Multiple Sckerosis

20
BAB I PENDAHULUAN Multiple sclerosis atau yang biasa disebut dengan MS dikenal dengan istilah disseminated sclerosis di Inggris dan di Perancis dikenal sebagai sclererose en plaques. Penyakit ini merupakan suatu kondisi kronik yang ditandai dengan gangguan episodik fokal pada nervus optik, tulang belakang, dan otak. Penyakit sistem saraf pusat yang bersifat progresif dan sering menyebabkan relaps ini terus menimbulkan tantangan bagi para peneliti untuk mencoba memahami patogenesis dan tatalaksananya sehingga mencegah penyakit tersebut terus berkembang. Saat ini belum ada obat yang dapat mencegah timbul dan menyembuhkan MS. Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Salah satu alasan mengapa MS sulit disembuhkan adalah sekali sistem saraf pusat (SSP) rusak maka perbaikan neuron yang telah rusak akan sulit. Berdasarkan hal tersebut, sampai saat ini eksperimental tentang penatalaksanaan dan penggunaan obat yang mungkin dapat merangsang 'remyelinisasi' saraf yang rusak dan memperlambat atau menghentikan proses kerusakan lebih lanjut masih terus dilakukan. Pada makalah ini, akan dibahas tentang tatalaksana dari penyakit multiple sklerosis sehingga dapat menambah pengetahuan dalam mengurangi morbiditas bagi penderita.

description

Makalah Multiple Sclerosis

Transcript of Multiple Sckerosis

Page 1: Multiple Sckerosis

BAB I

PENDAHULUAN

Multiple sclerosis atau yang biasa disebut dengan MS dikenal dengan istilah

disseminated sclerosis di Inggris dan di Perancis dikenal sebagai sclererose en plaques.

Penyakit ini merupakan suatu kondisi kronik yang ditandai dengan gangguan episodik fokal

pada nervus optik, tulang belakang, dan otak. Penyakit sistem saraf pusat yang bersifat

progresif dan sering menyebabkan relaps ini terus menimbulkan tantangan bagi para peneliti

untuk mencoba memahami patogenesis dan tatalaksananya sehingga mencegah penyakit

tersebut terus berkembang.

Saat ini belum ada obat yang dapat mencegah timbul dan menyembuhkan MS. Terapi

yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek serangan, dan

memperpanjang masa remisi. Salah satu alasan mengapa MS sulit disembuhkan adalah sekali

sistem saraf pusat (SSP) rusak maka perbaikan neuron yang telah rusak akan sulit.

Berdasarkan hal tersebut, sampai saat ini eksperimental tentang penatalaksanaan dan

penggunaan obat yang mungkin dapat merangsang 'remyelinisasi' saraf yang rusak dan

memperlambat atau menghentikan proses kerusakan lebih lanjut masih terus dilakukan. Pada

makalah ini, akan dibahas tentang tatalaksana dari penyakit multiple sklerosis sehingga dapat

menambah pengetahuan dalam mengurangi morbiditas bagi penderita.

Page 2: Multiple Sckerosis

BAB II

MULTIPLE SCLEROSIS

2.1. DEFINISI & EPIDEMIOLOGI

Multiple sklerosis adalah suatu peradangan automimun yang terjadi di sistem saraf

pusat dan biasanya disertai dengan terjadinya ketidakmampuan untuk melakukan suatu hal

(disability). Di Australia epidemiologi dari multipel sklerosis sangat bervariasi, lebih sering

dijumpai di daerah Tasmania (mendekati 100 penderita per 100.000 penduduk) dan angka ini

semakin menurun di daerah utara. Diperkirakan terdapat 13.000 penderita multiple sklerosis

di Australia, dengan proporsi wanta mendekati 73% dari seluruh kasus (Tsang BK dan

Macdonell R, 2011).

2.2. ETIOLOGI

Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme penting

yang menjadi penyebab timbulnya bercak MS yaitu autoimun, infeksi, dan herediter.

Meskipun bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan paparan toksin telah

dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri melainkan

merupakan gabungan dari berbagai faktor (Tsang BK dan Macdonell R, 2011).

a. Virus : infeksi retrovirus akan menyebabkan kerusakan oligodendroglia

b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga

menyebabkan pelepasan sitokin

c. Defek pada oligodendroglia

d. Genetika : penurunan kontrol respon immun

e. Lain-lain : toksin, endokrin, stress

2.3. PATOFISIOLOGI

Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit T-supresor pada

sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry antara antigen dan MBP

(myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP (MBP

specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang

strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang

memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut

dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS (Lublin FD et al, 2014).

Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia diantaranya

progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh papilloma virus JC,

Page 3: Multiple Sckerosis

subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit

ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat elevasi titer CSF terhadap virus campak dan

herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik (Polman, CH et al, 2011)

2.4. KLASIFIKASI MULTIPLE SCLEROSIS

Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS (Ropper, AH, Samuels,

MA dan Klein, JP, 2014) :

1. Relapsing-remitting MS. Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang

gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan

klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala

hanya memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi

secondary progressive multiple sclerosis.

2. Chronic progressive MS. Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan

pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali.

Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik (terutama

penglihatan).

3. Benign MS. Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak

terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang

biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan

MS mungkin awalnya jinak. Namun, bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan

kasus benign MS akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan,

meskipun ini mungkin tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis.

4. Secondary progressive MS. Relapsing-remitting MS dapat berubah menjadi bentuk

secondary progressive MS dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun

frekuensi remisi cukup jarang.

2.5. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat beberapa

gejala dan tanda yang timbul pada MS (Sicotte, NL. 2011):

Disfungsi usus dan saluran kencing

Menurunnya persepsi nyeri, getaran, dan posisi

Kelelahan dan gangguan mobilitas

Depresi dan gangguan kognitif atau memori

Masalah penglihatan dan pendengaran

Page 4: Multiple Sckerosis

Tremor, hiperefleksia, spastisitas, dan tanda babinsky yang positif

Nistagmus, gangguan koordinasi dan keseimbangan

Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah

neuritis optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya. Gejala

yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata,

sedangkan pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma sentral.

Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada

neuritis optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil.

Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat

timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu

fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus

(bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat

muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis optika (Sicotte, NL. 2011).

Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami oleh

21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan

(parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada

satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi,

dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis,

mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila

terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan

yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam

beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik

adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu,

punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi

sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala (Sicotte,

NL. 2011).

Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi gejala

utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan motorik halus

(dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi (scanning speech,

disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan

vertikal (Goldenberg, MM, 2012).

Page 5: Multiple Sckerosis

Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski

frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan sindroma

Brown-Sequard atau mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak

simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau

hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang

lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun

kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat

menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non

spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan

kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun

kelelahan/kelambatan mental (Goldenberg, MM, 2012).

Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton dkk

memori jangka pendek, working memori dan memori jangka panjang umumnya terganggu

pada pasien MS (13). Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa

iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi

pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral (Goldenberg, MM, 2012).

Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain

pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus,

vértigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran (stupor dan koma) (Goldenberg, MM, 2012).

2.6. DIAGNOSIS MULTIPLE SCLEROSIS

Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan kriteria

MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010. Kriteria McDonald

menekankan adanya pemisahan menurut waktu/disseminated in time (dua serangan atau

lebih) dan pemisahan oleh ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang

berbeda). Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan

ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung

oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP) (Polman, CH et al, 2011).

Tabel 2.1. Kriteria McDonald

Attacks Clinical

lesion

Requirements for diagnosis MS

2 or more 2 or

more

None

Page 6: Multiple Sckerosis

2 or more 1 lesion Dissemination in space (DIS), demonstrated by: MRI

(CSF (+) or further clinical attack)

New criteria: DIS demonstrated by the presence of 1 or more 2

lesions in at least 2 of 4 of area CNS: Periventricular,

Juxtacortical, Infratentorial, or Spinal Cord.

1 attack 2 lesion Dissemination in time (DIT), demonstrated by: MRI or second

clinical attack

New criteria: No longer a need to have separate MRIs run; DIT

demonstrated by: Simultaneous presence of asymptomatic

gadolinium-enhancing

and nonenhancing lesions at any time; or A new T2 and/or

gadolinium-enhancing lesion(s) on follow-up MRI, irrespective

of its timing with reference to a baseline scan; or Await a second

clinical attack. [This allows for quicker diagnosis without

sacrificing specificity, while improving sensitivity.]

1 attack 1 lesion New criteria: DIS and DIT, demonstrated by:

For DIS: 1 or more T2 lesion in at least 2 of 4 MS-typical

regions of the CNS (periventricular, juxtacortical, infratentorial,

or spinal cord); or Await a second clinical attack implicating a

different CNS site; and For DIT: Simultaneous presence of

asymptomatic gadolinium-enhancing and nonenhancing lesions

at any time; or A new T2 and/or gadolinium-enhancing lesion(s)

on follow-up MRI, irrespective of its timing with reference to a

baseline scan; or Await a second clinical attack.

0 attack

Insidious neurological

progression

suggestive of MS

New criteria: One year of disease progression (retrospectively or

prospectively determined) and two or three of the following:

1. Evidence for DIS in the brain based on 1 or more T2 lesions

in the MS-characteristic (periventricular, juxtacortical, or

infratentorial) regions

2. Evidence for DIS in the spinal cord based on 2 or more T2

lesions in the cord

3. Positive CSF (isoelectric focusing evidence of oligoclonal

bands and/or elevated IgG index)

Page 7: Multiple Sckerosis

Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana

jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan minimal berlangsung 24

jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis

obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda (Polman, CH et al,

2011).

Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria:

1. Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil

2. Minimal 1 lesi infratentorial

3. Minimal 1 lesi juxtakortikal

4. Minimal 3 lesi periventrikel.

Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh

pembesaran ventrikel.

Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat membantu

diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat

peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk

memenuhi kriteria disseminated in space (Polman, CH et al, 2011).

Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan penunjang yang

cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi

pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP

secara dini dapat mendeteksi kelainan meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum

terdapat gejala klinis neuritis optika (Polman, CH et al, 2011).

2.7. PENATALAKSANAAN MULTIPLE SCLEROSIS

Tabel 2.2. Tingkatan rekomendasi

Grade Keterangan

A Kategori I

B Kategori II atau dengan penambahan kategori I

C Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II

D Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III

DS Berdasarkan bukti diagnostic

HSC Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004

Kondisi Grade

Setiap yang mengalami episode akut (termasuk neuritis optik) menyebabkan A

Page 8: Multiple Sckerosis

distres atau keterbatasan fisik harus diberikan kortikosteroid dosis tinggi.

Hal ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah muncul relaps :

intravena metilprednisolon, 500 mg - 1 g sehari, selama 3 - 5 hari

atau

dosis tinggi metilprednisolon oral 500 mg - 2 g sehari, selama 3 - 5

hari.

Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan penggunaan

kortikosteroid. D

Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan lebih dari 3

kali setahun harus dihindari D

Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya tidak digunakan

kecuali ada protokol lainD

Penderita MS harus disarankan mengkonsumsi asam linoleat 17-23 g/hari

agar mengurangi perkembangan kecacatan. Sumber makanan kaya akan

asam linoleat termasuk bunga matahari, jagung, kedelai dan minyak

safflower.

A

Tatalaksana berikut tidak boleh dilakukan kecuali dalam

keadaan khusus:

setelah diskusi lengkap dan melalui pertimbangan semua risiko

dengan evaluasi, sebaiknya dengan studi prospektif lain

dilakuakan oleh eorang pakar dalam penggunaan obat-obat dibawah

ini dengan pemantauan ketat untuk efek samping.

pengobatan:

azathioprine

mitoxantrone

intravena imunoglobulin

plasma exchange

intermiten (4-bulan) pendek (1-9 hari) program

metilprednisolon dosis tinggi.

D

A

Tatalaksana berikut tidak boleh digunakan karena bukti penelitian tidak

menunjukkan efek menguntungkan pada:

siklofosfamid

A

Page 9: Multiple Sckerosis

anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)

cladribine

pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid

hiperbarik oksigen

linomide

iradiasi seluruh tubuh

basic protein myelin (tipe apapun).

Terapi simptomatik

Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah

(NICE, 2014):

1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise

seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan,

spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin,

dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.

2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan

respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan

atau amitriptilin.

3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi

infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem

apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat

antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan

urin diluar adanya infeksi.

4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus

diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup

jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat

membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan

antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi

bersamaan.

5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan

disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat

terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan

sildenafil.

Page 10: Multiple Sckerosis

6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS.

Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan

depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang

memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat

digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.

7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi.

Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang

bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien

MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga

dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti

influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.

Terapi relaps

1. Adrenal Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam mengurangi

gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek imunomodulator dan

antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan pengurangi edema. kortikosteroid juga

dapat meningkatkan konduksi aksonal. Terapi kortikosteroid memperpendek durasi

relaps akut dan mempercepat pemulihan. Namun, kortikosteroid belum bisa

meningkatkan pemulihan secara keseluruhan MS (NICE, 2014).

Jika seorang pasien menjadi cacat setalah mendapat serangan akut, dokter harus

mempertimbangkan pengobatan dengan intravena metilprednisolon selama tiga hingga

lima hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g diberikan secara intravena

dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali sehari di pagi hari (NICE, 2014).

2. Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk

meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan

pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat,

dan partisipasi dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan

dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS (NICE, 2014).

Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet khusus,

vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif efektivitas perawatan

ini kurang (NICE, 2014).

Disease-Modifying Therapies

Page 11: Multiple Sckerosis

Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek serangan,

dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying therapies untuk pengelolaan awal MS

saat ini yang tersedia di Amerika Serikat: intramuskular interferon beta-1a (Avonex),

subkutan interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat

(Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug

Administration (FDA) untuk pengobatan relapsing–remitting MS dan sekunder progresif MS

yang memburuk (NICE, 2014).

1. Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi sebagai

imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang

digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan

direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan

glatiramer pada relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo

control trial, penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80 persen lesi

inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini

meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif.

Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan kelelahan,

terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon beta-1a atau

interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan

premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat

dilakukan dengan pengaturan dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.

Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi,

depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek

samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan penghentian pengobatan.

2. Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya dirancang

untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20

mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar

sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien

dengan Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir interferon

beta. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat

pada MRI.

Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan influenza-

like symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak

umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau dispnea dapat

Page 12: Multiple Sckerosis

sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan pada

pasien yang diobati dengan glatiramer, dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen

juga tidak terganggu.

3. Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah agen

antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen

dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada

pasien dengan bentuk Progressive MS.

Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya

cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai tiga tahun (atau

untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang

harus diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang

berpengalaman.

2.8. KOMPLIKASI

Berikut beberapa komplikasi yang dapat terjadi (NICE, 2014):

1. Depresi

2. Kesulitan dalam menelan

3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi

4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri

5. Membutuhkan kateter

6. Osteoporosis

7. Infeksi saluran kemih

2.9. PROGNOSIS

Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang

signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki

fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi

meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru yang

terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat

kerusakan kognitif(Tsang BK dan Macdonell R, 2011).

Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan

respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan.

Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga

Page 13: Multiple Sckerosis

merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan (Tsang BK dan Macdonell R,

2011).

Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat

kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi

sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh

komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg

varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan

koma atau kematian dalam beberapa hari (Tsang BK dan Macdonell R, 2011).

Page 14: Multiple Sckerosis

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Penyakit multipel sklerosis tidak dapat disembuhkan, hanya saja terapi yang

diberikan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Kejadian penyakit ini bisa dikatakan

jarang. Pemeriksaan penunjang seperti MRI sangat membantu untuk menegakkan

diagnosis dalam kasus ini dan ditambah dengan kriteria McDonald. Terapi suportif sangat

penting dalam penatalaksanaan kasus ini, termasuk juga KIE kepada keluarga untuk

bekerja sama menangani penyakit ini.