Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

9
KETIKA DUA KELOMPOK MUKMIN SALING BERPERANG Oleh Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA َ فٰ ىَ رْ خُ ْ ا ىَ لَ ع اَ مُ اھَ دْ حِ إْ تَ غَ بْ نِ إَ فۖ اَ مُ ھَ نْ يَ ب واُ حِ لْ صَ أَ ف واُ لَ تَ تْ اقَ ينِ نِ مْ ؤُ مْ الَ نِ مِ انَ تَ فِ ائَ طْ نِ إَ وَ يءِ فَ تٰ ى تَ ح يِ غْ بَ تيِ ت ال واُ لِ اتَ قْ تَ اءَ فْ نِ إَ فۚ ِ ِ رْ مَ أٰ ىَ لِ إَ ينِ طِ سْ قُ مْ ال بِ حُ يَ نِ إۖ واُ طِ سْ قَ أَ وِ لْ دَ عْ الِ ب اَ مُ ھَ نْ يَ ب واُ حِ لْ صَ أَ فDan kalau ada dua kelompok dari orangorang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya! Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allâh. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orangorang yang berlaku adil [alHujurat/49:9] RINGKASAN TAFSIR (Dan kalau ada dua kelompok dari orangorang yang beriman) baik jumlahnya sedikit ataupun banyak, (berperang), baik yang sedang berperang atau akan berperang, (maka damaikan oleh kalian antara keduanya!) dengan membuat perjanjian kesepakatan. (Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain), dengan menolak perjanjian tersebut atau tidak ridha dengan hukum Allâh, (maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allâh,) yaitu sampai mereka kembali kepada kebenaran. (Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orangorang yang berlaku adil.)[1] Syaikh asSa’di rahimahullah berkata, “Peperangan merusak hubungan persaudaraan seiman. Oleh karena itu, dia termasuk dosa besar yang paling besar. Sesungguhnya iman dan persaudaraan seiman tidak lenyap dengan adanya peperangan (antara sesama orang yang beriman), sebagaimana dosadosa besar lain yang berada di bawah syirik (tidak melenyapkan iman). Dan inilah madzhab Ahlus Sunnah walJamaa’ah, begitu pula dalam permasalahan: wajibnya mengadakan perdamaian di antara orangorang yang beriman dengan adil, wajibnya memerangi orangorang melanggar perjanjian atau pemberontak sampai mereka kembali kepada perintah Allâh... Dan (setelah memerangi mereka), harta mereka dilindungi (atau tidak menjadi ghanîmah), yang dibolehkan hanyalah membunuh mereka ketika mereka terus melakukannya, tetapi tidak dibolehkan mengambil hartaharta mereka.”[2] PENJABARAN AYAT Sebab Turunnya Ayat Para Ulama berbeda pendapat tentang sebab turun ayat ini. Sebab turun yang shahîh tercantum dalam hadits berikut:

description

Dua Mukmin Berhadapan

Transcript of Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

Page 1: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

KETIKA DUA KELOMPOK MUKMIN SALING BERPERANG 

 

Oleh 

Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA 

 

 

فإن فاءت قاتلوا التي تبغي حتى تفيء وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما فإن بغت إحداھما على األخرى ف إلى أمر هللا يحب المقسطين  فأصلحوا بينھما بالعدل وأقسطوا إن هللا 

Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian 

antara keduanya! Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka 

perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada 

perintah Allâh. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan 

hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang‐orang yang berlaku adil [al‐

Hujurat/49:9] 

 

RINGKASAN TAFSIR 

(Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman) baik jumlahnya sedikit ataupun banyak, 

(berperang), baik yang sedang berperang atau akan berperang, (maka damaikan oleh kalian antara 

keduanya!) dengan membuat perjanjian kesepakatan. (Akan tetapi, kalau yang satu melanggar 

perjanjian terhadap yang lain), dengan menolak perjanjian tersebut atau tidak ridha dengan hukum 

Allâh, (maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali 

kepada perintah Allâh,) yaitu sampai mereka kembali kepada kebenaran. 

 

(Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian 

berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang‐orang yang berlaku adil.)[1]  

 

Syaikh as‐Sa’di rahimahullah berkata, “Peperangan merusak hubungan persaudaraan seiman. Oleh 

karena itu, dia termasuk dosa besar yang paling besar. Sesungguhnya iman dan persaudaraan seiman 

tidak lenyap dengan adanya peperangan (antara sesama orang yang beriman), sebagaimana dosa‐dosa 

besar lain yang berada di bawah syirik (tidak melenyapkan iman). Dan inilah madzhab Ahlus Sunnah wal‐

Jamaa’ah, begitu pula dalam permasalahan: wajibnya mengadakan perdamaian di antara orang‐orang 

yang beriman dengan adil, wajibnya memerangi orang‐orang melanggar perjanjian atau pemberontak 

sampai mereka kembali kepada perintah Allâh... Dan (setelah memerangi mereka), harta mereka 

dilindungi (atau tidak menjadi ghanîmah), yang dibolehkan hanyalah membunuh mereka ketika mereka 

terus melakukannya, tetapi tidak dibolehkan mengambil harta‐harta mereka.”[2]  

 

PENJABARAN AYAT 

Sebab Turunnya Ayat 

Para Ulama berbeda pendapat tentang sebab turun ayat ini. Sebab turun yang shahîh tercantum dalam 

hadits berikut: 

 

Page 2: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

بي صلى هللا عليه وسلم : لو أتيت عبد هللا بن أ بي عن أنس رضي هللا عنه قال: قيل للن بي صلى هللا عليه وسلم وركب  . فانطلق إليه الن

بي صلى هللا عليه وس حم ا أتاه الن لقد آذاني نتن حمارك ارا فانطلق المسلمون يمشون معه وھي أرض سبخة فلم لم فقال: إليك عني! وهللا . 

لح تما فغضب مار رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أطيب ريحا منك. فغضب لعبد هللا رجل من قومه فش فقال رجل من األنصار منھم: وهللاھا أنزلت: وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما لكل واحد منھما أصحابه فكان بينھما ضرب بالجريد واأليدي والنعال فبلغنا أن  

 

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa 

sallam disarankan, ‘Sebaiknya engkau menemui ‘Abdullah bin Ubay.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa 

sallam pun pergi dan diikuti oleh kaum Muslimin menuju tanah yang tandus. Ketika Nabi Shallallahu 

‘alaihi wa sallam menemuinya, berkatalah ‘Abdullah bin Ubay, ‘Menjauhlah dariku! Demi Allâh! Bau 

keledaimu telah menggangguku.’ Maka berkatalah seorang laki‐laki dari Anshâr, ‘Demi Allâh! Keledai 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih harum daripada dirimu.’ Kemudian marahlah seorang laki‐

laki dari kaumnya karena ‘Abdullah diejek. Mereka berdua pun saling mengejek, kemudian teman‐teman 

kedua laki‐laki tersebut saling marah dengan yang lain. Dan terjadilah pemukulan dengan pelepah 

kurma, tangan dan sandal‐sandal. Dan kami diberitahukan bahwa karena hal itulah diturunkan ayat, 

yang artinya, "Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman berperang, maka damaikan 

oleh kalian antara keduanya!”[3]  

 

Firman Allâh Azza wa Jalla : 

 

 وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما 

Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian 

antara keduanya! 

 

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla masih menamai kedua kelompok tersebut sebagai kaum yang 

beriman, meskipun sekelompok orang Mukmin yang satu memerangi dan membunuh sekelompok orang 

Mukmin lainnya. Allâh Azza wa Jalla juga tidak mengatakan bahwa orang atau kelompok yang 

membunuh sebagai orang kafir.  

 

Imam al‐Bukhâri mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla menamai mereka sebagai orang‐orang yang 

beriman.”[4] Ini menunjukkan bahwa Imam al‐Bukhâri memahami bahwa hal tersebut tidak 

menyebabkan salah satu dari dua kelompok tersebut keluar dari agama Islam. 

 

Begitu pula jika kita perhatikan ayat yang berbicara tentang qishâsh. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

 

ھا الذين آمنوا كتب عليكم ال باع قصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد واألنثى باألنثى فمن عفي له من أ يا أي خيه شيء فات بالمعروف وأداء إليه بإحسان  

Hai orang‐orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishâsh berkenaan dengan orang‐orang yang 

dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. 

Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, maka hendaklah (yang dimaafkan) 

mengikuti dengan cara yang baik. [Al‐Baqarah/2:178] 

Page 3: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

 

Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebut orang yang membunuh sebagai seorang yang beriman dan 

tidak menghilangkan keimanan dan persaudaraan seiman pada dirinya dengan firman‐Nya, yang artinya 

“maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.” Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla 

masih menyebut orang yang membunuh sebagai saudara yang lain. 

 

Begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

 

 ال ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض  

Janganlah kalian setelahku menjadi orang‐orang kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang 

lain.[5]  

 

Pada hadits ini, meskipun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai orang yang 

kafir, tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap sebagian mereka sebagai bagian yang 

lain. Ini menunjukkan bahwa kekafiran yang dimaksud bukanlah kekafiran yang menyebabkan mereka 

keluar dari agama Islam. 

Begitu pula dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau menyebutkan tentang 

pemberontakan yang akan terjadi di antara para Shahabat: 

 

ائفتين بالحق  وتمرق مارقة عند فرقة من المسلمين يقتلھا أولى الط 

Dan akan ada kelompok yang keluar ketika terjadi perpecahan di antara kaum Muslimin. Kemudian 

kelompok yang lebih utama memerangi mereka dengan haq (kebenaran).[6]  

 

Dan kita ketahui dalam sejarah Islam, bahwa setelah ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu wafat, maka 

terjadilah perselisihan antara pendukung pemerintahan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dengan 

pendukung Mu’âwiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu , sehingga terjadi peperangan antara dua 

kelompok besar kaum Muslimin. 

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan hal ini sebelumnya, yaitu tentang cucu Beliau yang 

bernama al‐Hasan bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhuma : 

 

أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين د ولعل هللا  إن ابني ھذا سي 

Sesungguhnya anakku ini (yaitu cucu Beliau) adalah sayyid (pemimpin). Mudah‐mudahan Allâh akan 

mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin dengan sebabnya[7]  

 

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa peperangan dan bunuh‐bunuhan yang terjadi antara kedua 

kelompok besar tersebut tidak menyebabkan salah satu kelompok menjadi orang kafir, keluar dari 

agama Islam. 

 

Page 4: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

Kekafiran Ada Dua Jenis 

Sangat perlu ditekankan pada tulisan ini, bahwa tidak semua lafaz: kefasikan, kekafiran, kemunafikan 

dan kezhaliman, di dalam ayat‐ayat Al‐Qur’ân dan juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti 

hal tersebut menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.  

 

Kefasikan (al‐fisq), kekafiran (al‐kufr), kemunafikan (an‐nifâq) dan kezhaliman (adzh‐dzhulm) terbagi 

menjadi dua, yaitu: akbar dan ashghar.  

 

Al‐Kufr al‐Akbar menyebabkan pelakunya dari Islam, sedangkan al‐kufr al‐ashghar tidak menyebabkan 

pelakunya dari Islam. 

 

Contoh al‐kufr al‐akbar (kekafiran yang besar) tercantum pada ayat berikut: 

 

Allâh Azza wa Jalla berfirman : 

 

واستكبر وكان من الكافرين وإذ قلنا للمالئكة اسجدوا آلدم فسجدوا إال إبليس أبى  

 

Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ maka 

sujudlah mereka kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang‐orang 

yang kafir. [Al‐Baqarah/2:34] 

 

قد ضلوا ضالال بعيدا وا عن سبيل هللا  إن الذين كفروا وصد 

Sesungguhnya orang‐orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allâh sekali‐kali tidak akan 

mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka [An‐Nisâ’/4:167] 

 

Kekafiran yang dimaksudkan pada kedua ayat tersebut adalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya 

keluar dari agama Islam. 

 

Contoh al‐kufr al‐ashghar tercantum pada hadits berikut: 

 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

 

 سباب المسلم فسوق وقتاله كفر  

Mencela seorang Muslim adalah perbuatan fasiq (dosa) dan membunuhnya adalah perbuatan kafir 

 

Kekafiran pada hadits ini tidak menunjukkan bahwa pembunuhan merupakan perbuatan yang dapat 

menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. 

 

Inilah aqidah Ahlussunnah wal‐Jamâ’ah. Mereka tidak mengkafirkan orang‐orang yang melakukan dosa 

besar, seperti: membunuh, berzina, minum‐minuman keras dan lain‐lain. Ini sangat berbeda dengan apa 

Page 5: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

yang dipahami oleh orang‐orang sesat dari kaum khawarij. Mereka mengkafirkan orang‐orang yang 

melakukan dosa‐dosa besar tersebut. [8] 

 

Firman Allâh Azza wa Jalla : 

 

 فإن بغت إحداھما على األخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر هللا 

Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian 

(kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allâh 

 

Para pemberontak yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil boleh diperangi dan dibunuh. 

Dalilnya adalah ayat yang sedang kita bahas ini. Apabila ada suatu kelompok yang memiliki:  

 

1. Kekuatan untuk memberontak, tidak mau menaati imam yang adil,  

2. Memiliki syubhat/kesalahan dalam memahami dalil dan  

3. Mereka mengangkat seorang imam, maka imam tersebut wajib mengutus perwakilan kepada mereka 

dan mengajak mereka untuk taat kepadanya. 

 

Apabila mereka menyatakan bahwa telah terjadi kezhaliman kepada mereka, maka sang Imam harus 

menyelesaikannya. Apabila ternyata tidak ada kezhaliman yang dilakukan imam kepada mereka, tetapi 

mereka tetap memberontak, maka sang Imam berhak memerangi mereka sampai mereka kembali 

menaati sang Imam. 

 

Tetapi perlu diingatkan pada tulisan ini, memerangi mereka bukan berarti dihalalkan mengambil harta 

mereka, memperbudak mereka dan juga memperbudak anak‐istri mereka setelah terjadi peperangan, 

sebagaimana dihalalkan mengambilnya dari orang‐orang kafir. Mereka adalah orang‐orang Islam, 

apabila ketika mereka diperangi dan melarikan diri, maka mereka tidak boleh dikejar, apabila mereka 

ditawan, maka mereka tidak boleh dibunuh, apabila mereka terluka, maka harus diberikan pengobatan. 

 

Jika terpenuhi ketiga syarat tersebut, barulah sang Imam boleh memerangi mereka. 

 

Namun, jika belum terpenuhi syarat‐syarat tersebut, misalkan kelompok pemberontak tersebut:  

 

1. Jumlahnya sedikit dan tidak memiliki kekuatan,  

2. Mereka tidak memiliki syubhat atau salah dalam memahami dalil atau  

3. Mereka tidak mengangkat seorang imam dan tidak mengumumkan peperangan kepada kaum 

Muslimin, maka tidak boleh memerangi mereka. Kecuali mereka sangat mengancam bagi kaum 

Muslimin, maka diperbolehkan untuk memerangi mereka.[9]  

 

Ayat ini menunjukkan wajibnya memerangi kelompok pemberontak yang benar‐benar memberontak 

kepada Imam, pemerintah atau membunuh orang‐orang Islam. Ini tidak bertentangan dengan hadits 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

Page 6: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

 

 وقتاله كفر  

Membunuhnya adalah perbuatan kafir. 

 

Kita ketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak mungkin memerintahkan para hamba‐Nya untuk melakukan 

perbuatan kafir. Oleh karena itu, perintah dalam ayat tersebut di atas adalah salah satu bentuk taqarrub 

(mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla .  

 

Kita juga mengetahui bahwa Abu Bakr ash‐Shiddîq Radhiyallahu anhu memerangi orang Islam yang tidak 

mau bayar zakat.[10]  

 

TIDAK BERMUDAH‐MUDAH DALAM MASALAH MEMEMBUNUH PARA PEMBERONTAK 

Meskipun Allâh Azza wa Jalla mengizinkan untuk memerangi para pemberontak dan orang yang 

membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi, sudah sepantasnya para pemegang kekuasaan tidak 

menganggap sepele masalah pembunuhan terhadap para pemberontak. Pertimbangan untuk 

membunuh mereka haruslah benar‐benar matang. Pemegang kekuasaan harus menimbang 

kemaslahatan (kebaikan) dan kemudaratan (keburukan) yang akan terjadi jika para pemberontak 

tersebut diperangi. 

 

Diriwayatkan dari Nâfi’ rahimahullah , bahwa ada seseorang mendatangi Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 

anhuma dan berkata, “Ya Abu ‘Abdirrahman[11] ! Apakah engkau tidak mendengar ayat yang Allâh 

sebutkan dalam kitab‐Nya: 

 

 وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما 

Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian 

antara keduanya! [Al‐Hujurat/49:9] 

 

Apa yang menghalangimu untuk tidak memerangi (orang‐orang) sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla 

sebutkan dalam kitab‐Nya?  

 

Beliau pun berkata, “Wahai anak saudaraku! Saya tidak ingin salah dalam memahami ayat ini. Tidak 

memerangi (mereka) lebih saya sukai daripada salah dalam memahami ayat yang Allâh Azza wa Jalla 

firmankan: 

 

م خالدا فيھا دا فجزاؤه جھن  ومن يقتل مؤمنا متعم 

Barang siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, dia 

kekal di dalamnya. [An‐Nisâ/4:93] 

 

Beliau berkata, sesungguhnya Allâh berkata: 

Page 7: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

 

ين  وقاتلوھم حتى ال تكون فتنة ويكون الد 

Dan perangilah mereka sampai tidak terjadi fitnah [Al‐Baqarah/2:193]”[12]  

 

Dari atsar di atas kita dapat memahami bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma sangat berhati‐hati 

dalam menghukumi suatu permasalahan, karena permasalahan tersebut sangat besar dan beliau takut 

terjatuh pada kesalahan sehingga seorang Mukmin membunuh saudaranya bukan dengan alasan yang 

benar, sehingga dia terjatuh pada ayat: 

 

عليه ولعنه وأعد له عذابا ومن يقت م خالدا فيھا وغضب هللا دا فجزاؤه جھن عظيمال مؤمنا متعم  

 

Barang siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, dia 

kekal di dalamnya. Dan Allâh murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan untuknya azab 

yang besar [An‐Nisâ’/4:93] 

 

Begitu pula, beliau c memahami bahwa halalnya memerangi orang yang memberontak adalah karena 

pertimbangan maslahat yang besar atau menghindarkan mudarat (bahaya). Akan tetapi, jika dengan 

memerangi mereka bukan karena Allâh Azza wa Jalla dan akan terjadi fitnah yang sangat besar di antara 

kaum Muslimin, maka hal tersebut tidak disyariatkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

 

المين وقاتلوھم حتى ال تكون فتنة فإن انتھوا فال عدوان إال على الظ ين ويكون الد  

 

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata‐

mata untuk Allâh. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi), 

kecuali terhadap orang‐orang yang zalim. [Al‐Baqarah/2:193] 

 

Firman Allâh Ta’ala: 

 

يحب المقسطين  فإن فاءت فأصلحوا بينھما بالعدل وأقسطوا إن هللا 

Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang‐orang yang berlaku adil. 

 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan orang yang berbuat adil, beliau 

berkata: 

 

حمن ع على منابر من نور عن يمين الر ز وجل وكلتا يديه يمين الذين يعدلون فى حكمھم وأھليھم وما ولواإن المقسطين عند هللا  

 

Sesungguhnya orang‐orang yang muqsith (adil) nanti akan berada di sisi Allâh di atas mimbar‐mimbar 

dari cahaya di sebelah tangan kanan Ar‐Rahmaan, dan kedua tangan Allâh adalah kanan. Mereka adalah 

orang‐orang yang berbuat adil ketika berhukum, berbuat adil terhadap keluarganya dan orang‐orang 

yang menjadi tanggungannya.[13]  

Page 8: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

 

KESIMPULAN 

Dengan membaca paparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa: 

 

1. membunuh seorang Muslim tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam, tetapi orang yang 

melakukannya telah melakukan dosa yang sangat besar dan diancam untuk masuk ke dalam neraka. 

 

2. Pemegang kekuasaan berhak untuk memerangi para pemberontak yang sangat mengancam negeri 

kekuasaannya dan dihalalkan untuk membunuh mereka jika tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. 

 

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. 

 

Daftar Pustaka 

1. Aisarut‐Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil‐Kabîr. Jâbir bin Musa Al‐Jazâiri. Al‐Madinah: Maktabah Al‐‘Ulûm wal‐

hikam 

2. Al‐Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al‐Qurthubi. Kairo: Daar Al‐Kutub Al‐Mishriyah. 

3. Ma’ârijul Qabûl Bisyarhi Sullamil Wushûl ilâ ‘Ilmil‐Ushûl. Hafidzh bin Ahmad bin Al‐Hakami. 

Dammaam: Daar Ibnil‐Qayyim. 

4. Ma'âlimut‐tanzîl. Abu Muhammad Al‐Husain bin Mas'ûd Al‐Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath‐

Thaibah. 

5. Syarh I’tiqâd Ahlis‐Sunnah wal‐Jamâ’ah minal‐Kitab was‐Sunnah wa Ijmâ’ish‐shahâbah. Ar‐Riyadh: Dar 

Ath‐Thaibah. 

6. Tafsîr Al‐Qur'ân al‐'Adzhîm. Ismâ'îl bin 'Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath‐Thaibah. 

7. Taisîr al‐Karîm ar‐Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As‐Sa'di. Beirut: Muassasah Ar‐Risâlah. 

8. Dan sumber‐sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes. 

 

[Disalin dari majalah As‐Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah 

Surakarta, Jl. Solo‐Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271‐858197 Fax 0271‐

858196] 

_______ 

Footnote 

[1]. Lihat Aisarut‐Tafâsîr IV/122 dan Tafsîr as‐Sa’di hlm. 800 

[2]. Tafsîr as‐Sa’di, hlm. 800 

[3]. HR. Al‐Bukhâri, no. 2691 

[4]. Catatan beliau di Bab 23 dalam Shahîh Al‐Bukhâri, sebelum hadits ke‐31 

[5]. HR. Al‐Bukhâri no. 121 dan Muslim no. 65/223 

[6]. HR. Muslim no. 1065/2458 

[7]. HR. Al‐Bukhâri no. 2704 

[8]. Lihat Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlissunnah wal‐Jamâ’ah I/163‐164 dan Ma’ârijul Qabûl III/1018‐1019  

[9]. Ma’âlimut Tanzîl VII/341 

[10]. Lihat Ma’âlimut Tanzîl VII/341‐342 

[11]. Kunyah atau panggilan untuk ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma 

Page 9: Ketika Dua Kelompok Mukmin Saling Berperang

[12]. HR. Al‐Bukhâri no. 4650 

[13]. HR Muslim, no. 1827/4721