LAPORAN ANALGETIKA.docx

20
ANALGETIKA I. Tujuan Praktikum: 1. Mahasiswa mampu mengenal beberapa metode pengujian analgetika dan menerapkannya. 2. Mahasiswa dapat mengenal penggolongan dari analgetika dan obat-obat analgetika. 3. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat grafik respon time vs waktu pengamatan pada metode stimulasi panas. 4. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat tabel dan grafik jumlah geliatan vs waktu pengamatan pada metode siegmund. II. Dasar Teori Analgesik Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu gejalanya karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya. Untuk setiap orang ambang nyerinya konstan. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45 o C (Tjay & Rahardja, 2007). Obat analgetik atau biasa disebut obat penghilang atau setidaknya mengurangi rasa nyeri yang hebat pada tubuh seperti patah tulang dan penyakit kanker kronis. 1

Transcript of LAPORAN ANALGETIKA.docx

Page 1: LAPORAN ANALGETIKA.docx

ANALGETIKA

I. Tujuan Praktikum:

1. Mahasiswa mampu mengenal beberapa metode pengujian analgetika dan

menerapkannya.

2. Mahasiswa dapat mengenal penggolongan dari analgetika dan obat-obat analgetika.

3. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat

grafik respon time vs waktu pengamatan pada metode stimulasi panas.

4. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat

tabel dan grafik jumlah geliatan vs waktu pengamatan pada metode siegmund.

II. Dasar Teori

Analgesik

Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya,

namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi

merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah

satu gejalanya karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk

mengendalikannya. Untuk setiap orang ambang nyerinya konstan. Batas nyeri untuk suhu

adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay & Rahardja, 2007).

Obat analgetik atau biasa disebut obat penghilang atau setidaknya mengurangi rasa

nyeri yang hebat pada tubuh seperti patah tulang dan penyakit kanker kronis.

Obat analgesik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi nyeri

tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat analgesik bekerja

dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga mempengaruhi

persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai ambang nyeri naik) atau

mengubah persepsi modalitas nyeri.

Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi

rasa sakit atau nyeri (diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan

mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu

pelepasan mediator nyeri seperti brodikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi

reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak) yang secara umum dapat dibagi dalam

dua golongan, yaitu analgetika non narkotik (seperti: asetosat, parasetamol) dan analgetika

narkotik (seperti : morfin).

1

Page 2: LAPORAN ANALGETIKA.docx

Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan

dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasa nyeri

merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya

dan jaringan khususnya. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat

menimbulkan ketergantungan pada pemakai untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit

atau nyeri tersebut maka banyak digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam

mefenamat dan antalgin) yang bekerja dengan memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga

reseptor nyeri tidak menerima rangsang nyeri.

Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum yaitu

meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri.

Namun, analgetika bekerja tanpa menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat

rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas

rangsangan terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri (Tjay,

2002).

Analgetika yang bekerja perifer atau kecil memiliki kerja antipiretik dan juga

komponen kerja antiflogistika dengan pengecualian turunan asetilanilida (Anonim, 2005).

Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer (parasetamol, asetosal, mefenamat

atau aminofenazon). Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein dan kodein. Nyeri yang

disertai pembengkakan sebaiknya diobati dengan suatu analgetikum antiradang

(aminofenazon, mefenaminat dan nifluminat). Nyeri yang hebat perlu ditanggulangi dengan

morfin. Obat terakhir yang disebut dapat menimbulkan ketagihan dan menimbulkan efek

samping sentral yang merugikan (Tjay, 2002).

Kombinasi dari 2 analgetik sangat sering digunakan karena terjadi efek potensial

misalnya kofein dan kodein khususnya dalam sediaan parasetamol dan asetosal.

Berdasarkan kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:

1. Obat Analgetik Narkotik

Obat Analgetik Narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium atau

morfin. Analgetika narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti

pada fractura dan kanker. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang

lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri

yang hebat. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan

ketergantungan pada pemakai.

2

Page 3: LAPORAN ANALGETIKA.docx

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium

atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan

rasa nyeri. Tetap semua analgesic opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan, maka usaha

untuk mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan

mendapatkan analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Ada 3 golongan

obat ini yaitu :

- Obat yang berasal dari opium-morfin,

- Senyawa semisintetik morfin, dan

- Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

Mekanisme kerja: menduduki reseptor opioid (agonis opioid), bertindak seperti opioid

endogen. Yang termasuk opioid endongen adalah: endorfin dan enkephalin.

Efek dari opioid:

- Respiratory paralisis: hati-hati dalam penggunaan karena dapat menyebabkan kematian

karena respirasi dapat tertekan.

- Menginduksi pusat muntah (emesis).

- Supresi pusat batuk (antitusif): kodein

- Menurunkan motilitas GI tract: sebagai obat antidiare, yaitu loperamid.

- Meningkatkan efek miosis pada mata .

- Menimbulkan reaksi alergi: urtikaria (jarang terjadi).

- Mempengaruhi mood.

- Menimbulkan ketergantungan: karena reseptor dapat berkembang.

Hal penting dari opioid:

- Dapat diberikan berbagai rute obat: oral, injeksi, inhalasi, dermal.

- Antagonis morfin (misalnya nalokson dan naltrekson): digunakan apabila terjadi keracunan

morfin.

- Rawan penyalahgunaan, sehingga regulatory obat diatur.

Obat selain morfin:

- Meperidin dan petidin: struktur berbeda dengan morfin, diperoleh dari sintetik.

- Methadon: potensi analgesik mirip dengan morfin, tetapi sedikit menginduksi euforia.

- Fentanil: struktur mirip meperidin, efek analgesik 100x morfin, diberikan jika memerlukan

anastesi kerja cepat, dan digunakan secara parenteral.

- Heroin: merupakan turunan morfin, diperoleh dari proses diasetilasi morfin, potensi 3x

morfin, bukan merupakan obat, sering terjadi penyalahgunaan.

3

Page 4: LAPORAN ANALGETIKA.docx

Asam karboksilat

Asam enolat

Asam asetat

Derivat asam salisilat

Derivat asam propionat

Derivat asam fenamat

Derivat pirazoion Derivat oksikam

. Aspirin

. Benorilat

. Diflunisal

. salsalat

. Asam tiaprofenat

. Fenbufen

. Fenoprofen

. Flubiprofen

. Ibuprofen

. Ketoprofen

. Naproksen

. Asam mefenamat

. Meklofenamat

. Azapropazon

. Fenilbutazon

. Oksifenbutazon

. Piroksikam

. Tenoksikam

Derivat asam fenilasetat. Diklofenak. Fenklofenak

Derivat asam asetat- inden/indol. Indometasin. Sulindak. Tolmetin

Obat AINS

- Kodein: efek analgesik ringan, berfungsi sebagai antitusif.

- Oksikodon, propoksiten

- Buprenorfin: parsial agonis, mempunyai efek seperti morfin tetapi efek ketergantungannya

kurang, sering digunakan untuk penderita kecanduan morfin.

- Tramadol: analgesik sentral dan efek depresi pernapasan kurang.

2. Obat Analgesik Non-Narkotik

Obat analgesik antipiretik serta obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS) merupakan

suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia.

Berikut adalah pembagian obat-obat AINS :

Mekanisme kerja :

Menghambat enzim siklooksigenase, sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2

terganggu, khusus paracetamol, hambatan biosintesis PG (Prostaglandin) hanya terjadi bila

lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Aspirin sendiri menghambat

dengan mengasitelasi gugus aktif serin dari enzim ini.

4

Page 5: LAPORAN ANALGETIKA.docx

Gangguan pada membrane sel

Fosfolipid

Asam arakidonat

Enzim fosfolipaseDihambat kortokosteroid

Hidroperoksid

leukotrin

Endoperoksid PGG2 / PGH

PGE2,PGF2,PGD2Tromboksan A2

Protasiklin

Enzim lipoksigenaseEnzim siklooksigenase

Biosintesis Prostaglandin

Gambar 2.2. biosintesis prostaglandin

Keterangan

5

Trauma / luka pada sel (stimulus)

Page 6: LAPORAN ANALGETIKA.docx

Leukotrin : berperan dalam migrasi leukosit

Tromboksan : untuk agregasi trombosit, vasokontriksi, dan menyebabkan pembekuan darah

Protasiklin : vasodilatasi pembuluh darah.

Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatkan

permeabilitas permukaan kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan. Gejala proses inflamasi

yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, tumor, dolor, dan function laesa. Selama

berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara local

antara lain histamin, 5-Hidroksitriptamin (5HT), factor kemotaktik, bradikinin, leukotrein,

dan PG. penelitian terakhir menunjukkan autakoid lipid PAF juga merupakan mediator

inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan

lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap

mediator-mediator kimiawi tersebut, kecuali PG.

Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan protasiklin (PGI2) dalam

jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah local.

Histamine dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, tetapi efek

vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi histamine plasma

dan bradikin menjadi lebuh jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek

penting dalam proses inflamasi. PG sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari

asam arakidonat yakni leukotrien B4 merupak zat kemotaktik yang sangat poten. Obat mirip

aspirin tidak menghambat system hiposigenase yang menghasilkan leukotrien sehigga

golongan obat ini tidak menekan migrasi sel walaupun demikian pada dosis tinggi terlihat

juga penghambatan migrasi sel tanpa mempengaruhi enzim lipoksigenase.

Rasa nyeri. Pada peradangan disebabkan oleh brandikinin yang dilepaskan oleh

kinogen sitoplasma da sitokin. PG juga dapat menyebabkan sensitasi reseptor nyeri terhadap

rangsang mekanik dan kimiawi.

Demam. Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas.

Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus melalui suatu thermostat. Demam dapat

terjadi akibat infeksi, kerusakan jaringan, keganasan, dan lain-lain. Saat demam, thermostat

diatur pada suhu yang lebih tinggi. Obat AINS menghambat sintesis PGE2, mengembalikan

keseimbangan thermostat ke arah normal.

6

Page 7: LAPORAN ANALGETIKA.docx

Kodein

Berbeda dengan morfin, keefektifan kodein oral sekitar 60% pemberian

parenteralnya, baik sebagai analgesik maupun sebagai depresan pernapasan. Kodein, sama

seperti levorfanol, oksikodon dan metadon, memiliki perbandingan potensi oral tehadap

parenteral yang tinggi. Efikasi oral obat-obat ini yang lebih tinggi disebabkan oleh

metabolisme lintas pertama di hati yang lebih kecil. Begitu diabsorpsi, kodein dimetabolisme

oleh hati, dan metabolitnya diekskresi terutamaa di urin, sebagian besar dalam bentuk tidak

aktif. Sebagian kecil (sekitar 10%) kodein yang diberikan mengalami O-demetilasi

membentuk morfin, dan baik morfin bebas maupun morfin yang terkonjugasi dapat

ditemukan di urin setelah pemberian kodein dosis terapeutik. Kodein memiliki afinitas yang

luar biasa rendah untuk reseptor opioid, dan efek analgesik kodein disebabkan oleh

konversinya menjadi morfin. Akan tetapi, kerja antitusifnya mungkin melibatkan reseptor

khusus yang mengikat kodein sendiri. Waktu paruh kodein dalam plasma adalah 2-4 jam.

Konversi kodein menjadi morfin dipengaruhi oleh enzim sitokrom P450 CYP2D6.

Polimorfisme genetik pada CYP2D6 yang telah terkarakterisasi dengan baik menyebabkan

ketidakmampuan untuk mengkonversi kodein menjadi morfin, sehingga menjadikan kodein

tidak efektif sebagai analgesik pada sekitar 10% dari populasi Kaukasia. Polimorfisme lain

dapat menyebabkan peningkatan metabolisme sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap

efek kodein. Jadi, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan polimorfisme enzim

metabolik pada setiap pasien yang tidak memperoleh analgesia yang memadai dari kodein

atau tidak memberikan suatu respons yang memadai terhadap prodrug lain yang diberikan.

Struktur Kimia Codein.

Antalgin

Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetik) turunan NSAID, atau

Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Umumnya, obat-obatan analgetik adalah golongan

7

Page 8: LAPORAN ANALGETIKA.docx

obat antiinflamasi (antipembengkakan), dan beberapa jenis obat golongan ini memiliki pula

sifat antipiretik (penurun panas), sehingga dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik.

Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan analgetik ringan. Contoh obat yang berada di

golongan ini adalah parasetamol. Tetapi Antalgin lebih banyak sifat analgetiknya.

Komposisi Metamhampyron (+klordiazepoksida). Cara kerja Antalgin adalah derivat

metansulfonat dari Amidopirina yang bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu mengurangi

sensitivitas reseptor rasa nyeri dan mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh. Tiga efek

utama adalah sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Antalgin mudah larut dalam

air dan mudah diabsorpsi ke dalam jaringan tubuh

NN

ON

H3C

CH3Na+-

O2S

CH3

. H2O

Rumus Struktur Kimia Metampiron (C13H16N3NaO4S.H20)

III. Obat dan Hewan Coba.

Hewan percobaan :

- Tikus jantan galur wistar (metode plantar test)

- Mencit jantan galur swiss Webster (metode writing test) untuk demo

Obat yang digunakan :

- Larutan antalgin 50% : dosis 250 mg, 500 mg / 70 Kg BB

- Larutan kodein fosfat 0,2% : dosis 15 mg, 30 mg / 70 Kg BB

Bahan induksi nyeri metode Writhing test : larutan asam asetat 0,60%, dosis 10 ml / Kg BB,

rute: i.p.

Alat yang digunakan :

- Alat suntik 1 ml - Basile Plantar Test

- Jarum suntik - Timbangan

Perhitungan dan Pengenceran Dosis :

Kodein 30 mg / 70 Kg BB

0,018 x 30 mg = 0,54 / 200 g tikus

0,54 mg x 1 ml = 0,27 ml / 200 g tikus

8

Page 9: LAPORAN ANALGETIKA.docx

2 mg

225 g x 0,27 = 0,30375 ml / 225 g tikus

200 g

Antalgin 500 mg / 70 Kg BB

500 mg x 0,018 = 9 mg

9 mg x 1 ml = 0,018

500 mg

0,054 = 0,018 = ad 0,15

0,05

Ambil 0,05 ml ad 0,15 ml disuntikkan 0,054 ml

Kodein : 15 mg / 70 Kg BB = 0,2 % = 2 mg / ml Berat tikus: 225 g

Konversi dosis = 15 mg x 0,018

= 0,27 mg / 200 g BB 225 mg x 0,27 mg = 0,9 mg / 225 g BB

200 mg

Volume pemberian = 0,3 x 1 ml = 0,15 ml

2

Antalgin 250 mg 250 mg x 0,018 = 4,5 mg / 200 g bobot tikus

4,5 mg = x mg

200 mg 220 g

x = 4,95 mg

4,95 mg x 1 ml = 0,0099 ml

500 mg / ml

Pengenceran

0,0099 ml x 0,5 ml = 0,099 ml ~ 0,1 ml

0,05 ml

0,05 ml ad aquadest 0,5 ml disuntikkan 0,099 ml

9

Page 10: LAPORAN ANALGETIKA.docx

IV. Skema Kerja Praktikum

Letakkan tikus pada basile plantar test, untuk beradaptasi selama 5 menit, catat waktu tikus sampai tikus mengangkat dan menjilat kaki depan, sebagai respon normal atau respon sebelum perlakuan.

Ambil tikus dari basile plantar test dan berikan obat-obat secara intraperitoneal.

Letakkan tikus pada basile plantar test lagi, biarkan selama 5 menit, untuk memberikan mula kerja obat, lakukan uji pada tikus dan catat waktu responnya pada menit ke 15, 30, 45, 60 menit setelah pemberian obat pada kaki kanan dan kiri.

V. Hasil Praktikum

Kelompok Tikus Respon time menit ke-15’ 30’ 45’ 60’

ka ki Rata2 ka ki Rata2 ka ki Rata2 ka ki Rata2Normal 1 6,6 5,2 5,9 6,8 7,3 7,05 5,7 7,2 6,45 2,9 3 2,95

Antalgin 250 mg/70 KgBB

2 4 2,8 3,4 4 2,5 3,75 3 3,5 3,25 3,7 2,9 3,3

10

Page 11: LAPORAN ANALGETIKA.docx

Antalgin 500 mg/70 KgBB

3 2,3 2,9 2,6 2,2 1,3 1,75 1,3 2,8 2,05 2,2 2,6 2,4

Kodein 15 mg/70 KgBB

4 2,3 3,8 3,05 2 2,2 2,1 1,4 1,4 1,4 3,1 2,9 3

Kodein 30 mg/70 KgBB

5 4,1 2,6 3,35 1 3,7 2,35 3,6 2,2 2,9 2,2 4,5 3,35

normal Antalgin 250 mg/70 KgBB

Antalgin 500 mg/70 KgBB

Kodein 15 mg/70 KgBB

Kodein 30 mg/70 KgBB

0

1

2

3

4

5

6

7

8

15 menit30 menit45 menit60 menit

Gambar 1.

Grafik respon vs waktu pengamatan.

11

Page 12: LAPORAN ANALGETIKA.docx

VI. Foto Pengamatan

VII. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan, tikus yang disuntikkan dengan antalgin 250 mg / 70

Kg BB, kemudian uji analgesic tikus di dalam basile plantar test, menunjukkan hasil respon

tikus jika dibandingkan dengan control negative, respon tikus yang disuntikkan antalgin 250

mg, responnya sudah menurun dari pada control negative, respon itu bisa dilihat saat tikus

mengangkat dan menjilat kaki depan, jadi antalgin dengan dosis 250 mg / 70 Kg BB, dapat

berkhasiat sebagai analgesic.

Tikus yang disuntikkan antalgin dengan dosis 500 mg / 70 Kg BB, kemudian di uji

dalam basile plantar test untuk menghitung respon pada tikus, respon tikus jika dibandingkan

dengan control negative, menunjukkan respon yang menurun pada tikus yang disuntikkan

antalgin 500 mg, sedangkan jika antalgin 500 mg ini dibandingkan dengan antalgin 250 mg,

12

Page 13: LAPORAN ANALGETIKA.docx

efek analgesiknya lebih kuat analgesic dengan dosis 500 mg, karena respon tikus lebih sedikit

dari pada respon tikus yang disuntikkan antalgin dengan dosis 250 mg, respon tikus bisa

dilihat seperti mengangkat dan menjilat kaki depan.

Tikus yang disuntikkan dengan kodein 15 mg / 70 KgBB, kemudian di uji dalam

basile plantar test untuk menghitung respon pada tikus, menunjukkan respon tikus yang

menurun jika dibandingkan dengan control negative, itu menunjukkan kodein dengan dosis

15 mg memberikan efek analgesic, respon tikus itu bisa dilihat seperti saat tikus mengangkat

dan menjilat kaki depannya. Tetapi pada tikus yang disuntikkan dengan kodein 15 mg,

menunjukkan efek samping, seperti mengantuk, tikus uji sempat tertidur setelah disuntikkan

kodein 15 mg.

Tikus yang disuntikkan dengan kodein 30 mg / 70 KgBB, kemudian di uji dalam

Basile plantar test, respon yang terjadi jika dibandingkan dengan control negative, respon

tikus yang disuntikkan kodein 30 mg menunjukkan respon yang menurun. Itu menunjukkan

kodein 30 mg mempunyai efek analgesic, dan memiliki efek samping mengantuk, karena

tikus sempat tertidur setelah disuntikkan kodein 30 mg. Tetapi efek analgesic kodein 30 mg

dengan kodein 15 mg, efek analgesic kodein 15 mg lebih kuat pada saat pengujian,

seharusnya efek analgesic kodein 30 mg yang lebih kuat, karena dosisnya lebih besar, itu

mungkin karena saat disuntikkan kodein 30 mg, tikus tidak langsung di uji, dan pada saat itu

efek kodeinnya sudah agak hilang sedikit.

VIII. Kesimpulan

Antalgin dengan dosis 250 mg dan 500 mg / Kg BB, memiliki efek analgesic,

sedangkan kodein dengan dosis 15 mg dan 30 mg / Kg BB, juga memiliki efek analgesic

tetapi memiliki efek samping mengantuk.

Komentar: saat praktikum tikus mengalami stress, seperti tikusnya tidak bisa tenang

dan sering mengeluarkan suara, itu menunjukkan tikus merasa tidak nyaman, sehingga

tikusnya sangat sulit untuk disuntikkan, sebaiknya perawatan tikus lebih ditingkatkan lagi,

seperti menaruh tikus di kandang yang layak, karena pada saat praktikum tikus ada di dalam

wadah yang sempit dan dalam wadah terdapat banyak tikus, sehingga tikus merasa tidak

nyaman dan berdesak-desakan, itu juga dapat memicu stress pada saat pengujian atau

praktikum.

13

Page 14: LAPORAN ANALGETIKA.docx

IX. Daftar Pustaka

- Goodman & Gilman.Dasar farmakologi terapi.Edisi 10.Volume 1. Jakarta: EGC, 2007;

h.553,573-4, 666, 682-3, 691.

- Freddy P. Wilmana. 1995. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi Non Steroid

dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi

FKUI.

- Tjay, T. H. & K. Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. PT. Elex Media Komputindo,

Jakarta.

- Katzung, B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika, Jakarta.

- Puspitasari, H., S. Listyawati, T. Widiyani, 2003, Aktfitas analgesic umbi teki (Cyperus

rotundus L.), Biofarmasi, 1 (2), 52-53.

- Soewandhi, S. N., A. Haryana, 2007, Pengaruh milling terhadap laju disolusi campuran

metampiron-fenilbutason (7:3), Majalah Ilmu Kefarmasian, IV (2), 74.

- Sujono, T. A., R. Hayunintyas, Purwantiningsih, Efek analgesic ekstrak etanol daun

mindi (Melia azedarach L.), pada mencit putih jantan galur swiss, Pharmacon, 2, 1, 14.

14