naskah kumpulan cerpen ; Lidah...

94
Lidah Sembilu Kumpulan Cerpen DAMHURI MUHAMMAD 2005

Transcript of naskah kumpulan cerpen ; Lidah...

Lidah Sembilu

Kumpulan Cerpen

DAMHURI MUHAMMAD

2005

2

Karnaval Pusar

Dulu, ketika kota ini belum bernama, belum tertulis dalam peta, dan ruas-ruas

jalan belum tergilas roda, leluhur kami pernah resah karena peristiwa aneh perihal

kelahiran seorang bayi. Mestinya kelahiran bayi disambut senyum ramah dan tawa

girang sebagai tanda rasa syukur pada anugerah Tuhan, bukan? Ya, tapi tidak bagi

bayi yang lahir tanpa pusar! Setelah menyembul, bayi itu mengeyak dan langsung

terlepas dari rahim perempuan yang mengejan melahirkannya. Dukun Beranak tak

perlu bersusah-payah memutus tali pusarnya.

“Wah, bagaimana saya akan memotong tali pusar? Pusarnya saja ndak ada”

Kelahirannya tak disambut suka cita dan ucapan selamat. Tapi disembur

gunjing, cela dan umpat.

“Jangan-jangan karena waktu mudanya, perempuan ini suka pamer pusar”

“Bila gemar pamer pusar, mestinya bayi itu punya banyak pusar, bukan?”

“Iya, harusnya ada pusar di hidung, kuduk atau jidat. Tapi kok malah ndak

punya pusar?”

Untunglah bayi tak berpusar itu tak bertahan hidup. Tak lama setelah

kelahirannya, bayi yang belum sempat diberi nama itu meninggal. Musnah sudah

segala gunjing, makian dan sumpah serapah!

****

3

Kini, kota kami sudah benama. Kami menyebutnya kota Antala. Sudah

tertulis dalam peta dan ruas-ruas jalan pun telah tergilas roda-roda. Keluarga, karib-

kerabat, sanak famili dan seluruh warga kota Antala kembali tak tentram. Resah.

Was-was. Utamanya sejak tersiar kabar tentang hantu-hantu gentayangan yang selalu

meneror dan mengusik ketenangan. Bukan Kuntilanak, Gendruwo, Pocong atau

Sundel Bolong seperti yang sering kami tonton di layar TV. Tapi, hantu-hantu yang

telah berubah wujud menjadi ; gadis-gadis cantik.

Rata-rata fisik mereka tinggi langsing. Pinggang ramping. Kulit kuning

langsat. Betis putih mulus. Dada penuh berisi. Pinggul sintal, bahenol. Kecuali kami,

tak bakal ada yang mengira bahwa perempuan-perempuan liar yang genit dan kemayu

itu adalah hantu-hantu celaka penyebar dosa. Meski tampak seperti gadis-gadis

perawan, mereka tak tertarik menggoda lelaki-lelaki lajang, tapi lebih berselera pada

lelaki-lelaki yang sudah menikah. Gemar memikat suami orang dengan segala macam

jurus rayuannya. Merusak rumah tangga orang. Membuat pasangan-pasangan muda

di kota Antala jadi tak bergairah pada istri masing-masing. Lalu, memendam hasrat

diam-diam untuk mencari Perempuan Idaman Lain (PIL). Berselingkuh. Inilah kabar

paling menakutkan bagi ibu-ibu rumah tangga di kota kami, kota Antala.

Siang bolong, mereka mondar-mandir, keluar-masuk instansi-instansi

pemerintah dan kantor-kantor perusahaan swasta. Berkedok sebagai agen-agen

asuransi atau sales aneka produk kecantikan. Awalnya sekedar melenggang-lenggok

dengan rok super mini dan sepatu hak tinggi sambil mesam-mesem di depan mata

para lelaki yang kian asyik menguntit mereka. Mempertontonkan ranum tubuh yang

4

bikin jakun naik turun. Aih, mana tahan? Lelaki mana yang tak terpukau melihat paha

yang sebentar-bentar tersingkap oleh kesiur kipas angin? Siapa pula yang tak ingin

mentraktir makan siang? Lambat laun, boleh jadi bakal tergoda pula mengajak

mereka dalam perjalanan dinas luar kota.

“Jangan gampang percaya sama laki! gua lagi berantem dengan kang Tukijan.

Ia ngaku abis jalan ama cewek lain. Untung enggak sampai tidur” gerutu Kaslanih

menceritakan perangai suaminya. Cemberut

“Emangnya, lu tau dari mana?” tanya Yunaning, heran

“Temennya yang ngasih tau.Terus gua desak, akhirnya ngaku deh…”

“Sekarang kang Tukijan gua kunci di kamar. Sebel gua!. Berani-beraninya

ngebohongin bini”

“Hati-hati lu! Hantu-hantu itu makin merajalela. Jangan sampai lakimu ikut-

ikutan terpikat pada kemolekan tubuh mereka”

Kasiran, termasuk lelaki setia. Sejak menjadi suami Yunaning, ia tidak neko-

neko. Mereka belum pernah berantem karena Kasiran memang belum pernah macem-

macem. Pulang dari kantor, Kasiran tak keluar malam. Waktu luangnya dihabiskan di

rumah, bersama istri dan dua anak yang masih kecil-kecil. Namun, akhir-akhir ini ia

mulai pulang malam, sesekali pulang pagi. “Ada meeting di kantor” begitu kilahnya.

Awalnya Yunaning percaya saja pada alasan suaminya, tapi setelah tersebar berita

tentang hantu-hantu berwujud perempuan cantik bergentayangan di kota Antala,

Yunaning mulai curiga.

5

Sejak mendengar cerita Kaslanih soal perangai kang Tukijan, Yunaning kian

gundah, tidurnya mulai tak nyenyak. Kecurigaannya makin menjadi-jadi. Alhasil,

Yunaning bernasib sama dengan Kaslanih. Perempuan beranak dua itu berantem

abis-abisan dengan suaminya. Betapa tidak? Tak sengaja ia mencium wangi parfum

cewek di kemeja yang dipakai Kasiran. Entah kenapa, lelaki setia seperti Kasiran

tiba-tiba berubah menjadi mata keranjang.

“Kau bilang ada meeting. Ternyata meeting itu malah mengepit yang penting-

penting toh? Brengsek….!”

“Dasar laki-laki!. Ndak tahan kalau sudah liat bokong”

Tak berselang lama, kota Antala gempar. Jalangat tertangkap basah main

serong dengan cewek bernama Sintia di sebuah penginapan kelas menengah. Sebelum

keduanya diarak bugil keliling kota, Niranti (istrinya) mencak-mencak serupa

kesetanan. Perempuan itu menggebu-gebu hendak menyembelih batang kelamin

Jalangat. Atau mungkin hendak mencabik-cabik perut Sintia yang telah tidur dengan

suaminya, menggorok lehernya hingga mati terjungkal sebagai pezina.

“Kau bilang cuma pergi mancing, E….ternyata kerjaanmu mancing cewek.

Kubunuh kau, begundal!”

“Kuhabisi hidupmu, perempuan sundal!” gertak Niranti.

“Awas kalian!”

****

6

Bukan hanya Kaslanih, Yunaning dan Niranti yang sedang tak rukun dengan

suami masing-masing. Petaka serupa juga menimpa Ruvansi, Rufinis, Warsinah dan

hampir semua ibu-ibu rumah tangga di kota Antala. Nasib mereka sama ; dikhianati

suami. Sejak hantu-hantu berwujud perempuan cantik bergentayangan, suami-suami

mereka tak betah di rumah. Kehilangan selera. Gemar keluyuran malam. Pulang pagi,

bahkan ada yang pulang cuma tiga hari sekali. Celaka, O, sungguh celaka!

“Hantu-hantu keparat. Ayo, kita cari mereka! Lalu kita gantung rame-rame!

Tunggu apa lagi? Bengong aja lu…” teriak Ruvansi memprovokasi teman-temannya.

“Kalau ketangkap ndak usah digantung, langsung kita rajam saja!” dukung

Warsinah, bersemangat.

“Jangan ngawur! hantu mana bisa mati? setelah diringkus, kurung saja!.

Bikinkan kandang! Agar mereka enggak gentayangan lagi”

Disebut-sebut, hantu-hantu genit itu sebagai biang kekacauan. Mereka sedang

diburu pihak berwajib. Semula, polisi agak sukar membedakan antara hantu-hantu

berwujud perempuan sintal dengan gadis-gadis sungguhan kota Antala. Tak ada ciri

khusus yang dapat dicermati pada bodi montok hantu-hantu itu. Nyaris tak berbeda

dengan perempuan-perempuan sungguhan.

Namun, berkat bantuan Kigusar, paranormal terkenal di kota Antala, akhirnya

terungkap juga sejarah tentang peristiwa janggal yang pernah terjadi. Dulu, ketika

kota ini belum bernama, belum tertulis dalam peta dan ruas-ruas jalan belum tergilas

roda, lelulur kami pernah resah oleh kelahiran ganjil seorang bayi. Mestinya kelahiran

bayi disambut senyum ramah dan tawa girang sebagai tanda rasa syukur pada

7

anugerah Tuhan, bukan? Ya, tapi tidak bagi bayi yang lahir tanpa pusar! Setelah

menyembul, bayi itu mengeyak dan langsung terlepas dari rahim perempuan yang

mengejan melahirkannya. Kelahirannya tak disambut ucapan selamat. Tapi, disembur

gunjing, cela, dan umpat. Untunglah, bayi perempuan tak berpusar yang bikin heboh

itu tak bertahan hidup. Tak lama setelah kelahirannya, bayi merah yang belum sempat

diberi nama itu meninggal. Maka, musnahlah segala gunjing, makian dan sumpah

serapah.

“Jadi, hantu-hantu itu penjelmaan dari bayi perempuan tak berpusar?

Berkembang biak, beranak-pinak dan bikin kacau di kota ini?” tanya seorang anggota

polisi pada Kigusar,

“Nah, kalau begitu ciri fisiknya sudah jelas. Hantu-hantu berwujud

perempuan-perempuan molek itu tak berpusar. Tinggal kita periksa saja bagian

perutnya begitu ketangkap” tegas polisi itu, puas.

Kigusar pun mengangguk sembari terkantuk-kantuk.

****

Hingga kini, hantu-hantu berwujud perempuan sintal yang mengundang

syahwat itu terus diburu dan diburu. Sialnya, operasi penangkapan justru

menimbulkan masalah baru. Keresahan massal di kalangan gadis-gadis (sungguhan)

kota Antala. Resah, bilamana aparat salah tangkap. Lalu memproses mereka hanya

karena tuduhan salah alamat.

8

Sejak itulah, gadis-gadis muda kota kami selalu mengenakan busana minim

yang menyingkapkan bagian perut dan memperlihatkan pusar. Ya, pamer pusar untuk

memberi tanda agar mereka tak dicurigai sebagai hantu-hantu gentayangan yang

sedang dicari-cari. Di pinggir jalan, jembatan penyeberangan, halte-halte

pemberhentian bis kota, kampus-kampus, pasar-pasar, stasiun kereta, terminal-

terminal dan mal-mal, jangan heran bila anda menyaksikan gadis-gadis muda

mondar-mandir, melenggang-lenggok dengan stelan celana jeans ketat dan baju serba

minim sambil mempertontonkan pusar. Ada pusar yang ditindik, dipasang anting-

anting dari berbagai model dan ukuran. Sekali lagi, jangan heran! Bahkan ada pusar

yang sengaja dihiasi tato bergambar kalajengking di sekelilingnya.

Kelapa Dua, 2005

9

Perempuan Berkerudung Api

Tiada cela pada diri Nilam Sari. Cerdas otaknya. Tinggi sekolahnya. Taat

ibadahnya. Anggun paras wajahnya. Santun tutur-katanya. Lembut suaranya bila

menyapa. Pandai benar ia membawa diri. Maka, banyaklah lelaki yang menaruh hati,

berhasrat hendak mempersuntingnya. Pinangan pernah datang dari Tanbara. Lelaki

dari kampung sebelah. Kabarnya, sudah tiga tahun berdinas sebagai tentara. Nilam

Sari hanya menunduk dan diam sewaktu Tanbara beserta keluarga datang melamar.

Tapi, bukankah tak menjawab sudah berarti sebuah jawaban? Diam pertanda

menerima.

Senang tiada terkira Cu Sidar merasa. Tak disangka, ia bakal punya menantu

tentara. Berpangkat sersan pula. Tegap tampangnya. Berwibawa penampilannya.

Serasa mendiang ayah si Nilam bakal hidup lagi. Almarhum suami Cu Sidar, dulu

juga tentara. Maka, yang hilang bakal berganti. Tentara berganti tentara. Semoga

kelak mereka dikaruniai anak laki-laki yang bercita-cita jadi tentara pula.

Saat aqad nikah akan digelar, (sebelum ijab dan qabul dilafalkan di depan

penghulu), tiba-tiba Tanbara menghentak-hentak seperti kesurupan, dan menolak

duduk bersanding dengan calon istrinya. Gemetar dan menggigil lelaki berkepala

cepak itu setelah melihat Nilam Sari muncul dari kamar, mengenakan baju pengantin,

lengkap dengan kerudung yang melingkar di kepalanya. Konon, dari kerudung Merah

Jambu penuh renda-renda itu, asal muasalnya petaka. Percaya atau tidak, Tanbara

bersaksi : kerudung itu dilihatnya serupa lidah api yang menjalar-jalar di ubun-ubun

10

Nilam Sari. Perempuan itu seolah-olah menjunjung tungku yang menyala. Panas

minta ampun hawa di dalam rumah Cu Sidar. Tanbara berkeringat, disertai ngeri

bakal dilalap api, bila mereka tetap menghadap penghulu. Seperti dikejar hantu

Tanbara lari terbirit-birit, meninggalkan kerumunan orang-orang yang terperangah

keheranan.

“Tidak, saya tidak akan menikah dengan Nilam. Ia memakai kerudung api.

Bisa mati gosong saya dibuatnya” ucap Tanbara berulang-ulang, serupa orang

menggigau.

Malanglah nasib Cu Sidar. Maksud hati hendak menggelar pesta besar-

besaran. Kambing dan Sapi sudah siap disembelih. Undangan sudah tersebar pula.

Tapi celaka! Aqad nikah batal. Entah iya entah tidak : Nilam Sari mengenakan

kerudung api. Bikin takut si tentara, hingga tak berani mendekat. Ah, siapa pula yang

tak gamang berhadapan dengan kobaran api? Hari itu, Cu Sidar gagal bermenantu

tentara.

“Kerudung macam apa pula kiranya yang kau pakai, Nilam?”

“Apa benar yang dikatakan Tanbara?”

“Sudahlah, Mak! Mungkin tak berjodoh awak dengan tentara.”

Tak sekali dua musibah ini menimpa Cu Sidar. Pernah pula pinangan datang

dari Zulkifli, si perantau muda. Kabarnya, sudah punya toko kelontong di Jakarta.

Setinggi-tinggi terbangnya burung Bangau, di kubangan juga tempat hinggapnya.

Sejauh-jauh Zulkifli merantau, di kampung juga ia hendak mencari bini. Pucuk

11

dicinta ulam tiba. Nilam Sari, si gadis elok laku kebetulan masih sendiri. Jatuhlah

pilihan pada perempuan itu.

Sejatinya sudah tersiar ‘kabar kabur’ soal Nilam Sari. Anak tunggal Cu Sidar

itu memang cantik alang kepalang, mengundang puja-puji, decak kagum di sana-sini.

Tapi, manalah mungkin Zulkifli dapat memilikinya? Nilam Sari seumpama Mawar

berduri. Sedap hanya dipandang mata. Bila disentuh, Eiit…! Tangan bakal terluka.

Dari mulut ke mulut diceritakan, perempuan itu kerap terlihat memakai kerudung api.

Menyala, menjalar-jalar, serupa api unggun yang berkobar di ubun-ubunnya. Lebih-

lebih, bila yang melihat adalah lelaki yang menaruh hati.

“Awak tak peduli. Akan awak lamar itu si Nilam” tekad Zulkifli, meluap-

luap.

“Setelah menikah, akan awak boyong ia ke Jakarta”

“Coba saja kalau kau berani!”

“Tubuhmu bakal hangus terbakar di malam pertama”

“Ingat, Nilam Sari tak akan pernah bersuami!”

“Diam kalian! Sebentar lagi awak akan jadi lakinya.”

Begitulah. Nilam Sari tak menyela barang sepatah kata pun ketika ibu-bapak

Zulkifli melamar ke rumah Cu Sidar. Seolah tiada bertenaga ia mengangkat kepala,

sekedar menatap kening Zulkifli yang makin mengkilat saja sejak sukses jadi

pedagang. Tentu, diam sudah jadi kiasan sebuah jawaban. Nilam Sari, perempuan tak

banyak pilih.

12

Giranglah pula hati Cu Sidar. Dihitung-hitungnya persediaan uang yang

tersisa, guna menggelar helat yang hanya sekali seumur hidupnya. Bila tak cukup,

tidaklah soal. Jual saja satu-dua koin emas yang tersimpan rapi dalam kaleng bekas

biskuit di biliknya. Tak perlu kuatir, bila kelak si Nilam benar-benar diboyong ke

Jakarta. Sekali waktu bila rindu, bolehlah Cu Sidar berkunjung ke sana. Menjenguk

cucu sambil melihat-lihat usaha si menantu. Pun, bila modal berdagang perlu

ditambah, tak pula sukar bagi mertua kaya seperti Cu Sidar. Lelang saja sawah barang

sepetak dua petak. Lalu, uangnya kirimkan untuk Zulkifli!

Tapi musibah datang lagi. Meski baju pengantin sudah berganti. Kali ini

bersulam benang emas, berkilau kekuning-kuningan. Kerudung penutup kepala juga

bukan Merah Jambu lagi. Sudah berganti Putih, pertanda kesucian hati. Namun, tetap

saja ubun-ubun Nilam Sari menyemburkan hawa panas yang membara. Lidah api

menjilat-jilat, menjalar-jalar. Belum lagi penghulu datang, Zulkifli sudah lari

terkangkang-kangkang. Serupa dikejar hantu, calon mempelai itu menghamburi

kerumunan tamu, lalu melompat lewat jendela. Tak tahan ia menanggung panas yang

menyeruak dari kerudung api di kepala Nilam Sari.

“Menyesal awak cari bini di kampung ini. Masa’ si Nilam berkerudung api.

Bisa hangus jadi abulah awak nanti”

“Cari gadis lain, jangan kawin dengan perempuan berkerudung api!”

****

13

Mana mungkin kami dapat memiliki delapan belas bidang sawah, empat

bidang kebun kelapa, tiga kaveling ladang cengkeh dan berpuluh-puluh keping koin

emas itu, bila anak gadisnya masih ada? Silsilah keluarga Cu Sidar tidak akan punah

selama Nilam Sari, puteri tunggalnya itu masih hidup. Tentu, ke tangan perempuan

itulah hak waris bakal jatuh. Akan bertambah panjang pula penantian kami bila gadis

hitam manis itu sudah dilamar orang. Menikah, berketurunan, berkembang biak

melahirkan pewaris-pewaris baru. Tapi, kami sudah lama melarat. Kami ingin hidup

makmur seperti Cu Sidar, saudara jauh kami itu. Kami ingin menjadi pewaris

hartanya. Sudah bosan kami hidup miskin. Bagaimana caranya?

“Nilam Sari tak boleh dapat jodoh!”

“Banyak yang jatuh hati padanya. Mana mungkin kita halangi?”

“Pokoknya, jangan sampai ia menikah, apalagi punya keturunan”

“Apa yang mesti kita perbuat?”

“Bila tak mempan cara lahir, pakai cara batin. Guna-gunai saja perempuan

itu!”

Sedikit lega kami merasa. Kini, Cu Sidar sudah tiada. Sejak kegagalan demi

kegagalan perkawinan anak gadisnya itu, sering ia sakit-sakitan. Jarang keluar rumah,

mengurung diri saja dalam bilik. Ada kami tawarkan bantuan, hendak membawa

perempuan ringkih itu ke rumah sakit. Siapa tahu ia mengidap penyakit kronis. Soal

biaya, tidaklah jadi pikiran. Tinggal menjual satu-dua koin emas yang masih

menumpuk dalam kaleng bekas biskuit. Tapi Cu Sidar menolak. Ini sudah penyakit

tua, percuma, katanya. Kian hari, kian buruk saja keadaannya, hingga Cu Sidar

14

terbaring lemas, berhari-hari tak sadar diri. Meninggal juga Cu Sidar akhirnya. Kami

kuburkan jenazahnya di belakang rumah, sesuai wasiatnya.

Agaknya tidak akan lama lagi kami menunggu. Delapan belas bidang sawah,

empat bidang kebun kelapa, tiga kaveling ladang cengkeh dan berpuluh-puluh keping

koin emas itu bakal jadi milik kami. Tentu, setelah Nilam Sari, perempuan

berkerudung api itu juga mati, menyusul Cu Sidar, emaknya. Mustahil Nilam Sari

beroleh suami. Sebab, ia masih dikuasai kekuatan jampi-jampi kami. Ia tetap saja

perempuan berkerudung api. Siap membakar tubuh lelaki mana pun yang berhasrat

memperistri.

“Persingkat saja penungguan kita!”

“Apa pula maksudmu?”

“Putuskan tali jantung perempuan itu! Biar mampus…”

“Jangan buru-buru, sabar sedikit!”

“Tak dibunuh pun, bakal mati sendiri”

**** Lengang benar rumah itu sepeninggal Cu Sidar. Sementara, gunjing perihal

perempuan berkerudung api tak kunjung reda. Tak tahu Nilam, ke mana hendak

mengadu. Kawan-kawan sejawat dan tetangga-tetangga dekat tiada berkenan

mendengar keluh kesahnya.

“Kelak bila tak ada lagi yang dapat dianggap saudara, lebih baik pergi jauh-

jauh!” begitu nasehat Cu Sudar pada Nilam Sari, beberapa saat sebelum kematiannya.

15

“Bolehlah kau tak berjodoh di kampung ini. Siapa tahu di negeri seberang,

ada lelaki yang tengah menunggumu”

Delapan belas bidang sawah, empat bidang kebun kelapa, tiga kaveling

ladang cengkeh dan berpuluh-puluh keping koin emas peninggalan Cu Sidar, dijual

Nilam Sari, ludes tiada bersisa. Juga rumah dan semua perabotannya. Bukankah itu

semua memang milik Nilam Sari?

“Kenapa tak kau sisakan kami barang sedikit, Nilam?”

“Kami juga saudara emakmu, bukan?”

“Sisakanlah barang sebidang kebun kelapa atau ladang cengkeh!”

“Saudara? Saudara apa namanya yang tega menggunai-gunai anak gadis

saudaranya sendiri?”

“Kalian telah buat awak berkali-kali gagal menikah. Kalian baca jampi-jampi

agar kerudung awak nampak serupa kobaran api. Kalian ingin kami punah. Lalu,

kalian bakal menjawab hak waris. Kalian masih anggap emak awak sebagai

saudara?”

Tergesa-gesa Nilam Sari pergi meninggalkan kami. Entah ke mana ia hendak

menuju. Terus kami perhatikan langkah-langkah gegasnya. Di ujung jalan, sedan

coklat tua berhenti dalam keadaan pintu terbuka, siap membawa perempuan itu.

Sebelum masuk mobil, masih kami lihat kobaran api menjalar-jalar di ubun-ubunnya.

Nilam Sari tetaplah perempuan berkerudung api, selama masih menginjakkan kaki di

kampung ini. Pengaruh guna-guna itu bakal musnah binasa, bila ia sudah

menyeberang laut. Entah siapa pula yang membuka rahasia jampi-jampi kami.

16

Mungkin, Nilam bakal berlayar. Jauh, ke negeri seberang. Agar kutukan kerudung api

itu hilang. Agar ia lekas beroleh jodoh. Menikah. Meneruskan silsilah keluarga Cu

Sidar. Meski, usianya sudah berkepala empat.

Kelapa Dua, 2005

17

Kisah-kisah yang Terkubur

Jagat negeriku serupa mata air kisah yang tak pernah kering. Bukan kisah-

kisah suka cita seperti yang diobral dan diumbar penulis-penulis kondang di

negerimu, melainkan segunung riwayat ratap-haru yang tiada bersudah, meski seumur

hidup kubaktikan untuk menulisnya. Bila tak keberatan, maukah kau mengajariku

menulis? Aku ingin menulis kisah-kisah itu. Meski, hanya untuk beberapa judul saja!

“Dalam kecamuk perang dan huru-hara yang tak pernah damai itu, bukankah

semestinya kau berjuang di medan laga?”

Bahuku sudah lelah memikul senjata. Aku makin ngeri dan tak bernyali lagi

melihat kecipak darah tertumpah di mana-mana. Kau tak perlu mencurigaiku! Aku

hendak menulis bukan untuk meraih kemasyhuran seperti obsesi yang hendak digapai

setiap pengarang di negerimu. Aku hanya hendak melukiskan pekik ibu tatkala

gerombolan lelaki bertopeng bersenjata laras panjang mendobrak pintu rumah kami.

Menyeret jasad ringkih ayah seperti menyentakkan seekor kambing yang akan

digiring ke rumah jagal. Keberingasan mereka jauh lebih keji dari cara kompeni

membekuk ekstrimis. Malam itu, terakhir kali kami menatap keteduhan di rona muka

ayah. Aku, Ibu dan Lailatuna (adik perempuanku) terdiam dan menghela nafas

panjang setelah truk yang mengangkut ayah dan orang-orang bertopeng itu

menghilang di gelap malam. Dalam hening, kami memendam keniscayaan ; ayah tak

akan kembali pulang. Kalaupun pulang, tentulah sekedar ‘pulang nama’, tanpa

‘pulang jasad’.

18

“Waw…! kau telah melukis kisah itu di atas kanvas kesadaranmu. Agaknya

kau tak perlu belajar lagi. Sebab, tulisan yang tercatat di ceruk batinmu lebih kekal

dibanding kisah-kisah dalam buku” kilahmu, menolak permintaanku.

Belum juga kau tergugah hendak mengabulkan permohonanku? Kau cemas

bila kelak kisahku terpajang di koran-koran negerimu, lalu akan menyaingi kehebatan

kisah-kisahmu? Kau kuatir bila kelak para kritikus sastra negerimu sibuk

mendiskusikan karya-karyaku, membacakannya di panggung-panggung seni

pertunjukan, hotel berbintang atau gedung kesenian? Dan, itu berarti ‘kiamat’ bagi

keagungan dan kehebatan kisah-kisahmu?

“Sungguh! Aku tak mampu mengajarimu”

“Bukankah kau telah menabung luka selama bermusim-musim? Mengacalah

pada bekas luka-luka itu! Kelak lidahmu bakal fasih merangkai kisah” tegasmu,

memuji

Meski kau mau dan bersenang-hati mengajariku, lidah penaku tentu tak akan

selentur lidahmu yang latah bernarasi tentang riwayat cinta dan romantisisme picisan

yang ditunggu-tunggu khalayak pembaca di negerimu. Aku tidak berpretensi

menyaingi karir kepengaranganmu. Aku hanya ingin mendokumentasikan ratap

histeris ibu tatkala gerombolan lelaki bertopeng (lagi-lagi) mendobrak pintu rumah

kami. Menyeret tubuh langsing Lailatuna seperti sekawanan anjing-anjing lapar

hendak mencabik-cabik bangkai mangsanya. Jilbabnya terkoyak-koyak hanya dengan

satu kali renggutan tangan kasar salah satu dari mereka. Lailatuna berkeringat dingin

dan gemetar ketakutan saat terkepung di tengah lelaki-lelaki bertopeng yang

19

membuat pola melingkar mengurungnya. Takut bersitatap dengan sorot mata garang

yang menghentak-hentak hendak menjamah ranum tubuhnya. Tak lama kemudian,

tangan-tangan jahil mereka melucuti pakaian Lailatuna satu persatu, hingga tak

sehelai benang pun membalut badannya.

Tubuh telanjang itu terhempas, terbanting hingga tergeletak di lantai ubin

tanpa tikar. Mereka berhamburan menerkam, menindih dan ‘menggarap’ Lailatuna.

Bergantian. Saling sikut, saling berebut dan sesekali saling menyeringai karena kuatir

tidak beroleh jatah. Ibu meronta-ronta, memekik, menjerit. Tapi, jeritannya terhenti

hanya dengan satu kali tendangan yang bersarang di ulu hatinya. Seketika ibu

terjungkal menelungkup tak sadarkan diri. Kutancapkan ujung senapan ke dalam

sebuah liang dari balik dinding tempatku bersembunyi. Kualamatkan peluru terakhir

itu tepat ke dada Lailatuna yang sedang mengerang kesakitan. Dooor! Akhhhhhh..!

Aku tak sanggup menyaksikan ia memasrahkan tubuh mulusnya di bawah

himpitan begundal-begundal keparat yang sedang mabuk syahwat itu. Demi

mematikan rasa perih Lailatuna, aku membunuhnya. Hanya kematian yang dapat

membebaskan adikku dari cengkraman lelaki-lelaki jahanam itu. Darah segar

memuncrat dari dada telanjangnya, bajingan-bajingan itu tersentak kaget, dan

bergegas lari terkangkang-kangkang dalam keadaan setengah bugil.

“Wah! Kau sangat piawai menulis kisah-kisahmu. Bahkan melebihi

kemampuan rata-rata pengarang di negeriku. Mestinya, aku yang harus berguru

padamu.” sanjungmu lagi.

20

Aku tak butuh basa-basimu, kawan! Aku hanya ingin kau mengajariku. Kelak,

bilamana aku sudah terampil dan telaten menulis, aku tidak akan mengirimkan

naskah-naskahku ke koran-koran yang terbit di kotamu. Juga tidak akan

mengikutsertakan kisah-kisahku dalam sayembara-sayembara penulisan. Aku tak

butuh penghargaan! Kisah-kisahku tak perlu dihargai! Aku hanya ingin mewartakan

kemarau panjang yang terus menerus melanda negeriku. Kemarau yang tak hirau

pada sekuntum Anyelir yang ditanam almarhumah Lailatuna di halaman rumah.

Setiap lembar daunnya memerah dipanggang terik. Satu per satu berguguran di tanah

gersang yang mulai merengkah retak. Remang senja ini entah bulan ke berapa sejak

hujan tak membasuh kuncup bunga itu. Jangankan hujan, gerimis pun enggan

menjengukku. Kalaupun ada, itu bukan gemericik yang jatuh di atap usang rumah

kami, tapi rintik cairan bening yang terpacak dari sepasang bola mata ibu.

Kemarau ini nyaris meniscayakan, langit negeriku kering, hingga mustahil

aku bermimpi tentang hujan. Tapi, gerimis tak pernah reda di mata ibu. Mata ibu

seumpama dua liang mata air yang selalu saja memuncratkan rintik. Meleleh di

permukaan pipinya, menggelincir di leher jenjangnya dan menetes melembabkan

daster lusuh yang setiap hari dikenakannya. Ah, hatiku ngilu pada setiap jeda waktu

bersitatap dengan rona wajah sendu ibu, tepat pada sorot mata yang berkaca-kaca.

Sengilu lukaku sejak kehilangan ayah. Sengilu hatiku saat menguburkan mayat

Lailatuna yang terbunuh oleh peluru dari moncong senapanku sendiri. Kawan,

maukah kau mengajariku menulis?

****

21

Sudah lama kawanku tak berkabar. Barangkali, ia telah menulis berpuluh-

puluh kisah tentang negeri yang tak henti-hentinya diterjang prahara itu. Mungkin ia

telah bercermin pada puing luka-luka yang ditabungnya selama bemusim-musim,

hingga lidah penanya telah fasih merangkai kisah, tanpa harus belajar pada siapapun.

Kawanku itu tak pernah tahu, bahwa kini aku sudah berhenti menulis. Bukan

karena kehabisan ide cerita, tapi karena aku merasa tak patut lagi menjadi penulis.

Sejak ia memuji-muji kedahsyatan kisah-kisah cinta picisan yang kutulis, aku merasa

tersindir dan malu. Bukankah kisah-kisahku tak lebih dari bual-gombal yang

terbungkus kemasan plastik estetik? Kisah-kisah puitis yang memukau, tapi kering

dan kehilangan ruh, seperti keranjang usang penuh sampah kata, frase dan kalimat.

Aku tak pernah mampu melahirkan kisah agung, kecuali hanya mengarang kisah-

kisah sampah. Melimpah, tapi murah. Maka, aku pun ‘pensiun’ menulis kisah.

Aku ingin mendengar kabar darinya. Utamanya sejak tersiar berita tentang

gempa berkekuatan dahsyat meluluhlantakkan negerinya. Pemukiman penduduk,

kantor-kantor pemerintah, sekolah-sekolah dan rumah-rumah ibadah digulung

gelombang Tsunami, hingga nyaris tak bersisa. Hancur lebur, rata dengan tanah.

Ribuan mayat bergelimpangan di jalur-jalur utama kota, tersangkut di pohon-pohon,

tertimbun di reruntuhan gedung yang ambruk. Disebut-sebut, petaka itu adalah

bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Banda Aceh, Meulaboh dan seantero

wilayah di sekitar pusat gempa terserang aroma tak sedap yang kian menyengat. Bau

mayat yang belum dimakamkan.

22

“Jika kau masih ingin belajar menulis, aku punya kenalan seorang penulis

kisah ternama. Ia pasti bersenang hati mengajarimu”. begitu short message service

yang kukirim ke ponselnya.

“Aku tak butuh guru lagi”. balasnya. Singkat

“Kau sudah bisa menulis rupanya? Boleh aku membaca kisah-kisahmu?”

“Aku tak perlu menulis lagi” ketusnya, pesimis

“Kenapa?”

“Kisahku tamat. Negeriku kiamat. Tak ada yang perlu ditulis lagi, bukan?”

“Bagaimana dengan kisah-kisah yang hendak kau tulis dulu?” tanyaku lagi

“Biarlah kisah-kisah itu terkubur di puing rumahku yang porak poranda.

Biarlah kisah-kisahku hilang seperti hilangnya ayah, hilangnya nisan di pusara

Lailatuna dan hilangnya jenazah ibu. Musnah seperti musnahnya hidup orang-orang

di negeri kami.” jawabnya, haru.

Lama aku terperangah, lalu menengadah ke langit malam yang makin lindap.

Selindap harap untuk dapat bertemu kembali dengannya.

Jakarta, Desember 2004

Untuk sahabatku ; Mukhlis, di Banda Aceh saya ndak tahu gimana nasibmu, kini!

23

S I M A L A K A M A

“Aku tak takut mati, Jauhara! Bukankah hidup hanya sekedar menunggu

antrian di loket kematian *)?”

Benar! Tak ada yang mampu menolak ajal. Tapi, kenapa ia memilih cara mati

sebagai pezina laknat yang dirajam menjelang malam? **). Tak bisakah ia

menjemput maut dengan cara yang lebih bermartabat? Mati sebagai ibu saat

memacakkan orok dari rahimnya. Mati sebagai pejuang yang terbunuh tatkala

meneriakkan yel-yel tuntutan kenaikan gaji buruh, atau mati syahid di tiang

gantungan. Bukan mati dengan cara memasrahkan tubuh sintalnya pada lemparan

batu yang mencabik-cabik kulit wajahnya. Mati terjungkal sebagai pendosa celaka

yang tertangkap basah bersenggama dengan lelaki begundal di remang senja.

Seingat Jauhara, itulah cara mati paling hina yang pernah disaksikannya.

Mayatnya terkapar di bibir trotoar. Darah masih mengucur di pipinya yang lebam,

merembes perlahan-lahan di lehernya. Tak terlihat lagi alis matanya yang tumbuh

lebat itu, juga rapi susunan giginya bila mengumbar senyum. Begitu pun aura

memikat yang menyemburat dari mata elangnya. Binasa sudah! Pelipisnya pecah,

berdarah-darah. Ia bukan siapa-siapa lagi, hanya bangkai yang tak akan dikuburkan.

Jangan harap ada tanah pemakaman bagi mayat pezina di kota ini!

24

Meisya, begitu Jauhara memanggilnya. Nama yang ringkas. Seringkas jeda

waktu ia berkeputusan berhenti jadi sundal, dan tiba-tiba saja menyatakan cinta pada

Jauhara, persis di saat puluhan lelaki hendak menjilati wangi tubuhnya.

“Aku tak akan melacur lagi bilamana sudah jadi binimu” janji Meisya seperti

bersijujur.

“Menikah denganku hanya menurunkan derajat kelaminmu. Aku tak akan

membayarnya seperti puluhan lelaki itu ‘membeli’ tubuhmu” balas Jauhara, setengah

menolak.

“Aku ingin menjemput maut saat berada dalam genggamanmu. Jadikan aku

istri syahmu, Jauhara!”

****

Kota rebah di belantara sunyi yang pekat. Tak riuh dari deru mesin kendaraan.

Lengang. Tapi, Jauhara tak hendak beranjak, masih duduk membatu di samping

Meisya, seonggok bangkai pezina yang dibantai dengan cara paling keji.

“Katanya kau ingin mati sebagai perempuan terhormat, kenapa kau tinggalkan

aku? Lalu, mengangkang di bawah tindihan lelaki iblis itu, hingga orang-orang

sekota ramai-ramai merajammu” batin Jauhara, menggerutu

“Atau memang sudah lumrah, pelacur kembali jadi sundal?”

Disekanya bercak-bercak darah di pipi kanan mayat Meisya. Diusapnya

bekas-bekas luka di punggung dan kuduknya. Diselimutinya bangkai itu dengan

sobekan kain spanduk yang direnggutnya dari pagar pinggir trotoar. Diciumnya leher

mayat Meisya. Dipeluknya. Didekapnya. Erat-erat. Kuat-kuat. Meski ia tahu, dekapan

25

dan pelukannya sudah tak berarti apa-apa bagi mayat perempuan yang sudah pucat

pasi itu.

Meisya memang sudah terbujur kaku jadi mayat. Tapi, Jauhara tak lupa raut

wajahnya, karakter senyumnya, sorot tajam yang memancar dari mata coklatnya.

Motif gaun pengantin yang dikenakannya pada upacara pernikahan sederhana (tanpa

pesta, tanpa doa, tanpa restu). Konon, mayat itu pernah menjadi perempuannya. Dulu,

mereka tinggal dan hidup di rumah yang sama, kamar yang sama bahkan selimut

yang sama. Jauhara tak lupa, karena ia amat merindukan Meisya.

Setahun lalu, Meisya hengkang dari hidup Jauhara. Tubuhnya berpindah ke

dalam genggaman tangan lelaki lain. Rebah dan bersandar di dada bidang lelaki itu.

Jauhara pun sudah berhenti mencarinya. Bukan karena lelah. Tapi karena sudah

mustahil merenggutkan tubuh istrinya yang tengah mengangkang di bawah himpitan

lelaki bejat itu. “Barangkali kau tak sungguh-sungguh ingin berhenti melacur!” umpat

Jauhara waktu itu.

Bersusah payah Jauhara menguburkan hasrat rindu pada Meisya. Ingin

dilupakannya kenangan tentang segelas kopi panas dan sepiring pisang goreng yang

tersuguh dengan tatapan teduh. Tentang tawa riang yang menyejukkan, bahkan

tentang kecupan malam yang menyisakan basah di kening Meisya. Telah dipijak-

pijaknya kenangan itu dengan hentakan langkah kaki dalam rentang panjang

tualangnya. Tapi, wangi Melati yang berasal dari lenguh nafas Meisya masih melekat

di kedua belah telapak tangannya, lehernya, kuduknya, dada tipisnya. Hari ke hari,

bau khas tubuh Meisya yang tertinggal di tubuh Jauhara itu kian menyengat.

26

Tubuhnya menjelma ladang tempat tumbuh suburnya harum Melati, puing

peninggalan Meisya. Berurat, berakar, berkelindan dengan daging pembalut

belulangnya.

****

Sejak kepergian Meisya, tak terhitung entah berapa banyak bau tubuh

perempuan yang telah dihisap Jauhara. Demi mengusir yang satu, Jauhara

mengundang yang banyak. Demi melupakan kenikmatan yang satu ia menciptakan

kenikmatan yang banyak. Demi mengubur kenangan yang satu ia merajut kenangan

yang banyak. Ya, kenangan dengan sekian banyak perempuan.

Tubuhnya seumpama kutu loncat yang berpindah-pindah dari satu tempat

hinggap ke tempat hinggap yang lain. Sehari pun, Jauhara tak pernah kekosongan

perempuan. Kerap ia kesulitan menyatakan penolakan secara halus. Meski menolak

yang satu, esoknya ia kedatangan perempuan lain. Tak pernah putus. Satu demi satu

datang menghampirinya, menyandar di dadanya, mempersilahkan Jauhara menghisap

aroma tubuhnya. Setelah Jauhara puas, mereka pergi. Lalu, datang lagi perempuan

baru. Nyaris pada setiap perempuan itu, Jauhara bermohon agar mereka berkenan

meninggalkan bau tubuh masing-masing di tubuhnya. Untuk memusnahkan wangi

Melati sisa-sisa peninggalan perempuan masa lalunya. Sialnya, tak satu perempuan

pun yang mengabulkan permintaan lelaki itu.

“Wangi Anyelirku tak mampu membunuh harum Melati tubuhmu” kilah

seorang perempuan menolak keinginan Jauhara

27

“Mana mungkin wangi Anggrekku mematikan Melati tubuhmu, Jauhara?.

Kau tak sungguh-sungguh ingin membunuhnya. Diam-diam kau masih menikmatinya

bukan?” kata perempuan yang lain lagi.

Suatu hari, ia kedatangan perempuan yang bukan saja cantik, tapi juga cerdas.

Ia tergila-gila pada kecerdasan perempuan itu. Baginya, bagian paling seksi dari

tubuh perempuan adalah otak ***). Bukan betis bunting padinya, bukan pula lentik

bulu matanya, tak pula ramping pinggangnya. Lagi-lagi, tak ada keinginan yang

hendak diraihnya dari perempuan itu, kecuali memintanya meninggalkan bekas bau

tubuhnya di tubuh Jauhara.

“Maafkan aku, Jauhara! Aku tak mampu menghapus wangi Melati tubuhmu

dengan harum Mawar tubuhku” kata perempuan itu, menolak.

“Kenapa? Ada apa denganmu?” balas Jauhara, ganti bertanya.

“Tak ada lagi aroma Mawar di tubuhku” jawabnya. Jujur

“Lelaki mana yang telah menghisap wangi Mawarmu?”

“Tak ada lelaki dalam hidupku sejak aku mengenalmu”

“Lalu?”

“Wangi Mawarku sudah mati terbunuh oleh harum Melatimu, bau tubuh

perempuan masa lalumu itu” jawab perempuan itu. Lugas

“Jika tubuhmu tak memiliki harum Mawar lagi, bagaimana cara

memusnahkan wangi Melati di tubuhku?” tanya Jauhara lagi. Resah

“Cari perempuan itu, bermohonlah agar ia mau merenggutnya dari tubuhmu!”

“Jika ia tidak mau?”

28

“Hanya ada satu cara, Jauhara”

“Apa cara itu, sayang?”

“Wangi Melati itu telah menjelma bayangan yang selalu akan membuntutimu.

Sulit sekali membunuh bayangan itu, Jauhara” jawabnya lagi.

“Tapi, bila kau memang hendak memusnahkannya, maka bunuhlah dirimu!

Wangi Melati di tubuhmu pasti akan mati, seiring dengan kematianmu…”

****

Jauhara pun tak takut mati. Tapi, ia tak akan memilih cara mati sebagai pezina

yang dirajam menjelang malam. Akan dijemputnya maut dengan cara yang lebih

khidmat. Bahkan, (kalau bisa) cara mati yang lebih nikmat. Demi mematikan wangi

Melati yang bersarang di tubuhnya, Jauhara harus membunuh dirinya. Direguknya

sebotol Vodka yang sebelumnya telah dicampur larutan berisi bubuk arsenik. Hanya

dalam hitungan menit, hawa tubuhnya terasa panas. Cairan dalam usus-ususnya

mendidih. Jauhara mengerang kesakitan. Sesaat sebelum tubuhnya hilang

keseimbangan dan tersungkur di pinggir trotoar di samping mayat Meisya, masih

sempat dibisikkannya sepenggal kalimat perpisahan :

“Sampai jumpa di neraka yang sama…”

Yogyakarta, 2004

catatan : *) Martina Uki, Mayat yang Bisa Bicara (kumpulan cerita pendek, Yang Dibalut Lumut, Jakarta: CWI, 2003) **) Goenawan Mohamad (Perempuan Yang Dirajam Menjelam dalam Sajak-sajak lengkap 1961-2001, Jakarta : Metafor Publishing, 2001), sekaligus menjadi inspirasi cerita ini. ***) Rini.T.S, Cincin Bernama (Jawa Pos, 04/04/04)

29

Anak-anak Peluru

(1)

Anakku…

Mengharapkan kepulanganmu sama saja dengan mengharap abu dari tungku-

tungku pembakaran yang tak pernah menyala!. Tapi, (entah kenapa) masih saja ibu

bersetia menyia-nyiakan waktu menunggumu. Masih saja sesak dada ibu karena

denyut rindu. Masih saja jemari tangan ibu ingin menulis surat untukmu, (meski kau

tak pernah lagi membalasnya). Masih saja terkenang tentang sekeping waktu saat

bayi laki-laki menyembul dari rahim ibu. Terkenang pula saat ngeyak dan rengekmu

memecah sunyi di ujung malam. Saat itu, ibu tersentak bangun dan bergegas

mengelus-elus kepala culunmu, hingga kau terlelap pulas dalam dekapan ibu.

“Ibu restui kepergianmu, Nak. Tapi, jangan sampai perantauanmu seperti

Anak Peluru!”

“Anak Peluru? maksud ibu?”

“Peluru bila sudah ditembakkan, tak akan kembali ke moncong senapan,

bukan?”

“Ibaratkan peluru itu seorang anak, dan moncong senapan itu seorang ibu.

Mana ada peluru yang kembali ke moncong senapan setelah ditembakkan?

Hengkang dan tak pernah kembali pulang”

30

Tiga orang anak telah terpacak dari perut ibu, dan pada setiap kelahiran itu

nyaris sebesar biji jagung peluh mengucur dari tubuh ibu karena menanggung rasa

sakit. Namun hasrat ibu ingin menimang bayi perempuan tak kunjung terwujud. Tiga

bayi itu semuanya laki-laki. Abangmu Rehan, setelah tamat SMU di Payakumbuh,

merengek-rengek minta izin pergi merantau. Hendak mengadu nasib ke Jakarta. Ibu

gadaikan sebidang sawah untuk modalnya berjualan kaki lima. Berkat kegigihan dan

kerja kerasnya, lambat laun ia sukses. Kabar terakhir yang ibu dengar tentang Rehan ;

ia sudah punya lima toko dan dua puluh orang anak buah. Tapi, sejak menikah

dengan perempuan rantau, berkembang biak dan beranak pinak seperti kucing, tak

pernah lagi Rehan pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak

berniat pulang?

Lain lagi ceritanya dengan Acin, abangmu yang satu lagi. Setelah lulus jadi

polisi, hanya dua tahun sejak berdinas di Aceh, ia berkirim surat minta restu untuk

mempersunting gadis kelahiran Takengon. Acin berjanji, setelah masa tugasnya

berakhir, ia akan mengajukan permohanan agar bisa ditempatkan di Payakumbuh.

Acin akan pulang membawa istrinya, tinggal bersama ibu. “Kasihan, ibu sendiri saja

di rumah” katanya. Tapi, (seingat ibu) itulah surat pertama, sekaligus surat terakhir

Acin untuk ibu. Sejak itu, tak terdengar lagi kabar Acin. Acin tak pernah pulang

menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang?

“Jangan cemas, Bu! Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru”

31

Rumah kita makin lengang. Hanya kau yang tersisa, Nak!. Bapakmu tak bisa

diharapkan. Sejak enam tahun lalu, nyaris setiap malam ia bersetia merawat nenek

yang sakit-sakitan, sekaligus menjaganya.Delapan orang anak nenek. Dua perempuan

dan selebihnya laki-laki, termasuk bapakmu. Kecuali bapakmu, tak satupun anak-

anak nenek yang menyimpan kerinduan pulang menjenguknya, apalagi kerinduan

ingin merawatnya. Umurnya sudah berkepala delapan. Bapakmu rela di-perempuan-

kan. Mencuci pakaian, menimba air mandi, menyuapkan makan, melayani segala

tetek bengek kebutuhan perempuan setua nenek. Jika kau sudah pergi, tentu ibu akan

bersendiri. Tanpa bapakmu. Tanpa Rehan, Acin dan juga kau.

“Ruz ingin jadi anak ibu, bukan Anak Peluru!”

(2)

Perempuan itu, Wafa Sulastri. Pelukis yang sedang bergiat di sanggar seni I

Nyoman Gunarsa. Lukisan-lukisan karyanya kerap dipamerkan di beberapa kota di

pulau Jawa. Selain bergiat sebagai pelukis, ia bekerja sebagai mediator antara buyer-

buyer asing yang berminat membeli produk-produk handycraft khas Jogja dengan

para pengrajin sebagai produsen. Saat itu, Wafa sedang bekerja untuk Mrs. Palloma,

bule perempuan berkebangsaan Spanyol.

Wafa tak hanya memikat, tapi juga jenius seperti terlihat dari cara berfikir dan

gaya bicaranya. Perempuan yang sudah kenyang pengalaman. Bukan perempuan

kebanyakan. Pertemanan mereka berlanjut makin dekat. Makin akrab. Pada sebuah

janji makan malam yang mengesankan, Ruz tergoda pada ajakan Wafa untuk

menginap di apartemen tempat tinggalnya. Wafa tinggal di apartemen mewah, tidak

32

jauh dari pusat kota bersama bos bulenya, Palloma. Semula Ruz memang berhasrat

hendak menikmati kencan pertamanya dengan Wafa. Namun, hasrat lelaki itu padam

seketika. Tertahan tiba-tiba. Saat Wafa melucuti dasternya, Ruz melihat bekas jahitan

panjang membelah bagian perutnya. Lebih kurang enam puluh jahitan. Bekas cetakan

setrika panas di punggungnya. Bekas cambukan di pinggangnya. Bekas tusukan

benda-benda tajam di paha dan kedua belah betisnya.

“Siapa pelaku penganiayaan ini?”

“Siapa? katakan!”

Wafa diam. Perlahan-lahan, gerimis merintik dari bola matanya.

“Aku akan menjadi pendengar yang baik, bila kau mau berbagi”

“Kau mempercayaiku bukan? Ceritakanlah!”

“Panjang ceritanya, Mas!”

Wafa adalah korban kesadisan seorang lelaki yang tidak lain adalah suaminya

sendiri. Indra Setiawan, begitu ia menyebut namanya. Dulu, mereka tinggal di

Denpasar, Bali dan mengelola beberapa bidang usaha. Entah kenapa, Indra menjadi

paranoid, setengah gila dan nyaris mengakhiri hidup Wafa. Tentang Indra, Wafa

belum mau bercerita panjang. “Belum saatnya” kata Wafa. Yang jelas, Wafa

meninggalkan Bali, melarikan diri ke kota ini, karena sudah tak tahan lagi

menanggung perlakuan kasar suaminya.

33

“Sejak kapan mulai merokok?”

“Sejak telapak tanganku sering disulut api rokok” jawab Wafa,

“Mulai minum?”

“Sejak aku sering teler karena setiap hari pangkal telingaku dihantam pukulan

keras.”

Wafa sedang benar-benar rapuh, goyah, dan kadang-kadang sulit

dikendalikan. Beberapa kali Ruz menyelamatkan nyawanya dari tabiat konyol

melakukan uji coba bunuh diri. Menenggak berpuluh-puluh tablet obat tidur.

Mengiris-iris urat nadi, bahkan dengan sengaja menabrakkan mobil yang sedang

disetirnya. Ruz pernah membawanya ke psikiater. Setelah mempelajari gejala ganjil

pada kondisi kejiwaan Wafa, psikiater itu geleng-geleng kepala sembari berbisik pada

Ruz, “Istri anda?” Ruz terperangah sembari menelan ludah.

Sejak kedekatannya dengan Wafa, konsentrasi kerja Ruz agak terganggu.

Buyar, karena sewaktu-waktu ia mesti bergegas ke rumah sakit setelah mendengar

kabar Wafa melakukan uji coba bunuh diri lagi. Tak terhitung lagi berapa kali Wafa

diusung ke ruang gawat darurat akibat ulahnya yang selalu saja ingin mati.

“Kenapa Tuhan enggan merenggut hidupku?”

“Hus…..Jangan mengumpati Tuhan! Barangkali kau sedang diuji”

“Aku sudah tak sanggup menghadapi ujian-Nya”

“Aku ingin bebas dari ujian-Nya”

“Dengan cara ; Mati?”

“Berarti aku sudah tidak berarti lagi?”

34

“Kau akan berarti jika mau memberitahuku bagaimana cara mati yang paling

cepat”

Ruz berupaya menyembuhkan sakit Wafa dengan caranya sendiri.

Memberikan perhatian penuh. Membujuk agar ia menghentikan kegemarannya

mencelakai diri. Ruz tak perlu mencintai Wafa waktu itu. Barangkali yang ia

perlukan hanyalah bagaimana cara agar Wafa bisa sembuh dan situasi mentalnya

pulih seperti sediakala. Tapi, demi kesembuhannya, Ruz akan melakukan apa saja.

Tanpa sepengatahuan Wafa, diam-diam Ruz menghubungi suami Wafa via email.

Meminta dan bermohon agar lelaki itu berkenan melepaskan istrinya. Dasar lelaki

bajingan, (tanpa tersinggung sedikit pun) dengan senang hati ia menyerahkan istrinya

pada Ruz, bahkan bersedia pula menulis surat pernyataan tidak akan menuntut jika

Ruz telah menikahi Wafa, mantan istrinya itu.

“Kualat kau!” batin Ruz

(3)

Berkali-kali Ruz memohon restu untuk menikahi Wafa. Berulang-ulang ia

menyurati ibu, juga menyurati sanak famili yang dipercayainya dapat melunakkan

sikap keras ibu, namun Ruz gagal. Alih-alih memperoleh restu, justru yang

diterimanya caci-maki, umpat dan sumpah serapah.

“Ibu tidak melarang kau menikah, tapi tidak dengan perempuan rantau itu!”

“Jangan kuatir, Bu! Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru”

“Mungkin kau tidak akan menjadi Anak Peluru. Tapi, menikah dengan

perempuan itu, kau akan jadi Anak Durhaka!’

35

“Ruz tidak akan melupakan ibu. Kelak, Wafa akan Ruz ajak pulang. Kami

akan tinggal di kampung, menjaga dan merawat ibu. Ruz ingin jadi anak ibu”

“Tidak, Nak! Kau bukan anak ibu lagi, bila tetap menikahi perempuan itu”

Ruz mengurut dada membaca cercaan yang tertulis di setiap lembar surat ibu.

Tak disangka-sangka ibu yang sejak ia balita dikenalnya sebagai perempuan santun,

bijak, penyayang, tiba-tiba saja berubah menjadi amat kasar, tak penyabar, dan sukar

diberi pengertian. Ibu tidak menjelaskan alasan penolakannya pada Wafa. Mencak-

mencak, marah-marah, memaki, mencela tanpa sebab musabab yang jelas. Sentimen

hanya karena Wafa perempuan rantau. Ya, Wafa memang perempuan rantau, tapi apa

bedanya perempuan rantau dengan perempuan-perempuan lain di ranah ibu?

Bukankah Wafa juga seorang perempuan? dan tentulah juga seorang manusia?

Hari ini entah bilangan tahun yang ke berapa sejak Ruz mempersunting Wafa

tanpa sepengatahuan ibu. Sejak itu pula Ruz tak pernah pulang ke ranah ibu. Sama

seperti tak pulangnya Rehan dan Acin. Tiga laki-laki itu seperti anak-anak peluru,

sekali ditembakkan dari moncong senapan, tak pernah kembali pulang.Sekedar

menanyakan kedaaan ibu yang kian renta dan sering sakit-sakitan pun tidak juga.

Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang? Entahlah!.

36

(4)

Anak-anakku ; Rehan, Acin dan Ruz…

Menunggu kepulangan kalian sama saja dengan menunggu sekawanan Kelinci

di kandang Macan!. Namun, di usia yang sudah berkepala tujuh ini, (entah kenapa)

masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan waktu menunggu kalian. Masih saja sesak

dada ibu karena denyut rindu ingin bertemu kalian. Masih saja jemari tangan ibu

hendak menulis surat untuk kalian, meski kalian tak pernah lagi membalasnya. Ya,

masih saja terkenang tentang tiga bayi laki-laki yang menyembul dari rahim ibu.

“Sampai kapan ibu harus menunggu kalian?”

“Sampai ibu menemukan alasan untuk tak menunggu kami lagi”

“Apa alasan paling tepat untuk melupakan kalian, Nak?”

“Kematian! Hanya kematian kami yang mampu memadamkan api rindu ibu”

Benarkah ibu sungguh-sungguh sedang menunggu? Jangan-jangan ibu tak

sedang menunggu kepulangan kalian, tapi menunggu kabar kematian kalian.

Bilamana kalian sudah jadi mayat, mungkin saat itu ibu akan berhenti menunggu.

Kalau pun ibu masih juga menunggu, itu hanya sekedar membunuh waktu sambil

menunggu ajal datang menjemput ibu.

“Bukankah ibu hanyalah moncong senapan dan kalian adalah anak-anak

peluru yang telah dimuntahkan?”

Kelapa Dua, 2005

37

Lidah Sembilu

Bukankah akan lebih baik bilamana perempuan itu mengakhiri riwayat

Wildan? Menggorok lehernya, menikamkan belati di punggungnya, atau

membubuhkan racun serangga ke dalam gelas kopinya? Ya, memang lebih baik jika

perempuan itu membunuh Wildan, daripada ia terus menerus melukai Wildan dengan

lidah bermata sembilu itu…

“Sssst…! Aku tak berniat membunuhnya. Ini hanya sekedar menguji

ketajaman sembilu lidahku”

“Iya, tapi setelah kau pastikan ketajamannya, kelak kau tetap akan menyudahi

hidupnya bukan?”

“Tidak! Aku hanya memperlakukan dirinya sebagai batu asahan untuk

mempertajam mata sembilu lidahku”

Masih terngiang-ngiang di telinga Wildan, janji yang pernah diikrarkan

perempuan itu. Meski telah menjelma perempuan berlidah sembilu, ia bersumpah

tidak akan melukai Wildan.

“Lidah sembilu ini akan melukai setiap lelaki, kecuali kau”

“Bukankah semua lelaki adalah musuhmu?”

“Kualat aku, bila melukaimu juga”

Ah, jangan-jangan perempuan itu telah menipu Wildan. Janji-janji muluk

yang keluar dari mulut manisnya tak lebih dari siasat untuk memikat para lelaki.

Kelak, bila seorang lelaki sudah terjerat dalam perangkapnya, ia akan melanggar

38

ikrar. Berkhianat dan berhasrat ingin menjilat tubuh lelaki itu dengan lidah

sembilunya. Sudahlah! Tikamkan saja pisau itu di perutnya! Agar tubuhnya

terjungkal, mati bersimbah darah. Agar lidah sembilumu tak melukainya lagi.

“Bila ia sudah jadi mayat, tubuhnya tak mengandung darah lagi. Tentu lidah

sembiluku bakal tumpul karena tak diasah”

****

Entah dosa apa yang telah diperbuat Rinjali, hingga perempuan muda itu jatuh

ke pelukan Triyono. Begitukah takdirnya? Tidak! Rinjali sulit percaya takdir. Jika ia

mempercayai takdirnya berakhir di tangan lelaki iblis itu, betapa tak mujurnya takdir

Rinjali? Takdir paling malang, barangkali.

Konon, sebelum mempersunting perempuan itu, Triyono sudah insyaf dan

bertekad hendak berubah menjadi lelaki baik-baik. Suami yang bersetia. Ia telah

bertobat, ingin menghapus buruk rupa wajah masa lalu. Tapi, ibarat seekor anjing

yang sudah terlanjur ketagihan pada enaknya tai, maka selamanya anjing itu makan

tai. Tersebab hidup yang kian bertambah susah dan nasib yang tak kunjung berubah,

Triyono pun nekat, kembali ke habitatnya. Ia mulai lagi menjajakan tubuh kekarnya

pada perempuan-perempuan pirang. Kali ini, makin menggila. Tak segan-segan

Triyono mengajak tamu-tamunya bersinggah ke rumahnya. Di rumah yang ada

Rinjali di sana. Tak jarang pula, perempuan-perempuan itu diinapkannya di kamar

yang bersebelahan dengan kamar istrinya.

39

Suatu malam, Triyono pulang bersama seorang lelaki bule. Mancung

hidungnya, jangkung postur badannya. Tak biasa ia bergaul dengan laki-laki.

Lumrahnya, di mana ada Triyono, di sampingnya pasti ada perempuan pirang. Seperti

sudah direncanakan, sesampai di rumah Triyono langsung saja mempersilahkan si

bule itu masuk kamar. Sementara, Rinjali ada di dalam, sedang rebah melepas lelah.

Nyaris tanpa jeda, pintu kamar terkunci (tepatnya dikunci). Triyono berlagak seolah-

olah tidak terjadi apa-apa. Dari luar, terdengar pekik Rinjali. Meronta, menghentak-

hentak, menjerit. Tapi, pekikan perempuan itu tak mungkin merubah keadaan. Maka,

terjuallah Rinjali di malam jahanam itu.

****

Mata boleh rabun, telinga boleh pikun, tapi mbah Jarot --dukun teluh yang tak

tertandingi kesaktiannya--tak pernah lupa berapa banyak jarum susuk yang telah

ditancapkannya di tubuh perempuan-perempuan yang memohon pertolongannya. Ada

yang ditanam di jidat. Ada pula yang dibenamkan di dagu, alis, pipi kiri, pipi kanan,

pangkal kuping, leher, kuduk bahkan juga ; lidah.

“Kau hanya perlu sedikit berbenah. Agaknya kau belum memerlukan susuk”

begitu nasehat mbah Jarot pada seorang perempuan yang menggebu-gebu hendak

memiliki susuk.

“Jangan salah paham, orang tua! Saya tidak bermaksud mempercantik diri.

Tapi, hendak mempertajam lidah” balasnya, tegas.

“Kau mau lidah yang setajam apa, Nak?”

“Setajam sembilu”

40

“Sembilu?”

“Ya, untuk membalas luka dengan luka. Darah dengan darah. Dengan lidah

sembilu itu, akan saya lukai semua lelaki. Jadi, segeralah tancapkan jarum susuk itu

di lidahku ini!” mohonnya, seraya menjulurkan lidah pada mbah Jarot.

Mulut mbah Jarot pun mulai komat kamit, membaca mantra-mantra saat

membenamkan jarum susuk, persis di pangkal lidah perempuan itu. Sementara di

benak si perempuan, mulai terbayang betapa pedihnya goresan luka akibat sayatan

mata sembilu lidahnya itu. Kelak, di kemudian hari.

“Semoga lidah sembilumu tak menggoreskan luka di tubuh lelaki tak berdosa”

“Jangan terlalu banyak petuah! Saya bebas melukai lelaki mana pun.

Bukankah kau sudah saya bayar mahal, tua bangka?” bentak perempuan itu, beringas.

****

Senja nyaris redup. Seorang lelaki mengantar Rinjali, pulang ke rumah ini.

Tampak raut muka sayu di wajah perempuan itu. Hanya sedikit menyisakan aura

kecantikan masa belia. Suram, kusam. Sesuram harapan ibu-bapaknya untuk dapat

berjumpa kembali dengannya. “Saya Wildan” lelaki muda itu memperkenalkan diri.

Kedatangannya tak hanya sekedar memulangkan Rinjali, setelah sekian tahun tak

menginjakkan kaki di rumah ini, tapi sekaligus bermohon agar pak Handoko (ayah

Rinjali) berkenan mengizinkannya menikahi Rinjali.

“Anda tidak salah pilih?” tanya pak Handoko, “Rinjali, anak saya sudah

janda. Anda masih terlalu muda untuk menikah, bukan?”

41

“Rinjali tidak pernah janda di mata saya. Saya ingin menikahinya. Restui

kami, pak!” balas Wildan

Jika Izrail adalah malaikat pencabut nyawa, maka (di mata pak Handoko),

Wildan adalah malaikat penyambung nyawa. Nyawa anak bungsunya yang nyaris tak

tertolong. Sebelum bertemu Wildan, peruntungan Rinjali seumpama kapal kertas.

Terombang-ambing di tengah samudera luas. Tak perlu menunggu kecamuk badai

atau gelombang pasang, riak-riak kecil saja sudah mampu membenamkan kapal

kertas itu ke dasar laut, dan tak pernah muncul lagi ke permukaan. Tapi, kini Wildan

mengembalikan Rinjali yang hilang selama berbilang tahun. Sebelum kedatangannya,

pak Handoko nyaris tak punya harapan lagi. Ia mengira Rinjali sudah tenggelam,

entah di laut mana.

Gugusan sinar mulai menyemburat dari sorot mata Rinjali. Rona mukanya

kembali memancarkan aura memesona. Ia seolah beroleh nyawa yang baru. Hidup

yang kedua kali setelah kematian yang pertama. Cantik tak terlukiskan paras Rinjali

setelah dipersunting Wildan. Hidup mereka mengalir begitu saja, seiring bergulirnya

waktu. Seiring dengan hanyutnya kenangan Rinjali saat bersama Triyono yang telah

membuangnya seperti membuang tai ke dalam selokan. Serupa membuang ingus ke

dalam lubang kloset.

“Saatnya kau mencabut susuk dari lidahmu, Rinjali!” begitu bisikan yang

kerap mengusik ketenangan perempuan itu.

“Jangan ganggu aku! Soal susuk itu, bukan urusanmu” batinnya, melawan

bisikan-bisikan yang datang entah dari mana.

42

“Cabutlah! Bila tidak, lidahmu tetap akan bermata sembilu”

“Lalu?”

“Sembilu itu bisa melukai Wildan, suamimu.”

“Enyah kau, Bangsat…!”

****

Belum genap setahun usia pernikahan mereka, sikap Rinjali mulai berubah. Ia

tidak seperti perempuan yang dulu dikenal Wildan. Nyaris tak bisa santun dan

berlemah lembut seperti dulu. Perkara-perkara remeh saja sudah membuncahkan cela

dan cerca dari mulutnya. Tak pernah lagi Wildan bersitatap dengan raut muka

jernihnya. Lelaki itu sudah amat berhati-hati. Menjaga omongan. Menjaga sikap, dan

berusaha untuk tidak pernah salah dalam hal apapun di dekat Rinjali, istrinya.

Namun, umpatan dan makian tetap saja terpacak dari bibir perempuan itu. Tak henti-

henti lidah Rinjali mengiris-iris hati Wildan. Pedih terasa. Sepedih luka tersayat

sembilu.

Belum kering luka lama, lidah sembilu itu sudah menggoreskan luka baru.

Belum hilang pedih luka lama, sudah dibuatnya luka baru, jauh lebih pedih. Suatu

malam, saat Wildan menyeduh kopi sembari membolak-balik halaman buku yang

sedang dibacanya, terjadi sedikit perdebatan. Secepat kilat, kopi panas itu melayang

sekaligus dengan gelasnya, tepat di kening Wildan. Lelaki itu masih mengerang

kepanasan, Rinjali melemparkan asbak rokok dari bahan keramik dan bersarang

persis di pangkal telinga Wildan.

43

“Kere! Kawin cuma modal dengkul. Pergi kau, Brengsek!”

“Sejak jadi binimu, hidupku bukannya makmur, tapi makin melarat”

Lagi-lagi lidah sembilu itu menggoreskan luka. Wildan diam, mengurut dada sambil

menghela nafas dalam-dalam. Tak sepatah kata pun ia menyela, apalagi membalas

makian Rinjali.

Hingga sampailah pada sebuah malam jahanam, ketika Wildan menyaksikan

(dengan mata kepala sendiri) Rinjali sedang bergumul dengan lelaki muda, mendesah

di atas ranjang hotel berbintang.

“Ini tak bisa diampuni. Ayo, habisi dia!” batin Wildan, ragu-ragu

“Sembelih saja lelaki begundal itu!”

Ah, lagi-lagi Wildan diam, mengurut dada sembari menghela nafas dalam-

dalam. Lama sekali ia ditatapnya raut muka pucat Rinjali. Perempuan itu masih

menelentang dengan tubuh telanjang di bawah tindihan lelaki setan itu.

“Perempuan sundal! Belum puas juga kau melukaiku?”

“Belum tajam jugakah mata sembilu lidahmu?”

“Cuih…. Diam kau!” sela Rinjali. “Mestinya kau berterima kasih pada lelaki

ini”

“Berterima kasih?”

“Ya, dia akan memberi kita keturunan. Lelaki impoten sepertimu memang

mesti ditolong”

“Pulanglah Wildan! Doakan agar aku segera mengidam, dan bunting!”

44

Entah kali yang ke berapa, Wildan meringis keperihan, menanggung pedih

luka yang digoreskan perempuan berlidah sembilu itu. Tapi, ia tetap diam, mengurut

dada sambil menghela nafas dalam-dalam.

****

Bukankah akan lebih baik bilamana Rinjali mengakhiri riwayat Wildan?

Menggorok lehernya, menikamkan belati di punggungnya atau membubuhkan bubuk

racun tikus ke dalam gelas kopinya. Ya, memang lebih baik jika perempuan itu

membunuh Wildan, daripada ia terus menerus melukai suaminya dengan lidah

bermata sembilu itu…

Kelapa Dua, 2005

45

Tepuk Sebelah Tangan

Seperti ada yang menghentak di rongga dadaku saat bersitatap dengan

matanya. Serasa menguap cairan di tenggorokanku saat mendengar desah suaranya.

Risih, salah tingkah, malu-malu. Tapi, aku selalu hendak berada di dekatnya, sesering

mungkin. Saat itu kami masih kelas dua. Masih bau kencur, memang. Ia duduk di

bagian tengah lajur meja murid perempuan. Sementara, aku di deretan paling

belakang lajur meja murid laki-laki. Saat guru sibuk mengurai-jelaskan materi

pelajaran, aku asyik mematut-matut bentuk tubuhnya dan berharap sewaktu-waktu ia

menoleh ke belakang.

Padusi, namanya. Tidak cantik. Juga tak terlalu cerdas. Rangking di rapornya

selalu di bawahku. Tapi, kulitnya putih. Amat putih, serupa kulit orang Jepang.

Parasnya pun serupa orang Jepang. Seperti Oshin. Ya, Padusi mirip Oshin. Mungkin

Padusi memang tidak cantik, tapi unik. Dan, aku suka!

****

Koto Baru, Padangpanjang, 1990 Kota kecil itu terhampar di dataran tinggi, persis di garis tengah antara Padang

dan Bukittinggi. Paling dingin dari kota-kota lain. Namun, yang penting bukan soal

suhu udaranya itu, tapi perihal sejarah yang pernah mencatatnya sebagai Serambi

Mekah. Pesantren-pesantren tegak berdiri. Kota Santri. Kota tempat orang-orang

mengaji.

46

Tiga tahun Husnan di sana. Sejak terdaftar sebagai siswa Madrasah Aliyah

Negeri. Sebagian besar siswa tinggal di asrama. Tapi, Husnan memilih untuk

menyewa kamar kost. Jangankan membayar biaya asrama, minta persetujuan

emaknya untuk bersekolah di sana saja susahnya minta ampun. Bukan tak mau, tapi

karena emaknya memang tak mampu.

Husnan tinggal di kamar berlantai palupuah. Bambu tua yang dicincang

hingga hancur, lalu dihamparkan seperti tikar. Cukup memadai sebagai lantai,

pengganti papan. Pemilik rumah itu perempuan paruh baya yang hidup sendiri sejak

kematian suaminya. Hanya beberapa langkah dari sisi kiri kamar Husnan, ia

membuka warung sederhana, berjualan bubur kacang hijau, ketan dan lontong sayur.

Marnis, namanya. Tapi, Husnan memanggilnya : Etek. Sebutan paling santun bagi

perempuan seusianya. Belum sempat Husnan bertanya apakah etek punya anak? jika

punya anak, di mana mereka? kenapa anaknya tidak pulang? Yang pasti, etek

kewalahan bekerja sendiri

Tanpa disuruh, Husnan turun tangan mencuci piring kotor yang menumpuk.

Diperhatikannya cara etek menghidangkan porsi kacang hijau, lontong sayur dan

ketan. Lambat laun, Husnan juga belajar cara memasaknya. Sebelum subuh, ia sudah

bangun, kadang lebih duluan bangun dari etek. Memulai pekerjaan yang ia bisa.

“Sejak dulu memang banyak anak-anak aliyah tinggal di sini, tapi belum ada yang

ringan tangan sepertimu” begitu etek memuji.

47

Tak berselang lama, Husnan makin telaten. Memasak, membumbui gulai

untuk lontong, bikin adonan tepung untuk pisang goreng, melayani pembeli, apa saja.

Hingga sampai pada bulan ketiga ia mesti bayar sewa kamar. Etek menolak. Husnan

dimintanya tidak merasa sebagai penyewa lagi. Maka, hubungan mereka tidak seperti

penyewa dan pemilik barang sewaan, tapi seperti hubungan Husnan dengan emaknya

sendiri.

Sepulang sekolah Husnan ke pasar. Belanja keperluan dapur. Aneka jajanan

ringan pengisi toples, bumbu-bumbu dan segala tetek bengeknya. Kerap ia kepergok

teman-teman perempuan satu kelas di angkutan umum. Mukanya berkeringat setelah

memikul barang bawaan. Kadang seragamnya belepotan bumbu gulai, karena

plastiknya bocor. Mereka saling bisik, sesekali tertawa cekikik. Husnan agak heran.

Entah apa yang lucu hingga teman-temannya itu ketawa. Tapi, Husnan menduga,

tentu mereka sedang asyik bergunjing dan menertawakan kemiskinannya.

Etek buka ‘cabang’. Berjualan pisang goreng di pasar sayur, tak jauh dari

sekolah Husnan. Tiap selasa, karena selasa hari pasarnya. Hari itu Husnan lembur.

Pukul empat dini hari ia sudah mengusung gerobak berisi bahan-bahan mentah jualan

etek. Sampai di pasar, disulutnya api di tungku, ditatanya meja, dituangkannya

minyak ke dalam wajan ukuran besar. Ditunggunya hingga matang satu kali

penggorengan. Sambil menunggu etek datang, dicicipinya pisang goreng panas itu.

Aih…lezatnya! Dan, Husnan pulang mendorong gerobak kosong.

48

Nama lengkapnya Husnan Andaresta. Di sekolah, dipanggil ; Husnan. Tapi di

sekitar warung itu dipanggil : Oyong. Karena tubuhnya kerempeng, cara jalan Husnan

agak aneh. Terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Di sana, ‘terhuyung-huyung’

lebih tepat disebut ‘oyong’. Oleng, karena tak imbang. Jadilah namanya : Oyong.

Nama warungnya ; Lepau Baru. Karena memang baru didirikan etek dengan

bangunan seadanya. Pagi, ia melayani teman-teman asrama, malamnya bapak-bapak,

preman-preman kampung yang nongkrong sambil minum kopi, nonton tv dan berjudi.

Di sana, warung bakal sepi bila tidak menyediakan fasilitas judi.

****

Mengendap-ngendap aku di pelataran halaman asrama puteri, pelan-pelan

mendekat ke jendela kamarnya. Mengintip. Aku tidak hanya hafal letak kamarnya,

tapi juga posisi tidurnya. Tak ada hasrat apa-apa, meski nyaris tiap malam aku

mengintipnya, meski ada bagian tubuhnya yang tersingkap. Hampir semua anak-anak

kampung ini mengenaliku. Meski aku tertangkap, mereka hanya akan ketawa atau

ikut bergabung mengintip. Jika mereka bergabung, kusarankan mengintip kamar yang

lain, selain kamar Padusi. Ia jatahku. Hanya untukku!

“Cari sasaran sendiri-sendiri! Jangan mencaplok sasaran teman sesama

pengintip!” bisikku memberi peringatan

“Bilang saja kalau ndak boleh mengintip si Oshin itu”

“Banyak cewek, tinggal pilih! Asal jangan Oshin. Jika belum ada lubang,

buatlah lubang baru! Tapi awas, jangan sampai ketahuan!”

49

Setiap malam aku merangkai kata-kata yang hendak kusampaikan pada Padusi

bila beroleh kesempatan berdua. Banyak catatan telah kutulis, tak selembar pun

sampai ke tangannya. Saban hari kami berpapasan, bahkan kerap dapat kesempatan

berdua, tapi lidahku kaku, kelu. Aku hanya berusaha menarik simpatinya, menjaga

cara bicara di dekatnya, tampil sesempurna mungkin, meski ia tahu kalau aku bekerja

di warung dan tiap selasa pagi ia melihatku mendorong gerobak kosong dari pasar

sayur. Sering ia membeli ketan dan pisang goreng masakanku. Menggigil tanganku

saat membungkusi pesanannya. Suatu pagi saat Padusi datang sendiri ke warung, aku

memecahkan tiga gelas sekaligus.

Sebaiknya aku mengungkapkan perasaan padanya. Begitu saran teman-teman.

Ah, aku tak berani, tak bernyali. Celakanya, seorang teman lancang berterus terang

pada Padusi. Maksudnya baik. Ia ingin Padusi tahu, kalau aku ‘tergila-gila’ dan jatuh

hati padanya. Reaksi Padusi kurang santun,

“Husnan itu kan preman, temannya orang-orang pasar”

“Masih sekolah kok sudah mau jadi preman?”

Tak nyaman aku mendengar penilaiannya. Tiba-tiba saja aku nekat. Kuminta

seorang kawan memanggilnya ke asrama, aku menunggu di samping bangunan SD,

tak jauh dari asrama itu. Padusi datang dan langsung kutembak saja ; aku suka

padanya. Ia diam, tak memberi jawaban. Padusi minta waktu, berfikir beberapa hari.

Mungkin, Padusi menolakku mentah-mentah. Aku puas. Hasrat sudah

tersampaikan. Tapi, tak henti-hentinya aku mendengar gunjingnya tentangku.

Tentang Husnan yang punya teman-teman preman, perokok berat, tak terpelajar,

50

penjudi, dan suka mabuk-mabukan. Satu hal yang cukup menyinggung adalah ketika

ia menyemburkan kalimat, “Husnan itu miskin”. Ini kudengar langsung dengan

telingaku sendiri.

****

Malam sudah larut. Warung mulai sepi. Tinggal Husnan dan beberapa teman

preman. Dibukanya sebotol Mansion ukuran sedang. Digasaknya sendiri hingga

setengah teler. Tanpa disadari, semua kegilaannya pada Padusi terkatakan malam itu.

Juga luapan kekecewaan, karena cintanya ; bertepuk sebelah tangan.

“Ditolak ya ditolak, tapi jangan menghina!” ketus Bocet,

Husnan mabuk berat. Muntah-muntah. Wes, Jon Kompo, Cepong, Acil, Pencino,

Mentiko, Onal, Muncak merasa kurang senang.

“Tenang Yong, kita buat Oshin mau. Masa’ cowok seganteng kau di

tolaknya?” kata Cepong membujuk, sekaligus meledek Husnan.

“Bila perlu kita paksa. Kalau ndak mau kita buat susah dia” dukung Pencino

bersemangat.

Husnan mencegah. Mana mungkin ia membiarkan preman-preman kampung

itu mencak-mencak, apalagi sampai ngamuk-ngamuk di asrama puteri? Jangan

sampai mereka bikin Husnan jadi tambah malu.

51

Tahun baru, 1993

Semburat sinar bulan menambah gegap gempitanya perayaan malam tahun

baru. Seperti lazimnya, Koto Baru Padangpanjang penuh sesak oleh para pencinta

alam yang datang dari berbagai daerah. Mereka bakal menikmati detik-detik

pergantian tahun di puncak Gunung Singgalang. Sekilas Husnan melihat Padusi

dalam keramaian itu. Rupanya, Oshin juga hendak mendaki bersama rombongan

teman-teman asrama. Berani-beraninya mereka berpasang-pasangan. Masa’ cewek-

cewek berjilbab ikut-ikutan pesta tahun baru di puncak Singgalang? Bila ketahuan,

bisa dikeluarkan dari sekolah.

Padusi bergandengan dengan siswa kelas satu. Laki-laki itu, kemudian

diketahui Husnan sebagai pacar Padusi. Gila. Ia memacari adik kelas. Husnan dan

teman-teman premannya (Wes, Pul Cepong, Mentico, Onal dan Muncak) sedang

nongkrong (sambil menyanyikan lagu-lagu lama dengan iringan gitar yang dimainkan

Husnan), persis di pintu gerbang pesangrahan yang dilewati para pendaki. Bagaimana

pun juga, desir di dadanya tak bisa sembunyi. Petikan gitarnya sejenak berhenti,

Husnan ingin mendekati Padusi. Meski hanya sekedar bertegur sapa.

Laki-laki itu menyeringai seperti kucing, menggertak Husnan. Memang postur

tubuhnya besar. Lebih besar dari badan Husnan. Tanpa jeda, Husnan langsung

meninju batang hidungnya. Berdarah. Saat ia berusaha melawan, Husnan

menghantam ulu hatinya, hingga ia terjungkal di depan Padusi. Masih hendak

membalas, lalu teman-teman Husnan datang berhamburan. Satu persatu dapat jatah.

Laki-laki itu babak belur, mukanya bengkak setelah dikeroyok. Husnan mulai

52

kasihan, dan akhirnya ia pula yang menghentikan keributan itu. Diberdirikannya laki-

laki itu, dipapahnya pulang ke tempat kost. Husnan minta maaf. “Ndak sengaja”

katanya. Bocet, Pencino, Pul Cepong dan Muncak melongo.

“Mau apa kau sebenarnya? Sudah kau pukuli tapi kau pula yang menolong”

“Sudahlah! Ndak baik berkelahi di malam tahun baru” balas Husnan

“Hmn…! tapi dia sudah kau buat bengkak-bengkak”

Padusi dan rombongan batal mendaki. Berbalik arah kembali ke asrama. Ketakutan

setelah menyaksikan sepak terjang si Oyong Lepau Baru.

Sejak malam tahun baru yang kelabu itu, Padusi mulai gamang dan ngeri

melihat tampang Husnan. Ia mulai menjaga cara bicaranya yang pongah itu. Diam-

diam mulai menarik simpati Husnan. Tapi, Husnan sudah tak berselera, meski rasa

sukanya masih ada. Kegemarannya mengintip dengan mengendap-ngendap di balik

jendela kamar Padusi terus berlanjut, begitu pun kebiasaannya membayangkan segala

kemungkinan paling indah seandainya Oshin jadi kekasihnya.

****

Lelaki itu tercatat sebagai mahasiswa tahun pertama. Selain berkuliah, ia

‘nyambi’ bekerja serabutan sebagai pengantar Susu Segar Murni keliling. Saat

mengantar pesanan untuk pelanggan baru di perumahan Asratek, Padang, seperti ada

yang menghentak di rongga dadanya. Serasa menguap cairan di tenggorokannya.

Pelanggan itu ternyata mahasiswi berkulit putih serupa perempuan Jepang, seperti

Oshin ; Padusi. Agak ganjil penampilan Oshin. Leher mulus dan rambut lurusnya

yang dulu hanya terlihat saat lelaki itu mengintip dari lubang jendela, kini tersingkap,

53

tanpa kerudung. Lagi-lagi Padusi berhadapan dengan tampangnya yang lusuh dan

kumal. Padusi pura-pura tak kenal. Padahal, lekuk-lekuk wajah Oshin, mana mungkin

ia lupa? Sorot mata perempuan itu menghendaki agar ia bergegas enyah. Lelaki itu

pun cabut. Namun, ia lega. Bukankah sudah lama ia tak menatap wajah Oshin?

Senja itu pertemuan mereka yang terakhir. Tak nampak lagi batang hidung

lelaki itu. Mungkin, ia telah mengubur rasa rindunya pada Padusi. Mungkin, ia sudah

paham, perempuan itu tak akan berdamai dengan kemiskinannya. Mungkin, ia sudah

melupakan Padusi. Melupakan Oshin. Meski, ia tak pernah mampu membenci

perempuan itu.

****

Jogja, 16 Juli 2001

“Di mana perempuan itu sekarang?”

“Di mana si Oshin itu?

Kabar terakhir yang kudengar, kuliahnya kacau. Padusi drop out. Karena,

buru-buru harus menikah dengan juragan kelapa sawit di kampungnya. Konon,

Padusi bunting di luar nikah. Kini, ia sudah punya anak tiga. Dua perempuan, satu

laki-laki. Dan, raut wajahnya tak seperti Oshin lagi.

Jakarta, 2005

54

W A R A T

Sejak kecil, Warat bercita-cita hendak menjadi guru. Tapi, karena

keinginannya tidak sama dengan ‘kemauan’ Tuhan, akhirnya lelaki itu menjadi

politisi. Ia tak menyesali nasib, apalagi menolak takdir. Toh, Tuhan telah

mengantarkannya pada nasib yang jauh lebih mujur dari sekedar cita-cita guru. Lebih

mujur, karena pendapatannya sebagai politisi berlipat-lipat lebih banyak dari gaji

guru. Tak lama setelah Warat ‘duduk’ di kursi parlemen, terlintas di pikirannya

keinginan untuk berwiraswasta. Namun, Warat gagal. Alih-alih menjadi pengusaha,

justru ia menjadi narapidana!

Susianna, istrinya menggugat cerai karena tak berkenan menjadi pendamping

hidup bagi rampok berdasi seperti Warat. Dipenuhinya saja permintaan itu. Lagi-lagi

Warat memaklumi bahwa keinginannya untuk bersetia pada keluarga juga tak sama

dengan kemauan Tuhan. Ia pun menduda. Anak-anaknya memilih ikut ibunya, sebab

mereka tak hanya malu, tapi juga kecewa pada bapaknya yang tiba-tiba terkenal

setelah resmi sebagai tersangka. Warat kehilangan istri, anak-anak, harta bahkan

kehilangan martabat yang dulu dibanggakannya. Kata temannya, malapetaka itu

adalah ujian Tuhan untuk Warat. Jika Tuhan masih memberikan ujian, berarti Dia

masih menyayangi Warat. Warat mempercayai temannya, dan berdoa semoga ia lulus

dalam ujian itu.

55

Selama meringkuk di penjara, mengisi waktu sambil menunggu berakhirnya

masa tahanan, Warat kembali terobsesi hendak menjadi guru, cita-cita kecilnya.

“Bapak sudah sinting ya? Napi kok malah pingin jadi guru?” cemooh

temannya sesama Napi.

“Maling biasanya akan kembali jadi rampok. Ndak ada rampok yang insaf,

lalu jadi guru, ngawur aja”

Warat diam, meski sedikit tersinggung. “Ah, persetan!” batinnya.

Empat tahun kemudian Warat bebas, meski status Napi tak bisa dihilangkan.

Alih-alih menghapus kata (itu), malah ditambah dengan kata ; ‘mantan’, Mantan

Napi. Lelaki itu begitu terstimulasi ingin menjadi guru. Tapi lagi-lagi Warat tak bisa

meraih cita-citanya. Ia gagal lagi. Nasib mengantarkannya menjadi pengamat politik.

Analisis-analisis dalam bentuk artikel, esai dan kolom yang ditulisnya tersebar

hampir di semua harian lokal di kotanya. Kemauan Tuhan untuk Warat selalu berbeda

dengan keinginannya.Warat ingin jadi guru, tapi Tuhan menghendakinya jadi politisi.

Warat ingin jadi pengusaha, Tuhan ‘malah’ menghendakinya jadi narapidana.

Selama menekuni profesi pengamat politik, Warat sering dituding tidak

obyektif dalam membuat analisis. Cenderung memihak, bahkan dituduh melakukan

kampanye terselubung untuk sebuah partai politik. Ada yang berpendapat, Warat tak

layak dianggap sebagai pengamat politik, tapi lebih pantas disebut politisi. Karena

‘ketidaknyamanan personal’ yang dirasakannya, Warat kembali diserang keinginan

baru ; ingin menjadi politisi saja. Sudah kepalang basah!

****

56

Kali ini agaknya Warat dapat meraih keinginan itu. Karena, ia sudah terdaftar

sebagai caleg nomor dua dari parpol tertentu, meski bukan dari parpolnya yang dulu.

Setelah menghitung-hitung, Warat memprediksi sebuah kepastian bisa ‘duduk’

kembali di kursi parlemen. Itu berarti, Warat akan menjadi politisi untuk kedua

kalinya.

“Tuhan memang menghendaki saya menjadi politisi, barangkali” ungkapnya.

“Tapi, apakah Tuhan masih menginginkan saya menjadi narapida?” ulangnya,

ragu-ragu

“Tidak! saya tidak ingin itu terjadi. Saya bukan keledai yang jatuh dua kali di

lubang yang sama. Saya mesti berhati-hati. Waspada agar tidak terpikat oleh

keinginan-keinginan yang lain, apalagi berbalik pada keinginan menjadi pengusaha”

kata Warat lagi, dalam hati.

Warat baru saja menerima laporan dari orang kepercayaannya tentang

kecemburuan lawan-lawan politiknya. Pada sebuah forum rapat internal partai

mereka, diam-diam orang suruhan Warat itu menyelusup,

“Mantan koruptor kok bisa lolos jadi caleg?” tanya seorang pengurus inti.

Sentimen.

“Benar pak, ini tidak fair. Kita mesti complain! pasti ada yang enggak

beres!” dukung yang lain

“Percuma!”

“Jangan kuatir pak! Saya punya ide”

57

“Apa idemu?” tanya orang itu. Penasaran

“Dia cacat hukum. Ijazahnya palsu!”

“Memangnya dia lulusan apa?”

“FKIP pak, jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia”

“Lalu, apanya yang palsu?”

“S-1 nya tidak selesai pak, dia Drop Out ”

“Lalu titel ‘MM’ di belakang namanya?”

“Apalagi itu pak, titel-titel itu dibeli semua. Palsu!”

“Brengsek…! Kita kerjain dia!”

Warat cukup terganggu dan kian resah setelah mendengar rencana busuk

mereka untuk mencemarkan martabatnya sebagai calon wakil rakyat. Warat

dicalonkan oleh sebuah parpol besar karena pengalamannya sebagai mantan anggota

dewan, (meski ia juga mantan napi). Ia memperoleh kepercayaan itu tidak cuma-

cuma, tapi dengan cara memberi sedikit santunan sebagai tanda ‘terima kasih’.

Jumlahnya tentu tidak perlu dituliskan di sini.

Soal ijazah, musuh-musuh politiknya benar. Studi strata satu (S-1) Warat

memang tidak selesai, karena ia drop out. Tapi, setelah Warat menjadi anggota dewan

(sebelum jadi napi), rektor bersangkutan berbaik hati mengeluarkan ijazahnya. Tentu

saja dengan memberi sedikit tanda ‘terima kasih’. Lagi-lagi jumlahnya tentu tidak

perlu dituliskan di sini.

58

Lalu embel-embel MM di belakang nama Warat. Titel itu ‘dibeli’-nya pada

seorang teman di Jakarta. “Sekarang banyak kemudahan untuk memperoleh gelar

master. Kamu ndak perlu repot-repot. Ikut kelas jauh aja!” begitu kata temannya.

Warat diminta mentransfer sejumlah uang (yang lagi-lagi jumlahnya tentu tidak perlu

dituliskan di sini). Tak lama berselang, Warat dipanggil ke Jakarta untuk menghadiri

wisuda, dan jadilah ia bergelar MM ; Magister Manajemen. Jadi, soal ijazah-ijazah

(itu) memang semuanya palsu. Tapi, Komisi Penyelenggara Pemilihan tidak merasa

dibohongi. Hampir semua anggotanya memahami kekurangan Warat. Mereka berbaik

hati meloloskan Warat. Tentu saja dengan memberi sekedar tanda ‘terima kasih’.

Lagi-lagi jumlahnya tentu tidak perlu dituliskan di sini.

Apa yang dicemaskan Warat akhirnya datang juga. Musuh-musuh politiknya

mendatangi kantor Komisi Penyelenggara Pemilihan. Mengajukan keberatan perihal

cacat hukum Warat. Jika tidak ditindaklanjuti, mereka mengancam akan membawa

persoalan ini ke pengadilan. Koran-koran meng-ekspose berita soal kasus Warat.

“Politisi busuk, dilarang jadi caleg!” demikian judul salah satu berita. Keadaan kian

memburuk bagi mulusnya jalan Warat menjadi anggota parlemen. Padahal ia sudah

‘habis-habisan’. Ya waktu, ya tenaga, ya uang. “Sialan!” umpat Warat

“Maaf pak! pemilu di kota ini bisa rusuh jika kami tetap mempertahankan

anda. ” kata ketua komisi. Tegas.

“Maksudnya? ” tanya Warat. Pura-pura tidak paham

“Kami sarankan, sebaiknya anda mundur saja!”

59

“Jangan sembarangan kalau ngomong! Saya sudah habis-habisan, masa’

disuruh mundur. Tidak! Saya tidak akan mundur. Sudah kepalang basah. Akan saya

ladeni apapun mau mereka!” bentak Warat. Sumringah

“Ok. Terserah anda! Tapi ingat! Jika tidak hati-hati, akibatnya bisa fatal”

“Pokoknya saya tidak akan mundur. Titik!” balas Warat lagi. Bersikukuh

****

Seorang lelaki tua tewas mengenaskan sepulang menghadiri hajatan

perkawinan di rumah kerabatnya. Mayatnya tergeletak di lantai kamar. Mulut

berbusa, mata terbelalak, lidah terjulur. Menurut desas desus yang bergulir, ada yang

sengaja membubuhkan bubuk beracun ke dalam piring makanan sebelum

dihidangkan pada korban. Dugaan itu makin kuat setelah pihak berwajib

berkesimpulan ; motif pembunuhan itu adalah dendam. Korban yang teridentifikasi

bernama Drs. Warat Bin Mustajab, MM itu, dianggap telah menggunakan cara-cara

busuk dengan menyuap anggota-anggota Komisi Penyelenggara Pemilihan agar ia

diloloskan sebagai calon anggota legislatif. Padahal ada orang lain yang lebih pantas

dan lebih berhak untuk dicalonkan. Akibatnya, Warat wafat.

Takdir Tuhan untuk Warat memang selalu berbeda dengan keinginannya.

Dulu, Warat bercita-cita hendak menjadi guru, tapi Tuhan menghendakinya menjadi

politisi. Warat ingin menjadi pengusaha, Tuhan ‘malah’ menghendakinya menjadi

narapidana. Ketika Warat berhasrat hendak menjadi politisi untuk kedua kalinya

(setelah jadi napi), ia nyaris saja berhasil meraih keinginannya menduduki kursi

60

parlemen. Tapi, lagi-lagi Warat gagal. Alih-alih menjadi wakil rakyat, ternyata Tuhan

justru menghendaki Warat menjadi mayat.

Yogyakarta, 2004

61

Berhala Kertas

Pernahkah kau mendengar cerita tentang negeri yang tak membutuhkan

Matahari? Sebuah perkampungan yang sepanjang waktu mandi cahaya karena

disirami sinar yang berasal dari seribu Bulan. Bila sinar yang memancar dari satu

bulan saja sudah mampu merubah malam menjadi siang, sulit menggambarkan betapa

terang benderangnya cahaya yang terpacak dari 1000 Bulan. Maka, disebutlah negeri

itu; Negeri Malam 1000 Bulan. Konon, tak ada permintaan yang tak terpenuhi di

sana. Tak ada ambisi yang tak bisa diraih. Karena, tak ada doa yang tak dikabulkan.

Riwayat mencatat, perempuan bernama Zahila. Kembang Bunga kota

Kalagundah. Tubuh langsing tinggi semampai, rambut lurus terurai sebahu, alis tebal

dan bertaut. Namun, di usia 36 tahun belum seorang lelaki pun terpikat pada

kecantikannya. Para lelaki kota itu seolah tak butuh. Saat itu, terlintas di pikiran

Zahila hasrat hendak berkunjung ke Negeri Malam 1000 Bulan. Tak ada doa yang

dipanjatkannya kecuali harapan agar ia segera beroleh jodoh. Tak lama berselang,

puluhan lelaki berjejer mengantri di halaman rumahnya. Bermaksud hendak

meminang dan mempersunting perempuan itu. Zahila bingung memilih lelaki yang

paling patut menjadi suaminya. Tapi, yang pasti ia sudah bebas dari latah lidah

perempuan-perempuan Kalagundah yang menggunjingkannya sebagai perawan tua.

Riwayat lain menuturkan, sepasang suami-istri, Laila dan Nahar. Sepuluh

tahun usia pernikahan mereka, tapi belum beroleh keturunan. Tak ada kelainan pada

rahim Laila, tak ada penyakit pada organ reproduksi Nahar, tapi Laila tak bunting-

62

bunting juga. Terlintas di pikiran Nahar keinginan hendak mengajak Laila berkunjung

ke Negeri Malam 1000 Bulan. Ajaib! Tak lama setelah kepulangan mereka, Laila

mengidam dan hamil. Sembilan bulan kemudian dikaruniai bayi kembar lucu yang

kelak mereka beri nama Jauhari dan Jauhara.

Begitu pun Indrajit. Lima tahun setelah ia berhasil meraih gelar sarjana dan

tak terhitung lagi berapa kali ia mengajukan surat lamaran kerja ke berbagai

perusahaan di kota itu, namun tak satu berkas lamaran pun yang mendatangkan hasil.

Terlintas di pikiran Indrajit niat untuk berkunjung ke Negeri Malam 1000 Bulan.Tak

ada doa yang ingin dilafalkannya selain harapan agar ia memperoleh pekerjaan.

Sepulangnya, lagi-lagi Negeri Malam 100 Bulan memperlihatkan mukjizat melalui

keberuntungan Indrajit. Lelaki itu diterima bekerja sebagai karyawan tetap pada

perusahaan paling bonafit di kota Kalagundah.

Sejak tersiar khabar tentang mujurnya nasib Indrajit, Negeri Malam 1000

Bulan pun penuh sesak oleh sarjana penganggur yang berduyun-duyun datang dari

kota Kalagundah. Mereka berdoa agar memperoleh pekerjaan hingga terbebas dari

gunjing sarjana penganggur. Dari ratusan penganggur, diriwayatkan seorang lelaki

muda bernama Midas 1. Konon, Midas sedang menjalin hubungan percintaan dengan

Lusianna, puteri tunggal mantan pejabat tinggi. Orang terkaya di wilayah

Kalagundah. Sejatinya, sudah berkali-kali Midas diperingatkan wan Kokai (ayah

Lusianna) agar memutuskan hubungannya dengan Lusianna. Tapi, makin dilarang,

cinta Midas pada Lusianna justru makin menggila.

63

“Saya tidak sudi bermenantu penganggur! Mestinya kamu tahu diri, Midas!”

cela wan Kokai waktu itu.

“Kau memang sarjana, tapi tetap penganggur bukan? Saya ingin menantu

kaya, bukan menantu sarjana!” ulangnya lagi. Angkuh.

Sejak itulah Midas berhasrat ingin merubah nasib di Negeri Malam 1000

Bulan. Anehnya, lelaki itu tak bermohon agar sepulang dari sana ia memperoleh

pekerjaan. Dengan penuh khidmat Midas memohon agar kedua tangannya diberi

mukjizat. Dengan mukjizat itu ia berharap setiap benda yang disentuhnya akan

berubah menjadi uang.“Akan kubuktikan, meski menganggur aku tetap bisa kaya”

batin Midas, seperti memendam sakit hati.

“Hamba mohon! Berilah tangan hamba ini kesaktian hingga apa saja yang

hamba sentuh akan berubah menjadi uang!” ungkap Midas.

****

Sepulang dari Negeri Malam 1000 Bulan, Midas unjuk kesaktian.

Disentuhnya bunga-bunga trotoar di sepanjang jalan menuju rumah Lusianna. Ajaib!

setiap lembar daunnya berubah menjadi uang kertas satuan 50 ribu. Dipungutnya

koran-koran bekas yang berserakan di sekitar tempat pembuangan sampah, dan

seketika berubah menjadi berpuluh-puluh uang kertas satuan 100 ribu. Begitu pun

sobekan-sobekan kain spanduk iklan odol dan umbul-umbul yang bergelantungan di

sisi kiri dan kanan traffict light, setelah disentuhnya juga berubah menjadi ratusan

lembar uang kertas dari berbagai satuan.

64

“Ayo! Ambil uang itu! Jangan malu-malu!” seru Midas pada orang-orang

yang membuntutinya.

“Siapa butuh uang? Silahkan ambil! Masih kurang?”

Orang-orang bergegas memunguti uang kertas yang beterbangan di jalan-jalan

protokol, jembatan penyeberangan, halte-halte. Berhamburan, jumpalitan. Saling

rebut, saling sikut, dan sesekali saling gertak karena kuatir jika tidak kebagian rejeki

“nomplok” itu.

rumah wan Kokai, (di sinilah petaka itu terjadi)

“Penganggur tak tahu malu! Mau apa lagi kau datang ke sini?” tanya wan

Kokai. Kesal

“Saya datang hendak meminang Lusianna” jawab Midas. Tegas

“Dasar! Anak muda keras kepala. Jangan bermimpi kau Midas ”

“Saya akan meminangnya dengan uang”

Nyaris tanpa jeda, Midas mulai meremas-remas kertas bekas yang berserakan

di halaman rumah mewah itu. Menyentuh bunga-bunga di dalam pot, dan sekejap saja

berubah menjadi beratus-ratus lembar uang kertas. 20 Ribu, 50 Ribu, 100 Ribu.

“Bapak ingin menantu kaya bukan? Ayo, ambil uang itu! ndak usah sungkan-

sungkan!”

“Masih kurang?” tanya Midas. Beringas

Midas seperti kesetanan. Disentakkannya kain gordyn yang bergelayutan di

jendela ruang tamu, dikoyak-koyaknya hingga berubah pula menjadi lembaran-

lembaran uang kertas. Taplak Meja, Kain Serbet, apa saja yang disentuhnya berubah

65

menjadi ribuan lembar uang kertas. Tak sepatah katapun wan Kokai menjawab tanya

Midas. Ia masih terperangah melihat keajaiban tangan Midas.

Lusianna keluar dari kamarnya.“Midas!” bisiknya. Setengah berlari ia

menghampiri kekasihnya itu. Mereka saling rangkul dan berpelukan. Celaka! Sekujur

kulit pembalut jasadnya bermetamorfosa menjadi lembaran-lembaran uang kertas.

“Lusi. Lusi. Lusi…..!” pekik Midas sambil mengguncang-guncang tubuh Lusianna

yang sudah mematung itu.

Wan Kokai dan Rupi’ah (istrinya) menjerit histeris. Mereka berlari ke arah

replika tubuh Lusianna, merangkul dan mendekap patung uang kertas yang masih

dalam pangkuan Midas. Celaka! tubuh wan Kokai dan Rupi’ah pun seketika berubah

menjadi patung uang kertas.Tanpa disadari, mereka telah bersentuhan dengan tangan

ajaib Midas. Celaka! Sungguh celaka!

****

Sejak tragedi itu, perawan-perawan tua makin banyak. Jumlah pasangan

mandul meningkat tajam. Sarjana penggangur membludak. Anehnya, perempuan-

perempuan yang terlambat ketemu jodoh seolah tak butuh laki-laki, tak perlu suami.

Pasangan-pasangan mandul seolah tak butuh bayi-bayi, tak perlu regenerasi. Sarjana

penganggur tak tergiur pada lowongan yang ditawarkan. Tak ada keinginan yang

hendak diraih orang-orang Kalagundah selain ambisi menumpuk dan menimbun uang

kertas sebanyak-banyaknya. Tak henti-henti mereka mengemis pada Midas agar terus

mencetak uang kertas dengan tangan ajaibnya. Memuji-muji kesaktian Midas,

66

menyanjung-nyanjung. Midas menjadi berhala hidup yang “disembah-sembah”.

Disembah demi meraih berkah berwujud rupiah.

Tak ada yang berhasrat mengunjungi ke Negeri Malam 1000 Bulan. Kalaupun

ada, itu hanya angan-angan kyai Haidar. Ia memang berniat ingin melafalkan doa

agar Tuhan melumpuhkan mukjizat tangan Midas. Betapa tidak? Mukjizat keparat itu

telah membuat sesat; Midas dipertuhankan. Tiada Tuhan di kota Kalagundah kecuali

Midas dan uang kertas. Tapi, kyai Haidar tak dapat mewujudkan niatnya. Kini, lelaki

ringkih itu terpasung di dalam mihrab mesjid tua yang tertutup rapat dengan pintu

berjeruji besi. Warga kota merubah mesjid itu menjadi penjara tempat meringkuknya

kyai Haidar. Hingga riwayat ini ditulis, belum tampak tanda-tanda kyai itu bakal

dibebaskan. Melepas bebas kyai Haidar berarti kiamat bagi mukjizat Midas. Zahila,

Laila dan Nahar, Jauhari dan Jauhara, Indrajit dan semua warga kota Kalagundah tak

‘puas-puas’ juga. Kekayaan mereka sudah melimpah ruah, tapi masih rakus ingin

menimbun uang kertas hasil sulapan tangan Midas. Entah untuk apa!

Jakarta, 2005

Catatan : 1) Dari legenda Yunani kuno. Diceritakan sosok Midas sebagai raja yang rakus. Saking rakusnya ia memohon pada dewa agar kedua tangannya diberi kesaktian sehingga setiap benda yang disentuhnya akan berubah menjadi emas. Celakanya, karena kesaktian itu, permaisurinya pun berubah menjadi patung emas setelah dipeluknya. Diadaptasi oleh Komarudin Hidayat di dalam bukunya Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta ; Paramadina,1998). Tragedi Midas menjadi pemicu lahirnya cerpen ini.

67

Ustadz Andaru

Di kampung, ia mubaligh muda. Tiap Jum’at beroleh undangan untuk jadi

khatib. Bergilir dari satu jama’ah ke jama’ah lain. Dari mesjid sekitar kampung

hingga mesjid di ibukota kabupaten. Hari lain, ia memberi pengajian di musholla Nur

Al-falah, majelis ta’lim di musholla Bait Al-rahman, dan kuliah subuh di musholla

Siraj Al-huda. Selebihnya, memenuhi undangan syukuran khitanan, hajatan

perkawinan dan sesekali mendapat kehormatan baca doa pada upacara pelantikan

pejabat baru di kantor bupati.

Para jamaah memanggilnya : “ustadz”. Lengkapnya ustadz Andaru. Tanpa

embel-embel titel sarjana semisal Drs, S.Ag, B.A di depan atau di belakang namanya

itu. Sebab, ia memang bukan sarjana. Setelah menamatkan pendidikan tingkat aliyah

di pesantren Syekh Adimin Ar-Raji, Andaru memilih jalan hidup sebagai mubaligh.

Sejak masih berstatus santri, Andaru sudah menekuni seluk beluk dunia dakwah. Tak

merasa asing lagi dengan mimbar khutbah, wirid atau majelis ta’lim. Dari hari ke hari

ia melatih keterampilan berorasi, bersilat lidah di hadapan jama’ah. Tak henti-

hentinya memperdalam ilmu retorika klasik seperti ma’ani, bayan, dan badi’.

Dikonsepnya ungkapan-ungkapan yang berisi kearifan spritual untuk menggugah

keinsyafan umat dari kekhilafan, kesalahan dan dosa-dosa. Lengkap dengan kutipan

ayat-ayat, hadist-hadist, dan penggalan syair-syair sufi yang diperolehnya dari kitab-

kitab kuning.

68

Kehadirannya ditunggu-tunggu. Lantang suaranya saat berkhutbah di mimbar

Jum’at selalu dinantikan umat. Andaru benar-benar mubaligh laku. “Orang yang

berjihad di jalan Tuhan, selalu mudah beroleh rejeki”. Begitu keyakinan yang teguh

dipegangnya sejak dulu. Memang benar adanya. Honorarium yang diterima Andaru

setiap Jum’at saja, cukup untuk hidup satu sampai dua minggu. Belum lagi amplop

dari wirid, berceramah, dan baca doa di hari lain. Pendapatan perbulan ustadz Andaru

lebih besar dari gaji pegawai negeri golongan tiga. Seberapa lah kebutuhan lelaki

lajang seperti Andaru? Tidak merokok, tidak suka kongko-kongko di lepau kopi,

tinggalnya pun masih di rumah orangtua.

Andaru tak perlu bersusah-susah nyari kerja ke kota. Predikat ustadz

menyelematkannya dari kesulitan mencari pekerjaan seperti yang dialami teman-

teman seusianya. Ia dianggap anak muda sukses. Tak perlu banting tulang dan peras

keringat. Cukup menyiapkan materi khutbah, wirid atau ceramah, mengisi jadwal

yang sudah ditentukan. Setelah itu, terima honor. O, betapa enaknya jadi mubaligh!

****

Kini, Andaru sudah di Jakarta. Sejak menikah sebulan lalu, dengan berat hati

ia harus merantau. Meninggalkan mimbar-mimbar khutbah, majelis ta’lim dan

pengajian rutin. Meninggalkan pekerjaan yang selama ini menghidupinya.

Meninggalkan setumpuk jadwal pengajian yang selalu berbuah bayaran.

“Orang-orang Jakarta juga butuh mubaligh sepertimu” kata ibu mertua

meyakinkan Andaru.

“Orang yang berjihad di jalan Tuhan, akan mudah rejekinya”

69

“Semoga kau menjadi Da’i kondang di Jakarta”

Annisa, perempuan yang kini sudah menjadi istri Andaru memang berasal

dari kampung yang sama. Tapi, setelah tamat SD ia diajak saudaranya ke Jakarta.

Melanjutkan sekolah di sana. Tak hanya sampai SMU, Annisa bersekolah hingga

tingkat sarjana. Kini, perempuan itu bukan lagi Annisa yang dikenal Andaru sewaktu

di kampung dulu, tapi Annisa yang sudah dewasa, berstatus sebagai pengajar (di

kampung orang lebih suka menyebutnya “dosen”) di sebuah perguruan tinggi swasta

bergengsi. O, betapa mujurnya nasib Andaru!

Annisa tak mengira bakal berjodoh dengan ustadz jebolan pesantren, yang

konon sedang diperebutkan jamaah ibu-ibu. Utamanya ibu-ibu yang punya gadis

perawan. Mereka ingin memilih Andaru sebagai menantu. Entah kenapa, di kampung

itu ustadz muda selalu saja jadi idola. Disanjung-sanjung, dipuja-puja dan ujung-

ujungnya dilamar untuk jadi menantu. Apa istimewanya lelaki yang menyandang

gelar ustadz?

Ustadz tentu orang yang menguasai ilmu-ilmu agama. Mulia akhlaknya.

Santun budi pekertinya. Terpuji moralnya. Singkatnya, ustadz adalah lelaki “baik-

baik”. Lelaki baik-baik tentu bakal mewariskan keturunan yang baik pula. Anak-anak

sholeh yang taat beribadah, patuh dan berbakti pada ibu-bapak. Jangan heran jika

seorang ustadz punya istri lebih dari satu. Dua, tiga atau bahkan empat. Orang tak

peduli berapa banyak perempuan yang telah dinikahinya. Tapi, berapa banyak ia telah

mewariskan anak-anak sholeh. Gadis-gadis kampung pun rela dimadu, asal suaminya

lelaki bergelar ustadz. O, betapa beruntungnya menjadi ustadz!

70

“Ibu sudah melamar ustadz itu untukmu. Pulanglah!”

“Ustadz? Nisa bukan perempuan yang layak jadi istrinya. Nisa bukan

ustadzah, bu!”

“Justru karena bukan ustadzah, kau perlu lelaki yang bakal membimbingmu di

jalan agama”

“Ingat! Umurmu sudah lanjut. Kau harus menikah”

Annisa pun pulang kampung. Mana mungkin ia menolak kehendak ibunya

yang menggebu-gebu ingin bermenantu ustadz Andaru. Lagi pula, ia memang mesti

segera menikah. Bila tidak, usia produktifnya bakal lewat. Akibatnya bisa fatal.

Annisa akan sulit dapat keturunan, atau tidak punya anak sama sekali. Maka, ia tidak

terlalu memikirkan betapa mujurnya bersuami ustadz Andaru. Menikah hanya karena

sudah kepingin punya anak.

Setelah pesta pernikahan besar-besaran diselenggarakan (waktu itu Annisa

hanya dapat cuti tiga hari), Andaru dan Annisa berangkat ke Jakarta. Itu kali pertama

Andaru menginjakkan kaki di ibukota yang dulu hanya dilihatnya di layar TV,

sekaligus pengalamannya naik pesawat terbang (juga) untuk kali yang pertama.

Andaru mengalah untuk tidak bertahan di kampung, karena Annisa tak mungkin

meninggalkan pekerjaannya di Jakarta. Adakalanya suami ikut istri, bukan istri saja

yang melulu ikut suami.

****

71

Tak ada lagi yang memanggilnya ; “ustadz”. Tak ada undangan untuk menjadi

khatib Jum’at. Tak ada wirid, majelis ta’lim dan pengajian rutin. Maka, tak ada

honor. Andaru menganggur. Sejatinya, ia sudah berusaha mendekati mesjid. Selalu

shalat berjamaah di mesjid dekat rumah kontrakannya. Berlama-lama di sana.

Mencari-cari kesempatan untuk memberitahu jama’ah bahwa ia adalah ustadz.

Kadang, satu jam sebelum Maghrib Andaru sudah berada di mesjid. Diam-diam ia

berharap Imam mesjid sakit, lalu ada pengurus yang menawarkan kesempatan jadi

imam, atau setidaknya jadi muazzin. Tapi, tak pernah terjadi. Imam mesjid selalu ada.

Begitu juga ustadz yang mengisi jadwal kultum dan pengajian rutin. Andaru benar-

benar sedang dalam kesusahan. Sulit beroleh pengakuan sebagai mubaligh. Lagi pula,

ustadz-ustadz yang biasa tampil di mimbar khutbah bukan orang-orang sembarangan.

Rata-rata mereka sarjana jebolan universitas di Timur Tengah. Sementara Andaru

hanya “mantan” ustadz jebolan pesantren kampung.

“Menjadi mubaligh di Jakarta, tidak cukup dengan ijazah pesantren” ketusnya

pada Annisa

“Sudahlah bang! Jangan terlalu risau. Abang kan bisa cari kerjaan lain”

“Keahlianku hanya berdakwah”

“Iya deh. Sabar dulu ya…”

Sejauh ini, Andaru memang masih aman. Meski sudah lama menganggur,

bukankah istrinya bekerja?. Semua kebutuhan Annisa yang atasi. Bayar kontrakan,

biaya hidup sehari-hari, rekening listrik, dan apa saja. Andaru tahu beres. Tapi sampai

72

kapan? Bagaimana kalau Annisa hamil? Punya anak? Tentu Annisa akan berhenti

kerja, setidaknya mesti cuti.

“Aku belum mau punya anak. Bakal repot jadinya nanti” batin Andaru

“Aku harus kerja dulu sebelum Annisa hamil”

“Tapi, kerja apa?”

Andaru enggan beralih mencari pekerjaan lain. Guru privat baca Qur’an atau

guru bahasa Arab, misalnya. Bukankah itu juga bidangnya? Itu tak dilakukannya.

Mungkin karena ia sudah terbiasa cari uang dengan bekerja sebagai mubaligh. Meski

sulit, Andaru tetap berusaha mencari kesempatan tampil di mimbar khutbah.

Menurutnya, sekali dapat peluang berkhutbah, undangan bakal berdatangan. Tapi,

sampai kapan ia mesti menunggu?

Ia hanya bisa berdoa agar Tuhan tak mengaruniai mereka keturunan. Dalam

tahajjut, Andaru menadahkan tangan, bermohon agar benih yang telah tertanam di

rahim Annisa jangan tumbuh dulu. Doa Andaru bukannya minta petunjuk bagaimana

caranya agar ia dapat meraih obsesi : kembali jadi mubaligh, melainkan doa penolak

datangnya keturunan. Doa penolak rejeki.

****

Belum ada tanda-tanda kehamilan Annisa. Ia masih datang bulan. Barangkali

kelelahan? Atau perlu memeriksakan diri ke dokter kandungan? Ah, tidak!. Tak ada

kelainan di rahimnya, begitu pun tak ada yang ganjil pada organ reproduksi Andaru.

“Bila tak ada kelainan. Bulan pertama pernikahan, mestinya sudah berisi” kata

Rinjani, teman kerjanya.

73

“Mungkin belum saatnya, Nisa”

“Iringi saja usaha kalian dengan doa!” tambah Rinjani lagi.

Sebelum dan seusai bercinta, Annisa khusyu’ berdoa. Semoga benih-benih itu

segera bersitumbuh. Semoga ia telat datang bulan, ngidam, dan bunting. Tiap selesai

shalat, tak henti-hentinya Annisa memohon agar Tuhan menganugerahinya bayi. Bayi

yang sudah lama dirindukannya.

“Bila kau sudah hamil, ibu akan ke Jakarta, menemanimu. Bagaimana

khabarmu? Belum telat juga?” kata Ibunya di ujung telpon.

“Belum, bu”

“Mungkin kecapaian. Istirahat yang banyak. Jangan diporsir tenagamu!”

“Ibu selalu mendoakan agar kalian cepat dapat momongan”

“Bagaimana dengan Andaru? Sudah mulai sibuk memberi khutbah ya?”

Begitulah. Annisa terus berdoa mengharap kehadiran bayi. Sementara Andaru

juga bermohon agar Tuhan tak memberinya keturunan. Sekhusyu’-khusyu’-nya

Annisa bermohon agar Tuhan menurunkan karunia, Andaru jauh lebih khusyu’

hendak menunda datangnya karunia itu. Menolak anugerah. Entah doa siapa yang

bakal terkabul kelak.

“Hampir enam bulan usia pernikahan kita, kenapa Nisa belum hamil juga ya

bang?” tanya Annisa, penuh harap.

“Mungkin belum rejeki kita…” bisik Andaru.

Kelapa Dua, 2005

74

Merantau Cina

Senja lindap. Pucuk pohon kelapa meliuk-liuk mengikuti arah angin yang

berkesiur. Dedaunan kering berguguran di halaman rumah tua yang tampak kusam.

Tiang-tiang penyangga tak terbilang usia mulai lapuk. Atap rumbia seakan tak

mampu lagi menahan hentakan rintik musim hujan. Seumpama sangkar tua yang

sudah ditinggalkan burungnya. Terbang, nun ke langit entah. Apakah gunanya

sangkar tanpa burung di dalamnya? Lambat laun bakal hancur digilas waktu. Musnah

jadi puing tak berguna.

Perempuan ringkih berselendang putih duduk menegun sambil berjuntai kaki.

Sukar membedakan putih warna selendang yang terselempang dengan putih uban-

uban di kepalanya. Guruh yang mengantar hujan senja itu tak dihiraukannya. Diam,

tak terusik dalam lamun. Hanya ia yang tersisa. Perempuan renta, pemilik rumah

usang yang tak jelas ahli warisnya. Di usia yang sudah berkepala delapan, guratan

kekuasaan masa lalu masih membekas di raut mukanya. Ia seperti ingin hidup

puluhan tahun lagi. Tak peduli pada aroma kematian yang kian menyengat.

****

Payakumbuh, 1979

“Jika hanya akan makan dan tacirik 1), pergi sajalah kau dari rumah ini!”

Dengan berat hati seorang lelaki melangkah terbata-bata. Enyah untuk arah yang tak

jelas.

75

“Abak! 2) Buyung ikut abak. Tunggu bak!” teriak bocah kerempeng sambil

terisak-isak.

“Bak, jangan pergi baaaaak…..!”

“Diam kau Buyung!” hardik perempuan itu dengan mulut menyeringai dan

mata membelalak,

“Buyung sayang abak. Kenapa abak pergi ndak ngajak Buyung?”

“Diam kau Buyung!”

Sudah lama lelaki itu tak beroleh kesempatan meracit 3). Panen tembakau

gagal akibat kemarau berkepanjangan. Ada ia berniat hendak menggarap ladang, tapi

tak punya lahan. Menjadi kuli angkut padi, panen gabah juga tak bisa diharapkan

karena serangan hama tikus. Maka, ia hanya bertanam aneka sayur mayur ; bayam,

peria, terung, kacang panjang di lahan tidur milik keluarga istrinya.

“Kenapa abak ndak pernah menghisap rokok warna kuning? 4)” tanya si

Buyung. Polos

“Harganya mahal ya bak?”

“Ya, mahal. Sebab, kita belum mampu membelinya. Jika kita sudah mampu

membeli, berarti sudah tidak mahal lagi, bukan?”

Sudah tiga hari abak tidak turun ke kebun. Ia bergabung dalam kerja bakti

bersama orang-orang sekeliling, membangun pentas untuk acara Qasidah dalam

memeriahkan perayaan khatam Qur’an di kampung itu. Kebun sayur tinggal

menunggu panen saja. Setelah acara khataman usai, abak dan Buyung baru akan

turun ke kebun lagi.

76

Celaka! bayam, peria, terung, kacang panjang yang sedianya bakal dipanen

hanya tinggal tunggul-tunggulnya saja. Serumpun pun tiada bersisa. Abak langsung

tanggap, siapa lagi yang mencukur gundul kebun sayurnya kalau bukan emak si

Buyung. Istrinya sendiri. Mentang-mentang abak berkebun sayur di lahan milik

keluarganya, tak segan-segan perempuan itu membabat habis hasilnya, bahkan tanpa

memberitahu abak lebih dahulu.

“Semoga Buyung tak datang ke kebun hari ini” batin abak, was-was

Betapa tidak? Sejak mulai bertanam hingga sayur-sayur itu tumbuh dan tinggal

panen, Buyung bersetia membantu abak di kebun itu. Menyiangi rumpun-rumpun

peria, terung dan kacang panjang dari ilalang-ilalang liar. Buyung memendam

keinginan sederhana, setelah kebun sayur itu membuahkan hasil. Ia ingin melihat

abaknya dapat menghisap rokok warna kuning. Buyung ingin membanggakan abak

pada teman-temannya. Meski hidup susah, abak tetap bisa beli rokok warna kuning.

Ah, apa mau dikata? Hasil kebun yang hendak dipikul dan dijual ke pasar sayur sudah

ditebas emak, tinggal tunggul-tunggulnya saja.

Buyung seperti kesetanan. Ia menangis berguling-guling di atas tunggul-

tunggul kebun sayur itu.

“Abak ndak jadi beli rokok warna kuning, abak ndak jadi beli rokok warna

kuning, hu……..hu……..hu…..”

“Emak uangnya banyak, tapi hasil kebun abak ditebasnya

juga.….hu…..hu….!”

“Sudahlah, Yung! Kita masih bisa tanam lagi” bujuk abak

77

“Buyung hanya ingin abak punya rokok warna kuning. hu……….hu……”

Abak tak pernah mampu membeli rokok warna kuning seperti angan-angan

Buyung. Hasil penjualan bayam, peria, terung, kacang panjang dirampas emak.

Dimakannya sendiri. Tak serupiah pun diberikan pada abak dan Buyung.

Sialnya, tiba-tiba pula abak jatuh sakit. Persendian kakinya lemas. Seperti

hilang rasa. Berdiri saja abak tak kuat. Seperti hilang tenaga. Tubuh kurusnya

terbaring menelentang di atas kasur lusuh. Buyung murung. Tak henti-hentinya ia

memijat kaki abak. Bersusah payah ia mencari tahu ramuan obat yang dapat

menyembuhkan sakit abak. Tapi, Buyung gagal. Ia terus menjaga abak. Duduk

berlama-lama, tidur pun selalu di samping pembaringan abak.

“Bak, sembuhlah bak! kalau abak sakit terus, Buyung sama siapa?”

“Kapan abak bisa beli rokok warna kuning bila berdiri saja abak ndak kuat?”

“Abak sakit apa?”

“Abak ndak apa-apa Yung, jangan cemas, Nak!”

“Jika abak sudah sembuh, kita bisa ke kebun lagi, bukan?”

Sejeda mereka terdiam, karena tiba-tiba emak datang. Raut muka perempuan

itu masam. Sudah lama abak dan Buyung tidak pernah lagi menatap keteduhan di

rona mukanya. Ya, sejak abak tak meracit tembakau. Sejak abak menganggur.

“Kalau hanya akan menghabiskan beras dan menyusahkan, lebih baik mati

saja, kau!” maki emak dengan suara tinggi.

“Hidup makin payah, kok malah sakit. Jangan-jangan kau pura-pura sakit

ya?”

78

Merah padam muka Buyung mendengar cercaan emak. Ia seperti hendak

berontak. Tak bisa lagi ia menerima perlakuan emak yang sudah keterlaluan.

Jangankan mempedulikan abak yang sedang sakit parah, justru setiap hari telinga

abak disumpalnya dengan caci maki, cela dan sumpah serapah.

Sejatinya, tanpa diusir pun diam-diam abak sudah menyimpan keinginan

meninggalkan rumah itu. Meninggalkan carut marut yang terpacak dari mulut

perempuan mata duitan itu. Tapi, karena kakinya belum kuat melangkah, abak belum

beranjak dari pembaringannya. Perempuan yang disebut Buyung sebagai emak itu

benar-benar tidak tahu diuntung. Begitu suaminya sudah sakit-sakitan, tak

menghasilkan uang, hendak diusirnya begitu saja. Ada uang abak disayang, tak ada

uang abak ditendang.

Hengkang juga abak akhirnya. Tak sanggup lagi ia mendengar makian yang

keluar dari mulut kasar emak. Abak datang tak membawa apa-apa dan pergi juga

tanpa membawa apa-apa. Maka, terjadilah prosesi perpisahan yang sederhana.

Terbata-bata ia mengayun langkah-langkah lelah. Tak tampak sedikitpun rona

keharuan di wajah emak pada saat abak mengayunkan langkah pertama

meninggalkan rumah itu. Buyung meronta-ronta, menghentak-hentak hendak

mengikuti abak. Mengikuti ke mana saja lelaki itu hendak pergi. Tapi abak sudah

terlanjur jauh, ia sudah menghilang tertelan gelap malam. Buyung tak mungkin lagi

mengejarnya.

79

“Abak ndak salah apa-apa, kenapa emak mengusirnya?”

“Emak menjual hasil kebun abak, abak tak jadi beli rokok warna kuning. Lalu

abak sakit payah, dan emak mengusirnya. Apa salah abak?”

“Emak berdosa telah mengusir abak”

“Diam kau, Buyung! Tahu apa kau soal dosa? Kalau mau pergi, carilah

abakmu itu, Ayo, tunggu apa lagi, anak setan!”

Tak lama setelah kepergian abak, Buyung pun pergi. Hengkang seperti abak

yang telah lebih dulu menghilang. Entah ke mana tujuan si Buyung. Entah ke mana

tujuan abak. Tapi yang jelas, hingga kini abak dan Buyung tak pernah pulang.

Kepergian mereka seperti merantau Cina. Sekali pergi, tak bakal kembali.

****

Setahun, dua tahun, berpuluh tahun, perempuan itu hidup bersendiri, hingga

tubuhnya mulai ringkih. Rumah usang itu terselimuti sunyi. Lengang, tanpa abak,

tanpa Buyung. Kini, setelah uban-uban memutih di kepalanya, ia merasakan desau

rindu yang menyesak di dada. Rindu ingin bertemu dengan dua lelaki yang terusir.

Tentu, kini Buyung sudah dewasa. Sukar ia membayangkan seperti apa guratan

kedewasaan Buyung saat ini. Tentu, Buyung sudah punya anak-istri. Di mana

Buyung kini?. Begitu pun abak, mungkin lelaki itu masih hidup meski sudah tumbuh

pula uban-uban di kepalanya. Sudah renta. Mungkin pula abak sempat punya istri lagi

dan tentu sudah punya buyung-buyung yang lain. Di mana abak kini?

80

Perempuan tua berselendang putih yang sejak tadi duduk berjuntai kaki itu,

tersentak dari lamun. Perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah

usang itu. Malam kian larut dalam hening. Selarut perempuan tua itu dalam rindu

yang sudah mustahil diraih. Hujan tak reda juga. Terus mengguyur, memecah

lengang. Perempuan tua tak sungguh-sungguh lelap, pikirannya menerawang bersama

desau rindu yang menggebubung. Kadang terbayang isak-sedu Buyung di samping

pembaringan abak. Kadang tergambar langkah-langkah berat abak sesaat sebelum ia

beranjak hendak meninggalkan rumah itu. Abak bukan saja telah terusir dari rumah

itu, tapi juga terusir dari hati perempuan keparat itu.

Pelan-pelan, mata perempuan tua pun terpejam. Dalam tidur, ia bermimpi

melihat Buyung sedang berlari-lari kegirangan, sambil membawa sebungkus rokok

berwarna kuning yang hendak diberikannya pada abak.

Yogyakarta, April 2003

1) Buang hajat besar. makan dan tacirik artinya menganggur, 2) Sebutan untuk ayah atau bapak, asal katanya dari bahasa arab ; Abu, kemudian mengalami perubahan menjadi abak 3) memotong daun tembakau hingga menjadi benang-benang kecil, pekerjaan ini menjadi profesi di beberapa daerah penghasil tembakau di Sumatera Barat, seperti di Taram, Situjuh (Kab.50 Kota). Dalam bahasa daerah setempat, profesi ini disebut juga Nahodo. 4) Di daerah yang dijadikan latar cerita ini, Dji Sam Soe biasa disebut pelat kuning, karena pita yang melingkari bagian pangkal batangan rokok tersebut berwarna kuning. Dji Sam Soe adalah rokok paling mahal bagi para pecandu di daerah itu.

81

B U Y A

Setitik cahaya menyembul dari balik semak-semak di kaki bukit. Mungkin

suluh orang yang mencari belut sawah atau menjaring ikan di sungai Batang Mungo

sepanjang lereng bukit itu. Tapi, makin mendekat, makin jelas terlihat. Makin terang.

Lalu, cahaya itu menggulung seperti dihempas angin limbubu. Menggumpal,

membulat, membesar seperti bola api. Melayang dan melaju kencang ke arah Surau

Tuo. Lama sekali bola api itu berputar-putar di atas permukaan tanah kosong, tepat di

sisi kanan mihrab Surau Tuo, hingga sekeliling surau itu terang benderang seperti

tersiram sinar bulan purnama keempat belas. Padahal, malam itu bukan malam terang

bulan.

“Pertanda apa ini, Bilal?” tanya Katik, gemetar dan tergagap-gagap.

“Ini petunjuk yang kita tunggu-tunggu selama ini.”

“Petunjuk?” tanya Katik lagi, “Maksudnya apa?”

“Kita sudah beroleh jawaban tentang raibnya jasad buya” jawab Bilal, sambil

tersenyum lega.

“Jadi…..jadi ….Ini petunjuk tentang buya Ibrahim Mufti yang menghilang

beberapa tahun lalu?”

Hanya dalam hitungan hari sejak Katik, Bilal, segenap ninik mamak, alim

ulama bermufakat dan memutuskan bahwa peristiwa munculnya cahaya pada malam

gelap bulan itu benar-benar pertanda yang tak diragukan kebenarannya, masyarakat

Taram dari enam jorong : Tanjung Ateh, Tanjung Kubang, Tanjung Balai Cubadak,

82

Parak Baru, Sipatai, dan Subarang, berbondong-bondong ke Surau Tuo. Saling bahu-

membahu, menggali tanah pekuburan, mendirikan makam bagi almarhum buya

Ibrahim Mufti. Hari itu, kali pertama mereka menggali kubur, tapi tak ada mayat

yang bakal ditimbun di liang lahat. Keempat sisinya ditembok semen setinggi dua

meter, sementara bagian atasnya diatap seng. Seperti makam para wali, kuburan

orang-orang keramat.

****

Dulu, negeri Taram tanahnya gersang. Musim kering berkepanjangan. Tak

ada sumber air untuk mengairi sawah. Kalau pun ada sawah yang ditanami, itu hanya

mengharapkan curah hujan. Sementara, musim panas lebih lama ketimbang musim

hujan. Gabah dari sawah tadah hujan hanya cukup untuk menghadang ancaman

kelaparan. Sekedar bertahan hidup. Tak bersisa untuk ditabung dalam lumbung. Tapi,

sejak kedatangan buya Ibrahim Mufti, perlahan-lahan alam mulai bersahabat.

Keadaan berubah menjadi lebih baik.

Waktu itu, buya menancapkan ujung tongkatnya ke dalam tanah, lalu

dihelanya tongkat itu sambil berjalan ke arah timur. Tanah kering yang tergerus

tongkat buya seketika lembab, basah dan dialiri air yang datang entah dari mana.

Sesampai di ujung paling timur, buya berhenti. Dibiarkannya tongkat itu tertancap.

Lebih dalam dari tancapan yang pertama. Kelak, titik tempat beliau berhenti dinamai

: Kepala Bandar. Itulah mata air pertama di Taram. Airnya mengalir deras ke bandar

yang semula hanya parit kecil akibat tergerus tongkat buya. Tak lama berselang,

bandar pun melebar, membesar dan akhirnya berubah menjadi sungai Batang Mungo

83

yang menyimpan persediaan air berlimpah. Sejak itu, orang-orang Taram tak lagi

tergantung pada sawah tadah hujan. Mereka telah beroleh sumber air. Sawah-sawah

pun membuahkan hasil berlebih-lebih. Lumbung-lumbung padi penuh terisi.

Di tengah perkampungan, (dengan bantuan warga) buya membangun sebuah

surau. Di sanalah buya tinggal, di sebuah bilik kecil di samping surau. Anak-anak

berhamburan datang hendak belajar mengaji. Begitu pun orang dewasa dan orang tua-

tua, berduyun-duyun untuk shalat berjamaah, mendengarkan wirid dan pengajian.

Buya memberi nama surau itu : Surau Tuo. Surau pertama yang pernah ada di sana.

Surau tertua.

Selain sebagai guru mengaji, guru wirid dan guru tasawuf, buya dikenal

memilki banyak keistimewaan. Di bulan ramadhan, setiap keluarga di Taram

menggelar acara buka bersama, dan mengundang buya untuk mendoakan keberkahan

bagi tuan rumah. Suatu kali, keluarga Nuraya, keluarga Syamsida dan keluarga

Wastiah menyelenggarakan buka bersama di hari yang sama. Secara bersamaan pula

mengundang buya. Mereka bersitegang ulat leher mempertahankan kesaksian

masing-masing. Nuraya tidak percaya, kalau buya datang memenuhi undangan ke

rumah Syamsida dan Wastiah. Sebab, hari itu buya ada di rumahnya. Begitu pun

Syamsida dan Wastiah, keduanya berani bersumpah bahwa buya juga hadir di rumah

mereka masing-masing. Mereka tidak salah. Buya benar-benar memenuhi undangan

ketiga keluarga itu. Meski ada yang bersaksi, hari itu buya tidak ke mana-mana.

Beliau berzikir dan i’tikaf di Surau Tuo, berbuka bersama dengan jamaah Maghrib.

Di manakah jasad asli buya saat itu? Berapa banyakkah bayang-bayang buya?. Ada

84

yang menyebut, buya punya ilmu ‘bayang-bayang tujuh’. Jangankan undangan dari

tiga keluarga, dari tujuh keluarga pun buya akan menyanggupinya. Itu belum

seberapa, ada yang pernah melihat buya berjalan di atas air saat menyelamatkan

orang hanyut di sungai Batang Mungo. Karena itu, beliau sering disebut : buya

keramat.

****

Hari itu, Jum’at 12 Sya’ban. Wan Tobat bergegas datang ke Surau Tuo.

Memenuhi janjinya, mencukur rambut buya. Kecuali jenggot, buya tidak suka pada

bulu. Begitu rambut penuh uban itu mulai tumbuh, beliau akan memanggil Wan

Tobat. Meminta tukang cukur itu menggundulinya, hingga culun, licin dan mengkilat.

“Tolong agak cepat! Gunakan pisau cukur paling tajam! Sebentar lagi waktu

Jumat akan masuk” suruh buya pada Wan Tobat,

Baru separuh rambut buya tergunduli. Wan Tobat tersentak kaget. Karena

tiba-tiba buya bangkit, berdiri dari duduknya. Seolah ada yang mengejutkan beliau.

Tampak ganjil bentuk kepala buya. Culun sebelah. Sebelah kiri gundul, sebelah

kanan masih ada rambut.

“Wah, saya harus buru-buru pergi.”

“Tapi, rambut buya belum selesai dicukur bukan?”

“Ndak apa-apa. Saya tidak bisa menunggu lagi.”

“Ada apa buya?”

“Ka’bah kebakaran. Saya harus segera memadamkannya”

85

Buya berkepala culun itu tergesa-gesa lari ke biliknya, berkemas dan memakai

sorban. Masih tampak aneh, meski kepalanya sudah terlilit sorban. Sejenak beliau

duduk bersila, menunduk berzikir di depan mihrab Surau Tuo, setelah itu Wan Tobat

tak melihat apa-apa lagi. Seketika saja, jasad buya menghilang. Seperti menguap, dan

raib entah ke mana.

****

Wan Tobat, satu-satunya orang yang melepas kepergian buya. Tukang

pangkas itu sudah berkali-kali meyakinkan orang-orang bahwa buya Ibrahim Mufti

pergi berjihad, memadamkan api yang hendak meluluhlantakkan Baitullah, di Mekah.

Tapi, mereka masih sukar mempercayai kebenaran cerita Wan Tobat, antara percaya

dan tidak. Malah ada yang menganggap kesaksian itu mengada-ada, tak masuk akal,

omong kosong yang dibuat-buat.

“Buya itu wali. Dalam sekali kerdipan mata, beliau bisa tiba di Mekah”

“Andai bumi yang bulat ini ada tangkainya seperti buah manggis, buya akan

menjinjingnya ke mana-mana”

“Apa lagi yang kalian sangsikan dengan peristiwa hilangnya jasad buya?”

Berbulan-bulan, peristiwa menghilangnya buya masih menjadi duri dalam

daging bagi orang-orang Taram. Mereka sulit menerima kenyataan. Apa mau dikata?

Buya sungguh-sungguh telah tiada. Kesangsian mereka pada keterangan Wan Tobat

terjawab setelah mendengar cerita dari Wan Tongkin. Warga kampung sebelah, yang

pulang setelah berpuluh tahun hidup dan tinggal di tanah suci. Semula Wan Tongkin

mendalami ilmu-ilmu agama di Mekah. Setelah pendidikannya tamat, ia tidak

86

kembali pulang ke kampung. Tapi memilih menjadi pedagang lukisan kaligrafi dan

kopiah haji di wilayah sekitar Masjid al-Haram. Meluap-meluap lelaki ringkih itu

berkisah tentang peristiwa kebakaran Ka’bah, beberapa hari sebelum kepulangannya.

“Baitullah nyaris hangus jadi abu”

“Siapa yang memadamkan api itu?” tanya orang-orang,

“Untunglah ada seorang lelaki tua. Secepat kilat, ia meloncat ke puncak

Ka’bah. Dari ujung tongkatnya mengucur air. Deras, seperti air yang muncrat dari

selang pemadam kebakaran. Sekejap, api yang menjalar-jalar itu padam”

“Masih ingat ciri-ciri orang itu?”

“Agak ganjil. Kepalanya culun sebelah. Sebelah kiri gundul, sebelah kanan

masih ada rambut”

Sepeninggal buya, pengajian tasawwuf dilanjutkan oleh tiga orang murid

kesayangan buya Ibrahim Mufti. Haji Malih, haji Amak dan terakhir haji Djamil.

Mereka juga memiliki banyak keistimewaan seperti buya. Dari haji Djamil, orang-

orang Taram menjawab wasiat tentang buya. Ia pernah bermimpi bertemu arwah

buya. Ternyata, tak lama setelah peristiwa kebakaran Ka’bah, buya meninggal.

Dalam mimpi itu, haji Djamil bermohon agar buya memberitahukan di mana beliau

dikuburkan. Agar, kelak orang-orang Taram dapat berziarah ke makam beliau.

“Bila muncul cahaya di malam bukan terang bulan, di sanalah saya”

“Bagaimana cara kami mengenali cahaya itu?”

87

“Menggumpal, membulat, dan membesar serupa bola api. Melayang-layang,

dan berputar seperti gasing. Galilah kuburan persis di setentang cahaya itu!. Di

sanalah makam saya”

****

Bilal dan Katik sudah tiada. Begitu pun orang-orang yang dulu setia menjaga

Surau Tuo dan makam buya. Satu persatu meninggal, hingga tak ada lagi yang tahu

sejarah surau dan makam keramat itu. Surau lengang. Tak ada hiruk suara anak-anak

mengeja alif-ba-ta. Tak ada shalat berjamaah, pengajian, apalagi wirid. Surau kotor,

kumuh dan berdebu. Sama seperti makam buya yang tak terawat, penuh rumput dan

berlumut.

Tapi, Kepala Bandar makin ramai. Mungkin karena suasananya tenang dan

sejuk. Airnya jernih, ikannya jinak. Setiap hari, berpuluh-puluh pasang muda-mudi

(laki-laki dan perempuan) berboncengan sepeda motor beriring-iringan menuju lokasi

mata air tertua itu. Di balik semak-semak sepanjang pinggir sungai, tersedia pondok-

pondok bambu yang disewakan bagi setiap pasangan. Mereka leluasa berbuat apa

saja. Tanpa ada yang mengusik dan menganggu. Tak ada yang tahu, Kepala Bandar

yang sudah mesum dan penuh maksiat itu, dulu tempat suci yang dihormati. Konon,

buya Ibrahim Mufti pernah menancapkan tongkat keramatnya untuk memperoleh

mata air. Di sana pula, buya kerap berdoa, memohon keberkahan dan kelimpahan

rejeki bagi orang-orang Taram.

Kelapa Dua, 2005

88

S U A K A

Tubuh langsingnya, kini terbaring menelentang dikelilingi elektrokardiogram,

tabung-tabung oksigen dan selang-selang infus. Jasadnya tak lebih dari gumpalan

daging sekedar pembalut tulang belulang. Begitu pun raut wajahnya (yang menurut

ketajaman mata batinmu adalah rona muka paling jernih dari semua perempuan yang

pernah kau kenali), kini kian buram. Lebih buram dari wajah mentari tertindih

mendung senja hari. Lalu, apa lagi yang masih bisa kau harapkan dari perempuan

yang sudah setengah bangkai itu? Separuh hidup, separuhnya lagi sudah mati.

“Aku tak butuh ranum tubuhnya. Aku hanya ingin ia sembuh. Itu saja!”

Hmn…..! Kau tak butuh sentuhannya, Andesta? Kau tak ingin mendengar

desah suara dan sengah nafasnya manakala kalian sedang berpelukan? Kau tak ingin

lagi tubuhnya bersandar di dadamu? dan kedua lengannya melingkar di lehermu?

“Aku ingin ia terbebas dari rasa sakit keparat itu”

****

Andai saja gerak dan laju perputaran waktu dapat ditelikung jauh ke belakang,

nun ke masa silam. Lalu, kau dapat berkunjung ke suatu periode sejarah paling purba,

saat itu tidakkah kau hendak bertanya ; Kenapa Adam masih terkepung sunyi di

taman sorgawi yang ‘mandi’ cahaya? hingga ia bermohon agar Tuhan menghadirkan

Hawa di sisinya?

“Apa maksudmu?”

89

Ya, di titik inilah sejarah bermula, bahwa kelak laki-laki harus hidup

berpasangan dengan perempuan. Kelamin jantan mesti bertemu dan beradu dengan

kelamin betina dalam sistem keberpasangan intim. Maka, bermulalah sejarah cinta,

kesetiaan dan pengorbanan. Dimulai pula ritual upacara pernikahan yang paling tua.

Sejarah itulah yang lantas kalian warisi di kemudian hari, hingga (entah kenapa) kau

dan perempuan itu pun bertemu dan bersatu dalam bingkai jodoh. Padahal, kalian tak

pernah menduga sebelumnya, bukan? Siapa yang mesti disalahkan dalam hal sejarah

cinta, kesetiaan dan pengorbanan? Tentu Adam, sebab dia manusia pertama yang

mengobarkan api cinta, hingga Hawa menjadi bagian dalam hidupnya. Ah, tidak adil

bila menyalahkan Adam, mungkin Hawa yang salah, sebab ia terpikat pada bujuk

rayu Adam, hingga kelak kalian mewarisi kultur keberpasangan yang seringkali

berakhir dengan duka dan nestapa. Iya, tapi salah Adam juga, kenapa memohon do’a

untuk kehadiran Hawa? Kalau begitu, yang salah bukan Adam, bukan Hawa, tapi

Tuhan. Sebab, Tuhan mengabulkan doa Adam.

“Huss…..Tuhan jangan dibawa-bawa!”

Jika saja kalian tidak tergoda dan lalu terperangkap dalam kultur

keberpasangan yang diwariskan nenek moyang bangsa manusia, tentulah kau bukan

jodoh bagi perempuan itu. Bukan suaminya. Tentulah, tidak akan terberati

perasaanmu oleh beban yang sesungguhnya tak sanggup kau pikul, bukan?. Tentulah,

kau tak perlu menimbun dan menumpuk hutang untuk membiayai pengobatannya.

(kau tak akan mampu melunasi hutang-hutang itu meski bekerja seumur hidupmu).

90

Tentulah, kau tidak akan ikut merasakan betapa menyiksanya petaka yang sedang

menimpa perempuan itu.

****

Berselang dua bulan setelah pernikahan mereka, tiba-tiba saja Ladunna jatuh

sakit. Perutnya terasa kembung dan mual. Muntah-muntah seperti gejala orang

ngidam. Dengan perasaan penuh was-was bercampur cemas, Andesta bersegera

melarikannya ke rumah sakit. Tak disangka-sangka, dokter menyatakan istrinya itu

hamil. Semula Andesta tersentak bangga sembari mengumbar senyum lega. Sebab,

tak lama lagi ia akan menjadi ayah bagi janin dalam kandungan Ladunna. Pucuk

dicinta ulam pun tiba.

“Istri anda positif hamil, tapi kehamilannya di luar kandungan. Karena itu,

mesti dioperasi”.

Seketika, jantungnya seperti hendak berhenti berdenyut. Seperti ada yang

menghentak dan menyesak di rongga dadanya. Sulit ia mengatur detak nafas. Kian

lama kian kencang, tak beraturan. Lelaki itu dikepung rasa cemas tak terkata. Cemas

bilamana operasi itu gagal. Cemas jika operasi itu bukannya menyelamatkan

kandungan Ladunna, tapi justru bisa berakibat fatal atau bahkan dapat merenggut

nyawa istrinya.

Apa yang dicemaskan Andesta, akhirnya datang juga. Ya, sejak operasi itulah

asal muasal musibah itu bisa dirunut. Tubuh Ladunna tergeletak lemas, menelentang

tak sadarkan diri. Ladunna sekarat dan tak mampu mengenali Andesta lagi.

Mengenali suaminya sendiri. Sekedar menghitung berapa banyak selang yang

91

bersilang-pintang di tubuhnya pun, perempuan itu sudah tak kuasa. Denyut nadinya

seperti kerakap tumbuh di batu. Hidup segan, namun mati tak hendak. Dokter

menvonis, perempuan itu menderita vegetative state, batang otaknya rusak permanen.

Bukankah itu sama saja artinya dengan kematian?

****

Percuma saja kau bersetia menunggu kesembuhannya dari penyakit itu!

Kenapa kau masih saja sabar dan senantiasa berharap? Sudahlah, Andesta!

Berhentilah menunggu sesuatu yang patut lagi ditunggu! Mestinya, petaka dan

musibah itu kau percayai saja sebagai takdir!.

“Ah, aku sulit untuk yakin pada takdir”

“Ssssssst……! Kau tak bisa menolak takdir, Andesta!”

“Iya. Tapi, jika aku mempercayai sakit parahnya itu adalah takdir, betapa tak

mujurnya takdir Ladunna.Memilukan. Takdir yang melumpuhkan semangat hidupku”

“Jadi kau tidak percaya dengan ganasnya penyakit yang berjangkit di tubuh

istrimu itu?”

“Tubuhnya memang sedang digerogoti penyakit. Tapi, bukankah tak ada

penyakit yang mampu membunuh dan tak ada pula obat mampu menyembuhkan?”

Kau benar! Tapi, tidak dibunuh pun, istrimu sudah mati lebih dulu. Ladunna

sudah jadi mayat sebelum ajal datang menjemputnya. Sejak batang otaknya rusak

total dan syaraf-syaraf motoriknya kehilangan fungsi, sulit sekali ia mengingat-ingat

dan membayangkan betapa khidmatnya prosesi pernikahan yang baru saja kalian

alami dua bulan lalu. Sekedar menyimpan kenangan tentang tahi lalat yang melekat di

92

jidatmu atau kecupan malam yang menyisakan basah di kuduknya, Ladunna sudah

tak mampu. Daya ingat dan kualitas kecerdasannya amat rendah. Lebih rendah dari

kecerdasan hewan.

Benarkah kau hendak membebaskan istrimu dari rasa sakit yang telah

melumpuhkan itu? Kau berkenan bilamana rasa sakitnya dialirkan ke tubuhmu? Kau

sungguh-sungguh, Andesta?

“Beritahu aku bagaimana cara memusnahkan rasa sakitnya!”

“Gampang sekali, Andesta!”

“Katakanlah! Akan segera kulakukan untuknya”

“Bunuh ia! Maka, penyakit istrimu akan mati, mengiringi kematiannya”

****

Ladunna…

Penyakit itu sudah berurat, berakar, bersenyawa dan berkelindan dengan

organ-organ tubuhmu. Sukar sekali mematikan rasa sakitmu itu. Apa boleh buat.

Satu-satunya cara yang dapat membunuh penyakitmu adalah ; dengan membunuhmu.

Aku sudah bermohon pada lembaga yang berwenang agar mereka berkenan memberi

izin pada dokter untuk menancapkan suntikan eutanasia di tubuhmu. Suntik mati.

Maafkan aku, Ladunna! Aku tak bermaksud mengakhiri hidupmu, aku hanya ingin

membunuh rasa sakitmu. Tapi, mereka menolak permintaanku dan terus menerus

menghalangi niatku. Bahkan, mereka menuduhku sebagai lelaki sadis yang tega

merenggut hidup istrinya sendiri.

93

Jadi, kau pikir mati itu menyakitkan?. Bagi Ladunna, mungkin jauh lebih

menyakitkan membiarkanmu senantiasa berharap pada kesembuhannya. Membiarkan

suaminya mengurut dada pada setiap jeda waktu bersitatap dengan sorot matanya

yang kian hari kian sayu. Bukankah akan lebih baik memilih mati ketimbang hidup,

namun tak bermutu?. Lebih baik mati, karena kualitas hidup Ladunna lebih buruk

dari kematiannya. Maka, bagi istrimu kematian sama sekali tidak menakutkan,

apalagi menyakitkan. Kematian Ladunna adalah suaka. Kematian yang

membebaskan. Ya, membebaskan perempuan itu dari gairah hidup yang makin lama

makin redup. Sekaligus, membebaskan Andesta, suaminya dari riwayat penungguan

sia-sia.

“Lalu, bagaimana caranya?”

“Tolong, beritahu aku!”

“Aku sudah tak sabar”

Kau tak perlu bersusah-susah dan mengemis mohon izin untuk

membenamkan jarum suntik mati di tubuh Ladunna. Cara yang kau pilih terlalu sulit

dan berbelit-belit. Sementara ulu hatimu terus tersayat-sayat rasa ngilu melihat

kondisi istrimu yang kian hari kian memburuk. Maka, akan kutunjukkan cara yang

lebih mudah,

“Cabut saja salah satu selang yang melekat di tubuhnya!. Selang infus di

tangannya, atau selang oksigen di hidungnya. Gampang, bukan?”

“Aku tak sanggup!”

“Andesta, cabut saja selang itu!”

94

“Tidak! Aku tak sanggup membunuhnya”

“Ayolah!”

“Tidak!”

“Sssst..! Kau tidak membunuh Ladunna, tapi ‘mematikan’ penyakitnya.

Lakukanlah!”

“Sudah kubilang ; Tidak!”

“Bunuhlah ia…!”

“Bunuh penyakitnya…!”

“Bebaskan ia…!”

“Ayolah, sayang…!”

Kelapa Dua, 2005