eprints.umpo.ac.ideprints.umpo.ac.id/2051/1/Jurnal_Florence (Penyakit DHF).pdfeprints.umpo.ac.id
lapas 1-dhf
-
Upload
nerhis-sydney-wisaka -
Category
Documents
-
view
239 -
download
1
description
Transcript of lapas 1-dhf
IDENTITAS
• Nama : Tn. MA
• Usia : 14 tahun
• Jenis kelamin : laki-laki
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Pelajar
• Alamat : sukaresmi –Cianjur
• Masuk RS : 18 Oktober 2013
ANAMNESIS
• Keluhan utama
Demam sejak 2 minggu sebelum masuk RS
• Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh demam sejak 2 minggu sebelum masuk RS. Demam
naik turun, terutama meningkat saat sore menjelang malam hari. Demam disertai
menggigil, Pasien tidak mengukur suhunya. Keluhan disertai dengan mual tetapi
muntah disangkal. Keluhan juga disertai dengan nyeri pada uluhati.
Bintik-bintik merah ditubuh disangkal, keluar darah dari hidung disangkal. Gusi
berdarah disangkal. Keluhan juga disertai dengan batuk tidak berdahak sejak 5 hari
SMRS. Pusing, agak nyeri di sekitar mata . Keringat malam, penurunan berat badan
pilek, sesak, dan nyeri dada disangkal.
Nafsu makan pasien menurun disertai mual tanpa muntah, BAB cair
disertai ampas, berwarna kuning tidak disertai lendir dan darah sejak 10 hari SMRS.
BAK tidak ada keluhan
• Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya.
• Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini, Hipertensi (-), DM (-), TB(-)
• Riwayat psikososial
Pasien sering jajan sembarangan. Sering jajan bakso dan gorengan di pinggir
jalan, suka makan pedas-pedas. Merokok , minum minuman beralkohol, obat2 terlarang
disangkal.
• Riwayat pengobatan
Pasien minum obat warung untuk demamnya, tetapi demam timbul kembali
PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan Umum : OS tampak sakit sedang
• Kesadaran : Composmentis
• Tanda vital
▫ Tekanan darah : 100/80 mmHg
▫ Nadi : 100x/menit
▫ Pernapasan : 20 x/menit
▫ Suhu : 39,30C
STATUS GENERALISATA
• Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah rontok
• Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)
• Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-), epistaksis (-)
• Mulut : mukosa bibir kering, lidah kotor (-)
• Leher :Pembesaran kelenjar tiroid (-), Pembesaran ,KGB (-), JVP
normal
• Thorax
▫ Paru
Inspeksi : Normochest,, retraksi suprasternal(-), retraksi ICS
(+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal fremitus kanan=kiri
Perkusi : Batas paru-hepar setinggi ICS 5 dan 6
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi kering (+/+),
▫ Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4
Perkusi : batas kanan jantung linea sternalis dextra
batas kiri jantung linea midclavikula sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen
Inspeksi : Abdomen cembung,
Auskultasi : Bising usus
Palpasi : NT epigastrium(+)
,hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : Timpani pada 4 quadran abdomen
• Ekstremitas : Atas Bawah
Sianosis -/- -/-
Akral hangat hangat
Edema -/- -/-
RCT <2 dtk <2 dtk
DAFTAR MASALAH
• Demam 2 minggu
• Mual
• Nyeri ulu hati
• Pusing
• Nyeri preorbita
• Nafsu makan pasien menurun
• BAB cair
• batuk tidak berdahak 5 hari
• trombositopeni
FOLLOW UP
Demam Tifoid
Definisi
Demam tifoid ialah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica ,
khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi. Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh
dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.
Epidemiologi
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 tahun 1962 tentang
wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.
Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan,
namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum
diketahui secara pasti.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering
bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari
satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularannya biasanya tidak dapat
ditemukan. Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan
yang lebih sering adalah pasien carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109
sampai 1011 kuman per gram tinja.
Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang
tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah
nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi
kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.
typhi berada didalam batu empedu atau dalam dinding kandung empedu yang
mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun.
Etiologi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi
B dan S. paratyphi C.
Patogenesis
Penularan kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi terjadi melalui
makanan dan minuman yang tercemar yang tertelan melalui mulut. Sebagian kuman,
oleh asam lambung, dimusnahkan dalam lambung. Kuman yang dapat melewati
lambung selanjutnya masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respons imunitas humoral mukosa ( IgA ) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel ( terutama sel-M ) dan selanjutnya ke lamina propia. Dilamina
propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam
makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah ( mengakibatkan bakteremia pertama yang
asimptomatik ) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk lagi ke dalam
sirkulasi darah dan mengakibatkan bakteremia kedua dengan tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu. Sebagian dari kuman ini
dikeluarkan melalui feses dan sebagian lainnya menembus usus lagi. Proses yang
sama kemudian terjadi lagi, tetapi dalam hal ini makrofag telah teraktivasi. Kuman
salmonella di dalam makrofag yang sudah teraktivasi ini akan merangsang makrofag
menjadi hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator ( sitokin ) yang selanjutkan akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Sepsis dan
syok septik dapat terjadi pada stadium ini.
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan, S.typhi di dalam makrofag dapat merangsang reaksi hipersensitivitas tipe
lambat yang dapat menimbulkan hiperplasia dan nekrosis organ.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah plague
peyeri yang mengalami hiperplasia dan nekrosis atau akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan
gangguan organ lainnya.
Diagnosa
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari tidak terdiagnosis
hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian.
Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif, lidah yang berselaput ( kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor ),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor,
koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang indonesia.
Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1 derajat celcius tidak diikuti dengan
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal terjadi
suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat infeksi oleh
S.typhi, pasien membuat antibodi ( aglutinin ) yaitu :
1. Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O ( berasal dari tubuh
kuman )
2. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H ( berasal dari flagela kuman )
3. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi ( berasal dari simapi kuman )
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar kemungkinan menderita demam tifoid.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian
diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12
bulan. Oleh karena itu uji widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal :
1. Faktor yang berhubungan dengan penderita :
a. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid
b. Gangguan pembentukan antibodi
c. Saat pengambilan darah
d. Daerah endemik atau non-endemik
e. Riwayat vaksinasi
f. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
2. Faktor teknik :
a. Akibat aglutinasi silang
b. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
c. Teknik pemeriksaan antar laboratorium
Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal :
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.
2. Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah ), bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu
( oxgall ) untuk pertumbuhan kuman.
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien. Antibodi ( agluinin ) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, di mana pada saat itu
aglutinin semakin meningkat.
Tatalaksana
Pengobatan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :
1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan
2. Diet dan terapi penunjang ( simptomatik dan suportif ), dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal
3. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman.
A. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali di jaga kebersihan tempat
tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap
perlu diperhatikan dan dijaga.
B. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan
akan menjadi lama.
C. Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah :
a. Kloramfenikol
b. Tiamfenikol
c. Ampisilin dan amoksisilin
d. Kotrimoksazol
e. Sefalosporin generasi ke 3
f. Golongan fluorokuinolon
Kloramfenikol
Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak di
anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri.
Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,
akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg,
demam rata-rata menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6.
Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/KgBB dan digunakan
selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi ke 3
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif untuk demam
tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
Golongan fluorokuinolon
1. Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
2. Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
3. Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
4. Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
5. Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang hari ke 4. Hasil
penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan
fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang
dikembangkan kemudian.
Kombinasi obat antimikroba
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara
lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana pernah terbukti
ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella.
Kepekaan salmonella terhadap antibiotik :
1. Ampisilin , amoksisilin, sulfametoksazol, trimetoprin kepekaannya 95,12 %
2. Sisanya seperti kloramfenikol kepekaannya 100 %
Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
Komplikasi
1. Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis
2. Komplikasi ekstraintestinal :
a. Kardiovaskular : Kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, dan
tromboflebitis
b. Darah : Anemia hemolitik, trombositopenia, KID
c. Paru : Pneumonia, empiema, pleuritis
d. Hepatobilier : hepatitis , kolesistitis
e. Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, spondilitis, artritis
f. Neuropsikiatrik / tifoid toksik
Perdarahan intestinal
Pada plague peyeri usus yang terinfeksi ( terutama ileum terminalis )
dapat terbentuk tukak / luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka
terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka
perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka perdarahan juga dapat terjadi
karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar
25 % penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Tetapi perdarahan yang hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Bila transfusi yang diberikan dapat
mengimbangi perdarahan yang terjadi biasanya perdarahan ini merupakan suatu
proses yang self limiting, maka tindakan pembedahannya tidak diperlukan.
Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3 % dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid
dengan perorasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran
kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50 % penderita dan pekak hati
terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-
tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan
dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada
rongga peritoneum, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan
terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
Penatalaksanaan
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman
S.typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik
pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas denga kombinasi
kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan
gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta
penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat
diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. Sebaiknya
sebelum dilakukan tindakan pembedahan maka keadaan umum penderita
diperbaiki dahulu.
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/KgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas
normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32 %
bahkan ada yang melaporkan sampai 80 %.
Hematologik
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia,
peningkatan protrombin time, peningkatan partial tromboplastin time,
peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular
diseminata ( KID ) dapat ditemukan pada kebanyakan penderita.
Trombositopenia saja sering dijumpai pada penderita demam tifoid. Hal ini
mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang
selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem
retikuloendotelia. Obat-obatan juga memegang peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belum jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik,
koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamin
menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi, oleh karena itu
KID dapat bermanifestasi secara klinis atau hanya sekedar penemuan hasil
laboratorium.
Tanda-tanda perdarahan akibat KID :
1. Perdarahan > 3 hari, berlangsung lebih hebat dan berwarna lebih segar
2. Adanya petekie, ekimosis, hematoma, dan darah yang meleleh pada tempat
infus
3. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia, fibrinogen,
plasma menurun, FDP meningkat.
Bila terjadi KID, dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan
atau faktor-faktor koagulasi. Ada yang mengatakan bahwa heparin kurang
bermanfaat pada demam tifoid.
Manifestasi hepatobilier
Hepatitis tifosa dan pankreatitis tifosa
Manifestasi kardiovaskular
Manifestasi neurospikiatrik / tifoid toksik
Pencegahan
Preventif dan kontrol penularan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid :
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun
karier
3. Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi
Vaksinasi
Indikasi vaksinasi :
1. Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid semakin
tinggi untuk daerah berkembang ( amerika latin, asia, afrika )
2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
3. Petugas laboratorium / mikrobiologi kesehatan
Jenis vaksin :
1. Vaksin oral Ty21a ( vivotif Berna ), belum beredar di indonesia
2. Vaksin parenteral VICPS ( Typhim Vi / Pasteur Merieux ), vaksin kapsul
polisakarida
Kontraindikasi :
1. Orang yang memiliki alergi
2. Orang yang memiliki imunitas yang rendah
Efeksamping :
1. Vaksin oral Ty21a : demam ( 0-5% ) dan sakit kepala ( 0-5% )
2. Vaksin parenteral ViCPS : demam ( 0,25% ), malaise ( 0,5% ), sakit kepala
( 1,5% ), rush ( 5% ), nyeri lokal ( 17% ).
Efektivitas :
Serokonversi ( peningkatan titer antibodi 4 kali ) setelah vaksinasi dengan ViCPS
terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari – 3 minggu dan 90 % bertahan selama 3
tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik ( Nepal ) dan sebesar
60% untuk daerah hiperendemik.
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian
pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.