Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

239

Transcript of Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

Page 1: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8
Page 2: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

______________________________________ Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015

ii

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

TEMA:

PENINGKATAN PROFESIONALITAS

PENDIDIK MATEMATIKA DALAM

MENGHADAPI MEA 2015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

ISBN: 978-602-97671-7-8

Page 3: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

______________________________________ Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015

iii

EDITOR

Dra. Bintang Zaura, M.Pd. Juanda Kelana Putra, S.Pd., M.Sc

PENATA LETAK

Dra. Suryawati, M.Pd.

DESAIN COVER

Juanda BJ, S.Pd.

TEBAL BUKU

229 + x

PENERBIT

Program Studi Pendidikan Matematika

FKIP

Darussalam – Banda Aceh

Laman: http://matematika.fkip.unsyiah.ac.id/

© FKIP Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala

Cetakan Pertama

ISBN: 978-602-97671-7-8

Page 4: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

______________________________________ Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015

iv

LAPORAN KETUA PANITIA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tiada ucapan yang lebih pantas disampaikan kecuali puji dan syukur kepada Allah S.W.T, karena hanya atas ridho-Nya kegiatan “Seminar Nasional Pendidikan” sesuai dengan waktu yang direncanakan. Seminar ini akan menjadi kegiatan rutin dimasa yang akan datang (setiap tahun) di FKIP Unsyiah.

Seminar Nasional Pendidikan yang berlangsung di Auditoruim FKIP Unsyiah lantai 3 Darussalam Banda Aceh pada tanggal 16 Februari 2015, diselenggarakan atas kerjasama FKIP UNSYIAH. Tema Seminar Nasional Pendidikan adalah “Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015”. Dalam acara seminar tersebut panitia mengundang 3 orang keynote speaker yaitu; (1) Prof. dr. Ahmad Fauzan, M.Pd., M.Sc. dan (2) Dr. Rahmah Johar, M.Pd. (Pascasarjana Universitas Syiah Kuala - Indonesia)

Pada kesempatan yang baik ini, kami sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Unsyiah, Dekan FKIP Unsyiah, para tamu undangan, para donatur, dan seluruh peserta seminar, atas segala partisipasi dan bantuannya. Rasa bangga dan terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh anggota panitia yang telah bekerja keras, bahu membahu untuk menyukseskan acara ini. Akhirnya kami mengucapkan selamat mengikuti seluruh rangkaian seminar, semoga bermanfaat.

Penanggung Jawab Seminar Ketua Pelaksana

Ttd Ttd

Dra. Suryawati, M.Pd. Rifki

Page 5: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

______________________________________ Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015

v

SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang paling utama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat bertemu di forum "Seminar Nasional Pendidikan" dalam kondisi sehat jiwa dan raga. Tema seminar ini adalah “Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015”. Tema tersebut sangatlah urgen dan up to date saat ini dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya di Provinsi Aceh dan umumnya di Indonesia.

Saya selaku Ketua Program Studi begitu gembiranya melihat antusias para panitia, dan para praktisi matematika, para alumni dan sarjanawan matematika dari berbagai instansi beserta partisipasi dari himpunan mahasiswa pendidikan matematika yang ikut ambil bagian dalam mensukseskan acara Seminar Nasional Pendidikan Matematika (Seminar Nasional).

Penelitian dan pengembangan yang terkait dengan dunia pendidikan harus terus digalakkan dan dikomunikasikan kepada semua stakeholder. Karenanya, upaya mengundang keynotespeaker, baik dari tingkat internasional dan nasional pun kami tempuh untuk menyemarakkan Seminar Nasional ini.

Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada; Rektor Unsyiah yang telah memberikan arahan dan berkenan membuka seminar ini; Bapak Dekan FKIP Unsyiah, Bapak Prof. Dr. Ahmad, M.Pd., M.Sc, dan Ibu Dr. Rahmah Johar, M.Pd. sebagai keynotespeaker pada seminar ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada penyelenggara dan seluruh panitia yang terlibat dalam merancang kegiatan tersebut, atas upaya kreatif yang cukup mendasar sehingga pelaksanaannya cukup mengesankan.

Demikianlah sambutan saya, mudah-mudahan Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini berjalan dengan baik dan lancar serta memberikan pemikiran-pemikaran segar bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di Aceh.

Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

Ketua Program Studi Matematika FKIP Unsyiah

Ttd

Dra. Suryawati, M. Pd.

Page 6: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

______________________________________ Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015

vi

DAFTAR ISI

HAL

A. KATA PENGANTAR

PEMAKALAH SESI STADIUM GENERAL

PEMANFAATAN TEKNOLOGI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALITAS GURU

Dr. Rahmah Johar, M.Pd. 1

PEMAKALAH SESI PARALEL

PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA PEMBELAJARAN PERSAMAAN

LINIER SATU VARIABEL

Linda Vitoria 14

PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA BERDASARKAN

PENGALAMAN MENGAJAR GURU SMP NEGERI 15 BANDA ACEH

Salasi R, Putri Lestari 24

ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA KELAS

IX SMPN 6 BANDA ACEH DALAM MENYELESAIKAN SOAL KONTES

LITERASI MATEMATIKA (KLM)

Ellianti, Rahmah Johar, Asmaul Husna 31

THE MATH BODY, UNTUK EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Asmudi 46

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE PLANTET

QUESTION PADA MATERI SEGI EMPAT DI KELAS VII

SMP NEGERI 3 BANDA ACEH

Tuti Zubaidah, Khairul Umam, Baniar Rideni Putri 59

Page 7: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

______________________________________ Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015

vii

LEVEL PROBLEM POSING SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG DI

KELAS VIII SMP NEGERI 8 BANDA ACEH

Bintang Zaura 65

HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL

PEMBELAJARAN INDEX CARD MATCH PADA MATERI

STATISTIKA DI SMP NEGERI 17 BANDA ACEH

Leviani, Musafir Kumar 73

PERAN TECHNOLOGY PEDAGOGICAL AND CONTENT KNOWLEDGE

(TPACK) GURU MATEMATIKA SMA LABSCHOOL BANDA ACEH

Ellianti, Mukhlis Hidayat, Maulana Saputra 81

PENGARUH KEGIATAN LESSON STUDY PADA PENINGKATAN

KEMAMPUAN GURU DALAM MENGELOLA PEMBELAJARAN

PENJUMLAHAN PECAHAN DI KELAS IV SDN LAMSAYEUN

Monawati, Cut Khairunnisak 91

PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN AKTIFITAS SISWA PADA

MATERI LOGARITMA DI KELAS X-IPS2 MAN 3 BANDA ACEH TAHUN

AJARAN 2014-2015.

Mutia Fariha, Sri Ekayanti 101

ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DALAM

MENYELESAIKAN SOAL-SOAL PISA DI KELAS VIII SMP NEGERI 6

BANDA ACEH TAHUN AJARAN 2013-2014

Ellianti, Rahmah Johar, Nana Mulya 107

PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VII SMPN 19

PERCONTOHAN MELALUI IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN

PROBLEM BASED LEARNING DAN PENDEKATAN SAINTIFIK

Bainuddin Yani, Sarah Shalsabilla Amalia 122

Page 8: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

______________________________________ Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015

viii

IMPLEMENTASI PENDEKATAN ILMIAH BERBASIS MASALAH DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Sumarno Ismail, Satra Hamzah 131

AL-KHAWARIZMI DAN PERSAMAAN KUADRAT

Budiman, Suryawati, Herizal 141

PEMBELAJARAN QUANTUM DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Yuhasriati 148

PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC PADA MATERI LIMIT DI

KELAS X SMAN 3 BANDA ACEH TAHUN AJARAN 2013/2014

Erni Maidiyah, Roza Yefissa 156

ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS IX

SMP NEGERI 1 BANDA ACEH DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL

PISA PADA KONTEN SPACE AND SHAPE

Yusrina, Rahmah Johar 165

PENGGUNAAN PENDEKATAN INKUIRI TERBIMBING UNTUK

MENINGKATKAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA NEGERI 2 SIGLI

Zuraida IM 178

PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

KELAS XI-B1 SMK-PP NEGERI SAREE

Yustina 190

KEMAMPUAN SISWA MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA

MELALUI MODEL LEARNING CYCLE “5E” DI KELAS VIII SMP PLUS

AL-‘ATHIYAH ACEH BESAR

Suhartati 208

Page 9: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

______________________________________ Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalitas Pendidik Matematika dalam Menghadapi MEA 2015

ix

KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIKA PADA MATERI

PERBANDINGAN DENGAN PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE

THINK-PAIR-SHARE

Suryawati, Bainuddin Yani, Lisa Ramadhani 214

PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS

KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS MAHASISWA PGSD PADA

PEMBELAJARAN SOAL CERITA MATEMATIKA: PENGEMBANGAN

MODEL PEMBELAJARAN

Murni, Roslina 221

Page 10: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

1

Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru

Rahmah Johar

Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Email: [email protected]

Abstrak.Teknologi merupakan alat untuk mengajar maupun belajar matematika. Guru yang profesional dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan mereka baik dari segi content maupun pedagogic dalam memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Beberapa teknologi yang bisa digunakan diantaranya adalah powerpoint, software matematika, video, game on line, software inspiration, kalkulator, dan e-learning. Tulisan ini membahas peran teknologi dalam pembelajaran matematika, contoh penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika, dan hasil penelitian berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika

Kata kunci: teknologi, software, game, video, guru profesional 1. Pendahuluan Abad 21 ditandai dengan berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat sehingga berdampak pada perubahan terkait pekerjaan, cara bermasyarakat, dan gaya hidup. Perkembangan otomasi juga berakibat pada banyak pekerjaan yang sifatnya pekerjaan rutin dan berulang-ulang mulai digantikan oleh mesin, baik mesin produksi maupun komputer. Namun, beberapa pekerjaan tetap tidak tergantikan oleh mesin yaitu pekerjaan yang menuntut adanya pemikiran pakar (expert thinking) dan komunikasi yang kompleks. Kebutuhan sumber daya manusia untuk hal-hal rutin semakin menurun dari tahun ke tahun. Sebaliknya kebutuhan akan kecakapan berfikir dan komunikasi yang kompleks semakin naik. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan paradigma tentang kacakapan yang akan diperlukan di masa depan serta tentunya perubahan paradigma pendidikan (Hidayatullah, 2013). Pada tahun 2015 ini, kesepatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas ASEAN mulai dilaksanakan. Agar dapat bersaing, Indonesia harus selalu berbenah, salah satunya di sektor pendidikan. Semua yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan ditantang untuk mempersiapkan generasi mendatang supaya eksis dalam kehidupannya. Upaya penyiapan itu bisa diawali dari guru. Berdasarkan UU No 14 tahun 2005, dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru dan dosen berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perekembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Selanjutnya, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 mengenai Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru memuat daftar kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang terintegrasi dalam kinerja guru. Dalam daftar kompetensi tersebut, kompetensi memanfaatkan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) terdapat pada kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional untuk semua kelompok guru (Guru PAUD/TK/RA, Guru Kelas SD/MI, Guru Mata Pelajaran). Lebih jelas dituliskan bahwa salah satu kompetensi guru yang berkaitan dengan TIK adalah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.

Pada kurikulum 2013, tidak ada mata pelajaran TIK, tetapi TIK digunakan sebagai sarana atau media pembelajaran untuk semua mata pelajaran. Oleh karena itu guru-guru hendaknya menguasai TIK yang bisa mendukung pembelajaran.

Page 11: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

2

Guru yang efektif adalah guru yang mampu memaksimalkan pemanfaatan teknologi untuk mengembangkan pemahaman siswa, meningkatkan minat siswa, dan meningkatkan kecakapan matematis (NCTM, 2008).Teknologi dalam pembelajaran matematika yang dimaksud oleh NCTM (2000, h. 25-26) berupa kakulator dan komputer. Dengan kalkulator dan komputer, siswa dapat menganalisis contoh dan bentuk representasi yang lebih banyak dan bervariasi. Teknologi dapat membantu siswa memahami visualisasi dari ide matematika, membantu siswa mengorganisasikan dan menganalisis data, menghitung dengan cepat dan tepat (NCTM, 2008; Rohendi, 2012). Beberapa contoh pemanfaatan teknologi komputer diantaranya adalah dalam bentuk power point, Excel, SPSS, game on line, softwareaplikasi, vidio pembelajaran, dan e-learning.Dengan memanfaatkan teknologi komputer diharapkan siswa tidak lagi menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan kurang bermakna. Rohendi (2012) menjelaskan bahwa guru di Indonesia kurang memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Walaupun tersedia sejumlah program aplikasi untuk pembelajaran, seperti software pembelajaran, namun guru kesulitan dalam memanfaatkannya, diantaranya kesulitan menyesuaikan software dengan materi, memilih strategi yang akan diterapkan, dan kesulitan dalam bahasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Akker dan Feiter (Douglas and Voogt, 2012) bahwa hambatan utama dalam mengintegrasikan teknologi di kelas yaitu karena minimnya pengetahuan guru tentang strategi pembelajaran berbasis teknologi. Dikaitkan dengan program pendidikan pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Douglas and Voogt (2012) menambahkan bahwa sebagian besar dosen tidak menerapkan pembelajaran berbasis teknologi sehingga mahasiswa calon guru tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk mengintegrasikan teknologi di sekolah. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini membahas tentang manfaat teknologi dalam pembelajaran matematika, contoh penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika, hasil penelitianberkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika, dan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran matematika. 2. Pembahasan a. Teknologi dalam Pembelajaran Matematika Teknologi adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material, dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya (Sutabri, 2014). Dalam proses pembelajaran, teknologi pembelajaran merupakan sebuah keterampilan dan pengetahuan spesifik dalam memanfaatkan sebuah alat untuk mendudukung pembelajaran. Hung (2005) menjelaskan bahwa ‘learning from technology’ berbeda dengan ‘learning with technology’. Learning from technology artinya guru menggunakan teknologi sebagai alat mengajar (teaching tool), sedangkan learning with technologyguru menggunakan teknologi sebagai partner dalam proses belajar mengajar yang bertujuan untuk mendorong siswa berfikir. Ketika siswa belajar dengan menggunakan teknologisiswa memahami materi secara lebih mendalam, kemudian mendisain dan menghasilkan representasi dari pengetahuan mereka sendiri. Technology is essential in teaching and learning mathematics; it influences the mathematics that is taught and enhances students’ thinking (NCTM, 2000 h. 24). Teknologi pembelajaran yang dimaksud dalam tulisan ini seperti yang dikemukakan oleh NCTM, yaitu electronic technology, seperti kalkulator dan komputer yang meliputi kalkulator grafik, powerpoint,inspiration, Excel, SPSS, game on line, softwareaplikasi untuk matematika, vidio pembelajaran, dan e-learning. Teknologi dalam pembelajaran matematika menyediakan visualisasi untuk ide-ide matematika, memfasilitasi siswa megorganisasikan dan menganalisis data, dan menghitung secara cepat dan akurat. Teknologi juga dapat mendorong siswa melakukan investigasi pada semua materi matematika seperti geometri, statistik, aljabar, pengukuran, dan bilangan. Melalui teknologi siswa bisa fokus dalam membuat keputusan, refleksi, penalaran, dan penyelesaian masalah. Berdasarkan prinsip dan standar dalam pembelajaran matematika, setiap sekolah harus

Page 12: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

3

memastikan siswa mereka memiliki akses ke teknologi dalam memfasilitasi mereka untuk belajar dengan bimbingan guru yang terampil (NCTM, 2000, h. 24-25). b. Contoh penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika

1) Powerpoint interaktif Microsoft Powerpoint (Ms Powerpoint) adalah salah satu program aplikasi microsoft office yang berguna untuk membuat presentasi dalam bentuk slide. Aplikasi ini biasanya digunakan untuk keperluan presentasi, mengajar, dan untuk membuat animasi sederhana. Dalam pembelajaran matematika, guru dapat mendisain tampilan animasi sebagai visualisasi dari konsep matematika yang abstrak agar lebih mudah dibayangkan oleh siswa, lebih bermakna, dan lebih menarik. Contoh: (a) Mengenalkan gradien dan menemukan rumus gradien garis Guru menyajikan ilustrasi dan animasi sederhana dengan bantuan powerpoint untuk menantang siswa menyelidiki makna dari gradien, seperti gambar berikut.

Sumber: Powerpoint Microteaching oleh Surasta Sari D, mahasiswa PGBI Mat, 2013 Dengan adanya ilustrasi tersebut siswa diharapkan mampu merumuskan pengertian gradien dengan bahasa mereka sendiri, guru menyempurnakannya. Akibatnya siswa berfikir kritis, kreatif, percaya diri, dan mandiri. Mengingat objek matematika bersifat abstrak, animasi melalui powerpoint saja tidak cukup untuk membantu siswa menemukan rumus. Oleh karena itu selanjutnya guru tetap perlu merancang aktivitas agar siswa menemukan rumus untuk menentukan gradien garis melalui dua titik, seperti LKS berikut (Johar, 2006). Perhatikan bermacam kemiringan kayu yang disandarkan pada tembok, yang disertai dengan ukuran, seperti gambar berikut. 1. Pada gambar yang manakah posisi kayu memiliki kemiringan paling besar? Jelaskan! Jawab: .................................................................................................................. 2. Pada gambar yang manakah posisi kayu memiliki kemiringan paling kecil? Jelaskan!

2

4

2

6

Gambar 1 Gambar 2

4

2

Gambar 4

3

6

Gambar 3

Page 13: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

4

Jawab: .................................................................................................................. 3. Adakah posisi kayu yang memiliki kemiringan sama?” Jelaskan! Jawab: .................................................................................................................. Untuk menjawab soal 4-6, perhatikan grafik garis berikut!

4. Manakah garis yang mempunyai kemiringan “paling besar”, “paling kecil”, dan “sama”? Jelaskan! Jawab:....................................................................................................................................................................................................................................................................................... 5. Ukuran-ukuran/nilai-nilai apa saja yang mempengaruhi kemiringan garis?” Jawab: .................................................................................................................................... ................................................................................................................................................ 6. Jika titik-titik yang dilalui oleh garis adalah (X1, Y1) dan (X2, Y2), bagaimana kamu menentukan kemiringan garis tersebut? Jawab: .................................................................................................................................................................................................................................................................................................. (b) Mengenalkan jumlah n-suku pada barisan geometri

Guru menyajikan masalah dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan jumlah deret geometri, misalnya jumlah tinggi bola ketika dilemparkan ke lantai seperti gambar berikut.

Power point di atas hanya berfungsi untuk memberikan visualisasi kepada siswa tentang hubungan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan deret geometri.

Page 14: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

5

Guru tetap perlu merancang LKS yang memberikan kesempatan kepada siswa menyelidika jumlah suku pada deret geometri lainnya.

2) Game Game yang dimaksud dalam tulisan ini adalah game pembelajaran menggunakan komputer (educational computer game). Game ini sangat bermanfaat bagi siswa dalam visualisasi dan eksplorasi konsep yang kompleks (Klawe, 1998). Selanjutnya Klawe (1998) menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih game, yaitu There are many choices that must be made in designing a computer game aimed at enhancing mathematics learning: • content to be learned, • activity in which the learning is to occur • underlying model(s) of learning • representations of the concepts • interfaces used to manipulate concepts and objects • navigational structure and sequencing of activities, • feedback and reward systems • entertainment elements such as graphics, sound, story, characters, and humor Contoh Game untuk membantu siswa belajar matematika adalah sebagai berikut (a) Stop the Clock

Permainan ini meminta pemain memasangkan jam digital dengan jam analog dengan cara men-drag atau memindahkan kotak berisi jam digital ke atas jam analog yang bersesuaian seperti diilustrasikan pada Gambar 8. Di bawah gambar jam analog, terdapat pencatat waktu yang dapat merekam waktu yang diperlukan pemain untuk menyelesaikan permainan tersebut. “TRY AGAIN” adalah umpan balik yang diterima pemain jika pemain salah dalam mencocokkan jam digital dengan jam analog. “STOP THE CLOCK” akan muncul jika pemain benar mencocokkan seluruh jam yang ada. Dengan demikian, melalui permainan ini anak bisa juga melatih kecepatan dalam menjawab soal-soal matematika. Permainan ini dapat diakses melalui http://resources.oswego.org/games/stoptheclock/sthec3.html. (Patahuddin dan Rokhim, 2009)

Dengan bermain game siswa bisa berkembang sesuai dengan potensi mereka. Bagi siswa yang sudah berhasil menentukan jam interval 30 menit bisa melanjutkan pada level berikutnya untuk interval 15 menit, 10 menit, dan seterusnya. (b) Website rekenweb.nl Untuk mengaktifkan game dari website ini, harus diintall dulu program Java atau Flash pada komputer atau laptop. Website ini dirancang oleh Freudenthal Institute, Universitait Utrecht, the Netherlands. Dari Freudenthal Institute inilah Realistic Mathematics Education (RME) dilahirkan dan berkembang sampai saat iini. Game yang dirancang bukan hanya untuk melatih drill, tetapi lebih kepada penalaran dan problem solving dengan menggunakan konteks yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tersedia

Page 15: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

6

sebanyak 145 jenis game yang tersebar dalam 13 sheet. Pengguna boleh memilih game yang sesuai dengan umur siswa. Pada gambar berikut dapat dilihat halaman depan dari website dengan cara mengetik www.rekenweb.nl, atau langsung ke alamat http://www.fisme.science.uu.nl/publicaties/subsets/rekenweb_en/.

Game yang disediakan dapat membantu siswa belajar tentang bilangan, geometri, aljabar, peluang, dan trigonometri. Game berkaitan dengan geometri untuk mengembangkan spatial reasoning (penalaran spasial) ada tiga macam game yang dapat dipilih, yaitu Building with Blocks, Guess the View, Cube Houses, dan Rotating Houses. Sebagai contoh, pada game Rotating Houses (lihat gambar 2), diberikan bangun datar (pada gambar sebelah kanan) yang terlihat ketika objek tiga dimensi dilihat dari depan, samping, atas, dan bawah. Siswa diminta memutar bangunan sehingga sesuai dengan tampak depan yang diberikan.

Untuk siswa SMP, game yang sesuai seperti Solving Equations with Balance, Navigation, Shooting Balls, Cubes Houses, dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Ke (1998) diketahui bahwa permainan yang terlalu matematis kurang menarik perhatian siswa. Hal ini diindikasikan dengan perilaku siswa yang cenderung hanya sekedar memenuhi tujuan untuk segera menyelesaikan permainan tanpa merasa terlibat sepenuhnya.Temuan lain adalah permainan komputer dengan menggunakan teman sebaya menyebabkan siswa lebih ekspresif dan lebih komunikatif dibandingkan ketika mereka belajar tanpa menggunakan permainan.

3) Software matematika

Page 16: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

7

Software yang dimaksud dalam tulisan ini adalah program aplikasi yang membantu siswa belajar matematika, diantaranya adalah a) software untuk geometri, b) software untuk penyelesaian masalah persamaan, dan c) software untuk pengolahan data.

a) Software untuk geometri Diantara software yang dapat membantu menyelesaikan masalah geometri adalah Autograph, Geometer’s Sketchpad, GeoGebra, Cabri, dan Google SketcUp. Software tersebut dapat menampilkan objek geometri yang ingin dilukis, seperti titik , garis, bidang, dan ruang. Besaran-besaran pada objek tersebut juga dapat ditentukan, misalnya panjang segmen garis, sudut antara dua garis, gradien garis. Objek-objek geometri juga dapat ditransformasikan, melalui translasi, refleksi, rotasi, dilatasi. Pilihan untuk transformasipun disediakan, misalnya refleksi terhadap sumbu x, sumbu y, garis y=ax, dan matriks. Bahkan Autograph dapat menampilkan tampilan animasi volume benda putar beserta ukuran volumenya. Sedangkan Geogebra dapat menentukan volume bangun ruang, luas permukaan, dan jaring-jaringnya. Empat dari lima software tersebut mampu menampilkan grafik 2-D dan 3-D. Hanya Geometer’s Skechpad yang fokus pada 2-D, namun pilihan menu untuk 2-D pada Geometer’s Skechpad lebih banyak. Contoh penerapan software Autograph dapat dilihat pada RPP dan LKS di lampiran.

Berikut langkah sederhana menggunakan autograph untuk merefleksikansegitiga terhadap gari y = x.

(1) Edit sumbu koordinat supaya mempunyai skala sama, dengan langkah: pilih Edit Axes pada toolbar bagian atas, lalu masukkan batas minimum, maximum, skala yang diinginkan, seperti gambar berikut.

(2) Pilih option, beri checklist pada Square Format. Lalu klik OK (3) Untuk melukis bangun datar, misalnya segitiga; ambil titik pada toolbar bagian kiri,

lalu tempatkan pada tiga posisi yang tidak segaris di layar autograph.Blok titik-titik sudutyang sudah dilukis, lalu klik kanan, pilih ‘Group to Shape’. Diperoleh bangun datar segitiga yang diinginkan.

(4) Untuk mencerminkan segitiga terhadap garis y=x, klik Equation pada toolbar bagian atas, pilih Enter Equation, ketik persamaan y=x. Pada layar Autograph diperoleh gambar garis y=x. Blok segitiga dan garis y=x, klik kanan, pilih Reflection. Hasil refleksi diperoleh seperti gambar berikut.

Page 17: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

8

Berdasarkan gambar yang diperoleh melalui autograph, siswa melakukan penyelidikan terhadap hubungan titik sebelum direfleksikan dengan sesudah direfleksikan.

b) Software Maple Software Maple digunakan sebagai alat bantu untuk menyelesaikan persamaan aljabar dan persamaan diferensial, baik diferensial biasa maupun parsial. Banyak masalah nyata (fenomena alam) yang dimodelkan ke dalam bentuk persamaan diferensial. Dengan bantuan Maple, solusi persamaan diferensial yang rumit dan gambaran perilaku dari solusi tersebut dapat diperoleh (Kartono, 2005). Pada gambar di bawah dapat dilihat bahwa Maple dengan mudah membantu menentukan penyelesaian dari persamaan g(x) = x3-3x2+x-3 dan pemfaktoran dari persamaan x69-1 = 0

Contoh masalah persamaan diferensial: Suatu percobaan menunjukkan bahwa suatu unsur radioaktif meluruh dengan laju yang sebanding dengan banyaknya unsur saat itu. Jika banyaknya unsur yang diberikan 3 gram pada waktu t = 0, apa yang terjadi dengan banyaknya unsur yang tersisa kemudian?

Proses fisis ini dinyatakan oleh persamaan diferensial orde pertama seperti berikut.

��

�� = k y(t), y(0) = 3

Page 18: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

9

dimana k merupakan konstanta fisis yang nilai numeriknya diketahui untuk berbagai unsur radioaktif. Bila k=-C, C > 0 maka persamaan diferensial ini menyatakan proses peluruhan eksponensial.

Penyelesaian persamaan diferensial tersebut adalah y = c ekt Untuk t=0 dan y=3 diperoleh c=3 Jadi y = 3 ekt

Jika k = -0,5, diperoleh y = 3 e-0,5t

Untuk t = 2 tahun, y = 3 e-1 = �

� =

�,�� = 1,10

Artinya pada waktu 2 tahun berikutnya, banyaknya unsur yang tersisa adalah 1,1 gram. Penyelesaian di atas dapat juga dikerjakan dengan menggunakan program Maple sebagai berikut.

4) Software Inspiration Software inspiration sangat bermanfaat dalam membuat peta konsep (concept map) ataupun mind map. Menu yang disediakan menarik dalam hal pilihan bentuk sajian, dekorasi picture yang diinginkan, dan background. Bahkan pembuat peta konsep bisa menambahkan Note, untuk memberikan penejelasan tentang konsep yang ditampilkan. Note ini bisa disembunyikan dari screen utama, tapi bisa dibuka dengan mudah jika diperlukan. Berikut contoh peta konsep tentang teori belajar yang dibuat oleh mahasiswa S2 MPMAT PPs Unsyiah.

Keuntungan membuat peta konsep bagi seseorang yang sedang belajar diantaranya adalah mudah mengingat hubungan antar konsep dengan cara yang bermakna dan kreatif mencari informasi lain untuk melengkapi dan mendesain peta konsep. Bagi guru, dengan meminta siswa membuat peta konsep, guru dapat menganalisis bagaimana siswa menempatkan konsep-konsep dan hubungannya dalam pikiran mereka secara bermakna. Hasil penelitian Johar (1994) menunjukkan bahwa hasil belajar siswa pada materi persamaan kuadrat yang menggunakan peta konsep lebih baik dari belajar siswa pada materi persamaan

Page 19: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

10

kuadrat yang tidak menggunakan peta konsep. Bahri, Johar, dan Duskri (2014) menemukan bahwa kemampuan koneksi siswa yang belajar melalui model pembelajaran advance organizer (berbantuan peta konsep) lebih baik dari pada siswa yang belajar secara konvensional. Selain itu, kemampuan siswa membuat peta konsep tentang segiempat dan segitiga.

5) Video

Video merupakan salah satu elemen dalam multimedia yang berbentuk gambar yang bergerak. Video merupakan salah satu sumber belajar yang disarankan oleh NCTM (2000) untuk membantu siswa membangun pemahaman matematika dan untuk meningkatkan strategi mengajar guru matematika.

Vidio untuk membantu siswa membangun pemahaman matematika dapat dibuat sendiri atau diunduh dari google. Untuk mendapatkan vidio yang diinginkan, sebaiknya diketik dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diantaranya adalah seperti berikut. a. Powering number (Bilangan berpangkat) b. Surface are (luas permukaan) c. Fibonacci Sequence (barisan Fibonacci) d. Clinometer Project (Proyek Penggunaan klinometer) e. Limit of a Function f. How to find a center point of circle

Vidio untuk meningkatkan strategi mengajar guru dapat diperoleh dengan cara merekam guru yang dianggap baik, lalu guru lain mengambil pelajaran dari video tersebut. Pada beberapa tahun belakangan ini banyak penelitian tentang memanfaatkan video, baik untuk calon guru (Alsawaie & Alghazo, 2010 and Spitzer et al., 2011) maupun untuk guru (Kleinknecht & Schneider, 2013). Dengan bantuan vidio pembelajaran guru dapat memperoleh dua keuntungan, pertama melalui vidio guru dapat memperoleh realitas proses pelaksanaan pembelajaran di kelas dan kedua dengan mengobservasi vidio pembelajaran guru mempunyai kesempatan untuk menilai pelaksanaan pembelajaran dari jarak jauh, misalnya berkaitan dengan interaksi guru dan siswa. Menurut Kellog dan Kersaint (2004), dengan menonton vidio pembelajaran, calon guru dan guru dapat memahami kondisi kelas yang telah sukses menerapkan ide pembelajaran, bagaimana kelas diorganisasikan, dan mendorong interaksi. Berdasarkan hasil penelitian, skil untuk menilai vidio pelaksanaan pembelajaran di kelas perlu dipelajari (Colestock dan Sherin, 2009).

5) E-learning Istilah e-learning mengandung perngertian yang snagat luas, sehingga banyak ahli menguraikan definisi e-learning dari berbagai perspektif. Salah satu definisi yang diterima adalah yang dinyatakan oleh Hartley (dalam Rohendi, 2012) yang menyatakan bahwa e-learning adalah jenis pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan untuk memberikan bahan ajar bagi siswa dengan menggunakan internet, intranet, atau media jaringan komputer lainnya. Untuk mengembangkan sistem e-learning, salah satunya adalah dengan menggunakan program Moddle. Dengan adanya e-learning, siswa dapat berinteraksi secara mandiri, dimanapun dan kapanpun. Bahan ajar yang dapat dimasukkan pada e-learning sangat bervariasi, misalnya bahan ajar dalam bentuk pdf yang bisa didownload oleh siswa, game, vidio, dan tugas yang disertai dengan feed back. Guru sebagai pembuat e-learning daat juga mengaktifkan interaksi langsung dengan siswa melalui forum komentar misalnya.

Page 20: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

11

Salah satu materi pada Program Studi S2 Pendidikan Matematika Pascasarjana Unsyiah. Oleh karena itu, sampai saat ini terdapat 175 mahasiswa yang telah memiliki e-learning, dengan topik matematika yang berbeda-beda. Hasil penelitian Rohendi (2012) menunjukkan bahwa kemampan koneksi matematis siswa melalui e-learninh lebih baik dari pendekatan konvensional

c. Hasil penelitian berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika Hasil penelitian Dogan (2012) terhadap mahasiswa calon guru di Turki menunjukkan bahwa pandangan calon guru 'tentang komputer dan penggunaannya dalam matematika bersifat positif. Mereka senang bekerja dengan komputer, meskipun hanya mampu melakukan perhitungan yang relatif kecil dengan komputer. Mereka menyatakan bahwa meningkatkan penggunaan komputer dapat membantu mereka untuk belajar dan mengajar matematika lebih efektif. Namun, mereka tidak merasa yakin tentang kemampuan mereka untuk mengajar matematika dengan menggunakan computer. Hasil penelitian Rimilda (2015) terhadap lima mahasiswa FKIP Unsyiah yang melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP menunjukkan bahwa kelima mahasiswa menggunakan software dalam mengajarkan bangun ruang sisi datar. Software yang mereka gunakan adalah GeoGebra, Cabri, dan Google SketcUp, dan slide powerpoint. Namun mereka hanya menggunakan tampilan sederhana untuk siswa. Mereka berharap agar matakuliah berbasis teknologi di kampus sebaiknya lebih dominan memberikan aktivitas kepada mahasiswa untuk merancang pembelajaran dengan memanfaatkan software. 3. Penutup Teknologi dapat membantu guru memahami materi, merancang aktivitas untuk siswa, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggali konsep-konsep matematika secara lebih mendalam. Oleh karena itu, guru perlu memilih teknologi pembelajaran yang dapat digunakan oleh siswa sebagai sarana belajar matematika. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran matematika adalah:

1. Teknologi tidak dapat menggantikan guru matematika mengajar di kelas. Guru perlu mengamati proses yang dilakukan siswa termasuk juga hasil yang diperoleh. Informasi ini berguna untuk guru dalam merancang pembelajaran berikutnya

2. Teknologi tidak boleh menghilangkan proses bermatematika. Sebelum siswa belajar melalui teknologi, sebaiknya pemahaman dasar dan intuisi siswa terhadap matematika diberikan terlebih dahulu

3. Teknologi tidak harus digunakan diseluruh waktu pelajaran yang tersedia, tetapi bisa dipilih mislanya, pada saat membuka pelajaran yang bertujuan untuk memotivasi siswa, pada saat kegiatan inti yang bertujuan agar siswa menemukan konsep/aturan dalam matematika, pada ssat kegiatan menutup pelajaran yang bertujuan untuk latihan (drill).

Daftar Pustaka Alsawaie, O. N. & Alghazo, I. M. 2010. The Effect of Video-based Approach on Prospective

teachers’ Ability to Analyze Mathematical Teaching. Journal Mathematics Teacher Education. 13, pp. 223-241

Bahri, S., Johar, R., dan Duskri. 2014. Kemmapuan Koneksi Matematis dan Peta Konsep Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Advance Organizer. Jurnal Didaktik Matematika. 2(1).

Page 21: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

12

Colestock , A. and Sherin, A.M.G. 2009. Teachers’ Sense-Making Strategies While Watching Video of Mathematics Instruction. Journal of Technology and Teacher Education. 17(1), 7-29

Dogan, M. 2012. Prospective Turkish primary teachers’ views about the use of computers in mathematics education. Journal of Mathematics Teacher Education. 15. 329-341.

Douglas, A. D and Voogt, J. 2012. Developing Technological Pedagogical Content Knowledge in Pre-Service Mathematics Teachers throught Collaborative Design. Australian Journal of Eductional Technology. 28(4). 547-564.

Hidayatullah, M. T. 2013. E-Learning dan Pembelajaran Abad 21: Best Practice E-Learning PPPPTK Matematika. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Pembelajaran Matematika Menyongsong Implementasi Kurikulum 2013 pada Tanggal 20 Mei 2013 di P4TK Yogyakarta. Diakses dari http://p4tkmatematika.org/2014/03/sendimat2-2014/ pada Tanggal 9 Februari 2015.

Hung, V. H. K. 2005. Video as a Learning tool: An off-campus Experience in Learning with Media Technology. Proceeding of ASCILITE Conference, Australia 4-7 December 2005.

Johar, R. 1994. Studi tentang Penggunaan Teknik Pemetaan Konsep dalam Proses Belajar Mengajar Matematika. Skripsi tidak diterbitkan. IKIP Padang.

Johar, R. 2006. Mengaktifkan Penalaran Siswa: Upaya Menerapkan Pembelajaran Matematika Humanistik. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 21-22 April 2006.

Kartono. 2005. Maple untuk Persamaan Diferensial. Yogyakarta: Graha Ilmu Ke, Fengfeng. 2007. A Case Study of Computer Gaming for Math: Engaged Learning from

Gameplay?Computer and Education (p.1609-1620) Kellogg, M. & Kersaint, G. 2004. Creating a vision for the standards using online videos in an

elementary mathematics methods course. Contemporary Issues in Technology and Teacher Education [Online serial], 4(1). Available: http://www.citejournal.org/vol4/iss1/mathematics/article1.cfm

Kleinknecht, M. & Schneider, J. 2013. What do Teachers Think and Feel when Analyzing Videos of Themselves and Other Teachers?. Teaching and Teacher Education. 33 p. 13-23

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA: NCTM. USA _______. 2008. The Role of Technology in Teaching and Learning of Mathematics. Diakses

dari https://www.google.com/search?q=NCTM+technology&ie=utf-8&oe=utf-8 pada tanggal 8 Februari 2015.

_______ 2011. Technology in Teaching and Learning Mathematics. Diakses dari https://www.google.com/search?q=NCTM+technology&ie=utf-8&oe=utf-8 pada tanggal 8 Februari 2015

Patahuddin, S.M dan Rokhim, A. F. 2010. Website Permainan Matematika Online untuk Belajar Matematika secara Menyenangkan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di FMIPA UNY.

Rimilda. 20015. Analisis Technological Pedagogical Content Knowledge Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar. Tesisi tidak dipublikasikan. Universitas Syiah Kuala

Rohendi, Dedi. 2012. Developing e-Learning Based on Animation Content for Improving Mathematical Connection Abilities in High School Students. International Journal of Computer Science Issues. 9 (4) 1-5.

Spitzer, S. M., Phelps, C. M., Beyers, J. E. R., Johnson, D. Y., &Sieminski, E. M. 2011. Developing Prospective Elementary Teachers’ Abilities to Identify Evidence of

Page 22: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

13

Student Mathematical Achievement. Journal Mathematics Teacher Education. 14, pp. 67-87.

Sutabri, T. 2014. Pengantar Teknologi Informasi. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

Page 23: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

14

Penggunaan Alat Peraga Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu Variabel

Linda Vitoria 1 1Prodi PGSD FKIP, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] Abstrak. Materi persamaan linier merupakan salah satu materi matematika yang bersifat abstrak sehingga terkadang sulit untuk dipahami tanpa bantuan alat peraga. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan sebuah pembelajaran persamaan linier satu variabel dengan menggunakan alat peraga bagi mahasiswa semester satu pada program studi PGSD FKIP Universitas Syiah Kuala. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan mahasiswa secara berkelompok membuat alat peraga berupa mangkuk kertas dan chips bermuatan, kemudian alat peraga tersebut digunakan dalam menyelesaikan persamaan-persamaan linier satu variabel. Dari hasil pembelajaran dapat diungkapkan bahwa penggunaan alat peraga telah membantu mahasiswa memahami langkah-langkah penyelesaian persamaan linier satu variabel. Alat peraga memberikan pemodelan visual yang konkrit sehingga materi persamaan linier satu variabel menjadi lebih mudah untuk dipahami. Aktifitas memanipulasi alat peraga memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk secara aktif dan mandiri membangun pengetahuan mereka mengenai langkah-langkah penyelesaian suatu persamaan linier. Di samping itu, kegiatan membuat alat peraga direspon positif oleh para mahasiswa. Mereka menyatakan bahwa kegiatan ini memberikan pengalaman nyata yang bermanfaat bagi mahasiswa PGSD sebagai calon guru dalam hal pengembangan media pembelajaran.

Kata kunci: alat peraga, persamaan linier satu variabel

1. Pendahuluan

Matematika merupakan objek pembelajaran yang bersifat sequensial sehingga pemahaman tentang suatu materi sangat mempengaruhi pemahaman terhadap materi selanjutnya. Selain itu, matematika juga memiliki objek kajian yang bersifat abstrak sehingga sering sulit dipahami oleh mahasiswa. Kesulitan mahasiswa dalam memahami suatu konsep dapat menimbulkan kesan negatif terhadap matematika sehingga menurunkan semangat belajar. Oleh karena itu dibutuhkan alat peraga yang tepat dalam pembelajaran matematika. Salah satu materi yang dipelajari pada mata kuliah Matematika semester satu di Program Studi PGSD FKIP Universitas Syiah Kuala adalah persamaan linier satu variabel. Penguasaan terhadap materi ini merupakan dasar untuk mempelajari materi berikutnya seperti persamaan linier dua variabel dan tiga variabel serta pertidaksamaan linier.

Berdasarkan pengamalan perkuliahan materi persamaan linier pada prodi PGSD FKIP Unsyiah di semester-semester sebelumnya, tampak bahwa banyak mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami langkah-langkah menyelesaikan persamaan linier satu variabel. Pada tahun ajaran 2013-2014, hasil ujian akhir semester menunjukkan 60% mahasiswa tidak dapat menyelesaikan dengan baik soal persamaan linier. Penggunaan alat peraga diharapkan dapat mengatasi keadaan ini dan membantu mahasiswa membangun pemahaman yang baik mengenai persamaan linier satu variabel. Oleh karena itu pada semester ganjil tahun ajaran 2014-2015 penulis mencoba menerapkan penggunaan alat peraga berupa chips bermuatan dan mangkuk kertas untuk memberikan gambaran konkrit mengenai persamaan linier satu variabel. Rancangan perkuliahan disusun sedemikian rupa untuk mengakomodasi pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Permasalahan yang diberikan dilengkapi dengan

Page 24: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

15

masalah konstekstual sehingga mahasiswa dapat melihat aplikasi persamaan linier dalam kehidupan nyata. Proses perkuliahan ini akan dibahas dalam artikel ini.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah menegaskan manfaat penggunaan alat peraga dalam pembelajaran untuk membantu siswa dan mahasiswa memahami konsep matematika. Penelitian Susanto dan Sapti (2010) yaitu pemanfaatan alat peraga berupa model buah dan uang dalam pembelajaran telah berhasil mengembangkan kemampuan nalar siswa untuk memahami langkah-langkah penyelesaian persamaan linier dua variabel. Penelitian Perdana, Sukardi, dan Andriani (2013) yaitu penggunaan alat peraga berupa gambar dalam pembelajaran pertidaksamaan linier satu variabel menunjukkan hasil yang memuaskan dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap pertidaksamaan linier satu variabel. Sejalan dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian Afifah (2011) menerapkan pembelajaran matematika realistik untuk membantu siswa memahami persamaan linier satu variabel melalui konteks nyata yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan dapat dibayangkan oleh siswa sehingga siswa mampu mengembangkan model matematika dari persamaan tersebut dan menentukan penyelesaiannya.

2. Tinjauan Pustaka

Matematika merupakan objek kajian yang bersifat abstrak (Soedjadi, 2000). Oleh karena itu pembelajarannya perlu disajikan dalam bentuk yang sederhana bahkan terkadang perlu dikonkritkan agar lebih mudah dipahami oleh pembelajar. Pembelajaran matematika perlu dikemas sedemikian rupa untuk memfasilitasi pembelajar dalam mengembangkan daya fikir matematis yang meliputi kemampuan menalar secara logis, kemampuan menyelesaikan soal nonrutin, kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan berkomunikasi secara matematik, dan kemampuan mengaitkan ide matematik dengan kegiatan intelektual lainnya (Sumarmo dalam Susanto & Sapti, 2010).

Alat peraga merupakan unsur penting dalam pembelajaran matematika. Alat peraga merupakan alat yang digunakan oleh pengajar untuk memperjelas materi yang diajarkan sehingga dapat dipahami oleh para pembelajar (Usman, 1996). Lebih lanjut Usman (1996) menjelaskan bahwa alat peraga memberikan dasar berfikir yang konkrit sehingga dapat meningkatkan perhatian dan gairah belajar, membuat pelajaran melekat lebih lama sehingga dapat mengembangkan kebiasaan proses berfikir yang teratur dan kontinu, serta memberikan pengalaman nyata yang memungkinkan siswa untuk aktif dalam belajarnya.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Usman di atas bahwa alat peraga memberikan kesempatan untuk siswa/mahasiswa secara aktif mengikuti proses pembelajaran, maka alat peraga memegang peranan penting dalam mewujudkan pembelajaran aktif yang berpusat pada pembelajar. Interaksi mahasiswa dengan alat peraga melahirkan kegiatan belajar yang bermakna yang akan memberikan dampak jangka panjang dalam proses konstruksi pengetahuan pada diri pembelajar (Karpicke, 2012). Alat peraga dapat berperan sebagai jembatan untuk membantu mahasiswa memahami konsep abstrak matematika melalui manipulasi benda-benda konkrit yang ada di sekitar mereka. Adapun alat peraga yang dijelaskan dalam artikel ini adalah mangkuk kertas dan chips bermuatan yang digunakan untuk membantu mahasiswa memahami langkah-langkah penyelesaian persamaan linier satu variabel.

Persamaan linier satu variabel adalah kalimat matematika terbuka yang dihubungkan oleh tanda = yang memuat satu variabel berpangkat satu. Bentuk umum dari persamaan linier satu variabel adalah ax + b = 0, dengan x sebagai variabel, a dan b adalah bilangan riil dan a ≠ 0. Menyelesaikan suatu persamaan linier satu variabel dilakukan dengan mencari nilai variabel x yang memenuhi sehingga persamaan tersebut menjadi pernyataan yang bernilai benar. Sebagai contoh, selesaian dari persamaan 2x + 3 = 5 adalah x = 1 karena menggantikan nilai x dengan 1 menyebabkan persamaan menjadi

Page 25: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

16

pernyataan 2.1 + 3 = 5 yang bernilai benar. Menggantikan nilai x dengan harga selain 1 akan menyebabkan persamaan tersebut menjadi pernyataan yang bernilai salah.

Bentuk-bentuk persamaan linier satu variabel adalah sebagai berikut.

a. Bentuk ax = c.

Contoh: 3x = 6 ⟺ x = 2

b. Bentuk ax + b = c

Contoh: 2x + 3 = 9 ⟺ x = 3

c. Bentuk ax + b = cx + d

Contoh: x + 4 = 3x + 2 ⟺ x = 1

Pada prinsipnya, langkah yang digunakan dalam menyelesaikan persamaan linier adalah dengan menerapkan sifat-sifat dan aturan-aturan yang berlaku pada operasi bilangan riil, misalnya:

Sifat ketertambahan, yaitu untuk bilangan riil a, b, dan c, jika a = b maka a + c = b + c.

Sifat ketergandaan, yaitu untuk bilangan riil a, b, dan c, jika a = b maka ac = bc.

Sifat kanselasi pada penjumlahan, yaitu untuk bilangan riil a, b, dan c, jika a + c = b + c maka a = b dan sifat kanselasi pada perkalian, yaitu jika ac = bc dan c≠ 0, maka a = b.

Sifat komutatif penjumlahan dan perkalian yaitu untuk bilangan riil a dan b, berlaku a + b = b + a, dan ab = ba.

Unsur identitas penjumlahan dan perkalian, yaitu untuk setiap bilangan riil a terdapat 0 sehingga a + 0 = 0 + a = a, dan terdapat 1 sehingga a.1 = 1.a = a.

Invers penjumlahan dan perkalian, yaitu untuk setiap bilangan riil a terdapat –a sehingga a + (–a) =

–a + a = 0 dan terdapat a-1 = �� sehingga a � �� =

�� � a = 1.

Sifat-sifat dan aturan-aturan di atas telah diajarkan sejak tingkat sekolah dasar sehingga diharapkan mahasiswa telah memahaminya dengan baik.

Pada pembelajaran persamaan linier satu variabel dengan menggunakan mangkuk kertas dan chips bermuatan, mangkuk kertas mewakili banyaknya variabel dan chips bermuatan mewakili bilangan-bilangan riil. Kesepakatan dalam penggunaan alat peraga ini adalah: satu mangkuk terbuka mewakili satu buah variabel bernilai positif, sedangkan satu mangkuk tertutup mewakili satu buah variabel bernilai negatif. Satu chip positif mewakili bilangan positif satu, dan satu chip negatif mewakili negatif satu. Sebagai contoh, 2x + 3 = 5 dinyatakan sebagai berikut.

+ =

Page 26: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

17

Dan –x – 2 = 1 dinyatakan sebagai berikut.

+ =

Untuk menyelesaikan bentuk persamaan linier satu variabel di atas, diterapkan sifat-sifat yang berlaku pada operasi bilangan riil sehingga pada akhirnya diperoleh mangkuk-mangkuk yang mewakili variabel pada ruas kiri dan chips bermuatan yang mewakili bilangan pada ruas kanan. Banyaknya chips yang bisa diisi ke dalam satu mangkuk merupakan selesaian dari persamaan tersebut, dengan syarat mangkuk baru bisa diisi apabila posisinya terbuka.

Bentuk-bentuk persamaan linier satu variabel yang disajikan selama pembelajaran diberikan dalam bentuk aljabar dan dalam bentuk masalah berupa soal cerita. Hal ini ditujukan untuk memberikan konteks terhadap masalah matematika sehingga mahasiswa dapat melihat manfaat mempelajari matematika dalam kehidupan sehari-hari (Haghverdi, 2012). Penyelesaian soal cerita berkaitan erat dengan kemampuan mahasiswa menyelesaikan suatu masalah (problem solving) yang merupakan suatu keterampilan yang sangat penting untuk diasah.

3. Metode

Pembelajaran persamaan linier satu variabel yang dijabarkan dalam artikel ini merupakan hasil penelitian one-shot case study yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan suatu persamaan linier satu variabel dengan menggunakan alat peraga berupa mangkuk kertas dan chips bermuatan. Proses pembelajaran dijabarkan secara deskriptif dilengkapi dengan data hasil belajar serta respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran. Pembelajaran dilakukan pada tanggal 17 Desember 2014 pada mata kuliah Dasar-dasar Matematika bagi 34 mahasiswa semester 1 PGSD FKIP Universitas Syiah Kuala.

Pembelajaran didahului dengan perencanaan dan persiapan perangkat pembelajaran berupa skenario pembelajaran, bahan-bahan untuk membuat alat peraga, soal-soal bentuk aljabar dan soal cerita, dan seperangkat tes. Metode pembelajaran yang digunakan adalah problem solving. Kegiatan pembelajaran yang telah direncanakan meliputi aktifitas mahasiswa secara berkelompok membuat alat peraga untuk kemudian digunakan dalam penyelesaian persamaan linier satu variabel. Kegiatan membuat alat peraga sendiri ditujukan untuk memberikan pengalaman nyata kepada mahasiswa sebagai calon guru sekolah dasar dalam hal pengembangan alat peraga dengan memanfaatkan bahan-bahan yang mudah diperoleh. Pembelajaran berkelompok ditujukan untuk memfasilitasi kolaborasi antarmahasiswa dalam kegiatan belajar mereka. Di akhir pertemuan, tingkat pemahaman mahasiswa diukur dengan menggunakan instrumen tes dimana mahasiswa diminta menyelesaikan lima soal persamaan linier satu variabel.

4. Hasil dan Pembahasan

Pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan pengelompokan mahasiswa ke dalam 6 kelompok yang masing-masing terdiri atas 5 atau 6 orang. Sebagai kegiatan pendahuluan, mahasiswa diminta mengingat kembali bentuk umum dari persamaan linier satu variabel yang telah dipelajari saat di SMA. Mahasiswa mengingat kembali apa artinya variabel dan konstanta. Menyelesaikan persamaan linier satu variabel adalah menentukan nilai yang tepat untuk menggantikan variabel sehingga persamaan tersebut menjadi pernyataan yang bernilai benar.

Page 27: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

18

Selanjutnya adalah kegiatan membuat alat peraga. Setiap kelompok telah mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat alat peraga yaitu kertas karton, dua kertas jeruk berbeda warna (merah dan hijau), gunting, lem, tape (perekat), dan jangka atau uang logam untuk membuat bentuk lingkaran. Kertas karton digunakan untuk membuat mangkuk dan kertas jeruk digunakan untuk membuat chips bermuatan. Chips bermuatan memiliki dua sisi yaitu sisi merah dan hijau. Kegiatan membuat alat peraga diselesaikan dalam waktu 15 menit. Setiap kelompok membuat minimal 6 mangkuk kertas dan 30 chips bermuatan. Gambar di bawah ini adalah alat peraga hasil karya mahasiswa.

Gambar 1a. Mangkuk kertas

Gambar 1b. Mangkuk kertas dan chips bermuatan

Page 28: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

19

Selanjutnya adalah penyampaian kesepakatan mengenai aturan penggunaan alat peraga, yaitu banyaknya mangkuk yang digunakan menunjukkan koefesien dari variabel pada persamaan: satu mangkuk terbuka mewakili satu variabel bernilai positif, dan satu mangkuk tertutup mewakili satu variabel bernilai negatif. Sisi merah chip mewakili positif satu dan sisi hijaunya mewakili negatif satu, jadi satu chip merah ditambah satu chip hijau nilainya = 0. Mengalikan dengan bilangan negatif satu dilakukan dengan membalikkan mangkuk atau chip. Kemudian kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan diskusi kelompok menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan persamaan linier satu variabel.

Berikut ini adalah soal-soal yang disajikan selama pembelajaran. Soal-soal diambil dari berbagai sumber.

1. Selesaikan persamaan-persamaan di bawah ini.

a. 2x + 4 = 10

b. 5y + 1 = –9

c. 2m + 3 = 4

d. –2x + 3 = –5

2. Dalam pembelajaran tentang berat benda, Ani menimbang berat bola-bola tenis meja. Berat total 6 bola adalah 18 gram. Berapakah berat satu bola tenis meja?

3. Sebuah kolam berbentuk persegi panjang memiliki keliling 10 m. Jika lebarnya adalah 1 meter lebih pendek dari panjang kolam, berapa ukuran panjang dan lebar kolam tersebut?

4. Seorang ayah berumur 25 tahun ketika anaknya lahir. Berapakah umur si anak sekarang jika diketahui jumlah umur mereka berdua saat ini adalah 37 tahun?

Sebagai contoh awal, dosen mengajak mahasiswa secara bersama-sama mendemonstrasikan penggunaan alat peraga dalam menyelesaikan persamaan linier satu variabel. Langkah-langkah penyelesaian untuk soal nomor 1a di atas adalah sebagai berikut.

2x + 4 = 10 dinyatakan sebagai berikut.

+ =

Kedua ruas ditambahkan –4 sebagai berikut.

+ =

Karena positif satu bersama negatif satu bernilai nol, maka persamaan di atas menjadi:

=

Yaitu 2x = 6.

Page 29: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

20

Kemudian seluruh chips yang tersisa harus dibagi adil dan dimasukkan ke dalam tiap cangkir.

Diperoleh x = 3.

Selanjutnya mahasiswa secara berkelompok mendiskusikan cara menyelesaikan soal-soal berikutnya.

Soal nomor 1b memuat bilangan negatif. Di sini mahasiswa menggunakan chips bermuatan negatif dan menerapkan aturan penjumlahan bilangan negatif dan negatif pada ruas kanan. Visualisasi dengan chips bermuatan memberikan gambaran yang jelas mengenai penjumlahan dua bilangan negatif. Mahasiswa yang sebelumnya masih mengalami kesulitan dalam melakukan operasi penjumlahan dua bilangan negatif telah terbantu melalui penggunaan alat peraga pada soal nomor 1b ini.

5y + 1 = –9 ⟺ 5y + 1 – 1 = –9 – 1.

+ =

Diperoleh 5y = –10. Selanjutnya sisa chips dibagi secara adil dan dimasukkan ke dalam setiap mangkuk yang masing-masing mendapat dua chips bermuatan negatif. Jadi y = –2.

Soal nomor 1c memberikan bentuk akhir 2m = 1. Di sini mahasiswa dapat melihat bahwa agar satu chip dapat dibagi secara adil untuk dua mangkuk maka chip tersebut dibagi dua. Diperoleh m = ½. Manipulasi alat peraga pada penyelesaian soal ini memberikan gambaran konkrit tentang aturan ketergandaan bilangan bulat yaitu untuk 2m = 1, apabila kedua bilangan dikali dengan ½ yaitu 2m x ½ = 1 x ½ diperoleh m = ½. Hal ini juga menguatkan konsep perkalian suatu bilangan dengan

kebalikannya akan menghasilkan identitas perkalian yaitu a x �� =

�� x a = 1.

Soal nomor 1d diawali dengan dua mangkuk tertutup. Setelah menjumlahkan kedua ruas dengan –3 diperoleh –2x = –8 yang dinyatakan sebagai berikut.

=

Sesuai dengan kesepakatan di awal bahwa mangkuk baru bisa diisi apabila posisinya terbuka, maka mahasiswa mengalikan kedua ruas dengan –1 yaitu –2x � –1 = –8 � –1 diperoleh 2x = 8 dinyatakan sebagai berikut.

Page 30: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

21

=

Membagikan seluruh chips secara adil ke dalam dua mangkuk diperoleh x = 4.

Soal nomor 2, 3, dan 4 adalah soal cerita yang membutuhkan pemahaman bahasa soal. Mahasiswa menyelesaikan dengan cara menuliskan model matematika dari soal-soal tersebut. Soal nomor 2 lebih sederhana sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh mahasiswa. Mereka menuliskan bentuk persamaan untuk soal nomor 2 yaitu 6x = 18, dimana x menyatakan berat satu bola tenis. Dengan menggunakan alat peraga ditemukan x = 3 atau berat satu bola tenis adalah 3 gram.

Dalam menyelesaikan soal nomor 3, mahasiswa menggambarkan sebuah persegi panjang dan menuliskan bahwa keliling = 2 x (p + l). Apabila dimisalkan panjangnya = x, maka lebarnya = x – 1.

Karena kelilingnya = 10, maka diperoleh persamaan 2 ( x + x – 1) = 10 atau 4x – 2 = 10. Selanjutnya manipulasi alat peraga digunakan untuk menyelesaikan soal ini dan akhirnya diperoleh x = 3. Jadi didapatkan ukuran panjangnya = 3 m dan lebarnya = 3 – 1 = 2 m.

Dalam menyelesaikan soal nomor 3 ini, banyak mahasiswa yang langsung menyelesaikan tanpa menggunakan alat peraga. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah menguasai prosedur menyelesaikan persamaan linier satu variabel dengan baik.

Soal nomor 4 perlu pemahaman lebih mendalam terhadap soal untuk dapat diselesaikan. Berbeda dengan soal nomor 2, mahasiswa tidak dapat langsung melihat jawabannya dari soal. Melalui diskusi dalam kelompok, akhirnya mahasiswa menemukan bahwa misalkan x = umur ayah sekarang, maka umur anaknya = x – 25. Jumlah umur mereka adalah 37, maka persamaannya adalah x + (x – 25) = 37 atau 2x – 25 = 37. Menjumlahkan kedua ruas dengan 25 diperoleh 2x = 62. Kemudian kedua ruas dibagi 2 diperoleh x = 31. Jadi didapatkan jawaban bahwa umur anak = 31 – 25 = 6 tahun.

Sisi positif lain yang ditemukan dalam penyelesaian soal cerita adalah mahasiswa terbiasa menulis secara urut dan teratur. Setelah mendapatkan jawaban akhir dalam bentuk aljabar, mereka harus kembali memeriksa apakah yang ditanyakan di soal sudah terjawab. Contohnya pada soal nomor 4 di atas, tidak hanya selesai sampai x = 31 tetapi harus kembali pada apa yang ditanyakan soal yaitu berapa umur si anak. Jawaban baru dianggap tuntas setelah mahasiswa mendapatkan jawaban umur anak = 6 tahun.

Selama kegiatan diskusi kelompok, tampak mahasiswa saling berkolaborasi menyelesaikan soal persamaan linier satu variabel. seluruh mahasiswa terlibat aktif dalam kelompoknya. Mahasiswa yang mengalami kesulitan dibantu oleh teman-teman yang telah menguasai materi. Pada umumnya mahasiswa yang mengalami kesulitan menyelesaikan soal adalah yang penguasaannya masih rendah terhadap aturan-aturan atau sifat-sifat yang berlaku pada operasi bilangan riil, misalnya penjumlahan yang melibatkan bilangan negatif, aturan ketertambahan dan ketergandaan bilangan. Di sini alat peraga berperan memberikan gambaran yang lebih jelas sehingga mereka dapat melihat hasil operasinya secara konkrit.

x – 1

x

Page 31: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

22

Gambar 2. Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan persamaan linier satu variabel

Setelah selesai kegiatan diskusi, mahasiswa diminta secara individu menyelesaikan tiga buah soal persamaan linier satu variabel yang terdiri dari dua soal biasa dan satu soal cerita. Hasil tes menunjukkan bahwa mahasiswa telah dapat menyelesaikan persamaan linier satu variabel. Dari 34 mahasiswa, seluruhnya dapat menjawab dengan baik dua soal bentuk biasa. Jawaban yang diberikan menunjukkan pemahaman mahasiswa terhadap langkah-langkah menyelesaikan persamaan linier satu variabel. Hal ini mencakup pemahaman terhadap sifat-sifat dan aturan-aturan yang berlaku pada operasi bilangan riil seperti sifat komutatif, asosiatif, distributif perkalian terhadap penjumlahan, sifat ketertambahan dan ketergandaan bilangan riil, serta penjumlahan dan perkalian yang melibatkan bilangan negatif.

Untuk soal cerita, terdapat 5 mahasiswa yang masih kesulitan dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam bentuk persamaan. Penulis yakin bahwa dengan pembiasaan menyelesaikan soal cerita pada perkuliahan-perkuliahan selanjutnya, kelima mahasiswa ini akan mampu memahami dan menyelesaikan soal cerita dengan baik.

Pada akhir perkuliahan, mahasiswa diminta menyampaikan kesannya terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan secara lisan dan spontan. Diantara kesan mahasiswa adalah sebagai berikut.

- Kegiatan membuat sendiri alat peraga memberikan pengalaman nyata yang bermanfaat bagi mahasiswa calon guru dalam mengembangkan media pembelajaran. Kegiatan ini memberikan ide-ide untuk memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didapat untuk dijadikan alat peraga dalam pembelajaran matematika.

- Penggunaan alat peraga membantu mahasiswa memahami langkah-langkah penyelesaian persamaan linier satu variabel karena mahasiswa dapat memanipulasi sendiri alat peraga dan melihat hasilnya secara konkrit.

- Kegiatan diskusi kelompok bermanfaat bagi mahasiswa untuk saling mengajarkan dan bertukar ide dalam menyelesaikan soal-soal.

- Mahasiswa banyak yang masih belum terbiasa dengan soal cerita sehingga perlu waktu lebih lama menyelesaikannya dibandingkan dengan soal biasa. Tapi soal cerita memberikan konteks yang jelas sehingga tampak manfaat matematika dalam kehidupan nyata.

Dari pengamatan penulis terhadap kegiatan mahasiswa selama menyelesaikan persamaan linier satu variabel tampak bahwa manipulasi alat peraga telah membantu penguatan keterampilan melakukan

Page 32: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

23

operasi hitung bilangan riil terutama menyangkut bilangan negatif yang selama ini masih sering menjadi kesulitan mahasiswa dalam belajar matematika.

5. Kesimpulan

Berdasarkan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk materi persamaan linier satu variabel dengan menggunakan alat peraga mangkuk kertas dan chips bermuatan, penulis dapat mengungkapkan beberapa hal berikut.

- Dengan menggunakan alat peraga, mahasiswa dapat memahami langkah-langkah penyelesaian persamaan linier satu variabel.

- Manipulasi alat peraga telah memberikan gambaran konkrit sehingga membantu mahasiswa memahami sifat-sifat yang berlaku dalam operasi hitung bilangan riil.

Daftar Pustaka

Afifah, Dian S.N. (2011). Pembelajaran Matematika Realistik pada Materi Persamaan Linier Satu Variabel di SMP Kelas VII. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, ISBN: 978-979-16353-6-3.

Karpicke, J.D. (2012). Retrieval-based learning: Active retrieval promotes meaningful learning.

Current Directions in Psychological Science. 21(3), 157 –163. Perdana, D.A.V., Sukardi dan Andriani, S (2013). Penggunaan Alat Peraga Dalam Bentuk Gambar

Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo, Vol. 1 No.2 Tahun 2013. 99-110.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Susanto, D. & Sapti M. (2010). Pengembangan Media Pembelajaran Dalam Penentuan Penyelesaian Sistem Persamaan Linier Dua Variabel. Diakses pada 2 Februari 2015, dari alamat eprints.uny.ac.id/10502/1/P14-Dwijo.pdf

Usman, M. (1996). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Page 33: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

24

Prestasi Belajar Matematika Siswa Berdasarkan Pengalaman Mengajar Guru

SMP Negeri 15 Banda Aceh

Oleh Salasi R1 dan Putri Lestari2

1Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail: [email protected]

2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Guru yang mempunyai pengalaman mengajar yang banyak cenderung dapat menemukan kelemahan atau kekurangan pada saat dirinya mengajar, sehingga guru tersebut dapat memperbaikinya pada proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan kata lain, guru semakin terampil dalam mengajar dan prestasi belajar siswa pun diharapkan dapat meningkat.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prestasi belajar matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru SMP Negeri 15 Banda Aceh. Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru SMP Negeri 15 Banda Aceh. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 15 Banda Aceh, sedangkan yang diambil sebagai sampel adalah dipilih 2 kelas secara purposive sampling dari setiap guru yang bersangkutan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, tes dan wawancara. Analisis data menggunakan uji-t. Hasil analisis data menunjukkan harga thitung = 1,02 pada taraf signifikan α = 0,05 dengan derajat kebebasan dk = (n1 + n2 – 2) = 32, maka dari daftar distribusi t diperoleh ttabel = 2,03. Dapat dijelaskan bahwa Ho diterima jika –t1-

1/2α < t < t1-1/2α (-2,03 < 1,02 < 2,03). Maka Ho diterima. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru. Ini berarti guru berpengalaman tinggi maupun kurang belum tentu mempunyai kinerja yang bagus dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Kurangnya karakter dan minat belajar anak juga tidak akan memperbaiki prestasi belajarnya walaupun diajari oleh guru yang mempunyai pengalaman tinggi sekalipun. Kata kunci: perbedaan, pengalaman mengajar guru, prestasi belajar

1. Pendahuluan Dalam keseluruhan sistem pendidikan, guru merupakan salah satu variabel yang sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan. Jika terjadi kemerosotan mutu pendidikan maka penilaian masyarakat akan menunjuk guru sebagai penyebab utama. Oleh karena itu tingkat pendidikan guru dan pengalaman kerja termasuk lamanya mengajar dan telah mengikuti pelatihan-pelatihan pendidikan merupakan indikator variabel yang mempengaruhi kinerja guru dalam usahanya meningkatkan prestasi belajar siswa. Kenyataannya guru-guru Matematika di sekolah memiliki pengalaman mengajar yang bervariasi, ada yang sudah mengajar puluhan tahun tetapi tidak sering mengikuti program pemerintah untuk meningkatkan keprofesionalan guru dan ada juga yang baru beberapa tahun mulai mengajar tetapi sering mengikuti program-program pemerintah tersebut. Menurut Barker dan Pophan (1992:146), “Guru yang berpengalaman mengajar bertahun-tahun akan dapat memperbaiki keterampilan mengajarnya”. Guru yang telah lama mengabdi memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan diri, baik dengan cara mengikuti berbagai pelatihan/penataran, seminar ataupun dengan saling bertukar pengalaman dengan sesama guru. Melalui kegiatan tersebut guru diharapkan memperoleh penyegaran-penyegaran peningkatan efesiensi dan efektifitas kerja, sehingga prestasi belajar siswa

Page 34: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

25

pun diharapkan dapat meningkat. Di dalam menekuni bidangnya guru selalu bertambah pengalamanya. Semakin bertambah masa kerjanya diharapkan guru semakin banyak pengalaman-pengalamannya. Pengalaman-pengalaman ini erat kaitannya dengan peningkatan profesionalisme pekerjaan. Guru yang sudah lama mengabdi di dunia pendidikan harus lebih profesional dibandingkan guru yang beberapa tahun mengabdi (Suhirman,2008). Dengan meningkatnya profesionalisme, maka kemungkinan besar guru dapat melaksanakan tugas mengajar dengan baik. Salah satu indikatornya adalah prestasi belajar siswa.Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah pengalaman mengajar guru dengan prestasi belajar siswa. Judul penelitian ini adalah: “Prestasi Belajar Matematika Siswa Berdasarkan Pengalaman Mengajar Guru SMP Negeri 15 Banda Aceh”. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana prestasi belajar Matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru SMP Negeri 15 Banda Aceh?”. Maka tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana prestasi belajar Matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru SMP Negeri 15 Banda Aceh. Serta yang menjadi hipotesisnya dalam penelitian ini adalah: “terdapat perbedaan prestasi belajar Matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru SMP Negeri 15 Banda Aceh”. 2. Tinjaun Pustaka

Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku melalui pendidikan. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya tujuan pendidikan sangat bergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami oleh diri seseorang. Keberhasilan suatu proses belajar mengajar sering dinyatakan sebagai prestasi belajar. Menurut Djamarah (2002:88), “Prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas belajar”. Jadi, prestasi belajar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu keberhasilan yang dicapai seseorang setelah melakukan usaha belajar dalam selang waktu tertentu. Melalui pendapat tersebut jelas bahwa untuk mengetahui keberhasilan belajar, perlu dilakukan evaluasi belajar berupa tes mengenai materi-materi pelajaran yang telah diajarkan. Pengalaman mengajar adalah suatu proses memahami anak didik. Guru yang mengajar di sekolah tidak hanya tergantung pada penguasaan bahan mengajar saja tetapi lebih dari itu, kemampuan memahami anak didik sangat diperlukan. Kemampuan tersebut dapat diperoleh dari pengalaman mengajar. Atas dasar tersebut, maka masih banyak guru-guru yang masih mengalami kesulitan dalam mengajar dan mengalami kecanggungan dalam mengajar, disebabkan belum memiliki pengalaman dalam mengajar. Menurut Hamalik (2003:29), “Pengalaman diperoleh berkat interaksi antar individu dengan lingkungan. Pengalaman merupakan suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan”. Melalui pengalaman mereka dapat belajar dan menimba pengetahuan yang telah diperolehnya, karena pengalaman adalah guru yang terbaik. Pada umumnya setiap guru yang diberikan tugas mengajar adalah mereka-mereka yang telah dibekali ilmu keguruan, di samping adanya sejumlah pengalaman mengajar selama guru tersebut menekuni bidang spesialisasi yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan adanya pengalaman tersebut berarti banyak informasi yang diperolehnya dan informasi itu diusahakan untuk dialihkan kepada murid sebagai penerus generasi mendatang. Dengan kata lain pengalaman akan menghasilkan perubahan kearah pematangan tingkah laku, pertambahan pengertian dengan pengayaan informasi (Surakhmad, 1982:102). Pengalaman mengajar seorang guru dapat diperoleh melalui lama masa mengajarnya, pendidikan dan pelatihan/penataran yang telah diikuti, kualifikasi akademiknya dan kegiatan sertifikasi guru.

Page 35: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

26

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 15 Banda Aceh pada tanggal 2 Desember 2014 sampai 17 Desember 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 15 Banda Aceh sedangkan sampelnya adalah dua kelas yang dipilih secara purposive sampling dari setiap guru yang bersangkutan yaitu kelas VIII1 yang terdiri dari 16 siswa dan kelas VIII2 yang terdiri dari 18 siswa. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara dokumentasi,tes dan wawancara. Untuk memperoleh data pengalaman mengajar guru digunakan dokumen daftar keadaan guru dan daftar pembagian tugas guru yang diperbarui setiap 3 bukan sekali. Dokumen daftar keadaan guru dan daftar pembagian tugas guru yang diperhatikan dalam penelitian ini adalah kualifikasi akademik, lama masa mengajar dan sertifikasi guru. Sedangkan data pelatihan/penataran guru digunakan dokumen kumpulan-kumpulan sertifikat yang diperoleh guru tersebut. Data dokumentasi pengalaman mengajar guru akan dianalisis secara diskriptif. Pengalaman mengajar guru dikatakan tinggi atau rendah apabila setiap aspek yang dinilai memenuhi kriteria sebagai berikut:

Tabel 3.1 Kriteria tinggi rendahnya pengalaman guru

No. Pengalaman Kriteria

1 Lama masa mengajar guru ≥ 20 tahun 2 Sertifikasi Ada 3 Kualifikasi Akademik S1 4 Pelatihan/Penataran Selama masa mengajar

Tes digunakan satu kali tes, yaitu tes pada materi kelas VII semester genap. Banyak butir soal tes 40 item dalam bentuk pilihan ganda. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa setelah proses belajar mengajar oleh guru bersangkutan. Data yang diperoleh dari tes akan diuji dengan statistik uji-t pada taraf signifikan 5% α = 0,05. Namun sebelum data diuji dengan statistik uji-t terlebih dahulu diuji persyaratan analisis yaitu normalitas sebaran data. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas dan pedomannya tidak berstruktur. Hasil wawancara akan dianalisis dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti sebagai pedoman wawancara.

4. Hasil dan Pembahasan

Dalam penelitian ini hasil penelitian yang dilaksanakan di SMP Negeri 15 Banda Aceh, yaitu tentang perbedaan prestasi belajar matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru di kelas VIII1 sebagai kelas dari G1 dan kelas VIII2 sebagai kelas dari G2 . Sesuai dengan metode pengolahan data yang telah ditentukan pada bab III, data akan diolah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Adapun data yang diperoleh dari dokumentasi dapat dilihat seperti tertera di bawah ini. Tabel 4.1 data pengalaman mengajar guru

No. Pengalaman Kriteria G1 G2 1 Lama masa mengajar ≥ 20 tahun 30 tahun 6 tahun 2 Sertifikasi Sudah Sudah Belum 3 Kualifikasi Akademik S1 S1/IVb S1/IIIc

4 Pelatihan/penataran Selama masa

mengajar 1145 Jam Pelajaran

225 Jam Pelajaran

Dari tabel di atas terlihat bahwa G1 memenuhi kriteria yang diuji. Sedangkan G2 belum memenuhi kriteria yang diuji. Ini berarti bahwa G1 memiliki pengalaman yang tinggi dan G2

Page 36: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

27

memiliki pengalaman yang kurang. Hal ini menyebabkan kelas VIII1 yaitu kelas dari G1 akan dijadikan sampel I dan kelas VIII2 yaitu kelas dari G2 akan dijadikan sampel II oleh peneliti.

Data prestasi belajar matematika siswa diperoleh dari hasil tes pada materi kelas VII semester genap. Tes ini dilakukan oleh kelas VIII1 dan kelas VIII2 sebagai sampel yang telah melalui proses belajar mengajar pada kelas VII. Adapun nilai yang diperoleh dari pemberian tes dapat dilihat seperti yang tertera di bawah ini.

Tabel 4.2 Nilai tes kelas VIII1

No.

Pengalaman Tinggi Kelas VIII1

Nama Siswa Nilai 1 MPF 60 2 RMF 57,5 3 PS 50 4 MSM 45 5 MSF 40 6 SSH 40 7 ARI 37,5 8 ASR 35 9 VD 30 10 ASM 32,5 11 ADP 30 12 TRFU 27,5 13 GA 22,5 14 LA 20 15 ZR 12,5 16 FA 7,5

Jumlah 16

Berdasarkan rekapitulasi nilai tersebut, data disusun dalam bentuk distribusi frekuensi serta menghasilkan rata-rata �̅� = 35,18 dan �̅� = 30,61 serta simpangan baku �� = 13,60 dan �� =

12,31. Selanjutnya dilakukan uji normalitas pada kedua kelas tersebut dengan menggunakan uji

chi kuadrat dengan kriteria pengujiaannya menurut Sudjana (2005:273) adalah tolak H0 jika 2χ

hitung ≥2χ tabel dengan α = 0.05 dalam hal ini H0 diterima. Setelah data dianalisis diperoleh kelas

VIII1 menghasilkan �� hitung = 0,063 dan �� tabel = 9,49. Oleh karena �������� < ������

� yaitu 0,063 < 9,49 maka dapat disimpulkan bahwa sebaran data hasil tes kelas VIII1 berdistribusi normal. Selanjutnya kelas VIII2 menghasilkan �� hitung = 0,38 dan �� tabel = 9,49. Oleh karena �������

� < ������� yaitu 0,38 < 9,49 maka dapat disimpulkan bahwa sebaran data hasil tes kelas

VIII2 berdistribusi normal.

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: H0: µ1 = µ2 Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar Matematika siswa berdasarkan

pengalaman mengajar guru SMP Negeri 15 Banda Aceh H1: µ1 ≠ µ2 Terdapat perbedaan prestasi belajar Matematika siswa berdasarkan pengalaman

mengajar guru SMP Negeri 15 Banda Aceh

Table 4.3 Nilai Tes kelas VIII2 No

Pengalaman Kurang Kelas VIII2

Nama Siswa Nilai 1 AR 52,5 2 AN 47,5 3 AHPB 45 4 AU 42,5 5 BA 40 6 CRN 35 7 CHM 32,5 8 FW 30 9 HM 30 10 MTW 30 11 MS 30 12 MRFA 27,5 13 MHHB 25 14 MRK 20 15 NW 20 16 NA 15 17 PEN 7,5 18 RH 5

Jumlah 18

Page 37: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

28

Karena pengujian ini adalah pengujian dua pihak, maka menurut Sudjana (2005:239) kriteria pengujian “terima H0 jika –t1-1/2α < t < t1-1/2α, di mana t1-1/2α didapat dari daftar distribusi t dengan dk = (n1 + n2 -2) dan peluang (t1-1/2α), untuk harga-harga t lainnya H0 ditolak”. Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n1 + n2 - 2) = 32 dengan cara interpolasi diperoleh t0,975)(32) = 2,03. Sehingga –ttabel < thitung < ttabel, maka H0 diterima pada taraf signifikan α = 0,05 berarti dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru di SMP Negeri 15 Banda Aceh. Prestasi belajar matematika siswa erat kaitannya dengan pengalaman mengajar guru. Pengalaman mengajar guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dan juga mempunyai peranan yang penting dalam proses belajar mengajar. Ini berarti berkualitas tidaknya prestasi belajar siswa, pengalaman mengajar guru ikut menentukan selain ditentukan oleh faktor-faktor lainnya seperti lingkungan, keluarga, fasilitas dan inteligensi. Perhatikan diagram berikut ini!

Diagram di atas menunjukkan kumpulan sertifikat-sertifikat pelatihan/penataran yang diperoleh selama masa kerja menurut jam pelajaran masing-masing guru yang bersangkutan. Baik itu pelatihan/penataran pemerintah maupun non-pemerintah. Dibandingkan dengan guru berpengalaman kurang yang lama masa mengajar hanya baru 6 tahun, guru yang berpengalaman tinggi yang lama masa mengajar 30 tahun sudah sewajarnya banyak mengikuti pelatihan/penataran karena lama masa mengajarnya yang sudah lama. Oleh karena itu guru yang telah mengajar selama 30 tahun diharapkan mempunyai kinerja yang sangat bagus. Tingginya prestasi belajar siswa salah satunya dapat diwujudkan melalui kinerja guru yang bagus. Menurut Handayani (2007:34) “Lama masa mengajar guru mempunyai hubungan yang positif terhadap kinerja guru”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa semakin lama masa mengajar guru maka semakin baik kinerjanya. Itu berarti kemungkinan besar prestasi matematika siswapun semakin meningkat. Guru yang berpengalaman mengajar bertahun-tahun akan dapat memperbaiki keterampilan mengajarnya. Dikarenakan guru tersebut memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri. Akan tetapi, guru yang berpengalaman kurang dengan lama masa mengajar hanya 6 tahun belum tentu tidak memiliki kinerja yang sangat bagus. Pada zaman sekarang guru-guru muda dapat memiliki keterampilan mengajar dengan model-model pembelajaran yang baru. Guru-guru muda juga sering mengakses di internet tentang model-model pembelajaran terbaru, hal-hal terbaru yang bersangkutan dengan guru ataupun dengan mata pelajaran matematika, dan juga dapat menguasai teknologi-teknologi pendukung pembelajaran matematika dengan sangat baik yang dapat membuat siswa aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar

Page 38: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

29

matematika siswa. Sedangkan guru yang telah mengajar selama 30 tahun cenderung menggunakan cara belajar konvensional. Dengan alasan pada umur, guru lama cenderung tidak ingin mempelajari cara-cara mengajar yang baru. Cara mengajar yang dapat membuat siswa aktif dalam proses belajar mengajar. Hal ini mengakibatkan banyak siswa yang pasif saat proses belajar mengajar berlangsung sehingga tidak dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Dari penjelasan tersebut, guru yang berpengalaman tinggi maupun berpengalaman kurang belum tentu mempunyai kinerja yang bagus dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Ada beberapa hal yang ditemukan peneliti saat melakukan penelitian yaitu kurangnya karakter dan minat belajar pada anak. Mereka tidak memperhatikan pelajaran saat proses belajar mengajar sedang berlangsung. Mereka cenderung membuat keributan bahkan tidur disaat jam pelajaran masih berlangsung. Hal ini bukan disebabkan oleh guru yang mempunyai kinerja yang tidak bagus. Bahkan sebaliknya, guru sudah sangat berusaha keras untuk mengubah karakter dan meningkatkan minat belajar mereka. Kurangnya karakter dan minat anak untuk belajar tidak akan memperbaiki prestasi belajar mereka, karena tidak adanya kesadaran mereka terhadap diri mereka sendiri sebagai individu, walaupun mereka diajari oleh guru yang mempunyai pengalaman tinggi sekalipun. 5. Kesimpulan

Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan adalah: Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa berdasarkan pengalaman mengajar guru SMP Negeri 15 Banda Aceh dan guru yang berpengalaman tinggi maupun kurang belum tentu mempunyai kinerja yang bagus dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa serta kurangnya karakter dan minat anak untuk belajar tidak akan memperbaiki prestasi belajar mereka, karena tidak adanya kesadaran mereka terhadap diri mereka sendiri sebagai individu, walaupun mereka diajari oleh guru yang mempunyai pengalaman tinggi sekalipun.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

Arikunto, Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta ------------. 2010. Prosedur Penelitian Suati Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Barker dan Pophan. 1992. Bagaimana Maengajar Secara Sistematis (Terjemahan). Jakarta:

Erlangga Dalyono. 1997. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Rineka Cipta Djamarah, Syaiful. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Rineka Cipta Drost. 2003. Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Durkaya, Merve. 2011. Secondary School Mathematics Teachers Approaches to Students Possible

Mistakes. (Jurnal). Erzurum: Ataturk University Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala. 2012. Pedoman Penulisan

Skripsi. Banda Aceh. Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta Handayani, Susi. 2007. Hubungan Antara Pengalaman Mengajar Guru Ekonomi SMA Negeri

Kota Banda Aceh. (Skripsi). Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala Mansor, Rosnidar.2010. Teachers Knowledge That Promote Students Conceptual Understanding.

(Jurnal). Tanjung Malim: Universiti Pendidikan Sultan Idris Margono. 1997. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: PT. Bumi

Aksara

Page 39: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

30

Purwanto, Ngalim. 2005. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya

Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Grafindo Persada Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Trasito Suhirman. 2008. Pengaruh Pendidikan, Pelatihan dan Pengalaman Mengajar terhadap

Profesionalisme Guru. (Online), (http://ilmiah-pendidikan.blogspot.com diakses 23 Agustus 2014)

Suratno. 1985. Profesional Pendidik. Jakarta: Rineka Cipta Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta Tirtarahardja, Umar. 1995. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Usman, Uzer. 2006. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Page 40: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

31

Analisis Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas IX SMPN 6 Banda Aceh dalam Menyelesaikan

Soal Kontes Literasi Matematika (KLM)

Ellianti 1, Rahmah Johar2, dan Asmaul Husna3 1 Program studi pendidikan Matematika FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2 Dosen Program studi pendidikan Matematika FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Dosen Program studi pendidikan Matematika FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Peringkat Indonesia di ajang evaluasi berskala internasional seperti PISA masih rendah, salah satu penyebabnya adalah banyaknya materi yang diujikan dalam PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, sehingga untuk menyosialisasikan soal-soal PISA diadakan evaluasi matematika berskala nasional yaitu Kontes Literasi Matematika. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan representasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal Kontes Literasi Matematika (KLM) tahun 2013 pada kelas IX SMPN 6 Banda Aceh tahun ajaran 2014/ 2015. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian diperoleh melalui tes tulis dan wawancara. Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap hasil tes tulis dan wawancara siswa yang mengacu pada pedoman penilaian kemampuan representasi matematis siswa. Kriteria pemilihan subjek penelitian adalah keunikan jawaban siswa pada saat tes tulis dan kesediaan siswa untuk diwawancarai. Materi yang diujikan mencakup change and relationship, quantity serta space and shape. Penyelesaian masalah pada Kontes Literasi Matematika dalam bentuk gambar, model matematika, tabel atau kata-kata. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kemampuan representasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal Kontes Literasi Matematika pada seleksi tingkat Rayon tahun 2013 termasuk rendah. Dari hasil tes terhadap 4 konteks yang diambil dari soal KLM 2013 untuk mengukur kemampuan representasi matematis siswa yaitu candi Borobudur, tarif taksi, hasil pertandingan sepak bola dan calung menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematis siswa paling lemah pada konteks calung. Kendala yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan soal-soal tersebut adalah kesulitan siswa dalam menemukan kata kunci dan memahami informasi dalam soal, ketidakmampuan siswa mengaitkan informasi dengan konsep matematika yang sesuai, lemahnya kemampuan siswa dalam membuat model matematika dan kurangnya ketelitian dalam melakukan perhitungan.

Kata kunci: literasi matematika, representasi matematis, kontes literasi matematika, model matematika, sosialisasi soal PISA

1. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari bagi jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini sesuai dengan UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Badan Standar Nasional Pendidikan (2006:140) dalam Standar Isi menyatakan bahwa tujuan dari pelajaran matematika untuk semua jenjang pendidikan tingkat dasar dan menengah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep tersebut dan mampu

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah,

Page 41: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

32

2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika,

3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh,

4. mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah,

5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Untuk mengetahui pencapaian yang dilakukan siswa selama mempelajari matematika, dibutuhkan evaluasi secara berkala. Hal ini dapat membantu pemerintah untuk terus memperbaiki mutu pendidikan Indonesia sehingga mampu bersaing ditingkat internasional. Evaluasi yang berskala internasional contohnya adalah PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur kemampuan literasi matematika siswa. PISA merupakan kegiatan yang dilaksanakan setiap 3 tahun dan diikuti oleh negara-negara yang menjadi anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Develompment) dan bertujuan untuk mengembangkan pemahaman yang baik bagi siswa sehingga dapat meningkatkan kualitas dan pengaruh dari hasil belajar, hak semua siswa untuk memperoleh kesempatan belajar, efektivitas dan efisiensi dari proses pembelajaran yang telah dilakukan (OECD: 2010). Sebenarnya PISA juga menguji kemampuan lain yaitu kemampuan membaca dan juga sains yang diperuntukkan bagi anak yang berusia 15 tahun. Pada kegiatan PISA, siswa dihadapkan pada soal yang bersifat kontekstual yang mengukur kemampuan dan kecakapan mereka dalam mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam pemecahan masalah dalam kehidupan nyata. PISA pertama kali diselenggarakan pada tahun 2000. Indonesia telah berpartisipasi dalam PISA sejak pertama kali diselenggarakan. Namun, peringkat yang diperoleh Indonesia sungguh memprihatinkan. Berikut adalah peringkat Indonesia berdasarkan studi PISA dibandingkan dengan negara-negara lain:

Tabel 1. Peringkat Indonesia dalam PISA Tahun Studi

Mata Pelajaran

Skor rata-rata Indonesia

Skor rata-rata Internasional

Peringkat Indonesia

Jumlah Negara Peserta Studi

2000 Matematika 367 500 39 41 2003 Matematika 360 500 38 40 2006 Matematika 391 500 50 57 2009 Matematika 371 500 61 65

(Sumber: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian Dan Pengembangan, 2011) Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa peringkat Indonesia sering kali menempati urutan bawah. Misalnya pada tahun 2009 Indonesia memperoleh peringkat 5 terendah dari 65 negara peserta dalam kemampuan literasi matematika dengan nilai rata-rata hanya 371. Hal ini terjadi karena siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal dalam kategori rendah dan sangat sedikit bahkan hampir tidak ada siswa yang mampu menjawab soal tingkat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan siswa Indonesia masih di bawah rata-rata (Putri, 2013:2). Perolehan ini mengindikasikan bahwa kemampuan siswa di Indonesia khususnya dalam bidang matematika masih sangat rendah. Oleh karenanya, Indonesia bekerjasama dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) mengadakan Kontes Literasi Matematika (KLM) yang bertujuan untuk menyosialisasikan soal-soal tipe PISA terhadap siswa dan guru sehingga mereka dapat mengenal dengan baik soal-soal tipe PISA yang diujikan di skala Internasional. Seperti halnya PISA, KLM juga mengukur kemampuan pelajar berumur 15 tahun, tapi khusus di bidang matematika. Adapun soal-soal KLM dibuat oleh tim PMRI dengan mengacu pada situasi nyata

Page 42: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

33

mencakup konteks pribadi (personal), konteks pekerjaan (occupational), konteks sosial (social) dan konteks ilmu pengetahuan (scientific). Kemampuan proses yang diukur oleh PISA dan KLM berdasarkan kerangka penilaian literasi matematika salah satunya adalah kemampuan representasi Matematis (Wardhani, 2011: 17-18). Kemampuan representasi merupakan cara yang digunakan siswa untuk mengomunikasikan ide, gagasan atau pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Hudiono (Aryanti, 2013:2) bahwa kemampuan representasi dapat mendukung siswa dalam memahami konsep-konsep matematika yang dipelajari dan keterkaitannya untuk mengkomunikasikan ide-ide atau gagasan matematika siswa, untuk lebih mengenal keterkaitan (koneksi) diantara konsep-konsep matematika, ataupun menerapkan matematika pada permasalahan matematik realistik melalui pemodelan. Kemampuan representasi matematis mengarahkan siswa dalam menemukan dan membuat suatu alat berpikir dalam menyampaikan informasi matematis dari hal yang bersifat abstrak menuju hal konkret sehingga lebih mudah untuk dimengerti oleh siswa (Effendi, 2012:2). OECD (2009:33) menyatakan bahwa perubahan konsep matematis dari satu representasi ke representasi lainnya adalah kemampuan yang paling mendasar untuk keberhasilan pemecahan masalah matematis. Johar dalam Seminar Matematika dan Terapan (SiManTap) (2013:13) menyebutkan bahwa hanya ada 5 (lima) siswa yang dapat menuliskan model matematika dari masalah yang diajukan, padahal ada 93 siswa SMP yang mengikuti KLM 2013 di Banda Aceh tersebut. Rata-rata siswa mengalami kesulitan dalam mengomunikasikan permasalahan yang diberikan ke dalam model matematika dengan benar. Siswa diminta untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan, namun ada beberapa siswa yang justru membuat cerita baru dari permasalahan tersebut.

Hal ini juga disampaikan dalam laporan hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) (Pratiwi, 2013:3) yang menyebutkan bahwa kemampuan siswa dalam merepresentasikan ide atau konsep matematis dalam beberapa materi tertentu tergolong rendah. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, rumusan masalah dalam tulisan ini adalah: bagaimana kemampuan representasi matematis siswa kelas IX SMPN 6 Banda Aceh dalam menyelesaikan soal Kontes Literasi Matematika (KLM)?

2. Tinjauan Pustaka

Menurut OECD (Kamaliyah, dkk., 2013:4), definisi literasi matematika adalah sebuah kapasitas individual untuk mengidentifikasi dan memahami peran matematika dalam kehidupan yang membantu seseorang dalam membuat sebuah keputusan berdasarkan fakta yang ada. Jadi mempelajari konsep matematika penting untuk dilakukan, namun menerapkannya dalam kehidupan untuk membantu memecahkan masalah sehari-hari jauh lebih penting. Sedangkan menurut Wardhani, literasi matematika adalah kemampuan seseorang untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian (Wardhani, 2011: 12) Secara garis besar, National Council of Teachers Mathematics (NCTM) menyatakan literasi matematika memuat lima standar keterampilan proses yang harus dikuasai oleh siswa (2000:7) yaitu: pemecahan masalah matematis (mathematical problem solving), komunikasi matematis (mathematical communication), penalaran matematis (mathematical reasoning), koneksi matematis (mathematical connection), dan representasi matematis (mathematical representation).

Salah satu keterampilan proses adalah kemampuan representasi matematis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), representasi adalah perbuatan mewakili, keadaan diwakili, apa yang

Page 43: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

34

mewakili, atau perwakilan. Pendapat lain mengatakan bahwa Kemampuan representasi matematis adalah salah satu keterampilan proses yang berkaitan dengan kemampuan siswa menyampaikan laporan, gagasan, dan ide (Yuniawatika, 2011:12). Sedangkan menurut Pratiwi (2013:2), kemampuan representasi matematis adalah kemampuan seseorang untuk menyatakan sesuatu dalam bentuk tertentu, baik berupa gambar, simbol, persamaan matematis, maupun kata-kata, sehingga dapat dipahami bahwa representasi matematis adalah menciptakan bentuk matematis dari suatu pernyataan agar lebih mudah dipahami. Selanjutnya menurut Cai, Lane dan Jakabcsin (dalam Suryana, 2012:4) representasi merupakan cara yang digunakan seseorang untuk mengemukakan jawaban atau mengomunikasikan gagasan matematis yang bersangkutan dari bentuk abstrak ke bentuk konkret. Representasi yang sering digunakan dalam mengomunikasikan matematika antara lain tabel, gambar, grafik, ekspresi atau notasi matematis, serta menulis dengan bahasa sendiri, baik formal maupun informal. NCTM (Haji, 2014:2) dalam standar representasi meyakinkan bahwa mengekspresikan ide-ide dan hubungan matematika dengan penggunaan simbol-simbol, diagram, grafik, memanipulasi, dan diagram adalah metode tepat. NCTM juga menetapkan kemampuan representasi matematis berupa program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 yang mengarahkan siswa untuk: (1) menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisir, mencatat, dan mengomunikasikan ide-ide matematis; (2) memilih, menerapkan, dan menerjemahkan representasi matematis untuk memecahkan masalah; dan (3) menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematis. Dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi matematis mengarahkan siswa dalam menemukan dan membuat suatu alat berpikir dalam menyampaikan informasi matematis dari hal yang bersifat abstrak menuju hal konkret sehingga lebih mudah untuk dimengerti oleh siswa (Effendi, 2012:2). Ada beberapa alasan dari pentingnya representasi menurut Jones (Yuniawatika, 2011:3), diantaranya: membentuk kelancaran siswa dalam membangun suatu konsep dan berpikir secara matematis, serta agar siswa memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang kuat dan fleksibel yang dibangun oleh guru melalui representasi matematik. Luitel, Bal Chandra (Wiryanto, 2012:7-8) merumuskan tujuh peranan representasi dalam pembelajaran matematika yaitu: 1. Representasi sebagai alat komunikasi 2. Representasi sebagai indikator sikap siswa terhadap matematika. 3. Representasi sebagai bukti pemahaman matematika siswa. 4. Representasi sebagai penghubung antar konsep-konsep 5. Representasi merupakan proses pengembangan yang berada dalam kontinum prosedural –

konseptual 6. Sistem representasi dapat mengatasi penghalang-penghalang kognitif. 7. Representasi bukanlah metode tetetapi bagian dari proses mengkonstruksi ide-ide matematika

Selanjutnya, kemampuan literasi matematika termasuk kemampuan representasi dapat dievaluasi dalam kompetisi tingkat nasional bernama Kontes Literasi Matematik (KLM) yang diselenggarakan oleh Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) bekerjasama dengan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. KLM bertujuan untuk meningkatkan prestasi siswa dan menumbuhkan jiwa kompetitif para siswa dalam mata pelajaran matematika, serta memperkenalkan sistem pembelajaran matematika setingkat PISA (Programme for International Student Assessment) kepada masyarakat. Selain itu, KLM juga bertujuan untuk menyosialisasikan PISA kepada siswa-siswa dan guru-guru matematika yang ada di Indonesia dengan harapan kemampuan mereka dalam menyelesaikan soal tipe PISA terasah sehingga dapat memperbaiki rangking Indonesia di tingkat Internasional (p4tkmatematika.org, 2012; p4mri.net, 2011).

Page 44: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

35

PISA adalah program penilaian siswa tingkat internasional yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). PISA bertujuan untuk menilai penguasaan siswa berusia 15 tahun dalam bidang literasi matematika, literasi membaca, literasi sains dan tahun 2012 ditambah dengan literasi finansial. Sebagaimana PISA, KLM juga diikuti oleh siswa yang berumur 15 tahun, namun, KLM hanya mengukur kemampuan literasi matematika saja. KLM pertama kali diadakan di Palembang pada tahun 2010. Kegiatan ini terus berkembang dan pada tahun 2013 KLM mulai diadakan di Banda Aceh (Wardhani, 2011; Johar, 2012). Pembuatan soal KLM mengacu pada bentuk soal PISA yang banyak mengarah pada situasi nyata dalam keseharian siswa. Materi matematika yang diujikan meliputi: 1. perubahan dan hubungan (Change and relationship) 2. ruang dan bentuk (space and shape) 3. kuantitas (quantity) 4. ketidakpastian dan data (uncertainty and data)

3. Metode

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian dilaksanakan di kelas IX-7 SMP Negeri 6 Banda Aceh. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 7 orang siswa yang dipilih dari 27 siswa kelas IX-7 yang mengikuti tes tulis. Subjek penelitian kemudian diwawancarai secara terpisah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan tes tulis dan wawancara. Soal tes tulis memuat empat soal yang dipilih dari soal Kontes Literasi Matematika tahun 2013 pada seleksi tingkat Rayon. Soal tersebut berbentuk soal uraian Soal yang dipilih sesuai dengan kisi-kisi yang telah disusun. Pemberian tes yang berbentuk uraian ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan representasi matematis siswa dalam memahami permasalahan yang diberikan dan mengkonstruksi penyelesaian masalah secara tepat. Setelah siswa mengikuti tes, peneliti memeriksa, memberi skor dan menganalisis jawaban siswa sesuai dengan pedoman penilaian representasi matematis yang telah dibuat. Berdasarkan skor tersebut dapat diketahui kemampuan representasi matematis siswa. Kisi-kisi soal yang diujikan dalam tes adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Kisi-kisi yang Diujikan dalam Tes No Materi yang diujikan Kemampuan yang diukur 1 Perubahan dan Hubungan Representasi dalam bentuk menggambarkan, memodelkan,

menginterpretasi perubahan dari suatu fenomena 2 Ruang dan bentuk Memperhatikan sifat objek dan merepresentasinya 3 Kuantitas Pola bilangan, memahami langkah matematika dan

merepresentasikan sesuatu dalam angka Setelah diberikan tes uraian, siswa yang terpilih akan diwawancarai. Kriteria pemilihan subjek penelitian adalah keunikan jawaban yang diberikan ketika tes tulis dan kesediaan siswa untuk diwawancarai. Pedoman wawancara yang digunakan tidak terstruktur karena disesuaikan dengan bagaimana cara siswa membuat representasi saat menyelesaikan soal yang diujikan. Untuk mengetahui kemampuan representasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal Kontes Literasi Matematika tahun 2013 seleksi tingkat rayon, maka peneliti melakukan analisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. lembar jawaban siswa dianalisis sesuai dengan kunci jawaban. Kemudian, setiap jawaban

siswa diberi nilai sesuai dengan rubrik penilaian kemampuan representasi matematis siswa. 2. Beberapa siswa dipilih untuk diwawancarai. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui alasan

siswa membuat representasi ketika menyelesaikan masalah yang telah diujikan pada saat tes

Page 45: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

36

dan mengidentifikasi konsep representasi yang mereka pahami. Hasil wawancara dianalisis bersama dengan lembar jawaban sehingga ada siswa yang memperoleh skor yang berbeda sebelum dan sesudah wawancara, tergantung pada penjelasan mereka selama wawancara berlangsung.

Berikut ini adalah rubrik dalam melakukan penilaian kemampuan representasi matematis siswa berdasarkan jawaban saat tes dan wawancara yang berbentuk analitik sehingga penilaian menjadi lebih tajam.

Tabel 3. Pedoman Penilaian Kemampuan Representasi Matematis Siswa Nomor

soal Kriteria

Skor 1 2 3 4

1 dan 4

Ketepatan perhitungan

Banyak kesalahan perhitungan

Ada beberapa kesalahan perhitungan

Sangat sedikit melakukan kesalahan perhitungan

Perhitungan dilakukan dengan akurat

Representasi matematis

Gambar/ model matematika/ kata-kata/ tabel banyak yang keliru

Ada beberapa kekeliruan dalam gambar/ model matematika/ kata-kata/ tabel

Sangat sedikit kekeliruan dalam gambar/ model matematika/ kata-kata/ tabel

Gambar/ model matematika/ kata-kata/ tabel sangat tepat

Kejelasan prosedur penyelesaian masalah

Tidak jelas dan prosedur penyelesaian sulit dipahami

Belum jelas, ada bagian dari prosedur penyelesaian masalah yang agak sulit dipahami

Jelas , prosedur penyelesaian masalah mudah dipahami

Sangat jelas, prosedur penyelesaian masalah sangat mudah dipahami, patut dicontoh

2 Representasi Matematis

Pemisalan variabel masalah dan model matematika yang dibuat tidak tepat

Ada beberapa bagian pemisalan variabel masalah dan model matematika yang kurang tepat

Pemisalan variabel masalah dan model matematika tepat, tapi syarat tidak diperhatikan

Pemisalan variabel masalah dan model matematika yang dibuat sangat tepat, syaratnya pun lengkap

3

Ketepatan perhitungan

Banyak kesalahan perhitungan

Ada beberapa kesalahan perhitungan

Sangat sedikit melakukan kesalahan perhitungan

Perhitungan dilakukan dengan akurat

Representasi matematis

Gambar/ model matematika/ kata-kata/ tabel banyak yang keliru

Ada beberapa kekeliruan dalam gambar/ model matematika/ kata-kata/ tabel

Sangat sedikit kekeliruan dalam gambar/ model matematika/ kata-kata/ tabel

Gambar/ model matematika/ kata-kata/ tabel sangat tepat dan patut dicontoh

3. Selanjutnya, peneliti mendeskripsikan kemampuan representasi siswa berdasarkan jawaban

saat tes tulis dan hasil wawancara dengan subjek penelitian. Jika ada jawaban siswa yang berbeda ketika wawancara dan tes, maka kesimpulan akan dibuat berdasarkan hasil wawancara yang dianggap lebih terpercaya karena jawabannya langsung dari subjek penelitian tanpa

Page 46: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

37

perantaraan. Selanjutnya, skor yang diperoleh siswa akan dicantumkan dalam bentuk tabel. Untuk menentukan kemampuan siswa, skor akhir siswa akan dikonversikan ke dalam skala 0 –

100 dengan rumus: Skor akhir =����� ����

��� �����× 100%

Dari skor akhir yang diperoleh, maka ditetapkan siswa yang masuk kriteria baik sekali, baik, cukup dan kurang dengan berpedoman pada pendapat kriteria Arikunto (2010).

Tabel 4. Kriteria Nilai Total dalam skala 0 – 100

Skor Akhir Kriteria 80 – 100 Baik Sekali 66 – 79 Baik 56 – 65 Cukup ≤ 55 Kurang

4. Hasil Dan Pembahasan

Tanggapan siswa terhadap soal yang diujikan bervariasi. Dari 7 siswa yang menjadi subjek penelitian, 5 diantaranya mengakui bahwa soal tersebut sulit karena siswa harus menerjemahkan konteks nyata ke dalam model matematika. Namun, disisi lain mereka menyatakan bahwa soal tersebut sangat menantang untuk dikerjakan dan sangat menggugah rasa ingin tahu mereka. Hal ini dikarenakan siswa belum pernah menyelesaikan soal yang seperti ini sebelumnya. Berdasarkan jawaban siswa dan hasil wawancara setelah tes berlangsung, diketahui bahwa ada siswa yang mampu menjawab semua soal dan ada yang tidak. rinciannya sebagai berikut:

- Konteks 1 tentang Candi Borobudur

Pada konteks 1, siswa dituntut untuk membuat strategi untuk menghitung jumlah stupa kecil yang terdapat pada teras Arupadhatu di Candi Borobudur jika terdapat 8 teras. Berdasarkan jawaban pada saat tes dari 7 orang siswa, terdapat jawaban yang beragam dengan alasan yang berbeda.

Gambar 1. Jawaban subjek 1 Gambar 2. Jawaban subjek 6

Subjek 1 menggunakan strategi membagi teras Arupadhatu menjadi beberapa bagian yang identik sehingga dapat dihitung keseluruhan jumlah stupa pada tiap teras Arupadhatu walaupun keseluruhan teras tidak terlihat pada gambar konteks 1 . Ada yang membagi setiap teras menjadi 4 bagian, atau 2 bagian. Hal ini terjadi karena siswa memahami sifat simetris Arupadhatu.

Disamping jawaban yang serupa dengan subjek 1, ada juga beberapa subjek yang tidak dapat menciptakan solusi yang tepat untuk masalah yang diberikan. Setelah diwawancarai, subjek 3 mengakui bahwa ia tidak memahami benar apa yang dituntut dari soal tersebut sehingga pada saat

Page 47: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

38

pengerjaan jawaban yang diberikan tidak terarah. Selain itu ada juga yang keliru memahami informasi dalam soal seperti subjek 4 yang menghitung keseluruhan jumlah stupa yang ada pada 11 teras Arupadhatu karena dia mengira bahwa teras di Arupadhatu yang awalnya ada 3 kemudian ditambah dengan 8 teras lagi. Selain seperti kedua jawab di atas, jawaban lainnya hanya mengalami kekeliruannya hanya pada perhitungannya saja, sedangkan dari pemahaman soal siswa sudah mengerti apa yang dituntut dalam soal tersebut.

- Konteks 2 tentang Tarif Taksi

Pada konteks 2, siswa dituntut untuk membuat model matematika dari harga yang harus dibayarkan oleh seorang penumpang yang menggunakan jasa taksi untuk bepergian. Terdapat beberapa macam jawaban yang diberikan siswa sebagai berikut.

Gambar 3. Jawaban Subjek 1 Gambar 4. Jawaban Subjek 3

Jawaban jenis pertama yaitu subjek 1, 2, 4 dan 5 mengalami kekeliruan dalam menjawab pertanyaan pada konteks 2. Setelah diwawancarai ditemukan bahwa subjek memahami bahwa yang diminta adalah model matematika untuk menghitung biaya yang diperlukan oleh seorang penumpang, namun kendala yang ditemui adalah ia tidak dapat menciptakan model matematika yang diminta sehingga subjek keliru dan membuat jawaban yang tidak terarah. Selanjutnya adalah jawaban yang diberikan subjek 3 sudah mengarah kepada model matematika, namun model yang dibuat masih sangat sederhana dan belum memuat syarat-syarat untuk model tersebut. Dalam sesi wawancara ditemukan bahwa subjek 3 memahami soal dengan baik namun representasi matematis yang dilakukan belum optimal.

Gambar 5. Jawaban Subjek 6 Gambar 6. Jawaban Subjek 7 Berdasarkan jawaban pada gambar 6, jawaban subjek 6 tergolong baik, namun setelah sesi wawancara berlangsung ada beberapa kerancuan yang ditemukan yaitu subjek 6 mengira bahwa yang ditanya adalah tarif taksi yang harus dibayarkan seorang penumpang kalau sebelumnya taksi itu menunggu penumpang yang lain. Dikarenakan kesalahan pemahaman di awal maka jawaban yang diberikan dianggap keliru.

Page 48: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

39

Subjek 7 membuat rumus yang tergolong sangat sederhana, namun ia telah berhasil memahami dengan baik apa yang diharapkan pada soal nomor 2 ini. Subjek 7 mengalami kendala dalam menyelesaikan soal ini yaitu terlalu banyak informasi berupa angka-angka dan keterangan yang diberikan dalam soal ini sehingga ia kesulitan dalam mengaitkan informasi ke dalam penyelesaian berupa model matematika yang akan diibuat.

- Konteks 3 tentang Hasil Pertandingan Sepakbola

Pada konteks 3, siswa diminta untuk membuat kombinasi-kombinasi dari perolehan skor yang telah ditetapkan pada tiap kali tim menang, seri dan kalah dengan jumlah pertandingan sebanyak 18 kali sehingga skor akhir yang diperoleh oleh tim adalah 24. Jawaban yang diberikan siswa adalah sebagai berikut.

Gambar 7. Jawaban Subjek 1 Gambar 8. Jawaban Subjek 3 Jawaban yang diberikan oleh subjek 1 dan 2 sangat tepat. Kedua subjek memperoleh 6 kombinasi untuk menang, seri dan kalah dengan syarat jumlah pertandingan yang berlangsung adalah 18 kali dengan skor akhir adalah 24. Berdasarkan gambar 8, diketahui kombinasi yang dibuat subjek 3 melebihi 6 kombinasi. Setelah diwawancarai, ditemukan bahwa subjek 3 membuat kombinasi menang, seri dan kalah dengan memperhatikan total skor yang harus dicapai oleh tim sepak bola yaitu 24, namun keliru dalam menafsirkan 18 kali pertandingan. Subjek 3 menafsirkan 18 kali pertandingan dengan membuat 18 kombinasi. Selain itu subjek 4, 6 dan 7 sudah memberikan jawaban yang tepat namun kombinasi yang dibuat berkisar antara 1 sampai 3 kombinasi.

Gambar 9. Jawaban Subjek 5

Penyelesaian subjek 5 untuk konteks 3 hanya berupa 2 kombinasi dengan memahami pertanyaann dengan baik namun kurang memperhatikan syarat yang diberikan sehingga kedua jawaban yang diberikan keliru karena ia tidak memeperhatikan syarat tentang jumlah pertandingan yaitu 18 kali.

Page 49: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

40

Ketika diwawancara, subjek 5 menyatakan keyakinannya akan kebenaran jawaban yang diberikannya sehingga tidak mau mengubahnya lagi ketika kesempatan diberikan pada saat wawancara.

- Konteks 4 tentang Calung

Kemampuan yang diukur pada konteks 4 adalah mereka mampu untuk menentukan panjang minimal batang bambu yang diperlukan untuk membuat calung yang memiliki tabung bambunya sebanyak 15 potong. Subjek dapat menghitungnya dengan mencari kecenderungan pola tabung bambu, maupun menghitungnya secara manual dengan uji coba selisih bambu satu persatu. Subjek 1, 2,3 dan 6 hanya memberikan jawaban sekenanya saja karena ia tidak memahami isi konteks yang berisi tentang calung tersebut dan penyelesaian yang diminta. Ketika wawancara berlangsung dan subjek 3 diberikan kesempatan lagi untuk menjawab, ia mengaku bahwa masih tidak mengerti sehingga tidak bisa memberikan jawaban untuk konteks 4. Subjek 4 dan 5 tidak memberikan jawaban untuk konteks 4 pada saat tes tulis berlangsung, namun ketika diwawancara ternyata subjek 4 memahami soal dengan baik. Disebabkan ia tidak mengetahui cara menentukan selisih panjang antar bambu, maka subjek 4 tetap tidak menjawab soal pada konteks 4 sampai wawancara berakhir.

Gambar 10. Jawaban Subjek 7

Subjek 7 melakukan uji coba dengan menghitung secara manual dan memperoleh selisih panjang antar tabung bambu adalah 4 cm. Namun ketika dia menghitung panjang bambu keseluruhan, subjek 7 mengurangkan panjang bambu terpanjang dengan yang terpendek. Jadi, sesudah dianalisis dapat disimpulkan bahwa jawaban yang diberikan oleh subjek 7 tidak sistematis sehingga terjadi kekeliruan dalam proses perhitungan dan menimbulkan kerancuan pemahaman.

Tabel 5. Perolehan Skor Total untuk Soal Representasi Matematis No Subjek Konteks 1 Konteks 2 Konteks 3 Konteks 4 Total skor 1. Subjek 1 12 1 8 0 21 2. Subjek 2 11 1 8 4 24 3. Subjek 3 2 2 2 0 6 4. Subjek 4 4 1 5 2 12 5. Subjek 5 10 2 2 2 16 6. Subjek 6 4 1 2 4 11 7. Subjek 7 10 3 5 7 25 Maksimal 12 4 8 12 36

Dari skor total yang diperoleh subjek penelitian tersebut, akan dikonversikan dalam skala 0 – 100 sehingga dapat diketahui kemampuan representasi matematis dari setiap subjek penelitian.

Page 50: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

41

Tabel 6. Kemampuan Representasi Matematis Siswa

Subjek Penelitian Skor Total Skor Akhir

(0 – 100) Kemampuan Representasi

Matematis Subjek 1 21 58,3 Cukup Subjek 2 24 66,67 Baik Subjek 3 6 16,67 Kurang Subjek 4 12 33,3 Kurang Subjek 5 16 44,4 Kurang Subjek 6 11 30,56 Kurang Subjek 7 25 69,4 Baik

Sebagaimana yang terlihat pada tabel di atas, kemampuan representasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal Kontes Literasi Matematika tahun 2013 pada seleksi tingkat rayon masih tergolong lemah karena dari 7 orang siswa yang dijadikan subjek penelitian, tidak ada siswa yang memenuhi kriteria sangat baik dan juga 4 dari 7 subjek memiliki kemampuan kurang dalam hal representasi matematis. KLM merupakan kontes matematika tingkat nasional yang bertujuan meningkatkan kemampuan literasi matematika anak Indonesia agar mampu bersaing di tingkat dunia dalam program PISA, sehingga kontes ini disesuaikan dengan PISA baik dari segi soalnya maupun konteksnya,jadi perolehan siswa Indonesia dalam PISA bisa diperbandingkan dengan KLM. Hasil penelitian ini sesuai dengan perolehan peringkat Indonesia dalam bidang literasi matematika yang selalu menempati posisi 10 – 5 besar dari bawah dalam program PISA dan Skor rerata Indonesia selalu berada di bawah skor rerata negara anggota OECD yaitu 500 (Hadi, 2009). Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa ada siswa yang memiliki kendala dalam memahami permasalahan yang diberikan, kesulitan dalam merepresentasikan masalah yang diberikan ke dalam bentuk matematis, kesulitan dalam mengkomunikasikan penyelesaian masalah serta kekeliruan dalam melakukan perhitungan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Sumarmo (dalam Johar, 2013) bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi siswa dan guru dalam mencapai dan membelajarkan berfikir matematik serta alternatif solusinya, salah satunya yaitu siswa sulit menyatakan suatu situasi ke dalam model matematika atau ekspresi matematika. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran guru tidak membiasakan siswa untuk membuat model atau ekspresi matematika dari suatu permasalahan yang diberikan. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, perlu diketahui penyebabnya sehingga dapat ditemukan solusi yang tepat untuk meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa. Selanjutnya dipaparkan kemampuan representasi matematis yang telah dikerjakan siswa dalam ke empat konteks yang diujikan dalam tes beserta dengan hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah tersebut. 1. Pada konteks 1 tentang Candi Borobudur, kemampuan representasi matematis siswa tergolong

baik. Hal ini dapat diketahui dari tercapainya indikator soal oleh 4 dari 7 siswa. Adapun indikator soal pada konteks 1 adalah siswa mampu merepresentasi masalah dalam bentuk matematika dan memperhatikan perubahan pola stupa, melakukan perhitungan dengan akurat serta mengkomunikasikan langkah kerja dengan jelas sehingga siswa dapat menarik kesimpulan yang tepat dengan disertai alasan yang kuat terkait solusi yang diberikan.

Berdasarkan hasil tes dan wawancara, kemampuan representasi siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dalam menemukan kata kunci yang dapat memberikan pemahaman yang tepat terhadap soal, menemukan kecenderungan pola untuk menghitung banyak stupa pada tiap teras, pemahaman siswa akan kesimetrisan bentuk Candi, ketelitian siswa dalam melakukan perhitungan dan kemampuan komunikasi yang baik dalam menjelaskan alur pengerjaan soal. Secara garis besar, siswa sudah mampu menemukan kecenderungan pola pada stupa Candi Borobudur, namun karena pemahaman akan kesimetrisan Candi tidak mereka miliki serta

Page 51: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

42

kekeliruan dalam perhitungan sehingga penyelesaian yang mereka berikan tidak tepat. Disamping itu, masih ada siswa yang tidak peka dengan perubahan pola sehingga ketika ia memperoleh banyak stupa pada teras 1 dia menganngap bahwa semua teras memuat stupa yang sama banyaknya. Sesuai dengan uraian di atas ditemukan beberapa kendala yaitu: a. kurangnya latihan sehingga keterampilan mencari inti pertanyaan yang tepat belum terasah

dengan baik dan juga keterbatasan kosa kata siswa untuk mengenali soal tentang representasi

b. kemampuan komunikasi siswa sehingga susah menerjemahkan maksud soal, menemukan kecenderungan pola dan sifat pada masalah yang diberikan atau kesulitan dalam menjelaskan jawaban secara sistematis.

c. kurangnya ketelitian dalam melakukan perhitungan sehingga solusi tidak akurat. 2. Konteks 2 tentang tarif taksi mengukur kemampuan siswa dalam memahami masalah yang

diberikan, menerjemahkan masalah ke dalam bentuk matematika dan menginterpretasi ke dalam suatu model untuk mengetahui biaya yang harus dibayarkan penumpang dengan memperhatikan syarat yang diberikan. Berdasarkan indikator tersebut, kemampuan siswa yang menjadi subjek penelitian tergolong lemah, karena diantara 7 orang subjek penelitian, yang memberikan jawaban hampir benar hanya 1 orang, selebihnya masih sangat kurang. Jawaban yang hampir benar tersebut berisi model matematika sederhana yang tidak dilengkapi dengan syarat, namun pemahaman siswa terkait dengan konteks tarif taksi tersebut sudah baik yang terungkap pada sesi wawancara. Pada konteks 2, semua siswa yang dipilih menjadi subjek penelitian memberikan jawabannya, namun masih memiliki banyak kekeliruan seperti membuat pertanyaan sendiri karena tidak memahami pertanyaan yang diberikan, tidak mampu mengaitkan semua informasi yang diberikan untuk diterjemahkan dalam bentuk matematika, menuliskan model matematika namun tidak dilengkapi dengan syarat sesuai dengan informasi, dan tidak adanya keterangan atas variabel yang telah dibuat. Berdasarkan pemaparan tersebut, secara garis besar dapat dirumuskan kendala yang dihadapi pada konteks 2 adalah: a. tidak mampu menangkap dan menginterpretasi informasi yang diberikan b. tidak terasahnya kemampuan siswa dalam membuat model matematika c. variabel dalam model matematika yang dibuat tidak disertai dengan keterangan

3. Kemampuan representasi matematis siswa pada konteks 3 tentang hasil pertandingan sepak bola tergolong cukup. Hal ini dapat diketahui dari tercapainya indikator secara sempurna oleh 2 orang siswa dan 2 orang lagi memperoleh nilai yang tergolong baik. Indikator soal pada konteks 3 yaitu menciptakan representasi untuk mengomunikasikan hasil pertandingan sepak bola yang sesuai dengan informasi yang diberikan konteks 3. Dalam menyelesaikan soal pada konteks 3, siswa mengalami kesulitan dalam mengaitkan semua informasi yang diberikan untuk kemudian membuat representasi matematis sehingga ditemukan siswa yang hanya membuat model matematika berdasarkan perolehan skor menang, seri, kalah yang dihubungkan dengan perolehan skor akhir yaitu 24 tanpa memasukkan jumlah pertandingan yang hanya berlangsung sebanyak 18 kali. Disamping itu, ada juga siswa yang keliru dalam memaknai 18 kali pertandingan dengan membuat 18 kombinasi sebagai solusi. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditemukan beberapa kendala siswa dalam menyelesaikan konteks 3 tentang hasil pertandingan sepak bola yaitu: a. kurangnya kemampuan siswa dalam mengaitkan keseluruhan informasi yang diberikan

untuk menciptakan kombinasi yang sesuai. 4. Kemampuan representasi matematis yang diukur pada konteks 4 adalah kemampuan dalam

memperhatikan perubahan pola yang terdapat pada calung, menginterpretasi perubahan tersebut sehingga mampu menciptakan suatu model matematika untuk pemecahan masalah serta mampu menjelaskan langkah matematika yang ditempuh dengan sistematis.

Page 52: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

43

Sesuai dengan hasil tes tulis dan wawancara, maka ditemukan bahwa kemampuan representasi matematis siswa pada konteks ini dipengaruhi oleh ketidakpekaan siswa dengan informasi yang terdapat pada soal bahwa yang diminta adalah membuat representasi matematis untuk menentukan selisih antar tabung calung. Padahal soal pertama dan soal keempat menguji hal yang sama, namun dengan susunan kalimat yang berbeda. Pada konteks satu disebutkan kata “pola” yang mengantarkan siswa pada pemahaman bahwa yang diminta adalah membuat representasia matematis. Lain halnya dengan konteks 4 yang tidak menyinggung kata “pola”, “rumus” atau kata sejenis yang membuat siswa terpikir untuk membuat representasi matematis, sehingga ada siswa yang jawabannya sudah mengarah pada kebenaran namun itu diperoleh dengan cara uji coba mengurangkan satu persatu batang bambu pada calung. Perolehan skor siswa yang paling tinggi adalah 7 hanya didapatkan oleh 1 orang, selebihnya skornya kurang dari 7. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ditemukan beberapa kendala yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan konteks 4 tentang calung sebagai berikut. a. Kurangnya kosa kata siswa untuk menemukan bentuk representasi yang diminta b. Kesulitan siswa dalam menemukan kecenderungan pola yang terdapat pada gambar calung c. Kekeliruan siswa dalam melakukan perhitungan

Lemahnya kemampuan representasi matematis siswa ini sejalan dengan yang disampaikan Pujiastuti yang menemukan bahwa sebagian besar siswa masih lemah dalam menyampaikan gagasan atau idenya melalui kata-kata atau teks tertulis. Keterbatasan pengetahuan guru dan sistem pembelajaran, baik dari segi proses maupun kondisi belajar yang diciptakan di dalam kelas yang belum mendukung terciptanya penguasaan yang baik terhadap 5 tujuan pembelajaran matematika yang harus dimiliki siswa terutama dalam hal mengembangkan kemampuan representasi secara optimal, maka guru selaku pengajar sudah selayaknya membenahi diri agar pemahamannya terkait dengan tujuan pembelajaran terlebih dahulu dikuasai dengan baik oleh guru (Sakrani, 2013:9). Selain itu, Rahmadina (2014:46) juga mengungkapkan bahwa representasi yang tidak tepat menyebabkan kesalahan dalam penyelesaian masalah serta miskonsepsi yang sering ditemukan terkait dengan representasi matematis salah satunya adalah miskonsepsi dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematis. Disamping itu, dalam pembelajaran yang berlangsung selama ini, siswa kurang aktif dalam mengungkapkan pendapat dan mengkonstruksi pengetahuan sehingga konsep yang diberikan hanya diterima untuk kemudian diterapkan. Hal ini berdampak pada rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep sehingga hasil pembelajaran yang dicapai tidak maksimal (Sugiarto, 2013).

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil tes tulis, wawancara, analisis data serta pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan representasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal Kontes Literasi Matematika pada seleksi tingkat Rayon tahun 2013 termasuk rendah. Dari hasil tes terhadap 4 konteks yang diambil dari soal KLM 2013 untuk mengukur kemampuan representasi matematis siswa yaitu candi Borobudur, tarif taksi, hasil pertandingan sepak bola dan Calung menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematis siswa paling lemah pada konteks Calung. Setelah dianalisis, ditemukan kendala-kendala yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan soal-soal representasi matematis pada soal KLM 2013 adalah sebagai berikut. a. Kesulitan siswa dalam menemukan kata kunci dan memahami informasi dalam soal b. Tidak mampu mengaitkan informasi yang diberikan dengan konsep yang sesuai. c. Sulit menjelaskan jawaban dalam prosedur yang lengkap dan sistematis. d. Lemahnya kemampuan siswa dalam membuat model matematika. e. Kurangnya ketelitian dalam melakukan perhitungan.

Page 53: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

44

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti menyarakan guru untuk untuk meningkatkan pengetahuan mengenai soal-soal PISA dan KLM sehingga dapat memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan optimal dan membiasakan siswa untuk menyelesaikan soal tersebut. Hal ini diharapkan dapat menyosialisasikan soal tipe PISA dan KLM dengan baik pada siswa serta meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa. Selain itu, guru juga seharusnya mempersiapkan bahan ajar yang mampu mengarahkan pemikiran siswa ke dalam permasalah kontekstual, melakukan pemantapan materi ajar kepada siswa dan memotivasi siswa untuk sering memberikan argumennya melalui diskusi kelas atau kelompok.

6. Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi.(2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.

Aryanti, Devi dkk.(2013). Kemampuan Representasi Matematis Menurut Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Segi Empat di SMP. Diakses pada 2 Juli 2014, dari alamat jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/download/812/pdf

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.

Effendi, Leo Adhar.(2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Diakses pada 2 Juli 2014, dari alamat jurnal.upi.edu/file/Leo_Adhar.pdf

Hadi, Samsul dan Endang Mulyatiningsih. 2009. “Model Trend Prestasi Siswa Berdasarkan Data PISA Tahun 2000, 2003, dan 2006”. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

Haji, Saleh. 2014. “Strategi Think-Talk-Write (TTW) untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematik”. Makalah diseminarkan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2014 di Program Pasca Sarjana STKIP Siliwangi Bandung pada 15 Januari 2014.

Johar, Rahmah. 2012. Domain Soal PISA untuk Literasi Matematika, Jurnal Peluang, Vol. 1, No 1, Oktober 2012.

----------, Rahmah dan Muhammad Yani. 2013. “Kemampuan Siswa SMP Menuliskan Model Matematika pada Soal Kontes Literasi Matematika (KLM) Tingkat Provinsi Aceh”. Makalah diseminarkan pada Seminar Matematika dan Terapan (SiManTap) 2013 di UNSYIAH tanggal 28-30 November 2013.

Kamaliyah, Zulkardi and Darmawijoyo. 2013. Developing the Sixth Level of PISA-Like Mathematics Problems for Secondary School Students. IndoMS. J.M.E, Vol. 4 No 1 Tahun 2009. 9-28.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan.(2011). Survei Internasional PISA. Diakses pada 21 Juni 2014, dari alamat http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. National Council of Teachers of Mathematics.(2000). Principles and Standards for School

Mathematics, USA: Library of Congress Cataloguing in Publication Data. OECD.(2009). Learning Mathematics for Life A View Perspective from PISA. Diakses pada 1

April 2014, dari alamat www.sourceoecd.org/education/9789264074996 OECD.(2010). Indonesia and the OECD Enhancing Our Partnership, . Diakses pada 1 April 2014,

dari alamat www.oecd.org p4mri.net.(2011). KLM PISA. Diakses pada 1 April 2014, dari alamat

http://p4mri.net/new/?p=481 p4tkmatematika.org.(2012). Kontes Literasi Matematika Untuk SMP/MTs Tingkat Nasional.

Diakses pada 1 April 2014, dari alamat http://p4tkmatematika.org/2012/04/kontes-literasi-matematika-untuk-smpmts-tingkat-nasional/

Page 54: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

45

Pratiwi, Endah Dwi. 2013. “Penerapan Pendekatan Model Eliciting Activities (MEAs) untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Siswa SMP”. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: UPI.

Putri, Ratu Ilma Indra. 2013. “Pengembangan Soal Tipe PISA Siswa Sekolah Menengah Pertama dan ilmplementasinya pada Kontes Literasi Matematika (KLM) 2011”. Makalah diseminarkan di Seminar Nasional Matematika dan Terapan (SiManTap) ke-4, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 28-29 November 2013.

Rahmadina, Mila. 2014. “Analisis Kemampuan Representasi Matematis Siswa pada Materi Pertidaksamaan Linear Satu Variabel di Kelas VII SMP Negeri 6 Banda Aceh”. Skripsi tidak diterbitkan. Banda Aceh: FKIP Universitas Syiah Kuala.

Sakrani. 2013. “Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Penalaran Matematis Siswa SMP Melalui Pendidikan Matematika Realistik”. Prosiding SNMPM, Universitas Sebelas Maret, 2013.

Sugiarto, bambang, dkk,. 2013. “Efektifitas Model Pembelajaran Learning Cycle 5e dengan Strategi Motivasi ARCS pada Materi Transportasi Ditinjau dari Ketuntasan Belajar Siswa, Aktivitas Belajar Siswa, Respon Siswa terhadap Pembelajaran, dan Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran”. Prosiding SNMPM, Universitas Sebelas Maret, 2013.

Suryana, Andri. 2012. “Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Lanjut (Advanced Mathematical Thinking) dalam Mata Kuliah Statistika Matematika”. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 10 November 2012 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.

Wardhani, Sri dan Rumiati.(2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan

Wiryanto. 2012. “Representasi Siswa Sekolah Dasar dalam Pemahaman Konsep Pecahan”. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 10 November 2012 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.

Yuniawatika.2011. Penerapan Pembelajaran Matematik dengan Strategi REACT untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Representasi Matematik Siswa Sekolah Dasar. Jurnal UPI, Edisi Khusus No. 1 Agustus 2011. Tidak diterbitkan.

Page 55: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

46

The Math Body, Untuk Efisiensi dan Efektifitas Pembelajaran Matematika

Asmudi SMP Negeri 1 Kuala, Dinas Penddikan dan Kebudayaan Kabupaten Bireuen

Email: [email protected]

Abstrak . The Math Body, Untuk Efisiensi dan Efektifitas Pembelajaran Matematika. Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan: (1) Penggunaan The Math Body interaktif dalam pembelajaran matematika meningkatkan daya ingat peserta didik. (2) Metode pembelajaran yang diterapkan pada penggunaan The Math Body interaktif dalam pembelajaran matematika meningkatkan pemahaman konsep peserta didik. (3) Penggunaan The Math Body interaktif dalam pembelajaran matematika meningkatkan minat dan keaktifan belajar peserta didik.Berdasarkan data dan analisis data yang dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa setelah penulis menggunakan alat peraga The Math body dalam pembelajaran matematika kelas VII/a SMP Negeri 1 Kuala khusunya pada materi KPK dan FPB dapat diperoleh hasil; (1) Capain kompetensi spiritual social pada peserta didik rata-rata sangat baik(A-) dan baik (B+) (2) Capain kompetensi pengetahuan pada peserta didik rata-rata 3,5 (baik) (3) Capain kompetensi ketrampilan pada peserta didik kelas VII/a SMP Negeri 1 Kuala rata-rata 3,3 (baik). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan alat peraga The Math body dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan pemahaman konsep yang berimbas pada peningkatan prestasi belajar siswa

Kata Kunci: The Math Body, KPK dan FPB, Pembelajaran Matematika

1. Pendahuluan

Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan, keterampilan dan keahlian tertentu kepada individu guna mengembangkan bakat serta kepribadiannya. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi akibat adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu masalah pendidikan perlu mendapat perhatian dan penanganan yang lebih baik yang menyangkut berbagai masalah berkaitan dengan kuantitas dan kualitasya. Salah satu upaya peningkatan kualitas pendidian itu adalah penerapan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 diimplementasikan secara bertahap mulai tahun pelajaran 2013/2014. Untuk tingkat SMP, pada tahun pertama Kurikulum 2013 diimplementasikan pada kelas VII di 1437 sekolah yang tersebar di 295 Kabupaten/Kota di seluruh provinsi di Indonesia. Komponen terpenting implementasi kurikulum tersebut adalah pelaksanaan proses pembelajaran yang diselenggarakan di dalam dan/atau luar kelas dengan pendekatan, model, motode, strategi, dan media pembelajaran berfungsi untuk menyiapkan peserta didik agar dapat menghadapi tantangan perubahan dalam kehidupan lokal, nasional, dan global melalui pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan yang outputnya diharapkan dapat membatu peserta didik menjadi generasi yang cerdas seutuhnya yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial,cerdas intelektual, dan cerdas kinestetik. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting bagi siswa karena merupakan pengetahuan dasar untuk memecahkan persoalan kehidupan. Bisa dikatakan bahwa hampir semua aspek kehidupan membutuhkan keterampilan matematika. Ketika siswa menguasai matematika maka akan memudahkan siswa dalam menjalani kehidupannya. Begitu pentingnya matematika sehingga menjadi mata pelajaran yang diberikan dibangku sekolah sejak masuk sekolah dasar meskipun terintegrasi dalam pelajaran tematik di kelas awal sampai kejenjang perguruan tinggi.

Page 56: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

47

Siswa akan mengalami kesulitan belajar untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi ketika tidak memahami dan menguasai konsep dasar matematika. Untuk menghadirkan pengalaman konkrit dalam bentuk nyata khususnya dalam pelajaran matematika konsep aritmatika (berhitung), maka seorang guru hendaknya menggunakan media/ alat peraga sehingga pengalaman belajar yang dimiliki oleh siswa benar-benar nyata dan tersimpan dengan baik dalam pemahaman siswa. Kondisi memprihatinkan dalam pembelajaran matematika tersebut menjadi kekhawatiran yang mendalam bagi penulis mengingat pengetahuan matematika bagi generasi jaman sekarang dan masa depan adalah sangat penting sebagai sebuah pembawa ilmu pengetahuan (carrier of knowledge) secara global. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, penulis mencoba melakukan inovasi pembelajaran matematika untuk menumbuhkan minat dan motivasi belajar peserta didik agar prestasi belajar mereka dapat meningkat. Inovasi pembelajaran yang dilakukan penulis adalah dengan membuat alat peraga matematika yang menarik dan interaktif. Pembelajaran semacam inilah yang menjadi salah satu tujuan dan sasaran penerapan kurikulum 2013 ini yakni menciptakan generas yang siap menghadapi tantangan perubahan dalam kehidupan lokal, nasional, dan global melalui pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan yang outputnya diharapkan dapat membatu peserta didik menjadi generasi yang cerdas seutuhnya yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial,cerdas intelektual, dan cerdas kinestetik. Oleh karena ini penulis melakukan smebuah inovasi pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik dengan menggunakan The Math Body interaktif dalam proses pembelajaran. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam karya inovasi ini adalah: 1. Bagaimanakah penggunaan The math Body Interaktif dalam pembelajaran matematika

meningkatkan daya ingat peserta didik? 2. Bagaimanakah metode pembelajaran yang diterapkan pada penggunaan The Math Body

interaktif dalam pembelajaran matematika meningkatkan pemahaman konsep peserta didik? 3. Bagaimanakah penggunaan The Math Body interaktif dalam pembelajaran matematika

meningkatkan minat dan keaktifan belajar peserta didik? 4. Bagaimanakah instrumen penilaian yang diterapkan pada penggunaan The Math Body

interaktif dalam pembelajaran matematika. Sehingga 1. Penggunaan The Math Body interaktif dalam pembelajaran matematika meningkatkan daya

ingat peserta didik. 2. Metode pembelajaran yang diterapkan pada penggunaan The Math Body interaktif dalam

pembelajaran matematika meningkatkan pemahaman konsep peserta didik. 3. Penggunaan The Math Body interaktif dalam pembelajaran matematika meningkatkan minat

dan keaktifan belajar peserta didik. 4. Instrument penilaian yang diterapkan pada penggunaan The Math Body interaktif dalam

pembelajaran matematika meningkatkan prestasi belajar peserta didik. 2. Landasan Teori

A. Konsep / Teori yang Melandasi Karya Inovasi Pembelajaran

1. Pengertian Alat Peraga. Matematika yang diajarkan disekolah adalah sebagai salah satu unsur masukan instrumental yang memiliki objek dasar abstrak dan berazaskan kebenaran konsistensi, dalam system proses belajar mengajar digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Page 57: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

48

Siswa SMP pada dasarnya perkembangan intelektual mereka berada pada tahap peralihan dari tahap operasional konkret menu ke tahap operasional formal, tetapi itu tidak berarti bahwa semua anak sudah dalam tahap tersebut. Mungkin ada saja yang terlambat mencapai tahap itu, maka penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika SMP sangat diperlukan. Hal tersebut perlu diketahui guru, agar dapat membantu siswa yang bersangkutan dengan cara yang berbeda dengan siswa lain. Menurut Zoltan P. Dienes, bahwa stiap konsep matematika dapat dipahami dengan cukup apabila hal tersebut disajikan kapada siswa dengan bantuan berbgai pembelajaran yang kongkrit..

Alat peraga pengajaran adalah alat-alat yang digunakan oleh guru ketika mengajar untuk membantu memperjelas materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa dan mencegah terjadinya verbalisme pada diri siswa (Moh. Uzer Usman, 1989:26). Sedangkan menurut Nasution (1989: 132) bahwa: alat peraga adalah alat yang dipergunakan oleh guru atau pendidik untuk membantu dalam menerangkan sesuatu kepada anak sesuai dengan bahan pengajaran yang diajarkan.

Pemberian contoh melalui benda sebenarnya atau penggantinya berarti memperagakan sesuatu. Salah satu tujuan memperagakan adalah member variasi dalam pengajaran dengan lebih banyak menyediakan realitas. Mengajar dengan peragaan berarti mengajar dengan menyediakan faslitas alat-alat peraga atau media. Meskipun alat peraga sebagai alat bantu namun alat peraga memegang peranan penting meningkatkan hasil belajar dalam proses belajar mengajar.

Dengan pembelajaran menggunakan alat peraga, guru matematika diharapkan dapat mendorong kreatifitas siswa dengan cara membantu menemukan ide dasar, aturan-aturan, prinsip-rinsip matematika. Dengan penekanan penekanan pada hal tersebut, diharapkan siswa akhirnya menemukan hal-hal yang menarik dalam mempelajari matematika dan dapat menemukan, memeriksa serta membuat generalisasi terhadap obyek yang dipelajari.

B. Rancangan Karya Inovasi dalam Pembelajaran Media pembelajaran adalah alat atau materi lain yang menyajikan bentuk informasi secara lengkap dan dapat menunjang proses belajar mengajar. Ruseffendi, 1982 (kemendikbud 2013;30) menyatakan bahwa media pendidikan adalah perangkat lunak (software)dan atau perangkat keras (hardware) yang berfungsi sebagai alat belajar dan alat bantu belajar. Sementara itu, Brown,dkk (kemendikbu,2013) membuat klasifikasi media pembelajaran yang sangat lengkap yang mencakup sarana belajar (equipment for learning), saranan pendidikan untuk belajar (educational media for learning), dan fasilitas belajar (facilities for learning). Sarana belajar mencakup tape recorder, radio, OHP, vidio player, televisi, laboratorium elektronik, telepon, kamera dan lain-lain. Sarana pendidikan untuk belajar mencakup buku teks, buku penunjang, ensiklopedi, majalah, surat kabar,kliping, program TV, program radio, gambar dan lukisan, peta, globe, poster, kartun, boneka, papan planel, papan tulis, dan lain-lain.

Bentuk karya inobel yang penulis rancang diawali oleh analisis teori atau konsep tentang pengertian dan fungsi dari alat peraga matematika. Berikut ini beberapa langkah yang penulis lakukan dalam proses pembuatan karya inobel: 1) Identifikasi kebutuhan alat peraga dengan cara menganalisis kurikulum yang sedang

digunakan/berlaku menurut jenjang kelas yang diampu dari guru yang bersangkutan. 2) Mendesain alat peraga yang akan dibuat. 3) Merencanakan dan memilih bahan dari alat peraga yang akan dibuat.

Alat peraga The Math body menggunakan bahan ramah lingkungan dan dari barang bekas ditambah kayu, triplek, Cat, perkakas yang diperlukan, lampu on/off dan kabel listrik.

4) Membuat alat peraga. Dimulai merancang rangka dasar dari kayu terdiri dari rangka badan dan tangan, semua sambungan menggunakan baut untuk memudahkan bongkar pasang saat diperlukan. Selanjutnya

Page 58: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

49

baru dilanjutkan dengan membuat bagian bagian yang akan disematkan pada rangka mengacu pada materi matematika dan disesuaikan dengan bentuk tubuh manusia. 5) Menyusun petunjuk penggunaan alat peraga atau lembar kerja, 6) Penilaian alat peraga dan petunjuk yang telah dibuat dari catatan-catatan guru saat digunakan.

Alat peraga juga dirancang berdasar analisis kurikulum sesuai KI/KD dan catatan-catatan guru tentang kesulitan-kesulitan yang sering ditemui dalam pembelajaran bila tidak menggunakan alat peraga.

3. Metode

Data aplikasi pembelajaran focus terhadap siswa kelas VII/a. SMP Negeri 1 Kuala sebagai sampel tahun tahun pelajaran 2013/2014. Dengan jumlah 25 peserta didik dengan menggunakan metode STAD dalam proses pembelajaran dan menggunakan teknik penilaian essay, pilihan ganda, unjuk kerja, tes tertulis, lembar kerja dan tes keterampilan.

Ide Dasar Dalam proses awal perancangan alat peraga ini didasari oleh dua hal yaitu berdasarkan teori Piaget tampak bahwa pada awal, anak belajar melalui hal-hal yang konkrit atau nyata dalam arti dapat diamati dengan menggunakan panca indera anak. Untuk memahami konsep matematika yang bersifat abstrak, anak memerlukan benda-benda konkrit. Selain Piaget beberapa ahli lain mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan belajar seseorang adalah Bruner. Menurut Fajar (15,Psikologi dan Teori Belajar matematika,2008) Bruner membagi proses belajar siswa menjadi tiga tahap yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik. 1. Tahap Enaktif Pada tahap ini, siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan dengan

menggunakan benda konkrit atau menggunakan situasi nyata bagi para siswa. 2. Tahap Ikonik Setelah mempelajari pengetahuan dengan benda nyata atau benda konkrit,

tahap berikutnya adalah tahap ikonik yaitu siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagi perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkrit atau nyata.

3. Tahap simbolik Selain dua tahap diatas masih ada satu tahap lagi yaitu tahap simbolik dimana siswa mewujudkan pengetahuannya dalam bentuk symbol-simbol abstrak. Dengan kata lain siswa harus mengalami proses berabstraksi.

Berdasarkan teori di atas, siswa SMP merupakan peralihan dari tahap operasional konkrit menuju ke tahap formal maka dalam membelajarkan matematika kepada siswa masih diperlukan azas peragaan agar pembelajaran menjadi bermakna dalam meningkatkan pemahaman dan daya tarik siswa untuk mempelajarai matematika. Guru tidak direpotkan membawa dan mempersiapkan untuk diperagakan didepan siswa. Selanjutnya ada bebrapa alasan berdasarkan kriteria yang diharapkan dari sebuah alat peraga yaitu: 1. Alat peraga dipilih sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan

tercapai kompetensinya oleh siswa 2. Alat peraga dapat membantu memahami konsep materi pembelajaran dan

bukan sebaliknya 3. Alat peraga mudah diperoleh atau dibuat oleh guru 4. Alat peraga mudah penggunaannya 5. Alat peraga disesuaikan dengan tahap berpikir siswa

Page 59: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

50

Gambar 1. Rancangan penggunaan alat peraga (media) dalam pembelajaran matematika Keterangan: _______________ : komunikasi utama _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ : konsultatif Tugas guru : fasilitator pembelajaran (Kemendikbud, 2013:45)

Guru yang berperan sebagai navigator, adaptor, komunikator, peserta didik, visioner, profesional yang mandiri, warganegara yang loyal, pemimpin, teladan, kolaborator, dan pengambil risiko diharapkan mampu melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Brown (2007) berikut: a) otomatis; b) bermakna; c) menghargai; d) memotivasi; e) memiliki nilai investasi strategis; f ) menjaga ego bahasa peserta didik; g) menumbuhkan rasa percaya diri; h) menumbuhkan keberanian mengambil risiko; i) menunjukkan hubungan bahasa dan budaya; j) mengakui ada pengaruh bahasa sumber ke dalam belajar bahasa sasaran; k) mengakui ada bahasa antara (interlanguage); dan l) mengarah ketercapaian kompetensi komunikatif. Proses Penemuan / Pembaharuan

Gambar 2: Alur pembelajaran matematika dengan The Math Body dengan pendekatan Saintifik.

1. Prototip

Dari beberapa alat peraga yang saya rancang sebelumnya, ternyata sangat membantu saya dalam mengenalkan konsep dari materi tertentu kepada siswa. Dalam pelaksanaannya tentu kita menjadi repot membawa dari kantor guru kekelas dan menyimpannya kembali pada saat tidak digunakan. Maka saya merancang dengan menggabungkan beberapa alat peraga ini menjadi satu kesatuan membentuk prototip tubuh manusia dengan bagian-bagianya adalah beberapa alat peraga yang telah dirancang terpisah dengan menyesuaikan bentuk dengan prototip yang diinginkan.

Guru

Media siswa

Konten

Matematika

Masalah

matematik

The math

body

K. 13 Pendekatan

Model

metode

Pemahaman

konsep

Pemecahan

Masalah

Page 60: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

51

Gambar 3. beberapa rancangan alat peraga

yang masih terpisah.

BADAN BAGIAN

DEPAN

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

BADAN BAGIAN

BELAKANG

LOBANG

ANGKA

BALOK

ANGKA

LINGKARAN

KEPALA JARING

KUBUS

ENGSEL

RANGKA

UTAMA

LOBANG

SAMBUNGAN

AS PUTAR SAMBUNGAN

PENYANGGA UTAMA

Page 61: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

52

THE MATH BODY

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

165 cm

Gambar 4. Kombinasi beberapa alat peraga

membentuk anatomi tubuh

manusia

Page 62: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

53

2. Keunggulan Karya Inovasi The Math Body interaktif merupakan sebuah media pembelajaran yang dapat merangsang dan menumbuhkan minat dan motivasi belajar peserta didik. Selain dapat menumbuhkan minat dan motivasi Aplikasi mudah diterapkan

- Alat peraga dapat dibawa kemanapun

- Bisa bongkar pasang

- Murah

- Mudah diperoleh 3. Kelemahan Karya Inovasi

- Belum mewakili semua materi

- Bahannya masih menggunakan kayu sehingga bawaannya berat

- Rentan terhadap kerusakan bila kelasnya tradisional. (dianjurkan untuk moving class dan laboratorium Matematika)

A. Aplikasi Praktis dalam Pembelajaran

Untuk Laporan ini, penulis hanya mendeskripsikan hasil aplikasi dikelas VII/a. SMP Negeri 1 Kuala dalam materi KPK dan FPB dalam implementasi Kurikulum 2013 yang menggunakan badan bagian depan berupa Panel Balok Putar KPK dan FPB dari The Math Body dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Misalkan diberi masalah sederhana misalnya kasus dari buku siswa kurikulum 2013. 1. Contoh permasalahan: Anita, Indri dan Wati belanja bersamaan di sebuah mall. Anita balanja 3 hari sekali, Indri berbelanja 6 Hari sekali, dan Wati berbelanja 9 Hari sekali. Setelah berapa hari ketiganya berbelanja bersamaan di Mall tersebut? 1. Penyelesaian Dengan The Math Body

Permasalahan kita adalah berapa hari kemudian Anita, Indri dan wati akan bertemu kembali di Mall itu. Berarti yang diinginkan adalah pertemuan tercepat atau kelipatan bersama terkecil dari bilangan 3,6 dan 9. Dengan Panel Balok Putar pada badan bagian depan, Kita bisa menyelesaikan permasalahan tersebut dngan simulasi sebagai berikut:

- Pada bagian atas tulis angka sejajar masing- masing panel yaitu 3,6 dan 9.

- Tekan saklar/letakkan gantungan disetiap kelipatan masing-masing angka tersebut pada puluhan yang pertama.

- Jika pada puluhan yang pertama tidak ada saklar yang menyala ddalam sutu garis untuk ketiga angka tersebut, matikan saklar yang ada dan lanjutkan di puluhan yang kedua dan seterusnya.

- KPK akan didapat pada puluhan yang kedua yaitu pada angka 18 dimana semua lampu menyala pada satu garis diangka 18.

- Jadi Anita, Indri dan Wati akan bertemu atau berbelanja secara bersamaan pada mall tersebut pada hari ke 18.

- 1. Aplikasi di Kelas Pada tahap pendahuluan guru mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Mulai dari alat peraga yang sudah stanby dikelas, memeriksa arus listrik, lembar instrumen, spidol/pulpen, penataan meja dan kursi peserta didik sesuai kebutuhan pembelajaran, serta perlengkapan-perlengkapan lainnya. Setelah memastikan kondisi kelas sudah siap guru memberikan penjelasan kepada peserta didik.

Page 63: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

54

2. Tahap pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan penggunaan media guru mulai memasuki kegiatan pendahuluan pembelajaran dengan menyapa peserta didik.. Selanjutnya guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran dan memeriksa kehadiran peserta didik. Setelah itu guru masuk pada kegiatan inti pembelajaran. Pada kegiatan inti pembelajaran guru memfasilitasi dan memotivasi peserta didik untuk melakukan kegiatan 2M (mengamati, dan mempertanyakan). Mengamati Pada kegiatan mengamati, guru menyajikan materi di papan tulis / slide powerpoint yang berisi foto kegiatan peserta didik. Peserta didik mulai mengamati foto-foto tersebut. Inisiatif penulis memasukkan foto-foto peserta didik agar mereka lebih termotivasi menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Setelah beberapa menit peserta didik mengamati beberapa foto tersebut guru menanyak tentang aktivitas-aktivitas yang terjadi foto-foto tersebut. Selain sajian foto pada slide tersebut, guru juga melengkapinya dengan efek suara dengan tujuan ketika peserta didik memberika jawaban benar maka otomatis akan muncul efek suara tersebut. Setelah kegiatan pengamatan selesai, guru mulai memberikan penjelasan tentang kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran dilaksanakan. Selanjutnya guru memberikan umpan balik terhadap jawaban-jawaban yang diberikan peserta didik sambil memberikan penguatan pembelajaran. Serlanjutnya masuk pada inti materi siswa diarahkan untuk dapat menemukan sendiri definisi dari KPK dan FPB dari permasalahan yang diberikan dan diselesaikan dengan bantuan The Math Body.

Tahap Tindak Lanjut Pembelajaran bermedia akan lebih bermakna jika setelah menggunakan, peserta didik melakukan kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya dengan materi yang disajikan pada media tersebut (Kemendikbud, 2013:49). Pada tahap tindak lanjut penggunaan multimedia interaktif, peserta didik diarahkan untuk melakukan kegiatan 3M yaitu mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

Mengeksplorasi/ bereksperimen Setelah menyelesaikan contoh yang guru berikan, siswa secara kelompok diminta untuk mencari permaslahan yang yang berhubungan dengan KPK dan FPB dari berbagai sumber.

Mengasosiasi/ menganalisis Dengan bekerja mandiri/kelompok peserta didik mengerjakan beberapa permasalahan yang disajian di LKS yang nantinya akan dipresentasikan didepan kelas

Mengkomunikasikan Melalui berbagai permasalahan yang diberikan oleh guru, peserta didik berlatih untuk menyelesaikan permasalahan dan selanjutnya perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya kedepan kelas dengan menggunakan The Math Body.

3. Tahap Evaluasi

1. Guru dan siswa secara bersama sama membuat ringkasan bahan yang sudah dipelajari pada pertemuan ini

2. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk membantu mereka melakukan repleksi terhadap kegiatan belajar yang telah mereka lakukan

3. Guru memberikan tugas untuk kepada siswa untuk mempraktikkan ungkapan sapaan dan mencatat siapa saja siswa yang mengucapkan ungkapan tersebut Guru menjelaskan rencana pembelajaran yang akan dating

Page 64: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

55

4. Data Hasil Aplikasi Praktis Inovasi Pembelajaran Data aplikasi pembelajaran focus terhadap siswa kelas VII/a. SMP Negeri 1 Kuala sebagai sampel tahun tahun pelajaran 2013/2014. Dengan jumlah 25 peserta didik dengan menggunakan metode STAD dalam proses pembelajaran dan menggunakan teknik penilaian essay, pilihan ganda, unjuk kerja, tes tertulis, lembar kerja dan tes keterampilan. Tabel : Konversi Pengetahuan,Keterampilan dan sikap

Predikat Nilai Kompetensi Pengetahuan Keterampilan Sikap

A 4 4 SB A- 3.56 3.56

B+ 3.33 3.33 B B 3 3

B- 2.56 2.56 C+ 2.33 2.33

C C 2 2 C- 1.56 1.56 D 1.33 1.33

D D 1 1 Pedoman Penskoran :

Nilai Perolehan NA = X 4 Nilai Maksima 5. Analisis Hasil Aplikasi Praktis Inovasi Pembelajaran a. Pertemuan I (Satu) Penilaian setiap pelajaran meliputi kompetensi pengetahuan, kompetensi keterampilan dan kompetensi sikap. Kompetensi pengetahuan ada kompetensi keterampilan menggunakan skala 1-4 ( untuk kelipatan 0.33), yang akan dikonversi kedalam predikat A-D sedangkan kompetensi sikap menggunakan skala sangat baik (SB), Baik (B), Cukup (C), dan Kurang (D).seperti Tabel Pada diatas.

1. Analisis Nilai Pencapaian Kompetensi Spritual dan Sosial Cakupan penilaian sikap yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa yang dijabarkan dalam bentuk KI 1 yaitu menhgargai dan menghayati ajaran agama yang dianut sedangkan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab yang dijabarka kedalam sikap jujur, disiplin, tanggungjawab, toleransi, gotong royong, santun, dan percaya diri

Berdasarkan data yang dipaparkan diatas dapat dideskripsikan bahwa capain kompetensi spritual peserta didik SMP Negeri 1 Kuala setelah penerapan media pembelajaran The Math Body, diperoleh hasil dari 25 peserta didik, 12 diantaranya memperoleh nilai sangat baik (SB) dan 13 peserta didik memperoleh nilai baik (B). Dengan capain predikat adalah 8 peserta didik memperileh predikat sangat baik (A-) dan 17 peserta didik memperoleh predikat baik (B+). Dari capaian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah penerapan media pembelajaran The Math Body pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Kuala sikap spiritual mereka rata-rata sangat baik (A-) dan baik (B+).

Page 65: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

56

2. Analisis Nilai Pencapaian Kompetensi Pengetahuan Berdasarkan data yang dipaparkan di atas dapat dideskripsikan bahwa capain kompetensi pengetahuan peserta didik SMP Negeri 1 Kuala setelah penerapan media pembelajaran The Math Body, diperoleh hasil dari 25 peserta didik, 5 diantaranya memperoleh nilai sangat baik (4), 9 peserta didik memperoleh nilai sangat baik (3,66), 10 peserta didik yang memperoleh nilai baik (3,2), dan 1 peserta didik memperoleh nilai baik (2,66). Dengan capain predikat adalah 10 peserta didik memperileh predikat sangat baik (A-) dan 15 peserta didik memperoleh predikat baik (B+).

Dari capaian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah mengunakan media pembelajaran The Math Body pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Kuala kompetensi pengetahuan mereka rata-rata berada pada capaian 3,3 (baik).

3. Analisis Nilai Pencapaian Kompetensi Keterampilan Penilaian Pencapaian Kompetensi keterampilan merupakan penilaian untuk menilai sejauhmana pencapaian SKL, KI, dan KD khusus dalam dimensi keterampilan yang meliputi keterampilan mencoba, mengolah, menyaji, dan menalar. Dalam ranah konkret keterampilan ini mencakup aktivitas menggunakan, mngurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat. Sedangkan dalam ranah abstrak keterampilan ini mencakup aktivitas menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang. (Permendikbud nomor 68 tahun 2013).’

Berdasarkan data yang dipaparkan di atas dapat dideskripsikan bahwa capaian kompetensi keterampilan peserta didik SMP Negeri 1 Kuala setelah penerapan media pembelajaran The Math Body, diperoleh hasil dari 25 peserta didik, 2 diantaranya memperoleh nilai sangat baik (4), 4 peserta didik memperoleh nilai sangat baik (3,66), 12 peserta didik yang memperoleh nilai baik (3,2), dan 2 peserta didik memperoleh nilai baik (2,66). Dengan capain predikat adalah 7 peserta didik memperileh predikat sangat baik (A-) dan 13 peserta didik memperoleh predikat baik (3,3).

Dari capain tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah penerapan media pembelajaran The Math Body pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Kuala kompetensi keterampilan mereka rata-rata berada pada capaian sangat baik (3,3 / A).

b. Pertemuan II (dua)

- Analisis Nilai Pencapaian Kompetensi Spritual dan Sosial Cakupan penilaian sikap yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa yang dijabarkan dalam bentuk KI 1 yaitu menhgargai dan menghayati ajaran agama yang dianut sedangkan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab yang dijabarka kedalam sikap jujur, disiplin, tanggungjawab, toleransi, gotong royong, santun, dan percaya diri

Berdasarkan data yang dipaparkan diatas dapat dideskripsikan bahwa capain kompetensi spritual peserta didik SMP Negeri 1 Kuala setelah penerapan media pembelajaran The Math Body pada pertemuan kedua, diperoleh hasil dari 25 peserta didik, 14 diantaranya memperoleh nilai sangat baik (SB) dan 9 peserta didik memperoleh nilai baik (B). Dengan capain predikat adalah 12 peserta didik memperileh predikat sangat baik (A-) dan 13 peserta didik memperoleh predikat baik (B+). Dari capaian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah penerapan media pembelajaran The Math Body pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Kuala sikap spiritual mereka rata-rata sangat baik (A-) dan baik (B+).

Page 66: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

57

a. Analisis Nilai Pencapaian Kompetensi Pengetahuan Berdasarkan data yang dipaparkan di atas dapat dideskripsikan bahwa capain kompetensi pengetahuan peserta didik SMP Negeri 1 Kuala setelah penerapan media pembelajaran The Math Body, diperoleh hasil dari 25 peserta didik, 7 diantaranya memperoleh nilai sangat baik (4), 10 peserta didik memperoleh nilai sangat baik (3,66), 7 peserta didik yang memperoleh nilai baik (3,2), dan 1 peserta didik memperoleh nilai baik (2,66). Dengan capain predikat adalah 10 peserta didik memperileh predikat sangat baik (A-) dan 15 peserta didik memperoleh predikat baik (B+).

Dari capaian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah mengunakan media pembelajaran The Math Body pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Kuala kompetensi pengetahuan mereka rata-rata berada pada capaian 3,5 (A-).

b. Analisis Nilai Pencapaian Kompetensi Keterampilan

2 dan 13 peserta didik memperoleh predikat baik (3,5 ). Dari capain tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah penerapan media pembelajaran The Math Body pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Kuala kompetensi keterampilan mereka rata-rata berada pada capaian sangat baik (3,3 /B+).

c. Perbandingan dengan capaian siswa kelas control Dalam kesempatan ini penulis juga mengajarkan hal yang sama dikelas VII.b SMP Negeri 1 Kuala tanpa mengunakan alat peraga The Math body dengan materi Kelipatan dan Faktor Bilangan Bulat dengan sub materi KPK dan FPB. Paparan hasil penilaian disajikan dalam table berikut:

d. Hasil perbandingan

Hasil perbandingan Nilai Spiritual, Sosial, Pengetahuan, Ketrampilan antara kelas alat peraga menggunakan The Math body dengan kelas Kontrol dapat disajikan dalam table berikut:

Hasil perbandingan rata-rata hasil capaian siswa untuk pertemuan satu (Pa.1) dan pertemuan dua (Pa.2) untuk kelas alat peraga menggunakan The Math Body dapat kami sajikan dalam diagram berikut :

0

1

2

3

4

Pertemuan .1

Pertemuan.2

Kelas Pertemuan

Spiritual Sosial Pengetahuan Ketrampilan

I II I II I II I II

Kelas Alat peraga B B B B 3.3 3.4 3 3.24 Kelas Kontrol B B B- B 2.85 3.07 2.73 2.9

Page 67: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

58

6. Desiminasi Karya Inobel berupa alat peraga The Math Bodi ini telah saya desiminasikan pada forum MGMP Matematika Kabupaten Bireuen pada tanggal 14 Mei 2014 di gedung PPMG Wilayah III Provinsi Aceh yang dihadiri sekitar 40 orang guru matematika tingkat SMP/MTs sekabupaten Bireuen. Penulis Juga mensimulasikan mulai dari ide, perancangan, dan langkah-langkah penggunaan setiap bagian dari The Math Body. Para Guru sangat termotivasi dan mereka ingin juga merancang alat peraga untuk digunakan dalam proses pembelajaran Matematia di sekolah. Dalam kesempatan tersebut penulis ikut juga mensosialisasi tentang Lomba Inobel yang diadakan setiap tahun oleh P2TK Dikdas, Ditjen Dikdas dan Kemdikbud. Hal ini penulis pandang perlu untuk mendorong para guru untuk mempersiapkan lebih awal agar lebih maksimal untuk ikut perlombaan disamping peningkatan kompetensi dan karir.

7. Simpulan

Berdasarkan data dan analisis data yang dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa setelah penulis menggunakan alat peraga The Math body dalam pembelajaran matematika kelas VII/a SMP Negeri 1 Kuala khusunya pada materi KPK dan FPB dapat diperoleh hasil;

1. Capain kompetensi spiritual social pada peserta didik rata-rata sangat baik(A-) dan baik (B+)

2. Capain kompetensi pengetahuan pada peserta didik rata-rata 3,5 (baik) 3. Capain kompetensi ketrampilan pada peserta didik kelas VII/a SMP Negeri 1 Kuala

rata-rata 3,3 (baik) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan alat peraga The Math body dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2003. Metodologi Pembelajaran Matematika. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada Bronw 1992. Instructional Design Strategies and Tactics. Englewood Clifs Educational

Technology Publication Djoko Iswaji. 2003.Pengembangan Media Pembelajaran Matematika di SLTP.Yogyakarta:FMPA

UNY Kemendikbud, 2013. Model Penilaian Pencapain Kompetensi Peserta Didik Sekolah Menengah

Pertama.Jakarta. Kemendikbud, 2013. Panduan Penguatan Proses Pembelajaran Peserta Didik Sekolah Menengah

Pertama.Jakarta. Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosda Kemendikbud, 2013. Model Penilaian Pencapain Kompetensi Peserta Didik Sekolah Menengah

Pertama.Jakarta. Kemendikbud, 2013. Model Rencana Pelaksanaan Pembelajara (RPP) Kurikulum 2013 Sekolah

Menengah Pertama.Jakarta. Kemendikbud, 2013. Modul PLPG Tahun 2013 Matematika.Jakarta. Kemendikbud, 2013. Buku Guru Matematika’ SMP/MTs Kelas VII. Jakarta. Kemendikbud, 2013. Buku Siswa MatematikaSMP/MTs Kelas VII. Jakarta. Moh. Uzer Usman. 1989. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Bumi Persada Nasution. 1989. Didaktik Azas-Azas mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo Sa’ud, Udin Saefudin. 2008. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Kemendikbud, 2013. Panduan Penguatan Proses Pembelajaran Peserta Didik Sekolah Menengah

Pertama.Jakarta. Rohmawati, ED dan Sukanti. 2012. Pengaruh Cara Belajar dan Penggunaan Media

Page 68: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

59

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Plantet Question pada Materi Segi Empat di Kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh

Tuti Zubaidah 1 , Khairul Umam 2 , dan Baniar Rideni Putri3

1Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala 2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

3Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh e-mail: [email protected]

Abstrak. Dalam proses belajar mengajar disekolah, model pembelajaran memegang peranan yang sangat penting. Banyak model pembelajaran mengajar yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar matematika disekolah, salah satunya adalah model pembelajaran plantet question. Model pembelajaran plantet question merupakan salah satu strategi pembelajaran yang baik digunakan oleh guru untuk mempresentasikan informasi dalam bentuk respon terhadap pertanyaan yang telah ditanam/ diberikan sebelumnya kepada siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran plantet question dan yang diajarkan dengan metode konvensional pada meteri segi empat terhadap siswa kelas VII SMP Negeri3 Banda Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran planted question, dengan melihat tes hasil belajar siswa. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh yang terdiri dari 9 kelas. Sampel diambil dua kelas yaitu kelas VII-9 sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa yaitu 26 orang dan VII-8 sebagai kelas konvensional dengan jumlah siswa yaitu 25 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji-t. Dari hasil pengolahan data dengan taraf signifikan 0.05 dan derajat kebebasan 49 didapat thitung lebih besar sama dengan ttable

yaitu 5.25 ≥ 1.67 sehingga diperoleh hasil penelitian bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe plantet question lebih baik daripada siswa yang di ajarkan dengan penerapan menggunakan model konvensional pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh.

Kata Kunci : Model pembelajaran kooperatif plantet question, segi empat 1. Pendahuluan

Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan, kecakapan dan keterampilan menuju arah yang lebih baik. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan proses pembentukan manusia yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya potensi dan kemampuan yang dimiliki seseorang. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan hasil belajar pada seluruh mata pelajaran. Dengan mengadakan lokakarya bagi para pendidik dan memperbaharui kurikulum sesuai dengan masanya agar tujuan dari pendidikan tersebut tercapai. Guru sebagai tenaga pendidik harus mempunyai strategi serta teknik tertentu dalam mengelola proses pembelajaran. Strategi ini selain dapat mengurangi apersepsi siswa terhadap pelajaran matematika juga dapat mendorong siswa lebih kreatif dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga hasil belajar yang dicapai siswa sesuai dengan yang diharapkan oleh guru. Salah satu mata pelajaran yang dipelajari di setiap jenjang pendidikan adalah pelajaran matematika. Agar peserta didik dapat berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan kerja sama agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi guna meningkatkan perbaikan hidupnya.

Page 69: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

60

Pada umumnya pelajaran matematika kurang menarik minat peserta didik, ini karena bagi peserta didik matematika adalah deretan rumus abstrak dan membosankan, sehingga mereka cenderung malas dalam mempelajari matematika. Salah satu pokok pembahasan yang dianggap membosankan oleh siswa adalah pokok pembahasan geometri seperti materi segiempat. Materi segiempat merupakan salah satu materi matematika yang diajarkan pada siswa SMP/MTsN kelas VII semester ganjil. Berdasarkan wawancara dengan guru mata pelajaran matematika kelas VII setempat bahwa penguasaan materi siswa terhadap pelajaran matematika masih tergolong rendah salah satunya pada materi segiempat, kesulitan yang dialami siswa selama pembelajaran segiempat: (a) siswa sulit mendefinisikan konsep segiempat misal jajar genjang adalah segiempat yang memiliki 2 sisi yang sejajar dan 2 sisi yang sama panjang, (b) siswa sulit menjelaskan definisi konsep segiempat, yaitu ada siswa yang menyatakan bahwa persegi panjang adalah segiempat yang mempunyai dua pasang sisi yang sama panjang dan sepasang sisinya lebih panjang dari sepasang sisi yang lain, (c) siswa biasanya cenderung menghafal defenisi dan sifat-sifat segiempat sesuai dengan catatan selama pembelajaran segiempat. Materi segi empat dianggap sesuai dalam penerapan model pembelajaran plantet question dikarenakan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan latihan-latihan akan membuat situasi belajar lebih menyenangkan. Ada banyak model pembelajaran yang bisa dilakukan dalam pembelajaran salah satunya adalah model pembelajaran plantet question. Zaini (2008 :32) mengatakan plantet question adalah cara mempersentasikan informasi dalam bentuk respon terhadap pertanyaan yang telah ditanamkan atau diberikan sebelumnya kepada siswa. Pembelajaran ini dilakukan seperti biasa akan tetapi pembelajaran ini dapat membantu siswa yang tidak pernah bertanya atau bahkan tidak pernah berbicara pada jam-jam pelajaran untuk meningkatkan kepercayaan diri dengan diminta menjadi penanya. Menurut Djamarah (2005:17) “Model konvensional merupakan model pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu model ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan siswa dalam proses belajar dan pembelajaran”. Dalam pembelajaran metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas, latihan, dan diskusikelompok yang biasa dilakukan oleh guru di dalam kelas. Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar siswa yang diajarkan dengan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe plantet question lebih baik daripada siswa yang diajarkan dengan penerapan model konvensional pada materi segiempat di kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh. 2. Tinjauan Pustaka

Belajar Dan Pembelajaran Matematika Belajar merupakan proses kegiatan yang selalu berhubungan dengan perubahan pada diri orang yang belajar. Seseorang dikatakan belajar apabila dalam dirinnya terjadi perubahan apakah itu mengarah kepada lebih baik atau yang kurang baik, direncanakan atau tidak direncanakan, disengaja atau tidak disengaja dengan guru atau tanpa guru. Hal ini yang terkait dalam belajar adalah pengalaman yang terbentuk interaksi dengan orang lain atau lingkungan. Hamalik (2008:28),mengatakan “Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan”. Sehingga belajar dapat disimpulkan sebagai suatu usaha yang dilakukan seorang yang menginginkan perubahan pada diri sendiri sebagai akibat dari pengalaman.Dari kutipan di atas, maka pada dasarnya belajar itu tujuan mengadakan perubahan pada diri seseorang yang belajar. Nikson (dalam Ratumanan, 2004:3). mengemukakan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu upaya membantu siswa untuk mengkonstruksikan (membangun) konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika

Page 70: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

61

dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (penghayatan) sehingga konsep dan prinsip itu terbangun kembali. Pada tahap proses internalisasi (penghayatan) siswa akan mencari hubungan antar konsep dan prinsip hingga membentuk suatu matematika yang teratur dan kemudian memanipulasinya dengan aturan intuitif yang sudah dimiliki oleh siswa.

Hasil Belajar

Sudaryono (2012:38) mengatakan bahwa evaluasi merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mengukur efektivitas sistem pembelajaran secara keseluruhan. Dari evaluasi akan diperoleh informasi mengenai hasil belajar siswa. Menurut Sudjana (2005:22), “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar”. Jadi setiap akhir suatu proses pembelajaran selalu diadakan evaluasi yang dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar siswa dan komponen-komponen lain yang mendukung kegiatan pembelajaran. Mudjiono (2002: 3) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajr tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu dampak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak pengajaran adalah hasil yang dapat diukur, seperti tertuang dalam angka rapor atau angka dalam ijazah, sedangkan dampak pengiring adalah terapan pengetahuan dan kemampuan dibidang lain, suatu transfer belajar. Berdasarkan pengertian hasil belajar diatas, disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup aspek kognitif, Afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menuntukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Plantet Question Slavin (Isjoni, 2009: 15) mengemukakan, “Dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja sama dalam empat tim anggota untuk bahan induk awalnya disampaikan oleh guru.” Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana dalam sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Menurut Zaini (2008:32) mengatakan plantet question adalah salah satu strategi pembelajaran yang melalui pertanyaan rekayasa yang diberikan kepada peserta didik yang terpilih. Pertanyaan rekayasa (plantet question) merupakan salah satu strategi pembelajaran yang baik digunakan oleh guru dalam pembelajaran dikelas. Strategi ini dapat membantu guru untuk mempresentasikan informasi dalam bentuk respon terhadap pertanyaan yang telah ditanam/diberikan sebelumnya kepada peserta didik tertentu. Selain itu, strategi ini dapat membantu peserta didik yang tidak pernah bertanya atau bahkan tidak pernah berbicara pada jam-jam pelajaran untuk meningkatkan kepercayaan diri dengan menjadi penanya. Adapun langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe plantet question menurut Istarani (2011:209) adalah sebagai berikut: 1. Pilihlah pertanyaan yang akan mengarahkan pada materi pelajaran yang akan disajikan. Tuliskan tiga

sampai enam pertanyaan dan urutan pertanyaan tersebut secara logis. 2. Tulislah setiap pertanyaan pada sepotong kertas (10 X 15 cm), dan tuliskan isyarat yang akan

digunakan untuk memberi tanda kapan pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan. Tanda yang bisa digunakan diantaranya : - Menggaruk atau mengusap hidung - Membuka kaca mata - Membunyikan jari-jari dan lain-lain.

Intruksi dalam kartu itu akan nampak seperti berikut :

Page 71: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

62

3. Sebelum pelajaran dimulai, pilihlah siswa yang akan mengajukan pertanyaan tersebut. Berilah kertas yang dibuat dan jelaskan petunjuknya. Yakinkan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak diketahui oleh siswa lain.

4. Bukalah sesi tanya jawab dengan menyebutkan topik yang akan dibahas dan berilah isyarat pertama. Kemudian jawablah pertanyaan pertama, dan kemudian teruskan dengan tanda-tanda dan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

5. Sekarang bukalah forum untuk pertanyaan baru (bukan yang sebelumnya disusun).

Menurut istarani (2011:2011) keunggulan model pembelajaran plantet question adalah: 1. Sepotong kertas akan dapat menarik perhatian siswa dalam pembelajaran. 2. Pertanyaan akan mengundang siswa untuk berfikir terhadap materi ajar yang akan disampaikan. 3. Menumbuhkan rasa keberanian siswa dalam hal yang positif. 4. Meningkatkan aktivitas belajar siswa, sebab ia kadang-kadang buka buku untuk mencari jawaban

yang diinginkan. 5. Dengan bertanya berarti siswa semakin tinggi rasa ingin tahunya tentang pelajaran tersebut. 6. Penyajian materi akan semakin mendalam, karena materi disampaikan melalui pertanyaan di lontarkan

siswa. 7. Pembelajaran akan lebih hidup karena materi disampaikan sesuai dengan keinginan dan kemampuan

peserta didik. 8. Dapat mengkondusifkan siswa secara penuh. 9. Meningkatkan motivasi belajar siswa. Menurut Istarani (2011:11) model pembelajaran plantet question memiliki kekurangan atau kelemahan adalah : 1. Apabila siswa tidak respek terhadap kode atau lupa, maka proses pembelajarannya akan menjadi berantakan. Bisa juga terjadi kesalahpahaman antar sesama siswa terhadap kode yang diberikan oleh guru. 2. Apabila benar-benar ada siswa yang ingin bertanya (diluar dari pertanyaan rekayasa) maka akan menimbulkan penundaan ataupun pengabaian (sementara) terhadap siswa tersebut. 3. Pembelajaran akan terasa menjenuhkan bagi siswa yang tidak aktif (tidak juga diberi pertanyaan rekayasa). 4. Tidak semua siswa mendapat kesempatan bertanya. 5. Tidak efektif untuk siswa tingkatan sekolah dasar 6. Menumbuhkan media yang cukup banyak. 3. Metode Penelitian

JANGAN TUNJUKAN KARTU INI KEPADA SIAPAPUN Setelah membuka pelajaran, saya (guru) menyampaikan informasi topik yang dibahas adalah tentang segi empat, selesai saya menjelas kan pengertian segi empat saya mengusapkan hidung, maka segera anda mengangkat tangan dan diajukan pertanyaan berikut ini : Sebutkan benda apa saja yang berbentuk persegi panjang didalam kehidupan sehari-hari ?

Page 72: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

63

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Banda Aceh, yang terletak di Jl. Nyak Adam Kamil III Neusu Jaya, Banda Aceh. Penelitian ini dilaksanakan selama 15 hari, yaitu mulai dari tanggal 13 November sampai dengan tanggal 28 November 2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan eksperimen yaitu dilakukan dengan maksud untuk melihat akibat suatu perlakuan. Arikunto (2006:86) menyatakan bahwa salah satu jenis desain eksperimen ialah true eksperimental design. Salah satu design yang digunakan dalam eksperimen ini adalah control group postest. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh yang terdiri dari 9 kelas. Sampel diambil dua kelas yaitu kelas VII-9 sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa yaitu 26 orang dan VII-8 sebagai kelas konvensional dengan jumlah siswa yaitu 25 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan postest. Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji – t, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji pihak kanan pada taraf nyata � = 0,05 dengan derajat distribusi = n1 + n2 -1, dengan rumus hipotesis sebagai berikut : Ho : μ1 = μ2 (hasil belajar siswa yang diajarkan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

plantet question sama dengan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan penerapan konvensional pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh).

Ha : μ1 > μ2 (hasil belajar siswa yang diajarkan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

plantet question lebih baik daripada siswa yang diajarkan dengan penerapan menggunakan konvensional pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh).

kriteria pengujian yang berlaku adalah tolak H0 apabila thitung ≥ ttabel dan terima H0 jika thitung < ttabel. 4. Hasil dan Pembahasan

Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah hasil tes akhir siswa. Berdasarkan rekapitulasi nilai tersebut, data disusun dalam bentuk distribusi frekuensi serta menghasilkan rata-rata �̅ = 76,84 , �̅� =

62,32, simpangan baku � = 9,853 dan �� = 9,957. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas dengan kriteria pengujian terima Ho jika F < ��(��� ,���) yaitu 1.02 < 1.97 maka Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua kelas berasal dari populasi yang homogen. Berikutnya uji normalitas dengan menggunakan uji chi kuadrat dengan kriteria pengujiannya menurut Sudjana (2005:293) adalah tolak H0 jika �� hitung ≥ �

�tabel dengan α = 0.05 dalam hal ini H0 diterima. Setelah data dianalisis diperoleh hasil

untuk kelas eksperimen yaitu ���� �!� < ��#$%&

� yaitu 1,34 < 7,81 dan untuk kelas kontrol ���� �!� <

��#$%&� yaitu 1,42 < 7,81 maka dapat disimpulkan kedua data tersebut berdistribusi normal.

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah Ha : µ1 > µ2 (hasil belajar siswa yang diajarkan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe plantet question lebih baik daripada siswa yang diajarkan dengan penerapan menggunakan model konvensional pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh) Kriteria yang berlaku adalah tolak H0 jika thitung ≥ ttabel dan terima H0 jika thitung < ttabel.

Dari hasil pengolahan data diperoleh thitung = 5.25 dan ttabel = 2.02 maka H0 di tolak jika thitung ≥ ttabel yaitu 5.25 ≥ 2.02 dengan demikian Hipotesis nihil (H0) di tolak atau hipotesis alternatif (Ha) diterima. Maka kesimpulannya hasil belajar siswa yang diajarkan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe plantet question lebih baik daripada siswa yang diajarkan dengan penerapan menggunakan model konvensional pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 3 Banda Aceh. Hal ini disebabkan karena pembelajaran kooperatif tipe plantet question dapat mengaktifkan siswa, mengembangkan keterampilan berfikir, meningkatkan motivasi siswa dalam belajar karena siswa dapat berfikir bersama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe plantet question lebih tepat diterapkan dalam pembelajaran matematika khususnya materi segiempat. Dari hasil yang diperoleh bahwa, model pembelajaran kooperatif tipe plantet question baik jika diterapkan disekolah-sekolah khususnya dalam bidang studi matematika. Dengan model pembelajaran

Page 73: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

64

kooperatif ini siswa menerima materi lebih mudah dan bermakna serta membuat siswa lebih rileks dalam belajar. Hal semacam ini dapat menghilangkan kebosanan siswa terhadap pelajaran matematika.Sehingga anggapan bahwa matematika itu sulit bagi siswa dan kalangan masyarakat pada umumnya lambat laun dapat dikurangi. Secara tidak langsung minat untuk mempelajari matematika akan meningkat. Namun demikian, setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, kelebihan model pembelajaran planted question antara lain : sepotong kertas akan dapat menarik perhatian siswa dalam pembelajaran, pertanyaan akan mengundang siswa untuk berpikir terhadap materi ajar yang akan disampaikan, dengan bertanya berarti siswa semakin tinggi rasa ingin tahunya tentang pelajaran tersebut, penyajian materi akan semakin mendalam, karena materi disampaikan melalui pertanyaan dilontarkan siswa. Dan kekurangannya antara lain : Apabila siswa tidak respek terhadap kode atau lupa, maka proses pembelajarannya akan menjadi berantakan. Bisa juga terjadi kesalahpahaman antar sesama siswa terhadap kode yang diberikan oleh guru, apabila benar-benar ada siswa yang ingin bertanya (diluar dari pertanyaan rekayasa) maka akan menimbulkan penundaan ataupun pengabaian (sementara) terhadap siswa tersebut, pembelajaran akan terasa menjenuhkan bagi siswa yang tidak aktif (tidak juga diberi pertanyaan rekayasa). 5. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe plantet question lebih baik daripada hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model konvensional pada materi segiempat di kelas VII SMP N 3 Banda Aceh. Dan adapun beberapa saran yang dapat peneliti berikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kepada siswa harus lebih fokus dan aktif dalam belajar agar dapat memahami konsep serta

menganalisa soal. 2. Kepada pembaca terutama yang mempunyai profesi sebagai guru matematika untuk dapat menjadikan

hasil penelitian ini sebagai bahan masukan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dimasa yang akan datang.

3. Disarankan agar pihak lain untuk melakukan penelitian yang sama pada materi lain sebagai bahan perbandingan dari hasil penelitian ini.

6. Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian sebagai suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah. 2005. Strategi belajar mengajar. Bandung: Pustaka Setia Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Zaini, Hisyam dkk. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta:Pustaka Insani Madani. Isjoni. 2009. Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Pekanbaru: Alfabeta. Istarani. 2011. 58 Model Pembelajaran Inovatif. Medan: Media Persada. Mudjiono.2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Ratumanan, Tanwey Gerson, 2004. Belajar dan Pembelajaran. IKAPI: Unesa University Press. Sudaryono. 2012. Pengembangan Instrumen Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sudjana, Nana. 2005. Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Agensindo. Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Page 74: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

65

Level Problem Posing Siswa pada Materi Bangun Ruang Di Kelas VIII SMP Negeri 8 Banda Aceh

Bintang Zaura1)

1)Dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah

Abstrak. Bangun ruang merupakan salah satu materi yang masih tergolong dalam kategori pembelajaran yang sukar dipahami siswa. Rendahnya pemahaman siswa dapat ditinjau dari penyelesaian soal-soal pada materi ini. Untuk mengatasi kondisi ini selayaknya siswa sering melakukukan penyelesaian soal-soal terhadap materi ini. Pendekatan Problem Posing merupakan konsep belajar yang membantu siswa dalam memahami soal, dan siswa dilatih utuk membuat soal dengan kata-kata sendiri berdasarkan informasi yang diberikan oleh guru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui level problem posing siswa dalam membuat soal matematika pada materi bangun ruang. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah kelas VIII3 sebanyak 20 orang yang diambil dengan menggunakan tekhnik sampling purposif. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan melakukan tes problem posing siswa, observasi aktivitas siswa, observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran. Teknik pengolahan data menggunakan analisis deskriptif (persentase). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kemampuan problem posing siswa pada umumnya siswa hanya mampu membuat soal yang berada pada level 2.

Kata Kunci : Level Problem Posing, Materi Bangun Ruang

PENDAHULUAN .

Pembelajaran matematika di SMP merupakan dasar bagi penerapan konsep matematika pada jenjang berikutnya. Namun banyak siswa yang tidak menyukai pelajaran matematika, dalam benak mereka matematika merupakan mata pelajaran yang sangat sukar dan sulit dimengerti. Materi bangun ruang merupakan salah satu materi yang masih sulit dipahami oleh siswa. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan salah seorang guru matematika di SMP Negeri 8 Banda Aceh bulan Februari 2013 mengatakan bahwa materi ini tergolong sulit dipahami ini terlihat dari nilai yang masih rendah dari data hasil ulangan harian siswa. Rendahnya pemahaman siswa terhadap materi bangun ruang dapat ditinjau dari penyelesaian soal-soal pada materi ini. Untuk mengatasi kondisi ini selayaknya siswa sering melakukukan penyelesaian soal-soal terhadap materi ini. Pendekatan Problem Posing merupakan konsep belajar yang membantu siswa dalam memahami soal, dan siswa dilatih utuk membuat soal dengan kata-kata sendiri berdasarkan informasi yang diberikan oleh guru. Pembelajaran matematika menuntut keaktifan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar, juga menuntut keterampilan siswa untuk dapat mengolah data yang diberikan guru. Keterampilan yang dimaksud dalam pembelajaran matematika tidak hanya kemampuan berhitung, tetapi keterampilan yang mengembangkan kemampuan berfikir. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Namun belajar adalah sebuah proses dimana siswa diharuskan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Agar kemampuan siswa menjadi lebih diberdayakan dan siswa dapat berpartisipasi aktif dalam proses kegiatan belajar, salah satu cara yang dapat digunakan adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan keefektifan dari pengajuan masalah (problem posing) dalam pembelajaran siswa, diantaranya penelitian Darmawan (2009:45) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pembelajaran sistem persamaan linear dengan pendekatan problem posing adalah efektif.

Page 75: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

66

Rusefendi (dalam Surtini, 2004:49) mengatakan bahwa upaya membantu siswa memahami soal dapat dilakukan dengan menulis kembali soal tersebut dengan kata-kata sendiri, menulis soal dalam bentuk lain atau dalam bentuk operasional. Berdasarkan uraian atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana level problem posing siswa pada materi bangun ruang kelas VIII SMP Negeri 8 Banda Aceh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui level problem posing siswa pada materi bangun ruang kelas VIII SMP Negeri 8 Banda Aceh. Manfaat dari penelitian ini 1) sebagai bahan masukan bagi guru bidang studi matematika sebagai alternatif pilihan yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan hasil belajar siswa. 2) meningkatkan pemahaman matematis pada diri siswa serta memberikan pengalaman baru, karena dengan pendekatan pembelajaran ini siswa dapat melatih kemampuan berfikirnya.

METODE PENELITIAN Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan deskriptif, dan jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif disebut penelitian yang mengembangkan konsep yang didasarkan atas data yang ada (induktif) dan lebih mengutamakan proses dari pada hasil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arikunto (2006:15) bahwa “ Penelitian kualitatif mempunyai sifat induksi yaitu mengutamakan proses dari pada hasil. Penelitian ini dilakukan terhadap siswa-siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Banda Aceh tahun pelajaran 2012/2013. Adapun yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 20 orang siswa kelas VIII 3 SMP Negeri 8 Banda Aceh. yang dambil secara purposif. Menurut Sudjana(1992: 168),”Sampling purposif dikenal juga sebagai sampling pertimbangan, terjadi apabila pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Penelitian ini menggunakan tekhnik sampling purposif didasarkan pada pertimbangan salah seorang guru matematika yang menyatakan bahwa nilai matematika di kelas tersebut masih tergolong rendah. Banyaknya anggota sampel adalah 20 orang siswa kelas VIII3 SMP Negeri 8 Banda Aceh.

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan tes berupa tes tertulis. Tes tersebut terdiri dari 3 soal dalam bentuk informasi yang berkaitan dengan bangun ruang. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang level siswa dalam membuat dan menyelesaikan soal bangun ruang. Untuk memperoleh data yang lebih akurat, peneliti juga akan melakukan observasi lapangan yaitu pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Dimana pada observasi lapangan ini yang dilihat adalah aktivitas siswa untuk menjaring level siswa dan sekaligus aktivitas guru pada saat proses kegiatan belajar mengajar dengan pendekatan problem posing. Observasi yang dilakukan bersifat tidak berstruktur, karena data yang diambil apa yang terjadi didalam kelas. Namun demikian peneliti tetap berpadu pada pedoman observasi.

Hasil Tes Problem Posing Siswa Data mengenai kemampuan problem posing siswa diperoleh dengan membagikan lembar tes problem posing siswa dan dianalisis dengan menggunakan skema tingkat berfikir kreatif yang dikembangkan oleh De Bono (Siswono:2008:41), yang mendefinisikan 4 tingkat pencapaian dari perkembangan keterampilan berfikir kreatif,yaitu kesadaran berfikir, observasi berfikir, strategi berfikir dan refleksif pemikiran.

Page 76: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

67

Tabel Tingkat Berfikir Kreatif dari De Bono

Tingkat 1 merupakan tingkat berpikir kreatif yang rendah, karena hanya mengekspresikan terutama kesadaran siswa terhadap keperluan menyelesaikan tugasnya saja.

Tingkat 2 menunjukkan berfikir kreatif yang lebih tinggi karena siswa harus menunjukkan bagaimana mereka mengamati sebuah implikasi pilihannya, seperti penggunaan komponen-komponen khusus atau algoritma-algoritma pemrograman.

Tingkat 3 merupakan tingkat yang lebih tinggi berikutnya Karena siswa harus memilih suatu strategi dan mengkoordinasikan antara bermacam-macam penjelasan dalam tugasnya. Mereka harus memutuskan bagaimana tingkat detail yang diinginkan dan bagaimana menyajikan urutan tindakan atau kondisi-kondisi logis dari sistem tindakan.

Tingkat 4 merupakan tingkat tertinggi karena siswa harus menguji sifat-sifat produk final membandingkan dengan sekumpulan tujuan. Menjelaskan simpulan terhadap keberhasilan atau kesulitan selama proses pengebangan, dan memberi saran untuk meningkatkan perencanaan dan proses konstruksi.

Setelah semua data terkumpul berupa lembar jawaban siswa, peneliti mendeskripsikan dan menganalisis level problem posing siswa berdasarkan hasil tes, dan melakukan analisis, selanjutnya penulis mengkategorikan level problem posing siswa pada materi bangun ruang berdasarkan hasil tes problem posing siswa, dengan kategori level 1, level 2, level 3 dan level 4. Level ini didasarkan pada kemampuan siswa dalam membuat dan menyelesaikan soal.

Data Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran

Data kemampuan guru mengelola pembelajaran dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dengan skor rata-rata sebagai berikut:

1,00 ≤ ��� < 1,50 �� �� ���� 1,50 ≤ ��� < 2,50 ������ ���� 2,50 ≤ ��� < 3,50 ����� ���� 3,50 ≤ ��� < 4,50 ���� 4,50 ≤ ��� ≤ 5,00 ������ ����

Keterangan: TKG = Tingkat Kemampuan Guru

Data Aktivitas Siswa Data aktivitas siswa selama pembelajaran dianalisis dengan menggunakan rumus persentase.

Adapun rumus persentase menurut Sudijono (2005:43) adalah:

� =�

�× 100%

Keterangan: P = Angka persentase

Page 77: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

68

f = frekuensi aktivitas siswa N = Jumlah aktivitas keseluruhan siswa

Tabel Kriteria Waktu Ideal Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran

Aspek Pengamatan Aktivitas Siswa Persentase Kesesuaian (P)

Waktu Ideal Toleransi • Mendengarkan, memperhatik • an penjelasan guru atau teman kelompok • Membaca, memahami soal di LKS • Membuat soal sesuai dengan informasi yang

diberikan dan menjawabnya. • Mengemukakan soal yang dibuat atau memahami

soaldari kelompok lain. • Bertanya atau menyampaikan pendapat/ide kepada

guru dan teman • Menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur • Perilaku yang tidak relevan dengan Kegiatan Belajar

Mengajar

13%

10% 27%

30%

10%

10%

0%

7% ≤ � ≤ 18%

5% ≤ � ≤ 15% 22% ≤ � ≤ 32%

25% ≤ � ≤ 35%

5% ≤ � ≤ 15%

5% ≤ � ≤ 15%

0% ≤ � ≤ 5% HASIL PENELITIAN Analisis Hasil Tes Kemampuan Problem Posing Siswa

Analisis hasil tes problem posing siswa dilakukan untuk memperoleh informasi sejauh mana kemampuan siswa kelas VIII-3 SMP Negeri 8 Banda Aceh dalam membuat soal pada materi bangun ruang. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui level problem posing siswa pada kelas VIII SMP 8 Negeri Banda Aceh.

Adapun level problem posing siswa dianalisis dengan mengkategorikan tingkat soal yang dibuat oleh siswa sesuai tingkat berfikir kreatif dari De Bono. Tabel Level Problem Posing Siswa

No Nama Siswa

Level

Jumlah 1 2 3 4

1 Subjek 1 - 1 1 - 2 2 Subjek 2 - 3 3 - 6 3 Subjek 3 - 2 - - 2 4 Subjek 4 - 3 1 - 4 5 Subjek 5 - 2 1 - 3 6 Subjek 6 - 2 2 4 7 Subjek 7 - 2 1 - 3 8 Subjek 8 - 2 2 - 4 9 Subjek 9 - 2 1 - 3 10 Subjek 10 - 3 3 - 6 11 Subjek 11 - 3 2 - 5 12 Subjek 12 - 1 1 - 2 13 Subjek 13 - 3 2 - 5 14 Subjek 14 - 3 2 - 5 15 Subjek 15 - 2 2 - 4 16 Subjek 16 - 3 2 - 5 17 Subjek 17 - 2 1 - 3 18 Subjek 18 - 3 2 - 5 19 Subjek 19 - 2 2 - 4 20 Subjek 20 - 3 2 - 5

Page 78: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

69

Jumlah 0 47 33 0 80

Berdasarkan Tabel 1 diatas, maka hasil yang didapat tentang level problem posing siswa dapat diperhatikan pada tabel berikut.

Tabel .2 Hasil Level Problem Posing Siswa Level

Jumlah soal yang dibuat %

1 0 0 2 43 53,75 3 33 41,25 4 0 0

Jumlah 80 100

Berdasarkan data yang diperoleh di atas dari 20 siswa, mereka membuat soal sebanyak 80 soal. Dari soal yang terkumpul, tidak ada satupun soal yang berada pada level 1, dan sebanyak 43 soal (53,75%) berada pada level 2, 33 soal (41,25%) berada pada level 3.

Analisis Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing Berdasarkan hasil pengamatan mengenai kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran

dengan menggunakan pendekatan problem posing pada materi bangun ruang pada tabel dibawah terlihat dari setiap aspek yang diamati dalam mengelola pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing pada materi bangun ruang, oleh pengamat menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang diperoleh dalam setiap aspek berkisar antara 4 sampai 4,5, nilai ini berada dalam kategori baik dan sangat baik berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pendekatan problem posing adalah baik.

Analisis Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran

Berdasarkan data aktivitas siswa selama pembelajaran yang dilakukan oleh dua orang pengamat diketahui bahwa aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung adalah aktif, semua aspek yang diamati dari siswa terlihat berada dalam batas toleransi waktu yang telah ditetapkan, diantaranya adalah aspek mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru/teman dengan jumlah rata-rata 15,10%, membaca/memahami masalah di buku siswa atau LKS dengan jumlah rata-rata 17,18%, membuat soal dari informasi yang diberikan dengan jumlah rata-rata 26,04%, mengemukakan soal yang dibuatnya atau menjawab soal dari kelompok lain dengan jumlah rata-rata 19,79%, bertanya/menyampaikan pendapat/ide kepada guru atau teman sekelompok dengan jumlah rata-rata 8,33%, menarik kesimpulan suatu konsep yang ditemukan atau suatu prosedur yang dikerjakan dengan jumlah rata-rata 7,82%, perilaku yang tidak relavan dengan KBM (seperti: melamun, berjalan-jalan, di luar kelompok belajarnya, membaca buku/mengerjakan tugas mata pelajaran lain, bermain-main dengan teman dan lain-lain) degan jumlah rata-rata 5,73%. Rata-rata waktu yang banyak digunakan adalah waktu untuk membuat soal dari informasi yang diberikan dan mengemukakan soal yang dibuatnya atau menjawab soal dari kelompok lain. Sedangkan waktu yang paling sedikit digunakan adalah untuk perilaku yang tidak relavan dengan KBM. Semua aspek yang dinilai masih berada dalam toleransi waktu yang ditetapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa selama pembelajaran matematika menggunakan pendekatan problem posing pada materi bangun ruang untuk masing-masing RPP adalah aktif.

Page 79: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

70

PEMBAHASAN Kemampuan Problem Posing Siswa

Berdasarkan hasil yang diperoleh di atas dari 20 siswa, mereka membuat soal sebanyak 80 soal. Dari data yang terkumpul, tidak ada satupun soal yang berada pada level 1 dan level 4, berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan problem posing siswa kelas VIII3 SMP Negeri 8 Banda Aceh siswa hanya mampu membuat soal yang berada pada level 2 dan level 3. Contoh soal yang dibuat siswa pada level 2 adalah sebagai berikut:

Dan contoh soal yang dibuat siswa pada level 3 adalah sebagai berikut:

Meskipun para ahli merumuskan level problem posing ada empat Namun kenyataannya kebanyakan siswa mengajukan soal berada pada level 2, hal ini terjadi karena siswa belum terbiasa membuat soal sendiri serta menyelesaikannya, juga merupakan salah satu kemungkinan penyebab kurangnya jumlah soal yang diajukan karena mereka takut tidak bisa menyelesaikan soal yang dibuatnya jika mereka membuat soal. Kondisi ini siswa lebih memilih aman dengan membuat soal hanya pada level 2 karena soal pada level ini lebih mudah dan tidak perlu berfikir mendalam dalam menyelesaikannya.

Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran Menggunakan pendekatan problem posing

Pada pertemuan pertama (RPP I) guru memotivasi siswa atau mengkomunikasikan tujuan pembelajaran pada materi bangun ruang melalui pendekatan problem posing dan mengaitkan materi pelajaran yang akan dipelajari dengan materi sebelumnya, kemudian menginformasikan langkah-

Page 80: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

71

langkah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem posing. Dalam pengamatan guru pembimbing pada pendahuluan pembelajaran termasuk dalam kategori baik.

Pada kegiatan inti guru menyediakan informasi sesuai dengan tujuan pembelajaran yaitu melalui kerja kelompok siswa dapat menghitung volume dengan menggunakan rumus kubus dan balok, kemudian guru mengarahkan, mengamati dan memotivasi siswa dalam membuat soal dan menjawab soal yang berhubungan dengan indikator pada RPP I. Setelah siswa membuat soal, guru mendorong siswa untuk mengemukakan soal yang telah dibuat atau menjawab soal dari kelompok lain hal ini supaya terciptanya interaksi yang optimal dalam belajar karena siswa dapat membandingkan jawaban sendiri dengan jawaban teman, dan bagi siswa yang belum mengerti bisa bertanya atau menukar pendapat dengan teman, kemudian guru mengarahkan siswa untuk menemukan sendiri dan menarik kesimpulan tentang konsep/prinsip definisi/teorema/rumus/prosedur matematika. Pada kegiatan ini yaitu kegiatan inti menurut pengamatan guru pembimbing secara keseluruhan termasuk kategori baik. Namun pada pertemuan pertama ini kemampuan guru dalam mengelola waktu diketagorikan cukup baik.

Pada kegiatan penutup guru menegaskan pada siswa hal-hal penting atau intisari yang berkaitan dengan pembelajaran, kemudian guru juga memberikan PR kepada siswa/menutup pelajaran, pada kegiatan ini menurut guru pembimbing termasuk dalam kategori baik. Dalam kemampuan mengelola waktu antusias siswa dengan guru juga dikategorikan baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran melalui pendekatan problem posing pada pertemuan pertama (RPP I) adalah baik. Berdasarkan datai diperoleh kemampuan guru pada pertemuan ke dua (RPP II) dalam aspek pendahuluan tentang kemampuan memotivasi siswa/ mengkomunikasikan tujuan pembelajaran, mengaitkan materi pelajaran dengan materi sebelumnya, dan menginformasikan langkah-langkah pembelajaran masih sama dengan pertemuan pertama. Dalam pengamatan guru pembimbing termasuk dalam kategori baik. Pada kegiatan inti guru memberikan konsep baru tentang bagaimana memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan volume kubus dan kubus dalam kehidupan sehari-hari siswa(dikategorikan baik) dan siswa masih dalam kelompok belajar seperti pada pertemuan pertama serta mengoptimalkan interaksi sesama siswa agar siswa saling membandingkan antara soal atau jawaban sendiri dengan jawaban teman. Dalam pengamatan guru pembimbing termasuk dalam kategori baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran melalui pendekatan problem posing pada dua kali pertemuan adalah baik.

Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing

Pengamatan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung menggunakan lembar observasi siswa yang dilakukan oleh satu orang pengamat (selain peneliti). Tiap pengamat melakukan kegiatan pengamatan terhadap satu kelompok sampel yang telah ditentukan jumlah siswanya yaitu sebanyak 6 orang siswa yang dipilih bervariasi berdasarkan tingkat kemampuan yaitu 2 siswa berkemampuan tinggi, 2siswa berkemampuan sedang, dan 2 siswa berkemampuan rendah.

Setelah dilakukan penelitian selama dua kali pertemuan, dapat disimpulkan bahwa salah satu pengaruh yang membuat siswa begitu aktif adalah karena siswa merasakan suasana belajar yang berbeda dari biasanya, yaitu suasana yang baru dimana selama ini model pembelajaran seperti ini belum pernah diperkenalkan oleh guru yang mengajar dikelas tersebut

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan problem posing siswa dkelas VIII SMP Negeri 8 Banda Aceh dalam proses pembelajaran pada materi bangun ruang, berada pada level 2.

Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Guru matematika hendaknya dapat menggunakan pendekatan problem posing pada materi bangun ruang karena dapat melatih dan meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami dan membuat soal. .

Page 81: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

72

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian sebagai Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka

Cipta. Darmawan, Masri. 2009. Pembelajaran Sistem Persamaan Linier dengan Pendekatan Problem

Posing di Kelas X SMA Negeri 8 Banda Aceh. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Nuharini, Dewi dan Tri Wahyuni. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya: untuk SMP/MTs Kelas

VIII. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Rusman. 2012. Model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta. Rajawali

Pers. Siswono, 2008. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif

Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Jurnal Pendidikan Matematika “Mathedu”. ISSN 1858-344X, Volume 3 Nomer 1, januari 2008.

Sugiono. 2010. Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif,kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharta, Putu. 2001. Peningkatan Pemecahan Masalah Matematika Melalui Pengintegrasian Pengajuan Masalah (Problem Posing). IKIP Negeri Singaraja: Aneka Widya.

Surtini, S. 2004. Problem Posing dan Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Cacah Siswa SD. Jurnal Pendidikan, (Online), Volume 5, No 1, (Http:/pk.ut.ac.id/Scan Penelitian/Sri%2004.pdf.,

diakses 15 Februari 2013). Wahyuni. 2012. Pembelajaran materi bangun ruang dengan metode improve melalui media interaktif

di Kelas VIII SMP Negeri 6 RSBI Banda Aceh. Skripsi. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Page 82: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

73

Hasil Belajar Siswa melalui Penerapan Model Pembelajaran Index Card Match pada Materi

Statistika di Smp Negeri 17 Banda Aceh

Leviani1 dan Musafir Kumar 2

1Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail: [email protected]

2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak: Pada pelaksanaan pembelajaran materi statistika, siswa tidak dibiasakan untuk menemukan sendiri konsep-konsep statistika, sehingga menjadi pasif dalam belajar yang berdampak pada ketuntasan belajar. Model pembelajaran Index Card Match adalah model mencari kartu. Melalui penerapan model pembelajaran tersebut diharapkan hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa melalui pembelajaran model Index Card Match pada materi statistika di Kelas VII Semester II di SMP Negeri 17 Banda Aceh. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 17 Banda Aceh tahun ajaran 2013/2014. Sampel diambil secara acak 1 kelas dan yang terpilih adalah kelas VII-8. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes. Pengolahan data dilakukan menggunakan uji-t satu pihak (uji pihak kiri) pada taraf signifikan α = 0,05 dengan derajat kebebasan dk = 29. Hasil analisis data diperoleh ������� = -2,848 dan ���� = - 1,70 karena ������� < ���� ini menunjukkan bahwa Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa melalui penerapan model Index Card Match pada materi statistika di SMP Negeri 17 Banda Aceh tidak dapat mencapai ketuntasan belajar. Kata Kunci : Hasil belajar, model pembelajaran Index Card Match, materi statistika

1. Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, menyebabkan pemerintah memperhatikan lembaga pendidikan baik dari segi teknis maupun operasionalnya. Sehingga tenaga-tenaga yang dihasilkan memiliki keahlian dan keterampilan serta kemampuan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembangunan yang sedang giat-giatnya dilaksanakan. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kreativitas pendidikan bangsa itu sendiri. Kompleksnya masalah kehidupan menuntut sumber daya manusia handal dan mampu berkompetensi. Selain itu pendidikan merupakan wadah yang dapat dipandang sebagai pembentuk sumber daya manusia yang bermutu tinggi. Berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh pembelajaran yang berlangsung. Pembelajaran adalah suatu proses yang rumit karena tidak sekedar menyerap informasi dari guru tetapi melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil belajar yang lebih baik. Matematika merupakan ilmu dasar, sehingga matematika memiliki peran yang penting dalam berbagai ilmu dan perkembangan teknologi. Hal ini ditegaskan oleh Nasution (1982:82) yaitu: Matematika merupakan inti perkembangan ilmu lainnya. Matematika boleh dikatakan yang terlebih dahulu timbul dari semua pengetahuan yang ada. Sejalan dengan itu timbullah fisika dan astronomi yang saling isi mengisi dengan matematika. Kemudian matematika menyusup memperkuat perkembangan ilmu kimia, sains kebumian dan sains hayat. Akhirnya sampai juga pemikiran matematika yang menyusup ke sains sosial.

Dari kutipan di atas jelas dikemukakan bahwa matematika berhubungan dengan ilmu lain. Dapat dikatakan bahwa untuk memahami ilmu yang lain dan menguasai teknologi, maka seseorang harus memahami matematika.

Page 83: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

74

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh penulis di SMP Negeri 17 Banda Aceh, penulis menemukan bahwa aktivitas belajar matematika siswa kelas VII tergolong rendah. Hanya beberapa siswa yang hasil belajarnya baik yang lebih aktif menjawab pertanyaan guru sedangkan siswa yang kurang pandai tidak berusaha menjawab dan tidak berani bertanya kepada guru, masih ada siswa yang hanya berdiam diri dan masih banyak siswa yang sibuk dengan kegiatannya sendiri selama proses belajar mengajar berlangsung. Statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengolahan, penganalisisannya dan penarikan kesimpulan berdasarkan data dan penganalisisan yang dilakukan. Statistika dipilih sebagai materi dalam penelitian ini karena statistika merupakan materi yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa maka oleh sebab itu penulis memilih pelajaran statistika di SMP Negeri 17 Banda Aceh. Untuk mengatasi masalah di atas, perlu dikembangkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan semangat dan aktivitas siswa. Salah satunya ialah melalui penerapan model pembelajaran Index Card Match (ICM). Strategi Belajar Aktif Tipe Index Card Match merupakan strategi pengulangan (peninjauan kembali) materi. Index Card Match adalah cara menyenangkan lagi aktif untuk meninjau ulang materi pelajaran, ia membolehkan peserta didik untuk berpasangan dan memainkan kuis dengan kawan sekelas. Model Index Card Match (mencari pasangan) adalah suatu strategi pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar aktif dan bertujuan agar siswa mempunyai jiwa kemandirian dalam belajar serta menumbuhkan daya kreatifitas. Sehubungan dengan hasil penelitian Fitria (2010) yang berjudul “Efektivitas Metode Index Card Match pada materi Pokok Bilangan dalam meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas VII di MTs Negeri 1 Pamotan Rembang Tahun Ajaran 2010-2011.” Dari penelitian didapat hasil belajar matematika yang diajar dengan pembelajaran langsung dengan metode ekspositori. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis berkeinginan untuk melalukan penelitian dengan judul “Hasil Belajar Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Index Card Match Pada Materi Statistika Di SMP Negeri 17 Banda Aceh. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran Index Card Match dapat mencapai ketuntasan pada materi statistika di Kelas VII SMP Negeri 17 Banda Aceh?”. Maka tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa melalui pembelajaran model Index Card Match pada materi statistika di Kelas VII SMP Negeri 17 Banda Aceh. Serta yang menjadi hipotesisnya dalam penelitian ini adalah: “Hasil Belajar Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Index Card Match Pada Materi Statistika Di SMP Negeri 17 Banda Aceh” dapat mencapai ketuntasan belajar”. 2. Tinjauan Pustaka

Belajar adalah keyterm, ‘istilah kunci’ yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya kependidikan, misalnya psikologi pendidikan dan psikologi belajar. Karena demikian pentingnya arti belajar, maka bagian terbesar upaya riset dan eksperimen psikologi belajar pun diarahkan pada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan manusia itu.

Hilgard dan Bower dalam Thobroni dan Arif (2011:19) belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tetentu yang disebabkan oleh pengalamaannya yang berulang-ulang dalam situasi itu. Perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respons pembawaan, atau keadaan-keadaan sesaat, misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya. Selanjutnya Pidarta (1997:197) menyatakan, “Belajar adalah perubahan prilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikannya kepada orang lain”. Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap dan fungsional, satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikut.

Page 84: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

75

Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran kelompok dengan jumlah peserta didik 2-5 orang dengan gagasan untuk saling memotivasi antara anggotanya untuk saling membantu agar tercapainya suatu tujuan pembelajaran yang maksimal. Berikut ini merupakan beberapa pengertian pembelajaran kooperatif (cooperative learning) menurut para ahli. Isjoni (2011:15) “In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher”. Ini berarti bahwa cooperative learning atau pembelajaran koopeatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja kelompok-kelompok kecil berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang peserta didik lebih bergairah dalam belajar. Slavin (2008) menyatakan bahwa “Model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran”. Index Card Match adalah cara menyenangkan lagi aktif untuk meninjau ulang materi pelajaran, ia membolehkan peserta didik untuk berpasangan dan memainkan kuis dengan kawan sekelas. Model Index Card Match (mencari pasangan) adalah suatu strategi pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar aktif dan bertujuan agar siswa mempunyai jiwa kemandirian dalam belajar serta menumbuhkan daya kreatifitas. Hasil Belajar

Menurut Hamalik (2009:31) menyatakan “Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai pengertian-pengertian, sikap-sikap, apersepsi, abilitas dan keterampilan setelah mengalami proses belajar”.

Menurut Suprijono (2011:5-6), hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apersepsi, dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne, hasil belajar berupa hal-hal berikut. a. Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun

tertulis. Kemampuan merespon secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah, maupun penerapan aturan.

b. Keterampilan intelektual, yaitu kemampuan mempersentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis-sintesis fakta-konsep, dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.

c. Strategi kognitif, yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.

d. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar prilaku.

Menurut Suprijono (2009:120) menyatakan, “Model pembelajaran Indek Card Match adalah model mencari kartu cukup menyenangkan digunakan untuk mengulangi materi pembelajaran yang telah diberikan sebelumnya.

a) Langkah-langkah model pembelajaran Index Card Match (ICM)

1. Buatlah potongan-potongan kertas sebanyak jumlah siswa yang ada di dalam kelas. 2. Bagilah kertas-kertas tersebut menjadi dua bagian yang sama.

Page 85: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

76

3. Pada separuh bagian, tulis pertanyaan tentang materi yang akan dibelajarkan. Setiap kertas bersisi satu pertanyaan.

4. Pada separuh kertas yang lain, tulis jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dibuat. 5. Kocoklah semua kertas sehingga akan tercampur antara soal dan jawaban. 6. Setiap siswa diberi satu kertas. Jelaskan bahwa ini adalah aktivitas yang dilakukan berpasangan.

Separuh siswa akan mendapatkan soal dan separuh yang lain akan mendapatkan jawaban. 7. Mintalah kepada siswa untuk menemukan pasangan mereka. Jika ada yang sudah menemukan

pasangan, mintalah kepada mereka untuk duduk berdekatan. Jelaskan juga agar mereka tidak memberitahu materi yang mereka dapatkan kepada teman yang lain.

8. Setelah semua siswa menemukan pasangan dan duduk berdekatan, mintalah kepada setiap pasangan secara bergantian untuk membacakan soal yang diperoleh dengan keras kepada teman-temannya yang lain. Selanjutnya soal tersebut dijawab oleh pasangannya.

9. Akhiri proses ini denagan membuat klarifikasi dan kesimpulan.

b) Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran Index Card Match (ICM) menurut Handayani (2009) adalah sebagai berikut:

a. Kelebihan dari model pembelajaran Index Card Match (ICM) 1. Menumbuhkan kegembiraan dalam kegiatan belajar mengajar. 2. Materi pelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa. 3. Mampu menciptakan suasana belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar. 4. Mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar. 5. Penilaian dilakukan bersama pengamat dan pemain.

b. Kekurangan dari model pembelajaran Index Card Match (ICM)

1. Membutuhkan waktu yang lama bagi siswa untuk menyelesaikan tugas dan prestasi. 2. Guru harus meluangkan waktu yang lebih. 3. Lama untuk membuat persiapan. 4. Guru harus memiliki jiwa demokratis dan keterampilan yang memadai dalam hal pengelolaan kelas. 5. Menurut sifat tertentu dari siswa atau kecenderungan untuk bekerja sama dengan menyelesaikan

masalah. 6. Suasana kelas menjadi “gaduh” sehingga dapat mengganggu kelas lain.

Materi dalam penelitian ini yaitu tentang statistika. Sebelum bicara lebih lanjut tentang statistika, kita perlu mencari tahu apa sebenarnya statistika itu. Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Atau statistika adalah ilmu yang berusaha untuk mencoba mengolah data untuk mendapatkan manfaat berupa keputusan dalam kehidupan. Statistika menurut Zaelani, dkk (2006:223-366) adalah sebagai berikut: Statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, engolahan, penganalisisannya dan penarikan kesimpulan berdasarkan data penganalisisan yang dilakukan. Sedangkan statistika adalah kumpulan data, bilangan maupun non-bilangan yang disusun dalam tabel dan atau diagram, yang menggambarkan atau melukiskan suatu masalah. Statistika merupakan cabang dari matematika yang mempelajari cara pengumpulan data, pengolahan, dan penganalisisan data, serta penarian kesimpulan dan pengambilan keputusan secara logis Banendro (2013:37).

Page 86: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

77

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di sekolah SMP Negeri 17 Banda Aceh kelas VII Semester II di kelas VII-8 waktu penelitian dilakukan mulai tanggal 19 Mei 2014 sampai dengan tanggal 26 Mei 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa VII SMP Negeri 17 Banda Aceh tahun ajaran 2013/2014 yang diambil 9 kelas dipilih secara acak sedangkan sampel yang dipilih yaitu kelas VII-8. Kelas VII SMP Negeri 17 Banda Aceh hanya terdiri satu kelas dengan jumlah murid 30 orang siswa. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tes. Tes digunakan untuk mendapatkan data tentang hasil belajar siswa di SMP Negeri 17 Banda Aceh. Banyak butir soal tes 5 item dalam bentuk Essay. Hasil tes dalam lembar jawaban sampel diperiksa oleh penulis sebagai data penelitian untuk kemudian diolah. Untuk melihat hasil belajar siswa, data yang diperoleh dalam penelitian ini diuji dengan statistik uji-t pada taraf signifikan 5% α = 0,05. Namun sebelum data diuji dengan statistik uji-t terlebih dahulu diuji persyaratan analisis yaitu normalitas sebaran data. 4. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini hasil penelitian yang diadakan di SMP Negeri 17 Banda Aceh, yaitu melaksanakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran Index Card Match pada pokok bahasan statistika di kelas VII-8. Sesuai dengan metode pengolahan data yang telah di tentukan pada bab III. Peneliti akan mengolah data berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh dari tes awal dan tes akhir pada pokok bahasan statistika dengan penerapan model Index Card Match di kelas VII-8. Tabel 4.1 Nilai Tes Akhir Siswa

No Kode Siswa Nilai Ketuntasan 1 Siswa 1 55 Belum Tuntas 2 Siswa 2 55 Belum Tuntas 3 Siswa 3 60 Belum Tuntas 4 Siswa 4 60 Belum Tuntas 5 Siswa 5 65 Belum Tuntas 6 Siswa 6 70 Belum Tuntas 7 Siswa 7 70 Belum Tuntas 8 Siswa 8 70 Belum Tuntas 9 Siswa 9 70 Belum Tuntas 10 Siswa 10 70 Belum Tuntas 11 Siswa 11 70 Belum Tuntas 12 Siswa 12 70 Belum Tuntas 13 Siswa 13 78 Tuntas 14 Siswa 14 78 Tuntas 15 Siswa 15 78 Tuntas 16 Siswa 16 78 Tuntas 17 Siswa 17 78 Tuntas 18 Siswa 18 78 Tuntas 19 Siswa 19 78 Tuntas 20 Siswa 20 78 Tuntas 21 Siswa 21 78 Tuntas 22 Siswa 22 78 Tuntas 23 Siswa 23 80 Tuntas 24 Siswa 24 80 Tuntas 25 Siswa 25 80 Tuntas

Page 87: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

78

26 Siswa 26 80 Tuntas 27 Siswa 27 80 Tuntas 28 Siswa 28 85 Tuntas 29 Siswa 29 85 Tuntas 30 Siswa 30 90 Tuntas

Keterangan: Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) = 78

Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah hasil tes akhir siswa. Berdasarkan rekapitulasi nilai tersebut, data disusun dalam bentuk distribusi frekuensi serta menghasilkan rata-rata �̅ = 73,5 dan simpangan baku sebesar � = 8,68. Selanjutnya dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji chi

kuadrat dengan kriteria pengujiaannya menurut Sudjana (2005:273) adalah tolak H0 jika 2χ hitung >

2χ tabel

dengan α = 0.05 dalam hal ini H0 diterima. Setelah data dianalisis diperoleh hasil �� hitung = 0,8622 dan �� tabel = 9,48. Oleh karena �������

� < ����� yaitu 0,8622 < 9,48 maka dapat disimpulkan bahwa sebaran data

hasil belajar siswa kelas VII-8 yang diajarkan dengan model Index Card Match mengikuti distribusi normal. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H0 : µ = 78 : Hasil belajar siswa melalui model pembelajaran Index Card Match pada materi statistika di

SMP Negeri 17 Banda Aceh sudah mencapai ketuntasan belajar. �� : μ < �� : Hasil belajar siswa melalui model pembelajaran Index Card Match pada materi statistika di

SMP Negeri 17 Banda Aceh belum mencapai ketuntasan belajar. Dalam penelitian ini diambil �� = 78 yang merupakan nilai standar minimal atau KKM yang ditetapkan sekolah SMP Negeri 17 Banda Aceh untuk menyatakan bahwa siswa harus menguasai 78 % dari materi yang diajarkan. Karena pengujian ini pihak kiri yaitu tolak H0 jika t < − �(� !) dan terima H0 jika t > −�(� !). Dengan �(� !) didapat dari lampiran daftar distribusi student t menggunakan peluang ( 1 – α ) dan dk = ( n – 1 ). Sehingga diperoleh ������� < ���� yaitu -2,848 < - 1,70, dengan demikian H0 pada taraf signifikan α = 0,05 ditolak. Berarti dapat disimpulkan bahwa kemampuan akhir siswa SMP Negeri 17 Banda Aceh tidak mencapai ketuntasan belajar karena siswa baru saja menggunakan kurikulum 2013 bukan berarti siswa tidak mampu untuk mencapai ketuntasan belajar tetapi kurikulum 2013 ini baru saja berlaku disekolah ini pada materi statistika di kelas VII-8 SMP Negeri 17 Banda Aceh.

5. Pembahasan

Setelah proses pembelajaran pada kelas sampel, peneliti memberikan tes. Hasil dari tes itu peneliti langsung melakukan pengolahan data dengan pengujian normalitas sebaran data, ternyata data yang diperoleh menyebar secara normal. Sehingga untuk pengujian hipotesis dapat dilakukan uji-t. Dari hasil uji-t, diperoleh ������� = - 2,848 dan ���� = - 1,70, sehingga ������� < − ���� (-2,848 < - 1,70), artinya terima H0 dan tolak Ha. Dengan demikian rata-rata tes akhir siswa tidak mencapai ketuntasan belajar. Berdasarkan uji-t secara keseluruhan pembelajaran tersebut dengan pemakaian model pembelajaran Index Card Match belum mencapai pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Karena proses pembelajaran dengan metode permainan terutama pada permainan kartu Index Card Match belum pernah dilakukan di SMP Negeri 17 Banda Aceh maka siswa sangat sulit untuk di arahkan saat mencari pasangan kartunya. Pada penelitian ini kriteria hasil belajar yang sudah ditetapkan sekolah belum tercapai, dikarenakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) disekolah SMP Negeri 17 Banda Aceh terlalu tinggi buat siswa yaitu 78 sedangkan rata-rata siswa dibawah 78 yaitu � $ = 73,5 dan juga dalam pemakaian model pembelajaran Index

Page 88: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

79

Card Match masih belum dirasakan efektif karena penggunakan waktu yang terlalu banyak digunakan guru untuk menjelaskan materi. Daari 30 orang siswa hanya 12 orang yang tidak tuntas. Hasil penelitian ini mendukung berdasarkan penelitian dari Fitria (2010) yang berjudul “Efektivitas Metode Index Card Match pada materi Pokok Bilangan dalam Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas VII di MTs N 1 Pamoran Rembang Tahun Ajaran 2010-2011.” Dari penelitian didapat hasil belajar matematika yang diajar dengan pembelajaran langsung dengan metode ekspostori. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kendala. Salah satunya yaitu dalam mencari pasangan kartu siswa mendapat kebingungan dan membuat kelas jadi ribut, dikarenakan siswa belum pernah mendapatkan cara pembelajaran seperti ini. masing – masing siswa menggunakan cara sendiri – sendiri untuk mencari pasangannya ada yang berteriak, ada yang saling mendorong untuk segera bertemu dan mencari pasangannya. Siswa tidak mengikuti langkah – langkah yang telah dijelaskan dalam permainan index card match. Pembelajaran sangat ramai dan tidak bisa dikendallikan karena masing – masing siswa ribut sendiri tidak mau mendengar arahan dari guru. Kendala lainnya saat siswa membentuk kelompok juga siswa tidak serius mengerjakan sehingga saat siswa di beri soal tes siswa banyak tidak menjawab dengan alasan soalnya terlalu susah. Kendala lainnya waktu dalam penelitian yang sangat terbatas, hanya 3 kali mengajar itu pun tidak begitu sempurna dan juga masalah kesiapan siswa dalam mencari pasangan kartu. Hasil tes akhir yang mencapai kriteria ketuntasan itu dikarenakan juga pada penyelesaian jawabannya, siswa tidak membuat secara sempurna hasil penyelesaiannya seperti yang diajarkan pada pembelajaran. Hasil tes akhir dapat mencapai kriteria dengan �̅ = 73,5 dan apa bila diambil KKM pada materi ini yaitu 78. 6. Simpulan dan Saran

Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan adalah: Hasil belajar siswa melalui model pembelajaran Index Card Match pada materi statistika di kelas VII-8 SMP Negeri 17 Banda Aceh tidak mencapai ketuntasan belajar. Dan Adapun beberapa saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Dalam menerapkan model pembelajaran Index Card Match sebaiknya tahap-tahap dari pembelajaran

tersebut harus benar-benar dipahami agar proses belajar mengajar berjalan dengan lancar. b) Diharapkan pada peneliti lain untuk melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran

Index Card Match dengan materi yang berbeda. c) Penulis menyarankan guru yang ingin menggunakan model pembelajaran Index Card Match untuk

mempersiapkan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan model tersebut dan memiliki keterampilan dalam menciptakan suasana belajar yang baik agar waktu yang digunakan lebih efisien.

7. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian sebagai suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Banendro. 2013. Strategi Tepat Anak Pintar Buku Pengayaan Matematika. Jakarta: Putra Kertonatan. Dalyono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hamdani. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia. Handayani. 2009. Stategi Belajar Aktif dengan ICM. http://pelawiselatan.blogspot.com/2009/04/stategi-

belajar-aktif.html. Diakses tanggal 07 Januari 2009. Hisyam, Zaini dkk. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insani Madani. Isjoni. 2009. Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Pekan Baru: Alfabeta. Isjoni. 2011. Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta. Johar, Rahmah. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Lie, Anita. 2002. Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Thobrani Muhammad dan Arif Mustafa. 2011. Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana dan

Praktik Pembelajaran dalam Pembelajaran Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 89: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

80

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Ratumanan, Tanwey Gerson. 2004. Belajar dan Pembelajaran. IKAPI: Unesa University Press. Riduwan dan Sunarto. 2007. Pengantar Statistika. Bandung: Alvabeta Roberte. Slavin. 2010. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Mdia. Setiawati. 1993. Upaya Uptimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Slavin, R,E. 2008. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media. Skripsi. Khasanah, Uswati. 2011. Pengaruh Pembelajaran Make A-Match dan Index Card Match Terhadap

Pemahaman Siswa Kelas X SMA Institut Indonesia Semarang. IKIP PGRI: Semarang. Skripsi. Fitria Catur, Wulandari. 2010. Efektivitas Metode Index Card Match Pada Materi Pokok Bilangan

dalam Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas VII di MTs Negeri 1 Pamoran Rembang. Semarang: IAIN Walisongo.

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Zaelani, Ahmad dkk. 2006. 1700 Bank Soal Bimbingan Pemantapan. Bandung: Yrama Widya. Zaini, Hisyam. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: CTSD.

Page 90: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

81

Peran Technology Pedagogical and Content Knowledge (TPACK) Guru Matematika SMA Labschool Banda Aceh

Ellianti 1, Mukhlis Hidayat 2 dan Maulana Saputra3

1Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala Email: [email protected]

2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala 3Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Peran guru sangat menentukan usaha peningkatan mutu pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan sekolah menengah. Untuk itu guru sebagai pendidik dituntut mampu menyelenggarakan proses belajar dengan sebaik-baiknya dalam rangka pengembangan pendidikan. Dengan semakin berkembangnya teknologi, guru dituntut untuk dapat menyediakan cara-cara baru dalam mengakses dan memproses pengetahuan di segala bidang. Guru harus mampu mengembangkan materi pendidikan yang menunjukkan pengetahuan konten, memanfaatkan pengetahuan pedagogis, dan menggabungkannya dengan teknologi. Kombinasi ini digambarkan dalam sebuah kerangka Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK). TPACK dibutuhkan dalam mengajar, termasuk dalam mengajarkan materi turunan di kelas XI SMA Labschool Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran TPACK guru matematika dalam pembelajaran materi turunan di kelas XI SMA Labschool Banda Aceh. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah guru matematika dan siswa kelas XI SMA LABSCHOOL Banda Aceh. Data dikumpulkan dengan teknik triangulasi data yaitu menggabungkan 3 teknik pengumpulan data (observasi, wawancara dan dokumentasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran TPACK guru dalam mengajar sangat baik, hal ini terlihat dari penilaian pada hari pertama yang menunjukkan TPACK guru mencapai 76% termasuk kategori baik, aktivitas siswa lebih mendominasi pada kategori baik (mencapai 70%). Dan pada hari kedua TPACK guru mencapai 80% termasuk kategori baik, aktivitas siswa lebih mendominasi pada kategori sangat baik (mencapai 60%). Untuk hasil tes siswa diperoleh tingkat rata-rata sangat baik atau sekitar 68% (21 siswa).

Kata Kunci : Technological, Pedagogical, Content, Knowledge

Pendahuluan Peran guru sangat menentukan usaha peningkatan mutu pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan sekolah menengah. Untuk itu guru sebagai pendidik dituntut mampu menyelenggarakan proses belajar dengan sebaik-baiknya dalam rangka pengembangan pendidikan. Guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan pendidikan. Guru juga harus mampu menguasai bahkan terampil memanfaatkan teknologi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sudah semakin maju dan pesat sehingga berpengaruh terhadap dunia pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari peran matematika sebagai ilmu dasar dalam pendidikan. Untuk itu, guru sebagai agent of change harus mampu beradaptasi langsung dengan kemajuan teknologi dan informasi.

Pada prinsipnya, seorang siswa yang menguasai matematika dengan baik akan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan siswa yang tidak berperan dalam matematika. Namun, ketika kita bertanya pendapat seorang siswa tentang pembelajaran matematika, maka akan banyak terdengar keluhan bahwa pembelajaran matematika membosankan, tidak menarik, bahkan penuh misteri. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kreativitas dan inovasi guru matematika sebagai pengajar dalam menyajikan pelajaran yang lebih menyenangkan.

Page 91: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

82

Perkembangan teknologi yang pesat membuka peluang dalam mengerjakan banyak hal, termasuk untuk mengembangkan dunia pendidikan. Hal ini sejalan menurut dengan pendapat Geiger (2012:1) bahwa peran teknologi digital dalam peningkatan belajar dan mengajar telah menjadi topik yang menarik untuk pendidik matematika setidaknya pada tiga dekade terakhir. Saat ini telah banyak teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dunia pendidikan, termasuk untuk menunjang pembelajaran matematika.

Perkembangan information and communication technology (ICT) atau dikenal dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pada beberapa dekade terakhir berjalan sangat cepat. Berbagai teknologi dan aplikasi pendukung juga telah dikembangkan sebagai upaya untuk mendukung dan mempermudah aktivitas belajar mengajar dalam dunia pendidikan. Dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan ICT/TIK tersebut, guru dituntut untuk mampu menguasai teknologi agar dapat mengembangkan materi-materi pembelajaran dan memanfaatkan ICT sebagai media pembelajaran.

Perkembangan ICT telah memperkaya sumber dan media pembelajaran dalam berbagai bentuk seperti, slide power point, gambar/foto animasi, film/video, halaman web, program pembelajaran berbantuan komputer, dan software aplikasi pendukung pembelajaran. Oleh karena itu, guru yang profesional harus mampu memilih, mengembangkan dan memanfaatkan berbagai jenis media pembelajaran dengan memanfaatkan kecanggihan ICT tersebut (Darmawan, 2011).

Dengan semakin berkembangnya ICT, guru dituntut untuk dapat menyediakan strategi baru dalam mengakses dan memproses pengetahuan di segala bidang. Kombinasi ini digambarkan dalam sebuah kerangka technological pedagogical and content knowledge (TPACK). Thompson dan Mishra (dalam Stoilecu, 2011) menjelaskan bahwa TPACK terdiri dari pengetahuan materi, pedagogik, dan teknologi serta keterampilan untuk menggunakan dan menggabungkan antara komponen-komponen tersebut. Kerangka TPACK merupakan sebuah kontribusi penting untuk mendidik guru matematika tentang cara efektif menggunakan kerangka teknologi di dalam kelas.

Guru harus mampu mengembangkan materi pendidikan yang menunjukkan pengetahuan konten, memanfaatkan pengetahuan pedagogis, dan menggabungkannya dengan teknologi. Untuk memenuhi tingkat kompetensi yang ditentukan oleh kurikulum 2013, guru perlu menguasai TPACK. Oleh karena itu, guru diharapkan memiliki TPACK yang diperlukan untuk menerapkan sejumlah model yang efektif dalam pembelajaran.

Hal di atas sejalan dengan hasil penelitian Akker dan Feiter (dalam Douglas et al, 2012) berpendapat bahwa hambatan utama dalam mengintegrasikan teknologi di kelas yaitu karena minimnya pengetahuan guru tentang strategi pembelajaran berbasis teknologi. Selain itu, kurangnya pengetahuan guru tentang cara-cara untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran matematika. Hal ini menyebabkan siswa tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam mengintegrasikan teknologi dalam belajar. Ini berarti bahwa pengalaman yang dimiliki guru dalam mengintegrasikan teknologi dalam proses mengajar di kelas sangat terbatas.

Untuk mengintegrasikan konsep TPACK dalam pembelajaran matematika, penulis mencoba menerapkan dalam materi turunan. Materi turunan sangat banyak diberikan pada soal ujian nasional (UN) dan tes seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Salah satu contoh misalnya pada soal yang berbunyi:

Diketahui

Turunan pertama fungsi f(x) adalah f’(x). Nilai f’(2) =....

Page 92: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

83

Soal di atas ternyata tidak semua siswa mampu menjawab dengan mudah, meskipun beberapa cara telah diberikan oleh guru, sehingga model ilustrasi dan visualisasi materi harus dikondisikan dengan kemampuan siswa secara bertahap. Pengalaman ini sering terjadi pada siswa SMA Labschool Banda Aceh dimana pada wawancara terbatas terhadap salah seorang guru matematika di sekolah tersebut.

Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Martono (2011:17) Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan karakter suatu variabel, kelompok atau gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Mulyana (2005) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu pendekatan penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang dapat diamati. Jenis penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai apa adanya (Sudijono, 2006). Penelitian ini mendeskripsikan TPACK guru dalam mengajarkan turunan di kelas XI IA 1 SMA Labschool Banda Aceh. Untuk melengkapi data penelitian juga melakukan wawancara.

Sugiyono (2012:63) menyatakan bahwa secara umum terdapat 4 macam teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi dan triangulasi. Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi data yaitu menggabungkan 3 teknik pengumpulan data (observasi, wawancara dan dokumentasi). Dalam penelitian ini data dikumpulkan berdasarkan observasi dan wawancara dengan guru, yang dilakukan sendiri oleh peneliti. Observasi dilakukan untuk mengamati proses pembelajaran yang berkaitan dengan TPCK guru.

Menurut Sugiyono (2012:82-83) dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada. Untuk menunjang pengumpulan data dokumentasi, peneliti menggunakan alat berupa kamera untuk memudahkan peneliti dalam mengumpulkan beberapa dokumentasi.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi TPACK guru. Untuk lembar observasi diisi oleh peneliti sesuai dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan guru terkait dengan TPACK selama pembelajaran berlangsung. Instrumen pengamatan TPACK ini diadaptasi dari Landry (2010).

Setelah data terkumpul, data pada setiap kategori ditentukan rata-ratanya. Adapun pendeskripsian skor rata-rata TPACK guru sebagai berikut.

1,00 ≤ TPACK < 1,50 tidak baik

1,50 ≤ TPACK < 2,50 kurang baik

2,50 ≤ TPACK < 3,50 cukup baik

3,50 ≤ TPACK < 4,50 baik

4,50 ≤ TPACK < 5,00 sangat baik

Hasil dan Pembahasan Pengumpulan data peneliti lakukan dengan cara melakukan observasi proses pembelajaran di kelas XI IA 2 SMA LabSchool Banda Aceh untuk mengetahui TPACK guru dalam pengajaran. Berkenaan dengan ini, peneliti menggunakan lembar observasi yang di adaptasi dari Landry (2010). Hasil observasi pada hari pertama dapat di lihat pada gambar 1.

Page 93: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

84

Gambar 1 Observasi hari pertama

Keterangan : 1 : Technology knowledge TB : tidak baik 2 : Content knowledge KB : kurang baik 3 : Pedagogical Knowledge CB : cukup baik 4 : Pedagogical content knowledge B : baik 5 : Technology content knowledge SB : sangat baik 6 : Technology Pedagogical Knowledge 7 : Technology Pedagogical and Content Knowledge

Berdasarkan gambar 1 di atas, diperoleh informasi bahwa Technology knowledge guru mencapai 29% termasuk dalam kategori cukup baik, dimana guru sudah dapat memamahi teknologi dengan mudah dan mengikuti perkembangan teknologi. Kemudian terdapat 43% termasuk dalam kategori baik, dimana guru telah mengetahui bagaimana cara memecahkan masalah teknis yang berkaitan dengan teknologi, mengetahui berbagai macam teknologi, dan memiliki keterampilan dalam menggunakan teknologi. Dan 29% termasuk kategori sangat baik, dimana guru sering menggunakan teknologi dalam bekerja dan sering bermain dengan teknologi.

Content knowledge guru mencapai 7% termasuk dalam kategori kurang baik, dimana guru tidak menjelaskan kaitan materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian terdapat 14% termasuk kategori cukup baik, dimana guru memiliki banyak strategi untuk mengembangkan pemahaman terhadap materi. Guru telah menjelaskan isi materi dengan jelas dan memilih materi yang sesuai dengan siswa, hal ini termasuk kategori baik dengan persentase 29%. Dan terdapat 50% termasuk kategori sangat baik, dimana guru sangat memahami materi yang diajarkan, guru juga memahami cara berpikir matematika, dan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh siswa.

Pedagogical Knowledge guru mencapai 6% termasuk kategori kurang baik, dimana guru tidak memungkinkan siswa untuk menggunakan teknologi. Kemudian terdapat 44% termasuk kategori baik, dimana guru sudah mengetahui kemampuan dasar siswa, dapat menilai belajar siswa dengan berbagai cara, dan guru dapat menguasai kelas. Dan terdapat 50% termasuk kategori sangat baik, dimana guru sangat mengerti dengan kesulitan belajar siswa, dapat beradaptasi dengan berbagai jenis siswa dan guru menggunakan menggunakan pendekatan yang sesuai.

Pedagogical content knowledge guru mencapai 8% termasuk kategori cukup baik, terlihat dari guru menggunakan contoh yang menjelaskan konsep berhubungan dengan materi pelajaran. Kemudian terdapat 33% termasuk kategori baik, terlihat dari metode mengajar guru yang menarik minat siswa untuk belajar dan tugas yang memudahkan siswa dalam menguasai materi. Dan terdapat 58% termasuk kategori sangat baik, terlihat dari guru menyampaikan pelajaran

1 2 3 4 5 6 7

TB 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%

KB 0% 7% 6% 0% 50% 0% 10%

CB 29% 14% 0% 8% 0% 50% 50%

B 43% 29% 44% 33% 38% 50% 40%

SB 29% 50% 50% 58% 13% 0% 0%

0%10%20%30%40%50%60%70%

Komponen TPACK Hari Ke-1

Page 94: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

85

secara sangat meyakinkan, guru juga menggunakan simbol matematika dengan benar dan guru juga menggunakan strategi yang baik dalam mengajar.

Technology content knowledge guru mencapai 50% termasuk kategori kurang baik dikarenakan guru tidak mengajarkan cara menggunakan teknologi yang sesuai dengan materi dan tidak menggunakan software dalam menyelesaikan soal. Kemudian terdapat 38% termasuk kategori baik dimana guru banyak mengetahui teknologi yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika. Dan terdapat 13% termasuk kategori sangat baik terlihat dari guru yang sudah menggunakan teknologi dalam menyampaikan materi.

Technology Pedagogical Knowledge guru mencapai 50% termasuk kategori cukup baik, dimana guru dapat memilih teknologi yang sesuai dengan pendekatan dalam pembelajaran dan dapat memilih teknologi yang meningkatkan kemampuan siswa. Dan terdapat 50% termasuk kategori baik, terlihat dari guru dapat mengelola kelas dengan menggunakan teknologi dan menyesuaikan penggunaan teknologi dalam pembelajaran.

Technology Pedagogical and Content Knowledge guru mencapai 10% termasuk kategori kurang baik dikarenakan guru kurang mampu menggabungkan komponen TPACK dalam pembelajaran. Kemudian terdapat 50% termasuk kategori cukup baik, terlihat dari guru dapat memilih menggunakan teknologi yang meningkatkan pembelajaran dan dapat membantu orang lain untuk menggunakan TPACK. Guru dapat menggunakan strategi yang menggabungkan konten, teknologi dan pendekatan pengajaran dalam kelas, hal ini termasuk kategori baik dengan persentase 40%.

Sama halnya dengan penilaian hari pertama, hasil observasi dapat disajikan dengan gambar 2. Adapun hasil observasi pada hari kedua sebagai berikut.

Gambar 2 Observasi hari kedua

Keterangan : 1 : Technology knowledge TB : tidak baik 2 : Content knowledge KB : kurang baik 3 : Pedagogical Knowledge CB : cukup baik 4 : Pedagogical content knowledge B : baik 5 : Technology content knowledge SB : sangat baik 6 : Technology Pedagogical Knowledge 7 : Technology Pedagogical and Content Knowledge

0%10%20%30%40%50%60%70%

1 2 3 4 5 6 7

TB 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%

KB 0% 0% 0% 0% 50% 13% 10%

CB 14% 21% 6% 0% 0% 38% 40%

B 50% 14% 44% 33% 13% 38% 50%

SB 36% 64% 50% 67% 38% 13% 0%

Axis

Tit

le

Komponen TPACK Hari kedua

Page 95: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

86

Berdasarkan gambar 2 di atas, diperoleh informasi bahwa Technology knowledge guru mencapai 14% termasuk kategori cukup baik, terlihat dari guru yang dapat memahami teknologi dengan mudah. Kemudian terdapat 50% termasuk kategori baik, dimana guru memiliki keterampilan untuk menggunakan teknologi dan mengetahui bagaimana cara memecahkan masalah yang berkaitan dengan teknologi. Guru telah mengikuti perkembangan teknologi banyak mengetahui teknologi yang berbeda, hal ini termasuk kategori dengan persentase 36%.

Content knowledge guru mencapai 21% termasuk kategori cukup baik, dimana guru sudah menjelaskan kaitan materi pelajaran ke dalam kehidupan sehari-hari dan memilih materi yang sesuai dengan siswa. Kemudian terdapat 14% termasuk kategori baik, dimana guru telah memahami cara berpikir matematika. Dan terdapat 64% termasuk kategori sangat bagus, terlihat dari guru mengetahui jawaban yang dari pertanyaan yang diajukan siswa, menguasai materi yang diajarkan dan menjelaskan isi materi dengan sangat jelas.

Pedagogical Knowledge guru mencapai 6% termasuk kategori cukup baik, terlihat dari guru yang mengizinkan siswa untuk menggunakan teknologi. Terdapat 44% termasuk kategori baik, dimana guru mengetahui bagaimana menilai kinerja siswa dan guru dapat menilai belajar siswa dengan berbagai cara. Kemudian terdapat 50% termasuk kategori sangat baik, dimana guru mengetahui kemampuan dasar siswa, kesulitan belajar siswa, dapat beradaptasi dengan berbagai macam siswa dan guru juga dapat menguasai kelas.

Pedagogical content knowledge guru mencapai 33% termasuk kategori baik, dimana guru menggunakan contoh yang menjelaskan konsep berhubungan dengan materi, metode mangajar guru mempertahankan minat siswa dan guru juga memberikan tugas agar memudahkan siswa dalam menguasai materi. Guru menyampaikan pelajaran secara meyakinkan tidak tampak keraguan atau bingung dan guru menggunakan strategi yang baik dalam mengajar, hal ini termasuk kategori sangat baik dengan persentase 67%.

Technology content knowledge guru mencapai 50% termasuk kategori kurang baik, dimana guru tidak mengajarkan cara menggunakan teknologi yang sesuai dengan materi. kemudian terdapat 13% termasuk kategori baik, ini terlihat dari guru yang menyampaikan materi menggunakan teknologi. Dan terdapat 38% termasuk kategori sangat baik, dimana guru mengetahui teknologi yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika.

Technology Pedagogical Knowledge guru mencapai 13% termasuk kategori kurang baik, terlihat dari guru belum maksimal menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Kemudian terdapat 38% termasuk kategori cukup baik, terlihat dari guru yang dapat menyesuaikan penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Guru dapat memilih teknologi yang sesuai dengan pendekatan dalam pembelajaran, hal ini termasuk kategori baik dengan persentase 38%. Dan terdapat 12% termasuk kategori sangat baik, terlihat dari guru yang dapat memilih teknologi yang meningkatkan kemampuan siswa.

Technology Pedagogical and Content Knowledge guru mencapai 10% termasuk kategori kurang baik, dimana guru kurang membantu orang lain untuk menggunakan TPACK. Kemudian terdapat 40% termasuk kategori cukup baik, dimana guru sudah menggabungkan komponen TPACK dalam pembelajaran dan memilih teknologi yang meningkatkan pembelajaran. Dan terdapat 50% masuk kategori baik, terlihat dari guru yang menggunakan strategi yang menggabungkan konten, teknologi dan pendekatan pengajaran dalam kelas.

Berdasarkan hasil analisa pada observasi pertama dan observasi kedua di atas, secara umum telah terjadi peningkatan dari hari pertama ke hari ke dua. Pada hari pertama pencapaian rata-rata TPACK guru berada pada kategori baik dengan nilai 76% selanjutnya jika dilihat dari pencapaian rata-rata TPACK guru pada hari ke dua juga berada pada kategori baik dengan nilai 80%. Hal ini terjadi karena pada pertemuan kedua guru sudah lebih banyak memasukkan komponen teknologi dalam pembelajarannya.

Page 96: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

87

Selanjutnya, jika di kaji dari rata-rata pencapaian TPACK guru berdasarkan komponen-komponen penilaian juga mengalami peningkatan. Sebagaimana yang terlihat dari gambar 3 yang memperlihatkan pencapaian rata-rata berdasarkan komponen-komponen TPACK.

Gambar 3 Pencapaian penilaian berdasarkan komponen TPACK hari pertama dan ke dua

Berdasarkan gambar 3 di atas, diperoleh informasi bahwa hampir keseluruhan komponen mengalami peningkatan, tidak ada komponen yang mengalami penurunan, hanya saja pada komponen technology pedagogical knowledge tetap berada pada nilai yang sama.

Berdasarkan observasi hari pertama, di peroleh informasi bahwa aktivitas siswa mencapai 70% termasuk kategori baik, dimana siswa mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru atau teman kelompok, membaca dan memahami masalah kontekstual di LAS, menyelesaikan masalah dan menemukan solusi penyelesaian masalah secara berkelompok dan siswa aktif dalam kelompok. Kemudian terdapat 30% termasuk dalam kategori sangat baik, ini terlihat dari keantusiasan siswa untuk mengikuti pembelajaran, banyak bertanya dan sangat baik dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

Berdasarkan observasi hari kedua diperoleh informasi bahwa, terdapat 40% aktivitas siswa termasuk dalam kategori baik, ini terlihat dari keterlibatan siswa dalam kelompok sudah baik dan mempresentasikan hasil diskusinya dengan baik. Siswa juga menyampaikan pendapat/ide kepada guru/teman dengan baik dan memahami masalah kontekstual di LAS. Kemudian terdapat 60% aktivitas siswa termasuk dalam kategori sangat baik, terlihat dari keantusiasan siswa untuk mengikuti pembelajaran dan mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru dengan sangat baik. Siswa juga dapat menarik kesimpulan dari hasil suatu konsep/prosedur yang d kerjakan.

Berdasarkan hasil analisa pada aktivitas siswa hari pertama dan kedua di atas, secara umum telah terjadi peningkatan pada hari kedua. Pada hari pertama pencapaian rata-rata aktivitas siswa termasuk dalam kategori sangat baik dengan nilai 83% selanjutnya jika dilihat dari pencapaian rata-rata aktivitas siswa pada hari ke dua juga berada pada kategori sangat dengan nilai 90%. Pada hari kedua siswa lebih aktif. Hal ini disebabkan pada hari kedua siswa lebih memperhatikan guru, lebih baik dalam menyelesaikan masalah dan menemukan solusi, dan dan menarik kesimpulan lebih baik dari hari pertama.

Penilaian tes tertulis didasarkan oleh pencapaian siswa secara individual. Hasil pencapaian siswa pada tes berdasarkan kategori kurikulum 2013 disajikan pada gambar 4

0%

50%

100%

hari ke-1

hari ke-2

Page 97: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

88

Gambar 4 Persentase pencapaian kinerja siswa pada tes tulis

Berdasarkan gambar 4.18 di atas, informasi yang diperoleh dari kategori pencapaian siswa pada tes tertulis ialah sejumlah 68% (21 siswa) mencapai kategori sangat baik. Kemudian, sejumlah 32% (10 siswa) mencapai kategori baik dan tidak ada siswa yang masuk kategori cukup dan kurang. Jika dibandingkan, siswa lebih dominan berada pada kategori sangat baik. Lebih lanjut mengenai pencapaian siswa pada tes tertulis berdasarkan predikat ditunjukkan pada gambar 5 berikut.

Gambar 5 Persentase pencapaian kinerja siswa melalui tes tertulis berdasarkan predikat

Pada gambar 5 di atas, informasi yang diperoleh ialah predikat A paling dominan antara predikat lainnya yang mencapai 35% (11 siswa), kemudian terdapat 32% (10 siswa) yang memperoleh predikat A-, sejumlah 26% (8 siswa) memperoleh predikat B+, sejumlah 6% (2 siswa) memperoleh predikat B dan tidak ada siswa yang memperoleh predikat B-,C+,C,C-,D+ dan D. Ini berarti kemampuan siswa sudah sangat memuaskan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru dapat diketahui fasilitas teknologi pembelajaran yang disediakan di SMA Labschool Banda Aceh sudah memadai. Oleh karena itu, proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sering menggunakan teknologi terutama untuk pelajaran matematika. Pada materi turunan, hanya menggunakan PPT dalam menyampaikan materi. Guru tidak menggunakan software tambahan dikarenakan guru belum menemukan software yang sesuai untuk menambah pemahaman siswa. Selain hasil wawancara di atas, peneliti juga membagikan angket kepada subjek penelitian.

68%

32%

0% 0%

Presentase Pencapaian Tes Tulis

Sangat Baik Baik Cukup Kurang

A A- B+ B B- C+ C C- D+ D

35%32%

26%

6%

0% 0% 0% 0% 0% 0%

Persentase Tes Tulis sesuai Predikat

Page 98: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

89

Gambar 6 Jawaban angket guru

Berdasarkan gambar 6 di atas dapat diketahui bahwa guru cenderung pada pilihan netral (N) untuk masing-masing indikator TPACK. Hal ini terlihat pada pilihan netral (N) dicentang sebanyak 9 kali. Sedangkan untuk pilihan tidak setuju (TS) dipilih 2 kali, untuk setuju (S) 7 kali dan untuk sangat setuju (SS) 4 kali. Untuk hasil angket yang lebih rinci dapat dilihat pada lampiran.

Penutup Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: pengetahuan guru tentang materi telah dikategorikan sangat baik, dimana guru sudah mampu menjelaskan isi materi (content knowledge) dengan sangat baik, tidak ada keraguan dalam penyampaian dan siswa pun telah dapat memahami secara sempurna. Pedagogik guru dalam mengajar telah dikategorikan baik pula, dimana guru telah mampu menguasai kelas dan mampu menghadapi siswa yang sulit dalam belajar. Penggunaan media pembelajaran seperti beberapa alat teknologi (projector, komputer laptop/dekstop, dan lain lain), telah mampu dioptimalkan dengan baik, sehingga guru tidak kaku dalam penggunaan media. Selain itu pula, beberapa aplikasi yang digunakan guru sebagai media informasi seperti aplikasi power point, prezi dan lain-lain, telah mampu divisualisasikan dengan sejumlah materi yang bersesuaian.

Penelitian ini tentunya memberikan masukan yang berarti berdasarkan pengamatan yang dilakukan diantaranya: (a) Diharapkan guru dapat menyeimbangkan keterampilan pedagogi, materi matematika dan teknologi untuk menambah pemahaman siswa dalam belajar. (b) Hendaknya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu dari sekian banyak informasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah-sekolah. (c) Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai TPACK dengan kajian yang lebih luas dan dengan populasi yang berbeda. (d) Bagi pihak yang berhubungan dengan pendidikan agar memperhatikan perkembangan pendidikan, khususnya pada pembelajaran matematika agar dapat dipertahankan sekaligus ditingkatkan di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA Anwar, Thaibil. 2012. Pedagogical Content Knowledge Guru Matematika Dalam Pengajaran

Materi Pengurangan Di Kelas II SDIT Nurul Ishlas Banda Aceh Tahun Pelajaran 2010/2011, Banda Aceh : FKIP Unsyiah

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta Darmawan, Deni. (2011). Teknologi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Djamarah, dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta

Technologica

l Knowledge

Content

Knowledge

Pedagogical

Knowledge

Pedagogical

Content

Knowledge

Teknological

Content

Knowledge

Technologica

l Pedagogical

Knowledge

Teknological

Pedagogical

Content

Knowledge

STS 0 0 0 0 0 0 0

TS 0 0 0 0 0 0 2

N 3 0 0 0 1 2 3

S 1 3 2 1 0 0 0

SS 1 0 1 0 1 0 1

00,5

11,5

22,5

33,5

Page 99: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

90

Djumanta, Wahyudin dan Sudrajat, R. 2008. Mahir Mengembangkan Kemampuan Matematika. Jakarta: Setia Purna Inves

Douglas, Agyei. D and Joke Voogt (2012). Developing Technological Pedagogical Content Knowledge in Pre-Service Mathematics Teachers Through Collaborative Design. Australian Journal of Educational Technology 28(4), 547-564.

Geiger, Vince Te all. 2012. Technology In Mathematics Education, Australasia: Research in Mathematics Education

Harris, Judith B. and Hofer, Mark J. (2011). Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) in Action: A Descriptive Study of Secondary Teachers’ Curriculum-Based, Techology-Related Instructional Planing, Amerika Serikat: William & Mary

Koehler, M. J., & Mishra, P. (2009). What Happens When Teachers Design Educational Technology? The Development Of Technological Pedagogical Content Knowledge, Amerika : Michigan State University

Koehler, M. J., & Mishra, P. (2009). What is technological pedagogical content knowledge? Amerika : Michigan State University

Landry, Geri A. (2010). Creating and Validating an Instrument to Measure Middle School Mathematics Teachers’ Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK). Disertasi Doktor, tidak diterbitkan, University of Tennessee: USA.

Martono, Nanang. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosda Karya Mulyana, Deddy. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. 2005. Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muslim, Mursid. R, dan Yuniarto, M. (2012). Pengembangan Model Pembelajaran Inovatif

Berbasis Kerangka Kerja TPACK Bagi Guru Kejuruan di SMK, Universitas Negeri Medan: Medan.

Smaldino, Sharon E., Lowther, Deborah L., dan Russell, James D. (2011). Instructional Technology & Media for Learning: Teknologi Pembelajaran dan Media Untuk Belajar. Jakarta: Prenada Media Grup.

Stoilecu, Dorian. (2011). Technological Pedagogical Content Knowledge: Secondary School Mathematics Teachers Use of Technology. Disertasi Doktor, tidak diterbitkan, University of Toronto: Kanada.

Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Page 100: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

91

Pengaruh Kegiatan Lesson Study pada Peningkatan Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran Penjumlahan Pecahan di Kelas IV SDN Lamsayeun

Monawati1 dan Cut Khairunnisak2 1Prodi PGSD FKIP Universitas Syiah Kuala

Email: [email protected] 2Pendidikan Matematika STKIP Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh

Abstrak. Seorang guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang efektif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji kurikulum yang digunakan sehingga materi yang dikembangkan berbasis kebutuhan siswa, hal ini bisa dengan cara perencanaan, pelaksanaan diskusi, kolaborasi, dan refleksi secara berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kegiatan Lesson Study terhadap peningkatan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran penjumlahan pecahan di kelas IV SDN Lamsayeun. Metode penelitian yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Subjek pada penelitian ini adalah penulis yang bertindak sebagai guru model di kelas IV SDN Lamsayeun. Data dikumpulkan melalui observasi dan rekaman video pembelajaran. Data dari lembar observasi dicari rata-ratanya sedangkan video pembelajaran ditranskripsi untuk kemudian dideskripsikan. Berdasarkan hasil pengolahan data didapat bahwa kegiatan Lesson Study dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran penjumlahan pecahan di kelas IV SDN Lamsayeun. Kata kunci: hasil belajar siswa, Lesson Study, penjumlahan pecahan

1. Pendahuluan

Pendidikan di sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain guru, metode/pendekatan/model pembelajaran, kurikulum, media pembelajaran, dan peserta didik. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia diperlukan upaya yang serius untuk meningkatkan kualitas guru sehingga kualitas siswa juga dapat meningkat. Seorang guru memiliki peran yang paling besar dalam upaya inovasi serta peningkatan mutu pendidikan.

Suatu model pembinaan guru untuk mencapai kualitas pembelajaran di sekolah adalah Lesson Study. Menurut Hendayana dkk (2006:10), Lesson Study adalah “… model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.” Lesson Study dipandang dapat menggairahkan inovasi pembelajaran di sekolah karena semua pihak terlibat dan berkonsentrasi ke arah perbaikan.

Guru di sekolah telah banyak melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan berbagai model maupun metode, tetapi hasil belajar siswa masih banyak yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimum (KKM). Salah satu materi pokok yang diajarkan di SD yaitu “penjumlahan pecahan”. Namun pada materi ini masih banyak siswa yang memiliki kendala dan sulit memahami dalam menyelesaikan soal yang berkaitan dengan penjumlahan pecahan.

Page 101: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

92

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru kelas IV SDN Lamsayeun ditemukan bahwa hasil belajar matematika siswa masih rendah. Hal ini disebabkan karena pembelajaran terpusat pada guru, interaksi aktif antara siswa dengan guru atau siswa dengan siswa jarang terjadi. Dalam proses pembelajaran di kelas guru aktif mentransfer pengetahuan ke pikiran siswa (guru mengajar siswa), siswa menerima secara pasif (murid berusaha menghafalkan pengetahuan yang diterima), pelajaran dimulai oleh guru dengan menjelaskan konsep atau prosedur menyelesaikan soal, memberi soal latihan pada siswa, memeriksa dan memberi nilai pada pekerjaan siswa dan kemudian memberi penjelasan lagi atau memberi tugas pekerjaan rumah pada siswa. Penyampaian materi yang bersifat monoton atau tanpa variasi siswa cenderung cepat merasa bosan, jenuh dan pasif.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menerapkan Lesson Study pada pembelajaran penjumlahan pecahan dan melihat bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini diberi judul: “Pengaruh Kegiatan Lesson Study pada Peningkatan Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran Penjumlahan Pecahan di Kelas IV SDN Lamsayeun”.

2. Tinjauan Pustaka

Pengertian Lesson Study

Dalam bahasa Jepang, Lesson Study disebut sebagai Jugyokenkyu, yang artinya adalah proses pengembangan profesi inti yang dipraktekkan guru-guru di Jepang agar secara berkelanjutan mereka dapat memperbaiki mutu pengalaman belajar siswa dalam proses pembelajaran. Istilah Lesson Study sendiri diciptakan oleh Makoto Yoshida. Praktek ini mempunyai sejarah panjang, dan secara signifikan telah membantu perbaikan dalam pembelajaran (teaching) dan pembelajaran/proses belajar (learning) siswa dalam kelas, juga dalam pengembangan kurikulum. Banyak guru sekolah dasar dan sekolah menengah di Jepang menyatakan bahwa Lesson Study merupakan salah satu pendekatan pengembangan profesi penting yang telah membantu mereka tumbuh berkembang sebagai profesional sepanjang karir mereka.

Lesson Study adalah suatu model pembinaan profesi pendidikan melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Hendayana dkk., 2006 : 10).

Richardson dalam Kumpulan Makalah Pelatihan Lesson Study (2006) menjelaskan bahwa Lesson Study merupakan merupakan salah satu strategi pengembangan profesional guru. Kelompok guru mengembangkan pembelajaran secara bersama-sama dan menentukan salah satu guru untuk melaksanakan pembelajaran tersebut, sedangkan guru lainnya mengamati belajar siswa selama pembelajaran berlangsung. Pada akhir kegiatan, guru tersebut berkumpul dan melakukan tanya jawab tentang pembelajaran yang dilakukan, merevisi dan menyusun pembelajaran berikutnya berdasarkan hasil diskusi. dengan demikian Lesson Study adalah salah satu model pembinaan profesi pendidik (guru) yang berkolaborasi, dan merefleksi pembelajaran di kelas sehingga dapat memperbaiki proses pembelajaran

Ada dua model Lesson Study, yaitu: Lesson Study Berbasis Sekolah yang dilakukan di sekolah oleh guru dari berbagai bidang studi serta kepala sekolah. Pada pelaksanaannya, sekolah mungkin saja melibatkan pihak luar sebagai tenaga ahli seperti dosen dari perguruan tinggi atau undangan lain. Lesson Study berbasis sekolah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran setiap bidang studi. Di sekolah dasar, yang menggunakan sistem guru kelas, Lesson Study dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas guru kelas serta berbagi pengalaman mengajar di setiap kelas.

Page 102: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

93

Model kedua dari Lesson Study adalah Lesson Study Berbasis Kelompok Guru. Kelompok guru biasanya berdasarkan bidang studi pada wilayah kerja tertentu, misalnya MGMP atau KKG. Kegiatan Lesson Study biasanya dikoordinir oleh kelompok guru tersebut dan dibina oleh dinas pendidikan yang terkait. Beberapa tim ahli dari dosen juga dilibatkan beserta para mahasiswa dengan bidang yang sama. Hal ini bertujuan agar terjadi kerja sama ilmiah di antara praktisi pendidikan.

Lesson Study pada pembelajaran penjumlahan pecahan

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ada tiga tahap pada Lesson Study, yaitu:

1. Tahap I. Perencanaan

Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan antara lain:

a. Identifikasi masalah

Masalah yang diidentifikasi termasuk materi pelajaran yang relevan dengan kelas dan jadwal pelajaran, karakteristik siswa dan suasana kelas, metode/pendekatan pembelajaran, media, alat peraga, penilaian dan alternatif pemecahannya. Pada makalah ini penulis fokus pada masalah yang berkaitan dengan kemampuan guru mengelola kelas, yaitu guru sering menggunakan metode ceramah dan tidak menggunakan media yang bervariasi saat mengajar.

b. Penyusunan tim

Tim terdiri atas beberapa orang yaitu penulis sebagai guru model, 2 orang guru serta 1 dosen dan 2 mahasiswa PGSD FKIP Unsyiah sebagai pengamat.

c. Penyusunan perangkat pembelajaran

Perangkat pembelajaran yang dipersiapkan terdiri atas 1) RPP, 2) LKS, 3) media dan alat peraga, 4) instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran, 5) lembar observasi.

Adapun media yang dipergunakan pada siklus I adalah tali rafia yang merepresentasikan pecahan pada garis bilangan. Pada siklus II media yang dipergunakan adalah karton dan plastik yang diarsir untuk sebagai media untuk materi penjumlahan pecahan dengan penyebut yang tidak sama.

2. Tahap II. Tahap implementasi dan observasi

Terkait dengan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, para observer diharapkan mengamati:

a. apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru memotivasi dan memfasilitasi cara berfikir siswa,

b. apakah guru menghargai gagasan siswa,

c. apakah guru memberi kesimpulan akhir berdasarkan pendapat siswa dan sesuai dengan tujuan pembelajaran,

d. apakah terjadi penguatan terhadap kompetensi yang dicapai siswa

3. Tahap III. Refleksi

Pada tahap refleksi, tim Lesson Study berkumpul dan membahas hal-hal yang terjadi selama pembelajaran berlangsung.

Page 103: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

94

a. Guru model mengungkapkan kesannya selama kegiatan berlangsung.

b. Observer menyampaikan hasil observasinya.

c. Guru model memberikan tanggapan balik terhadap komentar para observer.

d. Guru bersama observer merencanakan pembelajaran selanjutnya dengan memperbaiki hal-hal yang masih kurang.

3. Metode

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan dalam 3 (tiga) siklus yang setiap siklusnya meliputi 1) Perencanaan, 2) Pelaksanaan, dan 3) Refleksi.

Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan pengamatan langsung perekaman audio-video terhadap proses pembelajaran. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran dan rekaman video pembelajaran.

Data yang diperoleh dari lembar observasi kemampuan guru dianalisis menggunakan statistik deskriptif dengan skor rata-rata berdasarkan kriteria berikut.

1,00 ≤ TKG < 1,50 tidak baik 1,50 ≤ TKG < 2,50 kurang baik 2,50 ≤ TKG < 3,50 cukup baik 3,50 ≤ TKG < 4,50 baik 4,50 ≤ TKG < 5,50 sangat baik

Keterangan:

TKG = Tingkat Kemampuan Guru

4. Hasil dan Pembahasan

Sesuai dengan yang telah dijelaskan pada metode penelitian, setiap observer yang mengamati guru mengisi lembar observasi kemampuan guru yang telah disediakan. Hasil pengamatan tersebut kemudian dicari rata-ratanya. Tabel 1 berikut merupakan rekapitulasi rata-rata penilaian kelima observer terhadap kemampuan guru pada setiap siklusnya.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Observasi Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran

No Aspek Yang Diamati

Siklus I Siklus II Siklus III

Skor Kriteria

Skor Kriteria

Skor Kriteria

1 Pendahuluan a. Memotivasi siswa untuk belajar 4,7 SB 4,7 SB 5 SB b. Menyampaikan tujuan pembelajaran 3,7 C 4,3 B 4,3 B c. Menginformasikan langkah-langkah pembelajaran 4 B 4,7 SB 4,3 B 2 Kegiatan Inti a. Menyampaikan penjelasan materi 4,7 SB 4,7 SB 5 SB b. Mengarahkan siswa dalam membagi kelompok 4,7 SB 4,7 SB 5 SB

Page 104: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

95

c. Membagikan LKS dan menjelaskan petunjuk pengisian LKS

4,3 B 4,3 B 4,7 SB

d. Membimbing siswa dalam mendiskusikan dan mempresentasikan LKS

4,7 SB 4,7 SB 5 SB

e. Memberikan penguatan hasil diskusi dan materi pelajaran.

4,7 SB 4,7 SB 4,7 SB

f. Feedback/umpan balik dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa seputar materi yang dipelajari dan hal yang belum dimengerti siswa.

5 SB 4,7 SB 5 SB

3 Penutup a. Memberikan penguatan terhadap kesimpulan materi

pelajaran yang diambil.

4,7 SB 4,3 B 5 SB

b. Memberikan evaluasi kepada siswa 4,3 B 4,3 B 5 SB c. Kemampuan guru mengelola waktu 4 B 4 B 4,7 SB d. Melibatkan siswa dalam semua kegiatan pembelajaran 5 SB 4,7 SB 5 SB 4 Susunan Kelas a. Antusias guru 5 SB 4,3 B 5 SB b. Antusias siswa 5 SB 4,7 SB 5 SB

Rata-rata 4,57 SB 4,52 SB 4,84 SB Keterangan: C: Cukup; B: Baik; SB: Sangat Baik

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan, rata-rata kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran berada pada kategori sangat baik. Akan tetapi, terjadi penurunan rata-rata sebesar 0,05 poin dari sikus I ke siklus II yang kemudian naik kembali menjadi 4,84 di siklus III. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah deskripsi skor rata-rata kemampuan guru mengelola pembelajaran berdasarkan kegiatan pembelajaran.

Kegiatan Pendahuluan

Komponen pengamatan pada kegiatan pembukaan terbagi menjadi tiga, yaitu kemampuan guru untuk (1a) memotivasi siswa belajar; (1b) menyampaikan tujuan pembelajaran; dan (1c) menginformasikan langkah-langkah pembelajaran. Gambar 1 berikut mengilustrasikan skor rata-rata yang diperoleh guru untuk ketiga komponen tersebut pada ketiga siklusnya.

Gambar 1. Skor Rata-rata Kemampuan Guru Mengelola Kegiatan Pendahuluan

4,7 4,75

3,74,3 4,3

44,3 4,3

(1a) Memotivasi Siswa (1b) Menyampaikan

Tujuan Pembelajaran

(1c) Menginformasikan

Langkah Pembelajaran

Siklus I Siklus II Siklus III

Page 105: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

96

Seperti yang dapat dilihat dari Gambar 1, pada siklus I kemampuan guru untuk memotivasi siswa belajar sudah berada pada kategori sangat baik. Akan tetapi, skor yang diperoleh pada siklus kedua menjadi turun 1 poin. Berikut akan ditampilkan cuplikan percakapan guru model pada saat memotivasi siswa.

Tabel 2. Cuplikan Percakapan Guru dan Siswa pada Kegiatan Pembuka

Cuplikan Percakapan Siklus I Cuplikan Percakapan Siklus II Guru : Assalamu’alaikum warahmatullahi

wabarakatuh. Siswa/i : Wa’alaikum salam warahmatullahi

wabarakatuh. Guru : Ya, selamat pagi anak-anak. Siswa/i : Pagi, Bu... Guru : Bagaimana, sudah sarapan semua? Siswa/i : Sudah... Guru : Alhamdulillah... Ya, sebelum pergi

ke sekolah, diusahakan sarapan ya nak ya... Seperti mobil, isi bensin dulu. Jadi kita untuk belajar, bergerak, berpikir, berolahraga perlu tenaga. Tenaga datangnya dari mana nak?

Siswa/i : Dari... Guru : Dari? Dari makanan yang kita

makan. Jadi, pagi-pagi sarapan dulu, ya? Boleh makan nasi, atau mi, atau roti. Bagus kalau ada minum susu, kalau tidak minimal minum teh manis. Ya nak ya? Biar kita segar, semangat, nanti bisa berpikir. Kan ada yang waktu upacara suka pingsan ya kan? Kenapa?

Siswa/i : Karena tidak makan.

Guru : Ini masih melanjutkan pertemuan pertama. Kalau pertemuan pertama menjumlahkan pecahan dengan penyebut yang sama. Penyebutnya sudah sama, jadi bisa langsung terus dijumlahkan.

Sekarang, penyebutnya belum sama. Jadi, perlu diapakan?

Siswa/i : [Tidak ada yang menjawab] Guru : Disamakan dulu ya. Tadi pagi ibu sudah mempersiapkan

ini (menunjukkan roti). Apa ini nak? Siswa/i : Roti Guru : Ya, kata anak Ibu ini roti gandum

namanya. Banyak serat, biar sehat. Karena badan ibu agak sedikit gemuk. Sudah tua tidak boleh gemuk, nanti banyak penyakit.

Ini satu helai, satu keping roti gandum. Kalau ibu potong dua misalnya (memotong roti menjadi dua bagian).

Nah, sudah ibu bagi. Jadi masing-masing berapa nak?

Siswa/i : Satu per dua.

Berdasarkan cuplikan percakapan pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa pada Siklus I, motivasi yang diberikan oleh guru sangat baik, begitu pula dengan motivasi pada siklus II. Akan tetapi, dikarenakan siklus II berlangsung pada hari yang sama dengan siklus I (berlanjut setelah istirahat) sehingga motivasi siswa untuk belajar sudah agak berkurang karena hari sudah siang.

Gambar 2 juga menunjukkan bahwa skor rata-rata yang diperoleh guru untuk komponen 1b dan 1c menurun. Berdasarkan hasil refleksi, hal ini disebabkan karena materi pada siklus II dan III merupakan lanjutan dari materi sebelumnya, sehingga guru tidak menjelaskan tujuan dan langkah pembelajaran seeksplisit pada siklus I.

Page 106: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

97

Kegiatan Inti

Komponen pengamatan pada kegiatan pembukaan terbagi menjadi enam, yaitu kemampuan guru untuk (2a) menyampaikan penjelasan materi; (2b) mengarahkan siswa dalam pembagian kelompok; (2c) membagikan LKS dan menjelaskan petunjuk pengisian LKS; (2d) membimbing siswa dalam mendiskusikan dan mempresentasikan materi; (2e) memberikan penguatan hasil diskusi dan materi pelajaran; (2f) feedback/umpan balik dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa seputar materi yang dipelajari dan hal yang belum dimengerti siswa. Gambar 2 berikut mengilustrasikan skor rata-rata yang diperoleh guru untuk keenam komponen tersebut pada ketiga siklusnya.

Gambar 2. Skor Rata-rata Kemampuan Guru Mengelola Kegiatan Inti

Gambar 2 menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola kegiatan inti berada pada kategori yang sangat baik dengan nilai yang tidak mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Peningkatan terjadi pada siklus ketiga. Hal ini dapat terjadi dikarenakan siklus I dan kedua dilaksanakan pada hari yang sama, sehingga guru pada siklus kedua masih belum maksimal dalam menampung dan memperbaiki sedikit kekurangan di siklus I.

Pada kegiatan membagikan LKS dan menjelaskan petunjuk pengisian LKS (komponen 2c), skor rata-rata penilaian yang diperoleh guru pada siklus I dan II adalah 4,3 yang berada pada kategori baik. Hal ini disebabkan karena penjelasan tentang cara penggunaan medianya agak kurang bisa dipahami oleh siswa, guru harus memberi contoh lebih lanjut baru siswa dapat memahami bagaimana cara menggunakan alat peraga (Gambar 3) tersebut.

4,7 4,7

4,3

4,7 4,7

5

4,7 4,7

4,3

4,7 4,7 4,7

5 5

4,7

5

4,7

5

(2a)

Penjelasan

Materi

(2b) Membagi

kelompok

(2c) Membagi

LKS dan

pengarahan

tugas

(2d)

Membimbing

siswa diskusi

(2e)

Penguatan

hasil diskusi

(2f) Feedback

Siklus I Siklus II Siklus III

Page 107: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

98

Gambar 3. Alat Peraga yang Digunakan pada Siklus II

Siswa kebingungan dengan gambar titik-titik pada plastik dan arsiran pada karton, sehingga guru perlu berkeliling ke kelompok-kelompok untuk memberi penjelasan lebih lanjut tentang cara penggunaanya. Seperti yang dapat dibaca pada cuplikan berikut.

Guru : (Berkeliling ke kelompok-kelompok untuk menjelaskan cara menggunakan karton dan plastik tersebut) Ini bola-bola ini berapa, ditambah lagi yang ini [karton] yang diarsir merah ini. Digabung nanti hasilnya berapa? Harus disetel biar sama besar ya nak ya. Persegi yang di bawah [karton] ditutup dengan persegi yang di plastik.

Berdasarkan hasil refleksi, guru memperbaiki penggunaan media karton dan plastic tersebut pada pertemuan selanjutnya (siklus III). Sebelum melanjutkan materi, guru mengulang kembali cara menggunakan alat peraga tersebut secara klasikal, seperti yang dapat dibaca pada cuplikan berikut.

Guru : Nah, kita akan mengulang yang kemarin dulu. Memang yang kemarin agak sulit. Yang ini [pecahan pada gambar pertama] berapa nak?

Gambar 4. Alat Peraga yang Ditempelkan di Papan Tulis

Siswa/i : Satu per empat. Guru : Ya, bagus. Yang ini [pecahan pada gambar kedua]? Siswa/i : Dua per tiga. Guru : Yang diarsir bola-bola hitam ini dua per tiga. Nah, lalu [plastik pecahan dua per tiga] ditimpa kemari. Kemarin tidak di lem, makanya bingung.

Kegiatan Penutup

Komponen pengamatan pada kegiatan penutup terbagi menjadi empat, yaitu kemampuan guru untuk (3a) memberikan penguatan terhadap kesimpulan materi pelajaran yang diambil; (3b) memberikan evaluasi kepada siswa; (3c) kemampuan mengelola waktu; dan (3d) melibatkan siswa dalam semua kegiatan pembelajaran. Gambar 5 berikut mengilustrasikan skor rata-rata yang diperoleh guru untuk keempat komponen tersebut pada ketiga siklusnya.

Page 108: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

99

Gambar 5. Skor Rata-rata Kemampuan Guru Mengelola Kegiatan Penutup

Seperti juga pada kegiatan inti, pada kegiatan penutup skor rata-rata yang diperoleh guru cenderung sama atau menurun dari siklus I ke siklus II, untuk kemudian meningkat lagi di siklus III. Skor rata-rata terendah didapatkan pada komponen pengelolaan waktu (skor rata-rata 4) dan kemudian meningkat 0.7 poin pada siklus II. Hal ini disebabkan pada siklus I dan II, waktu yang direncanakan tidak sesuai dengan yang terjadi di kelas. Siswa membutuhkan waktu lebih banyak untuk memahami materi yang diberikan dengan bimibingan guru, sedangkan pada siklus III, materinya merupakan lanjutan dari materi pada siklus II dengan menggunakan media (alat peraga yang sama), sehingga siswa sudah agak mengerti tentang cara penggunaan media tersebut,

Susunan Kelas

Komponen pengamatan pada susunan kelas terbagi menjadi dua, yaitu (4a) antuasiasme guru dan (4b) antusiasme siswa. Gambar 6 berikut mengilustrasikan skor rata-rata yang diperoleh guru untuk kedua komponen tersebut.

Gambar 6. Skor Rata-rata untuk Antusiasme Guru dan Siswa

4,74,3

4

5

4,3 4,34

4,75 5

4,75

(3a) Penguatan

terhadap

kesimpulan

(3b) Evaluasi (3c) Mengelola

waktu

(3d) Melibatkan

siswa dalam semua

kegiatan

Siklus I Siklus II Siklus III

5 5

4,3

4,7

5 5

Antusiasme guru Antusiasme siswa

Siklus I Siklus II Siklus III

Page 109: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

100

Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa pada siklus I dan III antusiasme guru dan siswa mencapai skor maksimal. Akan tetapi, di siklus II antusiasme guru turun 0.7 poin sedangkan antusiasme siswa turun 0,3 poin. Hal ini juga disebabkan karena waktu pelaksanaan pembelajaran pada siklus II adalah siang hari, sehingga guru dan siswa sudah merasa kecapaian, akibatnya antusiasmenya menurun. Selain itu, alat peraga yang dipergunakan pada siklus II juga masih baru bagi siswa sehingga siswa merasa kesulitan menggunakannya, sehingga antusiasmenya menjadi berkurang.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat dilihat bahwa walaupun pada siklus II skor yang diperoleh cenderung menurun dari siklus I, akan tetapi skor tersebut mengalami peningkatan lagi pada siklus III. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan Lesson Study, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran penjumlahan pecahan di kelas IV SDN Lamsayeun dapat meningkat.

Daftar Pustaka

Hendayana, S, dkk. 2006. Lesson Study suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan

Pendidikan (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press. Johar, Rahmah, dkk. 2007. Pembelajaran Matematika SD 1. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Lewis, 2002. Lesson Study: A Handbook for Teacher-Led Improvement of Instruction. Oakland CA: Education Department, Mills College [online]. http://www.lessonresearch.net. [17-s05-2007].

Richardson, 2006. Kumpulan Makalah Pelatihan Lesson Study. Diakses dari laman http://goodeducations.blogspot.com/2009/12/lesson-study-sebagai-alternatif-proses.html diakses pada tanggal 04-02-2014.

Subarinah,Sri. 2005. Inovasi Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Mataram: DEPDIKNAS.

Page 110: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

101

Penerapan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Aktifitas Siswa pada Materi Logaritma di kelas X-IPS2 MAN 3 Banda Aceh Tahun Ajaran 2014-2015.

Mutia Fariha, Sri Ekayanti (2014)

ABSTRAK: Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang pelaksanaannya dirancang dalam dua siklus. Rancangan untuk tiap siklus terdiri atas empat tahapan, yakni: perencanaan, pelaksanaan, observasi/evaluasi, dan refleksi. Sebagai subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas X-IPS2 MAN 3 Banda Aceh yang terdiri atas 25 orang siswa. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui bagaimana menerapkan model discovery learning agar dapat meningkatkan hasil belajar dan aktifitas siswa pada pembelajaran materi logaritma di kelas X-IPS2

MAN 3 Banda Aceh (2) mengetahui bagaimana hasil belajar dan aktifitas siswa yang diperoleh dengan penerapan model discovery learning pada materi logaritma di kelas X-IPS2 MAN 3 Banda Aceh. Data hasil belajar siswa dikumpulkan melalui tes hasil belajar siswa, sedangkan data aktifitas siswa dikumpulkan melalui hasil observasi aktifitas siswa. Selanjutnya, data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan model discovery learning berbantuan LKS dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan aktifitas siswa dalam pembelajaran. Secara keseluruhan penelitian ini dikatakan berhasil karena hasil belajar dan aktifitas siswa pada siklus I meningkat pada siklus II. Peningkatan rata-rata hasil belajar siswa yaitu pada siklus I sebesar12% menjadi 88% pada siklus II. Aktifitas siswa juga menunjukkan peningkatan yang pada siklus I hanya mencapai tiga kategori pengamatan yang efektif, menjadi tujuh kategori pengamatan yang efektif pada siklus II. Dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa penerapan model discovery learning dalam penelitian ini telah berhasil dengan baik. Kata kunci: Model Discovery Learning, peningkatan hasil belajar, peningkatan aktifitas.

PENDAHULUAN

Matematika merupakan disiplin ilmu yang bersifat abstrak, sifat inilah yang sering menimbulkan masalah bagi guru untuk dapat mengajarkan matematika dengan baik, kebanyakan siswa menganggap matematika itu sulit, hal ini disebabkan karena materinya terdiri dari konsep-konsep terstruktur rapi seperti rumus-rumus. Siswa tidak mampu menguasai konsep matematika tersebut dengan baik, ketidakmampuan siswa mengakibatkan hasil belajar dan keaktifan siswa menjadi rendah dalam pembelajaran. Hasil belajar adalah penilaian hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang diperoleh sebagai akibat usaha kegiatan belajar dan dinilai dalam periode tertentu. Bloom (1956) menyatakan ranah kognitif berkaitan dengan pengetahuan, afektif berkaitan dengan sikap, dan psikomotor berkaitan dengan keterampilan. Penilaian hasil belajar harus mampu menjelaskan peningkatan terhadap ketiga ranah tersebut. Hal ini juga sesuai dengan penilaian yang diharapkan pada kurikulum 2013. Menentukan keberhasilan suatu hasil belajar tidak cukup hanya dengan melihat pencapaian siswa dalam menyelesaikan soal tes, aktifitas atau kegiatan siswa dalam pembelajaran juga menjadi indikator keberhasilan suatu pembelajaran. Aktifitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian dalam kegiatan belajar guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. Oleh karena itu aktifitas dalam pembelajaran sangat diperlukan, sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktifitas (Sardiman, 2011:91). Materi awal yang dipelajari pada semester I kelas X di jenjang SMA/MA adalah logaritma. Kompetensi yang diharapkan diantaranya adalah agar siswa dapat menemukan konsep logaritma dan sifat-sifat logaritma. Logaritma merupakan materi dasar yang sangat penting untuk dipelajari serta dipahami oleh peserta didik, karena banyak materi matematika baik itu di kelas XI, XII SMA/ MA maupun di pelajaran lain yang memanfaatkan logaritma dalam aplikasi materinya.

Page 111: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

102

Hasil wawancara dengan guru yang mengajar di kelas X MAN 3 Banda Aceh pada tanggal 15 Juli 2014, penulis mendapatkan informasi dari guru bersangkutan bahwa berdasarkan pengalaman mengajar selama ini, hasil belajar yang diperoleh siswa pada materi logaritma rendah. Siswa tidak mampu dalam menyelesaikan soal logaritma karena kesulitan mengingat dan memilih sifat-sifat logaritma yang sesuai dengan soal yang diberikan, selama ini siswa hanya menghafal sifat-sifat tersebut saat diajarkan saja dan tidak mengingatnya dalam watu yang lama, hal ini terlihat dari hasil belajar yang diperoleh masih jauh dari yang diharapkan (nilai KKM = 75). Permasalahan ini harus segera diselesaikan supaya siswa bisa memperoleh hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan dan terbiasa mengingat sifat-sifat logaritma, serta diharapkan dapat bertahan dalam waktu yang lama bukan hanya mengingat pada saat diajarkan saja. Materi sifat-sifat logaritma ini akan lebih mudah diingat dan dikuasai jika siswa telah mampu merumuskan/menemukan secara mandiri. penemuan secara mandiri ini sesuai dengan susunan kegiatan belajar mengajar pada model pembelajaran discovery learning, karena sintaks-sintaks discavery learning akan menuntun siswa untuk menemukan sifat-sifat logaritma tersebut. Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka penulis melakukan penelitian tentang “Penerapan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Aktifitas Siswa pada Materi Logaritma di kelas X-IPS2 MAN 3 Banda Aceh Tahun Ajaran 2014-2015”

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah menerapkan model pembelajaran discovery learning agar dapat

meningkatkan hasil belajar dan Aktifitas siswa pada pembelajaran materi logaritma di kelas X-IPS2 MAN 3 Banda Aceh?

2. Bagaimakah hasil belajar dan Aktifitas siswa yang diperoleh dengan penerapan model pembelajaran discovery learning pada materi Logaritma di kelas X-IPS2 MAN 3 Banda Aceh?

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan deskriptif. Hal ini dikarenakan penelitian ini mendeskripsikan hasil penerapan model discovery learning yang dilihat dari aspek hasil belajar dan aktifitas siswa, serta kemampuan guru mengelola kelas. Pendekatan deskriptif ini adalah serangkaian proses pengumpulan data, menganalisis data, menginterprestasikan serta menarik kesimpulan yang berkenaan dengan data tersebut. Jenis analisis data yang digunakan berupa analisis deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis hasil tes pada setiap siklus, menganalisis kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan menerapkan model discovery learning, dan menganalisis aktifitas siswa dalam proses pembelajaran. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus dengan menerapkan model discovery learning dan pendekatan pembelajaran saintifik dan untuk meningkatkan hasil belajar dan aktifitas siswa. Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan September 2014 tahun ajaran 2014-2015 karena pada waktu tersebut telah memasuki semester satu dan materi logaritma diajarkan pada kelas X semester satu. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X-IPS2 MAN 3 Banda Aceh tahun ajaran 2014-2015 yang berjumlah 25 orang siswa. Data hasil belajar siswa diperoleh berdasarkan hasil tes pada akhir siklus I dan siklus II, sementara data aktifitas siswa dan pengamatan terhadap kemampuan guru diperoleh melalui hasil observasi yang diamti pada setiap pertemuan. Keseluruhan data akan dianalisis secara kualitatif untuk melihat peningkatan hasil belajar dan aktifitas siswa. Penerapan model pembelajaran discovery learning dalam PTK ini berhasil apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : a. Bila lima aspek pengamatan memenuhi kriteria batasan efektifitas aktifitas, maka aktifitas siswa

adalah efektif.

Page 112: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

103

b. Bila secara individu setiap siswa memperoleh nilai minimal 75 dari skor 100, dan secara klasikal paling sedikit 85% siswa tuntas.

Prosedur penelitian ini terdiri dari empat langkah, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi dari masing-masing siklus. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Arikunto (2009:70) bahwa prosedur hendaknya dirinci dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan evaluasi-refleksi yang bersifat daur ulang atau siklus.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil dan analisis data dapat simpulkan bahwa upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi logaritma dapat dilakukan dengan model discovery learning. Dapat dilihat selama pembelajaran berlangsung terjadi peningkatan hasil belajar dan aktifitas siswa menjadi lebih baik/aktif dari pertemuan sebelumnya. Aktifitas siswa pada siklus I terlihat masih kurang aktif diantaranya, kurang bertanya, belum mampu menanggapi presentasi dari kawan lainnya, diskusi dalam kelompok yang belum berjalan, belum mampu memahami LKS, maupun beberapa hal lainnya yang relevan dengan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa dengan langkah-langkah yang terdapat dalam model pembelajaran discovery learning, namun penulis yang sekaligus berperan sebagai guru dalam penelitian ini berusaha memperbaiki aktifitas-aktifitas tersebut, dan memberi motivasi kepada siswa mengenai manfaat mempelajari materi logaritma. Penulis melihat antusias siswa dalam pembelajaran setelah mengetahui manfaat mempelajari materi logaritma, sehingga dapat dilihat dengan jelas pada pertemuan selanjutnya aktifitas siswa menjadi semakin aktif pada hal-hal yang relevan dengan kegiatan pembelajaran dan semakin berkurang aktifitas siswa yang tidak relevan dengan kegiatan pembelajaran. Hasil peningkatan aktifitas siswa dapat dilihat secara jelas pada hasil Observasi Aktifitas Siswa (LOAS) yang diamati pada setiap pertemuan. Hasil analisis LOAS dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Observasi Aktifitas Siswa

Kategori Pengamatan

Persentase Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran (%) Persentase Kesesuaia

n (P) Siklus I Siklus II

RPP I RPP II Rata-rata

KET RPP I RPP II

Rata-rata

KET Waktu Ideal

Toleransi

1. Mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru atau teman

26,83 % 17,61 % 22,22%

Belum efektif

11,59 % 10 % 10,7%

Belum efektif

10%

5% ≤ P ≤ 10%

2. Membaca/ memahami LKS

10,17 % 8,33 % 9,25%

Belum efektif

15,22 % 12,5 %

13,87% efektif

15%

10% ≤ P ≤ 20%

3. Menulis (yang relevan dengan KEGIATAN PEMBELAJARAN)

22,22 % 32,38 % 27,3%

Belum efektif

15,94 % 16,67 %

16,3% efektif

15% 10% ≤ P ≤ 20%

4. Menyelesaikan masalah/ menemukan cara penyelesaian masalah

18,5% 16,67 % 17,58%

Belum efektif

24,64 % 27,55 %

26,09% efektif

30% 25% ≤ P ≤ 35%

Page 113: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

104

Kategori Pengamatan

Persentase Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran (%) Persentase Kesesuaia

n (P) Siklus I Siklus II

RPP I RPP II Rata-rata

KET RPP I RPP II

Rata-rata

KET Waktu Ideal

Toleransi

5. Berdiskusi/ bertanya antar siswa

8,33% 8,33 % 8,33% Efektif

11,60 % 10,83 %

11,22% Efektif

10% 5% ≤ P ≤ 15%

6. Berdiskusi/ bertanya antar siswa dan guru

12,05 % 12% 12,03%

Efektif

10,87 % 10,83 %

10,85% Efektif

10%

5% ≤ P ≤ 15%

7. Menarik kesimpulan suatu konsep/ prosedur

2,77 % 2,77% 2,77%

Belum efektif

10,14 % 10,83 %

10,49% Efektif

10%

5% ≤ P ≤ 15%

8. Perilaku yang tidak relevan dengan KEGIATAN PEMBELAJARAN

3,72 % 1,83 % 2,77% efektif

0 % 0,83 %

0,42% Efektif

0% 0% ≤ P ≤ 5%

Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat bahwa pada siklus I peningkatan aktifitas siswa hanya mencapai ketuntasan efektif pada tiga katagori pengamatan menjadi tujuh kategori pengamatan pada siklus II karena rata-rata kategori pengamatan yang diperoleh pada setiap siklus berada pada persentase kesesuaian. Hasil peningkatan kemampuan guru dapat dilihat pada tabel hasil Observasi Aktifitas guru (LOAG) di bawah ini yang diamati pada setiap pertemuan.

Tabel 2. Hasil Observasi Aktifitas Guru dalam dua siklus

No Kegiatan Siklus I Siklus I

RPP 1 RPP II RPP 1II RPP IV

P S X Y P S X Y P S X Y P S X Y

1 Apersepsi I 3

3.5

3.32

I 3 3.5

3.82

I 4 4

3.95

I 5 5

4.77

II 4 II 4 II 4 II 5

2 Penjelasan Materi

I 4 3.5

I 4 4

I 4 4

I 5 5

II 3 II 4 II 4 II 5

3 Penjelasan model pembelajaran

I 3

3 I 4

3.5 I 5

5 I 5

5 II 3 II 3 II 5 II 5

4 Pengelolaan Kegiatan diskusi

I 4

3.5 I 4

4 I 5

4.5 I 5

5 II 3 II 4 II 4 II 5

5

Pemberian soal atau pertanyaan yang berkaitan dengan materi

I 3

3

I 4

4

I 4

4.5

I 4

4.5 II 3 II 4 II 5 II 5

6 Kemampuan memberikan evaluasi

I 3

3

I 4

3.5

I 4

4

I 4

4.5 II 3 II 3 II 4 II 5

7 Kemampuan I 3 3 I 3 3.5 I 4 4 I 5 4.5

Page 114: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

105

No Kegiatan Siklus I Siklus I

RPP 1 RPP II RPP 1II RPP IV

P S X Y P S X Y P S X Y P S X Y

memberikan motivasi

II 3 II 4 II 4 II 4

8

Memberikan penghargaan individu atau kelompok

I 4

4

I 4

4

I 4

4

I 5

5 II 4 II 4 II 4 II 5

9 Menentukan nilai individu atau kelompok

I 3

3.5

I 4

4

I 4

4

I 5

4.5 II 4 II 4 II 4 II 4

10 Menyimpulkan materi pembelajaran

I 3

3.5

I 4

4

I 4

4.5

I 4

4.5 II 4 II 4 II 5 II 5

11 Menutup pembelajaran

I 3 3

I 4 4

I 4 5

I 5 5

II 3 II 4 II 5 II 5 Y 3.32 3.82 3.95 4.77

rata-rata Y 3.57 4.36

Keterangan: Sangat baik : 5 Pengamat : P Baik : 4 Rata-rata 1 : x Cukup : 3 Rata-rata 2 : y Kurang baik : 2 Skor : S Tidak baik : 1

Berdasarkan tabel 2. dapat dilihat bahwa aktifitas guru yang pada siklus I hanya mencapai skor rata-rata 3,57 meningkat menjadi 4,36 pada sii klus II. Kategori peningkatan ini sesuai dengan indikator kriteria nilai rata-rata Tingkat Kemampuan Guru (TKG) yang dikemukakan Mukhlis (2005), termasuk kategori baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru mengelola pembelajaran mencapai kategori baik.

Perbedaan hasil belajar siswa kelas X-IPS2 yang berjumlah 25 orang diperoleh berdasarkan hasil tes pada akhir siklus I dan siklus II dapat dilihat pada tebel berikut.

Tabel 3. Data hasil belajar siswa

Nilai Siklus I II

Maksimum 85 100 Minimum 53 60 Rata-rata 67,64 82,08 Persentase Ketuntasan 12% 88%

Berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa tes hasil belajar siklus I hanya 12 % yang tuntas atau 3 orang dari 25 orang, hal ini sangat berbanding terbalik dengan tes hasil belajar pada siklus II, yaitu mencapai 88 % yang tuntas atau 22 orang orang dari 25 orang. Minimnya hasil belajar pada siklus satu, disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah adanya pemanggilan beberapa siswa oleh pihak sekolah saat tes sedang berlangsung, dan kondisi lingkungan yang sedikit bising sehingga mengganggu konsentrasi siswa, selain itu faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap minimnya hasil belajar siswa pada siklus I adalah kurangnya kemampauan awal siswa dalam mempelajari materi logaritma, salah satunya operasi hitung bilangan bulat, hal ini penulis amati dari hasil kerja siswa pada materi sebelum logaritma.

Page 115: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

106

Pada tes siklus II, penulis menjaga agar faktor yang terjadi pada siklus I tidak terulangi, sehingga hasil yang diperoleh pada tes siklus II terjadi peningkatan yang signifikan seperti yang diharapkan, walaupun masih ada beberapa siswa yang masih belum tuntas. Dikarenakan hasil belajar siswa yang diperoleh pada siklus II ini adalah 88%, lebih besar dari batas yang direncanakan, yaitu (minimal 85% siswa tuntas), maka penelitian ini dianggap telah berhasil sehingga penulis memutuskan untuk mencupi penelitian ini hanya sampai pada siklus II saja. SIMPULAN Berdasarkan hasil Penelitian Tindakan Kelas yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan model discovery learning pada pembelajaran matematika materi logaritma dilakukan

dengan menerapkan fase-fase model pembelajaran discovery learning dan telah berhasil dengan baik.

2. Hasil belajar dan aktifitas siswa dengan penerapan model discovery learning secara umum mengalami peningkatan ketuntasan klasikal. Hal ini ditunjukkan dengan hasil belajar siswa pada tes siklus I yang hanya diperoleh 12% menjadi 88% pada siklus II. Kemudian aktifitas siswa pada siklus I hanya mencapai tiga kategori pengamatan yang efektif menjadi tujuh kategori pengamatan yang efektif pada siklus II.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi dkk. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.

--------, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta

Bloom, B. S. ed. et al. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain. New York: David McKay.

Haniin, Umi. 2013. Proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jawa Tengah

Hasbi. 1999. Pengembangan Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berdasarkan Langkah-langkah Investigasi Matematika pada Pokok Bahasan Fungsi Invers di SMU (Makalah yang diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Ujian Komprehensif pada Program Pascasarjana IKIP Surabaya). IKIP Surabaya.

Mukhlis, 2005. Pembelajaran Matematika Realistik untuk Pokok Materi Perbandingan di Kelas VII SMP Negeri 1 Pallangga. Surabaya: Tesis PPs Unesa.

Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo persada.

Page 116: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

107

Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal-Soal PISA di Kelas VIII SMP Negeri 6 Banda Aceh

Tahun Ajaran 2013-2014

Ellianti 1, Rahmah Johar2, dan Nana Mulya3 1Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2 Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

3Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala Abstrak. PISA adalah salah satu evaluasi internasional yang dilaksanakan secara rutin setiap tiga tahun sekali untuk mengevaluasi peserta didik pada usia sekitar 15 tahun. Pelaksanaan PISA yang telah dimulai sejak tahun 2000 menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia khususnya dalam literasi matematika masih rendah. Dalam literasi matematika PISA, kemampuan komunikasi matematis merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang kemampuan matematika lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA di kelas VIII SMP Negeri 6 Banda Aceh. Subjek penelitian terdiri dari enam siswa kelas VIII-2. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian dijaring melalui tes dan wawancara. Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap hasil tes dan wawancara siswa dengan mengacu pada rubrik penilaian komunikasi matematis. Pemilihan siswa yang diwawancarai berdasarkan kriteria tertentu, yaitu siswa yang mewakili variasi skor untuk setiap konten soal dan siswa yang mengerjakan soal dengan langkah penyelesaian yang unik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten perubahan dan hubungan (change and releationship) berada pada kategori baik, 2) kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten kuantitas (quantity) berada pada kategori baik, 3) kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten ketidakpastian dan data (uncertainty and data) masih berada pada kategori rendah, 4) kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten ruang dan bentuk (space and shape) masih berada pada kategori rendah, 5) terdapat beberapa faktor penghambat siswa dalam menyelesaikan soal-soal komunikasi matematis PISA yaitu: siswa masih sulit memahami informasi dari masalah yang diberikan; tidak mampu mengidentifikasikan konsep dari soal; salah dalam menggunakan konsep; belum mampu membuat model matematika; belum mampu mengaitkan ide ke dalam bentuk gambar; lemah dalam penafsiran gambar; penguasaan materi prasyarat yang masih rendah; dan lemah dalam operasi hitung.

Kata kunci: PISA, komunikasi matematis

1. Pendahuluan

Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika, sains, dan membaca dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan sebagai gambaran baik atau buruknya kualitas pendidikan bagi siswa usia wajib belajar dari SD dampai kelas 3 SMP. Salah satu bentuk upaya untuk melihat sejauh mana keberhasilan program pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain

Page 117: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

108

di dunia adalah menjadi peserta dalam pelaksanaan penilaian internasional. Terdapat tiga macam penilaian internasional untuk mengukur kemampuan matematika dan sains siswa dan Indonesia juga menjadi salah satu negara peserta. Ketiga penilaian internasional itu adalah: 1) PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study); 2) TIMSS (Trend in International Mathematics and Science Study) dan 3) PISA (Program for International Student Assessment (OECD, 2010:180).

Berkaitan dengan pengalaman belajar yang dituntut dalam pelaksanaan kurikulum 2013 sebagaimana diatur dalam Permendikbud 81 A tahun 2013 (Johar, 2014:1) yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengkomunikasikan atau lebih dikenal dengan pendekatan saintifik, maka dari ketiga program penilaian internasional tersebut di atas PISA memiliki kaitan yang lebih signifikan. Dalam buku OECD yang berjudul PISA 2015 Draft Mathematics Framework (2013:3) disebutkan bahwa terdapat tujuh kemampuan yang menjadi dasar dalam matematika PISA yaitu: komunikasi; matematisasi; representasi; berfikir dan berargumen; menentukan strategi dalam pemecahan masalah; penggunaan simbol, bahasa dan operasi; dan menggunakan peralatan matematika. Dari seluruh komponen di atas, kemampuan komunikasi menjadi faktor yang sangat penting untuk menunjang kemampuan lainnya dalam matematika, sebagaimana makna komunikasi matematika (NCTM, 2000:60) yaitu kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksikan dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata dalam bentuk grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, table dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri.

Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Dewi dan Tiur (2013:173) pada siswa-siswa SMP di Kota Medan, diketahui bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah. Siswa masih memiliki karakter kurang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah, siswa menjawab pertanyaan tanpa landasan ilmu. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa khususnya dalam menyelesaikan soal PISA di SMP, karena soal PISA diujikan bagi anak usia sekita 15 tahun, dan Sekolah Mengenah Pertama (SMP) adalah pusat pendidikan formal bagi anak usia sekitar 15 tahun, dan dikarenakan soal matematika model PISA merupakan salah satu alternatif model soal yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1)Bagaimana Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal-Soal PISA di Kelas VIII SMP Negeri 6 Banda Aceh Tahun Ajaran 2013/2014? (2) Apa saja faktor penghambat siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Banda Aceh dalam menyelesaikan soal komunikasi matematis pada soal PISA?

2. Tinjauan Pustaka

Karakteristik Matematika Matematika yang merupakan salah satu bidang studi yang dipelajari di setiap jenjang pendidikan dimulai dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah adalah ilmu yang penting untuk dipelajari karena matematika selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam pemecahan masalah yang membutuhkan kemampuan untuk berpikir logis, selain itu matematika juga memiliki karakteristik khusus. Menurut Soedjadi (1999:13) karakteristik matematika adalah sebagai berikut: (1) memiliki objek abstrak yang meliputi fakta, konsep, operasi dan prinsip; (2) bertumpu pada kesepakatan; (3) berpola pikir deduktif; (4) memiliki simbol yang kosong dalam arti; (5) memperhatikan semesta pembicaraan; dan (6) konsisten dalam pembicaraan.

Page 118: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

109

PISA (Programm for international Student Assesment)

PISA adalah salah satu evaluasi internasional yang dikembangkan oleh Organization Economic Co-operation and Development (OECD) yang diselenggarakan oleh International Association for The Evaluation of Education Achievment (IEA) yang bertujuan untuk mengevaluasi dan meneliti secara berkala (tiga tahun sekali) tentang kemampuan peserta didik pada usia sekitar 15 tahun , dan Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut berpartisipasi dalam melaksanakan PISA tersebut. Secara umum kemampuan yang diukur dalam studi PISA fokus pada kemampuan membaca (reading literacy), matematika (mathematical literacy) dan sains (scientific literacy), artinya siswa tidak hanya memahami apa yang telah dipelajari, tetapi juga mampu menunjukkan kemampuan atau pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikan ke dalam masalah baru yang ditemukan, baik dalam konteks nyata ataupun tidak (OECD, 2013:3). Kemampuan siswa yang diukur dalam tes PISA tidaklah hanya memberikan jawaban tunggal dari sebuah pertanyaan, tetapi juga mengukur kemampuan bagaimana siswa dapat mengeksplorasikan pengetahuan yang telah dipelajari ke dalam konteks nyata kehidupan dan mampu menganalisis, bernalar dan berkomunikasi secara efektif seperti memecahkan dan menafsirkan masalah dalam berbagai situasi.

Kemampuan Komunikasi Matematis

Komunikasi adalah proses penyampaian suatu informasi dari satu orang ke orang lain sehingga mempunyai makna yang sama terhadap informasi yang disampaikan. Komunikasi tidak akan berlansung tanpa adanya alat bantu yang dapat menyampaikan ide, gagasan sekaligus pemahaman dari individu yang satu ke yang lainnya. Alat bantu komunikasi adalah bahasa. Matematika merupakan salah satu alat bantu bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi karena matematika bahasa yang universal, di setiap simbol yang digunakan dalam matematika dapat dipahami oleh siapapun meski dari negara yang berbeda. Sebagai contoh penggunaan lambang “≥”, lambang di atas digunakan untuk menyatakan hubungan/relasi dalam matematika yang memiliki arti “lebih besar atau sama dengan”.

Komunikasi matematika menurut NCTM (2000:60) adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksikan dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata dalam bentuk grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, table dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri, sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan atau ketrampilan siswa dalam menyatakan gagasan atau ide matematika serta menafsirkannya secara lisan atau tertulis dalam memecahkan masalah, sehingga melalui komunikasi, ide matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai perspektif; cara berpikir siswa dapat dipertajam; pertumbuhan pemahaman dapat diukur; pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir; pengetahuan matematika dan pengembangan masalah siswa dapat ditingkatkan. Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa adalah sebagai berikut: (a) menghubungkan benda nyata, gambar, atau diagram ke dalam ide matematika; (b) menjelaskan ide, situasi, atau relasi matematika dengan benda nyata, gambar, atau diagram; (c) menggunakan istilah, notasi, atau simbol matematika dan strukturnya untuk menjawab ide dari masalah yang diberikan; (d) menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap solusi.

Page 119: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

110

3. Metode

Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA. Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, karena bertujuan untuk memaparkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Banda Aceh dalam menyelesaikan soal-soal PISA.

Subjek Penelitian

Subjek Penilitian ini adalah siswa SMP Negeri 6 Banda Aceh yaitu kelas yang rata-rata siswanya memiliki kemampuan penalaran matematis tinggi yaitu kelas VIII-2, sehingga kelas yang dipilih untuk pelaksanaan penelitian adalah kelas VIII-2 SMP Negeri 6 Banda Aceh yang berjumlah 27 orang. Dari hasil tes yang dilakukan dipilih enam orang siswa sebagai subjek penelitian berdasarkan variasi skor yang diperoleh siswa dan siswa yang membuat langkah penyelesaian unik.

Instrumen Penelitian

Instrument dalam penelitian ini terdiri dari perangkat tes dan pedoman wawancara. Soal tes terdiri dari 6 soal berbentuk uraian yang mencakup keempat konten yang diuji dalam studi PISA yaitu perubahan dan hubungan (change and relationship), ruang dan bentuk (space and shape), kuantitas (quantity), serta ketidakpastian dan data (uncertainty and data). Soal-soal tersebut diadaptasi dari soal-soal literasi matematika PISA tahun 2009 dan 2012. Tes berbentuk uraian akan memperlihatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi matematis. Sedangkan wawancara diajukan secara tidak terstruktur karena pedoman waancara didasarkan pada bagaimana langkah siswa menyelesaikan soal. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui tes soal-soal PISA yang dapat mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa pada konten perubahan dan hubungan (change and relationship), ruang dan bentuk (space and shape), kuantitas (quantity), serta ketidakpastian dan data (uncertainty and data). Kemudian dilanjutkan dengan wawancara. Wawancara yang dilakukan terhadap siswa bertujuan untuk menelusuri lebih jauh tentang kemampuan komunikasi matematis siswa dan faktor-faktor penghambat dalam menyelesaikan soal PISA yang diujikan. Wawancara dilakukan setelah peneliti memeriksa dan mempelajari jawaban-jawaban siswa. Siswa yang diwawancarai adalah siswa dari kelompok hasil tes yang bervariasi dan siswa yang membuat langkah penyelesaian menarik. Teknik Analisis Data Melakukan penilaian terhadap hasil tes yang sesuai pedoman penilaian kemampuan komunikasi matematis yang diadaptasi dari rubrik Ansari (2009:79-81)

Page 120: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

111

Tabel 3.1 Pedoman Penilain Kemampuan Komunikasi Matematis Siwa

Konten PISA

Nomor Soal

Deskripsi Kemampuan Komunikasi Siswa Skor

Perubahan dan Huungan (Change and Releationship)

A (1)

Siswa mampu mengidentifikasikan atau mengkoneksikan informasi yang diberikan kemudian membentuk model matematika dari masalah, dan melakukan perhitungan secara lengkap dan benar

4

Siswa mampu mengidentifikasikan atau mengkoneksikan informasi yang diberikan serta membentuk model matematika dari masalah, kemudian melakukan perhitungan, namun terdapat sedikit kesalahan

3

Siswa mampu mengidentifikasikan atau mengkoneksikan serta membentuk model matematika dari permasalahan soal, kemudian melakukan perhitungan hanya sebagian dan tidak lengkap atau jawaban yang diberikan hanya sebagian yang benar

2

Siswa mampu membuat model matematika, namun salah dalam melakukan perhitungan 1 Siswa tidak mampu menjawab, jawaban yang diberikan menunjukkan tidak memahami konsep 0

A (2)

Siswa mampu melakukan perhitungan secara lengkap, mampu melukis gambar dari objek yang diminta serta penjelasan secara matematika masuk akal dan benar 4

Siswa mampu melakukan perhitungan secara lengkap, penjelasan secara matematika masuk akal, dapat melukis gambar dari objek yang diminta namun ada sedikit kesalahan

3

Siswa mampu melakukan perhitungan memberikan penjelasan secara matematika, melukis gambar dari objek yang diminta namun hanya sebagian lengkap atau jawaban yang diberikan hanya sebagian yang benar

2

Siswa menunjukkan pemahaman yang terbatas baik isi, tulisan, gambar, atau perhitungan.

1

Siswa tidak mampu menjawab atau jawaban diberikan menunjukkan tidak memahami konsep

0

Kuantitas (Quantity)

B (1)

Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan melakukan perbandingan serta perhitungan nilai-nilai kriteria pada soal secara lengkap, serta penjelasan secara matematika yang diberikan masuk akal

4

Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan melakukan perbandingan serta perhitungan nilai-nilai kriteria pada soal secara lengkap, penjelasan secara matematika masuk akal namun ada sedikit kesalahan

3

Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan melakukan perbandingan serta perhitungan nilai-nilai kriteria pada soal, memberikan penjelasan secara matematika namun hanya sebagian lengkap atau jawaban yang diberikan

2

Page 121: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

112

hanya sebagian yang benar Siswa menunjukkan pemahaman yang terbatas baik isi, penjelasan atau perhitungan.

1

Siswa tidak mampu menjawab atau jawaban diberikan menunjukkan tidak memahami konsep

0

Ketidakpastian dan Data (Uncertainty and Data

B (2)

Siswa mampu melakukan perhitungan aljabar secara lengkap, mampu melukis diagram dari objek yang diminta serta penjelasan secara matematika masuk akal dan benar

4

Siswa mampu melakukan perhitungan aljabar, penjelasan secara matematika masuk akal, dapat melukis diagram dari objek yang diminta namun ada sedikit kesalahan

3

Siswa mampu melakukan perhitungan aljabar memberikan penjelasan secara matematika, melukis diagram dari objek yang diminta namun tidak lengkap atau jawaban yang diberikan hanya sebagian yang benar

2

Siswa menunjukkan pemahaman yang terbatas baik isi, penjelasan atau perhitungan

1

Siswa tidak mampu menjawab atau jawaban diberikan menunjukkan tidak memahami konsep

0

Ruang dan Bentuk (Space and Shape

C

Siswa mampu mengindentifikasikan cara dalam menentukan luas bangun datar, serta dapat melakukan perhitungan dengan lengkap dan benar

4

Siswa mampu mengindentifikasikan cara dalam menentukan luas bangun datar, namun terdapat sedikit kesalahan dalam melakukan perhitungan

3

Siswa mampu mengindentifikasikan cara dalam menentukan luas bangun datar namun dalam melakukan perhitungan tidak lengkap atau jawaban yang diberikan hanya sebagian yang benar

2

Siswa menunjukkan pemahaman yang terbatas baik penjelasan atau perhitungan 1 Siswa tidak mampu menjawab atau jawaban diberikan menunjukkan tidak memahami konsep 0

Ruang dan Bentuk (Space and Shape

D

Siswa mampu menafsirkan bentuk bidang datar untuk menentukan luas, mampu menyelesaikan masalah dengan pemilihan rumus yang tepat, serta melakukan perhitungan dengan lengkap dan benar

4

Siswa mampu menafsirkan bentuk bidang datar untuk menentukan luas dan mampu menyelesaikan masalah dengan pemilihan rumus yang tepat, namun ada sedikit kesalahan dalam melakukan perhitungan

3

Siswa mampu menafsirkan bentuk bidang datar untuk menentukan luas dan mampu menyelesaikan masalah dengan pemilihan rumus yang tepat, serta melakukan perhitungan. Namun jawaban yang diberikan tidak lengkap atau jawaban yang diberikan hanya sebagian yang benar

2

Page 122: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

113

Siswa menunjukkan pemahaman yang terbatas baik penjelasan atau perhitungan 1 Siswa tidak mampu menjawab atau jawaban diberikan menunjukkan tidak memahami konsep 0

Keterangan: 4: “Sangat Baik” 3: “Baik” 2: “Cukup” 1: “Tidak Baik” 0: “Sangan Tidak Baik” 4. Hasil dan Pembahasan Hasil Skor kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Skor Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Subjek Penelitian

Skor Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Skor Total

Konten Perubahan dan Hubungan

Konten Kuantitas

Konten Ketidak

Pastian dan Data

Konten Ruang dan Bentuk

Soal A (1) Soal A (2)

Soal B (1)

Soal B (2) Soal C

Soal D

Subjek 1 4 4 3 2 1 2 16

Subjek 2 0 0 3 2 0 0 5 Subjek 3 4 3 0 2 1 1 11 Subjek 4 4 4 3 4 3 0 18 Subjek 5 3 2 3 1 2 0 11 Subjek 6 4 3 4 2 2 2 17

Berdasarkan Tabel 4.1 kemampuan komunikasi matematis siswa pada konten perubahan dan hubungan (change and releationship) untuk soal A (1) sudah baik. Empat orang siswa memperoleh skor 4 artinya empat orang siswa mampu menyelesaikan soal A (1) dengan benar. Satu orang siswa memperoleh skor 3 menunjukkan siswa dapat menyelesaikan msalah yang diberikan dengan benar, Satu orang lainnya memperoleh skor 0 artinya siswa sama sekali tidak mampu menyelesaikan soal atau kemampuan siswa masih sangat terbatas. Untuk soal A (2) dua orang siswa memperoleh skor 4 artinya siswa benar dalam menentukan langkah penyelesaian baik dalam proses perhitungan juga dalam melukiskan visualisasi yang diminta. Dua orang siswa memperoleh skor 3 menunjukkan siswa benar dalam menentukan langkah awal penyelesaian. Siswa juga benar dalam melakukan perhitungan, tetapi terjadi kesalahan dalam melukiskan visualisasi gambar yang diminta. Satu orang siswa memperoleh skor 2 artinya siswa benar dalam menentukan langkah penyelesaian dan perhitungan akan tetapi tidak dilengkapi dengan visualisasi gambar yang diminta. Satu siswa lainnya memperoleh skor 0 karena tidak mampu menyelesaikan masalah yang diberikan, sehingga menunjukkan keterbatasan kemampuan dalam memahami dan mengkomunikasikan masalah. Kemampuan komunikasi matematis siswa pada konten kuantitas (quantity) diketahui dalam menjawab soal B (1). Dari ke enam orang siswa hanya satu orang yang memperoleh skor 4. Empat orang siswa memperoleh skor 3 dan satu orang siswa memperoleh skor 0. Siswa yang memperoleh skor 4 artinya siswa benar dalam menafsirkan data pada diagram lingkaran yang diberikan dan langkah perhitungan yang dikerjakan benar dan lengkap. Siswa yang memperoleh skor 3 menunjukkan bahwa siswa mampu menafsirkan data pada diagram lingkaran

Page 123: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

114

yang diberikan dengan benar, proses perhitungan benar, tetapi terdapat sedikit kesalahan yaitu siswa tidak menjawab pertanyaan awal. Siswa yang memperoleh skor 0 menunjukkan bahwa siswa salah dalam menafsirkan dan membuat langkah penyelesaian. Skor untuk kemampuan komunikasi matematis pada konten ketidakpastian dan data (uncertainty and data) pada soal B (2) juga beragam. Satu orang siswa memperoleh skor 4 yang menunjukkan siswa mampu menafsirkan diagram lingkaran yang diberikan, siswa juga dapat melakukan langkah perhitungan dengan lengkap dan benar serta siswa dapat melukis diagram lingkaran sebagai bentuk representasi dari data yang diminta. Empat siswa memperoleh skor 2 artinya siswa mampu menafsirkan diagram yang diberikan. Proses perhitungan sebahagian benar dan terdapat langkah penyelesaian yang tidak lengkap yaitu siswa tidak menuliskan langkah menghitung persentase atau mencari besar sudut dari diagram lingkaran yang akan dilukis, selain itu diagram lingkaran yang dilukis siswa tidak akurat. Satu siswa lainnya memperoleh skor 1 karena siswa mampu menafsirkan diagram lingkaran yang diberikan tetapi langkah perhitungan tidak dituliskan, selain itu siswa juga tidak melukis diagram lingkaran yang diminta. Untuk kemampuan komunikasi matematis pada konten ruang dan bentuk (space and shape), pada soal C satu orang siswa memeperoleh skor 3, dua orang siswa memperoleh skor 2, dua orang siswa memperoleh skor 1 dan satu orang siswa memperoleh skor 0. Secara umum siswa sudah mampu menafsirkan gambar yang diberikan dan menentukan sisi-sisi yang diperlukan untuk mencari luas, akan tetapi kekeliruan yang dilakukan siswa adalah kurang ketelitian dalam melakukan pengukuran sehingga hasil perhitungan luas yang diperoleh kurang tepat. Untuk soal D hanya dua orang siswa yang memperoleh skor 2, satu orang siswa memperoleh skor 1, sedangkan tiga siswa lainnya memperoleh skor 0. Skor 2 menunjukkan siswa mampu menafsikan bidang datar yang diberikan juga menentukan sisi-sisi yang dibutuhkan untuk mencari luas bidang yang diminta. Rumus yang digunakan sudah benar tetapi terdapat kesalahan dalam proses perhitungan. Skor 1 menunjukkan kemampuan siswa untuk menafsirkan bidang datar yang diberikan terbatas dan rumus yang digunakan salah. Skor 0 yang diperoleh oleh tiga siswa menunjukkan siswa tidak memahami konsep pada masalah yang diberikan. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis tes dari enam siswa, diketahui bahwa beragam cara siswa mengkomunikasikan ide yang dimiliki dalam menyelesaikan soal PISA yang diujikan. Hal tersebut juga didukung dengan penjelasan siswa saat diwawancarai. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan komunikasi matematis, kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA masih tergolong pada kemampuan lemah, artinya dari enam siswa yang diwawancarai, tidak ada siswa yang masuk dalam kategori sangat baik. Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten perubahan dan hubungan (change and releationship) pada soal A (1) dan (2) tergolong baik. Berikut soal A (1) dan (2);

Page 124: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

115

Gambar 4.1. Soal A (1) dan (2) Sebagaimana indikator kemampuan komunikasi matematis yang diujikan pada kedua soal yaitu siswa mampu menggunakan istilah, notasi atau simbol matematika untuk menjawab ide dan siswa mampu menjelaskan ide yang dimiliki, baik situasi atau relasi matematika dengan gambar yang dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3. Dari jawaban yang ditunjukkan Gambar 4.4 dan Gambar 4.9 beserta hasil wawancara diketahui bahwa sebahagian siswa telah mampu meenggunakan notasi ataupun simbol matematika dari masalah yang diberikan, langkah perhitungan yang dikerjakan juga tepat, namun dari ke enam siswa, yang diteliti hanya dua orang siswa yang mampu menjelaskan idenya ke dalam gambar yang benar, sedangkan empat orang siswa lainnya salah dalam mengaitkan ide yang dimilikinya ke dalam gambar. Terlihat pada Gambar 4.4 bahwa gambar yang dilukiskan memiliki ketinggian yang tidak sesuai dengan soal yang diberikan.

Gambar 4.2 Jawaban Subjek 4 untuk Soal A (1)

Gambar 4.3 Jawaban Subjek 1 untuk Soal A (2)

Gambar 4.4 Jawaban Subjek 5 untuk Soal A (2)

Dalam pengerjaan soal A (1) dan (2) konsep yang digunakan adalah persamaan linear dua variabel dan dari hasil wawancara, empat dari enam siswa salah dalam menyebutkan konsep apa yang digunakan dalam soal di atas. Menurut ke empat subjek tersebut konsep yang digunakan adalah konsep bangun datar. Dengan demikian penting bagi guru untuk meninjau kembali pemahaman siswa pada materi persamaan linear dengan memberikan soal-soal kontekstual yang menantang

Page 125: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

116

seperti soal PISA. Berikut beberapa faktor penghambat siswa dalam menyelesaikan soal komunikasi matematis pada konten perubahan dan hubungan (change and releatioship), (1)Sulit memahami informasi yang diberikan; (2) Tidak mampu menggunakan konsep yang tepat untuk penyelesaian; (3) Keliru dalam membuat model matematika; (4) Tidak mampu mengaitkan ide ke dalam bentuk gambar.

Kemampuan komunikasi matematis pada konten kuantitas (quantity) dapat diketahui dari penyelesaian masalah pada soal B (1).

Gambar 4.5 Soal B (1)

Pada soal B (1) indikator kemampuan komunikasi matematis yang dituntut adalah menghubungkan benda nyata, gambar, atau diagram ke dalam ide matematika, selain itu siswa dituntut untuk mampu menarik kesimpulan, memberikan alasan atau bukti terhadap solusi yang diberikan. Berdasarkan jawaban siswa dan wawancara, kemampuan komunikasi matematis siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dalam menafsirkan diagram lingkaran dan menganalisis data yang diberikan. Misalnya memilih dua album musik yang dapat dihapus namun memenuhi kapasitas untuk memasukkan album foto baru. Kesalahan yang dikerjakan yaitu siswa melupakan bahwa adanya freespace pada diagram lingkaran yang diberikan, atau keliru dalam meberikan batasan untuk album musik yang akan dipilih seperti Gambar 4.6, hal ini disebabkan karna terjadi kesalahan dalam memahami makna soal yang diberikan, juga siswa kurang teliti dalam proses perhitungan.

Gambar 4.6 Jawaban Subjek 3 untuk Soal B (1)

Satu orang siswa memperoleh skor 4 dan empat orang siswa memperoleh skor 3, secara umum menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten kuantitas (quantity) sudah baik. Dari enam subjek yang diteliti ditemukan beberapa faktor penghambat dalam menyelesaikan soal komunikasi matematis pada konten kuantitas (quantity) yaitu sebagai berikut; (1)Salah dalam membaca informasi dari diagram lingkaran yang diberikan; (2) Sulit dalam menafsirkan masalah yang berbentuk verbal, adanya kesalahan penafsiran informasi dari masalah yang diberikan; (3) Sulit dalam memberikan penjelasan.

Page 126: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

117

Pada soal B (2) adalah soal PISA pada konten ketidakpastian dan data (uncertainty and data).

Gambar 4.7 Soal B (2)

Indikator kemampuan komunikasi matematis soal B (2) adalah kemampuan untuk menjelaskan ide, situasi, atau relasi matematika dengan gambar atau diagram dan memberikan alasan atau bukti terhadap solusi. Pada soal C siswa dituntut untuk mampu merepresentasikan data yang diberikan ke dalam diagram lingkaran disertai dengan langkah perhitungan yang lengkap dan benar sebagai bukti terhadap diagram lingkaran yang digambarkan. Dari jawaban siswa pada Gambar 4.8 dan Gambar 4.9 serta berdasarkan petikan wawancara, pada umumnya siswa belum mampu merepresentasikan data yang diberikan ke dalam diagram lingkaran dengan langkah yang benar, diagram lingkaran yang dilukiskan tidak menggunakan langkah perhitungan persentase atau tanpa perhitungan besar derajat dari data yang akan digambarkan ke diagram lingkaran yang dimaksud melainkan menggunakan perkiraan semata. Kesalahan lain yang dilakukan siswa adalah kurang teliti dalam membaca data yang diberikan, sehingga proses perhitungan dan gambar diagram lingkaran yang dikerjakan keliru.

Gambar 4.8 Jawaban Subjek 2 untuk Soal B (2)

Gambar 4.9 Jawaban Subjek 5 untuk Soal B (2)

Berdasarkan jawaban dan penjelasan siswa serta karena empat orang siswa memperoleh skor 2, secara umum dapat menggambarkan ketidakpahaman siswa dalam materi ketidakpastian dan data (uncertainty and data) serta menunjukkan bahwa kemampuan siswa merepresentasikan data ke dalam diagram masih tergolong rendah. Berikut beberapa faktor penghambat dalam penyelesaian soal konten ketidakpastian dan data (uncertainty and data), (1) Siswa tidak memahami konsep penyajian data, (2) Siswa sulit dalam menggunakan prinsip dari penyajian data ke dalam diagram lingkaran.

Page 127: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

118

Untuk kemampuan komunikasi matematis pada soal PISA konten ruang dan bentuk (space and shape) diujikan pada soal C dan D.

Gambar 4.10 Soal C

Indikator kemampuan komunikasi matematis yang diuji pada soal C adalah kemampuan siswa menjelaskan ide, situasi dari gambar yang diberikan kemudian memberikan alasan atau bukti terhadap solusi. Pada soal C siswa diminta untuk menghitung luas bidang datar pada gambar yang diberikan soal. Siswa diminta untuk menjelaskan idenya dalam mengukur luas bidang datar yang diberikan, memberikan alasan mengenai rumus dan proses perhitungan yang dikerjakan. Berikut beberapa jawaban siswa untuk soal C.

Gambar 4.11 Jawaban Subjek 6 untuk Soal C

Gambar 4.12 Jawaban Subjek 1 untuk Soal C

Dari Gambar 4.11 dan Gambar 4.12 juga melalui hasil wawancara yang dilakukan, ditemukan tiga orang siswa kesulitan dalam memilih dan menjelaskan ide yang tepat untuk menentukan cara menghitung luas bidang datar yang diberikan, artinya kesalahan dalam pemilihan solusi sehingga jawaban yang dikerjakan keliru. Dua dari enam siswa kurang teliti dalam mengukur panjang sisi dari bidang datar dan kesalahan lainnya adalah siswa tidak menambahkan visualisasi gambar untuk menjelaskan ide dari penyelesaian yang dikerjakan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa

Page 128: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

119

dalam mengaitkan gambar dengan ide atau solusi untuk menyelsaikan masalah masih rendah. Soal D ditunjukkan oleh gambar di bawah ini.

Gambar 4.13 Soal D

Indikator yang diujikan pada soal D sama seperti soal C yaitu kemampuan siswa menjelaskan ide, situasi dari gambar yang diberikan kemudian memberikan alasan atau bukti terhadap solusi. Pada soal D, siswa harus mampu menafsirkan gambar yang diberikan. Kemampuan siswa dalam menafsirkan gambar pada soal D akan terlihat pada pemilihan rumus yang tepat sebagai solusi awal dari masalah yang diberikan. Berikut contoh jawaban siswa.

Gambar 4. 14 Jawaban Subjek 6 untuk Soal D

Dari hasil penelitian diperoleh nilai tertinggi siswa adalah 2, artinya kemampuan tertinggi siswa dalam menyelesaikan soal D adalah menafsirkan gambar yang diberikan dengan benar, memilih rumus yang tepat, namun siswa salah dalam perhitungan. Dari hasil wawancara, dua orang siswa membuat kesalahan perhitungan pada proses mencari akar bilangan. Dari jawaban siswa yang ditunjukkan pada Gambar 4.14 di atas dan dari tiga jawaban siswa yang kosong, secara umum dapat dikatakan, bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menafsirkan gambar, sehingga tidak mampu menentukan rumus yang benar untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan hasil analisis soal C dan soal D diketahui bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA pada konten ruang dan bangun (space and shape) sangat rendah. Beberapa faktor penghambat (kesulitan) yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal konten ruang dan bentuk (space and shape) adalah sebagai berikut; (1) Kurang penguasaan terhadap konsep dari soal yang diujikan, sehingga tidak mampu menentukan langkah penyelesaian; (2) Keterbatasan kemampuan

Page 129: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

120

dalam menafsirkan bidang datar yang tidak beraturan; (3) Kurang penguasaan pada materi prasyarat seperti: teorema phytagoras, rumus luas persegi panjang, dan mencari akar suatu bilangan; (4) Salah dalam membaca nilai angka yang diberikan. Dengan demikian penting bagi guru untuk memperdalam kemampuan siswa pada materi ruang dan bentuk (space and shaope) terutama dalam menafsirkan bantuk-bentuk bangun geometri.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Kemampuan komunikasi matematis enam siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Banda Aceh dalam menyelesaikan soal PISA masih rendah. Dari enam subjek penelitian diperoleh informasi mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA sebagai berikut; (1) Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten perubahan dan hubungan (change and releationship) adalah baik. Secara umum siswa telah mampu menafsirkan, menjelaskan dan mengaitkan ide ke dalam persamaan matematis, disertai perhitungan yang benar, juga mampu menvisualisasikan ide yang dimiliki ke dalam gambar, dimana pada soal A (1) empat orang siswa memperoleh skor 4, satu siswa memperoleh skor 3 dan hanya satu siswa memperoleh skor 0. Pada soal A (2) dua siswa memperoleh skor 4, dua siswa memperoleh skor 3, satu siswa memperoleh skor 2 dan satu siswa memperoleh skor 0; (2) Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten kuantitas (quantity) baik. Satu siswa memperoleh skor 4, empat siswa memperoleh skor 3 dan satu siswa memperoleh skor 2. Artinya secara umum siswa sudah mampu menafsirkan ide atau informasi yang diberikan pada sebuah diagram lingkaran, siswa juga mampu mengaitkan informasi yang disajikan dalam tabel untuk memilih langkah penyelesaian yang tepat; (3) Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten ketidakpastian dan data (uncertainty and data) masih berada dalam kategori rendah. Secara umum siswa benar dalam menafsirkan diagram lingkaran, namun langkah perhitungan tidak lengkap, dan siswa keliru dalam menggambarkan diagram lingkaran yang diminta Dari enam siswa hanya satu siswa memperoleh skor 4, empat siswa memperoleh skor 2 dan satu siswa memperoleh skor 1; (4) Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal PISA konten ruang dan bentuk (space and shape) masih rendah. Untuk soal C satu siswa memperoleh skor, dua siswa memperoleh skor 2, dua siswa memperoleh skor 1, serta satu siswa memperoleh skor 0. Untuk soal D dua siswa memperoleh skor 2, satu siswa memperoleh skor 1 dan tiga siswa lainnya memperoleh skor 0, artinya secara umum siswa melakukan kesalahan dalam penafsiran gambar bidang datar tak beraturan. Siswa belum mampu mengaitkan masalah dengan konsep atau rumus yang tepat serta salah dalam proses perhitungan. Dari hasil tes terhadap empat konten soal PISA yaitu perubahan dan hubungan (change and relationship), kuantitas (quantity), ketidakpasrtian dan data (uncertainty and data), serta ruang dan bentuk (space and shape) menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa paling lemah pada konten ruang dan bentuk (space and shape). Faktor-faktor penghambat siswa dalam menyelesaikan soal-soal kumunikasi matematis pada soal PISA adalah sebagai berikut; (a) sulit memahami informasi yang diberikan; (b) tidak mampu mengidentifikasi konsep dari masalah yang diberikan; (c) salah dalam penggunaan konsep; (d) tidak mampu atau keliru dalam membuat model matematika; (d) tidak mampu mengaitkan ide ke dalam bentuk gambar; (e) Lemah dalam kemampuan menafsirkan gambar (diagram, tabel, dan bangun datar); (f) Sulit menghubungkan masalah verbal ke dalam bahasa symbol; (g) lemah pada materi prasyarat; (h) lemah dalam operasi hitung.

Page 130: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

121

Daftar Pustaka

Dewi, Irwita dan Tiur Malasari Siregar. (2013). Analisis Kebutuhan terhadap Pembelajaran Berbasis Komunikasi Matematis Berkarakter Budaya Indonesia Siswa SMP di Kota Medan. Makalah diseminarkan di Seminar Nasional Matematika dan Terapan (SiManTap 4), Unsyiah Banda Aceh, 28 s.d. 29 November.

Johar, Rahmah. (2014). Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum 2013 untuk Mengembangkan Kompetensi Matematika dan Karakter Siswa. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di FKIP, Unsyiah Banda Aceh, 5 Juni.

NCTM. (2000). Principles and Standarts for School Mathematic. Reston: NCTM. OECD. (2013). Programme for International Student Assessment (PISA 2012 Result). Diakses

pada 24 Maret 2014, dari alamat http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results.htm

______. (2013). PISA 2015 Draft Mathematics Framework. Diakses pada 24 Maret 2014, dari alamat (http://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/Draft%20PISA%202015%20Mathematics%20Framework%20.pdf.

_____. (2010). Assessment and Examinations. Dalam Reviews of National Policies of Education: Kyrgyz Republic 2010: Lessons from PISA, OECD Publishing. Diakses pada 12 April 2014, dari alamat http://dx.doi.org/10.1787/9789264088757-9-en.

Soedjadi, R. (1999). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

NCTM. (2000). Principles and Standarts for School Mathematic. Reston: NCTM.

Page 131: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

122

Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas VII SMPN 19 Percontohan melalui Implementasi Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Pendekatan Saintifik

Bainuddin Yani1, dan Sarah Shasabilla Amalia2

1,2Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah

ABSTRAK: Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa pada materi perbandingan melalui implementasi model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan pendekatan saintifik. PTK ini dilaksanakan pada semester ganjil (Juli-Desember 2014) dan berlangsung selama dua siklus, dan setiap siklus dilaksanakan selama satu minggu (6 × 40 menit). Materi perbandingan yang disajikan mencakup (1) Perbandingan, (2) Perbandingan senilai, (3) Perbandingan berbalik nilai, dan (4) Skala. Subjek dalam penelitian ini adalah 30 siswa kelas VII-2 SMP Negeri 19 Percontohan yang merupakan salah satu SMP favorit di Banda Aceh. Pada akhir setiap siklus diberikan tes yang sebagiannya berisi kemampuan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking). Analisis data menggunakan statistika deskriptif. Berdasarkan observasi dan refleksi pada siklus I ternyata banyak siswa yang belum memahami konsep prasyarat untuk menyelesaikan soal cerita materi perbandingan, sehingga pada kegiatan awal siklus II, di samping menggunakan model Pembelajaran PBL dan pendekatan saintifik, juga dilaksanakan minute math konsep dasar aljabar dan persamaan linear. Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa (1) Pada siklus I terdapat 66,67% siswa yang tuntas dengan nilai rata-rata klasikal 80,2 (Tetapan KKM = 82), (2) Terjadi peningkatan hasil belajar pada sikulus II yaitu terdapat 86,7% siswa yang tuntas dengan nilai rata-rata klasikal 88,5 (3) Pada akhir siklus II, 80% siswa sangat setuju dengan belajar berkelompok (model PBL dan pendekatan saintifik), dan (4) Data hasil observasi teman sejawat menunjukkan kemampuan guru dalam pembelajaran matematika sudah sangat sesuai dengan model pembelajaran PBL dan pendekatan saintifik yang sudah direncanakan sebelumnya. Kata kunci : Hasil belajar, materi perbandingan, Model Problem Based Learning (PBL),

pendekatan saintifik.

A. PENDAHULUAN Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu bangsa dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup (way of life) bangsa tersebut. Untuk memajukan kehidupan bangsa itulah, maka pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teoretikal dan praktikal sepanjang waktu sesuai dengan kebutuhan hidup manusia itu sendiri. Matematika merupakan bidang studi yang di pelajari oleh semua siswa dari SD hingga perguruan tinggi. Ada banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika. Cockroft (Mulyono, 2003:1-5) mengemukakan alasan perlunya diajarkan matematika kepada siswa karena : 1) Dalam segala segi kehidupan selalu digunakan matematika. 2) Mempelajari sains memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai. 3) Digunakan sebagai sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas. 4) Dapat menyajikan informasi dalam berbagai cara. 5) Dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran spasial. 6) Memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Uraian tersebut menunjukkan bahwa dengan belajar matematika dapat meningkatkan potensi peserta didik, dan juga dapat mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 yaitu mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

Page 132: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

123

Permasalahan yang sering muncul di kelas adalah lemahnya kemampuan siswa dalam menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menyelesaikan masalah, banyak sekali pengetahuan dan informasi yang dimiliki siswa tetapi sulit untuk dihubungkan dengan situasi yang mereka hadapi. Ketika siswa mengikuti sebuah pendidikan tiada lain untuk menyiapkan mereka menjadi manusia yang tidak hanya cerdas tetapi mampu menyelesaikan persoalan yang akan mereka hadapi di kemudian hari. Berdasarkan dugaan dan pengalaman selama penulis mengajar, secara umum siswa belum mampu: a. Menyelesaikan soal perbandingan lebih dari dua variabel, misalnya, x: y = a: b, dan y : z =

c : d , serta diketahui misalnya x – z = p (x, y, z variabel, dan a, b, c, d, p konstanta). b. Siswa merasa bingung bila menyelesaikan soal cerita yang berbeda dari yang diberikan oleh

gurunya apalagi untuk level berfikir tingkat tinggi. Karena itu menurut Roestiyah (1995:84), guru harus memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan yang diharapkan. Selama ini metode pengajaran matematika di sekolah cenderung kurang mendorong siswa untuk berfikir, dimana guru yang lebih banyak aktif memberikan informasi kepada siswa sehingga siswa hanya bertindak sebagai pebelajar yang pasif. Seharusnya, menurut Gallagher dan juga menurut Reynolds (Stanford University, 2001: 1), pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered), mereka harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempelajari topik matematika yang sudah dirancang oleh guru dan mencari masalah matematis dan mereka menentukan sendiri bagaimana mereka ingin memecahkannya. Siswa harus didorong untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar, merencanakan diskusi kelompok, dan menilai pekerjaan mereka melalui kerjasama dengan teman sekelas. Seltzer, et al. (Stanford University, 2001: 2) menambahkan bahwa melalui kegiatan memecahkan soal siswa mengembangkan kesadaran yang lebih mendalam tentang konsep yang sedang dipelajari, dan hal ini merupakan prinsip dasar pada pendekatan konstruktivis. Dari masalah tersebut salah satu penyelesaian untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi perbandingan adalah dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning (PBL) dan pendekatan saintifik. PBL merupakan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan PBL, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). Melalui PBL, pembelajaran yang dilaksanakan harus menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan (Kemendikbud, 2013: 2). Tujuan dan hasil dari model PBL menurut Kemendikbud (2013: 2) adalah: (1) Keterampilan berpikir dan pemecahan masalah.

PBL ini ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. (2) Pemodelan peranan orang dewasa.

Bentuk PBL penting menjembatani jurang antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah yang dapat dikembangkan, sebab (a) PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas, (b) PBL memiliki elemen-elemen magang, yang mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga siswa secara bertahap dapat menjelaskan yang diamati tersebut, (c) PBL melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun pemahamannya tentang fenomena itu.

(3) Belajar pengarahan sendiri (self directed learning). PBL berpusat pada siswa. Siswa harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, di bawah bimbingan guru.

Pengorganisasian pembelajaran dengan model PBL menurut Dion (Stanford University, 2011: 3) sebagai berikut:

Page 133: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

124

• Definisikan tujuan Anda dengan jelas mengapa menggunakan PBL, tentukan prosedur yang akan Anda gunakan, dan apa harapan yang ingin Anda capai – lakukan hal ini sebelum sesi PBL dimulai.

• Minta siswa berkelompok secara acak (misalnya membentuk kelompok menurut abjad), dan distribusikan tugas yang harus dikerjakan mereka sebelum memulai sesi PBL. Tugas tersebut harus diberikan kepada semua kelompok, dan semua siswa dalam kelompok didorong untuk berpartisipasi.

• Sediakan ruangan yang kondusif untuk kerja kelompok. Untuk satu ruangan dengan 80 siswa, sediakan meja-meja yang terbaik dan kursi yang dapat digeser.

• Pada hari pertama pembelajaran dengan PBL, sebelum siswa datang, tuliskan nomor kelompok pada semua kursi (jika kursi belum pernah diberi nomor).

• Aturlah ruang ruang belajar sedemikian sehingga Anda dapat diakses oleh semua kelompok. Dalam ruang belajar yang besar dengan tempat duduk tetap, sediakan daerah kosong antar kelompok sehingga Anda dapat membimbing semua kelompok.

• Sediakan bahan ekstra (seperti Daftar Penilaian Kemajuan Belajar), stapler, buku tambahan, bahan referensi, dan fotokopi masalah yang harus dipecahkan oleh masing-masing kelompok dan untuk setiap anggota kelompok.

• Mengantisipasi masalah dan siap membantu mereka dengan cepat. Pada pelaksanaan pembelajaran, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun demikian, guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai target yang hendak di capai. Sebelum dilaksanakan pembelajaran, guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar diluar kelas. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan kompetensi dasar dari materi pembelajaran. Kemdikbud (2013: 8) mengemukakan tahapan-tahapan dalam pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction) seperti pada tabel berikut:

Tabel 1: Tahapan-Tahapan Model PBL

FASE-FASE PERILAKU GURU Fase 1 Orientasi peserta didik kepada masalah.

Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yg dibutuhkan.

Memotivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih.

Fase 2 Mengorganisasikan peserta didik.

Membantu peserta didik mendefinisikan danmengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok.

Mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

Membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas dengan teman.

Fase 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari /meminta kelompok presentasi hasil kerja.

Dalam pelaksanaannya, PBL memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihan PBL

menurut Kemdikbud (2013: 4) adalah:

Page 134: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

125

(1). Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.

(2). Dalam situasi PBL, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.

(3). PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Keunggulan lainnya adalah melalui implementasi PBL dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi seperti pemecahan masalah matematis (Ibrahim, dan Nur, 2000: 7). Di samping itu, terdapat kelemahan PBL antara lain tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, dan tidak selalu siswa dapat menyediakan masalah yang akan dipecahkan sehingga guru harus sangat aktif menyiapkan masalah sesuai materi ajar yang direncanakan. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah pembelajaran yang terdiri atas kegiatan mengamati (untuk mengidentifikasi hal-hal yang ingin diketahui), merumuskan pertanyaan (dan merumuskan hipotesis), mencoba/mengumpulkan data (informasi) dengan berbagai teknik, mengasosiasi/menganalisis/mengolah data (informasi) dan menarik kesimpulan serta mengkomunikasikan hasil yang terdiri dari kesimpulan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Langkah-langkah tersebut dapat dilanjutkan dengan kegiatan mencipta. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria berikut (Kemdikbud, 2013a: 3-4) (a) substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata, (b) penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis, (c) mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran, (d) mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran, (e) mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran, (f) berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan (g) tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya. Efektivitas pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik ditunjukkan oleh hasil penelitian bahwa retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen (Kemdikbud, 2013a: 2). Ketika kita menyajikan suatu konsep matematika kepada siswa, ada kemungkinan sebagian siswa belum memahami konsep prasyarat sehingga akan tampak bingung dan sulit memahami konsep yang sedang disajikan tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, solusi untuk guru matematika adalah melaksanakan minute math sekitar 10 sampai 20 menit pada awal pembelajaran. Melalui minute math guru menyajikan konsep prasyarat yang berkaitan dengan materi yang akan disajikan selanjutnya, dan kemudian dilanjutkan dengan minute math drill. Minute math drill adalah lembar kerja dengan praktek dan latihanan sederhana yang berisi soal-soal fakta dasar matematika. Siswa diberikan waktu yang singkat (biasanya 3 menit, atau disesuaikan) untuk menjawab sebanyak-banyaknya soal. Selama mengerjakan lembar kerja ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa tentang fakta-fakta operasi matematika (www.superteacher.com/math-drill-minute.html). Uraian di atas menunjukkan bahwa melalui implementasi PBL dan Pendekatan Saintifik dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Page 135: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

126

B. METODE PENELITIAN Prosedur Penelitian Tindakan Kelas ini terdiri dari empat langkah, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan evaluasi refleksi dari masing-masing siklus (Arikunto, 2009:70; Supardi dan Suhardjono, 2011: 57). Prosedur penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam penelitian ini terdiri dari dua siklus, dimana setiap siklus akan dilaksanakan empat langkah seperti yang telah diuraikan diatas. Sesuai dengan anjuran Supardi dan Suhardjono (2011: 30), bahwa setiap siklus tidak boleh dilaksanakan satu kali pertemuan, maka setiap siklus PTK ini dilaksanakan selama dua kali, masing-masing tiga jam (1 kali pertemuan = 3 JP @40 menit). Uraian pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

Siklus I

1) Perencanaan Pada tahap ini, peneliti melaksanakan kegiatan sebagai berikut: a) Mengidentifikasi masalah dan penetapan alternatif pemecahan masalah. b) Merencanakan pembelajaran yang akan diterapkan dalam proses belajar mengajar, yaitu

dengan mengimplementasikan model PBL dan pendekatan pembelajaran saintifik. c) Menentukan pokok bahasan yang akan diajarkan, yaitu Perbandingan dan Perbandingan

Senilai. d) Menyusun Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) serta

mengembangkan skenario pembelajaran. e) Menyiapkan sumber belajar sesuai pokok bahasan. f) Menyiapkan dan mengembangkan format evaluasi dan format observasi pembelajaran.

2) Tindakan Dalam tahap pelaksanaan tindakan, peneliti-2 menjadi guru yang akan menyampaikan materi pelajaran yang mengacu pada Kurikulum 2013. Peneliti menerapkan tindakan mengacu pada skenario dan RPP yang telah disusun pada tahap perencanaan.

3) Observasi Dalam tahap observasi peneliti meminta bantuan observer, yaitu seorang guru matematika lainnya untuk melakukan observasi terhadap kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan terhadap aktivitas siswa dengan menggunakan format observasi yang telah disusun dan dikembangkan pada tahap perencanaan. Pada tahap ini juga dikumpulkan data prestasi belajar siswa.

4) Refleksi Pada tahap ini peneliti mengadakan kegiatan sebagai berikut: 1) Melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan. 2) Melakukan pertemuan dengan observer untuk membahas hasil evaluasi 3) Memperbaiki pelaksanaan tindakan sesuai hasil evaluasi, untuk digunakan pada siklus

berikutnya. 4) Merumuskan alternatif tindakan yang akan dilaksanakan pada siklus selanjutnya. 5) Menyusun RPP untuk siklus selanjutnya. Siklus II Siklus II merupakan tindak lanjut dari hasil evaluasi atau refleksi siklus I. Langkah kegiatan pada Siklus II sama seperti pada Siklus I, yaitu terdiri dari empat langkah. Secara umum uraian siklus II adalah sebagai berikut: 1) Perencanaan : Identifikasi masalah dan penetapan alternatif pemecahan masalah serta

pengembangan program tindakan II. 2) Tindakan: pelaksanaan program tindakan II. 3) Observasi : pengumpulan data tindakan II. 4) Refleksi : Evaluasi tindakan II.

Jika hasil yang diperoleh dalam Siklus II telah mencapai indikator kinerja, maka peneliti dapat menganalisis data dan menyusun laporan. Jika hasil yang diperoleh dalam Siklus II belum mencapai indikator keberhasilan, maka peneliti dapat melanjutkan dengan siklus berikutnya dengan tahapan yang sama.

Page 136: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

127

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya PTK terdiri atas empat langkah yang dilakukan dalam siklus berulang, yakni perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Keempat langkah tersebut menurut Arikunto (2009:74) dapat digambarkan sebagai berikut:

Siklus I Siklus II

C. HASIL PENELITIAN

Tes awal (sebelum siklus I) tentang konsep dasar perbandingan level berfikir tingkat rendah (materi perbandingan di SD), diperoleh data sebagai berikut.

Tabel 2 Rekapitulasi Ketuntasan Belajar Siswa Prasiklus

Partisipan ∑ Siswa ∑ Nilai Nilai Rata-rata

Ketuntasan (%)

Siswa Kelas VII-2 SMPN I9 Percontohan

30 2269 75,633 33,33%

Sumber: Data Primer (Diolah). KKM=82. Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa jumlah siswa yang tuntas secara klasikal sebanyak 10 orang atau 33,33%. Hasil ini tentu sangat jauh dari ketuntasan yang diharapkan yaitu sebanyak 85%. Dengan melihat hasil ini, guru (peneliti) mengupayakan terjadi peningkatan hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan pendekatan saintifik dengan harapan dapat terjadi peningkatan hasil belajar siswa kelas Siswa Kelas VII-2 SMPN I9 Percontohan. Deskripsi Siklus Pertama Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I, dan setelah dilihat bagaimana kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran PBL dan pendekatan saintifik diperoleh nilai rata-rata siswa 80,2. Nilai ini masih di bawah nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan di SMP Negeri 19 Percontohan sebesar 82. Jumlah siswa yang tuntas pada siklus I ini sebanyak 66,7% (belum mencapai jumlah ketuntasan yang diharapkan yaitu sebanyak

Permasalahan Perencanaan

tindakan I

Pelaksanaan

tindakan I

Pengamatan/peng

umpulan data I Refleksi I

Permasalahn

baru hasil

refleksi

Perencanaan

tindakan II

Pelaksanaan

tindakan II

Pengamatan/peng

umpulan data II Refleksi II

Apabila

permasalahan

belum terselaikan

Dianjurkan ke

siklus berikutnya

Page 137: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

128

85%). Dari 66,7% siswa yang tuntas ini, mereka dapat mencapai nilai rata-rata 83,5, dan siswa yang tidak tuntas sebanyak 33,3% memperoleh nilai rata-rata sebesar 73,6 (Gambar 1).

Gambar 1. Persentase dan rata-rata nilai siswa yang tuntas dan yang tidak tuntas pada

sklus I Sumber: Data Primer (diolah)

Dari hasil deskripsi data penelitian tersebut di atas ternyata siklus I belum berhasil. Hal ini disebabkan oleh:

1. Siswa belum terbiasa dengan model PBL, ditambah lagi dengan kurikulum 2013 yang menggunakan pedekatan saintifik.

2. Pembentukan kelompok dengan penyebaran sesuai tempat duduk masing-masing belum tepat, karena dalam kelompok ada yang kurang pandai semua juga ada yang pandai semua.

3. Kemampuan kelompok untuk bekerjasama dalam menyelesaikan tugas sangat rendah sehingga dalam satu kelompok masih ada siswa yang belum paham jawaban LKS yang telah di selesaikan di kelompoknya.

4. Beberapa kelompok tergolong pasif dan hanya cerita sendiri. 5. Saat membentuk kelompok memerlukan waktu yang banyak dikarenakan siwa

ribut saat berpindah tempat. 6. Ruang kelas agak gaduh sehingga kekondusifan suasana pembelajaran masih

kurang. 7. Materi pelajaran dalam buku siswa (Buku Paket) tidak teratur, seperti materi

persamaan linier ditempatkan sesudah materi perbandingan sehingga dalam perhitungan dalam penyelesaian soal perbandingan senilai siswa merasa kesulitan karena menggunakan penyelesaian bentuk persamaan linier.

8. Soal pada LKS terlalu banyak dan separuhnya merupakan soal pada katagori berfikir tingkat tinggi sehingga membutuhkan waktu yang lebih banyak dalam penyelesaiannya.

9. Tidak terbiasa dengan penulisan jawaban LKS pada carta, sehingga siswa terlalu berlama-lama saat menulis jawaban akibatnya tidak mempunyai cukup waktu untuk evaluasi pada kegiatan penutup.

Berdasarkan hasil pengamatan pada pertemuan I tersebut, peneliti mengadakan perbaikan pada pelaksanaan siklus II, yaitu sebagai berikut.

1. Merancang kembali pembelajaran dengan membentuk kelompok belajar siswa, tiap kelompok beranggotakan 5 orang siswa dengan penyebaran tingkat kecerdasan siswa.

2. Pembagian anggota kelompok tidak hanya di dasarkan pada tingkat kecerdasan tetapi juga berdasarkan proses pengamatan sebelumnya, siswa-siswa yang berpotensi untuk membuat ribut tidak berada dalam satu kelompok.

0

20

40

60

80

100

TuntasTidak Tuntas

66,7

33,3

83,573,6

Persen

Rata-rata

Page 138: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

129

3. Menguatkan karakter kerjasama bahwa “barang siapa mengajarkan ilmu kepada oramg lain, Allah akan menambahkan ilmu kepadanya yang dia belum mengetahuinya”.

4. Memberi pengertian kepada semua siswa bahwa kerjasama dalam kelompok termasuk dalam penilaian sikap dan setiap anggota kelompok harus paham dengan jawaban hasil diskusi kelompoknya.

5. Pada saat apersepsi guru memberikan minute math yaitu materi konsep dasar aljabar dan persamaan linier agar memudahkan siswa dalam memahami materi yang akan diajarkan kemudian.

6. Merancang kembali LKS dengan mengurangi jumlah soal, namun separuhnya tetap pada level berfikir tingkat tinggi.

7. Pembagian tugas dalam kelompok. Deskripsi Siklus Kedua Sama halnya dengan siklus pertama, maka tindakan siklus kedua dilaksanakan sesuai dengan siklus yang telah ditetapkan. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus II selama 6 JP, maka selanjutnya diberikan tes kepada siswa. Berikut hasil tes siswa pada siklus II.

Gambar 2. Persentase dan rata-rata nilai siswa yang tuntas dan yang tidak tuntas pada sklus II

Sumber: Data Primer (diolah) Berdasarkan Gambar 2, maka pada siklus II diperoleh sebagai berikut:

a. Nilai rata-rata klasikal sebesar 88,5. b. Siswa yang tuntas secara klasikal sebanyak 86,7% dengan nilai rata-rata siswa

yang tuntas 90,3. c. Siswa yang tidak tuntas sebanyak 13,3% memperoleh nilai rata-rata sebesar 76,6.

Berdasarkan kesimpulan yang telah disebutkan di atas, maka dapat diketahui bahwa jumlah siswa yang tuntas secara klasikal sudah melebihi 85% seperti yang diharapkan, yaitu sebanyak 90%. Oleh karena sudah tercapainya target yang dikehendaki, maka penelitian tindakan ini tidak dilanjutkan lagi pada siklus berikutnya (siklus III).

Refleksi Berdasarkan deskripsi pada siklus II, maka dapat direfleksi beberapa hal sebagai berikut: a. Pengelolaan pembelajaran dengan model PBI dan pendekatan saintifik sudah dilaksanakan

dengan sangat maksimal, sehingga semua kegiatan baik dalam kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, kemampuan mengelola waktu dan suasana kelas, kemampuan guru dan siswa dikategorikan sangat baik.

b. Pada akhir siklus II siswa mulai terbiasa dengan berfikir tingkat tinggi, sehingga tes yang separuhnya berisi kemampuan berfikir tingkat tinggi dapat dijawab oleh sebagian besar siswa, yaitu siswa yang tuntas sebanyak 86,7% dengan nilai rata-rata klasikal sebesar 88,5.

0

20

40

60

80

100

Tuntas Tidak Tuntas

86,7

13,3

90,3

76,6

Persen

Rata-rata

Page 139: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

130

c. Angket respon siswa terhadap pembelajaran menunjukkan 24 siswa (80%) menjawab sangat setuju dan 6 siswa (33%) menjawab setuju dengan belajar kelompok. Tidak ada siswa yang menjawab kurang setuju, dan tidak setuju.

Dengan melihat hasil di atas dapat diketahui bahwa penerapan model pembelajaran PBL dan pendekatan saintifik bukan saja dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa, tetapi juga respon siswa terhadap pembelajaran matematika semakin baik. D. SIMPULAN DAN SARAN Berdasar hasil analisis data selama dua siklus, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Pada akhir siklus I diperoleh sebagai berikut:

(a) Nilai rata-rata siswa secara klasikal 80,2. Nilai ini masih di bawah nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan di SMP Negeri 19 Percontohan sebesar 82.

(b) Jumlah siswa yang tuntas sebanyak 66,7% masih di bawah yang ditetapkan yaitu sebanyak 85%. Nilai rata-rata siswa yang tuntas ini adalah 83,5, dan siswa yang tidak tuntas sebanyak 33,3% memperoleh nilai rata-rata sebesar 73,6.

(2) Pada akhir siklus II diperoleh: (a) Nilai rata-rata klasikal sebesar 88,5. (b) Jumlah siswa yang tuntas secara klasikal sebanyak 86,7% dengan nilai rata-rata siswa

yang tuntas 90,3, dan siswa yang tidak tuntas sebanyak 13,3% memperoleh nilai rata-rata sebesar 76,6.

(3) Respon siswa terhadap pembelajaran menunjukkan 24 siswa (80%) menjawab sangat setuju dan 6 siswa (33%) menjawab setuju dengan belajar kelompok.

Berikut ini diberikan beberapa saran sesuai dengan temuan PTK ini, sebagai berikut: (1) Mengingat hasil belajar siswa sangat baik, maka penulis menyarankan kepada guru pelajaran

matematika untuk menerapkan model pembelajaran PBL dan pendekatan saintifik guna meningkatkan hasil belajar siswa sampai pada level berfikir tingkat tinggi terutama pada materi perbandingan.

(2) Para peneliti yang tertarik dengan penerapan model pembelajaran PBL dan pendekatan saintifik, kiranya dapat mengkaji lebih mendalam penerapan model dan pendekatan ini pada materi perbandingan, atau menerapkannya pada materi matematika lainnya untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada level berfikir tingkat tinggi.

REFERENSI Arikunto, Suharsimi. 2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka

Cipta. Ibrahim, H. Muslimin, dan Nur, Mohamad. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:

University Press Kemendikbud. 2013. Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Jakarta Kemendikbud. 2013a. Konsep Pendekatan Saintifik. Jakarta Mulyono, Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT. Rineka

Cipta. Roestiyah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Supardi, dan Suhardjono. 2011. Strategi Menyusun Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta:

Penerbit Andi www.superteacher.com/math-drill-minute.html. Diakses Agustus 2014.

Page 140: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

131

Implementasi Pendekatan Ilmiah Berbasis Masalah Dalam Pembelajaran Matematika

Drs. Sumarno Ismail, M.Pd

Dra. Satra Hamzah

ABSTRAK: Pandangan pembelajaran matematika harus dihindarkan pada hanya pengingatan dan pengulangan objek matematika yang terputus. Pembelajaran harus diarahkan kepada internalisasi objek matematika yang dipelajari secara terus menerus dan siswa mempelajari sesuatu pada matematika sesuai karakteristiknya, aktualisasi konsep dalam kehidupannya. Siswa yang tidak dilatih menyelesaikan masalah dan tidak dikembangkan kompetensi ilmiahnya menalar dalam menyelesaiakan masalah akan berapandangan matematika sulit. Tetapi bagi siswa yang terlatih kemampuannya menyelesaikan masalah dan potensi ilmiahnya, mereka berpandangan matemaika tidak sulit. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran matematika meberikan kesempatan belajar kepada peserta didik seluas-lusnya melalui aktifitas (1) mengamati, (2) menanya, (3) mencoba, (4) menalar dan (5) mengkominkasikan. Semakin lengkap apabila pendekatan ini dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran berbasis masalah. Oleh sebab itu ide di dalam uruaian ini bertujuan untuk memberikan implementasi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran berbasis masalah. Kunci : Pendekatan, saintifik, pembelajaran, pemcahan masalah. I. Pendahuluan Pembaharuan pembelajaran matematika senantiasa dilakukan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Dinamika pengembangan pembelajaran matematik dilakukan dari satuan pendidikan sekolah dasar sampai dengan satuan pendidikan sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan. Meskipun usaha-usaha itu secara berkelanjutan dilakukan, tetapi masih tetap ditemukan pertanyaan “mengapa di dalam satu rombongan belajar terdapat sebagian besar siswa beranggapan bahwa matematika itu sulit?”. Selain pertanyaan di atas muncul pula pada dari diskusi dalam musyawarah guru mata pelajaran matematika bahwa “mengapa sebagian besar siswa mudah lupa terhadap materi matematika yang sudah dibelajarkan kepada mereka?”. Pertanyaan ini haruslah menjadi renungan kepada semua pengajar matematika. Hasil renungan itu menjadi refleksi diri seorang pengajar matematika (guru matematika). Selanjutnya hasil refleksi diri menjadi langkah awal untuk memperbaiki proses pelaksanaan pembelajaran matematika. Fakta-fakta yang terungkap melalui pertanyaan di atas bukan disebabkan oleh kerena matematika hanya dapat dipelajari oleh siswa tertentu yakni siswa yang pintar, tetapi seluruh siswa belum menemukan cara belajar yang sesuai kebutuhan mereka sehingga mudah mempelajari materi matematika yang dihadapinya dalam pembelajaran. Cara belajar sesuai harapan siswa belum terpenuhi anatara lain disebabkan oleh karena (1) pembelajaran matematika belum direncanakan dengan mempertimbangkan kebutuhan belajar siswa, (2) pembelajaran matematika yang cenderung monoton dari tahun ke tahun, tidak mempertimbangkan bahawa kelompok siswa yang tahun sebelumnya dan yang sekarang berbeda dalam berbagai aspek, (3) strategi pembelajaran yang dilaksanakan sering tidak didasarkan pada pertimbangan karakteristik siswa, karakteristik materi pokok dan karateristik lingkungan belajar siswa. Pandangan pembelajaran matematika jangan hanya dirahkan kepada pengingatan dan pengulangan yang terputus, tetapi seharusnya diarahkan kepada internalisasi tentang apa yang dipelajari siswa secara terus menerus, dan siswa mempelajari sesuatu pada matematika sesuai karakteristiknya, aktualisasi konsep dalam kehidupannya. Pada pembelajaran geometri bidang datar sering ditemukan dari siswa bahwa mereka sulit membedakan objek-objek matematika pada suatu materi. Misalnya siswa tidak bisa memberi penjelasan tentang berbedaan antara luas segitiga dan rumus luas segitiga. Jika ditanyakan apakah yang dimaksud dengan luas daerah suatu segitiga, maka dengan mudah siswa memberi jawaban adalah (a) setengah alas kali tinggi atau (b) alas kali tinggi dibagi dua. Siswa akan semakin merasakan kesulitan kalau ditanya

Page 141: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

132

“mengapa rumus luas segitiga adalah setengah alas kali tinggi atau alas kali tinggi dibagi dua?”. Pertanyaan ini menjadi masalah bagi sebagian besar siswa baik di SMP maupun di SMA. Pada umumnya siswa menunjukkan tidak mampu dalam memberikan penyelesaian suatu masalah matematika. Misalnya kepada siswa diberikan permasalah seperti berikut. Siswa yang tidak dilatih menyelesaikan masalah dan tidak dikembangkan kompetensi ilmiahnya menalar dalam menyelesaiakan masalah luas yang terkait dengan segi empat khususnya trapesium, pasti menganggap bahawa soal ini adalah soal yang sangat sulit. Kesulitan disebabkan oleh karena tidak ada satupun unsur trapezium yang ditentukan. Tetapi bagi siswa yang terlatih kemampuannya menyelesaikan masalah dan potensi ilmiahnya, mereka berpandangan soal ini soal tidak sulit ditemukan jawabannya. Bagi siswa tidak terlatih kemampuanya mengamati, menalar dan melakukan percobaan dan mengaitkan pengetahuannya dengan masalah tersebut mereka akan menyelesaikan soal tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut (1) terlebih dahulu mencari panjang sisi persegi misalnya AB =

48 cm, (2) karena daerah yang diarsir berbentuk trapesium maka siswa tersebut akan menghitung panjang dari sisi-sisi sejajar, (3) menggunakan rumus luas trapesium untuk menghitung luas daerah yang ditanya. Jika alternative tersebut yang ditempuh, maka kesulitan mula-mula yang ditemui siswa

adalah mencari panjang sisi misanya AB = 48 cm. Kesulitan ini terjadi karena siswa harus

menemukan bilngan tertentu yang sama dengan 48 dan kemungkinan besar siswa tidak akan melanjutkan menemukan jawaban soal tersebut. Bagi siswa yang terlatih kemampuanya mengamati, menalar dan melakukan percobaan, mampu melakukan pengaitan masalah dihadapi dengan yang sudah dipelajarinya, mereka akan menyelesaikan soal tersebut dengan menggunakan semua unsur-unsur yang diketahui di dalam permasalahan tersebut. misalnya sebagai berikut. a. b. c.

A

B C

D

P

Diketahui ABCD adalah persegi dengan luas 48 cm2.

Berapakah luas daerah yang diarsir?.

A

B C

D

P

Gambar a

A

B C

D

P

Gambar b

A

B C

D

P

Gambar c

Page 142: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

133

d. Siswa dengan kemampuan pengamatan yang terlatih, menggunakan semua unsur yang diketahui didalam gambar (a) dan akan melakukan percobaan dengan mengubahnya seperti pada gambar (b).

e. Pengamatan yang cermat pada gambar (b) ditambah dengan kemampuan menalar yang terlatih, siswa dapat megubah gambar (b) menjadi gambar (c).

f. Melalui kemampuan pengaitan yang dimiliki, siswa menemukan bahwa persegi dengan luas 48 cm2, dapat dibagi menjadi 4 buah persege kejil sehingga luas masing-masing bersegi kecil adalah 12 cm2.

g. Kemampuan pengaitan juga dimanfaatkan siswa dengan memperhatikan bahwa trapezium pada gambar (a) dan daerah yang diarsi pada gambar (c) memiliki luas yang sama.

h. Daerah yang diarsi pada gambar (c) ternyata 4

3bagian dari luas persegi keci yakni sama dengan

9 cm2. i. Akhirnya siswa dapat membuat satu kesimpulan bahwa “karena luas daerah diarsir pada gambar

(a) dama dengan luas daerah diarsir pada gambar (c), berarti luas daerah yang ditanya adalah 9 cm2.

Oleh sabab itu untuk menyiapkan siswa yang mampu menggunakan potensinya dalam memberikan penyelesaian suatu masalah, mereka harus dilatih secara bertahap dan berkesinampungan. Latihan dimaksud antar lain dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang mampu menggunakan potensi yang dimiliki siswa. Pendekatan pembelajaran itu dilaksanakan pula untuk menciptakan kondisi belajar aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan. Pembelajaran luas segiempat sejak dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah pada umumnya dilaksanakan dengan menunjukkan rumus luas masing-masing bangun datar. Sebagai contoh, dalam pembelajaran materi trapesium, siswa diarahkan untuk menghafal bahwa luas daerah trapsium adalah jumlah panjang dua sisi sejajar kali tinggi dibagi dua. Jika kedua sisi sejajar masing-masing a dan b

serta tinggi trapesium adalah t, maka rumus luas trapesium adalah 2

)( tbaL

+= . Pengenalan rumus

yang tidak disertai dengan pengembangan terhadap konsep luas bangun datar itu sendiri, akan berakibat terjadi beberapa kesalahan siswa dan materi yang dipelajari tidak bertahan lama dalam ingatan siswa. Gejala di atas terjadi karena banyak sebab, mungkin dari guru atau mungkin dari siswa. Tanpa mengeneralisasi siapa yang dominan menyebabkan terjadi gejala di atas pada guru atau siswa, sebaiknya semua yang bertanggunjawan pada pembelajaran matematika memberikan pendapatnya bagaimana mengatasi masalah tersebut. Salah satu dari sekian banyak alternatif yang dapat dilakukan dalam pengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah terkait dengan masalah terkait dengan matematika adalah dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientifice approach) melalui pembelajaran. II. Kajian Teori 2.1 Tinjauan Pendekatan Ilmiah (Scientific Approach) Dalam Pembelajaran. Pemebelajaran merupakan suatu proses ilmiah untuk mengembangkan kompetensi peserta didik (siswa). Karena pembelajaran merupakan proses ilmiah, maka semestinya pembelajaran harus dilakukan dengan mengadopsi langkah-langkah ilmiah. Oleh sebab itu pembelajaran harus dilaksanakan secara terencana sistematis, teratur dan terkontrol. Pembelajaran matematika didasarkan pada (a) metode pengamatan terhadap objek matematika yang dipelajari(b) bukti-bukti empiris dari objek matematika (c) menemukan fakta-fakta dari objek matematika yang diobservasi, (d) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik, (e) menemukan kesimpulan yang teruji.

Memalalui pembelajaran yang terprogram dan memiliki muatan ilmiah berdamapak pada pengembangan sikap ilmiah pada siswa antar lain:

Page 143: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

134

1) Siswa senantiasa memiliki rasa ingin tahu 2) Mengembangan sikap jujur 3) Objektif, karena siswa terbiasa bekerja sesuai fakta dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi 4) Siswa tidak tekun dalam menemukan penyelesaian suatu masalah. 5) Siswa teliti dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari terjadi kesalahan pada pekerjaannya. 6) Mengembangkan sikap terbuka atau mau menerima pendapat yang benar dari orang lain dan

senantiasa mengakui kesalahan dan memperbaiki sebagaimana mestinya. Proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah tujuannya adalah untuk mengembangkan kompetensi siswa untuk mampu menyelesaian masalah. Sejalan dengan hal ini, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendeeral Pendidikan Menengah dalam Pembelajaran Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika (2013 : 10) menegaskan bahwa pembelajaran dilaksanakan untuk mengembangkan kompetensi siswa dan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Menyajikan atau mengajak siswa mengamati fakta atau fenomena baik secara langsung dan/ atau

rekonstruksi sehingga siswa mencari informasi, membaca, melihat, mendengar, atau menyimak fakta/fenomena tersebut

(2) Memfasilitasi diskusi dan Tanya jawab dalam menemukan konsep, prinsip, hukum,dan teori (3) Mendorong siswa aktif mencoba melaui kegiatan eksperimen (4) Memaksimalkan pemanfaatan tekonologi dalam mengolah data, mengembangkan penalaran dan

memprediksi fenomena (5) Memberi kebebasan dan tantangan kreativitas dalam presentasi dengan aplikasi baru yang terduga

sampai tak terduga Pembelajaran matematika dengan pendekatan ilmiah harus direncanakan untuk dapat dikembangkan oleh setiap guru mata pelajaran matematika. Terkait dengan hal ini, selanjutnya dielaborasi urain dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam uraian Analsis Materi Ajar Jenjang SD/SMP/SMA, tentang konsep Pendekatan Scientific (2013 : 3 - 4) sebagai berikut : 1) Materi pembelajaran matemtika harus berbasis pada fakta yang ada disekitar siswa dan dijelaskan

dengan logika atau penalaran tertentu yang menarik serta menyenangkan. Pada kesempatan ini siswa dikondisikan untuk menggunakan panca inderanya melakukan kegiatan mengamati;

2) Penjelasan guru dalam pembelajaran matematika, respon siswa, dan interaksi edukatif multi arah,untuk mengembangkan penalaran melalui alur berpikir logis. Oleh sebab itu pembelajaran harus dikondisikan untuk siswa saling bertanya, berdiskusi, saling memberi dan menerima ide-ide, berinteraksi dengan guru melalui aktivitas menanya;

3) Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran matematika.

4) Mendorong dan menginspirasi siswa agar mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan ketrkaitan satu sama lain dari substansi atau materi pembelajaran matematika.

5) Mendorong dan menginspirasi siswa untuk mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran matematika.

6) Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.

7) Tujuan pembelajaran matematika dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.

8) Pembelajaran matematika hindarkan dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah. 2.2 Implementasi Pendekatan Ilmiah Dalam Pembelajaran Matematika Sebelum mengimplementasi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran terlebih dahulu penting memperhatikan langkah-langkah pendekatan ilmiah pembelajaran.

Page 144: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

135

1) Mengamati Mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Peserta didik diberikan kesempatan menggunakan panca inderanya untuk mengamatai sesuatu yang disajikan dalam pembelajaran. Sajian ini dapat berupa fakta-fakta pengalaman dalam kehidupan nyata peserta didik, Penyajian bisa melalui media atau benda nyata, model, gambar, table, sehingga peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengungkap hasil pengamatannya berdasarkan fakta yang ditunjukkan. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini memerlukan persiapan yang matang, pengaturan waktu, dan pengendalian kegiatan sebab jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.

2) Menanya Aktifitas dalam pembelajaran seyogyanya mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Setelah peserta didik mengamati fakta-fakta dan mengungkap pengalaman dan pengetahuannya terkait dengan yang diamati, kemampuan menanya dapat ditumbuhkan dan dikempangkan antara lain melalui kegiatan kooperatif. Oleh sebab itu guru perlu senantiasa menampingi peserta didik, karena pada saat berada dalam kelompok terdapat banyak pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik. Pada saat guru bertanya, bersamaan dengan itu pula melakukan aktifitas membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula guru mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Mengapa rumus luas segitiga adalah setengah alas kali tinggi?,.Bentuk pernyataan, misalnya jumlah (a) jumlah semua besar sudut suatu segitiga adalah 1800, (b) dua garis sejajar memiliki kemiringan yang sama dan hanya berbeda bada konstantanya, (c) apa perbedaan grafik fungsi eksponen dan fungsi logaritma?

3) Mencoba Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik diberikan kesempatan untuk mencoba atau melakukan percobaan, terutama pada materi atau substansi yang sesuai. Aktifitas mencoba dalam matematika dapat dilakukan dengan menggunakan objek-objek di lingkungan, mengguakan model benda, mengumpulkan informasi dan mengolahnya. Melalui aktifitas percobaan peserta didik dilatih agar supaya mereka memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.

4) Menalar Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Istilah “menalar” dalam hal ini berpadanan dengan mengasosiasikan sesuatu dalam kerangka proses pembelajaran sebagai salah satu kegiatan pendekatan ilmiah. Pada posisi ini menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Peserta didik sebagai komponen pembelajaran yang harus lebih aktif dari pada guru. Pembentukan dan pengembangan proses asosiasi ini perlu diperhatikan hal-hal berikut: (a) Susunlah bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap sesuai dengan kompetensi dasar, indikator dan tujuan pembelajaran, (b) Hindari banyak menggunakan metode ceramah, (c) berikan instruksi singkat tapi jelas dengan disertai contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun dengan cara simulasi, hal ini dapat dirumuskan di dalam lembar kegiatan peserta didik (LKPD), (d). bahan ajar disusun secara hierarkis, dimulai dari yang sederhana (persyaratan rendah) sampai pada yang kompleks (persyaratan tinggi), (e) kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati dan (f) lakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.

Page 145: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

136

5) Mengkemunikasikan Mengkomunikasikan merupakan suatu sarana untuk menyampaikan konsepual hasil kerja dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, diagram. Aktifitas ini penting agar supaya siswa dapat mengungkapkan pengetahuan yang dimilikinya kepada orang lain dan melatih kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan hasil pengamatan, pengumpulan data dan analisisnya. Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog (lisan) atau melalui tulisan.Pada saat inilah terjadi terjadi pengalihan pesan. pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang telah dipelajari, misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah, gambar diagram, grafik. Pada proses pembelajaran matematika di kelas, komunikasi gagasan matematika bisa berlangsung antara guru dengan siswa, antara buku dengan siswa, dan antara siswa dengan siswa. Potensi mengkomunikasikan pada peserta didik dikembangkan melalui aktifitas kolaboratif. Melalui kolaboratif, peserta didik dapat mengembangkan potensinya dan membina kerja sama, lebih dari sekadar teknik pembelajaran kooperatif. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi menempatkan kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama.

III. Pendekatan Ilmiah Pada Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah. Misalkan pembelajaran yang akan dilaksanakan terkait dengan kompetensi dasara : Menyelesaikan masalah nyata menggunakan operasi aljabar berupa eksponen dan logaritma serta menyelesaikannya menggunakan sifat–sifat dan aturan yang telah terbukti kebenarannya. Langkah-langkah pendekatan ilmiah dapat dilaksanakan sebagai berikut. a. Kegiatan Mengamati

Tabel 1: Pembelahan 2 sel Tabel 2: Pembelahan 3 sel Jumlah

Sel Waktu (menit)

Hasil Pembelahan Sel

Jumlah Sel

Waktu (menit)

Hasil Pembelahan Sel

2 1 2 3 1 3 2 2 4 3 2 9 2 3 8 3 3 27 2 4 16 3 4 81 2 5 32 3 5 243 2 6 64 3 6 729 .

.

.

.

.

.

. . .

.

.

. 2 19 524288 3 19 1162261467 2 20 1048576 3 20 3486784401 .

.

.

. . .

.

.

. 2 n ………………….. 3 n …………………..

Peseta didik diberika kesempatan untuk mengamati fakta hubungan antara jumlah sel, waktu dan hasil pembelahan sel.

Page 146: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

137

b. Menanya Aktifitas peserta didik adalah mengamati fakta-fakta pada tabel tersebut sedemikian sehinggan timbul berbagai pertanyaan pada dirinya tentang hubungan antara jumlah sel dan waktu dengan hasil pembelahan sel serat bagaimana fakta tersebut jika dibuatkan grafinya ?. Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat diperoleh dengan melanjutkan aktifitas mengumpulakan data (menggunakan data dalam tabel 1 dan tabel 2) melalui aktifitas percobaan.

c. Mencoba Kemungkinan akatifitas siswa yang dapat dilakukan adalah menunjukkan hubungan sebagai berikut: Untuk jumlah sel : 2 sel Pada menit ke-1 hasil pembelahan sel = 2 diperoleh dari 21 =2 Pada menit ke-2 hasil pembelahan sel = 4 diperoleh dari 2 x 2 = 22 . Pada menit ke-3 hasil pembelahan sel = 8 diperoleh dari 2 x 2 x 2 = 23 . Pada menit ke-4 hasil pembelahan sel = 16 diperoleh dari 2 x 2 x 2 x 2 = 24. Pada menit ke-5 hasil pembelahan sel = 32 diperoleh dari 2 x 2 x 2 x 2 x 2 = 25. Percobaan di atas jika dilanjutkan sampai dengan menit yang ke-n akan diperoleh hasil pembelahan sel sama dengan 2 x 2 x 2 x 2 x … x 2 sebanyaka n kali sehingga diperoleh hasil tersebut adalah 2n. Percobaan yang serupa dapat dilakukan untuk jumlah sel : 3 sel : Pada menit ke-1 hasil pembelahan sel = 3 diperoleh dari 31 = 3 Pada menit ke-2 hasil pembelahan sel = 9 diperoleh dari 3 x 3 = 32 . Pada menit ke-3 hasil pembelahan sel = 27 diperoleh dari 3 x 3 x 3 = 33 . Pada menit ke-4 hasil pembelahan sel = 81 diperoleh dari 3 x 3 x 3 x 3 = 34. Pada menit ke-5 hasil pembelahan sel = 243 diperoleh dari 3 x 3 x 3 x 3x3 = 35. Percobaan di atas jika dilanjutkan sampai dengan menit yang ke-n akan diperoleh hasil pembelahan sel sama dengan 3 x 3 x 3 x 3 x … x 3 sebanyaka x kali sehingga diperoleh hasil tersebut adalah 3x.

d. Menalar. Proses berfikir yang logis dan sistematis berdasarkan fakta-fakta dari table 1 dan table 2, selanjutnya asosiasikan dengan menetapkan: Jika jumlah sel adalah 4, maka dalam waktu x hasil pembelahan sel adalah 4x. Jika jumlah sel adalah 5, maka dalam waktu x hasil pembelahan sel adalah 5x. Jika jumlah sel adalah 6, maka dalam waktu x hasil pembelahan sel adalah 6x. Memperhatikan hubungan melalui proses berfikir yang logis dan sistematis berdasarkan fakta-fakta tersebut, selanjutnya diasosiasikan dengan suatu penetapan, jika jumlah sel adalah a, maka dalam waktu x hasil pembelahan sel adalah ax. Proses aktifitas di atas akan memberikan suatu kesimpulan bahwa pola hubungan tersebut jika dinyatakan dalam suatu fungsi, maka untuk suatu bilangan tetap a dengan x yang berubah-ubah dapat dinyatakan dalam suatu fungsi f(x) = ax. Untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan tentang grafik dari fakta data pada tabel 1 dan tabel 2 di atas, peserta didik harus mengaitkan dengan kemampuannya dalam menggambar grafik fungsi. Untuk itu peserta didik harus mengolah data pada tabel 1 dan tabel 2 dengan cara menyederhanakan penyajian data, misalnya sebagai berikut. Tabel 3: Nilai f(x) = 2x , 1 ≤ x ≤ 10 Tabel 4: Nilai f(x) = 3x , 1 ≤ x ≤ 10

Jumlah Sel (a)

Waktu (x)

Hasil Pembelahan Sel

(fx)

Jumlah

Sel (a)

Waktu (x)

Hasil Pembelahan Sel

(fx)

2 1 2 3 1 3

2 2 4 3 2 9

2 3 8 3 3 27

Page 147: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

138

2 4 16 3 4 81

2 5 32 3 5 243

2 6 64 3 6 729

2 7 128 3 7 2187

2 8 256 3 8 6561

2 9 512 3 9 19683

2 10 1024 3 10 59049 Berdasarkan table 3 dan table 4 serta dengan pengetahuan tentang menggambar grafik yang sudah mereka miliki pada tingkat kelas sebelumnya yakni dengan menyajikan kordinat (x, f(x)) pada bidang kartesius mereka menemukan grafik fungsi yang datanya pada tabel 3 dan tabel 4, Jika dipilih beberapa titik koordinat, maka grafik fungsi f(x) = 2x dan f(x) = 3x adalah sebagai berikut.

Grafik f(x) = 2x Grafik f(x) = 3x

Untuk menjelaskan perbedaan grafik fungsi f(x) = 2x dan f(x) = 3x, peserta didik diberikan kesempatan melalui tahap selanjutnya yakni mengkomunikasikan semua pengetahuan dan pengalaman belajarnya baik antar individu, antar kelompok atau secara kelasikal.

e. Mengkomunikasikan

Kesempatan ini merupakan saatnya peserta didik membagi penguasaan konseptual tentang fungsi eksponesial dan grafikanya kepada peserta didik yang lain. Pada saat pembelajaran, aktifitas mengkonikasikan ini umumnya dilakukan melalui penyajian hasil kerja individu atau hasil kerja kelompok.Selai itu peserta didik dapat menunjukkan kemampuannya mengkomunikasi penguasaan konseptual terhadap substansi yang dipelajarinya melalui tulisan, hal ini antara lain dapat dutunjukkan oleh siswa melalui penyelesaian tugas-tugas berupa menyelesesaikan LKPD atau mengerjakan pekerjaan rumah (PR).

Page 148: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

139

Semakin dirasakan manfaat dari pendekatan ilmiah (scientific appoach) jika dilakujan di dalam pembelajaran yang berbasis masalah dalam pembelajaran matematika (problem based learning). Oleh sebab itu perlu diperhatikan karakteristik pembelajaran berbasis masalah seperti yang dikemukakan oleh I Wayan Dasna dan Sutrisno sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, (3) meng organisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Keterampilan dan kemampuan yang diperoleh dari menyelesaikan suatu masalah dalam matematika diyakini dapat membantu setiap memperolehnya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Oleh sebab itu, pandangan bahwa pemecahan masalah diperlukan setelah semua penyajian materi matematika selesai dibelajarkan harus diubah orientasinya. Jika padangan itu masih dipertahankan, maka pembaelajaran matematika hanya sedikit sekali memberi kesempatan kepada siswa belajar pemecahan masalah. Untuk mengubah pandangan itu, seharusnya masalah terkait dengan materi matematika diberikan diawal pembelajaran. Siswa dibentuk kemampuannya secara dini dalam menyelesaikan masalah melalu proses eksplorasi. Dalam aktivitas eksplorasi itu siswa akan aktif bertanya, mengumpulkan data, menunjukkan kemampuan penalaran. Proses inilah yang membentuk siswa mampu menemukan penyelesaian masalah, membangun atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang ada di dalam materi yang dibelajarkan. Melalu cara seperti ini, siswa tidak hanya diberi teori, konsep, teorema, rumus matematik yang sudah jadi, akan tetapi siswa diberikan pengetahuah dan dilatih serta dibiasakan menyelesaikan masalah selam prose pembelajaran berlangsung. Pembelajaran matematika yang dikondisikan untuk membentuk pengetahuan dan keterampilan siswa menyelesaikan masalah. Tentu saja akitivitas pembelajaran harus diawali dengan hal-hal nyata dan sederhana dan bisa diamati (didengar, dilihat, diraba, diragakan, atau dibaca). Untuk membantu menyusun skenario pembelajaran matematika yang memadukan pendekatan ilmiah (scientific appoach) dengan pembelajaran berbasis masalah. Selanjutnya disajikan tabel racangan pemadua skenarion pendekatan ilmiah (scientific appoach) dengan pembelajaran berbasis masalah, sebagai berikut

Page 149: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

140

IV. Penutup 4.1 Simpulan

Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran matematika meberikan kesempatan belajar menyelesaikan masalah berdasarkan kerja ilmiah kepada peserta didik seluas-lusnya melalui aktifitas (1) mengamati, (2) menanya, (3) mencoba, (4) menalar dan (5) mengkominkasikan.

4.2 Saran Pada mata pelajaran matematika pendekatan ilmiah (scientific appoach) sangat mungkin tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pembelajaran matematika pada kondisi seperti ini, tentu saja implementasi pendekatan ilmiah dalam proses pembelajaran harus tetap memperhatikan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan sedapat mungkin menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah.

Daftar Pustaka Hidayat, Wahyu. 2012. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah

Menengah Atas (SMA) Melalui Pembelajaran Koopeeratif Think-Talk-Write. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. ISBN: 978-979-99314-6-7.

Fisher, Alex. 2011. Cricical Thinking: An Introduction. Second Edition. New York: Cambridge. Fajar Shadiq. 2004. Pemecahan Masalah, Penalarana dan Komunikasi. Jogyakarta: Pusat Pengembangan

Pelatihan Guru. Kementrian Pendidikan dan Kebudayan RI. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,

2013 Analisis Materi Ajar Jenjang SD/SMP/SMA Konsep Pendekatan Scientific. Diklat Guru : Jakarta 2013 Pembelajaran Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Melalui

Pendekatan Saintifik. Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah: Jakarta

2014 Buku Pegangan Siswa Matematika SMA/SMK/MA/MAK Kelas X Semester-1 Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2014, Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayan RI.

2014 Buku Pegangan Guru Matematika SMA/SMK/MA/MAK Kelas X Semester-1 Kurikulum 2013

Edisi Revisi 2014, Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayan RI. Somakim. 2011. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama

Dengan Penggunaan Pendidikan Matematika Realistik. Forum FMIPA. Vol. 14 No.1.

Page 150: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

141

Al-Khawarizmi dan Persamaan Kuadrat

Budiman1, Suryawati2, Herizal3 1,2,3 Prodi Pendidikan Matematika, FKIP-Universitas Syiah Kuala

e-mail: [email protected]

Abstrak. Salah satu hal yang cukup mempengaruhi perkembangan ilmu matematika di abad pertengahan adalah disebabkan oleh penyebaran islam yang pesat. Banyak kontribusi matematikawan muslim untuk matematika selama masa keemasan (golden age) yaitu sekitar abad ketujuh hingga abad ketiga belas masehi. Satu dari beberapa matematikawan muslim yang cukup mempengaruhi dunia matematika adalah Abu Ja’far Muhammad Ibnu Musa Al-Khawarizmi. Matematikawan muslim yang lahir sekitar tahun 780 Masehi itu memberikan sumbangsih besar bagi dunia matematika. Kitabnya yang berjudul Hisab al-jabr w’al-muqabala memuat dasar-dasar penting ilmu aljabar. Dari situlah istilah aljabar pertama kali digunakan. Salah satu topik yang dibahas dalam kitab itu adalah persamaan kuadrat. Makalah yang berjudul “Al-Khawarizmi dan Persamaan Kuadrat” ini bertujuan untuk menjelaskan konsep persamaan kuadrat yang pertama kali dicetuskan oleh Al-Khawarizmi itu serta cara menyelesaikannya yang disertai dengan ilustrasi penyelesaian secara geometri. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa Al-Khawarizmi mengemukakan ada tiga tipe persamaan kuadrat yang melibatkan mal (kuadrat), jahdr (akar), serta dirham (bilangan/konstanta) yaitu kuadrat dan akar sama dengan bilangan (��� + �� = �), Kuadrat dan bilangan sama dengan akar (��� + � = ��) serta akar dan bilangan sama dengan kuadrat (�� + � = ���). Al-Khawarizmi juga memberikan cara menyelesaikan ketiga tipe persamaan kuadrat tersebut, dimana setiap tipenya mempunyai cara yang berbeda-beda. Penyelesaian yang diberikan oleh Al-Khawarizmi itulah yang menjadi dasar pengembangan rumus ABC yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan kuadrat hari ini. Namun, penyelesaian yang diberikan oleh Al-Khawarizmi tidak ada yang bernilai negatif. Sebagai ilustrasi dari setiap langkah penyelesaiannya, Al-Khawarizmi memberikan gambaran secara geometris untuk setiap masalah yang dipecahkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa persamaan kuadrat merupakan salah satu materi penting dalam matematika. Hal itu dapat dilihat dari seringnya persamaan kuadrat muncul saat menyelesaikan berbagai masalah matematika. Oleh karena itu, ketika melihat persamaan kuadrat dalam menyelesaikan soal-soal matematika sewajarnya pula harus diketahui bahwa ada seorang matematikawan muslim yang turut berperan dalam hal itu, dialah Al-Khawarizmi. Kata kunci: Al-Khawarizmi, kontribusi, aljabar, persamaan, kuadrat

1. Pendahuluan Latar belakang Salah satu hal yang cukup mempengaruhi perkembangan ilmu matematika di abad pertengahan adalah disebabkan oleh penyebaran islam yang sangat pesat. Banyak kontribusi matematikawan muslim untuk matematika selama masa keemasan (golden age) sekitar abad ke tujuh hingga abad ke tiga belas. Pelajar muslim saat itu tidak hanya fokus kepada agama, bisnis, dan pemerintahan melainkan juga pada ilmu lain seperti matematika dan sains. Mereka melakukan riset, mendalami serta memperluas teori-teori tentang sains yang telah ada sejak masa Yunani dan Romawi. Satu dari beberapa matematikawan muslim yang cukup mempengaruhi dunia matematika adalah Muhammad Ibnu Musa Al-Khawarizmi. Pemikirannya dalam bidang aljabar menempatkan dirinya sebagai sebutan “Bapak Aljabar”. Tetapi, Al-Khawarizmi sering terlupakan dalam kebanyakan sejarah matematika dunia dimana hanya berfokus pada matematikawan Yunani maupun Eropa saja. Meskipun

Page 151: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

142

demikian, posisinya sebagai salah satu matematikawan terhebat tidak dapat disangkal. Al-Khawarizmi meletakkan dasar-dasar penting dalam bidang aljabar, salah satunya tentang persamaan kuadrat yang sampai hari ini masih digunakan. Dalam kitabnya, Al-khawarizmi mengemukakan beberapa tipe persamaan kuadrat serta cara menyelesaikannya termasuk ilustrasi secara geometris dalam menyelesaikan persamaan kuadrat untuk setiap tipenya. Namun, selama ini saat orang menyebutkan Al-Khawarizmi, mereka tahu bahwa Al-Khawarizmi lah yang menciptakan konsep aljabar. Tapi masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sebenarnya konsep aljabar (salah satu topiknya tentang persamaan kuadrat) yang pertama kali dicetuskan. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis ingin menjelaskan tentang konsep persamaan kuadrat yang telah dicetuskan oleh Al-Khawarizmi serta cara menyelesaikannya. Rumusan masalah Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana sebenarnya konsep persamaan kuadrat yang pertama kali dicetuskan oleh Al-Khawarizmi serta cara menyelesaikannya? Tujuan Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk menjelaskan konsep murni persamaan kuadrat yang pertama kali dicetuskan oleh Al-Khawarizmi serta cara menyelesaikannya yang disertai dengan ilustrasi secara geometri. Manfaat Dari makalah ini diharapkan dapat mengambil beberapa manfaat, yaitu untuk mengenalkan kepada pembaca tentang konsep persamaan kuadrat yang pertama kali dicetuskan oleh Al-Khawarizmi serta cara menyelesaikannya. Manfaat berikutnya adalah untuk memberikan informasi berupa pengetahuan baru kepada pembaca supaya mereka lebih termotivasi untuk terus mendalami matematika. 2. Pembahasan Biografi Al-Khawarizmi Abu Ja’far Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi lahir sekitar tahun 780 Masehi. Meskipun namanya mengindikasikan bahwa keluarganya berasal dari daerah Khwarizm dekat dengan laut Aral, namun banyak sejarawan meyakini bahwa Al-Khawarizmi lahir di Baghdad yang dikemudian hari menjadi Ibukota Irak (Steven, 2006:95). Al-Khawarizmi dan koleganya yang dikenal dengan Banu Musa merupakan pekerja di House of Wisdom (Baitul Hikmah) yaitu sebuah lembaga pendidikan yang meneliti ilmu-ilmu pengetahuan dan terjemahan yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid (Ayah Khalifah Al Ma’mun) di Baghdad. Pekerjaan mereka adalah menerjemahkan manuskrip sains terdahulu. Mereka juga belajar dan menulis tentang aljabar, geometri, dan astronomi. Selama bekerja di bawah Khalifah Al Ma’mun, Alkhawarizmi mendedikasikan dua risalahnya kepada khalifah. Keduanya adalah risalah aljabar dan astronomi. Risalah aljabarnya yang berjudul Hisab al-jabr w’al-muqabala merupakan karya Al-Khawarizmi yang cukup terkenal dan monumental dibandingkan karyanya yang lain. Al-Daffa’ (1977:50) menyatakan bahwa kitab tersebut ditulis sekitar tahun 820 Masehi. Terjemahan dari kitab itu dalam bahasa latin menjadikannya terkenal di eropa. Dari kitab itulah asal mula kata aljabar pertama kali dan dalam sejarahnya, kitab itu menjadi rujukan penting dalam bidang aljabar. Tipe-Tipe Persamaan Kuadrat Menurut Al-Khawarizmi Salah satu topik yang dibahas dalam kitab al-jabr w’al-muqabala adalah tentang persamaan kuadrat. Pada awal-awal pembahasan, Al-Khawarizmi memperkenalkan tiga istilah yaitu mal, jahdr, dan dirham. Kata mal menunjukkan kepada kuadrat (square) yaitu jumlah keseluruhan dari akar yang dikalikan dengan dirinya sendiri, jahdr sebagai akar (root) yaitu pangkat terendah dari sesuatu yang tidak diketahui (unknown quantity), sedangkan dirham sebagai bilangan/konstanta (the number) yaitu sebarang bilangan yang diungkapkan dan tidak mengarah kepada akar atau kuadrat (Rosen, 1831:6).

Page 152: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

143

Dengan menggunakan tiga istilah itu, Al-khawarizmi mengemukakan enam tipe persamaan dimana tiga diantaranya masuk kategori persamaan kuadrat lengkap. Ketiga tipe untuk persamaan kuadrat itu adalah kuadrat dan akar sama dengan bilangan, Kuadrat dan bilangan sama dengan akar serta akar dan bilangan sama dengan kuadrat (Rosen, 1831: 7). Perlu diperhatikan bahwa Al-Khawarizmi dalam kitabnya bekerja tidak menggunakan simbol melainkan menjelaskan segala sesuatunya (termasuk angka) dalam bentuk kata-kata. Menurut Steven (2006:97) dan beberapa sumber lainnya, ketiga bentuk persamaan kuadrat di atas, jika ditulis dalam bentuk simbol adalah sebagai berikut. 1. ��� + �� = � 2. ��� + � = �� 3. �� + � = ��� Solusi Alkhawarizmi dalam Menyelesaikan Persamaan Kuadrat Al-khawarizmi dalam kitabnya yang masyhur itu telah memberikan cara menyelesaikan tiga persamaan kuadrat di atas dimana masing-masing bentuk memiliki caranya tersendiri. Di sini, Al-Khawarizmi tidak memberikan penyelesaian secara umum melainkan langsung menyelesaikan contoh. Cara yang diberikan pun tidak dalam bentuk simbol-simbol tetapi dinarasikan dengan kata-kata dan yang dicari hasilnya bukan saja nilai akarnya (x) namun juga nilai kuadratnya (��). Berikut ketiga contoh persamaan kuadrat yang mengikuti bentuk di atas disertai dengan penyelesaiannya. Bentuk pertama adalah kuadrat dan akar sama dengan bilangan (��� + �� = �). Untuk bentuk ini Al-Khawarizmi memberikan beberapa contoh salah satunya adalah: Satu mal (kuadrat) dan sepuluh jahdr (akar) menghasilkan 39 dirham. Solusi yang diberikan adalah “bagi dua bilangan (koefisien) dari akar akan menghasilkan lima. Kemudian kalikan dengan dirinya sendiri hasilnya 25, lalu tambahkan 39 hasilnya 64. Akarkan bilangan itu menjadi delapan, selanjutnya kurangi dengan nilai setengah dari koefisien akar yaitu lima. Hasil akhirnya adalah tiga. Dengan demikian kuadratnya adalah 9 (Rosen, 1831: 7). Jika narasi dari penyelesaian itu dibuat dalam notasi matematika modern adalah sebagai berikut. Bentuk soal yang dimaksud adalah �� + 10� = 39, lalu solusinya adalah:

� = ��102 �� + 39 � − 102

� = √64 − 5 � = 8 − 5 = 3 sehingga �� = 9 Bentuk kedua kuadrat dan bilangan sama dengan akar (��� + � = ��). Contoh yang diberikan adalah: Satu mal dan 21 dirham sama dengan sepuluh jahdr. Penyelesaiannya adalah “bagi dua bilangan dari jahdr yaitu sepuluh bagi dua sama dengan lima kemudian kalikan dengan dirinya sendiri hasilnya 25. Lalu kurangi dengan 21 dilanjutkan dengan mengakarkannya sehingga menghasilkan dua. Kemudian kurangi nilai setengah dari koefisien jahdr dengan dua, hasilnya tiga atau ditambahkan akan menghasilkan tujuh (Rosen, 1831:11). Dalam bentuk simbol matematika soal dan penyelesaiannya dapat ditulis sebagai berikut. Bentuk soalnya adalah �� + 21 = 10�, kemudian penyelesaiannya adalah:

� = 102 ± ��102 �� − 21

= 5 ± √25 − 21

Page 153: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

144

= 5 ± 2 Persamaan di atas akan menghasilkan x=3 atau x=7, sehingga �� = 9 atau 49 Ada catatan yang

diberikan yaitu jika dalam bentuk kedua ini, ��� � < �, kasus nya tidak terjadi. Jika ��� � = �, maka � =��.

Bentuk ketiga akar dan bilangan sama dengan kuadrat (�� + � = ���). Contoh soal yang diberikan adalah: Tiga jahdr dan empat dirham sama dengan satu mal. Solusinya adalah “bagi dua koefsien jahdr, kalikan dengan dirinya sendiri hasilnya dua seperempat. Tambahkan dengan empat menghasilkan enam seperempat, lalu akarkan hasilnya dua setengah. Terakhir, tambahkan dengan nilai setengah dari koefisien jahdr hasilnya empat. (Rosen, 1831:18). Dalam bentuk simbol matematika, soal dan solusinya dapat ditulis sebagai berikut. Bentuk soalnya adalah 3� + 4 = �� atau �� = 3� + 4, solusinya adalah:

� = ��32�� + 4 � + 32

= "2 #$ + 4 + %�

= "6 #$ + %�

= 2 #�+ %� = 4, sehingga �� = 16 Di akhir penjelasannya, Al-Khawarizmi mengatakan bahwa kapan saja jika berhadapan dengan koefisien dari mal (kuadrat) bukan satu, terlebih dahulu disederhanakan menjadi satu. Bentuk Umum Penyelesaian Persamaan Kuadrat Al-Khawarizmi dalam kitabnya tidak menyebutkan secara umum cara menyelesaikan berbagai tipe persamaan kuadrat yang diberikan melainkan Al-Khawarizmi hanya menjelaskan solusinya melalui contoh-contoh. Jika melihat penyelesaian di atas, kita dapat membuat suatu pola untuk penyelesaian soal dengan angka yang berbeda. Pola-pola tersebut adalah sebagai berikut. Bentuk pertama adalah ��� + �� = �. Jika penyelesaiannya dibuat secara umum, maka solusi untuk bentuk pertama ini adalah:

� = ��b2�� + � � − b2

Bentuk kedua adalah ��� + � = ��. Jika penyelesaiannya dibuat secara umum, maka solusi untuk bentuk ini adalah:

� = �2 ± ���2�� − �

Bentuk ketiga adalah �� + � = ��� atau dapat ditulis ��� = �� + �. Jika penyelesaiannya dibuat secara umum, maka solusi untuk bentuk ini adalah:

Page 154: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

145

� = ���2�� + �� + �2

Ilustrasi Geometri Penyelesaian Persamaan Kuadrat Ketiga tipe penyelesaian persamaan kuadrat yang telah dijelaskan sebelumnya terlihat bahwa membagi dua koefisien dari x (akar) adalah diperlukan ditambah satu hal lagi yang sedikit berbeda dengan penyelesaian persamaan kuadrat saat ini yaitu solusi yang diberikan Al-Khawarizmi tidak dalam bentuk bilangan negatif. Untuk menguatkan alasannya itu, Al-Khawarizmi menyajikan ilustrasi secara geometri untuk setiap penyelesaiannya. Bentuk pertama, �� + 10� = 39

Gambar 1. Ilustrasi penyelesaian '( + )*' = +, Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa persegi menunjukkan '(, lalu dikonstruksikan empat persegi

panjang di setiap sisinya dengan luas masing-masing -( ', sehingga total luas adalah '( + . �-( ' ='( + )*'. Selanjutnya tambahkan empat persegi kecil di setiap sisi bangun. Karena '( + )*' = +,,

maka luas total persegi besar adalah 39+25=64. Dengan demikian panjang sisinya adalah 8. Karena + -( + -( = /, maka ' = + dan '( = ,.

Bentuk kedua, �� + 21 = 10�

Gambar 2. Ilustrasi penyelesaian �� + 21 = 10�

Gambar pertama merupakan representasi untuk soal yaitu persegi ABDC sebagai �� dan HNBA representasi konstanta yang bernilai 21. Total keseluruhan luasnya adalah 10�. Lalu bagi dua bangun

Page 155: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

146

tersebut kemudian konstruksikan bangun HNTG menjadi sebuah persegi yaitu MNTK yang luasnya 25. Perhatikan bahwa bangun MHRL + HNTG = HNBA mempunyai luasn 21. Dengan demikian luas persegi LRGK adalah 25-21=4 dan diperoleh panjang sisinya 2. Dari situ nilai x dapat diperoleh yaitu x+2=5, x=3 dan �� = 9. Bentuk ketiga, �� = 3� + 4

Gambar 3. Ilustrasi penyelesaian �� = 3� + 4

Penjelasan dari gambar di atas adalah pertama buat sebuah persegi dengan panjang sisi x sehingga luasnya merepresentasikan bentuk ��. Lalu bagilah persegi itu menjadi 2 bagian masing-masing luasnya 3x dan 4. Dengan demikian bangun tersebut telah merepresentasikan bentuk soal yang akan dicari penyelesaiannya. Lalu sisi yang panjangnya 3 dibagi 2 dan dibuat sebuah persegi yang panjang sisinya 3/2 (KTGH). Buatlah bangun baru yaitu NLTK dimana LT=AH. Jika garis LN diteruskan hingga sisi atas (Titik M), maka akan terbentuk bangun baru yaitu BRNM yang luasnya sama dengan NLTK. Selanjutnya perhatikan persegi panjang BRHA yang luasnya 4 dan panjang RN=KH=3/2. Panjang RH adalah 3/2 + NK + 3/2 = 3 + NK, dimana NK=AH. Karena luas BRHA = 4 maka diperoleh panjang NK=AH= 1. Dengan demikian panjang sisi persegi utama (BDCA) adalah x = 3 + 1 = 4, sehingga �� =16. Dari tiga kasus di atas, Al-Khawarizmi mengkonstruksi sebuah representasi geometri dari masalah yang hendak diselesaikan kemudian memprosesnya dengan melengkapkan sebuah persegi (melengkapkan kuadrat), hal itu akan membawa kita kepada hasil yang dicari. Sebelumnya juga telah disebutkan bahwa jawaban dari alkhawarizmi tidak ada yang berbentuk bilangan negatif, hal ini sejalan dengan apa yang telah dijelaskan oleh Al-Khawarizmi melalui bangun-bangun yang dibuat dimana tidak mungkin ada sisi yang memiliki panjang berupa bilangan negatif. 3. Kesimpulan Ide pertama persamaan kuadrat dicetuskan oleh seorang matematikawan muslim yang bernama Al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi mengemukakan ada tiga tipe persamaan kuadrat yang melibatkan mal (kuadrat), jahdr (akar), serta dirham (bilangan/konstanta) yaitu kuadrat dan akar sama dengan bilangan (��� + �� = �), Kuadrat dan bilangan sama dengan akar (��� + � = ��) serta akar dan bilangan sama dengan kuadrat (�� + � = ���). Setiap tipenya diberikan satu contoh kemudian diselesaikan, dimana penyelesaian itulah yang mengilhami munculnya rumus abc hari ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al-Khawarizmi merupakan salah satu matematikawan hebat yang ada dalam sejarah perkembangan matematika.

Page 156: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

147

Daftar Pustaka Al-Daffa’, Ali Abdullah. (1977). The Muslim contribution to Mathematics, Atlantic Highlands:

Humanities press. Baki, Adnan. (1992). Al-Khwarizmi’s contributions to the science of mathematics: Kitab Al-jabr wa’l

muqabalah. Journal of Islamic Academy of Sciences, 5:3, Tahun 1992. 225-228 Boyer, Carl. (2011). A History of Mathematics, New Jersey: John Willey and Sons. Katz, Victor J. (2009). A History of Mathematics: An Introduction (3rd edition), New York: Addison

Wesley (Pearson Education Inc). Krantz, Steven G. (2006). An Episodic History of Mathematics, St. .Louis Mohamed, Mohaini. (2000). Great Muslim Mathematicians, Malaysia: University Teknologi Malaysia. Oaks, Jeffrey. (2007). Medieval Arabic Algebra as an Artificial Language. Journal in Springer.com. Rosen, Frederic. (1831). The Algebra of Mohammed Ben Musa (Translation of Al-Jabr Wal Muqabala

book), London: J.L.Cox.

Page 157: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

148

Pembelajaran Quantum dalam Pembelajaran Matematika

Yuhasriati

Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah e-mail: [email protected]

Abstrak: Matematika memiliki objek kajian yang abstrak. Banyak masalah yang dihadapi siswa dalam belajar matematika, yang paling menonjol adalah kurangnya motivasi siswa dalam belajar yang diakibatkan oleh kesulitan yang dialaminya. Pembelajaran matematika perlu diupayakan sebagai kegiatan yang mengasyikkan dan menyenangkan bagi siswa. Guru harus mampu melaksanakan pembelajaran yang dapat melenjitkan potensi diri siswa dan menjadikan siswa kita bersikap positif, termotivasi, menemukan cara belajarnyanya, berpikir kreatif, percaya diri, dan sukses. Pembelajaran kuantum (quantum teaching dan quantum learning) yang memungkinkan maksud tersebut. Perlu persiapan dalam penerapan pembelajaran kuantum, yaitu, 1) mengetahui Modalitas belajar siswa (Visual, Auditorial, atau Kinestetik), 2) Mengetahui Dominasi otak siswa (AA, SA, AK, atau SA), 3) Mengetahui Gaya kognitif siswa (field dependent atau field independent), dan 4. Lingkungan Belajar (Pencahayaan, sirkulasi Udara, musik pengiring, akibatnya gelombang otak siswa dalam kondisi relaks. Kewajiban bagi guru dalam proses pembelajaran dengan pembelajaran kuantum adalah 1)Tunjukkan AmBaK nya siswa, 2) Ucapkan selalu Kalimat positif, 3) Berikan selalu sugesti positif, 4) Dalam percakapan sehari-hari, gunakan kata ‘tolong’ untuk menyuruh, ucapkan ‘terimakasih’ setelah selesai, dan tidak segan ‘minta maaf’ kalau salah.

Pendahuluan Matematika merupakan salah satu matapelajaran yang disediakan di setiap jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar yang tujuannya untuk membekali siswa dengna kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mampu bekeerja sama. Ditinjau dari objeknya matematika memiliki objek yang abstrak. Soedjadi (2000:13) “matematika memiliki objek kajian yang abstrak”. Banyak masalah yang dihadapi siswa dalam belajar matematika, yang paling menonjol adalah kurangnya motivasi siswa dalam belajar yang diakibatkan oleh kesulitan yang dialaminya. Dalam pembelajaran seringkali dijumpai adanya kecenderungan siswa tidak mau bertanya kepada guru meskipun mereka sebenarnya belum mengerti tentang materi yang disampaikan guru. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soedjadi (2007:1) “Banyak pendapat yang dikemukakan berbagai pihak bahwa banyak siswa yang berkesulitan belajar matematika”. Banyak faktor yang menjadi penyebab siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika, sehingga rendahnya hasil belajarnya. Dalam hal ini guru memiliki peran sentral sebagai agen perubahan dalam dunia pendidikan khususnya pada bagian pelaksanaan pembelajaran. Sebagimana yang disimpulkan oleh Sutjipto (2005:33) bahwa “Bukan Matematika yang salah (sulit) tetapi kita semua yang salah karena belum bisa menempatkan pembelajaran matematika sebagai kegiatan yang mengasyikkan dan menyenangkan bagi siswa baik di sekolah maupun di rumah. Kita sebagai guru, perlu mengarahkan siswa melalui proses pembelajaran bermakna yang dapat membangkitkan motivasi siswa sehingga siswa memiliki rasa ingin tahu tentang materi yang sedang dipelajarinya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacobsen (2009:6) “Peran guru yang penting dalam mendorong pembelajaran siswa adalah meningkatkan keinginan siswa atau motivasi untuk belajar”. Akibatnya mereka siap menghadapai tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi. Strategi untuk meningkatkan motivasi siswa menurut Jacobsen (2009:13) ”Strategi-strategi ajaran personal untuk meningkatkan motivasi siswa

Page 158: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

149

diperlukan sikap tulus, positif, semangat, dan suportif dari seorang guru”. Kita harus mampu melaksanakan pembelajaran yang dapat melenjitkan potensi diri siswa dan menjadikan siswa kita bersikap positif, termotivasi, menemukan cara belajarnyanya, berpikir kreatif, percaya diri, dan sukses. Sikap tulus, positif, semangat, dan suportif dari seorang guru sangat dibutuhkan oleh siswa karena secara biologis siswa (manusia) terdiri 80% air, Hasil penelitian Emoto, (1999) Ucapan positif menghasilkan kristal air yang bagus. Demikian juga dengan siswa yang sebagian besar terdiri dari air, jika sering diucapkan perkataan positif akan berakibat pada pribadi siswa juga baik. Beberapa tahun terakhir ini muncul berbagai metodologi pembelajaran yang dipandang baru dan mutakhir walaupun perkembangannya bersumber pada metolologi sebelumnya yang sudah ada. Beberapa di antaranya yang banyak diperbincangkan dan diimplementasikan oleh guru, yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif dengan berbagai tipenya, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), dan pembelajaran kuantum (quantum teaching dan quantum learning). Diantara macam-macam pembelajaran tersebut, pembelajaran kuantum (quantum teaching dan quantum learning) yang memungkinkan dapat melenjitkan potensi diri siswa dan menjadikan siswa kita bersikap positif, termotivasi, menemukan cara belajarnyanya, berpikir kreatif, percaya diri, dan sukses. DePorter, 2011:31) “Dengan menggunakan metodologi Quantum Teaching, anda akan dapat menggabungkan keistimewaan-keistimewaan belajar menuju bentuk perencanaan pengajaran yang akan melenjitkan prestasi siswa”. Pelaksanaan pembelajaran matematika yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi jika sebelumnya dapat disusun instrumen pembelajaran yang mengarah ke hal tersebut. Instrumen pembelajaran yang dibuat dengan menerapkan langkah-langkah Pembelajaran Quantum (Quantum Teaching dan Quantum Learning) dalam intrumen pembelajaran. Quantum Teaching merupakan praktek Quantum Learning dalam ruang kelas. Guru melaksanakan Quantum Teaching dan siswa mengalami Quantum Learning yang berakibat siswa belajar dalam suasana yang lebih nyaman dan menyenangkan, dan siswa akan lebih bebas menemukan berbagai pengalaman baru dalam belajarnya. Quantum Learning yang dialami siswa selama pembelajaran berlangsung memungkinkan hidupnya bersikap positif, termotivasi, mempunyai keterampilan belajar seumur hidup, mempunyai kepercayaan diri, dan sukses, (DePorter, 2010:13) Berdasarkan uraian di atas yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini adalah: 1) Bagaiman Pembelajaran Quantum diaplikasikan dalam Rancangan Pembelajaran Matematika, 2) Apa kewajiban bagi guru dalam proses pembelajaran Matematika dengan pembelajaran

kuantum? Tinjauan Pustaka Pembelajaran Quantum Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang melibatkan siswa, guru dan fasilitas yang mendukung sehingga siswa termotivasi untuk belajar yang akhirnya mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran perlu direncanakan oleh guru sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisir pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman belajar bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam merancang dan melakssanakan pembelajaran. Pembelajaran juga harus dirasakan (dialami) oleh siswa, terlebih pembelajaran matematika yang terkesan sulit bagi sebagian siswa karena objeknya yang abstrak, sebagai kegiatan yang menyenangkan dan mencapai tujuan belajar tertentu. Pembelajaran Quantum merupakan kegiatan guru mengajar secara Quantum (Quantum Teaching) dan kegiatan siswa belajar juga secara Quantum (Quantum Learning). Sementara fasilitas yang disediakan guru bisa berupa kondisi, situasi, media, yang mendukung Quantum Teaching dan Quantum Learning. Media yang digunakan dapat memvisualisasi materi matematika yang abstrak.

Page 159: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

150

Quantum Teaching dan Quantum Learning sesungguhnya merupakan ramuan atau rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik (NLP) yang jauh sebelumnya sudah ada. Teori-teori pendidikan yang mendasarinya adalah Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelligences (Gardner), Neuro-Linguistic programming (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson dan Johnson), dan Elements of effective interaction (Hunter). Quantum Teaching dan Quantum Learning merupakan rangkaian teori-teori tersebut yang menjadikan sebuah paket multisensori, multikecerdasan, dan kompatibel dengan otak, yang dapat melejitkan kemampuan guru untuk mengilhami dan kemampuan siswa untuk berprestasi. Sejarahnya, Quantum Teaching dan Quantum Learning merupakan suatu cara pembelajaran yang digagas oleh DePortter. Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang akhirnya menggeluti bidang pembelajaran. Tahun 1982 DePorter mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga pembelajaran yang terletak Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat. SuperCamp sendiri dilahirkan oleh Learning Forum, sebuah perusahahan yang berbasis di Oceanside dan memusatkan perhatian pada bagian pembelajaran guna pengembangan potensi diri manusia, (DePorter, 2010:4). Dalam tulisan ini penggunaan istilah Quantum Teaching dan Quantum Learning digunakan secara bergantian untuk maksud Pembelajaran Quantum. Quantum Learning Quantum Learning yang diperkenalkan oleh Deporter, mulai dipraktekkan pada tahun 1992 itu terilhami dari teori yang terkenal dalam fisika Kuantum yaitu E=mc2 (masa kali percepatan cahaya kuadrat sama dengan energy). Dari rumusan itulah dapat didefinisikan bahwa Kuantum adalah sebuah interaksi yang mengubah energy menjadi cahaya. DePorter (2010:16) “mendefinisikan Quantum Learning sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya”. Sebagai siswa tujuan belajar untuk meraih sebanyak mungkin cahaya (keberhasilan) dan siswa membutuhkan vasilitas, interaksi, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Apa saja yang dapat digunakan guru sehingga aktivitas belajar yang menjadi interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Interaksi yang dapat mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan orang lain. Quantum Learning berakar dari upaya Dr Gerogi Lazonnov seorang pendidik berkebangsaan Bulgrian yang bereksperimen dengan apa yang disebut sebagai suggestology atau sugestopedia. Quantum Learning merupakan aktivitas belajar yang dilakukan oleh siswa dalam situasi yang memberikan sugesti positif karena Georgi Lazonnov dalam (DePorter, 2010:14) “Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar”. Siswa membutuhkan sugesti positif selama pembelajaran. DePorter (2010:14) memberikan beberapa teknik yang digunakan untuk memberikan sugesti positif yaitu mendudukkan siswa secara nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberikan kesan besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni mengajar yang sugestif. Quantum Learning sangat dipengaruhi oleh Neuro-Linguistic programming (NLP), yaitu kegiatan otak mengatur informasi yang diterima. DePorter (2010:14) Guru yang berkemampuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif, yang merupakan faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Quantum Learning merupakan cara belajar siswa yang senatiasa menerima bahasa yang positif dan sugesti positif dari gurunya. Quantum Learning (DePorter, 2010:16) merupakan pembelajaran yang menggabungkan sugesti, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan cara belajar siswa sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain,

Page 160: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

151

seperti: Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune (3 in 1), Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), Teori kecerdasan ganda, Pendidikan holistik (menyeluruh), Belajar berdasarkan pengalaman, Belajar dengan simbol, Simulasi/permainan. Secara keseluruhan teori-teori tersebut menyangkut teori motivasi belajar. Gaya Belajar Siswa Guru yang membelajarkan siswa dengan Quantum Learning perlu mengetahui gaya belajar siswanya. Jacobsen, (2009:281) menyatakan bahwa, “Konsep gaya belajar memiliki tiga implikasi penting pada guru. Pertama, konsep tersebut mengingatkan kita tentang keharusan untuk mendiversifikasi karena tidak ada pendekatan pengajaran yang akan disukai oleh semua siswa, kedua, kesadaran akan gaya belajar akan dapat meningkatkan sesnsitivitas kita terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dalam siswa-siswa kita dan ketiga konsep ini menyarankan bahwa guru harus mendorong siswa untuk berpikir tentang pola belajarnya sendiri yang nanti dapat mengembangkan metakognisinya mereka ”. Gaya belajar merupakan kunci untuk mengembangkan kinerja dalam belajar. Jacobsen, (2009: 279) menyatakan “salah satu pendekatan dalam gaya-gaya belajar yang paling popoler dikembangkan oleh Ken dan Rita Dunn”. Rita Dunn seorang pelopor di bidang gaya belajar (dalam DePorter, 2010:110) telah menemukan banyak variabel yang mempengaruhi gaya belajar seseorang, yaitu faktor fisik, emosional, sosiologis, dan lingkungan. Ada orang yang dapat belajar paling baik denga cahaya yang terang dan sebagian yang lain dengan cahaya yang suram. Ada yang suka berkelompok, ada belajar sendiri yang efektif. Ada yang memerlukan musik sebagi latar belakang, ada yang dapat berkonsentasi jika dalam ruangan sepi. Ada dua kategori yang telah di sepakati oleh para ahli tentang gaya belajar, (dalam DePorter, 2010:110), yaitu pertama, modalitas belajar (cara siswa menyerap informasi dengan mudah) dan kedua, dominasi otak (cara siswa mengatur dan mengolah informasi tersebut). Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari cara siswa menyerap informasi dengan mudah dan cara siswa mengatur dan mengolah informasi tersebut. Sebelum melakukan pembelajaran Quantum, guru perlu terlebih dahulu mengetahui modalitas belajar siswanya. Setiap siswa mempunyai Modalitas belajar masing-masing. DePorter, (2010:112) menuliskan dalam bukunya bahwa, modalitas belajar ada tiga macam, yaitu modalitas visual, modalitas auditorial, dan modalitas Kinestik singkat dengan (V-A-K). Masing-masing modalitas belajar memiliki ciri-cirinya, yaitu Ditinjau dari prilaku, ciri-ciri siswa yang modalitas belajarnya visual, yaitu rapi dan teratur, berbicara dengan cepat, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan, mengingat dengan gambar, lebih suka membaca daripada dibacakan, sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak, membutuhkan pandangan dan tujuan menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalh atau proyek, sering kali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata. Ciri-ciri siswa yang modalitas belajarnya auditorial adalah berbicara kepada diri sendiri saat bekerja, mudah terganggu oleh keributan, senang membaca dengan keras dan mendengarkan, berbicara dengan irama yang terpola, belajar dengan cara mendengarkan. Ciri-ciri siswa yang modalitas belajarnya kinestik adalah berbicara dengan perlahan, selalu berorientasi pada fisik dan banyak gerak, belajar deengan mapulasi dan praktek, menghafal dengan cara berjalan dan melihat, banyak menggunakan isyarat tubuh, tidak dapat duduk diam untuk waktu lama. Ditinjau dari ucapan atau kata-kata khas yang digunakan dalam pembicaraan yang biasa dipakai, jika siswa yang modalitas belajarnya visual adalah ‘menurut pandangan saya masalah ini .....’ jika siswa yang modalitas belajarnya auditorial adalah saya dengan masalah ini .....’ jika siswa yang modalitas belajarnya kinestetik ‘saya merasa masalah ini .....’. Secara kasar modalitas belajar siswa dapat juga diidentifikasi berdasarkan pengamatan yang dilakukan sehari-hari dari kata-kata yang biasa digunakan siswa.

Page 161: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

152

Selain modalitas belajar siswa yang harus diketahui guru untuk mengetahui gaya belajar siswa, guru perlu mengetahui dominasi otak, yaitu cara siswa mengatur dan mengolah informasi yang telah diterimanya. Menentukan dominasi otak (DePorter, (2010:124) menggunakan model yang dikembangkan oleh Anthony Gregore, profesor di bidang kurikulum dan pengajaran di Universitas Connecicut selanjutnya John Parks Le Tellier merancang sebuah tes untuk mengetahui klasifikasi cara siswa mengatur dan mengolah informasi yang telah diterimanya (cara berpikir). Dominasi otak bagi setiap individu mungkin Acak Abstrak (AA), Sekuen Abstrak (SA), Acak Konkret (AK), atau Sekuen Konkret (SK). Selain gaya belajar (modalitas belajar dan dominasi otak) yang dimiliki siswa, guru juga harus menyadari adanya beragam gaya kognitif siswanya. Arens (2008:50) menyatakan bahwa, sebagian individu tampak bersifat field dependent, dan field independent”. Secara umum individu yang bersifat field dependent lebih people-oriented hubungan sosial penting bagi mereka, dan mereka bekerja baik dalam kelompok. Mereka lebih senang mengerjakan tugas jangka panjang dan berbasis masalah. Di pihak lain individu yang bersifat field independent memiki kemampuan analitik yang kuat dan lebih banyak memantau pemrosesan informasi. Mereka lebih senang bekerja sendirian. Karakteristik Umum Quantum Learning Pembelajaran Quantum merupakan rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi kognitif dan NLP sebagaimana dikemukakan di atas, Namun pembelajaran kuantum memiliki karakteristik umum yaitu sebagai berikut. 1. Berpangkal pada psikologi kognitif 2. Pembelajaran lebih bersifat humanistis, 3. Pembelajaran lebih bersifat konstruktivis(tis), 4. Pembelajaran berupaya memadukan, menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi-diri

manusia selaku pembelajar dengan lingkungan [fisik dan mental] sebagai konteks pembelajaran.

5. Pembelajaran memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, Dalam kaitan inilah komunikasi menjadi sangat penting dalam pembelajaran kuantum.

6. Pembelajaran sangat menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. Jadi, segala sesuatu yang menghalangi pemercepatan pembelajaran harus dihilangkan pada satu sisi dan pada sisi lain segala sesuatu yang mendukung pemercepatan pembelajaran harus diciptakan dan dikelola sebaik-baiknya.

7. Pembelajaran sangat menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, Kealamiahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman, segar, sehat, rileks, santai, dan menyenangkan,

8. Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran.

9. Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. 10.Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis,

keterampilan [dalam] hidup, dan prestasi fisikal atau material yang seimbang. 11.Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses

pembelajaran. Makin kuat dan mantap nilai dan keyakinan positif yang dimiliki oleh pembelajar, kemungkinan berhasil dalam pembelajaran akan makin tinggi.

12. Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. Diakui keragaman gaya belajar siswa, dikembangkannya aktivitas-aktivitas pembelajar yang beragam, dan digunakannya bermacam-macam kiat dan metode pembelajaran.

13. Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran. Aktivitas total antara tubuh dan pikiran membuat pembelajaran bisa berlangsung lebih nyaman dan hasilnya lebih optimal.

Page 162: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

153

Penerapan Quantum Learning dalam Pembelajaran Matematika Langkah-langkah yang dapat diterapkan dalam pembelajaran melalui konsep Quantum Learning adalah sebagi berikut: 1. Kekuatan Ambak Ambak adalah singkatan dari Apa Manfaatnya Bagiku yang merupakan motivasi yang didapat siswa untuk mencapai tujuan belajar. Motivasi sangat diperlukan dalam belajar matematika karena dengan adanya motivasi maka keinginan untuk belajar akan selalu ada walaupun materi matematika abstrak. Pemberian motivasi oleh guru pada langkah ‘Tumbuhkan’ dalam kerangka pembelajaran Quantum Teaching dan merupakan bagian ‘apersepsi’ dalam proses pembelajaran yang umum. Hal ini dimaksud agar siswa dapat mengidentifikasi dan mengetahui manfaat atau makna dari setiap pengalaman atau peristiwa yang dilaluinya dalam hal ini adalah proses belajar. Pada langkah ini guru juga harus mampu mengkondisikan suasana yang rilaks untuk belajar. Kondisi yang rilaks menurut teori Herbart (dalam Chatib, 2013:90) adalah jika gelombang otak berada pada zona alfa (7-13 Hz) yang merupakan tahap paling iliminasi (cemerlang) proses aktif otak seseorang, kondisi paling baik untuk belajar. Chatib (2013:92) mengemukakan ada empat cara yang dapat membawa siswa kita ke kondisi zona gelombang alfa, yaitu ice breaking, fun story, musik, dan brain gym. 2. Penataan lingkungan belajar Dalam proses belajar dan mengajar diperlukan penataan lingkungan yang dapat membuat siswa merasa aman dan nyaman, dengan perasaan aman dan nyaman ini akan menumbuhlkan konsentrasi belajar siswa yang baik. Dengan penataan lingkungan belajar yang tepat juga dapat mencegah kebosanan dalam diri siswa. Penataan lingkungan belajar baik fisik maupun mental, yaitu perabotan, pencahayaan, musik, poster, temperatur, tanaman, suasana hati secara unum. 3. Memupuk sikap juara Memupuk sikap juara perlu dilakukan untuk lebih memacu dalam belajar siswa. Chatib (2013:67) menuliskan dalam bukunya bahwa “Setiap gurunya Manusia wajib punya pandangan atau pola pikir yang menganggap setiap anak adalah juara. Siswa dimotivasi selalu untuk berpikir positif sebagaimana pepatah lama,dan masih tetap berlaku, DePorter (2010: 90) dituliskan ”Apa yang anda pikirkan akan menjadi kenyataan” artinya emosi positif akam melicinkan jalan menuju sukses. 4. Fasilitasi siswa sesuai dengan gaya belajarnya Ada berbagai macam gaya belajar yang dipunyai oleh siswa, gaya belajar tersebut yaitu: visual, auditorial dan kinestetik. Dalam quantum learning guru hendaknya melakukan pembelajaran yang mengakomudir gaya belajar siswa. 5. Membiasakan mencatat Mencatat yang efektif adalah salah satu kemampuan terpenting dalam belajar. Alasannya adalah mencatat meningkatkan daya ingat, tujuannya bukan membantu pikiran untuk mengingat tetapi membantu diri kita mengingat informasi yang sudah tersimpan dalam memori. Teknik mencatat yang menurut DePorter (2010:152) sangat efektif, yaitu Peta pikiran dan Catatan TS (Catatan Tulis –Susun) .Belajar akan benar-benar dipahami sebagai aktivitas kreasi ketika siswa tidak hanya bisa menerima, melainkan bisa mengungkapkan kembali apa yang didapatkan menggunakan bahasa hidup dengan cara dan ungkapan sesuai gaya belajar siswa itu sendiri. 6. Membiasakan membaca Salah satu aktivitas yang cukup penting adalah membaca. Karena dengan membaca akan menambah perbendaharaan kata, pemahaman, menambah wawasan dan daya ingat akan bertambah. Seorang guru hendaknya membiasakan siswa untuk membaca, baik buku pelajaran maupun buku-buku yang lain.

Page 163: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

154

7. Jadikan anak lebih kreatif Siswa yang kreatif adalah siswa yang ingin tahu, suka mencoba dan senang bermain. Dengan adanya sikap kreatif yang baik siswa akan mampu menghasilkan ide-ide yang segar dalam belajarnya. 8. Melatih kekuatan memori Kekuatan memori sangat diperlukan dalam belajar anak, sehingga siswa perlu dilatih untuk mendapatkan kekuatan memori yang baik 9) Penggunaan Metafora, perumpamaan dengan sugesti Metafora dapat membantu menghidupkan konsep-konsep yang dapat terlupakan memunculkannya ke dalam otak secara mudah dan cepat. Perumpamaaan akan memudahkan siswa untuk lebih mengerti susegti memiliki kekuatan mendalam. QuantumTeaching Asas utama Quantum Teachig adalah Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. Kita sebagai guru disamping mempunyai wewenang untuk mengajar karena sudah memiliki ijazah LPTK dan setifikat perdidik baik jalur portofolio, PLPG atau PPG, kita juga wajib mendapatkan hak mengajar. Bagimana caranya? Pertama-tama kita harus membangun jembatan autentik memasuki kehidupan siswa. Pembelajaran adalah proses belajar mengajar yang melibatkan semua aspek kepribadian manusia, (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Jembatan autentik memasuki kehidupan siswa dapat berupa pengaitan dengan sebuah peristiwa, pikiran, atau perasaan yang diperoleh dari rumah, sosial, seni, olah raga, rekreasi, atau sekolah. Setelah kaitan terbentuk baru kita bisa membawa siswa kedunia kita. (DePorter (2011: 34-35) Quantum Teaching memiliki lima prinsip, yaitu 1) semuanya berbicara, 2) segalanya bertujuan, 3) Pengalaman sebelum perberian nama, 4) Akui setia usaha, dan 5) Layak dipelajari layak pula dirayakan. Sejalan dengan prinsipnya, maka kerangka rancangan pembelajaran dengan Quantum Teaching mengikuti langkah-langkah pembelajaran yaitu Tumbuhkan, Alami, Namai, Dementrasikan Ulangi, dan Rayakan. yang dikenal dengan akronim TANDUR. Langkah-langkah yang tersebut dapat diimplementasikan dalam pembelajaran matematika harus disesuai dengan prinsip Quantum Learning. Langkah-langkah tersebut yaitu, (Deporter, 2011: 39-40): 1) Tumbuhkan Langkah ini guru menumbuhkan motivasi, semangat belajar siswa, dan dan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa. Dengan demikian siswa mengetahui manfat dari materi yang dipelajarinya. Akronim yang digunakan adalah AMBAK, yaitu “Apa Manfaat BagiKu” sehingga mereka tahu apa manfaat dari apa yang sedang mereka pelajari bagi diri mereka biasannya dikenal dengan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku). 2) Alami Guru memberikan pengalaman kepada siswa dengan memanfaatkan modalitas belajar siswa masing-masing. Guru dapat menyediakan masalah-masalah matematika yang membangun keingintahuan siswa dan dapat menciptakan beberapa pertanyaan dalam benak mereka. 3) Nama Setelah membuat siswa penasaran, penuh pertanyaan mengenai pengalaman mereka, maka penamaan dapat memuaskan keingintahuan siswa. Penamaan memuaskan hasrat alami otak untuk memberikan identitas, mengurutkan, dan mendefinisikan. Penamaan merupakan informasi, fakta, rumus, pemikiran, tempat dan sebagainya. Guru menyediakn kata kunci, konsep, model, rumus, strategi dan sebuah masukan. 4) Demonstrasi Guru diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan bahwa mereka tahu dan guru harus mengakui setiap usaha siswa. Jika ada siswa yang melakukan kesalahan, guru dengan senyum ramah mengakui usahanya, contoh jika guru menanyakan ”Anak-anak, berapa satu tambah satu?” seorang anak menjawab dengan penuh percaya diri dan menjawab satu tambah

Page 164: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

155

satu sama dengan tiga, Bu” Sambil tersenyum guru dapat berkata “Kamu sudah maju sekali belajarnya, Tiga adalah jawaban yang tepat untuk satu tambah dua, tapi kita belum sapai ke sana. Wah cepat sekali kamu maju. Jadi jika satu tambah dua adalah tiga, bagaimana kalau kita mundur sedikit ke satu tambah satu? Apa jawababnya menurut kamu?” 5) Ulangi Siswa diminta untuk mengulangi materi yang ditelah dipelajarinya dengan kode cara belajar 10, 24, 7. Artinya, siswa mengulangnya “sepuluh" menit setelah dipelajarinya, lalu mengulang lagi “dua puluh empat” jam kemudian, dan sekali lagi “tujuh” hari (seminggu) sesudahnya, (Deporter, 2011: 171). Pengulangan dapat dilakukan dengan cara siswa diberi diminta untuk mengajarkan materi tersebut kepada temannya. .Pengulangan seperti ini membuat materi pelajaran masuk ke memori jangka panjang, akibatnya siswa benar-benar menguasai materi tersebut, dan menumbuhkan rasa “aku tahu bahwa aku tahu ini”. 6) Rayakan Pada langkah terakhir ini, saatnya untuk memberikan penghormatan atas usaha, keberhasilan dan ketekunan yang dilakukan dengan perayaan. Hal ini akan memperkuat kesuksesan dan memberi motivasi siswa. Perayaan disini dapat dilakukan dengan memberikan pujian, bernyanyi, bermain tepuk, pesta kelas, mengucapan “Alhamdulillah” dll. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Pembelajaran Quantum merupakan rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi

kognitif dan NLP 2. Pembelajaran kuantum diaplikasikan dalam rancangan pembelajaran Matematika dengan

memperhatikan Modalitas belajar siswa, Dominasi otak siswa, Gaya kognitif siswa, dan 4. Lingkungan Belajar.

3. Kewajiban bagi guru dalam proses pembelajaran dengan pembelajaran kuantum adalah 1)Tunjukkan AmBaK nya siswa, 2) Ucapkan selalu Kalimat positif, 3) Berikan selalu sugesti positif, 3) Gunakan kata ‘tolong’ untuk menyuruh, 4) Ucapkan ‘terimakasih’ setelah selesai, 5)Tidak segan ‘minta maaf’ kalau salah.

Daftar Pustaka Arends, Richard. 2008. Learning to Teach (Belajar untuk Mengajar) Edisi tujuh buku satu.

Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Emoto, Masaru. 1999 The Message from Water, Children’s Version. Japan: Higashi Nihonbashi. Chatib, Munif. 2013. Gurunya Manusia (Menjadikan Semua Aanak Istimewa dan Semua

Anak Juara). Bandung: Kaifa DePorter, Bobbi, 2009. Quantum Learner. Terjemahan Lovely. Bandung: Kaifa DePorter, Bobbi dan Mike Hernachi, 2010. Quantum Learning. Terjemahan Alwiyah

Abdurrahman. Bandung: Kaifa DePorter, Bobbi; Mike Hernachi; dan Sarah Singer-Nouri 2011. Quantum Teaching

(Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas). Terjemahan Ary Nilandri. Bandung: Kaifa

DePorter, Bobbi 2011. Mengatasi Tujuh Masalah Terbesar RemajaBandung: Kaifa Jacobsen, David A, Paul Eggen, Donald Kauchak (2009). Methods for Teaching (Metode-

metode Pengajaran, Meningkatkan Belajar Siswa TK – SMA). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Soedjadi, R. 2007. Masalah Kontekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sain dan Matematika Sekolah Unesa.

Sutjipto, 2005. Apa yang Salah dengan Matematika. Buletin PUSPENDIK. Vol.2/No. 1/ Juli 2005. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian Pendidikan DEPDIKNAS.

Page 165: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

156

Penerapan Pendekatan Scientific pada Materi Limit di Kelas X SMAN 3 Banda Aceh Tahun Ajaran 2013/2014

Erni Maidiyah 1 dan Roza Yefissa2

1Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Matematika merupakan disiplin ilmu yang penting dipelajari. Selama ini siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika karena siswa sering dijadikan objek pembelajaran, sehingga siswa bersifat pasif. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif adalah pendekatan scientific. Pendekatan scientific dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific dan yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional pada materi limit di Kelas X SMAN 3 Banda Aceh Tahun Ajaran 2013/2014 serta ketuntasan belajar dari kedua kelas tersebut. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di SMAN 3 Banda Aceh yang terdiri dari 270 siswa. Sedangkan sampelnya adalah siswa kelas X-MIA 4 dan X-MIA 6 yang diambil secara purposive sampling dari sembilan kelas. Siswa kelas X-MIA 4 diajarkan dengan pendekatan scientific, sedangkan siswa kelas X-MIA 6 diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Adapun data yang diperlukan untuk penelitian ini dikumpulkan dengan cara tes, lembar data aktivitas siswa, lembar data kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan lembar data angket respon siswa. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan distribusi student (uji-t), analisis data aktivitas siswa, analisis data kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan analisis data angket respon siswa. Berdasarkan kriteria pengujian, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific dengan hasil belajar siswa dengan pembelajaran konvensional pada materi limit di kelas X SMAN 3 Banda Aceh tahun ajaran 2013/2014 serta kelas X-MIA 4 sudah mencapai ketuntasan belajar secara klasikal yaitu 87,50%, sedangkan kelas X-MIA 6 belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal yaitu 34,38%. Kata Kunci: Pendekatan Scientific, Hasil Belajar Siswa

1. Pendahuluan

Pelaksanaan pembelajaran di setiap sekolah negeri maupun swasta akan merujuk kepada satu kurikulum, baik itu kurikulum yang baru atau pun kurikulum lama, karena setiap sekolah akan tunduk kepada kurikulum yang diberlakukan oleh Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional). Ada dua jenis model pengembangan kurikulum yang telah dan sedang ditempuh di Indonesia, yaitu model yang berorientasi pada tujuan dan model kurikulum berbasis kompetensi. Model kurikulum berorientasi pada tujuan sudah sejak lama digunakan yaitu sejak kurikulum formal di Indonesia diberlakukan sampai dengan tahun 1994 yang berlaku efektif sampai dengan tahun 2003. Mengingat model ini banyak kelemahannya maka pada tahun 2004 Indonesia menggunakan model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kemudian pada tahun 2006 Indonesia menggunakan Kurikum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai penyempurnaan dari KBK.

Page 166: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

157

Berbagai analisis menunjukkan bahwa pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada berbagai krisis yang perlu mendapat penanganan secepatnya, diantaranya berkaitan dengan masalah relevansi, atau kesesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan, serta produk pendidikan dasar dan menengah belum menghasilkan lulusan yang mampu berpikir kritis setara dengan kemampuan anak-anak bangsa lain. Oleh karena itu, pada tahun ajaran 2013/2014 diberlakukan kurikulum baru yaitu kurikulum 2013. Selama ini siswa mengalami kesulitan dalam belajar terutama dalam belajar matematika. Salah satu materi dalam matematika yang sering menjadi keluhan bagi siswa adalah materi limit. Dari hasil wawancana dengan guru bidang studi matematika di SMAN 3 Banda Aceh, materi limit termasuk materi ajar yang rumit, baik bagi guru maupun bagi siswa. Siswa cenderung menghafal penyelesaian dari soal yang telah dibahas dan tidak mengetahui bagaimana proses menyelesaikan soal tersebut, sehingga ketika diberikan soal lain siswa akan kebingungan menyelesaikan soal. Padahal materi limit bukan materi yang baru dikenal oleh siswa, tetapi merupakan materi lanjutan dari materi fungsi. Oleh karena itu, proses pembelajaran matematika khususnya limit yang selama ini menggunakan pendekatan yang kurang tepat harus segera diperbaharui dengan pendekatan yang tepat. Pendekatan yang tepat digunakan adalah pendekatan scientific. Pendekatan scientific lebih menekankan pada siswa untuk memahami asal usul dari suatu penyelesaian soal yang diturunkan dari pengertian dasar. SMAN 3 Banda Aceh merupakan salah satu sekolah favorit yang berada di Kota Banda Aceh. Namun, masih banyak siswa SMAN 3 ini yang mengeluh karena tidak bisa menguasai materi limit. Berdasarkan hasil wawancana terbatas dengan guru matematika di SMAN 3 Banda Aceh yaitu Ibu Sri Muryani, S.Pd pada tanggal 15 Februari 2014 diperoleh bahwa secara umum kerumitan bagi siswa dalam mempelajari materi limit meliputi konsep awal menentukan limit kiri dan limit kanan bahkan guru sering tidak membahas definisi awal dari limit itu sendiri. Mungkin selama ini proses pembelajaran matematika di sekolah tersebut belum sepenuhnya menggunakan pendekatan yang tepat. Materi limit, khususnya limit fungsi aljabar merupakan materi dasar kalkulus (seperti diferensial dan integral) yang hanya dipelajari di kelas X semester 2 pada kurikulum 2013. Pada kurikulum KTSP, materi limit dipelajari di kelas XI semester 2. Oleh karena itu, materi limit ini harus dipelajari sepenuhnya agar siswa bisa dengan mudah dan lancar menjawab soal Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang diadakan setiap tahun. Pendekatan yang tepat digunakan agar siswa tidak mudah lupa dan sangat memahami materi limit adalah pendekatan scientific karena siswa menemukan sendiri permasalahan yang akan dihadapi, guru hanyalah sebagai fasilitator. Pendekatan scientific sangat tepat digunakan, namun berdasarkan pengalaman penulis ketika mengajar di salah satu tempat bimbingan belajar yang berada di Kota Banda Aceh, banyak siswa yang mengeluh karena di sekolah mereka menggunakan pendekatan scientific. Mereka merasa pendekatan scientific tidak cocok digunakan dan terlalu memberatkan siswa. Hal ini bertentangan dengan teori yang pernah penulis baca dan pahami. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut penulis berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut dan melihat perbedaan hasil yang diperoleh siswa yang menggunakan pendekatan scientific dan pembelajaran konvensional. Semuanya penulis rangkum dalam penelitian yang berjudul “Penerapan Pendekatan Scientific pada Materi Limit di Kelas X SMAN 3 Banda Aceh Tahun Ajaran 2013/2014”. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific dengan pembelajaran konvensional pada materi limit dan bagaimana ketuntasan belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific dan yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional pada materi limit. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar

Page 167: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

158

siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific dan yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional pada materi limit dan untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific dan yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional pada materi limit, serta yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah “terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific dengan pembelajaran konvensional pada materi limit di kelas X SMAN 3 Banda Aceh”. 2. Tinjauan Pustaka Belajar dan Pembelajaran Matematika Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup seseorang dimana pengetahuan, kebiasaan, kegemaran dan sikap seseorang terbentuk dari perkembangan disebabkan oleh kegiatan belajar. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam proses pendidikan di sekolah. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri siswa, tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotor. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling esensial atau penting. Hal ini menunjukkan bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik. Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan prilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pembelajaran matematika adalah suatu upaya membantu siswa untuk mengkonstruksi (membangun) konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali. Pembelajaran lebih menekankan bagaimana upaya guru untuk mendorong atau memfasilitasi siswa untuk belajar, bukan pada apa yang dipelajari siswa. Istilah pembelajaran lebih menggambarkan bahwa siswa lebih banyak berperan dalam mengkonstruksikan pengetahuan bagi dirinya, dan pengetahuan itu bukan hasil proses transformasi dari guru. Pembelajaran merupakan proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas dalam pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Proses pembelajaran harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Evaluasi Pembelajaran Evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataan terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam pribadi siswa. Sedangkan evaluasi pembelajaran adalah media yang tidak terpisahkan dari kegiatan mengajar. Tujuan evaluasi pendidikan ialah untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan sampai dimana tingkat kemampuan dan keberhasilan siswa dalam pencapaian tujuan-tujuan kurikuler. Selain itu, juga dapat digunakan oleh guru dan para pengawas pendidikan untuk mengukur atau menilai sampai dimana keefektifan pengalaman-pengalaman mengajar, kegiatan-kegiatan belajar, dan metode-metode mengajar yang digunakan. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan saat proses pembelajaran dengan menggunakan alat: angket, observasi, catatan anekdot, dan refleksi.

Page 168: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

159

Standar penilaian pada kurikulum 2013 lebih menekankan pada prinsip-prinsip kejujuran, yang mengedepankan aspek-aspek berupa knowledge, skill, dan attitude. Salah satu dari bentuk penilaian itu adalah penilaian otentik. Penilaian otentik disebutkan dalam kurikulum 2013 adalah model penilaian yang dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung berdasarkan komponen kesiapan, proses, dan hasil belajar secara utuh. Pendekatan Saintifik Metode scientific sangat relevan dengan tiga teori belajar yaitu teori Bruner, teori Piaget, dan teori Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Derajat perkembangan kognitif itu ada tiga tahap. Tahap pertama, enaktif, merupakan representasi pengetahuan dalam melakukan tindakan. Tahap kedua ikonik, yakni perangkuman bayangan secara visual. Dan tahap ketiga adalah representasi simbolik, yakni menggunakan kata-kata dan lambang lain untuk melukiskan pengalaman. Tiga hal di atas adalah bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan metode saintifik. Jean Piaget menyebutkan bahwa belajar berkaitan dengan pembentukan dan perkembangan skemata (schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Skema adalah suatu struktur mental atau struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema tidak pernah berhenti berubah, skemata seorang anak akan berkembang menjadi skemata orang dewasa. Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan skemata disebut dengan adaptasi. Proses terbentuknya adaptasi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Vygotsky, dalam teorinya menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau tutor sebaya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian pendekatan adalah (1) proses, perbuatan, cara mendekati; (2) usaha dalam rangka aktivitas pengamatan untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah pengamatan. Adapun pengertian pendekatan pembelajaran menurut Hosnan (2014:32), antara lain sebagai berikut.

a. Perspektif (sudut pandang; pandangan) teori yang dapat digunakan sebagai landasan dalam memilih model, metode, dan teknik pembelajaran.

b. Suatu proses atau perbuatan yang digunakan guru untuk menyajikan bahan pelajaran. c. Sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada

pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.

Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru. Oleh karena itu, kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui observasi atau pemberian informasi. Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses, seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan, dan menyimpulkan (Hosnan, 2014:34).

Page 169: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

160

Banyak para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian, artinya, dalam proses pembelajaran siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi ketidakbenaran dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan kemampuan berpikir higher order thinking skill (HOTS). Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting dan bentuk pembelajaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Beberapa metode pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip pendekatan saintifik/ilmiah, antara lain metode: (1) Problem Based Learning; (2) Project Based Learning; (3) Inkuiri/Inkuiri Sosial; dan (4) Group Investigation. Metode-metode ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal masalah, merumuskan masalah, mencari solusi atau menguji jawaban sementara atas suatu masalah/pertanyaan dengan melakukan penyelidikan (menemukan fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan menyajikannya secara lisan maupun tulisan. Tujuan Pengembangan Kurikulum 2013 yaitu agar dapat menghasilkan insan Indonesia yang: Produktif, Inovatif, Kreatif, dan Afektif melalui penguatan Sikap, Keterampilan, dan Pengetahuan yang terintegrasi (Kasim, 2013:4). Menurut Hosnan (2014:36), pembelajaran dengan metode saintifik memiliki karakteristik: berpusat pada siswa; melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum, atau prinsip; melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek; dan mengembangkan karakter siswa. 3. Metode

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 2014 sampai dengan 11 April 2014. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen, karena adanya perlakuan yang diberikan kepada kelompok siswa. Perlakuan disini adalah pendekatan scientific dan pembelajaran konvensional. Berdasarkan pendekatannya, penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif karena penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran data, serta penampilan dari hasilnya (Arikunto, 2006:12). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre experimental dengan jenis two groups pre-test post-test design, dapat digambarkan sebagai berikut :

Kelas Eksperimen O1 X O2 Kelas Konvensional O1 X1 O2

Gambar 3.1 Desain pre experimental

Keterangan : O1 : hasil belajar siswa sebelum kegiatan pembelajaran dilakukan (pre-test). X : treatment atau perlakuan, yaitu dengan menerapkan pendekatan scientific yang diberikan

pada sebuah kelas. X1 : treatment atau perlakuan, yaitu pembelajaran dengan konvensional pada sebuah kelas

yang lain. O2 : hasil belajar siswa setelah kegiatan pembelajaran dengan penerapan

pendekatan scientific (post-test). Kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol memiliki karakteristik yang sama atau homogen, karena diambil secara acak (random) dari populasi yang homogen. Kedua kelompok diberi tes awal (pre-test) dengan tes yang sama, kemudian kedua kelompok diberi perlakuan yang berbeda. Setelah perlakuan terhadap kedua kelompok tersebut, diberi tes yang sama sebagai tes akhir (post-test). Dalam hal ini dilihat perbedaan pencapaian antara kelompok eksperimen dengan

Page 170: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

161

pencapaian kelompok kontrol. Perbedaan yang berarti (signifikan) antara kedua hasil tes akhir, dan antara tes awal dan tes akhir pada kelompok eksperimen menunjukkan pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMAN 3 Banda Aceh tahun ajaran 2013/2014, sedangkan sampel diambil dua kelas secara purposive sampling. Satu kelas diajarkan dengan pendekatan scientific yaitu kelas X-MIA 4 sedangkan kelas lainnya diajarkan dengan pembelajaran konvensional yaitu kelas X-MIA 6. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan tes. Penelitian ini juga didukung oleh data lainnya seperti: observasi (observasi aktivitas siswa, observasi kemampuan guru), dan angket respon siswa. Data dari hasil penelitian diolah dengan menggunakan analisis statistik deskriptif. Analisis statistik digunakan untuk memperoleh jawaban tentang ketuntasan belajar matematika dengan penerapan scientific dan dengan pembelajaran konvensional dan melihat perbedaan antara kedua kelas tersebut. Setelah semua data terkumpul maka untuk mendeskripsikan data penelitian dilakukan perhitungan sebagai berikut. Untuk menentukan ketuntasan belajar matematika digunakan analisis hasil belajar siswa. Data deskriptif hasil tes dianalisis dengan acuan ketuntasan belajar, siswa dikatakan tuntas belajar bila memiliki daya serap ≥ 75 sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan oleh SMAN 3 Banda Aceh. Sedangkan ketuntasan klasikal tercapai bila paling sedikit 85% siswa di kelas tersebut telah tuntas belajar. Sedangkan untuk melihat perbedaan hasil belajar siswa, maka setelah hasil tes terkumpul, tahap berikutnya adalah data yang diperoleh akan diuji dengan menggunakan distribusi Student (uji-t) dengan simpangan baku tidak diketahui. Sebelum data dianalisis, terlebih dahulu data akan ditabulasikan ke dalam daftar distribusi frekuensi. Menurut Sudjana (2005:45) untuk membuat daftar distribusi frekuensi dengan panjang kelas yang sama dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Tentukan rentangan, ialah data terbesar dikurangi data terkecil. 2. Tentukan banyak kelas interval yang diperlukan, dapat digunakan aturan Sturges, yaitu:

Banyak Kelas = 1 + 3,3 log n

3. Tentukan panjang kelas interval p, dapat ditentukan oleh rumus aturan:

� =�������

���� �� ��

4. Pilih ujung bawah kelas interval pertama. Untuk ini bisa diambil sama dengan data terkecil atau nilai data yang lebih kecil dari data terkecil tetapi selisihnya harus kurang dari panjang kelas yang telah ditentukan. Setelah data tersebut dibuat dalam distribusi frekuensi, kemudian dianalisa dengan menggunakan rumus-rumus:

a. Rumus untuk mencari rata-rata dapat digunakan:

∑∑=

i

ii

f

xfx , Sudjana (2005:67)

Keterangan :

x = Skor rata-rata siswa fi = frekuensi kelas interval data xi = nilai tengah atau tanda kelas interval

Page 171: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

162

b. Rumus untuk menentukan variansi (S2) dapat digunakan:

( )( )1

22

2

−−

= ∑∑nn

xfxfns iiii

, Sudjana (2005:95)

Keterangan : s2 = varians n = banyak data

c. Rumus untuk menentukan varians gabungan dapat digunakan:

( ) ( )2

11

21

222

2112

−+−+−

=nn

snsns , Sudjana (2005:239)

d. Uji Normalitas Sebaran Data. Selanjutnya statistik �� dihitung dengan rumus:

x� = ∑��������

��

����

Keterangan : �� = Statistik Chi-kuadrat O� = Frekuensi Pengamatan

E� = Frekuensi yang diharapkan e. Uji Homogenitas Varians menggunakan rumus:

F = !"�!#$ %&"'&$!"

!"�!#$ %&"�&(�), Sudjana (2005:250)

f. Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, dapat digunakan:

21

21

11

nns

xxt

+

−= , Sudjana (2005:239)

Untuk mengolah data hasil observasi berdasarkan aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pembelajaran dan angket respon dilakukan dengan menggunakan rumus persentase. Untuk aktivitas siswa, diambil 6 orang sampel, 2 orang berkemampuan tinggi, 2 orang berkemampuan sedang, dan 2 orang berkemampuan rendah.

Tabel 3.1 Kriteria Waktu Ideal Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran

Aspek Pengamatan Aktivitas Siswa Persentase Kesesuaian (P)

Waktu Ideal Toleransi � Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru/teman � Membaca/memahami masalah di LAS � Menulis yang sesuai dengan KBM � Menyelesaikan masalah/ menemukan solusi

penyelesaian masalah � Membandingkan hasil temuan diskusi kelompok

dengan hasil diskusi kelompok lain

� Bertanya/menyampaikan pendapat/ide kepada guru/teman

� Menarik kesimpulan suatu konsep/ prosedur � Perilaku yang tidak relevan dengan Kegiatan Belajar

Mengajar (KBM)

10% 15% 15% 30%

10%

10%

10% 0%

5%≤P≤15% 10%≤P≤20% 10%≤P≤20% 25%≤P≤35%

5%≤P≤15%

5%≤P≤15%

5%≤P≤15% 0%≤P≤5%

(Sumber: Hasbi, 1999:42)

Page 172: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

163

Data kemampuan guru mengelola pembelajaran dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dengan skor rata-rata sebagai berikut :

baikkurangTKG 50,100,1 <≤

baikcukupTKG 50,250,1 <≤

baikTKG 50,350,2 <≤

baiksangatTKG 00,450,3 <≤

Keterangan: TKG = Tingkat Kemampuan Guru Untuk menentukan respon siswa dihitung melalui angket yang dianalisis dengan menggunakan persentase. Persentase dari setiap respon siswa dihitung dengan rumus :

P =seluruhnyasiswajumlah

siswaresponfrek. x 100 %

Menurut Hasbi (1999:43) “Kriteria bila efektifitas bila rata-rata persentase setiap indikator mencapai lebih besar atau sama dengan 65%. Data respon siswa juga akan disajikan sebagai bahan pertimbangan perbaikan perangkat pembelajaran”. 4. Hasil dan Pembahasan Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa nilai rata-rata tes awal siswa sebelum dilakukannya pembelajaran adalah hampir sama, kelas eksperimen mempunyai nilai rata-rata 57,375 dan untuk kelas kontrol mempunyai nilai rata-rata 59,875. Sedangkan setelah dilakukan pembelajaran dengan pendekatan scientific untuk kelas eksperimen dan pembelajaran biasa untuk kelas kontrol, sangat terlihat jelas perbedaan hasil belajar yang diperoleh siswa. Untuk kelas eksperimen, jumlah siswa yang tuntas secara klasikal adalah 28 siswa dari 32 siswa, maka ketuntasan belajar secara klasikal pada tes hasil belajar (tes akhir) sudah tercapai, hal ini karena sudah lebih dari 85% yaitu 87,5%. Untuk kelas kontrol, jumlah siswa yang tuntas secara klasikal adalah 11 siswa dari 32 siswa, maka ketuntasan belajar secara klasikal pada tes hasil belajar (tes akhir) tidak tercapai, hal ini karena tidak mencukupi syarat ketuntasan belajar secara klasikal yaitu 34,375%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific hasil belajarnya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran biasa, pada materi limit fungsi di SMA Negeri 3 Banda Aceh tahun ajaran 2013/2014. Dari hasil pengolahan data dapat dilihat bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan yang sangat baik setelah diajarkan dengan pendekatan scientific. Nilai rata-rata tes awal kelas eksperimen adalah 57,375, setelah diajarkan dengan pendekatan scientific meningkat menjadi 83,06. Sedangkan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran biasa (konvensional) yang mempunyai nilai rata-rata tes awal lebih tinggi dari kelas eksperimen yaitu 59,875, setelah diajarkan dengan pembelajaran biasa (konvensional) nilai rata-rata menjadi 64,68. Pembelajaran matematika dikatakan efektif jika paling sedikit tiga aspek dari empat aspek berikut terpenuhi, yaitu: ketuntasan belajar, kemampuan guru mengelola pembelajaran, aktivitas siswa, dan respon siswa dengan syarat aspek ketuntasan siswa terpenuhi. Keunggulan pembelajaran dengan pendekatan scientific dibandingkan dengan pembelajaran konvensional dikarenakan pada pelaksanaan pembelajaran terlihat bahwa pendekatan scientific menekankan kepada proses mencari dan menemukan sendiri suatu konsep. Di samping itu, pendekatan penemuan scientific mengutamakan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan reflektif. Berdasarkan hasil penelitian tentang aktivitas siswa dan mengacu pada kriteria waktu ideal yang ditetapkan, hampir pada setiap aspek pengamatan berada pada batas toleransi. Rata-rata waktu yang banyak digunakan adalah waktu untuk menemukan dan mencari jawaban dari LAS, dan

Page 173: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

164

waktu yang paling sedikit digunakan adalah untuk prilaku yang tidak relevan dengan KBM. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti. Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa untuk setiap aspek pengamatan selama tiga kali pertemuan adalah efektif, karena bila lima aspek pengamatan memenuhi kriteria batasan efektifitas aktivitas, maka aktivitas siswa adalah efektif (Hasbi, 1999:42). Data yang diperoleh dari hasil pengamatan guru mengelola pembelajaran menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang diperoleh oleh guru dalam setiap tahap pada pendekatan scientific selama 3 kali pertemuan berkisar antara 3 sampai 4. Nilai ini mencapai kategori sangat baik berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Guru telah mempelajari tahapan-tahapan yang ada pada pendekatan scientific. Dari hasil rata-rata penilaian guru dalam mengelola pelajaran sudah mencapai kategori efektif berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Dari angket respon siswa yang diisi oleh 32 siswa setelah mengikuti pembelajaran untuk materi limit dengan menggunakan pendekatan scientific, pembelajaran dengan pendekatan scientific ini disenangi oleh siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis angket respon siswa yang menunjukkan bahwa siswa berminat mengikuti pembelajaran selanjutnya dengan penerapan pendekatan scientific. Sebagian besar siswa mengatakan soal dan bahasa yang terdapat dalam LAS sangat jelas. Berdasarkan tabel-tabel analisis respon siswa terlihat bahwa setiap aspek yang direspon pada setiap komponen pembelajaran diperoleh jawaban siswa terhadap pertanyaan positif ≥ 65%. Hal ini menunjukkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan scientific sangat bagus. 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan scientific dengan hasil belajar siswa dengan pembelajaran konvensional pada materi limit di kelas X SMAN 3 Banda Aceh tahun ajaran 2013/2014. Pada kelas X MIA 4, ketuntasan belajar secara klasikal pada tes hasil belajar (tes akhir) sudah tercapai, hal ini karena sudah lebih dari 85% yaitu 87,5%, sedangkan pada kelas X MIA 6, ketuntasan belajar secara klasikal pada tes hasil belajar (tes akhir) dengan pembelajaran konvensional tidak tercapai, hal ini karena tidak mencukupi syarat ketuntasan belajar secara klasikal yaitu 34,375%. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta. Hasbi. 1999. Pengembangan Pembelajaran Penemuan Terbimbing Berdasarkan Langkah-langkah

Investigasi Matematika pada Pokok Bahasan Fungsi Invers di SMU (Makalah yang diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Ujian Komprehensif pada Program Pascasarjana IKIP Surabaya). IKIP Surabaya.

Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.

Kasim, Musliar. 2013. Implementasi Kurikulum 2013. Tangerang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Pendekatan-pendekatan Ilmiah dalam Pembelajaran. Jakarta: Makalah pada Workshop Kurikulum,.

Sudjana, Nana. 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika. 2001. Common Text Book Strategi

Pembelajaran Matematika Kontemporer untuk Mahasiswa, Guru dan Calon Guru Bidang Studi Matematika UPI. Bandung: Jica.

Tim Penyusun Kamus. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Page 174: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

165

Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Banda Aceh dalam Menyelesaikan Soal-Soal PISA

pada Konten Space and Shape

Yusrina1 dan Rahmah Johar2 1Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2Dosen Program studi pendidikan Matematika FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika terkait ruang dan bentuk. PISA adalah singkatan dari Programme for International Student Assessment yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menerapkan pengetahuan matematika yang telah mereka pelajari di sekolah ke dalam kehidupan nyata. Salah satu konten dalam PISA adalah konten Space and Shape (Ruang dan Bentuk), konten ini erat kaitannya dengan bentuk-bentuk geometri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA pada konten Space and Shape di kelas IX SMP Negeri 1 Banda Aceh. Subjek penelitian terdiri atas lima orang siswa kelas IX-6. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui tes dan wawancara. Data dianalisa dengan memeriksa lembar jawaban siswa, kemudian diberi skor berdasarkan rubrik penilaian kemampuan komunikasi matematis. Selanjutnya untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa lebih dalam, peneliti melakukan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa banyak melakukan kesalahan dalam mengerjakan soal. Adapun kesalahan yang banyak dilakukan siswa adalah tidak memahami maksud soal, kurang teliti dalam mengerjakan soal, dan tidak merencanakan penyelesaian dengan baik. Siswa tidak memahami maksud soal mengakibatkan siswa salah dalam menggunakan strategi untuk menyelesaikan masalah. Kurang teliti dalam mengerjakan soal juga mengakibatkan perhitungan yang dikerjakan tidak tepat. Siswa tidak mampu merencanakan penyelesaian dengan baik karena rendahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep ruang dan bentuk. Rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA adalah karena siswa tidak terbiasa dalam menyelesaikan soal-soal yang setara dengan soal yang diujikan pada PISA. Dari hasil penelitian ini ditunjukkan bahwa secara keseluruhan siswa belum mampu menjawab soal-soal PISA pada konten Space and Shape dengan baik.

Kata kunci: PISA, konten Space and Shape, kemampuan komunikasi matematis, kendala dalam komunikasi matematis, kualitatif.

1. Pendahuluan

Salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing siswa antar negara adalah melalui penilaian berstandar internasional. Saat ini terdapat dua assesmen utama berskala internasional yaitu TIMSS (Trend in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme for International Student Assesment). TIMSS dilaksanakan secara regular sekali dalam empat tahun sejak tahun 1994/1995. Tujuan dari TIMSS adalah untuk mengetahui pencapaian siswa kelas 4 SD sampai 8 SMP dalam matematika dan sains. Fokus dari TIMSS adalah materi yang ada pada kurikulum. Dalam pelaksanaannya, TIMSS disponsori oleh IEA (International Association for Evaluation of Educational Achievement). PISA dilaksanakan secara regular sekali dalam tiga tahun sejak tahun 2000. Tujuan dari PISA adalah untuk mengetahui kemampuan literasi siswa usia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains. Fokus dari PISA adalah literasi yang menekankan pada

Page 175: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

166

kemampuan atau kompetensi siswa yang diperoleh dari sekolah serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya, PISA disponsori oleh negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Negara Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu upaya itu ditunjukkan dengan keikutsertaan negara Indonesia dalam PISA untuk melihat sejauh mana perkembangan pendidikan di negara yang sedang berkembang ini dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini menjadi perhatian penting untuk meningkatkan daya saing siswa Indonesia di masa yang akan datang. Dalam penilaian berskala internasional tersebut, matematika menjadi salah satu fokus utama yang diujikan. Hal ini dikarenakan matematika memiliki peranan yang sangat penting bagi siswa dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Melalui pembelajaran matematika juga diharapkan agar siswa dapat menghadapi tantangan di masa yang akan datang. National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) (2000:50) menyebutkan:

Di dalam dunia yang terus berubah, mereka yang memahami matematika dan dapat mengerjakan matematika akan memiliki kesempatan dan pilihan yang lebih banyak dalam menentukan masa depannya. Kemampuan dalam matematika akan membuka pintu untuk masa depan yang produktif. Lemah dalam matematika membiarkan pintu tersebut tertutup.

NCTM (2000) telah menetapkan lima standar proses matematika, yaitu pemecahan masalah (problem solving), pemahaman dan bukti (reasoning and proof), hubungan (connections), komunikasi (communication), dan penyajian (representation). Salah satu dari standar proses yang ditetapkan tersebut adalah komunikasi. Komunikasi yang dimaksud dalam hal ini adalah komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan dalam menyampaikan ide-ide matematika, baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan (Haji, 2012:115). Walle (2008:4) menyatakan bahwa standar komunikasi menitikberatkan pada pentingnya dapat berbicara, menulis, menggambarkan, dan menjelaskan konsep-konsep matematika. Oleh sebab itu, komunikasi menjadi salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil survei yang dilaksanakan oleh OECD menunjukkan bahwa peringkat negara Indonesia pada hasil PISA sangat rendah, terutama dalam bidang matematika. Hasil survei oleh OECD pada tes PISA 2012 semakin menunjukkan rendahnya kemampuan Indonesia bersaing pada PISA. Dalam hasil tes PISA 2012, Indonesia memperoleh skor 375 pada kemampuan matematika. Sedangkan skor rata-rata yang ditetapkan oleh OECD adalah 494. Hal ini membawa Indonesia pada peringkat ke 64 dari 65 negara yang mengikuti PISA 2012 (OECD, 2012). Melihat rendahnya prestasi Indonesia pada PISA, maka negara Indonesia membentuk sebuah kegiatan yang bertujuan untuk menyosialisasikan PISA. KLM yang merupakan singkatan dari Kontes Literasi Matematika merupakan sebuah bentuk sosialisasi PISA, dimana pada KLM ini menguji siswa dengan soal-soal yang setara dengan soal-soal yang diujikan pada PISA. Hasil dari KLM yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 lalu di Banda Aceh menunjukkan bahwa kemampuan literasi matematis siswa rendah. Ini ditunjukkan oleh skor dari tiap peserta yang masih rendah. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zainabar (2013), ia menyatakan bahwa “Jika dianalisis berdasarkan konten dalam soal PISA, maka siswa masih kurang mampu menjawab soal PISA dalam konten ruang dan bentuk. Karena pada konten ini siswa belum memahami maksud soal”. Soal-soal PISA disusun atas 6 tingkatan (level). Berdasarkan hasil survei di atas juga menunjukkan bahwa kemampuan anak Indonesia rendah pada soal level 5 dan 6, dimana skor rata-rata

Page 176: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

167

kemampuan siswa pada soal level 5 dan 6 berada di bawah skor rata-rata yang ditetapkan oleh OECD. Padahal, pada level inilah yang mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa. Kenyataan tersebut menunjukkan rendahnya kemampuan literasi matematika siswa Indonesia sekaligus menunjukkan bahwa masih rendahnya kualitas pendidikan di negara Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan pada PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia. Dengan kata lain, siswa Indonesia tidak terbiasa dengan soal-soal yang setara dengan PISA. Menurut Pranoto (2011), hasil PISA yang buruk dapat menunjukkan indikasi sebagai berikut.

• Siswa kita tidak terbiasa menyelesaikan permasalahan tak rutin. Ini berarti bahwa siswa kita hanya biasa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang sudah dibahas di kelas. Mereka kesulitan jika menghadapi permasalahan baru.

• Siswa kita lemah dalam memodelkan situasi nyata ke dalam masalah matematika dan menafsirkan solusi matematika ke situasi nyata. Padahal kecakapan bermatematika yang dituntut dunia adalah kecakapan bermatematika yang utuh: dari memodelkan, mencari solusi matematika, menafsirkan ke masalah awal. Siswa kita umumnya terbiasa menyelesaikan masalah matematis semata tanpa menafsirkannya ke masalah di dunia nyata. Artinya siswa kita fokus pada dunia matematika semata, tetapi tidak utuh melengkapinya dengan pengalaman berinteraksi antar dunia nyata dan dunia matematika.

• Jenjang bernalar merangkum (comprehension) dan menganalisis sangat kurang. Ini berarti bahwa kecanggihan bernalar yang dituntut dunia lebih tinggi dari yang berjalan dalam praktik pembelajaran matematika Indonesia. Sebaliknya, tuntutan dunia terhadap keterampilan menyelesaikan perhitungan ruwet sudah berkurang.

Oleh sebab itu, perlu kesadaran dari setiap guru yang mengajarkan siswa di kelas, untuk dapat membiasakan siswa menyelesaikan soal-soal yang setara dengan soal yang diujikan pada PISA. Tidak hanya menuntut siswa untuk menyelesaikan soal-soal yang terdapat dalam buku teks pelajaran, karena sesungguhnya soal-soal PISA sangat menuntut kemampuan pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, serta representasi bagi siswa. Hal ini dapat membantu guru dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi siswa serta mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar siswa. Selain daripada itu juga dapat membantu siswa dalam menghadapi permasalahan kehidupan nyata dalam berbagai situasi. Survei PISA menuntut siswa agar mampu menyelesaikan masalah dalam hal yang berkaitan dengan geometri yaitu pada konten Space and Shape (Ruang dan Bentuk). Namun, kebanyakan siswa memiliki minat yang rendah dalam geometri, sehingga kemampuan siswa dalam menjawab soal tersebut rendah. Padahal, banyak hal di kehidupan nyata yang erat kaitannya dengan geometri. 2. Tinjauan Pustaka Kemampuan Komunikasi Matematis Menurut NCTM (2000:60), komunikasi adalah bagian penting dari matematika dan pendidikan matematika. Itu merupakan suatu jalan untuk bertukar ide dan mengklarifikasikan pemahaman. Selanjutnya, menurut Guerreiro (2008), komunikasi matematis merupakan alat bantu dalam transmisi pengetahuan matematika atau sebagai fondasi dalam membangun pengetahuan matematika. Komunikasi memungkinkan berfikir matematis dapat diamati dan karena itu komunikasi memfasilitasi pengembangan berfikir. Selain itu, Kramarski (dalam Ansari, 2009:10) menyebutkan komunikasi matematik sebagai penjelasan verbal dari penalaran matematis yang diukur melalui tiga dimensi yaitu kebenaran (correctness), kelancaran dalam memberikan bermacam-macam jawaban benar dan representasi matematik, dalam bentuk formal, visual, persamaan aljabar, dan diagram.

Page 177: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

168

Jika dicermati dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa menggunakan matematika sebagai alat komunikasi serta kemampuan siswa mengkomunikasikan matematika yang telah dipahaminya. Baroody (dalam Ansari, 2009:11) menyebutkan bahwa terdapat lima aspek komunikasi berdasarkan rekomendasi profesional standarts NCTM, yaitu: 1. Merepresentasi, siswa menunjukkan kembali suatu ide atau suatu masalah dalam bentuk baru.

Misalnya menerjemahkan masalah ke dalam suatu bentuk konkret dengan gambar atau bagan, menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang berupa persamaan atau pertidaksamaan matematika atau sejumlah kalimat (simbol tertulis) yang lebih sederhana.

2. Mendengar, siswa dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga yang kemudian memberi respon terhadap apa yang didengar. Siswa akan mampu memberikan respon atau komentar dengan baik apabila dapat mengambil inti dari suatu topik diskusi di kelas.

3. Membaca, meyangkut persepsi visual dari simbol yang ditulis dan mentrsansformasikan simbol itu secara lisan baik eksplisit maupun implisit. Membaca adalah aktivitas membaca teks secara aktif untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun.

4. Berdiskusi, merupakan pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Dalam berdiskusi diharapkan terjadi proses interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat dalam tukar menukar informasi, memecahkan masalah, dan membantu siswa dalam mempraktekkan keterampilan komuikasi matematis.

5. Menulis, kegiatan menulis matematik lebih ditekankan pada mengekspresikan ide-ide matematik. Menulis merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran.

Indikator komunikasi matematis merupakan hal penting dalam mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh siswa. NCTM (2000) menyebutkan indikator komunikasi matematis sebagai berikut:

Communication satandard (Instructional Programmes from prekindergarten through grade 12 should enable all students to: a. Organize and consolidate their mathematical thinking through communication; b. Communicate their mathematical thinking coherently and clearly to peers, teachers,

and others; c. Analyze and evaluate the mathematical thinking and strategies of others; d. Use the language of mathematics to express mathematical ideas precisely.

Artinya standar komunikasi matematis menekankan siswa agar mampu dalam hal: a. Mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan berfikir matematis mereka melalui komunikasi; b. Mengkomunikasikan berfikir matematis mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan

jelas kepada teman-temannya, guru, dan orang lain; c. Menganalisis dan mengevaluasi berfikir matematis dan strategi yang digunakan orang lain; d. Menggunakan bahasa matematik untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara benar.

Sumarmo (2004) menyebutkan indikator komunikasi matematis sebagai berikut. 1) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika 2) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik, secara lisan atau tulisan dengan benda nyata,

gambar, grafik, dan aljabar 3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika 4) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika 5) Membaca presentasi matematika tertulis dan menyusun pertanyaan yang relevan 6) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi Salah satu aspek komunikasi matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek komunikasi menulis, dimana siswa diminta untuk menyampaikan gagasan matematisnya melalui jawaban tertulis. Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar, adapun indikator yang digunakan

Page 178: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

169

untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa dalam penelitian ini berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas yaitu kemampuan: 1) menghubungkan benda nyata, gambar, atau diagram ke dalam ide matematika; 2) menjelaskan ide, situasi, atau relasi matematika dengan benda nyata, gambar, atau diagram; 3) menggunakan istilah, notasi, atau simbol matematika berdasarkan strukturnya untuk

menyajikan ide; 4) menarik kesimpulan, menyusun bukti, dan memberikan alasan atau bukti terhadap solusi. PISA (Programme for International Student Assessment) Programme for International Student Assessment (PISA) dilaksanakan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation & Development) dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Stacey (2010) dalam tulisannya mendefinisikan PISA sebagai berikut:

PISA is the acronym for the ‘Programme for International Student Assessment’, organised by the OECD in conjunction with a group of other participating countries, including Indonesia. The first survey took place in 2000, and then every 3 years since that time. PISA measures knowledge and skills of 15-year-olds, an age at which students in most countries are nearing the end of compulsory schooling. The focus is on areas that are important for life after school, including mathematics.

Berdasarkan definisi di atas, PISA bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan anak usia 15 tahun dalam membaca (reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains (science literacy). Pelaksanaan PISA itu sendiri dilaksanakan secara regular setiap tiga tahun sekali mulai tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan terakhir pada tahun 2012. Indonesia adalah salah satu negara yang berpartisipasi pada PISA yang sudah bergabung sejak tahun 2000. Fokus dari PISA adalah literasi yang menekankan pada keterampilan dan kompetensi siswa yang diperoleh dari sekolah dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai situasi. Dalam OECD (2009:13) dinyatakan bahwa penilaian berfokus pada kemampuan anak-anak untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan mereka menghadapi tantangan dunia nyata, daripada menemukan sejauh mana mereka menguasai suatu kurikulum sekolah secara spesifik. Pendekatan ini disebut literasi. Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas, sangat ditekankan bahwa siswa mampu mengaitkan pengetahuan matematikanya dengan situasi dan permasalahan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memerlukan latihan. Jika tanpa latihan, potensi matematika untuk membantu kehidupan keseharian siswa tidak akan terungkap secara optimal. Dalam hal ini, PISA dirancang untuk mengetahui apakah siswa dapat menggunakan potensi matematikanya itu dalam kehidupan nyata di masyarakat melalui suatu konsep belajar matematika yang kontekstual. Literasi Matematika OECD (2010) (dalam Stacey, 2012) mendefinisikan literasi matematika sebagai berikut:

Mathematical literacy is an individual’s capacity to formulate, employ, and interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts, and tools to describe, explain, and predict phenomena. It assists individuals to recognise the role that mathematics plays in the world and to make the well-founded judgments and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens.

Artinya literasi matematika adalah kapasitas individual untuk memformulasikan, mempekerjakan, dan menginterpretasikan matematika dalam beragam situasi. Termasuk memberikan alasan secara

Page 179: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

170

matematis dan menggunakan konsep matematika, prosedur, fakta, dan alat untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksikan fenomena. Dalam kehidupan sehari-hari, siswa berhadapan dengan masalah yang berkaitan dengan personal, masyarakat, pekerjaan, dan ilmiah. Banyak hal dalam kehidupan mereka yang memerlukan penerapan matematika, maka penguasaan matematika yang baik dapat membantu mereka menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Maka dari itu dibutuhkan literasi matematika. PISA menggunakan konsep literasi matematika (mathematical literacy) yang berhubungan dengan kemampuan siswa dalam menganalisis, memberi alasan dan mengkomunikasikan secara efektif, menyelesaikan dan menginterpretasikan permasalahan matematika dalam beragam situasi termasuk kuantitatif, spasial, probabilistik, ataupun konsep matematika lainnya (OECD, 2009:98). Komponen pada PISA OECD (2013) menerangkan bahwa PISA meliputi tiga komponen mayor, yaitu konten, konteks, dan kompetensi. a. Konten (Content), yaitu materi matematika yang digunakan dalam soal-soal PISA sebagaimana

yang diuraikan oleh OECD sebagai berikut. 1) Perubahan dan hubungan (Change and relationship), merupakan kejadian/peritiwa dalam

setting yang bervariasi. Kategori ni berkaitan dengan aspek konten matematika pada kurikulum yaitu fungsi dan aljabar.

2) Ruang dan bentuk (Space and shape), meliputi fenomena yang berkaitan dengan dunia visual (visual world) yang melibatkan pola, sifat dari objek, posisi dan orientasi, representasi dari objek, pengkodean informasi visual, navigasi, dan interaksi dinamik yang berkaitan dengan bentuk yang riil. Kategori ini melebihi aspek konten geometri pada matematika yang ada pada kurikulum.

3) Kuantitas (Quantity), merupakan aspek matematis yang paling menantang dan paling esensial dalam kehidupan. Kategori ini berkaitan dengan hubungan bilangan dan pola bilangan, antara lain kemampuan untuk memahami ukuran, pola bilangan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan bilangan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghitung dan mengukur benda tertentu. Termasuk ke dalam konten kuantitas ini adalah kemampuan bernalar secara kuantitatif, merepresentasikan sesuatu dalam angka, memahami langkah-langkah matematika, berhitung di luar kepala (mental calculation), dan melakukan penaksiran (estimation).

4) Ketidakpastian dan data (Uncertainty and data), meliputi pengenalan tempat dari variasi suatu proses, makna kuantifikasi dari variasi tersebut, pengetahuan tentang ketidakpastian dan kesalahan dalam pengukuran, dan pengetahuan tentang kesempatan/peluang (chance). Presentasi dan interpretasi data merupakan konsep kunci dari kategori ini.

Dalam penelitian ini, soal-soal yang diujikan oleh peneliti adalah soal-soal PISA pada konten Space and Shape untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa dalam konsep geometri. b. Konteks (Context) Soal-soal dalam PISA disajikan sebagian besar dalam situasi dunia nyata sehingga dapat dirasakan manfaat matematika itu untuk memecahkan permasalahan kehidupan sehari-hari. Soal-soal PISA 2012 melibatkan empat konteks, yaitu seperti yang diuraikan berikut ini. 1) Konteks pribadi yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan pribadi siswa sehari-hari.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari tentu para siswa menghadapi berbagai persoalan pribadi yang memerlukan pemecahan secepatnya. Matematika diharapkan dapat berperan dalam menginterpretasikan permasalahan dan kemudian memecahkannya.

2) Konteks pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan siswa di sekolah dan atau di lingkungan tempat bekerja. Pengetahuan siswa tentang konsep matematika diharapkan dapat membantu untuk merumuskan, melakukan klasifikasi masalah, dan memecahkan masalah pendidikan dan pekerjaan pda umumnya.

Page 180: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

171

3) Konteks umum yang berkaitan dengan penggunaan pengetahuan matematika dalam kehidupan bermasyarajkat dan lingkungan yang lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Siswa dapat menyumbangkan pemahaman mereka tentang pengetahuan dan konsep matematikanya itu untuk mengevaluasi berbagai keadaan yang relevan dalam kehidupan di masyarakat.

4) Konteks ilmiah yang secara khusu berhubungan dengan kegiatan ilmiah yang lebih bersifat abstrak dan menuntut pemahaman dan penguasaan teori dalam melakukan pemecahan masalah matematika.

c. Kelompok Kompetensi (Competencies Cluster) Kompetensi pada PISA dikelompokkan atas tiga kelompok (cluster), OECD menguraikan ketiga kelompok tersebut sebagai berikut. 1) Kelompok reproduksi

Pertanyaan pada PISA yang termasuk dalam kelompok reproduksi meminta siswa untuk menunjukkan bahwa mereka mengenal fakta, objek-obejek dan sifat-sifatnya, ekivalensi, menggunakan prosedur rutin, algoritma standar, dan menggunakan skill yang bersifat teknis. Item soal untuk kelompok ini berupa pilihan ganda, isian singkat, atau soal terbuka (yang terbatas).

2) Kelompok koneksi Pertanyaan pada PISA yang termasuk dalam kelompok koneksi meminta siswa untuk menunjukkan bahwa mereka dapat membuat hubungan antara beberapa gagasan dalam matematika dan beberapa informasi yang terintegrasi untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam koneksi ini siswa diminta untuk menyelesaikan masalah yang non-rutin tapi hanya membutuhkan sedikit translasi dari konteks ke model (dunia) matematika.

3) Kelompok refleksi Pertanyaan pada PISA yang termasuk dalam kelompok refleksi ini menyajikan masalah yang tidak terstruktur (unstructured situation) dan meminta siswa untuk mengenal dan menemukan ide matematika dibalik masalah tersebut. Kompetensi refleksi ini adalah kompetensi yang paling tinggi dalam PISA, yaitu kemampuan bernalar dengan menggunakan konsep matematika. Mereka dapat menggunakan pemikiran matematikanya secara mendalam dan menggunakannya untuk memecahkan masalah. Dalam melakukan refleksi ini, siswa melakukan analisis terhadap situasi yang dihadapinya, menginterpretasi, dan mengembangkan strategi penyelesaian mereka sendiri.

Level Kemampuan Matematika dalam PISA Untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa dalam PISA, terdapat enam level (tingkatan) kemampuan pada soal-soal PISA seperti yang disajikan dalam tabel berikut secara rinci. Tabel 1. Enam Level Kemampuan Matematika dalam PISA

Level Kompetensi Matematika

6

Para siswa dapat melakukan konseptualisasi dan generalisasi dengan menggunakan informasi berdasarkan modelling dan penelaahan dalam suatu situasi yang kompleks. Mereka dapat menghubungkan sumber informasi berbeda dengan fleksibel dan menerjemahkannya. Para siswa pada tingkatan ini telah mampu berpikir dan bernalar secara matematika. Mereka dapat menerapkan pemahamannya secara mendalam disertai dengan penguasaan teknis operasi matematika, mengembangkan strategi dan pendekatan baru untuk menghadapi situasi baru. Mereka dapat merumuskan dan mengkomunikasikan apa yang mereka temukan. Mereka melakukan penafsiran dan berargumentasi secara dewasa.

Page 181: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

172

5

Para siswa dapat bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks, mengetahui kendala yang dihadapi, dan melakukan dugaan-dugaan. Mereka dapat memilih, membandingkan, dan mengevaluasi strategi untuk memecahkan masalah yang rumit yang berhubungan dengan model ini. Para siswa pada tingkatan ini dapat bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang luas, serta secara tepat menghubungkan pengetahuan dan keterampilan matematikanya dengan situasi yang dihadapi. Mereka dapat melakukan refleksi dari apa yang mereka kerjakan dan mengkomunikasikannya.

4

Para siswa dapat bekerja secara efektif dengan model dalam situasi yang konkret tetapi kompleks. Mereka dapat memilih dan mengintegrasikan representasi yang berbeda, dan menghubungkannya dengan situasi nyata. Para siswa pada tingkatan ini dapat menggunakan keterampilannya dengan baik dan mengemukakan alasan dan pandangan yang fleksibel sesuai dengan konteks. Mereka dapat memberikan penjelasan dan mengkomunikasikannya disertai argumentasi berdasar pada interpretasi dan tindakan mereka.

3

Para siswa dapat melaksanakan prosedur dengan baik, termasuk prosedur yang memerlukan keputusan secara berurutan. Mereka dapat memilih dan menerapkan strategi memecahkan masalah yang sederhana. Para siswa pada tingkatan ini dapat menginterpretasikan dan mengggunakan representasi berdasarkan sumber informasi yang berbeda dan mengemukakan alasannya. Mereka dapat mengkomunikasikan hasil interpretasi dan alasan mereka.

2

Para siswa dapat menginterpretasikan dan mengenali situasi dalam konteks yang memerlukan inferensi langsung. Mereka dapat memilih informasi yang relevan dari sumber tunggal dan menggunakan cara representasi tunggal. Para siswa pada tingkatan ini dapat mengerjakan algoritma dasar, menggunakan rumus, melaksanakan prosedur atau konvensi sederhana. Mereka mampu memberikan alasan secara langsung dan melakukan penafsiran masalah.

1

Para siswa dapat menjawab pertanyaan yang konteksnya umum dan dikenal serta semua informasi yang relevan tersedia dengan pertanyaan yang jelas. Mereka bisa mengidentifikasi informasi dan menyelesaikan prosedur rutin menurut instruksi yang eksplisit. Mereka dapat melakukan tindakan sesuai dengan stimuli yang diberikan.

(Sumber: Johar, 2012) Dalam penelitian ini, peneliti menguji soal-soal pada level 3, 4, 5, dan 6. Karena pada level tersebut soal-soal PISA dapat mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Metode

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA pada konten Space and Shape. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengadakan penelitian langsung ke lokasi penelitian dengan tujuan untuk memperoleh data yang objektif. Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari perangkat tes dan pedoman wawancara. Soal tes terdiri atas empat soal yang memuat konten dalam soal PISA yaitu konten Ruang dan Bentuk (Space and Shape). Soal-soal tes diadaptasi dari soal-soal PISA tahun 2012. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 5 orang siswa yang dipilih dari 25 siswa kelas IX-6 yang mengikuti tes tulis. Kriteria pemilihan subjek penelitian berdasarkan variasi skor yang diperoleh untuk setiap butir soal serta siswa yang menunjukkan langkah penyelesaian yang unik.

Page 182: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

173

Tes dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemampuan komunikasi matematis siswa di kelas IX SMP Negeri 1 Banda Aceh. Perangkat tes disusun dalam bentuk soal uraian, dengan banyaknya soal 4 butir. Perangkat tes dujikan sebanyak satu kali dalam waktu 80 menit. Soal dalam perangkat tes diadaptasi dari soal-soal PISA 2012 pada konten Space and Shape. Wawancara dilakukan setelah penulis mempelajari jawaban dari siswa pada jawaban tes. Wawancara dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana siswa menerjemahkan setiap masalah ke dalam bahasa matematis. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data kualitatif sebanyak-banyaknya. Hasil tes yang telah diujikan dianalisis untuk memilih subjek penelitian. Pemilihan subjek dilakukan berdasarkan kriteria tertentu, yaitu siswa yang mengerjakan setiap butir soal dengan penyelesaian yang unik dan memperoleh skor bervariasi untuk setiap butir soal. Setelah lembar jawaban dianalisis, diperoleh lima orang siswa yang akan dijadikan subjek untuk diwawancara. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pedoman wawancara terstruktur. Wawancara diawali dengan menunjukkan lembar jawaban siswa, kemudian siswa diminta untuk menjelaskan langkah-langkah penyelesaian yang ada pada lembar jawaban tersebut secara rinci. Pertanyaan ketika wawancara berdasarkan pedoman umum wawancara. Proses selama wawancara berlangsung direkam dengan perekam suara dan waktu yang dibutuhkan untuk satu kali wawancara tidak lebih dari 20 menit. Wawancara dilakukan satu kali untuk setiap subjek penelitian. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA pada konten Space and Shape, maka dilakukan analisis data sebagai berikut. 1. Memeriksa semua lembar jawaban siswa berdasarkan kunci jawaban yang telah dipersiapkan.

Selanjutnya, setiap jawaban siswa diberikan skor berdasarkan pedoman penilaian kemampuan komunikasi matematis.

2. Hasil jawaban siswa diperkuat dengan wawancara, karena wawancara bertujuan untuk mengetahui penjelasan siswa lebih dalam mengenai kemampuan komunikasi matematis yang mereka buat dalam menyelesaikan masalah serta mengetahui komunikasi matematis yang mereka buat sesuai dengan konsep dalam setiap butir soal. Setelah wawancara selesai, setiap jawaban siswa dianalisis dan dideskripsikan untuk melihat kemampuan komunikasi matematis siswa. Berikut ini adalah rubrik dalam melakukan penilaian kemampuan komunikasi matematis siswa berdasarkan jawaban tertulis dan wawancara yang berbentuk rubrik analitik.

Page 183: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

174

Tabel 2. Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis Aspek yang

Dinilai 0 1 2 3 4 Skor

Pendekatan pemecahan masalah dan penggunaan strategi

Tidak menuliskan jawaban

Tidak terorganisir, salah menggunakan strategi penyelesaian

Ada usaha untuk mengorganisir tetapi tidak dilakukan dengan baik

Terorganisir, diikuti dengan penyelesaian yang benar

Sangat terorganisir dengan perencanaan yang benar, dan menggunakan strategi yang tepat

Ketepatan perhitungan

Tidak menuliskan jawaban

Banyak kesalahan perhitungan, mengakibatkan hasil yang salah

Beberapa perhitungan masih salah, mengakibatkan hasil yang salah

Sangat sedikit melakukan kesalahan perhitungan

Tidak ada kesalahan perhitungan

Penjelasan prosedur

Tidak dapat memberikan penjelasan

Tidak jelas dan sukar diikuti

Agak jelas, tetapi menunjukkan kurang memahami masalah

Jelas dan menunjukkan memahami masalah

Jelas dan menunjukkan memahami seluruh masalah dengan sangat baik

Skor Total:

3. Selanjutnya, peneliti mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis siswa berdasarkan jawaban dan hasil wawancara dengan subjek penelitian. Skor yang diperoleh siswa akan dicantumkan ke dalam tabel. Untuk menentukan kemampuan siswa, skor akhir siswa akan

dikonversikan ke dalam skala 0 – 100 dengan rumus: Skor akhir =����� ����

��� �����× 100%.

Dari skor akhir yang diperoleh, maka ditetapkan siswa yang masuk kriteria baik sekali, baik, cukup dan kurang dengan berpedoman pada pendapat kriteria Arikunto (2010).

Tabel 3. Kriteria Nilai Total dalam skala 0 – 100 Skor Akhir Kriteria

80 – 100 Baik Sekali 66 – 79 Baik 56 – 65 Cukup ≤ 55 Kurang

Kesimpulan mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa akan disusun berdasarkan penjelasan siswa ketika wawancara yang sesuai dengan jawaban siswa pada saat tes berlangsung. Jika ada jawaban siswa yang berbeda ketika wawancara dan tes, maka kesimpulan akan dibuat berdasarkan hasil wawancara.

4. Hasil Dan Pembahasan

Hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA pada konten Space and Shape dapat dilihat pada tabel berikut:

Page 184: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

175

Tabel 4. Perolehan Skor Total untuk Soal Kemampuan Komunikasi Matematis

Subjek Penelitian Skor Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Skor Total Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4

Subjek 1 9 8 10 7 34 Subjek 2 8 12 0 0 20 Subjek 3 0 6 3 3 12 Subjek 4 0 8 0 6 14 Subjek 5 10 6 3 8 27 Jumlah 27 40 16 24 107

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4 di atas ditunjukkan bahwa skor terendah diperoleh oleh subjek 3 dengan skor total 12. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa subjek 3 memperoleh skor 0 untuk soal nomor 1, skor tersebut diperoleh berdasarkan rubrik analitik yang terdapat pada tabel 2. Berdasarkan rubrik tersebut, pada soal nomor 1 subjek 3 tidak menuliskan jawaban, kemudian ketika wawancara subjek 3 tidak dapat memberikan penjelasan, sehingga subjek 3 memperoleh skor 0. Selanjutnya untuk soal nomor 2, subjek 3 memperoleh skor 2 untuk setiap masing-masing aspek penilaian sehingga skor total yang diperoleh pada soal nomor 2 adalah 6. Selanjutnya untuk butir soal nomor 3 dan 4, subjek 3 memperoleh skor 1 untuk tiap aspek penilaian sehingga total skor yang didapat adalah 3. Deskripsi kemampuan komunikasi matematis subjek 3 untuk tiap butir soal sesuai dengan rubrik penilaian. Secara garis besar dapat digambarkan bahwa kemampuan komunikasi matematis subjek 3 adalah belum mampu menggunakan strategi dengan tepat, masih banyak melakukan kesalahan perhitungan, dan juga masih kurang memahami masalah. Skor tertinggi diperoleh oleh subjek 1 dengan skor totalnya 34. Skor tertinggi diperoleh subjek 1 pada soal nomor 3. Berdasarkan rubrik penilaian, subjek 1 memperoleh skor 4 pada aspek penggunaan strategi dan ketepatan perhitungan, serta skor 3 pada aspek penjelasan prosedur. Selanjutnya skor terendah diperoleh subjek 1 pada soal nomor 4. Untuk soal nomor 4 ini subjek 1 memperoleh skor 3 pada aspek ketepatan perhitungan, serta skor 2 pada aspek penggunaan strategi dan penjelasan prosedur. Secara garis besar dapat digambarkan bahwa kemampuan komunikasi matematis subjek 1 adalah penggunaan strategi yang cukup baik, teliti dalam mengerjakan perhitungan, serta penjelasan subjek 1 menunjukkan bahwa subjek 1 memahami masalah dengan baik. Skor di atas kemudian di konversikan ke dalam tabel berikut:

Tabel 5. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Subjek Penelitian Skor Total Skor Akhir

(0 – 100) Kemampuan

Komunikasi Matematis Subjek 1 34 70,83 Baik Subjek 2 20 41,66 Kurang Subjek 3 12 25 Kurang Subjek 4 14 29,16 Kurang Subjek 5 27 56,25 Cukup

Sebagaimana yang terlihat pada tabel 5 di atas, kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA pada konten Space and Shape masih tergolong rendah, karena dari lima orang subjek penelitian tersebut tidak ada yang memenuhi kriteria sangat baik. Hanya ada satu dari lima orang subjek penelitian yang memenuhi kriteria baik, satu orang memenuhi kriteria cukup, sedangkan tiga lainnya masih kurang. Kemampuan komunikasi matematis subjek 3 masih kurang seperti yang ditunjukkan pada tabel tersebut. Subjek 3 merupakan yang memperoleh skor terendah dari subjek lainnya. Adapun subjek 1 yang memperoleh skor tertinggi, akan tetapi

Page 185: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

176

berdasarkan tabel 5 ditunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis subjek 1 masih berada pada level baik. Dari hasil penelitian ini belum ada subjek penelitian yang berada pada level kemampuan sangat baik. Dari tabel 5 tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil tes tulis, wawancara, analisis data serta pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA pada konten Space and Shape termasuk rendah. Setelah dianalisis, ditemukan kendala-kendala yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan soal-soal PISA pada konten Space and Shape adalah sebagai berikut. a. Kesulitan siswa dalam memahami maksud soal b. Kurang teliti dalam mengerjakan soal c. Kurang mampu merencanakan penyelesaian dengan baik Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Siswa kurang memahami maksud soal karena tidak terbiasa dengan soal-soal yang setara

dengan soal PISA, oleh sebab itu guru sebaiknya sering memberikan soal-soal yang setara dengan PISA selama proses pembelajaran berlangsung.

2. Guru sebaiknya mengevaluasi pengetahuan prasyarat siswa sebelum melanjutkan ke materi selanjutnya karena itu juga menjadi faktor penyebab siswa kurang memahami maksud soal.

3. Sering melatih siswa dengan soal dapat membantu mereka dalam meningkatkan ketajaman serta ketelitian dalam mengerjakan soal.

4. Latihan soal-soal pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk terbiasa merencanakan penyelesaian soal dengan baik.

5. Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, diharapkan guru memberikan motivasi atau dorongan, sehingga kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dimunculkan dengan baik.

6. Daftar Pustaka

Ansari, B. I. (2009). Komunikasi Matematik Konsep dan Aplikasinya. Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Guerreiro, A. (2008). Communication in Mathematics Teaching and Learning: Practices in

Primary Education. Diakses pada 8 Juli 2014, dari alamat http://yess4.ktu.edu.tr/YermePappers/Ant_%20Guerreiro.pdf

Haji, Saleh. 2012. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP Kota Bengkulu. Jurnal Exacta, Vol. X. No.2.

Johar, Rahmah. 2012. Domain Soal PISA untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang. Volume 1: 29-41.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Virginia: NCTM. OECD. 2009. Take the Test Sample Questions from OECD’s PISA Assessments. (Online).

(Tersedia: www.oecd.org, diakses tanggal 24 Maret 2014). OECD. 2012. PISA 2012 Results in Focus. (Online). (Tersedia: www.oecd.org, diakses tanggal 9

Juli 2014). OECD. 2013. Programme for International Student Assesment. PISA 2012 Result. (Online).

(Tersedia: www.oecd.org diakses tanggal 9 Juli 2014). Pranoto, I. 2011. UN Matematika Menyiapkan Anak Indonesia Menjadi Kuli Nirnalar; Republik

Telah Menyerobot Kesempatan Anak Bangsa Bernalar. Diakses pada 8 Juli 2014, dari

Page 186: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

177

alamat http://www.slideshare.net/y0r/un-matematika-menyiapkan-anak-menjadi-kuli-nirnalar.

Stacey, Kaye. 2010. The PISA View of Mathematical Literacy in Indonesia. Journal on Mathematics Education (IndoMS-JME). July, 2011, Volume 2.

Stacey, Kaye. 2012. The International Assessment of Mathematical Literacy: PISA 2012 Framework and Items. Journal on 12th International Congress on Mathematical Education 8 July – 15 July, 2012, COEX, Seoul, Korea.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sumarmo, U. 2003. Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumarmo. U. 2011. Understanding Geometry and Disposition: Experiment with Elementary Students by Using Van Hiele’s Teaching Approach. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Walle, J. A. Van De. 2008. Edisi Keenam Sekolah Dasar dan Menengah Matematika Pengembangan Pengajaran. Jakarta: Erlangga.

Zainabar. 2013. Analisis Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Setara PISA yang Berbentuk Problem Solving pada Kelas VIII SMP Teuku Nyak Arif Fatih Billingual School Banda Aceh. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Page 187: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

178

Penggunaan Pendekatan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Pemahaman Matematis Siswa Negeri 2 Sigli

Zuraida IM

Guru SMA Negeri 2 Sigli, Bidang Studi Matematika Email:[email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menelaah untuk perbedaan pemahaman matematis siswa yang menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. penelitian eksperimen adalah penelitian yang melihat pengaruh-pengaruh dari variabel bebas terhadap satu atau lebih variabel yang lain dalam kondisi yang terkontrol. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Pretest-Postest Control Group Design”. Populasi dalam penelitian ini siswa SMA Negeri 2 Sigli tahun ajaran 2014/2015 dan sampel penelitian tersebut adalah siswa kelas XI SMA Negeri 2 Sigli Kabupaten Pidie yaitu kelas XI IPA� yang sebagai kelas eksperimen yang terdiri dari 23 orang siswa dan XI IPA� sebagai kelas kontrol yang terdiri dari 24 orang siswa. Kelas eksperimen pembelajarannya menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Pemilihan kelas yang mendapat perlakuan berbeda tersebut berdasarkan pertimbangan guru mata pelajaran matematika di sekolah tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen yaitu tes. Untuk melihat adanya perbedaan pemahaman siswa antara kelompok eksperimen yang pembelajarannya menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional digunakan uji-t pada taraf signifikansi 0,05 setelah prasyarat pengujian terpenuhi. Dari data dan hasil uji statistik kemudian dianalisis dengan manual untuk menginterpretasikan pemahaman matematis siswa. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 1) Kemampuan pemahaman matematis siswa kelas XI SMA Negeri 2 Sigli yang diajarkan dengan pendekatan inkuiri terbimbing meningkat; 2) Menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing pemahaman matematis siswa kelas eksperimen lebih baik daripada pemahaman matematis siswa yang diajarkan tanpa menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing. Kata Kunci : Pendekatan pembelajaran inkuiri terbimbing dan pemahaman matematis. 1. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Penguasaan materi matematika oleh siswa menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi dalam era persaingan yang semakin kompetitif pada saat ini. Kenyataannya pencapaian prestasi siswa dalam pelajaran matematika belum begitu memuaskan. Berdasarkan laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000, Indonesia berada pada peringkat ke-34 dari 38 negara peserta pada tingkat internasional. Hal ini merupakan indikator yang menunjukkan bahwa hasil pembelajaran matematika di Indonesia belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Rendahnya hasil pembelajaran matematika di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor penyebabnya, berkaitan dengan pembelajaran yang diselenggarakan guru di sekolah. Selama ini pembelajaran di sekolah cendrung text book oriented dan masih didominasi dengan pembelajaran yang terpusat pada guru serta kurang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa. Kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau dengan kata lain tidak mempertimbangkan tingkat kognitif siswa sesuai dengan perkembangan

Page 188: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

179

usianya. Kemampuan berpikir matematis siswa sangat diperlukan ketika siswa menyelesaikan soal-soal susah. Depdiknas (2006) menyatakan tujuan pembelajaran matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diantaranya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Semua kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa tidak serta merta dapat terwujud hanyadengan mengandalkan proses pembelajaran yang selama ini terbiasa ada di sekolah kita, dengan urutan-urutan langkah seperti, diajarkan teori/definisi/teorema, diberikan contoh-contoh dan diberikan latihan soal (Soejadi, 2000). Proses belajar seperti ini tidak membuat anak didik berkembang dan memiliki kemampuan bernalar berdasarkan pemikirannya, tapi justru lebih menerima ilmu secara pasif. Dengan demikia, langkah-langkah dan proses pembelajaran yang selama ini umumnya dilakukan oleh para guru di sekolah adalah kurang tepat, karena justru akan membuat anak didik menjadi pribadi yang pasif.. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek belajar kurang dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan oleh gurunya. Akibat lanjutannya siswa tidak dapat menjawab tes, baik itu tes akhir semester maupun Ujian Nasional. Oleh karena itu, perlu dikembangkan materi serta proses pembelajaran yang dapat mewujudkan pandangan konstruktivisme dengan mengaikan materi dengan konteks kehidupan nyata, kehidupan sehari-hari siswa, sehingga siswa dapat merasakan kebermanfaatan mempelajari matematika. Dengan cara ini diharapkan dapat memberikan alternatif bagi guru dalam penyampaian bahan ajarnya di kelas, sehingga proses belajar yang sifatnya tradisional di mana pembelajaran terpusat pada guru, perlahan tapi pasti dapat tergantikan dengan pembelajaran yang lebih terpusat pada siswa sendiri yang berusaha untuk mengkonstruksi pengetahuannya dengan bimbingan guru. Pemahaman matematis siswa akan materi, juga merupakan salah satu penyebab mutu pendidikan kita rendah. Siswa yang pemahaman matematisnya tinggi mampu menyerap konsep dari suatu materi kemudian menyelesaikan permasalahan matematis yang diberikan kepadanya. Jadi pemahaman matematis adalah suatu proses pengamatan yang tak langsung dalam menyerap pengertian dari konsep yang dipahami sehingga dapat diterapkan dalam situasi yang lainnya. Menurut Markaban (2006), ”tingkat pemahaman matematika seseorang siswa lebih dipengaruhi oleh pengalaman siswa itu sendiri”. Hal ini berarti pemahaman seorang siswa dalam belajar diperoleh dari apa yang ia alami dalam pembelajaran tersebut. Selanjutnya Bruner (Markaban, 2006) menyatakan pembelajaran matematikamerupakan usaha untuk membantu siswa dalam mengkontruksi pengetahuan melalui proses, karena mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk. Hal ini sejalan dengan Vygotsky (Marhaeni, 2007) yang menyatakan bahwa, konstruksi pengetahuan terjadi melalui prosres interaksi sosial bersama orang lain yang lebih mengerti dan paham akan pengetahuan tersebur. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan yang harus dimilikinya.

Page 189: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

180

Dari beberapa pendapat ini dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pemahaman diperoleh oleh siswa melalui suatu rangkaian proses yang dilalui oleh siswa saat belajar dan interaksi yang terjadi saat belajar bersama orang lain, sehingga siswa dapat membentuk pengetahuan dan pemahaman dari apa yang dialaminya. Untuk mendapatkan tujuan pembelajaran di atas, seorang guru harusnya menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa untuk aktif belajar dengan mengkontruksi, menemukan dan mengembangkan pengetahuannya. Dengan belajar matematika diharapkan siswa mampu menyelesaikan masalah, menemukan dan mengkomunikasikan ide-ide yang muncul dalam benak siswa. Siswa juga harus mampu memahami terhadap pembelajaran yang diberikan, sehingga pembelajaran tersebut jadi bermakna. Membangun pemahaman pada setiap kegiatan pembelajaran matematika akan mengembangkan pengetahuan matematika yang dimiliki oleh siswa. Sehingga dengan pemahaman diharapkan tumbuh kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan konsep yang telah dipahami dengan baik dan benar setiap kali ia menghadapi permasalahan dalam pembelajaran matematika. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa adalah pendekatan inkuiri, yaitu suatu rangkaian pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan (Sanjaya, 2008). Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa, karena pada pembelajaran inkuiri materi pelajaran tidak diberikan secara langsung, tetapi siswa berperan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran inkuiri adalah pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk memberikan cara bagi siswa untuk membangun kecakapan-kecakapan intelektual (kecakapan berpikir) terkait dengan proses-proses berpikir reflektif. Jika berpikir menjadi tujuan utama dari pendidikan, maka harus ditemukan cara-cara untuk membantu individu untuk membangun kemampuan itu (Wahyudin, 2008). Artinya melalui pembelajaran ini siswa diharapkan untuk dapat mengkomunikasikan hal-hal yang telah dipahaminya dan yang ada dalam pemikirannya untuk membangun suatu pengetahuan yang akan diperolehnya. Pada penelitian ini, digunakan metode penemuan terbimbing sebagai salah satu model pembelajaran yang dapat mengarahkan dan membimbing siswa untuk dapat memahami konsep dan berpikir matematik, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah serta dapat menggunakan pemahaman pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika untuk dapat meningkatkan pemahaman matematis siswa.

Menurut Wahyudin (2008), langkah-langkah dalam pendekatan inkuiri terbimbing adalah: 1) merumuskan masalah, siswa dihadapkan pada suatu permasalahan. 2) mengajukan dugaan/konjektur, siswa dapat merumuskan jawaban sementara. 3) mengumpulkan data, merupakan proses mental yang sangat penting. 4) menguji konjektur, jawaban yang diberikan harus didukung oleh data yang ditemukan. 5) merumuskan kesimpulan, merupakan proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh

berdasarkan hasil pengujian konjektur. Sehingga untuk memfasilitasi langkah-langkah inkuiri tersebut dalam pembelajaran ini hendaknya para siswa didorong untuk bagaimana mereka memahami masalah, selanjutnya berpikir bagaimana mereka

Page 190: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

181

membuat dugaan sementara dari gejala atau situasi. Kemudian siswa mengumpulkan data, melakukan pengamatan dan penyelidikan untuk memberikan jawaban atas dugaan yang telah dirumuskan. Ketika siswa terlibat dalam mengamati diharapkan muncul suatu pemahaman yang mendalam dalam benak siswa yang dilanjutakan dengan melakukan kegiatan pembuktian terhadap dugaan-dugaan yang diberikan. Kegiatan inkuiri kemudian dilanjutkan dengan mendorong siswa melakukan diskusi sebagai wujud dari pemahaman, baik lisan maupun tulisan untuk menyempurnakan pembuktian yang telah mereka lakukan. Kegiatan para siswa untuk mencoba meyakinkan siswa lainnya tentang gagasan-gagasan matematika yang diyakininya dengan membeberkan bukti-bukti yang dapat diterima akal pikirannya. Sehingga dengan pembelajaran inkuiri terbimbing ini diduga dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa. Menurut Galton (Ruseffendi, 2006) dari sekelompok anak terdapat sejumlah anak-anak yang berakat hebat yang berada di atas kelompok sedang yang jumlahnya sama dengan anak-anak yang bodoh yang berada di bawah anak-anak yang sedang itu. Sehingga dari sekelompok siswa, tentunya memiliki perbedaan kemampuan individual yang menuntut guru untuk memberikan perhatian yang berbeda-beda pula. Terkait dengan pembelajaran inkuiri yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Tim MKPBM (2001) menyatakan bahwa tidak semua anak mampu melakukan inkuiri (penemuan) dan apabila guru memberikan bimbingan tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa, ini dapat merusak struktur pengetahuannya, dan bila bimbingan diberikan terlalu banyak dapat mematikan inisiatifnya. Untuk menciptakan proses pembelajaran yang mampu mengoptimalkan potensi siswa, maka faktor kategori kemampuan siswa perlu menjadi bahan pertimbangan dan perhatian utama bagi guru. Perhatian tersebut terutama ditujukan pada antisipasi untuk melakukan intervesi yang perlu dilakukan sesuai dengan latar belakang kemampuan siswa. Untuk itu dalam penelitian ini akan ditelaah tentang penerapan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa.

1.1 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan pemahaman matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dibandingkan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional? 1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah perbedaan pemahaman matematis siswa yang menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan konvensional. 1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang berarti bagi pembaharuan kegiatan pembelajaran yaitu:

1. Sebagai informasi tentang perbedaan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendektan inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

Page 191: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

182

2. Memberikan suatu pandangan, pengetahuan dalam mencari pendekatan yang tepat, guna membantu kelancaran pembelajaran yang berguna untuk meningkatkan pemahaman matematis siswa.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Inkuiri Sejak manusia lahir ke dunia, manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang alam sekitar disekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak ia lahir ke dunia. Sejak kecil manusia memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu melalui indera penglihatan, pendengaran, pengecapan dan indera-indera lainnya. Pengetahuan yang dimiliki manusia akan bermakna jika didasari oleh keingintahuan itu. Didasari hal inilah suatu strategi pembelajaran yang dikenal dengan inkuiri dikembangkan. Menurut Wahyudin (2008) inkuri berasal dari kata to inquire yang berarti ikut serta, atau terlibat, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikkan. Ia menambahkan bahwa pembelajaran inkuiri ini bertujuan untuk memberikan cara bagi siswa untuk membangun kecakapan-kecakapan intelektual (kecakapan berpikir) terkait dengan proses-proses berpikir reflekif. Jika berpikir menjadi tujuan utama dari pendidikan, maka harus ditemukan cara-cara untuk membantu individu untuk membangun kemampuan itu. Sanjaya (2008) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri. Pertama, strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan manemukan, artinya pendekatan inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelassan guru secara verbal. Kedua, seluruh aktivitas siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self confidence). Artinya dalam pendekatan inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Aktivitas pembelajaran biasanya dilalukan melalui proses Tanya jawab antara guru dan siswa, sehinga kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri. Ketiga, tujuan dari penggunaan pendekatan pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental, akibatnya dalam pembelajarn inkuiri siswa tidak hanya dituntut agar menguasai pembelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya. Sanjaya (2008) menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri adalah model pembelajaran yang memiliki tahap-tahap dalam proses pembelajarannya, adapun tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. Orientasi, pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran

yang kondusif. Hal yang dilakukan oleh guru adalah: a. Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa. Guru

memberitahukan terlebih dahaulu materi yang akan di ajarkan sebelumnya, supaya siswa mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dan akan lebih mudah dalam menerima pembelajaran.

b. Menjelaskan kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini dijelaskan tahap-tahap inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulai dari langkah merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan.

c. Menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini diberikan untuk memberikan motivasi belajar siswa.

2. Merumuskan masalah, pada tahap ini siswa dihadapkan pada suatu permasalahan. Permasalahan yang diajukan adalah permasalahan yang menantang siswa dan tentu saja ada jawabannya, siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari jawaban inilah yang sangat penting

Page 192: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

183

dalam pembelajaran inkuiri, karena pada proses ini siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga untuk mengembangkan mental melalui proses berpikir.

3. Merumuskan dugaan (konjektur) Dugaan (konjektur) adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang dikaji. Sebagai jawaban sementara, konjektur perlu diuji kebenarannya. Konjektur diuji untuk mencari kebenaran yang dicari.

4. Mengumpulkan data, merupakan aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji dugaan (konjektur) yang diajukan.

5. Menguji dugaan (konjektur), pada tahap ini siswa diharapkan dapat menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data.

6. Merumuskan kesimpulan, merupakan proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasrkan hasil pengujian konjektur.

Alasan yang rasional penggunaan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah siswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai matematika dan akan lebih tertarik terhadap matematika jika mereka dilibatkan secara aktif dalam melakukan penyelidikan. Investigasi yang dilakukan oleh siswa merupakaika dan tulang punggung pembelajaran dengan pendekatan inkuiri, Investigasi ini difokuskan untuk memahami konsep-konsep matematika dan meningkatkan ketrampilan proses berpikir ilmiah siswa. Sehingga diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil dari proses berpikir ilmiah tersebut. Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri yang mensyaratkan keterlibatan aktif siswa diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar dan sikap anak terhadap pelajaran matematika, khususnya kemampuan pemahaman matematis siswa. Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri merupakan pendekatan yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam pemahaman matematis. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar, peranan guru dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Guru membimbing siswa jika siswa mengalami kendala dalam belajar. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka memahami matematika. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemahaman matematis harus dikurangi. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator dalam memotivasi siswa ketika pembelajaran dilaksanakan.

2.2 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing Pembelajaran matematika yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pendekatan inkuiri terbimbing merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang bersifat kontruktivis yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan dalam memperoleh pengetahuannya melalui serangkaian proses kegiatan pembelajaran saat guru memberikan bimbingan, arahan kepada siswa pada proses pembelajaran. Menurut Wahyudin (2008), langkah-langkah dalam pendekatan inkuiri terbimbing adalah: 1) merumuskan masalah, 2) mengajukan dugaan/konjektur, 3) mengumpulkan data, 4) menguji konjektur, dan 5) merumuskan kesimpulan. Pada dasarnya siswa selama proses belajar berlangsung akan memperoleh pedoman sesuai denga yang diperlukan. Pada tahap awal, guru banyak memberikan bimbingan, kemudian pada tahap-tahap

Page 193: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

184

berikutnya, bimbingan tersebut dikurangi, sehingga siswa mampu malakukan proses inkuiri secara mandiri. Bimbingan yang diberikan dapat berupa pertanyaan-pertanyaan dan diskusi multi arah yang dapat menggiring siswa agar dapat memahami konsep pelajaran matematika. Di samping itu, bimbingan dapat pula diberikan melalui LKK (Lembar Kerja Kelompok) yang terstruktur. Selama berlangsungnya proses belajar guru harus memantau kelompok diskusi siswa, sehingga guru dapat mengetahui dan memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan (scaffolding) yang diperlukan oleh siswa. Guru memberikan motivasi juga memberikan motivasi kepada siswa ketika berlangsungnya pembelajaran. Pembelajaran matematika dengan pendekatan inkuiri terbimbing dalam penelitian ini menggunakan Lembar Kerja Kelompok (LKK). Dalam LKK ini akan diberikan masalah kepada siswa, kemudian siswa diarahkan untuk menemukan sendiri penyelesaiannya, hal inj akan membuat pemahaman siswa terhadap konsep dan prinsip matematika lebih kuat. Siswa belajar dalam kelompok kecil, diskusi, presentasi kerja kelompok, dan membuat kesimpulan. Guru membimbing siswa, dan memberikan contoh apabila siswa mengalami kesulitan, mendatangi kelompok belajar siswa, dan bimbingan berupa petunjuk-petunjuk yang diberikan pada LKK. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ataupun dengan bertanya pada siswa dalam satu kelompok atau siswa dalam kelompok lain. Interaksi yang terjadi diupayakan dari berbagai arah.

2.3 Pemahaman Matematis Pemahaman matematis merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, dengan memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan semata. Pemahaman matematis juga merupakan salah satu tujuan dari semua materi yang diberikan oleh guru. Pemahaman matematis merupakan salah satu dari tujuan dari setiap materi yang disampaikan oleh guru, sebab guru merupakan pembimbing siswa untuk mencapai konsep yang diharapkan. Sedangkan indikator pemahaman matematis siswa terhadap konsep matematika manurut NCTM (1989) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam hal: 1) mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; 2) mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh; 3) menggunakan model, diagram dan simbol-simbol untuk mempresentasikan suatu konsep; 4) mengubah suatu bentuk representasike bentuk lainnya; 5) mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; 6) mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep; 7) membandingkan dan membedakan konsep-konsep. Hal ini sesuai dengan Hudoyo (1985) yang menyatakan: “Tujuan mengajar adalah agar pengetahuan yang disampaikan dapat dipahami peserta didik”. Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa siswa kepada tujuan yang ingin dicapai yaitu agar bahan yang disampaikan dipahami sepenuhnya oleh siswa. Menurut Sumarmo (1987), pemahaman merupakan terjemahan dari istilah understanding yang diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang dipelajari. Sumarmo (1987) menyatakan, ada beberapa jenis pemahaman menurut para ahli yaitu:

1. Polya, membedakan empat jenis pemahaman: a. Pemahaman mekanikal, yaitu dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara rutin atau

perhitungan sederhana. b. Pemahaman induktif, yaitu dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu

bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa. c. Pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan kebenaran sesuatu.

Page 194: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

185

d. Pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik.

2. Polattsek, membedakan dua jenis pemahaman: a. Pemahaman komputasional, yaitu dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan

rutin/sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja. b. Pemahaman fungsional, yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar

dan menyadari proses yang dilakukan. 3. Skemp, membedakan pemahaman ada dua jenis, yaitu:

a. Pemahaman instrumental dan pemahaman relasional yaitu suatu konsep matematik berarti suatu pemahaman dapat membedakan sejumlah konsep sebagai pemahaman konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dengan perhitungan sederhana.

b. Pemahaman relasional berarti dapat melakukan perhitungan secara bermakna pada permasalahan-permasalahan yang lebih luas.

4. Ruseffendi mengemukakan ada tiga macam pemahaman matematis, yaitu: a. Pengubahan (translation), pemahaman translasi digunakan untuk menyampaikan

informasi dengan bahasa dan bentuk yang lain dan menyangkut pemberian makna dari suatu informasi yang bervariasi.

b. pemberian arti (interpretation), pemahaman interpretasi digunakan untuk menafsirkan maksud dari bacaan, bukan hanya kata-kata dan frase, tetapi mencakup pemahaman sebuah informasi yang berasal dari sebuah ide

c. pembuatan ekstrapolasi (ekstrapolation), pemahaman ekstrapolasi mencakup estimasi dan prediksi berdasarkan pada sebuah pemikiran, gambaran kondisi dari suatu informasi, meliputi pembuatan kesimpulan berdasarkan informasi jenjang kognitif ketiga yaitu penerapan (application) yang memakai atau menerapkan suatu materi yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru, yaitu berupa ide, teori atau petunjuk teknis.

5. Copeland, membedakan dua jenis pemahaman yaitu: a. Knowing how to, yaitu dapat mengerjakan sesuatu secara rutin/algoritmik. b. Knowing, yaitu dapat mengerjakan sesuatu dengan sadar akan proses yang

dikerjakannya. Menurut Ausubel (Hudoyo,1985), belajar akan menjadi bermakna apabila informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilkinya. Ini berarti siswa dapat mengaitkan antara pengetahuan yang dipunyainya dengan keadaan yang lain sehingga belajar dengan memahami bukan dengan menghafal. Bloom (Tim MKPBM, 2001) mengklasifikaskan pemahaman (comprehension) ke dalam jenjang kognitif kedua yang menggambarkan suatu pengertian, sehingga siswa diharapkan mampu memahami ide-ide matematika bila mereka dapat menggunakan beberap kaeda yang relevan. Dalam tingkatan ini siswa duharapkan mengetahui bagaimana berkomunikasi dan menggunakan idenya untuk berkomunikasi. Dalam pemahaman tidak hanya sekedar memahami sebuah informasi tetapi termasuk juga keobjektifan, sikap dan makna yang terkandung dari sebuah informasi. Dengan kata lain seorang siswa dapat mengubah suatu informasi yang ada dalam pikirannya ke dalam bentuk lain yang lebih berarti. Siswa tersebut mampu berpikir secara jernih. Pemahaman matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemahaman matematis yang meliputi pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya dan dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana. Sedangkan pemahaman rasional termuat skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalahyang lebih luas, dapat mengkaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya dan sifat penggunaannya lebih bermakna. Siswa yang pemahaman matematisnya sudah bagus akannlebih mudah menyerap pelajaran yang diberikan oleh guru.

Page 195: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

186

3. METODELOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Pada penelitian ini terdapat dua kelompok subjek penelitian yaitu kelompok eksperimen yang melakukan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dan kelompok kontrol melakukan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Kedua kelompok diberikan pretes dan postes dengan menggunakan instrumen yang sama. Fraenkel (2003) menyatakan bahwa penelitian eksperimen adalah penelitian yang melihat pengaruh-pengaruh dari variabel bebas terhadap satu atau lebih variabel yang lain dalam kondisi yang terkontrol. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Pretest-Postest Control Group Design”. Tes matematika diberikan dua kali dengan menggunakan instrumen yang sama. Tes diberikan sebelum proses pembelajaran, yang disebut pretes dan sesudah pembelajaran yang disebut postes. Desain penelitian tersebut adalah sebagai berikut: O X O O --- O

Keterangan: O : Pretes dan postes (tes pemahaman matematis) X : Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing. 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini siswa SMA Negeri 2 Sigli tahun ajaran 2014/2015 dan sampel

penelitian tersebut adalah siswa kelas XI SMA Negeri 2 Sigli yaitu kelas XI IPA� yang sebagai kelas eksperimen yang terdiri dari 23 orang siswa dan XI IPA� sebagai kelas kontrol yang terdiri dari 24 orang siswa. Kelas eksperimen pembelajarannya menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Pemilihan kelas yang mendapat perlakuan berbeda tersebut dilakukan secara acak. Banyaknya kelas di SMA Negeri 2 Sigli sebanyak 15 kelas, kelas X terdiri 5 kelas, kelas XI terdiri 5 kelas, dan kelas XII terdiri dari 5 kelas. Setiap kelas umumnya terdiri dari 28 orang siswa. 3.3 Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan tes pemahaman matematis yang berupa soal tes matematika dalam bentuk uraian. Tes diberikan sebelum dan sesudah pembelajaran terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam waktu 90 menit. Untuk menilai soal-soal dari pemahaman matematis tersebut diperlukan beberapa indikator ketika menilainya. Kriteria untuk pemberian skor pada tes pemahaman matematis siswa menggunakan pedoman “Holistic Scoring Rubrics” yang dikemukakan oleh Lindawati (2010) yang kemudian diadaptasi. Soal tes untuk mengukur pemahaman matematis siswa disusun berdasarkan indikator sebagai berikut:

1. Kemampuan menyatakan ulang konsep. 2. Kemampuan mengklarifikasi bedasarkan objek-objek. 3. Kemampuan menerapkan konsep algoritma. 4. Kemampuan memberikan contoh dari konsep yang dipelajari. 5. Kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika. 6. Kemampuan mengaitkan berbagai konsep. 7. Kemampuan mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep.

Page 196: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

187

3.4 Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan dengan menggunakan teknik memberikan tes kepada siswa. Arikunto (2009) menyatakan tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Setiap soal pretes dan postes mempunyai bobot nilai yang sama. Soal pretes bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal pemahaman matematis sebelum mendapat perlakuan, sedangkan postes bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemahaman matematis siswa setelah diberikan perlakuan dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing.

4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Uji Normalitas Kelas Eksperimen Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data masing-masing kelas dalam penelitian ini berasal dari populasi yang terdistribusi normal atau tidak. Berdasarkan perhitungan sebelumnya, untuk data pretes kelas eksperimen diperoleh x� = 42,63 dan S = 10,05 Selanjutnya perlu ditentukan batas-batas kelas interval data hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu menghitung luas dibawah kurva tiap kelas interval.

Tabel 4.1 Uji normalitas pretes kelas eksperimen

Nilai Tes Batas

Z�� Batas

Luas Daerah

Frekeunsi Frekuensi Kelas Luas Diharapkan Pengamatan

(x) Daerah (Ei) (Oi) 24,5 -1,80 0,0359

25 – 30 0,0792 1,8216 3 30,5 -1,20 0,1151

31 – 36 0,1592 3,6616 4 36,5 -0,60 0,2743

37 – 42 0,2703 6,2169 5 42,5 -0,01 0,0040

43 – 48 0,215 4,945 4 48,5 0,58 0,2190

49 – 54 0,162 3,726 3 54,5 1,18 0,3810

55 – 60 0,0883 2,0309 4 61,5 1,87 0,4693

Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan banyak kelas (K) = 6 maka derajat kebebasan (dk) untuk distribusi Chi-kuadrat besarnya adalah dk = k – 1 = 6 – 1 = 5, dari χ2

(0,95)(5) = 11,0705, dalam hal ini yang menjadi hipotesis H0 adalah sampel sebenarnya mengikuti distribusi normal. Kriteria pada pengujian adalah tolak H0 jika χ2

hitung ≥ χ2tabel. Dikarenakan nilai χ2

hitung < χ2tabel nilai pada penelitian

yaitu 3,2626 < 11,0705, maka dapat disimpulkan bahwa nilai pretes pada kelas eksperimen mengikuti distribusi normal.

Page 197: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

188

4.2 Uji Normalitas Kelas Kontrol Berdasarkan perhitungan sebelumnya, untuk data pretes kelas kontrol diperoleh �̅ = 41,79 dan s2 = 11,21. Selanjutnya perlu ditentukan batas-batas kelas interval untuk menghitung luas dibawah kurva normal, frekuensi yang diharapkan dan frekuensi pengamatan bagi tiap interval.

Tabel 4.2 Uji normalitas pretes kelas kontrol

Nilai Tes

Batas

Z��

Batas Luas

Daerah

Frekeunsi Frekuensi Kelas Luas Diharapkan Pengamatan

(x�) Daerah (Ei) (Oi) 20,5 -1,89 0,0294

21 – 27 0,0726 1,7424 3 27,5 -1,27 0,1020

28 – 34 0,1558 3,7392 4 34,5 -0,65 0,2578

35 – 41 0,2538 6,0912 4 41,6 -0,01 0,0040

42 – 48 0,2184 5,2416 5 48,5 0,59 0,2224

49 – 55 0,1664 3,9936 6 55,5 1,22 0,3888

56 – 62 0,0783 1,8792 2 62,5 1,84 0,4671

Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan banyak kelas (K) = 6 maka derajat kebebasan (dk) untuk distribusi Chi-kuadrat besarnya adalah dk = k – 1 = 6 – 1 = 5, dari χ2 (0,95) (5) = 11,0705, dalam hal ini yang menjadi hipotesis H0 adalah sampel sebenarnya mengikuti distribusi normal. Kriteria pengujian adalah tolak H0 jika χ2

hitung ≥ χ2tabel, karena χ2

hitung < χ2tabel yaitu 2,6704 < 11,0705, maka H0 diterima

dan dapat disimpulkan bahwa data dari siswa kelas kontrol mengikuti distribusi normal.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisi, temuan, dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemampuan pemahaman matematis siswa kelas XI SMA Negeri 2 Sigli yang diajarkan dengan pendekatan inkuiri terbimbing meningkat. Hal ini dapat diketahui dari hasil analisis data dengan menggunakan statitik uji-t. Hasil analisis menggunakan uji-t menunjukkan bahwa nilai thitung> ttabel yaitu 3,5 > 2,00. Berdasarka kriteria pengujiannya Ho ditolak dan Ha diterima, artinya yang diajarkan dengan mengunakan pendekatan inkuiri terbimbing pemahaman matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari pemahaman matematis siswa yang diajarkan tanpa menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing.

2. Pendekatan inkuiri terbimbing menuntut siswa untuk menemukan sendiri pengetahuannya dalam mengembangkan kemampuan berpikir, berarti ikut serta, atau terlibat, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikkan.

3. Pembelajaran inkuiri bertujuan untuk memberikan cara bagi siswa untuk membangun kecakapan-kecakapan intelektual (kecakapan berpikir) terkait dengan proses-proses berpikir reflekif. Jika berpikir menjadi tujuan utama dari pendidikan, maka harus ditemukan cara-cara untuk membantu individu untuk membangun kemampuan itu.

4. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan manemukan, artinya pendekatan inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar.

Page 198: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

189

5.2 Saran Berdasarkan temuan-temuan dari hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa rekomendasi kepada guru matematika yang diharapkan dapat berguna dalam pembelajaran matematika, yaitu:

1. Diharapkan bagi para guru dapat menerapkan pendmateri.ekatan inkuiri terbimbing dalam meningatkan pemahaman matematis siswa.

2. Guru sebaiknya memahami pendekatan inkuiri terbimbing dan langkah-langkah pembelajarannya dengan baik sehingga dapat menerapkan sesuai dengan materi.

3. Peneliti juga berharap siswa dapat belajar matematika dengan mengedepankan rasa optimis sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan.

4. Diharapkan kepada pihak sekolah untuk mengadakan pelatihan khusus terhadap guru bidang studi mengenai model belajar yang sesuai dengan kondisi sekolah sehingga setiap guru pada semua jenjang pendidikan dapat memberikan yang terbaik kepada siswa yang didiknya.

6.DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaliasi Pendidikan. Jakarta:Bumi Aksara. Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:Depdiknas. Fraenkel, J.R. dan Wallen, N.E. (2003). How to Design and Evaluate Research in Education. Second

Edition. Singapure: Mc-Graw Hill International. Hudoyo, H. (1985). Teori Belajar dalam Proses Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud. NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA:NCTM. Ruseffendi, E.T. (2006). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya.

Cetakan ke-4. Semarang: UNNES Press. Sanjaya (2008). Strategi Pembelajaran Berorentasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sudjana, (2005). “Metode Statistika”.Bandung: Tarsito. Sumarmo,U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA dikaitkan

dengan Kemampuan Penalaran Logika Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi.UPI: Tidak diterbitkan.

Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung:UPI.

Page 199: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

190

Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas XI-B1

SMK-PP Negeri Saree

Yustina, S.Si, M.Pd

Guru SMK-PP Negeri Saree

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan menganalisis peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dan mendeskripsikan aktivitas siswa terhadap pembelajaran matematika menggunakan pendekatan matematika realistik. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Populasi adalah seluruh siswa kelas XI SMK-PP Negeri Saree tahun ajaran 2013/2014 dengan mengambil sampel satu kelas melalui teknik purposive sampling dari delapan kelas yang tersedia. Kelas yang terpilih adalah kelas XI-B1 yang terdiri dari 22 siswa. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Hasil penelitian pada siklus I, hanya 4 orang siswa yang mencapai ketuntasan (18%). Sedangkan pada siklus II, 20 orang siswa sudah mencapai nilai ketuntasan (91%). Berdasarkan hasil analisis data penelitian disimpulkan bahwa penerapan pendekatan matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X-B1 SMK-PP Negeri Saree. Kata Kunci: Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik, Komunikasi Matematis, Aktivitas Siswa.

A. Latar Belakang Masalah Mutu pendidikan yang rendah merupakan salah satu permasalahan pokok di Indonesia, selain masalah pemerataan pendidikan, efisiensi pendidikan, dan relevansi pendidikan. Mutu pendidikan di Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain menjadi sorotan utama. Hal ini dapat dilihat dari mutu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dibuktikan oleh data UNESCO (2000) menyebutkan bahwa IPM Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999) dari 174 negara di dunia (Pidarta, 2004). Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan antara lain kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak konsisten, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, dan peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim (Usman, 2001). Kondisi ini juga terjadi pada pelajaran matematika, padahal matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan penting dalam berbagai disiplin ilmu serta mampu mengembangkan kemampuan matematis siswa. Salah satu kemampuan matematis yang perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa adalah kemampuan komunikasi matematis. Hal ini disebabkan matematika merupakan bahasa dan alat, menggunakan definisi-definisi yang jelas, dan simbol-simbol khusus yang digunakan setiap orang dalam kehidupannya. Bagi dunia keilmuan, matematika memiliki peran sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi secara cermat dan tepat (Saputra, 2012).

Dari masalah di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pembelajaran matematika harus diperbaiki guna meningkatkan komunikasi matematis siswa. Untuk meningkatkan hal tersebut harus didukung dengan metode dan pendekatan pembelajaran yang inovatif. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan pendekatan matematika realistik. Pendekatan matematika realistik adalah padanan Realistic Mathematics Education (RME), sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994:82) mengungkapkan “Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity.” Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik dikembangkan berdasarkan pandangan Freudenthal yang menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Pada pendekatan ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan moderator,

Page 200: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

191

sedangkan siswa berfikir, mengomunikasikan gagasan/ide, dan melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain. Beberapa penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik, sekurang-kurangnya dapat membuat: (1) matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal, dan tidak terlalu abstrak; (2) mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa; (3) menekankan belajar matematika pada “learning by doing”; (4) memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian yang baku; dan (5) menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika (Suherman, 2011). Berdasarkan pengalaman peneliti selama delapan tahun mengajar di SMK-PP Negeri Saree, pembelajaran di sekolah tersebut pada umumnya bersifat konvensional, dimana pembelajaran belum berpusat pada siswa (student centered learning), siswa menerima materi yang disampaikan oleh guru dengan mencatat dan hanya beberapa siswa saja yang mengajukan pendapat atau bertanya secara lisan terkait dengan materi tersebut. Oleh karena itu, melalui pendekatan matematika realistik diharapkan siswa dapat mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan dapat meningkatkan kemampuan matematis siswa di SMK-PP Negeri Saree. Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas XI-B1 SMK-PP Negeri Saree”. B. Identifikasi Masalah Memperhatikan kondisi di atas, dapat ditemukan beberapa masalah pembelajaran yaitu: 1. Pembelajaran matematika di kelas masih berjalan monoton 2. Belum ditemukannya metode pembelajaran yang tepat untuk materi bangun datar segi empat 3. Rendahnya hasil belajar siswa pada materi bangun datar segi empat 4. Rendahnya aktifitas siswa dalam proses pembelajaran. C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang dibuat adalah : “Apakah penerapan pendekatan matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa?”.

D. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Guru dapat meningkatkan strategi dan kualitas pembelajaran matematika. 2. Siswa mendapat kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan pertanyaan mengenai materi

pembelajaran sehingga mampu secara mandiri menyelesaikan soal-soal tentang bangun datar segi empat.

3. Ketuntasan belajar siswa baik secara individu maupun secara klasikal meningkat. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi siswa, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dalam menyajikan pernyataan matematika secara tertulis dan gambar.

2. Bagi guru, diharapkan dapat mengembangkan profesionalnya dalam mengajar sebagai upaya mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada siswa sehingga berpengaruh pada peningkatan kemampuan komunikasi matematis.

3. Bagi peneliti, untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan melalui pendekatan matematika realistik serta dapat menjadi referensi untuk penelitian berikutnya.

4. Bagi sekolah, sebagai salah satu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan melalui pendekatan matematika realistik.

5. Bagi para pengambil kebijakan, dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan dalam upaya untuk meningkatkan kompetensi dasar matematika siswa.

Page 201: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

192

KAJIAN TEORI A. Kemampuan Komunikasi Matematis Menurut the National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), matematika sebagai alat komunikasi (mathematics as communication) merupakan pengembangan bahasa dan simbol untuk mengomunikasikan ide matematika, sehingga diharapkan siswa dapat: (1) mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematika dan hubungannya, (2) merumuskan definisi matematika dan membuat generalisasi yang diperoleh melalui investigasi (penemuan), (3) mengungkapkan ide matematika secara lisan dan tulisan, (4) membaca wacana matematika dengan pemahaman, (5) menjelaskan dan mengajukan serta memperluas pertanyaan terhadap matematika yang telah dipelajarinya, dan (6) menghargai keindahan dan kekuatan notasi matematika, serta peranannya dalam mengembangkan ide/gagasan matematika (Ansari, 2012:11). Komunikasi matematis (NCTM, 1996), dapat memberikan manfaat pada siswa berupa: 1) memodelkan situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik, dan aljabar, 2) merefleksi dan menglarifikasi dalam berpikir mengenai gagasan-gagasan matematika dalam berbagai situasi, 3) mengembangkan pemahaman terhadap gagasan-gagasan matematika termasuk peranan definisi-definisi dalam matematika, 4) menggunakan keterampilan membaca, mendengar, dan menulis untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi gagasan matematika, 5) mengkaji gagasan matematika melalui konjektur dan alasan yang meyakinkan, 6) memahami nilai dari notasi dan peran matematika dalam pengembangan gagasan matematika. Menurut Lacoe (2009) bahwa komunikasi matematis mencakup komunikasi lisan dan tulisan. Komunikasi dalam bentuk tulisan dapat berupa penggunaan kata-kata, gambar, tabel, dan sebagainya yang menggambarkan proses berpikir siswa. Komunikasi dalam bentuk tulisan juga dapat berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang menggambarkan kemampuan siswa dalam mengorganisasi berbagai konsep untuk menyelesaikan masalah sedangkan komunikasi lisan dapat berupa pengungkapan atau penjelasan secara verbal suatu ide matematika. Menurut Greenes dan Schulman (2012) komunikasi matematis adalah: (1) menyatakan ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual dalam tipe yang berbeda, (2) memahami, menafsirkan, menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam bentuk visual, dan (3) mengonstruksi, menafsirkan dan menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan hubungannya.

Menurut Sumarmo (2006) komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa: 1. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide-ide matematika. 2. Menjelaskan ide-ide, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda

nyata, gambar, grafik, dan aljabar. 3. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. 4. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. 5. Membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis. 6. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi. 7. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Menurut Ansari (2012), komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling menyampaikan pesan yang berlangsung dalam suatu komunitas dan konteks budaya. Kemampuan komunikasi matematis pada setiap jenjang sekolah merupakan salah satu kemampuan yang ingin dikembangkan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Komunikasi matematis menurut NCTM memberikan manfaat pada siswa berupa: 1. Memodelkan situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik, dan secara aljabar. 2. Merefleksikan dan mengklarifikasi dalam berpikir mengenai gagasan-gagasan

matematika dalam berbagai situasi.

Page 202: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

193

3. Mengembangkan pemahaman terhadap gagasan-gagasan matematika termasuk peranan definisi-definisi dalam matematika.

4. Menggunakan keterampilan membaca, mendengar, dan menulis untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi gagasan matematika.

5. Mengkaji gagasan matematika melalui konjektur dan alasan yang meyakinkan. 6. Memahami nilai dari notasi dan peran matematika dalam pengembangan gagasan

matematika. Aktivitas guru yang dapat menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa antara lain (NCTM, 1996):

1. Mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian ide-ide siswa. 2. Menyelidiki dan melihat dengan penuh perhatian ide-ide siswa. 3. Menyelidiki pertanyaan dan tugas-tugas yang diberikan, menarik hati, dan menantang

siswa untuk berpikir. 4. Meminta siswa untuk merespon dan menilai ide mereka secara lisan dan tertulis. 5. Menilai kedalaman pemahaman atau ide yang dikemukakan siswa dalam diskusi. 6. Memutuskan kapan dan bagaimana untuk menyajikan notasi matematika dalam bahasa

matematika pada siswa. 7. Memonitor partisipasi siswa dalam diskusi, memutuskan kapan dan bagaimana untuk

memotivasi masing-masing siswa untuk berpartisipasi. Indikator kemampuan siswa dalam komunikasi matematis pada pembelajaran matematika menurut NCTM (1996) dapat dilihat dari :

1. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tertulis, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual.

2. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide Matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya.

3. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model situasi.

Secara umum, matematika dalam ruang lingkup komunikasi mencakup keterampilan/kemampuan menulis, membaca, discussing and assessing, dan wacana (discourse). Kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika anpa komunikasi dalam matematika. Shadiq (2004) menyatakan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak membingungkan. Sebagai contoh, notasi 40 × 4 dapat digunakan untuk menyatakan berbagai hal, seperti:

1. Jarak tempuh sepeda motor selama 4 jam dengan kecepatan 40 km/jam. 2. Luas permukaan kolam dengan ukuran panjang 40 meter dan lebar 4 meter.

Contoh di atas telah menunjukkan bahwa notasi 40 × 4 dapat menyatakan suatu hal yang berbeda. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa upaya peningkatan komunikasi matematis menjadi sangat penting dan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pembelajaran matematika. B. Pendekatan Matematika Realistik Salah satu jenis pendekatan yang saat ini sedang dikembangkan dan diterapkan dalam pembelajaran matematika adalah matematika realistik. Pembelajaran matematika realistik adalah padanan Realistic Mathematics Education (RME), sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994:82) mengungkapkan “Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity.” Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik dikembangkan berdasarkan pandangan Freudenthal yang menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer (1994:82) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan.

Page 203: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

194

Dalam konsep pembelajaran matematika realistik, matematika adalah suatu aktivitas manusia yang berhubungan dengan masalah kontekstual. Masalah kontekstual adalah masalah yang didasarkan atas pengalaman nyata siswa yang merupakan titik awal dalam pembelajaran (Widjaja, 2003). Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas Gravemeijer (1994:91) menyatakan “Mathematics is viewed as an activity, a way of working. Learning mathematics means doing mathematics, of which solving everyday life problem is an essential part”. Gravemeijer menjelaskan bahwa dengan memandang matematika sebagai suatu aktivitas maka belajar matematika berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari merupakan bagian penting dalam pembelajaran. Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Treffers (1991) dalam pernyataan berikut ini : “The key idea of RME is that children should be given the opportunity to reinvent mathematics under the guidance of an adult (teacher). In addition, the formal mathematical knowledge can be developed from children’s informal knowledge”. Dalam ungkapan di atas Treffers menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika realistik yang menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu, disebutkan pula bahwa pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali) berdasarkan pengetahuan informal yang dimiliki siswa. Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara pandang terhadap pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar pengetahuan informal yang dimilikinya. Dalam pandangan ini matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa namun lebih kepada sesuatu yang harus ditemukan siswa. Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (1991) menyebutkan dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal dengan penjelasan seperti berikut ini :“Horizontal mathematization involves going from the word of life into the world of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of symbol”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa matematisasi horisontal menyangkut proses transformasi masalah nyata/sehari-hari ke dalam bentuk simbol, sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian dan perumusan masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa, sedangkan contoh matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, serta perumusan model matematika dan penggeneralisasian. Lange (1987:101) mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik. Pengategorian keempat pendekatan tersebut didasarkan pada penekanan atau keberadaan dua aspek matematisasi (horisontal atau vertikal) dalam masing-masing pendekatan tersebut, seperti disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tabel Matematisasi Horisontal dan Vertikal dalam Pendekatan Matematika

Jenis Pendekatan Matematika Horizontal Matematika Vertikal Mekanistik - - Empristik + - Strukturalistik - + Realistik + +

Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu, sedangkan tanda “ −“ berarti kecil atau tidak ada sama sekali tekanan suatu jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu. Berdasarkan hal ini tampak bahwa pembelajaran

Page 204: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

195

matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal jika dibandingkan dengan tiga pendekatan yang lain. Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994:90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu (1) guided reinvention and progressive mathematizing, (2) didactical phenomenology, dan (3) self-developed models. a. Guided reinvention and progressive mathematizing Para siswa diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan langkah pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal. b. Didactical phenomenology Penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing. c. Self-developed models Saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya, melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa. Pada tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik berikut ini akan muncul dalam pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi (2001:3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:

1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.

2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.

3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.

4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.

5. Intertwining, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak. Langkah-langkah pembelajaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

(Harahap,2012:47) :

1. Memahami masalah kontekstual Pada langkah ini guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa. Selanjutnya guru meminta siswa untuk memahami masalah itu terlebih dahulu. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan konteks. Penggunaan konteks terlihat pada penyajian masalah kontekstual sebagai titik tolak aktivitas pembelajaran siswa.

Page 205: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

196

2. Menjelaskan masalah kontekstual Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami masalah kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah interaktif, yaitu terjadinya interaksi antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa, sedangkan prinsip guided reinvention setidaknya telah muncul ketika guru mencoba memberi arah kepada siswa dalam memahami masalah. 3. Menyelesaikan masalah kontekstual Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara individual berdasarkan kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan. Siswa mempunyai kebebasan menggunakan caranya sendiri. Dalam proses memecahkan masalah, sesungguhnya siswa dipancing atau diarahkan untuk berpikir menemukan atau mengonstruksi pengetahuan untuk dirinya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.

Pada tahap ini, dua prinsip pembelajaran matematika realistik yang dapat dimunculkan adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan self-developed models, sedangkan karakteristik yang dapat dimunculkan adalah penggunaan model. Dalam menyelesaikan masalah siswa mempunyai kebebasan membangun model atas masalah tersebut.

4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Pada tahap ini guru mula-mula meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Diskusi ini adalah wahana bagi sepasang siswa mendiskusikan jawaban masing-masing. Dari diskusi ini diharapkan muncul jawaban yang dapat disepakati oleh kedua siswa. Selanjutnya guru meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban yang dimilikinya dalam diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk atau memberikan kesempatan kepada pasangan siswa untuk mengemukakan jawaban yang dimilikinya ke muka kelas dan mendorong siswa yang lain untuk mencermati dan menanggapi jawaban yang muncul di muka kelas. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada tahap ini adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi antara siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa. Dalam diskusi ini kontribusi siswa berguna dalam pemecahan masalah. 5. Menyimpulkan Dari hasil diskusi kelas guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan mengenai pemecahan masalah, konsep, prosedur atau prinsip yang telah dibangun bersama. Pada tahap ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul adalah interaktif serta menggunakan kontribusi siswa. Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan pendekatan matematika realistik memiliki beberapa ciri, yaitu:

1. Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari (contextual problem) merupakan bagian yang esensial.

2. Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics). 3. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika di bawah bimbingan

orang dewasa (guru). 4. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari semua

aktivitas di kelas. 5. Aktivitas yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah kontekstual (looking for

problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter).

Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, yaitu:

1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.

Page 206: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

197

2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.

4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

Kesulitan dari pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, yaitu: 1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya

mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya pendekatan matematika realistik.

2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

Walaupun pada pendekatan matematika realistik memiliki kesulitan-kesulitan dalam upaya implementasinya, namun penulis optimis bahwa kendala-kendala tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini sangat tergantung dari upaya dan kemauan yang sungguh-sungguh dari guru, serta Respon siswa untuk menerapkannya pada kegiatan belajar mengajar di kelas kiranya berbagai kesulitan tersebut lambat laun dapat diatasi.

Berikut beberapa literatur tentang makna reality dan contect problem dalam pendekatan matematika realistik: 1. Freudenthal (1987) offers the guideline, "Mathematics should start and stay within common sense”.

He connects this with his idea of reality, which he defines as, “What common sense experiences as real”. He points out that What’s common sense for a layman is different from what’s common sense for a mathematician.

2. Gravemeijer (2010) complements the RME tries to relate with the experiential reality of the students. About term, ‘real’ in ‘realistic’ has to be understood as real in the sense of being meaningful for the students. Therefore, the choice of realistic problems plays a very important role.

3. Panhuizen (1996) offered two requirements of problem in RME, problems must be meaningful and informative. In order for problem to be meaningful, the context problem must be obvious to the students why an answer to a give question is required. Meaningful also respect to subject matter, it cover the entire breadth and depth of the mathematical area. Another requirement is informative. It means the problem must be as clear as possible to the student and the students must have the opportunity to give their own answers in their own words. They can solve in different ways/strategies and different levels. (Johar dan Afrina, 2011).

Page 207: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

198

METODE PENELITIAN A. Setting Penelitian Setting dalam penelitian ini meliputi tempat penelitian, waktu penelitian, dan siklus penelitian yang direncanakan. 1. Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas. Populasi adalah seluruh siswa kelas XI SMK-PP Negeri Saree tahun ajaran 2013/2014 dengan mengambil sampel satu kelas melalui teknik purposive sampling dari delapan kelas yang tersedia. Kelas yang terpilih adalah kelas XI-B1 yang terdiri dari 22 siswa, 13 siswa laki-laki dan 9 siswa perempuan. Kelas XI-B1 adalah kelas pada program studi Agribisnis Ternak Ruminansia (ATR). Pemilihan sekolah dan kelas XI-B1 sebagai tempat penelitian karena penulis sebagai pengajar pada sekolah dan kelas tersebut. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap (empat) tahun ajaran 2013/2014, yaitu pada bulan Februari 2014. Penentuan waktu PTK karena bersesuaian dengan diajarkannya materi bangun datar segi empat. 3. Siklus PTK Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan, yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (acting), observasi (observing), dan refleksi (reflecting). Hasil refleksi dijadikan dasar untuk membuat keputusan perbaikan pada siklus berikutnya. B. Persiapan PTK Sebelum PTK dilaksanakan dirancang beberapa instrumen yang akan digunakan untuk menunjang perlakuan yang akan diberlakukan pada PTK, yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan dijadikan PTK. RPP yang disusun memilki kompetensi dasar (KD) “ Menentukan luas dan keliling bangun datar segi empat”. Selain itu juga dibuat perangkat pembelajaran yang berupa: 1. Rencana Pembelajaran yang sesuai dengan SK dan KD pada materi berkaitan. 2. Lembar Kerja Siswa (LKS) yang digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran. 3. Lembar observasi. 4. Lembar evaluasi. C. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas XI-B1 SMK-PP Negeri Saree yang terdiri dari 13 siswa laki-laki dan 9 siswa perempuan. D. Sumber Data Sumber data dalam data ini terdiri dari beberapa sumber, yakni :

1. Siswa Data dari siswa digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai hasil belajar dan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar.

2. Guru Untuk melihat tingkat keberhasilan implementasi pendekatan matematika realistik hasil belajar, serta aktivitas dalam proses pembelajaran.

3. Teman sejawat dan Kolaburator Teman sejawat dan kolaborator dimaksudkan sebagai sumber data untuk melihat implementasi PTK secara konferenhensif baik dari siswa maupun guru (trianggulasi data).

E. Teknik dan Alat Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tes, observasi, dan diskusi. a. Tes; digunakan untuk mendapatkan data tentang hasil belajar siswa. b. Observasi; digunakan untuk mengumpulkan data tentang partisipasi siswa dalam proses belajar

mengajar dan penerapan pendekatan matematika realistik. c. Diskusi; kegiatan diskusi melibatkan teman sejawat sebagai kolaborator untuk refleksi hasil pada

setiap siklus dalam PTK.

Page 208: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

199

2. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpul data dalam penelitian ini meliputi tes, observasi, dan diskusi sebagaimana berikut ini : a. Tes: menggunakan butir soal untuk mengukur hasil belajar siswa. b. Lembar observasi: untuk mengukur tingkat partisipasi siswa dalam proses belajar menggunakan

pendekatan matematika realistik. c. Diskusi: untuk melihat keaktifan siswa dalam kelompok. F. Indikator Kinerja Dalam penelitian ini akan dilihat indikator kinerjanya selain siswa adalah guru, karena guru merupakan fasilitator yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan siswa. 1. Siswa

a. Tes: rata-rata nilai ulangan harian. b. Observasi: keaktifan siswa dalam proses belajar dengan menggunakan pendekatan matematika realistik.

2. Guru a. Dokumentasi: kehadiran siswa b. Observasi: hasil observasi

G. Analisis Data Data yang dikumpulkan pada setiap kegiatan observasi dari pelaksanaan siklus diananalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknik persentase untuk melihat kecenderungan yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran.

1. Hasil belajar: dengan menganalisis nilai rata-rata ulangan harian, kemudian dikategorikan dalam kategori tuntas ataupun tidak tuntas.

2. Aktifitas siswa dalam proses belajar menggunakan pendekatan matematika realistik.. 3. Implementasi pendekatan matematika realistik: dengan menganalisis tingkat keberhasilan

penerapan pendekatan matematika realistik dalam pembelajaran kemudian dikategorikan dalam klasifikasi berhasil atau tidak berhasil.

H. Prosedur penelitian Siklus 1 Siklus pertama dalam PTK ini terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi sebagai berikut. 1. Perencanaan(Planing)

a. Tim melakukan analisis kurikulum untuk mengetahui kompetensi dasar yang akan disampaikan kepada siswa dengan menggunakan pendekatan matematika realistik.

b. Membuat RPP dengan menggunakan pendekatan matematika realistik. c. Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS). d. Membuat instrumen yang digunakan dalam siklus PTK. e. Menyusun alat evaluasi dalam PTK..

2. Pelaksanaan (Acting). a. Menyajikan langkah-langkah pembelajaran. b. Membagikan LKS sebagai bahan diskusi. c. Dalam diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan

dan membantu siswa yang kesulitan memahami permasalahan. d. Siswa mempresentasikan hasil kerjanya dan memaparkan kesulitan yang dihadapi saat

menyelesaikan masalah yang dihadapi. e. Siswa diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan. f. Penguatan dan penarikan kesimpulan secara bersama-sama.

3. Pengamatan (Observation) Pengamatan dan observasi dilakukan selama kegiatan belajar mengajar meliputi : a. Situasi kegiatan belajar mengajar b. Keaktifan siswa

Page 209: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

200

c. Komunikasi siswa dalam kegiatan pembelajaran. 4. Refleksi (Reflecting)

Penerapan pendekatan matematika realistik dalam PTK ini berhasil apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : a. Sebagian besar (75%) dari siswa terlibat aktif dalam mengerjakan tugas yang diberikan. b. Sebagian besar (75%) dari siswa dapat memodelkan masalah nyata ke dalam bentuk

matematika (bangun datar segi empat). c. Sebagian besar (75%) dari siswa berani menanggapi dan mengemukakan pendapat tentang

jawaban siswa lain. d. Sebagian besar siswa (75%) dapat menyelesaikan masalah diberikan dengan benar.

Siklus 2 1. Perencanaan Peneliti bersama kolaborator membuat rencana pembelajaran berdasarkan hasil refleksi pada siklus pertama. 2. Pelaksanaan (Acting) Guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik berdasarkan rencana pembelajaran yang telah disusun dan mengadakan perbaikan berdasarkan hasil refleksi pada siklus 1. 3. Pengamatan (Observation) Pengamatan dan observasi dilakukan selama kegiatan belajar mengajar meliputi : a. Situasi kegiatan belajar mengajar. b. Keaktifan siswa. c. Kemampuan siswa dalam diskusi untuk penyelesaian soal.

4. Refleksi (Reflecting) Peneliti bersama kolaborator melakukan refleksi terhadap pelaksanaan siklus kedua dan menganalisis untuk.membuat kesimpulan atas pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dalam peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan aktivitas siswa dalam materi bangun datar segi empat di SMK-PP Negeri Saree. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dalam PTK ini diuraikan dalam tahapan pencapaian yang berupa siklus-siklus pembelajaran yang dilakukan dalam proses pembelajaran di kelas. Dalam penelitian ini pembelajaran dilakukan dalam dua siklus sebagaimana yang diuraikan berikut ini : A. Siklus Pertama (dua pertemuan) Siklus pertama terdiri dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi seperti berikut. 1. Perencanaan (Planning) a. Tim melakukan analisis kurikulum untuk mengetahui kompetensi dasar yang akan

disampaikan kepada siswa dengan menggunakan lembar kerja dalam pembelajaran yang akan diajarkan dengan pendekatan matematika realistik.

b. Membuat rencana pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik. c. Membuat lembar kerja siswa. d. Membuat instrumen yang digunakan dalam siklus PTK. e. Menyusun alat evaluasi pembelajaran. 2. Pelaksanaan (Acting) Pada siklus pertama pelaksanaan pembelajaran belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena: a. Sebagian besar siswa tidak terbiasa dengan soal-soal yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi

matematis secara mandiri sehingga mereka tidak mampu menemukan konsep yang diinginkan. b. Sebagian besar siswa belum memahami langkah-langkah pendekatan matematika realistik. Untuk mengatasi masalah di atas dilakukan upaya sebagai berikut:

Page 210: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

201

a. Guru memberi pengertian dan arahan kepada siswa untuk memahami langkah-langkah pendekatan matematika realistik terhadap suatu konsep.

b. Guru membantu siswa untuk mampu menemukan konsep yang diinginkan melalui pendekatan matematika realistik.

Pada akhir siklus pertama dari hasil pengamatan guru dan pengamatan teman sejawat (kolaburator) dapat disimpulkan: a. Siwa mulai belajar untuk menjawab soal-soal kemampuan komunikasi matematis dengan

menggunakan pendekatan matematika realistik. b. Siswa mulai terbiasa menemukan konsep yang diinginkan melalui pendekatan matematika

realistik. c. Siswa mampu mengaitkan informasi yang diberikan pada soal untuk menjawab soal-soal kemampuan komunikasi matematis. 3. Observasi dan Evaluasi a. Hasil observasi terhadap kemampuan siswa menjawab soal-soal kemampuan komunikasi

matematis dengan pendekatan matematika realistik dalam proses belajar mengajar selama siklus pertama dapat dilihat dalam Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa pada Siklus I No Nama Siswa Nilai Ketuntasan Belajar 1 Alza Mendi Fahrizi 75 Tuntas 2 Dewi Saputri 30 Tidak Tuntas 3 Di Ikhwal Maulana 35 Tidak Tuntas 4 Ilham Dayu Setiawan 50 Tidak Tuntas 5 Khairunnisa 45 Tidak Tuntas 6 Khairul Ikhsan 55 Tidak Tuntas 7 Kiki Rizki Ramadhan 60 Tidak Tuntas 8 Lia Zulfida 75 Tuntas 9 Lukman Hakim 60 Tidak Tuntas 10 Mahriadi 45 Tidak Tuntas 11 Maulid Wahyuni 50 Tidak Tuntas 12 Mauliga Triyoga 55 Tidak Tuntas 13 Muhammad Taufiq 60 Tidak Tuntas 14 Nanda Rizki 50 Tidak Tuntas 15 Novira Chairuni 55 Tidak Tuntas 16 Putra Fachrizal 40 Tidak Tuntas 17 Rahmatullah 40 Tidak Tuntas 18 Raja Saiful Azmi 70 Tuntas 19 Rizki Insani 70 Tuntas 20 Siti Mardiah 50 Tidak Tuntas 21 Ummi Kalsum 60 Tidak Tuntas 22 Wildaturrahmi 50 Tidak Tuntas Jumlah 1.180 Rataan 53,64

Page 211: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

202

Grafik 4.1 Perbandingan Jumlah Siswa yang Mencapai Nilai Tuntas danTidak Tuntas dalam PBM Siklus 1

Grafik 4.2 Persentase Jumlah Siswa yang Mencapai Nilai Tuntas dan Tidak Tuntas dalam PBM Siklus 1

b. Hasil Observasi Siklus 1. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung dapat dilihat melalui lembar observasi. Lembar observasi ini diharapkan mendapatkan informasi tentang aktivitas siswa dalam kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik. Dalam pembelajaran peneliti dibantu oleh dua orang guru matematika yang masing-masing bertugas sebagai observer dan membantu mengambil publikasi pembelajaran di dalam kelas. Pada hari pertama suasana di kelas masih kacau dan siswa masih bingung. Hal ini mungkin dikarenakan siswa belum pernah mendapat pembelajaran yang sedang berlangsung, siswa merasa pembelajaran yang mereka terima pada hari itu berbeda dengan pembelajaran yang mereka terima sebelumnya. Melihat suasana seperti itu, guru memberikan apersepsi dan motivasi kepada siswa. Pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik memberikan nuansa yang baru bagi siswa untuk belajar matematika, kegiatan pembelajaran pada kelas ini dilaksanakan dengan cara diskusi kelompok dan diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS). Lembar kerja ini membuat siswa termotivasi untuk belajar matematika dengan aktif tanpa membosankan dan saling memberi pendapat dan tanggapan untuk menyelesaikan permasalahan dalam LKS. Siswa juga diberi kesempatan untuk bertanya dan bertukar pikiran dengan teman dari kelompok lain. Dalam kelas siswa merasa terpacu untuk mengikuti pembelajaran, mereka juga merasa tertantang dengan permasalahan yang diberikan. Namun demikian guru juga terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran dengan cara menyampaikan kepada siswa bagaimana cara mereka mempelajari bahan ajar dan tujuan yang ingin dicapai pada permasalahan ini. Untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, peneliti menganalisis untuk masing-masing pertemuan. Penilaian aktivitas ini dikategorikan dengan lima

0

5

10

15

20

Tuntas

Tidak Tuntas

18%

82%

Tuntas Tidak Tuntas

Page 212: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

203

kategori penilaian yaitu tidak pernah (1), jarang (2), ragu-ragu (3), sering (4), dan selalu (5). Selanjutnya dihitung persentase dengan menggunakan rumus :

Persentase = ������ ��

�� �� ��� x 100 %

Aktivitas siswa pada siklus I terhadap pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik seperti pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Lembar Obsevasi Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa Selama

Proses Pembelajaran Pada Siklus I

NO

Aspek yang Diamati

Skor Setiap Pertemuan

Rata-rata

Persentase Aktifitas(%)

1 2 1. Siswa merespon dan mengeksplorasi semua aktivitas

dalam pembelajaran 2 2 2 40

2. Siswa aktif mendengarkan selama kegiatan pembelajaran

2 3 2,5 50

3. Siswa berusaha keras mengerjakan soal yang diberikan 2 2 2 40 4. Siswa berani untuk mengajukan pendapat 2 3 2,5 50 5. Siswa berani untuk mempertahankan pendapat 2 2 2 40 6. Siswa berani untuk menjawab pertanyaan 2 2 2 40 7. Siswa saling tukar informasi dalam kelompok untuk

memecahkan permasalahan 2 3 2,5 50

8. Siswa saling bekerjasama dalam kelompok 2 2 2 40 9. Siswa mendengarkan penjelasan guru 3 3 3 60 1o. Siswa mencatat pelajaran 3 4 3,5 70

c. Hasil Evaluasi Siklus 1. Ketuntasan Hasil Belajar Siswa. Pada siklus pertama ini penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan sangat rendah dari skor ketuntasan belajar yang diharapkan yaitu 67, skor perolehan rata-rata hanya mencapai 53,64 secara klasikal dengan hanya 4 (18%) siswa yang mampu mencapai nilai tuntas, sedangkan 18 (82%) siswa tidak mencapai ketuntasan belajar. 4. Refleksi dan Perencanaan Ulang Adapun keberhasilan dan kegagalan yang terjadi pada siklus pertama ini adalah sebagai berikut: a. Guru belum terbiasa dengan metode pembelajaran sehingga suasana pembelajaran belum mengarah

pada situasi belajar dengan menggunakan pendekatan matematika realistik. b. Siswa belum terbiasa dengan pembelajaran matematika menggunakan pendekatan matematika

realistik sehingga siswa merasa kesulitan memahami dan menemukan penyelesaian yang diinginkan berdasarkan soal yang diberikan.

c. Hasil belajar siswa pada siklus pertama ini masih rendah yaitu dengan rataan sebesar 53,64. Dengan hanya 4 (18%) siswa yang mencapai nilai tuntas maka siklus pertama dikatakan belum berhasil, karena ketuntasan kelas yang diinginkan harus mencapai 75% dari seluruh jumlah siswa yang ada.

d. Sebagian besar siswa belum mampu menemukan konsep yang diinginkan dalam menyelesaikan soal.

e. Ketidakmampuan siswa menemukan konsep yang diinginkan menjadikan siswa tidak mampu menyelesaikan soal dengan baik.

Untuk memperbaiki kelemahan dan meningkatkan keberhasilan yang telah diperoleh pada siklus pertama, maka pada pelaksanaan siklus kedua selanjutnya dibuat perencanaan sebagai berikut: a. Memberikan bimbingan yang lebih besar kepada siswa yang kesulitan dalam menyelesaikan

masalah.

Page 213: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

204

b. Lebih intensif membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam menemukan konsep yang diinginkan.

c. Lebih meningkatkan memberi pengakuan dan penghargaan kepada siswa yang mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang benar.

B. Siklus Kedua (dua pertemuan) Sama halnya dengan siklus pertama, siklus kedua juga terdiri dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. 1. Perencanaan (Planning) Perencanaan pada siklus kedua berdasarkan perencanaan kembali (replanning) dari siklus pertama, yaitu: a. Memberikan motivasi kepada siswa agar lebih aktif dalam pembelajaran b. Lebih intensif membimbing siswa yang mengalami kesulitan c. Membuat perangkat pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika yang lebih mudah

dipahami siswa 2. Pelaksanaan (Acting) a. Suasana pembelajaran di kelas sudah mengarah kepada pembelajaran dengan pendekatan

matematika realistik. Materi dan soal yang diberikan dapat mengarahkan siswa untuk menjawab soal-soal kemampuan komunikasi matematis.

b. Sebagian besar siswa lebih aktif bertanya dan menanggapi hasil yang diperoleh dengan melakukan diskusi dengan siswa lain.

c. Siswa mampu mengaitkan apa yang telah diketahui sebelumnya untuk menemukan penyelesaian dari soal yang diberikan.

d. Suasana kelas (pembelajaran) berlangsung aktif dan menyenangkan. 3. Observasi dan Evaluasi

a. Hasil observasi terhadap kemampuan siswa menjawab soal-soal kemampuan komunikasi matematis dalam proses belajar mengajar selama siklus kedua dapat dilihat dalam Tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 Hasil Belajar Siswa pada Siklus Kedua No Nama Siswa Nilai Ketuntasan Belajar 1 Alza Mendi Fahrizi 95 Tuntas 2 Dewi Saputri 60 Tidak Tuntas 3 Di Ikhwal Maulana 75 Tuntas 4 Ilham Dayu Setiawan 70 Tuntas 5 Khairunnisa 80 Tuntas 6 Khairul Ikhsan 65 Tidak Tuntas 7 Kiki Rizki Ramadhan 80 Tuntas 8 Lia Zulfida 85 Tuntas 9 Lukman Hakim 70 Tuntas 10 Mahriadi 70 Tuntas 11 Maulid Wahyuni 85 Tuntas 12 Mauliga Triyoga 80 Tuntas 13 Muhammad Taufiq 75 Tuntas 14 Nanda Rizki 80 Tuntas 15 Novira Chairuni 80 Tuntas 16 Putra Fachrizal 75 Tuntas 17 Rahmatullah 80 Tuntas 18 Raja Saiful Azmi 90 Tuntas 19 Rizki Insani 90 Tuntas 20 Siti Mardiah 80 Tuntas 21 Ummi Kalsum 85 Tuntas

Page 214: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

205

22 Wildaturrahmi 80 Tuntas Jumlah 1.730 Rataan 78,64

Grafik 4.3 Perbandingan Jumlah Siswa yang Mencapai Nilai

Tuntas danTidak Tuntas dalam PBM Siklus II

Grafik 4.4 Persentase Jumlah Siswa yang Mencapai Nilai Tuntas dan Tidak Tuntas dalam PBM Siklus II

b. Hasil Observasi Siklus II Aktivitas siswa pada siklus I terhadap pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik

seperti pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Lembar Obsevasi Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa Selama

Proses Pembelajaran Pada Siklus II NO

Aspek yang Diamati

Skor Setiap Pertemuan

Rata-rata

Persentase Aktifitas (%)

1 2 1. Siswa merespon dan mengeksplorasi semua aktivitas

dalam pembelajaran 4 4 4 80

2. Siswa aktif mendengarkan selama kegiatan pembelajaran

4 5 4,5 90

3. Siswa berusaha keras mengerjakan soal yang diberikan 3 4 3,5 70 4. Siswa berani untuk mengajukan pendapat 3 4 3,5 70 5. Siswa berani untuk mempertahankan pendapat 3 4 3,5 70 6. Siswa berani untuk menjawab pertanyaan 4 4 4 80 7. Siswa saling tukar informasi dalam kelompok untuk

memecahkan permasalahan 4 4 4 80

8. Siswa saling bekerjasama dalam kelompok 4 5 4,5 90

20

0

10

20

30

Tuntas

Tidak Tuntas

91%

9%

Tuntas

Tidak Tuntas

Page 215: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

206

9. Siswa mendengarkan penjelasan guru 4 5 4,5 90 1o. Siswa mencatat pelajaran 4 5 4,5 90

c. Hasil Evaluasi siklus II. Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Terhadap Materi Pembelajaran. Pada siklus kedua ini penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan sudah mencapai nilai yang lebih baik dari skor ideal yang diharapkan yaitu 67. Skor perolehan rata-rata mencapai 78,64 dengan hanya 2 (9%) siswa yang belum mampu mencapai nilai tuntas sementara 20 (91%) siswa telah mencapai nilai ketuntasan. Hal ini sekaligus telah mencapai nilai ketuntasan belajar secara klasikal. 4. Refleksi Adapun keberhasilan dan yang diperoleh selama berlangsungnya siklus kedua ini adalah sebagai berikut : a. Aktifitas siswa dalam pembelajaran sudah mengarah pada pembelajaran matematika dengan

pendekatan matematika realistik. Siswa menunjukkan keberhasilan dalam menemukan konsep matematika berdasarkan soal-soal kemampuan komunikasi yang diberikan. Siswa juga mampu memgomunikasikan informasi yang terdapat dalam soal dan mencari keterkaitannya untuk menentukan konsep matematika yang diinginkan. Hal ini diperkuat dengan hasil observasi terhadap aktivitas siswa yang menunjukkan peningkatan dari siklus pertama ke siklus kedua.

b. Meningkatnya aktifitas siswa juga berimbas pada hasil evaluasi yang meningkat pada siklus kedua ini. Dari nilai rataan 53,64 pada siklus pertama meningkat menjadi 78,64 pada siklus kedua dengan 20 (91%) siswa mencapai nilai tuntas sementara hanya 2 (9%) siswa yang belum mencapai ketuntasan. Maka dapat dikatakan pada siklus kedua pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik sudah berhasil.

c. Secara umum pendekatan matematika realistik yang dilakukan pada siklus kedua ini berhasil dengan baik pada materi bangun datar segi empat.

PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik dapat

meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan ketuntasan secara klasikal pada materi bangun datar segi empat.

2. Penguasaan siswa terhadap materi bangun datar segi empat dengan pendekatan matematika realistik secara umum terjadi peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata hasil ulangan siklus I sebesar 53,64 manjadi 78,64 pada siklus II.

3. Penerapan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar.

4. Berdasarkan hasil observasi memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas siswa. 5. Melalui pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, siswa membangun sendiri

kemampuan untuk menemukan penyelesaian dari penyelesaian soal yang diberikan. 6. Dengan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik pada materi bangun datar segi empat

pembelajaran menjadi menyenangkan. B. Saran Dari hasil penelitian, pembahasan, dan simpulan, ditemukan beberapa saran, antara lain: 1. Pelaksanaan penelitian sebaiknya tidak hanya dilakukan pada satu sekolah saja. 2. Materi matematika yang dikembangkan dalam penelitian tidak terdiri dari satu standar

kompetensi. 3. Kemampuan matematis yang diukur tidak hanya kemampuan komunikasi matematis saja, tetapi

mengukur kemampuan matematis yang lain, seperti kemampuan matematis pemahaman, penalaran, pemecahan masalah, koneksi, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.

Page 216: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

207

4. Pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik terbukti dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Dengan demikian pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik sebaiknya diterapkan di lapangan.

5. Bagi peneliti selanjutnya agar menelaah kelemahan pembelajaran ini dan mengkaji bagaimana pengaruhnya pada kemampuan matematis yang lain.

6. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya memperhatikan efektivitas waktu mengingat pada pelaksanaannya, pembelajaran tidak sesuai dengan waktu yang direncanakan.

DAFTAR PUSTAKA Ansari, B.I. (2012). Komunikasi Matematik dan Politik. Banda Aceh: peNA. Fauzan, A. (2007). PMRI dan Masalah Kontekstual. Makalah Seminar dan Workshop Pendidikan

Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di Universitas Negeri Medan (UNIMED), tanggal 2 - 4 Juli 2007.

Frudenthal, H. (1991). Revisiting Mathematics Education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

Graveimeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Netherland: Technicpress. Greenes, C., & Schilman, L. (1996). Communication Processes in Mathematical Exploration and

Investigation in Mathematics, K - 12 and Beyond. Virginia: NCTM. Harahap, S.A. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpkir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa

melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Tesis magister, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Medan.

Lacoe (Los Angeles Country office of Education). Communication. http:// teams. Lacoe. edu. 2009 Lange, J.D. (1987). Mathematics, Insight and Meaning. Utrecht: OU & OC. Lange, J.D. (1996). Using and Applying Mathematics in Education. Dalam bishop, A. J., et al.

International Handbook of Mathematics education (PP. 49 – 97). London: Kluwer Academic publisher.

National Council of Teacher of Mathematics (1996). Communication in Mathematics. Virginia: Reston.

Pidarta, M. (2004). Manajemen Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Saputra, E. (2012). Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Anchored Instruction terhadap

Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Self-Concept Siswa. Tesis magister, tidak diterbitkan, Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, Erman, dkk. (2001). Proses dan Hasil Belajar Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka. Suherman, Erman, dkk (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. Sumarmo, U. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah

Menengah. Bandung: FPMIPA UPI. Treffers, A. (1991). Didactical Ground of a Mathematics Program for Primary education. In

Streefland, L., (eds), Realistic Mathematics Education in Primary School: Utrecht Institute. Usman, H. (2001). Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju Sistem

Desentralistik. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 8, Nomor 1. Van den Heuvel-Panhuizen, M. (1985). Assesment and Realistic Mathematics Education. Freudenthal

Institute: Untrecht University. Van den Heuvel-Panhuizen, M. (2003). The Didactical Use of Models in Realistic Mathematics

Education: An example from a longitudinal trajectory on persentage. Educational Studies in Mathematics, 54: 9 – 35.

Page 217: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

208

Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika melalui Model Learning Cycle “5e” di Kelas VIII SMP Plus Al-‘Athiyah Aceh Besar

Suhartati

2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Mail: [email protected]

ABSTRAK: Pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran matematika. Sementara itu masih banyak siswa di SMP Plus Al-Athiyah yang kesulitan dalam melakukan pemecahan masalah matematika. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian dengan fokus masalah bagaimana kemampuan siswa memecahkan masalah matematika melalui model pembelajaran Learning Cycle “5E” di kelas VIII SMP Plus Al-‘Athiyah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP Plus Al-Athiyah kelas VIII melalui penerapan model Learning Cycle “5E”. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIIB yang berjumlah 27 siswa. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode kuasi eksperimen. Desain yang digunakan adalah one-shot case study design. Kemampuan pemecahan masalah yang diukur dalam penelitian ini meliputi empat aspek, yaitu 1) memahami masalah, 2) merencanakan penyelesaian masalah, 3) menyelesaikan masalah, dan 4) mengiterpretasikan hasil. Data pada penelitian ini diperoleh melalui tes dan wawancara. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa: Kemampuan pemecahan masalah matematika oleh siswa kelas VIII SMP Plus Al-‘Athiyah berada pada katagori rendah. Kemampuan pemecahan masalah ditinjau dari masing-masing aspek adalah sebagai berikut: (a) kemampuan mengindentifikasi masalah berada pada kategori baik, (b) kemampuan merencanakan penyelesaian masalah sebesar berada pada kategori kurang, (c) kemampuan menyelesaikan masalah berada pada kategori kurang, dan (d) kemampuan mengecek kembali solusi yang diperoleh berada pada kategori kurang. Kata Kunci: bangun ruang, learning cycle, pemecahan masalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu kajian dalam pembelajaran matematika di sekolah adalah pemecahan masalah matematika. Pemecahan masalah (problem solving) matematika lebih ditekankan pada cara memecahkan masalah dan pemrosesan informasi matematika. Biasanya dalam pemecahan masalah (problem solving), masalahnya bersifat non-rutin yaitu apabila siswa diberikan masalah tersebut, siswa tidak langsung dapat menyelesaikannya dengan prosedur-prosedur matematika yang telah ada, sehingga siswa harus mencari strategi-strategi untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk itu, siswa harus menguasai cara mengaplikasikan konsep dan keterampilan yang dimilikinya.

Strategi problem solving memiliki tahap fokus pada masalah, mengaitkan permasalahan dengan konsep matematika, merencanakan solusi, menjalankan rencana penyelesaian dan menafsirkan dan evaluasi solusi. Polya dkk dalam Johar (2011:5) menyatakan bahwa beberapa strategi dalam pemecahan masalah yaitu mengabaikan hal yang tidak mungkin (ignore the impossible thing), membuat gambar (draw a picture), mencobakan pada soal yang lebih sederhana (look for similar problem), dan coba-coba (trial and error).

Sementara itu kemampuan siswa di SMP Plus Al-‘Athiyah dalam pemecahan masalah matematika masih relatif rendah. Kegiatan pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas masih berpusat pada guru dengan kebiasaan-kebiasaan rutin yaitu guru menjelaskan dan memberikan contoh soal dan kemudian memberikan latihan mengerjakan soal. Sedangkan siswa cenderung pasif mendengarkan, menyimak dan mencatat penjelasan yang diberikan guru.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Salah satunya dengan model pembelajaran learning cycle “5E”. Learning cycle merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa serta didasarkan pada pandangan konstruktivisme di mana pengetahuan dibangun dari pengetahuan siswa itu sendiri. Djumhuriyah (2008:86) menjelaskan bahwa pada mulanya model ini terdiri dari tiga tahap, yaitu exploration, concep interduction dan concep aplication. Tiga tahap terebut saat ini berkembang menjadi lima tahap yang terdiri atas engagement, exploration, explanation, elaboration serta evaluation. Learning cycle dengan lima tahap ini dikenal dengan learning cycle “5E”.

Pada tahap elaboration, siswa secara individu maupun kelompok, berlatih menerapkan

Page 218: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

209

konsep yang telah mereka peroleh sebelumnya untuk memecahkan masalah. Hal ini membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, dalam hal ini adalah masalah matematika. Artinya, tiga tahap sebelumnya bertujuan mengantar siswa untuk mampu memecahkan masalah matematika. 1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kemampuan siswa memecahkan masalah matematika melalui model pembelajaran learning cycle “5E” di kelas VIII SMP Plus Al-‘Athiyah Aceh Besar? 1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan siswa memecahkan masalah matematika melalui penerapan model learning cycle “5E” pada materi bangun ruang. II. Tinjauan Teoretis 2.1 Model Learning Cycle “5E”

Learning cycle (siklus belajar) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (student centered). Learning cycle merupakan tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif (Fajaroh dan Dasna, 2008:26). Wena (2009:170) menuturkan learning cycle “5E” merupakan salah satu model pembelajaran terdiri dari lima tahap yaitu sebagai berikut: a. Pembangkitan Minat (Engagement).

Pada tahap ini guru berusaha memotivasi siswa dengan cara mengajukan pertanyaan dalam kehidupan sehari-hari (yang berhubungan dengan topik pembahasan). Dari jawaban siswa, guru melakukan identifikasi ada/tidaknya kesalahan konsep pada siswa.

b. Eksplorasi (Exploration) Pada tahap eksplorasi dibentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2 sampai 4 siswa, kemudian diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok kecil tanpa pembelajaran langsung dari guru. Guru berperan sebagai fasilitator dan motivator.

c. Penjelasan (Explanation). Siswa menjelaskan suatu konsep dengan kalimat/pemikiran sendiri, membuktikan, dan saling mendengar secara kritis penjelasan antar siswa atau guru. Dengan adanya diskusi tersebut, guru memberi definisi dan penjelasan tentang konsep yang dibahas, dengan memahami penjelasan siswa terdahulu sebagai dasar diskusi

d. Elaborasi (elaboration) Siswa menerapkan konsep dan keterampilan dalam situasi baru yaitu problem solving. Dengan demikian, siswa akan dapat belajar secara bermakna, karena telah dapat menerapkan/mengaplikasikan konsep yang baru dipelajarinya dalam situasi baru.

e. Evaluasi (Evaluation) Pada tahap evaluasi, guru dapat mengamati pengetahuan atau pemahaman siswa dalam menerapkan konsep baru dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep atau kompetensi siswa melalui problem solving.

Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa learning cycle merupakan strategi jitu bagi pembelajaran di sekolah menengah karena dapat ilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Menurut Fajaroh dan Dasna (2007:53) penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran, meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan sikap ilmiah siswa dan pembelajaran menjadi lebih bermakna.

2.4 Pemecahan Masalah Matematika

Menurut Johar dkk (2006:118), metode problem solving (pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar, tetapi merupakan suatu metode berpikir. Metode ini mendorong anak didik untuk berpikir secara sistematik dengan menghadapkannya pada problem-problem. Jika anak didik telah terlatih dengan metode ini, mereka diharapkan dapat menggunakannya dalam situasi problematik dalam hidupnya.

Polya (dalam Suherman, 2003:91), mengemukakan bahwa pemecahan masalah memuat

Page 219: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

210

empat langkah, yaitu: 1. Memahami masalah

Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Hudojo(2003:162) menambahkan bahwa tahap ini meliputi beberapa komponen,yaitu: a) Identifikasi apa yang diketahui dari masalah tersebut b) Identifikasi apa yang hendak dicari c) Mengabaikan hal-hal yang tidak relevan dengan permasalahan

2. Merencanakan penyelesaian masalah. Kemampuan ini sangat tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Semakin bervariasi pengalaman siswa, ada kemungkinan siswa akan semakin kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian masalah. Menurut Hudojo (2003: 163) Dalam merencanakan pemecahan masalah, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan siswa, antara lain: a) Membuat tabel, grafik atau diagram b) Menyederhanakan permasalahan dengan membagi menjadi bagian-bagian c) Menggunakan rumus d) Menyelesaikan masalah yang ekuivalen e) Menggunakan informasi yang diketahui untuk mengembangkan informasi baru

3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana. Jika rencana penyelesaian masalah telah dibuat, baik secara tertulis maupun tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat.

4. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Dengan langkah terakhir ini, maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan. Terdapat empat komponen untuk mereviu suatu penyelesaian, yakni: a) Cek kembali hasilnya b) Mengintepertasikan jawaban yang telah diperoleh c) Mencoba cara lain untuk memperoleh jawaban yang sama d) Mengecek apakah ada kemungkinan penyelesaian lain dalam permasalahan yang kita

selesaikan. Kemampuan masing-masing siswa dalam menyelesaikan masalah berbeda-beda, namun

demikian kemampuan ini dapat ditingkatkan. Menurut Van de Walle (dalam Wulandadi, 2007: 19), terdapat beberapa aspek dalam diri siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang kemampuannya dalam memecahkan masalah, di antaranya adalah strategi pemecahan masalah, serta keyakinan dan perilaku siswa terhadap matematika yang mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguhan danketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah antara lain: 1. kemampuan memahami ruang lingkup masalah dan menemukan informasi yang relevan

guna memperoleh solusi 2. kemampuan dalam memilih strategi yang akan digunakan dalam pemecahan masalah 3. kemampuan berpikir yang fleksibel dan objektif 4. keyakinan yang positif tentang belajar matematika 5. perilaku siswa yang positif, mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguhan dan ketekunan

siswa dalam mencari pemecahan masalah 6. latihan-latihan soal pemecahan masalah.

III. METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Kualitatif. Adapun desain dalam penelitian ini adalah one- shot case study. Menurut Arikunto (2006:84), desain ini termasuk ke dalam pre eksperimental design atau sering juga disebut quasi eksperimen. Subjek penelitian adalah 27 siswa dari kelas VIII-B SMP Al-‘Atiyah Aceh Besar.

Data yang dikumpulkan adalah data kemampuan siswa memecahkan masalah matematika setelah proses pembelajaran dengan learning cycle “5E” . Data ini diperoleh melalui tes hasil belajar dan wawancara. Selama pembelajaran berlangsung dilakukan pengamatan agar pemebelajaran sesuai dengan tahapan learning cycle “5E”. Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan dilakukan analisis deskriptif kualitatif untuk menentukan kemampuan siswa memecahkan masalah. Kemampuan siswa memecahkan masalah dikelompokkan berdasarkan 4 aspek yaitu 1) memahami masalah, 2) merencanakan penyelesaian masalah, 3) menyelesaikan

Page 220: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

211

masalah, dan 4) pengecekan kembali solusi yang diperoleh (mengiterpretasikan hasil). Kategori ini berdasarkan tahapan pemecahan masalah matematika menurut Polya. Sedangkan tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dekelompokkan sesuai dengan kategori yang dikemukakan Arikunto ( 2006:18), yaitu sebagai berikut: Tabel 3.1 Kategori Kemampuan Siswa

Persentase Kemampuan Kategori 80 < � ≤ 100 Baik sekali 60 < � ≤ 80 Baik 40 < � ≤ 60 Cukup 20 < � ≤ 40 Kurang 0 ≤ � ≤ 20 Kurang sekali

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

Hasl penelitian yang diperoleh berupa hasil tes setelah pembelajaran dengan Learning Cycle “5E” , dan hasil wawancara terhadap siswa tentang proses pemecahan masalah yang mereka lakukan. 4.1.1 Hasil Tes Setelah Pembelajaran

Berikut ini adalah skor tes siswa yang dilakukan setelah pembelajaran: Tabel 4.1 Data Hasil Tes Setelah Pembelajaran dengan Learning Cycle “5E”

Siswa Skor Kategori Kemampuan Skor Total A B C D

01 0 4.35 8.7 0 13.0 02 17.4 5.8 14.5 5.8 43.5 03 8.7 1.45 7.25 0 17.4 04 11.6 4.35 2.9 0 18.85 05 15.95 10.15 34.8 5.8 66.7 06 8.7 5.8 14.5 2.9 31.9 07 8.7 0 0 0 8. 08 8.7 4.35 11.6 2.9 27.55 09 15.95 1.45 4.35 0 21.75 10 15.95 4.35 11.6 2.9 34.8 11 15.95 15.95 43.5 8.7 84.1 12 17.4 5.8 31.9 8.7 63.8 13 17.4 8.7 39.15 11.6 76.85 14 15.95 0 0 0 15.95 15 15.95 14.5 33.35 5.8 69.6 16 17.4 10.15 33.35 5.8 66.7 17 14.5 2.9 5.8 2.9 26.1 18 8.7 4.35 17.4 2.9 33.35 19 8.7 0 0 0 8.7 20 17.4 4.35 4.35 0 26.1 21 15.95 10.15 26.1 5.8 58 22 8.7 4.35 11.6 2.9 27.55 23 14.5 4.35 0 0 18.85 24 14.5 11.6 26.1 8.7 60.9 25 5.8 4.35 10.15 0 20.3 26 13.05 4.35 8.7 0 26.1 27 13.05 4.35 26.1 5.8 49.3

Jumlah 346.55 152.25 427.75 89.9 1016.46 Rata-rata 12.84 5.64 15.84 3.33 37.65 Persentase 74% 28% 32% 29% 38%

Keterangan:

Page 221: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

212

A : Mengidentifikasi masalah ( mengidentifikasi informasi yang diketahui dari soal dan mengidentifikasi apa yang ditanyakan dari soal)

B : Merencanakan penyelesaian masalah ( menentukan cara penyelesaian yang sesuai) C = Menyelesaikan masalah D = Pengecekan kembali hasil yang diperoleh 4.1.2 Hasil Wawancara dengan Siswa

Melalui wawancara, peneliti memperoleh data tentang sebagai berikut: a. Siswa umumnya mampu menuliskan informasi yang diketahui dan yang ditanyakan dari

soal yang diberikan, b. Siswa mengalami kesulitan dalam merencanakan untuk memecahkan masalah yang

diberikan c. Siswa cenderung tidak melakukan pengecekan kembali solusi yang diperoleh d. Siswa merasa pemecahan masalah adalah materi yang sulit. e. Siswa mengaku bahwa dengan model pembelajaran yang dilaksanakan oleh peneliti

(Learning Cycle “5E”), mereka dikondisikan untuk terbiasa dengan pemecahan masalah matematika.

4.2 Pembahasan

Hasil tes siswa tentang kemampuan memecahkan masalah matematika setelah mengalami pembelajaran dengan Learning Cycle “5E” terlihat masih belum mencapai kategori cukup. Hanya pada aspek mengidentifikasi masalah, kemampuan siswa berada pada kategori baik. Fakta ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa akan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika masih belum memadai, karena untuk dapat menentukan strategi atau rencana pemecahan masalah dan melanjutkannya dalam proses pemecahan masalah matematika, siswa harus mempunyai pemahaman yang baik tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang berhubungan dengan masalah yang akan diselesaikan.

Di samping itu keterampilan dalam menggunakan konsep dan prinsip matematika juga sangat mempengaruhi keberhasilan memecahkan masalah matematika. Dengan rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika, ini berarti bahwa keterampilan siswa dalam memilih dan menggunakan konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika juga masih rendah.

Berdasarkan hasil tes dan wawancara diketahui bahwa siswa cenderung tidak melakukan pengecekan kembali atas solusi yang diperoleh. Akhir dari pemecahan masalah yang dilakukan, langsung dianggap sebagai solusi dari masalah matematika yang pecahkan dan diterima sebagai akhir dari proses pemecahan masalah. Sehingga kesalahan-kesalahan yang terjadi selama merencanakan dan menyelesaikan masalah, meskipun hanya karena ketidaktelitian tidak teridentifikasi oleh siswa.

Kesulitan yang dihadapi siswa dalam pemecahan masalah matematika lebih disebabkan karena pembelajaran yang terjadi biasanya hanya sampai menyelesaikan soal-soal rutin. Sehingga siswa tidak terlatih dalam mengaitkan informasi yang terdapat dalam masalah matematika dengan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Siswa mengakui selama pembelajaran dengan Learning Cycle “5E” mereka terbiasa memecahkan masalah matematika, meskipun belum berhasil. Artinya agar siswa memiliki kemampuan yang baik dalam memecahkan masalah matematika, selayaknya mereka dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah matematika. Melalui Learning Cycle “5E” siswa selalu diberi waktu untuk memecahkan masalah matematika, karena memecahkan masalah matematika terdapat pada tahap elaborasi pada pembelajaran dengan Learning Cycle “5E”. . Ini berarti rendahnya kemampuan siswa bukan disebabkan oleh proses pembelajaran yang menggunakan Learning Cycle “5E”. V. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika oleh siswa kelas VIII SMP Plus Al-‘Athiyah berada pada katagori rendah. Kemampuan pemecahan masalah ditinjau dari masing-masing aspek adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan mengindentifikasikan masalah berada pada kategori baik dengan pencapaian

kemampuan sebesar 74% 2. Kemampuan merencanakan penyelesaian masalah sebesar berada pada kategori kurang

dengan pencapaian kemampuan sebesar 28% 3. Kemampuan menyelesaikan masalah berada pada kategori kurang dengan pencapaian

Page 222: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

213

kemampuan sebesar 32% 4. Kemampuan mengecek kembali solusi yang diperoleh berada pada kategori kurang sebesar

38%. 5.2 Saran

Saran yang diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Guru sebaiknya mengalokasikan waktu untuk pemecahan masalah matematika dalam setiap

pembelajaran, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika.

2. Dalam proses pemecahan masalah matematika guru harus mengingatkan siswa agar tidak mengabaikan tahap pengecekan kembali solusi yang diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rieneka Cipta. Djumhuriyah, Siti. (2008). Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle untuk Meningkatkan

Ketuntasan Belajar Siswa Pada Konsep Pemuaian di Kelas VIID SMP Negeri 8 Bogor. Tersedia di www.docstoc.com diakses pada Sabtu, 17 Oktober 2011.

Fajaroh dan Dansa. (2007). Pembelajaran dengan Siklus Belajar.

http://molucasablog.blogspot.com/2010/07/pembelajaran-dengan-model siklus.html. di akses 30 September 2011.

Johar, R, dkk. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Johar, R dan Afrina, M. (2011). The Teacher’s Effort to Encourage the Student’s Strategies to

Find the Solution of Fraction Problem in Banda Aceh. (Research). Presented in International Conference of School Effectiveness and Improvement (ICSEI) at Limassol, Cyprus, Jan 4th till Jan 7th .

Suherman. dkk, (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Komtemporer. Bandung: JICA-UPI. Wena, M. (2010). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 223: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

214

KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIKA PADA MATERI PERBANDIN GAN DENGAN PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE

Suryawati1 Bainuddin Yani2 Lisa Ramadhani3

2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Email: [email protected] 3Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Email: [email protected] 1Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

e-mail: [email protected]

Abstrak. Literasi matematika merupakan kemampuan seseorang individu merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Termasuk didalamnya bernalar secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, fakta dan alat matematika untuk menjelaskan serta memprediksi fenomena. Pembelajaran Kooperatif merupakan suatu pembelajaran yang mengutamakan kerja sama antar siswa dalam kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tipe, salah satunya adalah tipe Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah suatu pembelajaran kooperatif yang memberikan lebih banyak waktu untuk siswa berpikir (think) secara individu, kemudian secara berpasangan (pair), dan berbagi (share) dengan seluruh siswa dalam kelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatkan kemampuan literasi matematika siswa di kelas VII SMP Negeri 18 Banda Aceh pada materi perbandingan melalui pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Metode yang digunakan adalah eksperimen dengan desain one-shot case study (pre-eksperimen) dengan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penlitian ini seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 18 Banda Aceh yaitu sebanyak 5 kelas. Sampel yang terpilih yaitu kelas VII-5 sebanyak 20 siswa. Data diperoleh dari tes hasil belajar ditambah dengan data pendukung seperti observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran, observasi aktivitas siswa dan angket respon siswa. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji-t. Penerapan Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) dapat meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa pada materi perbandingan di kelas VII SMP Negeri 18 Banda Aceh

Kata kunci: Literasi Matematika, Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair

Share (TPS), Perbandingan. 1. Pendahuluan Pendidikan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung pada sistem pendidikan yang dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari pengadaan upaya sarana pendidikan, peningkatan mutu tenaga kependidikan serta pengembangan sistem pendidikan yang diupayakan adalah peningkatan kualitas pengajaran pendidikan. Pembelajaran matematika bertujuan untuk melatih manusia berpikir logis, kritis, bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan permasalahan. Mengingat pentingnya matematika dalam ilmu pengetahuan, maka matematika perlu dikuasai dan dipahami dengan baik oleh segenap lapisan masyarakat, terutama siswa sekolah formal. Pengajaran matematika tidak hanya menekankan kepada penguasaan ketrampilan tetapi juga pada pemahaman konsep. Dengan penguasaan konsep (aspek konseptual) dan ketrampilan (aspek komputasional), diharapkan siswa mampu memecahkan berbagai masalah baik yang terkait dengan matematika itu sendiri maupun ilmu lain serta dalam kehidupan sehari-hari (Johar, 1994:2).

Page 224: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

215

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan seorang guru matematika di SMP Negeri 18 Banda Aceh maka diperoleh materi perbandingan merupakan salah satu materi matematika yang sulit dipelajari dan dikuasai siswa dengan baik terutama pada soal cerita. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematika siswa. Mengingat materi perbandingan juga sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, lagi pula penyajian masalah perbandingan sering kali disajikan dalam bentuk soal cerita. Oleh karena itu siswa diharapkan harus mampu memahami materi tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut guru hendaknya menerapkan model pembelajaran yang mampu memotivasi serta mengkondisikan siswa agar belajar secara aktif atas dasar kemampuan dan keyakinan sendiri dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut yaitu dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS). Model pembelajaran tipe Think-Pair-Share mampu memberikan kesempatan lebih banyak kepada siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dalam merespon suatu pertanyaan (Trianto, 2009:81). Ada tiga tahap dalam model pembelajaran TPS ini yaitu tahap think (berpikir), tahap Pair (berpasangan), dan tahap share (berbagi). Berdasarkan uraian tersebut di atas, diduga penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dapat meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa pada materi perbandingan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: apakah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dapat meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa pada materi perbandingan di kelas VII SMP Negeri 18 Banda Aceh ?. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh peningkatan kemampuan literasi matematika siswa terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share, serta yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Penerapan Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share dapat meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa pada materi perbandingan di kelas VII SMP Negeri 18 Banda Aceh”. 2. Tinjauan Pustaka Literasi matematis mengandung arti kemampuan menyusun serangkaian pertanyaan, merumuskan, memecahkan dan menyelesaikan permasalahan yang didasarkan pada konteks yang ada. Literasi matematis sangat penting bagi semua orang terkait dengan pekerjaan dan tungasnya dalam kehidupan sehari-hari. Johar (2012:32) mengatakan bahwa literasi atau melek matematika didefinisikan sebagai kemampuan seseorang individu merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Dengan demikian literasi matematika membantu seseorang untuk mengenal peran matematika dalam dunia dan membuat pertimbangan maupun keputusan Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama. Kerjasama antar siswa dalam kelompok dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Johar (2006:31) mengemukakan bahwa “Pembelajaran kooperatif adalah salah satu model dimana aktifitas pembelajaran dilakukan guru dengan menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya proses belajar sesama siswa. Menurut Abdulhak (Rusman, 2001:19) “bahwa pembelajaran kooperatif dilaksanakan melalui sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat mewujudkan pehamanan bersama di antara peserta belajar itu sendiri”. Dalam pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru. Menurut Ibrahim, dkk dalam Trianto (2011:66) terdapat enam langkah pembelajaran kooperatif seperti yang terlihat pada tabel berikut.

Page 225: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

216

Tabel 1 Fase-fase Model Pembelajaran Kooperatif. Fase Kegiatan Guru Fase-1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa.

Fase-2 Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan demostrasi atau lewat bahan bacaan dan memberikan tugas kepada siswa

Fase-3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan perubahan secara efisien.

Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompk belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.

Fase-5 Evaluasi

Guru mengevaluasi tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

Fase-6 Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) atau berfikir-berpasangan-berbagi merupakan sebuah struktur pembelajaran kooperatif yang sederhana, dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Model pembelajaran ini pertama kali dikembangkan oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai dengan kutipan Arends (dalam Trianto, 2009: 81), menyatakan bahwa “ Think-Pair-Share (TPS) merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Prosedur yang dapat digunakan dalam model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) adalah dapat memberkan siswa lebih banyak waktu berfikir, merespon, dan saling membantu. Adapun langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) adalah

Tabel 2 Kisi-Kisi Aktivitas Belajar Siswa No Sintak Aspek Aktivitas Indikator 1 Think Memikirkan soal dalam LKS Membaca buku relevan dengan

masalah/soal. 2 Pair Berdiskusi dalam pasangan Menjelaskan penyelesaian soal kepada

pasangannya menyatukan kedua jawaban mereka, dan bertanya kepada pasangannya.

3 Share Berbagi hasil diskusi ke seluruh kelas

Membagikan hasil diskusi yang diperoleh dari pasangan sebelumnya.

(Sumber: Ibrahim, dkk. (2000:10) dalam Mufidah, dkk) Berdasarkan sintak di atas, dapat disimpulkan bahwasanya dengan adanya penerapan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) pada proses belajar mengajar akan dapat meningkatkan mutu, hasil dan prestasi belajar siswa. Penelitian yang dilakukan krismanto (2010) mengatakan pembelajaran dengan Teknik ”think-pair-share” dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada sub pokok bahasan luas dan volume bangun ruang pada kelas X -3 SMA Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran 2007/2008. Model pembelajaran ini dapat meningkatkan partisipasi dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Berdasarkan teori dan temuan penelitian diatas diharapkan melalui aktivitas Think-Pair-Share akan dapat meningkatkan kemampuan literasi matematika pada materi perbandingan kelas VII SMP Negeri 18 Banda Aceh.

Page 226: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

217

3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember 2014. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMP Negeri 18 Banda Aceh semester ganjil dengan sampel dipilih menggunakan metode random sampling yaitu kelas VII-5 dengan jumlah siswa 20 orang sebagai kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan tes. Tes akhir dilaksanakan untuk memperoleh informasi tentang peningkatan literasi matematika siswa. Adapun materi yang di eksperimenkan tentang permasalahan perbandingan dalam kehidupan sehari-hari. Instrumen yang digunakan 5 buah soal cerita. Penelitian ini juga didukung oleh data-data lainnya seperti: observasi (observasi kemampuan guru, observasi aktivitas siswa) dan angket respon siswa. Data-data yang diperoleh dari hasil postes dianalisis secara statistik. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji-t. Untuk mengolah data hasil observasi berdasarkan aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pembelajaran dan angket respon dilakukan dengan menggunakan rumus persentase. 4. Hasil Penelitian Pelaksanaan pembelajaran menggunakan penerapan model pembelajaran TPS dilaksanakan di kelas VII-5 SMP Negeri 18 Banda Aceh sebagai kelas eksperimen pada intinya mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun sebelumnya. Proses pembelajaran sebanyak empat kali pertemuan. Dari empat kali pertemuan diperoleh nilai tes siswa, tes yang digunakan mengukur kemampuan literasi matematika yaitu tes berbentuk soal cerita. Sehingga nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 47. Hal ini tampak jelas adanya peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan hasil belajar sebelumnya (observasi awal). Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah hasil tes akhir siswa. Berdasarkan rekapitulasi nilai tersebut, data disusun dalam bentuk distribusi frekuensi serta menghasilkan rata-rata �̅ = 81,6 dan simpangan baku sebesar � = 13,5. Setelah diuji normalitas didapat bahwa data berdistribusi normal. Selanjutnya kemampuan literasi matematika siswa SMP Negeri 18 Banda Aceh diuji dengan menggunakan uji-t. Berdasarkan perhitungan hasil tes menggunakan langkah-langkah uji normalitas dan pengujian hipotesis deperoleh bahwa dengan taraf signifikan � = 0,05 dan banyak kelas interval k = 5 maka derajat kebebasan, dk = (n – 1) = (20 – 1) = 19, dari nilai tersebut diperoleh �,������� 1,73. Jadi ������= 2,18 dan �����= 1,73 Oleh karena > ��!"���!�� yaitu 2,18 > 1,73 maka #� ditolak dengan demikian #� diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model Think Pair Share (TPS) dapat mencapai ketuntasan pada materi perbandingan di kelas VII-5 SMP Negeri 18 Banda Aceh. Berdasarkan tes hasil belajar siswa, dapat diketahui bahwa siswa yang menjawab soal nomor 1 sebanyak 20 orang siswa (100%), artinya semua siswa paham dan dapat menjawab soal tersebut, kemudian 18 orang siswa (90%) dapat menjawab soal nomor 2 dan 2 siswa yang tidak menjawab soal tersebut, untuk soal nomor 3 siswa yang menjawab soal tersebut yaitu sebanyak 13 orang siswa (65%) dan ada 7 orang yang tidak menjawab sempurna, sedangkan untuk soal nomor 4 ada 14 orang siswa (70%) yang menjawab soal tersebut. Untuk soal nomor 5 banyak siswa yang menjawab yaitu 4 orang siswa (20%) sedangkan siswa yang lain menyelesaikan soal tersebut dengan jawaban yang tidak sempurna. Jadi untuk soal nomor 5 masih dikatagorikan soal yang sukar karena tidak banyak siswa yang bisa menjawab. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa untuk mencari jawaban dari soal perbandingan dalam kehidupan sehari-hari serta menggambarkannya ke dalam bentuk grafik masih rendah. Berdasarkan pengamat terlihat bahwa kemampuan guru mengelola pembelajaran pada setiap pertemuan adalah benilai baik. Rata-rata aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran pada pertemuan pertama sebesar 4,01 yaitu berada pada kategori baik. Pada pertemuan kedua sebesar 4 yaitu berada pada kategori baik. Rata-rata pada pertemuan ketiga sebesar 4,53 yaitu berada pada

Page 227: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

218

kategori baik. Berarti aktivitas guru mengajar dengan menggunakan model pembelajaran Think Pair Sahre (TPS) berada pada kategori baik sesuai dengan kriteria aktivitas guru yang ditetapkan. Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran selama 3 kali pertemuan dinyatakan dalam persentase diperoleh bahwa rata-ratanya dalam beberapa kegiatan yaitu: mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru sebanyak 16,19%, membaca/memahami informasi di LKS sebanyak 17,12%, menyelesaikan soal pada LKS secara mandiri (think) sebanyak 25,34%, saling bertukar ide dalam mengidentifikasi masalah di LKS (pair) sebanyak 25,92%, mendiskusikan hasil diskusi pasangan secara klasikal (share) sebanyak 6,59%, Merangkum materi pembelajaran sebanyak 5,07%, dan perilaku yang tidak sesuai dengan KBM (seperti: melamun, berjalan-jalan diluar kelompok belajarnya, membaca buku lain/ mengerjakan tugas mata pelajaran lain dengan teman-temat lain) sebanyak 3,7%. Berdasarkan angket respon siswa yang diisi oleh 20 orang siswa setelah mengikuti pembelajaran untuk materi perbandingan dengan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS). Maka diperoleh hasil 91% siswa senang terhadap komponen pembelajaran, 83 % siswa berpendapat bahwa komponen pembelajarannya baru, 95% siswa berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), 83% siswa memahami dengan jelas bahasa yang digunakan pada LKS dan tes hasil belajar, 90% siswa tertarik pada penampilan tulisan yang digunakan dalam berbagai aspek yang direspon, 95% siswa senang tehadap komponen mengajar guru. Sehingga dapat disimpulkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) adalah positif untuk setiap aspek yang direspon. 5. Pembahasan Hasil belajar siswa pada penelitian ini dilihat dari hasil tes yang diberikan setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Tes berbentuk essay yang berjumlah lima soal, hasil belajar yang diharapkan adalah siswa dapat menyelesaikan soal-soal perbandingan. Pada tahap berpikir (think) siswa sudah dapat beradaptasi dengan model pembelajaran, sehingga pada tahap ini siswa sudah mampu berfikir individu dalam menyelesaikan LKS. Pada tahap berpasangan (Pair) siswa sudah saling berdiskusi dan bekerjasama dengan pasangannya, siswa yang kurang memahami masalah yang diberikan juga akan menjadi lebih paham setelah berdiskusi dengan kelompok atau pasangannya. Sedangkan pada tahap berbagi (Share) banyak pasangan yang berani mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas kepada teman-teman yang lainnya. Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan ada peningkatan kemampuan literasi matematika siswa melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) pada materi perbandingan. Johar (2011) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa ada beberapa cara yang bisa dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa dalam menyelesaikan masalah, misalnya jika siswa frustasi atau bingung menemukan strategi pemecahan masalah guru bisa memberikan kata-kata motivasi, seperti ‘coba dulu, kamu pasti bisa’, ‘ayo tetap semangat’, ‘ibu yakin kamu mampu menjawabnya’, ‘kamu boleh menggambar, membuat tabel, atau mencoba-coba’. Hasil pengamatan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran telah menunjukkan kategori baik berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan guru telah mempersiapkan perangkat pembelajaran dengan sebaik mungkin terhadap hal-hal yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran dan sikap antusias siswa untuk mengikuti pelajaran sangat tinggi. Guru membimbing dan mengarahkan siswa dalam berdiskusi, setiap anggota kelompok bersaing untuk menjadi yang terbaik. Hal ini sesuai dengan pendapat Johar (2006:32) mengemukakan bahwa: “ pembelajaran kooperatif dapat memotivasi siswa untuk berinteraksi. Belajar dari teman ke teman lainnya dapat memperkecil rasa takut dan lebih santai”. Pengamatan aktivitas siswa selama pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) pada materi perbandingan secara umum sudah termasuk katagori aktif. Hal ini diakibatkan karena dapat Adanya perbedaan aktivitas belajar siswa pada penelitian ini sesuai dengan kelebihan model pembelajaran TPS yaitu sebagai berikut: 1) Siswa secara mandiri dapat berpikir atau memecahkan masalah dengan tenang, kemudian berpasangan dan berbagi

Page 228: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

219

pemikiran atau solusinya; 2) Setiap siswa disiapkan untuk bekerja dengan pasangan, mengumpulkan gagasan, dan berbagi pemikiran atau solusi mereka dengan seluruh rekan; 3) Meningkatkan keterampilan komunikasi lisan siswa karena mereka memiliki waktu yang cukup untuk mendiskusikan ide-ide mereka satu sama lain. Jadi bisa disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS bisa meningkatkan aktifitas belajar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh hertika (2012) mengatakan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share siswa dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran secara optimal sehingga aktivitas belajar siswa meningkat. Respon siswa dikatakan positif jika jawaban siswa terhadap pertanyaan positif untuk setiap aspek yang direspon pada setiap komponen pembelajaran diperoleh persentase ≥ 80%. Sedangkan pada persentase respon siswa diatas rata-rata mencapai ≥ 80%, maka respon siswa dikatakan positif. Berdasarkan hasil analisis data diatas, ketuntasan hasil belajar siswa juga dipengaruhi oleh kemampuan guru yang baik dalam mengelola pembelajaran, ini juga dilihat dari aktivitas siswa selama pembelajaran adalah aktif dan respon siswa terhadap model pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) juga positif. Peneliti mengalami beberapa kendala dalam melaksanakan penelitian ini diantanya yaitu siswa belum bisa bekerja sama secara optimal dengan teman sebangkunya, sehingga ada beberapa siswa masih ada yang senang belajar secara individu. Selain itu, siswa juga belum berani untuk mengemukakan pendapatnya di depan teman-teman dan guru. Peneliti mengatasi hal ini dengan pemberian penghargaan kepada kelompok terbaik dan kekompakan selama pembelajaran. Penghargaan yang diberikan berupa nilai. 6. Simpulan dan Saran Hasil belajar siswa mencapai ketuntasan dengan menggunakan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) pada materi perbandingan kelas VII SMP Negeri 18 Banda Aceh, kemampuan guru mengelola pembelajaran sudah menunjukkan kriteria terampil, semua aspek mencapai kriteria baik dengan perolehan rata-rata 4 sampai 4,53, aktivitas siswa pada proses pembelajaran sudah berada pada kategori aktif dan respon siswa terhadap model pembelajaran Think Pair Share (TPS) menunjukkan respon yang positif. Hal ini terlihat dari persentase yang diperoleh untuk tiap aspek ≥ 80%. Saat pemberian tindakan pada pertemuan I beberapa anggota kelompok tidak ikut aktif dalam diskusi, siswa yang berkemampuan tinggi lebih aktif dalam kerja kelompok. Sehingga peneliti menyarankan agar calon peneliti mengatur tempat duduk masing–masing pasangan saling berhadapan sehingga terjadi komunikasi yang baik antar siswa. Prestasi hasil belajar dan pemberian penghargaan yang diberikan oleh guru kepada siswa dapat mengacu siswa untuk selalu belajar dengan giat dan untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain. 7. Daftar Pustaka Agustina dkk. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Untuk

Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa pada Materi Fungsi Kelas VIII E SMP Negeri 2 Malang. Jurnal Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Universitas Negeri Malang

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Johar, Rahmah dkk. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Johar, Rahmah dkk. 2012. Domain Soal PISA untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang. Volume

1, Nomor 1, Oktober 2012, ISSN: 2302-5158. Kismanto. 2010. Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Dengan Menggunakan

Pendekatan Struktural “Think-Pair-Share” Pada Pokok Bahasan Luas Dan Volume Pada

Page 229: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

220

Bangun Ruang Pada Kelas X – 3 Semester Genap Tahun Pelajaran 2007/2008 Sma Negeri 6 Surakarta. Jurnal.

Mufidah, dkk. 2013.”Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS untuk Meningkakan

Aktivitas Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Matriks”. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo. Vol. 1, No. 1, April 2013 ISSN: 2337-8166.

Mukhlis, 2005. Pembelajaran Matematika Realistik untuk Materi Pokok Perbandingan di Kelas

VII SMPN 1 Pailangga (Tesis). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Rusman, 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Jakarta :

Rajagrafindo Persada. Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:

Rineka Cipta. Slameto. 2010.Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito Bandung. Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inofati-Progresif. Jakarta: Predana Media Group.

Page 230: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

221

Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kualitas Kemampuan Berfikir Kritis Mahasiswa PGSD pada Pembelajaran Soal Cerita Matematika: Pengembangan Model

Pembelajaran

Murni 1, dan Roslina2

1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh Email: [email protected]

2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

ABSTRAK: Menyadari pentingnya suatu strategi dan pendekatan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berfikir mahasiswa PGSD, maka mutlak diperlukan adanya pembelajaran matematika yang lebih banyak melibatkan mahasiswa secara aktif dan proses pembelajaran itu sendiri.. Oleh karena itu perlu adanya bimbingan yang mendalam bagi calon guru SD mengenai keterlibatan secara aktif yang menanamkan kesadaran metakognitif, dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman yang bermakna melalui persoalan pemecahan masalah kemudian diteruskan menjadi suatu penyelesaian masalah. Target khusus dalam penelitian ini adalah: (1) dapat menghasilkan instrumen metakognitif yang dilengkapi dengan silabus dan kontrak perkuliahan; (2) Buku Panduan Mahasiswa; (3) Lembar Kerja Mahasiswa; (4) Buku Pegangan Guru SD dalam pembelajaran soal cerita matematika; (5) Jurnal Internasional; (6) Jurnal Nasional; (7) Workshop Guru SD Aceh Besar. Penelitian ini dilakukan dengan sampelnya yaitu mahasiswa PGSD di Universitas Serambi Mekkah, karena diharapkan nantinya mereka dapat mempraktekannya langsung untuk siswa-siswinya di SD, yang merupakan level awal khususnya dalam mempelajari Soal Cerita Matematika Pengembangan penelitian ini dilakukan mengikuti 5 (lima) tahapan pengembangan Plomp yang dimodifikasi dengan memadu tahapan pengembangan material (produk) oleh Nieveen dengan memperhatikan 3 aspek kualitas, yakni aspek kevalidan, aspek kepraktisan, dan aspek keefektifan (Metode). Sehingga diharapkan mendapat suatu penilaian soal cerita matematika yang menilai keseluruhan aspek.

Kata Kunci: Metakognitif, Soal Cerita Matematika SD, PGSD, Pembelajaran Matematika. BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Tujuan pendidikan adalah usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan beradap berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UU No. 20 Tahun 2003). Menyadari pentingnya suatu strategi dan pendekatan pembelajaran untuk mengembangkan kualitas kemampuan berfikir mahasiswa, maka mutlak diperlukan adanya pembelajaran matematika yang lebih banyak melibatkan mahasiswa secara aktif dan proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini terwujud melalui suatu bentuk pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa mencerminkan keterlibatan mahasiswa secara aktif yang menanamkan kesadaran metakognitif. Dalam suatu proses pembelajaran, kemampuan berpikir kritis calon Guru Sekolah Dasar harus dikembangkan dengan memperkaya pengalaman yang bermakna melalui persoalan pemecahan masalah kemudian diteruskan menjadi suatu penyelesaian masalah. Pernyataan tersebut sesui dengan apa yang dikemukakan oleh Tyler (Mayadiana, 2005) pengalaman yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah, sehingga kemampuan berpikirnya dapat dikembangkan dan diharapkan nantinya dapat mengaplikasikannya pada saat sudah menjadi Guru Sekolah Dasar. Dari uraian diatas maka perlu

Page 231: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

222

dikembangkan suatu model pengembangan pembelajaran yang menitik beratkan pada aktivitas untuk meningkatkan berfikir kritis mahasiswa PGSD; Model yang akan dikembangkan didesain untuk menanamkan kesadaran mahasiswa PGSD bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka ketahui; apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya serta membantu mahasiwa PGSD untuk mengembangkan konsep dirinya. apa yang dilakukan saat mengikuti mata kuliah pembelajaran matematika (soal cerita matematika). Contoh dari strategi kognitif ini antara lain: bertanya pada diri sendiri, memperluas aplikasi-aplikasi tersebut, dan mendapatkan pengendalian kesadaran atas diri mahasiswa tersebut. 1.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah:

1. Panduan dan instrumen bagaimana melaksanakan Pendekatan Metakognitif pada pembelajaran soal cerita matematika S-1 PGSD.

2. Buku Panduan Mahasiswa materi Soal Cerita Matematika SD menggunakan Pendekatan Metakognitif.

3. Lembar Kerja Mahasiswa materi Soal Cerita Matematika SD menggunakan Pendekatan Metakognitif

4. Buku Pegangan Guru SD materi Soal Cerita Matematika menggunakan Pendekatan Metakognitif.

5. Seminar/Workshop Pembelajaran Soal Cerita Matematika Menggunakan Pendekatan Metakognitif.

6. International Journal of Independent Research and Studies – IJIRS ISSN: 2226-4817; EISSN: 2304-6953

7. Jurnal Serambi Akademica ISSN:23378085

1.3 Urgensi (Keutamaan) Penelitian Untuk menjadi guru profesional, seorang guru mesti memiliki lima hal, yaitu: a) memiliki komitmen kepada profesinya; b) secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarnya; c) bertanggung jawab memantau kemampuan belajar peserta didiknya melalui berbagai metode penilaian; d) mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukanya dan belajar dari pengalamannya; dan e) menjadi anggota dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya (Dedi, 1998; Syafruddin, 2005). Untuk itu perlu dilakukan perbaikan melalui reformasi pendidikan dengan memperhatikan konsep belajar dan pembelajaran, bagaimana seharusnya mahasiswa PGSD belajar dan membantu mahasiswa PGSD mempersiapkan diri menjadi calon guru professional serta bagaimana seharusnya guru melakukan aktivitas pengajaran (Brook & Brook, 1993; Wina, 2008). Reformasi pendidikan berarti usaha penciptaan program-program yang berfokus pada peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran, sehingga kegiatan pengajaran persis sebagai aktivitas untuk menyelesaikan kegagalan mahasiswa dalam belajar (Podhorsky & Moore, 2006). Untuk itu, Calon guru SD mesti diberi pengalaman yang mantap dalam menjalankan tugas untuk menunjang hal tersebut harus memiliki minimal empat efisiensi dasar, yaitu efisiensi pedagogi maksudnya adalah kemampuan mengelola pengajaran dan pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap siswanya, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengajaran dan pembelajaran serta pengembangan siswa untuk menerapkan berbagai potensi yang dimilikinya. Efisiensi kepribadian maksudnya adalah sifat mantap, stabil, dewasa, bijak, berwibawa, sehingga dapat menjadi teladan bagi siswa. Efisiensi profesional maksudnya adalah kemampuan penguasaan materi pengajaran dan pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing siswa memenuhi standar efisiensi. Efisiensi sosial maksudnya adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan siswa, teman sejawat, dan masyarakat. Dengan memiliki empat efisiensi tersebut diharapkan Calon Guru Sekolah Dasar dapat meningkatkan kemampuan dirinya serta mengembangkan pendidikan secara berkelanjutan sesuai perkembangan zaman. Kondisi siswa juga membutuhkan perhatian terkait dengan hasil belajarnya. Untuk itu diperlukan adanya guru yang ingin selalu meningkatkatkan kualitas pengajarannya yang

Page 232: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

223

dapat melakukan kegiatan pengajaran dan pembelajaran yang dapat meningkatkan kesadaran siswa terkait dengan materi yang sedang dipelajarinya. Untuk meningkatkan kesadaran siswa tersebut dengan materi yang sedang dipelajari dapat dilakukan melalui pembelajaran dengan pendekatan metakognitif. 1.4 Inovasi yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah: a) Bagi dosen, sebagai bahan pertimbangan dalam perkuliahan untuk pemilihan strategi

pendekatakan metakognitif dapat meningkatkan kualitas berfikir kritis serta dapat menumbuhkan motivasi dan semangat belajar bagi mahasiswa PGSD untuk memperoleh kualitas hasil belajar yang lebih baik,

b) Bagi guru, dapat dijadikan sebagai pegangan dalam mengajar Soal Cerita Matematika, c) Bagi lembaga, sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam bimbingan

tahap awal dalam mengaplikasikan kurikulum 2013 di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD),

d) Bagi Mahasiswa, dapat dijadikan sebagai pelatihan dalam mengaplikasikan kurikulum 2013 dalam mata kuliah Pembelajaran matematika, dan semakin mengetahui dan menyadari pentingnya selalu meningkatkan Kualitas Kemampuan Berfikir Kritis dalam Melaksanakan Pembelajaran Matematika di SD.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teoritis 2.1.1. Kualitas Pembelajaran Matematika

Radno Harsanto mengemukakan (2007: 9) proses pembelajaran yang berkualitas adalah proses pembelajaran yang memberi perubahan atas input menuju output atau hasil belajar yang lebih baik dari sebelumnya. Hasil belajar dikatakan baik jika bahan pelajaran 60% atau 70% dikuasai peserta didik (Syaiful Bahri & Aswan Zain, 2002: 122). Kualitas pembelajaran adalah tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses belajar mengajar dalam upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan (Nana Sudjana, 2005: 40). Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan kepada mahasiswa PGSD untuk belajar mandiri, sehingga dengan melakukan aktivitas belajarnya, mahasiswa PGSD mampu memperoleh pengetahuan dan pemahaman sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran, aktivitas dan hasil belajar mahasiswa PGSD merupakan faktor yang penting dan dapat dijadikan tolok ukur kualitas suatu pembelajaran. Pada penelitian ini keaktifan mahasiswa dapat dilihat dari tingkah laku yang muncul selama pembelajaran. Aktivitas mahasiswa yang dapat diamati antara lain meliputi: 1.Mengajukan pertanyaan kepada dosen maupun teman apabila mengalami kesulitan, 2.Mengerjakan soal-soal dengan diskusi sehingga menambah kerjasama mahasiswa dengan

temannya, 3.Mempresentasikan/ menyajikan hasil kerja di depan kelas, 4.Menanggapi hasil pekerjaan mahasiswa lain.

Pembelajaran matematika berkualitas dalam penelitian ini maksudnya adalah pembelajaran yang meningkatkan aktivitas mahasiswa selama kegiatan pembelajaran matematika dan meningkatkan hasil belajar matematika mahasiswa PGSD.

2.1.2 Kemampuan Berpikir Kritis Dalam beberapa tahun terakhir berpikir kritis telah menjadi suatu istilah yang sangat popular dalam dunia pendidikan. Karena banyak alasan, para pendidik menjadi lebih tertarik untuk mengajarkan keterampilan berpikir dengan berbagai corak. Berpikir kritis memungkinkan peserta didik untuk menemukan kebenaran di tengah banjir kejadian dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari. Berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan peserta didik untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Krulik dan Rudnick (NCTM, 2000) mengemukakan bahwa yang termasuk berpikir kritis dalam matematika adalah berpikir yang menguji, mempertanyakan, menghubungkan, mengevaluasi semua aspek yang ada dalam suatu situasi ataupun suatu masalah. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang

Page 233: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

224

membaca suatu naskah matematika ataupun mendengarkan suatu ungkapan atau penjelasan tentang matematika seyogianya ia akan berusaha memahami dan coba menemukan atau mendeteksi adanya hal-hal yang istimewa dan yang perlu ataupun yang penting. Demikian juga dari suatu data ataupun informasi ia akan dapat membuat kesimpulan yang tepat dan benar sekaligus melihat adanya kontradiksi ataupun ada tidaknya konsistensi atau kejanggalan dalam informasi itu. Jadi dalam berpikir kritis itu orang menganalisis dan merefleksikan hasil berpikirnya. Tentu diperlukan adanya suatu observasi yang jelas serta aktivitas eksplorasi, dan inkuiri agar terkumpul informasi yang akurat yang membantu membuatnya mudah melihat ada atau tidak ada suatu keteraturan ataupun sesuatu yang mencolok. Singkatnya, seorang yang berpikir kritis selalu akan peka terhadap informasi atau situasi yang sedang dihadapinya, dan cenderung bereaksi. 2.1.3. Perkembangan Strategi Kognitif

Perkembangan kognitif ini berlangsung sejak masa bayi walaupun potensi-potensi terutama secara biologis sudah dimulai semenjak masa prenatal. Perkembangan kognitif dimaksud adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. Perkembangan dalam psikologi bidang pendidikan berjalan sangat pesat, salah satunya adalah perkembangan konsep metakognisi (metacognition) yang pada intinya menggali pemikiran orang tentang berpikir ”thinking about thinking”. Konsep dari metakognisi adalah ide dari berpikir tentang pikiran pada diri sendiri. Termasuk kesadaran tentang apa yang diketahui seseorang (pengetahuan metakognitif), apa yang dapat dilakukan seseorang (keterampilan metakognitif) dan apa yang diketahui seseorang tentang kemampuan kognitif dirinya sendiri (pengalaman metakognitif).

2.1.4. Peran Metakognitif dan Soal Cerita matematika

Pengetahuan meta-kognisi dikatakan juga sebagai pengetahuan tentang kognisi secara umum, seperti kesadaran diri dan pengetahuan tentang kognisi (Anderson & Krathwohl, 2001). Sedangkan pengetahuan tentang kognitif terdiri dari informasi dan pemahaman yang dimiliki seorang peserta didik tentang proses berpikirnya sendiri selain pengetahuan tentang berbagai strategi belajar untuk digunakan dalam kegiatan pengajaran dan pembelajaran tertentu (Mohamad, 2000; Asri, 2005). Kesuksesan seseorang dalam memecahkan masalah begantung kepada bagaimana ia mampu mengendalikan kemampuan berpikirnya dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan tersebut adalah Metakognisi. Metakognisi adalah istilah yang berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan seseorang sebagai pembelajar serta bagaimana ia mengontrol dan menyesuaikan pengetahuan dan keyakinannya. Kemampuan metakognisi dapat diajarkan di kelas melalui pernyataan menuntun seperti : ”apa yang kamu kerjakan ketika memecahkan masalah ?”; ”apa yang kamu pikirkan jika kamu merasa kesulitan atau tidak memahami soal ?”. Pengertian soal cerita dalam mata pelajaran matematika adalah soal yang disajikan dalam bentuk uraian atau cerita baik lisan maupun tulisan ( Solichan, 2000 : 14 ). Soal cerita wujudnya berupa kalimat verbal sehari-hari yang makna dari konsep dan ungkapannya dapat dinyatakan dalam simbol dan relasi matematika. Memahami makna konsep dan ungkapan dalam soal cerita serta mengubahnya dalam simbol dan relasi matematika sehingga menjadi model matematika bukanlah hal yang mudah bagi siswa. Untuk itu dituntut kemampuan memahami masalah baik dari segi bahasa maupun dari segi matematikanya, termasuk dalam hal penalaran, komunikasi dan strategi pemecahan masalah. Pemaknaan soal cerita yang berupa kalimat sehari-hari ke dalam model matematika terkait dengan simbol, operasi dan relasi (winarno, 2003). Sedangkan strategi penyelesaiannya terkait dengan penalaran dan prosedur matematika yang sesuai dengan model matematika yang terbentuk. Agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam memahami simbol, operasi dan relasi yang sesuai untuk memecahkan dan menyelesaikan soal cerita, maka guru perlu mendiskusikan “ kata-kata kunci “ dalam soal cerita yang sesuai sewaktu proses penanaman

Page 234: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

225

konsep-konsep matematika. Contoh : a) Operasi : penjumlahan. Simbol : + Kata kunci : ditambah, digabung, diberi, dikumpulkan, jumlah dari; b) Operasi : pengurangan.Simbol : - Kata kunci : dikurangi, diambil, diberikan, hilang, rusak; c) Opeasi : perkalian. Simbol : x Kata kunci : kelipatan, digandakan, diperbesar, diperbanyak; d) Opeasi : pembagian. Simbol : : Kata kunci : dibagikan, dikelompokan, dipisahkan. Relasi biasanya menyangkut hubungan sama dengan ( = ) , lebih dari ( > ) dan kurang dari ( < ). Perlu bagi kita untuk menerjemahkan ungkapan-ungkapan verbal ( word phrases ) ke simbol matematika dengan menggunakan variabel untuk menyatakan kuantitas yang belum diketahui. Contoh :

Ungkapan Simbol Matematika

Tiga lebihnya dari suatu bilangan Setengah dari suatu bilangan Umur seseorang empat tahun yang lalu Tujuh kali umur seseorang empat tahun yang lalu

x + 3 ½ x x – 4 7 ( x – 4 )

Tabel 1. Contoh : Menerjemahkan Ungkapan-Ungkapan Verbal ke Simbul Matematika Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?”. Flavel (Jonassen, 2000 : 14) memberikan definisi metakognitif sebagai kesadaran seseorang tentang bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran sesuatu masalah, kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan menggunakan berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuan menilai kemajuan belajar sendiri. 2.1.5. Strategi Metakognitif (Metacognitive Strategy)

Pengetahuan metakognitif dapat digunakan untuk memantau dan mengatur proses kognitif seperti penalaran, pemahaman, pemecahan masalah (Woolfolk, 2004: 256). Pengalaman metakognitif adalah kemampuan peserta didik untuk memilih, menggunakan, dan memantau strategi yang cocok dengan gaya belajar mereka sendiri dan situasi yang sedang dihadapi (Mohammad Nur, 2004: 42). Anderson dan Krathwohl dkk (2001: 55-60) menyatakan pengetahuan metakognitif terdiri atas: a. Pengetahuan strategi. Pengetahuan strategi adalah cara berpikir seseorang dalam menentukan

langkah, strategi, atau memilih teknik atau teori dalam mengatasi suatu masalah. Pengetahuan strategi berkaitan dengan mengingat, menyusun intisari bacaan, membaca buku.

b. Pengetahuan tugas kognitif. Pemilihan dan penyesuaian tugas kognitif sering kali memerlukan penyesuaian seseorang terkait dengan kondisi, situasi, lokasi, keadaan sesuatu yang berbeda. Pertimbangan seseorang untuk menentukan dengan latar belakang alasan mengapa dan bagaimana menentukan teori atau teknik merupakan hal penting dalam pengetahuan tugas.

c. Pengetahuan diri. Seseorang yang mengenal dirinya dengan baik akan mengenali kelebihan yang dimilikinya sekaligus tahu akan kekurangannya. Selain mengenal diri sendiri, seseorang juga dapat mengenali dengan baik lingkungan dimana dia berada sehingga dapat melakukan penyesuian diri dengan baik. Pembelajaran melalui strategi metakognitif menggunakan metode pemecahan masalah. Hal ini mengingat tujuan belajar matematika yang paling tinggi adalah menyelesaikan masalah (Herman Hudoyo, 1988: 149). Senada dengan pendapat Muijs dan Reynolds mengatakan strategi metakognitif merupakan elemen penting dalam pemecahan masalah (2005: 122). Peserta didik dalam mengerjakan soal, yang berupa masalah, menggunakan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah. Menurut Polya langkah tersebut antara lain: memahami masalah, menyusun rencana atau strategi, melaksanakan

Page 235: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

226

rencana, dan memeriksa hasil yang diperoleh. Tabel 2. Menyatakan Indikator keberhasilan pembelajaran melalui strategi metakognitif

Sehingga dapat disimpulkan indikator keberhasilan pembelajaran melalui strategi metakognitif adalah (1) peserta didik mampu melakukan perencanaan (planning) yang terdiri dari perencanaan tujuan belajar yang akan dicapai, perencanaan waktu yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah, dan perencanaan strategi yang akan digunakan; (2) peserta didik mampu melakukan pemantauan (monitoring) yang terdiri dari pemantauan ketercapaian tujuan belajar, pemantauan waktu yang digunakan, dan pemantauan strategi yang sedang digunakan; dan (3) peserta didik mampu melakukan penilaian (evaluation) yang terdiri dari penilaian ketercapaian tujuan belajar, penilaian waktu yang digunakan, dan penilaian strategi yang telah digunakan. BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Pengembangan Instrumen Pendekatan Metakognitif

Pengembangan dilakukan mengikuti 5 (lima) tahapan pengembangan Plomp yang dimodifikasi dengan memandu tahapan pengembangan material (produk) oleh Nieveen dengan memperhatikan 3 aspek kualitas, yakni aspek kevalidan, aspek kepraktisan, dan aspek keefektifan. 3.1.1 Tahap Investigasi Awal

Untuk tahap ini dilakukan identifikasi dan kajian terhadap materi Soal Cerita Matematika SD, analisis kondisi mahasiswa, analisis konsep, analisis tugas dan penetapan kriteria kinerja yang akan dicapai melalui pembelajaran Soal Ceria Matematika. Kelima kegiatan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Analisis ujung depan, 2) Analisis mahasiswa, 3) Analisis materi, 4) Analisis tugas, dan 5) Spesifikasi kompetensi

3.1.2 Tahap Perancangan (Desain)

Kegiatan yang dilakukan dalam perancangan instrumen ini adalah memilih format yang akan dipergunakan. Langkah selanjutnya adalah: 1) Penyusunan silabus dan kontrak perkuliahan Soal Cerita Matematika

Dasar dari penyusunan rencana pembelajaran adalah komponen-komponen model (sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak instruksional dan dampak pengiring), analisis tugas dan analisis topik yang dijabarkan berdasarkan materi pembelajaran untuk mencapai sub-sub kompetensi yang ditetapkan.

2) Pemilihan media (LKM) Kegiatan pemilihan media ini dilakukan untuk menentukan media yang tepat dalam penyajian materi pembelajaran, dan kompetensi dari hasil pemecahan masalah menunjukkan manfaat mempelajari Soal Cerita Matematika untuk kehidupan mahasiswa maupun untuk pengembangan lebih lanjut.

3) Pemilihan format instrumen Pendekatan Metakognitif Pemilihan format instrumen Pendekatan Metakognitif untuk mata kuliah Pendidikan Matematika (soal cerita matematika) ini diadopsi dari model perangkat Life Science (Daniel, L., Ortleb, E. P., Biggs, 1995). Pemilihan ini menyangkut desain isi, pemilihan strategi pembelajaran, dan sumber belajar.

3.1.3 Tahap Realisasi (Konstruksi) Tahapan ini sebagai lanjutan kegiatan pada tahap perancangan. Pada tahap ini dihasilkan

prototipe 1 (awal) sebagai realisasi hasil perancangan sebelumnya. Hasil-hasil konstruksi diteliti kembali apakah kecukupan teori-teori pendukung model telah dipenuhi dan diterapkan dengan baik pada setiap komponen-komponen model sehingga siap diuji kevalidannya oleh para ahli dan praktisi dari sudut rasional teoritis dan kekonsistenan konstruksinya.

Page 236: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

227

3.1.4 Tahap Tes dan Evaluasi, dan Revisi Kegiatan yang dilakukan pada waktu memvalidasi instrumen Pendekatan Metakognitif

untuk mata kuliah pendidikan matematika (soal cerita matematika) adalah sebagai berikut: 1. meminta pertimbangan ahli dan praktisi tentang kelayakan Pendekatan Metakognitif untuk

mata kuliah pendidikan matematika/soal cerita matematika (pada prototipe1) yang telah direalisasikan. Untuk kegiatan ini diperlukan instrumen berupa lembar validasi yang diserahkan kepada validator,

2. melakukan analisis terhadap hasil validasi dari validator. Jika hasil analisis menunjukkan: (1) valid tanpa revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah uji coba lapangan (pelaksanaan

pembelajaran). (2) valid dengan sedikit revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah merevisi terlebih dahulu,

kemudian langsung uji coba lapangan. (3) tidak valid, maka dilakukan revisi sehingga diperoleh prototipe baru. Kemudian kembali

pada kegiatan (1), yaitu meminta pertimbangan ahli dan praktisi. Di sini ada kemungkinan terjadi siklus (kegiatan validasi secara berulang) untuk mendapatkan model yang valid.

3.2 Lokasi Penelitian Lokasi untuk penelitian adalah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh pada jurusan S-1 PGSD. 3.3 Indikator Capaian

Untuk mengukur keberhasilan yang dicapai. 1. Penggunaan Pendekatan Metakognitif yang valid, praktis, dan efektif. 2. Mahasiswa S-1 PGSD memberi tanggapan positif terhadap proses belajar mengajar yang

dilakukan oleh dosen pada saat uji coba lapangan.

3.4 Pelaksanaan Pembelajaran Soal Cerita Matematika dengan Menggunakan Instrumen Pendekatan Metakognitif.

Pelaksanaan pembelajaran ini dilakukan bertujuan untuk melihat sejauh mana kepraktisan

dan keefektifan penggunaan instrumen dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil ujicoba lapangan dan analisis data hasil ujicoba dilakukan revisi. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah (1) melakukan analisis terhadap data hasil pelaksanaan pembelajaran, dan (2) melakukan perbaikan instrumen berdasarkan hasil analisis data hasil pelaksanaan.

3.3. Kesimpulan

Berdasarkan temuan-temuan dan hasil analisis data, dari sini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Berdasarkan data persepsi dan pengalaman pakar dapat disimpulkan bahwa PendekatanMetakognitif Untuk Meningkatkan Kualitas Kemampuan Berfikir Kritis Mahasiswa PGSD Pada Pembelajaran Soal Cerita Matematika: Pengembangan Model Pembelajaran; (2) Luaran tahun pertama yang ditargetkan dalam Pelaksanaan Pembelajaran dengan PendekatanMetakognitif Untuk Meningkatkan Kualitas Kemampuan Berfikir Kritis Mahasiswa PGSD kopetensi Soal Cerita Matematika adalah Silabus dan Kontrak Perkuliahan , Buku Panduan mahasiswa, Lembar Kerja Mahasiswa, Rancangan Naskah Buku Pegangan Guru SD, Mengikuti Seminar Nasional dan Drap Jurnal Internasional; (3)Luaran pada tahun kedua Penyempurnaan: Silabus Kontrak Perkuliahan, Buku Panduan Mahasiswa, Lembar Kerja Mahasiswa Naskah Buku Pegangan Guru SD dan Draf Jurnal Internasional; (4) Luaran pada tahun ketiga yang dihasilkan: Silabus Kontrak Perkuliahan, Buku Panduan Mahasiswa, Lembar Kerja Mahasiswa Naskah Buku Pegangan Guru SD dan Jurnal Internasional; (5) PendekatanMetakognitif Untuk Meningkatkan Kualitas Kemampuan Berfikir Kritis Mahasiswa PGSD Pada Pembelajaran Soal Cerita Matematika: Pengembangan Model Pembelajaran;

Page 237: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

228

DAFTAR PUSTAKA Anderson, Lorin W., Krathwohl, David R., Airasian, Peter W., Cruikshank, Kathleen Mayer,

Richard E., Pintrich, Paul R., Raths, James & Wittrock, Merlin C (Eds). (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Asri, B ( 2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Bakley, Elaine & Spence, Sheila. (1990). Developing Metacognition.

http://www.vtaide.com/png/ERIC/Metacognition.htm. Diakses tanggal 4 Mei 2006. Brooks, J.G. & Brooks, M.G. (1993). In Search of Understanding: The Case for

Constructivist Costa, A.L.,(1985). Development Mind: A Resource Book for Teaching Thinking.

Desmita.(2006).Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Dedi S. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa Flavell, J. (1999). Cognitive development: children‟s knowledge about the mind, Annual

review of psychology (online). Available: http:// www.findarticles.com/cf_dls/m0961/1999_Annual/54442292/p1/article.html.

Herman Hudojo. (1988). Mengajar belajar matematika. Jakarta: Dirjen PTPPLPTK Ibrahim B.(2004). Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi

Aksara. Mayadiana, D. (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursif untuk

Mengembangkan Kemampuan Berfikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD. Tesis pada PPs Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Mohamad Nur. (2004). Classroom Instruction and Management Chapter 6 Learning and Study Strategies (Richard I. Arends. Terjemahan). Surabaya: UNESA Press. Buku asli diterbitkan tahun 1997.

Muhammad. N (2000). Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Pusat Pendidikan Sains dan Matematika Sekolah. Unesa - Surabaya.

Nana Sudjana. (2005). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards for school mathematics.Reston, VA: NCTM.

Nieveen, Nienke, 1999, Prototyping to Reach Product Quality. In Jan Van den Akker, R.M Branch, K. Gustafson, N. Nieveen, & Tj. Plomp. Design Approaches and Tools in Education and Training. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publisher.

Podhorsky, C.& Moore, V. (2006). Issues in Curriculum: Improving instructional Practice Through Lesson Study. http://www.lessonstudy.net Retrieved 2 Nopember 2010.

Plomp, T. 1997. Educational and Training System Design. Enschede, Netherlands: Twente University.

Plomp, Tjeerd. 2001. Development Research in/on Educational Development. Makalah, disampaikan untuk seminar nasional “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia” di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, tanggal 14-15 opember 2001.

Ratno Harsanto. (2007). Pengelolaan Kelas yang Dinamis: Paradigma Baru Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa. Yogyakarta: Kanisius.

Reigeluth, C.M. 1996. “What is instructional Design Theory and How is It Changing?”. In Reigeluth, C.M. (Ed). Instructional design Theories and Models : A New Paradigm of Instructional.

Richey, R. and Nelson. 1996. “Developmental Research”. In Jonassen (Ed) Handbook of Research or Educational Communications and Technology. New York: Macmillan Simon & Schuster

Page 238: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8

229

Syafrudin N. (2005). Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum Jakarta:Quantum Teaching. Solichan, A. Dkk. 2000. Materi Pembinaan Guru SD di Daerah.Yogyakarta : PPPG

Matematika Shutske, J. M., W. Gilbert, and J. Chaplin. 2001. Evaluation of a microwave/infrared human

presence system for agricultural equipment. Journal of Agricultural Safety and Health 7(4): 253-264.

Suherman, Erman dkk (2001) Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung

Sunarto, H. dan Hartono, A.(2002). Perkembangan Peserta Didik. Depdikbud Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Wina S. (2008). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Winarno, M.Sc. 2003. Strategi Sukses Menyelesaikan Soal Cerita Matematika. Woolfolk, A. (2004). Educational Psychology (9th Ed.). Bosto

Page 239: Lihat ISBN:978-602-97671-7-8