Lp Sirosis

41
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SIROSIS HEPATIS A. KAJIAN TEORI 1. DEFINISI Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002). Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001). Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004). 2. ETIOLOGI Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:

description

laporan pendahuluan sirosis hepatis

Transcript of Lp Sirosis

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SIROSIS HEPATIS

A. KAJIAN TEORI

1. DEFINISI

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui

penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium

terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya

proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha

regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro

dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut

(Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001). Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah

penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan

disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,

pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004).

2. ETIOLOGI

Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua

penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:

a. Hepatitis virus

Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis

hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965

dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai

peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi.

Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai

kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan

perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A

b. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.

Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan

pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis

atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat

hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena

alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat

mengarah pada kerusakan parenkim hati.

c. Hemokromatosis

Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya

hemokromatosis, yaitu:

1) Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.

2) Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada

penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,

kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.

3. PATOFISIOLOGI

Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini

menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus

hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus

dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama

atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan

berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta dengan

sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai macam

ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan

aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi

pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi peradangan

pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan

septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi ireversibel bila telah

terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati.

Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi

hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik

timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan

monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak

memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah porta

menyebar ke parenkim hati.

Pembentukan Jaringan Ikat

Hepatitis virus

Kegagalan Parenkim Hati

Hipertensi portal Asites Ensepalopati

Mual mual

Nafsu makan menurun

Kelemahan otot

Cepat lelah

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Intoleransi Aktivitas

Defisit Perawatan Diri

Varises esophagus

Tekanan Meningkat

Pembuluh Darah Pecah

Hematemisis Melena

Risiko ketidakseimbangan volume cairan

Cemas

Penekanan Diafragma

alkoholisme

Nekrosis Parenkim Hati

Ruang paru menyempit

Sesak Nafas

Pola Nafas Tidak Efektif

Kesadaran Menurun

Risiko Cidera

4. KLASIFIKASI

a. Secara klinis chirrosis hati dibagi menjadi:

1) Chirrosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata

2) Chirrosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang

jelas. Chirrosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis

kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya

dapat dibedakan melalui biopsi hati.

b. Secara morfologi Sherrlock membagi Chirrosis hati bedasarkan besar kecilnya

nodul, yaitu:

1) Makronoduler (Ireguler, multilobuler)

2) Mikronoduler (reguler, monolobuler)

3) Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

c. Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit chirrosis hati atas:

1) Chirrosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau

sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy chirrosis yang terbentuk karena

banyak terjadi jaringan nekrose.

2) Nutrisional chirrosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, chirrosis

alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Chirrosis terjadi sebagai

akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.

3) Chirrosis Post hepatic, chirrosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita

hepatitis.

5. TANDA GEJALAN KLINIS

Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver yang

mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan, mual-mual, badan lemah,

kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan darah mirip laba-laba

di kulit (spider angiomas). Pada chirrosis terjadi kerusakan hati yang terus menerus dan

terjadi regenerasi noduler serta ploriferasi jaringan ikat yang difus. Tanda-tanda klinik

yang dapat terjadi yaitu:

a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.

Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia

sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika

liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk

beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama

perjalanan penyakit

b. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis

Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk

pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan

tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya

asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.

c. Hati yang membesar

Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati

membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa

nyeri bila ditekan.

d. Hipertensi portal

Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di

atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi

terhadap aliran darah melalui hati.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Laboratorium

1) Urine

Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada

ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang

( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome

hepatorenal.

2) Tinja

Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi

pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam

usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja

berwarna cokelat atau kehitaman.

3) Darah

Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –kadang

dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin

B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan

gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni

bersamaan dengan adanya trombositopeni.

4) Tes Faal Hati

Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita

yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik,

sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16

gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per

hari.9 Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan

globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis

protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. 39

Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka

untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.

b. Sarana Penunjang Diagnostik

1) Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan fototoraks,

splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)

2) Ultrasonografi

Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati,

termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya

penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan

irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG,

yaitu tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak

membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.

3) Peritoneoskopi (laparoskopi)

Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan jelas

kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil

dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali

didapatkan pembesaran limpa.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS

a. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.

b. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori).

Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2000

mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3000 kalori) dan

tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma

hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati II) untuk

kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan

tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien atau meningginya

hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya

koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.

c. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang jelas

tidak hepatotoksik.

d. Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial

berantai cabang dengan glukosa.

e. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang

mengandung alkohol.

Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :

a. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-500

mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya

harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam, hanya

sampai 1 liter atau kurang.

b. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik

berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300

mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat perubahan.

c. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi

medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun merupakan

cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan karena

berbagai komplikasinya, parasentesis banyak kembali dicoba untuk digunakan.

Pada umunya parasentesis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6

– 8 gr untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan

dekstran 70 % Walaupun demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah

parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.

d. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/hari.

Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat, dapat

mencetuskan ensefalopati hepatik

8. KOMPLIKASI

Komplikasi chirrosis hati yang dapat terjadi antara lain:

a. Perdarahan

Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya pada

chirrosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus. Sifat

perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis, biasanya

mendadak tanpa didahului rasa nyeri. Darah yang keluar berwarna kehitam-

hitaman dan tidak akan membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung.

Penyebab lain adalah tukak lambung dan tukak duodeni.

b. Koma hepatikum

Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak,

sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum

mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran penderita. Koma

hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma hepatikum primer, yaitu

disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya,

maka metabolism tidak dapat berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum

sekunder, yaitu koma hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara

langsung, tetapi oleh sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi

terhadap asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.

c. Ulkus Peptikum

Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila

dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan

diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum,

resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya

defisiensi makanan

d. Karsinoma Hepatoselular

Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk

postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi

adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple

e. Infeksi

Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga

penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul pada

penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia,

tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis,

endokarditis, erysipelas maupun septikemi.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Pengkajian pada pasien sirosis hepatis

a. Demografi

1) Usia : diatas 30 tahun

2) Laki-laki beresiko lebih besar daripada perempuan

3) Pekerjaan : riwayat terpapar toksin

b. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat hepatitis kronis

2) Penyakit gangguan metabolisme : DM

3) Obstruksi kronis ductus coleducus

4) Gagal jantung kongestif berat dan kronis

5) Penyakit autoimun

6) Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP

c. Pola Fungsional

1) Aktivitas/ istirahat

Gejala : Kelemahan, kelelahan.

Tanda : Letargi, penurunan massa otot/ tonus.

2) Sirkulasi

Gejala : Riwayat Gagal Jantung Kongestif (GJK) kronis, perikarditis,

penyakit jantung rematik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati),

disritmia, bunyi jantung ekstra, DVJ; vena abdomen distensi.

3) Eliminasi

Gejala : Flatus.

Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan/

tak adanya bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat.

4) Makanan/ cairan

Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tak dapat mencerna,

mual/ muntah.

Tanda : Penurunan berat badan/ peningkatan (cairan), kulit kering, turgor

buruk, ikterik : angioma spider, napas berbau/ fetor hepatikus, perdarahan

gusi.

5) Neurosensori

Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian, penurunan

mental.

Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat/ tak

jelas.

6) Nyeri/ kenyamanan

Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas.

Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri sendiri.

7) Pernapasan

Gejala : Dispnea.

Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru

terbatas (asites), hipoksia.

8) Keamanan

Gejala : Pruritus.

Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkohlik), ikterik, ekimosis,

petekie.

9) Seksualitas

Gejala : Gangguan menstruasi, impoten.

Tanda : Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan,

pubis).

d. Pemeriksaan Fisik

1) Tampak lemah

2) Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan)

3) Sclera ikterik, konjungtiva anemis

4) Distensi vena jugularis dileher

5) Dada :

a) Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki)

b) Penurunan ekspansi paru

c) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan

d) Disritmia, gallop

e) Suara abnormal paru (rales)

6) Abdomen :

a) Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen

b) Penurunan bunyi usus

c) Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras

d) Nyeri tekan ulu hati

7) Urogenital :

a) Atropi testis

b) Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum)

8) Integumen :

a) Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis

9) Ekstremitas :

a) Edema, penurunan kekuatan otot

e. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu:

a) Darah lengkap

Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM

dan anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi.

Leukopenia mungkin ada sebagai akibat hiperplenisme.

b) Kenaikan kadar SGOT, SGPT

c) Albumin serum menurun

d) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia

e) Pemanjangan masa protombin

f) Glukosa serum : hipoglikemi

g) Fibrinogen menurun

h) BUN meningkat

2) Pemeriksaan diagnostik

Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu:

a) Radiologi

Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.

b) Esofagoskopi

Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.

c) USG

d) Angiografi

Untuk mengukur tekanan vena porta.

e) Skan/ biopsi hati

Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.

f) Partografi transhepatik perkutaneus

Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anorexia

b. Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan asites

c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum

d. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan.

e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan

f. Ansietas berhubungan dengan penularan penyakit interpersonal

g. Risiko cidera berhubungan dengan gangguan moblitas.

3. RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa/Masalah

Keperawatan

Rencana Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh

berhubungan dengan

anorexia

NOC:

Nutritional status:

Adequacy of nutrient

Nutritional Status :

food and Fluid

Intake

Weight Control

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan

selama….nutrisi kurang

teratasi dengan indikator:

1. Albumin serum

2. Pre albumin serum

3. Hematokrit

4. Hemoglobin

5. Total iron binding

capacity

6. Jumlah limfosit

1. Kaji adanya alergi

makanan

2. Kolaborasi dengan

ahli gizi untuk

menentukan

jumlah kalori dan

nutrisi yang

dibutuhkan pasien.

3. Yakinkan diet yang

dimakan

mengandung tinggi

serat untuk

mencegah

konstipasi.

4. Ajarkan pasien

bagaimana

membuat catatan

makanan harian.

5. Monitor adanya

penurunan BB dan

gula darah.

6. Monitor

lingkungan selama

makan.

7. Jadwalkan

pengobatan dan

tindakan tidak

selama jam makan.

8. Monitor turgor

kulit.

9. Monitor

kekeringan, rambut

kusam, total

protein, Hb dan

kadar Ht.

10. Monitor mual dan

muntah.

11. Monitor pucat,

kemerahan, dan

kekeringan

jaringan

konjungtiva.

12. Monitor intake

nuntrisi.

13. Informasikan pada

klien dan keluarga

tentang manfaat

nutrisi.

14. Kolaborasi dengan

dokter tentang

kebutuhan

suplemen makanan

seperti NGT/ TPN

sehingga intake

cairan yang

adekuat dapat

dipertahankan.

15. Atur posisi semi

fowler atau fowler

tinggi selama

makan.

16. Kelola pemberan

anti emetik:.....

17. Catat adanya

edema, hiperemik,

hipertonik papila

lidah dan cavitas

oval

Risiko

ketidakseimbangan

volume cairan

berhubungan dengan

asites

NOC:

Fluid balance

Hydration

Nutritional Status :

Food and Fluid

Intake

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama…..

defisit volume cairan teratasi

dengan kriteria hasil:

1. Mempertahankan

urine output sesuai

dengan usia dan BB,

BJ urine normal, .

NIC :

1. Pertahankan

catatan intake dan

output yang akurat.

2. Monitor status

hidrasi

( kelembaban

membran mukosa,

nadi adekuat,

tekanan darah

ortostatik ), jika

diperlukan.

3. Monitor hasil lab

yang sesuai dengan

retensi cairan

2. Tekanan darah, nadi,

suhu tubuh dalam

batas normal.

3. Tidak ada tanda

tanda dehidrasi,

Elastisitas turgor

kulit baik, membran

mukosa lembab,

tidak ada rasa haus

yang berlebihan

4. Orientasi terhadap

waktu dan tempat

baik.

5. Jumlah dan irama

pernapasan dalam

batas normal.

6. Elektrolit, Hb, Hmt

dalam batas normal.

7. pH urin dalam batas

normal.

8. Intake oral dan

intravena adekuat

(BUN , Hmt ,

osmolalitas urin,

albumin, total

protein ).

4. Monitor vital sign

setiap 15menit – 1

jam.

5. Kolaborasi

pemberian cairan

IV.

6. Monitor status

nutrisi.

7. Kolaborasi dokter

jika tanda cairan

berlebih muncul

meburuk.

8. Pasang kateter jika

perlu.

9. Monitor intake dan

urin output setiap 8

jam

Intoleransi aktivitas

berhubungan dengan

kelemahan umum

NOC :

Self Care : ADLs

Toleransi aktivitas

NIC :

1. Observasi adanya

pembatasan klien

dalam melakukan

Konservasi eneergi

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama ….

Pasien bertoleransi terhadap

aktivitas dengan Kriteria

Hasil :

1. Berpartisipasi dalam

aktivitas fisik tanpa

disertai peningkatan

tekanan darah, nadi

dan RR.

2. Mampu melakukan

aktivitas sehari hari

(ADLs) secara

mandiri.

3. Keseimbangan

aktivitas dan istirahat

aktivitas

2. Kaji adanya faktor

yang menyebabkan

kelelahan

3. Monitor nutrisi

dan sumber energi

yang adekuat

4. Monitor pasien

akan adanya

kelelahan fisik dan

emosi secara

berlebihan

5. Monitor respon

kardivaskuler

terhadap aktivitas

(takikardi,

disritmia, sesak

nafas, diaporesis,

pucat, perubahan

hemodinamik)

6. Monitor pola tidur

dan lamanya

tidur/istirahat

pasien

7. Kolaborasikan

dengan Tenaga

Rehabilitasi Medik

dalam

merencanakan

progran terapi yang

tepat.

8. Bantu klien untuk

mengidentifikasi

aktivitas yang

mampu dilakukan

9. Monitor respon

fisik, emosi, sosial

dan spiritual

Ketidakefektifan pola

nafas berhubungan

dengan keletihan otot

pernapasan.

NOC:

Respiratory status :

Ventilation

Respiratory status :

Airway patency

Vital sign Status

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama

………..pasien

menunjukkan keefektifan

pola nafas, dibuktikan

dengan kriteria hasil:

1. Mendemonstrasikan

batuk efektif dan suara

nafas yang bersih, tidak

ada sianosis dan

dyspneu (mampu

mengeluarkan sputum,

mampu bernafas dg

NIC:

1. Posisikan pasien

untuk

memaksimalkan

ventilasi

2. Pasang mayo bila

perlu

3. Lakukan fisioterapi

dada jika perlu

4. Keluarkan sekret

dengan batuk atau

suction

5. Auskultasi suara

nafas, catat adanya

suara tambahan

6. Berikan

bronkodilator....

7. Berikan pelembab

mudah, tidakada pursed

lips)

2. Menunjukkan jalan

nafas yang paten (klien

tidak merasa tercekik,

irama nafas, frekuensi

pernafasan dalam

rentang normal, tidak

ada suara nafas

abnormal)

3. Tanda Tanda vital

dalam rentang normal

(tekanan darah, nadi,

pernafasan)

udara Kassa basah

NaCl Lembab

8. Atur intake untuk

cairan

mengoptimalkan

keseimbangan.

9. Monitor respirasi

dan status O2.

10. Bersihkan mulut,

hidung dan secret

trakea.

11. Pertahankan jalan

nafas yang paten.

12. Observasi adanya

tanda tanda

hipoventilasi.

13. Monitor adanya

kecemasan pasien

terhadap

oksigenasi.

14. Monitor vital sign.

15. Informasikan pada

pasien dan

keluarga tentang

tehnik relaksasi

untuk memperbaiki

pola nafas.

16. Ajarkan bagaimana

batuk efektif.

17. Monitor pola nafas

Defisit perawatan diri

berhubungan dengan

kelemahan

NOC :

Self care : Activity

of Daily Living

(ADLs)

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama ….

Defisit perawatan diri teratas

dengan kriteria hasil:

1. Klien terbebas dari

bau badan

2. Menyatakan

kenyamanan

terhadap kemampuan

untuk melakukan

ADLs

3. Dapat melakukan

ADLS dengan

bantuan

NIC :

Self Care

assistane : ADLs

1. Monitor

kemempuan klien

untuk perawatan

diri yang mandiri.

2. Monitor kebutuhan

klien untuk alat-

alat bantu untuk

kebersihan diri,

berpakaian,

berhias, toileting

dan makan.

3. Sediakan bantuan

sampai klien

mampu secara utuh

untuk melakukan

self-care.

4. Dorong klien untuk

melakukan

aktivitas sehari-

hari yang normal

sesuai kemampuan

yang dimiliki.

5. Dorong untuk

melakukan secara

mandiri, tapi beri

bantuan ketika

klien tidak mampu

melakukannya.

6. Ajarkan klien/

keluarga untuk

mendorong

kemandirian, untuk

memberikan

bantuan hanya jika

pasien tidak

mampu untuk

melakukannya.

7. Berikan aktivitas

rutin sehari- hari

sesuai kemampuan.

8. Pertimbangkan

usia klien jika

mendorong

pelaksanaan

aktivitas sehari-

hari.

Ansietas berhubungan

dengan penularan

penyakit interpersonal

NOC :

Anxiety Control

Setelah dilakukan asuhan

selama ……………klien

kecemasan teratasi dgn

kriteria hasil:

NIC :

Anxiety Reduction

(penurunan

kecemasan)

1. Gunakan

pendekatan yang

1. Klien mampu

mengidentifikasi dan

mengungkapkan

gejala cemas.

2. Mengidentifikasi,

mengungkapkan dan

menunjukkan tehnik

untuk mengontol

cemas.

3. Vital sign dalam

batas normal.

4. Postur tubuh,

ekspresi wajah,

bahasa tubuh dan

tingkat aktivitas

menunjukkan

berkurangnya

kecemasan

menenangkan.

2. Jelaskan semua

prosedur dan apa

yang dirasakan

selama prosedur.

3. Temani pasien

untuk memberikan

keamanan dan

mengurangi takut.

4. Berikan informasi

faktual mengenai

diagnosis, tindakan

prognosis.

5. Libatkan keluarga

untuk

mendampingi

klien.

6. Instruksikan pada

pasien untuk

menggunakan

tehnik relaksasi.

7. Dengarkan dengan

penuh perhatian.

8. Identifikasi tingkat

kecemasan.

9. Bantu pasien

mengenal situasi

yang menimbulkan

kecemasan.

10. Dorong pasien

untuk

mengungkapkan

perasaan,

ketakutan,

persepsi.

11. Kelola pemberian

obat anti

cemas:........

Risiko cidera

berhubungan dengan

gangguan moblitas.

NOC :

Risk Kontrol

Immune status

Safety Behavior

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama….

Klien tidak mengalami

injury dengan kriterian hasil:

1. Klien terbebas dari

cedera.

2. Mampu

memodifikasi gaya

hidup untuk

mencegah injury.

3. Menggunakan

fasilitas kesehatan

yang ada.

NIC :

Environment

Management

(Manajemen

lingkungan)

1. Sediakan

lingkungan yang

aman untuk pasien.

2. Identifikasi

kebutuhan

keamanan pasien,

sesuai dengan

kondisi fisik dan

fungsi kognitif

pasien dan riwayat

penyakit terdahulu

pasien.

3. Menghindarkan

lingkungan yang

4. Mampu mengenali

perubahan status

kesehatan

berbahaya

(misalnya

memindahkan

perabotan).

4. Memasang side rail

tempat tidur.

5. Menyediakan

tempat tidur yang

nyaman dan bersih.

6. Menempatkan

saklar lampu

ditempat yang

mudah dijangkau

pasien.

7. Membatasi

pengunjung

8. Memberikan

penerangan yang

cukup.

9. Menganjurkan

keluarga untuk

menemani pasien.

10. Mengontrol

lingkungan dari

kebisingan.

11. Memindahkan

barang-barang

yang dapat

membahayakan.

12. Berikan penjelasan

pada pasien dan

keluarga atau

pengunjung adanya

perubahan status

kesehatan dan

penyebab penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions Classification

(NIC), Mosby Year-Book, St. Louis

Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &

Suddarth, EGC, Jakarta

Marion Johnson, dkk, 2006, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-

Book, St. Louis

Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-

2002, NANDA

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed

8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Soeparman. (2004). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.