Literasi Media, Pilar Literasi Informasi Di Era Globalisasi Informasi

8
Literasi Media, Pilar Literasi Informasi untuk User Education di Era Globalisasi Informasi 1 Oleh: Khairunnisa Musari 2 1. LATAR BELAKANG 1.1 Globalisasi Arus Informasi Menurut Hurrel & Wood (1999), globalisasi 3 dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan atau lebih tepatnya pertumbuhan yang dipercepat oleh kegiatan ekonomi yang menjangkau batas-batas politik nasional dan regional. Globalisasi digerakkan oleh tindakan aktor-aktor individual, perusahaan-perusahaan, bank-bank, orang biasanya dalam hal mengejar keuntungan dan seringkali dipacu oleh tekanan kompetisi. Di era globalisasi, teknologi informasi berperan sangat penting. Penguasaan teknologi informasi menjadi modal penting dalam mengendalikan kegiatan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pendidikan. Penguasaan teknologi informasi juga menjadi agen perubahan. Penguasaan teknologi informasi memungkinkan teraksesnya sumber daya-sumber daya untuk mewujudkan visi misi organisasi maupun pribadi. Teknologi informasi memiliki keunggulan dalam menyampaikan pesan secara cepat, massal, dan simultan. Hal inilah yang menyebabkan gelombang globalisasi informasi menjadi tak terelakkan bagi belahan dunia manapun. Teknologi internet dan jaringan telekomunikasi nirkabel membuat manusia semakin mudah untuk mengakses informasi dan berhubungan satu sama lain lintas negara. Semua tanpa jarak dan distribusi informasi seperti tidak terbatas. Sistem informasi merupakan salah satu kunci bagi penguasaan teknologi informasi. Negara maju memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi karena didukung salah satunya oleh sistem informasi. Negara maju memiliki bargaining power dalam mengendalikan kegiatan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pendidikan di seluruh dunia karena didukung salah satunya oleh sistem informasi. Dengan demikian, salah satu 1 Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Tamu Mata Kuliah Komunikasi Intra Personal (KIP), Program Kekhususan Sistem Informasi, Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Surabaya, pada tanggal 27 September 2013. 2 Peneliti Tamkin Institute; Peneliti Divisi Syari’ah Risk Management International (RMI). 3 George (2006) menyatakan, begitu banyak orang dengan ringannya mengucapkan kata ‘globalisasi’, seolah kata itu tak bermakna, sebuah kata-kata kosong, yang tidak memiliki implikasi ideologi sama sekali. Kata tersebut kini bahasa pergaulan yang diucapkan oleh manusia dari segala strata dan menjadi magnet luar biasa kuat sebagai simbol modernitas. Susan George memaklumi jika istilah globalisasi ini demikian mempengaruhi dan mendominasi pikiran manusia karena memang didesain sangat rapi dengan biaya jutaan dolar. Kaum neoliberal memperjuangkan ide mereka dengan menciptakan jaringan internasional sangat besar. Salah satunya dengan cara mendirikan yayasan, institut, lembaga riset, dan media massa. Mereka juga menciptakan para penulis kelas dunia dan tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung ideologi tersebut. Dengan cara yang demikian cerdas, mereka berhasil menciptakan seolah-olah neoliberalisme merupakan suatu kondisi alamiah normal, tidak ada alternatif seperti yang diucapkan oleh Margaret Thatcher, There Is No Alternatif (TINA) terhadapnya, dan tidak memperdulikan berbagai kerusakan yang ditimbulkannya.

description

Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Tamu Mata Kuliah Komunikasi Intra Personal (KIP), Program Kekhususan Sistem Informasi, Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Surabaya, pada tanggal 27 September 2013.

Transcript of Literasi Media, Pilar Literasi Informasi Di Era Globalisasi Informasi

Literasi Media,

Pilar Literasi Informasi untuk

User Education di Era Globalisasi Informasi 1

Oleh: Khairunnisa Musari2

1. LATAR BELAKANG

1.1 Globalisasi Arus Informasi

Menurut Hurrel & Wood (1999), globalisasi3 dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan

atau lebih tepatnya pertumbuhan yang dipercepat oleh kegiatan ekonomi yang menjangkau

batas-batas politik nasional dan regional. Globalisasi digerakkan oleh tindakan aktor-aktor

individual, perusahaan-perusahaan, bank-bank, orang –biasanya dalam hal mengejar

keuntungan dan seringkali dipacu oleh tekanan kompetisi.

Di era globalisasi, teknologi informasi berperan sangat penting. Penguasaan teknologi

informasi menjadi modal penting dalam mengendalikan kegiatan ekonomi, politik, sosial

budaya, dan pendidikan. Penguasaan teknologi informasi juga menjadi agen perubahan.

Penguasaan teknologi informasi memungkinkan teraksesnya sumber daya-sumber daya

untuk mewujudkan visi misi organisasi maupun pribadi. Teknologi informasi memiliki

keunggulan dalam menyampaikan pesan secara cepat, massal, dan simultan. Hal inilah

yang menyebabkan gelombang globalisasi informasi menjadi tak terelakkan bagi belahan

dunia manapun. Teknologi internet dan jaringan telekomunikasi nirkabel membuat

manusia semakin mudah untuk mengakses informasi dan berhubungan satu sama lain

lintas negara. Semua tanpa jarak dan distribusi informasi seperti tidak terbatas.

Sistem informasi merupakan salah satu kunci bagi penguasaan teknologi informasi.

Negara maju memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi karena didukung salah

satunya oleh sistem informasi. Negara maju memiliki bargaining power dalam

mengendalikan kegiatan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pendidikan di seluruh dunia

karena didukung salah satunya oleh sistem informasi. Dengan demikian, salah satu

1 Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Tamu Mata Kuliah Komunikasi Intra Personal (KIP),

Program Kekhususan Sistem Informasi, Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas

Surabaya, pada tanggal 27 September 2013.

2 Peneliti Tamkin Institute; Peneliti Divisi Syari’ah Risk Management International (RMI).

3 George (2006) menyatakan, begitu banyak orang dengan ringannya mengucapkan kata

‘globalisasi’, seolah kata itu tak bermakna, sebuah kata-kata kosong, yang tidak memiliki implikasi

ideologi sama sekali. Kata tersebut kini bahasa pergaulan yang diucapkan oleh manusia dari segala

strata dan menjadi magnet luar biasa kuat sebagai simbol modernitas. Susan George memaklumi jika

istilah globalisasi ini demikian mempengaruhi dan mendominasi pikiran manusia karena memang

didesain sangat rapi dengan biaya jutaan dolar. Kaum neoliberal memperjuangkan ide mereka dengan

menciptakan jaringan internasional sangat besar. Salah satunya dengan cara mendirikan yayasan,

institut, lembaga riset, dan media massa. Mereka juga menciptakan para penulis kelas dunia dan

tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung ideologi tersebut. Dengan cara yang demikian cerdas,

mereka berhasil menciptakan seolah-olah neoliberalisme merupakan suatu kondisi alamiah normal,

tidak ada alternatif seperti yang diucapkan oleh Margaret Thatcher, There Is No Alternatif (TINA)

terhadapnya, dan tidak memperdulikan berbagai kerusakan yang ditimbulkannya.

2

2

indikator untuk mengukur kemajuan suatu negara adalah dengan melihat kinerja sistem

informasi yang memungkinkan bagi setiap elemen di dalamnya dapat mengakses dan

memperbaharui informasi.

Tidak bisa dipungkiri, globalisasi informasi menyebabkan banyak perubahan di

berbagai lini kehidupan, baik dalam ranah individu, kelompok, maupun negara. Globalisasi

informasi dengan serta merta membawa paham ekonomi, politik, sosial budaya, dan

pendidikan dari negara yang menguasai teknologi informasi kepada yang minim

penguasaan. Perubahan tidak saja mengubah pola pikir, gaya hidup, tetapi juga perubahan

struktural di masyarakat dalam berkehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, dan

pendidikan. Pada akhirnya, siapa yang menjadi penguasa dunia adalah mereka yang

mampu menguasai teknologi informasi dan mampu mengendalikannya. Mereka yang

memiliki kemampuan untuk menguasai dan mengendalikan teknologi informasi adalah

mereka yang memiliki kapital yang mengusung kapitalisme sebagai sebuah ideologi

ekonomi yang dibangun berdasarkan semangat individualisme, liberalisme, dan persaingan

bebas.

1.2 Dampak Globalisasi Informasi bagi User

“...mekanisme pasar merupakan pelayan yang rajin bagi yang kaya, tetapi tak perduli pada yang

miskin… mekanisme pasar mendorong perbuatan yang tidak bermoral, hal mana tidak hanya

merupakan suatu kegagalan ekonomi tetapi juga merupakan suatu kegagalan moral…”. (Robert

Heilbroner & Lester C. Thurow, 1994).

Sesungguhnya globalisasi merupakan sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-

bebas dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Hal tersebut bergantung

pada bagaimana sebuah negara melaksanakan tata kelola pada berbagai kebijakan ekonomi,

politik, sosial budaya, dan pendidikan. Namun, realitas menunjukkan berbagai

ketimpangan dunia saat ini sebagian besar adalah buah dari globalisasi sebagaimana yang

berlangsung saat ini.4

Dalam konteks globalisasi informasi, literasi informasi yang tidak memadai menjadi

pemicu sekaligus penyebab terjadinya ketimpangan dalam menerima dan menggunakan

informasi. Propaganda media dalam mengalirkan arus informasi bagi user seharusnya

diimbangi dengan literasi yang cukup untuk mengelola informasi dan melakukan diskonto

bagi informasi yang tidak bermanfaat. Pasalnya, aliran informasi yang merambah kepada

semua sektor sesungguhnya membawa aliran kepentingan, terutama bagi mereka yang

berperan sebagai homo economicus.5 Bila kepentingan tersebut sejalan dengan kepentingan

4 Steger (2002) mengatakan: “…dalam globalisasi…masyarakat di berbagai belahan dunia terkena

pengaruh besar dari perubahan transformasi struktur sosial dan lingkungan kultur. Globalisasi telah

memberikan kekayaan dan kesempatan besar bagi sekelompok kecil masyarakat, sementara itu memerosokkan

sangat banyak orang ke dalam keterhinaan sebagai orang miskin dan tanpa harapan apa-apa…”.

5 Menurut Lunati (1997), homo economicus atau ‘manusia ekonomi’ adalah “agen individual yang

berada di pusat teori ekonomi neoklasik (teori utilitarian, hedonis dan menitikpusatkan pada diri-sendiri, yang

rasionalis dan beretika individualis). Ia egois, rasional, berupaya untuk mencapai utilitas secara maksimum. Ia

bertindak secara independen dan nonkooperatif, sebagai atom sosial yang terisolasi tanpa mempunyai naluri

akan masyarakat sekitarnya, dan perilakunya dimotivasi semata-mata oleh kepentingan diri pribadi secara

sempit. Economic man atau manusia ekonomi bersifat materialistik tanpa emosi sama sekali dan merupakan

3

3

khalayak ramai dan bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak, tentu aliran informasi ini

membawa kemaslahatan. Namun, bila kepentingan yang dibawa aliran informasi

berpotensi mengeksploitasi kemudharatan, tentu perlu perisai untuk menghalangi dan

melawannya. Dalam hal inilah diperlukan literasi informasi untuk menghadapi mainstream

dari globalisasi informasi di era informasi.

Di tengah hegemoni kapitalisme, globalisasi informasi adalah suatu keniscayaan,

yang tidak mungkin ditolak, tetapi dapat kita waspadai dan antisipasi.6 Kekaguman dan

penerimaan yang tidak diiringi dengan ilmu pengetahuan dapat mempecundangi para

penggunanya (user), terutama bagi mereka yang berada di negara berkembang dan negara

miskin. Globalisasi yang menyebar selama ini telah melahirkan kemakmuran yang tinggi

bagi negara-negara maju yang sebagian besar berlokasi di dunia belahan barat.

Kemakmuran yang bersifat materiil tersebut akhirnya menjadi kiblat bagi banyak negara di

dunia yang memperkuatnya dengan menjadikan globalisasi sebagai inspirasi untuk meraih

tahapan kemakmuran, kemajuan peradaban, dan indikator kesejahteraan. Pada tataran

inilah dibutuhkan user education untuk meningkatkan literasi informasi sehingga dapat

menjadi filter dalam menyeleksi jenis informasi yang baik dan benar secara efektif.

2. PEMBAHASAN

2.1 Literasi Informasi untuk User Education

Secara sederhana, literasi informasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan

seseorang untuk memahami informasi yang dibutuhkan, memilih, mengevaluasi, dan

menggunakannya secara efektif. Tujuan akhir dari literasi informasi adalah kemampuan

mengambil keputusan informasi yang akan digunakan. Literasi informasi adalah salah satu

infrastruktur yang harus disiapkan dalam membangun sistem informasi yang bermaslahat.

Dalam era kekinian, literasi informasi harus menjadi bekal kecerdasan yang ampuh bagi

user dalam mengakses media yang menjadi alat distribusi informasi yang kian beragam di

era informasi ini.

Dari sejarahnya, konsep literasi informasi mulai diperkenalkan oleh Paul Zurkowski,

President of Information Industries Association (IIA), pada tahun 1974. IIA yang kemudian

berubah menjadi The Software and Information Industry Association (SIIA) oleh Zurkowski

manusia yang membuat perhitungan dengan kepala dingin: ia seorang 'egois yang rasional’…. Homo

economicus modern secara bengis bersikap rasional, ia tamak dan oportunistik; ia tak dapat dipercaya dan ia

tidak mempercayai orang lain, ia tidak mampu memberi komitmen dan akan selalu berupaya untuk mendapat

manfaat secara gratis; ia menganggap keegoisannya serta segala sifat dan perilakunya sebagai wajar...”.

6 Menurut Stiglitz (2006), dalam hubungan ekonomi global, globalisasi tampaknya sudah

menjadi kenyataan hidup dan tidak akan dapat begitu saja diabaikan jika kita tidak ingin menutup

pintu bagi hubungan ekonomi internasional dan menghendaki berlanjutnya hubungan itu. Globalisasi

jika dikelola dengan baik, bisa mendatangkan manfaat yang lebih besar daripada mudharatnya.

Namun demikian, kenyataan yang kita hadapi saat ini menunjukkan ‘proses globalisasi yang sedang

berjalan memicu suatu kondisi yang timpang, baik di negara maju maupun negara berkembang.

Kemakmuran sedang digalakkan, namun masih terlalu banyak negara maupun masyarakat yang tidak

ikut merasakannya. Mereka hampir tidak memiliki hak suara dalam proses (globalisasi) tersebut.

4

4

mengajukan proposal untuk National Commission Libraries and Information Science (NCLIS)

tentang solusi masalah ledakan informasi adalah dengan literasi informasi. Konsep ini

didorong oleh cara pandang Zurkowski yang melihat bahwa jasa perpustakaan tradisional

perlu berubah menjadi lembaga swasta sektor jasa informasi yang lebih inovatif, Dalam

proposalnya, Zurkowski merekomendasikan dimulainya sebuah program nasional untuk

pencapaian masyarakat yang melek informasi pada masa yang akan datang. Menurut

Zurkowski, masyarakat yang mampu dan terampil dalam menggunakan sumber informasi

dalam bidang pekerjaan mereka dapat dikatakan sebagai masyarakat yang melek informasi.

Mereka dituntut untuk terampil dalam menggunakan sejumlah alat informasi untuk

memecahkan masalah mereka.

2.2 Literasi Media sebagai Pilar Literasi Informasi

Menurut Arifianto (2013), literasi media diperlukan akibat semakin gencarnya terpaan

informasi dari berbagai media yang tidak diimbangi dengan kecakapan mengkonsumsinya,

sehingga dibutuhkanlah pemahaman dalam mengkonsumsi media secara sehat. Literasi

media tidak akan berjalan tanpa peran kearifan lokal masyarakat, baik secara individu, dan

kelompok. Peran kearifan lokal masyarakat dapat memfilter penetrasi budaya asing yang

digaungkan melalui media.

Menurut Iswandi Syahputra, penulis buku "Rezim Media", masyarakat Indonesia

masih dalam tahap pecandu informasi sehingga mudah dimainkan melalui opini yang

dibuat media, terutama televisi, untuk kepentingan tertentu. Masyarakat Indonesia belum

kritis, sehingga dibutuhkan literasi media atau pencerdasan informasi dari media kepada

masyarakat. Di beberapa negara, literasi media sudah masuk ke dalam kurikulum

pendidikan. Untuk tahap pemula, mereka diajarkan membongkar informasi. Misalnya apa,

siapa, dan mengapa informasi itu disampaikan. Hal ini bertujuan untuk menempatkan

masyarakat dalam posisi yang kritis terhadap informasi yang disampaikan. Sedangkan di

Indonesia, opini yang terus menerus disampaikan melalui media televisi, cenderung untuk

dapat merekonstruksi pendapat masyarakat. Dalam perkembangannya, rating menjadi

‘berhala’ baru yang menjadi acuan pengelola televisi. Kesulitan pun bertambah karena

ternyata tidak mudah untuk memutus tali rantai kecanduan di masyarakat karena tayangan

yang ditampilkan bentuknya menghibur. Untuk itu, masyarakat harus dibekali kecerdasan

terhadap media. (AntaraNEWS, 3 Mei 2013).

Tidak bisa dipungkiri, media massa merupakan sumber informasi utama dan

pertama yang berkemampuan untuk menanamkan pola pikir, membangun pencitraan,

bahkan membentuk opini. Media massa merupakan instrumen strategis dalam

menyampaikan pesan yang terbingkai dalam informasi yang dipasok dengan mengemas

strategi yang menyoroti aspek-aspek tertentu dan mengabaikan aspek-aspek lain dalam

menyikapi fenomena. Respon yang diterima dan kemudian ditindaklanjuti oleh user akan

menjadi beragam, bergantung pada tingkat pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan

kepentingan yang mereka miliki. Strategi media massa yang sangat halus ini yang kerap

tidak disadari oleh publik.

Atas dasar itulah, literasi media menjadi salah satu pilar dalam literasi informasi di

tengah derasnya globalisasi informasi di era informasi. Literasi media secara sederhana

dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi informasi yang disampaikan

5

5

media. Pada gilirannya, literasi media inilah yang menjadi tameng dalam mewaspadai dan

mengantisipasi berbagai ancaman sporadis dan masif dalam mendegradasi pikiran dan hati

serta perilaku user. Dalam hal ini, user education adalah keniscayaan dalam upaya

meningkatkan literasi media.

3. STUDI KASUS

3.1 UU ITE DAN PERS7

Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan tanpa ada hingar-bingar.

Semula, banyak pihak memandang positif kehadiran UU ITE karena tujuannya yang mulia untuk

melindungi moral bangsa. Namun, dalam perkembangannya, banyak pihak mulai berpolemik terkait

ekses negatif dari UU tersebut, terutama bagi dunia pers. Bagaimana menyikapinya?

UU ITE adalah cyber law pertama di Indonesia. Semula, sebagian besar masyarakat

memiliki persepsi bahwa UU tersebut sebatas untuk pemblokiran situs porno. Setelah

adanya proses sosialisasi, barulah dipahami bahwa UU tersebut memiliki substansi yang

melingkupi seluruh transaksi berbasis elektronik.

Sebagai payung hukum dunia maya pertama, cukup dipahami jika UU ITE

menimbulkan polemik. Perdebatan mengemuka di sejumlah kalangan, termasuk insan pers.

Bagi dunia pers, UU ITE dipandang sebagai sinyal menguatnya peran pemerintah dalam

melakukan kendali kebebasan pers. Tidak salah jika UU tersebut dinilai sebagai lampu

kuning bagi para jurnalis untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pemberitaan.

Hadirnya UU ITE menyebabkan dunia pers, terutama pers online, menjadi terikat. Sebab,

UU tersebut secara khusus mengatur penyampaian informasi secara elektronik melalui

internet dan tidak memandang apakah yang menyampaikan informasi tersebut adalah pers

atau bukan.

Ada 2 pasal UU ITE yang menjadi sorotan dan dipandang mengancam pers, yaitu

pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1. Pasal 27 ayat 3 mengatur larangan bagi seseorang untuk

menyebarkan informasi yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Bagi yang tak mengindahkan, akan diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda

maksimal Rp 1 miliar seperti diatur dalam pasal 45 ayat 1. Ancaman pidana itu bukan untuk

korporasi seperti yang diatur UU Pers, tetapi untuk perorangan. Jalan untuk

mempidanakan pers pun bisa langsung, tak perlu harus melewati prosedur hak jawab,

somasi atau mengadu ke Dewan Pers.

Inilah poin-poin yang dipandang dapat melemahkan pers dalam melaksanakan

profesinya. Tidak hanya para pekerja pers, para pemilik perusahaan pers pun dirundung

kekhawatiran. Bahkan juga Dewan Pers yang merupakan lembaga ombudsman bagi pihak-

pihak yang dirugikan pemberitaan pers. Tidak dilibatkannya Dewan Pers ataupun pihak-

pihak yang merepresentasikan insan pers, membuat UU tersebut menjadi sorotan dan

menimbulkan kontroversi.

7 Artikel asli dari Naurah Najwa Hairrudin yang sudah dimuat di Harian Seputar Indonesia

(SINDO) dengan judul ‚UU ITE Tak Sekedar Blokir Pornografi‛ pada 15 April 2008.

6

6

Pembelajaran Bagi Semua

Setuju atau tidak setuju dengan UU ITE, memang butuh kelapangan hati bagi banyak

pihak untuk mengedepankan kepentingan bangsa ini dan bukan kepentingan orang per

orang atau kelompok-kelompok tertentu. Dibalik sejumlah kekurangan UU ITE, patutlah

niat baik tersebut didukung. UU ini merupakan upaya pemerintah untuk melaksanakan tata

kelola teknologi yang baik sekaligus langkah penyelamatan moralitas anak negeri ini.

Pendidikan di rumah tidak sepenuhnya cukup untuk membentengi anak-anak dari

pengaruh lingkungan. Makin beragamnya produk teknologi dan kemudahan untuk

mendapatkannya, kerap disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak membawa manfaat,

bahkan berpotensi merusak perilaku.

Harus disadari, sebuah kebijakan tidak akan pernah lepas tampilan sisi positif-negatif

yang mengundang pro-kontra. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana upaya untuk

mewujudkan sebuah niat dan tujuan yang baik dengan cara yang baik pula. Dalam konteks

UU ITE, niat dan tujuan yang pada awalnya dinilai baik, ternyata menjadi polemik lantaran

dalam proses perumusannya tidak melibatkan sejumlah pihak terkait yang akan

melaksanakan produk hukum. Inilah yang menyebabkan produk hukum tersebut

dipandang tidak akomodatif dan bukannya memberikan solusi, tapi malah menimbulkan

persoalan, bahkan mengancam pihak-pihak tertentu yang seharusnya dilindungi.

Ke depan, pemerintah dalam menyusun kebijakan, perlulah mengajak pihak-pihak

terkait untuk duduk dan bicara bersama. Hal ini guna mengakomodasi aspirasi sekaligus

mengeliminir dampak negatif yang berpotensi muncul. Pemerintah pun diharapkan

menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menghasilkan kebijakan. Transparansi dapat

menghindarkan pemerintah dari mosi tidak percaya dan tudingan adanya kepentingan

pemilik modal di balik produk yang dihasilkannya.

Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan dengan segera Peraturan Pemerintah (PP)

sebagai pedoman pelaksanaan UU tersebut. Sosialisasi pun sebaiknya melibatkan berbagai

kalangan agar pesan dari UU ITE tersampaikan pada semua elemen dengan persepsi yang

sama. Pemerintah perlu pula segera menyusun standar, operasi, dan prosedur (SOP) guna

menghindari penyalahgunaan UU tersebut. Perlu pembinaan yang intensif, baik pada

pelaku bisnis, pelaku teknologi informasi, juga aparat, agar produk hukum ini tidak

disalahgunakan bagi pihak-pihak yang mencari-cari kesalahan.

Terakhir, pemerintah perlu membuka diri untuk menerima masukan atas kelemahan-

kelemahan yang ada pada UU ITE. Bagaimanapun juga, UU tersebut perlu terus

disempurnakan. Perlu hati yang besar untuk berkenan menerima kritikan. Pemerintah

memang berkewajiban untuk mengatur hal-hal yang terkait dengan hajat masyarakat.

Dunia pers pun memiliki tanggung jawab sosial untuk menyampaikan informasi yang

benar pada masyarakat. Atas dasar itu, jika pemerintah berkenan duduk dan bicara bersama

dengan insan pers, mungkin ketidaksamaan persepsi ataupun hal-hal yang dapat mengebiri

hak dan kewajiban salah satu pihak akan dapat diselesaikan. Semoga masih ada jalan untuk

menyelesaikannya…

7

7

3.2 Studi Kasus Misleading Information: Iklan Susu FORMULA VS ASI8

3.3 Studi Kasus Asymetric Information: Mempertanyakan Kebenaran Berita di Media

Online, Ustadz Anis Matta Itu Didemo Apa Enggak Sih?9

3.4 Studi Kasus Petisi atas Diskriminasi dan Hak atas Corporate Responsibility:

Mengubah Kebijakan Diskriminatif yang Menolak Tuna Netra untuk Menabung di BCA

via Change.Org10

3.5 Studi Kasus Mempertanyakan Kehalalan Produk Makanan via Arrahmah.Com:

Solaria Sudah Haram, Arogan Pula11

====================================

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

George, Susan, 2006. Republik Pasar Bebas: Menjual kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil

Society kepada Kapitalisme Global. Jakarta: INFID.

Hurrel, Andrew & Ngaire Wood, 1999. Inequality, Globalization, and World Politics,

diterjemahkan oleh Mahasiswa Kelas Sistem Ekonomi Tahun Ajaran 2000/2001.

Jakarta: FE-UI.

Heilbroner, Robert & Lester Thurow, 1998. Economics Explained. USA: Simon & Schuster.

Lunati, M. Teresa, 1997. Ethical Issues in Economics. UK: Palgrave.

Steger, Manfred B., 2002. Globalism: The New Market Ideology. Rowman & Littlefield Lanham,

MD: Publishers.

Stiglitz, Joseph E., 2006. Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang

Lebih Adil. Bandung: Mizan.

8 Materi studi kasus ditambahkan dari blog pribadi yang diakses pada

http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/12/04/ini-lho-mengapa-ibu-dianjurkan-memberi-

asi-hingga-2-tahun%E2%80%A6-415844.html

9 Judul dan materi diambil dari blog pribadi yang diakses pada http://media.kompasiana.com

/mainstream-media/2013/06/05/mempertanyakan-kebenaran-berita-di-media-online-pks-itu-didemo-

apa-enggak-sih-562595.html

10 Materi studi kasus diambil dari petisi yang diakses dari

https://www.change.org/id/petisi/presdir-bca-ubah-kebijakan-diskriminatif-yang-menolak-tuna-netra-

untuk-menabung-halobca?alert_id=MnYdGUjJee_VvTLgZUREx&utm_campaign=32492&utm_

medium=email&utm_source=action_alert dan https://twitter.com/HaloBCA

11 Judul dan materi diambil dari http://www.arrahmah.com/news/2013/08/26/solaria-haram-

arogan.html dan http://www.tempo.co/read/news/2013/08/02/090501865/Solaria-Baru-Akan-Urus-

Sertifikasi-Halal

8

8

INTERNET/ARTIKEL

Arifianto, S., 2013. Literasi Media dan Pemberdayaan Peran Kearifan Lokal Masyarakat.

Diakses dari http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/aptika-ikp/files/2013/02/LITERA

SI-MEDIA-DAN-PEMBERDAYAAN-MASYARAKAT.pdf pada tanggal 26 September

2013.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16768/4/Chapter%20I.pdf diakses pada

tanggal pada tanggal 26 September 2013.

http://web.unair.ac.id/admin/file/f_7697_Kemampuan_Berliterasi.doc diakses pada tanggal

pada tanggal 26 September 2013.

http://www.antaranews.com/berita/372846/masyarakat-indonesia-masih-pecandu-informasi

diakses pada tanggal pada tanggal 26 September 2013.

http://www.literasimedia.org/literasi-media/ diakses pada tanggal pada tanggal 26

September 2013.

http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=9950&coid=1&caid=58 diakses pada

tanggal pada tanggal 26 September 2013.