makalah ahli hikmah
-
Upload
muhd-ridha -
Category
Documents
-
view
47 -
download
1
description
Transcript of makalah ahli hikmah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada esensinya, agama Islam yang terdiri atas aqidah, syariat dan akhlak,
merupakan agama yang sempurna dan semua ajarannya terintegral dan saling
berkaitan. Aqidah menjelaskan syariat, syariat menjelaskan aqidah, dan aqidah
serta syariat menjelaskan akhlak. Dalam pengejawantahannya kemudian
melahirkan praktek-prektek yang beragam dikalangan ummat Islam. Dan dalam
sejarah kemudian kita mengenal adanya praktek-praktek sufi yang dijalani oleh
beberapa orang dan kelompok.
Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak
ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT., dengan sesama
manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua
mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada
sebuah gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri seorang hamba
kepada sang Khalik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan ke dalam Uraian
biografi dan pemikiran tasawuf dari :
- Rabi`ah Al-Adawiyah Al-Mahabbah
- Ma`ruf Al-kurkhi
- Dzunun Al-Misri
C. Tujuan
Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui dan memahami Uraian
biografi dan pemikiran tasawuf dari :
- Rabi`ah Al-Adawiyah Al-Mahabbah
- Ma`ruf Al-kurkhi
- Dzunun Al-Misri
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rabi`ah Al-Adawiyah Al Mahabbah
- Biografi Rabi’ah Adawiyah
Rabiah Al-Adawiyah dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri
adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya
terhadap Allah. Rabi'ah merupakan klien (Mawlat) dari klan Al-Atik suku
Qays bin 'Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan al- Qaysyah. Ia dikenal
sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada
kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk
beribadah kepada Allah. Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713-717
Masehi, atau 95-99 Hijriah, di kota Basrah Irak dan meninggal sekitar
tahun 801 M /185 H.1 Nama lengkapnya adalah Ummu al-Khair
Rabî’ah binti Ismâ’îl al-Adawiyyah al-Qishiyyah.2 Rabiah merupakan
sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah. Rabi’ah
Adawiyah menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang
mengabdikan dirinya untuk Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai The
Mother of the Grand Master atau Ibu Para Sufi Besar karena
kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-
Faridh dan Dhun Nun Al-misri.
Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh dari kalangan orang
miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah.
Menurut riwayat, prosesi kelahiran anak keempatnya di malam hari
berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran ketidakmampuan
sang Ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia
1 Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia, 2007), hal, 119
2 Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The ensiklopedia of Islam the new edition, (Leiden; ej Brill, 1995), Hal, 354-6
2
merasa “malu” untuk mengadu kepada sesama manusia. Untungnya,
disebutkan bahwa orangtua Rabi’ah mendapatkan hadiah secara
mendadak dari Gubernur Bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup
mereka kala itu.
Rabi’ah berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga
saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya,
sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu
beliau amat sangat menyadari panderitaan dan keadaan yang dihadapi
orang tuanya, kendatipun demikian tidak mengurangi ketaqwaan dan
pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa kecil beliau
cendrung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya
seperti gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu
memperhatikan bagaimana Ayahnya beribadah kepada Allah, seperti
berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang lainnya yang beliau
teladani dari Ayahnya.
Pendidikan Non-Formal
Rabi’ah Adawiyah menyelesaikan hafalan al Qur’an pada umur 10
tahun. Kecepatan dalam menghafal al-Qur’an dapat dimaklumi karena ia
suka menghafal sejak kecil. Rabi’ah tumbuh dikalangan keluarga saleh dan
zuhud. Ayahnya menghendaki rabia’ah untuk menjadi anak yang shalehah
dan zuhud terhindar dari sifat tercela yang dapat menjadi penghalang bagi
pertumbuhan jiwanya. Maka ia dibawa ke mushola dipinggiran kota Basrah.
Ditempat inilah rabi’ah sering bermunajat dan berdialog dengan tuhan-
Nya.
Ia adalah orang pertama yang mengenalkan konsep Mahabbah
dalam Tasawuf. Seorang penyair Attar menulis “posisi Rabi’ah sangat
unik, sebab dalam kaitanya dengan tuhan dan pengalamanya tentang ilmu
ketuhanan tiada bandinganya, ia sangat dimuliakan oleh pelaku sufi besar
pada masanya, dan otoritas kesufianya juga tidak diragukan
lagi dikalangan sahabat-sahabatnya”. Rabi’ah juga tidak belajar dibawah
bimbingan syekh atau pembimbing spiritual manapaun, namun rabi’ah
3
mencari langsung dengan pengalaman langsung pada tuhanya. Ia tidak
pula meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tanganya sendiri,
melalui ajaranya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis setelah
beberapa tahun kewafatanya.
Akhir Hayat Rabiah al-Adawiyah
Rabi’ah mencapai usia kurang lebih 90 tahun, bukan semata-mata usia
yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar di
sekelilingnya, suatu kehidupan yang menyebarkan bau wangi yang semerbak ke
daerah sekitarnya, bahkan sampai sekarang hikmah dari ajaran-ajarannya masih
dapat dirasakan.
Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah tentang wafatnya
Rabi’ah, baik mengenai tahun maupun tempat penguburannya. Mayoritas ahli
sejarahnya meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya, sedangkan tempat
penguburannya, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa kota kelahirannya
sebagai tempat menguburkannya.
- Konsep Mahabbah Menurut Rabi’ah Adawiyah
Secara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata:
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang حبب
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta
yang mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, jamil shabila mengatakan Mahabbah
adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah
dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau penyayang yang
mempunyai arti: a) Membiasakan dan tetap,
b) Menyukai sesuatu karena punya rasa cinta.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah
(cinta) merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi
kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan
usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan
pengorbanan.
4
Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di
kalangan ulama. Pendapat kaum Teologi yang dikemukakan oleh Webster
bahwa mahabbah berarti; a) keredaan Tuhan yang diberikan kepada
manusia, b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan c) perasaan berbakti
dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut
bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada
mahabbah Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada mahabbah
manusia kepada Tuhan dan sesamanya.
Imam al-Ghazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah
kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-
Ghazali adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi
mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan.
Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai sesuatu
tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu
kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.” Al-
Ghazali berkata, “Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga
akhir dari perjalanan kita. Kalau pun ada maqam yang harus dilewati
seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta,
maqam itu akibat dari cinta saja.”
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan
pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah
objeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Selanjutnya Harun
Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud ialah cinta
kepada Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang
diberikan kepada mahabbah antara lain:3
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada- Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,
3 Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1983), cet. III, hal. 70
5
yaitu Tuhan.
Yang dimaksud dengan kekasih ialah Allah. Pengertian tersebut
di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya
terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian,
bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah
kelompok awam mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama.
Sejalan dengan itu, al-Sarraj (w. 377 H) membagi mahabbah kepada tiga
tingkatan yaitu:
1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa
menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalm
berdialog dengan Tuhan.
2. Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada
kebesaran-Nya tabir yang memsahkan diri seseorang dari Tuhan
dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan
3. Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan
yang dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-
sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang mencintai.
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-
beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada
dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep
mahabbah adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam
membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah
sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja,
akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata
sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau
“mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi.
Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealism emosional yang
dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu
istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam
penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan
6
tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah
merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa
terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang
tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas
dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi diri yang
dicintai.
- Konsep Falsafah Hub al-Illah Rabi’ah
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode
awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman
mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai
pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih”
(Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of
The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai
Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut
akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga,
melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami
keindahan–Nya yang azali.
Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah
kedekatan pada Tuhan. Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat
kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam
kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba
kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta
itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta,
yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah
dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan
bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana
mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia
harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu,
setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih
ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”.
7
Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari
ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa
hijab.
Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta
sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta
Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia
tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai
ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali
tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:
“Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.”Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir,
tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya
yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah
berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka
mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi
masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi,
berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah
serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt.
Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia
dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup
Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki
nilai tertinggi. Mahbbah yang dicapai oleh Rabi’ah tidak hanya melalui Ilmu
akan tetapi dengan penggemblengan jiwa dan watak. Bahkan kedudukan
mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam
ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang
satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi
mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan
pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah.
8
Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbahNya, sebenarnya tak
berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf
(takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi
kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk
masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi
kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan
surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta
kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir
Rabi’ah sebagai berikut:
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalam neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu, yang Abadi kepadaku.”Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya,
sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah.
Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak
mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku
kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia
menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong
sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.” Allah adalah teman
sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya
Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati
dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman
bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar
bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
“Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.”Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai
kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke
tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-
9
tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia
lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap
tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan,
meski hijab penyaksian telah disibakkan. Dalam kegamangannya itu,
Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan
dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah
memenuhi ruang hatinya. Doanya:
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima, hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih, Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan. Selama Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu, telah memenuhi hatiku”.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah
melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja
bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk
menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya.
Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla
kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh
dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan
dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya
di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta
itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu
dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:
“Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta, Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta, Dengan Cinta rindu, kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu, Dan bukan selain-Mu. Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta, di sanalah Kau menyingkap hijab- Mu,agar aku dapat memandangmu. Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu, segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.”
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas
mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan
mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui
10
cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat
dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui
hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan
terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-
Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia
masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia
tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam
hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya
dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini
meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum
sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap
sudah dan ia berada di tempat yang mulia.
Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya,
meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan,
bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di
muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi
Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu
pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah
Allah tanpa ada hijab, berhadap- hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak
bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah
membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat).
Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh
Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Kamu belum
beriman sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain
keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda,
“Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu.
Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku
karena kecintaanmu kepadaku.”
B. Ma`ruf Al-Karkhi
- Biografi Ma'ruf Al-Kurkhi
11
Pada perkembangan Tasawuf, ada seorang sufi yang sangat terkenal pada
masanya. Ketenarannya tidak hanya dikalangan umat Muslim saja akan tetapi
pada umat non-Muslim juga sering diakui sebagai bagian dari mereka. Sufi itu
adalah Ma’ruf al-Karkhi, nama lengkapnya adalah Abu Mahfudh Ma’ruf bin
Fairuz al-Kurkhi / al-Karkhi (w. 200H./815M.). Perihal nisbah beliau al-Kurkhi
atau al-Karkhi tidak diketahui alasan yang pasti. Akan tetapi diyakini bahwa al-
Kurkhi atau al-Karkhi adalah : (1) nama sebuah kawasan di Irak Timur, (2) nama
sebuah pemukiman di Kota Baghdad. Di tempat inilah sufi itu menetap hingga
wafat.
Ma’ruf al-Karkhi dilahirkan dari keluarga Nashrani. Sejak kecil Ma’ruf
dididik di lingkungan Romo dan dibekali dengan kepercayaan Nashrani. Ada
sebuah kejadian yang menarik dari Ma’ruf al-Karkhi ini, yaitu ketika ada seorang
Romo yang sedang mengajarkan tentang Tuhan dan menyatakan bahwa “Allah itu
satu dari Trinitas”. Pada saat itu juga Ma’ruf menolak terhadap pernyataan
tersebut, dan dia menyatakan bahwa Allah itu Maha Esa dan tidak dalam Trinitas.
Karena pernyataannya itu melawan kepercayaan Gereja dan Romo tersebut, maka
Ma’ruf diusir dari lingkungan Gereja, kemudian dia memutuskan untuk
mengembara dan mencari sebuah kebenaran. Pada pengembaraannya itu bertemu
dengan seorang Imam dari sekte Syi’ah Imamiyyah, yaitu Imam Ali bin Musa al-
Ridha. Pada Imam Ali Musa ar-Ridha inilah dia belajar tentang banyak hal, dan
pada akhirnya beliau menyatakan masuk Islam di hadapan Imam Ali bin Musa
tersebut.
Perlu diketahui bahwasanya Imam Ali bin Musa al-Ridha ini adalah
keturunan Ahlulbait, dan beliau dipercayai sebagai Imam kedelapan dari sekte
Syi’ah Imamiyyah. Dan para Imam yang ada pada sekte Imamiyyah ini adalah :
(1) Ali bin Abi Thalib, (2) Hasan bin Ali, (3) Husein bin Ali, (4) Ali Zainal
Abidin, (5) Muhammad al-Baqir, (6) Ja’far as-Shadiq, (7) Musa al-Khadim, (8)
Ali ar-Rdha, (9) M. al-Jawwad, (10) Ali al-Hadi, (11) Hasan al-‘Askari, (12) dan
M. al-Mahdi. Imam Ali ar-Ridha memberikan pengajaran terpenting kepada
Ma’ruf al-Karkhi, yaitu sebuah tradisi Intelektual dan tradisi Spiritual atau Ibadah.
12
Ketika sekian lama beliau belajar bersama dengan Imam Ali bin Musa al-
Ridha, maka semakin kuatlah keimanan dan keyakinan beliau tehadap Islam.
Maka beliau sudah mulai dipandang sebagai seorang yang mempunyai intelektual
yang cerdas dan menjadi seorang sufi. Pada suatu ketika kedua orang tua Ma’ruf
al-Karkhi sangat merindukannya, dan menginginkan beliau untuk kembali kepada
mereka. Karena kerinduan kedua orangtuanya itu, maka terjadilah kontak batin
antara beliau dengan Ibunya. Dengan perasaan itu maka beliau kembali kepada
keluarganya dan bertemu dengan orang tua beliau. Setelah itu beliau ditanya oleh
orang tuanya, Engkau beragama apa? Maka beliau menjawab : “Aku memeluk
Agama yang suci”. Karena orang tuanya berjanji akan mengikuti Agama yang
dipeluk oleh anaknya sebelum beliau merantau dan mencari kebenaran, maka
ketika beliau mendapatkan Agama yang lurus menurut beliau maka orang tuanya
ikut masuk kepada Agama tersebut. Setelah mendengar itu kedua orangtuanya
berpindah Agama dari agama Kristiani kepada Agama Islam.
- Corak Tasawuf Ma’ruf al-karkhi
Ma’ruf al-karkhi dikenal sebagai seorang sufi, maka setiap sufi
mempunyai ciri dan corak yang berbeda dengan yang lainnya. Corak ketasawufan
Ma’ruf al-karkhi bisa kita lihat pada ungkapan-ungkapan yang sering beliau
keluarkan, yaitu sebagai berikut :
1. األقذار من والتنقى األكدار من التوقى التصوف إنMenurut beliau Tasawuf itu melindungi diri dari segala sesuatu yang kotor
dan membersihkan diri dari segala penyakit hati atau batin.
2. : وموضع وأنيسك معلمك هو يكون حتى الله على توكل الكرخى معروف قال
شكواكMa’ruf al-Karkhi berkata kepada seseorang : “Bertawakkallah kepada
Allah sampai kamu merasa Dia yang mengajarimu, mengajakmu dialog, sebagai
gurumu, tempat curhatmu, kekasihmu, dan shahabatmu.
3. يفارقنك ال جليسك الموت ذكر وليكنMengingat kematian harus menjadi kebiasaan sehari-hari dan menjadi
teman akrabmu, serta janganlah kamu menganggapnya sebagai pemutus.
4. كتمانه بك نزل بالء كل من الشفاء أن واعلم
13
Ketahuilah bahwasanya obat dari setiap penyakit itu adalah yang
ditrurunkan Allah kepadamu dengan kasih dan rahmatnya.
5. واليعطونك واليمنعونك واليضرونك ينفعونك ال الناس فإنMaka sesungguhnya manusia tidak akan memberi manfaat kepadamu dan
memberi madharat kepadamu, dan tidak pula bisa menahan cahaya yang diberikan
kepadamu serta tidak bisa memberi cahaya itu kepadamu.
6. الله من خدالن اليعنيه العبد كالمPembicaraan seorang hamba yang tidak bermakna baginya maka sia-sia
dihadapan Allah.
7. الجدل باب عنه وأغلق العمل باب عليه الله فتح خيرا بعبد الله أراد إذاApabila Allah menghendaki seorang hamba baik, maka Allah akan
membukakan untuknya pintu amal untuk berbuat baik dan menutup pintu jadal
atau perdebatan yang tidak ada isinya.
8. الجدل باب عليه وفتح العمل باب عليه أغلق شرا بعبد أراد وإذاApabila Allah menghendaki seorang hamba jahat, maka Allah akan
menutupkan untuknya pintu amal untuk berbuat baik dan membuka pintu jadal
atau perdebatan yang tidak ada isinya.
Dari ungkapan-ungkapan ketasawufan Ma’ruf al-Karkhi di atas, maka kita
bisa melihat sedikitnya tentang corak tasawuf dari Ma’ruf al-Karkhi. Yaitu
diantara bahwasanya dia menekankan cinta kepada Allah swt dan menjadikan-
NYA sebagai teman, shahabat dan guru di dalam mencari ilmu. Kecintaan dan
kedekatannya itu menyebabkan kerinduan yang sangat kepada sang kekasih, dan
menjadikan kematian sebagai teman duduk karena dengan kematianlah dia bisa
bertemu dengan sang kekasih. Dan menyerahkan segala urusan dan perbuatan
kepada Allah SWT.
Doa Ma’ruf al-Karkhi
, , ممن واجعلنا مفتونين بالستر وال مغرورين الناس بين التجعلنا االلهم , , حق ويخشاك بعطائك ويقنع بقضائك ويرضى بلقائك يؤمن
. , , , به. فأت لك ومابينهما ارضك واألرض سمائك السماء إن اللهم خشيتك
14
. قال محمد؟ قلت منبهر قائم محمد ابنى فإذا الشام باب فأتيت خليل قال
باألنبار الساعة كنت بأبت
Pesan Terakhir Ma’ruf al-Kurkhi
: , : إذا فقال أوص علته فى الكرخى لمعروف قيل يقول الزجاج بكر أبو , كما عريانا الدنيا من أخرج أن أحب فإنى هذا بقميصي فتصدقوا مت
عريانا إليها دخلتAbu Bakar aj-Juzzaz berkata : dikatakan kepada Ma’ruf al-Kurkhi : apa
wasiatmu ketika datang ajalmu? Ma’ruf al-Kurkhi berkata : “apabila aku mati,
maka shadaqahkanlah pakaianku ini. Maka sesungguhnya aku lebih menyukai
keluar dari dunia (mati) dengan keadaan telanjang seperti masuknya aku ke dunia
ini dengan keadaan telanjang.
C. Dzun Nun Al-Misri Al-Ma`rifah
- Biogafi Dzun Nun Al-Misri Al-Ma`rifah
Riwayat Hidup Dzun Nun al Mishri dan Kedudukannya dalam
Pertumbuhan Tasawuf Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak
menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin
Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180
H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856.
Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai
kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya ia pernah
mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas
permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun
Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan
permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya.DzunNun disiksa
dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam
keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil
berdo’a “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Mendadak muncullah
ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa
15
permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu
mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak
peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun.
Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun
riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan
hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah menjelajahi
berbagai daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia,
dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh
pengalaman yang banyak dan mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar
pada Imam Malik bin Anas di Madinah, dan sering bertemu dengan Ahmad bin
Hambal, Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan Bisri al Hafi. Semuanya adalah
tokoh-tokoh tasawuf terkemuka pada zaman itu.
Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya adalah al Hassan ibn
Mush’ib an Nakha’i. Sedangkan gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al
Abd atau Israfil al Maghribi sehingga memungkinkan baginnya untuk menjadi
seorang yang ‘alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.
Dzun Nun al Mishri adalah orang pertama yang memberikan tafsiran
tentang isyarat-isyarat tasawuf, walaupun ada sejumlah guru sufi sebelum Dzun
Nun. Ia orang pertama Mesir yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang
yang pertama memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian bercorak
sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran tasawuf. Dengan
demikian tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai
salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf di dunia Islam.
- Al Ma’tifat menurut Dzun Nun al Mishri
Sebagaimana diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham
al Ma’rifat. Walaupun paham ma’rifat sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun
Nun al Mishri-lah yang lebih menekankan paham ini dalam tasawuf. Penilaian ini
tidaklah berlebihan karena berdasarkan riwayat al Qathfi dan al Mas’udi yang
kemudian dianalisis oleh Nicholson dan Abd. Qadir dalam Falsafah ash Shufiah fi
al Islam disimpulkan bahwa Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak
16
baru tentang al Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai
dengan :
1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu
melaksanakan kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan
ma’rifat aqliah yaitu menggunakan pendekatan akal.
2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al
qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman
azali.
3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-
Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud
dan ittihad. Oleh karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur
falsafah ke dalam tasawuf.
Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun
Nun al Mishri dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh
Khalifah Al Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah yang memerintah tahun 232 H/847
M – 247 H/861 M), namun akhirnya dibebaskan. Fenomena ini wajar karena kita
temui pandangan al ma’rifatnya yang pada mulanya cenderung antithesis terhadap
aqliyah dan kalam.
Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :
1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan
Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan
ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli
balaghah. Akan tetapi ia adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki
para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan
mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk
hamaba-hamba yang lain.
2. Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali
dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah
sehingga terasa hilang dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka
merasa hamba, bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah
17
mereka, melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan
Allah.
Kedua ungkapan di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak
dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi
dengan jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan
menjaganya dari ketercematan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak
mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini manusia perlahan-lahan terangkat ke
atas sifat-sifatnya yang rendah dan selanjutnya menyandang sifat-sifat yang luhur
seperti yang dilimiki Tuhan. Pandangan-pandangan seperti inilah yang nantinya
diteruskan dan dikembangkan oleh Abu Yazid al Bustami, al Junaid sampai al
Ghazali.
Menurut Abu Bakar al kalabadzi (wafat 380 H/990 M) dalam bukunya Al
Ta’aruf li Mazahid Al Tashawwuf (Pengenalan terhadap Madzhab-madzhab
Tasawwuf), Dzun Nun al Mishri telah sampai kepada tingkatan ma’rifat, yaitu
tingkatan maqam (stasiun) tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati maqam
taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, rida, dan cinta (mahabbah). Ma’rifat adalah
mengetahui Tuhan dengan sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari
Dzun Nun al Mishri ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab,
“’arafu rabbi bi rabbi walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi” ,Aku mengenal Tuhan
karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui
Tuhan). Kata-kata Dzun Nun al Mishri ini sangat popular dalam ilmu tasawuf.
Menurut Abu Al Qasim Abd Karim Al Qusyairi, Dzun Nun al Mishri mengakui
bahwa ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai
sufi, melainkan lebih merupakan anugrah yang dilimpahkan Tuhan kepada
dirinya.
Dzun Nun al Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga
bagian, yaitu :
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim
2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
18
Menurut Harun Nasution, jenis pengetahuan yang pertama dan kedua
belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya
belum disebut dengan al ma’rifat, tetapi disebut dengan ilmu. Adapun jenis
pengetahuan yang ketiga baru disebut dengan al ma’rifat.
Dari ketiga macam pengetahuan Tuhan di atas, jelaslah bahwa
pengetahuan tingkat auliya (para wali) adalah yang paling tinggi tingkatannya
karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Para ulama dan filosof tidak
mampu mencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk
mengetahui Tuhan, sedangkan akal itu sendiri mempunyai keterbatasan dan
kelemahan.
Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam perjalanan
rohaninya menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud
mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai berikut :
1. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan
tidak ada usaha untuk mengenalnya.
2. Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai
dengan meminta cara ikhlas dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak
mensyaratkan apa-apa pada seseorang, jalan ini urusan Allah semata.
3. Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua
macam, yaitu dari dan wasil. Dari adalah orang yang menuju jalan iman,
sedangkan wasil adalah yang berjalan di atas kekuatan al ma’rifat.
Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa pada garis besarnya
terdapat dua jalan yang ditempuh Dzun Nun al Mishri dalam mendekati Tuhan,
yaitu thariqah yang biasa ditempuh oleh para ahli sufi melalui maqamat yang
dilakukan secara sistematis dan ketat mulai tobat. Adapun thariqah yang kedua
yaitu ijtiba bersifat personal.
Untuk jalan thariqah, Dzun Nun al Mishri menceritakan secara lebih rinci
tahapan-tahapan situasi batin yang hendak menuju tingkat arif (ahli ma’rifat),
yaitu : iman, khauf, tha’ah, raja, al mahabbah, syauq, uns, thuma’ninah, dan
na’im. Di samping menggunakan thariqah seperti ini, ia juga menempuh
19
perjalanan sufinya melalui maqamat tertentu yang intinya dimulai dari taubat,
wara, zuhud, tawakkal, rida, al ma’rifat, sampai mahabbah.
Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia sampai pada maqam al ma’rifat,
dia melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam
semesta. Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai berikut :
“…. Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah
seorang sufi besar, bapak paham al ma’rifat dalam terminologi sufisme karena
keberhasilannya dalam menampilkan corak baru kehidupan sufistik, yang lebih
menekankan pendekatan al ma’rifat qalbiyah dari pada al ma’rifat aqliyah. Inti
ajaran al ma’rifat adalah mengetahui dan melihat Tuhan dari dekat sehingga hati
sanubari sempat meliha-Nya tanpa penghalang. Pengetahuan inti adalah anugrah
Allah yang diberikan kepada orang-orang tertentu.
- Maqamat dan Ahwal menurut Dzun Nunal Mishri
Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang senantiasa dialami oleh orang
yang menjalani tasawuf sebelum mencapai tujuan yang dikehendaki, Yang
pertama berupa tahapan perjalanan, dan yang kedua berupa keadaan.
1. Maqamat
Maqamat dalam ilmu tasawuf mengandung arti kedudukan hamba dalam
pandangan Allah, menurut apa yang diusahakan berupa latihan. Jika seseorang
belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat suatu maqam, ia tidak boleh
naik ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
maqam dijalani oleh seorang tasawuf melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam
melakukan sebuah kewajiban yang harus ditempuh untuk jangka waktu tertentu.
Menurut Dzun Nun al Mishri, maqam ini dapat diketahui berdasarkan
tanda-tanda, simbol-simbol, dan amalannya. Oleh karena itu keberhasilannya itu
merupakan penilaian yang berasal dari Allah, mencerminkan kedudukan seorang
tasawuf di hadapan Allah.
20
Selanjutnya dalam Da’irat Al Ma’rifat Al Islamiyah diterangkan tentang
simbol-simbol az zuhud menurut Dzun Nun al Mishri, yaitu sedikit cita-cita,
mencintai kefakiran, memiliki rasa cukup yang disertai kesabaran. Sedangkan
masalah tobat ia membedakan atas tiga tingkatan, yaitu :
1. Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya
2. Orang yang bertobat dari kalalaian dan kealfaan mengingat Tuhan
3. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Dzun Nun al Mishri tentang maqam as shobr dikemukakan
dalam bentuk kepingan dialog dari sebuat riwayat. Suatu ketika ia menjenguk
seorang yang sakit. Tatkala orang itu berbicara dengan Dzun Nun, “Tidak
termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi Tuhan.”
Orang itu kemudian mengatakan “Tidak benar pula cintanya orang yang
merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”.
Petikan dialog di atas mengisyaratkan bahwa Dzun Nun berbicara dengan
orang yang juga mengerti dunia sufisme.
Selanjutnya pengertian at tawakkal menurut Dzun Nun al Mishri adalah
berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya kekuatan, intinya
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, disertai perasaan tidak memiliki
kekuatan. Dan rida menurut pendapatnya ialah kegembiraan hati karena
berlakunya ketentuan Tuhan.
- Ahwal
Dalam kitab Isthilahat As Shuffiyah, ahwal dijelaskan sebagai pemberian
yang tercurah pada seseorang dari Tuhannya, baik dari sebuah amal shaleh yang
menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari Tuhan sebagai
pemberian semata. Atau dengan kata lain ahwal adalah pemberian yang berasal
dari Tuhan kepada hamba-nya yang dikehendaki. Pemberian itu adakalanya
diberikan kepada orang yang berusaha kea rah itu dan adakalanya tanpa melalui
usaha.
Menurut Dzun Nun al Mishri, setiap maqam memupunyai permulaan dan
akhir. Diantara keduanya terdapat aneka ahwal. Setiap maqam mempunyai
symbol, dan setiap hal ditunjuk oleh isyarat. Penjelasan ini menunjukkan bahwa
21
maqam beerangsung lebih lama dari ahwal. Maqam bersifat tetap, dan ahwal silih
berganti, datang dan pergi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rabiah Al-Adawiyah dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri
adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya
terhadap Allah. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
22
kepada- Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,
yaitu Tuhan.
Ma’ruf al-Karkhi, nama lengkapnya adalah Abu Mahfudh Ma’ruf bin
Fairuz al-Kurkhi / al-Karkhi (w. 200H./815M.). Perihal nisbah beliau al-Kurkhi
atau al-Karkhi tidak diketahui alasan yang pasti. Akan tetapi diyakini bahwa al-
Kurkhi atau al-Karkhi adalah : (1) nama sebuah kawasan di Irak Timur, (2) nama
sebuah pemukiman di Kota Baghdad. Di tempat inilah sufi itu menetap hingga
wafat.
Corak tasawuf dari Ma’ruf al-Karkhi. Yaitu diantara bahwasanya dia
menekankan cinta kepada Allah swt dan menjadikan-NYA sebagai teman,
shahabat dan guru di dalam mencari ilmu. Kecintaan dan kedekatannya itu
menyebabkan kerinduan yang sangat kepada sang kekasih, dan menjadikan
kematian sebagai teman duduk karena dengan kematianlah dia bisa bertemu
dengan sang kekasih. Dan menyerahkan segala urusan dan perbuatan kepada
Allah swt.
Riwayat Hidup Dzun Nun al Mishri dan Kedudukannya dalam
Pertumbuhan Tasawuf Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak
menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin
Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180
H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856.
Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :
1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan
Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin.
2. Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali
dengan cahayanya.
Kedua ungkapan di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak
dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi
dengan jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan
23
menjaganya dari ketercematan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak
mempunyai arti lagi.
B. Saran
Demikianlah makalah singkat ini semoga bermanfaat. penulis merasa
makalah ini sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik sangat
penulis perlukan demi kesempurnaan makalah ini dan khazanah keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1983), cet. III.
Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia, 2007),
24
Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The ensiklopedia of Islam the new edition, (Leiden; ej Brill, 1995),
25