MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19...

103

Transcript of MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19...

Page 1: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran
Page 2: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA

Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)merupakan organisasi profesi yang bertujuan untuk

mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa.

PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA

Ketua : Yassir Nasanius, Unika Atma JayaWakil Ketua : Umar Muslim, Universitas IndonesiaSekretaris : Faizah Sari, Unika Atma JayaBendahara : Ienneke Indra Dewi, Universitas Bina Nusantara

DEWAN EDITOR

Editor Utama : Bambang Kaswanti Purwo, Unika Atma JayaEditor Pendamping : Faizah Sari, Unika Atma JayaAnggota : A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan Indonesia; E.Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Benny H Hoed, UniversitasIndonesia; Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Asmah Haji Omar,Universiti Malaya, Malaysia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; D. EdiSubroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. EffendiKadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Unika Atma Jaya;Hasan Basri, Universitas Tadulako; Umar Muslim, Universitas Indonesia; Dwi NoveriniDjenar, Sydney University, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; PatrisiusDjiwandono, Universitas Ma Chung.

JURNAL LINGUISTIK INDONESIA

Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasiberdasarkan SK Dirjen Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010, 1 November 2010. Jurnalilmiah ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannyaumumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secaraperseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp. 100.000 (anggota dalamnegeri) dan US$25 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeriadalah Rp.120.000 dan luar negeri US$45 per tahun.

Naskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulis-an Naskah di bagian belakang sampul jurnal.

ALAMAT

Masyarakat Linguistik IndonesiaPusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Atma JayaJI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesiae-mail: [email protected], Ph/Fax: +62 (0)21 571 9560

Page 3: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Daftar Isi

Locating Politeness in InteractionGabriele Kasper ...................................................................... 1

Peran Unsur Etnopragmatis dalamKomunikasi Masyarakat MultikulturalSetiawati Darmojuwono ......................................................... 19

Bahasa Terancam Punah:Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi PerawatannyaGufran Ali Ibrahim ................................................................ 35

A Cross-Linguistic Dimension of the Pragmatic Particle YaFaizah Sari ............................................................................. 53

Sapaan dalam Bahasa Bugis Dialek SidrapJohar Amir ............................................................................. 69

On Poetry Translation:the Impossible, the Difficult, and the SubtleA. Effendi Kadarisman ............................................................ 85

Page 4: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Februari 2011, 1 - 17 Tahun ke-29, No. 1Copyright©2011, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

LOCATING POLITENESS IN INTERACTIONi

Gabriele Kasper*[email protected]

University of Hawai’i at Manoa

Abstract

Pragmatik lintas budaya dan antarbahasa mengambil inspirasi terutama dari hasilpenggabungan rangka dua teori ini: teori tindak ujaran yang dikembangkan oleh Searledan teori sopan santun yang dirintis oleh Brown dan Levinson. Kedua teori ini berlandaspada model pelaku rasional dari tindak sosial: siapa yang menentukan daya tindakujaran tak langsung dan sopan santun atas dasar penghitungan “means-end cost-benefit”. Model rasionalis ini bersangkut paut dengan konseptualisasi makna pragmatiksebagai produk dari kehendak si penutur yang dikemas dalam konvensi linguistik suatubahasa tertentu. Ini berlawanan dengan perspektif etnometodolis, pasca struktukural,dan konstruksionis, yang menempatkan sopan santun lebih pada praktik wacana sosialdaripada pada pemahaman individu. Di dalam pembicaraan ini, saya akan mengamatifenomena sopan santun dalam interaksi dari sudut pandang analisis percakapan.Berdasarkan pelbagai data interaksi, akan saya paparkan bagaimana peserta tindakujaran mengorientasikan sopan santun melalui penataan sekuensial dari interaksimereka dan kaidah linguistik dan sumber semiotik yang lain. Sopan santun diuraikansecara jelas dan rinci lagi sebagai fenomena yang tumbuh dan dikonstruksikan bersama.Fenomena ini memperjelas orientasi anggota masyarakat terhadap rangka normatif danmoral pada tindakan nyata yang mengait konteks tertentu.

Kata kunci: pragmatik, kesantunan, analisis percakapan

Cross-cultural and interlanguage pragmatics have operated largely under the combinedframeworks of Searle’s speech act theory and Brown and Levinson’s politeness theory.These theories are predicated on a rational actor model of social action, according towhich persons determine illocutionary force and politeness on the basis of means-end cost-benefit calculations. The rationalist model is associated with a conceptualization ofpragmatic meaning as the product of speaker intention packaged in the linguisticconventions of a particular language. By contrast, ethnomethodological, poststructuralist,and constructionist perspectives locate politeness in social-discursive practice rather thanindividual cognition. In this talk, I will examine politeness phenomena in interaction fromthe vantage point of one such approach, conversation analysis. Based on a variety ofinteractional materials, I will show how participants orient to politeness through thesequential arrangement of their interaction and their use of linguistic and other semioticresources. Politeness is re-specified as an emergent and co-constructed phenomenon thatmakes visible social members’ orientations to normative and moral frameworks in concretesituated activities.

Key words: pragmatics, politeness, conversation analysis

Politeness, a key topic in pragmatics for several decades, has matured into an institutionalizedresearch area with a voluminous book and journal literature, including its own recently launchedperiodical, the Journal of Politeness Research. Although politeness has been theorized indifferent ways (cf. Watts, 2003, for a comprehensive overview and discussion), virtually allproposals acknowledge their intellectual debt to Erving Goffman’s notion of face (1955/1967).

As Goffman notes on first few pages of his essay, face refers to “a positive social value(…) An image of self delineated in terms of approved social attributes” (1967, p. 5). Onequestion among many that this definition raises is: Where is face located? For Goffman, face is“not lodged in or on a person's body, but diffusely located in the flow of events in the

Page 5: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gabriele Kasper

2

encounter” (1967, p. 7). Thus Goffman firmly locates face in interaction. Face according toGoffman registers under the ritual constraints (1981) that guide interactional conduct.Consequently, to study face-saving is to study the traffic rules of interaction.

Goffman’s astute description of face as "diffusely located in the flow of events" offers aneat initial gloss of the phenomenon, but it does not provide an explicit, let aloneoperationalizable characterization. It left social scientists with the legacy to specify, in formalterms, how face is specifically, systematically, and recurrently displayed and oriented to insocial members' interactional conduct. As has often been remarked, the disciplined collectionand analysis of recorded and transcribed documents of natural, situated talk-and-other-conduct-in-interaction was not Goffman's cup of tea. In fact there is not a single piece of data in his essayto support his face proposal. This may be one reason why Goffman’s face theory, inspirationalas it has been to social scientists, did not develop into a Goffmanian school of politeness theory.However, his truly seminal work has been taken into different directions by subsequent scholarsof pragmatics and interaction. In this talk, I will consider two highly influential approaches,Brown and Levinson's (B and L) politeness theory (1978/87) and Conversation Analysis (CA).This is a rather predictable selection. B and L’s theory and CA recommend themselves overmultiple alternativesii because these approaches are the most explicitly formulated, havegenerated a high volume of research and continue to do so, and contrast in several importantways, as I will elaborate further down. One contrast that needs to be registered upfront is animbalance of scope between the two perspectives. B and L’s explanandum is politeness as asocial phenomenon, whereas CA seeks to explicate talk-and-other-conduct-in-interaction. Whilewithin the domain of spoken interaction, CA’s object thus has a far broader purview, B and L’spoliteness theory, as indeed most of its rivals, is not limited to interactional discourse butapplies to forms of talk without turn-taking and to text produced in different media as well.What is more, politeness is not even a term within the CA vocabulary, although CA is veryinterested in examining how interaction is designed to maintain social solidarity, and howparticipants construct affiliation and disaffiliation through their talk. As will become clear later,the conceptual differences between B and L’s theory and CA have critical implications forresearch methodology. Indeed they can be taken as exemplars of much wider paradigmaticdifferences in current social science.

BROWN and LEVINSON'S POLITENESS THEORY

For the audience at this conference, a brief summary of B and L’s theory can suffice. The theoryconsists of three components: the construct of face, composed of positive face (approval) andnegative face (autonomy); a taxonomy of politeness strategies, designed to redress face-threatening acts (FTAs); and three composite context factors - power (P), social distance (D),and the ranking of imposition (R) – whose summed values operationalize the amount of face-threat that any given FTA represents to either or both the producer and recipient of a language-mediated social action. For the present purpose, the question of interest is how the threecomponents and their interrelationship are theorized. The answer gives us important insightsinto the logic of politeness research and its close relative, speech act research.

Here it is useful to recall that the most influential source for B and L’s theory is theGerman sociologist Max Weber's theory of social action (1922), specifically Weber’s notion ofinstrumental rationality (Zweckrationalität). Action is instrumentally rational when prior toacting, the actor assesses their purpose or goal against the available means and consequences,estimates the costs and benefits relative to the desired outcomes, and decides for the means thatappear most likely to achieve the goals in an optimally cost-effective manner. Instrumentally-rational social action is seen as causally related to the actor’s motives and intentions. FromWeber, and paralleling Chomsky's idealized native speaker, BandL took the heuristic device ofa Model Person, a contrivance endowed with rationality and face. The Model Person calculatesthe costs and benefits of doing an FTA by computing the values and weights of P, D, and R and

Page 6: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

3

based on this calculation determines which politeness strategy to use. In B and L’s proposal,then, face moved from its habitat in interaction (Goffman) to the secluded spaces of theindividual mind, which is where cognition is located according to the Cartesian tradition.

B and L’s theory of face and politeness shares its rationalist ontology with many theoriesin philosophy and the social sciences. Like Searle's speech act theory (1969), it was designed asan extension of Gricean pragmatics, specifically as a complement to the Cooperative Principle(1975). Other well-known examples of rationalist theories (sometimes referred to as“motivational” theories, e.g., Myerhoff, 2001) from sociolinguistics, psychology, andpragmatics include Myers-Scotton's markedness model of codeswitching (1992), relevancetheory (Sperber and Wilson, 1986), Levelt's speaking model (1989), Gibbs’s theory of nonliteralmeaning (1999), and Holtgraves’s social-psychological theory of language-mediated socialaction (2002). As explanatory frameworks of language use, rational actor models make up acategory of production model that build on a shared theory of meaning, one that joins togetherspeaker intention and language as a set of social conventions (Bilmes, 1986). According to thisconceptualization of ‘meaning’, a speaker cognitively generates an intention that is thenencoded in linguistic conventions and thereby becomes intersubjectively recognizable. Thepreeminent role of intention is especially salient in Searle's speech act theory (1969). Searlenotes that “(an utterance) achiev(es) the intention to produce a certain illocutionary effect in thehearer. (...) The hearer’s understanding the utterance will simply consist of those intentionsbeing achieved” (1969, pp. 48). Searle’s intentionalist stance is consistent with what Reddy(1979/1993) dubbed the “conduit metaphor” of language and Harris (1981) glossed as“telementation”. On these widely accepted explanations of how language-mediatedcommunication is possible, language is seen as a neutral conduit that mediates between thecognitive states of speaker and hearer. In the course of 400 years of Cartesian tradition, the twinmodel of communication as telementation and language as conduit between private minds hasbecome naturalized in Western philosophy and commonsense reasoning and diffused intosocieties influenced by Western culture and scholarship.

In research on speech acts and politeness, the conduit for speaker intention is assumed to beavailable in conventionalized repertoires of strategies and linguistic forms, sometimes referred toas speech act sets or semantic formulae. Speech act sets have been identified for several speechacts, including apologies (Olshtain and Cohen, 1983), complaints (Olshtain and Weinbach, 1987),compliments (Holmes, 1986), refusals (Beebe and Cummings 1985/1996), requests (Blum-Kulka,House and Kasper 1989), and expressions of gratitude (Eisenstein and Bodman 1986). To takerequests as an example, the literature on speech act research commonly distinguishes threedimensions of request modification (Blum-Kulka, House, and Kasper, 1989:

DirectnessDirectConventionally indirectIndirect

Internal modification (e.g., mitigating or intensifying the request proper)External modification (e.g., “grounders”, giving reasons or justifications for the request)For illustration, see Extract (1).

(1) Dormitory (Kasper (2006b, p. 340; IR = interviewer, C = candidate)

1. IR: I've never been to the dormitories before,

2. so I don't really have much idea what the

3. dormitory is like. Can you describe your room

4. to me perhaps?

5. C: Oh, my (.) my room (.) my room (.)

6. my room (.) my room is very dirty now,

Page 7: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gabriele Kasper

4

On a speech act analysis, the interviewer modifies the upcoming request externally by prefacingit with two consecutively related grounders. The head act has a conventionally indirect form,i.e., it is composed of an open frame (can you) that conventionally signals requestive force. Therequest proper is internally modified through the explicit dative to me and the adverb perhaps.Both forms mitigate the request, but in different ways. The explicit mention of the recipientsymbolically casts the requested action as being to the requester’s benefit, while perhapssymbolically lowers the extent to which the candidate is obliged to comply with the request.From the perspective of speech act research, the external and internal modifications make therequest more polite.

As conceptualized in speech act research, conventionality is a key cross-linguistic featurein the pragmalinguistic forms of speech acts (Blum-Kulka, 1989). However, pragmalinguisticinventories of speech act sets have no inbuilt dimension to them that might explicate howconventions of means and form are recruited in speech act performance. In order to explain whyactors choose particular strategies and forms over others in any given situation, speech actresearchers turn to social context, specifically the three context factors D, P, and R proposed byB and L. In so doing, they invoke correlational or causal models according to which discourse-external context is systematically related to or causes discourse-internal pragmatic selections.We need to note here, however, that by positing a direct relationship between external contextand politeness investment, researchers tend to overlook some important qualifications that B andL register with regard to the ontological status of D, P, and R. As they comment,

We are interested in D, P, and R only to the extent that the actors think it ismutual knowledge between them that these variables have some particularvalues. Thus these are not intended as sociologists’ ratings of actual power,distance, etc., but only as actors’ assumptions of such ratings, assumed to bemutually assumed, at least within certain limits (Brown and Levinson, 1987, p.75f., my emphasis).

This comment points to an important difference between sociostructural and rationalist contextmodels (Coupland, 2001). In sociostructural models, context represents an objective socialstructure external to the interaction or text, and prefiguring discursive activities. Together withresearcher-defined situational dimensions, such as the “formality” of the occasion, actors’membership in social categories such as socio-economic class, ethnicity, age, gender, and otherassumedly situation-independent social factors is seen to determine social actions and theirspecific design. Sociostructural context models are well represented in the classic version ofvariationist sociolinguistics, which investigates how demographic and situational variablescorrelate with linguistic features to form “sociolinguistic patterns” (Labov, 1972).

In rationalist context models, by contrast, context is relocated from the outside of thesocial arena to the inside of individual actors’ minds. As B and L clarify,

our (weightiness, GK) formula must be at least a partially accurate representationof cognitive processes (...). Parameters like P, D, R must have some cognitivevalidity (p. 81).

The rationalist context model, then, involves a mental calculation of face-threat and subsequentchoices of face-saving strategies and resources. This conceptualization has methodologicalramifications since it begs the question how the cognitive representations of P, D, and R can becaptured empirically. A common research strategy is to elicit ratings of the context variablesthrough scaled response instruments (e.g., Fukushima, 2000). But in much speech act andpoliteness research, from early work (e.g., Blum-Kulka et al., 1989) to recent studies (e.g., Rueand Zhang, 2008), we see an unacknowledged and undertheorized blend of rationalist andsociostructural ontologies. Although this large literature routinely appeals to B and L’s politenesstheory, most studies rely on the researcher’s intuitive estimate of P, D, and R, without ascertainingthe participants’ assessments of context variables. In several decades of extensive scholarship,

Page 8: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

5

speech act and politeness research has turned up many valuable and enduring findings, yet theabsence of metatheoretical and metamethodological reflection compromises rationalist pragmaticsresearch even within its own tradition.

To summarize, in BandL’s hands, face underwent a critical ontological shift. Goffman'sinteractionally anchored face concept migrated from the social arena of interaction to theindividual mind. Likewise, in the framework of speech act research, facework transformed frominteraction to static, reified inventories of pragmatic conventions. In order to explain actors’choices from their speech act repertoire, researchers appeal to social context variables, positingcorrelational or causal relationships between social context and speech act strategies andlinguistic forms.

CONVERSATION ANALYSIS (CA)

When Goffman (1974) proposed the interaction order as a key sociological topic, he opened upa perspective on interaction as the foundational social institution, the bedrock on which all otherinstitutions are built (Schegloff, 2006). His proposal set an agenda for sociology that was takenup by CA. With Harvey Sacks’s development of conversation analysis, Goffman’s conceptualframework began to be unfolded into an extensive research program with specific principles andpolicies for research practice. CA has specified several of Goffman's concepts through rigorousempirical analysis of naturalistic talk-and-other-conduct-in-interaction.

By addressing Goffman’s theoretical concepts from an empirical, ethnomethodologicallygrounded perspective, CA has offered explicit formal accounts of participants’ sense-makingmethods as they are publicly available to participants themselves in their interactional conduct.True to its ethnomethodological epistemology, CA adopts a radically emic perspective, closelyobserving and describing, in formal terms, how participants ongoingly and in concert produceand interpret their social world. In ethnomethodological perspective, it is not sociologists’ job toimpose yet another interpretation on the understandings that social members have alreadyachieved, or to discount members’ interpretations as ideological or uninformed. Rather, CAendeavors to explicate the interactional apparatus that brings off social actions andunderstandings in situated activities. Of necessity, just how social members achieve socialcohesion and solidarity through their interactional conduct must be a key topic in CA’s project.

As noted above, for B and L-based politeness and speech act research, politeness isembodied in speakers’ strategic choices of pragmatic conventions. For CA, face and socialaffiliation are primarily located in the organization of interactional sequences. However, in thismillennium (although with earlier precursors), there has been an increasing interest in thelinguistic resources deployed in turn design and in their sequential placement within and acrossturns. I will turn to these later developments after discussing two forms of sequenceorganization that are critically implicated in the production of social cohesion: preferenceorganization and presequences.

Preference organization

Since interaction is foundational for human sociality (Schegloff, 2006), the maintenance ofsocial solidarity is built into the structure of interaction. Preference organization is oneubiquitously available resource for participants to accomplish social cohesion (Heritage, 1984)and has been explicitly linked to face (Golato and Taleghani-Nikazm, 2006; Lerner; 1996).Perhaps because of its mentalist overtones, there is some debate about how the notion ofpreference might be understood (Bilmes, 1988; Boyle, 2000). Unlike in everyday talk, in CApreference and dispreference do not refer to a person’s cognitive and affective states, their likesand dislikes, but are used as technical terms to describe the structural relationship betweensequence parts. Preference refers to an ordering principle between non-equivalent alternativeactions. As first proposed by Sacks (Sacks, 1973/1987; Schegloff and Sacks, 1973) andelaborated in a number of seminal collection-based studies (Davidson, 1984; Pomerantz, 1984a,

Page 9: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gabriele Kasper

6

b), preferred actions advance the current course of an activity while dispreferred actions do not.In adjacency pairs with response alternatives, second pair parts that promote the course of actionprojected by the first pair part are preferred while second pair parts that block the projectedaction trajectory are dispreferred. Table 1 gives some examples.

Table 1: Some adjacency pairs with preferred and dispreferred second pair parts(modified from Heritage, 1984, p. 269)

First pair part Second pair part+PreferredResponse

-DispreferredResponse

RequestOffer/invitationProposalApologyAssessment

GrantingAcceptanceAcceptanceAcceptanceAgreement

RefusalRejectionRejectionRejectionDisagreement

Following Schegloff’s (2007) notation, in affiliative interaction, the plus responses are preferredwhile the minus responses are dispreferred. “Affiliative” is the operative caveat. Studies ofdisaffiliative activities such as arguments and accusations show that such interactions have theirown preference structure. Even in affiliative activities, the preference structure for alternativesecond pair parts can be more complex and therefore may not follow the pattern in Table 1. Forsuch first pair parts as compliments and self-deprecations, agreements are not generallypreferred as they violate the pragmatic constraint of “self-praise avoidance” in the case ofcompliments (Pomerantz, 1978)iii and of avoiding criticism of the other party in the case of self-deprecations (Heritage, 1984; Schegloff, 2007). So the association of alternative second pairparts with preference or dispreference should not be read off the table as carved in stone but hasto be shown analytically in each instance in the participants’ visible interactional conduct.

Preference organization refers to the interactional methods by which preference ordispreference are accomplished (Schegloff, 2007, for a comprehensive recent update). Preferredsecond pair parts contrast with dispreferred second pair parts in the ways that speaker changetakes effect and in the composition of the response turns. Some examples are given below.

(2) Nice day (Pomerantz, 1984, p. 65)

1. Jim: T's- tsuh beautiful day out isn't it?

2. Len: Yeh it's jus gorgeous …

(3) Things (Pomerantz 1984, p. 70)

1. A: ... cause those things take working at

2. (0.2)

3. B: (hhhh), well, they do, but

Len’s turn start in Extract (2) is formatted according to the normative no-gap-no-overlap rule ofturn-taking (Sacks, Schegloff, and Jefferson, 1974). Not only does his agreement with Jim’sassessment come without delay or mitigation, but the agreement is done through an upgradedsecond assessment (beautiful à jus gorgeous) and in this way aligns itself strongly with theinitial assessment. We also note that through the question tag, Jim’s first pair part is stronglytilted towards a preferred response. In contrast, B’s second pair part in Extract (3) is delayed by(1) a gap of silence, (2) a turn-initial in-breath, (3), the discourse marker well, and (4) a weaklystated agreement. These four practices project disagreement even before it gets under way withthe disagreement marker but. The shorter, unmitigated, on-time delivery structure reflexivelyindexes preferred second pair parts as unmarked, whereas the delayed and mitigated

Page 10: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

7

organization of dispreferred actions indexes them as marked. In short, dispreferred actions aremore work. The practices for doing dispreferred responses include those we have seen in Extract(3): inter-turn gaps, turn-initial delays, pro forma agreements, and mitigation (Schegloff, 2007).Bilmes (1988), in an alternative analysis of preference organization, refers to these practices asreluctance markers.

Participants’ orientations to the normative preference structure are not only seen in thecontrasting turn shapes of preferred and dispreferred responses. We have already observed apractice by which the speaker of a first part may tilt their turn towards a preferred response(Extract 2). Extracts (4) and (5) show another practice by which speakers of a first pair partpursue a preferred response.

(4) Cook (Pomerantz 1984, p. 77)

1. L: D’they have a good cook there?

2. (1.7)

3. L: Nothing special?

4. J: No. -- Every- everybody takes their turns.

(5) Chemotherapy (Frankel 1984)

1. Pt: This- chemotherapy (0.2) it won’t have any

2. lasting effects on havin’ kids will it?

3. (2.2)

4. Pt: It will?

5. Dr: I’m afraid so

In both extracts, the first speaker’s question does not generate an answer in next turn asprojected. Not only that, but the addressed party declines taking a turn at all. Through her nextaction, the first speaker shows that she understands the addressed party’s silence to mean thatthey cannot come forth with a preferred response. Following a substantial gap of silence, firstspeaker takes a turn again, in which she reverses the polarity of the question. In Extract (4), thesubsequent version (Davidson, 1984; Pomerantz, 1984) shifts the polarity of the originalquestion from positive to negative (line 3); in Extract (5), the subsequent version changes thefirst question format from negative to positive (line 4). In both cases, the preference reversal(Schegloff, 2007) generates a preferred response in the normative sequential position. AsRaymond (2003) showed, in first pair parts formatted with yes/no interrogatives, preferencereversals restructure the polarity of the interrogative to enable “type-conforming” responses.

We have seen how in question-answer sequences, the participants may collaborate inproducing preferred responses – the questioner by designing the question for a preferredresponse and the answerer by withholding a dispreferred answer, prompting the questioner torevise the question to enable a preferred response. Davidson (1984) showed that the practice ofpursuing a preferred response through subsequent versions following a gap of silence can beseen with some regularity in invitation, offer, request, and proposal sequences. As these firstpair parts have in common that they propose some future action on the part of the addressee, it ispossible to hear the interturn gaps as reluctance on the part of the addressee to engage in theproposed action – to accept the invitation, take up the offer, comply with the request, or endorsethe proposal.

Recent studies have shown that pursuits of preferred responses can also be seen inapology sequences. When apologies appear as first pair parts in an adjacency pair sequence,they project an apology-relevant response in the immediately subsequent turn. The preferredresponse is an acceptance of the apology. In Extract (6), the sequence-initial apology does notget a response in next turn.

Page 11: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gabriele Kasper

8

(6) Doc is late (Robinson, 2004, p. 309)

1. Doc: Hello: s[orry I’m running] late

2. Pat: [Hi: ]

3. (.)

4. Doc: ‘T’s a typical monday.

5. Pat: Oh you’re not running (late)=

6. Doc: =(N)ot doin’ too ba:d.

7. Pat: No:::

The physician’s apology in line 1 does not generate a response from the patient. After a briefgap of silence (line 3), the physician produces an account (“offense excuse”, line 4) for theclaimed offense. With the account, the physician pursues a preferred response, which the patientnow offers in next turn (line 5). The apology sequence has the same organization as the responsepursuit sequences described by Davidson (1984), i.e.

T1 request, proposal, invitation, question, apologyT2 gap of silenceT3 subsequent version pursuing a preferred response

We note that the subsequent version in turn 3 operates on the action in the first pair part invarious ways, for instance by reversing the polarity of the question (Extracts 4 and 5), or byoffering an offense excuse (Extract 6). We also note that these actions could have been done inturn 1 as same-turn elaborations of the initial action. However in Davidson’s (1984) andRobinson’s (2004) studies, the speakers of the first pair part only offer invitation enhancementsand offense excuses when the sequence they initiated is structurally incomplete, i.e., a responseis noticeably absent. The inviter and the apologizer orient to such noticeable absences (andthereby to the normative character of the question or apology as the first pair parts of anadjacency pair) by pursuing a response through polarity reversal or accounting for the offense. Asa central interactional resource for constructing affiliative and disaffiliative alignments, preferenceorganization builds on CA’s recognition that for the participants, context is, first and foremost(although not necessarily exclusively), the endogenous, interaction-internal context, co-producedby participants in their normative orientation to sequence organization.

Presequences

Sequences such as adjacency pairs can be expanded in various ways. Such expansions can servea range of interactional goals, many of them not related to social affiliation and disaffiliation(Schegloff, 2007, for a concise overview and terminology used in this section). For the currentdiscussion, we can limit the types of relevant expansions to pre-expansions of first pair parts,called presequences. Presequences are centrally implicated in preference organization because itis their job to generate preferred second pair parts. Extract (7) demonstrates how twoparticipants in ordinary conversation orient to politeness by producing presequences.

(7) Buttonholes (Schegloff 1980, pp. 112-113)

1. Fre: Oh by the way ((sniff))I have a bi:g

2. favor to ask ya.

3. Lau: Sure, go ‘head.

4. Fre: ‘Member the blouse you made a couple of

5. weeks ago?

Page 12: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

9

6. Lau: Ya.

7. Fre: Well I want to wear it this weekend to

8. Vegas but my mom’s buttonholer is broken.

9. Lau: Fred I told ya when I made the blouse

10. I’d do the buttonholes.

11. Fre: Ya ((sniff)) but I hate ta impose.

12. Lau: No problem. We can do them on Monday

13. after work.

Fred starts the request sequence with a digression marker (Oh by the way) and an action thatprojects another action – asking a bi:g favor of Laurie. The prefatory action is done as anannouncement, yet Laurie treats it as a request by giving Fred permission to go ahead (line 3). Inher next turn, Fred however does not do the request as licensed but instead produces anotherpre-request (line 4), a recognition check ‘Member the blouse you made a couple of weeks ago?’that establishes shared reference between her and Laurie and identifies an object that Laurie canassume will somehow be implicated in Fred’s request. Schegloff (1980) proposes thatpresequences such as the one cited here from his collection are regularly composed of (1) aprefatory turn that projects a specified action (line 1), (2) a next turn by the same speaker thatdoes not do the projected action but instead produces another preliminary which serves toestablish whether conditions for moving ahead with the projected action are in place. Theaction-projecting turn type prefaces another preliminary action, a “preliminary to apreliminary”, or “pre-pre” for short. Laurie’s confirmation that she recognizes the object (line 6)paves the way to the request in Fred’s following turn. Yet Fred’s next action (lines 7/8) is stillnot a request but an anticipatory account designed as two successive components, whereby thefirst component describes a desired future action by Fred that involves the mutually recognizedobject (I want to wear it this weekend to Vegas) and the second component identifies anobstacle to that future action (my mom’s buttonholer is broken). In response, Laurie offers Fredthe service that removes the obstacle to Fred’s intended use of the object (lines 9/10). As wehave seen, the presequence leading up to Laurie’s offer is built of a series of adjacency pairssuch that progression to the pre-request in the next first pair part is contingent on the precedingsecond pair part. Since the first pair parts garner preferred responses, the presequences bring theaction progressively closer to the projected request. If instead of giving go-aheads in her secondpair parts in lines 3 and 6, Laurie had given responses that obstructed the projected trajectory ofFred’s preceding first pair parts, the sequence would have taken a very different direction.

Although through the successive sequences of pre-pres, the participants collaborativelycleared the interactional terrain for the request, the request never materialized because it waspre-empted by Laurie’s offer. Through their complementary actions, both participants orient tothe preference structure for requests: the requester through the series of pre-sequences which atthe same time establish the preconditions for the request and delay it, thereby reflexivelyorienting to the request as a dispreferred action; the requestee by going along with the course ofaction proposed in the first-pair parts of the presequences and by making an offer, a preferredaction that blocks the dispreferred action of requesting. Presequences are thus systematicallyimplicated in the preference organization of requests (Taleghani-Nikazm, 2006). The preferencefor offers over requests shows that preference organization extends to first pair parts. In thecited request sequence, Fred actually formulates the dispreferred status of her request afteraccepting Laurie’s offer: “I hate ta impose.” (line 11).

The buttonhole sequence contrasts distinctly from the dormitory sequence in Extract (1).In both instances, the requester prefaces the request with prefatory actions. However, in Extract(1), the pre-requests prefigure the request in same turn. They are not organized as adjacency

Page 13: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gabriele Kasper

10

pairs, indeed turn-transition is not projected after each of the pre-requests. Consequently, thereis no opportunity for the recipient to pre-empt the request by offering a telling about what hisdormitory is like. In contrast, by organizing presequences as adjacency pairs, the participants inExtract (7) jointly establish the interactional conditions for moving the request activity forward.In each case, it was the requestee’s preferred second pair parts that enabled the requester toadvance to the next step towards the projected action. Dispreferred second pair parts would havechanged the course of the activity. Presequences and preference organization afford participantsinterconnected interactional methods for affiliative alignments, that is, for doing face-work.

Grammatical resources in turn design

In this final section, I will move from sequence organization to the design of turns in CA studiesof affiliation and disaffiliation, taking as an example the grammatical resources deployed indirectives, specifically questions and requests. To recap, in speech act and politeness research,speech acts are seen as (1) speaker intention implemented through inventories of conventionalizedstrategies and linguistic forms, whereby (2) speakers select from sets of formulae depending onthe configuration of interaction-external context factors. A large empirical literature – which,however, is overwhelmingly based on elicited, often non-observational data – lends support toboth theoretical premises. This begs the question whether CA research on requests and questionssupports the findings from a contrasting research tradition.

CA studies on the formats of questions and requests include studies on ordinary face-to-faceconversation (Raymond, 2003), casual telephone conversations (Taleghani-Nikazm, 2006),webchats (Golato and Taleghani-Nikazm, 2006), news interviews (Clayman and Heritage 2002b,Heritage and Roth 1995), presidential press conferences (Clayman and Heritage 2002a, Heritage2002), residential elderly care (Heinemann, 2006; Lindström, 2005), writing tutorials (Koshik,2005), oral proficiency interviews (Kasper, 2006; Kasper and Ross, 2007), and child requestdevelopment in familial parent-child talk (Wootton 1997, 2005). In a recent study, Curl and Drew(2008) analyzed the distribution of two request forms, ‘could you’ and ‘I wonder if you could’, incalls to book stores and after-hours calls to general practitioners (GPs). The use and distribution ofthese forms have been documented extensively in the speech act literature, which treats ‘couldyou’ as a conventionally indirect request (“query preparatory”, Blum-Kulka et al., 1989, p. 280)and ‘I wonder if’ as a combination of syntactic and lexical downgraders (Blum-Kulka et al., 1989,pp. 281-284). Curl and Drew (2008) find that in after hour medical calls, callers predominantlyuse as the standard request form ‘I wonder if you could’ when asking for advice (Extracts 8 and 9)or requesting a visit or other forms of help.(8) Wasp (Curl and Drew 2008, p. 139)

1 Doc: hhHello:

2 (.)

3 Clr: Hello, I wonder if you could help

4 me. Ehm: my little boy’s just

5 been stung by a wasp on ‘is

6 thumb. What d’ya do:?

(9) Advice ((Curl and Drew 2008, p. 138)

1 Doc: hello,

2 Clr: mt! Hello, I wonder of you could give me some advice,

Page 14: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

11

However in a subset of the calls, callers format the request without the ‘I was wondering if’ preface:

(10) Breathless (Curl and Drew 2008, p. 139)

1. Doc: Hel:lo:,

2. Clr: Hel:lo, is tha’ du- doctor

3. Doc: Yes, Doctor ((omitted)) speaki:ng,

4. Clr: i:i:(Yeah) couldja’s (call’d) an’ see my wife please,

5. .h [h

6. Doc: [Yes:.

7. Clr: She’s breathless. She can’t .hh get ’er breath .hh

For speech act research, the differential distribution of request forms raises a problem because itcannot be explained by appealing to the interaction-external context. Throughout the medicalcalls, the participants’ asymmetrical “institutional” relationship (in terms of B and L’s contextfactors, P and D high) remains unchanged.

What distinguishes the call in Extract (10) from the calls in Extracts (8) and (9) is thathere the caller gives as a reason for the call the patient’s critical medical condition. By using theless elaborate request form, the caller orients to contingencies that carry entitlement to the GP’sservice. Through their account for the call, the caller sets up a contingency of urgency that isreflexively embodied in the less mitigated request form.

Variants of the form ‘could you’ without further mitigation are the standard forms used bycallers in family conversations and service encounters. However here too, alternative requestformats display the caller’s orientations to shifting entitlements and contingencies, as in the callto a bookstore below (Extract 11).

(11)(Curl and Drew 2008, p. 141)

1. Les: ...and ordered a boo:k [.hhh and you said you’d ho:ld

2. Jon: [yeah

3. Les: it for me

4. Les: And (.) I was supposed to be coming in around Easter

5. well I haven’t managed to get i:n a:nd I wonder if you

6. could se:nd it to me if you’ve still go:t it

The caller launches her request through various preliminaries and anticipatory accounts beforedoing the request with I wonder if you could se:nd it to me (lines 5/6), followed by a post-expansion if you’ve still go:t it. As Curl and Drew note, through this elaborate request design, thecaller indexes her understanding of her entitlements and the institutional procedures as uncertain,and invokes a contingency for granting the request. This study echoes the consistent outcome ofprevious CA research on the grammatical forms of questions and requests, namely that speakers’selections from alternative linguistic resources cannot be sufficiently accounted for by appealingto interaction-external configurations of context variables. Rather, participants’ use of alternativegrammatical forms reflexively shows their orientation to the interactional context as well as thesetting and thereby constitutes the particulars of the setting in the first place.

Page 15: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gabriele Kasper

12

CONCLUSION

When comparing the findings of speech act and politeness research with those of CA studies onthe same social actions, we find that the conventionalized ‘strategies’ and grammatical resourcesare largely consistent across the two research traditions. But whereas for speech act studies,‘semantic formulae’ as the only available resources for producing speech acts and conveyingpoliteness, CA sees the grammatical turn formats as one resource besides sequenceorganization. In the tradition of CA, preference organization and presequences have been themore central resource of the two. As we have seen, the greater attention that CA researchersincreasingly pay to the grammatical structuring of social actions does not imply that CA’strademark interest in the sequential organization of interaction through turns and sequences isbeing refocused. Rather, it indicates that CA’s program is progressively extended to encompassall aspects of semiotic resources and their deployment in unfolding interactional activities.Although the lesser concern of this article, the discussion above has also suggested that CA isfully capable to deal with the distributional patterns of alternative grammatical resources in theformatting of social actions. Unlike structural-functionalist and rationalist models, for CA suchalternative selections are context-creating rather than merely responsive to pre-existingcontextual configurations. Through sequence organization and the choice of grammatical forms,participants visibly orient to social relationships and other aspects of context that are relevant tothem at any given moment. One analytical pay-off for politeness researchers is CA’s capacity torespecify the global and unexplicated factor ‘imposition’ as specific concerns for theparticipants. CA’s ethnomethodological perspective on the reflexive constitution of contextthrough sequential organization and semiotic resources is not available in rationalist speakermodels or structural-functional theories. By shifting analytical attention from speaker intentionto interactional practices and jointly achieved outcomes, from subjectivity to intersubjectivity,CA brings back the locus of ‘face’ to where Goffman first put it, that is, in the flow ofinteraction. CA has made great strides in successively replacing the ‘diffuse’ habitat of face byspecifying the recurrent interactional and grammatical resources through which participantsaccomplish face in interaction. In sum, CA’s theoretical stance and analytical apparatus havebeen able to develop Goffman’s seminal proposal of ‘face’ as a key feature of the interactionorder into a coherent, rigorous, and productive research program that will continue to make asignificant impact in the diverse field of politeness research.

NOTE

* The author would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.

Page 16: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

13

REFERENCES

Atkinson, J.M. and J. Heritage (eds.). 1984. Structures of Social Action. Cambridge, UK:Cambridge University Press.

Bardovi-Harlig, K., C. Félix-Brasdefer, and A. Omar (eds.). 2006a. Pragmatics and LanguageLearning 11. Honolulu, HI: National Foreign Language Resource Center, University ofHawai’i at Manoa. Distributed by University of Hawai’i Press.

Bargiela-Chiappini, F. and M. Haugh, (eds.). 2007. Face, Communication and SocialInteraction. London: Equinox.

Beebe, L. M. and M.C. Cummings. 1996. “Natural Speech Act Data Versus WrittenQuestionnaire Data: How Data Collection Method Affects Speech Act Performance.” In:Gass and Neu (eds.), 65-86.

Bergman, M.L. and G. Kasper. 1993. “Perception and Performance in Native and NonnativeApology.” In: Kasper and Blum-Kulka (eds.), 82-107.

Bilmes, J. 1986. Language and Behavior. New York: Plenum.

Bilmes, J. 1988. “The Concept of Preference in Conversation Analysis.” In: Language inSociety 17, 161-181.

Blum-Kulka, S. 1989. “Playing It Safe: The Role of Conventionality in Indirectness.” In: Blum-Kulka, House, and Kasper (eds.). 37-70.

Blum-Kulka, S., J. House, and G. Kasper (eds.). 1989. Cross-cultural Pragmatics: Requests andApologies. Norwood, NJ: Ablex.

Boden, D. and D.H. Zimmerman (eds.). 1991. Talk and Social Structure. Cambridge: PolityPress.

Boyle, R. 2000. “Whatever Happened to Preference Organization?” Journal of Pragmatics 32,583-604.

Brown, P. and S. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Use. Cambridge:Cambridge University Press.

Button, G. and R. W. Lee (eds.), 1987. Talk and Social Organization. Clevedon: MultilingualMatters.

Clark, H.H. 1979. “Responding to Indirect Speech Acts.” Cognitive Psychology 11, 430-477.

Clayman, S.E. and J. Heritage. 2002a. “Questioning Presidents: Journalistic Deference andAdversarialness in the Press Conferences of U.S. Presidents Eisenhower and Reagan.“Journal of Communication 52, 749-775.

Clayman, S.E. and J. Heritage, 2002b. The News Interview: Journalists and Public Figures onthe Air. New York: Cambridge University Press.

Cole, P. and J. Morgan (eds.). 1975. Syntax and Semantics 3: Speech Acts. New York:Academic Press.

Cook, H.M. 2006. “Japanese Politeness as an Interactional Achievement: AcademicConsultation Sessions in Japanese Universities.” Multilingua 25, 269-292.

Coupland, N., S. Sarangi, and C.N. Candlin (eds.). 2001. Sociolinguistics and Social Theory.Harlow, England: Longman/Pearson Education.

Coupland, N. 2005. “Introduction: Sociolinguistics and Social Theory.” In: Coupland, Sarangi,and Candlin (eds.), 1-26.

Page 17: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gabriele Kasper

14

Coupland, N., S. Sarangi, and C.N. Candlin (eds.). 2005. Sociolinguistics and Social Theory.Harlow, England: Longman/Pearson Education.

Curl, T.S. and P. Drew. 2008. “Contingency and Action: A Comparison of Two Forms ofRequesting.” Research on Language and Social Interaction 41, 129-153.

Davidson, J. 1984. “Subsequent Versions of Invitations, Offers, Requests, and ProposalsDealing with Potential or Actual Rejection.” In: Atkinson and Heritage (eds.), 102-128.

Eisenstein, M. and J. Bodman. 1986. “I Very Appreciate’: Expressions of Gratitude by Nativeand Nonnative Speakers of American English.” Applied Linguistics 7, 167-185.

Enfield, N.J. and Stephen C. Levinson (eds.). 2006. Roots of Human Society. Oxford: Berg.

Ervin-Tripp, S. 1976. “Is Sybil There? The Structure of Some American English Directives.”Language in Society 5, 25-66.

Frankel, R.M. 1984). “From Sentence to Sequence: Understanding the Medical Encounterthrough Micro-interactional Analysis.” Discourse Processes 7, 135-170.

Fukushima, S. 2000. Requests and Culture. Bern: Peter Lang.

Gass, S.M. and J. Neu (eds.). 1996. Speech Acts Across Cultures: Challenges to Communicationin a Second Language. Berlin: Mouton de Gruyter.

Gibbs, R.W., Jr. 1999. Intention in the Experience of Meaning. Cambridge: CambridgeUniversity Press.

Goffman, E. 1967. Interaction Ritual. New York: Doubleday [First published 1955].

Goffman, E. 1974. Frame Analysis. London: Harper and Row.

Goffman, E. 1981. Forms of Talk. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Golato, A. 2005. Compliments and Compliment Responses. Amsterdam: Benjamins.

Golato, A. and C. Taleghani-Nikazm. 2006. “Negotiation of Face in Web Chats.” Multilingua25, 293-321.

Grice, H.P. 1957. “Meaning.” Philosophical Review 66, 377-388.

Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation.” In: Cole and Morgan (eds.), 41-58.

Hakulinen, A. and M. Selting (eds.). 2005. Syntax and Lexis in Conversation. Amsterdam:Benjamins.

Harris, R. 1981. The Language Myth. London: Duckworth.

Heinemann, T. 2006. “Will You or Can't You? Displaying Entitlement in InterrogativeRequests.” Journal of Pragmatics 38, 1081-1104.

Heritage, J. 1984. Garfinkel and Ethnomethodology. Cambridge: Polity Press.

Heritage, J. 2002. “The Limits of Questioning: Negative Interrogatives and Hostile QuestionContent.” Journal of Pragmatics 34, 1427-1446.

Heritage, J. 2004. “Conversation Analysis and Institutional Talk: Analysing Data.” In:Silverman (ed.), 161-182.

Heritage, J., and Roth, A. 1995. “Grammar and Institution: Questions and Questioning in theBroadcast News Interview.” Research on Language and Social Interaction 28, 1-60.

Holmes, J. 1986. “Compliments and Compliment Responses in New Zealand English.”Anthropological Linguistics 28, 485-508.

Page 18: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

15

Holtgraves, T.M. 2002. Language as Social Action. Mahwah, NJ: Erlbaum.

Kasper, G. and S. Blum-Kulka (eds.). 1993. Interlanguage Pragmatics. New York: OxfordUniversity Press.

Kasper, G. 2006a. “Speech Acts in Interaction: Towards Discursive Pragmatics.” In: Bardovi-Harlig, Félix-Brasdefer, and Omar (eds.), 281-314.

Kasper, G. 2006b. “When Once Is Not Enough: Politeness in Multiple Requests.” Multilingua25, 323-349.

Kasper, G., and S. Ross. 2007. “Multiple Questions in Oral Proficiency Interviews.” Journal ofPragmatics, 2045-2070.

Koshik, I. 2005. Beyond Rhetorical Questions. Amsterdam: Benjamins.

Labov, W. 1972. Sociolinguistic Patterns. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Lerner, G. 1996. “Finding “Face” in the Preference Structures of Talk-in-interaction.” SocialPsychology Quarterly 59, 302-321.

Levelt, W. 1989. Speaking: From Intention to Articulation. Cambridge, MA: BradfordBooks/MIT Press.

Lindström, A. 2005. “Language as Social Action: A Study of How Senior Citizens RequestAssistance with Practical Tasks in the Swedish Home Help Service.” In: Hakulinen, andSelting (eds.), 209-233.

Meyerhoff, M. 2001. “Dynamics of Differentiation: On Social Psychology and Cases ofLanguage Variation.” In: Coupland, Sarangi, and Candlin (eds.), 61-87.

Myers-Scotton, C. 1993. Social Motivations for Codeswitching. Oxford: Clarendon.

Olshtain, S. and A.D. Cohen. 1983. “Apology: A Speech Act Set.” In: Wolfson, and Judd (eds.),18-35.

Olshtain, E. and L. Weinbach. 1987. “Complaints: A Study of Speech Act Behavior AmongNative and Nonnative Speakers of Hebrew.” In: Verschueren and Bertuccelli-Papi (eds.),195-208.

Ortony, A. (ed.). 1993. Metaphor and Thought. 2nd edition. Cambridge: Cambridge UniversityPress. First edition 1979.

Pomerantz, A. 1978. “Compliment Responses: Notes on the Co-operation of MultipleConstraints.” In: Schenkein (ed.), 79-112.

Pomerantz, A. 1984a. “Agreeing and Disagreeing with Assessments: Some Features ofPreferred/Dispreferred Turn Shapes.” In: Atkinson and Heritage (eds.), 57-101.

Pomerantz, A. 1984b. “Pursuing a Response.” In: Atkinson and Heritage (eds.), 152-163.

Raymond, G. 2003. “Grammar and Social Organization: Yes/No Interrogatives and TheStructure of Responding.” American Sociological Review 68, 939-967.

Reddy, M. J. 1993. “The Conduit Metaphor: A Case of Frame Conflict in Our Language aboutLanguage.” In: Ortony (ed.), 164-201.

Robinson, J.D. 2004. “The Sequential Organization of “Explicit” Apologies in NaturallyOccurring English.” Research on Language and Social Interaction 37, 291-330.

Roth, G. and C. Wittich (trans. and eds.). 1968. Economy and Society: An Outline ofInterpretive Sociology. New York: Bedminster Press, 1968 [Original published 1922].

Page 19: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gabriele Kasper

16

Rue, Y.-j., and G.Q. Zhang. 2008. Request strategies: A Comparative Study in MandarinChinese and Korean. Amsterdam: Benjamins.

Sacks, H. 1987. “On the Preferences for Agreement and Contiguity in Sequences inConversation.” In: Button and Lee (eds.), 54-69.

Sacks, H. 1992. Lectures on Conversation (2 volumes). (G. Jefferson, ed.). Oxford: Blackwell.

Sacks, H., E.A. Schegloff, and G. Jefferson. 1974. “A Simplest Systematics for the Organizationof Turn-taking for Conversation.” Language 50, 696-735.

Schegloff, E. A. 1980. “Preliminaries to Preliminaries: “Can I ask you a question?”.”Sociological Inquiry 50, 104–151.

Schegloff, E. A. 1991. “Reflections on Talk and Social Structure.” In: Boden and Zimmerman(eds.), 44-71.

Schegloff, Emanuel A. 2006. “Interaction: The Infrastructure for Social Institutions, the NaturalEcological Niche for Language, and the Arena in which Culture Is Enacted.” In: Enfieldand Levinson (eds.), 70-96.

Schegloff, E.A. 2007. Sequence Organization in Interaction. Cambridge: Cambridge UniversityPress.

Schegloff, E.A. and H. Sacks. 1973. “Opening up Closings.” Semiotica 7, 289-327.

Schenkein, J. (ed.). 1978. Studies in the Organization of Conversational Interaction. NewYork: Academic Press.

Searle, J.R. 1969. Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language. Cambridge:Cambridge University Press.

Silverman, D. (ed.). 2004. Qualitative Research. London: Sage.

Sperber, D. and D. Wilson. 1986. Relevance: Communication and Cognition. Cambridge, MA:MIT Press.

Taleghani-Nikazm, C. 2006. Request Sequences: The Intersection of Grammar, Interaction andSocial Context. Amsterdam: Benjamins.

Verschueren, J. and M. Bertuccelli-Papi (eds.). 1987. The PragmaticPperspective: SelectedPapers from the 1985 International Pragmatics Conference. Amsterdam: JohnBenjamins.

Watts, R.J. 2003. Politeness. Cambridge: Cambridge University Press.

Weber, M. 1968. “Basic Sociological Terms.” In: Roth, G. and C. Wittich (trans. and eds.), 3-62.

Wolfson, N. and E. Judd (eds.). 1983. Sociolinguistics and Language Acquisition. Rowley, MA:Newbury House.

Wootton, A.J. 1997. Interaction and the Development of Mind. Cambridge: CambridgeUniversity Press.

Wootton, A.J. 2005. “Interactional and Sequential Configurations Informing Request FormatSelection in Children’s Speech.” In: Hakulinen and Selting (eds.), 85-207.

Page 20: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

17

i Some portions of this article appeared previously in Kasper (2006a).2 For reasons of space and maximal contrast, other interaction-based approaches to politeness are notconsidered in this article. See Bargiela-Chiappini and Haugh (2007) for a recent edited collection.iii Golato (2005) finds that the speakers of German in her corpus of casual social gatherings among friendsand family do regularly agree with compliments, indicating a need for comparative cross-cultural study ofcompliment sequences.

Page 21: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Februari 2011, 19 - 34 Tahun ke-29, No. 1Copyright©2011, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

PERAN UNSUR ETNOPRAGMATIS DALAMKOMUNIKASI MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Setiawati Darmojuwono*[email protected] Indonesia

Abstrak

Makalah ini membahas peran kerangka acuan budaya dalam analisis makna kosakataranah budaya berdasarkan Metabahasa Semantik Alami. Persona pertama tunggal ‘aku’dalam Bahasa Indonesia, dan kata-kata ’Jawa’, ‘Batak’, ’Bugis-Makasar’, ’Cina’ yangberasal dari ranah etnik merupakan polisemi jika digunakan penutur yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Analisis makna dengan menggunakan MetabahasaSemantik Alami dapat menunjukkan perbedaan makna, sehingga dapat mencegahkesalahpahaman dalam komunikasi.

Kata kunci: Natural Semantic Metalanguage, cultural scripts, communication,multicultural

This paper presents the role of cultural scripts in the analysis of meaning in culturalwords based on Natural Semantic Metalanguage (NSM). The first pronoun singular’ aku’in Bahasa Indonesia, and cultural words ‘Jawa’, ’Batak’, ’Bugis-Makasar’, ‘Cina’ arepolysemous words, because the words have different meanings if used by speakers withdifferent cultural backgrounds. By using the NSM-Theory it is possible to find out thesemantic differences of the word ‘aku’, ‘Jawa’, ’Batak’, ’Bugis-Makasar’, and ’Cina’ toavoid misunderstanding in communication.

Key words: Natural Semantic Metalanguage, cultural scripts, communication,multicultural

PENDAHULUAN

Berdasarkan konsep sosiolinguistis, masyarakat Indonesia termasuk masyarakat multilingual,bahkan di Indonesia penutur monolingual merupakan minoritas. Jumlah bahasa daerah diIndonesia lebih dari 700 bahasa daerah, keanekaragaman bahasa yang dimiliki Indonesiamerupakan realitas kebahasaan masyarakat Indonesia.

Berbeda dengan definisi multilingualisme pada tahun 60’an dan tahun 70’an, dewasa inikemampuan penguasaan bahasa seorang penutur yang setara untuk semua bahasa yang dikuasaibukan merupakan kriteria lagi untuk menentukan tingkat kemultibahasaan seorang penutur.Multilingualisme lebih dikaitkan dengan kemampuan seorang penutur untuk beralih kode darisatu bahasa ke bahasa lain sesuai dengan situasi berbahasa dan peran sosial penutur. MenurutOksaar (1996), seorang penutur mungkin menguasai sistem satu bahasa pada tingkat kode pelikdan menguasai bahasa-bahasa yang lain hanya pada tingkat kode terbatas; namun ia mampumenggunakan bahasa-bahasa tersebut sesuai dengan situasi bahasa yang dihadapinya. Maka iadapat disebut sebagai seorang multibahasawan.

Multilingualisme tidak dapat dipisahkan dari multikulturalisme. Menurut Melani Budianta(2008:38) di Indonesia multikulturalisme merebak di akhir tahun 1990-an sebagai responsterhadap penyeragaman budaya dan sentralisme militerisitk yang menguat di akhir Orde Baru.(…) Padahal proses lintasbudaya yang lentur dan dinamis merupakan salah satu ciri yangmenonjol dari proses budaya yang terjadi di Indonesia, yang terlihat dari perkembangan bahasa,tradisi lisan, dan kesenian.

Page 22: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Setiawati Darmojuwono

20

Berbagai bahasa yang ada di Indonesia merupakan ungkapan verbal keragaman budayabangsa Indonesia. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional danlambang identitas nasional, bahasa-bahasa daerah dilihat dari aspek sosial-psikologis merupakanidentitas sosial yang terkait dengan latar belakang etnis dan merupakan bagian dari jati diriseorang penutur. Bahasa daerah bagi masyarakat Indonesia pada umumnya merupakan bahasapertama yang dipelajari dalam proses sosialisasi, walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwadalam pemerolehan bahasa seorang penutur mempelajari lebih dari satu bahasa pada waktu yangsama.

Di dalam masyarakat multilingual gejala interferensi merupakan gejala umum yangdapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan unsur bahasa lain oleh penutur yangmenguasai lebih dari satu bahasa dianggap sebagai saling pengaruh antarbahasa yang tidakdisadari sepenuhmya oleh seorang penutur. Berbeda dengan konsep interferensi yang dikenal,Wong (2006:100) dalam penelitian masyarakat Singapura yang multilingual dan multikulturalmenekankan peran aktif penutur untuk memilih unsur bahasa (dalam hal ini kosakata) sebagaiunsur pengungkap verbal yang merefleksikan jati diri seorang penutur berdasarkan nilai-nilaiyang dianut dalam tatanan sosial-budaya, di mana ia merupakan bagian dari struktur tersebut,“(…), it seems to me that speakers are predisposed to proactively, if subconsciously, usewhatever linguistic resources that are available to them to express the values they identifywith. Thus I would give speakers credit for their active use of language to construct a socialor cultural identity which reflects their “shared beliefs about the nature of the social (orcultural) structure” and which allows outsiders to recognize the individual speaker’s“definition of self in term of some social [or cultural] group membership”(Turner 1999:8,9).

Dalam komunikasi pilihan kata terkait dengan makna yang akan disampaikan, karenaitu makna kata yang membentuk pertuturan memiliki peran penting. Dari aspeksosiolinguistis, misalnya, sejak tahun 60’an telah dilakukan penelitian pronomina orang keduatunggal yang merefleksikan hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur dalam berbagaibahasa yang dipelopori oleh Brown dan Gillman. Berbeda dengan sosiolinguistik yangmemusatkan perhatian pada tanda bahasa sebagai lambang hubungan sosial antar penutur,dari segi semantik pronomina orang pertama tunggal menarik untuk diteliti karena maknayang terkandung didalamnya mengandung cara pandang seorang penutur terhadap lingkupkehidupan yang ada di sekitarnya.

Selain pronomina orang pertama tunggal dalam masyarakat multikultural kosakata yangterkait dengan sebutan kelompok etnis juga menarik untuk diteliti, karena sering terjadiperbedaan makna kata yang sama bagi kelompok etnis yang bersangkutan dengan kelompoketnis lain.Perbedaan makna kosakata ini pada umumnya dipengaruhi oleh stereotip (gambaran ciri-cirikhas yang dimiliki sekelompok orang. Gambaran ini dapat dibentuk oleh kelompok yangbersangkutan atau oleh anggota masyarakat di luar kelompok dan sering merupakanprasangka yang mungkin tidak sesuai dengan realitas yang ada). Hans Hannappel dan HartmutMelenk linguis yang berasal dari Jerman membedakan konsep yang mengkategorikanmanusia dalam kelompok berdasarkan ciri-ciri yang umum dan diperlukan untuk memahamimakna referensial dengan konsep yang mengkategorikan manusia berdasarkan ciri-ciri yangterkait dengan prasangka dan memiliki makna emotif. Menurut Hannappel dan Melenk,konsep kedua yang disebut stereotip (Hannappel dan Melenk 1984:254). Proses pembentukanmakna kata yang terkait dengan etnik pada umunya memasukkan unsur-unsur stereotip,sehingga dapat dikatakan bahwa stereotip kata-kata etnik merupakan bagian dari leksikon.

Wierzbicka (2006:35) mengatakan bahwa, the meanings of words and expressions aresocial facts which can be accessed by the methods of linguistic semantics. They provideinsight into the ways of thinking of those who use them. They also provide insight into theshare understandings of all members of a particular “community of discourse”, (…)

Page 23: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

21

Pandangan Wierzbicka ini menunjukkan pengaruh hipotesis Sapir-Whorf atau yangdikenal dengan relativitas bahasa. Melalui teori Natural Semantic Metalanguage (NSM)Wierzbicka dapat mengejawantahkan gagasan Sapir-Whorf menjadi lebih konkret. Analisisunsur etnopragmatis yang dilakukan dalam makalah ini berdasarkan teori NSM, karena teoriini memungkinkan analisis makna sesuai dengan pemaknaan penuturnya, sehingga merupakanparadigma baru bagi penelitian semantik.

ETNOPRAGMATIK

Pada akhir abad XIX seorang filsuf Jerman Wilhelm von Humboldt berpendapat bahwapikiran manusia dibentuk oleh bahasa (bahasa) yang dikuasainya. Gagasan Humboldt inimempengaruhi konsep relativitas bahasa, atau yang dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorfyang dikembangkan dalam bidang Antropologi Linguistik di Amerika Utara. Di bidangkosakata, penelitian yang dilakukan adalah penelitian semantik, karena makna dianggapsebagai pengungkap pikiran sekelompok masyarakat bahasa, sehingga cara pandangmasyarakat bahasa tersebut terhadap dunia dapat dikenali melalui bahasanya.

Kritik yang dilontarkan terhadap pemikiran Sapir-Whorf terutama terkait denganketerbatasan objektivitas hasil penelitian, karena hasil analisis makna kosakata yang ditelitidiungkapkan kembali melalui terjemahan kosakata tersebut ke dalam bahasa lain, misalnyaGoddard dan Wierzbicka (2007) berpendapat, jika kata hormat diterjemahkan dengan katarespect, atau kata Angst dalam Bahasa Jerman diterjemahkan dengan kata fear, kata omoiyaridari Bahasa Jepang diterjemahkan dengan kata empathy dalam bahasa Inggris, sebenarnyabukan merupakan penerjemahan yang optimal karena konsep kata-kata tersebut tidak samadengan konsep terjemahannya dalam Bahasa Inggris. Hal ini disebut Goddard (2004)sebagai etnosentrisme dalam peristilahan. Padahal dalam analisis bahasa diperlukanmetabahasa yang memungkinkan pengungkapan makna seperti yang dipahami oleh penuturbahasa tersebut, karena nilai-nilai kearifan lokal dalam hal moral dan kepercayaan, juga emosidan konsep waktu tidak selalu sama antar penutur yang berasal dari latar belakang buday yangberbeda.

Masalah etnosentrisme dalam peristilahan memunculkan gagasan baru untuk menciptakanmetabahasa di bidang semantik yang dapat mendeskripsikan makna kata dalam berbagai bahasasesuai dengan pemaknaan penuturnya. Konsep metabahasa ini dikenal sebagai NaturalSemantic Metalanguage (NSM), yang akan diuraikan secara lebih rinci pada bagian ketigamakalah ini. Menurut pendapat saya, teori NSM ini merupakan pengejawantahan gagasanSapir-Whorf dalam bentuk yang lebih konkret. Wierzbicka, selain mengembangkan teoriNSM yang dapat diterapkan pada tataran semantik, juga mencetuskan gagasan tentangcultural script yang dianggap sebagai “sister theory” NSM yang berada pada tataranpragmatik (Goddard/Wierzbicka 2007:6). Pemikiran Wierzbicka ini sesuai dengan pendekatanantropologi dan komunikasi yang menjadi dasar konsep NSM dan cultural script, sertamemungkinkan kajian antarbidang linguistik, antropologi dan komunikasi, yaknietnopragmatik.

Pada awal tahun 60’an Hymes di bidang pragmatik mencetuskan gagasan tentangetnografi komunikasi, yang memfokuskan perhatian pada hubungan antara bahasa denganpola-pola komunikasi yang lazim digunakan dalam satu masyarakat bahasa dan terkait denganbudaya masyarakat tersebut.

Pemikiran Hymes ini ikut mempengaruhi konsep-konsep teori NSM yang dicetuskanWierzbicka; dan salah satu konsep yang penting dalam teori tersebut dikenal dengan istilahcultural script (kerangka acuan budaya), yang didefinisikan sebagai ,“ (…)—framed largelyor entirely within the non-ethnocentric metalanguage of semantic primes—of some particularattitude, evaluation, or assumption which is hypothesized to be widely known and sharedamong people of a given speech community” (Goddard 2006:5). Konsep cultural script inisangat bermanfaat untuk analisis semantik, karena dalam kajian makna dapat menjembatani

Page 24: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Setiawati Darmojuwono

22

unsur luar bahasa yang mempengaruhi konsep makna dengan unsur bahasa, dan sekaligussebagai penghubung antara semantik dan pragmatik.

NATURAL SEMANTIC METALANGUAGE (NSM)

Analisis makna dengan bantuan komponen makna yang dianggap memiliki komponen yanguniversal pada awalnya dicetuskan oleh Katz dan Fodor (1967) dan kemudian dikembangkanoleh pakar-pakar semantik lain, seperti Jackendoff pada tahun 1972, 1983, 1990, 1992.Namun ia tetap memiliki kelemahan sebagai metabahasa, karena komponen yangdimunculkan dalam interpretasi makna terutama melihat persamaan makna antar bahasa,sedangkan kekhasan yang dimiliki suatu bahasa hanya dapat diidentifikasikan, tanpamengungkapkan kekhasan makna seperti yang dipahami oleh penuturnya.

Selama lebih dari 30 tahun Anna Wierzbicka beserta pakar-pakar lain seperti CliffGoddard mengembangkan konsep komponen makna menjadi “semantic primes” yangdianalogikan dengan inti atom sebagai unsur kimia, yang menjadi dasar pembentukan zat-zatkimia yang lain. Menurut Wierzbicka dan Goddard semantic primes adalah , “(…) the smallestset of basic concepts in terms of which all other words and concepts can be explicated; literally,’the simplest lexis of paraphrase and explanation’ “ (Goddard/Wierbicka 2007:2). AnnaWierzbicka dan para peneliti semantik (terutama di Australia), mengembangkan konsepsemantic primes, yang merupakan kosakata inti yang dapat mendeskripsikan makna kosakatayang lain. Kosakata inti ini ditemukan dalam berbagai bahasa dan dianggap bersifat universal.Berbeda dengan analisis komponen makna yang lebih menekankan pada unsur semantis, konsepNSM melibatkan unsur sintaktis untuk menyusun pernyataan yang bermakna. Unsur sintaktis initidak selalu sama dalam berbagai bahasa, namun terdapat kemiripan antar bahasa. MenurutWierzbicka dan Goddard (2007:4) kosakata dasar dan pola sintaksis yang dianggap bersifatuniversal ini merupakan lingua franca untuk penelitian dan deskripsi makna berbagai bahasadan budaya. Pola sintaksis ini dalam NSM disebut mini grammar.

Kosakata dasar terdiri dari kata/gabungan kata, frase, yang pada awalnya (tahun 1972)hanya berjumlah 14, sekarang bertambah menjadi 63. Berbeda dengan metabahasa yang padaumumnya berupa lambang-lambang logika atau matematika, NSM menggunakan bahasaalamiah yang lebih mudah dipahami. Contoh mini grammar untuk tiga kosakata inti (do,happen, say) menurut Goddard dan Wierzbicka (2007:4):

DO X does somethingX does something to someone (patient)X does something to someone with something (patient + instrument)

HAPPEN something happenssomething happens to someone (undergo)something happens somewhere (locus)

SAY X says somethingX says something to someone (addressee)X says something about something (locutionary topic)X says:”……………….” (direct speech)

Kosakata dan pola kalimat yang sederhana ini dapat disusun dengan mudah untuk bahasaIndonesia, namun dalam penelitian semantik di Indonesia belum banyak yang memanfaatkanteori NSM sebagai dasar penelitian, kecuali beberapa penelitian yang terkait dengan ranahemosi. Keterbatasan penelitian semantik dengan landasan teori NSM mungkin disebabkanoleh dua hal: jumlah kosakata inti yang terus bertambah menimbulkan keraguan para penelitiuntuk memanfaatkan teori ini; disamping itu mini grammar bersifat fleksibel danmenimbulkan kesan NSM kurang ilmiah.

Page 25: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

23

PERAN UNSUR ETNOPRAGMATIS DALAM KOMUNIKASI

Dalam masyarakat multikultural pada umumnya terdapat perbedaan kerangka acuan budaya,sehingga dalam komunikasi antaretnis sering terjadi kesalahpahaman. Ike Revita (2009)meneliti penggunaan pronomina persona pertama tunggal dalam komunikasi antar etnik diIndonesia dari aspek sosiopragmatik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, iamenyimpulkan bahwa kesalahpahaman dalam komunikasi terjadi karena perbedaan kerangkaacuan budaya (Ike Revita menggunakan istilah “skema budaya“) yang mendasari pilihandeiksis yang mengacu pada diri penutur. Dalam makalah ini digunakan istilah kerangkaacuan budaya, karena dianggap lebih tepat dengan konsep cultural scripts. Cultural scriptslebih merupakan prakiraan tentang pemikiran manusia dalam interaksi sosial, bukanmerupakan model yang nyata dalam interaksi sosial.

Menurut Ike Revita (2009:19) perbenturan dalam interaksi lintas budaya dapat dihindarijika peserta tutur mampu saling memahami; namun ia tidak memberikan solusi berupa carauntuk saling memahami dalam interaksi lintas budaya. Kajian makna berdasarkan teori NSMmerupakan langkah lebih lanjut untuk mengungkap perbedaan makna pronomina personapertama tunggal yang digunakan seorang penutur dengan latar belakang budaya yang berbeda.Sebagai contoh, sering muncul pertanyaan apakah kata aku lebih tepat disebut sebagaipolisemi karena ada unsur makna yang berbeda, jika digunakan penutur yang berbeda latarbelakang budayanya. Analisis makna berdasarkan NSM mencoba mengungkap unsuretnopragmatis makna persona pertama tunggal yang terkait dengan latar belakang budayapenutur, yang sering menimbulkan perbenturan budaya dalam komunikasi antar etnik diIndonesia.

Dalam pemerolehan bahasa, seorang anak paling lambat pada usia 3 tahun telahmenguasai penggunaan persona pertama tunggal untuk menunjuk diri sendiri. Penggunaanpersona pertama tunggal dipelajari seorang anak sejak dini, karena itu konsep personapertama tunggal pada umumnya terkait erat dengan lingkungan budaya yang paling dekatdengan seorang anak dan akan terbawa hingga dewasa.

Masyarakat Indonesia yang multikultural memiliki budaya yang sangat beragam,sehingga nilai-nilai kesantunan, konsep kekeluargaan, dan jarak sosial tidak selaludipersepsikan sama oleh penutur yang berbeda latar belakang etnis dan budayanya. Hal initercermin dalam penyebutan untuk diri sendiri/persona pertama tunggal.

Di Jawa Timur pronomina persona tunggal aku sering digunakan dalam komunikasitanpa mengandung unsur makna kurang sopan. Berbeda dengan kebiasaan di Jawa Timur,penggunaan kata aku di Jawa Tengah terbatas pada orang-orang yang akrab dan memilikistatus sosial yang sama. Makna pronomina persona pertama tunggal aku dalam masyarakatbahasa di Jawa Timur dan Jawa Tengah dapat dianalisis dengan teori NSM, untuk melihatperbedaan unsur etnopragmatis yang ikut membentuk makna.

AKU dalam masyarakat bahasa Jawa Timur:X menyebut aku untuk diri sendiri dalam komunikasi dengan Y, karenaX MENGENAL YX (TIDAK) MENYUKAI Y

AKU dalam masyarakat bahasa Jawa Tengah:X menyebut aku untuk diri sendiri dalam komunikasi dengan Y, karenaX MENGENAL YX MERASA DEKAT DENGAN YX SETARA DENGAN Y

Komunikasi dalam bahasa Indonesia antar dua penutur yang masing-masing berlatar belakangbudaya Jawa Tengah dan Jawa Timur dapat menimbulkan konflik dalam komunikasi, jikaperbedaan unsur makna yang bersifat etnopragmatis tidak diketahui oleh penutur. Penuturyang berlatar belakang budaya Jawa Timur cenderung menggunakan aku untuk semua mitra

Page 26: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Setiawati Darmojuwono

24

tutur dalam situasi non-formal, sedangkan penutur yang berlatar belakang budaya JawaTengah cenderung menggunakan aku terhadap mitra tutur yang akrab dan berasal dari lapisansosial yang setara.

Aku banyak digunakan sebagai persona orang pertama tunggal oleh penutur yangberlatar belakang budaya Batak. Dalam bahasa Batak untuk persona orang pertama tunggalhanya dikenal ahu, yang digunakan untuk menyebut diri sendiri dalam komunikasi dengansemua penutur yang akrab maupun yang dihormati. Kemungkinan telah terjadi interferensikonsep ahu ke dalam konsep aku, sehingga makna aku dapat dianalisis sebagai berikut:

Aku dalam masyarakat bahasa Batak:

X menyebut aku dalam komunikasi dengan Y, karena X (TIDAK) MENGENAL Y

X MERASA (TIDAK) AKRAB DENGAN Y

Analisis makna kata aku yang sering digunakan penutur yang berlatar belakang budaya Batakmenunjukkan bahwa kata aku digunakan untuk menyebut diri sendiri dalam komunikasi non-

formal dengan orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal dan orang yang akrab maupunyang tidak akrab dengan penutur, sehingga penggunaan kata aku lebih luas cakupannyadibandingkan dengan aku yang digunakan penutur yang berlatar belakang budaya JawaTengah, bahkan juga dibandingkan dengan penutur yang berlatar belakang budaya JawaTimur.

Dibandingkan dengan penutur yang berlatar belakang budaya Batak, penutur yangberlatar belakang budaya Minangkabau lebih jarang menggunakan kata aku untuk menyebutdiri sendiri, karena aku dianggap kurang sopan dibandingkan dengan saya dalam masyarakatbahasa Minangkabau (Ike Revita 2009:3).

Makna aku dalam masyarakat bahasa Minangkabau dapat dianalisis sebagai berikut:

Aku dalam masyarakat bahasa Minangkabau:X menyebut aku dalam komunikasi dengan Y, karenaX MENGENAL YX INGIN TIDAK HORMAT PADA Y

Sedangkan dalam bahasa Melayu Ternate menurut pengamatan Ike Revita (2009), akudigunakan oleh penutur yang lebih tua kepada penutur yang lebih muda. Makna kata akusecara semantis dapat dijabarkan sebagai berikut:

Aku dalam masyarakat bahasa Melayu Ternate:X menyebut aku dalam komunikasi dengan Y, karenaX MERASA AKRAB DENGAN YX LEBIH TUA DARI YX MEMILIKI STATUS LEBIH TINGGI

Selain pronomina orang pertama tunggal terkait dengan masyarakat Indonesia yangmultilingual dan multikultural kosakata yang terkait dengan nama etnis menarik untukdianalisis, karena kosakata nama etnis yang digunakan penutur yang berasal dari etnik yangbersangkutan sering berbeda maknanya dibandingkan jika kata yang sama digunakan penuturyang berasal dari luar etnik tersebut. Perbedaan makna terutama disebabkan karena stereotipkata tertentu tersebar luas dalam masyarakat dan seolah-olah menjadi bagian makna katatersebut, sehingga dapat disebut sebagai ekuivokasi (penggunaan istilah atau kata yang samadalam pengertian yang berlainan).

Margarete Schweizer (2000) mengadakan penelitian antropologis mengenai jarak sosialkelompok etnis masyarakat Jawa yang tinggal di Jawa Tengah, Batak dan Bugis-Makasar dikalangan mahasiswa di Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Schweizer bukan penelitianbahasa, tetapi hasil penelitiannya bermanfaat untuk menganalisis makna kosakata nama etnis,

Page 27: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

25

karena hasil penelitian Schweizer menemukan ciri-ciri yang paling sering disebutkan oleh etnikyang bersangkutan (ingroup) dan oleh etnik yang lain (outgroup). Hasil penelitian Schweizer(2000) mengenai ciri-ciri yang dianggap khas oleh ingroup maupun outgroup yang dihitungdalam persentase sangat bermanfaat dalam analisis makna, karena ciri-ciri yang paling seringdisebutkan merupakan ciri-ciri yang dianggap sesuai dengan realitas atau referen kata tertentu,dengan demikian merupakan unsur makna kata tersebut. Dalam analisis yang dilakukan berikutini ciri yang disebutkan oleh lebih dari 50% (mayoritas informan) dianggap sebagai unsurmakna kosakata yang terkait dengan nama etnik.

Makna kata etnik Jawa (Jawa Tengah), jika dianalisis dengan landasan teori NSM:Seseorang (X) adalah orang Jawa (Jawa Tengah) seperti saya:

X HALUS PEMBAWAANX bertingkah laku baikX tidak menyebabkan orang lain merasa tidak nyaman.

X MENGENAL TATA KRAMAX mengenal hal-hal yang baikX melakukan hal yang baik tersebutX membuat orang lain merasa senang.

X RAMAH DALAM SEMUA SITUASIX setiap kali bertutur kata baikX menyebabkan semua orang merasa nyaman

X SUKA MENOLONG SESAMAX tahu keadaan seseorang burukX tergerak hatinya untuk membuat keadaan seseorang baikX melakukan sesuatu yang baik bagi seseorang

X TIDAK SOMBONGX merasa diri sama dengan orang-orang lainX berperilaku baik terhadap semua orang.

Makna kata etnik Jawa (Jawa Tengah) bagi penutur Batak:Orang ini (X) adalah orang Jawa (Jawa Tengah) karena

X HALUS PEMBAWAANX bertingkah laku baikX tidak menyebabkan orang lain merasa tidak nyaman.

X RAMAHX bertutur kata baikX menyebabkan semua orang merasa nyaman

X SOPAN SESUAI TATA KRAMAX merasa sesuatu bagian dirinyaX menyukai sesuatu tersebutX melakukan sesuatu yang disukaiX melakukan hal-hal yang baik bagi orang lain

X MENGHORMATI ADATX merasa sesuatu bagian dirinyaX menyukai sesuatu tersebutX melakukan sesuatu yang disukai

X RAJINX menginginkan sesuatuX sering melakukan sesuatu yang diinginkan

X TEKUNX ingin sesuatuX melakukan semua untuk sesuatu yang diinginkan

Page 28: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Setiawati Darmojuwono

26

X PENAKUTX mengetahui sesuatu, sesuatu itu harus diubahX menginginkan hal ituX tidak melakukan hal yang diinginkanX tidak ingin diri sendiri menjadi buruk

Makna kata etnik Jawa (Jawa Tengah) bagi penutur Bugis-Makasar:Orang ini (X) adalah orang Jawa (Jawa Tengah) karena

X RAMAHX bertutur kata baikX menyebabkan semua orang merasa nyaman

X HALUS PEMBAWAANX bertingkah laku baikX tidak menyebabkan orang lain merasa tidak nyaman

X MENGHORMATI ADATX merasa sesuatu bagian dirinyaX menyukai sesuatu tersebutX melakukan sesuatu yang disukai

X SOPANX memperlakukan seseorang dengan baikX membuat seseorang merasa nyaman

X TEKUNX ingin sesuatuX melakukan semua untuk sesuatu yang diinginkan

X RAJINX menginginkan sesuatuX sering melakukan sesuatu yang diinginkan

Makna kata etnik Batak bagi penutur Batak:Seseorang (X) adalah orang Batak seperti saya:

X BERANI MENGAMBIL KEPUTUSANX melakukan sesuatu yang tidak dilakukan orang lain.X berpikir sesuatu baik jika saya lakukan dan sesuatu jelek jika tidak saya lakukanX berpikir sesuatu yang dilakukan mungkin baik atau buruk bagi X

X BERANI MENGEMUKAKAN PENDAPATX memikirkan sesuatuX mengatakan sesuatu yang dipikirkan sesuatu yang dikatakan mungkin baik atau buruk

bagi orang lain.X BERTERUS TERANG

X merasakan sesuatuX mengatakan apa yang dirasakan, sesuatu yang dikatakan mungkin baik atau buruk

bagi orang lain.X SUKA MENOLONG

X tahu keadaan seseorang burukX tergerak hatinya untuk membuat keadaan seseorang baikX melakukan sesuatu yang baik bagi seseorang

X SUKA MEMBERIX mempunyai sesuatu , seseorang tidak mempunyai sesuatuX membuat seseorang mempunyai sesuatu

X CERDASX mengetahui banyak halX ingin sesuatuX melakukan semua untuk sesuatu yang diinginkan

Page 29: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

27

X MENGHORMATI ADATX merasa sesuatu bagian dirinyaX menyukai sesuatu tersebutX melakukan sesuatu yang disukai.

X TEKUN,ULETX ingin sesuatuX melakukan semua untuk sesuatu yang diinginkan

Makna kata etnik Batak bagi penutur Jawa (Jawa Tengah)Orang ini (X) adalah orang Batak, karena

X BERANI MENYATAKAN PENDAPATX memikirkan sesuatuX menyatakan sesuatu yang dipikirkan , sesuatu yang dikatakan mungkin baik atau

buruk bagi orang lain.X TIDAK TAKUT KONFLIK

X mempunyai pendapat, orang lain tidak mempunyai pendapat yang samaX melakukan sesuatu yang sama dengan pendapatnya, mungkin hal yang dilakukan

menjadikan X merasa buruk.X BERSUARA KERAS

X mengatakan sesuatu, sesuatu yang dikatakan dapat didengar semua orang.X TEKUN,ULET

X ingin sesuatuX melakukan semua untuk sesuatu yang diinginkan

Makna kata etnik Batak bagi penutur Bugis-Makasar:Orang ini (X) adalah orang Batak, karena

X AGRESIFX merasa sesuatu tidak menyenangkanX berpikir untuk memusnahkan sesuatu yang tidak menyenangkan karena itu X

melakukan sesuatu segera.X SUKA BERBICARA

X memikirkan sesuatu, setiap kali ia memikirkan sesuatu, ia mengatakan hal itu.X TEKUN,ULET

X ingin sesuatuX melakukan semua untuk sesuatu yang diinginkan

X RAJINX menginginkan sesuatuX sering melakukan sesuatu yang diinginkan.

Makna kata etnik Bugis-Makasar:Seseorang (X) adalah orang Bugis-Makasar seperti saya

X BERANI BERINISIATIFX melihat sesuatuX ingin mengubah sesuatu tersebutX berbuat sesuatu untuk mengubah yang diinginkan

X MENGHORMATI ADATX merasa sesuatu bagian dirinyaX menyukai sesuatu tersebutX melakukan sesuatu yang disukai.

X BERSEDIA MEMBANTUX tahu keadaan seseorang burukX tergerak hatinya untuk membuat keadaan seseorang baikX melakukan sesuatu yang baik bagi seseorang

Page 30: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Setiawati Darmojuwono

28

X SOPANX memperlakukan seseorang dengan baikX membuat seseorang merasa nyaman

X RAMAHX bertutur kata baikX menyebabkan semua orang merasa nyaman

X JUJURX selalu berkata benar

Makna kata etnik Bugis-Makasar bagi penutur Jawa (Jawa Tengah):Orang ini (X) adalah orang Bugis-Makasar karenaX BERANI BERINISIATIF

X melihat sesuatuX ingin mengubah sesuatu tersebutX berbuat sesuatu untuk mengubah yang diinginkan

Makna kata etnik Bugis-Makasar bagi penutur Batak:Orang ini (X) adalah orang Bugis-Makasar karena

X BERANI BERPETUALANGX melihat sesuatu yang tidak dikenalX ingin mengenal sesuatu tersebut, orang lain tidak berani melakukan sesuatu untuk

mengenal hal tersebutX melakukan sesuatu untuk mengenal hal tersebut.

X AGRESIFX merasa sesuatu tidak menyenangkanX berpikir untuk memusnahkan sesuatu yang tidak menyenangkan karena itu X

melakukan sesuatu segera.

Beberapa ciri yang disebutkan informan merupakan ciri-ciri yang sama, misalnya ciriberani, kasar, walaupun konsep-konsep tersebut secara leksikal direpresentasikan dengan kata-kata yang sama, namun makna kata tersebut memiliki konsep yang berbeda. Hal ini terlacakmelalui wawancara yang dilakukan. Informan Jawa (Jawa Tengah) menyebutkan ciri beranisebagai ciri etnik Batak yang berarti untuk mempertahankan pendapatnya etnik Batak tidaktakut dengan konflik, sedangkan bagi informan Batak konsep berani berarti berani mengambilkeputusan dan berani mengungkapkan pendapat.

Informan Jawa (Jawa Tengah) menganggap etnik Batak kasar, karena pola perilaku etnikBatak dianggap tidak sesuai dengan sopan santun yang berlaku dalam masyarakat Jawa (JawaTengah), misalnya orang Batak berbicara dengan suara keras dan suka berkelahi di depan oranglain. Bagi informan Batak konsep kasar berarti tidak dibuat-buat, teus terang dan tidak menurutinorma-norma kesopanan berlebih-lebihan (Schweizer 2000:220). Perbedaan konsep ini terkaitdengan berbagai kerangka acuan budaya yang ada dalam masyarakat multikultural dan menjadiacuan para penutur yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda dalam komunikasi,sehingga kata Batak tidak memiliki makna yang sama bagi orang Batak dan orang Jawa.Analisis makna dengan bantuan NSM menungkinkan peneliti untuk menemukanvariasi/perbedaan makna, karena sudut pandang dapat dilakukan baik dari segi pengirimpesan/penutur maupun penerima pesan/petutur.

Seperti yang telah disebutkan Hannappel dan Melenk (1984) kesulitan yang dihadapidalam analisis makna adalah untuk memilah-milah ciri umum yang terkait dengan maknareferensial dengan ciri-ciri yang sebenarnya merupakan stereotip. Menurut Adler (2003)stereotip dalam komunikasi dapat membantu atau menyesatkan untuk memahami suatu situasikomunikasi tergantung bagaimana kita memanfaatkan stereotip tersebut.

Page 31: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

29

Menurut Adler stereotip dapat bermanfaat jika,

“(…) .The person should be aware that he or she is describing a group norm rather thanthe characteristics of a specific individual. (…) The stereotype should describe whatpeople from this group will probably be like and not evaluate those people as good orbad. (…)The stereotype should accurately describe the norm for the group to which theperson belongs. The first best guess about a group prior to having direct informationabout the specific person or persons involved. Modified, based on further observationand experience with the actual people and situations (Adler 2003:255)

Dilihat dari aspek pragmatis stereotip dapat bermanfaat dalam komunikasi jika stereotiptidak dianggap sebagai ciri khas seseorang dan penilaian terhadap seseorang, tetapi stereotiplebih merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dapat diamati pada sekelompok orangsebagai panduan dalam berkomunikasi. Stereotip bukan merupakan ciri-ciri tetap yang melekatpada sekelompok orang, tetapi stereotip selalu dapat diubah berdasarkan pengalaman danpengamatan seseorang dalam komunikasi. Dari segi semantis analisis makna denganmemanfaatkan NSM harus ditunjang dengan penelitian antropologis dan sosiologis agar dapatmenemukan semantic primes yang bukan merupakan stereotip tetapi merupakan bagian darimakna referensial. Guna mencapai tujuan ini dapat dimanfaatkan teori Eisberg (gunung es)yang menyatakan bahwa kekhasan suatu budaya tidak cukup hanya dijelaskan melalui apa yangterlihat secara inderawi tetapi harus masuk lebih dalam lagi ke konsep yang mendasari perilakuMisalnya terkait dengan kata Jawa, konsep unsur tidak sombong merupakan pengungkapanfilsafat Jawa andap asor.

Komunikasi dalam masyarakat tidak hanya berbentuk komunikasi lisan, tetapi jugakomunikasi yang menggunakan media tulis. Berkaitan dengan kosakata ranah etnis, kata -katayang sering dibahas dari segi linguistis adalah penggunaan kata Tionghoa, dan Cina olehkelompok ingroup dan kelompok outgroup. Makna kata Cina dan Tionghoa dilihat dari maknaetimologis telah banyak dibahas pakar linguitik Indonesia, seperti Sutami (2001). Bahkanmelalui media masa telah dipaparkan secara historis dan sistematis penggunaan kata Cina danTionghoa dalam masyarakat (Lembong 2010). Namun sayangnya pemahaman maknaetimologis kata Cina dan Tionghoa tidak tersebar luas dalam masyarakat, padahal maknaetimologis kata Cina tidak mengandung unsur emotif yang negatif. Pengaruh dominan dalampembentukan makna kata Cina dan Tionghoa justru situasi politis masa Orde Baru, yaitudikeluarkannya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera pada tanggal 28 Juni 1967, yangmengharuskan penggantian kata Tionghoa dan Tiongkok menjadi Cina. Telah terjadi salahkaprah dalam penerapan peraturan ini, karena penggantian kata sebenarnya ditujukan kepadawarga Tionghoa di luar Indonesia dan sebutan untuk negara Tiongkok, ternyata kata Cinadigunakan untuk menyebut semua orang Tionghoa dan juga negara Tiongkok. Setelah peristiwaG-30-S dan peraturan tanggal 28 Juni 1967 penggunaan kata Cina memiliki konotasi yangsangat negatif, bahkan mengandung unsur kebencian. Dampak historis peristiwa ini dapatdilihat pada judul buku kumpulan tulisan Mely G. Tan, yaitu “Etnis Tionghoa di Indonesia”(2008) dan buku Dewi Anggraeni “Mereka Bilang Aku China. Jalan Mendaki Menjadi BagianBangsa” (2010).

Dilihat dari aspek bahasa, judul buku Mely G.Tan menggunakan kata Tionghoa bukankata Cina, pemilihan kata ini berdasarkan pendapat Mely G.Tan pada bagian awal buku yangmengungkapkan perbedaan makna konotasi penggunaan kata Cina dan Tionghoa pada generasitua dan generasi muda di Indonesia, “(…) it is the old generation, who prefer Tionghoa,whereas the younger generation, who practically all their lives have only known the term Cina(Soeharto was in power for 32 years), do not sense any negative connotation of Cina and feeluneasy with the term Tionghoa. Today the term Tionghoa appears in the name of virtually allorganizations set up at the initiative of ethnic Chinese” (Tan 2008:2). Berbeda dengan bukuMely G.Tan, buku Dewi Anggraeni sebagai judul memilih kata China bukan kata Tionghoa,karena tokoh-tokoh dalam buku Dewi Anggraeni seperti yang dikatakan oleh Charles A.

Page 32: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Setiawati Darmojuwono

30

Coppel pada bagian Pengantar, bahwa “Dengan mengisahkan cerita para perempuan Indonesiaketurunan Tionghoa ini, Dewi telah mengungkapkan beragamnya pengalaman-pengalamanmereka. Dan sekaligus dia dengan sadar berupaya memecahkan stereotip negatif dari etnisTionghoa (...)“ (2010:xiv). Kata China yang memiliki kemiripan bunyi dengan Cina dipilihsebagai judul buku, karena istilah ini digunakan oleh orang yang berasal dari kelompok yangbukan Cina (“Mereka Bilang Aku China”) dan mengandung makna emotif yang negatif.Analisis makna kata Cina dan kata Tionghoa dengan bantuan NSM seperti berikut ini:

X menggunakan kata Cina dalam berkomunikasi dengan Y, karena

X ADA JAUH SEBELUM YX MERASA TIDAK MENYUKAI Y

X mengunakan kata Tionghoa dalam berkomunikasi dengan Y, karena

X ADA JAUH SEBELUM YX MERASA MENYUKAI Y

X menggunakan kata Cina dalam berkomunikasi dengan Y, karena

X ADA DALAM WAKTU YANG HAMPIR SAMA DENGAN YX MERASA (TIDAK) MENYUKAI Y

Hasil analisis makna berdasarkan teori NSM untuk pronomina orang pertama tunggal aku,serta kosakata yang berasal dari ranah etnik (Jawa/JawaTengah, Batak, Bugis Makasar, Cina)dapat memperlihatkan perbedaan unsur-unsur pembentuk makna bagi penutur yang berlatarbelakang etnis berbeda. Dalam komunikasi hal ini dapat memunculkan kesalahpahaman yangdisebabkan perbedaan kerangka acuan budaya yang digunakan pengirim pesan/penutur denganpenerima pesan/petutur. Kerangka acuan budaya dalam komunikasi merupakan panduan bagipenutur dan petutur, karena pemahaman dan interpretasi makna dilakukan berdasarkan kerangkaacuan budaya, yang pada akhirnya menentukan perilaku berbahasa seseorang. Proses pemahamandan interpretasi makna dapat terjadi, jika dalam komunikasi antaretnik pengirim pesan danpenerima pesan tidak mempertahankan kerangka acuan budaya masing-masing, tetapi mencobamemahami kerangka acuan budaya mitra tuturnya. Berikut ini disajikan beberapa contohkomunikasi antara penutur dan petutur yang berbeda latar belakang etnik:

Contoh 1: Ketika menunggu bus di halte bus, A (etnis Batak, 20 tahun) berkenalandengan B (etnis Jawa/Jawa Tengah, 65 tahun) dan terjadi percakapan berikut:

A bertanya kepada B :” Aku mau pergi ke Senayan. Aku harus naik bus nomorberapa ya?”

Penggunaan kata aku bagi A mengikuti kerangka acuan budaya Batak, yaitu dalam situasi nonformal kata aku dapat digunakan dalam percakapan dengan orang yang dikenal maupun yangtidak dikenal. Bagi B penggunaan kata aku dianggap tidak sopan, karena A tidak mengenal B, Btidak merasa akrab dengan A dan A masih muda sedangkan B sudah tua. Kerangka acuanbudaya yang digunakan A maupun B terkait dengan latar belakang budaya etnis masing-masing. Jika seandainya B memahami makna kata aku dalam masyarakat Batak, B tidak akanmenganggap A tidak sopan, dan sebaliknya jika A memahami makna kata aku dalammasyarakat Jawa Tengah, A tidak akan menggunakan kata aku tetapi memilih pronomina orangpertama tunggal saya.

Contoh 2: C seorang pemandu wisata kota tua Jakarta, usia 25 tahun. D seorangwisatawan dari Yogyakarta, usia 75 tahun, etnis Cina . D menanyakan kepadaC :“ Apakah masih banyak orang Tionghoa yang tinggal di kota tua ini? Cmenjawab :“ Banyak orang Cina sudah pindah dari kota tua ini, rumah-rumahCina di sini sekarang digunakan sebagai kantor“ .

Page 33: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

31

Bagi C kata Cina digunakan tanpa konotasi tertentu dan C lazim menggunakankata Cina jika berkomunikasi dengan teman-teman C, namun bagi D kata Cinamenimbulkan makna emotif yang negatif dan D menganggap C tidak menyukaietnik Cina.

Kesalahpahaman komunikasi antara C dan D disebabkan karena kerangka acuan budayayang berbeda antara C dengan D, dalam hal ini perbedaan generasi, seperti yang telah dikatakanbagi generasi tua kata Cina terkait dengan ingatan sosial yang negatif, yaitu pemerintah OrdeBaru melarang penggunaan kata Tionghoa dan kata Tionghoa diganti dengan kata Cina, yangdikaitkan dengan negara Tiongkok dan pada masa G-30-S memiliki konotasi yang sangatnegatif. Kerangka acuan budaya yang digunakan C sebagai generasi muda berbeda dengan D,bagi generasi muda kata Cina lebih kuat didominasi makna referensialnya, yang acuannyanegara Tiongkok dan kelompok etnis yang disebut Cina.

Menurut Adler (2002) sumber kesalahpahaman dalam komunikasi antar penutur danmitra tutur yang berlatar belakang budaya yang berbeda adalah subconscious cultural blindersdan lack of cultural self- awareness. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesiaperjumpaan dengan orang yang berbeda etnik terjadi setiap hari, sehingga kerangka acuanbudaya sesorang yang terkait dengan latar belakang etnik tertentu harus sering diubah untukmemahami berbagai situasi yang dihadapi agar kesalahpahaman dalam komunikasi dapatdihindari. Hal ini dapat dilakukan dalam komunikasi jika seorang penutur memahami danmenyadari kekhasan kerangka acuan budaya yang dimilikinya dan ia mampu melihatperbedaannya dengan kerangka acuan budaya etnik yang berbeda. Contoh situasi komunikasi 1(halte bus) menunjukkan bahwa komunikasi mungkin tidak akan berjalan lancar walaupunpesan yang disampaikan A dipahami oleh B, namun B mungkin enggan untuk melanjutkankomunikasi karena A dianggap tidak sopan. Demikian juga pada contoh komunikasi 2(pemandu wisata) pesan yang disampaikan C dapat dipahami D, tetapi D mengaggap C tidakmenyukai etnik Cina. Hal ini mungkin dapat mempengaruhi percakapan selanjutnya. Dalamsuatu komunikasi pemahaman pesan dipengaruhi oleh cara penyampaian pesan, sehinggamemahami situasi penerima pesan sangat berperan dalam komunikasi terutama dalamkomunikasi antara orang-orang yang berbeda latar belakang budaya. Rogers dan Steinfattmengatakan dalam komunikasi antara penutur dan petutur yang berbeda latar belakang budayaseyogianya penutur menempatkan diri pada posisi petutur dan memahami cara pandangpetutur, (…) to put yourself in the role of others who are unlike you and to see the world morethrough their eyes (Rogers/Steinfatt 1999:xiv).

SIMPULAN

Analisis makna berdasarkan teori NSM memungkinkan penemuan unsur etnopragmatis maknayang dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam komunikasi. Unsur etnopragmatis maknadapat ditemukan melalui pemahaman perbedaan kerangka acuan budaya yang berlaku dalammasyarakat bahasa yang berbeda, karena makna mencerminkan cara pandang penuturnya.Kerangka acuan budaya terkait erat dengan norma, nilai dan kebiasaan yang berlaku dalammasyarakat. Hasil penelitian bidang antropologi dan sosiologi dapat mengungkap pola-polakerangka acuan budaya suatu masyarakat dan dapat bermanfaat bagi penelitian makna denganmemanfaatkan teori NSM. Penerapan teori NSM dalam analisis makna dengan pendekatanantropologis mensyaratkan peneliti memiliki wawasan budaya yang memadai tentangmasyarakat bahasa yang diteliti.

Berdasarkan analisis makna yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa persona orangpertama tunggal aku merupakan polisemi yang kaya dengan nuansa makna sebagai hasilinterferensi konsep makna bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia.

Page 34: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Setiawati Darmojuwono

32

Penerapan teori NSM untuk menganalisis kosakata ranah etnis menghadapi kendala yangdapat membedakan unsur makna dengan unsur stereotip, karena kedua unsur tersebut terkaiterat dalam proses pembentukan makna, bahkan beberapa unsur stereotip merupakan bagian darimakna, seperti yang dikatakan Hannappel dan Melenk. Hasil analisis kosakata ranah etnikmemanfaatkan ciri-ciri khas yang disebutkan informan dan tinggi persentasenya sebagai unsurmakna referensial yang diperlukan untuk mengidentifikasi acuan, namun beberapa unsur maknayang tidak dijabarkan dalam wawancara tetap rancu, karena masih bersifat umum , sepertisopan, ramah, jujur, penakut dsb. Kata-kata ini ternyata tidak selalu memiliki konsep yang samajika digunakan dengan kerangka acuan budaya yang berbeda.

Bahasa Indonesia yang penuturnya merupakan masyarakat multikultural tentu memilikibanyak kosakata yang kaya dengan nuansa makna. Nuansa makna terbentuk karena perbedaannilai-nilai sosial budaya yang berlaku dalam berbagai etnis. Teori NSM merupakan teori yangdapat dimanfaatkan untuk menganalisis unsur etnopragmatis dalam kosakata bahasa Indonesia,walaupun ada unsur teori NSM yang harus lebih dikembangkan lebih lanjut.

Dalam perkembangan teori NSM Goddard memaparkan 63 kosakata inti (semanticprimes) yang dianggap kosakata universal, kosakata tersebut dilihat dari kelas kata banyak yangberasal dari kelompok verba, terutama verba indriawi, namun kosakata inti yang disebutkan adayang merupakan polisemi (misalnya see , know). Penerjemahan kosakata inti yang berpolisemike dalam Bahasa Indonesia harus berdasarkan konteks situasi, sehingga dapat dipertanyakansejauh mana kosakata inti merupakan dasar untuk menjelaskan makna kata-kata lain dan maknamana yang merupakan makna inti, jika kata tersebut merupakan polisemi. Walaupun teoriNSM memiliki kelemahan, namun teori ini memiliki keunggulan karena makna kata dapatdiungkapkan seperti yang dipahami penuturnya bukan menurut seorang linguis.

Jika banyak ranah kosakata bahasa Indonesia yang terkait dengan unsur budaya telahdianalisis, maka kesalahpahaman dalam komunikasi antar etnis akan berkurang. Jika hasilanalisis unsur etnopragmatis dalam kosakata diterapkan dalam komunikasi masyarakatmultikultural, kesalahpahaman dalam komunikasi dapat dicegah jika diperhatikan tiga unsurpenting dalam komunikasi antarbudaya. Menurut Bolten (2007) ketiga unsur tersebut adalahmampu merefleksikan perbedaan antara kerangka acuan budaya penutur dengan kerangka acuanbudaya petutur, memahami perilaku berbahasa mitra tutur (berempati terhadap mitra tutur) danmampu merefleksikan penyebab kesalahpahaman sesuai dengan situasi percakapan. Melaluipemanfaatan hasil penelitian etnopragmatis dalam masyarakat multikultural, akan terciptamasyarakat yang dapat menerima keberagaman, bersifat toleran, tidak diskriminatif danmenghormati perbedaan. Menurut Haryatmoko (2010) sifat-sifat tersebut merupakan ciri-cirimultikulturalisme yang memiliki implikasi sosial-politik (Haryatmoko 2010:14). Dari segipengembangan teori, akan bermanfaat jika telah banyak dilakukan analisis makna dengan teoriNSM; karena kemudian akan dapat dikembangkan mini grammar yang tepat untuk bahasaIndonesia.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

Page 35: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

33

DAFTAR PUSTAKA

Adler, Nancy. 2003. “Communication Across Cultural Barriers.” Dalam: Bolten dan Ehrhardt.

Achard, Michael dan Susanne Niemeier (ed.). 2004. Cognitive Linguistics, Second LanguageAcquisition, and Foreign Language Teaching, Berlin: Mouton de Gruyter.

Bolten, Juergen dan Klaus Ehrhardt. 2003. Interkulturelle Kommunikation. Sternenfels:Wissenschaft dan Praxis.

Bolten, Juergen. 2007. Interkulturelle Kompetenz. Erfurt : Soemmerda.

Anggraeni, Dewi. 2010. Mereka Bilang Aku Cina. Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa.Yogyakarta: Bentang.

Ellemers,Naomi, R. Spears, dan B.Doosje. 1999. Social Identity. Oxford: Blackwell Publishers.

Erfurt, Wissenschaft dan Soemmerdapek Praxis Erfurt. 2008. Lintas Budaya dalam WacanaMultikultural.” Dalam: Itorini dan Syahrial (ed.).

Goddard, Cliff. 2004. “Cultural Scripts. A New Medium for Ethnopragmatic Instruction.”Dalam: Achard dan Niemeier (ed.).

Goddard, Cliff. 2006. “Ethnopragmatics: A New Paradigm.” Dalam: Goddard (ed.).

Goddard, Cliff (ed.). 2006. Ethnopragmatics. Understanding Discourse in Cultural Context.Berlin: Mouton de Gruyter.

Goddard, Cliff dan A.Wierzbicka. 2007. “Semantic Primes and Cultural Scripts in LanguageLearning and Intercultural Communication.” In: Sharifian dan Palmer (ed.), 105-124.

Hannappel, Hans dan Hartmut Melenk. 1984. Alltagssprache. Muenchen: Wilhelm Fink.

Haryatmoko.2010. Dominasi Penuh Muslihat. Akar Kekerasan danDiskriminasi.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Itorini, Dwi Kushartanti dan Diding Fachrudin Syahrial (ed.). 2008. Kajian Wacana dalamKonteks Multikultural dan Multidisiplin. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UniversitasIndonesia, Depok: FIB UI.

Katz, J.J. dan J.A. Fodor. 1963: “The Structure of a Semantic Theory.” Language 39, 170 – 210.

Lembong, Eddie. 2010. Lagi Istilah Cina dan Tionghoa Dibahas secara Sistematis. Dalam:Media Indonesia online 21 Mei 2010. http://www.IndonesiaMedia.com/2010/05/21/lagi-istilah-cina-dan-tionghoa-dibahas-secara-sistematis.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2000. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: RemajaRosdakarya.

Oksaar, Els. 1996. “Mehrsprachigkeit, Sprachkontakt, Sprachkonflikt.“ Dalam: v. Goebl,Nelde, Stary, dan Woelck (ed.).

Revita, Ike. 2009. Antara ‘Aku’, ‘Saya‘, Nama Diri dan Panggilan Diri (Kajian LintasSosiopragmatik). Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke-27 Fakultas Sastra UniversitasAndalas, 11 Maret 2009.

Rogers, Everett, M. Thomas, dan M. Steinfatt. 1999. Intercultural Communication. Illinois:Waveland Press.

Schweizer, Margarete. 2000. “Pendapat-Pendapat Antaretnik pada Mahasiswa UGMYogyakarta.” Dalam: Mulyana dan Rakhmat.

Page 36: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Setiawati Darmojuwono

34

Sharifian, Farzad dan Gery Palmer (ed.). 2007. Applied Cultural Linguistics: Implication forSecond Language Learning and Intercultural Communication. Amsterdam: John-Benjamins.

Sutami, Hermina. 2001. “Masih tentang Istilah Cina, Tiongkok, dan Tionghoa.” Atma nan Jaya15.3, 132-151.

Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Turner, John C. 1999. “Some Current Issues in Research on Social Identity andSelfcategorization Theories.” Dalam: Ellemers, Spears, dan Doosje.

v.Goebl, Hans, P.H. Nelde, Z. Stary, dan W. Woelck (ed.). 1996. Kontaktlinguistik. Berlin:Mouton de Gruyter.

Wierzbicka, Anna. 2006. “Anglo Scripts Against “Putting Pressure” on Other People and TheirLinguistic Manifestations.” Dalam: Goddard (ed.).

Wong, Jock Onn. 2006. “Social Hierarchy in the “Speech Culture” of Singapore.” Dalam:Goddard (ed.).

Page 37: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Februari 2011, 35 - 52 Tahun ke-29, No. 1Copyright©2011, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

BAHASA TERANCAM PUNAH:FAKTA, SEBAB-MUSABAB, GEJALA,DAN STRATEGI PERAWATANNYA

Gufran Ali Ibrahim*[email protected] Khairun Ternate

Abstrak

Sejumlah besar bahasa di dunia kini sedang bergerak ke arah kepunahan. Bahkan,beberapa bahasa di benua Altantik dan beberapa bahasa di Afrika dan Asia kinimemiliki jumlah penutur tidak lebih dari lima orang. Salah satu sebab utamakepunahan itu bukan karena penuturnya berhenti berbicara, melainkan karena paraorang tua tidak lagi membiasakan penggunaan bahasa ibu di rumah. Dari sifat dankecenderungan kepunahan sebagaimana telah dilaporkan oleh ahli linguistik tentangberbagai bahasa di dunia, ada tiga kategori bahasa-bahasa di dunia berdasarkan dayahidupnya, yaitu bahasa-bahasa yang hampir punah (moribund languages), bahasa-bahasa yang sedang menuju ke bahaya kepunahan (endangered languages), danbahasa-bahasa yang masih aman dari ancaman kepunahan (safe languages).Diperlukan dua strategi untuk menyelamatkan bahasa-bahasa dari keterancamankepunahan, yaitu revivalisasi dan revitalisasi. Sebagai langkah persiapan bagi programrevivalisasi dan revitalisasi, diperlukan suatu survei eksploratoris mengenai statuskebugaran bahasa (language vitality) dengan menggunakan pendekatan etno-sosio-linguistik. Survei ini akan menghasilkan profil mengenai vitalitas satu bahasa. DiIndonesia misalnya, diperlukan suatu survei untuk satu atau dua bahasa terpilihsebagai proyek percontohan. Dari profil vitalitas bahasa ini disusunlah sebuahprogram penguatan bahasa dengan tujuan menyelamatkan bahasa dari kepunahan.

Kata kunci: kepunahan bahasa, vitalitas bahasa, revivalisasi dan revitalisasi bahaasa.

A large number of languages in the world nowadays are in danger of extinction. In fact,several languages in Atlantic continent, some in Africa, and some others in Asia haveno more than five speakers. One of the main causes is that it is not because the speakersof a language quit speaking the language, but because their parents are no longeraccustomed to use their mother tongue at home. From the characteristics and thetendency to extinction of various languages in the world as reported by linguists,languages in the world – based on language vitality – can be categorized according tothe following types: moribund, endangered, and safe languages. There are at least twostrategies to save languages from extinct. These include revival and revitalization. As apreparatory stage for revival and revitalization, an exploratory survey on languagevitality is required by applying ethno-socio-linguistic approach that generates a profileof language vitality. In Indonesia, for instance, such a survey on one or two nominatedlanguage is required as a pilot project. From this language vitality profile, a programon revitalizing a language and preserving it from extinction can be better prepared.

Key words: language extinction, language vitality, language revival and revitalization.

Page 38: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

36

PENGANTAR

Para ahli bahasa yang mencurahkan perhatiannya pada (gejala) kepunahan bahasa-bahasaminoritas, terutama bahasa-bahasa di negara-negara berkembang berkesimpulan bahwa sebabutama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasaibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagairanah komunikasi (Grimes 2000:17). Telah banyak penelitian secara lintas-bahasa menunjukkanfakta ini. Jadi, kepunahan itu bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat daripilihan penggunaan bahasa sebagian besar masyarakat tuturnya (Landweer 1999:1). Penuturbahasa memilih tidak membelajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan memilih tidakmenggunakannya secara aktif dalam ranah pertuturan di rumah. Selain itu, kepunahan sebuahbahasa juga ditentukan oleh tekanan bahasa mayoritas dalam suatu kawasan masyarakatmultilingual. Memilih tidak menggunakan bahasa ibu dan menggunakan sebuah bahasa lainserta tekanan bahasa mayoritas merupakan tiga faktor penting penyebab kepunahan bahasa.

Terkait dengan kepunahan bahasa-bahasa di dunia, terutama di Indonesia, tulisan ini akanmembentangkan empat hal penting (1) tipologi bahasa berdasarkan daya hidupnya sebagai alasteori, (2) fakta-fakta mengenai kepunahan bahasa, (3) sebab, gejala, dan kategori kepunahan,serta (4) strategi perawatannya agar bahasa-bahasa terselamatkan dari kepunahan.

TIGA TIPOLOGI

Ada bahasa yang masih setia digunakan oleh penuturnya dalam semua lapisan usia dandigunakan dalam berbagai ranah pertuturan. Ada bahasa yang hanya digunakan oleh selapisgenerasi tua dan telah ditinggalkan oleh anak-anak dan remaja. Ada pula bahasa yang hanyadigunakan oleh beberapa orang tua dan sebagian besar penutur tidak lagi cakapmenggunakannya. Dari sudut pandang daya hidupnya, bahasa tipe pertama adalah bahasa yangdiprediksi masih panjang usia hidupnya, sedangkan bahasa tipe kedua dan ketiga, dalam kurunwaktu yang tidak terlalu lama akan mengalami kepunahan. Dalam kaitannya dengan daya hidupbahasa-bahasa di dunia, Michel Krauss (1992: 4-10) mengelompokkan bahasa-bahasa di duniake dalam tiga tipologi: (1) bahasa-bahasa yang punah (moribund languages), (2) bahasa-bahasayang terancam punah (endangered languages), dan (3) bahasa-bahasa yang masih aman (safelanguages). Bahasa-bahasa yang dikategorikan moribund, menurut Krauss, adalah bahasa yangtidak lagi digunakan dipelajari (atau diperoleh) olah anak-anak sebagai bahasa ibunya (mothertongue, mother language); bahasa-bahasa yang endangered, adalah bahasa-bahasa yangmeskipun sekarang masih dipelajari (atau diperoleh) oleh anak-anak, akan ditinggalkan anak-anak pada abad akan datang; sedangkan bahasa-bahasa yang safe, adalah bahasa-bahasa yangmendapat sokongan kuat dari pemerintah dan memiliki sejumlah besar penutur.

Krauss memberikan kategori daya hidup bahasa berdasar jumlah penutur dan danbagaimana penutur dan pemerintah merawat dan memberi perhatian pada bahasa-bahasa.Dengan meminjam pengklasifikasian Krauss, saya (ingin) menawarkan sebuah kategori lainberdasarkan prinsip pertukaran/pengalihan generasi berdasarkan pertimbangan biologis.Prinsipnya adalah pertukaran generasi berlangsung dalam siklus 25 tahunan. Dengan prinsip ini,pengkategorian daya hidup bahasa dipetakan sebagai berikut.

Kategori bahasa pertama adalah moribund language, yaitu bahasa-bahasa yang tidak lagisecara aktif digunakan dan tidak lagi dikuasai oleh penutur yang berusia di bawah 50 tahun.Bahasa-bahasa ini hanya digunakan oleh sejumlah kecil penutur yang berusia di atas 50 tahun.Dalam hitungan satu dekade, bahasa ini akan punah, dalam artian tidak digunakan lagi.Mungkin bahasa ini hanya tercatat dalam naskah-naskah tradisional.

Bahasa-bahasa kategori kedua, yaitu endangered language, alias bahasa yang tidak bugar,adalah bahasa-bahasa yang hanya digunakan oleh penutur yang berusia 25 tahun ke atas.Penutur yang berusia 25 tahun ke bawah tidak lagi menggunakannya secara aktif, meskipunbahasa-bahasa daerahsa menggunakannya. Ada dua keadaan penggunaan oleh penutur yang

Page 39: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

37

berusia di bawah 25 tahun, yaitu ketika berlangsung komunikasi pada ranah akrab dan sesuatuyang bersifat pribadi-rahasia (privat) kepada penutur yang lebih tua. Dalam komunikasi dengansesama penutur yang sebaya atau lebih muda, kelompok usia 25 tahun ke bawah ini tidak lagimenggunakan bahasa ibunya, dan menggunakan satu bahasa lain yang diperolehnya, bahasa-bahasa daerah lokal atau bahasa nasional yang digunakan dalam komunikasi lintas-komunitas.Jadi, penggunaan bahasa ibu yang dilakukan oleh penutur yang berusia 25 tahun ke bawahhanya kepada penutur yang lebih tua, yaitu dua generasi ke atas, sementara terhadapgenerasinya sendiri, penutur usia 25 tahun ke bawah ini telah mengunakan sebuah bahasa baruyang telah diperolehnya.

Bahasa-bahasa ini dikategorikan sebagai bahasa yang mengarah kepada kencederunganberkurangnya penutur dalam satu fase generasi. Diasumsikan bahwa jika tidak dilakukangerakan penggunaan bahasa sendiri oleh generasi 25 tahun ke bawah, dalam jangka 25 tahun kedepan, bahasa-bahasa itu menuju kepada semakin berkurangnya jumlah penutur, dan dalamsiklus dua generasi, atau 50 tahun ke depan, bahasa ini akan punah (moribund languages).

Bahasa-bahasa di dunia yang masuk ke dalam kategori ketiga, yaitu safe language, adalahbahasa-bahasa yang masih dipelajari oleh penutur aslinya (native speaker) sebagai bahasa ibudari kalangan usia tua hingga anak-anak dalam berbagai ranah: keluarga, hubungan sosial, dandalam berbagai acara resmi ketradisian. Kalangan tua hingga anak-anak tetap menggunakanbahasanya dengan setia dan bangga, dalam berbagai kebutuhan berkomunikasi. Di rumahtangga, para orang tua masih tetap menggunakan bahasanya dan anak-anaknya memperolehbahasa itu sebagai bahasa ibu (mother tongue, mother language) pada masa awal pemerolehanbahasanya (language acquisition). Secara sosiolinguistik, masyarakat tutur (speech community)seperti ini adalah masyarakat tutur yang kuat pemertahanan bahasanya (languagemaintainance). Pemertahanan bahasa adalah suatu keadaan masyarakat tutur yang selalumenjadikan bahasa sebagai wadah komunikasi intrakomunitasnya. Dengan pemertahananseperti ini, secara biolinguistik (biolinguistics), bahasa tersebut dapat dipertahankan, setidaknyadalam tiga peralihan generasi ke depan, dalam kelipatan 3 x 25 tahun. Jadi, setidaknya selama75 tahun ke depan, bahasa dalam kategori segar bugar ini dapat bertahan. Bahasa-bahasa yangtermasuk ke dalam kategori ini adalah bahasa nasional di berbagai negara, bahasa-bahasa daerah(vernacular) di berbagai negara (termasuk di Indonesia) yang masih digunakan oleh tiga lapisgenerasi (usia 5-25 tahun, 25-50 tahun, dan 50-75 tahun).

FAKTA YANG MENCENGANGKAN

Menurut catatan Grimes (2000), sebagaimana yang disebutnya dalam Ethnologue: Languages ofthe World (selanjutnya disebut Ethnologue), terdapat 6.809 bahasa di dunia. Dari jumlah itu,330 bahasa memiliki penutur sebanyak satu juta orang atau lebih. Jumlah penutur yang besar iniberkontras secara mencolok dengan kira-kira 450 bahasa di dunia yang memiliki jumlah penuturyang sangat kecil, telah berusia tua dan condong bergerak menuju ke kepunahan. Pada saat yangsama, mungkin mengejutkan orang bahwa rerata jumlah penutur bahasa-bahasa di dunia hanyaberkisar 6.000 orang atau lebih, hanya separuhnya memiliki penutur 6.000 orang atau lebihpenutur, dan hanya separuhnya lagi memiliki penutur kurang dari 6.000 orang.

Lebih mencengangkan lagi, ketergerusan jumlah penutur bahasa—yang semakin mengecilini—pada berbagai belahan dunia menjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Berdasarkancatatan tahun 1977, bahasa Eyak di Alaska kini tinggal memiliki dua penutur usia lanjut. BahasaMandan memiliki enam penutur, bahasa Osage lima penutur, bahasa Abenaki-Penobscot 20penutur, dan bahasa Iowa mempunyai lima penutur. Bahasa Coeur d’Alene memiliki penuturkurang dari 20, bahasa Tuscarora kurang dari 30, bahasa Menomini kurang dari 50, dan bahasaYokust kurang dari sepuluh. Bahasa Eskimo tinggal memiliki dua penutur, dan bahasa Aimumungkin telah punah. Bahasa Ubykh, salah satu bahasa Kaukasia yang memiliki begitu banyakkonsonan (kurang-lebih 80), mendekati kepunahan, dan mungkin tersisa satu penutur (Krauss1992 dalam Ibrahim 2006:2-4). Krisis jumlah penutur sebagai tanda-tanda kepunahan (sebuah)

Page 40: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

38

bahasa adalah krisis menyedihkan dan menakutkan sebab fakta ini menyodorkan kepada kitalanskap mengenai punahnya sebuah peradaban melalui kepunahan bahasa. Krisis jumlahpenutur ini merupakan tanda yang nyata mengenai pengabaian oleh penutur terhadap bahasanyasendiri. Krisis ini juga merupakan tanda bahwa kemampuan bertahan hidup penutur bahasaminoritas sangat lemah atas tekanan ekonomi dan tekanan alam.

Bila dianalogikan dengan makhluk hidup, maka bahasa-bahasa yang telah mengalamikrisis jumlah penuturnya adalah bahasa-bahasa yang kehilangan kemampuan ‘reproduksi’-nya.Dan, dalam fakta kealaman, bila makhluk hidup, seperti burung-burung, mamalia, reptil, jugamanusia, kehilangan fungsi reprodukinya, maka alamat akan segera tibanya masa kepunahandalam waktu dekat. Lalu, apa artinya bagi bahasaa-bahasa yang mengalami krisis penutur? Apayang terjadi bagi keberlangsungan hidup bahasa-bahasa itu? Bagaimana daya hidupnya?Apakah bahasa-bahasa seperti yang digambarkan akan punah dalam satu generasi ke depan?Atau lebih cepat lagi? Bagaimana kalau lima penutur bahasa Mandan disapu badai salju danmati? Apa yang terjadi bila dua penutur bahasa Eyak yang telah uzur itu dipanggil Tuhan? Lalu,ikhtiar kebahasaan seperti apa yang perlu dicabarkan agar bahasa-bahasa seperti ini selamat darikepunahan?

Krauss menyimpulkan bahwa dari ± 6000 bahasa di dunia (Grimes, 1988), ± 3000 diantaranya termasuk dalam kategori terancam punah (moribund). Sebagai contoh, di daerahAlaska dan Soviet Utara lima bahasa (9%) di antara 50 bahasa yang ada dinyatakan sebagaibahasa yang berstatus moribund; di daerah Amerika Serikat dan Kanada, dari 187 bahasa 149(80%) berstatus moribund, dan Amerika Tengah dan Selatan dari 700 bahasa 160 (23%)dinyatakan moribund. Hal yang sama juga terjadi di Australia yakni dari 250 bahasa masyarakatAborigin 225 (90%) juga dinyatakan moribund (Said, 2002)

Krauss memprediksikan bahwa bahasa yang ada di dunia ini terdapat ±2400 bahasa yangmasuk dalam kategori endangered. Daerah yang berstatus endengered tersebut antara lain diPapua Nugini yang memiliki bahasa lokal sebanyak 850, Indonesia 700, Nigeria 410, India 380,Kamerun 270, Australia 250, Meksiko 240, Zaire 210, dan Brazil 210. Jika diamati dengansaksama bahasa Endengared ini umumnya berkembang di negara multibahasa. Timbulnyafenomena bahasa endengered mirip dengan fenomena bahasa Moribund. Bahasa daerah sedikitdemi sedikit terdesak keberadaannya, karena diberlakukannya kebijakan bahasa nasionalmenyeluruh pada peri kehidupan masyarakat (termasuk bahasa Indonesia di Indonesia. (Said,2002).

Selanjutnya, Krauss mengatakan bahwa di dunia saat ini hanya sekitar 600 bahasa dari 6000bahasa yang masih dalam kategori aman (safe language) atau 10% dari total bahasa yang ada didunia. Bahasa tersebut akan terus bertahan karena alasan dua alasan. Pertama, bahasa-bahasa ituberfungsi sebagai bahasa resmi. Berdasarkan data tahun 1990, dari 170 negara merdeka di dunia,45 negara menggunakan bahasa Inggris, 30 negara berbahasa Perancis, 20 negara berbahasaSpanyol, 20 negara berbahasa Arab, lima negara berbahasa Portugis, dan 50 negara menggunakanbahasa-bahasa lain. Kedua, bahasa itu memiliki penutur asli yang jumlahnya lebih dari 100.000.Diperkirakan bahwa dari 600 bahasa yang berkategori safe ini sekitar 200 bahasa hingga 250memiliki penutur asli berjumlah di atas satu juta orang (Said, 2002).

Fakta mengenai kepunahan bahasa ini sebenarnya bukan isu baru. Telah berabad-abadkita ketahui bahwa bahasa Greek Koiné dan bahasa Latin Klasik telah “mati” sebagai bahasayang dituturkan. Namun, dalam satu abad terakhir ini gerak menuju kepunahan yang dialamioleh bahasa-bahasa dengan jumlah penutur yang kecil dan dengan pendukungnya yang memilikimobilitas sempit terasa lebih cepat dari yang dibayangkan. Gerak ke arah kepunahan ituterutama terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Bahkan, kini di berbagai belahanbenua, penuturnya tidak lebih dari 200 orang. Tercatat bahwa ada 516 bahasa yang didaftarkandalam Ethnologue termasuk ke dalam bahasa yang mendekati kepunahan, karena hanya adasedikit sekali penutur usia renta yang masih hidup. Di antara 516 bahasa itu, 46 berada diAfrika, 170 di Amerika, 78 di Asia, 12 di Eropa, dan 210 di Pasifik. Fakta-fakta yang rinci—

Page 41: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

39

sekadar menyebut beberapa di antaranya—mengenai kedekatan kepada kepunahan ini (nearlyextinct) dapat ditunjukkan dalam Tabel 1.

No Benua/zona Negara Bahasa yang mendekatikepunahan dan jumlahpenutur

Sumber

1 Afrika Kamerun Baldemu 3-6 (penutur);Bikya 1; Bishuo 1; Bung3; Busuu 8; Dama 50;Luo 1; Ndai 1; Ngong 2;Pam 30; Twendi 30;Zumaya 25

SIL (1987, 2003), Breton(1986), Connel (1995,2000)

Chad Berakou 2; Buso 40;Goundo 30; Mabire 3;Massalat 10; dan Noy 36

Djarangar (1995), Welmers(1971), SIL (2001), Blench(1991)

Kenya El Molo 8; Omotik 50;Yaaku 50.

Larsen (1994)

Nigeria Bassa-Kontagora 10;Bete 50; Kiong 100;Kudu-Camo 42; Luri 30;Njerep 6; Odut 20; Putai50; Somyev 15-20.

Bross (1990), SIL (1973),Connel (2000)

2 Amerika Argentina Ona 1-3; Puelche 5-6;Tehuelche 4; Vilela 20.

Adelaar (1991, 2000),Buckwalter (1981)

Brazil Amanayé 60; Anambé 7;Apiacá 2; Arikapú 6;Aurá 2; Karahawyana 40;Karipuná 12; Katukina 1,Puruborá 2; Xetá 3;Xipaya 2.

Rodrigues (1986), SIL(1976, 1990, 1995, 1998,2000, 2002)

Kanada Abnaki 20; Bella Coola20; Haida Tenggara 10;Han 7-8 Munese 7-8;Sekani 30-40 Squamish15; Tagish 2; Tuscarora7-8.

Kraus (1991, 1995, 1997),Pooser (2002), SharonHargus (1997), Kinkade(1991)

Kolombia Cabiyarí 50; Tinigua 2;Totoro 4; Tunebo 50.

Bourgue (1976), Anrangodan Sanchés (1998)

Meksiko Kiliwa 24-32; Zapotec59; Zoque 40; Opata 15.

SIL (1994), Garcia de León(1971)

3 Amerika Amerika Achuwami 10; Apache Brook (1998), Barnes

Page 42: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

40

Serikat Serikat 18; Aikara 20; Caddo 25;Cahuilla 7-20; Eyak 1;Hupa 8.

(1996), Nevin (1997),Chafe (1997), Hinton(1994)

4 Asia Afganistan Tirahi 100 SIL (2000)

India A-Pucikwar 24;Khamyang 50; Peranga767

SIL (2000)

Indonesia Amahai 50; Hoti 10;Hukumina 1; Ibu 35;Kamarian 10; Kayeli 3;Nusa Laut 10; Piru 10;Bonerif 4; Kanum Bädi10; Mapia 1; Massep 25;Mor 20-30; Tandia 2;Lom 2; Budong-budong70; Dampal 90; Lengilu10;

SIL (1987, 1989, 1991,1995), Voorhoeve danVissser (1987), Taguchi(1985), Lauder (2008)

Filipina Agta 30; Arta 15; Ata 2-5; Ayta 15; Ratagnon 2-3

Wurm (2000)

Rusia Aleut 10; Karagas 25;Kerek 2; Yugh 2-3; Orok32-82; Yukaghir 10-50

Krauss (1989, 1995),Kibrik (1991), Verner(1991)

Thailand Mok 7 Wurm dan Hattori (1981)

Vietnam Arem 20; Gelao Merah20; Gelao Putih 20

Ferlus (1996), Edmonson(2002)

5 Pasifik Australia Alawa 17; Alangith 3;Bayungu 6; Burduna 3;Djangun 1; Djawi 1;Dyirbal 40-50; Gagadu 6;Gambera 6; Giyug 2;Kokata 3; Kuku-Uwanh40; Laragia 6; Lardil 2;Mandandanyi 1; Manger1; Nijadali 6; Pakanha10; Uradhi 2; Wagaya 10;Waray 4; Worora 20;Wulna 1; Yidiny 12; YirYoront 15.

Sharpe (1991), Wurm danHattori (1981), Dixon(1983), SIL (1991), Black(1983), Schmidt (1990),Bruce Sommer (1991)

Page 43: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

41

PapuaNugini

Abaga 5; Abom 15;Bilakura 30; Govoru 15;Kamasa 7; Sene 10;Turaka 25; Turumsa 5;Laua 1.

SIL (1987, 2001, 2002,2003), Wurm (2000),McElhanon (1978)

KepulauanSolomon

Asumboa 10; Laghu 15;Oroha 38; Tenema 3;Tanimbili 15; Teanu 24;Zazao 10.

SIL (1999)

Tabel 1. Bahasa-bahasa yang mendekati kepunahan(Diolah dari www.ethnologue.com/nearly_extinct.asp)

Fakta kepunahan bahasa seperti dipaparkan pada Tabel 1 ternyata menyebar di hampirseantero bumi. Ada beberapa hal menarik yang dapat dicatat. Pertama, bahasa-bahasa yangtarancam punah itu sebagian besarnya berada di daerah atau wilayah atau negara berkembang,kalau tidak bisa dikatakan miskin sumber daya manusia dan juga sumber daya alam. Kedua,beberapa di antaranya memiliki total populasi etnik yang tidak lebih dari 5.000 orang. Meskipunbeberapa di antaranya memang memiliki jumlah populasi etnik yang masih banyak sepertibahasa Lenca (36.858 orang) dan bahasa Pipil (196.576 orang) di El Salvador, jumlah penuturaktifnya hanya 20 orang. Jadi, bahasa-bahasa ini sesungguhnya telah terancam punah di antarasebegitu banyak total populasinya. Ketiga, sebagian besar dari bahasa-bahasa yang terancampunah itu merupakan etnik minoritas terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yangbegitu beragam bahasa dan budayanya. Ambil contoh, bahasa Ibu [penuturnya menyebut namabahasa ini Ibo ’tuan tanah’] di Maluku Utara yang dalam catatan Voorhoeve dan Visser padatahun 1987 berjumlah 35 penutur—kini (tahun 2008) tinggal lima orang dan berusia di atas 50tahun—berada di satu wilayah masyarakat multibahasa yang perbatasan kebahasaannya hanyaantardesa atau antarkampung yang berjarak tidak lebih dari lima kilometer. Keempat, bahasa-bahasa yang terancam punah itu, sebagian besarnya tidak merupakan bahasa yang sehari-haridiajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya di rumah. Sebagai contoh, sudah mulai jarangbahasa Kao di Halmahera Utara digunakan oleh orang tua kepada anak-anaknya di rumah.Mereka lebih sering menggunakan bahasa Ternate atau bahasa Melayu Ternate. Akibatnya,banyak anak muda sekarang tidak cukup cakap menggunakan bahasa Kao. Bahkan, beberapaanak remaja di masyarakat ini mengakui tidak bisa lagi menggunakan bahasa Kao, kecualihanya bisa memahaminya secara pasif. Keempat, fakta-fakta mengenai kepunahan bahasa-bahasa itu sebagian besarnya berasal dari wilayah multibahasa yang memilih sebuah bahasalingua-franca dalam komunikasi lintasetnik. Dalam konteks seperti ini, bila kebijakan politikbahasa nasional di satu sisi sebagai kebijakan kebahasaan yang mempersatukan keragamandalam konteks pengelolaan negara dan nasionalisme yang tidak disertasi dengan kebijakanpreservasi bahasa-bahasa lokal, maka kebijakan perencanaan, pembinaan, dan pengembanganbahasa nasional justru akan meminggirkan bahasa-bahasa lokal. Padahal, bahasa-bahasa lokalyang merupakan gentong kebudayaan lokal pilar penting terbentuknya negara-bangsa. Sebabitu, kepunahan bahasa-bahasa lokal dalam sebuah masyarakat multilingual dan negaranyamengambil kebijakan penggunaan bahasa nasional sebagai lingua-franca, perlu ada program-program penguatan bahasa lokal secara lebih terencana agar terhindar dari ancaman kepunahan.

Page 44: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

42

SEBAB-MUSABAB, GEJALA, DAN KATEGORI KEPUNAHAN

Lalu apa yang menyebabkan bahasa-bahasa di dunia terancam punah? Seperti telah dikatakanpada bagian pengantar, ada tiga sebab utama kepunahan, yaitu (a) karena para orang tua tidaklagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak serta tidak lagi menggunakannya di rumah, (b)pilihan sebagian masyarakat tutur untuk tidak menggunakannya dalam ranah komunikasi sehari-hari, dan (c) tekanan sebuah bahasa mayoritas dalam masyarakat tutur multilingual.

Sebab pertama dan kedua terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa (languagemaintenance) masyarakat tuturnya. Jika pilihan untuk tidak menggunakan dan kebiasaan orangtua untuk tidak mewariskan bahasa ibu kepada anak-anaknya lemah, gerak menuju kepunahanakan lebih cepat lagi. Dalam satu pergantian generasi—mungkin 25 tahun—bahasanya akanpunah. Bahkan, mungkin lebih cepat lagi. Sebaliknya, bahasa-bahasa yang penuturnya memilikipemertahanan bahasa yang kuat, memiliki vitalitas hidup kuat pula. Sementara itu, sebab ketigaterkait dengan dominasi komunikasi dalam mobilitas sosial-ekonomi serta penguasaan sumber-sumber kekuasaan kelompok mayoritas pemilik bahasa mayoritas yang mau tidak mau harusdihadapi oleh semua penutur, terutama penutur bahasa minoritas. Kelompok pemilik bahasamayoritas yang karena penguasaan atas sumber-sumber kegiatan ekonomi, politik, pendidikan,dan kekuasaan secara politis, ”mamaksa” kelompok penutur bahasa minoritas mau tidak mauharus melakukan mobilitas vertikal dalam kerangka melakukan penyesuaian sosial agar menjadibagian penting dalam proses kemajuan masyarakatnya. Mekanisme penyesuaian ini tidak hanyamembuat penutur bahasa minoritas meninggalkan wilayah teritori tradionalnya tetapi juga”meninggalkan” bahasa ibunya kemudian semakin menggunakan sebuah bahasa mayoritas.Mekanisme ini secara lambat-laun turut memberi dampak pada dual hal terkait denganpenggunaan bahasa ibunya. Pertama, semakin berkurang jumlah penutur bahasa ibu kelompokminoritas; dan kedua semakin menyempit pula ranah-ranah penggunaan bahasa ibu. Pada titiknadir, bahasa ibu hanya tinggal digunakan dalam percakapan yang bersifat rahasia, dan ituberarti bahasa ibu sesungguhnya telah mati.

Terkait dengan tekanan suatu bahasa mayoritas atas bahasa minoritas dalam kawasanmasyarakat multilingual, berikut ini diberikan dua contoh secara selayang pandang. Pertama,contoh tekanan bahasa Ternate (selanjutnya disingkat BT) di Maluku Utara atas bahasa-bahasadengan jumlah penutur kecil di Halmahera Barat, seperti bahasa Ibo, bahasa Gamkonora, danbahasa Wayoli. Kedua, tekanan bahasa Melayu Ternate (selanjutnya disingkat BMT) terhadapsejumlah bahas-bahasa suku di Maluku Utara.

Di masa kesultanan Ternate—salah satu dari empat kesultanan di Maluku Utara yangluas kekuasaan di masa lalu, selain kesultanan Tidore, Jailolo, dan Bacan—BT merupakanlingua-franca di Maluku Utara. BT adalah bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami pulauTernate, Jailolo, beberapa desa di Kecamatan Kao Halmahera Utara, dan beberapa desa dipulau-pulau Gurua Ici di Kecamatan Kayoa Halmahera Selatan. BT merupakan bahasa keduabagi penutur bahasa Sahu, bahasa Gamkonora, Waiyoli, dan bahasa Ibu. Daerah-daerah ini dimasa lalu merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Pada masa itu, BT merupakanbahasa kolano, ‘bahasa raja’, bahasa yang dipakai dalam komunikasi dengan pihak kesultanan.Oleh karena sebagai bahasa raja dan menjadi lingua-franca bagi sejumlah etnik di MalukuUtara, masyarakat penutur bahasa-bahasa minoritas “harus” menguasai BT dalam kontekskomunikasi dengan pihak kesultanan. Kondisi ini menjadikan BT menekan bahasa-bahasa‘kecil’ seperti bahasa Ibu, bahasa Gamkonora, bahasa Waiyoli, bahasa Sahu, dan bahasa Tobarudi Kabupaten Halmahera Barat. Tekanan itu itu diasumsikan berlangsung sejak masa kesultanandi masa lalu. Desa-desa seperti desa Gam Ici, Gam Lamo, dan Tongute Ternate di KabupatenHalmahera Barat yang dulunya merupakan wilayah pakai bahasa Ibu, kini telah tergantikan olehBT. Bahasa Ibu yang pada tahun 1988, sebagaimana dicatat oleh Grimes (1988), memilikipenutur ± 2.00, menurut penagkuan warga yang diwawancarai, kini tidak dipakai lagi.Masyarakat di ketiga desa ini telah menggunakan BT sebagai bahasa sehari-hari. Anak-anak

Page 45: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

43

yang lahir dan besar di desa-desa ini, kini telah mempelajari, memperoleh BT. Dengan kata lain,bahasa Ibu bukan lagi bahasa ibu bagi anak-anak.

Tekanan yang sama dari BT tetapi tidak sebegitu kuat, juga terhadap: (1) bahasa Waiyoliyang dipakai di desa Baru, Bataka, Togowae, Ngawet, Nanas, Adu, Tosoa, dan Togola Waiyoli;(2) bahasa Gamkonora, yang dipakai di desa Gamkonora, Talaga, Tahafo, dan Gamsungi; (3)bahasa Sahu yang digunakan di sejumlah desa di Kecamatan Sahu; dan (4) bahasa Tobaru yangdigunakan di sejumlah desa di pedalaman Kecamatan Ibu. Ada asumsi bahwa daerah-daerah initidak terlalu mendapat pengaruh yang kuat dari kesultanan Ternate di masa lalu. Tetapidiperlukan penelitian untuk membuktikan asumsi ini dan untuk menemukan sebab-sebablinguistik, sejarah, politik, dan budaya mengenai kuat-lemahnya tekanan ini.

Setelah kemerdekaan RI, tekanan BT terhadap bahasa-bahasa ‘kecil’ di Maluku Utaradigantikan oleh BMT. BMT menjadi bahasa kedua dan lingua-franca bagi hampir semua etnikdi Maluku Utara. Kebutuhan dan keharusan perjumpaan lintas-etnik di Maluku Utara olehkarena kebutuhan ekonomi, mobilitas sosial, dan pendidikan semakin menempatkan danmemantapkan BMT sebagai bahasa lintasetnik. Peran BMT sebagai bahasa lintasetnik inilambat-laun telah memiliki daya tekan yang cukup bermakna akhir-akhir ini.

Sebagai contoh, anak-anak di sejumlah desa Kecamatan Gane Barat, Kecamatan BacanTengah Kabupaten Halmahera Selatan, beberapa desa di Kecamatan Oba Kota TidoreKepualauan, beberapa desa di Kecamatan Jailolo dan Ibu Kabupaten Halmahera Barat ProvinsiMaluku Utara, kini tidak lagi menggunakan bahasa etniknya dalam bermain dengan sesamatemannya. Situasi kebahasaan semacam ini dapat diterangkan karena sebagian besar desa-desaini adalah desa dwibahasa atau desa multibahasa. Bahkan yang lebih menarik lagi adalah,bahwa BMT ternyata telah menjadi bahasa pertama yang diperoleh bagi sebagian anak padadesa-desa monobahasa, seperti yang terjadi di Pulau Makian yang berbahasa etnik bahasaMakian Timur dan bahasa Makian Barat.

Anak-anak di Kecamatan Malifut Kebupaten Halmahera Utara yang merupakan penuturbahasa Makian Timur dan Makian Barat tidak lagi menggunakan bahasa ibunya dalam bermaindan menggantikannya dengan BMT. Padahal secara sosiolinguistis, kecamatan ini merupakankecamatan monobahasa. Dalam amatan kasat mata-telinga, sebagian besar anak yang lahir diMalifut, tidak lagi menggunakan dan menguasai bahasa ibu dari orangtuanya [bahasa MakianTimur dan Makian Barat] dan telah menggunakan BMT. Perlu diketahui bahwa penduduk dikecamatan ini berasal dari Pulau Makian yang dipindahkan oleh Pemerintah Kabupaten MalukuUtara [saat itu] pada tahun 1975 karena isu meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian.

Akhir-akhir ini BT yang dipakai di Pulau Ternate ternyata tidak saja digantikan, tetapijuga ditekan oleh BMT. Anak-anak Ternate di sejumlah kelurahan di batas kota, bahkan di luarkota, tidak lagi menggunakan BT dan sehari-sehari menggunakan BMT dengan sesamatemannya dalam bermain. Bahkan, sebagian remaja penutur BT tidak lagi begitu cakapmenggunakan BT, apa yang dalam kajian sosiolinguistik sebagai understanding withoutspeaking atau penguasaan pasif. Gejala kebahasaan ini dapat diterangkan melalui pertemuan danpersentuhan antarbahasa dalam kota yang penduduknya majemuk etnik dan bahasa. Gejala yangsama—dengan kualitas ketertekanan yang berbeda—juga terjadi pada bahasa Betawi di Jakarta,bahasa Makassar di Makassar, dan bahasa Bantik dan sejumlah bahasa Minahasa lainnya diManado.

Ada sebab yang berbeda di balik fakta tekanan BT terdahap bahasa-bahasa etnik ‘kecil’seperti bahasa Ibu, Waiyoli, dan Gamkonora pada masa kesultanan Ternate di masa lalu dantekanan BMT terhadap sejumlah bahasa etnik lain, baik berpenutur sedikit maupun banyak diMaluku Utara. Tekanan BT terhadap bahasa-bahasa ‘kecil’ karena disumbang oleh kekuasaan.Sementara itu, tekanan BMT terhadap bahasa-bahasa etnik disebabkan oleh mobilitas horisontal(ke samping) dan vertikal (ke atas) lintasetnik di Maluku Utara. Menggunakan BMT untukkebutuhan berkomunikasi lintasetnik (mobiltas horisontal) , dan memilih BMT agar bisa lebihdiartikan maju dan mengkota (mobilitas vertikal). Pengharusan berbahasa Indonesia di

Page 46: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

44

lingkungan Sekolah Dasar, yang di Maluku Utara adalah BMT, sejak awal kemerdekaan,terutama setelah tahun 1950-an, merupakan sebab lain dari semakin kuatnya tekanan BMTterhadap bahasa-bahasa etnik di Maluku Utara.

Selanjutnya, hipotesis-hipotesis sosiolinguistik terkait dengan kecepatan kepunahanbahasa antargenerasi penutur dapat diterangkan sebagai berikut. Jika satu bahasa hanyadigunakan oleh penutur yang berusia 25 tahun ke atas dan usia di bawahnya tidak lagimenggunakannya, 75 tahun ke depan—tiga generasi—bahasa itu akan terancam punah. Jikasatu bahasa hanya digunakan secara aktif oleh penutur berusia 50 tahun ke atas dan usia dibawahnya tidak lagi menggunakannya, ada kemungkinan 50 tahun ke depan—dua generasi—bahasa itu akan punah. Jika satu bahasa secara aktif hanya digunakan oleh penutur yang berusia75 tahun ke atas dan penutur berusia di bawahnya tidak lagi secara cakap menggunakannya,terutama dalam ranah keluarga, maka ada kemungkinan 25 tahun ke depan—satu generasi—bahasa itu akan (terancam) punah. Dengan rumusan lain, hipotesisnya demikian: Semakin mudausia penutur setiap bahasa tidak lagi cakap menggunakan bahasa ibu dalam pergaulan sehari-hari, semakin cepat bahasa tersebut mengalami kepunahan. Gerak ke arah kepunahan akanlebih cepat lagi, bila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan dan jumlah ranahpenggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari; atau semakin meluasnya ketiadaanpenggunaan bahasa dalam sejumlah ranah, terutama ranah keluarga.

Di luar soal permertahanan bahasa, ada empat sebab terdalam dari kepunahan bahasa:para penuturnya (1) berpikir tentang dirinya yang inferior secara sosial, (2) terikat masa lalu, (3)bersikap tradisional, atau (4) secara ekonomi kehidupannya stagnan. Inilah yang disebut olehsejumlah linguis, antara lain, Grimes (2000), Landweer (2008), Lewis (2005), sebagai proses”penelantaran” bahasa. Penelantaran bahasa oleh penuturnya sendiri sesungguhnya bukan sajainferioritas sosial, tetapi juga ditentukan oleh tekanan sebuah bahasa mayoritas sebagai lingua-franca dalam wilayah multibahasa. Sebagai contoh, tekanan bahasa Melayu Ternate terhadapbahasa Ternate di Ternate dan tekanan bahasa Ternate dan bahasa Melayu Ternate terhadapbahasa-bahasa dengan jumlah penutur kecil di Maluku Utara, seperti bahasa Gamkonora, bahasaWaiyoli di Halmahera Barat, dan bahasa Kao di Halmahera Utara. Anak-anak—yang lahir daripasangan suami-istri berusia muda—berbahasa ibu bahasa Ternate, bahasa Gamkonora, bahasaWaiyoli, dan bahasa Kao akhir-akhir ini jarang menggunakan bahasa ibunya dalam bermain dantelah mengunakan bahasa Ternate atau bahasa Melayu Ternate. Tekanan bahasa Ternate danbahasa Melayu Ternate akhir-akhir ini semakin gencar dan nyata sejalan dengan intensifnyahubungan lintasetnik di Maluku Utara oleh karena mobilitas ekonomi, pendidikan, danperkawinan lintas-etnik.

Di atas dua sebab dasar pemertahanan bahasa dan empat sebab non-kebahasan itu, faktor-faktor lain yang lebih luas spektrumnya turut mendorong kecepatan kepunahan sebuah bahasa.Summer Insitute of Linguistics [selanjutnya disebut SIL] (2008) mencatat sedikitnya ada 12 (duabelas) faktor: (1) kecilnya jumlah penutur, (2) usia penutur, (3) digunakan-atau-tidakdigunakannya bahasa ibu oleh anak-anak, (4) penggunaan bahasa lain secara reguler dalam latarbudaya yang beragam, (5) perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum,(6) urbanisasi kaum muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan,(9) intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, dan (12)kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula tekananbahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa secara berdampingan.

Sebagai contoh adalah bahasa Ibu atau Ibo di Maluku Utara. Bahasa ini digunakan di duadesa (Gam Lamo, ’Kampung Besar’, dan Gam Ici, ’Kampung Kecil’) di Kabupaten HalmaheraBarat, Maluku Utara. Dua desa ini bertetangga dengan pengguna bahasa Waiyoli, Gamkonora,dan Sahu yang jarak tempuhnya tidak lebih dari lima kilometer. Selain menggunakan bahasaetniknya masing-masing, sudah sejak lama masyarakat di sini juga menggunakan bahasaTernate [bahasa Kesultanan Ternate] dan bahasa Melayu Ternate sebagai lingua-franca lintas-etnik. Dalam perjalanan selanjutnya, penutur bahasa Ibu di dua desa ini semakin menguasai dan

Page 47: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

45

lebih banyak menggunakan bahasa Ternate dan bahasa Melayu Ternate dan semakin’meninggalkan’ bahasa Ibu. Pilihan menggunakan kedua bahasa lingua-franca ini lambat-launtelah memunahkan bahasa Ibu sendiri. Situasi sosiolinguistik semacam ini terkait dengan duahal: sikap bahasa dan orientasi ke dunia luar penuturnya. Atau dari sudut lain, ada tekananbahasa dominan, seperti bahasa Ternate dan bahasa Melayu Ternate, terhadap bahasa Ibu; danitu telah menjadikan penutur bahasa Ibu di tahun 2008 tinggal lima orang, masing-masingNenek Hajija, kakek Ismail Babaoro (80 tahun), Nifu Hamiru (70 tahun), Han Noho, dan GaniSaleh (masing-masing 45 tahun).

Gejala-gejala kepunahan bahasa pada masa depan adalah: (1) penurunan secara drastisjumlah penutur aktif, (2) semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian ataupengenyahan bahasa ibu oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpamenggunakan bahasa ibu, (5) penutur generasi terakhir tak cakap lagi menggunakan bahasa ibu(penguasaan pasif, understanding without speaking), dan (6) contoh-contoh mengenai semakinpunahnya dialek-dialek satu bahasa, keterancaman bahasa Kreol dan bahasa sandi (Grimes2000).

Ada dua sebab utama terjadinya penurunan secara drastis jumlah penutur bahasa ibu padasuatu masyarakat, yaitu bencana alam dan sikap masyarakat. Bencana alam, seperti gempabumi, tsunami, dan banjir bandang yang datang menyapu satu masyarakat dan mematikansejumlah besar penuturnya merupakan sebab alam terjadinya penurunan secara drastis jumlahpenutur satu bahasa. Meskipun bukan merupakan contoh yang ekstrem, gelombang tsunamiyang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 secara drastis telah menurunkan jumlahpenutur bahasa Aceh. Sikap masyarakat yang cenderung secara masif menggunakan bahasakedua atau bahasa lain dan meninggalkan bahasa ibunya karena dianggap tradisional dan tidakmodern pada suatu kurun waktu singkat telah menurunkan jumlah penuturnya. Sikapmasyarakat tutur bahasa Kao di Kecamatan Kao Halmahera Utara dan masyarakat tutur bahasaIbo di desa Gam Ici dan Gam Lamo di Halmahera Barat yang lebih memilih menggunakanbahasa Ternate dan bahasa Melayu Ternate dalam kurun waktu relatif satu-dua dekade telahsecara signifikan menurunkan jumlah penutur kedua bahasa ini.

Bahasa yang hanya digunakan dalam ranah tutur tertentu seperti ranah rumah tangga danupacara adat merupakan bahasa yang sedang mengalami ”domestifikasi bahasa” ke ruang privatdan merupakan penyebab dari lahirnya gejala semakin berkurangnya luasan ranah penggunaanbahasa. Apalagi, jika pengabaian atas penggunaan bahasa ibu di ruang publik ini turut dipicuoleh pengenyahan bahasa ibu oleh penutur usia muda, maka tinggal menunggu peralihangenerasi berikutnya, bahasa ini akan bergerak ke arah kepunahan. Ini dengan mudah terjadikarena generasi terakhir tidak lagi cakap dan biasa menggunakan bahasa ibunya.

Terkait dengan vitalitas atau daya hidup bahasa secara lintas-generasi, para ahli membuatpentipologiannya. Dengan mengambil analogi spesies biologi, Krauss (1992), seperti yang telahdisebut sebelumnya secara rinci, misalnya, mengkategorikan daya hidup bahasa menjadi tigakategori. Pertama, moribund, yaitu bahasa yang tidak lagi dipelajari oleh anak-anak sebagaibahasa ibu. Kedua, endangered, yaitu bahasa yang meskipun sekarang masih dipelajari ataudiperoleh oleh anak-anak, tidak lagi digunakan di abad akan datang. Ketiga, safe, yaitu bahasayang secara resmi didukung oleh pemerintah dan memiliki penutur yang sangat banyak.

Dalam hubungannya dengan tingkat keterancaman dari kepunahan, sebuah kolokiummengenai bahasa-bahasa yang punah di Jerman tahun 2000 (Grimes 2000:8) merumuskan enamtingkat keterancaman. Pertama, bahasa-bahasa yang critically endangerad, yakni bahasa-bahasayang dalam keadaan kritis, sekarat. Bahasa-bahasa ini hanya tinggal sedikit penuturnya dansemuanya berusia 70 tahun ke atas dan usia buyut. Kedua, severely endangered, yaitu bahasa-bahasa yang hanya memiliki penutur berusia 40 tahun dan ke atas, usia kakek-nenek. Bahasa iniseperti dalam kondisi ’sakit parah’. Ketiga, endangered, yakni bahasa-bahasa yang penuturnyaberusia 20 tahun ke atas, usia orang tua. Bahasa-bahasa seperti ini dalam kondisi terancampunah. Keempat, eroding, yaitu bahasa-bahasa yang penuturnya adalah beberapa anak dan yang

Page 48: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

46

lebih tua. Anak-anak lain tidak lagi menggunakannya. Bahasa-bahasa seperti ini dalam kondisitergerus. Kelima, stable but threatened, yaitu bahasa yang digunakan oleh semua anak dandewasa tetapi jumlahnya sangat sedikit; bahasa ini stabil tetapi terancam. Keenam, safe, yaitubahasa-bahasa yang tidak dalam keadaan ancaman kepunahan. Bahasa yang masih diperolehdan dipelajari oleh semua anak dan usia dewasa dalam kelompok etniknya. Bahasa-bahasa inidikategorikan sebagai bahasa yang ’bugar’, sehat wal afiat.

Dari pentipologian yang diberikan Krauss (1992) dan persepakatan kolokium Jermanmengenai tingkat keterancaman muncul satu hal yang sama: jumlah dan kebiasaan penuturmerupakan variabel sosiolinguistik penting yang menentukan vitalitas bahasa. Semakin banyakjumlah penutur dan semakin sering penutur menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah,seperti ranah rumah, peristiwa budaya, dan peristiwa sosial, semakin kuat vitalitas bahasa itu.Dengan demikian, semakin jauh bahasa itu dari ancaman kepunahan.

PEMETAAN VITALITAS BAHASA

Bukankah setiap makhluk hidup, termasuk manusia, ditakdirkan hidup, dan ditakdirkan pulauntuk punah alias mati? Karena bahasa juga ’semacam spesies makhluk hidup’ yang’dilahirkan’ manusia dan manusia itu makhluk hidup yang akan mengalami kematian secaraalamiah, maka bukankah bahasanya juga akan mati? Lantas mengapa kita repot-repot mengurusibahasa yang terancam punah?

Jawaban yang cukup singkat dan sangat rasional diberikan oleh Living Tongues, Institutefor Endangered Languages, sebuah lembaga yang peduli pada kepunahan dan penyelamatanbahasa-bahasa yang punah. Dengan motto ”Membawa Tuturan ke Masa Depan”, lembaga inimenyatakan: ”... bahasa adalah sebuah gudang pengetahuan manusia yang sangat luas tentangdunia alamiah, tanam-tanaman, hewan-hewan, ekosistem, dan sediaan budaya. Setiap bahasamemuat keseluruhan sejarah umat manusia”. Kalau demikian, tidaklah berlebihan, jikadikatakan bahwa kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban manusia secarakeseluruhan. Oleh karena begitu pentingnya bahasa bagi peradaban, sampai-sampai antropologLeslie White, pernah bertanya secara retoris: Remove speech from culture and what wouldremain? Kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban!

Kalau begitu bagaimana cara kita agar bahasa-bahasa dapat diselamatkan dari kepunahandan dengan demikian peradaban kita tak punah!? Selama ini para linguis atau lembaga-lembagabahasa di dunia, terutama yang peduli pada penyelamatan bahasa dari kepunahan sepertiLivingTongues dan SIL (memang), telah melakukan upaya-upaya yang sistematis mulai daripenelitian-pencatatan, preservasi, revitalisasi-revivalisasi melalui pembangunan kelas dan sekolahbahasa sendiri di kampung sendiri untuk anak-anak dan orang dewasa pada komunitas yangbahasanya terancam punah. Kisah-kisah sukses program revitalisasi seperti ini telah ditunjukkanoleh keberhasilan perawatan bahasa Hawai di Hawai, bahasa Cornish di Inggris, bahasa Maori diSelandai Baru, bahasa Waorani di Ekuador, dan bahasa Nambikuara di Brazil. Programrevitalisasi yang sukses menambah jumlah penutur ditunjukkan oleh bahasa Waorani. Bahasayang pada tahun 1956 berpenutur 150 ini, setelah penelitian linguistik, kelas-kelas keberaksaraan,pendidikan, dan pengobatan modern, sekarang penuturnya diperkirakan 900 orang.

Di Indonesia, menurut catatan Multamia MT Lauder (Kompas 12 Agustus 2008), ada 169bahasa yang terancam punah. Meskipun dengan angka keterancaman sebanyak itu, kita belummempunyai program dan tradisi preservasi yang kuat untuk menyelamatkannya dari kepunahan,kecuali baru pada tingkat dokumentasi melalui penelitian individu, perguruan tinggi, atau olehPusat Bahasa. Pernyataan ini tidak memasukkan usaha-usaha yang dilakukan oleh SIL untukbahasa-bahasa di Papua. Secara pukul-rata, kita baru sampai pada pendataan mengenai sebarandan jumlah bahasa yang terancam punah. Kita, setahu saya, belum mempunyai peta yang akuratmengenai vitalitas atau daya hidup bahasa-bahasa di Indonesia. Padahal, dengan peta vitalitasbahasa itu, kita akan memiliki gambaran yang terang mengenai dua hal penting: (1) jumlah dansebaran mengenai bahasa-bahasa yang terancam punah dan (2) tingkat vitalitas bahasa-bahasa di

Page 49: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

47

Indonesia. Dengan kedua gambaran ini kita akan dapat menyusun profil vitalitas bahasa-bahasadi Indonesia; dan dengan profil itu, kita akan menyusun program preservasi secara tepat sasarandengan skala pementingan dan dilakukan secara terukur.

Untuk itu, disarankan suatu cara atau metode survei pemetaan vitalitas bahasa-bahasa diIndonesia. Untuk melaksanakan survei ini kita gunakan indikator etnolinguistik mengenaivitalitas bahasa yang disarankan oleh Landweer (2008) dan kita kombinasikan secara eklektikdengan metode asesmen kategori keterancaman yang disarankan oleh Lewis (2005).Ringkasnya, skema preservasi dimulai secara siklik dari survei pemetaan vitalitas, program-program revitalisasi, penilaian mengenai kerbermaknaan program preservasi, hingga kepenyusunan profil baru vitalitas bahasa untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan program-program preservasi dengan bercermin pada keberhasilan dan kegagalan preservasi sebelumnya.

Survei pemetaan vitalitas bahasa kini menjadi sangat penting dan strategis karena duahal. Pertama, penelitian dan pemetaan bahasa di Indonesia sejauh ini baru sampai padapengungkapan mengenai jumlah bahasa dan dialek, kekerabatan, jumlah penutur, dan wilayahpakainya. Penelitian-penelitian tersebut sejauh ini belum mengungkap fakta mengenai seberapajauh bahasa-bahasa di Indonesia memiliki ketahanan dari ancaman kepunahan. Kedua, surveipemetaan vitalitas bahasa-bahasa di Indonesia akan memberikan informasi tentang tiga hal pula.Pertama, bagaimana bahasa-bahasa etnik di Indonesia berinteraksi dan saling mempengaruhiserta bagaimana bahasa-bahasa yang dominan dalam suatu kawasan masyarakat multibahasaseperti di wilayah timur Indonesia mempengaruhi bahasa-bahasa kecil. Kedua, dalam perspektifdiversitas, survei pemetaan vitalitas bahasa ini akan menyodorkan fakta mengenai lanskap statuskemajemukan bahasa di Indonesia tidak saja dalam hal jumlah dan sebaran, tetapi juga dalamseberapa kuatnya ketahanan budaya masyarakat pemakai bahasa teraebut. Ketiga, surveipemetaan vitalitas bahasa ini juga akan memperlihatkan pola-pola hubungan antara mobilitaspenutur dalam kegiatan ekonomi, pendidikan, jenis pekerjaan di ruang publik denganmekanisme dan profil pemertahanan bahasa suatu masyarakat pemiliki bahasa ibu.

Skema penyelamatan bahasa-bahasa dari kepunahan melalui survei pemetaan vitalitasbahasa di Indonesia ini merupakan tawaran yang dapat dikoreksi dan diperkuat denganmempertimbangkan berbagai hal yang terkait dengan soalan etno-sosio-linguistik, pendanaan,kepentingan kebangsaan, kemampuan lembaga pengayom bahasa (baca: Pusat BahasaKementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia), dan perguruan tinggi. Skema pemetaanyang dimaksud digambarkan pada Diagram 1.

Page 50: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

48

Diagram 1. Skema Penyelamatan Bahasa-bahasa yang Terancam Punah

DATA &FAKTAKEPUNAHANBAHASA

SURVEIPEMETAANVITALITAS

(DAYA HIDUP)BAHASA

INDIKATOR:q Posisi Relatif Kota-Desa

q Trasmisi BahasaAntargenerasi

q Angka Absolut Penutur

q Proporsi Penutur DalamTotal Populasi

q Ranah Penggunaan Bahasa

q Kekerapan & Tipe AlihKode

q Jumlah Penduduk &Kelompok Dinamis

q Sebaran Penutur dalamJejaring Masyarakat Tutur

q Pendangan ke dunia luardan ke dlm para Penutur

q Prestise Bahasa

q Akses dan Keterjangkuanke Pusat KegiatanEkonomi

STATUSVITALITAS:qKritis/Parah

qTerancam

qTergerus

qStabil tapiTerancam

qAman

PETAVITALITAS

(DAYA HIDUP)BAHASA

REVITALISASI(PENGUATAN)

REVIVALISASI(PEMBANGKITAN)

PENDEKATAN ETNO-SOSIO-EKO-POLITICO-LINGUSITIK

BAHASA YANGKRITIS DANTERANCAM

BAHASA YANGTERGERUS

DAN STABILTAPI

TERANCAM

Penyusunan Tata Bahasa Pedagogik dalamCetakan & Cakram Rekaman

Kamus

[Surat Kabar]

Kelas Bahasa bagi Remaja

Sekolah Bahasa untuk Anak BerbasisMasyarakat

Gerakan Penggunaan Bahasa Ibu di Rumah

Bertutur dalam Acara Adat

Pamflet dan Teks Melintasi Kampung

PENDAMPINGAN PENGUATAN:

Evaluasi Keterlaksanaan Program

Penguatan Silabus Pembelajaran Bahasa Ibubagi anak Berbasis Rumah dan Masyarakat

Penyusunan model-model baru yang lebihefektif

PELIBAT:LINGUIS, ETNOLOG, ANTROPOLOG, SOSIOLOG, PENDIDIK & PERENCANA BAHASA,

PERENCANA PEMBANGUNAN

PROFILVITALITAS

(DAYA HIDUP)BAHASA

MASA

PENEMUAN

MASA

PERAWATAN

Page 51: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

49

Kerangka pemikiran pemetaan vitalitas bahasa dengan pendekatan multidisiplin di Indonesiasebagaimana digambarkan pada Diagram 1 dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama-tama ada dua masa tindakan pemetaan vitalitas bahasa-bahasa di Indonesia.Tindakan pertama adalah survei penemuan data dan fakta mengenai “status kebugaran” bahasa-bahasa di Indonesia, dengan menggunakan sebelas indikator pengukuran etno-sosiolinguistikyang disarankan Landweer (2008), (1) jarak relatif kota-desa, (2) pewarisan bahasaantargenerasi, (3) angka absolut penutur, (4) proporsi penutur dalam total populasi, (5) ranahpenggunaan bahasa, (6) kekerapan dan tipe alihkode, (7) jumlah penduduk dan kelompokdinamis, (8) sebaran penutur dalam jejaring masyarakat tutur, (9) pandangan ke dunia luar danke dalam para penutur, (10) prestise bahasa, dan (11) akses dan keterjangkauan ke pusatkegiatan ekonomi.

Jarak relatif kota-desa menjadi satu indikator penting untuk mengukur seberapa kuatnya“daya tahan” bahasa. Desa-desa yang relatif jauh dari kota dan dengan akses yang sulitmembuat penutur bahasa ibu di desa tersebut jarang ke kota. Dengan demikian, interaksipenutur bahasa itu dengan masyarakat tutur di luarnya terutama di kota yang masyarakatnyamajemuk sangat jarang terjadi secara masif. Pergerakan ke luar desa yang jarang terjadi inimembuat penuturnya hanya menjadi masyarakat monolingual dan selalu menggunakanbahasanya dalam berbagai ranah tutur. Sebaliknya, desa-desa yang dekat dan dengan akses yangmudah ke kota membuat kekerapan pergerakan masyarakat ke kota lebih sering; dan olehkarena itu interaksi mereka dengan “dunia luar” lebih sering pula. Seiring dengan semakinkerapnya interaksi dan banyaknya jumlah penutur berbahasa ibu dengan warga lain di kota,semakin mendorong masyarakat tutur itu mengalami mobilitas sosiolinguistik dari monolingualke multilingual, dari penutur satu bahasa ke semakin menguasai dua bahasa atau lebih. Situasikebahasaan semacam ini turut mendorong masyarakat mengalami perubahan kebiasaan bertuturdalam perilaku alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) yang lambat-launmenentukan semakin sempitnya cakupan ranah penggunaan bahasa ibu di desa atau di kampungsendiri. Mobilitas ke luar oleh penutur bahasa dari desa ke kota yang memberi implikasi padaprofil sosio-etnolinguistik dalam jarak desa-kota merupakan indikator penting dalam mengukurhubungan antara mobilitas penutur dengan pemertahanan bahasanya dalam kerangkamenentukan status vitalitas (daya hidup) bahasa.

Transmisi bahasa antargenerasi digunakan sebagai indikator untuk mengukur seberapakuatnya suatu generasi tua dengan setia membiasakan diri membelajarkan anak-anak merekadalam menggunakan bahasa ibu dalam seluruh ranah tutur. Semakin sering dan semakin luasranah penggunaan bahasa dari orang tua kepada anak-anaknya sangat menentukan daya hidupbahasa ibu. Sebaliknya, semakin kurang suatu generasi tua atau orang tua membelajarkan danmembiasakan anak-anak mereka menggunakan bahasa ibu di rumah dan semakin sempitnyapenggunaan bahasa pada ranah publik, akan memperlemah pewarisan bahasa antargenerasi, danoleh karena itu mempercepat pengurangan jumlah penutur. Dengan semakin kurang kekerapanpenggunaan bahasa dalam berbagai ranah dan semakin berkurangnya jumlah penutur, makasemakin menurunkan vitalitas (atau status kebugaran) bahasa. Semakin menurunnya vitalitasbahasa akan semakin mendekatkan bahasa tersebut ke ambang kepunahan. Pengukuran ataspewarisan bahasa antargenerasi merupakan cara untuk menentukan seberapa kuat hubunganantara kebersediaan dan kesetiaan generasi tua membiasakan dan mewariskan bahasa ibukepada generasi berikutnya sebagai suatu cara pemanjangan usia bahasa.

Pengukuran atas indikator transmisi bahasa antargenerasi atau sebutan lainnya pewarisanbahasa kepada generasi berikut yang dilakukan oleh generasi tua juga akan memberikaninformasi mengenai pengukuran terhadap tiga indikator lain, yaitu angka absolut penutur, ranahpenggunaan bahasa, dan prestise bahasa. Dengan menemukan kebiasaan pewarisan bahasaantargenerasi, dapat diketahui angka sebenarnya dari jumlah penutur dan ranah-ranahpenggunaan bahasa. Gambaran mengenai angka absolut penutur dan ranah penggunaan bahasa

Page 52: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

50

akan memberikan informasi mengenai seberapa baiknya sikap bangga menggunakan bahasa ibudalam berbagai ranah tutur.

Sementara itu, jumlah penduduk dan kelompok dinamis, sebaran penutur dalam jejaringmasyarakat tutur, pandangan ke dunia luar dan ke dalam para penutur, serta akses danketerjangkauan ke pusat kegiatan ekonomi adalah indikator etno-sosiolinguistik yang digunakanuntuk menentukan hubungan antara mobilitas penutur dalam jejaring kemasyarakatan denganpenutur bahasa lain dan pengaruh kegiatan ekonomi terhadap sikap pemertahanan bahasa ibu.Kelompok dinamis dalam suatu masyarakat tutur seperti pelajar, pedagang, para pekerja diruang pubik, dan kalangan profesional yang sesungguhnya telah mengalami mobilitas sosial“keluar” dari teritori tradisionalnya merupakan kelompok yang menentukan kekerapan dancakupan ranah penggunaan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari. Semakin sering kelompokini mengalami atau melakukan mobilitas keluar, apalagi melakukan mobilitas vertikal, makasemakin sering mereka meninggalkan penggunaan bahasa ibunya dan semakin seringmenggunakan satu bahasa lain yang diperoleh dan dipakainya dalam kepentingan komunikasidengan masyarakat tutur lain dalam suatu jejaring kemajemukan. Lambat-laun, pola mobilitassemacam ini akan menentukan cara pandang mereka mengenai dirinya dalam kerangka suatumasyarakat majemuk.

Ada dua kemungkinan pendefinisian diri terjadi. Pertama, kelompok ini eksismempertahankan diri dengan tetap setia menjaga penggunaan bahasa ibunya ketika kembali kewilayah teritori tradisionalnya, ke wilayah pakai bahasa ibunya, oleh karena adanya penguatankembali jatidirnya. Kedua, kelompok ini dapat mengalami metamorfosis sosial denganmeninggalkan penggunaan bahasa ibunya dan semakin membiasakan dirinya menggunakan satubahasa lain yang diperoleh dan digunakan dalam komunikasi dengan dunia luar sebagaikonsekuensi dari mobilitas keluar yang dijalaninya. Bila semakin berkurang jumlah kelompokpenguat jatidiri dan semakin bertambah jumlah kelompok yang bermetamorfosis secara sosial,maka akan semakin berkurang pula jumlah penutur bahasa ibu; dan itu artinya pergerakan kearah kepunahan bahasa ibu semakin cepat. Apalagi metamorfosis sosial yang membawaperubahan pada sikap berbahasa dan cakupan ranah penggunaan bahasa ini dijalani atau dialamioleh sekelompok generasi yang produktif secara ekonomi semakin banyak jumlahnya, makakecepatan kepunahan bahasa ibu pun bisa lebih cepat lagi.

Metode yang dipakai dalam masa penemuan ini adalah survei eksploratoris dengan teknikpemetaan (mapping). Tujuannya adalah menetapkan status vitalitas setiap bahasa di Indonesiadengan membuat kategorisasi atau tipologi kebugaran bahasa terkait dengan daya hidupnya.Paling sedikit akan dapat ditentukan lima tipe bahasa, yaitu barahasa-bahasa yang dalamkeadaan kritis (nearly extinct), terancam, tergerus, stabil tetapi terancam, dan aman (safe).

Temuan mengenai mengenai status kebugaran atau dengan kata lain status keterancamankepunahannya akan memberikan rekomendasi mengenai strategi perawatan bahasa macam apayang harus diambil untuk menyelamatkan bahasa dari ancaman kepunahan. Bagi bahasa-bahasayang berstatus kritis/parah dan terancam punah perlu diambil strategi perawatan melaluirevivalisasi, sedangkan bagi bahasa-bahasa yang berkategori tergerus dan stabil tetapi terancamdiperlukan strategi revitalisasi. Untuk menghidupkan kembali dan menguatkan kembali bahasa-bahasa yang terancam punah, tergerus, dan stabil tetapi terancam, diperlukan tindakan-tindakanpenyelamatan seperti: (1) penyusunan tata bahasa pedagogik dalam cetakan dan cakramrekaman, (2) kamus, (3) surat kabar, (4) kelas bahasa bagi anak dan remaja di kampung sendiri,(5) sekolah bahasa untuk anak berbasis masyarakat, (6) gerakan penggunaan bahasa ibu dirumah, dan (7) bertutur bahasa ibu dalam acara adat. Tentu saja teknik-teknik perawatan inimemerlukan tahap-tahap pelaksanaannya, mulai dari survei mengenai kelayakan program,penyusunan silabus, uji coba, dan pelaksanaan yang sesungguhnya.

Setelah pelaksanaan revivalisasi dan revitalisasi ini dilakukan untuk satu atau dua bahasasebagai proyek percontohan, diperlukan suatu tindak lanjut pendampingan dengan melakukan

Page 53: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

51

evaluasi keterlaksanaan program, penguatan silabus pemelajaran bahasa berbasis rumah danmasyarakat, serta kemungkinan penyusunan model-model baru penguatan bahasa.

Dalam jangka waktu tertentu, hasil pendampingan revivalisasi dan revitalisasi bahasa dariancaman kepunahan ini diharapkan akan mengubah status kebugaran bahasa, misalnya, daristatus bahasa yang tengah mengalami ketergerusan menjadi stabil tetapi terancam, danseterusnya menjadi bahasa yang aman (safe language). Tentu saja pemetaan vitalitas bahasa-bahasa di Indonesia ini dapat dilaksanakan bila ada dukungan pendanaan yang memadai daripemerintah. Dukungan pendaaan itu tidak saja berkaitan dengan komitmen pemerintah dalammerawat keanekaragaman Indonesia tetapi bergantung pada lembaga pemangku kepentinganseperti Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (BPPB) yang diberi tugas oleh negarauntuk membina dan mengembangkan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa di Indonesia. Pula,survei pemetaan vitalitas bahasa ini akan lebih bermutu hasilnya bila BPPB bermitra denganlembaga-lembaga penelitian yang ada di pergruan tinggi dan lembaga penelitian lain sepertiLIPI untuk penguatan metodologi survei.

Karena survei pemetaan bahasa untuk menentukan status kebugaran bahasa danpenguatan bahasa ini bersifat interdisiplin, para pelibat dalam proyek ini tidak saja berasal daripara linguis, tetapi juga perencana bahasa, ahli budaya, ahli ilmu sosial, dan ahli perencanapembangunan. Survei dengan pendekatan interdisiplin menjadi pilihan yang masuk akal karenakepunahan bahasa tidak hanya disebabkan oleh soal-soal bahasa, tetapi juga terkait denganmasalah-masalah perubahan sosial dan pertumbuhan kegiatan ekonomi dalam masyarakatpemakai bahasa.

Sejauh ini, penelitian pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia diakui baru sampai padatingkat pencatatan jumlah, sebaran, dan dialek-dialeknya. Penelitian mengenai status vitalitasatau daya hidup bahasa sejauh ini belum dilakukan, terutama oleh perguruan tinggi dan badanyang ditugasi oleh negara dalam menangani pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa diIndonesia. Oleh karena itu, pemetaan vitalitas bahasa ini merupakan cara utama sebagai pintumasuk untuk mengetahui status kebugaran bahasa-bahasa suku di Indonesia. Dari titik inilahperancangangan program preservasi bahasa-bahasa dapat dilakukan secara tepat untukmenyelamatkan bahasa dari ancaman kepunahan.

SIMPULAN

Jumlah dan kecepatan gerak menuju kepunahan bahasa-bahasa di dunia dan juga di Indonesiatidak saja merupakan bencana linguistik, tetapi juga informasi tentang sosio-ekonomi yangterkait erat dengan keterpencilan, ketakberdayaan, dan perjuangan kaum minoritas melawankemiskinan, serta upaya mereka melawan ketertinggalan dari kemajuan dan dominasi bahasa-bahasa berpenutur banyak dan dinamis. Dalam konteks Indonesia, pembiaran atas kepunahanbahasa-bahasa berpenutur sedikit adalah pengingkaran atas kemajemukan yang merupakan sokoguru ke-Indonesia-an. Lembaga pengayom bahasa yang ditugasi pemeritah (baca: BadanPembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional) seyogianya segeramerancang program-program preservasi, sebelum bahasa-bahasa itu benar-benar punah.

Program preservasi mula-mula harus dimulai dari perancangan metodologi dan kerangkapemikiran pemetaan vitalitas bahasa, penelitian pemetaan vitalitas bahasa secara interdisiplin,diseminasi hasil pemetaan, dan perancangan program preservasi secara nasional denganmenetapkan fokus dan prioritas preservasi berdasarkan status keterancaman bahasa-bahasa yangakan diselamatkan dari ancaman kepunahan. Fokus dan prioritas ini juga merupakan pilot-pojectyang menjadi dasar bagi evaluasi untuk program preservasi bagi bahasa-bahasa lain dalamprogram (preservasi) berikutnya.

Page 54: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Gufran Ali Ibrahim

52

CATATAN* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan

makalah.

RUJUKAN

Grimes, B.F. (ed.) 1988. Ethnologue: Languages of the World. Dallas, Texas: Summer Instituteof Linguistics, Inc.

Ibrahim, G.A. 2006. “Beberapa Bahasa di Maluku Utara akan Punah.” Makalah yangdisampaikan dalam Konferensi Internasional tentang Bahasa-bahasa yang Punah, di PusatBahasa Depdiknas, Jakarta 22 Desember 2006.

Krauss, M. 1992. “The World’s Languages in Crisis.” Dalam: Language 68.1.

Landweer, M.L. 2008. “Indicators of Ethnolinguistic Vitality.” SIL International: http://www.sil.org/sociolx/ndg-lg-indicators-html

Lewis, P.M. 2005. “Towards A Categorization of Endangerment of the World’s Languages.”SIL Internasional: http:// www.sil.org/sociolx/ndg-lg-indicators-html

Page 55: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Februari 2011, 53 - 68 Tahun ke-29, No. 1Copyright©2011, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

A CROSS-LINGUISTIC DIMENSION OFTHE PRAGMATIC PARTICLE YA

Faizah Sari*[email protected]

Unika Atma Jaya

Abstract

Metodologi-metodologi terbaru yang melengkapi analisis wacana tradisional yangsering digunakan dalam penelitian partikel pragmatik telah banyak mendorong studipartikel pragmatik lintas-linguistik (Wouk, 1999, 2001; Östman, 2006; Sari, 2008).Makalah ini menyajikan analisis fungsional partikel yang dibangun dari keluaranterdahulu pada karakteristik partikel bahasa Indonesia ya oleh Wouk (2001) dan partikelbahasa Inggris pembandingnya yeah oleh Jucker & Smith (1998). Hasil pembandingandata percakapan lisan alamiah menunjukkan perbedaan fungsi pasangan partikel yangdikaji, yaitu sebagai partikel penerima dan partikel untuk memperluas kesamaan. Fungsikedua partikel tersebut dipaparkan dalam dimensi lintas-linguistik. Strategi kesantunansolidaritas juga didiskusikan.

Kata kunci: partikel pragmatik, Bahasa Indonesia, partikel sebanding.

Improved methodologies to supplement traditional discourse analysis often associatedwith the research of pragmatic particles have recently stimulated cross-linguistic studiesin pragmatic particles (Wouk, 1999, 2001; Östman, 2006; Sari, 2008). This paper reportsa functional particle analysis building on previous findings on the functionalcharacteristics of Indonesian ‘ya’ by Wouk (2001) and the comparable American English‘yeah’ by Jucker and Smith (1998). Results indicated that the comparison of naturally-occurring conversation data yield a distinction in the particle pair functions as receptionparticle and common ground extending particle. A cross-linguistic dimension of theparticle pair is offered. Strategies in solidarity politeness are discussed.

Key words: pragmatic particle, Indonesian, comparable particle.

INTRODUCTION

The Indonesian particle ya is one of the most commonly used particle in spoken interaction,whose functions are often overlooked in research of sentence structure of spoken Indonesian.The few studies investigating Indonesian ya established a preliminary groundwork on studies inIndonesian particles over the past three decades that describe particle meaning and directequivalents in English (Ikranagara, 1975), functional descriptions and conversational solidarity(Wouk, 1999, 2001), and prosodic aspects that include intonation contours and vowellengthening (Sari, 2008, 2010). Unfortunately, the pace for examining Indonesian particles hasnot been as rapid as the wider research in particles in general that continues to seek a commonmodel of theoretical framework to analyze particles cross-linguistically through discourseanalysis and pragmatics. The rigorous studies on pragmatic particles have resulted in a range ofperspectives in discourse, for example, coherence to the larger discourse in interaction,pragmatic implications, speaker involvement, and syntactic-semantic constructions (Östman &Fried, 2005, p. 1760). Consensus on the various terminologies that describe the functions ofparticles, such as discourse particles, pragmatic markers, or discourse markers to name a few,has also been reached to allow an operational boundary to help clarify descriptive inquiries intothe subject matter within the perspectives of pragmatics (Östman, 2006). For that reason, theterminology relevant to the subject discussed is pragmatic particle.

Page 56: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Faizah Sari

54

As new findings in the pragmatic particle research emerge, focus has been directed towardsystematic investigations on corresponding particles to analyze data cross-linguistically to yieldcomprehensive descriptions of particle use. Nevertheless, such a notion is bound to be contesteduntil a thorough investigation on a cross-linguistic dimension of a specific particle pair offersnew understanding about the pair and to justify that some pragmatic particles are cross-culturally comparable. Such a claim can be said to be true for most Indonesian particles asstudies about Indonesian particles have yet to clarify the wide variety of particles in Indonesianand Indonesian languages and the different roles of the particles in spoken interaction.

Very little is known about what a particle represents in a spoken interaction and thedimension that elucidates the cross-linguistic equivalence of a particle pair, much less to whatextent ya shares a functional spectrum with yeah. Earlier effort in explaining the functionalrange of Indonesian particles notes Wouk’s (1998) offer that English you know provides theprincipal equivalence for Indonesian kan by way of interconnecting the functional spectrum ofboth particles.

INDONESIAN YA AND AMERICAN ENGLISH YEAH

Indonesian yaRecent research development on Indonesian ya reveals that speakers deploy strategies using avariety of intonation contours in ya during a spoken Indonesian to communicate personalinvolvement, state emphasis, and set solidarity politeness among partners of communication(Sari, 2008). “Solidarity” often comes up in the Indonesian linguistics literature to describe thetypical exchange between the speaker and hearer during an interactive process, but there is nounambiguous delineation about the terminology. Such a solidarity refers to positive politenessthat originated from a study by Brown & Gilman (1960) describing politeness as a way toestablish a good rapport between partners in conversation. Brown & Gilman argue that speakersare constrained by cultural perceptions of relative power and social distance, but inevitablyexercise a degree of sensitivity toward each other. To achieve a good relationship with theinterlocutor, the speaker will have to make decisions on specific word choices or phrases thatfoster cooperativeness, as opposed to threaten or intimidate the interlocutor. Thus, the partnersin conversation “operate together” during a spoken interaction. In spoken Indonesian thespeaker chooses a particle to accomplish cooperation while being ‘polite’, ‘subtle’, and‘informal’. Partners in conversation make politeness choices because of, and as a result of,social power relationships and social distance between the speaker and the interlocutor (Geis,1995, p. 153). The use of pragmatic particles reflects a ‘device’ for the speaker to cooperatewith the interlocutor, which is in fact a typical feature of casual conversation in Indonesian.Indonesians like to appear friendly with one another, or be agreeable, and like to show that theyare interested in getting involved in a conversation. For Indonesian interlocutors, the more oneis ‘present’ in the conversation the more one is expected to update one’s knowledge and opinionabout the topic of conversation simultaneously to help making the decision for when the speakeruses a particle to check for an agreement (Sari, 2008).

Collective agreement seems very much preferred by Indonesians to a great extent. Duringan interactive process where partners in conversation preserve their good relation and respectfor each other, they often take into account extending common ground to anchor conversation tocontext. Clark (1996) delineated common ground as “knowledge, beliefs, and suppositions theparticipants believe they share” (p. 12), while Fetzer & Fischer (2007) stated that commonground contains “sociocultural knowledge, such as norms, conventions and facts, shared by aspeech community that serve as background presuppositions for retrieving speaker-intendedmeaning and other types of implicit meanings” (p. 2). In other words, the speaker may obtaininformation not explicitly available in the conversation by checking the hearer’s understandingor knowledge of a topic.

Page 57: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

55

The preliminary intonational analysis reveals that Indonesian ya is mostly neutral or levelintonation when used in spoken interaction (Sari, 2008). The intonational analysis complementsthe typical functions of ya previously offered by Wouk (2001), namely, as an affirmative,continuer, initiatory particle, echo, interrogative tag, repair, and solidarity-building device tocreate fictive common ground (p. 188). What distinguishes the ya’s with neutral intonationcontours from those with otherwise are the syntactic location associated with the particularfunction of the particle. In addition, Wouk (2001) discussed the various syntactic locations ofya: sentence-initial, occurring primarily to affirmatives, and sentence-final, as continuer. Levelintonation occurs to the functions. Rising or falling intonation occur to ya as echo in theinteraction depending on the type statement the particle repeats. For example, a rising intonationrepeats an interrogative statement. In her intonational analysis of the particle, Sari (2008) statesthat the neutral intonation of ya as an initiatory particle indicates that the speaker ‘invites’ thelistener to agree as well as extend common ground; whereas, ya as an echo repeats the subjectmatter that the speaker wishes to highlight. The variety of intonation contours of ya explainspersonal involvement which clarifies what is understood as solidarity politeness among partnersin communication and argues that by extending common ground the speaker creates aninteractional support where the hearer picks up as clues that inform the hearer’s decision torespond. Although the particle contours are mostly neutral, they still provide emphasis to theutterance. For example, the neutral intonation of ya as an initiatory particle indicates that thespeaker ‘invites’ the listener to agree as well as extend common ground. Ya as an echo has allthe possible contours. This is because the use of ya creates presumption to which theinterlocutor can agree; therefore, it creates a sense of personal involvement.

The comparable American English yeahA functional description of English yeah is elaborate, referring to the particle as receptionparticle that plays a role in acknowledgement, casual and direct response of polar questions,confirmation of an assumption, and a form of redundancy or echo (Jucker & Smith, 1998, p.198). ‘Acknowledgement’ has to do with the speaker granting a piece of information new to thediscourse but consistent with the currently active information or of information discussedpreviously within the course of conversation (p. 179). As a casual version of ‘yes’, yeahprovides a positive answer to a yes-no question. When yeah is used by the speaker to confirm apiece of information, the particle use differs from the previous function. Under the particularcircumstances the speaker confirms after learning her/his partner’s ‘unsure’ signal, such as“really?”. Additionally, yeah is used abundantly and sporadically in a spoken interaction. Yeahappears mostly in the sentence-initial position in all the functions, except for when yeah is usedas echo where the particle may be in sentence-initial or –medial. According to Jucker and Smith(1998), yeah is used not only to present direct answer to a question, but also for conversationalpartners to negotiate their common ground by keeping track of each other’s state of knowledge(p. 179). However, Jucker & Smith never mentioned about ‘solidarity’ in pragmatic particle use,which was curious because particles are used abundantly in spoken interaction and bothparticles are used equally. Their findings were based on data analysis of conversations involving15 participants in Long Beach, California who used a total of 848 yeahs in three and one-halfhours recording (Jucker and Smith, 1998, p. 176), and illuminated the diverse functions of thepragmatic particle as reception marker.

While pragmatic particles are unique elements of a language, there is no guarantee thatevery particle has a direct comparable in another language. Östman (2006) argued that theemphatic function of a particle, often characterized by a specific intonation contour, could bethose primarily constrained by the expression of attitudes or emotion. The fact explains why“some particles in foreign languages may not have English equivalents, but in form ofdescription of expression” (p. 242). As such, given that colloquial Indonesian deals with anumber of pragmatic particles originated from diverse regional and ethnic languages, we mustbe careful not to rush to the conclusion that comparability signifies a single case-matched

Page 58: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Faizah Sari

56

comparabale particle. So long as pragmatic particles are under investigation, their functions andsociocultural origins remain the central focus of discussion. In other words, there may be acomparable particle for an Indonesian particle, but one comparable particle may not be the onlyequivalent for a particle.

That said, Wouk (2001) briefly indicated that Indonesian ya might be comparable to yeah(p. 172), but an elaborate description of comparison process to represent the comparable particlewith sufficient spoken data was not available in the literature. There was no spoken English datato compare the possibility of particle equivalence that would have justified such a claim. Inother words, Wouk has raised this possible comparability in her analysis of ya, but did notproduce a cross-linguistic dimension as she did with another particle pair kan-you know (Wouk,1998). At this point it is important to sample real spoken interaction to establish groundworkproviding comprehensive details about any comparison. Additionally, Indonesian particles areused in many Indonesian languages in spoken interaction, for instance besides kan in colloquialJakarta Indonesian, there is mah in Sundanese, tah in Surabaya Javanese, and na in KalimantanMalay, with each particle referring to different functions, meanings, and syntactic locations.Thus, data based on naturally-occurring conversations to uncover functional descriptions of theparticles are integral to the process of interpreting the functions and further outlining the areaswhere particles share comparability.

With all the background that concerns with the development of studies on pragmaticparticles, I offer in this paper an overview of the particle pair ya-yeah to clarify each particlefunctions cross-linguistically and arrive at a better understanding of the role of each particle inspoken interaction. The description presented is based primarily on comparing the functionalframework developed by Wouk (2001) for Indonesian ya and Jucker & Smith (1998) forEnglish yeah. In this shared model, the functional spectrum of the particle pair is composed ofeach particle as reception particle, which is associated with the syntactical position of theparticle in an utterance, and as common-ground extending particle, which is associated withinvolvement of speakers.

RESEARCH METHODOLOGY

The spoken data used in this study was a corpus of 24,800 Indonesian words and 6700 Englishwords generated from recordings of naturally-occurring, casual conversations in the respectivelanguages. The study involved a total of 50 adult participants, consisting of 29 nativeIndonesians and 21 American English speakers. The conversations were recorded in 2006-2007.The Indonesian data were obtained in Jakarta, Indonesia, the English in Tuscaloosa, Alabama,U.S.A. The conversations were recorded in a variety of locations, including universitycampuses, public eating places, an office, a graduate lounge, and homes of the participants.

ProcedureThe present study focused on the occurrences of the particle pair ya-yeah in the respectivespoken languages. The data were treated based on the politeness framework dealing with thesense of camaraderie, deference, and distance strategies used by the speaker via the particlesdeveloped by Lakoff & Ide (2005; cf. Lakoff 1973), Brown & Levinson (1987), and particularlyÖstman (1981), who noted that the speaker uses particles to switch from “deference tocamaraderie” to indicate that s/he wants to be taken as an equal partner in conversation (p. 20).“Distance” is associated with maintaining power relations between the interlocutors; whereas,“deference” is used by the speaker to yield to the power of the hearer while maintaining distanceand formality between the interlocutors. Distance is equivalent to negative politeness, whiledeference with negative politeness and indirectness. “Camaraderie” refers to low powerdifference and smaller distance, e.g., interaction among friends or close family members. Unlikedeference, camaraderie deals with positive politeness. The solidarity types are useful indetermining whether the particle pair was a reception or common ground extending particle. In

Page 59: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

57

order to identifying the number of times and the type of solidarity either particle was used, Itranscribed and translated the recordings of conversation. I clarified with the Indonesianparticipants the occasions in which ya as any of the three politeness strategies occurred in theconversation, by addressing the particle use in the transcription and in the recording. I repeatedthe method with the American English speakers to illuminate the strategies of speaker whenthey used yeah in the spoken interaction. I asked three Indonesian native-speakers to read theIndonesian data transcription for accuracy of both the original statements and the translation.For the same reason, two English native speakers and graduate students reviewed the Englishtranscription.

RESULTS

The particle pair ya-yeah indicates some evidence of comparibility because both particles sharethe notion of solidarity politeness in interaction as reception particles and common groundextending particles. In the Indonesian data there were 528 instances of ya, and 59 instances ofyeah in the American English data. The numbers that characterize the particle occurrence foreach language were neither identical nor close because each spoken interaction corresponded tothe individual conversations taking place. It is also important to note that Indonesian speakersspoke more than those of American English. Although the numbers of particle occurrence aredifferent, the functional spectrums of the two particles are interpretable. To be exact, AmericanEnglish yeah shows the type of solidarity similar to what was proposed by Wouk (2001) in herdiscussion of Indonesian ya. Therefore, such a solidarity politeness is not exclusive of theIndonesian particle. For example, both ya and yeah were used by interactants as responsive andaffirmative particles. Both particles were apparent in both languages as an echo. Like AmericanEnglish yeah, Indonesian ya provides evidence of checking common ground between thespeaker and interlocutor and extending request for confirmation through the particle use.However, it does not mean that the interaction in both languages should be functionallyidentical. It is probable that the American English spoken interaction exercises a different kindof solidarity compared to that of Indonesian. In Indonesian interaction ya requires response fromhearer, which triggers either echo or affirmatives by the interlocutor. Such a contact maycontribute to the abundant use of the particle in spoken interaction.

The particle pair ya-yeah as reception particlesAs reception particles, both ya and yeah provide orientation to the coherence of theconversational structure. ‘Coherence’ is concerned with, among others, how a certain particle isused in a discourse that creates some kind of rationality or understanding, like cues or signals,for the listener (Östman & Fried, 2005, p. 1760). Particles that have turn-taking and topicintroduction mechanisms are examples of those that provide direction in interaction.Accordingly, turn-taking particles generally provide orientation to the logic of theconversational structure, while particles that introduce topic require response from the listener.The type of speech associated with ya, based on spoken data, is in the form of declarativestatements, affirmatives, and requests. Ya occur diversely in all three syntactic slots: initial,medial, and final. The corresponding characteristics that link between the type of speech andsyntactic slots that make up the particle functionality are in agreement with the particlefunctions previously described by Wouk (2001). Ya as a continuer, for example, can also showthe interlocutor’s state of understanding (please see Wouk, 2001 for syntactic descriptions ofya). Noticeably, Jucker and Smith's analysis of yeah is useful to help provide a betterperspective for a contrast between Indonesian ya and English yeah and explain a possible cross-linguistic dimension of the particle shared with the Indonesian ya. As a reception particle ya issentence-initial, as in the example (1).

Page 60: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Faizah Sari

58

(1) Indonesian yaS: |Riau kan banjir| Riau is flooding.M: |O ya, ya kena kampungku| O yeah, yeah, my village is affectedSr: |masa bu?|

really, ma’am?M: |ya|

yeah.

Simple confirmation-seeking statements, which are formed by the rising intonation, often resultin a direct yes-no response. In (1), two college students (S and Sr) and their lecturer (M) werediscussing a flooding incident in the Riau province. M confirmed S’ statement and respondedpositively afterward to Sr’s inquiry. The type of speech produced by M in responding to S’sstatement and Sr’s request is a positive statement. M’s first use of ya triggered Sr’s reaction.The turn taking flow of spoken interaction under this particular topic of flooding becamecontinuous and consistent with the topic. The comparable American English yeah shares thereception particle function as described in (2).

(2) American English yeahV: |you like Corey?|J: |Yeah. We’re Corey lovers|

In a typical yes-no question, a response may evoke informally. Like the Indonesian interactionin (1), American English yeah provides a key equivalence to an affirmative or an agreementparticle. In (2) yeah is used as an affirmative response to such a question that gives the speakerthe information needed. In this particular example, two undergraduate female students of theUniversity of Alabama (V and J) were at the campus food court conversing about V’s boyfriend,Corey, who, according to her interlocutor, was a nice person. J provided V’s yes/no questionwith an affirmative response. The following example (3) shows the instances of yeah asacknowledgement, and in terms of interaction, yeah functions as back-channeling support. Theconversation in (3) took place between a graduate student (M) and an administrative secretary(L) in the Department of Modern Languages and Classics, in a university in the South.

(3) American English yeahM: |because what I’m doing right now .. my.. my thesis is gonna be a subject that has

no| |classes here. Not even one class related to my topic|L: |yeah|

Jucker & Smith (1998) took into account that yeah shows the effort made by the interactant toexpress a general acknowledgement of the preceding interaction. I conversed with L after therecording and asked her what exactly she meant when she said yeah to in the particular topic. Lconfirmed that she agreed with M’s statements and that she “got that” (personalcommunication). Having been working in the academia and surrounded by universityprofessors, graduate students, and/or teaching assistants who exchanged work-relatedconversations every day, L said she understood the amount of work a graduate student like Mhad to manage. American English speakers used yeah mostly on acknowledgement basis asreception particle as no more indication in the data shows otherwise.

Particle use as a general acknowledgement is shared by the Indonesian ya. The previousexample (1) [M:|O ya, ya kena kampungku|] provides an illustration of speakeracknowledgement on the topic. A more important point to elaborate here is that both examples(1) and (3) where the speaker uses ya and yeah respectively represent that the speaker’sknowledge of the existing topic of conversation that results in the speaker’s startegy to use thereception/acknowledgement particle as personal marker. Personal marker has to do with an

Page 61: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

59

acknowledgement that is understood as more pertinent to the speaker’s individual outlook onthe topic being discussed that reflects the depth of understanding of the issue, i.e., M’s ownunderstanding of her own homevillage flooding occasions and L’s awareness of the life of agraduate student. Speaker-oriented acknowledgement as reflected in (1) and (3) is moresignificant to the speaker for it supports the notion of ‘shared knowledge’ purported in thespoken interaction and solidifies the role of the speaker as a competent interactant.

The following example (4) illustrates the occurrence of yeah as confirmation to adeclarative statement. The conversation example involved the same undergraduate students (Vand F), who had apparently changed the topic to a recent movie that the speakers had watched.

(4) American English yeahF: |oh, you guys watch Ghostworld?|V: |It wasn’t bad. It was …|F: |see I didn’t like it|V: |it wasn’t great. I like the book better, but it wasn’t that bad. It’s just well what was| |his name.. Daniel Flowers or something. He’s … a graphic book like a comic book| We watched the film about it but they changed it. They make like big characters| |and stuff|F: |Yeah. I didn’t like the way they changed it. It was .. I didn’t think it was good..|

Like ya, yeah provides orientation to the coherence of the conversational structure. As example(4) shows, the type of speech used by V, the speaker, and associated with yeah is a declarativestatement. Similarly in examples (1) and (3) where the declarative statements serve as triggerfor confirmation, example (4) indicates the speaker’s strategy to accomplish a similar purpose,i.e., to reach out for a confirmation from the interlocutor. In (4), F confirmed V’s view about themovie. The consensus was that both of them were not completely satisfied with the movie asopposed to the book on which the movie was based. F agreed with V’s explanation on how shewas not impressed by the movie.

The different feedback that each speaker makes in (1) and (4) that is not available in (3) ispersonal elaboration in the utterance, possibly due to the perceived social status of theinteractants related to the topic of conversation. It is an unspoken understanding in anIndonesian interaction that it is important to exercise some kind of ‘social awareness’ withwhom a person is conversing. To illustrate, in example (1), M elaborated her acknowledgementwith sharing new information with her interlocutors (M:|O ya, ya kena kampungku|= yeah, myvillage is affected). M’s status as a partner of conversation reflected her own social-professionalstatus (the lecturer), which was perceived ‘higher’ than her interlocutors (the students). M didnot feel inhibited to elaborate her response. Similarly, in example (4), F clarified that she notonly acknowledged the fact that she had already seen the movie ‘Ghostworld’, which sheprovided in her response implicitly, but also shared additional information with her interlocutorshighlighting her contradictive thought about the movie (F:|Yeah. I didn’t like the way theychanged it. It was - I didn’t think it was good|). F’s social status as a fellow student to herinteractants provided her with the prompt, unreserved reaction that helped elaborate herresponse. Example (3) shows that the speaker (L) chose to provide yeah without furtherexplanation to highlight her distance from the topic being discussed. L’s perceived social-professional status as an office assistant operates as the basis for establishing the distance toseparate herself and avoid further elaboration following an acknowledgement on the topic. Sucha strategy in interaction confirms one’s awareness of the concept of ‘Other’ among theinterlocutors in a student-related conversation.

The particle pair ya-yeah as common ground-extending particlesAccording to Wouk (2001), in the Indonesian culture a positive relationship between thespeaker and hearer is considered important and is sometimes even more valuable than theconversation. The fact that mostly sentence-final ya is used abundantly in Indonesian

Page 62: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Faizah Sari

60

conversation reflects a joint effort by the speaker and hearer to establish a ‘positive’communication. Wouk stated, “The high frequency of [pragmatic particles ya] usage inIndonesian conversation can be seen as a reflection of Indonesian cultural values, which place apremium on maintaining the appearance of cooperative behavior” (2001, p. 171). Thus,common ground seeking particles, as they are termed in this paper, have to do with a strategy toinvolve the interlocutor in ‘agreeing’ to the speaker’s statement or opinion. However, theinterlocutor may not agree directly or necessarily as a result of it. The point that the particlesmake is that a strategy is created to allow the interlocutor to ‘see’ from the speaker’s perspectiveand identify with the speaker. For example, in (5) ya is used in many instances to extendcommon ground and get the interlocutor to identify with the speaker’s experience.

(5) Indonesian yaM: Ya, menjelang SD, biasanya udah kurang gitu. Ya, wajar, wajar juga gitu |

yeah, before entering SD (elementary school) they are usually (behaving) like so.(it’s) normal (it’s) just normal|ya, tapi perlu ada ada ketegasan dikit, tapi nggak usah terlalu panik|yeah, but you need to be a little firm, but no need to get too excited about.

Indonesian speakers may exercise control for the avoidance of overt expressions thatwould reveal the actual state of speaker knowledge, at least in the initial response. To illustrate,the speaker (M) referred to his child as might be having a difficult time adjusting to school andused ya repetitively to extend the understanding that it was normal that children behaveddifferently in a certain phase in elementary school. M’s use of ya indicated her opinion markingthe beginning of her statement. The first ya introduces her opinion about the timeframe oftransition usually taking place, i.e., from pre-school to elementary school. The speaker (M) usedher autonomy to interpret the topic being discussed into a reflection of her own past experience.M chose to play the role as both the ‘reliable’ source for opinion and for comfort to herinterlocutors in the particular interaction. The second ya introduces the speaker’s belief thatchildren might behave differently as a result of making some adjustments to a new school. M’selaboration following the particle extends the notion that she was sympathetic to the situationand confident that her interlocutor was able to resolve it. In other words, the frequency of yaused in the single statement signifies a shift to a personal ground that provides the topic ofconcerned with the humanizing element which will in turn be comforting to the interlocutor.Such a personal take on an open topic of discussion normally eases the overall experience of theconversation and encourage the interlocutor to ‘accept’ the ground extended by the speaker. Thetypical colloquial Indonesian often appears with incomplete reference or structure, which givesthe interlocutor the autonomy to interpret a focus. As a result, the interlocutor may stress less onword articulateness but more on implicit meanings. When we look back at M’s statement [Ya,menjelang SD, biasanya udah kurang gitu. Ya, wajar, wajar juga gitu|], she did not clarify herpast experience on the subject matter fully. Instead, she controlled the amount of information inthat little bits and pieces of information could be understood together as personal reflection. Tobe precise, the silenced first person pronoun demonstrates avoidance of overt expressions thatwould later reveal more about the speaker’s state of knowledge. It is therefore presumed ‘safer’to leave out the pronoun and treat the new information brought forward in the conversation as‘public knowledge’. As control for information is placed on the speaker, the interlocutor has noroom for contesting the new information without explicitly highlighting an inquiry to confirmthe information. If the interlocutor chooses to move forward with questioning the speaker, shewill put the speaker in a situation that results in the speaker possibly losing face. Distancing istherefore more desirable than creating an impression of mistrust in interaction.

Another example of common ground extending function is given in (6). In (6), M and Srwere discussing a fellow employee who recently reacted uncharacteristically. The commonground that shaped the idea that Mrs Gusti was a patient woman was shared between M and herinterlocutor.

Page 63: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

61

(6) Indonesian yaM: |Padahal, kayaknya sabar ya bu Gusti ya.|

On the contrary, she seems patient yeah Mrs. Gusti yeah.Sr: |Tapi marah juga.|

But (she could) also get upset.

M’s use of ya at the end of her sentence indicates her intention to solicit common agreementwith Sr about Mrs Gusti’s unusual temper. The speaker M’s statement [|Padahal, kayaknyasabar ya bu Gusti ya.|] implies M’s surprise of the contradictive character of the subjectdiscussed. The frequency of ya showed the heightened sense of disbelief, while avoidance to usethe expression that described the contradictive element provided an implicit purpose ofmaintaining the honor of the person whose character was under discussion. The interlocutorSr’s reaction seems to indicate the agreement between both speakers although Sr chose toprovide a more direct assessment on the topic discussed. Sr’s response [|Tapi marah juga.|]highlights the implicit message in M’s statement. Therefore, in this particular case, Sr may beconsidered to have helped M clarify her initial statement.

Common ground extending particles is effective in Indonesian spoken interaction tocheck background information from the interlocutor in order to feed more information to thespeaker. Thus, in the example in (7), a sentence-final ya provides the interlocutor with the turnto response and in turn offers the speaker new information about the topic being discussed.

(7) Indonesian yaSr: |Disini nggak ada air, disana banjir ya|

Here (in Bekasi) we are short of water, there (in Riau) they get flood yeah.M: |Disana soalnya deket sungai Sr|

It’s because there (they live) near a river, Sr.Sr: |O…gitu|

Oh I see.

Sr made the reference to another province to compare the flooding in the province with anopposite situation in Jakarta, using ya to intensify her extending of common ground to herinterlocutor. Her interlocutor (M) responded with added information, which gave Sr a newunderstanding for the topic discussed. Sr’s strategy to check M’s information once againshowed shared knowledge is a key element in enhancing common ground in spoken Indonesian,which determines understanding of the flow of information that accentuates the topic for bothintertactants. The relationship that Sr and M shared through the interaction indicates animmediate sense of camaraderie for lack of avoidance of overt expressions that would reveal theactual state of speaker knowledge. Sr and M’s seamless exchange reflects a trustworthyinteraction that overlooks social status or any interpersonal concerns that are otherwiseillustrated in the previous example (5).

Even though solidarity politeness plays a role in spoken American English, it is notalways clear that the comparable particle yeah is a common ground extending particle in spokenAmerican English. Perhaps the function is more suitable for you know than yeah. The type ofresponse typical to a common ground extending particle is one that portrays the interlocutor’swillingness to agree, or agree then supplement new information, as for instance ya in example(7). However, in (8) the comparable particle yeah does not appear to verify the function.

(8) American English yeahM: |all the research but my own, you know. And if I had just to do like my comp or my|

|dissertation I want, I could use all the time to read stuff related to my dissertationthatyou know|

L: |yeah|

Page 64: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Faizah Sari

62

It is sometimes difficult to dismiss completely that American English yeah is not a particle thatextends common ground altogether because, at the same time, the particle demonstratessolidarity in spoken interaction. As such, the American English conversation may be inclined touse other expressions that are not exclusively pragmatic particles in conveying or extendingcommon ground among partners of conversation. In example (8) the other particle substitutingthe role is you know, which seems more effective as common ground extending expression that‘invites’ the interlocutor’s response. Then again, the English data in this study came from anAmerican English variety, which consequently does not claim the notion that English yeah usedin all the varieties of English carries the same common ground extending characteristic. Englishhas a wide range of varieties; therefore, it is important to be mindful that yeah in spokeninteraction sampled from a different variety of Englishes, for example, British English,Australian English, or Singaporean English, may yield a different result.

Both ya and yeah convey a linguistic strategy in which both Wouk (2001) and Jucker &Smith (1998) label as ‘echo’ in interaction. Although such a practice is distributed well in bothIndonesian and American English interaction, a delineation that pinpoints the function withsome sort of construction is unclear. The compelling Indonesian data were inclined to yield thatya as echo is effective as a common ground extending particle. For example in (9) S, Sr, and Mwere conversing in a Jakarta college campus about making practice out of giving donation. Mwas echoing her interlocutors’ statements profusely.

(9) Indonesian yaS: |Kan latihan|

You know, practice.M: |O, latihan maksudnya, ya. Daripada enggak sama sekali ya|

Oh, you mean a practice, yeah. Better than nothing at all yeah.Sr: |Ya kalo belum janji, nggak pas janjinya,|

Yeah if you haven’t promised, it does not count,|utangnya bisa ditunda dulu buat qurban|The debt can be delayed for it is qurban time|ya qurban dulu lah, pahalanya kan gede|Yeah, qurban first, the reward is big you know.

M: |O gitu ya Sri ya|Oh that’s so yeah Sri yeah

The repetitive occurrences of the particle provide a significant consequence for interaction,especially with M’s interlocutors. As one interlocutor attempted to explain the mechanismtaking care of personal finances prior to making annual donation, M echoed the interlocutor’suse of the particle. By echoing ya, M supported the preceding sentence and encouraged thesucceeding sentence to add new information to the topic. Colloquial Indonesian indicates ingeneral similarity with the practice of particle echoing like that in (9), which heightens thesolidarity politeness in interaction highlighting the common ground extending quality throughthe intricate exchanges of support and new information among interactants.

Quite the opposite, American English yeah plays a much simpler role in echoing apreceding sentence. The comparable particle in (10) looks identical functionally, except for thestructure of focus in the topic.

(10) American English yeahM: |because then you have to really think what is related to your field which is I would

prefer that|F: |hu-uh|L: |yeah|

Page 65: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

63

The focus in the topic in (10) is final. Unlike Indonesian ya, yeah completes the response ratherthan prompts the interaction to continue. Jucker & Smith (1998) stated that the explanation ofyeah as an echo is not clear-cut; rather, the particle is used to express a generalacknowledgement of the preceding interactive unit (p. 181).

Solidarity politeness plays equally important cultural element in both Indonesian andAmerican English conversations. The distinction created by comparing both particles is thatIndonesian ya indicates some degree of deference. Such deference is considered integral ininteraction where social-professional statuses are at play (as in example (1)) or where thespeaker exercises avoidance of overt expressions to reveal actual knowledge status (as inexample (6)). The findings confirm hypotheses by Wouk (2001) on the Indonesian particle andsupport her claim about pragmatic particles as solidarity building strategy and by Sari (2010) onthe ‘distance’ created between the speaker and interlocutor to sustain the typical atmosphere of‘friendliness.’ On the other hand, American English yeah shows more camaraderie (see furtherexamples (2), (3), (4), (8), and (10)), as the particle indicates informality (Östman, 1981), whichsupports Jucker & Smith’s claim (1998) on yeah that the particle shows solidarity inconversations.

I have used solidarity politeness to refer to the Indonesian pragmatic particles in this studyand other Indonesian particle research (Wouk, 1998; Sari, 2008, 2010) to be consistent with theexpansion drawn from Wouk’s use of the terminology and create a clear addition to previousresearch, especially Sari’s analysis of intonation contour that suggests shared knowledge amongthe interactants. The Indonesian common ground places values and expectation that speakersknow ‘what is going on’ in spoken interaction and be ready to process response. In other words,it is what is like to be part of Indonesian spoken interaction. Solidarity politeness is clearlyconsistent in a culture with a preference of positive politeness orientation like Indonesia (Wouk,1998). The speakers like to feel familiar with each other, not distancing too much theinterlocutors, but still setting some boundary for self-protection. This is evident in the examples(5) {/ya tapi perlu ada ketegasan dikit/}, (6) [/kayaknya sabar ya bu Gusti ya/}, and (7) {/disininggak ada air, disana banjir ya/}. Each speaker used ya to demonstrate empathy toward the topicbeing discussed, which assigned the particle the task for extending the speaker’s personalinvolvement during the specific interaction. Wouk (1998) stated that “in Indonesia, there is astrong orientation towards, as well as a public rethoric of, solidarity” (p. 403); hence, it reflectsin the communication style with the use of pragmatic particles in particular. As expected,pragmatic particles act as a “device” for solidarity building.

Further, speaker involvement deals with the general attitudes of the speaker, frequentlyappearing in intonation, and consequently becomes an element in spoken interaction largelydependent on observations during the course of interaction. The data analysis indicates that theintonation contour of ya is mostly neutral in all functions, except for extending common ground.This result is consistent with the previous prosodic analysis of Indonesian pragmatic particles(Sari, 2008) where the particle is slightly lengthened in addition to its rising tone to highlight thespeaker’s attempt to extend common ground to her interlocutor. To illustrate, in example (6){|Padahal, kayaknya sabar ya bu Gusti ya|} ya has a rising intonation that allocates theinterlocutor with the authority to respond while at the same signals the speaker’s deference.

A CROSS-LINGUISTIC DIMENSION OF INDONESIAN YAAND THE COMPARABLE AMERICAN ENGLISH YEAH

The process of interpretation for ya reveals that the particle creates evidence about theinformation that the hearer can acknowledge or agree with; therefore, it creates a sense ofpersonal involvement. The variety of the contours of ya increases solidarity among partners incommunication by extending common ground (Sari, 2008). It signals the speakers’ personalinvolvement. Additionally, ya shows a range of interactional sequences among these speakers.The particle generally indicated attention and encouragement to continue speaking in examples

Page 66: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Faizah Sari

64

(7) and (9). The information fills in as each speaker feeds into it along the course of theconversation.

Syntactically, the data shows that ya is typically sentence-initial, but all positions arepossible within the three syntactic slots: sentence-initial, -medial, and -final. When ya appearsas sentence-initial in a declarative statement with a rising intonation, it functions as anagreement particle to show solidarity. According to my data analysis, ya as echo appears in allthree syntactic locations. As a reception particle, ya is generally sentence-initial, as it is used asan affirmative. The particle studied, however, is not the particle frequently accompanied by theparticle oh, i.e., oh ya /oja/, as the particle used in initial response to a preceding statement inspoken Indonesian. As a common ground extending particle ya is expected to appear in finalposition. Yeah deals with positive reception and response from the listener, as the particle isused to indicate the speaker’s personal involvement by increasing common ground andencouraging more information from the interlocutor. Yeah deals with shared knowledgeincreased by speaker-listener cooperation in interaction, and as a reception particle marks focusin presentation (Jucker & Smith, 1998). Finally, yeah as a reception particle is mostly sentence-initial. The data analysis confirms the syntactic location as described in Jucker & Smith (1998).As presented in the examples (2), (3), (4), (8), and (10) with the illustrations, the Englishspeakers use yeah in the beginning of their statements.

In terms of a cross-linguistic dimension of the investigated particles, I was able to extendWouk’s hypothesis of ya (Wouk, 2001) and the comparable English yeah (Jucker & Smith,1998) by integrating both theories to create a descriptive distinction. The distinction of theparticle pair yields two corresponding domains: (a) reception particle (per Jucker & Smith’s)and (b) common-ground extending particle. Ya signifies a core meaning of affirmation andacknowledgement, with which yeah shares. However, ya plays an extra role: extending commonground, which makes the particle a device in not only receiving but also extending information.

Both particles demonstrates solidarity politeness, with ya projecting some degree ofdeference and yeah camaraderie. The mostly-neutral intonation of ya is associated with the typeof speech, i.e., declarative statement. With an exception of rising intonation when used as echo,ya seems to be a ‘neutral’ particle. When the echo is concerned particularly with the type ofspeech, e.g., interrogative sentence would yield rising intonation, the echo is risingsimultaneously. Partners in conversation also use the particle emphatically for interactionalpurposes and as a solidarity-building strategy. It signals the speakers’ personal involvement andpurposes. The speakers demonstrated sense of camaraderie throughout the spoken interaction byproducing positive responses that consequently maintain the topic being discussed.

I therefore propose one cross-linguistic dimension for the particle pair ya-yeah asreception and extension particles. First, as a reception particle (as Jucker & Smith’s (1998)reception particle), ya is comparable to yeah because yeah can also function as an echo oraffirmative response to an inquiry. Second, unlike yeah, ya may extend common ground so thatthe listener can respond effectively (Wouk, 2001). As a result, the cross-linguistic dimensionhas extended Jucker and Smith’s functional description, while at the same time, verified the factthat the rest of ya share the functional description of yeah as a reception particle. The followingdiagram shows the proposed cross-linguistic dimension of the particle pair (see Figure 1):

Page 67: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

65

Figure 1:A Cross-linguistic Dimension of Indonesian ya and the comparable American English yeah

The proposed cross-linguistic dimension (the gray area in the middle of the grid) illustratesthe commonalities that the particle pair shares. Ya shares yeah’s function as a reception particle,with an additional function as ‘extension particle’ serving to extend common ground. Indonesianspeakers use ya to respond to, affirm, and continue a topic discussed. The particle is also used toextand common ground and as echo in interaction. The comparable particle yeah is used inspoken interaction as a particle of acknowledgement, affirmation, confirmation, and echo. WhileAmerican English yeah completes speaker response, Indonesian ya plays more rolespragmatically in interaction, that is as pointer for the interaction to continue. In addition, bothIndonesian and English data indicate that the speakers and hearers are involved in buildingsolidarity in interaction by using the pragmatic particles, with the characteristics of Indonesiansolidarity being with some degree of deference, and American English of camaraderie.

CONCLUSION

The study has proposed a cross-linguistic dimension of the particle pair, building on previousfindings by Wouk (2001) on the functional characteristics of Indonesian ya and Jucker andSmith (1998) on American English yeah. English yeah is a reception particle, while Indonesianya both a reception particle and a particle that extends common ground. Ya shares similarfunctions with English yeah, but yeah does not share ya’s common ground extendingcharacteristics. On a research perspective, the cross-linguistic model has supported the dataeffectively in this study. Its comprehensive description of representations of particle functionsreveals more than commonalities and differences of comparable particles across languages. Infact, it verifies the call for systematic investigations in the pragmatic particle research. Becausepragmatic particles are used predominantly in informal and spoken interaction, it is necessary touse naturally-occurring conversation samples as physical data to help with the broader picture ofdiscourse and prosodic aspects of the interaction. The research signifies a window ofopportunity for further investigations in cross-linguistic pragmatic particles. On a pedagogicalpoint of view, the naturally-occurring spoken data can bring a useful representation of a spokeninteraction as language continues to evolve, with spoken interaction being the center forcommunicative purposes in any language. The pragmatic particle research will ultimately bringthe culture closer to the learner and researcher of the language studied. Finally, the methodsemployed in this study can be an educational example to inspire learners to find out more aboutthe language they are learning and help scholars expand their effort in researching linguistics.Cross-linguistic research can assist the learner to be an independent foreign language learner.The act of analyzing comparability reflects intrinsically a process of learning. The study

Page 68: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Faizah Sari

66

elucidates mainly the communication style that marks colloquial Indonesian expanding it torevisit the relationship among the interactants and the communication style reflecting the cultureand traditional conventions in spoken interaction.

NOTE

* The author would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.

REFERENCES

Aijmer, K. and A. Simon-Vandenbergen (eds.). 2006. Pragmatic Markers in Contrast. Studiesin Pragmatics 2. Amsterdam, the Netherlands: Elsevier.

Brown, R., and A. Gilman. 1960. “The Pronouns of Power and Solidarity.” In: Sebeok (ed.),253-276.

Brown, P. and S. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Use. Cambridge:Cambridge University Press.

Clark, H. 1996. Using Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Fetzer, A. and K. Fischer. (eds.). 2007. Lexical Markers of Common grounds.Amsterdam: Elsevier.

Geis, M. 1995. Speech Acts and Conversational Interaction. Cambridge: Cambridge UniversityPress.

Ikranagara, K. 1975. “Lexical Particles in Betawi.” Linguistics 165, 93-108.

Jucker, A. and S. Smith. 1998. “And People just You Know Like ‘wow’: Discourse Markers asNegotiating Strategies.” In: Jucker dan Ziv, (eds.), 171-201.

Jucker, A. and Ziv, (eds.). 1998. Discourse Markers: Descriptions and Theory. Amsterdam:John Benjamins.

Östman, J. 1981. ‘You Know’: A Discourse Functional Approach. Amsterdam: John BenjaminsB. V.

Östman, J. and M. Fried. (eds.). 2005. Constructions Grammars: Cognitive Grounding andTheoretical Extension. Amsterdam, the Netherlands: Elsevier.

Östman, J. 2006. “Constructions in Cross Language Research: Verbs as Pragmatic Particles inSolv.” In: Aijmer and Simon-Vandenbergen (eds.), 237-257.

Sari, F. 2008. “Teaching Pragmatic Particles in the LCTL Classroom.” Journal of the NationalCouncil of Less Commonly Taught Languages 5, Spring, 129-159.

Sari, F. 2010. Vowel Lengthening in the Indonesian Particle “oh” (/o/). The 14th InternationalSymposium on Malay and Indonesian Linguistics. The University of Minnesota,Minneapolis, MN. April 30-May 2, 2010.

Sebeok, T.A. (ed.). 1960. Style in Language. Cambridge: Massachussetts Institute ofTechnology Press.

Wouk, F. 1998. “Solidarity in Indonesian Conversation: The Discourse Marker kan.”Multilingua, 17, 379-406.

Wouk, F. 1999. “Gender and the Use of Pragmatic Particles in Indonesian.” Journal ofSociolinguistics 3.2, 194-219.

Wouk, F. 2001. “Solidarity in Indonesian Conversation: The Discourse Marker ya.” Journal ofPragmatics 33, 171-191.

Page 69: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

67

APPENDIX

Indonesian ya

(A)S: |Riau kan banjir|

Riau is flooding.M: |O ya, ya kena kampungku|

O yeah, yeah, my village is affectedSr: |masa bu?|

really, ma’am?M: |ya|

yeah.

(B)M: Ya, menjelang SD, biasanya udah kurang gitu. Ya, wajar, wajar juga gitu |

yeah, before entering SD (elementary school) they are usually (behaving) like so. (it’s)normal (it’s) just normal|ya, tapi perlu ada ada ketegasan dikit, tapi nggak usah terlalu panik|yeah, but you need to be a little firm, but no need to get too excited about.

(C)Sr: |Disini nggak ada air, disana banjir ya|

Here (in Bekasi) we are short of water, there (in Riau) they get flood yeah.M: |Disana soalnya deket sungai Sri|

It’s because there (they live) near a river, Sri.Sr: |O…gitu|

Oh I see.

(D)M: |Padahal, kayaknya sabar ya bu Gusti ya.|

On the contrary, she seems patient yeah Mrs. Gusti yeah.Sr: |Tapi marah juga.|

But (she could) also get upset.

(E)S: |Kan latihan|

You know, practice.M: |O, latihan maksudnya, ya. Daripada enggak sama sekali ya|

Oh, you mean a practice, yeah. Better than nothing at all yeah.Sr: |Ya kalo belum janji, nggak pas janjinya,|

Yeah if you haven’t promised, the promise does not count,|utangnya bisa ditunda dulu buat qurban|The debt can be delayed for it is qurban time|ya qurban dulu lah, pahalanya kan gede|Yeah, qurban first [lah], the reward is big you know.

M: |O gitu ya Sri ya|Oh that’s so yeah Sri yeah

Page 70: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Faizah Sari

68

English yeah

(A)F: |I saw him this afternoon|J: |Corey is such a sweet guy|F: |he is |V: |you like Corey?|J: |Yeah. We’re Corey lovers|

(B)F: |in linguistics it’s different. You just uh they’re gonna ask you about the classes. The

professors are going to ask you about the classes you took with them. And they’regonna ask you about your proposal. Those are the calls for me. And they …. You cantake those via essays. They are essays .. usually essays|

L: |oh|F: |and if you can take those essays … uh .. to your house|L: |and those are probably useful actually for research for writing your dissertation, right|F: |I think I like it that way|M: |because then you have to really think what is related to your field which is I would

prefer that|F: |hu-uh|L: |yeah|M: |because what I’m doing right now .. my.. my thesis is gonna be a subject that has no|

|classes here. Not even one class related to my topic|L: |yeah|F: |what is your topic?|M: |I’m doing detective novel. There’s nothing related to detective novel|L: |whoa.. wow|F: |….. Colombia|M: |so, you know what the thing is like everything that I read now is not gonna be good for

||my dissertation unless like …|F: |and .. you should be asked about your dissertation|M: |so I will have to do ….|F: |that’s your res.. research|M: |all the research but my own, you know. And if I had just to do like my comp or my|

|dissertation I want, I could use all the time to read stuff related to my dissertation that||you know|

L: |yeah|

(C)F: |oh, you guys watch Ghostworld?|V: |It wasn’t bad. It was …|F: |see I didn’t like it|V: |it wasn’t great. I like the book better, but it wasn’t that bad. It’s just well what was|

|his name.. Daniel Flowers or something. He’s … a graphic book like a comic book|We watched the film about it but they changed it. They make like big characters||and stuff|

F: |Yeah. I didn’t like the way they changed it. It was .. I didn’t think it was good..|

Page 71: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Februari 2011, 69 - 83 Tahun ke-29, No. 1Copyright©2011, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

SAPAAN DALAM BAHASA BUGIS DIALEK SIDRAP

Johar Amir*[email protected]

Universitas Negeri Makassar

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa Bugisdialek Sidrap dan contoh-contoh penggunaannya dalam masyarakat. Kajian difokuskanpada penggunaan bahasa Bugis dialek Sidrap Kecamatan Dua Pitue. Sumber data untukkeperluan analisis data digunakan data tuturan bahasa Bugis dialek Sidrap yangdiperoleh melalui penyimakan/ penyadapan (observasi), dan elisitasi. Hasilnya diperolehberbagai bentuk sapaan, yaitu sapaan yang berbentuk hubungan vertikal, seperti: nenek(nenek), indok, (mama, ibu), ambo (bapak), nak (nak), dan appo (cucu). Sapaan yangberbentuk hubungan horizontal seperti: dik (dik), daeng (kakak), ipak (ipar), sellaleng(lago), sapposiseng (sepupu sekali), sappokkadua (sepupu dua kali), anure (kemanakan),ammure (tante dan om), baiseng (besan), dan sappo (sepupu). Selain itu ada juga sapaanyang digunakan untuk bangsawan, yaitu petta, andi, pung dan iye. Serta sapaan yangdigunakan untuk orang yang telah menunaikan ibadah haji, yaitu aji. Bentuk-bentuksapaan dalam bahasa Bugis dialek Sidrap ada yang berbeda dengan sapaan yangdigunakan dalam bahasa Bugis dialek lain.

Kata kunci: sapaan, dialek Bahasa Bugis, Sidrap.

This research aims to present the forms of greeting in Buginese using Sidrap dialect andthe examples used in community. The study focused on the use of Buginise using Sidrapdialect in Dua Pitue district. The data were obtained through observation and elicitation.The results indicated various greetings based on vertical relationships, such as nenek(grandmother), indok (mother), ambo (father), son (children), and appo (grandchildren),and horizontal relationships, such as dik (younger brother/sister), daeng (oldermother/sister), ipak (brother/sister in law), sellaleng, sapposiseng (first cousin),sappokkadua (second cousin), anure (niece/nephew), amuré (aunt/uncle), and baiseng(mother/father in law). Other greetings are those used for social ranks, such as petta,andi, pung, and iyye, and for people who completed the Islamic pilgrimage or hajj (aji).The greetings in Buginese using Sidrap dialect showed distinctive characteristics of theregion compared to those in other Bugis languages.

Key words: forms of greeting, Buginese dialect, Sidrap.

PENDAHULUAN

Bahasa Bugis merupakan wadah pelestarian budaya salah satu daerah di Indonesia yang memilikisejarah dan tradisi yang cukup tua dan dipelihara oleh masyarakat pemiliknya. Selain itu, bahasaBugis merupakan alat komunikasi yang cukup penting di daerah Sulawesi Selatan, di sampingbahasa Indonesia. Bahasa Bugis merupakan salah satu bahasa daerah di Sulawesi Selatan yangmempunyai jumlah penutur terbesar; diperkirakan 4,5 juta jiwa (Said, 1997:2).

Penutur bahasa Bugis mendiami sebelas kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu:Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang (Sidrap), Pinrang, Pare-Pare Barru, sebagianKabupaten Maros, Pangkep, Sinjai, dan Bulukumba. Bahasa Bugis tersebut memiliki dialektersendiri sesuai dengan letak geografisnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Fasold(1984) yang menyatakan bahwa dalam sosiolinguistik tidak ada bahasa yang monolitik, setiapbahasa ada ragamnya dan setiap ragam ada subragamnya. Bahkan tuturan individu punberagam. Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Bali, Sasak, danBugis, memiliki beberapa dialek regional dan dialek sosial.

Page 72: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Johar Amir

70

Banyaknya ragam bahasa geografis dan sosial merujuk pada setiap kelompok masyarakatdalam berinteraksi terhadap sesamanya menggunakan sekurang-kurang dua komponen yaitu,peserta dan bahasa (Sumampouw, (2000: 220). Peserta dalam interaksi verbal yaitu pembicara(P1) dan mitra bicara (P2). Salah satu aspek yang penting dalam interaksi verbal adalah sistempenyapaan, sebagai pewujudan saling menghormati. Sehubungan dengan hal ini, khususmasyarakat Bugis memiliki kata penyapa tersendiri sebagai pertanda penghormatannya terhadapsesamanya. Dalam bahasa Bugis dialek Sidrap (BBS) kata penyapa tersendiri yang digunakanserentak dengan pronomina.

Aga mubawa sapposisengapa engkau bawa sepupu sekali‘Apa yang Engkau bawa sepupu sekali’

Berdasarkan contoh kata penyapa di atas, kata penyapa bahasa Bugis dialek Sidrapmemiliki bentuk yang unik, karena digunakan dengan hubungan kekerabatannya. Penggunaankata penyapa seperti di atas tidak lazim digunakan dalam bahasa Bugis secara umum. Penuturbahasa Bugis umum menggunakan kata penyapa sebagaimana halnya sapaan yang digunakandalam bahasa Indonesia. Keunikan tersebut disebabkan oleh perbedaan letak geografis, danbudaya daerah, sehingga bahasa daerah Bugis yang digunakan bervariasi antara satu daerahdengan daerah yang lain, termasuk pemakaian kata penyapa.

Selain itu, masyarakat Bugis juga mengenal adanya starata sosial , yaitu adanya bangsawan,rakyat biasa, dan hamba. Namun, hamba hampir-hampir tidak dikenal lagi sekarang, termasuk diKabupaten Sidrap. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Darwis (1995:33). Secara tradisional,orang Bugis mengenal paling kurang tiga lapisan sosial, yaitu (a) masyarakat arung, (b)masyarakat to sama, dan (c) masyarakat ata. Strata-strata sosial yang telah disebut di atasmempunyai kata penyapa tersendiri dalam berkomunikasi. Khusus suku Bugis dialek Sidraphanya mengenal dua strata sosial, yaitu: arung dan to sama (bangsawan dan rakyat biasa). Olehkarena itu, bentuk penyapaannya pun berbeda. Kata penyapa yang digunakan kepada bangsawanyaitu pung, sedangkan petta, digunakan untuk menyapa bangsawan yang lebih tua. Adapun sapaanuntuk yang lebih muda yaitu andi.

Selanjutnya, kata penyapa terhadap rakyat biasa, dapat ditinjau dari (1) hubungan darah(keluarga) misalnya saudara (kakak/ adik), sepupu sekali, sepupu dua kali, ipar, (2) nama diri (3)julukan (4) gelar terhadap orang yang telah memenunaikan ibadah haji, dan (5) kata seru. Olehkarena itu, bahasa Bugis dialek Sidrap memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri dibandingkandengan bahasa daerah Bugis dialek lain.

Keunikannya itu mendorong penulis meneliti bentuk-bentuk kata penyapa bahasa Bugisdialek Sidrap. Ruang lingkup pembahasan dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan strata sosial.Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengacu pada prinsip dasar sosiolinguistik yang melihatbahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat multibahasa yang berusaha menjawab pertanyaan“... siapa yang berbicara kepada siapa dan menggunakan bahasa apa serta bilamana dengan maksudapa?” (Fishman, 1969).

KERANGKA TEORI

Salam dan sapaan, walaupun kedengarannyan remeh, memiliki makna sosial yang penting. Salamdan sapaan dapat berfungsi sebagai tanda bahwa kita memperhatikan orang yang disapa(Kartomihardjo, 1988:27) mengingat pentingnya sapaan dalam kehidupan bermasyarakat bila lupamenggunakannya dalam berkomunikasi, dapat dianggap sombong, lupa diri, dan sebagainya olehorang yang seharusnya disapa. Selanjutnya, Kartomihardjo dengan mengutip Malinowsky(1988:28) mengatakan salam dan sapaan adalah suatu ucapan, biasanya sepatah dua patah kata,yang tidak hanya menyampaikan suatu pendapat atau gagaan, tetapi juga sebagai tanda adanyaikatan sosial. Ada dua fungsi sapaan menurut Chaika (1982:46). Pertama, sapaan digunakanpertama-tama untuk kekuasaan dan solidaritas. Kedua, sapaan dapat berulang-ulang terus dalam

Page 73: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

71

suatu percakapan agar memperkuat hubungan keintiman dan kekuasaan antara pesapa danpenyapa.

Senada dengan pendapat Chaika, Kridalaksana (1982:155) berpendapat bahwa sistemsapaan adalah sistem yang mengikat unsur-unsur bahasa yang menandai perbedaan status danperan partisipan dalam komunikasi dengan bahasa. Selanjutnya, dia menyebutkan sembilanjenis kata sapaan dalam bahasa Indonesia untuk menyapa seseorang, yaitu (1) kata ganti orang(kamu, engkau); (2) nama diri (Tuti, Rijal); (3) istilah kekerabatan (bapak, ibu, kakak); (4) gelardan pangkat (dokter, profesor, letnan, ustads) ; (5) bentuk pelaku nomina (penonton,pendengar, pemirsa); (6) bentuk nomina –ku (Tuhanku, anakku, sayangku); (7) kata deiksis(sini, situ, di situ); (8) bentuk nomina lain (awak, bung, tuan); (9) bentuk zero (penghilangankata sapaan).

Menurut Alwi (1988:258), keanekaragaman dalam bahasa maupun budaya daerah,memakai bahasa Indonesia memiliki pula bentuk-bentuk lain yang dipakai sebagai penyapauntuk persona kedua dan pengacu untuk persona pertama dan ketiga. Sehubungan dengan itu,dalam bahasa Bugis terdapat pronomina persona kedua bentuk bebas sebagai penyapa, yaitu iko(engkau) dan idik (engkau hormat). Selain itu, terdapat pula pronomina persona kedua bentukklitik meliputi, -ko,- kik, -mu, dan –ta (Tupa, 1997). Pada dasarnya ada empat faktor yangmempengaruhi hal itu: (1) letak geografis, (2) bahasa daerah, (3) lingkungan sosial, dan (4)budaya bangsa.

Terkait dengan hal tersebut, Wolfram (1998) menyatakan bahwa menyapa seseorangdengan sapaan ‘Mrs’, ‘Ms’, atau dengan nama pertama bukan saja persoalan pemilihan kata-kata melainkan hubungan dan posisi sosial si pembicara (penutur) dan pendengar (petutur).Berkaitan dengan posisi sosial pembicara dengan pendengar dalam Semiotik Sosial disebutdengan istilah tenor, yaitu hubungan antara partisipan yang terlibat, sifat partisipan, status danperan partisipan (Saragih, 1992:66, Sutjaja, 1990:69; Santosa, 2003:149). Sistem tenor meliputistatus (hubungan sederajat atau tidak sederajat), kontak (akrab atau berjarak), dan efek(penilaian pembicara terhadap lawan bicara).

Selain pendapat di atas, Sumarsono dan Partana (2002:62) membedakan istilahkekerabatan (term of reference) dan kata sapaan (term of address). Istilah kekerabatan mengacukepada hubungan kekeluargaan, misalnya kakak, adik, bapak, bibi, dan ipar. Istilah atau katasapaan mengacu kepada bagaimana kita menyapa atau memanggil orang-orang. Adapun Pateda(1987:69) menyebut delapan kategori kata sapaan yang terdapat dalam bahasa Gorontalo, yaituberdasarkan: (1) warna kulit (maputi ‘mak putih’); (2) telah menikah (tilei patima, teneiJohan); (3) besar kecilnya badan (kada’a ‘kakak yang badannya besar’); (4) tinggi rendahnyabadan (katinggi ‘kak yang tinggi’); (5) orang ke berapa di antara mereka bersaudara (kadua‘kakak yang kedua’); (6) hubungan kekerabatan (papa ‘ayah’, mama ‘ibu’); (7) panggilangankesayangan (no’u ‘gadis’, uti ‘laki-laki’); (8) pekerjaan, keahlian, atau pangkat (guru, pakcamat).

Adapun hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan seperti yang berikut ini. Hasilpenelitian Yatim (1984) yang berjudul “Sistem Honorifik Bahasa Makassar: sebuah AnalisisSosiollinguistik.” Penelitian ini menyebutkan tiga pola sapaan dalam bahasa Makassar, yaitu (1)pola sapaan dengan selektor utama hubungan darah/kaum bangsawan (misalnya sapaan karaeng‘yang dipertuan’); (2) pola sapaan dengan utama pekerjaan/jabatan (misalnya, pak camat); (3)pola sapaan dengan selektor utama hubungan keluarga (misalnya, –ki daeng Rani, -ki daeng, -ki,-ko dan bapak).

Hasil penelitian selanjutnya, yaitu Hasyim (2005) yang berjudul “Penggunaan Bahasapada Masyarakat Tutur Makassar: Kajian Sosiolinguistik di Kabupaten Gowa.” Bertitik tolakdari konsep Hymes, penelitian ini menyebutkan status sosial sebagai salah satu faktor penentudalam penggunaan bahasa. Ada tiga status sosial yang menentukan variasi penggunaan bahasa,khususnya bentuk kata penyapa, yaitu (1) status sosial lebih tinggi; (2) status sosial sederajat;dan (3) status sosial lebih rendah.

Page 74: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Johar Amir

72

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Metodedeskriptif adalah yang berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris ada dantetap digunakan oleh masyarakat penuturnya. Metode deskriptif ini digunakan untukmendapatkan hasil temuan yang diperoleh dalam penelitian ini.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simakdimaksudkan untuk menyimak penggunaan bahasa Bugis oleh penuturnya. Teknik inidilanjutkan dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjut berupa simak libat cakap,rekam, dan catat. Teknik dasar yang berupa teknik sadap digunakan untuk menyadappenggunaan bahasa Bugis dialek sidrap. Teknik lanjut berupa teknik simak libat cakap yaitupeneliti terlibat lagsung dalam dialog atau pembicaraan disertai dengan teknik rekam dan teknikcatat (Sudaryanto, 1993). Jumlah penutur bahasa Bugis yang direkam percakapannya sebanyak

Selanjutnya, teknik elisitasi dengan mengajukan pertanyaan secara langsung dan terarah,ditujukan kepada informan dengan maksud untuk menemukan tuturan yang berhubungandengan objek yang diteliti.

Adapun data dalam penelitian ini adalah tuturan masyarakat yang terdapat bentuk-bentuksapaan bahasa Bugis dialek Sidrap. Sumber datanya diambil dari penutur asli bahasa Bugis yangberdomisili di Kecamatan Dua Pitu E Kabupaten Sidrap.

Analisis data dilakukan melalui tahap-tahap: (1) mendeskripsikan data kata penyapa; (2)mengklasifikasi bentuk-bentuk kata penyapa; (3) menganalisis bentuk-bentuk kata penyapa; dan(4) membuat inferensi terhadap bentuk- bentuk kata penyapa dalam bahasa Bugis dialek Sidrapdan penggunaannya dalam masyarakat.

BENTUK-BENTUK KATA PENYAPA DALAM BAHASA BUGIS DIALEK SIDRAP

a. Hubungan Kekerabatan SecaraVertikal

1) Nenek (nenek/kakek) Nenek digunakan untuk menyapa orang tua ibu dari pihak ibu atau bapak dari ibu dan

begitu juga sebaliknya untuk menyapa kedua orang tua ayah, serta untuk menyapaorang yang lebih tua umurnya yang sebaya dengan nenek. Ada yang menarik dari katapenyapa nenek. Bahasa Bugis dialek Sidrap tidak mengenal kata penyapa untuk kakek,nenek perempuan ataupun kakek; tidak dibedakan sapaannya, yaitu nenek (nek).

(1) Purani manre Nenek?sudah makan nenek?‘Sudah makan Nenek?’

(2) Kegaki’ lok lao Nenek?di mana mau pergi nenek?‘Mau ke mana Nenek?’

(3) Dek taitai eppota Nenek?tidak kita dilihat cucu nenek?‘Cucu nenek tidak dilihat?’ ‘

2) Indok (mama /ibu)Indok digunakan untuk menyapa orang tua perempuan. Sapaan indok sama untuk semuabahasa Bugis di Sulawesi Selatan. Selain digunakan untuk menyapa, ada juga yangmendampingkan namanya dengan sapaan indok untuk jenis kelamin perempuan;misalnya, Indok Cora. Selain bentuk sapaan indok, ada beberapa keluarga yangmenggunakan sapaan emma karena sudah terpengaruh oleh kebudayaan lain. Namun,yang lebih dominan adalah sapaan indok.

Page 75: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

73

(4) O, Indok alengnga nanre!O, mama ambilkan nasi‘O, mama ambilkan saya nasi!

(5) Indok, siruntukka La Tanring ko pasae.mama, bertemuka Tanring di pasar‘Mama, saya bertemu Tamrin di pasar .‘

(6) Ajakna naidik jamai Indok!tidak usah kita (Anda) kerja indok‘Tidak perlu mama yang kerjakan’

(7) Tollao pasa e Indo Cora!kita pergi ke pasar Indo Cora‘Ayo pergi ke pasar Indo Cora.’

3) Ambo (bapak /ayah)Ambo digunakan untuk menyapa orang tua laki-laki. Sapaan ambo dapat puladidampingkan dengan nama diri seperti pada sapaan indok; misalnya, Ambo Upe.Bentuk sapaan ini tidak digunakan oleh seluruh masyarakat Bugis di Sidrap. Sebagianmenggunakan sapaan bapak untuk panggilan kepada orang tua laki-laki; misalnya,penggunaan sapaan ambo seperti yang diuraikan berikut ini.

(8) Ajaksana jolok mulao galunnge Ambo!Tidak usah dulu pergi ke sawah, Bapak!Bapak tidak perlu ke sawah dulu!

(9) Bapak,uallupai melliangi pelok.Bapak, saya lupa belikan rokok.‘Saya lupa membelikan Bapak rokok.’

(10) Ambok, kegaillao i Nida?Bapak, di mana pergi Nida?‘Bapak, pergi kemana Nida?’

(11) Alenga pelokta Ambo Upe!Mintaka rokokmu Ambo Upe‘Berikan saya rokokmu Ambo Upe!

4) Nak ( nak)Nak digunakan untuk menyapa anak kandung, kemanakan, dan orang yang dianggapsebagai anak, seperti guru terhadap siswanya.

(12) Alennga wae, Nak!berikan saya air nak‘Nak, ambilkan saya air!’

(13) Purano mannasu, Nak?sudah kamu memasak nak‘Engkau sudahkah memasak, Nak?’

(14) Ya, maccano ko makkoitu, Nak!ya, pintar kamu kalau begitu nak‘Ya, sudah pintar kalau begitu, Nak!’

5) Appo (cucu)Appo digunakan untuk menyapa cucu. Sapaan ini menurut pengamatan penulis tidaklumrah digunakan di daerah lain (Bugis). Namun, sapaan appo pada masyarakat Bugisdi Sidrap masih tetap digunakan.

(15) Kenro pole, Appo?di mana engkau datang cucu‘Dari mana Engkau Cucu?’

Page 76: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Johar Amir

74

(16) Agatu mupugau, Appo?apa itu kau kerjakan cucu‘Apa yang Engkau kerjakan, Cucu?’

(17) Anreno jolok Appo nappa muenrekennga kaluku!makan kamu dulu cucu baru kau panjatkanka saya kelapaMakanlah lebih dahulu, kemudian panjatkan saya kelapa Cucu!

b. Hubungan Kekerabatan Secara Horizontal

1) Daeng (kakak)Daeng digunakan untuk menyapa kakak kandung dan menyapa orang yang lebih tua.

(18) Daeng, sibawaki lao bottinnge!kak dengan saya pergi pengantin‘Kak, kita berbarengan pergi ke pengantin!

(19) Enrekeng sakka kaluku, Daeng!panjatkan saya kelapa kak‘Kak, panjatkan saya kelapa!’

(20) Magani bolata, Daeng?kenapa rumah kakak‘Bagaimana keadaan rumah Kakak?

2) Dik (adik)Dik digunakan untuk menyapa adik kandung dan menyapa orang yang lebih mudausianya.

(21) Ekbuarennga teng jolok dik!buatkan saya teh dulu dik‘Buatkan saya teh Dik!’

(22) Puranommanre Dik?sudah kamu makan dik‘Sudah makan Dik?’

(23) Poleka Juppandang Dik sanngadi wenni.dari Ujung Pandang saya Dik kemarin dulu‘Saya dari Makassar Dik, kemarin dulu.’

3) Ipak (ipar)Ipak digunakan untuk menyapa istri atau suami dari saudara kandung dan sepupu, baikyang usianya lebih tua maupun yang lebih muda.

(24) Sianna mungka pole Juppandang, Ipak?Kapan datang dari Ujung Pandang, Ipar?‘Kapan datang dari Makassar Ipar?’

(25) Dekpa udapik jaik i lipakmu Ipak.Belum sempat kujahit sarungmu Ipar.‘Saya belum sempat menjahit sarungmu, Ipar.’

(26) Tollaona jolok bolae Ipak!Kita pergi dulu ke rumah, Ipar!‘Ayo, kita pergi ke rumah, Ipar!’

4) Ammure/wak (tante /paman)Ammure/wak digunakan untuk menyapa tante atau paman. Perbedaannya, wakdigunakan untuk menyapa tante/paman yang sudah tua umurnya (50 tahun ke atas) dandituakan. Sapaan wak diikuti oleh nama diri, sedangkan ammure digunakan untukmenyapa tante/paman yang lebih muda umurnya dan tidak diikuti oleh nama diri, sertalebih akrab.

Page 77: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

75

(27) Aga i jama-jama ammure?apa dikerja tante/paman‘Apa yang dikerja tante/paman?’

(28) Melokak manre lasse ammure.mau saya makan langsat tante/paman‘Saya mau makan langsat tante/paman.’

(29) Pacceka lao mala lassek ammure.bawa saya juga pergi ambil langsat tante/paman‘Saya mau ikut pergi memetik langsat paman/tante.

(30) Wak Ruming sanggara lameta lima sebbu.wak Ruming ubi goreng ta lima ribu‘Wak Ruming, saya mau membeli ubi goreng Rp5000,-

(31) Engka mo paga rang lameta Wak Risa?masih adakah masak ubi ta Wak RisaWak Risa, masih adakah ubi rebus?

(32) Naolliki emmakku Wa Tode!dipanggil mamaku Wa TodeWa Tode, dipanggil oleh mamaku!

5) Sappo Siseng (sepupu sekali)Sapposiseng digunakan untuk menyapa sepupu sekali. Kata penyapa hubungankekerabatan seperti ini merupakan ciri khas masyarakat Dua Pitue Kabupaten Sidrap.Hal seperti ini tidak biasanya digunakan dalam masyarakat Bugis di daerah lain.

(33) Dekpa uajak i inrekku Sapposiseng.belum kubayar utangku sepupu sekali‘Saya belum membayar utang Sepupu sekali.’

(34) Agatu muelli, Sapposiseng?apa itu kaubeli, sepupu sekali‘Apa yang kau beli sepupu sekali?’

(35) Polekak bolamu Sapposiseng, tapi dekko gaga.dari rumahmu saya sepupu sekali tapi tidak engkau tidak ada‘Saya dari rumahmu Sepupu sekali, tetapi Engkau tidak ada.‘

6) Sappo Kadua (sepupu dua kali)Kata penyapa sappo kadua fungsinya sama dengan sapposiseng, digunakan untukmenyapa sepupu dua kali.

(36) Cenek dekpa namatase Sappokkadua, ualamui.seandainya belum matang sepupu dua kali kuambil‘Seandainya belum matang, Sepupu dua kali akan kuambil.’

(37) Uleng paimeppi Sappokadua nappa isangki ase.bulan depan sepupu dua kali baru padi dipanen‘Bulan depan Sepupu dua kali padi dipanen.’

(38) Kopuraki massangki Sappokadua, tireng bawanni La Kemma gabata!kalau sudah panen sepupu dua kali bawa saja pada La Kemma gaba‘Kalau sudah panen Sepupu dua kali, bawah saja gabah Anda padaKemma.’

7) Sellaleng (Llago)Sellaleng digunakan untuk menyapa istri atau suami dari saudara istri atau suami.Sapaan ini masih tetap produktif digunakan hingga sekarang. Kata penyapa lago jugatermasuk kata penyapa hubungan keluarga. Istilah lago digunakan dalam bahasa Bugispada umumnya selain bahasa Bugis dialek Sidrap. Kata penyapa lago belum ditemukandalam bahasa Indonesia. Diharapkan lago diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk

Page 78: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Johar Amir

76

memperkaya kosakata bahasa Indonesia, sebagimana halnya istilah dari bahasa daerahlain yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penggunaan sapaan sellaleng, yangbersinonim dengan lago, membuktikan bahwa masyarakat Bugis di Desa Kalosi, dalamhal berkomunikasi, sangat memperhatikan keluarga berdasarkan hubungan darah.Namun, bukan berarti bahwa yang bukan keluarga tidak diperhatikan dalam halmenyapa. Tampaknya masyarakat Bugis di Desa Kalosi ingin mengingatkan hubungankeluarganya dalam hal bertutur sapa sebagai tanda penghormatan.

(39) Lao tono mak baluk lassek Sellaleng.pergi juga menjual langsat Lago‘Pergilah juga menjual langsat, Lago.’

(40) Matekko lakdekka sedding, Sellalengcapek sekali saya rasanya Lago‘Saya merasa sangat capek, Lago.’

(41) Magapi mumai galummu, Sellaleng?kapan kau garap sawahmu Lago‘Kapan kau garap sawahmu, Lago?’

8) Baiseng (besan)Sapaan baiseng digunakan untuk menyapa orang tua laki-laki dan perempuan darimenantu. Sapaan ini juga termasuk sapaan hubungan kekerabatan dan masih tetapproduktif digunakan.

(42) Magamo karebana anak-anak e, Baiseng?bagaimana kabar anak-anak Besan‘Bagaimana kabar anak-anak kita, Besan?’

(43) Konik leuk e Baiseng sibawaki, apak mokdanika sedding!di sini tidur Besan bersama, karena rindu saya rasanya‘Di sini saja tidur bersama Besan karena saya rindu!’

(44) Tajenga jolok cinampek Baiseng, okkoe!tunggu saya sebentar Besan di sini‘Tunggu saya sebentar Besan, di sini!’

c. Pronomina Persona KeduaPersona kedua dalam bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai penyapa dalamberkomunikasi. Demikian juga halnya dengan bahasa Bugis. Penyapa persona kedua dalambahasa Bugis meliputi bentuk bebas dan bentuk klitika.

a) Penyapa persona kedua bentuk bebas:

1) Iko (engkau, kau)Persona kedua, iko dalam bahasa Bugis dapat digunakan sebagai penyapa dalamberkomunikasi. Kata penyapa iko biasanya digunakan bersamaan dengan sapaanhubungan kekeluargaan. Penggunaan seperti ini menurut pengamatan penulis hanyaterdapat dalam bahasa Bugis dialek Sidrap.

(45) Iko ga malenngi beppa La Herman, Salessurengg?engkaukah memberikan kue La Herman saudara‘Engkaukah yang memberikan kue kepada Herman, Saudara?’

(46) Iko topa dek mupodannngnga Sapposiseng.engkau juga tidak memberitahukan saya, sepupu sekali‘Engkau tidak memberitahukan padaku, Sepupu sekali.’

(47) Iko ga minrenngi bowokku?engkaukah meminjam mukenaku‘Engkaukah yang meninjam mukena saya?’

Page 79: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

77

2) Idik (hormat)Kata penyapa idik merupakan bentuk penyapa persona kedua hormat. Biasanyadigunakan untuk menyapa orang yang lebih tua atau orang yang disegani.

(48) Idik muto janciwi melliangi sapedaanda jugalah menjanji dia membelikan sepeda‘Anda jugalah yang berjanji membelikan dia sepeda.

(49) Idik mani ritajeng di wenni.anda saja ditunggu kemarin‘Anda saja yang ditunggu kemarin.’

(50) Idik ga minrengi openna Wa Ira?andakah meminjam opennya Wa IraAndakah yang meminjam open Wa Ira?

b) Penyapa Persona Kedua Bentuk Klitika:

1) -ko (kau)Bentuk –ko sebagai pemarkah klitika persona kedua penanda ergatif digunakan jugauntuk menyapa. Biasanya digunakan bersamaan dengan sapaan hubungankekerabatan, namun tidak selamanya demikian; bergantung pada situasi komunikasidan keakraban yang diinginkan.

(51) Leppattokko bolae Nak!singgah juga di rumah nak‘Singgahlah di rumah Nak!’

(52) Natajekko anureta ko pannyingkulu e.ditunggu kau kemanakanmu di persimpangan‘Engkau ditunggu oleh kemanakanmu di persimpangan‘

(53) Massapedako jolok muollirenga kakamu, Nak!bersepada kau dulu memanggil kakakmu nak‘Bersepedalah Engkau pergi memanggil kakakmu, Nak!’

2) – mu (Engkau, Kau)Bentuk –mo sebagai pemarkah klitika persona kedua penanda posesif digunakandalam tuturan bahasa Bugis khususnya bahasa Bugis dialek Sidrap. Pemarkahpersona kedua –mu biasa juga digunakan bersamaan dengan sapaan hubungankekerabatan. Namun bukan merupakan syarat mutlak, tetapi manasuka saja.Maksudnya, apabila dirasa perlu digunakan bersamaan, digunakanlah secarabersamaan. Apabila tidak perlu dan dan memang sudah sesuai dengan situasipembicaraan, tidak digunakan secara bersamaan antara pemarkah –mu danhubungan kekerabatan yang lain.

(54) Balukmuga iae sapposiseng?julanmukah ini sepupu sekali‘Jualanmuka ini sepupu sekali’

(55) Nainrengi lipakmu Ipak anureta.dipinjam sarungmu Ipar kemanakan kitaSarungmu dipinjam kemanakan kita Ipar

(56) Niga asemmu Nak?siapa namamu nak‘Siapa namamu Nak.’

Page 80: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Johar Amir

78

3) –kik (hormat, sopan)Bentuk –kik digunakan untuk menyapa kepada orang yang lebih tua atau orang yanglebih tinggi status sosialnya. Bentuk –kik ini bersifat inklusif artinya persona itumengacu pada pembicara dan sekaligus pendengar atau mitra bicara. Persona keduaini digunakan dalam kalimat imperatif yang menyatakan perintah atau ajakan.

(57) Ri asekkik tudang Aji!di atas Anda duduk Aji‘Duduklah di atas Aji!’

(58) Menrekik bolae!naik Anda di atas rumah‘Naiklah di rumah!

(59) Leppakkik mai ammure!singgah Anda di sini tante‘Singgalah di sini tante!

4) Ta- (hormat, sopan)Bentuk ta- digunakan untuk menyapa kepada orang yang lebih tua atau orang yanglebih tinggi status sosialnya. Bentuk ta- ini digunakan dalam kalimat interogatif.

(60) Tasurokak lokka tega?Anda menyuruh saya pergi ke mana‘Anda menyuruh saya ke mana?’

(61) Dek tamitauk ri suressurenna?tidak Anda takut di dirinya‘Apakah Anda tidak takut pada saudaranya?’

(62) Talagi doik e ko kantokku?Anda ambilkah uang di kantongku‘Apakah Anda mengambil uang di kantongku?

d. Gelar KebangsawananInteraksi sosial yang melibatkan bangsawan digunakan kata penyapa yang khusus sesuaidengan budaya masing-masing daerah. Masyarakat biasa dalam suku Bugis dianggap tidaksopan apabila menyapa bangsawan tidak sesuai dengan stratanya, bahkan dapatmenyebabkan rasa tersinggung bagi bangsawan yang disapa. Kata penyapa terhadapbangsawan di Kabupaten Sidenreng Rappang meliputi petta, andi, pung, dan iyye.

1) PettaBentuk petta digunakan untuk menyapa kepada orang yang lebih tua atau orang yanglebih tinggi status sosialnya. Bentuk –kik ini bersifat inklusif artinya persona itumengacu pada pembicara dan sekaligus pendengar atau mitra bicara. Persona kedua inidigunakan dalam kalimat imperatif yang menyatakan perintah atau ajakan.

(63) Na duppai ki atanna Petta lao tudang-tudang ko bolae essona Araba.diharapkan kesediaan Petta duduk-duduk di rumah hari Rabu‘Diharapkan kesediaan Petta ke rumah pada hari Rabu.’

(64) Melok lao Petta Kampale?Petta mau ke Kampale‘Apakah Petta mau ke Kampale?

(65) Kenroi massikola appona Petta?di mana sekolah cucu Petta‘Di mana sekolah cucu Petta?’

Page 81: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

79

2) Andi(66) Siagani anure Andi Dala?

sudah berapa kemanakan Andi Dala‘Sudah berapa kemanakan Andi Dala?’

(67) Kegaki lok lao Andi Bur?di mana mau pergi Andi Bur‘Hendak ke mana Andi Bur?’

(68) Andi Dala, melo tokki maccoe?Andi Dala mau juga ikut‘Andi Dala, mau ikut juga?’

3) Pung(69) Kenroki monro ri Juppandang Pung?

di mana tinggal di Ujung Pandang Pung‘Tinggal di mana di Makassar Pung?’

(70) Purai engka Andi Lela ko bolata Pung?pernah datang Andi Lela ke rumah Pung‘Pernah kah Andi Lela datang ke rumah Pung?’

(71) Pung meloki lao mak jala bale?Pung mau pergi menjala ikan‘Maukah Pung pergi menjala ikan?’

4) Iyye(72) Aga i jama-jama Iyye Bade?

apa dikerja-kerja Iyye Bade‘Apa yang sedang dikerjakan Iyye Bade?’

(73) Taddampengenga Iyye, nappai upalisu penneta.maafkan saya Iyye, baru saya kembalikan piring ta‘Saya minta maaf karena baru saya kembalikan piring.’

(74) Kenroki pole Iyye Bandong nappaki uita?dari mana Iyye Bandong baru saya lihat‘Dari mana Iyye Bandong baru kelihatan?’

5) Aji (Haji).Masyarakat Bugis yang telah melaksanakan ibadah haji merasa tersanjung apabiladisapa dengan sapaan aji. Oleh karena itu, masyarakat Bugis berusaha sekuat tenagauntuk melaksanakan ibadah haji, sehingga sekembalinya dari tanah suci dapat disapadengan aji. Bentuk ini dapat diikuti oleh sapaan gelar kebangsawanan.

(75) Leppakki bolae Aji!singgah di rumah Aji‘Mari singgah di rumah Aji!

(76) Ri asekki tudang pung Aji!di atas duduk Pung Aji‘Silakan duduk di atas Pung Aji.’

(77) Aga ielli Aji?apa dibeli Aji‘Apa yang dibeli Aji?’

e. Julukan (Epiten).Masyarakat Bugis biasanya menyapa seseorang sesuai dengan keadaan fisiknya. Misalnya,orang hitam dijuluki bolong (hitam), orang pendek dijuluki pancek (pendek), godek(gemuk), gondolo (gundul), dan cambang (cambang). Penggunaan julukan sebagai penyapaterbatas, hanya pada situasi santai.

Page 82: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Johar Amir

80

(78) Kenroko melok lao Bolong?di mana engkau mau pergi Bolong‘Hendak kemana Bolong?’

(79) Pance, ollirengnga jolok la Weweng!Pance, panggilkan dulu Weweng‘Pance, panggilkan Weweng!’

(80) Alengnga beppamu Godek!kasihkan aku kuemu Godek‘Berikan saya kuemu Godek!’

(81) Battinga jolok makka i berrekku gondolok!bantu saya dulu mengangkat berasku gondolok‘Bantu saya mengangangkat berasku gondolok.’

(82) Dek udapi i melliakko sandala Cambang.tidak sempat saya belikan kamu sandal Cambang‘Saya tidak sempat membelikan kamu sandal Cambang.’

f. Kata SeruPengunaan kata seru sebagai penyapa dalam bahasa Bugis dialek Sidenreng Rappang sangatterbatas, yaitu hei dan anu.

(83) Anu, kenroi mutaro bokak e?Anu, di mana kau simpan minyak goreng‘Anu, Kau taruh di mana minyak goreng?’

(84) Hei, jolok upedakko!Hei, dulu saya beritahukan‘Hei, sini saya beritahukan!’

(85) Anu, sapparengnga jolok sandalakku!Anu, carikan saya dulu sandalku‘Anu, carikan sandalku!’

TABEL BENTUK-BENTUK KATA PENYAPA DALAM BAHASA BUGIS DIALEKSIDRAP

Berikut ini dikemukakan bentuk-bentuk kata penyapa yang digunakan dalam bahasa Bugisdialek Sidrap. Kata penyapa tersebut dapat ditinjau berdasarkan hubungan kekerabatan secaravertikal, horizontal, strata sosial (gelar kebangsawanan), persona kedua, haji, dan julukan(epiten).

a. Bentuk Kata Penyapa Berdasarkan Hubungan Kekerabatan Secara Vertikal

No Sapaan Artinya12345

NenekIndokAmbokNakAppo

Nenek/KakekMama/IbuBapakNakCucu

Bentuk-bentuk sapaan pada tabel di atas termasuk hubungan kekerabatan. Umumnyapenutur bahasa Bugis menggunakan sapaan di atas dalam berkomunikasi, kecuali sapaanappo tidak digunakan dalam tuturan bahasa Bugis pada umumnya. Sapaan appo hanyadigunakan sebagai sapaan pada masyarakat penutur Bugis dialek Sidrap. Hal ini merupakankeunikan tersendiri bagi masyarakat pemakainya yang tidak dimiliki oleh penutur bahasaBugis di daerah lain.

Page 83: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

81

b. Bentuk Kata Penyapa Berdasarkan Hubungan Kekerabatan Secara Horizontal

No Sapaan Artinya123456789

DikDaengIpaAnureAmmure/wakSellalengSappo SisengSappo KaduaBaiseng

AdikKakakIparKemanakan Per/LakiTante/PamanLagoSepupu SekaliSepupu Dua KaliBesan

Tabel di atas menunjukkan bentuk-bentuk sapaan yang digunakan oleh masyarakat penuturBugis dialek Sidrap. Sebenarnya bentuk-bentuk di atas merupakan hubungan kekerabatandalam bahasa Indonesia, begitu juga dalam bahasa Bugis pada umumnya. Namun, katapenyapa hubungan kekerabatan digunakan sebagai kata penyapa. Kebiasaan seperti itujarang terjadi dalam interaksi sosial. Hal itu merupakan keunikan yang dimiliki oleh bahasaBugis dialek Sidrap, sekaligus sebagai salah satu aset budaya suku Bugis di Sidrapkhususnya dan Indonesia pada umumnya.

c. Bentuk Kata Penyapa Berdasarkan Strata Bangsawan

No Kata Penyapa1234

PettaAndiPungIyye

Setiap daerah memiliki sapaan tersendiri sesuai dengan budaya daerah yang bersangkutan.Bentuk-bentuk yang tertera pada tabel di atas menunjukkan sapaan yang digunakan didaerah Bugis pada umumnya. Namun ada perbedaan bunyi, pada sapaan pung di daerahSidrap, sedangkan di daerah Bugis yang lain adalah puang. Derajat kebangsawananmasyarakat Bugis di Kabupaten Sidenreng Rappang sesuai dengan nomor urut yang terterapada tabel di atas. Jadi, derajat kebangsawanan dimulai dari petta, andi, pung, dan iyye.

d. Bentuk Persona Kedua Sebagai Kata Penyapa

No Sapaan Artinya122345

IkoIdik-ko-mu-kikTa-

EngkauEngkau (hormat)EngkauEngkau (posesif)Engkau (hormat)Engkau (hormat)

Bentuk sapaan persona kedua iko, idik - ko, – mu, -kik, dan ta- terdapat dalam bahasa Bugispada umumnya. Bentuk iko dan idik sebagai persona kedua bebas, sedangkan - ko, – mu, -kik, dan ta- merupakan persona kedua bentuk klitika, atau berfungsi sebagai pemarkahpersona. Hanya saja sapaan iko, -ko, - mu, dan ta- tidak sopan bila digunakan kepada orangyang lebih tua, disegani, dan bangsawan. Jadi, sapaan tersebut hanya digunakan kepadateman sebaya (akrab) dan kepada penutur yang lebih muda usianya. Adapun bentuk idik, -kik, dan ta- merupakan sapaan yang sopan.

Page 84: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Johar Amir

82

e. Bentuk Kata Penyapa Haji

No Sapaan Artinya1 Aji Haji

Sapaan aji (haji) digunakan pada orang yang telah menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu,masyarakat Bugis khususnya di Kabupaten Sidenreng Rappang sangat mendambakan dapatmenunaikan ibadah haji, agar sekembalinya dapat disapa dengan aji. Berdasarkanpengamatan penulis di daerah tersebut, orang yang telah menunaikan ibadah haji mendapatprioritas bila mengikuti acara pesta. Misalnya pesta pernikahan, acara aqiqah dan acarapenamatan baca alquran. Ibu aji/bapak haji disapa lebih dahulu, setelah itu baru menyusulyang bukan haji. Para haji merasa sangat senang bila disapa dengan aj dan merasaderajatnya lebih tinggi bila disapa dengan aji.

f. Julukan (Epiten)

No Sapaan (keadaan fisik) Artinya1 Bolong hitam2 Godek gemuk3 Gondolok dll. gundul

Keadaan fisik seseorang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk menjulukiseseorang sebagai penyapa. Julukan sebagai penyapa digunakan pula oleh masyarakat Bugisdi Kabupaten Sidenreng Rappang. Penggunaan julukan sebagai penyapa digunakan dalamsuasana santai dan lebih akrab. Julukan seperti yang tertera pada tabel di atas hanyadigunakan terhadap orang yang sudah akrab. Julukan itu bila digunakan terhadap orangyang baru dikenal dapat menimbulkan amarah orang yang bersangkutan.

g. Kata Seru

No. Sapaan Artinya1 Hei Hei2 Anu seseorang

Kata seru hei dan anu digunakan pula sebagai penyapa. Biasanya sapaan tersebutdiungkapkan secara spontanitas atau bila nama orang yang akan disapa tidak diingat. Kataseru hei dan anu tidak dapat digunakan terhadap bangsawan dan orang yang dihormatikarena dianggap tida sopan.

SIMPULAN

Kata penyapa dalam bahasa Bugis dialek Sidrap secara umum sama dengan kata penyapa dalambahasa Bugis yang lain dan bahasa Indonesia. Hanya saja kata penyapa bahasa Bugis dialekSidrap memiliki keunikan karena istilah hubungan kekerabatan digunakan sebagai penyapa,baik secara vertikal maupun secara horizontal

Jadi, bentuk-bentuk kata penyapa dalam bahasa Bugis dialek Sidrap meliputi yang berikut ini.a) Hubungan kekerabatan secara vertikal meliputi, nenek, indok, ambo, nak, dan appo.b) Hubungan kekerabatan secara horizontal, meliputi daeng, dik, ipak, ammure/wak,sappo

siseng, sappo kadua, sellaleng, dan baiseng.c) Gelar bangsawan meliputi, petta, pung, dan andid) Persona kedua meliputi, iko,-ko,-mue) Bentuk kata penyapa haji misalnya: Ajif) Julukan (epiten) misalnya: bolong, gode, pancekg) Kata seru meliputi, anu, hei.

Page 85: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

83

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

SUMBER RUJUKAN PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 1998. Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: BalaiPustaka.

Darwis, Muhammad. 1995. “Tingkat Tutur dalam Bahasa Bugis.” Masyarakat LinguistikIndonesia Desember 1995.

Fasold, Ralph W. 1984. The Sosiolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.

Fishman, J.A. (ed.) 1969. Reading in The Sosiology of Language. Den Haag/Paris: Mouton.

Hasyim, Munira. 2005. “Penggunaan Bahasa pada Masyarakat Tutur Makassar. KajianSosiolinguistik di Kabupaten Gowa.” Tesis S2 UGM Yogyakarta.

Kartomihardjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. DepartemenPendidikan dan Kebudayaan: Jakarta

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah.

Pateda, Mansur. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Said, Ide D.M. 1979. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Bugis. Ujung Pandang: Balai Bahasa.

Santosa, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan terhadap Bahasa. Surabaya: PustakaEureka dan JP Press Surabaya.

Sudaryanto.1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Pengantar Penelitian WahanaKebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana Universitas Press.

Sumarsono dan Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.

Sumampouw, Elfrida. 2000. “Pola Penyapaan Bahasa Indonesia dalam Interaksi Verbal denganLatar Multilingual.” Dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). Kajian Serba Linguistik.Jakarta: Unika Atma Jaya dan BPK Gunung Mulia.

Tupa, Nursiah. 1997. Sistem Pronomina Persona Bahasa Bugis di dalam Bunga Rampai. UjungPandang: Balai Penelitian Bahasa.

Wolfram, Walt. 1998. Sociolinguistics http://www.lsadc.org/info/ling-fields-socio.cfm, diakses8/10/05.

Yatim, Nurdin. 1984. Subsistem Honorifik Bahasa Makassar: Sebuah Analisis Sosiolinguistik.Jakarta: Direktorat PPM, DEPDIKBUD.

Page 86: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Februari 2011, 85 - 100 Tahun ke-29, No. 1Copyright©2011, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

ON POETRY TRANSLATION:THE IMPOSSIBLE, THE DIFFICULT, AND THE SUBTLE

A. Effendi Kadarisman*[email protected]

Universitas Negeri Malang

Abstract

Menurut pakar “puitika linguistik” Roman Jakobson (1959), puisi pada hakikatnyamengelak terhadap penerjemahan. Namun, fakta menunjukkan bahwa penerjemahanpuisi bisa dan lazim dilakukan di mana saja. Makalah ini, dengan menggunakantinjauan struktural seraya mengacu pada ikonisitas lingual dan sastrawi, mencobamencermati penerjemahan puisi, dan menunjukkan adanya tiga kategori: (a)penerjemahan yang mustahil, (b) penerjemahan yang musykil, dan (c) penerjemahanyang subtil. Kategori pertama menghasilkan ikon sastrawi yang berantakan; kategorikedua menghasilkan terjemahan yang sekadar mengantar “pesan” dari puisi asli dalamBahasa Sumber (BSb); dan kategori ketiga menghasilkan terjemahan puisi yang diterimasebagai “warga baru” dalam khasanah sastra Bahasa Sasaran (BSs). Jadi, hanyakategori ketigalah yang merupakan “penerjemahan puisi yang hakiki.”

Kata kunci: penerjemahan puisi, ikonisitas lingual dan sastrawi, penerjemahan yangmustahil, penerjemahan yang musykil, penerjemahan yang subtil.

Roman Jakobson (1959), the well-known scholar in linguistic poetics, believes thatpoetry is by defintion untranslatable. However, the fact indicates that poetry translationis a common practice world-wide. This paper using a structural approach with majorreference to linguistic and poetic iconicity tries to take a close look at poetry translation,and points out that it falls into three categories: (a) the impossible translation, (b) thedifficult translation, and (c) the subtle translation. The first category produces brokenpoetic icons; the second catagory produces a translation that simply serves to convey the“message” of the original poem in the Source Language (SL); and the third categoryproduces a translation that is well accepted and celebrated as “a new member” of thepoetic genre in the Target Language (TL). Thus, only the third category deserves theterm “true poetry translation.”

Key words: poetry translation, linguistic and poetic iconicity, impossible translation,difficult translation, subtle translation.

INTRODUCTION

Poetry translation has always been a great challenge to translators. Unlike everyday speechwhich generally observes the principle of arbitrariness (i.e., there is no logical connectionbetween form and meaning), poetic language tends to be iconic (i.e., the form and meaning areoften closely connected). Translating non-poetic, everyday language is reproducing in the targetlanguage (TL) the closest natural equivalent of the source language (SL) message, first in termsof meaning and secondly in terms of style (Nida & Taber 1969:12). The objective of translationis thus producing an equivalent, arbitrary text that reads or sounds natural in the TL. Bycontrast, poetry translation, according to Barbaresi (2002:121), requires the translator topreserve double correspondence, that is, to preserve both the meaning and form of the SL text inthe translation. Since each language is a unique system, preserving double correspondence ispractically impossible; and the only way out is to prioritize either the meaning or the form. Thisis in line with the earlier Jokobsonian postulate: “phonemic similarity is sensed as semanticrelationship”; and therefore, “poetry by definition is untranslatable” (Jakobson 1959 [1992]:151). A stronger statement is given by Bonnefoy (1989 [1992]:186).

Page 87: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

A. Effendi Kadarisman

86

The answer to the question, “Can one translate a poem?” is of course no. Thetranslator meets too many contradictions that he cannot eliminate; he must maketoo many sacrifices.

Referring back to Barbaresi’s proposal of double correspondence, if the translator preserves themeaning, he has to sacrifice the form; and if he preserves the form, he has to sacrifice themeaning. Hence, poetry translation is “uphill work,” owing to the iconic tendency pertaining topoetic language.

The iconicity in poetry is best captured by Perrine & Arps’s Sound and Sense (1984), anintroductory textbook to English poetry. In fact the phrase “sound and sense” refers a long wayback to the famous line by Alexander Pope (1688-1744): The sound must seem an echo to thesense. In phonology, the phenomenon of sounds suggesting meaning is known as soundsymbolism. The nonsense verbal joke “a freep is a baby frobe” is an example of soundsymbolism: the high front vowel [i:] and the voiceless bilabial stop [p] in freep, suggesting‘smallness’, are put in contrast with the mid back rising diphthong [ou] and the voiced bilabialstop [b] in frobe, suggesting ‘bigness’. In poetry, the phenomenon of sounds suggestingmeaning is known as euphony and cacophony (Perrine & Arp 1984:200-5). The former implies“smooth and pleasant sound”, as illustrated by So smooth, so sweet, so silvery is thy voice. Thelatter suggests “rough and harsh sound”, as illustrated by All day the fleeting crows croakhoarsely across the snow. Note that the smooth and pleasant sound in the former example owesto the repetitive use of fricative sounds plus long vowels and diphthongs, whereas the rough andharsh sound in the latter example owes to the repetitive use of voiceless stops combined with theliquid [r].

Still related to iconicity are poetic devices, such as rhyme and alliteration, whichstrengthen the relationship between sound and sense. An end rhyme together with the samerhythm, as illustrated by I think I’ll never see / A poem as lovely as a tree, ties the two lines intoa phonologically coherent whole—although syntactically the first line is a complex sentenceending in a transitive verb, taking a long NP object placed in the second line. In a similarmanner, alliteration gives a good flow to poetry reading, as illustrated by Carl Sandburg’s poem:Was ever a dream a drum / or a drum a dream? / Can a drummer drum a dream / or a dreamerdream a drum? Notice the repetition of the consonants dr_m in this stanza, which leads thereader to move easily from one line to another. The examples provided in this introductorysection are not meant to be complete or exhaustive. They are given simply to demonstrate thatform and meaning in poems are related to each other in a specific way, making them soundiconic and hence making poetry translation a hard and challenging task.

The present paper, focusing on iconicity as an essential feature in poetry and taking arigorous structural approach, investigates poetry translation and finds out three translationcategories: (a) the impossible translation, (b) the difficult translation, and (c) the subtletranslation. The data selected as illustrative examples are poetry translation from English intoIndonesian and vice versa, and also from Javanese into English. In addition, English poemstranslated from “unknown” Persian originals are also chosen as illustrative examples for thethird category.

THE IMPOSSIBLE POETRY TRANSLATION

If a poem is written on the basis of a highly rigid metrical pattern, then the translation intoanother language, especially a genetically distant language, will produce a “text” equivalentonly in meaning, but not in form. As an example, consider the following classical Javanesepoem (taken from Wedhatama, attributed to Mangkunagara IV) and its English translation byRobson (1990:24-5).

Page 88: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

87

(1) i 8 a Tan samar pamoring suksmaii 11 i Sinukmaya winahya ing asepiiii 8 u Sinimpen telenging kalbuiv 7 a Pambukane waranav 12 u Tarlen saking layap-liyeping ngaluyutvi. 8 a Pindha pesating supenavii 8 i Sumusuping rasa jati

(2) He sees unclouded the union of the soul,Piercing the illusion, it is revealed to him in stillness;Locked in the depths of his heartIs the lifting of the veil;It is so different from the twilight twixt sleep and waking;With the swiftness of a dreamThe full meaning dawns upon him

The local name for the original Javanese poem in (1) is tembang or ‘sung-poetry’, since the textis a poem-and-song at the same time. This tembang belongs to the so-called pangkur genre,with a very rigid metrical pattern. On the left side of the tembang text, the small Romannumbers indicate the lines; the Arabic numbers indicate the number of syllables in each line;and the vowels indicate vowel quality at the end of each line.

Line (i) consists of 8 syllables ending in /a/; line (ii) consists of 11 syllables ending in /i/;line (iii) consists of 8 syllables ending in /u/; and so forth, through the last line. In traditionalJavanese poetics, the “rule for syllable numbering” is called guru wilangan, and the “rule forvowel qualities assignment” is called guru lagu. In fact, guru lagu, literally meaning “rule forsinging”, signifies the genre of a given tembang text—in this case pangkur (see Darnawi 1982).Semantically as well as poetically, the original text sounds vague and mysterious to mostJavanese speakers today, owing to the abundant use of classical or kawi vocabulary, much useof classical passive structure, and pervasive alliteration pertaining to the whole poem. In fact,the text sounds not only highly literary but also somewhat like mantra, and is therefore oftenperformed as part of janturan or poetic narrative (see Sukatno 1993:90) and even as suluk orchant (Soedarko1991:58-9) in wayang performance. Considering that suluk texts are mostlyselections from Old Javanese literature (Padmosoekotjo 1978), the use of the above poem as asuluk text implies that it is given higher poetic prominence and greater literary prestige.

By contrast, the English translation in (2) conveys only the message of the original, losingall the poetic features as well as the local literary significance of the original. Also, the aura ofmantra is gone. The original is clouded in mystery, but the translation stands ‘naked’ with allthe meaning revealed in the clear. Briefly, the English translation, while it sounds eloquent as aTL text, is more of semantic transfer rather than poetic renditioni; and, with reference toiconicity, it is one vivid example of the impossible poetry translation.

Also impossible to translate are poems belonging to the so-called poems for the eyes. Anexample of these is John Hollander’s “Swan and Shadow,” written in 1969 (see The NortonAnthology of Poetry, 1983:796). Topographically, the poem presents itself in the form of aswimming swan and its shadow.

Page 89: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

A. Effendi Kadarisman

88

From the topography above, it is obvious that “Swan and Shadow” is a strongly iconic poem.The question is: is it possible to translate this English poem into Indonesian? To answer thisquestion, let’s “deconstruct” the swan—only the swan, but not its shadow—into a regular text.

(3) Dusk. Above the water hang the loud files. Here. O so gray then. What? A pale signalwill appear. When? Soon before its shadow fades. Where? Here in this pool ofopened eye. In us. No. Upon us. As at the very edges of where we take shape in thedark air, this object bares its image awakening—ripples of recognition that will brushdarkness up into light …

Below is an Indonesian translation (by the writer) of the “deconstructed” poem:

(4) Senja. Di atas air mengambang karang kenangan. Di sini. O begitu kelabu saat itu.Apa? Sebuah tanda putih-pasi akan mengada. Kapan? Segera sebelum lenyapbayang-bayangnya. Di mana? Di sini, di kolam cendera mata. Di dalam diri kita.Tidak. Di atas kita. Ketika di ujung paling-sana kita menjati-diri pada rembang cuaca,wujud ini muncul seakan citra bangun-terbuka—riak kenal-sua yang akan mengusirgelap ke dalam cahaya …

Setting the iconicity aside, it is clear that the “deconstructed” poem is translatable intoIndonesian. However, if the Indonesian version is put back into the “swan topography”, theresult is not an elegant swan, but a horrible water-bird.

Page 90: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

89

Thus, the poem is translatable linguistically, but not topographically. This is probably due tothe fact that many monosyllabic words in the English original are replaced by bisyllabic ortrisyllabic words in the Indonesian translation, not to mention the different syntactic structures.

In traditional Javanese literature, the 20 characters in the Javanese syllabic writingsystem are made into 4 groups, each being given local, culturally reflective interpretation in theform of 4 poetic expressions, as follows:

(5) ha-na-ca-ra-ka : hananing cipta rasa karsada-ta-sa-wa-la : datan salah wahyaning lampahpa-dha-ja-ya-nya : padhang jagade yen nyumurupanama-ga-ba-tha-nga : marang gambaraning bathara ngaton

The 4 poetic interpretations are translatable into English as the following:

(6) Present here are the thought, feeling, and intention.There is nothing wrong with the pace of time.Then your inner world gets enlightened when you encounterThe appearance of God clad in human image

Let’s begin by taking a look at the two sets of data in (5): the 20 characters on the left and theirlocal interpretations on the right. The 20 characters, as noted earlier, are divided into 4 lines,each consisting of 5 characters. These 4 lines of characters are accordingly given 4 lines ofinterpretations on the right, each consisting of 4 words. Parts of these 4 words are printed inbold and italics, highlighting the presence of the 5 characters in each line.

Interestingly, the insertion of the 5 characters into the lines on the right makes 2 differentpatterns. The first pattern applies to the first 3 lines, where the first 2 characters occur in thefirst word and the next three characters occur at the beginning of the following three words.More clearly, the pattern can be seen as follows: [[ha-na] [c] [ra] [ka]] / [[da-ta] [sa] [wa] [la] /[[pa-dha] [ja] [y] [ny]]. The second pattern applies only to the last line: [[ma] [ga-ba] [tha][nga]]. This variation of sound or signifier structuring at the phonological level is probablymeant to avoid monotony, which may result in boredom.

Notice further that this variation in phonology goes nicely together with the variation insyntactic structure. As can be seen from the translation, the first 2 lines are complete sentences;but the 3rd line is a main clause followed by a subclause ending in a transitive verb, taking anNP object in the 4th line. Represented in label bracketing, they look as follows: [Main Clause][Main Clause] [Main Clause [Sub-]] [-Clause]. To sum up, the 4 lines on the right are in

Page 91: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

A. Effendi Kadarisman

90

uniform in that each of them consists of four words. However, taken together as a “text”, these4 lines are varied in “phonological play” and in syntactic structure. Semantically, as can be seenagain from the translation, it is a coherent text; and stylistically, this text sounds very elegant inJavanese.

Now moving ahead and looking at the English translation in (6), what parts of the SLJavanese text remains? The message and the syntactic structure remain; the elegant literarystyle is well maintained; but the “phonological play” is gone. In effect, the “literary game”which stands out prominently in the SL text is totally lost in the translation. Moving further anddeeper into the local culture, the original four poetic expressions in Javanese script are taken asthe “raw materials” for drawing the wayang character Semarii (see Appendix 1)—the God ofvirtue and justice living among the five Pandawa brothers, both as their servant and their moralguide. Like Hollander’s “Swan and Shadow”, the iconic illustration of Semar in Javanese scriptis not translatable into any other language, especially when the Javanese script is replaced by theRoman alphabet.

THE DIFFICULT POETRY TRANSLATION

Works of great poets are always appealing to translators. In Indonesian literature, ChairilAnwar (1922-1949) has remained influential on the development of modern Indonesian poetry.Is was no surprise therefore that Burton Raffel (1993), an American expert in Indonesianliterature, translated all Chairil Anwar’s literary works into English, producing the book TheVoice of the Night. From this book, I would like to pick up the translations of three poems:“Dipo Negoro” [sic], “Rumahku”, and “Derai-derai Cemara”—translated into “Dipo Negoro”,“My House”, and “Whispering Pines” respectively. Each poem will not be discussed in whole;but only ‘appealing’ parts in it are cited, presented together with their English translations.

Let’s start with “Dipo Negoro” and take a look at the following lines, together with theirEnglish translation.

(7) Ini barisan tak bergenderang berpaluKepercayaan tanda menyerbu

Sekali berartiSudah itu mati

Maju

Bagimu NegeriMenyediakan api

(8) These soldiers don’t attack because drums summon themBut because faith drives them on

To mean something, onceThen die

Forward!

Your country has built youA fire

Notice that so much is missing in the English translation: the rhymes and poetic equivalence(length of lines) pairing the “couplets” in the original, and hence the rhythm and also the “spirit”giving sparks to these lines. The translation problem here, besides owing to arbitrarinesspertaining to words as linguistic signs, is also due to differences in syntax. English is a subject-prominent language, as made obvious by the presence of explicit subjects in the translation,whereas in Indonesian the subject may remain vague, as shown in the original poem. Briefly,

Page 92: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

91

this is an example of very difficult poetry translation; the translated version succeeds inpreserving the message equivalent, but not the poetic equivalent, of the original poem.

A similar problem encountered by the same translator can be seen in the translation of“Rumahku” or “My House”, another well-known poem by Chairil Anwar. The first fourcouplets of the original and their translation are presented in (9) and (10) respectively.

(9) Rumahku dari unggun timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halamanAku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senja kalaDi pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun timbun sajakDi sini aku berbini dan beranak…..

(10) My house is built of heaped-up poemsClear glass through which you can see everything

I run away from the huge home, with its huge yardI’m lost there, I don’t know which way to go

I pitch a tent in the twilightIn the morning I fly away, who knows where

My house is built of heaped-up poemsHere’s where my wife and children live…..

The translation in (10) sounds a bit better than that in (8), especially in keeping the rhythm ofthe original. However, like that in (8), the rhyme pattern [a a / b b / c c / a a] in the original (9)is also missing in the translation (10). As noted earlier, when it is impossible to preserve thedouble correspondence, the translator has to sacrifice either the meaning or the form. Here in(10), he preserves the meaning and sacrifices the form. And yet, the second line of the thirdcouplet has been mistranslated. Let’s take a closer look at the error—marked with an asterisk(*), repeated here as (11) and (12).

(11) Kemah kudirikan ketika senja kalaDi pagi terbang entah ke mana

(12) I pitch a tent in the twilightIn the morning *I fly away, who knows where

I would assume that the translation I fly away in the third couplet is probably motivated by I runaway in the second couplet, hence both making semantic parallelism. However, while“semantic violation” (i.e., I fly) in poetry is made possible by “poetic license”, logicalinterpretation should take precedence. The question is: what is the subject of terbang ‘fly’ (inDi pagi terbang entah ke mana)? In my opinion, allowing the rule of logic, the subject is thetent, not the persona I. Thus, (12) should be revised into (13).

(13) I pitch a tent in the twilightIn the morning it is blown away, who knows where

Note that I fly away seems to suggest happiness, but it is blown away suggests vain andemptiness. Logically, the revised translation is more acceptable; and rhetorically, it is moresupportive of the unity and coherence of the poem. The feeling of emptiness in the third couplet

Page 93: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

A. Effendi Kadarisman

92

goes nicely with the feeling of getting lost in the second couplet. The mistranslation is probablycaused by the flexible syntactic structure in Indonesian: Di pagi (aku / ia [kemah itu]) terbangentah ke mana. A further relevant question arises: is the ambiguity here “accidental” or“intentional”? In my opinion, it is accidental; and therefore “logical interpretation” wins over“semantic violation”.

The third or last examples picked out from The Voice of the Night are the first two stanzas(out of three) of “Derai-derai Cemara” or “Whispering Pines”.

(14) cemara menderai sampai jauh, fir trees rustle into the distance.terasa hari akan jadi malam, I feel day becoming night.ada beberapa dahan di tingkap merapuh, branches scratch at the little window,dipukul angin yang terpendam. pushed by some unseen wind.

aku sekarang orangnya bisa tahan, I can stand it, now:sudah berapa waktu bukan kanak lagi, it’s been a long time since I was a child—tapi dulu memang ada suatu bahan, but once, once there was something,yang bukan dasar perhitungan kini. that, now, counts for nothing at all

While the translation of “Rumahku” or “My House” in (13) is semantically defective because ofthe wrong translation of the third couplets, the semantic rendition of “Derai-derai Cemara” in(14) seems quite successful—but with a few critical notes. Perhaps the most difficult semanticrendition pertains to the third and fourth lines of the first stanza, whose literal translations aregiven in (15).

(15) … …ada beberapa dahan di tingkap merapuh, branches scratch at the fragile window,dipukul angin yang terpendam. hit by some unseen wind.

From the literal translation, it is clear that in the original version there is some “violence” whenthe fragile window is hit by some unseen wind. However, in the actual translation the“violence” is gone. To accomplish the closest natural equivalent in English translation, theliteral translation is rejected, resulting in the actual translation (repeated below) as (16), withlexical adjustment highlighted in bold.

(16) cemara menderai sampai jauh, fir trees rustle into the distance.terasa hari akan jadi malam, I feel day becoming night.ada beberapa dahan di tingkap merapuh, branches scratch at the little window,dipukul angin yang terpendam. pushed by some unseen wind.

Through the lexical adjustment, the whole stanza sounds naturally English. Thus even at thesignified or semantic level, sacrifice must be made. That is, wheareas the lexical adjustmenthelps to produce a natural equivalent in English, it throws away the notion of “violence” in theoriginal. In sum, the original stanza conveys melancholy with some violence; but the translationkeeps only the melancholy without violence.

The hard effort to keep semantic equivalence in the second stanza shows up in theexcessive use of punctuation in the translation, as made clear through the discussion of (17).

(17) aku sekarang orangnya bisa tahan, I can stand it, now:sudah berapa waktu bukan kanak lagi, it’s been a long time since I was a child—tapi dulu memang ada suatu bahan, but once, once there was something,yang bukan dasar perhitungan kini. that, now, counts for nothing at all

As for the punctuation marks, the original version uses only 3 commas (,) at the end of the firstthree lines and 1 full stop (.) at the end of the last line. In contrast, the translation uses (a) 5commas (,): 1 near the end of the first line, 2 in the middle and at the end of the third line, and 2near the beginning of the last line; (b) 1 colon (:) at the end of the first line, and (c) 1 dash (—)

Page 94: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

93

at the end of the second line. Overall, the translation looks “very busy” with punctuation marks.The result of this over-use of punctuation is the good semantic equivalent in the translation.

Nevertheless, in spite of all the hard efforts to keep the meaning intact, the translationsuffers most from losing the rhyme. The melancholic nuances in the original are conveyed bymeans of semantic, syntactic, and phonological manipulation—producing two stanzas with tworhyme patterns: [a-b-a-b] [c-d-c-d]. On the other hand, to keep the melancholy, the translationcan only rely on semantic and syntactic manipulation. The failure to manipulate thephonological aspects in the translation results in the total loss of the rhyme. In effect, when weread the translation, we can only feel the melancholy at the signified level, but we lose thephonological beauty at the signifier level. The explanation of this “poetic defect” obviouslygoes back to the Saussurean principle: linguistic signs are arbitrary.

To recapitulate, Burton Raffel’s laborious attempts to render Chairil Anwar into Englishhas only been a partial success. The intricate linguistic form-and-meaning in poetry makestranslation very difficult. The requirement for preserving double correspondence on the part ofthe translator is not only problematic, but also dilemmatic. If he gives priority to form, he has tosacrifice the meaning, and hence betraying the SL message. If he gives priority to meaning, hehas to sacrifice the poetic features, and hence losing the literary quality. This reminds us of thewell-known Italian saying traduttore, traditore or “the translator is a betrayer”, which suggeststhat giving priority either to form or to meaning is inevitably an “act of betrayal”. The questionarising is: is it totally impossible to preserve double correspondence in poetry translation? Is itthus an absolute necessity for the translator to become a betrayer in poetry translation? Answersto these questions are to be given in the last section of this paper.

THE SUBTLE POETRY TRANSLATION

Among many attempts in poetry translation, some turn out to be quite successful. The poem“Huesca” by John Conford was translated by Chairil Anwar into Indonesian with the same title,well preserved both in terms of meaning and form—as can be seen in the following first twostanzas, taken from the four stanzas of the original and the translation.

(18) Heart of the heartless world, Jiwa di dunia yang hilang jiwaDear heart, the thought of you Jiwa sayang, kenangan padamuIs the pain at my side, Adalah derita di sisiku,The shadow that chills my view Bayangan yang bikin tinjauan beku.

The wind rises in the evening Angin bangkit ketika senja,Reminds that autumn is near. Ngingatkan musim gugur akan tiba.I am afraid to lose you Aku cemas bisa kehilangan kau,I am afraid of my fear Aku cemas pada kecemasanku.

A close look at the original poem and its rendition into Indonesian reveals that this is indeed anexcellent translation, as characterized (a) by preserving the equivalence in lexical choice, inpoetic message, and in style; and (b) by preserving parallelism at the syntactic and semanticlevels. Criticism may be directed toward the [a b c b] rhyme pattern in the original beingreplaced by [a b b b] in the first stanza and by [a a b b] in the second. However, despite thedifference in rhyme patterns, the rhythm as well as the tone and atmosphere of the original arevery nicely preserved in the translation. Damono (2003) considers this translation to be “themost faithful translation” of literary works done by Chairil Anwar. In short, this translation is arare, or indeed a very rare, example of the successful attempt in preserving doublecorrespondence. The message and literary quality of the original are truly well preserved in thetranslation: a good poem in English is “recreated” into a good poem in Indonesian.

The key word here is “recreate” or “recreation”. Jakobson (1959 [1992]:151) suggests asimilar term, “creative transposition”. It means that the translator should try hard to keep the

Page 95: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

A. Effendi Kadarisman

94

“spirit” of the original poem while giving it “new flesh” in the TL. Likewise, Bonnefoy (1989[1992]:191-2) advises translators to translate poems which are inspiring, and further adds, “If awork does not compel us, it is untranslatable”. More clearly, Vieira ((1999:105) in Munday2001:169) states,

The translation of a creative text … is always recreation. … it is not only meaning that istranslated but the sign itself in its all corporeality (sound properties, visual imageries, allthat makes up the iconicity of the aesthetic sign).

Along this line of argument, Munday (ibid. p. 168) points out that the legendary poet EzraPound (1885-1972) always kept “seeking to energize language by clarity, rhythm, sound andform, rather than sense”. In sum, iconicity in poetry, being juxtaposed with a creative literaryact, goes far beyond onomatopoeia and sound symbolism; it suggests the presence of linguisticsign in its totality, living in its own way rather than referring to objects in the outside world.Thus poetry translation is considered successful if it succeeds in preserving the original “poeticiconicity”.

In English literature, the well-known example of successful poetry translation is TheRubaiyat of Omar Khayam. The anonymous translation was first published in 1859, andbecame popular several years later as it was discovered by D. G. Rossetti and other literaryscholars in 19th century England. The translator, Edward FitzGerald (1809-1883), then becameso occupied with this work that he revised it again and again. The Dover Edition (1990)includes the complete sets of the first and fifth editions, noting that this work is not really atranslation proper but rather a free adaptation of the rubaiyat (quatrains) by Omar Khayam(1048-1122), a notable Persian poet. FitzGerald was accordingly regarded as “creating whatwas essentially a new work of English poetry”.

To see FitzGerald’s “re-creative act” in progress, it would be judicious to compare onequatrain from the first edition (19) and its revised translation (20) in the fifth edition.

(19) Here with a Loaf of Bread beneath the bough,A Flask of Wine, a Book of Verse—and Though

Beside me singing in the Wilderness—And Wilderness is Paradise enow.

(20) A Book of Verses underneath the Bough,A Jug of Wine, a Loaf of Bread—and Thou

Beside me singing in the WildernessOh, Wilderness were Paradise now!

The capitalization in (19) and (20), which looks “obsolete” to present-day readers of Englishpoetry, is probably remnants of orthographic conventions from the 19th century. Setting thearchaic capitalization aside, I will focus the discussion on more substantial linguistic aspects ofthese two versions of the quatrain. In terms of end rhyme, both versions have exactly the samerhyme pattern: [a-a-b-a]. Likewise, in terms of semantic content, there is no difference between(19) and (20). However, in terms of poetic quality there is a big difference between them.

Let’s start doing the analysis at the phonemic level. The close alliteration, i.e., repetitiveoccurrence of /b/, in … Bread beneath the Bough in (19) sounds less appealing than the two/b/’s placed in big distance from each other in (20): A Book of Verses underneath the Bough.Going to the second line, A Flask of Wine, a Loaf of Bread … lacks phonemic equivalence thatnicely occurs in A Jug of Wine, a Loaf of Bread … Look at the first consonant in each word inthe former: /f … w … l … b/—fricative, semivowel, lateral, stop. Now compare with theircounterparts in the latter: /j … w… l… b/—affricate, semivowel, lateral, stop. The results arethe following. There is only one heavy stop occurring at the end in the former, causing aphonemic imbalance. Conversely, there are two heavy stops occurring at the beginning and atthe end in the latter, producing a nice phonemic balance. Thus, phonologically speaking, (20)observes the Jakobsonian “principle of equivalence” better than (19) does.

Page 96: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

95

Furthermore, in (20), but not in (19), the principle of equivalence also holds at thesemantic level. In (19) a Loaf of Bread stands by itself in the first line, followed by a Flask ofWine going with a Book of Verse in the second line, giving the imbalanced pattern: [food] +[drink + reading]. By contrast, in (20) a Book of Verses stands by itself in the first line,followed by a Jug of Wine going with a Loaf of Bread in the second line, producing a balancedpattern: [reading] + [drink + food].

At the discourse level, the opening phrase Here with … in (19), compared with itsabsence in (20), turns out to be unnecessary. That is, it makes the first line of (15) unnecessarilywordy. Also, the third line in (19) ends with a dash (—), followed by the fourth line: AndWilderness is Paradise enow. Thus use of dash followed immediately by the conjunction Andlacks an element of surprise. Accordingly, the fourth line takes the linking verb in the presenttense is, simply suggesting an “imaginary fact”. By comparison, the third line in (20) ends in“silence”. Then the fourth line begins with Oh, indicating wish and surprise. Therefore this lastline takes the linking verb in the subjunctive mood were, indicating wish and dream—emphasized by the exclamation mark (!), suggesting, “Oh, make this dream come true!”

This rigorous structural analysis is meant to show that in poetry “form” is given highprominence for the purpose of achieving the highest possible “poetic quality”. The comparativeanalysis of quatrains (19) and (20) above clearly shows that FitzGerald has been very successfulin doing the revision. The “violation” of the principle of equivalence at the phonological,semantic, and discourse levels in (19) no longer occurs in (20), making the latter an excellenttranslation.

Still keeping at hand the translation of The Rubaiyat by FitzGerald, it is of greatsignificance to find out that many quatrains in this collection turn out to be exactly the same inboth the first and fifth editions. One of them, similar in meaning to example (20) with regard tohedonistic flavor, is cited here as example (21).

(21) Ah, my Beloved, fill the Cup that ClearsTO-DAY of past Regrets and future Fears—

To-morrow?—Why, To-morrow I may beMyself with Yesterday’s Sev’n Thousand Years.

Just as the last line of example (20), Oh, Wilderness were Paradise now!, reveals romantic wish,the first line of example (21), beginning with Ah, my Beloved …, conveys invitation to thebeloved with an amorous sigh. In terms of content, both examples (20) and (21) are devoted tothe poetic theme of carpe diem, or “pluck the day”, that is, “the enjoyment of the pleasures ofthe moment without concern for the future” (Webster 1989: 209).

Now let’s proceed with the structural analysis to find out whether the quatrain in (21) isalso of great poetic quality. At the phonological level, the rhyme pattern [a-a-b-a] manifestedthrough the end-words clears, fears, be, years makes the quatrain sound very appealing,particularly the –ears ending (the diphthong [iyə] followed by the approximant [r] and fricative[s]) suggesting light music of romanticism. Moreover, the –ears ending in the first two lines ispreceded by alliteration: the repetition of [k] in cup that clears and the repetition of [f] in futurefears, whereas the –ear ending in the last line is preceded by the inner rhyme sev’n thousand.Both the alliteration and inner rhyme add more rhythm to the musicality of these three –earsendings. In between them, the third line of the quatrain ends in the word be [bi:], where thelong vowel [i:] in this open syllable, taking along the lexical meaning of may be, reveals thefeelings of doubt and uncertainty.

This somewhat subjective interpretation of sound symbolism at the phonological levelgoes nicely with accomplishments at the syntactic level. Syntactically, the poem consists of twosentences, intervened by a fragment. The first sentence which begins with the vocative Ah, myBeloved, … proceeds with the imperative fill the Cup that Clears / TO-DAY of the past Regretsand future Fears. The intervening fragment is the question: Tomorrow?—a shorter form of

Page 97: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

A. Effendi Kadarisman

96

“What about tomorrow?” The second sentence begins with Why and then proceeds with To-morrow I may be / Myself with Yesterday’s sev’n thousand Years. To make the three syntacticdivisions look clear, the results of this analysis are presented in (22). The line numbers in thequatrain are inserted as small Roman numbers: [i, ii, iii, iv].

(22) (1) [i] Ah, my Beloved, fill the Cup that Clears / [ii] TO-DAY of past Regrets and future Fears—(2) [iii] To-morrow?—(3) Why, To-morrow I may be / [iv] Myself with Yesterday’s Sev’n Thousand Years.

As shown in (22), the first sentence in line [i] ends half-way with the transitive verb clear;the NP object of this verb makes up the whole of line [ii]. Line [iii] begins with the fragmentTo-morrow? and continues with the first half of the second sentence, ending in may be andleaving in line [iv] the NP object plus its PP modifier. Overall, this great variation in the lengthof syntactic constructions (i.e., very long—very short—very long) serves as strong evidence forhighly skillful syntactic manipulation by FitzGerald as a great translator.

Notice also the different syntactic functions assigned to the words to-day, to-morrow, andyesterday in the quatrain, and hence their semantic implications. To-day at the beginning of line[ii] is the NP object of the transitive verb clears. More obviously, let’s change the predicativeverb clears into the imperative verb clear. Now, observe that the instruction Clear past regretsand future fears today is very different from Clear today of past regrets and future fears. In theformer, today, as commonly used, serves as a time adverb; but in the latter, today is “promoted”into an NP object. The “syntactic promotion” here implies that, in the given discourse, the wordtoday becomes very prominent, shown orthographically by the use of capital letters: TO-DAY.This is indeed in full accord with the theme of carpe diem or “Take out all the joy of today, andforget all about tomorrow”.

Going back to the poem, the word to-morrow is used twice in line [iii]. First, the one-word fragment To-morrow?— representing the question “What about to-morrow?” but standingall by itself—sounds very strong and effective. The strength is even multiplied as the word isprinted in italics, implying worries and concerns for the future. But they are made trivial by thequestion word Why—followed by a comma (,), not a question mark (?), suggesting that worriesand concerns for the future are not significant at all. Why not significant? The answer is giventhrough the ordinary use of To-morrow as a time adverb at the beginning of the last sentence:Tomorrow I may be / Myself with Yesterday’s Sev’n Thousand Years. That is, “tomorrow I maybe dead already”. However, the predicative adjective “dead” is wonderfully paraphrased intoMyself with Yesterday’s Sev’n Thousand Years.

Finally, looking at yesterday in this line, one may think that it is just an ordinary use ofyesterday, such as in the phrase yesterday’s meeting, which is a paraphrase of the meetingyesterday. But yesterday’s seven thousand years in the poem cannot be paraphrased into *seventhousand years yesterday. In other words, whereas yesterday’s meeting and yesterday’s seventhousand years syntactically look the same, semantically they are different. In the former,yesterday’s is a “modifier” for the meeting; but in the latter yesterday, not yesterday’s, is the“owner” of seven thousand years. Thus, “I may be dead” is given the paraphrase “I may bemyself together with yesterday that owns seven thousand years”, or more clearly “I may bemyself that is part of eternity which belongs to yesterday”. Logically, death occurs in thefuture, hence causing much fear and worry. But in the poem with the theme of carpe diem,death belongs to the past, hence throwing away TODAY’s fear and worry.

In summary, the syntactic and semantic feat in manipulating the time adverbs to-day, to-morrow, and yesterday in the English translation gives no small contribution to achievingrichness and elegance in literary style. It should be no surprise, therefore, that the quatrain hasremained the same in both the first and the fifth editions, since everything has been flawlessfrom the very beginning.

Now back to examples (20) and (21), these two quatrains, standing by themselves andleaving the original Persian texts aside, sound perfectly English, with no trace of translation.

Page 98: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

97

Hence English readers no longer think of what the original Persian poems sound like. Just asChairil’s “Huesca” is well accepted as a “new member” of Indonesian poetry, FitzGerald’sRubaiyat is also well accepted as a “new member” of English poetry. The publication of TheRubaiyat as one of the Dover Editions (1990) proves that FitzGerald’s translation is accordedequal prestige to original literary works in English literature. At this point, the concern isbeyond preserving the formal features and the poetic quality of the original; but how successfulthe translation is in entering the poetic genre of the target language (TL). Of course, very fewtranslated poems achieve this goal; and when they do, they are examples of subtle poetrytranslation.

CONCLUSION

Iconicity in linguistics, standing as the opposite of arbitrariness, simply refers to the closerelationship between form and meaning. Carried into poetry, iconicity has much greatersignificance: the sign present in its totality, taking its own life and neglecting its ordinaryobligation of referring to “objects” in the outside world. Owing to this literary iconicity, poetrytranslation has been a very challenging but also a rewarding task (Bonnefoy (1989 [1992]:188).Roughly, when seen from the perspective of both linguistic and poetic iconicity, poetrytranslation falls into three different degrees of difficulty. Highly iconic poems are impossible totranslate poetically; poems in general are very difficult to translate; and when subtle translationoccurs, making the translated versions new members of TL literature, there are two possiblereasons: the translator is a great poet, or the translator is both a poet and a “great betrayer”.

ACKNOWLEDGMENTS

* I would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft; and for themuch earlier version, I am thankful to Nurul Choyimah, M.Pd., a doctoral candidate at the ProgramPascasarjana (Graduate Program) Universitas Negeri Malang, for proofreading and suggestingvaluable improvements. Any shortcomings remaining, however, are my responsibility alone.

Page 99: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

A. Effendi Kadarisman

98

REFERENCES

Ahmadi, Mukhsin. 2003. Dari Ha-na-ca-ra-ka ke Sastra Macapat dan Suluk (From Ha-na-ca-ra-ka to Macapat and Suluk Literature). A paper presented at the Academic Seminar,Faculty of Letters, State University of Malang, March 2003.

Allison, Alexander W., H. Barrows, C.R. Blake, A.J. Carr, A.M., Eastman, and H.M. English Jr.1983. The Norton Anthology of Poetry (Third Edition). New York/London: W.W.Norton and Company.

Barbaresi, Lavinia Merlini. 2002. “Text Linguistics and Literary Translation.” In: Reccardi(ed.), 120-132.

Bonnefoy, Yves. 1989 [1992]. “Translating Poetry.” In: Schulte dan Biguenet (eds.), 186-192.

Damono, Sapardi Djoko. 2003. Menerjemahkan Karya Sastra (Translating Literary Works). Apaper presented at Kongres Nasional Penerjemahan (National Congress on Translation) atUNS, Surakarta, in September 2003.

Darnawi, Soesatyo. 1982. A Brief Survey of Javanese Poetics (translated from Pengantar PuisiJawa (1964) by Gary Lichtenstein). Jakarta: Balai Pustaka.

Fitz Gerald, Edward. 1990. The Rubaiyat of Omar Khayyam. First and Fifth Editions. NewYork: Dover Publications.

Jakobson, Roman. 1989 [1992]. “On Linguistic Aspects of Translation.” In: Schulte andBiguenet (eds.), 144-151.

Kamajaya, Karkono (Transliterator). 1992. Karangan Pilihan K.G.P. A.A. Mangkunagara IV.Yogyakarta: Yayasan Centhini.

Munday, Jeremy. 2001. Introducing Translation Studies: Theories and Application. London andNew York: Routledge.

Nida, Eugene A. and Charles R. Taber. 1969. The Theory and Practice of Translation. Leiden:E.J. Brill.

Padmosoekotjo, S. 1978. Suluk Pedhalangan (Chants in Shadow Play Performance). Surabaya:PT Citra Jaya Murti.

Perrine, Laurence and Thomas R. Arp. 1984. Sound and Sense: An Introduction to Poetry(Eighth Edition). Philadelphia: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.

Raffel, Burton. 1993. The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar.Ohio University: Monographs in Indonesian Studies, Southeast Asia Series, No. 89.

Reccardi, Alessandra (ed.). 2002. Translation Studies: Perpectives on an Emerging Discipline.Cambridge: Cambridge University Press.

Robson, Stuart. 1990. The Wedhatama: An English Translation. Leiden: KITLV Press.

Schulte, Rainer and John Biguenet (eds.). 1989 [1992]. Theories of Translation: An Anthologyof Essays from Dryden to Derrida. Chicago and London: The University of ChicagoPress.

Soedarko. 1991. Serat Pedhalangan Lampahan Déwa Ruci (A Guide to Puppeteership, theStory of Déwa Ruci). Surakarta: CV Cendrawasih.

Sukatno, Anom. 1993. Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo (Descriptive PoeticNarratives inShadow Puppetry). Surakarta: CV Cendrawasih.

Webster's Ninth Collegiate Dictionary. 1989. Springfield, Massachusetts: Merriem Webster Inc.Publishers.

Page 100: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 1, Februari 2011

99

APPENDIX 1

The Orthographic Picture of Semar, the Javanese God of Virtue

Note: The Javanese script constituting the picture of Semar, as noted at the end of section 2 ofthe paper, reads as follows: Hananing cipta rasa karsa / Datan salah wahyaning lampah/ Padhang jagade yen nyumurupana / Marang gambaraning bathara ngaton,translatable into English as the following: Present here are the thought, feeling, andintention. / There is nothing wrong with the pace of time. / Then your inner world getsenlightened when you encounter / The appearance of God clad in human image.

Page 101: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

A. Effendi Kadarisman

100

i It should be noted immediately that, while the translation fails in a poetic sense, it succeedsconsiderably in a linguistic sense. That is, since the clouded and vague meaning in the original is gonein the translation, the intended message becomes very clear to the reader. In my own personalexperience, I had never fully understood the real meaning of Wedhatama until I read its Englishtranslation by Robson (1990) while working on my dissertation toward the end of the 1990s.

ii The Javanese orthographic picture of Semar is taken from Ahmadi’s (2003) paper “Dari Ha-na-ca-ra-ka ke Sastra Macapat dan Suluk” (From Ha-na-ca-ra-ka to Macapat and Suluk Literature).

Page 102: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran

FORMAT PENULISAN NASKAH

Naskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah,termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, denganspasi tunggal dan jenis huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai denganabstrak sekitar 150 kata dan kata kunci (key words) maksimal tiga kata. Abstrak dankata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkansetelah judul naskah dan afiliasi penulis.

Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnyalebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, menjorok kedalam (indented) sepuluh karakter, letak tengah (centered), dan tanpa tanda petik. Namapenulis yang dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut: nama akhir penulis,tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan); misalnya, (Radford 1997),(Radford 1997:215). Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagianbawah halaman (footnote).

Setiap rujukan baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya, diurutkanmenurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut.

· Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun pe-nerbitan, (6) titik, (7) judul buku cetak miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titikdua (colon), (11) nama penerbit, dan (12) titik, seperti pada contoh berikut:

Gass, S.M. dan J. Schachter. 1990. Linguistic Perspectives on Second LanguageAcquisition. Cambridge: Cambridge University Press.

Hutabarat, S. 1995. Pemerolehan Fonem Bahasa Batak Karo pada Anak-anak UsiaTiga Tahun. Jakarta: Gramedia.

· Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5)tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tandapetik tutup, (11) nama jurnal cetak miring, (12) volume, (13) titik, (14) nomor (kalauada), (15) koma, (16) spasi, (17) halaman, (18) titik, seperti pada contoh berikut:

Chung, S. 1976. “An Object-Creating Rule in Bahasa Indonesia.” Linguistic Inquiry7.1, 41-87.

Zwicky, A.M. 1985. “Heads.” Journal of Linguistics 21, 1-30.

· Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5)tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tandapetik tutup, (11) berilah kata "Dalam", (12) titik dua, (13) nama editor disusul (ed.),(14) koma, (15) halaman, (16) titik. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalamlema tersendiri, seperti pada contoh berikut:

Dardjowidjojo, S. 2007. “Derajat Keuniversalan dalam Pemerolehan Bahasa.” Dalam:Nasanius (ed.), 233-261.

Nasanius, Y. (ed.). 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

· Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulisulang secara lengkap, dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuticontoh ini:

Shibatani, M. 1977. “Grammatical Relations and Surface Cases.” Language 53, 789-809.

Shibatani, M. 1985. “Passives and Related Constructions: A Prototype Analysis.”Language 61, 821-848.

Page 103: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2011.compressed.pdf · Setiawati Darmojuwono ..... 19 Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya Gufran