MINGGU,iai-jateng.org/wp-content/uploads/2018/08/20180610_hal...Korea seperti : naga biru, naga...

1
MINGGU, 10 JUNI 2018 S eiring perkembangan zaman, pro- ses memodifikasi atau mengubah sesuatu untuk mengganti fungsinya dengan fungsi yang baru dengan meninggalkan fungsi lamanya mulai kembali digaungkan sebagai salah satu upaya konservasi menyesuaikan fungsi baru bangunan. Sekitar dua abad lampau konsep ini sebenarnya sudah mulai diterapkan oleh kerajaan di Korea pada sebuah kompleks istananya yang bernama istana Deoksu (Deoksugung) yang terletak di pusat kota Seoul. Pada awalnya istana yang bernama Gyeongungung ini hanya merupakan kediaman pangeran Wolsan, kakak dari Raja Seongjeong yang bertahta pada tahun 1469-1494. Pangeran Wolsan bukan merupakn raja maupun putera mahkota sehingga tidak terdapat fasilitas utama kerajaan. Akan tetapi sejak invasi Jepang pada 1592, Raja Sonjo memindahkan sementara istana kerajaannya ke kompleks ini hingga tahun 1615. Pada periode ini mulai terjadi perubahan tata letak dari kediaman pangeran menjadi istana ker- ajaan. Puncaknya adalah ketika raja Gojong dari dinasti Joseon memproklamirkan dirinya menjadi kaisar dari kekaisaran Korea yang merdeka pada 1897 dan kembali menjadikan kompleks ini menjadi istana kekaisaran Korea. Pada era ini area Gyeongungung menjadi 4 kali lebih luas dari yang sekarang dan gerbangnya yang berjulukan Daehanmun berubah menye- suaikan dengan statusnya sebagai istana kekaisaran. Perpindahan gerbang ini juga menuntut perubahan tata letak istana dan terjadi tidak hanya sekali. Pertambahan luas area istana juga disertai dengan penambahan fasilitas istana kekaisaran, seperti : paviliun singgasana kekaisaran Jeokjodang yang akhirnya dipindah ke paviliun Junghwajeon lengkap dengan Junghwamun sebagai gerbang singgasana dan Haenggak, tempat tinggal abdi istana, pavil- iun Hamnyeongjeon sebagai bangunanperistirahatan keluar- ga raja dengan pemisahan area sayap timur untuk raja sedang- kan barat untuk per- maisurinya. Pada penjajahan Jepang ukuran kompleks istana kembali berubah seiring kebutuhan jalan raya yang meningkatIstana ini resmi menyandang nama istana Deoksu setelah raja Gojong turun tahta dan banyak bangunan kekaisaran yang dihilangkan menjadi lanskap pertamanan. Istana Deoksu memiliki massa bangunan yang memiliki langgam arsitektur beragam karena pergantian fungsi dari kom- pleks ini. Istana ini masih memiliki gerbang utama daehanmun sebagai istana kekaisaran yang berciri Korea meskipun beberapa kali terjadi relokasi. Perubahan tidak hanya terjadi pada letak tetapi juga detil arsitektural bangunannya seperti : Paviliun altar singgasana Junghwajeon yang menjadi tempat peno- batan kaisar Gojong mengalami penyederhanaan bentuk atap setelah tidak menjadi altar utama, penambahan cerobong asap paviliun Hamnyeongjeon setelah tidak menjadi tempat istirahat keluarga raja. Pemulasaraan Jenazah Pada masa penjajahan Jepang, beberapa bangunan dihancurkan dan beberapa diba- ngun kembali seperti Ham- nyeongjeon yang akhirnya men- jadi tempat pemulasaraan jenazah raja lengkap dengan lanskapnya. Pada salah satu sudut istana terdapat paviliun bergaya Korea-Barat untuk perjamuan kerajaan yang didesain oleh arsitek Rusia AI Sabatin sekitar tahun 1900 sebagai bukti hubungan baik antara kekaisaran Korea dan Rusia saat itu. Paviliun ini menggunakan batu imitasi sebagai penutup bagian luar pondasi dan memiliki beranda pada ke empat sisinya. Pada elemen dekoratif di antara kolom ter- dapat ukiran dengan motif tradisional Korea seperti : naga biru, naga emas, kelelawar dan bunga. Keunikan istana ini bertambah kuat dengan keberadaan Seokjojeon yang murni gaya barat neoklasik dengan struktur bangunan batu tiga lantai dan lanskap Eropa karya G.R. Harding dari kekaisaran Inggris Raya. Hal yang cukup signifikan adalah perubahan lanskap istana dengan pembangunan kolam dengan air mancur perunggu yang diletakan tepat di area depan paviliun berbeda dengan tata lan- skap Korea yang meletakan elemen air di belakang bangunan. Pavilion ini sekarang menjadi art muse- um setelah kontraktor Jepang Okura mem- bangun Yiwangga Art Museum yang jauh lebih besarpada masa penjajahan Jepang bagian sayap barat- nya. (53) T eladan tak terelak- kan datang dari tetenger I amster- dam di Museumplein di belakang Rijksmuseum Amsterdam yang dibangun tahun 2005. Sepuluh tahun kemudian, popularitas I amsterdam dan persamaan ”am” mengilhami PTKereta Api Indonesia untuk memasang tetenger I ambarawa di halaman rumput Museum Kereta Api Ambarawa. Dengan harapan, I Ambarawa akan menjadi tempat terbaik bagi para pengunjung berswafoto. I amsterdam. Tetenger I Amsterdam awalnya adalah alat pemasaran daerah tujuan wisata (DTW). Para pemasar DTW memanfaatkan kekuatan pemasaran C2C (consumer-to- consumer), seiring perkembang- an ponsel pintar dan media sosial visual. I amsterdam bukanlah sekedar nama, tetapi slogan masyarakat Amsterdam yang menyatu dengan citra kota itu sendiri. Saat ini, I Amsterdam menjadi tetenger yang paling banyak diabadikan. I am (saya), berpose bersama balok-balok aksara merah putih ikonik berlatar belakang gugusan bangunan tua. Ya, saya sedang berada di Amsterdam. Kebanggaan pada sebuah kota, dan hampir pasti langsung diung- gah ke media sosial. Berinteraksi dengan citra kota menjadi sesuatu yang menyenangkan. Slogan citra kota yang biasanya sangat abstrak dan tak berwujud, kini dapat disentuh, dipanjat, sekali- gus diabadikan. Aksara raksasa pun menambah nilai citra pribadi bukan hanya karena menan- dakan tempat, melainkan juga karena ada permainan kata-kata. Para wisatawan tak keberatan citra pribadi mereka terkait dengan atribut yang cerdas lagi menyenangkan. Semakin elok pesan citra kota, semakin besar kemung- kinan akan diterima. Hingga hari ini, ada empat set aksara tersebut di sekitar kota Amsterdam. Sejumlah DTW lain pun meniru konsep pencitraan I ams- terdam. Contohnya ada- lah kampanye citra kota Dallas. Diluncurkan pada bulan Maret 2013 oleh Biro Konvensi dan Pengunjung Dallas dengan mengajak keterlibatan warga memamerkan kota besar Dallas. Blok aksara rak- sasa ”B” dan ”G” ditempatkan secara bergiliran di segenap kawasan kota dan masya- rakat diundang untuk berpose di tengah membentuk ejaan BIG, kata yang paling mengena seba- gai dasar kampanye. Big D ada- lah julukan bagi Dallas. Walikota Dallas Mike Rawlings termasuk salah satu di antara ribuan warga yang berpose jenaka di antara ”B” dan ”G” sebagai bagian dari kampanye ”Big Things Happen Here.” Apa yang dapat diambil dari contoh-contoh di atas adalah bahwa para pemasar DTW berupa- ya menemukan solusi kreatif dengan melibatkan masyarakat ke dalam proses pemasaran. Dalam hal ini, Amsterdam adalah perintis sekaligus contoh hebat soal kekuatan pemasaran C2C. Dengan catatan, tidak ada kesen- jangan yang terlalu lebar antara pesan citra dan kisah nyata kota. Idealnya, nilai-nilai inti dan karak- teristik kota harus mampu ditun- jukkan terlebih dulu sebelum dikomunikasikan. Seperti halnya I ambarawa, tetenger aksara raksasa Simpang Lima di sisi Selatan Lapangan Pancasila tak lebih dari- pada penandatempat. Simpang Lima adalah kawasan budaya yang perencanaannya meli- batkan arsitek sekaligus figur pendidik tulen Agustinus Sidharta (1929- 2007), sebagai pengganti alun-alun Kanjengan yang bersejarah. Saat ini Simpang Lima justru seolah tak memiliki lagi kepercayaan diri atas karakter yang telah dimi- likinya, karena harus dibantu tambahan foto- genik tersebut. Meskipun Simpang Lima memang telah lama menjelma menjadi ka- wasan perdagangan dan jasa, yang dikelola swasta, tetapi Masjid Raya Baiturrahman, SMK Negeri 7, dan Lapangan Pan- casila sendiri masih menjadi pengingat visual tata guna serta wujud peren- canaan masa lalu. Sehingga ada maupun tidak aksara Simpang Lima, tempat ini tetaplah kawasan alun- alun dengan lima persimpan- gan yang tak per- nah sepi dari kegiatan warga maupun pendatang. Tak jauh dari Simpang Lima, berdiri anggun tetenger TRI LOMBA JUANG di muka lapangan olah raga ëMugasí. Melihat fungsi tempatnya, aksara TRI LOMBA JUANG lebih mengena apabila berwujud desain kreatif yang kokoh untuk diinjak dan dipanjat, relevan dengan kegiatan olah raga. Bandingkan dengan instalasi tiga aksara BUS di Baltimore, Amerika Serikat, yang desainnya terbuat dari material khas perabot jalan: kayu dan baja. Masing- masing aksaranya cukup besar untuk diduduki, bermain-main gaya sembari menunggu bus. Sementara di sisi lain, penan- da serta penunjuk jalan yang semestinya penting justru tak tersedia. Pada perbukitan Mugas ini terdapat Makam Kyai Ageng Pandanaran, pendiri sekaligus bupati pertama Semarang. Saat ini, informasi arah menuju peti- lasan hanyalah sebuah papan sederhana yang dipakukan di pohon, tersembunyi hanya seki- an puluh langkah dari Tri Lomba Juang. Padahal setiap tahunnya ribuan pengunjung peziarah dari dalam dan luar Semarang meng- hadiri kegiatan haul dan peringat- an Hari Jadi Semarang. Jika slogan merupakan ele- men lunak, maka bangunan tetenger adalah elemen keras pembangun citra kota.Mengapa bangunan seperti Lawang Sewu dari waktu ke waktu diabadikan dan diunggah ke media sosial? Jawabannya adalah karena Lawang Sewu menandakan tem- pat. Foto pengunjung dengan latar belakang Lawang Sewu tanpa bantuan kata-kata telah menyam- paikan pesan: ”Saya berada di Semarang.” Pada dasarnya fotografi digunakan untuk mengabadikan kisah dan kenan- gan di suatu tempat. Pengunjung Lawang Sewu berperan sebagai duta citra dan agen promosiKota Semarang. Jika demikian halnya, tidak sepantasnya kita sia-siakan kenangan fisik yang sudah ada, karena semakin berharga setelah melalui ruang waktu, dan berpotensi sebagai DTW. Memadukan desain grafis dan arsitektur lansekap membuktikan hubungan jenis baru yang bisa dib- ina dengan bijak pada ruang kha- layak. Dengan kamera ponsel pin- tar yang senantiasa dalam genggaman, kota seharusnya menyajikan layanan tata lansekap yang mendukung fotografi menandai sebuah tempat sekali- gus menambah nilai citra pribadi. Meskipun saat ini, aksara raksasa agaknya dianggap sebagai cara paling efektif menyampaikan inti dari kebanyakan pesan di media sosial: ”Saya berada di sini.” (53) Ratri Septina Saraswati I Staf Pengajar Program Studi Arsitektur FakultasTeknik Universitas PGRI Semarang Bagi warga Semarang, mengeja aksara raksasa di ruang khalayak ternama seperti Simpang Lima hanyalah soal waktu. Kehadiran tetenger aksara raksasa di ruang khalayak adalah bagian dari kecenderungan global. Oleh Ratri Septina Saraswati Oleh Bangun IRH Divisi Sinfar IAI Jawa Tengah dan staf pengajar arsitektur di Universitas Diponegoro

Transcript of MINGGU,iai-jateng.org/wp-content/uploads/2018/08/20180610_hal...Korea seperti : naga biru, naga...

Page 1: MINGGU,iai-jateng.org/wp-content/uploads/2018/08/20180610_hal...Korea seperti : naga biru, naga emas, kelelawar dan bunga. Keunikan istana ini bertambah kuat dengan keberadaan Seokjojeon

MINGGU, 10 JUNI 2018

Seiring perkembangan zaman, pro-ses memodifikasi atau mengubahsesuatu untuk mengganti

fungsinya dengan fungsi yang barudengan meninggalkan fungsi lamanyamulai kembali digaungkan sebagai salahsatu upaya konservasi menyesuaikanfungsi baru bangunan. Sekitar dua abadlampau konsep ini sebenarnya sudahmulai diterapkan oleh kerajaan di Koreapada sebuah kompleks istananya yangbernama istana Deoksu (Deoksugung)yang terletak di pusat kota Seoul.

Pada awalnya istana yang bernamaGyeongungung ini hanya merupakankediaman pangeran Wolsan, kakak dariRaja Seongjeong yang bertahta padatahun 1469-1494. Pangeran Wolsanbukan merupakn raja maupun puteramahkota sehingga tidak terdapat fasilitasutama kerajaan. Akan tetapi sejak invasi

Jepangpada1592,

Raja Sonjo memindahkan sementara istana kerajaannya kekompleks ini hingga tahun 1615. Pada periode ini mulai terjadiperubahan tata letak dari kediaman pangeran menjadi istana ker-ajaan.

Puncaknya adalah ketika raja Gojong dari dinasti Joseonmemproklamirkan dirinya menjadi kaisar dari kekaisaran Koreayang merdeka pada 1897 dan kembali menjadikan kompleks inimenjadi istana kekaisaran Korea. Pada era ini areaGyeongungung menjadi 4 kali lebih luas dari yang sekarang dangerbangnya yang berjulukan Daehanmun berubah menye-suaikan dengan statusnya sebagai istana kekaisaran.Perpindahan gerbang ini juga menuntut perubahan tataletak istana dan terjadi tidak hanya sekali.Pertambahan luas area istana juga disertaidengan penambahan fasilitas istanakekaisaran, seperti : paviliunsinggasana kekaisaranJeokjodang yang akhirnyadipindah ke paviliunJunghwajeon lengkap denganJunghwamun sebagai gerbangsinggasana dan Haenggak,tempat tinggal abdi istana, pavil-iun Hamnyeongjeon sebagaibangunanperistirahatan keluar-ga raja dengan pemisahan areasayap timur untuk raja sedang-

kan barat untuk per-

maisurinya. Pada penjajahan Jepang ukuran kompleks istana kembali

berubah seiring kebutuhan jalan raya yang meningkatIstana iniresmi menyandang nama istana Deoksu setelah raja Gojongturun tahta dan banyak bangunan kekaisaran yang dihilangkanmenjadi lanskap pertamanan.

Istana Deoksu memiliki massa bangunan yang memilikilanggam arsitektur beragam karena pergantian fungsi dari kom-pleks ini. Istana ini masih memiliki gerbang utama daehanmunsebagai istana kekaisaran yang berciri Korea meskipun beberapakali terjadi relokasi. Perubahan tidak hanya terjadi pada letak tetapi

juga detil arsitektural bangunannya seperti : Paviliun altarsinggasana Junghwajeon yang menjadi tempat peno-

batan kaisar Gojong mengalami penyederhanaanbentuk atap setelah tidak menjadi altar

utama, penambahan cerobong asappaviliun Hamnyeongjeon setelahtidak menjadi tempat istirahatkeluarga raja.Pemulasaraan Jenazah

Pada masa penjajahanJepang, beberapa bangunandihancurkan dan beberapa diba-ngun kembali seperti Ham-nyeongjeon yang akhirnya men-jadi tempat pemulasaraanjenazah raja lengkap dengan

lanskapnya. Pada salah satusudut istana

terdapat paviliun bergaya Korea-Baratuntuk perjamuan kerajaan yang didesainoleh arsitek Rusia AI Sabatin sekitar tahun1900 sebagai bukti hubungan baik antarakekaisaran Korea dan Rusia saat itu.Paviliun ini menggunakan batu imitasisebagai penutup bagian luar pondasi danmemiliki beranda pada ke empat sisinya.Pada elemen dekoratif di antara kolom ter-dapat ukiran dengan motif tradisionalKorea seperti : naga biru, naga emas,kelelawar dan bunga.

Keunikan istana ini bertambah kuatdengan keberadaan Seokjojeon yangmurni gaya barat neoklasik dengan strukturbangunan batu tiga lantai dan lanskapEropa karya G.R. Harding dari kekaisaranInggris Raya. Hal yang cukup signifikanadalah perubahan lanskap istana denganpembangunan kolam dengan air mancurperunggu yang diletakan tepat di areadepan paviliun berbeda dengan tata lan-skap Korea yang meletakan elemen air dibelakang bangunan.

Pavilion ini sekarang menjadi art muse-um setelah kontraktor Jepang Okura mem-bangun Yiwangga Art Museum yang jauhlebih besarpada masa penjajahan Jepangbagian sayap barat-nya. (53)

Teladan tak terelak-kan datang daritetenger I amster-dam di Museumpleindi belakang

Rijksmuseum Amsterdam yangdibangun tahun 2005. Sepuluhtahun kemudian, popularitas Iamsterdam dan persamaan ”am”mengilhami PTKereta ApiIndonesia untuk memasangtetenger I ambarawa di halamanrumput Museum Kereta ApiAmbarawa. Dengan harapan, IAmbarawa akan menjadi tempatterbaik bagi para pengunjungberswafoto.

I amsterdam. Tetenger IAmsterdam awalnya adalah alatpemasaran daerah tujuan wisata(DTW). Para pemasar DTWmemanfaatkan kekuatanpemasaran C2C (consumer-to-consumer), seiring perkembang-an ponsel pintar dan media sosialvisual. I amsterdam bukanlahsekedar nama, tetapi sloganmasyarakat Amsterdam yangmenyatu dengan citra kota itusendiri. Saat ini, I Amsterdammenjadi tetenger yang palingbanyak diabadikan. I am (saya),berpose bersama balok-balokaksara merah putih ikonikberlatar belakang gugusanbangunan tua. Ya, saya sedangberada di Amsterdam.Kebanggaan pada sebuah kota,dan hampir pasti langsung diung-gah ke media sosial.

Berinteraksi dengan citrakota menjadi sesuatu yangmenyenangkan. Slogan citrakota yang biasanya sangatabstrak dan tak berwujud, kinidapat disentuh, dipanjat, sekali-gus diabadikan. Aksara raksasapun menambah nilai citra pribadibukan hanya karena menan-dakan tempat, melainkan jugakarena ada permainan kata-kata.

Para wisatawan takkeberatan citra pribadimereka terkait denganatribut yang cerdas lagimenyenangkan. Semakinelok pesan citra kota,semakin besar kemung-kinan akan diterima.Hingga hari ini, ada empatset aksara tersebut disekitar kota Amsterdam.

Sejumlah DTW lainpun meniru konseppencitraan I ams-terdam.Contohnya ada-lah kampanyecitra kotaDallas.Diluncurkanpada bulanMaret 2013oleh BiroKonvensidanPengunjungDallasdenganmengajakketerlibatanwargamemamerkankota besar Dallas.Blok aksara rak-sasa ”B” dan ”G”ditempatkan secarabergiliran di segenapkawasan kota dan masya-rakat diundang untuk berposedi tengah membentuk ejaan BIG,kata yang paling mengena seba-gai dasar kampanye. Big D ada-lah julukan bagi Dallas. WalikotaDallas Mike Rawlings termasuksalah satu di antara ribuan wargayang berpose jenaka di antara”B” dan ”G” sebagai bagian darikampanye ”Big Things HappenHere.”

Apa yang dapat diambil daricontoh-contoh di atas adalah

bahwaparapemasar DTW berupa-ya menemukan solusi kreatifdengan melibatkan masyarakatke dalam proses pemasaran.Dalam hal ini, Amsterdam adalahperintis sekaligus contoh hebatsoal kekuatan pemasaran C2C.Dengan catatan, tidak ada

kesen-jangan yang

terlalu lebar antarapesan citra dan kisah nyata kota.Idealnya, nilai-nilai inti dan karak-teristik kota harus mampu ditun-jukkan terlebih dulu sebelumdikomunikasikan.

Seperti halnya I ambarawa,tetenger aksara raksasa

Simpang Lima di sisiSelatan LapanganPancasila tak lebih dari-pada penandatempat.Simpang Lima adalahkawasan budaya yangperencanaannya meli-batkan arsitek sekaligusfigur pendidik tulenAgustinus Sidharta (1929-2007), sebagai penggantialun-alun Kanjenganyang bersejarah. Saat iniSimpang Lima justruseolah tak memiliki lagikepercayaan diri ataskarakter yang telah dimi-likinya, karena harusdibantu tambahan foto-genik tersebut.

Meskipun SimpangLima memang telah lamamenjelma menjadi ka-wasan perdagangan danjasa, yang dikelolaswasta, tetapi Masjid

Raya Baiturrahman,SMK Negeri 7, dan

Lapangan Pan-casila sendirimasih menjadipengingat visualtata guna sertawujud peren-canaan masalalu. Sehinggaada maupuntidak aksaraSimpangLima, tempatini tetaplahkawasan alun-alun dengan

lima persimpan-gan yang tak per-

nah sepi darikegiatan warga

maupun pendatang. Tak jauh dari

Simpang Lima, berdirianggun tetenger TRI

LOMBAJUANG di mukalapangan olah raga ëMugasí.Melihat fungsi tempatnya,aksara TRI LOMBAJUANG lebihmengena apabila berwujuddesain kreatif yang kokoh untukdiinjak dan dipanjat, relevandengan kegiatan olah raga.Bandingkan dengan instalasi tigaaksara BUS di Baltimore,Amerika Serikat, yang desainnyaterbuat dari material khas perabotjalan: kayu dan baja. Masing-masing aksaranya cukup besar

untuk diduduki, bermain-maingaya sembari menunggu bus.

Sementara di sisi lain, penan-da serta penunjuk jalan yangsemestinya penting justru taktersedia. Pada perbukitan Mugasini terdapat Makam Kyai AgengPandanaran, pendiri sekaligusbupati pertama Semarang. Saatini, informasi arah menuju peti-lasan hanyalah sebuah papansederhana yang dipakukan dipohon, tersembunyi hanya seki-an puluh langkah dari Tri LombaJuang. Padahal setiap tahunnyaribuan pengunjung peziarah daridalam dan luar Semarang meng-hadiri kegiatan haul dan peringat-an Hari Jadi Semarang.

Jika slogan merupakan ele-men lunak, maka bangunantetenger adalah elemen keraspembangun citra kota.Mengapabangunan seperti Lawang Sewudari waktu ke waktu diabadikandan diunggah ke media sosial?Jawabannya adalah karenaLawang Sewu menandakan tem-pat. Foto pengunjung dengan latarbelakang Lawang Sewu tanpabantuan kata-kata telah menyam-paikan pesan: ”Saya berada diSemarang.” Pada dasarnyafotografi digunakan untukmengabadikan kisah dan kenan-gan di suatu tempat. PengunjungLawang Sewu berperan sebagaiduta citra dan agen promosiKotaSemarang. Jika demikian halnya,tidak sepantasnya kita sia-siakankenangan fisik yang sudah ada,karena semakin berharga setelahmelalui ruang waktu, danberpotensi sebagai DTW.

Memadukan desain grafis danarsitektur lansekap membuktikanhubungan jenis baru yang bisa dib-ina dengan bijak pada ruang kha-layak. Dengan kamera ponsel pin-tar yang senantiasa dalamgenggaman, kota seharusnyamenyajikan layanan tata lansekapyang mendukung fotografimenandai sebuah tempat sekali-gus menambah nilai citra pribadi.Meskipun saat ini, aksara raksasaagaknya dianggap sebagai carapaling efektif menyampaikan intidari kebanyakan pesan di mediasosial: ”Saya berada di sini.” (53)

— Ratri Septina Saraswati IStaf Pengajar Program Studi

Arsitektur FakultasTeknikUniversitas PGRI Semarang

Bagi warga Semarang, mengeja aksara raksasa di ruang khalayak ternama seperti

Simpang Lima hanyalah soal waktu.Kehadiran tetenger aksara raksasa di ruang

khalayak adalah bagian dari kecenderungan global.

Oleh Ratri Septina Saraswati

Oleh Bangun IRH

Divisi Sinfar IAI Jawa Tengah danstaf pengajar arsitektur

di Universitas Diponegoro