MK-Eva Fatimah.pdf

21
Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Transcript of MK-Eva Fatimah.pdf

Page 1: MK-Eva Fatimah.pdf

Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 2: MK-Eva Fatimah.pdf

Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 3: MK-Eva Fatimah.pdf

Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 4: MK-Eva Fatimah.pdf

Nilai Estetika Zen dalam Shakuhachi Eva Fatimah, Siti Dahsiar Anwar

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Abstrak

Musik yang tersusun dari rangkaian nada-nada yang membentuk melodi digunakan sebagai

salah satu media dalam kegiatan religi. Salah satu ajaran yang menggunakan musik sebagai

salah satu medianya adalah Buddha Zen. Alat musik yang digunakan dalam meditasi Zen

adalah shakuhachi yang dipopulerkan oleh sekte Fukeshuu. Anggota sekte Fukeshuu, yaitu

komusou memegang peran penting dalam pelestarian shakuhachi. Dalam perkembangannya,

Shakuhachi berubah fungsi menjadi alat musik tradisional Jepang. Meskipun telah berubah

fungsi, shakuhachi sebagai alat musik tradisional Jepang tetap menyimpan nilai-nilai estetika

Zen. Dengan metode analisis-deskripsi, penelitian ini akan memaparkan perkembangan

shakuhachi dari awal kemunculannya, sebagai media meditasi Buddha Zen, hingga masa kini

sebagai alat musik tradisional Jepang yang tetap mengandung nilai estetika Zen.

Kata Kunci : Komusou; melodi; shakuhachi; zen.

Zen Aesthetics in Shakuhachi

Abstract

The music which composed a number of tones form melody that used as a medium in

religious activities. Zen Buddhism is the one of them. Zen use shakuhachi in their religious

activities which popularized by Fukeshuu sect. Komusou, Fukeshuu sect's member plays an

important role in the preservation of sakuhachi. In it's developmeny, shakuhachi role changes

into a traditional Japanese musical instrument. However, shakuhchi as a traditional Japanese

musical instrument still hold Zen aesthetic values. With description-anaysis method, this

paper will described the development of the initial appearance of shakuhachi as Zen

Buddhism media in mediation, to the presentday as a traditional Japanese musical instrument

which contain of Zen aesthetic value.

Keyword: Komusou; melody; shakuhachi; zen.

Pendahuluan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musik adalah suara yang disusun

sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan terutama suara yang

dihasilkan dari alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian. Dalam perkembangannya,

musik menjadi suatu bagian yang terpisahkan dari religi, karena musik dianggap memiliki

nilai sakral yang langsung menghubungkan diri dengan kekuatan transenden. Selain itu,

ajaran yang disampaikan melalui musik jauh lebih mudah diterima dibandingkan dengan

ajaran yang disampaikan melalui tulisan. Melodi yang tersusun dari rangakain nada-nada

yang berbeda membentuk suatu harmoni yang memberi kekuatan tersendiri bagi orang yang

1 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 5: MK-Eva Fatimah.pdf

mendengarnya. Karena itulah musik memiliki kedudukan yang tidak dapat diremehkan dalam

kehidupan religi, dimana musik menjadi suatu media dalam penyampaian ajaran agama dan

sekaligus menajadi suatu perantara yang menghubungkan hamba dengan kekuatan transenden

yang diyakininya.

Pada zaman Kamakura, salah satu ajaran Buddha yang menyebar luas adalah Buddha

sekte Zen. Dalam ajarannya, Buddha Zen bertujuan untuk memindahkan pikiran Buddha

secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya melalui praktik dalam kehidupan sehari-

hari. Dalam ajaran Zen, satori yaitu pencerahan akan diperoleh apabila seseorang telah dapat

melihat suatu realitas secara mendalam. Salah satu metode yang digunakan dalam Buddha

Zen untuk mencapai satori adalah dengan melakukan meditasi. Metode ini dicirikan dengan

ketenangan, harmonisasi, dan keheningan. Fondasi dasar meditasi dalam Zen memang

dilakukan dengan duduk bersila dan berkonsentrasi dalam keheningan dan mengharmoniskan

pikiran dengan alam serta membebaskan diri dari keterikatan material, namun sesungguhnya,

segala aspek kehidupan manusia, seperti cara berjalan, berdiri, duduk, makan dan lainnya

termasuk dalam bentuk meditasi Zen. Esensi dari Zen adalah melihat sifat dasar dari suatu

realita dan merujuk pada suatu jalan yang membebaskan diri dari keterikatan menuju pada

kebebasan. Kebebasan di sini adalah memberikan peran yang bebas untuk berdaya cipta yang

mendorong tindakan yang penuh kebajikan dengan tidak mengesampingkan hati atau

perasaan. Karena itulah, manusia harus dapat melihat makna dasar dari segala tindakan atau

fenomena yang dihadapinya dalam kehidupan. Dari sudut pandang etika, Zen dianggap

sebagai suatu disiplin yang bertujuan untuk membentuk karakter individu. Kehidupan

keseharian yang dilakukan seorang individu hanya menyentuh sisi luar dari karakter individu

dan tidak pernah menyentuh bagian dalam jiwa. Karena itulah Zen hadir memberikan

harmonisasi sisi luar dan sisi dalam diri manusia.

Setiap agama memiliki metode dan media tersendiri dalam menyampaikan ajarannya.

Salah satu media yang digunakan Buddha Zen dalam menyebarkan ajarannya adalah melalui

musik. Dalam beberapa bentuk ajaran Buddha, musik menjadi unsur media yang sangat

penting dari pesan Buddha yang disampaikan secara tegas dalam mencari keselamatan hidup

(Mabbett, 1994: 9). Meskipun meditasi dalam Zen dilakukan secara hening, tidak berarti

meditasi tersebut dilakukan dalam kesunyian tanpa suara. Suasana hening yang dimaksud

adalah suasana yang memberikan rasa nyaman, tentram, dan konsentrasi. Dalam melakukan

meditasi, suara-suara yang terdengar turut memberikan nuansa hening yang mendorong

konsentrasi dalam meditasi, seperti suara aliran air, kicauan burung, dan hembusan angin.

2 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 6: MK-Eva Fatimah.pdf

Meskipun suara tersebut tidak memiliki irama yang beraturan, suara tersebut menciptakan

suatu harmoni yang menentramkan.

Selain suara-suara alam, Buddha Zen yang terkenal dengan ajaran meditasinya,

memiliki lebih dari dua puluh instrumen yang digunakan untuk mengatur kehidupan sehari-

hari para biksunya (Malm, 2000: 57). Media musik dalam ajaran Buddha tidak terbatas pada

media yang dapat mengeluarkan suara yang digunakan dalam ritual Buddha (houki), seperti

hanshou (lonceng Buddha), kei (lonceng kecil berbentuk mulut ikan), kin (lonceng berbentuk

mangkuk), mokugyo (gong bercelah seperti kentongan), uchiwadaiko (gendang kipas), bangi

(lonceng papan kayu), dan ogane (lonceng yang ditaruh di menara yang terpisah dari komplek

kuil). Buddha juga mengenal chanting atau nyanyian mantra yang didasarkan pada teks sutra.

Di Jepang, pembacaan chant atau nyayian sutra ini disebut sebagai shoumyou.

Memang nampak sulit untuk mengeneralisasikan esensi Buddha melalui musik,

namun musik dengan satuan nadanya mengharuskan pendengar mengamati secara mendalam

bunyi-bunyi yang dikeluarkan dan makna yang terkandung dari rangkaian bunyi tersebut.

Setiap orang pasti memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami bunyi yang

didengarnya, meskipun mereka mendengr bunyi yang sama. Kemampuan untuk memahami

makna bunyi yang didengarnya bergantung pada kemampuan seseorang untuk dapat melihat

(dalam konteks ini mendengar) bunyi secara mendalam. Musik dengan nada-nada yang

dilantunkannya merupakan suatu hal yang abstrak. Tidak ada satu kriteria yang menentukan

nilai dari suatu musik. Kesadaran dan Jiwa manusialah yang menentukan nilai dari musik.

Dibutuhkan pemahaman yang mendalam untuk dapat memahami makna sesungguhnya yang

terdapat dalam lantunan nada-nada tersebut. Karna itulah dibutuhkan keterbukaan, kemurnian

dan kejernihan pikiran untuk dapat memahaminya.

Musik telah menjadi bagian yang sangat penting dalam Buddha. Harmonisasi

susunan nada dalam suatu musik akan mengantarkan seseorang yang mendengarnya pada

ketenangan dan ketentraman dalam hidup. Dalam Buddha, musik menjadi suatu hal yang

tidak dapat ditinggalkan dalam ritual keagamaan. Musik yang dibacakan secara oral melaui

kata-kata yang dilantunkan, harus dapat dipahami dan dimaknai dengan hati. Dalam hal ini,

shoumyou yang berisi kata-kata dari sutra dilantunkan dalam notasi dan nada tertentu yang

tersusun secara harmonis. Melalui shoumyou, ajaran sutra Buddha dapat disampaikan kepada

khalayak umum. Tidak hanya nilai-nilai harmonisasi yang disampaikan, namun juga nilai

Buddha lainnya yang terdapat dalam rangkaian kata-kata dalam shoumyou yang dilantunkan.

3 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 7: MK-Eva Fatimah.pdf

Selain secara lisan, musik dalam Buddha juga dihasilkan dari dentingan benda-benda,

khususnya instrumen yang dipukul. Bunyi-bunyi tersebut memberikan simbol makna

tersendiri, khususnya dalam upacara Buddha (hoe) dan bagian-bagian upacara Buddha (hoyo).

Hansho (lonceng Buddha) yang dipukul menciptakan bunyi gaung yang menggambarkan

suasana khidmat dalam suatu upacara Buddha dan menandakan bahwa prosesi upacara telah

dimulai dengan masuknya para biksu ke dalam area upacara. Kei yang merupakan lonceng

kecil berbentuk mulut ikan yang terbuat dari perunggu, digunakan dalam upacara Buddha

sebagai penanda pergantian sesi dalam suatu upacara Buddha. Selain kei, digunakan pula rei

dan kin sebagai penanda pergantian sesi. Rei merupakan lonceng tangan yang berukuran kecil,

sedangkan kin merupakan lonceng berbentuk mangkuk yang ditaruh di atas bantalan berwarna

terang dan dipukul pinggirannya dengan sebuah pemukul. Sedangkan bagian utama dari

upacara Buddha ditandai dengan bergemanya bunyi dari sebuah gong yang disebut dora.

Mokugyou (gong bercelah yang terbuat dari kayu dan menyerupai mulut ikan)

mengeluarkan bunyi seperti derap kuda “tat tat tat” yang bisanya dilantunkan pada dini hari

atau petang saat matahari terbenam. Mokugyo yang dilantunkan pada pergantian hari

melambangkan lingkaran kehidupan manusia, sedangkan bunyi yang tetap melambangkan

harmonisasi yang mengajarkan manusia untuk hidup harmonis dalam lingkaran kehidupannya.

Instrumen lain yang digunakan adalah uchiwadaiko (gendang kipas) yang merupakan

gendang kecil bersisi tunggal yang memiliki pegangan dari kayu. Gendang ini dipegang

dengan satu tangan dan dipukul dengan tongkat kayu kecil. Dalam sekte nichiren1, para biksu

membunyikan uchiwadaiko di jalanan untuk mengundang para pendosa untuk bertobat.

Instrumen yang menghasilkan bunyi lainnya yang tidak dapat terpisahkan dari

Buddha Zen adalah bangi dan ogane. Bangi merupakan papan kayu besar yang dipukul

dengan sebuah pemukul untuk memanggil para biksu ke ruang utama untuk melakukan

meditasi. Sedangkan ogane merupakan sebuah lonceng besar yang yang tergantung dalam

menara lonceng yang terpisah dari komplek kuil dan dibunyikan dengan cara dipukul dengan

mengayunkan sebuah tongkat panjang yang digantung horizontal di samping ogane. Ogane

dibunyikan sebagai pertanda pergantian waktu, khususnya pada malam tahun baru. Ogane

yang dibunyikan pada setiap pergantian waktu melambangkan waktu yang terus berputar

dalam lingkaran kehidupan manusia.

1 Nichiren merupakan salah satu aliran Buddha yang ajarannya dapat disimpulkan dengan kata-kata Nam-myoho-renge-kyo yang berarti “Aku mengabdikan diriku pada kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan kedalaman dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddhisme yang paling luhur (Ikeda terj. Soedibyo, 1974: 55)

4 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 8: MK-Eva Fatimah.pdf

Pada perkembangan selanjutnya, musik sebagai media penyebaran ajaran Buddha

tidak hanya terbatas pada shoumyou dan alat untuk melakukan ritual Buddha saja. Nuansa

Buddha, khususnya Buddha Zen turut mewarnai musik tradisional Jepang lainnya dengan

munculnya alat musik tradisional Jepang seperti shakuhachi, koto, dan shamisen.

Penelitian kali ini akan mencoba memaparkan perkembangan musik yang pada

awalnya merupakan media yang digunakan dalam ritual dan penyebaran agama Buddha

berkembang menjadi nilai kesenian tradisional dan modern yang sekuler tanpa melupakan

nilai-nilai estetika Buddha Zen yang dikemukakan Hisamatsu Shinichi, yaitu fukinsei 不均斉

(asimetris), kanso 簡素(kesederhanaan), shizen 自然 (alami), kokou 枯高 (kekeringan karna

dimakan waktu), yuugen 幽玄 (makna mendalam), datsuzoku 脱俗 (tidak terikat), dan seijaku

静寂 (keheningan). Melalui metode analisis-deskripsi yang digunakan, akan dipaparkan

perkembangan shakuhachi sebagai alat musik tradisional Jepang yang mengimplementasikan

nilai-nilai estetika Buddha Zen.

Shoumyou sebagai cikal-bakal Shakuhachi

Musik dalam ajaran Buddha pada awalnya muncul dari irama nyanyian dalam

pembacaan sutra. Para pendeta Jepang berbondong-bondong pergi ke Yushan (Gyosan) di

Cina untuk mempelajari chant atau shoumyou 声明 . Pendeta Jepang yang pertama kali

membawa chant dari China ke Jepang adalah Saichou dan Kuukai pada masa Heian. Pada

masa Kamakura, chant dari Buddha Zen berkembang di Jepang. Penjepangan chant Buddha

tersebut baru dilakukan pada masa Muromachi, yaitu chant yang dinyanyikan dalam bahasa

Jepang yang disebut shoumyou. Istilah shoumyou berasal dari teks chanting Buddha yang

berasal dari India, kemudian menyebar ke Cina dan barulah ke Jepang, maka shoumyou yang

masuk ke Jepang dinyanyikan dalam tiga bahasa, yaitu dalam bahasa sansakerta yang disebut

bonsan, dalam bahasa Cina yang disebut kansan, dan dalam bahasa Jepang yang disebut

wasan. Selain ketiga bentuk tersebut, di Jepang juga berkembang koshiki, yaitu shoumyou

yang ditulis dengan karakter kanji Cina namun dengan pelafalan Jepang.

Dalam shoumyou terdapat dua tangga nada dasar yang disebut ryo dan ritsu. Setiap

tangga nada dasar tersebut memiliki lima nada dasar yang terdiri dari kyou 宮, shou 商, kaku

角, chi 徴, dan u 羽. Setiap tangga nada dasar memiliki dua nada tambahan dengan menaikan

atau menurunkan nada setengah tingkat. Pada tangga nada ritsu, nada sho dan nada u dinaikan

5 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 9: MK-Eva Fatimah.pdf

setengah nada yang disebut ei 嬰, sehingga susunan nada pada tangga nada ritsu menjadi kyu,

sho, ei-sho, kaku, chi, u, ei-u. Sedangkan pada nada ryo, nada chi dan kyu diturunkan setengah

tingkat yang disebut hen 変, sehingga susunan nada pada tangga nada ryo menjadi kyu, sho,

ei-sho, kaku, chi, u, ei-u. Perbedaan antara tangga nada ryo dan ritsu terletak pada

penempatan nada kaku. Pada tangga nada ryo, nada kaku berada setengah tingkat lebih rendah

dari tangga nada ritsu.

Gambar 1. Tangga nada dasar Buddha: Ryo dan Ritsu

(Sumber : Malm, 2000: 49)

Dalam tangga nada ryo dan ritsu terdapat tujuh macam nada, namun hanya lima nada

yang dianggap sebagai nada utama. Sedangkan dalam tangga barat, terdapat dua belas nada

dan hanya tujuh nada yang dianggap sebagai nada utama, yaitu do, re, mi, fa, sol, la, si yang

sering dinotasikan dengan C-D-E-F-G-A-B. Tangga nada Buddha sering kali digambarkan

dalam bentuk sirkuler yang menggambarkan ajaran Buddha tentang lingkaran kehidupan

manusia. Dua belas titik dalan lingkaran tersebut merupakan dua belas nada dasar pada tangga

nada barat, sehingga terlihat perbandingan jarak nada antara tangga nada ryo dan ritsu dengan

tangga nada barat.

Gambar 2. Tangga nada Buddha dalam bentuk sirkuler

6 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 10: MK-Eva Fatimah.pdf

Shoumyou hanya dinyanyikan dengan nada-nada dalam dua tangga nada tersebut.

dalam melantunkannya, suku kata dalam shoumyou ada yang diperpanjang cara

melantunkannya dalam satu ritme dan satu nafas panjang. Pada bagian awal melantunkannya,

seseorang tidak hanya melantunkan dan mendengarkna shoumyou dari alunan nadanya,

namun juga dari ruangan tempat pembacaan shoumyou. Hal ini merupakan ciri khusus dari

musik tradisional jepang, khususnya shakuhachi yang merupakan salah satu alat tiup

tradisional Jepang yang kental dengan nuansa Buddha Zen. Ruang dan waktu memegang

peran yang sangat besar dalam upaya memahami dan memaknai seni, termasuk musik.

Dalam perkembangannya, shoumyou hanya menjadi formalitas dalam ritual dan

kehilangan kekuatannya sebagai nilai religius. Banyak orang yang melupakan bahwa

shoumyou merupakan kata yang menggantikan kata okyou yang berarti teks Buddha.

Meskipun demikian, lantunan shoumyou dalam upacara ritual tetap memberikan kesan yang

mendalam bagi para pendengarnya. Dari shoumyou ini pula, muncul berbagai alat musik

tradisional Jepang yang kental dengan nuansa Buddha Zen, salah satu alat musik tersebut

adalah shakuhachi.

Perkembangan Shakuhachi

Dalam perkembangannya, shakuhachi 尺八 mengalami beberapa perubahan. Tahap

pertama yang diadopsi shakuhachi di Jepang adalah shakuhachi yang diadopsi dari instrumen

tiup China, dungxiao yang terdiri dari lima buluh bambu yang dijalin. Setiap buluh akan

mengeluarkan suara yang berbeda saat ditiup. Berbeda dengan dungxiao, instrumen tiup yang

berkembang di Jepang terdiri hanya terdiri dari satu potong buluh yang memiliki beberapa

lubang. Cara memainkannya adalah dengan membuka atau menutup lubang tertentu sehingga

menghasilkan bunyi yang berbeda. Instrumen musik ini disebut sebagai shakuhachi yang

berasal dari kata isshakuhassun yang berarti satu haku dan delapan shun yang merupakan

standar pengukuran di Jepang pada masa itu (sekitar 56 centimeter).

Shakuhachi juga mengalami perubahan pada bagian ujung yang ditiupnya. Pada

awalnya, bagian ujung shakuhachi yang ditiup adalah rata seperti ujung sebuh botol, namun

kemudian pada bagian ujung ini dibuat cekungan untuk memudahkan dalam peniupannya.

Setelah itu, bagian ujung shakuhachi tidak lagi dipotong cekung, melainkan dipotong miring

keluar yang berlawanan dengan cara potong Cina. Hal ini dianggap sebagai modifikasi asli

Jepang pada shakuhachi. Kemudian pada bagian yang dipotong tersebut disisipkan gading

7 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 11: MK-Eva Fatimah.pdf

atau tulang sehingga bagian sisi ujung yang ditiup menjadi lebih halus dan mudah dipakai.

Sisipan ini disebut tsuno atau hasami guchi.

Gambar 3. Perubahan bagian ujung shakuhachi yang ditiup

(Sumber: Malm, 2000: 172)

Selain bagian ujung yang ditiup, perubahan pada shakuhachi juga terjadi pada bentuk

dan ukurannya. Shakuhachi yang pertama kali muncul di Jepang pada masa Heian disebut

sebagai shakuhachi gagaku, yaitu merupakan shakuhachi yang memiliki enam lubang pada

bagian depannya. Namun shakuhachi bentuk ini tidak bertahan lama karena munculnya

shakuhachi jenis baru, yaitu hitoyogiri, yang berukuran lebih kecil dan terbuat dari bagian

tengah bambu. Hitoyogiri memiliki empat lubang pada bagian depan dan satu depan pada

bagian belakangnya. Ukurannya yang lebih kecil (33.3 centimeter) memungkinkan untuk

menghsilkan suara lebih tinggi. Hitoyogiri berkembang pada masa Muromachi yang banyak

dimainkan oleh para biksu pengembara yang membawa tikar jerami sebagai alas tidur mereka.

Para biksu tersebut terkenal dengan sebutan pendeta jerami-padi atau komoso 菰僧. Para

pendeta tersebut mendapatkan uang dari pemberian orang-orang yang mendengarkan mereka

bermain hitoyogiri. Kemunculan para komoso ini merupakan cikal bakal munculnya sekte Zen

komusou 虚無僧 atau Fukeshuu 普化宗.

Meskipun memiliki suara yang tinggi, suara yang dikeluarkan hitoyogiri tidak terlalu

keras, sehingga keberadaannya pun mulai tergantikan dengan munculnya shakuhachi modern

yang memiliki kekuatan suara yang lebih keras. Shakuhachi modern ini berkembang pada

masa Edo. Shakuhachi modern ini berukuran lebih besar dan terdiri dari empat lubang di

depan dan satu di belakang. Shakuhachi modern dibuat dari bonggol bambu, sehingga bagian

bawah shakuhachi modern nampak lebih besar dibandingkan bagian tubuh dan ujung atasnya.

Selain untuk mendapatkan suara yang lebih kuat, hal ini juga didasarkan pada keadaan pada

8 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 12: MK-Eva Fatimah.pdf

waktu itu dimana banyak ronin2 yang menggunakan shakuhachi tidak hanya sebagai alat

musik tiup namun juga sebagai sebuah instrumen untuk mempertahankan diri.

Pada masa itu terdapat banyak ronin yang hidup tidak beraturan dan memilih untuk

menjadi komoso. Namun para komoso-ronin tersebut banyak yang merasa ketakutan bahwa

mereka akan menjadi korban balas dendam shogun, sehingga para komoso tersebut

membentuk suatu kelompok yang disebut Fukeshuu. Anggota dari kelompok Fukeshuu

disebut komusou, sehingga kelompok Fukeshuu lebih sering disebut sebagai kelompok

komusou. Kelompok ini kemudian meminta pengakuan dari kuil bahwa mereka berasal dari

Cina dan memperoleh hak untuk mendapatkan tunjangan dengan memainkan shakuhachi.

Dengan demikian, kelompok tersebut dapat mempertahankan dirinya dan membentuk sekte

Zen baru yang memfokuskan ajarannya dengan meditasi menggunakan shakuhachi yang

disebut dengan metode suizen. Para komusou memiliki ciri khas dalam memainkan

shakuhachinya. Mereka menutupi kepala mereka dengan topi keranjang yang menutupi

bagian wajah mereka, yang disebut tensai dan menggantungkan kotak kecil pada bagian dada

mereka untuk tempat menaruh santunan. Meditasi dalam sekte komusou, tidak hanya

dilakuakan dengan duduk bersila sambil memainkan shakuhachi, namun juga dengan berdiri

atau berjalan berkelana sambil memainkan shakuhachi. Dengan memfokuskan diri pada

meditasi dengan memainkan shakuhachi, para biksu komusou tersebut telah berperan

mempertahankan shakuhachi agar tidak hilang dimakan waktu.

Dalam dunia musik Jepang saat ini, shakuhachi digunakan dalam beberapa bentuk:

1) pertunjukan solo dari musik klasik honkyouku; 2) sebagai bagian dari ansambel atau

pendamping musik tradisional Jepang; 3) iringan musik pada minyo atau lagu rakyat; 4)

iringan pada shigin atau nyanyian puisi Cina klasik; 5) bagian dari ansambel atau pendamping

kayokyoku atau musik poluler komersil Jepang; 6) bagian dari ansambel atau pendamping

dalam permainan musik jazz, pop, dan rock; 7) peleburan atau kombinasi, baik dengan

instrumen barat maupun instrumen non-barat; dan 8) di masa kontemporer, dijadikan sebagai

musik komputer (Seyama, 1998: 77-78).

Panjang musik shakuhachi bervariasi mulai dari beberapa menit hingga setengah jam.

Musik dalam shakuhachi dibagi menjadi dua kategori, yaitu honkyouku, dan gaikyoku.

Honkyoku merupakan melodi asli shakuhachi yang dimainkan secara solo. Dalam menikmati

2 Ronin merupakan samurai yang kehilangan tuannya akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan

dicabut oleh pemerintah. Samurai tak bertuan atau mantan samurai ini kemudian banyak yang hidup

mengembara, menjadi bandit atau komoso untuk mempertahankan hidupnya.

9 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 13: MK-Eva Fatimah.pdf

honkyoku, tidak hanya kualitas suara yang menjadi pusat perhatian, namun ruangan tempat

dibawakannya honkyoku tersebut. Harmoni antara alunan bunyi dan ruang menjadi faktor

penting dalam pembawaan honkyoku. Jenis kedua dari musik shakuhachi adalah gaikyoku.

Gaikyoku merupakan jenis musik shakuhachi yang tidak dibawakan secara solo, melainkan

dibawakan beriringan dengan instrumen musik lain seperti koto dan samisen. Shakuhachi

yang dimainkan bersama dengan koto dan shamisen disebut sebagai pertunjukan musik

sankyoku. Sankyoku selain ditampilkan dalam pertunjukan musik tunggal, juga digunakan

sebagai musik pengiring dalam pertunjukan kabuki. Pada zaman modern ini shakuhachi

dimainkan dalam alunan musik jazz dengan menggunakan shakuhachi berbahan dasar metal

yang disebut shakulute. Permainan shakuhachi merupakan permainan dengan ritme yang

tidak beraturan dan menggabungkan warna nada dalam tingkatan nada yang luas membuat

alat musik ini cocok dimainkan dalam alunan musik jazz (Gutzwiller dalam Greene, 2002:

150)

Shakuhachi sebagai Alat Musik Implemantasi Ajaran Buddha Zen

Terdapat tiga karateristik yang manjadi ciri dari alat musik

shakuhachi: (1) bagian ujung tiupan shakuhachi dipotong miring dengan

sisipan gading atau tulang, (2) lima lubang pada shakuhachi yang diletakan

empat di depan dan satu di belakang, dan (3) instrumen musik yang

berbentuk panjang yang meruncing ramping dari akar bambu yang

berbentuk lonceng (Malm, 2000:179). Bagian ujung bawahnya yang

berbentuk lonceng merupakan suatu hal yang tidak selalu ditemukan pada

bonggol bambu, oleh karen itu selagi batang bambu tersebut masih dalam

pertumbuhan, pengrajin shakuhachi harus menekuk bagian bawah bambu

hingga menghasilkan bentuk bonggol seperti yang diinginkan. Pembentukan

bonggol tersebut harus dilakukan secara profesional dan penuh kehati-hatian

agar bagian bonggol yang dibentuk tersebut tidak nampak seperti bentuk

artifisial.

Dalam suizen, mata sangat mudah menarik perhatian, karna itu ajarna ini

mengajarkan untuk menutup mata dan menjadikan telinga sebagai pusat perhatian. Tahapan-

tahapan yang perlu diperhatikan dalam melakukan suizen, baik mendengarkan maupun

memainkan shakuhachi antara laian: 1) fokuskan perhatian pada permukaan kulit, bernafaslah

Gambar 4. Shakuhachi

10 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 14: MK-Eva Fatimah.pdf

melalui pori-pori pada permukaan tubuh, dengan perlahan rasakanlah seluruh permukaannya.

Biarkan suara masuk melalui pori-pori dan rasakan vibrasi suara pada seluruh permukaan

tubuh. Dengarkan suara dengan seluruh tubuh dan lupakanlah hal-hal keduniawian; 2)

rasakanlah suara yang memasuki telinga, rasakan sensasi dari suara pada permukaan kulit dan

akibat yang ditimbulkannya pada organ dalam tubuh; 3) biarkan suara tersebut menjadi rumah

dan mengelilingi anda dan berada di dalam diri anda; 4) saat suatu pikiran datang (dalam hal

ini suara), sadarilah, dan lihat isinya, rasakan pengaruhnya pada tubuh dan kemudian

kembalilah mendengarkan dan rasakan sensasi fisik dari suata tersebut; 5) biarkan energimu

dibawa oleh suara tersebut, kendarai suara tersebut, dan lepaskanlah dirimu pada suara

tersebut; 6) suara merupakan sebuah pintu, bagaikan halaman belakang yang

memperkenankan untuk melihat dan merasakan halaman depan dari emosi-pikiran dan tubuh

dan juga memperkenankan untuk merasakan diri yang lebih dalam dan sesungguhnya; 7)

pikiran akan memberontak dalam ketakutan, rasakan apa yang akan akan dirasakan pada

tubuh, lalu keluarkanlah dalam bentuk suara. Biasanya kemampuan untuk memasuki

pengalaman ini bergantung pada keyakinan kita bahwa pikiran kita telah melampaui diri; 8)

dalam memainkannya, rasakanlah suara muncul dari seluruh tubuh sebagai pusat energi,

rasakan kekuatan dari perut, kontraksi diafragma, paru-paru yang yang berisi dan kosong,

tenggorokan yang terbuka, getaran sinus, dan rasakan suara pada mulut. Rasakan suaranya di

mulut sebagaimana merasakan wine yang mahal, dan dalam memainkan shakuhachi, gerakan

jari-jari dengan vibrasi yang dirasakan. (Brandwein dalam Keister, 2004: 117-118)

Shakuhachi berbentuk tongkat panjang yang berongga pada bagian dalamnya.

Ukuran panjang standar shakuhachi adalah 54,5 centimeter. Meskipun memiliki ukuran

standar, tidak ada ketentuan dalam penentuan panjang shakuhachi. Sebagian besar pengrajin

membuat shakuhachi dengan ukuran panjang diluar ukuran standar, yaitu berkisar antara 38-

108 centimeter. Bentuknya yang hanya berupa tongkat lurus dengan lima titik lubang

merupakan suatu bentuk kesederhanaan yang diterapkan pada shakuhachi. Besar diameter

bagian luar shakuhachi tidak memiliki ukuran yang baku, bergantung pada besarnya bambu

yang diperoleh, biasanya berukuran 4-5 centimeter. Sedangkan diameter rongga bagian dalam

shakuhachi diukur dengan sangat hati-hati dan penuh perhitungan menggunakan serut dan

kikir khusus.

Meskipun memiliki standar lima lubang, dalam praktiknya terdapat pula shakuhachi

yang terdiri dari tujuh atau sembilan lubang. Meskipun tidak mengikuti standar jumlah lubang

yang ada, penentuan jumlah lubang tersebut tetap berpedoman pada standarisasi lima lubang

11 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 15: MK-Eva Fatimah.pdf

shakuhachi. Penetapan standarisasi lima lubang yang menghasilkan lima jenis ketinggian

bunyi itu mengacu pada tangga nada Buddha yang digunakan pada shoumyou. Hal ini

menandakan bahwa nuansa Buddha Zen masih sangat melekat pada instrumen musik ini.

Kelima nada standar pada shakuhachi menghasilkan bunyi nada-nada D, F, G, A, dan D’.

Meskipun hanya memiliki lima nada standar, shakuhachi dapat mengeluarkan nada bunyi

yang lebih beragam dengan mengatur kerapatan bukaan lubang dan posisi peniupan. Selain

itu, teknik pernafasan dan peniupan pun merupakan suatu keahlian tersendiri dalam

menciptakan harmoni bunyi pada shakuhachi.

Tidak hanya kanso (kesederhanaan) dan datsuzoku (tidak terikat) yang terdapat pada

shakuhachi, shakuhachi juga melambangkan nilai shizen (kealamian) dan yuugen (makna

mendalam). Bambu yang menjadi bahan utama dalam pembuatan shakuhachi mengajak

manusia untuk mendekatkan diri dengan alam. Lantunan nada yang dikeluarkan shakuhachi

merupakan suatu simbol bunyi yang berkolaborasi dengan suara-suara alam. Selain itu, bila

dilihat dari kegunaan shakuhachi bagi para komusou pada masanya, shakuhachi juga

digunakan sebagai senjata untuk melindungi diri sebagai pengganti pedang.

Bonggol bambu yang digunakan dalam pembuatan shakuhachi, bukanlah bonggol

bambu biasa. Pemilihan bonggol bambu hingga pembuatan shakuhachi memerlukan ketelitian

khusus bagi para pengrajinnya, sehingga dibutuhkan kesungguhan dalam pembuatannya. Iki

para pengrajin dalam proses pembuatan tersebut memberikan makna tersendiri bagi para

pemain shakuhachi. Para pemain shakuhachi pun dituntut untuk berkonsentrasi dalam

memainkannya. Dibutuhkan pemahaman makna yang mendalam untuk dapat melantunkan

nada- nada yang harmonis.

Nilai keindahan lainnya yang terdapat pada shakuhachi adalah fukinsei (asimetris).

Nilai tersebut terdapat pada jarak pada tiap nada shakuhachi yang tidak sama. Meskipun

memiliki jarak nada yang tidak sama, pemahaman mendalam yang dimiliki seorang pemain

shakuhachi dapat menunjukan bahwa asimetris tersebut berhasil memberikan nilai keindahan

tersendiri dalam lantunan shakuhachi. Harmoni dari susunan nada asimetris shakuhachi

tersebut menciptakan nilai seijaku (keheningan) baik bagi orang yang melantunkan maupun

bagi pendengarnya. Keheningan dalam Zen tidak berarti sunyi tanpa suara, melainkan suasana

dimana terciptanya suatu harmoni degan alam. Harmoni tersebut tidak hanya terdapat pada

lantunan nada yang dikeluarkan, namun juga diperlukan harmoni dengan ruang atau tempat

memainkan shakuhachi. Shakuhachi banyak dimainkan di alam terbuka maupun dalam suatu

ruangan sederhana. Kesederhanaan ruang dalam permainan shakuhachi akan memberikan

12 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 16: MK-Eva Fatimah.pdf

kekuatan tersendiri, baik bagi pelantun maupun pendengarnya dalam menyatukan diri dengan

alam. Nilai keindahan Zen terakhir yang terdapat pada shakuhachi adalah kokou (kekeringan

karena dimakan usia). Hal ini nampak pada pertunjukan shakuhachi masa kini. Meskipun saat

ini shakuhachi banyak dimainkan bersama dengan alat musik lain, shakuhachi honkyoku yang

merupakan ciri dari shakuhachi yang asli tetap memiliki nilai tersendiri yang digemari oleh

banyak orang.

Kesimpulan

Musik yang pada awalnya merupakan salah satu media dalam penyampaian nilai

religius terbukti turut berperan dalam penciptaan budaya suatu masyarakat. Buddha Zen yang

menggunakan media musik (bunyi-bunyian) dalam metode meditasinya, terbukti telah

berperan dalam menciptakan alat musik dan seni musik Jepang, baik tradisional maupun

modern. Salah satu alat musik yang muncul dari ajran Buddha dari Zen adalah shakuhachi,

yang merupakan salah satu alat musik tradisional Jepang. Shoumyou yang merupakan

nyanyian mantra sutra Buddha merupakan cikal bakal alat musik tiup Jepang, shakuhachi,

yang diadopsi dari alat musik tiup Cina, dungxiao. Susunan nada pada shakuhachi

berpedoman pada tangga nada yang digunakan pada tangga nada shoumyou. Dalam

perkembangannya, shakuhachi mengalamai beberapa bentuk, mulai dari shakuhachi gagaku,

hitoyogiri yang berukuran lebih kecil, dan shakuhachi modern. Kelompok yang berperan

dalam melestarikan shakuhachi adalah kelompok komusou yang membentuk sekte Zen

Fukeshuu dengan menerapkan metode suizen yang memfokuskan pada penggunaan

shakuhachi dalam meditasi Zen. Sekte ini memiliki ciri khas dalam memainkan shakuhachi,

yaitu dengan menggunakan tutup kepala dari rotan yang menutupi wajah pemainnya yang

disebut tengai.

Seiring berjalannya waktu, shakuhachi mulai kehilangan nilainya sebagai instrumen

musik religius dan berkembang menjadi budaya tradisional. Shakuhachi sebagai salah satu

kebudayaan dilakukan dengan melakukan pertunjukan solo shakuhachi dalam suatu ruangan.

Pemainnya pun tidak menggunakan penutup kepala layaknya permainan shakuhachi sebagai

sebuah meditasi. Dalam perkembangannya, shakuhachi biasanya dimaninkan bersama

instrumen lain, yaitu koto dan shamisen yang disebut sebagai pertunjukan sankyoku. Pada

masa modern sekarang ini, shakuhachi terbuat dari logam yang disebut shakulute dan

13 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 17: MK-Eva Fatimah.pdf

dimainkan untuk mengiringi irama musik jazz, pop, dan lainnya. Terlihat bahwa nilai

shakuhachi telah berubah dari instrumen musik religius menjadi instrumen musik kebudayaan.

Meskipun telah berubah popularitasnya, shakuhachi tetap tidak meninggalkan nilai-

nilai Zen. Nilai estetika Zen seperti fukinsei (asimetris), kanso (kesederhanaan), shizen (alami),

kokou (kekeringan karna dimakan waktu), yuugen (makna mendalam), datsuzoku (tidak

terikat), dan seijaku (keheningan) masih sangat melekat pada permainan shakuhachi modern.

14 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 18: MK-Eva Fatimah.pdf

DAFTAR REFERENSI

Buku

Aishin, Imaeda. (1983). Japanese Zen. Cetakan ketiga. Shobi Printing: Tokyo

Hisamitsu, Shunichi. (1974). Zen and The Fine Arts.Kodansha International: Tokyo

Ikeda, Daisaku.(1976). Buddhism: The Living Philosophy. (Terjemahan oleh Soedibyo). The

East Publication: Tokyo

Malm, William P. (2000). Traditional Japanese Music and Musical Instruments. Kodansha

Internasional: Tokyo

Shigeo, Kishibe. (1984). The Traditional Music of Japan. Ongaku no Tomosha Corp: Tokyo

Suzuki, D.T. (1956). Zen Buddhism. (Terjemahan oleh William Barret). Anchor Books:

Amerika

Publikasi Elektronik

Basic Facts About Shakuhachi

http://www.shakuhachizen.com/about-shakuhachi.html diakses pada 10 Juli 2013

pukul 10.00

Keister, Jay (2004). "The Shakuhachi as Spiritual Tool: A Japanese Buddhist Instrument in

the West" dalam Asian Music

http://www.jstor.org/stable/4098447 diakses pada 15 Juli 2013 pukul 08.20

Mabbet, Ian W. (1994). “Buddhism and Music” dalam Asian Music.

http://www.jstor.org/stable/8341 88 diakses pada 10 Juli 2013 pukul 14.04

Sanford, James H. (1977). “Shakuhachi Zen: The Fukeshuuu and Komuso” dalam Momenta

Nipponica.

http://www.jstor.org/stable/2384045 diakses pada 11 Juli 2013 pukul 14.42

Seyama, Toru. (1998). "The Re-contextualisastion of the Shakuhachi (Syakuhati) and its

Muzic from Traditional/Classical into Modern/Populer" dalam The World of Music

http://www.jstor.org/stable/41699197 diakses pada 15 Juli 2013 pukul 06.24

Shomyo Workshop - Ancient Voices in A Contemporary Society

http://www.junkoueda.com/en/shomyo.html diakses pada 11 Juli 2013 pukul 14.02

Tai Hei Shakuhachi : Japanese Bamboo Flutes

http://www.shakuhachi.com.html diakses pada 10 Juli 2013 pukul 14.00

The International Shakuhachi Society

http://www.komusou.com/top/index.pl diakses pada 10 Juli 2013 pukul 13.00

15 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 19: MK-Eva Fatimah.pdf

LAMPIRAN

Teks Shoumyou yang dilantunkan oleh Ueda Junko

(Sumber: http://www.junkoueda.com/en/shomyo.html)

Alat Musik Buddha : (dari kiri atas ke kanan bawah) hansho, kei, rei, kin, mokugyou,

uchiwadaiko

16 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 20: MK-Eva Fatimah.pdf

Berbagai macam ukuran Shakuhachi Shakulute

(Sumber: http://www.urbandharma.org) (Sumber: http://www.shakuhachi.com)

Kombinasi lubang bukaan dan suara yang dihasilkan pada shakuhachi

(Sumber: http://www.bambooflute.com)

17 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013

Page 21: MK-Eva Fatimah.pdf

Shakuhachi yang dimainkan dalam sankyoku. Shakuhachi: Yodo Kurahashi, shamisen:

Ayako Kurahashi, koto: Shigehiro Shimada

(Sumber: http://burogu.avo-forum.nl)

Pendeta Komusou yang memainkan shakuhachi di jalan

(Sumber: http://buddhazen101.tumblr.com)

18 Nilai estetika ..., Eva Fatimah, FIB UI, 2013