Melawan Dengan Cinta
-
Upload
itatriesnaariy -
Category
Documents
-
view
80 -
download
10
description
Transcript of Melawan Dengan Cinta
“...karena kemenangan Islam adalah niscaya,
tetapi ianya bukanlah hadiah percuma,
ia yang harus ditebus;
dengan berlinang airmata, bercucur keringat,
bersimbah darah, bahkan berpisahnya ruh dengan raga.”
~ MELAWAN DENGAN CINTA ~
Abay Abu Hamzah
Untuk Kalian
Untuk Noor Yenni, atas berjuta inspirasi, atas setiap pelajaran di sepanjang perjalanan kita.
Untuk Salim Abdurrahman, atas diskusi yang ditemani lilin dan sebotol air mineral
Untuk adik-adik di Komunitas Gugah Jiwa, Amin, Hendra, Hairan, Fadlan, Amri, Dyah,
Maria, Erna. Buku ini kakak tulis untuk kalian, dan karena kalian.
Untuk anak-anak Mymaticz dan IslamSatu, bumi ini menunggu peranmu, adik-adik hebat!
Untuk siswa-siswi tercinta, 8G SMPN 6 Banjarmasin 2009: Anggi, Anna, Nurul, Mia, Feli,
Sarah, Dinda, Iong, Gusti, Erdian, Dedy, Eric, dan lainnya yang tidak bisa kusebutkan satu
persatu.
Untuk Ustadz Fadli Ramadhan, SE, seorang penguasaha terkenal dan da’i muda tahun 2020,
atas bantuan yang demikian berharga untuk terbitnya buku kecil ini. Salam untuk keluarga
besar Pondok Samara 2.
Untuk adik-adik manisku, Amalia Rismawati, Maulida Wulandari, Muhammad Syawwal
Rafiqi, dan Muhammad Nazar Ridhani.
Untuk guru-guru yang menempa diriku, Ustadz Agung, ustadz Wahyudi, Ustadz Agus,
Ustadz Yusuf, Ustadz Fadli, Ustadzah Fitri, Bu Kamal, Pa Maksudi, Bu Fajriyah, Bu Ati, Bu
Akmil, serta guru lainnya yang tidak bisa kutuliskan satu persatu. Bukan lupa, hanya saja
halaman ini terlalu sempit untuk menyebutkan nama kalian semua.
***
Untuk dua permata hatiku;
Muhammad Nawfa Hamzah
dan Muhammad Alif Alfatih,
Cepatlah besar nak.
Liuk-liuk ar-Rayah tengah merindukan kalian,
Agar kalian segera menggenggam dan mendekapnya erat,
Kemudian mengibarkannya dengan penuh keagungan
Di ujung tertinggi di bumi ini.
***
Untuk kalian semua, buku ini kupersembahkan.
- MELAWAN DENGAN CINTA -
***
SETELAH MENGGENGGAM BARA ISLAM
(Sebuah Pengantar)
Apa kabar? Selamat berjumpa kembali. Tak terasa, detik bergulir begitu cepat. Sudah
beberapa bulan lamanya kita berpisah sejak persuaan kita di buku Menggenggam Bara Islam
(MBI). Ah, rasanya kita sudah saling mengenal cukup akrab di perjumpaan itu. Meski
perjumpaan kita hanya melalui lembaran-lembaran kertas tak bernyawa, itu semua tetap tidak
akan menjadi penghalang bersatunya cinta dua orang mukmin, karena Allah.
Pertemuan kita beberapa waktu yang lalu di buku MBI, semoga memberikan kesan yang
mendalam, di hati kalian, di hati saya. AlhamduliLlah jika buku tak bernyawa tersebut
mampu memberikan manfaat kecilnya kepada sahabat di manapun berada. Pernah ada
seorang sahabat saya dari Jakarta yang mengapresiasi buku MBI tersebut dengan kalimat,
”Langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan karya-karya Abay Abu Hamzah.”
Setelah berdiskusi panjang dengannya, akhhirnya saya tahu penyebab ‘jatuh cinta’-nya pada
buku MBI. Dia adalah seorang mu’allaf yang baru beberapa waktu berislam. Dan
pembahasan saya di genggam pertama: Sekokoh Karang, memiliki kesan yang mendalam
bagi dia. Masih ingat di bagian itu kita berbicara tentang apa? Ya, tentang akidah Islam yang
anti doktrinasi. Tentang akidah Islam yang bisa dipertanggungjawabkan secara akal. Di saat
yang sama, di bagian itu kita juga menghantam rapuhnya akidah yang penuh doktrin, atau
hanya sekedar karena keturunan. Itulah yang berkesan baginya. Semoga pembuktian kita
akan kebenaran Islam mampu mengokohkan keimanan kita semua. Aamiin.
Ada lagi apresiasi lain dari seorang akhawat yang saya kenal baik,“SubhanaLlah, rasanya tak
ingin berhenti mengikuti alirannya yang begitu lembut, tak terasa sudah berada di
penghujung buku. Semoga bermanfaat untuk Islam dan kaum Muslimin.”
Tentu saja mata saya berbinar mendengar apresiasi positif tersebut. Tetapi itu tidak akan
mengubah apa-apa. Karena seindah apapun lantunan pujian yang dinyanyikan pada kita, ia
tetap tidak menambah nilai pahala kita. Pujian tersebut tidak akan menjadikan kita lebih
mulia daripada sebelumnya. Dan yang terpenting, pujian itu tidak akan hadir menemani kita
di saat paling menentukan itu, di padang mahsyar. Apakah pujian itu akan membela kita di
sana? Hadir saja belum tentu.
Berhati-hatilah terhadap sanjung puji.
Karena mengharapkan sanjung puji,
hanya ada di hati orang yang tak terpuji.
(Thufail al-Ghifary)
Sekarang, mari kita lihat betapa nikmatnya sebuah kritik. Tak terlalu penting lagi bagi kita,
apakah kritik itu ditujukan untuk membangun atau untuk menjatuhkan. Juga, tak terlalu
penting bagi kita, apakah kritik itu disampaikan dengan ma’ruf ataupun dengan cara yang
menyisakan perih seketika. Karena bagi kita, kritik, bagaimanapun itu, adalah tempat kita
bercermin.
Maka jika ada cermin yang menunjukkan kekurangan kita, yang dengan itu kita bisa
berbenah, kenapa kita tidak mensyukurinya? Tak terlalu penting, apakah kita memang
sengaja bercermin, atau dipaksa bercermin. Tak terlalu penting, apakah kita sedang
bercermin di kamar seorang diri, atau kita sedang berada di sebuah lapangan sepakbola.
Tentu kita akan senang, di saat kita sedang menghadiri walimah saudara kita, tiba-tiba ada
cermin di tempat ramai itu, dan darinya kita bisa berbenah diri.
Cermin tidak membuat kita jadi memiliki kekurangan. Ia hanya memperlihatkan pada kita
tentang kekurangan kita yang memang sudah ada. Artinya, diperlihatkan kepada kita ataupun
tidak, kita tetap akan memiliki kekurangan itu. Yang berbeda adalah, jika diperlihatkan
kepada kita, kita akan menyadarinya, dan dengan itu kita berbenah. Sedangkan ketika
kekurangan itu tidak diperlihatkan kepada kita, kita menjadi merasa tak sedikitpun memiliki
kekurangan, lalu bagaimana ingin berbenah?
Itulah yang saya rasakan beberapa bulan terakhir ini. Saya menunggu cermin-cermin yang
dengan ikhlas dan tulus bersedia menunjukkan kekurangan saya dan buku saya tersebut.
Beruntung. Lagi-lagi doa saya berjawab. Allah memberikan saya kesempatan untuk
berdiskusi dengan beberapa orang kawan, kadang dengan perjumpaan langsung, kadang
hanya melalui piranti-piranti komunikasi yang bisa saya akses, yaitu handphone dan internet.
SubhanaLlah, melalui perbincangan dengan merekalah saya menyadari letak kekurangan
buku MBI. Bukan berarti selama ini saya tidak sadar bahwa MBI memiliki kekurangan. Saya
menyadari bahwa MBI adalah karya manusia, tentu saja memiliki banyak sekali kekurangan.
Hanya saja, scanner saya tidak dapat memindainya sendiri. Maka, koreksi dari kawan-kawanlah
yang berhasil memindainya dan kemudian menunjukkannya pada saya. Jazakallah kepada
kalian semua yang peduli. Semoga Allah membalas segala kebaikan kalian dengan yang
berkali lipat. Meski kadang ’bayangan di cermin’ itu membuat perih, tetap saja ia sangat
bermanfaat dalam menyempurnakan karya kecil seorang anak manusia ini.
Di antara semua koreksi itu, ada satu hal yang nampaknya perlu saya sikapi dengan serius,
yaitu ketidaktuntasan pembahasan tentang dakwah di genggam kedua: Kebenaran Tak
Pernah Membisu. Bagi sahabat pembaca yang sudah berkesempatan membaca buku saya
tersebut, insyaaLlah masih ingat bahwa pembahasan itu adalah pembahasan tentang dakwah.
Ya, dakwah.
Meski pembahasan tersebut tentang dakwah, tapi saya tidak sempat menjelaskannya secara
utuh, karena memang buku Menggenggam Bara Islam bukan buku tentang dakwah. Ia adalah
buku yang saya dedikasikan untuk membangun karakter umum seorang Muslim yang sejati.
Karena tujuannya umum, harap maklum jika saya tidak menyajikan semuanya secara rinci.
Hanya satu pembahasan di buku itu yang saya sajikan secara cukup rinci, yaitu Genggam
Pertama: Sekokoh Karang. Saya tidak berani mengambil risiko untuk menuliskannya secara
singkat. Pembahasan itu adalah pembahasan keimanan, jika saya tidak tuntas dalam
menyajikannya, betapa berbahayanya tulisan saya terhadap akidah pembaca. Sedangkan
pembahasan tentang dakwah, saya rasa masih bisa disampaikan secara umum saja. Target
dari pembahasan di Genggam Kedua itu memang untuk sekedar menyadarkan saya dan
pembaca, bahwa kita tak punya pilihan lain dalam menjadi Muslim, selain terus mempelajari,
mengamalkan, dan menyebarkannya.
Nah, dalam menyebarkan Islam yang kita yakini ini, ternyata banyak sekali hal yang harus kita
perhatikan, dan itu tidak sempat saya sajikan dalam buku Menggenggam Bara Islam. Insya
Allah, buku ini adalah bentuk pertanggung-jawaban saya untuk memperinci pembahasan
yang terputus di buku itu. Semoga bermanfaat.
Tetapi afwan. Lagi-lagi perjumpaan kita tak akan lama. Ingin sekali sebenarnya, saya
berbincang dengan kalian tentang segala jenis da’wah dan di’ayah. Baik tentang hukum-
hukumnya, ushlub-ushlubnya, berbagi cerita tentang pengalaman dakwah yang pernah kita
jalani, tentang dakwah fardiyah, dakwah jama’i, menggarap sebuah acara dakwah. Banyak
sekali yang harus kita bicarakan jika menyebut kata dakwah. Karena itulah buku ini saya
rencanakan berseri. Di setiap serinya, kita akan berbincang lebih spesifik lagi tentang dakwah.
Selamat menyusuri setiap sususan huruf, rangkaian kata, serta alunan kalimat yang saya
sajikan di lembar-lembar berikutnya. Semoga buku kecil ini bermanfaat, dan – seperti kata
isteri saya di halaman endorsement buku MBI – semoga membakar!.
MELAWAN DENGAN CINTA
Untuk Kalian
Setelah Menggenggam Bara Islam (Sebuah Pendahuluan)
Awalnya: Wanita Berjuta Inspirasi
Daftar Isi
Keping Pertama: CINTA
• Memula
• Dengan Cinta
• Menyala
Keping Kedua: KATA
• Sebelum ‘Bertempur’
• Saat ‘Pertempuran’ Tiba
Keping Ketiga: NYATA
• Menyentuh Hati
• Mengikat Hati
• Menyeberangkan Keyakinan
• Menggerakan
Akhirnya: Mari Warnai Bumi!
AWALNYA:
UNTUK WANITA BERJUTA INSPIRASI
***
untuk wanita berjuta inspirasi.
yang selalu menyambutku dengan senyum termanisnya
di setiap awal pagi.
noor yenni ummu hamzah.
***
Suatu sore, saya menyempatkan diri berkeliling Banjarmasin bersama isteri dan anak-anak.
Dengan sepeda motor yang selalu menemani kemana pergi, kami menyusuri tempat-tempat
kesukaan kami di Banjarmasin.
Di perjalanan pulang, kami melewati sebuah acara konser musik yang diselenggarakan di
halaman gedung kesenian. Melihat para remaja yang bercampur-baur antara laki-laki dan
perempuan, serta aurat yang bertebaran, saya tak bisa menahan diri. Sebuah teriakan kasar
akhirnya meluncur begitu saja dari mulut saya yang emosi. Saya begitu geram melihat
kejadian itu. Seolah mereka tak akan pernah mati saja. Seolah mereka akan terus muda
selamanya. Seolah mereka tak pernah sadar bahwa neraka itu benar-benar menyala. Seolah
mereka tak ingat bahwa segala perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Seolah mereka tak tahu, bahwa jika maut memanggil, kesempatan bertaubat sudah tak lagi
ada. Geraham saya menggeretuk.
Sepanjang perjalanan pulang, saya tak bisa menahan kemarahan. Entah kenapa, kalimat-
kalimat hujatan mengalir begitu deras dari lisan saya. Tetapi saya heran, tak sekalipun isteri
saya menanggapi perkataan saya. Luapan kemarahan saya tak berjawab. Sepanjang perjalanan
pulang isteri saya tak mengucapkan kata sepatahpun, bahkan untuk sekedar gumam tanda
setuju.
Sesampai di rumah, saya baru tahu kenapa isteri saya tak sekalipun menanggapi kemarahan
saya terhadap para remaja yang keterlaluan itu. Wajahnya basah oleh linangan air mata.
Dengan perasaan bersalah, saya tanyakan sebab tangisnya. Apakah karena ada perkataan saya
yang melukainya? Apakah ada sikap saya yang menyakitinya? Ternyata tidak. Dia justeru
menjawabnya dengan sebuah kalimat tulus yang membuat saya terdiam seketika itu juga.
”Umi sedih, mereka itu saudara Umi. Umi kasihan sama mereka. Mungkin mereka tidak tahu
bahwa yang mereka lakukan itu dosa. Umi kasihan sama mereka, mereka berhak
mendapatkan dakwah, tetapi umi belum menunaikan hak mereka. Umi sedih, umi ga mau
mereka hancur...”
Sungguh, akhwat yang saya nikahi beberapa tahun lalu itu, telah mengajarkan saya satu hal
yang luar biasa: Cinta. Selama ini saya terlalu sering mengatakan bahwa dakwah adalah tanda
cinta, tapi tak sekalipun kalimat itu mewujud dalam tindakan saya. Saya malu pada isteri saya.
Dan saya bangga menikahinya.
Buku ini saya dedikasikan untuknya.. Sebagai ucapan terimakasih saya atas setiap diskusi di
sepanjang perjalanan bersepeda motor. Atas berjuta inspirasi. Atas setiap obrolan ringan di
sela menonton televisi bersama. Atas segala pelajaran berharga, yang diberikannya tanpa kata,
melainkan dengan tindakan nyata.
***
MELAWAN DENGAN CINTA
Saya sangat khawatir jika apa yang saya tulis di sini tidak mampu menjadi solusi bagi
kesulitan kawan-kawan semua dalam menyampaikan dakwah. Kekhawatiran itulah yang
sering menghentikan tarian jemari saya di atas keyboard. Seringkali saya merenung,
membolak-balik draft buku MDC ini, membersamai beberapa aktivitas dakwah di
kampus, dan juga berbincang hangat tentangnya bersama kawan-kawan saya. Sehingga,
buku yang kini antum genggam, mengalami beberapa kali proses perombakan sebelum
pencetakannya. Awalnya saya ingin menyajikannya dalam lebih dari enam Bab,
kemudian saya susutkan menjadi lima Bab, terakhir saya mantapkan menjadi empat Bab.
Bukan memperhitungkan jumlah halaman yang terlalu tebal, tetapi saya khawatir
kesannya bias jika saya kupas terlalu melebar. Lebih dari itu, saya takut jika target
penulisan buku ini tidak tercapai jika disajikan dalam formulasi yang kurang tepat.
Dan buku yang antum genggam ini, adalah formulasi terakhir dari hasil perenungan saya.
Ada tiga bab di dalamnya. Saya menamakan masing-masing bab dengan sebutan keping.
Dan pada setiap kepingnya, saya pecah lagi dalam beberapa bagian. Bukan untuk
membuat ribet, hanya untuk mempertegas poin-poin pembahasan saja.
Nah, sahabat semua. Agar antum bisa lebih terarah dalam mengikuti perbincangan kita di
buku ini, ada baiknya jika antum selalu melihat peta perjalanan kita. Ini dia.
Keping Pertama: CINTA
Jika kita merasakan jengah dengan dakwah egois, muak dengan dakwah yang sporadis, atau
sebal dengan dakwah yang membawa kebencian dalam menebar kebenaran, MELAWAN
DENGAN CINTA perlu kita renungkan. Di sini, kita akan banyak berbincang tentang
dakwah dan cinta.
Keping Kedua: KATA
Jika kita terbata ketika menuturkan kebenaran, gemetar setiap berdiri di hadapan, atau tidak
mampu menyusun kata untuk mengguncang kesadaran, MELAWAN DENGAN CINTA
sangat kita perlukan. Ada banyak cerita teruntai, tentang retorika Nabi, tentang pengalaman
orang-orang panggung, ataupun teori-teori komunikasi, yang akan menuntun kita menjadi
seorang penutur kebenaran yang mampu menggugah manusia dengan untaian kata dan
tatapan mata.
Keping Ketiga: NYATA
Jika dalam keseharian, kita sering kebingungan menghadapi obyek-obyek dakwah, bagaimana
menyentuh hatinya, bagaimana mengikat jiwa, dan bagaimana menggerakkannya,
MELAWAN DENGAN CINTA layak kita jadikan teman duduk. Di dalamnya tersaji
berbagai kisah RasuluLlah, para shahabatnya, maupun kisah keseharian kita., tentang dakwah
yang tak terlalu memerlukan kata, dakwah yang lebih fokus pada amal-amal nyata dalam
keseharian kita.
Semoga Allah menaburkan manfaat pada buku kecil ini. Semoga buku Melawan Dengan
Cinta ini hadir di saat yang tepat, pada orang yang tepat, dan dengan cara yang tepat. Agar
dengan itu, saya berharap, sesiapa yang membaca buku ini akan terbakar, menjadi seorang
pemuda Muslim yang tidak ada lain di alam pikirannya, kecuali tertegaknya Islam dengan
sempurna.
Banjarmasin, 10 Desember 2009
Sahabatmu,
Abay Abu Hamzah.
dengan cinta yang membadai
KEPING PERTAMA
CINTA ***
Ia adalah sebuah kata yang begitu dekat dengan kita.
Ia adalah emosi yang paling kuat dorongannya terhadap segala gerik kita. Kadang ia hadir tanpa membawa nama, tetapi kita sudah bisa mengenalinya, cinta.
Maka biarkanlah cinta itu bergerak melaju menuntun langkah kita untuk menebar cahaya
karena dakwah adalah cinta dalam wujud yang nyata kepada Allah, kepada Rasulnya, dan kepada semesta.
***
1
MEMULA
DIAM, UNTUNG, RUGI?
Dulu saya berpikir, jika saya diam, maka diamnya saya tidak akan menguntungkan siapapun,
sekaligus tidak merugikan siapapun. Tidak akan ada manfaat dengan diamnya saya, juga tidak
ada mudharat yang ditimbulkannya. Tidak ada pahala yang didapat, juga tidak ada dosa yang
diperbuat. Ya, bagi saya ketika itu, diam tidak akan menyebabkan apa-apa. Diam bukanlah
sebuah kejahatan.
Sampai kemudian saya merenungkan dua ayat singkat dalam surah at-Tiin berikut ini:
ôâs)s9 $ uZø)n=y{ z̀ » |¡SM}$# þí Îû Ç |̀¡ôm r& 5OÉÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR ÷ä yä uë ü@ xÿóô r& tû, Î# Ïÿ» yô ÇÎÈ
“Sesungguhnya, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.
Kemudian kami lembarkan mereka ke dalam tempat yang serendah-rendahnya.” (TQS At-Tiin:
4 – 5)
Betapa indah alunan yang dirangkai Allah dalam dua ayat tersebut. Indah didengar, tetapi
mengguncang dada. Allah bertutur pada kita mengenai kondisi kita yang telah diciptakan
dalam bentuk terindah. Semua manusia, tanpa kecuali. Lalu, setelah semua manusia
diciptakan Allah dalam bentuk yang terbaik, maka semuanya Allah hempaskan ke dalam
tempat yang hina. Ya semuanya. Artinya secara umum manusia akan mengalami dua keadaan
itu; diciptakan dalam bentuk terbaik, kemudian dihempaskan ke tempat yang hina.
Semuanya.
ûwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxå ur ÏM» ys Î=»¢Á9 $# óOßgn=sù íç ô_r& çéöçxî 5bq ãYøÿ xE ÇÏÈ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka balasan yang tak
pernah putus.” (TQS. At-Tiin: 60)
Tetapi pada ayat berikutnya Allah memberikan pengecualian, yaitu orang-orang yang beriman
dan beramal shalih. Ya, hanya merekalah orang-orang yang tidak akan dihempaskan setelah
diciptakan dengan sempurna.
Sahabat semuanya. Saya mohon maaf sebelumnya. Belum apa-apa sudah bedah ayat. Padahal
biasanya orang menyajikan pembuka yang enak-enak, yang santai-santai. Saya malah
mengajak kalian semua berpikir keras untuk merenungkan makna tiga ayat dalam surah At-
Tiin itu. Afwan ya. Bukan maksud saya mengajak kalian mumet pagi-pagi. Tapi insyaaLlah,
pembahasan berat di awal ini justeru akan meringankan pembahasan kita di lembar-lembar
berikutnya.
Buku ini saya beri judul Melawan Dengan Cinta, di sini kita akan banyak berbincang tentang
dakwah. Tetapi apa hubungannya dakwah dengan ketiga ayat pertengahan surah At-Tiin ini?
Bukankah ayat 4, 5 dan 6 surah tersebut bercerita tentang penciptaan manusia dan tentang
keimanan?
Nah, mari kita renungkan. Semua manusia telah diciptakan dalam sebaik bentuk. Bentuk
yang mulia. Ayat ini memposisikan kita pada derajat yang tinggi. Tetapi setelah itu Allah
menghempaskan kita ke dalam tempat yang serendah-rendahnya. Secara otomatis. Artinya,
kecenderungan manusia sebenarnya adalah menjadi hina. Sebenarnya secara otomatis
manusia akan dilemparkan ke dalam tempat yang sehina-hinanya. Semuanya. Ya, semuanya.
Karena secara umum akan melalui tahapan itu(diciptakan sempurna – dilemparkan), maka
tak perlu berbuat apa-apa pun kita pasti akan hina. Sebagaimana orang yang berada di air
terjun yang deras, maka kecenderungan terbesarnya adalah hanyut terjatuh. Tak perlu
berenang ke bawah, diam pun kita pasti akan terjatuh, secara otomatis. Illa, kecuali. Kecuali
orang-orang yang bergerak melawan arus deras itu, kemudian segera mencari pegangan
kokoh, lalu dia terus berpegang seraya bergerak menuju tepian. Maka orang-orang seperti
inilah yang akan selamat. Diam? Hanyut!
Begitupula dalam menjalani arus kehidupan yang begitu deras ini. Manusia yang diciptakan
dalam sebaik-baik bentuk, memiliki kecenderungan yang besar untuk ’hanyut’ dan ’jatuh’ ke
lembah nista. Tak perlu berbuat maksiat. Diam pun pasti kita akan jatuh ke dalam kehinaan.
Sebagimana kalam Allah dalam dalam surah At-Tiin ayat 4 dan 5 tersebut. Secara otomatis
kita diciptakan dalam sebaik bentuk, dan secara otomatis pula kita akan dilemparkan ke
tempat yang sehina-hinanya. Illa, kecuali. Kecuali orang yang beriman dan beramal shalih,
maka mereka tidak akan ikut hanyut dalam arus deras itu. Orang beriman dan beramal shalih
laksana orang yang bergerak melawan arus, kemudian mencari tempat untuk berpegang, lalu
bergerak merapat ke tepian. Ya, merekalah yang akan selamat, yang akan tetap berada dalam
kondisi semula; sebaik-baik bentuk. Tetapi orang yang diam saja, yang tak bergerak, yang tak
berpegang, merekalah orang yang akan hanyut, jatuh dari tempat mulia menuju tempat yang
paling hina.
Njlimet ya? Afwan. Bukan maksud saya membahasnya dengan ribet. Tapi itu murni karena
kelemahan saya dalam menyederhanakannya. Jika ada yang bersedia menyederhanakan
kalimat saya di beberapa paragraf yang lewat, saya sangat berterimakasih.
Kesimpulan saya sebenarnya sederhana. Kita adalah makhluq terindah. Jika kita diam, maka
kita akan dilemparkan Allah ke dalam tempat yang serendah-rendahnya. Dan untuk tetap
bertahan di tempat terindah ini, maka kita tidak boleh diam, kita harus beriman dan
melakukan amal-amal shalih. insyaaLlah.
Lalu, setelah penjelasan yang cukup memusingkan itu, apakah kita masih berpikir bahwa
diam tidak memberi mudharat? Apakah kita masih berpikir bahwa tidak melakukan apa-apa
berarti tidak menyebabkan apa-apa?
DIAMLAH, MAKA KALAH!
”Satu-satunya cara untuk membuat kejahatan menang adalah,
orang baik tidak usah berbuat apa-apa!”
(Edmund Burke)
Lagi-lagi saya terhentak. Surah At-Tiin ayat 4 - 6 telah menghentak kesadaran saya bahwa
diam berarti hanyut. Kini Edmund Burke (saya tidak tahu dia ini siapa, tetapi saya temukan
kalimatnya di salah satu buku, dan kalimatnya membekas di hati saya, maka saya kutipkan di
sini untuk kalian semua), ia juga menghentak kesadaran saya bahwa diam berarti kalah.
Bayangkan, berapa jam sehari kita tidur? Misalnya, delapan jam. Dan memang begitulah pola
tidur sehat yang diajarkan pada kita sejak kecil. Pola tidur sehat itu ditebarkan oleh Barat
untuk kita, kaum Muslimin. Tentu kita bisa menebak maksudnya kan? Mari kita sadari bahwa
delapan jam adalah sepertiga dari duapuluh empat jam. Ya, sepertiga hari kita habiskan untuk
tidur. Jika usia kita 60 tahun (begitu biasanya para trainer memisalkan), maka dari 60 tahun
itu, 20 tahunnya hanya kita gunakan untuk tidur! Begh!
Oiya, sebelumnya harus diingat juga bahwa tidur berarti diam. Maka, ketika delapan jam
sehari kita tidur, itu sama artinya kita telah diam selama delapan jam perhari. Apa salahnya?
Tentu saja secara syar’i tidak ada dalil yang mengharamkan tidur. Sayang saja sih, tidak
produktif. Apakah musuh-musuh Islam yang menebarkan pola tidur sehat itu benar-benar
tidur delapan jam dalam sehari? Tidak. Saat kita tidur itulah mereka bangun untuk bergerak.
Mereka memikirkan berbagai macam cara berikutnya untuk semakin melemahkan kita.
Mereka membuat film, membuat video klip, membuat majalah-majalah, membuat lirik-lirik
lagu, membuat sinetron, menulis buku, dan lain sebagainya. Untuk apa mereka melakukan itu
semua? Untuk membuat kita semakin tidak produktif lagi.
Bayangkan kawan. Dalam sehari kita sudah ’dipaksa’ tidur delapan jam. Ternyata, pas kita
bangun, kita juga dilenakan dengan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, bahkan
menjerumuskan. Setelah bangun tidur, kita segera dihadapkan pada tontonan-tontonan yang
tidak bermutu. Atau kita langsung mendengarkan radio, untuk apa? Sekedar greeting, atau
request lagu. Agak siangan dikit kita disuuhi tayangan musik atau gosip. Benar-benar tidak
bermutu bukan?
Oke, mungkin ada sebagian dari kita yang tidak menonton televisi atau mendengar radio,
mereka memilih segera keluar rumah untuk nongkrong dengan teman-temannya. Pergi ke
kampus atau ke sekolah. Di sana mereka dipaksa terlena lagi. Coba dengarkan materi
pembicaraan mereka, apakah bermutu? Paling-paling seputar tiga hal; handphone, idola, dan
pacar.
Bagaimana bisa dikatakan generasi terbaik, sudahlah terlalu banyak tidur, pas bangun malah
tidak produktif. Lalu kapan kita berkarya untuk dunia?
Satu lagi, saat kita terlena itulah, saat kita diam itulah mereka melancarkan serangan
rahasianya pada kita. Bukan dengan senjata meriam atau bom. Mereka melancarkan serangan
yang sangat lembut, sampai-sampai serangannya kita rasakan sebagai belaian. Mereka
menyerang kita dengan gaya hidup bebas, kita tidak melawan, malah menjadi generasi
pertama yang mempraktikkannya. Karena kita tidak menganggap itu sebagai serangan,
melainkan sebagai belaian yang memanjakan nafsu kita. Lalu kitapun mengikutinya.
Sekadar analogi sederhana, untuk membuat pisau belati tak melukai tangan, tak perlu
memusnahkannya, cukup dengan menumpulkan matanya saja. Begitu juga, musuh-musuh
Islam sadar betul, bahwa kita, para pemuda adalah ujung tombak kekuatan kaum Muslimin.
Maka agar kita tidak membahayakan mereka, tak perlu dengan memusnahkan kita, cukup
dengan melemahkan kita, cukup dengan membuat kita terlena.
Jika ujung tombak perjuangan telah tumpul dengan diam. Maka ketika musuh-musuh Islam
benar-benar menyerang secara fisik, saat itulah, kita tak lagi peduli. Saat itu kita diam. Kita
telah tumpul. Gaya hidup kita telah berubah. Kita menjadi generasi yang tak lagi menakutkan
bagi musuh. Karena kita telah dilumpuhkan. Saat itulah, kekalahan menjadi milik kita.
MENUNGGU BUKAN PILIHAN
Izinkan saya menyajikan kisah kecil ini dulu ya.
Ada tiga tipe manusia dalam pendakian gunung: pendaki sejati, pekemah, dan penunggu.
Pendaki sejati selalu mengupayakan untuk sampai ke puncak gunung. Maka dia melengkapi
berbagai persiapan yang dibutuhkan oleh seorang pendaki. Apapun gangguan yang akan
menghadang di tengah pendakian, seorang pendaki sejati akan tetap menempuhnya. Apapun
yang dikatakan oleh orang yang tidak mendaki, pendaki sejati akan terus menempuh
pendakiannya. Seberapa banyakpun temannya yang menghentikan pendakian, ia akan terus
melangkah.
Sedangkan pekemah, pada awalnya dia ikut mendaki. Tetapi ia orang yang mudah puas. Ia
bahkan terlalu takut menghadapi berbagai resiko yang menghadang di tengah pendakian.
Maka iapun mendirikan kemahnya, beristirahat di sana dan menghentikan pendakiannya. Ia
telah puas, ia telah lelah.
Apalagi penunggu. Sejak awal dia tahu bahwa gunung itu perlu didaki. Tetapi dia tidak mau
mengambil peran pendakian. Ia memilih untuk berdiam diri di kaki bukit, sembari menunggu
kabar dari pada pendaki yang telah naik. Ia takut dengan resiko yang menghadang. Ia juga
merasa cukup berada di bawah saja. Ia berpikir, cukup temannya saja yang mendaki, dia tidak
ingin ambil resiko. Diapun diam, menunggu kabar dari atas.
Sang pendaki sejati telah sampai di puncak gunung. Di sana ia melihat betapa indah alam
semesta. Di sana ia merasakan kesejukan udara yang tak tercampur oleh berbagai macam gas
hasil pembakaran. Di sana ia melihat ada awal-awan kecil di bawah tempat ia berpijak. Di
sana ia menatap keindahan warna pelangi yang melengkung di depannya. Di sana ia melihat
betapa indahnya jika daratan bumi dipandang dari ketinggian. Dia puas, karena sebelumnya
dia baru saja menantang bahaya untuk mencapainya.
Sementara si pekemah, ia tengah tertidur di kemahnya. Ia tidak tahu kenikmatan apa yang
dirasakan oleh temannya yang meneruskan pendakian hingga puncak. Ia telah berpuas diri
dengan apa yang dicapainya.
Bagaimana kabar si penunggu? Dia berteriak-teriak dari bawah, menanyakan apa yang
dirasakan oleh temannya yang berhasil mencapai puncak. meskipun si pendaki
menceritakannya, tetap saja si penunggu tak bisa ikut merasakan nikmatnya. Ya, sebagaimana
jus, ia hanya benar-benar dinikmati oleh orang yang meminumnya. Sedangkan orang yang
sekedar mendengarnya, sebagus apapun deskripsi yang didengarnya tentang meminum jus, ia
tidak akan pernah bisa merasakan nikmatnya.
Kalian pasti sudah bisa menebak maksud saya menyajikan kisah pendaki tersebut. Ada tiga
tipe manusia dalam perjuangan mewujudkan kemenangan Islam. Golongan pertama adalah
orang yang berjuang hingga akhir (seperti pendaki sejati).
Golongan kedua adalah mereka yang berjuang pada awalnya, kemudian karena takut dengan
resiko dan merasa cukup dengan pahala perjuangannya selama ini, iapun berhenti. Ia tak lagi
berjuang karena merasa pahalanya sudah banyak.
Golongan ketiga adalah para penunggu. Mereka tahu bahwa memperjuangkan kemenangan
Islam adalah sebuah kewajiban. Tetapi mereka tidak mau mengambil peran dalam perjuangan
ini. Mereka merasa aman karena sudah ada temannya yang mau berjuang. Mereka terlalu
takut dengan resiko perjuangan. Mereka diam. Berharap akan kecipratan pahala dari
temannya yang berjuang. Berharap ikut merasakan kenikmatan setelah kemenangan Islam
mewujud. Tetapi mereka lupa, bahwa kemenangan hanya mampu diresapi oleh orang yang
ikut berjuang. Bukan para penunggu, bukan para pekemah.
***
âtã ur ª! $# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJ tã ur ÏM» ys Î=»¢Á9 $# óOßg̈ZxÿÎ=øÜ tG ó¡uäs9 í Îû ÇÚ öë F{$# $ yJü2 y#n=÷Ç tG óô $#
öúïÏ%©!$# Ï̀B öNÎgÎ=ö6s%
Dan Allah Telah berjanji kepada orazng-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka
bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, (TQS. An-
nuur: 55)
Sebenarnya terserah saja. Kita mau mengambil peran perjuangan atau tidak, Islam tetap akan
menang. Dengan atau tanpa kita. Jika kita tidak mengambil peran perjuangan ini, tetap akan
ada orang yang akan memanggulnya. Karena kemenangan Islam adalah janji Allah, maka
Allah pasti akan selalu menyiapkan pejuang-pejuang untuk mewujudkan kemenangan itu. Jika
kita tidak mengambil peran ini, pasti yang lain.
Jadi tak perlu jual mahal dengan slogan, ”Kalau bukan kita, siapa lagi?” Seolah hanya kita
yang bisa memperjuangkan kemenangan Islam. Sehingga kalau kita tidak
memperjuangkannya, seolah-olah tidak ada lagi orang yang mau memperjuangkannya. Sok
pahlawan banget kan? Padahal akan selalu ada generasi yang memperjuangkannya. Sekali lagi,
jika bukan kita, pasti yang lain. Bukan Islam yang memerlukan kita, kitalah yang
membutuhkan Islam.
Sekali lagi, terserah saja, mau mengambil peran perjuangan atau tidak. Pertanyaannya, apakah
kita tidak merasa rugi jika tidak ambil bagian dalam mewujudkan kemenangan Islam?
”Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka
bumi...”
***
JIKA KAU CINTA
Coba cek ke dalam hati kita. Adakah rasa gerah saat kemaksiatan menari di depan mata kita.
Atau saat mendapatkan kesempatan berbicara di suatu forum, adakah rasa gatal untuk
menyampaikan kebenaran Islam. Atau, jika ada orang yang kita cintai, adakah perasaan rindu
kita agar dia menggenggam kebenaran yang sama. Jika tidak, mungkin itulah yang membuat
dakwah kita tidak berenergi. Dakwah kita loyo.
Sesungguhnya, jika kebenaran Islam telah menancap kuat dalam dada seorang Muslim, maka
kebenaran itu akan menuntut untuk bergerak. Ya, itu karena Islam adalah sesuatu yang
hidup. Maka, ketika ia masuk ke dalam dada, adalah wajar jika orang yang di dadanya ada
cahaya Islam tak akan kuat untuk menahan dirinya dari mengungkapkan kebenaran tersebut.
Jika kebenaran telah merasuk dalam jiwa, maka orang yang di dalam jiwanya ada ombak
besar bernama Islam, pastilah akan gatal untuk selalu menyampaikan kebenaran tersebut di
setiap kesempatan. Setiap penggenggam kebenaran Islam juga pasti akan gerah jika
berhadapan dengan sesuatu yang bertentangan dengan Islam yang dia yakini itu. Begitu pula,
setiap jiwa yang diterangi cahaya kemuliaan Islam, pasti rindu orang-orang tercintanya
memegang kebenaran yang sama pula.
Gatal
”Wahai Rasulullah, aku tidak akan bisa pulang sebelum meniakkan Islam di masjid.” begitu
prinsip Abu Dzarr al-Ghifary. Memendam kebenaran justru lebih berat ketimbang
mendapatkan siksaan akibat menyampaikannya.
”Rasa takut terhadap manusia jangan sampai menghalangi kamu
untuk menyatakan apa yang sebenarnya jika memang benar
kamu melihatnya, menyaksikan atau mendengarnya.”
(HR. Ahmad)
Jika suatu ketika diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan terkait bencana alam,
pastilah seorang penggenggam Islam akan memanfaatkan kesempatan itu untuk berbagi
kebenaran Islam yang diyakininya. Jika dia memiliki kemampuan menulis cerpen dengan
baik, pastilah seorang penggenggam Islam akan menjadikan cerpennya sebagai media untuk
menyampaikan kebenaran Islam yang diyakininya. Jika dia menguasai ilmu bermusik, tentu ia
akan menjadikan lagu-lagunya sebagai ushlub dakwahnya. Bahkan jika pun dia hanya seorang
yang tak bisa berbicara ataupun menulis, maka dia akan mendedikasikan tenaganya untuk
memperjuangkan kebenaran agama yang diyakininya itu.
Adalah aneh, jika kita mengaku telah menggenggam kebenaran Islam, sementara kita tak
sedikit pun merasakan gatal untuk menyampaikan kebenaran Islam tersebut. Sebagaimana
Abu Dzarr, marilah kita hujamkan dalam dada kita, bahwa kebenaran yang bisu bukanlah
kebenaran. Sesungguhnya kebenaran selalu menuntut pemegangnya untuk meneriakkannya.
Gerah
“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya;
jika tidak mampu, maka dengan lisannya;
jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya,
dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut, sekedar membenci kemunkaran
tanpa berupaya menghentikannya adalah selemah-lemahnya iman. Gerah yang saya maksud
di sini adalah sekedar membenci tanpa menghentikan, tentu lebih baik lagi jika kita mampu
menghentikan dengan tangan kita, atau menegurnya dengan lisan kita.
Jika sekedar gerah melihat kemaksiatan adalah selemah-lemah iman, bukankah itu berarti tak
ada iman lagi bagi yang lebih rendah dari itu? Itu berarti, tak ada iman lagi di hati kita, jika
kita tak ada perasaan benci ketika melihat kemunkaran. Na’udzubillah.
Karena itu, mari kita periksa hati kita. Apakah selama ini kita masih bisa enjoy saja ketika
melihat kemaksiatan tengah menari di depan mata kita? Ataukah kita sudah ada setitik
perasaan benci terhadap kemaksiatan sekecil apapun, bersyukurlah, karena itu pertanda
masih ada setitik iman pula dalam dada kita.
Tapi sebagai seorang penggenggam kebenaran, tentu tak cukup bagi kita sekedar membenci
kemaksiatan tanpa ada upaya untuk menghentikannya. Pastilah dada ini terasa gerah untuk
mengingatkan orang yang tengah bermaksiat tersebut. Ketika melihat aurat terbuka, pastilah
penggenggam Islam akan memikirkan seribu cara (yang halal) untuk menghentikannya.
Ketika melihat hukum Allah dicampakkan oleh penguasa, tentu para penggenggam Islam
akan berteriak lantang untuk mengoreksi penguasa tersebut, sebagaimana dilakukan oleh
tokoh utama kita dalam perbincangan kali ini, Abu Dzarr al-Ghifary.
Saat itu, dua orang wanita tengah thawaf mengelilingi Ka’bah dengan thawaf jahiliyah. Dengan
semangat kebenaran yang membuncah di dadanya, Abu Dzarr memaki-maki berhala Usaf
dan Na’ilah yang dipuja-puja oleh orang-orang Quraisy. Serta merta wanita tersebut berteriak
meminta pertolongan para pemuda Quraisy yang berada di sekitar Ka’bah. Kita semua pasti
sudah tahu yang akan terjadi setelah itu, remuk redamlah Abu Dzarr akibat pukulan dan
hantaman yang dihadiahkan oleh para pemuda Quraisy tersebut. Subhanallah. Keyakinan
bahwa Tiada tuhan selain Allah, membuat Abu Dzarr gerah ketika melihat ada yang masih
menyembah ’tuhan-tuhan’ selain Allah.
Rindu
Apabila Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui upayamu, itu lebih baik
bagimu daripada apa yang dijangkau matahari sejak terbit sampai terbenam.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jika kita telah gatal untuk menyampaikan Islam dan telah gerah ketika ada yang bertentangan
dengan Islam. Maka pastikan bahwa kita juga memiliki rasa rindu, sangat menginginkan
orang-orang yang kita cintai untuk memegang kebenaran yang sama. Rindu, pastikan rasa itu
ada di dalam dada kita, sebagaimana rindu yang membuncah dalam dada Ummu Hakim binti
al-Harits yang telah beriman, kepada suaminya yang masih kafir, Ikrimah bin Abu Jahal, putra
gembong kekufuran.
Hari itu peristiwa Fathul-Makkah, pembebasan kota Makkah. Arak-arakan pasukan Islam
telah memasuki kota Makkah yang masih dibelenggu kekufuran. Ada cinta yang membuncah
dalam dada orang beriman, ada pula kerinduan para Muhajirin akan tanah yang telah mereka
tinggalkan bertahun lamanya, ada pula kerinduan Ummu Hakim binti al-Harits pada
suaminya yang masih kafir itu.
Ah, betapa rindu Ummu Hakim agar Ikrimah bin Abu Jahal juga menjadi muslim seperti
dirinya. Maka dibujuknyalah suaminya untuk segera memasuki agama yang diridhai Allah ini.
Tetapi apa yang ia dapatkan dari suami terkasihnya?
”Seandainya seluruh manusia telah berislam, dan tinggal aku saja yang tidak, maka aku tetap
tidak akan pernah mengikuti agama Muhammad ini!” jawab Ikrimah dengan nada
kebenciannya pada Muhammad.
Ah, hidayah. Tak ada yang tahu kapan dan dari mana ia datang kepada seseorang. Kelak,
lelaki yang dirindu oleh Ummu Hakim tersebut, juga akan bergabung bersama pasukan
penggenggam Islam, dan dia mengakhiri hidupnya dalam keadaan beriman, iman yang
sebenar-benarnya iman.
Begitulah kerinduan. Ia selalu menginginkan orang yang dicintai untuk berdiri di barisan yang
sama. Tak rela rasanya, diri berenang di samudera ketaatan, sementara orang terkasih sedang
tenggelam dalam lumpur kemaksiatan. Tak tega rasanya, diri bertelekan di atas dipan-dipan
surga sementara orang terkasih luluh lantak dan berteriak-teriak di kobaran api neraka. Tentu
kita tak akan rela, tentu kita tak akan tega
Tentu kita merindukan orang terkasih kita, berdiri di samping kita dengan memegang
bendera yang sama, bendera Laa ilaaha illaLlah yang meliuk-liuk rindu. Ah, aku rindu kalian
semua bersamaku. Kuharap, kalian pun merindukanku bersama kalian di jalan ini.
2 DENGAN CINTA
MARAH DAN SEDIH
Sejenak, mari kita tengok kembali cerita yang saya sajikan di halaman Untuk Wanita Berjuta
Inspirasi. Mari kita bandingkan sikap saya dengan sikap isteri saya. Jelas sekali perbedaannya.
Saya marah ketika melihat kemaksiatan, sedangkan isteri saya sedih saat menyaksikannya.
Sikap terhadap kemaksiatan, menggambarkan cara saya memandang dakwah. Saya marah.
Kemarahan saya menunjukkan bahwa saya memandang orang yang melakukan kemaksiatan
sebagai musuh, sebagai orang yang menantang Allah.
Sedangkan isteri saya sedih. Kesedihannya menunjukkan bahwa dia memandang orang yang
melakukan kemaksiatan bukan sebagai musuh, bukan sebagai penantang Allah. Isteri saya
melihat mereka sebagai korban.
Bagi isteri saya, mereka melakukan kemaksiatan bukan untuk menantang Allah. Bukan.
Mereka melakukan itu karena alasan lain yang tidak pernah saya pedulikan sebelumnya.
Mungkin karena mereka tidak tahu, atau bisa jadi mereka tahu tetapi mereka belum kuat
untuk melawan dorongan nalurinya.
Orientasi Dakwah
Perbedaan sikap saya dan isteri terhadap kemaksiatan menunjukkan perbedaan mafahim,
perbedaan cara pandang. Sikap saya menunjukkan dakwah yang da’i-oriented (berfokus pada
diri penyampai dakwah), sebaliknya sikap isteri saya menggambarkan dakwah yang mad’u-
oriented (berfokus pada diri objek dakwah).
Dalam fikih, mungkin pembahasan saya ini tak terlalu diperlukan. Pembahasan saya bukan
soal halal atau haram, karena bagaimanapun selama ikhlas dan sesuai tuntunan kenabian,
dakwah akan menghantarkan pelakunya pada pahala yang menggunung, insyaAllah.
Pembahasan saya ini lebih cenderung kepada efektifitas dan efisiensi dalam dakwah. Meski
secara hukum insyaAllah sama, tetapi perbedaan orientasi akan menghantarkan pada
perbedaan sikap dalam dakwah. Perbedaan sikap akan menghantarkan pada perbedaan
kualitas dakwah kita, dan insyaAllah akan menghantarkan pada hasil yang berbeda pula.
MENYEMPURNAKAN CINTA
Karena berfokus pada da’i, biasanya dakwah yang dilakukannya juga sporadis. Dia tidak
pernah menakar-nakar lagi apakah dakwahnya efektif atau tidak. Tidak pernah ia
menghitung-hitung lagi apakah dakwahnya bisa sampai atau tidak. Tidak pernah ia
mempertimbangkan apakah orang bisa menerima dakwahnya atau tidak.
Jika antum ingin tahu bagaimana sikap dakwah yang egois dan sporadis, lihatlah sikap saya
dalam cerita pembuka bahasan ini. Betapa saya tak lagi memikirkan apakah hujatan saya
efektif atau tidak. Betapa saya tak lagi menakar-nakar apakah mereka mau mendengarkan
dakwah saya jika saya melakukannya dengan teriakan kasar.
Dakwah yang da’i-oriented akan membuat kita melemparkan dakwah secara sembarangan,
karena sudut pandangnya adalah ’yang penting aku menyampaikan’. Ketika kita
melakukannya secara sporadis, orang yang menjadi sasaran dakwah kita akan memasang hijab
setebal-tebalnya dari dakwah kita. Antum mungkin bisa membayangkan sikap orang-orang
yang saya teriaki ketika itu, apakah mereka menyambut dakwah saya dengan tangan terbuka
dan senyum mengembang? Tidak, kemungkinan terbesar adalah mereka memasang hijab
setebal-tebalnya dari dakwah saya, sebenar apapun perkataan saya.
Maka mulai sekarang, mari kita belajar melengkapi persepsi tentang dakwah. Bahwa dakwah
adalah kewajiban, tentu kita semua telah meyakininya. Tapi saya mohon tambahkan satu
kalimat ini dalam pemahaman kita: dakwah adalah hak mereka. Dengan begitu, kita akan
berpikir bagaimana agar dakwah sampai ke mereka, bukan hanya tentang bagaimana kita
menyampaikan dakwah. Bisa merasakan bedanya?
***
Bayangkan jika kalian yang mengalami hal ini. Saat itu saya sedang imut-imutnya, baru saja
lulus dari SMA. Dari kampung kecil di kabupaten Banjar, saya berangkat ke Banjarmasin
untuk mendaftar di Universitas Lambung Mangkurat, universitas tertua di Kalimantan.
Karena keperluan pendaftaran dan lain sebagainya tidak mungkin diselesaikan dalam satu
hari, saya memutuskan untuk menginap di masjid kampus. SubhanaLlah, meski saya tak
banyak mengenal pengurusnya, saya mendapatkan sambutan yang luar biasa. Saya harus
belajar banyak dari mereka tentang memuliakan tamu. Halaman buku ini tentu tak cukup
untuk menuliskan semua kebaikan mereka terhadap orang yang tidak mereka kenal ini.
Saya tidak ingin kesempatan ini terbuang sia-sia. Sejak SMA, saya begitu terpesona dengan
para mahasiswa yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus pada masa itu. Maka, menginap di
’markaz’ mereka membuat hati saya berbunga-bunga. Saya sudah membayangkan akan
berkumpul dengan anak-anak muda yang mendedikasikan dirinya untuk Islam, mengikuti
ta’lim-ta’lim bersama mereka, terlibat dalam diskusi-diskusi hangat seputar Islam dan kaum
Muslimin, dan bangun untuk shalat malam bersama mereka.
AlhamduliLlah, semuanya berhasil saya dapatkan. Tak satupun meleset. Bahkan saya
mendapatkan lebih dari yang saya bayangkan. Saya diberi kesempatan untuk mengikuti
aktifitas dakwah mereka, sesuatu yang hanya bisa saya kagumi semasa SMA. Ya, malam
kedua di sana, saya berkesempatan untuk ikut menempelkan pamflet syiar Islam bersama
mereka.
Tapi ada hal yang cukup mengejutkan. Lembaran-lembaran kertas yang sudah dibubuhi lem
itu kemudian ditempelkan di tempat yang (menurut saya) aneh, tidak tepat. Pamflet-pamflet
syiar itu ditempel di sisi selokan yang menghadap ke jalan. Seketika alis saya mengernyit.
Tanpa bisa ditahan lagi, mulut saya akhirnya mengeluarkan pertanyaan ini,
”Emangnya kalo ditempel di sana, pamfletnya bisa dibaca kak?”
Saya yakin kalian mengerti kebingungan saya. Beruntung, kebingungan saya tak sempat lama.
Segera setelah itu, kakak senior yang saya cintai itu memberikan penjelasan mengenai
keikhlasan dalam dakwah. Penjelasannya saat itu sangat membekas di hari mahasiswa baru
seperti saya waktu itu.
”Dik, tugas kita hanya menyampaikan. Perkara orang mau membaca atau tidak, itu bukan
urusan kita.”
Bagaimana menurut kalian? Menurut saya, kalimat itu mencerminkan keikhlasan yang tak
diragukan lagi. Ya, bagi kakak senior saya itu, tak penting seperti apapun reaksi orang lain
terhadap upaya dakwahnya. Yang terpenting baginya adalah, dia menjalankan kewajibannya
untuk berdakwah, dan biar Allah saja yang menilai amalnya. Ikhlas sekali bukan?
Saat saya sajikan cerita ini kepada adik-adik saya di lembaga dakwah yang sama, semuanya
tertawa. Sebagian dari mereka bahkan menimpali, ”Kenapa ga sekalian aja pamfletnya
disimpan di dompet. Yang penting kan niat menyampaikan, tidak peduli orang bisa
membacanya atau tidak. Haha!”
Ya, benar tugas kita hanya menyampaikan. Tetapi apakah itu berarti kita hanya berpikir
tentang menyampaikan, setelah itu kita berpuas diri dengan amal kita itu? Apakah tidak
pernah terbersit di pikiran kita, berbagai macam cara agar dakwah itu tidak sekedar kita
sampaikan, tetapi juga benar-benar sampai ke hati objek dakwah kita. Apakah tidak pernah
terlintas dalam benak kita, ide-ide segar agar dakwah tadi efektif, langsung mengena ke
sasaran kita?
Maka sedari kini, tambahkanlah satu hal untuk menggelayuti pikiran kita dalam berdakwah,
yaitu pikiran tentang ’bagaimana mad’u menerima dakwah’ bukan sekedar ’bagaimana da’i
menyampaikan dakwah’.
3 MENYALA
TAK KENAL HENTI
Nampaknya saya harus meralat pendapat yang saya tuliskan di buku Menggenggam Bara
Islam. Di bawah judul Cerdas Beribadah, saya menyampaikan bahwa beramal habis-habisan
di hari ini tanpa memperhatikan esok hari adalah tidak cerdas. Di sana saya menyajikan
contoh orang yang menghabiskan malam ini dengan tahajjud, ternyata di esok hari malah
tidak bisa tahajjud sama sekali karena kelelahan. Lebih dari itu, bahkan (mungkin) akan ada
kewajiban yang terlalaikan karena kita kelelahan. Maka, solusi cerdasnya adalah menghemat
energi untuk amal esok hari. Lebih baik beribadah secukupnya di malam ini, daripada tidak
bisa beribadah lagi esok hari. Lebih baik beramal secukupnya di hari ini, daripada tidak bisa
melakukan apa-apa di esok hari.
Di penghujung ramadhan tahun 1430 Hijriyah lalu, saya merasakan kelelahan yang teramat
sangat. Belum pernah saya merasakan aktifitas sepadat itu sebelumnya, terlebih lagi dalam
keadaan berpuasa. Saya lalu menghitung-hitung amal saya. Rasanya sudah cukup banyak. Pagi
mengisi ta’lim, siang mengisi ta’lim, sore mengisi ta’lim, malam mengisi ta’lim.
Ah, rasanya sudah banyak yang saya lakukan untuk agama ini. Bukankah saya memiliki hak
untuk beristirahat, karena jika saya menghabiskan energi saya di hari ini, bagaimana dengan
esok hari? Karena itu, saya memohon izin beberapa hari kepada pihak-pihak yang telah dan
akan terlibat. Saya memohon izin untuk beristirahat barang beberapa hari, agar setelah itu
saya bisa memberikan energi dakwah yang lebih dahsyat lagi.
Lalu sebuah SMS masuk ke dalam inbox HP saya. Dari sahabat saya, Salim Abdurrahman.
Saya tidak akan pernah melupakan pesan itu selamanya. Ia sungguh berkesan, sungguh
menggugah, sungguh mengguncang.
Jika setiap kita adalah lampu minyak,
maka menyalalah dengan terang, seterang yang kita bisa
Hingga nanti, jika sang pemilik menghabiskan minyak kita
maka biarlah kita padam, setelah sebelumnya lelah memberi terang
Jika setiap kita adalah semilir sejuk angin
maka teruslah mengalir,
hingga nanti, jika Sang pemilik menitahkan kita untuk tak lagi mampu mengalir
maka biarlah aliran kita terhenti, setelah sebelumnya lelah memberi kesejukan
Lalu apalagi yang saya tunggu? Apa masalahnya jika kita kehabisan energi setelah kelelahan
membangkitkan umat? Apa yang salah, jika kita tak mampu lagi mengedipkan mata setelah
kita menghabiskan segala yang kita miliki untuk agama ini?
Memang, terkadang muncul pikiran realistis seperti yang sempat saya ceritakan di awal,
bahwa lebih baik beramal secukupnya di hari ini, daripada tak mampu melakukan apa-apa di
esok hari. Pertanyaan berikutnya, apa salahnya jika kita tidak bisa melakukan apa-apa di esok
hari? Bukankah itu semua karena kita telah menghabiskannya di hari ini? Apa yang salah?
¨b Î) ©! $# 3ìuétI ô©$# öÆÏB öúüÏZÏB÷sßJ ø9 $# óOßg|¡àÿR r& Nçl m;º uqøBr&ur cr'Î/ ÞOßgs9 sp̈Yyf ø9 $# 4 öcqè=ÏG» s)ãÉ í Îû È@ã Î6yô «! $#
tbq è=çG ø)uäsù öcqè=tF ø)ãÉur ( #́âôã ur Ïmøã n=tã $ y)ym Ü Îû Ïp1uë öqG9 $# È@ãÅgU M}$#ur Éb#uäöç à)ø9 $#ur 4 ô t̀Bur 4Ü nû÷rr& ¾ÍnÏâôgyè Î/ öÆÏB
«! $# 4 (#rçéųö6tF óô $$ sù ãNä3Ïè øã u; Î/ ìÏ%©!$# Läê÷è tÉ$ t/ ¾ÏmÎ/ 4 öÅÏ9º så ur uqèd ãóöqxÿø9 $# ÞOäÏàyè ø9 $# ÇÊÊÊÈ
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (TQS. At-Tawbah: 111) Kawan, sesungguhnya harta dan jiwa kita telah dibeli oleh Allah, dengan surga sebagai
bayarannya. Apakah surga tidak cukup bagi kita untuk menggadaikan harta dan jiwa kita?
Kenapa kita masih berpikir untuk menyimpan energi kita untuk esok hari? Jika bisa mati hari
ini karena perjuangan kita, kenapa harus dihemat untuk esok hari? Apakah mati karena
berjuang, lebih buruk daripada terus hidup untuk berjuang?
Apa yang sudah kita berikan untuk Islam ini,
sehingga merasa layak rehat
jikapun harus beristirahat karena payah
beristirahatlah untuk perjuangan esok yang lebih berat
meski sesungguhnya, esok belum tentu ada
Ya, esok belum tentu ada. Belum tentu nafas kita masih berhembus hingga esok pagi. Belum
tentu jantung kita berdetak hingga bersua matahari. Belum tentu, kawan. Lantas untuk apa
kita menghemat energi untuk esok hari yang belum pasti? Bukankah lebih baik kita
menghabiskannya di hari ini?
Beristirahatlah, tetapi pastikan istirahat kita untuk perjuangan esok hari yang lebih berat. Dan
jika kita bisa mati hari ini karena memperjuangkan agama Allah, itu adalah lebih baik bagi
kita.
Menyalalah seterang kau bisa, hingga padam!
TERUS MELANGKAH
Teruslah melangkah,
meski semua manusia berhenti
teruslah melangkah,
meski duri tajam mengoyak kaki
Berhati-hatilah dengan kata. Karena bisa jadi setelah mengucap kata, seketika itu juga Allah
menuntut pembuktiannya. Saya dan sahabat saya sering mengalaminya. AlhamduliLlah,
semua itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kami.
Saat itu kami sedang on-air di radio Madinatus Salam 90,9 FM Banjarmasin. Tema yang kami
perbincangkan adalah sabar menghadapi ujian. Sebagai seorang narasumber, saya pun banyak
bertutur tentang sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan. Dan subhanaLlah, belum selesai
kami berbincang tentang sabar, tepat di detik itu, Hamzah, anak pertama saya yang
menunggu di luar ruang siaran menangis kencang. Tangisnya tidak bisa diatasi oleh ibunya.
Sepanjang siaran kami tidak lagi bisa konsentrasi memperbincangkan tentang kesabaran.
Ya. Tepat saat saya bertutur tentang kesabaran, saat itu pulalah Allah menuntut saya untuk
membuktikan kekata saya. Allah menguji saya dengan tangisan Hamzah, dengan itu Allah
ingin tahu, apakah saya sudah layak berbicara tentang sabar ataukah sebaliknya?
Di kesempatan berikutnya, saya dan sahabat saya tersebut mendengarkan taushiyah Ustadz
Yusuf Mansur, tentang menyerahkan segala urusan kepada Allah semata. Kisah-kisah yang
dihadirkan oleh ustadz muda tersebut begitu memukau nurani saya. Kisah itu memaksa saya
untuk berkomitmen untuk selalu menyerahkan urusan kepada Allah semata.
Berhati-hatilah dengan kata. Karena tidak sampai satu jam setelah itu, Allah menuntut
pembuktian komitmen saya. Karena kelengahan saya, uang sekitar sepuluh juta yang
dititipkan oleh salah seorang ustadz terancam hilang. Lagi-lagi kekata saya diuji secara
kontan, tidak ditunda-tunda oleh Allah. Apakah dalam keadaan panik seperti itu, saya
menyerahkan segala urusan kepada Allah, atau justeru melupakanNya saking paniknya?
Berhati-hatilah dengan kata. Karena bisa jadi Allah menuntut pembuktiannya seketika.
Oiya. Tentang kata, lupakah kita dengan janji dan permohonan kita kepada Allah di setiap
shalat kita? Lupakah kita dengan ini,
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah Tuhan
semesta alam.”
Lupakah kita dengan doa kita yang satu ini,
“Ihdinaa ash-shiraath al-mustaqiim,
tunjukilah kami jalan orang yang istiqamah.”
Berhati-hatilah dengan kata. Sungguh, doa kita agar ditunjuki jalan orang yang istiqamah,
akan segera diminta pembuktian oleh Allah. Mungkin detik ini, mungkin esok, mungkin
nanti. Yang pasti, ujian itu pasti akan ada. Karena kita tidak akan bisa dikatakan istiqamah
sebelum kita lulus menghadapi ujian keistiqamahan.
Jangan pikir, bahwa orang yang istiqamah orang yang serba memiliki fasilitas untuk
melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Seorang gadis yang tumbuh di keluarga
pesantren, kemudian dia tidak banyak bermaksiat, dia menutup aurat dengan baik, dia banyak
menghafal al-Quran, dan segudang kebaikan lainnya, belumlah teruji keistiqamahannya.
Mungkin ada di antara kita, yang jika ia ingin pergi ta’lim, ia mendapatkan kemudahan. Ingin
berdakwah, gampang. Ingin berhaji, ingin berkurban, ingin menutup aurat, dan lainnya,
semuanya bisa dilakukannya dengan mudah karena ia memiliki banyak fasilitas untuk
mencapai itu semua. Jika ada di antara kita yang begitu, tentu keistiqamahan kita belum teruji.
Seorang ikhwan yang mencintai seorang akhwat dengan kecintaan yang membuncah, tetapi
dia tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumbar cinta bersama akhwat tersebut, itulah
istiqamah.
Seorang pemuda yang dimasukkan ke dalam ruangan terkunci bersama seorang wanita
cantik, kemudian wanita tersebut memaksanya berzina. Tetapi pemuda tersebut bersikukuh
mempertahankan keimanannya, itulah istiqamah.
Seorang akhwat yang mengenakan jilbab saat kuliah, kemudian pihak perguruan tinggi
mengancam untuk memberhentikannya dari perkuliahan jika ia tetap mengenakan jilbabnya,
tetapi akhwat tersebut tetap teguh dengan ketaatannya pada Allah, itulah istiqamah.
Seorang pejuang dakwah, yang dipenjara oleh rezim kufur, dipaksa bahkan disiksa, agar ia
menghentikan aktivitas dakwahnya, tetapi ia tetap teguh dengan perjuangannya, itulah
istiqamah.
Istiqamah akan terbukti dengan diuji. Maka, doa kita kepada Allah agar ditunjukkan jalan
orang yang istiqamah, akan segera dijawab oleh Allah dengan mendatangkan ujian. Siapkah
kita dengan konsekuensi doa tersebut? Harus!
TETAP LURUS
Jika ada sejuta pejuang kebenaran,
aku salah satunya
jika ada seribu pejuang kebenaran,
aku salah satunya
jika ada seratus pejuang kebenaran,
aku salah satunya
jika ada sepuluh perjuang kebenaran,
aku salah satunya
jika hanya ada seorang pejuang kebenaran
akulah orangnya!
Sungguh, penggenggam bara Islam tidak terlalu mempedulikan jumlah. Jika ada seribu, dia
ikut berjuang, ataupun hanya ada seratus atau sepuluh orang saja, dia juga pasti akan ikut
berjuang. Bahkan, jika pejuang kebenaran itu hanya ada satu orang, maka dia pasti akan
meyakinkan dirinya dan dunia, bahwa dialah satu-satunya penggenggam bara Islam itu.
Apa yang terjadi sekiranya RasuluLlah menolak menyampaikan Islam, hanya gara-gara beliau
sendirian? Tidak pernah RasuluLlah bertanya, ada siapa bersamaku? Tidak! Karena
kebenaran itu tidak mempedulikan berapa banyak orang yang menggenggamnya.
Di tengah perjalanan Yogyakarta – Banjarmasin, Allah mempertemukan saya dengan seorang
bapak dari salah satu sudut Indonesia. Beberapa saat lamanya kami berbincang mengenai
banyak hal, salah satunya adalah tentang peran seorang Muslim dalam mengembalikan kilau
Islam yang telah dipudarkan. Bapak itu mengangguk menyatakan setujunya. Semangat saya
berapi-api. Sayang, kalimat yang meluncur setelah itu membuat kobaran api saya perlahan
memadam.
“Saya sih mau aja ikut berjuang menegakkan Islam. Tapi saya lihat sekarang pejuangnya
belum banyak. Takut.”
Pastikan cara berpikir seperti itu tidak ada dalam benak kita. Kita tidak boleh memandang
kebenaran dari jumlah pejuangnya. Karena seorang pejuang sejati, tidak akan peduli berapa
jumlah orang yang membersamai. Sejuta, seribu, seratus, sepuluh, bahkan seorang diri
sekalipun ia akan tetap menggenggam bara Islam.
KEPING KEDUA
KATA ***
Adalah Nabi ShallaLlahu ‘Alaihi Wasallam apabila berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi,
dan kemarahannya sungguh-sungguh. laksana seorang komandan pasukan perang
yang sedang berkata, ”Musuh menyerang kalian pada pagi hari”
dan ”Musuh datang pada sore hari.” ~ HR. Muslim ~
***
KEKUATAN KATA
Pernahkah engkau terpana menyaksikan permainan seorang magician profesional, semisal
Deddy Corbuzier sang mentalis, Demian sang ilusionis, atau Romy Rafael sang ahli hipnotis.
Apa yang sering meluncur dari lisan kita tiap terpukau penampilan mereka? “Wuih, kok
bisa?!” atau “Sihir nih, pasti!”.
Sebenarnya semuanya bermodal –setidaknya- tiga kemampuan: kecepatan tangan, kekuatan
kata, dan bahasa tubuh. Kecepatan tangannya membuat kita tidak bisa melihat apa yang
sebenar dilakukannya, hingga semuanya nampak ajaib di mata. Sedangkan kekuatan kata dan
bahasa tubuh memiliki pengaruh yang kuat terhadap alam pikir kita. Jadilah kita mudah
terpengaruh dengan apa yang mereka inginkan.
Sebenarnya, dalam tingkatan yang lebih sederhana, seorang da’i memerlukan ilmu yang
mereka miliki. Bukan untuk menjadi ilusionis atau atau ahli hipnotis. Di sini kita akan
membincang hipnotis dalam tingkat yang lebih rendah, yaitu sekedar mempengaruhi pikiran
orang lain, dalam keadaan sadarnya.
Di antara tiga kunci penampilan magician, yang pertama tidak usah kita bincangkan di sini,
karena ianya tidak terlalu terkait dengan kemampuan seorang da’i mengelola forumnya. Yang
akan banyak kita perbincangkan adalah ilmu kata dan bahasa tubuhnya, karena itulah yang
akan membuat kita mampu mempengaruhi pikiran audiens saat materi kita sajikan. Mari
bincangkan satu persatu.
***
4
SEBELUM ‘BERTEMPUR’
Untuk memula perbincangan kita. Izinkan saya menghadirkan kisah yang saya kutip dari
buku sahabat saya, Salim A Fillah, Jalan Cinta Para Pejuang. Saya tidak tahu kisah ini benar
terjadi atau tidak, Salim A Fillah tidak menjelaskannya lebih jauh. Yang pasti kisah ini
menarik, itu saja.
Seorang pelancong bersiap menyelam di taman laut Bunaken. Dia telah mencawiskan segala
keperluannya mulai dari pakaian selam, tabung oksigen, sepatu katak, sampai kacamata dan
lampu dahi. Untuk ini semua dia sengaja memilih yang terbaik. Kualitas nomor satu. Baju
selamnya dibuat dari bahan yang nyaman dipakai, lentur sekaligus kuat. Sepatu katangnya sesuai
desain terbaru yang amat memudahkan mobilitas di bawah air. Dan, sorot lampu dahinya mampu
menguatkan jarak pandang hingga beberapa depa.
Lalu byurr! Dia masuk ke dalam air dengan punggung terlebih dahulu. Beberapa saat dia berada
di kedalaman sepuluh meter. Dan coba kita lihat! Ribuan ikar tetabar dalam bentuk, rerupa,
warna, ukuran dan jenis yang tak sanggup dihinggakan. Ada yang menyendiri, ada yang
berkumpul-kumpul dalam koloni, ada yang malu-malu, dan ada yang mendekat-dekut tanpa
tajyt. Di sekitarnya, geliang-geliut terumbu karang dan aneka ganggang. Segalanya warna-warni,
lebih kaya dari pelangi, menyatu dalam harmoni dan paduam irama yang indah tak terlukiskan.
Alangkah agungnya sang Maha Pencipta! “Subhanallah!”, gumamnya seiring syukur di hati.
Tetapi berapa depa di depan sana dilihatnya sesosok tubuh bercelana kolor berkaos oblong
berenang riang. “Hebat!” gumamnya. Menyelam tanpa alat. Mungkin ada sensasinya sendiri.
Beberapa saat menjelajah, turunlah penyelam kita ke kedalaman 20 meter. Segalanya mulai
remang-remang. Lampu dahi mulai menyorot, dan serombongan ikan menyebar ketika dia
mendekat, tapi kemudian menyatu lagi sembari menghindar darinya. Warna-warni satwa dan
herba mulai berbeda di sini. Tak seceria di atas, namun agung dan berwibawa. “Allahu akbar!”
di tiap lapis lautan, Allah tunjukkan kuasaNya yang menakjubkan. Termasuk, itu dia! Si
celana kolor kaos oblong yang melambai-lambaikan tangan ketika ia mengacungkan jempol.
“Luar biasa!” gumam penyelam kita. “Dua puluh meter dan dia sanggup pulang balik ambil
udara ke permukaan!”
Sekarang saatnya tiga puluh meter! Dan rasa takjubnya kepada Allah bertambah syahdu. Juga
kepada si orang itu! Si celana kolor dan kaos oblong yang kini tegak di hadapannya, di
kedalaman 30 meter! Tak sanggup menahan rasa kagum yang membuncah, ia beranikan bertanya
sambil memeluk dan berteriak di telinganya, “Pak, Bapak hebat sekali ya! Luar biasa! Untuk
sampai ke kedalaman ini saya harus pakai alat macam-macam yang sewanya mahal, juga tabung
oksigen yang berat banget! Bapak kok bisa sih sampai sini tanpa alat?! Bagi saya, Bapak adalah
penyelam terhebat di dunia! Luar biasa!!”
Si Bapak menggapai-gapai. Dan dengan tenaga penuh dia berteriak di telinga penyelam kita,
namun terdengar lirih seperti sisa-sisa, “Gua tenggelam, Goblokk!!”
Persiapan. Itu yang akan menentukan keadaan seorang penyelam saat berada dalam air.
Penyelam yang bersiap, insyaAllah akan menikmati apa yang dilihatnya di bawah permukaan
laut, di kedalaman 10 meter, 20 meter, bahkan lebih dalam lagi. Sedangkan penyelam yang
tidak bersiap, tidak melengkapi ‘persyaratannya’, tentu akan tenggelam megap-megap kehabisan
udara.
Sebelum bertempur, ada banyak persiapan yang harus kita lengkapi. Ada dhabbabah, manjanik,
pedang, tombak, kemampuan berkuda, kemampuan mengayun pedang, memanah, dan
lainnya. Nekadlah berangkat ke medan tempur tanpa membawa apapun, tanpa keahlian
apapun. Apa yang akan terjadi? Wallahu a’lam.
Itu pula yang akan terjadi pada seorang da’i. Jika kita ibaratkan penyelam tersebut adalah da’i,
maka samudera yang dalam itulah majlis yang dihadapinya. Jika seorang da’i tidak melengkapi
persiapannya, ia akan megap-megap dihadapan audiensnya. Jangan heran jika ada da’i yang
ketika berbicara di depan forum, penjelasannya nyaris tidak bisa dipahami, wajahnya pucat
pasi, dan –mungkin- celananya basah. ^_^
Ada banyak persiapan yang mesti kita lengkapi, yang dengan itu semoga kita mampu
menyempurnakan dakwah kita kepada mereka, agar hidayah Allah benar-benar sampai ke
hatinya, melalui lisan kita. Dua persiapan yang cukup penting untuk diperhatikan sebelum
kita terjun ke forum-forum dakwah, yaitu mengenal medan dan setelah itu menyiapkan
senjata..
MENGENAL MEDAN
Lazimnya, jika seorang pemimpin akan mengirim pasukan untuk futuhat/pembebasan,
sebelumnya ia pasti mempelajari medan yang akan dihadapi oleh pasukannya. Memahami
medan adalah perkara yang sangat penting. Dengan mengetahui medan yang akan dihadapi,
kita akan mengerti apa-apa saja yang perlu kita persiapkan, cara apa yang akan kita gunakan,
dan lainnya.
Begitupun dalam menjadi seorang pembicara di forum, yang pertama kali harus dilakukan
oleh seorang da’i adalah mengenali medannya, siapa saja pesertanya, apa target panitia dari
forum tersebut, dan jenis forum apa yang akan kita hadapi. Dengan begitu kita akan mengerti
apa saja yang mesti kita siapkan, gaya penyampaian seperti apa yang akan kita bawakan,
materi apa yang cocok kita sampaikan, dan lainnya.
Segmen Peserta
Saya termasuk orang yang pilih-pilih dalam memenuhi undangan mengisi acara pengajian
atau training. Bukan apa-apa, saya hanya tidak ingin salah berbicara di depan peserta. Pernah
sekali waktu saya diundang oleh salah seorang guru SMP untuk mengisi acara pesantren
ramadhan di sekolahnya. Ketika mendengar kata SMP, yang pertama terbayang di benak saya
adalah remaja-remaja baru gede, yang usianya sangat lembab. Bayangan saya, pesertanya adalah
anak-anak kelas tiga. Tentu saya mempersiapkan diri untuk menghadapi ABG kelas tiga
SMP, materinya, medianya, bahkan gaya penyampaian.
Apa yang kemudian terjadi? Dugaan saya meleset jauh. Ratusan siswa yang duduk di hadapan
saya bukanlah ABG 15 tahunan seperti yang saya bayangkan. Wajahnya masih imut-imut
semua. Kecil-kecil. Dan masih latik-latik. Yah..., jika begini, materi yang sudah saya siapkan
akan salah tempat jika tetap saya sampaikan.
Secepat kilat saya merombak materi yang akan saya sampaikan. Saat itu juga saya memikirkan
gaya penyampaian seperti apa yang cocok saya bawakan di hadapan anak-anak yang baru
beberapa minggu lulus SD.
Sejak kejadian itu, setiap ada yang mengundang saya untuk mengisi acara pengajian, tidak
pernah saya ketinggalan menanyakan siapa yang akan hadir. Setelah saya tahu siapa saja
pesertanya, bagaimana karakter umum mereka, berapa jumlahnya, jenis kelaminnya (laki-laki
saja, perempuan saja, atau keduanya), dan lainnya. Karena berbeda segmen peserta, berbeda
pula cara kita menyampaikan materi kepada mereka.
Mari belajar dari Sang Nabi. Kepada Badwi, Rasulullah menyampaikan materi dengan gaya
yang sesuai, dengan cara berpikir yang mudah diterima orang Badwi. Kepada yang lebih
cerdas, seperti para petinggi Quraisy, beliau berdakwah dengan gaya yang intelek pula.
Begitupun ketika seorang lelaki kekar bernama Hukamah datang menantang Nabi, “Jika
engkau bisa mengalahkanku, aku akan berislam.” Dia adalah orang yang tidak memandang
kebenaran dari kebenaran itu sendiri. Rasulullah melayani dengan cara yang sama. Kepada
yang lembut hatinya, Rasulullah menyampaikan dakwahnya dengan gaya yang mengalir
lembut pula.
Antum juga begitu bukan? Menghadapi anak SMP, siapkan materi dan gaya penyampaian
yang cocok dengan anak SMP. Jika antum menyiapkan slide powerpoint, perbanyaklah
gambar-gambar dengan warna yang mencolok. Perbanyak mengucapkan perkataan yang
sering antum dengar dari anak-anak SMP. Jika antum tahu bahwa mereka senang
membicarakan artis, komik, dan film-film kartun, sampaikan juga dengan cara itu. Coba-coba
lah cari tahu tentang artis ABG yang sedang ramai diperbincangkan. Sesekali, sempatkanlah
menonton film-film kartun yang sering tayang di televisi.
Coba lakukan itu, insyaAllah kita akan berada pada irama yang sama dengan mereka. Jika kita
dan mereka telah seirama, insyaAllah materi dakwah yang akan disampaikan akan masuk
dengan mudahnya.
Antum tahu kenapa anak-anak SMP dan SMA, bahkan sebagian mahasiswa terlihat bete
ketika menghadiri acara sejenis pesantren ramadhan di sekolahnya? Yang ternyata
pembicaranya adalah kyai yang sangat terkenal? Bukan, bukan karena materi yang
disampaikan, melainkan karena sinyal antara kyai dan anak-anak muda itu tidak seirama.
Karena itu, mari kita satukan irama kita dengan audiens kita. Langkah awal untuk itu adalah,
mengenali siapa mereka.
Target Forum
Poin berikutnya yang selalu saya tanyakan pada panitia adalah, apa target dari acara tersebut.
Dengan mengundang saya, panitia menginginkan peserta jadi seperti apa dan mendapatkan
apa. Hal ini penting. Seringkali tema atau kisi-kisi materi yang disuguhkan panitia ternyata
tidak mewakili target yang mereka inginkan.
Kasus ini sering saya temukan. Panitia berharap peserta akan tersemangati untuk dakwah,
tetapi setelah saya pelajari, kisi-kisi materi yang mereka sajikan sama sekali tidak bisa menjadi
wasilah tercapainya target itu. Karena yang akan berbicara adalah saya, sedangkan saya tahu
apa kekurangan dan kelebihan saya, maka adalah wajar jika saya yang paling mengerti dengan
cara saya menyampaikan materi dan juga materi yang cocok disampaikan untuk mencapai
harapan panitia.
Kadang, tema yang dipilih panitia tidak bersesuaian dengan target yang diharapkan. Saya lupa
tepatnya, saya pernah diundang mengisi taushiyah oleh anak-anak muda di Banjarmasin.
Sayang sekali mereka hanya menyuguhkan tema kepada saya. Dari tema itu, saya menerka-
nerka materi yang cocok dengannya. Setelah ketemu materi yang saya pikir cocok, kemudian
saya menyampaikannya dengan perasaan optimis bahwa target panitia akan tercapai. Apa
yang terjadi? Ternyata materi yang saya sampaikan sama sekali tidak berhubungan dengan
target yang mereka harapkan. Salah siapa coba?
Jika main salah-salahan, tentu saya akan menyalahkan panitia yang merumuskan tema seperti
itu. Tetapi jika dikaji lebih jernih, saya juga salah. Kesalahan saya adalah tidak menanyakan
target mereka, dan menerka-nerka sendiri target itu. Kesalahan saya adalah terlalu percaya
diri bahwa saya mengerti target mereka.
Sejak itu, pertanyaan kedua ini selalu saya sampaikan setiap kali undangan mengisi acara
datang kepada saya, “Apa target yang diinginkan panitia dari acara tersebut?”. Saya yakin
Antum semua juga akan menanyakannya, karena pengetahuan kita tentang target mereka
akan membantu kita menyusun materi yang cocok untuk mencapai target itu. Atas izin Allah,
tentunya.
Jenis Forum
Masalah ini sering kita lupakan, mungkin karena ia terlihat sepele. Sadarilah, setiap jenis
forum memiliki karakteristik yang berbeda. Ceramah berbeda dengan talkshow, training
berbeda dengan seminar, mentoring berbeda dengan pengajian. Tanpa memahami
karakteristik masing-masing forum, kita akan kesulitan memposisikan diri dengan baik.
Saya pernah menyaksikan seorang trainer yang diminta menjadi salah satu pembicara
talkshow. Karena tidak terlalu memahami perbedaan talkshow dengan training, trainer kita
kemudian berdiri meninggalkan para pembicara lain. Ia berjalan mendekat ke peserta.
Kemudian memimpin forum sebagaimana seorang trainer.
Seharusnya kejadian ini tidak pernah terjadi. Ini sangat memalukan. Coba bayangkan
seandainya Antum berposisi sebagai host dalam talkshow itu, bagaimana perasaan antum
ketika seorang pembicara berdiri dan meninggalkan Antum. Kemudian mengambil alih
forum yang sebelumnya berada di tangan Antum.
Jika antum merasa sebal dengannya, maka jangan pernah menjadi orang yang membuat
antum sebal itu. Ya, jadilah seorang pembicara, trainer, penceramah, ustadz atau siapapun,
yang terpenting adalah kita mengerti jenis forum yang sedang dihadapi.
Tempatkan diri sebagaimana peran kita dalam forum itu. Jika kita adalah penyaji dalam
seminar, maka siapkanlah makalah untuk disampaikan di depan peserta, duduk manis di meja
yang sudah disiapkan, yang di atasnya dipasang nameplate bertuliskan nama kita.
Jika kita adalah salah satu narasumber dalam talkshow, duduk manislah di sofa yang
disiapkan untuk kita. Jawablah pertanyaan dari host sesuai alokasi waktu yang disediakannya
untuk kita. Jangan pernah memotong pembicaraan dari narasumber lain, karena kita dan dia
sederajat di sana. Jangan protes jika host memotong pembicaraan kita, karena itu memang
haknya.
Jika kita adalah seorang penceramah yang sedang berbicara di depan jama’ah masjid,
berbicaralah. Tidak perlu menunggu pertanyaan dari host, karena memang tidak ada host
dalam forum seperti ini. Tidak perlu menyiapkan slide atau game. Ini adalah ceramah, bukan
training.
Adapun jika kita adalah seorang trainer, maka berdirilah sebagai penguasa forum itu. Buatlah
peraturan kita sendiri dalam forum itu, karena trainer adalah raja dalam forum itu. Siapkanlah
apa saja yang kita perlukan, slide, perangkat untuk game, dan lainnya.
***
Medan telah kita kenali dengan baik. Kita sudah mengkaji siapa saja yang akan menghadiri
majlis kita. Kita juga sudah mempelajari target yang diinginkan panitia. Kita juga sudah
mengerti betul jenis acara yang akan kita hadapi. Setelah itu semua, saatnya melaju ke tahap
kedua sebelum ‘pertempuran’ bermula. Saatnya menyiapkan senjata.
MENYIAPKAN SENJATA
Apa yang diperlukan seorang panglima perang setelah ia memahami medan yang akan
dihadapinya? Benar, ia akan menyiapkan strategi, senjata, dan kemampuan yang cocok untuk
menghadapi medan itu. Lihatlah Muhammad al-Fatih, setelah ia mengerti bahwa medan yang
yang akan ditempuhnya adalah sungai yang diproteksi oleh rantai baja, yang membuat
kapalnya tak bisa menembus masuk ke konstantinopel, disiapkannyalah bergalon-galon
minyak goreng untuk melumuri gelondong kayu. Untuk apa kayu-kayu berlumur minyak
goreng itu? Bagi yang belum pernah membaca kisah Muhammad al-Fatih, tentu akan
terkejut, karena kayu-kayu berlumur minyak goreng itu digunakan untuk menjalankan kapal-
kapalnya di daratan. Sekali lagi, untuk menjalankan kapal-kapalnya di daratan!
Begitupula semestinya seorang da’i. Setelah kita memahami medan yang akan kita hadapi,
entah itu segmen peserta, target panitia, maupun jenis forumnya, segera setelah itu kita harus
menyusun strategi yang cocok untuk menghadapi medan seperti itu.
Insyaallah di bagian ini kita akan belajar bersama, tentang persiapan apa saja yang harus
dilengkapi oleh seorang da’i sejati. Sudah siap?
Memantapkan Pemahaman
Ustadz Dwi Chondro Triono dalam bukunya Ilmu Retorika untuk Mengguncang Dunia,
menyajikan sebuah analogi yang demikian memukau. Beliau mengibaratkan dakwah sebagai
sebuah rudal. Sebagaimana kita ketahui, ada dua unsur penting dalam rudal, peluncur dan
isinya. Sebagus apapun isi rudal tersebut, jika kemampuannya meluncur hanya bisa
menjangkau jarak radius sepuluh meter, apa gunanya? Sebaliknya, sebagus apapun
kemampuan meluncurnya, mampu menjangkau kota, pulau, negara, bahkan benua yang
berbeda, tetapi isinya adalah petasan, apa pula gunanya?
Rudal terdiri dari dua unsur penting yang saling melengkapi, dakwah juga demikian. Dakwah
terdiri dari dua unsur penting, isinya dan cara penyampaiannya. Satu dari dua unsur ini tidak
disempurnakan, tentu kita tidak akan bisa mencapai hasil yang sempurna pula. Demikian
teorinya, tetapi dalam kehidupan nyata, belum tentu berlaku kaku seperti seperti dalam
matematika.
Untuk memudahkan, di sini saya sajikan empat macam kombinasi materi dan cara
penyampaian dakwah. Ayo kita pelajari bersama.
§ Obat
Semua orang juga tahu, hampir semua obat rasanya pahit. Meski pahit, ia memiliki
khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang sesuai dengan kegunaannya. Akan
tetapi, apakah ada orang yang menjadikan obat sebagai menu hariannya? Bahkan orang
sakit sekalipun, jika boleh, tentu mereka tidak ingin meminum obat. Kesimpulannya,
obat adalah sesuatu yang sangat bermanfaat, sayangnya hanya diminum saat sedang sakit.
Sadarilah kawan. Terkadang kita sering menyajikan dakwah sebagaimana obat. Materi-
materi dakwah seperti kebangkitan ummat Islam, kembali kepada syariah dengan
tegaknya khilafah, tentang menutup aurat, tentang jihad dan lain sebagainya, adalah
materi yang sangat berbobot. Materi itu sangat penting dan bermanfaat untuk disajikan.
Tetapi sayang, kita jarang menyajikannya dengan cantik. Sehingga materi dakwah kita
hanya akan dipakai ketika orang sedang benar-benar membutuhkan ilmu. Materi dakwah
kita hanya didengarkan saat orang benar-benar merasakan kerontang di jiwanya, itupun
belum tentu, karena bisa jadi orang akan memilih obat (materi dakwah) yang lainnya.
Karenanya, mari kita berpikir serius tentang cara menyajikan kebenaran.
§ Junk Food
Namun, jangan juga terlalu fokus pada cara menyajikannya. Jangan terlalu berkutat pada
pengemasan dakwah. Saya pernah menyimak sebuah taushiyah yang sangat enak
didengar. Disampaikan oleh seorang ustadz muda yang wajah tampannya sering terlihat
di layar televisi. Disajikan dalam sebuah acara televisi yang sangat meremaja. Tetapi
sayang, nampaknya karena terlalu fokus terhadap cara pengemasannya, materi
dakwahnya malah terlupakan. Beliau menyampaikan materi dakwah yang menyesatkan.
Beliau membolehkan berpacaran. Astaghfirullah.
Jika kita analogikan ke makanan, dakwah yang seperti ini adalah layaknya junk food:
makanan sampah. Junk food adalah makanan yang sangat disenangi oleh siapa saja
karena rasanya yang enak, pengemasannya yang menarik mata, dan juga iklannya yang
‘membahana’. Tetapi di sebalik kecantikan penyajian itu, junk food membawa ancaman
yang sangat serius terhadap kesehatan pemakannya.
Begitu pula dengan dakwah yang hanya memperhatikan cara penyampaian tetapi
melupakan isi. Ia adalah dakwah yang disenangi, tetapi menyesatkan. Benar, keburukan
yang dikemas dengan cantik seperti ini lebih mudah menyesatkan ketimbang kebusukan
yang terang-terangan. Jika yang mengajarkan kemaksiatan itu bukan ustadz, mungkin
efeknya tidak terlalu berpengaruh. Tetapi jika yang mengajarkannya adalah ustadz, tentu
akan menjadi sandaran bagi ahli maksiat untuk terus melakukan kemaksiatannya.
Alasannya sederhana, “Ustadz anu aja bilang boleh...”
Na’udzubillah. Mari berpikir tentang cara pengemasan/penyajian dakwah, tetapi jangan
lupakan isinya.
§ Sapu Ijuk
Obat hanya dimakan ketika sakit (bermanfaat, tetapi tidak enak). Junk food adalah
makanan yang berbahaya (beracun, tetapi enak). Yang ini malah lebih parah lagi. Sapu
ijuk adalah yang paling buruk, sudahlah berbahaya jika dimakan, tidak enak pula! ^_^
Ada lho, dakwah yang begini. Sudahlah materinya tidak berbobot, ditambah lagi dengan
cara penyajiannya yang buruk. Jangan sampai deh kita menjadi da’i yang menyampaikan
dakwah ‘sapu ijuk’ begini.
§ Jus
Nah ini dia yang dicari-cari. Berpuluh manfaat bisa kita dapatkan dengan mengkonsumsi
jus. Bisa menyegarkan badan. Bisa meningkatkan kecerdasan. Memperkuat daya tahan
tubuh. Dan lainnya. Subhanallah, di samping bermanfaat, rasanya juga enak. Karena itu,
untuk meminum jus kita tidak harus sakit dulu.
Seharusnya dakwah juga begini. Materi yang kita sajikan adalah materi yang berbobot,
yang bermanfaat. Di samping itu, kita juga harus bisa menyajikannya dengan cara yang
menarik dan mengesankan. Agar mad’u tidak hanya mendengarkan dakwah kita ketika
butuh saja, tetapi mereka juga merasa rindu untuk duduk mendengarkan materi dakwah
yang kita sajikan.
Jika kita kembalikan ke analogi ustadz Chondro sebelumnya, dakwah seperti ini layaknya
sebuah rudal berisi nuklir dengan daya jelajah yang tinggi.
Sudah lebih mengerti kawan? Mari kita mempersiapkan ‘rudal berisi nuklir dengan daya
jelajah tinggi’ itu. Mari kita belajar menyiapkan dakwah yang berbobot (pemahaman yang
mantap) dengan penyajian yang menyenangkan.
Ada banyak cara yang bisa kita tempuh untuk memantapkan pemahaman kita. insyaAllah di
sini akan saya sajikan serba sedikit. Saya khawatir antum semua bosan karena pembahasan
saya terlalu bertele-tele. Jadi singkat saja ya, afwan.
§ Membaca
Klise ya? Tetapi nampaknya tetap penting untuk saya sampaikan. Ustadz Fauzil Adhim
menulis di bukunya Inspiring Words for Writers, “Bagaimana mungkin engkau bisa
menjadi penulis hebat, sedangkan membaca buku kecil saja enggan.”
Banyak di antara kita senang membaca, tetapi tidak mendapatkan manfaat yang signifikan
terhadap peningkatan ilmunya. Hal itu mungkin terjadi karena kita tidak mengerti
prioritas bacaan kita. Dulu saya sering menyesal setelah pulang dari toko buku. Mungkin
seperti kalian juga, saya membeli buku yang masih disegel. Saya tidak tahu isinya tentang
apa. Tetapi saya merasa tertarik setelah membaca sinopsis di cover belakangnya.
Sesampai di rumah, segera saya membuka segelnya untuk membaca isinya. Sebalnya,
tidak sedikit buku yang saya beli ternyata isinya jauh dari harapan saya saat membelinya.
Pernah juga saya membeli buku yang tidak dibungkus plastik, jadi saya sudah melihat-
lihat isinya. Apakah saya tidak lagi menyesal di kemudian hari? Sayangnya saya tetap
menyesal. Ternyata buku yang saya beli dengan harga mahal itu tidak membawa faedah
yang signifikan terhadap peningkatan ilmu saya. Apa sebab? Wallahhu a’lam. Tetapi
mungkin penjelasan dari Dr. Aidh al-Qarni dalam buku fenomenalnya Laa Tahzan,
cukup mampu menjawab masalah saya. Beliau menuturkan (dalam redaksi yang tidak
tepat sama), kita terlalu sering membeli buku-buku cabang - mungkin seperti buku kecil
yang ada dalam genggaman antum ini, hehe -, padahal buku-buku cabang biasanya
menyajikan pembahasan yang tidak jauh berbeda dengan buku yang lainnya. Ada
puluhan bahkan mungkin ratusan judul buku dengan tema yang mirip, atau bahkan sama.
Adalah wajar jika kita menyesal setelah membeli buku A, karena pembahasannya sudah
pernah kita temukan di buku B, atau buku C.
Begitulah kelemahan buku-buku furu’ (cabang). Karenanya, Dr. Aidh Al-Qarni sangat
menyarankan kepada kita untuk membeli atau membaca buku-buku induk, semisal kitab-
kitab ulama terdahulu, atau buku-buku dengan tema pembahasan yang luas.
Tetapi bukan berarti buku cabang tidak bermanfaat sama sekali. Karena setiap jenis buku
memiliki peran masing-masing. Ada teman saya yang lebih senang buku-buku cabang. Itu
karena dia termasuk orang yang terbiasa berfikir khusus-umum. Dia senang
mengumpulkan informasi-informasi khusus, untuk kemudian sampai pada kesimpulan
umum. Saya sebaliknya. Saya lebih senang mengkaji kesimpulan umumnya dulu, baru
setelah itu mencari informasi-informasi khusus yang terkait dengannya. Insya Allah
keduanya bermanfaat. Silakan pilih yang mana saja yang sesuai dengan gaya berpikir kita.
§ Menonton/mendengar
Menonton atau mendengar adalah cara menuntut ilmu yang paling enak. Tidak perlu
berkonsentrasi tinggi untuk merangkai huruf-demi-huruf dalam buku menjadi kalimat.
Kita hanya perlu duduk, atau bisa juga sambil berdiri, bahkan bisa sambil tiduran.
Sayangnya, tidak banyak yang memanfaatkan kemudahan ini. Mari kita cek isi MP3 player
saya. Mana yang lebih banyak, mp3 ceramah ataukah lagu?
Kenapa kita sia-siakan? Bukankah dengan mendengarkan mp3 taushiyah, akan banyak
sekali manfaat yang kita dapatkan? Kenapa di saat yang sama kita malah memilih
mengangguk-anggukkan kepala tidak karuan karena mendengarkan lagu rock?
Sedari kini, mari kita manfaatkan segala fasilitas yang kita miliki untuk meningkatkan
keilmuan kita, agar kita tidak meluncurkan ‘rudal berisi petasan kodok’ lagi.
§ Mengikuti ta’lim
Afwan, lagi-lagi yang ini nampak klise. Tetapi saya merasa bertanggung jawab untuk
menyampaikannya kepada sahabat semua. Saya seringkali menemukan fenomena yang
menyesakkan dada. Di salah satu masjid kampus, ada majlis ta’lim yang pesertanya
ikhwannya berkisar antara 2 – 4 orang. Padahal setahu saya pengurus organisasi itu cukup
banyak. Kemana mereka? Masyaallah. Saya justeru menemukan mereka terpencar-pencar
di titik yang berbeda. Ada yang bersandar di pojok masjid sebelah sana. Ada yang
berbaring di sudut sebelah situ. Ada yang lagi asyik ngobrol di teras masjid. Semoga saja
mereka melakukan itu semua karena memang aktifitas mereka lebih penting daripada
mendengarkan ta’lim yang mereka adakan sendiri. Tapi masa iya?
Yang saya khawatirkan adalah, jika mereka tidak menghadiri ta’lim itu karena merasa
ilmunya sudah cukup, kan panitia? Semoga tidak begitu, na’udzubillah.
Bagaimana kita berharap orang lain mendengarkan ceramah kita dengan seksama,
sedangkan kita saja tidak bisa duduk tenang di majlis ta’lim orang lain? Bagaimana kita
mau membuat orang tergila-gila pada ilmu yang akan kita sampaikan, jika kita saja enggan
mendengarkan ilmu? Sedari kini, hauslah akan ilmu. Duduklah dengan antusias di majlis-
majlis ta’lim. Insya Allah, jika kita telah menghargai ilmu, orang lain juga akan
menghargai ilmu yang kita sampaikan kelak. Insya Allah.
§ Berdiskusi
Ini yang paling saya senangi. Membaca, menonton, mendengar, atau mengikuti ta’lim
adalah pemasukan informasi satu arah. Sedangkan berdiskusi tidak begitu, tidak hanya
dari seorang penceramah kepada audiensnya, tetapi penyampaian materi berlaku dua
arah.
Karena terjadi interaksi, biasanya pembicaraan jadi berkembang. Dari satu titik
pembahasan, kita jelaskan. Kemudian penjelasan dibantah oleh lawan bicara kita, atau
ditambahkannya. Subhanallah. Pemahaman kita akan semakin mantap. Jika ada
pemahaman kita yang salah, insya Allah akan terbantah. Dengan begitu, kita akan segera
meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lebih kuat. Begitu juga jika ada
pemahaman kita yang benar, tetapi kurang argumentatif, maka lawan bicara kita bisa
menambahkannya. Dengan begitu, semakin kuatlah pemahaman kita.
Sedari kini, biasakanlah berdiskusi. Jika suasana diskusi belum membudaya di tempat
kita, cari satu atau dua orang teman yang siap berdiskusi. Jika di organisasi kita belum
menjadi kebiasaan, kita bisa memprogramkannya mulai sekarang. Semoga dengan begitu,
terjadi percepatan dalam bertambahnya ilmu kita. insyaAllah.
***
Baik. Jika kita sudah memilih buku yang tepat untuk dibaca, tayangan yang baik untuk
ditonton, frekuensi radio yang pas untuk didengarkan, atau teman yang enak diajak diskusi,
langkah berikutnya adalah merekam poin penting yang kita dapatkan di sana. Tentu tidak
seluruhnya perlu kita hapal bukan? cukup poin-poin pentingnya saja. Waktu SMA saya
diajarkan untuk membuat kartu pengetahuan. Sekotak kartu seukuran kartu nama selalu saya
bawa kemana-mana. Setiap membaca, mendengar, atau memikirkan sesuatu yang berharga,
saya tuliskan di sebuah kartu. Jika ada informasi lainnya, saya akan menulisnya di kartu yang
berbeda. Jadi tidak ada satu kartu dengan dua informasi atau kutipan.
Itu hanya ushlub (cara). Jika cara itu antum praktikkan sekarang, nampaknya sudah tidak
efisien lagi. Masa iya antum harus membawa kotak kartu kemana-mana? Ribet sekali bukan?
Sekarang sudah banyak peralatan canggih yang bisa kita manfaatkan untuk itu. Kita bisa
mencatat kutipan tersebut di HP yang ada fasilitas untuk menulis catatan. Kita juga bisa
menyimpannya di PDA kesayangan kita. Atau jika kita ingin kutipan kita itu lebih
bermanfaat, kita bisa menulisnya di wall facebook kita kan? Lebih praktis, lebih bermanfaat.
Kelak, informasi-informasi tersebut kita butuhkan. Dan saat kita membutuhkannya, kita
tinggal ‘memanggilnya’.
Mengasah Pedang Malam
Tajamnya kata yang mengalir dari lisan kita tidak akan menjadi apa-apa, jika pedang malam
kita tidak terasah. Sangat berbeda kekata orang yang senantiasa menghidupkan sepertiga
malam terakhirnya, dengan mereka yang memilih mendengkur saat Allah menunggu sujud
mereka.
Kata-kata itu hanyalah boneka lilin, begitu sayyid Quthb mengibaratkan. Ruh-lah yang akan
menghidupkannya. Dan ruh kata adalah keyakinan kita pada kebenaran yang kita sampaikan,
dan juga kedekatan kita dengan Allah subhanahu wata’ala.
Meski kata yang kita ucapkan sama. Meski materi dakwah yang kita sajikan tidak berbeda.
Akan sangat terasa bedanya ketika dua orang berbeda menyampaikannya. Kata yang begitu
menggugah tidak akan berkesan apa-apa di hati yang mendengarnya, jika disampaikan oleh
orang yang tidak ada cahaya Allah di hatinya. Sedangkan kalimat yang tak terlalu memukau,
bisa menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarkannya, jika diucapkan oleh orang yang
cahaya Allah benderang di hatinya, dengan hidupnya pertiga terakhir malamnya.
Menajamkan Lisan
Meski bukan segalanya, ketajaman lisan sangat diperlukan dalam menutur kebenaran.
insyaAllah akan saya sajikan secara cukup detail di bagian berikutnya, Saat Pertempuran Tiba.
Sampai jumpa di bagian itu ya, insya Allah tidak lama lagi.
Menjaga Stamina Fisik
Jadi enggak asik dong kalau da’inya tidak joss. Kondisi fisik kita akan berpengaruh kepada
tingkat konsentrasi audiens kita. Saya pernah mengalaminya, sering malah. Pagi sampai siang
saya harus menjalankan tugas mencerdaskan anak bangsa. Selepas zhuhur harus mengasuh
majlis ta’lim. Setelah itu ada kuliah sampai menjelang ashar. Usai shalat ashar harus
mengasuh ta’lim yang berbeda lagi sampai menjelang maghrib. Tidak cukup sampai di sana,
karena ba’da maghrib harus berhadapan dengan komputer lagi sampai menjelang isya. Segera
setelah shalat isya saya harus pergi ke studio untuk menjadi narasumber di salah satu radio
Islam.
Alhamdulillah semuanya bisa terlaksana. Sayang sekali, karena kondisi fisik yang terlalu
dipaksakan, hanya ta’lim pertama saja yang berjalan dengan lancar dan targetnya tercapai.
Sedangkan selainnya, meski tetap berjalan, tetapi tidak optimal karena saya kelelahan luar
biasa.
Teman saya menyarankan untuk memperbanyak berolahraga. Sekali seminggu insya Allah
cukup. Selain itu kita juga perlu memperbaiki pola makan kita. Kurangi atau bahkan hindari
makanan-makanan ringan. Meski sepele, tetapi komposisinya sangat baik untuk merusak
kesehatan kita. Ada anu, ada itu, yang jika bercampur dengan darah akan menghambat
peredarannya. Biasakan mengkonsumsi madu, sari kurma, habbatussauda, dan sejenisnya.
Berbekamlah. Karena Rasulullah mengajarkannya begitu. Dengan berbekam, darah-darah
kotor yang menghambat peredaran darah kita akan dikeluarkan. Sekarang kan sudah banyak
klinik-klinik pengobatan sesuai sunnah. Insya Allah, tubuh kita akan selalu fit, stamina kita
akan senantiasa prima.
Insya Allah, cerita tentang ustadz yang mukanya kusut dan punggungnya bongkok saat
menyampaikan materi, tidak lagi ada. Yang tersisa adalah para ustadz dengan stamina di atas
rata-rata, dengan wajah yang selalu segar bercahaya. Karena dakwah ini memang menuntut
perjuangan yang ekstra, bukan sekedar mengisi waktu luang kita.
***
Semoga persiapan-persiapan yang kita lengkapi, menjadi perantara Allah untuk
memenangkan dakwah ini. Semoga kemenangan Islam akan terwujud melalui perjuanganku,
kau, dia, dan kita semua.
4
SAAT ‘PERTEMPURAN’ TIBA
Alhamdulillah. Medan dakwah sudah kita pelajari dengan utuh. Persiapan telah kita lakukan
dengan sempurna. Kita telah menjadi seorang da’i tangguh dengan pemahaman yang
mendalam, kekuatan kata yang tajam, kekuatan tahajjud di pertiga malam, dan juga stamina
yang mengagumkan.
Kini saatnya kita terjun ke majlis atau forum yang sedang menanti kehadiran kita. Di sana
puluhan, ratusan atau mungkin ribuan peserta sedang duduk manis menunggu dimulainya
acara. Ayo, segera ke sana. Tunggu apa lagi?
Sebentar lagi nama kita disebut oleh pembawa acara. Itu berarti kita akan segera tampil di
depan forum untuk menyampaikan materi dakwah kita. Sudah siap bukan? Nah, agar
penampilan kita di forum nanti mencapai targetnya, kita berbincang dulu ya di beberapa
halaman berikut ini. Oke?!
MEMULAI
Memulai. Perkara yang konon paling sulit di antara semua tahapan. Wallahu a’lam benar
tidaknya. Anggap saja memulai memang benar sulit. Tetapi sulit bukan berarti tidak bisa
bukan?
Bagaimana kita memulai, akan sangat menentukan kelanjutan penyampaian kita. Salah dalam
memulai, akan berakibat fatal terhadap respons audiens kepada materi kita. Karenanya, tidak
ada salahnya jika kita mempelajari beberapa langkah penting dalam memulai penyampaian
materi dalam majelis ta’lim, training, seminar, atau forum apapun yang menjadikan kita
sebagai pembicara.
Menyiapkan Husnuzhzhan Peserta
Agar sepanjang penyampaian materi nanti, peserta bisa menerima dengan baik apa yang akan
kita sampaikan, diperlukan kepercayaan mereka terhadap kelayakan kita untuk
menyampaikannya. Tidak gampang lho membuat mereka siap menerima kita. Ada banyak
hal yang harus kita persiapkan untuk itu, insya Allah berikut ini di antaranya.
• Memperkenalkan Diri dengan Baik
Sebagian kawan mengkritik saya karena kebiasaan saya menampilkan slide perkenalan diri
saya sebelum saya menyampaikan materi. Saya memahami maksud kritiknya adalah untuk
menjaga kemurnian hati saya, agar niat tidak bergeser dari yang semestinya. Saya
berterima kasih atas kepeduliannya.
Tetapi nampaknya saya perlu menjelaskan yang sebenarnya di sini. Tidak semua audiens
kita merupakan orang yang siap menerima kebenaran dari siapa saja. Ada saja yang masih
melihat kebenaran dari diri penyampainya. Jika mereka merasa orang yang berbicara
adalah orang yang layak, mereka akan mendengarkannya. Jika tidak, jangan harap mereka
mau menyimak kita dengan seksama.
Karena itulah kita perlu memperkenalkan diri kita kepada mereka. Kasarnya, mereka
perlu tahu ‘siapa kita sebenarnya’. Bukan bemaksud ujub atau takabbur. Memperkenalkan
diri diperlukan agar mereka mengetahui bahwa orang yang berdiri di hadapan mereka,
yang berbicara tentang kebenaran, adalah orang yang memang layak menyampaikannya,
bukan orang yang omong doang. Begitu maksudnya. Dengan begitu, kita harapkan jiwa
mereka menjadi jiwa yang terbuka.
Nah kawan, mulai sekarang, mari kita persiapkan perkenalan diri kita dengan mereka.
Banyak fasilitas yang bisa kita manfaatkan untuk itu semua. Kita bisa memanfaatkan
program-program komputer untuk membuat tayangan yang berisi profil kita, nama, usia,
prestasi, karya dan sebagainya.
Atau jika kita tidak ingin repot membuatnya, cukup isi saja curriculum vitae yang
disediakan oleh panitia. Tetapi saya sangat menyarankan jika kita mempersiapkannya
sendiri, dengan kemasan yang menarik dan mengesankan.
• Memperhatikan Posisi Badan
Berikutnya, yang tidak kalah penting dalam menyiapkan husnuzhzhan (mental baik
sangka) peserta adalah posisi badan kita. Ini cara saya, belum ketemu teori psikologi yang
membuktikan kebenarannya, sih. Tetapi tidak ada salahnya jika saya sampaikan di sini,
karena cara ini selalu saya lakukan dan berhasil menyiapkan mental mereka.
Prinsip saya sederhana. Peserta harus merasakan perbedaan yang tegas antara sebelum
dan sesudah kita membuka pembicaraan. Untuk itu, kadang saya menampakkan
perbedaan yang signifikan pada posisi tubuh dan ekspresi saya antara sebelum dan
sesudah saya memulai penyampaian materi.
Saat dipanggil oleh pembawa acara, lalu saya duduk di kursi atau sofa yang disediakan di
depan peserta, saya selalu duduk dengan posisi badan dan ekspresi wajah yang tidak
bersemangat. Tetapi sesaat sebelum mengucap salam pembuka, wajah saya langsung
berubah menjadi sangat bersemangat, posisi tubuh saya menjadi sangat energik dan
atraktif.
Sebenarnya saya khawatir cara ini berkesan negatif. Tetapi sejauh ini saya melihat efeknya
cukup positif terhadap husnuzhzhan audiens kepada saya. Karena sebelum mengucap
salam wajah dan posisi badan saya lesu, dan tiba-tiba keadaan berubah drastis setelah
saya mengucap salam, audiens jadi sadar bahwa materi saya sudah dimulai. Dengan
begitu, mental mereka menjadi mental yang siap untuk mendengarkan kekata saya
nantinya.
• Dua Kali Salam
Selain dua cara sebelumnya, saya juga mengoptimalkan manfaat salam dan kalimat
pembuka dalam menyiapkan mental audiens. Hampir setiap kali memulai taushiyah atau
ceramah, saya selalu mengucapkan salam sebanyak dua kali. Salam yang pertama saya
ucapkan dalam posisi duduk dan dengan nada yang tidak bersemangat. Bisa dipastikan,
audiens juga akan menjawab salam saya dengan tidak bersemangat. Segera setelah itu,
saya berdiri tegak, kemudian mengangkat tangan kanan saya, lalu mengucapkan salam
dengan nada yang sangat bersemangat, seraya menggerakkan tangan kanan saya dari
kanan ke kiri. Maksudnya adalah, salam tersebut saya tujukan ke semua audiens. Audiens
yang merasa terkena arah telapak tangan saya, akan merasa bahwa saya sedang mengucap
salam kepadanya.
Insya Allah dengan begitu audiens akan menjawab salam kita dengan semangat yang juga
menggebu. Atas izin Allah, di saat yang sama kita juga telah menyiapkan mental mereka
untuk siap menerima apa yang akan kita sampaikan nantinya. Yakinlah!
Semoga tiga langkah awal yang baru saja kita pelajari bersama: memperkenalkan diri
dengan baik, memperhatikan posisi duduk, dan dua kali salam, akan membuat audiens
kita siap menerima kita. Tentunya akan memudahkan kita untuk mencapai target yang
sudah dirancang oleh panitia yang mempercayakannya pada kita. Sebenarnya tiga cara
tersebut hanya contoh saja. Masih sangat diperlukan kreativitas antum semua untuk
mengembangkan sendiri cara yang efektif untuk menyiapkan mental audiens kita. Atas
izin Allah.
Meningkatkan Konsentrasi
Setelah mental mereka siap menerima kita, bukan berarti kita sudah bisa menyampaikan inti
materi kita. Belum, itu terlalu cepat. Masih ada tahapan yang harus kita lakukan sebelum
sampai pada materi inti, yaitu meningkatkan konsentrasi audiens.
Lagi-lagi saya mengambil pelajaran dari ustadz Yusuf Mansur. Beliau memang jagonya soal
pengelolaan forum. Coba kita dengarkan pengantar materi yang sering disampaikan oleh
ustadz kita ini untuk meningkatkan konsentrasi audiensnya.
Segera setelah mengucapkan salam, hamdalah dan shalawat, beliau langsung mengguncang
konsentrasi audiens dengan pertanyaan-pertanyaan menggugah seperti:
“Bapak, Ibu. Jika sedang sakit berobat kemana?” serentak hadirin menjawab, “Dokter!”
“Kalau mobil tiba-tiba rusak, kita pergi kemana?” hadirin menjawab lagi “Bengkel!”
“Kalau laper atau haus, apa yang kita cari?” “Makanan dan minuman!” jawab mereka.
“Kalau ban kita bocor, kemana kita menuju?” “Tukang tambel ban...!” koor mereka.
“Begitulah hadirin, kita tidak mengenal Allah sebagaimana kita mengenal dokter ketika kita
sakit. Kita tidak mengenal Allah sebagaimana kita mengenal bengkel ketika mobil kita rusak.
Kita tidak mengenal Allah sebagaimana kita mengenal makanan dan minuman ketika kita
laper atau haus. Dan konyolnya, kita tidak mengenal Allah sebagaimana kita mengenal
tukang tambel ban ketika ban kita bocor.”
Subhanallah. Pengantar yang demikian sederhana, tetapi daya gugahnya tingkat tinggi. Kita
sering bertele-tele memulai pembicaraan agar terkesan intelek atau alami. Tanpa disadari, itu
semua justeru membuat audiens kita merasa bosan sejak pertama kali kita berbicara. Jika di
awal penyampaian kita saja mereka sudah bosan, jangan harap mereka bisa bertahan sampai
kita selesai menyampaikannya.
Mari kita belajar dari ustadz Yusuf Mansur. Mari kita belajar menyiapkan pengantar-
pengantar yang sederhana, tidak membingungkan, tidak bertele-tele, tetapi memiliki daya
gugah yang tinggi, dan juga mampu mengantarkan peserta untuk sampai ke pembahasan
utama kita. Insya Allah, kita akan terus belajar bersama.
MENJAGA STAMINA AUDIENS
Alhamdulillah kita sudah sampai di bagian ini. Sudah cukup jauh kita bercengkrama bersama.
Oiya. Sampai di sini kita (insya Allah) sudah berhasil menyiapkan mental audiens kita untuk
menerima kita dengan baik. Kita juga sudah meningkatkan konsentrasi mereka untuk
mendengarkan materi inti yang akan kita sampaikan. Jika sudah begini, pegang. Pegang
ketertarikan mereka, jangan sampai menguap karena kita tidak bisa membuat mereka tetap
tertarik pada penyampaian kita.
Insya Allah di bagian ini kita akan belajar bersama tentang ushlub (cara) mempertahankan
stamina audiens kita, agar mereka tetap bisa menikmati penyampaian kita. Tetap sabar
menekuri lembar-lembar buku ini ya. Semoga Allah menyelipkan manfaat di setiap hurufnya.
Mempertahankan Konsentrasi
Suatu ketika, saya iseng menutup mata saat salah seorang kawan sedang berbicara di forum
diskusi. Bukan untuk meremehkan, tetapi itu memang bagian dari penelitian kecil saya. Saya
ingin tahu, bagaimana rasanya jika saya jadi peserta yang mendengarkan pembicara bertutur,
tanpa saya melihat ekspesinya. Apakah saya masih bisa menikmatinya?
Jawabannya tidak. Sekitar sepuluh menit dia menyampaikan pendapatnya. Entah ada berapa
puluh kali bunyi “Ee....” terdengar. Serius. Di saat saya menutup mata, suara Eee itu
terdengar seperti orang yang sedang masuk angin, tidak henti bersendawa. Selain itu, saya
tidak bisa menemukan titik tekan pembahasannya. Mungkin saya bisa menemukannya jika
saya membuka mata dan melihat ekspresinya. Tetapi karena saya hanya menggunakan telinga,
jadinya saya tidak bisa menebak-nebak bagian mana yang merupakan poin terpenting dalam
pembicaraannya. Di samping itu, jika saya tidak bernafas setiap kali dia berbicara. Maka itu
berarti saya tidak bernafas selama sepuluh menit itu. Kenapa? Karena selama sepuluh
menitan itu sama sekali ia tidak memberikan jeda. Hanya bicara dan terus bicara. Bisa
dibayangkan jika pembicaraannya satu atau dua jam? Betapa lelahnya audiens
mendengarkannya berbicara tanpa jeda.
Cerita keusilan saya di sini bukan untuk menjelek-jelekkan orang lain dan memposisikan diri
saya yang paling sempurna. Bukan begitu. Cerita ini terlalu berharga untuk saya simpan
sendiri. Saya khawatir, banyak orang yang memiliki masalah seperti teman saya ini. Untuk itu,
saya coba rumuskan beberapa hal yang penting kita perhatikan untuk menjaga konsentrasi
audiens kita.
• Intonasi
Ibarat air laut, intonasi adalah turun naiknya ombak. Pada bagian tertentu ombak akan
meninggi, pada bagian lainnya ombak akan lebih rendah. Begitu pula dalam berbicara.
Ada bagian-bagian penting yang ingin kita tekankan. Ada juga bagian-bagian
pembicaraan kita yang mengantarkan pada bagian penting itu.
Untuk menekankan sesuatu, ada banyak cara, tergantung efek yang ingin kita capai.
Kita bisa melirihkan suara untuk menekankan sesuatu yang menyayat perasaan. Efeknya
berbeda jika kita melakukannya dengan nada riang. Kita bisa berbicara seperti berbisik
untuk menekankan bahwa yang kita sampaikan adalah penting, dan tidak semua orang
boleh tahu. Kita bisa meninggikan suara kita jika ingin mengalirkan semangat kepada
mereka. Masih banyak lagi jenis intonasi yang bisa kita variasikan untuk mencapai kesan
tertentu yang kita harapkan. Tentu saja yang saya sampaikan di sini hanya sepersekiannya.
Saya sarankan antum memperkayanya di buku-buku yang khusus membahas masalah
seperti ini. Di internet juga banyak artikel tentang intonasi. Insya Allah banyak jalan
untuk memperkaya kemampuan kita. oke?!
• Jeda
Sebagaimana cerita yang saya sajikan sebelumnya, banyak orang yang merasa bersalah jika
dia terdiam sejenak saat sedang menyampaikan materinya. Saya juga tidak tahu kenapa.
Yang jelas saya pernah dan mungkin masih mengalaminya, sesekali. Mungkin karena
lidah kita sedang menunggu respon otak. Mungkin kita sedang memikirkan apa yang
akan disampaikan berikutnya. Untuk menutupi diam itu, kita sering mengisinya dengan
bunyi-bunyi tidak bermakna. Seperti Eee..., Anu.., Apa namanya...!.
Bunyi-bunyi itu kita ucapkan sambil menunggu respon dari otak kita. Padahal, diam
tanpa suara lebih baik. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, dengan diam, ternyata
otak akan bekerja lebih cepat untuk memikirkan kalimat yang akan kita sampaikan
berikutnya. Kedua, audiens akan merasa penasaran dengan apa yang akan kita sampaikan
berikutnya. Jeda. Diam. Itu solusinya.
Saya sendiri, bahkan menggunakan jeda tidak hanya ketika otak bergerak agak lamban.
Saya justeru menggunakannya untuk meningkatkan rasa penasaran audiens terhadap
kalimat saya berikutnya. Dengan diam sejenak, pembaca merasakan seolah-olah apa yang
akan saya sampaikan setelah ini sangatlah penting. Begini contohnya,
“Sesungguhnya,” Saya diam sebentar seraya mengalihkan pandangan saya ke kumpulan
audiens yang lain. Kemudian saya melanjutkan,
“Satu-satunya cara untuk memenangkan kebatilah adalah,” saya kembali diam sejenak
seraya memindah arah pandang,
“Orang baik, tidak usah berbuat apa-apa!” lanjut saya dengan volume suara yang sengaja
saya pelankan.
Ketika saya mengucapkan kata sesungguhnya, kemudian diam. Ditambah lagi arah mata
saya yang berpindah. Audiens merasa bahwa apa yang akan saya sampaikan setelah ini
sangat penting. Begitupula ketika saya menghentikan kalimat di kata ‘adalah’, bukan
tanpa maksud. Kata ‘adalah’ memberikan sinyal kepada mereka bahwa setelah inilah poin
yang paling penting itu. Ditambah lagi ketika mengucapkan kalimat terakhir, saya sengaja
melirihkan suara. Kesan yang didapat oleh audiens adalah, kalimat tersebut penting dan
tidak semua orang mengetahuinya.
Insya Allah begitu. Sekali waktu, mari kita coba menyampaikan beberapa kalimat
menggugah, dengan gaya yang berbeda-beda. Rasakan getarannya.
• Humor
Kurva konsentasi audiens itu seperti parabola. Di awal-awal pemaparan, biasanya
konsentrasi mereka masih tinggi. Seiring berjalannya waktu, konsentrasi itu akan
memudar perlahan, dan akan mencapai titik terendahnya di seperdelapan terakhir
pemaparan kita. Uniknya, konsentrasi mereka perlahan meningkat setelah itu, terutama
setelah mendengar kata “Jadi...” yang merupakan pertanda bahwa kita sudah mulai
menyimpulkan penjelasan kita. Konsentrasinya akan memuncak saat keluar dari mulut
kita kalimat “Demikian yang bisa saya sampaikan....”
Menyadari hal itu, tentu kita akan memikirkan cara agar parabola konsentrasi mereka
tidak sampai ke titik nol, yang berarti mereka tidak bisa menangkap apa yang kita
sampaikan. Sering-seringlah memecah ‘lamunan’ mereka dengan guyonan. Lima belas
menit sekali cukup. Dengan begitu konsentrasi mereka tidak akan sampai ke titik nol.
Insya Allah audiens dapat menangkap semua materi yang kita sajikan.
Menancapkan Pemahaman
Bagian selanjutnya yang paling berpengaruh terhadap tercapainya target dakwah kita adalah
bagian menancapkan pemahaman. Di sini diperlukan kemampuan luar biasa dari seorang
pembicara untuk mempengaruhi audiensnya. Agar mereka menerima dan meyakini apa yang
disampaikannya. Kemampuan ini sangat penting dimiliki oleh seorang da’i.
Magician terutama hipnotist adalah orang yang sangat lihai dalam mempengaruhi pikiran
audiensnya. Dengan kata-kata yang diucapkannya, maupun bahasa tubuh yang
diperlihatkannya, kita sebagai audiens sering terpengaruh dengan tipuan permainan mereka.
Mereka menggunakan ilmu ini untuk menghibur dengan cara menipu. Sedangkan kita tidak.
Kita menggunakan ilmu ini untuk menyampaikan kebenaran yang kita yakini. Tentu kita
memiliki energi yang lebih kuat daripada para magician itu, energi keyakinan bahwa yang kita
sampaikan adalah kebenaran.
Apa saja yang harus dipelajari oleh seorang da’i untuk memudahkannya mempengaruhi
pikiran audiens agar menerima dan meyakini kebenaran yang disampaikannya? Berikut ini
saya ramukan untuk kalian dari buku Deddy Corbuzier yang berjudul Mantra.
• ‘Tipuan’ Linguistik
§ Two Sides Information
Jika audiens sudah memiliki mafahim keliru tentang sesuatu, patahkan mafahim itu
bersamaan dengan melambungkan mafahim baru yang ingin kita seberangkan.
Ada contoh nyata yang disajikan oleh Deddy Corbuzier dalam bukunya.
Anggaplah kita pemilik toko sepatu, ada seorang pengunjung yang mau membeli
sepatu, tetapi dia memiliki mafahim tentang toko sepatu lain yang kualitas sepatunya
lebih bagus. Maka kita perlu mengatakan “Sepatu di sana memang bagus, tapi apa
betul harganya masuk akal untuk sepasang sepatu?”
Dalam dunia dakwah, seringkali audiens kita memiliki informasi tertentu berkaitan
dengan yang akan kita sampaikan. Misalnya adalah tentang sistem khilafah Islam.
Sementara kita tahu bahwa audiens kita sudah sejak kecil dicekoki oleh pemikiran
pluralisme, bahwa di Indonesia ini ada banyak agama, sehingga demokrasi adalah
sistem yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia.
Jika begitu, tahan dulu penjelasan kita tentang khilafah. Bongkar dulu kedok
demokrasi yang sebenarnya, baru kita menyampaikan pemahaman kita tentang sistem
khilafah. Dengan begitu, tidak akan terjadi pertarungan yang begitu kuat antara dua
sistem ini dalam diri audiens kita.
§ One Side Information
Tetapi jika audiens kita tidak memiliki mafahim lain terkait masalah sistem bernegara,
jangan bodoh dengan melakukan patah-lambung (mematahkan yang keliru dan
melambungkan yang benar) itu. Hal ini justeru membuat audiens kita menjadi tahu
tentang mafahim lain, dan bisa jadi dia akan mencaritahunya lebih dalam. Cukup
dengan memasukkan informasi atau pemahaman yang benar saja, tanpa harus
menceritakan sistem yang salah dulu.
Bukan berarti sistem yang salah tidak perlu dibongkar. Perlu, tetapi urutannya perlu
diperhatikan. Dalam two side information, kita perlu mematahkan yang keliru dulu
baru menyampaikan yang benar. Sedangkan dalam one side information, kita perlu
menyampaikan yang benar dulu, kemudian memantapkan pemahaman itu, setelah
mantap baru kita patahkan pemahaman yang keliru.
§ Induksi dan Deduksi Bawah Sadar
Masih menurut Deddy Corbuzier, jika kita lihat audiens kita cenderung sepakat
dengan apa yang kita sampaikan sejauh ini, gunakan metode deduksi dalam
menyampaikan keyakinan kita. Deduksi artinya kita memulainya dengan kesimpulan,
baru kemudian menyajikan alasannya. Misalnya kita sampaikan dulu bahwa
“Menegakkan khilafah Islam adalah kewajiban setiap mukmin. Karena ia merupakan
perintah Allah dan sunnah rasulNya, dan juga ia merupakan solusi tuntas atas
problematika yang saat ini mendera bangsa Indonesia pada khususnya.”
Sebaliknya, jika audiens kita cenderung kurang sepakat, gunakanlah metode induksi
dalam menyampaikan pemikiran kita. Induksi berarti kita menyampaikan alasan dulu,
baru kemudian menutupnya dengan kesimpulan. Contoh konkritnya begini,
“Problematika ummat ini sudah tidak bisa diselesaikan lagi oleh berbagai sistem
bernegara yang ada, kehormatan wanita tidak akan terjaga, negeri kaum Muslimin
akan terus terpecah belah. Ditambah lagi Allah memerintahkan kepada kita untuk
menerapkan Islam dalam naungan khilafah. Dengan demikian, menegakkan
khilafah mutlaq harus dilakukan oleh setiap mukmin.”
§ Keuntungan yang Datang Setelah Kegunaan
Kadang, sebagai da’i kita terlalu sering menjelaskan kegunaan dari diterapkannya
Islam. Bahwa Islam akan menjaga manusia, bahwa sistem sanksi dalam Islam akan
menghapus dosa pelakunya dan juga menjadi pencegah agar tidak ada yang
mengulangi kejahatan yang sama.
Sebenarnya saya ingin segera membahas itu. Tetapi sebelumnya, mari kita
perahatikan dua tawaran ini. Mana yang lebih mampu mempengaruhi massa?:
1. Minuman ini mengandung serat yang sangat tinggi dan vitamin yang sangat
berguna bagi pelarutan lemak di dalam tubuh, sehingga berguna mengangkat lemak
yang tertinggal dalam tubuh manusia ketika mengkonsumsi makanan secara
berlebihan (kegunaan).
2. Minuman ini akan membuat anda ramping bagaikan model (keuntungan).
Sebagian besar manusia memang tidak terlalu mempedulikan seratnya berapa,
vitaminnya berapa, bagaimana cara kerjanya. Kebanyakan orang memang lebih fokus
pada keuntungan yang mereka dapatkan, bagaimanapun cara kerjanya.
Jadi, alih-alih kita menjelaskan detail kegunaan tegaknya Islam seperti yang saya
paparkan sebelumnya, nampaknya akan lebih berpengaruh jika kita menjelaskan
keuntungan yang mereka dapatkan dengan tegaknya Islam. Misalnya begini, “Dengan
tegaknya khilafah, para wanita tidak perlu takut lagi diperkosa. Kita tidak perlu repot-
repot bikin visa kalau mau bepergian ke Mesir, ke Madinah, atau ke Bashrah. Kita
juga tidak perlu khawatir kelaparan. Keamanan juga terjaga.” Itu semua adalah
keuntungan yang bisa didapatkan dengan tegaknya khilafah Islam.
Semoga saya tidak terlalu gegabah mengaitkan. Pernah dengar ‘illat dan hikmah?
Tentu. ‘Illat adalah pembangkit hukum, sedangkan hikmah adalah keuntungan yang
didapat setelah hukum itu dijalankan. Diharamkannya daging babi bukan karena
cacing pitanya bukan? Tetapi untuk apa Allah menciptakan cacing pita ada pada
tubuh babi? Wallahu a’lam. Tetapi Allah memang paling mengetahui karakter kita,
yang lebih fokus pada keuntungan ketimbang kegunaan atau penjelasan-penjelasan
panjang. Mungkin ada sebagian manusia yang belum tergerak untuk tidak memakan
daging babi jika sekedar mendengar ayat ‘hurrimat alaykumud-dam walahmu khindzir...”
maka ditempatkanlah cacing pita di tubuh babi oleh Allah. Agar apa? Agar manusia
takut mendekatinya. Atau tentang zina, untuk apa pula Allah menempatkan berbagai
macam penyakit menular berbahaya pada perzinaan? Wallahu a’lam. Bisa jadi karena
Allah ingin menghentak manusia, yang memang terlalu fokus pada keuntungan jika
meninggalkannya, ketimbang alasan kenapa harus meninggalkannya. Dan memang
begitulah manusia. Selalu lebih fokus pada keuntungan, ketimbang kegunaan atau
alasan.
Dan itu juga yang akan kita terapkan dalam dakwah ini; menyentuh karakter umum
manusia yang lebih fokus pada keuntungan yang bisa didapatkannya. Tetapi perlu
diingat. Ini adalah ushlub untuk mempengaruhi pikiran massa. Bukan untuk
seterusnya. Jadi ke depannya tetap diperlukan penjelasan-penjelasan logis tentang
sebab-sebab keuntungan itu, bahkan kemungkinan yang menyebabkan keuntungan
itu tidak bisa kita dapatkan walaupun khilafah sudah tegak kembali. Tetapi jangan
disampaikan di awal-awal. Nanti saja jika mereka sudah terpengaruh pikirannya untuk
memilih khilafah sebagai solusi, baru dijelaskan.
§ Ancaman Pihak Ketiga
Simak dulu contoh berikut ini ya.
Ada seorang perokok, dokter sudah berulangkali memberitahunya bahaya merokok,
tetapi sama sekali tidak berhasil. Berikutnya, istrinya mengancam akan
meninggalkannya jika tidak merokok. Sejenak berhasil, tapi tak lama kemudian ia
kembali merokok. Hingga suatu hari, Mala, anak gadisnya yang berusia 14 tahun
berkata, “Papa, berhenti membunuh diri papa sendiri. Mala ingin papa ada di sana
saat Mala besar dan hendak menikah. Mala ingin papa ada untuk anak-anak Mala
nanti. Mala tidak mau kehilangan papa begitu cepat.”
Atau kisah yang berikut ini.
Seorang teroris tertangkap, oleh penyidik, dia ditanya tentang rahasia organisasinya.
Penyidik mengancamnya dengan mengatakan,
“Katakan, atau kami akan memukulimu hingga mati.” Tetapi teroris itu tetap diam
tanpa kata. Berulang kali ia dipukul, dicambuk, ditendang. Tetap tidak mengubah
pendiriannya. Penyidik tersebut mendapatkan ide yang nampaknya lebih ampuh.
“Katakan, atau anak gadismu dalam bahaya.”
Kalian pasti tahu kelanjutan kisahnya. Teroris itu buka mulut, kemudian
menceritakan semuanya. Demi anak gadis yang dikasihinya.
Kisah di atas mengingatkan kita, bahwa kadang orang tidak peduli dengan bahaya
yang mengancam dirinya sendiri. Ia baru berpikir seribu kali jika bahaya itu
mengancam orang yang dikasihinya.
Maka berhentilah menakut-nakuti mereka dengan ancaman krisis ekonomi jika kita
menggunakan sistem neoliberalisme. Berhentilah menakuti mereka dengan ancaman
diangkutnya harta kekayaan Indonesia ke luar negeri. Mari kita mencoba pendekatan
lain, pendekatan ancaman pihak ketiga. Kita bisa memilih kalimat yang tidak
mengancam dia, tetapi membahayakan orang yang dikasihinya,
“Tentu kamu tidak mau kan, kalau anak gadismu atau isterimu diperkosa di depan
matamu sendiri? Bayangkan jika itu terjadi pada anak isterimu, masih bisakah kamu
tersenyum? Kawan, itu pulalah yang dirasakan saudara-saudara kita di Iraq, di
Palestina, ketika mereka melihat anak isterinya diperkosa di depan matanya sendiri.
Karena itu, mari kita berjuang bersama agar apa yang terjadi pada para wanita di sana,
tidak terjadi pada anak isterimu!”
Insya Allah, dia akan berpikir.
§ Informasi Baru
Ada lagi hal penting berikutnya yang patut kita perhatikan dalam mempengaruhi
pikiran dan perasaan audiens kita, yaitu informasi baru. Apa maksudnya?
Begini. Bisa jadi audiens kita sudah berulangkali mendengarkan apa yang kita
sampaikan. Mungkin dia mendengarnya dari ustadz di kampungnya. Jika materi yang
kita sampaikan sama saja dengan materi yang disampaikan oleh ustadz di
kampungnya, lalu di mana nilai lebih kita? Apa untungnya dia mengikuti majelis
ta’lim kita?
Ada akhawat, yang sejak awal ikut pengajian, dia minta kepada pembinanya untuk
tidak membahas masalah khilafah, karena dia sudah terlalu sering mendengarkan
pembahasan itu dari kakaknya, yang ternyata tidak mampu menggugahnya. Jika kita
menemukan keadaan begini, jangan panik. Bukan berarti mad’u kita anti syariat
Islam. Bukan. Dia hanya bosan dengan materi dan cara penyampaian yang dia
dapatkan selama ini. Karena itu, pastikanlah kepadanya bahwa materi yang kita
sampaikan adalah materi yang baru. Jangan bohong. Jika kita menjanjikan bahwa
materi ini adalah materi baru, pikirkanlah bagaimana kita membuatnya menjadi baru.
Bisa jadi urutan pembahasannya yang ditukar-tukar. Bisa juga arah pandang
pembahasan yang diganti. Bahkan bisa pula kita memang tidak membahas khilafah,
tetapi membahas hal lain yang jika dia memahaminya, dia tidak akan bisa menolak
lagi tentang materi khilafah nanti. Pastikan materi kita adalah baru!
§ Magical Eraser
Ada ushlub lain yang bisa kita gunakan jika audiens kita nampak tidak setuju dengan
pemaparan kita. Usahakan kita menghindari penggunaan kata negatif seperti kata
‘tidak’ atau kalimat hujatan. Coba kita gunakan kata ‘tetapi’.
Jika kita mengatakan bahwa “Demokrasi itu adalah sistem brengsek yang hanya layak
dimasukkan ke tempat sampah.” Itu tidak salah. Karena memang begitulah adanya
demokrasi. Tetapi kalimat itu terasa sangat frontal. Kita bisa memilih pendekatan lain
dalam menghancurkan kepercayaan ummat terhadap sistem kufur itu.
“Demokrasi itu memang sistem yang nampaknya menghargai perbedaan, tapi
bagaimanapun juga ia adalah sistem buatan manusia. Sehingga kemungkinan salah
sangat besar. Akan terjadi kekacauan jika semua manusia diberikan hak membuat
hukum, karena setiap kepala memiliki kepentingan yang berbeda.”
Meski antum tidak harus mempraktikkan pilihan kedua saya, tetapi itu terasa lebih
halus. Sehingga lawan bicara kita tidak sedang merasa berseberangan dengan kita. kita
baru saja memuji bahwa demokrasi nampaknya menghargai perbedaan. Kata ‘tapi’
telah menghapus kebaikan yang ada pada kalimat sebelumnya. Sebagaimana kalimat
“Kamu itu ganteng, tapi goblok.” Betapapun manisnya kalimat sebelumnya, kata ‘tapi
telah menghapusnya secara ajaib. Siapapun yang mendengarkan kalimat itu tidak akan
terlalu fokus lagi pada pujiannya, yang ada di benak hanyalah gobloknya.
§ Perbandingan Massa
Pernah ada seorang artis yang dicaci temannya. Katanya suaranya jelek sekali, seperti
kaleng pecah. Dengan cerdas artis itu menjawab, “Wah, mungkin juga sih suara saya
seperti kaleng pecah. Untung saja penggemar saya yang jumlahnya jutaan itu tidak
menyadari hal itu.”
Subhanallah. Frase ‘penggemar saya yang jutaan’ itu telah membuat ciut orang yang
mencacinya. Perbandingan massa yang tidak tanggung-tanggung. Mungkin si pencaci
akan berpikir, “Aku mencacinya seorang diri, sementara ada jutaan penggemar yang
mengagumi keindahan suaranya.” Ciutlah dia.
Teknik itu dinamakan teknik perbandingan massa atau kapasitas. Dalam dakwah, kita
bisa menggunakan teknik seperti itu. Contoh sederhananya adalah ketika kita sedang
semangat-semangatnya menjelaskan tentang kewajiban menerapkan syariah Islam,
tiba-tiba seorang peserta mengacungkan tangannya seraya berdiri. Kemudian ia
menyela tanpa dipersilakan.
“Anda ini dari tadi bicara tentang syariah dan khilafah. Anda tidak tahu ya, bahwa
Indonesia ini negara demokrasi. Jika anda terus saja berkoar-koar tentang syariah dan
khilafah, berarti Anda tidak menghargai para pahlawan yang berjuang mati-matian
untuk kemerdekaan Indonesia. Kalau begitu, anda tidak layak tinggal di Indonesia.”
Cobalah menanggapinya dengan teknik perbandingan massa.
“Ya mungkin saja sih saya tidak layak berada di Indonesia karena dianggap
mengkhianati para pahlawan. Tapi khilafah itu adalah sistem yang diperintahkan oleh
Allah. Kalau kita tidak mau memperjuangkan tegaknya khilafah, berarti kita tidak
menghargai Allah. Kalau begitu, tidak layak dong tinggal di bumi Allah. Mau tinggal
di mana ya?”
Kita membandingkan kalimat orang yang mengkhianati para pahlawan tidak layak
tinggal di Indonesia, kita bandingkan dengan massa atau kapasitas yang lebih besar,
yaitu pengkhianat Allah tidak layak tinggal di bumi Allah. Perbandingan itu akan
membuat dia tenggelam dalam logika yang dibangunnya sendiri.
Padahal sesungguhnya tidak sedikitpun kita mengkhianati para pahlawan. Justeru apa
yang kita perjuangkan ini adalah upaya kita melanjutkan perjuangan para pahlawan,
untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
§ Wording
Pemilihan kata yang tepat juga sangat penting dalam mempengaruhi pikiran audiens
kita. Berikut ini saya sajikan untuk Antum. Afwan serba singkat ya.
- Akan dan Pasti
Di salah satu permainannya, Romy Rafael memasukkan sugesti kepada salah
seorang relawannya. Berulang-ulang ia mengucapkan kalimat, “Sebentar lagi
kamu akan merasakan kantuk yang begitu berat datang di dalam matamu, kamu
pasti mulai merasa lelah, dan...”
Kata ‘akan’ dan ‘pasti’ berperan kuat dalam mempengaruhi pikiran relawan
tersebut. Kata-kata tersebut membuat orang yang mendengarnya tersugesti
dengan sangat kuat, “Kamu akan merasakan kantuk.. kamu pasti mulai merasa
lelah...” perintahnya adalah perintah pasti, bukan mungkin atau apakah.
Bayangkan jika kalimat tersebut kita ubah redaksinya, “Kamu mungkin
merasakan kantuk yang begitu berat..., apakah kamu mulai lelah?” terasa sekali
bahwa pada kalimat kedua tidak ada keyakinan di dalamnya.
Hal yang sama bisa kita lakukan di majlis kita. Hindari kata-kata yang membuat
pendapat kita terkesan lemah, terkesan meragukan. Pastikan saja.
“Anda pasti setuju jika saya katakan bahwa kita harus berjuang bersama demi
tegaknya Islam.” Atau “Saya yakin anda memilih menjadi seorang pejuang
Islam.”
Rasakan bedanya jika redaksi kalimatnya saya ganti,
“Apakah anda setuju jika saya katakan bahwa kita harus berjuang bersama demi
tegaknya Islam?” Atau “Mungkin anda memilih menjadi seorang pejuang
Islam.” Enggak yakin banget!
- Anda Pasti Tahu
Teknik wording berikutnya adalah, kita memposisikan audiens kita sebagai orang
yang sudah mengerti apa yang kita sampaikan. Efeknya terasa lebih mengena.
Sebagai contoh, bandingkan dua kalimat orang yang terlambat ini:
1. Maaf, jalanan dari rumah saya sangat macet sehingga saya terlambat sampai.
2. Anda pasti tahu, jalanan di sana macet. Maafkan saya karena sedikit
terlambat.
Jika kita memposisikan audiens kita sebagai orang yang sudah tahu perkara yang
kita sampaikan ke dia, dia akan sedikit kesulitan untuk menolak apa yang kita
sampaikan.
- Show Dont Tell
Bandingkan dulu dua kalimat tentang surga ini ya,
1. Surga yang indah
2. Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, buah-buahannya mudah
dipetik lagi dekat, para bujang hilir mudik, bidadari yang bermata jeli, mereka
bertelekan di atas dipan-dipan kencana, sungai yang mengalir tiga minuman...
Mana yang lebih mudah dirasakan? Tentu kalimat yang kedua. Perbedaan bukan
sekedar panjang pendeknya kalimat. Bukan itu. Yang membedakan kalimat
pertama dengan kalimat kedua adalah gaya penjelasannya. Kalimat pertama
menjelaskan sifat. Tentu saja kita tahu bahwa kata sifat adalah sesuatu yang
abstrak, sulit dirasakan, bersifat relatif. Sedangkan kalimat kedua memilih
menjelaskan keadaan dan banyak menggunakan kata kerja. Karena itu, alih-alih
menjelaskan sifat suatu hal, jelaskan saja keadaannya atau sajikan saja dalam
bentuk kata kerja. Itu akan lebih berkesan di hati audiens kita, dan akan lebih
berpengaruh para pikiran mereka.
Begitulah kekuatan bahasa. Jika kita pandai mengelolanya, insya Allah kita bisa
memanfaatkannya demi tersebarnya dakwah Islam dengan optimal. Meski sepele, tidak
ada salahnya jika kita mempelajarinya sedikit demi sedikit. Karena dengan cara itulah para
pesulap mempengaruhi kita hingga tertipu. Dengan cara itu pulalah kita bisa
mempengaruhi audiens kita, tetapi tidak dengan menipu, karena kita membawa
kebenaran yang nyata, Islam.
• Saat Tubuhmu Bicara
Selain bahasa lisan, tubuh kita juga tidak ingin ketinggalan perannya dalam dakwah Islam.
Allah menciptakan semuanya tentu dengan maksud, tidak ada yang sia-sia di sisi Allah.
Karena itu, mari kita optimalkan pemanfaatannya dalam menyebarluaskan dakwah Islam
ini.
§ Wajah
Di antara semua anggota tubuh kita, wajah memiliki peran yang paling penting dalam
mempengaruhi pikiran audiens kita. Kerutnya, bergeraknya alis ke bawah, ke atas,
atau mengernyit, semuanya memiliki arti. Mari kita gunakan kelebihan ini untuk
perkara yang sangat besar nilainya di sisi Allah, dakwah.
- Mata
Jangan sekalipun kita berbicara dengan lantai atau plafon. Selalulah arahkan
pandangan ke arah peserta. Selain terlihat mantap, hal itu akan menambah
kedekatan kita dengan mereka. Setiap lima atau sepuluh detik sekali,
pergilirkanlah peserta kita untuk kita tujukan pandangan padanya. Mereka akan
merasa dihargai, mereka akan merasa berkomunikasi dengan kita.
Rasakan sendiri lah, bagaimana sulitnya berkomunikasi dengan posisi saling
membelakangi, karena kita tidak bisa melihat arah mata orang yang sedang
berbicara dengan kita. jika kita merasakan demikian, tentu kita tidak tega jika
audiens kita tersiksa, gara-gara mereka tidak menemukan pandangan mata kita.
Ketajaman pandangan bahkan cukup berpengaruh dalam membuat orang
menerima apa yang kita sampaikan. Seorang yang matanya terjaga dari yang tidak
halal, insya Allah memiliki sorot mata yang demikian tajam. Dengan itu, setiap ia
beradu tatap dengan lawan bicaranya, hampir bisa dipastikan lawan bicaranya
merasakan ada tusukan di hatinya. Perasaan seperti itulah yang (afwan)
membuatnya merasa inferior di hadapan kita. hal ini penting untuk diperhatikan,
karena salah satu sifat orang yang inferior adalah mudah menerima orang yang
superior. Dan orang yang superior itu adalah, kita.
- Ekspresi
Jika sedang menuturkan kesedihan, jangan coba-coba tersenyum saat itu.
Tersenyumlah saat bercerita tentang bahagia. Naikkanlah alis kita, pelototkan
mata, untuk membangkitkan semangat mereka. Ikutlah tertawa bersama mereka
jika ada lelucuan yang mengocok perut mereka. Jika kita sejiwa dengan mereka,
ekspresi kita akan menjadi ekspresi mereka.
§ Tangan
Gerakkanlah tangan kita dari atas ke bawah pada saat memula ceramah. Karena
gerakan tangan dari atas ke bawah mampu memberikan rasa tenteram, syahdu, dan
mudah menerima. Adapun jika kita ingin membangkitkan semangat audiens,
gerakkanlah tangan kita dari bawah ke atas. Itulah kenapa para orator selalu
mengangkat tangan ke atas saat memancing semangat dari peserta unjuk rasa.
Gunakanlah jari untuk menyebutkan “Ada tiga perkara, yang pertama....”
Acungkanlah jari telunjuk sejajar hidung, untuk mengatakan “Ingat, sesungguhnya...”
Kepalkanlah tengan saat kita mengajak mereka berkomitmen “Mari, kita bersama-
sama mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran kita, untuk memenangkan agama
Allah ini...”
Tangkupkanlah kedua telapak tangan, letakkan di dada seraya mengucapkan “Afwan,
saya belum berani menjawab pertanyaan itu.”
Rapatkanlah jari-jari tangan kanan, kemudian arahkan ke audiens dengan telapak
tangan menghadap ke atas, seraya mengatakan “Saya yakin kalianlah generasi terbaik
yang dijanjikan oleh Allah.”
Sentuhkan telunjuk ke dada sebelah kiri sebanyak dua atau tiga kali, bersamaan
dengan itu katakan, “Mari kita cek ke dalam hati kita...”
Banyak sekali kombinasi gerakan tangan yang bisa kita lakukan. Tidak akan cukup
waktu jika kita membincangkannya di sini. Semoga kita bisa berbincang panjang jka
Allah memberikan kesempatan kita bersua.
§ Badan
Jika duduk, pastikan punggung tidak bungkuk. Tegakkan saja, itu akan meningkatkan
wibawa kita di hadapan audiens kita. lebih baik lagi jika kita tidak duduk bersila,
melainkan duduk di atas kedua telapak kaki kita. posisi duduk seperti itu membuat
kita terasa lebih tinggi daripada audiens. Dengan demikian, audiens akan bersikap
ta’zhim yang pada ujungnya akan membuat mereka mudah menerima kekata kita.
Jika berdiri, berdirilah tegap. Hindari memasukkan tangan ke dalam saku celana,
apalagi jika sakunya bolong. Khawatirnya saat kita menarik tangan kita keluar,
bolongnya ikut tertarik. Hehe.
Fokuslah menghadap audiens, jangan sekalipun membelakangi mereka. Jangan
mematung. Sesekali berjalanlah dua atau tiga langkah untuk menghidupkan suasana.
Jika kita berhasil ‘menghipnotis’ mereka, kemanapun kita berjalan, kesanalah mata
mereka mengikuti.
• Efektifitas Kalimat
Sesekali, pikirkanlah sesuatu, lalu ucapkan. Rekamlah omongan kita barang dua tiga
menit. Setelah itu dengarkan beberapa kali. Tulislah apa yang kita dengar dari rekaman itu
di kertas ataupun di komputer. Lalu saksikanlah susunannya kalimatnya. Ada
kemungkinan hasilnya begini.
Adapun yang sebenarnya eee yang meruapakan kebenaran itu adalah hanya Islam. Dan lalu
kemudian kita meyakininya. Akan tetapi, kenapa eee banyak di eee di antara kita yang di
antara kita menyukai suka sekali berbuat kemaksiatan.
Kacau sekali bukan? Jika kita yang berbicara saja, pusing ketika mendengarnya, apalagi
orang. Sadarilah, betapa sering kita menyiksa audiens dengan kalimat kita yang sulit
dimengerti. Perbaikilah. Ingatlah syarat sebuah kalimat sempurna. Bagaimana
susunannya, penggunaan kata sambung, dan lain sebagainya. Coretlah bagian yang
mengganggu. Tambahkan bagian yang seharusnya ada. Perbaiki kalimat yang kurang
tepat. Lakukan terus proses ini, hingga kita merasa makin hari susunan kalimat kita
semakin efektif.
• Artikulasi
Terakhir, yang mungkin urutannya seharusnya bukan di akhir, adalah artikulasi, pelafalan.
Kawan saya sangat serius mempelajari pelafalan. A dibaca A, jangan sampai bergeser
sedikit ke E. Karena kadang kita berbicara terlalu cepat, sehingga penyebutan kata
menjadi tidak jelas. Dalam dunia teater, kalau tidak salah ada salah satu teknik yang
disebut prep. Kita menyebutkan huruf A berulang-ulang dari yang sangat pelan, agak
pelan, pelan, agak keras, keras, sangat keras, dan seterusnya. Nampaknya seorang da’i
juga perlu berlatih seperti itu. Bisa menjadi bahaya yang besar jika kita salah melafalkan
suatu kata saat berbicara di forum. Karena itu, mari belajar.
MENUTUP
Kita telah sampai di penghujung majlis kita. jika secara sempurna kita telah menjalankan
semua langkah penting dalam mempersiapkan mental audiens, meningkatkan konsentrasi,
menjaga konsentrasinya, dan juga telah menggunakan trik terbaik dalam menancapkan
pemahaman, insya Allah kita telah memukau kesadaran mereka. Tinggal satu langkah lagi
kawan, menutup.
Jika kita tidak pandai dalam menutup pemaparan kita, semua kesan positif yang telah kita
bangun pada mereka akan menguap. Meskipun sebelumnya kita telah mampu menggugah
kesadaran mereka, tetapi jika kita tidak mampu menutup perbincangan dengan cerdas, daya
gugah itu melemah, bahkan bisa hilang sama sekali.
Seringkali kita ingin menutup ta’lim dengan kesan yang alami. Jika kita ibaratkan kurva, maka
daya gugah kita ibarat parabola terbaik. Di bagian awal, kita belum menunjukkan taring kita.
Pada pertengahannya, irama dan nada penyampaian kita jadi berubah tinggi, dengan begitu
audiens merasakan aliran energi yang besar. Kemudian menjelang akhir, perlahan daya gugah
kita menurut, terus menurun dan dalam keadaan itulah kita menutup pemaparan kita.
Agar terkesan alami, biasanya kita sengaja memberi jarak cukup jauh antara kesimpulan dan
salam penutup. Di antara kesimpulan dan salam penutup itulah kita menjembataninya
dengan berbagai macam doa, permohonan maaf, atau kalimat-kalimat (yang nampak klise)
lainnya.
Salahkah? Tidak. Bagus-bagus saja jika kita menjembatani kesimpulan dan salam dengan doa
atau permohonan maaf. Tetapi kurang greget aja. Kenapa tidak kita coba saja menutup
pemaparan kita di saat konsentrasi mereka meninggi? Saat kata-kata kita memiliki daya gugah
tinggi, nadanya meninggi, tangan kanan kita sedang mengacung, dan tatap mata kita sedang
tajam-tajamnya, “Kelak, kita akan tahu bahwa neraka itu benar-benar menyala, saat kita
dilemparkan ke dalamnya. Na’udzubillah min dzaalik. Wassalamu’alaykum Warahmatullahi
Wabarakatuh.”
Karena kita menghentikan forum di saat konsentrasi mereka meninggi, audiens akan
merasakan aliran energi yang kuat dalam dirinya. Dia pulang dengan membawa energi yang
masih menyala-nyala dalam dadanya.
Efek positif lainnya, karena kita menghentikan pembicaraan saat nada kita meninggi, maka
audiens merasakan bahwa materi kita belum selesai. Mereka merasa penasaran dengan
kelanjutannya. Mereka akan merindukan kita. Mereka akan merasa waktu seminggu terlalu
lama untuk kembali berkumpul di forum kita. Bahkan akan ada sebagian peserta yang
mengerumuni kita setelah forum ditutup. Saat peserta dan kita berkumpul di luar forum
(tentu suasananya lebih rileks dan bersahabat), saat itulah kita telah menjalin hubungan baik
dengan mereka, yang akan menjadi bekal bagi kita untuk sampai ke tahapan dakwah
berikutnya, dakwah tanpa kata.
Insya Allah, selepas rehat sejenak setelah ini, kita akan bertemu lagi pada keping ke ketiga:
NYATA. Di sana kita akan berbincang tentang dakwah yang tidak terlalu banyak
menggunakan kata, melainkan amal-amal nyata dalam keseharian kita. Semoga Allah
memudahkan.
***
KEPING KETIGA
NYATA ***
Kitab yang tergeletak di perpustakaan,
tak banyak yang membacanya. Adapun seorang Muslim,
ia adalah kitab yang terbuka. Semua orang membacanya.
Kemanapun ia pergi, ia adalah dakwah yang berjalan.
~ Imam Syahid Hasan al-Banna ~
***
5
MENYENTUH HATI
aat itu RasuluLlah tengah lari tergopoh-gopoh. Lemparan batu penduduk thaif masih
menyisakan luka yang berdarah-darah di betisnya. Meski datang dengan cinta,
ternyata penduduk Thaif tak menyambutnya dengan cinta yang sama. Keberadaan
bani Tsaqif yang memiliki kekerabatan dengan ibunda RasuluLlah, Aminah, juga tidak
membantu. Anak-anak dan orang-orang bodoh di Thaif tetap saja melempari Rasul dan Zaid
dengan batu dan kotoran. Sungguh memilukan.
Dalam kelelahan yang meraja, RasuluLlah dan Zaid beristirahat di salah satu kebun. Kebun
itu milik Utbah dan Syaibah, keduanya putera Rabi’ah. Beliau kemudian menghampiri
sebatang pohon anggur, kemudian beristirahat di bawah rimbunnya. Dalam kelelahan yang
sungguh menyiksa, RasuluLlah melantunkan doa yang kelak menjadi sejarah,
“Ya Allah, kepada-Mu juga kuadukan kelamahan kekuatanku, kekurangan siasatku dan
kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Pengasih di antara para pengasih, Engkau
adalah Rabb orang-orang lemah. Engkaulah Rabbku, kepada siapa hendak Engkau serahkan
diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam padaku, ataukah kepada musuh yang
menguasai urusanku? Aku tidak peduli asal Engkau tidak murka kepadaku...”
Utbah dan Syaibah, kakak beradik pemilik kebun itu, merasakan getaran kecil di nuraninya.
Keduanya lalu memanggil pembantu mereka yang beragama Nashrani, Addas namanya.
Mereka memerintahkan Addas untuk menyuguhkan setandan buah anggur kepada
RasuluLlah saw. Segera saja Addas menemui Beliau. RasuluLlah menerima kebaikan dua
kakak beradik melalui perantara pembantu itu. Dengan tangan kanannya, Rasulullah
memasukkan buah anggur itu ke dalam mulutya, seraya membaca BismiLlah.
“Kata-kata ini tidak pernah diucapkan penduduk negeri ini,” Addas terkejut.
“Wahai Addas, kamu berasal dari mana dan apa pula agamamu?”
“Aku seorang Nashrani, dari Ninaway,” jawab Addas.
S
“Oh, dari negeri Yunus bin Matta, orang yang shalih itu?” sabda Nabi.
“Apa yang tuan ketahui tentang Yunus bin Matta?”
“Beliau itu saudaraku, beliau adalah seorang Nabi, begitupun aku.”
Mendengar itu, Addas merengkuh badan RasuluLlah, kemudian mencium tangan dan kaki
beliau. Utbah dan Syaibah merasa heran dengan perlakuan Addas kepada RasuluLlah.
“Celaka kamu wahai Addas, apa yang kamu lakukan?”
“Tuan, di dunia ini tidak ada sesuatupun yang lebih baik daripada orang ini, dia telah
mengabariku sesuatu yang tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi.”
***
Konon, perkara yang paling sulit dilakukan adalah memulai sesuatu, apapun itu. Wallahu
a’lam benar atau tidaknya kalimat tersebut. Yang jelas, memulai dakwah kepada orang yang
tidak dikenal memang sangatlah sulit. Saya sendiri merasakan kesulitan setiap kali ingin
membuka perbincangan dengan yang orang yang baru dikenal. Rasanya seperti akan bercebur
ke dalam air yang sangat dingin, antara berani dan tidak, tetapi lebih cenderung tidak berani.
Namun, fragmen sejarah yang saya sajikan tadi insyaAllah mampu menjawab kesulitan kita.
Cerita singkat antara RasuluLlah dan Addas di kebunnya Utbah dan Syaibah tersebut, telah
mengajarkan kita banyak hal tentang berdakwah kepada orang yang sama sekali belum
dikenal sebelumnya, dan iapun belum mengenal kita sebelumnya. Jika kita amati dengan
jernih, insyaAllah kita akan menemukan beberapa trik jitu dalam memulai dakwah kepada
orang yang belum kita kenal, yaitu identifikasi diri, identifikasi mad’u, melekatkan diri kita
dengan mad’u (intimisasi), mengaitkan mad’u dengan seorang tokoh yang kita ketahui dekat
dengannya, memuji tokoh tersebut, kemudian menunjukkan bahwa kita dekat dengan tokoh
yang dikagumi oleh mad’u kita. Mari kita bincangkan satu persatu.
IDENTIFIKASI DIRI
Masih ingat dengan apa yang diucapkan Nabi saat Addas menyuguhkan setandan anggur?
Ya, Nabi mengucapkan Bismillah ketika akan memasukkannya ke dalam mulut. Bismillah,
adalah kalimat khas yang belum pernah didengar oleh Addas sebelumnya dari penduduk
Thaif.
Identifikasi diri sangat perlu kita lakukan di awal perkenalan kita, karena ia akan menentukan
sikap mad’u (objek dakwah) terhadap kita. Kalimat Bismillah yang diucapkan Nabi membuat
Addas (mungkin) bertanya-tanya dalam hatinya, “Dari mana orang ini?, siapa dia
sebenarnya?”. Kalimat BismiLlah itu pula yang membuat Addas (nampaknya) memilih sikap
yang baik kepada Nabi.
Bisa kita bayangkan, jika dalam berkenalan dengan seorang calon mad’u, kita memilih
mengucapkan kata-kata yang tidak menunjukkan ciri khas keislaman kita, mungkin ia juga
akan bersikap yang kurang lebih sebangsa dengan kalimat yang kita ucapkan saat berkenalan
dengannya.
Saya pernah mengalaminya. Saat itu saya bersama beberapa kawan sedang berkumpul dengan
beberapa orang kawan baru yang sebagian besarnya belum pernah saya kenal sebelumnya.
Saat memperkenalkan diri, saya hanya menyebutkan nama dan latar pendidikan saya.
Memang tidak pada tempatnya jika saya memperkenalkan diri seorang ayah dari dua orang
anak, suami dari seorang akhawat shalihah, atau mungkin sebagai seorang anak muda yang
sedang belajar Islam lebih serius. Tidak pada tempatnya. Karena saat itu identitas yang
diperlukan memang hanya nama dan latar pendddikan.
Sayang sekali, karena perkenalan itu berakibat cukup besar di kemudian hari. Karena saya
hanya dikenal nama dan latar pendidikan, maka mereka juga bersikap diperlukan. Kata-kata
yang jarang saya dengar akhirnya terdengar di sana. Pola pergaulan laki-laki dengan
perempuan yang jarang saya lihat, akhirnya terlihat di sana, di depan mata kepala saya sendiri.
Bahkan, sikap yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, saya dapatkan di sana.
Keadaan tersebut tentu tidak akan terjadi jika saya memperkenalkan identitas saya
selengkapnya. Jika saya memperkenalkan diri saya sebagai suami dari seorang akhawat
shalihah atau ayah dari dua orang anak lelaki, tentu perempuan yang ada di sana akan
bersikap sebagaimana sikap yang diperlukan terhadap lelaki yang telah berkeluarga.
Atau jika saya memperkenalkan diri saya sebagai anak muda yang sedang serius belajar Islam
(kita sering menyebutnya sebagai ikhwan), tentu mereka juga akan bersikap sebagaimana
yang diperlukan kepada para ikhwan. Tentu mereka tidak akan mengajak kita berbicara yang
tidak perlu. Tentu mereka tidak akan meminta saya untuk mengantarnya pulang
berboncengan.
Dan benar, setelah secara tidak sengaja mereka mengetahui status dan peran saya, sikap
mereka juga ikut berubah bersamaan dengan itu. Setelah mereka tahu bahwa saya seorang
ikhwan, mereka tidak lagi berkata-kata atau bersikap yang tidak pantas di hadapan seorang
ikhwan. Begitupun setelah mereka mengetahui bahwa saya sudah berkeluarga, tidak ada lagi
di antara mereka yang mencoba melakukan pendekatan-pendekatan tertentu (geer banget
ya?, hihi).
Ada lagi cerita lain yang cukup menarik. Kali ini tentang seorang ustadz muda yang sering
diminta memberikan taushiyah di ta’lim-ta’lim khusus remaja. Usia ustadz itu tidak lebih dari
24 tahun.
Ada dua kejadian yang bisa kita jadikan pelajaran dari kisah perjalanan ustadz tersebut dalam
memberikan taushiyahnya. Yang pertama, saat ia menyampaikan taushiyah, tanpa
sebelumnya diperkenalkan oleh panitia. Tidak ada audiens yang tahu bahwa dia adalah
seorang yang cukup berprestasi di bidang akademik. Juga tidak ada yang tahu bahwa dia
adalah salah satu ustadz muda yang hampir setiap majlis ta’limnya dipenuhi oleh peserta yang
berjejal-jejal. Tidak ada yang tahu juga bahwa ustadz muda kita ini adalah seorang penulis
yang cukup produktif. Lalu bagaimana sikap audiens terhadapnya? Tentu saja mereka
bersikap sebagaimana yang diperlukan kepada pemuda usia 24 tahunan yang sedang
berbicara, ya seperti kepada kakak tingkat. Ketika ustadz muda ini memancing respons
audiens, mereka meresponnya dengan tidak bersemangat. Bahkan tidak sedikit dari mereka
yang –kelihatannya- memandang sinis.
Keadaan yang berbeda terjadi ketika panitia melakukan sebaliknya. Selain memperkenalkan
nama, panitia juga memperkenalkan prestasi-prestasinya, sepakterjangnya sebagai ustadz
muda, serta berbagai kelebihan-kelebihan yang mungkin cukup membanggakan. Maka sikap
pesertapun berubah, sebagaimana sikap kepada orang yang berprestasi, sebagaimana sikap
kepada orang yang dianggap mengerti agama, sebagaimana sikap kepada orang yang bisa
dibanggakan.
Ketika ustadz muda kita memancing respons mereka, gemuruh suara segera menyambutnya.
Ketika ia meminta peserta berdiri, serentak mereka berdiri. Ketika ia meminta peserta
meneriakkan takbir, maka bergemuruhlah takbir di ruangan itu.
Poin pembedanya sangat sederhana, identifikasi.
Kisah berikutnya juga tentang ustadz muda yang sama. Saat itu dia sedang memberikan
taushiyahnya kepada ratusan mahasiswa baru yang belum pernah dikenalnya, dan belum
pernah mengenalnya. Sehingga dalam keadaan seperti ini sangat diperlukan identifikasi agar
audiens bersedia memberikan sikap terbaik dalam taushiyah nanti.
Usai acara, ia membaur dengan ratusan peserta ikhwan untuk menikmati hidangan yang
disuguhkan panitia. sekonyong-konyong seorang peserta datang, menyalaminya, kemudian
menganggukkan kepalanya dengan sangat sopan. Ia menyatakan keterpesonaannya dengan
materi yang disuguhkan. Dan parahnya (dan mungkin lazimnya), keterpesonaan terhadap
materi itu berawal dari keterpesonaannya dengan sosok si ustadz, yang di dahinya ada tanda
hitam bekas sujud.
Tanda hitam itulah yang katanya membuat si peserta memberikan ta’zhimnya sejak
permulaan. Tanda hitam yang (biasanya) menunjukkan bahwa si pemiliknya adalah orang
yang sering menghadap Tuhannya di sepertiga malam terakhir. Tanda hitam yang membuat
si peserta merasakan bahwa ustadz tersebut layak menyampaikan kebenaran.
Mungkin kita juga bisa membayangkan bagaimana sikap para lelaki ‘jalanan’ terhadap para
akhawat yang mengenakan jilbab lebarnya. Rasa segan akan membuat para lelaki itu tidak
berani berkata buruk, apalah lagi bersikap jahat terhadapnya. Karena si lelaki telah
mengindentifikasi bahwa wanita yang ada di hadapannya itu adalah seorang wanita shalihah,
yang menjaga dirinya dengan sempurna.
Teman saya juga pernah cerita. alhamduliLlah ia terlibat dengan jamaah Islam yang sering
mengetuk pintu-pintu rumah kita untuk shalat berjamaah. Suatu ketika rombongan jamaah
tersebut sedang beri’tikaf di salah satu mushalla di daerah yang banyak kos-kosan mahasiswa.
Tahu sendiri lah, bagaimana kondisi sebagian besar rumah kos mahasiswa. Khalwat,
ikhthilath dan lainnya. Nah, kebetulan malam itu sepasang mahasiswa sedang bermesraan di
teras kosnya. Tiba-tiba anggota jamaah tersebut lewat dengan mengenakan sorban dan
jubahnya. Segera. Seketika itu juga lelaki yang sedang dimabuk asmara itu melepaskan
pacarnya, kemudian berdiri meninggalkannya. Setelah itu ia pergi menyusul anggota jamaah
yang tadi lewat di depan mereka. Sesampai di mushalla, lelaki itu mencium tangan ‘ustadz’
yang tadi lewat di depan kosnya.
“Nggak lagi deh, tadi tuh saya khilaf...”
Subhanallah, padahal ketika lewat depan kosnya, lelaki bersorban itu tidak mengucapkan
apapun selain salam. Tidak ada memerintahkan lelaki itu untuk memutuskan pacarnya. Tidak
ada, hanya salam.
Identifikasi. Sungguh ia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sikap orang lain
kepada kita. Maka sejak permulaan, tunjukkanlah siapa kita. Sebagaimana RasuluLlah
mengucapkan Bismillah saat berkenalan dengan Addas. Maka kalimat itulah yang akan
menjadi pintu pertama masuknya dakwah ke hati mad’u kita. insyaaLlah.
IDENTIFIKASI MAD’U
Berikutnya, yang dilakukan RasuluLlah adalah mengidentifiksi mad’unya. Rasul memang
tidak menanyakan langsung siapa nama calon mad’unya itu. Rasulullah hanya mendengar
nama pembantu itu disebut oleh dua orang majikannya, Utbah dan Syaibah. Dengan begitu,
bertambahlah jembatan yang dibangun Rasul untuk menyeberangkan keyakinannya pada
Addas.
Adalah sebuah sunnah pula, menanyakan identitasnya seraya menjabat erat tangannya. Syaikh
Abbas As-Siisisy dalam kitabnya Ath-thaariq ilaa Al-quluub menuliskan bahwa eratnya
genggaman tangan saat berjabat, menunjukkan seberapa dekat jarak antara dua hati.
Saya punya sahabat yang demikian bersemangat mengamalkan sunnah berjabat tangan ini.
Ada energi yang mengalir dari satu hati ke hati yang lain melalui jembatan jabat tangan itu.
Apalagi jika kita menambahnya dengan tatapan mata yang sangat bersahabat.
Identifikasi mad’u adalah perkara yang sangat penting. Karena dengannya kita jadi mengerti
dengan siapa kita berbicara, dan tentunya mad’u juga merasa dihargai karena kita berupaya
mengenalnya.
Tanyakanlah namanya. Jika perlu, tulislah namanya di lembaran yang mudah kita ingat, begitu
syaikh Abbas as-Siisiy mengajarkannya pada kita. Ustadz Abbas as-Siisiy bahkan sangat
senang menghafal nama orang lain. Jangan remehkan perkara ini, meskipun ia kecil, ia
berpengaruh sangat besar untuk dakwah kita di kemudian hari.
PELEKATAN
“Wahai Addas, dari negeri manakah kamu dan apa agamamu?”
Kenapa mesti ada kalimat “Wahai Addas,”? bukankah cukup dengan bertanya, “dari negeri
manakah kamu dan apa agamamu?” bukankah itu esensi pertanyaannya?
Tetapi Rasulullah memanggil nama Addas dalam pertanyaannya. Bukan untuk
memperpanjang pertanyaan, melainkan untuk memperpendek jarak antara dua hati. Saat
Addas mendengar Rasulullah memanggil namanya dengan lembut, tentu dalam dada Addas
sedang mengalir lembut energi cinta dari Sang Nabi. Addas merasa dihargai. Addas merasa
keberadaannya dianggap oleh lawan bicaranya. Dengan begitu, pembicaraan antara
Rasulullah dan Addas akan semakin hangat, dan insyaaLlah dakwah nabi akan mudah
diterima oleh Addas.
Ustadz Abbas As-Siisiy bercerita, bahwa beliau harus naik trem setiap hari untuk pergi ke
kantor dakwahnya. Setiap harinya, beliau duduk berhadapan dengan dua orang pemuda.
Beliau tidak pernah menanyakan namanya. Hingga di suatu hari, beliau memanggil dua orang
itu dengan nama masing-masing, dan benar. Tentu saja kedua pemuda tersebut terkejut
mendengar namanya dipanggil oleh orang yang tidak mereka kenal.
“Dari mana anda tahu nama kami? Bukankah kita tidak pernah berkenalan?” tanya salah satu
pemuda.
“Oh, saya memang tidak pernah bertanya pada kalian, saya mengetahuinya dari pembicaraan
kalian, ketika salah satu dari kalian memanggil nama yang lainnya.”
Bisa dibayangkan perasaan dua orang pemuda itu? Tentu saja mereka merasa sangat dihargai,
sangat diperhatikan. Dan jika sudah begini, jalan menuju hati (sebagaimana judul buku
beliau) akan semakin mulus.
Ustadz Yusuf Mansur termasuk contoh yang sangat baik dalam hal ini. Dari beberapa
taushiyah beliau yang saya ikuti, hampir kesemuanya membuat saya terkagum-kagum dengan
kemampuan beliau mendekat pada audiensnya. Hampir tidak pernah ketinggalan, beliau
selalu saja berulangkali menyebutkan siapa yang ada di hadapan beliau. Jika beliau berada di
Masjid Noor Banjarmasin, beliau selalu mengulang kalimat, “Hadiri jama’ah masjid Noor
Banjarmasin yang dimuliakan Allah.” Rasanya beliau tidak pernah sekedar menyebut
“Hadirin yang dimuliakan Allah.”
Kenapa beliau mesti mengucapkan kalimat ‘jamaaah masjid Noor Banjarmasin? Nampaknya
sedikit merepotkan. Tetapi justeru kekuatannya ada pada yang repot itu. Menyebutkan
identitas mad’u menunjukkan kita mengistimewakannya. Dan mad’u yang merasa
diistimewakan, tentu akan mengistimewakan kita. Jika kita menghargai keberadaan mereka,
tentu mereka juga menghargai keberadaan mereka.
Subhanallah. Jika berbincang tentang ini, saya merasa malu untuk menceritakan pengalaman
saya. Saya ini orangnya sangat pelupa. Kadang saya merasa sangat tidak enak dengan adik-
adik yang setiap minggunya tekun menghadiri majlis ta’lim saya. Usai ta’lim, biasanya saya
bersalaman dengan mereka seraya menanyakan namanya. Untuk pertama kali, itu memang
harus dilakukan. Masalahnya, saya melakukannya setiap selesai ta’lim. Hal itu menunjukkan
bahwa saya lupa dengan nama mereka, padahal sudah berkenalan sebelumnya.
Bayangkan bagaimana perasaan mereka jika saya terus saja menanyakan nama mereka setiap
habis ta’lim? Tentu mereka merasa tidak dianggap, dan –semoga saja tidak terjadi- mereka
bisa kecewa dengan saya, akibatnya mereka tidak mau lagi hadir pada pertemuan berikutnya.
Solusinya, biasanya saya selalu menyiapkan lembar presensi setiap kali ta’lim. Agar dengan
begitu, saya bisa menghapalkan nama-nama mereka. alhamduliLlah sekarang sudah banyak
nama yang saya ingat.
Intimisasi, sebutkan nama mereka dalam pembicaraan kita. Niscaya mereka akan merasa
keberadaannya dihargai, dan iapun akan menghargai kita.
MENGAITKAN DENGAN YANG DEKAT
Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah setelah Addas menjelaskan agama dan negeri
asalnya? Ya, Rasulullah segera mengaitkan nama daerah dan agama Addas dengan orang yang
dikenal oleh Rasulullah berasal dari daerah tersebut, dan juga dimuliakan dalam agama yang
diyakini Addas, Yunus bin Matta. Sebagaimana Addas, Yunus bin Matta seorang yang berasal
dari Ninaway, lebih dari itu Yunus bin Matta adalah seorang Nabi yang dimuliakan oleh
Addas.
Lagi-lagi perkara seperti ini terlihat sepele. Padahal ianya membawa pengaruh yang demikian
besar dalam memasukkan nilai-nilai ilahiah kepada mad’u. Karena itu, mulai sekarang mari
kita perhatikan lebih serius perkara-perkara kecil seperti ini. Karena banyak manusia yang
menghuni neraka karena banyak menganggap remeh perkara kecil.
Lihatlah Nabi. Apa pentingnya beliau mengaitkan Addas dengan Yunus bin Matta? Sadarilah
kawan, bahwa manusia memiliki gharizatul baqa’ (naluri mempertahankan diri) yang salah satu
wujudnya adalah kecintaan terhadap tanah kelahiran, atau perasaan cinta dengan orang-orang
yang berasal dari tanah yang sama. Bukankah dua orang yang tidak pernah saling sapa semasa
di Indonesia, akan menjadi sangat dekat saat berada di Mesir? Begitulah kerjanya gharizatul
baqa’. Rasulullah sangat mengerti hal ini. Ketika Addas mendengar Nabi mengetahui orang
yang sedaerah dengan Addas, saat itulah gharizatul baqa’ Addas bekerja. Saat itulah Addas
merasa dekat dengan orang yang mengenal Ninaway dan juga mengenal tokohnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering mendengar dua orang yang baru saling kenal
mencoba mengaitkan lawan bicaranya dengan informasi yang diketahuinya.
“Kuliah di mana Mas?” tanya seseorang.
“Di Unlam Banjarmasin” jawab yang ditanya.
“Oh..di Unlam, kenal sama si anu?”
Saya yakin kalian juga sering menemukan yang begitu. Karena itu, mari kita biasakan untuk
melakukannya juga. Karena jika lawan bicara kita menyadari bahwa kita memiliki ma’lumat
(informasi) tentang daerah asalnya, tentang kampusnya, atau tentan apa saja terkait dirinya,
saat itulah ia merasa nyaman dengan kita. Dengan begitu, jembatan untuk menyeberangkan
keyakinan akan semakin lebar, atau mungkin jarak antara dua hati yang mendekat.
MEMUJI INFORMASI YANG DEKAT
Lalu apa pentingnya Rasulullah menyebutkan “Oh Ninaway, negerinya Yunus bin Matta
yang shalih itu?”
Ya, untuk apa ditambahkan keterangan ‘yang shalih itu’? bukankah esensinya sudah
tersampaikan? Begitulah hati. Yunus bin Matta adalah seorang lelaki yang berasal dari
Ninaway, negeri asalnya Addas. Terlebih lagi, Yunus bin Matta adalah seorang Nabi yang
dimuliakan oleh Addas. Jika menyebutkannya dengan predikat yang buruk, akan membuat
Addas merasa tidak nyaman dengan Rasulullah, maka menyebutnya dengan predikat yang
mulia akan membuat Addas merasa semakin nyaman dan semakin husnuzhzhan dengan
Rasulullah.
Sebagaimana ibu-ibu yang sedang ngobrol di angkot. Ketika salah satu mereka menanyakan
tentang diri yang lain, entah tentang asal daerah, suami, anak, atau apa. Jarang sekali mereka
melekatkan informasi tersebut dengan predikat yang negatif. “Oh, suami Ibu kerja di bank,
ih, itu haram lho Bu, amit-amit deh!” pernahkan kalian mendengar kalimat senada itu?
Contoh sederhana, jika kita berkenalan dengan seorang mad’u, tanyakanlah nama, asal daerah
atau kampusnya. Setelah itu, sebutkan satu atau beberapa informasi yang kita ketahui tentang
daerah atau kampusnya. Jika ia menyebutkan asal daerahnya adalah Banjarmasin, maka kita
harus mengingat-ingat informasi apa yang kita ketahui tentang Banjarmasin, misalnya adalah
tentang pasar terapungnya yang eksotis. Setelah itu, lekatkan informasi tentang pasar
terapung itu dengan image yang positif. Mungkin kita bisa mengatakan “Subhanallah, saya
pernah baca di koran tentang pasar terapung di Banjarmasin, eksotis sekali. Jika ada
kesempatan, saya pengen banget jalan-jalan ke sana.”
Kalimat di atas adalah contoh image positif yang bisa kita lekatkan dengan pasar terapung
Banjarmasin. Tidak usah dulu lah membahas sungainya yang kotor, kesadaran masyarakatnya
yang masih rendah terhadap kebersihan lingkungan sungai, atau kesan-kesan negatif lainnya.
Itu belum saatnya. Hanya akan membuat jarak hati kita semakin jauh dengan mad’u.
Atau jika ia menyebutkan kampusnya, segera saja kita ingat-ingat informasi terkait
kampusnya, entah dosennya, entah mahasiswa yang kita kenal, entah prestasi kampus
tersebut, atau apapun. Setelah itu, lekatkanlah kesan positif terhadap infoemasi itu. Misalnya
informasi yang kita ketahui adalah tentang mahasiswanya, lekatkanlah mahasiswa yang kita
ketahui itu dengan kesan positif. Jangan nekat mengaitkannya dengan mahasiswa yang
ketahuan berzina, nyontek, dan lainnya. Itu belum saatnya dibahas, hanya akan memperkeruh
suasana obrolan kita.
Kuncinya sederhana, kenali informasi terkait, lalu sematkan kesan positif. Sebagaimana
Rasulullah mengaitkan Ninaway dengan Yunus bin Matta, kemudian beliau sematkan
keterangan ‘yang shalih itu’. Mari kita belajar.
TUNJUKKAN KITA DEKAT DENGAN TOKOH/INFORMASI ITU
“Oh, dari negeri Yunus bin Matta, orang yang shalih itu?” sabda Nabi.
“Apa yang tuan ketahui tentang Yunus bin Matta?”
“Beliau itu saudaraku, beliau adalah seorang Nabi, begitupun aku.”
Setelah Addas merasa sangat nyaman dengan Rasulullah karena banyak tahu tentang
Ninaway, Yunus bin Matta, dan keshalihan Yunus bin Matta, Rasulullah lalu mengunci
kenyamanannya dengan kalimatnya yang terakhir, “Beliau itu saudaraku, beliau adalah
seorang Nabi, begitupun aku.”
Bagaimana perasaan Addas? Tidak usah ditanya lagi, Addas pasti merasa melayang-layang.
Kedekatan-kedekatan sebelumnya saja sudah sangat mempesonanya, apalah lagi jika
Rasulullah mengaku Yunus bin Matta adalah saudaranya. Sudah begitu, masih pula ditambah
Rasulullah dengan kalimat pengunci “Beliau adalah seorang Nabi, begitupun aku.”
Mungkin Addas sedang melayang-layang di angkasa. Orang yang ada di hadapannya,
berbicara dengannya, yang menyebut namanya, yang mengetahui negeri asalnya, mengetahui
Nabi yang dimuliakannya, ternyata adalah orang yang sangat dekat dengan Nabi yang
dimuliakannya. Lebih dari itu, ternyata ia juga adalah seorang Nabi. Apalagi yang bisa
menghalangi dakwah masuk ke dalam dada Addas?
Kunci Menyentuh Hati
Insyaallah, begitulah cara Nabi memulai dakwah kepada orang yang baru dikenalnya. Diawali
dengan memperkenalkan diri seutuhnya, mengenali nama mad’u, menyebutkan namanya
ketika berbicara, mengaitkan mad’u dengan tokoh yang kita kenal, memuliakan tokoh itu,
kemudian menunjukkan bahwa kita sangat dekat dengan tokoh itu. Insyaallah, jembatan
menuju hatinya akan semakin mulus. Berani mencoba?
6 MENGIKAT HATI
inta tumbuh karena pendeknya jarak, dan panjangnya interaksi. Begitu pepatah
arab mengajarkan kepada kita. Benar. Mungkin banyak di antara kita yang berhasil
menumbuhkan cinta di hati mad’unya sejak pertemuan pertama. Tetapi tidak
sedikit pula yang gagal melakukannya.
Berbagai fase pendekatan yang kita lakukan tidak membuahkan hasil. Sejak berkenalan, kita
telah memperkenalkan diri sebagai seorang Muslim sejati. Kita juga telah mengenali
calon mad’u dengan baik, namanya, asal sekolahnya, asal daerahnya, tempat tinggalnya, atau
informasi-informasi lainnya terkait mad’u. Setelah itu, kita juga melekatkan diri kepada
mad’u dengan menyebutkan namanya saat berbicara, atau dengan memperkenalkannya
kepada teman kita yang datang kemudian dalam pembicaraan kita dengannya. Kita juga tidak
melupakan tahap berikutnya, mengaitkan mad’u kita dengan informasi yang kita ketahui
tentang latar belakangnya. Entah itu tentang sekolah asalnya, asal daerah, kampusnya, tempat
kosnya, atau apapun. Kita sudah coba mengaitkannya dengan salah satu atau semua
informasi yang kita ketahui. Tidak lupa, kita sematkan kesan positif pada informasi yang
kita kaitkan dengannya itu. Bahkan tahap terakhir juga sudah kita lalui, kita sudah
menunjukkan bahwa kita dekat dengan informasi yang terkait dengannya itu.
Sudah. Kesemua tahapan yang dilakukan Rasulullah kepada Addas telah kita lakukan.
Seharusnya kita berhasil menyentuh hati mad’u kita kan? Tetapi sayangnya, teori tersebut
bukanlah matematika, dimana satu ditambah satu pasti sama dengan dua, tidak mungkin tiga.
Tidak. Kita tidak sedang berhadapan dengan angka-angka. Yang kita hadapi adalah manusia
yang memiliki hati, yang memiliki keinginan, yang memiliki kebutuhan. Adalah wajar jika
teori tersebut tidak bisa berlaku sepenuhnya. Ia hanyalah pendekatan. Artinya, dengan cara
itu diharapkan (besar kemungkinan) kita lebih dekat dengan keberhasilan menyentuh mad’u
kita.
C
Tetapi tenang saja, jika tahap pertama ini belum berhasil mencapai targetnya dengan
sempurna, masih ada tahap kedua . Sebenarnya tahap ini merupakan lanjutan dari tahap
pertama, tetapi jika tahap pertama belum berhasil sempurna, tahap ini tetap bisa kita gunakan
untuk menyentuh hati mad’u kita.
Bagi sesiapa yang telah berhasil melalui tahap pertama dengan sempurna, tahapan ini harus
kita lakukan sebelum kita menyampaikan materi dakwah yang kita rencanakan. Pada tahap
sebelumnya kita telah berhasil menyentuh hati mad’u kita, insyaaLlah di sini kita akan
melakukan proses berikutnya yang tidak kalah mengasyikkannya: mengikat hatinya.
insyaaLlah, setelah ia merasakan ikatan yang kuat dengan kita, semenjak itulah Allah akan
memudahkan kita dalam menyampaikan materi dakwah kita, untuk kemudian
menggerakkannya. insyaAllah.
MEMBERSAMAI
Seorang ustadz muda bercucuran keringat mendorong sepeda motor tuanya. Lelahnya tak
mampu menghapus senyum tulus yang senantiasa menyungging di bibirnya. Ustadz muda itu
sedang menempuh perjalanan puluhan kilometer. Ia tidak menempuhnya untuk keperluan
bisnis, tidak pula untuk menjumpai sanak familinya. Ia menempuh perjalanan itu hanya
untuk sampai ke sebuah sekolah kecil di pelosok kabupaten Banjar.
Belasan kilometer dari sana, puluhan remaja sedang berkumpul di salah satu ruang kelas di
sekolah mereka. Mereka sedang menunggu kedatangan seorang ustadz muda yang membuat
mereka terpesona pada ta’lim minggu lalu. Di antara mereka ada dua orang anak muda yang
sangat kagum pada perjuangan ustadz muda itu, sebut saja namanya Fahmi dan Hamdun.
Menariknya, beliau telah mempraktikkan hampir semua yang telah saya tuliskan pada bagian
Menyentuh Hati di buku ini. Beliau telah menyentuh hati dua pemuda itu, dengan identifikasi
dirinya yang meyakinkan, dengan pengenalannya yang melekat kepada mereka, pun tahan-
tahap berikutnya. Maka sempurnalah sentuhannya di hati mereka
Melalui kisah ini, saya hanya ingin menunjukkan kepada sahabat semua, bahwa kita tidak
cukup hanya sampai pada tahapan menyentuh hati. Karena dari dua orang yang beliau sentuh
hatinya, ternyata di kemudian hari memilih jalan yang berbeda, karena sikap yang diterima
juga berbeda.
Beberapa bulan pertama, ustadz itu masih sering berkunjung ke sekolah tersebut, hampir
setiap minggu, malah. Adalah wajar jika kemudian mereka merasa sangat dekat dengan
beliau. Beliau tidak sungkan berkunjung ke rumah, kemudian berbincang dengan ayah-ibu
kedua pemuda itu, seolah ingin meyakinkan bahwa mereka akan baik-baik saja bersamanya.
Beliau tidak sungkan mengajak mereka menginap di rumahnya, melihat langsung aktifitasnya,
belajar bersamanya, bahkan diajak untuk terlibat dalam aktivitas dakwah hariannya. Adalah
wajar jika mereka merasa sangat dekat dengannya.
Beberapa bulan berikutnya beliau tidak lagi berkunjung ke sekolah itu. Tentu saja dua
pemuda itu merasa kehilangan sosok ustadz yang sangat mengagumkan. Karena Fahmi
sudah sangat membutuhkan kehadiran beliau, Fahmi memutuskan untuk mengunjungi beliau
seminggu sekali. Sedangkan Hamdun, karena keterbatasan dana tidak bisa mengikuti ide
Fahmi.
Alhamdulillah, Fahmi bisa kembali berkumpul dengan beliau. Di bawah bimbingan ustadz
muda itu, semakin besarlah kecintaan Fahmi terhadap Islam, karena ternyata beliau jauh
lebih mengagumkan dari yang dikenalnya selama ini. Beliau selalu membersamai aktivitas
Fahmi, menanyakan kabar, membantu menyelesaikan masalah, mengajari, dan lainnya.
Dengan begitu, selain semangat keislamannya, pengetahuan keislamannya juga jauh
meningkat.
Di kemudian hari, Fahmi menjadi pemuda Muslim dengan komitmen keislaman yang tinggi.
Kelak ia menjadi seorang da’i muda yang menggantikan peran ustadz kebanggaannya. Hal
sebaliknya terjadi pada Hamdun. Karena tak lagi bersua dengan ustadz muda itu, dan juga tak
banyak bertemu Fahmi, Hamdun memilih berkumpul kembali dengan teman-teman masa
lalunya sebelum mengkaji Islam. Ia mulai jarang terlihat di mushalla. Lantunan al-Qur’an
sudah tidak lagi dari rumahnya yang berhadapan dengan rumah Fahmi. Ia mulai sering
terlihat di tempat nongkrong anak muda di daerahnya. Ia mulai sering kebut-kebutan di
jalanan. Ia mulai ikut lagi berjejal-jejal di acara konser musik. Bahkan, ia mulai berani
membonceng perempuan yang bukan muhrimnya, yang ternyata pacarnya. Lebih
menyedihkan lagi, ia sudah berani mengkonsumsi obat terlarang. Terakhir ia harus menginap
beberapa hari di kantor polisi karena berada di tempat kejadian saat polisi menyergap para
pemain judi di daerahnya.
Fahmi dan Hamdun. Dua orang yang sama-sama telah disentuh hatinya oleh seorang ustadz
muda, ternyata memilih jalan yang berbeda di kemudian hari. Ternyata, kita tidak bisa
mencukupkan diri sampai pada tahap menyentuh hati, mesti ada tahap berikutnya yang harus
kita jalani. Dan dalam kisah ini, tahap itu dijalankan oleh ustadz muda itu kepada Fahmi,
membersamai.
Kita juga harus begitu kan kawan? Setelah kita berhasil menyentuh hati mereka sejak awal
perkenalan, mari kita bersamai mereka. Kita temani setiap gerak langkahnya. Kunjungi
rumahnya. Jabatlah tangannya setiap kali berjumpa. Duduklah sejenak bersamanya.
Bicarakanlah apa saja yang bermanfaat. Tanyakan kabarnya. Tanyakan habis dari mana? Mau
kemana? Ke sini dengan siapa? Mari kita membersamai mereka, agar mereka merasakan
bahwa kita ada, bersamanya
***
MEMBERIKAN HADIAH
Budayakanlah saling memberi hadiah, maka cinta akan hadir di tengah-tengah kita.
bayangkan bagaimana perasaan Abdurrahman bin Auf saat seorang anshar berniat membagi
dua semua yang dia punya. Satu dari dua kebunnya ingin diberikan kawannya kepadanya.
Satu dari dua tokonya juga ingin dibagikannya. Bahkan satu dari dua isterinya akan
diceraikannya jika Abdurrahman bin Auf menginginkannya.
Mungkin kita tidak perlu ekstrim seperti dua sahabat itu. Kita masih bisa memberikan
hadiah-hadiah kecil yang memiliki kesan besar di hatinya. Semasa SMA, saat saya masih
malas-malasan mengaji, seorang akhawat tidak kenal lelah menghadiahkan buku, majalah dan
buletin al-Islam pada saya. Meski awalnya tidak saya baca, tetapi lama kelamaan saya
penasaran juga dengan isinya. Subhanallah.
Sayangnya, dalam kisah ini kenapa harus akhawat yang memberikan hadiah. Saran saya,
berikanlah hadiah kepada yang sejenis saja. Ikhwah kepada ikhwah, akhawat kepada akhawat.
Ada banyak pilihan judul buku yang bisa kita hadiahkan. Buku yang ada di tangan antum ini
salah satunya ^_^. Buatlah mad’u kita merasakan kehangatan kita. buatlah mereka merasa
nyaman bersama kita.
Hadiah tidak harus selalu berbentuk barang bukan? Saya menemukan kisah yang sangat
mengesankan di tabloid yang diterbitkan oleh Angkatan Muda Baitul Hikmah (AMBH)
Unlam. Seorang ukhti, sebut saja namanya Hani menuturkan kisah awal-awal dia ikut
pengajian di lembaga dakwah itu. Ukhti yang satu ini bergabung dalam dakwah bukan karena
kekuatan argumen yang diberikan oleh ukhti Rina yang mendakwahinya. Bukan pula karena
kejernihan pemikirannya, ia belum mempedulikan itu. Uniknya, dia bergabung dalam dakwah
karena sebuah kejadian kecil yang tidak akan pernah dilupakannya.
Saat itu sepatunya menginjak tanah becek, hingga lumpurnya mengotori bagian atas
sepatunya. Mengejutkan sekali, setelah itu Rina segera membungkuk mengambil ujung
jilbabnya (jubah/gamis), kemudian membersihkan sepatu Hani dengan ujung
jilbabnya. Itulah hadiah kecil yang berkesan besar di hati Hani. Kejadian itulah yang
membuat Hani memilih jalan dakwah ini, hadiah mengejutkan dari Rina.
MENGUNJUNGI
Sesekali, berkunjunglah ke rumah atau tempat kosnya tanpa membawa keperluan apa-apa.
Berkunjunglah hanya karena kita ingin bersilaturrahim dengannya. Jika ada keluangan rizki,
bawakanlah makanan ringan atau buah-buahan untuk dimakan bersama. Insya Allah, dia
akan merasa nyaman bersama kita. Dengan begitu, dia akan merasa bahwa kita ada,
bersamanya.
Terlebih lagi jika kita seorang ustadz dengan jama’ah puluhan, ratusan bahkan ribuan. Jika
kita menyegaja datang ke rumah atau tempat kosnya, dia merasa sangat dihargai. Dia
merasakan kehormatan luar biasa dikunjungi oleh ustadz ‘terkenal’. Dia merasa istimewa di
antara teman-temannya.
MEMUDAHKAN URUSANNYA
Saat itu teman saya, namanya Hamid, yang kuliah di Banjarbaru ingin pulang ke Banjarmasin,
ke rumah orangtuanya. Atas rencana Allah, saat itu tidak sepeserpun ada uang di dompetnya.
Dalam bingungnya, seorang ikhwah aktivis LDK fakultasnya datang dan bertanya,
“Mau kemana dik?”
“Mau pulang ke Banjarmasin Kak.”
“Wah, kebetulan sekali. Kakak juga sedang ada keperluan ke sana. Barengan kakak aja deh
ya.”
Terang saja Hamid segera mengiyakan. Ia ikut membonceng di belakang ikhwah tersebut.
Sepanjang perjalanan mereka banyak berbincang. Hingga tiba di rumah orangtua Hamid.
“Makasih ya Kak. Setelah ini kakak mau kemana lagi?” Tanya Hamid setelah turun dari
sepeda motor.
“Ya pulang ke Banjarbaru, kemana lagi?”
“Lho, bukannya tadi kakak bilang ada urusan ke Banjarmasin?” Hamid bingung.
“Iya, urusan kakak cuma mengantar kamu.” Jawab ikhwah itu dengan senyum manisnya yang
berwibawa. Menangislah Hamid dibuatnya. Ternyata perjalanan sejauh ini ditempuh ikhwah
tersebut hanya untuk mengantarnya.
Jika kita melihat mad’u kita sedang ada masalah, segeralah bantu menyelesaikannya. Jika kita
tidak bisa menyelesaikannya, cari orang yang bisa menyelesaikannya. Jika dia sedang perlu
uang untuk membayar SPP, bantu. Jika kita sedang tidak memiliki keluangan rizqi, cari orang
lain yang bisa membantunya. Entah kita mengumpulkan sumbangan dari teman-teman kita,
entah kita carikan dia tempat meminjam, dengan cara apa saja (sejauh halal), bantulah ia.
Insya Allah dia tidak akan melupakannya. Dan lagi-lagi ia akan merasa kita ada, bersamanya.
MEMANGGILNYA DENGAN PANGGILAN KESUKAANNYA
MEMBELA DAN MENJAGA KEHORMATANNYA
Jika tidak sedang bersamanya, jagalah kehormatannya. Jika kita mendengar ada fitnah yang
menderanya, segera luruskan, jaga nama baiknya. Ketika ada teman kita yang
membicarakannya dengan nada yang tidak nyaman, segera bela. Itu semua adalah haknya,
dan kewajiban kita sebagai sesama Muslim. Terlebih lagi kita adalah seorang da’i yang
bermasuk mengajaknya menjadi seorang Muslim sejati.
JIKA MENASIHATI
Sekali waktu, mungkin mad’u kita melakukan kesalahan yang cukup menyesakkan dada kita.
Mungkin kita mendengar kabar ia bermaksiat, atau kita sendiri yang menyaksikannya. Adalah
manusiawi jika kita kecewa dan ingin segera memarahinya. Betapa tidak? Dia sudah seperti
adik kandung bagi kita. Dan setiap kakak pasti ingin memarahi adiknya jika bermaksiat
bukan? Boleh saja memarahinya, tetapi secukupnya. Tunjukkanlah bahwa marah kita adalah
tanda cinta kita padanya.
Jika ingin menasihati, tahanlah dulu. Ajaklah ke tempat yang hanya ada kita dan dia. Tidak
ada yang menyaksikan kecuali Allah dan para malaikat. Jangan duduk berhadapan. Duduklah
menghadap arah yang sama. Itu akan membuat dia merasa bahwa kita sepihak dengannya,
bukan orang lain yang ingin ‘membantainya’. Tanyakanlah sebab dia melakukan kesalahan
itu, jangan langsung memvonisnya begini dan begitu. Dengarkanlah dulu dengan sabar,
karena bisa jadi kita salah paham depan apa yang kita dengar atau kita lihat tentangnya.
Jika dia sudah selesai bercerita, lakukanlah teknik menyambung dua perintah yang kita bahas
pada keping kedua. “Kakak tau antum merasa bersalah dengan ini, tidak masalah dik.
Bertaubatlah dan terus beramal sebaik mungkin.” Insya Allah dia tidak sedang merasa
diperintah dengan tegas. Dengan begitu, kita telah meluruskan amalnya tanpa mematahkan
hatinya. Atas izin Allah.
MEMBERIKAN TELADAN
Tidak ada gunanya kekata yang keluar dari mulut kita yang berbusa. Ia hanya akan menguap
begitu saja ketika mad’u kita melihat kita tidak mengamalkannya. Sebelum berbicara tentang
menundukkan pandangan, ia harus melihat bukti bahwa kita melakukannya lebih dahulu
sebelum dia. Jika berbicara tentang berkorban, kitalah orang yang telah melakukan banyak
pengorbanan untuknya.
Sebuah kejadian yang cukup menyebalkan pernah dialami oleh adik-adik saya di SMA.
Mereka telah tersentuh hatinya oleh Islam. Setiap minggu mereka berkumpul di mushalla
sekolah, menunggu datangnya ustadz dari kota tetangga untuk membina mereka. Setiap
minggu mereka menunggu, setiap minggu itu pula ustadznya tidak pernah datang. Ketika
ditanyakan kepada ustadz yang bersangkutan, dijawabnya “Kami kesulitan untuk datang ke
sana. Mereka aja yang datang ke sini, kita ingin tau besarnya pengorbanan mereka.”
Menggeretuklah geraham saya. Ingin rasanya saya menemui ustadz itu dan ‘mengomelinya’.
“Ustadz, mereka itu sedang belajar. Seharusnya kita memudahkan langkah mereka untuk
menuntut ilmu, bukan malah mempersulitnya. Jangan. Jangan mengajarkan pengorbanan
pada mereka, jika Antum yang sudah paham Isam saja, tidak mau berkorban menempuh
perjalanan jauh menemui mereka.”
JIKA IA TIDAK ADA, CARILAH
Ada seorang ikhwah yang sangat rajin mengikuti ta’lim-ta’lim atau pertemuan. Setelah
beberapa lama ia tidak hadir di satu pertemuan pun. Cukup lama, bahkan sampai berbulan-
bulan. Entah ada angin apa, ikhwah kita ini kembali hadir di pertemuan. Segera saja kawan-
kawan yang kecewa dengan menghilangnya ia dari dunia dakwah mencecarnya. “Kenapa
antum baru muncul? Sudah banyak amanah dakwah yang terbengkalai?”
Dengan perasaan sedih, ikhwah kita yang lama menghilang ini menjawab. “Kemana saja
kamu dan teman-teman selama ini? Mengapa tidak berusaha mencariku selama beberapa
bulan terakhir ini? Sebenarnya saya sangat memerlukan kehadiran kalian di sampingku saat
isteriku meninggal dunia, dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Saya membutuhkan
orang-orang yang akrab dengan saya pada saat-saat kritis seperti ini.”
Terhenyaklah. Kadang kita terlalu cepat memvonis saudara seperjuangan kita meninggalkan
jalan dakwah, hanya karena ia jarang terlihat. Lebih dari itu, kita bahkan menjadikannya
sebagai contoh negatif untuk kawan-kawan kita. “Kalau bisa jangan menikah dulu jika belum
siap. Tuh jadinya seperti si fulan itu. Setelah menikah malah tidak peduli lagi dengan dakwah
ini.”.
Tahan dulu kata-kata kita. simpan dulu sampai kita menemukan buktinya. Bahkan jika kita
menemukan buktinya sekalipun, tetap saja kita tidak layak mencecarnya. Husnuzhzhan dulu.
Jangan langsung menvonis dia meninggalkan dakwah. Terlebih lagi jika dia adalah seorang
kader muda yang baru saja tersentuh oleh Islam. Dia masih sangat memerlukan bimbingan
dari kita, orang yang dulu mengajaknya menggenggam bara Islam.
Bisa jadi, dia lama tidak terlihat dalam pertemuan-pertemuan, karena dia sedang berkerja
keras untuk mencukupi biaya hidupnya. Bisa jadi dia sedang bersimbah keringat untuk
membiayai kuliah adiknya. Bisa jadi dia sedang berduka cita sepeninggal orangtuanya. Justeru
dalam keadaan seperti itulah, dia memerlukan orang-orang terdekatnya. Ia perlu dukungan, ia
perlu bantuan kita. bisa dibayangkan betapa terlukanya ia, jika di saat butuh dukungan, yang
ia dapat justeru tuduhan melalaikan dakwah.
Mari kita luruskan sikap kita. Jika salah seorang teman atau adik binaan kita jarang terlihat,
segera kunjungi. Tanyakan keadaannya. Jika ia sedang ada masalah, bantu menyelesaikannya.
Jika ia perlu dukungan, kita harus membersamainya. Jikapun ia menghilang hanya karena
malas berdakwah, tetap saja kita perlu mengunjunginya, untuk kembali mengikat hatinya
dengan dakwah Islam ini.
***
Puffh... Ternyata kita sudah berbincang terlalu banyak ya. Pada bagian pertama dari keping
ketiga: NYATA ini, kita telah mempelajari cara menyentuh hati. Setelah hatinya tersentuh,
kita masih juga harus mengikat hati mereka dengan kita, agar mereka lebih siap ketika kita
menyampaikan keyakinan kita pada mereka. Semoga apa yang kita bincangkan ini membawa
manfaat untuk kita semua, terutama dalam langkah kita menyentuh dan mengikat hati mad’u
kita. setelah dua tahap ini dilalui (menyentuh dan mengikat hati), barulah kita bisa masuk ke
tahap berikutnya, menyeberangkan keyakinan.
7
MENYEBERANGKAN KEYAKINAN
arena kita berbincang tentang teknik menyeberangkan keyakinan, sedikit banyak
pembahasan ini berkaitan dengan keping kedua, kata. Karena itu, tidak ada
salahnya jika kita kembali mengunjungi keping kedua di buku ini. Di sana kita
sudah sempat berbincang tentang teknik mempengaruhi pikiran lawan bicara. Dan di sini, di
bagian Menyeberangkan Keyakinan ini, kita juga akan menggunakan teknik yang kurang
lebih sama. Kita masih perlu teknik ‘tipuan’ linguistik.
Kita juga tidak bisa meninggalkan trik memilih kata, menyusun kalimat, atau merangkai
paragraf. Semuanya masih dibutuhkan di bagian ini. Yang berbeda hanya lawan bicaranya
saja. Pada keping kedua, audiens kita adalah puluhan, ratusan bahkan ribuan peserta ta’lim
atau training. Sedangkan pada keping ketiga, tepatnya di bagian Menyeberangkan Keyakinan
ini, audiens kita tidak sebanyak itu. Lawan bicara kita hanyalah satu atau dua orang yang
sedang duduk bersama kita di pojok masjid, di meja kantin, di kursi taman, atau di ruang
kelas. Ya, karena di sini kita berbicara tentang dakwah fardiyah, dakwah individual yang kita
lakukan di setiap hari kita.
Namun, meskipun berbeda lawan bicara, secara umum teknik mempengaruhi pikiran lawan
bicara kita tetap bisa diterapkan kepada satu atau dua orang lawan bicara kita. jadi, mari kita
kembali sejenak ke keping kedua: KATA. Jika sudah selesai dari sana, jangan lupa untuk
kembali ke halaman ini ya.
POSISIKAN KITA BERADA DI PIHAK YANG SAMA DENGANNYA Ada lagi beda antara Menyeberangkan Keyakinan dalam dakwah di forum dengan
Menyeberangkan Keyakinan dalam dakwah fardiyah. Bedanya adalah tingkat penerimaan
audiens. Dalam dakwah forum, audiens memang sudah menyiapkan mentalnya untuk
menerima apa yang akan kita sampaikan. Itu karena kita sebagai pembicara, diposisikan
K
sebagai orang yang lebih tahu, lebih mengerti, bahkan lebih ‘alim’ ketimbang mereka.
Berbeda Di samping itu, para audiens itu memang menyengaja datang ke majlis kita.
Karenanya, dalam dakwah fardiyah, kita benar-benar harus memposisikan diri kita berada di
pihak yang sama dengannya. Bukan sebagai guru terhadap muridnya, melainkan sebagai
seorang sahabat yang memiliki permasalahan yang sama.
FILTER Karena kita tidak berposisi sebagai orang yang lebih tahu, maka kita perlu sebuah filter untuk
menyampaikan kebenaran yang kita yakini. Kita bisa menggunakan pendapat ulama
terdahulu agar dia mau mendengarkan kekata kita. kita bisa pula mengutip tulisan orang yang
cukup dikenal kredibilitasnya. Sehingga, kesan yang muncul di benak dia adalah, kita tidak
sedang menyampaikan pendapat kita, kita hanya penyambung lidah saja. Dan dengan ushlub
filter ini, mad’u akan merasa bahwa kita juga sepihak dengan dia.
ISTIQAMAH Dalam upaya menyeberangkan keyakinan, kadang apa yang kita sampaikan tidak bisa
langsung diterima oleh mad’u. Bisa dimaklumi. Sekali menyampaikan, tidak bereaksi. Dua
kali, mungkin masih belum bereaksi. Tiga, empat, lima, enam, atau bahkan sepuluh kali, bisa
saja dia tetap belum bereaksi. Tetapi jangan berhenti. Rasulullah saja mengetuk pintu Abu
Jahal berpuluh-puluh kali. Bahkan sampai Abu Jahal mati, Rasulullah juga tidak berhasil
mengantarkan hidayah Allah pada Abu Jahal. Karena memang hidayah itu hanya hak Allah
saja. Kita tidak ditugaskan untuk memberi hidayah pada mad’u kita. karena kita memang
tidak mampu melakukannya, itu bukan kuasa kita. Allah hanya ingin tahu, sekeras apa usaha
kita. Dan kita akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan kerasnya usaha kita, bukan hasil
yang kita dapatkan dari dakwah itu.
Ada seorang pemuda bisu yang setiap minggunya mengantarkan buletin dakwah ke rumah
salah seorang tokoh. Pemuda itu tidak pernah mengucapkan sepatah katapun, karena dia
memang tidak bisa melakukannya. Lebih lagi, dakwah fardiyah memang dakwah yang tidak
terlalu memerlukan kata, melainkan amal nyata.
Setiap minggu, pemuda bisu ini selalu mengantarkan buletin dakwah itu ke rumah tokoh
tersebut. Dan setiap minggu pula, pemuda kita ini mendapatkan dampratan, cacian dan
makian dari tokoh bersangkutan. Sedih? Tentu. Tapi dia terus saja beramal. Cacian itu tak
menggoyahkan semangatnya. Makian itu tak menghentikan aliran darahnya.
Lambat laun, tokoh yang selalu mengusir pemuda kita ini, merasa takjub dengan
kegigihannya. Ada desir kagum meriak di hatinya. Dengan rasa penarasan, dipungutnya salah
satu edisi buletin yang pernah diantarkan pemuda kita ini. Perlahan ia membaca kata, kalimat,
paragrafnya. Ta’zhimlah ia dibuatnya.
“Subhanallah, pantas saja anak muda bisu itu tidak kenal lelah mengantarkan buletin ini.
Apa-apa yang ditulis di sini mengandung kebenaran yang sangat menggugah. Subhanallah!”
Dari cerita yang saya dengar, konon tokoh tersebut menjadi pendukung utama dakwah si
pemuda bisu. Bahkan ia bergabung bersama pemuda tersebut di jama’ah dakwah yang sama
Istiqamahlah. Bisa jadi bukan penyampaian kita yang menjadi kunci hidayah bagi hatinya.
Bisa jadi Allah mengetuk hatinya, karena ia melihat kegigihan kita dalam menyampaikannya.
Mengutip Salim A Fillah, “Berbuatlah, maka keajaiban!”
MENDOAKANNYA Pelajaran ini benar-benar tidak akan saya lupakan. Semasa SMA, saya sangat suka mengolok-
olok guru –astaghfirullah-. ‘Celakanya’, ada seorang guru baru yang akan mengajar selama
setahun penuh di kelas saya. Waktu itu saya tidak mengerti bahwa beliau adalah salah seorang
yang dinamakan akhwat. Boro-boro, ikut pengajian saja tidak.
Di mana ‘celakanya’? Kebiasaan saya mengolok-olok guru ini juga saya amalkan padanya.
Akhwat shalihah itu sakit hati dengan sikap saya. Diapun mengutuk saya.
Waktu berjalan. Saya merasa sangat tertarik dengan guru muda itu. Bukan karena beliau
perempuan dan saya laki-laki, melainkan karena kekuatan karakternya yang begitu unik.
Kerudung lebar, jubah tebal yang juga lebar (yang kelak saya ketahui itu adalah jilbab), tidak
pernah mau bersalaman dengan siswa laki-laki, dan pandangannya yang sangat tawadhu.
Selang beberapa bulan, guru muda itu membangun organisasi Rohis di sekolah kami. Dengan
segala label kenakalan yang masih menyemat dalam diri, saya ikut membidani lahirnya rohis
di sana. Entah kenapa, setiap yang dilakukan guru itu selalu saya dukung, lebih dari itu saya
selalu membantunya semampu daya. Menarik, padahal sebelumnya saya termasuk sebal
dengan guru baru itu.
Detik bergulir, waktu berjalan. Saya merasa semakin mantap dengan jalan yang telah
ditunjukkan oleh guru itu. Dengan segenap jiwa muda, saya mengikrarkan diri untuk menjadi
seorang pemuda Islam yang siap mempertaruhkan segalanya demi Islam. Bersama beberapa
kawan, saya berupaya menghidupkan suasana Islam di sekolah dan tempat tinggal kami.
Lantunan al-Qur’an, tebaran salam, genggaman erat saat berjabat, menjadi sesuatu yang
akrab dengan kami. Melalui perantara guru itu.
Setelah saya lulus SMA dan menikah, saya bersama isteri menyempatkan diri bersilaturahim
ke sekolah kebanggaan saya tersebut. Orang pertama yang ingin saya temui adalah beliau.
Ingin sekali saya menghaturkan berjuta terimakasih atas upaya beliau menghantarkan hidayah
Allah kepada saya. Dan di tengah perjumpaan singkat itu, mengalirlah sebuah cerita dari lisan
beliau, tentang saya.
“Dulu ibu sakit hati banget sama kamu Bay.”
“Kenapa Bu?”
“Pokoknya ada kata-katamu yang sangat menyakitkan.”
Mulut saya membulat.
“Tapi kamu tau nggak, saat sakit hati itu ibu berdoa.”
“Doa apa Bu?”
“Semoga anak yang menyakitiku ini, kelak menjadi seorang pengemban dakwah. Dan
alhamdulillah, doa ibu dikabulkan Allah.”
Ingin sekali saya menumpahkan air mata saat itu juga. Betapa tulus cintanya pada obyek
dakwahnya. Sehingga ketika obyek dakwahnya menyakiti hatinya, yang keluar dari hatinya
justeru sebuah doa yang sangat agung. Doa itulah yang kemudian menggiring saya menuju
perbaikan diri. Doa itu pula yang (sepertinya) membuat Allah melimpahkan cinta di hati saya
untuk beliau, padahal awalnya saya sangat membenci beliau. Doa. Siapa yang meragukan
kekuatannya?
Belajar dari ketulusan guru saya tersebut. Mari kita mendoakan obyek dakwah kita. Doa tulus
kita memiliki kekuatan dahsyat. Pertama, Allah pasti akan mengabulkannya. Kedua, doa kita
menunjukkan tulusnya cinta kita padanya. Yakinlah, ketika kita mencintainya dengan tulus,
Allah tidak akan membiarkan cinta itu mengawang-awang di angkasa. Allah pasti akan
menurunkan kecintaan kita di bumi, tepat menuju hatinya. Dan cinta kita pasti berbalas. Doa
itulah yang akan menggiring hatinya untuk mendekat pada kita. Yakinlah.
***
(BAB ini belum ditutup, jadi saya punya PR untuk menutup Bab ini,
Setelah itu saya bikin penutup keseluruhan buku, judul penutupnya:
AKHIRNYA)