Lapsus Difteri Edit3

24
Borang Portofolio  Nama Peserta: dr. Sarrah Kusuma Dewi  Nama Wahana: RSU Dr. H. Koesnadi Bondo woso Topik: Tonsilitis Difteri Tanggal (kasus): 13 Mei 20 13  Nama Pasien: An. A No. RM: 056.44.10 Tanggal Presentasi: Juni 2013 Pendamping: dr. Rasmono, M.Kes Tempat Presentasi: Ruang Pertemuan Komite Medik Obyektif Presentasi: Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa  Neonatus Bayi Anak  Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi: An. A / 14 th Pasien datang ke IGD pukul 19.48 dengan keluhan nyeri telan. Nyeri telan dirasakan sejak 1 hari sebelumnya. Disertai demam. Masih bisa makan, namun nafsu makan menu run. Pusing (+). Sesak napas (-). Leher bengk ak (-). Batuk pilek (-). Suara serak (-). Muntah (-) Diagnosis: Tonsilitis Difteri Derajat Sedang Tujuan: Menegakkan diagnosis Memberikan terapi yang sesuai Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit, pengobatan serta prognosisnya. Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit Cara membahas: Diskusi Pr ese nt asi dan diskusi E-mail Pos Data  pasien  Nama: An. A No. Registrasi: 056.44.10  Nama Klinik: RSU Dr. H. Koesnadi Bon dowoso Telp: (0332) 421263 Terdaf tar Sejak: 13-05-2013 Data utama untuk bahan diskusi: 1. Di agnosi s/Gambaran Kli ni s: Pasien datang ke IGD pukul 19.48 de ngan keluhan nyer i telan. Nyer i telan 1

Transcript of Lapsus Difteri Edit3

Page 1: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 1/24

Borang Portofolio

 Nama Peserta: dr. Sarrah Kusuma Dewi

 Nama Wahana: RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso

Topik: Tonsilitis Difteri

Tanggal (kasus): 13 Mei 2013

 Nama Pasien: An. A No. RM: 056.44.10

Tanggal Presentasi: Juni 2013 Pendamping: dr. Rasmono, M.Kes

Tempat Presentasi: Ruang Pertemuan Komite Medik 

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik  ManajemenMasalah

Istimewa

 Neonatus Bayi Anak  Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi: An. A / 14 th

Pasien datang ke IGD pukul 19.48 dengan keluhan nyeri telan. Nyeri telan dirasakan

sejak 1 hari sebelumnya. Disertai demam. Masih bisa makan, namun nafsu makan

menurun. Pusing (+). Sesak napas (-). Leher bengkak (-). Batuk pilek (-). Suara serak 

(-). Muntah (-)

Diagnosis: Tonsilitis Difteri Derajat Sedang

Tujuan:

Menegakkan diagnosis

Memberikan terapi yang sesuai

Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit, pengobatan

serta prognosisnya.

Bahan

Bahasan:

Tinjauan

Pustaka

Riset Kasus Audit

Cara

membahas:

Diskusi Presentasi dan

diskusi

E-mail Pos

Data

 pasien

 Nama: An. A No. Registrasi: 056.44.10

 Nama Klinik: RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso Telp: (0332)

421263

Terdaftar Sejak:

13-05-2013

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:

Pasien datang ke IGD pukul 19.48 dengan keluhan nyeri telan. Nyeri telan

1

Page 2: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 2/24

dirasakan sejak 1 hari sebelumnya. Disertai demam. Masih bisa makan, namun

nafsu makan menurun. Pusing (+). Sesak napas (-). Leher bengkak (-). Batuk pilek 

(-). Suara serak (-). Muntah (-)

2. Riwayat Pengobatan:

Pasien langsung diperiksakan ke rumah sakit.

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:

Pasien tidak pernah seperti ini sebelumnya

4. Riwayat Keluarga:

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama 

5. Riwayat pekerjaan:

Pelajar 

6. Kondisi lingkungan, sosial, dan fisik: (rumah, lingkungan, pekerjaan)

Pasien merupakan santri di pondok pesantren di Bondowoso. Pasien mengatakan

tidak ada temannya yang mengalami keluhan yang sama.

7. Riwayat Imunisasi:

Orang tua pasien mengatakan imunisasi pasien lengkap

8. Pemeriksaan fisik (15-05-2013)

Status Generalis

Keadaan umum : cukup

Kesadaran : compos mentis

Berat Badan : 40 kg

Tanda – tanda vital

Tekanan darah : 125/80 mmHg

 Nadi : 108 x/menit

Temperatur : 38,50

C

Respiration Rate : 20 x/menit

Kepala/Leher 

Konjungtiva : anemis -/-

Sklera : ikterik -/-

Refleks pupil : positif, pupil isokor Ө 3mm/3 mm, refleks cahaya +/+

Status THT:

2

Page 3: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 3/24

 

Thorax

Cor  

◦  Inspeksi : Ictus Cordis terlihat

◦ Palpasi : Ictus Cordis teraba

◦ Perkusi : Batas kanan : redup pada ICS IV PSL D ; Batas

kiri : redup pada ICS V MCL S

◦ Auskultasi : S1S2 tunggal, suara tambahan (-)

Kesan: tidak terdapat kelainan pada jantung 

Pulmo

VENTRAL DORSAL

I Bentuk dada normal, simetris,

Ketinggalan gerak (-),

retraksi (-)

Gerak nafas tertinggal (-) ,

Simetris, Ketinggalan gerak (-),

retraksi (-)

P Nyeri tekan (-)

Fremitus raba (+)

 Nyeri tekan (-)

Fremitus raba (+)

P Sonor Sonor  

A RO (-) WH (-) RO (-) WH (-)

Kesan: tidak terdapat kelainan pada paru

Abdomen

Inspeksi: flat

Auskultasi: Bising usus normal

3

Beslag

 Tonsil : T2-T2, hiperemi

(+), detritus (+),

Page 4: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 4/24

Palpasi: soepel

Perkusi: timpani

Kesan: tidak terdapat kelainan pada abdomen

Ektremitas

Akral hangat, CRT <2 detik 

Oedema (-)

Kesan: tidak terdapat kelainan pada ekstremitas

9. Pemeriksaan Hapusan Tenggorok oleh Dinas Kesehatan kab Bondowoso tanggal 14

Mei 2013: Positif Difteri

10. Pemeriksaan Laboratorium (14 Mei 2013)

Hb 12,7 g%

Laju Endap Darah 28 mm

Leukosit 13.200 /mm

Diff counteo/ba/st/sg/lym/mo -/-/-/68/22/10

Hematokrit 37%

Trombosit 237.000/mm

Daftar Pustaka

1. Handayani,Sarwo. Deteksi Kuman Difteri dengan  Polymerase Chain Reaction

(PCR). Cermin dunia kedokteran vol. 39 :191,2012

2. Kliegman,dkk. Infectious diseases : gram- positive bacterial infections, diphtheria

(corynebacterium diphtheriae). Nelson Textbook of Pediatrics, 18th editoin :

186,2007

3. SMF. Standar pelayanan medik infeksi : Difteri anak. Standar pelayanan medis

kesehatan anak hal.5,2012

4. Fauci's, dkk. Infectious Diseases : Diphtheria. Harrison’s Principles of Internal

Medicine Seventeenth Edition : 131,2008

5. Eko, Abrian. Difteri. Makalah mikrobiologi. Sekolah tinggi ilmu kesehatan

4

Page 5: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 5/24

majapahit ilmu kesehatan majapahit mojokerto.2011-2012

6. Nawing, Herry. Slide kuliah: Difteri Anak. Fakultas Kedokteran Univeritas

Hasanuddin.hal.41 :2012

7. Demirci,cem S. Pediatric Diphtheria. Med scape reference. 23 November 2011

8. Greene, joseph B. Diagnosis and treatment of diphtheria. The New England journal

of medicine. 19 juni 1913

9. Alberta Health and Wellness. Diphtheria. Public Health Notifiable Disease

Management Guidelines.. Januari 2011

Hasil Pembelajaran

1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh

Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada

kulit atau mukosa.

2. Kondisi penyakit Difteri di Jawa Timur masih KLB (Kejadian Luar Biasa), dan

 penyakit Difteri ini berbahaya karena sangat mudah menular dan dapat mematikan

3. Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

 pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah

membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.

4. Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belumterikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati

infeksi penyerta dan penyulit difteria, meliputi pengobatan secara umum dan

khusus yaitu pemberian ADS dan antibiotic PPC atau eritromisin

5. Pencegahan meliputi pencegahan umum (Kebersihan dan pengetahuan tentang

 bahaya penyakit ini bagi anak-anak) dan khusus (imunisasi).

6. Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran

membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan

 perawatan umum

5

Page 6: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 6/24

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif 

Pasien datang ke IGD pukul 19.48 dengan keluhan nyeri telan. Nyeri telan

dirasakan sejak 1 hari sebelumnya. Disertai demam. Masih bisa makan,

namun nafsu makan menurun. Pasien merasa pusing. Tidak ada sesak napas.

Tidak ada leher bengkak. Tidak batuk pilek. Suara tidak serak. Tidak muntah.

Riwayat pengobatan: pasien belum berobat sebelumnya sejak timbul keluhan,

langsung diperiksakan ke rumah sakit dr. Koesnadi Bondowoso. Riwayat

 penyakit sebelumnya, pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini.

Riwayat penyakit keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang

sama. Kondisi sosial, lingkungan, dan fisik: Pasien merupakan santri di salah

satu pondok pesantren di Bondowoso. Pasien mengatakan tidak ada temannya

yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat imunisasi: orang

tua pasien mengaku imunisasi pasien lengkap.

2. Objektif 

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umumnya cukup,

kesadarannya compos mentis. Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah 125/80

mmHg, Nadi 108 x/menit, Temperatur 38,5 0C, Respiration Rate 20 x/menit.

Pada pemeriksaan kepala leher didapatkan konjungtiva tidak anemis,

sklera tidak ikterik, tidak cyanosis, tidak ada sesak, tidak bullneck. Pupil isokor,

reflek cahaya positif, dan ukuran 3 cm pada kedua pupil. Pada pemeriksaan

tenggorokan didapatkan tonsil berukuran T2-T2, hiperemi tonsil dan faring,

didapatkan detritus dan beslagh di peritonsil kiri. Tidak ada kelainan pada thorax,

abdomen, dan extremitas.

Hasil pemeriksaan hapusan tenggorok oleh Dinas Kesehatan kab Bondowoso

tanggal 14 Mei 2013, pasien Positif Difteri. Pemeriksaan laboratorium Hb 12,7 g

%, Laju Endap Darah 28 mm, Leukosit 13.200 /mm

3. Assessment

6

Page 7: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 7/24

Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan

oleh toksin Corynebacterium diphtheriae. Sumber penularan penyakit difteri

adalah manusia yang sakit atau karier. Cara penularannya melalui kontak 

langsung dengan penderita atau karier, dengan masa inkubasi 2-5 hari.(1, 3,7)

Penyakit Difteri adalah penyakit masa lampau yang menular, yang muncul

kembali sebagai hasil dinamika antara kekebalan dan transmisi penyakit. Artinya

kemunculan penyakit Difteri karena kondisi masyarakat yang sebagian sudah

tidak punya kekebalan terhadap Difteri, hal ini dikarenakan cakupan imunisasi

yang dilaksanakan tidak merata pada seluruh desa. Mestinya di manapun

kelahiran seorang anak, dimanapun berada harus mendapatkan imunisasi DPT-HB

sebagai upaya perlindungan terhadap Difteri, apalagi masih ada sebagian

masyarakat yang kurang peduli terhadap imunisasi anaknya, sehingga walau ada

Posyandu/Puskesmas di sekitar rumahnya anaknya tersebut tidak terimunisasi.

Penyakit Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, yang

hanya menyerang manusia, sehingga mestinya bisa dieliminasi. Oleh karena itu

untuk menurunkan atau mencegah penyakit Difteri, kekebalan di masyarakat

harus ditingkatkan. Untuk kebutuhan tersebut, maka imunisasi rutin DPT-HB

 pada bayi harus lengkap 3 kali dengan interval pemberian yang benar sebelum

anak berusia 1 (satu) tahun.

Kondisi penyakit Difteri di Jawa Timur masih KLB (Kejadian Luar Biasa),

dan penyakit Difteri ini berbahaya karena sangat mudah menular dan dapat

mematikan. Sampai dengan 20 Oktober 2012, jumlah kasus Difteri di Jawa Timur 

mencapai 710 penderita dan 28 diantaranya meninggal dunia. Penyakit Difteri

sudah menyerang di 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur sejak tahun 2011 sampai

sekarang ini, serangan belum menurun. Pada tahun 2011, jumlah kasus Difteri

sebanyak 664 penderita dan 20 diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2011,

insiden rate tertinggi di Kota Malang sedangkan pada tahun 2012, kasus terbanyak 

di Kab. Situbondo yaitu 113 kasus meninggal 7, disusul Kab. Jombang 87 kasus

meninggal 11.

7

Page 8: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 8/24

Tidak semua galur  Corynebacterium diphtheriae  bersifat toksik, galur yang

menghasilkan toksin dapat menyebabkan penyakit yang parah. Untuk mendeteksi

toksin dari isolat klinis,  sangat diperlukan tes yang akurat dan cepat.  Hal ini

 penting untuk konfi rmasi diagnosis  klinis difteri dan untuk mengetahui risiko

 penyebaran   penyakit tersebut pada orang kontak.  Diagnosis difteri sulit

ditegakkan karena  sering rancu dengan infeksi lain seperti infeksi  tonsil oleh

Streptococcus atau infeksi kelenjar  (glandular fever). Oleh karena itu diagnosis

laboratorium sangat diperlukan untuk melengkapi diagnosis klinis. (1)

Pemeriksaan toksigenisitas kuman difteri secara in vivo dan in vitro cukup

akurat, namun memerlukan waktu lama. Pemeriksaan molekuler seperti

 Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu alternatif deteksi infeksi

difteri secara cepat dan akurat.

ETIOLOGI

Spesies Corynebacterium Diphteriae  adalah kuman batang gram-positif 

(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,

mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan

 pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau

merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam

 pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit

agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila

direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau

dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung

serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi

granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni

akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup

 bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi

serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan

khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (2,10)

8

Page 9: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 9/24

Gambar 3. Corynebacterium Diphteriae

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis,

intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil

ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe

serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa

mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae

adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,

toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji

kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)

yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu

 protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,

mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B

(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau

memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa

diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung

toxigene.(2,7,10)

PATOFISIOLOGI

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta

 berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai

memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke

seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada

9

Page 10: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 10/24

 jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.

Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang

telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom.

Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk 

membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses

translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +

dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan

enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif. (2,7)

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan

fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi

enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2

(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan

 proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida

yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah

kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan

 jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.

Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah

eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu

kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran

 juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran

akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa

 penyembuhan. (,2,7,)

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder 

dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan

edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias

terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus.

Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap

organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh

 pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi

apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi

dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi

10

Page 11: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 11/24

klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada

umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah

nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan.

Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot

dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan

fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak 

 pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-

kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.(,2,7)

GAMBARAN KLINIS

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias

 bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta

fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,

virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae (kemampuan kuman membentuk 

toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit

sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk 

 berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang

melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit

difteria. (2,3,7)

Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan

 pada tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan

hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa

inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam

 jarang lebih tinggi dari 39ºC.(2)

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang

umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau

nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna

 putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil

unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,

11

Page 12: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 12/24

 palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan

lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull

neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas

membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.

Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran

menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu

sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur 

dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane

akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (2,3)

DIAGNOSIS

A. Klinik 

1. Gejala utama :

Membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat-sifat:

- Membran tebal putih kelabu

- Pinggir hiperemis dan udem

- Sukar diangkat(2,3)

2. Gejala tambahan tergantung lokalisasinya:

a. Difteri tonsil dan faring :

- Demam subfebril

- Anoreksia ,sakit menelan

- Pembesaran kelenjar limfe servical / submandibula

- Bull neck (adenitas servical, peri adenitas dan udem jaringan

sekitarnya.secara klinik dapat dikenal bilamana pembengkakan

tersebut sedemikian, sehingga batas-batas

12

Page 13: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 13/24

m.sternocleoidomastoideus, angulus mandibula dan medial

klavikula tidak jelas lagi. (2,3)

B. Bakteriologik 

Preparat apusan langsung dan biakan (isolasi kuman difteri) dari bahan

apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab). Dalam penanganan

 penyakit difteri, gambaran klinik merupakan pegangan uatama dalam menegakkan

diagnosis, karena disetiap keterlambatan pengobatan akan menimbulkan resiko

 pada penderita. (3)

Pemeriksaan laboratorium bertujuan sebagai pemeriksaan penunjang

/konfirmasi diagnosis klinik. (3)

Diagnosis difteri harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena

 penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman

difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat

adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini

diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan

 pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara in

vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).  Cara  Polymerase Chain Reaction (PCR)

dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan

ini mahal dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan secara

luas.

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

 pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah

membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penujang yang biasa dilakukan untuk membantu dalam

menegakkan diagnosis difteri yaitu:

13

Page 14: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 14/24

- Pemeriksaan bakteriologis

Merupakan pemeriksaan yang membuat preparat apusan dan biakan

kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorokan

(nasofaringeal swab).

- Darah rutin (Hb, leukosit , hitung jenis)

- urin lengkap ( aspek protein dan sedimen)

- enzim CPK segera pada saat masuk rumah sakit

- ureum dan kreatinin bila ada kecurigaan komplikasi ginjal.

- EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan kemudian secara serial 1x/ minggu

kecuali bila ada indikasi bisa dilakukan 2-3x/minggu.(3)

PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang

 belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta

mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. (2,3)

a. Pengobatan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok 

negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3

minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian

cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup

mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan

terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7

dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar 

nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan

nebulizer. (3)

 b. Pengobatan Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

14

Page 15: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 15/24

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan

 pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita

kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka

kematian ini biasa meningkat sampai 30%.(3)

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih

dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,

sehingga harus disediakan  larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji

kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml  ADS dalam larutan garam

fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20  menit

terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes

larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan

garam fisiologis.  Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala

hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,

ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas

tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara  intravena.

Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama

sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-

120.000 KI seperti  tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena

dalam larutan garam fisiologis atau  100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.

Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping  obat dilakukan selama

15

Page 16: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 16/24

 pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula  perlu

dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1,2,3)

Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan

menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :

• 20.000 KI i.m. untuk difteri ringan (hidung, kulit, konjungtiva).

• 40.000 KI i.v. untuk difteri sedang (pseudomembran terbatas pada

tonsil, difteri laring).

• 100.000 KI i.v. untuk difteri berat (pseudomembran meluas ke luar 

tonsil, keadaan anak yang toksik, disertai "bullneck ", disertai penyulitakibat efek toksin).

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan

200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan

efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam

 berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas

lambat ( serum sickness).

2. Antibiotik 

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk 

membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah

 penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap

 berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin

dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang

 padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin

atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk 

 pemberantasan pengidap nasofaring. (2,3)

Dosis :

- Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14

hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

- Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama

14 hari.

16

Page 17: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 17/24

- Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. ,

dibagi dalam 4 dosis.

- Amoksisilin.

- Rifampisin.

- Klindamisin.

Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit

diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-

kurangnya dua biakan berturutturut dari hidung dan tenggorok (atau kulit)

yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (3)

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada

difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang

disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau

tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian

kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyat tidak terbukti.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus

 berat selama 14 hari. (3)

c. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap

 baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila

tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif 

merupakan indikasi tindakan trakeostomi. (3)

d. Pengobatan Karier 

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji

Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari

17

Page 18: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 18/24

oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin

diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. (3)

PENCEGAHAN

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan

 pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang

anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga

 perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat

imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi

tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian

memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)

atau menderita difteri ringan.(2,3,7)

18

Biakan Uji schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah

mendapat imunisasi dasar diberikan

 booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100

mg/kgBB/hari

oral/suntikan, atau eritromisin 40

mg/kgBB/hari selama 1 minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari

oral/suntikan atau

eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000

KI

(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif),

sesuaikan dengan status imunisasi

Page 19: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 19/24

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,

kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar 

imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan

 batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu

DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;

 preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5

mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk 

dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya

superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang

lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid

difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid

difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. (2,3,7)

Rencana (Jadwal) :

- Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin

mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan

sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6

tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).

- Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL

yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-

8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.

- Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.

Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus

mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6

tahun.

- Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama

adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang

diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah

umur 4 tahun. (2,3,7)

19

Page 20: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 20/24

KOMPLIKASI

- Miokarditis (10-25 %)

- Neuropati cranial dan periferal (2-6 minggu setelah onset)

- EKG abnormal pada 2-3 pasien,menyebabkan bundle branch block,

tachycardia, atrial or ventricular fibrillation, extrasystoles.

- Gagal jantung kanan

- Paralisis lokal palatum dan faring posterior dilihat dengan regurgitasi dari

cairan melalui nares.

- Syndrome like Guillain-Barré

- Neuropathy cranial dan peripheral yang mempengaruhi fungsi motorik 

nervus. (2,3,7)

PROGNOSIS

Prognosa tergantung pada :

1. Usia penderita

Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan

 pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik 

oleh membran difteri.

2. Waktu pengobatan antitoksin

Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.

3. Tipe klinis difteri

Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe

nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)

4. Keadaan umum penderita

Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.

20

Page 21: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 21/24

5. virulensi kuman

6. status imunisasi

7. Ketepatan diagnosis

Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada

sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian

tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut

Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena

1. Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,

2. Adanya miokarditis dan gagal jantung,

3. Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit

difteria, pada umumnya  akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun

demikian pernah dilaporkan kelainan jantung  yang menetap. Penyebab strain

gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia  amegakariositik dan

leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. (2,7)

4. Planning

Diagnosis

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1.  Laboratorium rutin (darah lengkap)

2.  Pemeriksaan mikrobiologi  pemeriksaan hapusan tenggorok yang diambil

dari pseudomembran dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.

Terapi

• Infus D5 0,45% 20 tpm

• Pasien dikirim ke Ruang Melati

Monitoring

Tanda Vital

21

Page 22: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 22/24

• Status THT

Edukasi

• Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien dan

 prognosanya.

• Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang penyakit yang

diderita pasien.

Konsultasi

Spesialis Anak: untuk perawatan lanjutan.

22

Page 23: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 23/24

HASIL FOLLOW UP

Tanggal

Pemeriksaan

Anamnesis Pemeriksaan Terapi

13/05/2013 Nyeri telan (+)

Demam (+)

Ku cukup

 N= 92 x/menit

RR= 28 x/menit

Tax= 38,5 C

Beslagh (+)

Infus D5 0,45% 3000

cc/24 jam

Inj PPC 2 x 1juta iu

14/05/2013 Nyeri telan (+)

Demam (+)

Ku cukup

 N= 86 x/menit

RR=24 x/menit

Tax 36,4 C

Beslagh (+)

Infus D5 0,45% 3000

cc/24 jam

Inj PPC 2 x 1juta iu

Pemeriksaan hapusan

hasil positif 

ADS iv 60.000 IU

dalam 200 cc D5 0,45%

dalam 4 jam monitoringsampai 2 jam berikutnya

15/05/2013 Nyeri telan (+) Ku cukup

 N= 96 x/menit

RR=20 x/menit

Tax 36,6 C

Beslagh (+)

 berkurang

Infus D5 0,45% 3000

cc/24 jam

Inj PPC 2 x 1juta iu

16/05/2013 Nyeri telan (+) Ku cukup

 N= 100 x/menit

RR=24 x/menit

Tax 37 C

Beslagh (+)

 berkurang

Infus aff 

Inj PPC 2 x 1juta iu

17/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik Inj PPC 2 x 1juta iu

23

Page 24: Lapsus Difteri Edit3

7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 24/24

 N= 92 x/menit

RR=20 x/menit

Tax 36,8 C

Beslagh (+)

 berkurang

18/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik  

 N= 94 x/menit

RR=20 x/menit

Tax 36,7 C

Beslagh (-)

Inj PPC 2 x 1juta iu

19/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik  

 N= 96 x/menit

RR=20 x/menit

Tax 36,8 C

Beslagh (-)

Inj PPC 2 x 1juta iu

20/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik  

 N= 94 x/menit

RR=20 x/menit

Tax 36,7 C

Beslagh (-)

Inj PPC 2 x 1juta iu

21/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik  

 N= 88 x/menit

RR=20 x/menit

Tax 36,9 C

Beslagh (-)

Inj PPC 2 x 1juta iu

24