makalah ahli hikmah

39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada esensinya, agama Islam yang terdiri atas aqidah, syariat dan akhlak, merupakan agama yang sempurna dan semua ajarannya terintegral dan saling berkaitan. Aqidah menjelaskan syariat, syariat menjelaskan aqidah, dan aqidah serta syariat menjelaskan akhlak. Dalam pengejawantahannya kemudian melahirkan praktek-prektek yang beragam dikalangan ummat Islam. Dan dalam sejarah kemudian kita mengenal adanya praktek-praktek sufi yang dijalani oleh beberapa orang dan kelompok. Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT., dengan sesama manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada sebuah gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri seorang hamba kepada sang Khalik. B. Rumusan Masalah 1

description

makalah

Transcript of makalah ahli hikmah

Page 1: makalah ahli hikmah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 

Pada esensinya,  agama Islam yang terdiri atas aqidah, syariat dan akhlak,

merupakan agama  yang sempurna dan semua ajarannya terintegral dan saling

berkaitan. Aqidah menjelaskan  syariat, syariat menjelaskan  aqidah, dan aqidah

serta syariat menjelaskan akhlak. Dalam pengejawantahannya kemudian

melahirkan praktek-prektek yang  beragam dikalangan ummat Islam. Dan dalam

sejarah kemudian kita mengenal adanya praktek-praktek sufi yang dijalani oleh

beberapa orang dan kelompok.

Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak

ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT., dengan sesama

manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua

mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada

sebuah gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri seorang hamba

kepada sang Khalik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan ke dalam Uraian

biografi dan pemikiran tasawuf dari :

- Rabi`ah Al-Adawiyah Al-Mahabbah

- Ma`ruf Al-kurkhi

- Dzunun Al-Misri

C. Tujuan

Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui dan memahami Uraian

biografi dan pemikiran tasawuf dari :

- Rabi`ah Al-Adawiyah Al-Mahabbah

- Ma`ruf Al-kurkhi

- Dzunun Al-Misri

1

Page 2: makalah ahli hikmah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Rabi`ah Al-Adawiyah Al Mahabbah

- Biografi Rabi’ah Adawiyah

Rabiah Al-Adawiyah dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri

adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya

terhadap Allah. Rabi'ah merupakan klien (Mawlat) dari klan Al-Atik suku

Qays bin 'Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan al- Qaysyah. Ia dikenal

sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada

kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk

beribadah kepada Allah. Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713-717

Masehi, atau 95-99 Hijriah, di kota Basrah Irak dan meninggal sekitar

tahun 801 M /185 H.1 Nama lengkapnya adalah Ummu al-Khair

Rabî’ah binti Ismâ’îl al-Adawiyyah al-Qishiyyah.2 Rabiah merupakan

sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah. Rabi’ah

Adawiyah menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang

mengabdikan dirinya untuk Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai The

Mother of the Grand Master atau Ibu Para Sufi Besar karena

kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-

Faridh dan Dhun Nun Al-misri.

Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh dari kalangan orang

miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah.

Menurut riwayat, prosesi kelahiran anak keempatnya di malam hari

berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran ketidakmampuan

sang Ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia

1 Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia, 2007), hal, 119

2 Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The ensiklopedia of Islam the new edition, (Leiden; ej Brill, 1995), Hal, 354-6

2

Page 3: makalah ahli hikmah

merasa “malu” untuk mengadu kepada sesama manusia. Untungnya,

disebutkan bahwa orangtua Rabi’ah mendapatkan hadiah secara

mendadak dari Gubernur Bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup

mereka kala itu.

Rabi’ah berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga

saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya,

sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu

beliau amat sangat menyadari panderitaan dan keadaan yang dihadapi

orang tuanya, kendatipun demikian tidak mengurangi ketaqwaan dan

pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa kecil beliau

cendrung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya

seperti gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu

memperhatikan bagaimana Ayahnya beribadah kepada Allah, seperti

berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang lainnya yang beliau

teladani dari Ayahnya.

Pendidikan Non-Formal

Rabi’ah Adawiyah menyelesaikan hafalan al Qur’an pada umur 10

tahun. Kecepatan dalam menghafal al-Qur’an dapat dimaklumi karena ia

suka menghafal sejak kecil. Rabi’ah tumbuh dikalangan keluarga saleh dan

zuhud. Ayahnya menghendaki rabia’ah untuk menjadi anak yang shalehah

dan zuhud terhindar dari sifat tercela yang dapat menjadi penghalang bagi

pertumbuhan jiwanya. Maka ia dibawa ke mushola dipinggiran kota Basrah.

Ditempat inilah rabi’ah sering bermunajat dan berdialog dengan tuhan-

Nya.

Ia adalah orang pertama yang mengenalkan konsep Mahabbah

dalam Tasawuf. Seorang penyair Attar menulis “posisi Rabi’ah sangat

unik, sebab dalam kaitanya dengan tuhan dan pengalamanya tentang ilmu

ketuhanan tiada bandinganya, ia sangat dimuliakan oleh pelaku sufi besar

pada masanya, dan otoritas kesufianya juga tidak diragukan

lagi dikalangan sahabat-sahabatnya”. Rabi’ah juga tidak belajar dibawah

bimbingan syekh atau pembimbing spiritual manapaun, namun rabi’ah

3

Page 4: makalah ahli hikmah

mencari langsung dengan pengalaman langsung pada tuhanya. Ia tidak

pula meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tanganya sendiri,

melalui ajaranya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis setelah

beberapa tahun kewafatanya.

Akhir Hayat Rabiah al-Adawiyah

Rabi’ah mencapai usia kurang lebih 90 tahun, bukan semata-mata usia

yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar di

sekelilingnya, suatu kehidupan yang menyebarkan bau wangi yang semerbak ke

daerah sekitarnya, bahkan sampai sekarang hikmah dari ajaran-ajarannya masih

dapat dirasakan.

Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah tentang wafatnya

Rabi’ah, baik mengenai tahun maupun tempat penguburannya. Mayoritas ahli

sejarahnya meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya, sedangkan tempat

penguburannya, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa kota kelahirannya

sebagai tempat menguburkannya.

- Konsep Mahabbah Menurut Rabi’ah Adawiyah

Secara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata:

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang حبب

secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta

yang mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, jamil shabila mengatakan Mahabbah

adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah

dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau penyayang yang

mempunyai arti: a) Membiasakan dan tetap,

b) Menyukai sesuatu karena punya rasa cinta.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah

(cinta) merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi

kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan

usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan

pengorbanan.

4

Page 5: makalah ahli hikmah

Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di

kalangan ulama. Pendapat kaum Teologi yang dikemukakan oleh Webster

bahwa mahabbah berarti; a) keredaan Tuhan yang diberikan kepada

manusia, b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan c) perasaan berbakti

dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut

bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada

mahabbah Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada mahabbah

manusia kepada Tuhan dan sesamanya.

Imam al-Ghazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah

kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-

Ghazali adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi

mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan.

Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai sesuatu

tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu

kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.” Al-

Ghazali berkata, “Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga

akhir dari perjalanan kita. Kalau pun ada maqam yang harus dilewati

seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta,

maqam itu akibat dari cinta saja.”

Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan

pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah

objeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Selanjutnya Harun

Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud ialah cinta

kepada Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang

diberikan kepada mahabbah antara lain:3

1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan

kepada- Nya.

2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,

3 Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1983), cet. III, hal. 70

5

Page 6: makalah ahli hikmah

yaitu Tuhan.

Yang dimaksud dengan kekasih ialah Allah. Pengertian tersebut

di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya

terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian,

bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah

kelompok awam mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama.

Sejalan dengan itu, al-Sarraj (w. 377 H) membagi mahabbah kepada tiga

tingkatan yaitu:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa

menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalm

berdialog dengan Tuhan.

2. Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada

kebesaran-Nya tabir yang memsahkan diri seseorang dari Tuhan

dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan

3. Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan

yang dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-

sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang mencintai.

Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-

beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada

dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep

mahabbah adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam

membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah

sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja,

akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata

sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.

Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau

“mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi.

Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealism emosional yang

dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu

istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam

penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan

6

Page 7: makalah ahli hikmah

tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah

merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa

terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang

tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas

dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi diri yang

dicintai.

- Konsep Falsafah Hub al-Illah Rabi’ah

Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode

awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman

mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai

pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih”

(Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of

The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai

Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut

akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga,

melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami

keindahan–Nya yang azali.

Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah

kedekatan pada Tuhan. Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat

kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam

kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba

kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta

itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta,

yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah

dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan

bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana

mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia

harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu,

setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih

ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”.

7

Page 8: makalah ahli hikmah

Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari

ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa

hijab.

Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta

sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta

Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia

tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai

ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali

tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:

“Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.”Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir,

tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya

yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah

berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka

mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi

masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi,

berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah

serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt.

Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia

dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup

Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki

nilai tertinggi. Mahbbah yang dicapai oleh Rabi’ah tidak hanya melalui Ilmu

akan tetapi dengan penggemblengan jiwa dan watak. Bahkan kedudukan

mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam

ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang

satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi

mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan

pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah.

8

Page 9: makalah ahli hikmah

Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbahNya, sebenarnya tak

berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf

(takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi

kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk

masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi

kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan

surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta

kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir

Rabi’ah sebagai berikut:

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalam neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu, yang Abadi kepadaku.”Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya,

sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah.

Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak

mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku

kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”

Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia

menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong

sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.” Allah adalah teman

sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya

Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati

dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman

bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar

bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:

“Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.”Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai

kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke

tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-

9

Page 10: makalah ahli hikmah

tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia

lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap

tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan,

meski hijab penyaksian telah disibakkan. Dalam kegamangannya itu,

Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan

dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah

memenuhi ruang hatinya. Doanya:

“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima, hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih, Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan. Selama Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu, telah memenuhi hatiku”.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah

melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja

bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk

menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya.

Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla

kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh

dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan

dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya

di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta

itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu

dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:

“Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta, Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta, Dengan Cinta rindu, kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu, Dan bukan selain-Mu. Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta, di sanalah Kau menyingkap hijab- Mu,agar aku dapat memandangmu. Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu, segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.”

Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas

mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan

mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui

10

Page 11: makalah ahli hikmah

cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat

dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui

hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan

terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-

Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia

masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia

tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam

hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya

dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini

meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum

sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap

sudah dan ia berada di tempat yang mulia.

Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya,

meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan,

bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di

muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi

Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu

pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah

Allah tanpa ada hijab, berhadap- hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak

bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah

membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat).

Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh

Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Kamu belum

beriman sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain

keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda,

“Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu.

Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku

karena kecintaanmu kepadaku.”

B. Ma`ruf Al-Karkhi

- Biografi Ma'ruf Al-Kurkhi

11

Page 12: makalah ahli hikmah

Pada perkembangan Tasawuf, ada seorang sufi yang sangat terkenal pada

masanya. Ketenarannya tidak hanya dikalangan umat Muslim saja akan tetapi

pada umat non-Muslim juga sering diakui sebagai bagian dari mereka. Sufi itu

adalah Ma’ruf al-Karkhi, nama lengkapnya adalah Abu Mahfudh Ma’ruf bin

Fairuz al-Kurkhi / al-Karkhi (w. 200H./815M.). Perihal nisbah beliau al-Kurkhi

atau al-Karkhi tidak diketahui alasan yang pasti. Akan tetapi diyakini bahwa al-

Kurkhi atau al-Karkhi adalah : (1) nama sebuah kawasan di Irak Timur, (2) nama

sebuah pemukiman di Kota Baghdad. Di tempat inilah sufi itu menetap hingga

wafat.

Ma’ruf al-Karkhi dilahirkan dari keluarga Nashrani. Sejak kecil Ma’ruf

dididik di lingkungan Romo dan dibekali dengan kepercayaan Nashrani. Ada

sebuah kejadian yang menarik dari Ma’ruf al-Karkhi ini, yaitu ketika ada seorang

Romo yang sedang mengajarkan tentang Tuhan dan menyatakan bahwa “Allah itu

satu dari Trinitas”. Pada saat itu juga Ma’ruf menolak terhadap pernyataan

tersebut, dan dia menyatakan bahwa Allah itu Maha Esa dan tidak dalam Trinitas.

Karena pernyataannya itu melawan kepercayaan Gereja dan Romo tersebut, maka

Ma’ruf diusir dari lingkungan Gereja, kemudian dia memutuskan untuk

mengembara dan mencari sebuah kebenaran. Pada pengembaraannya itu bertemu

dengan seorang Imam dari sekte Syi’ah Imamiyyah, yaitu Imam Ali bin Musa al-

Ridha. Pada Imam Ali Musa ar-Ridha inilah dia belajar tentang banyak hal, dan

pada akhirnya beliau menyatakan masuk Islam di hadapan Imam Ali bin Musa

tersebut.

Perlu diketahui bahwasanya Imam Ali bin Musa al-Ridha ini adalah

keturunan Ahlulbait, dan beliau dipercayai sebagai Imam kedelapan dari sekte

Syi’ah Imamiyyah. Dan para Imam yang ada pada sekte Imamiyyah ini adalah :

(1) Ali bin Abi Thalib, (2) Hasan bin Ali, (3) Husein bin Ali, (4) Ali Zainal

Abidin, (5) Muhammad al-Baqir, (6) Ja’far as-Shadiq, (7) Musa al-Khadim, (8)

Ali ar-Rdha, (9) M. al-Jawwad, (10) Ali al-Hadi, (11) Hasan al-‘Askari, (12) dan

M. al-Mahdi. Imam Ali ar-Ridha memberikan pengajaran terpenting kepada

Ma’ruf al-Karkhi, yaitu sebuah tradisi Intelektual dan tradisi Spiritual atau Ibadah.

12

Page 13: makalah ahli hikmah

Ketika sekian lama beliau belajar bersama dengan Imam Ali bin Musa al-

Ridha, maka semakin kuatlah keimanan dan keyakinan beliau tehadap Islam.

Maka beliau sudah mulai dipandang sebagai seorang yang mempunyai intelektual

yang cerdas dan menjadi seorang sufi. Pada suatu ketika kedua orang tua Ma’ruf

al-Karkhi sangat merindukannya, dan menginginkan beliau untuk kembali kepada

mereka. Karena kerinduan kedua orangtuanya itu, maka terjadilah kontak batin

antara beliau dengan Ibunya. Dengan perasaan itu maka beliau kembali kepada

keluarganya dan bertemu dengan orang tua beliau. Setelah itu beliau ditanya oleh

orang tuanya, Engkau beragama apa? Maka beliau menjawab : “Aku memeluk

Agama yang suci”. Karena orang tuanya berjanji akan mengikuti Agama yang

dipeluk oleh anaknya sebelum beliau merantau dan mencari kebenaran, maka

ketika beliau mendapatkan Agama yang lurus menurut beliau maka orang tuanya

ikut masuk kepada Agama tersebut. Setelah mendengar itu kedua orangtuanya

berpindah Agama dari agama Kristiani kepada Agama Islam.

- Corak Tasawuf Ma’ruf al-karkhi

Ma’ruf al-karkhi dikenal sebagai seorang sufi, maka setiap sufi

mempunyai ciri dan corak yang berbeda dengan yang lainnya. Corak ketasawufan

Ma’ruf al-karkhi bisa kita lihat pada ungkapan-ungkapan yang sering beliau

keluarkan, yaitu sebagai berikut :

1.  األقذار من والتنقى األكدار من التوقى التصوف إنMenurut beliau Tasawuf itu melindungi diri dari segala sesuatu yang kotor

dan membersihkan diri dari segala penyakit hati atau batin.

2.  : وموضع وأنيسك معلمك هو يكون حتى الله على توكل الكرخى معروف قال

شكواكMa’ruf al-Karkhi berkata kepada seseorang : “Bertawakkallah kepada

Allah sampai kamu merasa Dia yang mengajarimu, mengajakmu dialog, sebagai

gurumu, tempat curhatmu, kekasihmu, dan shahabatmu.

3.  يفارقنك ال جليسك الموت ذكر وليكنMengingat kematian harus menjadi kebiasaan sehari-hari dan menjadi

teman akrabmu, serta janganlah kamu menganggapnya sebagai pemutus.

4.  كتمانه بك نزل بالء كل من الشفاء أن واعلم

13

Page 14: makalah ahli hikmah

Ketahuilah bahwasanya obat dari setiap penyakit itu adalah yang

ditrurunkan Allah kepadamu dengan kasih dan rahmatnya.

5.  واليعطونك واليمنعونك واليضرونك ينفعونك ال الناس فإنMaka sesungguhnya manusia tidak akan memberi manfaat kepadamu dan

memberi madharat kepadamu, dan tidak pula bisa menahan cahaya yang diberikan

kepadamu serta tidak bisa memberi cahaya itu kepadamu.

6.  الله من خدالن اليعنيه العبد كالمPembicaraan seorang hamba yang tidak bermakna baginya maka sia-sia

dihadapan Allah.

7.  الجدل باب عنه وأغلق العمل باب عليه الله فتح خيرا بعبد الله أراد إذاApabila Allah menghendaki seorang hamba baik, maka Allah akan

membukakan untuknya pintu amal untuk berbuat baik dan menutup pintu jadal

atau perdebatan yang tidak ada isinya.

8.  الجدل باب عليه وفتح العمل باب عليه أغلق شرا بعبد أراد وإذاApabila Allah menghendaki seorang hamba jahat, maka Allah akan

menutupkan untuknya pintu amal untuk berbuat baik dan membuka pintu jadal

atau perdebatan yang tidak ada isinya.

Dari ungkapan-ungkapan ketasawufan Ma’ruf al-Karkhi di atas, maka kita

bisa melihat sedikitnya tentang corak tasawuf dari Ma’ruf al-Karkhi. Yaitu

diantara bahwasanya dia menekankan cinta kepada Allah swt dan menjadikan-

NYA sebagai teman, shahabat dan guru di dalam mencari ilmu. Kecintaan dan

kedekatannya itu menyebabkan kerinduan yang sangat kepada sang kekasih, dan

menjadikan kematian sebagai teman duduk karena dengan kematianlah dia bisa

bertemu dengan sang kekasih. Dan menyerahkan segala urusan dan perbuatan

kepada Allah SWT.

Doa Ma’ruf al-Karkhi

, , ممن واجعلنا مفتونين بالستر وال مغرورين الناس بين التجعلنا االلهم , , حق ويخشاك بعطائك ويقنع بقضائك ويرضى بلقائك يؤمن

. , , , به. فأت لك ومابينهما ارضك واألرض سمائك السماء إن اللهم خشيتك

14

Page 15: makalah ahli hikmah

. قال محمد؟ قلت منبهر قائم محمد ابنى فإذا الشام باب فأتيت خليل قال

باألنبار الساعة كنت بأبت

Pesan Terakhir Ma’ruf al-Kurkhi

: , : إذا فقال أوص علته فى الكرخى لمعروف قيل يقول الزجاج بكر أبو , كما عريانا الدنيا من أخرج أن أحب فإنى هذا بقميصي فتصدقوا مت

عريانا إليها دخلتAbu Bakar aj-Juzzaz berkata : dikatakan kepada Ma’ruf al-Kurkhi : apa

wasiatmu ketika datang ajalmu? Ma’ruf al-Kurkhi berkata : “apabila aku mati,

maka shadaqahkanlah pakaianku ini. Maka sesungguhnya aku lebih menyukai

keluar dari dunia (mati) dengan keadaan telanjang seperti masuknya aku ke dunia

ini dengan keadaan telanjang. 

C. Dzun Nun Al-Misri Al-Ma`rifah

- Biogafi Dzun Nun Al-Misri Al-Ma`rifah

Riwayat Hidup Dzun Nun al Mishri dan Kedudukannya dalam

Pertumbuhan Tasawuf Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak

menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin

Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180

H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856.

Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai

kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya ia pernah

mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas

permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun

Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan

permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya.DzunNun disiksa

dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam

keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil

berdo’a “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Mendadak muncullah

ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa

15

Page 16: makalah ahli hikmah

permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu

mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak

peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun.

Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun

riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan

hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah menjelajahi

berbagai daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia,

dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh

pengalaman yang banyak dan mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar

pada Imam Malik bin Anas di Madinah, dan sering bertemu dengan Ahmad bin

Hambal, Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan Bisri al Hafi. Semuanya adalah

tokoh-tokoh tasawuf terkemuka pada zaman itu.

Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya adalah al Hassan ibn

Mush’ib an Nakha’i. Sedangkan gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al

Abd atau Israfil al Maghribi sehingga memungkinkan baginnya untuk menjadi

seorang yang ‘alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.

Dzun Nun al Mishri adalah orang pertama yang memberikan tafsiran

tentang isyarat-isyarat tasawuf, walaupun ada sejumlah guru sufi sebelum Dzun

Nun. Ia orang pertama Mesir yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang

yang pertama memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian bercorak

sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran tasawuf. Dengan

demikian tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai

salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf di dunia Islam.

- Al Ma’tifat menurut Dzun Nun al Mishri

Sebagaimana diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham

al Ma’rifat. Walaupun paham ma’rifat sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun

Nun al Mishri-lah yang lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Penilaian ini

tidaklah berlebihan karena berdasarkan riwayat al Qathfi dan al Mas’udi yang

kemudian dianalisis oleh Nicholson dan Abd. Qadir dalam Falsafah ash Shufiah fi

al Islam disimpulkan bahwa Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak

16

Page 17: makalah ahli hikmah

baru tentang al Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai

dengan :

1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu

melaksanakan kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan

ma’rifat aqliah yaitu menggunakan pendekatan akal.

2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al

qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman

azali.

3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-

Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud

dan ittihad. Oleh karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur

falsafah ke dalam tasawuf.

Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun

Nun al Mishri dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh

Khalifah Al Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah yang memerintah tahun 232 H/847

M – 247 H/861 M), namun akhirnya dibebaskan. Fenomena ini wajar karena kita

temui pandangan al ma’rifatnya yang pada mulanya cenderung antithesis terhadap

aqliyah dan kalam.

Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :

1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan

Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan

ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli

balaghah. Akan tetapi ia adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki

para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan

mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk

hamaba-hamba yang lain.

2. Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan

cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali

dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah

sehingga terasa hilang dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka

merasa hamba, bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah

17

Page 18: makalah ahli hikmah

mereka, melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan

Allah.

Kedua ungkapan di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak

dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi

dengan jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan

menjaganya dari ketercematan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak

mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini manusia perlahan-lahan terangkat ke

atas sifat-sifatnya yang rendah dan selanjutnya menyandang sifat-sifat yang luhur

seperti yang dilimiki Tuhan. Pandangan-pandangan seperti inilah yang nantinya

diteruskan dan dikembangkan oleh Abu Yazid al Bustami, al Junaid sampai al

Ghazali.

Menurut Abu Bakar al kalabadzi (wafat 380 H/990 M) dalam bukunya Al

Ta’aruf li Mazahid Al Tashawwuf (Pengenalan terhadap Madzhab-madzhab

Tasawwuf), Dzun Nun al Mishri telah sampai kepada tingkatan ma’rifat, yaitu

tingkatan maqam (stasiun) tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati maqam

taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, rida, dan cinta (mahabbah). Ma’rifat adalah

mengetahui Tuhan dengan sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari

Dzun Nun al Mishri ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab,

“’arafu rabbi bi rabbi walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi” ,Aku mengenal Tuhan

karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui

Tuhan). Kata-kata Dzun Nun al Mishri ini sangat popular dalam ilmu tasawuf.

Menurut Abu Al Qasim Abd Karim Al Qusyairi, Dzun Nun al Mishri mengakui

bahwa ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai

sufi, melainkan lebih merupakan anugrah yang dilimpahkan Tuhan kepada

dirinya.

Dzun Nun al Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga

bagian, yaitu :

1. Pengetahuan untuk seluruh muslim

2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama

3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.

18

Page 19: makalah ahli hikmah

Menurut Harun Nasution, jenis pengetahuan yang pertama dan kedua

belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya

belum disebut dengan al ma’rifat, tetapi disebut dengan ilmu. Adapun jenis

pengetahuan yang ketiga baru disebut dengan al ma’rifat.

Dari ketiga macam pengetahuan Tuhan di atas, jelaslah bahwa

pengetahuan tingkat auliya (para wali) adalah yang paling tinggi tingkatannya

karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Para ulama dan filosof tidak

mampu mencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk

mengetahui Tuhan, sedangkan akal itu sendiri mempunyai keterbatasan dan

kelemahan.

Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam perjalanan

rohaninya menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud

mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai berikut :

1. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan

tidak ada usaha untuk mengenalnya.

2. Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai

dengan meminta cara ikhlas dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak

mensyaratkan apa-apa pada seseorang, jalan ini urusan Allah semata.

3. Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua

macam, yaitu dari dan wasil. Dari adalah orang yang menuju jalan iman,

sedangkan wasil adalah yang berjalan di atas kekuatan al ma’rifat.

Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa pada garis besarnya

terdapat dua jalan yang ditempuh Dzun Nun al Mishri dalam mendekati Tuhan,

yaitu thariqah yang biasa ditempuh oleh para ahli sufi melalui maqamat yang

dilakukan secara sistematis dan ketat mulai tobat. Adapun thariqah yang kedua

yaitu ijtiba bersifat personal.

Untuk jalan thariqah, Dzun Nun al Mishri menceritakan secara lebih rinci

tahapan-tahapan situasi batin yang hendak menuju tingkat arif (ahli ma’rifat),

yaitu : iman, khauf, tha’ah, raja, al mahabbah, syauq, uns, thuma’ninah, dan

na’im. Di samping menggunakan thariqah seperti ini, ia juga menempuh

19

Page 20: makalah ahli hikmah

perjalanan sufinya melalui maqamat tertentu yang intinya dimulai dari taubat,

wara, zuhud, tawakkal, rida, al ma’rifat, sampai mahabbah.

Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia sampai pada maqam al ma’rifat,

dia melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam

semesta. Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai berikut :

“…. Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah

seorang sufi besar, bapak paham al ma’rifat dalam terminologi sufisme karena

keberhasilannya dalam menampilkan corak baru kehidupan sufistik, yang lebih

menekankan pendekatan al ma’rifat qalbiyah dari pada al ma’rifat aqliyah. Inti

ajaran al ma’rifat adalah mengetahui dan melihat Tuhan dari dekat sehingga hati

sanubari sempat meliha-Nya tanpa penghalang. Pengetahuan inti adalah anugrah

Allah yang diberikan kepada orang-orang tertentu.

- Maqamat dan Ahwal menurut Dzun Nunal Mishri

Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang senantiasa dialami oleh orang

yang menjalani tasawuf sebelum mencapai tujuan yang dikehendaki, Yang

pertama berupa tahapan perjalanan, dan yang kedua berupa keadaan.

1. Maqamat

Maqamat dalam ilmu tasawuf mengandung arti kedudukan hamba dalam

pandangan Allah, menurut apa yang diusahakan berupa latihan. Jika seseorang

belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat suatu maqam, ia tidak boleh

naik ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

maqam dijalani oleh seorang tasawuf melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam

melakukan sebuah kewajiban yang harus ditempuh untuk jangka waktu tertentu.

Menurut Dzun Nun al Mishri, maqam ini dapat diketahui berdasarkan

tanda-tanda, simbol-simbol, dan amalannya. Oleh karena itu keberhasilannya itu

merupakan penilaian yang berasal dari Allah, mencerminkan kedudukan seorang

tasawuf di hadapan Allah.

20

Page 21: makalah ahli hikmah

Selanjutnya dalam Da’irat Al Ma’rifat Al Islamiyah diterangkan tentang

simbol-simbol az zuhud menurut Dzun Nun al Mishri, yaitu sedikit cita-cita,

mencintai kefakiran, memiliki rasa cukup yang disertai kesabaran. Sedangkan

masalah tobat ia membedakan atas tiga tingkatan, yaitu :

1. Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya

2. Orang yang bertobat dari kalalaian dan kealfaan mengingat Tuhan

3. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.

Keterangan Dzun Nun al Mishri tentang maqam as shobr dikemukakan

dalam bentuk kepingan dialog dari sebuat riwayat. Suatu ketika ia menjenguk

seorang yang sakit. Tatkala orang itu berbicara dengan Dzun Nun, “Tidak

termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi Tuhan.”

Orang itu kemudian mengatakan “Tidak benar pula cintanya orang yang

merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”.

Petikan dialog di atas mengisyaratkan bahwa Dzun Nun berbicara dengan

orang yang juga mengerti dunia sufisme.

Selanjutnya pengertian at tawakkal menurut Dzun Nun al Mishri adalah

berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya kekuatan, intinya

menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, disertai perasaan tidak memiliki

kekuatan. Dan rida menurut pendapatnya ialah kegembiraan hati karena

berlakunya ketentuan Tuhan.

- Ahwal

Dalam kitab Isthilahat As Shuffiyah, ahwal dijelaskan sebagai pemberian

yang tercurah pada seseorang dari Tuhannya, baik dari sebuah amal shaleh yang

menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Tuhan sebagai

pemberian semata. Atau dengan kata lain ahwal adalah pemberian yang berasal

dari Tuhan kepada hamba-nya yang dikehendaki. Pemberian itu adakalanya

diberikan kepada orang yang berusaha kea rah itu dan adakalanya tanpa melalui

usaha.

Menurut Dzun Nun al Mishri, setiap maqam memupunyai permulaan dan

akhir. Diantara keduanya terdapat aneka ahwal. Setiap maqam mempunyai

symbol, dan setiap hal ditunjuk oleh isyarat. Penjelasan ini menunjukkan bahwa

21

Page 22: makalah ahli hikmah

maqam beerangsung lebih lama dari ahwal. Maqam bersifat tetap, dan ahwal silih

berganti, datang dan pergi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Rabiah Al-Adawiyah dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri

adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya

terhadap Allah. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:

1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan

22

Page 23: makalah ahli hikmah

kepada- Nya.

2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,

yaitu Tuhan.

Ma’ruf al-Karkhi, nama lengkapnya adalah Abu Mahfudh Ma’ruf bin

Fairuz al-Kurkhi / al-Karkhi (w. 200H./815M.). Perihal nisbah beliau al-Kurkhi

atau al-Karkhi tidak diketahui alasan yang pasti. Akan tetapi diyakini bahwa al-

Kurkhi atau al-Karkhi adalah : (1) nama sebuah kawasan di Irak Timur, (2) nama

sebuah pemukiman di Kota Baghdad. Di tempat inilah sufi itu menetap hingga

wafat.

Corak tasawuf dari Ma’ruf al-Karkhi. Yaitu diantara bahwasanya dia

menekankan cinta kepada Allah swt dan menjadikan-NYA sebagai teman,

shahabat dan guru di dalam mencari ilmu. Kecintaan dan kedekatannya itu

menyebabkan kerinduan yang sangat kepada sang kekasih, dan menjadikan

kematian sebagai teman duduk karena dengan kematianlah dia bisa bertemu

dengan sang kekasih. Dan menyerahkan segala urusan dan perbuatan kepada

Allah swt.

Riwayat Hidup Dzun Nun al Mishri dan Kedudukannya dalam

Pertumbuhan Tasawuf Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak

menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin

Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180

H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856.

Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :

1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan

Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin.

2. Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan

cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali

dengan cahayanya.

Kedua ungkapan di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak

dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi

dengan jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan

23

Page 24: makalah ahli hikmah

menjaganya dari ketercematan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak

mempunyai arti lagi.

B. Saran

Demikianlah makalah singkat ini semoga bermanfaat. penulis merasa

makalah ini sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik sangat

penulis perlukan demi kesempurnaan makalah ini dan khazanah keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1983), cet. III.

Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia, 2007),

24

Page 25: makalah ahli hikmah

Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The ensiklopedia of Islam the new edition, (Leiden; ej Brill, 1995),

25