Latar Belakang. Cp

40
Latar Belakang Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada sel-sel otak dalam kurun waktu perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little (1843), yang menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy, sedangkan Sigmud Freud menyebutnya dengan istilah infantile Cerebra)Paralysis. Ada beberapa factor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi yang diambil, cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insidensi cerebral palsy di Eropa (1950) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup, Gilory memperoleh 5 dan 1000 anak memperlihatkan deficit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy, 50 % kasus termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah penderita yang memerlukan perawatan khusus, 25 % mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30 % kasus menunjukkn IQ di bawah 70, 35 % disertai kejang, sedangkan 50 % menunjukan

Transcript of Latar Belakang. Cp

Latar Belakang

Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada sel-sel

otak dalam kurun waktu perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan

saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan

otak yang belum selesai pertumbuhannya. Yang pertama kali memperkenalkan penyakit

ini adalah William John Little (1843), yang menyebutnya dengan istilah cerebral

diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia neonatorum. Sir William Olser adalah

yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy, sedangkan Sigmud Freud

menyebutnya dengan istilah infantile Cerebra)Paralysis.

Ada beberapa factor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu:

populasi yang diambil, cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insidensi cerebral

palsy di Eropa (1950) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup, Gilory memperoleh 5 dan

1000 anak memperlihatkan deficit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy, 50 %

kasus termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah

penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah

penderita yang memerlukan perawatan khusus, 25 % mempunyai intelegensi rata-rata

(normal), sedangkan 30 % kasus menunjukkn IQ di bawah 70, 35 % disertai kejang,

sedangkan 50 % menunjukan gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak dari pada wanita

( 1,4 : 1,0).

Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian, yaitu masa

pranatal (saat bayi masih dalam kandungan), perinatal (saat persalinan), dan postnatal

(sesaat setelah persalinan).

Dampak dari cerebral palsi antara lain : kontraktur yaitu sendi tidak dapat

digerakkan atau ditekuk karena otot memendek, skoliosis yaitu tulang belakang

melengkung ke samping disebabkan karena  kelumpuhan hemiplegia, dekubitus yaitu

adanya suatu luka yang menjadi borok akibat mengalami kelumpuhan menyeluruh,

sehingga ia harus selalu berbaring di tempat tidur, deformitas (perubahan bentuk) akibat

adanya kontraktur. Penatalaksaan dari serebral palsy adalah dengan cara medik,

fisioterapi, pembedahan, obat-obatan, reedukasi dan rehabilitasi.

1.2        Rumusan Masalah

1.        apa definisi dari cerebral palsy ?

2.        apa etiologi dari cerebral palsy ?

3.        apa klasifikasi dari cerebral palsy ?

4.        bagaimana patofisiologi dari cerebral palsy ?

5.        bagaimana WOC dari cerebral palsy ?

6.        bagaimana manifestasi klinis dari cerebral palsy ?

7.        apa saja penatalaksanaan dari cerebral palsy ?

8.        apa saja komplikasi dari cerebral palsy ?

9.        bagaimana pemeriksaan diagnostic dari cerebral palsy ?

10.    bagaimana pencegahan dari cerebral palsy ?

11.    bagaimana prognosis dari cerebral palsy ?

1.3        Tujuan

1.        untuk mengetahui definisi dari cerebral palsy

2.        untuk mengetahui etiologi dari cerebral palsy

3.        untuk mengetahui klasifikasi dari cerebral palsy

4.        untuk mengetahui patofisiologi dari cerebral palsy

5.        untuk mengetahui WOC dari cerebral palsy

6.        untuk mengetahui manifestasi klinis dari cerebral palsy

7.        untuk mengetahui penatalaksanaan dari cerebral palsy

8.        untuk mengetahui komplikasi dari cerebral palsy

9.        untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari cerebral palsy

10.    untuk mengetahui pencegahan dari cerebral palsy

11.    untuk mengetahui prognosis dari cerebral palsy

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1        Definisi

Cerebral palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin di definisikan sebagai

kelainan postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak

normalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang

berkembang. ( Behrman, 1999)

Palsy Cerebralis adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif,

oleh karna suatu kerusakan/ gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang

sedang tumbuh/belum selesai pertumbuhannya. (Syam, 2006)

Cerebral palsy ialah suatu gangguan nonspesifik yang disebabkan oleh

abnormalitas system motor piramida ( motor kortek, basal ganglia dan otak kecil ) yang

ditandai dengan kerusakan pergerakan dan postur pada serangan awal. ( Suriadi, 2006).

Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif,

terjadi pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan ) serta merintangi perkembangan otak

normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan

dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologist berupa kelumpuhan spastis,

gangguan ganglia basal dan sebelum juga kelainan mental. ( Ngastiyah, 2000).

Cerebral palsy ialah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun

waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik didalam susunan saraf pusat,

bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang

belum selesai pertumbuhannya. ( Yulianto, 2000).

Cerebral palsy adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya

pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya. ( Santi

Wijaya, 1999).

2.2        Etiologi

Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian :

1.        Pranatal

a.         Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom

b.         Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun

c.         Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis

d.        Radiasi sewaktu masih dalam kandungan

e.         Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia  maternal, kelainan

umbilikus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain – lain).

f.          Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan, rokok dan alkohol.

g.         Induksi konsepsi.

h.         Riwayat obstetrik (riwayat keguguran, riwayat lahir mati, riwayat melahirkan anak

dengan berat badan < 2000 gram atau lahir dengan kelainan morotik, retardasi mental

atau sensory deficit).

i.           Toksemia gravidarum. kumpulan gejala–gejala dalam kehamilan yang merupakan

trias HPE (Hipertensi, Proteinuria dan Edema), yang kadang–kadang bila keadaan lebih

parah diikuti oleh KK (kejang–kejang/konvulsi dan koma). Patogenetik hubungan antara

toksemia pada kehamilan dengan kejadian CP masih belum jelas. Namun, hal ini

mungkin terjadi karena toksemia menyebabkan kerusakan otak pada janin.

j.           Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena kematian prenatal pada salah

satu bayi kembar

2.         Perinatal

a.         Anoksia/hipoksia

Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cidera otak. Keadaan inilah

yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal demikian terdapat pada keadaan presentasi

bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta,

partus menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan seksio sesar.

b.         Perdarahan otak

Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya,

misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan dan

peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid

dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mangakibatkan hidrosefalus. Perdarahan

di ruangsubdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.

c.         Prematuritas

Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita pendarahan otak lebih banyak

dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, factor

pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.

d.        Ikterus

Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal

akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas

golongan darah.

e.         Kelahiran sungsang

f.          Status gizi ibu saat hamil

g.         Bayi kembar

h.         Meningitis purulenta

Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan

mengakibatkan gejala sisa berupa palsi serebral.

3.         Postnatal.

a.         Trauma kepala.

b.         Meningitis/ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan.

c.         Racun : logam berat.

d.        Luka Parut pada otak pasca bedah.

Beberapa penelitian menyebutkan factor prenatal dan perinatal lebih berperan

dari pada factor pascanatal. Studi oleh nelson dkk ( 1986 ) menyebutkan bayi dengan

berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemia prenatal, factor penyebab cerebral palsy.

Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat akhir, sedangkan factor

perinatal yaitu segala factor yang menyebabkan Cerebral palsy mulai dari lahir sampai

satu bulan kehidupan. Sedangkan factor pascanatal mulai dari bulan pertama kehidupan

sampai 2 tahun. ( Hagbreg dkk, 1975 ), atau sampai 5 tahun kehidupan (Stanley, 1982 ),

atau sampai 16 tahun (Hod, 1964 )

2.3        Klasifikasi

2.3.1    Berdasarkan Derajat Kemampuan Fungsional

a.      Ringan

Penderita masih bisa mengerjakan pekerjaan aktifitas sehari-hari, sehingga sama sekali

tidak atau memerlukan bantuan. Mereka dapat hidup bersama-sama dengan anak normal

lainnya, meskipun cacat tetapi tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.

b.      Sedang

Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bantuan dan pendidikan khusus agar

dapat merawat diri sendiri. Mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk

bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-lat khusus

untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki,

kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-

anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga dapat bergerak,

bergaul dan hidup ditengah masyarakat dengan baik.

c.       Berat

Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak dapat hidup tanpa

pertolongan orang lain. Anak cerebral palsy golongan ini yang tetap membutuhkan

perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat

hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat

 

2.3.2    Berdasarkan Gejala Klinis

a.       Tipe Spastis atau Piramidal. Pada tipe ini gejala yang selalu ada adalah

1.      Monoplegia / monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi salah satu anggota

gerak lebih hebat dari yang lainnya.

2.      Hemiplegia / hemiparisis. Kelumpahan lengan dan tungkai dipihak yang sama.

3.      Diplegia / diparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi tungkai lebih hebat dari

pada lengan.

4.      Tetraplegia / tetraparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi lengan lebih atau

sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai yang lain

5.      Quadriplegia. Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi juga

ekstremitas bawah dan juga terjadi keterbatasan (paucity) pada tungkai.

 

b.      Tipe Ataxia

Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan

menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tampak bila

mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan

kaku. Kerusakan terletak diserebelum.

c.       Tipe athetosis atau koreothetosis

Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang ditampakkan adalah

gerakan–gerakan yang involunter dengan ayunan yang melebar. Athetosis terbagi

menjadi :

1.      Distonik

Kondisi ini sangat jarang, sehingga penderita yang mengalami distonik dapat mengalami

misdiagnosis. Gerakan distonia tidak seperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia

lainnya. Umumnya menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal. Gerakan yang

dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama pada leher dan kepala.

2.      Diskinetik

Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan involunter, tidak terkontrol,

berulang–ulang dan kadangkala melakukan gerakan stereotype.

d.      Atonik

Anak-anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas dan kelemahan pada kaki.

Walaupun mengalami hipotonik namun lengan dapat menghasilkan gerakan yang

mendekati kekuatan dan koordinasi normal.

e.       Tipe Campuran

Gejala-gejalanya merupakan campuran dari 2 gejala tersebut diatas.

2.4        Patofisiologi

Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya,

menyebabkan otak sebagai subyek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral ischemia yang

terjadi sebelum minggu ke–20 kehamilan dapat menyebabkan defisit migrasi neuronal,

antara minggu ke–24 sampai ke–34 menyebabkan periventricular leucomalacia (PVL)

dan antara minggu ke–34 sampai ke–40 menyebabkan focal atau multifocal cerebral

injury.

Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor saat

terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah ke otak

dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap penurunan

oksigenasi. Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak.

Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik yang

menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di daerah

paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada substansia grisea

korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh tergantung tempat yang terkena.

Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran premature seperti

imaturitas pada otak dan vaskularisasi cerebral merupakan suatu bukti yang menjelaskan

mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian CP.

Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah janin ke otak dapat menyebabkan tendensi

terjadinya hipoperfusi sampai dengan periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat

menyebabkan haemorrhage pada matrik germinal atau PVL, yang berhubungan dengan

kejadian diplegia spastik.

Pada saat dimana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak dewasa,

hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari arteri cerebral

mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik quadriplegia. Ganglia basal juga

dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya

ekstrapiramidal (seperti koreoathetoid atau distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi

pada saat perawatan seringkali terjadi dalam distribusi arteri cerebral bagian tengah, yang

menyebabkan terjadinya fenotip spastik hemiplegia.

Tidak ada hal–hal yang mengatur dimana kerusakan vaskular akan terjadi, dan

kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak janin.

Autoregulasi peredaran darah cerebral pada neonatal sangat sensitif terhadap asfiksia

perinatal, yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral hyperemia. Terjadinya

kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan vaskular regional dan faktor

metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan pembentukkan synaps.

Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa kehamilan,

area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles sangat rentan

terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggungjawab terhadap

kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat menyebabkan spastik diplegia

(yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki, dengan atau tanpa keterlibatan lengan

dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang lebih besar menyebar sebelum area fiber

berkurang dari korteks motorik, hal ini dapat melibatkan centrum semiovale dan corona

radiata, yang dapat menyebabkan spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas

bawah.

2.5         

                                  

2.6        Manifestasi klinis

Manifestasi klinis cerebral plasy tergantung dari bagian dan luas jaringan otak

yang mengalami kerusakan :

1.         Spastisitas

a.    Monoplegia / monoparesis

Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang

lainnya.

b.    Hemiplegia / hemiparisis

Kelumpahan lengan dan tungkai dipihak yang sama.

c.    Diplegia / diparesis

Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi tungkai lebih hebat dari pada lengan.

d.   Tetraplegia / tetraparesis

Kelumpuhan keempat anggota gerak, tapi lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan

dengan tungkai yang lain

2.        Tonus otot yang berubah

Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid (lemas) dan berbaring

seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron.

Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi.

Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila

dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis, Refleks otot yang

normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refelek neonatal dan tonic

neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh

afiksia perinatal atau ikterus.

3.        Koreo-atetosis

Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan

sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid, tetapa sesudah

itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya

perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak

diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.

4.         Ataksia

Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan

menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tamapak

bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung

dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum.

5.         Gangguan pendengaran

Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen

terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada

golongan koreo-atetosis.

6.         Gangguan bicara

Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi

dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut

sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

7.        Gangguan mata

Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.pada

keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.

Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus yang

berat, bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan.

Gejalanya bervariasi, mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata sampai

kekakuan yang berat, yang menyebabkan bentuk lengan dan tungkai sehingga anak harus

memakai kursi roda.

2.7        Penatalaksanaan

1.         Medik

Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini perlu kerjasama yang

baik dan merupakan suatu team antara dokter anak,neurolog, psikiater, dokter mata,

dokter THT, ahli ortopedi, psikologi, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial,

guru sekolah luar biasa, dan orang tua penderita.

2.        Fisioterapi

Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orangtua turut membantu program

latihan di rumah. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita pada

waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal

disuatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakuakan sepanjang penderita hidup.

3.        Pembedahan

Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan

pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan

stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerekan koreoatetosis yang berlebihan.

4.        Obat-obatan

Pasien sebral palsi (CP) yang dengan gejala motorik ringan adalah baik, makin banyak

gejala penyertanya dan makin berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya. Bila di

negara maju ada tersedia institute cerebral palsy untuk merawat atau untuk menempung

pasien ini.

5.         Reedukasi dan rehabilitasi.

Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu

mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu

dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan

kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya

mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan

hidupnya sendiri. Fisioterapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang

diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent  untuk aktivitas sehari-

hari. Fisioterapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur

perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat

dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi dilakukan

sepanjang hidup penderita. Selain fisioterapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan

tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-

sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy

dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya

diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama

sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah

melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah

dengan melihat seperlunya.

6.        Tindakan keperawatan

Mengobservasi dengan cermat bayi-nayi baru lahir yang beresiko ( baca status bayi

secara cermat mengenai riwayat kehamilan/kelahirannya . jika dijumpai adanya kejang

atau sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera memberitahukan dokter agar dapat

dilakukan penanganan semestinya.Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi

gangguan pada otak walaupun selama di ruang perawatan tidak terjadi kelainan agar

dipesankan kepad orangtua/ibunya jika melihat sikap bayi tidak normal supaya segera

dibawa konsultasi ke dokter.

2.8        Komplikasi

Ada anak cerebral palsy yang menderita komplikasi seperti :

1.        Kontraktur yaitu sendi tidak dapat digerakkan atau ditekuk karena otot memendek.

2.        Skoliosis yaitu tulang belakang melengkung ke samping disebabkan karena  kelumpuhan

hemiplegia.

3.        Dekubitus yaitu adanya suatu luka yang menjadi borok akibat mengalami kelumpuhan

menyeluruh, sehingga ia harus selalu berbaring di tempat tidur.

4.        Deformitas (perubahan bentuk) akibat adanya kontraktur.

5.        Gangguan mental. Anak CP tidak semua tergangu kecerdasannya, mereka ada yang

memiliki kadar kecerdasan pada taraf rata-rata, bahkan ada yang berada di atas rata-rata.

Komplikasi mental dapat terjadi apabila yang bersangkutan diperlakukan secara tidak

wajar

2.9        Pemeriksaan Diagnostik

1.        Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis sebral palsi di

tegakkan.

2.        Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebabnya suatu

proses degeneratif. Pada serebral palsi. CSS normal.

3.        Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien kejang atau pada golongan hemiparesis baik

yang disertai kejang maupun yang tidak.

4.        Foto rontgen kepala.

5.        Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang dibutuhkan.

6.        Pemeriksaan metobolik untuk menyingkirkan penyebablain dari reterdasi mental.

2.10    Pencegahan

Sebagian besar kasus cerebral palsy tidak dapat dicegah, dikarenakan akar

penyebab cerebral palsy bergantung pada waktu kejadiannya. Namun, para peneliti telah

mengidentifikasi bahwa faktor risiko cerebral palsy umumnya terjadi pada masa prenatal,

persalinan, dan saat anak masih bayi. Faktor risiko ini secara signifikan dapat

menyebabkan seorang anak memiliki kemungkinan lebih besar akan mengalami cerebral

palsy di kemudian hari. Kelahiran prematur merupakan faktor risiko terkuat. Sedangkan

yang lainnya adalah keadaan selama proses kehamilan, persalinan, serta kejadian pada

awal masa kanak-kanak.

Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa tips untuk mencegah terjadinya

cerebral palsy :

1.        Cegah bayi Anda dari berat badan lahir rendah atau lahir prematur dengan mengikuti

pola hidup sehat selama kehamilan, termasuk gizi yang baik, istirahat, dan olahraga yang

cukup. Selain itu, hindari alkohol, rokok, dan penggunaan narkoba. Hal ini dikarenakan

apabila bayi Anda lahir dengan berat badan rendah, kemungkinan bayi Anda menderita

cerebral palsy akan meningkat.

2.        Buat jadwal kunjungan dengan dokter ob-gyn (dokter kandungan) di awal kehamilan

yang berfokus pada apa yang dapat Anda lakukan untuk mengurangi risiko kemungkinan

melahirkan secara prematur. Hal ini dikarenakan hampir setengah dari semua anak yang

menderita cerebral palsy lahir dengan prematur.

3.        Ambil tindakan pencegahan apapun yang diperlukan untuk memastikan bahwa Anda

tidak termasuk ke dalam kelompok dengan faktor risiko melahirkan prematur seperti

terpapar karbon monoksida, radang, atau infeksi lainnya. Anda juga harus menghindari

bekerja sambil berdiri selama berjam-jam, penyakit menular seksual, dan kekerasan

dalam rumah tangga. Dokter kandungan mungkin akan merekomendasikan istirahat total

di tempat tidur atau intervensi lainnya jika faktor risiko tersebut telah ada.

4.        Tanyakan pada dokter kandungan tentang kemungkinan pengobatan menggunakan

progesteron, yoghurt, pemakaian Clindamycin untuk perawatan pH vagina tinggi, atau

mengonsumsi suplemen minyak ikan. Masing-masing pendekatan ini telah terbukti cukup

efektif dalam mengurangi faktor risiko kelahiran prematur dan jangan lupa ketika hamil

mengkonsumsi sari kurma.

5.        Konsultasikan dengan dokter kandungan mengenai apakah Anda harus mendapat

pengobatan untuk mengurangi faktor-faktor yang memperkuat faktor risiko kelahiran

prematur seperti tekanan darah tinggi, infeksi saluran kencing, kecemasan, atau diabetes.

6.        Hindari infeksi yang dapat mengakibatkan pelepasan cytokinin beracun ke otak janin

selama kehamilan. Infeksi pada ibu hamil memiliki risiko tiga kali lebih besar

kemungkinannya menyebabkan anak berkembang menjadi cerebral palsy.

2.11    Prognosis

Prognosis tergantung pada gejala dan tipe serebral palsi. Prognosis paling baik

pada derajat fungsional yang ringan. Prognosis bertambah berat apabila disertai dengan

retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan pengkiahatan dan pendengaran, infeksi

plasenta, plasenta previa, presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1        Pengkajian

1.         Biodata

a.    Laki-laki lebih banyak dari pada wanita.

b.    Sering terjadi pada anak pertama è kesulitan pada waktu melahirkan.

c.    Kejadin lebih tinggi pada bayi BBLR dan kembar.

d.   Umur ibu lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.

2.         Riwayat kesehatan.

Riwayat kesehaataan yang berhubungan dengan factor prenatal, natal dan post natal serta

keadaan sekitar kelaahiran yang mempredisposisikan anoksia janin.

3.        Keluhan dan manifestasi klinik

Observasi adanya manivestasi cerebral palsy, khususnya yang berhubungan dengan

pencapaian perkembangan :

a.    Perlambatan perkembangan motorik kasar

Manifestasi umum, pelambatan pada semua pencapaian motorik, meningkat sejalan

dengan pertumbuhan.

b.    Tampilan motorik abnormal

Merangkak asimetris abnormal, berdiri atau berjinjit, gerakan involunter atau tidak

terkoordinasi, menghisap buruk, kesulitan makan, sariawan lidah menetap.

c.    Perubahan tonus otot

Peningkatan atau penurunan tahanan pada gerakan pasif, postur opistotonik (lengkung

punggung berlebihan), merasa kaku dalam memegang atau berpakaian, kesulitan dalam

menggunakan popok, kaku atau tidak menekuk pada pinggul dan sendi lutut bila ditarik

ke posisi duduk (tanda awal).

d.   Posture abnormal

Mempertahankan agar pinggul lebih tinggi dari tubuh pada posisi telungkup,

menyilangkan ataau mengekstensikan kaki dengan telapak kaki plantar fleksi pada posisi

telentang, postur tidur dan istirahat infantile menetap, lengan abduksi pada bahu, siku

fleksi, tangan mengepal.

e.    Abnormalitas refleks

Refleks infantile primitive menetap (reflek leher tonik ada pada usia berapa pun, tidak

menetap diatas usia 6 bulan), Refleks Moro, plantar, dan menggenggam menetap atau

hiperaktif, Hiperefleksia, klonus pergelangan kaki dan reflek meregang muncul pada

banyak kelompok otot pada gerakan pasif cepat.

f.     Kelainan penyerta (bias ada, bisa juga tidak).

Pembelajaran dan penalaran subnormal (retardasi mental pada kira-kira dua pertiga

individu). Kerusakan perilaku dan hubungan interpersonal.

3.2        Diagnosa Keperawatan

1.        Gangguan mobilitas berhubungan dengan kelumpuhan

2.         Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk

mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder

adanya rigiditas.

3.         Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.

4.         Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan

sekunder terhadap spastisitas.

5.         Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.

3.3        Intervensi

Gangguan mobilitas berhubungan dengan kelumpuhan

Tujuan :

        meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang

mungkin

        meningkatkan kekuatan/ fungsi yang sakit

INTERVENSI RASIONAL

a.       Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan

oleh cedera/ pengobatan dan perhatikan

persepsi pasien terhadap imobilisasi

a.   Pasien mungkin dibatasi oleh

pandangan diri/persepsi diri tentang

keterbatasan fisik aktual, memerlukan

informasi/ intervensi untuk

b.      Intruksikan pasien untuk/bantu dalam

rentang gerak pasien/ aktif pada

ekstrimitas yang sakit dan yang tak

sakit.

c.       Dorong penggunaan latihan isometrik

mulai dengan tungkai yang tak sakit

d.      Ubah posisi secara periodik dan dorong

untuk latihan batuk /napas dalam.

meningkatkan kemajuan kesehatan.

b.  Meningkatkan aliran darah ke otot dan

tulang untuk meningkatkan tonus otot,

mempertahankan gerak sendi mencegah

kontraktur/atrofi dan resorpsi kalsium

karena tidak digunakan

c.   Kontraksi otot isometrik tanpa

menekuk sendi atau menggerakkan

tungkai dan membantu

mempertahankan kekuatan dan masa

otot. Catatan: latihan ini dikontraksikan

pada peredaran akut/edema

d.  Mencegah/menurunkan insiden

komplikasi kulit/ pernapasan

( dekubitus, atelektasis, pneumonia)

Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan

untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial

sekunder adanya rigiditas.

Tujuan :

- Klien melakukaan proses komunikasi.

INTERVENSI RASIONAL

a.    Beri tahu ahli terapi bicara dengan

lebih dini

b.    Bicara pada anak dengan perlahan

a.    sebelum anak mempelajari kebiasaan

komunikasi yang buruk

b.    memberikan waktu padaa anak untuk

memahami pembicaraan

c.    Gunakan artikel dan gambar

d.   Gunakan teknik makan

c.    menguatkan bicara adaan mendorong

pemahaman

d.   membantu memudahkan bicara seperti

menggunakan bibir, gigi dan berbagai

gerakan lidah.

Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut

Tujuan :

        Anak berpartisipasi dalam aktivitas makan sesuai kemampuannya

        Anak mengkonsumsi nutrisi jumlah yang cukup

INTERVENSI RASIONAL

a.       Baringkan pasien dengan kepala

tempat tidur 30-45 derajat, posisi duduk

dan menegakkan leher

b.      Berikan makanan semipadat dan cairan

melalui sedotan untuk anak yang

berbaring pada posisi telungkup

c.       Berikan makanan daan kudapaan tinggi

kalori dan tinggi protein

d.      Beri makanan yang disukai anak

e.       Perkaya makanan dengan suplemen

nutrisi mis.susu bubuk atau suplemen

yang lain

f.       Pantau berat badan dan pertumbuhan

a.   posisi ideal saat makan sehingga

menurunkan resiko tersedak

b.  mencegah aspirasi dan membuat

makan/minum menjadi lebih mudah

c.   memenuhi kebutuhan tubuh untuk

metabolisme dan pertumbuhan

d.  mendorong anak agar mau makan

e.   memaksimalkan kualitas asupan

makanan

f.   intervensi pemberian nutrisi tambahan

dapat diimpementasikan bila

pertumbuhan mulai melambat dan berat

badan menurun

Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol

gerakan sekunder terhadap spastisitas.

Tujuan :

        Klien tidak mengalami cedera fisik

INTERVENSI RASIONAL

a.       Beri bantalan pada perabot

b.      Pasang pagar tempat tidur

c.       Kuatkan perabot yang tidak licin

d.      Hindari lantai yang disemir dan

permadani yang berantakan.

e.       Pilih mainan yang sesuai dengan usia

dan keterbatasan fisik.

f.       Dorong istirahat yang cukup.

g.      Implementasikan tindakan keamanan

yang tepat untuk mencegah cedera

termal.

h.      Berikan helm pelindung pada anak

yang cenderung jatuh dan dorong untuk

menggunakannya.

i.        Berikan obat anti epilepsi sesuai

ketentuan.

a.   untuk perlindungan

b.  untuk mencegah jatuh

c.   untuk mencegah jatuh.

d.  untuk mencegah jatuh.

e.   untuk mencegah cedera.

f.   karena keletihan dapat meningkatkan

resiko cedera.

g.  terdapat kehilangan sensasi pada area

yang sakit.

h.  mencegah cedera kepala.

i.    mencegah kejang.

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas

Tujuan :

        Klien mempertahankan integritas kulit.

INTERVENSI RASIONAL

a.       Kaji kulit setiap 2 jam dan prn terhadap a.   pengkajian yang tepat dan lebih dini

akan cepat pula penanganan terbaik

area tertekan, kemerahan dan pucat.

b.      Tempatkan anak pada permukaan yang

mengurangi tekanan

c.       Ubah posisi dengan sering, kecuali jika

dikontraindikasikan

pada masalah yang terjadi pada klien

b.  mencegaah kerusakan jaringan dan

nekrosis karena tekanan

c.   mencegah edema dependen dan

merangsang sirkulasi

3.4        Implementasi

Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam

rencana perawatan pasien. Agar implementasi/pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat

waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan

mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta

mendokumentasikan pelaksanaan perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan

diprioritaskan pada upaya untuk membantu mobilitas pasien, pasien dapat

berkomunikasi, nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, tidak terjadi kerusakan

integritas kulit dan pasien tidak mengalami cidera.

3.5        Evaluasi

Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap

perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai.

Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap tindakan

keperawatan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang

diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien, intervensi keperawatan/hasil pasien

yang mungkin diperlukan. Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah

ditetapkan yaitu : anak melakukan proses komunikasi, anak mengkonsumsi nutrisi jumlah

yang cukup, tidak adanya gejala dekubitus dan pasien tidak mengalami cedera fisik.

BAB 4

PENUTUP

4.1        Kesimpulan

Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada sel-sel otak

dalam kurun waktu perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf

pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak

yang belum selesai pertumbuhannya.

Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian, yaitu pranatal,

perinatal, dan postnatal yang dimana manifestasi serebral palsy tergantung dari bagian

dan luas jaringan otak yang mengalami kerusakan.

Penatalaksanaan dari serebral palsi ialah medik, fisioterapi, obat-obatan,

pembedahan, reedukasi dan rehabilitasi

4.2        Saran

Serebral palsy tidak dapat disembuhkan, terapi dalam perkembangannya, hingga

saat ini tujuan terapi pada serebral palsy adalah mengusahakan penderita dapat hidup

mendekati kehidupan normal dengan mengelola problem neurologis yang ada seoptimal

mungkin. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk mengidentifikasi

kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan kemudian

menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Jason. 2010. Cerebral Palsi. http://jason-adam.blogspot.com/p/cerebral-palsy.html diakses

tanggal 29 November 2011 pukul 7 : 26 pm)

Akatsuki. 2011. Askep Klien dengan Cerebral Palsi.

http://akatsuki-ners.blogspot.com/2011/02/askep-klien-dengan-cerebral-palsy.html

diakses tanggal 29 November 2011 pukul 7 : 21 pm)

Indahnya bersabar. 2011. Pencegahan Cerebral Palsi.

http://indahnyabersabar.wordpress.com/2011/03/27/pencegahan-cerebral-palsy/ diakses

tanggal 29 November 2011 pukul 07 : 22 pm)

Short, John Rendle, O. P. Gray, j. A. Dodge. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak Edisi keenam Jilid Dua.

Jakarta : Binarupa Aksara

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

Suradi. 2001. Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan kepada Anak edisi I. Jakarta :

Sagung Seto