LAPORAN ANALGETIKA.docx
-
Upload
arya-mahardika -
Category
Documents
-
view
417 -
download
13
Transcript of LAPORAN ANALGETIKA.docx
ANALGETIKA
I. Tujuan Praktikum:
1. Mahasiswa mampu mengenal beberapa metode pengujian analgetika dan
menerapkannya.
2. Mahasiswa dapat mengenal penggolongan dari analgetika dan obat-obat analgetika.
3. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat
grafik respon time vs waktu pengamatan pada metode stimulasi panas.
4. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat
tabel dan grafik jumlah geliatan vs waktu pengamatan pada metode siegmund.
II. Dasar Teori
Analgesik
Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya,
namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi
merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah
satu gejalanya karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk
mengendalikannya. Untuk setiap orang ambang nyerinya konstan. Batas nyeri untuk suhu
adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay & Rahardja, 2007).
Obat analgetik atau biasa disebut obat penghilang atau setidaknya mengurangi rasa
nyeri yang hebat pada tubuh seperti patah tulang dan penyakit kanker kronis.
Obat analgesik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi nyeri
tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat analgesik bekerja
dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga mempengaruhi
persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai ambang nyeri naik) atau
mengubah persepsi modalitas nyeri.
Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri (diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan
mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu
pelepasan mediator nyeri seperti brodikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi
reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak) yang secara umum dapat dibagi dalam
dua golongan, yaitu analgetika non narkotik (seperti: asetosat, parasetamol) dan analgetika
narkotik (seperti : morfin).
1
Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan
dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasa nyeri
merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya
dan jaringan khususnya. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat
menimbulkan ketergantungan pada pemakai untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit
atau nyeri tersebut maka banyak digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam
mefenamat dan antalgin) yang bekerja dengan memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga
reseptor nyeri tidak menerima rangsang nyeri.
Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum yaitu
meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri.
Namun, analgetika bekerja tanpa menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat
rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas
rangsangan terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri (Tjay,
2002).
Analgetika yang bekerja perifer atau kecil memiliki kerja antipiretik dan juga
komponen kerja antiflogistika dengan pengecualian turunan asetilanilida (Anonim, 2005).
Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer (parasetamol, asetosal, mefenamat
atau aminofenazon). Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein dan kodein. Nyeri yang
disertai pembengkakan sebaiknya diobati dengan suatu analgetikum antiradang
(aminofenazon, mefenaminat dan nifluminat). Nyeri yang hebat perlu ditanggulangi dengan
morfin. Obat terakhir yang disebut dapat menimbulkan ketagihan dan menimbulkan efek
samping sentral yang merugikan (Tjay, 2002).
Kombinasi dari 2 analgetik sangat sering digunakan karena terjadi efek potensial
misalnya kofein dan kodein khususnya dalam sediaan parasetamol dan asetosal.
Berdasarkan kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:
1. Obat Analgetik Narkotik
Obat Analgetik Narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium atau
morfin. Analgetika narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti
pada fractura dan kanker. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang
lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri
yang hebat. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan
ketergantungan pada pemakai.
2
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium
atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan
rasa nyeri. Tetap semua analgesic opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan, maka usaha
untuk mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan
mendapatkan analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Ada 3 golongan
obat ini yaitu :
- Obat yang berasal dari opium-morfin,
- Senyawa semisintetik morfin, dan
- Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Mekanisme kerja: menduduki reseptor opioid (agonis opioid), bertindak seperti opioid
endogen. Yang termasuk opioid endongen adalah: endorfin dan enkephalin.
Efek dari opioid:
- Respiratory paralisis: hati-hati dalam penggunaan karena dapat menyebabkan kematian
karena respirasi dapat tertekan.
- Menginduksi pusat muntah (emesis).
- Supresi pusat batuk (antitusif): kodein
- Menurunkan motilitas GI tract: sebagai obat antidiare, yaitu loperamid.
- Meningkatkan efek miosis pada mata .
- Menimbulkan reaksi alergi: urtikaria (jarang terjadi).
- Mempengaruhi mood.
- Menimbulkan ketergantungan: karena reseptor dapat berkembang.
Hal penting dari opioid:
- Dapat diberikan berbagai rute obat: oral, injeksi, inhalasi, dermal.
- Antagonis morfin (misalnya nalokson dan naltrekson): digunakan apabila terjadi keracunan
morfin.
- Rawan penyalahgunaan, sehingga regulatory obat diatur.
Obat selain morfin:
- Meperidin dan petidin: struktur berbeda dengan morfin, diperoleh dari sintetik.
- Methadon: potensi analgesik mirip dengan morfin, tetapi sedikit menginduksi euforia.
- Fentanil: struktur mirip meperidin, efek analgesik 100x morfin, diberikan jika memerlukan
anastesi kerja cepat, dan digunakan secara parenteral.
- Heroin: merupakan turunan morfin, diperoleh dari proses diasetilasi morfin, potensi 3x
morfin, bukan merupakan obat, sering terjadi penyalahgunaan.
3
Asam karboksilat
Asam enolat
Asam asetat
Derivat asam salisilat
Derivat asam propionat
Derivat asam fenamat
Derivat pirazoion Derivat oksikam
. Aspirin
. Benorilat
. Diflunisal
. salsalat
. Asam tiaprofenat
. Fenbufen
. Fenoprofen
. Flubiprofen
. Ibuprofen
. Ketoprofen
. Naproksen
. Asam mefenamat
. Meklofenamat
. Azapropazon
. Fenilbutazon
. Oksifenbutazon
. Piroksikam
. Tenoksikam
Derivat asam fenilasetat. Diklofenak. Fenklofenak
Derivat asam asetat- inden/indol. Indometasin. Sulindak. Tolmetin
Obat AINS
- Kodein: efek analgesik ringan, berfungsi sebagai antitusif.
- Oksikodon, propoksiten
- Buprenorfin: parsial agonis, mempunyai efek seperti morfin tetapi efek ketergantungannya
kurang, sering digunakan untuk penderita kecanduan morfin.
- Tramadol: analgesik sentral dan efek depresi pernapasan kurang.
2. Obat Analgesik Non-Narkotik
Obat analgesik antipiretik serta obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS) merupakan
suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia.
Berikut adalah pembagian obat-obat AINS :
Mekanisme kerja :
Menghambat enzim siklooksigenase, sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2
terganggu, khusus paracetamol, hambatan biosintesis PG (Prostaglandin) hanya terjadi bila
lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Aspirin sendiri menghambat
dengan mengasitelasi gugus aktif serin dari enzim ini.
4
Gangguan pada membrane sel
Fosfolipid
Asam arakidonat
Enzim fosfolipaseDihambat kortokosteroid
Hidroperoksid
leukotrin
Endoperoksid PGG2 / PGH
PGE2,PGF2,PGD2Tromboksan A2
Protasiklin
Enzim lipoksigenaseEnzim siklooksigenase
Biosintesis Prostaglandin
Gambar 2.2. biosintesis prostaglandin
Keterangan
5
Trauma / luka pada sel (stimulus)
Leukotrin : berperan dalam migrasi leukosit
Tromboksan : untuk agregasi trombosit, vasokontriksi, dan menyebabkan pembekuan darah
Protasiklin : vasodilatasi pembuluh darah.
Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatkan
permeabilitas permukaan kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan. Gejala proses inflamasi
yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, tumor, dolor, dan function laesa. Selama
berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara local
antara lain histamin, 5-Hidroksitriptamin (5HT), factor kemotaktik, bradikinin, leukotrein,
dan PG. penelitian terakhir menunjukkan autakoid lipid PAF juga merupakan mediator
inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan
lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap
mediator-mediator kimiawi tersebut, kecuali PG.
Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan protasiklin (PGI2) dalam
jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah local.
Histamine dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, tetapi efek
vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi histamine plasma
dan bradikin menjadi lebuh jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek
penting dalam proses inflamasi. PG sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari
asam arakidonat yakni leukotrien B4 merupak zat kemotaktik yang sangat poten. Obat mirip
aspirin tidak menghambat system hiposigenase yang menghasilkan leukotrien sehigga
golongan obat ini tidak menekan migrasi sel walaupun demikian pada dosis tinggi terlihat
juga penghambatan migrasi sel tanpa mempengaruhi enzim lipoksigenase.
Rasa nyeri. Pada peradangan disebabkan oleh brandikinin yang dilepaskan oleh
kinogen sitoplasma da sitokin. PG juga dapat menyebabkan sensitasi reseptor nyeri terhadap
rangsang mekanik dan kimiawi.
Demam. Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas.
Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus melalui suatu thermostat. Demam dapat
terjadi akibat infeksi, kerusakan jaringan, keganasan, dan lain-lain. Saat demam, thermostat
diatur pada suhu yang lebih tinggi. Obat AINS menghambat sintesis PGE2, mengembalikan
keseimbangan thermostat ke arah normal.
6
Kodein
Berbeda dengan morfin, keefektifan kodein oral sekitar 60% pemberian
parenteralnya, baik sebagai analgesik maupun sebagai depresan pernapasan. Kodein, sama
seperti levorfanol, oksikodon dan metadon, memiliki perbandingan potensi oral tehadap
parenteral yang tinggi. Efikasi oral obat-obat ini yang lebih tinggi disebabkan oleh
metabolisme lintas pertama di hati yang lebih kecil. Begitu diabsorpsi, kodein dimetabolisme
oleh hati, dan metabolitnya diekskresi terutamaa di urin, sebagian besar dalam bentuk tidak
aktif. Sebagian kecil (sekitar 10%) kodein yang diberikan mengalami O-demetilasi
membentuk morfin, dan baik morfin bebas maupun morfin yang terkonjugasi dapat
ditemukan di urin setelah pemberian kodein dosis terapeutik. Kodein memiliki afinitas yang
luar biasa rendah untuk reseptor opioid, dan efek analgesik kodein disebabkan oleh
konversinya menjadi morfin. Akan tetapi, kerja antitusifnya mungkin melibatkan reseptor
khusus yang mengikat kodein sendiri. Waktu paruh kodein dalam plasma adalah 2-4 jam.
Konversi kodein menjadi morfin dipengaruhi oleh enzim sitokrom P450 CYP2D6.
Polimorfisme genetik pada CYP2D6 yang telah terkarakterisasi dengan baik menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengkonversi kodein menjadi morfin, sehingga menjadikan kodein
tidak efektif sebagai analgesik pada sekitar 10% dari populasi Kaukasia. Polimorfisme lain
dapat menyebabkan peningkatan metabolisme sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap
efek kodein. Jadi, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan polimorfisme enzim
metabolik pada setiap pasien yang tidak memperoleh analgesia yang memadai dari kodein
atau tidak memberikan suatu respons yang memadai terhadap prodrug lain yang diberikan.
Struktur Kimia Codein.
Antalgin
Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetik) turunan NSAID, atau
Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Umumnya, obat-obatan analgetik adalah golongan
7
obat antiinflamasi (antipembengkakan), dan beberapa jenis obat golongan ini memiliki pula
sifat antipiretik (penurun panas), sehingga dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik.
Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan analgetik ringan. Contoh obat yang berada di
golongan ini adalah parasetamol. Tetapi Antalgin lebih banyak sifat analgetiknya.
Komposisi Metamhampyron (+klordiazepoksida). Cara kerja Antalgin adalah derivat
metansulfonat dari Amidopirina yang bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu mengurangi
sensitivitas reseptor rasa nyeri dan mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh. Tiga efek
utama adalah sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Antalgin mudah larut dalam
air dan mudah diabsorpsi ke dalam jaringan tubuh
NN
ON
H3C
CH3Na+-
O2S
CH3
. H2O
Rumus Struktur Kimia Metampiron (C13H16N3NaO4S.H20)
III. Obat dan Hewan Coba.
Hewan percobaan :
- Tikus jantan galur wistar (metode plantar test)
- Mencit jantan galur swiss Webster (metode writing test) untuk demo
Obat yang digunakan :
- Larutan antalgin 50% : dosis 250 mg, 500 mg / 70 Kg BB
- Larutan kodein fosfat 0,2% : dosis 15 mg, 30 mg / 70 Kg BB
Bahan induksi nyeri metode Writhing test : larutan asam asetat 0,60%, dosis 10 ml / Kg BB,
rute: i.p.
Alat yang digunakan :
- Alat suntik 1 ml - Basile Plantar Test
- Jarum suntik - Timbangan
Perhitungan dan Pengenceran Dosis :
Kodein 30 mg / 70 Kg BB
0,018 x 30 mg = 0,54 / 200 g tikus
0,54 mg x 1 ml = 0,27 ml / 200 g tikus
8
2 mg
225 g x 0,27 = 0,30375 ml / 225 g tikus
200 g
Antalgin 500 mg / 70 Kg BB
500 mg x 0,018 = 9 mg
9 mg x 1 ml = 0,018
500 mg
0,054 = 0,018 = ad 0,15
0,05
Ambil 0,05 ml ad 0,15 ml disuntikkan 0,054 ml
Kodein : 15 mg / 70 Kg BB = 0,2 % = 2 mg / ml Berat tikus: 225 g
Konversi dosis = 15 mg x 0,018
= 0,27 mg / 200 g BB 225 mg x 0,27 mg = 0,9 mg / 225 g BB
200 mg
Volume pemberian = 0,3 x 1 ml = 0,15 ml
2
Antalgin 250 mg 250 mg x 0,018 = 4,5 mg / 200 g bobot tikus
4,5 mg = x mg
200 mg 220 g
x = 4,95 mg
4,95 mg x 1 ml = 0,0099 ml
500 mg / ml
Pengenceran
0,0099 ml x 0,5 ml = 0,099 ml ~ 0,1 ml
0,05 ml
0,05 ml ad aquadest 0,5 ml disuntikkan 0,099 ml
9
IV. Skema Kerja Praktikum
Letakkan tikus pada basile plantar test, untuk beradaptasi selama 5 menit, catat waktu tikus sampai tikus mengangkat dan menjilat kaki depan, sebagai respon normal atau respon sebelum perlakuan.
Ambil tikus dari basile plantar test dan berikan obat-obat secara intraperitoneal.
Letakkan tikus pada basile plantar test lagi, biarkan selama 5 menit, untuk memberikan mula kerja obat, lakukan uji pada tikus dan catat waktu responnya pada menit ke 15, 30, 45, 60 menit setelah pemberian obat pada kaki kanan dan kiri.
V. Hasil Praktikum
Kelompok Tikus Respon time menit ke-15’ 30’ 45’ 60’
ka ki Rata2 ka ki Rata2 ka ki Rata2 ka ki Rata2Normal 1 6,6 5,2 5,9 6,8 7,3 7,05 5,7 7,2 6,45 2,9 3 2,95
Antalgin 250 mg/70 KgBB
2 4 2,8 3,4 4 2,5 3,75 3 3,5 3,25 3,7 2,9 3,3
10
Antalgin 500 mg/70 KgBB
3 2,3 2,9 2,6 2,2 1,3 1,75 1,3 2,8 2,05 2,2 2,6 2,4
Kodein 15 mg/70 KgBB
4 2,3 3,8 3,05 2 2,2 2,1 1,4 1,4 1,4 3,1 2,9 3
Kodein 30 mg/70 KgBB
5 4,1 2,6 3,35 1 3,7 2,35 3,6 2,2 2,9 2,2 4,5 3,35
normal Antalgin 250 mg/70 KgBB
Antalgin 500 mg/70 KgBB
Kodein 15 mg/70 KgBB
Kodein 30 mg/70 KgBB
0
1
2
3
4
5
6
7
8
15 menit30 menit45 menit60 menit
Gambar 1.
Grafik respon vs waktu pengamatan.
11
VI. Foto Pengamatan
VII. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan, tikus yang disuntikkan dengan antalgin 250 mg / 70
Kg BB, kemudian uji analgesic tikus di dalam basile plantar test, menunjukkan hasil respon
tikus jika dibandingkan dengan control negative, respon tikus yang disuntikkan antalgin 250
mg, responnya sudah menurun dari pada control negative, respon itu bisa dilihat saat tikus
mengangkat dan menjilat kaki depan, jadi antalgin dengan dosis 250 mg / 70 Kg BB, dapat
berkhasiat sebagai analgesic.
Tikus yang disuntikkan antalgin dengan dosis 500 mg / 70 Kg BB, kemudian di uji
dalam basile plantar test untuk menghitung respon pada tikus, respon tikus jika dibandingkan
dengan control negative, menunjukkan respon yang menurun pada tikus yang disuntikkan
antalgin 500 mg, sedangkan jika antalgin 500 mg ini dibandingkan dengan antalgin 250 mg,
12
efek analgesiknya lebih kuat analgesic dengan dosis 500 mg, karena respon tikus lebih sedikit
dari pada respon tikus yang disuntikkan antalgin dengan dosis 250 mg, respon tikus bisa
dilihat seperti mengangkat dan menjilat kaki depan.
Tikus yang disuntikkan dengan kodein 15 mg / 70 KgBB, kemudian di uji dalam
basile plantar test untuk menghitung respon pada tikus, menunjukkan respon tikus yang
menurun jika dibandingkan dengan control negative, itu menunjukkan kodein dengan dosis
15 mg memberikan efek analgesic, respon tikus itu bisa dilihat seperti saat tikus mengangkat
dan menjilat kaki depannya. Tetapi pada tikus yang disuntikkan dengan kodein 15 mg,
menunjukkan efek samping, seperti mengantuk, tikus uji sempat tertidur setelah disuntikkan
kodein 15 mg.
Tikus yang disuntikkan dengan kodein 30 mg / 70 KgBB, kemudian di uji dalam
Basile plantar test, respon yang terjadi jika dibandingkan dengan control negative, respon
tikus yang disuntikkan kodein 30 mg menunjukkan respon yang menurun. Itu menunjukkan
kodein 30 mg mempunyai efek analgesic, dan memiliki efek samping mengantuk, karena
tikus sempat tertidur setelah disuntikkan kodein 30 mg. Tetapi efek analgesic kodein 30 mg
dengan kodein 15 mg, efek analgesic kodein 15 mg lebih kuat pada saat pengujian,
seharusnya efek analgesic kodein 30 mg yang lebih kuat, karena dosisnya lebih besar, itu
mungkin karena saat disuntikkan kodein 30 mg, tikus tidak langsung di uji, dan pada saat itu
efek kodeinnya sudah agak hilang sedikit.
VIII. Kesimpulan
Antalgin dengan dosis 250 mg dan 500 mg / Kg BB, memiliki efek analgesic,
sedangkan kodein dengan dosis 15 mg dan 30 mg / Kg BB, juga memiliki efek analgesic
tetapi memiliki efek samping mengantuk.
Komentar: saat praktikum tikus mengalami stress, seperti tikusnya tidak bisa tenang
dan sering mengeluarkan suara, itu menunjukkan tikus merasa tidak nyaman, sehingga
tikusnya sangat sulit untuk disuntikkan, sebaiknya perawatan tikus lebih ditingkatkan lagi,
seperti menaruh tikus di kandang yang layak, karena pada saat praktikum tikus ada di dalam
wadah yang sempit dan dalam wadah terdapat banyak tikus, sehingga tikus merasa tidak
nyaman dan berdesak-desakan, itu juga dapat memicu stress pada saat pengujian atau
praktikum.
13
IX. Daftar Pustaka
- Goodman & Gilman.Dasar farmakologi terapi.Edisi 10.Volume 1. Jakarta: EGC, 2007;
h.553,573-4, 666, 682-3, 691.
- Freddy P. Wilmana. 1995. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi Non Steroid
dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi
FKUI.
- Tjay, T. H. & K. Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta.
- Katzung, B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika, Jakarta.
- Puspitasari, H., S. Listyawati, T. Widiyani, 2003, Aktfitas analgesic umbi teki (Cyperus
rotundus L.), Biofarmasi, 1 (2), 52-53.
- Soewandhi, S. N., A. Haryana, 2007, Pengaruh milling terhadap laju disolusi campuran
metampiron-fenilbutason (7:3), Majalah Ilmu Kefarmasian, IV (2), 74.
- Sujono, T. A., R. Hayunintyas, Purwantiningsih, Efek analgesic ekstrak etanol daun
mindi (Melia azedarach L.), pada mencit putih jantan galur swiss, Pharmacon, 2, 1, 14.
14