NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG … AKADEMIS RUU PEMBANGUNAN PERDESAAN (FINAL... · yang...
Transcript of NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG … AKADEMIS RUU PEMBANGUNAN PERDESAAN (FINAL... · yang...
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBANGUNAN PERDESAAN
BADAN LEGISLASI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
2008
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ........................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Permasalahan ................................................................................. 6
1.3. Cakupan Pembangunan Desa ....................................................... 14
1.4. Tujuan ......................................................................................... 14
BAB II. TINJAUAN TEORETIK DAN EMPIRIK .......................................... 16
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi : Faktor-Faktor yang Menentukan Pertumbuhan ................................................................................ 16
2.2. Desa ............................................................................................. 18
2.2.1 Definisi .................................................................................... 19
2.2.2. Karakteristik Desa .................................................................. 21
2.2.3 Kewenangan Desa ................................................................... 27
2.2.4. Penyelenggara Pembangunan Desa ......................................... 29
2.2.5. Peraturan Desa ...................................................................... 30
2.2.6. Perencanaan Pembangunan Desa ........................................... 30
2.2.7. Keuangan Desa ...................................................................... 32
2.2.8. Lembaga Kemasyarakatan ...................................................... 33
2.3. Pembangunan Desa ...................................................................... 34
2.3.1 Definisi Pembangunan ............................................................. 34
2.3.3. Definisi Pembangunan Desa ................................................... 40
2.3.4 Sejarah Pembangunan Desa di Indonesia ................................ 42
2.3.5 Penelitian Mengenai Pembangunan Desa di Indonesia ............. 45
2.4. Data ............................................................................................. 58
2.5. Pengaturan Terkait Desa dalam Perpektif Hukum ......................... 65
2.6. Pengalaman Negara Lain dalam Pembangunan Perdesaan ............ 75
BAB III. ANALISIS HUKUM POSITIF ....................................................... 80
BAB IV. URGENSI PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG ....... 82
4.1. Landasan Filosofis ........................................................................ 82
4.2. Landasan Sosiologis ..................................................................... 83
4.3. Landasan Yuridis ......................................................................... 84
BAB V. RUANG LINGKUP DAN POKOK MATERI RANCANGAN UNDANG-
UNDANG .................................................................................. 85
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 858
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan .......................... 2
Tabel 2. Banyaknya Desa Menurut Provinsi dan Status Pemerintahan ... 19
Tabel 3. Tipologi bentuk keragaman Desa di Indonesia .......................... 24
Tabel 4. Banyaknya Desa Menurut Status Pemerintahan ....................... 58
Tabel 5. Banyaknya Desa/Kelurahan yang Memiliki Badan Perwakilan Desa/Dewan Kelurahan ........................................................... 59
Tabel 6. Banyaknya Desa Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Besar Penduduk ....................................................................... 59
Tabel 7. Banyaknya Desa yang Sebagian Besar Penduduknya Bekerja di Sub Sektor Pertanian ............................................................... 60
Tabel 8. Banyaknya Desa yang Mempunyai Sarana Kesehatan Menurut
Jenisnya ................................................................................... 60
Tabel 9. Banyaknya Desa yang Memiliki Tenaga Kesehatan yang Tinggal di Desa Menurut Jenis Tenaga Kesehatan ................................ 61
Tabel 10.Banyaknya Desa yang Tidak Memiliki Sarana Kesehatan Menurut Kemudahan untuk Mencapai Sarana Kesehatan ........ 62
Tabel 11.Banyaknya Desa yang Memiliki Prasarana Transportasi ........... 63
Tabel 12.Banyaknya Desa Menurut Jenis Permukaan Jalan Terluas ...... 63
Tabel 13.Banyaknya Desa Menurut Jenis Prasarana Komunikasi ........... 63
Tabel 14.Banyaknya Desa yang Memiliki Sarana Perdagangan, Hotel dan Perbankan ................................................................................ 64
Tabel 15.Banyaknya Desa yang Memiliki Sarana Pemasaran Produksi dan Lembaga Keuangan Mikro ........................................................ 64
Tabel 16.Banyaknya Desa yang Memiliki Unit Usaha Masyarakat ........... 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan merupakan konsep normatif yang dibangun oleh
nilai-nilai (values) dan pengembangan (improvement) bersama. Dengan
demikian pembangunan adalah perjuangan nilai-nilai dalam mewujudkan
improvement bersama. Dalam perspektif ini, ukuran keberhasilan
pembangunan tidak pernah bersifat tunggal tetapi komposit. Dalam
kerangka pembangunan tersebut, pembangunan tidak hanya sekedar
sebagai pembangunan ekonomi dan tidak hanya mengejar pertumbuhan
semata.
Pembangunan nasional selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir
ini telah menjadikan ekonomi, khususnya pertumbuhan, sebagai pilar
utama pembangunan. Akibatnya, struktur pertumbuhan ekonomi
nasional yang tidak stabil akan mengakibatkan lemahnya struktur politik
dan sosial yang sebelumnya dibangun dalam kerangka pertumbuhan
tersebut. Struktur perekonomian nasional yang hingga saat ini masih
rapuh, menyebabkan pertumbuhan perekonomian nasional sering kali
dipengaruhi oleh kondisi politik yang terjadi di dalam negeri. Seharusnya
perekonomian nasional mampu bertahan di tengah kondisi politik yang
kurang kondusif. Hal ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi saat ini
yang belum mencapai pembangunan rakyat sebenarnya dan masih belum
maksimal. Kerana itu diperlukan pembentukan pondasi perekonomian
nasional kuat yang tidak lagi terlalu bergantung pada kondisi politik,
namun dapat bertahan dan tumbuh sesuai dengan pondasi yang telah
dibangun.
Bila dikaitkan dengan pemikiran tersebut, hal ini terjadi karena
kegagalan pembangunan nasional dalam mendefinisikan improvement
yang hanya dimaknai sebagai akumulasi agregat ekonomi dan kegagalan
dalam mendefinisikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Oleh
karena itu, bisa dimengerti apabila pembangunan nasional selama ini bias
ke perkotaan.
Selama ini pembangunan telah secara tidak langsung mengabaikan
masyarakat pedesaan. Dengan kata lain, proses pembangunan telah
2
melahirkan persoalan disparitas dan ketidakadilan yang membebani
masyarakat di pedesaan. Masyarakat di pedesaan memiliki tingkat
kesejahteraan yang jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal
diperkotaan. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan
TAHUN GARIS KEMISKINAN
(RP/KAPITA/BULAN)
PENDUDUK DI BAWAH GARIS KEMISKINAN
Jumlah (juta) Persentase (%)
Kota Desa Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
1976 4.522 2.849 10,0 44,2 54,2 38,8 40,4 40,1
1978 4.969 2.981 8,3 38,9 47,2 30,8 33,4 33,3
1980 6.831 4.449 9,5 32,8 42,3 29,0 28,4 28,6
1981 9.777 5.877 9,3 31,3 40,6 28,1 26,5 26,9
1984 13.731 7.746 9,3 25,7 35,0 23,1 21,2 21,6
1987 17.381 10.294 9,7 20,3 30,0 20,1 16,1 17,4
1990 20.614 13.295 9,4 17,8 27,2 16,8 14,3 15,1
1993 27.905 18.244 8,7 17,2 25,9 13,5 13,8 13,7
1996 38.246 27.413 7,2 15,3 22,5 9,7 12,3 11,3
1998 96.959 72.780 17,6 31,9 49,5 21,9 25,7 24,2
1999 92.409 74.272 15,7 32,7 48,4 19,5 26,1 23,5
2000 91.632 73.648 12,3 26,4 38,7 14,6 22,4 19,1
2001 100.011 80.382 8,6 29,3 37,9 9,8 24,8 18,4
2002 130.499 96.512 13,3 25,1 38,4 14,5 21,1 18,2
2003 138.803 105.888 12,2 25,1 37,3 13,6 20,2 17,4
2004 143.455 108.725 11,4 24,8 36,1 12,1 20,1 16,7
2005 150 799 117 259 12,4 22,70 35,1 11,37 19,51 15,97
2006 175 324 131 256 14,29 24,76 39,1 13,36 21,90 17,75
Sumber: BPS (berbagai tahun)
Apabila dilihat dari Tabel 1, terlihat bahwa garis kemiskinan di
perdesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan sampai tahun 2006.
Garis kemiskinan di perkotaan adalah Rp 175,324/kapita/bulan,
sedangkan di perdesaan mencapai Rp 131,256 kapita/bulan, dengan
jumlah penduduk miskin di perkotaan mencapai 14,29 juta dan jumlah
penduduk miskin di perdesaan mencapai 24,76 juta.
Ukuran paling nyata dari lemahnya pemaknaan dan praksis
pembangunan yang telah berlangsung selama ini adalah lahirnya
kemiskinan dan pengangguran struktural di perdesaan. Upaya
pengurangan kemiskinan dan pengangguran, membutuhkan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tersebut tidak saja perlu memadai
3
besarannya, namun juga tidak bias ke arah golongan masyarakat dan
wilayah tertentu. Hal ini memerlukan adanya model pembangunan yang
cocok dengan kondisi aktual.
Model pembangunan ekonomi yang banyak diterapkan negara-
negara berkembang adalah model pengembangan sektor rangkap (dual
sector) yang diusulkan oleh Lewis (1954)1. Model ini didasarkan pada
asumsi bahwa banyak negara berkembang memiliki perekonomian
rangkap, yaitu sektor pertanian yang bersifat tradisional dan sektor
industri yang bersifat modern. Sektor pertanian tradisional diasumsikan
bersifat subsisten dan memiliki karakteristik yaitu produktivitas rendah,
pendapatan rendah, tabungan rendah dan surplus tenaga kerja yang
cukup besar, serta berada di kawasan pedesaan. Sektor industri
diasumsikan memiliki teknologi maju, investasi tinggi dan berada di
kawasan perkotaan.
Orang yang pindah dari desa ke kota akan mendapatkan
peningkatan pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan tabungan.
Kunci pembangunan menurut Model Lewis adalah meningkatkan
tabungan yang diikuti dengan peningkatan investasi, yaitu pada sektor
industri modern. Urbanisasi dari desa yang miskin ke perkotaan yang
kaya akan memberi peluang bagi pekerja untuk mendapatkan pendapatan
yang lebih tinggi dan mengalokasikannya untuk tabungan dan investasi.
Pertumbuhan di sektor industri dengan sendirinya akan menghasilkan
permintaan tenaga kerja dan menyediakan dana untuk investasi.
Pendapatan yang dihasilkan oleh sektor industri memberikan trickle down
ke setiap aktivitas ekonomi.
Schelkle mengkritik asumsi ekonomi tertutup yang digunakan
dalam model pembangunan dualistik Lewis. Menurut Schelkle, suatu
ekonomi yang bersifat tertutup akan menghalangi berbagai transaksi,
terutama karena adanya proteksi dan perfect capital control. Dalam suatu
ekonomi tertutup, capital flight akan menyebabkan tidak produktif. Hal ini
akan mengurangi pendapatan petani ke depan. Apabila terjadi inflasi,
pemerintah akan memakai tabungan rumahtangga sebagai alternatif aset
1 Lewis,W.A. 1954. Dual Sector Model of Development: The Theory of Trickle
Down.http://www.bized.ac.uk/virtual/dc/copper/theory/th8.html.
4
keuangan domestik. Pengurangan tabungan akan mengurangi investasi,
dan menghambat pertumbuhan.2
Pendekatan yang diusulkan Schelkle menggunakan sektor moneter
sebagai sektor non-pertanian. Sektor moneter dinyatakan dalam suatu
pasar kredit. Tingkat bunga ditentukan berdasarkan permintaan dan
penawaran kredit. Tingkat bunga yang lebih tinggi akan mengurangi
permintaan efektif karena distribusi pendapatan bergeser ke rumahtangga
yang cenderung untuk meningkatkan tabungan.
Dalam sektor pertanian, rumahtangga yang berpendapatan sangat
rendah bergantung pada upah, dan tidak ada sisa penghasilan untuk
ditabung. Permintaan efektif akan berkurang apabila terjadi kenaikan
suku bunga karena kenaikan suku bunga akan meningkatkan tabungan
yang dimiliki oleh rumahtangga berpendapatan tinggi dan menurunkan
konsumsi. Dengan kata lain, distribusi pendapatan tidak terjadi melalui
tabungan. Dalam suatu perekonomian dual, aset riil merupakan the
medium of flight dari mata uang, sehingga berpotensi memunculkan
inflasi. Inflasi secara berangsur-angsur akan menghilangkan basis
produksi pertanian rumahtangga. Oleh karena itu, untuk menjaga
kestabilan rumahtangga berpendapatan rendah, perlu dilakukan stabilitas
moneter atau kebijakan perkreditan yang sesuai.
Pembangunan perdesaan tidak mutlak hanya membicarakan sektor
pertanian. Pembangunan perdesaan hendaknya ditinjau dalam konteks
transformasi ekonomi, struktur sosial, kelembagaan dan cara-cara kerja
di daerah pedesaan pada masa mendatang. Transformasi ini mencakup
berbagai perubahan kelembagaan, sistem penyuluhan dan komunikasi
pembangunan yang efektif. Semua ini perlu ditopang oleh investasi
pemerintah yang memadai dalam infrastruktur serta penelitian dan
pengembangan perdesaan3.
Pembangunan daerah perdesaan penting dilakukan secara
integratif. Pertumbuhan industri tidak akan berjalan lancar apabila
perdesaan stagnan. Jika bisa berjalan, pertumbuhan industri tersebut
2 Schelkle, W. 1996. Dualism in Development Economics: Some Critical Remark and An Alternative Proposal. http://www.wiwiss.fu-berlin.de/w3/w3lorenz/texte/dualism.pdf.
3 Perkins, D.H., D.R. Snodgrass, M. Gillis, and M. Roemer. 2001. Economics of
Development. Fifth Edition. W.W. Norton and Co. London.
5
cenderung menciptakan berbagai ketimpangan internal dalam
perekonomian, yang pada gilirannya akan memperparah masalah
kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran4.
Menurut Yudhoyono (2004), kebijakan fiskal dapat digunakan
untuk menanggulangi masalah pengangguran dan kemiskinan.
Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
dapat menurunkan pengangguran secara signifikan. Pengeluaran
pemerintah untuk infrastruktur ternyata manfaatnya relatif kurang dapat
dinikmati di pedesaan jika dibandingkan dengan perkotaan. Ada
kemungkinan desain atau arah pengembangan infrastruktur yang terjadi
bias ke arah perkotaan dan bukannya ke perdesaan. Sedangkan untuk
mengatasi masalah kemiskinan, khususnya di kawasan perdesaan
dimana jumlah orang miskin banyak berada, diperlukan kombinasi
kebijakan fiskal, yaitu peningkatan pengeluaran pemerintah dan
peningkatan upah. Namun peningkatan upah ini hendaknya terjadi
melalui peningkatan peluang kerja di luar sektor non-pertanian yang ada
di pedesaan atau peningkatan peluang kerja secara umum.5
Pengembangan aktivitas-aktivitas perekonomian pedesaan, yang
tentunya melibatkan investasi swasta akan membantu peningkatan upah
dan daya beli masyarakat yang akhirnya dapat mempercepat penurunan
kemiskinan. Dalam menanggulangi kemiskinan, kebijakan fiskal dalam
bentuk peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sektor
pertanian memang perlu dikombinasikan dengan kebijakan sektor lain.6
Dengan kenyataan tersebut, pembangunan perdesaan dapat
dipandang sebagai bagian penting dari strategi pembangunan nasional
untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Artinya, pembangunan
perdesaan akan menjadi bagian integral dan sekaligus arus utama
pembangunan nasional. Dengan strategi ini, pembangunan akan berjalan
secara sinergi antara perkotaan dan perdesaan, serta antara pertanian,
industri dan jasa.
4 idem.ditto. 5 Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
6 idem ditto
6
1.2. Permasalahan
Migrasi merupakan mekanisme redistribusi penduduk. Dalam
membahas migrasi kita tidak dapat melepaskan dari urbanisasi.
Urbanisasi sebagai keadaan dan proses pemusatan penduduk di daerah
urban (perkotaan) yang dipengaruhi oleh migrasi dari desa ke kota.
Biasanya urbanisasi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pertambahan
alami, migrasi desa-kota dan reklasifikasi daerah perdesaan (rural)
menjadi perkotaan (urban).
Secara teoritik ada dua faktor yang mempengaruhi migrasi, yang
biasanya dikelompokkan menjadi faktor pendorong (push factor) dan
faktor penarik (pull factor). Faktor-faktor pendorong tersebut terdiri atas:
1. Berkurangnya sumberdaya alam dan menurunnya permintaan atas
bahan baku.
2. Terbatasnya lapangan pekerjaan di tempat asal, seperti akibat
masuknya teknologi pertanian di perdesaan.
3. Adanya perlakuan diskriminasi politik, agama, dan suku di daerah
asal.
4. Tidak lagi sesuai dengan adat/budaya/kepercayaan di tempat asal.
5. Alasan pekerjaan atau perkawinan.
6. Adanya bencana.
Faktor-faktor penarik terdiri atas:
1. Adanya rasa superior atau kecocokan di tempat baru.
2. Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik.
3. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
4. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, baik
iklim, fasilitas maupun prasarana yang lain.
5. Ajakan dari kerabat atau teman dekat.
6. Adanya aktifitas-aktifitas di kota besar, tempat hiburan, pusat bisnis,
perbelanjaan dan pusat pemerintahan.
Tetapi secara garis besar, sebenarnya ada empat faktor yang
menyebabkan seseorang memutuskan untuk melakukan migrasi menurut
Lee (1976), yaitu: 1) Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, 2) Faktor-
faktor yang terdapat di daerah tujuan, 3) Rintangan-rintangan yang
menghambat, dan 4) Faktor-faktor pribadi.
Faktor-faktor pendorong dan penarik migrasi penduduk ke kota,
ternyata sejalan dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih
7
berorientasi pada pertumbuhan dan konglomerasi. Arah kebijakan
pembangunan ekonomi yang demikian semakin melebarkan kesenjangan
dan ketidakadilan. Timbulnya dikotomi seperti Jawa-luar Jawa, Indonesia
bagian barat-timur, desa-kota, sektor formal-informal, dan persoalan
kemiskinan merupakan beberapa indikator kegagalan kebijakan politik
ekonomi pemerintahan dalam pemerataan dan keadilan bagi
kesejahteraan masyarakat.
Tetapi ketimpangan antardaerah pada provinsi-provinsi terjadi
sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau
Jawa dan Bali. Lebih dari itu, pengembangan provinsi-provinsi baru sejak
2001 dan desentralisasi diduga akan mendorong kesenjangan antardaerah
yang lebih lebar. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah
daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menentukan
kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Latar
belakang demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya
yang tidak sama, serta kapasitas sumberdaya yang berbeda, memiliki
konsekuensi adanya keberagaman kinerja daerah dalam pelaksanaan dan
pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan
menyebabkan ketimpangan pembangunan antarwilayah, meningkatnya
tuntutan daerah, dan kemungkinan disintegrasi bangsa.
Ketimpangan pembangunan antarwilayah dapat dilihat dari
perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi
antarwilayah. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,18 persen, sedangkan di
Papua sekitar 38,69 persen. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang
tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga terjadi
antarwilayah, dimana penduduk di Jakarta rata-rata bersekolah selama
9,7 tahun, sedangkan penduduk di NTB rata-rata hanya bersekolah
selama 5,8 tahun. Hanya sekitar 30 persen penduduk Jakarta yang tidak
mempunyai akses terhadap air bersih, tetapi di Kalimantan Barat lebih
dari 70 persen penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih.
Data BPS tahun 2004 mengenai penguasaan PDRB (Pendapatan
Domestik Regional Bruto) seluruh provinsi dan lajur pertumbuhan PDRB
antarprovinsi menunjukkan bahwa Provinsi di Jawa dan Bali menguasai
sekitar 61,0 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatra
8
menguasai sekitar 22,2 persen, provinsi di Kalimantan menguasai 9,3
persen, Sulawesi menguasai 4,2 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua hanya 3,3 persen. Selain itu, laju pertumbuhan PDRB
provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2004 sebesar 10,71 persen, provinsi
di Sumatra sebesar 7,78 persen, provinsi di Kalimantan 5,72 persen,
provinsi di Sulawesi sebesar 11,22 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua sebesar 4,34 persen. Kecenderungan persebaran
penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan
menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antarwilayah.
Ketimpangan pembangunan antarwilayah juga ditandai dengan
rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan
sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan
serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan
perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat
desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan
perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap
kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada
permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan
pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan.
Ketimpangan juga terjadi antara daerah perkotaan dan perdesaan.
Daerah perkotaan lebih berkembang dari segi ekonomi, karena terdapat
investasi negara dan swasta, dan fasilitas infrastruktur yang
terkonsentrasi tinggi. Peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang
terdapat dalam suatu kota telah menarik lebih banyak orang dari
perdesaan dan menambah masalah urbanisasi. Jika kota-kota gagal
mengatasi masalah yang diakibatkan oleh urbanisasi, maka hal ini akan
menciptakan masalah sosio-ekonomi yang lebih banyak lagi bagi
perkotaan. Di sisi lain, kota yang mampu mengelola masalah urbanisasi
dapat lebih banyak berperan sebagai pusat pertumbuhan bagi daerah-
daerah di sekitarnya dan mengurangi masalah akibat kesenjangan yang
tajam antara perkotaan dan perdesaan.
Karenanya pemikiran yang dirintis oleh Simon Kuznets guru besar
Harvard University masih dapat dipakai untuk melihat berbagai bentuk
ketimpangan dan kesenjangan yang terjadi di Indonesia, baik antar
daerah, Jawa-luar Jawa, dan desa-kota. Menurut Kuznets, proses
pembangunan ekonomi pada tahap awal umumnya disertai oleh
9
kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru
berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam pembagian
pendapatan pada tahap pembangunan berikutnya.
Kondisi pembangunan ekonomi yang dikatakan Kuznets sesuai
dengan apa yang terjadi di Indonesia. Dimana pembangunan ekonominya
hanya terpusat di kota, dan model pembangunan ekonominya pun lebih
mengarah pada ekonomi biaya tinggi. Akibat pembangunan yang hanya
terpusat di kota, maka terjadilah ketimpangan spasial. Wilayah Jawa dan
kota-kota (metropolitan) menjadi wilayah yang terlalu padat dengan
berbagai aktifitas di dalamnya, baik aktifitas ekonomi, sosial, pendidikan,
politik, hukum, maupun aktifitas yang lain. Pembangunan perkotaan
(aglomerasi) menjadi daya tarik yang menjadikan pembangunan
perdesaan ditinggalkan (marjinal). Sehingga perkotaan menjadi lahan
baru yang semakin sempit, tetapi semakin kompleks dengan
konflik/perebutan ruang yang tak terhindarkan.
Dengan melihat bentuk ketimpangan yang ada di atas, maka dapat
disebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya ketimpangan
tersebut, yaitu: 1) Kepemilikan sumberdaya alam yang tidak merata
antardaerah, 2) Sumberdaya manusia yang tidak merata, 3) Distribusi
aset yang tidak merata, 4) Disparitas sosial-ekonomi, dan 5) Prioritas
kebijakan yang bersifat top-down dan sektoral.
Kelima faktor yang mempengaruhi munculnya ketimpangan spasial
dan kesenjangan sosial baik antar daerah, Jawa-luar Jawa, dan desa-
kota, dapat diperbaiki dengan membuat prioritas kebijakan yang
menekankan pada 3 hal, yaitu: Pertama, pengembangan sumberdaya
manusia, terutama di perdesaan, dan di daerah terpencil. Kedua,
pembangunan infrastruktur dasar di daerah perdesaan dan terpencil,
termasuk infrastruktur fisik (jalan, listrik, air), serta pendidikan dan
kesehatan. Ketiga, membangun daerah-daerah perdesaan melalui
kegiatan usaha pertanian dan nonpertanian. Pemerintah dapat berperan
sebagai fasilitator untuk menstimulasi ekonomi perdesaan melalui
berbagai cara, seperti penyediaan infrastruktur, pendidikan, kredit, dan
lain-lain, yang mempengaruhi pengembangan kegiatan usaha pertanian
dan nonpertanian, atau semisal program pembangunan baru yang pernah
ditempuh Filipina yang bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi pesat
dengan keadilan sosial dan kesempatan kerja penuh. Filipina menerapkan
10
strategi pembangunan yang bercabang dua, yaitu mobilisasi sektor
perdesaan yang bertujuan menciptakan lapangan kerja penduduk
perdesaan, dan mendorong industrialisasi yang berorientasi ekspor,
terutama industri kecil padat karya, agar industri di perkotaan mampu
mendorong perkembangannya atas kekuatan sendiri tanpa bergantung
pada perdesaan.
Strategi mobilisasi perdesaan terlebih dulu terbukti berhasil di
beberapa negara, seperti di Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong dan
Singapura mampu mendorong industrialisasi di perkotaan7. Kedua
strategi bercabang ini dapat direalisasikan sekaligus dengan upaya
pembentukan agropolitan dan megapolitan secara terpadu dan terencana
dalam kebijakan pembangunan nasional. Di mana agropolitan bertujuan
mengembangkan ekonomi perdesaan yang kelak diharapkan menjadi
penyangga bagi pengembangan megapolitan yang terpadu dengan daerah
di sekitanya, terutama daerah-daerah perdesaan.
Pembangunan nasional yang telah dilakukan selama ini meskipun
secara umum telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat, ternyata masih menimbulkan kesenjangan
pembangunan antarwilayah. Ketimpangan pembangunan terutama terjadi
antara Jawa-luar Jawa, antarkota dan antara kota-desa.
Permasalahan lain adalah masih adanya kesenjangan antar wilayah
perkotaan dan perdesaan, pembangunan perdesaan masih relatif
tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan, yang dicerminkan antara
lain dengan rendahnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat
perdesaan. Salah satu contohnya, baru sekitar 6,4 persen rumah tangga
perdesaan yang telah dilayani infrastruktur perpipaan air minum,
sementara di perkotaan telah mencapai 32 persen8. Beberapa masalah
pokok yang perlu diprioritaskan penyelesaiannya adalah keterbatasan
akses masyarakat perdesaan terhadap sumber daya produktif, kapasitas
kelembagaan sosial-ekonomi pembangunan perdesaan yang belum
memadai, serta rendahnya kualitas pelayanan prasarana-sarana
permukiman perdesaan. Di samping itu, investasi yang lebih cenderung
terkonsentrasi di perkotaan, terutama kota-kota besar dan metropolitan,
menyebabkan kian meningkatnya kesenjangan ekonomi perdesaan
7 Harry T. Oshima, 1989: 167-169.
8 idem ditto
11
dengan perkotaan yang berimplikasi pada munculnya berbagai masalah
terkait dengan urbanisasi, eksternalitas negatif, dan lain-lain.
Dalam mewujudkan sarana pembangunan pedesaan, banyak
kendala yang akan dihadapi, yaitu masalah pengangguran, kemiskinan,
kesenjangan, konflik sosial dan lain sebagainya. Masalah kemiskinan
menyebabkan ketimpangan baik antar golongan penduduk, antar sektor
kegiatan ekonomi maupun antar daerah. Dalam lingkup yang lebih luas,
masalah kemiskinaan dan kesenjangan akan memicu kecemburuan
sosial, dan pada akhirnya mengganggu kelangsungan pembangunan.
Hal lain yang juga terjadi adalah terkait perencanaan
pembangunan. Pembangunan perdesaan merupakan bagian dari
pembangunan nasional. Karena itu, pembangunan perdesaan merupakan
dirumuskan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional, dimana
Indonesia menerapkan perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up
planning), yang dimulai dari Musbangdes di desa sampai Rakorbang di
kabupaten/kota. Di atas kertas, konsep itu mengandung prinsip
pembangunan. Prinsip tersebut terkait dengan penempatan
kabupaten/kota sebagai wilayah pembangunan otonom, yang mempunyai
kewenangan untuk mengelola perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan di wilayah yurisdiksinya. Dari tingkat bawah, proses dan isi
perencanaan pembangunan masih bersifat elitis, sehingga peran
masyarakat secara aktif perlu dilibatkan.
Peran serta masyarakat dipahami sangat berbeda menurut cara
pandang orang maupun konteks kelembagaan, politik, dan sosial-
budayanya. Ada yang memahami peran serta sebagai proses
mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi
tawar-menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan
yang lebih tinggi di segala aspek dan sektor kehidupan. Ada pula pihak
lain yang menegaskan bahwa peran serta adalah proses memfasilitasi
masyarakat secara bersama-sama pada sebuah kepentingan bersama
atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran,
mengumpulkan sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan
membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas.
12
Peran serta masyarakat desa dapat diamati dari beberapa sudut
pandang. Pertama, peran serta dimaknai dalam konteks menempatkan
posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima
manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar
seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau
partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara
mandiri bukan berarti lepas dari tanggung jawab negara. Pemberian
layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan
komunikasi) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban)
negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti
terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi,
mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan
masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah
negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
pemerintahan.
Kedua, peran serta secara prinsipil berurusan dengan upaya
memenuhi kebutuhan (needs) masyarakat. Banyak orang berargumen
bahwa masyarakat akar rumput sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal
yang utopis seperti demokrasi, desentralisasi, good governance, otonomi
daerah, masyarakat sipil, dan seterusnya. Tetapi persoalannya
sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat itu sangat
langka (scarcity) dan terbatas (constrain). Masyarakat tidak mudah bisa
akses pada sumber daya untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan
dan papan. Oleh karena itu, peran serta adalah sebuah upaya memenuhi
kebutuhan masyarakat di tengah-tengah scarcity dan constrain sumber
daya. Bagaimanapun juga berbagai sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada
problem struktural (ketimpangan, eksploitasi, dominasi, dan hegemoni)
yang menimbulkan pembagian sumber daya secara tidak merata.
Ketiga, peran serta terbentang dari proses sampai visi ideal. Dari
sisi proses, masyarakat sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan
secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar,
dan meraih kedaulatan. Dari sisi visi ideal, proses tersebut hendak
mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan
kemandirian memberikan voice, mendapatkan akses dan kontrol terhadap
13
lingkungan, komunitas, sumber daya dan relasi sosial-politik dengan
negara. Proses untuk mencapai visi ideal tersebut harus tumbuh dari
bawah dan dari dalam masyarakat sendiri. Namun, dalam kondisi
struktural yang timpang masyarakat sulit sekali membangun kekuatan
dari dalam dan dari bawah, sehingga membutuhkan intervensi dari luar.
Hadirnya pihak luar (pemerintah, LSM, organisasi masyarakat sipil,
organisasi agama dan perguruan tinggi) ke masyarakat bukan untuk
menggurui, atau menentukan, melainkan bertindak sebagai fasilitator
(katalisator) yang memudahkan, menggerakkan, mengorganisir,
menghubungkan, memberi ruang, mendorong, membangkitkan dan
seterusnya. Hubungan antara komunitas dengan pihak luar itu bersifat
setara, saling percaya, saling menghormati, terbuka, serta saling belajar
untuk tumbuh berkembang secara bersama-sama.
Keempat, peran serta masyarakat diharapkan masyarakat memiliki
peran yang aktif sebagai pengambil keputusan dalam tahap pembangunan
perdesaan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Peran
masyarakat tersebut dibatasi sesuai dengan mekanisme kerja dan
kemampuan yang dimilikinya. Sebelum hal ini terjadi, diasumsikan
masyarakat telah memiliki kemampuan yang cukup dan fasilitasi
pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah telah dilakukan. Peran serta
masyarakat yang aktif ini akan meminimalisasi peran pemerintah dalam
pembangunan, sehingga anggaran pembangunan yang dikeluarkan oleh
pemerintah menjadi kecil.
Hasil penelitian antara PSP3 IPB dan Bappenas Tahun 2004
menyatakan bahwa upaya yang perlu dilakukan untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pembangunan
ekonomi pedesaan dimasa mendatang adalah9:
1. Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, peningkatan ini
menjadi sesuatu yang penting karena dengan meningkatnya
kemampuan sumberdaya manusia yaitu peningkatan jenjang
pendidikan penduduk akan berpengaruh pada kecepatan 9 [PSP3 IPB dan BAPPENAS] Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan
Institut Pertanian Bogor dan BAPPENAS. 2004. Kajian Pembangunan Ekonomi Desa untuk Mengatasi Kemiskinan. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor, dan Direktorat Permukiman dan Perumahan BAPPENAS. Bogor.
14
penyerapan adopsi teknologi, kemampuan untuk menggali informasi
dan daya kreatifitas dan inovasi. Dengan peningkatan kemampuan
tersebut akan lebih meningkatkan pendapatan masyarakat, yang
akhirnya akan meningkatkan kesejahteraannya dan dapat
mengentaskan kemiskinan.
2. Adanya penciptaan dan pengembangan lembaga ekonomi yang
sudah ada, lembaga ekonomi ini seperti keberadaan koperasi, unit
pelaksana teknis (UPT), tempat pelelangan ikan (TPI), akan
membantu masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan
pendapatan.
3. Mengevaluasi peraturan-peraturan yang selama ini terkait dan
berhubungan dengan masyarakat pedesaan, agar lebih berpihak
pada masyarakat kecil, dengan demikian campur tangan
pemerintah paling tidak dibutuhkan untuk memberi kepastian
hukum dan melindungi masyarakat kecil jika akan berhadapan
dengan golongan masyarakat yang mempunyai modal dan
kekuasaan yang lebih besar.
4. Pemerintah supaya lebih aktif mendorong dan mancari alternatif
matapencarian pada masyarakat pedesaan terutama pada
masyarakat yang hidup pada desa dengan tipologi desa nelayan,
desa jasa dan desa perdagangan. Peran aktif pemerintah tersebut
terutama ditujukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
melalui suatu pelatihan atau kursus maupun pendidikan
keterampilan, seperti pelatihan pengolahan hasil perikanan, bagi
desa nelayan maupun pelatihan untuk berkreasi seni lebih tinggi
terhadap hasil keramik dan gerabah pada masyarakat di desa dan
sektor perdagangan.
1.3. Cakupan Pembangunan Desa
Naskah akademis ini mencakup permasalahan dan upaya untuk
mewujudkan pembangunan bagi masyarakat perdesaan di Indonesia
secara adil.
1.4. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan naskah akademis ini antara lain:
1. Membangun paradigma baru dalam usaha pembangunan desa.
15
2. Mengidentifikasi berbagai upaya dalam mewujudkan pembangunan
bagi masyarakat pedesaan secara adil dan berkesinambungan.
3. Memberikan kejelasan mengenai pengembangan potensi desa sesuai
dengan sumberdaya dan karakteristik desa masing-masing sehingga
pembangunan yang dilaksanakan tepat sasaran dan optimal.
4. Menempatkan desa sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk
menyokong keberadaan kota tanpa mobilitas sumberdaya manusia,
sehingga mampu menjadikan desa sebagai daerah yang
berswasembada dan mampu menyumbang pendapatan pemerintah
dari sisi demand maupun sisi supply.
16
BAB II
TINJAUAN TEORETIK DAN EMPIRIK
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi : Faktor-Faktor yang Menentukan
Pertumbuhan10
Dalam sejarah pemikiran ekonomi, penulis ekonomi pada bagian
kedua abad ke-18 dan permulaan abad ke-20. Lazim digolongkan sebagai
kaum klasik. Selanjutnya, kaum ini dapat dibedakan dalam dua golongan,
yaitu :
1. Golongan klasik saja.
Merupakan ahli-ahli ekonomi yang mengungkapkan analisisnya
sebelum tahun 1870. Tokoh-tokoh dari golongan ini adalah Adam
Smith, David Ricardo, Robert Malthus, dan John Stuart Mill.
2. Kaum Neo klasik.
Merupakan ahli-ahli ekonomi yang mengungkapkan analisisnya
setelah tahun itu. Yang termasuk tokoh neo klasik adalah Carl Menger
dan ahli ekonomi dari Austria yang lain, Alfred Marshall, Leon Walras,
dan Knut Wicksel.
Kedua golongan tersebut banyak mencurahkan perhatiannya kepada
sifat-sifat kegiatan masyarakat dalam jangka pendek dan sedikit sekali
menganalisis masalah pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut disebabkan
oleh pandangan mereka yang berkeyakinan bahwa mekanisme pasar akan
menciptakan suatu suasana yang mengakibatkan perekonomian akan
berfungsi secara efisien. Dari pandangan ini selanjutnya mereka
berpendapat bahwa pembangunan ekonomi, walaupun berjalan secara
perlahan,akan selalu berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu
kaum Neo-Klasik sangat sedikit memperhatikan masalah-masalah
pembangunan.
Perbedaan terhadap masalah-masalah pembangunan berbeda sekali
keadaannya di kalangan ahli-ahli ekonomi yang hidup pada akhir abad
ke-18. dan bagian pertama abad ke-19. Mungkin pada saat itulah negara-
negara maju mulai mengalami pembangunan ekonomi yang pesat, yaitu
10 Sukirno, S. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Edisi
Kedua. Cetakan Pertama. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta
17
dengan munculnya industrial revolution dan terciptanya tahap lepas
landas dalam pembangunan ekonomi negara-negara tersebut.
Pandangan Adam Smith
Menurut pandangan Adam Smith, kebijakan laissez-faire atau sistem
mekanisme pasar akan memaksimalkan tingkat pembangunan ekonomi
yang dapat dicapai oleh suatu masyarakat.
Mengenai faktor yang menentukan pembangunan, Adam Smith
berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong
pembangunan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperluas
pasar dan perluasan pasar akan meninggikan tingkar spesialisasi dalam
perekonomian tersebut. Sebagai akibat dari spesialisasi yang terjadi,
maka tingkat kegiatan ekonomi akan bertambah tinggi. Perkembangan
spesialisasi dan pembagian pekerjaan diantara tenaga kerja akan
mempercepat proses pembangunan ekonomi, karena spesialisasi akan
meninggikan tingkat produktivitas tenaga kerja dan mendorong
perkembangan teknologi.
Mengenai corak proses pertumbuhan ekonomi, Smith mengatakan
bahwa apabila pembangunan sudah terjadi, maka proses itu akan terus-
menerus berlangsung secara kumulatif. Apabila pasar berkembang,
pembagian kerja dan spesialisasi akan terjadi, dan yang belakangan ini
akan menimbulkan kenaikan produktivitas. Kenaikan pendapatan
nasional yang disebabkan oleh perkembangan tersebut dan
perkembangan penduduk dari masa ke masa, yang terjadi bersama-sama
dengan kenaikan dalam pendapatan nasional, akan memperluas pasar
dan menciptakan tabungan yang lebih banyak. Tambahan pula,
spesialisasi yang bertambah tinggi dan pasar yang bertambah luas akan
menciptakan teknologi dan mengadakan inovasi (pembaharuan). Maka,
perkembangan ekonomi akan berlangsung lagidan dengan demikian dari
masa ke masa pendapatan perkapita akan terus bertambah tinggi.
Pandangan Ricardo dan Mill
Ricardo dan Mill memiliki pandangan yang pesimis tentang akhir dari
proses pembangunan dalam jangka panjang. Mereka berpendapat bahwa
dalam jangka panjang perekonomian akan mencapai stationary state atau
suatu keadaan di mana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali.
Peranan penduduk dalam pembangunan ekonomi menurut Richardo dan
Malthus adalah, perkembangan penduduk yang berjalan dengan cepat
18
akan memperbesar jumlah penduduk hingga dua kali lipat dalam waktu
satu generasi, akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ke taraf
yang lebih rendah. Pada tingkat ini pekerja akan menerima upah yang
sangat minimal, yaitu upah hanya mencapai tingkat cukup hidup
(subsistence level). Pada saat ini apabila dinyatakan teori pertumbuhan
kaum klasik, maka yang dimaksudkan adalah teori pertumbuhan yang
dikemukakan Ricardo. Teori ini sangat dipengaruhi oleh teori
perkembangan penduduk yang dikemukakan Malthus dan teori hasil lebih
yang makin berkurang.
2.2. Desa
Desa adalah salah satu basis dan sumber kegiatan dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Kedudukan pemerintah
desa yang selama ini masih kurang kuat harus segera diperbaiki agar
dapat menggerakkan masyarakat desa untuk ikut berpartisipasi dalam
pembangunan, memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan
administrasi desa yang saat ini semakin luas dan kompleks, dan dapat
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dengan baik dan
tertib.Jumlah desa di Indonesia dan status pemerintahannya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, jumlah desa di seluruh Indonesia pada tahun
2005 mencapai 57,667 desa dan Provinsi Jawa Tengah memiliki jumlah
desa terbanyak seluruh Indonesia yaitu 6,163. Provinsi DKI Jakarta tidak
memiliki daerah yang status hukumnya adalah desa.
19
Tabel 2. Banyaknya Desa Menurut Provinsi dan Status Pemerintahan No. Provinsi Desa Kelurahan Nagari Lainnya Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Yogyakarta Jawa Timur Banten
Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan SulawesiTenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua
5479 4017 97
1384 1063 2400 1086 1944 236
- 3924 6075 269 6034 1070
465 617 2436 1400 1201 1732 891 937 1378 2281 1363 355 785 665 3133
- - -
44 106 57 94 42 67 16 27 2 -
51 88 -
43 11
3 19 147 28 64 21 76 90 48 394 175 18 8 39 39 - - -
- -
485 - - - - - - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
- 47 2 4 3 12 2 3 - - - - - - -
- 4 1 2 24 2
222 4 6
297 36 4 8 9 56 - - -
5523 4170 641 1482 1108 2479 1104 1974 238
- 3975 6163 269 6077 1081
468 640 2584 1430 1289 1755 1189 1031 1432 2872 1574 377 801 713 3228
- - -
Indonesia 54717 1817 485 648 57667
(Data BPS Podes 2005)
2.2.1 Definisi
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang
Desa, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan
bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan
merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan,
20
Desa memiliki hak untuk mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam
perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi
kelurahan.
Dalam naskah revisi ditegaskan tentang definisi desa yang tidak
jauh berbeda dengan sebelumnya: “Desa atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan
berada di Daerah Kabupaten/Kota”. Desa sama sekali tidak mempunyai
kewenangan yang konkret sebagaimana dimiliki provinsi dan
kabupaten/kota, kecuali kewenangan romantik (hak asal-usul) dan
kewenangan abstrak (kewenangan yang belum dilaksanakan oleh daerah
dan pemerintah). Naskah ini sama sekali tidak mengakomodasi masukan
dan tuntutan dari desa tentang perimbangan kekuasaan dan keuangan
kepada desa, yang menjadi bagian penting dalam pembaharuan desa.
Sampai saat ini belum ada kajian hukum yang mendalam mengenai
desa. Namun, definisi desa dan kedudukan desa dapat ditelaah
berdasarkan masa pemerintahan di Indonesia, khususnya dari masa
penjajahan Belanda. Di masa penjajahan Belanda, desa merupakan satu
kesatuan wilayah berdasarkan adat-istiadat yang berkedaulatan dalam
wilayah pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa penjajahan Jepang,
kata kedaulatan dihilangkan, menjadi desa sebagai satu kesatuan
wilayah berdasarkan adat-istiadat sebagai wilayah administrasi
pemerintahan Timur Raya. Implikasi dari pengaturan ini adalah
dibentuknya Rukun Tangga (RT) sebagai bagian dari pengawasan,
pengendalian dan penggerakkan paling bawah. Pada masa kemerdekaan,
definisi desa kembali seperti masa penjajahan Belanda, hanya saja
kalimat “.... dalam wilayah pemerintahan Hindia-Belanda” diganti menjadi
“.... dalam wilayah pemerintahan Republik Indonesia”. Namun keberadaan
RT seperti di masa penjajahan Jepang tetap dipertahankan. Hal ini
diperjelas dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, dengan
ditambah desa sebagai pemerintahan administratif ketiga setelah
pemerintahan kabupaten dan provinsi. Dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957, definisi desa masih tetap sama, hanya ditegaskan desa
21
sebagai pemerintahan administratif, yaitu “... merupakan pemerintahan
otonom yang mengatur warga yang ada di wilayah otoritas hukum
administrasi tingkat ketiga setelah pemerintah kabupaten dan provinsi.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, kedudukan
desa tidak memiliki perubahan, dan diberikan penegasan, yaitu “... desa
sebagai daerah yang memiliki kekuasaan hukum, politik dan
pemerintahan secara otonom.” Sedangkan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1965 memperkuat proses demokratisasi di desa, prinsip
kedaulatan, otonom dan adat-istiadat. Sehingga didefinisikan desa sebagai
pemerintahan swapraja yang mempunyai kelembagaan demokrasi:
eksekutif, legislatif dan mahkamah desa/adat. Desa juga memiliki modal
sendiri berupa tanah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
dan sebagai insenti birokrat desa.
2.2.2. Karakteristik Desa
Daerah-daerah di Indonesia memang mempunyai keragaman yang
luar biasa baik dilihat dari sisi kultur maupun kondisi geografis dan basis
ekonominya. BPS menentukan kriteria suatu lokasi yang ditetapkan
sebagai perdesaan atau perkotaan untuk menentukan adanya keragaman
wilayah. Kriteria tersebut adalah:
1. Kepadatan penduduk per kilometer persegi.
2. Persentase rumahtangga yang mata pencaharian utamanya adalah
pertanian atau non pertanian.
3. Persentase rumahtangga yang memiliki telepon.
4. Persentase rumahtangga yang menjadi pelanggan listrik.
5. Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti fasilitas
pendidikan, pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan dan fasilitas
lain, seperti hotel, biliar, diskotek, karaoke, panti pijat dan salon.
Masing-masing fasilitas diberi skor. Atas dasar skor yang dimiliki desa
tersebut, maka ditetapkan desa tersebut masuk dalam salah satu
kategori, yaitu perkotaan besar, sedang, kecil dan perdesaan.
Tipologi desa di Indonesia sangat beragam karena pengaruh sejarah
pemerintahan adat dan pengaruh modernisasi birokrasi. Sesuai dengan
22
pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, setidaknya
ada tiga tipe bentuk desa:
1. Tipe ”Desa Adat” atau sebagai self governing community sebagai bentuk
Desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep ”otonomi asli” sebenarnya
diilhami dari pengertian Desa Adat ini. Desa Adat mengatur dan
mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur
tangan negara. Desa Adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif
yang diberikan oleh negara. Saat ini Desa Pakraman di Bali yang masih
tersisa sebagai bentuk Desa Adat yang jelas.
2. Tipe ”Desa Administratif” (local state government) adalah Desa sebagai
satuan wilayah administratif yang berposisi sebagai kepanjangan
negara dan hanya menjalankan tugas-tugas administratif yang
diberikan negara. Desa Administratif secara substansial tidak
mempunyai otonomi dan demokrasi. Kelurahan yang berada di
perkotaan merupakan contoh yang paling jelas dari tipe Desa
Administratif.
3. Tipe ”Desa Otonom” atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat
juga disebut sebagai local self government, seperti halnya posisi dan
bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara konseptual, Desa Otonom
adalah Desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga
mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Desa Otonom berhak membentuk pemerintahan
sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang membuat peraturan
Desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.
Dalam konteks perjalanan Indonesia mencari posisi dan bentuk Desa,
ketiga tipe Desa yang telah diuraikan, dijadikan rujukan. Pertama, pemikiran
para founding fathers yang termuat dalam konstitusi secara jelas mengikuti
model Desa Adat, yakni mengakui (rekognisi) keberadaan kesatuan
masyarakat hukum adat yang jumlahnya sangat banyak dan beragam di
Indonesia. Kedua, pemikiran tentang Desa Otonom atau Desapraja atau
Daerah Otonom Tingkat III, yang menempatkan posisi Desa sebagai
subsistem pemerintahan kabupaten, sekaligus menerima limpahan
kewenangan dan alokasi dana dari kabupaten. Menurut pakar Universitas
Brawijaya dan IPDN, yang melakukan desentralisasi kepada Desa bukanlah
pemerintah kabupaten melainkan negara melalui pemerintah pusat. Karena
23
itu, kedudukan Desa harus dipertegas lebih dulu dalam struktur
ketatanegaraan melalui konstitusi, kemudian diikuti dengan penyerahan
kewenangan kepada Desa beserta alokasi dana secara langsung dari APBN.
Ketiga, ide dan pengaturan Desa Administratif (kelurahan) yang
diterapkan pada masa Orde Baru. Di masa rezim ini, bentuk Desa Adat
dihilangkan dan ide Desa sebagai daerah otonom tingkat III (Desapraja)
juga dihilangkan, meski UU No. 5/1974 mengenal provinsi daerah tingkat
I dan kabupaten/kotamadya daerah tingkat II UU No. 5/1979 memberi
kesempatan perubahan status dari Desa-desa yang sudah urbanized di
perkotaan menjadi kelurahan, yang membuat roh otonomi dan demokrasi
menjadi hilang. Perubahan menjadi kelurahan memang memungkinkan
perbaikan pelayanan administratif, tetapi di balik itu sangat memudahkan
proses kapitalisasi, sebab status tanah kelurahan tidak lagi menjadi milik
rakyat melainkan menjadi milik negara. Ketika investasi akan masuk ke
ranah kelurahan, maka negara dan investor tidak lagi bernegosiasi
dengan Desa dan rakyat Desa. Dari tiga tipe Desa seperti diatas, saat ini
sebenarnya berkembang menjadi lima tipe seperti tergambar dalam Tabel
3. Tabel itu sebenarnya hendak mengatakan bahwa sebaiknya pengaturan
Desa mengakomodasi gagasan optional village dalam bentuk lima tipe
tersebut.
24
Tabel 3. Tipologi bentuk keragaman Desa di Indonesia
Tipe Desa Deskripsi Daerah Ada adat, tetapi tidak ada Desa.
Adat sangat dominan. Desa tidak punya pengaruh.
Papua
Tidak ada adat, tetapi ada Desa
Pengaruh adat sangat kecil. Desa modern sudah tumbuh kuat.
Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera
Integrasi antara Desa dan adat.
Adat dan Desa sama-sama kuat. Terjadi kompromi keduanya.
Sumatera Barat
Dualisme/Konflik antara adat dengan Desa
Pengaruh adat jauh lebih kuat ketimbang Desa. Terjadi dualisme kepemimpinan lokal. Pemerintahan Desa tidak efektif.
Bali, Kalimantan Barat, Aceh, NTT, Maluku.
Tidak ada Desa tidak ada adat
Kelurahan sebagai unit administratif (local state government). Tidak ada demokrasi lokal.
Wilayah perkotaan.
Namun di antara opsi yang beragam itu tampaknya ada beberapa
pilihan yang bersifat optional village. Dalam optional village, karakteristik
Desa meliputi: Pertama, adalah integrasi fungsi pemerintahan Desa ke
dalam pemerintahan adat sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Forum
diskusi bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara imur tampaknya juga mengarah
pada bentuk Desa yang terintegrasi itu. Adapun disain kelembagaannya
adalah sebagai berikut:
Secara prinsipil integrasi Desa dan adat (integrated village) adalah
bentuk Desa otonom (local self government), dengan tetap
mengakomodasi semangat dan pola self governing community.
Dalam integrated village, terjadi peleburan antara Desa adat dan Desa
dinas menjadi sebuah institusi yang batas-batas wilayah yang jelas.
Nomenklatur Desa disesuaikan dengan nomenklatur lokal, seperti
nagari, pakraman, lembang, negeri dan lain-lain.
25
Struktur pemerintahan integrated village mengakomodasi struktur adat
yang ada Struktur ini bukan dalam posisi dan pengertian sebagai
lembaga kemasyarakatan, tetapi sebagai struktur resmi pemerintahan
Desa. Sebagai contoh di nagari Sumatera Barat terdapat wali nagari
sebagai kepala eksekutif, Badan Perwakilan Nagari sebagai lembaga
legislatif seperti Badan Perwakilan Desa dan Kerapatan Adat Nagari
(KAN) sebagai institusi asli yang menjalankan fungsi peradilan adat
dan wadah permusyawaratan besar para penghulu adat, serta Majelis
Adat, Syarak dan Ulama sebagai lembaga pertimbangan bagi lembaga
lain yang terkait dengan adat dan agama.
Integrated village tidak mengenal dualisme kepemimpinan, melainkan
dipimpin oleh seorang pimpinan eksekutif seperti kepala Desa.
Kedua, adalah integrasi masyarakat adat dalam Desa. Dalam model ini,
nilai, istitusi, dan mekanisme yang dikenal dalam masyarakat adat
diakomodasi dalam pemerintahan Desa.
Ketiga, adalah koeksitensi antara masyarakat adat dengan Desa, dimana
masing-masing saling behubungan dan saling memperkuat. Dalam model
ini, Desa administratif menjalankan kewenangannya tanpa harus
menidakan masyarakat adat.
Keragaman desa juga dipengaruhi oleh konteks geografis dan
sosiologis. Ada Desa pedalaman, Desa agraris, Desa pegunungan, Desa
pantai dan Desa pedalaman, yang masing-masing Desa itu mempunyai
karakter sosiologis yang berbeda-beda. Keragaman Desa secara geografis
juga berpengaruh terhadap beragamnya basis penghidupan, kapasitas
lokal dan kemajuan dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan
Desa. Tipologi yang beragam ini sebenarnya tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap model stuktur pemerintahan desa sebagaimana
pengaruh yang kuat dari keragaman adat. Pengaruhnya akan terletak
pada efektivitas implementasi peraturan. Desa-Desa perkotaan yang
terbuka akan lebih cepat tersosialisasi dan lebih efektif dalam
menerapkan peraturan, sementara Desa-Desa pedalaman yang terpencil
akan mengalami kesulitan untuk menjalankan peraturan, bahkan hampir
tidak tersentuh negara.
Untuk menjawab tipologi geografis yang beragam itu dibutuhkan
beberapa skema:
26
a. Sebaiknya peraturan memuat positive list kewenangan Desa yang
bersifat optional. Tidak semua daftar kewenangan diterapkan di
seluruh Desa, melainkan Desa mempunyai kesempatan untuk memilih
kewenangan yang sesuai dengan konteks dan kapasitas lokal.
Berbagai ketentuan dan persyaratan (mulai dari pembentukan Desa,
pemilihan kepala Desa, sampai dengan keanggotaan BPD) dibuat
secara longgar atau fleksibel sehingga bisa dilaksanakan di Desa-Desa
yang under capacity.
b. Struktur keperangkatan desa juga dibuat secara fleksibel, sebagaimana
selama ini mengenal pola minimal dan maksimal, sehingga desa akan
menyusun struktur perangkat disesuaikan dengan kondisi setempat.
c. Variabel geogragis dan demografis yang sangat beragam sebaiknya
digunakan sebagai variabel penentu alokasi dana desa. Spiritnya
adalah kebijakan afirmatif untuk memberikan alokasi lebih besar pada
desa-desa yang secara geografis mengalami kesulitan dan terbelakang.
Desa di Indonesia, menurut Tarigan (2006), dikategorikan atas
swadaya, swakarya dan swasembada. Pembagian ini didasarkan atas
jumlah penduduk, fasilitas yang tersedia dan kemudahan mencapai desa
tersebut. Desa swasembada adalah yang paling tinggi hierarkinya, disusul
oleh swakarya, dan yang terendah adalah swadaya. Desa swasembada
memiliki fasilitas lengkap dan mudah dijangkau. Sebaliknya desa swadaya
adalah desa dengan fasilitas yang minim dan tidak mudah dijangkau.
Kebijakan yang diterapkan adalah bagaimana meningkatkan status desa
tersebut dengan bantuan yang seminimal mungkin dari pemerintah.
Artinya, sedapat mungkin menggerakkan partisipasi masyarakat.
Pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas yang menjadi
tanggungjawabnya, seperti jalan utama, listrik, telepon, sarana
pendidikan dan sarana kesehatan. Namun, perlu diingat bahwa
kemampuan pemerintah juga terbatas dan melihat apakah pasar setempat
akan segera memanfaatkan fasilitas tersebut atau tidak. Dengan
demikian, untuk meningkatkan status desa maka tidak cukup hanya dari
usaha pemerintah saja tetapi juga terkait dengan partisipasi atau kegiatan
ekonomi masyarakat. Banyak jenis fasilitas lain inisiatif penyediaannya
berasal dari masyarakat. Hal ini berarti peningkatan status desa erat
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi di desa tersebut. Oleh karena
27
itu, pertumbuhan ekonomi perlu dirangsang melalui pendekatan sektoral
maupun pendekatan regional, yang kebijakannya tentu berbeda dari satu
desa ke desa yang lain. Di sisi lain, perlu dilihat ciri-ciri spesifik suatu
desa dan hierarki antardesa, yaitu desa mana yang dapat berfungsi
sebagai perantara antara desa disekitarnya dengan kota, desa mana yang
dapat dijadikan pusat pelayanan untuk desa lain disekitarnya, dan desa-
desa mana yang diperkirakan bisa cepat berkembang dengan sedikit
bantuan pemerintah di masa yang akan datang. Desa yang berkembang
kemudian akan mendorong desa tetangganya untuk turut berkembang,
karena adanya keterkaitan kegiatan antardesa.
Hal paling mendasar dan universal bagi seluruh desa adalah
pengakuan dan kelembagaan hak-hak desa yang dulu mereka miliki. Yang
paling dasar adalah hak desa untuk memiliki dan mengontrol sumberdaya
alam. Desa berwenang melakukan kontrol atas pengembangan kawasan
yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Rencana Undang-
undang Pembangunan Perdesaan sebaiknya juga memberikan standar
universal yang harus ada dalam setiap opsi, yakni memasukkan nilai-nilai
demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Nilai-
nilai universal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya feodalisme
dalam tata pembangunan desa.
2.2.3 Kewenangan Desa
Kewenangan (authority) adalah suatu kekuasaan yang sah atau “the
power or right delegated or given; the power to judge, act or command”
(Ndraha, 2003: 85). Namun dalam perkembangannya, Barnard
menyarankan bahwa dalam membahas kewenangan harus
memperhatikan apakah kewenangan itu diterima oleh yang menjalankan
(whether orders are accepted by those who receive them). Dari pemahaman
ini jelas bahwa dalam membahas kewenangan tidak hanya semata-mata
memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa, namun harus
juga memperhatikan yang menjalankan dan atau menerima kekuasaan
itu. Di dalam kewenangan tentu mengandung keputusan politik (alokasi)
dan keputusan administratif (pelaksanaan) yang mencakup mengatur,
mengurus dan tanggungjawab.
28
Meski desa tetap menjadi bagian dari subsistem pemerintahan
kabupaten/kota, tetapi tidak ada teori dan azas yang membenarkan
penyerahan kewenangan/urusan dari pemerintah kabupaten/kota kepada
desa. Di sisi lain, konstitusi juga tidak menetapkan desentralisasi
kewenangan desa. Karena itu, kewenangan desa didasarkan pada azas
rekognisi dan subsidiaritas, bukan pada azas desentralisasi. Kewenangan
desa tidak lagi mengikuti skema penyerahan atau pelimpahan sebagian
kewenangan dari kabupaten/kota, melainkan dengan skema pengakuan
(rekognisi) dan subsidiaritas atas kepentingan masyarakat setempat.
Berdasarkan skema ini ada dua jenis kewenangan desa yang utama:
(a) Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara: mengelola aset
(sumberdaya alam, tanah ulayat, tanah kas desa) dalam wilayah
yurisdiksi desa, membentuk struktur pemerintahan desa dengan
mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat dan
melestarikan adat dan budaya setempat.
(b) Kewenangan melekat (atributif) mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat yang berskala lokal (desa): perencanaan
pembangunan dan tata ruang desa, membentuk struktur dan
organisasi pemerintahan desa, menyelenggarakan pemilihan Kepala
Desa, membentuk Badan Perwakilan Desa, mengelola APBDes,
membentuk lembaga kemasyarakatan, mengembangkan BUMDes, dan
lain-lain.
Selain itu, ada satu jenis kewenangan (urusan) yang bersifat
tambahan, yakni kewenangan dalam bidang tugas pembantuan (delegasi)
yang diberikan oleh pemerintah. Prinsip dasarnya, dalam tugas
pembantuan ini desa hanya menjalankan tugas-tugas administratif
(mengurus) di bidang pemerintahan dan pembangunan yang diberikan
pemerintah. Tugas pembantuan disertai dengan dana, personil dan
fasilitas. Desa berhak menolak tugas pembantuan jika tidak disertai
dengan dana, personil dan fasilitas.
29
2.2.4. Penyelenggara Pembangunan Desa
Sebagai kosekuensi pilihan yang beragam, maka pengaturan
tentang kelembagaan dan penyelenggaraan pembangunan desa dibuat
beragam juga pilihannya. Namun demikian UU ini perlu merumuskan
standar norma yang bisa dipakai sebagai acuan dalam penyelenggaraan
pembangunan desa. Standar dan norma yang harus diikuti adalah
sebagai berikut:
Pertama, Agar penyelenggaraan pembangunan desa dapat lebih
peka dalam memahami aspirasi dan permasalahan yang dihadapi
masyarakat, maka ada tujuh asas penyelenggaraan pembangunan desa
yang ditekankan, yaitu:
a. Asas kebersamaan dan gotong-royong;
b. Asas efisiensi berkeadilan;
c. Asas berkelanjutan;
d. Asas berwawasan lingkungan;
e. Asas kemandirian;
f. Asas kesetaraan;
g. Asas kemanusiaan;
h. Asas kebangsaan;
i. Asas kekeluargaan;
j. Asas bhinneka tunggal ika;
k. Asas ketertiban dan kepastian hukum;
l. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
m. Asas kreativitas;
n. Asas kearifan lokal;
o. Asas integratif;
p. Asas transparansi;
q. Asas akuntabilitas;
r. Asas efektivitas;
s. Asas responsif dan peranserta aktif;
t. Asas tanggung jawab negara;
Kedua, Penyelenggaraan pembangunan desa dilakukan oleh Badan
Perwakilan Desa, pemerintah desa dan masyarakat desa. Keanggotaan
Badan Perwakilan Desa dapat dipilih atau berdasarkan musyawarah
secara berjenjang sesuai dengan adat-istiadat dan tradisi setempat. BPD
30
mencerminkan perwakilan unsur-unsur atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat desa.
Ketiga, Penyelenggaraan pembangunan desa dipimpin oleh Kepala
Desa atau disebut dengan nama lain. Proses pengisian Kepala Desa dapat
dilakukan secara pemilihan langsung atau musyawarah warga secara
berjenjang sesuai dengan adat istiadat dan tradisi setempat. Kepala Desa
yang dipilih secara langsung memiliki masa jabatan selama 6 tahun dan
dapat dipilih kembali. Kepala Desa hanya bisa menjabat 2 kali masa
jabatan
2.2.5. Peraturan Desa
Sebagai konsekuensi atas penetapan kewenangan yang melekat
pada desa, maka desa mempunyai kewenangan (mengatur, mengurus dan
bertanggungjawab) untuk menyusun Peraturan Desa. Peraturan Desa
disusun oleh Kepala Desa dan BPD sebagai kerangka kebijakan bagi
penyelenggaraan pembangunan desa. Penyusunan Peraturan Desa
merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa,
tentu berdasarkan kepada kebutuhan dan kondisi desa setempat, serta
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai
sebuah produk hukum Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan
masyarakat desa. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa
disusun secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya
melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk
mengusulkan atau memberi masukan kepada BPD maupun Kepala Desa
dalam proses penyusunan Peraturan Desa.
2.2.6. Perencanaan Pembangunan Desa
Perencanaan pembangunan desa merupakan alternatif
komplementer atas keterbatasan perencanaan pembangunan desa. Oleh
karena itu, perencanaan pembangunan desa mempunyai posisi yang
sangat penting karena: (1) jika desa mempunyai perencanaan sendiri
(yang dibimbing dengan kewenangan desa), maka ia akan tumbuh
menjadi kesatuan pemerintahan dan masyarakat yang mandiri. Jika desa
mandiri, maka akan menngurangi beban pemerintah kabupaten dan
sekaligus mempercepat tujuan-tujuan penanggulangan kemiskinan dan
kesejahteraan rakyat, (2) perencanaan pembangunan desa menjadi
31
sebuah instrumen untuk merespon secara cepat, efisien dan efektif atas
masalah dan kebutuhan yang berskala lokal, (3) kejelasan tentang
perencanaan pembangunan desa akan menggairahkan partisipasi dan
kehidupan masyarakat desa, dan (4) perencanaan pembangunan desa
berlangsung secara dinamis, partisipatif dan menjawab kebutuhan
berskala lokal.
Perencanaan pembangunan desa bukanlah perencanaan daerah
yang berada di desa, melainkan sebagai sebuah sistem perencanaan yang
berhenti di tingkat desa atau dikelola sendiri (self planning) oleh desa serta
berbasis pada masyarakat setempat, dengan tetap mengacu pada
perencanaan pembangunan daerah yang telah ditetapkan. Perencanaan
pembangunan desa ini memiliki tujuan: (1) memotong mata rantai
prosedur perencanaan bertingkat (bottom up) yang terlalu panjang; (2)
membawa perencanaan agar dekat pada masyarakat di desa sehingga
agenda pembangunan desa menjadi lebih partisipatif dan reponsif pada
kebutuhan masarakat setempat; (3) membuat proses subsidiaritas dalam
pembangunan bekerja di level desa, sehingga bisa memperkuat
tanggungjawab, membuka proses pembelajaran dan membangkitkan
prakarsa berdasarkan potensi lokal; (4) perencanaan pembangunan desa
akan lebih efektif menempa keleluasaan, kapasitas dan kemandirian desa
dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat; (5)
membuat kepastian pelayanan publik dan pemerataan pembangunan
sampai ke level desa yang dekat dengan rakyat; (6) menciptakan
produktivitas, efisiensi dan efektivitas pembiayaan pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan desa.
Perencanaan pembangunan desa memiliki sejumlah ciri, meliputi:
a. Perencanaan pembangunan desa merupakan sistem perencanaan
sendiri (self planning) yang menjangkau urusan-urusan pembangunan
yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab desa.
b. Kewenangan desa yang sudah ditetapkan kemudian dicakup dengan
perencanaan pembangunan desa, membutuhkan dukungan dana
alokasi desa dari pemerintah.
c. Perencanaan pembangunan desa dibuat dalam bentuk rencana
strategis sebagai rencana jangka panjang, rencana pembangunan
32
jangka menengah (RPJMDes), dan rencana pembangunan tahunan
(RKPDes).
d. Perencanaan pembangunan desa merupakan sistem yang terpadu dan
dibuat sistem budgeter (budgetary system) di desa melalui skema
APBDes. Artinya, kecuali perencanaan sektoral kabupaten maupun
pelaksanaan tugas-tugas pembantuan yang menjadi domain
pemerintah supraDesa, program-program pembangunan yang bersifat
spasial dan berbasis desa sebaiknya diintegrasikan secara terpadu
dalam perencanaan pembangunan desa dan dana program-program itu
dimasukkan ke dalam APBDes (budgetary system).
e. Perencanaan pembangunan desa dikelola untuk merespons secara
dekat dan langsung berbagai kebutuhan masyarakat desa serta
diproses secara partisipatif. Forum Musrenbangdes, LPMD, RT, RW,
kelompok tani, kelompok perempuan, karang taruna, kelompok
keagamaan dan lain-lain merupakan arena yang nyata untuk
mewadahi proses perencanaan partisipatif di desa. Di internal desa,
partisipasi pembangunan mensyaratkan adanya kelembagaan yang
demokratis dalam struktur pengambilan kebijakan desa.
f. Perencanaan pembangunan desa tidak perlu dibawa atau diusulkan
naik ke atas, misalnya untuk memperoleh persetujuan. Musrenbang di
kabupaten tidak lagi digunakan untuk menilai, menyeleksi atau
menyetujui usulan dari desa. Dalam konteks perencanaan
pembangunan desa, kabupaten bertugas melakukan pembinaan,
fasilitasi dan supervisi.
g. Tanggungjawab perencanaan pembangunan desa diletakkan di tingkat
desa. Desa menyampaikan dokumen-dokumen perencanaan dan
pelaksanaannya kepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukan
pembinaan, fasilitasi dan supervisi.
2.2.7. Keuangan Desa
Keuangan Desa memegang peranan yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pembangunan desa, oleh karena itu akan diperjelas
mengenai kewenangan pendanaan dalam setiap kegiatan, penggalian
sumber pendapatan desa, pengelolaan kekayaan desa, hubungan desa-
supra desa dalam penggalian sumber pendapatan desa, perencanaan dan
33
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pembentukan dan
pengelolaan Badan Usaha Milik Desa.
Selain keuangan desa bersumber dari lokal, juga bersumber dari
pemerintah dan sumbangan pihak ketiga. Ada beberapa model transfer
uang yang masuk ke desa bagi pembangunan desa:
1. Investasi: dari pemerintah untuk pengembangan pembangunan
perdesaan. Anggaran ini merupakan kewenangan dan tanggungjawab
pemerintah.
2. Alokasi: dana desa sebagai hak desa karena menyelenggarakan
fungsinya. Alokasi Dana Desa (ADD) dialokasikan langsung dari APBN,
yang posisinya sebagai salah komponen tetap dalam dana perimbangan
yang diterima oleh kabupaten/kota. Dengan demikian dana
perimbangan yang diterima oleh kabupaten mencakup DAU, dana bagi
hasil, Dana Alokasi Khusus dan juga Alokasi Dana Desa. Jumlah ADD
untuk setiap kabupaten/kotaditentukan secara tetap namun beragam
yang didasarkan pada perbedaan kondisi geografis, demografis dan
kemiskinan.
3. Akselerasi: dana yang digunakan untuk mempercepat realisasi
perencanaan pembangunan desa. Dana akselerasi lebih sebagai
affirmative action untuk desa-desa yang masih terbelakang. Dana ini
tidak mempunyai perencanaan dan implementasi tersendiri, melainkan
menyatu (integrasi) dengan perencanaan pembangunan desa, karena
itu harus masuk dalam APBDes.
4. Insentif: dana ganjaran (reward) terhadap desa yang berprestasi dalam
menyelenggarakan fungsinya.
BUMDes merupakan alternatif yang dapat dikembangkan untuk
mendorong perekonomian desa. Melalui alternatif usaha ini, diharapkan
akan tercipta sumberdaya ekonomi baru untuk mengatasi keterbatasan
sumberdaya alam desa.
2.2.8. Lembaga Kemasyarakatan
Dalam ketentuan ini akan diatur mengenai tujuan pembentukan
Lembaga Kemasyarakatan, tata cara pembentukan Lembaga
Kemasyarakatan, tugas dan fungsi Lembaga Kemasyarakatan, hubungan
Lembaga Kemasyarakatan dengan Lembaga Desa yang lain. Lembaga
Kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk masyarakat dengan
34
prinsip-prinsip kesukarelaan, kemandirian dan keragaman.
Karakteristiknya terdiri dari lembaga kemasyarakatan yang berbasis:
kewilayahan, keagamaan, profesi, kebudayaan (termasuk adat istiadat),
kepemudaan, gender, dan kepentingan. Fungsi utama Lembaga
Kemasyarakatan adalah dalam penguatan komunitas dan social
security/ketahanan masyarakat dan dapat membantu pemerintah desa
dalam menjalankan fungsi administrasi kepemerintahan.
2.3. Pembangunan Desa
2.3.1 Definisi Pembangunan
Definisi mengenai pembangunan berkembang sesuai dengan
pemahaman mengenai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang terus berkembang. Sehingga tahapan mengenai definisi ini
berkembang mulai dari ukuran ekonomi tradisional, sampai pemahaman
yang ada saat ini.
1. Ukuran-ukuran Ekonomi Tradisional11
Menurut pengertian akademis, istilah pembangunan (development)
secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah
perekonomian nasional–yang kondisi awalnya kurang lebih bersifat
statis dalam kurun waktu cukup lama-untuk menciptakan dan
mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional
bruto atau GNP (Gross National Product)-nya pada tingkat tertentu
atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu memungkinkan. Ukuran
lain yang mirip dengan GNP adalah GDP (Gross Domestik Product).
Indeks ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur
tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan
pendapatan per kapita (income per capita) atau GNP per kapita.
Indeks ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk
memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat dari tingkat
pertumbuhan penduduknya. Tingkat dan laju pertumbuhan GNP per
kapita “riil” (yakni sama dengan pertumbuhan GNP per kapita dalam
satuan moneter dikurangi dengan tingkat inflasi) merupakan tolok
11 Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ketujuh, jilid
kesatu. Alih Bahasa Drs. Haris Munandar, M.A. Penerbit Erlangga. Jakarta.
35
ukur ekonomis yang paling sering digunakan untuk mengukur sejauh
mana kemampuan ekonomis suatu negara. Berdasarkan tolok ukur
tersebut, akan memungkinkan untuk mengetahui seberapa banyak
barang-barang dan jasa-jasa riil yang tersedia bagi rata-rata
penduduk untuk melakukan kegiatan konsumsi dan investasi.
Pembangunan ekonomi pada masa lampau juga sering diukur
berdasarkan tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan
sumber daya (employment) yang diupayakan secara terencana.
Biasanya dalam proses tersebut peranan sektor pertanian akan
menurun untuk memberi kesempatan bagi tampilnya sektor-sektor
manufaktur dan jasa-jasa yang secara sengaja senantiasa
diupayakan agar terus berkembang. Oleh karena itu strategi
pembangunan biasanya hanya berfokus pada upaya untuk
menciptakan industrialisasi secara besar-besaran sehingga kadang
kala mengorbankan kepentingan pembangunan sektor pertanian dan
daerah pedesaan pada umumnya yang sebenarnya tidak kalah
pentingnya. Jelaslah bahwa penerapan tolok ukur pembangunan
yang murni bersifat ekonomi tersebut, agar lebih akurat dan
bermanfaat, harus didukung pula oleh indikator-indikator sosial
(social indicators) non-ekonomi. Contoh indikator sosial antara lain
adalah tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan
kualitas layanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan,
dan sebagainya. Dari sekian banyak upaya-upaya untuk menciptakan
indikator-indikator sosial yang berbobot guna mendampingi indikator
GNP per kapita, yang paling menonjol adalah upaya UNDP yang
kemudian berhasil menciptakan indeks pembangunan manusia.
Menurut UNDP tahun 1990, fokus pembangunan suatu negara
adalah penduduk karena penduduk adalah kekayaan suatu negara.12
UNDP tahun 1995 memberikan sejumlah premis penting dalam
pembangunan yang dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-
pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan
mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan tidak harus terpusat
12 United Nation Development Programme. 1990. Human Development Report
1990. Oxford University Press.
36
pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek
ekonomi saja.13
2. Pandangan Baru Pembangunan
Pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an, ketika
banyak di antara negara-negara Dunia Ketiga berhasil mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki
taraf hidup sebagian besar penduduknya, menunjukkan bahwa ada
sesuatu yang salah dalam definisi pembangunan yang dianut selama
itu. Semakin lama semakin banyak ekonom dan perumus kebijakan
yang meragukan ketepatan dan keampuhan “tolok ukur GNP” sebagai
tolok ukur atas terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja
pembangunan. Mereka mulai mempertimbangkan untuk merubah
strategi guna mengatasi secara langsung berbagai masalah mendesak
seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin parah, ketimpangan
pendapatan yang semakin mencolok, dan tingkat pengangguran yang
terus melonjak. Singkatnya, selama dekade 1970-an, pembangunan
mengalami redefinisi. Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama
dari usaha-usaha pembangunan bukan lagi menciptakan
pertumbuhan GNP setinggi-tingginya melainkan penghapusan atau
pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan
pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks
perekonomian yang terus berkembang. Hal ini disebabkan
pembangunan identik dengan teori pembangunan ekonomi.
Penggantian atau penyesuaian definisi pertumbuhan yang kini lebih
didasarkan pada konsep “redistribusi kemakmuran” itu merupakan
slogan yang populer pada masa itu. Dalam konteks ini Profesor
Dudley Seers mengajukan serangkaian pertanyaan mendasar
mengenai makna pembangunan, yang kemudian berkembang
menjadi definisi baru pembangunan sebagai berikut :
“Pertanyaan-pertanyaan mengenai perkembangan pembangunan
suatu negara yang harus diajukan adalah : Apa yang terjadi dengan
kemiskinan penduduk di negara itu? Bagaimana dengan tingkat
13 United Nation Development Programme. 1995. Human Development Report
1990. Oxford University Press.
37
penganggurannya? Adakah perubahan-perubahan yang berarti yang
berlangsung atas penanggulangan masalah ketimpangan
pendapatan? Jika ketiga permasalahan tersebut selama periode
tertentu sedikit banyak telah teratasi, maka tidak diragukan lagi
bahwa periode tersebut merupakan periode pembangunan bagi
negara yang bersangkutan. Akan tetapi jika satu, dua, atau semua
dari ketiga persoalan mendasar tersebut menjadi semakin buruk,
maka tidak bisa dikatakan negara itu telah mengalami proses
pembangunan yang positif, meskipun barangkali selama kurun waktu
tersebut pendapatan per kapitanya mengalami peningkatan hingga
dua kali lipat.”14
Penegasan tersebut bukan merupakan sebuah spekulasi yang
mengada-ada ataupun sekedar deskripsi atas suatu hipotesis. Pada
kenyataannya, memang ada sejumlah negara berkembang yang
berhasil mencapai pertumbuhan pendapatan per kapita yang cukup
tinggi selama dekade 1970-an, namun masalah-masalah
pengangguran, kesenjangan pendapatan dan pendapatan riil dari
40% penduduknya yang paling miskin tidak banyak mengalami
perbaikan atau bahkan dalam banyak kasus justru semakin buruk.
Menurut definisi pertumbuhan sebelumnya, negara-negara
berkembang tersebut dikatakan sudah mengalami pembangunan.
Akan tetapi berdasarkan kriteria-kriteria pembangunan yang baru,
mengingat ketiga masalah tersebut belum diatasi secara memadai,
maka mereka tidak bisa dikatakan telah mengalami pembangunan.
Situasi yang ada pada dekade 1980-an dan permulaan dekade 1990-
an semakin buruk dengan anjloknya tingkat pertumbuhan GNP di
antara banyak negara berkembang. Karena dihadapkan pada
masalah hutang luar negeri yang demikian berat, banyak
pemerintahan negara-negara berkembang yang kemudian terpaksa
mengurangi atau bahkan menghapuskan program-program bantuan
ekonomi dan sosial yang sebenarnya sudah sangat terbatas itu.
Namun fenomena pembangunan atau adanya situasi keterbelakangan
yang kronis sesungguhnya tidak semata-mata merupakan persoalan
ekonomi atau sekedar soal pengukuran tingkat pendapatan, dan juga
14 Seers, D. 1999. The Meaning of Development, makalah yang disampaikan pada
Eleven World Conference of the Society for International Development, New Delhi.
38
tidak terbatas berupa masalah perhitungan masalah
ketenagakerjaan, atau penaksiran tingkat ketimpangan penghasilan
secara kuantitatif. Keterbelakangan merupakan kenyataan riil dalam
kehidupan sehari-hari bagi lebih dari 3 miliar orang di planet ini.
Yang dimaksud dengan keterbelakangan di sini bukan hanya angka-
angka kemiskinan nasional, melainkan juga menyangkut
keterbatasan berpikir dari penduduk miskin di negara-negara
terbelakang yang bersangkutan. Kondisinya dikemukakan secara
tepat oleh Denis Goulet berikut ini :
“Hakekat keterbelakangan itu sangat menyedihkan. Disuatu
masyarakat yang dililit keterbelakangan kita akan mudah sekali
menemukan kelaparan, penyakit, keputusasaan dan kematian yang
sebenarnya tidak perlu terjadi! Yang lebih menyedihkan lagi, orang-
orang yang terbelakang itu sendiri terkesan tidak begitu merasakan
tekanan penderitaan yang begitu hebat. Mereka tampaknya sudah
terlanjur menganggap rendahnya pendapatan mereka, buruknya
perumahan yang mereka tempati, tingginya angka kematian bayi-bayi
mereka, atau jeleknya kondisi ketenagakerjaan, sebagai nasib buruk
yang mau tidak mau harus mereka terima. Biasanya yang bisa
mengatakan secara objektif mengenai kondisi keterbelakangan adalah
para pengamat yang secara personal dan sungguh-sungguh telah
mengalami sendiri “kejutan keterbelakangan” tersebut. Kejutan
kultural unik yang menekan perasaan ini sebenarnya mudah
dibayangkan asal kita mau menghayati emosi-emosi yang terkandung
dalam “budaya kemiskinan”. Kejutan yang sebaliknya pasti akan
dirasakan oleh orang-orang yang tinggal di daerah-daerah
terbelakang ketika mata mereka terbuka pada kenyataan bahwa
kondisi hidup mereka itu sama sekali tidak manusiawi dan bisa
diubah. Sayangnya, tanpa disadari, keterbelakangan juga telah
menggerogoti emosi mereka sehingga secara personal dan sosial, hal-
hal seperti penyakit atau kematian dini dianggap sebagai hal yang
biasa. Setiap dorongan untuk memahami perubahan hanya akan
mendatangkan kebingungan dan pada akhirnya hanya akan berujung
pada sikap masa bodoh. Mereka merasa bahwa segala peristiwa yang
terjadi atas diri mereka sepenuhnya berada di luar kendali dan
mereka sama sekali tidak berdaya menghadapai bencana kelaparan
39
atau musibah alam lainnya. Kemiskinan lahir batin yang kronis
seperti itu begitu menyesakkan dan kita tidak dapat memahami
sejauh mana sakitnya kemiskinan itu jika mendekati masalah
kemiskinan hanya sebagai sebuah objek.15
3. Tiga Tujuan Inti Pembangunan16
Pembangunan merupakan sebuah kenyataan fisik sekaligus
tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin-melalui
serangkaian kombinasi praktek sosial, ekonomi dan institusional-
demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Apapun komponen
spesifik atas “kehidupan yang serba lebih baik” itu bertolak pada tiga
nilai pokok, yaitu :
1. Kecukupan : kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar.
2. Jati diri : menjadi manusia seutuhnya.
3. Kebebasan dari sikap menghamba : kemampuan untuk
memilih.
Adapun proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak
harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut :
1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai
macam barang kebutuhan hidup yang pokok-seperti pangan,
sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan.
2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa
peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penyediaan
lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta
peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan
kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk
memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga
menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang
bersangkutan.
15
Denis Goulet, The Cruel Choice : A New Concept in the Theory of Development, Atheneum, New York, 1971, hal. 23.
16 op.cit.
40
3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap
individu bangsa serta bangsa secara keseluruhan, yakni
dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba
dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau
negara-negara bangsa lain, namun juga terhadap setiap
kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai
kemanusiaan mereka.
2.3.3. Definisi Pembangunan Desa
Menurut Haeruman (1997), ada dua sisi pandang untuk menelaah
pedesaan, yaitu:
1. Pembangunan pedesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang
bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan masyarakat desa
itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar
sehingga perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang.
2. Sisi yang lain memandang bahwa pembangunan pedesaan sebagai suatu
interaksi antar potensi yang dimiliki oleh masyarakt desa dan dorongan
dari luar untuk mempercepat pemabangunan pedesaan.
Adapun sasaran pokok pembangunan pedesaan adalah terciptanya
kondisi ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara
mandiri dan berkelanjutan. Sasaran pembangunan pedesaan tersebut
diupayakan secara bertahap dengan langkah: pertama, peningkatan kualitas
tenaga kerja di pedesaan; kedua, peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah desa; ketiga, penguatan lembaga pemerintah dan lembaga
masyarakat desa; keempat, pengembangan kemampuan sosial ekonomi
masyarakat desa; kelima, pengembangan sarana dan prasarana pedesaan;
dan keenam, pemantapan keterpaduan pembangunan desa berwawasan
lingkungan.
Pembangunan desa yang selama empat dekade ini memang telah
mendongkrak mobilitas sosial masyarakat desa yang sekaligus mengubah
wajah fisik desa menjadi lebih maju, namun masih belum mampu
mendongkrak kualitas hidup individu masyarakat desa. Pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan tidak serta-merta memperkuat
fundamental ekonomi. Menurut para ekonom, saat ini Indonesia hanya
41
mampu membangun gelembung ekonomi yang rentan terhadap
perubahan ekonomi global.
Jika dipandang dari ekonomi-politik (struktural), belum optimalnya
pembangunan desa di Indonesia dikarenakan ketimpangan posisi peran
antara negara, modal, dan masyarakat. Menurut Andrew Shepherd
(1998), pembangunan desa merupakan upaya perbaikan kualitas hidup
individu maupun rumah tangga, khususnya rakyat miskin yang tertinggal
jauh akibat proses pertumbuhan ekonomi. Mengikuti paradigma
suistainable livelihood, pembangunan desa sebenarnya merupakan proses
mengubah penghidupan masyarakat desa dari kondisi yang rentan
(vulnerable) menjadi berkelanjutan (suistainable) dengan mengembangkan
aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi mampu
ditransformasikan. Penghidupan masyarakat adalah suatu kemampuan
daya hidup yang dimiliki baik itu secara material dan sosial, yang
diwujudkan dalam berbagai kegiatan guna memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Pembangunan desa bersifat multidimensional, yaitu mengarah pada
perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagi rakyat desa
menggali pendapatan dan pembangunan ekonomi desa, perbaikan
infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosial dan keamanan fisik
komunitas warga desa, memperkuat kapasitas desa dalam mengenlola
pemerintahan dan pembangunan, membuat demolkrasi dalam proses
politik di desa, serta mengatasi kerentanan (sosial, ekonomi dan politik)
masyarakat desa.
Pembangunan desa berkelanjutan memiliki hubungan paralel
dengan culturally based development atau indigenous development yang
peka terhadap aspek kearifan lokal. Pembangunan desa ini tidak
bergerak dalam ruang hampa politik. Proses politik muncul manakala
timbul komitmen, perencanaan, pendanaan, maupun partisipasi
masyarakat desa dalam melaksanakan pembangunan desa.
Di setiap desa perlu ditetapkan delineasi desa, yaitu wilayah yang
dijadikan pemukiman dan wilayah budidaya. Perlu diperhatikan
kemampuan lahan dan efisiensi jaringan penghubung antara wilayah
pemukiman dengan wilayah budidaya serta hubungan keluar dari desa
tersebut.
42
2.3.4 Sejarah Pembangunan Desa di Indonesia
Model pembangunan di Indonesia selama 40 tahun terakhir
didesign secara terpusat dan teknokratis oleh Bank Dunia. Selama 20
tahun (1970-an hingga 1990-an), Bank Dunia menerapkan model
pembangunan desa terpadu (Integrated Rural Development/IRD). IRD yang
dipengaruhi oleh modernisasi (developmentalisme), secara substantif
mengusung beberapa keyakinan:
1. IRD berupaya memacu pertumbuhan ekonomi desa di sektor pertanian
melalui Revolusi Hijau, yakni dengan cara menyediakan paket lintas
sektoral sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman, dengan
didukung oleh penyuluhan, pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek-
proyek infrastruktur desa.
2. Pembangunan dippimpin oleh negara (State Led Development). Negara
berposisi kuat dan berperan aktif, dengan model birokrasi yang
hierarkis dan terpusat, melancarkan pembangunan desa: perencanaan,
pendanaan, pemebrian bantuan, distribusi sosial, dan lain-lain.
3. Transfer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju.
4. Menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiaries).
5. Otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena
pertumbuhan.
Program IRD secara tipikal menekankan peningkatan produktivitas
pertanian sebagai basis pendapatan orang desa, sekaligus
mengedepankan kontribusi yang terpadu (sinergis) pendidikan, kesehatan,
pelayanan sosial, pelatihan dan perbaikan infrastruktur pedesaan. Pada
saat itu, pembangunan desa ditempatkan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional, bukan sebagai local development apalagi sebagai
indigenous development yang memperhatikan berbagai kearifan lokal.
Namun model IRD memiliki berbagai kelemahan dan kegagalan
dalam pelaksanaannya walaupun secara fisik banyak desa yang telah
berubah sejak tahun 1970an. Kelemahan dan kegagalan itu diantaranya:
1. Pola pembangunan yang sentralistik telah memperlemah kapasitas
pemerintah daerah dan desa, sekaligus menciptakan ketergantungan
desa dan daerah kepada pemerintah pusat.
43
2. Pola modernisasi dan transfer teknologi yang secara seragam telah
menumpulkan kreavitas lokal dan membunuh kearifan tradisional
yang dimiliki masyarakat desa.
3. Pembangunan desa menciptakan tradisi “proyek”, rente dan korupsi
dalam tubuh birokrasi.
4. Pola pembangunan miskin semangat pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat.
5. otoritarianisme menciptakan stabilitas politik jangka pendek, tetapi hal
itu telah menumpulkan semangat kewargaan (hak dan kewajiban
warga).
Setelah kegagalan IRD, muncul model “Pembangunan Berpusat
pada Rakyat (PBR)” ke permukaan. Model ini merupakan koreksi total
terhadap pendekatan “Pembangunan Berpusat pada Pertumbuhan ” (PBP).
David Korten (1988), menyebutkan ciri-ciri PBR sebagai berikut:
1. Logika yang digunakan mengenai suatu ekologi manusia yang
seimbang.
2. Sumber daya utama berupa sumber daya informasi dan prakarsa
kreatif yang tak habis-habisnya.
3. Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan
sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia.
Pada tahun 1990-an muncul paradigma Penghidupan Desa
Berkelanjutan. Paradigma Penghidupan Desa Berkelanjutan (suistainable
rural livelihood) memahami penghidupan masyarakat desa dari kondisi
yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (suistainable) dengan
mengembangkan aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi
mampu ditransformasikan. Konsep dasar dari suistainable rural livelihood
sebagai berikut:
1. Masyarakat sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people
centered).
2. Pendekatan menyeluruh berangkat dari pemahaman dan kepentingan
masyarakat (holistic).
3. Mengembangkan proses monitoring dan pembelanjaran oleh
masyarakat maupun pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan
tersebut.
4. Lebih melihat bagaimana kekuatan dapat dibangun daripada
menganalisis kebutuhan (building on strengthts).
44
5. Adanya keterkaitan makro dan mikro dalam proses perubahan dan
pengembangan (macro-micro link).
6. Memperhatikan kelangsungan dan keberlanjutan suatu proses dan
hasil dalam suatu siklus yang diharapkan tidak terputus atau
mengalami goncangan yang menyebabkan terjadi keruntuhan atau
kemunduran.
Pada saat yang sama, Bank Dunia juga melakukan otokritik dan
revisi terhadap IRD, yang kemudian melahirkan pembangunan desa
berbasis masyarakat (community based rural development/CBRD). CBRD
mengusung beberapa keyakinan, diantaranya:
1. Minimalisasi negara dalam pelaksanaan pembangunan desa.
2. Menekankan partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan program.
CBRD memberi ruang keterlibatan (involvement) unsur-unsur
masyarakat sipil seperti NGOs maupun konsultan pembangunan dalam
pelaksanaan. CBRD juga mengundang elemen swasta untuk terlibat
melaksanakan proyek-proyek pembangunan desa.
CBRD mengusung model kemitraan antarsektor atau antaraktor
dalam pengelolaan pembangunan desa. CBRD memasukkan unsur-unsur
good governance (transparansi, akuntabilitas dan partisipasi) sebagai
spirit dan kerangka kerja pembangunan desa.
Pada tahun 1993, muncul kebijakan baru bersamaan dengan CBRD
di bidang pengentasan kemiskinan melalui Program Inpres Desa
Tertinggal (IDT), yang titik pandangnya berbeda dengan kebijakan
sebelumnya. Pada prinsipnya IDT mengandung tiga pengertian dasar,
yaitu:
1. Sebagai pemicu gerakan nasional penanggulangan kemiskinan.
2. Sebagai strategi dalam peningkatan pemerataan melalui pembangunan
sumber daya manusia di pedesaan.
3. Sebagai upaya konkret mengembangkan usaha-usaha ekonomi rakyat
dengan pemberian bantuan berupa modal kerja sebesar Rp 20 juta
untuk setiap desa tertinggal. (Mubyarto, 1994).
Meskipun pembangunan masyarakat desa mengusung cara
pandang baru, tetapi implementasi di lapangan tetap sama saja.
Pembangunan desa, sampai sekarang masih tetap dimaknai dan
45
dipraktikkan sebagai proyek pengadaan dan perbaikan sarana fisik,
bukan pembangunan masyarakat atau manusia.
2.3.5 Penelitian Mengenai Pembangunan Desa di Indonesia
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Studi
Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor dan
BAPPENAS tahun 2004, maka:
1. Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang.
Desa Kalibuaya memiliki wilayah yang strategis dengan adanya jalan
yang dapat mengakses dengan mudah ke kecamatan lain, ke Ibukota
Kabupaten (Kota Karawang) dan ke Ibukota Negara (Jakarta). Sebagian
besar Desa Kalibuaya merupakan areal persawahan yang mencapai
90% luas desa atau seluas 4,48 km2. Areal persawahan tersebut
sebagian besar diusahakan atau dikerjakan oleh penduduk setempat,
sehingga penduduk Desa Kalibuaya merupakan masyarakat petani.
Kabupaten Karawang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat
yang menjadi gudang beras nasional. Oleh karena itu sangat wajar
beberapa desa di kabupaten ini merupakan penghasil beras. Adapun
nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Karawang
adalah sebesar Rp 2.627,8 milyar pada tahun 2000. sumbangan
terbesar untuk PDRB Kabupaten Karawang berasal dari sektor industri
pengolahan yang sebesar 32,8%. Sumbangan terbesar bagi sektor
pertanian diberikan oleh subsektor tanaman pangan, khususnya padi
karena didukung oleh luas lahan yang digarap mencapai seratus ribu
hektar lebih, dan merupakan areal terluas ke dua setelah Kabupaten
Indramayu.
Adapun yang bekerja sebagai pengrajin di Desa Kalibuaya umumnya
memproduksi keperluan alat–alat rumah tangga yang terbuat dari
kayu, bambu dan bahan lainnya yang tersedia di wilayah desa dan
sekitarnya. Hasil produksi home industry tersebut dijual ke luar desa
atau luar kecamatan, sehingga produk tersebut memiliki nilai tambah
bagi pendapatan Desa Kalibuaya.
Pada usaha pertanian tanpa melakukan diversifikasi usaha, sehingga
pendapatan ekonomi tumah tangga sangat tergantung kepada hasil
produksi padinya. Hal ini akan berakibat fatal apabila terjadi kegagalan
46
produksi (panen), yang secara langsung akan menurunkan pendapatan
ekonomi keluarga. Hanya sebagian golongan kecil petani yang
melakukan diversifikasi usaha rumah tangganya selain bertani, yaitu
dengan menjadi pengrajin atau pedagang di desanya, sehingga apabila
terjadi kegagalan panen, golongan ini relative “aman“ dengan
pendapatan cadangan (reserve income) yang dimiliki dari diversifikasi
usahanya.
Dilihat dari faktor pendukung berupa kondisi jalan, jalan utama di
Desa Kalibuaya merupakan jalan kabupaten dengan kondisi jalan
beraspal baik dan termasuk jalan golongan IV, sedangkan jalan desa
beraspal dengan kondisi baik. Kondisi jalan tersebut sangat
mendukung kelancaran pengangkutan sarana produksi dan hasil
produksi desa, begitu pula dengan sarana transportasi. Faktor
pendukung fisik lainnya, berupa sarana komunikasi yang tersedia,
relative mudah untuk ddiakses dengan adanya jaringan telepon yang
menyebar di wilayah desa. Jaringan listrik PLN telah menyebar ke
seluruh desa dan sebagian besar rumah penduduk telah menggunakan
nya. Sarana media massa cetak, berupa surat kabar dan majalah yang
beredar di Desa Kalibuaya, ketersediaannya sangat terbatas. Hal ini
disebabkan oleh permintaan masyarakat akan media cetak tersebut
masih rendah.
Sedangkan infrastruktur ekonomi, seperti pasar dan perbankan tidak
terdapat di Desa Kalibuaya. Namun penduduk dapat mengakses ke
dua lembaga ekonomi tersebut di ibukota kecamatan. Karena
mudahnya sarana transportasi dari dan ke Desa Kalibuaya, untuk
sarana fisik bagi pendidikan ada terdiri dari dua unit Sekolah Dasar
(SD). Sedangkan SLTP dan SLTA berada di ibukota kecamatan
Telagasari. Sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat Desa
Kalibuaya berupa Puskesmas dan Balai Pengobatan Umum relatif
mudah dan murah. Saluran irigasi teknis untuk areal persawahan
yang terdapat di Desa Kalibuaya, sangat mendukung usaha pertanian
masyarakatnya, dapat mengairi sawah milik petani sebanyak dua kali
dalam setahun, sehingga memberikan kesempatan kepada petani
untuk melakukan penanaman padi sebanyak dua kali dalam satu
masa tanam (satu tahun). Pengairan areal sawah dilakukan secara
47
bergilir sesuai jadwal yang ditentukan oleh pihak pemerintah
kabupaten.
Dukungan Pemerintah Daerah Karawang bagi masyarakat Desa
Kalibuaya, umumnya dilaksanakan pemeliharaan dan penyediaan
sarana dan prasarana fisik publik, seperti pemeliharaan jalan,
pemeliharaan saluran irigasi, penambahan saluran telepon,
penambahan sarana pelayanan kesehatan beserta tenaga medisnya.
Selain dukungan secara fisik, pemerintah daerah setempat saat ini
memberikan pula dukungan non fisik, seperti pemberian kredit
pertanian (Kredit Ketahanan Pangan) pada para petani, yang dimuali
pada awal tahun 2000.
Status dan luas kepemilikan sawah menjadi dasar bagi penggolongan
tingkat ekonomi, kondisi ekonomi petaninya, karena hal ini erat
kaitannya dengan kemampuan petani dalam pengolahan sawahnya.
sebagian besar petani adalah petani dengan luasan dibawah
kepemilikan 0,5 Ha dan sebagian lagi adalah petani penggarap. Kondisi
ini menunjukkan bahwa sebagian penduduk termasuk golongan
miskin pedesaan, dan sebagian kecil saja yang termasuk golongan
ekonomi mampu.
Pada saat ini terdapat Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dianggap
sebagai pengganti LKMD pada masa lalu. Lembaga ekonomi terutama
lembaga keuangan yang ada adalah koperasi Unit desa (KUD), namun
kegiatan dan keberadaanya hingga saat ini relatif tidak berperan bagi
masyarakat. Dalam usaha untuk mengembangkan potensi masyarakat
desa, diperlukan bantuan teknis dan finansial yang relatif lebih longgar
dan luwes dalam prosedur mendapatkannya, sehingga petani memiliki
kesempatan luas untuk mengembangkan usahanya.
2. Desa Sipatuo , Kecamatan Patampua , Kabupaten Pinrang
Desa Sipatuo ini mempunyai wilayah sebesar 63,39 km2 dengan
jumlah jiwa sebanyak 2.628 jiwa pada tahun 2001 sehingga kepadatan
penduduknya adalah 41 jiwa/km2, dan lokasinya berjarak sekitar 3 km
dari ibukota kecamatan sedangkan ke ibukota kabupaten sekitar 18
km.
48
Potensi desa yang dihitung berdasarkan keseluruhan sumber daya
yang dimiliki atau yang digunakan oleh desa baik sumber daya alam,
penduduk, kelembagaan, dan sarana/prasarana, maka desa ini
termasuk dalam kategori sedang, sedangkan apabila ditinjau dari segi
potensi pengembangan, maka desa ini mempunyai prospek dalam
potensi pengembangan pekerbunan khususnya perkebunan rakyat
kakao.
Sebagian besar penduduk desa Sipatuo bermata pencaharian dalam
sektor pertanian (95%) khususnya sawah dan berkebunan kakao, hal
ini didukung dengan sebagian besar wilayah desa ini adalah
perkebunan dan persawahan. Sedangkan sisanya bermatapencaharian
sebagai PNS (1%), Pedangan (1%), penyedia jasa angkutan (2%) dan 1%
untuk aktivitas lainnya (pengrajin, buruh tani).
Ditinjau dari faktor pendukung wilayahnya, pada prasarana jalan,
Kabupaten Pinrang mempunyai jalan sepanjang 781,97 km dan
sepanjang 149,36 km atau sekitar 19,10 % dalam kondisi rusak dan
rusak berat, sedangkan jalan desa yang melintasi desa ini yang
menghubungkan dengan Desa Malimpung sepanjang kurang lebih 2
km kondisinya beraspal dan relatif baik, namun untuk jalan yang
menghubungkan antar dusun masih jalan tanah dan batu. Sedangkan
jalan-jalan yang menghubungkan rumah mereka dengan kebunnya
kondisinya masih jalan tanah dan bila hujan, jalan tersebut hanya
dapat dijangkau dengan jalan kaki. Kondisi ini dapat mempengaruhi
aliran input produksi dan hasil perkebunan dan pertanian dari
penduduk tersebut.
Pada sarana perhubungan, sebagai alat transportasi desa ini adalah
ojek, angkutan desa dan pick up yang banyak mereka gunakan untuk
berbagai aktivitas termasuk untuk menjual hasil pertanian dan
perkebunan.
Pada infrastruktur ekonomi, faktor ini dapat menunjang
perkembangan perkebunan rakyat, namun di desa ini tidak memiliki
fasilitas ekonomi yang dapat menunjang perekonomian desa seperti
pasar dan lembaga keuangan, namun penduduk desa dapat
memanfaatkan ke dua lembaga ekonomi tersebut di Kelurahan
Benteng.
49
Pada sarana komunikasi, berdasarkan pengamatan di lapangan
saluran telepon di desa ini belum ada, namun masyarakat di desa ini
sering memanfaatkan wartel (Warung Telekomunikasi) sebagai alat
komunikasi yang berada di luar Desa Sipatuo yaitu Kelurahan
Benteng.
Ditinjau dari dukungan Pemerintah Daerah, Pemda Kabupaten Pinrang
mengalokasikan anggaran pembangunan untuk sub sektor
perkebunan sebesar Rp 874,04 juta atau 1,41 % dari total APBD
sebesar Rp 76,84 Milyar (BPS Kabupaten Pinrang, 1999 dan 2000),
sedangkan untuk Tahun Anggaran 2002, alokasi dana yang diberikan
untuk pengembangan perkebunan sebesar Rp 107 juta atau 0,064%
dari total APBD sebesar Rp 165,61 Milyar, sehingga terjadi penurunan
anggaran untuk kegiatan perkebunan untuk Tahun Anggaran 2002
dibandingkan Tahun Anggaran 2000.
Untuk mendukung kegiatan perkebunan, sub dinas perkebunan
dibantu 2 kantor Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) dan 1 Kantor
Unit Pelayanan Pengembangan Teknis (UPPT), selain dukungan dari
pemerintah, pihak pengusaha industri kakao yang tergabung dalam
ASKINDO (Asosiasi Kakao Indonesia) juga memberikan bantuan dana
untuk meningkatkan kualitas dari petani kakao.
Kondisi sosial masyarakat Desa Sipatuo adalah desa yang mempunyai
tingkat kemiskinan yang paling tinggi, dari jumlah penduduk sebanyak
2.628 jiwa atau 561 KK terdapat 232 KK atau 41,36 % merupakan
kepala keluarga yang tergolong miskin., dari sisi pendidikan adalah
70% berpendidikan SD ke bawah, masyarakat Desa Sipatuo
kebanyakan berasal dari Suku Bugis, salah satu ciri khas yang dapat
ditemui pada masyarakat yang mencerminkan status sosial di antara
mereka adalah nama mereka.
Kondisi ekonomi, dari sisi penguasaan asset lahan, petani yang
memiliki dan menggarap lahan perkebunannya sendiri ada sebanyak
89,63 % dan sisanya sebagai petani penggarap. Sedangkan petani yang
memiliki dan menggarap lahan sawahnya sendiri ada sebanyak 79,35
% sedangkan sisanya sebagai petani penggarap. Kisaran lahan
perkebunan yang mereka miliki dan digarap oleh mereka sendiri antara
50
0,2-0,8 ha per kepala keluarga, sedangkan lahan sawah yang mereka
miliki dan digarap sendiri antara 0,6-1,6 ha per kepala keluarga.
Dari sisi produktivitas dari kedua komoditas perkebunan kakao dan
sawah, maka rata-rata kako kering yang dihasilkan adalah 466
kg/ha/tahun sedangkan padi yang dihasilkan rata-rata per hektar per
musim adalah 6-7 ton/ha.
Dari sisi kelembagaan, kelembagaan yang berkembang di Desa Sipatuo
adalah kelompok tani dan koperasi, namun perkembangan dari
kelompok ini tidak bagus dan cenderung pasif. Peran Lembaga
Masyarakat Desa (LMD) tidak begitu jelas terlihat namun yang
berperan lebih kuat adalah kepala desa dan tokoh masyarakat.
3. Desa Kertawangi , Kecamatan Cisarua , Kabupaten Bandung.
Desa ini mempunyai luas sepertiga dari luas Kecamatan Cisarua, yaitu
13,61 km2 sedangkan jumlah penduduk yang mendiami desa tersebut
adalah sebanyak 8.807 jiwa pada tahun 2001. Sehingga kepadatannya
adalah sebesar 648 jiwa/km2.
Topografi desa ini adalah berbukit-bukit dengan ketinggian rata-rata
diatas 1.200 meter dari permukaan bumi. Rata-rata penduduk desa
tersebut selain mengelola sawah dan kebun juga memelihara sapi
perah antara 2-5 ekor.
Dari dukungan sektor ekonomi terhadap wilayah, terdiri atas
kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto), faktor pendukung wilayah dan faktor dukungan pemerintah
daerah.
Pada kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, sector pertanian
memberikan kontribusi sebesar 10,1 % terhadap PDRB Kabupaten
Bandung, sektor industri pengolahan sebesar 50,5 % dan kemudian
sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 14,8 %, namun bila
dilihat dari pertumbuhan rata-rata, hampir seluruh sektor mengalami
penurunan. Salah satu penyebabnya adalah krisis ekonomi yang
melanda Indonesia. Hampir seluruh sektor perekonomian terpuruk
akibat melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar.
Dilihat dari potensi pertanian, Kabupaten Bandung relatif masih cukup
berpotensi untuk terus dikembangkan. Salah satu subsektor pertanian
51
yang berpotensi untuk terus dikembangkan adalah peternakan
khususnya peternakan sapi perah, dimana kabupaten ini memiliki
jumlah sapi perah terbanyak di Jawa Barat yakni mencapai 52,27 %
dari total populasi sapi perah.
Sebagaimana disebutkan diatas, Desa Kertawangi merupakan salah
satu desa yang telah lama bermata pencaharian dari pertanian dan
peternakan sapi perah. Adapun prosentase penduduk yang bekerja
sebagai petani adalah sebanyak 78 %, sebagai pedagang 12 %,sebagai
pekerja industri 2 %, penyedia jasa angkutan 5 %, dan lain-lain (PNS,
pengrajin) sebanyak 3 %. Faktor pendukung wilayah, prasarana jalan
relatif baik dan beraspal sepanjang 3 km ke Kota Cimahi, namun
sebagian jalan di permukiman-permukiman masih jalan batu dan
tanah, sedangkan tempat penampungan susu dari peternak berada di
dekat kantor desa sehingga para peternak harus berjalan jauh guna
mengantar susunya ke tempat penampungan susu tersebut, sarana
perhubungan yang sering digunakan adalah angkutan perdesaan, pick
up dan ojek. Infrastruktur ekonomi yaitu lembaga keuangan dan
fasilitas pasar tidak terdapat di Desa Kertawangi, namun peternak
lebih sering mengandalkan koperasi susu untuk meminjam modal atau
mengambil pembayaran hasil penjualan produksi susunya, sarana
komunikasi telah masuk ke desa tersebut namun tidak seluruh
sambungan telepon dapat memasuki permukiman penduduk karena
kondisi daerah yang topografinya berbukit dan belum banyak
penduduk yang berkeinginan untuk memasang telepon, infrastruktur
pendukung lainnya seperti air dan jaringan listrik telah tersedia
semua.
Faktor dukungan dari Pemerintah Daerah yaitu Dinas Peternakan
Kabupaten Bandung bekerjasama dengan Koperasi Susu Sarwamukti
sering mengadakan penyuluhan mengenai peningkatan kualitas susu
dari petani juga penyediaan Balai Inseminasi dari Departemen
Pertanian yang menyediakan semen beku bagi peternak sapi perah
yang bekerjasama dengan Koperasi Sarwamukti.
Kondisi sosial masyarakatnya relatif homogen dimana kebanyakan
sebagai petani dan kesenjangan diantara golongan ekonomi lemah dan
mampu tidak begitu menonjol di desa tersebut, dilihat dari sisi tingkat
52
pendidikan, rata-rata kepala keluarga petani di desa tersebut adalah
42 % lulusan SD dan tidak tamat SD, 38 % menamatkan sampai
sekolah menengah pertama dan 16 % menamatkan sekolah menengah
atas, sedangkan 4 % menamatkan pendidikannya sampai dengan
setingkat akademi dan universitas. Kondisi ekonomi, pendapatan
petani dari peternakan sapi adalah rata-rata Rp 825 ribu per bulan dan
pendapatan petani dari hasil pertanian terutama sayuran dan padi
rata-rata Rp 292 ribu per bulan, dengan demikian pendapatn petani
dari peternakan sapi perah dan hasil pertanian adalah Rp 1,117 juta
per bulan.
Kelembagaan ekonomi yang cukup menonjol di desa tersebut adalah
Koperasi Sarwamukti, dimana koperasi ini sangat berperan besar
dalam penampungan produk susu dari petani, bahkan koperasi ini
sering dijadikan oleh wakil para peternak untuk melakukan negosiasi
dengan pihak industri pengolahan sapi, namun dilain sisi peran
Lembaga Masyarakat Desa (LMD) relatif kecil karena yang lebih
berperan adalah kepala desa, tokoh masyarakat, pemuka masyarakat
dan pihak koperasi dan biasanya para tokoh masyarakat tersebut tidak
pernah membawa nama lembaga dalam rapat-rapat desa.
4. Desa Sukasirna, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi
Jumlah penduduk yang mendiami desa tersebut adalah sebanyak
8.435 jiwa atau 1.965 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut 1.226
kepala keluarga tergolong keluarga miskin (62,39 %), dan desa tersebut
terbadi atas 3 dusun, 13 Rukun Warga dan 38 Rukun tetangga.
Dari dukungan sektor ekonomi terhadap wilayah, terdiri atas
kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto), faktor pendukung wilayah dan faktor dukungan pemerintah
daerah.
Pada kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, sektor pertanian
memberikan kontribusi sebesar 36,5 % terhadap PDRB Kabupaten
Sukabumi disusul, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan,
hotel dan restoran. Adapun kontribusi pada sektor pertanian adalah
22,5 % subsektor tanaman bahan makanan, subsektor perkebunan
(5,6 %) dan subsektor peternakan (5,4 %).namun bila dilihat dari
pertumbuhan rata-rata, hampir seluruh sektor mengalami penurunan.
53
Salah satu penyebabnya adalah krisis ekonomi yang melanda
Indonesia. Hampir seluruh sektor perekonomian terpuruk akibat
melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar.
Jika ditinjau dari sisi mata pencaharian masyarakat Desa Sukasirna
adalah 58 % bergerak dalam sektor pertanian, satu persen dalam
sektor pertambangan, 2,9 % dalam bidang industri, 3,6% dalam sektor
pembangunan, 16,9 % bergerak dalam sektor perdagangan, 4,5 %
bergerak dalam sektor angkutan dan 12,2 % bergerak dalam sektor
jasa-jasa. Dengan demikian dapat dikatakan lebih dari setengah
penduduk desa tersebut berprofesi sebagai petani.
Faktor pendukung wilayah, prasarana jalan relatif baik dan beraspal
sepanjang 3 km ke kota kecamatan, sedangkan jalan menuju
permukiman-permukiman masih berupa jalan tanah, sarana
perhubungan yang ada di desa tersebut adalah angkutan perdesaan
dan ojek yang sangat berperan penting sebagai alat transportasi,
infrastruktur ekonomi berupa lembaga keuangan dan pasar di desa
tersebut tidak ada, akan tetapi penduduknya lebih sering ke ibu kota
kecamatan karena jaraknya yang tidak terlampau jauh dari desa
tersebut, sarana komunikasi telah masuk di desa tersebut walaupun
baru sedikit yang mempunyai telepon dan untuk keperluan
komunikasi lebih banyak memanfaatkan warung telekomunikasi yang
ada di desa tersebut, infrastruktur pendukung lainnya yaitu fasilitas
air minum dan jaringan listrik telah memasuki seluruh permukiman,
namun untuk kebutuhan air minum diperoleh dari mata air.
Faktor dukungan dari pemerintah daerah yaitu adanya penyuluhan
yang dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan yang melakukan
pembinaan pada petani-petani ladang, selain itu juga pemerintah
memberikan program fasilitasi pembentukan kelompok tani khususnya
untuk kelompok tani palawija khususnya untuk ubi kayu dan jagung
pada lahan kering, selain dukungan pemerintah, pihak PTPN VIII
selaku perusahaan BUMN memberikan bantuan berupa penyewaan
lahan yang tidak terpakai untuk perkebunan.
Kondisi sosial masyarakat desa tersebut tergolong salah satu desa yang
banyak kepala keluarganya miskin (sebesar 62,39 %) di Kecamatan
Cibadak, dari tingkat pendidikan untuk kepala keluarga tergolong
54
rendah yaitu 65,79 % berpendidikan SD dan tidak sekolah, 33,33 %
berpendidikan sekolah menengah dan sisanya berpendidikan setingkat
akademi.
Kondisi ekonomi, sebagian besar petani di desa tersebut hanya
memiliki kurang dari 0,5 ha, selain itu mereka juga menyewa lahan-
lahan kering dari PTPN VIII rata-rata seluas 1.472 m2 dengan harga Rp
5.000/tahun/400 m2 dengan lama sewa lahan untuk masing-masing
kepala keluarga adalah selama 3 tahun. Rata-rata penerimaan petani
dari beberapa sumber pendapatan dalam satu bulannya adalah
sebesar Rp 320.000.
Kelembagaan, sebagaimana disebutkan diatas bahwa infrastruktur
perekonomian seperti bank dan pasar tidak terdapat di desa tersebut,
begitu juga koperasi. Sedangkan Badan Perwakilan Desa sebagai
pengganti Lembaga Masyarakat Desa keberadaannya belum dapat
dirasakan oleh masyarakat dan selama ini yang cukup berperan adalah
kepala desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
5. Desa Gempolsewu , Kecamatan Rowosari , Kabupaten Kendal.
Desa Gempolsewu berada di Kecamatan Rowosari yang berjarak ± 55
km arah barat dari kota Semarang, dan berbatasan langsung dengan
laut jawa di sebelah utara, pada desa ini mempunyai Pusat Pendaratan
Ikan (PPI) Tawang, yang merupakan Pelabuhan Perikanan bertipe C
atau pelabuhan perikanan yang dipunyai daerah tingkat II.
Dengan keberadaan PPI Tawang di desa tersebut, maka menjadikan
sebagian besar penduduknya berusaha dibidang perikanan atau
sebagai nelayan dengan komposisi 4.083 orang (68,78%), buruh tani
722 orang (12,16%), buruh industri dan bangunan 482 orang (8,12 %),
petani 441 orang (7,43 %), dan sebagai pengusaha 210 orang (3,54 %).
Jika terjadi hujan, maka desa tersebut tidak pernah terlepas dari
banjir, yang disebabkan oleh karena genangan luapan air dari sungai
Kalikuto yang mencapai ketinggian ± 1 meter.
Dari dukungan sektor ekonomi terhadap wilayah, terdiri atas
kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto), faktor pendukung wilayah dan faktor dukungan pemerintah
daerah.
55
Pada kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, sektor industri
pengolahan memberikan kontribusi relatif share yang tinggi
dibandingkan sektor lain yaitu sebesar 42,58 % terhadap PDRB
Kabupaten Kendal disusul, sektor pertanian rata-rata 24,7 % dengan
sub sektor bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan
pertanian, namun untuk subsektor perikanan hanya memberikan
kontribusi 1,99 % pada tahun 1999, padahal subsektor ini menyimpan
potensi yang sangat besar mengingat keberadaan fasilitas Pusat
Pendaratan Ikan.
Faktor pendukung wilayah, untuk infrastruktur sarana dan prasarana
perikanan dari segi kepemilikannya sebagian besar berusaha dengan
menggunakan motor tempel, padahal apabila digunakan untuk
menangkap ikan di perairan hanya akan mempunyai jangkauan yang
terbatas, sedangkan untuk unit-unit penangkapan ikan mempunyai
fishing base namun berukuran relatif kecil sehingga hanya
memungkinkan beroperasi di wilayah perairan pantai dengan waktu
melaut hanya satu hari, pada infrastruktur pertanian yang mendukung
usaha tani masyarakat desa tersebut adalah adanya saluran irigasi
teknis bagi areal pesawahan seluas 88,44 hektar (18,69 %), pada
infrastruktur pendidikan dan kesehatan yaitu terdapatnya 6 unit SD
swasta dan 1 unit SLTP swasta namun tidak mempunyai SLTA,
disamping itu untuk tingkat pendidikan desa Gempolsewu sebagian
besar tamat SMP yaitu sebanyak 3.946 penduduk (40,71 %) sedangkan
untuk tamatan SD sebanyak 2.801 penduduk (28,89 %) dan SLTA
sebanyak 631 penduduk (6,51%).
Faktor dukungan dari pemerintah daerah sangat kurang sekali, hal ini
dapat dilihat sampai dengan saat ini belum adanya program-program
yang memberdayakan masyarakat nelayan yang bergerak dibidang
perikanan, berbeda dengan bidang pertanian yaitu adanya Bimas,
Inmas,Insus, KUT dan lain-lain, program yang hadir hanya Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) dan terakhir adanya program Protekan (Program
peningkatan Ekspor Perikanan) pada tahun 2003.
Kondisi sosial masyarakat Desa Gempolsewu yang tergolong
prasejahtera sangat mendominasi yaitu sebanyak 1.395 keluarga atau
52,60 % kemudian keluarga sejahtera II/III sebanyak 907 keluarga
56
atau 34,20 % dan keluarga sejahtera I sebanyak 350 keluarga atau
13,20 %, sedangkan dari sisi kepemilikan rumahnya sebagian besar
tergolong tidak permanent atau masih dalam bentuk papan yaitu
sebanyak 1.396 rumah atau 55,86 %, hal ini mengindikasikan bahwa
masyarakat Gempolsewu tidak mampu membeli rumah yang permanen
dan semi permanen dengan demikian tergolong miskin.
Kelembagaan, satu-satunya lembaga dan fasilitas yang dimiliki nelayan
Desa Gempolsewu adalah adanya Tempat pelelangan Ikan (TPI)
Tawang, dan untuk setiap nelayan yang masuk de desa tersebut
diwajibkan menjual hasil tangkapannya di TPI Tawang.
6. Desa Bangunjiwo , Kecamatan Kasihan , Kabupaten Bantul.
Desa Bangunjiwo memiliki luas wilayah 15,43 km2, dengan jumlah
penduduk sebesar 19.185 jiwa sehingga kepadatan penduduknya
sebesar 1.243 penduduk/km2. Luas wilayah tersebut sebesar 1.077,78
hektar (66,80 %) diperuntukan bagi permukiman dan perumahan
penduduk, sedangkan sisanya untuk sawah sebesar 322 hektar (19,96
%) dan untuk jalan sebesar 95,84 hektar (5,94 %), sedangkan dari sisi
mata pencahariannya, maka 88,29 % merupakan perajin gerabah dan
keramik sedangkan mata pencaharian yang lain prosentasenya tidak
mencapai 10 %, hal ini terjadi karena tanah yang ada di desa tersebut
sangat mendukung terhadap usaha pembuatan gerabah dan keramik.
Dari dukungan sektor ekonomi terhadap wilayah, terdiri atas
kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto), faktor pendukung wilayah dan faktor dukungan pemerintah
daerah.
Pada kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, sektor pertanian
masih mempunyai kontribusi yang paling besar terhadap kegiatan
perekonomian Kabupaten Bantul yaitu 24 % terhadap PDRB setiap
tahunnya bahan pada tahun 1999 kontribusinya mengalami
peningkatan sebesar 29,22 %, kemudian sektor industri pengolahan
17,53 % dan sektor perdagangan sebesar 15,41 %.
Faktor pendukung wilayah, potensi Dukuh Kasongan sebagai desa
wisata yaitu suatu bentuk desa atau kawasan yang dikembangkan
sebagai suatu obyek wisata atau daerah tujuan wisata dengan
57
memanfaatkan potensi keberadaan pusat/sentra industri lokal sebagai
daya tarik utama yang akan ditawarkan kepada wisatawan. Besarnya
jumlah unit usaha kerajinan yang ada di desa tersebut dengan lokasi
kegiatan meliputi beberapa dusun sehingga membentuk suatu
kawasan sentra industri kerajinan gerabah atau keramik, sarana
perumahan bagi penduduk desa tersebut 83,7 % atau sekitar 3.803
unit merupakan rumah permanen, hal ini membuktikan bahwa
sebagian besar masyarakat Desa Bangunjiwo dilihat dari sisi
perumahannya berada pada kondisi mampu dan sudah berada diatas
garis kemiskinan, prasarana pendidikan dan kesehatan di desa
Bangunjiwo adalah 10 unit TK, 11 unit SD, 2 unit SLTP dan 1 unit
SLB, adapun apabila dilhat dari sisi tingkat pendidikannya, penduduk
Desa Bangunjiwo sebagian besar taman SLTP dan SLTA yaitu 44,8 %
dan 22,2 %, sarana angkutan, perhubungan dan jalan prosentase
terbesar adalah sepeda sebagai alat transportasinya yaitu sejumlah
3.998 atau 64,77 %, sedangkan alat komunikasi seperti Kantor pos
dan saluran telepon sebagai sarana perhubungan juga telah memasuki
wilayah Desa Bangunjiwo.
Faktor dukungnan pemerintah setempat, yaitu telah berperan sejak
tahun 1979 dengan didirikannya UPT (Unit Pelaksana Teknis) sebagai
kepanjangan tangan dari Departemen Perindustrian dalam pembinaan
pengembangan industi kecil.
Kondisi sosial masyarakat terlihat cukup mapan, sehingga persentase
keluarga miskinnya relatif kecil. Kondisi ekonomi, telah dikemukakan
diatas bahwa prosentase penduduk yang bekerjan dibidang pertanian
mencapai 39,84 %, akan tetapi di Desa Bangunjiwo jumlah penduduk
yang berprofesi sebagai pengrajin mencapai 88,3 %, penghasilan yang
diperoleh pemilih gerabah dari penjualannya berkisar antara Rp 1,5
juta sampai Rp 10 juta/bulan atau rata-rata per bulan laba bersih
sebesar Rp 3,35 juta. Beberapa pemilih gerabah yang sudah maju
biasanya mempekerjakan beberapa tenaga sebagai tukang dan
designer. Tukang dalam bekerjanya menggunakan system borongan
dengan memperoleh bayaran Rp 50 ribu–Rp 100 ribu sekali borongan,
sedangkan designer dalam setiap bulannya memperoleh bayaran
antara Rp 500 ribu–Rp 1 juta, bila dilihat bayaran sebagai tukang tidak
begitu besar bahkan kurang dari standar garis kemiskinan untuk
58
Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Rp 76.773/kapita/bulan. Sehingga
dapat dikatakan, bahwa pekerja tukang sangat rentan terhadap
kemiskinan bila tidak ada pekerjaan sampingan untuk menambah
penghasilannya.
2.4. Data
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2005),
jumlah desa di Indonesia mencapai 61,409 desa dan jumlah kelurahan
mencapai 7,365 kelurahan. Di wilayah perkotaan, ditemukan sebanyak
6,692 desa dan 5,548 kelurahan. Sedangkan di wilayah perdesaan,
ditemukan 54,717 desa dan 1,817 kelurahan. Jumlah desa terbanyak
ditemukan di Provinsi Jawa Tengah yaitu sejumlah 7,805 desa, Provinsi
Jawa Timur yaitu sejumlah 7,697 desa dan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dengan jumlah 5,841 desa.
Tabel 4. Banyaknya Desa Menurut Status Pemerintahan
Status Desa Kelurahan Nagari Lainnya Jumlah
Perkotaan 6692 5548 33 17 12290
Perdesaan 54717 1817 485 648 57667
Perkotaan + Perdesaan
61409 7365 518 665 69957
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Dari 61,409 desa di Indonesia, sejumlah 55,126 telah memiliki
Badan Perwakilan Desa (BPD) dan sisanya, yaitu 6,283 belum memiliki
BPD. Sedangkan dari 7,365 kelurahan yang tercatat, sekitar 2,014 telah
memiliki Dewan Kelurahan dan sekitar 5,353 belum memiliki Dewan
Kelurahan. Provinsi yang tercatat terbanyak belum memiliki Badan
Perwakilan Desa, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi
Papua. Di wilayah perkotaan, dari 6,692 kesatuan masyarakat yang
dinyatakan sebagai desa, sejumlah 6,334 desa telah memiliki BPD dan
sekitar 358 desa belum ditemukan adanya BPD. Sedangkan di wilayah
perdesaan, dari 54,717 desa sekitar 48,792 desa telah memiliki BPD dan
5,925 desa belum memiliki BPD.
59
Tabel 5. Banyaknya Desa/Kelurahan yang Memiliki Badan Perwakilan Desa/Dewan Kelurahan
Status Desa (Badan Perwakilan
Desa)
Kelurahan (Dewan Kelurahan)
Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada
Perkotaan 6334 358 1370 4178
Perdesaan 48792 5925 644 1175
Perkotaan + Perdesaan
55126 6283 2014 5353
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Mayoritas penghasilan utama penduduk desa di Indonesia pada
tahun 2005 adalah pertanian (61,744 desa), perdagangan besar/eceran
(3,010 desa) dan jasa (2,962 desa). Di wilayah perkotaan, mayoritas
penghasilan utama sebagian besar penduduk adalah pertanian (5,370
desa), perdagangan besar/eceran (2,757 desa) dan jasa (2,627 desa). Di
wilayah perdesaan, mayoritas penghasilan utama sebagian besar
penduduk adalah pertanian (56,374 desa), jasa (335 desa) dan industri
pengolahan (332 desa).
Tabel 6. Banyaknya Desa Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian
Besar Penduduk
Status Pertanian Pertambangan
dan
Penggalian
Industri
Pengolahan
Perdagangan
Besar/Eceran
Jasa Lainnya Jumlah
Perkotaan 5370 68 859 2757 2627 609 12290
Perdesaan 56374 147 332 253 335 226 57667
Perkotaan
+
Perdesaan
61744 215 1191 3010 2962 835 69957
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Dari 61,744 desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di
sektor pertanian, mayotitas bekerja di sub sektor tanaman pangan
(41,974 desa), sub sektor perkebunan (16,322 desa) dan sub sektor
perikanan laut (1,982 desa). Komposisi seperti ini juga terjadi di wilayah
perkotaan dan perdesaan, dimana mayoritas penduduk yang bekerja di
sektor pertanian, berusaha pada sub sektor tanaman pangan, perkebunan
dan perikanan laut.
60
Tabel 7. Banyaknya Desa yang Sebagian Besar Penduduknya Bekerja di Sub Sektor Pertanian
Sub Sektor Perdesaan Perkotaan Perdesaan+Perkotaan
Tanaman
Pangan
37610 4364 41974
Perkebunan 15764 558 16322
Perikanan Darat
616 68 684
Perikanan Laut
1644 338 1982
Peternakan 208 20 228
Kehutanan 417 4 421
Pertanian Lainnya
115 18 133
Jumlah 56374 5370 61744
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Dari 61,409 desa dan kelurahan di Indonesia, sarana kesehatan
terbanyak yang dimiliki adalah Posyandu (63,198 desa), Tempat Praktek
Bidan (30,236 desa) dan Polindes (26,455 desa). Jumlah rumah sakit
hanya ditemukan di 1,475 desa, Poliklinik ditemukan di 7,210 desa dan
Puskesmas ditemukan di 8,256 desa.
Tabel 8. Banyaknya Desa yang Mempunyai Sarana Kesehatan Menurut Jenisnya
Jenis Perdesaan Perkotaan Perdesaan+Perkotaan
Rumah Sakit 229 1246 1475
Rumah Bersalin
1016 2765 3781
Poliklinik 3298 3912 7210
Puskesmas 4999 3257 8256
Puskesmas Pembantu
18607 3317 21924
Tempat Praktek
Dokter
4148 7257 11405
Tempat Praktek
Bidan
21226 9010 30236
Posyandu 51142 12056 63198
Polindes 22932 3523 26455
Apotik 496 3803 4299
Toko Khusus Obat
3101 5137 8238
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
61
Dari 61,409 desa dan kelurahan di Indonesia, paramedis terbanyak
yang dimiliki adalah Bidan (48,739 desa), Dukun Bayi Terlatih (44,800
desa) dan Dukun Bayi Belum Terlatih (29,454 desa). Mantri Kesehatan
hanya ditemukan di 25,730 desa, Dokter Pria ditemukan di 9,871 desa
dan Dokter Wanita ditemukan di 7,327 desa.
Tabel 9. Banyaknya Desa yang Memiliki Tenaga Kesehatan yang Tinggal
di Desa Menurut Jenis Tenaga Kesehatan Status Dokter
Pria
Dokter
Wanita
Mantri
Kesehatan
Bidan Dukun
Bayi
Terlatih
Dukun
Bayi
Belum
Dilatih
Perkotaan 6321 4868 6770 10666 7511 2691
Perdesaan 3550 2459 18960 38073 37289 26763
Perkotaan + Perdesaan
9871 7327 25730 48739 44800 29454
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Dari 61,409 desa dan kelurahan di Indonesia, sarana kesehatan
yang mudah dan sulit diakses oleh masyarakat perdesaan hampir
sebanding, seperti rumah sakit, rumah bersalin dan poliklinik. Sebanyak
31,805 desa, rumah sakit di kawasan tersebut mudah diakses oleh
masyarakat perdesaan dan sebanyak 25,631 desa sulit diakses oleh
masyarakat di kawasan tersebut.
62
Tabel 10. Banyaknya Desa yang Tidak Memiliki Sarana Kesehatan Menurut Kemudahan untuk Mencapai Sarana Kesehatan
Jenis Perdesaan Perkotaan Perdesaan+Perkotaan
Rumah Sakit
Mudah 31805 10522 42327
Sulit 25631 520 26151
Rumah Bersalin
Mudah 30594 8936 39530
Sulit 26057 586 26643
Poliklinik
Mudah 31818 7942 39760
Sulit 22547 436 22983
Puskesmas
Mudah 38610 8927 47537
Sulit 14050 106 14156
Puskesmas Pembantu
Mudah 29749 8577 38326
Sulit 9288 396 9684
Tempat Praktek
Dokter
Mudah 34773 4887 39660
Sulit 18739 146 18885
Tempat Praktek Bidan
Mudah 21372 3118 24490
Sulit 15069 162 15231
Posyandu
Mudah 3368 212 3580
Sulit 3157 22 3179
Polindes
Mudah 22076 7299 29375
Sulit 12659 1468 14127
Apotik
Mudah 33071 8098 41169
Sulit 24100 389 24489
Toko Khusus Obat
Mudah 33296 6870 40166
Sulit 21271 283 21554
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Prasarana transportasi darat dan air bagi masyarakat desa di
perdesaan lebih banyak daripada di perkotaan. Desa yang telah memiliki
prasarana transportasi darat di kawasan perdesaan mencapai 49,916 desa
dan prasarana transportasi air mencapai 2,655 desa.
63
Tabel 11. Banyaknya Desa yang Memiliki Prasarana Transportasi
Status Darat Air Darat dan Air
Dapat Dilalui Kendaraan
Roda 4 Sepanjang
Tahun
Perkotaan 11952 45 300 12112
Perdesaan 49916 2655 5090 47609
Perkotaan +
Perdesaan
61868 2700 5390 59721
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Menurut jenis permukaan jalan desa di kawasan perdesaan lebih
banyak daripada di kawasan perkotaan, seperti jalan aspal, jalan yang
diperkeras dan jalan tanah. Namun, keberadaan jalan tanah desa di
kawasan perdesaan lebih banyak daripada desa di kawasan perkotaan.
Tabel 12. Banyaknya Desa Menurut Jenis Permukaan Jalan Terluas
Status Aspal Diperkeras Tanah Lainnya Jumlah
Perkotaan 11021 896 315 20 12252
Perdesaan 28005 16361 10295 345 55006
Perkotaan + Perdesaan
39026 17257 10610 365 67258
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Menurut jenis prasarana komunikasi di kawasan perkotaan lebih
banyak daripada di kawasan perdesaan, seperti telepon umum, warnet
dan kantor pos/kantor pos pembantu. Namun, keberadaan wartel dan pos
keliling di kawasan perdesaan lebih banyak daripada desa di kawasan
perkotaan.
Tabel 13. Banyaknya Desa Menurut Jenis Prasarana Komunikasi
Status Telepon
Umum
Wartel Warnet Kantor
Pos/Kantor Pos
Pembantu
Pos
Keliling
Perkotaan 3280 10961 1769 2259 3232
Perdesaan 1270 18493 359 1882 8010
Perkotaan + Perdesaan
4550 29454 2128 4141 11242
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
64
Menurut sarana perdagangan, hotel dan perbankan desa di
kawasan perdesaan lebih sedikit daripada di kawasan perkotaan, seperti
supermarket/pasar swalayan/toserba, restoran/rumah makan,
hotel/penginapan, Bank Umum dan BPR. Sedangkan sarana perdagangan
dan lembaga keuangan non-bank, seperti toko/warung/kios, KUD dan
Koperasi Non-KUD lebih banyak dijumpai di desa yang terletak di
kawasan perdesaan.
Tabel 14. Banyaknya Desa yang Memiliki Sarana Perdagangan, Hotel dan
Perbankan
Jenis Perkotaan Perdesaan Perkotaan +
Perdesaan
Supermarket/Pasar
Swalayan/Toserba
3327 525 3852
Restoran/Rumah Makan 5944 5184 11128
Toko/Warung/Kios 11837 43806 55643
Hotel/Penginapan 2915 1518 4433
Bank Umum 3530 1091 4621
BPR 2406 1548 3954
Koperasi Unit Desa 1732 6085 7817
Koperasi Non KUD 2830 5099 7929
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Menurut sarana pemasaran produksi dan lembaga keuangan mikro
antara desa di kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan, lebih banyak
dijumpai di desa yang terletak di kawasan perkotaan, seperti kelompok
pertokoan, kantor pegadaian, lembaga keuangan mikro informal dan ATM.
Sedangkan sarana pemasaran produksi dan lembaga keuangan mikro,
seperti pasar tanpa dan dengan bangunan permanen.
Tabel 15. Banyaknya Desa yang Memiliki Sarana Pemasaran Produksi dan Lembaga Keuangan Mikro
Jenis Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
Kelompok Pertokoan 5,241 3,148 8,389
Pasar dengan Bangunan Permanen 3,826 6,789 10,615
Pasar tanpa Bangunan Permanen 1,576 5,581 7,157
Kantor Pegadaian 800 118 918
Lembaga Keuangan Mikro Informal 4,997 1,109 16,106
ATM 2,099 101 2,200
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
65
Dari Tabel 16, terlihat bahwa unit usaha yang paling banyak
diusahakan oleh masyarakat perdesaan adalah unit usaha bengkel
mobil/motor, persewaan alat pesta dan bengkel alat elektronik. Persewaan
mobil/motor terbanyak dijumpai di Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa
Timur dan NAD yang memiliki jumlah desa terbanyak kedua dan ketiga
berdasarkan data Podes (2005) memiliki unit usaha terbanyak adalah
persewaan alat pesta.
Tabel 16. Banyaknya Desa yang Memiliki Unit Usaha Masyarakat
Jenis Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
Bengkel Mobil/Motor 10,991 23,708 34,699
Bengkel Alat Elektronik 9,230 15,999 25,229
Usaha Photo Copy 8,197 5,523 13,720
Agen Perjalanan Wisata 2,175 647 2,822
Pangkas Rambut 8,499 10,870 19,369
Salon Kecantikan 9,601 12,135 21,736
Bengkel Las 9,028 13,585 22,613
Persewaan Alat Pesta 9,284 20,439 29,723
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
2.5. Pengaturan Terkait Desa dalam Perpektif Hukum
Apabila dilihat dari UUD 1945 (versi 18 Agustus 1945), Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949, UUD Sementara Tahun 1950, UUD 1945
(Dekrit 5 Juli 1959), UUD 1945 (di masa Orde Baru), dan UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) atau yang
lebih populer dengan sebutan UUD 1945 Pasca Amandemen, penyebutan
desa atau yang sama pengertiannya dengan desa, secara konkrit dalam
konstitusi baru mulai ada dalam UUD 1945 (Dekrit 5 Juli 1959). Hal ini
karena dalam penjelasan pasal demi pasal terhadap Pasal 18 UUD 1945,
kata “desa” disebutkan secara konkrit.
Bagian Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan “Dalam
territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali,
negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”.
66
Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa pada saat berlakunya
UUD 1945 (versi 18 Agustus 1945), Bagian Penjelasan UUD 1945 belum
merupakan bagian dari UUD 1945. Penjelasan UUD 1945 sendiri
bukanlah dokumen resmi yang dihasilkan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia ataupun Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, melainkan karya pribadi Mr. Soepomo.
Karena itu, pada saat UUD 1945 pertama kali diberlakukan,
penjelasan UUD 1945 belum menjadi bagian dari UUD 1945 (versi 18
Agustus 1945). Dalam perjalanannya, ketika Indonesia kembali
menerapkan UUD 1945 dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959,
UUD 1945 yang dilampirkan terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan
Penjelasan. Dengan dasar inilah kemudian Penjelasan, menjadi bagian
otentik dari UUD 1945.
Dari hasil penelusuran empat konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia, Penjelasan UUD 1945 inilah yang merupakan satu-satunya
dokumen konstitusi yang menyebutkan secara konkrit kata “desa” di
dalamnya, sebab dalam konstitusi-konstitusi yang lain tidak terdapat kata
“desa” didalamnya.
Konstitusi RIS 1949, misalnya, tidak menyebutkan tentang desa,
karena pengaturan tentang desa merupakan kewenangan konstitusional
dari negara bagian. Memang, pada saat saat berlakunya konstitusi ini,
Indonesia menganut sistem federal (Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS 1949).
Dalam UUD Sementara Tahun 1950, tidak terdapat penyebutan tentang
desa meskipun konstitusi ini kembali mempercayakan sistem unitary atau
kesatuan sebagai sistem pembagian kekuasaannya secara vertikal (Pasal
131-133 UUD Sementara Tahun 1950).
Konstitusi yang terakhir, UUD Negara RI Tahun 1945, pun
melakukan hal yang sama dengan UUD Sementara Tahun 1950, dimana
juga tidak menyebutkan secara jelas kata desa di dalamnya. Dalam UUD
Negara RI Tahun 1945 bahkan terkesan menutup kemungkinan desa
menjadi organ konstitusi dan menempatkan desa sebagai organ dari
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ini karena pasal 18 ayat (1) UUD
Negara RI Tahun 1945 dengan jelas menentukan bahwa Daerah Indonesia
67
dibagi dalam Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Jadi tidak terbersit sedikit
pun tentang desa dalam Pasal 18 UUD Negara RI Tahun 1945.
Keengganan penyebutan kata desa dalam UUD Negara RI Tahun
1945 di atas, dapat didasarkan pada dua asumsi besar. Pertama,
pengaturan desa terlalu detail untuk diatur dalam konstitusi. Karena itu,
mungkin, pengaturan detailnya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan pelaksana. Legitimasi asumsi ini didasarkan pada
prinsip bahwa konstitusi hanya mengatur hal-hal yang pokok saja.
Sedangkan detailnya diserahkan pada peraturan perundang-undangan
pelaksana.
Kedua, pengaturan desa atau sebutan lainnya, sudah diatribusikan
atau didelegasikan ke pemerintahan daerah sehingga pengaturannya
menjadi kewenangan pemerintah daerah bersama DPRD. Mekanisme
peraturan perundang-undangan yang sering digunakan adalah dengan
menggunakan atribusian ataupun pendelegasian dari konstitusi melalui
enabling provision.
Penguatan terhadap asumsi ini, lebih didasarkan pada stufent
theory dari Hans Kelsen, yang mengatakan bahwa grondwet dapat
mendelegasikan atau mengatribusikan pengaturan suatu materi muatan
pada peraturan pelaksana. Teori Hans Kelsen inilah yang sampai detik ini
masih diterima dengan baik dalam sistem hukum Indonesia. Bentuk
konkrit dari teori ini adalah adanya hierarkisitas peraturan perundang-
undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan hierarkisitas ini,
peraturan pelaksana dapat dibentuk jika mendapatkan atribusi atau
delegasi dari peraturan perundang-undangan di atasnya.
Dengan demikian status hukum pengaturan desa yang didasarkan
pada Pasal 18 UUD Negara RI Tahun 1945 dan berdasarkan kedua
asumsi di atas, pengaturan tentang desa telah diatribusikan kepada
pemerintahan daerah sehingga pengaturan desa telah menjadi
kewenangan konstitusional pemerintahan kabupaten/kota. Dengan status
hukum seperti ini, setiap kabupaten/kota dapat mengatur mengenai desa
dalam peraturan daerah mereka. Dengan penyebutan dalam UUD 1945
68
itu, konsekuensi yuridisnya adalah desa merupakan organ konstitusi yang
mempunyai hak dan kewajiban konstitusional.
Dari hasil inventarisasi kami terhadap keberpihakan konstitusi
terkait dengan pembangunan perdesaan, setidaknya ditemukan tujuh
pasal utama. Ketujuh pasal tersebut adalah: Pasal 18, Pasal 18A, Pasal
18B, Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 28C, Pasal 33 dan Pasal 34.
Pemerintah daerah kabupaten dan kota, seperti pada Pasal 18 ayat (2)
UUD 1945 termasuk diantaranya pemerintah desa. Sedangkan tugas
pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta
dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu. Urusan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
terdiri dari: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan
fiskal nasional; dan agama.
Pemberian otonomi luas kepada daerah seperti pada Pasal 18 ayat (5)
UUD 1945 diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Hubungan dalam bidang keuangan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah seperti pada Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 meliputi:
pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
Sedangkan hubungan dalam bidang pelayanan umum antara
Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung
jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal; pengalokasian
pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan
69
fasilitasi pelaksanaan kerja sama antarpemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi:
kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya; dan penyerasian lingkungan dan tata
ruang serta rehabilitasi lahan.
Kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya seperti
pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 harus diatur secara spesifik. Mengingat
kesatuan masyarakat hukum adat memiliki tradisi yang telah berlangsung
turun-temurun. Kearifan lokal yang telah terjalin sedemikian lama,
seringkali dianggap oleh sebagian kalangan tidak sesuai dengan
perkembangan zaman. Masyarakat hukum adat juga cenderung tidak
menerima modernisasi dan masih bertahan dengan tradisi lama, sehingga
menjadi masyarakat tertinggal. Oleh karena itu, pengaturan mengenai
masyarakat hukum adat harus dilakukan secara hati-hati dengan
melibatkan sosiolog.
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 berbunyi bahwa: “Anggaran pendapatan
dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara
ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Anggaran pendapatan dan belanja negara, seperti pada Pasal 23
ayat (1) UUD 1945 harus bisa dirasakan masyarakat secara langsung
manfaatnya. Saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di
perdesaan dan sekitar 63,47 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di
perdesaan. Namun, anggaran yang turun langsung ke perdesaan hanya
sekitar Rp 17,0 triliun atau sekitar seper enam puluh dari pendapatan
negara dan hibah yang mencapai Rp 1.022,6 triliun.
Permasalahan dalam pembangunan perdesaan adalah tahap
pengawasan menjadi tugas BPK seperti pada Pasal 23E ayat (1) UUD
1945. Seringkali anggaran besar yang sudah disediakan terjadi kesalahan
70
dalam pengelolaan, sehingga tidak sesuai dengan target dan sasaran. Oleh
karena itu, selain perlunya Badan Pemeriksa Keuangan juga diperlukan
peningkatan kinerja dan mekanisme Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan.
Kebutuhan dasar manusia, seperti pada Pasal 28C ayat (1) UUD
1945 adalah sandang, pangan dan papan. Selain itu, juga terdapat
kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Termasuk didalamnya telekomunikasi dan perhubungan. Ketertinggalan
masyarakat desa dari perkotaan disebabkan oleh rendahnya kualitas
pendidikan, kemudahan memperoleh pengetahuan dan lain-lain.
Infrastruktur dan pelayanan pendidikan di perdesaan relatif lebih rendah
daripada di perkotaan. Hal ini ditandai dengan rendahnya kualitas tenaga
pengajar dan infrastruktur pendukung.
Makna dari Pasal 33 UUD 1945 adalah desa dengan segala potensi
yang dimiliki harus menjadi tempat yang layak bagi masyarakat yang
tinggal dan menetap didalamnya. Masyarakat desa harus bisa menikmati
potensi tersebut. Tidak ada lagi kesenjangan di antara desa-kota atau bagi
masyarakat yang tinggal di desa tersebut.
Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2005, keberadaan
infrastruktur kesehatan di perdesaan jauh lebih rendah daripada di
perkotaan, padahal Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, seperti
pada Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Jenis penyakit yang diderita oleh
masyarakat perdesaan relatif terkait dengan ketersediaan sanitasi yang
bersih dan pola hidup yang sehat. Oleh karena itu, ketersediaan akan
kebutuhan dasar bagi masyarakat perdesaan harus menjadi urusan
negara. Pembangunan yang dilakukan bukan saja terkait dengan
pembangunan fisik, tetapi juga non-fisik. Pemenuhan tenaga terampil
antara lain bidang kesehatan dan pendidikan, dan pemberdayaan
masyarakat desa, yang mendampingi masyarakat perdesaan menjadi
tugas pemerintah.
Amanat dari UUD 1945 terutama Pasal 23 dan Pasal 28C belum
terdapat secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
71
Pengaturan lebih banyak mengenai hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, dan aspek pemerintahan.
Pengaturan mengenai desa terkait dengan pembangunan perdesaan
dalam segala aspeknya, khususnya pada peraturan perundang-undangan,
tercermin pada: Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
Adapun keterkaitannya adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 17
tahun 2003 adalah: Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2) huruf c, Pasal 12
ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (4).
Pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam UU Nomor 17 tahun 2003
adalah APBN dan APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan
pusat dan daerah, dan wewenang Presiden diserahkan kepada pejabat
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah. Apabila
disandingkan dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi bahwa APBN
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, dan dengan nomenklatur RAPBN tahun
2009 yang membagi menjadi dua pos pokok, yaitu: 1) Pendapatan
Negara dan Hibah, dan 2) Belanja Negara. Dalam hal belanja negara
yang sampai ke perdesaan merupakan belanja ke daerah, yang terdiri
dari dana perimbangan. Selain itu, juga masih terdapat pos anggaran
kecil yang sampai ke perdesaan, yaitu subsidi dan belanja barang.
Namun, anggaran seperti ini masih merupakan anggaran sektoral,
yang cenderung mudah terjadi duplikasi dan tidak sesuai dengan
kebutuhan dan potensi desa.
72
Anggaran untuk pembangunan perdesaan berdasarkan RAPBN tahun
2009 adalah Rp 17,0 triliun. Bandingkan dengan anggaran untuk
belanja ke daerah yang mencapai Rp 303,9 triliun, dan jumlah
penduduk miskin di perdesaan mencapai 63,47 persen pada bulan
Maret 2008. Sehingga apabila Pasal 23 UUD 1945 diadopsi dalam
pelaksanaan dan wewenang pengelolaan keuangan pusat dan daerah,
maka masyarakat perdesaan setidaknya harus mendapat perhatian
lebih baik. Terdapat nomenklatur khusus bagi anggaran perdesaan,
yang bisa saja dialokasikan dari dana perimbangan.
2. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 25
tahun 2004 adalah: Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 Ayat (3), dan Pasal 11
ayat (1).
Pokok-pokok pikiran dari UU No. 25 tahun 2004 adalah bahwa
Musrenbang yang dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat
menjadi acuan bagi RPJP Nasional. Namun, fakta di perdesaan
menyatakan bahwa Musrenbang masih kental akan pola top-down.
Masyarakat cenderung masih menjadi objek dari perencanaan
pembangunan, apalagi pelaksanaan maupun pengawasan
pembangunan. Kepala Desa masih memiliki kekuasaan yang dominan
untuk men-drive arah pikiran masyarakat. Oleh karena itu, sebelum
dilakukan Musrenbang atau apapun namanya, pemberdayaan
masyarakat harus dilakukan. Masyarakat harus diajak berdiskusi dan
berani menyampaikan apa yang dibutuhkan.
3. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 32
tahun 2004 adalah: Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat
(3), Pasal 126 ayat (3) huruf a, Pasal 200 ayat (1), Pasal 200 ayat (3),
Pasal 201 ayat (2), Pasal 206, Pasal 207, Pasal 209, Pasal 210 ayat (1),
Pasal 211 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 212, Pasal 215, dan Pasal 216.
73
Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 32 tahun 2004 lebih banyak
mengatur mengenai aspek pemerintahan desa. Dalam UU ini belum
diatur lebih banyak mengenai pembangunan perdesaan.
Hal-hal yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 diantaranya
mengenai pemerintah desa, badan permusyawaratan desa, lembaga
lain, keuangan desa, dan kerjasama desa. Sehingga aspek
pembangunan perdesaan belum diatur dalam UU ini. Aspek
pembangunan perdesaan tersebut diantaranya mengenai
pembangunan fisik dan non-fisik yang didasarkan pada masih
rendahnya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat desa,
pembiayaan pembangunan perdesaan, dan tahapannya, yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
4. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 33
tahun 2004 adalah: Pasal 4.
Pokok-pokok pikiran yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 adalah
mengenai sumber pembiayaan keuangan pusat dan daerah.
Pengaturan mengenai perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang
adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka
pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan
penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Dalam UU ini
tidak diatur mengenai pengaturan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah terkait dengan anggaran perdesaan. Namun, hanya diatur
mengenai persentase dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana
alokasi khusus.
5. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 17
tahun 2007 adalah: Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3).
74
Lampiran UU No. 17 tahun 2007 menyebutkan kebutuhan yang harus
dipenuhi bagi masyarakat di perkotaan maupun perdesaan sampai
tahun 2020. Kebutuhan tersebut antara lain: perumahan, pelayanan
air minum, persampahan (kebersihan), infrastruktur perhubungan,
elektrifikasi, nilai tambah sektor primer, dan peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia.
Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 17 tahun 2007 masih bersifat top-
down atau sentralistik. RPJP Nasional masih menjadi acuan bagi RPJP
Daerah. Dalam lampiran UU ini, juga dijabarkan mengenai kebutuhan
desa yang paling minimum bagi pencapaian kebutuhan dasarnya.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa
Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam PP No. 72
tahun 2005 adalah: Pasal 14, Pasal 63, Pasal 65, Pasal 88, Pasal 90,
Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102.
Pokok-pokok pikiran yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 dan PP
No. 72 tahun 2007 adalah desa tidak mempunyai wewenang menyusun
perencanaan. Hal ini terlihat jelas dari Pasal 63 ayat (1) PP No. 72
tahun 2005. Dalam hal ini perencanaan masih disusun dari atas.
Pengaturan mengenai pembangunan desa belum banyak diatur
secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang masih berlaku.
Pengaturan yang ada, khususnya dalam penyusunan perencanaan masih
bersifat top-down dan sentralistik. Masyarakat belum dilibatkan secara
nyata dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Selain itu, terkait dengan pembiayaan bagi pembangunan
perdesaan masih minim dan tersebar di masing-masing sektor. Setiap
departemen teknis memiliki program dan kegiatan sendiri, sehingga
seringkali menjadi tidak tepat sasaran.
Hal lain yang juga penting, terkait dengan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan adalah belum ada sanksi terhadap pelanggaran
dalam pelaksanaan peraturang perundang-undangan ini. Oleh karena itu,
RUU tentang Pembangunan Perdesaan diharapkan bisa memberikan
insentif atau disinsentif bagi pihak yang berhasil atau gagal dalam
75
mencapai tujuan pembangunan perdesaan, untuk mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
2.6. Pengalaman Negara Lain dalam Pembangunan Perdesaan
1. India
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, pengenalan varietas gandum dan
padi-dalam revolusi hijau-mendorong terjadinya peningkatan produksi
pertanian dan meningkatkan pendapatan petani, khususnya di India
barat laut. Kemiskinan perdesaan turun dari 64 persen pada tahun
1967 menjadi 50 persen pada tahun 1977 34 persen pada tahun 1986.
persentase terbesar dari peningkatan tersebut berasal dari naiknya
upah riil dan turunnya harga padi-padian. Pertumbuhan di sektor
pertanian mampu mengurangi kemiskinan, baik di perdesaan maupun
di perkotaan. Hal ini juga berlaku untuk pertumbuhan di sektor jasa.
Namun, pertumbuhan sektor industri tidak mengurangi kemiskinan.
Kebijakan reformasi lahan, kredit perdesaan dan pendidikan
memainkan peran penting pada tahun 1970-an dan 1980-an,
walaupun program-program ini sedikit menghambat laji pertumbuhan
ekonomi.
Mulai tahun 1991, India menjalankan reformasi makroekonomi dan
perdagangan lain yang memacu pertumbuhan yang mengesankan di
sektor manufaktur dan jasa. Data kemiskinan tahun 2004, yang dapat
dibandingkan dengan data serupa dari tahun 1993, menunjukkan
penurunan tingkat kemiskinan yang berkelanjutan.
Meskipun ada pola penurunan kemiskinan yang konsisten di hampir
semua negara bagian di India, pertumbuhan tersebut tidak setara. Dari
tahun 1980 sampai 2004, negara-negara bagian yang awalnya lebih
miskin tumbuh lebih lambat, mengakibatkan perbedaan pendapatan
absolut maupun relatif. Liberalisasi perdagangan yang cepat pada
tahun 1990-an memiliki dampak regional yang berbeda-beda. Distrik-
distrik perdesaan dengan konsentrasi industri lebih tinggi yang
dirugikan oleh liberalisasi itu merasakan kemajuan yang lebih lambat
dalam pengurangan kejadian dan intensitas kemiskinan karena sangat
terbatasnya mobilitas tenaga kerja antar wilayah dan industri.
76
Pendapatan dan pengeluaran masyarakat perkotaan juga meningkat
lebih cepat daripada pendapatan masyarakat di perdesaan, sehingga
mengakibatkan terus naiknya rasio konsumsi riil rata-rata kota ke
desa dari hanya di bawah 1,4 pada tahun 1983 menjadi sekitar 1,7
pada tahun 2000. Bahkan sesudah itu, India memiliki ketidaksetaraan
pendapatan yang cukup rendah. Namun, terlepas dari pertumbuhan
dan penurunan kemiskinan yang mengesankan pada tahun 1990-an,
gambaran kesejahteraan masyarakat masih belum terlalu bagus, sebab
keadaan kesehatan belum mengalami perbaikan. Reformasi India,
tidak seperti Cina, tidak diarahkan pada pertanian. Dewasa ini, fokus
kebijakan di India kembali diarahkan pada sektor ini karena banyak
kalangan meyakini bahwa potensi penuh pertanian untuk mengurangi
kemiskinan di India belum tergali dengan sempurna.
2. Cina
Pengentasan kemiskinan di Cina selama kurun waktu 25 tahun
terakhir tidak pernah terjadi sebelumnya. Perkiraan yang dibuat oleh
Ravallion dan Chen (2007)17 mengindikasikan bahwa kemiskinan turun
dari 53 persen pada 1981 menjadi 8 persen pada 2001, membantu
sekitar 500 juta jiwa keluar dari lembah kemiskinan. Kemiskinan
perdesaan juga turun dari 76 persen pada 1980 menjadi 12 persen
pada 2001, setara dengan tiga perempat dari seluruh kemiskinan.
Namun, evolusi kemiskinan dari waktu ke waktu terjadi dengan sangat
tidak seimbang. Pengurangan yang paling lambat terjadi pada akhir
1980-an dan awal 1990-an.
Penurunan kemiskinan yang tajam pada 1981 sampai 1985 dipicu oleh
reformasi pertanian yang dimulai pada tahun 1978. Sistem
tanggungjawab keluarga, yang memberikan hak pakai yang kuat untuk
tanah individual bagi keluarga-keluarga di perdesaan, peningkatan
harga beli pemerintah, dan liberalisasi perdagangan liberal, semua
mempunyai pengaruh positif yang kuat atas insentif bagi para petani
individual. Pada tahun-tahun awal reformasi pertanian, produksi dan
produktivitas meningkat secara dramatis, sebagian disebabkan oleh
penggunaan varietas padi hibrida yang menghasilkan panen banyak
17
Ravallion, M. and S.Chen. 2004. How have the world’s poorest fared since the early 1980’s?. World Bank
Research Observer. 19 (2) :141-170.
77
oleh petani (Lin, 1992)18. Pendapatan masyarakat perdesaan naik
sebesar 15 persen setahun antara 1978 dan 1984 (Von Braun, Gulati
dan Fan, 2005)19, dan sebagian besar penurunan kemiskinan nasional
antara 1981 dan 1985 didorong oleh serangkaian reformasi agraria ini.
Peran pertumbuhan pertanian dalam pengentasan kemiskinan tetap
penting pada tahun selanjutnya, ketika reformasi menciptakan sektor
non-pertanian di perdesaan yang menyediakan lapangan pekerjaan dan
sumber pendapatan bagi jutaan orang yang tenaganya tidak lagi
dibutuhkan dalam sektor pertanian. Sumbangan sektor non-pertanian
perdesaan dalam PDB naik dari hampir nol pada 1952 menjadi lebih
dari sepertiga pada tahun 200420. Dengan melihat keseluruhan periode
tersebut, Ravallion dan Chen (2007)21 menyimpulkan bahwa
pertumbuhan pertanian benar-benar punya dampak yang lebih bagus
bagi pengentasan kemiskinan daripada pertumbuhan industri maupun
jasa.
Bagi banyak warga, pendapatan yang lebih tinggi diperoleh dengan
menisbikan aspek kesetaraan. Tidak seperti kebanyakan negara
berkembang, Cina memiliki ketidaksetaraan pendapatan yang relatif
tinggi di wilayah perdesaan daripada di perkotaan22. Terdapat pula
ketidakseimbangan regional dan sektoral yang besar. Larangan migrasi
tenaga kerja internal, kebijakan industri yang lebih mendahulukan
kepentingan wilayah pesisir Cina daripada pedalamannya, dan bias
penyediaan layanan umum yang membuat sistem pendidikan dan
kesehatan masyarakat perdesaan Cina memburuk adalah contoh
semua kebijakan yang turut mendorong terjadinya disparitas kinerja
ekonomi regional dan sektoral.
3. Ghana
Pertumbuhan dan penurunan kemiskinan Ghana selama 15 tahun
terakhir merupakan kisah sukses baru dan penting bagi Afrika. PDB
riil telah meningkat lebih dari 4 persen per tahun sejak 1980 dan lebih
dari 5 persen sejak tahun 2001. Tingkat kemiskinan turun dari 5,17
18
Lin, J.Y. 1992. Rural reforms and agricultural growth in China. American Economic Review. 82 (1): 34-51. 19
Von Braun, J., A. Gulati and S. Fan. 2005. Agricultural and Economic Development Strategies and
Transformation of China and India. Washington DC: International Food Policy Research (IFPRI). 20
Ibid. 21
Ravallion, M., and S. Chen. 2007. China’s (Uneven) progress against poverty. Journal ofDevelopment
Economics. 82 (1): 1-42. 22
Ibid.
78
persen pada tahun 1991-1992 menjadi 39,5 pada tahun 1998-1999,
dan 28,5 persen pada tahun 2005-2006. Kemiskinan turun dari sekitar
17 poin di perkotaan, dan 24 poin di perdesaan. Bila kaum urban desa-
kota diasumsikan sebagai masyarakat miskin, diperkirakan kurang
lebih 59 persen dari total penurunan kemiskinan disebabkan oleh
berkurangnya kemiskinan di perdesaan. Namun, terjadi pula
peningkatan ketidaksetaraan, terutama di tingkat regional, dengan
Accra dan wilayah-wilayah hutan mengalami penurunan kemiskinan
yang lebih besar daripada daerah padang rumput di utara.
Pertumbuhan Ghana yang mengalami percepatan tersebut dipicu oleh
kebijakan ekonomi yang lebih baik dan iklim investasi yang lebih
mendukung, selain tingginya harga komoditas. Pada tahun 2001-2005,
pertumbuhan sektor pertanian melampaui sektor jasa, tumbuh 5,7
persen per tahun, lebih cepat daripada PDB keseluruhan yang naik 5,2
persen.
Pertumbuhan sektor pertanian terutama didorong oleh ekspansi
wilayah, dengan peningkatan hasil hanya satu persen. Sejak tahun
2001, peningkatan produktivitas yang berarti terjadi pada komoditas
kakao. Produksi kakao, walau tercatat hanya mengambil bagian 10
persen dari nilai produksi tanaman pangan dan ternak keseluruhan,
menyumbang sekitar 30 persen terhadap pertumbuhan pertanian.
Ghana juga menikmati pertumbuhan yang hebat dalam subsektor
hortikultura, digerakkan terutama oleh produksi nenas. Baik kakao
maupun nenas, keduanya diusahakan oleh petani gurem, dan
tampaknya petani yang membudidayakan tanaman pangan yang paling
merasakan pengentasan kemiskinan terkait dengan pertumbuhan yang
terjadi akhir-akhir ini. Namun, sumberdaya dan landasan ekspor
perekonomian negara ini tetap sempit, dan sangat rentan terhadap
guncangan dari luar.
Ghana merupakan salah satu dari sedikit negara di Afrika Sub-Sahara
yang sejak 1990 produksi pangannya mengalami pertumbuhan positif
dan berkelanjutan serta harga pangannya mengalami penurunan.
Namun, terdapat bukti rusaknya lingkungan dan penggunaan
sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Produksi tanaman pangan dan
ternak perlu diintensifkan untuk mempertahankan tingkat
pertumbuhan yang dicapai sekarang, sekaligus untuk memberi
79
manfaat bagi lebih banyak orang. Meningkatnya faktor total dan
produktivitas tenaga kerja serta semakin meluasnya penggunaan
pupuk selama kurun waktu 10 tahun terakhir merupakan indikator
positif dari proses semacam itu.
80
BAB III
ANALISIS HUKUM POSITIF
Sebagai upaya untuk mengetahui keberadaan peraturan
perundang-undangan yang mengatur di bidang perdesaan, dihimpun
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, baik yang telah
dicabut maupun yang masih berlaku. Hal itu dilakukan agar diperoleh
pemahaman yang komprehensif mengenai kebijakan penguasa di bidang
perdesaan. Hasilnya, ternyata ada banyak peraturan perundang-
undangan yang mengatur perihal tersebut, baik yang merupakan produk
masa kolonial maupun produk masa pembangunan nasional. Dengan
demikian, sesungguhnya kebijakan pembangunan perdesaan telah ada
dan dimulai sejak lama, yakni sejak bangsa Indonesia belum merdeka
hingga bangsa Indonesia mengisi kemerdekaannya melalui program-
program pembangunan nasional. Beberapa produk peraturan perundang-
undangan tersebut antara lain:
a. Islandsche Gemeente-Ordonantie (Staatblad Tahun 1906 Nomor 83)
sebagaimana diubah dengan Staatblad Tahun 1910 Nomor 591,
Staatblad Tahun 1913 Nomor 235, dan Staatblad Tahun 1919
Nomor 217 serta ordonantie lainnya;
b. Osamu Seirei Nomor 7, ditetapkan tanggal 1 Maret 1944;
c. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Kedudukan Komite Nasional
Daerah;
d. UU Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Undang-Undang Pokok Tentang
Pemerintahan Daerah;
e. UU Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
f. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan
Daerah;
g. UU Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah;
h. UU Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja;
i. UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di
Daerah;
j. UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa;
81
k. UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah; serta
l. UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Keadaan peraturan perundang-undangan tersebut di atas,
memberikan deskripsi bahwa saat ini belum ada peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur mengenai pembangunan
perdesaan. Pembangunan perdesaan, saat ini diselenggarakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
berikut undang-undang terkait lainnya dan pelaksananya. Fakta yuridis
tersebut memperlihatkan bahwa walaupun selama ini kawasan perdesaan
merupakan kawasan strategis dan salah satu obyek utama dalam
pembangunan nasional, namun kenyataannya belum diatur dan
diberdayakan secara optimal. Itu sebabnya, hasil pembangunan yang
dihasilkannya pun terlihat tidak merata dan menimbulkan kesenjangan
sosial ekonomi yang tinggi, baik antardesa maupun antardesa dengan
kota.
82
BAB IV URGENSI PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
4.1. Landasan Filosofis
Pembangunan nasional merupakan sebuah keniscayaan, mengingat
secara filosofis pembangunan itu sendiri pada hakikat adalah untuk
mencapai atau mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimanatkan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dalam Aline Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirumuskan bahwa tujuan
nasional adalah: “...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial........”.
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, didalamnya terkait
dengan usaha peningkatan kualitas masyarakat Indonesia yang dilakukan
secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya
mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk
mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, dan
berkeadilan.
Sedangkan dalam rangka mensejahterakan kehidupan bangsa,
didalamnya terkait dengan proses pengelolaan sumber daya nasional yang
secara sektoral meliputi mulai pembangunan dibidang politik, ekonomi,
industri, pertanian, dan sebagainya. Dari segi kewilayahan, pelaksanaan
pembangunan itu dapat pula dibedakan atas pembangunan di wilayah
perkotaan dan perdesaan. Sesuai dengan asas keadilan yang diamantkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
maka pelaksanaan pembangunan haruslah memperhatikan aspek
83
pemerataan baik pemerataan antar-sektor maupun pemerataan
pembangunan antar kota dan desa. Dengan demikian pembangunan
perdesaan merupakan bagian yang terintegrasi dari usaha meningkatkan
pemerataan dan mengatasi kesenjangan pada semua aspek pembangunan
dalam ruang lingkup nasional.
4.2. Landasan Sosiologis
Wilayah perdesaan sebagai tempat persebaran sebagian besar
masyarakat Indonesia mempunyai peranan yang cukup besar dalam
menopang perekonomian bangsa dan sekaligus indikator bagi
keberhasilan pembangunan nasional. Seperti diketahui di perdesaan pada
umumnya masyarakat berprofesi sebagai petani. Sementara diperkirakan
bahwa hampir 70 persen penduduk Indonesia tinggal di perdesaan,
dengan demikian mayoritas penduduk Indonesia menggantungkan hidup
pada sektor pertanian. Pembangunan pedesaan menurut pandangan
organisasi tani adalah suatu keniscayaan, terutama untuk mengatasi
masalah-masalah pokok petani seperti kemiskinan dan kesejahteraan.
Sementara sampai saat ini wilayah perdesaan Indonesia masih
dihadapkan pada masalah krusial, dimana masalah utama adalah seperti
kemiskinan, konflik tanah, kelaparan, dan akses terhadap sumber
produksi masih belum terpecahkan. Data pada Badan Pusat Statistik
Tahun 2006, misalnya, menunjukkan bahwa dengan jumlah penduduk
miskin Indonesia yang mencapai 17,75 persen atau sekitar 39,05 juta
orang, sebagian besarnya adalah kaum petani, yang berarti adalah berada
di wilayah perdesaan.
Oleh karenaya pembangunan perdesaan dilandaskan pada
keyakinan dan tekad untuk mempertinggi tingkat penghidupan dan
kehidupan masyarakat yang dimulai dari desa, karena masyarakat yang
berdiam di perdesaan merupakan faktor yang penting menuju kepada
perbaikan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia secara nasional. Oleh
karena itu pembangunan perdesaan mempunyai sifat komperhensif dalam
artii kegiatan pembangunan perdesaan meliputi seluruh lapangan
kehidupan masyarakat desa. Pembangunan perdesaan juga merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga keberhasilan
pembangunan desa merupakan salah satu tolak ukur yang menentukan
keberhasilan pembangunan nasional.
84
4.3. Landasan Yuridis
Pentingnya perhatian khusus terhadap pembangunan perdesaan
didasari oleh pertimbangan bahwa kedudukan perdesaan sangat strategis
dalam keberhasilan pembangunan secara nasional, sebab seperti
diutarakan sebelumnya bahwa mayoritas penduduk Indonesia justru
berdiam atau merupakan penduduk yang tinggal di perdesaan. Sedangkan
sampai saat ini diketahui bahwa pembangunan antara wilayah perdesaan
dengan wilayah perkotaan sangat timpang. Ketimpangan pembangunan di
daerah perkotaan dan perdesaan terasa sekali baik dalam pembangunan
infrastruktur, pembangunan kualitas sumber daya manusia, lapangan
kerja, kesehatan, dan sebagainya.
Kenyataan ini menyadarkan kita betapa perangkat yuridis yang ada
saat ini dirasakan pula belum memadai untuk memberikan jaminan
hukum akan perlunya perhatian atau prioritas terhadap pelaksanaan
pembangunan perdesaan. Untuk itulah, sehingga dalam rangka menjamin
terselenggara dan tercapainya pemerataan pembangunan di wilayah
perdesaan memerlukan perhatian khusus baik dari segi pembinaan,
maupun anggaran. Dalam hal ini maka diperlukan sebuah landasan
hukum yang bertujuan melakukan pengaturan secara yuridis tentang
perlunya perhatian terhadap pembangunan perdesaan.
85
BAB V RUANG LINGKUP DAN POKOK MATERI RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
Sesuai dengan permasalahan dan kondisi faktual perdesaan sebagaimana
diuraikan sebelumnya, maka rung lingkup dan pokok materi Rancangan
Undang-Undang tentang Pembangunan Perdesaan adalah sebagai berikut:
BAB I KETENTUAN UMUM
Disini dirumuskan definisi atau batasan yang dipergunakan dalam RUU
ini, yang meliputi definisi: Pembangunan Perdesaan, Masyarakat, Desa,
Perdesaan, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Sistem Informasi
Pembangunan Perdesaan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pemerintahan Desa, Pemerintah Desa, dan
Badan Permusyawaratan Desa.
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pembangunan perdesaan diselenggarakan dengan asas:
a) kebersamaan dan gotong-royong;
b) efisiensi berkeadilan;
c) berkelanjutan;
d) berwawasan lingkungan;
e) kemandirian;
f) kesetaraan;
g) kemanusiaan;
h) kebangsaan;
i) kekeluargaan;
j) bhinneka tunggal ika;
k) ketertiban dan kepastian hukum;
l) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
m) kreativitas;
n) kearifan lokal;
o) integratif;
p) transparansi;
q) akuntabilitas;
r) efektivitas;
86
s) responsif dan peran serta aktif;dan
t) tanggung jawab negara.
Sedangkan yang menjadi tujuan pembangunan perdesaan adalah untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran
masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap
menjamin terpeliharanya adat istiadat setempat.
BAB III RUANG LINGKUP DAN TAHAPAN PEMBANGUNAN PERDESAAN Pembangunan perdesaan meliputi pembangunan infrastruktur dan
sumberdaya manusia perdesaan, yang dilaksanakan melalui tahapan:
perencanaan; pelaksanaan; pengawasan; dan evaluasi.
BAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
Pemerintah dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan
masyarakat desa dengan:
a. meningkatkan kualitas masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan;
b. memberikan pendampingan dalam kegiatan pembangunan perdesaan;
c. menjamin ketersediaan lapangan kerja sesuai potensi desa;
d. mengutamakan penggunaan dan pengembangan teknologi tepat guna
dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan kearifan lokal; dan
e. menumbuhkembangkan adat-istiadat dan budaya lokal.
BAB V PEMBIAYAAN
Alokasi anggaran pembangunan perdesaan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Alokasi dan distribusi anggaran pembiayaan
pembangunan perdesaan diberikan langsung kepada masing-masing desa
dengan kategori desa besar, desa sedang dan desa kecil secara
proporsional harus berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks
pembangunan manusia, indeks kemahalan, dan sumber daya alam.
87
BAB VI INFORMASI PEMBANGUNAN PERDESAAN
Informasi Pembangunan perdesaan merupakan informasi publik yang
sifatnya umum, terbuka, dan bertanggungjawab disampaikan setiap
tahun kepada Badan Permusyawaratan Desa, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah.
88
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Yang dimaksud dengan Pembangunan Perdesaan adalah upaya
untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa dengan
memanfaatkan sumber daya, ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni, dan budaya, serta menjamin tetap terpeliharanya adat
istiadat setempat guna mewujudkan tujuan pembangunan
nasional.
2. Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa
adalah: a) pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia
perdesaan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa, b)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
memberdayakan masyarakat desa, c) Alokasi anggaran
pembangunan perdesaan secara langsung kepada masing-
masing desa.
3. Bentuk hukum untuk mewujudkan pembangunan perdesaan
adalah Undang-Undang tentang Pembangunan Perdesaan.
6.2. Saran
Berdasarkan kajian diperoleh data dan fakta bahwa pengaturan
tentang pembangunan perdesaan sudah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Namun, belum terdapat undang-undang yang
secara spesifik mengatur tentang pembangunan perdesaan. Sehingga
dibutuhkan Undang-Undang yang berfungsi sebagai pedoman tentang
kebijakan yang terkait dengan pembangunan perdesaan.