LAPORAN MKT
-
Upload
armand-ichwalzah -
Category
Documents
-
view
106 -
download
4
Transcript of LAPORAN MKT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan faktor terpenting dalam tumbuhnya tanaman dalam suatu
sistem pertanaman, pertumbuhan suatu jenis dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya ialah tersedianya unsur hara, baik unsur hara makro maupun unsur hara
mikro. Tanah sebagai medium pertumbuhan tanaman berfungsi sebagai pemasok
unsur hara, dan tanah secara alami memiliki tingkat ketahanan yang sangat beragam
sebagai medium tumbuh tanaman.
Pupuk adalah bahan yang diberikan kedalam tanah atau tanaman untuk
memenuhi kebutuhan unsur hara bagi tanaman dan dapat berfungsi untuk
memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Kesuburan tanah ditentukan oleh
keadaan fisika, kimia dan biologi tanah. Keadaan fisika tanah meliputi kedalaman
efektif, tekstur, struktur, kelembaban dan tata udara tanah. Keadaan kimia tanah
meliputi reaksi tanah (pH tanah), KTK, kejenuhan basa, bahan organik, banyaknya
unsur hara, cadangan unsur hara dan ketersediaan terhadap pertumbuhan tanaman.
Sedangkan biologi tanah antara lain meliputi aktivitas mikrobia perombak bahan
organik dalam proses humifikasi dan pengikatan nitrogen udara.
Kesuburan tanah ditentukan oleh keadaan fisika, kimia dan biologi tanah.
Keadaan fisika tanah meliputi kedalaman efektif, tekstur, struktur, kelembaban dan
tata udara tanah. Keadaan kimia tanah meliputi reaksi tanah (pH tanah), KTK,
kejenuhan basa, bahan organik, banyaknya unsur hara, cadangan unsur hara dan
ketersediaan terhadap pertumbuhan tanaman. Sedangkan biologi tanah antara lain
meliputi aktivitas mikrobia perombak bahan organik dalam proses humifikasi dan
pengikatan nitrogen udara. Evaluasi kesuburan tanah dapat dilakukan melalui
beberapa cara, yaitu melalui pengamatan gejala defisiensi pada tanaman secara
visual, analisa tanaman dan analisa tanah. Analisa tanaman meliputi analisa serapan
hara makro primer (N, P dan K) dan uji vegetatif tanaman dengan melihat
pertumbuhan tanaman. Sedangkan analisa tanah meliputi analisa ketersediaan hara
1
makro primer (N, P dan K) dalam tanah. Makalah ini dimaksudkan untuk membahas
terkait dengan kesuburan tanah, sehingga pemakalah mampu memahami dan
menjelaskan dasar-dasar kesuburan tanah, indikator kesuburan tanah, evaluasi
kebutuhan pupuk dan perbaikan kesuburan tanah.
1.2 Rumusan masalah
o Apakah sampel tanah termasuk tanah yang sehat?
o Bagaimana kondisi tanah sempel apabila dilihat dari tinggi tanaman jagung
dan jumlah daun?
o Apakah perlakuan pengapuran memberikan dampak yang nyata terhadap
tinggi tanaman dan jumlah daun?
o Apakah setelah diberi perlakuan pengapuran keadaan tanah sempel menjadi
lebih baik untuk sifat tanah?
1.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh pengapuran terhadap
tanah karatan (mottling) dengan pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays)
1.4 Tujuan
o Untuk mengetahui kadar kesuburan sampel tanah
o Untuk mengetahui kondisi tanah sempel yang dilihat dari tinggi tanaman
jagung dan jumlah daun
o Untuk mengetahui dampak perlakuan pengapuran terhadap tinggi tanaman
dan jumlah daun
o Untuk mengetahui dampak perlakuan pengapuran terhadap perbaikan
keadaan tanah sempel untuk sifat tanah
2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesuburan Tanah
Definisi
Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam yang ditentukan
oleh interaksi sejumlah sifat fisika, kimia dan biologi tanah yang menjadi
habitat akar-akar aktif tanaman. Tanah yang dapat menyediakan faktor-faktor
tumbuh dalam kondisi yang optimum dinyatakan tanah yang subur.
Kemampuan tersebut disebut dengan Kesuburan Tanah.
Ada 2 pengetian kesuburan tanah yaitu :
1. Kesuburan tanah aktual yaitu kesuburan tanah asli/alamiah.
2. Kesuburan tanah potensial yaitu kesuburan tanah maksimum yang dapat
dicapai dengan intervensi teknologi yang mengoptimalkan semua faktor
tumbuh.
Faktor Kesuburan Tanah
1. Faktor genetik
2. Faktor pembentuk tanah
3. Pengelolaan
Macam kesuburan Tanah
Kesuburan tanah teridiri dari 3 meliputi :
Kesuburan fisik
Kesuburan kimia dan
Kesuburan biologi
Kesuburan fisik
Tanah dapat dikatakan memiliki kesuburan fisik yang bagus, yaitu jika :
1. Tanah cukup lunak dan cukup memungkinkan untuk terjadinya
perkecambahan dan perkembangan akar yang baik.
4
2. Tanah memiliki distribusi ukuran pori yang merata sehingga
memudahkan terjadinya gerakan udara maupun air yang menunjang
perkembangan akar
3. Suhu di daerah perakaran harus tetap pada batas-batas tertentu yang tidak
berbahaya.
Kesuburan fisik terdiri dari :
a. Tekstur dan struktur tanah
b. Aerasi tanah
c. Neraca air dalam tanah
d. Tekstur dan Struktur Tanah
Kesuburan kimia
Tanah yang mengandung unsur-unsur hara yang optimum untuk nutrisi
tanaman dan tidak terlalu masam ataupun alkalin serta bebas dari unsur-unsur
toksik disebut mempunyai kesuburan kimia yang baik.
Kesuburan biologi (hayati)
Tanah yang memiliki kesuburan biologi yang baik jika :
1. Tanah memiliki bahan organik tinggi yang menunjang keaneka ragaman
hayati di dalam tanah.
2. Tanah mengandung mikrobia penambat N tinggi.
3. Tanah mengandung mikrobia penambat P tinggi
(Indranada, H.K., 2005)
2.2 Prinsip Pengembangan Tanah yang Baik
Kesuburan tanah dapat berkurang dan hilang akibat pengolahan tanah yang
kurang hati-hati. Oleh karena tanah sangat penting untuk dijaga, berikut adalah
prinsip pengembangan tanah yang baik dapat dilakukan dengan langka-langkah:
5
a. Melakukan pengolahan tanah sesuai jenis tanah daan harus cocok untuk
kondisi biofisik setempat.
b. Mengurangi penggunaan bahan-bahan yang tidak dapat diuraikan oleh
mikroorganisme (nonbiodegradable).
c. Mengurangi penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dan membudidayakan
pupuk kandang/pupuk organik untuk mengambilkan kesuburan tanah.
d. Pengendalian lahan kritis dengan melakukan reboisasi dan penghijauan
e. Mengurangi laju erosi tanah, misalnya: pembuatan terasering pada lahan
miring
f. Penanaman tanaman secara berjalur sejajar garis kontur (contour strip
cropping). Cara penanaman ini bertujuan untuk mengurangi atau menahan
kecepatan aliran air dan menahan partikel-partikel tanah yang terangkut aliran
air.
g. Mengurangi kejenuhan tanah dengan melakukan pergiliran tanaman pertanian
agar kesuburan tanah tetap terpelihara
h. Membuat sengkedan untuk mencegah erosi tanah.
i. Menjaga tanah dari penggunaan zat / bahan-bahan kimua yang merugikan.
j. Melakukan pergiliran tanaman (croprotation), yaitu penanaman tanaman
secara bergantian (bergilir) dalam satu lahan. Jenis tanamannya disesuaikan
dengan musim. Fungsinya untuk menjaga agar kesuburan tanah tidak
berkurang.
k. Meningkatkan kelestarian organisme tanah yang menguntungkan, salah
satunya yakni memelihara cacing tanah dalam tanah untuk membantu
menggemburkan tanah.
l. Melindungi tanah dari curahan langsung air hujan, dengan cara meningkatkan
penutupan permukaan tanah, misalnya melalui penggunaan mulsa / seresah
dan peningkatan kanopi (tajuk) tanaman untuk mengurangi pukulan butiran
hujan pada permukaan tanah.
6
m. Mencegah terkonsentrasinya air aliran permukaan, khususnya di daerah
dengan tanah yang peka erosi alur (riil erosion) dan erosi jurang (gully
erosion).
n. Untuk daerah beriklim kering, kegiatan terutama ditujukan untuk
meningkatkan simpanan air tanah melalui peningkatan kapasitas infiltrasi dan
simpanan air di permukaan tanah melalui pembuatan sumur resapan, rorak
atau embung penampung air.
o. Sisa tanaman perlu dikembalikan ke permukaan tanah baik secara langsung
misalnya dalam bentuk mulsa atau secara tidak langsung misalnya dalam
bentuk pupuk kandang dan kompos.
p. Perlu dilakukan usaha meningkatkan dan mempertahankan kandungan bahan
organik di dalam tanah. Bahan organik penting untuk pengaturan peredaran
air dan udara dalam tanah serta untuk memperbaiki struktur tanah.
q. Melakukan pengistirahatan tanah.
r. Mengurangi pencemaran tanah, missal pembuangan limbah industry dan
sampah dalam tanah.
s. Metode pengeolahan tanah harus cocok untuk keadaan sosial ekonomi
setempat.
(Anonymousa, 2013)
2.3 Tinjauan Tentang Topik
2.3.1 Tanah Karatan
Karatan merupakan hasil pelapukan batuan tanah yang dipengaruhi
oleh adhesi dan kohesi. Karatan berwarna hitam mengandung banyak
mangan (Mg) sedangkan berwarna merah mengandung besi (Fe). Karatan
merupakan hasil reaksi oksidasi dan reduksi dalam tanah. Karatan
menunjukkan bahwa udara masih dapat kedalam tanah setempat sehingga
terjadi oksidasi ditempat tersebut dan terbentuk senyawa-senyawa Fe3+
yang berwarna merah. Bila air tidak pernah menggenang tata udara dalam
tanah selalu baik, maka seluruh profil tanah dalam keadaan oksidasi (Fe3+)
oleh karena itu umumnya berwarna merah atau coklat. (Foth, 1988)
7
2.3.2 Pengapuran
a. Fungsi dan Tujuan Pengapuran
Fungsi Pengapuran
Pengapuran dapat meningkatkan pH tanah serta dapat menekan
kelarutan unsur-unsur yang meracuni tanaman. Dengan pengapuran
berarti menambahkan unsur yang mengandung Ca kedalam tanah
sehingga dapat meningkatkan ketersediaannya dapat meningkatkan pH
tanah yang menyebabkan ketersedian hara menjadi lebih baik.
Pengapuran dapat meningkatkan ketersediaan hara P dan K dalam
tanah. (Salwati, 2003)
Tujuan Pengapuran
Menetralkan kemasaman tanah dan meningkatkan ketersediaan
unsur hara makro seperti N. P. K. Ca. Mg bagi pemunbuhan tanaman.
Pada tanah masam di wilayah tropik pengapuran tujuannya untuk
meniadakan pengaruh racun aluminium dan menyediakan' unsur hara
Ca bagi tanaman (Hakim er. 2004). Pemberian kapur dalam tanah
dapat meningkatkan pH tanah, sehingga unsur hara tanah tersedia
optimum. Selain itu pengapuran dapat meningkatkan aktivitas biologi
tanah. Pada tanah masam Pemberian kapur untuk menurunkan atau
meniadakan pengaruh Al terhadap pertumbuhan tanaman, serta
meniadakan selaput Al pada akar tanaman, sehingga tanaman dapat
mengambil hara dengan optimum. (Syarifuddin, 2007)
b. Jenis - Jenis Pengapuran
Jenis – jenis pengapuran ditentukan oleh berbagai jenis
kapur yang dapat digunakan untuk pengapuran lahan pertanian. Jenis
kapur tersebut antara lain:
1. Kapur giling = kapur Super, kalsit kelas 1 (CaCO3)
Kapur giling menduduki kelas utama dalam pengapuran
lahan pertanian. Bahan aslinya terutama mengandung CaCO3 atau
MgCO3 yang dapat mengubah keasaman tanah.
8
2. Kapur tohor = kapur hidup, kalsit kelas 2 (Quicklime)
Kapur giling atau bahan lain yang kaya CaCO3 dipanasi
dengan suhu tinggi, terbentuk CO2 dan kapur hidup. Kapur hidup
ini terutama terdiri dari CaO jika yang digunakan bahan berkadar
Ca tinggi. Kadang-kadang kapur hidup juga masih mengandung
MgO bentuk kapur ini biasanya tepung halus, tapi dapat juga
mengandung beberapa gumpalan empuk (soft lumps). Bila
dicampur air, membentuk kapur mati. Bila tersentuh udara, kapur
hidup lambat menyerap air dan CO2 untuk membentuk campuran
kapur mati dan CaCO3 yang disebut kapur mati udara.
3. Kapur dolomit CaMg(CO3)2
Kapur yang mengandung MgCO3 kira-kira sama dengan
kandungan CaCO3disebut dolomit. Tektur dan kekerasan kapur
dolomit bervariasi, tetapi setela digiling sempurna dapat bekerja
(bereaksi) baik dengan tanah bila tidak terlalu banyak
mengandung unsur lain. Dolomit sudah umum diperdagangkan
sebagai pupuk, karena kandungan Mg disamping
Ca. Fungsinya sebagai penambah unsur seperti halnya pada pupuk
gypsum. Selayaknya koreksi terhadap keasaman pada tanah kurus
dimulai dengan pemberian kalsit, lalu diikuti dengan dolomit
untuk menambah daya guna lahan.
4. Kapur mati = slaked lime, Hydrated lime Ca(OH)2
Bahan ini diperoleh dengan menyiramkan air pada kapur
mentah (kapur hidup) yang kemudian biasa diperdagangkan
sebagai kapur untuk mengapur tembok. Kapur mati lambat
mengambil dari CO2 udara. Penyerapan CO2 dan air oleh kapur
hidup dan CO2 oleh kapur mati tidak mengurangi nilai bahan
untuk pengapuran, hanya saja untuk mendapatkan berat tertentu
CaO diperlukan kapur mati dalam jumlah besar.
5. Kapur liat = Napal, Marl
9
Marl adalah butiran atau butir lepas, seringkali tak murni,
CaCO3 yang berasal dari cangkang binatang laut atau terbentuk
dari presipitasi CaCO3 dari perairan danau kecil atau kolam.
Secara umum marl diartikan sebagai CaCO3yang lunak dan tidak
tahan lapuk dan biasanya tercampur dengan lempung dan kotoran
lain. Istilah ini juga dipakai untuk hamper semua bahan yang
tinggi kadar kapurnya seperti beberapa tanah liat berkapur. Marl
biasanya hamper semuanya CaCO3 murni, tapi kadang-kadang
mengandung tanah liat, debu atau bahan organic yang tinggi. Marl
sering digali dalam keadaan basah dan sukar dihampar diatas
tanah, kecuali sebelumnya dibiarkan kering. Penyebaran marl
tidak seluas kapur giling, dan penimbunannya jauh kurang
ekstensif tapi terdapat di banyak pantai.
Penggalian marl sederhana. Marl sering terdapat di bawah tanah
berat yang harus disingkirkan dahulu menggunakan alat berat
seperti bulldozer. Kemudin permukaan bedeng dipecah dengan
bajak cakram atau traktor, lalu dikeringkan atau langsung dumuat
ke dalam truk. Pembajakan kadang-kadang dilakukan untuk meng-
aerasi lapisan permukaan sehingga cepat kering. Biasanya marl
tidak digiling atau ditapis.
6. Kapur tulis = kapur halus, Talk, Chalk, Ca(HCO3)2
Batuan ini merupakan bahan CaCO3 yang lunak dan baik
untuk pengapuran. D Inggris, bahan ini banyak digunakan namun
di Indonesia, belum lazim. Kapur tulis harus digiling sebelum
digunakan, tapi karena mudah pecah, hanya dibutuhkan sedikit
tenaga.
7. Kapur bara = slag
Hasil samping industry besi ini digunakan sebagai bahan
pengapuran di daerah dekat udara panas setempat. Kapur bara ini
berbeda dengan kebanyakan jenis kapur lain dalam hal kandungan
10
Cad dan Mg, dan juga mengandung silikat misalnya berbeda pula
dengan CO3 atau oksida seperti kapur giling atau kapur tohor.
Pemakaiannya sama efektifnya dengan kapur giling yang
seukuran.
Kapur bara dihasilkan dalam dua bentuk yaitu yang diudara-
dinginkan, sehingga harus digiling sebelum dipakai dan berbutir
yang hampir semua penghalusan partikel penting disempurnakan
pada proses granulasi (pembutiran). Bentuk kedua ini biasanya
lebih cepat beraksi dengan tanah. Seperti alnya kapur dolomit,
kapur bara mengandung Mg dan menjadikan Mg tersedia bagi
tanaman. Kapur bara dasar (basic slag) yang juga hasil samping
industry besi dan logam terutama digunakan untuk menambah
unsur P pada tanaman, tetapi juga berguna sebagai bahan
pengapuran. Kapur bara yang mengandung CaSi2O5, dapat juga
dijadikan bahan pengapuran. Kandungan Mg-nya amat sedikit dan
P-nya juga rendah.
8. Kulit binatang dan lain-lain
Kulit kerang giling dan cangkang hasil laut lainyya kaya
akan CaCO3. Bila digiling halus, kulit binatang itu akan berubah
menjadi bahan agen pengapuran yang efektif.
(Kuswandi, 2005)
c. Aplikasi Pengapuran
Penggunaan pengapuran diberikan karena pH tanah rendah (pH <
5,5). Pada tanah yang mempunyai pH rendah ketersediaan hara bagi
tanaman menurun, aktivitas biologi tanah berkurang, dan keracunan Al
meningkat.
Pada tanaman pangan (jagung dan kedelai) kapur diberikan
seminggu sebelum tanam. Pada dosis tinggi, kapur diberikan dengan
cara disebar merata di atas seluruh permukaan tanah. Kemudian
dicampur tanah dengan cara diaduk menggunakan cangkul atau rotary.
11
Pada saat pengapuran kondisi (kelembaban) tanah pada kapasitas lapang
atau sehari setelah hujan. Pada dosis rendah, kapur diberikan dengan
cara disebar di calon barisan tanaman atau lubang tanam. Kemudian
dicampur dengan tanah. Kelebihan cara ini lebih efesien, namun pada
musim selanjutnya pengapuran perlu dilakukan lagi, karena barisan dan
lubang tanam dapat berpindah tempat. (BPT, 2010)
2.3.3 Jenis Tanaman
A. Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis : Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo : Graminae (rumput-rumputan)
Familia : Graminaceae
Genus : Zea
Species : Zea mays L.
B. Morfologi Tanaman
Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis
rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat
kemungkinan munculnya cabang anakan pada beberapa genotipe dan
lingkungan tertentu. Batang jagung terdiri atas buku dan ruas. Daun jagung
tumbuh pada setiap buku, berhadapan satu sama lain. Bunga jantan terletak
pada bagian terpisah pada satu tanaman sehingga lazim terjadi
penyerbukan silang. Jagung merupakan tanaman hari pendek, jumlah
daunnya ditentukan pada saat inisiasi bunga jantan, dan dikendalikan oleh
genotipe, lama penyinaran, dan suhu. Tanaman jagung termasuk famili
rumput-rumputan (graminae) dari subfamily myadeae. Dua famili yang
berdekatan dengan jagung adalah teosinte dan tripsacum yang diduga
merupakan asal dari tanaman jagung. Teosinte berasal dari Meksico dan
Guatemala sebagai tumbuhan liar di daerah pertanaman jagung.
12
Sistem Perakaran
Jagung mempunyai akar serabut dengan tiga macam akar, yaitu (a)
akar seminal, (b) akar adventif, dan (c) akar kait atau penyangga. Akar
seminal adalah akar yang berkembang dari radikula dan embrio.
Pertumbuhan akar seminal akan melambat setelah plumula muncul ke
permukaan tanah dan pertumbuhan akar seminal akan berhenti pada fase
V3. Akar adventif adalah akar yang semula berkembang dari buku di ujung
mesokotil, kemudian akar adventif berkembang dari tiap buku secara
berurutan dan terus ke atas antara 7-10 buku, semuanya di bawah
permukaan tanah. Akar adventif berkembang menjadi serabut akar tebal.
Akar seminal hanya sedikit berperan dalam siklus hidup jagung. Akar
adventif berperan dalam pengambilan air dan hara. Bobot total akar jagung
terdiri atas 52% akar adventif seminal dan 48% akar nodal. Akar kait atau
penyangga adalah akar adventif yang muncul pada dua atau tiga buku di
atas permukaan tanah.
Fungsi dari akar penyangga adalah menjaga tanaman agar tetap tegak
dan mengatasi rebah batang. Akar ini juga membantu penyerapan hara dan
air. Perkembangan akar jagung (kedalaman dan penyebarannya)
bergantung pada varietas, pengolahan tanah, fisik dan kimia tanah, keadaan
air tanah, dan pemupukan. Akar jagung dapat dijadikan indikator toleransi
tanaman terhadap cekaman aluminium. Tanaman yang toleran aluminium,
tudung akarnya terpotong dan tidak mempunyai bulu-bulu akar
(Syafruddin 2002). Pemupukan nitrogen dengan takaran berbeda
menyebabkan perbedaan perkembangan (plasticity) sistem perakaran
jagung (Smith et al. 1995).
Batang dan Daun
Tanaman jagung mempunyai batang yang tidak bercabang, berbentuk
silindris, dan terdiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas
13
terdapat tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas
berkembang menjadi tongkol yang produktif. Batang memiliki tiga
komponen jaringan utama, yaitu kulit (epidermis), jaringan
pembuluh(bundles vaskuler), dan pusat batang (pith). Bundles vaskuler
tertata dalam 18 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan lingkaran
konsentris dengan kepadatan bundles yang tinggi, dan lingkaran-lingkaran
menuju perikarp dekat epidermis. Kepadatan bundles berkurang begitu
mendekati pusat batang. Konsentrasi bundles vaskuler yang tinggi di
bawah epidermis menyebabkan batang tahan rebah. Genotipe jagung yang
mepunyai batang kuat memiliki lebih banyak lapisan jaringan sklerenkim
berdinding tebal di bawah epidermis batang dan sekeliling bundles
vaskuler (Paliwal, 2000). Terdapat variasi ketebalan kulit antargenotipe
yang dapat digunakan untuk seleksi toleransi tanaman terhadap rebah
batang.
Sesudah koleoptil muncul di atas permukaan tanah, daun jagung
mulai terbuka. Setiap daun terdiri atas helaian daun, ligula, dan pelepah
daun yang erat melekat pada batang. Jumlah daun sama dengan jumlah
buku batang. Jumlah daun umumya berkisar antara 10-18 helai, rata-rata
munculnya daun yang terbuka sempurna adalah 3-4 hari setiap daun.
Tanaman jagung di daerah tropis mempunyai jumlah daun relatif lebih
banyak dibanding di daerah beriklim sedang (temperate) (Paliwal 2000).
Genotipe jagung mempunyai keragaman dalam hal panjang, lebar, tebal,
sudut, dan warna pigmentasi daun. Lebar helai daun dikategorikan mulai
dari sangat sempit (< 5 cm), sempit (5,1-7 cm), sedang (7,1-9 cm), lebar
(9,1-11 cm), hingga sangat lebar (>11 cm). Besar sudut daun
mempengaruhi tipe daun. Sudut daun jagung juga beragam, mulai dari
sangat kecil hingga sangat besar. Beberapa genotipe jagung memiliki
antocyanin pada helai daunnya, yang bisa terdapat pada pinggir daun atau
tulang daun. Intensitas warna antocyanin pada pelepah daun bervariasi, dari
sangat lemah hingga sangat kuat.
14
Bentuk ujung daun jagung berbeda, yaitu runcing, runcing agak
bulat, bulat, bulat agak tumpul, dan tumpul (Gambar 2). Berdasarkan letak
posisi daun (sudut daun) terdapat dua tipe daun jagung, yaitu tegak (erect)
dan menggantung (pendant). Daun erect biasanya memiliki sudut antara
kecil sampai sedang, pola helai daun bisa lurus atau bengkok. Daun
pendant umumnya memiliki sudut yang lebar dan pola daun bervariasi dari
lurus sampai sangat bengkok. Jagung dengan tipe daun erect memiliki
kanopi kecil sehingga dapat ditanam dengan populasi yang tinggi.
Kepadatan tanaman yang tinggi diharapkan dapat memberikan hasil yang
tinggi pula.
Bunga
Jagung disebut juga tanaman berumah satu (monoeciuos) karena
bunga jantan dan betinanya terdapat dalam satu tanaman. Bunga betina,
tongkol, muncul dari axillary apices tajuk. Bunga jantan (tassel)
berkembang dari titik tumbuh apikal di ujung tanaman. Pada tahap awal,
kedua bunga memiliki primordia bunga biseksual. Selama proses
perkembangan, primordia stamen pada axillary bunga tidak berkembang
dan menjadi bunga betina. Demikian pula halnya primordia ginaecium
pada apikal bunga, tidak berkembang dan menjadi bunga jantan (Palliwal
2000). Serbuk sari (pollen) adalah trinukleat. Pollen memiliki sel vegetatif,
dua gamet jantan dan mengandung butiran-butiran pati. Dinding tebalnya
terbentuk dari dua lapisan, exine dan intin, dan cukup keras. Karena adanya
perbedaan perkembangan bunga pada spikelet jantan yang terletak di atas
dan bawah dan ketidaksinkronan matangnya spike, maka pollen pecah
secara kontinu dari tiap tassel dalam tempo seminggu atau lebih.
Rambut jagung (silk) adalah pemanjangan dari saluran stylar ovary
yang matang pada tongkol. Rambut jagung tumbuh dengan panjang hingga
30,5 cm atau lebih sehingga keluar dari ujung kelobot. Panjang rambut
jagung bergantung pada panjang tongkol dan kelobot. Tanaman jagung
15
adalah protandry, di mana pada sebagian besar varietas, bunga jantannya
muncul (anthesis) 1-3 hari sebelum rambut bunga betina muncul (silking).
Serbuk sari (pollen) terlepas mulai dari spikelet yang terletak pada spike
yang di tengah, 2-3 cm dari ujung malai (tassel), kemudian turun ke bawah.
Satu bulir anther melepas 15-30 juta serbuk sari. Serbuk sari sangat ringan
dan jatuh karena gravitasi atau tertiup angin sehingga terjadi penyerbukan
silang. Dalam keadaan tercekam (stress) karena kekurangan air, keluarnya
rambut tongkol kemungkinan tertunda, sedangkan keluarnya malai tidak
terpengaruh. Interval antara keluarnya bunga betina dan bunga jantan
(anthesis silking interval, ASI) adalah hal yang sangat penting. ASI yang
kecil menunjukkan terdapat sinkronisasi pembungaan, yang berarti peluang
terjadinya penyerbukan sempurna sangat besar. Semakin besar nilai ASI
semakin kecil sinkronisasi pembungaan dan penyerbukan terhambat
sehingga menurunkan hasil. Cekaman abiotis umumnya mempengaruhi
nilai ASI, seperti pada cekaman kekeringan dan temperatur tinggi.
Penyerbukan pada jagung terjadi bila serbuk sari dari bunga jantan
menempel pada rambut tongkol. Hampir 95% dari persarian tersebut
berasal dari serbuk sari tanaman lain, dan hanya 5% yang berasal dari
serbuk sari tanaman sendiri. Oleh karena itu, tanaman jagung disebut
tanaman bersari silang (cross pollinated crop), di mana sebagian besar dari
serbuk sari berasal dari tanaman lain. Terlepasnya serbuk sari berlangsung
3-6 hari, bergantung pada varietas, suhu, dan kelembaban. Rambut tongkol
tetap reseptif dalam 3-8 hari. Serbuk sari masih tetap hidup (viable) dalam
4-16 jam sesudah terlepas (shedding). Penyerbukan selesai dalam 24-36
jam dan biji mulai terbentuk sesudah 10-15 hari. Setelah penyerbukan,
warna rambut tongkol berubah menjadi coklat dan kemudian kering.
Tongkol dan Biji
Tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol, tergantung
varietas. Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung
16
yang terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih
besar dibanding yang terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri
atas 10-16 baris biji yang jumlahnya selalu genap. Biji jagung disebut
kariopsis, dinding ovary atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa,
membentuk dinding buah.
Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama, yaitu
a) pericarp, berupa lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah
embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air;
b) endosperm, sebagai cadangan makanan, mencapai 75% dari
bobot biji yang mengandung 90% pati dan 10% protein, mineral,
minyak, dan lainnya; dan
c) embrio (lembaga), sebagai miniatur tanaman yang terdiri atas
plamule, akar radikal, scutelum, dan koleoptil (Hardman and
Gunsolus, 1998).
Pati endosperm tersusun dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian
besar terdiri atas dua molekul, yaitu amilosa dan amilopektin, dan sebagian
kecil bahan antara (White 1994). Namun pada beberapa jenis jagung
terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan amilopektin. Protein
endosperm biji jagung terdiri atas beberapa fraksi, yang berdasarkan
kelarutannya diklasifikasikan menjadi albumin (larut dalam air), globumin
(larut dalam larutan salin), zein atau prolamin (larut dalam alkohol
konsentrasi tinggi), dan glutein (larut dalam alkali). Pada sebagian besar
jagung, proporsi masing-masing fraksi protein adalah albumin 3%,
globulin 3%, prolamin 60%, dan glutein 34% (Vasal 1994).
C. SYARAT PERTUMBUHAN
Tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Jagung tidak menuntut
persyaratan lingkungan yang terlalu ketat, dapat tumbuh pada berbagai
17
macam tanah bahkan pada kondisi tanah yang agak kering. Tetapi untuk
pertumbuhan optimalnya, jagung menghendaki beberapa persyaratan.
Iklim
a) Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung
adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub-
tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang
terletak antara 0-50 derajat LU hingga 0-40 derajat LS.
b) Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini
memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus
merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji tanaman jagung
perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal
musim hujan, dan menjelang musim kemarau.
c) Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan sinar
matahari. Tanaman jagung yang ternaungi, pertumbuhannya akan
terhambat/ merana, dan memberikan hasil biji yang kurang baik
bahkan tidak dapat membentuk buah.
d) Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21-34O C, akan
tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan suhu
optimum antara 23-27O C. Pada proses perkecambahan benih
jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 30O C.
e) Saat panen jagung yang jatuh pada musim kemarau akan lebih
baik daripada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu
pemasakan biji dan pengeringan hasil.
Media Tanam
a) Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus. Agar
supaya dapat tumbuh optimal tanah harus gembur, subur dan kaya
humus.
18
b) Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain: andosol
(berasal dari gunung berapi), latosol, grumosol, tanah berpasir.
Pada tanah-tanah dengan tekstur berat (grumosol) masih dapat
ditanami jagung dengan hasil yang baik dengan pengolahan tanah
secara baik. Sedangkan untuk tanah dengan tekstur lempung/liat
(latosol) berdebu adalah yang terbaik untuk pertumbuhannya.
c) Keasaman tanah erat hubungannya dengan ketersediaan unsur-
unsur hara tanaman. Keasaman tanah yang baik bagi pertumbuhan
tanaman jagung adalah pH antara 5,6 - 7,5.
d) Tanaman jagung membutuhkan tanah dengan aerasi dan
ketersediaan air dalam kondisi baik. d) Tanah dengan kemiringan
kurang dari 8 % dapat ditanami jagung, karena disana
kemungkinan terjadinya erosi tanah sangat kecil. Sedangkan
daerah dengan tingkat kemiringan lebih dari 8 %, sebaiknya
dilakukan pembentukan teras dahulu.
Ketinggian Tempat
Jagung dapat ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah
sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-
1800 m dpl. Daerah dengan ketinggian optimum antara 0-600 m dpl
merupakan ketinggian yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung.
19
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Pengambilan Sampel
Tempat dilakukannya pengambilan sampel tanah yang akan digunakan
sebagai media tanam percobaan yakni proses pengambilan dilakukan pada
tanggal 12 oktober 2013 yang diambil di Desa Buring, Kecamatan Kedung
Kandang, Malang, Jawa Timur.
Pelaksanaan Percobaan
Pelaksanaan percobaan ini yang pertama adalah penanaman yang dilakukan
pada tanggal 26 oktober 2013. Waktu dilaksanakannya percobaan ini
dilakukan selama 4 minggu yang dimulai dari bulan November sampai
dengan Desember 2013 tepatnya pada tanggal 4,11,18,25 November dan 2
desember 2013. Sedangkan untuk tempat dilaksanakannya percobaan adalah
di Lahan Percobaan Praktikum Fakultas Pertanian berada didalam lingkup
kawasan Universitas Brawijaya yang terletak di tengah kota Malang,
beralamatkan di Jalan veteran, Malang, Jawa Timur. Kemudian dilanjutkan
dengan pengambilan sampel pada tanggal 10 Desember 2013 dan uji analisis
kandungan C-Organik, Potensial Redoks, kandungan N P K, dan pH
dilakukan pada tanggal 12 Desember2013 sampai 13 Desember 2013 di
laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Malang.
3.2 Kondisi Umum Wilayah
Kondisi umum wilayah Desa Buring yakni desa ini berjenis tanah Aluvial, hal
ini dikarenakan Malang merupakan daerah yang dipengaruhi oleh beberapa
gunung yang berada disekitarnya. Untuk tempat pengambilan sampel tanah
terletak diantara lahan padi dan tebu. Rata-rata suhu udara berkisar antara
22,7°C - 25,1°C. Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu
20
minimum 18,4°C . Rata kelembaban udara berkisar 79% - 86%. Dengan
kelembaban maksimum 99% dan minimum mencapai 40%.
Sedangkan Untuk percobaan penanaman terletak di Lahan percobaan
praktikum Fakultas Pertanian UNIBRAW yang jika ditinjau dari sudut
ketinggian tanah, berada pada ketinggian 610 m diatas permukaan air laut.
Suhu maksimum dan minimum di lahan praktikum ini berkisar 280 C. Lahan
Percobaan ini memiliki luas sebesar +/- 600 m2 , dengan batas-batas sebagai
berikut :
Sebelah utara : berbatasan dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Sebelah selatan : berbatasan dengan Jalan Veteran Kota Malang
Sebelah timur : berbatasan dengan Gedung Green House Fakultas Pertanian
Unibraw
Sebelah barat : berbatasan dengan Kos-kosan yang ada di Jalan Raya
Sumbersari
3.2.1 Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk merupakan suatu jumplah penduduk pada suatu lokasi
tertentu , Kepadatan dan persebaran penduduk, disamping di pengaruhi oleh
jumlah dan mutu sumber daya alam, juga di pengaruhi oleh mobilitas
penduduk. Penduduk yang bergeser dari jawa ke luar jawa sebagian besar
terdiri dari petani yang miskin dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah.
Sebaliknya penduduk yang geser dari luar jawa ke jawa sebagian besar
berumur muda, belum menikah dan mempunyai tingkat pendidikan yang
relatif tinggi. Ini bermakna ketimpangan tersebut bukan hanya saja dari segi
jumlah saja, namun juga dari segi mutu sumber daya manusianya. Untuk
Kecamatan Kedungkandang dengan Luas 36,89 km2 dan jumlah penduduk
sebesar 149.853 dan kepadatan sebesar 3.767. Sedangkan untuk kelurahan
Buring dengan kode wilayah 35.73.03.1005 Luas Lahan 553 Ha, dengan
jumlah RW 9 RT 38 KK 2.735 dan jumlah penduduknya 8.614. Sedangkan
21
untuk penduduk yang bermata pencaharian sebagai Petani sebanyak 1.200
orang.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk pengambilan sampel tanah yaitu diambil pada lahan
seluas 50 m x 50 m yang diambil sebanyak 20 kg setiap titiknya yang terdiri dari lima
titik pengambilan sampel dan dimasukkan kedalam karung. Sampel ini kemudian
dikering anginkan selama satu minggu. Kemudian sampel dikomposit dan digrinding
sampai halus. Sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam polybag dan diberi
perlakuan yaitu ditambahkan Kapur berbagai dosis kedalam polibag tersebut dengan
tanah yang digunakan adalah sebanyak 4,6 kg/polibag. Pada penelitian ini rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Acal Lengkap (RAL) dengan perlakuan
penambahan kapur dan 3 ulangan. Perlakuan pupuk yang digunakan yaitu 1 atau
kontrol dimana pada perlakuan ini media tanam yang digunakan hanya tanah saja
tanpa tambahan kapur, lalu P2 yaitu perlakuan dengan penambahan Kapur sebanyak
100 gram, dan P3 yaitu perlakuan dengan penambahan kapur sebanyak 50 gram.
Peletakan perlakuan dan ulangan pada plot pengamatan dilakukan secara acak dengan
menggunakan lotre. Parameter yang diuji pada saat di lahan berupa tinggi tanaman
dan jumlah daun. Pengamatan tinggi dan jumlah daun dilakukan setiap seminggu
sekali dan dilakukan hingga 35 hst atau selama 5 minggu pengamatan.
Pengamatannya yakni dengan mengukur menggunakan penggaris dan penghitungan
jumlah daun. Sedangkan analisis data C-Organik, potensial redoks, N, P, K, dan pH
dilakukan analisis di laboratorium kimia jurusan Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Analisis C-Organik, potensial redoks, N, P, K, dan pH ini
dilakukan 2 kali yakni pada awal sebelum penanaman sebagai data awal kandungan
kimia tanah media. Dan yang kedua dilakukan pada 41 hst untuk melihat ada atau
tidaknya perubahan kandungan C-Organik, potensial redoks, N, P, K, dan pH pada
media tanah yang digunakan.
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4..1.1 Tabel Tinggi Tanaman
Ulangan I
Tabel 1. Ulangan II
Pengamatan (cm)04/11/2013 11/11/2013 18/11/2013 25/11/2013 02/12/2013
I II III IV VP1U2 15 33 59 64 72P2U2 13 32 35 40 48P3U2 19 37 52 65 70
Ulangan III
Pengamatan (cm)04/11/2013 11/11/2013 18/11/201
325/11/2013 02/12/2013
I II III IV VP1U3 12 23 51 58 65P2U3 18 35 40 54 62P3U3 16 40 45 65 68
23
Pengamatan (cm)04/11/2013 11/11/2013 18/11/201
325/11/2013 02/12/2013
I II III IV VP1U1 12 24,5 35 54 75P2U1 13,5 23 39 41 58P3U1 19 27 37 43 52
4..1.2 Grafik Tinggi Tanaman
Grafik 1. Tinggi Tanaman Ulangan I
I II III IV V0
10
20
30
40
50
60
70
80
Tinggi Tanaman U1
P1U1 P2U1 P3U1
Grafik 2. Tinggi Tanaman Ulangan II
I II III IV V0
1020304050607080
Tinggi Tanaman U2
P1U2 P2U2 P3U2
24
Grafik 3. Tinggi Tanaman Ulangan III
I II III IV V0
1020304050607080
Tinggi Tanaman U3
P1U3 P2U3 P3U3
4..1.3 Tabel Jumlah Daun
Ulangan ITabel 4. Pengamatan Jumlah Daun Ulangan 1
Ulangan II
Tabel 5. Pengamatan Jumlah Daun Ulangan II
Pengamatan (helai)04/11/2013 11/11/2013 18/11/2013 25/11/2013 02/12/2013
I II III IV VP1U2 3 4 5 7 7P2U2 2 4 5 6 5P3U2 3 4 6 7 8
25
Pengamatan (helai)04/11/2013 11/11/2013 18/11/201
325/11/2013 02/12/2013
I II III IV VP1U1 2 4 5 7 7P2U1 2 3 4 6 6P3U1 3 4 5 6 6
Ulangan III
Tabel 6. Pengamatan Jumlah Daun Ulangan III
Pengamatan (helai)04/11/2013 11/11/2013 18/11/2013 25/11/2013 02/12/2013
I II III IV VP1U3 2 4 5 6 6P2U3 2 4 4 6 8P3U3 3 5 7 8 6
4..1.4 Grafik Jumlah Daun
Grafik 4. Jumlah Daun Ulangan I
I II III IV V012345678
Jumlah Daun U1
P1U1 P2U1 P3U1
Grafik 5. Jumlah Daun Ulangan II
26
I II III IV V0123456789
Jumlah Daun U2
P1U2 P2U2 P3U2
Grafik 6. Jumlah Daun Ulangan III
I II III IV V0123456789
Jumlah Daun U3
P1U3 P2U3 P3U3
4..1.5 Perbedaan tinggi dan jumlah daun tanaman jagung pada 35 hst
PerlakuanTinggi tanaman
(cm)
Jumlah daun
(helai)
P174,66667 a 6,333333 a
(kontrol)
P2
78 a 6,333333 a(tanah + 100 gr
kapur)
27
P3
104,6667 a 7,666667 a(tanah + 50 gr
kapur)
4..1.6 Tabel C-organik
4..1.7 Grafik
peningkatan C-organik
Awal 41 HST0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
P1P2P3
4..1.8 Tabel N
PerlakuanPengamatan
awal
Pengamatan
41 hst
Hasil perhitungan
awal (%)
Hasil
perhitungan 41
hst (%)
P1 7,2 ml 7,9 ml 0,27 0,31
P2 7,2 ml 8,35 ml 0,27 0,33
P3 7,2 ml 7,91 ml 0,27 0,31
4..1.9 Grafik peningkatan N
28
Perlakuan Hasil perhitungan
awal
Hasil perhitungan
41 HST
P1 3,63 1,39
P2 3,63 1,05
P3 3,63 1,77
4..1.10 Tabel P
PerlakuanPengamatan
awal
Pengamatan
41 hst
P1 21,76 11,7
P2 21,76 41,84
P3 21,76 41,84
4..1.11 Grafik peningkatan P
PerlakuanP1 P2 P3
Sebelum perlakuan 21,7 21,7 21,7Setelah perlakuan 11,7 41,8 41,8
29
P1 P2 P3Perlakuan
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Sebelum perlakuanSetelah perlakuan
4..1.12 Tabel K
PerlakuanPengamatan
awal
Pengamatan
41 hst
P1 0,6 me/100 gram 0,19 me/100 gram
P2 0,6 me/100 gram 0,05 me/100 gram
P3 0,6 me/100 gram 0,74 me/gram
4..1.13 Grafik peningkatan K
30
4..1.14 Tabel ph dan redoks
Perlakuan Pengamatan pH awal Pengamatan redoks
awal
P1 5,84 92,8
P2 5,84 92,8
P3 5,84 92,8
Perlakuan Pengamatan pH 41
hst
Pengamatan redoks 41
hst
P1 6,3 54,7
P2 8,2 -69,1
P3 7,7 13,0
4..1.15 Grafik perubahan pH dan redoks
Grafik pH
pH awal pH 41 HST0123456789
P1P2P3
Grafik Redoks
31
Awal 41 HST
-80-60-40-20
020406080
100120
P1P2P3
4.2 Pembahasan
a. Hubungan antara Kesuburan Tanah dengan Pengapuran
Kebutuhan unsur hara di dalam tanah menjadi salah satu faktor yang
penting untuk pertumbuhan tanaman. Kebutuhan hara makro/mikro yang
cukup akan membantu peningkatan hasil produksi tanaman, baik dari bentuk
tanaman maupun hasil panen tanaman jagung yang dibudidayakan.
Pada lokasi pengambilan media yang digunakan sebagai objek
penelitian dan observasi terletak di Desa Buring, Kecamatan Kedungkandang,
Malang. Jenis tanah pada lokasi tersebut termasuk dalam jenis tanah
Inceptisol dan memiliki drainase buruk. Dapat dilihat bahwa pada tanah
tersebut mengalami akumulasi Fe (besi) yang tampak berwarna merah atau
bintik-bintik merah (gambar 1) serta pada tanah tersebut pada musim hujan
selalu tergenang air sehingga ion ferro dijumpai dan memberi warna kehijauan
dan kebiruan (gambar 2).
32
Gambar 1. Penimbunan Fe (warna merah
atau berbintik merah)
Gambar 2. Ion Fe (berwarna kehijauan
dan kebiruan)
Dari kondisi tanah seperti yang ditemukan di lokasi, dilihat dari segi
pertumbuhan tanaman juga memiliki perbedaan diantaranya adalah kondisi
tanaman yang kerdil yang menyebabkan hasil produksi dari pertanian di
daerah tersebut mengalami kerugian karena biaya produksi tidak seimbang
dengan hasil panen. Selain itu, warga setempat juga tidak menyadari bahwa
lahan mereka sudah tidak sehat, mereka beranggapan bahwa dengan
diaplikasikan pupuk maka semua permasalahan tersebut akan selesai dan akan
mendapatkan produksi yang sangat tinggi. Namun pada kenyataannya, pupuk
yang masyarakat aplikasikan tidak memberikan hasil yang optimal karena
banyak pupuk yang hanya terakumulasi dan tidak bisa diserap baik oleh
tanaman akibat kondisi lahan yang mengalami karatan (mottling).
Dilihat dari sejarah lahan di lokasi tersebut menggenangi penggenangan
selama padi dan pengolahan tanah kering yang disawahkan dapat
menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika,
kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain, sehingga sifat-sifat taah dapat
sangat berbeda dengan sifat-sifat tanah asalnya.
Menurut Koning (1999), perubahan sementara pada tanah Inceptisol
yang mengalami karatan atau biasa disebut mottling sebagai akibat
penggenangan tanah musiman, baik pada waktu pengolahan maupun selama
33
pertumbuhan padi di sawah. Perubahan-perubahan sementara sifat-sifat kimia
tanah tersebut secara kumulatif dapat menyebabkan perubahan yang permanen
terhadap sifat morfologi tanah. Bila tanah yang pada awalnya digenangkan
kemudian dikeringkan akan terjadi oksidasi kembali besi (Fero) menjadi besi
(Feri) sehingga terbentuklah karatan coklat pada rekahan-rekahan (Gambar 1)
bekas-bekas saluran akar atau tempat-tempat lain dimana udara dapat masuk.
Diduga penyebab kondisi karatan (mottling) pada tanah di daerah
tersebut muncul dari beberapa faktor, diantaranya adalah akibat pencemaran
air sungai (gambar 3), penggunaan pupuk yang berlebihan (gambar 4) maupun
karena lahan di lokasi tersebut adalah termasuk lahan yang memiliki drainase
yang buruk sehingga terdapat akumulasi ion ferro.
Gambar 3. Kondisi Sungai Gambar 4 (a). Pupuk Berlebihan
Gambar 4 (b). Akumulasi Pupuk
Berlebih
Gambar 4 (c). Kondisi Tanaman
34
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penulis menggunakan
pengapuran di masing-masing tanah sampel dengan tiga kali ulangan.
a. pH
Kondisi pH tanah merupakan faktor penting yang menentukan kelarutan
unsur yang cenderung berkesetimbangan dengan fase padatan. Kelarutan
oksida-oksida hidrous dari Fe dan Al secara langsung tergantung pada konsentrasi
hidroksil (OH-) dan menurun kalah pH meningkat. Kation hidrogen (H+) bersaing
secara langsung dengan kation-kation asam Lewis lainnya membentuk tapak
kompleksi, dan oleh karenanya kelarutan kation kompleks seperti Cu dan Zn
akan meningkat dengan menurunnya pH. Konsentrasi kation hidrogen
menentukan besarnya KTK tergantung-muatan (dependent charge) dan dengan
demikian akan mempengaruhi aktivitas semua kation tukar. Kelarutan Fe-fosfat,
Al-fosfat dan Ca-fosfat sangat tergantung pada pH, demikian juga kelarutan
anion molibdat (MoO4) dan sulfat yang terjerap. Anion molibdat dan sulfat yang
terjerap, dan fosfat yang terikat Ca kelarutannya akan menurun kalau pH
meningkat. Selain itu, pH juga mengendalikan kelarutan karbonat dan silikat,
mempengaruhi reaksi-reaksi redoks, aktivitas jasad renik, dan menentukan
bentuk-bentuk kimia dari fosfat dan karbonat dalam larutan tanah. Pengasaman
mineral silikat dapat menggeser "muatan patahan" dari negatif menjadi positif.
Beberapa reaksi penting yang terpengaruh oleh pH.
35
Gambar 5. Pengaruh pH tanah terhadap ketersediaan hara dalam tanah
bagi tanaman. Pita lebar menyatakan bentuk hara elebih tersedia (lebih mudah
diserap) oleh akar tanaman , pada berbagai nilai pH (Sumber:
http://extension.missouri.edu/p/G9102_
Gambar 6. Penyerapan dan ketersediaan hara juga dipengaruhi oleh pH tanah.
(Sumber: http://www2.mcdaniel.edu/Biology/botf99/nutrition/soils.htm)
36
pH sebelum dilakukan pengapuran adalah 5,84. Kemudian setelah
dilakukan pengapuran dan diamati selama 5 minggu ternyata pH mengalami
kenaikan pada setiap perlakuannya. Pada perlakuan 1 pH menjadi 6,3;
perlakuan 2 pH menjadi 8,2; dan perlakuan 3 pH menjadi 7,7.
pH meningkat seiring dengan lamanya waktu penggenangan dan Eh
semakin menurun (Kasno et al., 1999). Penambahan bahan organik pada
pengairan yang dilakukan secara kontinu dapat menurunkan Eh tanah.
Terdapat hubungan yang negatif anatara pH dan Eh tanah (Sulaeman et al.,
1997; Kasno et al., 1999). Meningkatnya pH tanah masam menyebabkan
ketersediaan P mengalami peningkatan karena meningkatnya kelarutan
mineral strengit (FePO4.2H2O) dan variscit (AlPO4.2H20). Pada tanah sawah
bukaan baru tanaman yang keracunan besi umumnya juga menunjukkan kahat
unsur hara yang lain. Menurut Ottow et al. 1982) keracunan besi pada
tanaman padi di Asia Tenggara dan Afrika terjadi karena kahat beberapa hara,
dimana pH berkisar antara 3-7,2; kadar besi 290-1000 ppm, kadar Mn tinggi
dan kadar P, K, Ca, Mg, dan Zn rendah. Kahat beberapa hara ini pada
tanaman disebabkan rendahnya kemampuan akar menyerap hara, sehingga
besi fero secara langsung diserap lebih banyak pH tanah sangat berpengaruh
terhadap ketersediaan hara dalam larutan tanah. Jumlah terbesar unsur hara
esensial tersedia pada kisaran kondisi pH antara 5.2 dan 6.5. Di atas dan di
bawah kisaran ini, sebagian hara terikat kuat oleh partikel tanah dan tidak
tersedia bagi tanaman, misalnya Fe dan Mn. Unsur hara ini tampaknya akan
defisiensi kalau pH tanah meningkat di atas 6.5. Pada kondisi pH lebih dari
8.0, sebagian besar unsure mikro menjadi defisien sedangkan Al mencapai
tingkat toksik.
Hubungan secara umum antara pH tanah dengan ketersediaan P dalam
tanah , dibuat berdasarkan spesies senyawa fosfat pada berbagai nilai pH.
Pada tanah dengan pH tinggi, kebanyakan P dalam bentuk senyawa kalsium.
Pada tanah dengan pH rendah, P bersenyawa dengan Fe dan Al menjadi
senyawa Fe dan senyawa Al. Keterseediaan P yang maksimum terjadi pada
37
kondisi pH 6.5 - 7.0. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa ada
korelasi antara pertumbuhan tanaman dengan peningkatan pH akibat
pengapuran.
b. Potensial Redoks (Eh)
Faktor lain yang sangat penting dalam menentukan konsentrasi hara
dalam larutan tanah adalah potensial redoks (Eh). Faktor ini berhubungan
dengan keadaan aerasi tanah yang selanjutnya sangat tergantung pada laju
respirasi jasad renik dan laju difusi oksigen. Ia mempengaruhi kelarutan
unsur hara mineral yang mempunyai lebih dari satu bilangan oksidasi
(valensi). Unsur-unsur ini adalah C, H, O, N, S, Fe, Mn, dan Cu. Kandungan
air yang mendekati atau melebihi kondisi ke-jenuhan merupakan sebab utama
dari buruknya aerasi karena kecepatan difusi oksigen melalui pori yang terisi
air jauh lebih lambat daripada pori yang berisi udara.
Perubahan sifat tanah yang bersifat sementara dipengaruhi oleh
pelumpuran dan reduksi oksidasi (redoks). Dari hasil observasi di lapangan
diketahui bahwa kondisi tanah mengalami mottling dikarenakan akibat
penggenangan. Penggenangan tanah memberikan kondisi reduksi dan
menurunkan nilai potensial redoks tanah hingga stabil dengan nilai Eh +0,2
sampai +0,3 V tergantung pada tanah, tetapi nilai Eh di permukaan air dan
beberapa mm dari top soil tetap berkisar antara +0,3 sampai +0,5 V
(Ponnamperuma 1972 dalam De Datta 1981).
Berdasarkan hasil observasi kami terhadap tanah yang digunakan sebagai
media dalam penanaman jagung mengalami penurunan. Dari potensial redoks
awal sebesar 92,8 mV menjadi 54,7 mV (P1); -69,1 (P2); 13,0 (P3).
Penurunan nilai potensial redoks (Eh) berbanding terbalik pada peningkatan
nilai pH tanah tanaman. Penggenangan berpengaruh nyata terhadap nilai
potensial redoks (Eh), pH dan Etilen. Terjadi penurunan nilai potensial redoks
semakin dalam penggenangan nilai potensial redoks semakin rendah.
Sedangkan nilai pH menunjukkan nilai semakin meningkat. Peningkatan pH
38
tanah disebabkan oleh reaksi reduksi di dalam tanah yang mengambil ion H+
sehingga mengurangi kemasaman tanah. Peningkatan pH juga disebabkan
oleh dilepaskan ion OH akibat reduksi besi ferri menjadi besi ferro, kestabilan
tercapai apabila telah terjadi keseimbangan antara Fe2- dan Mn2+ diendapkan
dan terjadi keseimbangan di dalam tanah.
Terdapat hubungan yang negatif antara perubahan Eh dan pH tanah.
Semakin naik pH semakin rendah nilai Eh. Begitu pula semakin turun nulai
redoks, nilai pH semakin naik, dengan nilai R2=0,989. Penurunan nilai
potensil redoks (Eh) dan kenaikan pH mempunyai pengaruh yang baik
terhadap penyerapan unsur hara.
Keadaan seperti ini sangat berpengaruh baik terhadap penyerapan unsur
hara seperti penerapan P dan berpengaruh baik terhadap pertumbuhan jagung.
Penelitian Widiowati et.al. (1997) yang dilakukan di rumah kaca terhadap
tanah menemukan bahwa kelarutan P dipengaruhi oleh Eh dan pH tanah.
Penurunan Eh akan meningkatkan kelarutan P, karena Al3PO4 berubah
menjadi Al(OH)3, sehingga P dibebaskan.
Potensial redoks merupakan sifat elektrokimia yang dapat dipakai
sebagai indikasi dalam mengukur derajat anaerobiosis tanah dan tingkat
transformasi biogeokimia yang terjadi (Patrick dan Mahapatra, 1968;
Ponnamperuma, 1972).
c. C – Organik
Analisis C – Organik pada tanah dilakukan pada ke – 3 perlakuan yaitu
perlakuan pertama sebagai kontrol, perlakuan kedua diberikan pengapuran
sebanyak 100 gram, perlakuan ketiga diberikan perlakuan sebanyak 50 gram.
Sebelum di berikan perlakuan tanah yang menjadi media tanam dilakukan
analisis C – Organik juga.
Pada tanah yang belum diberikan perlakuan hasil dari analisis C –
Organik yang telah dilakukan adalah sebesar 3,63%. Lalu analisis C –
Organik yang kami lakukan selanjutnya adalah 41 hst dengan 3 perlakuan
39
yang berbeda, masing – masing didapatkan hasil yaitu sebesar 1,39%; 1,05%;
dan 1,77%.
Bahan Organik berkaitan dengan nilai C – Organik. Untuk
mendapatkan bahan organik dapat mengkonversi nilai C – Organik. Menurut
Young (1997) bahan organik biasanya ditunjukkan dalam jumlah karbon dan
siklus dari bahan organik memang menyerupai siklus karbon. Analisis tanah
yang biasa digunakan untuk menentukan bahan organik total dilakukan
dengan cara mengalikan nilai faktor 1,724 dengan karbon organiknya.
Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi
tanah. Menurut Petchawee dan Chaitep (1995) bahan organik berpengaruh
pada kesuburan tanah dan sering digunakan untuk mengetahui tingkat
kesuburan tanah.
C – Organik sendiri memiliki standar yang di anggap baik pada tanah.
Menurut Fauzi (2008) kadar C – Organik normal yang sesuai dengan kriteria
hara adalah 2,1 – 3,0%. Namun, berdasarkan hasil yang telah kami peroleh
dari analisis C – Organik baik sebelum dilakukan pengapuran maupun
sesudah dilakukan nilai C – Organik <2,1%.
Rendahnya C – Organik pada tanah dapat disebabkan oleh beberapa
hal salah satunya adalah pengolahan tanah. Pengolahan tanah dapat
menyebabkan penurunan kandungan bahan organik tanah sehingga mengarah
pada degradasi struktur. Menurut Lal (2006) melaporkan bahwa konsentrasi C
organik tanah di lapisan olah 0 – 10 cm berkurang dari 28 g kg – 10 g kg
setelah 90 tahun kultivasi dengan dampak yang merugikan pada kualitas dan
kemampuan pada ketahanan pada kekeringan.
40
d. Nitrogen
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan nitrogen yang telah
kami lakukan. Didapatakan nilai Nitrogen yang berbeda – beda dari setiap
perlakuan maupun sebelum di lakukannya perlakuan.
Pada pengamatan awal nilai nitrogen didapatkan sebesar 0,27%.
Sedangkan pada saat pengamatan dilakukan yaitu pada saat 41 hst didapatkan
berbagai macam nilai nitrogen yaitu pada perlakuan pertama yaitu sebagai
kontrol yaitu sebesar 0,31%, lalu pada perlakuan kedua yaitu dengan
perlakuan pengapuran sebanyak 100 gram didapatkan hasil 0,33% dan pada
perlakuan terakhir yang diberikan pengapuran sebanyak 50 gram didapatkan
hasil 0,31%.
Menurut Hardjowigeno (2003) hilangnya N dari tanah disebabkan
karena digunakan oleh antara 0,51 s/d 0,75 dan tanaman atau mikroorganisme.
Kandungan N total umumnya berkisar antara 2000 – 4000 kg/ha pada lapisan
0 – 20 cm tetapi tersedia bagi tanaman hanya kurang 3 % dari jumlah tersebut.
Kriteia %N yang ada pada tanah yang dibedakan menjadi 5 kriteria
yaitu: sangat rendah untuk N(%) <0,10, rendah untuk N(%) berkisar antara
0,10 s/d 0,20, sedang untuk N(%) berkisar antara 0,21 s/d 0,50, tinggi untuk
N(%) berkisar antara 0,51 s/d 0,75 dan sangat tinggi untuk N(%) lebih dari
0,75 (Safriansyah, 2010). Tanah sebelum pengamatan termasuk kedalam
kriteria sedang, tanah perlakuan pertama termasuk kedalam kriteria sedang
begitu juga dengan perlakuan kedua dan ketiga termasuk kedalam kriteria
sedang.
Kandungan nitrogen dalam tanah berkaitan dengan jumlah bahan
organik sebagai sumber utamanya, baik dari sisa – sisa tumbuhan atau
binatang. Menurut Leiwakabessy (1998) kadar nitrogen total untuk tiap jenis
tanah berbanding lurus dengan kadar bahan organiknya. Oleh karena itu,
41
setiap faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik tanah juga
mempengaruhi kadar nitrogen di dalam tanah itu sendiri
e. Fosfor
Dari tabel pengamatan fosfat dapat diketahui bahwa pada P1
(kontrol/tidak diberi kapur) fosfat dalam tanah menurun dimana kandungan
fosfat awalnya adalah 21,7 dan kandungan fosfat akhirnya adalah 11,7. Pada
P2(diberi kapur 100 gram) fosfat dalam tanah meningkat dimana kandungan
fosfat awalnya adalah 21,7 dan kandungan fosfat akhirnya adalah 41,8. Pada
P3 (diberi kapur 50 gram) fosfat dalam tanah meningkat dimana kandungan
fosfat awalnya adalah 21,7 dan kandungan fosfat akhirnya adalah 41,8.
Menurut (Bambang, 2003), pengapuran tanah, selain dapat meningkatkan pH
tanah, pengapuran juga bermanfaat untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi
tanah, menurunkan kadar Al tanah yang bersifat racun bagi tanaman,
meningkatkan unsur hara fosfat (P), molibdenum (Mo), kalsium (Ca), dan
magnesium (Mg). Pengapuran tanah harus tepat dosis karena pengapuran yang
berlebihan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman sebagai
berikut: tanaman dapat keracunan Zn, Cu dan Mn, pertumbuhan tanaman
kurang baik karena pengapuran yang berlebihan menurunkan kandungan
fosfat dan molibdenum serta dapat mengganggu penyerapan fosfat oleh
tanaman.
f. Kalium
Kalium merupakan salah satu unsur hara makro yang banyak diperlukan
tanaman. Namun biasanya K tidak diberikan dalam jumlah yang cukup
sehingga cangan K dalam tanah semakin lama semakin merosot. Hara K
memiliki tingkat kemudahan pencucian hampir sama dengan unsur N, tetapi
pergerakannya dalam larutan tanah hampir sama dengan unsur P.
Pada hasil pengamatan dan perhitungan kalium didapatkan hasil
sebelum diberikan perlakuan pengapuran yaitu sebesar 0,6 me/100 gram. Lalu
42
setelah dilakukan perlakuan. Pada perlakuan pertama yaitu sebagai kontrol
didapatkan nilai sebesar 0,19 me/100 gram, pada perlakuan kedua yaitu
diberikan pengapuran sebanyak 100 gram didapatkan nilai sebesar 0,05
me/100 gram, dan pada perlakuan ketiga diberikan perlakuan sebanyak 50
gram didapatkan nilai sebanyak 0,74 me/100 gram.
Nilai K pada perlakuan ketiga naik dari 0,6 me/100 gram menjadi 0,74
me/100 gram sedangkan pada perlakuan pertama dan kedua nilai K turun
menjadi 0,19 me/100 gram dan 0,05 me/100 gram. Menurut Puslitanak (2000)
tanah yang mengandung liat yang relatif tinggi berkaitan dengan fiksasi K
sangat kuat yang mengakibatkan konsentrasi K pada larutan tanah berkurang.
Reaksi tanah masam sampai agak masam (pH 4,6 – 5,5) serta kandungan liat
yang cukup tingi dan kandungan ion Kalium relatif rendah berkisar 0,1 – 0,2
me/100 gram tanah.
Penurunan kalium dapat disebabkan menurut Sutedjo (2003) dapat
disebabkan oleh air hujan ataupun runoff. Dimungkinkan pada saat
penanaman berlangsung tanah tersebut terkena air hujan yang mengakibatkan
kalium pada tanah tersebut tercuci. Dilihat juga ini merupakan bulan basah
dimana musim hujan sedang berlangsung sehingga terjadi pencucian kalium
pada tanah tersebut.
43
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sampel tanah pada Desa Buring merupakan tanah yang dapat dikatakan tanah
yang tidak sehat. Tanah tersebut apabila digunakan untuk kegiatan budidaya, tidak
dapat memeberikan daya dukung yang maksimal. Ditinjau dari kadar pH sebelum
dilakukan pengapuran adalah 5,84. Kemudian setelah dilakukan pengapuran dan
diamati selama 5 minggu ternyata pH mengalami kenaikan pada setiap perlakuannya.
Pada perlakuan 1 pH menjadi 6,3; perlakuan 2 pH menjadi 8,2; dan perlakuan 3 pH
menjadi 7,7. Hal tersebut menunjukkan adanya dampak pengapuran terhadap sifat
kimia tanah tersebut. Pada tanah yang belum diberikan perlakuan hasil dari analisis C
– Organik yang telah dilakukan adalah sebesar 3,63%. Lalu analisis C – Organik yang
kami lakukan selanjutnya adalah 41 hst dengan 3 perlakuan yang berbeda, masing –
masing didapatkan hasil yaitu sebesar 1,39%; 1,05%; dan 1,77%. Tinggi dan jumlah
daun tanaman jagung yang baik terdapat pada perlakuan ketiga yaitu dengan media
tanam tanah dan 50 gr kapur.
5.2 Saran
Sebaiknya drainase pada Desa Buring diperbaiki agar tidak terjadi karatan
(molting) pada tanah sehingga tanah bias memproduksi tanaman dengan baik.
44
DAFTAR PUSTAKA
Anonymousa.2013. http://edukasi.net/index.php?mod=script&cmd=Bahan%20
Belajar/Modul%20Online/view&id=109&uniq=912.diakses pada
15 Desember 2013
Balai Penelitian Tanah. 2010. Pengapuran tanah masam untuk jagung dan
kedelai.http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id [13 Desember
2013]
Fergason, V. 1994. High amylose and waxy corn. In: A. R. Halleuer (Ed.)Specialty
Corns. CRC Press Inc. USA.
Foth, H. D. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Edisi ketujuh. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta. 762 hal
Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth and development. Extension
Service.University of Minesota. p.5.
Indranada, H.K. 1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bina Aksara. Jakarta
Kuswandi. 2005. Pengapuran Tanah Pertanian: Edisi Revisi. Yogyakarta: Kanisius.
Lambert, R.J. 1994. High oil corn hybrids. In: Arnel R. Halleuer (Ed.). Specialty
corns. CRC Press Inc. USA.
Lee, C. 2007. Corn growth and development. www.uky.edu/ag/grain crops.
McWilliams, D.A., D.R. Berglund, and G.J. Endres. 1999. Corn growth and
management quick guide.www.ag.ndsu.edu.
Paliwal. R.L. 2000. Tropical maize morphology. In: tropical maize: improvement and
production. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Rome. p 13-20.
Smith, M.E., C.A. Miles, and J. van Beem. 1995. Genetic improvement of maize for
nitrogen use efficiency. In Maize research for stress environment.
p.39-43.
Syafruddin, Faesal, dan M. Akil. 2007. Pengelolaan Hara pada Tanaman Jagung.
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
45
Syafruddin. 2002. Tolok ukur dan konsentrasi Al untuk penapisan tanaman jagung
terhadap ketenggangan Al. Berita Puslitbangtan 24: 3-4.
Tracy, W. F. 1994. Sweet corn. In: A. R. Halleuer (Ed.) Specialty corns. CRC Press
Inc. USA.
Vasal, S.K. 1994. High quality protein corn. In: A. R. Halleuer (Ed.). Specialty corns.
CRC Press Inc. USA.
White, P.J. 1994. Properties of corn strach. In: A. R. Halleuer (Ed.). Specialty corns.
CRC Press Inc. USA.
46
Winda Salwati. 2003. Pengaruh Pengapuran Tanah Podsolik Merah Kuning Terhadap
Pertumbuhan Rumput Tropika. Skripsi. Ilmu Nutrisi Dan Makanan
Ternak. Fakultas Peternakan_ Institut Pertanian Bogor. Bogor
LAMPIRAN
Perhitungan C-Organik
Diketahui :
Berat sampel = 0,5 gram
ml.blangko = 10,5 ml
%KA = 63,2 %
FKa = 100+63,2
100
= 1,632
Perhitungan Pengamatan Awal
C-organik (%) = (ml . blanko−ml . sampel ) x 3
ml . blanko xberat sampelx Fka
= (10,5−6,6 ) x 3
10,5 x 0,5x1,632 %
= 11,75,25
x1,632 %
= 3,63 %
Perhitungan 41 HST
a. P1
C-organik (%) = (ml . blanko−ml . sampel ) x 3
ml . blanko xberat sampelx Fka
47
= (10,5−9 ) x 3
10,5 x 0,5x1,632 %
= 4,5
5,25x 1,632%
= 1,39%
b. P2
C-organik (%) = (ml . blanko−ml . sampel ) x 3
ml . blanko xberat sampelx Fka
= (10,5 – 9,4 ) x 3
10,5 x 0,5x1,632 %
= 3,3
5,25x1,632 %
= 1,05 %
c. P3
C-organik (%) = (ml . blanko−ml . sampel ) x 3
ml . blanko xberat sampelx Fka
= (10,5−8,6 ) x 3
10,5 x 0,5x1,632 %
= 5,75,25
x1,632 %
= 1,77 %
Perhitungan Nitrogen (N)
Diketahui :
Berat sampel = 0,5 gram
ml blanko = 1,3 ml
%KA = 63,2 %
48
Fka = 100+6,32
100
= 1,632%
Perhitungan Pengamatan Awal
N tersedia (%) = (ml . sampel−ml .blanko ) x 0,014 x N H 2 SO 4 x Fka
gram sampelx100 %
= (7,2−1,3 ) x0,014 x 0,01029 x1,632
0,5 grx 100 %
= 0,0013
0,5x 100 %
= 0,27 %
Perhitungan 41 HST
a. P1
N tersedia (%) =
(ml . sampel−ml .blanko ) x 0,014 x N H 2 SO 4 x Fkagram sampel
x100 %
= (7,9−1,3 ) x 0,014 x0,01029 x1,632
0,5 grx100 %
= 0,0015
0,5x 100%
= 0,31 %
b. P2
N tersedia (%) =
(ml . sampel−ml .blanko ) x 0,014 x N H 2 SO 4 x Fkagram sampel
x100 %
= (8,35−1,3 ) x 0,014 x0,01029 x 1,632
0,5 grx100 %
49
= 0,0016
0,5x 100%
= 0,33%
c. P3
N tersedia (%) =
(ml . sampel−ml .blanko ) x 0,014 x N H 2 SO 4 x Fkagram sampel
x100 %
= (7,9−1,3 ) x 0,014 x0,01029 x1,632
0,5 grx100 %
= 0,0015
0,5x 100 %
= 0,31 %
50