Kasus Skizofrenia

36
1 Modul Kesehatan Mental Emosional SEORANG SISWI SMA YANG MENGALAMI GANGGUAN TIDUR DAN KEBINGUNGAN KELOMPOK 1 030.08.128 IRFAN SUGIYANTO 030.09.244 SUREZA LARKE WAJENDRA 030.10.056 BIMA GHOVAROLIY 030.10.070 SARAH MARGARETH FELICIA 030.10.146 KAMILAH NASAR 030.10.184 MUHAMAD ALFI AULIYA RACHMAN 030.10.185 MUHAMAD ANDANU YUNUS SLAMET 030.10.186 MUHAMAD ARFAN ERIANSYAH 030.10.226 R. IFAN ARIEF FAHRUROZI 030.10.227 RACHEL SILENCY ARITONANG 030.10.228 RACHMA TIA WASRIL 030.10.261 SUMEET HARESH VASANDANI 030.10.262 SYARFINA ROSYADAH 030.10.263 TAHARI BARGAS PRAKOSO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, 6 MEI 2013

description

Pembahasan Kasus Skizofrenia

Transcript of Kasus Skizofrenia

  • 1

    Modul Kesehatan Mental Emosional

    SEORANG SISWI SMA YANG MENGALAMI GANGGUAN TIDUR DAN

    KEBINGUNGAN

    KELOMPOK 1

    030.08.128 IRFAN SUGIYANTO

    030.09.244 SUREZA LARKE WAJENDRA

    030.10.056 BIMA GHOVAROLIY

    030.10.070 SARAH MARGARETH FELICIA

    030.10.146 KAMILAH NASAR

    030.10.184 MUHAMAD ALFI AULIYA RACHMAN

    030.10.185 MUHAMAD ANDANU YUNUS SLAMET

    030.10.186 MUHAMAD ARFAN ERIANSYAH

    030.10.226 R. IFAN ARIEF FAHRUROZI

    030.10.227 RACHEL SILENCY ARITONANG

    030.10.228 RACHMA TIA WASRIL

    030.10.261 SUMEET HARESH VASANDANI

    030.10.262 SYARFINA ROSYADAH

    030.10.263 TAHARI BARGAS PRAKOSO

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

    JAKARTA, 6 MEI 2013

  • 2

    DAFTAR ISI

    BAB I : PENDAHULUAN 3

    BAB II : LAPORAN KASUS 4

    BAB III : PEMBAHASAN 7

    A. Identifikasi Masalah 7

    B. Anamnesis 7

    C. Status Mental 8

    D. Pemeriksaan fisik dan lab 15

    E. Diagnosis Kerja 15

    F. Patofisiologi 16

    G. Penatalaksanaan 20

    H. Prognosis 22

    TINJAUAN PUSTAKA 23

    KESIMPULAN 34

    DAFTAR PUSTAKA 35

  • 3

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Pada diskusi kali ini telah dibahas mengenai seorang laki-laki bernama Nn. Conny

    berusia 17 tahun, seorang siswi SMA yang dibawa oleh Ibunya ke rumah sakit karena sulit tidur

    dan merasa bingung. Pada anamnesis lebih lanjut, Nn. Conny merasa bingung karena dia merasa

    semua berubah. Delapan bulan yang lalu, Nn. Conny cenderung menarik diri dan tidak merAwat

    dirinya sendiri, terkadang bergumam sendiri, bahkan saat ini Nn. Conny sering marah-marah

    tanpa sebab. Dia juga mendengar orang-orang menyindir dirinya, mengomentari dirinya dirinya,

    bahkan dia berpendapat semua orang mengetahui rahasia tentang dirinya. Nn. Conny pernah

    melakukan percobaan bunuh diri. Sebelumnya Nn. Conny adalah siswi yang rajin ke sekolah,

    senang bergaul, banyak teman, lahir cukup bulan, memperhatikan perawatan dirinya. Tetapi pada

    riwayat keluarga diketahui bahwa bibi dan paman pasien pernah mengalami gangguan jiwa. Pada

    diskusi ini kami mencurigai riwayat dari keluarga inilah yang berarti ada penurunan bakat,

    sehingga dengan adanya stressor, pasien dapat memperlihatkan gejala-gejala gangguan kejiwaan.

  • 4

    BAB II

    LAPORAN KASUS

    Anamnesis

    Alloanamnesis mengenai pasien yang dilakukan terhadap ibu pasien:

    Identitas Pasien

    Nama : Nn.Conny

    Jenis Kelamin : perempuan

    Usia : 17 tahun

    Alamat : -

    Pekerjaan : Siswi SMA

    Status : Belum menikah

    Hobi : -

    Riwayat psikiatri

    Keluhan Utama

    Pasien merasakan keluhan sulit tidur dan merasa bingung

    Riwayat gangguan sekarang

    - Gejala dimulai sejak 8 bulan yang lalu.

    - Pasien tampak malas dan tidak mau sekolah

    - Cenderung menarik diri, malas merawat diri dan sering bergumam seperti orang

    kebingungan. gejala negatif pada skizofrenia (social withdrawal)

    - Sering bertanya hal-hal yang tidak masuk akal seperti:

    Mengapa orang-orang berubah? Derealisasi

  • 5

    Ibunya menurut pasien juga berubah , demikian juga dengan teman-temanya yang

    dianggapnya berubah pula. Derealisasi

    Apa dunia sudah mau kiamat? Pseudowaham

    Apa aku ini mau gila?

    - Pasien mulai marah-marah tanpa alasan yang jelas.

    Ekspresi afektif pasien agak labil

    - Pasien mendengar orang-orang menyindir dirinya,mengomentari dirinya.

    Halusinasi auditorik third order

    - Pasien mengeluhkan mengapa semua orang mengetahui tentang rahasia dirinya.

    Waham siar pikiran

    - Pasien pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan memotong urat nadinya.

    Memiliki mood jenis hipothym

    Riwayat gangguan dahulu

    Tidak ada

    Riwayat kelahiran dan perkembangan

    - Pasien dilahirkan cukup bulan dan tidak ada masalah dalam perkembangannya.

    Tidak terdapat retardasi mental

    Riwayat kehidupan pribadi sebelum mengalami gangguan

    - Sebelumnya Conny termasuk anak yang rajin bersekolah dan prestasi akademiknya baik.

    - Diantara saudaranya Conny paling pandai disekolahnya.

    - Tampak periang

    - Pasien sangat memperhatikan perawatan dirinya.

    - Senang bergaul dan memiliki banyak teman .

  • 6

    - Kehidupan beragamanya cukup baik.

    Tidak ada masalah dengan kepribadian dan interaksi sosial.

    Riwayat kebiasaan/hoby

    - Pasien senang membaca buku novel

    - Mengarang cerita faktor predisposisi untuk terjadinya skizofrenia

    - Jalan-jalan ke mall.

    Tidak ada masalah dengan kepribadian dan interaksi sosial.

    Riwayat keluarga

    - Adik perempuan ibu pasien (bibi pasien) pernah mengalami stress berat hingga mencoba

    bunuh diri dan sempat dirawat di rumah sakit jiwa.

    - Paman pasien pernah dirawat di rumah sakit jiwa karena marah-marah tanpa alasan dan

    mempunyai pikiran yang aneh-aneh.

    Adanya riwayat keluarga yang memungkinkan menurunkan bakat, sehingga jika

    mendapat stressor bisa menyebabkan gangguan jiwa

  • 7

    BAB III

    PEMBAHASAN

    Identifikasi Masalah

    1.Gangguan proses dan isi pikir: gangguan asosiasi-inkoheren dan waham nihilistik

    Ditemukan bicaranya kacau yang menunjukkan adanya gangguan pada proses pikir pasien.

    Kalimat yang diucapkan oleh pasien tidak teratur sehingga sulit dipahami. Pasien juga

    menganggap bahwa dunia akan kiamat.

    2.Gangguan persepsi: halusinasi auditorik

    Menurutnya, pasien sering mendengar orang-orang menyindir dirinya, mengomentari dirinya.

    Kemungkinan pasien mengalami halusinasi auditorik, baik second order maupun third order.

    3.Gangguan disosiatif: depersonalisasi dan derealisasi

    Pasien merasa orang-orang di sekitarnya berubah. Termasuk lingkungan tempat tinggalnya.

    Bahkan, pasien pun merasa dirinya pun ikut berubah.

    4.Gangguan mood: anhedonia

    Minat dan perhatian pasien terhadap apa yang disukainya menurun. Pasien cenderung berdiam

    diri dan menarik diri dari pergaulannya. Pasien juga mulai tidak memperhatikan perawatan

    dirinya.

    Anamnesis Tambahan

    Riwayat gangguan sekarang

    Apa sudah pernah dibawa berobat?

  • 8

    Apa anda pernah mengkonsumsi obat-

    obatan tertentu?

    (untuk mendeteksi adanya waham)

    Apa pernah melihat/mendengar

    sesuatu yang orang lain tidak lihat/dengar?

    Apa pernah melihatsuatu benda

    berubah menjadi benda lain?

    Apakah akhi-akhir ini ada pikiran yang

    sangat mengganggu anda?

    Apa anda punya keyakinan yang tidak

    dipercaya oleh orang lain?

    Riwayat gangguan dahulu

    Apa pasien pernah mengalami hal

    seperti ini sebelumnya?

    Kejadian apa yang sebelumnya dialami

    pasien?

    (untuk menanyakan apakah ada stressor sehingga membuat gejala ini timbul)

    Apakah pernah berobat atau dirawat di RS? bagaimana kepatuhan berobatnya?

    Bagaimana cara berpikir, perasaan dan pengendalian dirinya dulu?

    A. Status Mental

    I. Gambaran Umum

    Penampilan

  • 9

    Seorang wanita muda , 17 tahun

    Tampak sesuai dengan usianya

    Rambut tidak tersisir rapi

    Cara berpakaian terlihat seadanya

    Wajah tidak di rias

    Memakai sepatu

    Perilaku dan aktivitas motorik

    Terlihat seperti orang yang kebingungan

    Pasien tampak tidak tenang

    Tidak dapat duduk lama

    Kadang kadang terlihat seperti bicara sendiri

    Tersenyum sendiri

    Kesadaan biologis :

    Tidak terganggu, walaupun terlihat seperti orang yang mengantuk

    II. Afek

    Terbatas

    Cenderung lebih tumpul

    Ekspresi afek agak labil

    Pengendalian kurang

    Echt

    Dangkal

    Skala diferensiasi sempit

    Tidak serasi

  • 10

    III. Bicara

    Bicaranya agak kacau dan sering tidak menyambung

    IV. Gangguan persepsi

    Derealisasi

    Depersonalisasi

    Halusinasi third order

    V. Pikiran

    Proses

    Produktifitas kurang

    Miskin pikir

    Pengendoran asosiasi

    Inkoherensi

    Isi

    Waham dunia kiamat

    Siar pikir

    VI. Fungsi Intelektual

    Daya konsentrasi terganggu

    Perhatian terganggu

    Orientasi baik

    Daya ingat baik

    Intelegensi di atas rata rata

  • 11

    Daya nilai sosial dan uji daya nilai social : baik

    Daya nilai realita: ada hendaya berat dalam memnilai realita

    VII. Tilikan

    Derajad satu

    VIII. Taraf dapat dipercaya

    Dapat dipercaya

    Interpretasi Status Mental:

    Penampilan

    Cara berpakaian pasien yang terlihat seadanya, rambut tidak tersisir rapi dan wajah tidak dirias,

    menunjukkan bahwa pasien ini mengalami depresi sehingga tidak memperhatikan

    penampilannya.

    Hipotesis: Skizofrenia

    Perilaku dan aktivitas motorik

    Pasien terlihat seperti orang kebingungan, sering berbicara dan tersenyum sendiri. Pasien juga

    terlihat tidak tenang dan tidak dapa duduk lama. Gejala ini mungkin disebabkan karena pasien

    merasa bingung dan tidak bisa mengerti mengapa semuanya berubah, dari ibunya, teman

    temannya serta lingkungan rumahnya, sehingga gejala-gejala tersebut muncul pada diri pasien.

    Hipotesis: Skizofrenia

    Kesadaran

    Kesadaran biologis pasien tampak tidak terganggu. Hal ini menunjukkan kesadaran pasien yang

    penuh terhadap dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sekitarnya sehingga kita dapat

  • 12

    memperoleh informasi tidak hanya melalui alloanamnesis (anamnesis yang dilakukan kepada

    keluarga pasien atau orang yang bertanggung jawab terhadap pasien) tetapi juga melalui

    autoanamnesis (anamnesis yang dilakukan langsung kepada pasien) sehingga kita dapat

    mengetahui dengan pasti apa yang dirasakan pasien

    Afek

    Afek ekspresi eksternal pasien yang dapat diamati secara objektif. Pada pasien ini terdapat afek

    terbatas yang menunjukkan bahwa afek pasien berada dibawah normal. Ekspresi afektifnya agak

    labil dan pengendaliannya kurang, dapat diketahui juga dari perilaku pasien yang sering marah

    marah tanpa alasan. Afek yang echt, dimana respons dicetuskan secara wajar. Afek yang tidak

    dapat diraba rasakan dan skala diferensiasinya sempit. Selain itu pasien ini afeknya tidak serasi,

    dimana tidak ada keserasian antara pikiran perasaan dan perbuatan.

    Hipotesis: Skizofrenia

    Bicara

    Pasien terlihat bicaranya agak kacau dan sering tidak menyambung, gejala ini mungkin

    disebabkan karena pasien yang selalu memikirkan kenapa sekelilingnya berubah dan pikiran-

    pikiran lainnya sehingga pasien tidak dapat memfokuskan pikirannya ke hal-hal di sekitarnya.

    Gangguan persepsi

    Dari alloanamnesis yang dilakukan terhadap ibu pasien, dapat kita ketahui bahwa pasien

    mengalami derealisasi (pasien merasakan perubahan pada lingkungan sekitarnya),

    depersonalisasi (pasien merasakan dirinya berubah), serta halusinasi auditorik third order (pasien

    sering mendengar orang orang menyindir dirinya dan mengomentari dirinya).

    Proses pikir

  • 13

    Proses pikir pada pasien ini produktivitas kurang dan miskin pikir, Pengendoran asosiasi dan

    inkoherensi (dalam pikirin pasien, topik yang satu belum selesai sudah pindah ke topik yang

    lain).

    Isi pikir

    Pasien mengalami waham (isi pikir yang patologis, tidak sesuai dengan kenyataan). Siar pikir,

    (dimana pasien merasa semua orang itu mengetahui rahasia tentang dirinya).

    Hipotesis: Skizofrenia

    Mood

    Minat dan perhatian pasien terhadap apa yang disukainya menurun. Pasien cenderung berdiam

    diri dan menarik diri dari pergaulannya. Pasien juga mulai tidak memperhatikan perawatan

    dirinya.

    Fungsi Intelektual

    Daya konsentrasi dan perhatian yang terganggu

    Kemungkinan dikarekan waham yang diderita pasien.

    Keterangan: daya konsentrasi dapat diperiksa dengan cara menyebut mundur huruf abjad,

    menghitung mundur bulan atau angka. Perhatian dapat diperiksa dengan mengeja mundur

    huruf pada suatu kata.

    Orientasinya baik

    Keterangan: orientasi dapat diperiksa dengan menanyakan nama, identitas, serta

    pertanyaan lainnya kepada pasien.

    Daya ingat baik

  • 14

    Keterangan: Pemeriksaan daya ingat dibagi menjadi 3 (remote memory, recent past

    memory, recent memory, dan immediate retention and recall).

    1. Remote memory

    Diperiksa dengan menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan masa kecilnya.

    2. Recent past memory

    Diperiksa dengan menanyakan kejadian kejadian yang berlangsung beberapa

    bulan lalu. Misalnya, apa yang pasien makan tadi pagi atau apa yang pasien

    lakukan kemarin sore.

    3. Immediate retention and recall

    Diperiksa, dengan menyuruh pasien mengulang angka angka yang telah di

    sebutkan oleh pemeriksa.

    Intelegensi diatas rata rata

    Menandakan tidak adanya retardasi mental

    Daya nilai social dan uji daya nilai social pasien juga baik.

    Pada daya nilai realita pasien terdapat hendaya berat dalam menilai realita (derealisasi)

    Tilikan

    Tilikan merupakat derajat kesadaran pasien terhadap penyakitnya.

    Terbagi atas 6 derajat:

    1. Complete denial of illness

    2. Slight awareness of being sick and needing help, but denying it at the same time

    3. Awareness of being sick but blaming it on others, on external factors, or on organic

    factors

    4. Awareness that illness is caused by something unknown in the patient

  • 15

    5. Intellectual insight: admission that the patient is ill and that symptoms or failures in social

    adjustment are caused by the patient's own particular irrational feelings or disturbances

    without applying this knowledge to future experiences

    6. True emotional insight: emotional awareness of the motives and feelings within the

    patient and the important persons in his or her life, which can lead to basic changes in

    behavior.

    Derajat tilikan pada pasien ini adalah derajat tilikan pertama., yaitu derjat dimana pasien

    menoloak sepenuhnya bahwa dirinya sedang sakit.

    Taraf dapat dipercaya

    Taraf dapat dipercaya dapat dinilai dari kesungguh-sungguhan pasien dan ibunya dalam

    menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika anamnesis.

    Pemeriksaan fisik, laboratorium, dan penunjang

    Pada pasien ini tidak ditemukan kelainan fisik dan kelainan lab. Hal ini menunjukan gejala-

    gejala psikotik yang terdapat pada pasien tidak berasal dari penyakit organik.

    Seperti halnya dengan hampir semua diagnosis kesehatan mental, tidak ada tes yang definitif

    menunjukkan bahwa seseorang memiliki skizofrenia. Oleh karena itu, diagnosis gangguan pada

    pasien ini dapat ditentukan dengan mengumpulkan informasi komprehensif medis, keluarga, dan

    informasi kesehatan mental pasien.

    Diagnosis Kerja

  • 16

    Setelah memperoleh berbagai hasil anamnesis dan pemeriksaan, dapat kami simpulkan diagnosis

    pada pasien ini adalah skizofrenia, sedangkan episode yang sedangkan episode yang sedang

    terjadi pada pasien ini belum dapat kami tentukan karena kurangnya data yang diberikan.

    Diagnosis multiaksial

    Aksis I : F20.0 Skizofrenia paranoid

    Aksis II : Z 03.2 tidak ada diagnosis aksis II

    Aksis III : tidak ada diagnosis

    Aksis IV : tidak ada diagnosis

    Aksis V : 17 bahaya mencederai diri atau orang lain, disabilitas sangat berat dalam

    komunikasi dan mengurus diri.

    Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV-TR:

    A. Gejala karakteristik:

    2 atau lebih gejala berikut selama periode 1 bulan

    1. Waham

    2. Halusinasi

    3. Bicara tidak terorganisasi

    4. Perilaku tidak terorganisasi atau perilaku katatonik

    5. Gejala negatif

    *hanya 1 kriteria A yang dibutuhkan bila waham bizar atau halusinasi yang terdiri dari suara

    yang terus menerus mengomentari mengenai perilaku dan pikiran orang tersebut atau ada 2

    atau lebih yang berbicara satu sama lain

    A. Disfungsi sosial/pekerjaan

    B. Durasi (Tanda adanya gangguan paling tidak harus 6 bulan)

  • 17

    C. Eksklusi skizoafektif dan gangguan mood

    D. Eksklusi gangguan akibat zat/kondisi medik umum (Hubungan dengan gangguan

    perkembangan pervasif)

    Patofisologi

    Etiologi dan patofisiologi dari skizofrenia belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa

    yang ditemukan berperan dalam proses terjadinya skizofrenia.

    1. Faktor genetika:

    Kecenderungan seseorang untuk menderita skizofrenia berhubungan erat dengan ada atau

    tidak keluarga yang menderita skizofrenia dan seberapa dekat hubungan orang tersebut dengan

    keluarga yang menderita penyakit ini (misalnya first degree relative atau second degree

    relative). Ditemukan juga bahwa kecenderungan seseorang untuk menderita skizofrenia

    berhubungan dengan usia ayah saat anak dilahirkan. Sebuah studi dilakukan pada pasien

    skizofrenia yang tidak memiliki riwayat keluarga dan ditemukan bahwa seseorang yang

    dilahirkan dari ayah yang lebih tua dari 60 tahun lebih rentan untuk terjadinya skizofrenia. Pola

    transmisi genetik skizofrenia tidak diketahui namun beberapa gen ditemukan berhubungan

    dengan kerentanan seseorang menderita skizofrenia yaitu gen alpha-7-nicotinic receptor, DISC1,

    GRM3, COMT, NRG1, RGS4, dan G72. Mutasi dari gen DTNBP1 dan neureglin 1 ditemukan

    berhubungan dengan gejala negatif dari skizofrenia.

    Pada pasien ini diduga terjadinya skizofrenia berhubungan erat dengan riwayat keluarga.

    Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa bibi pasien pernah mengalami stres berat hingga mau

    bunuh diri dan paman pasien pernah dirawat di RS jiwa karena marah-marah tanpa alasan dan

    mempunyai pikiran-pikiran yang aneh-aneh. Hal ini menunjukkan bahwa pasien memiliki bakat

    genetik untuk penyakit skizofrenia.

    2. Faktor biokimiawi:

    Gangguan pada aktivitas biokimia otak atau neurotransmitter juga mempunyai peran

    yang penting dalam terjadinya skizofrenia.

  • 18

    Dopamin: Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas

    dopaminergik yang berlebihan. Hipotesis ini dikembangan berdasarkan dua alasan: 1.obat

    antipsikotik yang merupakan suati agonis reseptor dopamin (D2) efektif dan poten

    menghilangkan gejala skizofrenia dan 2.obat-obatan yang menyebabkan peningkatan aktivitas

    dopaminergik seperti kokain dan amfetamin bersifat psikotomimetik. Jalur dopamin yang

    berhubungan dengan kelainan dopamin ialah jalur mesokortikal dan jalur mesolimbik. Neuron

    dopaminergik pada jalur ini keluar dari badan sel yang terdapat di midbrain menuju ke neuron di

    sistem limbik dan korteks cerebri. Hiperaktivitas dopamin pada jalur mesolimbik

    berhubungan dengan gejala positif pada skizofrenia, sedangkan hipoaktivitas dopamin pada

    jalur mesokortikal berhubungan dengan gejala negatif pada skizofrenia.

    Serotonin: Pelepasan serotonin yang berlebihan berhubungan dengan terjadinya

    gejala positif dan negatif pada skizofrenia. Dasar hipotesis ini didasarkan atas

    penggunaan klozapin (antipsikotik generasi keII/ atipikal) yang efektif terhadap

    gejala positif dan negatif dari skizofrenia, dimana obat ini merupakan suatu

    antagonis terhadap reseptor serotonin.

  • 19

    Norepinefrin: Degenerasi selektif dari norepinefrin dikaitkan dengan gejala

    anhedonia (gangguan kapasitas seseorang untuk mengalami rasa puas secara

    emosional dan penurunan kemampuan seseorang untuk mengalami rasa senang)

    pada pasien skizofrenia. Hipotesis ini belum dapat dibuktikan.

    GABA: Pada beberapa pasien yang menderita skizofrenia, ditemukan bahwa

    terjadi penurunan neuron GABAnergik di hipokampus. GABA, yang

    merupakan suatu neurotransmitter inhibitor, mempunyai efek regulasi terhadap

    aktivitas dopamin. Diduga bahwa hilangnya neuron GABAnergik menyebabkan

    terjadinya hiperaktivitas neuron dopaminergik.

    Asetilkolin: Studi postmortem pada pasien skizofrenia menunjukkan bahwa

    reseptor muskarinik dan nikotinik menurun pada putamen caudatus,

    hipokampus, dan bagian dari korteks prefrontal. Reseptor ini memiliki peran

    dalam regulasi dari neurotransmitter yang berperan dalam kemampuan kognitif

    seseorang. Penurunan reseptor muskarinik dan nikotinik dihubungkan dengan

    gangguan kognitif pada pasien yang menderita skizofrenia.

    3. Faktor susunan saraf pusat:

    Beberapa kelainan pada susunan saraf pusat telah ditemukan pada pasien skizofrenia

    yang mungkin berhubungan dengan terjadinya skizofrenia. CT-scan dari penderita skizofrenia

    menunjukkan pembesaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel tiga dan penurunan volume

    korteks cerebri. Penurunan volume substansia grissea dari korteks cerebri dapat ditemukan

    pada tahap awal dari skizofrenia. Penurunan simetri juga ditemukan pada beberapa area otak

    yaitu pada lobus temporal, lobus frontal, dan lobus oksipital. Penurunan simetri ini diduga

    berasal dari masa fetus dimana dan merupakan indikasi terjadinya gangguan pada lateralisasi

    otak saat perkembangan otak terjadi. Pada sistem limbik yang mengatur emosi dapat ditemukan

    penurunan masa regio amigdala, hipokampus, dan girus parahipokampus (pada gambaran

    MRI pasien skizofrenia). Kelainan anatomis dari korteks prefrontal juga ditemukan pada

    pasien skizofrenia. Pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan ataupun MRI untuk

    mengetahui adakah kelainan pada susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan terjadinya

    skizofrenia.

    4. Faktor stress kehidupan:

    Adolf Meyer menyatakan bahwa skizofrenia merupakan reaksi dari stres kehidupan.

  • 20

    Pada pasien ini skizofrenia terjadi tanpa adanya stressor yang kuat menunjukkan bahwa hal ini

    tidak berperan dalam patofisiologi terjadinya skizofrenia pada pasien ini.

    Penatalaksanaan

    Penanganan pasien skizofrenia dibagi secara garis besar menjadi:

    1. Medikamentosa

    2. Terapi psikososial

    3. Perawatan rumah sakit (Hospitalize)

    MEDIKAMENTOSA

    Terapi Somatik

    Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada

    Skizofrenia. Pada pasien dapat diberikan obat Serotonin-Dopamine Antagonists (Anti Psikotik

    Atipikal) yang aman terhadap efek ekstra pyramidal dan berguna untuk mengurangi gejala

    negative pada skizofrenia yaitu Clozapine, Risperidone, Olanzapine dengan dosis 2 6 mg/hari

    Terapi Stabilisasi

    Terapi minggu ke 2 3 dengan tujuan meningkatkan sosialisasi, perbaikan kebiasaan dan

    perasaan pasien. Memerlukan 6 8 minggu untuk mendapatkan respon yang diharapkan.

    Pengobatan dapat menggunakan Anti Psikotik Atipikal sama seperti terapi somatic pasien

    sebagai terapi akut, namun dapat dikombinasikan dengan chlorpromazine 300 1000 mg.

    Terapi Pemeliharaan

    Tujuan terapi adalah mencegah kekambuhan. Terapi pasien dilanjutkan hingga 1 tahun setelah

    sembuh dari episode akut. Apabila kepatuhan pasien rendah maka dibuat formulasi depot seperti

    flufenazin dekanoat diberikan 2 4 minggu sekali secara i.m.

  • 21

    NON MEDIKAMENTOSA

    Terapi Psikososial

    Terapi perilaku

    Teknik perilaku menggunakan latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan

    sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.

    Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal

    yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi

    perilaku maladaptif atau menyimpang dapat diatasi.

    Terapi berorintasi-keluarga

    Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi

    parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi

    keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik

    penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan

    kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak

    saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana

    yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari

    penyangkalan tentang keparahan penyakitnya.

    Terapi kelompok

    Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan

    dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara

    psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi

    sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia.

    Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya

    paling membantu bagi pasien skizofrenia

    Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)

    Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi,

    keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau

    termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.

  • 22

    Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun

    aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit

    pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit

    harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup,

    pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat

    pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan

    keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup

    Prognosis

    Prognosis Baik Prognosis Buruk

    Dukungan keluarga baik Onset pada usia muda

    Tidak ada gangguan neurologis Ada riwayat keluarga

    Tidak ada gangguan kepribadian Tidak ada faktor pencetus

    Pertama Kali mengalami serangan Gejala yang berkembang secara bertahap

    dan bertahan untuk waktu yang lama

    prognosisnya buruk

    Interaksi sosial sebelum serangan baik Perilaku menarik diri

    Berdasarkan data prognosis diatas, maka dapat disimpulkan prognosis Conny adalah Buruk.

  • 23

    TINJAUAN PUSTAKA

    1.1. Definisi Skizofrenia

    Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan

    psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek dan

    perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap

    terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

    Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu gejala

    positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh

    gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan

    (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atauisolasi diri dari pergaulan, miskin

    kontak emosional (pendiam, sulit diajakbicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh,

    sulit berpikir abstrak dan kehilangandorongan kehendak atau inisiatif

    1.2. Epidemiologi

    Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan

    diberbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara

    kasarhampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi

    dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada

    laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun

    sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih

  • 24

    tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan

    daerah rural (Sadock, 2003).

    Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama

    ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Pasien

    skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri

    merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari

    pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri. Menurut Howard, Castle, Wessely dan Murray,

    1993 di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara

    laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada

    beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,

    perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset

    untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang

    perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang

    mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki.

    1.3. Etiologi

    Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia,

    antara lain :

    1.3.1. Faktor Genetik

    Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya

    skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita

    skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 -

    1,8%; bagi saudara kandung 7 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang

    menderita skizofrenia 7 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 68%; bagi

    kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%.

    Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative

    trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa

    gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga

    mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang

  • 25

    mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk

    mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga

    yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).

    1.3.2. Faktor Biokimia

    Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut

    neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu

    sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas

    neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian- bagian tertentu otak atau

    dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang

    berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk

    skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine

    tampaknya juga memainkan peranan.

    1.3.3. Faktor Psikologis dan Sosial

    Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat,

    adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua- anak yang patogenik,

    serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).

    Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga

    mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother

    kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat

    dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-

    anaknya (Durand & Barlow, 2007).

    Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa

    kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian.

    Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi

    kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit

    dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang

    dibutuhkannya.

    1.4. Perjalanan Penyakit

  • 26

    Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan

    klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang

    dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock,

    2003; Buchanan, 2005).

    Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia,

    walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia

    yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti

    dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan.

    Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa

    diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia

    menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri

    kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).

    Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis,

    yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien

    skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase

    residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya

    satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa

    penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).

    1.5. Tipe-tipe Skizofrenia

    Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of Mental

    Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation, 1980) dan

    berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation, 1994) dan DSM-IV-TR

    (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-

    IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006) :

    1.5.1. Tipe Paranoid

    Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam

    konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya

    adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan

  • 27

    tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin

    juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka

    berargumentasi, dan agresif.

    1.5.2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)

    Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan

    afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan

    tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat

    membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

    1.5.3. Tipe Katatonik

    Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi

    ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan,

    negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi

    (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain

    (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).

    1.5.4. Tipe Undifferentiated

    Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan

    perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator

    skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi

    yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang

    berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti

    mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.

    1.5.5. Tipe Residual

    Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi

    masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan- keyakinan

    negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya

    delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-

    pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.

  • 28

    1.6. Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan

    terapi psikososial.

    1.6.1. Terapi Biologis

    Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan

    menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi

    dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala- gejala skizofrenia. Obat yang

    digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua

    obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol

    (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa

    kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam

    dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat

    bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan

    (Durand, 2007).

    Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada

    penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT)

    diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok

    perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di

    berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.

    Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena

    metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita

    skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini.

    Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan

    pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah

    aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta

    seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya,

  • 29

    intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik

    (Durand, 2007).

    Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam Davison,

    et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan cara

    membuang stone of madness atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi

    penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam

    proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar.

    Akan tetapi, pada tahun 1950- an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita

    kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

    1.6.2. Terapi Psikososial

    Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasipengobatan

    di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan.

    Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien

    skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat

    masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di usia dini. Pada

    terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga.

    2. KEKAMBUHAN KEMBALI (RELAPS)

    Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif

    merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau

    lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara

    lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat

    inap pada periode tertentu (Pratt, 2006).

    Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien skizofrenia

    adalah hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien karena adanya kekambuhan

    yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan

    bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila

    pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat

    tinggalnya. Selain itu rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan

  • 30

    diagnostik dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand, 2007). Perawatan pasien skizofrenia

    cenderung berulang (recurrent), apapun bentuk subtipe penyakitnya. Tingkat

    kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup bersama anggota

    keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan

    kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam

    kehidupan, seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan

    bagian yang penting dalam proses pengobatan pasien dengan skizofrenia. Keluarga berperan

    dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan kekambuhan. Penelitian pada keluarga

    di Amerika, membuktikan bahwa peranan keluarga yang baik akan mengurangi angka

    perawatan di rumah sakit, kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan.

    Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai kriteria kesuksesan

    suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup signifikan dalam beberapa

    aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan keluarganya,

    yakni seringkali mengakibatkan perawatan kembali/rehospitalisasi dan membengkaknya biaya

    pengobatan.

    3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN

    MINUM OBAT

    Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada skizofrenia

    adalah ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada pasien skizofrenia adalah

    pemberian antipsikosis. Obat tersebut akan bekerja bila dipakai dengan benar tetapi banyak

    dijumpai pasien skizofrenia tidak menggunakan obat mereka secara rutin. Kira-kira 7%

    orang-orang yang diberi resep obat-obat antipsikotik menolak memakainya (Hoge, 1990).

    Penelitian tentang prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian besar penderita

    skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sebuah studifollow -up sebagai contoh

    menemukan bahwa selama kurun waktu dua tahun, tiga diantara empat pasien yang diteliti

    menolak memakai obat antipsikotiknya selama paling tidak seminggu (Durand, 2007).

    Adapun berbagai faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan, antara lain :

    3.1. Penyakit

  • 31

    Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada

    ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk

    bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh adanya

    kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada pasien lain.

    Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia telah menunjukkan suatu

    kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung menjadi putus asa dengan program

    terapi yang lama dan tidak menghasilkan kesembuhan kondisi. Apabila seorang

    pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi dihentikan sebelum waktunya,

    ia akan lebih memperhatikan menggunakan obatnya dengan benar. Beberapa studi

    menunjukkan adanya suatu korelasi antara keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat

    dianggap bahwa pasien ini akan patuh dengan regimen terapi mereka. Hubungan

    antara tingkat ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih

    baik, serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi

    kepatuhan pada kebanyakan pasien.

    Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang

    kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan

    keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah

    penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit

    penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai

    penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan

    dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka

    pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan.

    Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam hubungannya

    terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk

    mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien

    terhadap pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan

    dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif.

    3.2. Regimen Terapi

    3.2.1. Terapi Multi Obat

  • 32

    Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien,

    semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis tertentu untuk

    obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan penampilan (misalnya,

    ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan

    yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.

    3.2.2. Frekuensi Pemberian

    Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan lebih

    mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan terganggu untuk

    pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah atau

    malu berbuat demikian. Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga

    perlu diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar

    mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu regimen dosis

    yang sederhana dan menyenangkan.

    3.2.3. Durasi dan Terapi

    Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar,

    apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko yang lebih

    besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang mempunyai

    penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak berhubungan

    dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan. Ketaatan pada

    pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang

    berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi instruksi yang jelas, pemantauan

    sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk bila menggunakan obat, dan diskusi

    kelompok.

    3.2.4. Efek Merugikan

    Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan

    menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak

    merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin

    mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk meminimalkan efek

  • 33

    merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat ditiadakan dan manfaat

    yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko. Penurunan mutu

    kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang hebat, mungkin begitu penting

    bagi beberapa individu sehingga mereka tidak patuh dengan suatu regimen. Kemampuan

    beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu

    alasan untuk ketidakpatuhan oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan

    antihipertensi. Bahkan, suatu peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat

    terjadi pada beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi.

    3.2.5. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda

    Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak

    mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana manfaat

    terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan berbasis

    profilaksis. Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik setelah menggunakan obat dan

    merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Situasi

    sering terjadi ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya ketika

    menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik, setelah ia merasa bahwa

    infeksi telah terkendali. Praktik ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali

    infeksi dan pasien wajib diberi nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi

    antibiotik.

  • 34

    KESIMPULAN

    Kelompok kami menyimpulkan bahwa diagnosis dari Nn. Connie adalah Shizophrenia karena

    dilihat dari gangguan jiwa yang diderita Nn. Connie sudah lebih dari 6 bulan dan adanya waham

    dan halusinasi auditorik dan adanya riwayat keluarga dimana bibi dari ibu pasien menderita hal

    yang hampir sama . Sehingga dengan penatalaksaan yang tepat diharapkan kamampuan psikis

    pasien dapat dikembalikan seoptimal mungkin sehingga hendaya dalam menjalani realita dalam

    kehidupan sehari-hari dapat dikurangi dan Ny. Connie dapat menjadi manusia optimal secara

    psikis kembali.

  • 35

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Sadock BJ, Sadock VA. In: Grebb JA, Pataki CS, Sussman N, editors. Kaplan &

    Sadocks Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed.

    Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007; p.232-7.

    2. Fauci SA, Kasper LD, Longo LD, Braunwald E, et al. Harrisons Principles of Internal

    Medicine 17th Edition: chapter 16 - Schizophrenia, p.2721-3. McGraw Hill, New York: 2008.

    3. Schizophrenia. Available at http://www.news-medical.net/health/Schizophrenia.aspx.

    accessed at May 4, 2013.

    4. Boeree CG. The Emotional Nervous System. Available at

    http://webspace.ship.edu/cgboer/limbicsystem.html. accessed at May 4, 2013.

  • 36