Kumpulan Ceramah

download Kumpulan Ceramah

of 53

Transcript of Kumpulan Ceramah

Pelajaran dari Bani IsrailTelah dila nat orang-orang ka r dari kalangan Bani Israil atas lisan Dawud dan Isa Anak Mayam. Itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh buruk perilaku mereka. (QS alMa-idah(5):78-79. Imam Abdurrahman bin Abu Bakar yang lebih dikenal sebagai Jalaluddin as-Syuyuthi, dalam kitab tafsirnya ad-Duru l-Mantsuur t-Ta-wiili bi l-Ma-tsuur menukil hadits yang terdapat dalam Musnad ad-Dailami dengan sanad marfu , bahwa Nabi Muhammad saaw bersabda, Bani Israil telah membunuh empat puluh tiga orang nabi di waktu pagi, kemudian seratus dua belas pengikut yang setia kepada para nabi itu bangkit, menyuruh mereka berbuat ma ruf serta mencegah mereka berlaku munkar. Keseratus dua belas penyeru kebenaran ini pun mereka bunuh pada penghujung siang. Maka merekalah yang disebut Allah, Telah dila nat orang-orang ka r dari kalangan Bani Israil (hingga akhir ayat). Dalam beberapa ayat lain dalam Quran (QS al-Baqarah(2):61, Ali Imran(3):21) disebutkan bahwa Allah mengadzab dan menimpakan kehinaan kepada Bani Israil karena kebiadaban mereka membunuh para nabi dan utusan Allah. Dan hal itu mereka lakukan dalam makna hara ah. Artinya, mereka benar-benar membunuh nabi-nabi, secara sik. Nabi Zakaria dan Nabi Yahya alaiHima s-salam mereka bunuh. Ada kalanya Allah berkehendak menyelamatkan hamba terkasih-Nya dari tangan-tangan jahat mereka. Nabi Isa a.s. mereka upayakan pembunuhannya, meskipun melalui tangan otoritas politik waktu itu, Gubernur Pontius Pilatus. Tapi kita tahu dari kisah dan sejarah bahwa otak dari seluruh upaya pembunuhan (penyaliban) terhadap Putra Maryam a.s. ini adalah para rahib Yahudi. Kenapa hal itu mereka lakukan? Karena mereka risi mendengar seruan da wah. Kuping mereka panas, hati mereka tersengat dengan gelombang seruan risalah yang mereka pandang telah menempatkan mereka pada posisi tertuduh . Bagi mereka, akan habis perkara jika nabi penyeru kebenaran pengancam kebatilan itu dihabisi saja. Para pengikut nabi, sebagaimana dalam hadits di atas, yang bangkit meneruskan jejak risalah, tanpa ampun juga mereka bunuh dengan maksud untuk segera menghentikan da wah mereka dan menakut-nakuti orang lain yang akan coba-coba melakukan hal yang sama. Manusia dalam ruang kekinian, termasuk di dalamnya kaum Muslimin, memang tidak secara terang-terangan membunuh para nabi dan pewaris mereka, yaitu para ulama. Akan tetapi, hakikat pembunuhan para nabi dan juru da wah dari zaman ke zaman

sesungguhnya sama dengan sikap sebagian besar manusia di zaman ini, yaitu menolak da wah dan mengingkari seruan amar ma ruf nahi munkar. Ibnu Haja al- Asqalani menyitir Nabi saaw ketika menubuwwahkan, Akan datang suatu masa ketika manusia lari meninggalkan ulama. Jika masa itu telah tiba, Allah akan membiarkan ummat dikuasai oleh penguasa yang bengis, akan dicerabut barakah dari apapun yang mereka lakukan, dan mereka akan keluar dari dunia tanpa membawa iman. Kita tidak bisa menutup mata dari pelbagai indikasi yang menunjukkan bahwa masa itu telah tiba. Dan kita mungkin saja termasuk dalam kelompok yang lari meninggalkan ulama . Ulama memang tidak kita bunuh, namun ajaran dan fatwa-fatwa yang mereka berikan kita patahkan, kita matikan, dan tidak kita biarkan hidup dalam keseharian kita. Pengajian, mimbar-mimbar agama Islam, beragam tayangan yang dijenuhi simbol-simbol keislaman memang marak dan mudah sekali ditemui di manapun. Tak ada satu media publik manapun saat ini yang mau ketinggalan tidak menyisipkan rubrik keislaman dalam bisnis mereka. Tapi kenapa mentalitas bangsa ini makin memprihatinkan. Show rebut kuasa, penggelapan pajak, pengadilan jalanan, pembalakan liar, praktek-praktek culas di lembaga peradilan dari tingkat bawah hingga mahkamah paling agung, tempattempat maksiat dari yang liar berskala kecil hingga yang berizin, beromzet jumbo dan sangat terorganisir, menjadi keseharian bangsa ini. Bukankah itu menunjukkan bahwa ruh risalah telah mati dalam perjalanannya sebelum sampai di hati ummat? Dalam keadaan semacam ini, jika penggal berikutnya dari ayat di atas, Mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh buruk perilaku mereka juga terpenuhi pada ummat zaman ini, sudah lengkaplah seluruh prasyarat bagi turunnya la nat Allah atas sekeping bumi Allah di kiri kanan khat al-istiwa (khatulistiwa) ini. Jika kedurhakaan telah menjadi mainstream (arus utama), riak-riak kecil yang berlawanan arah tentu menjadi pilihan yang sangat tidak menarik, tidak populer, dan kontraproduktif terhadap setiap upaya menggapai kesejahteraan hidup menurut ukuran orang banyak. Sungguh inspirasional apa yang diingatkan Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berikut dalam Nahju l-Balaghah himpunan Sayyid Radli, Wahai manusia, jangan sekali-kali merasa kesepian hanya disebabkan oleh sedikitnya orang yang berada di sana. Sungguh kebanyakan manusia telah berkumpul mnghadapi hidangan yang hanya sebentar saja kenyangnya, tetapi lama sekali laparnya. Wahai manusia, sungguh hanya ada dua hal yang menggabungkan manusia, yaitu persetujuan atas sesuatu da penolakan terhadapnya. Seperti halnya pembunuh unta kaum Tsamud; yang menyembelihnya hanya satu orang, namun allah swt menjatuhkan adab atas mereka semua, disesabkan mereka menyetujui perbuatan itu dan tidak menentangnya. Allah ber rman: lalu mereka sembelih unta itu dan jadilah meeka orang-orang yang penuh penyesalan (QS asy-Syu ara(26):157). Sebagai akibatnya mereka dibenamkan

ke dalam tanah dengan suara berdentam, bagaikan besi bajak yang dipanaskan menembus tanah yang lunak. Sikap masa bodoh, acuh tak acuh terhadap kemaksiatan yang dilakukan beberapa gelintir orang dipandang sebagai pilihan yang paling aman. Sikap ini banyak ditempuh justeru oleh orang-orang shalih di masyarakat, karena dipandang tidak berisiko terhadap keselamatan jiwa, keluarga, bahkan harta mereka. Sebagian ummat memang berpandangan, bahwa karena sifat agama nafsi-nafsi (urusan pribadi), seorang yang telah menempuh jalur keshalihan dengan mendisiplinkan diri menjalankan perintah dan menahan diri dari larangan agama tidak perlu campur tangan dalam urusan kemaksiatan orang lain. Toh pelaku maksiat itu juga nanti yang harus menanggung akibat perbuatannya sendiri. Buikankah Allah ber rman, Jika kalian berbuat baik, perbuatan baik itu untuk kalian sendiri, dan jika berbuat jelek, akibat kejelekan itu harus ditanggung sendiri (QS al-Isra(17):7)? Bukankah, Dan masing-masing mereka akan menghadap-Nya sendiri-sendiri di Hari Pengadilan (QS Maryam(19):95)? Dan banyak ayat lain yang menunjukkan bahwa agama bersifat orang per orang, bukan urusan kita orang lain masuk surga ataupun neraka. Tetapi mari kita simak penuturan Aisyah r.a., Aku mendengar Rasulullah saaw bersabda, Perintahkan yang ma ruf, cegah kemunkaran sebelum kalian berdoa, jika kalian ingin doa kalian terjawab. (HR Ibnu Majah). Juga hadits yang sudah amat masyhur di telinga kita, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah meriwayatkan sabda Nabi saaw, Siapa saja dari kalian melihat kemunkaran, hentikan dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman. Dan, di luar kesadaran banyak orang yang memilih menjadikan agama urusan pribadi , hadits ini, sebagai bentuk tafsir bi l-ma-tsur dari QS al-Anfal(8):25, Waspadalah terhadap bencana yang tidak hanya akan menimpa mereka yang zhalim saja di antara kalian perlu mendapat penekanan. Rasulullah saaw bersabda, Sungguh Allah tidak akan mengadzab orang banyak akibat perbuatan beberapa gelintir orang, hingga orang banyak itu melihat kemunkaran terselengara di tengah mereka, dan mereka mampu menghentikannya namun tidak juga menghentikannya. Jika hal ini terjadi, Allah akan menurunkan bencana yang menimpa kelompok yang banyak maupun yang sedikit. (HR Ahmad dan al-Khuthaib). Jelas sekali, bahwa meskipun agama adalah urusan pribadi, dan ayat-ayat serta berbagai atsar yang menyebutkan hal itu sama sekali tidak mengandung cacat, namun

perlu ditegaskan, bahwa kita akan dihisab penuh di akhirat dan juga dihisab sebagian di dunia karena amal-amal jama i kita. Artinya, kita secara pribadi per pribadi bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan atau tidak kita lakukan sehubungan dengan ummat. Jika ada bagian ummat yang didera derita, lalu kita tidak bergerak untuk membantunya, maka kita cacat dalam pandangan Allah. Dan pada hari Qiyamat, akan ada gelombang manusia yang berpenampilan babi dan kera karena apa yang tidak mereka lakukan ketika di dunia, pada saat di tengah mereka terselenggara tontonan kedurhakaan terhadap ajaran Allah. Nabi saaw bersabda, Demi Dzat Yang aku berada dalam genggaman-Nya, akan keluar dari ummatku dari kubur dengan bentuk kera dan babi. Dulunya, mereka saksikan ahli maksiat, dan mereka berdiam diri meski berkemampuan menghentikannya. (HR Imam Malik) Demikian itulah agaknya alur pemahaman yang bisa kita jabarkan untuk memahami betapa kita, ummat Islam, sebagai satu-satunya ummat yang menurut keyakinan kita masih ketempatan wahyu yang orisinil, asli, dan terjaga hingga Hari Akhir, justeru menjadi ummat yang paling tidak berhasil menikmati berkahnya wahyu. Rasulullah saaw jauh-jauh hari sudah merisaukan akan jatuhnya ummat ini, dengan sabdanya, Ketika umatku telah mengagungkan dunia, maka dicabut kewibawaan Islam; ketika amar ma ruf nahi munkar ditinggalkan, diharamkan barakahnya wahyu; dan ketika umatku mencaci saudaranya, mereka jatuh dalam pandangan Allah. (HR al-Hakim dan at-Tirmidzi). (Djarot Margiantoro) Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 17:16 0 komentar Reaksi:

Amar Ma'ruf Nahi MunkarSegolongan dari umatku akan senantiasa memperjuangkan kebenaran dengan terangterangan. Siapapun yang memusuhi mereka tidak membuat mereka gentar, hingga datang putusan Allah, sementara mereka berada dalam kebenaran. (HR al-Bukhari, Ahmad dan ath-Thabrani) Amar ma ruf nahi munkar adalah kewajiban yang diperintahkan Allah swt atas setiap hamba beriman. Amar ma ruf berarti menyerukan, mengajak, menyuruh, atau menuntut dilaksanakannya segala perbuatan yang baik menurut syari at Islam; sedangkan nahi munkar adalah upaya mencegah, menolak, menghalangi, melarang, atau menghentikan setiap bentuk perilaku, sikap dan ucapan yang dilarang oleh agama, seperti pencurian, korupsi, pelacuran, perjudian, minuman keras, pornogra , pornoaksi, penyakit masyarakat, kebohongan yang merugikan masyarakat, yang semua itu dalam bahasa agama dikenal sebagai maksiat (ma shiyat). Sebagian mufasir menyatakan,

ma ruf adalah setiap perbuatan yang mendekatkan diri perlakunya kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkannya dari Allah. Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitabnya Minhaju l-Muslimin menegaskan wajibnya amar ma ruf nahi munkar bagi setiap Muslim yang mukallaf (dewasa dan berakal waras), berkemampuan, tahu tentang yang ma ruf, melihat perkara ma ruf ditinggalkan manusia, atau memahami yang munkar, menyaksikan perkara munkar dikerjakan manusia, mampu memberikan perintah, dan mampu melakukan perubahan dengan tangannya atau lisannya. Amar ma ruf nahi munkar adalah kewajiban agama terbesar setelah kewajiban iman kepada Allah ta ala, sebab Allah menyebutkannya dalam Quran bersanding dengan iman kepada-Nya, Kalian umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma ruf dan mencegah yang munkar, serta beriman kepada Allah. (QS Ali Imran(3):110).

Keutamaan Amar Ma ruf Nahi Munkar Dalam banyak hadits Nabi saaw, mereka yang menegakkan al-haqq, gigih beramar ma ruf nahi munkar, disebut al-muhtasib. Pujian Allah dan Rasul-Nya, juga decak kagum hamba-hamba yang shalih menggerajak atas mereka. Amar ma ruf nahi munkar merupakan perbuatan dan ciri umat terbaik, sebagaimana ditandaskan oleh Allah dalam ayat berikut, Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran(3):104). Menurut ayat di atas pula (QS Ali Imran(3):04), amar ma ruf nahi munkar adalah pintu gerbang menuju keberuntungan. Jika ingin umat ini jaya, berhasil meraih kembali kebesaran, keagungan, kegagahan serta kepemimpinannya di tengah percaturan dunia, maka amar ma ruf nahi munkar jawabannya. Amar ma ruf nahi munkar adalah basis untuk membangun akhlak yang shalih. Dalam QS Ali Imran(3):114, Allah menegaskan, Mereka beriman kepada Allah dan Hari Penghabisan; mereka menyuruh (manusia mengerjakan) yang ma'ruf, dan mencegah yang munkar dan bersegera melakukan bermacam kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Amar ma ruf nahi munkar adalah tugas mulia setiap nabi yang dikirim Allah kepada manusia. (yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di tangan mereka; (Nabi itu) menyuruh mereka perbuatan ma'ruf dan melarang mereka kemunkaran, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala

yang keji serta menyingkirkan dari mereka beban dan belenggu. Maka orang banyak yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (Quran). Mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS al-A raf(7):157). Amar ma ruf nahi munkar merupakan sikap dan perilaku seorang mu-min sejati. (yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS alHajj(22):41). Amar ma ruf nahi munkar Penyebab turunnya rahmat Allah. Allah ber rman, Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS at-Taubah(9):71). Dan cukuplah, jika kita menyadari, bahwa amar ma ruf nahi munkar adalah kewajiban yang diperintahkan Allah swt. Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS Luqman(31):17. Sikap Lembut atau Keras? Bagaimana amar ma ruf nahi munkar dilaksanakan? Haruskah dengan sikap keras ataukah boleh dengan kelembutan, bahkan senyuman? Sikap lembut dalam amar ma ruf nahi munkar diutamakan manakala ditinggalkannya yang ma ruf dan dilakukannya kemunkaran atau kemaksiatan masih bersifat individual atau perorangan. Yang belum beramal ma ruf dihimbau untuk beramal, dan yang melakukan kemunkaran dinasihati untuk menghentikannya, sesuai dengan arahan Allah jalla tsana-uhu dalam QS an-Nahl(16):125, Serulah (manusia) menuju jalan Tuhan-mu dengan bijaksana dan melalui penjelasan yang baik, atau berbantahlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sungguh Tuhanmu lebih tahu siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih paham orang-orang yang mendapat petunjuk. Begitu juga, kelembutan ditampilkan dengan sempurna oleh Baginda Rasulullah saaw dalam beramar ma ruf nahi munkar kepada orang per orang di antara para sahabat beliau. Dalam QS Ali Imran(3):159, Allah melukiskan, Maka disebabkan rahmat Allah

jua engkau berlaku lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menyingkir dari sekelilingmu. Akan tetapi, ketika kemunkaran dan kemaksiatan, sudah berubah menjadi bersifat struktural, terorganisir, tersistem, terkoordinir, berjaringan kerja di setiap lapisan masyarakat, bahkan tataran birokrasi, baik eksekutif, legislatif, maupun judikatif, dan dalam operasionalisasinya dibacking aparat penegak hukum senyum bukanlah jawaban yang layak diberikan. Harus ditempuh cara-cara tegas dengan melibatkan ulama dan umat yang masih berkesadaran demi tegaknya syari at Allah subhanaHu wa ta ala. Hukum dan Ancaman Amar ma ruf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah (kewajiban bersama). Artinya, jika sudah dilakukan dengan kekuatan yang memadai: gugur kewajiban umat. Nabi Muhammad saaw bersabda, Demi Allah, hendaklah engkau benar-benar menyerukan yang ma ruf dan benar-benar mencegah yang munkar, dan sungguh-sungguh menentang tangan-tangan yang zhalim dengan mengembalikannya ke jalan yang benar, dan agar menjaganya selalu di jalan yang benar. (HR Abu Daud dari Abdullah bin Mas ud). Penolakan atau keengganan mengemban tugas amar ma ruf nahi munkar disifati oleh Allah azza wa jalla dalam Quran sebagai perbuatan buruk yang akan mendatangkan bencana bagi sekelompok umat atau satu negeri. Dalam QS al-Ma-idah(5):79, Allah menegaskan, Mereka tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sungguh amat buruk apa perbuatan mereka itu. Dan Nabi saaw mengancam manusia dengan sangat keras, Sungguh, jika manusia melihat orang berbuat zhalim dan ia tidak mencegahnya telah dekatlah adzab Allah yang akan menimpa mereka seluruhnya. (HR at-Tirmidzi dari Abu Bakar ash-Shidiq). Membiarkan atau mendukung kemunkaran adalah sikap yang sangat buruk, sikap yang akan merugikan banyak orang, bibit kerusakan akhlak generasi bangsa dan pintu masuk bagi berbagai keburukan lainnya. Bila suatu kaum berbuat maksiat, sementara di antara mereka ada yang mampu menegur mereka, namun tidak dilakukannya, melainkan Allah akan menimpakan siksa-Nya secara merata atas mereka dari sisi-Nya. Kita cermati rman Allah Sang Wahidu l-Qahhar, Dan takutlah kalian terhadap bencana yang tidak hanya akan menimpa orang-orang zhalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS al-Anfal(8):25).

Dan jika jiwa manusia dibiarkan terbiasa dengan keburukan, maka keburukan akan menjadi wataknya. Di sinilah amar ma ruf nahi munkar dibutuhkan. Jika kebaikan ditinggalkan, dan tidak diperintahkan pada saat ditinggalkan, maka tidak lama kemudian manusia terbiasa meninggalkannya, dan pada akhirnya mengerjakan kebaikan tersebut mereka pandang justru sebagai kemunkaran. Begitu juga kemunkaran jika tidak segera dihentikan dan tidak cepat dihilangkan, tidak lama kemudian kemunkaran itu akan merebak, beredar luas, dan menjadi biasa dilakukan, bahkan dianggap sebagai kewajaran, karena sudah tidak dianggap sebagai kemunkaran oleh pelaku atau masyarakat di sekitarnya. Jika sudah seperti ini, berarti hati nurani (dlamir) umat sudah hilang, dan keadaan semacam itu lekat sekali dengan murka Allah. Oleh karena itu Islam memerintahkan amar ma ruf nahi munkar, dan mewajibkannya kepada kaum Muslim guna menjaga kesucian, kebaikan, dan tingginya kedudukan mereka di antara semua bangsa. Jihad yang Paling Utama Ketika Rasulullah saaw ditanya tentang jihad yang paling utama, beliau bersabda, Menyatakan kebenaran di depan penguasa yang zhalim. (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan an-Nasa-i). Kenapa jihad paling utama? Karena risikonya sungguh dahsyat. Dan itulah risiko yang diminta Allah dalam sebuah perniagaan anti-rugi, sebuah perniagaan yang berbalas surga, yaitu risiko jiwa dan harta. Dalam QS at-Taubah(9):111, Allah menegaskan tawaran jual-beli-Nya dengan orang-orang beriman, Sungguh Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan kepastian surga bagi mereka. Mereka berperang di jalan Allah; membunuh atau terbunuh. Inilah janji yang benar dari Allah yang tertulis dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Siapa yang lebih tepat berjanji selain Allah? Maka gembiralah kalian dengan jual beli yang telah kalian sepakati itu. Itulah kemenangan yang besar. Risiko berupa harta, karena dalam amar ma ruf nahi munkar barang tentu dibutuhkan pengorbanan uang, biaya transpor, biaya makan, pengorbananan waktu untuk keluarga, pengorbanan waktu untuk mencari nafkah, biaya berorganisasi, dan masih banyak lagi. Risiko jiwa berupa risiko kelelahan, terluka, dipenjara, keluarga diancam dan diteror hingga risiko kehilangan nyawa. Dan kesudahan dari para muhtasib semacam itu adalah syahadah, kematian syahid, meskipun mungkin ia, seperti Baginda Rasulullah saaw sendiri, menemui ajal di tempat

tidur. Dan di sisi Allah, seorang syahid mendapat enam hak istimewa, yaitu: 1) Allah mengampuni dosanya sejak awal perjalanan jihadnya dan ia melihat tempat tinggalnya di surga; 2) dihindarkan dari siksa kubur; 3) diberi rasa aman dari goncangan terbesar (Hari Qiyamat); 4) di atas kepalanya diletakkan mahkota mutu manikam yang setiap permatanya lebih baik dari dunia beserta isinya; 5) dinikahkan dengan 72 bidadari surga; 6) dapat memberi syafa at kepada 70 keluarganya (HR at-Tirmidzi). (Djarot Margiantoro) Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 17:14 0 komentar Reaksi:

Minggu, 27 Desember 2009Wanita (3)... dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkan perempuan itu. Tidaklah sama lelaki dan perempuan (QS Ali Imran(3):36) Perbedaan Fitriah, Bukan Derajat Alim Besar Timur Tengah, Sayyid Murtadla Muthahhari menyatakan kemasygulannya karena perbedaan bentuk fisik dan psikologis pria dan wanita dipahami sebagai keniscayaan bahwa wanita berderajat lebih rendah ketimbang pria. Pandangan ini menuduh bahwa alam memiliki motif yang terpendam dalam menciptakan wanita sebagai makhluk yang tidak sempurna. Sebelum berjangkit di dunia Timur, cemoohan terhadap wanita telah lama dijumpai di kalangan kaum pria Barat. Kadang mereka, meski diragukan kebenarannya, mengaku mewakili pandangan Gereja dengan menyatakan, Seorang wanita haruslah malu karena ia adalah wanita, Wanita adalah makhluk berambut panjang dan berakal pendek, Wanita adalah binatang liar yang terakhir dijinakkan oleh manusia, bahkan, Wanita adalah mata rantai terakhir antara hewan dan manusia. Anehnya, Barat juga yang akhir-akhir ini berupaya membalikkan argumen mereka sendiri, lalu ingin membuktikan dengan seribu satu cara bahwa pria sederajat dengan wanita, bahkan wanita berkecenderungan lebih mulia ketimbang pria. Tragisnya, dunia Timur dan, terutama, Islam dituduh sebagai pelopor tradisi merendahkan wanita! Islam, sebagaimana akan diuraikan dalam tulisan ini, memiliki prinsip-prinsip yang sedemikian luhur dan adil tentang hubungan pria dan wanita, yaitu: 1) keduanya diciptakan sebagai hamba yang sama derajatnya di hadapan hukum Allah; 2) keduanya sama-sama sebagai khalifah Allah di bumi; 3) keduanya menerima perjanjian asali yang berisi pengakuan ruh manusia, tentang keberadaan dan ketuhanan Allah; 4) Adam dan

Hawa diperlakukan sama oleh Allah, mendiami surga dan mendapati kenikmatan yang sama, dan terlibat bersama dalam kejatuhan manusia dari surga ke bumi; dan 5) keduanya berpeluang meraih puncak prestasi berupa kehidupan bermartabat di dunia dan kebahagiaan surgawi di akhirat. Kesetaraan Derajat Sebagai Hamba Dalam QS adz-Dzariyat(51):56, Allah berfirman, Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku. Di hadapan Allah, sebagai hamba, pria dan wanita berderajat sama. Keduanya berkemungkinan sama untuk menjadi manusia berkualitas, yang dalam Quran disebut manusia taqwa. Derajat manusia ditentukan oleh tingkat taqwa-nya. Pencapaian derajat taqwa tidak ditentukan oleh jenis kelamin, bangsa, atau kelompok etnis tertentu. Sejumlah kekhususan pria dari wanita, seperti setingkat lebih tinggi dari isteri (QS alBaqarah(2):228), pelindung bagi perempuan (QS an-Nisa (4):34), bagian waris lebih banyak (QS an-Nisa(4):11), kesaksianya dua kali lebih kuat (QS al-Baqarah(2): 282), dan diperkenankan poligami dengan syarat tertentu (QS an-Nisa(4): 3) tidaklah menyebabkan pria menjadi hamba utama. Semua itu diberikan kepada lelaki karena peran publik dan sosial yang lebih besar ketimbang perempuan. Sebagai hamba, pria dan wanita juga memiliki peluang yang sama untuk jatuh dari kemuliaan harkat kemanusiaannya. Quran menegaskan, Sesiapa lakukan keburukan, ia tidak dibalas kecuali dengan yang setimpal. Tetapi sesiapa beramal bajik, lelaki maupun perempuan, dan ia beriman, tentu masuk surga dan berlimpah rezeki tak berbilang (QS al-Mu-min(40):40). Kesetaraan Sebagai Khalifah di Bumi Di samping sebagai hamba, manusia dititahkan Allah sebagai khalifah (pemegang mandat kekuasaan-Nya) di bumi. Quran menegaskan, Dialah yang telah jadikan kalian penguasa (khalifah) bumi. Dia tinggikan segolongan dari yang lain, sebagai penilaianNya atasmu dalam hal pemanfaatan pemberian-Nya kepadamu (QS al-An am(6):165). Pria dan wanita sama-sama ditunjuk sebagai khalifah Allah di bumi, karena dalam ayat di atas tidak disebut secara spesifik satu jenis kelamin atau puak etnis tertentu. Keduanya juga akan diperiksa atas hasil pelaksanaan tugas khilafahnya, yang sesungguhnya merupakan wujud dari penghambaannya kepada Tuhan. Sama-sama Menerima Perjanjian Asali Tiap manusia terlahir dengan jiwa ketuhanan. Dengan jiwa itu tiap orang memiliki kecenderungan sangat dominan dan kerinduan tak terbendung terhadap kebenaran, kesucian, dan agama yang benar. Dari mana jiwa semacam itu berasal? Menurut Quran, ada perjanjian asali (primordial) manusia dengan Tuhan yang terjadi saat bayi

masih dalam rahim, setelah ruh ditiupkan ke dalam jasad yang menuju sempurna. Dan ingat, saat Tuhanmu mencipta turunan Adam dari sulbi. Allah mengambil kesaksian mereka, Bukankah Aku Tuhan-mu? Mereka jawab, Benar, kami saksikan. Tak ada alasan bagi turunan Adam untuk berlagak tidak tahu tentang kesaksian ini (QS alA raf(7):172). Tidak ada diskriminasi jenis kelamin dalam Islam. Pria dan wanita menerima perjanjian asali yang berisi pengakuan ruh tentang ketuhanan Allah. Otoritas khusus seorang suami terhadap isterinya tidak boleh mencampuri komitmen pribadi seorang perempuan dengan Tuhannya. Dalam urusan dunia pun, wanita memiliki hak sebagaimaa yang diterima kaum lelaki. Lebih jauh, dalam QS al-Mumtahanah(60):12, Nabi saaw didatangi sekelompok wanita untuk menyatakan dukungan politik (bai at) kepada beliau. Bermitra-peran dalam Kejatuhan Berbeda dengan untaian kisah dalam Perjanjian Baru (Injil Zaman Ini), semua ayat yang berkisah tentang drama penciptaan Adam dan pasangannya hingga penurunan manusia ke bumi selalu menyertakan kedua sosok itu secara aktif. Kata ganti yang digunakan juga kata ganti untuk dua orang, yaitu Humaa (mereka berdua) dan kumaa (kamu berdua). Adam dan Hawa diciptakan Allah di surga, diperlakukan sama, mendiami surga dan mendapati kenikmatan yang sama (QS al-Baqarah(2):35), dan terlibat bersama dalam kejatuhan manusia dari surga ke bumi dengan mendapatkan kualitas godaan yang sama dari Iblis (QS al-Baqarah(2):36; al-A raf(7):20), sama-sama memakan buah terlarang (QS al-A raf(7):22), juga sama-sama mohon ampun atas dosa bersama dan diampuni Allah (QS al-A raf(7):23). Setelah di bumi, pria dan wanita hidup berjodohan, mengembangkan keturunan, saling melengkapi, dan saling membutuhkan (QS al-Baqarah (2):187). Berpeluang Sama Kemuliaan Spiritual Lelaki dan perempuan sama-sama berpeluang meraih puncak prestasi berupa kehidupan bermartabat di dunia dan kebahagiaan surgawi di akhirat. Sungguh, Aku tidak abaikan pekerjaan kamu, lelaki ataupun perempuan; sebagian kamu adalah turunan sebagiannya. Mereka yang berhijrah atau terusir dari negerinya pasti Aku masukkan ke surga sebagai imbalan di sisi Allah (QS Ali Imran(3):195). Manusia berperilaku buruk, pria maupun wanita, pun mendapatkan hukuman setimpal (QS al-Mu-min (40):40). Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 17:30 0 komentar Label: kesamaan derajat, perbedaan fitriah Reaksi:

Wanita (2)

Dan kaum beriman lelaki dan wanita saling jadi penolong. Mereka dorong kebaikan dan cegah keburukan; mereka tegakkan shalat, tunaikan zakat; mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu beroleh kasih Allah. Sungguh, Allah Mahawibawa dan Bijaksana (QS at-Taubah(9):71) Misogini: Kebencian kepada Wanita Seperti misogami berarti sikap benci atau antipati terhadap pernikahan, misogini berarti sikap benci dan merendahkan perempuan. Pada tulisan yang lalu tentang wanita, telah diuraikan bahwa semangat merendahkan wanita dan dominansi laki-laki terhadap wanita bersumber dari tradisi jahiliyah (Arab pra-Islam) dan Eropa Kuno. Apa yang tertulis dalam Naskah Perjanjian Lama (The Old Testament), khususnya Kitab Kejadian 2:21-23, ikut terbawa oleh sebagian Ahli Kitab yang masuk Islam. Mereka masih memegang takhayul bahwa Hawa diciptakan dari serpihan tulang rusuk Adam. Kesan misoginis terhadap perempuan juga terasa dalam beberapa riwayat lain, sehingga semakin memperkuat citra bahwa Islam sendiri menempatkan wanita sebagai manusia kelas dua. Lihatlah hadits tentang: 1) kebanyakan penghuni neraka adalah wanita; 2) wanita penyebab terputusnya shalat; 3) wanita pembawa sial; 4) wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok; dan 5) wanita adalah pelayan bagi suami mereka. Semua hadits ini tertulis dalam Shahih al-Bukhari, sebuah kumpulan hadits yang telah diperlakukan sebagai kitab suci kedua setelah Quran. Hadis yang merendahkan wanita ternyata sudah masyhur sejak abad kedua hijriah. Sejak itu juga sudah ada ahli agama yang menolaknya. Imam Ja far ash-Shadiq r.a. pernah ditanya salah seorang muridnya tentang hadits pertama, Benarkah kebanyakan penghuni neraka perempuan? Alim besar, keturunan kelima Rasulullah saaw ini tersenyum sambil berkata, Tidakkah engkau baca Quran? Bukankah Allah berfirman, Sugguh Kami ciptakan bidadari sebenar-benarnya. Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta dan sebaya usia (QS al-Waqi ah(56):35-37). Ayat ini berkenaan dengan para bidadari, yang Allah ciptakan dari perempuan shalihah. Di surga lebih banyak bidadari daripada laki-laki mukmin. Secara tidak langsung, Imam Ja'far menunjukkan bahwa hadits itu tidak benar. Artinya, bukan Rasulullah saaw keliru, akan tetapi tidak benar bahwa beliau bersabda kebanyakan penghuni neraka wanita. Karena terpaku pada kesahihan hadits-hadits al-Bukhari dari segi periwayatannya, beberapa ulama bersikap protektif (melindungi) terhadap kebenaran matan (redaksi) hadits-hadits itu. Dalam kitab Fathu l-Bari yang merupakan syarah (tafsir) hadits-hadits al-Bukhari, Ibnu Hajar al- Asqalani menjelaskan bahwa dalam hadits yang berbunyi, Innamaa sy-sya-mu fi l-farsi wa l-mar-ati wa d-daari, yang artinya, Kesialan itu hanya terdapat pada kuda, perempuan, dan rumah, yang dimaksud kesialan pada wanita adalah karena mandul, mas kawin yang mahal, dan akhlak yang buruk. Perempuan atau isteri yang memiliki sifat-sifat seperti itu harus diceraikan.

Saudara Ahmad Fudhail, seorang pakar muda Ilmu Hadits, dalam bukunya Perempuan di Lembaran Suci merespons komentar Ibnu Hajar dengan kalimat berikut, Penjelasan seperti ini sangat mendiskreditkan kaum perempuan sebagai seorang isteri. Secara faktual, pasangan suami isteri yang tidak berketurunan tidak hanya disebabkan oleh kemandulan isteri. Suami juga berpotensi mandul. Mahalnya mas kawin dan akhlak buruk berimplikasi pada diri pelaku, bukan pada perempuan saja. Siapapun yang memiliki sifat buruk akan berakibat buruk terhadap dirinya sendiri, tidak pada orang lain. Hadits ini bertentangan dengan ayat Tiada suatu bencana menimpa bumi dan dirimu kecuali telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sungguh, itu mudah bagi Allah (QS al-hadid(57):22). Pria-Wanita dalam Islam Imam Ja'far ash-Shadiq, pendepan madzhab Ja fari, adalah guru dari seluruh a-immatu l-madzaHib (imam madzhab) Ahlu s-Sunnah. Kepadanya berguru Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah yang dikenal sebagai Imam Hanafi ini masyhur dengan katakatanya, Lau laa sanataan laHalaka Nu man, yang bermakna, Jika tidak karena dua tahun berguru kepada Ja far, hancurlah Nu man. Nu man bin Tsabit adalah nama kecil Imam Abu Hanifah. Kepada Imam Malik berguru Imam Syafi i, dan Imam Hanbali adalah murid dari Imam Syafi i. Berkenaan dengan kesetaraan lelaki perempuan, mazhab Ja'fari menetapkan aqiqah sama kadarnya buat anak laki-laki maupun perempuan, seekor domba. Bukankah hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saaw terhadap Hasan dan Husain? Aqqa rasuulu lLaaHi saaw ani l-hasani wa l-husaini kabsyan kabsyan, yang maknanya, Rasulullah saaw ber aqiqah untuk Hasan dan Husain masing-masing seekor kambing kibasy (Sunan Abu Dawud). Umumnya fuqaha Ahlu s-Sunnah, kecuali Imam Malik, berpandangan untuk anak laki-laki disembelih dua ekor domba, untuk anak perempuan seekor saja. Jalaluddin Rakhmat menyatakan, Mengingat sejarahnya, mazhab Ja fari lebih tua (karena itu lebih dekat dengan masa Nabi) daripada mazhab lainnya. Boleh jadi, hadis-hadis yang memojokkan perempuan itu baru muncul kemudian, sebagai produk budaya yang sangat maskulin. Karena banyak ayat turun membela wanita, pada zaman Nabi para sahabat memperlakukan isteri mereka dengan sangat sopan. Mereka takut, kata Abdullah bin Umar, wahyu turun mengecam mereka. Barulah setelah Nabi saaw meninggal, mereka mulai bebas berbicara dengan istri mereka (HR al-Bukhari). Sayyidina Umar bin alKhathab, ayah Abdullah, menceritakan bagaimana wanita sangat bebas berbicara kepada suaminya pada zaman Nabi. Pernah suatu ketika Umar membentak karena isterinya membantahnya. Dengan ketus, istrinya berkata, Kenapa engkau tidak terima aku bantah? Para isteri Nabi pun sering membantah Nabi dan sebagian malah membiarkan Nabi marah sejak siang hingga malam.

Umar terperanjat dengan ucapan isterinya, Sungguh celaka isteri yang berbuat seperti itu terhadap Nabi! Segera ditemuinya Hafshah, salah seorang isteri Nabi, sekaligus puteri Umar, Betulkah sebagian di antara kalian membuat Nabi marah sampai malam hari? Betul! jawab Hafsah singkat. Dalam riwayat selain dari al-Bukhari, semenjak itu sikap Umar terhadap isterinya berubah. Pernah seseorang kecewa dan hampir membatalkan kunjungannya kepada Umar, demi melihat Umar dibentak-bentak isterinya. Dan Umar dengan tenang mendengarkannya, tidak membalas perlakuan wanita itu. Aku membiarkannya, kata Umar, karena bukankah isteriku telah memasak, mencuci, dan mengurus anak-anak, padahal semua itu bukan kewajibannya? Nabi saaw selalu mencium Fathimah di manapun dijumpainya. Ketika ada sahabat yang mengeluh karena semua anaknya perempuan, Nabi Suci berkata, Jika seseorang hanya memiliki anak perempuan, lalu ia mengasuhnya dengan baik, anak itu akan menjadi penghalang baginya dari neraka (HR Muslim). Islam, satu-satunya sistem ajaran yang memenuhi syarat untuk disebut agama langit karena bersumber dari wahyu Ilahi yang terus terjaga kemurnian dan keasliannya, memiliki prinsip-prinsip yang sedemikian luhur dan adil tentang hubungan pria dan wanita, antara lain: 1) keduanya sama-sama sebagai hamba yang sama derajatnya di hadapan hukum Allah; 2) keduanya sama-sama sebagai khalifah Allah di bumi; 3) keduanya menerima perjanjian asali yang berisi pengakuan ruh manusia, pria maupun wanita, tentang ketuhanan Allah; 4) Adam dan Hawa diperlakukan sama oleh Allah, mendiami surga dan mendapati kenikmatan yang sama, dan terlibat bersama dalam kejatuhan manusia dari surga ke bumi; dan 5) keduanya berpeluang meraih puncak prestasi berupa kehidupan bermartabat di dunia dan kebahagiaan surgawi di akhirat. Pada seri tulisan berikutnya tentang wanita, kelima prinsip kesetaraan pria wanita di atas insya Allah akan diuraikan lebih panjang. Kemerdekaan Sosial Seorang perempuan muda menemui Nabi saaw dalam keadaan bingung. Katanya, Ya Rasul, bebaskan aku dari tangan ayahku! Apa yang telah dilakukannya terhadapmu? tanya Rasul. Ia telah menikahkan aku dengan kemenakannya sebelum ia tanyakan pendapatku. Hendaknya engkau jangan menentangnya. Terimalah, dan jadilah engkau isteri sepupumu. Wahai Nabi, aku tidak suka sepupuku. Mana mungkin aku menjadi isteri pria yang tak kusukai? Jika masalahnya adalah engkau tidak menyukainya, engkau memiliki hak penuh. Pergilah, dan pilihlah pria yang engkau suka.

Oh, beruntungnya aku! tukas gadis itu. Sesungguhnya aku sangat menyukai sepupuku, dan aku tak menyukai siapapun selainnya. Tetapi karena ayahku menikahkanku tanpa meminta persetujuanku, maka aku mengadu kepadamu ya Rasul. Sekarang, aku akan beritahu semua wanita bahwa seorang ayah tidak dapat berhak mengawinkan anak perempuannya sekehendaknya. Dan Nabi saaw sendiri telah menikahkan puteri-puterinya. Ia tidak pernah menafikan hak mereka untuk memilih suami. Saat Ali bin Abi Thalib k.w. menghadapnya untuk meminang Fathimah az-Zahra, Nabi bersabda, Telah datang beberapa orang untuk melamar az-Zahra, tetapi lantaran puteriku tidak tertarik ia tolak lamaran mereka. Sekarang aku akan sampaikan pinanganmu padanya. Ayah yang baik hati ini segera menemui Fathimah dan menyampaikan lamaran Ali. Kali ini Fathimah tidak menggeleng tanda tidak suka. Sikap diam dan tak terusik itu untuk menunjukkan persetujuannya. Nabi keluar sambil mengucapkan takbir, alLaaHu akbar. Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 17:29 0 komentar Label: fatimah, kemerdekaan sosial, misogini, wanita Reaksi:

Wanita (1)Dan jika seseorang di zaman itu diberi kabar kelahiran anak perempuan, jadilah hitam mukanya, dan dia sangat marah (QS an-Nahl(16):58) Muqaddimah Dalam perjalanan haji wada (haji perpisahan, haji terakhir), saat Nabi Muhammad saaw tengah menunggang kuda dan tangannya memegang cambuk, datang seorang pria yang hendak menyampaikan pengaduan. Manusia agung itu mempersilakan. Bertahun-tahun lalu, lelaki itu mulai bercerita, sebelum Islam jadi anutanku, aku dan Thariq bin Marqa ikut dalam sebuah pertempuran. Thariq sangat membutuhkan tombak. Ia berseru, Adakah yang bersedia memberiku tombak untuk bertempur? Aku akan memberinya imbalan setimpal. Aku mendekatinya dan menanyakan apa imbalan yang ia janjikan. Jika anak perempuan pertamaku lahir, aku akan membesarkannya untukmu. Aku terima tawarannya, dan aku berikan tombakku kepadanya. Demikain tahun-tahun pun berlalu, lanjutnya. Aku hampir lupa akan perjanjian itu. Beberapa saat lalu aku teringat. Aku tahu Thariq memiliki anak gadis yang tinggal bersamanya. Aku menemui Thariq, mengingatkan janjinya kepadaku dulu. Aku tuntut ia untuk menunaikannya. Namun Thariq ingkar janji. Bahkan ia tanyakan mahar kepadaku. Sekarang, aku mengadukan Thariq kepadamu, ya Rasulallah. Siapa yang benar di antara kami? Berapa umur gadis itu? Nabi saaw bertanya.

Ia telah aqil baligh, ya Rasul, rambut putih telah muncul di kepalanya. Baiklah, aku putuskan perkara kalian. Thariq maupun engkau tidak ada yang benar. Kembalilah engkau, urus urusanmu sendiri dan biarkan gadis malang itu mengurus dirinya sendiri! Lelaki itu tercengang mendengar jawaban Nabi. Keputusan macam apa ini? Apakah seorang ayah tidak berkuasa penuh atas anak perempuannya? Jika misalnya ia bayarkan mahar kepada Thariq, dan Thariq menyerahkan anaknya kepadanya, apakah juga salah? Melihat pria di hadapannya tercenung, Nabi saaw paham jalan pikirannya. Itulah jalan pikiran yang diwariskan oleh budaya jahiliyah, yang harus berubah dengan datangnya Islam. Beliau bersabda, Yakinlah, jika engkau turuti apa yang telah kukatakan, engkau maupun Thariq tidak akan menjadi orang yang berdosa. Wanita Dinistakan, Salah Siapa? Pada zaman pra Islam, dan dalam masyarakat Eropa kuno, wanita diperlakukan seperti halnya budak: sebagai benda milik; atau sedikit lebih tinggi dari benda , sebagai subhuman (setengah manusia). Dan kepadanya ditumpukan setiap kekesalan dan kesialan. Bahkan, keyakinan akan adanya dosa warisan juga diberangkatkan dari tudingan terhadap kesalahan Eva, yang merengek-rengek kepada Adam pasangannya untuk memetik buah pengetahuan yang disebut Iblis sebagai buah keabadian . Rengekan Eva dipercaya sebagai hasil bisikan Iblis yang menjelma dalam bentuk ular. Karena menuruti Eva itulah, Adam mendapat murka Tuhan; harus terusir dari surga kenikmatan lalu merambah bumi yang masih perawan. Dosanya diturun-temurunkan kepada seluruh manusia, hingga kelak ada sosok manusia berkarakter ketuhanan yang berkenan menebusnya dengan darah dan jiwanya sendiri. Penistaan terhadap wanita sedemikian mendunia, menjadi semacam pandangan global dalam istilah sekarang. Di Makkah, sebagai salah satu kosmopolit dunia saat itu, masyarakat pun menganut nilai serupa. Karunia Tuhan berupa anak perempuan disikapi dengan penuh kegusaran. Dalam al-Quran, reaksi spontan kaum bapak terhadap lahirnya anak perempuan digambarkan sebagai berikut, Dan jika seseorang di zaman itu diberi kabar kelahiran anak perempuan, jadilah hitam mukanya, dan dia sangat marah (QS an-Nahl(16):58). Anak perempuan adalah aib bagi keluarga, tanpa ada kesadaran bahwa bahkan lelaki paling mulia sekalipun, yang melahirkannya adalah seorang wanita! Umar yang Agung pernah menangisi kebengisannya kepada anak perempuannya. Dikuburnya anak itu hidup-hidup karena beban malu yang tak tertanggungkan olehnya. Inilah yang disebutkan Allah dalam kalam-Nya, Dan tatkala bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya; atas dosa yang mana ia dibunuh (QS at-Takwir (81):8-9). Diutusnya Nabi Muhammad saaw bersama ad-diinu l-haqq, Islam, yang dibawanya

mengikis dominansi lelaki terhadap wanita. Sesiapa beramal bajik, pria maupun wanita, dan ia beriman, pasti berhak masuk surga. Tak sedikit pun direnggut hak mereka (QS an-Nisa (4):123). Wanita dan pria sama kedudukannya di hadapan Allah. Pembedanya adalah kualitas taqwa. Siapa lebih taqwa, ia lebih mulia. Pandangan tentang tiadanya kehormatan pada wanita, celakanya, dihadirkan kembali ke dalam Islam. Tidak kurang, muhaddits besar al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits Israiliyat yang meriwayatkan Nabi Suci saaw bersabda wanita dibikin dari tulang rusuk lelaki. Berdasarkan hadits bathil ini muncul, bahkan menguat lagi pandangan bahwa hak, bahkan keperiadaan dan status wanita adaah bagian dari hak dan eksistensi pria. Artinya, wanita tidak serta-merta memiliki kehormatan, kecuali karena pria. Pendirian bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk kiri pria sama sekali bukan bersumber dari ajaran Islam. Sumbernya Israiliyat; berasal dari ajaran Bani Israil atau kaum Yahudi, lalu disusupkan oleh Yahudi yang masuk Islam pada beberapa tahun pertama setelah Islam dida wahkan. Dalam Torat, kitab yang banyak bagiannya mereka hafal, disebutkan, Dan Tuhan Allah membuat Adam diserang kantuk yang hebat, dan ia tertidur; dan Dia mengambil satu dari tulang rusuknya, dan menambahkan daging untuk menutupnya. Dan tulang rusuk yang telah diambil Tuhan Allah dari lelaki, dibuatNya seorang wanita, dan dibawanya kepada si lelaki. Dan Adam berkata, inilah tulang dari tulangku, daging dari dagingku: ia diciptakan dari lelaki (Kejadian 2:21-23). Khatimah Wa maa dzakara ka l-untsaa, firman Allah dalam QS al-Lail(92):3, tidaklah sama lelaki dan wanita. Perbedaan di antara keduanya menyiratkan perintah terselubung untuk saling menghargai, saling bantu, dan saling melengkapi. Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 17:12 0 komentar Label: haji wada', wanita Reaksi:

Rabu, 10 Juni 2009Makanan KitaWahai manusia, makanlah hasil bumi yang halal dan baik. Jangan ikuti jalan syaithan. Sungguh, ia musuh nyata bagi kalian (QS al-Baqarah(2):168) Abu l-Qasim Junaid al-Baghdadi adalah seorang sufi terkemuka dan sudah dikenal sebagai seorang guru spiritual. Betapapun, ia masih ingin menyerap ilmu dari Bahlul,

yang nama aslinya adalah Wahab bin Amir. Bahlul memang dikenal sebagai orang eksentrik, lebih tepatnya orang gila, karena tingkah lakunya. Sebetulnya ia orang alim dan ahli hikmah, murid Imam Musa al-Kazhim, keturunan keenam Rasulullah saaw. Atas izin Imam Musa inilah Wahab berpura-pura gila, untuk menyelamatkan diri dari kelaliman Harun ar-Rasyid, penguasa Baghdad waktu itu. Di depan Bahlul, Junaid bersikap layaknya seorang murid. Maka ketika Bahlul bertanya untuk mengujinya, sufi besar yang pernah menjadi guru bagi Manshur al-Hallaj itu menjawab dengan penuh kesungguhan. Tahukah engkau bagaimana cara makan? tanya Bahlul. Tentu saja. Aku mengucapkan Bismillah (dengan nama Allah). Aku makan yang ada di hadapanku. Aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya. Aku mengingat Allah sambil makan. Apapun yang aku makan, aku ucapkan Al-hamdu lillaah (segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah makan, jawab Junaid runtut. Ketahuilah, Junaid, kata Bahlul, apa yang telah engkau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Yang paling pokok justeru engkau lupakan, yaitu makanan yang engkau makan adalah makanan yang halal. Jika engkau memakan makanan haram, dengan cara seperti engkau gambarkan, atau bahkan dengan seratus sikap keluhuran, tak ada manfaat yang akan engkau peroleh. Makanan haram akan menyebabkan hatimu hitam. Semoga Allah memberimu pahala yang besar, kata Syaikh Junaid dengan penuh syukur. Kenapa Harus Halal? Nasihat yang diterima Junaid adalah nasihat untuk kita juga. Kita belum layak membahas kualitas atau thayyib-nya makanan, adab-adab makan, serta nilai barakah makanan sebelum kita memastikan kehalalan makanan kita. Dalam wasiatnya kepada Imam Ali k.w., Nabi Agung Muhammad saaw bersabda, Siapa makan yang halal bersinar agamanya, lembut hatinya, dan tiada penghalang bagi doanya. Siapa makan syubHat maka remang-remang agamanya dan gelap hatinya. Siapa makan yang haram mati hatinya, hampa agamanya, lemah keyakinannya, Allah menolak doanya, dan hambar ibadahnya (Washiyatu l-Musthafa). Dalam Shahih Muslim diriwayatkan hadits berikut, Nabi Muhammad saaw melukiskan, ada seorang pengembara yang gemar berdoa dengan menengadahkan tangannya ke langit, sambil berucap, Ya Rabbi, ya Rabbi! padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram. Mana mungkin doanya akan diperkenankan? Allah Sumber Makanan Jika kita mengira sawah, ladang dan sumur adalah sumber makanan dan minuman, kita

keliru. Dan rangkaian ayat berikut dihadirkan Allah untuk mengingatkan kita, bahwa Allah Sumber makanan dan minuman. Tidak tahukah kalian tentang yang kalian tanam? Kalian yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkan? Jika Kami kehendaki, Kami bisa jadikan pertanaman hancur dan kering. Lalu kalian jadi heran dan tercengang, (seraya meratap), Sungguh hancur usahatani kami, bangkrut kami, modal tidak kembali. Lalu, tahukah kalian air yang kalian gunakan? Kalian yang mengadakan, atau Kami yang menurunkannya? Jika Kami mau, seluruh air Kami jadikan asin. Tiadakah kalian mensyukurinya? (QS al-Waqi ah(56):63-70). Maka bagi manusia, Allah lebih berhak untuk menentukan mana yang boleh (halal) dan mana yang tidak dibolehkan (haram) untuk dimakan. Dalam penetapan halal-haram, Allah mensabdakannya sendiri dalam Quran, dan juga mencukupkannya melalui lisan Nabi saaw. Dalam QS al-A raf(7):157, Allah menegaskan, (Kaum beriman adalah) mereka yang mengikuti Sang Rasul, yaitu Nabi yang Ummi yang memerintahkan hal yang benar dan melarang kejahatan, yang menghalalkan yang baik-baik serta mengharamkan yang nista-menjijikkan. Penetapan Halal-Haram Yang haram adalah yang diharamkan oleh Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya, Nabi Agung Muhammad shallallaahu alaihi wa aalihi wa sallam (saaw). Dan selain yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya adalah halal. Keduanya (hukum halal dan haram) berlaku sampai Hari Qiyamat. Berdasarkan firman Allah swt, Apa yang diizinkan Rasul bagimu, manfaatkanlah. Dan apa yang dilarangnya atasmu, tinggalkan. Bertaqwalah kepada Allah. Sungguh siksa-Nya sangat keras (QS al-Hasyr(59):7); kita tidak membedakan haram dan halal menurut Allah ataupun menurut Rasul-Nya saaw. Pandangan bahwa jika Allah melarang, mutlak haramnya; dan jika Nabi melarang, hukumnya makruh saja, adalah pandangan yang keliru! Hal itu karena Nabi Muhammad saaw tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu atau tendensi pribadinya, melainkan bersumber dari wahyu. Dalam QS an-Najm(53):2-4, Allah berfirman, Tidaklah ia (Muhammad saaw) berbicara bersumber dari hawa nafsunya; pembicaraannya tiada lain kecuali dari wahyu yang diwahyukan (Allah swt). Menurut fuqaha, haram itu ada dua macam, yaitu haram li dzatiHi dan haram lighairiHi, haram karena zatnya dan haram karena sebab selain zatnya. Haram menurut zatnya tersebut dalam dalil berikut ini, Diharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang mati dicekik, dipukul, jatuh dari ketinggian, ditanduk, dan diterkam hewan buas, kecuali jika sempat kalian sembelih, serta hewan yang disembelih sebagai persembahan (kepada selain Allah), dan (diharamkan pula) mengundi nasib. Pelanggaran atas itu semua adalah kedurhakaan. Sesiapa yang terpaksa melakukannya karena kelaparan dan bukan karena kesengajaan berbuat dosa, sungguh Allah Mahapengampun, Mahapenyayang

(QS al-Ma-idah(5):3); dan yang diharamkan menurut lisan Nabiyullah Muhammad saaw, sesuai dengan prinsip kemutlakan pengharaman dalam QS al-A raf(7):157 dan al-Hasyr (59):7) di atas. Berdasarkan yang dapat kita pahami dari ayat Quran di atas dan sejumlah hadits shahih, dapat disenaraikan makanan asal hewan yang haram dimakan, yaitu: 1. Bangkai. Termasuk bangkai adalah potongan hewan halal, sementara hewannya masih hidup. 2. Darah, yaitu darah yang keluar saat penyembelihan, bukan darah yang melekat pada daging. 3. Edible parts (bagian yang dapat dimakan - BDD) dari babi 4. Hewan yang disembelih atas nama selain Allah 5. Hewan yang mati dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk, diterkam/ dibunuh hewan lain 6. Hewan yang dipersembahkan kepada selain Allah 7. Keledai, karena menurut Nabi saaw keledai itu kotor, Fa-innaHaa rijsun min amali sy-syaithaan (HR Imam Lima) 8. Landak, karena menurut Nabi saaw, landak itu menjijikkan, khabiitsah min khabaa-its (HR Abu Daud dan Ahmad) 9. Serigala, karena buas dan bertaring (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah) 10. Semua hewan pemangsa, bertaring, bercakar, dan berparuh tajam (HR Muslim dan Abu Daud) 11. Semua hewan yang dilarang dibunuh, misalnya: - Semut (HR Imam Lima kecuali at-Tirmidzi) - Kucing (HR Imam Lima kecuali al-Bukhari) - Burung hud-hud dan burung shurad (HR Abu Daud dan Ahmad) - Lebah atau tawon (HR Abu Daud dan Ahmad) - Anjing (HR Imam Lima kecuali al-Bukhari) - Katak, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, bahwa seorang tabib (praktisi medis) bertanya kepada Nabi saaw tentang katak, yang dijadikannya bagian dari obat. Maka Nabi saaw melarang membunuhnya. 12. Semua hewan yang diperintahkan dibunuh, misalnya: - Tokek. Nabi menyebutnya hewan fasiq kecil (HR Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi), biasanya beracun. - Tikus, kalajengking, gagak jantan, gagak betina, dan anjing gila (HR Imam Lima) - Ular (HR Muslim). Halal dan Thayyib Allah swt menghendaki makanan kita bukan hanya halal, tetapi juga thayyib, Wahai manusia, makanlah dari apa yang di bumi, yang halal dan thayyib. Jangan ikuti langkah-langkah syaithan. Sungguh ia musuh nyata bagimu (QS al-Baqarah(2): 168)

Thayyib artinya baik dalam arti berkualitas. Thayyib lebih tinggi dari halal . Makan makanan yang thayyib adalah modal utama bagi Muslim untuk beramal shalih, seperti firman-Nya, Wahai para Rasul, makanlah yang thayyib, dan beramallah dengan amal shalih. Sungguh Aku Mahatahu apa yang kalian kerjakan (QS al-Mu-minun (23):51). Makanan dikatakan thayyib jika memenuhi ketentuan: 1) Tidak khabits, nista, menjijikkan menurut syari at (bukan atas ukuran pribadi); 2) Tidak makruh dimakan (kuda makruh menurut Imam Syafi i); 3) Berkualitas (bernutrisi, bermanfaat bagi tubuh, bersih, terpilih); dan 4) Aman untuk dikonsumsi karena bebas racun, cemaran kimiawi dan mikrobiawi. Khatimah Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan larangan dan kebolehan (haram dan halal). Mereka yang kufur selalu siap dengan bantahan, Lho, kenapa diharamkan? Bukankah setiap jenis produk ada khasiat dan manfaatnya? Dan bagi hamba-hamba beriman, cukupkah firman Allah ini bagi mereka, Dan orang beriman lelaki dan wanita, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, mereka tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik. Sesiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan sesat yang nyata (QS al-Ahzab(33):36). Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 01:47 0 komentar Label: halal, Junaid al-Baghdadi, makanan, thayyib Reaksi: Sabtu, 06 Juni 2009 Menjadi Pejabat, Kok Berambisi? (2) Abdurrahman bin Sumurah menemui Rasulullah saaw untuk meminta jabatan. Dijawab, Abdurrahman, jangan engkau minta kekuasaan. Jika engkau berkuasa karena meminta, engkau harus tanggung semua kesulitan. Jika engkau tak memintanya, engkau akan dimudahkan menjalankannya. (HR al-Bukhari) Pada tulisan sebelum ini, telah diurai tiga macam pejabat publik atau pemegang kekuasaan, yaitu pejabat yang adil, pejabat yang fasiq, dan pejabat yang jahil. Secara ringkas, pejabat yang adil adalah ia yang ngerti lan nglakoni (memahami dan melaksanakan), pejabat fasiq ngerti ora nglakoni (memahami tetapi mengkhianati), dan pejabat jahil ora ngerti nglakoni (tidak memahami tetapi nekat berkuasa). Yang pertama masuk surga, dan (sayangnya) tidak banyak pejabat yang masuk golongan ini. Dua yang lain adalah ahli neraka. Dalam sejarah peradaban, dulu hingga kini, banyak

dan makin banyak pejabat-pejabat tidak layak yang memaksakan diri berkuasa dengan pelbagai cara, yang terkadang sangat tidak terhormat, dengan menjual kata-kata, harga diri, kehormatan, prinsip hidup, bahkan agama. Na udzu bi lLaaH! Uraian ringkas berikut mencoba mengingatkan kita betapa berkuasa itu penuh risiko, tanggung jawabnya berat, hisabnya sulit, dan kekuasaan tidak sepatutnya diperebutkan. Politik: Pelayanan Ummat Semula, politik atau politika (politics) bermakna ilmu tentang pemerintahan, atau tata cara menyelenggarakan urusan kenegaraan. Dalam konteks ini, yang berhak menduduki jabatan-jabatan politik adalah mereka yang menguasai urusan orang banyak atau rakyat. Dalam Islam, kita memiliki padanan kata politik, yaitu siyasaH. Kata ini berasal dari akar kata saasa, yasuusu, siyaasatan yang bermaknya pengurusan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, Nabi Muhammad saaw bersabda, Kaanat banuu israa-iila tasuusuHumu lanbiyaa-u, kullamaa Halaka nabiyyun khalafaHuu nabiyyun, wa innaHuu laa nabiyya ba dii wa sayakunu khulafaa-u fayaktsuruun, yang artinya, Bani Israil diurus atau dipimpin oleh nabi-nabi. Tiap kali seorang nabi wafat, nabi sesudahnya menggantikannya. Tetapi tidak ada nabi sesudahku. Yang ada hanyalah khalifah-khalifah, dan jumlahnya banyak." Terlihat dalam hadits di atas, siyasah atau politik berarti mengurus urusan ummat, menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyampaikan kepada rakyat apa yang menjadi hak masing-masing mereka. Pejabat politik atau pemimpin adalah orang yang mulia, karena tanggungjawabnya berat. Ia menjalankan sebagian fungsi kenabian, dan karenanya selalu terhubung dengan Tuhan. Karena terhubung dengan Sang Khaliq, akhlaq atau karakternya harus kuat dan mulia, jauh dari sifat-sifat ketidakadilan atau ketercelaan. Lalu, karena berkuasa atau menjadi pemimpin hampir selalu menempatkan seseorang pada posisi terhormat dengan fasilitas lebih bagus ketimbang orang banyak, banyak orang yang menginginkannya. Politik atau siyasah bergeser definisinya, menjadi ilmu untuk meraih kekuasaan, untuk menjalankan kekuasaan, dan untuk menggunakan kekuasaan guna melanggengkan kekuasaan. Agaknya, inilah yang secara praktis justeru dijalankan. Orang tidak harus punya latar belakang akademis ilmu politik, ilmu ketatanegaraan, ilmu ekonomi, atau ilmu lain yang diperlukan untuk menanggung urusan banyak orang. Bahkan, standar moralitas lebih sering dilupakan, karena yang jadi pokok tujuan adalah berkuasa, dan bukan lagi "mengurus kepentingan rakyat . Pencalonan Diri, Bolehkah? Hadits riwayat Imam al-Bukhari pada awal tulisan ini melengkapi peringatan Rasulullah

saaw agar kita tidak berambisi untuk berkuasa. Tetapi betulkah agama melarang sepenuhnya seseorang mencalonkan atau mengajukan diri sebagai pemimpin? Kita perhatikan petikan kisah berikut ini. Nabi Yusuf alaiHi s-salaam, dalam kisahnya yang panjang, penuh perjuangan, sekaligus penuh kemuliaan, dipanggil menghadap Raja Mesir. Raja berkata, Antarkan Yusuf kepadaku. Aku pilih ia sebagai orang dekatku. Setelah bercakap-cakap dengan Yusuf, Raja berucap, Mulai sekarang, engkau jadi orang terhormat dan terpercaya di sisi kami. Nabi Suci a.s. ini berkata, Ij alnii alaa khazaa-i l-ardli, innii hafiizhun aliim (QS Yusuf(12):55). Artinya, Jadikan aku Kepala Perbendaharaan Negeri. Aku seorang yang dapat menjaga lagi cakap berpengetahuan. Penggal kisah ini menjelaskan kepada kita, mengajukan diri sebagai pejabat tidaklah dilarang. Seorang pegawai yang sudah sekian lama bekerja dengan catatan prestasi yang bagus suatu hari diberi kesempatan mengurus promosi ke jabatan eselon yang lebih tinggi. Sebagai aktivis kajian keislaman, ia ragu, apakah langkah yang hendak ditempuh dengan pengurusan berkas serta menempuh prosedur baku promosi jabatan tidak termasuk meminta jabatan yang dilarang Rasulullah saaw? Jika kita cermati kisah di atas, kesimpulannya jelas, kasus sang aktivis ini adalah contoh kekinian dari ibrah kisah Yusuf a.s. Langkah yang ditempuhnya dibenarkan syari at. Sebetulnya, hal yang dipersoalkan agama bukanlah soal pencalonan diri itu sendiri, melainkan motivasi yang mendasarinya. Larangan Nabi saaw atas Abdurrahman bin Samurah pun sebetulnya bukan larangan haram, melainkan soal kepatutan, fatsoen. Dan berkenaan dengan ini, tidak seorang mufasir pun berpandangan pencalonan diri Yusuf a.s. adalah sebuat ketidakpatutan. Bukankah Raja Mesir sudah memberikan pengakuan tentang kemuliaan serta keterpercayaan Yusuf bagi tugas-tugas negara? Dan Yusuf pun memiliki kemampuan serta reputasi yang baik, apa yang saat ini disebut sebagai kompetensi bagi sebuah jabatan publik. Apa yang dapat kita tangkap dari pesan Rasulullah saaw terhadap Abdurrhman? Jika seseorang akhirnya dapat menduduki jabatan karena ambisinya belaka, karena ia meminta dan mengupayakannya tanpa memperhatikan kompetensi dirinya, ia akan dapat masalah karena kekuasaan sesungguhnya memberi beban berat, sementara kemampuannya jauh di bawah keinginannya berkuasa. Boleh jadi, ia rayakan perolehan jabatannya sebagai sebuah kemenangan. Tetapi ia akhiri jabatannya dengan sesal dan kecewa, ia tinggalkan kursi yang tidak lagi menjadi haknya sebagai orang yang kalah. Masih mending jika ia tidak jadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau tahanan kejaksaan! Tetapi lihat Yusuf a.s. Ia menjabat bukan semata-mata karena permintaan berlatar ambisi pribadi, melainkan karena panggilan tanggung jawab. Dengan kompetensi yang tak terbantah dan reputasi yang baik, ia pilih bidang amal yang di dalamnya ia bisa menciptakan perubahan sangat berarti: menjaga ketahanan pangan seluruh rakyat,

bahkan hingga rakyat dari negeri-negeri di luar Mesir. Yusuf, karenanya banyak dimudahkan" (karena topangan ilmu dan kompetensinya) menjalankan kekuasaan. Dan ia berhasil. Kehilangan Orientasi Suatu hari, Nasrudin diajak berburu. Tetapi ia hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Nasrudin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka jauh lebih cepat. "Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," ujar Nasrudin ringan. Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya. Sampai rumah, Nasrudin tetap kering. "Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah, "Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!" "Masalahnya, kau berorientasi pada kuda, bukan pada baju." Tantangan paling klasik seorang perambah jalan adalah kehilangan orientasi. Seperti orang yang bersafar menembus padang gurun, atau membobos hutan, atau mengarungi lautan, kehilangan orientasi bisa berakibat fatal: tidak tercapainya tujuan utama perjalanan. Pertanyaan besar dan mendasar masing-masing kita adalah, kita ini mau apa? Dalam buletin ini pernah dibahas tahfizhu l-maqashid (menjaga tujuan) sebagai bagian dari taqwa (menjaga) Allah. Ini orientasi yang tidak boleh lepas dari setiap insan yang berjalan menuju Tuhan. Tujuan amal dalam Islam ada tiga lapis, yaitu mengharap pahala, mengharap surga, dan mengharap ridla Allah Azza wa Jalla. Sejumlah tokoh umat justeru gagal mempertahankan orientasi perjuangan. Keikhlasan membuahkan kehormatan. Kehormatan menciptakan kemasyhuran, meski semula tidak dicari. Masalahnya, kemasyhuran menggoda untuk dipertahankan. Reputasi tidak boleh surut. Jika tujuan amal bergeser ke "mempertahankan reputasi, nama baik , itulah riya. Pahala lepas, surga menolak, apalagi ridla Allah, boleh jadi hanya tersisa sebagai penghias bibir pemanis kata pelezat retorika. Tahap berikutnya, orang datang membawa aspirasi ummat , sang tokoh sudah saatnya masuk partai untuk lebih efektif membela nasib rakyat. Tanpa partai, perjuangan tak akan membuahkan hasil. Ia tergoda! Ibarat singa si raja hutan masuk ke dalam kerangkeng, aumannya yang semula menggentarkan seantero rimba, menjadi

terdengar menggelikan! Khatimah Jika hakikat kekuasaan politik atau menjadi pejabat adalah menyelenggarakan urusanurusan sedemikian rupa agar hak seluruh rakyat banyak untuk hidup layak, sejahtera, dan terhormat terjamin, kenapa banyak orang berebut kuasa? Terlebih jika kita ingat doa Rasul Allah saaw berikut bagi para politisi, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, Ya Allah, siapa yang memegang urusan umatku, lalu ia susahkan mereka, susahkanlah ia. Masihkah kita ingin berkuasa?Seperti Nabi Yusuf a.s., berkuasalah karena harus , karena panggilan tanggung jawab, dan bukan karena sekadar ingin! Djarot Margiantoro Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 19:54 0 komentar Label: politik, samurah, siyasah, yusuf Reaksi: Menjadi Pejabat, Kok Berambisi? (1) Kalian sungguh berambisi mendapatkan kekuasaan, padahal kekuasaan akan menjadi penyesalan pada Hari Qiyamat. Alangkah enaknya menjadi penyusu, dan alangkah sulitnya menjadi pemutus (HR al-Bukhari) Bagi mereka yang lemah iman, kekuasaan itu menyenangkan, digerumut banyak pihak seperti gula-gula dikerubut semut; dikejar banyak orang seperti layang-layang putus diburu bocah-bocah kampung; dan dipegang erat-erat oleh yang merasa memiliki -nya seperti empat balon yang belum meletus, dalam tembang anak Balonku Ada Lima . Padahal, Nabi Muhammad saaw dalam banyak kesempatan sudah menekan-nekan minat umat agar tidak tergiur pada kekuasaan. Beliau saaw misalnya dengan tandas bersabda, Siapa yang diangkat jadi pejabat publik, sungguh ia telah disembelih tanpa pisau. (HR Imam Empat dan Ahmad). Saat kata kekuasaan , jabatan atau pangkat terdengar atau terbersit di benak, banyak yang langsung membayangkan pelbagai fasilitas, kesenangan, pelayanan, sekaligus kehormatan. Makin tinggi kuasa, makin enak hidup, makin terhormat di tengah keluarga dan handai taulan, dan makin banyak pendapatan. Dan itulah yang selanjutnya dirasakan sekaligus diburu oleh pemegang kuasa. Jika itu yang dikejar, amanah pokok atau misi utama kekuasaan pasti dilupakan. Jika pejabat yang lurus, cakap, jujur, amanah, dan adil saja di hari akhir akan diusut kepemimpinannya dengan njelimet, bagaimana halnya dengan pejabat yang menjalankan kekuasaan dengan ngawur dan asal-asalan? Inilah sabda beliau saaw berkenaan dengan hal ini, Dipanggil pejabat yang adil pada Hari Qiyamat, dan ia jalani hisab yang berat, sampai-sampai ia

berandai sekiranya ia tidak mengurusi urusan rakyat sedikit pun (HR al-Baihaqi dan Ibnu Hiban). Nabi saaw membedakan tiga macam pemegang kekuasaan, Pejabat publik itu ada tiga. Yang dua masuk neraka, dan satu masuk surga. Pejabat yang paham kebenaran, lalu memerintah berdasarkan kebenaran yang dipahaminya, ia masuk surga. Pejabat yang paham kebenaran, tetapi tidak menjalankan jabatannya sesuai kebenaran, bahkan mengkhianati kebenaran, ia masuk neraka. Dan pejabat yang tidak paham kebenaran, ia memerintah dengan kebodohan, ia pun dalam neraka. (HR Imam Empat, dishahihkan al-Hakim). Berdasarkan hadits tersebut, pejabat publik atau pemimpin masyarakat itu ada tiga macam, yaitu pejabat yang adil, pejabat yang fasiq, dan pejabat yang jahil. Pejabat yang Adil Inilah tipe pemimpin yang disebut pada urutan pertama tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu Hari Qiyamat (HR Jama'ah). Ia seorang yang berpengetahuan, memahami halal dan haram, dan menjalankan kekuasaan berdasarkan ilmu yang dikuasainya dan kebenaran yang dipahaminya. Ia tidak pernah melakukan dosa besar, dan tidak melakukan dosa kecil berulang-ulang. Ia tidak dikenal pernah berbohong untuk suatu hal yang penting, dan tidak suka berdusta untuk hal-hal kecil. Sayangnya, pemimpin atau pejabat jenis ini adalah tipe manusia langka. Pada barisan terdepannya, berdiri menantu Rasulullah saaw, Sang Imamu l-Muhtadin, Amiru l-Muminin Ali bin Abi Thalib a.s. George Jordac, dalam bukunya, The Voice of Human Justice (Suara Keadilan Manusia), mensifati kekasih Allah ini sebagai seorang yang tetap murah hati dan penuh cinta, meski dikejar-kejar dan dikepung oleh orang-orang serakah, pemberontak, pendendam berhati kasar, pengeksploitasi dan penindas orang. Ia tetap mengundang mereka demi kedamaian dan kesejahteraan, sementara mereka terus bahu-membahu memeranginya. Ali mengenali setiap masalah kerakyatan dengan seksama dan menyelesaikannya dengan cara yang jitu. Jika seseorang mati kelaparan, pasti penyebabnya adalah si perampas hak. Aku tidak pernah melihat ada kekayaan yang sempurna yang bebas dari pelanggaran hak. Ia juga menegaskan, Demi Allah, saya mengetahui hak orang tertindas dari si penindas, dan saya akan menghadapkan dia pada timbangan kebenaran dengan menyodorkan sesuatu di hidungnya meskipun ia tidak menyukainya. Si tertindas adalah orang mulia dan si penindas hina dan nista. Ali menindak tegas setiap sahabat, pejabatnya, bahkan budaknya, jika mereka terima suap, meskipun berupa sepotong roti. Ia peringatkan mereka, Demi Allah, bila kalian melanggar harta milik umum, pasti aku akan ambil tindakan tegas hingga kalian jatuh miskin, susah, dan hina. Orang kaya pelaku riba diancamnya demikian, Takutlah

kepada Allah! Kembalikan harta kepada pemiliknya. Jika tidak, aku akan menebaskan pedang penghantar mautmu! Ali k.w. adalah penguasa yang tak pernah makan kenyang bila rakyat sekelilingnya lapar; tidak mau mengenakan pakaian bagus bila yang lain berpakaian jelek; juga pantang mengumpulkan kekayaan karena banyak orang miskin di sekitarnya. Ia nasihati anak dan para sahabatnya untuk meniru langkah-langkahnya. Ia tak memberi uang sepeser pun kepada saudaranya karena ia anggap saudaranya tak berhak menerima uang itu. Di matanya, pemerintahan dan kekuasaan yang tidak mempraktekkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan adalah makhluk terburuk di dunia. Ia gigih. Tak satupun musuh kebenaran sanggup menghentikan usahanya, betapapun ia dihujani fitnah sebagai pembuat bid ah. Ia pun tidak serakah pada kekayaan dan kedudukan sebagai imbalan atas apa yang dilakukannya. Satu-satunya imbalan adalah kemenangan iman; sebagai penebus ridla Allah dan senyum Rasul-Nya saaw. Pejabat yang Fasiq Ia pahami kebenaran, sekaligus tahu hal-hal yang salah dan haram, tetapi ia tidak menjalankan jabatannya sesuai kebenaran; ia berkhianat terhadap kebenaran. Jika Ali r.a. pendepan pejabat yang adil, lalu siapa teladan bagi pejabat yang fasiq? Mu awiyah bin Abi Sufyan kiranya sangat tepat disebut di sini. Karakternya lengkap untuk menggambarkan orang yang semestinya paham kebenaran, tetapi sepak terjangnya menampilkan ciri-ciri terburuk musuh Islam. George Jordac menunjuk aktor intelektual di balik pembunuhan Imam Hasan a.s. melalui gulai kambing yang dibubuhi racun oleh isterinya ini sebagai ... tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang Islami dan tidak mempunyai sifat kaum Muslim di masa dini. Ia bertindak menurut kepentingan sendiri dan memperlakukan rakyat jelata sebagai binatang dan menjadi sumber penghasilan bagi para elit, bangsawan dan aristokrat. Anak Abu Sufyan ini biasa memakai baju sutera dan makan di piring emas dan perak. Abu Darda r.a. merasa keberatan dengan kebiasaan ini, lalu berkata, Saya pernah mendengar Nabi saaw bersabda bahwa api neraka akan membakar perut seseorang yang makan dengan perabot dari emas dan perak. Mu awiyah menjawab dengan enteng, Aku tidak memandang itu sebagai hal yang patut dilarang. Nah, jika kita lihat kaum Muslim masa dini sangat teguh memegang prinsip keagamaan, memperhatikan dengan sungguh-sungguh perintah dan larangan Nabi saaw, bahkan mengorbankan nyawa demi keyakinan ... lantas kita lihat jawaban Mu awiyah kepada Abu Darda r.a. sebagai tantangan tegas terhadap Nabi saaw, kita yakin bahwa Mu awiyah tidak pernah bergabung dengan kaum Muslim! Ali menuding orang yang tak tahu malu mewariskan kekhalifahan kepada anaknya yang sama sekali tidak cakap ini, dengan amat tajam, namun tak terbantahkan, Eng-

kau menjiplak nenek moyangmu dalam kebiasaan berdusta, menipu rakyat, mengaku berhak atas kedudukan yang lebih tinggi dari yang engkau tempati dan mencengkeram apa-apa yang terlarang! Adapun kesaksian pendukungnya bahwa Mu awyah memiliki kesabaran, kelembutan, dan kedermawanan, dapat dikatakan bahwa semuanya itu hanya sarana untuk meraih tujuan keserakahannya. Menurut pikirannya yang haus kuasa, untuk meraih maksud dan tujuannya menjadi raja, cara-cara tersebut memang sangat berguna baginya. Kenapa Mu awiyah yang jadi contoh? Bukankah masih banyak pemimpin yang lebih kotor dan jahat ketimbang orang yang (diwacanakan sebagai) penulis wahyu ini? Setidaknya, bukankah ia seorang Muslim ? Pertama, lembar singkat ini tidak mungkin merinci seluruh keteladanan -nya sebagai pelopor pemimpin fasiq. Kedua, ia paham yang benar, lalu meraih kekuasaan dengan cara batil, dan menjalankannya dengan cara kotor. Ketiga, ia tidak jantan dan berterus terang dengan kebatilannya. Ia atasnamakan setiap tindakan busuknya dengan Islam. Ia sewa ulama untuk bikin hadits yang memuaskannya. Ia bangun istana mewah, dengan harta yang (menurut Abu Dzarr r.a.) jika milik rakyat berarti korup, dan jika miliknya sendiri berarti tabdzir. Padahal mubadzir, menurut Quran, adalah saudara setan-setan. Pejabat yang Jahil Inilah pejabat yang tidak paham kebenaran. Yang ia punyai hanya nafsu berkuasa dan mendapatkan hak-hak istimewa selaku penguasa. Ia memerintah dengan kebodohan, tanpa konsep yang jelas. Meskipun ia tahu ia tidak cakap dan memenuhi syarat keilmuan sebagai pemimpin, ia raih kepemimpinan dengan cara tak terhormat. Ali berkata, Orang yang hatinya tunduk oleh dosa bukanlah pemenang. Ia yang berkuasa dengan cara yang hina sebenarnya adalah orang yang kalah. Yazid mewarisi seluruh sifat buruk kelurga Umayyah: watak, keyakinan, cara berpikir, dan cara memandang berbagai hal, terutama kekuasaan! Bedanya dengan keluarga Umayyah umumnya, ia sama sekali tidak memiliki sifat baik para pendahulunya. Kebaikan lahiriah yang dimiliki Mu awiyah, bapaknya, pun tidak ada pada dirinya. Tidak ada di antara Bani Umayyah yang gila pesta-pora seperti Yazid. Orang di zamannya melukiskannya, singkat dan telak, Dia pemabuk, biasa memakai sutera dan bermain gendang. Sementara Husain a.s. yang terbunuh syahid atas perintahnya menjadi pemuka syuhada (sayyidu sy-syuHada), Yazid justeru mati dengan cara sangat konyol. Diriwayatkan, suatu hari ia menunggang kuda. Ia adu cepat dengan seekor monyet. Ia jatuh dari kuda, dan mati! Djarot Margiantoro Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 19:46 0 komentar Label: adil, ambisi, fasiq, jahil, pejabat publik

Reaksi: Kunci Bahagia Dunia Akhirat (2) Ada empat hal, yang siapa saja memperolehnya berarti ia telah dapatkan kebaikan dunia dan akhirat, yaitu lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, tubuh yang bersabar dalam mushibah, dan pasangan yang setia bukan karena hartanya, melainkan karena jiwanya sendiri (HR ath-Thabrani dari Ibnu Abbas) Tubuh yang Bersabar Krisis ... kata ini akrab sekali dengan kita. Terlebih dalam dua belas tahun terakhir ini, krisis seakan tak pernah tersingkir dari kehidupan kita. Terkesan bagi banyak orang, krisis berkepanjangan bangsa ini bersumber dari krisis moneter tahun 1997. Lalu berlangsung efek domino yang demikian cepat dan dahsyat, yang melahirkan krisis multi dimensi, artinya krisis dalam hampir semua aspek kehidupan; termasuk, tentu saja, krisis moral, bahkan krisis iman! Kapan krisis akan berakhir? Satu krisis bisa saja berakhir, tetapi krisis tak akan pernah hilang dari kehidupan. Krisis itu sunnatullah, tradisi Ketuhanan. Dalam istilah Quran, dan juga hadits Nabi saaw, krisis dikenal dengan julukan bala (bencana). Dan yang namanya bencana, kehadirannya pasti, namun jenis, dan waktu datangnya tidak tentu. Wa lanabluwannakum bisyai-in mina l-khaufi wa l-juu i wa naqsin mina l-amwaali wa l-anfusi wa ts-tsamaraat, fabasysyiri sh-shaabiriin ... (QS al-Baqarah(2):155). Artinya, Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan krisis keamanan, krisis pangan, krisis ekonomi, krisis kejiwaan, dan produksi (pertanian, industri, usaha-jasa). Tetapi kaum shabirin akan tetap bergembira. Jadi menurut ayat tersebut, kita tidak mungkin berharap akan ada kehidupan tanpa krisis. Kualitas manusia tidak ditentukan oleh apa yang terjadi padanya; tidak oleh bencana yang melandanya; tidak pula oleh kesenangan yang menggenangi hidupnya. Kualitasnya ditentukan oleh cara manusia tersebut mensikapi itu semua. Jika ia bersyukur atas nikmat, bersabar dalam bencana, dan ridla menerima setiap ketetapan Tuhan, ia jadi mulia. Jika sebaliknya, ia hidup dalam murka Allah, bahkan jadi makhluk terusir. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman terhadap orang yang tidak mau bersabar dalam bencana , falyakhruj min tahti samaa-ii walyathlub rabban siwaa-ii, keluarlah ia dari kolong langit-Ku, cari saja tuhan lain selain-Ku! Dalam setiap keadaan, selalu ada peluang untuk berangkat mulia. Dalam situasi krisis atau di tengah bencana dilamun derita, sabar adalah kunci kemuliaan. Sabar, dari kata Arab, shabrun, bermakna berketahanan . Seseorang yang dalam keadaan apa saja dapat bertahan, tanpa kehilangan keseimbangan jiwa, tanpa menyurut imannya, tanpa mengeluh, menangis, menjerit, apalagi meratap di depan makhluk, dialah orang yang

sabar. Sifat sabar kita diuji saat kita didera nestapa, ditekan kekejaman musuh, di tengah kecamuk perang, bahkan ketika beroleh kemenangan. Thalut yang berhasil gemilang membunuh Jalut serta menumpas bala tentara penjahat perang tinggi besar itu, mencontohkan kepada pengikutnya doa yang hampir tidak terduga, Rabbanaa afrigh alainaa shabran wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa ala l-qaumi l-kaafiriin (QS alBaqarah(2):250). Artinya, Tuhan kami, kuatkan kami dengan sabar, teguhkan langkah kami, tolong kami menghadapi kaum kafir. Bukan kemenangan yang ia pinta, karena betapa banyak contoh pihak pemenang gagal menikmati hasil perjuangan karena berebut peluang berkuasa, berpesta berhura-hura, serta kehilangan sikap waspada terhadap musuh yang selalu saja mengintai. Kemenangan itu sendiri adalah ujian yang mesti dihadapi dengan sabar. Dalam QS Yusuf(12):18, kata ini disifati dengan kata yang menunjukkan keindahan, shabrun jamiilun, sabar yang indah. Dan sabar semacam ini ditampilkan oleh Nabi Suci Ya qub a.s., ayahanda Nabi Yusuf a.s., manusia paling tampan pada zamannya. Tangisnya seakan tak pernah berhenti, mengadukan duka lara di hadapan Tuhannya. Tetapi perihidupnya tetap tenang wajar, bersahaja dan anggun. Kenapa tubuh yang bersabar yang disebut dalam hadits ini? Tubuh adalah bungkus luar diri manusia. Jika yang paling luar bersabar, apalagi dalamnya? Sabar adalah separuh iman, kata Nabi saaw. Dan iman, masih kata beliau, ada dalam dada, dalam hati. Kerap kali, tokoh masyarakat yang terlihat bijak bestari, terbukti rapuh jiwanya dari kegagalannya bersabar menyikapi bencana. Ketika anak terkasihnya mati akibat kecelakaan lalu lintas misalnya, ia jadi linglung, stress, tak bisa lagi mengisi pengajian! Berarti, selama ini ia mengajarkan kesabaran, tetapi jiwanya tidak sabar. Dan itu ditunjukkan oleh bahasa tubuhnya sendiri. Bencana tubuh adalah ungkapan yang mewakili setiap bencana lahiriah. Ketika gelombang tsunami mengkaramkan Aceh tahun 2005, gempa menggoyang Yogya tahun 2006, dan air bah Situ Gintung memindahkan sejumlah warga sekitar pindah ke alam baqa, juga serentet bencana datang ganti-berganti seolah menyadarkan bangsa ini bahwa bencana masih ada , hadits ini kembali mempertanyakan, Betulkah bangsa ini bahagia dunia dan akhirat? Bisa saja, selama yang dilanda maupun kita yang jadi saksi bencana, sabar dan makin dekat kepada Allah. Pasangan yang Setia Agama mengajarkan kesetiaan, termasuk kesetiaan kepada sesama. Kesetiaan lelaki kepada isterinya dan wanita kepada suaminya menempati kedudukan tinggi sebagai amal yang mulia lagi terpuji. Nabi saaw bersabda, Khiyarukum khiyarukum li nisaaikum, wa ana khairun li nisaa-ii (HR at-Tirmidzi), artinya, Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik kepada isteri. Pada umumnya, pasangan pengantin baru terlihat saling cinta, saling setia. Seakan tak

ada yang dapat memisahkan mereka. Dalam ungkapan Jawa, mereka bertekad sebaya mukti sebaya mati. Mati ataupun mulia bersama, tak terlaraikan. Tetapi, seiring waktu terus berjalan, hal-hal indah bisa jadi tinggal kenangan, seonggok sejarah hidup yang tidak dapat lagi dinikmati. Jika diingat malah hanya bikin tangis. Suami tidak lagi selembut dulu, isteri tidak lagi seperhatian waktu bulan-bulan pertama pernikahan. Kenapa? Agaknya, karena hubungan macam itu hanya bersumber pada motivasi lahiriah, seperti rupa, harta, dan kuasa. Dari empat motivasi pernikahan yang berawal dari pemilihan calon isteri/suami, tiga macam bersifat lahiriah. Lengkapnya, Nabi saaw bersabda, Wanita dinikah karena empat pertimbangan: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah ia karena ihwal agamanya, niscaya engkau akan berbahagia. (HR al-Bukhari). Kenapa ihwal agama? Karena agama buka sekadar tampilan atau kekayaan lahiriah. Agama meliputi lahir dan batin. Jika urusan agama disebut sebagai keruhanian sebetulnya tidak begitu tepat. Dan tiga yang lahiriah bersifat sangat sementara, kecuali jika buru-buru digunakan sebagai tangga menuju ketinggian derajat ruhaniah. Harta yang dibelanjakan di jalan Tuhan, keturunan mulia yang selaras dengan cara hidup yang bermartabat dan tawadlu , dan kecantikan atau ketampanan yang selalu disyukuri, menjadi sebab kemuliaan jiwa. Tapi ketiganya dapat menjadi demikian hanya jika agamanya baik; bukan sekadar formal nama atau identitas agama, melainkan juga ihwal, atau pengamalan agamanya. Ihwal agama, inilah yang agaknya disebut Rasul Allah saaw sebagai sumber kesetiaan dalam hadits di bawah tajuk tulisan ini. Pasangan setia oleh beliau digambarkan sebagai khaufan linafsiHaa wa laa maaliHi, setia karena jiwanya sendiri, dan bukan karena harta, dan bukan karena apa yang dimiliki suami. Kesetiaan macam ini tidak lekang oleh umur dan waktu, tidak surut akibat kekayaan mengkerut, wajah keriput sehingga ketampanan atau kecantikan lenyap, atau perubahan sikap masyarakat yang boleh jadi mengakibatkan seseorang tidak lagi berwibawa dan dimuliakan. Dalam keadaan apapun, sepanjang pasangan tidak bermaksiat kepada Allah, kesetiaan tetap lestari karena kesetiaan inilah yang diajarkan oleh agama, sebagai mahkota seorang hamba Tuhan yang beriman. PenutupSudahkah keempatnya ada dalam hidup kita? Jika belum, mari kita upayakan untuk mewujudkannya. Kita bisa memulainya dengan salah satu di antara keempatnya, untuk memperoleh tiga yang lainnya. Setelah ini, tiap kali kita berdoa sapu jagad, hendaklah terbayang keempat hal yang sudah diuraikan di muka. Keempatnya seakan pintu-pintu menuju kebahagiaan sejati dunia dan akhirat. Wa lLaaHu a lam bi sh-shawaab. Djarot Margiantoro Diposkan oleh Djarot Margiantoro pada 19:38 0 komentar Label: akhirat, bahagia, dunia, mushibah, pasangan, sabar, setia, tubuh

Reaksi: Jumat, 05 Juni 2009 Kunci Bahagia Dunia Akhirat (1) Nabi Agung Muhammad saaw bersabda, "Ada empat hal, yang siapa saja memperolehnya berarti ia telah dapatkan kebaikan dunia dan akhirat, yaitu lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, tubuh yang bersabar dalam mushibah, dan pasangan yang setia bukan karena hartanya, melainkan karena jiwanya sendiri." (HR ath-Thabrani dari Ibnu Abbas) Dalam Quran, Allah mencontohkan doa terbaik yang bisa dipanjatkan oleh hamba-Nya ke hadapan-Nya, yaitu doa yang lengkap, mencakup semua hal yang dibutuhkan manusia, meskipun diungkapkan dalam kalimat yang tidak begitu panjang. Doa tersebut maktub (tertulis) dalam QS al-Baqarah[2]:201, Wa minHum man yaquulu rabbanaa aatinaa fi d-dunyaa hasanatan wa fi l-aakhirati hasanatan wa qinaa adzaaba n-naar. Maknanya, Tuhan kami, beri kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Jaga kami dari siksa neraka. Doa yang di tengah umat Muslim dikenal sebagai doa sapu jagad ini secara tersirat menegaskan bahwa menjadi Muslim yang taat tidak identik dengan derita, nestapa, tersisih, bahkan terkebelakang. Sebaliknya, jika memang kehidupan dunia masih tergelar di punggung bumi yang masih menggelinding di lorong langit yang masih tegak, manusia taqwa sebetulnya yang paling berhak menikmati pelbagai fasilitas kebahagiaan yang ada di dalamnya. Bagimana gambaran orang yang berhasil meraih kebaikan atau kebahagiaan dunia dan akhirat? Nabi Suci Muhammad saaw memberi tahu kita melalui sabdanya yang mesti kita yakini kebenarannya, Ada empat hal, yang siapa saja memperolehnya berarti ia telah dapatkan kebaikan dunia dan akhirat, yaitu lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, tubuh yang bersabar dalam mushibah, dan pasangan yang setia bukan karena hartanya, melainkan karena jiwanya sendiri (HR ath-Thabrani dari Ibnu Abbas). Mari kita urai lebih lanjut keempat hal yang disebutkan manusia agung ini. Keempatnya ternyata bukan nikmat yang jatuh dari langit sebagai hasil doa sapu jagad berulangulang, melainkan mesti kita ciptakan sendiri. Doa menghadirkan cahaya yang menuntun dan memudahkan upaya kongkret mewujudkan apa yang kita minta. Upaya itu wajib hukumnya. Upaya harus selaras dengan makna doa kita. Dengan cara berpikir ini kita akan pahami doa sapu jagad dan cakupan hadits Nabawi di atas.

Lisan yang Berdzikir Lisan atau lidah adalah bagian vital tubuh kita yang sangat menentukan celaka bahagia kita. Lidah memang tidak bertulang, sehingga lentuk dan lentur bergerak-gerak menghasilkan ujaran sekehendak pemiliknya. Ada kata mutiara yang menarik untuk direnungkan, Jika pedang lukai tubuh, masih ada harapan sembuh. Tetapi jika kata lukai hati, ke mana obat hendak dicari? Jadi lidah yang lunak bisa menggoreskan luka hati tak tersembuhkan, koyaknya hubungan baik, bahkan mengancam keselamatan diri. Agaknya karena kuatir ummat ini jadi korban kecerobohan menjaga lidah, Imam Agung Ali bin Abi Thalib a.s. pernah mengingatkan dengan kata-kata yang amat indah, Salaamatu l-insaan fii hifzhi l-lisaan, selamat manusia karena lidah dijaga. Menjaga lidah berarti mencegahnya mengucapkan kata-kata yang salah atau tidak bermakna, dan membiasakannya berucap yang baik-baik. Dan ucapan terbaik adalah dzikir. Dzikir artinya ingat, yaitu ingat kepada Allah. Gambaran paling sederhana lisan berdzikir adalah ucapan basmalah setiap kali kita akan lakukan sesuatu, atau bersamaan dengan langkah pertama kita melakukan pekerjaan. Padahal, kita selalu bergerak dari satu kegiatan ke kegiatan lain, dari satu kerja ke kerja berikutnya. Termasuk menyandarkan atau membaringkan tubuh ketika hendak tidur. Bahkan mati (maata yamuutu), dalam bahasa agama adalah sebuah kata kerja. Jika lisan kita selalu membaca bismi lLaaH, bahkan bismi lLaahi r-rahmaani r-rahiim dalam tiap aktivitas, berarti kita telah memiliki lisan yang berdzikir. Tentu bukan sesederhana gambaran di atas. Namun jika gambaran itu diwujudkan benar-benar, kehidupan kita akan menjelma penuh barakah. Setiap kata yang meluncur dari mulut kita akan bermakna indah, menyejukkan, bahkan menyembuhkan. Dengan kontrol basmalah ucapan kita jauh dari keluh kesah, mengumpat, memaki, menyombongkan diri, atau meremehkan orang lain. Jauh juga dari kedustaan, yakni perkataan yang berbeda dari yang dimaksudkan oleh hati. Ada orang yang berkata ya tetapi yang dimaksud mungkin , berkata mungkin dengan maksud tidak , dan jarang berkata tidak untuk menyenangkan semua orang, termasuk orang kafir, fasiq, dan pendurhaka --kecuali orang lemah. Itulah kedustaan, yang sudah amat lekat dengan perihidup politisi busuk yang hanya cari kuasa untuk menumpuk harta benda dan kesenangan raga dan syahwat! Lisan berdzikir adalah lisan ahli surga. Sebelum sekujur tubuh dan jiwa kita, bukankah indah jika lisan kita terlebih dulu berada di surga? Dalam Quran ada ilustrasi suasana kehidupan surgawi dalam kaitannya dengan suara-suara yang keluar dari mulut penduduknya, laa yasma uuna fiiHaa laghwan wa laa ta-tsiiman, illaa qiilan salaaman salaaman (al-Waqi ah [56]:25-26). Artinya, Di dalam surga tidak terdengar kata-kata hampa apalagi kalimat yang mengandung dosa. Yang terdengar adalah perkataan yang penuh kedamaian. Dalam ayat lain, QS Yunus[10]:10 Allah berfirman, ... dan akhir seruan mereka adalah

al-hamdu li lLaaHi rabbi l- alamiin. Lihatlah, ahli surga tidak berucap kecuali yang baikbaik! Dan kata-kata baik disukai Allah, disukai manusia, menenteramkan hati, serta mendekatkan yang mendengarnya kepada Allah. Hati yang Bersyukur Allah memberi kita beragam dan tak berbilang nikmat dan karunia. Kecukupan sandang, kelebihan pangan, keluarga rukun, isteri shalihah, anak berbakti, tetangga baik, urusan lancar, tempat tinggal kukuh, masalah selesai, musibah berlalu, utang terbayar, hati tenteram, agama Islam, masjid dekat, piranti ibadah tersedia, waktu luang, buku agama berlimpah, mushaf Quran berjajar-jajar ... sungguh daftar sepanjang apapun tak akan cukup untuk merinci jenis, apalagi jumlah nikmat Allah atas kita. Allah memustahilkan kita membikin senarai lengkap tentang nikmat Allah, wa in ta udduu ni mata lLaaHi laa tuhshuuHaa (QS an-Nahl[16]:18, Jika kalian coba hitung nikmat Allah, kalian tak mungkin berhasil. Jika demikian, apa alasan kita tidak menjadi hamba yang tahu terima kasih kepada Tuhannya? Justeru sebaliknya, saking sedikitnya manusia yang pandai bersyukur, Allah merasa perlu melontarkan kecaman 31 kali dalam satu surat saja, QS ar-Rahman[55], fa bi-ayyi alaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan, lalu kebaikan mana dari Tuhanmu yang kamu ingkari? Jadi apa yang salah dengan nikmat dan kebaikan-kebaikan Tuhan? Bukan nikmatnya yang keliru; hati manusia yang sedemikian keras, tak tahu diri, tak tahu berterima kasih! Jika ia dapati yang ia senangi, ia merasa itu hasil usahanya, atau kebaikan keluarga dan handai taulan. Tuhan tidak menyumbang apapun bagi kesuksesannya. Tapi jika yang diharap tak terwujud, yang disuka tak tersedia, ia lupakan kesenangan apapun yang pernah ia nikmati, yang sebetulnya adalah nikmat Allah. Jika hati, segumpal daging yang ada dalam tubuh manusia, bukanlah qalbun syaakirun, hati yang bersyukur, nikmat apapun tak akan terasa sebagai nikmat. Hati semacam ini harus segera diperbaiki. Jika hati kita adalah jenis hati yang demikian, yang pertama mesti kita lakukan adalah meniatkan pada tiap sebelum tidur, untuk mensikapi apapun yang terjadi setelah bangun dengan rasa syukur, rasa ta jub terhadap pekerjaan Tuhan. Sungguh terlalu sulit lagi mahal, bahkan mustahil, untuk mengubah segala hal di dunia ini jadi menyenangkan kita. Lebih sering ketimbang tidak, yang kita temui tidak cocok dengan yang kita senangi. Inilah yang disabdakan Insan Kamil, Ali a.s., Jika yang engkau sukai tidak terjadi, sukailah yang terjadi. Jika kita tidak ingin kerikil, onak duri, ataupun pecahan kaca melukai telapak kaki kita, bukan berarti kita mesti menutup seluruh permukaan tanah yang hendak kita lalui dengan karpet tebal. Itu tindakan konyol. Yang lebih arif adalah, kita pakai kasut, sepatu, atau alas kaki lain, agar telapak kaki terlindung, ke mana pun kita melangkah. Jadi, yang kita ubah bukan seisi dunia. Cukuplah cara pandang kita terhadap dunia,

juga terhadap setiap ketetapan Tuhan, menjadi cara pandang yang penuh syukur. Apa tidak berarti kita fatalis? Menyerah pada keniscayaan alam, atau bahkan menerima saja bencana, meskipun diakibatkan oleh kezhaliman orang lain? Tentu tidak! Jika listrik padam, dan malam jadi gelap gulita, cukupkah kita diam saja, menunggu hingga petugas PLN selesai membikin betul bagian instalasi yang bermasalah? Tetapi, perlukah kita menggerutu, atau mengeluhkan bahwa di belahan bumi lain, negeri-negeri sejahtera macam Jepun atau Skandinavia sana, listrik padam hampir tak pernah terjadi? Jika pun terjadi, pasti ada pemberitahuan dan kompensasi yang memuaskan pelanggan? Kedua sikap ini, yang pertama fatalis dan yang kedua tak tahu diuntung, samasama tercela, dan sama-sama tidak dapat menyelesaikan masalah. Untuk contoh ketidaknyamanan sederhana ini, tentu kita sepakat, nyalakan lilin, atau emergency lamp, atau power generator jika kebutuhan daya lebih besar; tanpa perlu mengeluh, selesai masalah, hingga pasokan listrik PLN mengalir kembali. Ketimbang mengutuk kegelapan, kenapa tidak lilin dinyalakan tanpa keluhan berkepanjangan? Mari kita ajak hati bersyukur. Jangan buka hari yang hendak kita lalui dengan gerutu. Nabi saaw memperingatkan, Siapa bangun pagi dan risau tentang hidup duniawinya, berarti ia berpagi-pagi telah marah kepada Allah! Jika mau risau, risaulah dengan kebelumpastian Allah ridla kepada kita, dengan masa lalu yang kelabu, ngerinya sakratu l-maut, dahsyatnya Qiyamat, panasnya