang diindikasikan sebagai hasil dari

aktivitas gelombang internal berpengaruh besar dikarenakan energi disipasi

kinetik turbulen yang kuat dari nilai energi fluks itu sendiri. Menurut Hatayama

(2004) yang menemukan nilai difusi vertikal eddy sebesar 6,0 x 10-3 m2 s-1 dengan

mempertimbangkan faktor komponen pasut M2, jika dibandingkan dengan nilai

Kz di Dewakang Sill dari keseluruhan Stasiun pada lapisan termoklin 7.37 x 10-3

m2 s-1. Hal ini di karenakan adanya fluktuasi gradien densitas pada lapisan

termoklin yang mmenyebabkan terbentuknya percampuran turbulensi meskipun

lapisan tersebut umumnya dalam kondisi stabilitas statis. Sesuai hasil pemodelan

oleh Green et al. (2008) di Laut Celtic dengan menggunakan teori pertubasi pada

kedalaman 200 m dan model sirkulasi non-hidrostatik 2 dimensi, menunjukkan

bahwa energi fluks dari perbedaan baroklinik di lapisan termokline musiman dan

besaran tekanan baroklinik, sehingga gelombang internal yang terbentuk di

cekungan dasar tidak menjadi pemicu terjadinya percampuran.

Estimasi nilai difusivitas vertikal eddy berdasarkan densitas kedalaman

juga dilakukan estimasi nilai difusivitas vertikal eddy menggunakan nilai shear

vertikal dari vektor arus (u dan v). Komponen arus sebelumnya dilakukan

pengkoreksian komponen pasut sehingga pengaruh pasang surut pada aliran tidak

mempengaruhi perhitungan shear arus vertikal. Profil seperti disajikan pada

Gambar 16, menjelaskan sebaran koefisien difusi eddy vertikal (Kz) sepanjang

Stasiun (1 - 5) pada interval kedalaman bin terukur antara 12.79 m - 208.79 m.

Difusi eddy vertikal (Kz) secara melintang yang merupakan asumsi dari param

bilangan shear arus. Nilai difusi eddy secara vertikal mengambarkan aktivitas

turbulensi dalam kolom perairan yg menjelaskan proses percampuran, sehingga

kondisi dimana nilai percampuran sejalan dengan bertambahnya nilai koefisien

difusi. Kondisi fluida mengalami turbulensi dengan meningkatnya nilai bilangan

Richardson, sehingga nilai tersebut akan berbanding terbalik dengan nilai

koefisien difusi eddy secara vertikal. Peningkatan nilai dari Ri berbanding terbalik

58

dengan shear, yang berkontribusi terhadap tinggi rendahnya percampuran yang

dapat menyebabkan perairan mengalami turbulen.

Gambar 15. Profil koefisien difusi vertikal eddy (Kz) dengan densitas (σo) perairan Selatan Selat Makassar

Tabel 4. Nilai rata - rata difusi vertikal eddy (Kz) dengan densitas (σo)

Stasiun Rata - rata Kz [m2 s-1] Standar deviasi

Permukaan Thermoklin Dalam Permukaan Thermoklin Dalam 1 5.87 x 10-3 1.59 x 10-1 ±3.60 x 10-3 ±2.58 x 10-1 2 4.03 x 10-4 1.76 x 10-3 ±4.03 x 10-4 ±8.25 x 10-4 3 2.19 x 10-2 3.35 x 10-1 ±2.31 x 10-2 ±3.54 x 10-1 4 1.26 x 10-3 6.16 x 10-5 ±1.56 x 10-3 ±6.16 x 10-5 5 1.02 x 10-1 ±4.40 x 10-2

Kisaran rata - rata difusi vertikal pada Stasiun 1 dan 5, 4.67 x 10-5 m2 s-1

(±1.00 x 10-4 m2 s-1) dapat diartikan estimasi dari Kz dengan shear arus vertikal

menunjukkan bahwa lemahnya percampuran yang terbentuk secara vertikal. Nilai

Kz tertinggi ditemukan pada lapisan permukaan di Stasiun 2 sebesar (9.60 x 10-4

59

m2 s-1) dan lapisan termoklin pada Stasiun 4 (7.68 x 10-4 m2 s-1). Kedua lapisan

pada Stasiun 1 sendiri menunjukkan nilai tertinggi pada lapisan permukaan (1.50

x 10-4 m2 s-1) dan lapisan termoklin (1.04 x 10-4 m2 s-1) jika dibandingkan dengan

Stasiun lain pada kedua lapisan tersebut dengan nilai Kz rendah dengan kisaran

antara 3.00 x 10-5 m2 s-1 - 7.65 x 10-10 m2 s-1. Tabulasi rata - rata estimasi Kz

berdasarkan nilai shear arus vertikal seperti ditunjukkan pada Tabel 5, terlihat

bahwa nilai Kz tertinggi pada lapisan permukaan 1.70 x 10-4 m2 s-1 (±2.34 x 10-4

m2 s-1). Kondisi ini menunjukkan bahwa pada lapisan permukaan di Stasiun 2

mengalami percampuran yang lebih kuat dibandingkan dengan lapisan lainnya,

dimana dipengaruhi oleh aktivitas arus yang kuat pada lapisan permukaan dan

pengadukan angin. Selain itu nilai disipasi (ᶿ) dan skala Osmidov (Lo) yang

rendah sejalan dengan lemahnya nilai shear arus vertikal berpengaruh terhadap

nilai Kz terhadap kedalaman.

Pada lapisan isopiknal di atas lapisan piknoklin menunjukkan

percampuran dengan instabilitas fluida dari fluks difusi massa, dimana lapisan

massa air berdensitas ringan berada di atas lapisan berdensitas berat. Nilai fluks

vertikal antara 1.50 x 10-4 - 4.14 x 10-5 m2 s-1 yang terlihat sampai ke permukaan.

Kondisi ini di jelaskan oleh Staquet (2007) bahwa adanya pengaruh gelombang

gravitasi internal yang menembus instabilitas dinamis (daya apung). Selanjutnya

Ledwell et al. (1998) dalam Martin et al. (2010) menjelaskan bahwa difusivitas

turbulen biasanya 102 m2 s-1 atau lebih di lapisan campuran tapi beberapa kali lipat

lebih kecil di lapisan dalam. Hal ini mencerminkan kontribusi utama dari

pendinginan atmosfer dan tekanan angin mendorong percampuran turbulen di

lapisan permukaan serta interaksi topografi dengan gelombang internal.

Variasi sebaran nilai difusi eddy vertikal menunjukkan pola gradien

fluktuasi terhadap kedalaman. Variasi koefisien difusi eddy vertikal menunjukkan

adanya variasi nilai, kondisi ini sangat dipengaruhi tekanan atmosfer (pergerakan

angin) yang mengaduk lapisan permukaan sampai kedalaman 200 m dan pengaruh

adanya pembalikan densitas serta pergerakan shear arus sepanjang punggung

seamount dan sill. Variasi nilai koefisien difusi eddy vertikal sepanjang Stasiun

sangat berbeda, sehingga terlihat pelapisan dengan kisaran nilai yang sama di

beberapa kedalaman dan Stasiun berbeda.

60

Gambar 16. Profil Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (Kz) berdasarkan nilai shear (S2)

arus perairan Dewakang Sill

Tabel 5. Rata - rata Kz berdasarkan nilai shear arus vertikal (S2)

Stasiun Rata - rata Kz [m2 s-1] Standar deviasi

Permukaaan Termoklin Permukaaan Termoklin 1 5.20 x 10-5 3.64 x 10-5 ±3.63 x 10-5 ±2.33 x 10-5 2 1.70 x 10-4 6.43 x 10-5 ±2.34 x 10-4 ±3.77 x 10-5 3 2.09 x 10-5 1.87 x 10-5 ±8.44 x 10-6 ±1.04 x 10-5 4 6.21 x 10-6 3.71 x 10-5 ±1.46 x 10-5 ±1.68 x 10-4 5 4.80 x 10-6 ±8.93 x 10-6

Analisis param turbulen yang menciptakan percampuran vertikal dalam

kolom perairan menurut Kawabe (2008) menjelaskan bahwa dengan difusivitas

vertikal eddy (Kz) merupakan parameter kunci untuk konservasi densitas air, suhu,

salinitas, dan konsentrasi bahan. Parameter ini memainkan peranan penting dalam

61

pembentukan dan konversi massa air dan penentuan struktur sirkulasi vertikal

dalam lautan. Percampuran vertikal sendiri dalam lautan berfungsi sebagai kontrol

stratifikasi dalam kolom perairan. Fungsi mekanisme menekan fluks vertikal

nutrien dan mempertahankan klorofil maksimum di zona eufotik.

Nilai fluks vertikal yang tinggi dari lapisan dalam yang terlihat pada

kedalaman bin (206 m) sampai ke lapisan permukaan di atas lintasan pengamatan,

menunjukkan adanya profil aliran fluks yang sama pada kedua sisi dengan nilai

yang sama jika dibandingkan dengan bagian tengah. Tingginya difusi vertikal

sebagai estimasi fluks di lapisan isopiknal di atas lapisan termoklin pada perairan

yang relatif dangkal dan menjadi gambaran karakteristik aktivitas percampuran

vertikal di bagian utara dan selatan Dewakang Sill. Karakter aliran dengan shear

arus yang kuat bagian utara dibandingkan dengan bagian Selatan berkontribusi

terhadap disipasi energi secara vertikal. Energi disipasi merupakan perubahan

bentuk energi dari shear arus dengan gradien vertikal, sebagai hasilnya

berkontribusi terhadap jumlah nilai fluks vertikal. Perbedaan percampuran pada

berbagai bagian di atas topografi menurut

Variasi Turbulensi Fluks Nutrien

Aucan et al. (2008) akibat aktivitas

gelombang pasut internal di sisi elevasi slope (rigde), dimana aktivitas gelombang

semidiurnal yang kurang energik di bagian utara dibanding bagian Selatan

bedasarkan shear arus horizontal dan vertikal yang menyebabkan perbedaan

aktivitas percampuran. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya interval pemisah

yang sangat dalam antara lapisan propagasi gelombang internal dengan lapisan

dalam.

Nilai koefisien difusi eddy vertikal digunakan sebagai param turbulen

untuk menjelaskan fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) pada lapisan fluida,

sehingga besaran nilai percampuran oleh aktivitas turbulensi memberi kontribusi

yang sama terhadap konsentrasi nutrien secara vertikal. Variasi fluks nitrat

berbanding lurus seiring dengan fluktuasi koefisien difusi eddy vertikal, dimana

kondisi terlihat jelas dengan bertambahnya tekanan.

Variasi turbulensi fluks nutrien secara diagram seperti pada Gambar 17,

menunjukkan kisaran konsetrasi nutrien secara vertikal yang ditentukan oleh

62

besaran nilai koefisien difusi eddy vertikal (Kz). Fluks nutrien dibagi ke dalam 3

lapisan utama sesuai dengan kedalaman lapisan densitas (permukaan tercampur,

termoklin, dan lapisan dalam) dari 5 Stasiun. Pada grafik tersebut terdapat kisaran

nilai fluks masing-masing nutrien yang didasarkan pada standar deviasi dengan

interval yang terbentuk merupakan penanda dengan semakin tinggi error bars

maka kisaran nilai fluks akan semakin lebar. Kisaran nilai difusi vertikal

sepanjang Stasiun di lapisan permukaan tergantung dari nilai difusi vertikal eddy

(Kz) dengan kisaran nilai fluks hampir dominan 0 m2 s-1 pada kedalaman fluks dan

rendahnya nilai nutrien lapisan permukaan pada kedalamana standar nutrien.

Secara keseluruhan nilai fluks nutrien, nilai fosfat paling rendah (4.70 x 10-5 µg-A

m2 s-1), selanjutnya nilai nitrat (8.49 x 10-3 µg-A m2 s-1) dan tertinggi pada fluks

silikat (2.19 x 10-2 µg-A m2 s-1).

Besaran nilai fluks nutrien mendominasi dengan kedalaman lapisan

permukaan berbeda pada setiap Stasiun, meskipun masih ditemukan pada lapisan

permukaan pada Stasiun 4 dan 5 terlihat nilai fluks 2.54 x 10-2 µg-A m2 s-1.

Besaran fluks nutrien di lapisan permukaan tidak bervariasi pada nilai fluks dari

unsur nitrat, fosfat, dan silikat, hal ini dikarenakan nilai Kz pada kedalaman

tersebut 0 µg-A m2 s-1. Fluks nitrat pada lapisan permukaan ditemukan pada

Stasiun 4 untuk nitrat (1.14 x 10-4 µg-A m2 s-1), fosfat (9.40 x 10-5 µg-A m2 s-1),

dan silikat (7.89 x 10-4 µg-A m2 s-1). Pada Stasiun 5 besaran pada kedalaman yang

dangkal (50 m) dengan aktifitas percampuran Kz sejalan dengan konsentrasi

nutrien pada kedalaman tersebut, sehingga fluks nutrien yang tinggi, dimana nilai

fosfat (1.41 x 10-4 µg-A m2 s-1), nitrat (4.23 x 10-2 µg-A m2 s-1), dan silikat (1.09 x

10-1 µg-A m2 s-1).

Pada lapisan dalam menunjukkan nilai fluks nutrien vertikal yang tinggi,

terutama pada konsentrasi unsur silikat kemudian unsur nitrat selanjutnya fosfat.

Besaran fluks silikat tertinggi mencapai 8.90 x 10-2 µg-A m2 s-1, diikuti fluks

nitrat 2.11 x 10-2 µg-A m2 s-1, kemudian fosfat 6.92 x 10-2 µg-A m2 s-1. Nilai

fluks silikat secara vertikal terlihat tinggi pada lapisan dalam jika dibandingkan

dengan permukaan dan lapisan termoklin, kondisi ini menjelaskan konsentrasi

unsur silikat yang terabsorpsi dalam kolom perairan. Senyawa organik terlarut

silikat dalam kolom perairan yang merupakan sisa - sisa dan peluruhan jasad renik

63

fitoplankton dari kelompok diatom, dimana komunitas ini merupakan jenis

fitoplankton yang mendominasi perairan terbuka.

Gambar 17. Grafik fluks nitrat vertikal (µg-A m2 s-1) berdasarkan difusi vertikal eddy (Kz)

dari densitas (σo) Adanya peningkatan kembali dengan gradien 0.01 µg-A m2 s-1 terhadap

tekanan sebagai akibat melemahnya difusi di lapisan dalam dengan nilai terendah

ditunjukkan pada Gambar 15 (data CTD). Kondisi secara umum adanya fluktuasi

gradien penurunan konsentrasi fosfat dari lapisan permukaan hingga di bawah

lapisan termoklin, diakibatkan oleh penyerapan alga dalam fotosintesis. Gradien

fluks kembali meningkat diakibatkan adanya konsentrasi oleh dekomposisi

organisme tersebut.

Fluks vertikal silikat menunjukkan nilai konsentrasi fluks relatif sama

dengan nilai fluks fosfat dan memiliki kisaran tertinggi setelah fluks nitrat. Profil

melintang menunjukkan adanya dominasi kisaran yang relatif sama dengan

tampilan pada profil melintang fluks fosfat. Fluktuasi gradien fluks silikat kembali

meningkat di lapisan dalam dengan gradien 0.01 - 0.05 µg-A m2 s-1, dimana

kondisi ini konsentrasi merupakan ciri bahwa nilai silikat meningkat pada lapisan

dalam di atas dasar perairan. Estimasi difusivitas vertikal yang tinggi di lapisan

dalam dan melemah di lapisan termoklin hingga permukaan dengan skala

kedalaman yang signifikan pada lapisan kritis secara vertikal.

Estimasi fluks nutrien dengan menggunakan nilai difusi vertikal eddy

(Kz) dari shear arus vertikal (S2) seperti pada grafik Gambar 18. Nilai fluks

vertikal nutrien berdasarkan kedalaman Kz dari vertor arus pada kedalaman bin

64

12.79 m – 208.79 m. Nilai difusi vertikal eddy (Kz) fluks vertikal nutrien mewakili

kedalaman standar nutrien sampai kedalaman 208.79 m. Besaran nilai fluks

nutrien sangat tergantung pada kuatnya Kz pada interval kedalaman dan

konsentrasi nutrien itu sendiri. Fluks nutrien secara vertikal dibagi kedalam 2

lapisan utama (lapisan permukaan tercampur dan termoklin) dengan ketebalan

lapisan permukaan bervariatif pada setiap Stasiun. Secara detail fluks nutrien

dengan Kz dari interval kedalaman shear vertikal arus, dan interval besaran fluks

nutrien dengan error bars dari konsentrasi nutrien ditunjukkan juga berdasarkan

interval kedalaman shear vertikal arus.

Gambar 18. Grafik fluks nitrat vertikal (µg-A m2 s-1) berdasarkan difusi vertikal eddy (Kz)

dari shear arus (S2)

Secara keseluruhan rata - rata nilai fluks nutrien pada lapisan permukaan

tercampur dari Stasiun 1 - 5 dengan interval 12.79 m – 99.79 m. Pada lapisan ini

menunjukkan besaran nilai fluks nutrien 4.6 x 10-5 µg-A m2 s-1 dari 3 unsur dengan

fluks tertinggi dimulai dari unsur silikat (9.8 x 10-5 µg-A m2 s-1) kemudian nitrat

(3.7 x 10-5 µg-A m2 s-1) dan fosfat (2.2 x 10-6 µg-A m2 s-1). Kondisi lapisan

termoklin yang relatif stabil terlihat kisaran fluks yang lebar dengan nilai fluks

tinggi kedua meskipun lebih rendah dari lapisan permukaan tercampur. Secara

keseluruhan rata - rata fluks nutrien di lapisan termoklin tertinggi dari unsur

silikat (2.0 x 10-5 µg-A m2 s-1) kemudian nitrat (1.4 x 10-5 µg-A m2 s-1) dan terendah

fosfat (1.5 x 10-6 µg-A m2 s-1). Besaran nilai fluks di lapisan termoklin dengan

fluida yang stabil dengan kontribusi shear arus dengan rendahnya gradien densitas

menyebabkan aktivitas percampuran vertikal. Semakin besarnya gradien densitas

65

terhadap tekanan antar fluida di lapisan termoklin sebagai pemicu terbentuknya

shear fluida, dimana densitas di lapisan termoklin menekan percampuran vertikal

di lapisan tersebut.

Penggunaan param konsentrasi nitrat menjadi variabel utama dalam

estimasi fluks turbulen nutrien dalam kolom perairan dikarenakan menurut Martin

et al. (2010) bahwa nilai nitrat memiliki korelasi yang baik dengan laju serapan

unsur hara oleh fitoplankton dalam produktivitas dan memiliki hasil pengukuran

yang simultan dalam penyerapan nitrat. Selanjutnya jika dikaitkan antara

presentase percampuran turbulen vertikal dengan laju serapan nitrat hanya

sepertiga dari jumlah serapan pada wilayah perairan Khatulistiwa dan nilai

tersebut diabaikan pada lintang tinggi dari pengamatan sebelumnya oleh Carr et

al. (1995) dalam Martin et al. (2010). Jika dibandingkan dengan pengamatan

Ledwell et al. (2008) pada zona eufotik Sargasso dengan memodelkan dinamika

eddy permukaan, dimana kecepatan vertikal fluks nutrien oleh difusi turbulensi

eddy berkontribusi 4 kali lebih rendah jika dibandingkan dengan pengaruh energi

fluks difusi apung (diffusive buoyancy flux) dan sejauh mana serapan sinar

matahari oleh fitoplankton.

Nilai fluks nitrat di bawah lapisan eufotik sangat dipengaruhi oleh gradien

densitas dan besaran nilai difusi turbulen vertikal. Besaran energi percampuran

turbulen vertikal tidak menjadi penentu ketebalan konsentrasi klorofil-a hingga

batas bawah termoklin dimana fluktuasi densitas yang tidak stabil. Ketebalan dan

gradien fluktuasi densitas di lapisan tengah menekan laju fluks nitrat vertikal.

Fluks nitrat vertikal di bawah zona eufotik berdasarkan

Hasil yang berbeda pada perairan dengan pelapisan bertingkat, dimana

konsentrasi klorofil-a ditemukan pada lapisan termoklin pada kedalaman 30 m

dengan suhu 25 oC di Laut Iris. Selanjutnya dikatakan bahwa i

Bahamon,Velasquez, dan

Cruzado (2003) yang memodelkan fluks nitrat, menjelaskan bahwa perkiraan

fluks nitrat itu sendiri lebih dipengaruhi oleh gradien nitrat daripada gradien

densitas itu sendiri. Ditambahkan lagi bahwa jumlah radiasi menentukan

kedalaman maksimum klorofil-a dan pada lapisan tengah dipengaruhi oleh lapisan

termoklin.

mplikasi dari

perbedaan antara dyapicnal fluks dan fluks nitrat adalah sebagian besar nitrat

66

menjadi tercampur ke dalam zona eufotik adalah nitrat dalam air yang merupakan

sisa dari produktivitas bentik di musim dingin sebelumnya (

Rippeth et al. 2009).

Korelasi Nutrien Terhadap Kandungan Klorofil-a

Profil pada Gambar 19a, menyajikan sebaran melintang konsentrasi

klorofil-a di perairan Dewakang Sill Selatan Selat Makasar. Konsentrasi klorofil-a

melimpah di lapisan permukaan sampai termoklin berkisar antara 0.07 - 1.38 µg-

A m-3 dan bernilai 0 (nol) pada lapisan dalam (350 m). Gambar 19b, menunjukkan

rata-rata dan standar deviasi dari gradien klorofil-a yang dihitung dari semua

Stasiun pengamatan, juga memperlihatkan konsentrasi klorofil-a melimpah di

lapisan permukaan sampai termoklin (250 m). Melimpahnya konsentrasi kolrofil-

a di permukaan dikarenakan ketersediaan sinar matahari dan nutrien yang

dimanfaatkan untuk proses fotosintesis klorofil-a. Lapisan dalam memiliki

konsentrasi klorofil nol disebabkan tidak tersedianya sinar matahari, walaupun

memiliki konsentrasi nutrien (N, P, Si) yang relatif lebih besar.

Gambar 19. a) Profil distribusi melintang kandungan klorofil-a perairan Dewakang Sill b)

rata-rata (solid) dan rata-rata +/- standard deviasi (dashed) profil gradien klorofil dari data Roxcete CTD.

Konsentrasi klorofil-a permukaan di daerah perairan Indonesia

dipengaruhi oleh kuatnya stratifikasi akibat interaksi tekanan atmosfer dan

interaksi dengan topografi yang dangkal. Peningkatan konsentrasi klorofil di

lapisan permukaan hingga kedalaman 400 m lebih dipengaruhi oleh adanya massa

air yang bergerak dari lapisan bawah pada bagian Selatan sill dan slope

a b

67

Dewakang. Ketebalan konsentrasi klorofil secara melintang dan vertikal sampai

pada batas bawah lapisan termoklin. Kondisi ini menurut Tubalawony (2007)

dipengaruhi oleh kenaikan lapisan massa air membawa kandungan hara ke lapisan

permukaan oleh aktivitas upwelling musim timur (Juli - Agustus). Kedalaman

lapisan klorofil permukaan lebih dominan akibat adanya suplai nutrien dari

limpasan di lapisan dalam Selat Makassar dan Laut Flores. Ketersedian klorofil di

sisi barat Dewakang sill yang rendah akibat adanya pengenceran aliran massa air

di Laut Jawa dengan curah hujan musiman tinggi (Agustus) yang menyebabkan

kurangnya intensitas cahaya meskipun aliran unsur hara cukup tersedia dari

daratan.

Berdasarkan model percobaan yang dilakukan oleh Friedrich et al. (2011)

menunjukkan peningkatan produktivitas primer di lapisan permukaan pada lintang

rendah akibat percampuran yang disimulasikan oleh fluktuasi gradien suhu dan

salinitas permukaan serta pengaruh topografi. Penguatan produktivitas primer

dengan tingginya intrusi suhu permukaan mengangkat konsentrasi nutrien di atas

lapisan termoklin. Intensitas penetrasi sinar matahari dengan gradien suhu yang

kecil hingga lapisan di bawah lapisan termoklin memicu adanya upwelling.

Efek dari pemanasan lapisan permukaan/eufotik yang menyebabkan

peningkatan fotosintesis hingga di bawah lapisan tercampur, dimana kedalaman

yang relatif dangkal dengan lapisan termoklin yang tebal dan tipis pada

kedalaman 150 m dan suhu 20 oC. Adanya intrusi oleh dua suplai massa air di atas

perairan Dewakang Sill menciptakan front yang menyebabkan adanya mekanisme

konveksi dan subduksi yang menyebabkan percampuran pada lapisan

permukaaan. Adanya perbedaan konsentrasi salinitas menjelaskan penyebaran

konsentrasi klorofil tidak menyeluruh di lapisan eufotik. Kuatnya pengaruh Angin

Timur (Mei - Agustus) yang menekan lapisan permukaan di sisi timur perairan

Dewakang menyebabkan pengangkatan massa air ke lapisan permukaan. Kondisi

ini dijelaskan oleh Nagai et al. (2008) bahwa mekanisme subduksi dan udveksi

daya apung (buoyancy) dari upwelling yang lokal mengangkut lapisan nitrakline

pada lapisan termoklin, sehingga peningkatan fotosintesis hanya terjadi pada batas

termoklin dan di bawah lapisan permukaan tercapur oleh pengaruh tekanan angin.

68

Gambar 20, menyajikan korelasi regresi linier nutrien (nitrat, fosfat dan

silikat) terhadap konsentrasi klorofil-a per kedalaman perairan dari semua Stasiun

pengamatan. Konsentrasi klorofil-a pada kedalaman 350 - 1000 m menunjukkan

nilai konsentrasi 0 (nol) dan dikorelasikan dengan nilai nutrien (N, P, Si) yang

secara umum semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Sumbu X

(konsentrasi nutrien) dan Y (konsentrasi klorofil-a) dikorelasikan dengan selang

kepercayaan 99%. Hasil menunjukkan terjadi korelasi negatif antara fluks nutrien

(nitrat dan fosfat) dengan konsentrasi klorofil-a pada gradien kedalaman dan

berkorelasi positif dengan fluks silikat dengan nilai keeratan (r) untuk Si, N, P

berturut-turut adalah; 0.3813; -0.2373; dan -0.2745. Pada Gambar 21,

menunjukkan korelasi negatif antara fluks nutrien dan konsentrasi klorofil-a

dengan kedalaman bin. Korelasi negatif dengan nilai koefisien keeratan (r) fluks

Si, P, N dengan konsentrasi klorofil-a secara berturut - turut adalah; -0.4322; -

0,4210; -0,3621.

Gambar 20. Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan

Kz densitas (σo)

Nilai korelasi pada Gambar 20 merupakan nilai yang digunakan untuk

mengukur persentase pengaruh variabel independen (fluks nutrien) terhadap

perubahan variabel dependen (klorofil-a). Nilai ini dapat diartikan bahwa

pengaruh konsentrasi silikat sebesar 3.81%, pengaruh nitrat sebesar -2.37%, dan

69

pengaruh fosfat sebesar -2.75%. Nilai ini menunjukkan bahwa walaupun memiliki

korelasi negatif akan tetapi terlihat secara berturut-turut nitrat lebih

mempengaruhi konsentarsi klorofil-a kemudian fosfat. Korelasi positif pada

silikat sebagai penanda dominasi fitoplankton dari komunitas jenis diatom dalam

perairan terbuka.

Persentase pengaruh dari tingkat nilai keeratan (r) antara variabel

independen (fluks nutrien) dengan konsentrasi klorofil-a sebagai variabel

dependen. Sesuai dengan persentase keeratan yang berkorelasi negatif, dapat

diartikan bahwa fluks nutrien dengan menggunakan estimasi Kz dari shear arus

vertikal. Secara persentase pengaruh yang berkorelasi negatif, silikat lebih

berpengaruh (4.32%) selanjutnya fosfat (4.21%) terakhir nitrat (3.62%). Jika

dibandingkan antara korelasi fluks nutrien dengan Kz dari sigma-theta (σo) terlihat

nilai nitrat lebih berpengaruh dibanding nilai fosfat, sedangkan korelasi fluks

nutrien dengan Kz dari shear arus vertikal menunjukkan bahwa setelah silikat,

fosfat lebih berpengaruh dibanding nitrat. Kondisi ini disebabkan oleh batasan

estimasi nilai aktivitas difusi vertikal eddy dan kontribusi dari aktivitas

percampuran dengan perbedaan pada lapisan kedalaman.

Gambar 21. Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan

Kz dari shear arus vertikal

70

Hasil estimasi korelasi regresi fluks nutrien dan konsentrasi klorofil-a

hanya korelasi fluks silikat dan klorofil-a pada Gambar 20, yang berpengaruh

positif. Kondisi ini disebabkan oleh keberadaan komunitas jenis diatom yang

mendominasi lapisan perairan oceanik, juga tergantung dari perbedaan besaran

kebutuhan nutrien dari jenis fitoplankton itu sendiri. Korelasi negatif fluks nutrien

dari nitrat dan fosfat, dapat diartikan bahwa pada kondisi tersebut komunitas

fitoplankton tidak lagi membutuhkan nutrien untuk proses metabolisme dan

produktivitas lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Pomeroy (1991) dalam

Tubalawony (2007) bahwa laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan

meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang

saturasi, selanjutnya pertumbuhan fitoplankton tidak lagi tergantung pada

konsentrasi nutrien.

71

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap profil dan pola yang terbangun dari

dinamika perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill, dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill memiliki stratifikasi

lapisan terhadap kedalaman dengan karakteristik yang dipengaruhi oleh

pertemuan massa air dari Selat Makassar dan Laut Jawa juga dari Laut Flores

yg menyebabkan adanya front di lapisan permukaan tercampur. Keberadaan

sill/slope yang relatif dangkal berkontribusi terhadap karakter aliran dan

dinamika percampuran massa air.

2. Laju shear arus yang kuat pada komponen vektor arus menyebabkan nilai

bilangan Richardson (Ri) melemah di lapisan permukaan dan sebaliknya

meningkat pada lapisan tengah dan dalam perairan.

3. Fluks nitrat akibat proses percampuran vertikal turbulen dengan

menggunakan estimasi koefisien difusian vertikal (Kz) dan rasio frekuensi

apung menunjukkan bahwa nilai energi fluks oleh difusi vertikal berkontribusi

kecil pada perpindahan nilai konsentrasi nutrien (nutrien) dari lapisan dalam

ke lapisan permukaan (zona eufotik).

4. Distribusi konsentrasi nutrien vertikal secara umum selalu berada di bawah

lapisan termoklin dan lebih dalam dari nilai konsentrasi klorofil-a terukur.

Kondisi ini menjelaskan kontrol difusi fluks nitrat ke lapisan eufotik hanya

terjadi pada batas lapisan nitraklin daripada kedalaman lapisan termoklin.

5. Korelasi nilai fluks nutrien dengan konstrasi klorofil-a dengan tingkat

keeratan (r) berdasarkan kedalaman standar, menunjukkan pengaruh silikat

lebih dominan jika dibandingkan dengan nitrat dan posfat.

72

Saran

Analisis fluks nutrien dan stratifikasi konsentrasi klorofil-a dalam kolom

perairan secara vertikal dan horizontal dapat juga dijelaskan melalui metodologi

pemodelan untuk prediksi fluktuasi dan pola penyebarannya secara spasial.

Untuk menjelaskan pengaruh dinamika internal (internal tide, internal

wave) terhadap proses percampuran vertikal dibutuhkan data rekaman minimal

dalam 1 siklus (24 jam)

Pelapisan dan dinamika percampuran massa air perairan Dewakang Sill,

akan menunjukkan pola yang signifikan terhadap pengaruh masukan massa air,

dan musiman dengan menggunakan data time series secara spasial dan temporal.

Menjelaskan estimasi koefisien difusi vertikal eddy kaitannya fluks nutrien

harus juga mempertimbangkan shear arus dari komponen vektor w model tiga

dimensi, selain komponen u dan v data SADCP secara microstrukture dalam

menjelaskan gradien tekanan terhadap sumbu z secara vertikal. Dibutuhkan data

rekaman data flouroense dalam menjelaskan kosentrasi dan sebaran nutrien

(nitrat) pada setiap m jarak kedalaman.

73

Atmadipoera A, Molcard R, Madec G, Wijffels S, Sprintall J, Koch-Larrouy A, Jaya I, Supangat A. 2009. Characteristics and Variability of the Indonesian Throughflow Water at the Out flow Straits. Deep-Sea Research I. 56: 1942–1954.

DAFTAR PUSTAKA

Aucan J, Merrifield M. 2008. Boundary mixing associated with tidal and near-inertial internal waves. Journal of Physical Oceanography 38 : 1238– 1252.

Bahamon N, Velasquez Z, Cruzado A. 2003. Chlorophyll-a and Nitrogen Flux in the Tropical North Atlantic Ocean. Deep-Sea Research I. 50:1189–1203.

Cullen JJ, Lewis MR, Davis CO, Barber RT. 1992. Photosynthetic characteristics

and estimated growth rate incate grazing is proximate control pf primary production in the Equatorial Pasific. Journal of Geophysical Research Letter 79 : 639 – 654.

Eaton AD, Clesceri LC, Rice EW, Greenberg AE, editor. 2005. Standard Method

fo the Examination of Water and Wastewater. Ed ke-21. United State of America: American Public Health Association

Ffield A. 1994. Tidal Mixing in the Indonesia Seas. Paper presented at

Internasional Scientific symposium at the IOC-WESTPAC, IOC Bali. Indonesia.

Fotonof NP, Tabata. 1958. POG Manuscript Report Series. No 25. Roma. Friedrich T, Timmermann A, Decloedt T, Luther DS, Mouchet A. 2011. The

Effect of Topography-Enhanced Diapycnal Mixing on Ocean and Atmospheric Circulation and Marine Biogeochemistry. Journal Ocean Model 39:262-274.

Gordon AL, Ffield A, Ilahude AG.1994. Thermocline of the Flores and Banda

Seas. Journal of Geophysical Research 99:18235-18242. Gordon AL, Fine RA. 1996. Pathways of water between the Pasific and Indian

ocean in the Indonesian seas. Nature. 379 :146-149. Gordon AL, Giulivi CF, Ilahude AG. 2003.

Gordon AL, Susanto RD, Ffield A, Huber BA, Pranowo W, Wirasantosa S. 2008.

Makassar Strait Throughflow, 2004 to 2006. Journal of

Deep topographic barriers within the Indonesian seas. Deep-Sea Research II. 50:2205–2228.

Geophysical Research Letter 35:1-5.

74

Gordon AL, Sprintall J, Van Aken HM, Susantoa D, Wijffels S, Molcarde R,

Ffieldf A, Pranowog W, Wirasantosa S. 2010. The Indonesian throughflow during 2004–2006 as Observed by the INSTANT program. Journal Dynamic of Atmospheres and Oceans 50:115–128.

Gordon AL. 2010. Measuring the Makassar Strait Throughflow, the Primary

Component of the Indonesian Throughflow. Observing the Oceans for Science and Society –Climate. Lamont-Doherty Earth Observatory of Columbia University, New York, USA.

Green JAM, Simpson JH, Legg S, Palmer MR. 2008. Internal waves, baroclinic

energy fluxes and mixing at the European shelf edge. Journal Continental Shelf Research 28:937-950.

Hatayama T. 2004. Transpormation of the Indonesian throughflow water by

vertical mixing and its relation to tidally generated internal waves. Journal of Oceanography 60: 569-585.

Hautala SL, Reid JL, Bray N. 1996. The Distribution and mixing of Pasific water

masses in the Indonesian seas. Journal of Geophysical Research 101:12375-12389.

Ilahude AG, Gordon A. 1996. Thermocline stratification within the Indonesian

Sea. Journal of Geophysical Research 101:12401-12409. Ilahude, AG. 1999. Pengantar Oseanologi Fisika. P3O-LIPI. Jakarta. Khaira A. 2009. Kondisi Alih Bahang Dalam Proses Internal Mixing Melalui

Tahapan Difusi Ganda Dan Turbulensi Di Perairan Raja Ampat. [Skripsi]. IPB Bogor.

Kawabe M. 2008. Vertical and horizontal eddy diffusivities and oxygen

dissipation rate in the subtropical Northwest Pacific. Deep-Sea Research I. 55:247-260.

King CAM. 1963. An Introduction to Oceanography. McGraw Hill Book

Company, Inc. New York.

Klymak, Jody M, Legg S, Pinkel R. 2010. A simple paramization of turbulent tidal mixing near supercritical topography. Journal of Physical Oceanography 40:2059-2074.

Laevastu T, Hela I. 1790. Fisheries Oceanography. Fishing News Book Limited.

London. Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Printice-Hall.

75

Ledwell JR, McGillicuddy Jr DJ, Anderson LA. 2008. Nutrient flux into an intense deep chlorophyll-a layer in Mode-Water Eddy. Deep-Sea Research II. 55:1139-1160.

Law CS, ER Abraham, AJ Watson, MI Liddicoat. 2003. Vertical eddy diffusion

and nutrient supply to the surface mixed layer of the Antarctic Circumpolar Current. Journal of Physical Oceanography 108:28.1-28.14.

Lane-Serff G F. 2004. "Topographic and boundary effects on steady and unsteady

flow through straits". Topical Studies in Oceanography. Deep-Sea Research II 51;321-334.

Martin AP, Lucas M, Painter SC, R Pidcock, Prandke H, Prandke H, Stinchcombe

MC. 2010. The supply of nutrients due to vertical turbulent mixing : A study at the porcupine abyssal plain study site in the Northeast Atlantic. Deep-Sea Research II. 57:1293–1302.

Matsuura M, Sigimoto T, Nakai M, Tsuji S. 1997. Oceanographic conditions near

the spawning ground of soutrm Bluefin Tuna; Northeastern Indian Ocean. Journal of Oceanography 53:421-433.

Munk W, Wunsch C. 1998. Abyssal recipes II: Energetics of tidal and wind

mixing, Deep-Sea Research I. 45:1797-2010. Nagai T, Tandon A, Gruber N, McWilliams JC. 2008. Biological and physical

impacts of ageostrophic frontal circulations driven by confluent flow and vertical mixing. Journal of Dynamic Atmospheres and Oceans 45:229-251.

Naulita Y. 1998. Karakteristik massa air pada perairan lintasan Arlindo. [Tesis].

IPB. Bogor. Neumann G, Pierson WJ. 1966. Principles of Physical Oceanography. Engle

Wood Cliffs, N.J. Prentice Hall Inc. New York. Osborn TR. 1980. Estimates of the local rate of vertical diffusion from dissipation

measurement. Journal of Physical Oceanography 10:83-89. Parsons TR, Takashi M, Hargrave B. 1984. Biological Oceanography Processes.

Third Edition. Pargamon Press. New York. Park YH, Fuda JL, Duran I, Garabato ACN. Internal Tides and Vertical Mixing

Over the kerguelen Plateau. Deep-Sea Research II. 55 ; 582-593. Pond S, Pickard GL. 1983. Introductory Dynamical Oceanography. Pergamon

Press. New York.

76

Potemra JT, Hautala SL, Sprintall J. 2003. Vertical Structure of Indonesian throughflow in a large-scale model. Deep-Sea Research. 50:2143-2161.

Rippeth TP, PhilWiles, Palmer MR, Harples J, Tweddle J. 2009. The Diapcynal

Nutrient flux and shear-induced diapcynal mixing in the seasonally stratified Western Irish Sea. Journal of Continental Shelf Research 29:1580–1587.

Robertson R, Ffield R. 2008. Baroclinic tides in the Indonesian seas: Tidal fields

and comparisons to observations. Journal of Physical Oceanography 113:1-22.

Ross DA. 1790. Introduction to Oceanography. Appleton-Century-Croft.

Meredith Corporation. New York, NY. Strang EJ, HJS Fernando. Vertical mixing and transport trough a stratified shear

layer. Journal of Physical Oceanography 31:2026-2048 Serff GFL. 2004. Topographic and boundary effects on steady and unsteady.

Deep-Sea Research II: 51:321-333. Sprintall J, Gordon AL, Murtugudde R, Susanto D. 2000. A semiannual Indian

Ocean forced Kelvin Wave observed in the Indonesian Seas in may 1979. Journal of Physical Oceanography 105:217-230.

Staquet C. 2007. Boussinesq approximation, geophysical flows internal gravity

waves: parametric instability and deep ocean mixing. Journal of Continental Shelf Research. 335:665-678.

Stewart RH. 2003. Introduction to Phisycal Oceanography. Departement of

Oceanography. Texas A & M University. Stewart RH. 2008. Introduction to Phisycal Oceanography. Departement of

Oceanography. Texas A & M University. Strickland JDH, Parsons TR. 1968. A Practical hand Book of seawater analysis.

Fisheries Research Board of Canada. Sverdrup HU, Jhonson MW, Fleming RH. 1942. The Ocean, their Physics,

Chemistry and General Biology. Prentice Hall. New York. Syah AF. 2009. Distribusi Vertikal Klorofil-a di Laut Banda Berdasarkan Neural

Networking. [Tesis]. IPB. Bogor. Talley LD, Sprintall J. 2005. Deep expression of the Indonesian Throughflow:

Indonesian Intermediate Water in the South Equatorial Current, Journal of Geophysical Research 110, C10009.

77

Talley LD, Pickard GL, Emery WJ, Swift JH. 2011. Chapter S7 –Dynamical

Processes for Descriptive Ocean Circulation. Descriptive Physical Oceanography: An Introduction [Sixth Edition], Elsevier, Boston, Pages 1–72.

Thorpe SA. 2005. The Turbulent Ocean. Published in the United States of America by Cambridge University Press, New York .

Thurnherr AM. 2006. Diapycnal mixing associated with an overflow in a deep

submarine Canyon. Deep-Sea Research II. 53:194-206

Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK, 1979. The Ecology of Indonesian seas. Part I. The Ecology of Indonesian series. Peripus Eds. (HK) Ltd.

Tomczak, M, Godfrey JS. 2002. Regional Oceanography: An Introduction.

Pergamon Press. Australia. Tubalawony S. 2007. Kajian klorofil-a dan nutrien serta interlasinya dengan

dinamika massa air di perairan barat Sumatera dan Selatan Jawa–Sumbawa. Sekolah Pascasarjana. [Disertasi]. IPB. Bogor.

Umasangaji H. 2006. Variabilitas dan karakteristik arus lintas Indonesia

hubungannya dengan fluktuasi lapisan Termoklin di perairan selat makassar. Sekolah Pascasarjana

Van Aken HM, Brodjonegoro IS, Jaya I. 2009. The Deep-water Motion Through the Lifamatola Passage and its Contribution to the Indonesian Throughflow. Deep Sea Res. Part I. 56 ; 1203–1216

[Tesis]. IPB. Bogor.

Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian water. NAGA Report Vol 2. Scripps Inst. Oceanogr. The University of California. La Jolla, California.

Xing J, Davies AM. 2007. On the importance of non-hydrostatic processes in determining tidally induced mixing in sill regions. Journal of Continental Shelf Research. 27:2162-2185.

78

LAMPIRAN

Lampiran 1. Rata-rara ± standar deviasi (dashed) profil gradien nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) dari data Roxette CTD

Konsentrasi nitrat (µA/L)

-10 0 10 20 30 40

Pres

sure

(dba

r)

-1000

-800

-600

-400

-200

0

Konsentrasi fosfat (µA/L)

0 1 2 3 4 5

Pres

sure

(dba

r)

-1000

-800

-600

-400

-200

0

79

Konsentrasi silikat (µA/L)

0 20 40 60 80 100 120 140

Pres

sure

(dba

r)

-1000

-800

-600

-400

-200

0

Lampiran 2. Grafik vertikal suhu dan salinitas Perairan sepanjang Stasiun pengamatan Selatan Selat Makassar

80

81

Lampiran 3. Profil vertikal Thorpe displacement (d) berdasarkan nilai densitas (σo) terhadap kedalaman (m)

82

Lampiran 4. Diagram alir pengolahan param fisik dari CTD dengan perangkat lunak ODV

Data CTD

Text File

Statioun Mode

Derived Variable : Potensial densitas

Gravity Geometric height

Configuration Output : Sebaran Menegak Sebaran

Melintang

Section Mode

Brunt–Väisälä frequency

83

Lampiran 5. Fluks nutrien berdasarkan estimasi difusi vertikal eddy (Kz) dari shear arus (S2)

84

Lampiran 6. Spesifikasi instrumen alat sampling dan rekaman data

1. CTD (Conductivity,Temperature and Depth) SBE 911 plus

Sumber ; http://www.seabird.com.

85

2. SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler)

Sumber : TELEDYNE RD INSTRUMENTS (http://www.rdinstruments.com)

Power DC input: 20–50VDC. Standard configuration includes 2 alkaline batteries. (Select from 0, 2, or 4 battery configuration.) Voltage: 42VDC (new) 28VDC (depleted) Capacity Each pack @ 0°C: 450 watt hrs Data Communications Interface: RS-232 (default) or RS-422 Baud rate: 300 to 115,200 (9600 default) Input data format: ASCII commands Output data format: Binary or ASCII Standard Sensors Pressure Sensor: 2000m Pressure Accuracy: ±5m Temperature (mounted on transducer): Range: -5° to 45°C Precision: ±0.4°C Resolution: 0.01° Tilt: Range: ±15° Accurac y: ±0.5° Precision: ±0.5° Resolution: 0.01° Compass (fluxgate type, includes built-in field calibration feature): Accuracy: ±2° 7 Precision: ±0.5° Resolution: 0.01° Maximum tilt: ±15°

Profile Parameters Velocity accuracy: ± 1% ± 5mm/s Velocity resolution: 1mm/s Velocity range: ± 5m/s default

± 10m/s max Depth cell size: 2–24m Number of depth cells: 1–255 Ping rate: 1Hz (typical) Transducer and Hardware Beam angle: 20° Beam width: 4° Configuration: 4-beam, convex

Internal memory: Two PCMCIA card slots; one memory card included

Communications: RS-232 or RS-422; ASCII or binary output at 1200–115,400 baud.

86

3. Rosette Sampler

Sumber : http://www.gnm-inc.com

Description Models 1015-12 and 1015-24 Rosette® multibottle arrays - accommodating 12 or 24 bottles - are two- component systems (deck command unit and a submersible bottle mounting array) for remotely actuating (in sequence) General Oceanics water sampling bottles. Model 1015 series Rosettes are used with models 1010 Niskin , 1080 GO-FLO, or 1010X external spring bottles. The Rosette can be operated either independently, or in conjunction with CTD systems. Bottles on the Rosette may be fitted with model M1000-3 or M1000-4 reversing thermometer assemblies (number and volume of bottles determine number of thermometer-reversing assemblies).