Muhamad Rasul Dan Negarawan

22
MUHAMMAD SEBAGAI RASUL DAN NEGARAWAN Oleh: Drs. Lukman Hakim, MSI 1 ABSTRAK Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama ummat Islam sesudah Muhammad Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin ummat, atau juga lazim disebut persoalan imamah. Al-Qur‟an sebagai acuan utama di samping sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya. Pentas perjalanan sejarah ummat Islam pasca Nabi sampai di abad modern ini, ummat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk pemerintahan, mulai dari bentuk kekhalifahan yang demokratis sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keragaman dalam praktek mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang politik Islam. perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan. Wacana tentang hubungan agama dan negara melahirkan tiga kelompok pemikiran di kalangan ummat Islam. Kelompok pertama berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi mempunyai fungsi politik. Karena itu, kepala negara mempunyai kekuasaan agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang samasekali terpisah dari agama. Karena itu, kepala negara hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja. Kata Kunci: Muhamad, Rasul, Negarawan, Politik A. Pendahuluan Salah satu persoalan kontroversial di kalangan ulama ataupun awam di lingkungan ummat Islam hingga saat ini adalah seputar ada dan tidaknya bangunan negara Islam. Kalaupun ada, negara manakah di dunia ini yang telah merealisasikan konstruksi tersebut? Sedangkan jika tidak ada, lalu bagaimana ummat yang berjumlah satu milyar jiwa lebih ini hidup dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia? Lantas, bagaimana ummat Islam 1 Penulis adalah dosen STH Galunggung Tasikmalaa

description

Sejarah peradaban Islam masa Rasulullah

Transcript of Muhamad Rasul Dan Negarawan

Page 1: Muhamad Rasul Dan Negarawan

MUHAMMAD SEBAGAI RASUL DAN NEGARAWAN Oleh: Drs. Lukman Hakim, MSI1

ABSTRAK Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan

oleh generasi pertama ummat Islam sesudah Muhammad Rasulullah

wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang

akan memimpin ummat, atau juga lazim disebut persoalan imamah.

Al-Qur‟an sebagai acuan utama di samping sunnah Nabi tidak

sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau

tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya.

Pentas perjalanan sejarah ummat Islam pasca Nabi sampai di abad

modern ini, ummat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk

pemerintahan, mulai dari bentuk kekhalifahan yang demokratis

sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keragaman dalam praktek

mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para

tokoh pemikir tentang politik Islam. perbedaan konsep dan

pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang

dikaitkan dengan kedudukan Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran

Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan.

Wacana tentang hubungan agama dan negara melahirkan tiga

kelompok pemikiran di kalangan ummat Islam. Kelompok pertama

berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus

lembaga politik. Karena itu, kepala negara adalah pemegang

kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Kelompok kedua

mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi

mempunyai fungsi politik. Karena itu, kepala negara mempunyai

kekuasaan agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga

menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang samasekali

terpisah dari agama. Karena itu, kepala negara hanya mempunyai

kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja.

Kata Kunci: Muhamad, Rasul, Negarawan, Politik

A. Pendahuluan

Salah satu persoalan kontroversial di kalangan ulama ataupun awam di

lingkungan ummat Islam hingga saat ini adalah seputar ada dan tidaknya

bangunan negara Islam. Kalaupun ada, negara manakah di dunia ini yang

telah merealisasikan konstruksi tersebut? Sedangkan jika tidak ada, lalu

bagaimana ummat yang berjumlah satu milyar jiwa lebih ini hidup dalam

percaturan bangsa-bangsa di dunia? Lantas, bagaimana ummat Islam

1 Penulis adalah dosen STH Galunggung Tasikmalaa

Page 2: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Indonesia menyikap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945? Bagaimana korelasinya sistem

pemerintahan yang ditampilkan oleh Nabi Saw dengan situasi negara

Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam?

Wacana di atas merupakan sebuah diskursus yang sangat menarik untuk

diperbincangkan, terutama melihat posisi Muhammad Saw semasa hayatnya.

Pada satu sisi Muhammad Saw adalah sebagai seorang Nabi dan Rasul, tetapi

pada sisi lain beliau juga sebagai seorang pemimpin masyarakat dan negara

dengan karakter kenegaraannya yang khas.

Hemat penulis, berkembangnya wacana “negara Islam” sesungguhnya

tidak lepas dari wacana umum yang berkembang di kalangan yuris Islam

mengenai hubungan antara agama dan politik atau agama dengan negara.

Memang, hubungan agama dan politik atau agama dan negara selalu menjadi

topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada

ajaran agama maupun golongan yang berpandangan sekuler. Bagi ummat

Islam, munculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan

mendasar: Apakah kerasulan Muhammad Saw mempunyai kaitan dengan

masalah politik; atau apakah Islam merupakan agama yang terkait erat

dengan urusan politik, kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah sistem dan

bentuk pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam?

Munculnya permasalahan tersebut dipandang wajar, karena risalah

Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw adalah agama yang penuh dengan

ajaran dan undang-undang (qawânin) yang bertujuan membangun manusia

guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Artinya, Islam

menekankan terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan

ukhrawi. Karena itu, Islam mengandung ajaran yang integratif antara tauhid,

ibadah, akhlak dan moral, serta prinsip-prinsip umum tentang kehidupan

bermasyarakat.

Di samping itu, sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang

dipersoalkan oleh generasi pertama ummat Islam sesudah Muhammad

Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau

Page 3: Muhamad Rasul Dan Negarawan

yang akan memimpin ummat, atau juga lazim disebut persoalan imamah. Al-

Qur‟an sebagai acuan utama di samping sunnah Nabi tidak sedikitpun

menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk

pemerintahan serta pembentukannya.

Tidak mengherankan, jika dalam pentas perjalanan sejarah ummat Islam

pasca Nabi sampai di abad modern ini, ummat Islam menampilkan berbagai

sistem dan bentuk pemerintahan, mulai dari bentuk kekhalifahan yang

demokratis sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keragaman dalam

praktek mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para

tokoh pemikir tentang politik Islam. perbedaan konsep dan pemikiran ini

bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang dikaitkan dengan kedudukan

Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik

dan pemerintahan.

Wacana tentang hubungan agama dan negara melahirkan tiga kelompok

pemikiran di kalangan ummat Islam. Kelompok pertama berpendapat bahwa

negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu,

kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.

Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi

mempunyai fungsi politik. Karena itu, kepala negara mempunyai kekuasaan

agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara

adalah lembaga politik yang samasekali terpisah dari agama. Karena itu,

kepala negara hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi

saja.2

Kemudian, pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam

kaitannya dengan politik dan pemerintahan juga terdapat tiga golongan.

Golongan pertama menyatakan, di dalam Islam terdapat sistem politik dan

pemerintahan, karena Islam adalah agama yang paripurna. Golongan kedua

mengatakan di dalam Islam tidak ada sistem politik dan pemerintahan, tapi

mengandung ajaran-ajaran dasar tentang kehidupan bermasyarakat dan

2 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah & Pemikiran, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1997, hal. xii.

Page 4: Muhamad Rasul Dan Negarawan

bernegara. Sedangkan golongan ketiga berpendapat Islam sama sekali tidak

terkait dengan politik dan pemerintahan. Ajaran agama Islam hanya berkisar

tentang tauhid dan pembinaan akhlak dan moral manusia dalam berbagai

aspek kehidupannya. 3

Menurut hemat penulis, terjadinya keragaman praktek dan keragaman

konsep dan pemikiran tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran Islam itu

sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti tuntutan

zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan peradaban dan

intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing. Artinya, baik

faktor interen maupun faktor eksteren sama-sama mempengaruhi keragaman

tersebut. Atau dengan kata lain selalu ada tarik-menarik antara ketentuan-

ketentuan normatif ajaran Islam dan kenyataan sosial politik dan historis.

Misalnya, dalam sejarah dicatat mengenai Dinasti Umayah dan Dinasti

Abbasiyah. Keberadaan kedua daulah tersebut di samping dipengaruhi ajaran

Islam juga dipengaruhi oleh model pemerintahan Romawi dan Persia. Atau

dalam alam pemikiran, terlihat bagaimana para tokoh pemikir politik Islam

Sunni klasik dan pertengahan misalnya, sangat dipengaruhi oleh kenyataan

historis dan kondisi sosial politik di masa mereka. Akibatnya tidak ada di

antara para yuris Sunni yang berusaha membuat lompatan pemikiran tentang

teori-teori politik dan kenegaraan untuk mengantisipasi perkembangan peta

kehidupan sosial politik ummat Islam di masa mendatang. Tampaknya

mereka terlalu yakin bahwa sistem pemerintahan di zaman mereka akan

bertahan. Tidak seperti dalam pembahasan mereka di bidang hukum fikih

yang banyak melakukan pengandaian, dengan mengemukakan beberapa

kasus yang peristiwanya belum terjadi, lalu menetapkan hukumnya.

Terlepas dari perdebatan pemikiran tersebut di atas, kiranya yang paling

menarik adalah persoalan kedudukan Muhammad dalam sejarah Islam, baik

beliau sebagai Nabi ataupun sekaligus sebagai pemimpin negara atau

masyarakat. Inilah barangkali topik penting yang perlu dibahas dalam tulisan

ini. Penulis lebih setuju terhadap pandangan bahwa Islam adalah agama

3 J. Suyuthi Pulungan, Ibid, hal. xii-xiii.

Page 5: Muhamad Rasul Dan Negarawan

komprehensif yang di dalamnya mengatur aturan kehidupan manusia dalam

berbagai aspeknya, termasuk kehidupan manusia dalam berbangsa dan

bernegara. Namun, sebelum membahas mengenai posisi Muhammad sebagai

Nabi dan negarawan, terlebih dahulu perlu diketengahkan mengenai prinsip-

prinsip dasar pemikiran politik dan kenegaraan dalam Islam. Hal ini penting

untuk meletakkan dasar pandangan mengenai posisi Muhammad sebagai

Nabi dan negarawan.

B. Prinsip-prinsip Dasar Pemikiran Politik dan Kenegaraan dalam Islam

Penulis sepakat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif.

Didalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi,

sistem sosial dan sebagainya. Pandangan ini sepaham dengan pemikiran

Rasyid Ridha, Hasan al-Banna dan al-Maududi. Sebagaimana dikutip oleh

Munawir Sjadzali4, mereka berpendapat bahwa Islam adalah agama yang

serba lengkap. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan

atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara ummat Islam hendaknya

kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan

jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau

politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan

oleh Nabi Muhammad Saw dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin.

Al-Farabi sebagai seorang filosof muslim dan sekaligus ahli ilmu politik

Islam mengatakan bahwa keistimewaan agama Islam ialah memberi

pimpinan bagi urusan-urusan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, ibadah

dan mu‟amalah, soal-soal iman dan ilmu pengetahuan, ketuhanan dan

kemanusiaan, dan persoalan masyarakat dan pribadi manusia. Dengan

begitu, Islam merupakan agama yang lengkap sebagai pedoman bagi manusia

dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk politik dan negara. 5

4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI

Press, 1990, hal. 1 dan 147. 5 Zainal Abidin Ahmad, Madinatul Fadlilah: Teori Kenegaraan dari Sarjana Islam Al-

Farabi, Jakarta: PT Kinta, 1968, hal. 3.

Page 6: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Bahkan kata Nurcholis Madjid dalam pengantarnya terhadap tulisan

Syafi‟i Ma‟arif menegaskan bahwa salah satu karakteristik agama Islam pada

masa-masa awal penampilannya ialah kejayaan di bidang politik. Penuturan

sejarah Islam dipenuhi oleh kisah kejayaan itu sejak Nabi Muhammad Saw

sendiri (periode Madinah) sampai masa-masa jauh sesudah beliau wafat. 6

Paradigma pemikiran bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap

dan didalamnya terdapat berbagai sistem kehidupan seperti sistem

ketatanegaraan, secara sepintas dibenarkan oleh Al-Qur‟an sendiri

sebagaimana dinyatakan dalam pada ayat-ayat berikut:

سلم الي وم أكملت لكم دينكم وأتمت عليكم نعمت ورضيت لكم ال ﴾۳:املائدة﴿.دينا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu”. 7

﴾۳۸:االنعامما ف رطنا ف الكتاب من شيء ﴿“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab…”8

يانا لكل شيء وهدى ورحة وبشرى ون زلنا عليك الكتاب تب ﴾۸۹:النحل﴿.للم لم

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. 9

Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Pulungan10 mengatakan

bahwa ayat-ayat di atas harus diapresiasi mendukung pendapat yang

mengatakan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, yang

didalamnya termasuk masalah politik dan kenegaraan. Ayat pertama (Q.S.

Al-Mâidah:3) mengandung maksud bahwa Islam sebagai agama, yang

diwahyukan kepada para Nabi mulai dari Nabi Adam a.s., Ibrahim a.s.,

6 Syafi‟i Ma‟arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah

Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1996, hal. i. 7 Q.S. Al-Mâidah (5):3. 8 Q.S. Al-An‟âm (6):38. 9 Q.S. An-Nahl (16):89. 10 Pulungan, Op. Cit., hal. 2-3.

Page 7: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Musa a.s., Isa a.s. dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw

sebagai Nabi dan Rasul terakhir, menjadi sempurna ajarannya, dan menjadi

sempurna wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad.

Kemudian, dalam menafsiri ayat tersebut, Al-Thabari11 menyebutkan

bahwa ta‟wil ayayt tersebut adalah Allah menyempurnakan kewajiban-

kewajiban, hukum-hukum, perintah dan larangan, yang halal dan yang

haram, dan berbagai ibadah yang berhubungan dengan urusan agama bagi

manusia serta wahyu diturunkan kepada Rasul-Nya.

Sedangkan pernyataan ayat kedua dan ketiga tidak berarti Al-Qur‟an

mengandung sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya,

tetapi yang dimaksud dengan “Al-Qur‟an sebagai penjelasan bagi segala sesuatu

dan didalamnya tak luput sesuatu apa pun” adalah berkaitan dengan masalah-

masalah keagamaan dan pokok-pokok kebahagiaan dunia dan akhirat. 12

Memang, secara eksplisit Al-Qur‟an tidak menjelaskan bagaimana

negara itu didirikan. Namun, Al-Qur‟an mengintrodusir beberapa prinsip

dasar bangunan suatu negara Islam. banyak ayat-ayat Al-Qur‟an yang

berbicara mengenai prinsip dasar kehidupan bernegara dan berbangsa serta

bermasyarakat, seperti: prinsip menegakkan kepastian hukum dan keadilan

(Q.S. Al-Nisâ:48), prinsip kepemimpinan (Q.S. Ali Imrân:118), prinsip

musyawarah (Q.S. Ali Imrân:159), prinsip persatuan dan persaudaraan (Q.S.

Ali Imrân:103), prinsip persamaan (Q.S. Al-Nisâ:1), prinsip hidup

bertetangga/hubungan antar negara bertetangga (Q.S. Al-Nisâ:2), prinsip

tolong-menolong dan membela yang lemah (Q.S. Al-Mâ‟idah:2), prinsip bela

negara (Q.S. At-Taubah:38), dan prinsip-prinsip lainnya, yang kesemuanya

hampir dikatakan bahwa Al-Qur‟an berbicara berbagai aspek yang berkaitan

dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara serta

bermasyarakat menurut Islam.

11 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân an-Ta’wîl Ayât al-Qur’ân,

Vol IV, Juz 6, Mesir: Dâr al-Fikr, 1984, hal. 79-80. 12 Pulungan, Op. Cit., hal. 1-2.

Page 8: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Bahkan menurut Sayyid Aqil Siradj13 mengatakan bahwa dalam suautu

hadits, menjelang Nabi Saw wafat (pada tahun 11 H/632 M), beliau telah

memberikan wejangan kepada kaum muslimin agar tidak terperosok dalam

jurang kesesatan, hendaklah selalu menempatkan Kitabullah dan Sunnah

Rasul-Nya sebagai referensi utama dalam setiap langkah hidupnya. Pesan

tersebut memberikan suatu ilustrasi akan cakupan Al-Qur‟an terhadap semua

persoalan kehidupan, termasuk kehidupan politik, kenegaraan,

kepemimpinan, dan kemasyarakatan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

sesungguhnya Islam telah meletakkan dasar-dasar bangunan politik dan

kenegaraan Islam yang kokoh sejak kehadirannya. Melalui kepemimpinan

Muhammad Saw sebagai Rasul dan sekaligus sebagai negarawan, Islam telah

menunjukkan suatu protype bangunan suatu negara yang adil dan makmur

dengan semboyan Madinatul Munawarah, sebuah negara kesejahteraan yang

diliputi dengan prinsip keadilan (al-„adalah), permusyawaratan (asy-syurâ), dan

egalitarian (al-musawah). Dengan ciri-ciri seperti itu, maka jelas bahwa

ummat Islam dituntut untuk membentuk suatu negara yang berkonotasi Islam

dengan prinsip dan dasar-dasar sebagaimana tersebut di atas.

C. Praktek Pemerintahan pada Masa Muhammad Saw sebagai Rasul dan

Negarawan

Pemikiran politik Islam pada umumnya merupakan produk perdebatan

besar yang terfokus pada masalah religi politik tentang Imamah dan

Kekhalifahan. Di Madinah, merupakan tempat yang dipilih Nabi

Muhammad untuk menetap setelah “teraniaya” di Mekkah, dimana pada

masa tahun pertama terdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas

mengendalikan kekuatan politik.

Dalam teori maupun praktek, Nabi menempati suatu posisi yang unik

sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhanan, namun

13 Sayyid Aqil Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta:

Pustaka Ciganjur, 1999, hal, 37.

Page 9: Muhamad Rasul Dan Negarawan

sekaligus juga sebagai pemimpin pemerintahan Islam yang pertama.

Kerangka kerja konstitusional pemerintahan pada masa itu terungkap dalam

sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan Konstitusi Madinah atau

dikenal dengan Piagam Madinah. 14

Dalam dokumen tersebut terdapat langkah pertama dan amat penting

bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan Islam atau Ummah. Menurut

piagam itu, konsep suku tentang pertalian darah digantikan dengan ikatan

iman yang bersifat ideologis. Piagam ini juga menyuguhkan landasan bagi

prinsip saling menghormati dan menghargai antara orang-orang Islam dan

orang-orang yang mengikuti, bergabung dengan dan berjuang bersama

mereka. Mereka yang dimaksudkan dalam pembukaan piagam itu adalah

masyarakat Yahudi Madinah.

Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan semua warga negara

yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyarakat yang secara fisik

dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain. Tidak ada pengerian

lain mengenai siapa yang harus memegang tampuk pimpinan dalam

konfederasi semacam itu. Namun, dalam konstitusi tersebut ditegaskan

bahwa Allah dan Nabi Muhammad Saw sebagai hakim terakhir serta sumber

segenap kekuasaan dan kekuatan (wewenang).

Dalam kerangka sejarah telah ditegaskan bahwa sejak hijrah ke

Madinah tahun 522 M sampai saat wafat pada 6 Juni 632 M, Muhammad

Saw berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat dibantah (unquestionable

leader) bagi negara Islam yang baru lahir itu. Sebagai Nabi, ia meletakkan

prinsip-prinsip agama Islam, memimpin shalat serta menyampaikan berbagai

khutbah. Sebagai negarawan, ia mengutus duta ke luar negeri, membentuk

angkatan perang dan membagikan rampasan perang. Peristiwa wafatnya

Nabi yang tak terduga menjadi sebab larutnya masyarakat dalam

ketidakpastian tentang krisis penggantinya sebagai pimpinan negara Madinah

saat itu.

14 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang

Pemerintahan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hal. 1.

Page 10: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Memang, semasa hidupnya Nabi tidak pernah menyampaikan wasiat

tentang siapa yang berhak menggantikannya sebagai pemimpin negara Islam.

Inilah yang menjadi picu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan

mengenai syarat-syarat Imam atau pemimpin ummat Islam. Abu Bakar ash-

Shiddiq, shahabat Nabi paling karib dan pendukung dakwahnya yang paling

awal meski bukan keluarga Nabi, tampil sebagai calon terkuat setelah

sebelumnya muncul protes dari para penentangnya yang melibatkan para

pemimpin terkemuka Madinah.

Untuk menangkal manuver-manuver warga Madinah dalam ebrbagai

kekuatan atau kekuasaan, Abu Bakar menghendaki agar perioritas

kepemipinan setelah Nabi dipegang oleh suku Quraisy. Tatkala tokoh-tokoh

utama Quraisy memberikan dukungan kepada Abu Bakar, penduduk

Madinah pun mengikuti jejak mereka dengan suka cita. Masa 30 tahun

berikutnya dikenal sebagai era Khulafaur Rasyidin, yang terdiri dari para

shahabat dekat Rasulullah, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Masa-masa itu merupakan cermin kejayaan Islam yang diraih dengan

berbagai perangkat dan tetap selalu berada di bawah prinsip konstitusi dan

akomodasi.

Masalah perebutan kekuasaan telah mulai nampak tajam selama masa

pemerintahan Utsman. Ia dipilih oleh sekelompok dewan pemilih yang

terdiri dari enam shahabat Nabi terkemuka yang dibentuk khalifah

sebelumnya, Umar. Kericuhan itu bermuara pada sekelompok pejabat

pemerintahan yang didasarkan pada favoritisme dan nepotisme. Cara ini

melahirkan rasa tidak puas dan keresahan pada sebagian anggota masyarakat

yang kemudian ebrkembang menjadi pertikaian massal dan memuncak pada

kematian Utsman. 15

Ali, keponakan Nabi dan “rival” Utsman dalam perebutan nkursi

kekhalifahan kemudian dinobatkan sebagai khalifah dan mampu meraup

kesetiaan dari sebagian besar ummat. Meski demikian, ia juga dihadapkan

15 Amir Siddiqi, Studies in Islamic History, Karachi: Jam‟iyatul Falah Publication, 1962,

hal. 46.

Page 11: Muhamad Rasul Dan Negarawan

dengan oposisi kuat yang terdiri dari unsur masyarakat, terutama dari anak

keturunan Umayyah yang pernah diuntungkan pada masa Utsman. Lebih

dari itu, isteri Nabi sendiri, Aisyah r.a., diiringi dengan sebagian shahabat

karib Nabi, menyuarakan sikap anti Ali. Maka, periode ini tidak terhindar

dari kekerasan dan perang sipil yang berakhir dengna terbunuhnya Ali dan

memunculkan dinasti Umayyah yang memerintah sejak tahun 661 M – 749

M. 16

Selama masa-masa pergolakan inilah ditemukan kelahiran berbagai

ragam faksi politik yang membentuk spektrum pemikiran politik Islam.

seusai perang Siffin (657 M) antara Ali dan Mu‟awiyyah, pemimpin

Umayyah, sekelompok pasukan Ali keluar dari barisan dan memberontak

kepadanya. Kelompok muslim yang puritan ini kemudian dikenal dengan

Khawarij (para pembangkang dan pemberontak). Mereka memprotes

perjanjian damai antara Ali dan Mu‟awiyyah. Mereka percaya bahwa

dengan menerima prinsip kompromi sebenarnya Ali telah kehilangan status

resminya sebagai pemimpin ummat yang adil. Bahkan mereka bersikap keras

dengan mengkafirkan Ali karena tindakannya dianggap sebagai dosa besar

sehingga pelakunya mesti bertobat nasuha. Kaum Khawarij lalu

menyimpulkan bahwa Islam akan terjaga baik bila tiga orang yang

bertanggungjawab atas terjadinya perang itu dienyahkan, yaitu: Ali,

Mu‟awiyah, dan Amr bin Ash, penasehat Mu‟awiyyah dan penyaji kerangka

pemikiran perjanjian tersebut.

Masa sesudah itu menjadi saksi bahwa hanya Ali yang terbunuh, sedang

dua sasaran lainnya terhindar dari maut. Mu‟awiyyah bahkan

memproklamirkan dirinya sebagai khalifah dengan basis pemerintahan di

Syria. Peristiwa ini menandai akhir politik yang didasarkan pada pemilihan

dan merupakan awal kehidupan sistem warisan dalam pemerintahan Islam.

Untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, Bani Umayyah harus

menghadapi oposisi tangguh yang muncul dari sebagian ummat Islam dan

shahabat Nabi, di Madinah dan Mekkah, yang tidak saja mengecam cara

16 Jindan, Op. Cit., hal. 3.

Page 12: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Mu‟awiyyah merebut kekuasaan, tetapi juga mencaci sistem dinasti yang

dianggap sebagai pemutarbalikkan cara pemerintahan Islam yang ideal.

Sebenarnya, pemerintahan yang turun temurun itu tidak dikenal oleh bangsa

Arab pada umumnya dan tidak ada jalan untuk menerimanya kecuali jika

sang penguasa menggunakan cara yang tiranik.

Di antara penentang keras rezim Umayyah itu adalah golongan Syi‟ah.

Mereka menentang Bani Umayyah tidak saja perilaku politik yang diterapkan

pada kaum Syi‟ah dan bukan Syi‟ah, namun lebih dari itu adalah tantangan

tersebut merupakan ungkapan kepercayaan yang mendalam bahwa kursi

kepemimpinan setelah Nabi hanya berhak diserahkan kepada Ali, kemenakan

dan menantunya, bukan Abu Bakar. Menurut kepercayaan Syi‟ah, hanya

anggota Ahl al-Bait (keluarga Nabi) yang memenuhi syarat untuk menjadi

khalifah atau pemimpin.

Sejarah mencatat bahwa Ali tidak menggugat kekhalifahan Abu Bakar

dan tidak menentang Umar dan Utsman. Ia menjadi khalifah setelah Utsman

terbunuh karena didukung oleh sekelompok shahabat utama Nabi. Proses

pemilihan itu kemudian dikukuhkan dalam masyarakat melalui sumpah setia

atau bai‟at.

Meskipun demikian, Syi‟ah sebagai suatu ideologi mulai berkembang

seusai pembantaian tentara Umayyah terhadap putra Ali, Husain di Karbala.

Tragedi itu memunculkan dendam kaum Syi‟ah, yang menganggap Husain

sebagau martir agung di samping memperkuat kepercayaan ideologis mereka

terhadap peran Ali dan anak keturunannya serta arti kepemimpinan.

Di samping Khawarij dan Syi‟ah, ada segolongan ummat Islam yang

membentuk mayoritas ummat dan dikenal sebagai penganut Ahli Sunnah wal

Jama‟ah atau dikenal dengan sebutan Kaum Sunni. Sekitar abad XI,

pandangan mereka tentang kekhalifahan ditampilkan oleh para ahli

hukumnya yang memainkan peran dalam pemerintahan. Teori tentang Sunni

yang dikemukakan oleh fuqaha kebanyakan merupakan deskripsi sejarah

negara Islam sejak masa Khulafaur Rasyidin dan masa-masa sesudahnya

Page 13: Muhamad Rasul Dan Negarawan

serta bukan merupakan evaluasi kritis terhadap apa yang disebut dengan

negara Islam.

Jadi, persoalan mendasar dan paling awal dalam sejarah peradaban

Islam semenjak wafat Nabi hingga para shahabatnya adalah masalah politik

kenegaraan, yaitu persoalan Khalifah dan pemerintahan Islam. Persoalan

inilah yang hingga kini masih menjadi perdebatan aktual di kalangan ummat

Islam, baik kalangan ulama ataupun awam.

Namun, terlepas dari timbulnya perdebatan, maka guna menghindari

perdebatan lebih lanjut, maka dalam tulisan ini perlu dikembalikan

pemahaman ummat Islam kepada sejarah awal pemerintahan Islam pada

masa Nabi Muhammad Saw. Hal ini menjadi penting terutama untuk

menghindari perpecahan dan perdebatan yang tak berujung.

Sejarah mencatat bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw sebenarnya

sudah ada negara dan pemerintahan Islam. Pandangan seperti ini akan

tertuju pada masa Nabi Muhammad Saw menetap di kota Yatsrib. Kota ini

kemudian berganti nama menjadi Madinat al-Nabi, dan populer dengan

sebutan Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah

Islam itu terkenal dengan Negara Madinah. Kajian terhadap negara dan

pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunakan dua pendekatan.

Pertama, pendekatan normatif Islam yang menekankan pada pelacakan nash-

nash Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi yang mengisyaratkan adanya praktek

pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi dalam rangka siyasah syar‟iyah.

Kedua, pendekatan deskriptif-historis dengan mengidentikkan tugas-tugas

yang dilakukan oleh Nabi di bidang mu;amalah sebagai tugas-tugas negara

dan pemerintahan. Hal ini diukur dari sudut pandang teori-teori politik dan

ketatanegaraan.

Terbentuknya Negara Madinah akibat dari perkembangan penganut

Islam yang menjelma menjadi kelompok sosial dan memiliki kekuatan politik

riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Pada periode

Mekkah pengikut Nabi yang jumlahnya relatif kecil belum menjadi suatu

komunitas yang mempunyai daerah kekuasaan dan ebrdaulat. Mereka

Page 14: Muhamad Rasul Dan Negarawan

merupakan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu

tampil menjadi kelompok sosial penekan terhadap kelompok sosial mayoritas

di kota itu yang berada di bawah kekuasaan aristokrat Quraisy, yang

masyarakatnya homogen. Tapi setelah di Madinah, posisi Nabi dan

ummatnya mengalami perubahan besar. Di Madinah mereka mempunyai

kedudukan yang baik dan segera merupakan ummat yang kuat dan dapat

berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru

dibentuknya dan yang akhirnya menjadi suatu negara. Suatu negara yang

daerah kekuasaannya di akhri zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung

Arabia. Dengan kata lain, di Madinah Nabi Muhammad bukan hanya

berkedudukan sebagai Rasul pemimpin agama, akan tetapi juga sekaligus

sebagai Kepala Negara yang memerintah suatu negara Islam. 17

D.B. Macdonald sebagaimana dikutip oleh Muhammad Dhiya‟ al-Dîn

al-Rayis18, mengatakan bahwa Madinah telah terbentuk negara Islam pertama

dan telah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam.

Bahkan menurut Thomas W. Arnold19, dalam Negara Madinah itu pada

kurun waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai pemimpin agama dan

kepala negara.

Fazlur Rahman, tokoh Neo-Modernisme Islam, juga membenarkan

bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu merupakan suatu

negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu ummat

muslim. 20

Perubahan besar yang dialami oleh Nabi dan pengikutnya dari

kelompok powerless (tanpa kekuasaan) menjadi suatu komunitas yang

memiliki kekuatan sosial politik ditandai dengan beberapa peristiwa penting.

17 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press,

1986, hal. 92. 18 Muhammad Dhiya‟ al-Dîn al-Rayis, Al-Nazhâriyat al-Siyasât al-Islâmiyat, Mesir:

Maktaba‟at al-Anjlu, 1957, hal. 15. 19 Thomas W. Arnold, The Caliphate, London: Routledge and Kegan Paul Ltd., 1965,

hal. 30. 20 Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue and L.

Esposito (Ed.), Islam in Transition: Muslim Perspective, New York, Oxford University Press,

1982, hal. 261.

Page 15: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Pada tahun 621 dan 622 M Nabi berturut-turut memperoleh dukungan moral

dan dukungan politik dari sekelompok orang Atab (suku Aus dan suku

Khajraj) kota Yatsrib yang menyatakan diri masuk Islam. Peristiwa ini

mempunyai keistimewaan tidak seperti halnya orang Arab Mekkah masuk

Islam. Karena disamping mereka menerima Islam sebagai agama mereka,

juga mereka membaiat Nabi sebagai pimpinannya. Baiat mereka dikenal

dengan Baiat Aqabah Pertama pada tahun 621 M, dan Baiat Aqabah Kedua pada

tahun 622 M. Kedua baiat tersebut intinya adalah kesepakatan dan

kesepahaman untuk saling melindungi antara Nabi dengan ummat dan

masyarakatnya, dan antara masyarakat dengan pemimpinnya. 21

Menurut Munawir Sjadzali22, fakta mengenai baiat tersebut

menunjukkan bahwa antara Nabi dan penduduk Yatsrib telah terjadi “fakta

persekutuan”. Karena kedua pihak mencapai kesepakatan supaya saling

menjaga dan melindungi keselamatan bersama. Dalam baiat kedua tahun

622 M tergambar pula adanya penyerahan kekuasaan diri dari peserta baiat

kepada Nabi yang mereka akui sebagai pemimpin mereka. Dalam ilmu

politik disebut dengan “kontrak sosial”. Karena itu, peristiwa kedua baiat itu

dianggap sebagai batu pertama bagi bangunan negara Islam.

Peristiwa baiat itu mendorong Nabi berhijrah ke Yatsrib beberapa bulan

kemudian. Peristiwa ini direkam dalam wahyu, dan memuji mereka yang

berhijrah. (Q.S. An-Nahl:41). Bahkan, peristiwa baiat ini dinilai oleh para

ahli ilmu politik dan sejarah Islam sebagai suatu gerakan strategi yang jitu.

Suatu gerakan yang menyelamatkan kaum muslimin agar terbebas dari

tindakan sewenang-wenang kaum Quraisy saat itu. Ia juga merupakan reaksi

terhadap fakta sosial keadaan masyarakat Arab Mekkah yang mayoritas

menolak Islam, dan respon terhadap fakta sosial keadaan masyarakat Arab

Madinah secara terbuka menerima seruan Rasul kepada Islam. 23

21Pulungan, Op. Cit., hal. 79. 22 Sjadzali, Op. Cit., hal. 9. 23 Pulungan, Op. Cit., hal. 80.

Page 16: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Jika dianalisa mengenai posisi Muhammad Saw dalam kaitannya

dengan kedudukannya sebagai Nabi ataupun negarawan, terutama pada

kedua periode dakwah dan kehidupan yang dijalaninya, baik di Mekkah

ataupun Madinah, maka dapat dikatakan di sini bahwa pada periode

Makiyyah yang dijalani oleh Rasulullah Saw hanya berhasil menempatkan

Muhammad sebagai seorang pemimpin agama. Sementara sebagai pemimpin

negara belum bisa diterima.

Kemudian, setelah 13 tahun melakukan dakwah di Mekkah belum

membuahkan hasil yang diharapkan, Nabi Muhammad Saw memutuskan

untuk migrasi ke Yatsrib (Madinah). Pada periode Madinah suasana beradab

yang akan mengarah kepada terbangunnya tatanan kehidupan bernegara

sudah mulai tampak. Oleh karena itu, posisi Muhammad sebagai Rasulullah

pada pasca hijrah semakin melebar. Dengan terbangunnya pranata sosial

kemasyarakatan di Madinah, secara otomatis memposisikan Muhammad

sebagai pemimpin suatu negara.

Deklarasi berdirinya “negara” Madinah bisa terefleksikan dalam

“Piagam Madinah” yang terdiri dari 48 pasal. Meskipun Madinah saat itu

barulah berupa city state, harus diakui bahwa tipologi pemerintahan semacam

itu merupakan format baru ditengah-tengah kebesaran kekuasaan imperium

Romawu dan Persia yang feodalistis-otoriter. Realitas ini lebih memperjelas

misi Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil „âlamîn. Peran sebagai pemimpin

sebuah pemerintahan diemban oleh Nabi Muhammad hingga beliau wafat

tahun 11 H.

Dalam pandangan politik Islam, peran ganda Nabi Saw sebagai Nabi

dan sekaligus negarawan selama satu dasawarsa lebih telah membentuk

integritas beliau sebagau umara yang menyatu dengan tanggung jawabnya

sebagai pemimpin agama. Meskipun demikian, dengan posisi baru beliau

sebagai pemimpin pemerintahan bukan berarti semua urusan duniawi

merupakan hak patent Nabi Muhammad, akan tetapi Nabi bertindak

Page 17: Muhamad Rasul Dan Negarawan

demokratis. Hal ini terungkap dalam sebuah haditsnya “antum a‟lamu bî

umuri dunyakum”, kalian lebih mengerti urusan dunia kalian. 24

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan di sini bahwa

kerasulan dan kenegarawanan Muhammad dalam suatu pemerintahan di

Madinah terlihat dari prinsip-prinsip dasar sistem pemerintahannya yang

mengetengahkan demokratisasi. Hal itu tercermin dari misi Nabi sebagai

rahmatan lil „alamin dan sekaligus membentuk Madinatul Munawarah.

Prinsip tersebut dilaksanakan ditengah-tengah kondisi masyarakat dan

ummatnya yang majemuk.

Atas dasar itu, maka apabila dikaitkan dengan kondisi kenegaraan

Indonesia, maka sesungguhnya model pemerintahan Nabi Muhammad

dengan konsep rahmatan lil „alamin dan Madinatul Munawaroh adalah

sangat cocok. Betapa tidak, karena Indonesia dengan mayoritas

penduduknya memeluk Islam, tetapi Indonesia merupakan negara

polyreligious yang mengakui berbagai macam agama, bhineka suku bangsa dan

rasnya, maka dasar negara Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk yang

dianggap final dan sesuai.

Bagi penulis, sistem kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945 dianggap sangat cocok apabila mereduksi sistem kenegaraan

yang dicontohkan Nabi Saw dengan konsep Negara Madinah atau Madinatul

Munawarah melalui konstitusi Piagam Madinah. Sebab, bagi kalangan

ummat Islam Indonesia, yang paling penting bukan formalitas pencatuman

dasar negaranya dalam suatu konstitusi, akan tetapi yang paling penting

adalah apakah seorang penguasa itu mampu menegakkan prinsip-prinsip

dasar kehidupan bernegara yang bersidat rahmatan lil „alamin.

Bagi Islam, seorang penguasa menegakkan keadilan (al-„adalah) adalah

satu keharusan. Islam juga mengajarkan untuk memperlakukan semua warga

(rakyat) secara musawah (tidak pandang bulu dimuka hukum) harus

menjunjung tinggi musyawarah (al-syurâ) serta adanya mekanisme yang

24 Sayyid Aqil Siradj, Op. Cit., hal. 55.

Page 18: Muhamad Rasul Dan Negarawan

transparan dalam kontrol kekuasaan yang dilakukan oleh rakyat sebagai

manifestasi dari pertanggungjawaban penguasa.

Begitu pula Islam memiliki lima prinsip (kulliyat al-khams) yang harus

dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip pertama

adalah jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan dan kesewenang-

wenangan (hifdz al-nafs). Prinsip kedua, perlindungan terhadap kebebasan

berpendapat secara rasional (hifdz al-„aql). Prinsip ketiga, perlindungan atas

harta benda sebagai hak milik (hifdz al-mâl). Prinsip keempat, jaminan atas

kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz al-dîn). Dan, prinsip kelima

adalah jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi (hifdz al-nasl wal-„irdl). 25

Dari sini jelas, bahwa Islam tidaklah mewajibkan secara sharih untuk

menamakan suatu negara dengan sebutan negara Islam atau khilafah

Islamiyah. Apalah artinya suatu negara memakai simbol-simbol Islam, tetapi

dalam prakteknya justru menginjak-injak prinsip-prinsip Islam. Tidaklah

berlebihan jika sebenarnya corak negara demokratis seperti Indonesia itu

sejalan dengan prinsip-prinsip Islam bahkan sudah menjadi tradisi yang hidup

ditengah-tengah ummat Islam.

Dalam sejarah Islam sudah dijelaskan, pada masa Nabi Muhammad

misalnya, tatkala beliau membangun masyarakat Madinah, Piagam Madinah

dibuat sebagai perjanjian bersama antara kaum Muhajirin (orang-orang

Mekkah yang hijrah ke Madinah), Anshar (penduduk asli Madinah yang

membela Muhajirin), dan kaum Yahudi. Meskipun dalam perjanjian tersebut

kaum Muhajirin dan Anshar termasuk kelompok mayoritas, namun tidak

ditemukan penyebutan legalitas negara Islam ataupun memberikan perioritas

terhadap orang-orang mukmin. Ketiga kelompok sepakat untuk menjadi

ummat wahidah, menjunjung tinggi persamaan, keadilan, pelestarian adat

yang baik, kebebasan beragama serta pembelaan terhadap tanah air. Lebih

jauh lagi, ketika Nabi Muhammad wafat pun tidak ada wasiat untuk

meneruskan pemerintahan atau mengharuskan berdirinya sebuah negara

Islam.

25 Sayyid Aqil Siradj, Ibid., hal. 93.

Page 19: Muhamad Rasul Dan Negarawan

Apabila kondisi pemerintahan Rasulullah Saw ketika di Madinah

dijadikan prototype bagi negara Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa

Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal tidaklah diproyeksikan

sebagai negara Islam. padahal secara nominal representasi para perumus

kemerdekaan RI dari ummat Islam baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif

merupakan bagian yang terbesar. Meski demikian harus juga diakui bahwa

nilai-nilai Islami diberikan jaminan untuk ditegakkan dalam NKRI.

Jadi, kesimpulan yang dapat ditarik di sini adalah bahwa jika Indonesia

ingin berkembang dan maju menjadi negara demokratis dengan

mengedepankan civil society, maka negara harus melihat model pemerintahan

Negara Madinah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dengan tidak

memformalkan bentuk Negara Islam, tetapi yang ditampilkan adalah nilai-

nilai ajaran Islam dalam menjalankan roda kenegaraan dengan prinsip

rahmatan lil „alamin.

D. Kesimpulan

Berdasarkan kajian di atas, maka kesimpulan dari makalah ini adalah

sebagai berikut:

1. Islam adalah agama sempurna, yang didalamnya berisi ajaran tentang

semua aspek kehidupan manusia, termasuk pengaturan secara tertib

bagaimana manusia berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

2. Posisi Nabi Muhammad Saw dalam sejarah Islam adalah sebagai Nabi

dan sekaligus sebagai negawaran, terutama yang beliau tampilkan ketika

mendirikan Negara Madinah dengan Piagam Madinahnya.

3. Negara Madinah atau Madinatul Munawarah dengan kontrak sosialnya

dalam bentuk Piagam Madinah, merupakan bentuk sistem ketatanegaraan

yang dianggap cocok bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di

Indonesia yang mayoritas pemeluknya beragama Islam, tetapi mengakui

kemajemukan agama, suku dan ras.

Page 20: Muhamad Rasul Dan Negarawan

KEPUSTAKAAN

Pulungan, J. Suyuthi. 1997. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah & Pemikiran.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan

Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Ahmad, Zainal Abidin. 1968. Madinatul Fadlilah: Teori Kenegaraan dari

Sarjana Islam Al-Farabi. Jakarta: PT Kinta.

Ma‟arif, Syafi‟i. 1996. Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan

Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.

Al-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. 1984. Jâmi’ al-Bayân an-Ta’wîl

Ayât al-Qur’ân, Vol IV, Juz 6. Mesir: Dâr al-Fikr.

Siradj, Sayyid Aqil. 1999. Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri.

Jakarta: Pustaka Ciganjur.

Jindan, Khalid Ibrahim. 1995. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah

tentang Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Siddiqi, Amir. 1962. Studies in Islamic History. Karachi: Jam‟iyatul Falah

Publication.

Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I.

Jakarta: UI Press.

Al-Rayis, Muhammad Dhiya‟ al-Dîn. 1957. Al-Nazhâriyat al-Siyasât al-

Islâmiyat. Mesir: Maktaba‟at al-Anjlu.

Arnold, Thomas W. 1965. The Caliphate. London: Routledge and Kegan Paul

Ltd.

Rahman, Fazlur, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue and

L. Esposito (Ed.). 1982. Islam in Transition: Muslim Perspective. New

York, Oxford University Press.

Page 21: Muhamad Rasul Dan Negarawan

MUHAMMAD SEBAGAI RASUL DAN NEGARAWAN

MAKALAH

Oleh: Drs. Lukman Hakim, MSI.

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2010

Page 22: Muhamad Rasul Dan Negarawan

DAFTAR ISI

Halaman

A. Pendahuluan ………………………………………………… 1

B. Prinsip-prinsip Dasar Pemikiran Politik dan Kenegaraan dalam

Islam …………………………………………………………. 5

C. Praktek Pemerintahan pada Masa Muhammad Saw sebagai Ra-

sul dan Negarawan ..…………………………………………….. 8

D. Kesimpulan ………………………………………………………. 19

KEPUSTAKAAN …………………………………………………… 20