Lapsus Difteri Edit3
-
Upload
sarrah-kusuma-dewi -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of Lapsus Difteri Edit3
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 1/24
Borang Portofolio
Nama Peserta: dr. Sarrah Kusuma Dewi
Nama Wahana: RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso
Topik: Tonsilitis Difteri
Tanggal (kasus): 13 Mei 2013
Nama Pasien: An. A No. RM: 056.44.10
Tanggal Presentasi: Juni 2013 Pendamping: dr. Rasmono, M.Kes
Tempat Presentasi: Ruang Pertemuan Komite Medik
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik ManajemenMasalah
Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: An. A / 14 th
Pasien datang ke IGD pukul 19.48 dengan keluhan nyeri telan. Nyeri telan dirasakan
sejak 1 hari sebelumnya. Disertai demam. Masih bisa makan, namun nafsu makan
menurun. Pusing (+). Sesak napas (-). Leher bengkak (-). Batuk pilek (-). Suara serak
(-). Muntah (-)
Diagnosis: Tonsilitis Difteri Derajat Sedang
Tujuan:
Menegakkan diagnosis
Memberikan terapi yang sesuai
Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit, pengobatan
serta prognosisnya.
Bahan
Bahasan:
Tinjauan
Pustaka
Riset Kasus Audit
Cara
membahas:
Diskusi Presentasi dan
diskusi
E-mail Pos
Data
pasien
Nama: An. A No. Registrasi: 056.44.10
Nama Klinik: RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso Telp: (0332)
421263
Terdaftar Sejak:
13-05-2013
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Pasien datang ke IGD pukul 19.48 dengan keluhan nyeri telan. Nyeri telan
1
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 2/24
dirasakan sejak 1 hari sebelumnya. Disertai demam. Masih bisa makan, namun
nafsu makan menurun. Pusing (+). Sesak napas (-). Leher bengkak (-). Batuk pilek
(-). Suara serak (-). Muntah (-)
2. Riwayat Pengobatan:
Pasien langsung diperiksakan ke rumah sakit.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Pasien tidak pernah seperti ini sebelumnya
4. Riwayat Keluarga:
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama
5. Riwayat pekerjaan:
Pelajar
6. Kondisi lingkungan, sosial, dan fisik: (rumah, lingkungan, pekerjaan)
Pasien merupakan santri di pondok pesantren di Bondowoso. Pasien mengatakan
tidak ada temannya yang mengalami keluhan yang sama.
7. Riwayat Imunisasi:
Orang tua pasien mengatakan imunisasi pasien lengkap
8. Pemeriksaan fisik (15-05-2013)
Status Generalis
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : compos mentis
Berat Badan : 40 kg
Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 125/80 mmHg
Nadi : 108 x/menit
Temperatur : 38,50
C
Respiration Rate : 20 x/menit
Kepala/Leher
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-
Refleks pupil : positif, pupil isokor Ө 3mm/3 mm, refleks cahaya +/+
Status THT:
2
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 3/24
Thorax
Cor
◦ Inspeksi : Ictus Cordis terlihat
◦ Palpasi : Ictus Cordis teraba
◦ Perkusi : Batas kanan : redup pada ICS IV PSL D ; Batas
kiri : redup pada ICS V MCL S
◦ Auskultasi : S1S2 tunggal, suara tambahan (-)
Kesan: tidak terdapat kelainan pada jantung
Pulmo
VENTRAL DORSAL
I Bentuk dada normal, simetris,
Ketinggalan gerak (-),
retraksi (-)
Gerak nafas tertinggal (-) ,
Simetris, Ketinggalan gerak (-),
retraksi (-)
P Nyeri tekan (-)
Fremitus raba (+)
Nyeri tekan (-)
Fremitus raba (+)
P Sonor Sonor
A RO (-) WH (-) RO (-) WH (-)
Kesan: tidak terdapat kelainan pada paru
Abdomen
Inspeksi: flat
Auskultasi: Bising usus normal
3
Beslag
Tonsil : T2-T2, hiperemi
(+), detritus (+),
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 4/24
Palpasi: soepel
Perkusi: timpani
Kesan: tidak terdapat kelainan pada abdomen
Ektremitas
Akral hangat, CRT <2 detik
Oedema (-)
Kesan: tidak terdapat kelainan pada ekstremitas
9. Pemeriksaan Hapusan Tenggorok oleh Dinas Kesehatan kab Bondowoso tanggal 14
Mei 2013: Positif Difteri
10. Pemeriksaan Laboratorium (14 Mei 2013)
Hb 12,7 g%
Laju Endap Darah 28 mm
Leukosit 13.200 /mm
Diff counteo/ba/st/sg/lym/mo -/-/-/68/22/10
Hematokrit 37%
Trombosit 237.000/mm
Daftar Pustaka
1. Handayani,Sarwo. Deteksi Kuman Difteri dengan Polymerase Chain Reaction
(PCR). Cermin dunia kedokteran vol. 39 :191,2012
2. Kliegman,dkk. Infectious diseases : gram- positive bacterial infections, diphtheria
(corynebacterium diphtheriae). Nelson Textbook of Pediatrics, 18th editoin :
186,2007
3. SMF. Standar pelayanan medik infeksi : Difteri anak. Standar pelayanan medis
kesehatan anak hal.5,2012
4. Fauci's, dkk. Infectious Diseases : Diphtheria. Harrison’s Principles of Internal
Medicine Seventeenth Edition : 131,2008
5. Eko, Abrian. Difteri. Makalah mikrobiologi. Sekolah tinggi ilmu kesehatan
4
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 5/24
majapahit ilmu kesehatan majapahit mojokerto.2011-2012
6. Nawing, Herry. Slide kuliah: Difteri Anak. Fakultas Kedokteran Univeritas
Hasanuddin.hal.41 :2012
7. Demirci,cem S. Pediatric Diphtheria. Med scape reference. 23 November 2011
8. Greene, joseph B. Diagnosis and treatment of diphtheria. The New England journal
of medicine. 19 juni 1913
9. Alberta Health and Wellness. Diphtheria. Public Health Notifiable Disease
Management Guidelines.. Januari 2011
Hasil Pembelajaran
1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit atau mukosa.
2. Kondisi penyakit Difteri di Jawa Timur masih KLB (Kejadian Luar Biasa), dan
penyakit Difteri ini berbahaya karena sangat mudah menular dan dapat mematikan
3. Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
4. Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belumterikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria, meliputi pengobatan secara umum dan
khusus yaitu pemberian ADS dan antibiotic PPC atau eritromisin
5. Pencegahan meliputi pencegahan umum (Kebersihan dan pengetahuan tentang
bahaya penyakit ini bagi anak-anak) dan khusus (imunisasi).
6. Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum
5
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 6/24
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subjektif
Pasien datang ke IGD pukul 19.48 dengan keluhan nyeri telan. Nyeri telan
dirasakan sejak 1 hari sebelumnya. Disertai demam. Masih bisa makan,
namun nafsu makan menurun. Pasien merasa pusing. Tidak ada sesak napas.
Tidak ada leher bengkak. Tidak batuk pilek. Suara tidak serak. Tidak muntah.
Riwayat pengobatan: pasien belum berobat sebelumnya sejak timbul keluhan,
langsung diperiksakan ke rumah sakit dr. Koesnadi Bondowoso. Riwayat
penyakit sebelumnya, pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini.
Riwayat penyakit keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang
sama. Kondisi sosial, lingkungan, dan fisik: Pasien merupakan santri di salah
satu pondok pesantren di Bondowoso. Pasien mengatakan tidak ada temannya
yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat imunisasi: orang
tua pasien mengaku imunisasi pasien lengkap.
2. Objektif
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umumnya cukup,
kesadarannya compos mentis. Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah 125/80
mmHg, Nadi 108 x/menit, Temperatur 38,5 0C, Respiration Rate 20 x/menit.
Pada pemeriksaan kepala leher didapatkan konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, tidak cyanosis, tidak ada sesak, tidak bullneck. Pupil isokor,
reflek cahaya positif, dan ukuran 3 cm pada kedua pupil. Pada pemeriksaan
tenggorokan didapatkan tonsil berukuran T2-T2, hiperemi tonsil dan faring,
didapatkan detritus dan beslagh di peritonsil kiri. Tidak ada kelainan pada thorax,
abdomen, dan extremitas.
Hasil pemeriksaan hapusan tenggorok oleh Dinas Kesehatan kab Bondowoso
tanggal 14 Mei 2013, pasien Positif Difteri. Pemeriksaan laboratorium Hb 12,7 g
%, Laju Endap Darah 28 mm, Leukosit 13.200 /mm
3. Assessment
6
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 7/24
Difteri merupakan infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan
oleh toksin Corynebacterium diphtheriae. Sumber penularan penyakit difteri
adalah manusia yang sakit atau karier. Cara penularannya melalui kontak
langsung dengan penderita atau karier, dengan masa inkubasi 2-5 hari.(1, 3,7)
Penyakit Difteri adalah penyakit masa lampau yang menular, yang muncul
kembali sebagai hasil dinamika antara kekebalan dan transmisi penyakit. Artinya
kemunculan penyakit Difteri karena kondisi masyarakat yang sebagian sudah
tidak punya kekebalan terhadap Difteri, hal ini dikarenakan cakupan imunisasi
yang dilaksanakan tidak merata pada seluruh desa. Mestinya di manapun
kelahiran seorang anak, dimanapun berada harus mendapatkan imunisasi DPT-HB
sebagai upaya perlindungan terhadap Difteri, apalagi masih ada sebagian
masyarakat yang kurang peduli terhadap imunisasi anaknya, sehingga walau ada
Posyandu/Puskesmas di sekitar rumahnya anaknya tersebut tidak terimunisasi.
Penyakit Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, yang
hanya menyerang manusia, sehingga mestinya bisa dieliminasi. Oleh karena itu
untuk menurunkan atau mencegah penyakit Difteri, kekebalan di masyarakat
harus ditingkatkan. Untuk kebutuhan tersebut, maka imunisasi rutin DPT-HB
pada bayi harus lengkap 3 kali dengan interval pemberian yang benar sebelum
anak berusia 1 (satu) tahun.
Kondisi penyakit Difteri di Jawa Timur masih KLB (Kejadian Luar Biasa),
dan penyakit Difteri ini berbahaya karena sangat mudah menular dan dapat
mematikan. Sampai dengan 20 Oktober 2012, jumlah kasus Difteri di Jawa Timur
mencapai 710 penderita dan 28 diantaranya meninggal dunia. Penyakit Difteri
sudah menyerang di 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur sejak tahun 2011 sampai
sekarang ini, serangan belum menurun. Pada tahun 2011, jumlah kasus Difteri
sebanyak 664 penderita dan 20 diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2011,
insiden rate tertinggi di Kota Malang sedangkan pada tahun 2012, kasus terbanyak
di Kab. Situbondo yaitu 113 kasus meninggal 7, disusul Kab. Jombang 87 kasus
meninggal 11.
7
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 8/24
Tidak semua galur Corynebacterium diphtheriae bersifat toksik, galur yang
menghasilkan toksin dapat menyebabkan penyakit yang parah. Untuk mendeteksi
toksin dari isolat klinis, sangat diperlukan tes yang akurat dan cepat. Hal ini
penting untuk konfi rmasi diagnosis klinis difteri dan untuk mengetahui risiko
penyebaran penyakit tersebut pada orang kontak. Diagnosis difteri sulit
ditegakkan karena sering rancu dengan infeksi lain seperti infeksi tonsil oleh
Streptococcus atau infeksi kelenjar (glandular fever). Oleh karena itu diagnosis
laboratorium sangat diperlukan untuk melengkapi diagnosis klinis. (1)
Pemeriksaan toksigenisitas kuman difteri secara in vivo dan in vitro cukup
akurat, namun memerlukan waktu lama. Pemeriksaan molekuler seperti
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu alternatif deteksi infeksi
difteri secara cepat dan akurat.
ETIOLOGI
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif
(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit
agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila
direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung
serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi
granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni
akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (2,10)
8
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 9/24
Gambar 3. Corynebacterium Diphteriae
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis,
intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil
ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.(2,7,10)
PATOFISIOLOGI
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
9
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 10/24
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang
telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom.
Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif. (2,7)
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan
proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. (,2,7,)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan
edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias
terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus.
Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap
organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh
pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
10
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 11/24
klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah
nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan.
Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot
dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan
fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak
pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-
kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.(,2,7)
GAMBARAN KLINIS
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae (kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteria. (2,3,7)
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan
pada tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC.(2)
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna
putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
11
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 12/24
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan
lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull
neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas
membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu
sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur
dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane
akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (2,3)
DIAGNOSIS
A. Klinik
1. Gejala utama :
Membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat-sifat:
- Membran tebal putih kelabu
- Pinggir hiperemis dan udem
- Sukar diangkat(2,3)
2. Gejala tambahan tergantung lokalisasinya:
a. Difteri tonsil dan faring :
- Demam subfebril
- Anoreksia ,sakit menelan
- Pembesaran kelenjar limfe servical / submandibula
- Bull neck (adenitas servical, peri adenitas dan udem jaringan
sekitarnya.secara klinik dapat dikenal bilamana pembengkakan
tersebut sedemikian, sehingga batas-batas
12
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 13/24
m.sternocleoidomastoideus, angulus mandibula dan medial
klavikula tidak jelas lagi. (2,3)
B. Bakteriologik
Preparat apusan langsung dan biakan (isolasi kuman difteri) dari bahan
apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab). Dalam penanganan
penyakit difteri, gambaran klinik merupakan pegangan uatama dalam menegakkan
diagnosis, karena disetiap keterlambatan pengobatan akan menimbulkan resiko
pada penderita. (3)
Pemeriksaan laboratorium bertujuan sebagai pemeriksaan penunjang
/konfirmasi diagnosis klinik. (3)
Diagnosis difteri harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman
difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini
diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan
pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara in
vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR)
dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan
ini mahal dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan secara
luas.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penujang yang biasa dilakukan untuk membantu dalam
menegakkan diagnosis difteri yaitu:
13
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 14/24
- Pemeriksaan bakteriologis
Merupakan pemeriksaan yang membuat preparat apusan dan biakan
kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorokan
(nasofaringeal swab).
- Darah rutin (Hb, leukosit , hitung jenis)
- urin lengkap ( aspek protein dan sedimen)
- enzim CPK segera pada saat masuk rumah sakit
- ureum dan kreatinin bila ada kecurigaan komplikasi ginjal.
- EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan kemudian secara serial 1x/ minggu
kecuali bila ada indikasi bisa dilakukan 2-3x/minggu.(3)
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. (2,3)
a. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian
cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7
dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer. (3)
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
14
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 15/24
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini biasa meningkat sampai 30%.(3)
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,
ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas
tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
15
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 16/24
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1,2,3)
Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan
menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :
• 20.000 KI i.m. untuk difteri ringan (hidung, kulit, konjungtiva).
• 40.000 KI i.v. untuk difteri sedang (pseudomembran terbatas pada
tonsil, difteri laring).
• 100.000 KI i.v. untuk difteri berat (pseudomembran meluas ke luar
tonsil, keadaan anak yang toksik, disertai "bullneck ", disertai penyulitakibat efek toksin).
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan
200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan
efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat ( serum sickness).
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin
dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang
padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin
atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
pemberantasan pengidap nasofaring. (2,3)
Dosis :
- Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14
hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
- Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama
14 hari.
16
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 17/24
- Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. ,
dibagi dalam 4 dosis.
- Amoksisilin.
- Rifampisin.
- Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit
diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-
kurangnya dua biakan berturutturut dari hidung dan tenggorok (atau kulit)
yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (3)
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau
tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyat tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari. (3)
c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi. (3)
d. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
17
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 18/24
oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. (3)
PENCEGAHAN
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi
tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan.(2,3,7)
18
Biakan Uji schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100
mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000
KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif),
sesuaikan dengan status imunisasi
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 19/24
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,
kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. (2,3,7)
Rencana (Jadwal) :
- Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan
sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6
tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
- Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL
yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-
8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
- Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6
tahun.
- Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama
adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang
diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah
umur 4 tahun. (2,3,7)
19
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 20/24
KOMPLIKASI
- Miokarditis (10-25 %)
- Neuropati cranial dan periferal (2-6 minggu setelah onset)
- EKG abnormal pada 2-3 pasien,menyebabkan bundle branch block,
tachycardia, atrial or ventricular fibrillation, extrasystoles.
- Gagal jantung kanan
- Paralisis lokal palatum dan faring posterior dilihat dengan regurgitasi dari
cairan melalui nares.
- Syndrome like Guillain-Barré
- Neuropathy cranial dan peripheral yang mempengaruhi fungsi motorik
nervus. (2,3,7)
PROGNOSIS
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan
pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik
oleh membran difteri.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
20
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 21/24
5. virulensi kuman
6. status imunisasi
7. Ketepatan diagnosis
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian
tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
1. Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
2. Adanya miokarditis dan gagal jantung,
3. Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain
gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan
leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. (2,7)
4. Planning
Diagnosis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Laboratorium rutin (darah lengkap)
2. Pemeriksaan mikrobiologi pemeriksaan hapusan tenggorok yang diambil
dari pseudomembran dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.
Terapi
• Infus D5 0,45% 20 tpm
• Pasien dikirim ke Ruang Melati
Monitoring
•
Tanda Vital
21
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 22/24
• Status THT
Edukasi
• Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien dan
prognosanya.
• Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang penyakit yang
diderita pasien.
Konsultasi
Spesialis Anak: untuk perawatan lanjutan.
22
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 23/24
HASIL FOLLOW UP
Tanggal
Pemeriksaan
Anamnesis Pemeriksaan Terapi
13/05/2013 Nyeri telan (+)
Demam (+)
Ku cukup
N= 92 x/menit
RR= 28 x/menit
Tax= 38,5 C
Beslagh (+)
Infus D5 0,45% 3000
cc/24 jam
Inj PPC 2 x 1juta iu
14/05/2013 Nyeri telan (+)
Demam (+)
Ku cukup
N= 86 x/menit
RR=24 x/menit
Tax 36,4 C
Beslagh (+)
Infus D5 0,45% 3000
cc/24 jam
Inj PPC 2 x 1juta iu
Pemeriksaan hapusan
hasil positif
ADS iv 60.000 IU
dalam 200 cc D5 0,45%
dalam 4 jam monitoringsampai 2 jam berikutnya
15/05/2013 Nyeri telan (+) Ku cukup
N= 96 x/menit
RR=20 x/menit
Tax 36,6 C
Beslagh (+)
berkurang
Infus D5 0,45% 3000
cc/24 jam
Inj PPC 2 x 1juta iu
16/05/2013 Nyeri telan (+) Ku cukup
N= 100 x/menit
RR=24 x/menit
Tax 37 C
Beslagh (+)
berkurang
Infus aff
Inj PPC 2 x 1juta iu
17/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik Inj PPC 2 x 1juta iu
23
7/22/2019 Lapsus Difteri Edit3
http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-difteri-edit3 24/24
N= 92 x/menit
RR=20 x/menit
Tax 36,8 C
Beslagh (+)
berkurang
18/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik
N= 94 x/menit
RR=20 x/menit
Tax 36,7 C
Beslagh (-)
Inj PPC 2 x 1juta iu
19/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik
N= 96 x/menit
RR=20 x/menit
Tax 36,8 C
Beslagh (-)
Inj PPC 2 x 1juta iu
20/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik
N= 94 x/menit
RR=20 x/menit
Tax 36,7 C
Beslagh (-)
Inj PPC 2 x 1juta iu
21/04/2013 Nyeri telan (-) Ku baik
N= 88 x/menit
RR=20 x/menit
Tax 36,9 C
Beslagh (-)
Inj PPC 2 x 1juta iu
24