Mini Project TB

125
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) sudah dikenal sejak beribu- ribu tahun sebelum Masehi. Hal ini terbukti dari adanya tulisan tentang penyakit ini dalam Pen Tsao yakni materi medika Cina yang sudah berumur 5000 tahun. Penyakit ini dulunya bernama Consumption atau Pthisis dan semula dianggap sebagai penyakit degeneratif atau penyakit turunan. Barulah Leannec (1819) yang pertama kali menyatakan bahwa penyakit ini suatu infeksi kronik, dan Koch (1882) dapat mengidentifikasi kuman penyebabnya. Penyakit ini dinamakan Tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle. Hampir seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya, tetapi paling banyak adalah paru-paru. (Soeparman, 1990) Setiap tahunnya, TB menyebabkan hampir dua juta kematian, dan diperkirakan saat ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB, yang mungkin akan berkembang menjadi penyakit TB di masa datang. Selain jumlah kematian dan infeksi TB yang amat besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan, mencapai jumlah sembilan juta kasus baru setiap tahunnya. Menurut laporan WHO pada tahun 2004, jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, yaitu 625.000 orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Selain itu, menurut laporan TB dunia oleh WHO tahun 2006, masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina 1 | Mini Project

description

TB paru

Transcript of Mini Project TB

Page 1: Mini Project TB

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) sudah dikenal sejak beribu-ribu tahun sebelum Masehi.

Hal ini terbukti dari adanya tulisan tentang penyakit ini dalam Pen Tsao yakni materi medika

Cina yang sudah berumur 5000 tahun. Penyakit ini dulunya bernama Consumption atau

Pthisis dan semula dianggap sebagai penyakit degeneratif atau penyakit turunan. Barulah

Leannec (1819) yang pertama kali menyatakan bahwa penyakit ini suatu infeksi kronik, dan

Koch (1882) dapat mengidentifikasi kuman penyebabnya. Penyakit ini dinamakan

Tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle. Hampir seluruh organ

tubuh dapat terserang olehnya, tetapi paling banyak adalah paru-paru. (Soeparman, 1990)

Setiap tahunnya, TB menyebabkan hampir dua juta kematian, dan diperkirakan saat

ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB, yang mungkin akan

berkembang menjadi penyakit TB di masa datang. Selain jumlah kematian dan infeksi TB

yang amat besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan, mencapai jumlah sembilan

juta kasus baru setiap tahunnya. Menurut laporan WHO pada tahun 2004, jumlah terbesar

kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, yaitu 625.000

orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Selain itu, menurut

laporan TB dunia oleh WHO tahun 2006, masih menempatkan Indonesia sebagai

penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru

sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. (Depkes RI, 2007)

Pada tahun 2002, terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis, dimana 3,9 juta adalah

kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman

tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara

yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat

182 kasus per 100.000 penduduk. Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit

tuberkulosis di seluruh dunia :

1 | M i n i P r o j e c t

Page 2: Mini Project TB

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia

Penyakit TB tidak hanya mengenai orang dewasa, anak-anak pun sudah mulai banyak

yang terjangkit penyakit TB ini. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6%

dari total kasus TB. Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3

juta kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB.

Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per

100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000

penduduk) pada tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada

tahun 2000, dan akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005. Pada survey nasionai di

Inggris dan Wales selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia <15

tahun menderita TB. Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15%

dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.

Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa.

Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan,

pencegahan serta TB dengan keadaan khusus. TB anak merupakan faktor penting di negara

berkembang karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40%-50% dari jumlah seluruh

populasi. (IDAI, 2008)

Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun adalah

19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10 tahun,

diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai

infeksi HIV. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, didapatkan prevalensi 12

bulan TB Paru klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua).

Berdasarkan kelompok umur dijumpai prevalensi TB kurang dari 1 tahun sekitar 0,47%, 1-4

tahun sekitar 0,76%, dan antara 5-14 tahun sekitar 0,53%. (Riskesdas, 2008)

2 | M i n i P r o j e c t

Page 3: Mini Project TB

Masalah yang dihadapi saat ini adalah peningkatan kasus TB dengan pesat,

peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS, juga meningkatnya kasus multidrug resistence-TB

(MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta mendapatkan >4% dari kasus baru. (Nelson, 2004)

Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999, diperkirakan sebanyak 88,2 juta

penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000

terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV. Selama

tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%),

diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun 2005, diperkirakan

kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang. (Depkes

RI, 2007)

Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG dalam pencegahan infeksi dan penyakit TB

yang masih kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan proteksi vaksinasi BCG untuk

pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%. Secara umum daya proteksi BCG

diperkirakan hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti

milier dan meningitis TB. Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan TB miler

78% pada anak yang mendapat vaksinasi. (Nelson, 2004)

Indonesia telah berkomitmen mencapai target dunia dalam penanggulangan

tuberkulosis. Strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO telah diimplementasikan dan

diekspansi secara bertahap keseluruh unit pelayanan kesehatan termasuk puskesmas dan

institusi terkait. Berbagai kemajuan telah dicapai, namun tantangan program di masa depan

tidaklah lebih ringan, meningkatnya kasus HIV dan MDR serta bervariasinya komitmen akan

menjadikan program yang saat ini sedang dilakukan ekspansi akan menghadapi masalah

dalam hal pencapaian target global, sebagaimana tercantum pada Millenium Development

Goals (MDG). (Depkes RI, 2007)

Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan

oleh berbagai hal, yaitu :

(1) diagnosis tidak tepat

(2) pengobatan tidak adekuat

(3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat

(4) infeksi endemik HIV

(5) migrasi penduduk

(6) mengobati sendiri (self treatment)

(7) meningkatnya kemiskinan

(8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai. (IDAI, 2008)

3 | M i n i P r o j e c t

Page 4: Mini Project TB

Berdasarkan data dari Poliklinik Anak RSUD Arga Makmur Bengkulu Utara, kasus

TB pada anak yang terjadi di kabupaten Bengkulu Utara pada tahun 2012 sekitar 7 orang

anak, dan bertambah pada tahun 2013 yaitu sekitar 11 orang anak. Untuk wilayah kerja

Puskesmas Arga Makmur sendiri didapatkan pada tahun 2012 sekitar 1 orang anak terkena

TB, dan bertambah pada tahun 2013 yaitu sekitar 3 orang anak terkena TB. Berdasarkan data

tersebut, terbukti bahwa masih ditemukannya kasus TB pada anak di wilayah kerja

Puskesmas Arga Makmur, oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan

mengangkat topik TB pada anak ini dalam bentuk karya tulis ilmiah berupa mini project,

terutama mengenai TB pada anak beserta diagnosis bandingnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran tingkat

pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai kasus TB pada anak, terutama dalam hal

membedakan TB dengan penyakit paru pada anak lainnya?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai TB pada anak

terutama untuk membedakannya dengan penyakit paru pada anak lainnya, sehingga

diharapkan dapat membantu menurunkan prevalensi penyakit TB pada anak yang terjadi di

kecamatan Arga Makmur pada umumnya dan di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur

pada khususnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai

penyakit TB pada anak terutama dalam hal membedakannya dengan

penyakit paru pada anak lainnya.

2. Mengidentifikasi gambaran sikap masyarakat terhadap penyakit TB pada

anak dalam upaya pencegahan dan pengobatan TB pada anak di

Puskesmas Arga Makmur.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Untuk Puskesmas

4 | M i n i P r o j e c t

Page 5: Mini Project TB

Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai TB pada

anak, terutama dalam hal membedakannya dengan penyakit paru pada

anak lainnya, serta untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap penyakit

TB pada anak terutama dalam upaya pencegahan dan pengobatan sehingga

dapat diketahui sejauh mana upaya edukasi perlu diberikan.

Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Arga Makmur dalam peningkatan pelayanan

kesehatan baik dalam hal pencegahan dan pengobatan penyakit TB pada anak sehingga

dapat membantu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian anak karena penyakit

TB.

1.4.2 Untuk Masyarakat

Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB

pada anak, terutama dalam hal membedakannya dengan

penyakit paru pada anak lainnya, serta dalam hal pencegahan

dan pengobatan yang harus diberikan.

Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit

TB terutama pada anak.

Agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal

berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit TB, terutama pada anak, baik

dalam hal pencegahan dan pengobatan penyakit.

1.4.3 Untuk Dokter Internship

Merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman serta menerapkan

ilmu kedokteraan terutama Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Meningkatkan keilmuan mengenai penyakit TB terutama pada anak.

Meningkatkan keterampilan komunikasi di masyarakat juga meningkatkan

kemampuan berpikir analisis dan sistematis dalam mengidentifikasi dan

menyelesaikan masalah kesehatan.

Merupakan kesempatan untuk bersosialisasi di dalam masyarakat.

Meningkatkan kemmapuan berpikir analisis dan sistematis dalam

mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan.

Dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

5 | M i n i P r o j e c t

Page 6: Mini Project TB

Karena adanya keterbatasan waktu, dana, dan kemampuan yang ada, maka penelitian

ini dibatasi hanya membahas gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai

penyakit TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur. Penelitian ini dilakukan

pada saat posyandu, serta dengan melakukan kunjungan rumah di tiga kelurahan dengan

penemuan kasus TB terbanyak pada tahun 2013, yaitu kelurahan Gunung Alam, Gunung

Selan, dan Gunung Agung. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan kegiatan.

BAB II.

6 | M i n i P r o j e c t

Page 7: Mini Project TB

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan

oleh Mycobakterium tuberkulosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada

jaringan yang terinfeksi. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB

paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB

jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf

pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ

tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB

milier atau TB ekstrapulmoner. (IDAI, 2008)

Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti

ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik

yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi

overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan

undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang

dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan

pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang

diperhatikan. (Supriyatno, 2007)

TB pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak <15 tahun.

(IDAI, 2008) Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan

dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif,

rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei

Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan

paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya

terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta

didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika

terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen

toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis. (Madhi, 2000)

TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita

TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke

udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman

TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan

sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia

7 | M i n i P r o j e c t

Page 8: Mini Project TB

sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi

sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan

membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh

seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang

sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur. (Supriyatno,

2007)

2.2 Epidemiologi

WHO memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia (±2 bilyun orang) terinfeksi

dengan M. tuberculosis. Angka infeksi tertinggi adalah di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika,

dan Amerika Latin. TB terutama menonjol di populasi yang mengalami gizi yang jelek, padat

penduduk, dan perawatan kesehatan tidak cukup. Frekuensi kasus TB turun selama setengah

abad pertama jauh sebelum penemuan obat-obat antituberkulosis (OAT) sebagai akibat dari

perbaikan kondisi kehidupan. (Behrman, 2002)

Pada orang dewasa, dua pertiga kasus terjadi pada orang laki-laki, tetapi ada sedikit

dominasi TB pada waktu di masa anak. Di Amerika Serikat, kebanyakan anak terinfeksi

dengan M. tuberculosis di rumahnya oleh seseorang yang dekat padanya, tetapi wabah TB

anak juga bisa terjadi di tempat umum seperti sekolah, pusat penitipan anak, dan tempat

lainnya. Orang dewasa yang terinfeksi virus defisiensi imun manusia (Human

Immunodeficiency Virus / HIV) dengan TB dapat menularkan kuman TB ke anak, dan anak

dengan infeksi HIV bertambah resiko berkembang TB sesudah infeksi. (Behrman, 2002)

Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di

Negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB,

sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%. (IDAI, 2008)

Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, didapatkan prevalensi

12 bulan TB Paru klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5%

(Papua). Berdasarkan kelompok umur dijumpai prevalensi TB kurang dari 1 tahun sekitar

0,47%, 1-4 tahun sekitar 0,76%, dan antara 5-14 tahun sekitar 0,53%. (Riskesdas, 2008)

2.3 Anatomi Paru Manusia

Paru‐paru adalah organ berbentuk spons yang terdapat di dada. Paru-paru kanan

memiliki 3 lobus, sedangkan paru‐paru kiri memiliki 2 lobus. Paru‐paru kiri lebih kecil,

karena jantung membutuhkan ruang yang lebih pada sisi tubuh ini. Paru‐paru membawa

8 | M i n i P r o j e c t

Page 9: Mini Project TB

udara masuk dan keluar dari tubuh, mengambil oksigen dan menyingkirkan gas karbon

dioksida (zat residu pernafasan). (Sherwood, 2001)

Gambar 2. Anatomi Paru

Lapisan di sekitar paru‐paru disebut pleura, membantu melindungi paru-paru dan

memungkinkan mereka untuk bergerak saat bernafas. Batang tenggorokan (trakea) membawa

udara ke dalam paru‐paru. Trakea terbagi ke dalam tabung yang disebut bronkus, yang

kemudian terbagi lagi menjadi cabang lebih kecil yang disebut bronkiol. Pada akhir dari

cabang-cabang kecil inilah terdapat kantung udara kecil yang disebut alveoli. Di bawah paru‐

paru, terdapat otot yang disebut diafragma yang memisahkan dada dari perut (abdomen). Bila

bernapas, diafragma bergerak naik dan turun, memaksa udara masuk dan keluar dari paru‐paru. (Sherwood, 2001)

2.4 Fisiologi Paru

Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat

antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui,

dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar

karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu

sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan

interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan

9 | M i n i P r o j e c t

Page 10: Mini Project TB

gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis

eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga

toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini

meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara

saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru

sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tahap kedua

dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler

yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah

selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir

pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai

di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.

Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur

dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan Tahap kedua dari proses

pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis

(tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih

tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada

permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di

alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.

Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur

dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan

tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan

karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke

atmosfir. Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler

darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama

0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan

waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi

melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga

dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya

hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama. (Sherwood, 2001)

2.5 Etiologi

Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan

patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum

menyebabkan infeksi, yaitu: M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti dan M.

10 | M i n i P r o j e c t

Page 11: Mini Project TB

canetti. Dari kelima jenis ini M. tuberculosis merupakan penyebab paling penting dari

penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. tuberculosis yaitu varian humanus,

bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. tuberkulosis

varian humanus. (Chintu, 2002)

Mycobacterium tuberkulosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang

1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. M. tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan

merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang

mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid

menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian

besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid

membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap

gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap asam, M. tuberculosis dapat

membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai

zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman

ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan

dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali. (Soeparman, 1990)

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma

makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat

aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung

oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2

pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya. (Madhi, 2000)

M. tuberculosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan

glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu

generasi 12-24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid

membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan

tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1-3

minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas

terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari. (Chintu, 2002)

2.6 Faktor Resiko

Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang yang

rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB (infectious TB),

dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena itu faktor risiko untuk

infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB. (Lienhardt, 2003) Terdapat beberapa

11 | M i n i P r o j e c t

Page 12: Mini Project TB

faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak.

Faktor risiko tersebut dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi

menjadi penyakit (resiko penyakit). (Supriyatno, 2007)

a. Resiko infeksi TB

Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan

dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,

kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik),

tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang

banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang

dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA

sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan

encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat

terutama sirkulasi udara yang kurang baik. (Behrman, 2002)

Penularan M. tuberculosis adalah dari orang ke orang, droplet lendir berinti

(droplet nuclei) di udara. Penularan jarang terjadi dari barang-barang yang

terkontaminasi kuman TB. Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara yang buruk,

memperbesar peluang penularan. Penularan dari anak ke anak jarang terjadi, karena

basil tuberkel sedikit disekresi endobronkial. Hal tersebut karena :

a.) Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena

imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu

menyebabkan sakit.

b.) Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer

biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak

terjadi produksi sputum.

c.) Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk

di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.

(Behrman, 2002)

b. Resiko sakit TB

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut

ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi

sakit TB :

a.) Usia

Anak berusia ≤5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi

menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna

12 | M i n i P r o j e c t

Page 13: Mini Project TB

(imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring

dengan pertambahan usia. Anak berusia ≤5 tahun memiliki risiko lebih tinggi

mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Pada bayi,

rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang

dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.

b.) Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif

menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.

c.) Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,

pengangguran, pendidikan yang rendah.

d.) Faktor lain yaitu malnutrisi, immunocompromise (misalnya pada infeksi HIV,

keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).

e.) Virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksinya. (Behrman, 2002)

2.7 Patogenesis / Patologi

Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai

alveolus. Kuman TB tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat

menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB. Kuman TB

tersebut akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis

makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus

primer Ghon. (IDAI, 2008)

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di

kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau

tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),

sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar

paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan

kompleks primer. (IDAI, 2008)

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian

masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman

hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB berlangsung selama 4-8 minggu,

dengan rentang waktu 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga

13 | M i n i P r o j e c t

Page 14: Mini Project TB

mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas

seluler. (IDAI, 2008)

Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman

TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin

mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB

primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh

terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih

negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat

sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil

kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,

kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler

spesifik (cellular mediated immunity, CMI ). (IDAI, 2008)

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru mengalami resolusi

secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan

dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sempurna. Kuman TB dapat tetap

hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan

gejala sakit TB. (IDAI, 2008)

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat

disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat

membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal

yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi

yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. (IDAI, 2008)

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke

dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah

yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. (IDAI, 2008)

Melalui penyebaran hematogen, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit

demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai

berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,

14 | M i n i P r o j e c t

Page 15: Mini Project TB

Gambar 3. Patogenesis Tuberkulosis

paling sering di limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di

organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang

tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di

apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi

dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. (IDAI, 2008)

Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran

limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB

pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi

sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan

dewasa muda. (Jeena, 2002)

Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB

pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem

skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun setelah

infeksi primer, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal

biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. (Supriyatno, 2007)

15 | M i n i P r o j e c t

Page 16: Mini Project TB

Keterangan :

*1 : penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenis

spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan

vaskularisasi baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari

*2 : kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfeadenitis regional

*3 : tuberkulosis primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran

16 | M i n i P r o j e c t

Page 17: Mini Project TB

hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas seluler spesifik, hingga

pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer

*4 : sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya dapat

melalui reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan

seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen)

(Zar HJ, 2001)

Gambar 4. Perjalanan Penyakit Tuberkulosis

Gambar 5. Gambaran Paru yang Terinfeksi Kuman TB

2.8 Klasifikasi

A. Berdasarkan Organ yang Terkena

17 | M i n i P r o j e c t

Page 18: Mini Project TB

1. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.

Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus

2. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,

kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Gejala dan

keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis

TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe

superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada

spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan

sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang

kuat dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis

tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-

alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks

dan lain-lain. (Depkes RI, 2007)

B. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)

2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA postif (apusan atau

kultur)

3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus

berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif

4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya

tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan

5. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang

memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya

6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kasus ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih

BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2007)

18 | M i n i P r o j e c t

Page 19: Mini Project TB

2.9 Diagnosis

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan

bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi di antara keduanya. Faktor kuman

bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada

usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.

(Supriyatno, 2007)

Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan

gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan, sedangkan pada kelompok

dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease. (Zar HJ, 2001)

A. Gejala Sistemik

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik

karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa

manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu :

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat

disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada

pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan

penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.

3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak

naik dengan adekuat (failure to thrive).

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.

5. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

6. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah). (Zar HJ, 2001)

B. Gejala Lokal Paru

1. TB Asimptomatis

Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang

dihubungkan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa

gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus

limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang,

demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan

individu dengan TB yang tes tuberkulinnya positif, diagnosis TB asimptomatis harus

segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.

(Madhi, 2000)

2. TB Paru Primer

19 | M i n i P r o j e c t

Page 20: Mini Project TB

Kompleks primer mengandung 3 elemen, yaitu fokus primer, limfangitis dan

limfadenitis regional. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan

dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling

terinfeksi. Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan

terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila

nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi

dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip

penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi

hiperinflasi dapat terjadi bersamaan. (Supriyatno, 2007)

Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perubahan diameter

saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Gejala yang paling sering adalah

batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus

dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan. (Jeena,

2006)

3. TB Paru Kronis / Reaktivasi

Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat

jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak

yang mempunyai strata sosio-ekonomi yang rendah, serta pada anak dengan diagnosis

TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding

anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat

pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam,

anoreksia, malaise, penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri

dada dan hemoptisis. (Zar HJ, 20001)

4. Efusi pleura

Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat terjadi unilateral atau

bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir

tidak ditemukan pada anak usia di bawah 5 tahun. Onset dari efusi pleura berlangsung

cepat dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan

bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa

minggu. (Nelson, 2004)

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat

antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah

20 | M i n i P r o j e c t

Page 21: Mini Project TB

terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji

tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU

secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam

setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak

timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif. (Supriyatno, 2007)

Gambar 6. Cairan PPD RT-23 2TU

Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan

positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan

oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau

infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14

cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah,

tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15

mm sangat mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasinya 0-4 mm,

maka dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif

meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak

terdapat kelainan radiologis, maka hasil positif yang digunakan 5mm. (Supriyatno,

2007)

21 | M i n i P r o j e c t

Page 22: Mini Project TB

Gambar 7. Pengukuran Diameter Indurasi

2. Uji interferon

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,

diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah

tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon

gamma yang kemudian dikalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini

belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. (Chintu, 2002)

3. Radiologi

Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis

pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah :

Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

Konsolidasi segmental/lobar

Milier

Kalsifikasi dengan infiltrat

Atelektasis

Kavitas

Efusi pleura

Tuberkuloma (Supriyatno, 2007)

22 | M i n i P r o j e c t

Page 23: Mini Project TB

Gambar 8. Roentgen Thoraks pada Anak yang Menderita TB Paru

4. Serologi

Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB,

mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lainnya. Akan tetapi, hingga saat

ini belum ada satu pun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi

TB dan sakit TB. (Chintu, 2002)

5. Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan

mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA dengan metode pewarnaan

Ziehl-Nelsen, pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis dan pemeriksaan PCR. Pada

anak, pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit mendapatkan

sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan

hanya 10% anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur, hasil dinyatakan positif

jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan

untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.

(Supriyatno, 2007)

23 | M i n i P r o j e c t

Page 24: Mini Project TB

Gambar 9. Gambaran Mikroskopik BTA Positif

6. Patologi Anatomik

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya

kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma

tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah

granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia Langhans. (Supriyatno,

2007)

Gambar 10. Gambaran PA pada Paru yang Terinfeksi TB

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis

maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan

dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan

menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat

Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system),

24 | M i n i P r o j e c t

Page 25: Mini Project TB

yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara

resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB

anak. (IDAI, 2008)

Tabel 1. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB

Parameter 0 1 2 3 Jumlah

Kontak TB Tidak jelas Laporan

keluarga,

BTA

negatif atau

tidak tahu,

BTA tidak

jelas

BTA positif

Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10

mm, atau ≥ 5

mm pada

keadaan

imunosupresi)

Berat badan /

keadaan gizi

Bawah garis

merah (KMS)

atau BB/U

<80%

Klinis gizi

buruk

(BB/U

<60%)

Demam tanpa

sebab jelas

≥ 2 minggu

Batuk ≥3 minggu

Pembesaran

kelenjar limfe

koli, aksila,

inguinal

≥1 cm,

jumlah >1,

tidak nyeri

Pembengkaka

n tulang / sendi

panggul, lutut,

falang

Ada

pembengkakan

25 | M i n i P r o j e c t

Page 26: Mini Project TB

Foto thoraks Normal /

tidak jelas

Kesan TB

Jumlah

Catatan :

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter

Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik

lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain

Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat

langsung didiagnosis tuberculosis

Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)

Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku

Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;

atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena

diperlakukan secara khusus

Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,

maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan  kesehatan

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari)

harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat

diagnostik

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih

lanjut

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,

dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan

penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien

harus di rawat inap di RS. (IDAI, 2008)

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,

maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau

sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti

tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka

26 | M i n i P r o j e c t

Page 27: Mini Project TB

perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,

patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,

dan lain lainnya. (IDAI, 2008)

Pada anak yang menderita TB, perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu

keadaan di bawah ini :

1. Tanda bahaya :

• kejang, kaku kuduk

• penurunan kesadaran

• kegawatan lain, misalnya sesak napas

2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura

3. Gibbus, koksitis (Depkes RI, 2007)

Terapi TB diteruskan Terapi TB diteruskan

sambil mencari penyebabnya

Gambar 11. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar

2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding TB antara lain pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut

yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali

bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia).

Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara

mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit pada

anak usia <2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1

tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.

(Behrman, 2002)

Pneumonia bakterial biasanya timbul mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi

disertai menggigil dan sesak memburuk dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul

perlahan, pasien tidak tampak sakit berat, demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak

27 | M i n i P r o j e c t

Skor ≥6

Beri OAT selama 2 bulan dan dievaluasi

Respon (+) Respon (-)

Page 28: Mini Project TB

bertambah secara bertahap, melibatkan banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok

usus). (Behraman, 2002)

Pada pemeriksaan laboratorium, pada pemeriksaan darah lengkap, didapatkan :

Pneumomia bakteri : leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3), dengan predominan

PMN.

Pneumonia virus dan pneumonia mikoiplasma : leukosit dalam batas normal

atau meningkat sedikit.

Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED )

menigkat (Behrman, 2002)

Pemeriksaan mikrobiologis dilakukan pada pneumonia berat. Spesimen yang diambil

berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, fungsi pleura atau

aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila ditemukan kuman dari spesimen tersebut.

(Behrman, 2002)

Pemeriksaan yang dilakukan hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Secara

umum gambaran foto toraks terdiri dari :

a. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler, dan

hiperaerasi

b. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.

Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau

terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas

tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.

c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa

bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan

penigkatan corakan peribronkial (Behrman, 2002)

Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada

satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Lesi pneumonia anak terbanyak berada di

paru kanan, terutama di lobus atas. Jika ditemukan di paru kiri dan terbanyak di lobus bawah

itu merupakan predictor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya

pleuritis lebih meningkat.

2.11 Medikamentosa

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi

kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan

28 | M i n i P r o j e c t

Page 29: Mini Project TB

obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang

Pengawas Minum Obat (PMO).

Pada awal tahun 1990-an WHO telah mengembangkan strategi penanggulangan TB

yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah

terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).

Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials),

pengalamanpengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program

penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik,

disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB. Fokus

utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien

TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian

menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan

cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi

DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan

strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam

pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. (Depkes RI,

2007)

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci :

1) Komitmen politis

2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya

3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana

kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan

4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu

5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil

pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan (Depkes RI, 2007)

2.11.1 Obat TB yang Digunakan

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid

merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan

streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS),

cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin,

gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika

terjadi MDR. (Chintu, 2002)

29 | M i n i P r o j e c t

Page 30: Mini Project TB

1. Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang

sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman

dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik

terhadap kuman yang diam (dormant). Obat ini efektif pada intrasel dan

ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh

termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki

angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah. (Supriyatno, 2007)

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah

5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali

pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan

300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup

biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi

puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan

menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui proses

asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang

dewasa, sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi dari pada dewasa.

Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus

sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak

membahayakan. (Supriyatno, 2007)

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan

neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien

dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian

besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar

transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan

menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar

transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan

hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali

bila ada gejala dan tanda klinis. (Supriyatno, 2007)

2. Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat

memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak

dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem

gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum

30 | M i n i P r o j e c t

Page 31: Mini Project TB

puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral

dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu

kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis

rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10

mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid. (Zar HJ, 2001)

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang

kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,

dan air mata, menjadi warna orange kemerahan. Selain itu, efek samping

rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan

hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan

kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan

bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil

dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal

10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan

dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin,

digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin.

Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450

mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran

BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa,

tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena

dapat menimbulkan malabsorpsi. (Supriyatno, 2007)

3. Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan

dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam,

dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral

sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar

serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase

intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang

timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan

pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan

pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat

hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang

terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi

saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid

31 | M i n i P r o j e c t

Page 32: Mini Project TB

tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan

diberikan bersamaan makanan. (Supriyatno, 2007)

4. Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada

mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid

jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,

berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap

obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25

gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam.

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Etambutol tersedia dalam bentuk

tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa pada

pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi

baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. (Chintu, 2002)

Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna

merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang

belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir

mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada

anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak

dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak

tersedia atau tidak dapat digunakan. (Supriyatno, 2007)

5. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk

membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam

pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase

intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara

intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar

puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam. (Chintu, 2002)

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi

tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi

baik pada jaringan dan cairan pleura dan dieksresikan melalui ginjal.

Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal

terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama

streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan

32 | M i n i P r o j e c t

Page 33: Mini Project TB

dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing.

Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga

perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat

merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

(Supriyatno, 2007)

Tabel 2. Obat Anti Tuberkulosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan

tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,

buta warna merah-hijau, penyempitan lapang

pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

Keterangan :

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan). (Supriyatno,

2007)

2.11.2 Panduan Obat TB

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.

Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan

penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai

keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran

radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan. Prinsip

dasar pengobatan TB pada anak adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam

waktu 6 bulan (2RHZ / 4RH). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap

33 | M i n i P r o j e c t

Page 34: Mini Project TB

intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

(IDAI, 2008)

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi

persisten M. tuberculosis (kuman tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh,

dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan

lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang

tidak berbeda makna dengan pengobatan 6 bulan. (Chintu, 2002)

Tabel 3. Dosis OAT Kombipak pada Anak

Jenis Obat BB

< 10 kg

BB

10 - 19 kg

BB

20 - 32 kg

Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg

Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 4. Dosis OAT KDT pada Anak

Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari

RHZ (75/50/150)

4 bulan tiap hari

RH (75/50)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-19 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan :

• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit

• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet

• Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit

• Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibagi

• OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus

sesaat sebelum diminum (IDAI, 2008)

Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau berkontak erat

dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan

sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor <6, kepada anak

34 | M i n i P r o j e c t

Page 35: Mini Project TB

tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila

anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah

pengobatan pencegahan selesai. (IDAI, 2008)

2.11.3 Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah

2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan

tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara,

yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting

adalah evaluasi klinis, yaitu menghilangnya atau membaiknya kelainan klinis yang

sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya

demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon

pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan. (Zar HJ, 2001)

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara

rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata atau luas seperti TB milier,

efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu

diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB

pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat

digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi. (Chintu,

2002)

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak

terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut

mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,

mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana

kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan

paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis

OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit atau penyerta,

serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis,

pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak

perlu dilakukan secara rutin. (Chintu, 2002)

2.11.4 Evaluasi efek samping pengobatan

Seperti telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek

samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan

35 | M i n i P r o j e c t

Page 36: Mini Project TB

rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam, gatal, serta demam.

Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. (Supriyatno,

2007)

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak

melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15mg/kgBB/hari

dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan serum glutamic oxaloacetic

transaminase (SGOT) dan serum glutamic-pyruvic transaminse (SGPT) hingga ≥5 kali

tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai dengan gejala, peningkatan

bilirubin total lebih dari 1,5mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun

yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan muntah. (Supriyatno, 2007)

Masih banyak perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai pemantauan dan

penatalaksanaan hepatotoksisitas pada anak. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa

pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit

yang berat seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang

memerlukan dosis isoniazid dan rifampisin lebih besar daripada dosis yang dianjurkan.

Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan.

Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang cukup sering (misalnya tiap 2 minggu)

selama 2 bulan pertama, selanjutnya dapat lebih jarang. (Supriyatno, 2007)

Pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan tidak

melebihi anjuran, pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada

keadaan ini, hanya diperlukan screening fungsi hati sebelum pemberian terapi serta

pemantauan gejala klinis hepatotoksisitas. (Supriyatno, 2007)

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang

terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan

perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase

yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian

terapi, sedangkan peningkatan ≥5 kali tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal disertai

gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin.

Akan tetapi, mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif,

perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan

bahwa paduan pengobatan dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman diberikan dengan

dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat. Apabila

peningkatan enzim transaminase ≥5 kali tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal

disertai gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase

36 | M i n i P r o j e c t

Page 37: Mini Project TB

diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai

laboratorium telah normal. Terapi berikutnya dengan cara memberikan isoniazid dan

rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan

klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada

pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung penuh (full dose) dan

pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan. (Supriyatno, 2007)

2.11.5 Putus obat

Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥2

minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat

pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat

telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya. (Supriyatno,

2007)

2.11.6 Multi Drug Resistance (MDR) TB

Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua

atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan

adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan.

Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa

dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat

tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang

tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan meminum obat. (Supriyatno,

2007)

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat

tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalensi TB yang tinggi. Akan tetapi

diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan

MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-

TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak

benar, prevalensi MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar

yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka

prevalensi MDR-TB hanya 1,6% saja. Bila terjadi MDR, maka digunakan OAT lini

kedua seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Daftar OAT Lini Kedua untuk MDR-TB

37 | M i n i P r o j e c t

Page 38: Mini Project TB

Nama Obat Dosis Harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis

Maksimal

(mg per

hari)

Efek Samping

Ethionamide atau

Prothionamide

Fluoroquinolones

Ofloxacin

Levofloxacin

Mexifloxacin

Gentifloxacin

Ciprofloxacin

Aminoglycosides

kanamycin

amikacin

capreomycin

Cycloserine terizidone

Para-aminosalycylic

Acid

15- 20

15-20

7,5-10

7,5-10

7,5-10

20-30

15-30

15-22,5

15-30

10-20

150

1000

800

1500

1000

1000

1000

1000

12 000

muntah, gangguan

gastrointestinal,

sakit sendi

ototoksisitas,

toksisitas hati

gangguan psikis,

gangguan

neurologis

muntah, gangguan

gastrointestinal

2.12 Non-medikamentosa

2.12.1 Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan

obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam

menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya

resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan

pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly

observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh

WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di

38 | M i n i P r o j e c t

Page 39: Mini Project TB

Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat

memberikan angka kesembuhan yang tinggi. (Supriyatno, 2007)

Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu

sebagai berikut :

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh

pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi

program penanggulangan TB. (Supriyatno, 2007)

2.12.2 Sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber

penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang

dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber

infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan

sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,

yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji

tuberkulin. (Supriyatno, 2007)

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau

yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).

Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang yaitu uji tuberkulin. (Chintu, 2002)

2.12.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB

memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka

biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang

baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan

gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang

optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai

TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak

39 | M i n i P r o j e c t

Page 40: Mini Project TB

menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi,

kecuali pada TB berat. (Chintu, 2002)

2.12.4 Pencegahan

a. Imunisasi BCG

Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari M. bovis

yang dibiak berulang selama 1-3 tahun, sehingga didapatkan kuman yang tidak virulen

tetapi masih mempunyai imunogenisitas. Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2

bulan. Dosis untuk neonates adalah 0,05 ml dan untuk bayi dan anak adalah 0,10 ml,

diberikan secara intradermal (intrakutan) di daerah insersi otot deltoid kanan

(penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak mengganggu

struktur otot dan sebagai tanda baku, dan bila terjadi limfeadenitis BCG akan lebih muda

terdeteksi). Penyuntikan harus dilakukan perlahan-lahan ke arah permukaan (superfisial)

sehingga terbentuk suatu benjolan berwarna lebih pucat daripada kulit sekitarnya dan

tampak gambaran pori-pori. (Supriyatno, 2007)

Cara pemberian vaksin BCG adalah sebagai berikut :

1. Sebelum disuntikkan, vaksin BCG harus dilarutkan dengan 4 ml pelarut NaCl

0,9%. Melarutkan dengan menggunakan alat suntik steril dengan jarum panjang.

2. Dosis pemberian 0,05 ml, sebanyak 1 kali, untuk bayi.

Gambar 12. Vaksin BCG

Petugas Imunisasi IDAI merekomendasikan pemberian BCG pada bayi ≤2 bulan.

Pemberian BCG setelah usia 1 bulan lebih baik. Bayi yang diduga mempunyai kontak

40 | M i n i P r o j e c t

Page 41: Mini Project TB

erat dengan pasien TB aktif, atau yang akan diimunisasi pada usia ≥3 bulan, sebaiknya

dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. BCG tidak perlu diulang sebagai booster,

demikian juga bila tidak terbentuk parut. Tidak ada bukti bahwa vaksinasi ulangan BCG

memberikan proteksi tambahan. (Supriyatno, 2007)

Bila kita melakukan vaksinasi BCG, akan timbul reaksi bengkak dan merah,

biasanya dalam waktu 4-6 minggu setelah penyuntikan. Akan tetapi, bila reaksi ini sudah

timbul dalam kurun waktu 1 minggu, maka disebut reaksi cepat BCG. Hal ini dapat

menjadi penanda kecurigaan adanya infeksi TB pada bayi tersebut, sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan uji tuberkulin dan pemeriksaan lain. Akan

tetapi, melakukan vaksinasi BCG sebagai sarana diagnostik sebagai pengganti tuberkulin

tidak dibenarkan. Pada vaksinasi BCG rutin, perlu diinformasikan pada orang tua pasien

bahwa bila ada reaksi cepat setelah penyuntikan harus segera dilaporkan untuk evaluasi

lebih lanjut. (Supriyatno, 2007)

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.

Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan

spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB

milier, meningits TB, TB sistem skeletal, dan kavitas. Imunisasi BCG relatif aman, jarang

menimbulkan efek samping yang serius. Efek samping yang serius ditemukan adalah

ulserasi lokal dan limfeadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%.

Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi

imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda

hingga bayi mencapai berat-badan optimal. (Supriyatno, 2007)

Pemberian vaksin BCG telah dilakukan sejak tahun 1921, dan selama ini lebih

dari 3 milyar dosis vaksin BCG telah diberikan di seluruh dunia. Meskipun demikian,

perdebatan mengenai efektivitas BCG dalam memproteksi bayi/anak terhadap TB masih

berlangsung. Efek proteksi atau efektivitas BCG bervariasi 0-80%, dari berbagai

publikasi dari berbagai negara. Efek proteksi atau efektivitas BCG adalah kemampuan

BCG untuk menurunkan angka kejadian TB baru dalam populasi, bukan pada seorang

individu. (Supriyatno, 2007)

Sekitar 1-2% anak mengalami komplikasi BCG. Komplikasi tersering adalah

abses lokal, infeksi bakteri sekunder, limfeadenitis supuratif BCG, dan timbulnya keloid.

Sebagian besar reaksi in akan membaik dalam beberapa bulan. Akan tetapi, anak yang

mengalami penyakit BCG diseminta harus diperiksa lebih lanjut terhadap kemungkinan

difisensi imun dan diobati dengan OAT lini pertama (kecuali pirazinamid karena M.bovis

41 | M i n i P r o j e c t

Page 42: Mini Project TB

umumnya resisten terhadap obat tersebut). Limfadenitis BCG merupakan efek samping

yang sering dijumpai pada vaksiniasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang

serius. Kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 vaksinasi. (Supriyatno, 2007)

Limfadenitis BCG adalah pembesaran kelenjar limfe regional setelah vaksinasi

BCG. Pembesaran kelenjar tersebut dapat hilang secara spontan atau tetap membesar,

bahkan dapat timbul pus (supuratif). Setelah dilakukan penyuntikan BCG, akan terjadi

multiplikasi secara cepat, dan melalui sistem limfatik akan menuju ke kelenjar limfe

regional. Reaksi pada sisi yang sama dengan vaksinasi dan kelenjar, bersama-sama

membentuk kompleks primer yang prosesnya sama dengan komples primer akibat infeksi

TB alamiah. Kemudian akan diikuti reaksi patologis pada tempat suntikan, dan

pembesaran pada kelenjar limfe regional yang tidak terlalu besar dan tidak menimbulkan

penyakit (TB). Tidak ada patokan baku untuk pembesaran kelenjar itu normal atau

abnormal. Beberapa ahli sepakat menyatakan abnormal apabila ukurannya besar, dalam

arti mudah untuk diraba dan orang tua mengeluh karena pembesaran tersebut. Kelenjar

limfe regional yang terlibat sebagian besar adalah kelenjar aksila ipsilateral (95%), diikuti

oleh kelenjar supraklavikula dan servikal. Limfadenitis BCG terjadi setelah 2 minggu

atau 2 bulan, tetapi tidak lebih dari 12 bulan. Umumnya kelenjar yang membesar soliter

meskipun ada yang multipel. (Supriyatno, 2007)

Kejadian limfadenits BCG berhubungan dengan tipe vaksin dan pejamu. Faktor

vaksin mencakup virulensi substrain BCG (bebarapa strain BCG memang lebih

reaktogenik), viabilitas (proporsi kuman yang hidup dan yang mati) pada produk akhir,

dan dosis vaksinasi. Faktor yang berperan pada pejamu pula adalah: (1) usia vaksinasi

(pemberian vaksinasi pada neonatus mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi

limfeadenitis TB), (2) respon imunologik terhadap vaksin (pasien imunokompromais

mempunyai resiko lebih tinggi), (3) karakteristik resipien (termasuk di dalamnya salah

penyuntikan/keahlian menyuntik). (Supriyatno, 2007)

Ada dua jenis limfadenitis BCG, yaitu non-supuratif dan supuratif. Bentuk yang

non-supuratif biasanya muncul pada beberapa minggu setelah penyuntikan, dan

menghilang dalam beberapa minggu tanpa ada sekuele yang berarti. Sedangkan pada jenis

supuratif timbul dalam beberapa bulan kemudian, pembesaran kelenjar dapat bersifat

progresif, terdapat fluktuasi, kemerahan, edema, bahkan dapat membentuk sinus pada

tempat penyuntikan. Kadang-kadang diperlukan perawatan intensif terhadap luka yang

timbul, dan diperlukan beberapa bulan untuk dapat hilang secara spontan. Jenis supuratif

ini terjadi pada 30-80% kasus limfadenitis BCG. (Supriyatno, 2007)

42 | M i n i P r o j e c t

Page 43: Mini Project TB

Limfadenitis BCG biasanya tidak disertai demam, tidak nyeri pada tempat edema,

dan tidak didapatkan tanda-tanda yang menyokong ke arah TB seperti penurunan berat

badan, demam lama, dan nafsu makan yang berkurang. Pemeriksaan laboratorium, uji

tuberkulin, dan foto toraks kurang membantu. Uji tuberkulin biasanya akan menunjukkan

hasil yang positif. Pemeriksaan PA dari biopsi kelenjar kadang-kadang justru

membingungkan karena gambaran patologisnya sama dengan TB. (Supriyatno, 2007)

Tatalaksana limfadenitis BCG masih kontroversial. Pada limfadenitis tipe non-

supuratif biasanya tidak menjadi masalah, karena dengan penjelasan yang baik orang tua

akan dapat menerima. Akan tetapi, pada limfadenitis tipe supuratif terdapat beberapa

perbedaan dalam penanganannya. Pemberian antibiotik eritromisin dan OAT (isoniazid

dan rifampisin) pernah dilaporkan penggunaannya, tetapi hasilnya tidak memuaskan.

Beberapa ahli menyatakan bahwa pengobatan dengan OAT tidak diperlukan karena tidak

efektif. Obat-obat lain yang digunakan biasanya berhubungan dengan komplikasi yang

timbul, misalnya perawatan luka. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI

merekomendasikan untuk tidak memberikan OAT pada limfadenitis BCG, melainkan

hanya melakukan pemantauan. (Supriyatno, 2007)

Komplikasi limfadenitis yang tersering adalah penyembuhan luka yang kurang

baik, sehingga yang terpenting adalah pencegahan terhadap pecahnya limfadenitis

supuratif. Salah satu yang dianjurkan adalah dengan melakukan aspirasi pus, yang

biasanya dilakukan sekali saja. Dengan aspirasi pus, lama penyembuhan dapat

dipersingkat. Tindakan eksisi dilakukan apabila aspirasi tidak menunjukkan hasil yang

baik, sudah terbentuk sinus, atau kelenjarnya multipel. Selain itu, tindakan eksisi lebih

diindikasikan pada kosmetik, yaitu mencegah pecahnya kelenjar dengan luka dan parut

yang tidak beraturan. (Supriyatno, 2007)

2.13 Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis

sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,

sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.

Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan

dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,

terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada

akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan

sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH

43 | M i n i P r o j e c t

Page 44: Mini Project TB

profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika

didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan

uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut. (Supriyatno, 2007)

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum

sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak

semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam

kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan

immunocompromise. Contoh anak-anak dengan immunocompromise adalah usia balita,

menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik

dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun

waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12

bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan

untuk menilai respon dan efek samping obat. (Supriyatno, 2007)

2.14 Prognosis dan Komplikasi

2.14.1 Prognosis

Pada pasien dengan sistem imun yang baik, terapi menggunakan OAT terkini

memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan

pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi

ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada

pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai regimen obat, yang

berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi

multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena

para dokter meresepkan regimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidak patuhan

pasien dalam menjalanin pengobatan. (Supriyatno, 2007)

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka

kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama

isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi

OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%. (Kartasasmita, 2001)

Dikatakan hasil pengobatan pada pasien TB BTA positif :

Sembuh

44 | M i n i P r o j e c t

Page 45: Mini Project TB

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang

dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up

sebelumnya

Pengobatan Lengkap

Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak

memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

Meninggal

Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

Default (Putus berobat)

Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatannya selesai.

Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif

pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. (Dinkes, 2007)

2.14.2 Komplikasi

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran

ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua

yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.

Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan

pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.

(Supriyatno, 2007)

2.15 Pengetahuan

2.15.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan

atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan

atau suatu perubahan tingkah laku. (Notoatmodjo, 1993)

2.15.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif

mempunyai 6 tingkatan, yakni :

45 | M i n i P r o j e c t

Page 46: Mini Project TB

1. Tahu (Know)

Tahu merupakan pengetahuan hapalan yang meminta responden untuk

mengenal dan mengetahui adanya konsep, fakta, atau istilah-istilah tanpa

harus mengerti atau dapat menilai ataudapat menggunakan, hanya menuntut

untuk menyebutkan kembali atau menghapal saja.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi

harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan

meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini

dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus,

metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu komponen untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru, atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-

formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian-penilaian itu didasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

46 | M i n i P r o j e c t

Page 47: Mini Project TB

3.1 Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif dengan rancangan

untuk mengetahui atau melihat gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

kasus Tuberkulosis Paru yang terjadi pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur

tahun 2014. Serta mengadakan analisa tentang gambaran tersebut dengan pengamatan lisan

dengan alat bantu penelitian berupa kuesioner dan check list, dimana data dan informasi yang

menyangkut variable bebas dan variable terikat dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.

Pemilihan rancangan ini didasarkan karena mudah dilaksanakan, ekonomis dan efektif dari

segi biaya dan waktu, sedangkan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat dan tepat.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 3 kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Arga

Makmur yang memiliki presentase kejadian kasus Tuberkulosis Paru terbanyak pada

tahun 2013, yaitu kelurahan Gunung Alam, Gunung Agung, dan Gunung Selan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan pada Februari 2014 - Maret 2014

3.3 Metode Pengambilan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang

menjadi objek penelitian, atau populasi merupakan objek atau subjek yang berada

pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan

masalah penelitian (Riduwan, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah para orang

tua yang tinggal di wilayah kelurahan Gunung Alam, Gunung Agung, dan Gunung

Selan dengan rentang usia 15-60 tahun, yaitu sebanyak 5.860 orang.

3.3.2 Sampel

47 | M i n i P r o j e c t

Page 48: Mini Project TB

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti, dan

dianggap dapat mewakili seluruh populasi. (Notoatmojo, 2002). Dalam hal ini sampel

diambil berdasarkan Rumus Taro Yamane atau Slovin, yaitu :

 

Keterangan rumus:

n= Jumlah Sampel

N= Jumlah Populasi yang diketahui

d= Presisi (ditetapkan 10 % dengan tingkat kepercayaan 95 %)

(Riduwan, 2009).

Jadi, besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebesar :

n = N / (N(d)2 + 1)

= 5.860 / (5.860 (0,1) 2 + 1)

n = 98,32 ≈ 98 sampel

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan cara Simple

Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak

tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut.

Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti dengan

melakukan kunjungan rumah pada responden sampai besar sampel terpenuhi untuk

mendapatkan data primer.

3.4 Kerangka Konsep

Menurut Notoatmodjo (2002) yang dimaksud dengan kerangka konsep penelitian

adalah suatu hubungan atau keterkaitan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya

dari masalah yang diteliti. Pada penelitian ini, kerangka konseptual dikembangkan dengan

mengacu pada teori Green yang dikenal dengan Precede, yaitu suatu perilaku spesifik yang

dipengaruhi oleh 3 faktor :

1. Faktor Predisposising (pemudah) yang terwujud dalam pendidikan, pengetahuan,

jenis kelamin, sosial budaya, ekonomi / pendapatan, motivasi, dan sikap.

48 | M i n i P r o j e c t

n = N/ (N(d)2 + 1)

Page 49: Mini Project TB

2. Faktor Enabling (pemungkin) terwujud dalam sarana dan prasarana transportasi,

pedoman kerja, geografis / jarak tempat tinggal.

3. Faktor Rainforsing (penguat) terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, masyarakat,

lingkungan, dan penentu kebijakan.

Berpatokan pada kerangka berpikir di atas, maka dapat digambarkan hal-hal yang

dapat mempengaruhi perilaku seseorang yang secara sistematis, kerangka konseptual

seperti bagan di bawah ini :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 13. Kerangka Konsep Penelitian

3.5 Variabel Penelitian

Variabel penelitian dalam penelitian ini dengan menggunakan variabel Independen /

Bebas dan variabel Dependen / Terikat. Dimana variabel bebas dalam penelitian ini adalah

tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai penyakit Tuberkulosis Paru pada anak.

Sedangkan, variabel terikat dalam penelitian ini adalah prevalensi penyakit Tuberkulosis Paru

pada anak di wilayah kerja Puskesmas Gunung Alam.

49 | M i n i P r o j e c t

SIKAP MASYARAKAT

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT

Prevalensi kasus Tuberkulosis Paru pada anak di kecamatan Arga Makmur pada umumnya dan wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur pada khususnya

Page 50: Mini Project TB

3.6 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi OperasionalAlat

Ukur

Cara

UkurHasil Ukur

Skala

Ukur

Variabel Independen

1. Tingkat

Pengetahuan

Masyarakat

Semua hal yang

diketahui orang tua

mengenai penyakit

Tuberkulosis Paru

pada anak

Kuesio

ner

Wawan

cara

Kategori :

1. Kurang jika jawaban <70

% dari total nilai

2. Tinggi jika jawaban 70

% dari total nilai

Ordinal

2. Sikap

Masyarakat

Suatu sikap dan

tindakan yang

dilakukan orang tua

agar anak terhindar

dari penularan

penyakit

Tuberkulosis Paru

Kuesio

ner

Wawan

cara

Kategori :

1. Kurang jika jawaban <50

% dari total nilai

2. Tinggi jika jawaban 50

% dari total nilai

Ordinal

Variabel Dependen

Prevalensi

Tuberkulosis

Paru pada

anak

Anak dari responden

pernah mengalami

gejala klinis penyakit

Tuberkulosis Paru.

{Batuk berdahak

lebih dari 2 minggu,

demam selama lebih

dari 2 minggu tanpa

sebab yang jelas, BB

yang semakin

berkurang, tidak ada

nafsu makan, serta

badan terasa lemah

sehingga aktivitas

fisik anak (seperti

bermain) berkurang}

Check

list

Wawan

cara

1. Ya

Bila anak pernah

mengalami batuk berdahak

lebih dari 2 minggu, demam

selama lebih dari 2 minggu

tanpa sebab yang jelas, BB

yang semakin berkurang,

tidak ada nafsu makan,

serta badan terasa lemah

sehingga aktivitas fisik

anak (seperti bermain)

berkurang

2. Tidak

Bila anak tidak pernah

mengalami batuk berdahak

lebih dari 2 minggu, demam

Nominal

50 | M i n i P r o j e c t

Page 51: Mini Project TB

selama lebih dari 2 minggu

tanpa sebab yang jelas, BB

yang semakin berkurang,

tidak ada nafsu makan,

serta badan terasa lemah

sehingga aktivitas fisik

anak (seperti bermain)

berkurang

3.7 Instrumen Penelitian

3.7.1 Instrumen yang digunakan

Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner yang dibagikan kepada

masyarakat di wilayah kerja puskesmas Arga Makmur, dengan menggunakan

pertanyaan tertutup dengan variasi Dichotomous Choice dimana pertanyaan yang

disediakan hanya memberikan 2 jawaban alternatif dan responden hanya memilih satu

diantaranya. (Notoatmodjo, 2002)

3.7.2 Teknik Scoring

Untuk pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui penyebaran

kuesioner dengan cara tatap muka yang menanyakan tentang isi materi yang ingin

diukur dari objek penelitian atau responden berdasarkan teori yang ada di tinjauan

pustaka. Dengan metode skoring diberikan :

- Bila salah nilai = 0

- Bila benar nilai = 1

Dengan cara penilaian =

Nilai yang diberi x 100%

Jumlah item pertanyaan

Dengan kategori rendah jika jawaban <70% dari total nilai, dan kategori tinggi

≥70% dari total nilai (Riduwan, 2009)

51 | M i n i P r o j e c t

Page 52: Mini Project TB

3.8 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti pada masyarakat yang

tinggal di kelurahan Gunung Alam, Gunung Agung, dan Gunung Selan terutama yang

memiliki anak. Peneliti akan melakukan kunjungan rumah pada responden untuk

mendapatkan data penelitian. Data penelitian berupa :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik pengolahan maupun analisis dan

publikasi yang dilakukan sendiri. (Machfoedz, 2006). Data primer ini berupa data

identitas responden dan hasil kuesioner (mengenai tingkat pendidikan,

pengetahuan, dan sikap orang tua terhadap kasus Tuberkulosis Paru yang terjadi

pada anak), serta wawancara langsung dengan masyarakat yang tinggal di wilayah

kerja Puskesmas Arga Makmur.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil laporan atau penelitian orang

lain atau studi kepustakaan. (Machfoedz, 2006). Data sekunder ini berupa

diperoleh dari Profil Puskesmas, laporan Poliklinik Anak RSUD Arga Makmur,

laporan petugas Surveilans dan petugas P2M Tuberkulosis Puskesmas Arga

Makmur, serta data lainnya yang berasal dari studi kepustakaan. Data sekunder ini

berupa data jumlah penduduk, data ketenagaan dan sarana kesehatan, mata

pencaharian penduduk, data demografi Puskesmas Arga Makmur, data penderita

TB paru anak dan dewasa, serta tinjauan kepustakaan mengenai penyakit

Tuberkulosis Paru pada anak.

3.9 Pengolahan Data

3.9.1 Pengolahan Data

a. Penyuntingan Data (Editing Data)

Dilakukan penyuntingan data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh

adalah “bersih” yaitu data tersebut semua telah terisi, konsisten, relevan,

dan dapat dibaca dengan baik. Hal ini dikerjakan dengan meneliti setiap

lembar kuesioner pada waktu penerimaan dari pengumpulan data. Apabila

terdapat kejanggalan, formulir kuesioner dikembalikan kepada

pewawancara, agar kembali ke responden untuk melengkapi dan

memperbaiki pengisian.

52 | M i n i P r o j e c t

Page 53: Mini Project TB

b. Pengkodean Data (Coding Data)

Pengkodean data dilakukan dengan cara memberikan angka pada setiap

jawaban dengan maksud untuk mempermudah pengolahan data.

Pengkodean data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan seteliti mungkin

untuk menghindari kesalahan.

c. Tabulasi Data (Tabulating Data)

Setelah dilakukan editing dan coding data, maka selanjutnya dilakukan

pengelompokan data tersebut ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat-

sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan.

3.9.2 Teknik Analisa Data (Analysis Data)

Semua hasil data penelitian terlebih dahulu ditampilkan melalui tabel

distribusi frekuensi, kemudian analisa data dilakukan secara bertahap dari analisa

univariat dan bivariat. Pada penelitian ini analisa yang dipergunakan adalah analisa

univariat yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dimana pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap

variabel. (Notoatmodjo, 2002)

3.10 Sarana Penelitian

Sarana yang digunakan pada penelitian ini antara lain :

1. Lembar kuesioner beserta biodata responden

2. Alat tulis dan perlengkapan kerja

3. Komputer

4. Buku referensi / sumber

5. Alat tulis dan alat hitung

53 | M i n i P r o j e c t

Page 54: Mini Project TB

BAB IV.

HASIL MINI PROJECT

4.1 Profil Komunitas Umum Wilayah Penelitian

4.1.1 Letak Geografis

Puskesmas Arga Mamur terletak di pusat Ibukota Kabupaten Bengkulu Utara,

yaitu merupakan salah satu Puskesmas yang berada di Kecamatan Kota Arga

Makmur. Secara geografis, Puskesmas Arga Makmur terletak di lokasi yang sangat

strategis dan sangat mudah untuk dijangkau karena letaknya yang berada di Pusat

Ibukota Kabupaten. Luas wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur ± 38 Km² dengan

jumlah desa binaan 10 desa, dengan jumlah kepala keluarga 4.509 KK serta jumlah

rumah 4.509 rumah dengan tingkat hunian rata-rata tiap rumah sebanyak 3 dan 4

orang. Diperkirakan kepadatan penduduk ± 99 jiwa per Km², keseluruhan desa

tersebut dapat dilalui oleh kendaraan roda 2 maupun roda 4.

Batas wilayah kecamatan Argamakmur adalah :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Taba Tembilang

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kali

- Sebalah Barat berbatasan dengan Desa Gunung Sari

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tebing Kaning

Gambar 14. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Arga Makmur

54 | M i n i P r o j e c t

Page 55: Mini Project TB

4.1.2 Data Demografik / Kependudukan

Puskesmas Arga Makmur memiliki jumlah penduduk ± 20.393 jiwa yang

tersebar hampir merata di seluruh Desa yang berada dalam wilayah kerja

Puskesmas, adapun jumlah penduduk ini dapat dilihat dalam tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Penduduk per Kelurahan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

No. Kelurahan Laki-laki Perempuan

1. Gunung Alam 4.333

0 - 4 tahun 174 190

5 - 14 tahun 463 482

15 - 44 tahun 999 1.084

45 - 64 tahun 459 444

≥65 tahun 18 20

2. Rama Agung 2.980

0 - 4 tahun 183 217

5 - 14 tahun 175 239

15 - 44 tahun 468 595

45 - 64 tahun 371 380

≥65 tahun 155 197

3. Karang Suci 3.155

0 - 4 tahun 144 147

5 - 14 tahun 318 343

15 - 44 tahun 755 763

45 - 64 tahun 278 293

≥65 tahun 58 56

4. Talang Denau 382

0 - 4 tahun 26 24

5 - 14 tahun 40 25

15 - 44 tahun 102 101

45 - 64 tahun 25 23

≥65 tahun 7 9

5. Gunung Selan 2.634

55 | M i n i P r o j e c t

Page 56: Mini Project TB

0 - 4 tahun 144 165

5 - 14 tahun 237 246

15 - 44 tahun 598 635

45 - 64 tahun 203 208

≥65 tahun 101 97

6. Gunung Agung 1.857

0 - 4 tahun 100 95

5 - 14 tahun 191 203

15 - 44 tahun 471 487

45 - 64 tahun 138 134

≥65 tahun 20 18

7. Tanjung Raman 1.119

0 - 4 tahun 63 60

5 - 14 tahun 114 97

15 - 44 tahun 278 313

45 - 64 tahun 73 62

≥65 tahun 30 29

8. Lubuk Saung 1.564

0 - 4 tahun 120 125

5 - 14 tahun 126 121

15 - 44 tahun 415 449

45 - 64 tahun 89 74

≥65 tahun 17 28

9. Datar Ruyung 762

0 - 4 tahun 43 56

5 - 14 tahun 60 75

15 - 44 tahun 185 204

45 - 64 tahun 55 53

≥65 tahun 16 15

10. Sido Urip 1.607

0 - 4 tahun 62 69

5 - 14 tahun 93 100

56 | M i n i P r o j e c t

Page 57: Mini Project TB

15 - 44 tahun 404 389

45 - 64 tahun 201 197

≥65 tahun 41 51

Jumlah 20.393

Sumber : PKM, 2013

Masyarakat yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur sudah

sangat mengerti pentingnya manfaat pendiddikan. Adapun tingkat pendidikan

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur dapat di lihat dari tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah Persentase ( % )

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Buta Aksara

Tidak/ Belum pernah sekolah

Tidak/ Belum tamat SD

SD / MI

SLTP / MTs

SLTA / MA

Perguruan Tinggi

311

1.056

1.143

3.734

3.310

4.798

2.182

1,91

6,41

6,93

22,50

20,02

29,02

13,21

Jumlah 16.534 100

Sumber : PKM, 2013

Penduduk yang berada di wilayah kerja Puskesmas Arga makmur mayoritas

memiliki pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Petani (tabel.4), hal

tersebut juga kemungkinan didukung masih luasnya areal yang kosong yang berada

diwilayah kerja Puskesmas Arga Makmur. Adapun distribusi jumlah penduduk

menurut jenis pekerjaan di gambar dalam tabel 8.

Tabel 8. Distribusi Penduduk berdasarkan Pekerjaan

57 | M i n i P r o j e c t

Page 58: Mini Project TB

No Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1.

2.

3.

4.

5.

PNS

Petani

Pedagang

Buruh

Lain-lain

2.598

2.291

898

1.340

1.670

29,60

26,20

10,40

15,40

18,40

Jumlah 8.797 100

Sumber : PKM, 2013

Dari gambaran data-data yang terdapat pada tabel-tabel diatas, dapat dikatakan

bahwa dalam rentang waktu yang relatif singkat, pelaksanaan pembangunan

kesehatan di Bengkulu Utara khususnya di Wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur

telah menunjukan hasil yang cukup berarti, hal ini tidak terlepas dari kinerja semua

unsur/elemen Pemerintah Daerah khususnya, yang ada di wilayah kerja Puskesmas

Arga Makmur.

Untuk mengukur derajat kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur,

dibutuhkan beberapa indikator, antara lain :

a. Angka Kematian Bayi

Angka kematian bayi Kabupaten Bengkulu Utara tahun 1990 (Sensus Penduduk)

sebesar 66 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini masih tinggi dibandingkan dengan

angka kematian bayi nasional 60 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi

Propinsi Bengkulu 70 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2013, di Puskesmas

Arga Makmur terdapat kelahiran 3 orang bayi dan 1 orang kematian bayi.

b. Angka Kematian Anak

Indikator ini dapat menggambarkan kondisi penyakit menular pada anak dan

insiden di dalam atau di luar rumah, kondisi kesehatan lingkungan yang langsung

mempengaruhi kesehatan anak, tingkat kekebalan terhadap penyakit tertentu,

tingkat upaya pelayanan anak, dan kondisi lingkungan sosial ekonomi yang

mempengaruhi kesehatan anak. Di wilayah Puskesmas Arga Makmur pada tahun

2013, tidak terdapat Kematian Anak.

c. Angka Kematian Ibu Bersalin

Untuk melihat gambaran status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan

lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil sangat perlu

58 | M i n i P r o j e c t

Page 59: Mini Project TB

diperhatikan. Di wilayah Puskesmas Arga Makmur pada tahun 2013, angka

kematian ibu bersalin tidak ada.

Berikut ini adalah 10 penyakit terbanyak yang terdapat di wilayah kerja

Puskesmas Arga Makmur :

Tabel 9. Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Arga Makmur

No Jenis Penyakit

Kasus

JumlahPersentase

(%)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Penyakit Saluran Pernafasan Atas (ISPA)

Penyakit lainnya

Penyakit Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)

Penyakit Gangguan Mulut

Penyakit Kulit dan Jaringan Sub Kutan (Dermatitis)

Penyakit pada Sistem Otot dan Jar. Pengikat (Rheumatik)

Penyakit Bakteri (Pneumonia, Bronkitis)

Penyakit Infeksi pada Usus (Diare, Disentri)

Riketiasis dan Penyakit karena Antropoda Lain (Malaria)

Penyakit Infeksi karena Parasit dan Akibat Kemudian

2.481

2.064

1.103

882

604

462

196

184

138

55

12,16

10,12

5,40

4,32

2,96

2,26

0,96

0,90

0,67

0,26

Sumber : PKM, 2013

Dari data tabel 4.5, adapun kasus penyakit menular di Puskesmas Arga

Makmur adalah penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) terdapat 2.481 kasus,

riketiasis dan penyakit karena antropoda lain (malaria) dengan jumlah 55 kasus, dan

penyakit kulit dan jaringan sub kutan (dermatitis) dengan jumlah 604 kasus.

Berikut ini adalah tabel penemuan kasus baru penyakit Tuberkulosis Paru di

wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur pada tahun 2013 :

59 | M i n i P r o j e c t

Page 60: Mini Project TB

Tabel 10. Jumlah Kasus Baru Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Arga Makmur

Tahun 2013

No. Kelurahan Laki-laki Perempuan

1. Gunung Alam 3 1

2. Rama Agung 0 0

3. Karang Suci 1 0

4. Talang Denau 0 0

5. Gunung Selan 2 0

6. Gunung Agung 2 1

7. Tanjung Raman 0 1

8. Lubuk Sahung 0 0

9. Datar Ruyung 0 1

10. Sido Urip 0 0

Jumlah 8 4

Sumber : PKM, 2013

Dari data tabel 10. diketahui penemuan kasus baru Tuberkulosis Paru di

wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur pada tahun 2013 adalah sebanyak 12 kasus

baru, dengan kasus terbanyak yaitu di kelurahan Gunung Alam (sebanyak 4 kasus

baru), Gunung Agung (sebanyak 3 kasus baru), dan Gunung Selan (sebanyak 2 kasus

baru).

Berikut ini adalah data TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga

Makmur pada tahun 2012 dan 2013 :

60 | M i n i P r o j e c t

Page 61: Mini Project TB

Tabel 11. Jumlah Kasus Tuberkulosis Paru pada Anak di Wilayah Kerja

Puskesmas Arga Makmur Tahun 2012 dan 2013

No. Kelurahan 2012 2013

1. Gunung Alam 0 0

2. Rama Agung 0 0

3. Karang Suci 0 1

4. Talang Denau 0 0

5. Gunung Selan 1 0

6. Gunung Agung 0 1

7. Tanjung Raman 0 0

8. Lubuk Sahung 0 0

9. Datar Ruyung 0 0

10. Sido Urip 0 0

Jumlah 1 2

Dari data tabel 11. diketahui kejadian kasus Tuberkulosis Paru pada anak di

wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur pada tahun 2012 adalah sebanyak 1 kasus,

dan meningkat pada tahun 2013 yaitu sebanyak 2 kasus.

4.1.3 Sarana dan Prasarana

Puskesmas Arga Makmur memiliki 1 pustu yaitu Pustu Gunung Selan yang

posisi tempatnya telah terjangkau ke seluruh desa yang jauh dari Puskesmas Induk, 3

Puskesdes (Lubuk Saung, Talang Denau, Sidourip) dan 18 Posyandu. Memiliki

kendaraan roda 4 (Pusling), serta 10 unit motor dinas yang kesemuanya digunakan

untuk menunjang kelancaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang berada

dalam wilayah kerja puskesmas Arga Makmur demi tercapainya misi dan visi

Puskesmas.

Di Puskesmas Arga Makmur saat ini telah memiliki laboraturium sederhana

yang dapat dipergunakan untuk pelayanan pemeriksaan sederhana seperti

Pemeriksaan Hb, Golongan Darah, DDR, Pemeriksaan Gula Darah, Kolesterol, Asam

Urat dan tes HCG.

61 | M i n i P r o j e c t

Page 62: Mini Project TB

4.1.4 Ketenagaan

Ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas Arga Makmur saat ini adalah

sebagai berikut:

− Dokter Umum : 1 orang

− Dokter Gigi : 1 orang

− S1. Keperawatan : 2 orang

− S1. Kesehatan Masyarakat : 8 orang

− D3 Keperawatan : 13 orang

− D4 Perawat : 1 orang

− Perawat : 2 orang

− D3 Kebidanan : 7 orang

− D4 Bidan : 1 orang

− Bidan : 13 orang

− Perawat Gigi : 1 orang

− Assisten Apoteker : 1 orang

− Sanitarian : 2 orang

− Nutrisimis : 1 orang

− Pekarya Kesehatan : 1 orang

− Tenaga Sukarela (TKS) : 2 orang

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Puskesmas Arga Makmur masih

membutuhkan seorang tenaga Analis untuk menunjang program dan kegiatan lainnya.

Untuk pelayanan Laboratorium dapat berjalan dengan baik dengan koordinasi yang

baik dengan Dinas Kesehatan. Sementara di pelayanan kesehatan di desa sudah dapat

dilayani dan ditanggulangi oleh Petugas Pustu dan Bidan Desa.

4.2 Analisa Univariat

4.2.1 Pembagian Responden Berdasarkan Kelompok Umur

62 | M i n i P r o j e c t

Page 63: Mini Project TB

Berdasarkan kelompok umur responden penelitian dapat dilihat pada tabel 12.

berikut ini :

Tabel 12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur Responden di

Kecamatan Arga Makmur Tahun 2014

No. Umur (Th) Jumlah Presentase (%)

1. 15 sampai 30 tahun 78 79,59%

2. 31 sampai 40 tahun 16 16,33%

3. 41 sampai 50 tahun 4 4,08%

4. Lebih dari 50 tahun 0 0%

Jumlah 98 100%

Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa dari 98 orang responden,

sebagian besar responden berumur 15 sampai 30 tahun, yaitu sebanyak 78 orang

(79,59%). Responden berumur 31 sampai 40 tahun sekitar 16 orang (16,33%), dan

sisanya berumur 41 sampai 50 tahun, yaitu sekitar 4 orang (4,08%).

4.2.2 Pembagian Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

63 | M i n i P r o j e c t

79,59%

4,08 %16,33%

Page 64: Mini Project TB

Berdasarkan tingkat pendidikan, responden penelitian dapat dilihat pada tabel

13. berikut ini :

Tabel 13. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden

di Kecamatan Arga Makmur Tahun 2014

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase (%)

1. Tidak Sekolah / Tidak Tamat SD 1 1,02%

2. Tamat SD 4 4,08%

3. Tamat SMP 18 18,37%

4. Tamat SMA 68 69,39%

5. Tamat Akademi / Perguruan Tinggi 7 7,14%

Jumlah 98 100%

Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa dari 98 orang responden,

sebagian besar responden merupakan tamatan SMA (Sekolah Menengah Atas) yaitu

sebanyak 68 orang responden (69,39%).

4.2.3 Pembagian Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

64 | M i n i P r o j e c t

69,39%

7,14%

18,37%

4,08%1,02%

Page 65: Mini Project TB

Berdasarkan tingkat pengetahuan responden penelitian dapat dilihat pada tabel

14. berikut ini :

Tabel 14. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Responden di Kecamatan Arga Makmur Tahun 2014

No. Tingkat Pengetahuan Jumlah Presentase (%)

1. Rendah 43 43,88%

2. Tinggi 55 56,12%

Jumlah 98 100%

Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa dari 98 orang responden,

sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi mengenai penyakit TB

pada anak, yaitu sekitar 55 orang (56,12%), sedangkan yang memiliki tingkat

pengetahuan rendah mengenai penyakit TB pada anak sebanyak 43 orang (43,88%).

4.2.4 Pembagian Responden Berdasarkan Sikap

Berdasarkan tingkat pengetahuan responden penelitian dapat dilihat pada tabel

15. berikut ini :

65 | M i n i P r o j e c t

56,12%

43,88%

Page 66: Mini Project TB

Tabel 15. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Responden di Kecamatan

Arga Makmur Tahun 2014

No. Tingkat Pengetahuan Jumlah Presentase (%)

1. Kurang Baik 16 16,32%

2. Baik 82 83,68%

Jumlah 98 100%

Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa dari 98 orang responden,

sebagian besar yaitu sekitar 82 orang responden (83,68%) memiliki sikap yang baik

dalam hal menyikapi permasalahan TB pada anak, sedangkan 16 orang responden

(16,32%) memiliki sikap yang kurang baik dalam hal menyikapi permasalahan TB

pada anak.

4.2.5 Pembagian Responden Berdasarkan Kejadian Tuberkulosis Paru

Berdasarkan kejadian Tuberkulosis Paru, responden penelitian dapat dilihat

pada tabel 16. berikut ini :

66 | M i n i P r o j e c t

83,68 %

16,32 %

Page 67: Mini Project TB

Tabel 16. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian TB pada Anak di

Kecamatan Arga Makmur Tahun 2014

No.Kejadian

Tuberkulosis ParuJumlah Presentase (%)

1. Ya 4 4,08%

2. Tidak 94 95,92%

Jumlah 98 100%

Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa sekitar 4 orang anak (4,08%),

pernah mengalami gejala TB seperti batu berdahak lebih dari 2 minggu, demam

selama lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas, berat badan semakin berkurang

dalam 1 bulan, tidak nafsu makan, serta badan terasa lemah hingga anak malas

melakukan aktivitas fisik seperti bermain.

BAB V

PEMBAHASAN

67 | M i n i P r o j e c t

95,92 %

4,08 %

Page 68: Mini Project TB

5.1 Karakteristik Responden Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil responden (sampel) dari masyarakat yang

tinggal di wilayah tinggi kasus TB di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur, yaitu di

kelurahan Gunung Alam, Gunung Selan, dan Gunung Agung. Sebanyak 98 orang responden

terlibat dalam penelitian ini.

Responden pada penelitian ini sebagian besar berusia 15 sampai 30 tahun, yaitu

sebanyak 78 orang (79,59%), kemudian usia terbanyak kedua adalah usia 31 sampai 40

tahun, yaitu sekitar 16 orang (16,33%), dan sisanya berusia 41 sampai 50 tahun, yaitu sekitar

4 orang (4,08%).

Karena penelitian ini menggunakan teknik random sampling, maka jenis kelamin dan

tingkat pendidikan dari responden beragam. Pada penelitian ini, sebagian besar responden

merupakan tamatan SMA (Sekolah Menengah Atas) yaitu sebanyak 68 orang responden

(69,39%). Lalu, responden yang merupakan tamatan SMP (Sekolah Menengah Pertama)

sebanyak 18 orang responden (18,37%), yang merupakan tamatan akademi atau perguruan

tinggi sebanyak 7 orang responden (7,14%), yang merupakan tamatan SD sebanyak 4 orang

(4,08%), serta yang tidak sekolah ataupun tidak tamat SD sebanyak 1 orang responden

(1,02%).

Karakteristik responden yang dapat mempengaruhi penelitian adalah tingkat

pendidikan, mengingat seharusnya responden yang merupakan tamatan akademi / perguruan

tinggi ataupun SMA (Sekolah Menengah Atas) memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik

mengenai penyakit TB pada anak dibandingkan responden lainnya yang merupakan tamatan

SMP (Sekolah Menengah Pertama), SD (Sekolah Dasar), ataupun yang tidak tamat SD atau

bahkan tidak sekolah sama sekali.

5.2 Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat mengenai TB pada Anak

Penelitian ini bersifat deskriptif untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan

sikap masyarakat terhadap penyakit TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga

Makmur. Meskipun saat ini hanya ditemukan 1 kasus TB pada anak di wilayah kerja

Puskesmas Arga Makmur, namun bukan berarti penyakit ini tidak berbahaya. Apalagi saat ini

ditemukan sekitar 14 kasus baru TB pada orang dewasa yang merupakan peluang untuk

terjadinya penularan kepada anak-anak bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat.

Berdasarkan data dari Poliklinik Anak RSUD Arga Makmur Bengkulu Utara, kasus

TB pada anak yang terjadi di kabupaten Bengkulu Utara pada tahun 2012 sekitar 7 orang

anak, dan bertambah pada tahun 2013 yaitu sekitar 11 orang anak. Untuk wilayah kerja

68 | M i n i P r o j e c t

Page 69: Mini Project TB

Puskesmas Arga Makmur sendiri didapatkan pada tahun 2012 sekitar 1 orang anak terkena

TB, dan bertambah pada tahun 2013 yaitu sekitar 3 orang anak terkena. Oleh karena itu,

diperlukan suatu strategi pengendalian yang melibatkan seluruh sektor, baik dari petugas

Puskesmas, pemerintah setempat, maupun seluruh elemen masyarakat agar penanggulangan

TB pada anak dapat segera ditingkatkan sehingga morbiditas dan mortalitas dapat berkurang.

Dalam penelitian ini, baik tingkat pengetahuan masyarakat maupun sikap masyarakat

itu sendiri mengenai TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur dikategorikan

baik, sehingga masih sedikit anak yang menderita TB.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui kuesioner, wawancara dengan

masyarakat yang mempunyai anak berusia di bawah 15 tahun di wilayah kerja Puskesmas

Arga Makmur, didapatkan gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai TB pada

anak yaitu dari 98 orang responden, sekitar 43 orang (43,88%) memiliki tingkat pengetahuan

rendah mengenai penyakit TB pada anak, dan sisanya sekitar 55 orang (56,12%) memiliki

tingkat pengetahuan tinggi mengenai penyakit TB pada anak. Pada penelitian ini pengetahuan

masyarakat dibahas dalam dua aspek sub variabel yang meliputi perbedaan TB dengan

penyakit paru lainnya pada anak, serta mengenai penatalaksanaan TB pada anak baik dari

segi pencegahan maupun penatalaksanaan yang sesuai.

Kedua sub variabel ini menjadi indikator untuk mengetahui tingkat pengetahuan

seseorang. Pengetahuan mengenai perbedaan antara penyakit TB dengan penyakit paru

lainnya pada anak sangat penting untuk diketahui karena masyarakat perlu tahu gejala-gejala

penting apa saja yang terdapat pada anak yang menderita TB, karena gejalanya tidak mirip

dengan gejala TB pada orang dewasa. Sehingga masyarakat lebih cepat tanggap apabila

terdapat anak yang menderita gejala seperti gejala TB di wilayah tempat tinggalnya.

Selain itu, pengetahuan mengenai penatalaksanaan TB pada anak baik dari segi

pencegahan ataupun pengobatan juga sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat agar

morbiditas dan mortalitas karena TB pada anak dapat berkurang.

Selain tingkat pengetahuan, sikap masyarakat dalam menyikapi permasalahan TB

pada anak ini juga tidak kalah pentingnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

melalui kuesioner, wawancara dengan masyarakat yang mempunyai anak berusia di bawah

15 tahun di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur, didapatkan gambaran sikap masyarakat

mengenai TB pada anak yaitu dari 98 orang responden, sebagian besar yaitu sekitar 82 orang

responden (83,68%) memiliki sikap yang baik dalam hal menyikapi permasalahan TB pada

anak, sedangkan 16 orang responden (16,32%) memiliki sikap yang kurang baik dalam hal

menyikapi permasalahan TB pada anak.

69 | M i n i P r o j e c t

Page 70: Mini Project TB

Sikap masyarakat dalam menghadapi problema TB pada anak ini sangatlah penting.

Masyarakat harus semakin tanggap dan waspada dalam menyikapi permasalahan TB pada

anak, terutama dalam hal pencegahan dan pemantauan minum obat terhadap anak penderita

TB. Peran serta masyarakat sangatlah penting untuk menyikapi permasalahan TB pada anak

ini, dan diharapkan masyarakat mau membantu menanggulangi permasalahan TB, terutama

pada anak, di lingkungan sekitarnya.

BAB VI.

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

70 | M i n i P r o j e c t

Page 71: Mini Project TB

Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai TB pada anak di wilayah kerja

Puskesmas Arga Makmur dikategorikan baik, sehingga sedikit sekali anak yang

menderita TB. Namun, pengetahuan masyarakat tetap harus ditingkatkan agar

morbiditas dan mortalitas karena penyakit TB terutama pada anak dapat berkurang

atau bahkan tidak ada sama sekali.

b. Sikap masyarakat mengenai TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga

Makmur dikategorikan baik. Namun, masyarakat harus semakin tanggap dan waspada

dalam menyikapi permasalahan TB pada anak, terutama dalam hal pencegahan dan

pemantauan minum obat terhadap anak penderita TB. Peran serta masyarakat

sangatlah penting untuk menyikapi permasalahan TB pada anak ini, dan diharapkan

masyarakat mau membantu menanggulangi permasalahan TB, terutama pada anak, di

lingkungan sekitarnya.

6.2 Saran

1. Untuk Masyarakat

- Masyarakat dalam hal ini terutama bidan desa dan kader di Posyandu diharapkan

untuk lebih berperan aktif dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk

menanggulangi permasalahan TB pada anak.

- Masyarakat diharapkan agar lebih cepat membawa anaknya ke fasilitas pelayanan

kesehatan terdekat bila anak mengalami gejala-gejala TB pada anak seperti

demam lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 2 minggu,

nafsu makan berkurang, berat badan berkurang dalam 1 bulan, anak menjadi

kurang aktif, dan lainnya. Selain itu, diharapkan kepada masyarakat agar turut

memeriksakan anaknya ke pelayanan kesehatan terdekat bila anak tersebut

berkontak langsung dengan penderita TB, terutama orang dewasa yang menderita

TB paru.

2. Untuk Puskesmas

- Lebih menggalakkan penyuluhan mengenai TB pada anak, mulai dari apa itu TB,

gejala klinis, hingga penatalaksanaannya, baik mengenai pencegahan maupun

pengobatannya, serta komplikasi yang dapat ditimbulkan dari TB itu sendiri, agar

71 | M i n i P r o j e c t

Page 72: Mini Project TB

pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap TB terutama TB pada anak

meningkat.

- Tetap mengedukasi kepada setiap pasien dewasa penderita TB yang berobat ke

Puskesmas Arga Makmur tentang pencegahan penyakitnya karena orang dewasa

yang menderita TB merupakan sumber penularan kepada anak-anak di sekitarnya.

3. Untuk Dinas Kesehatan

- Diharapkan dapat mengambil suatu kebijakan dengan membuat program yang

sesuai untuk menyikapi permasalahan TB pada anak di Bengkulu Utara agar

prevalensi TB pada anak dapat berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, et al. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Ilmu Penyakit Paru

Universitas Airlangga

72 | M i n i P r o j e c t

Page 73: Mini Project TB

2. Behrman, et al. 2002. Nelson - Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC

3. Chintu C, Mudenda V, Lucas S. 2002. Lung Diseases at Necropsy in African Children

Dying from Respiratory Illnesses : a Descriptive Necropsy Study. Berlin : Lancet

4. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan

pertama edisi ke 2. Jakarta : Depkes RI

5. Donald PR. 2004. Chilhood Tuberculosis. Berlin : Springer

6. Hassan, et al. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. Infomedika.

7. Jeena PM, et al. 2002. Impact of HIV-1 Co-infection on Presentation and Hospital-

related Mortality in Children with Culture Proven Pulmonary Tuberculosis in Durban,

South Africa. Berlin : Spinger

8. Kartasasmita CB, et al. 2001. Penapisan dan Pengobatan Tuberkulosis pada Anak

Sekolah Dasar di Majalaya. Bandung : MKB

9. Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana

Tuberkulosis Anak. Jakarta : IDAI

10. Lienhardt C, et al. 2003. Risk Factors for Tuberculosis Infection in Sub-Sahara

Africa. Berlin : Springer

11. Madhi SA, et al. 2000. Increased Disease Burden and Antibiotic Resistance of

Bacteria Causing Severe Community-aquired Lower Respiratory Tract Infections in

Human Immunodeficiency Virus type I Infected Children. Berlin : Springer

12. Maldonado, Y. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC

13. Nelson LJ, et al. 2004. Global Epidemiology of Childhood Tuberculosis. Berlin :

Springer

14. Notoatmodjo S. 1993. Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Arti Pendidikan.

Yogyakarta : PT. Andi Offset

15. Riduwan. 2009. Pengantar Statistika. Bandung : Alfabeta

16. Rikesdas. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia. Jakarta : Depkes RI

17. Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam - FKUI. Jakarta : Fakultas Kediokteran

Universitas Indonesia

18. Supriyatno B, et al. 2007. Pedomen Nasional Tuberkulosis Anak Edisi ke-2. Jakarta :

UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia

19. Kandun, I Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit TB. Jakarta : EGC

20. Zar HJ, et al. 2001. Etiology and Outcome of Pneumonia in Children Hospitalized in

South Africa. Berlin : Springer

73 | M i n i P r o j e c t

Page 74: Mini Project TB

LAMPIRAN I

Foto Kegiatan

74 | M i n i P r o j e c t

Page 75: Mini Project TB

Gambar 15. Wawancara dengan Responden

75 | M i n i P r o j e c t

Page 76: Mini Project TB

Gambar 16. Foto Bersama Responden dan Keluarga

76 | M i n i P r o j e c t

Page 77: Mini Project TB

LAMPIRAN II

Kuesioner

KUESIONER PENELITIAN

GAMBARAN PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN, DAN

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA

ANAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ARGA MAKMUR

KABUPATEN BENGKULU UTARA

TAHUN 2014

Kabupaten : Bengkulu Utara

No. Urut :

Kelurahan :

Tanggal wawancara :

Nama responden :

Usia respoden :

Pendidikan Terakhir : Tidak sekolah / tidak tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SMA

Tamat Akademi / Perguruan Tinggi

77 | M i n i P r o j e c t

Page 78: Mini Project TB

A. PENGETAHUAN

Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini yang Saudara anggap benar dengan cara

memberikan tanda (X) pada pilihan tersebut.

1. Apakah Tuberkulosis merupakan penyakit menular?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah penyakit Tuberkulosis Paru menyebar melalui udara?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah cara penularan penyakit Tuberkulosis Paru melalui percikan dahak (droplet

nuclei) yang mengandung kuman Tuberkulosis?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah penyakit Tuberkulosis dapat menyerang bagian tubuh lain selain paru?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah kuman Tuberkulosis dapat berkembang biak dengan baik pada suhu 37-41oC?

a. Ya b. Tidak

6. Apakah Tuberkulosis Paru bisa mengenai anak-anak?

a. Ya b. Tidak

7. Apakah kuman Tuberkulosis dapat menular dari ibu kepada bayinya melalui luka

pada plasenta melalui pembuluh darah tali pusat (plasenta)?

a. Ya b. Tidak

8. Apakah demam selama lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas merupakan salah

satu gejala dari Tuberkulosis Paru pada anak?

a. Ya b. Tidak

9. Apakah batuk berdahak lebih dari 2 minggu adalah salah satu gejala dari Tuberkulosis

Paru pada anak?

a. Ya b. Tidak

10. Apakah BB yang semakin menurun adalah salah satu gejala dari Tuberkulosis Paru

pada anak?

a. Ya b. Tidak

11. Apakah penyakit Tuberkulosis berhubungan dengan daya tahan tubuh yang rendah?

a. Ya b. Tidak

12. Apakah penyakit Tuberkulosis berhubungan dengan gizi buruk?

b. Ya b. Tidak

78 | M i n i P r o j e c t

Page 79: Mini Project TB

13. Apakah penyakit Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian?

a. Ya b. Tidak

14. Apakah uji tuberkulin merupakan tes untuk membuktikan anak menderita penyakit

Tuberkulosis Paru?

a. Ya b. Tidak

15. Apakah BCG merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit Tuberkulosis?

a. Ya b. Tidak

16. Apakah pengobatan Tuberkulosis Paru pada anak dilakukan selama 6 bulan

pengobatan?

a. Ya b. Tidak

B. SIKAP

Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini yang Saudara anggap benar dengan cara

memberikan tanda (X) pada pilihan tersebut.

1. Apakah Saudara setuju penyakit Tuberkulosis Paru pada orang dewasa dapat menular

kepada anak-anak?

a. Setuju b. Tidak Setuju

2. Apakah Saudara setuju imunisasi BCG dapat mencegah timbulnya penyakit

Tuberkulosis Paru pada anak?

a. Setuju b. Tidak Setuju

3. Apakah Saudara setuju penyakit Tuberkulosis Paru pada anak dapat dicegah dengan

memberikan anak makanan bergizi seimbang (4 sehat 5 sempurna)?

a. Setuju b. Tidak Setuju

4. Apakah Saudara setuju lingkungan yang bersih dan sehat dapat mencegah timbulnya

penyakit Tuberkulosis Paru?

a. Setuju b. Tidak Setuju

5. Apakah Saudara setuju sirkulasi udara yang buruk dapat memperbesar penularan

penyakit Tuberkulosis Paru?

a. Setuju b. Tidak Setuju

6. Apakah Saudara setuju anak yang menderita penyakit Tuberkulosis Paru harus diobati

selama 6 bulan secara teratur dengan pemantauan orang tua?

a. Setuju b. Tidak Setuju

79 | M i n i P r o j e c t

Page 80: Mini Project TB

C. KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK

Apakah anak Saudara pernah menderita Tuberkulosis Paru dalam waktu 1 tahun terakhir?

{Dengan gejala utama batuk berdahak lebih dari 2 minggu, demam selama lebih dari 2

minggu tanpa sebab yang jelas, BB yang semakin berkurang, tidak ada nafsu makan, serta

badan terasa lemah sehingga aktivitas fisik anak (seperti bermain) berkurang}.

1. Jawaban Ya, jika anak pernah menderita Tuberkulosis Paru dalam waktu 1 tahun

terakhir.

2. Jawaban Tidak, jika anak tidak pernah menderita Tuberkulosis Paru dalam waktu 1

tahun terakhir.

80 | M i n i P r o j e c t

Page 81: Mini Project TB

LAMPIRAN III

Leaflet

Gambar 17. Leaflet TB Paru pada Anak

81 | M i n i P r o j e c t

Page 82: Mini Project TB

Lampiran IV

Database Responden

MASTER DATA PENELITIAN

TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN, DAN SIKAP MASYARAKAT

MENGENAI PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU

No. Responden Pendidikan Pengetahuan Sikap Kejadian TB anak

1 4 68,75% (1) 50% (1) 2

2 5 68,75% (1) 83,33% (2) 2

3 3 75% (2) 100% (2) 2

4 4 68,75% (1) 100% (2) 2

5 4 62,5% (1) 66,67% (2) 2

6 4 68,75% (1) 66,67% (2) 2

7 4 68,75% (1) 100% (2) 2

8 3 87,5% (2) 83,33% (2) 2

9 2 56,25 (1) 0% (1) 1

10 4 81,25% (2) 100% (2) 2

11 5 81,25% (2) 100% (2) 2

12 3 75% (2) 100% (2) 2

13 3 68,75% (1) 100% (2) 2

14 4 75% (2) 100% (2) 2

15 4 87,5% (2) 100% (2) 2

16 4 81,25% (2) 100% (2) 2

17 4 87,5% (2) 100% (2) 2

18 4 43,75% (1) 83,33% (2) 2

19 3 87,5% (2) 100% (2) 2

20 4 87,5% (2) 100% (2) 2

82 | M i n i P r o j e c t

Page 83: Mini Project TB

21 3 56,25% (1) 33,33% (1) 2

22 3 37,5% (1) 83,33% (2) 2

23 3 93,75% (2) 100% (2) 1

24 2 68,75% (1) 50% (1) 2

25 5 87,5% (2) 100% (2) 2

26 3 75% (2) 83,33% (2) 2

27 3 68,75% (1) 83,33% (2) 1

28 3 81,25% (2) 83,33% (2) 2

29 2 87,5% (2) 66,67% (2) 2

30 2 75 (2) 83,33% (2) 2

31 3 68,75% (1) 66,67% (2) 2

32 4 63,5% (1) 83,33% (2) 2

33 1 56,25% (1) 50% (1) 1

34 3 75% (2) 100% (2) 2

35 4 68,75% (1) 83,33% (2) 2

36 4 100% (2) 66,67% (2) 2

37 4 37,5% (1) 66,67% (2) 2

38 5 81,25% (2) 100% (2) 2

39 5 81,25% (2) 100% (2) 2

40 3 68,75% (1) 100% (2) 2

41 4 81,25% (2) 100% (2) 2

42 4 87,5% (2) 83,33% (2) 2

43 4 68,75% (1) 100% (2) 2

44 4 62,5% (1) 33,33% (1) 2

45 4 68,75% (1) 66,67% (2) 2

46 4 68,75% (1) 100% (2) 2

47 4 75% (2) 100% (2) 2

83 | M i n i P r o j e c t

Page 84: Mini Project TB

48 4 68,75% (1) 100% (2) 2

49 4 75% (2) 100% (2) 2

50 4 68,75% (1) 100% (2) 2

51 3 68,75% (1) 50% (1) 2

52 3 37,5% (1) 16,67% (1) 2

53 4 56,25% (1) 33,33% (1) 2

54 4 87,5% (2) 100% (2) 2

55 4 87,5% (2) 100% (2) 2

56 4 43,75% (1) 83,33% (2) 2

57 4 87,5% (2) 100% (2) 2

58 3 81,25% (2) 100% (2) 2

59 4 87,5% (2) 100% (2) 2

60 4 75% (2) 100% (2) 2

61 5 87,5% (2) 100% (2) 2

62 5 75% (2) 83,33% (2) 2

63 4 81,25% (2) 83,33% (2) 2

64 4 87,5% (2) 66,67% (1) 2

65 4 68,75% (1) 83,33% (2) 2

66 4 68,75% (1) 66,67% (1) 2

67 4 62,5% (1) 83,33% (2) 2

68 4 75% (2) 100% (2) 2

69 4 68,75% (1) 83,33% (2) 2

70 4 100% (2) 66,67% (1) 2

71 4 37,5% (1) 66,67% (1) 2

72 4 81,25% (2) 100% (2) 2

73 4 81,25% (2) 100% (2) 2

74 4 68,75% (1) 100% (2) 2

84 | M i n i P r o j e c t

Page 85: Mini Project TB

75 4 68,75% (1) 50% (1) 2

76 4 68,75% (1) 50% (1) 2

77 4 68,75% (1) 50% (1) 2

78 4 87,5% (2) 100% (2) 2

79 3 68,75% (1) 83,33% (2) 2

80 4 100% (2) 100% (2) 2

81 4 87,5% (2) 100% (2) 2

82 4 87,5% (2) 100% (2) 2

83 4 81,25% (2) 100% (2) 2

84 4 62,5% (1) 100% (2) 2

85 4 93,75% (2) 100% (2) 2

86 4 87,5% (2) 100% (2) 2

87 4 93,75% (2) 100% (2) 2

88 4 93,75% (2) 100% (2) 2

89 4 75% (2) 100% (2) 2

90 4 75% (2) 100% (2) 2

91 4 87,5% (2) 100% (2) 2

92 4 81,25% (2) 100% (2) 2

93 4 68,75% (1) 100% (2) 2

94 4 81,25% (2) 100% (2) 2

95 4 75% (2) 100% (2) 2

96 4 62,5% (1) 100% (2) 2

97 4 81,25% (2) 100% (2) 2

98 4 56,25% (1) 100% (2) 2

Keterangan :

a. Tingkat Pendidikan :

1 = Tidak Sekolah / Tidak Tamat SD

85 | M i n i P r o j e c t

Page 86: Mini Project TB

2 = Tamat SD

3 = Tamat SMP

4 = Tamat SMA

5 = Tamat Akademi / Perguruan Tinggi

b. Tingkat Pengetahuan

1 = Rendah (bila <70%)

2 = Tinggi (bila ≥70%)

c. Sikap

1 = Kurang baik (bila ≤50%)

2 = Baik (bila >50%)

d. Kejadian TB pada Anak

1 = Ya

2 = Tidak menderita

86 | M i n i P r o j e c t