LANDASAN TEORI Teori Umum a. - library.binus.ac.id · gambaran dan citra realitas sosial. ... jika...

34
12 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Umum 2.1.1 Teori Komunikasi Massa a. Pengertian Pada masa sekarang ini, dengan semakin majunya perkembangan teknologi serta pertambahan populasi manusia yang semakin besar dan banyak. Penyebaran informasi dan proses komunikasi telah menjadi suatu hal yang sentral dan bahkan menjadi kebutuhan dasar manusia. Setiap hari manusia haus akan informasi mengenai apa yang terjadi di dunia. Dan untuk itu maka dibutuhkanlah suatu media sebagai penyambung pesan antara komunikator yakni berupa pihal-pihak atau institusi tertentu kepada masyarakat. Proses komunikasi ini disebut sebagai komunikasi massa, yakni jika diartikan secara sederhana adalah proses penyampaian pesan (informasi) melalui media massa yang ditujukan kepada khalayak ramai yang sifatnya heterogen dan global. Sehingga dikarenakan audiens atau penerima pesan dari komunikasi massa ini bersifat heterogen, maka pesan yang disampaikan juga bersifat umum, jadi dapat menjangakau banyak orang dan bukan hanya kalangan tertentu saja. Pada dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi satu arah seperti halnya pidato atau orasi yang dikemukakan kepada khalayak banyak. Namun yang membuat perbedaan serta karakteristik disini adalah komunikasi

Transcript of LANDASAN TEORI Teori Umum a. - library.binus.ac.id · gambaran dan citra realitas sosial. ... jika...

12

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Umum

2.1.1 Teori Komunikasi Massa

a. Pengertian

Pada masa sekarang ini, dengan semakin majunya perkembangan

teknologi serta pertambahan populasi manusia yang semakin besar dan banyak.

Penyebaran informasi dan proses komunikasi telah menjadi suatu hal yang

sentral dan bahkan menjadi kebutuhan dasar manusia. Setiap hari manusia haus

akan informasi mengenai apa yang terjadi di dunia. Dan untuk itu maka

dibutuhkanlah suatu media sebagai penyambung pesan antara komunikator

yakni berupa pihal-pihak atau institusi tertentu kepada masyarakat.

Proses komunikasi ini disebut sebagai komunikasi massa, yakni jika

diartikan secara sederhana adalah proses penyampaian pesan (informasi) melalui

media massa yang ditujukan kepada khalayak ramai yang sifatnya heterogen

dan global. Sehingga dikarenakan audiens atau penerima pesan dari komunikasi

massa ini bersifat heterogen, maka pesan yang disampaikan juga bersifat umum,

jadi dapat menjangakau banyak orang dan bukan hanya kalangan tertentu saja.

Pada dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi satu arah

seperti halnya pidato atau orasi yang dikemukakan kepada khalayak banyak.

Namun yang membuat perbedaan serta karakteristik disini adalah komunikasi

13

massa dalam proses pengkomunikasiannya menggunakan suatu medium (media

massa) – baik media cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi,

dan film), sekarang bahkan sudah ada media cyber / online yakni internet.

Komunikasi massa relative memakan biaya yang lebih mahal karena

kompleksnya peralatan yang dibutuhkan untuk membiayai medianya. Selain itu

biasanya media massa dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang

delembagakan, dan ditujukan kepada sejumlah besar otang yang tersebar di

banyak tempat, anonym, dan heterogen.6 Adapun secara sederhana fungsi

komunikasi massa sendiri adalah;

1. To inform (menginformasikan)

2. To entertaint (memberi hiburan)

3. To educate (mendidik)

4. To persuade (membujuk)

5. transmission of the culture (transmisi budaya)

Menurut McQuail terdapat beberapa asumsi pokok yang menyangkut

akan arti penting media massa7 beberapa asumsi tersebut adalah:

1. Media merupakan asumsi yang berkembang dan kerap kali mengalami

perubahan. Media juga telah berkembang menjadi suatu industri sendiri yang

memiliki peraturan serta norma-norma yang menghubungkan institusi

tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya.

6 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung : Rosda, 2008), hlm.

83. 7 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 35.

14

2. Media massa merupakan alat control, manajemen, dan inovasi dalam

masyarakat.

3. Media massa merupakan sarana untuk menampilkan pristiwa-peristiwa

dalam masyarakat.

4. Media kerap kali berperan sebagai penunjang pengembang kebudayaan. Dan

tidak hanya pengembangan bentuk seni dan symbol, tetapi juga dalam

pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma.

5. Media telah menjadi sumber dominan bagi masyarakat untuk memperoleh

gambaran dan citra realitas sosial.

b. Ciri-ciri Komunikasi Massa

Adapun jika disimpulkan dari penjelasan pada sub-bab sebelumnya, dapat

diuraikan bahwa komunikasi massa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

- Komunikator dalam komunikasi massa melembaga

- Komunikan dalam media massa bersifat heterogen

- Pesannya bersifat umum

- Komunikasinya berlangsung satu arah

- Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis

- Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper

Dari ciri-ciri diatas dapat kita simpulkan bahwa tidak semua komunikasi satu

arah yang dilakukan di khalayak ramai dapat dikategorikan sebagai komunikasi

massa.

15

c. Dimensi Komunikasi Massa

Dalam analisis media massa dikenal adanya dua jenis dimensi

komunikasi), yaitu8:

- Dimensi pertama

Dimensi yang memandang dari sisi media kepada masyarakat luas beserta

institusi-institusinya. Pandangan ini menggambarkan keterkaitan media

dengan berbagai institusi lain seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan,

agama, seni, dan sebagainya. Teori-teori yang menjelaskan keterkaitan

tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat dan

terjadinya saling mempengaruhi antara berbagai struktur kemasyarakatan

dengan media. Pendekatan ini merupaka dimensi makro dari teori

komunikasi massa.

- Dimensi kedua

Dimensi ini melihat kepada hubungan antara media dengan audiens, baik

secara kelompok maupun individual. Teori-teori mengenai hubungan antar

media dan audiens, terutama menekankan pada individu-individu dan

kelompok sebagai hasil interaksi dengan media. Pendekatan ini disebut

sebagai dimensi mikro dari teori komunikasi massa.

8 Syaiful Rohim, Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 161.

16

d. Pengaruh Media Massa

Komunikasi massa harus bisa menjelaskan berbagai fenomena yang

berkaitan erat dengan aktivitas manusia. Karena itu media massa merupakan alat

utama dalam komunikasi massa. Media massa berperan penting dalam proses

komunikasi massa dan berpengaruh dalam membangun opini rakyat. Hal ini

serupa dengan pendapat McDevitt yang menyatakan bahwa;

“Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Dan Lindsey yang berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat”9 Contoh sederhana dari pengaruh media massa ini adalah misalnya ketika

ada pemberitaan mengenai bencana kelaparan di Afrika, secara emosional tanpa

disadari audiens telah dipengaruhi. Mereka yang menyaksikan pemberitaan

tersebut kerap kali merasa iba dan terenyuh melihat kondisi anak-anak Afrika

yang menderita kekurangan gizi, padahal audiens tidak menyaksikan kejadian

tersebut secara langsung melainkan melalui media televisi atau mungkin koran.

Berdasarkan hal tersebut dapat kita lihat bahwa media seringkali

dimanfaatkan sebagai media pencitraan. Lembaga-lembaga atau oknum-oknum

tertentu bahkan memanfaatkan kekuatan media yang satu ini untuk

menampilkan image atau sosok mereka yang berbeda untuk dikenal oleh

masyarakat. Seperti misalnya pada masa kampanye untuk pemilihan umum,

banyak kita dapati tokoh-tokoh masyarakta yang ikut serta sebagai calon

9 Sumber: http://bengkeljurnalistik.wordpress.com/2007/05/02/media-massa; 08.34; 20

Maret 2012.

17

presiden melakukan berbagai wawancara ekslusif di televisi. Padahal mungkin

jika tidak sedang dalam rangka pemilu, jarang untuk melihat penampilan tokoh

tersebut di televisi secara eksklusif. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan

bahwa komunikasi massa dipengaruh dan mempengaruhi lingkungan sosial

masyarakat.

2.1.2. Film

a. Pengertian

Berdasarkan undang-undang perfilman tahun 2009 disebutkan bahwa

film merupakan karya seni budaya yang termasuk pranata sosial dan media

komunikasi massa yang dibuat berdasarkan ketentuan sinematografi dengan atau

tanpa suara dan dapat dipertunjukan (dipertontonkan kepada khalayak banyak).

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa film memiliki 3 makna,

yaitu: 1) film sebagai karya seni dan budaya; 2) film sebagai pranata sosial; dan

3) film sebagai media komunikasi massa. Film yang dimaksudkan dalam

undang-undang itu adalah film yang berupa cerita dan non-cerita.

Film cerita adalah semua jenis film yang mengandung cerita termasuk

film eksperimental dan animasi yang pada umumnya bersifat fiksi (rekaan).

Sedangkan film non-cerita adalah film yang berisi penyampaian informasi,

termasuk film animasi, film iklan (film yang memuat materi iklan), film

18

eksperimental (abstrak), film seni, film pendidikan, dan film documenter

(nyata).10

Sebenarnya film mempunyai banyak pengertian yang dapat dijelaskan

secara lebih mendalam. Film merupakan salah satu media komunikasi massa

yang menggabungkan antara aspek audio dan visua, meskipun pada awalnya

film sendiri tidak mengandung unsure audio (film bisu). Sekilas sama seperti

televisi, namun yang menjadi perbedaan antara film dan televisi adalah, televisi

cenderung menyampaikan banyak pesan sekaligus kepada audiens, baik melalui

program yang mereka sajikan maupun iklan yang mereka tayangkan.

Film sendiri lebih terfokus kepada satu inti atau tema sebuah cerita, yang

baik secara tersirat maupun tersurat mencerminkan realita sosial yang terjadi di

sekitar lingkungan tempat film itu diciptakan. Bahkan dalam film fiksi ilmiah

atau kartun animasi, tetap ada nilai-nilai yang berasal dari realita yang

dimasukan. Hanya saja banyak sedikit porsinya, berbeda-beda di setiap film.

b. Asas Film

Film kini sudah menjadi sebuah industri besar, yang mengutamakan pada

eksistensi para bintangnya serta daya tarik ceritanya sendiri yang mampu

menarik perhatian banyak orang. Dan meskipun sama seperti buku dan sinetron

yang juga menyajikan cerita, film memiliki nilai esensi serta asasnya sendiri,

yakni:

10 Anwar Arifin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 2011), hlm. 155.

19

1. Asas Industri

Jika dilihat dari sisi industrial film mempunyai asas industri, karena pada

dasarnya meskipun film diproduksi untuk menyampaikan suatu pesan atau

cerita tertentu, namun ada juga harapan agar dapat mencetak suatu

kesuksesan dalam bentuk nilai material. Lagipula terkadang apabila kita jeli

dalam menyaksikan sebuah film, secara tersirat akan nampak produk-produk

sponsor tertentu yang ditampilkan secara sepintas di film, hal ini dikenal

dengan istilah ‘build in’.

2. Asas Sinematografi

Asas lain juga yang ada dalam film yang membedakan film dengan cerita

lain adalah asas sinematografi. Asas sinematografi sendiri merupakan asas

yang identik dengan film, karena asas ini sangat berkaitan dengan

pembuatan film. Asas sinematografi sendiri memiliki acuan berdasarkan

scenario dan bersangkutan dengan bagaimana tata letak kamera dan

pengambilan gambar dalam film, tata artistik, serta peraturan pembuatan

film lainnya

c. Unsur Pembentukan Film

Dalam film terdapat dua unsur utama, yakni; Unsur Naratif dan Unsur

Semantik.11 Unsur naratif adalah materi atau bahan olahan. Dalam film cerita

yang dimaksud dengan unsur naratif itu adalah penceritaannya, mencacakup

11 Bambang Supriadi, Unsur-unsur Pembentuk Film, (Jakarta: IKJ, 2010)

20

unsure intrinsik film seperti: latar, alur, penokohan, naskah, dan jalan cerita.

Sementara yang dimaksud dengan unsur sinematik adalah cara atau dengan gaya

seperti apa bahan olahan itu digarap. Unsur Sinematik sendiri terdiri dari

beberapa aspek :

- Mise en scene atau secara sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu

yang berada di depan kamera (artistic, tata cahaya, kostum, pergerakan

aktor)

- Sinematografi (Pengambilan gambar)

- Editing

- Suara

d. Genre Film

Genre film adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk

menggolaongkan film pada criteria-kriteria tertentu. Namun sebenarnya todak

ada peraturan yang baku atau tertulis sebagai kriteria untuk menggolongkan

genre film. Semuanya itu berdasarkan pendapat penonton, dan sedangkan

pendapat penonton itu kadang labil dan berubah-ubah. Maka dari itu genre dari

suatu film pun sebenarnya dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan

penonton. Namun demikian tetap saja suatu film digolongkan kedalam genre

tertentu untuk membantu penonton dalam mengetahui gambaran umung tentang

film apa yang akan dia saksikan. Tidak ada kategori tertentu yang dapat dipakai

untuk membuat definisi dan batasan genre film secara memuaskan. Hal itu

pulalah yang membuat Yvone Tasker berpendapat bahwa genre pada dasarnya

21

adalah suatu kategori yang selalu berubah dan batasan-batasan kemurnian yang

umum tidak dapat dibuat dalam suatu konteks industry yang selalu berkembang

yang pada gilirannya mempengaruhi bentuk-bentuk narasi popular.12

Menurut Haider genre film Indonesia berbeda dengan genre film

Hollywood. Genre dalam film Indonesia didefinisikan sebagai jenis film yang

dapat dikenali melalui standardisasi latar, periode waktu, alur, dan ada atau

tidaknya unsur kekerasan atau seksualitas dan supernatural. Genre film

Indonesia biasanya digolongkan menjadi: genre legenda, genre kompeni, genre

jaman jepang, genre perjuangan, genre sentimental dan genre horror.13

Sedangkan film Hollywood cenderung memiliki genre thriller, drama, action,

sci-fi, horror, dan komedi. Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan

genre suatu film, yakni:

1. Formula

Setiap genre sudah memiliki formula atau pakem sendiri yang satu sama lain

tidak memiliki kesamaan, dan kalaupun ada paling hanya sedikit saja.

2. Kritikus film

Sebuah film yang dianggap bagus oleh kritikus film akan dianggap memiliki

banyak elemen yang memungkinkan dikelompokan ke dalam genre

kombinasi yang kompleks. Sebaliknya jika film itu kurang bagus, film

tersebut hanya akan memiliki satu genre.

3. Unsur Cerita

12 Ida Rochani Adi, Mitos di Balik Film Laga Amerika, (Yogyakarta: UGM Press,

2008), hlm. 63. 13 Ibid. hlm. 61

22

Menentukan genre berdasarkan unsur cerita merupakan proses penentuan

genre yang sederhana. Biasanya unsure cerita yang dipakai adalah tokoh.

Misalnya apabila ada tokoh dari cerita yang berupa alien atau makhluk asing,

genre film tersebut diasumsikan sebagai film sci-fi. Meskipun demikian

kadang hal ini kurang akurat karena sebenarnya seluruh elemen harus

diperhatikan.

4. Sekuel dan Pengulangan

Penciptaan genre sebuah film juga berhubunga erat dengan pengulangan.

Ketika sebuah film pernah mengalami sukses besar, ada kecenderungan

untuk membuat film yang serupa. Jika pengulangan itu sangat kuat sehingga

formulanya mudah dikenali, maka pengulangan tersebut telah menciptakan

sub-genre dan bahkan genre film tersendiri.

e. Kajian Film Laga

Action atau laga adalah salah satu genre umum yang ada dalam

pembagian kategori genre film. Film laga identik denggan adegan yang sarat

dengan perkelahian dan konflik yang menampilkan aksi yang menarik. Yang

dimaksudkan dengan aksi disini adalah adegan perkelahian ful-body contact

ataupun yang menggunakan persenjataan cangggih. Suatu film digolongkan

sebagai film laga apabila mayoritas adegan yang ditampilkan di film

menampilkan adegan aksi laga antara pemeran utama protagonist dengan

antagonis.

23

Intinya disini adalah alur utama film laga / action adalah pertarungan

antara kebaikan dan kejahatan. Formula ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang

baru karena pada abad pertengahan bentuk-bentuk cerita seperti ini telah

menjadi tradisi dalam karya sastra pada masa itu. Ketika menjalankan misinya,

biasanya sosok pahlawan (hero) dalam film laga harus memiliki motif tertentu,

misalnya menjaga perdamaian dunia, menyelesaikan permasalah tertentu, atau

mungkin motif pribadi seperti balas dendam atau menyelamatkan seseorang

yang berarti. Settingan tempat untuk film laga juga biasanya adalah tempat-

tempat yang dramatis, dan bukan sekedar ruangan biasanya, bisa berupa alam

terbuka, gedung-gedung pencakar langit, atau mungkin lingkungan kumuh.

Pokoknya merupakan tempat-tempat dramatis yang tidak biasa.

f. Film Action (Laga) Amerika

Karena dalam skripsi ini akan membahas mengenai film Amerika maka

akan dijelaskan mengenai film Amerika. Film action di Amerika mulai

berkembang sejak tahum 1980-an dan 1990-an. Dan meskipun banyak ditonton

oleh perempuan, sebenarnya target audiens dari film laga ana adalah penonton

laki-laki yang berusia antara 13 – 30 tahun. Hal ini bisa dilihat dari kebanyakan

tokoh utama dalam film laga adalah pria. Namun di masa sekarang juga bisa kita

jumpai tokoh utama wanita, contohnya pada film “Tomb Rider”, “Wanted”, dan

“Cat Women”.

Film laga pada umumnya mudah ditebak, dimana pada akhir cerita kita

semua tahu bahwa kebaikan pasti menang melawan kejahatan. Dan pihak yang

24

jahat biasanya akan menerima ganjarannya di akhir film. Tentunya hal ini

membuat film laga menjadi tontonan yang membosankan bagi penonton jika

formula yang sama berulang-ulang kali ditawaekan. Oleh karena itu film laga

biasanya dikombinasikan dengan genre yang lain seperti drama, thriller, sci-fi,

dan sebagainya, agar film laga dapat dikemas menjadi suatu tontonan yang

menarik. Di Amerika sendiri terdapat banyak kombinasi film laga dengan genre

film lain.

2.1.3. Teori Konstruksi Sosial Media Massa

Gagasan teori ini adalah untuk mengoreksi teori konstruksi sosial atas

realitas yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann seperti

yang dijabarkan dalam buku Burhan Bungin yang berjudul Sosiologi

Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di

Masyarrakat . Substansi dari teori konstruksi sosial Berger dan Luckman adalah

pada proses stimultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dan aktifitas

kehidupan sehari-hari dalam komunitas primer dan semi sekunder. Dasar dari

teori ini adalah dari pengamatan yang dilakukan pada tahun 1960-an pada masa

transisi-era-modern di Amerika, dimana pada saat itu media massa belum begitu

terkenal dan menjadi suatu industri yang besar dan berpengaruh.

Kemudian seiring dengan perkembangan jaman dan media massa

menjadi sangat substantive dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan

internalisasi, teori konstriksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman ini

kemudian direvisi dan dikenal sebagai ‘teori konstruksi sosial media massa’.

25

Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media

massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran

kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi.14

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan

ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan

semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi : prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media

massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat

berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media,

menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi

berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua

kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.

4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun

penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk

terlibat dalam pembetukan konstruksi.

Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran

individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki

makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh

individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu

mengkostruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas,

14 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, ( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 188-189

26

memantapkan realitas itu berdasarkan suyektivitas individu lain dalam institusi

sosialnya.15

2.1.3.1. Representasi Melalui Media

a. Pengertian

Menurut Graeme Burton (2012) kata representasi merujuk kepada

penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang

penampilan di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang

dikonstruksi dibaliknya. Jadi, representasi itu menyangkut pada proses

pembuatan makna. Melalui media massa kita diberikan representasi tentang

dunia dan bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia. Adakalanya

representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu sehingga tanpa disadari bentuk-

bentuk representasi tersebut dianggap sebagai suatu ‘kebenaran’ dalam realitas.

Jika digambarkan hubungannya akan menjadi seperti ini:

REPRESENTASI Penampilan Perilaku MAKNA Mitos-mitos Kekuasaan

Gambar 2.1 Representasi dikaitkan dengan makna

15 Ibid, hlm. 189.

27

Berdasarkan gambar diatas, dapat kita lihat bahawa representasi

diwujudkan dalam bentuk penampilan dan perilaku yang mengandung suatu

makna tertentu. Adapun makna dari representasi tersebut berkaitan dengan

mitos-mitos ataupun motif kekuasaan.

b. Sudut Pandang

Representasi dalam media visual dikonstruksikan dari sudut pandang

tertentu. Menurut Burton (2012) sudut pandang ini memiliki 2 makna;

1. Sudut pandang yang merujuk pada pandangan harafiah, yaitu sudut pandang

yang digambarkan dalam media. Misalnya dalam suatu frame gambar, baik

itu foto maupun film, sudut pandang yang tinggi pada suatu jarak objek

memiliki efek berupa menjauhkan kita dari objek tersebut, sehingga

menjadikan kita sebagai pengamt objek dan bukannya subjek partisipan.

2. Pemahaman lainnya tentang sudut pandang berkaitan dengan pandangan

intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi media.

Stuart Hall mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap representasi yang

dapat diringkas sebagai berikut16:

1. Reflektif: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi

yang entah di mana ‘di luar sana’ dalam masyarakat sosial kita.

2. Intensional; yang menaruh perhatian terhadap pandangan creator / produser

representasi tersebut.

16 Greame Burton, Media dan Budaya Populer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), hlm. 141

28

3. Konstruksionis: yang menaruh perhatian terhadap bagaimana representasi

dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual.

Adapun dalam menginterpretasikan suatu representasi tertentu

memungkin adanya interpretasi yang beragam dan tidak menutup kemungkinan

bahwa representasi tersebut akan saling berseberangan.17

c. Pandangan Representasi

Terdapat dua pandangan yang cukup menonjol tentang bagaimana

media bekerja dengan representasi yakni; determinisme dan fungsionalisme.

Untuk penjelasannya dapat kita lihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Pandangan tentang bagaimana media bekerja dengan representasi

Pandangan REPRESENTASI

Realitas Sosial

DETERMINISME

Pengkonstruksian

pandangan tentang apa yang

terjadi di luar sana

FUNGSIONALISME Merefleksikan pandangan

apa yang terjadi di luar sana

17 Akun, Surga Dalam Nimesis: Representasi Surga Dalam Cerpen ‘Sang Pendeta dan

Kekasihnya’ Karya yukio Mishima, Jurnal Humaniora, vol. 1, no.2, Oktober 2010, hlm. 400.

29

Berdasarkan penjelasan dari tabel dapat kita lihat bahwa representasi

dalam media sendiri terdiri atas dua konsep, yang pertama jika dilihat

berdasarkan pandangan determinisme, representasi berupa gambaran akan realita

yang dikonstrukikan atau diatur. Sedangkan yang kedua, yaitu pandangan

fungsionalisme, representasi yang merefleksikan apa yang terjadi dalam realita

sosial sesungguhnya

2.2. Teori Khusus

2.2.1. Pemahaman Amerika Sebagai Negara Adikuasa

a. Pengertian Adikuasa atau ‘Superpower’.

Negara adikuasa atau negara didaya yang dalam bahasa inggris disebut

dengan istilah ‘superpower’. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata

kuasa memiliki pengertian; (1) Kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat

sesuatu); (2) Kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah,

mewakili, mengurus, dsb). Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa kuasa

itu sendiri merupakan suatu posisi ‘istimewa’ karena memiliki kewenangan

untuk mengatur bahkan memerintah sesuatu, namun demikian kewenangan

tersebut tidak serta-merta muncul begitu saja, tapi juga disertai dengan

kesanggupan dan kemampuan untuk mengemban kewenangan itu sendiri.

30

Seperti apa yang dikatakan oleh John Rothgeb18: ‘‘power is found only

when members of the international system interact with one another”,

maksudnya disini adalah kekuasaan ditemukan hanya ketika anggota dari sistem

internasional berinteraksi satu sama lain. Jadi kekuasaan itu sendiri didapatkan

ketika terjadi adanya interaksi yang terjadi secara internasional. Dengan adanya

interaksi tersebut, tentunya pihak yang memiliki kapabilitas lebih tinggi akan

dapat menyatakan dirinya secara terbuka dan mendapatkan pandangan atau

‘pengakuan’ dari pihak lain.

Konsep adikuasa pertama kali menyebar yakni pada masa perang dingin.

Konsep ini dikemukakan oleh sarjanawan Amerika William T. R. Fox dalam

bukunya yang terbit pada tahun 1944. Adapun Fox tidak menemukan konsep ini

seorang diri, terlebih dulu pada tahun 1936 kata adikuasa ini telah digunakan

oleh seorang Amerika juga yang bernama John Dos Passos. Dos Passos

mengartributkan konteks adikuasa kepada seorang pengusaha Amerika yang

sangat berkuasa di sekitar akhir abad ke-19 memasuki awal abad ke-20. Dos

Passos meggunakan kata adikuasa untuk mendeskripsikin kerajaan bisnis

pengusaha tersebut yang berbasis pada monopoli usaha gas dan listrik.

Meskipun tidak menemukan konteks adikuasa itu sendiri, bagaimanapun

William Fox dapat diklaim sebagai orang yang pertama kali menerapkan konsep

adikuasa tersebut secara spesifik untuk relasi internasional.

18 Ken Aldred & Martin A. Smith, Superpowers in the Post-Cold War Era, (Great

Britain: 1999, MacMillan Press Ltd.), hlm. 1.

31

Menurut Fox, adikuasa internasional lebih dari sekedar kepemilikan

suatu negara terhadap artibut kekuasaan: militer, ekonomi, politik, dan ideologi.

Status adikuasa, dengan kata lain, diperoleh bukan hanya berdasarkan apa yang

dimiliki oleh suatu negara, tetapi apa yang telah dilakukan atau telah

dipersiapkan untuk dilakukan. Fox kemudian menambahkan; kekuatan besar

ditambah dengan mobilitas kekuatan yang besar, itulah yang menggambarkan

‘superpower’.

b. Unsur Negara Adikuasa

Seperti apa yang telah apa dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa kekuatan suatu negara dapat dilihat dari tiga unsure, yakni: ekonomi,

militer, dan politik. Dari ketiga unsur tersebut Hans J. Morgenthau dalam

bukunya Politics Amoung Nations menyebutkan lagi secara sperifik bahwa

kekuatan negara memiliki sembilan unsur, yaitu: (1) Geografi; (2) Sumber

pendapatan alami untuk makanan dan bahan mentah; (3) Kemampuan industri;

(4) Military preparedness seperti teknologi, kepemimpinan, kualitas, dan

kuantitas angkatan perang, (5) populasi yang terdiri dari persebaran dan

kualitasnya, (6) karakter nasional; (7) moral nasional; (8) kualitas diplomasi; dan

(9) kualitas pemerintahan.19

19 Sumber: http://newzeanando.wordpree.com/2008/06/12/potensi-selandia-baru-

sebagai-negara-adikuasa; 3.47; 28 Mei 2012.

32

c. Amerika Sebagai Adikuasa

Cikal bakal Amerika muncul sebagai negara adikuasa berawal ketika

masa perang dunia II. Ketika itu terdapat dua negara adikuasa yang muncul

sebagai negara pemenang perang yang berhasil mengalahkan blok fasis (Jepang,

Jerman, dan Italia), yakni Amerika dan Uni Soviet. Kedua negara ini memiliki

pandangan yang berbeda secara ideologis, Amerika Serikat yang berideologi

kapitalis-liberal dengan Uni Soviet yang berideologi sosialis-komunis. Kedua

negara itupun kemudian bersitegang dan berkompetisi secara politik dan militer

Akibatnya dunia terpecah menjadi dau antara blok barat (Amerika Serikat) dan

blok timur (Uni Soviet). Inilah yang menyebabkan adanya perang dingin. Baru

kemudian pada tahun 1991 Uni Soviet terpecah dan banyak negara-negara yang

tergabung dengannya memerdekan diri, membuat Amerika Serikat yang masih

bertahan keluar sebagai pemenang perang dan tetap memikul predikat sebagai

negara adikuasa.

Sejak saat itu Amerika menjadi satu-satunya negara adikuasa yang

melibatkan diri di begitu banyak peristiwa internasional. Baik untuk misi

perdamaian, maupun misi-misi kemanusiaan, dan hak asasi, serta kegiatan

internasional lainnya

Pada masa sekarang ini meskipun telah terjadi begitu banyak

perkembangan dunia baik dari segi ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan

sebagainya, banyak negara-negara yang tadinya berkembang kini muncul

sebagai competitor Amerika. Salah satu negara yang nampak mencolok

pertumbuhannya adalah Cina. Cina bahkan disebut-sebut sebagai calaon negara

33

adikuasa berikutnya. Namun setelah sekian lama memegang predikat negara

adikuasa, Amerika terlihat masih tetap bisa bertahan. Meskipun tidak diketahui

sampai berapa lama lagi.

2.2.2. Semiotika

Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, ‘semeion’ yang berarti tanda,

atau ‘seme’ yang berarti penafsir tanda.20 Secara sederhana semiotik dapat

diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkajii tanda. Sampai

sekarang kajian semiotik dibedakan menjadi dua, yakni semiotika komunikasi

dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan kepada teori tentang

produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor

dalam berkomunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan,

saluran komunikasi, dan acuan. Sedangkan yang kedua memberikan tekanan

pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu21. Berikut

adalah rumusan istilah semiotik:

S ( s, i, e, r, c )

S = Semiotic Relation (hubungan semiotik)

s = Sign (tanda)

i = Interpreter (penafsir)

e = Effect (pengaruh)

20 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 16.

21 Ibid, hlm. 15.

34

r = Reference (rujukan)

c = Context (konteks)

Berdasarkan rumusan diatas dapat diartikan bahwa relasi atau hubungan

semiotika dari suatu subjek tertentu harus melihat atau mempertimbangkan

tanda, tafsiran atau makna, efek atau kira-kira pengaruh apa yang ditimbulkan,

rujukan atau referensi atau landasan penafsiran suatu makna dan pengaruhnya,

yang berdasarkan konteks tertentu (diciptakan atau dikonstruksikan). Secara

garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik

pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan

semiotik semantik (semiotic semantic).

1. Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)

Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda

menurut yang menerapkan tanda tersebut dan bagi yang

menginterpretasikannya, serta makna atau efek tanda tersebut bagi yang

menginterpretasikan makna tanda terebut.

2. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)

Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan

‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotic. Jadi

semiotik ini mengabaikan perngaruh atau tidak memperhatikan dampak yang

dialami oleh subyek yang menginterpretasikan tanda tersebut.

35

3. Semiotik Semantik (semiotic semantic)

Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan

‘arti’ yang disampaikan oleh tanda itu sendiri. Sehingga semiotik ini bersefat

objektif jika dibandingkan dengan dua kategori semiotik lainnya yang telah

dijabarkan sebelumnya.

2.2.2.1. Teori Semiotika Roland Barthes

Ada sederet nama tokoh dan pakar yang telah menyumbangkan pikiran

mereka dalam meneliti dan menghasilkan perkembangan teori semiotika, sebut

saja Charles Sanders Pierce, Louse Hjemslev, Saussure, dan masih banyak lagi

nama-nama lainnya. Namun pada skripsi ini, penulis hanya akan menjelaskan

dan menjabarkan mengenai teori semiotik menurut Roland Barthes. Sebab untuk

penyusunan skripsi ini, penulis akan menggunakan teori semiotik Roland

Barthes sebagai landasan teori untuk mengkaji dan menganalisa permasalahan

dalam skripsi ini, yang berkaitan tentang representasi Amerika sebagai negara

adikuasa dalam film Transformers: Revenge of The Fallen. Adapun teori Roland

Barthes yang dipakai karena dirasa teori ini sesuai dan mendukung penulis untuk

melakukan kajian ini.

Meskipun pada awalnya semiotika diterapkan kepada ilmu linguistic

modern, yakni ilmu yang mempelajari tentang bahasa baik tulis maupun lisan,

tapi menurut Roland Barthes, semiotika juga dapat digunakan sebagai

pendekatan untuk mempelajari ‘other than language’. Dalam konteks inilah

Barthes akhirnya menyeyogiakan, bahwa dalam mempelajari semiotika

36

hendaknya jangan berhenti hanya pada bahasa semata, melainkan semiotika

harus menjadi ‘general science of sign’ (Sunardi: 2007). Adapun berdasarkan

pernyataan Barthes tersebut maka dapat dikatakan bahwa unit analisa semiotik

sendiri mencakup: literature, film, iklan, majalah, koran, tv/radio, yang sarat

dengan tanda dan pemaknaan.

a. Denotasi dan Konotasi

Dalam teorinya Roland Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2

tingkatan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi menjelaskan tentang

hubungan penanda dan petanda terhadap realitas, dan menghasilkan makna

eksplisit atau makna sebenarnya yang langsung dan pasti. Sedangkan konotasi

menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya mengandung

makna yang tersirat atau tidak langsung.

Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah

Protestan di Cherboug dan dibesarkan di Bayonne, barat daya Perancis, adalah

seorang intelektual dan dikenal sebagai kritikus sasstra Perancis, sehingga dapat

dikatakan pengembangan teori semiotikanya banyak diaplikasikan untuk

melakukan kajian sastra. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah

sistem tanda yang mencerminkanasumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu

dalam wantu tertentu.

Roland Barthes sendiri adalah seorang pemikir struturalis yang getol

mempraktekan model liguistik dan semiologi Saussarean, maka dari itu teori

semiotik Barthes ini merupakan pengembangan dari teori semiotika Ferdinand

37

De Saussure. Teori yang dikemukan Saussure cenderung mengemukakan

tentang cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat

dalam menentukan suatu makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa

kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda berdesarkan

interpretasi orang yang berada dalam situasi yang berbeda. Pemikiran inilah

yang kemudian dikemukakan oleh Roland Barthes dengan menekankan interaksi

antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi

antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami personal dan cultural

orang yang menginterpretasikannya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order

of Signification”, yang mencakup denotasi (makna sesuai kamus) dan konotasi

(makna ganda yang timbul dari pengalama cultural dan personal). Inilah yang

menjadi perbedaan Saussure dan Barthes.

Sepanjang hidupnya Barthes telah menulis banyak buku, berikut adalah

beberapa buku karangannya yang membahas mengenai pandangannya dalam

bidang semiotika; pada tahun 1964 ia menerbitkan buku berjudul Elements of

Semiology (Unsur Semiologi), dalam bukunya ini ia menjabarkan tentang

prinsip-prinsip linguistic dan relevansinya dalam bidang-bidang lain, kemudian

pada tahung 1967 terbit bukunya yang berjudul The Fashion System (Sistem

Mode), buku ini merupakan suatu uji coba untuk merapkan analisa structural

atas mode pakaian wanita. Barthes menunjukan bahwa dibalik mode pakaian

wanita terdapat suatu sistem. Ia menyelidiki artikel-artikel tentang mode dalam

majalah dari tahun 1958 – 1959. Dari situ ia menafsirkan bahwa mode

merupakan suatu ‘bahasa’ dan ada sesuatu yang ingin ‘dibicarakan’ oleh suatu

38

mode tertentu terhadap apa yang tengah terjadi saat itu. Dari sini kemudian

orang-orang mulai mengembangkan teori Roland Barthes untuk dipakai dalam

kajian semiotika dalam berbagai bidang, salah satunya perfilman.

Terdapat lima kode yang ditinjau oleh Barthes dalam kajian semiotiknya,

yakni22:

- Kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan audiens untuk

mendapatkan ‘kebenaran’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode

teka-teki merupakan unsure struktur yang utama dalam narasi tradisional.

- Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, yang timbul atau

dibangun oleh audiens dalam proses menyusun teks atau informasi yang

dijabarkan.

- Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas karena

menampilkan symbol-simbol tertentu untuk merepresentasikan suatu hal

yang khas.

- Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan, menurut Barthes semua lakuan

dapat dikodifikasi dan memiliki makna tertentu.

- Kode gnomik atau kode cultural, kode ini merupakan acuan teks ke

benda0benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi terhadap suatu budaya

tertentu

Tujuan dari analisis Barthes ini menurut Lechte23, bukan hanya untuk

membangun sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun

22 Ibid, hlm. 65. 23 Ibid, hlm. 66.

39

lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian

yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk

buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata.

Salah satu hal penting yang dikaji oleh Barthes dalam studinya mengenai

sistem tanda ini adalah peran pembaca atau audiens. Dikatakan bahwa konotasi

membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Ia kemudian

menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.

Berikut ini gambar peta yang dibuat oleh Barhes untuk menjelaskan

bagaimana suatu tanda bekerja, berdasarkan pemahaman teori yang

dikemukakannya:

2. Signified (petanda)

2. Signified (petanda)

3. Denotative sign (tanda denotative)

4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)

5. Connotatif Signified (Petanda Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Gambar 2.2. Peta Tanda Roland Barthes

40

Dari peta diatas dapat dilihat tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1)

dan petanda (2). Namun demikian pada saat yang bersamaan tanda denotative

juga adalah penanda konotatif (4). Hal inilah yang menjadi sumbangan Barthes

dalam kajian semiotik, dimana makna konotasi tidak sekedar merupakan makna

tambahan (lain) tapi juga mengandung makna denotasi yang melandasi

keberadaannya. Jadi pada dasarnya pengertian makna denotasi dan konotasi

secara umum agak berbeda dengan pemahaman Barthes. Jika menurut

pandangan umum denotasi merupakan makna harafiah atau makna sebenarnya

sedang konotasi merupakan makna tersirat, menurut anggapan Barthes denotasi

sendiri merupakan proses signifikasi tahap pertama, dan konotasi adalah

signifikasi tahap kedua. Sehingga oleh Barthes denotasi diasosiasikan dengan

ketertutupan makna, mungkin ini dikarenakan orang cenderung berhenti pada

tahap signifikasi pertama tanpa mau repot-repot memikirkan makna konotasi

tertentu dibalik suatu tanda.

b. Mitos

Dalam kajain semiotik ini, Barthes juga melihat aspek lain yang ada

dalam proses signifikasi tanda, yakni ‘mitos’ yang menandai suatu masyarakat.

Menurut Barthes, mitos terjadi pada tingkat kedua sistem penandaan, jadi

setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi

penanda baru yang kemudian memiliki peranda kedua dan membentuk tanda

baru. Jadi intinya adalah tanda yang memiliki makna konotasi kemudian

41

berkembang jadi denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.24

Contohnya; pohon beringin yang lebat kerap menimbulkan konotasi ‘keramat’

karena dianggap sebagai hunian makhluk halus. Konotasi keramat ini lalu

berkembang dan menjadi asumsi umum dan melekat pada symbol pohon

beringin. Sehingga image pohon beringin itu keramat bukan lagi suatu konotasi

tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tahap dua. Pada tahap ini, pohon

beringin yang keramat akhirnya menjadi suatu mitos. , sehingga pohon beringin

yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi

pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat”

akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

2.2.2.2. Semiotika Film

Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis

semiotika. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh van Zoest (Sobur,

2009:128), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda itu termasuk

berbagai sitem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang

diharapkan. Ini tentunya berbeda dengan gambar fotografi yang statis, rangkaian

gambar dalam film cenderung mengasilkan imajinasi yang sarat dengan

penandaan. Van Zoest menjelaskan:

Di sini tentunya harus dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gambar (kata-kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya) dan music film yang mengiringiny. Suara tipe pertama sebenarnya secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan

24 Sumber: http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html; 01.28; 5 Mei 2012

42

gambar-gambarnya. Suara, sama seperti gambar, merupakan unsure dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan, dan dianalisis, dengan cara yang juga sebanding. Suara, sebagai tanda, terjalin sangat erat hubungannya dengan tanda gambar. Suara bersama tanda gambar membuat tanda-tanda yang kompleks. Tanda-tanda kompleks ini memang ikonis, tapi kekuatan keberadaannya pada akhirnya diperoleh dari indeksikalitas. Karena realitas yang ditampilkan seluruhnya atau sebagian, tidak hanya mirip, tapi juga memiliki keterkaitan dengan realitas kita.25 Oleh karena itu menurut Alex Sobur dalam bukunya yang berjudul

Semiotika Komunikasi, gambar yang dinamis dalam film merupakan ikoniis

bagi realitas yang dinotasikannya. Sobur juga mengatakan bahwa film pada

umumnya dibangun dengan banyak tanda. Film juga pada dasarnya melibatkan

bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengodekan pesan yang

sedang disampaikan. Metafora visual seringkali menyinggung objek-objek dan

simbol-dimbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial budaya.

Jadi dalam mengkaji tanda-tanda dalam film melalui kajian semiotika,

kita dapat menelaah lebih jau makna suatu film lebih daripada jalan ceritanya.

Dalam film kita dapat melihat aspek-aspek idelogi, kultur, nilai-nilai, ataupun

fenomena yang terjadi dalam realita. Seringkali tanda-tanda dalam film ini

menjadi agak bias dikarenakan pengemasan film yang sangat mendukung,

sehingga fokus penonton sering kali tertuju kepada jalan cerita film tersebut

daripada makna-makan yang tergambar dibalik simbol-simbol yang ditampilkan

dalam sepanjang pemutaran film.

Simbol-simbol inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun

realitas dalam film yang meskipun bertolak dari relita dunia nyata, namun

25 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 129

43

dipilah-pilah sedemikianrupa sehingga menjadi realitas film tersendiri,

disesuaikan dengan tujuan pembuatan film tersebut. Perhatikan tabel berikut:

Tabel 2.2 Tanda Dalam Film

Objek Konkarya Karya

Entitas Visual / Tulisan Visual / Tulisan Tulisan

Fungsi

Elemen tanda yang

mempresentasikan

objek atau pesan

yang difilmkan

Elemen tanda yang

memeberikan (atau

diberikan) konkarya

dan makna pada

objek yang difilmkan

Tanda linguistik

yang berfungsi

memperjelas dan

memberikan

makna (anchoring)

Elemen Signifier / Signified Signifier / Signified Signified

Tanda Tanda semiotik Tanda semiotik Tanda li nguistik

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa film seutuhnya terdiri dari tanda-

tanda yang didasarkan pada ketiga elemen diatas: Objek (objek yang difilmkan),

Konkarya (konteks atau dasar ruang film), dan Karya (berupa tulisan untuk

memperkuat makna). Ketiga hal itu saling berkaitan dalam membangun sebuah

film menjadi suatu jalinan yang utuh, meskipun yang terakhir tidak selalu ada.

Jadi bisa dikatakan yang membangun sistem tanda secara dominan dalam film

adalah objek dan konkarya.

Berdasarkan unsure pembentukan film, khususnya unsure naratif yang telah

dijelaskan pada sub-bab teori film, penulis menyimpulkan bahwa untuk menganalisa

semiotika film dapat dilihat dari unsur:

44

a. Setting

• Ruang atau tempat gambar diambil,

• Kegiatan yang dilakukan oleh pemain,

• Simbol-simbol yang ditonjolkan,

• Fungsi serta maknanya

b. Casting

• Karakter pemain,

c. Captions

• Peggunaan bahasa dalam dialog maupun

• Voice over dan

• Visualisasi yang ditonjolkan dalam film tersebut

Dalam penerapannya dewasa ini, semiotik Roland Barthes memang

kerap kali digunakan oleh peneliti dalam menganalisa iklan dan film, salah

satunya adalah penelitian tentang film ‘Biola Tak Berdawai” produksi Kalyana

Shira Film (bekerjasama dengan Cinekom) tahun 2002, yang dilakukan oleh

Aditia Sonyaruri Hapsari (2005). Pada penelitian ini Hapsari menggunakan

analisis semiotik Roland Barthes untuk meneliti lambang-lambang yang terdapat

dalam film tersebut. Hapsari memperoleh kesan ini sarat dengan pesan-pesan

moral, terutama cinta-kasih dengan konteks yang bervariasi.

Selain nilai cinta-kasih, film berdurasi 90 menit ini juga membawa pesan moral

lain, yakni ketegaran dan kejujuran. Hal demikian ditunjukan lewat tokoh

Renjani yang walaupun sebenarnya ia seorang perempuan korban pemerkosaan

45

dan melakukan aborsi, tetap tegar menjalani hidup dengan tindakan terpuji,

yakni mendirikan panti asuhan yang menampung anak-anak cacat yang dibuang

oleh orang tuanya

2.3. Kerangka Berpikir

Film Transformers Revenge of The Fallen

Representasi Adikuasa

Film Frame Dialog

Teori Semiotik

Analisa Semiotika Roland Barthes

Denotasi Konotasi Mitos

Representasi Amerika sebagai Negara Adikuasa Dalam Film Transformers Revenge of The Fallen

Gambar 2.3. Kerangka Berpikir