LEGALITAS PERKAWINAN JANDA YANG BERCERAI DI LUAR ...e-theses.iaincurup.ac.id/672/1/DESI HERMITA...
Transcript of LEGALITAS PERKAWINAN JANDA YANG BERCERAI DI LUAR ...e-theses.iaincurup.ac.id/672/1/DESI HERMITA...
LEGALITAS PERKAWINAN JANDA YANG BERCERAI
DI LUAR PENGADILAN AGAMA
MENURUT MASYARAKAT DESA TALANG DONOK 1
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S.I)
Dalam Ilmu Ahwal As-Syakhsiyah
OLEH:
DESI HERMITA SARI
NIM.14621045
PROGRAM STUDI AHWAL AS-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang maha kuasa, berkat rahmat dan kasih sayang-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Shalawat beserta salam tak lupa kita kirimkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, berkat beliau pada saat
ini kita berada dalam zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Skripsi ini berjudul “Legalitas Perkawinan Janda Yang Bercerai Di Luar
Pengadilan Agama Menurut Masyarakat Desa Talang Donok 1” yang disusun dalam
rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi tingkat sarjana (S.1) pada
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup, Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam Islam Dekan
Ahwal As-Syakhsiyyah.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya dorongan dan bantuan dari
berbagai pihak, maka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang memberikan sumbangsi dalam menyelesaikan skripsi ini terutama
kepada:
1. Bapak Dr. Rahmad Hidayat, M.Pd.,M.Ag selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Curup.
2. Bapak Dr. Yusefri, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN
Curup.
3. Bapak H. Oloan Muda Hasyim Harahap, Lc., MA selaku Ketua Program Studi Ahwal
As-Syakhsiyyah IAIN Curup.
4. Bapak H. M. Abu Dzar, Lc., M. H. I Selaku Penasehat Akademik yang selalu bersedia
memberikan nasehatnya khususnya dalam proses akademik penulis.
5. Bapak Yusefri S. Ag. M. Ag selaku Pembimbing I dan Hardivizon, M. Ag selaku
Pembimbing II, yang telah membimbing serta mengarahkan penulisan, terima kasih atas
dukungan doa, waktu, arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
6. Segenap dosen Prodi Ahwal As-Syakhsiyyah dan Karyawan IAIN Curup yang telah
membantu masa perkuliahan penulis.
7. Seluruh keluarga besar penulis, buat ayahanda Hermanto, bundaku Emi, adikku Yeni
Hermita Sari, Tenti Haniza, Eryan Saputra dan saudara-saudara ku.
8. Teman-teman syari’ah angkatan 2014, khususnya kelas VIII B Ahwal As-Syakhsiyyah,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dorongan dan
bantuannya.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
peneliti sebutkan satu persatu.
Penulis juga sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
terutama dari para pembaca dan dari dosen pembimbing. Mungkin dalam penyusunan skripsi
ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Atas kritik dan saran dari pembaca dan dosen
pembimbing penulis mengucapkan terima kasih dan semoga dapat menjadi pembelajaran
pada pembuatan karya-karya lainnya dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca Aminn Ya Rabbal’alamin.
Curup, Mei 2019
Penulis
Desi Hermita Sari
NIM: 14621045
Motto Jangan larut dalam satu kesedihan karena masih ada hari esok yang menyongsong dengan sejuta kebahagiaan
Menuntut ilmu adalah taqwa., Menyampaikan ilmu adalah ibadah, Mengulang ilmu adalah zikir, Dan mencari ilmu adalah jihad.
Desi Hermita sari
Persembahan
Dengan mengucap alhamdulillah segala puja dan puji syukur kepada Tuhan yang
Maha Esa dan atas dukungan dan doa orang-orang tercinta, akhirnya skripsi ini dapat
dirampungkan dengan baik dan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dengan bangga dan
bahagia saya khaturkan syukur dan terimakasih kepada:
Untuk kedua orang tua ibu (EMI) bapak (HERMANTO) tercinta, sebagai motivator
terbesar dalam hidupku yang tak pernah jemu mendo’akan dan menyayangiku, atas
semua pengorbanan dan kesabaran mengantarku sampai kini. Tak pernah cukup ku
membalas cinta dan kasih sayang yang engkau berikan kepadaku sampai saat ini
terima kasih ibu (mak) bapak (bak). I LOVE U
Bapak Yusefri S, Ag. M. ag dan Hardivizon, M. Ag sebagai pembimbing dan
pengajar yang selama ini telah tulus dan iklas meluangkan waktunya untuk menuntun
dan mengarahkan ku, memberikan bimbingan dan pelajaran yang tidak ternilai
harganya, agar aku bisah lebih baik. Terimakasih bapak dan ibu jasa kalian akan
selalu terpatri di hati
Untuk saudaraku kakak (YENI HERMITA SARI), adek (TENTI HANIZAH),
(ERYAN) yang senantiasa memberikan dukungan, semangat, senyum dan doanya
untuk keberhasilan ini, cintanya memberikan kobaran semangat terimakasih dan
sayang ku untuk kalian.
Dan terimakasih untuk kalian yang selalu memberikan semangat dan kasih sayang,
Sefti Triliya, Andesa Julesia Lesmana, Opi Andesta, dan Reti Andira. Terimakasih
untuk canda, tawa, tangis, dan perjuangan yang kita lewati bersama dan terimakasih
untuk kenangan manis yang telah kita ukir selama ini, terimakasih untuk perjuangan
dan kebersamaan selama ini.
Terimakasih yang sebesar-besarnya untuk kalian semua, akhir kata aku persembakan
skripsi ini untuk kalian semua, orang-orang yang aku sayangi dan semoga skripsi ini
bermanfaat dan berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang, Amin
Yah Robbal Alamin.
Legalitas Perkawinan Janda Yang Bercerai Di Luar PENGADILAN AGAMA
Menurut Masyarakat Desa Talang Donok 1
ABSTRAK
Desi Hermita Sari
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya praktek perceraian yang dilaksanakan di
luar pengadilan agama di masyarakat Desa Talang Donok 1. Praktek tersebut tentu berbeda
dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, baik
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini
Bertujuan untuk mengetahui : 1). Pendapat masyarakat tentang perceraian yang dilakukan
diluar pengadilan agama, 2). Faktor yang menyebabkan masyarakat yang melakukan cerai di
luar pengadilan agama, 3). Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap perceraian di
Luar Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Talang Donok 1?
Metode penelitian yang digunakan adalah metodelogi penelitian kualitatif.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara
dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriftif
kualitatif.
Penelitian ini menyimpulkan: 1). Menurut masyarakat desa Talang Donok 1 tentang
perceraian yang dilakukan di luar pengadilan agama yang di lakukan oleh masyarakat itu sah-
sah saja asalkan mengikuti ajaran hukum Islam. Tetapi jika dilihat didalam Undang-undang
yang berlaku di Indonesia maka perceraian yang di lakukan oleh masyarakat desa Talang
Donok 1 itu tidak sah karena tidak tercatat oleh hukum yang sudah ditetapkan dalam hukum
negara. 2). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peceraian di luar Pengadilan Agama
meliputi: a). Faktor ekonomi b). Faktor masalah tempat c). Masalah waktu d). Faktor
kebiasaan adat e). Faktor kurangnya kesadaran hukum 3). Menurut Hukum Islam perceraian
di luar Pengadilan Agama sah-sah saja asal sesuai dengan ajaran Islam dan menurut hukum
positif yaitu perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Talang Donok 1 ini tidak sah/tidak
diakui oleh Undang-Undang yang berlaku di Negara Indonesia karena perceraian yang sah
adalah harus di depan sidang Pengadilan Agama.
Kata kunci: Perkawinan, perceraian di luar Pengadilan Agama, desa Talang Donok 1.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .............................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv
MOTTO ................................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ................................................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................... ix
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Batasan Masalah .......................................................................................... 9
C. Rumusan Masalah ......................................................................................... 9
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 10
F. Defenisi Operasional ..................................................................................... 11
G. Kajian Pustaka .............................................................................................. 11
H. Metode Penelitian ......................................................................................... 12
I. Teknik Analisa Data ..................................................................................... 13
J. Sistematika Penulisan ................................................................................... 14
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................. 15
A. Pernikahan ..................................................................................................... 15
1. Pengertian Pernikahan ............................................................................. 15
2. Hukum Pernikahan................................................................................... 17
3. Rukun Dan Syarat Pernikahan ................................................................ 19
B. Perceraian/Talak ........................................................................................... 23
1. Pengertian Talak ..................................................................................... 23
2. Hukum Talak ........................................................................................... 26
3. Rukun dan Syarat Talak .......................................................................... 29
4. Macam-Macam Talak ............................................................................. 30
BAB III GAMBARAN UMUM ............................................................................ 35
A. Sejarah singkat Desa Talang Donok 1 ........................................................... 35
B. Keadaan Geografi Dan Monografi ................................................................. 38
C. Sarana Dan Prasarana ..................................................................................... 38
D. Struktur organisasi pemerintahan ................................................................... 40
E. Struktur Organisasi ......................................................................................... 42
F. Keagamaan ..................................................................................................... 43
G. Visi dan misi Desa Talang Donok 1 .............................................................. 43
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 44
A. Pendapat Masyarakat Desa Talang Donok 1 Tentang Perceraian Yang
Dilakukan Di Luar Pengadilan Agama ......................................................... 44
B. Faktor Apa Saja Yang Menyebabkan Masyarakat Desa Talang Donok 1 Dalam
Melakukan Cerai Di Luar Pengadilan Agama .............................................. 48
C. Analisis Tentang Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap
Perceraian Di Luar Pengadilan Agama Pada Masyarakat Desa Talang Donok 1
........................................................................................................................ 51
BAB V PENUTUP ................................................................................................... 62
A. Simpulan ....................................................................................................... 62
B. Saran ............................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang universal yakni dimana ia mencakup semua peraturan baik
dari segi agama maupun dari segi hukum positif yang telah mempunyai tujuan masing-
masing misalnya dalam surat Ar-rum ayat 21:
“dan diantara tanda-tanda kebesarannya ialah dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dia
menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sunguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda kebesaran Allah”.
Demikian juga dalam hadis yang berbunyi:
باب من استطاع منكم لنارسول اهلل: عن عبداهلل بن مسعودقال يامعشرالشوم، ومن ل ي ج، وأحصن للفر ،للبصر غض ف ليت زوج فإنه أة الباء ستطع ف عليه بالص
ء. )مت فق عليه(جافإنه له و
“wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu kebutuhan pernikahan maka
menikahlah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan,
barangsiapa yang belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan obat
baginya” (HR. Bukhari Muslim).2
1 Departemen Agama RI. Al-Quran Al-Karim Dan Terjemahannya, (Semaran: Toha Putra, 2010), 281
2 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Dan Dalil-Dalil Hukum, (Jakarta: Gema Insani, 2013), Cet,
Ke-1, 423.
Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami bahwa sangat mulia tujuan dari
perkawinan tersebut. Demikian juga bisa kita lihat pada Undang-Undang no 1 pekawinan
tahun 1974 yang menyebutkan pada3.
ayat (1):
”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya”.
Ayat (2)
“Tiap-tiap perkawinan dicacat menurut peraturan perundang-undangan”.
Begitu juga yang diatur didalam kompilasi hukum Islam (KHI) yang menyebutkan pada
bab II pasal 3 bahwa4:
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah”.
Melihat pada ketentuan di atas, maka nampak ada dua hal pokok yang diatur, yakni:
1. Ketentuan pasal 2 ayat (1) UU perkawinan mengatur tentang keabsahan perkawinan.
2. Ketentuan pasal 2 ayat (2) UU perkawinan mengatur tentang pencatatan perkawinan.
Ketentuan pasal 2 ayat (1) UU perkawinan di atas, tegas-tegas menyatakan mengenai
sahnya perkawinan, yakni: menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan.
Suatu ketentuan yang muntlak dan harus dipenuhi oleh mereka yang hendak melansungkan
3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Pesaja, 2003. 107
4 Ibid, 107
perkawinan. Jadi, apabila perkawinan dilangsungkan diluar ketentuan tersebut, maka
perkawinan tersebut adalah tidak sah5.
Ketika perkawinan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan ayat (1), selanjutnya ada
kewajiban untuk mencacatkan perkawinan tersebut yaitu: Pencacatan perkawinan dengan
diberlakukannya Undang-Undang NO 78 tahun 1931 tentang perkawinan di bawah tangan.
Dalam pasal 99-nya ditegaskan bahwa gugatan yang berhubungan dengan perkawinan, serta
hak-hak yan berhubungan dengan itu, tidak bisa diterima gugatan dipengdilan, kecuali bila
didasarkan atas adanya bukti pekawinan resmi, yakni surat nikah6.
Dalam Undang-Undang tersebut terdapat ketentuan yang mengharuskan mendaftarkan
secara resmi setiap perkawinan kepada pegawai pencatat nikah yang secara khusus
ditugaskan untuk itu. Akan tetapi, ketika Undang-undang tersebut diberlakukan, ternyaata
kesadaran hukum masyarakat Islam mesir belum menerimanya. Akibatnya, banyak diantara
masyarakat yang melaksanakan perkawinan hanya semata-mata memenuhi syarat-syarat dan
rukun nikah seperti yang ditulis dalam buku-buku fikih, dan mereka tidak mendaftarkan
perkawinan mereka secara resmi kepada petugas pencatat nikah7.
Akad nikah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun nikah seperrti
diatur dalam syariat Islam, adalah sah, dan mempunyai penaruh hukum, seperti halalnya
bergaul sebagai suami istri, hak saling mewarisi, keabsahan keturunan.8 Semua itu tidak
tergantung kepada pencatatan dan akta nikah secara resmi. Namun demikian, adanya alat
bukti resmi suatu perkawinan, menjadi sesuatu yang mesti ada, apabila dihadapkan kepada
hal-hal yang memerlukan proses pradilan, terutama ketika terjadi perselisihan rumah tangga,
status dan kedudukan anak.
5 Ibid, 108
6 Ibid, 108
7 Ansyary, Hukum Perkawinan Di Indonesia Masalah-Masalah Kusial, Yokyakaa: Pustaka Pelajar,
2010. 16-17 8Ibid, 18
Akan tetapi pada saat ini ketetapan-ketetapan yang telah ditetapkan pada setiap
peraturan-peraturan baik itu dari segi agama maupun hukum positif yang mempunyai tujuan
yang sama terhadap pernikahan tidak selalu tercapai seperti yang telah ditetapkan karena
banyaknya terjadinya perceraian sehingga hal ini sangat bertentangan dengan hukum Islam
dan hukum positif.
Ulama sepakat bolehnya talak, ungkapanya menunjukkan bolehnya talak sekalipun
makruh. Akad nikah sebagaimana yang kami sebutkan dilaksanakan seharusnya sampai akhir
hayat. Agar kedua suami istri dapat membangun rumah tangga sebagai pijakan berlindung
dan bersenang-senang dibawah naungannya dan agar dapat mendidk anak-anaknya dengan
pendidikan yang baik.
Oleh karena itu, hubungan antara suami-istri adalah hubungan adalah tersuci dan
terkuat. Tidak ada dalil yang menunjukan kesuciannya daripada Allah menyebutkan akad
antara suami-istri sebagai janji yang berat. Jika hubungan antara suami istri begitu kuat, maka
tidak boleh diremehkan dan direndahkan. Segala sesuatu yang melemahkan hubungan ini
dibenci Islam kerena mengakibatkan luputnya manfaat dan hilangnya maslahat antar
pasangan suami istri tersebut. Telah diisyaratkan pada hadist Rasulullah sebagai berikut9:
آب غض الصالل إلى اهلل ت عالى الطال ق
“Halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak.”
Dari dalil di atas dapat disimpulkan bahwa talak atau perceraian, merupakan
alternative terakhir, sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh, manakala bahtera
kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya.
9 Abdu Aziz Muhammad Azzam Dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat (Khitbah,
Nikah, Dan Talak), (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2009), 257
Sifatnya sebagai alternative terakhir, Islam menunjukan agar sebelum terjadinya talak atau
perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui hakam
(arbitratur) dari kedua belah pihak maupun melalui langkah-langkah yang sesuai dengan hal
diatas.
Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak hanya mengatur tentang
perkawinan tetapi mengatur pula masalah perceraian, begitu pula peraturan organiknya
seperti peraturan pemerintah No 9 tahun 1975.10
Peraturan tersebut tidak hanya dipertunjukan
bagi golongan penduduk yang beragama Islam, tetapi juga bagi golongan yang bukan
beragama Islam. Dan khusus bagi ummat Islam pada tahun 1991 tentang kompilasi hukum
Islam,yang isinya disamping penambahan norma hukum baru dan merupakan penegasan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Dalam penjelasan umum undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
dicantumkan enam prinsip mengenai perkawinan yaitu11
:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
2. Suatu perkawinan baru dinyatakan sah bilamana dilakukan menurut hukum agam dan
kepercayaan masing-masing, dan dicatatkan sebagai tindakan administrative.
3. Perkawinan menganut asas monogamy
4. Untuk melangsungkan perkawinan calon mempelai harus sudah dampai usia nikah,
yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita
5. Mempersukar terjadinya perceraian, dan untuk suatu perceraian harus ada alasan
tertentu dan harus dilakukan didepan siding pengadilan
6. Hak dan kedudukan istri adalah keseimbangan dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
10
Ansyary, Op. Cit, 23
Dalam pasal 65 undang-undang No 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-
Undang No 3 tahun 2006 jo pasal 39 Undang-Undang No 1 tahun 1974 ditegaskan bahwa12
:
“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Selanjutnya
didalam angkah 7 penjelasan umum undang-undang no 7 tahun 1989 ditegaskan bahwa
:”undang-undang perkawinan bertujuan antara lain melindungi kaum wanita pada umunya
dan pihak istri pada khususnya”.
Kemudian, peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia juga
memberikan hak mutlak kepada seseorang suami untuk mentalak istrinya, tetapi dengan
ketentuan:
a. Perceraian harus dilakukan didepan siding pengadilan
b. Perceraian harus disertai alasan-alasan sebagaimana telah diatur undang-undang
c. Mengikuti prosedur sebagaiamana diatur dalam pasal 66 dst. Undang-undang No 7
tahun 1989 dan dan ketentuan perundang-undangan lainya13
.
Suatu perceraian yang dilakukan diluar pengadilan, sama halnya dengan suatu
perkawinan yang dilakukan dengan tidak mencatatkannya. Ia tidak diakui oleh hokum. Oleh
karena itu, tidak dilindungi hukum. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa perceraian yang
dilakukan diluar pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, hukum
menganggapnya tidak pernah ada. Suatu perceraian yang dilakukan diluar pengadilan akan
menimbulkan kesukaran bagi si istri atau bahkan bagi si suami. Namun pada realita yang
terjadi sangat banyak dijumpai pasangan suami isteri yang melakukan perceraian diluar
12
Ibid, 75-77 13
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Pt Raja Grapindo
Persada, 2004). 160-161
pengadilan maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian di Desa Talang Donok
114
.
Akan tetapi hal ini berbeda dengan apa yang telah terjadi di desa Talang Donok 1 ini.
Ditempat tersebut peneliti menemukan hal yang berbeda dengan ketentuan yang seharusnya
berlaku, dalam hal ini ditemukan sebuah kasus bahwa seorang wanita pada awalnya telah
melakukan perkawinan yang sah menurut undang-undang yang berlaku dengan seorang laki-
laki. Kemudian dalam perjalanan membina rumah tangganya terjadilah percecokan sehingga
menimbulkan dengan akhir untuk bercerai. Namun hal tersebut dilakukan tidak melalui
ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang. Maka Penulis dapat melihat dari kasus
tersebut ke Undang-undang dapat dikatakan bahwa perceraian tersebut tidak sah menurut
undang-undang tetapi sah menurut hukum Islam.
B. Batasan Masalah
Agar pembahasan lebih terfokus pada masalah, maka perlu diberi arah yang jelas
terhadap masalah yang hendak dibahas dalam penelitian ini. Maka peneliti membatasi
masalah ini yang hanya membahas masalah legalitas perceraian yang terjadi di Desa Talang
Donok 1 dari tahun 2000-2003.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang tertera di atas, adapun yang menjadi masalah
dari penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana pendapat masyarakat tentang perceraian yang dilakukan diluar Pengadilan
Agama?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perceraian di luar pengadilan?
14
Ibid, 167
3. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap perceraian di luar
Pengadilan Agama pada masyarakat Desa Talang Donok 1?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian diatas adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pendapat masyarakat tentang perceraian yang
dilakukan diluar Pengadilan Agama.
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perceraian di luar
pengadilan.
3. Agar lebih memahami bagaimana peraturan yang ditetapkan oleh agama Islam
maupun Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentan perceraian diluar pengadilan..
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, dalam penelitian ini diharapkan agar hasil studi dapat
dipergunakan untuk mempekaya pengetahuan tentang hukum negara dalam
perceraian diluar pengadilan.
2. Manfaat khusus
Adapun manfaat bagi sekolah tinggi agama negeri curup khususnya pada
jurusan syariah prodi ahwal al-syaksyiyah yakni diharap dapat memberi wawasan
pengetahuan mengenai percerraian diluar pengadilan dalam hukum positif dan
hukum Islam dan lebih berhati-hati lagi dalam masalah-masalah perceraian diluar
pengadilan supaya megikuti aturan yang sudah di sesuaikan oleh lembaga-lembaga
yang berwenang.
3. Manfaat praktis
Hasil studi ini diharapkan agar dapat menjadi salah satu acuan terhadap pihak-
pihak yang membutuhkan baik untuk pedoman maupun sabagai bahan penyuluhan
dalam bidang perceraian diluar penadilan.
4. Manfaat bagi peneliti selanjutnya
Sebagai badan referensi tambahan wawasan serta pengetahuan dalam
penelitian selanjutnya.
F. Depinisi Opeasional
Agar mempermudah dalam memahami judul skripsi ini, maka penulis akan
menjelaskan maksud dari istilah pada judul yang penulis angkat sebagai sebuah penelitian,
istilah tersebut adalah untuk menghindari kejanggalan, kekeliruan dan kesalapahaman dalam
memahami sebuah pembahasan, maka dalam penulisan ini merasa perlu menjelaskan
beberapa istilah pentin yan terdapat pada judul skripsi ini. Istilah-istilah tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah
dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam al-quran dan hadist nabi.
Perkawinan ialah ikatakan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Talak adalah lepas atau bebas. Secara istilah adalah putuskan perkawinan karena
suami istri lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Thalaq menurut paa
ulama adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz tertentu.
G. Kajian Kepustaan
Agar penelitian ini tidak tumpang tindih dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti lainnya. Maka dalam hal ini perlu dilakukan telaah perpustakaan. Sejauh informasi
yang penulis ketahui memang sudah ada oran yang membahas masalah perceraian yang
dilakukan diluar pengadilan oleh:
Penelitian Deri Yanto Jurusan Syari’ah STAIN Curup dengan Judul “Perceraian diluar
Pengadilan dan Faktor yang Menyebabkannya (studi kasus di kecamatan pelabai)” beliau
lebih berfokus pada faktor perceraian yang dilakukan dikecamatan pelabai dan sebab
perceraian itu terjadi. Peneliti ini sangat berfokus hanya antara pemasalahan perceraian
dikecamatan pelabai ini saja. Dapat dilihat dengan jelas penelitian ini berbeda dengan
permasalahan yang dianggkat diskripsi ini maka dengan itu peneliti menyatakan bahwa
skripsi ini baru diangkat.
Penelitian Nova Lestari Jurusan Syari’ah STAIN Curup dengan judul “Status Hukum
Diluar Sidang Pengadilan Agama Ditinjau Dari Perspektif Fiqh” dan didalam penelitian ini
lebih berfokus menjelaskan tentang bagaiman pendapat Masyarakat disekitar dan dan
bagaimana tanggapan hukum yang seharusnya dalam menyelesaikan masalah yang terjadi
tersebut. Lalu berbeda dengan yang penelitian yang akan diangkat ini.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research) termasuk jenis
penelitian yang menggunakn pendekatan kualitatif. Yaitu yang mendalami mengenai
kasus tertentu yang hasilnya merupakan gambaran lengkap mengenai kasus itu,
penelitian ini antara lain mencakup keseluruhan siklus kehidupan, kadang-kadang
hanya meliputi segmen-segmen tertentu pada faktor-faktor kasus. Dalam hal ini
adalah mengenai persoalan yang berkaitan dengan legalitas perkawinan janda yang
bercerai diluar pengadilan, adapun lokasi yang menjadi obyek dalam penelitian ini
adalah Desa Talan Donok 1.
2. Sumber Data
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subyek dari mana data
yang diperoleh. Adapun data yang dipergunakan yakni :
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek atau obyek
penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung
pada subyek atau obyek sebagai sumber informasi yang dicari dan yang akan diteliti.
Jadi data primer ini merupakan hasil dari wawancara dengan pelaku atau tokoh
masyarakat yang ada di Desa Talang Donok 1.
G. Teknik Analisa Data
Data yang telah didapatkan dengan menggunakan metode diatas kemudian di analisis
dan diklarifikasi sesuai dengan katagorinya masing-masing. Baru kemudian diadakan
analisa data yang dipergunakan dalam penulisan ini data kualitatif.
I. Sistematika Penulisan
Untuk mengagambarkan secara garis besar mengenai kerangka pembahasan dalam
penyusunan proposal ini maka perlu dikemukakan sistematika pembahasannya. Secara rinci
mencakup 5 bab yaitu sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang didalamnya menguraikan tentang latar
belakang masalah yang kemudian dirumuskan pokok masalah yang menjadi kajian dalam
proposal ini, tujuan dan menfaat penelitian, kerangka teoritik yang dipakai sebagai acuan
dasar ketika melakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan, dan metode penelitian
sampai titik akhir pembahasan.
Bab kedua, pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat
perkawinan , hukum perkawinan, pengertian talak, dasar hukum talak, rukun dan syarat talak,
macam-macam talak dan prosedur talak.
Bab ketiga, gambaran umum tentang tipografi desa Talang Donok 1.
Bab keempat, Temuan penelitian dan pembahasan meliputi: 1. Bagaimana pendapat
masyarakat tentang perceraian di luar pengadilan agama 2. Faktor yang menyebabkan
terjadinya perceraian di luar pengadilan agama 3. tinjauan hukum Islam dan hukum positif
tentang perceraian di luar pengadilan agama.
Bab kelima, penutup yang memuat kesimpulan dari apa yang sudah dibahas pada bab
empat, kemudian dilanjutkan dengan saran-saran dari hasil penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikāh (نكاح) yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti
bersetubuh (wāthi).15
Secara etimologis kata nikah mempunyai beberapa arti, yaitu berkumpul, bersatu,
bersetubuh, dan akad. Pada hakikatnya, nikah adalah persetubuhan. Kemudian secara majas
diartikan akad, karena termasuk pengikatan sebab akibat16
.
Secara terminologis, fukaha mengartikan nikah dengan: “Akad nikah yang ditetapkan
oleh syara’ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan
kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya yang semula dilarang”17
.
Istilah yang digunakan dalam bahasa Arab pada istilah-istilah fiqih tentang perkawinan
adalah munākāhāt nikah, sedangkan dalam bahasa Arab pada perundang-undangan tentang
perkawinan, yaitu Ahkam Al-Zawaj atau Ahkam izwaj. Yang dimaksud dengan munakahat,
yaitu hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga18
.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah semata-mata dalam
konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar karena makna asal dari nikah itu sendiri sudah
15
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 7 16
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), 25 17
Ibid, 24 18
Ibid, 26
berkonotasi hubungan seksual. Disamping itu harus diakui yang menyebabkan laki-laki dan
perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah salah satunya dorongan-dorongan yang
bersifat biologis baik disebabkan karena ingin mendapatkan keturunan maupun karena
memenuhi kebutuhan seksualnya.
Kemudian, Menurut Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan adalah akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah19
. Seperti ayat yang menjelaskan sebagai berikut,
(QS.Ar-Rum:21) :
‘‘dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir’’20
.
Kemudian ada juga hadits yang menjelaskan:
داهلل وعنه : كان رسول قال انس بن مالك ردي اهلل آن النب صلى اهلل عليه وسلم حضواالودداني مكاشربكم اآلنبياءي وم اهلل يامر باباءة,وي نهى عن التبتل نياشديدا,وي قول:ت زو
حه ابن حبان( القيامة )رواه احد,وصح ‘’Anas Ibnu Malik berkata: rasullah memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang
kami membujang. Beliau bersabda nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab
dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga dihadapan para nabi hari kiamat’’
(riwayat ahmad)21
.
Dalam pandangan Islam di atas itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah
Allah dan sunnah Rosull. Sunah Allah bearti menurut qudrat dan iradat Allah dalam
19
Ibid, 114 20
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro,2005), 324 21
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemahan Bulhugul Maram Kumpulan Hadist Hukum Panduan Hidup
Muslim Sehari-Hari, (Jokjakarta: Hitam Pustaka, 2009). 256-257
penciptaan alam ini, sedangkan sunnah rosull bearti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh
rosull untuk dirinyasendiri dan menghendaki umatnya berbuat yang sama.
2. Hukum pernikahan
Berdasarkan nash-nash, baik al-quran maupun al-sunnah, Islam menganjurkan
perkawinan kaum muslimin yang mampu melangsungkan perkawinan. Namun demikian,
kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksnakan serta tujuan melaksanakannya. Maka
melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram,makruh ataupun
mubah22
.
a. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan
pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat
yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan perkawinan,
sedangkan menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan itu pun
wajib23
.
b. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan, tetapi kalau tidak kain tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah24
.
c. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram
22
Slamet Abidin Dan Aminudin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: Cv. Pustaka Setia), 31-36 23
Ibid, 37 24
Ibid, 38
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan
serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga
sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarkan dirinya dan istrinya,
maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram25
.
d. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
Bari orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga
cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan
dirinya terjerumus dalam perbuatan zina sekiranya tidak kawin. Dan orang tersebut
tidak mempnyai kerajinan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri
dengan baik26
.
e. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila
tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga
tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk
memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan
membina keluarga sejahtera27
.
3. Rukun Dan Syarat Pernikahan
Adapun rukun dan syarat perkawinan yang harus dipenihi yaitu:
a. Calon mempelai
Calon suami dan calon istri, biasanya hadir dalam upacara pernikahan. Calon istri
selalu ada dalam upacara tersebut, tetapi calon suami, mungkin karena sesuatu
25
Ibid, 38 26
Ibid, 39 27
Ibid, 39
keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab kabul .adapun syaratnya
yaitu28
:
a) Beragama Islam
b) Laki-laki
c) Jelas orangnya
d) Dapat memberikan persetujuan
e) Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Wali nikah
Adalah wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon
mempelai wanita. Dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan oleh wali
hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau tidak
ditemukan. Demikian pula, jika wali nasab tidak mau atau tidak bersedia menikahikan
calon mempelai wanita, maka wali hakimlah yang bertindak untuk menikahkannya.
adapun syaratnya yaitu29
:
a) Laki-laki
b) Dewasa
c) Mempunyai hak perwalian
d) Tidak terdapat halangan perwaliannya
c. Saksi
28
Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqih Komtemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008). 299-308 29
Ibid, 299
Dalam pernikahan harus terdiri dari dua orang yang memenuhi syarat.
Perkawinan yang tidak dihadiri saksi, walaupun rukun 1,2,dan 3 sudah dipenuhi,
menurut pendapat umum adalah tidak sah. adapun syaratnya yaitu30
:
a) Minimal dua orang laki-laki
b) Hadir dalam ijab qabul
c) Dapat mengerti maksud akad
d) Islam
e) Dewasa
d. Ijab kabul
Tentang pelaksanaan ijab kabul atau akad, pernikahan harus dimulai dengan
kabul. Menurut pengertian hukum perkawinan, ijab adalah penegasan kehendak untuk
meningkatkan diri dalam ikatan perkawinan dari wali pihak wanita kepada calon
mempelai pria. Kabul adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut,
yang diucapkan oleh mempelai pria. adapun syaratnya yaitu31
:
a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
c) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij
d) Antara ijab dan qabul bersambungan
e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah
g) Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan
dua orang saksi.
30
Ibid, 300 31
Ibid, 301
Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi, apabila tidak
terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.
4. Pandangan Menurut Perundang-Undangan
Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam Bab II pasal
632
:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak
menyatakan kehendaknya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberi izin setelah lebih dulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini.
32
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), 71-73
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
B. Perceraian / Talak
1. Pengertian Talak
Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan seperti halnya seekor unta yang
terlepas yaitu terlepas tanpa ikatan dan seperti halnya tahanan yang bebas yaitu terlepas
ikatannya, akan tetapi secara kebiasaan talak itu melepaskan ikatan. Secara terminologi
adalah melepas tali pernikahan, atau melepas akad nikah dengan lafadz talak dan
semisalnya.33
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnahnya menjelaskan bahwa talak diambil
dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut
istilah syara’, talak yaitu melepaskan ikatan perkawinan atau mengakhiri hubungan suami
istri34
.
Dalam redaksi lain al-Jaziry mendefinisikan talak yaitu menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu35
.
Menurut Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam Fikih Wanita menjelaskan bahwa
talak secara bahasa, talak berarti pemutusan ikatan. Sedangkan menurut istilah, talak berarti
pemutusan tali perkawinan36
.
Definisi talak yang lebih panjang dapat dilihat dalam kitab Kifāyāt āl-
ākhyār yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan
talak adalah lafazh jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafazh itu sebagai kata
33
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu (Beirut: Dar Al-Fikr). 6864 34
Ibid, 6864 35
Ibid, 6865 36
Ibid, 6866
untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-Kitab, al-Hadits, Ijma’
ahli agama dan ahli Sunnah.37
Dari definisi talak di atas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi yang
digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian, ikatan
perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik dalam kitab fikih
maupun dalam Undang-undang Perkawinan38
.
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa
tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa, namun dalam realitasnya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah
jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan, sesuai dengan Pasal 38 UUP menyatakan:
perkawinan dapat putus karena sebab kematian, perceraian, ataupun karena putusan
pengadilan.
Dalam KHI pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan
yang lebih rinci meskipun tampak mengikuti alur yang digunakan oleh Undang-undang
Perkawinan. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada XVI dalam Pasal 113
menyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan
pengadilan.
Perceraian adalah merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.39
Berbeda dengan Undang-undang Perkawinan yang tidak mengenal istilah talak, KHI
menjelaskan pada Bab XVI dalam Pasal 117 yang dimaksud dengan talak adalah: “Ikrar
suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131”.
37
Imam Taqiyuddin, Kifayat Al-Aakhyar Fi Hal Ghoyat Al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya), 84 38
Ibid, 86 39
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2001), 208-210
Kemudian Allah berfirman tentang talak dalam (QS al-Baqarah:229);
‘’Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim.’’40
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu
permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
Ayat di atas menunjukkan adanya hukum talak menurut ajaran Islam. Dan tentang
adanya hukum talak itu, para ijma’ mengakuinya. Tidak ada terdapat iktilaf diantara mereka.
Dan menunjukkan pula dari semua yang halal yang paling tidak disukai Allah adalah talak.
2. Hukum Talak
Kemudian tentang hukum cerai para ahli fiqih berbeda pendapat sehingga dilihat
dari kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum perceraian atau talak itu ada lima:
a. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh
kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara kedua. Jika kedua hakim
40
Departemen Agama RI, of cit , 28
tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak
menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan,
perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka
pada saat itu talak adalah wajib baginya41
.
b. Makruh
Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan, talak seperti itu
dibenci karena dilakukan tanpa adanya sebab yang membolehkan. Dan karena talak semacam
itu dapat membatalkan pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunahkan.
Sehingga talak itu menjadi makruh hukumnya42
.
c. Mubah
Yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak
istri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan
mereka dari tujuan pernikahan43
.
d. Sunnah
Yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah SWT yang telah
diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga
sudah tidak sanggup lagi memaksanya, atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan
dan kesucian dirinya. Hal itu mungkin saja terjadi, karena seorang wanita itu mempunyai
kekurangan dalam hal agama. Dalam kondisi seperti itu dibolehkan bagi suaminya untuk
mempersempit ruang dan geraknya44
.
41
Ibid, 5 42
Ibid, 5 43
Ibid, 6 44
Ibid, 6
e. Mahzhur (terlarang)
Yaitu talak dilakukan ketika istei sedang haid, para ulama di Mesir telah sepakat untuk
mengharamkannya. Talak ini disebut talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang
menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan perintah Allah SWT dan Rasul-
Nya.45
Jika diamati pada aturan-aturan fikih berkenaan dengan perceraian, terkesan seolah-
olah fikih memberi kemudahan atau kelonggaran untuk terjadinya suatu perceraian, berbeda
dengan UUP dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya suatu perceraian.
Sebenarnya yang disebut dalam Pasal 1 UU No. 1/1974 dijelaskan bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa atau dalam bahasa KHI disebut dengan mistagan ghalizha (ikatan yang kuat)46
.
Namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang
mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena
putusan pengadilan.
3. Rukun dan Syarat Talak
4. Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak
bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak tersebut adalah
sebagai berikut47
:
a) Shighat (ucapan) kata-kata ucapan dari suami kepada istri yang menunjukkan talak
b) Majal (Istri) yang diikat dengan pernikahan yang sah
c) Dengan sengaja (niat)
d) Orang yang menjatuhkan talak (suami atau hakim)
45
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2001), 208-210 46
Ahmad Rofiq, of cit, 20 47
Ibid, 21
Talak akan sah apabila suami yang menjatuhkan talak tersebut memenuhi syarat
sebagai berikut48
:
a) Berakal sehat, maka tidak sah talaknya anak kecil atau orang gila
b) Baligh dan merdeka
c) Atas kemauan sendiri bukan dipaksa orang lain
d) Masih ada hak untuk mentalak
Jika sudah memenuhi rukun dan syarat di atas maka sah untuk melaksanakan talak.
Akan Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya menunjukkan
kemarahannya. Semisal suami memarahi istri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah
orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka yang
demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan
angan-angan tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak.
5. Macam-Macam Talak
Adapun macam-macam talak terbagi beberapa macam yaitu49
:
1. Dilihat dari cara pealafan
Jika dilihat dari peralafannya maka talak terbagi menjadi dua:
a. Talak sharih artinya talak yang dilakukan secara terang-terangan.
b. Talak kinayah artinya talak yang dilakukan secara sendirian.
2. Dilihat dari cara rujuk
Dibagi lagi menjadi empat:
a. Talak raj’i
b. Talak ba’in
c. Talak fasakh
48
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 28 49
Ibid, 30
d. Talak khulu’
6. Prosedur Talak
Perceraian dapat terjadi dengan segala cara yang menunjukkan berakhirnya hubungan
suami istri, baik dinyatakan dengan kata-kata, dengan surat kepada istrinya, isyarat oleh
orang yang bisu, maupun dengan mengirimkan seorang utusan50
.
a) Perceraian dengan kata-kata
Adakalanya kata-kata yang digunakan itu terus terang, tetapi adakalanya dengan
sindiran. Yang dengan kata terus terang yaitu kata-kata yang mudah dipahami artinya waktu
diucapkan, seperti: “engkau tertalak”, atau dengan segala kata-kata yang diambil dari kata
dasar talak. Sedangkan kata-kata sindiran yang bisa digunakan itu berarti talak dan lainnya,
seperti: “engkau terpisah”, atau dengan kata “perkaramu ada di tanganmu sendiri”51
.
b) Perceraian dengan surat
Perceraian dengan menggunakan surat dapat dijatuhkan sekalipun yang menulisnya
mampu berkata-kata. Karena suami boleh menolak istrinya dengan lafadz (ucapan), iapun
berhak untuk menolak melalui surat, dengan syarat suratnya itu jelas dan terang. Misalnya:
“Wahai Fulanah! Engkau tertolak52
”
c) Isyarat orang bisu
Isyarat orang bisu merupakan alat menjelaskan maksud hatinya kepada orang lain.
Karena itu, isyarat seperti ini dipandang sama nilainya dengan kata-kata yang diucapkan
50
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Nor Hasanuddin, 2006, (Jakarta: Pena Pundi Aksara), 146-
150 51
Ibid, 152 52
Ibid, 152
dalam menjatuhkan talak apabila orang bisu memberikan isyarat yang maksudnya mengakhiri
hubungan suami istri53
.
d) Mengirimkan seorang utusan
Talak dianggap sah dengan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan kepada
istrinya yang berada di tempat lain bahwa ia telah ditolak. Dalam hal ini, utusan tadi
bertindak selaku orang yang menolak. Karena itu, tolaknya sah.54
Sedangkan kalau kita merujuk kepada UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam itu
secara umum dijelaskan bahwasannya perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan,
dalam hal ini sesuai dengan apa yang telah tercantum dalam UU 1 tahun 1974 Pasal 39 Ayat
3 dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 129-148.
7. Pandangan Menurut Perundang-Undangan
Salah satu aturan yang nyata tentang perceraian yang harus dilakukan di pengadilan
agama sesuai dengan UU yang berlaku di indonesia, yaitu UU No.7 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang di sahkan dan diundangkan di jakarta pada tanggal 2 januari 1974. Adapun
pasal-pasal yang terkait dengan perceraian antara lain55
:
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian b. Perceraian dan c. Atas putusan
pengadilan agama.
53
Ibid, 153 54
Ibid, 154 55
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Ui-Press 1986), 95
Pasal 39
1) Perceraian haya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alsan, bahwa antar suami istri itu tidak
dapat rukun sebagai suami istri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan agama diatur dalam peraturan
perundangan sendiri56
.
Pasal 40
1) Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal diatur dalam perundangan
sendiri57
.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisian mengenai
pengusaha anak-anak, pengadilan memberikan putusan.
2) Bapak yang bertanggun g jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat mementukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan menetukakn sesuatu begi bekas suami58
.
56 Ibid, 96
57 Ibid, 96
BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A. Sejarah Singkat Desa Talang Donok 1
Desa Talang Donok 1 adalah bagian dari Desa Topos adalah salah satu tempat yang dipercayai
sebagai salah satu perkampungan tertua di Kabupaten Lebong, yang juga dipercayai sebagai salah
satu tempat sebagai besar asal usul masyarakat Suku Rejang. Tidak ada data pasti kapan
perkampungan ini didirikan, dari cerita tetua kampung tahun 1866 residen belanda pernah
berkedudukan di Talang Donok 1, seiring bertambahnya penduduk kampung ini kemudian semakin
berkembang sehingga sekarang59
. Talang Donok 1 ini berasal dari nama kayu, konon diceritakan,
ketika pertama kali tempat ini dijadikan perkampungan, salah seorang pendirinya menancapkan
tongkatnya kemudian orang tersebut diketahui bernama Bikau Bembo, dan tongkat tersebut tumbuh
menjadi sebatang kayu “Donok” maka mulai saat itulah perkampungan ini bernama Talang Donok 1.
Kemudian Bikau Bembo ini membentuk kesatuan adat Jurukalang, menurut bapak Salim Senawar,
beliau adalah tokoh adat di desa Talang Donok 1, masyarakat Talang Donok 1 dulunya mengenal
sistem perkawinan eksogami, eksogami ini larangan perkawinan satu kampung60
. Sistem budayapun
berkembangdan larangan tersebut sudah mulai ditinggalkan, dan bergeser kepada sistem perkawinan
Islam sehingga saat ini tidak ada larangan untuk menikah dengan satu kampung Seperti sistem
perkawinan eksogami tersebut, dan sistem ini kemudian membuat semua masyarakat Talang Donok 1
seperti keluarga besar, diantara mereka dipastikan memiliki hubungan kekerabatan bahkan
kekeluargaan yang kuat.
Secara asal usul penduduk desa Talang Donok 1 bisa ditelusuri melalui tambo, dari tambo
yang disusun beberapa kelurga di Talang Donok 1 mereka mengakui berasal dari keturunan salah satu
keturunan bikau mambo yaitu anak dari keturunan raja anumtiko mereka adalah kapuak, royot, kela’ei
dan bu’en. Sehingga saat ini sistem asal usul masih bisa dilihat dari kontruksikan tertib sosial melalui
58
Ibid, 198
59 Erwin Basrin, Sejarah Talang Donok 1, (Talang Donok 1: 2012), 10. 60 Ibid, 11
sistem kutai, di Talang Donok 1 hanya terdapat 2 kutai/ sukau yang representatif dari 2 keturunan
tersebut61
.
Sebagai wilayah tertua, di Talang Donok 1 terdapat beberapa situs sejarah yang dikeramatkan
oleh warganya. Keramat topos dipercayai sebagai makam anak bikau bembo yang paling bungsu
bernama tuanku dewo setangai panjang sebagai keramat tebo kenei dipercayai sebagai benteng
pertahanan yang dijaga oleh ulubalang IX, situs “kubua punungea” adalah areal pemakaman tua
dimana setiap tahun dan hari-hari tertentu dilakukannya ritual ‘cemucua bioa’ atau tabur bunga oleh
warga Talang Donok. Selain situs-situs yang dikeramatkan di wilayah Talang Donok 1 terdapat juga
tempat-tempat yang mempunyai nilai-nilai sejarah mitologi, ada tanah majapahit berada disebelah
barat Talang Donok 1, menurut sejarahnya tanah tersebut dibawah dari kerajan maja pahit dan
dipercayai diareal tersebut tidak bergetar ketika terjadi gempa. Sedangkan di sepanjang sungai
ketahun juga banyak ditemukan situs-situs mitilogi, ada susunan kayu si pahit lidah, terowongan
“lubuk menggong” terowongan bawah tanah sebagian mempercayai kutub yang lain berada di danau
tes, perkampungan tua “monok micor” berada di hulu ketahun dan beberapa situs lainnya62
.
Masyarakat Talang Donok 1 umumnya adalah petani dengan komoditi utamanya adalah padi,
kopi, kulit manis dan tanaman palawija, sehari-hari mereka berkomunikasi dengan menggunkan
Bahasa Rejang dengan logat Lebong dan penganut Islam ini bisa dilihat dari ritual dan adat istiadat,
mereka sering menyebut adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, berapa prosi ritual adat
sering didahulukan kemudian diakhiri oleh agama, ritual ini bisa dilihat dari proses perkawinan, mbin
cupik moi munen (ritual memandikan bayi), panen hasil pertanian, maupun kedurai agung (sejenis
ritual cuci diri dan cuci kampung) dan beberapa ritual lainnya. Karena sistem kekerabatan yang kuat
menjadikan masyarakat Talang Donok 1 menjadi masyarakat yang terbuka, mengutamakan
musyawarah dengan pola ‘berjenjang naik bertanggo turun’ untuk menyelesaikan sengketa diantara
61 Ibid, 11
62 Ibid, 12
mereka dan mereka mempunyai keunggulan diplomasi, pandai menggunaka bahasa-bahasa yang
figuratif dan metapora jika dibandingkan dengan masyarakat Rejang lainya63
.
Masyarakat Talang Donok 1 saat ini mulai beradaptasi dengan modernisme, ada beberapa
sarana pendukung selain terdapat beberapa spot komunikasi, juga terdapat tempat pendidikan dari
taman kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), setelah menamatkan SMA umunya
mereka melanjutkan pendidikan dibeberapa tempat di Indonesia sebagian juga ada yang menempuh
pendidikan di luar negeri64
. Masyarakat Talang Donok 1 yang berada di luar Talang Donok 1 juga
memanfaatkan teknologi untuk menguatakan sistem kekerabatan mereka, baik bentuknya web site
maupun jejaringan sosial baik individu maupun group komunitas talang donok, pada hari lebaran
mereka melaksanakan ritual “mulang apei”, ritual kembali ke tanah leluhur.
B. Keadaan Geografi Dan Monografi
Desa Talang Donok 1 merupakan salah satu desa yang berada di wilayah administrasi
pemerintah Kecamatan Topos Kabupaten Lebong. Luas wilayah Desa Talang Donok 1
50.792 HA dan batas-batas wilayah administrasi dengan wilayah lain sebagai berikut:
a. sebelah utara berbatasan dengan Desa Talang Baru
b. sebelah selatan berbatasan dengan Desa Danau Tes
c. sebelah barat berbatasan dengan Desa Tanjung
d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Teluk Dien
Jumlah penduduk Desa Talang Donok 1 adalah sebanyak 700 jiwa yang terdiri dari:
355 laki-laki dan 345 perempuan65
.
C. Sarana Dan Prasarana
Sarana yang ada di Desa Talang Donok 1 dapat dijelaskan sebagai berikut:
63 Ibid, 13
64 Ibid, 13
65 Ibid, 14
a. Sarana pemerintah
No Nama Jumlah
1. Balai Desa 1 buah
2. Kantor Desa 1 buah
3. Kantor Urusan Agama (KUA) 1 buah
4. Kantor Kepolisian 1 buah
b. Sarana ibadah
No Nama Jumlah
1. Masjid 1 buah
2. Mushollah 1 buah
c. Sarana ekonomi
No Nama Jumlah
1. Tokoh/warung 5 buah
2. Poto copy 2 buah
3. Steam mobil/motor 2 buah
d. Sarana pendidikan
No Nama Jumlah
1. Sd 1 buah
2. Smp 1 buah
Sedangkan dalam bidang kesehatan, belum ada sarana fisik yang tesedia. Desa Talang
Donok 1 hanya memiliki 1 (satu) orang bidan66
.
D. Struktur organisasi pemerintahan
Pemerintahan Desa Talang Donok 1 dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang
bernama Toni Ansori yang memimpin Desa Talang Donok 1 dalam pelaksanaan
pemerintahan. Kepala Desa mendapat kantor dari Badan Pemasyarakatan Desa (BPD).
Sedangkan untuk mempermudah program kerja Desa Kepala Desa dibantu oleh beberapa
orang dengan kedudukan atau jabatan tertentu. Secara lebih lanjut, organisasi Desa
Talang Donok 1 serta struktur organisasinya dapat dijelaskan sebagai berikut67
:
Kepala Desa : Sartono
Sekretaris/sekdes : Gindo
Kaur Umum : Kasbul
Kaur keuangan : Supardi
Seksi pembangunan : Deni Saputra
Kepala dusun 1 : Kasmadi
Kepala dusun 2 : Darmadi
66 Ibid, 14
67 Ibid, 15
STRUKTUR ORGANISASI
DESA TALANG DONOK 1
Kepala
Desa
Seksi
Pembangunan
Sekretaris
Desa
Kaur Umum Kaur
Kesuangan
Kepala
Dusun II
Kepala
Dusun 1
E. Keagamaan
Masyarakat di Desa Talang Donok 1 menyeluruh beragama Islam dan tidak ada
yang berkeyakinan selain Agama Islam. Walaupun mayoritas warga Talang Donok 1
beragama Islam kebanyakan dari mereka hanya berstatus Islam di KTP masih banyak
masyarakat yang tidak memahami dan mengerti ajaran agama Islam.
F. Visi dan misi Desa Talang Donok 1
a. Visi Desa Talang Donok 1
Terwujudnya masyarakat yang berilmu dan bertaqwa, mandiri, adil, makmur dan
sejahtera.
b. Misi Desa Talang Donok 1
1) Mewujudkan suprementasi hukum dan pencipta antara pemerintahan yang
bersih dan berwibawah.
2) Mewujudkan masyarakat yang tanggung jawab dan berkualitas.
3) Mewujudkan pemanfaatan potensi sumber daya alam68
68 Ibid, 18
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pendapat Masyarakat Desa Talang Donok Tentang Perceraian Yang Dilakukan Di
Luar Pengadilan Agama
Perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa Talang Donok telah
menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan dikalangan masyarakat Desa Talang Donok
1. Berikut ini peneliti memaparkan beberapa pendapat dan pandangan para masyarakat Desa
Talang Donok 1.
Peneliti melakukan wawancara kepada Bapak Kepala Desa Talang Donok 1 yaitu
Bapak Sartono Menuturkan bahwa 69
:
“Talak itu boleh dilakukan didalam ataupun di luar pengadilan, jika talak itu
dijatuhkan didalam pengadilan, maka konsekwensi dari talaknitu akan berkekuatan hukum,
artinya ketika pihak wanita akan menuntun haknya berupa nafkah lebih mudah, dikarenakan
adanya bukti otentik dari perceraian itu sendiri”.
Selanjutnya penulis menanyakan tentang status dari perceraian dan perkawinan yang
kedua mereka sah atau tidak dipandangan Agama Islam dan dalam Undang-undang tersebut,
kepala desa menjelaskan bahwa:
“Kalau di pandang dari hukum Islam perkawinan mereka yang kedua itu sah karena di
dalam Al-Quran tidak ada yang menjelaskan kalau pereceraian harus di depan Pengadilan
Agama, akan tetapi jika di pandang dari Undang-undang yang berlaku di Indinesia sudah
jelas perkawinan mereka yang kedua itu tidak sah karena tidak tercatat di buku Negara”.
Kemudian, status anak dari pernikahan yang kedua tidak diakui oleh negara karena
pernikahan mereka melalui nikah siri sedangkan di aturan perundang-undangan nikah siri
sangat ilegal di dalam peraturan yang sudah ditetapkan. Dengan begitu, Bisa dikatakan
karena mereka memperhitungkan banyak hal misalnya jika bercerai di Pengadilan akan
memerlukan banyak biaya sedangkan perekonomiannya rendah, waktu yang dibutuhkan juga
memerlukan waktu lama dalam proses persyaratan yang harus dipenuhi, dan juga tempat
Pengadilan dari desa kami juga sangat jauh memerlukan waktu beberapa jam di perjalanan.
Dengan begitu masyarakat desa Talang Donok lebih banyak memeilih untuk melakukan
perceraian di luar Pengadilan daripada lewat sidang Pengadilan Agama. Dari perceraian di
luar pengadilan sudah pasti mempunyai dampak yang negatif karena sudah melanggar hukum
yang sudah di tetapkan oleh Undang-undang yang berlaku di indonsia. Misalnya seperti
69 Sartono Sebagai Kepala Desa , Wawancara, (Talang Donok 1: 06/09/2018)
status anak mereka akan di legalkan dari pencatatn sipil dan juga status perkawinan yang
kedua tidak akan diakui oleh negara.
Dari pendapat kepala desa di atas dapat peneliti simpulkan bahwa perceraian yang
dilakukan oleh masyarakat desa Talang Donok 1 tersebut tidak diakui oleh negara dan
perkawinan yang pertama masih resmi bagi Negara sebab perceraian mereka tidak diakui
dihukum negara. Kemudian jika mereka ingin menikah lagi yang kedua maka mereka tidak
akan bisa menikah secara resmi/di catatkan di Kantor Urusan Agama, karena perceraian
mereka sudah tergolong ilegal di hukum Negara.
Selanjutnya peneliti juga menyanyakan hal yang sama dengan salah seorang
masyarakat Ibu Sumarni beliau menyatakan bahwa70
:
“Menurut saya kalau dipandang dari Agama Islam sah-sah saja karena sesuai dengan
ajaran Agma Islam yang sudah ditetapkan dalam hukum Islam, kalau status perceraian
mereka di Agama Islam itu sah tapi kalau di Undang-Undang Negara saya kurang tahu sah
atau tidaknya. Jelas tidak tercatat karena untuk membuat akte kelahiran membutuhkan syarat
akte nikah kedua orang tua dengan legalnya perceraian mereka maka anaknya tidak dapat
tercatat di buku Negara. Kemudian Karena kalau bercerai di luar Pengadilan Agama
prosesnya sangat mudah dan waktunya juga si singkat dan tidak banyak memakan biaya”.
Dari hasil wawancara di atas dapat peneliti simpulkan bahwa atas nama Sumarni Ialah
perceraian yang terjadi di Luar Pengadilan Agama itu statusnya sah karena sesuai dengan
ajaran Agama Islam. Tapi kalau di dalam Undang-Undang negara dia kurang mengetahui
karena pendidikan yang rendah, sedangkan menengai perkawinan yang kedua statusnya
adalah pernikhan siri dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama.
Kemudian peneliti mewawancarai lagi dengan seorang mahasiswa yang berada di desa
Talang Donok 1. Yang bernama Robi Sarianto dan beliau berpendapat bahwa71
:
“Menurut saya perceraian yang dilakukan di luar pengadilan agama statusnya tidak sah
di dalam Undang-undang di Indonesia, dan jika ingin melakukan pernikahan yang
selanjutnya maka tidak bisa didaftarkan di Kantor Urusan Agama dan hanya bisa melakukan
nikah siri. Didalam hukum islam statusnya akan sah jika ada saksi dua orang. Akan tetapi di
dalam undang-undang 1974 status perceraiannya tidak sah di mata Undang-undang. Status
70 Sumarni Tokoh Masyarakat, Wawancara, (Talang Donok 1: 07/09/2018) 71 Robi Sarianto Sebagai Mahasiswa, Wawancara, (Talang Donok 1: 24/08/2018)
anaknya tetap tidak dapat dibukukan oleh kantor capil. Dikarenakan kurangnya biaya
administrasi untuk mengurus jika perceraian di pengadilan agama dan kurangnya
pengetahuan kalau cerai itu harus di depan sidang pengadilan agama. Akan berdampak positif
terhadap perceraian karena tidak dianggap sah di dalam Undang-undang di Indonesia”.
Dapat disimpulkan bahwa perceraian memang harus dilakukan di depan Sidang
Pengadilan Agama supaya perceraian pasangan yang bercerai itu di anggap sah dalam hukum
Negara, dengan demikian pasangan yang bercerai bisa melakukan perkawinan yang
selanjutnya dengan sah dan akan diakui oleh Undang-Undang yang berlaku.
Lalu peneliti melakukan wawancara kepada tokoh adat desa Talang Donok 1, Bapak
Jamhuri selaku ketua adat desa Talang Donok 1 menyatakan bahwa:
“Masyarakat desa Talang Donok 1 merupakan yang mayoritas bersuku Rejang yang
telah memiliki keturunan dan berdomisili di wilayah desa Talang Donok 1. Perceraian yang
terjadi pada masyarakat desa Talang Donok 1 dari tahun ke tahun semakin meningkat, kasus
perceraian yang dialami oleh masyarakat yang melaukan perceraian di luar pengadilan
agama. Sebelumnya ia sudah pernah menyampaikan kepada masyarakat bahwasannya
perceraian itu harus di lakukan di depan pengadilan agama, akan tetapi anjuran beliau tidak
direspon oleh masyarakat. Sebab masyarakat menganggap perceraian secara adat atau
kekeluargaan itu yang lebih baik atau cepat”72
.
Kemudian ada juga pendapat oleh bapak Pirman selaku masyarakat desa talang donok 1
ia menyatakan bahwa73
:
“Menurut saya perceraian di luar pengadilan agama akan berdampak negatif terhadap
pernikahan yang selanjutnya karena pernikahan selanjutnya tidak bisa didaftarkan di Kantor
Urusan Agama jika ingin menikah lagi. Status pernikahan yang kedua dari pasangan yang
bercerai di luar pengadilan agama tidak akan diakui di dalam Undang-undang Negara tapi di
dalam hukum islam tetap sah. Jelas tidak dapat di bukukan karena perkawinan orang tuanya
tidak tercatat di kantor urusan agama sebelum mereka melakukan pernikahan yang kedua.
Dikarenakan jarak dari desa talang donok ini jauh dari pengadilan agama sehingga mereka
memilih untuk bercerai hanya di depan kepala desa. Pasti mempunyai dampak yang negatif
terhadap perkawinan yang selanjutnya, apalagi terhadap anaknya dikemudian hari”.
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian yang dilakukan oleh
pasangan di Desa Talang Donok 1 adalah hal yang legal di dalam Undang-undang Negara
tetapi tetap sah di dalam Hukum Islam.
72
Jamhuri Selaku Masyarakat , Wawancara, (Talang Donok 1:10/09/2018) 73
Pirman Selaku Masyarakat, Wawancara, (Talang Donok 1: 09/09/2018)
Dari hasil wawancara di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa perceraian harus
dilakukan didepan pengadilan agama supaya menjadi sah. Dan supaya perceraian yang
dilkakukan tersebut diakui oleh Negara baik itu dalam Kompilasi Hukum Islam maupun
dalam Undang-undang tahun 1974.
B. Faktor Yang Menyebabkan Masyarakat Desa Talang Donok 1 Melakukan Cerai Di
Luar Pengadilan Agama
Dalam hal ini banyak yang dijumpai mengenai faktor yang melatar belakangi
masyarakat Desa Talang Donok 1 melakukan perceraian di luar pengadilan agama, bisa
dilihat dari Peristiwa cerai di luar sidang Pengadilan Agama sangat umum dilakukan oleh
masyarakat desa Talang Donok 1. Meski demikian, hanya ada beberapa orang yang mau
dijadikan responden oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian yaitu:
Ibu Siti Susanti sebagai pelaku perceraian di luar pengadilan. Peneliti menanyakan
bagaimana peristiwa perceraian itu terjadinya didalam keluarga ibu yang pertama? Beliau
mengatakan74
, “bermula dengan sering sekali terjadi pertengkaran antara saya dengan
suami saya meskipun itu adalah hal yang sepele, misalnya seperti hal dalam perekonomian
yang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga saya, dengan begitu maka saya lebih
memilih untuk bercerai dengan suami saya yang pertama” . Dari pernyataan ibu siti susanti
tersebut dapat dikatakan bahwa masalah perekonomian dapat memicu terjadinya perceraian
atau pecahnya suatu rumah tangga.
Adapun perceraian masyarakat desa Talang Donok 1 berdasarkan hasil wawancara
dengan salah satu pelaku perceraian di bawah tangan oleh ibu Maryati ia mengungkapkan
bahwa “proses perceraian kami dilakukan secara kekeluargaan kerena kalau dilakukan di
pengadilan maka akan memerlukkan waktu yang cukup lama untuk memproses perceraian
kami”75
. maksudnya perceraian mereka dapat selesai dengan mempertemukan kedua belah
pihak keluarga masing-masing dan saksi yang dipercaya oleh suami-istri yang ingin
melakukan perceraian tersebut. Maka suami mengucapkan lapazl talak didepan saksi maka
74
Siti Susanti Sebagai Pelaku Perceraian Di Luar Pengadilan Agama, Wawancara, (Talang Donok
1:11/09/2018) 75 Maryati Sebagai Pelaku Perceraian Di Luar Pengadilan Agama, Wawancara, (Talang Donok 1:
11/09/2018)
terjadilah perceraian, kemudian si duami membuat surat cerai untuk sang istri yang
diceraikannya. Selain dari cara kekeluargaan perceraian juga bisa terjadi dengan cara
kesepakatan suami istri dengan membuat surat yang sudah ditandatanganii oleh suami
sabagai bukti bahwa mereka sudah bercerai walaupun hanya dengan tulisan tangan.
Kemudian dari berbagai kasus di atas dapat disimpulkan bahwa faktor dari perceraian
yang terjadi adalah dikarena oleh sebab sebagai berikut:
1. Faktor ekonomi
Biaya pendapatan yang begitu besar, akan memicu terjadinya perceraian di luar
pengadilan agama. Hal ini dirasakan oleh masyarakat Talang Donok 1 yang mayoritas
rendahnya pendapatan perekonomian bahkan untuk makan sehari-hari kurang mencukupi,
apalagi mengikuti proses perceraian di pengadilan yang menurut mereka membutuhkan biaya
yang mahal.
Hal ini dikatakan oleh ibu Siti Susanti sebagai pelaku perceraian di luar pengadilan
agama, yaitu: “bermula dengan sering sekali terjadi pertengkaran antara saya dengan
suami saya meskipun itu adalah hal yang sepele, misalnya seperti hal dalam perekonomian
yang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga saya, dengan begitu maka saya lebih
memilih untuk bercerai dengan suami saya yang pertama” sebagai masyarakat Desa Talang
Donok 176
.
2. Faktor tempat
Bisa juga dilihat dari jarak Desa Talang Donok 1 ini jauh dari Pengadilan Agama.
Dengan jauhnya jarak antara desa dengan Pengadilan Agam akan menjadi salah satu alasan
masyarakat untuk melakukan perceraian lewat persidangan. Dengan begitu masyarakat lebih
memilih untuk melakukan perceraian di luar sidang Pengadilan Agama hal ini dikatakan oleh
Saripah sebagai pelaku perceraian di luar Pengadilan Agama“ jarak antara pengadilan
76 Siti Susanti Sebagai Pelaku Perceraian Di Luar Pengadilan Agama, Wawancara, (Talang Donok
1:11/09/2018)
dengan desa kami itu jaraknya cukup jauh jadi saya lebih memilih bercerai dengan cara
kekeluargaan saja’’77
.
3. Masalah waktu
Kemudian ada juga faktor penting yang mengakibatkan mereka dilakukan di luar
Pengadilan Agama seperti yang dilakukan oleh salah satu pelaku perceraian di bawah tangan
oleh ibu Maryati ia mengungkapkan bahwa “proses perceraian kami dilakukan secara
kekeluargaan kerena kalau dilakukan di pengadilan maka akan memerlukkan waktu yang
cukup lama untuk memproses perceraian kami”78
. maksudnya perceraian mereka dapat
selesai dengan mempertemukan kedua belah pihak keluarga masing-masing dan saksi yang
dipercaya oleh suami-istri yang ingin melakukan perceraian tersebut. karena jika perceraian
lewat sidang Pengadilan Agama memerlukan waktu yang cukup lama samapai penjatuhan
talak itu diputuskan oleh hakim, akan tetapi jika perceraian dilakukan di luar Persidangan
Agama ,maka waktu yang dibutuhkan tidak tertalalu memakan banyak waktu.
4. Kurangnya kesadaran hukum
Mereka yang bercerai tanpa mengikuti prosedur Pengadilan Agama, maka mereka yang
tidak taat kepada hukum atau tidak sadar adanya praturan yang sudah berlaku di Negara
Indonesia mengenai masalah perceraian yang harus di depan sidang Pengadilan Agama.
Kemudian masyarakat Desa Talang Donok 1 seharusnya labih menaati peraturan yang sudah
diterapkan oleh Undang-undang Tahun 1974 sebagai landasan untuk pelakukan perceraian
seperti yang dikatakan oleh ibu Vera sebagai pelaku yang melakukan cerai di luar Pengadilan
Agama mengungkapkan bahwa, “saya tidak begitu mengetaui tentang aturan hukum
Undang-Undang Di Indonesia tentang perceraian yang saya tahu hanya jika ingin bercerai
77
Saripah Sebagai Pelaku Perceraian Di Luar Pengadilan Agama , Wawancara, (Talang Donok 1:
12/09/2018) 78 Maryati Sebagai Pelaku Perceraian Di Luar Pengadilan Agama, Wawancara, (Talang Donok 1:
11/09/2018)
bisa melalui kades dengan dihadiri keluarga kedua belah pihak dan saksi-saksi yang kita
percayai”79
.
C. Analisis Tentang Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Perceraian
Di Luar Pengadilan Agama Pada Masyarakat Desa Talang Donok
1. Tinjauan hukum Islam terhadap perceraian di luar Pengadilan Agama
Untuk mengetahui legalitas dampak yang disebabkan oleh adanya perceraian pada
masyarakat Desa Talang Donok 1, maka perlu adanya penelaan terlebih dahulu mengenai
legalitas sebab yang menyebabkan akibat tersebut. Ruang lingkup tinjauan hukum Islam yang
digunakan sebagai peninjau praktek cerai di masyarakat Desa Talang Donok 1 meliputi
tinjauan dalil al-Qur’an dan hadist yang terkait dengan praktek perceraian yang dilaksanakan
di Desa Talang Donok 1.
Cerai atau talak untuk mengakhiri perkawinan merupakan suatu perbuatan yang
diperbolehkan oleh Allah. Meski diperbolehkan, talak atau cerai merupakan suatu yang
dibenci oleh Allah. Terkait dengan sisi legalitas dan kebencian praktek cerai dapat terlihat
dalam hadist berikut ini80
:
لم اهلل ولض ر ر م ع ن إب ن ع لق الط اهلل ل ل ا ل ال ض غ آب قل : صلى اهلل عليه وس )رواه انوداودوابن(
Artinya: “dari ibnu umar ra berkata telah bersabda rasulullah saw, perkara halal yang
sangat dibenci Allah adalah talak (H.R Imam abu daud)”.
79
Vera Sebagai Pelaku Perceraian Di Luar Pengadilan Agama , Wawancara, (Talang Donok 1:
13/09/2018) 80
Sulaiman Bin Al’ Asyas Al Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Dar al Kutub Al Ilmiyah :1996). 120
Dari hadist di atas dapat disimpulkan bahwa Allah sangat membenci yang namanya
talak dan Allah SWT sangat melarang ummatnya untuk bercerai kecuali pernikahannya sudah
tidak dapat dipertahankan lagi.
Dalam Islam sudah dijelaskan bahwa untuk terjadinya perceraian harus memenuhi
beberapa persyaratan: adanya suami, adanya istri, lafaz talak dan niat sengaja untuk bercerai.
Memang dalam fiqh klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatukan talak, sehingga
kapan dan dimanapun ia mengucapkannya talak itu jatuh seketika. Keadaan ini dipandang
dari sudut kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat, tidak
mewujudkan kemaslahatan, bahkan banyak merugikan kaum wanita81
.
Kemudian tindakan perceraian yang tidak memiliki alasan yang jelas secara tegas
dilarang dalam Islam karena tindakan tersebut tidak semua dengan hukum Allah SWT,
dengan adanya perceraian yang semacam itu dianggap telah mempermainkan hukum Allah
SWT dengan adanya toleransi dihalalkannya perceraian bukan berarti dengan sewenang-
wenang menyepelehkan segala sesuatu yang telah ditentukan baik dalam aturan pemerintah
lebih-lebih lagi terhadap aturan Allah SWT. Oleh karena itu adanya alasan dalam melakukan
perceraian itu sangat penting karena dampak negatif yang diberikannya sangat tidak baik
yaitu terutama bagi anak dan keluarga yang akan membuat mentalnya lemah dan secara
spikis membahayakan bagi penghiduppannya kelak.
Abd Al-Karim Zaidan menyatakan bahwa talak tidak perlu dilakukan di Pengadilan
Agama dengan alasan82
:
a) Tidak ada dalil baik dalam al-quran maupun hadist yang membatasi hak suami
menceraiakan istrinya dengan mengharuskan izin dari hakim sewaktu dia
menceraikan istrinya.
81
Faud Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1994), 6 82
Ibid, 7
b) Tidak ada ulama manapun sejak masa sahabat dan sesudahnya yang mengharuskan
ada izin dari hakim sewaktu suami menjatuhkan talak kepada istrinya83
.
c) Keharusan menjatuhkan talak melalui pengawasan dan penetapan izin dari
Pengadilan Agama tidak akan mendatangkan kemaslahatan bagi istri. Walaupun
talak dilakukan di Pengadilan Agama tidak pula mendatangkan suatu hal yang baik
bagi istri84
.
d) Diantara sebab-sebab perceraian adalah hal bersifat kejiwaan yang tidak termasuk
kedalam kekuasaan peradilan seperti, kebencian suami terhadap istrinya. Dalam
Islam tidak boleh membicarakan aib orang lain apalagi membahasnya di depan
umum, sedangkan jika perceraian itu dilakukan di pengadilan agama, maka semua
keburukan suami dan istri akan dibicarakan semua orang dan itu sudah tidak sesuai
dengan etika Islam85
.
e) Faktor-faktor penyebab perceraian terkadang berupa sesutau yang tidak baik untuk
dibuka didepan hakim demi untuk meminta izin perceraian padahal sebaiknya hal
tersebut perlu disembunyikan86
.
f) Aturan hakim antara suami istri jika terjadi perselisihan diantara keduanya tidak
membutuhkan izin dari hakim kalu suami pengen berpisah setelah tidak terdapatnya
jalan damai.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa talak itu tidak harus dilakukan di Pengadilan
Agama karena sejak dahulu talak itu dilakukan tanpa perlu meminta keputusan hakim,
bahakan mulai dari zaman Nabi. Adapaun dalil dalam al-quran yang menyatakan bahwa talak
tidak perlu didalam Pengadilan Agama adalah surat at-thalaq: 1 yang artinya berbunyi:
83
Ibid, 7 84
Ibid, 85
Ibid, 8 86
Ibid,
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah
itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru87
.
Juga didalam surat al-bhaqarah: 236 yang artinya dijelaskan sebagai berikut:
tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang
yang berbuat kebajikan88
.
Jadi, berdasarkan dua ayat di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya talak merupakan
hak dari suami tanpa ada campur tangan dari pihak manapun teramsuk hakim Pengadilan
Agama selaku pemutus hukum.
87
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro,2005), 102
88 Ibid, 257
2. Tinjauan Hukum Positif terhadap perceraian di luar Pengadilan Agama
Di negara Indonesia sangat jelas bahwa perkara perceraian merupakan perkara yang
kewenangannya dimiliki oleh pengadilan, baik pengadilan negeri maupun pengadilan agama.
Selain pengadilan merupakan lembaga yang sah dan keputusannya dianggap sah dan
berkekuatan hukum. Salah satu aturan yang nyata tentang perceraian yang harus dilakukan di
pengadilan agama sesuai dengan UU yang berlaku di indonesia, yaitu UU No.7 Tahun 1974
tentang perkawinan yang di sahkan dan diundangkan di jakarta pada tanggal 2 januari 1974.
Adapun pasal-pasal yang terkait dengan perceraian antara lain89
:
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian b. Perceraian dan c. Atas putusan
pengadilan agama.
Pasal 39
4) Perceraian haya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
5) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alsan, bahwa antar suami istri itu tidak
dapat rukun sebagai suami istri.
6) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan agama diatur dalam peraturan
perundangan sendiri90
.
Pasal 40
3) Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
89
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Ui-Press 1986), 95 90 Ibid, 96
4) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal diatur dalam perundangan
sendiri91
.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
4) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisian mengenai
pengusaha anak-anak, pengadilan memberikan putusan.
5) Bapak yang bertanggun g jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat mementukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
6) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan menetukakn sesuatu begi bekas suami92
.
Berdasarkan firman allah surat at-talaq: 2 dan an-nisa’: 35 yang berbunyi:
apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar
93.
91 Ibid, 96 92
Ibid, 198 93
Ibid, 290
dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua
orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal94
.
Dari kedua ayat di atas menjelaskan bahwa talak itu harus dilakukan dihadapan saksi
tidak boleh melakukan talak diantara suami dan istri saja tanpa ada saksi yang mendengarkan
talak tersebut selain itu di dalam talak perlu dilakukannya musyawarah (mediasi) agar dapat
menemukan jalan keluar yang baik antar suami istri walaupun jalan keluar yang baik itu
dengan cara bercerai. Jadi berdasarkan hal di atas penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa
perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama. Karena perceraian yang
dilakukan di depan pengadilan mempunyai kekuatan hukum, dan mempunyai banyak
kemaslahatan untuk istri. Perceraian yang dilakukan di luar pengadilan agama sah menurut
agama akan tetapi banyaknya mudharat yang timbul dari perceraian di luar Pengadilan
Agama seperti istri tidak mempunyai bukti perceraian akibatnya istri tidak bisa menuntut hak
mut’ah.
Dengan demikian, kekurang sesuaian praktek perceraian pada masyarakat Desa Talang
Donok dengan hukum Islam karena lebih cenderung menimbulkan madharat dari pada
menghasilkan manfaat. Menurut peneliti unsur madorot yang terkandung dalam praktek
perceraian pada masyarakat Talang Donok 1 sebagai berikut:
1. Tidak jelasnya status suami istri
Adanya perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Talang Donok 1 berdampak pada tidak adanya status yang jelas bagi pasangan
94
Ibid, 213
yang bercerai. Maksudnya adalah bahwa tidak adanya surat cerai yang sah dari
pemerintah kepada pasangan yang bercerai akan menjadi pasangan tersebut tidak
memiliki kejelasan terkait dengan keduanya. Dampak ini akan menimbulkan
permasalahan yang tidak kecil bagi pasangan yang telah bercerai serta keluarga dari
masing-masing pasangan95
.
2. Mempersulit administrasi kependudukan negara
Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama tentu tidak terdata dalam
administrasi Pengadilan Agama. Hal ini karena proses perceraian tersebut tidak
didaftarkan di Pengadilan Agama. Dampak dari hal tersebut tentu akan menyulitkan
Negara dalam proses pendataan kependudukan. Padahal disisi lain, masalah
kependudukan terkait dengan pelaporan kegiatan kependudukan atau peristiwa penting
yang dialami oleh anggota masyarakat kepada pejabat administrasi Negara. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan pasal 3 yang berbunyi96
:
“Setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting
yang dialaminya kepada intsansi pelaksana dengan memenuhi prasyarat yang
diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil”.
Mengenai peristiwa penting oleh anggota masyarakat dijelaskan dalam pasal 1
ayat 17 Undang-undang yang sama sebagai berikut97
:
“Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran,
kematian, lahir, perkawinan, percerian, pengakuan anak, pengesahan anak,
pengankatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan”.
95 Wacerjik Saleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), 16 96
Undang-Undang No 23 Tahun 2006, Tentang Administrasi Kependudukan, (Bandung: Citra Wijaya,
2012), 5 97
Ibid, 8
Berdasarkan dua pasal di atas dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang administrasi kependudukan di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak adanya
pendataan terhadap percerain yang dilaksanakan oleh masyarakat terhadap peraturan
Desa Talang Donok 1 termaksuk salah satu tindakan pelanggaran perunndang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari masyarakat desa Talang Donok 1
maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut masyarakat Talang Donok 1 tentang perceraian yang dilakukan oleh
masyarakat Talang Donok yaitu perceraian di luar pengadilan agama yang di lakukan
oleh masyarakat itu sah-sah saja asalkan mengikuti ajaran hukum Islam. Tetapi jika
dilihat didalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia maka perceraian yang di
lakukan oleh masyarakat desa Talang Donok 1 tidak sah karena tidak tercatat oleh
hukum yang sudah ditetapkan dalam hukum negara.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peceraian di luar Pengadilan Agama
meliputi: a. Faktor ekonomi yaitu kurangnya biaya untuk melakukan perceraian di
sidang Pengadilan Agama b. Faktor masalah tempat yaitu jarak dari desa ke
pengadilan terlalu jauh sehingga masyarakat lebih memilih untuk melakukan
perceraian hanya di luar Pengadilan Agama saja c. Masalah waktu yaitu jika
melakukan perceraian di depan Pengadilan Agama memerlukan waktu yang cukup
lama sedangkan masyarakat ingin perceraian mereka cepat terselesaikan dengan
begitu masyarakat bercerai di luar Pengadilan Agama d. Faktor kebiasaan adat yaitu
masyarakat yang terdahulu melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama sehingga
masyarakat sekarang lebih mengikuti kebiasaan masyarakat terdahunya dengan
melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama e. Faktor kurangnya kesadaran
hukum yaitu: masyarakat Talang Donok 1 ini kurang mengetahui lebih lanjut tentang
hukum yang sudah di atur oleh Undang-undang di Indonesia mengenai perceraian
harus di depan Pengadilan.
3. Tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap perceraian di luar Pengadilan
Agama. Menurut Hukum Islam perceraian di luar Pengadilan Agama sah-sah saja asal
sesuai dengan ajaran Islam dan menurut hukum positif yaitu perceraian yang
dilakukan oleh masyarakat Talang Donok 1 ini tidak sah/tidak diakui oleh Undang-
undang yang berlaku di Negara Indonesia karena perceraian yang sah adalah harus di
depan sidang Pengadilan Agama.
B. Saran
Dari hasil penelitian di atas dapat terlihat adanya banyak sekali kekurangan pemahaman
masyarakat terhadap peraturan-peraturan di indonesia tentang perceraian di luar pengadilan
agama sehingga hukum di indonesia tentang perceraian kurang sesuai dengan ketentuan
hukum di indonesia khususnya pada masyarakat desa talang donok dan umumnya pada
masyarakat yang masih mengalami keadaan tersebut.
Dan kemudian penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Untuk aparat desa dan masyarakat desa Talang Donok 1
Diharapkan kepada aparat desa untuk aktif memberikan pengarahan dan
wawasan terhadap masyarakat desa harus ada kesadaran, bahwa perceraian harus
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama dalam rangka untuk mendapatkan
kepastian hukum
2. Saran untuk penulis terkait mengatasi faktor dan akibat perceraian di luar
Pengadilan Agama
Karena sangat pentingnya perceraian secara resmi, maka untuk mengatasi
perceraian di luar pengadilan agama dengan cara melakukan sosialisasi kesadaran
hukum masyarakat dari instansi yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015)
Abu Daud, Terjemahan Bulhugul Maram Kumpulan Hadist Hukum Panduan Hidup Muslim
Sehari-Hari, (Jokjakarta: Dar Al-Fikr, 2009)
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010)
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006)
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Pesaja, 2003)
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Unang Nomor 1 tahun 1974
sampai KHI) (Jakarta: Kencana, 2004)
Ansyary, hukum perkawinan di indonesia masalah-masalah kusial, (Yokyakaa: pustaka
pelajar, 2010)
Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka,
1989)
Departemen Agama RI. Al-Quran Al-Karim Dan Terjemahannya, (Semaran: Toha Putra,
2010)
Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958. Tentang pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah diluar Jawa dan Madura.
Faud Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1994)
Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqih Komtemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Dan Dalil-Dalil Hukum, (Jakarta: Gema Insani,
2013)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemahan Bulhugul Maram Kumpulan Hadist Hukum Panduan
Hidup Muslim Sehari-Hari, (Jokjakarta: Hitam Pustaka, 2009)
Imam Taqiyuddin, Kifayat Al-Aakhyar Fi Hal Ghoyat Al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya,
1897)
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014)
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011)
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006)
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Ui-Press 1986)
Slamet Abidin Dan Aminudin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007)
Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2001)
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Undang-Undang No 23 Tahun 2006, Tentang Administrasi Kependudukan, (Bandung: Citra
Wijaya, 2012)
Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
Wacerjik Saleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980)
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1998)
Wojowasito dan WJS. Poerwadaminta, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia – Idonesia –
Inggris, (Jakarta: Hasta, 1982)