Lahan Gambut

28
Judul : “ Potensi Lahan Gambut untuk Pertanian “ PENDAHULUAN Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome) . Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk, 1990). Di daerah tropis, penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an. Penebangan hutan, pembakaran dan pengatusan lahan dilakukan untuk tujuan pertanian dan pemukiman. Untuk tujuan perdagangan, 150.000 km 2 per tahun dari lahan gambut dibuka dan diambil hasil kayunya, sedangkan di beberapa negara gambut digunakan sebagai energi sumber panas (Anonim, 2002). Hal ini tentu saja akan memberikan dampak yang sangat kuat bagi penurunan stabilitas gambut. Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia lahan

Transcript of Lahan Gambut

Page 1: Lahan Gambut

Judul : “ Potensi Lahan Gambut untuk Pertanian “

PENDAHULUAN

Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana

laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah

dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang

dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman

yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang

berbentuk kubah (dome) . Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan

yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai

kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk, 1990).

Di daerah tropis, penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an. Penebangan

hutan, pembakaran dan pengatusan lahan dilakukan untuk tujuan pertanian dan pemukiman.

Untuk tujuan perdagangan, 150.000 km2 per tahun dari lahan gambut dibuka dan diambil hasil

kayunya, sedangkan di beberapa negara gambut digunakan sebagai energi sumber panas

(Anonim, 2002). Hal ini tentu saja akan memberikan dampak yang sangat kuat bagi penurunan

stabilitas gambut.

Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama di Indonesia dan

Malaysia. Di Indonesia lahan gambut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian

Jaya. Tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih mungkin untuk

dimanfaatkan seluas 5,6 juta hektar (Subagyo et al, 1996).

Sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan

pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk

pemukiman penduduk. Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dengan semestinya dan 

efisien akan memberikan sumbangan bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Dengan kata lain, pemanfaatan lahan gambut yang dengan tidak semestinya akan menyebabkan

kehilangan salah satu sumber daya yang berharga, dikarenakan lahan gambut merupakan lahan

marginal dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Ardjakusuma et al, (2001)

Page 2: Lahan Gambut

melaporkan bahwa di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan bongkor yaitu  lahan gambut

yang terdegradasi (rusak) dan dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya, sehingga menjadi lahan

tidur sebagai akibat pembukaan lahan gambut pada masa Pelita I.

Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan

dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan

dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan

adalah tanaman sayuran, tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan

tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet).

Pengembangan pertanian pada lahan gambut menghadapi banyak kendala yang

berkaitan dengan sifat tanah gambut. Menurut Soepardi (1979) dalam Mawardi et al, (2001),

secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan

suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses

dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksid bagi tanaman, sehingga

mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap

produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan

tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang

belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat

terbatas.

Page 3: Lahan Gambut

LAHAN GAMBUT

Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi

peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang

panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut

terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di

dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang

terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya

menempati depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana

gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.

Penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai timur pulau Sumatera, pantai

barat dan selatan pulau Kalimantan dan pantai selatan dan utara pulau Irian Jaya. Penyebaran

dan data luas gambut di Indonesia yang lebih pasti dan akurat belum dapat dipastikan.

Terkecuali Sumatera yang gambutnya secara relatif telah banyak diteliti selama berlangsungnya

Proyek Pembukaan Pasang Surut 1969-1984 (Subagyo, et al, 1996).

Luas lahan rawa yang terdiri tanah gambut dan tanah mineral (non-gambut) di Indonesia

diperkirakan seluas 39,4-39,5 juta hektar, yakni kurang lebih seperlima (19,8 %) luas daratan

Indonesia. Dari luasan tersebut tanah gambut terdapat sekitar 13,5-18,4 juta hektar atau rata-rata

16,1 juta hektar.

Sementara itu Nationwide Survey of Coastal and Near Coastal Swampland yang

dilaksanakan oleh Euroconsult (1984) menyajikan data sebagai berikut : (Diemont, 1991,

Subagyo et al, 1996)

- Lahan rawa pasang surut  24,6 juta ha

-Tanah gambut (peat)  20,0 juta ha

-Lahan rawa pasang surut air payau/salin  3,5-4 juta ha

-Lahan rawa mangrove dan gambut dalam (lebih dari 2 meter) tidak sesuai untuk

pertanian  16,0 juta ha

Page 4: Lahan Gambut

-Tanah mineral dan gambut dangkal (kurang dari 2 meter) telah direklamasi menjadi lahan

pertanian  3,3 juta ha

-Gambut dangkal masih tertutup hutan, secara potensial sesuai untuk  reklamasi guna lahan

pertanian 5,6 juta ha

Jika data tersebut masih berlaku, karena sampai tahun 2000 tidak terdapat proyek reklamasi

lahan rawa berskala besar, maka lahan gambut dangkal yang potensial untuk usaha pertanian

diperkirakan masih terdapat 5,6 juta hektar.

Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik

(kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin), oligotrofik (kandungan mineral,

terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH

sekitar 5, kandungan basa sedang). Ketebalan atau kedalaman gambut juga menentukan tingkat

kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Widjaja-Adhi,   et al, (1992) dan

Subagyo, et al, (1996) membagi gambut dalam 4 kelas, yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam

(100-200 cm), dalam (200-300 cm) dan sangat dalam (lebih dari 300 cm).

Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia dapat dibagi

menjadi dua jenis yaitu (1) gambut ombrogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari

air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan

pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah

asli (inherent) dari tumbuhnya itu sendiri (2) gambut topogenous, dimana kandungan airnya

hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa

hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut. Daerah

gambut topogenous lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan gambut

ombrogenous, karena gambut topogenous mengandung relatif lebih banyak unsur hara

(Rismunandar, 2001).

Sifat-sifat Tanah Gambut

Diantara sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah : bahan

penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence

( penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan

Page 5: Lahan Gambut

status kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh

beberapa hal di atas (Andriesse, 1988).

Page 6: Lahan Gambut

A. Sifat Fisik

Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung

tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali

dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95%

menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang

akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)

Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa

cenderung pertumbuhannya miring bahkan  ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai

tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986).

Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan yang berlebihan

sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan

gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air

(Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan

ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.

B. Sifat-sifat Kimia

Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai mempengaruhi

komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan, semakin banyak

kandungan mineral tanah sehingga relatif lebih subur.

Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan

organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse

(1988). Gambut dangkal pH lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9). Kandungan N total

tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur mikro

khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al, 1996).

Di Malaysia, pH gambut berkisar antara 3,2 – 4,9 sedangkan di pantai timur Sumatera

berkisar 3,42 – 4,3. Gambut yang berkembang disepanjang pantai timur Sumatera mempunyai

sifat-sifat : gambut dalam (lebih dari 4 m) dengan status hara kahat N, P, K, Mg, Ca, Zn dan B

berada dalam keadaan cukup, sedangkan faktor pembatas utama pada lahan gambut adalah tidak

tersedianya unsur Cu bagi tanaman (Sudradjat dan Qusairi, 1992).

 

Page 7: Lahan Gambut

PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

Dalam istilah yang tepat, konsep pertanian berkelanjutan pada lahan gambut sebenarnya

bukan merupakan istilah yang tepat dikarenakan adanya daya menyusut dan adanya subsidence

selama penggunaannya untuk usaha pertanian. Akan tetapi, hal tersebut bisa dikurangi dalam

arti memperpanjang  ‘life span’  dengan meminimalkan tingkat subsidence dengan cara

mengadopsi beberapa strategi pengelolaan yang benar mengenai air, tanah dan tanaman.

Pengelolaan air

1. Drainase

Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut bukanlah suatu

yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut yang bisa mengalami penyusutan dan

kering tidak balik akibat drainase, sehingga sebelum mereklamasi lahan gambut perlu diketahui

sifat spesifik gambut, peranan dan fungsinya bagi lingkungan.

Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap mempertahankan batas

air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan kerugian pada tanaman yang akan

berakibat pada hasil. Intensitas drainase bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah

hujan. Curah hujan yang tinggi  (4000-5000 mm per tahun)(Ambak dan Melling, 2000)

membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir.

Setelah drainase dan pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi subsidence yang relatif

cepat yang akan berakibat menurunya permukaan tanah. Subsidence dan dekomposisi bahan

organik dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapis gambut terdiri dari

lempeng pirit atau pasir kuarsa. Kerapatan lindak yang rendah berakibat kemampuan menahan

(bearing capacity) tanah gambut juga rendah, sehingga pengolahan tanah sulit dilakukan secara

mekanis atau dengan ternak. Kemampuan menahan yang rendah juga juga merupakan masalah

bagi untuk tanaman pohon-pohonan atau tanaman semusim yang rentan terhadap kerebahan

(lodging) (Radjagukguk, 1990).

Bagi tanaman perkebunan, usaha perbaikan drainase dilakukan dengan pembuatan kanal

primer, kanal sekunder dan kanal tersier. Hasil penelitian sementara di PT. RSUP

menunjukkan bahwa kelapa hybrida PB 121 pada umur 4 tahun (4-5 tahun setelah tanam

Page 8: Lahan Gambut

adalah 1,5 ton kopra/ha). Angka ini sementara 5 kali lebih besar dari hasil yang dicapai di

negara asalnya Afrika dimana PB 121 pada umur 4 tahun menghasilkan 0,26 ton kopral/ha

(Thampan, 1981 dalam Sudradjat dan Qusairi, 1992).

2. Irigasi

Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk pertumbuhan tanaman,

pengelolan air bukan merupakan suatu masalah kecuali pada tahap awal pertumbuhan tanaman.

Jika batas kritis air tidak dapat terkontrol dan lebih rendah dari kebutuhan air semestinya,

irigasi perlu dilakukan terutama bagi tanaman tertentu. Hal ini penting untuk memasok

kebutuhan air tanaman dan menghindari sifat kering tidak balik. Sayuran berdaun banyak,

menunjukkan layu pada keadaan udara panas. Kondisi ini mungkin merupakan pengaruh dari

dangkalnya profil tanah yang dapat dicapai oleh akar tanaman dan kehilangan air akibat

transpirasi yang lebih cepat daripada tanah mineral (Ambak dan Melling, 2000).

Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda.

Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat

sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk

penanaman tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan

tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan,

distribusi dan jumlah evapotranspirasi (Lucas,1982)..

Page 9: Lahan Gambut

Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut

Tanaman Kebutuhan

air (cm)

Sumber

Kelapa Sawit 50-75 Singh et al (1986)

Nanas 60-90 Tay (1980); Zahari et al (1989)

Sagu 20-40 Melling et al, 1998

Cassava 15-30 Tan dan Ambak (1989); Zahari et al,

(1989)

Kacang Tanah 65-85 Ambak et al, (1992)

Kedelai 25-45 Ambak et al (opcit)

Jagung 75 Ambak et al, (opcit)

Ubi jalar 25 Ambak et al, (opcit)

Asparagus 25 Ambak et al, (opcit)

Sayuran 30-60 Leong dan Ambak, (1987)

Sumber : Ambak dan Melling (2000)

3. Penggenangan

Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah yang bisa dilakukan adalah tetap

mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-tanaman sejenis

hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan nilai ekonomi seperti halnya Eleocharis

tuberosa, bayam cina (Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di

Florida ketika  tanaman tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan  musim,

penggenangan dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan

Melling, 2000).

Page 10: Lahan Gambut

Pengelolaan Tanah

Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman bila

ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen untuk pertumbuhan

akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi daripada tanah mineral menyebabkan

tanaman bisa berkembang lebih cepat. Akan tetapi dengan keberadaan sifat inheren yang lain

seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro

maupun makro menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al,

2000). Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan semestinya.

1. Pembakaran

Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk menurunkan

tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan organik menjadi abu berakibat

penghancuran tanah serta menurunkan permukaan tanah. Pembakaran berpengaruh nyata

terhadap pertumbuhan tanaman pada tahun pertama dan meningkatkan serapan P tanaman,

namun akan menurunkan serapan Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).

2. Bahan pembenah tanah

Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat mengatasi

masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang umumnya perlu ditambahkan

dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg serta sejumlah unsur hara mikro terutama Cu, Zn

dan Mo. Pemberian Cu diduga lebih efektif melalui daun (foliar spray) karena sifat sematannya

yang sangat kuat pada gambut, kurang mobil dalam tanaman dan kelarutan yang menurun ketika

terjadi peningkatan pH akibat penggenangan. Sebagai amandemen, abu hasil pembakaran

gambut itu sendiri akan berpengaruh menurunkan kemasaman tanah, memasok unsur hara dan

mempercepat pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).

Di Sumatera Barat ditemukan bahan amelioran baru Harzburgite yang defositnya cukup besar

dan kandungan Mg yang tinggi (27,21 – 32,07% MgO) yang merupakan bahan potensial  untuk

ameliorasi lahan gambut (Mawardi et al, 2001).

Pupuk kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran ternak yang lainnya

mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu dalam jumlah yang banyak.

Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation rendah. Kotoran ayam, dalam

Page 11: Lahan Gambut

melepaskan haranya berlangsung secara bertahap dan lama. Tampaknya, pemberian kotoran

ayam memungkinkan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut. Pada jagung

manis, pemberian kotoran ayam sampai 14 ton/ha pada tanah gambut pedalaman bereng

bengkel dapat meningkatkan jumlah tongkol (Limin, 1992 dalam Darung et al, 2001).

Page 12: Lahan Gambut

PROSPEK UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN

Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan alami

gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usaha tani yang akan diterapkan. Pada

pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan usaha tani termasuk tingkat

rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan berbeda dengan produktivitas lahan

dengan tingkat manajemen tinggi yang dikerjakan oleh swasta atau perusahaan besar (Subagyo

et al, 1996)

Dengan manajemen tingkat sedang (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000), yaitu perbaikan

tanah dengan penggunaan input yang terjangkau oleh petani seperti pengolahan tanah, tata air

mikro, pemupukan, pengapuran dan pemberantasan hama dan penyakit, potensi pengembangan

lahan gambut untuk pertanian adalah sebagai berikut :

Pemilihan jenis tanaman

1. Padi sawah

Budidaya padi sawah selalu diupayakan oleh petani transmigrasi untuk memenuhi

kebutuhan pangannya. Akan tetapi budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada

berbagai masalah terutama menyangkut kendala-kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan

tanah dan air. Khususnya gambut tebal (> 1 m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk budidaya

padi sawah, karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Kunci

keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut  terletak pada keberhasilan dalam

pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor

pembatas, penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro (Radjagukguk,

1990).

Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut) dan

gambut dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m) dan tidak sesuai

pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat tebal (lebih dari 3 m). Pada gambut tebal dan sangat tebal,

tanaman padi tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro Subagyo et al,

1996).

Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik tinggi, asam-asam organik menghambat

pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen.

Page 13: Lahan Gambut

Leiwakabessy dan Wahjudin  (1979) dalam Radjagukguk (1990) menunjukkan hubungan erat

antara ketebalan gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot dengan tanah yang

diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah padi (ditanam secara sawah) yang sangat

rendah apabila tebal gambut > 80 cm, dan yang paling tinggi apabila ketebalan gambut 50 cm.

Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan antara pola perubahan kejenuhan Ca, kejenuhan Mg, pH

dan kandungan abu bersama ketebalan gambut dengan perubahan tingkat hasil gabah. Sehingga

kemungkinan tingkat kemasaman dan suplai Ca yang rendah serta kandungan abu yang rendah

merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi sawah pada gambut tebal.

Tidak terbentuknya gabah menurut Andriesse (1988) dan Driessen (1978) berkaitan dengan

defisiensi Cu yang akan menyebabkan meningkatnya aktivitas racun fenolik dan  menyebabkan

male sterility pada tanaman padi.

2. Tanaman perkebunan dan industri

Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar banyak dikembangkan di lahan

gambut terutama oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman ini

kebanyakan dikembangkan di propinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal. Sebelum

penanaman, dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Sistem drainase

yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di lahan tersebut.

Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro dan mikro

(Radjagukguk, 1990). Tanaman perkebunan sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1-2 m dan

sangat tebal (2-3 m) (Subagyo et al, 1996)

Di Malaysia, diantara tanaman perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, sagu, karet, kopi

dan kelapa, nanas (Ananas cumosus) merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang

tinggi pada gambut berdrainase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan kemasaman

yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman

tahunan yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan sedang hingga tipis dengan

hasil sekitar 13 ton/ha pada tahun ketiga penanaman (Ambak dan Melling, 2000). Percobaan-

percobaan yang dilakukan oleh PT. RSUP di Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa tanaman

nenas tumbuh dengan baik dan mulai berbuah 14 bulan setelah tanam. Dari hasil sementara

menunjukkan bahwa, penanaman nanas dengan kerapatan 20.000 pohon/ha yang ditanam

Page 14: Lahan Gambut

diantara jalur kelapa, tumpangsari kelapa nenas memberikan prospek yang sangat cerah

(Sudradjat dan Qusairi, 1992).

Sagu bisa beradaptasi dengan baik dan memberikan hasil bagus tanpa pemberian input

pupuk (Ahmad dan Sim, 1976) pada gambut dengan minimum drainase, walaupun umur

tanaman sampai menghasilkan buah sangat lama (15-20 tahun).

Untuk jenis-jenis pohon buah banyak ditemukan di Sumatra dan Kalimantan seperti jambu

air (Eugenia) Mangga (Mangosteen), rambutan (Ambak dan Melling, 2000) sedangkan di

daerah pantai Ivory  dengan gambut termasuk oligotropik, pisang dapat tumbuh dengan drainase

80-100 cm dan menghasilkan 25-40 ton/ha walaupun dengan pengelolaan yang agak sulit

(Andriesse, 1988) .

Komoditas lain yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan

domestik adalah tanaman industri/keras seperti kelapa, kopi, lada dan tanaman obat

(Abdurachman dan Suriadikarta, 2000).

Tanaman rami dan obat-obatan tumbuh dan berproduksi baik pada gambut sedang dan

kurang baik pada gambut sangat dalam (3-5 m) (Subagyo et al, 1996).

3. Tanaman pangan (palawija) dan tanaman semusim lainnya

Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan gambut

sedang. Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam atau drastis

untuk mencegah terjadinya gejala kering tidak balik (Subagyo et al, 1996)

Tanaman pangan memerlukan kondisi drainase yang baik untuk mencegah penyakit busuk

pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan pemakaian pupuk. Cassava (Manihot

esculenta) atau tapioka menghasilkan lebih dari 50 ton/ha dengan pengelolaan yang baik dan

merupakan tanaman pangan yang penting pada gambut oligotropik tropis dengan drainase yang

baik (Andriesse, 1988).

Di Bengkulu, penanaman jagung dengan penerapan teknologi yang spesifik untuk lahan

gambut (teknologi Tampurin) diperoleh hasil 3,29 ton/ha pada varietas Pioneer-12 (Manti et al,

2001).

Page 15: Lahan Gambut

Sementara untuk tanaman sayuran, Satsiyati (1992) dalam Abdurachman dan Suriadikarta

(2000) menyebutkan beberapa tanaman hortikultura yang berpotensi ekonomi untuk

dikembangkan di lahan gambut eks PLG  yaitu cabai, semangka dan nenas .

Di daerah Kalampangan yang merupakan penghasil sayuran untuk Palangkaraya Kalimantan

Tengah, petani setempat mengembangkan sayuran diantaranya sawi, kangkung, mentimun yang

diusahakan secara monokultur dalam skala kecil dalam lahan kurang lebih 0,25 hektar (Limin et

al, 2000). Di samping itu beberapa lahan gambut yang termasuk lahan bongkor bisa diusahakan

untuk berbagai tanaman seperti cabai besar/keriting/kecil, terong, tomat, sawi, seledri, bawang

daun, kacang panjang, paria, mentimun, jagung sayur, jagung manis, dan buah-

buahan  (mangga, rambutan, melinjo, sukun, nangka, pepaya, nanas dan pisang) karena lahan

gambut tersebut termasuk tipe luapan C/D (tidak dipengaruhi air pasang surut, hanya melalui

rembesan air tanah>50 cm di bawah permukaan tanah pada musim kemarau dan <50 cm pada

musim hujan) (Ardjakusuma et al, 2001)

Teknis Bertanam

Untuk menghindari penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah gambut melalui oksidasi

biokimia, permukaan tanah harus dipertahankan agar tidak gundul. Beberapa vegetasi seperti

halnya rumput-rumputan atau leguminose dapat dibiarkan untuk tumbuh disekeliling tanaman

kecuali pada lubang tanam pokok seperti halnya pada perkebunan kelapa sawit dan kopi.

Beberapa jenis legume menjalar seperti Canavalia maritima dapat tumbuh dengan unsur hara

minimum (Singh, 1986) dan menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kemasaman.

Pembakaran seperti yang dilakukan pada perkebunan nanas harus mempertimbangkan

pengaruhnya terhadap kebakaran lingkungan sekitarnya. Akan lebih baik bila penyiangan

terhadap gula dikembalikan lagi ke dalam tanah (dibenamkan) yang akan berfungsi sebagai

kompos sehingga selain bisa memberikan tambahan hara juga dapat membantu

mempertahankan penurunan permukaan tanah melalui subsidence (Ambak dan Melling, 2000).

Page 16: Lahan Gambut

KESIMPULAN

Sebagian dari lahan gambut telah dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian.

Pengembangan lahan gambut tersebut didasarkan atas kebutuhan bahwa penyediaan tanah-tanah

yang kesuburannya tinggi relatif berkurang atau langka.

Dalam pengelolaanya, masih dijumpai sejumlah kendala yang menghambat tercapainya

produktivitas yang tinggi. Kendala tersebut meliputi kendala fisik, kendala kimia  dan kendala

yang berkaitan dengan penyediaan dan tata pengelolaan air.

Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang paling sesuai adalah tanaman

hortikultura diikuti  tanaman perkebunan dan industri, tanaman pangan dan padi sawah

Page 17: Lahan Gambut

DAFTAR RUJUKAN

Anonim, 2011. Lahan Gambut Potensial untuk Pertanian.

Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan

Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian19 (3).

Ardjakusuma, S., Nuraini, Somantri, E., 2001. Teknik Penyiapan Lahan Gambut Bongkor

untuk Tanaman Hortikultura. Buletin Teknik Pertanian. Vol 6 No. 1, 2001. Badan Litbang

Pertanian. Jakarta.Darung, U, Mimbar, S.M., Syekhfani., 2001. Pengaruh Waktu Pemberian Kapur dan

PupukKandang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Panen Kedelai Pada Tanah Gambut

PedalamanKalimantan Tengah. Buletin Biosain, Vol. 1, No.2, Maret 2001.Driessen, P.M., 1978. Peat Soils. In. Soils and Rice. International Rice Research

Institute.Los Banos Philiphines.Manti, I., Supriyanto, Martasari, C., 2001. Keragaan Paket Teknologi Budidaya Jagung

PadaLahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Pertanian se-

Sumatera 31Oktober-1 November 2001. Bengkulu.Mawardi, E., Azwar dan Tambidjo, A., 2001. Potensi dan Peluang Pemanfaatan

Harzeburgitesebagai Amelioran Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Memantapkan

RekayasaPaket Teknologi Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam Era Otonomi Daerah, 31

Oktober –1 November 2001. Bengkulu.Limin, S., Layuniati., Jamal, Y., 2000. Utilization of Inland Peat for Food Crop

CommodityDevelopment Requires High Input and is Detrimental to Peat Swamp Forest

Ecosystem.Proc. International Symposium on Tropical Peatlands 22-23 November 1999. Bogor

Page 18: Lahan Gambut

Indonesia.Lucas, R.E., 1982. Organic Soils (Histosols): Formation, distribution, physical and

Chemicalproperties and management for crop production. Research Report 435 Far Science.

MichiganUniversity, East Lansing.Radjagukguk, B. 1990. Pengelolaan sawah bukaan baru di lahan gambut menunjangswasembada pangan dan program transmigrasi. Seminar Pertanian Fakultas PertanianUniversitas Ekasakti dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami Padang 17-18September 1990. PadangRadjagukguk, B., 1990. Prospek pengelolaan tanah-tanah gambut untuk perluasan

lahanpertanian. Seminar Nasional Tanah-tanah bermasalah di Indonesia KMIT Fakultas

PertanianUNS Surakarta 15 Oktober 1990. Surakarta.Rismunandar, T. 2001. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Menciptakan

PembangunanBerwawasan Lingkungan. Makalah Pribadi pada Matakuliah Pengantar Falsafah Sains.

IPBBogor.Singh, G., Tan, Y.P., Padman, C.V., Rajah dan Lee. F.W. 1986. Experinces on theCultivation and Management of Oil Palm on Deep Peat in United Plantation Berhard.

In. Proc.2nd Intern-Soils Management Workshop Thailand/Malaysia 7-18 April 1986.Subagyo, Marsoedi dan Karama, S., 1996. Prospek Pengembangan Lahan Gambut

untukPertanian dalam Seminar Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan untukPertanian pada Lahan Gambut, 26 September 1996. Bogor.Sudradjat daan Qusairi, L., 1992. Diversifikasi Usaha Perkebunan Pada Lahan GambutDengan Kelapa Sebagai Tanaman Utama (Suatu Pandangan terhadap pemanfaatan

LahanGambut). Seminar Pengembangan Terpadu kawasan Rawa Pasang Surut di Indonesia

5September 1992. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Page 19: Lahan Gambut

TUGAS MANDIRI

MATA KULIAH MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

” POTENSI LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN “

Disusun oleh:

AULYA RETNO SETYARI (0910480023)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2011