Laporan Parasit Ke-3 Sampel Tanah

download Laporan Parasit Ke-3 Sampel Tanah

If you can't read please download the document

Transcript of Laporan Parasit Ke-3 Sampel Tanah

PENGAMATAN SAMPEL TANAHA. TUJUAN 1. Untuk mengetahui ada tidaknya telur nematoda dalam tanah. 2. Mampu memeriksa sampel tanah untuk mengetahui keberadaan telur nematoda dalam tanah. B. ALAT & BAHAN Alat: 1. Mikroskop 2. Sendok semen 3. Pipet tetes 4. Beaker glass 5. Timbangan 6. Rak tabung reaksi 7. Gelas ukur 8. Obyek glass, dan cover glass 9. Jarum ose 10. Sentrifuge dan tabungnya Bahan: 1. Sampel tanah 2. Aquades/ air kran 3. Larutan MgSO4 4. Larutan NaCl

C. CARA KERJA Terdapat dua cara kerja dalam pemeriksaan sampel tanah ini. 1. Cara Sentrifus Menimbang 1 gram tanah dengan neraca digital.

Memasukkan tanah dalam tabung reaksi dengan 5 ml air. Mensentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 2 menit, kemudian membuang airnya. Lalu mengisi kembali dengan air 5 ml, kemudian mensentrifusnya, begitu seterusnya hingga 3x. Setelah 3x, membuang airnya dan mengganti dengan larutan MgSO4, kemudian mensentrifus kembali dengan kecepatan 2000 rpm selama 2 menit. Setelah itu menaruhnya dalam rak tabung reaksi dengan menambahkan larutan MgSO4 dengan pipet tetes sampai permukaan tabung dan menjadi tampak cembung, dan kemudian menunggu selama 15 menit.

Setelah 15 menit, menutup dengan mengambil cover glass, meletakkan diatasnya tanpa menumpahkan cairan dan membiarkan selama 5 menit Mengambil cover glass, mengangkatnya dan meletakkan pada objek glass untuk diperiksa keberadaan telurnya atau larva cacing nematoda dimulai dengan perbesaran lemah.

2. Cara Apung Menimbang 5 gram tanah, kemudian mencampurnya dengan 100 ml larutan NaCl jenuh. Mengaduk dan menunggu selama 5-10 menit.

Setelah 5-10 menit, mengambil hasil campuran larutan NaCl dan tanah tersebut dengan pipet atau jarum ose. Kemudian menempelkan pada objek glass lalu mengamatinya dengan mikroskop. Cara lain yaitu dengan menaruh campuran tersebut ke dalam tabung reaksi, menambahkan larutan NaCl dengan pipet tetes, hingga cembung.

Kemudian mengangkatnya dan meletakkan pada objek glass dan mengamatinya dengan mikroskop.

D. TINJAUAN TEORI Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang berkembang). Merid mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO)

diperkirakan 800 juta1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris. Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi didapatkan dikalangan anak usia sekolah dasar. Di Sumatera Utara yang meliputi daerah tingkat dua Binjai, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Tanjung Balai, Sibolga dan Medan menurut hasil penelitian pada tahun 1995 menunjukkan tingkat prevalensi berkisar 5790%. Poespoprodjo mengatakan bahwa menurut laporan pembangunan Bank Dunia, di negara berkembang diperkirakan diantara anak perempuan usia 514 tahun, penyakit cacing merupakan 12% dari beban kesakitan total sementara pada anak laki laki 11%. Karena itu cacingan merupakan penyumbang tunggal terbesar beban kesakitan pada kelompok usia tersebut. Epidemiologi penyakit kecacingan selalu berhubungan erat dengan keterbelakangan dalam pembangunan sosial ekonomi dan erat kaitannya dengan sindroma kemiskinan. Tanda tanda dari sindroma ini antara lain berupa penghasilan yang sangat rendah. Keadaan ini menyebabkan tidak dapat mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan perumahan, kuantitas dan kualitas makanan yang rendah, sanitasi lingkungan yang jelek dan sumber air bersih yang kurang, pelayanan kesehatan yang terbatas, jumlah anggota keluarga yang besar serta tingkat buta aksara yang tinggi . Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kecacingan selain faktor sosial ekonomi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan orang tua. Pemberantasan infeksi cacing tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan medis. Dibutuhkan juga dukungan pendekatan kesehatan masyarakat seperti penataan kesehatan lingkungan, status gizi, higiene, perilaku, sanitasi dan sosial ekonomi keluarga. Menurut hasil pendataan keluarga yang dilakukan pada tahun 1995, sekitar 56% dari 39,4 juta keluarga di Indonesia masih berada dalam tahap tertinggal atau keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I. Mereka ini adalah keluarga yang belum atau baru sekedar dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup. Pendapatan nasional perkapita penduduk Indonesia pada tahun 2000 dilaporkan sebesar US $ 709. Angka ini sudah meningkat bila dibandingkan tahun 1999 (US $ 621) dan tahun 1998 (US $ 477). Namun masih jauh di bawah pendapatan nasional perkapita pada masa sebelum krisis ekonomi tahun (tahun 1997 US $ 1063 & tahun 1996 US $ 1124). Kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar (basic needs) dapat dijelaskan sebagai kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan pokok ada dua yaitu kebutuhan atau konsumsi individu (makan, perumahan, pakaian) maupun keperluan pelayanan sosial tertentu (air minum, sanitasi, transportasi, kesehatan dan pendidikan). Pitomo Sundoyo menyatakan bahwa Samir Radwan dan Torkel Alfthan mengatakan, keperluan minimum seorang individu atau rumah tangga adalah: makan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, transportasi, partisipasi dalam masyarakat. Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga yang bersangkutan. Hasil Susenas juga

menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan penduduk semakin tinggi pula persentase atau porsi pengeluaran untuk barang bukan makanan (semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan). Pitomo Sundoyo mengatakan bahwa orang berpenghasilan tinggi menilai kebutuhan akan transportasi dan pendidikan lebih tinggi sehingga menggeser kebutuhan sandang dan kesehatan. Urutannya adalah pangan, perumahan, transportasi, pendidikan, kesehatan, sandang. Sumatera Utara, pada tahun 1998 mempunyai 11,6 juta penduduk yang terdiri dari beberapa kelompok etnis dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang masih kuat. Krisis ekonomi yang terjadi meningkatkan jumlah penduduk miskin dari 30% di tahun 1998 menjadi 34%. Krisis ekonomi juga telah merubah transisi epidemiologi penyakit kembali kepenyakit menular. Salah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang tidak kurang pentingnya adalah infeksi cacing usus. Cacing usus umumnya tergolong nematoda dan penularannya perantaraan tanah (soil transmitted helminths). Tanah tergolong hospes perantara atau tuan rumah sementara, tempat perkembangan telur-telur atau larva cacing sebelum dapat menular dari seorang kepada orang lain. Penularannya sebagian melalui mulut menyertai makanan atau minuman, sebagian lagi larvanya menembus kulit memasuki tubuh. Cacing-cacing usus yang merupakan persoalan kesehatan masyarakat di Indonesia mencakup 4 spesies utama yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale. Dari 120 anak yang diperiksa, 84 (70%) anak menderita kecacingan dan 36 (30%) anak tidak menderita kecacingan. Hasil yang diperoleh sesuai dengan angka kejadian kecacingan di Sumatera Utara dan prevalensi kecacingan di Indonesia (5090%) . A.A Depary melaporkan bahwa pada desa Talapeta yang terletak di sebelah selatan kota Medan prevalensi AL 85,7%, CT 8,6%, TT 57,1%. Sementara di kawasan Namorambe prevalensi AL 76,2%, CT 10,9%, trichuris trichiura 77,2%. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi infeksi cacing campuran 55,8%, ascaris 6,75, trichuris 7,5%. Ismid dan Margono pada penelitian terhadap murid madrasah Ibtidaiyah Al Wathoniyah di daerah Cilungup Jakarta Timur mendapatkan bahwa prevalensi AL 66,59%, CT 14,74%, TT 39,92%. Sementara di Jembatan besi, suatu daerah kumuh dengan kepadatan penduduk 63.573 orang/km2 dan sanitasi lingkungan yang buruk, terjadi transmisi AL yang intensif. Di daerah ini prevalensi kecacingan 95%. Noerhajati melaporkan prevalensi AL pada anak-anak SD di Bantul sebesar 76,4%. Namun demikian, hanya relatif sedikit yang tercatat sebagai kasus klinis. Hal ini disebabkan karena gejala klinis yang timbul akibat infeksi cacing tersebut mempunyai variasi yang luas, dari yang asimtomatik berupa keluhan gastrointestinal ringan sampai manifestasi akut yang memerlukan perawatan. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa askariasis tidak merugikan kesehatan penduduk. Infeksi berat pada anak-anak dengan gizi kurang dapat menyebabkan manifestasi keadaan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan. Usia anak yang banyak terinfeksi berkisar 69 tahun, walaupun secara statistik hal ini tidak bermakna. Sementara Poespoprodjo pada penelitian di Kecamatan Ampana

Kota Sulawesi Tengah mendapatkan rerata usia kecacingan secara umum lebih tua bila dibandingkan dengan yang tidak kecacingan. Yared Merid dkk melaporkan bahwa kejadian kecacingan lebih sering pada anakanak karena mempunyai kontak yang erat dengan sumber infeksi dan anak-anak digambarkan lebih rentan dari pada orang dewasa. Abdul Rahman di Penang Malaysia melaporkan tidak ada hubungan bermakna antara usia dan infeksi cacing usus. Beberapa penelitian melaporkan bahwa untuk Al dan Tt infeksi tersering pada usia 510 tahun dan untuk cacing tambang pada usia 205 tahun. Walaupun prevalensi infeksi cacing tambang yang tertinggi bukan pada anak-anak, ada laporan yang mengatakan bahwa Ad dapat lewat dari ibu ke anaknya menyebabkan infantil hookworm disease yang ditandai dengan diare, anoreksia, muntah dan anemia yang berat. Keadaan ini bila terlambat diobati bisa berakibat fatal. Penelitian terhadap anak orang asli di Malaysia didapatkan bahwa prevalensi dan intensitas infeksi ascaris dan trichuris mempunyai hubungan bermakna dengan usia. Prevalensi dan intensitas infeksi ascaris dan trichuris meningkat pada usia 15 tahun. Adams EJ, Stephenson LS, Latham MC. Physical activity and growth of Kenyan school children with hookworm in Trichuris trichiura and Ascaris lumbricoides infections are improved after treatment with albendazol. American Institute of Nutrition 1994; 1200-1205. E. HASIL Sesuai hasil dari pengamatan ternyata tidak ditemukan adanya telur cacing ascharis maupun trichuris. F. PEMBAHASAN hasil dari pengamatan ternyata tidak ditemukan adanya telur cacing ascharis maupun trichuris. Kemungkinan daerah dimana sample tanah tersebut berada tidak mengandung prevalensi aschariasis dan trichuriasis. G. DAFTAR PUSTAKA Sabtu, 13 Desember 2008, Pukul 14.32.54 WIB, via Mobile web. * http://www.library.usu.id/download/fk/anak-sri, laporan Hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan pada anak sekolah dasar di desa suka kecamatan Tiga Panah. Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera. Oleh Sri Alemina Ginting. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. * www.kapanlagi.com/h/0000172712.html * www.adln.lib.unair * www.dhamacitta.org/forum/index/php