Kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan ... · KESEJAHTERAAN KELUARGA, GAYA...
Transcript of Kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan ... · KESEJAHTERAAN KELUARGA, GAYA...
KESEJAHTERAAN KELUARGA, GAYA PENGASUHAN, DAN PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSI ANAK USIA SEKOLAH
PADA KELUARGA PETANI KAYU MANIS DI TAMIAI, KERINCI, JAMBI
ELMANORA
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
ABSTRACT
ELMANORA. Family welfare, parenting style, and school-aged children’s social emotional development of cinnamon farmer at Tamiai, Kerinci, Jambi. Supervised by ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI and ALFIASARI. The aim of the research was to analyze the influence of family and child characteristics, family welfare, and parenting style toward school-aged children’s social emotional development in cinnamon farmer families at Tamiai, Kerinci District, Jambi. This research involved 50 families that were selected randomly. The samples were chosen from families of cinnamon farmer in study site who had school-aged children (fourth, fifth, and sixth grade in elementary school). Data collected by interview and self report with questionnaire. Family welfare was indicated by using three indicators those were BPS, BKKBN, and a simple poverty scorecard for Indonesia. Parenting style were measured by emotional coaching instrument. Children’s social emotional development were measured by Social Emotional Assets and Resiliency Scales A (SEARS A). Data was analyzed by descriptive and regression analysis. The results showed that the families had low welfare based on the third indicators. Mostly parent in this research applied disapproving parenting style (34%). Persentage of children’s social emotional development scores were 71,30±10,35. Family welfare was influenced by family size, father’s age, and family income. Parenting style was influenced by mother’s education. Laissez faire style correlated negative significant with children’s social emotional development. Children’s social emotional development were influenced by their age. Keywords: family welfare, parenting style, social emotional development
ABSTRAK
ELMANORA. Kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis di Tamiai, Kerinci, Jambi. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI dan ALFIASARI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis di Tamiai, Kabupaten Kerinci, Jambi. Penelitian ini melibatkan 50 keluarga yang dipilih secara acak. Contoh adalah keluarga petani kayu manis yang memiliki anak usia sekolah (kelas IV, V, dan VI sekolah dasar). Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara dan laporan diri dengan menggunakan kuesioner. Kesejahteraan keluarga diukur dengan menggunakan tiga indikator yaitu BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Gaya pengasuhan diukur dengan instrumen emotional coaching. Perkembangan sosial emosi anak diukur dengan Social Emotional Assets and Resiliency Scales A (SEARS A). Data dianalisis dengan analisis deskriptif dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga contoh memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah berdasarkan tiga indikator yang digunakan. Sebagian besar orangtua dalam penelitian ini menerapkan gaya pengasuhan tidak menyetujui (34%). Persentase skor perkembangan sosial emosi anak adalah 71,30±10,35. Kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh besar keluarga, usia ayah, dan pendapatan keluarga. Gaya pengasuhan dipengaruhi oleh pendidikan ibu. Gaya pengasuhan laissez faire berhubungan signifikan negatif dengan perkembangan sosial emosi anak. Perkembangan sosial emosi anak dipengaruhi oleh usia. Kata kunci: kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, perkembangan sosial emosi
RINGKASAN
ELMANORA. Kesejahteraan Keluarga, Gaya Pengasuhan, dan Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah pada Keluarga Petani Kayu Manis di Tamiai, Kerinci, Jambi. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI dan ALFIASARI.
Pertanian merupakan sektor yang rentan dengan masalah kemiskinan. Salah satunya adalah petani kayu manis yang merupakan petani tanaman tahunan dengan penghasilan yang rendah. Pendapatan keluarga yang rendah dapat menyebabkan terjadinya masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan berdampak pada gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua dan perkembangan sosial emosi anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) kesejahteraan keluarga contoh, 2) gaya pengasuhan pada keluarga contoh, 3) menganalisis perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga contoh, 4) pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga contoh, 5) pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan pada keluarga contoh, 6) menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga contoh. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di Desa Tamiai, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Lokasi penelitian dipilih secara purposive berdasarkan jumlah keluarga petani kayu manis terbanyak. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai bulan April 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani kayu manis di Desa Tamiai yang memiliki anak usia sekolah. Desa Tamiai terdiri atas tujuh dusun yang kemudian dipilih dua dusun (secara purposive) untuk menjadi lokasi penelitian. Dusun yang terpilih adalah Dusun Lamo dan Kampung Dalam. Setiap dusun diambil contoh secara acak sebanyak 25 keluarga, sehingga jumlah seluruh contoh adalah 50 keluarga.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga (tipe keluarga, besar keluarga, usia ayah ibu, pendidikan ayah ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga, dan kepemilikan aset), karakteristik anak (usia anak, jenis kelamin, dan urutan kelahiran), kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan orang tua (pengabai emosi, tidak menyetujui, laissez faire, dan pelatih emosi), dan perkembangan sosial emosi anak pada keluarga petani kayu manis. Data sekunder yang digunakan adalah data keadaan umum daerah penelitian serta data luas areal dan produksi perkebunan kayu manis. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi (regresi linear berganda dan regresi logistik). Kesejahteraan keluarga diukur dengan menggunakan tiga indikator yaitu garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Gaya pengasuhan diukur dengan menggunakan instrumen emotional coaching yang terdiri atas gaya pengasuhan pengabai emosi, tidak menyetujui, laissez faire, dan pelatih emosi. Perkembangan sosial emosi anak diukur dengan menggunakan instrumen Social Emotional Assets and Resiliency Scales A (SEARS A).
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani kayu manis di Desa Tamiai, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Kayu manis merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Meskipun Kabupaten Kerinci merupakan pemasok kulit kayu manis terbesar di Indonesia, namun penelitian ini menunjukkan bahwa kayu manis hanya menyumbang sebesar 8,86 persen terhadap pendapatan keluarga. Kontribusi kayu manis yang rendah terhadap pendapatan keluarga disebabkan oleh waktu panen yang lama, luas ladang yang sempit, dan harga jual kulit kayu manis yang murah. Pendapatan keluarga yang rendah dapat menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga.
Pada penelitian ini, kesejahteraan keluarga diukur dengan menggunakan indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Berdasarkan indikator BPS, lebih dari separuh keluarga contoh (56%) merupakan keluarga miskin yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan kurang dari atau sama dengan Rp193.834,00. Kesejahteraan keluarga contoh berdasarkan indikator BPS dipengaruhi oleh besar keluarga (β=-0,955, α=0,01). Berdasarkan indikator BKKBN, tiga per lima keluarga contoh (60%) tergolong keluarga miskin. Kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN dipengaruhi oleh besar keluarga (β=-0,710, α=0,05), usia ayah (β=-0,128, α=0,05), dan pendapatan keluarga (β=0,000, α=0,05). Indikator lain yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga adalah a simple poverty scorecard for Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh keluarga contoh (94%) memperoleh skor kurang dari 50 dengan rata-rata sebesar 32,90 sehingga kemungkinan besar keluarga contoh mengalami masalah kemiskinan. Hasil uji korelasi menunjukkan ada hubungan yang signifikan positif antara kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia dengan kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS (r=0,676, α=0,01) dan BKKBN (r=0,535, α=0,01).
Penelitian ini menduga bahwa karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga akan berpengaruh terhadap gaya pengasuhan. Namun, hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa gaya pengasuhan dipengaruhi oleh pendidikan ibu (β=1,228, α=0,01). Ibu yang berpendidikan tinggi berpeluang untuk menerapkan gaya pengasuhan yang lebih baik. Gaya pengasuhan yang diukur dalam penelitian ini terdiri atas pelatih emosi dan bukan pelatih emosi (pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari dua per tiga keluarga contoh (72%) menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi. Temuan ini tentu saja mengindikasikan masih rendahnya pengetahuan orang tua dalam menerapkan gaya pengasuhan yang baik, khususnya yang terkait dengan pengelolaan emosi negatif anak.
Perkembangan sosial emosi anak dinilai dari indeks perkembangan sosial emosi. Indeks perkembangan sosial emosi anak contoh berada pada selang 43-92 dengan rata-rata sebesar 71,30 dan standar deviasi 10,35. Rata-rata indeks mengindikasikan bahwa perkembangan sosial emosi anak contoh tidak optimal. Sementara itu, jika dilihat dari dimensinya, perkembangan sosial emosi yang dominan pada anak contoh adalah keterampilan interpersonal dan keterampilan dalam bergaul (34%). Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosi anak dipengaruhi oleh usia anak (β=6,409, α=0,01). Anak yang usianya semakin besar memiliki perkembangan sosial emosi yang lebih baik. Meskipun hasil uji regresi tidak menemukan adanya pengaruh gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak, namun analisis korelasi menunjukkan bahwa gaya pengasuhan laissez faire berhubungan signifikan negatif dengan perkembangan sosial emosi anak (r=-0,914, α=0,05). Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan laissez faire cenderung memiliki anak dengan perkembangan sosial emosi yang tidak optimal.
Kemiskinan merupakan akar permasalahan utama dalam keluarga. Masalah kemiskinan berkaitan dengan gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi anak. Keluarga yang miskin cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang negatif (pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire) dan memiliki anak dengan perkembangan sosial emosi yang tidak optimal. Perkembangan sosial emosi anak yang tidak optimal pada masa usia sekolah akan menghambat kesuksesan anak pada tahapan selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah: 1) meningkatkan pendapatan keluarga dengan cara meningkatkan keterampilan, 2) optimalisasi program keluarga berencana dengan cara meningkatkan pendidikan anak perempuan untuk meningkatkan usia menikah, dan 3) meningkatkan pendidikan ibu. Kata kunci: kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, perkembangan sosial emosi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kesejahteraan Keluarga, Gaya
Pengasuhan, dan Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah pada Keluarga
Petani Kayu Manis di Tamiai, Kerinci, Jambi adalah karya saya dengan arahan
dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Elmanora
NIM I24070047
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KESEJAHTERAAN KELUARGA, GAYA PENGASUHAN, DAN PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSI ANAK USIA SEKOLAH
PADA KELUARGA PETANI KAYU MANIS DI TAMIAI, KERINCI, JAMBI
ELMANORA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Judul Skripsi : Kesejahteraan Keluarga, Gaya Pengasuhan, dan Perkembangan
Sosial Emosi Anak Usia Sekolah pada Keluarga Petani Kayu
Manis di Tamiai, Kerinci, Jambi
Nama : Elmanora
NIM : I24070047
Disetujui,
Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si
Pembimbing I
Alfiasari, SP, M.Si
Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul Kesejahteraan Keluarga, Gaya Pengasuhan, dan Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah pada Keluarga Petani Kayu Manis di Tamiai, Kerinci, Jambi. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si dan ibu Alfiasari, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga selesainya skripsi ini.
2. Ibu Megawati Simanjuntak, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan Ibu Neti Hernawati, SP, M.Si selaku dosen penguji atas saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Diah Krisnatuti Pranadji, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingannya selama penulis belajar di Ilmu Keluarga dan Konsumen.
4. Gubernur Provinsi Jambi, Pemerintah Daerah Provinsi Jambi, dan Dinas Pendidikan Provinsi Jambi atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sebagai penerima Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Jambi di Institut Pertanian Bogor.
5. Bapak Sastri (Kepala Desa Tamiai) dan Bapak Haidir (Sekretaris Desa Tamiai) atas pemberian izin dan data.
6. Keluarga petani kayu manis di Desa Tamiai, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi atas waktu dan kesediaannya untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
7. Mama, Papa, dan Zawil Afkar, serta keluarga besar di Kerinci atas do’a, dukungan, dan bantuannya dalam pengambilan data di Lapangan.
8. Nurry Wulan, Deny Juniwati, Rini Hastuti, Putri Dwi M, Agus Surachman, Latifatul H, Umu R, Gilar, Fitri Sari, Mustika Dewanggi, Astari S, Ceftilia, Anggy Nurmalasari, serta seluruh sahabat dan saudaraku di IMKB, IKK Angkatan 44, Kostan Maharlika Atas, dan Kementerian Kebijakan Daerah BEM KM IPB periode 2009/2010 atas motivasi, kebersamaan, dan pengalaman yang tidak terlupakan.
9. Segala pihak yang belum disebutkan namanya atas segala kontribusinya dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, walaupun demikian penulis tetap mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Bogor, Agustus 2011
Elmanora
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xx
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xxi
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
Latar Belakang ..................................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................................. 3 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 5 Kegunaan Penelitian ............................................................................................ 6
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 7
Keluarga ............................................................................................................... 7 Kesejahteraan Keluarga ....................................................................................... 8 Gaya Pengasuhan ............................................................................................... 11 Perkembangan Sosial Emosi .............................................................................. 13
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 17
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 19
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian ............................................................... 19 Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh .............................................................. 19 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ..................................................................... 20 Pengukuran dan Penilaian Variabel Penelitian .................................................. 21 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................................... 25 Definisi Operasional .......................................................................................... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 29
Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................................. 29 Karakteristik Contoh .......................................................................................... 30 Kesejahteraan Keluarga ..................................................................................... 43 Gaya Pengasuhan ............................................................................................... 52 Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah .............................................. 55 Pembahasan ....................................................................................................... 58 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................... 68
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 69
Simpulan ............................................................................................................ 69 Saran .................................................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 71
LAMPIRAN .......................................................................................................... 75
DAFTAR TABEL Halaman
1 Variabel, dimensi pengukuran, jenis, responden, dan cara pengumpulan data .......................................................................... 21
2 Sebaran keluarga contoh berdasarkan tipe keluarga ...................... 30
3 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga ................... 31
4 Sebaran keluarga contoh berdasarkan usia ayah dan ibu ............... 32
5 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu..... 32
6 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan utama ayah dan ibu.................................................................................................... 33
7 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan keluarga per bulan ............................................................................................... 34
8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan keluarga per kapita per bulan .............................................................................. 35
9 Rataan pendapatan keluarga contoh per bulan berdasarkan sumber nafkah dan persentase kontribusi masing-masing sumber nafkah terhadap pendapatan total ................................................... 35
10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per bulan ............................................................................................... 36
11 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan .............................................................................. 36
12 Rataan alokasi pengeluaran pangan dan bukan pangan per kapita per bulan dan persentase setiap komponen terhadap total pengeluaran .................................................................................... 38
13 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kepemilikan rumah, tipe rumah, sumber penerangan, dan bahan bakar untuk memasak........................................................................................ 39
14 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kepemilikan aset ................ 41
15 Sebaran keluarga contoh berdasarkan karakteristik anak ............. 42
16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin menurut indikator garis kemiskinan BPS ..................................................... 43
17 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori keluarga sejahtera menurut indikator BKKBN ............................................................ 44
18 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pertanyaan dalam indikator a simple poverty scorecard for Indonesia ...................................... 47
19 Sebaran keluarga contoh berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia ................................................................. 48
20 Sebaran keluarga contoh berdasarkan indikator BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia ............................... 49
21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kemiskinan menurut indikator BKKBN dengan gold standard indikator BPS................ 50
22 Koefisien regresi karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS dan BKKBN ........................ 51
23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan ..................................................................................... 52
24 Sebaran keluarga contoh berdasarkan gaya pengasuhan dan kesejahteraan keluarga (indikator BPS dan BKKBN) ................... 53
25 Koefisien regresi karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan ........................ 54
26 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi anak ........................................................................... 55
27 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi dan kesejahteraan keluarga (indikator BPS dan BKKBN) ........................................................................................ 56
28 Koefisien korelasi antara jenis gaya pengasuhan dengan perkembangan sosial anak ............................................................. 56
29 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi dan gaya pengasuhan ................................................. 57
30 Koefisien regresi linear berganda karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak .................................... 58
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Faktor penentu pengasuhan ........................................................ 13
2 Kerangka pemikiran konseptual ................................................. 18
3 Alur penentuan lokasi dan contoh penelitian ............................. 20
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta lokasi penelitian .................................................................. 75
2 Kriteria keluarga sejahtera BKKBN ........................................... 76
3 Kesejahteraan keluarga indikator a simple poverty scorecard for Indonesia ............................................................................... 77
4 Teori ekologi keluarga Bronfenbrenner ...................................... 78
5 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan kesejahteraan keluarga ................................................................ 79
6 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi anak ..................... 80
7 Koefisien korelasi antara karakteristik anak dengan gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi anak ..................... 81
8 Koefisien korelasi antara kesejahteraan keluarga dengan gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi anak ..................... 82
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang telah menarik perhatian
masyarakat internasional dan belum ada solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Pembangunan bangsa dikatakan berhasil jika dapat menurunkan jumlah penduduk
miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Tahun 2010 adalah 31 juta
jiwa atau sebesar 13 persen (BPS 2010a). Penduduk miskin ini tersebar di
berbagai provinsi, salah satunya adalah Provinsi Jambi. Jumlah penduduk miskin
yang berada di Provinsi Jambi adalah 241.600 Jiwa atau 0,78 persen (BPS 2010a).
Penduduk miskin ini lebih banyak hidup di perdesaan dibandingkan di perkotaan.
Penduduk miskin di Provinsi Jambi yang tinggal di perdesaan berjumlah 130.800
jiwa (11,80%), sedangkan di perkotaan berjumlah 110.800 jiwa (6,67%) (BPS
2010a).
Penduduk miskin yang hidup di perdesaan ini sebagian besar bermata-
pencaharian sebagai petani. Salah satu contohnya adalah petani kayu manis yang
berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Petani kayu manis merupakan
petani tanaman tahunan dengan penghasilan yang rendah. Hasil dari tanaman
kayu manis berupa kulit kayu (cassiavera) yang dapat dimanfaatkan untuk bahan
makanan, minuman, dan obat-obatan. Kulit kayu manis merupakan salah satu
komoditas ekspor Indonesia. Ironisnya, harga jual kulit kayu manis saat ini masih
tergolong murah. Harga jual kulit kayu manis yang murah berdampak pada
rendahnya pendapatan keluarga petani kayu manis. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa pendapatan yang rendah dapat menyebabkan tingkat
kesejahteraan keluarga yang rendah (Iskandar 2007; Muflikhati 2010).
Menurut Behnke dan Macdermid (2004), tidak ada indikator yang
sempurna dalam mengukur kesejahteraan keluarga. Hingga saat ini telah banyak
indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga, seperti
indikator Bank Dunia, Sajogyo, BPS, BKKBN, dan indikator kesejahteraan
lainnya. Bank Dunia menggunakan ukuran pendapatan. Keluarga dikatakan
miskin jika memiliki pendapatan kurang dari 50 dolar per tahun (desa) atau 75
dolar per tahun (kota). Sajogyo menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita
2
per tahun yang disetarakan dengan 240 Kg beras bagi penduduk perdesaan dan
300 Kg beras bagi penduduk perkotaan.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan
keluarga adalah garis kemiskinan BPS dan keluarga sejahtera BKKBN. BPS
mengukur kesejahteraan keluarga berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita
per bulan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan. Keluarga miskin adalah
keluarga yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan kurang dari atau sama
dengan garis kemiskinan. BKKBN mengukur kesejahteraan pada dimensi yang
lebih luas mencakup kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar,
sosial psikologis, dan pengembangan dengan menggunakan 21 indikator keluarga
sejahtera. Selanjutnya, Chen dan Schreiner (2009) mengemukakan cara lain yang
dapat digunakan untuk memantau masalah kemiskinan yakni a simple poverty
scorecard for Indonesia. Scorecard menggunakan sepuluh indikator yang dapat
dikumpulkan dengan mudah dan cepat.
Seperti halnya tanggung jawab yang dimiliki oleh sebuah keluarga,
keluarga petani kayu manis juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk
mendidik dan mengasuh anak menjadi individu yang berkualitas. Masalah
kemiskinan akan mempengaruhi keluarga dalam menjalankan tanggung jawabnya.
Kemiskinan menyebabkan keluarga kurang memperhatikan tumbuh kembang
anak. Keluarga yang miskin akan cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang
negatif dan kurang efektif (Papalia et al. 2009). Apabila keluarga menerapkan
gaya pengasuhan yang kurang efektif maka kemungkinan terjadinya ketidak-
optimalan perkembangan anak tinggi.
Kemiskinan juga berpengaruh pada perkembangan anak. Menurut Aber et
al. (1997), kemiskinan berpengaruh pada perkembangan kognitif dan sosial emosi
anak. Kemiskinan akan menghambat keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk
menstimulasi anak. Anak yang hidup dalam kemiskinan memiliki resiko yang
lebih tinggi untuk mengalami masalah perkembangan sosial emosi (Eamon 2001).
Berns (1997) juga mengemukakan bahwa orangtua pada keluarga miskin lebih
fokus pada perilaku anak dibandingkan dengan motivasi, padahal motivasi
merupakan salah satu bagian dalam perkembangan emosi anak.
3
Perkembangan sosial emosi merupakan salah satu aspek perkembangan
yang penting bagi anak. Orangtua berperan penting dalam mengoptimalkan
perkembangan sosial emosi anak melalui kegiatan pengasuhan. Menurut Bradley,
diacu dalam Holden (2010), salah satu tugas dasar dalam pengasuhan adalah
memberikan dukungan sosial emosional. Gaya pengasuhan yang berkaitan dengan
perkembangan sosial emosi anak adalah gaya pengasuhan yang dikemukakan oleh
Gottman dan DeClaire (1997). Gottman dan DeClaire (1997) mengklasifikasikan
gaya pengasuhan menjadi gaya pengasuhan pengabai emosi, tidak menyetujui,
laissez faire, dan pelatih emosi. Penelitian sebelumnya menunjukkan ada
hubungan yang signifikan positif antara gaya pengasuhan orangtua dengan
perkembangan emosi (Setiawati 2007; Arisandi et al. 2008; Nurrohmaningtyas
2008).
Gaya pengasuhan yang dianggap baik untuk meningkatkan perkembangan
sosial emosi anak adalah gaya pengasuhan pelatih emosi. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa gaya pengasuhan pelatih emosi berpengaruh signifikan
positif terhadap perkembangan emosi (Priatini et al. 2008). Menurut Ibung
(2008), perkembangan sosial emosi anak rentan pada usia sekolah. Kemampuan
bergaul dan mengatur emosi yang baik akan menjadi bekal yang cukup bagi anak
untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Perkembangan sosial emosi pada usia
sekolah akan berdampak pada perkembangan anak pada tahapan berikutnya.
Setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang telah dilalui akan
mempengaruhi tahapan berikutnya (Brisbane & Riker 1965).
Perkembangan sosial emosi merupakan aspek penting dalam
perkembangan anak. Pemaparan di atas menjelaskan perkembangan sosial emosi
anak berkaitan dengan kesejahteraan keluarga dan gaya pengasuhan. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis kesejahteraan keluarga, gaya
pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak petani kayu manis.
Perumusan Masalah
Kayu manis merupakan tanaman tahunan yang dipanen pada umur enam
tahun, sepuluh tahun, dan 15 tahun. Hasil dari tanaman kayu manis berupa kulit
kayu (casiavera). Satu batang pohon kayu manis akan menghasilkan sekitar 20
4
Kg kulit kayu (Wangsa & Nuryati 2007). Harga jual kulit kayu masih tergolong
murah. Sejak Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2008, harga jual kulit kayu manis
berkisar antara Rp2.500,00-Rp5.000,00/Kg. Saat ini harga kulit kayu manis
berkisar antara Rp3.000,00 sampai dengan Rp6.500,00/Kg. Harga kulit kayu
manis yang diterima oleh petani disesuaikan dengan jenis kulit yang dihasilkan.
Sebagian besar petani kayu manis memiliki lahan yang sempit. Lahan
yang sempit akan menurunkan jumlah hasil panen. Hasil panen yang sedikit dan
waktu panen yang lama, serta harga jual kulit kayu manis yang murah akan
menyebabkan keluarga petani kayu manis berpenghasilan rendah. Pendapatan
yang rendah akan memicu terjadinya masalah kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi. Menurut Bank Dunia
(2000), diacu dalam Alfiasari (2007), kemiskinan mencakup empat dimensi yaitu
kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low
capabilities), rendahnya tingkat ketahanan (low level of security), dan
pemberdayaan (empowerment). Kemiskinan menjadi akar permasalahan dalam
keluarga. Masalah kemiskinan ini membentuk sebuah lingkaran setan yang sulit
terputus. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia akan menyebabkan terbatasnya
kemampuan dalam meningkatkan kesejahteraan yang pada akhirnya menyebabkan
manusia tetap miskin (Alfiasari 2007).
Upaya peningkatan kesejahteraan keluarga sangat diperlukan untuk
mengurangi angka kemiskinan. Dengan demikian pemahaman mengenai
penyebab kemiskinan penting untuk merumuskan strategi pengentasan
kemiskinan. Pengukuran kesejahteraan keluarga pada penelitian ini menggunakan
tiga indikator yaitu indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN,
dan a simple poverty scorecard for Indonesia.
Kemiskinan berdampak pada kehidupan keluarga, salah satunya pada
pengasuhan. Orangtua yang hidup dalam kemiskinan akan menerapkan
pengasuhan yang negatif, seperti mudah marah, kasar, sewenang-wenang,
penerapan disiplin yang tidak konsisten, dan lainnya (Papalia et al. 2009). Sikap
mudah marah yang diperlihatkan orangtua menunjukkan bahwa orangtua tidak
5
memiliki kemampuan mengatur emosi yang baik. Hal ini akan berpengaruh pada
anak karena anak belajar berbagai hal dari ucapan dan tingkah laku orangtuanya.
Selain berdampak pada gaya pengasuhan, kemiskinan juga akan
berdampak pada perkembangan anak. Masalah kemiskinan akan menghambat
keluarga dalam memberikan stimulus untuk mengoptimalkan perkembangan anak.
Salah satu aspek penting dalam perkembangan anak adalah perkembangan sosial
emosi anak. Perkembangan sosial emosi anak penting untuk menunjang
kesuksesan anak. Anak yang memiliki perkembangan sosial emosi yang baik akan
memiliki keterampilan bergaul, empati, keterampilan interpersonal, dukungan
sosial, keterampilan dalam memecahkan masalah, kompetensi emosional,
kematangan sosial, konsep diri secara umum, pengelolaan diri, kemerdekaan
sosial, strategi kognitif, dan ketahanan sosial emosi (Cohn et al. 2009).
Berdasarkan uraian tersebut, ada beberapa permasalahan yang akan
dianalisis dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana kesejahteraan keluarga petani kayu manis?
2. Bagaimana gaya pengasuhan orangtua pada petani kayu manis?
3. Bagaimana perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani
kayu manis?
4. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga
petani kayu manis?
5. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan
kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan orangtua pada keluarga
petani kayu manis?
6. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan
keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia
sekolah pada keluarga petani kayu manis?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kesejahteraan
keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak usia sekolah
pada keluarga petani kayu manis. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis kesejahteraan keluarga contoh.
6
2. Menganalisis gaya pengasuhan keluarga contoh.
3. Menganalisis perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga
contoh.
4. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga
contoh.
5. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan
kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan pada keluarga contoh.
6. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan
keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia
sekolah pada keluarga contoh.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna bagi berbagai pihak seperti peneliti, institusi, dan
pemerintah. Melalui penelitian ini, peneliti dapat mengasah kemampuan berfikir
logis/sistematik dan mengembangkan wawasan mengenai permasalahan yang
dihadapi oleh keluarga di masyarakat, khususnya keluarga petani kayu manis.
Hasil penelitian ini dapat memperkaya literatur tentang kesejahteraan keluarga,
gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak, serta dapat dijadikan
referensi literatur untuk penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini juga dapat
digunakan oleh pemerintah sebagai acuan/masukan untuk mengambil kebijakan
dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan kualitas perkembangan sosial
emosi anak.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga
Konsep Keluarga
Menurut Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri atas suami isteri; suami isteri dan anaknya; ayah dan
anaknya; atau ibu dan anaknya. Menurut U. S. Bureau of the Census, keluarga
adalah dua atau lebih individu yang hidup bersama dan dihubungkan oleh
kelahiran, perkawinan, atau adopsi (Berns 1997; Friedman et al. 2003).
Keluarga juga dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang
dihubungkan oleh ikatan darah, adopsi, perkawinan, atau secara ekonomi bekerja
sama (Zanden 1986). Burgess dan Locke (1960) mengemukakan empat
karakteristik keluarga antara lain: 1) keluarga disatukan oleh ikatan perkawinan,
darah, atau adopsi; 2) anggota keluarga hidup bersama di bawah satu atap; 3)
saling berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menghasilkan peran-peranan
sosial; dan 4) keluarga sebagai pemelihara kebudayaan bersama yang diperoleh
dari kebudayaan umum.
Keluarga menjalankan berbagai fungsi untuk bertahan dalam masyarakat.
Fungsi yang dijalankan keluarga sangat beragam. Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa ada delapan fungsi keluarga yaitu
keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, sosialisasi dan pendidikan,
reproduksi, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Menurut Berns (1997), keluarga
memiliki fungsi ekonomi, sosialisasi/pendidikan, peran sosial, dan reproduksi.
Mattessich dan Hill, diacu dalam Zeitlin et al. (1995) mengemukakan bahwa
keluarga berfungsi dalam pemeliharaan fisik, sosialisasi dan pendidikan,
mengontrol perilaku sosial dan seksual, memelihara moral keluarga dan memberi
motivasi, mengakuisisi anggota keluarga baru melalui prokreasi atau adopsi, serta
melepas anggota keluarga dewasa.
Keluarga dalam Kerangka Teori Struktural Fungsional
Pendekatan struktural fungsional adalah salah satu pendekatan teori
sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Selain pendekatan ini, ada
8
beberapa pendekatan lain seperti teori interaksi simbolik, teori pertukaran sosial,
teori ekologi keluarga, teori sistem, teori konflik sosial, dan teori perkembangan
keluarga (Klein & White 1996). Pendekatan struktural fungsional mengakui
segala keragaman dalam kehidupan sosial yang menjadi sumber utama
terbentuknya struktur masyarakat. Pendekatan struktural fungsional dapat dilihat
dari dua aspek yakni aspek struktural dan aspek fungsional. Aspek fungsional
tidak dapat dipisahkan dari aspek struktural karena keduanya saling berkaitan.
Fungsi dalam kata fungsional dikaitkan dengan bagaimana sebuah sistem atau
subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan dapat menjadi sebuah
kesatuan yang solid (Megawangi 1999).
Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yaitu status, peran,
dan norma sosial. Berdasarkan status sosial, keluarga inti dibagi dalam tiga
struktur yakni bapak/suami, ibu/isteri, dan anak-anak. Struktur ini dapat juga
berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, anak
sekolah, anak remaja, dan lain-lain. Keberadaan status sosial penting untuk
memberikan identitas kepada individu, memberi tempat dalam sebuah sistem
sosial, serta memberikan rasa memiliki (Megawangi 1999).
Setiap status sosial memiliki peran masing-masing. Peran sosial
menggambarkan peran-peran masing-masing individu sesuai dengan status
sosialnya. Peran sosial ini sangat dipengaruhi oleh norma-norma budaya dimana
kelompok itu berada. Elemen utama struktur yang ketiga adalah norma sosial.
Norma sosial adalah peraturan yang mengatur perilaku individu dalam kehidupan
sosialnya. Norma sosial merupakan bagian dari kebudayaan setempat yakni
berkaitan dengan pandangan hidup secara umum (Megawangi 1999).
Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan didefinisikan sebagai kualitas hidup seseorang atau unit
sosial lain. Kesejahteraan meliputi tiga konteks yaitu ekonomi, sosial, dan
komunitas. Berbagai indikator atau cara pengukuran kesejahteraan keluarga telah
digunakan, namun tidak ada indikator yang ideal untuk mengukur kesejahteraan
keluarga (Behnke & MacDermid 2004). Penelitian ini menggunakan tiga indikator
9
kesejahteraan, yaitu indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN,
dan a simple poverty scorecard for Indonesia.
Indikator Garis Kemiskinan BPS. BPS mengukur tingkat kemiskinan
dengan menggunakan garis kemiskinan. Menurut BPS (2010b), penduduk miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan. Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara
terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Setiap daerah memiliki garis
kemiskinan yang berbeda satu sama lain. Garis kemiskinan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah garis kemiskinan Provinsi Jambi Tahun 2010 yaitu
Rp193.834,00 per kapita per bulan.
Indikator Keluarga Sejahtera BKKBN. BKKBN mengukur
kesejahteraan keluarga berdasarkan kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis, dan kebutuhan pengembangan.
BKKBN membagi keluarga sejahtera menjadi lima kelompok yakni keluarga
prasejahtera (PraKS), keluarga sejahtera I (KS I), keluarga sejahtera II (KS II),
keluarga sejahtera III (KS III), dan keluarga sejahtera III Plus (KS III Plus)
(BKKBN 2009). Keluarga dikatakan prasejahtera jika belum dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, papan,
dan kesehatan.
Indikator a Simple Poverty Scorecard for Indonesia. Indikator a simple
poverty scorecard for Indonesia digunakan untuk memperkirakan tingkat
kemiskinan berdasarkan skor yang diperoleh keluarga (Chen & Schreiner 2009).
Chen dan Schreiner (2009) menyusun sepuluh pertanyaan yang dirumuskan
berdasarkan hasil Susenas 2007. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan jumlah
anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang masih sekolah, jumlah anggota
keluarga yang bekerja, sumber air minum keluarga, tipe toilet, lantai rumah,
langit-langit rumah, kepemilikan kulkas, kepemilikan kendaraan bermotor, dan
kepemilikan televisi. Kelebihan instrumen ini adalah data dapat dikumpulkan
dengan cepat dan mudah. Menurut Chen dan Schreiner (2009), a simple poverty
scorecard for Indonesia merupakan cara praktis yang dapat digunakan untuk
mengukur kemiskinan di Indonesia.
10
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga
Penelitian tentang kesejahteraan keluarga umumnya dilakukan secara
parsial dengan menggunakan berbagai indikator. Berdasarkan indikator BPS,
kesejahteraan keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh
pendidikan isteri, kepemilikan aset, pendapatan, pekerjaan kepala keluarga, dan
perencanaan keluarga (Iskandar 2007). Pendidikan isteri, kepemilikan aset, dan
pendapatan berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga,
sedangkan pekerjaan kepala keluarga dan perencanaan keuangan berpengaruh
signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Rambe et al. (2008) juga
menemukan pengaruh yang signifikan positif pendidikan kepala keluarga terhadap
kesejahteraan keluarga di Kecamatan Medan Utara, Sumatera Utara. Aniri (2008)
juga menemukan adanya pengaruh besar keluarga dan pendapatan keluarga
terhadap kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di
Kabupaten Bogor. Besar keluarga berpengaruh signifikan negatif terhadap
kesejahteraan keluarga, sedangkan pendapatan keluarga berpengaruh signifikan
positif.
Selain menggunakan indikator BPS, penelitian sebelumnya juga
menggunakan indikator BKKBN. Berdasarkan indikator BKKBN, kesejahteraan
keluarga dipengaruhi oleh variabel demografi (jumlah anggota keluarga dan usia),
sosial (pendidikan kepala keluarga), ekonomi (pendapatan, pekerjaan,
kepemilikan aset, dan tabungan), manajemen sumberdaya keluarga, dan lokasi
tempat tinggal (Iskandar 2007). Usia isteri, pendidikan kepala keluarga,
pendidikan isteri, pekerjaan isteri, kepemilikan aset, dan kepemilikan tabungan
berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga, sedangkan besar
keluarga, umur kepala keluarga, perencanaan keuangan, dan keadaan tempat
tinggal berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan
keluarga juga dipengaruhi oleh pendidikan ibu (Aniri 2008). Pendidikan ibu
berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan
ibu yang berpendidikan tinggi memiliki peluang sejahtera dibandingkan keluarga
dengan ibu yang berpendidikan rendah.
Penelitian sebelumnya juga menggunakan indikator lain untuk mengukur
kesejahteraan keluarga, seperti indikator BPS, BKKBN, World Bank, dan sosial
11
metrik (Muflikhati 2010). Hasil penelitian Muflikhati (2010) juga menemukan
adanya pengaruh pendapatan keluarga, aset, besar keluarga terhadap kesejahteraan
keluarga berdasarkan indikator dan tingkat pendidikan kepala keluarga terhadap
kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat.
Gaya Pengasuhan
Menurut Hoghughi (2004), pengasuhan (parenting) berasal dari bahasa
latin yaitu “parere” yang artinya membangun/mendidik. Pengasuhan (child
rearing) adalah pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai
orangtua dalam mendidik, merawat, dan mengasuh anak. Jerome Kagan, seorang
psikolog perkembangan mengartikan pengasuhan sebagai penerapan serangkaian
keputusan tentang sosialisasi: mengenai apa yang seharusnya dilakukan orangtua
untuk menghasilkan anak yang bertanggung jawab, anak yang dapat berkontribusi
dalam masyarakat, serta bagaimana orangtua memberi respon ketika anak
menangis, berbohong, marah, dan tidak berprestasi di sekolah (Berns 1997).
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis gaya
pengasuhan telah dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Baumrind (2008),
Rohner (1986), serta Gottman dan DeClaire (1997). Menurut Baumrind (2008),
gaya pengasuhan dikategorikan menjadi gaya pengasuhan tak terikat (unengaged),
serba membolehkan (permissive), otoriter (authoritarian), dan demokratis
(authoritative). Berbeda dengan Baumrind, Rohner (1986) mengkategorikan gaya
pengasuhan menjadi gaya pengasuhan menerima dan gaya pengasuhan menolak
berdasarkan Teori Penolakan dan Penerimaan Orangtua (Parental Acceptance-
Rejection Theory).
Gaya pengasuhan lainnya dikemukakan oleh Gottman dan Declaire
(1997). Gottman dan DeClaire (1997) mengkategorikan gaya pengasuhan ke
dalam empat kategori yaitu gaya pengasuhan pengabai emosi (dismissing), gaya
pengasuhan tidak menyetujui (disapproving), gaya pengasuhan laissez faire, dan
pelatih emosi (emotional coaching).
Gaya pengasuhan pengabai emosi (dismissing) adalah gaya pengasuhan
pada orangtua yang tidak mengindahkan, tidak mau mengenal, atau mengabaikan
emosi negatif anak (Gottman & DeClaire 1997). Emosi negatif yang dimaksud
12
adalah marah dan sedih. Dampak dari penggunaan gaya pengasuhan pengabai
emosi pada anak adalah anak belajar bahwa perasaannya salah/tidak pantas dan
anak akan mengalami kesulitan dalam mengatur emosi sendiri.
Gaya pengasuhan tidak menyetujui (disapproving) adalah gaya
pengasuhan pada orangtua yang memberikan sedikit empati ketika anak
menunjukkan emosi negatifnya, namun mereka mengabaikan, menolak, tidak
menyetujui, dan menegur/menghukum anak atas ekspresi emosinya (Gottman &
DeClaire 1997). Dampak dari penerapan gaya pengasuhan ini pada anak adalah
sama dengan anak yang dihasilkan dari orangtua yang menerapkan gaya
pengasuhan pengabai emosi.
Gaya pengasuhan laissez faire adalah gaya pengasuhan pada orangtua
yang menerima emosi anak dan berempati pada anak, tetapi tidak memberikan
bimbingan atau menentukan batas pada tingkah laku anak (Gottman & DeClaire
1997). Dampak penerapan gaya pengasuhan ini adalah anak tidak belajar
mengatur emosi mereka, bermasalah dalam hal konsentrasi, membentuk
persahabatan, dan bergaul dengan anak-anak lain.
Gaya pengasuhan pelatih emosi (emotional coaching) adalah gaya
pengasuhan pada orangtua yang memperhatikan emosi anak. Dampak penggunaan
gaya pengasuhan pelatih emosi pada anak adalah anak belajar untuk mempercayai
perasaan mereka, belajar mengatur emosi mereka sendiri, dan belajar
menyelesaikan masalah. Anak yang dihasilkan dari gaya pengasuhan pelatih
emosi ini adalah anak yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, belajar dengan
baik, dan bergaul dengan baik dengan orang lain.
Gaya pengasuhan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal
maupun faktor eksternal. Salah satunya adalah pengalaman masa lalu yang
menjadi bagian dari sejarah kehidupan manusia. Belksy, diacu dalam Holden
(2010) telah membangun sebuah model yang berisi faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap gaya pengasuhan (Gambar 1). Gaya pengasuhan
dipengaruhi oleh sejarah perkembangan, kepribadian, kualitas perkawinan,
pekerjaan, jaringan sosial, dan karakteristik anak. Gaya pengasuhan akan
berpengaruh pada perkembangan anak.
13
Gambar 1 Faktor penentu pengasuhan (Belsky, diacu dalam Holden (2010))
Perkembangan Sosial Emosi
Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah adalah anak yang berada pada usia kelompok (gang
age) dan merupakan periode aktif dalam pembentukan kepribadian dan
perkembangan sosial (Turner & Helms 1991). Anak usia sekolah dalam teori
kognitif Piaget termasuk pada tahapan operasional konkret (Santrock 2007).
Periode ini merupakan awal dari anak berpikir rasional, artinya anak memiliki
operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret.
Teori perkembangan psikososial Erik Erikson menempatkan anak usia
sekolah pada tahap kerajinan (industry versus inferiority). Pada tahapan ini,
imajinasi dan antusias anak meningkat. Anak mengarahkan energinya untuk
menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Hal yang membahayakan
dalam tahapan ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif pada anak
(Santrock 2007).
Setiap tahap perkembangan memiliki tugas yang harus dilakukan. Menurut
Havighurst (1976), diacu dalam Hurlock (1980), tugas-tugas perkembangan yang
harus diselesaikan individu pada masa kanak-kanak (6-12 tahun), yaitu (1)
mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang
umum, (2) membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk
yang sedang tumbuh, (3) belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman
seusianya, (4) mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, (5)
mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan
berhitung, (6) mengembangkan pengertian-pengertian yang yang diperlukan untuk
Pekerjaan
PengasuhanSejarah
Perkembangan Kepribadian
Kualitas Perkawinan
Jaringan Sosial
Karakteristik Anak
Perkembang-an anak
14
kehidupan sehari-hari, (7) mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata
nilai, (8) mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan
lembaga-lembaga, dan (9) mencapai kebebasan pribadi.
Perkembangan Sosial Emosi
Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa dan emosi. Menurut Daniel
Goleman (2007), emosi berasal dari kata movere (bahasa latin) yang berarti
“menggerakkan/bergerak”. Kata ini ditambah dengan awalan “e” yang berarti
“bergerak menjauh”. Menurut Safaria dan Saputra (2009), emosi setiap orang
akan mencerminkan keadaan jiwanya dan terlihat pada perubahan jasmaninya,
seperti emosi marah. Ketika seseorang marah, maka mukanya akan memerah,
napasnya menjadi sesak, otot-otot tangannya akan menegang, dan energi
tubuhnya memuncak. Emosi merupakan suatu keadaan atau suatu interaksi yang
dianggap penting olehnya terutama well-being dirinya yang menyebabkan
munculnya suatu perasaan atau afeksi (Saarni et al. 1998). Emosi ini diperlihatkan
melalui ekspresi yang menunjukkan rasa senang, takut, marah, sedih, dan lain-lain
bergantung pada keadaan yang dialaminya.
Saarni et al. (1998) menyatakan bahwa untuk bisa dikatakan kompeten
secara emosional, seseorang harus mengembangkan beberapa keterampilan yang
berhubungan dengan konteks sosial, yaitu (1) pemahaman tentang keadaan emosi
yang dialami, (2) mendeteksi emosi orang lain, (3) menggunakan kosakata yang
berhubungan dengan emosi secara tepat sesuai dengan konteks dan budaya
tertentu, (4) sensitivitas empatik dan simpatik terhadap pengalaman emosional
orang lain, (5) memahami bahwa keadaan emosional di dalam tidak harus selalu
berhubungan dengan ekspresi yang tampak di luar, (6) menyesuaikan diri
terhadap emosi negatif dengan menggunakan metode pengaturan diri untuk
mengurangi durasi dan intensitas dari emosi tersebut, (7) menyadari bahwa
ekspresi emosi memiliki peranan yang penting dalam hubungan interpersonal, dan
(8) memandang bahwa keadaan emosi diri adalah cara seseorang mengatur
emosinya.
15
Emosi berperan penting dalam kehidupan anak karena melalui emosi
seseorang mengetahui apa yang dirasakan oleh orang lain. Selain itu, emosi juga
akan menunjang kesuksesan individu. Menurut Parke dan Gauvain (2009),
perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah
genetik, lingkungan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan teman sebaya, dan
faktor lainnya.
Penelitian ini menganalisis perkembangan sosial emosi pada anak usia
sekolah. Anak usia sekolah berada pada periode aktif dalam pembentukan
kepribadian dan perkembangan sosial (Turner & Helms 1991). Pada usia ini,
interaksi antara anak dengan lingkungan semakin kompleks, seperti aktivitas
dalam keluarga, aktivitas dengan teman sebaya (peer group), aktivitas di sekolah,
dan lain-lain. Anak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan lingkungannya.
Hal ini dilakukan untuk membangun hubungan sosial dengan lingkungannya.
Perkembangan sosial erat hubungannya dengan perkembangan emosi.
Emosi berperan penting dalam kesuksesan hubungan anak dengan teman sebaya.
Anak yang memiliki emosi negatif (marah, sedih, takut, malu, dan lain-lain) akan
mengalami penolakan yang lebih besar dari teman sebaya mereka (Stocker &
Dunn 1990, diacu dalam Santrock 2007).
Social Emotional Assets and Resiliency Scales (SEARS)
Perkembangan sosial emosi memiliki peranan yang penting dalam
interaksi antara anak dan lingkungannya. Anak diharapkan memiliki kemampuan
dalam mengatur emosi dan dapat bergaul dengan orang lain. Salah satu instrumen
yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak adalah
Social Emotional Assets and Resiliency Scales (SEARS) (Cohn et al. 2009).
SEARS menggunakan teori berbasis kekuatan individu (strength based
theory). Pendekatan ini mengukur ketrampilan, kemampuan, dan karakteristik
positif individu yang akan membimbing individu dalam berinteraksi sosial dengan
lingkungannya (Epstein & Sharma 1998, diacu dalam Cohn et al. 2009). Menurut
Epstein et al. (2001), diacu dalam Cohn et al. (2009), ada empat komponen utama
dalam pendekatan berbasis kekuatan individu (strength based theory), yaitu (1)
semua anak dan keluarga memiliki kekuatan, (2) fokus pada sesuatu yang positif
16
dapat memotivasi dan memicu anak untuk melakukan perubahan yang positif, (3)
kekurangan adalah kesempatan untuk belajar, dan (4) menggunakan kekuatan
dasar dapat meningkatkan keterlibatan anak.
SEARS adalah sistem penilaian yang berdasarkan atas kekuatan yang ada
pada individu. SEARS bertujuan untuk menilai sosial emosi yang positif pada anak
dan remaja, meliputi pengetahuan dan kemampuan sosial emosi, penerimaan dan
hubungan dengan teman sebaya, kelentingan dalam menghadapi masalah,
kemampuan melakukan strategi koping, kemampuan dalam memecahkan
masalah, empati, konsep diri secara umum, dan sifat positif lainnya (Cohn et al.
2009).
SEARS dapat digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak
usia 5-18 tahun. Responden untuk SEARS adalah anak, guru, dan orangtua dengan
menggunakan teknik laporan diri (self report). SEARS dibagi dalam empat
kategori yaitu SEARS C, SEARS A, SEARS T, dan SEARS P. SEARS C digunakan
untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak usia 3-6 tahun, sedangkan
SEARS A digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak pada usia
7-12 tahun. SEARS T digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi
anak berdasarkan penilaian dari guru, sedangkan SEARS P berdasarkan penilaian
dari orangtua. Item pertanyaan yang digunakan dalam SEARS ini berkisar antara
52 sampai dengan 54 item. Penilaian SEARS ini menggunakan skala Likert yaitu
tidak pernah, jarang, kadang-kadang, dan hampir selalu.
17
KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunan nasional pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Pemahaman mengenai faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan keluarga penting untuk merumuskan program peningkatan
kesejahteraan keluarga. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kesejahteraan
keluarga dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Keluarga kecil memiliki peluang
sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga besar. Pendidikan akan
berpengaruh terhadap pekerjaan seorang individu. Individu yang berpendidikan
tinggi memiliki peluang kerja yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang
berpendidikan rendah. Selain itu, pendidikan dan pekerjaan juga berkaitan dengan
pendapatan keluarga. Pendapatan yang tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Selain itu, kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh kepemilikan aset.
Keluarga dengan aset yang banyak berpeluang sejahtera lebih besar dibandingkan
dengan keluarga dengan aset sedikit.
Karakteristik keluarga juga berpengaruh terhadap gaya pengasuhan
orangtua. Selain dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, gaya pengasuhan
orangtua juga dipengaruhi oleh karakteristik anak dan kesejahteraan keluarga.
Orangtua yang hidup dalam kemiskinan cenderung menerapkan gaya pengasuhan
yang negatif. Apabila gaya pengasuhan yang diterapkan negatif maka sulit bagi
orangtua untuk mengoptimalkan perkembangan anak terutama perkembangan
sosial emosi. Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa gaya
pengasuhan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Selain dipengaruhi oleh
gaya pengasuhan, perkembangan sosial emosi anak juga dipengaruhi oleh
kemiskinan. Kemiskinan dapat menghambat keluarga dalam menyediakan
fasilitas untuk menstimulasi anak. Anak yang hidup dalam kemiskinan memiliki
resiko yang lebih tinggi untuk mengalami masalah perkembangan sosial emosi.
Berdasarkan uraian penelitian sebelumnya maka penelitian ini
menghasilkan hipotesis: 1) karakteristik keluarga akan berpengaruh terhadap
kesejahteraan keluarga, 2) karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan
kesejahteraan keluarga akan berpengaruh terhadap gaya pengasuhan orangtua, 3)
karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya
pengasuhan akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosi anak.
18
Gambar 1 Kerangka pemikiran konseptual
Karakteristik keluarga: 1. Tipe keluarga 2. Besar keluarga 3. Pendidikan ayah ibu 4. Usia ayah ibu 5. Pekerjaan ibu 6. Pendapatan keluarga 7. Pengeluaran keluarga 8. Aset keluarga
Karakteristik anak: 1. Umur anak 2. Jenis kelamin 3. Urutan kelahiran
Perkembangan sosial emosi 1. Kompetensi emosional 2. Pengaturan diri 3. Keterampilan dalam memecahkan
masalah 4. Ketahanan sosial emosi 5. Strategi kognitif 6. Konsep diri secara umum 7. Dukungan sosial 8. Kematangan sosial 9. Kemerdekaan sosial 10. Empati 11. Keterampilan bergaul 12. Keterampilan interpersonal
Kesejahteraan keluarga: 1. Indikator garis
kemiskinan BPS 2. Indikator keluarga
sejahtera BKKBN 3. A simple poverty
scorecard for Indonesia
Gaya pengasuhan orangtua: 1. Pengabai emosi
(dismissing) 2. Tidak menyetujui
(disapproving) 3. Laissez faire 4. Pelatih emosi (emotion
coaching)
19
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu penelitian
yang dilakukan pada satu waktu tertentu. Lokasi penelitian adalah Desa Tamiai,
Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Lokasi
penelitian dipilih secara purposive. Desa Tamiai dipilih sebagai lokasi penelitian
karena memiliki jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Batang Merangin
(BPS 2011). Kecamatan Batang Merangin dipilih berdasarkan jumlah keluarga
petani kayu manis. Menurut Dinas Perkebunan Kabupaten Kerinci (2011),
Kecamatan Batang Merangin merupakan kecamatan yang memiliki jumlah
keluarga petani kayu manis terbanyak di Kabupaten Kerinci. Lokasi penelitian
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Kegiatan penelitian terdiri atas penyusunan proposal penelitian,
pengambilan data di lapangan, pengolahan data, analisis data, dan penulisan
laporan hasil penelitian. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan
penelitian ini adalah delapan bulan terhitung mulai dari Januari 2011 hingga
Agustus 2011. Pengambilan data di lapangan dilakukan selama empat minggu
yakni sejak minggu kedua bulan Maret 2011 sampai dengan minggu pertama
bulan April 2011.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani kayu manis di Desa
Tamiai yang memiliki anak usia sekolah. Desa Tamiai terdiri atas tujuh dusun
yang kemudian dipilih dua dusun (secara purposive) untuk menjadi lokasi
penelitian. Dusun yang terpilih adalah Dusun Lamo dan Kampung Dalam. Dua
dusun ini dipilih karena memiliki keluarga petani kayu manis terbanyak
dibandingkan dengan dusun lainnya. Contoh dalam penelitian ini dipilih secara
acak sederhana (simple random sampling).
Menurut data monografi desa, Desa Tamiai memiliki 217 anak Sekolah
Dasar. Data anak usia sekolah yang terdapat di setiap dusun tidak tersedia
sehingga perlu dilakukan pendataan keluarga yang memiliki anak usia sekolah
khususnya di Dusun Lamo dan Kampung Dalam. Hasil pendataan awal yang
20
dilakukan peneliti menunjukkan bahwa 34 keluarga di Dusun Lamo dan 32
keluarga di Kampung Dalam yang memenuhi syarat untuk menjadi kerangka
contoh. Setiap dusun diambil contoh secara acak sebanyak 25 keluarga, sehingga
jumlah seluruh contoh adalah 50 keluarga. Alur penentuan lokasi dan contoh
penelitian disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Alur penentuan lokasi dan contoh penelitian
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga (tipe keluarga, besar
keluarga, usia ayah ibu, pendidikan ayah ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga,
pengeluaran keluarga, dan kepemilikan aset), karakteristik anak (usia, jenis
kelamin, dan urutan kelahiran anak), kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan
orangtua (pengabai emosi, tidak menyetujui, laissez faire, dan pelatih emosi), dan
perkembangan sosial emosi anak pada keluarga petani kayu manis. Variabel,
dimensi pengukuran, jenis, responden, dan cara pengumpulan data disajikan
dalam Tabel 1.
Data sekunder diperlukan untuk memperkaya dan menunjang analisis data
primer. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, yaitu Kantor Badan Pusat
Statistik Kabupaten Kerinci, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kerinci, Kantor Kecamatan Batang Merangin, dan Kantor Desa Tamiai. Adapun
data sekunder yang dikumpulkan mencakup data keadaan umum daerah penelitian
(keadaan geografis, administratif, kependudukan, sarana, dan prasarana) serta
data luas areal dan produksi perkebunan kayu manis.
purposive
acak sederhana
Desa Tamiai
Dusun Lamo (34 KK) Kampung Dalam (32 KK)
25 KK 25 KK
21
Tabel 1 Variabel, dimensi pengukuran, jenis dan cara pengumpulan data
No Variabel/dimensi pengukuran Jenis data Responden Cara
pengumpulan 1 Karakteristik keluarga
- Tipe keluarga (0=keluarga inti, 1=keluarga luas) nominal ibu wawancara
- Besar keluarga rasio ibu wawancara - Usia ayah ibu rasio ibu wawancara - Pendidikan ayah ibu rasio ibu wawancara - Pekerjaan ibu (0=tidak
bekerja, 1=bekerja) nominal ibu wawancara
- Pendapatan keluarga rasio ibu wawancara - Pengeluaran keluarga rasio ibu wawancara - Kepemilikan aset rasio ibu wawancara
2 Karakteristik anak - Usia anak rasio ibu wawancara - Jenis kelamin (1=laki-laki,
2=perempuan) nominal ibu wawancara
- Urutan kelahiran (1=anak tunggal, 2=anak sulung, 3=anak tengah, 4=anak bungsu)
ordinal ibu wawancara
3 Kesejahteraan keluarga - Indikator BPS rasio ibu wawancara - Indikator BKKBN interval ibu wawancara - Indikator a simple poverty
scorecard for Indonesia rasio ibu wawancara
4 Gaya pengasuhan orangtua - Pengabai emosi rasio ibu self report - Tidak menyetujui rasio ibu self report - Laissez faire rasio ibu self report - Pelatih emosi rasio ibu self report
Jenis gaya pengasuhan (0=bukan pelatih emosi, 1=pelatih emosi)
ordinal ibu self report
5 Perkembangan sosial emosi anak
rasio anak self report
Pengukuran dan Penilaian Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan atas kerangka
pemikiran penelitian. Pengukuran variabel penelitian disesuaikan untuk menjawab
tujuan penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah karakteristik keluarga,
karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan
22
sosial emosi anak. Pengukuran dan penilaian variabel penelitian dapat dijelaskan
sebagai berikut:
A. Karakteristik Keluarga
Karakteristik keluarga diukur dan dinilai dengan cara sebagai berikut:
a. Tipe keluarga dibedakan menjadi (0) keluarga inti dan (1) keluarga luas.
b. Besar keluarga dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤4 orang), keluarga
sedang (5-6 Orang), dan keluarga besar (≥7 orang).
c. Usia ayah ibu dibedakan menjadi dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya
(41-65 tahun), dan dewasa akhir (>65 tahun).
d. Pendidikan orangtua contoh diukur berdasarkan lama sekolah pada pendidikan
formal (tahun).
e. Pekerjaan ibu dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) tidak bekerja, (2)
petani kayu manis, (3) pedagang.
f. Pendapatan dan pengeluaran keluarga dibedakan menjadi kurang dari
Rp500.000,00, Rp500.00,00-Rp999.999,00, Rp1.000.000,00-Rp1.999.999,00,
dan lebih dari atau sama dengan Rp2.000.000,00.
g. Kepemilikan aset diukur berdasarkan kepemilikan rumah, kendaraan, alat
elektronik, mebel, alat rumah tangga, dan lain-lain.
B. Karakteristik Anak
Karakteristik anak meliputi usia anak, jenis kelamin, dan urutan kelahiran.
Pengukuran dan penilaian komponen karakteristik anak, yaitu:
a. Usia anak dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu anak usia 10 tahun, 11
tahun, dan 12 tahun.
b. Jenis kelamin anak terdiri atas (1) laki-laki dan (2) perempuan.
c. Urutan kelahiran dikategorikan menjadi (1) anak tunggal, (2) anak sulung, (3)
anak tengah, dan (4) anak bungsu.
C. Kesejahteraan Keluarga
Tingkat kesejahteraan keluarga diukur dengan menggunakan tiga indikator
yaitu indikator garis kemiskinan BPS, indikator keluarga sejahtera BKKBN, dan a
simple poverty scorecard for Indonesia.
a. Berdasarkan garis kemiskinan perdesaan Provinsi Jambi 2010, keluarga
dibedakan menjadi dua kategori menurut tingkat kemiskinan, yaitu:
23
1) Miskin, jika pengeluaran per kapita per bulan ≤Rp193.834,00.
2) Tidak miskin, jika pengeluaran per kapita per bulan >Rp193.834,00.
b. Berdasarkan indikator keluarga sejahtera BKKBN, keluarga dikelompokkan
menjadi:
1) Keluarga prasejahtera (PraKS), jika tidak memenuhi kriteria KS I
2) Keluarga sejahtera I (KS I), jika memenuhi enam kriteria KS I
3) Keluarga sejahtera II (KS II), jika memenuhi enam kriteria KS I dan delapan
kriteria KS II
4) Keluarga sejahtera III (KS III), jika memenuhi 14 kriteria KS II dan lima
kriteria KS III
5) Keluarga sejahtera plus (KS III Plus), jika memenuhi 19 kriteria KS III dan
dua kriteria KS III Plus (Lampiran 2)
Berdasarkan pengelompokan tersebut, keluarga dibedakan menjadi dua
kategori, yaitu:
1) Miskin, jika termasuk dalam keluarga PraKS dan KS I.
2) Tidak miskin, jika termasuk dalam keluarga KS II, KS III, dan KS III Plus.
c. Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia terdiri atas sepuluh
pertanyaan dan masing-masing pilihan jawaban memiliki skor yang berbeda
satu sama lain (Lampiran 3). Skor yang diperoleh dijumlahkan sehingga
diperoleh skor minimum adalah nol (kemungkinan besar berada di bawah garis
kemiskinan) dan skor maksimum adalah 100 (kecil kemungkinan berada di
bawah garis kemiskinan) (Chen & Schreiner 2009).
D. Gaya Pengasuhan
Gaya pengasuhan diukur dengan menggunakan instrumen yang disusun
oleh Gottman dan DeClaire (1997). Instrumen Gottman dan DeClaire (1997)
menggunakan 81 pernyataan yang terdiri atas 25 pernyataan untuk gaya
pengasuhan pengabai emosi, 23 pernyataan untuk gaya pengasuhan tidak
menyetujui, 10 pernyataan untuk gaya pengasuhan laissez faire, dan 23
pernyataan untuk gaya pengasuhan pelatih emosi.
Berdasarkan uji cronbach alpha, ada sebelas pernyataan yang tidak
digunakan dalam mengukur gaya pengasuhan orangtua keluarga contoh. Oleh
24
karenanya, jumlah pernyataan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 70
pernyataan dengan koefisien cronbach alpha sebesar 0,746. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 19 pernyataan untuk gaya pengasuhan
pengabai emosi, 20 pernyataan untuk gaya pengasuhan tidak menyetujui, 9
pernyataan untuk gaya pengasuhan laissez faire, dan 22 pernyataan untuk gaya
pengasuhan pelatih emosi.
Jawaban pernyataan yang terdapat dalam instrumen ini terdiri atas dua
pilihan yaitu benar (B) dan salah (S). Jawaban “benar” diberi skor satu dan
jawaban “salah” diberi skor nol untuk melihat kecenderungan gaya pengasuhan
yang diterapkan orangtua. Kemudian, skor yang diperoleh dijumlahkan sehingga
menghasilkan skor minimum dan skor maksimum. Skor minimum adalah nol dan
skor maksimum adalah 19 (gaya pengasuhan pengabai emosi), 20 (gaya
pengasuhan tidak menyetujui), sembilan (gaya pengasuhan laissez faire), dan 22
(gaya pengasuhan pelatih emosi). Skor yang diperoleh distandarisasi sehingga
diperoleh skor minimum adalah nol dan skor maksimum adalah 100. Semakin
tinggi skor gaya pengasuhan tertentu, semakin kuat kecenderungan orangtua
terhadap gaya pengasuhan tersebut.
E. Perkembangan Sosial Emosi
Perkembangan sosial emosi anak diukur dengan menggunakan instrumen
Social Emotional Assets and Resiliency Scales (SEARS) (Cohn et al. 2009).
Instrumen SEARS yang digunakan adalah instrumen SEARS A yakni SEARS untuk
mengukur perkembangan sosial emosi anak usia 7-12 tahun dengan menggunakan
teknik laporan diri (self report). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki koefisien cronbach alpha sebesar 0,888 dengan jumlah pernyataan yang
digunakan adalah 53 pernyataan. Jawaban pernyataan menggunakan skala Likert,
yaitu: (1) tidak pernah, (2) jarang, (3) kadang-kadang, dan (4) hampir selalu.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 11 pernyataan
untuk kompetensi emosional dan konsep diri, 13 pernyataan untuk pengaturan
diri, keterampilan dalam memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi,
delapan pernyataan untuk strategi kognitif, delapan pernyataan untuk dukungan,
kematangan, dan kemerdekaan sosial, tujuh pernyataan untuk empati, dan enam
25
pernyataan untuk keterampilan interpersonal/bergaul. Pernyataan yang digunakan
dalam instrumen ini adalah pernyataan positif. Jawaban “selalu” diberi nilai tiga,
“kadang-kadang” diberi nilai dua, “jarang” diberi nilai satu, dan jawaban “tidak
pernah” diberi nilai nol. Skor yang diperoleh dijumlahkan sehingga diperoleh skor
terendah adalah nol dan skor tertinggi adalah 159. Selanjutnya, skor dibuat indeks
sehingga diperoleh indeks minimum nol dan maksimum 100. Skor yang diperoleh
juga dihitung berdasarkan dimensinya. Berdasarkan skor per dimensi akan
diperoleh dimensi yang dominan untuk masing-masing anak contoh.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial.
Proses pengolahan data diawali dengan proses editing, coding, entrying, skoring,
dan cleaning data. Selanjutnya data dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan karakteristik
keluarga (tipe keluarga, besar keluarga, usia ayah ibu, pendidikan ayah ibu,
pendapatan keluarga, pekerjaan ibu, pengeluaran keluarga, dan kepemilikan
aset), karakteristik anak (usia anak, jenis kelamin, dan urutan kelahiran),
kecenderungan gaya pengasuhan orangtua, serta kategori perkembangan sosial
emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis.
2. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh
karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya
pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada
keluarga petani kayu manis.
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + γ1D1 + γ2D2 + γ3D3 + ε
Keterangan: Y = Indeks perkembangan sosial emosi α = Konstanta β1-5 = Koefisien regresi X1 = Besar keluarga (orang) X2 = Usia ibu (tahun) X3 = Pendidikan ibu (tahun) X4 = Pendapatan keluarga (Rp/bulan) X5 = Usia anak (tahun) γ1-4 = Koefisien dummy
26
D1 = Kesejahteraan keluarga (0=miskin; 1=tidak miskin) D2 = Pekerjaan ibu (0=tidak bekerja; 1=bekerja) D3 = Jenis kelamin anak (0=anak laki-laki; 1=anak perempuan) D4 = Jenis gaya pengasuhan (0=pengabai emosi, tidak
menyetujui, dan laissez faire; 1=pelatih emosi) ε = Error
3. Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis:
a. Pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga
berdasarkan indikator BPS dan BKKBN.
= β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + ε
Keterangan: p = Peluang untuk sejahtera (0=tidak sejahtera, 1=sejahtera) β1-5 = Koefisien regresi X1 = Besar keluarga (orang) X2 = Usia ayah (tahun) X3 = Pendidikan ibu (tahun) X4 = Pendapatan keluarga (Rp/bulan) X5 = Luas ladang kayu manis (hektar) ε = Error
b. Pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan
keluarga terhadap gaya pengasuhan orangtua.
= α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + γ1D1 + γ2D2 +
γ3D3 + γ4D4+ ε
Keterangan:
p = Peluang untuk pelatih emosi (0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire; 1=pelatih emosi) α = Konstanta β1-5 = Koefisien regresi X1 = Besar keluarga (orang) X2 = Usia ibu (tahun) X3 = Pendidikan ibu (tahun) X4 = Pendapatan keluarga (Rp/bulan) X5 = Usia anak (tahun) γ1-3 = Koefisien dummy D1 = Kesejahteraan keluarga (0=miskin; 1= tidak miskin) D2 = Pekerjaan ibu (0=tidak bekerja; 1=bekerja) D3 = Jenis kelamin anak (0=anak laki-laki; 1=anak perempuan) ε = Error
27
Definisi Operasional
Anak usia sekolah adalah anak usia 6-12 tahun yang saat ini berada di kelas IV,
V, dan VI Sekolah Dasar.
Keluarga petani kayu manis adalah keluarga yang kepala keluarganya bekerja
sebagai petani kayu manis.
Besar keluarga adalah ukuran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga
yang dinyatakan dalam orang.
Pendidikan orangtua adalah tingkat pendidikan ayah dan ibu yang diukur
berdasarkan lama pendidikan formal (tahun) yang pernah diikuti.
Pendapatan keluarga adalah penjumlahan dari pendapatan seluruh anggota
keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per bulan.
Pendapatan per kapita adalah pendapatan keluarga dibagi dengan besar
keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan.
Pengeluaran keluarga adalah penjumlahan dari seluruh pengeluaran baik pangan
maupun bukan pangan yang dikeluarkan oleh rumah tangga selama
satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah per bulan.
Pengeluaran per kapita adalah rata-rata pengeluaran untuk setiap anggota rumah
tangga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan.
Pengeluaran untuk pangan adalah proporsi pengeluaran yang digunakan untuk
mengkonsumsi pangan (makanan pokok, protein hewani, protein
nabati, sayur mayur, buah-buahan, minyak, bahan minuman, bumbu,
tembakau dan sirih, dan kebutuhan pangan lainnya) yang dinyatakan
dalam rupiah per bulan.
Pengeluaran untuk bukan pangan adalah proporsi pengeluaran yang digunakan
untuk kesehatan, pendidikan, sandang, energi, perumahan, pajak,
komunikasi, dan tabungan yang dinyatakan dalam rupiah per bulan.
Kepemilikan aset adalah jumlah aset yang dimiliki oleh keluarga dilihat dari
kepemilikan rumah, kendaraan, alat elektronik, mebel, alat rumah
tangga, dan lain-lain.
Kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga dibandingkan dengan indikator
kesejahteraan dan atau kemiskinan yang sudah ditentukan (BPS,
28
BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia). Kategori
kesejahteraan mengikuti aturan dari indikator tersebut.
Indikator BPS adalah indikator yang digunakan untuk mengklasifikasikan
keluarga miskin berdasarkan garis kemiskinan perdesaan Provinsi
Jambi Tahun 2010 yaitu Rp193.834,00.
Indikator BKKBN adalah indikator yang digunakan untuk mengklasifikasian
keluarga sejahtera berdasarkan kemampuan dalam memenuhi 21
indikator keluarga sejahtera.
Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia adalah indikator yang
digunakan untuk memperkirakan tingkat kemiskinan berdasarkan skor
yang diperoleh keluarga.
Gaya pengasuhan orangtua adalah cara yang dominan dari orang tua dalam
mengarahkan beragam emosi anaknya khususnya emosi negatif.
Gaya pengasuhan pengabai emosi (dismissing) adalah gaya pengasuhan yang
orangtua mengabaikan emosi negatif anak.
Gaya pengasuhan tidak menyetujui (disapproving) adalah gaya pengasuhan
yang orangtua memberikan sedikit empati ketika anak menunjukkan
emosi negatifnya, namun mereka mengabaikan, menolak, tidak
menyetujui, dan menegur/menghukum anak atas ekspresi emosinya.
Gaya pengasuhan laissez faire adalah gaya pengasuhan yang orangtua yang
menerima/empati dengan emosi anak tetapi tidak membimbing
tingkah laku anak.
Gaya pengasuhan pelatih emosi (emotion coaching) adalah gaya pengasuhan
yang orangtua melatih emosi anak sehingga anak memiliki rasa
percaya diri yang tinggi, belajar dengan baik, dan dapat bergaul
dengan baik.
Perkembangan sosial emosi adalah perkembangan sosial emosi anak usia
sekolah yang dilihat dari keterampilan bergaul, empati, keterampilan
interpersonal, dukungan sosial, keterampilan dalam memecahkan
masalah, kompetensi emosional, kematangan sosial, konsep diri,
pengelolaan diri, kemerdekaan sosial, strategi kognitif, dan ketahanan
sosial emosi.
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara administratif, Desa Tamiai termasuk dalam wilayah Kecamatan
Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Kabupaten Kerinci secara
geografis terletak di antara 1o40’ LS - 2o26’ LS dan 101o08’ BT - 101o50’ BT (BPS
2011). Wilayah ini berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat di sebelah utara,
Kabupaten Merangin di sebelah selatan, Kabupaten Bungo di sebelah timur, dan
di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera
Barat.
Secara administratif, Kabupaten Kerinci terdiri atas 12 kecamatan, 207
desa, dan dua kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Kerinci pada Tahun 2010
adalah 229.495 jiwa. Sebagian besar penduduk (61,3%) di Kabupaten Kerinci
bekerja di bidang pertanian. Salah satu komoditas utama dari Kabupaten Kerinci
adalah kayu manis (Cinnamomum burmannii). Kayu manis ini ditanam pada lahan
seluas 40.775 Ha dan dapat ditemukan di semua kecamatan yang ada di
Kabupaten Kerinci. Kecamatan yang memiliki jumlah keluarga petani kayu manis
terbanyak adalah Kecamatan Batang Merangin. Jumlah keluarga petani kayu
manis di Kecamatan Batang Merangin adalah 2.378 KK dengan lahan seluas
10.692 Ha. Kecamatan Batang Merangin menempati urutan kedua jika dilihat dari
luas ladang kayu manis. Urutan pertama ditempati oleh Kecamatan Gunung Raya
yang memiliki ladang kayu manis seluas 11.196 Ha dengan jumlah keluarga
petani kayu manis sebanyak 2.189 KK.
Kecamatan Batang Merangin terdiri atas 14 desa dengan pusat
pemerintahan kecamatan adalah Desa Tamiai. Desa Tamiai dipimpin oleh seorang
kepala desa dan dibantu oleh seorang sekretaris desa, tiga orang kepala urusan
yakni bidang kemasyarakatan, pembangunan, dan pemerintahan, serta tujuh
kepala dusun. Desa Tamiai memiliki tujuh dusun, yaitu Dusun Lamo, Sako
Tengah, Sako Jauh, Kampung Lereng, Kampung Dalam, Koto Ipuh, dan Pintu
Rimbo.
Desa Tamiai memiliki luas sebesar 7.650 Ha. Lebih dari tiga per empat
luas wilayah Desa Tamiai merupakan lahan pertanian dan perkebunan yang
meliputi 5.000 Ha ditanami kayu manis, 325 Ha ditanami kopi, 850 Ha ditanami
30
padi dan palawija, 17 Ha ditanami sayur mayur, 0,9 Ha ditanami buah-buahan,
empat hektar ditanami tembakau, dan 0,5 Ha ditanami kelapa.
Penduduk Desa Tamiai berjumlah 3.131 jiwa yang terdiri atas 1.400 jiwa
penduduk laki-laki dan 1.731 jiwa penduduk perempuan. Jumlah rumah
tangga/KK di Desa Tamiai sebanyak 716 KK. Sebanyak 1.024 jiwa penduduk
Desa Tamiai bermata pencaharian sebagai petani, 542 jiwa sebagai buruh tani, 31
jiwa sebagai pegawai negeri sipil, dan penduduk lainnya bekerja sebagai
wiraswasta, tukang, dan juga bekerja di bidang jasa.
Seluruh penduduk yang ada di Desa Tamiai beragama Islam. Sarana untuk
ibadah yang dimiliki Desa Tamiai adalah tiga buah masjid, lima buah langgar, dan
tiga buah Taman Pendidikan Alqur’an (TPA). Selain itu, Desa Tamiai juga
memiliki tiga kelompok majlis ta’lim dan satu kelompok remaja masjid.
Kelompok ini biasanya mengadakan kegiatan setiap satu kali dalam seminggu.
Sarana lain yang dimiliki oleh Desa Tamiai adalah sarana pendidikan (TK, SD,
SMP, dan SMA) dan sarana kesehatan (puskesmas, pos KB, posyandu).
Karakteristik Contoh
Karakteristik Keluarga Contoh
Tipe Keluarga. Berdasarkan tipenya, keluarga dibedakan menjadi
keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family) (Berns 1997).
Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Keluarga luas
adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, ditambah juga dengan
kakek, nenek, paman, bibi, dan saudara lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh
(86%) merupakan keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Adapun
sisanya yaitu kurang dari seperlima keluarga contoh (14%) merupakan keluarga
luas (Tabel 2). Keluarga contoh ini dikatakan keluarga luas karena masih tinggal
dengan kakek dan nenek dalam satu rumah.
Tabel 2 Sebaran keluarga contoh berdasarkan tipe keluarga Tipe keluarga n %
Keluarga inti (nuclear family) 43 86,00 Keluarga luas (extended family) 7 14,00
Total 50 100,00
31
Besar keluarga. Besar keluarga diukur berdasarkan jumlah anggota
keluarga. Keluarga dikategorikan menjadi keluarga kecil (jumlah anggota
keluarga kurang dari atau sama dengan empat orang), keluarga sedang (jumlah
anggota keluarga lima sampai dengan enam orang), dan keluarga besar (jumlah
anggota keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang). Jumlah anggota
keluarga contoh berada pada selang 3-9 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga
contoh adalah 5,04 orang dengan standar deviasi sebesar 1,39 orang. Berdasarkan
besar keluarga, lebih dari separuh keluarga contoh (54%) merupakan keluarga
sedang (Tabel 3).
Jumlah anak terbanyak dalam keluarga contoh adalah enam orang.
Kecenderungan keluarga contoh adalah ingin memiliki anak laki-laki dan
perempuan. Jika anak pertama, kedua, ketiga, atau keempat berjenis kelamin laki-
laki semuanya maka keluarga akan tetap menambah jumlah anak sampai dengan
anak perempuan lahir. Demikian juga halnya jika anak pertama, kedua, ketiga,
atau keempat berjenis kelamin perempuan semuanya maka keluarga akan tetap
menambah jumlah anak sampai dengan anak laki-laki lahir.
Tabel 3 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga Besar keluarga n %
Keluarga kecil (≤ 4 orang) 17 34,00Keluarga sedang (5-6 orang) 27 54,00Keluarga besar (≥ 7 orang) 6 12,00
Total 50 100,00
Usia Ayah dan Ibu. Menurut Papalia et al. (2009), usia ayah dan ibu
dapat dikategorikan menjadi dewasa muda (20-40 tahun), dewasa madya (41-65
tahun), dan dewasa lanjut (≥65 tahun). Berdasarkan kategori usia, lebih dari dua
per tiga ayah pada keluarga contoh (68%) merupakan dewasa madya (Tabel 4).
Usia ayah berada pada selang 31-55 tahun. Rata-rata usia ayah pada keluarga
contoh adalah 43,74 tahun dengan standar deviasi sebesar 6,56 tahun. Tabel 4
juga menunjukkan bahwa lebih dari dua per tiga ibu pada keluarga contoh (68%)
tergolong dalam usia dewasa muda. Usia ibu berada pada selang 28-53 tahun.
Rata-rata usia ibu pada keluarga contoh adalah 38,82 tahun dengan standar deviasi
sebesar 5,76 tahun. Rata-rata usia ayah lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
usia ibu, artinya usia ibu lebih muda dibandingkan dengan usia ayah.
32
Tabel 4 Sebaran keluarga contoh berdasarkan usia ayah dan ibu
Kategori usia Ayah Ibu
n % n % Dewasa muda (20-40 tahun) 16 32,00 34 68,00 Dewasa madya (41-65 tahun) 34 68,00 16 32,00 Dewasa lanjut (>65 tahun) 0 0,00 0 0,00
Total 50 100,00 50 100,00
Pendidikan Ayah dan Ibu. Pendidikan akan menentukan penguasan
wawasan dan cara berfikir seseorang. Penelitian ini mengukur pendidikan
berdasarkan pendidikan formal yaitu sekolah dasar (SD), sekolah menengah
pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan perguruan tinggi. Secara
umum, ayah pada keluarga contoh telah menempuh pendidikan selama enam
hingga 14 tahun dengan pendidikan tertinggi adalah diploma tiga (D3). Ibu pada
keluarga contoh juga telah menempuh pendidikan selama enam hingga 16 tahun
dengan pendidikan tertinggi adalah strata satu (S1).
Lama sekolah terendah pada keluarga contoh baik ayah maupun ibu adalah
enam tahun. Artinya, seluruh ayah dan ibu pada keluarga contoh telah
menamatkan sekolah dasar (SD). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa lebih
dari sepertiga ayah pada keluarga contoh (38%) telah menempuh pendidikan
selama 12 tahun atau setara dengan SMA (Tabel 5). Rata-rata lama pendidikan
ayah pada keluarga contoh adalah 9,40 tahun dengan standar deviasi sebesar 2,53
tahun.
Tabel 5 juga menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga ibu pada keluarga
contoh (36%) menempuh pendidikan selama enam tahun atau setara dengan
sekolah dasar (SD). Rata-rata lama pendidikan ibu pada keluarga contoh adalah
8,96 tahun dengan standar deviasi sebesar 2,66 tahun. Berdasarkan rata-rata, lama
pendidikan ayah pada keluarga contoh sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
lama pendidikan ibu.
Tabel 5 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu
Pendidikan Ayah Ibu
n % n % SD/sederajat (0-6 tahun) 14 28,00 18 36,00 SMP/sederajat (7-9 tahun) 16 32,00 16 32,00 SMA/sederajat (10-12 tahun) 19 38,00 15 30,00 Perguruan tinggi (> 12 tahun) 1 2,00 1 2,00
Total 50 100,00 50 100,00
33
Pekerjaan Ayah dan Ibu. Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh seorang individu dalam mencari nafkah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa seluruh ayah pada keluarga contoh bekerja sebagai petani. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa empat per lima ibu dalam keluarga contoh (80%)
bekerja sebagai petani. Keluarga contoh terdiri atas tiga jenis petani yaitu petani
ladang, petani sawah, dan buruh tani. Jenis pekerjaan lain yang dilakukan oleh ibu
pada keluarga contoh adalah pedagang. Ibu pada keluarga contoh membuka
warung yang menjual kebutuhan rumah tangga, lontong, dan buah. Hasil
penelitian juga menunjukkan adanya ibu pada keluarga contoh (4%) yang tidak
bekerja (Tabel 6). Alasannya adalah sakit dan kondisi fisik yang belum siap untuk
bekerja setelah melahirkan.
Tabel 6 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan utama ayah dan ibu
Jenis pekerjaan Ayah Ibu n % n %
Tidak bekerja 0 0,00 2 4,00Petani kayu manis 50 100,00 40 80,00Pedagang 0 0,00 8 16,00
Total 50 100,00 50 100,00
Pendapatan Keluarga. Pendapatan adalah imbalan yang diterima oleh
seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya. Pendapatan keluarga merupakan
penjumlahan dari pendapatan setiap anggota keluarga. Data mengenai pendapatan
keluarga sulit untuk diperoleh karena sebagian besar keluarga contoh bekerja
sebagai petani. Seorang petani memiliki pendapatan yang tidak tetap setiap
bulannya. Contohnya adalah petani kayu manis, petani sawah, dan buruh tani.
Cara pengambilan data pendapatan keluarga yang bekerja sebagai petani kayu
manis dilakukan dengan menanyakan jumlah hasil panen kulit kayu manis yang
biasa diterima petani dalam satu masa panen. Setelah itu, jumlah hasil panen (Kg)
dikalikan dengan harga kulit kayu manis (Rp6.000,00/Kg) dan dibagi dengan
lama panen (tahun).
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung pendapatan keluarga
yang bekerja sebagai petani sawah. Data dihitung dengan menanyakan jumlah
hasil panen (kaleng) padi dalam satu kali panen. Selanjutnya, jumlah hasil panen
dikalikan dengan harga padi (Rp40.000,00/kaleng) dan dibagi dengan lama panen
(bulan). Data pendapatan keluarga contoh yang bekerja sebagai buruh tani
34
dihitung berdasarkan jumlah hari kerja dan selanjutnya dikalikan dengan upah
buruh tani (Rp25.000,00/hari). Sebagian besar contoh menggunakan uang hasil
bekerja sebagai buruh tani untuk membeli kebutuahan keluarga. Keluarga contoh
(suami dan istri) biasanya bekerja sebagai buruh tani sebanyak empat sampai
enam kali dalam satu minggu, sehingga dalam satu minggu keluarga contoh
mendapatkan upah sebesar dua ratus ribu hingga tiga ratus ribu per minggu.
Rata-rata pendapatan keluarga contoh adalah Rp1.011.517,00/bulan
dengan standar deviasi Rp277.189,00. Pendapatan terendah keluarga contoh
adalah Rp550.000,00 per bulan sedangkan pendapatan tertinggi keluarga contoh
adalah Rp2.243.000,00 per bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari
separuh keluarga contoh (58%) memiliki pendapatan keluarga yang berada pada
rentang Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00 per bulan (Tabel 7). Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa hanya ada satu keluarga contoh yang memiliki
pendapatan di atas dua juta rupiah.
Tabel 7 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan keluarga per bulan Pendapatan keluarga (Rp/bulan) n %
<Rp500.000,00 0 0,00 Rp500.000,00 – Rp999.999,00 29 58,00 Rp1.000.000,00 – Rp1.999.999,00 20 40,00 >Rp2.000.000,00 1 2,00
Total 50 100,00
Pendapatan keluarga per bulan belum mencerminkan kemampuan
konsumsi setiap anggota keluarga. Kemampuan konsumsi setiap anggota keluarga
dapat digambarkan melalui pendapatan per kapita per bulan. Pendapatan keluarga
per kapita per bulan diperoleh dari hasil pembagian antara pendapatan keluarga
per bulan dengan jumlah anggota keluarga. Pendapatan keluarga per kapita per
bulan dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jambi pada Tahun
2010 yaitu Rp193.834,00. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan
keluarga per kapita per bulan keluarga contoh berada pada selang Rp124.537,00–
Rp448.750,00. Rata-rata pendapatan keluarga contoh adalah Rp207.936,45/kapita
dengan standar deviasi sebesar Rp58.204,68. Berdasarkan pendapatan keluarga
per kapita per bulan, lebih dari separuh keluarga contoh (56%) memiliki
pendapatan keluarga per kapita per bulan kurang dari Rp193.834,00 (Tabel 8).
35
Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan keluarga per kapita per bulan
Pendapatan keluarga (Rp/kapita/bulan) N % ≤Rp193.834,00 28 56,0 >Rp193.834,00 22 44,0
Total 50 100,0
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan oleh keluarga contoh diketahui
bahwa pendapatan keluarga contoh bersumber dari hasil ladang kayu manis,
sawah, upah buruh tani, keuntungan dagang, dan pekerjaan lainnya (kepala desa,
petugas kebersihan, dan “ojek”). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari
separuh pendapatan keluarga contoh (50,37%) bersumber dari buruh tani.
Keluarga contoh merupakan keluarga petani kayu manis, namun hasil
penelitian menunjukkan bahwa kontribusi kayu manis dalam pendapatan keluarga
contoh masih rendah yaitu sebesar 8,86 persen (Tabel 9). Rendahnya kontribusi
kayu manis ini dalam pendapatan keluarga akibat dari kayu manis merupakan
tanaman tahunan yang dipanen dalam waktu lama dan lahan yang dimiliki petani
juga sempit sehingga jumlah hasil panen sedikit. Selain itu, harga jual kulit kayu
manis murah sehingga pendapatan keluarga yang berasal dari kayu manis rendah.
Tabel 9 Rataan pendapatan keluarga contoh per bulan berdasarkan sumber nafkah dan persentase kontribusi masing-masing sumber nafkah terhadap pendapatan total
Sumber nafkah Minimum (Rp/bulan)
Maksimum (Rp/bulan)
Rata-rata pendapatan
keluarga (Rp/bulan)
Kontribusi terhadap
pendapatan total (%)
Ladang kayu manis 30.000,00 343.750,00 89.650,00 8,86 Sawah 0,00 566.666,67 223.666,67 22,11 Upah buruh tani 0,00 1.000.000,00 509.500,00 50,37 Berdagang 0,00 1.000.000,00 128.700,00 12,72 Lain-lain 0,00 1.400.000,00 60.000,00 5,93
Total 1.011.516,67 100,00
Pengeluaran Keluarga. Pengeluaran keluarga adalah besarnya biaya yang
dikeluarkan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan keluarga
sehari-hari dibeli di pasar tradisional, warung, dan pedagang keliling. Pasar
tradisional berlangsung hanya sekali dalam satu minggu yaitu pada hari kamis.
Pengeluaran keluarga contoh berada pada selang Rp547.667,00-Rp2.235.500,00
per bulan dengan rata-rata sebesar Rp1.005.098,00/bulan dan standar deviasi
36
sebesar Rp276.387,00/bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga per lima
keluarga contoh (60%) memiliki pengeluaran keluarga pada selang Rp500.000,00
hingga Rp999.999,00 per bulan (Tabel 10).
Tabel 10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per bulan Pengeluaran keluarga (Rp/bulan) n %
<Rp500.000,00 0 0,00 Rp500.000,00 – Rp999.999,00 30 60,00 Rp1.000.000,00 – Rp1.999.999,00 19 38,00 ≥Rp2.000.000,00 1 2,00
Total 50 100,00 Pengeluaran keluarga per bulan juga belum mencerminkan konsumsi
untuk masing-masing anggota keluarga. Keluarga yang memiliki pengeluaran
keluarga yang tinggi belum tentu memiliki pengeluaran per kapita yang tinggi.
Hal ini bergantung pada jumlah anggota keluarga. Pengeluaran keluarga yang
tinggi jika dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang banyak akan
menghasilkan pengeluaran per kapita yang rendah. Ukuran yang mencerminkan
kondisi pengeluaran keluarga adalah pengeluaran keluarga per kapita.
Pengeluaran keluarga per kapita dapat dihitung dengan cara membagi jumlah
pengeluaran keluarga dengan jumlah anggota keluarga.
Pengeluaran keluarga (Rp/kapita/bulan) dikategorikan berdasarkan garis
kemiskinan Provinsi Jambi pada Tahun 2010 yaitu Rp193.834,00. Pengeluaran
keluarga (Rp/kapita/bulan) berada pada selang Rp124.083,00–Rp447.100,00
dengan rata-rata sebesar Rp206.589,36 dan standar deviasi sebesar Rp57.916,36.
Berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan, lebih dari separuh
keluarga contoh (56%) memiliki pengeluaran keluarga per kapita per bulan
kurang dari Rp193.834,00 (Tabel 11).
Tabel 11 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan
Pengeluaran keluarga (Rp/kapita/bulan) n % ≤Rp193.834,00 28 56,00 >Rp193.834,00 22 44,00
Total 50 100,00
Pengeluaran keluarga dapat dibedakan menjadi pengeluaran pangan dan
pengeluaran bukan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari
37
separuh pengeluaran keluarga contoh (55,69%) dialokasikan untuk pengeluaran
pangan, sedangkan sisanya (44,31%) dialokasikan untuk pengeluaran bukan
pangan (Tabel 12). Artinya, pengeluaran untuk kebutuhan pangan pada keluarga
contoh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan bukan
pangan.
Pengeluaran pangan adalah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan
pangan, seperti makanan pokok, protein hewani, protein nabati, sayur mayur,
buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbu, tembakau dan
sirih, dan kebutuhan pangan lainnya. Rataan pengeluaran pangan keluarga contoh
(Rp/kapita/bulan) adalah Rp115.041,13. Sebagian besar pengeluaran pangan
keluarga contoh dialokasikan untuk pembelian makanan pokok (beras) yakni
sebesar 27,29 persen (Tabel 12).
Proporsi pengeluaran untuk pangan terendah dialokasikan untuk sayur
mayur dan buah-buahan. Buah dan sayur yang biasa dikonsumsi diperoleh dari
pasar tradisional dan hasil pemanfaatan pekarangan rumah dan ladang. Buah yang
biasa dikonsumsi oleh keluarga contoh adalah pisang, pepaya, jambu, mangga,
sirsak, cempedak, nanas, jeruk, durian, dan belimbing. Keluarga contoh juga
mengkonsumsi sayuran, seperti kacang panjang, talas, terong, kangkung, labu
siam, nangka, pare, rebung, selada, tekokak, genjer, dan jenis sayuran lainnya.
Pendapatan keluarga yang cukup rendah menyebabkan keluarga harus
melakukan koping dalam mengkonsumsi pangan. Contohnya adalah bahan
minuman dan rokok. Sebagian besar keluarga contoh memilih untuk
mengkonsumsi “air kawa” sebagai pengganti teh dan kopi. “Air kawa” merupakan
minuman yang terbuat dari rebusan daun kopi kering. “Air kawa” dibuat tanpa
menggunakan gula pasir sehingga dengan mengganti teh dan kopi, keluarga
contoh juga dapat menurunkan konsumsi gula pasir. Selain bahan minuman,
koping juga dilakukan keluarga contoh pada rokok. Sebagian besar keluarga
contoh mengkonsumsi rokok namun rokok yang dikonsumsi adalah rokok yang
harganya murah. Ada juga keluarga contoh yang memilih untuk mengkonsumsi
rokok nipah.
Pengeluaran bukan pangan adalah pengeluaran keluarga untuk memenuhi
kebutuhan bukan pangan, seperti pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan,
38
sandang, energi, perumahan, pajak, komunikasi, dan tabungan. Rataan
pengeluaran bukan pangan keluarga contoh per kapita per bulan adalah sebesar
Rp91.548,51. Proporsi terbesar pengeluaran bukan pangan pada keluarga contoh
(16,85%) dialokasikan untuk pendidikan seperti SPP/BP3, transportasi anak,
buku/alat tulis, seragam sekolah, dan uang saku (Tabel 12). Proporsi terbesar
pengeluaran bukan pangan kedua adalah untuk energi (listrik, bensin, minyak
tanah, dan gas) yaitu sebesar 8,02 persen.
Tabel 12 Rataan alokasi pengeluaran pangan dan bukan pangan per kapita per bulan dan persentase setiap komponen terhadap total pengeluaran
Pengeluaran keluarga Rp/bulan % Pangan 1. Makanan pokok 56.368,10 27,29 2. Protein hewani 10.581,15 5,12 3. Protein nabati 8.225,46 3,98 4. Sayur mayur 1.141,62 0,55 5. Buah-buahan 2.816,95 1,36 6. Minyak goreng 10.107,74 4,89 7. Bahan minuman 4.678,17 2,26 8. Jajan 3.685,24 1,78 9. Rokok 6.913,06 3,35 10. Pangan lain 10.523,65 5,09 Total pangan 115.041,13 55,69 Bukan pangan 11. Kesehatan 4.377,58 2,12 12. Pendidikan 34.809,87 16,85 13. Sandang 13.754,73 6,66 14. Energi 16.564,33 8,02 15. Perumahan 1.291,56 0,63 16. Pajak 76,32 0,04 17. Komunikasi 4.862,86 2,35 18. Tabungan 15.811,27 7,65 Total bukan pangan 91.548,51 44,31 Total pengeluaran keluarga 206.589,64 100,00
Kepemilikan Aset. Aset adalah sumber daya keluarga yang bernilai
ekonomi. Aset dapat dilihat melalui keadaan tempat tinggal, salah satunya adalah
rumah yang ditempati oleh keluarga contoh. Rumah berdasarkan statusnya dapat
dibedakan menjadi rumah milik sendiri, rumah kontrak/sewa, dan rumah milik
39
orang tua. Hampir seluruh keluarga contoh (90%) telah memiliki rumah sendiri
(Tabel 13). Ada beberapa keluarga contoh yang masih tinggal di rumah orang tua
dan rumah kontrak/sewa.
Rumah berdasarkan tipenya dapat dibedakan menjadi rumah permanen,
rumah semipermanen, dan rumah nonpermanen. Keluarga contoh memiliki rumah
yang cukup beragam. Berdasarkan tipe rumah, dua per lima keluarga contoh
(42%) telah memiliki rumah permanen, namun masih ada seperempat keluarga
contoh (26%) yang masih tinggal di rumah nonpermanen (Tabel 13).
Penerangan juga memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga.
Sumber penerangan dari rumah dapat berasal dari listrik maupun bukan listrik.
Listrik telah ada di Desa Tamiai, namun tidak semua masyarakat dapat menikmati
listrik sebagai sumber penerangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
seperlima keluarga contoh (20%) tidak menggunakan listrik sebagai sumber
penerangan di rumahnya (Tabel 13).
Tabel 13 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kepemilikan rumah, tipe rumah, sumber penerangan, dan bahan bakar untuk memasak
Kondisi rumah n %Status kepemilikan rumah Rumah sendiri 45 90,00Rumah kontrak 1 2,00Rumah milik orang tua 4 8,00Tipe rumah Permanen 21 42,00Semipermanen 16 32,00Nonpermanen 13 26,00Sumber penerangan Listrik 40 80,00Bukan listrik 10 20,00Bahan bakar untuk memasak Kayu bakar 43 86,00Minyak tanah 5 10,00Gas 2 4,00Total 50 100,00
Bahan bakar untuk memasak yang digunakan oleh keluarga contoh adalah
kayu bakar, minyak tanah, dan gas. Sebagian besar keluarga contoh (86%)
memanfaatkan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak (Tabel 13). Kayu
bakar ini tidak dibeli namun dicari di ladang dan hutan. Keluarga contoh masih
belum siap untuk menggunakan kompor gas dan kompor minyak. Keluarga
40
contoh lebih memilih untuk menggunakan kayu bakar dibandingkan dengan gas
dan minyak tanah karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk memperolehnya.
Selain itu, keberadaan kayu bakar juga masih banyak seperti kayu dari pohon
kayu manis yang telah diambil kulitnya. Sebagian keluarga contoh yang telah
menggunakan kompor minyak juga masih menggunakan kayu bakar. Kayu bakar
digunakan untuk memasak air.
Selain rumah, aset lain yang diukur dalam penelitian ini adalah
kepemilikan ladang kayu manis. Sebagai seorang petani kayu manis, kepemilikan
ladang kayu manis berperan penting. Seluruh keluarga contoh memiliki ladang
kayu manis dengan luas yang berbeda. Luas ladang kayu manis keluarga contoh
berada pada selang 0,50-5,50 Ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh
keluarga contoh (50%) memiliki ladang kayu manis yang luasnya adalah satu
hingga tiga hektar (Tabel 14) dengan rata-rata luas ladang kayu manis adalah 1,23
Ha. Keluarga contoh yang memiliki ladang yang luasnya lebih dari tiga hektar
sangat sedikit yakni hanya empat persen. Luas ladang kayu manis ini berkaitan
dengan hasil yang diperoleh petani. Hasil panen juga sedikit jika luas lahan yang
dimiliki sempit.
Jenis aset lain yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah ternak. Jenis
ternak yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah sapi, ayam, dan itik. Keluarga
contoh yang memiliki ternak sangat sedikit yakni kurang dari sepuluh persen
(Tabel 14). Sebagian keluarga contoh juga memiliki kendaraan, seperti motor dan
mobil. Keluarga contoh yang memiliki mobil sangat sedikit yakni hanya ada satu
keluarga (2%), sedangkan motor dimiliki oleh seperlima keluarga contoh (22%)
(Tabel 14). Berbeda halnya dengan kepemilikan ternak dan kendaraan, sebagian
besar keluarga contoh telah memiliki alat elektronik seperti radio/tape, video/CD,
handphone, dan televisi. Alat elektronik ini telah dimiliki oleh lebih dari dua per
tiga keluarga contoh (Tabel 14).
Keluarga contoh juga memiliki mebel, seperti kursi tamu, meja makan,
tempat tidur, lemari pakaian, dan lemari hias (Tabel 14). Hampir seluruh keluarga
contoh (98%) telah memiliki tempat tidur dan lemari pakaian, sedangkan kursi
tamu dan meja makan dimiliki hampir separuh keluarga contoh. Jenis mebel lain
yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah lemari hias. Lemari hias ini dimiliki
41
oleh lebih dari seperempat keluarga contoh (26%). Hasil penelitian juga
menunjukkan ada satu keluarga contoh yang tidak memiliki tempat tidur dan
lemari pakaian. Keluarga contoh ini tidur di atas papan yang dibuat seperti tempat
tidur dan posisinya lebih tinggi dari lantai. Papan tersebut hanya dilapisi oleh
anyaman tikar tanpa kasur.
Tabel 14 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kepemilikan aset
Kepemilikan aset n %Luas ladang kayu manis - < 1 Ha 23 46,00- 1-3 Ha 25 50,00- >3 Ha 2 4,00Sub total 50 100,00Jenis ternak - Sapi 1 2,00- Ayam 5 10,00- Itik 2 4,00Jenis kendaraan - Mobil 1 2,00- Motor 11 22,00Jenis alat elektronik - Radio/tape 35 70,00- Video/CD 35 70,00- Telepon/Handphone 37 74,00- Televisi 38 76,00Jenis mebel - Kursi tamu 24 48,00- Meja makan 22 44,00- Tempat tidur 49 98,00- Lemari pakaian 49 98,00- Lemari hias 13 26,00Jenis alat rumah tangga - Lemari makan 13 26,00- Rice cooker 10 20,00- Oven 2 4,00- Kulkas 2 4,00- Kompor gas 2 4,00- Kompor minyak 5 10,00
Keluarga contoh juga memiliki alat rumah tangga seperti lemari makan,
rice cooker, oven, kulkas, kompor gas, dan kompor minyak (Tabel 14). Lemari
makan telah dimiliki lebih dari seperempat keluarga contoh, sedangkan rice
cooker telah dimiliki seperlima keluarga contoh. Alat rumah tangga yang sangat
sedikit dimiliki adalah oven, kulkas, dan kompor gas. Alat rumah tangga ini hanya
dimiliki oleh dua persen keluarga contoh. Hasil penelitian juga menunjukkan
42
bahwa sebagian besar keluarga contoh tidak menggunakan kompor gas dan
kompor minyak untuk memasak. Keluarga contoh cenderung memilih untuk
menggunakan kayu bakar untuk memasak. Alasan inilah yang menyebabkan
sedikitnya keluarga contoh yang memiliki kompor gas dan kompor minyak untuk
memasak.
Karakteristik Anak
Jenis Kelamin. Salah satu karakteristik anak yang diamati adalah jenis
kelamin. Lebih dari separuh keluarga contoh (56%) memiliki anak yang berjenis
kelamin laki-laki (Tabel 15). Artinya, jumlah keluarga contoh yang memiliki anak
berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan keluarga contoh
yang memiliki anak berjenis kelamin perempuan.
Usia Anak. Karakteristik lain yang diamati pada anak adalah usia. Anak
contoh berusia antara sepuluh hingga 12 tahun. Rata-rata usia anak contoh adalah
11 tahun. Hasil penelitian menunjukkan hampir dua per lima anak contoh (38%)
berusia 12 tahun.
Urutan Kelahiran. Berdasarkan urutan kelahiran, anak dapat dibedakan
menjadi anak tunggal, anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Hasil
penelitian menunjukkan hampir separuh anak contoh (48%) merupakan anak
bungsu (Tabel 15). Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat keluarga contoh
yang memiliki anak tunggal yakni sebesar enam persen.
Tabel 15 Sebaran keluarga contoh berdasarkan karakteristik anak Karakteristik anak n %
Jenis kelamin - Laki-laki 28 56,00 - Perempuan 22 44,00 Usia anak - 10 tahun 16 32,00 - 11 tahun 15 30,00 - 12 tahun 19 38,00 Urutan kelahiran - Anak tunggal 3 6,00 - Anak sulung 7 14,00 - Anak tengah 16 32,00 - Anak bungsu 24 48,00 Total 50 100,00
43
Kesejahteraan Keluarga
Indikator Garis Kemiskinan BPS
BPS mengukur kesejahteraan keluarga berdasarkan kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar. Ketidakmampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan dasar mengindikasikan bahwa keluarga tersebut mengalami masalah
kemiskinan. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar tercermin
dari pengeluaran per kapita per bulan. Selanjutnya, pengeluaran keluarga per
kapita per bulan dibandingkan dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan di
setiap daerah berbeda berdasarkan lokasi dan indeks harga konsumen yang
berlaku di daerah tersebut. Garis kemiskinan dibedakan menjadi garis kemiskinan
perdesaan dan garis kemiskinan perkotaan. Garis kemiskinan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah garis kemiskinan perdesaan Provinsi Jambi Tahun
2010 adalah sebesar Rp193.834,00 per kapita per bulan.
Berdasarkan indikator BPS, keluarga dikatakan miskin jika memiliki
pengeluaran kurang dari atau sama dengan Rp193.834,00 per kapita per bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir tiga per lima keluarga contoh (56%)
tergolong dalam keluarga miskin yang memiliki pengeluaran keluarga kurang dari
Rp193.834,00 per kapita per bulan.
Tabel 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin menurut indikator garis kemiskinan BPS
Kategori n % Miskin (pengeluaran per kapita per bulan ≤ Rp 193.834,00) 28 56,00
Tidak miskin (pengeluaran per kapita per bulan > Rp 193.834,00) 22 44,00
Jumlah 50 100,00 Indikator Keluarga Sejahtera BKKBN
BKKBN menggolongkan keluarga berdasarkan tahapan keluarga
sejahtera. Berdasarkan tahapan keluarga sejahtera, keluarga digolongkan menjadi
lima kategori yaitu Keluarga Prasejahtera (PraKS), Keluarga Sejahtera I (KS I),
Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga
Sejahtera III Plus (KS III Plus) (Lampiran 2). Kategori keluarga sejahtera ini juga
dapat dibedakan menjadi keluarga miskin dan tidak miskin. Keluarga miskin
adalah keluarga yang berada pada tahapan Keluarga Prasejahtera (PraKS) dan
44
Keluarga Sejahtera I (KS I), sedangkan keluarga tidak miskin adalah keluarga
yang berada pada tahapan Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III
(KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh keluarga contoh (50%)
merupakan Keluarga Prasejahtera (PraKS) (Tabel 17). Semua keluarga contoh
yang tergolong Keluarga Prasejahtera (PraKS) tidak memiliki atap, lantai, dan
dinding rumah yang baik. Kondisi ini menyebabkan keluarga contoh tidak dapat
memenuhi kriteria keluarga sejahtera I (KS I). Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa sebagian kecil keluarga contoh (10%) tergolong dalam keluarga sejahtera I
(KS I) (Tabel 17). Seluruh keluarga contoh yang tergolong KS I memiliki luas
lantai rumah kurang dari 8 m2 untuk setiap penghuni rumah. Total keluarga
contoh yang tergolong dalam PraKS dan KS I adalah 60 persen. Artinya, tiga per
lima keluarga contoh termasuk dalam kategori miskin.
Tabel 17 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori keluarga sejahtera berdasarkan indikator BKKBN
Kategori n % Keluarga prasejahtera (PraKS) 25 50,00 Keluarga sejahtera I (KSI) 5 10,00 Keluarga sejahtera II (KSII) 1 2,00 Keluarga sejahtera III (KSIII) 19 38,00 Keluarga sejahtera III plus (KSIIIPlus) 0 0,00
Jumlah 50 100,00
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya keluarga contoh yang tergolong
keluarga sejahtera II (KS II) yakni satu keluarga (2%) (Tabel 17). Keluarga
contoh yang tergolong KS II ini tidak mampu memenuhi indikator KS III yaitu
keluarga memperoleh informasi dari surat kabar/majalah/radio/televisi. Sebanyak
satu keluarga contoh tidak menjadikan surat kabar/majalah/radio/televisi sebagai
sumber informasi keluarga. Sisanya sebesar 38 persen keluarga contoh tergolong
dalam KS III. Hampir seluruh keluarga contoh yang tergolong KS III tidak dapat
memenuhi kriteria KS III Plus yaitu: 1) keluarga secara teratur dengan sukarela
memberikan sumbangan materil untuk kegiatan sosial (100%), dan 2) Ada
anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan
sosial/yayasan/institusi masyarakat (94,73%). Total keluarga contoh yang
tergolong dalam KS II dan KS III adalah 40 persen. Artinya, dua per lima
45
keluarga contoh termasuk dalam kategori tidak miskin. Berdasarkan indikator
keluarga sejahtera BKKBN, jumlah keluarga keluarga contoh yang tergolong
miskin lebih banyak dibandingkan dengan keluarga tidak miskin.
Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia
Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia menggunakan sepuluh
pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki skor yang berbeda. Jumlah skor yang
semakin kecil mengindikasikan bahwa kemungkinan besar keluarga tersebut
mengalami masalah kemiskinan. Pertanyaan pertama berkaitan dengan jumlah
anggota keluarga. Hampir separuh keluarga contoh (44%) memiliki jumlah
anggota keluarga sebanyak lima orang (Tabel 18). Jumlah anggota keluarga ini
berkaitan dengan persentase perkiraan tingkat kemiskinan. Jumlah anggota
keluarga yang sedikit akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty
scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami kemiskinan
akan menurun.
Pertanyaan kedua berkaitan dengan jumlah anggota keluarga yang berusia
5-18 tahun dan masih sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota
keluarga yang berusia 5-18 tahun pada keluarga contoh semuanya sekolah (sedang
menempuh pendidikan) (Tabel 18). Anggota keluarga yang berusia 5-18 tahun
yang sedang menempuh pendidikan akan menaikkan skor dalam indikator a
simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga
mengalami kemiskinan akan menurun.
Pertanyaan ketiga berkaitan dengan jumlah anggota keluarga yang telah
memiliki pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh keluarga contoh
memiliki satu atau dua anggota keluarga yang bekerja (Tabel 18). Semakin
banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja akan menaikkan skor pada
indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan
keluarga mengalami kemiskinan akan menurun.
Pertanyaan keempat berkaitan dengan sumber air minum keluarga.
Sumber air minum dua per tiga keluarga contoh (66%) berasal dari sumur timba.
Keluarga contoh yang menggunakan air PAM/PDAM sebagai sumber air minum
keluarga masih tergolong sedikit (22%) (Tabel 18). Penggunakan air PAM/PDAM
46
sebagai sumber air minum akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty
scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami kemiskinan
akan menurun.
Pertanyaan kelima berkaitan dengan tipe toilet. Lebih dari tiga per empat
keluarga contoh (76%) memiliki toilet dan sisanya sebesar 24 persen tidak
memiliki toilet (Tabel 18). Jenis toilet yang dimiliki adalah toilet jongkok padahal
dalam indikator a simple poverty scorecard for Indonesia jenis toilet yang
mendapatkan skor adalah toilet duduk (sitting toilet). Tidak adanya keluarga
contoh yang memiliki toilet duduk akan menurunkan skor pada indikator a simple
poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami
masalah kemiskinan akan meningkat.
Pertanyaan keenam berkaitan dengan lantai rumah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hampir tiga per empat keluarga contoh memiliki lantai
rumah yang terbuat dari semen. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya
keluarga contoh yang memiliki rumah yang lantainya terbuat dari tanah. Rumah
keluarga contoh yang lantainya terbuat dari tanah dilapisi dengan terpal terlebih
dahulu, setelah itu bagian atas terpal diletakkan tikar. Selain itu, seperlima
keluarga contoh memiliki lantai rumah yang terbuat dari papan karena rumahnya
adalah rumah panggung (Tabel 18). Kepemilikan lantai rumah yang terbuat dari
bukan tanah akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty scorecard for
Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami masalah kemiskinan akan
menurun.
Pertanyaan ketujuh berkaitan dengan langit-langit rumah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (54%) tidak memiliki
langit-langit rumah (loteng). Keluarga contoh yang memiliki loteng rumah
berjumlah 46 persen. Loteng rumah yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah
loteng rumah yang terbuat dari kayu (triplek). Kepemilikan langit-langit rumah
akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia
sehingga kemungkinan keluarga mengalami masalah kemiskinan akan menurun.
Pertanyaan kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh berkaitan dengan
kepemilikan kulkas, kendaraan bermotor, dan televisi. Hasil penelitian
menunjukkan sebagian besar keluarga contoh tidak memiliki kulkas. Keluarga
47
contoh yang memiliki kulkas berjumlah empat persen. Kulkas digunakan untuk
menjual minuman dingin. Selain kulkas, kendaraan bermotor juga dimiliki oleh
lebih dari seperlima keluarga contoh (22%). Berbeda halnya dengan kepemilikan
televisi. Lebih dari tiga per empat keluarga contoh (76%) memiliki televisi.
Rendahnya kepemilikan kulkas, kendaraan bermotor, dan televisi akan
menurunkan jumlah skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia
sehingga persentase keluarga berada di tingkat kemiskinan akan meningkat.
Tabel 18 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pertanyaan dalam indikator a simple poverty scorecard for Indonesia
No Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia n %1 Jumlah anggota keluarga - 3 orang 5 10,00 - 4 orang 12 24,00 - 5 orang 22 44,00 - ≥ 6 orang 11 22,00
2 Jumlah anggota keluarga yang masih sekolah - Tidak semua/tidak ada anak usia 5-18 tahun 0 0,00 - Semua 50 100,00
3 Jumlah anggota keluarga yang memiliki pekerjaan - Tidak ada 0 0,00 - Satu atau dua 50 100,00 - Tiga 0 0,00 - Empat atau lebih 0 0,00
4 Sumber air minum - PAM/PDAM 11 22,00 - Sumur timba 33 66,00 - Sumur pompa 6 12,00 - Sungai 0 0,00
5 Kepemilikan toilet - Ada, toilet jongkok 38 76,00 - Ada, toilet duduk 0 0,00 - Tidak ada 12 24,00
6 Lantai rumah - Tanah 2 4,00 - Semen 37 74,00 - Keramik 1 2,00 - Papan 10 20,00
7 Langit-langit rumah - Bambu/tidak ada 27 54,0 - Beton, kayu, gips, asbes 23 46,0
8 Kepemilikan kulkas 2 4,009 Kepemilikan kendaraan bermotor 11 22,00
10 Kepemilikan televisi 38 76,00 Total 50 100,00
48
Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia mengukur
kesejahteraan keluarga berdasarkan jumlah skor yang diperoleh keluarga. Chen
dan Schreiner (2009) mengklasifikasikan skor a simple poverty scorecard for
Indonesia menjadi 20 kategori yaitu skor 0-4, 5-9, 10-14, 15-19, 20-24, 25-29, 30-
34, 35-39, 40-44, 45-49, 50-54, 55-59, 60-64, 65-69, 70-74, 75-79, 80-84, 85-89, 90-94,
dan 95-100. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor minimum yang diperoleh
keluarga contoh adalah 16, sedangkan skor maksimum yang diperoleh keluarga
contoh adalah 66 dengan rata-rata sebesar 32,90 dan standar deviasi sebesar
10,601. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh keluarga contoh
(94%) memperoleh skor kurang dari 50, hanya ada sebagian kecil keluarga contoh
(6%) yang memperoleh skor lebih dari 50 (Tabel 19). Skor yang rendah
mengindikasikan bahwa besar kemungkinan keluarga contoh untuk mengalami
masalah kemiskinan.
Tabel 19 Sebaran keluarga contoh berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia
Skor a simple poverty scorecard for Indonesia
n %
15-19 3 6,00 20-24 10 20,00 25-29 8 16,00 30-34 10 20,00 35-39 5 10,00 40-44 6 12,00 45-49 5 10,00 50-54 2 4,00 55-59 0 0,00 60-64 0 0,00 65-69 1 2,00
Jumlah 50 100,00
Kesejahteraan keluarga contoh diukur dengan menggunakan indikator
BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Indikator a simple
poverty scorecard for Indonesia tidak dapat mengklasifikasikan keluarga menjadi
miskin dan tidak miskin. Hasil analisis dengan menggunakan indikator a simple
poverty scorecard for Indonesia dihubungkan dengan hasil analisis dengan
menggunakan indikator BPS dan BKKBN. Hasil uji korelasi menunjukkan ada
hubungan yang signifikan positif antara kesejahteraan keluarga berdasarkan
indikator a simple poverty scorecard for Indonesia dengan kesejahteraan keluarga
49
berdasarkan indikator BPS (r=0,672, α=0,01) dan BKKBN (r=0,535, α=0,01).
Artinya, jumlah skor yang semakin tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Sebagian besar keluarga miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN
memiliki skor yang rendah (skor kurang dari 50) pada indikator a simple poverty
scorecard for Indonesia (Tabel 20).
Tabel 20 Sebaran keluarga contoh berdasarkan indikator BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia
Skor Scorecard
BPS BKKBN Total Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin n % n % n % n % n %
15-19 3 10,72 0 0,00 3 10,00 0 0,00 3 6,0020-24 8 28,57 2 9,09 10 33,33 0 0,00 10 20,0025-29 7 25,00 1 4,55 5 16,67 3 15,00 8 16,0030-34 8 28,57 2 9,09 5 16,67 5 25,00 10 20,0035-39 2 7,14 3 13,64 4 13,33 1 5,00 5 10,0040-44 0 0,00 6 27,27 1 3,33 5 25,00 6 12,0045-49 0 0,00 5 22,72 2 6,67 3 15,00 5 10,0050-54 0 0,00 2 9,09 0 0,00 2 10,00 2 4,0055-59 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,0060-64 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,0065-69 0 0,00 1 4,55 0 0,00 1 5,00 1 2,00
Jumlah 28 100,00 22 100,00 30 100,00 20 100,00 50 100,00 Analisis Sensitivitas dan Spesifisitas
Hasil analisis tingkat kesejahteraan keluarga berbeda sesuai dengan
indikator yang digunakan sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas dan
spesifisitas indikator. Sensitivitas merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi
keluarga yang memang benar-benar miskin, sedangkan spesifisitas adalah
kemampuan mengklasifikasi keluarga yang memang benar-benar tidak miskin.
Proporsi keluarga yang termasuk tidak miskin berdasarkan indikator
keluarga sejahtera BKKBN diverifikasi dengan keluarga yang tidak miskin
berdasarkan indikator BPS. Begitu pula sebaliknya dengan keluarga yang
dikatakan miskin. Indikator yang dijadikan sebagai gold standard dalam analisis
ini adalah indikator BPS. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa indikator
BKKBN berhubungan signifikan dengan indikator BPS (r=0,456, α=0,01).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa sebanyak 78,57 persen keluarga
contoh dikatakan miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN dan 63,64
persen keluarga contoh dikatakan tidak miskin berdasarkan indikator BPS dan
50
BKKBN (Tabel 21). Indikator BPS dan BKKBN memiliki nilai sensitivitas
sebesar 78,57 persen, sedangkan nilai spesifitas sebesar 63,64 persen. Hal ini
menunjukkan terjadi perbedaan pengukuran keluarga miskin berdasarkan
indikator BKKBN dengan indikator BPS sebesar 21,43 persen. Selain itu, hasil uji
spesifitas menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pengukuran keluarga tidak
miskin berdasarkan indikator BKKBN dengan indikator BPS sebesar 36,36
persen.
Tabel 21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kemiskinan menurut indikator BKKBN dengan gold standard indikator BPS
Indikator Status kemiskinan
BPS Miskin Tidak miskin Total
n % n % n %
BKKBN Miskin 22 78,57 8 36,36 30 60,00 Tidak miskin 6 21,43 14 63,64 20 40,00
Total 28 100,00 22 100,00 50 100,00
Pengaruh Karakteristik Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga
Dalam penelitian ini, karakteristik keluarga diduga berpengaruh terhadap
kesejahteraan keluarga. Pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan
keluarga berdasarkan indikator BPS dianalisis dengan menggunakan regresi
logistik. Model persamaan regresi yang disusun memiliki koefisien determinasi
(nagelkerke R2) sebesar 0,367. Artinya, 36,7 persen varian kesejahteraan keluarga
berdasarkan indikator BPS dapat dijelaskan oleh perubahan variabel yang ada
dalam model. Variabel yang dimasukkan dalam model adalah besar keluarga (X1),
usia ayah (X2), pendidikan ibu (X3), dan luas ladang kayu manis (X4). Hasil
analisis regresi logistik menunjukkan bahwa dari empat variabel yang diduga
berpengaruh pada kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS, hanya ada
satu variabel yang berpengaruh signifikan yaitu besar keluarga (β= -0,955,
α=0,01). Variabel besar keluarga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap
kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS. Keluarga kecil memiliki
peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga besar.
Pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga
berdasarkan indikator BKKBN juga dianalisis dengan menggunakan regresi
logistik. Model persamaan regresi yang disusun memiliki koefisien determinasi
(nagelkerke R2) sebesar 0,373. Artinya, 37,3 persen varian kesejahteraan keluarga
51
berdasarkan indikator BKKBN dapat dijelaskan oleh perubahan variabel yang ada
dalam model. Variabel yang dimasukkan dalam model adalah besar keluarga (X1),
usia ayah (X2), pendidikan ibu (X3), pendapatan keluarga per bulan (X4), dan luas
ladang kayu manis (X5). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa dari
lima variabel yang diduga berpengaruh pada kesejahteraan keluarga berdasarkan
indikator BKKBN, hanya ada tiga variabel yang berpengaruh signifikan yaitu
besar keluarga, usia ayah, dan pendapatan keluarga per bulan (Tabel 22).
Variabel besar keluarga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap
kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN. Artinya, keluarga kecil
memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga besar.
Usia ayah juga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga
berdasarkan indikator BKKBN. Keluarga dengan usia ayah yang lebih muda
memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan usia
ayah yang sudah memasuki usia pertengahan (dewasa madya). Variabel lain yang
juga berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan
indikator BKKBN adalah pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga berpengaruh
signifikan positif dengan kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN.
Keluarga dengan pendapatan yang tinggi memiliki peluang sejahtera yang lebih
besar dibandingkan keluarga dengan pendapatan yang rendah.
Tabel 22 Koefisien regresi karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS dan BKKBN
Variabel bebas BPS BKKBN B Exp (B) Sig B Exp (B) Sig
Besar keluarga (orang) -0,955 0,385 0,009** -0,710 0,492 0,038* Usia ayah (tahun) -0,098 0,907 0,083 -0,128 0,880 0,032* Pendidikan ibu (tahun) -0,029 0,972 0,836 -0,012 0.988 0,932 Pendapatan keluarga (Rp/bulan) - - - 0,000 1,000 0,037*
Luas ladang kayu manis (Ha) 0,570 1,768 0,114 -0,072 0,931 0,874
Chi-square 16,006 16,159 Df 4 5 Sig 0,003** 0,006**
Nagelkerke R2 0,367 0,373 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%
** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%
52
Gaya Pengasuhan
Menurut Gottman dan DeClaire (1997), gaya pengasuhan orang tua
dibedakan menjadi pelatih emosi (emotion coaching) dan bukan pelatih emosi
(emotion dismissing). Ada tiga jenis gaya pengasuhan yang tergolong dalam gaya
pengasuhan bukan pelatih emosi, yaitu gaya pengasuhan pengabai emosi
(dismissing), gaya pengasuhan tidak menyetujui (disapproving), dan gaya
pengasuhan laissez faire. Orang tua secara tidak sadar dapat menerapkan lebih
dari satu jenis gaya pengasuhan. Penilaian gaya pengasuhan orang tua dapat
dilakukan dengan melihat kecenderungan gaya pengasuhan yang diterapkan orang
tua. Kecenderungan ini dilihat dari jenis gaya pengasuhan yang dominan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang dominan
diterapkan keluarga contoh adalah gaya pengasuhan tidak menyetujui
(disapproving). Orang tua pada keluarga contoh mengabaikan, menolak, tidak
menyetujui, menegur/menghukum anak atas ekspresi emosi negatifnya (marah
dan sedih). Gaya pengasuhan ini diterapkan oleh lebih dari sepertiga keluarga
contoh (34%), artinya lebih dari separuh keluarga contoh tidak menyetujui emosi
negatif anak (Tabel 23).
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya keluarga contoh yang
menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi lainnya seperti gaya
pengasuhan pengabai emosi dan laissez faire. Gaya pengasuhan pengabai emosi
diterapkan oleh hampir sepertiga keluarga contoh (28%), sedangkan gaya
pengasuhan laissez faire diterapkan oleh sepersepuluh keluarga contoh yakni
sebesar sepuluh persen. Berdasarkan klasifikasi pelatih emosi dan bukan pelatih
emosi, hampir tiga per empat keluarga contoh (72%) menerapkan gaya
pengasuhan bukan pelatih emosi. Gaya pengasuhan pelatih emosi diterapkan oleh
hampir sepertiga keluarga contoh (28%)
Tabel 23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan
Gaya pengasuhan n % Pengabai emosi (dismissing) 14 28,00 Tidak menyetujui (disapproving) 17 34,00 Laissez faire 5 10,00 Pelatih emosi (emotion coaching) 14 28,00
Jumlah 50 100,00
53
Gaya Pengasuhan dan Kesejahteraan Keluarga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya pengasuhan tidak berhubungan
signifikan dengan kesejahteraan keluarga baik diukur berdasarkan indikator garis
kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN, maupun a simple poverty scorecard
for Indonesia. Keluarga miskin berdasarkan indikator BPS (75%) dan BKKBN
(68,2%) cenderung menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi (pengabai
emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire). Meskipun keluarga contoh tergolong
miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN, namun terdapat juga keluarga
contoh yang menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi. Hal ini menunjukkan
bahwa masih terdapat orang tua pada keluarga miskin yang memperhatikan emosi
negatif anak (marah dan sedih).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hanya sebagian keluarga tidak
miskin berdasarkan indikator BPS (31,8%) dan BKKBN (35%) yang menerapkan
gaya pengasuhan pelatih emosi. Sebagian besar lainnya cenderung menerapkan
gaya pengasuhan bukan pelatih emosi (pengabai emosi, tidak menyetujui, dan
laissez faire) (Tabel 24).
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis gaya pengasuhan dan kesejahteraan keluarga (indikator BPS dan BKKBN)
Gaya pengasuhan
BPS BKKBN Total
Miskin Tidak miskin Miskin Tidak
miskin n % n % n % n % n %
Pengabai emosi 8 28,6 6 27,3 7 23,3 7 35,0 14 28,0Tidak menyetujui 10 35,7 7 31,8 12 40,0 5 25,0 17 34,0Laissez faire 3 10,7 2 9,1 4 13,3 1 5,0 5 10,0Pelatih emosi 7 25,0 7 31,8 7 23,3 7 35,0 14 28,0Total 28 100,0 22 100,0 30 100,0 20 100,0 50 100,0
Pengaruh Karakteristik Keluarga, Karakteristik Anak, dan Kesejahteraan
Keluarga terhadap Gaya Pengasuhan
Berdasarkan indikator BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for
Indonesia, lebih dari separuh keluarga contoh tergolong dalam kategori miskin.
Artinya, lebih dari separuh keluarga contoh mengalami masalah kemiskinan.
Masalah kemiskinan akan berdampak pada gaya pengasuhan orang tua. Variabel
54
lain yang diduga berpengaruh terhadap gaya pengasuhan adalah karakteristik anak
dan karakteristik keluarga.
Pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan
keluarga terhadap gaya pengasuhan dianalisis dengan menggunakan regresi
logistik. Model persamaan regresi yang disusun memiliki koefisien determinasi
(nagelkerke R2) sebesar 0,724. Artinya, 72,4 persen varian gaya pengasuhan dapat
dijelaskan oleh perubahan variabel yang ada dalam model. Gaya pengasuhan
merupakan variabel dummy yaitu 0 untuk gaya pengasuhan bukan pelatih emosi
(pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire) dan 1 untuk gaya
pengasuhan pelatih emosi. Variabel yang dimasukkan dalam model adalah besar
keluarga (X1), usia ibu (X2), pendidikan ibu (X3), pendapatan keluarga per bulan
(X4), usia anak (X5), kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS (D1),
pekerjaan ibu (D2), dan jenis kelamin anak (D3).
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa dari delapan variabel
yang diduga berpengaruh pada gaya pengasuhan orang tua, hanya ada satu
variabel yang berpengaruh signifikan yaitu pendidikan ibu (Tabel 25). Variabel
pendidikan ibu berpengaruh signifikan positif terhadap gaya pengasuhan orang
tua. Keluarga dengan ibu yang berpendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih
besar untuk menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi dibandingkan keluarga
dengan ibu yang berpendidikan rendah.
Tabel 25 Koefisien regresi logistik karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan
Variabel independen Jenis Gaya Pengasuhan B Exp (B) Sig
Besar keluarga (orang) 0,445 1,560 0,557 Usia ibu (tahun) -0,161 0,852 0,248 Pendidikan ibu (tahun) 1,228 3,416 0,003** Pendapatan keluarga (Rp/bulan) 0,000 1,000 0,376 Usia anak (tahun) 0,690 1,993 0,385 Kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia 2,171 8,766 0,214
Pekerjaan ibu (0=tidak bekerja, 1=bekerja) 0,569 1,766 0,849 Jenis kelamin anak (0=laki-laki, 1=perempuan) -0,723 0,485 0,535
Chi-square 34,943 Df 8 Sig 0,000**
Nagelkerke R2 0,724 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%
** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%
55
Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah
Perkembangan sosial emosi dinilai dari indeks perkembangan sosial emosi
anak. Indeks minimum perkembangan sosial emosi anak adalah 43, sedangkan
indeks maksimumnya adalah 92 dengan rata-rata sebesar 71,30 dan standar
deviasi sebesar 10,35. Berdasarkan dimensinya, perkembangan sosial emosi
dibedakan menjadi (1) kompetensi emosional dan konsep diri secara umum, (2)
pengaturan diri, keterampilan memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi,
(3) strategi kognitif, (4) dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial, (5)
empati, dan (6) keterampilan interpersonal dan keterampilan dalam bergaul.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosi yang
dominan pada anak contoh adalah keterampilan interpersonal dan keterampilan
dalam bergaul (34%) (Tabel 26). Anak contoh mudah berteman dan mudah
memulai percakapan dengan orang lain. Anak contoh juga merasa nyaman/senang
berada dalam kelompok besar. Selain itu, anak contoh dapat bekerja baik dengan
siswa lain dalam mengerjakan tugas sekolah.
Tabel 26 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi anak
No Dimensi perkembangan sosial emosi n %1 Kompetensi emosional dan konsep diri secara
umum 6 12
2 Pengaturan diri, keterampilan memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi
1 2
3 Strategi kognitif 9 184 Dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial 11 225 Empati 6 126 Keterampilan interpersonal dan keterampilan
dalam bergaul 17 34
Jumlah 50 100,00
Perkembangan Sosial Emosi Anak dan Kesejahteraan Keluarga
Menurut Aber et al. (1997), kesejahteraan keluarga berhubungan dengan
perkembangan sosial emosi anak, namun penelitian ini tidak menemukan adanya
hubungan yang signifikan antara perkembangan sosial emosi anak dengan
kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kompetensi
emosional dan konsep diri secara umum, (2) dukungan, kematangan, dan
kemerdekaan sosial, dan (3) keterampilan interpersonal/bergaul dominan dijumpai
pada anak contoh yang miskin (BPS dan BKKBN) dibandingkan dengan anak
56
contoh yang tidak miskin. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dimensi
strategi kognitif dominan dijumpai pada anak contoh yang tidak miskin (BPS) dan
miskin (BKKBN), sedangkan dimensi pengaturan diri, keterampilan memecahkan
masalah, dan ketahanan sosial emosi dominan ditemukan pada keluarga tidak
miskin (BPS dan BKKBN). Dimensi perkembangan sosial emosi lainnya adalah
empati. Dimensi ini dapat dimiliki oleh anak miskin dan tidak miskin (BPS dan
BKKBN).
Tabel 27 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi dan kesejahteraan keluarga (indikator BPS dan BKKBN)
Perkembangan sosial emosi
BPS BKKBN Total
Miskin Tidak miskin Miskin Tidak
miskin n % n % n % n % n %
- Kompetensi emosional 4 14,3 2 9,1 6 20,0 0 0,0 6 12,0
- Pengaturan diri 0 0,0 1 4,5 0 0,0 1 5,0 1 2,0 - Strategi kognitif 4 14,3 5 22,7 5 16,7 4 20,0 9 18,0 - Dukungan sosial 7 25,0 4 18,2 6 20,0 5 25,0 11 22,0 - Empati 3 10,7 3 13,6 3 10,0 3 15,0 6 12,0 - Keterampilan
bergaul 10 35,7 7 31,8 10 33,3 7 35,0 17 34,0
Total 28 100,0 22 100,0 30 100,0 20 100,0 50 100,0
Perkembangan Sosial Emosi Anak dengan Gaya Pengasuhan
Secara umum, gaya pengasuhan tidak berhubungan dengan perkembangan
sosial emosi anak. Perkembangan sosial emosi berhubungan signifikan dengan
gaya pengasuhan apabila dilihat dari jenisnya. Gaya pengasuhan yang
berhubungan signifikan dengan perkembangan sosial emosi anak adalah gaya
pengasuhan laissez faire (r=-0,914, α=0,01).
Tabel 28 Koefisien korelasi antara jenis gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi
Jenis gaya pengasuhan Perkembangan sosial emosi anak Pengabai emosi 0,005 Tidak menyetujui -0,184 Laissez faire -0,914* Pelatih emosi 0,138 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%
** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%
57
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi emosional dan konsep
diri secara umum dimiliki oleh anak contoh yang berasal dari keluarga yang
menerapkan gaya pengasuhan pengabai emosi dan tidak menyetujui. Orang tua
yang menerapkan gaya pengasuhan tidak menyetujui juga menghasilkan anak
dengan (1) pengaturan diri, keterampilan pemecahan masalah, dan ketahanan
sosial emosi, (2) dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial, dan (3) empati
yang dominan (Tabel 29). Tabel 29 juga menunjukkan bahwa orang tua yang
mengabaikan emosi anak memiliki anak contoh dengan keterampilan
interpersonal/bergaul yang dominan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan pengabai emosi dan pelatih emosi
menghasilkan anak yang memiliki strategi kognitif.
Tabel 29 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi dan gaya pengasuhan
Perkembangan sosial emosi
Pengabai emosi
Tidak menyetujui
Laissez faire
Pelatih emosi Total
n % n % n % n % n % - Kompetensi
emosional 2 33,3 2 33,3 1 16,7 1 16,7 6 100
- Pengaturan diri 0 0,0 1 100,0 0 0,0 0 0,0 1 100 - Strategi
kognitif 4 44,4 0 0,0 1 11,2 4 44,4 9 100
- Dukungan sosial
2 18,2 6 54,5 1 9,1 2 18,2 11 100
- Empati 1 16,7 4 66,66 1 16,7 0 0,0 6 100 - Keterampilan
bergaul 5 29,4 4 23,5 1 5,9 7 41,2 17 100
Total 14 28,0 17 34,0 5 10,0 14 28,0 50 100
Pengaruh Karakteristik Keluarga, Karakteristik Anak, Kesejahteraan
Keluarga, dan Gaya Pengasuhan terhadap Perkembangan Sosial Emosi
Anak Usia Sekolah
Pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan
keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak
dianalisis dengan menggunakan regresi linear berganda. Model persamaan regresi
yang disusun memiliki koefisien determinasi (adjusted R Square) sebesar 0,268.
Artinya, 26,8 persen varian perkembangan sosial emosi anak dapat dijelaskan oleh
perubahan dalam variabel-variabel yang ada di dalam model. Variabel yang
dimasukkan dalam model adalah besar keluarga (X1), usia ibu (X2), pendidikan
58
ibu (X3), pendapatan keluarga (X4), usia anak (X5), kesejahteraan keluarga
berdasarkan indikator BPS (D1), pekerjaan ibu (D2), jenis kelamin anak (D3), dan
jenis gaya pengasuhan orang tua (D4).
Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa dari sembilan
variabel yang diduga berpengaruh pada perkembangan anak, hanya ada satu
variabel yang berpengaruh signifikan yaitu usia anak (Tabel 30). Usia anak
berpengaruh signifikan positif terhadap perkembangan sosial emosi anak. Artinya,
perkembangan anak akan semakin baik dengan meningkatnya usia anak.
Tabel 30 Koefisien regresi karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahtera-an keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak
No Variabel independen Koefisien β
Sig Tidak terstandarisasi
Terstan-darisasi
1 Besar keluarga (orang) 8,462 -0,100 0,602 2 Usia ibu (tahun) -0,743 0,013 0,930 3 Pendidikan ibu (tahun) 0,023 0,097 0,601 4 Pendapatan keluarga (Rp/bulan) -3,539E-6 -0,095 0,628 5 Usia anak (tahun) 6,409 0,522 0,000** 6 Kesejahteraan keluarga berdasarkan
indikator BPS 1,651 0,080 0,677
7 Pekerjaan ibu (0=tidak bekerja, 1=bekerja) -6,860 -0,131 0,346
8 Jenis kelamin anak (0=laki-laki, 1=perempuan) 1,367 0,066 0,619
9 Jenis gaya pengasuhan (0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire, 1=pelatih emosi)
0,915 0,040 0,826
F 2,993 Sig 0,008 R 0,634
Adjusted R Square 0,268 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%
** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%
Pembahasan
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani kayu manis yang
memiliki anak usia sekolah di Desa Tamiai, Kecamatan Batang Merangin,
Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Anak usia sekolah menghabiskan lebih
banyak waktu luang mereka di luar rumah dibandingkan ketika mereka masih
berusia lebih muda. Anak usia sekolah akan berkunjung dan bersosialisasi dengan
teman sebayanya. Anak usia sekolah juga menghabiskan lebih banyak waktu di
59
sekolah dan belajar. Namun, rumah dan orang-orang yang tinggal di dalamnya
tetap merupakan bagian penting bagi kehidupan anak. Mempelajari lingkungan
anak penting dilakukan untuk memahami anak di dalam keluarga.
Perkembangan anak harus dipahami dalam konteks sosialnya.
Bronfenbrenner (1979), diacu dalam Parke dan Gauvain (2009) mengemukakan
sebuah teori ekologi yang mengidentifikasi lima sistem kontekstual yaitu
mikrosistem (rumah dan sekolah), mesosistem (interaksi dua/lebih mikrosistem,
seperti orang tua-guru), eksosistem (tempat kerja orang tua), makrosistem
(budaya), dan kronosistem yang merepresentasikan kadar stabilitas atau
perubahan dalam dunia seseorang. Hal ini dapat mencakup berbagai perubahan
dalam komposisi keluarga, tempat tinggal, atau pekerjaan orang tua (Papalia et al.
2009).
Teori ekologi menjelaskan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh
banyak faktor, salah satunya adalah keluarga. Parke dan Gauvain (2009)
menjelaskan bahwa keluarga berperan penting dalam mengoptimalisasi
perkembangan sosial emosi anak melalui sosialisasi. Perkembangan sosial emosi
merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting pada anak. Anak
diharapkan dapat mengatur emosi, memecahkan masalah, dan bergaul.
Pada penelitian ini, perkembangan sosial emosi diduga dipengaruhi oleh
kesejahteraan keluarga dan gaya pengasuhan. Hal ini didasarkan pada hasil
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perkembangan sosial emosi anak
dipengaruhi oleh kesejahteraan keluarga (Aber et al. 1997; Eamon 2001) dan gaya
pengasuhan (Nurrohmaningtyas 2008; Holden 2010).
Keluarga contoh merupakan keluarga yang bekerja sebagai petani kayu
manis. Kayu manis merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Sampai
saat ini Indonesia hanya mengekspor produk kayu manis dalam bentuk kulit kayu
(cassiavera). Sebagian besar cassiavera yang diekspor diperoleh dari hasil
perkebunan rakyat di Kabupaten Kerinci. Meskipun Kabupaten Kerinci
merupakan pemasok kulit kayu manis terbesar di Indonesia, namun penelitian ini
menunjukkan bahwa kayu manis hanya menyumbang sebesar 8,86 persen
terhadap pendapatan keluarga petani kayu manis di Desa Tamiai, Kecamatan
Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
60
Kontribusi kayu manis yang rendah terhadap pendapatan keluarga
disebabkan oleh waktu panen yang lama, luas ladang yang sempit, dan harga jual
kulit kayu manis yang murah. Kayu manis dipanen sebanyak tiga kali dalam satu
musim tanam, yaitu pada saat tanaman berumur enam tahun (panen 1), sepuluh
tahun (panen 2), dan 15 tahun (panen 3). Selain itu, luas ladang yang dimiliki oleh
petani kayu manis juga sempit sehingga jumlah hasil panen sedikit. Rata-rata luas
ladang yang dimiliki oleh keluarga petani kayu manis adalah 1,23 Ha. Masalah
lain yang dihadapi keluarga petani kayu manis adalah harga jual kulit kayu manis
yang murah. Waktu panen yang lama, luas lahan yang sempit, hasil panen yang
sedikit, dan harga jual kuli kayu manis yang murah menyebabkan keluarga petani
kayu manis memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian
Wangsa dan Nuryati (2007) yang menyatakan bahwa harga jual kulit kayu manis
di dalam negeri masih belum memuaskan, ditambah lagi kondisi pasar yang tidak
begitu baik karena daya tampung pasar yang sangat kecil membuat kayu manis
terasa semakin pahit bagi petani.
Kontribusi kayu manis yang rendah terhadap pendapatan keluarga
menyebabkan keluarga petani kayu manis mencari alternatif sumber pendapatan
lain untuk menopang hidup keluarga. Alternatif sumber pendapatan keluarga ini
dilakukan pada saat menunggu musim panen kayu manis. Salah satu alternatif
sumber pendapatan yang dipilih adalah buruh tani. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar pendapatan keluarga petani kayu manis contoh bersumber
dari hasil bekerja sebagai buruh tani. Upah yang diterima dari hasil bekerja
sebagai buruh tani adalah Rp25.000,00/hari. Akan tetapi, pekerjaan sebagai buruh
tani tidak tersedia setiap hari sehingga beresiko tinggi jika pendapatan keluarga
mengandalkan upah buruh tani. Berkurangnya jumlah hari kerja sebagai buruh
tani dapat menurunkan pendapatan keluarga dan berdampak pada rendahnya
kesejahteraan keluarga. Pada penelitian ini, kesejahteraan keluarga diukur secara
objektif dengan menggunakan indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera
BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia.
BPS mengukur kesejahteraan keluarga dengan menggunakan garis
kemiskinan mengacu pada pengeluaran per kapita per bulan. Pengeluaran
keluarga dianggap sebagai cerminan konsumsi keluarga dalam memenuhi
61
kebutuhan keluarga baik pangan maupun bukan pangan. Keluarga dikatakan
miskin jika pengeluaran per kapita per bulan kurang dari atau sama dengan garis
kemiskinan. Garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis
kemiskinan perdesaan Provinsi Jambi Tahun 2010 yaitu sebesar Rp193.834,00 per
kapita per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan BPS, lebih dari separuh keluarga
contoh (56%) merupakan keluarga miskin.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga contoh
berdasarkan indikator BPS dipengaruhi oleh besar keluarga (β= -0,955, α=0,01).
Besar keluarga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga.
Keluarga kecil cenderung memiliki pengeluaran per kapita per bulan yang lebih
tinggi dibandingkan keluarga besar, dengan kata lain tingkat kesejahteraan pada
keluarga kecil berdasarkan indikator BPS lebih baik dibandingkan tingkat
kesejahteraan pada keluarga besar. Hal ini sejalan dengan Lewin dan Maurin
(2005) yang mengemukakan bahwa besar keluarga merupakan faktor penting
yang menentukan kesejahteraan keluarga dan menjadi alat ukur untuk
memprediksi tingkat kemiskinan keluarga.
Indikator kedua yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga
contoh adalah indikator keluarga sejahtera BKKBN. Hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa keluarga contoh tergolong Keluarga Prasejahtera (50%), Keluarga
Sejahtera I (10%), Keluarga Sejahtera II (2%), dan Keluarga Sejahtera III (38%).
Berdasarkan indikator BKKBN, keluarga dikatakan miskin jika tergolong dalam
keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I. Dengan demikian, tiga per lima
keluarga contoh (60%) tergolong keluarga miskin berdasarkan indikator BKKBN.
Seperti halnya kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS,
kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator keluarga sejahtera BKKBN juga
dipengaruhi oleh besar keluarga (β=-0,710, α=0,05). Besar keluarga juga
berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan
indikator keluarga sejahtera BKKBN. Jumlah anggota keluarga berpengaruh pada
luas rumah yang menjadi salah satu indikator BKKBN. Menurut BKKBN, luas
rumah sekurang-kurangnya 8 m2/kapita. Jumlah anggota keluarga yang banyak
menyebabkan luas rumah per kapita semakin kecil sehingga keluarga berpeluang
besar untuk masuk dalam kategori miskin pada indikator BKKBN. Indikator lain
62
yang sulit dipenuhi keluarga contoh adalah terkait keadaan rumah yang ditempati
oleh keluarga contoh. Pendapatan keluarga yang rendah menyebabkan keluarga
contoh lebih memprioritaskan pengeluaran keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pangan dibandingkan dengan kebutuhan bukan pangan sehingga keluarga contoh
kurang memperhatikan kondisi rumahnya. Akibatnya, rumah yang ditempati
keluarga contoh sebagian besar tidak memiliki atap, lantai dan dinding yang baik.
Kondisi ini menyebabkan keluarga contoh tidak dapat memenuhi salah satu
indikator BKKBN.
Sebagian besar proporsi pengeluaran keluarga miskin digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dibandingkan dengan kebutuhan bukan pangan. Jika
pengeluaran untuk pengan lebih besar maka pengeluaran untuk pemenuhan
kebutuhan bukan pangan akan semakin kecil. Rendahnya proporsi pengeluaran
bukan pangan mengindikasikan bahwa pengeluaran keluarga untuk merawat
rumah, membeli aset, dan kebutuhan bukan pangan lainnya sedikit. Hal ini sejalan
dengan penelitian Alfiasari (2007) yang menyatakan bahwa semakin sejahtera
seseorang maka semakin sedikit alokasi pengeluaran untuk pangan. Sebaliknya,
pengeluaran pangan yang semakin besar menunjukkan bahwa keluarga semakin
tidak sejahtera.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga
berdasarkan indikator BKKBN adalah usia ayah (β=-0,128, α=0,05) dan
pendapatan keluarga (β= 0,000, α=0,05). Keluarga dengan usia ayah yang masih
muda memiliki peluang sejahtera lebih besar dibandingkan keluarga dengan usia
ayah yang sudah memasuki usia pertengahan (dewasa madya). Demikian juga
halnya dengan pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi
memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang
berpendapatan rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Iskandar (2007)
yang menyatakan bahwa usia ayah dan pendapatan keluarga berpengaruh
signifikan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN.
Indikator ketiga yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga
adalah indikator a simple poverty scorecard for Indonesia. Indikator ini mengukur
kesejahteraan keluarga berdasarkan jumlah skor yang diperoleh keluarga. Rata-
rata skor yang diperoleh keluarga contoh adalah 32,90. Hampir seluruh keluarga
63
contoh (94%) memperoleh skor kurang dari 50, hanya ada sebagian kecil keluarga
contoh (6%) yang memperoleh skor lebih dari 50. Hal ini mengindikasikan bahwa
keluarga contoh memperoleh skor yang rendah sehingga kemungkinan besar
keluarga contoh mengalami masalah kemiskinan.
Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia tidak dapat
mengklasifikasikan keluarga contoh menjadi miskin atau tidak miskin. Hasil dari
indikator ini hanya berupa perkiraan keluarga contoh dalam mengalami masalah
kemiskinan. Hasil analisis dengan menggunakan indikator a simple poverty
scorecard for Indonesia selanjutnya dihubungkan dengan hasil analisis
kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS dan BKKBN. Hasil uji korelasi
menunjukkan ada hubungan yang signifikan positif antara kesejahteraan keluarga
berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia dengan
kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS (r=0,676, α=0,01) dan BKKBN
(r=0,535, α=0,01). Artinya, jumlah skor yang semakin tinggi dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa
sebagian besar keluarga miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN memiliki
skor yang rendah pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia. Hal ini
sejalan dengan Chen dan Schreiner (2009) yang menyatakan bahwa keluarga yang
memiliki skor tinggi pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia
cenderung lebih sejahtera dibandingkan keluarga dengan skor yang rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh
tergolong dalam kategori miskin berdasarkan pengukuran dengan menggunakan
indikator BPS (56%) dan BKKBN (60%). Hal ini juga didukung oleh hasil
analisis dari indikator a simple poverty scorecard for Indonesia yang menyatakan
bahwa hampir seluruh keluarga contoh (94%) kemungkinan besar mengalami
masalah kemiskinan. Artinya, lebih dari separuh keluarga contoh mengalami
masalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi akar permasalahan dalam keluarga,
kemiskinan berpengaruh pada gaya pengasuhan. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa keluarga miskin cenderung menerapkan gaya pengasuhan
yang negatif dan kurang efektif (Papalia et al. 2009; Berns 1997).
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis gaya
pengasuhan telah dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Baumrind (2008),
64
Rohner (1986), serta Gottman dan DeClaire (1997). Penelitian ini menggunakan
gaya pengasuhan yang dikemukakan oleh Gottman dan DeClaire (1997). Gottman
dan DeClaire (1997) mengemukakan dua jenis gaya pengasuhan yaitu gaya
pengasuhan pelatih emosi (emotional coaching) dan bukan pelatih emosi
(emotional dismissing). Gaya pengasuhan bukan pelatih emosi terdiri atas gaya
pengasuhan pengabai emosi (dismissing), tidak menyetujui (disapproving), dan
laissez faire.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh
cenderung menerapkan gaya pengasuhan tidak menyetujui. Orang tua
mengabaikan, tidak menyetujui, dan menegur/menghukum anak atas ekspresi
emosinya terutama marah dan sedih. Orang tua yang menerapkan gaya
pengasuhan tidak menyetujui menganggap kemarahan sebagai sebuah perlawanan
dan perilaku yang tidak hormat sehingga orang tua memberi batasan kepada
anak. Selain itu, orang tua juga menganggap kesedihan anak sebagai cara anak
untuk mendapatkan perhatian orang tua. Orang tua khawatir kemarahan dan
kesedihan anak akan membentuk tabiat/perilaku buruk.
Gaya pengasuhan bukan pelatih emosi lain yang juga diterapkan oleh
orang tua adalah gaya pengasuhan pengabai emosi dan laissez faire. Apabila
dijumlahkan, lebih dari dua per tiga keluarga contoh (72%) menerapkan gaya
pengasuhan bukan pelatih emosi (pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez
faire). Temuan ini tentu saja mengindikasikan masih rendahnya pengetahuan
orang tua dalam menerapkan gaya pengasuhan yang baik, khususnya dalam
pengelolaan emosi negatif anak. Gottman dan DeClaire (1997) menyebutkan
bahwa orang tua yang baik seharusnya menerapkan gaya pengasuhan pelatih
emosi (emotional coaching). Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan
pelatih emosi akan menerima emosi negatif yang diperlihatkan anak. Orang tua
pelatih emosi akan memanfaatkan emosi negatif anak untuk mengakrabkan diri
dengan anak (Lagacé-séguin & d’Entremont 2006). Sebaliknya, orang tua yang
menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi akan membiarkan anak untuk
mengatasi emosinya sendiri. Akibatnya, anak tidak belajar mengelola emosi
dengan baik dari orang tuanya sehingga orang tua dikatakan gagal dalam
mengajarkan kecerdasan emosi pada anak.
65
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orang
tua pada keluarga contoh dipengaruhi oleh pendidikan ibu (β=1,318, α=0,01). Ibu
yang berpendidikan tinggi berpeluang untuk menerapkan gaya pengasuhan yang
lebih baik yaitu gaya pengasuhan pelatih emosi. Pendidikan akan meningkatkan
pengetahuan ibu dalam mengasuh anak-anaknya.
Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa gaya pengasuhan berpengaruh
pada perkembangan sosial emosi anak (Holden 2010). Perkembangan sosial emosi
anak dinilai dari indeks perkembangan sosial emosi. Indeks perkembangan sosial
emosi anak contoh berada pada selang 43-92 dengan rata-rata sebesar 71,30 dan
standar deviasi 10,35. Rata-rata indeks mengindikasikan bahwa perkembangan
sosial emosi anak contoh tidak optimal.
Berdasarkan dimensinya, perkembangan sosial emosi dibedakan menjadi
(1) kompetensi emosional dan konsep diri, (2) pengaturan diri, keterampilan
memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi, (3) strategi kognitif, (4)
dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial, (5) empati, dan (6) keterampilan
interpersonal dan keterampilan dalam bergaul. Jika dilihat dari dimensinya,
perkembangan sosial emosi yang dominan pada anak contoh adalah keterampilan
interpersonal dan keterampilan dalam bergaul (34%). Anak contoh mudah
berteman dan mudah memulai percakapan dengan orang lain. Anak contoh juga
merasa nyaman/senang berada dalam kelompok besar. Selain itu, anak contoh
dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam mengerjakan tugas sekolah.
Penelitian ini menduga bahwa perkembangan sosial emosi dipengaruhi
oleh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya
pengasuhan. Pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan
keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi dianalisis
dengan menggunakan regresi linear berganda. Hasil analisis regresi linear
berganda menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosi anak dipengaruhi oleh
usia anak (β=6,409, α=0,01). Anak yang usianya semakin besar akan memiliki
perkembangan sosial emosi yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan Cohn et al.
(2009) yang menyatakan bahwa usia berpengaruh signifikan terhadap
perkembangan sosial emosi anak. Holden (2010) juga mengemukakan bahwa usia
berpengaruh terhadap perkembangan anak. Alasannya, bertambahnya usia
66
menyebabkan terjadinya perubahan pada anak seperti perubahan ukuran fisik
tubuh, kemampuan kognitif dan bahasa, kematangan emosi, dan keterampilan
sosial.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa perkembangan sosial
emosi anak berkaitan dengan kemiskinan. Menurut Aber et al. (1997), kemiskinan
berpengaruh pada perkembangan kognitif dan sosial emosi anak. Kemiskinan
dapat menghambat keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk menstimulasi
anak. Anak yang hidup dalam kemiskinan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
mengalami masalah perkembangan sosial emosi (Eamon 2001). Berns (1997) juga
mengemukakan bahwa orang tua pada keluarga miskin lebih fokus pada perilaku
anak dibandingkan dengan motivasi, padahal motivasi merupakan salah satu
bagian dalam perkembangan emosi anak. Akan tetapi, hasil analisis regresi tidak
menemukan adanya pengaruh kesejahteraan keluarga terhadap perkembangan
sosial emosi anak.
Meskipun hasil analisis regresi tidak menemukan adanya pengaruh gaya
pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak, namun hasil analisis
korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan
laissez faire dengan perkembangan sosial emosi anak (r= -0,914, α=0,05).
Perkembangan sosial emosi anak pada orang tua laissez faire akan cenderung
kurang baik. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa gaya pengasuhan yang negatif dapat menghambat perkembangan sosial
dan emosi anak (Alegre dan Benson (tahun terbit tidak diketahui); Rude 2002;
Grusec 2006; Holden 2010). Penerapan gaya pengasuhan yang baik dapat
mengoptimalkan perkembangan anak dan menunjang keberhasilan anak di
sekolah (Kordi & Baharudin 2010). Gottman dan DeClaire (1997) juga
menjelaskan bahwa orang tua yang memperhatikan anak dengan baik khususnya
emosi negatif (marah, sedih, dan lain-lain) dapat menghasilkan anak yang percaya
diri, belajar dengan baik, dan dapat bergaul dengan orang lain.
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kemiskinan dan gaya
pengasuhan tidak berpengaruh pada perkembangan sosial emosi anak. Hal ini
disebabkan oleh anak contoh merupakan anak usia sekolah yang telah memasuki
lingkungan yang lebih luas. Anak tidak hanya berada di lingkungan keluarga saja,
67
akan tetapi anak telah mengenal lingkungan lain seperti sekolah, tetangga, teman
sebaya (peer group), media massa, dan lain-lain. Lingkungan yang ada di sekitar
anak ini dapat mempengaruhi pemikiran, perasaan, dan perilaku anak. Anak akan
melakukan sesuatu yang dapat diterima oleh lingkungannya. Menurut
Bronfenbrenner, lingkungan memiliki peranan yang penting dalam perkembangan
kepribadian seorang anak (Brooks 2001).
Erikson menempatkan anak usia sekolah pada tahapan industry versus
inferiority. Pada tahapan ini, anak mulai berinteraksi dengan lingkungan yang
lebih luas yaitu tetangga dan sekolah (Santrock 2003). Hal ini sesuai dengan hasil
pengamatan, anak contoh tidak hanya mengenal lingkungan keluarga namun juga
mengenal lingkungan sekolah, teman sebaya, dan lain-lain. Anak contoh lebih
banyak menghabiskan waktu di lingkungannya. Pagi dan siang hari anak contoh
menghabiskan waktunya di sekolah, sedangkan di sore hari anak contoh mengaji
di Taman Pendidikan Alqur’an (TPA) dan bermain bersama teman-temannya.
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa interaksi antara anak contoh dan
orang tua juga sedikit karena anak sibuk dengan aktivitasnya (sekolah, mengaji,
dan bermain dengan teman sebaya), sedangkan orang tua sibuk dengan
pekerjaannya dalam mencari nafkah keluarga. Interaksi yang singkat dan
lingkungan anak yang semakin luas menyebabkan orang tua bukan lagi satu-
satunya teladan (role model) bagi anak. Ketergantungan anak dengan orang tua
semakin menurun. Selain itu, anak juga belajar berbagai hal dari lingkungannya
seperti anak belajar dengan guru di sekolah dan TPA, teman sebaya, media massa,
dan lingkungan lainnya. Hal ini sejalan dengan Rude (2002) yang memaparkan
bahwa selain orang tua, teman sebaya, orang dewasa yang lain, genetik, media,
dan lain-lain juga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak.
Lingkungan yang ada di sekitar anak akan mempengaruhi pemikiran, perasaan,
dan perilaku anak. Anak akan melakukan sesuatu yang dapat diterima oleh
lingkungannya. Dengan demikian, terdapat banyak faktor yang berpengaruh pada
perkembangan sosial emosi anak sehingga gaya pengasuhan orang tua tidak
berpengaruh signifikan terhadap perkembangan sosial emosi anak.
Kemiskinan merupakan akar permasalahan utama dalam keluarga.
Masalah kemiskinan berdampak pada gaya pengasuhan dan perkembangan sosial
68
emosi anak. Keluarga yang miskin cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang
negatif (pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire). Selain itu,
kemiskinan juga menghambat orang tua dalam memberikan stimulus sehingga
perkembangan anak tidak optimal. Penerapan gaya pengasuhan yang negatif
menyebabkan orang tua tidak dapat membimbing anak untuk mengatasi emosi
negatifnya (marah dan sedih). Dengan demikian, kemiskinan membentuk sebuah
lingkaran setan yang sulit terputus. Perkembangan sosial emosi anak yang tidak
optimal pada masa usia sekolah akan menghambat kesuksesan anak pada tahapan
selanjutnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Brisbane dan Riker (1965)
bahwa setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang telah dilalui akan
mempengaruhi tahapan selanjutnya.
Perkembangan sosial emosi anak yang tidak optimal mengindikasikan
bahwa anak belum optimal dalam mengatur emosi dan bergaul dengan orang lain
sehingga anak mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan di tahap
berikutnya. Perkembangan sosial emosi anak yang optimal diharapkan dapat
menghasilkan individu yang memiliki keterampilan bergaul, empati, keterampilan
interpersonal, dukungan sosial, keterampilan dalam memecahkan masalah,
kompetensi emosional, kematangan sosial, konsep diri secara umum, pengelolaan
diri, kemerdekaan sosial, strategi kognitif, dan ketahanan sosial emosi (Cohn et al.
2009). Apabila perkembangan sosial emosi tidak optimal maka individu yang
dihasilkan juga akan memiliki kualitas yang rendah. Individu yang berkualitas
rendah memiliki kemampuan yang terbatas dan pada akhirnya menyebabkan
keluarga tetap miskin. Siklus seperti ini akan terus terbentuk jika masalah
kemiskinan belum teratasi dengan baik.
Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menjumpai keterbatasan yang menjadi
kelemahan dalam penelitian ini. Keterbatasan tersebut adalah jumlah sampel yang
terbatas sehingga hasil penelitian tidak dapat merepresentasikan keluarga petani
kayu manis.
69
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Keluarga petani kayu manis contoh memiliki tingkat kesejahteraan yang
rendah. Kesejahteraan keluarga petani kayu manis contoh dipengaruhi oleh besar
keluarga, usia ayah, dan pendapatan keluarga per bulan. Besar keluarga
berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga kecil
memiliki pengeluaran per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga
besar sehingga keluarga kecil memiliki peluang sejahtera yang lebih besar
dibandingkan dengan keluarga besar. Usia ayah juga berpengaruh signifikan
negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan ayah pada usia dewasa
awal memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan
ayah yang sudah memasuki usia pertengahan (dewasa madya). Berbeda dengan
besar keluarga dan usia ayah, pendapatan keluarga per bulan berpengaruh
signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan pendapatan
yang tinggi memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan keluarga
dengan pendapatan yang rendah.
Keluarga petani kayu manis contoh cenderung menerapkan gaya
pengasuhan tidak menyetujui. Orangtua cenderung menolak, tidak menyetujui,
dan menegur/menghukum anak atas ekspresi emosi negatifnya (marah dan sedih).
Gaya pengasuhan orangtua contoh ini tidak dipengaruhi oleh karakteristik anak
dan kesejahteraan keluarga. Namun, gaya pengasuhan dipengaruhi oleh
pendidikan ibu. Keluarga dengan pendidikan ibu yang tinggi memiliki peluang
yang lebih besar untuk menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi dibandingkan
keluarga dengan pendidikan ibu yang rendah.
Anak contoh memiliki perkembangan sosial emosi yang dominan pada
dimensi keterampilan interpersonal/ keterampilan dalam bergaul. Berdasarkan
indeks, anak contoh memperoleh indeks sebesar 71,30±10,35. Hal ini
mengindikasikan bahwa per-kembangan sosial emosi anak contoh tidak optimal.
Karakteristik keluarga, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan orangtua
tidak berpengaruh signifikan pada perkembangan sosial emosi anak.
Perkembangan sosial emosi anak dipengaruhi oleh usia anak. Anak yang usianya
lebih tua memiliki perkembangan sosial emosi yang lebih baik dibandingkan
70
dengan anak yang usianya lebih muda. Meskipun gaya pengasuhan tidak
berpengaruh signifikan terhadap perkembangan sosial emosi anak, namun gaya
pengasuhan laissez faire berhubungan signifikan negatif dengan perkembangan
sosial emosi anak. Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan laissez faire
memiliki anak dengan perkembangan sosial emosi yang rendah.
Saran
Berdasarkan simpulan yang diambil maka disarankan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Optimalisasi program keluarga berencana dengan cara meningkatkan
pendidikan anak perempuan untuk meningkatkan usia menikah.
2. Meningkatkan keterampilan sebagai alternatif mata pencaharian untuk
meningkatkan pendapatan keluarga.
3. Meningkatkan pengetahuan orangtua tentang gaya pengasuhan melalui
kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Orangtua juga perlu menghindari
penerapan gaya pengasuhan laissez faire.
4. Bagi penelitian lebih lanjut agar menghasilkan analisis yang lebih baik, maka:
a. Lokasi dan jumlah contoh yang diambil lebih banyak dan beragam
sehingga dapat merepresentasikan kondisi keluarga petani kayu manis.
b. Penelitian selanjutnya diharapkan juga mengukur mekanisme koping
keluarga, gender, beban kerja ibu, alokasi waktu pengasuhan, dan
pengaruh faktor eksternal (sekolah, teman sebaya, dan budaya) terhadap
perkembangan sosial emosi.
71
DAFTAR PUSTAKA
Aber JL, Bennet NG, Conley DC, Li J. 1997. The effects of poverty on child health and development. Annual Reviews Inc. 18 (4): 63-83.
Alegre A, Benson M. [tahun terbit tidak diketahui]. The effects of parenting practices in development of children’s emotional intelligence. Blaksburg, VA.
Alfiasari. 2007. Analisis ketahanan pangan rumah tangga miskin dan peranan modal sosial: Studi kasus pada rumah tangga miskin di Kecamatan Tanah Sereal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Aniri NB. 2008. Analisis tingkat faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Arisandi R, Latifah M. 2008. Analisis persepsi anak terhadap gaya pengasuhan orang tua, kecerdasan emosional, aktivitas, dan prestasi belajar siswa kelas XI di SMAN 3 Sukabumi. JIKK. 1 (2): 46-58.
Baumrind D. 2008. Parenting for moral growth. The counsil for spiritual and ethical education. 1(2): 1-6
Behnke A, MacDermid. 2004. Family Well-Being. United States of America (US): Purdue University
Berns RM. 1997. Child, Family, School, Community: Socialization and Support. United States of America (US): Rinehart and Winston, Inc.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010a. Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut provinsi. Jakarta (ID): BPS.
________________________. 2010b. Profil kemiskinan Indonesia Maret 2010. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci. 2011. Jumlah penduduk Kabupaten Kerinci menurut kecamatan. Kerinci (ID): BPS.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2009. Profil hasil pendataan keluarga. Jakarta (ID): BKKBN
Brisbane HE, Riker AP. 1965. The Developing Child. United States of America (US): Chas A Bennett Co. Inc.
Brooks JB. 2001. Parenting. United States of America (US): Mayfield Publishing Company.
Burgess EW, Locke HJ. 1960. The Family. Ed ke-2. New York (US): American Book Company.
Chen S, Schreiner M. 2009. A Simple Poverty Scorecard for Indonesia [internet]. [diunduh 2010 Okt 12]. Tersedia pada: http://www.microfinance. com/ #Indonesia
72
Chon B, Merrell KW, Grant JF, Tom K, Endrulat NR. 2009. Strength-based assessment of social and emotional functioning: SEARS-C and SEARS-A. Annual Meeting of the National Association of School Psychologists. 2009 Feb 27. Boston (US ).
[Disbun] Dinas Perkebunan Kabupaten Kerinci. 2011. Luas areal dan produksi perkebunan Cassiavera Tahun 2010. Kerinci (ID): Dinas Perkebunan.
Eamon MK. 2001. The effects of poverty on children’s socioemotional development: An ecological systems analysis. Social work. 46(3): 256-266.
Friedman MM, Bowden VR, Jones EG. 2003. Family Nursing: Research, Theory, and Practice. New Jersey (US): Pearson Education, Inc.
Goleman D. 2007. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting dari IQ. Hermaya T, penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Gottman J, DeClaire J. 1997. The Heart of Parenting: How to Raise an Emotionally Intelligent Child. New York (US): Simon and Schuster.
Grusec JE. 2006. Parent’s attitudes and beliefs: Their impact on children development. Encyclopedia on early childhood development.
Holden GW. 2010. Parenting: A Dynamic Perspective. United States of America (US): Sage Publications, Inc.
Hoghughi M. 2004. Parenting. Hoghughi M, Long N, editor. Handbook of Parenting. London (GB): Sage Publications, Inc.
Hurlock EB. 1980. Psikologi perkembangan anak: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Istiwidayanti, Soedjarwo, penerjemah; Silabat RM, editor. Ed ke-5. Jakarta (ID): Erlangga
Iskandar A. 2007. Analisis praktek manajemen sumberdaya keluarga dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ibung D. 2008. Stress pada Anak (6-12 tahun): Panduan bagi Orang Tua dalam Memahami dan Membimbing Anak. Jakarta (ID): PT Elex Media Komputindo.
Klein DM, White JM. 1996. Family Theories: An Introduction. United States of America (US): Sage Publications, Inc.
Kordi A, Baharudin R. 2010. Parenting attitude and style and its effect on children’s school achievements. International Journal of Psychological studies. 2(2): 217-222.
Lagacé-séguin DG, d’Entremont MRL. 2006. The role of child negative affect in the relations between parenting styles and play. Early child development and care. 176 (5): 461-477.
Lewin AC, Maurin E. 2005. The effect of family size on incentive effects of welfare transfers in two parent families. Sage Publications 6(29): 507-529.
73
Muflikhati I. 2010. Analisis dan pengembangan model peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung (ID): Mizan Pustaka.
Nurrohmaningtyas S. 2008. Pengaruh gaya pengasuhan dan model sekolah terhadap kecerdasan emosional dan motivasi belajar siswa sekolah dasar. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Papalia DE, Olds SW, Feldman RD. 2009. Human Development (Perkembangan Manusia). Marswendy B, penerjemah; Widyaningrum R, editor. Ed ke-10. Jakarta (ID): Salemba Humanika.
Parke RD, Gauvain M. 2009. Child Psychology: A Contemporary Viewpoint. New York (US): Mc Graw Hill Companies, Inc.
Priatini W, Latifah M, Guhardja S. 2008. Pengaruh tipe gaya pengasuhan, lingkungan sekolah, dan peran teman sebaya terhadap kecerdasan emosional remaja. JIKK 1(1): 43-53.
Rambe A, Hartoyo, Karsin ES. 2008. Analisis alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan keluarga (Studi di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara). JIKK. 1(1): 16-27.
Rohner R P. 1986. The Warmth Dimention: Foundations of Parental Acceptance Rejection Theory. United States of America (US): Sage Publications.
Rude SP. 2002. The influence of parents on children’s thoughts, feelings, and behaviors. YMCA. [volume, edisi, dan halaman tidak diketahui].
Safaria T, Saputra N E. 2009. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak. Rachmawati M, Kuswanti A, penerjemah; Hardani W, editor. Edisi ke-11. Jakarta (ID): Erlangga.
Saarni C, Mumme DL, Campos JJ. 1998. Emotional Development: Action, communication, and understanding dalam buku Handbook of Child Psychology. Damon W, editor. United States of America (US): John Wiley & Sons, Inc.
Setiawati EH. 2007. Analisis gaya pengasuhan, kecerdasan emosional, aktivitas ekstrakurikuler, dan prestasi belajar siswa di SMA Muhammadiyah Cirebon. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Turner JS, Helms DB. 1991. Life Span Development. United States of America (US): Holt, Rinehart, and Winston, Inc.
Wangsa R, Nuryati S. 2007. Status dan Potensi Pasar Kayu Manis Organik Nasional dan Internasional. [Laporan Penelitian]. Bogor (ID): Aliansi Organis Indonesia.
Zanden JWV. 1986. Sociology: The core. United States of America (US): Alfred A Knope, Inc.
74
Zeitlin MF, Megawangi R, Kramer EM, Colletta ND, Babatunde ED, Garman D. 1995. Strengthening The Family: Implications for International Development. Jepang (JP): United Nations University Press.
75
LAMPIRAN
76
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
Keterangan:
1. Kecamatan Batang Merangin
1
77
Lampiran 2 Kriteria keluarga sejahtera BKKBN A. Keluarga Prasejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah
satu indikator tahapan keluarga sejahtera I B. Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang dapat memenuhi indikator-
indikator berikut: 1. Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. 2. Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah, dan bepergian. 3. Rumah yang ditempati keluarga memiliki atap, lantai, dan dinding yang
baik. 4. Bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan. 5. Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan
kontrasepsi. 6. Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.
C. Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi indikator tahapan keluarga sejahtera I (indikator 1 s/d 6) dan indikator berikut: 7. Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya. 8. Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan
daging/ikan/telur. 9. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian
dalam setahun. 10. Luas lantai rumah paling kurang 8m2 untuk setiap penghuni satu rumah. 11. Tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat
menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. 12. Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh
penghasilan. 13. Seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulis latin. 14. Pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan alat atau
obet kontrasepsi. D. Keluarga Sejahtera III adalah keluarga yang sudah memenuhi indikator
tahapan keluarga sejahtera II (indikator 1 s/d 14) dan indikator berikut: 15. Keluarga berupaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. 16. Sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang maupun
barang. 17. Kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali
dimanfaatkan untuk berkomunikasi. 18. Keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat
tinggal. 19. Keluarga memperoleh informasi dari surat kabar/majalah/radio/ televisi.
E. Keluarga Sejahtera III Plus adalah keluarga yang memenuhi indikator keluarga sejahtera III (indikator 1 s/d 19) dan indikator berikut: 20. Keluarga secara teratur dengan sukarela memberikan sumbangan materil
untuk kegiatan sosial. 21. Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan
sosial/yayasan/institusi masyarakat. Sumber: BKKBN 2009
78
Lampiran 3 Kesejahteraan keluarga Indikator a simple poverty scorecard for
Indonesia
1. Jumlah anggota keluarga a. Enam orang atau lebih b. Lima orang c. Empat orang
d. Tiga orang e. Dua orang f. Satu orang
2. Jumlah anggota keluarga yang berusia 5-18 tahun dan masih sekolah
a. Tidak semua, atau tidak ada anak usia 5-18 tahun b. Semua
3. Minggu lalu, jumlah anggota keluarga yang berusia 11 tahun atau lebih yang bekerja a. Tidak ada b. Satu atau dua orang c. Tiga orang d. Empat orang atau lebih
4. Sumber air minum keluarga
a. Sumber air minum umum, sungai, air hujan, dan lainnya. b. Fasilitas umum, pipa, atau sumur bor. c. Perusahaan Air minum.
5. Tipe toilet yang dimiliki keluarga
a. Lainnya b. Toilet duduk
6. Lantai rumah
a. Tanah b. Bukan tanah
7. Langit-langit/loteng rumah
a. Bambu, lainnya, atau tidak ada loteng b. Beton, kayu, gips, atau asbes
8. Kepemilikan kulkas
a. Tidak ada b. Ada
9. Kepemilikan kendaraan bermotor
a. Tidak ada b. Ada
10. Kepemilikan televisi
a. Tidak ada b. Ada
Sumber: Chen dan Schreiner 2009
79
Lampiran 4 Teori ekologi keluarga Bronfenbrenner
Sumber: Santrock 2007
80
Lampiran 5 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan kesejahteraan keluarga VAR TIPE BSR UMKK UMIST KRJIST PDDKK PDDIST PDBLN PDKPT PGBLN PGKPT ASET BPS BKKBN SCRD TIPE 1 BSR 0.294* 1
UMKK -0.170 0.130 1 UMIST -0.241 0.202 0.823** 1 KRJIST 0.082 -0.043 -0.170 -0,241 1 PDDKK 0.070 0.129 -0.397** -0.255 -0.217 1 PDDIST 0.011 0.125 -0.200 -0.147 -0.131 0.667** 1 PDBLN 0.068 0.417** -0.081 -0.017 0.035 0.362** 0.256 1 PDKPT -0.250 -0.414** -0.184 -0.164 0.106 0.326* 0.259 0.592** 1 PGBLN 0.066 0.419** -0.081 -0.018 0.028 0.364** 0.259 1.000** 0.591** 1 PGKPT -0.250 -0.411** -0.186 -0.166 0.085 0.329* 0.261 0.594** 1.000** 0.594** 1 ASET 0,137 0,210 0,039 0,046 0,235 0,287* 0,336* 0,514** 0,365** 0,515** 0,366** 1 BPS -0.242 -0.450** -0.275 -0.255 0.181 0.228 0.075 0.369** 0.747** 0.365** 0.744** 0,139 1
BKKBN -0.015 -0.132 -0.359* -0.257 0.078 0.487** 0.128 0.282* 0.449** 0.284* 0.452** 0,080 0.456** 1 SCRD -0.002 -0.458** -0.256 -0.216 0.032 0.357* 0.179 0.236 0.751** 0.235 0.749** 0,127 0.676** 0.535** 1 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%
** = Signifikan pada selang kepercayaan 99% TIPE : Tipe keluarga (0=keluarga inti, 1=keluarga luas) BSR : Besar keluarga (orang) UMKK : Umur ayah (tahun) UMIST : Umur ibu (tahun) KRJIST : Pekerjaan ibu (0=tidak bekerja, 1=bekerja) PDDKK : Pendidikan ayah (tahun) PDDIST : Pendidikan ibu (tahun) PDBLN : Pendapatan keluarga (Rp/bln) PDKPT : Pendapatan keluarga (Rp/kpt/bln) PGBLN : Pengeluaran keluarga (Rp/bln)
PGKPT : Pengeluaran keluarga (Rp/kpt/bln) ASET : Luas ladang kayu manis (Ha) BPS : Indikator BPS (0=miskin, 1=tidak miskin) BKKBN : Indikator BKKBN (1=PraKS, 2=KSI, 3=KSII,
4=KSIII, 5=KSIIIPlus) SCRD : Indikator A simple poverty scorecard for
Indonesia
81
Lampiran 6 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi
VAR TIPE BSR UMKK UMIST KRJIST PDDKK PDDIST PDBLN PDKPT PGBLN PGKPT ASET JNGP SOSEM KSOSEM TIPE 1 BSR 0.294* 1
UMKK -0.170 0.130 1 UMIST -0.241 0.202 0.823** 1 KRJIST 0.082 -0.043 -0.170 -0,241 1 PDDKK 0.070 0.129 -0.397** -0.255 -0.217 1 PDDIST 0.011 0.125 -0.200 -0.147 -0.131 0.667** 1 PDBLN 0.068 0.417** -0.081 -0.017 0.035 0.362** 0.256 1 PDKPT -0.250 -0.414** -0.184 -0.164 0.106 0.326* 0.259 0.592** 1 PGBLN 0.066 0.419** -0.081 -0.018 0.028 0.364** 0.259 1.000** 0.591** 1 PGKPT -0.250 -0.411** -0.186 -0.166 0.085 0.329* 0.261 0.594** 1.000** 0.594** 1 ASET 0,137 0,210 0,039 0,046 0,235 0,287* 0,336* 0,514** 0,365** 0,515** 0,366** 1 JNGP 0.005 0.076 -0.252 -0.245 -0.100 0.492** 0.679** 0.131 0.123 0.123 0.133 0,294* 1
SOSEM -0.310* -0.266 0.104 0.057 -0.198 0.084 0.096 -0.186 0.035 -0.188 0.031 -0,023 0.188 1 KSOSEM -0.255 -0.249 0.157 0.107 -0.167 0.026 0.002 -0.135 0.059 -0.136 0.056 -0,055 0.013 0.848** 1
Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95% ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%
TIPE : Tipe keluarga (0=keluarga inti, 1=keluarga luas) BSR : Besar keluarga (tahun) UMKK : Umur ayah (tahun) UMIST : Umur ibu (tahun) KRJIST : Pekerjaan ibu (0=tidak bekerja, 1=bekerja) PDDKK : Pendidikan ayah (tahun) PDDIST : Pendidikan ibu PDBLN : Pendapatan keluarga (Rp/bln) PDKPT : Pendapatan keluarga (Rp/kpt/bln) PGBLN : Pengeluaran keluarga (Rp/bln)
PGKPT : Pengeluaran keluarga (Rp/kpt/bln) ASET : Luas ladang kayu manis (Ha) JNGP : Jenis gaya pengasuhan (0=bukan pelatih emosi,
1=pelatih emosi) SOSEM : Indeks perkembangan sosial emosi KSOSEM : Kategori sosial emosi (1=rendah, 2=sedang,
3=tinggi)
1
Lampiran 7 Koefisisen korelasi antara karakteristik anak dengan gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi
Var Umank Gender Urtlhr Jngp Sosem
Umank 1 Gender 0.122 1 Urtlhr -0.155 0.054 1 Jngp 0.007 -0.194 -0.207 1 Sosem 0.582** 0.106 -0.102 0.188 1 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%
** = Signifikan pada selang kepercayaan 99% Umank : Usia anak (tahun) Gender : Jenis kelamin anak (0=laki-laki, 1=perempuan) Urtlhr : Urutan kelahiran anak (1= anak sulung, 2=anak tengah, 3=anak
bungsu) Jngp : Jenis gaya pengasuhan (0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan
laissez faire, 1=pelatih emosi) Sosem : Indeks perkembangan sosial emosi
2
Lampiran 8 Koefisisen korelasi antara kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak
Var BPS BKKBN SCRD Jngp Sosem
BPS 1 BKKBN 0.456** 1 SCRD 0.676** 0.535** 1 Jngp 0.075 0.038 0.121 1 Sosem 0.018 -0.162 0.109 0.188 1
Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95% ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%
BPS : Indikator BPS (0=miskin, 1=tidak miskin) BKKBN : Indikator BKKBN (1=PraKS, 2=KSI, 3=KSII, 4=KSIII,
5=KSIIIPlus) SCRD : Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia Jngp : Jenis gaya pengasuhan (0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan
laissez faire, 1=pelatih emosi) Sosem : Indeks perkembangan sosial emosi
3
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi
pada tanggal 8 Maret 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara
pasangan Suryani, S.Pd dan Suryalis, S.Pdi. Pada Tahun 2007, penulis menamat-
kan sekolah menengah atas di SMA Negeri 4 Sungai Penuh, Jambi. Pada tahun
yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu ke Departemen Ilmu
Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Provinsi Jambi.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi di
kampus seperti Staf pada Departemen Politik, Kebijakan Strategis, dan Advokasi
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
(BEM I) periode 2008/2009, Staf pada Kementerian Kebijakan Daerah Badan
Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM KM
IPB) periode 2009/2010, dan Staf pada Divisi Human Resources Himpunan
Mahasiswa Ilmu keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) periode 2009/2010. Selain
itu, penulis juga aktif dalam organisasi mahasiswa daerah yakni Ikatan Mahasiswa
Kerinci Bogor (IMKB) dan Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA).