Mini Project TB
-
Upload
tripodasilalahi -
Category
Documents
-
view
364 -
download
2
description
Transcript of Mini Project TB
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TB) sudah dikenal sejak beribu-ribu tahun sebelum Masehi.
Hal ini terbukti dari adanya tulisan tentang penyakit ini dalam Pen Tsao yakni materi medika
Cina yang sudah berumur 5000 tahun. Penyakit ini dulunya bernama Consumption atau
Pthisis dan semula dianggap sebagai penyakit degeneratif atau penyakit turunan. Barulah
Leannec (1819) yang pertama kali menyatakan bahwa penyakit ini suatu infeksi kronik, dan
Koch (1882) dapat mengidentifikasi kuman penyebabnya. Penyakit ini dinamakan
Tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle. Hampir seluruh organ
tubuh dapat terserang olehnya, tetapi paling banyak adalah paru-paru. (Soeparman, 1990)
Setiap tahunnya, TB menyebabkan hampir dua juta kematian, dan diperkirakan saat
ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB, yang mungkin akan
berkembang menjadi penyakit TB di masa datang. Selain jumlah kematian dan infeksi TB
yang amat besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan, mencapai jumlah sembilan
juta kasus baru setiap tahunnya. Menurut laporan WHO pada tahun 2004, jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, yaitu 625.000
orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Selain itu, menurut
laporan TB dunia oleh WHO tahun 2006, masih menempatkan Indonesia sebagai
penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru
sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. (Depkes RI, 2007)
Pada tahun 2002, terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis, dimana 3,9 juta adalah
kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara
yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat
182 kasus per 100.000 penduduk. Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit
tuberkulosis di seluruh dunia :
1 | M i n i P r o j e c t
Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia
Penyakit TB tidak hanya mengenai orang dewasa, anak-anak pun sudah mulai banyak
yang terjangkit penyakit TB ini. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6%
dari total kasus TB. Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3
juta kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB.
Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per
100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 2000, dan akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005. Pada survey nasionai di
Inggris dan Wales selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia <15
tahun menderita TB. Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15%
dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa.
Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan,
pencegahan serta TB dengan keadaan khusus. TB anak merupakan faktor penting di negara
berkembang karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40%-50% dari jumlah seluruh
populasi. (IDAI, 2008)
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun adalah
19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10 tahun,
diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai
infeksi HIV. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, didapatkan prevalensi 12
bulan TB Paru klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua).
Berdasarkan kelompok umur dijumpai prevalensi TB kurang dari 1 tahun sekitar 0,47%, 1-4
tahun sekitar 0,76%, dan antara 5-14 tahun sekitar 0,53%. (Riskesdas, 2008)
2 | M i n i P r o j e c t
Masalah yang dihadapi saat ini adalah peningkatan kasus TB dengan pesat,
peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS, juga meningkatnya kasus multidrug resistence-TB
(MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta mendapatkan >4% dari kasus baru. (Nelson, 2004)
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999, diperkirakan sebanyak 88,2 juta
penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000
terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV. Selama
tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%),
diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun 2005, diperkirakan
kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang. (Depkes
RI, 2007)
Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG dalam pencegahan infeksi dan penyakit TB
yang masih kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan proteksi vaksinasi BCG untuk
pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%. Secara umum daya proteksi BCG
diperkirakan hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti
milier dan meningitis TB. Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan TB miler
78% pada anak yang mendapat vaksinasi. (Nelson, 2004)
Indonesia telah berkomitmen mencapai target dunia dalam penanggulangan
tuberkulosis. Strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO telah diimplementasikan dan
diekspansi secara bertahap keseluruh unit pelayanan kesehatan termasuk puskesmas dan
institusi terkait. Berbagai kemajuan telah dicapai, namun tantangan program di masa depan
tidaklah lebih ringan, meningkatnya kasus HIV dan MDR serta bervariasinya komitmen akan
menjadikan program yang saat ini sedang dilakukan ekspansi akan menghadapi masalah
dalam hal pencapaian target global, sebagaimana tercantum pada Millenium Development
Goals (MDG). (Depkes RI, 2007)
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu :
(1) diagnosis tidak tepat
(2) pengobatan tidak adekuat
(3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat
(4) infeksi endemik HIV
(5) migrasi penduduk
(6) mengobati sendiri (self treatment)
(7) meningkatnya kemiskinan
(8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai. (IDAI, 2008)
3 | M i n i P r o j e c t
Berdasarkan data dari Poliklinik Anak RSUD Arga Makmur Bengkulu Utara, kasus
TB pada anak yang terjadi di kabupaten Bengkulu Utara pada tahun 2012 sekitar 7 orang
anak, dan bertambah pada tahun 2013 yaitu sekitar 11 orang anak. Untuk wilayah kerja
Puskesmas Arga Makmur sendiri didapatkan pada tahun 2012 sekitar 1 orang anak terkena
TB, dan bertambah pada tahun 2013 yaitu sekitar 3 orang anak terkena TB. Berdasarkan data
tersebut, terbukti bahwa masih ditemukannya kasus TB pada anak di wilayah kerja
Puskesmas Arga Makmur, oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan
mengangkat topik TB pada anak ini dalam bentuk karya tulis ilmiah berupa mini project,
terutama mengenai TB pada anak beserta diagnosis bandingnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran tingkat
pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai kasus TB pada anak, terutama dalam hal
membedakan TB dengan penyakit paru pada anak lainnya?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai TB pada anak
terutama untuk membedakannya dengan penyakit paru pada anak lainnya, sehingga
diharapkan dapat membantu menurunkan prevalensi penyakit TB pada anak yang terjadi di
kecamatan Arga Makmur pada umumnya dan di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur
pada khususnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit TB pada anak terutama dalam hal membedakannya dengan
penyakit paru pada anak lainnya.
2. Mengidentifikasi gambaran sikap masyarakat terhadap penyakit TB pada
anak dalam upaya pencegahan dan pengobatan TB pada anak di
Puskesmas Arga Makmur.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Untuk Puskesmas
4 | M i n i P r o j e c t
Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai TB pada
anak, terutama dalam hal membedakannya dengan penyakit paru pada
anak lainnya, serta untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap penyakit
TB pada anak terutama dalam upaya pencegahan dan pengobatan sehingga
dapat diketahui sejauh mana upaya edukasi perlu diberikan.
Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Arga Makmur dalam peningkatan pelayanan
kesehatan baik dalam hal pencegahan dan pengobatan penyakit TB pada anak sehingga
dapat membantu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian anak karena penyakit
TB.
1.4.2 Untuk Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB
pada anak, terutama dalam hal membedakannya dengan
penyakit paru pada anak lainnya, serta dalam hal pencegahan
dan pengobatan yang harus diberikan.
Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit
TB terutama pada anak.
Agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal
berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit TB, terutama pada anak, baik
dalam hal pencegahan dan pengobatan penyakit.
1.4.3 Untuk Dokter Internship
Merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman serta menerapkan
ilmu kedokteraan terutama Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Meningkatkan keilmuan mengenai penyakit TB terutama pada anak.
Meningkatkan keterampilan komunikasi di masyarakat juga meningkatkan
kemampuan berpikir analisis dan sistematis dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan.
Merupakan kesempatan untuk bersosialisasi di dalam masyarakat.
Meningkatkan kemmapuan berpikir analisis dan sistematis dalam
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan.
Dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
5 | M i n i P r o j e c t
Karena adanya keterbatasan waktu, dana, dan kemampuan yang ada, maka penelitian
ini dibatasi hanya membahas gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai
penyakit TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur. Penelitian ini dilakukan
pada saat posyandu, serta dengan melakukan kunjungan rumah di tiga kelurahan dengan
penemuan kasus TB terbanyak pada tahun 2013, yaitu kelurahan Gunung Alam, Gunung
Selan, dan Gunung Agung. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan kegiatan.
BAB II.
6 | M i n i P r o j e c t
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan
oleh Mycobakterium tuberkulosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan TB
paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB
jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf
pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ
tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB
milier atau TB ekstrapulmoner. (IDAI, 2008)
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik
yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi
overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan
undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang
dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan
pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang
diperhatikan. (Supriyatno, 2007)
TB pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak <15 tahun.
(IDAI, 2008) Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan
dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif,
rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei
Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan
paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya
terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta
didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika
terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen
toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis. (Madhi, 2000)
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita
TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke
udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman
TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan
sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia
7 | M i n i P r o j e c t
sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi
sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan
membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh
seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang
sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur. (Supriyatno,
2007)
2.2 Epidemiologi
WHO memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia (±2 bilyun orang) terinfeksi
dengan M. tuberculosis. Angka infeksi tertinggi adalah di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika,
dan Amerika Latin. TB terutama menonjol di populasi yang mengalami gizi yang jelek, padat
penduduk, dan perawatan kesehatan tidak cukup. Frekuensi kasus TB turun selama setengah
abad pertama jauh sebelum penemuan obat-obat antituberkulosis (OAT) sebagai akibat dari
perbaikan kondisi kehidupan. (Behrman, 2002)
Pada orang dewasa, dua pertiga kasus terjadi pada orang laki-laki, tetapi ada sedikit
dominasi TB pada waktu di masa anak. Di Amerika Serikat, kebanyakan anak terinfeksi
dengan M. tuberculosis di rumahnya oleh seseorang yang dekat padanya, tetapi wabah TB
anak juga bisa terjadi di tempat umum seperti sekolah, pusat penitipan anak, dan tempat
lainnya. Orang dewasa yang terinfeksi virus defisiensi imun manusia (Human
Immunodeficiency Virus / HIV) dengan TB dapat menularkan kuman TB ke anak, dan anak
dengan infeksi HIV bertambah resiko berkembang TB sesudah infeksi. (Behrman, 2002)
Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di
Negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB,
sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%. (IDAI, 2008)
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, didapatkan prevalensi
12 bulan TB Paru klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5%
(Papua). Berdasarkan kelompok umur dijumpai prevalensi TB kurang dari 1 tahun sekitar
0,47%, 1-4 tahun sekitar 0,76%, dan antara 5-14 tahun sekitar 0,53%. (Riskesdas, 2008)
2.3 Anatomi Paru Manusia
Paru‐paru adalah organ berbentuk spons yang terdapat di dada. Paru-paru kanan
memiliki 3 lobus, sedangkan paru‐paru kiri memiliki 2 lobus. Paru‐paru kiri lebih kecil,
karena jantung membutuhkan ruang yang lebih pada sisi tubuh ini. Paru‐paru membawa
8 | M i n i P r o j e c t
udara masuk dan keluar dari tubuh, mengambil oksigen dan menyingkirkan gas karbon
dioksida (zat residu pernafasan). (Sherwood, 2001)
Gambar 2. Anatomi Paru
Lapisan di sekitar paru‐paru disebut pleura, membantu melindungi paru-paru dan
memungkinkan mereka untuk bergerak saat bernafas. Batang tenggorokan (trakea) membawa
udara ke dalam paru‐paru. Trakea terbagi ke dalam tabung yang disebut bronkus, yang
kemudian terbagi lagi menjadi cabang lebih kecil yang disebut bronkiol. Pada akhir dari
cabang-cabang kecil inilah terdapat kantung udara kecil yang disebut alveoli. Di bawah paru‐
paru, terdapat otot yang disebut diafragma yang memisahkan dada dari perut (abdomen). Bila
bernapas, diafragma bergerak naik dan turun, memaksa udara masuk dan keluar dari paru‐paru. (Sherwood, 2001)
2.4 Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui,
dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar
karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan
interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan
9 | M i n i P r o j e c t
gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis
eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga
toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini
meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara
saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru
sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tahap kedua
dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler
yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah
selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir
pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai
di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.
Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur
dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan Tahap kedua dari proses
pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis
(tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih
tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada
permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.
Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur
dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan
tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan
karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke
atmosfir. Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler
darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama
0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan
waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi
melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga
dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya
hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama. (Sherwood, 2001)
2.5 Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan
patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum
menyebabkan infeksi, yaitu: M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti dan M.
10 | M i n i P r o j e c t
canetti. Dari kelima jenis ini M. tuberculosis merupakan penyebab paling penting dari
penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. tuberculosis yaitu varian humanus,
bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. tuberkulosis
varian humanus. (Chintu, 2002)
Mycobacterium tuberkulosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang
1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. M. tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan
merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang
mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid
menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian
besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid
membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap
gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap asam, M. tuberculosis dapat
membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai
zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman
ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan
dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali. (Soeparman, 1990)
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma
makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat
aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung
oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2
pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya. (Madhi, 2000)
M. tuberculosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan
glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu
generasi 12-24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid
membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan
tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1-3
minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas
terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari. (Chintu, 2002)
2.6 Faktor Resiko
Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang yang
rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB (infectious TB),
dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena itu faktor risiko untuk
infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB. (Lienhardt, 2003) Terdapat beberapa
11 | M i n i P r o j e c t
faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak.
Faktor risiko tersebut dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi
menjadi penyakit (resiko penyakit). (Supriyatno, 2007)
a. Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik),
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang
banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang
dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA
sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan
encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat
terutama sirkulasi udara yang kurang baik. (Behrman, 2002)
Penularan M. tuberculosis adalah dari orang ke orang, droplet lendir berinti
(droplet nuclei) di udara. Penularan jarang terjadi dari barang-barang yang
terkontaminasi kuman TB. Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara yang buruk,
memperbesar peluang penularan. Penularan dari anak ke anak jarang terjadi, karena
basil tuberkel sedikit disekresi endobronkial. Hal tersebut karena :
a.) Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit.
b.) Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak
terjadi produksi sputum.
c.) Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk
di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.
(Behrman, 2002)
b. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut
ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
sakit TB :
a.) Usia
Anak berusia ≤5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna
12 | M i n i P r o j e c t
(imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring
dengan pertambahan usia. Anak berusia ≤5 tahun memiliki risiko lebih tinggi
mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Pada bayi,
rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang
dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.
b.) Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif
menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
c.) Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,
pengangguran, pendidikan yang rendah.
d.) Faktor lain yaitu malnutrisi, immunocompromise (misalnya pada infeksi HIV,
keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
e.) Virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksinya. (Behrman, 2002)
2.7 Patogenesis / Patologi
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Kuman TB tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB. Kuman TB
tersebut akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon. (IDAI, 2008)
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer. (IDAI, 2008)
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB berlangsung selama 4-8 minggu,
dengan rentang waktu 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
13 | M i n i P r o j e c t
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas
seluler. (IDAI, 2008)
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman
TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB
primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh
terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih
negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil
kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler
spesifik (cellular mediated immunity, CMI ). (IDAI, 2008)
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sempurna. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB. (IDAI, 2008)
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal
yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. (IDAI, 2008)
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. (IDAI, 2008)
Melalui penyebaran hematogen, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
14 | M i n i P r o j e c t
Gambar 3. Patogenesis Tuberkulosis
paling sering di limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di
organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang
tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di
apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi
dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. (IDAI, 2008)
Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB
pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi
sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan
dewasa muda. (Jeena, 2002)
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB
pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem
skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun setelah
infeksi primer, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal
biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. (Supriyatno, 2007)
15 | M i n i P r o j e c t
Keterangan :
*1 : penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenis
spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari
*2 : kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfeadenitis regional
*3 : tuberkulosis primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran
16 | M i n i P r o j e c t
hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas seluler spesifik, hingga
pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer
*4 : sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya dapat
melalui reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan
seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen)
(Zar HJ, 2001)
Gambar 4. Perjalanan Penyakit Tuberkulosis
Gambar 5. Gambaran Paru yang Terinfeksi Kuman TB
2.8 Klasifikasi
A. Berdasarkan Organ yang Terkena
17 | M i n i P r o j e c t
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Gejala dan
keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis
TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan
sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang
kuat dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-
alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks
dan lain-lain. (Depkes RI, 2007)
B. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA postif (apusan atau
kultur)
3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif
4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan
5. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya
6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kasus ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2007)
18 | M i n i P r o j e c t
2.9 Diagnosis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan
bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi di antara keduanya. Faktor kuman
bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada
usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.
(Supriyatno, 2007)
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan
gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan, sedangkan pada kelompok
dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease. (Zar HJ, 2001)
A. Gejala Sistemik
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa
manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu :
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat
disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada
pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak
naik dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
6. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah). (Zar HJ, 2001)
B. Gejala Lokal Paru
1. TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang
dihubungkan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa
gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus
limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang,
demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan
individu dengan TB yang tes tuberkulinnya positif, diagnosis TB asimptomatis harus
segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.
(Madhi, 2000)
2. TB Paru Primer
19 | M i n i P r o j e c t
Kompleks primer mengandung 3 elemen, yaitu fokus primer, limfangitis dan
limfadenitis regional. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan
dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling
terinfeksi. Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan
terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila
nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi
dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip
penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi
hiperinflasi dapat terjadi bersamaan. (Supriyatno, 2007)
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perubahan diameter
saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Gejala yang paling sering adalah
batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus
dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan. (Jeena,
2006)
3. TB Paru Kronis / Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat
jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak
yang mempunyai strata sosio-ekonomi yang rendah, serta pada anak dengan diagnosis
TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding
anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat
pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam,
anoreksia, malaise, penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri
dada dan hemoptisis. (Zar HJ, 20001)
4. Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir
tidak ditemukan pada anak usia di bawah 5 tahun. Onset dari efusi pleura berlangsung
cepat dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan
bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa
minggu. (Nelson, 2004)
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah
20 | M i n i P r o j e c t
terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji
tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU
secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam
setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak
timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif. (Supriyatno, 2007)
Gambar 6. Cairan PPD RT-23 2TU
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan
positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan
oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau
infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14
cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah,
tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15
mm sangat mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasinya 0-4 mm,
maka dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif
meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak
terdapat kelainan radiologis, maka hasil positif yang digunakan 5mm. (Supriyatno,
2007)
21 | M i n i P r o j e c t
Gambar 7. Pengukuran Diameter Indurasi
2. Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,
diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah
tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon
gamma yang kemudian dikalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini
belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. (Chintu, 2002)
3. Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis
pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah :
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma (Supriyatno, 2007)
22 | M i n i P r o j e c t
Gambar 8. Roentgen Thoraks pada Anak yang Menderita TB Paru
4. Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB,
mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lainnya. Akan tetapi, hingga saat
ini belum ada satu pun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi
TB dan sakit TB. (Chintu, 2002)
5. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA dengan metode pewarnaan
Ziehl-Nelsen, pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis dan pemeriksaan PCR. Pada
anak, pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit mendapatkan
sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan
hanya 10% anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur, hasil dinyatakan positif
jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan
untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.
(Supriyatno, 2007)
23 | M i n i P r o j e c t
Gambar 9. Gambaran Mikroskopik BTA Positif
6. Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia Langhans. (Supriyatno,
2007)
Gambar 10. Gambaran PA pada Paru yang Terinfeksi TB
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan
menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system),
24 | M i n i P r o j e c t
yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara
resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB
anak. (IDAI, 2008)
Tabel 1. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak jelas Laporan
keluarga,
BTA
negatif atau
tidak tahu,
BTA tidak
jelas
BTA positif
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan /
keadaan gizi
Bawah garis
merah (KMS)
atau BB/U
<80%
Klinis gizi
buruk
(BB/U
<60%)
Demam tanpa
sebab jelas
≥ 2 minggu
Batuk ≥3 minggu
Pembesaran
kelenjar limfe
koli, aksila,
inguinal
≥1 cm,
jumlah >1,
tidak nyeri
Pembengkaka
n tulang / sendi
panggul, lutut,
falang
Ada
pembengkakan
25 | M i n i P r o j e c t
Foto thoraks Normal /
tidak jelas
Kesan TB
Jumlah
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberculosis
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku
Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;
atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena
diperlakukan secara khusus
Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,
maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari)
harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat
diagnostik
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan
penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien
harus di rawat inap di RS. (IDAI, 2008)
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau
sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka
26 | M i n i P r o j e c t
perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,
dan lain lainnya. (IDAI, 2008)
Pada anak yang menderita TB, perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu
keadaan di bawah ini :
1. Tanda bahaya :
• kejang, kaku kuduk
• penurunan kesadaran
• kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis (Depkes RI, 2007)
Terapi TB diteruskan Terapi TB diteruskan
sambil mencari penyebabnya
Gambar 11. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar
2.10 Diagnosis Banding
Diagnosis banding TB antara lain pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut
yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia).
Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara
mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit pada
anak usia <2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1
tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.
(Behrman, 2002)
Pneumonia bakterial biasanya timbul mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi
disertai menggigil dan sesak memburuk dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul
perlahan, pasien tidak tampak sakit berat, demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak
27 | M i n i P r o j e c t
Skor ≥6
Beri OAT selama 2 bulan dan dievaluasi
Respon (+) Respon (-)
bertambah secara bertahap, melibatkan banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok
usus). (Behraman, 2002)
Pada pemeriksaan laboratorium, pada pemeriksaan darah lengkap, didapatkan :
Pneumomia bakteri : leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3), dengan predominan
PMN.
Pneumonia virus dan pneumonia mikoiplasma : leukosit dalam batas normal
atau meningkat sedikit.
Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED )
menigkat (Behrman, 2002)
Pemeriksaan mikrobiologis dilakukan pada pneumonia berat. Spesimen yang diambil
berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, fungsi pleura atau
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila ditemukan kuman dari spesimen tersebut.
(Behrman, 2002)
Pemeriksaan yang dilakukan hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Secara
umum gambaran foto toraks terdiri dari :
a. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler, dan
hiperaerasi
b. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas
tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
penigkatan corakan peribronkial (Behrman, 2002)
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Lesi pneumonia anak terbanyak berada di
paru kanan, terutama di lobus atas. Jika ditemukan di paru kiri dan terbanyak di lobus bawah
itu merupakan predictor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya
pleuritis lebih meningkat.
2.11 Medikamentosa
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan
28 | M i n i P r o j e c t
obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang
Pengawas Minum Obat (PMO).
Pada awal tahun 1990-an WHO telah mengembangkan strategi penanggulangan TB
yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah
terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).
Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials),
pengalamanpengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program
penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik,
disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB. Fokus
utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien
TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian
menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan
cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi
DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan
strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. (Depkes RI,
2007)
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci :
1) Komitmen politis
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana
kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan (Depkes RI, 2007)
2.11.1 Obat TB yang Digunakan
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin,
gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika
terjadi MDR. (Chintu, 2002)
29 | M i n i P r o j e c t
1. Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang
sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik
terhadap kuman yang diam (dormant). Obat ini efektif pada intrasel dan
ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki
angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah. (Supriyatno, 2007)
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah
5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan
300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup
biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi
puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan
menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui proses
asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang
dewasa, sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi dari pada dewasa.
Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus
sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak
membahayakan. (Supriyatno, 2007)
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien
dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian
besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar
transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan
menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali
bila ada gejala dan tanda klinis. (Supriyatno, 2007)
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
30 | M i n i P r o j e c t
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu
kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10
mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid. (Zar HJ, 2001)
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,
dan air mata, menjadi warna orange kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal
10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan
dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin,
digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin.
Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450
mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran
BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa,
tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena
dapat menimbulkan malabsorpsi. (Supriyatno, 2007)
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam,
dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral
sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar
serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase
intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang
timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan
pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan
pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat
hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang
terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi
saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid
31 | M i n i P r o j e c t
tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan
diberikan bersamaan makanan. (Supriyatno, 2007)
4. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25
gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Etambutol tersedia dalam bentuk
tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa pada
pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi
baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. (Chintu, 2002)
Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna
merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang
belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir
mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada
anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak
dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak
tersedia atau tidak dapat digunakan. (Supriyatno, 2007)
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar
puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam. (Chintu, 2002)
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi
baik pada jaringan dan cairan pleura dan dieksresikan melalui ginjal.
Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal
terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan
32 | M i n i P r o j e c t
dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing.
Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
(Supriyatno, 2007)
Tabel 2. Obat Anti Tuberkulosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya
Nama Obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg/hari)
Efek Samping
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik
Keterangan :
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan). (Supriyatno,
2007)
2.11.2 Panduan Obat TB
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan. Prinsip
dasar pengobatan TB pada anak adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan (2RHZ / 4RH). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
33 | M i n i P r o j e c t
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
(IDAI, 2008)
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi
persisten M. tuberculosis (kuman tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh,
dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan
lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang
tidak berbeda makna dengan pengobatan 6 bulan. (Chintu, 2002)
Tabel 3. Dosis OAT Kombipak pada Anak
Jenis Obat BB
< 10 kg
BB
10 - 19 kg
BB
20 - 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg
Tabel 4. Dosis OAT KDT pada Anak
Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150)
4 bulan tiap hari
RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan :
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet
• Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit
• Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibagi
• OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum (IDAI, 2008)
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau berkontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan
sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor <6, kepada anak
34 | M i n i P r o j e c t
tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila
anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah
pengobatan pencegahan selesai. (IDAI, 2008)
2.11.3 Evaluasi hasil pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah
2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan
tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting
adalah evaluasi klinis, yaitu menghilangnya atau membaiknya kelainan klinis yang
sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya
demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon
pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan. (Zar HJ, 2001)
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara
rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata atau luas seperti TB milier,
efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu
diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB
pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat
digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi. (Chintu,
2002)
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak
terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut
mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,
mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana
kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan
paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis
OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit atau penyerta,
serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis,
pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak
perlu dilakukan secara rutin. (Chintu, 2002)
2.11.4 Evaluasi efek samping pengobatan
Seperti telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek
samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan
35 | M i n i P r o j e c t
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam, gatal, serta demam.
Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. (Supriyatno,
2007)
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15mg/kgBB/hari
dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan serum glutamic oxaloacetic
transaminase (SGOT) dan serum glutamic-pyruvic transaminse (SGPT) hingga ≥5 kali
tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai dengan gejala, peningkatan
bilirubin total lebih dari 1,5mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun
yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan muntah. (Supriyatno, 2007)
Masih banyak perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai pemantauan dan
penatalaksanaan hepatotoksisitas pada anak. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa
pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit
yang berat seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang
memerlukan dosis isoniazid dan rifampisin lebih besar daripada dosis yang dianjurkan.
Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan.
Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang cukup sering (misalnya tiap 2 minggu)
selama 2 bulan pertama, selanjutnya dapat lebih jarang. (Supriyatno, 2007)
Pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan tidak
melebihi anjuran, pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada
keadaan ini, hanya diperlukan screening fungsi hati sebelum pemberian terapi serta
pemantauan gejala klinis hepatotoksisitas. (Supriyatno, 2007)
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan
perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase
yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian
terapi, sedangkan peningkatan ≥5 kali tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal disertai
gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin.
Akan tetapi, mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif,
perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan
bahwa paduan pengobatan dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman diberikan dengan
dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat. Apabila
peningkatan enzim transaminase ≥5 kali tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal
disertai gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase
36 | M i n i P r o j e c t
diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai
laboratorium telah normal. Terapi berikutnya dengan cara memberikan isoniazid dan
rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan
klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada
pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung penuh (full dose) dan
pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan. (Supriyatno, 2007)
2.11.5 Putus obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥2
minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat
pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat
telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya. (Supriyatno,
2007)
2.11.6 Multi Drug Resistance (MDR) TB
Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua
atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan
adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan.
Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa
dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat
tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang
tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan meminum obat. (Supriyatno,
2007)
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat
tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalensi TB yang tinggi. Akan tetapi
diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan
MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-
TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak
benar, prevalensi MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar
yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka
prevalensi MDR-TB hanya 1,6% saja. Bila terjadi MDR, maka digunakan OAT lini
kedua seperti pada tabel berikut ini :
Tabel 5. Daftar OAT Lini Kedua untuk MDR-TB
37 | M i n i P r o j e c t
Nama Obat Dosis Harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis
Maksimal
(mg per
hari)
Efek Samping
Ethionamide atau
Prothionamide
Fluoroquinolones
Ofloxacin
Levofloxacin
Mexifloxacin
Gentifloxacin
Ciprofloxacin
Aminoglycosides
kanamycin
amikacin
capreomycin
Cycloserine terizidone
Para-aminosalycylic
Acid
15- 20
15-20
7,5-10
7,5-10
7,5-10
20-30
15-30
15-22,5
15-30
10-20
150
1000
800
1500
1000
1000
1000
1000
12 000
muntah, gangguan
gastrointestinal,
sakit sendi
ototoksisitas,
toksisitas hati
gangguan psikis,
gangguan
neurologis
muntah, gangguan
gastrointestinal
2.12 Non-medikamentosa
2.12.1 Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan
obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam
menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya
resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan
pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly
observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh
WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di
38 | M i n i P r o j e c t
Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi. (Supriyatno, 2007)
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu
sebagai berikut :
Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.
Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB. (Supriyatno, 2007)
2.12.2 Sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji
tuberkulin. (Supriyatno, 2007)
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau
yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).
Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yaitu uji tuberkulin. (Chintu, 2002)
2.12.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB
memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka
biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang
baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan
gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang
optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai
TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak
39 | M i n i P r o j e c t
menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi,
kecuali pada TB berat. (Chintu, 2002)
2.12.4 Pencegahan
a. Imunisasi BCG
Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari M. bovis
yang dibiak berulang selama 1-3 tahun, sehingga didapatkan kuman yang tidak virulen
tetapi masih mempunyai imunogenisitas. Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2
bulan. Dosis untuk neonates adalah 0,05 ml dan untuk bayi dan anak adalah 0,10 ml,
diberikan secara intradermal (intrakutan) di daerah insersi otot deltoid kanan
(penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak mengganggu
struktur otot dan sebagai tanda baku, dan bila terjadi limfeadenitis BCG akan lebih muda
terdeteksi). Penyuntikan harus dilakukan perlahan-lahan ke arah permukaan (superfisial)
sehingga terbentuk suatu benjolan berwarna lebih pucat daripada kulit sekitarnya dan
tampak gambaran pori-pori. (Supriyatno, 2007)
Cara pemberian vaksin BCG adalah sebagai berikut :
1. Sebelum disuntikkan, vaksin BCG harus dilarutkan dengan 4 ml pelarut NaCl
0,9%. Melarutkan dengan menggunakan alat suntik steril dengan jarum panjang.
2. Dosis pemberian 0,05 ml, sebanyak 1 kali, untuk bayi.
Gambar 12. Vaksin BCG
Petugas Imunisasi IDAI merekomendasikan pemberian BCG pada bayi ≤2 bulan.
Pemberian BCG setelah usia 1 bulan lebih baik. Bayi yang diduga mempunyai kontak
40 | M i n i P r o j e c t
erat dengan pasien TB aktif, atau yang akan diimunisasi pada usia ≥3 bulan, sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. BCG tidak perlu diulang sebagai booster,
demikian juga bila tidak terbentuk parut. Tidak ada bukti bahwa vaksinasi ulangan BCG
memberikan proteksi tambahan. (Supriyatno, 2007)
Bila kita melakukan vaksinasi BCG, akan timbul reaksi bengkak dan merah,
biasanya dalam waktu 4-6 minggu setelah penyuntikan. Akan tetapi, bila reaksi ini sudah
timbul dalam kurun waktu 1 minggu, maka disebut reaksi cepat BCG. Hal ini dapat
menjadi penanda kecurigaan adanya infeksi TB pada bayi tersebut, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan uji tuberkulin dan pemeriksaan lain. Akan
tetapi, melakukan vaksinasi BCG sebagai sarana diagnostik sebagai pengganti tuberkulin
tidak dibenarkan. Pada vaksinasi BCG rutin, perlu diinformasikan pada orang tua pasien
bahwa bila ada reaksi cepat setelah penyuntikan harus segera dilaporkan untuk evaluasi
lebih lanjut. (Supriyatno, 2007)
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB
milier, meningits TB, TB sistem skeletal, dan kavitas. Imunisasi BCG relatif aman, jarang
menimbulkan efek samping yang serius. Efek samping yang serius ditemukan adalah
ulserasi lokal dan limfeadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%.
Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi
imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda
hingga bayi mencapai berat-badan optimal. (Supriyatno, 2007)
Pemberian vaksin BCG telah dilakukan sejak tahun 1921, dan selama ini lebih
dari 3 milyar dosis vaksin BCG telah diberikan di seluruh dunia. Meskipun demikian,
perdebatan mengenai efektivitas BCG dalam memproteksi bayi/anak terhadap TB masih
berlangsung. Efek proteksi atau efektivitas BCG bervariasi 0-80%, dari berbagai
publikasi dari berbagai negara. Efek proteksi atau efektivitas BCG adalah kemampuan
BCG untuk menurunkan angka kejadian TB baru dalam populasi, bukan pada seorang
individu. (Supriyatno, 2007)
Sekitar 1-2% anak mengalami komplikasi BCG. Komplikasi tersering adalah
abses lokal, infeksi bakteri sekunder, limfeadenitis supuratif BCG, dan timbulnya keloid.
Sebagian besar reaksi in akan membaik dalam beberapa bulan. Akan tetapi, anak yang
mengalami penyakit BCG diseminta harus diperiksa lebih lanjut terhadap kemungkinan
difisensi imun dan diobati dengan OAT lini pertama (kecuali pirazinamid karena M.bovis
41 | M i n i P r o j e c t
umumnya resisten terhadap obat tersebut). Limfadenitis BCG merupakan efek samping
yang sering dijumpai pada vaksiniasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang
serius. Kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 vaksinasi. (Supriyatno, 2007)
Limfadenitis BCG adalah pembesaran kelenjar limfe regional setelah vaksinasi
BCG. Pembesaran kelenjar tersebut dapat hilang secara spontan atau tetap membesar,
bahkan dapat timbul pus (supuratif). Setelah dilakukan penyuntikan BCG, akan terjadi
multiplikasi secara cepat, dan melalui sistem limfatik akan menuju ke kelenjar limfe
regional. Reaksi pada sisi yang sama dengan vaksinasi dan kelenjar, bersama-sama
membentuk kompleks primer yang prosesnya sama dengan komples primer akibat infeksi
TB alamiah. Kemudian akan diikuti reaksi patologis pada tempat suntikan, dan
pembesaran pada kelenjar limfe regional yang tidak terlalu besar dan tidak menimbulkan
penyakit (TB). Tidak ada patokan baku untuk pembesaran kelenjar itu normal atau
abnormal. Beberapa ahli sepakat menyatakan abnormal apabila ukurannya besar, dalam
arti mudah untuk diraba dan orang tua mengeluh karena pembesaran tersebut. Kelenjar
limfe regional yang terlibat sebagian besar adalah kelenjar aksila ipsilateral (95%), diikuti
oleh kelenjar supraklavikula dan servikal. Limfadenitis BCG terjadi setelah 2 minggu
atau 2 bulan, tetapi tidak lebih dari 12 bulan. Umumnya kelenjar yang membesar soliter
meskipun ada yang multipel. (Supriyatno, 2007)
Kejadian limfadenits BCG berhubungan dengan tipe vaksin dan pejamu. Faktor
vaksin mencakup virulensi substrain BCG (bebarapa strain BCG memang lebih
reaktogenik), viabilitas (proporsi kuman yang hidup dan yang mati) pada produk akhir,
dan dosis vaksinasi. Faktor yang berperan pada pejamu pula adalah: (1) usia vaksinasi
(pemberian vaksinasi pada neonatus mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
limfeadenitis TB), (2) respon imunologik terhadap vaksin (pasien imunokompromais
mempunyai resiko lebih tinggi), (3) karakteristik resipien (termasuk di dalamnya salah
penyuntikan/keahlian menyuntik). (Supriyatno, 2007)
Ada dua jenis limfadenitis BCG, yaitu non-supuratif dan supuratif. Bentuk yang
non-supuratif biasanya muncul pada beberapa minggu setelah penyuntikan, dan
menghilang dalam beberapa minggu tanpa ada sekuele yang berarti. Sedangkan pada jenis
supuratif timbul dalam beberapa bulan kemudian, pembesaran kelenjar dapat bersifat
progresif, terdapat fluktuasi, kemerahan, edema, bahkan dapat membentuk sinus pada
tempat penyuntikan. Kadang-kadang diperlukan perawatan intensif terhadap luka yang
timbul, dan diperlukan beberapa bulan untuk dapat hilang secara spontan. Jenis supuratif
ini terjadi pada 30-80% kasus limfadenitis BCG. (Supriyatno, 2007)
42 | M i n i P r o j e c t
Limfadenitis BCG biasanya tidak disertai demam, tidak nyeri pada tempat edema,
dan tidak didapatkan tanda-tanda yang menyokong ke arah TB seperti penurunan berat
badan, demam lama, dan nafsu makan yang berkurang. Pemeriksaan laboratorium, uji
tuberkulin, dan foto toraks kurang membantu. Uji tuberkulin biasanya akan menunjukkan
hasil yang positif. Pemeriksaan PA dari biopsi kelenjar kadang-kadang justru
membingungkan karena gambaran patologisnya sama dengan TB. (Supriyatno, 2007)
Tatalaksana limfadenitis BCG masih kontroversial. Pada limfadenitis tipe non-
supuratif biasanya tidak menjadi masalah, karena dengan penjelasan yang baik orang tua
akan dapat menerima. Akan tetapi, pada limfadenitis tipe supuratif terdapat beberapa
perbedaan dalam penanganannya. Pemberian antibiotik eritromisin dan OAT (isoniazid
dan rifampisin) pernah dilaporkan penggunaannya, tetapi hasilnya tidak memuaskan.
Beberapa ahli menyatakan bahwa pengobatan dengan OAT tidak diperlukan karena tidak
efektif. Obat-obat lain yang digunakan biasanya berhubungan dengan komplikasi yang
timbul, misalnya perawatan luka. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI
merekomendasikan untuk tidak memberikan OAT pada limfadenitis BCG, melainkan
hanya melakukan pemantauan. (Supriyatno, 2007)
Komplikasi limfadenitis yang tersering adalah penyembuhan luka yang kurang
baik, sehingga yang terpenting adalah pencegahan terhadap pecahnya limfadenitis
supuratif. Salah satu yang dianjurkan adalah dengan melakukan aspirasi pus, yang
biasanya dilakukan sekali saja. Dengan aspirasi pus, lama penyembuhan dapat
dipersingkat. Tindakan eksisi dilakukan apabila aspirasi tidak menunjukkan hasil yang
baik, sudah terbentuk sinus, atau kelenjarnya multipel. Selain itu, tindakan eksisi lebih
diindikasikan pada kosmetik, yaitu mencegah pecahnya kelenjar dengan luka dan parut
yang tidak beraturan. (Supriyatno, 2007)
2.13 Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis
sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.
Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan
dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada
akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan
sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH
43 | M i n i P r o j e c t
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika
didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan
uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut. (Supriyatno, 2007)
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak
semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan
immunocompromise. Contoh anak-anak dengan immunocompromise adalah usia balita,
menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik
dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun
waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12
bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan
untuk menilai respon dan efek samping obat. (Supriyatno, 2007)
2.14 Prognosis dan Komplikasi
2.14.1 Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang baik, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai regimen obat, yang
berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi
multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena
para dokter meresepkan regimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidak patuhan
pasien dalam menjalanin pengobatan. (Supriyatno, 2007)
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama
isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi
OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%. (Kartasasmita, 2001)
Dikatakan hasil pengobatan pada pasien TB BTA positif :
Sembuh
44 | M i n i P r o j e c t
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang
dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. (Dinkes, 2007)
2.14.2 Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran
ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua
yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan
pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.
(Supriyatno, 2007)
2.15 Pengetahuan
2.15.1 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan
atau suatu perubahan tingkah laku. (Notoatmodjo, 1993)
2.15.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan, yakni :
45 | M i n i P r o j e c t
1. Tahu (Know)
Tahu merupakan pengetahuan hapalan yang meminta responden untuk
mengenal dan mengetahui adanya konsep, fakta, atau istilah-istilah tanpa
harus mengerti atau dapat menilai ataudapat menggunakan, hanya menuntut
untuk menyebutkan kembali atau menghapal saja.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan
meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus,
metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu komponen untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru, atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian-penilaian itu didasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
46 | M i n i P r o j e c t
3.1 Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif dengan rancangan
untuk mengetahui atau melihat gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kasus Tuberkulosis Paru yang terjadi pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur
tahun 2014. Serta mengadakan analisa tentang gambaran tersebut dengan pengamatan lisan
dengan alat bantu penelitian berupa kuesioner dan check list, dimana data dan informasi yang
menyangkut variable bebas dan variable terikat dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.
Pemilihan rancangan ini didasarkan karena mudah dilaksanakan, ekonomis dan efektif dari
segi biaya dan waktu, sedangkan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat dan tepat.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di 3 kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Arga
Makmur yang memiliki presentase kejadian kasus Tuberkulosis Paru terbanyak pada
tahun 2013, yaitu kelurahan Gunung Alam, Gunung Agung, dan Gunung Selan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan pada Februari 2014 - Maret 2014
3.3 Metode Pengambilan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang
menjadi objek penelitian, atau populasi merupakan objek atau subjek yang berada
pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan
masalah penelitian (Riduwan, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah para orang
tua yang tinggal di wilayah kelurahan Gunung Alam, Gunung Agung, dan Gunung
Selan dengan rentang usia 15-60 tahun, yaitu sebanyak 5.860 orang.
3.3.2 Sampel
47 | M i n i P r o j e c t
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti, dan
dianggap dapat mewakili seluruh populasi. (Notoatmojo, 2002). Dalam hal ini sampel
diambil berdasarkan Rumus Taro Yamane atau Slovin, yaitu :
Keterangan rumus:
n= Jumlah Sampel
N= Jumlah Populasi yang diketahui
d= Presisi (ditetapkan 10 % dengan tingkat kepercayaan 95 %)
(Riduwan, 2009).
Jadi, besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebesar :
n = N / (N(d)2 + 1)
= 5.860 / (5.860 (0,1) 2 + 1)
n = 98,32 ≈ 98 sampel
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan cara Simple
Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak
tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut.
Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti dengan
melakukan kunjungan rumah pada responden sampai besar sampel terpenuhi untuk
mendapatkan data primer.
3.4 Kerangka Konsep
Menurut Notoatmodjo (2002) yang dimaksud dengan kerangka konsep penelitian
adalah suatu hubungan atau keterkaitan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya
dari masalah yang diteliti. Pada penelitian ini, kerangka konseptual dikembangkan dengan
mengacu pada teori Green yang dikenal dengan Precede, yaitu suatu perilaku spesifik yang
dipengaruhi oleh 3 faktor :
1. Faktor Predisposising (pemudah) yang terwujud dalam pendidikan, pengetahuan,
jenis kelamin, sosial budaya, ekonomi / pendapatan, motivasi, dan sikap.
48 | M i n i P r o j e c t
n = N/ (N(d)2 + 1)
2. Faktor Enabling (pemungkin) terwujud dalam sarana dan prasarana transportasi,
pedoman kerja, geografis / jarak tempat tinggal.
3. Faktor Rainforsing (penguat) terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, masyarakat,
lingkungan, dan penentu kebijakan.
Berpatokan pada kerangka berpikir di atas, maka dapat digambarkan hal-hal yang
dapat mempengaruhi perilaku seseorang yang secara sistematis, kerangka konseptual
seperti bagan di bawah ini :
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 13. Kerangka Konsep Penelitian
3.5 Variabel Penelitian
Variabel penelitian dalam penelitian ini dengan menggunakan variabel Independen /
Bebas dan variabel Dependen / Terikat. Dimana variabel bebas dalam penelitian ini adalah
tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai penyakit Tuberkulosis Paru pada anak.
Sedangkan, variabel terikat dalam penelitian ini adalah prevalensi penyakit Tuberkulosis Paru
pada anak di wilayah kerja Puskesmas Gunung Alam.
49 | M i n i P r o j e c t
SIKAP MASYARAKAT
TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT
Prevalensi kasus Tuberkulosis Paru pada anak di kecamatan Arga Makmur pada umumnya dan wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur pada khususnya
3.6 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi OperasionalAlat
Ukur
Cara
UkurHasil Ukur
Skala
Ukur
Variabel Independen
1. Tingkat
Pengetahuan
Masyarakat
Semua hal yang
diketahui orang tua
mengenai penyakit
Tuberkulosis Paru
pada anak
Kuesio
ner
Wawan
cara
Kategori :
1. Kurang jika jawaban <70
% dari total nilai
2. Tinggi jika jawaban 70
% dari total nilai
Ordinal
2. Sikap
Masyarakat
Suatu sikap dan
tindakan yang
dilakukan orang tua
agar anak terhindar
dari penularan
penyakit
Tuberkulosis Paru
Kuesio
ner
Wawan
cara
Kategori :
1. Kurang jika jawaban <50
% dari total nilai
2. Tinggi jika jawaban 50
% dari total nilai
Ordinal
Variabel Dependen
Prevalensi
Tuberkulosis
Paru pada
anak
Anak dari responden
pernah mengalami
gejala klinis penyakit
Tuberkulosis Paru.
{Batuk berdahak
lebih dari 2 minggu,
demam selama lebih
dari 2 minggu tanpa
sebab yang jelas, BB
yang semakin
berkurang, tidak ada
nafsu makan, serta
badan terasa lemah
sehingga aktivitas
fisik anak (seperti
bermain) berkurang}
Check
list
Wawan
cara
1. Ya
Bila anak pernah
mengalami batuk berdahak
lebih dari 2 minggu, demam
selama lebih dari 2 minggu
tanpa sebab yang jelas, BB
yang semakin berkurang,
tidak ada nafsu makan,
serta badan terasa lemah
sehingga aktivitas fisik
anak (seperti bermain)
berkurang
2. Tidak
Bila anak tidak pernah
mengalami batuk berdahak
lebih dari 2 minggu, demam
Nominal
50 | M i n i P r o j e c t
selama lebih dari 2 minggu
tanpa sebab yang jelas, BB
yang semakin berkurang,
tidak ada nafsu makan,
serta badan terasa lemah
sehingga aktivitas fisik
anak (seperti bermain)
berkurang
3.7 Instrumen Penelitian
3.7.1 Instrumen yang digunakan
Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner yang dibagikan kepada
masyarakat di wilayah kerja puskesmas Arga Makmur, dengan menggunakan
pertanyaan tertutup dengan variasi Dichotomous Choice dimana pertanyaan yang
disediakan hanya memberikan 2 jawaban alternatif dan responden hanya memilih satu
diantaranya. (Notoatmodjo, 2002)
3.7.2 Teknik Scoring
Untuk pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui penyebaran
kuesioner dengan cara tatap muka yang menanyakan tentang isi materi yang ingin
diukur dari objek penelitian atau responden berdasarkan teori yang ada di tinjauan
pustaka. Dengan metode skoring diberikan :
- Bila salah nilai = 0
- Bila benar nilai = 1
Dengan cara penilaian =
Nilai yang diberi x 100%
Jumlah item pertanyaan
Dengan kategori rendah jika jawaban <70% dari total nilai, dan kategori tinggi
≥70% dari total nilai (Riduwan, 2009)
51 | M i n i P r o j e c t
3.8 Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti pada masyarakat yang
tinggal di kelurahan Gunung Alam, Gunung Agung, dan Gunung Selan terutama yang
memiliki anak. Peneliti akan melakukan kunjungan rumah pada responden untuk
mendapatkan data penelitian. Data penelitian berupa :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik pengolahan maupun analisis dan
publikasi yang dilakukan sendiri. (Machfoedz, 2006). Data primer ini berupa data
identitas responden dan hasil kuesioner (mengenai tingkat pendidikan,
pengetahuan, dan sikap orang tua terhadap kasus Tuberkulosis Paru yang terjadi
pada anak), serta wawancara langsung dengan masyarakat yang tinggal di wilayah
kerja Puskesmas Arga Makmur.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil laporan atau penelitian orang
lain atau studi kepustakaan. (Machfoedz, 2006). Data sekunder ini berupa
diperoleh dari Profil Puskesmas, laporan Poliklinik Anak RSUD Arga Makmur,
laporan petugas Surveilans dan petugas P2M Tuberkulosis Puskesmas Arga
Makmur, serta data lainnya yang berasal dari studi kepustakaan. Data sekunder ini
berupa data jumlah penduduk, data ketenagaan dan sarana kesehatan, mata
pencaharian penduduk, data demografi Puskesmas Arga Makmur, data penderita
TB paru anak dan dewasa, serta tinjauan kepustakaan mengenai penyakit
Tuberkulosis Paru pada anak.
3.9 Pengolahan Data
3.9.1 Pengolahan Data
a. Penyuntingan Data (Editing Data)
Dilakukan penyuntingan data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh
adalah “bersih” yaitu data tersebut semua telah terisi, konsisten, relevan,
dan dapat dibaca dengan baik. Hal ini dikerjakan dengan meneliti setiap
lembar kuesioner pada waktu penerimaan dari pengumpulan data. Apabila
terdapat kejanggalan, formulir kuesioner dikembalikan kepada
pewawancara, agar kembali ke responden untuk melengkapi dan
memperbaiki pengisian.
52 | M i n i P r o j e c t
b. Pengkodean Data (Coding Data)
Pengkodean data dilakukan dengan cara memberikan angka pada setiap
jawaban dengan maksud untuk mempermudah pengolahan data.
Pengkodean data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan seteliti mungkin
untuk menghindari kesalahan.
c. Tabulasi Data (Tabulating Data)
Setelah dilakukan editing dan coding data, maka selanjutnya dilakukan
pengelompokan data tersebut ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat-
sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan.
3.9.2 Teknik Analisa Data (Analysis Data)
Semua hasil data penelitian terlebih dahulu ditampilkan melalui tabel
distribusi frekuensi, kemudian analisa data dilakukan secara bertahap dari analisa
univariat dan bivariat. Pada penelitian ini analisa yang dipergunakan adalah analisa
univariat yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dimana pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap
variabel. (Notoatmodjo, 2002)
3.10 Sarana Penelitian
Sarana yang digunakan pada penelitian ini antara lain :
1. Lembar kuesioner beserta biodata responden
2. Alat tulis dan perlengkapan kerja
3. Komputer
4. Buku referensi / sumber
5. Alat tulis dan alat hitung
53 | M i n i P r o j e c t
BAB IV.
HASIL MINI PROJECT
4.1 Profil Komunitas Umum Wilayah Penelitian
4.1.1 Letak Geografis
Puskesmas Arga Mamur terletak di pusat Ibukota Kabupaten Bengkulu Utara,
yaitu merupakan salah satu Puskesmas yang berada di Kecamatan Kota Arga
Makmur. Secara geografis, Puskesmas Arga Makmur terletak di lokasi yang sangat
strategis dan sangat mudah untuk dijangkau karena letaknya yang berada di Pusat
Ibukota Kabupaten. Luas wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur ± 38 Km² dengan
jumlah desa binaan 10 desa, dengan jumlah kepala keluarga 4.509 KK serta jumlah
rumah 4.509 rumah dengan tingkat hunian rata-rata tiap rumah sebanyak 3 dan 4
orang. Diperkirakan kepadatan penduduk ± 99 jiwa per Km², keseluruhan desa
tersebut dapat dilalui oleh kendaraan roda 2 maupun roda 4.
Batas wilayah kecamatan Argamakmur adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Taba Tembilang
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kali
- Sebalah Barat berbatasan dengan Desa Gunung Sari
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tebing Kaning
Gambar 14. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Arga Makmur
54 | M i n i P r o j e c t
4.1.2 Data Demografik / Kependudukan
Puskesmas Arga Makmur memiliki jumlah penduduk ± 20.393 jiwa yang
tersebar hampir merata di seluruh Desa yang berada dalam wilayah kerja
Puskesmas, adapun jumlah penduduk ini dapat dilihat dalam tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Penduduk per Kelurahan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
No. Kelurahan Laki-laki Perempuan
1. Gunung Alam 4.333
0 - 4 tahun 174 190
5 - 14 tahun 463 482
15 - 44 tahun 999 1.084
45 - 64 tahun 459 444
≥65 tahun 18 20
2. Rama Agung 2.980
0 - 4 tahun 183 217
5 - 14 tahun 175 239
15 - 44 tahun 468 595
45 - 64 tahun 371 380
≥65 tahun 155 197
3. Karang Suci 3.155
0 - 4 tahun 144 147
5 - 14 tahun 318 343
15 - 44 tahun 755 763
45 - 64 tahun 278 293
≥65 tahun 58 56
4. Talang Denau 382
0 - 4 tahun 26 24
5 - 14 tahun 40 25
15 - 44 tahun 102 101
45 - 64 tahun 25 23
≥65 tahun 7 9
5. Gunung Selan 2.634
55 | M i n i P r o j e c t
0 - 4 tahun 144 165
5 - 14 tahun 237 246
15 - 44 tahun 598 635
45 - 64 tahun 203 208
≥65 tahun 101 97
6. Gunung Agung 1.857
0 - 4 tahun 100 95
5 - 14 tahun 191 203
15 - 44 tahun 471 487
45 - 64 tahun 138 134
≥65 tahun 20 18
7. Tanjung Raman 1.119
0 - 4 tahun 63 60
5 - 14 tahun 114 97
15 - 44 tahun 278 313
45 - 64 tahun 73 62
≥65 tahun 30 29
8. Lubuk Saung 1.564
0 - 4 tahun 120 125
5 - 14 tahun 126 121
15 - 44 tahun 415 449
45 - 64 tahun 89 74
≥65 tahun 17 28
9. Datar Ruyung 762
0 - 4 tahun 43 56
5 - 14 tahun 60 75
15 - 44 tahun 185 204
45 - 64 tahun 55 53
≥65 tahun 16 15
10. Sido Urip 1.607
0 - 4 tahun 62 69
5 - 14 tahun 93 100
56 | M i n i P r o j e c t
15 - 44 tahun 404 389
45 - 64 tahun 201 197
≥65 tahun 41 51
Jumlah 20.393
Sumber : PKM, 2013
Masyarakat yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur sudah
sangat mengerti pentingnya manfaat pendiddikan. Adapun tingkat pendidikan
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur dapat di lihat dari tabel 7.
Tabel 7. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Persentase ( % )
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Buta Aksara
Tidak/ Belum pernah sekolah
Tidak/ Belum tamat SD
SD / MI
SLTP / MTs
SLTA / MA
Perguruan Tinggi
311
1.056
1.143
3.734
3.310
4.798
2.182
1,91
6,41
6,93
22,50
20,02
29,02
13,21
Jumlah 16.534 100
Sumber : PKM, 2013
Penduduk yang berada di wilayah kerja Puskesmas Arga makmur mayoritas
memiliki pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Petani (tabel.4), hal
tersebut juga kemungkinan didukung masih luasnya areal yang kosong yang berada
diwilayah kerja Puskesmas Arga Makmur. Adapun distribusi jumlah penduduk
menurut jenis pekerjaan di gambar dalam tabel 8.
Tabel 8. Distribusi Penduduk berdasarkan Pekerjaan
57 | M i n i P r o j e c t
No Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
PNS
Petani
Pedagang
Buruh
Lain-lain
2.598
2.291
898
1.340
1.670
29,60
26,20
10,40
15,40
18,40
Jumlah 8.797 100
Sumber : PKM, 2013
Dari gambaran data-data yang terdapat pada tabel-tabel diatas, dapat dikatakan
bahwa dalam rentang waktu yang relatif singkat, pelaksanaan pembangunan
kesehatan di Bengkulu Utara khususnya di Wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur
telah menunjukan hasil yang cukup berarti, hal ini tidak terlepas dari kinerja semua
unsur/elemen Pemerintah Daerah khususnya, yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Arga Makmur.
Untuk mengukur derajat kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur,
dibutuhkan beberapa indikator, antara lain :
a. Angka Kematian Bayi
Angka kematian bayi Kabupaten Bengkulu Utara tahun 1990 (Sensus Penduduk)
sebesar 66 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini masih tinggi dibandingkan dengan
angka kematian bayi nasional 60 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi
Propinsi Bengkulu 70 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2013, di Puskesmas
Arga Makmur terdapat kelahiran 3 orang bayi dan 1 orang kematian bayi.
b. Angka Kematian Anak
Indikator ini dapat menggambarkan kondisi penyakit menular pada anak dan
insiden di dalam atau di luar rumah, kondisi kesehatan lingkungan yang langsung
mempengaruhi kesehatan anak, tingkat kekebalan terhadap penyakit tertentu,
tingkat upaya pelayanan anak, dan kondisi lingkungan sosial ekonomi yang
mempengaruhi kesehatan anak. Di wilayah Puskesmas Arga Makmur pada tahun
2013, tidak terdapat Kematian Anak.
c. Angka Kematian Ibu Bersalin
Untuk melihat gambaran status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan
lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil sangat perlu
58 | M i n i P r o j e c t
diperhatikan. Di wilayah Puskesmas Arga Makmur pada tahun 2013, angka
kematian ibu bersalin tidak ada.
Berikut ini adalah 10 penyakit terbanyak yang terdapat di wilayah kerja
Puskesmas Arga Makmur :
Tabel 9. Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Arga Makmur
No Jenis Penyakit
Kasus
JumlahPersentase
(%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Penyakit Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
Penyakit lainnya
Penyakit Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)
Penyakit Gangguan Mulut
Penyakit Kulit dan Jaringan Sub Kutan (Dermatitis)
Penyakit pada Sistem Otot dan Jar. Pengikat (Rheumatik)
Penyakit Bakteri (Pneumonia, Bronkitis)
Penyakit Infeksi pada Usus (Diare, Disentri)
Riketiasis dan Penyakit karena Antropoda Lain (Malaria)
Penyakit Infeksi karena Parasit dan Akibat Kemudian
2.481
2.064
1.103
882
604
462
196
184
138
55
12,16
10,12
5,40
4,32
2,96
2,26
0,96
0,90
0,67
0,26
Sumber : PKM, 2013
Dari data tabel 4.5, adapun kasus penyakit menular di Puskesmas Arga
Makmur adalah penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) terdapat 2.481 kasus,
riketiasis dan penyakit karena antropoda lain (malaria) dengan jumlah 55 kasus, dan
penyakit kulit dan jaringan sub kutan (dermatitis) dengan jumlah 604 kasus.
Berikut ini adalah tabel penemuan kasus baru penyakit Tuberkulosis Paru di
wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur pada tahun 2013 :
59 | M i n i P r o j e c t
Tabel 10. Jumlah Kasus Baru Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Arga Makmur
Tahun 2013
No. Kelurahan Laki-laki Perempuan
1. Gunung Alam 3 1
2. Rama Agung 0 0
3. Karang Suci 1 0
4. Talang Denau 0 0
5. Gunung Selan 2 0
6. Gunung Agung 2 1
7. Tanjung Raman 0 1
8. Lubuk Sahung 0 0
9. Datar Ruyung 0 1
10. Sido Urip 0 0
Jumlah 8 4
Sumber : PKM, 2013
Dari data tabel 10. diketahui penemuan kasus baru Tuberkulosis Paru di
wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur pada tahun 2013 adalah sebanyak 12 kasus
baru, dengan kasus terbanyak yaitu di kelurahan Gunung Alam (sebanyak 4 kasus
baru), Gunung Agung (sebanyak 3 kasus baru), dan Gunung Selan (sebanyak 2 kasus
baru).
Berikut ini adalah data TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga
Makmur pada tahun 2012 dan 2013 :
60 | M i n i P r o j e c t
Tabel 11. Jumlah Kasus Tuberkulosis Paru pada Anak di Wilayah Kerja
Puskesmas Arga Makmur Tahun 2012 dan 2013
No. Kelurahan 2012 2013
1. Gunung Alam 0 0
2. Rama Agung 0 0
3. Karang Suci 0 1
4. Talang Denau 0 0
5. Gunung Selan 1 0
6. Gunung Agung 0 1
7. Tanjung Raman 0 0
8. Lubuk Sahung 0 0
9. Datar Ruyung 0 0
10. Sido Urip 0 0
Jumlah 1 2
Dari data tabel 11. diketahui kejadian kasus Tuberkulosis Paru pada anak di
wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur pada tahun 2012 adalah sebanyak 1 kasus,
dan meningkat pada tahun 2013 yaitu sebanyak 2 kasus.
4.1.3 Sarana dan Prasarana
Puskesmas Arga Makmur memiliki 1 pustu yaitu Pustu Gunung Selan yang
posisi tempatnya telah terjangkau ke seluruh desa yang jauh dari Puskesmas Induk, 3
Puskesdes (Lubuk Saung, Talang Denau, Sidourip) dan 18 Posyandu. Memiliki
kendaraan roda 4 (Pusling), serta 10 unit motor dinas yang kesemuanya digunakan
untuk menunjang kelancaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang berada
dalam wilayah kerja puskesmas Arga Makmur demi tercapainya misi dan visi
Puskesmas.
Di Puskesmas Arga Makmur saat ini telah memiliki laboraturium sederhana
yang dapat dipergunakan untuk pelayanan pemeriksaan sederhana seperti
Pemeriksaan Hb, Golongan Darah, DDR, Pemeriksaan Gula Darah, Kolesterol, Asam
Urat dan tes HCG.
61 | M i n i P r o j e c t
4.1.4 Ketenagaan
Ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas Arga Makmur saat ini adalah
sebagai berikut:
− Dokter Umum : 1 orang
− Dokter Gigi : 1 orang
− S1. Keperawatan : 2 orang
− S1. Kesehatan Masyarakat : 8 orang
− D3 Keperawatan : 13 orang
− D4 Perawat : 1 orang
− Perawat : 2 orang
− D3 Kebidanan : 7 orang
− D4 Bidan : 1 orang
− Bidan : 13 orang
− Perawat Gigi : 1 orang
− Assisten Apoteker : 1 orang
− Sanitarian : 2 orang
− Nutrisimis : 1 orang
− Pekarya Kesehatan : 1 orang
− Tenaga Sukarela (TKS) : 2 orang
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Puskesmas Arga Makmur masih
membutuhkan seorang tenaga Analis untuk menunjang program dan kegiatan lainnya.
Untuk pelayanan Laboratorium dapat berjalan dengan baik dengan koordinasi yang
baik dengan Dinas Kesehatan. Sementara di pelayanan kesehatan di desa sudah dapat
dilayani dan ditanggulangi oleh Petugas Pustu dan Bidan Desa.
4.2 Analisa Univariat
4.2.1 Pembagian Responden Berdasarkan Kelompok Umur
62 | M i n i P r o j e c t
Berdasarkan kelompok umur responden penelitian dapat dilihat pada tabel 12.
berikut ini :
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur Responden di
Kecamatan Arga Makmur Tahun 2014
No. Umur (Th) Jumlah Presentase (%)
1. 15 sampai 30 tahun 78 79,59%
2. 31 sampai 40 tahun 16 16,33%
3. 41 sampai 50 tahun 4 4,08%
4. Lebih dari 50 tahun 0 0%
Jumlah 98 100%
Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa dari 98 orang responden,
sebagian besar responden berumur 15 sampai 30 tahun, yaitu sebanyak 78 orang
(79,59%). Responden berumur 31 sampai 40 tahun sekitar 16 orang (16,33%), dan
sisanya berumur 41 sampai 50 tahun, yaitu sekitar 4 orang (4,08%).
4.2.2 Pembagian Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
63 | M i n i P r o j e c t
79,59%
4,08 %16,33%
Berdasarkan tingkat pendidikan, responden penelitian dapat dilihat pada tabel
13. berikut ini :
Tabel 13. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden
di Kecamatan Arga Makmur Tahun 2014
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase (%)
1. Tidak Sekolah / Tidak Tamat SD 1 1,02%
2. Tamat SD 4 4,08%
3. Tamat SMP 18 18,37%
4. Tamat SMA 68 69,39%
5. Tamat Akademi / Perguruan Tinggi 7 7,14%
Jumlah 98 100%
Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa dari 98 orang responden,
sebagian besar responden merupakan tamatan SMA (Sekolah Menengah Atas) yaitu
sebanyak 68 orang responden (69,39%).
4.2.3 Pembagian Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
64 | M i n i P r o j e c t
69,39%
7,14%
18,37%
4,08%1,02%
Berdasarkan tingkat pengetahuan responden penelitian dapat dilihat pada tabel
14. berikut ini :
Tabel 14. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Responden di Kecamatan Arga Makmur Tahun 2014
No. Tingkat Pengetahuan Jumlah Presentase (%)
1. Rendah 43 43,88%
2. Tinggi 55 56,12%
Jumlah 98 100%
Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa dari 98 orang responden,
sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi mengenai penyakit TB
pada anak, yaitu sekitar 55 orang (56,12%), sedangkan yang memiliki tingkat
pengetahuan rendah mengenai penyakit TB pada anak sebanyak 43 orang (43,88%).
4.2.4 Pembagian Responden Berdasarkan Sikap
Berdasarkan tingkat pengetahuan responden penelitian dapat dilihat pada tabel
15. berikut ini :
65 | M i n i P r o j e c t
56,12%
43,88%
Tabel 15. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Responden di Kecamatan
Arga Makmur Tahun 2014
No. Tingkat Pengetahuan Jumlah Presentase (%)
1. Kurang Baik 16 16,32%
2. Baik 82 83,68%
Jumlah 98 100%
Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa dari 98 orang responden,
sebagian besar yaitu sekitar 82 orang responden (83,68%) memiliki sikap yang baik
dalam hal menyikapi permasalahan TB pada anak, sedangkan 16 orang responden
(16,32%) memiliki sikap yang kurang baik dalam hal menyikapi permasalahan TB
pada anak.
4.2.5 Pembagian Responden Berdasarkan Kejadian Tuberkulosis Paru
Berdasarkan kejadian Tuberkulosis Paru, responden penelitian dapat dilihat
pada tabel 16. berikut ini :
66 | M i n i P r o j e c t
83,68 %
16,32 %
Tabel 16. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian TB pada Anak di
Kecamatan Arga Makmur Tahun 2014
No.Kejadian
Tuberkulosis ParuJumlah Presentase (%)
1. Ya 4 4,08%
2. Tidak 94 95,92%
Jumlah 98 100%
Dari tabel dan diagram di atas, diketahui bahwa sekitar 4 orang anak (4,08%),
pernah mengalami gejala TB seperti batu berdahak lebih dari 2 minggu, demam
selama lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas, berat badan semakin berkurang
dalam 1 bulan, tidak nafsu makan, serta badan terasa lemah hingga anak malas
melakukan aktivitas fisik seperti bermain.
BAB V
PEMBAHASAN
67 | M i n i P r o j e c t
95,92 %
4,08 %
5.1 Karakteristik Responden Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil responden (sampel) dari masyarakat yang
tinggal di wilayah tinggi kasus TB di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur, yaitu di
kelurahan Gunung Alam, Gunung Selan, dan Gunung Agung. Sebanyak 98 orang responden
terlibat dalam penelitian ini.
Responden pada penelitian ini sebagian besar berusia 15 sampai 30 tahun, yaitu
sebanyak 78 orang (79,59%), kemudian usia terbanyak kedua adalah usia 31 sampai 40
tahun, yaitu sekitar 16 orang (16,33%), dan sisanya berusia 41 sampai 50 tahun, yaitu sekitar
4 orang (4,08%).
Karena penelitian ini menggunakan teknik random sampling, maka jenis kelamin dan
tingkat pendidikan dari responden beragam. Pada penelitian ini, sebagian besar responden
merupakan tamatan SMA (Sekolah Menengah Atas) yaitu sebanyak 68 orang responden
(69,39%). Lalu, responden yang merupakan tamatan SMP (Sekolah Menengah Pertama)
sebanyak 18 orang responden (18,37%), yang merupakan tamatan akademi atau perguruan
tinggi sebanyak 7 orang responden (7,14%), yang merupakan tamatan SD sebanyak 4 orang
(4,08%), serta yang tidak sekolah ataupun tidak tamat SD sebanyak 1 orang responden
(1,02%).
Karakteristik responden yang dapat mempengaruhi penelitian adalah tingkat
pendidikan, mengingat seharusnya responden yang merupakan tamatan akademi / perguruan
tinggi ataupun SMA (Sekolah Menengah Atas) memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik
mengenai penyakit TB pada anak dibandingkan responden lainnya yang merupakan tamatan
SMP (Sekolah Menengah Pertama), SD (Sekolah Dasar), ataupun yang tidak tamat SD atau
bahkan tidak sekolah sama sekali.
5.2 Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat mengenai TB pada Anak
Penelitian ini bersifat deskriptif untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap penyakit TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga
Makmur. Meskipun saat ini hanya ditemukan 1 kasus TB pada anak di wilayah kerja
Puskesmas Arga Makmur, namun bukan berarti penyakit ini tidak berbahaya. Apalagi saat ini
ditemukan sekitar 14 kasus baru TB pada orang dewasa yang merupakan peluang untuk
terjadinya penularan kepada anak-anak bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Berdasarkan data dari Poliklinik Anak RSUD Arga Makmur Bengkulu Utara, kasus
TB pada anak yang terjadi di kabupaten Bengkulu Utara pada tahun 2012 sekitar 7 orang
anak, dan bertambah pada tahun 2013 yaitu sekitar 11 orang anak. Untuk wilayah kerja
68 | M i n i P r o j e c t
Puskesmas Arga Makmur sendiri didapatkan pada tahun 2012 sekitar 1 orang anak terkena
TB, dan bertambah pada tahun 2013 yaitu sekitar 3 orang anak terkena. Oleh karena itu,
diperlukan suatu strategi pengendalian yang melibatkan seluruh sektor, baik dari petugas
Puskesmas, pemerintah setempat, maupun seluruh elemen masyarakat agar penanggulangan
TB pada anak dapat segera ditingkatkan sehingga morbiditas dan mortalitas dapat berkurang.
Dalam penelitian ini, baik tingkat pengetahuan masyarakat maupun sikap masyarakat
itu sendiri mengenai TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur dikategorikan
baik, sehingga masih sedikit anak yang menderita TB.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui kuesioner, wawancara dengan
masyarakat yang mempunyai anak berusia di bawah 15 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Arga Makmur, didapatkan gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai TB pada
anak yaitu dari 98 orang responden, sekitar 43 orang (43,88%) memiliki tingkat pengetahuan
rendah mengenai penyakit TB pada anak, dan sisanya sekitar 55 orang (56,12%) memiliki
tingkat pengetahuan tinggi mengenai penyakit TB pada anak. Pada penelitian ini pengetahuan
masyarakat dibahas dalam dua aspek sub variabel yang meliputi perbedaan TB dengan
penyakit paru lainnya pada anak, serta mengenai penatalaksanaan TB pada anak baik dari
segi pencegahan maupun penatalaksanaan yang sesuai.
Kedua sub variabel ini menjadi indikator untuk mengetahui tingkat pengetahuan
seseorang. Pengetahuan mengenai perbedaan antara penyakit TB dengan penyakit paru
lainnya pada anak sangat penting untuk diketahui karena masyarakat perlu tahu gejala-gejala
penting apa saja yang terdapat pada anak yang menderita TB, karena gejalanya tidak mirip
dengan gejala TB pada orang dewasa. Sehingga masyarakat lebih cepat tanggap apabila
terdapat anak yang menderita gejala seperti gejala TB di wilayah tempat tinggalnya.
Selain itu, pengetahuan mengenai penatalaksanaan TB pada anak baik dari segi
pencegahan ataupun pengobatan juga sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat agar
morbiditas dan mortalitas karena TB pada anak dapat berkurang.
Selain tingkat pengetahuan, sikap masyarakat dalam menyikapi permasalahan TB
pada anak ini juga tidak kalah pentingnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
melalui kuesioner, wawancara dengan masyarakat yang mempunyai anak berusia di bawah
15 tahun di wilayah kerja Puskesmas Arga Makmur, didapatkan gambaran sikap masyarakat
mengenai TB pada anak yaitu dari 98 orang responden, sebagian besar yaitu sekitar 82 orang
responden (83,68%) memiliki sikap yang baik dalam hal menyikapi permasalahan TB pada
anak, sedangkan 16 orang responden (16,32%) memiliki sikap yang kurang baik dalam hal
menyikapi permasalahan TB pada anak.
69 | M i n i P r o j e c t
Sikap masyarakat dalam menghadapi problema TB pada anak ini sangatlah penting.
Masyarakat harus semakin tanggap dan waspada dalam menyikapi permasalahan TB pada
anak, terutama dalam hal pencegahan dan pemantauan minum obat terhadap anak penderita
TB. Peran serta masyarakat sangatlah penting untuk menyikapi permasalahan TB pada anak
ini, dan diharapkan masyarakat mau membantu menanggulangi permasalahan TB, terutama
pada anak, di lingkungan sekitarnya.
BAB VI.
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
70 | M i n i P r o j e c t
Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai TB pada anak di wilayah kerja
Puskesmas Arga Makmur dikategorikan baik, sehingga sedikit sekali anak yang
menderita TB. Namun, pengetahuan masyarakat tetap harus ditingkatkan agar
morbiditas dan mortalitas karena penyakit TB terutama pada anak dapat berkurang
atau bahkan tidak ada sama sekali.
b. Sikap masyarakat mengenai TB pada anak di wilayah kerja Puskesmas Arga
Makmur dikategorikan baik. Namun, masyarakat harus semakin tanggap dan waspada
dalam menyikapi permasalahan TB pada anak, terutama dalam hal pencegahan dan
pemantauan minum obat terhadap anak penderita TB. Peran serta masyarakat
sangatlah penting untuk menyikapi permasalahan TB pada anak ini, dan diharapkan
masyarakat mau membantu menanggulangi permasalahan TB, terutama pada anak, di
lingkungan sekitarnya.
6.2 Saran
1. Untuk Masyarakat
- Masyarakat dalam hal ini terutama bidan desa dan kader di Posyandu diharapkan
untuk lebih berperan aktif dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
menanggulangi permasalahan TB pada anak.
- Masyarakat diharapkan agar lebih cepat membawa anaknya ke fasilitas pelayanan
kesehatan terdekat bila anak mengalami gejala-gejala TB pada anak seperti
demam lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 2 minggu,
nafsu makan berkurang, berat badan berkurang dalam 1 bulan, anak menjadi
kurang aktif, dan lainnya. Selain itu, diharapkan kepada masyarakat agar turut
memeriksakan anaknya ke pelayanan kesehatan terdekat bila anak tersebut
berkontak langsung dengan penderita TB, terutama orang dewasa yang menderita
TB paru.
2. Untuk Puskesmas
- Lebih menggalakkan penyuluhan mengenai TB pada anak, mulai dari apa itu TB,
gejala klinis, hingga penatalaksanaannya, baik mengenai pencegahan maupun
pengobatannya, serta komplikasi yang dapat ditimbulkan dari TB itu sendiri, agar
71 | M i n i P r o j e c t
pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap TB terutama TB pada anak
meningkat.
- Tetap mengedukasi kepada setiap pasien dewasa penderita TB yang berobat ke
Puskesmas Arga Makmur tentang pencegahan penyakitnya karena orang dewasa
yang menderita TB merupakan sumber penularan kepada anak-anak di sekitarnya.
3. Untuk Dinas Kesehatan
- Diharapkan dapat mengambil suatu kebijakan dengan membuat program yang
sesuai untuk menyikapi permasalahan TB pada anak di Bengkulu Utara agar
prevalensi TB pada anak dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff, et al. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Ilmu Penyakit Paru
Universitas Airlangga
72 | M i n i P r o j e c t
2. Behrman, et al. 2002. Nelson - Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
3. Chintu C, Mudenda V, Lucas S. 2002. Lung Diseases at Necropsy in African Children
Dying from Respiratory Illnesses : a Descriptive Necropsy Study. Berlin : Lancet
4. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan
pertama edisi ke 2. Jakarta : Depkes RI
5. Donald PR. 2004. Chilhood Tuberculosis. Berlin : Springer
6. Hassan, et al. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. Infomedika.
7. Jeena PM, et al. 2002. Impact of HIV-1 Co-infection on Presentation and Hospital-
related Mortality in Children with Culture Proven Pulmonary Tuberculosis in Durban,
South Africa. Berlin : Spinger
8. Kartasasmita CB, et al. 2001. Penapisan dan Pengobatan Tuberkulosis pada Anak
Sekolah Dasar di Majalaya. Bandung : MKB
9. Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Anak. Jakarta : IDAI
10. Lienhardt C, et al. 2003. Risk Factors for Tuberculosis Infection in Sub-Sahara
Africa. Berlin : Springer
11. Madhi SA, et al. 2000. Increased Disease Burden and Antibiotic Resistance of
Bacteria Causing Severe Community-aquired Lower Respiratory Tract Infections in
Human Immunodeficiency Virus type I Infected Children. Berlin : Springer
12. Maldonado, Y. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC
13. Nelson LJ, et al. 2004. Global Epidemiology of Childhood Tuberculosis. Berlin :
Springer
14. Notoatmodjo S. 1993. Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Arti Pendidikan.
Yogyakarta : PT. Andi Offset
15. Riduwan. 2009. Pengantar Statistika. Bandung : Alfabeta
16. Rikesdas. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta : Depkes RI
17. Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam - FKUI. Jakarta : Fakultas Kediokteran
Universitas Indonesia
18. Supriyatno B, et al. 2007. Pedomen Nasional Tuberkulosis Anak Edisi ke-2. Jakarta :
UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia
19. Kandun, I Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit TB. Jakarta : EGC
20. Zar HJ, et al. 2001. Etiology and Outcome of Pneumonia in Children Hospitalized in
South Africa. Berlin : Springer
73 | M i n i P r o j e c t
LAMPIRAN I
Foto Kegiatan
74 | M i n i P r o j e c t
Gambar 15. Wawancara dengan Responden
75 | M i n i P r o j e c t
Gambar 16. Foto Bersama Responden dan Keluarga
76 | M i n i P r o j e c t
LAMPIRAN II
Kuesioner
KUESIONER PENELITIAN
GAMBARAN PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN, DAN
SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA
ANAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ARGA MAKMUR
KABUPATEN BENGKULU UTARA
TAHUN 2014
Kabupaten : Bengkulu Utara
No. Urut :
Kelurahan :
Tanggal wawancara :
Nama responden :
Usia respoden :
Pendidikan Terakhir : Tidak sekolah / tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat Akademi / Perguruan Tinggi
77 | M i n i P r o j e c t
A. PENGETAHUAN
Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini yang Saudara anggap benar dengan cara
memberikan tanda (X) pada pilihan tersebut.
1. Apakah Tuberkulosis merupakan penyakit menular?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah penyakit Tuberkulosis Paru menyebar melalui udara?
a. Ya b. Tidak
3. Apakah cara penularan penyakit Tuberkulosis Paru melalui percikan dahak (droplet
nuclei) yang mengandung kuman Tuberkulosis?
a. Ya b. Tidak
4. Apakah penyakit Tuberkulosis dapat menyerang bagian tubuh lain selain paru?
a. Ya b. Tidak
5. Apakah kuman Tuberkulosis dapat berkembang biak dengan baik pada suhu 37-41oC?
a. Ya b. Tidak
6. Apakah Tuberkulosis Paru bisa mengenai anak-anak?
a. Ya b. Tidak
7. Apakah kuman Tuberkulosis dapat menular dari ibu kepada bayinya melalui luka
pada plasenta melalui pembuluh darah tali pusat (plasenta)?
a. Ya b. Tidak
8. Apakah demam selama lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas merupakan salah
satu gejala dari Tuberkulosis Paru pada anak?
a. Ya b. Tidak
9. Apakah batuk berdahak lebih dari 2 minggu adalah salah satu gejala dari Tuberkulosis
Paru pada anak?
a. Ya b. Tidak
10. Apakah BB yang semakin menurun adalah salah satu gejala dari Tuberkulosis Paru
pada anak?
a. Ya b. Tidak
11. Apakah penyakit Tuberkulosis berhubungan dengan daya tahan tubuh yang rendah?
a. Ya b. Tidak
12. Apakah penyakit Tuberkulosis berhubungan dengan gizi buruk?
b. Ya b. Tidak
78 | M i n i P r o j e c t
13. Apakah penyakit Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian?
a. Ya b. Tidak
14. Apakah uji tuberkulin merupakan tes untuk membuktikan anak menderita penyakit
Tuberkulosis Paru?
a. Ya b. Tidak
15. Apakah BCG merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit Tuberkulosis?
a. Ya b. Tidak
16. Apakah pengobatan Tuberkulosis Paru pada anak dilakukan selama 6 bulan
pengobatan?
a. Ya b. Tidak
B. SIKAP
Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini yang Saudara anggap benar dengan cara
memberikan tanda (X) pada pilihan tersebut.
1. Apakah Saudara setuju penyakit Tuberkulosis Paru pada orang dewasa dapat menular
kepada anak-anak?
a. Setuju b. Tidak Setuju
2. Apakah Saudara setuju imunisasi BCG dapat mencegah timbulnya penyakit
Tuberkulosis Paru pada anak?
a. Setuju b. Tidak Setuju
3. Apakah Saudara setuju penyakit Tuberkulosis Paru pada anak dapat dicegah dengan
memberikan anak makanan bergizi seimbang (4 sehat 5 sempurna)?
a. Setuju b. Tidak Setuju
4. Apakah Saudara setuju lingkungan yang bersih dan sehat dapat mencegah timbulnya
penyakit Tuberkulosis Paru?
a. Setuju b. Tidak Setuju
5. Apakah Saudara setuju sirkulasi udara yang buruk dapat memperbesar penularan
penyakit Tuberkulosis Paru?
a. Setuju b. Tidak Setuju
6. Apakah Saudara setuju anak yang menderita penyakit Tuberkulosis Paru harus diobati
selama 6 bulan secara teratur dengan pemantauan orang tua?
a. Setuju b. Tidak Setuju
79 | M i n i P r o j e c t
C. KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK
Apakah anak Saudara pernah menderita Tuberkulosis Paru dalam waktu 1 tahun terakhir?
{Dengan gejala utama batuk berdahak lebih dari 2 minggu, demam selama lebih dari 2
minggu tanpa sebab yang jelas, BB yang semakin berkurang, tidak ada nafsu makan, serta
badan terasa lemah sehingga aktivitas fisik anak (seperti bermain) berkurang}.
1. Jawaban Ya, jika anak pernah menderita Tuberkulosis Paru dalam waktu 1 tahun
terakhir.
2. Jawaban Tidak, jika anak tidak pernah menderita Tuberkulosis Paru dalam waktu 1
tahun terakhir.
80 | M i n i P r o j e c t
LAMPIRAN III
Leaflet
Gambar 17. Leaflet TB Paru pada Anak
81 | M i n i P r o j e c t
Lampiran IV
Database Responden
MASTER DATA PENELITIAN
TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN, DAN SIKAP MASYARAKAT
MENGENAI PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU
No. Responden Pendidikan Pengetahuan Sikap Kejadian TB anak
1 4 68,75% (1) 50% (1) 2
2 5 68,75% (1) 83,33% (2) 2
3 3 75% (2) 100% (2) 2
4 4 68,75% (1) 100% (2) 2
5 4 62,5% (1) 66,67% (2) 2
6 4 68,75% (1) 66,67% (2) 2
7 4 68,75% (1) 100% (2) 2
8 3 87,5% (2) 83,33% (2) 2
9 2 56,25 (1) 0% (1) 1
10 4 81,25% (2) 100% (2) 2
11 5 81,25% (2) 100% (2) 2
12 3 75% (2) 100% (2) 2
13 3 68,75% (1) 100% (2) 2
14 4 75% (2) 100% (2) 2
15 4 87,5% (2) 100% (2) 2
16 4 81,25% (2) 100% (2) 2
17 4 87,5% (2) 100% (2) 2
18 4 43,75% (1) 83,33% (2) 2
19 3 87,5% (2) 100% (2) 2
20 4 87,5% (2) 100% (2) 2
82 | M i n i P r o j e c t
21 3 56,25% (1) 33,33% (1) 2
22 3 37,5% (1) 83,33% (2) 2
23 3 93,75% (2) 100% (2) 1
24 2 68,75% (1) 50% (1) 2
25 5 87,5% (2) 100% (2) 2
26 3 75% (2) 83,33% (2) 2
27 3 68,75% (1) 83,33% (2) 1
28 3 81,25% (2) 83,33% (2) 2
29 2 87,5% (2) 66,67% (2) 2
30 2 75 (2) 83,33% (2) 2
31 3 68,75% (1) 66,67% (2) 2
32 4 63,5% (1) 83,33% (2) 2
33 1 56,25% (1) 50% (1) 1
34 3 75% (2) 100% (2) 2
35 4 68,75% (1) 83,33% (2) 2
36 4 100% (2) 66,67% (2) 2
37 4 37,5% (1) 66,67% (2) 2
38 5 81,25% (2) 100% (2) 2
39 5 81,25% (2) 100% (2) 2
40 3 68,75% (1) 100% (2) 2
41 4 81,25% (2) 100% (2) 2
42 4 87,5% (2) 83,33% (2) 2
43 4 68,75% (1) 100% (2) 2
44 4 62,5% (1) 33,33% (1) 2
45 4 68,75% (1) 66,67% (2) 2
46 4 68,75% (1) 100% (2) 2
47 4 75% (2) 100% (2) 2
83 | M i n i P r o j e c t
48 4 68,75% (1) 100% (2) 2
49 4 75% (2) 100% (2) 2
50 4 68,75% (1) 100% (2) 2
51 3 68,75% (1) 50% (1) 2
52 3 37,5% (1) 16,67% (1) 2
53 4 56,25% (1) 33,33% (1) 2
54 4 87,5% (2) 100% (2) 2
55 4 87,5% (2) 100% (2) 2
56 4 43,75% (1) 83,33% (2) 2
57 4 87,5% (2) 100% (2) 2
58 3 81,25% (2) 100% (2) 2
59 4 87,5% (2) 100% (2) 2
60 4 75% (2) 100% (2) 2
61 5 87,5% (2) 100% (2) 2
62 5 75% (2) 83,33% (2) 2
63 4 81,25% (2) 83,33% (2) 2
64 4 87,5% (2) 66,67% (1) 2
65 4 68,75% (1) 83,33% (2) 2
66 4 68,75% (1) 66,67% (1) 2
67 4 62,5% (1) 83,33% (2) 2
68 4 75% (2) 100% (2) 2
69 4 68,75% (1) 83,33% (2) 2
70 4 100% (2) 66,67% (1) 2
71 4 37,5% (1) 66,67% (1) 2
72 4 81,25% (2) 100% (2) 2
73 4 81,25% (2) 100% (2) 2
74 4 68,75% (1) 100% (2) 2
84 | M i n i P r o j e c t
75 4 68,75% (1) 50% (1) 2
76 4 68,75% (1) 50% (1) 2
77 4 68,75% (1) 50% (1) 2
78 4 87,5% (2) 100% (2) 2
79 3 68,75% (1) 83,33% (2) 2
80 4 100% (2) 100% (2) 2
81 4 87,5% (2) 100% (2) 2
82 4 87,5% (2) 100% (2) 2
83 4 81,25% (2) 100% (2) 2
84 4 62,5% (1) 100% (2) 2
85 4 93,75% (2) 100% (2) 2
86 4 87,5% (2) 100% (2) 2
87 4 93,75% (2) 100% (2) 2
88 4 93,75% (2) 100% (2) 2
89 4 75% (2) 100% (2) 2
90 4 75% (2) 100% (2) 2
91 4 87,5% (2) 100% (2) 2
92 4 81,25% (2) 100% (2) 2
93 4 68,75% (1) 100% (2) 2
94 4 81,25% (2) 100% (2) 2
95 4 75% (2) 100% (2) 2
96 4 62,5% (1) 100% (2) 2
97 4 81,25% (2) 100% (2) 2
98 4 56,25% (1) 100% (2) 2
Keterangan :
a. Tingkat Pendidikan :
1 = Tidak Sekolah / Tidak Tamat SD
85 | M i n i P r o j e c t
2 = Tamat SD
3 = Tamat SMP
4 = Tamat SMA
5 = Tamat Akademi / Perguruan Tinggi
b. Tingkat Pengetahuan
1 = Rendah (bila <70%)
2 = Tinggi (bila ≥70%)
c. Sikap
1 = Kurang baik (bila ≤50%)
2 = Baik (bila >50%)
d. Kejadian TB pada Anak
1 = Ya
2 = Tidak menderita
86 | M i n i P r o j e c t