KEBAHAGIAAN MENURUT PANDANGAN SUFISTIK SYED...
Transcript of KEBAHAGIAAN MENURUT PANDANGAN SUFISTIK SYED...
KEBAHAGIAAN MENURUT PANDANGAN SUFISTIK
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
MELI MULYAHATI
NIM: 1111033100058
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
i
KEBAHAGIAAN MENURUT PANDANGAN SUFISTIK
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
MELI MULYAHATI
NIM: 1111033100058
Pembimbing:
Drs. Nanang Tahqiq, MA.
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
ii
Lembar Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi yang berjudul ‗Kebahagiaan Menurut Pandangan Sufistik Syed
Muhammad Naquib al-Attas‘ telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Juli 2018.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana program starta satu (S1) pada program studi Aqidah dan Falsafah Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 31 Juli 2018
Sidang Munaqasyah:
Ketua Merangkap Anggota: Sekretaris Merangkap Angota:
Dra. Tien Rahmatin, MA. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA.
NIP: 1968808031994032002 NIP: 197804242015031
Anggota:
Penguji 1: Penguji 2:
Dr. Kusen, Ph. D Dra. Tien Rahmatin, MA.
NIP: 1968808031994032002
Pembimbing:
Drs. Nanang Tahqiq, MA.
NIP. 196602011991031001
iii
Lembar Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku
3. Skripsi ini sudah diajukan dalam Munaqasyah dan telah direvisi
sebagaimana arahan dari penguji dan pembimbing
4. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku.
iv
Pedoman Transliterasi
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‗ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
, , ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā أ
ī ī إى
ū ū أو
v
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kebahagiaan Menurut Pandangan
Sufistik Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia dikenal sebagai seorang intelektual
Muslim yang memiliki kecenderunga pemikiran sufistik dalam berbagai karyanya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
mendeskripsikan secara terperinci setiap masalah yang dikemukakan, lalu
menganalisisnya sehingga memperoleh pemahaman yang komprehensif. Adapun
teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah library research yaitu
dengan menggunakan sumber primer karya al-Attas yaitu Prolegomena to the
Metaphysics of Islam. Sumber sekunder yaitu buku, artikel dan karya lainnya yang
memiliki relevansi dengan penelitian ini.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut. Pertama,
pandangan al-Attas tentang kebahagiaan merupakan bentuk sanggahan atas
pandangan hidup Barat yang menegasikan kebahagiaan spiritual dalam
kehiduapan sehari-hari. Kedua, Menurut al-Attas, kebahagiaan bukan hanya
bersifat fisik saja, tetapi juga non-fisik. Kebahagiaan non-fisik yang dimaksud
adalah kebahagiaan spiritual yang bersifat kekal. Ketiga, Pandangan al-Attas
tentang kebahagiaan lebih bersifat sufistik, yaitu dengan penekanan pada aktivitas
hati (qalb). Keempat, Kebahagiaan yang sebenarnya menurut al-Attas adalah
ketika seorang individu mendapatkan cinta Tuhan (maḥabbatullāh) dan mengenal
Tuhan (ma‘rifatullāh).
Kata Kunci: Al-Attas, Kebahagiaan, Spiritual, cinta Tuhan (maḥabbatullāh).
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمه الرحيم
Assalāmu‘alaykum waraḥmatullāh wabarakātuh.
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang
telah memberikan banyak nikmat. Salawat dan Salam tetap terlimpahkan kepada
Nabi Muhammad Saw, sahabatnya, keluarganya, dan orang Islam semuanya.
Penulis sadari bahwa terselesainya skripsi dengan judul ‗Kebahagiaan
Menurut Pandangan Sufistik Syed Muhammad Naquib al-Attas‘, banyak dibantu
oleh beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
Segenap dosen dan sivitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya kepada Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku
Dekan. Atas izin dari beliau, penulis dapat belajar di Fakultas ini sampai akhirnya
lulus.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Dra. Tien Rahmatin, MA.
selaku ketua Jurusan Aqidah dan Falsafat Islam, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan program strata satu (S1).
Penulis juga sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing
skripsi ini Drs. Nanang Tahqiq, MA. yang dengat sangat teliti membaca naskah
skripsi ini sampai akhir. Pengajaran yang diajarkan beliau pada setiap pertemuan
di kelas, akan selalu penulis kenang.
Kepada seluruh keluarga Aqidah dan Falsafat Islam angkatan 2011 Fakultas
Ushuluddin yang selalu mendorong penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.
Tidak ada kata lain yang patut penulis sampaikan kecuali terima kasih banyak
vii
kepada semuanya. Kepada segenap teman-teman yang membantu dalam
penyelesaian skripsi ini penulis ucapkan terima kasih juga.
Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada orang tua penulis dan
keluarga yang selalu mendoakan supaya penulis sukses dalam belajar dan karir.
Semoga Allah memberikan pahala yang setimpal kepada kalian semua.
Terima kasih pula penulis ucapkan kepada suami yang dengan ketulusan
cinta yang diberikan kepada penulis menjadi energi untuk cepat menyelesaikan
skripsi ini.
Kepada seluruh orang yang terlibat dalam penulisan skrpisi ini yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu, penulis ucapkan banyak terima kasih. Semoga
Allah yang akan membalas segala perbuatan baik kalian.
Wassalāmu‘alaykum waraḥmatullāh wabarakātuh.
Ciputat, 27 Juli 2018,
Meli Mulyahati
viii
DAFTAR ISI
Judul Skripsi
Persetujuan Pembimbing i
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ii
Lembar Pernyataan iii
Pedoman Transliterasi iv
Abstrak v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4
D. Tinjauan Pustaka 5
E. Metodologi Penelitian 7
F. Sistematika Penulisan 8
BAB II BIOGRAFI S.M.N.AL-ATTAS DAN PEMIKIRAN
SUFISTIKNYA
A. Biografi Intelektual 10
B. Karya-Karya al-Attas 16
C. Landasan Pemikiran Sufistik al-Attas 18
BAB III DIMENSI TEORI KEBAHAGIAAN
A. Definisi Kebahagiaan 26
B. Kebahagiaan Menurut al-Qur‘an 30
C. Kebahagiaan Menurut Filsafat 34
D. Kebahagiaan Menurut Tasawuf 39
BAB IV KEBAHAGIAAN MENURUT S.M.N.AL-ATTAS
A. Manusia dan Hakikat Kebahagiaan 44
B. Kebahagiaan dan Moralitas: Kritik Atas Pandangan
Barat
48
C. Kebahagiaan Menurut Pandangan Sufistik al-Attas 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 57
B. Rekomendasi 58
DAFTAR PUSTAKA 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya tujuan semua manusia yang dilahirkan ke alam dunia ini
secara naluri alamiahnya pasti tidak mengelakkan untuk dapat mencapai
kehidupan yang bahagia. Hal ini tidak hanya sebatas penekanan tetapi juga
strategi yang jitu pada jiwa manusia yang dilahirkan. Syed Muhammad Naquib
Al-Attas mengingatkan bahwa penekanan pada individu mengimplikasikan
pengetahuan akal, nilai, jiwa, tujuan, dan maksud yang sebenarnya dari kehidupan
ini. Sebab akal, nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu.1
Al-Attas adalah salah seorang intelektual yang melihat ruh manusia terdiri
dari jiwa hewani (al-nafs al-ḥayawāniyyah) dan jiwa rasional (al-nafs al-
nāṭiqah).2 Kemudian memberikan jawabannya terhadap bagaimana manusia ini
dapat mencapai kehidupan yang ideal atau kehidupan yang bahagia dari
pengalaman kehidupannya. Manusia menurut Al-Attas memiliki kesiapan untuk
menerima ilmu pengetahuan yang benar, yaitu menekankan pentingnya perolehan
pengetahuan yang didapatkan dari pandangan alam Islami (Islamic World View).
Al-Attas menawarkan al-Sa‘ādah (kebahagiaan) sebagai pencapaian dari
pengalaman kehidupan manusia.3
Menurut Al-Attas, kedudukan manusia tidak hanya sebagai subyek, tetapi
juga obyek dari ilmu pengetahuan. Sebab, cara mendidik yang benar harus
1 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy, (Bandung; Pustaka, 2003), h. 94. 2 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 94.
3 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001), h. 91.
2
mempertimbangkan pelatihan fisik dan moralitas. Di samping hal-hal yang
memungkinkan manusia untuk mengembangkan dirinya. Dengan kata lain dari
pencapaian kebahagiaan inilah yang menentukan faktor kebahagiaan manusia
yang beragam, dikarenakan manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang
memiliki potensi untuk dapat berkembang ke arah yang positif sekaligus ke arah
yang negatif. Potensi-potensi pada diri manusia ini merupakan modal dasar dalam
mengekspresikan kebahagiaan yang sesuai dengan world view Islam dalam
memberikan petunjuk kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan yang sejati.4
Pada hubungan kebahagiaan dengan diri sendiri, yang kita katakan
menyentuh pada pengetahuan dan karakter yang baik, Islam mengajarkan bahwa
tempat bersemayamnya pengetahuan pada manusia adalah sebuah substansi
spiritual yang secara beragam ditunjuk Qur‘an sebagai hati (qalb), atau jiwa atau
diri (nafs), atau intelek (‘aql) atau ruh.5
Menurut tradisi pemikiran Barat ada dua konsepsi kebahagiaan: yang kuno,
yang kembali pada Aristoteles dan yang pada abad pertengahan kembali pada
filsuf dan teolog Muslim seperti Ibn Sīnā Sina dan al-Ghazālī; dan yang modern
yang secara bertahap muncul dalam sejarah Barat sebagai hasil dari sekularisasi.
Proses filosofis dan saintifik ini yang kemudian al-Attas sebut dari ‗sekularisasi‘,
melibatkan penghilangan makna spiritual dari dunia alamiah, desakralisasi politik
dari urusan manusia, dan dekonsentrasi nilai dari pikiran dan prilaku manusia,
kedua yang terakhir disebutkan tersebut adalah akibat logis dari yang pertama,
yang menurut pendapat al-Attas menemukan pergerakan awalnya dalam
4 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 82.
5 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 83.
3
pengalaman dan kesadaran manusia Barat dalam fondasi filosofis yang dipimpin
peletakkannya oleh Aristoteles sendiri.6
Konsepsi modern tentang kebahagiaanlah yang diakui lazim kini di Barat,
dan ini berarti bagi peradaban tersebut makna kebahagiaan dan tentunya kebajikan
yang memimpin padanya, telah mengalami perubahan, membawa dengannya
bukan hanya dekadensi dan krisis moral, tetapi juga pertikaian dan konflik politik.
Konsepsi yang kuno dan modern sepakat bahwa kebahagiaan itu akhir pada
dirinya (end in it self), tetapi yang sementara yang terdahulu menganggap akhir
tersebut dalam pengertian standar perilaku yang pantas, yang kemudian
menganggap sebagai terminal kondisi psikologis yang tidak memiliki hubungan
dengan kode moral.7
Kebahagiaan tidak menunjuk kepada keseluruhan fisik pada manusia, tidak
kepada jiwa dan raga hewani manusia, atau bukan pula suatu keadaan pikiran,
menurut al-Attas ‗kebahagiaan‘ itu harus bertalian dengan keyakinan kebenaran
terakhir dan pemenuhan dari perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan keyakinan
tersebut. Dan keyakinan adalah suatu kondisi permanen yang menunjuk kepada
apa yang permanen pada manusia dan yang dilihat oleh organ spiritual yang
dikenal sebagai hati (al-qalb, kalbu). Ini adalah kedamaian, keamanan, dan
ketenangan hati. Ini adalah pengetahuan dan pengetahuan adalah kepercayaan
sejati, dan mengetahui tempat seseorang yang berhak dan oleh karena itu layak
dalam kerajaan ciptaan-Nya dan hubungan seseorang yang layak dengan Sang
6 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka
Perpustakaan Salman ITB, 1981), h. 102. 7 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 83.
4
Maha Pencipta. Ini suatu kondisi yang dikenal sebagai adil (al-‘adl) atau
keadilan.8
Dengan demikian penjelasan makna dalam pengalaman kebahagiaan di
kehidupan ini bukan akhir pada dirinya, menurut al-Attas bahwa akhir dari
kebahagiaan dalam Islam adalah Cinta Tuhan.9
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penulis membatasi karya akademik ini pada pembahasan mengenai konsep
manusia, dan konsep kebahagiaan menurut Syed Naquib Al-Attas, dan fokusnya
karya akademik ini hanya pada tokoh Syed Naquib Al-Attas. Adapun rumusan
masalah dapam penelitian ini adalah
Bagaimana pandangan kebahagiaan menurut Syed Muhammad Naquib al-
Attas?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hubungan antara manusia dengan kebahagiaan.
2. Untuk mengetahui pendapat para tokoh filosof Islam dan Barat tentang
Manusia dan Kebahagiaan.
3. Untuk mengetahui Konsep Kebahagiaan Syed Naquib Al-Attas.
8 Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 103.
9 Al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, h. 91.
5
Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi manfaat akademis dan
manfaat praktis. Manfaat Akademis mencakup: (a), agar dapat memberikan
kesadaran kepada pelajar khususnya warga negara umumnya untuk dapat memilih
jalan hidupnya dengan bahagia yang sesungguhnya bukan hanya kesenangan dan
kesia-siaan semata. (b), sebagai wahana untuk mengembangkan khazanah
pemikiran dalam islam bagi peneliti. (c), menambah literatur atau bahan-bahan
informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian
selanjutnya.
Sedangkan manfaat praktis dalam penelitian ini adalah: (a), hasil penelitian
ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis, khususnya
mengenai konsep pemahaman tentang manusia dan kebahagiaannya menurut Syed
Naquib Al-Attas. (b), untuk memberikan masukan bagi masyarakat luas
pentingnya manusia dalam pencapaian kebahagiaannya dalam perspektif islam
menurut Syed Naquib Al-Attas. (c), untuk mengembangkan khazanah pemikiran
tentang konsep manusia dan kebahagiaannya dalam perspektif islam menurut
Syed Naquib Al-Attas.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai pemikiran Al-Attas bukanlah sesuatu yang baru dalam
dunia akademik. Penelitian yang mengambil buah pemikirannya dan beberapa
tema yang menuliskan karakteristik pemikirannya juga bervariasi banyak. Dalam
dunia akademik, beberapa karya mengkaji beberapa buah pemikirannya baik
dalam bentuk skripsi maupun disertasi.
6
Di kalangan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah sendiri telah ada
yang menulis buah pemikiran Al-Attas, yaitu:
1. Yudi Septawardana, Sarjana Pendidikan Islam 2006. Dalam skripsinya
yang berjudul Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer dalam
Perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Yudi membahas Islamisasi
Ilmu Pengetahuan yang akan membebaskan akal manusia dari keraguan
menuju keyakinan akan kebenaran mengenai relaitas spiritual, intelijibel
dan materi.
2. Islam dan Sekularisme: Telaah Pemikiran Syed Naquib Al-Attas disusun
oleh Irwansyah, Sarjana pemikiran Politik Islam tahun 2009. Skripsi ini
membahas pengaruh buruk sekularisme pada jiwa individu muslim.
3. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Studi Pemikiran Pendidikan Syed
Naquib Al-Attas, disusun oleh Abdul Ghofur, Sarjana Pendidikan Agama
Islam 2009. Skripsi ini membahas tentang Islamisasi Ilmu untuk
melindungi orang islam dari ilmu yang sudah tercemar yang
menyesatkan.
4. Konsep Manusia dan Pendidikan Islam, Studi Pemikiran Syed Naquib
Al-attas, disusun oleh Arsyad, sarjana Theologi Islam 2013, skripsi ini
memebahas tentang konsep manusia yang baik dalam mencapai ilmu dan
kepribadian yang beradab melalui pendidikan islam.
5. Pandangan Syed Naquib Al-Attas mengenai Islamisasi di Kepulauan
Melayu Nusantara, disusun oleh Mulyadi, Sarjana Theologi Islam 2013,
7
skripsi ini membahas tentang Islamisasi di Kepulauan Melayu
Nusantara.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dalam artian
berdasarkan data yang di dapat dari sumber-sumber data penelitian yang bersifat
kualitatif.
a. Sumber data penelitian
Adapun sumber data penelitian karya akademik yang akan penulis buat ini
adalah sesuai dalam teknik pengumpulan data, yakni studi kepustakaan. Maka
sumber-sumber yang penulis gunakan adalah buku-buku yang memuat tentang
Syed Naquib Al-Attas. Sebagai sumber primer, Syed Naquib Al-Attas sendiri
yang terdokumentasikan, antara lain; Prolegomena to The Metaphysics of Islam,
Islam dan Sekularisme; Konsep Pendidikan dalam Islam. Adapun dari sumber
sekundernya yang ada hubungannya dengan judul skripsi, antara lain: Wan
Mohammad Nor Wan Daud, Filsafat dan Pendididkan Islam. Gerbang kearifan
karya Mulyadi Kartanegara. Manusia dan Alam Semesta Murtadha Muthahhari.
b. Teknik pengumpulan data
Karena penelitian ini termasuk penelitian library research, maka teknik
pengumpulan data dilakukan di sebagian besar perpustakaan, baik Perpustakaan
Utama UIN Jakarta, perpustakaan Fakultas Ushuluddin, atau perpustakaan lain
yang menyediakan literatur atau referensi yang berkaitan dengan tema yang
8
diangkat pada penelitian ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan
penelitian ini dikumpulkan dan diklasifikasi berdasarkan relevansi terhadap
pembahasan penelitian ini. Setelah semua buku telah diklasifikasikan maka
langkah selanjutnya adalah dibaca dan diteliti, dan pada akhirnya dimasukkan
pada pembahasan penelitian yang diangkat.
c. Teknik Analisa Data
Adapun teknik analisa data yang dilakukan penulis adalah metode deskriptif
analitis yakni metode dalam bentuk deskriptif agar penulis mampu memahami dan
memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan
skripsi ini. Dan metode analitis digunakan agar penyusunan skripsi lebih
sistematis sehingga lebih mengena pada permasalahan yang dibahas dalam skripsi
ini. Dengan demikian mencatat informasi yang faktual yang menggambarkan
sesuatu apa adanya juga menggambarkan secara rinci dan akurat mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan segala bentuk yang diteliti.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun ke dalam lima bab. Bab 1 akan membahas
tentang latar belakang penelitian yang berisi masalah-masalah penelitian yang
akan dibahas. Selanjutnya akan dibahas tentang batasan dan rumusan masalah
yang akan dijawab dalam penelitian. Tidak lupa juga di dalam bab 1 ini akan
menyebutkan tinjauan pustaka dan metodologi yang akan digunakan dalam
penelitian.
9
Bab 2 akan membahas tentang riwayat hidup Syed Muhammad Naquib al-
Attas. Bab ini akan berisi tentang kehidupannya dari mulai tinggal di Bogor
Indonesia sampai pindah ke negeri jiran Malaysia. Di dalam bab ini juga akan
disebutkan beberapa karya-karya yang dihasilkan olehnya.
Bab 3 akan membahas tentang definisi dan konsep kebahagiaan secara
umum. Kemudian dilanjutkan pada definisi kebahagiaan yang akan dikemukakan
dalam al-Qur‘an, menurut kalangan falsafuf, dan menurut kalangan sufi. Bab ini
akan menggambarkan perbedatan kebahagiaan menurut berbagai kalangan sebagai
landasan teoritis dalam menyusun penelitian ini.
Pada bab 4 akan membahas tentang pandangan al-Attas tentang
kebahagiaan. Pandangan kebahagiaannya tidak akan terlepas dari pandangan
hidupnya dan sistem berpikirnya yang sangat menekankan pada filsafat Islam
khususnya pada tataran epistemologi Islam. Pada bab ini pula akan dikemukakan
tentang analisis kebahagiaan menurut al-Attas.
Sedangkan penutup dalam penelitian ini akan tersaji dalam bab 5. Bab ini
berisi tentang jawaban permasalahan yang dikumukakan dalam bab 1 yaitu
tentang pandangan al-Attas tentang kebahagiaan. Tidak lupa dalam bab ini akan
menyajikan saran dan rekomendasi terkait dengan penelitian yang masih
memungkinkan dibahas oleh para pengkaji dalam pemikiran al-Attas selanjutnya.
10
BAB II
BIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
DAN LANDASAN PEMIKIRAN SUFISTIKNYA
A. Biografi Intelektual
Al-Attas merupakan salah satu intelektual terkemuka di wilayah Melayu
Nusantara yang memiliki keahlian keilmuan yang kompleks. Darah intelektualnya
berasal dari garis keturunan yang berasal dari kedua orang tuanya yaitu Syed Ali
bin Abdillah al-Attas dan Syarifah Raquan al-‗Aydrus. Intelektual Muslim yang
kini berdomisili di negeri jiran Malaysia ini lahir di Bogor pada tanggal 5
September 1931. Ia mempunyai nama lengkap Syed Muhammad Naquib bin Ali
bin Abdillah bin Muhsin al-Attas.1 Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakak kandung al-Attas merupakan seorang intelektual terkenal dengan
spesifikasi keahlian dibidang sosiologi yang bernama Syed Hussein al-Attas.
Sedangkan adiknya bernama Syed Zaid al-Attas, seorang intelektual di bidang
Kimia.2
Al-Attas, jika dilihat dari silsilah orang tuanya, merupakan keturunan ke-37
dari Imam Husein, cucu Nabi Muhammad Saw. Penyematan nama Syed (baca:
sayyid) merupakan indikasi kuat bahwa ia merupakan keturunan Nabi Muhammad
Saw. yaitu melalui silsilah keluarga sayyid Ba‘Alawi di Hadramaut.3 Melalui jalur
keturunan inilah, menjadikan al-Attas bukan berasal dari keluarga biasa. Karena
1 Wan Moh Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasy (Bandung: Mizan, 2003), h. 123. 2 Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Pemkiran Prof. Dr. Syed
Muhammad al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 9. 3 Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 132.
11
di antara leluhur al-Attas ada yang menjadi wali, ulama dan ilmuan. Salah satu
dari mereka adalah Syed Muhammad al-Aydrus (Dari pihak ibu). Beliau
merupakan guru dan pembimbing Syed Abū Ḥafs ‗Umar bin Syaiban dari
Ahdramaut, yang kemudian membawa Nūr al-Dīn al-Rānīrī menjadi seorang
ulama terkemuka di dunia Melayu-Nusantara. Selain itu, terdapat Syed Abdullah
bin Muhsin bin Muhamma al-Attas (dari pihak bapak) adalah seorang wali dari
tanah Jawa. Ia sangat berpengaruh sampai di dunia Arab. Salah seirang muridnya,
Syed Hsan Fad‘ak adalah seorang penasihat agama kepada Amir Faisal (saudara
Raja Abdullah dari Jordan). Leluhurnya juga ada yang berdarah aristokrat, yaitu
Ruqatah Hanum (dari pihak bapak). Ruqayah menikah dengan Syed Abdullah al-
Attas dan dikaruniakan seorang anak, Syed Ali al-Attas, yaitu bapak dari al-Attas
sendiri.4
Transmisi keilmuan yang didapatkan al-Attas diawali dengan bimbingan
intensif dari orang tuanya. Ketika berusia 5 tahun, al-Attas diajak orang tuanya
migrasi ke Malaysia. Di Malaysia, al-Attas masuk pendidikan dasar Ngee Heng
Primary School (1936-1941) sampai usia 10 tahun. Pada pertengahan abad 20 M.
kondisi Malaysia memburuk karena dikasai tentara Jepang. Hal ini mengakibatkan
al-Attas dan keluarganya pindah kembali ke Indonesia. Di Indonesia, ia
melanjutkan pendidikannya di daerah Sukabumi di sekolah Urwah al-Wusqa
(1941-1945).5 Daerah Sukabumi merupakan salah satu daerah yang di dalamnya
berkembang cukup pesat tradisi tarekat, khususnya taarekat Naqsyabandiyyah.
4 Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 46.
5 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 116-117.
12
Kondisi ini tampaknya memengaruhi minat intelektual al-Attas pada kemudian
hari untuk mendalami khazanah intelektual Islam lebih massif.
Pada tahun 1946, pasca Perang Dunia II, al-Attas kembali ke Johor untuk
merampungkan pendidikannya kembali. Pertama di bukit Zahrah School,
kemudian English College (1946-1951). Pada saat itu, ia tinggal dengan salah
seorang pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz bin Ungku Abdil Majid,
salah satu keponakan Sultan dan pada kemudian hari menjadi Kepala Menteri
Johor Modern.6 Ungku Abdul Aziz merupakan salah seorang kolektor manuskrip
sehingga ia mempunyai perpustakaan khusus yang menyimpang naskah-naskah
Melayu.
Al-Attas, sedikit banyak juga terpengaruh oleh koleksi dan bacaan literatur
yang dimiliki Ungku Abdul Aziz. Bahkan ia menghabiskan masa mudanya
dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra dan agama
serta buku-buku klasik Barat dalam bahasa Inggris. Di antaranya manuskrip
tersebut adalah al-Ahadiyyah atau terkenal dengan nama Risalah al-Ajwibah.
Karya ini disebut-sebut sebagai karya faylasuf besar asal andalusia, Muḥy al-Dīn
Ibn ‗Arabī atau ada pula yang mengatakan karya dari muridnya, Abdullah al-
Baylānī. Selain itu, al-Attas juga banyak membaca kitab yang pernah menjadi
kitab rujukan ulama Nusantara dalam masalah Wujudiyyah yaitu al-Tuḥfah al-
Mursalah ilā Rūḥ al-Nabī karya Faḍl Allāh al-Buhanpūrī.7
Pada tahun 1951, al-Attas masuk di Dinas Tentara sebagai perwira kadet
dengan nomor 6675 dalam askar Melayu-Inggris. Setahun kemudian, ia diikutkan
6 Mohammad Fahrur Rozi, ‗Pendidikan Islam dalam Perspektiif Syed Muhammad Naquib
al-Attas‘, dalam Tadris, Vol. 5, no. 2, 2010, h. 227-228. 7 Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 47.
13
latihan kemiliteran sehingga ia menjadi Letnan di Royal Militery Academy,
Sandhurst, Inggris. Selain mengikuti pendidikan militer, al-Attas juga sering pergi
ke negara-negara Eropa lainnya terutama Spanyol dan Afrika Utara untuk
mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan tradisi intelektual, seni dan
gaya bangunan keislamannya. Di Sandhurst, al-Attas berkenakan berkenalan
untuk pertama kali dengan pandangan metafisika tasawuf, terutama melalui karya-
karya sufistik ‗Abd al-Raḥmān Jāmi‗.8
Pasca dari Sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor di resimen
tentara kerajaan Malaya. Namun karena merasa bukan dalam bidangnya kemudian
ia keluar dan melanjutkan sekolah di University Malaya pada Fakultas Kajian
Ilmu-Ilmu Sosial. Merasa tidak puas dengan ilmu yang didapat dari University
Malaya, ia kemudian melanjutkan lagi di Institute of Islamic Studies University
Mc.Gill, Montreal, Kanada sampa mendapat gelar Master of Art (MA) pada tahun
1962.9
Ketika mengambil program S! di Unibersittas Malaya, al-Attas telah
menulis dua buku. Buku pertama adalah Rangkaian Ruba’iyyat. buku ini termasuk
di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka
Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang menjadi
karya klasik adalah Some Aspect of Sufism as Understood anad Practiced Among
the Malays, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada
tahun 1963. Untuk memeroleh bahan-bahan yang diperlukan dalam menulis buku
kedua ini, ia berkeliling ke seantero Malaysia dengan menjumpai tokoh-tokoh
8 Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 48.
9 Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 10-11.
14
penting sufi agar bisa mengetahui ajaran dan praktek tasawuf mereka. Keseriusan
al-Attas dalam menghasilkan karya mendapat apresiasi dari pemerintah Kanada
melalui Canada Counsel Fellowship memberinya beasiswa untuk belajar di
Institute of Islamic Studies, University McGill, Montreal, Kanada yang didirikan
oleh Wilfred Cantwell Smith. Di Universitas inilah ia berkenalan dengan beberapa
orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman
(Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed Hossein Nasr (Iran).10
Pada tahun 1963, al-Attas didorong beberapa tokoh seperti A.J. Arberry,
Montimer Wheeler, dan Richard Winsted dan pimpinan Royal Asiatic Society
serta melalui sponsor Sir Richard of Oriental and African Studies, ia melanjutkan
kuliah lagi di SOAS (School of Oriental and African Studies) University of
London, hingga mendapat gelar Philosophy Doctor (Ph.D) dengan predikat
Culmaude dalam bidang Filsafat Islam dan Kesustateraan Melayu Islam pada
tahun 1965 dengan judul disertasi The Mysticism Hamzah Fansuri.11
Di sini ia
belajar dibawah bimbingan Prof. Arberry dan Dr. Martin Lings. Tokoh yang
tersebut terakhir merupaja irang yang bepengaruh besar atas pemikiran al-Attas,
walaupun hanya sebatas tataran metodologis. Salah satu pengaruh yang besar
dalam diri al-Attas adalam asumsi yang menyatakan bahwa terdapat integritas
antara realitas metafisis, kosmologi dan psikologi. 12
Pasca memeroleh gelar Doktor, al-Attas langsung diangkat menjadi Ketua
jurusan Sastera di Fakultas Kajian Melayu University Malaya, Kuala Lumpur.
Pada tahun 1968-1970, ia menjabat sebagai Ketua Departemen Kesusastraan
10
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 49. 11
Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 10-11. 12
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 50.
15
dalam Pengajian Melayu. Ia juga tercatat sebagai salah satu pendiri University
Kebangsaan Malaysia pada tahun 1970. Kemudian pada tahun 1970-1973, ia
menjabar sebagai Dekan di Fakultas Sastra dan dikukuhkan sebagai guru besar
(profesor) bahasa Kesustateraan Melayu.13
Al-Attas merupakan pakar yang menguasai berbagai bidang seperti teologi,
filsafat, metafisika, sejarah dan sastra yang telah diakui dunia Internasional. Ia
diangkat sebagai anggota pada berbagai badan ilmiah Internasional lainnya seperti
Member of International Congress of Medival Philosophy, Member of
International Congress of the VII Centanary of St. Bonaventura da Bognaregia,
Member Malaysia Delegate International Congress on Millinary of al-Biruni, dan
berbagai anggota prestisus lainnya. Ia juga dikenal sebagai penyair dan seniman
dalam bidang seni kaligrafi, pahat dan mahir dalam berbagai bahasa dunia seperti
bahasa Arab, Inggris, Latin, Jerman, Spanyol, dan tentu dalam bahasa Melayu.14
Pada tahun 1999, al-Attas dilantik sebagai mentri pendidikan Malaysia dan
menjadi presiden di Universitas Islam International Malaysia sebagai profesor
dalam bidang pPemikiran dan Tamaddun Islam. Konsep Universitas yang
didirikan oleh al-Attas terdapat pengajaran dasar-dasar Islam dan bahasa Arab
yang diharapkan mahasiswa dapat menyaring konsep yang tidak Islami sehingga
Islamisasi terjadi dalam diri mahasiswa. Ia juga diangkat sebagai direktur The
International Institute of Islamic Thought and Civilizaton (ISTAC) Malaysia.15
B. Karya-Karya al-Attas
13
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 50. 14
Ainurrofiq Dawam, ‗Kritik Atas Epistemologi Modern (Upaya Islamisasi Ala Naquib al-
Attas)‘,dalam Jurnal Studi Islam Mukaddimah, no. 14, November 2003, h. 101. 15
Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 15.
16
Al-Attas merupakan pemikir Islam yang termasuk produktif dalam
menghasilkan karya. Tercatat tidak kurang dari 26 buku telah dikarangnya yang
ditulis dalam bahasa Inggris dan Melayu. Pada umumnya karya yang dihasilkan
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu karya-karya kesarjanaan dan
karya-karya pemiiran. Pada bagian pertama, al-Attas dapat digambarkan sebagai
seorang ahli atau sarjana (scholar). Hal ini dapat dibuktikan dengan karya-
karyanya yang berkaitan dengan kebudayaan Melayu dan Nusantara khususnya
mengenai mistisisme. Sementara pada bagian kedua, ia digambarkan sebagai
seorang pemikir sejati. Di antara karya-karyanya yang termasuk dalam kategori
atau bagian pertama adalah:16
1. Rangkaian Ruba’iyyat, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur,
1959.
2. Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, Monographh of the
Royal Asiatic Society. Malaysian Branch no. 111, Singapore, 1966.
3. Some Aspects of Sufism as Understood anad Praticed Among the
Malays.Malaysia Sociological esearch Institute, 1963.
4. The Origin of the Malay Sha’ir. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kulaa
Lumpur, 1968.
5. Pleriminary Statement on a General Theory of the Islamization of the
Malay-Indonesia Archipelago. Dewan Bahasa, Kuala Lumpur, 1969.
6. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur, University Malaya
Press, 1969.
16
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 55.
17
7. Concluding Poscript to the Malay Shair. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa,
1971.17
Adapun karya yang berkenaan dengan gagasan atau pemikiran banyak
membicarakan tentang konsep, terutama konsep pendidikan, filsafat dan
Islamisasi ilmu. Berikut di antara karya-karya yang termasuk pada kategori atau
bagian kedua:18
1. Islam: the Concept of Religon and the Foundation of Ethic and Morality.
Kuala Lumpur: ABIM, 1976.
2. Premiminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and
Aims of Education. Kuala Lumpur: PMIM, 1977.19
3. The Concept of Education in Islam: A Frramework for an Islamic
Philosophy of Education, Kuala Lumpur: ABIM, 1980.
4. Islam and Secularism, Kuala Lumpur, ABIM, 1978.
5. The Intuition of Existance, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990.
6. The Degree of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1994.
7. Prolegomena of the Metaphysics of Islam: an Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam, ISTAC, Kuala Lumpur,
1995.
8. Islam and the Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989.
Di samping karya-karya yang berbentuk buku dan monograf, menurut
keterangan Wa Daud, al-Attas juga telah menyampaikan leih dari 400 makalah
17
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 302. 18
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 56-57. 19
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 303.
18
ilmiah di berbagai neggara, baik di Barat maupun di negara-negara Islam. Selain
itu, ia juga aktif menulis berbagai artikel dalam jurnal-jurnal internasional.20
C. Landasan Pemikiran Sufistik al-Attas
Pada dasarnya landasan pemikiran sufistik al-Attas berangkat dari
pandangan tentang epistemologi Islam dan modern yang dipahaminya. Dengan
pemahaman yang komprehensif dari kedua epistemologi yang berkembang di
dunia ini, maka akan didapatkan pandangan sufistik yang akan dikemukakan oleh
al-Attas dalam memahami arti dan hakikat kebahagiaan sebagaimana bahasan
dalam penelitian ini.
Epistemologi al-Attas dibangun atas dasar tradisi intelektual Islam yang
berkaitan erat dengan psikologi jiwa manusia. Karena dalam memeroleh ilmu
pengetahuan dalam Islam merupakan konsep spiritual yang tidak terlepas dari
kuasa ilahiah Tuhan. Epistemologi Islam sangat berbeda dengan epistemologi
Barat yang memandang aktivitas intelektual independen dari hal-hal yang bersifat
metafisik. Sebagai contoh, epistemologi kaum empiris yang mendominasi
cakrawala manusia Barat di dunia modern telah berhasil mereduksi realitas
menjadi semata-mata dunia yang dialami oleh indera eksternal, sehingga
membatasi makna realitas dan menghilangkan konsep realitas yang mencakup
Tuhan. Konsekuensi dari perubahan makna ini telah mereduksi Tuhan dan semua
20
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, h. 17-18.
19
alam spiritual dari being (yang ada) menjadi sesuatu yang abstrak dan pada
akhirnya unreal (tidak nyata).21
Al-Attas dalam membangun epistemologinya banyak mengadopsi
pandangan yang dikemukakan al-Ghazālī (w. 1111) terutama dalam Kitab
Ma‘āriḍ (yang diturunkan dari Kitab Syifā’ dan Najāt oleh Ibn Sina (w. 1037). Al-
Attas menjabarkan makna realitas dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan
secara mendetail dan komprehensif dalam karya-karyanya. Ia menjelaskan bahwa
jiwa manusia memiliki fakultas atau kekuatan-kekuatan (quwāh) yang
termanifestasi melalui hubungannya dengan tubuh. Jiwa mirip sebuah genus yang
terbagi menjadi tiga jiwa yang berbeda yaitu: al-nabātiyyah (jiwa vegetatif), al-
ḥayawāniyyah (jiwa hewani), dan al-insāniyyah (jiwa insani) atau al-nāṭiqah
(jiwa rasional).22
Al-Attas dalam pemikiran metafisika berangkat dari paham teologisnya
yang dikenal dalam tradisi Islam terutama pada tradisi tasawwuf. Ia memberikan
batasan yang jelas mengenai berbagai tingkatan para Sālik dalam dunia kesufian.
Ada tiga tingkatan yang ketiganya merupakan sebuah peringkat yang bersifat
hirarkis, yaitu: mubtadi‘, mutawassiṭ dan muntahī. Pada tingkatan tertinggi ini
Sālik memasuki dunia filsafat dan metafisika.23
Gradasi terakhir ini mewajibkan
Sālik memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam tentang tiga jenis pengetahuan,
yaitu ilmu kebijaksanaan Tuhan, ilmu-ilmu naqliyah atau syari‘ah, dan yang
terakhir ilmu-ilmu rasional. Dengan demikian tasawwuf yang dikemukakan al-
21
Abdur Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran
(Jakarta: Gema Insan Press, 1997), h. 65. 22
Abdur Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia, h. 67. 23
S.M.Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam: An Exposition of the
Fundamental Element of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), h. 167.
20
Attas lebih dikenal dengan sebutan tasawwuf falsafi dan tingkat pertama serta
kedua dikenal dengan tasawwuf akhlaqi.
Al-Attas berpendapat bahwa pencapaian tertinggi dalam tasawwuf
terkandung juga pengetahuan yakni ma‘rifah, maka seseorang yang sudah
mencapai tingkat muntahī adalah seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi
pula dalam bidang pengetahuan.24
Sesungguhnya pandangan wadat al-wujūd ini pertama kali diperkenalkan
oleh Muḥy al-Dīn ibn ‗Arabī (1165-1240). Menurut Ibn ‗Arabī sudah manjadi
kenyataan bahwa makhluk itu diciptakan dan berhajat kepada Khalik yang
menciptakannya, karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada dan
mungkin tidak ada). Karena itu eksistensinya tergantung pada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang lain sebagai tempat bergantung haruslah sesuatu yang secara
esensial mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tidak berhajat
kepada yang lain dalam eksistensinya. Bahkan benar secara esensial memberi
wujud kepada yang diciptakan. Dengan demikian, yang diciptakan mempunyai
sifat wajib tetapi sifat wajib itu bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada
dirinya sendiri. Dengan kata lain yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah
satu, yaitu Tuhan. Wujud selain Tuhan adalah wujud bayangan.25
Sejalan dengan itu upaya al-Attas dalam menghidupkan kembali tasawwuf
falsafi merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, krisis kebudayaan Barat dengan
paham sekularismenya berawal dari landasan filosofis yang tidak mengenal atau
24
terma ini diambil dari pemikiran tasawuf yang dikemukakan oleh Hamzah Fansuri.
Selengkapnya baca: Abbdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya
(Bandung: Mizan, 1995), h. 36. 25
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabī: Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 74.
21
menerima paradigma pemikiran alternatif (berlandaskan agama). Hal ini dapat
dilihat pada landasan epistemologi Barat yang hanya mengacu pada pendekatan
rasional-empiris-filosofis. Sedangkan, pemikiran Islam sebagai paradigma
alternatif yang cukup menjanjikan, bukan hanya rasional, empiris, dan filosofis
saja, tetapi juga meliputi yang intuitif, metafisis, dan filosofis.26
Epistemologi Islam menurut al-Attas menekankan pentingnya intuisi dalam
perolehan ilmu melalui proses iluminatif. Intuisi yang dijabarkan al-Attas berbeda
dengan intuisi yang didefinisikan kebanyakan pemikir-pemikir Barat yang hanya
menghubungkan intuisi dengan elemen-elemen inderawi seperti yang
dikembangkan oleh pemikir Barat salah satunya adalah Henry Bergson (1859-
1941). Intuisi dalam konsep al-Attas bukan hanya pengenalan langsung dan cepat
subyek ilmu kepada dunia eksternal, kebenaran rasio dan nilai-nilai universal.
Namun intuisi merupakan pengenalan langsung dan cepat terhadap kebenaran
agama, yaitu realitas dan eksistensi Tuhan. Pengenalan tersebut diperoleh melalui
intuisi tingkat tinggi yang disebut intuisi akan eksistensi. Intuisi ini menurut al-
Attas adalah pekerjaan dari qalb (hati).27
Selain memahami epistemologi Islam, menurut al-Attas, perlu juga
memahami bagaimana inti epistemologi Barat. Al-Attas mengatakan bahwa inti
asumsi-asumsi ilmu yang berhubungan dengan fenomena merupakan pernyataan
dasar dan kesimpulan umum tentang sains serta filsafat yang diturunkan darinya
adalah khas dari zaman tertentu dan bahwa yang diterima hanyalah teori-teori
26
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 132. 27
S.M.Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, h. 119.
22
yang direduksi kepada unsur-unsur inderawi, walaupun ada kemungkinan
melibatkan gagasan-gagasan yang melampaui jangkauan pengalaman empiris.28
Al-Attas memiliki perhatian yang besar terhadap khazanah intelektual Barat.
Sebab, dengan memahami secara mendalam tentang inti dari asumsi-asumsi dasar
epistemologis disiplin-disiplin modern tentunya mensyaratkan pemahaman yang
mendalam tentang khazanah intelektual Barat itu sendiri. Sejalan dengan strategi
islamisasinya, al-Attas tidak mencampakkan begitu saja inti asumsi epistemologi
Barat. Al-Attas menggunakan pendekatan tersebut sebagai batu loncatan untuk
mengoreksi displin modern dan memurnikan ilmu-ilmu Islam yang telah tercelup
dalam paham-paham sekular.29
Sains modern lanjut al-Attas, tumbuh dan berkembang dari sebuah filsafat
yang sejak periode pertamanya telah mengukuhkan pandangannya, bahwa segala
sesuatu muncul terwujud dari sesuatu yang lainnya. Penolakan terhadap realitas
dan keberadaan Tuhan sudah tersiram dalam filsafat ini. Dalam lingkup sains
modern segala sesuatu yang bukan sains, yaitu semua yang tidak sesuai dengan
ilmu alam dan matematika, tidak terkecuali teori tentang alam semesta, manusia
atau masyarakat, perlahan-lahan dikenal sebagai filsafat.30
Landasan filsafat seperti penjelasan di atas, maka salah satu dari metode
yaitu, rasionalisme, filosofis yang cenderung atau persepsi inderawi. Rasionalisme
sekular yang cenderung lebih bersandar pada pengalaman inderawi dan
menyangkal otoritas serta ilusi, serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber
28
S.M.Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Sauful Muzani (Bandung: Mizan,
1995), h. 34. 29
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 133. 30
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 133.
23
ilmu yang benar. Sedangkan, empirisme filosofis atau empirisme logis yang
menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan
logika, dan analisis bahasa.31
Landasan filosofis dan metode-metode yang dilahirkan oleh ilmu-ilmu
modern, maka semua obyek kajian yang menjadi sorotan utama hanyalah yang
berkisar pada sesuatu yang dapat dicerap pancaindera dan alat bantunya belaka.
Padahal masih banyak realitas lain sebenarnya memerlukan penelitian yang
mendalam untuk mengungkapkannya. Upaya pengungkapan realitas-realitas yang
tidak mampu diatasi dengan pancaindera maupun alat-alat bantu yang tercanggih
memerlukan landasan filosofis lain. 32
Sebagai alternatif, paradigma pemikiran Islam layak untuk diperhatikan.
Sesuai dengan universalitas dan kontinuitas Islam termasuk ajarannya tentang
ilmu pengetahuan, Islam memberikan sebuah discourse yang cukup terbuka bagi
setiap orang untuk menggalinya sedalam dia mampu. Meskipun banyak
pandangan yang berbeda bahkan kadang-kadang bertentangan antara yang satu
dengan yang lainnya, bukan berarti Islam itu terpecah-pecah melainkan dengan
banyaknya interpretasi yang berbeda menunjukkan sifat terbukanya Islam, berikut
ajaran-ajarannya termasuk wacana ilmu pengetahuan. Salah satu interpretasi yang
cukup mendalam diberikan oleh al-Attas dalam kajiannya tentang epistemologi
Islam.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam memahami ‗makna‘
harus melibatkan pengakuan terhadap tempat segala sesuatu di dalam sistem
31
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 133. 32
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 134.
24
sehingga ilmu pengetahuan sejati terdiri atas pengakuan terhadap ‗tempat yang
tepat‘ bagi Allah Swt. dalam urutan being dan eksistensi. Al-Attas menegaskan
bahwa ‗tempat‘ merujuk kepada letaknya yang wajar dalam sistem, yaitu sistem
pemikiran dalam al-Qur‘an yang diuraikan secara sistematis melalui tradisi para
Nabi dan dituturkan oleh agama sebagai suatu worldview sehingga menghantarkan
kepada pengenalan terhadap Tuhan Semesta Alam. Hal ini berarti bahwa ilmu
pengetahuan tanpa pengakuan terhadap eksistensi Tuhan, bukan merupakan ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya.33
Salah satu aspek dari ilmu pengetahuan yang dibahas secara substansial oleh
al-Attas yaitu sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan yang berbeda dengan
kegunaan dan sifat ilmu dalam pandangan hidup Barat (Western worldview)
terutama dalam memandang realitas dan hakikat kebenaran. Pandangan hidup
Barat (Western worldview) tersebut telah menyebabkan pengaburan antara yang
benar dan yang salah, ‗yang sebenarnya‘ dengan ‗yang palsu‘, karena ilmu telah
terlepas dari iman atau Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisik akibat
sekularisasi. Padahal dalam pandangan hidup Islam (Islamic worldview), iman
mengandung unsur ilmu yang memahamkan tentang kebenaran pada akal
manusia.34
Semua penjelasan di atas sebenarnya yang membedakan antara epistemologi
Islam dan Barat ialah paham tentang kemampuan inderawi, autoritas, akal, dan
intuisi. Perbedaan ini akhirnya menjadi titik tolok keyakinan wujud (ontological
commitment) masing-masing. Bagi pemahaman umum wujud meliputi ‘alam al-
33
S.M.Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang:
Universiti Sains Malaysia, 2007), h. 42. 34
Al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, h. 2-3.
25
syahādah (alam yang tampak) dan ‘alam al-gaib (alam tidak tampak), dan kedua
alam ini berpadu dalam Zat al-Wajīb al-Wujūd, dan manusia mampu mencapai
ilmu sekedar kemampuannya tentang ketiga kategori wujud ini.35
35
Adi Setia, ‗Epistemologi Islam Menurut al-Attas: Satu Uraian Ringkas‘, dalam Islamia,
Vol. 2, no. 6, Juli-September, 2005, h. 57.
26
BAB III
DIMENSI TEORI KEBAHAGIAAN
A. Definisi Kebahagiaan
Kebahagiaan sering didefinisikan sebagai suatu kesenangan dan
ketentraman hidup (lahir dan batin), keberuntungan, kemunjuran yang bersifat
lahir dan batin.1 Titik tekan yang hendak menjadi acuan dalam kebahagiaan
adalah ketentraman. Adapun tentram berarti perasaan aman, damai, dan sentosa
lahir dan batin, bebas dari segala yang menyusahkan. Kata lain yang
menggambarkan kebahagiaan adalah kenikmatan, kepuasan, dan kesenangan.
Kenikmatan diartikan sebagai keadaan yang nikmat, yang antara lain berkonotasi
pada makanan dan tempat tinggal. Sedangkan kepuasan diartikan perihal atau
perasaan puas, lega, gembira karena telah terpenuhi hasrat hatinya, yang dapat
saja berkonotasi negatif, misalnya hasrat mencelakakan orang lain. Adapun
kesenangan diartikan sebagai kondisi senang karena mendapatkan keenakan dan
kepuasan.2
Namun ada beberapa prinsip dasar yang membedakan antara kebahagiaan,
kenikmatan, kepuasan dan kesenangan. Kebahagiaan merupakan kondisi kejiwaan
yang meliputi ketentraman yaitu perpaduan antara rasa aman, damai, dan tenang.
Sedangkan kenikmatan, kesenangan, maupun kepuasan walaupun bisa menjadi
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 65. 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 615.
27
barometer kebahagiaan, namun tidak dapat disangkal bahwa ketiganya juga dapat
mendatangkan kesengsaraan atau lawan dari kebahagiaan.3
Definisi singkat tentang kebahagiaan di atas menunjukkan bahwa untuk
menentukan hakikat dari kata kebahagiaan merupakan bukan perkara yang
mudah. Hal ini karena setiap individu memiliki barometer tersendiri untuk
menuntukan dan menklaim suatu kebahagiaan. Satu orang dapat mengatakan
bahwa sesuatu itu merupakan kebahagiaan menurutnya, sedangkan orang lain
;belum tentu mencapai kesepakatan kata yang sama dengan orang pertama.
Kebahagiaan merupakan konsep yang luas, seperti emosi positif atau pengalaman
yang menyenangkan, rendahnya mood yang negatif, dan memiliki kepuasan hidup
yang tinggi.4
Para tokoh banyak yang memberi penafsiran tentang arti dan hakikat
kebahagiaan dengan berbagai macam artikulasi. Aristoteles menyatakan bahwa
kebahagiaan (happines) berasal dari kata happy yang berarti feeling good, having
fun, having a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang membuat
menyenangkan. Sedangkan orang yang bahagia menurutnya adalah orang yang
mempunyai good birth, good health, good look, good luck, good reputation, good
money, dan goodness.5
Veenhove mencoba memberikan tafsiran berbeda tentang kebahagiaan.
Menurutnya, kebahagiaan merupakan sinonim dari kepuasan hidup atau life
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 812.
4 E. Diener, R.E.Lukas, ‗Subjective Well Being: The Science of Happiness and Life
Satification‘, dalam C.R.Synder dan S.j. Lopez, Handbook of Positive Psychology (New York:
Oxford University Press, 2005), h. 71-72. 5 Veenhoven, New Directions in the Study of Happiness: United States and International
Perspective (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1995), h. 25-8.
28
satisfaction. Ia mendefinisikan life satisfaction adalah keseluruhan evaluasi
mengenai hidp termasuk semua kriteria yang berada di dalam pemikiran individu
seperti bagaimana rasanya hidup yang baik, sejauh mana hidup sudah mencapai
ekspektasi, bagaimana hidup yang menyenangkan dapat terapai, dan sebagainya.6
Senada dengan Veenhove, Diener juga menyatakan bahwa life satisfaction
merupakan bentuk nyata dari happines atau kebahagiaan, di mana kebahagiaan
tersebut merupakan suatu yang lebih dari suatu pencapaian tujuan. Dikarenakan
pada kenyataannya kebahagiaan selalu dihubungkan dengan kesehatan yang lebih
baik, kreativitas yang lebih tinggi serta tempat kerja yang lebih baik.7
Dari definisi yang dikembangkan ilmuan dan pemikir di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebahagiaan merupakan suatu yang membuat pengalaman
yang menyenangkan berupa perasaan senang, damai, dan termasuk di dalamnya
kesejahteraan, kedamaian pikiran, kepuasan hidup serta tidak adanya perasaan
tertekan, dan segala hal yang dapat mengurangi atau menghilangkan kebahagiaan
lainnya.
Pada dasarnya kebahagiaan manusia di dunia ini bersifat temporar dan tidak
selamanya. Ada waktunya seorang manusia sedang berbahagia ada pula waktu
manusia merasa tidak berbahagia. Apabila sedang sukse, manusia akan merasa
bahagia, namun sebaliknya apabila sedang merugi, manusia akan merasa tidak
6 Veenhoven, A Comparative Study of Satisfaction with Live (Eropa: Eotvos University
Press, 1996), h. 5-6. 7 E. Diener, ‗Subjective Well Being‘, h. 191.
29
berbahagia. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu bersifat sesaat,
tergantung kondisi eksternal manusia.8
Ada lima tahap kebahagiaan. Tahap kebahagiaan pertama adalah
kebahagiaan fisik dan emosional (physical and emotional happiness). Pada tahap
ini, seorang akan merasa bahagia apabila kebutuhan fisik dan emosionalnya
terpenuhi. Seperti orang lapar, akan merasa bahagia apabila sudah makan dan
kenyang, orang yang berjalan kaki dan merasa lelah akan menjadi bahagia apabila
beristirahat, dan lain sebagainya.9
Tahap kedua adalah kebahagiaan intelektual (intellectual happiness). Pada
tahap ini kata nalar menjadi kunci pembahasannya, yaitu apabila keinginan dan
hasrat nalar akan melakukan sesuatu terpenuhi makan pada tahap ini akan
berbahagia. Contohnya adalah orang merasa senang ketika sudah dinyatakan lulus
sarjana, atau magister atau tingkat doktoral. Atau bisa juga orang yang
menuangkan gagasan atau idenya ke dalam suatu karya tulis. Hal ini merupakan
termasuk dalam kategori kebahagiaan intelektual.
Tahap ketiga adalah kebahagiaan estetik (aesthetical happiness). Pada tahap
ini seorang akan merasa bahagian apabila melihat dirinya atau yang ada disekitar-
nya terasa indah dan nyaman. Contohnya orang akan merasa berbahagia apabila
memiliki rumah yang indah dan taman yang hijau dengan udara yang sejuk, dan
sebagainya.10
8 Darwis Harahap, ‗Kebahagiaan dan Akhir Kehidupan Menurut Filsafat Ekonomi Islam‘,
dalam Human Falah, Vol. 2, no. 2, 2015, h. 87. 9 Darwis Harahap, ‗Kebahagiaan dan Akhir Kehidupan‘, h. 88.
10 Darwis Harahap, ‗Kebahagiaan dan Akhir Kehidupan‘, h. 89.
30
Tahap keempat adalah kebahagiaan moral (moral happiness). Pada tahap
ini kebahagiaan seorang akan didapatkan apabila menyangkut pada persoalan
moralitas. Seperti seorang akan merasa berbahagia apabila membantu orang lain
yang sedang ditimpa kesusahan, kemalangan, dan kerugian. Pada tahap ini
kebahagiaan seorang adalah jika ia bisa melakukan hal terbaik kepada orang lain.
Adapun tahap kelima adalah keh=bahagiaan spiritual (spiritual happiness).
Tahap ini merupakan tahapan kebahagiaan yang memiliki derajat paling tinggi
dari tahap-tahap lainnya. Apabila pada tahap-tahap sebelumnya kebahagiaan
hanya menyangkut aspek lahir dan fisik, maka pada tahap ini kebahagiaan
menyangkut aspek batin, spiritual, dan non fisik. Kebahagiaan pada tahap ini
mengharuskan seorang menggunakan daya intuitifnya untuk meraih kebahagiaan.
Contohnya merasa tentram ketika bermunajat kepada Allah dan bertaubat kepada-
Nya.11
B. Kebahagiaan Menurut al-Qur’an
Kata kebahagiaan, apabila dicarikan padanan kata di dalam al-Qur‘an
memiliki berbagai macam padanan. Seperti kata sa‘ādah, ḥasanah, ṭūbā, matā‘,
surūr, falāḥ, fawz, dan faraḥ. Delapan padanan kata yang merujuk pada
pengertian kebahagiaan dalam al-Qur‘an, hanya kata sa‘ādah yang dapat
merepresentasikan wacana pemikiran al-Attas. Ini didasarkan ia hanya
menggunakan term sa‘ādah untuk merujuk pengertian kebahagiaan.12
11
Darwis Harahap, ‗Kebahagiaan dan Akhir Kehidupan‘, h. 90. 12
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena: to the Metaphysics of Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001), h. 82.
31
al-Isfahānī mengartikan kata sa‘ādah atau sa‘īd dengan pertolongan kepada
manusia terhadap perkara ketuhanan untuk memeroleh kebaikan. Kata sa‘īd
sering dihubungkan dengan kata syaqāwah (kesengsaraan) sebagai lawan katanya.
Kedua terma ini tersirat dalam al-Qur‘an surat Hūd [11] ayat 105:
هم شقي وسعيد ي وم يأت ل تكلم ن فس إل بإذنه فمن
‗Dikala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan
dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia‘.
Term kebahagiaan (sa‘ādah) pada ayat di atas dapat dipahami dalam
konteks dualitas, yaitu merupakan lawan dari kata sengsara. Kesadaran manusia
pada dasarnya selalu bersifat dualistis. Artinya kehidupannya di setiap tempat dan
waktu merupakan polarisasi yang tajam antara sakit dan lezat, bahagia dan derita.
Ia akan selalu berhadapan dengan kesusahan atau kesenangan, bahagia atau
sengsara. Manuisa akan selalu berhadapan dengan dua realitas ini, yaitu
kesenangan atau kesusahan, termasuk ekspresinya, yaitu tertawa atau menagis.
Tangisan adalah tanda kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan
tertawa adalah bukti kebahagiaan, kegembiraan, atau kesenangan.13
Orang yang
berbahagia biasanya menampakkan wajah yang penuh senyuman atau berseri-seri.
Sebaliknya, orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang muram atau
penuh tangisan. Orang yang sengsara adalah irang yang sesat, tidak tau jalan
hidup yang harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah, atau
tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang batil. Orang yang bahagia
13
Muskinul Fuad, ‗Psikologi Kebahagiaan dalam al-Qur‘an‘, Laporan Penelitian di
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IAIN Purwokerto, 2016, h. 41.
32
adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hati tenteram, tenang menghadapi
persoalan, hatinya disinari cahaya iman kepada Allah, di dalam jiwanya tertanam
akidah yang kuat dan sadar bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Allah Swt.14
Orang berbahagia adalah orang yang merasa aman, tenang, dan punya kekuatan
untuk menjalani kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ṭāhā [20] ayat
123:
فل يضل ول يشقى فمن ات بع هداي
‗Lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia
tidak akan celaka‘.
Selain kata sa‘ādah, term lain dalam al-Qur‘an yang menunjukkan
pengertian kebahagiaan adalah falāḥ. Menurut Ibn Manẓūr, arti kata falāḥ adalah
beruntung, selamat, abadi dalam kenikmatan dan kebaikan. Sebagaimana
interpretasi al-Azhary dari firman Allah surat al-Mu‘minūn [23] : 1, bahwa
sesungguhnya dikatakan kepada ahli surga adalah orang-orang yang beruntung
karena keberuntungan mereka yang tetap abadi di surga.15
Al-Isfahānī menyebutkan bahwa kata falāḥ adalah al-ẓafr wa-idrāk
bughyah, memeroleh apa yang dikehendaki. Kata ini seringkali diterjemahkan
dengan beruntung, berbahagia, atau memeroleh kemenangan. Selain itu, al-
Isfahānī dalam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān membagi kata falāḥ dalam arti
kebahagiaan menjadi dua bagian, yaitu duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan
duniawi mencakup usia panjang, kekayaan, dan kemuliaan. Sedangkan
14
Muskinul Fuad, ‗Psikologi Kebahagiaan dalam al-Qur‘an‘, h. 42. 15
Al-Raghīb al-Isfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’an (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), h.
644.
33
kebahagiaan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa kepunahan, kekayaan tanpa
kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan pengetahuan tanpa kebodohan.16
Menurut M.Quraish Shihab, kata falāḥ mempunyai derivasi berupa kata
aflaḥa yang berarti sebagai ‗memeroleh oyang dikehendaki‘.17
Kata aflaḥ
ditemukan dalam al-Qur‘an sebanak empat kali, salah satunya adalah surat Ṭāhā
[20] ayat 64:
وقد أف لح الي وم من است على
‗pasti memeroleh keberuntungan (kebahagiaan) siapa yang hari ini lebih
tinggi sihirnya‘.
Selain itu, kata Quraish Shihab, kata aflaḥa merupakan penegasan Allah
Swt. yang ditemukan pada surat al-A‗lā‘ [87] ayat 14, al-Syams [91] ayat 9, dan
al-Mu‘minūn [23] ayat 1. Dalam al-Mu‘minūn [23] ayat 1-9, dikemukakan sifat-
sifat orang-orang mukmin yang akan meraih kemenangan (falaḥ). Sifat-sifat
tersebut mencerminkan pula usaha-usaha mereka (orang-orang yang beriman)
yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya penyucian diri (tazakka),
sebagaimana terdapat dalam surat al-A‗lā [87] ayat 14. Upaya-upaya itu meliputi
khusyu dalam salat, menunaikan zakat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia,
menjaga kemaluan kecuali pada pasangan yang sah, memelihara amanat dan
janji, dan memelihara waktu salat. Dalam surat al-A‗rāf [7] ayat 157, ditegaskan
16
Al-Raghīb al-Isfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’an, h. 644. 17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 1997), h. 430.
34
pula bahwa orang-orang yang beriman kepada Nabi Saw. itu memuliakan, dan
membela beliau, termasuk orang-orang yang beruntung.18
Wawasan al-Qur‘an tentang arti kebahagiaan sebagaimana dikemukakan di
atas, dapat disimplifikasikan ke dalam beberapa aspek.
Pertama, bahwa kebahagiaan di dalam al-Qur‘an merujuk pada kebahagiaan
dunia dan akhirat. Setiap individu sangat ditekankan untuk memeroleh kedua
kebahagiaan ini. Kebahagiaan dunia dikatakan dalam al-Qur‘an bersifat temporar
dan sesaat, sedangkan kebahagiaan akhirat bersifat abadi dan selamanya.19
Kedua, bahwa kebahagaiaan juga mencakup kebahagiaan fisik dan non-
fisik. Namun banyak di dalam al-Qur‘an yang mengindikasikan bahwa
kebahagiaan hakikat adalah kebahagiaan non-fisik
C. Kebahagiaan Menurut Filsafat
Pandangan kebahagiaan pada sub tema ini akan dikhususkan pada pendapat-
pendapat yang dikemukakan oleh para filosof Yunani dan filosof Barat, dan bukan
filosof Islam. K. Bartens mengatakan bahwa semua ilmu yang dikembangkan oleh
para filosof pada akhirnya bertujuan untuk mencari tahu bagaimana cara manusia
mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan hakiki menurut Sokrates adalah kebahagiaan
jiwa (eudaimonia). Sokrates mengemukakan bahwa jiwa manusia bukanlah
nafasnya saja, tetapi merupakan unsur terpenting dalam hidup manusia. Jiwa
merupakan inti sari manusia. Karena jiwa merupakan inti sari manusia, maka
manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (eudaimonia=memiliki
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 431. 19
Al-Raghīb al-Isfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’an, h. 644.
35
daimon atau jiwa yang baik), lebih daripada kebahagiaan tubuhnya atau
kebahagiaan yang lahiriah.20
Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin.21
Dan
untuk mencapai eudaimonia diperlukan kebajikan atau keutamaan, seperti
pendirian Sokrates yang terkenal ‗keutamaan adalah pengetahuan‘. Keutamaan di
bidang hidup baik tentu menjadikan seseorang dapat hidup baik. Hidup baik
berarti menerapkan pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi baik dan jahat
dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan keinginan manusia. Maka
menurut Sokrates, tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan hal yang
salah. Kalau ada orang berbuat salah, maka hal itu disebabkan karena ia tidak
berpengetahuan.22
Senada dengan Socrates, Plato yang juga merupakan murid Socrates
mengatakan bahwa eudaimonia merupakan tujuan hidup manusia. Bagi Plato
manusia harus mengupayakan kebahagiaannya (eudaimonia) itu. Menurutnya
kebahagiaan/kesenangan itu tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di
dunia (indrawi) saja tetapi kebahagiaan juga harus dilihat dalam hubungan kedua
dunia (dunia indrawi/jasmani dan dunia Idea). Maksudnya, dengan kata lain di
samping kebahagiaan indrawi kebahagiaan yang hakiki yang berkaitan erat
dengan batin yakni dunia Ide juga perlu diupayakan. Oleh karena ituu, untuk
mencapai pada kebahagiaan (eudaimonia) dalam dunia Ide, manusia harus selalu
melakukan apa yang baik. Sebab bagi Plato semua kebaikan dan kebajikan ada di
20
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 105. 21
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 106. 22
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 36-38.
36
dunia Ide (dunia Ide adalah realitas yang sesungguhnya, sedangkan yang indrawi
itu merupakan realitas bayangan).23
Pendapat yang hampir serupa dikemukakan oleh Aristoteles. Ia memulai
ajarannya tentang kebahagiaan dari mempertanyakan bagaimana manusia
mencapai hidup yang baik. Menurutnya, manusia untuk mencapai kebahagiaannya
adalah dengan hidup yang baik. Hidup yang baik di sini maksudnya ialah hidup
bermakna, suatu hidup yang terasa penuh dan menentramkan. Untuk dapat hidup
bermakna seseorang harus mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Pertanyaannya sekarang adalah apa yang menjadi tujuan hidup manusia? Menurut
Aristoteles jawabannya adalah, kebahagiaan (eudaimonia).24
Sama dengan
pendahulunya, kebahagiaan yang dimaksud di sini bukan hanya terbatas pada
perasaan subyektif seperti senang atau gembira yang adalah aspek emosional,
melainkan lebih mendalam dan obyektif menyangkut pengembangan seluruh
aspek kemanusiaan suatu individu (aspek moral, sosial, emosional, rohani).
Menurut Aristoteles kebahagiaan dapat dicapai dengan hidup secara bermoral
(hidup baik), karena itulah jalan menuju kebahagiaan. Tujuan moralitas adalah
untuk mengantar manusia ke tujuan akhirnya, yakni kebahagiaan.25
Kebahagiaan diwujudkan oleh setiap orang dengan jalannya masing-masing.
Kemampuan setiap orang untuk mewujudkan kebahagiaan juga tidak sama.
Semakin seseorang memandang kebahagiaan sebagai tujuan akhir dalam
hidupnya, maka semakin terarah dan mendalam aktivitas-aktivitas yang
23
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 141. 24
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 30-31. 25
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles (Yogyakarta: Kanisius,
2009), h. 4-7.
37
dilakukannya untuk ‗hidup baik‘. Dalam hal ini, Aristoteles menempatkan
keutamaan dalam posisi istimewa. Menurutnya supaya manusia bahagia, ia harus
menjalankan aktivitasnya menurut keutamaannya.
Hidup dalam keutamaan yang dimaksud oleh Aristoteles ialah hidup yang
sungguh ditata dengan baik. Sementara keutamaan (arete) yang dimaksud oleh
Aristoteles ialah keutamaan yang mengarahkan manusia pada perbuatan yang
baik. Kehidupan yang dijalani dalam rambu-rambu aturan-aturan moralitas dan
etika yang berlaku secara wajar atau umum dalam masyarakat tertentu. Aturan-
aturan moralitas dalam hal ini perlu dipandang sebagai sesuatu yang dapat
dimengerti dan berasal dari dorongan manusiawi untuk menjalankannya, bukan
dorongan dari luarnya. Pada intinya, Aristoteles mengajak manusia untuk hidup
secara bermoral, yang ia anggap sebagai cara untuk dapat mencapai kebahagiaan.
Lebih rinci Aristoteles membagi kebahagiaan itu menjadi lima bagian,
yaitu: Pertama, kebahagiaan yang terdapat pada kondisi sehat badan dan
kelembutan indrawi. Kedua, kebahagiaan karena mempunyai sahabat. Ketiga,
kebahagiaan karena mempunyai nama baik dan termasyhur. Keempat,
kebahagiaan karena sukses dalam berbagai hal. Kelima, kebahagiaan karena
mempunyai pola pikir yang benar dan punya keyakinan yang mantap. Dengan
tercapainya kelima hal ini, menurut Aristoteles barulah manusia akan mencapai
bahagia yang sempurna.26
Filosof lain yang menjelaskan mengenai kebahagiaan adalah Epikuros.
Ajaran Epikuros diarahkan kepada satu tujuan akhir, yakni menjamin kebahagiaan
26
Khairul Hamim, ‗Kebahagiaan dalam Perspektif al-Qur‘an dan Filsafat‘, dalam Jurnal
Tasimuh, Vol. 13, No. 2, 2016, h. 134.
38
manusia dengan Etika sebagai inti pemikirannya. Etika Epikuros hendak
memberikan ketenangan hati (ataraxia) kepada manusia, sebab menurut Epikuros
ketenangan hati ini terancam oleh rasa takut – diantaranya rasa takut terhadap
dewa-dewi, rasa takut terhadap kematian, dan rasa takut terhadap nasib – yang
sebenarnya tidak mendasar dan tidak masuk akal.27
Epikuros menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah hedone
(kenikmatan, kepuasan) yang dapat kita miliki bila hati kita tenang dan tubuh kita
sehat. Namun kata hedone sering disalahartikan oleh kebanyakan orang. Hedone
yang ditekankan oleh Epikuros bukan berarti bahwa kita harus secara membabi
buta mengikuti hasrat kita. Bahkan sebaliknya, kesenangan yang sesungguhnya
tidak tercapai dengan mencari pengalaman nikmat sebanyak mungkin, tetapi
dengan menjaga kesehatan dan berusaha hidup sedemikian rupa hingga jiwa bebas
dari keresahan. Untuk itu manusia yang mau bahagia justru harus membatasi diri.
Ia harus dapat senang dengan yang sederhana.28
Bila dicermati beberapa pandangan para filosof di atas, nampaknya masing-
masing mereka punya cara dan bahasa yang berbeda-beda dalam dalam
menyampaikan pemikirannya tentang kebahagiaan. Mereka sepakat bahwa tujuan
yang ingin dicapai dalam kehidupan ini adalah kebahagiaan. Di mana kebahagiaan
tertinggi atau yang paling sempurna adalah dengan mencapai eudaimonia atau
kebahagiaan jiwa (bahasa Plato dunia idea).
Mencermati penjelasan beberapa para filosof mengenai kebahagiaan di atas,
terlihat jelas bahwa mereka membahas tentang kebahagiaan jasmani yang dialami
27
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, h. 53-56. 28
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992),
h. 38-39.
39
dan dirasakan oleh seseorang pada saat mereka berada di dunia saja. Mereka tidak
membahas kebahagiaan yang akan dan dialami seseorang pada saat mereka berada
di alam akhirat kelak.
D. Kebahagiaan Menurut Tasawuf
Pada dasarnya, bahagia adalah fitrah atau bawaan alami manusia. Artinya, ia
merupakan sesuatu yang melekat dalam diri manusia.29
Bahagia sudah seharusnya
dimiliki oleh setiap manusia, karena menurut fitrahnya, manusia diciptakan
dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan. Manusia adalah makhluk yang
paling baik dan sempurna dibanding dengan makhluk lainnya. Hal ini telah
dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur‘an surat al-Isrā [17] ayat 70, sebagai berikut:
―Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkat
mereka di daratan dan lautan, dan Kami telah memberikan rezeki yang baik
kepada mereka, dan Kami telah lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lain
yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.
Kabir Helminski, seorang sufi penerus tradisi Jalaluddin Rumi, menulis
tentang manusia sempurna dalam The Knowing Heart: A Sufi Path of
Transformation. Menurut tokoh ini, sifat manusia sempurna adalah refleksi dari
sifat-sifat Tuhan yang sebagian tercermin dalam 99 nama Allah (al-Asmā al-
Ḥusnā). Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan manusia, yang memerlukan
hubungan yang harmonis antara kesadaran diri dan rahmat Ilahi. Itulah capaian
kebahagiaan yang sesungguhnya.30
29
Murtadha Muthahhari, Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jatidiri Manusia
(Jakarta: Lentera, 2008), h. 31. 30
Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2008), h. 19-20.
40
Demikianlah sebagian makna hakikat kebahagiaan yang telah dirumuskan
oleh para sufi yang boleh jadi masih berupa konsep yang abstrak. Kata yang
dirumuskan para Sufi tersebut sama halnya dengan ahli psikologi yang merusakan
mengkongkritkan kata-kata yang bersifat abstrak. Dikatakan bahwa Jika ada
seorang klien datang ke psikolog dan berkata: ―Hari ini saya merasa bahagia‖,
maka sang psikolog tentu akan bertanya lebih lanjut: ―Mengapa Anda merasa
bahagia?‖. Salah satu jawaban yang mungkin akan diberikan seseorang adalah:
―Karena saya merasa puas dengan apa yang terjadi dengan hidup saya‖.31
Demikian halnya dengan kehidupan seseorang, apakah bermakna atau tidak dapat
dinilai dari model pertanyaan dan jawaban di atas.
Dialog di atas mengindikasikan bahwa kebahagiaan hidup seseorang dapat
dinilai secara obyektif (objective happiness) dan subyektif (subjective happiness).
Secara obyektif, kebahagiaan seseorang dapat diukur dengan menggunakan
standar yang merujuk pada aturan agama atau pembuktian tertentu. Jalaluddin
Rakhmat mencontohkan, misalnya ada seseorang bernama Fulan. Ia
menghabiskan waktu mudanya untuk berfoya-foya, termasuk dengan melakukan
segala tindakan dosa. Ia tidak pernah mengalami sakit. Ia mengaku sangat
bahagia. Benarkah ia bahagia? Menurut ukuran agama, ia dianggap tidak bahagia,
karena pada hari akhirat kelak, jika ia tidak segera bertaubat, akan masuk neraka.
Dalam bahasa Tasawuf, si fulan ini dikatakan sedang mengalami apa yang disebut
dengan istidraj. Artinya ia sedang diberi ujian oleh Allah dengan nikmat
(kesenangan) untuk melihat apakah ia sadar atau tidak dengan nikmat yang
31
Jalaluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008),
h. 98.
41
didapatkannya. Menurut ukuran (pembuktian) rasional, ia juga tidak bahagia,
karena lama-kelamaan ia pasti akan kehilangan harta, kesehatan, dan
kesenangannya. Secara subyektif, kita dapat mengukur kebahagiaan seseorang
dengan bertanya kepadanya dengan singkat apakah ia bahagia atau tidak.32
Demikian pula dengan konsep makna hidup.
Pandangan kebahagiaan dalam tradisi tasawuf berakar dari inti ajaran
tasawuf sendiri yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan laku
penyucian diri. Sehingga tindak tanduk yang dilakukan oleh Sālik akan diarahkan
dan ditujukan kepada wilayah ketuhanan. Termasuk dalam memandang persoalan
kebahagiaan. Kiranya tidak ada kebahagiaan yang lebih baik dan indah bagi
seorang Sālik daripada bertemu dengan Tuhannya. Al-Ghazālī dalam Kimiyā al-
Sa‘ādah mengatakan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah sampai kepada
Allah kelak di akhirat, sebagaimana sampainya orang yang bertemu dengan apa
yang didambakannya.33
Al-Ghazālī juga mengatakan bahwa puncak kebahagiaan pada manusia
adalah jika dia berhasil mencapai ma‘ritafullāh, mengenal Allah. Ia mengatakan
sebagai berikut:34
Sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan bagi manusia itu adalah
ma‘rifatullāh. Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu adalah bila kita rasakan
nikmat, kesenangan dan kelezatan, karena rasa itu adalah menurut perasaan
masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan
telinga ialah mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang
32
Jalaluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, h. 107. 33
Al-Ghazālī, Kimia al-Sa‘adah, terj. Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Zaman, t.t.), h. 100. 34
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Panji Mas, 1990), h. 12.
42
lain dan tubuh manusia. Adapun kelezatan hati ialah ma‘rifat kepada Allah,
karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata
akan sangat berbahagia kalau dia dapat berkenalan dengan seorang pejabat tinggi
atau menteri, kegembiraan itu naik berlipat ganda kalau dia dapat berkenalan yang
lebih tinggi misalnya raja atau presiden. Maka mengenal Allah adalah puncak dari
segala macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh
manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab
itu tidak ada ma‘rifat (mengenal)) yang lebih lezat daripada ma‘rifatullāh.35
Dengan demikian dalam perspektif al-Ghazālī, kebahagiaan itu terbagi
menjadi dua, yaitu kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan akhirat dan
kebahagiaan majazī, yaitu kebahagiaan di dunia.36
Begitu juga kebahagiaan
menurut al-Ghazālī yang dikutip oleh Hamka, yaitu kemenangan di dalam
menerangi hawa nafsu dan menahan kehendak berlebihan. Maka kemenangan
menahan hawa nafsu ini ialah dari segala kemenangan atau kebahagiaan.37
Menurut ‗Aiḍ al-Qarnī, pemikir Muslim Kontemporer, bahwa kebahagiaan
adalah keringanan hati karena kebenaran yang dihayatinya. Kebahagiaan adalah
kelapangan dada karena prinsip yang menjadi pedoman hidup dan kebahagiaan
adalah ketenangan hati karena di sekelilingnya.38
Di antara beberapa definisi yang dikemukakan dari tokoh-tokoh tasawuf di
atas, baik klasik maupun kontemporer, memiliki pendangan yang kuat dalam
meraih kebahagiaan akhirat, karena seperti yang didefinisikan al-Ghazālī, bahwa
35
Mustofa Bisri, Metode Tasawuf al-Ghazaly (Surabaya: al-Miftah, 2007), h. 52-55. 36
Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah), h. 104. 37
Hamka, Tasawuf Modern, h. 17. 38
‗Aidh Abdullah al-Qari, La Tahzan, terj. Samson Rahman (Jakarta: Qisthi Press, 2004),h.
xiii.
43
kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan yang hakiki. Secara keseluruhan,
menurut ahli tasawuf, bahwa kebahagiaan adalah ketika seorang meluruskan
jiwanya atau melapangkan dadanya untuk tetap mengikuti kebenaran yaitu dengan
mengikuti perintah Allah sebagai pedoman hidup di dunia dan meraihnya hingga
di akhirat. Hal ini cenderung pada kebahagiaan yang telah disimpulkan oleh al-
Ghazālī bahwa kebahagiaan terbagi menjadi kebahagiaan dunua (dunyawiyyah)
dan akhirat (ukhrawiyyah).39
39
Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal, h. 104.
44
BAB IV
KEBAHAGIAAN MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A. Manusia dan Hakikat Kebahagiaan
Dalam membahas tentang masalah kebahagiaan, al-Attas dalam
Prolegomena banyak mengadopsi pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh al-
Ghazālī. Tampaknya ia sangat mengagumi al-Ghazālī sebagai intelektual Muslim
yang memiliki pemahaman keislaman yang komprehensif. Sehingga tidak
mengherankan apabila dalam mengemukakan tentang konsep kebahagiaan
manusia banyak terpengaruh oleh pemikiran al-Ghazālī terutama dalam Iḥyā
‘Ulūm al-Dīn, Kimiyā al-Sa‘ādah dan Mīzān al-‘Amāl.1
Al-Attas menjelaskan bahwa manusia terdiri atas dua unsur utama yaitu
tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs).2 Tubuh merupakan unsur yang bersifat gelap,
kasar dan memiliki sifat-sifat sama seperti halnya semua zat yang ada di alam
dunia. Ia merupakan unsur materi yang bersifat dapat rusak. Adapun jiwa (al-nafs)
merupakan unsur yang memiliki daya mengetahui, memiliki kemauan, dan
menjadi penyempurna bagi unsur lainnya yaitu tubuh.
Selain dua unsur di atas, al-Attas menyebutkan dua unsur lain yaitu al-nafs
al-ḥayawāniyyah (jiwa hewani) dan al-nafsal-nāṭiqah (jiwa rasional).3 Al-nafs al-
ḥayawāniyyah adalah jism yang halus (al-jism al-laṭīf) yang mengalir pada
pembuluh-pembuluh nadi ke bagian tubuh yang lain. Al-nafs al-ḥayawāniyyah
1 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001), h. 82-92. 2 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 82.
3 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 82.
45
merupakan pendorong terhadap kebutuhan makanan yang dapat menggerakkan
syahwat dan emosi. Unsur ini tidak dapat memberikan petunjuk kepada
pengetahu-an, dan ia akan mati seiring dengan matinya badan. Al-Attas,
sebagaimana al-Ghazālī, menjelaskan bahwa al-nafs al-ḥayawāniyyah adalah
sejenis uap yang sangat halus, berpusat di rongga jantung dan menyebar ke
seluruh tubuh melalui syaraf dan pembuluh nadi dan menggerakkan anggota-
anggota badan untuk melakukan sesuatu. Adapun al-nafsal-nāṭiqah atau dalam
bahasa al-Ghazāī al-rūḥ al-ṭābi‘ī merupakan suatu kekuatan yang mendorong
terhadap kebutuhan intelektual, makanan dan kekuatan yang bertempat di hati.4
Al-Attas mengatakan bahwa tujuan manusia dalam menggapai kebahagiaan
tergantung pada lebih besar mana kecenderungan manusia dalam menggunakan
kedua unsur dalam tubuh tersebut. Kedua aspek tersebut memiliki kekuatan atau
fakultas (al-quwwah). Fakultas jiwa hewani ialah penggerak (motive) dan
persepsi, dan fakultas jiwa rasional itu aktif dan kognitif.5 Sejauh hal tersebut
berfungsi sebagai intelek aktif, fakultas tersebut merupakan prinsip penggerak
atas tubuh manusia. fakultas tersebut merupakan rasio praktis, dan mengarahkan
tindakan individu dalam persetujuan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif.
Sementara dalam hubungan dengan daya penggerak dari jiwa hewani, yang
bertanggung jawab untuk penggunaan keinginan sehingga hasrat atau keengganan
muncul dalam tindakan, di mana fakultas tersebut menghasilkan emosi manusia.
Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan fakultas representatif, estimatif,
4 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 82., bandingkan al-Ghazālī,
Ma‘ārij al-Quds fī Madārij Ma‘rifat al-Nafs (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1986), h. 47-50. 5 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 82. bandingkan dengan keterangan
al-Ghazālī, Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), Jld. 3, h. 52.
46
dan imajinatif, fakultas tersebut mengatur obyek fisik dan menghasilkan
kemahiran manusia dan seni. Dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi
rasional tersebut, fakultas tersebut memunculkan premis dan kesimpulan. Sejauh
fakultas tersebut memerintah dan mengatur tubuh manusia, fakultas tersebut
memengaruhi perilaku etis manusia yang melibatkan pengenalan akan sifat buruk
dan kebajikan. Kedua sifat inilah yang akan mengantarkan manusia memeroleh
kebahagiaan atau bahkan kesengsaraan.6
Jiwa (al-nafs) sebagai esensi dari eksistensi manusia, menurut al-Attas, tetap
saja memiliki suatu skala ketergantungan kepada badan (al-jism).7 Hubungan
antara jiwa dan badan diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dan
kudanya. Hubungan ini merupakan hubungan antivitas, dalam arti bahwa yang
memegang kendali aktivitas adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa peran yang tepat adalah badan merupakan alat bagi jiwa untuk memenuhi
tujuannya. Hubungan tersebut tidak hanya sebatas hubungan di dunia saja, namun
yang paling penting dan utama adalah hubungan di akhirat juga. Jiwa tidak mati,
tetapi hanya meninggalkan badan, dan menunggu kembali kepadanya di hari
kiamat.
Penalaran yang dibangun al-Attas, pada dasarnya merupakan pengembangan
konsep al-Ghazālī. Ia dalam Kimiyā al-Sa‘ādah mengatakan bahwa diri manusia
terdiri atas jasad sebagai sebuah kerajaan, jiwa sebagai raja, nalar sebagai perdana
6 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 82.
7 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 83.
47
menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan emosi sebagai polisi.8 Dengan
berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu cenderung untuk terus-menerus
merampas demi kepentingannya sendiri, sementara emosi cenderung mengarah
pada kekerasan. Pemungut pajak dan polisi harus senantiasa berada di bawah
perintah raja. Namun tidak boleh dimusnahkan karena keduanya memiliki fungsi
kehidupan yang juga penting. Raja (jiwa) yang membiarkan fakultas-fakultas
yang lebih rendah (nafsu dan emosi) menguasai yang lebih tinggi (nalar) pada
akhirnya akan mengalami kehancuran.9
Berdasarkan konsepsi mengenai eksistensi manusia inilah al-Attas
membangun suatu pandangan mengenai kebahagiaan. Terdapat dua jenis
kebahagiaan yaitu kebahagiaan yang dirasakan oleh badan dan kebahagian yang
dirasakan oleh jiwa. Sifat kebahagiaan badan adalah berubah-rubah dan cepat
rusak, adapun kebahagiaan jiwa bersifat kekal. Badan yang sifatnya tidak berbeda
dengan materi dunia akan memeroleh kebahagiaannya dari kehidupan dunia,
sedangkan jiwa yang bersifat kekal akan memeroleh kebahagiaan dari suatu
bentuk kehidupan yang kekal, mulai dari dunia hingga akhirat.10
Konsep al-Attas mengenai tujuan hidup yang lebih mengutamakan
kehidupan akhirat bukan berarti ia menolak akan keberadaan kebahagiaan dunia.11
Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan dunia dan
8 Al-Ghazālī, Kimia al-Sa‘adah, terj. Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Zaman, t.t.), h. 95.
9 Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah), h. 59-60.
10 Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), h. 18-23.
11 Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 85.
48
akhirat, sedangkan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan yang
kedua ini lebih utama karena sifatnya abadi.12
B. Kebahagiaan dan Moralitas: Kritik Atas Pandangan Barat
Pandangan kebahagiaan al-Attas merupakan respon atas pandangan
kebahagiaan yang berkembang di dunia Barat. Al-Attas mengatakan bahwa
kebahagiaan dalam Islam berbeda dengan pandangan Barat. Menurutnya,
kebahagiaan yang berkembang di dunia Barat sekarang ini merupakan terusan dari
konsep kebahagiaan yang telah dikemukakan oleh Aristotelian dan kemudian
dipadukan dengan pandangan tentang sekularisasi.13
Konsepsi kebahagiaan
Aristotelian mengatakan bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini
saja. Hal tersebut disetujui oleh pandangan Barat, yang pada tahap selanjutnya
mengatakan bahwa kebahagiaan hanya sebagai kondisi psikologis tanpa memiliki
hubungan dengan nilai moral di dalamnya.14
Pandangan yang berkembang di
dunia Barat seperti itulah yang tidak diamini oleh al-Attas, bahkan ia
mengkritiknya secara tegas.
Al-Attas menegaskan bahwa berbeda dengan kajian etika atau filsafat moral
pada umumnya yang hanya berbicara tentang tuntunan untuk berbuat baik,
pembahasan etika dalam filsafat Islam terkait dengan masalah kebahagiaan.
Bahkan menurut Majid Fakhry, etika atau filsafat moral dalam Islam merupakan
12
Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, h. 26. 13
Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, h. 196. 14
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 13.
49
keseluruhan usaha filosofis dalam rangka mencapai kebahagiaan atau berkaitan
dengan proses tindakan ke arah tercapainya kebahagiaan.15
Keterkaitan antara kebahagiaan dan ajaran moral dapat dijelaskan melalui
hubungan antara kebaikan dan kebahagiaan. Sebagai bagian dari filsafat, dalam
filsafat Islam, moral bukan hanya membicarakan tentang tindakan yang baik yang
dilakukan manusia, tetapi sekaligus ‗mengharuskan‘ manusia untuk selalu berbuat
kebaikan. Hal itu dikarenakan kebaikan yang dilakukan manusia pada akhirnya
pasti akan menghasilkan kebahagiaan. Manusia harus menjadi baik, karena hanya
dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Orang baik adalah orang
yang sehat mentalnya. Orang yang sehat mentalnya akan dapat merasakan
kebahagiaan-kebahagiaan ruhani. Sebaliknya apabila jiwa tidak sehat, misalnya
karena ada penyakit dengki, maka manusia tidak akan dapat merasakan
kebahagiaan. Bahkan ia akan merasa tidak berbahagia manakala ada orang lain
yang merasakan kebahagiaan. Dengan demikian, perilaku yang baik atau terpuji
(al-akhlāq al-karīmah) akan menjamin seseorang mencapai kebahagiaan dalam
kehidupan.16
Tokoh yang sangat gencar menggaungkan atau mengaitkan antara
kebahagiaan dan perilaku moral adalah al-Ghazālī. Pandangan-pandangan al-
Ghazālī banyak diambil oleh al-Attas karena dibandingkan dengan para pemikir di
dunia Islam lainnya seperti al-Rāzī dan Ikhwān al-Ṣafā, pandangan kebahagiaan
al-Ghazālī lebih bersifat praktis-keagamaan.
15
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya,
1986), h. 361. 16
Mustaim, ‗Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim tentang
Kebahagiaan‘, dalam Jurnal Ulumuna, Vol. 17, No. 1, 2013, h. 196.
50
Dalam pandangan moralnya, al-Ghazālī menempatkan akal sebagai
pengendali nafsu dan efisiensi dalam mencapai tujuan praktis seseorang, sehingga
yang terpenting adalah bagaimana akal dapat mengarahkan kepada tindakan
perbuatan yang benar secara moral keagamaan dalam rangka mencapai
kebahagiaan ukhrawi. Pandangan moral semacam inilah yang disebut oleh George
F. Hourani sebagai ‖ethical voluntarist‖, yaitu pandangan-pandangan moral yang
hanya mengacu kepada aspek diperintahkan atau tidak diperintahkan oleh agama
sebagai standar penilaian.17
Menurut al-Ghazālī, kebahagiaan ukhrawi yang menjadi tujuan moral
tersebut memunyai ciri-ciri yang khas, yaitu berkelanjutan tanpa akhir,
kegembiraan tanpa duka-cita, pengetahuan tanpa kebodohan, dan kecukupan
(ghinā) yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang sempurna
(surga).18
Penekanan yang kuat pada aspek praktikal-keagamaan (‘ibādah) dalam
bidang moral ini, konsekuensinya wilayah rasionalnya (eksplanation) menjadi
terabaikan. Sehingga mengabaikan perlunya penjelasan terhadap tindakan moral
yang diperintahkan (agama). Manusia hanya dituntut untuk melakukan tindakan-
tindakan moral dengan imbalan akan tercapainya kebahagiaan. Pandangan moral
semacam ini dipilih al-Ghazālī untuk menghindari agar tidak terpeleset pada
kecenderungan memertanyakan penjelasan-penjelasan atas setiap tindakan moral
17
George F. Hourani, ‗Ethical Presupposition of the Qur‘an‘, dalam Muslim World, Vol.
LXX, Januari 1980, h. 14. 18
Muhammad Abul Quasem, Etika al-Ghazali: Etika Majemuk dalam Islam, terj.
Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1988), h. 51.
51
(agama), khususnya dalam inti pokok ajaran agama.19
Landasan dasar yang
menekankan hubungan antara pengalaman mistik dan tindakan pelaksanaan yang
benar dari apa yang telah ditetapkan oleh hukum-hukum ibadah (agama) inilah,
yang kemudian dikembangkan dalam pandangan moral khususnya, dan secara
umum dalam pemikiran tasawuf al-Ghazālī.
Filosof Muslim lain yang memiliki pemikiran yang hampir sama dengan al-
Ghazālī adalah, Ibn Miskawaih. Ia mengatakan bahwa untuk menjamin
keberlangsungan kebahagiaan secara terus menerus, maka perlu untuk memelihara
kesehatan jiwa.
Menurutnya ada lima kiat dalam merawat kesehatan mental: (1) Pandai-
pandai mencari teman yang baik, agar tidak bergaul dengan orang-orang yang
buruk tabiatnya. Karena, sekali bergaul dengan mereka, maka secara tidak sadar
kita akan mencuri tabiat buruk mereka yang sulit untuk dibersihkan kala ia
menodai jiwa kita; (2) Berolah fikir bagi kesehatan mental sama pentingnya
dengan berolah raga bagi kesehatan badan. Karenanya, berolah pikir—dalam
bentuk kontemplasi, refleksi, dan lainnya—sangat penting bagi pemeliharaan
kesehatan mental; (3) Memelihara kesucian kehormatan dengan tidak merangsang
nafsu; (4) Menyesuaikan rencana yang baik dengan perbuatan, agar kita tidak
terjerat pada kebiasaan buruk yang merugikan; dan (5) Berusaha memerbaiki diri
yang diawali dengan mencari dan mengenali kelemahan diri sendiri.20
Pemikiran moral Ibn Miskawaih juga menekankan pentingnya tindakan
moralitas, terutama yang mengandung semangat emansipatoris, yaitu
19
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah (Jakarta: Rajawali Press,
1989), h. 193. 20
Mustaim, ‗Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam‘, h. 200.
52
mendasarkan manusia sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih juga menekankan
agar manusia jangan hanya memerhatikan akhlaknya sendiri, tetapi juga harus
memerhatikan akhlak orang lain, sehingga pembinaan akhlak harus diarahkan
pada pembinan akhlak sosial. Oleh karena itu Ibn Miskawaih menentang segala
bentuk kehidupan kependetaan, yang menjauhkan diri dari segala kebajikan moral
tersebut di atas. Karena kebajikan-kebajikan moral tersebut hanya dapat
ditunjukkan dalam keterlibatan bersama orang lain dalam kehidupan
bermasyarakat.21
Pentingnya memelihara kesehatan jiwa dan pengobatan ruhani juga
ditekankan oleh filosof muslim al-Kindī. Dalam karyanya yang berjudul al-Ḥilah
li Daf‘ al-Aḥzan (seni menepis kesedihan), al-Kindī berupaya menganalisis
beberapa penyakit jiwa, di antaranya adalah kesedihan (al-ḥuzn). Menurutnya
kesedihan adalah penyakit jiwa yang disebabkan karena hilangnya apa yang
dicinta dan luputnya yang didamba. Untuk mengobati kesedihan, al-Kindi
menawarkan pengobatan sebagai berikut. Pertama, kesedihan karena hilangnya
apa yang dicinta. Untuk mengobatinya, al-Kindi menganjurkan agar manusia
memahami sifat dasar keberadaan makhluk di dunia yang fana ini. Apapun yang
dicintai di dunia ini pasti akan musnah. Oleh karena itu manusia janganlah
mengharapkannya menjadi kekal abadi, karena hal itu sama dengan mengharap
yang tak mungkin dan akan menimbulkan kesedihan. Kedua, yaitu luputnya yang
21
M.M. Sharif, Para Filosof Muslim, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1985), h. 95.
53
didamba bisa diatasi dengan mengembangkan sikap hidup yang sederhana, suka
menerima (qanā‘ah).22
Kritik al-Attas terhadap konsep kebahagiaan yang berkembang di dunia
Barat tidak terlepas dari komitmen keagamaan yang kuat dari dalam dirinya dan
memiliki argumen teologis yang memadai. Selain itu, kutipan dari berbagai tokoh
filosof Islam di atas, dan juga banyak digunakan dan dikutip dalam tulisan al-
Attas, menunjukkan bahwa terdapat jurang perbedaan yang signifikan antara
pandangan kebahagiaan di dunia Islam dan Barat.23
Kebahagiaan dalam dunia
Islam bukan hanya menyangkut kebahagiaan di dunia ini saja tetapi kehidupan
akhirat kelak. Al-Attas tidak membatasi kebahagiaan hanya sebatas pada
kehabagiaan dunia yang bersifat temporar, dan kehidupan sekular, karena menurut
al-Attas kebahagiaan juga memiliki relasi erat dengan kehidupan spiritual dan
akhirat. Selain itu, kebahagiaan di dunia Islam juga memiliki keterkaitan yang erat
dengan moral. Tentu ini berbeda dengan pandangan Barat yang melepaskan nilai
moral dalam masalah kebahagiaan.24
C. Kebahagiaan Menurut Pandangan Sufistik al-Attas
Al-Attas menyiratkan dalam Prolegomena bahwa kebahagiaan sejati adalah
cinta akan Tuhan (maḥabbatullāh).25
Lebih jauh ia mengatakan bahwa
kebahagiaan yang sebenarnya bukan hanya menunjuk pada entitas fisik manusia,
bukan pada jiwa hewani (al-nafs al-ḥayawāniyyah), dan tubuh manusia, ataupun
22
Mustaim, ‗Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam‘, h. 201. 23
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 82. 24
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 13. 25
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 91.
54
kondisi pikiran, perasaan, kenikmatan dan segala hiburan lainnya. Namun
kebahagiaan memiliki hubungan dengan keyakinan (yaqīn) dan kemantapan hati
yang berasal dari tindakan spiritual yang berpusat pada hati (qalb). Dengan kata
lain kebahagiaan adalah kedamaian, keamanan, dan ketenangan hati (ṭuma’ninah)
yang berujung pada pengenalan kepada Allah (ma‘rifatullāh). Hal ini hanya dapat
terwujud melalui cinta akan Tuhan yang berasal dari manifestasi iman kepada-
Nya sebagai-mana digambarkan diri-Nya sendiri di dalam firman-Nya, serta
menjalankan kewajiban yang diperintahkan kepadanya (‘ibādah), dan lagi mampu
berbuat keadilan (‘adl).26
Atas dasar penyataan di atas, menurut al-Attas kebahagiaan di dunia
sekarang ini bukan merupakan akhir dari kebahagiaan sejati, tetapi kebahagiaan
akan berujung pada cinta akan Allah (maḥabbatullāh).
Al-Attas mengatakan bahwa kebahagiaan di dunia ini terdapat dua tingkatan
yaitu kebahagiaan psikologis dan kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan psikologis
digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika keinginan dan
kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan pada kabajikan.
Kebahagiaan pada tingkatan ini bersifat sementara dan bisa hilang apabila sudah
tercapai. Sedangkan kebahagiaan spiritual lebih bersifat permanen, kekal dari
kebahagiaan psikologis. Kebahagiaan yang bersifat spiritual merupakan
kelanjutan dari tingkatan pertama. Tingkatan kedua ini muncul bersamaan dengan
hilangnya kebahagiaan pada tingkat pertama dan berkembang pada kebahagiaan
26
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 91.
55
yang lebih luas dan abadi.27
Pada tingkat kebahagiaan spiritual seorang individu
akan mengalami fase peralihan kondisi sebelum akhirnya benar-benar mencapai
kebahagiaan tertinggi yaitu melihat Tuhan (ru’yat Allāh).
Al-Attas seringkali menyebut kata syaqāwah (penderitaan), sebagai lawan
daripada kata sa‘ādah (kebahagiaan). Kata syaqāwah memiliki padanan dalam
bahasa Inggris seperti great misfortune, misery, straitness of circimstance,
distress, disquietude, despair, adversity dan suffering.28
Masing-masing dari kata-
kata tersebut memiliki aktifitas internal dan eksternal. Kata syaqāwah merupakan
kata umum untuk menggambarkan segala bentuk perasaan penderitaan yang
dialami seseorang. adapun kata-kata yang semisal dengannya hanya merupakan
derivasi atau turunan dari kata syaqāwah seperti khawf (takut), ḥuzn (sedih),
dukacita, dan lain sebagainya. Semua istilah tersebut digunakan secara khusus
untuk mereka yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku
pada kondisi di dunia dan akhirat.29
Menurut al-Attas, salah satu hal terpenting yang membuat manusia bahagia
atau menderita adalah berkaitan erat dengan petunjuk Allah (hudā Allāh).
Maksudnya, ketika seseorang tidak mendapatkan petunjuk Allah dalam menjalani
kehidupan di dunia ini, maka hakikatnya orang tersebut sedang menderita dan
hidup dalam kesengsaraan. Walupun secara kasat mata orang tersebut tampak
bahagia karena kecukupan harta, jabatan yang tinggi, dihormati banyak orang, dan
memiliki keluarga yang sejahtera dan bahagia. Begitu pula sebaliknya, seseorang
yang mendapatkan petunjuk Allah, pada hakikatnya ia sedang berada dalam
27
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 90. 28
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 86. 29
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 88.
56
kebahagiaan dan terlepas dari kesengsaraan. Walaupun secara kasat mata, orang
tersebut tidak mempunyai harta, hanya sebagai rakyat biasa, rumah yang tidak
besar, dan tidak memiliki kedudukan di mata masyarakat. Sehingga secara
istimewa seseorang yang sangat didampakan adalah orang yang mendapatkan
petunjuk dari Allah dan berbahagia di dunia, dalam pengertian orang tersebut
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.30
Al-Attas berpandangan bahwa secara tegas bahwa peradaban Barat yang
kini ada merupakan peradaban yang telah membuang petunjuk Tuhan dalam
menjalani kehidupannya. Meskipun secara lahiriah peradaban Barat tampak
menguasai teknologi, sains, memiliki harta, dan hal-hal lain, sebenarnya pada
lapisan dasar kehidupan mereka adalah penderitaan.31
Penjelasan tentang kebahagiaan yang dikemukakan al-Attas di atas, tampak
jelas bahwa ia cenderung menggiring konsep kebahagiaan dalam ranah spiritual.
Bahwa jiwa manusia yang sempurna itu bisa terjadi apabila jiwa manusia tersebut
telah suci keinginan-keinginan prasial duniawi. Jiwa yang suci dan bersih inilah
yang bisa menembus batas-batas pengetahuan akan Allah (ma‘rifat Allāh) dan
akan mendapatkan cinta dari-Nya.
30
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 86. 31
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 86.
57
BAB V:
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa kebahagiaan menurut al-
Attas bukan hanya bersifat materi tetapi juga non-materi, bukan hanya bersifat
fisik tetapi juga non-fisik, tidak hanya didapatkan di dunia ini tetapi juga kelak di
akhirat. Menurutnya ada dua macam bentuk kebahagiaan. Pertama adalah
kebahagiaan fisik dan kedua adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan fisik
bersifat temporar, sekejap, dan tidak selamanya. Sedangkan kebahagiaan spiritual
merupakan kebalikan dari kebahagiaan fisik, yaitu bersifat kekal, dan selamanya.
Pandangan al-Attas tentang kebahagiaan merupakan bentuk perwujudan atas
ketidaksamaan pandangan hidup dengan dunia Barat yang cenderung memaknai
kebahagiaan hanya dapat dirasakan di dunia ini saja. Sedangkan aspek spiritual
tidak pernah disentuh. Akibatnya pandangan Barat ini cenderung melupakan
akhirat sebagai tempat kembali yang sebenarnya, dan akhirnya mereka bersifat
sekuler, dalam artian menegasikan hal-hal yang bersifat spiritual seperti agama
dan Tuhan dalam kehidupan duniawi.
Atas dasar keprihatinannya tersebut itulah pandangan al-Attas tentang
kebahagiaan lebih cenderung ke arah sufistik, yaitu dengan penekanan pada
aktivitas hati (qalb). Karena menutunya kebahagiaan adalah kedamaian,
keamanan, dan ketenangan hati (ṭuma’ninah). Kebenaran sejati adalah kebenaran
58
yang berorientasi pada kesenangan dan ketenangan spiritual yang bertujuan untuk
mendapatkan cinta Tuhan (maḥabbatullāh) dan mengenal Tuhan (ma‘rifatullāh).
B. Rekomendasi
Penelitian tentang kebahagiaan menurut pandangan sufistik Syed
Muhammad Naquib al-Attas atau berbagai macam pandangan tentang cara
pandang muslim terhadap realitas ini masih perlu dikaji secara komprehensif.
Penelitian ini hanya menyentuh sedikit dari aspek pemikiran al-Attas. Masih
banyak dari pemikiran dan gagasan yang dikembangkan olehnya yang perlu dan
patut untuk dikembangkan terutama dalam tatanan praktek. Oleh karena itu,
penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk lebih menyempurnakan penelitian-
penelitian yang sudah ada.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdur Rahman Haji, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran.
Jakarta: Gema Insan Press, 1997.
Ainurrofiq Dawam, ‗Kritik Atas Epistemologi Modern: Upaya Islamisasi Ala
Naquib al-Attas‘,dalam Jurnal Studi Islam Mukaddimah, no. 14, November
2003.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam.
Kuala Lumpur: ISTAC, 2001.
_______, Islam dan Filsafat Sains, terj. Sauful Muzani. Bandung: Mizan, 1995.
_______, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam. Pulau Pinang:
Universiti Sains Malaysia, 2007.
_______, Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB,
1981.
Badarudin, Kemas, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Pemkiran Prof. Dr. Syed
Muhammad al-Attas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Bisri, Mustofa, Metode Tasawuf al-Ghazaly. Surabaya: al-Miftah, 2007.
Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy. Bandung; Pustaka, 2003.
Delfgaauw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Yogyakarta: Tiara Wacana,
1992.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Diener, E., R.E.Lukas, ‗Subjective Well Being: The Science of Happiness and
Life Satification‘, dalam C.R.Synder dan S.j. Lopez, Handbook of Positive
Psychology. New York: Oxford University Press, 2005.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986.
Fuad, Muskinul, ‗Psikologi Kebahagiaan dalam al-Qur‘an‘, Laporan Penelitian di
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IAIN Purwokerto,
2016.
60
Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid, Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dar al-Fikr, 2009.
_______, Kimia al-Sa‘adah, terj. Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Zaman, t.t.
_______, Ma‘ārij al-Quds fī Madārij Ma‘rifat al-Nafs. Beirut: Dar al-Kutub al-
‗Ilmiyyah, 1986.
_______, Mīzān al-‘Amal. Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah.
Hadi, Abbdul W.M, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya.
Bandung: Mizan, 1995.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hamim, Khairul, ‗Kebahagiaan dalam Perspektif al-Qur‘an dan Filsafat‘, dalam
Jurnal Tasimuh, Vol. 13, No. 2, 2016.
Hamka, Tasawuf Modern. Jakarta: Panji Mas, 1990.
Harahap, Darwis, ‗Kebahagiaan dan Akhir Kehidupan Menurut Filsafat Ekonomi
Islam‘, dalam Human Falah, Vol. 2, no. 2, 2015.
Hourani, George F., ‗Ethical Presupposition of the Qur‘an‘, dalam Muslim World,
Vol. LXX, Januari 1980.
Al-Isfahānī, al-Raghīb, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’an. Damaskus: Dar al-Qalam,
2002.
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali
Press, 1989.
Mustaim, ‗Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim
tentang Kebahagiaan‘, dalam Jurnal Ulumuna, Vol. 17, No. 1, 2013.
Muthahhari, Murtadha, Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jatidiri
Manusia. Jakarta: Lentera, 2008.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Noer, Kautsar Azhari, Ibn al-‘Arabī: Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan.
Jakarta: Paramadina, 1995.
Al-Qar, ‗Aidh Abdullah, La Tahzan, terj. Samson Rahman. Jakarta: Qisthi Press,
2004.
Quasem, Muhammad Abul, Etika al-Ghazali: Etika Majemuk dalam Islam, terj.
Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1988.
61
Rakhmat, Jalaluddin, Meraih Kebahagiaan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
2008.
Rozi, Mohammad Fahrur, ‗Pendidikan Islam dalam Perspektiif Syed Muhammad
Naquib al-Attas‘, dalam Tadris, Vol. 5, no. 2, 2010.
Sentanu, Erbe, Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2008.
Setia, Adi, ‗Epistemologi Islam Menurut al-Attas: Satu Uraian Ringkas‘, dalam
Islamia, Vol. 2, no. 6, Juli-September, 2005.
Sharif, M.M., Para Filosof Muslim, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1985.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 1997.
Suseno, Franz Magnis, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19.
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
_______, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Veenhoven, New Directions in the Study of Happiness: United States and
International Perspective. Notre Dame: University of Notre Dame Press,
1995.
_______, A Comparative Study of Satisfaction with Live. Eropa: Eotvos
University Press, 1996.