Literasi Media, Pilar Literasi Informasi Di Era Globalisasi Informasi
-
Upload
khairunnisa-musari -
Category
Documents
-
view
113 -
download
1
description
Transcript of Literasi Media, Pilar Literasi Informasi Di Era Globalisasi Informasi
Literasi Media,
Pilar Literasi Informasi untuk
User Education di Era Globalisasi Informasi 1
Oleh: Khairunnisa Musari2
1. LATAR BELAKANG
1.1 Globalisasi Arus Informasi
Menurut Hurrel & Wood (1999), globalisasi3 dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan
atau lebih tepatnya pertumbuhan yang dipercepat oleh kegiatan ekonomi yang menjangkau
batas-batas politik nasional dan regional. Globalisasi digerakkan oleh tindakan aktor-aktor
individual, perusahaan-perusahaan, bank-bank, orang –biasanya dalam hal mengejar
keuntungan dan seringkali dipacu oleh tekanan kompetisi.
Di era globalisasi, teknologi informasi berperan sangat penting. Penguasaan teknologi
informasi menjadi modal penting dalam mengendalikan kegiatan ekonomi, politik, sosial
budaya, dan pendidikan. Penguasaan teknologi informasi juga menjadi agen perubahan.
Penguasaan teknologi informasi memungkinkan teraksesnya sumber daya-sumber daya
untuk mewujudkan visi misi organisasi maupun pribadi. Teknologi informasi memiliki
keunggulan dalam menyampaikan pesan secara cepat, massal, dan simultan. Hal inilah
yang menyebabkan gelombang globalisasi informasi menjadi tak terelakkan bagi belahan
dunia manapun. Teknologi internet dan jaringan telekomunikasi nirkabel membuat
manusia semakin mudah untuk mengakses informasi dan berhubungan satu sama lain
lintas negara. Semua tanpa jarak dan distribusi informasi seperti tidak terbatas.
Sistem informasi merupakan salah satu kunci bagi penguasaan teknologi informasi.
Negara maju memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi karena didukung salah
satunya oleh sistem informasi. Negara maju memiliki bargaining power dalam
mengendalikan kegiatan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pendidikan di seluruh dunia
karena didukung salah satunya oleh sistem informasi. Dengan demikian, salah satu
1 Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Tamu Mata Kuliah Komunikasi Intra Personal (KIP),
Program Kekhususan Sistem Informasi, Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas
Surabaya, pada tanggal 27 September 2013.
2 Peneliti Tamkin Institute; Peneliti Divisi Syari’ah Risk Management International (RMI).
3 George (2006) menyatakan, begitu banyak orang dengan ringannya mengucapkan kata
‘globalisasi’, seolah kata itu tak bermakna, sebuah kata-kata kosong, yang tidak memiliki implikasi
ideologi sama sekali. Kata tersebut kini bahasa pergaulan yang diucapkan oleh manusia dari segala
strata dan menjadi magnet luar biasa kuat sebagai simbol modernitas. Susan George memaklumi jika
istilah globalisasi ini demikian mempengaruhi dan mendominasi pikiran manusia karena memang
didesain sangat rapi dengan biaya jutaan dolar. Kaum neoliberal memperjuangkan ide mereka dengan
menciptakan jaringan internasional sangat besar. Salah satunya dengan cara mendirikan yayasan,
institut, lembaga riset, dan media massa. Mereka juga menciptakan para penulis kelas dunia dan
tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung ideologi tersebut. Dengan cara yang demikian cerdas,
mereka berhasil menciptakan seolah-olah neoliberalisme merupakan suatu kondisi alamiah normal,
tidak ada alternatif seperti yang diucapkan oleh Margaret Thatcher, There Is No Alternatif (TINA)
terhadapnya, dan tidak memperdulikan berbagai kerusakan yang ditimbulkannya.
2
2
indikator untuk mengukur kemajuan suatu negara adalah dengan melihat kinerja sistem
informasi yang memungkinkan bagi setiap elemen di dalamnya dapat mengakses dan
memperbaharui informasi.
Tidak bisa dipungkiri, globalisasi informasi menyebabkan banyak perubahan di
berbagai lini kehidupan, baik dalam ranah individu, kelompok, maupun negara. Globalisasi
informasi dengan serta merta membawa paham ekonomi, politik, sosial budaya, dan
pendidikan dari negara yang menguasai teknologi informasi kepada yang minim
penguasaan. Perubahan tidak saja mengubah pola pikir, gaya hidup, tetapi juga perubahan
struktural di masyarakat dalam berkehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, dan
pendidikan. Pada akhirnya, siapa yang menjadi penguasa dunia adalah mereka yang
mampu menguasai teknologi informasi dan mampu mengendalikannya. Mereka yang
memiliki kemampuan untuk menguasai dan mengendalikan teknologi informasi adalah
mereka yang memiliki kapital yang mengusung kapitalisme sebagai sebuah ideologi
ekonomi yang dibangun berdasarkan semangat individualisme, liberalisme, dan persaingan
bebas.
1.2 Dampak Globalisasi Informasi bagi User
“...mekanisme pasar merupakan pelayan yang rajin bagi yang kaya, tetapi tak perduli pada yang
miskin… mekanisme pasar mendorong perbuatan yang tidak bermoral, hal mana tidak hanya
merupakan suatu kegagalan ekonomi tetapi juga merupakan suatu kegagalan moral…”. (Robert
Heilbroner & Lester C. Thurow, 1994).
Sesungguhnya globalisasi merupakan sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-
bebas dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Hal tersebut bergantung
pada bagaimana sebuah negara melaksanakan tata kelola pada berbagai kebijakan ekonomi,
politik, sosial budaya, dan pendidikan. Namun, realitas menunjukkan berbagai
ketimpangan dunia saat ini sebagian besar adalah buah dari globalisasi sebagaimana yang
berlangsung saat ini.4
Dalam konteks globalisasi informasi, literasi informasi yang tidak memadai menjadi
pemicu sekaligus penyebab terjadinya ketimpangan dalam menerima dan menggunakan
informasi. Propaganda media dalam mengalirkan arus informasi bagi user seharusnya
diimbangi dengan literasi yang cukup untuk mengelola informasi dan melakukan diskonto
bagi informasi yang tidak bermanfaat. Pasalnya, aliran informasi yang merambah kepada
semua sektor sesungguhnya membawa aliran kepentingan, terutama bagi mereka yang
berperan sebagai homo economicus.5 Bila kepentingan tersebut sejalan dengan kepentingan
4 Steger (2002) mengatakan: “…dalam globalisasi…masyarakat di berbagai belahan dunia terkena
pengaruh besar dari perubahan transformasi struktur sosial dan lingkungan kultur. Globalisasi telah
memberikan kekayaan dan kesempatan besar bagi sekelompok kecil masyarakat, sementara itu memerosokkan
sangat banyak orang ke dalam keterhinaan sebagai orang miskin dan tanpa harapan apa-apa…”.
5 Menurut Lunati (1997), homo economicus atau ‘manusia ekonomi’ adalah “agen individual yang
berada di pusat teori ekonomi neoklasik (teori utilitarian, hedonis dan menitikpusatkan pada diri-sendiri, yang
rasionalis dan beretika individualis). Ia egois, rasional, berupaya untuk mencapai utilitas secara maksimum. Ia
bertindak secara independen dan nonkooperatif, sebagai atom sosial yang terisolasi tanpa mempunyai naluri
akan masyarakat sekitarnya, dan perilakunya dimotivasi semata-mata oleh kepentingan diri pribadi secara
sempit. Economic man atau manusia ekonomi bersifat materialistik tanpa emosi sama sekali dan merupakan
3
3
khalayak ramai dan bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak, tentu aliran informasi ini
membawa kemaslahatan. Namun, bila kepentingan yang dibawa aliran informasi
berpotensi mengeksploitasi kemudharatan, tentu perlu perisai untuk menghalangi dan
melawannya. Dalam hal inilah diperlukan literasi informasi untuk menghadapi mainstream
dari globalisasi informasi di era informasi.
Di tengah hegemoni kapitalisme, globalisasi informasi adalah suatu keniscayaan,
yang tidak mungkin ditolak, tetapi dapat kita waspadai dan antisipasi.6 Kekaguman dan
penerimaan yang tidak diiringi dengan ilmu pengetahuan dapat mempecundangi para
penggunanya (user), terutama bagi mereka yang berada di negara berkembang dan negara
miskin. Globalisasi yang menyebar selama ini telah melahirkan kemakmuran yang tinggi
bagi negara-negara maju yang sebagian besar berlokasi di dunia belahan barat.
Kemakmuran yang bersifat materiil tersebut akhirnya menjadi kiblat bagi banyak negara di
dunia yang memperkuatnya dengan menjadikan globalisasi sebagai inspirasi untuk meraih
tahapan kemakmuran, kemajuan peradaban, dan indikator kesejahteraan. Pada tataran
inilah dibutuhkan user education untuk meningkatkan literasi informasi sehingga dapat
menjadi filter dalam menyeleksi jenis informasi yang baik dan benar secara efektif.
2. PEMBAHASAN
2.1 Literasi Informasi untuk User Education
Secara sederhana, literasi informasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk memahami informasi yang dibutuhkan, memilih, mengevaluasi, dan
menggunakannya secara efektif. Tujuan akhir dari literasi informasi adalah kemampuan
mengambil keputusan informasi yang akan digunakan. Literasi informasi adalah salah satu
infrastruktur yang harus disiapkan dalam membangun sistem informasi yang bermaslahat.
Dalam era kekinian, literasi informasi harus menjadi bekal kecerdasan yang ampuh bagi
user dalam mengakses media yang menjadi alat distribusi informasi yang kian beragam di
era informasi ini.
Dari sejarahnya, konsep literasi informasi mulai diperkenalkan oleh Paul Zurkowski,
President of Information Industries Association (IIA), pada tahun 1974. IIA yang kemudian
berubah menjadi The Software and Information Industry Association (SIIA) oleh Zurkowski
manusia yang membuat perhitungan dengan kepala dingin: ia seorang 'egois yang rasional’…. Homo
economicus modern secara bengis bersikap rasional, ia tamak dan oportunistik; ia tak dapat dipercaya dan ia
tidak mempercayai orang lain, ia tidak mampu memberi komitmen dan akan selalu berupaya untuk mendapat
manfaat secara gratis; ia menganggap keegoisannya serta segala sifat dan perilakunya sebagai wajar...”.
6 Menurut Stiglitz (2006), dalam hubungan ekonomi global, globalisasi tampaknya sudah
menjadi kenyataan hidup dan tidak akan dapat begitu saja diabaikan jika kita tidak ingin menutup
pintu bagi hubungan ekonomi internasional dan menghendaki berlanjutnya hubungan itu. Globalisasi
jika dikelola dengan baik, bisa mendatangkan manfaat yang lebih besar daripada mudharatnya.
Namun demikian, kenyataan yang kita hadapi saat ini menunjukkan ‘proses globalisasi yang sedang
berjalan memicu suatu kondisi yang timpang, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Kemakmuran sedang digalakkan, namun masih terlalu banyak negara maupun masyarakat yang tidak
ikut merasakannya. Mereka hampir tidak memiliki hak suara dalam proses (globalisasi) tersebut.
4
4
mengajukan proposal untuk National Commission Libraries and Information Science (NCLIS)
tentang solusi masalah ledakan informasi adalah dengan literasi informasi. Konsep ini
didorong oleh cara pandang Zurkowski yang melihat bahwa jasa perpustakaan tradisional
perlu berubah menjadi lembaga swasta sektor jasa informasi yang lebih inovatif, Dalam
proposalnya, Zurkowski merekomendasikan dimulainya sebuah program nasional untuk
pencapaian masyarakat yang melek informasi pada masa yang akan datang. Menurut
Zurkowski, masyarakat yang mampu dan terampil dalam menggunakan sumber informasi
dalam bidang pekerjaan mereka dapat dikatakan sebagai masyarakat yang melek informasi.
Mereka dituntut untuk terampil dalam menggunakan sejumlah alat informasi untuk
memecahkan masalah mereka.
2.2 Literasi Media sebagai Pilar Literasi Informasi
Menurut Arifianto (2013), literasi media diperlukan akibat semakin gencarnya terpaan
informasi dari berbagai media yang tidak diimbangi dengan kecakapan mengkonsumsinya,
sehingga dibutuhkanlah pemahaman dalam mengkonsumsi media secara sehat. Literasi
media tidak akan berjalan tanpa peran kearifan lokal masyarakat, baik secara individu, dan
kelompok. Peran kearifan lokal masyarakat dapat memfilter penetrasi budaya asing yang
digaungkan melalui media.
Menurut Iswandi Syahputra, penulis buku "Rezim Media", masyarakat Indonesia
masih dalam tahap pecandu informasi sehingga mudah dimainkan melalui opini yang
dibuat media, terutama televisi, untuk kepentingan tertentu. Masyarakat Indonesia belum
kritis, sehingga dibutuhkan literasi media atau pencerdasan informasi dari media kepada
masyarakat. Di beberapa negara, literasi media sudah masuk ke dalam kurikulum
pendidikan. Untuk tahap pemula, mereka diajarkan membongkar informasi. Misalnya apa,
siapa, dan mengapa informasi itu disampaikan. Hal ini bertujuan untuk menempatkan
masyarakat dalam posisi yang kritis terhadap informasi yang disampaikan. Sedangkan di
Indonesia, opini yang terus menerus disampaikan melalui media televisi, cenderung untuk
dapat merekonstruksi pendapat masyarakat. Dalam perkembangannya, rating menjadi
‘berhala’ baru yang menjadi acuan pengelola televisi. Kesulitan pun bertambah karena
ternyata tidak mudah untuk memutus tali rantai kecanduan di masyarakat karena tayangan
yang ditampilkan bentuknya menghibur. Untuk itu, masyarakat harus dibekali kecerdasan
terhadap media. (AntaraNEWS, 3 Mei 2013).
Tidak bisa dipungkiri, media massa merupakan sumber informasi utama dan
pertama yang berkemampuan untuk menanamkan pola pikir, membangun pencitraan,
bahkan membentuk opini. Media massa merupakan instrumen strategis dalam
menyampaikan pesan yang terbingkai dalam informasi yang dipasok dengan mengemas
strategi yang menyoroti aspek-aspek tertentu dan mengabaikan aspek-aspek lain dalam
menyikapi fenomena. Respon yang diterima dan kemudian ditindaklanjuti oleh user akan
menjadi beragam, bergantung pada tingkat pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan
kepentingan yang mereka miliki. Strategi media massa yang sangat halus ini yang kerap
tidak disadari oleh publik.
Atas dasar itulah, literasi media menjadi salah satu pilar dalam literasi informasi di
tengah derasnya globalisasi informasi di era informasi. Literasi media secara sederhana
dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi informasi yang disampaikan
5
5
media. Pada gilirannya, literasi media inilah yang menjadi tameng dalam mewaspadai dan
mengantisipasi berbagai ancaman sporadis dan masif dalam mendegradasi pikiran dan hati
serta perilaku user. Dalam hal ini, user education adalah keniscayaan dalam upaya
meningkatkan literasi media.
3. STUDI KASUS
3.1 UU ITE DAN PERS7
Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan tanpa ada hingar-bingar.
Semula, banyak pihak memandang positif kehadiran UU ITE karena tujuannya yang mulia untuk
melindungi moral bangsa. Namun, dalam perkembangannya, banyak pihak mulai berpolemik terkait
ekses negatif dari UU tersebut, terutama bagi dunia pers. Bagaimana menyikapinya?
UU ITE adalah cyber law pertama di Indonesia. Semula, sebagian besar masyarakat
memiliki persepsi bahwa UU tersebut sebatas untuk pemblokiran situs porno. Setelah
adanya proses sosialisasi, barulah dipahami bahwa UU tersebut memiliki substansi yang
melingkupi seluruh transaksi berbasis elektronik.
Sebagai payung hukum dunia maya pertama, cukup dipahami jika UU ITE
menimbulkan polemik. Perdebatan mengemuka di sejumlah kalangan, termasuk insan pers.
Bagi dunia pers, UU ITE dipandang sebagai sinyal menguatnya peran pemerintah dalam
melakukan kendali kebebasan pers. Tidak salah jika UU tersebut dinilai sebagai lampu
kuning bagi para jurnalis untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pemberitaan.
Hadirnya UU ITE menyebabkan dunia pers, terutama pers online, menjadi terikat. Sebab,
UU tersebut secara khusus mengatur penyampaian informasi secara elektronik melalui
internet dan tidak memandang apakah yang menyampaikan informasi tersebut adalah pers
atau bukan.
Ada 2 pasal UU ITE yang menjadi sorotan dan dipandang mengancam pers, yaitu
pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1. Pasal 27 ayat 3 mengatur larangan bagi seseorang untuk
menyebarkan informasi yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Bagi yang tak mengindahkan, akan diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda
maksimal Rp 1 miliar seperti diatur dalam pasal 45 ayat 1. Ancaman pidana itu bukan untuk
korporasi seperti yang diatur UU Pers, tetapi untuk perorangan. Jalan untuk
mempidanakan pers pun bisa langsung, tak perlu harus melewati prosedur hak jawab,
somasi atau mengadu ke Dewan Pers.
Inilah poin-poin yang dipandang dapat melemahkan pers dalam melaksanakan
profesinya. Tidak hanya para pekerja pers, para pemilik perusahaan pers pun dirundung
kekhawatiran. Bahkan juga Dewan Pers yang merupakan lembaga ombudsman bagi pihak-
pihak yang dirugikan pemberitaan pers. Tidak dilibatkannya Dewan Pers ataupun pihak-
pihak yang merepresentasikan insan pers, membuat UU tersebut menjadi sorotan dan
menimbulkan kontroversi.
7 Artikel asli dari Naurah Najwa Hairrudin yang sudah dimuat di Harian Seputar Indonesia
(SINDO) dengan judul ‚UU ITE Tak Sekedar Blokir Pornografi‛ pada 15 April 2008.
6
6
Pembelajaran Bagi Semua
Setuju atau tidak setuju dengan UU ITE, memang butuh kelapangan hati bagi banyak
pihak untuk mengedepankan kepentingan bangsa ini dan bukan kepentingan orang per
orang atau kelompok-kelompok tertentu. Dibalik sejumlah kekurangan UU ITE, patutlah
niat baik tersebut didukung. UU ini merupakan upaya pemerintah untuk melaksanakan tata
kelola teknologi yang baik sekaligus langkah penyelamatan moralitas anak negeri ini.
Pendidikan di rumah tidak sepenuhnya cukup untuk membentengi anak-anak dari
pengaruh lingkungan. Makin beragamnya produk teknologi dan kemudahan untuk
mendapatkannya, kerap disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak membawa manfaat,
bahkan berpotensi merusak perilaku.
Harus disadari, sebuah kebijakan tidak akan pernah lepas tampilan sisi positif-negatif
yang mengundang pro-kontra. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana upaya untuk
mewujudkan sebuah niat dan tujuan yang baik dengan cara yang baik pula. Dalam konteks
UU ITE, niat dan tujuan yang pada awalnya dinilai baik, ternyata menjadi polemik lantaran
dalam proses perumusannya tidak melibatkan sejumlah pihak terkait yang akan
melaksanakan produk hukum. Inilah yang menyebabkan produk hukum tersebut
dipandang tidak akomodatif dan bukannya memberikan solusi, tapi malah menimbulkan
persoalan, bahkan mengancam pihak-pihak tertentu yang seharusnya dilindungi.
Ke depan, pemerintah dalam menyusun kebijakan, perlulah mengajak pihak-pihak
terkait untuk duduk dan bicara bersama. Hal ini guna mengakomodasi aspirasi sekaligus
mengeliminir dampak negatif yang berpotensi muncul. Pemerintah pun diharapkan
menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menghasilkan kebijakan. Transparansi dapat
menghindarkan pemerintah dari mosi tidak percaya dan tudingan adanya kepentingan
pemilik modal di balik produk yang dihasilkannya.
Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan dengan segera Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai pedoman pelaksanaan UU tersebut. Sosialisasi pun sebaiknya melibatkan berbagai
kalangan agar pesan dari UU ITE tersampaikan pada semua elemen dengan persepsi yang
sama. Pemerintah perlu pula segera menyusun standar, operasi, dan prosedur (SOP) guna
menghindari penyalahgunaan UU tersebut. Perlu pembinaan yang intensif, baik pada
pelaku bisnis, pelaku teknologi informasi, juga aparat, agar produk hukum ini tidak
disalahgunakan bagi pihak-pihak yang mencari-cari kesalahan.
Terakhir, pemerintah perlu membuka diri untuk menerima masukan atas kelemahan-
kelemahan yang ada pada UU ITE. Bagaimanapun juga, UU tersebut perlu terus
disempurnakan. Perlu hati yang besar untuk berkenan menerima kritikan. Pemerintah
memang berkewajiban untuk mengatur hal-hal yang terkait dengan hajat masyarakat.
Dunia pers pun memiliki tanggung jawab sosial untuk menyampaikan informasi yang
benar pada masyarakat. Atas dasar itu, jika pemerintah berkenan duduk dan bicara bersama
dengan insan pers, mungkin ketidaksamaan persepsi ataupun hal-hal yang dapat mengebiri
hak dan kewajiban salah satu pihak akan dapat diselesaikan. Semoga masih ada jalan untuk
menyelesaikannya…
7
7
3.2 Studi Kasus Misleading Information: Iklan Susu FORMULA VS ASI8
3.3 Studi Kasus Asymetric Information: Mempertanyakan Kebenaran Berita di Media
Online, Ustadz Anis Matta Itu Didemo Apa Enggak Sih?9
3.4 Studi Kasus Petisi atas Diskriminasi dan Hak atas Corporate Responsibility:
Mengubah Kebijakan Diskriminatif yang Menolak Tuna Netra untuk Menabung di BCA
via Change.Org10
3.5 Studi Kasus Mempertanyakan Kehalalan Produk Makanan via Arrahmah.Com:
Solaria Sudah Haram, Arogan Pula11
====================================
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
George, Susan, 2006. Republik Pasar Bebas: Menjual kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil
Society kepada Kapitalisme Global. Jakarta: INFID.
Hurrel, Andrew & Ngaire Wood, 1999. Inequality, Globalization, and World Politics,
diterjemahkan oleh Mahasiswa Kelas Sistem Ekonomi Tahun Ajaran 2000/2001.
Jakarta: FE-UI.
Heilbroner, Robert & Lester Thurow, 1998. Economics Explained. USA: Simon & Schuster.
Lunati, M. Teresa, 1997. Ethical Issues in Economics. UK: Palgrave.
Steger, Manfred B., 2002. Globalism: The New Market Ideology. Rowman & Littlefield Lanham,
MD: Publishers.
Stiglitz, Joseph E., 2006. Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang
Lebih Adil. Bandung: Mizan.
8 Materi studi kasus ditambahkan dari blog pribadi yang diakses pada
http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/12/04/ini-lho-mengapa-ibu-dianjurkan-memberi-
asi-hingga-2-tahun%E2%80%A6-415844.html
9 Judul dan materi diambil dari blog pribadi yang diakses pada http://media.kompasiana.com
/mainstream-media/2013/06/05/mempertanyakan-kebenaran-berita-di-media-online-pks-itu-didemo-
apa-enggak-sih-562595.html
10 Materi studi kasus diambil dari petisi yang diakses dari
https://www.change.org/id/petisi/presdir-bca-ubah-kebijakan-diskriminatif-yang-menolak-tuna-netra-
untuk-menabung-halobca?alert_id=MnYdGUjJee_VvTLgZUREx&utm_campaign=32492&utm_
medium=email&utm_source=action_alert dan https://twitter.com/HaloBCA
11 Judul dan materi diambil dari http://www.arrahmah.com/news/2013/08/26/solaria-haram-
arogan.html dan http://www.tempo.co/read/news/2013/08/02/090501865/Solaria-Baru-Akan-Urus-
Sertifikasi-Halal
8
8
INTERNET/ARTIKEL
Arifianto, S., 2013. Literasi Media dan Pemberdayaan Peran Kearifan Lokal Masyarakat.
Diakses dari http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/aptika-ikp/files/2013/02/LITERA
SI-MEDIA-DAN-PEMBERDAYAAN-MASYARAKAT.pdf pada tanggal 26 September
2013.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16768/4/Chapter%20I.pdf diakses pada
tanggal pada tanggal 26 September 2013.
http://web.unair.ac.id/admin/file/f_7697_Kemampuan_Berliterasi.doc diakses pada tanggal
pada tanggal 26 September 2013.
http://www.antaranews.com/berita/372846/masyarakat-indonesia-masih-pecandu-informasi
diakses pada tanggal pada tanggal 26 September 2013.
http://www.literasimedia.org/literasi-media/ diakses pada tanggal pada tanggal 26
September 2013.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=9950&coid=1&caid=58 diakses pada
tanggal pada tanggal 26 September 2013.